Ini Obat Hati Saat Dunia Terasa “Tak Adil” – Syaikh Utsaimin #NasehatUlama

Di antara faedah beriman kepada Hari Akhir adalah bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena mengharap pahala di hari itu, dan menjauhi kemaksiatan karena takut akan siksa-Nya pada hari itu. Inilah salah satu faedahnya. Tidak diragukan, jika seseorang beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah, karena mengharap pahala-Nya, dan menjauhi kemaksiatan terhadap Allah karena takut akan siksa-Nya. Faedah kedua: menjadi penghibur bagi orang mukmin atas kenikmatan dunia yang tidak dapat dia raih, dengan kenikmatan dan pahala di akhirat yang dia harapkan. Ya, sebagai penghibur bagi orang beriman. Karena jika orang beriman melihat para pelaku maksiat hidup penuh kenikmatan dengan pakaian, anak-anak, keluarga, istana, dan kendaraan mereka, niscaya ia akan merasa sedih. Namun, jika ia beriman kepada apa yang Allah siapkan baginya di Hari Akhir, niscaya semua itu akan terasa ringan baginya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Janganlah kalian makan atau minum dengan wadah emas dan perak, dan jangan pula makan dengan nampannya. Karena itu semua untuk mereka di dunia, dan untuk kalian di akhirat.” (HR. Bukhari). Juga, ketika Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu melihat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar hingga meninggalkan bekas di tubuh beliau, Umar pun menangis. Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Aku menangis karena Kisra dan Qaishar hidup dalam kemewahan, sementara engkau dalam keadaan seperti ini.” Nabi bersabda, “Tidakkah engkau rela jika dunia untuk mereka, dan akhirat untuk kita?” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Tidak diragukan lagi, ini adalah penghibur yang besar bagi orang beriman. Penghiburan semacam ini meringankan beban musibah yang menimpa seseorang. Tidak diragukan bahwa itu meringankan musibah seseorang. Oleh sebab itu, sebagaimana dikisahkan — seingat saya dari Rabi’ah Al-Adawiyah — ketika ia tertimpa musibah pada jarinya, ia tidak mengeluh atau goyah hatinya. Ia pun ditanya tentang hal itu, dan ia menjawab, “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Subhanallah! Ucapan indah yang memancarkan cahaya! “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Karena segala sesuatu dapat terobati dengan lawannya. “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Yakni, rasa manis pahala menjadi penawar atas pahitnya kesabaran. Tidak diragukan lagi, ini merupakan penghibur bagi hamba yang beriman. Jika ia beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan merasakan ketenangan itu. ===== الْإِيْمَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ مِنْ فَوَائِدِهِ الْحِرْصُ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى رَغْبَةً فِي ثَوَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَالْبُعْدُ عَنْ مَعْصِيَتِهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ هَذَا مِنْ ثَمَرَاتِهِ لَا شَكَّ أَنَّهُ إِذَا آمَنَ الْإِنْسَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَرِصَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ رَغْبَةً فِي إيشِ؟ فِي ثَوَابِهِ وَاجْتَنَبَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِهِ ثَانِيًا تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ عَمَّا يَفُوتُهُ مِنْ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَمَتَاعِهَا بِمَا يَرْجُوهُ مِنْ نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَثَوَابِهَا نَعَمْ تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ لِأَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا رَأَى أَهْلَ الْمَعْصِيَةِ مُنَعَّمِيْنَ بِثِيَابِهِمْ وَأَبْنَائِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَقُصُورِهِمْ وَمَرَاكِبِهِمْ سَوْفَ يَمُوتُ غَمًّا لَكِنْ إِذَا آمَنَ بِمَا أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ فِي الْيَوْمِ الْآخَرِ هَانَ عَلَيْهِ كُلُّ ذَلِكَ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَشْرَبُوا لَا تَأْكُلُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَمَّا رَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمًا عَلَى حَصِيرٍ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ بَكَى فَقَالَ لَهُ مَا يُبْكِيكَ؟ قَالَ أَبْكِي لِأَنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ يَعِيشَانِ فِيمَا يَعِيشَانِ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ وَأَنْتَ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ فَقَالَ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَهُمْ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟ وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذَا تَسْلِيَةٌ عَظِيمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ وَالتَّسْلِيَةُ تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ الْمُصِيْبَةَ لَا شَكَّ أَنَّهَا تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ مُصِيبَةً وَلِهَذَا قَالَتْ أَظُنُّهَا الرَّابِعَةُ الْعَدَوِيَّةُ وَقَدْ أُصِيبَتْ فِي أَصْبُعِهَا وَلَمْ تَتَرَجَّ وَلَمْ تَتَأَثَّرْ فَقِيلَ لَهَا فِي ذَلِكَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا سُبْحَانَ اللهِ كَلَامٌ نَضِرٌ عَلَيْهِ النُّورُ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا لِأَنَّ بِضِدِّهَا تُدَاوَى الْأَشْيَاءُ فَإِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا فَحَلَاوَةُ الْأَجْرِ تُقَابِلُ مَرَارَةَ الصَّبْرِ وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهُ تَسْلِيَةٌ لِلْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ فَإِذَا آمَنَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ

Ini Obat Hati Saat Dunia Terasa “Tak Adil” – Syaikh Utsaimin #NasehatUlama

Di antara faedah beriman kepada Hari Akhir adalah bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena mengharap pahala di hari itu, dan menjauhi kemaksiatan karena takut akan siksa-Nya pada hari itu. Inilah salah satu faedahnya. Tidak diragukan, jika seseorang beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah, karena mengharap pahala-Nya, dan menjauhi kemaksiatan terhadap Allah karena takut akan siksa-Nya. Faedah kedua: menjadi penghibur bagi orang mukmin atas kenikmatan dunia yang tidak dapat dia raih, dengan kenikmatan dan pahala di akhirat yang dia harapkan. Ya, sebagai penghibur bagi orang beriman. Karena jika orang beriman melihat para pelaku maksiat hidup penuh kenikmatan dengan pakaian, anak-anak, keluarga, istana, dan kendaraan mereka, niscaya ia akan merasa sedih. Namun, jika ia beriman kepada apa yang Allah siapkan baginya di Hari Akhir, niscaya semua itu akan terasa ringan baginya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Janganlah kalian makan atau minum dengan wadah emas dan perak, dan jangan pula makan dengan nampannya. Karena itu semua untuk mereka di dunia, dan untuk kalian di akhirat.” (HR. Bukhari). Juga, ketika Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu melihat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar hingga meninggalkan bekas di tubuh beliau, Umar pun menangis. Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Aku menangis karena Kisra dan Qaishar hidup dalam kemewahan, sementara engkau dalam keadaan seperti ini.” Nabi bersabda, “Tidakkah engkau rela jika dunia untuk mereka, dan akhirat untuk kita?” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Tidak diragukan lagi, ini adalah penghibur yang besar bagi orang beriman. Penghiburan semacam ini meringankan beban musibah yang menimpa seseorang. Tidak diragukan bahwa itu meringankan musibah seseorang. Oleh sebab itu, sebagaimana dikisahkan — seingat saya dari Rabi’ah Al-Adawiyah — ketika ia tertimpa musibah pada jarinya, ia tidak mengeluh atau goyah hatinya. Ia pun ditanya tentang hal itu, dan ia menjawab, “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Subhanallah! Ucapan indah yang memancarkan cahaya! “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Karena segala sesuatu dapat terobati dengan lawannya. “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Yakni, rasa manis pahala menjadi penawar atas pahitnya kesabaran. Tidak diragukan lagi, ini merupakan penghibur bagi hamba yang beriman. Jika ia beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan merasakan ketenangan itu. ===== الْإِيْمَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ مِنْ فَوَائِدِهِ الْحِرْصُ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى رَغْبَةً فِي ثَوَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَالْبُعْدُ عَنْ مَعْصِيَتِهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ هَذَا مِنْ ثَمَرَاتِهِ لَا شَكَّ أَنَّهُ إِذَا آمَنَ الْإِنْسَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَرِصَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ رَغْبَةً فِي إيشِ؟ فِي ثَوَابِهِ وَاجْتَنَبَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِهِ ثَانِيًا تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ عَمَّا يَفُوتُهُ مِنْ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَمَتَاعِهَا بِمَا يَرْجُوهُ مِنْ نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَثَوَابِهَا نَعَمْ تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ لِأَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا رَأَى أَهْلَ الْمَعْصِيَةِ مُنَعَّمِيْنَ بِثِيَابِهِمْ وَأَبْنَائِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَقُصُورِهِمْ وَمَرَاكِبِهِمْ سَوْفَ يَمُوتُ غَمًّا لَكِنْ إِذَا آمَنَ بِمَا أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ فِي الْيَوْمِ الْآخَرِ هَانَ عَلَيْهِ كُلُّ ذَلِكَ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَشْرَبُوا لَا تَأْكُلُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَمَّا رَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمًا عَلَى حَصِيرٍ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ بَكَى فَقَالَ لَهُ مَا يُبْكِيكَ؟ قَالَ أَبْكِي لِأَنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ يَعِيشَانِ فِيمَا يَعِيشَانِ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ وَأَنْتَ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ فَقَالَ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَهُمْ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟ وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذَا تَسْلِيَةٌ عَظِيمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ وَالتَّسْلِيَةُ تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ الْمُصِيْبَةَ لَا شَكَّ أَنَّهَا تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ مُصِيبَةً وَلِهَذَا قَالَتْ أَظُنُّهَا الرَّابِعَةُ الْعَدَوِيَّةُ وَقَدْ أُصِيبَتْ فِي أَصْبُعِهَا وَلَمْ تَتَرَجَّ وَلَمْ تَتَأَثَّرْ فَقِيلَ لَهَا فِي ذَلِكَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا سُبْحَانَ اللهِ كَلَامٌ نَضِرٌ عَلَيْهِ النُّورُ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا لِأَنَّ بِضِدِّهَا تُدَاوَى الْأَشْيَاءُ فَإِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا فَحَلَاوَةُ الْأَجْرِ تُقَابِلُ مَرَارَةَ الصَّبْرِ وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهُ تَسْلِيَةٌ لِلْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ فَإِذَا آمَنَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ
Di antara faedah beriman kepada Hari Akhir adalah bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena mengharap pahala di hari itu, dan menjauhi kemaksiatan karena takut akan siksa-Nya pada hari itu. Inilah salah satu faedahnya. Tidak diragukan, jika seseorang beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah, karena mengharap pahala-Nya, dan menjauhi kemaksiatan terhadap Allah karena takut akan siksa-Nya. Faedah kedua: menjadi penghibur bagi orang mukmin atas kenikmatan dunia yang tidak dapat dia raih, dengan kenikmatan dan pahala di akhirat yang dia harapkan. Ya, sebagai penghibur bagi orang beriman. Karena jika orang beriman melihat para pelaku maksiat hidup penuh kenikmatan dengan pakaian, anak-anak, keluarga, istana, dan kendaraan mereka, niscaya ia akan merasa sedih. Namun, jika ia beriman kepada apa yang Allah siapkan baginya di Hari Akhir, niscaya semua itu akan terasa ringan baginya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Janganlah kalian makan atau minum dengan wadah emas dan perak, dan jangan pula makan dengan nampannya. Karena itu semua untuk mereka di dunia, dan untuk kalian di akhirat.” (HR. Bukhari). Juga, ketika Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu melihat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar hingga meninggalkan bekas di tubuh beliau, Umar pun menangis. Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Aku menangis karena Kisra dan Qaishar hidup dalam kemewahan, sementara engkau dalam keadaan seperti ini.” Nabi bersabda, “Tidakkah engkau rela jika dunia untuk mereka, dan akhirat untuk kita?” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Tidak diragukan lagi, ini adalah penghibur yang besar bagi orang beriman. Penghiburan semacam ini meringankan beban musibah yang menimpa seseorang. Tidak diragukan bahwa itu meringankan musibah seseorang. Oleh sebab itu, sebagaimana dikisahkan — seingat saya dari Rabi’ah Al-Adawiyah — ketika ia tertimpa musibah pada jarinya, ia tidak mengeluh atau goyah hatinya. Ia pun ditanya tentang hal itu, dan ia menjawab, “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Subhanallah! Ucapan indah yang memancarkan cahaya! “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Karena segala sesuatu dapat terobati dengan lawannya. “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Yakni, rasa manis pahala menjadi penawar atas pahitnya kesabaran. Tidak diragukan lagi, ini merupakan penghibur bagi hamba yang beriman. Jika ia beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan merasakan ketenangan itu. ===== الْإِيْمَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ مِنْ فَوَائِدِهِ الْحِرْصُ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى رَغْبَةً فِي ثَوَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَالْبُعْدُ عَنْ مَعْصِيَتِهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ هَذَا مِنْ ثَمَرَاتِهِ لَا شَكَّ أَنَّهُ إِذَا آمَنَ الْإِنْسَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَرِصَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ رَغْبَةً فِي إيشِ؟ فِي ثَوَابِهِ وَاجْتَنَبَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِهِ ثَانِيًا تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ عَمَّا يَفُوتُهُ مِنْ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَمَتَاعِهَا بِمَا يَرْجُوهُ مِنْ نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَثَوَابِهَا نَعَمْ تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ لِأَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا رَأَى أَهْلَ الْمَعْصِيَةِ مُنَعَّمِيْنَ بِثِيَابِهِمْ وَأَبْنَائِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَقُصُورِهِمْ وَمَرَاكِبِهِمْ سَوْفَ يَمُوتُ غَمًّا لَكِنْ إِذَا آمَنَ بِمَا أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ فِي الْيَوْمِ الْآخَرِ هَانَ عَلَيْهِ كُلُّ ذَلِكَ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَشْرَبُوا لَا تَأْكُلُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَمَّا رَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمًا عَلَى حَصِيرٍ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ بَكَى فَقَالَ لَهُ مَا يُبْكِيكَ؟ قَالَ أَبْكِي لِأَنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ يَعِيشَانِ فِيمَا يَعِيشَانِ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ وَأَنْتَ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ فَقَالَ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَهُمْ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟ وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذَا تَسْلِيَةٌ عَظِيمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ وَالتَّسْلِيَةُ تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ الْمُصِيْبَةَ لَا شَكَّ أَنَّهَا تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ مُصِيبَةً وَلِهَذَا قَالَتْ أَظُنُّهَا الرَّابِعَةُ الْعَدَوِيَّةُ وَقَدْ أُصِيبَتْ فِي أَصْبُعِهَا وَلَمْ تَتَرَجَّ وَلَمْ تَتَأَثَّرْ فَقِيلَ لَهَا فِي ذَلِكَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا سُبْحَانَ اللهِ كَلَامٌ نَضِرٌ عَلَيْهِ النُّورُ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا لِأَنَّ بِضِدِّهَا تُدَاوَى الْأَشْيَاءُ فَإِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا فَحَلَاوَةُ الْأَجْرِ تُقَابِلُ مَرَارَةَ الصَّبْرِ وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهُ تَسْلِيَةٌ لِلْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ فَإِذَا آمَنَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ


Di antara faedah beriman kepada Hari Akhir adalah bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena mengharap pahala di hari itu, dan menjauhi kemaksiatan karena takut akan siksa-Nya pada hari itu. Inilah salah satu faedahnya. Tidak diragukan, jika seseorang beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan bersemangat menjalankan ketaatan kepada Allah, karena mengharap pahala-Nya, dan menjauhi kemaksiatan terhadap Allah karena takut akan siksa-Nya. Faedah kedua: menjadi penghibur bagi orang mukmin atas kenikmatan dunia yang tidak dapat dia raih, dengan kenikmatan dan pahala di akhirat yang dia harapkan. Ya, sebagai penghibur bagi orang beriman. Karena jika orang beriman melihat para pelaku maksiat hidup penuh kenikmatan dengan pakaian, anak-anak, keluarga, istana, dan kendaraan mereka, niscaya ia akan merasa sedih. Namun, jika ia beriman kepada apa yang Allah siapkan baginya di Hari Akhir, niscaya semua itu akan terasa ringan baginya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Janganlah kalian makan atau minum dengan wadah emas dan perak, dan jangan pula makan dengan nampannya. Karena itu semua untuk mereka di dunia, dan untuk kalian di akhirat.” (HR. Bukhari). Juga, ketika Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu melihat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar hingga meninggalkan bekas di tubuh beliau, Umar pun menangis. Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Aku menangis karena Kisra dan Qaishar hidup dalam kemewahan, sementara engkau dalam keadaan seperti ini.” Nabi bersabda, “Tidakkah engkau rela jika dunia untuk mereka, dan akhirat untuk kita?” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Tidak diragukan lagi, ini adalah penghibur yang besar bagi orang beriman. Penghiburan semacam ini meringankan beban musibah yang menimpa seseorang. Tidak diragukan bahwa itu meringankan musibah seseorang. Oleh sebab itu, sebagaimana dikisahkan — seingat saya dari Rabi’ah Al-Adawiyah — ketika ia tertimpa musibah pada jarinya, ia tidak mengeluh atau goyah hatinya. Ia pun ditanya tentang hal itu, dan ia menjawab, “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Subhanallah! Ucapan indah yang memancarkan cahaya! “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Karena segala sesuatu dapat terobati dengan lawannya. “Rasa manis pahalanya membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menanggungnya.” Yakni, rasa manis pahala menjadi penawar atas pahitnya kesabaran. Tidak diragukan lagi, ini merupakan penghibur bagi hamba yang beriman. Jika ia beriman kepada Hari Akhir, niscaya ia akan merasakan ketenangan itu. ===== الْإِيْمَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ مِنْ فَوَائِدِهِ الْحِرْصُ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى رَغْبَةً فِي ثَوَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَالْبُعْدُ عَنْ مَعْصِيَتِهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِ ذَلِكَ الْيَوْمِ هَذَا مِنْ ثَمَرَاتِهِ لَا شَكَّ أَنَّهُ إِذَا آمَنَ الْإِنْسَانُ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَرِصَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ رَغْبَةً فِي إيشِ؟ فِي ثَوَابِهِ وَاجْتَنَبَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ خَوْفًا مِنْ عِقَابِهِ ثَانِيًا تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ عَمَّا يَفُوتُهُ مِنْ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَمَتَاعِهَا بِمَا يَرْجُوهُ مِنْ نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَثَوَابِهَا نَعَمْ تَسْلِيَةُ الْمُؤْمِنِ لِأَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا رَأَى أَهْلَ الْمَعْصِيَةِ مُنَعَّمِيْنَ بِثِيَابِهِمْ وَأَبْنَائِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَقُصُورِهِمْ وَمَرَاكِبِهِمْ سَوْفَ يَمُوتُ غَمًّا لَكِنْ إِذَا آمَنَ بِمَا أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ فِي الْيَوْمِ الْآخَرِ هَانَ عَلَيْهِ كُلُّ ذَلِكَ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَشْرَبُوا لَا تَأْكُلُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَمَّا رَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمًا عَلَى حَصِيرٍ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ بَكَى فَقَالَ لَهُ مَا يُبْكِيكَ؟ قَالَ أَبْكِي لِأَنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ يَعِيشَانِ فِيمَا يَعِيشَانِ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ وَأَنْتَ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ فَقَالَ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَهُمْ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟ وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذَا تَسْلِيَةٌ عَظِيمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ وَالتَّسْلِيَةُ تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ الْمُصِيْبَةَ لَا شَكَّ أَنَّهَا تُهَوِّنُ عَلَى الْإِنْسَانِ مُصِيبَةً وَلِهَذَا قَالَتْ أَظُنُّهَا الرَّابِعَةُ الْعَدَوِيَّةُ وَقَدْ أُصِيبَتْ فِي أَصْبُعِهَا وَلَمْ تَتَرَجَّ وَلَمْ تَتَأَثَّرْ فَقِيلَ لَهَا فِي ذَلِكَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا سُبْحَانَ اللهِ كَلَامٌ نَضِرٌ عَلَيْهِ النُّورُ إِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا لِأَنَّ بِضِدِّهَا تُدَاوَى الْأَشْيَاءُ فَإِنَّ حَلَاوَةَ أَجْرِهَا أَنْسَتْنِي مَرَارَةَ صَبْرِهَا فَحَلَاوَةُ الْأَجْرِ تُقَابِلُ مَرَارَةَ الصَّبْرِ وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهُ تَسْلِيَةٌ لِلْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ فَإِذَا آمَنَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ

Teks Khotbah Jumat: Jangan Lalai Selagi Masih Ada Kesempatan

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Pengampun dosa dan Penerima tobat, Yang keras siksa-Nya, Pemilik karunia, kepada-Nya tempat kembali. Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, sebagaimana firman-Nya,وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281)Wahai hamba-hamba Allah, kebahagiaan sejati dan tanda keberuntungan seseorang terletak pada bagaimana ia kembali kepada Tuhannya, terletak pada keistikamahan di atas syariat-Nya selama hidupnya. Jangan sampai kehidupan dunia ini melalaikan kita dari mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Itulah jalan orang-orang saleh, dan cara hidup orang-orang bertakwa yang digambarkan Allah dalam firman-Nya,رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37).Mereka itu, meskipun disibukkan dengan urusan dunia, tetap menghadirkan keagungan Allah dalam hati mereka, mereka tahu bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sarana, bukan tujuan, hanyalah persinggahan, bukan tempat tinggal abadi. Dunia ini sangatlah remeh dan melalaikan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman,اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan betapa remehnya dan hinanya dunia,لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ“Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati bangkai kambing yang dibuang oleh pemiliknya. Lalu bersabda,وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ عَلَى أَهْلِهَا“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dunia lebih hina di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla daripada hinanya bangkai ini di hadapan pemiliknya.” (HR. Ahmad no. 3047 dan At-Tirmidzi no. 2321, disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dalil dalil di atas adalah penjelasan paling gamblang tentang betapa hinanya dunia. Sayangnya banyak di antara kita yang tetap dalam kelalaian dan buta terhadap kenyataan ini. Angan-angan dan obsesi mengumpulkan harta begitu kuatnya menancap di hatinya, seakan tidak ada kehidupan selain dunia ini.Jika cinta dunia menguasai hati seseorang, ia akan melupakan Tuhannya, lupa akan salat dan banyak bermaksiat. Dan barang siapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri, hal itulah yang akan membawanya menuju kesesatan dan kehancuran. Allah Ta’ala berfirman tentang generasi kita saat ini,فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)Wahai hamba-hamba Allah, inilah penyakit yang telah mencampakkan umat Islam di masa-masa belakangan ini ke dalam kondisi yang memprihatinkan; lemah, terhina, tercerai-berai, dan saling berselisih. Hingga musuh-musuh menguasai banyak urusan mereka, merampas banyak kekayaan mereka, menguasai sebagian negeri mereka, dan menimpakan azab serta penderitaan terhadap sebagian kaum Muslimin.Berhati-hatilah, wahai hamba-hamba Allah, dari terus-menerus dalam kelalaian dan berpaling dari Allah, serta lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Perintis Bisa, Pewaris Pun Tak MasalahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencela orang-orang yang lalai, dan memuji orang-orang bertakwa yang menjauhkan diri dari hawa nafsu dan beramal untuk negeri akhirat. Allah berfirman menjelaskan keadaan masing-masing golongan serta balasannya,فَأَمَّا مَنْ طَغَى * وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى * وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-41).Dunia merupakan waktu kita bekerja keras, bukan waktu untuk berleha-leha dan bersantai-santai. Lelahnya orang yang bersungguh-sungguh untuk meraih kebaikan, hakikatnya adalah kenyamanan; dan kenyamanan karena malas mencari kebaikan, maka sesungguhnya itu adalah kelelahan dan kehinaan.Berdoalah wahai saudaraku sekalian, agar jangan sampai diri kita lalai dan terlena dengan kehidupan dunia ini. Di zaman di mana kebanyakan manusia memamerkan pencapaian duniawinya, jabatannya, hartanya, dan anak keturunannya, hati kita butuh penguat agar tidak goyah dan lalai, hati kita butuh akan bantuan Allah Ta’ala agar senantiasa konsisten dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa,فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مُضَيِّعٍ وَلَا مُفَرِّطٍ“Wafatkanlah aku kepada-Mu dalam keadaan tidak menyia-nyiakan dan tidak juga dalam keadaan melalaikan.” (HR. Malik 2: 824 dan Al-Hakim no. 4513)Saudaraku sekalian, bertakwalah kepada Allah, janganlah kehidupan dunia ini menipu kalian, dan jangan pula setan menipu kalian terhadap Allah,إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu). Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)Ya Allah, berilah jiwa kami ketakwaan, dan sucikanlah ia; Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah pelindung dan penolongnya.Dan jika kelalaian tersebut terlanjur menjangkiti hati kita, maka sebaik-baik obatnya adalah mengingat Allah, introspeksi diri dan meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fussilat: 36)Bertakwalah kalian kepada Allah dan ingatlah bahwa perjalanan kalian menuju negeri keabadian itu semakin dekat, menuju surga atau neraka. Persiapkanlah bekal terbaik untuk hari itu, dan perhitungkanlah sebaik-baiknya. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keistikamahan di jalan ketataan kepada-Nya, menjadikan hati kita kuat dan tidak tertipu serta terperdaya dengan kehidupan dunia yang melalaikan ini.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jadilah Hamba yang Takut kepada Allah***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Jangan Lalai Selagi Masih Ada Kesempatan

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Pengampun dosa dan Penerima tobat, Yang keras siksa-Nya, Pemilik karunia, kepada-Nya tempat kembali. Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, sebagaimana firman-Nya,وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281)Wahai hamba-hamba Allah, kebahagiaan sejati dan tanda keberuntungan seseorang terletak pada bagaimana ia kembali kepada Tuhannya, terletak pada keistikamahan di atas syariat-Nya selama hidupnya. Jangan sampai kehidupan dunia ini melalaikan kita dari mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Itulah jalan orang-orang saleh, dan cara hidup orang-orang bertakwa yang digambarkan Allah dalam firman-Nya,رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37).Mereka itu, meskipun disibukkan dengan urusan dunia, tetap menghadirkan keagungan Allah dalam hati mereka, mereka tahu bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sarana, bukan tujuan, hanyalah persinggahan, bukan tempat tinggal abadi. Dunia ini sangatlah remeh dan melalaikan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman,اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan betapa remehnya dan hinanya dunia,لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ“Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati bangkai kambing yang dibuang oleh pemiliknya. Lalu bersabda,وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ عَلَى أَهْلِهَا“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dunia lebih hina di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla daripada hinanya bangkai ini di hadapan pemiliknya.” (HR. Ahmad no. 3047 dan At-Tirmidzi no. 2321, disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dalil dalil di atas adalah penjelasan paling gamblang tentang betapa hinanya dunia. Sayangnya banyak di antara kita yang tetap dalam kelalaian dan buta terhadap kenyataan ini. Angan-angan dan obsesi mengumpulkan harta begitu kuatnya menancap di hatinya, seakan tidak ada kehidupan selain dunia ini.Jika cinta dunia menguasai hati seseorang, ia akan melupakan Tuhannya, lupa akan salat dan banyak bermaksiat. Dan barang siapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri, hal itulah yang akan membawanya menuju kesesatan dan kehancuran. Allah Ta’ala berfirman tentang generasi kita saat ini,فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)Wahai hamba-hamba Allah, inilah penyakit yang telah mencampakkan umat Islam di masa-masa belakangan ini ke dalam kondisi yang memprihatinkan; lemah, terhina, tercerai-berai, dan saling berselisih. Hingga musuh-musuh menguasai banyak urusan mereka, merampas banyak kekayaan mereka, menguasai sebagian negeri mereka, dan menimpakan azab serta penderitaan terhadap sebagian kaum Muslimin.Berhati-hatilah, wahai hamba-hamba Allah, dari terus-menerus dalam kelalaian dan berpaling dari Allah, serta lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Perintis Bisa, Pewaris Pun Tak MasalahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencela orang-orang yang lalai, dan memuji orang-orang bertakwa yang menjauhkan diri dari hawa nafsu dan beramal untuk negeri akhirat. Allah berfirman menjelaskan keadaan masing-masing golongan serta balasannya,فَأَمَّا مَنْ طَغَى * وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى * وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-41).Dunia merupakan waktu kita bekerja keras, bukan waktu untuk berleha-leha dan bersantai-santai. Lelahnya orang yang bersungguh-sungguh untuk meraih kebaikan, hakikatnya adalah kenyamanan; dan kenyamanan karena malas mencari kebaikan, maka sesungguhnya itu adalah kelelahan dan kehinaan.Berdoalah wahai saudaraku sekalian, agar jangan sampai diri kita lalai dan terlena dengan kehidupan dunia ini. Di zaman di mana kebanyakan manusia memamerkan pencapaian duniawinya, jabatannya, hartanya, dan anak keturunannya, hati kita butuh penguat agar tidak goyah dan lalai, hati kita butuh akan bantuan Allah Ta’ala agar senantiasa konsisten dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa,فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مُضَيِّعٍ وَلَا مُفَرِّطٍ“Wafatkanlah aku kepada-Mu dalam keadaan tidak menyia-nyiakan dan tidak juga dalam keadaan melalaikan.” (HR. Malik 2: 824 dan Al-Hakim no. 4513)Saudaraku sekalian, bertakwalah kepada Allah, janganlah kehidupan dunia ini menipu kalian, dan jangan pula setan menipu kalian terhadap Allah,إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu). Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)Ya Allah, berilah jiwa kami ketakwaan, dan sucikanlah ia; Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah pelindung dan penolongnya.Dan jika kelalaian tersebut terlanjur menjangkiti hati kita, maka sebaik-baik obatnya adalah mengingat Allah, introspeksi diri dan meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fussilat: 36)Bertakwalah kalian kepada Allah dan ingatlah bahwa perjalanan kalian menuju negeri keabadian itu semakin dekat, menuju surga atau neraka. Persiapkanlah bekal terbaik untuk hari itu, dan perhitungkanlah sebaik-baiknya. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keistikamahan di jalan ketataan kepada-Nya, menjadikan hati kita kuat dan tidak tertipu serta terperdaya dengan kehidupan dunia yang melalaikan ini.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jadilah Hamba yang Takut kepada Allah***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Pengampun dosa dan Penerima tobat, Yang keras siksa-Nya, Pemilik karunia, kepada-Nya tempat kembali. Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, sebagaimana firman-Nya,وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281)Wahai hamba-hamba Allah, kebahagiaan sejati dan tanda keberuntungan seseorang terletak pada bagaimana ia kembali kepada Tuhannya, terletak pada keistikamahan di atas syariat-Nya selama hidupnya. Jangan sampai kehidupan dunia ini melalaikan kita dari mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Itulah jalan orang-orang saleh, dan cara hidup orang-orang bertakwa yang digambarkan Allah dalam firman-Nya,رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37).Mereka itu, meskipun disibukkan dengan urusan dunia, tetap menghadirkan keagungan Allah dalam hati mereka, mereka tahu bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sarana, bukan tujuan, hanyalah persinggahan, bukan tempat tinggal abadi. Dunia ini sangatlah remeh dan melalaikan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman,اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan betapa remehnya dan hinanya dunia,لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ“Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati bangkai kambing yang dibuang oleh pemiliknya. Lalu bersabda,وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ عَلَى أَهْلِهَا“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dunia lebih hina di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla daripada hinanya bangkai ini di hadapan pemiliknya.” (HR. Ahmad no. 3047 dan At-Tirmidzi no. 2321, disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dalil dalil di atas adalah penjelasan paling gamblang tentang betapa hinanya dunia. Sayangnya banyak di antara kita yang tetap dalam kelalaian dan buta terhadap kenyataan ini. Angan-angan dan obsesi mengumpulkan harta begitu kuatnya menancap di hatinya, seakan tidak ada kehidupan selain dunia ini.Jika cinta dunia menguasai hati seseorang, ia akan melupakan Tuhannya, lupa akan salat dan banyak bermaksiat. Dan barang siapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri, hal itulah yang akan membawanya menuju kesesatan dan kehancuran. Allah Ta’ala berfirman tentang generasi kita saat ini,فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)Wahai hamba-hamba Allah, inilah penyakit yang telah mencampakkan umat Islam di masa-masa belakangan ini ke dalam kondisi yang memprihatinkan; lemah, terhina, tercerai-berai, dan saling berselisih. Hingga musuh-musuh menguasai banyak urusan mereka, merampas banyak kekayaan mereka, menguasai sebagian negeri mereka, dan menimpakan azab serta penderitaan terhadap sebagian kaum Muslimin.Berhati-hatilah, wahai hamba-hamba Allah, dari terus-menerus dalam kelalaian dan berpaling dari Allah, serta lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Perintis Bisa, Pewaris Pun Tak MasalahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencela orang-orang yang lalai, dan memuji orang-orang bertakwa yang menjauhkan diri dari hawa nafsu dan beramal untuk negeri akhirat. Allah berfirman menjelaskan keadaan masing-masing golongan serta balasannya,فَأَمَّا مَنْ طَغَى * وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى * وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-41).Dunia merupakan waktu kita bekerja keras, bukan waktu untuk berleha-leha dan bersantai-santai. Lelahnya orang yang bersungguh-sungguh untuk meraih kebaikan, hakikatnya adalah kenyamanan; dan kenyamanan karena malas mencari kebaikan, maka sesungguhnya itu adalah kelelahan dan kehinaan.Berdoalah wahai saudaraku sekalian, agar jangan sampai diri kita lalai dan terlena dengan kehidupan dunia ini. Di zaman di mana kebanyakan manusia memamerkan pencapaian duniawinya, jabatannya, hartanya, dan anak keturunannya, hati kita butuh penguat agar tidak goyah dan lalai, hati kita butuh akan bantuan Allah Ta’ala agar senantiasa konsisten dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa,فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مُضَيِّعٍ وَلَا مُفَرِّطٍ“Wafatkanlah aku kepada-Mu dalam keadaan tidak menyia-nyiakan dan tidak juga dalam keadaan melalaikan.” (HR. Malik 2: 824 dan Al-Hakim no. 4513)Saudaraku sekalian, bertakwalah kepada Allah, janganlah kehidupan dunia ini menipu kalian, dan jangan pula setan menipu kalian terhadap Allah,إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu). Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)Ya Allah, berilah jiwa kami ketakwaan, dan sucikanlah ia; Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah pelindung dan penolongnya.Dan jika kelalaian tersebut terlanjur menjangkiti hati kita, maka sebaik-baik obatnya adalah mengingat Allah, introspeksi diri dan meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fussilat: 36)Bertakwalah kalian kepada Allah dan ingatlah bahwa perjalanan kalian menuju negeri keabadian itu semakin dekat, menuju surga atau neraka. Persiapkanlah bekal terbaik untuk hari itu, dan perhitungkanlah sebaik-baiknya. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keistikamahan di jalan ketataan kepada-Nya, menjadikan hati kita kuat dan tidak tertipu serta terperdaya dengan kehidupan dunia yang melalaikan ini.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jadilah Hamba yang Takut kepada Allah***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Pengampun dosa dan Penerima tobat, Yang keras siksa-Nya, Pemilik karunia, kepada-Nya tempat kembali. Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, sebagaimana firman-Nya,وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281)Wahai hamba-hamba Allah, kebahagiaan sejati dan tanda keberuntungan seseorang terletak pada bagaimana ia kembali kepada Tuhannya, terletak pada keistikamahan di atas syariat-Nya selama hidupnya. Jangan sampai kehidupan dunia ini melalaikan kita dari mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Itulah jalan orang-orang saleh, dan cara hidup orang-orang bertakwa yang digambarkan Allah dalam firman-Nya,رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37).Mereka itu, meskipun disibukkan dengan urusan dunia, tetap menghadirkan keagungan Allah dalam hati mereka, mereka tahu bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sarana, bukan tujuan, hanyalah persinggahan, bukan tempat tinggal abadi. Dunia ini sangatlah remeh dan melalaikan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman,اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan betapa remehnya dan hinanya dunia,لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ“Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati bangkai kambing yang dibuang oleh pemiliknya. Lalu bersabda,وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ عَلَى أَهْلِهَا“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dunia lebih hina di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla daripada hinanya bangkai ini di hadapan pemiliknya.” (HR. Ahmad no. 3047 dan At-Tirmidzi no. 2321, disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Dalil dalil di atas adalah penjelasan paling gamblang tentang betapa hinanya dunia. Sayangnya banyak di antara kita yang tetap dalam kelalaian dan buta terhadap kenyataan ini. Angan-angan dan obsesi mengumpulkan harta begitu kuatnya menancap di hatinya, seakan tidak ada kehidupan selain dunia ini.Jika cinta dunia menguasai hati seseorang, ia akan melupakan Tuhannya, lupa akan salat dan banyak bermaksiat. Dan barang siapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri, hal itulah yang akan membawanya menuju kesesatan dan kehancuran. Allah Ta’ala berfirman tentang generasi kita saat ini,فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)Wahai hamba-hamba Allah, inilah penyakit yang telah mencampakkan umat Islam di masa-masa belakangan ini ke dalam kondisi yang memprihatinkan; lemah, terhina, tercerai-berai, dan saling berselisih. Hingga musuh-musuh menguasai banyak urusan mereka, merampas banyak kekayaan mereka, menguasai sebagian negeri mereka, dan menimpakan azab serta penderitaan terhadap sebagian kaum Muslimin.Berhati-hatilah, wahai hamba-hamba Allah, dari terus-menerus dalam kelalaian dan berpaling dari Allah, serta lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Perintis Bisa, Pewaris Pun Tak MasalahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencela orang-orang yang lalai, dan memuji orang-orang bertakwa yang menjauhkan diri dari hawa nafsu dan beramal untuk negeri akhirat. Allah berfirman menjelaskan keadaan masing-masing golongan serta balasannya,فَأَمَّا مَنْ طَغَى * وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى * وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-41).Dunia merupakan waktu kita bekerja keras, bukan waktu untuk berleha-leha dan bersantai-santai. Lelahnya orang yang bersungguh-sungguh untuk meraih kebaikan, hakikatnya adalah kenyamanan; dan kenyamanan karena malas mencari kebaikan, maka sesungguhnya itu adalah kelelahan dan kehinaan.Berdoalah wahai saudaraku sekalian, agar jangan sampai diri kita lalai dan terlena dengan kehidupan dunia ini. Di zaman di mana kebanyakan manusia memamerkan pencapaian duniawinya, jabatannya, hartanya, dan anak keturunannya, hati kita butuh penguat agar tidak goyah dan lalai, hati kita butuh akan bantuan Allah Ta’ala agar senantiasa konsisten dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa,فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مُضَيِّعٍ وَلَا مُفَرِّطٍ“Wafatkanlah aku kepada-Mu dalam keadaan tidak menyia-nyiakan dan tidak juga dalam keadaan melalaikan.” (HR. Malik 2: 824 dan Al-Hakim no. 4513)Saudaraku sekalian, bertakwalah kepada Allah, janganlah kehidupan dunia ini menipu kalian, dan jangan pula setan menipu kalian terhadap Allah,إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu). Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)Ya Allah, berilah jiwa kami ketakwaan, dan sucikanlah ia; Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah pelindung dan penolongnya.Dan jika kelalaian tersebut terlanjur menjangkiti hati kita, maka sebaik-baik obatnya adalah mengingat Allah, introspeksi diri dan meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fussilat: 36)Bertakwalah kalian kepada Allah dan ingatlah bahwa perjalanan kalian menuju negeri keabadian itu semakin dekat, menuju surga atau neraka. Persiapkanlah bekal terbaik untuk hari itu, dan perhitungkanlah sebaik-baiknya. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keistikamahan di jalan ketataan kepada-Nya, menjadikan hati kita kuat dan tidak tertipu serta terperdaya dengan kehidupan dunia yang melalaikan ini.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jadilah Hamba yang Takut kepada Allah***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Tanda Shalat Istikharah Dijawab oleh Allah – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaannya yang kedua berkaitan dengan hal yang banyak dibicarakan orang: yaitu tentang cara mengetahui pilihan terbaik dan tanda-tandanya setelah seseorang beristikharah. Sebagian orang mengatakan, misalnya: jika seseorang bermimpi, atau merasa cenderung pada pilihan yang lebih baik, atau justru merasa enggan terhadap pilihan yang tidak membawa kebaikan baginya. Lalu, apakah benar-benar ada tanda-tanda khusus, atau tidak? Tandanya adalah: salah satu pilihan menjadi mudah, sementara pilihan lainnya tidak. Ketika seseorang beristikharah dalam suatu urusan, melangkah saja pada salah satu yang menurutnya lebih baik. Jika itu baik, maka Allah akan memudahkannya; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan. Adapun berkaitan dengan kecondongan hati, maka tidak ada hubungannya. Sebagian orang mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati, padahal kecondongan hati sering kali berhubungan dengan apa yang ada di pikiran seseorang pada masa lampau. Yakni apa gambaranmu tentang perkara itu di masa lalu. Sehingga ketika beristikharah, kamu merasa condong atau tidak terhadap suatu pilihan sesuai dengan gambaranmu tentangnya di masa lalu, bukan karena hasil istikharah. Ini sering kali menimbulkan banyak masalah besar. Misalnya, ada seorang gadis yang dilamar oleh pemuda yang agama dan akhlaknya baik, tidak tampak padanya keburukan. Namun gadis itu berkata, “Sungguh aku telah beristikharah, tapi hatiku tidak dilapangkan untuknya.” Ini tidak benar. Karena masalah hati yang lapang atau tidak, bukanlah tanda jawaban atas istikharah, dan bukan pula petunjuk dari istikharah. Namun, jika kalian sudah meminta saran, bermusyawarah, dan mempertimbangkan matang-matang, maka lanjutkan saja prosesnya; jika itu memang baik, pernikahan akan terwujud. Jika tidak baik, maka tidak akan terwujud, pasti ada halangan yang menghalangi terwujudnya pernikahan. Demikian juga dengan urusan-urusan lainnya. Maka, mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati adalah sesuatu yang tidak benar. Seperti yang saya jelaskan, sering kali dapat menimbulkan banyak masalah besar. Betapa banyak anak gadis yang terlambat menikah karena hal ini? Setiap kali ia beristikharah, tentu ia akan menghadapi sesuatu yang baru, dan secara psikologis, manusia tidak suka menjalani hal yang baru. Sehingga ia merasa hatinya tidak menerimanya, lalu ia mengira perasaan itu adalah hasil dari istikharah. Tentu ini tidak benar. Sebagaimana dikatakan sebagian ulama: “Jika kamu beristikharah, maka lanjutkan saja urusan itu. Jika itu baik, maka akan dimudahkan bagimu; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan.” Inilah tanda dari hasil istikharah. Adapun yang berkaitan dengan mimpi, apakah jika seseorang bermimpi — entah tentang melanjutkan atau mengundurkan diri — bolehkah dijadikan patokan? Ataukah sama seperti kecondongan hati tadi? Ini sama seperti kecondongan hati tadi, karena tidak semua mimpi adalah ilham dari Allah. Mimpi terbagi menjadi tiga jenis: (1) mimpi dari setan, (2) bisikan jiwa, yang pada dasarnya berasal dari kecondongan hati seseorang sendiri, ia seharian memikirkan suatu perkara, lalu bermimpi tentangnya di malam hari, dan mengira itu adalah ilham dari Allah. (3) Ilham dari Allah. Perhatikan, ini hanya satu dari tiga kemungkinan. Maka dari itu, ilham ini hanya dapat dijadikan kabar gembira atau peringatan saja. Tidak mengandung hukum syar’i apa pun, hanya sebagai kabar gembira atau peringatan. Dengan demikian, mimpi semacam ini bisa jadi berasal dari setan, bisa jadi bisikan jiwa, dan belum tentu ilham dari Allah. Bahkan jika itu ilham dari Allah, bukan berarti takwilnya seperti yang ia kira, maka jangan jadikan sandaran. Namun, seorang insan harus bersandar pada pengetahuan yang dimilikinya dan hasil musyawarah yang telah dilakukan. Lalu ia memutuskan untuk melanjutkan atau mengundurkan diri. Jika itu baik, Allah Ta’ala akan memudahkannya. ===== سُؤَالُهَا الثَّانِي وَهَذَا فِيهِ كَلَامٌ كَثِيرٌ عِنْدَ النَّاسِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِمَعْرِفَةِ الْخِيْرَةِ وَعَلَامَاتِ الْخِيْرَةِ إِذَا اسْتَخَارَ الْإِنْسَانُ بَعْضُهُمْ يَقُولُ مَثَلًا إِذَا تَرَى رُؤْيَا فِي الْمَنَامِ أَوْ يَشْعُرُ الْإِنْسَانُ بِمَيْلٍ بِمَا فِيهِ الْخَيْرُ أَوْ بِكُرْهٍ لِمَا لَيْسَ فِيهِ الْخَيْرُ فَهَلْ هُنَاكَ عَلَامَاتٌ مُحَدَّدَةٌ أَوْ لَا؟ الْعَلَامَةُ هُو تَيَسُّرُ أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ وَعَدَمُ تَيَسُّرِ الْآخَرِ فَإِذَا اسْتَخَارَ فِي أَمْرٍ يُقْدِمُ بِمَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ وَإِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلْمَيْلِ النَّفْسِيِّ فَلَا أَثَرَ لَهُ بَعْضُ النَّاسِ يُعَلَِّقُ الِاسْتِخَارَةَ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ الْمَيْلُ النَّفْسِيُّ أَحْيَانًا يَكُونُ مُرْتَبِطٌ بِمَا فِي ذِهْنِ الْإِنْسَانِ سَابِقًا يَعْنِي مَا هِيَ صُورَةُ هَذَا الشَّيْءِ عِنْدَكَ سَابِقًا فَعِنْدَمَا تَسْتَخِيْرُ تَجِدُ نَفْسَكَ تَمِيلُ لِهَذَا الشَّيْءِ أَوْ لَا تَمِيلُ بِحُكْمِ الْخَلْفِيَّةِ السَّابِقَةِ وَلَيْسَ لِأَجْلِ الِاسْتِخَارَة وَهَذَا يَعْنِي قَدْ أَحْيَانًا يُسَبِّبُ إِشْكَالَاتٍ كَبِيرَةً يَعْنِي مَثَلًا بَعْضُ الْفَتَيَاتِ يَتَقَدَّمُ لَهَا رَجُلٌ مَرْضِيُّ الدِّينِ وَالْخُلُقِ وَلَيْسَ فِيهِ أَيْ عَيْبٌ ظَاهِرٌ وَمَعَ ذَلِكَ تَقُولُ وَاللَّهِ أَنَا اسْتَخَرْتُ وَمَا انْشَرَحَ صَدْرِيْ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍٍ لِأَنَّهَا مَسْأَلَةُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ وَعَدَمُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ هَذَا لَيْسَ بِدَلِيلٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ لَيْسَ بِعَلَامَةٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ إِنَّمَا إِذَا سَأَلْتُمْ وَاسْتَشَرْتُمْ وَاسْتَقْصَيْتُمْ فَتُقْدِمُونَ إِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتِمُّ الزَّوَاجُ إِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتِمَّ يَأْتِي عَائِقٌ يُعِيقُ إِتْمَامَ الزَّوَاجِ وَهَكَذَا أَيْضًا بِالنِّسْبَةِ لِبَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَتَعْلِيْقُ الْإِنْسَانِ نَتِيجَةَ الِاسْتِخَارَةِ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ وَهَذَا كَمَا ذَكَرْتُ قَدْ أَحْيَانًا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ إِشْكَالَاتٌ كَبِيرَةٌ كَمْ مِنْ فَتَاةٍ تَأَخَّرَتْ فِي الزَّوَاجِ لِهَذَا السَّبَبِ؟ كُلَّمَا أَتَتْ تَسْتَخِيْرُ هِيَ سَتُقْدِمُ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ وَنَفْسِيًّا يَعْنِي الشَّيْءَ الْجَدِيدَ الْإِنْسَانُ مَا يُحِبُّ أَنْ يُقْدِمَ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ فَتَجِدُ نَفْسَهَا يَعْنِي غَيْرَ مُتَقَبِّلَةٍ فَتَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ نَتِيجَةُ الِاسْتِخَارَةِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ كَمَا قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ إِذَا اسْتَخَرْتَ فَأَقْدِمْ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ لَكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَيْرًا فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَهَذِهِ هِيَ عَلَامَةُ الِاسْتِخَارَةِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالرُّؤَى هَلْ إِذَا رَأَى الرُّؤْيَا سَوَاءً كَانَ فِي الْإِقْدَامِ أَوْ الْإِحْجَامِ هَلْ يَعْتَدُّ بِهَا وَلَا مِثْلَ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ مِثْلُ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ لِأَنَّ يَعْنِي الْمَنَامَاتِ لَيْسَ كُلُّهَا رُؤًى يَعْنِي هِيَ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ حُلْمٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَيْضًا حَدِيثُ النَّفْسِ حَدِيثُ النَّفْسِ بِمَيْلِ الْإِنْسَانِ أَصْلًا هُوَ الْآنَ طَوَالَ النَّهَارِ يُفَكِّرُ فِي هَذَا الشَّيْءِ ثُمَّ يَرَاهُ فِي اللَّيْلِ وَيَعْتَقِدُ أَنَّهَا رُؤْيَا الْقِسْمُ الثَّالِثُ الرُّؤْيَا لَاحِظْ أَنَّ الرُّؤْيَا هِيَ وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَجْزَاءٍ فَلِذَلِكَ الرُّؤْيَا إِنَّمَا تُفِيدُ الْبِشَارَةَ أَوْ النَّذَارَةَ فَقَطْ وَلَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ شَرْعِيَّةٍ إِنَّمَا فَقَطْ الْبِشَارَةُ أَوْ النَّذَارَةُ وَعَلَى ذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ أَصْلًا قَدْ تَكُونُ حُلْمًا قَدْ تَكُونُ حَدِيثَ نَفْسٍ قَدْ لَا تَكُونُ رُؤْيَا قَدْ تَكُونُ رُؤْيَا لَكِنْ لَيْسَ هَذَا هُوَ تَأْوِيْلُهَا فَلَا يُعَوَّلُ عَلَى ذَلِكَ إِنَّمَا يُعَوِّلُ الْإِنْسَانُ عَلَى يَعْنِي مَا لَدَيْهِ مِنْ مَعْلُومَاتٍ وَاسْتِشَارَةٍ فَيُقْدِمُ أَوْ يُحْجِمُ وَالْخَيْرُ سَيُيَسِّرُهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ

Tanda Shalat Istikharah Dijawab oleh Allah – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaannya yang kedua berkaitan dengan hal yang banyak dibicarakan orang: yaitu tentang cara mengetahui pilihan terbaik dan tanda-tandanya setelah seseorang beristikharah. Sebagian orang mengatakan, misalnya: jika seseorang bermimpi, atau merasa cenderung pada pilihan yang lebih baik, atau justru merasa enggan terhadap pilihan yang tidak membawa kebaikan baginya. Lalu, apakah benar-benar ada tanda-tanda khusus, atau tidak? Tandanya adalah: salah satu pilihan menjadi mudah, sementara pilihan lainnya tidak. Ketika seseorang beristikharah dalam suatu urusan, melangkah saja pada salah satu yang menurutnya lebih baik. Jika itu baik, maka Allah akan memudahkannya; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan. Adapun berkaitan dengan kecondongan hati, maka tidak ada hubungannya. Sebagian orang mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati, padahal kecondongan hati sering kali berhubungan dengan apa yang ada di pikiran seseorang pada masa lampau. Yakni apa gambaranmu tentang perkara itu di masa lalu. Sehingga ketika beristikharah, kamu merasa condong atau tidak terhadap suatu pilihan sesuai dengan gambaranmu tentangnya di masa lalu, bukan karena hasil istikharah. Ini sering kali menimbulkan banyak masalah besar. Misalnya, ada seorang gadis yang dilamar oleh pemuda yang agama dan akhlaknya baik, tidak tampak padanya keburukan. Namun gadis itu berkata, “Sungguh aku telah beristikharah, tapi hatiku tidak dilapangkan untuknya.” Ini tidak benar. Karena masalah hati yang lapang atau tidak, bukanlah tanda jawaban atas istikharah, dan bukan pula petunjuk dari istikharah. Namun, jika kalian sudah meminta saran, bermusyawarah, dan mempertimbangkan matang-matang, maka lanjutkan saja prosesnya; jika itu memang baik, pernikahan akan terwujud. Jika tidak baik, maka tidak akan terwujud, pasti ada halangan yang menghalangi terwujudnya pernikahan. Demikian juga dengan urusan-urusan lainnya. Maka, mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati adalah sesuatu yang tidak benar. Seperti yang saya jelaskan, sering kali dapat menimbulkan banyak masalah besar. Betapa banyak anak gadis yang terlambat menikah karena hal ini? Setiap kali ia beristikharah, tentu ia akan menghadapi sesuatu yang baru, dan secara psikologis, manusia tidak suka menjalani hal yang baru. Sehingga ia merasa hatinya tidak menerimanya, lalu ia mengira perasaan itu adalah hasil dari istikharah. Tentu ini tidak benar. Sebagaimana dikatakan sebagian ulama: “Jika kamu beristikharah, maka lanjutkan saja urusan itu. Jika itu baik, maka akan dimudahkan bagimu; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan.” Inilah tanda dari hasil istikharah. Adapun yang berkaitan dengan mimpi, apakah jika seseorang bermimpi — entah tentang melanjutkan atau mengundurkan diri — bolehkah dijadikan patokan? Ataukah sama seperti kecondongan hati tadi? Ini sama seperti kecondongan hati tadi, karena tidak semua mimpi adalah ilham dari Allah. Mimpi terbagi menjadi tiga jenis: (1) mimpi dari setan, (2) bisikan jiwa, yang pada dasarnya berasal dari kecondongan hati seseorang sendiri, ia seharian memikirkan suatu perkara, lalu bermimpi tentangnya di malam hari, dan mengira itu adalah ilham dari Allah. (3) Ilham dari Allah. Perhatikan, ini hanya satu dari tiga kemungkinan. Maka dari itu, ilham ini hanya dapat dijadikan kabar gembira atau peringatan saja. Tidak mengandung hukum syar’i apa pun, hanya sebagai kabar gembira atau peringatan. Dengan demikian, mimpi semacam ini bisa jadi berasal dari setan, bisa jadi bisikan jiwa, dan belum tentu ilham dari Allah. Bahkan jika itu ilham dari Allah, bukan berarti takwilnya seperti yang ia kira, maka jangan jadikan sandaran. Namun, seorang insan harus bersandar pada pengetahuan yang dimilikinya dan hasil musyawarah yang telah dilakukan. Lalu ia memutuskan untuk melanjutkan atau mengundurkan diri. Jika itu baik, Allah Ta’ala akan memudahkannya. ===== سُؤَالُهَا الثَّانِي وَهَذَا فِيهِ كَلَامٌ كَثِيرٌ عِنْدَ النَّاسِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِمَعْرِفَةِ الْخِيْرَةِ وَعَلَامَاتِ الْخِيْرَةِ إِذَا اسْتَخَارَ الْإِنْسَانُ بَعْضُهُمْ يَقُولُ مَثَلًا إِذَا تَرَى رُؤْيَا فِي الْمَنَامِ أَوْ يَشْعُرُ الْإِنْسَانُ بِمَيْلٍ بِمَا فِيهِ الْخَيْرُ أَوْ بِكُرْهٍ لِمَا لَيْسَ فِيهِ الْخَيْرُ فَهَلْ هُنَاكَ عَلَامَاتٌ مُحَدَّدَةٌ أَوْ لَا؟ الْعَلَامَةُ هُو تَيَسُّرُ أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ وَعَدَمُ تَيَسُّرِ الْآخَرِ فَإِذَا اسْتَخَارَ فِي أَمْرٍ يُقْدِمُ بِمَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ وَإِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلْمَيْلِ النَّفْسِيِّ فَلَا أَثَرَ لَهُ بَعْضُ النَّاسِ يُعَلَِّقُ الِاسْتِخَارَةَ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ الْمَيْلُ النَّفْسِيُّ أَحْيَانًا يَكُونُ مُرْتَبِطٌ بِمَا فِي ذِهْنِ الْإِنْسَانِ سَابِقًا يَعْنِي مَا هِيَ صُورَةُ هَذَا الشَّيْءِ عِنْدَكَ سَابِقًا فَعِنْدَمَا تَسْتَخِيْرُ تَجِدُ نَفْسَكَ تَمِيلُ لِهَذَا الشَّيْءِ أَوْ لَا تَمِيلُ بِحُكْمِ الْخَلْفِيَّةِ السَّابِقَةِ وَلَيْسَ لِأَجْلِ الِاسْتِخَارَة وَهَذَا يَعْنِي قَدْ أَحْيَانًا يُسَبِّبُ إِشْكَالَاتٍ كَبِيرَةً يَعْنِي مَثَلًا بَعْضُ الْفَتَيَاتِ يَتَقَدَّمُ لَهَا رَجُلٌ مَرْضِيُّ الدِّينِ وَالْخُلُقِ وَلَيْسَ فِيهِ أَيْ عَيْبٌ ظَاهِرٌ وَمَعَ ذَلِكَ تَقُولُ وَاللَّهِ أَنَا اسْتَخَرْتُ وَمَا انْشَرَحَ صَدْرِيْ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍٍ لِأَنَّهَا مَسْأَلَةُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ وَعَدَمُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ هَذَا لَيْسَ بِدَلِيلٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ لَيْسَ بِعَلَامَةٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ إِنَّمَا إِذَا سَأَلْتُمْ وَاسْتَشَرْتُمْ وَاسْتَقْصَيْتُمْ فَتُقْدِمُونَ إِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتِمُّ الزَّوَاجُ إِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتِمَّ يَأْتِي عَائِقٌ يُعِيقُ إِتْمَامَ الزَّوَاجِ وَهَكَذَا أَيْضًا بِالنِّسْبَةِ لِبَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَتَعْلِيْقُ الْإِنْسَانِ نَتِيجَةَ الِاسْتِخَارَةِ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ وَهَذَا كَمَا ذَكَرْتُ قَدْ أَحْيَانًا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ إِشْكَالَاتٌ كَبِيرَةٌ كَمْ مِنْ فَتَاةٍ تَأَخَّرَتْ فِي الزَّوَاجِ لِهَذَا السَّبَبِ؟ كُلَّمَا أَتَتْ تَسْتَخِيْرُ هِيَ سَتُقْدِمُ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ وَنَفْسِيًّا يَعْنِي الشَّيْءَ الْجَدِيدَ الْإِنْسَانُ مَا يُحِبُّ أَنْ يُقْدِمَ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ فَتَجِدُ نَفْسَهَا يَعْنِي غَيْرَ مُتَقَبِّلَةٍ فَتَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ نَتِيجَةُ الِاسْتِخَارَةِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ كَمَا قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ إِذَا اسْتَخَرْتَ فَأَقْدِمْ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ لَكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَيْرًا فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَهَذِهِ هِيَ عَلَامَةُ الِاسْتِخَارَةِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالرُّؤَى هَلْ إِذَا رَأَى الرُّؤْيَا سَوَاءً كَانَ فِي الْإِقْدَامِ أَوْ الْإِحْجَامِ هَلْ يَعْتَدُّ بِهَا وَلَا مِثْلَ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ مِثْلُ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ لِأَنَّ يَعْنِي الْمَنَامَاتِ لَيْسَ كُلُّهَا رُؤًى يَعْنِي هِيَ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ حُلْمٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَيْضًا حَدِيثُ النَّفْسِ حَدِيثُ النَّفْسِ بِمَيْلِ الْإِنْسَانِ أَصْلًا هُوَ الْآنَ طَوَالَ النَّهَارِ يُفَكِّرُ فِي هَذَا الشَّيْءِ ثُمَّ يَرَاهُ فِي اللَّيْلِ وَيَعْتَقِدُ أَنَّهَا رُؤْيَا الْقِسْمُ الثَّالِثُ الرُّؤْيَا لَاحِظْ أَنَّ الرُّؤْيَا هِيَ وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَجْزَاءٍ فَلِذَلِكَ الرُّؤْيَا إِنَّمَا تُفِيدُ الْبِشَارَةَ أَوْ النَّذَارَةَ فَقَطْ وَلَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ شَرْعِيَّةٍ إِنَّمَا فَقَطْ الْبِشَارَةُ أَوْ النَّذَارَةُ وَعَلَى ذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ أَصْلًا قَدْ تَكُونُ حُلْمًا قَدْ تَكُونُ حَدِيثَ نَفْسٍ قَدْ لَا تَكُونُ رُؤْيَا قَدْ تَكُونُ رُؤْيَا لَكِنْ لَيْسَ هَذَا هُوَ تَأْوِيْلُهَا فَلَا يُعَوَّلُ عَلَى ذَلِكَ إِنَّمَا يُعَوِّلُ الْإِنْسَانُ عَلَى يَعْنِي مَا لَدَيْهِ مِنْ مَعْلُومَاتٍ وَاسْتِشَارَةٍ فَيُقْدِمُ أَوْ يُحْجِمُ وَالْخَيْرُ سَيُيَسِّرُهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ
Pertanyaannya yang kedua berkaitan dengan hal yang banyak dibicarakan orang: yaitu tentang cara mengetahui pilihan terbaik dan tanda-tandanya setelah seseorang beristikharah. Sebagian orang mengatakan, misalnya: jika seseorang bermimpi, atau merasa cenderung pada pilihan yang lebih baik, atau justru merasa enggan terhadap pilihan yang tidak membawa kebaikan baginya. Lalu, apakah benar-benar ada tanda-tanda khusus, atau tidak? Tandanya adalah: salah satu pilihan menjadi mudah, sementara pilihan lainnya tidak. Ketika seseorang beristikharah dalam suatu urusan, melangkah saja pada salah satu yang menurutnya lebih baik. Jika itu baik, maka Allah akan memudahkannya; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan. Adapun berkaitan dengan kecondongan hati, maka tidak ada hubungannya. Sebagian orang mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati, padahal kecondongan hati sering kali berhubungan dengan apa yang ada di pikiran seseorang pada masa lampau. Yakni apa gambaranmu tentang perkara itu di masa lalu. Sehingga ketika beristikharah, kamu merasa condong atau tidak terhadap suatu pilihan sesuai dengan gambaranmu tentangnya di masa lalu, bukan karena hasil istikharah. Ini sering kali menimbulkan banyak masalah besar. Misalnya, ada seorang gadis yang dilamar oleh pemuda yang agama dan akhlaknya baik, tidak tampak padanya keburukan. Namun gadis itu berkata, “Sungguh aku telah beristikharah, tapi hatiku tidak dilapangkan untuknya.” Ini tidak benar. Karena masalah hati yang lapang atau tidak, bukanlah tanda jawaban atas istikharah, dan bukan pula petunjuk dari istikharah. Namun, jika kalian sudah meminta saran, bermusyawarah, dan mempertimbangkan matang-matang, maka lanjutkan saja prosesnya; jika itu memang baik, pernikahan akan terwujud. Jika tidak baik, maka tidak akan terwujud, pasti ada halangan yang menghalangi terwujudnya pernikahan. Demikian juga dengan urusan-urusan lainnya. Maka, mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati adalah sesuatu yang tidak benar. Seperti yang saya jelaskan, sering kali dapat menimbulkan banyak masalah besar. Betapa banyak anak gadis yang terlambat menikah karena hal ini? Setiap kali ia beristikharah, tentu ia akan menghadapi sesuatu yang baru, dan secara psikologis, manusia tidak suka menjalani hal yang baru. Sehingga ia merasa hatinya tidak menerimanya, lalu ia mengira perasaan itu adalah hasil dari istikharah. Tentu ini tidak benar. Sebagaimana dikatakan sebagian ulama: “Jika kamu beristikharah, maka lanjutkan saja urusan itu. Jika itu baik, maka akan dimudahkan bagimu; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan.” Inilah tanda dari hasil istikharah. Adapun yang berkaitan dengan mimpi, apakah jika seseorang bermimpi — entah tentang melanjutkan atau mengundurkan diri — bolehkah dijadikan patokan? Ataukah sama seperti kecondongan hati tadi? Ini sama seperti kecondongan hati tadi, karena tidak semua mimpi adalah ilham dari Allah. Mimpi terbagi menjadi tiga jenis: (1) mimpi dari setan, (2) bisikan jiwa, yang pada dasarnya berasal dari kecondongan hati seseorang sendiri, ia seharian memikirkan suatu perkara, lalu bermimpi tentangnya di malam hari, dan mengira itu adalah ilham dari Allah. (3) Ilham dari Allah. Perhatikan, ini hanya satu dari tiga kemungkinan. Maka dari itu, ilham ini hanya dapat dijadikan kabar gembira atau peringatan saja. Tidak mengandung hukum syar’i apa pun, hanya sebagai kabar gembira atau peringatan. Dengan demikian, mimpi semacam ini bisa jadi berasal dari setan, bisa jadi bisikan jiwa, dan belum tentu ilham dari Allah. Bahkan jika itu ilham dari Allah, bukan berarti takwilnya seperti yang ia kira, maka jangan jadikan sandaran. Namun, seorang insan harus bersandar pada pengetahuan yang dimilikinya dan hasil musyawarah yang telah dilakukan. Lalu ia memutuskan untuk melanjutkan atau mengundurkan diri. Jika itu baik, Allah Ta’ala akan memudahkannya. ===== سُؤَالُهَا الثَّانِي وَهَذَا فِيهِ كَلَامٌ كَثِيرٌ عِنْدَ النَّاسِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِمَعْرِفَةِ الْخِيْرَةِ وَعَلَامَاتِ الْخِيْرَةِ إِذَا اسْتَخَارَ الْإِنْسَانُ بَعْضُهُمْ يَقُولُ مَثَلًا إِذَا تَرَى رُؤْيَا فِي الْمَنَامِ أَوْ يَشْعُرُ الْإِنْسَانُ بِمَيْلٍ بِمَا فِيهِ الْخَيْرُ أَوْ بِكُرْهٍ لِمَا لَيْسَ فِيهِ الْخَيْرُ فَهَلْ هُنَاكَ عَلَامَاتٌ مُحَدَّدَةٌ أَوْ لَا؟ الْعَلَامَةُ هُو تَيَسُّرُ أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ وَعَدَمُ تَيَسُّرِ الْآخَرِ فَإِذَا اسْتَخَارَ فِي أَمْرٍ يُقْدِمُ بِمَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ وَإِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلْمَيْلِ النَّفْسِيِّ فَلَا أَثَرَ لَهُ بَعْضُ النَّاسِ يُعَلَِّقُ الِاسْتِخَارَةَ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ الْمَيْلُ النَّفْسِيُّ أَحْيَانًا يَكُونُ مُرْتَبِطٌ بِمَا فِي ذِهْنِ الْإِنْسَانِ سَابِقًا يَعْنِي مَا هِيَ صُورَةُ هَذَا الشَّيْءِ عِنْدَكَ سَابِقًا فَعِنْدَمَا تَسْتَخِيْرُ تَجِدُ نَفْسَكَ تَمِيلُ لِهَذَا الشَّيْءِ أَوْ لَا تَمِيلُ بِحُكْمِ الْخَلْفِيَّةِ السَّابِقَةِ وَلَيْسَ لِأَجْلِ الِاسْتِخَارَة وَهَذَا يَعْنِي قَدْ أَحْيَانًا يُسَبِّبُ إِشْكَالَاتٍ كَبِيرَةً يَعْنِي مَثَلًا بَعْضُ الْفَتَيَاتِ يَتَقَدَّمُ لَهَا رَجُلٌ مَرْضِيُّ الدِّينِ وَالْخُلُقِ وَلَيْسَ فِيهِ أَيْ عَيْبٌ ظَاهِرٌ وَمَعَ ذَلِكَ تَقُولُ وَاللَّهِ أَنَا اسْتَخَرْتُ وَمَا انْشَرَحَ صَدْرِيْ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍٍ لِأَنَّهَا مَسْأَلَةُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ وَعَدَمُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ هَذَا لَيْسَ بِدَلِيلٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ لَيْسَ بِعَلَامَةٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ إِنَّمَا إِذَا سَأَلْتُمْ وَاسْتَشَرْتُمْ وَاسْتَقْصَيْتُمْ فَتُقْدِمُونَ إِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتِمُّ الزَّوَاجُ إِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتِمَّ يَأْتِي عَائِقٌ يُعِيقُ إِتْمَامَ الزَّوَاجِ وَهَكَذَا أَيْضًا بِالنِّسْبَةِ لِبَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَتَعْلِيْقُ الْإِنْسَانِ نَتِيجَةَ الِاسْتِخَارَةِ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ وَهَذَا كَمَا ذَكَرْتُ قَدْ أَحْيَانًا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ إِشْكَالَاتٌ كَبِيرَةٌ كَمْ مِنْ فَتَاةٍ تَأَخَّرَتْ فِي الزَّوَاجِ لِهَذَا السَّبَبِ؟ كُلَّمَا أَتَتْ تَسْتَخِيْرُ هِيَ سَتُقْدِمُ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ وَنَفْسِيًّا يَعْنِي الشَّيْءَ الْجَدِيدَ الْإِنْسَانُ مَا يُحِبُّ أَنْ يُقْدِمَ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ فَتَجِدُ نَفْسَهَا يَعْنِي غَيْرَ مُتَقَبِّلَةٍ فَتَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ نَتِيجَةُ الِاسْتِخَارَةِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ كَمَا قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ إِذَا اسْتَخَرْتَ فَأَقْدِمْ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ لَكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَيْرًا فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَهَذِهِ هِيَ عَلَامَةُ الِاسْتِخَارَةِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالرُّؤَى هَلْ إِذَا رَأَى الرُّؤْيَا سَوَاءً كَانَ فِي الْإِقْدَامِ أَوْ الْإِحْجَامِ هَلْ يَعْتَدُّ بِهَا وَلَا مِثْلَ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ مِثْلُ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ لِأَنَّ يَعْنِي الْمَنَامَاتِ لَيْسَ كُلُّهَا رُؤًى يَعْنِي هِيَ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ حُلْمٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَيْضًا حَدِيثُ النَّفْسِ حَدِيثُ النَّفْسِ بِمَيْلِ الْإِنْسَانِ أَصْلًا هُوَ الْآنَ طَوَالَ النَّهَارِ يُفَكِّرُ فِي هَذَا الشَّيْءِ ثُمَّ يَرَاهُ فِي اللَّيْلِ وَيَعْتَقِدُ أَنَّهَا رُؤْيَا الْقِسْمُ الثَّالِثُ الرُّؤْيَا لَاحِظْ أَنَّ الرُّؤْيَا هِيَ وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَجْزَاءٍ فَلِذَلِكَ الرُّؤْيَا إِنَّمَا تُفِيدُ الْبِشَارَةَ أَوْ النَّذَارَةَ فَقَطْ وَلَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ شَرْعِيَّةٍ إِنَّمَا فَقَطْ الْبِشَارَةُ أَوْ النَّذَارَةُ وَعَلَى ذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ أَصْلًا قَدْ تَكُونُ حُلْمًا قَدْ تَكُونُ حَدِيثَ نَفْسٍ قَدْ لَا تَكُونُ رُؤْيَا قَدْ تَكُونُ رُؤْيَا لَكِنْ لَيْسَ هَذَا هُوَ تَأْوِيْلُهَا فَلَا يُعَوَّلُ عَلَى ذَلِكَ إِنَّمَا يُعَوِّلُ الْإِنْسَانُ عَلَى يَعْنِي مَا لَدَيْهِ مِنْ مَعْلُومَاتٍ وَاسْتِشَارَةٍ فَيُقْدِمُ أَوْ يُحْجِمُ وَالْخَيْرُ سَيُيَسِّرُهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ


Pertanyaannya yang kedua berkaitan dengan hal yang banyak dibicarakan orang: yaitu tentang cara mengetahui pilihan terbaik dan tanda-tandanya setelah seseorang beristikharah. Sebagian orang mengatakan, misalnya: jika seseorang bermimpi, atau merasa cenderung pada pilihan yang lebih baik, atau justru merasa enggan terhadap pilihan yang tidak membawa kebaikan baginya. Lalu, apakah benar-benar ada tanda-tanda khusus, atau tidak? Tandanya adalah: salah satu pilihan menjadi mudah, sementara pilihan lainnya tidak. Ketika seseorang beristikharah dalam suatu urusan, melangkah saja pada salah satu yang menurutnya lebih baik. Jika itu baik, maka Allah akan memudahkannya; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan. Adapun berkaitan dengan kecondongan hati, maka tidak ada hubungannya. Sebagian orang mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati, padahal kecondongan hati sering kali berhubungan dengan apa yang ada di pikiran seseorang pada masa lampau. Yakni apa gambaranmu tentang perkara itu di masa lalu. Sehingga ketika beristikharah, kamu merasa condong atau tidak terhadap suatu pilihan sesuai dengan gambaranmu tentangnya di masa lalu, bukan karena hasil istikharah. Ini sering kali menimbulkan banyak masalah besar. Misalnya, ada seorang gadis yang dilamar oleh pemuda yang agama dan akhlaknya baik, tidak tampak padanya keburukan. Namun gadis itu berkata, “Sungguh aku telah beristikharah, tapi hatiku tidak dilapangkan untuknya.” Ini tidak benar. Karena masalah hati yang lapang atau tidak, bukanlah tanda jawaban atas istikharah, dan bukan pula petunjuk dari istikharah. Namun, jika kalian sudah meminta saran, bermusyawarah, dan mempertimbangkan matang-matang, maka lanjutkan saja prosesnya; jika itu memang baik, pernikahan akan terwujud. Jika tidak baik, maka tidak akan terwujud, pasti ada halangan yang menghalangi terwujudnya pernikahan. Demikian juga dengan urusan-urusan lainnya. Maka, mengaitkan hasil istikharah dengan kecondongan hati adalah sesuatu yang tidak benar. Seperti yang saya jelaskan, sering kali dapat menimbulkan banyak masalah besar. Betapa banyak anak gadis yang terlambat menikah karena hal ini? Setiap kali ia beristikharah, tentu ia akan menghadapi sesuatu yang baru, dan secara psikologis, manusia tidak suka menjalani hal yang baru. Sehingga ia merasa hatinya tidak menerimanya, lalu ia mengira perasaan itu adalah hasil dari istikharah. Tentu ini tidak benar. Sebagaimana dikatakan sebagian ulama: “Jika kamu beristikharah, maka lanjutkan saja urusan itu. Jika itu baik, maka akan dimudahkan bagimu; jika tidak baik, maka tidak akan dimudahkan.” Inilah tanda dari hasil istikharah. Adapun yang berkaitan dengan mimpi, apakah jika seseorang bermimpi — entah tentang melanjutkan atau mengundurkan diri — bolehkah dijadikan patokan? Ataukah sama seperti kecondongan hati tadi? Ini sama seperti kecondongan hati tadi, karena tidak semua mimpi adalah ilham dari Allah. Mimpi terbagi menjadi tiga jenis: (1) mimpi dari setan, (2) bisikan jiwa, yang pada dasarnya berasal dari kecondongan hati seseorang sendiri, ia seharian memikirkan suatu perkara, lalu bermimpi tentangnya di malam hari, dan mengira itu adalah ilham dari Allah. (3) Ilham dari Allah. Perhatikan, ini hanya satu dari tiga kemungkinan. Maka dari itu, ilham ini hanya dapat dijadikan kabar gembira atau peringatan saja. Tidak mengandung hukum syar’i apa pun, hanya sebagai kabar gembira atau peringatan. Dengan demikian, mimpi semacam ini bisa jadi berasal dari setan, bisa jadi bisikan jiwa, dan belum tentu ilham dari Allah. Bahkan jika itu ilham dari Allah, bukan berarti takwilnya seperti yang ia kira, maka jangan jadikan sandaran. Namun, seorang insan harus bersandar pada pengetahuan yang dimilikinya dan hasil musyawarah yang telah dilakukan. Lalu ia memutuskan untuk melanjutkan atau mengundurkan diri. Jika itu baik, Allah Ta’ala akan memudahkannya. ===== سُؤَالُهَا الثَّانِي وَهَذَا فِيهِ كَلَامٌ كَثِيرٌ عِنْدَ النَّاسِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِمَعْرِفَةِ الْخِيْرَةِ وَعَلَامَاتِ الْخِيْرَةِ إِذَا اسْتَخَارَ الْإِنْسَانُ بَعْضُهُمْ يَقُولُ مَثَلًا إِذَا تَرَى رُؤْيَا فِي الْمَنَامِ أَوْ يَشْعُرُ الْإِنْسَانُ بِمَيْلٍ بِمَا فِيهِ الْخَيْرُ أَوْ بِكُرْهٍ لِمَا لَيْسَ فِيهِ الْخَيْرُ فَهَلْ هُنَاكَ عَلَامَاتٌ مُحَدَّدَةٌ أَوْ لَا؟ الْعَلَامَةُ هُو تَيَسُّرُ أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ وَعَدَمُ تَيَسُّرِ الْآخَرِ فَإِذَا اسْتَخَارَ فِي أَمْرٍ يُقْدِمُ بِمَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ وَإِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلْمَيْلِ النَّفْسِيِّ فَلَا أَثَرَ لَهُ بَعْضُ النَّاسِ يُعَلَِّقُ الِاسْتِخَارَةَ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ الْمَيْلُ النَّفْسِيُّ أَحْيَانًا يَكُونُ مُرْتَبِطٌ بِمَا فِي ذِهْنِ الْإِنْسَانِ سَابِقًا يَعْنِي مَا هِيَ صُورَةُ هَذَا الشَّيْءِ عِنْدَكَ سَابِقًا فَعِنْدَمَا تَسْتَخِيْرُ تَجِدُ نَفْسَكَ تَمِيلُ لِهَذَا الشَّيْءِ أَوْ لَا تَمِيلُ بِحُكْمِ الْخَلْفِيَّةِ السَّابِقَةِ وَلَيْسَ لِأَجْلِ الِاسْتِخَارَة وَهَذَا يَعْنِي قَدْ أَحْيَانًا يُسَبِّبُ إِشْكَالَاتٍ كَبِيرَةً يَعْنِي مَثَلًا بَعْضُ الْفَتَيَاتِ يَتَقَدَّمُ لَهَا رَجُلٌ مَرْضِيُّ الدِّينِ وَالْخُلُقِ وَلَيْسَ فِيهِ أَيْ عَيْبٌ ظَاهِرٌ وَمَعَ ذَلِكَ تَقُولُ وَاللَّهِ أَنَا اسْتَخَرْتُ وَمَا انْشَرَحَ صَدْرِيْ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍٍ لِأَنَّهَا مَسْأَلَةُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ وَعَدَمُ انْشِرَاحِ الصَّدْرِ هَذَا لَيْسَ بِدَلِيلٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ لَيْسَ بِعَلَامَةٍ عَلَى الِاسْتِخَارَةِ إِنَّمَا إِذَا سَأَلْتُمْ وَاسْتَشَرْتُمْ وَاسْتَقْصَيْتُمْ فَتُقْدِمُونَ إِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتِمُّ الزَّوَاجُ إِنْ كَانَ لَيْسَ بِخَيْرٍ فَلَنْ يَتِمَّ يَأْتِي عَائِقٌ يُعِيقُ إِتْمَامَ الزَّوَاجِ وَهَكَذَا أَيْضًا بِالنِّسْبَةِ لِبَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَتَعْلِيْقُ الْإِنْسَانِ نَتِيجَةَ الِاسْتِخَارَةِ عَلَى الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ وَهَذَا كَمَا ذَكَرْتُ قَدْ أَحْيَانًا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ إِشْكَالَاتٌ كَبِيرَةٌ كَمْ مِنْ فَتَاةٍ تَأَخَّرَتْ فِي الزَّوَاجِ لِهَذَا السَّبَبِ؟ كُلَّمَا أَتَتْ تَسْتَخِيْرُ هِيَ سَتُقْدِمُ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ وَنَفْسِيًّا يَعْنِي الشَّيْءَ الْجَدِيدَ الْإِنْسَانُ مَا يُحِبُّ أَنْ يُقْدِمَ عَلَى شَيْءٍ جَدِيدٍ فَتَجِدُ نَفْسَهَا يَعْنِي غَيْرَ مُتَقَبِّلَةٍ فَتَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ نَتِيجَةُ الِاسْتِخَارَةِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ كَمَا قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ إِذَا اسْتَخَرْتَ فَأَقْدِمْ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَسَيَتَيَسَّرُ لَكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَيْرًا فَلَنْ يَتَيَسَّرَ وَهَذِهِ هِيَ عَلَامَةُ الِاسْتِخَارَةِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالرُّؤَى هَلْ إِذَا رَأَى الرُّؤْيَا سَوَاءً كَانَ فِي الْإِقْدَامِ أَوْ الْإِحْجَامِ هَلْ يَعْتَدُّ بِهَا وَلَا مِثْلَ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ مِثْلُ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَيْلِ النَّفْسِيِّ لِأَنَّ يَعْنِي الْمَنَامَاتِ لَيْسَ كُلُّهَا رُؤًى يَعْنِي هِيَ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ حُلْمٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَيْضًا حَدِيثُ النَّفْسِ حَدِيثُ النَّفْسِ بِمَيْلِ الْإِنْسَانِ أَصْلًا هُوَ الْآنَ طَوَالَ النَّهَارِ يُفَكِّرُ فِي هَذَا الشَّيْءِ ثُمَّ يَرَاهُ فِي اللَّيْلِ وَيَعْتَقِدُ أَنَّهَا رُؤْيَا الْقِسْمُ الثَّالِثُ الرُّؤْيَا لَاحِظْ أَنَّ الرُّؤْيَا هِيَ وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَجْزَاءٍ فَلِذَلِكَ الرُّؤْيَا إِنَّمَا تُفِيدُ الْبِشَارَةَ أَوْ النَّذَارَةَ فَقَطْ وَلَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَيُّ أَحْكَامٍ شَرْعِيَّةٍ إِنَّمَا فَقَطْ الْبِشَارَةُ أَوْ النَّذَارَةُ وَعَلَى ذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ أَصْلًا قَدْ تَكُونُ حُلْمًا قَدْ تَكُونُ حَدِيثَ نَفْسٍ قَدْ لَا تَكُونُ رُؤْيَا قَدْ تَكُونُ رُؤْيَا لَكِنْ لَيْسَ هَذَا هُوَ تَأْوِيْلُهَا فَلَا يُعَوَّلُ عَلَى ذَلِكَ إِنَّمَا يُعَوِّلُ الْإِنْسَانُ عَلَى يَعْنِي مَا لَدَيْهِ مِنْ مَعْلُومَاتٍ وَاسْتِشَارَةٍ فَيُقْدِمُ أَوْ يُحْجِمُ وَالْخَيْرُ سَيُيَسِّرُهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ

Menganalisis Strategi Empat Arah Misi Penyesatan Iblis

Daftar Isi ToggleJalan yang lurusDari depanDari belakangDari kananDari kiriSerangan dari atas?Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanJalan hidup manusia adalah jalan yang tidak pernah mulus, dalam banyak artian dan penafsiran. Terutama dalam jalan menuju Tuhannya, ada Iblis dan bala tentaranya yang selalu mengincar dari segala penjuru dan bersiap menyerang, menjauhkannya dari jalan lurus yang benar.Semuanya bermula dari kejadian pasca penolakan Iblis bersujud kepada Adam ‘alaihissalam yang menjadi titik tolak permusuhan abadi antara makhluk terlaknat itu dan manusia. Dengan sombong dan angkuhnya, Iblis la’natullah ‘alaihi mendeklarasikan perang dan misi penyesatan abadi. Kisah ini diabadikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَـَٔاتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَـٰنِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَـٰكِرِين“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17)Lihat, betapa keras kepala dan liciknya Iblis. Ia diusir dari surga karena pembangkangannya. Akan tetapi, alih-alih mengakui kesalahannya, bertobat, dan meminta ampunan kepada Allah, ia malah meminta penangguhan waktu sampai hari akhir agar bisa membawa pengikut sebanyak mungkin. Menyesatkan sebanyak mungkin, agar ia tidak menjadi satu-satunya yang diazab!Iblis sangat serius ketika mendeklarasikan pembangkangannya tersebut. Ia berjanji dan berazam akan mendatangi manusia yang sedang berjalan di jalan yang benar, kemudian menyesatkannya dari setiap arah. Dalam ayat disebutkan secara eksplisit empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri. Sebut saja ini adalah “strategi empat arah” Iblis dalam misi penyesatannya.Jalan yang lurusAda beberapa penafsiran terhadap apa yang dimaksud dengan “صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ” (Jalan-Mu [Allah] yang lurus),Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan “agama-Mu (Allah) yang sudah jelas”;Ibnu Mas’ud menafsirkan dengan “kitabullah”;Jabir menafsirkan dengan “Islam”; danMujahid menafsirkan dengan “kebenaran”.Apapun itu, penafsiran-penafsiran tersebut tidaklah kontradiktif sama sekali, dan justru hakikatnya satu, dan merujuk pada satu makna: bahwa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan yang mengantarkan seorang hamba pada Rab-nya, Allah Ta’ala”.Lantas, apa yang Iblis maksudkan dengan empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri yang disebutkan dalam ayat tersebut? Mari kita kaji dan analisis strategi empat arah Iblis ini beserta beberapa cara praktis menghadapi serangannya berdasarkan interpretasi dari para ulama dalam hal ini.Dari depanFrasa “dari depan” diartikan dalam berbagai variasi penafsiran, berdasarkan riwayat yang ada. Ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mengartikannya sebagai godaan dari sisi dunia.Sementara itu, riwayat lainnya menafsirkannya sebagai serangan terhadap keyakinan terkait akhirat, di antaranya dengan doktrin anti-akhirat. Hasan Al-Bashri juga meriwayatkan penafsiran yang memperkuat ini, bahwa yang dimaksud dengan “dari depan” adalah Iblis menanamkan skeptisisme pada manusia akan akhirat, di mana manusia dibuat mengingkari kebangkitan setelah kematian, serta hakikat-hakikat akhirat terkait surga dan neraka.Dari belakangAda yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu penafsiran “dari belakang” dengan serangan dan godaan dari segi akhirat. Namun, beberapa riwayat lain menyampaikan berkebalikan, yaitu bahwa ini adalah serangan dari segi yang menyangkut hal-hal terkait dunia.Serangan ini di antaranya berupa dibuatnya manusia menjadi cinta dunia. Dalam nukilan dari Hasan Al-Bashri, ia menyampaikan bahwa Iblis membuat dunia ini begitu indah, menggoda, dan menggiurkan di mata manusia, sehingga orientasi manusia kemudian hanyalah pada dunia, akumulasi materi, harta, tahta, wanita, jabatan, dan validasi duniawi lainnya.Abu Shalih juga menyampaikan penafsiran bahwa yang dimaksud adalah desakralisasi agama, di mana manusia dibuat jauh dari konsep akhirat dan menormalisasi persepsi bahwa akhirat hanyalah fiktif belaka, dan kemudian jadilah seakan dunia lah kehidupan yang hakiki.Dari kananArah kanan secara simbolis merepresentasikan kebenaranan dan amal baik. Maka yang dimaksud serangan dari kanan di antaranya adalah yang berkaitan dengan amalan kebaikan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan pengaburan agama di mata manusia, seperti dengan mengkontaminasikan pikiran dan amalan-amalan syubhat.Adapun dalam riwayat lain, begitupun dengan Qatadah, menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah dari segi amal baik. Maksudnya, seseorang diperlambat untuk melaksanakan kebaikan, alias dibuat malas. Juga ketika seseorang merasa terlalu optimis dengan amalan yang sudah ia perbuat selama ini. Ia merasa cukup dan tidak perlu memperbanyak amal saleh lagi, ini juga termasuk, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Juraij.Makna lainnya juga menyebutkan hal senada, seperti dalam suatu riwayat dari Sufyan, yaitu “dihalangi dari jalan kebenaran”.Dari kiriBerkebalikan dengan arah kanan, serangan dari arah kiri cenderung berkaitan dengan keburukan dan maksiat, seperti syahwat dan syubhat. Manusia dibuat tertarik pada maksiat, termasuk ketika maksiat itu dengan begitu mudahnya dapat diakses di manapun, kapanpun, sehingga seakan tidak ada lagi batas antara seorang anak Adam dengan maksiat.Merujuk kepada penafsiran oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, serangan dari kiri ini berarti dari aspek keburukan. Adapun di antara taktiknya sebagaimana ditafsirkan oleh As-Suddi juga Al-Kalbi, yaitu dengan keburukan dan kebatilan yang dibuat mudah diakses dan ringan untuk dilakukan, berbagai syahwat, nafsu, kelezatan, dan kenikmatan dunia yang fana dihias dan dibuat sehingga tampak sangat menggoda di mata manusia, dan taktik-taktik semisal itu.Di antara penafsiran terkait strategi empat arah Iblis ini, mengacu pada penjelasan yang disampaikan oleh Mujahid dan Ibnu Juraij, bahwa jika diklasifikasikan berdasarkan tampak-tidaknya, maka: serangan dari arah depan dan kanan sebagai serangan langsung, tampak, dan dapat dilihat dengan jelas; sementara serangan dari arah belakang dan kiri sebagai sebaliknya, yaitu tidak langsung dan tidak tampak.Serangan yang tampak jelas salah satu bentuknya adalah ketika manusia melakukan suatu amalan buruk, maksiat, kesalahan, kebatilan, dan kefasikan; lalu ia mengetahui yang ia lakukan adalah salah. Berbeda dengan serangan tak tampak, bentuknya ketika manusia melakukan kebatilan, sementara ia tidak menyadari bahwa yang ia lakukan adalah salah; lebih parahnya bahkan ia menganggap yang dilakukannya adalah benar.Serangan dari atas?Jika diamati secara saksama, narasi Iblis mengenai serangannya terhadap manusia tidak menyebutkan arah “atas”. Mengapa demikian?Ibnu Abbas dan Asy-Sya’bi menuturkan bahwa hal ini berkaitan erat dengan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat Yang Maha Tinggi, dan rahmat-Nya senantiasa turun dari atas. Oleh karena itu, Iblis yang merupakan makhluk terlaknat dan pembangkang, tidak akan pernah berani menyinggung arah “atas” dalam konteks serangannya terhadap manusia. Hal ini karena arah “atas” secara simbolis merupakan arah keagungan dan kekuasaan Allah, serta merupakan sumber segala kebaikan dan rahmat.Dengan demikian, tidak disebutkannya arah “atas” dalam narasi serangan Iblis merupakan sebuah isyarat mendalam tentang pengakuan tidak langsung Iblis terhadap keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menunjukkan batasan kekuasaan Iblis yang tidak akan pernah mampu menembus perlindungan dan rahmat Allah yang datang dari arah “atas”.Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanSebagai penutup, mari menukil perkataan seorang zuhud, Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi, beliau pernah menuturkan bagaimana setan benar-benar mendatanginya untuk menggodanya menjauh dari jalan yang benar, serta antidot syar’i yang ia terapkan,ما من صباحٍ إلا قعد لي الشيطان على أربعة مراصد: من بين يديَّ، ومن خلفي، وعن يميني، وعن شمالي، فيقول: لا تَخف فإن الله غفور رحيم، فأقرأ: ((وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى))،وأما من خلفي فيُخوِّفني الضيْعة على من أُخلّفه، فأقرأ: ((وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا))ومن قِبَل يميني، يأتيني من قِبَل الثَّناء، فأقرأ: ((وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ))،ومن قبل شمالي، فيأتيني من قبل الشهوات، فأقرأ: ((وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ))“Tidaklah berlalu suatu pagi, melainkan setan telah bersiaga atasku di empat pos pengintaiannya: di depanku, di belakangku, di kananku, dan di kiriku.(Dari hadapanku) ia kemudian membisikkan, ‘Jangan takut (berbuat dosa), karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.’ (QS. Thaha: 82)Adapun dari belakangku, setan menakutiku dengan kekhawatiran akan (nasib) orang-orang yang kutinggalkan, maka aku membaca (firman-Nya), ‘Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfūẓ).’ (QS. Hud: 6)Sementara dari kanan, ia (setan) mendatangiku lewat pintu pujian dan sanjungan, aku lantas membaca (firman-Nya), ‘Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ (QS. Al-A’raf: 128)Dan dari kiri, ia (setan) mendatangiku lewat pintu syahwat, aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan’. (QS. Saba: 54)”Dari sini, bisa diketahui bahwa kehidupan kita dalam perjalanan menuju kepada Allah Ta’ala tidaklah aman, bahkan selalu dikelilingi oleh godaan Iblis dalam misi primordialnya sejak dahulu kala.Dengan memahami strategi empat arah Iblis: depan (godaan dunia, skeptisisme akhirat), belakang (cinta dunia, desakralisasi agama), kanan (fitnah amal kebaikan seperti memperlambat kebaikan, rasa cukup dengan amal), dan kiri (fitnah maksiat dan syahwat), kita menyadari bahwa Iblis selalu mengintai dari segala penjuru, tentunya hanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika merujuk pada pernyataan yang secara ekspilit ada pada ayat, kecuali dari “atas” yang merupakan simbol keagungan dan rahmat Allah.Oleh karena itu, dengan memperbaiki hubungan vertikal manusia (hamba) dan manusia (Rabbnya), juga dengan selalu membersihkan hati dan memurnikan niat, harapannya kita dapat senantiasa terjaga dan tetap berada di jalan yang lurus. Wallahu Ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Apakah Iblis termasuk Golongan Malaikat ataukah Jin?***Penulis: Abdurrahman Waridi SarpadArtikel Muslim.or.id Referensi:Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Aay Al-Qur’an (10: 96-101).Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah, Igatsat Al-Lahafan fi Mashayid Asy-Syaithan (1: 175-181).Ahmad bin Muhammad bin Ibahim Ats-Tsa’labi, Al-Kasyfu wa Al-Bayan ‘an Tafsir Al-Qur’an (4: 221-222).

Menganalisis Strategi Empat Arah Misi Penyesatan Iblis

Daftar Isi ToggleJalan yang lurusDari depanDari belakangDari kananDari kiriSerangan dari atas?Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanJalan hidup manusia adalah jalan yang tidak pernah mulus, dalam banyak artian dan penafsiran. Terutama dalam jalan menuju Tuhannya, ada Iblis dan bala tentaranya yang selalu mengincar dari segala penjuru dan bersiap menyerang, menjauhkannya dari jalan lurus yang benar.Semuanya bermula dari kejadian pasca penolakan Iblis bersujud kepada Adam ‘alaihissalam yang menjadi titik tolak permusuhan abadi antara makhluk terlaknat itu dan manusia. Dengan sombong dan angkuhnya, Iblis la’natullah ‘alaihi mendeklarasikan perang dan misi penyesatan abadi. Kisah ini diabadikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَـَٔاتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَـٰنِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَـٰكِرِين“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17)Lihat, betapa keras kepala dan liciknya Iblis. Ia diusir dari surga karena pembangkangannya. Akan tetapi, alih-alih mengakui kesalahannya, bertobat, dan meminta ampunan kepada Allah, ia malah meminta penangguhan waktu sampai hari akhir agar bisa membawa pengikut sebanyak mungkin. Menyesatkan sebanyak mungkin, agar ia tidak menjadi satu-satunya yang diazab!Iblis sangat serius ketika mendeklarasikan pembangkangannya tersebut. Ia berjanji dan berazam akan mendatangi manusia yang sedang berjalan di jalan yang benar, kemudian menyesatkannya dari setiap arah. Dalam ayat disebutkan secara eksplisit empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri. Sebut saja ini adalah “strategi empat arah” Iblis dalam misi penyesatannya.Jalan yang lurusAda beberapa penafsiran terhadap apa yang dimaksud dengan “صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ” (Jalan-Mu [Allah] yang lurus),Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan “agama-Mu (Allah) yang sudah jelas”;Ibnu Mas’ud menafsirkan dengan “kitabullah”;Jabir menafsirkan dengan “Islam”; danMujahid menafsirkan dengan “kebenaran”.Apapun itu, penafsiran-penafsiran tersebut tidaklah kontradiktif sama sekali, dan justru hakikatnya satu, dan merujuk pada satu makna: bahwa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan yang mengantarkan seorang hamba pada Rab-nya, Allah Ta’ala”.Lantas, apa yang Iblis maksudkan dengan empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri yang disebutkan dalam ayat tersebut? Mari kita kaji dan analisis strategi empat arah Iblis ini beserta beberapa cara praktis menghadapi serangannya berdasarkan interpretasi dari para ulama dalam hal ini.Dari depanFrasa “dari depan” diartikan dalam berbagai variasi penafsiran, berdasarkan riwayat yang ada. Ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mengartikannya sebagai godaan dari sisi dunia.Sementara itu, riwayat lainnya menafsirkannya sebagai serangan terhadap keyakinan terkait akhirat, di antaranya dengan doktrin anti-akhirat. Hasan Al-Bashri juga meriwayatkan penafsiran yang memperkuat ini, bahwa yang dimaksud dengan “dari depan” adalah Iblis menanamkan skeptisisme pada manusia akan akhirat, di mana manusia dibuat mengingkari kebangkitan setelah kematian, serta hakikat-hakikat akhirat terkait surga dan neraka.Dari belakangAda yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu penafsiran “dari belakang” dengan serangan dan godaan dari segi akhirat. Namun, beberapa riwayat lain menyampaikan berkebalikan, yaitu bahwa ini adalah serangan dari segi yang menyangkut hal-hal terkait dunia.Serangan ini di antaranya berupa dibuatnya manusia menjadi cinta dunia. Dalam nukilan dari Hasan Al-Bashri, ia menyampaikan bahwa Iblis membuat dunia ini begitu indah, menggoda, dan menggiurkan di mata manusia, sehingga orientasi manusia kemudian hanyalah pada dunia, akumulasi materi, harta, tahta, wanita, jabatan, dan validasi duniawi lainnya.Abu Shalih juga menyampaikan penafsiran bahwa yang dimaksud adalah desakralisasi agama, di mana manusia dibuat jauh dari konsep akhirat dan menormalisasi persepsi bahwa akhirat hanyalah fiktif belaka, dan kemudian jadilah seakan dunia lah kehidupan yang hakiki.Dari kananArah kanan secara simbolis merepresentasikan kebenaranan dan amal baik. Maka yang dimaksud serangan dari kanan di antaranya adalah yang berkaitan dengan amalan kebaikan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan pengaburan agama di mata manusia, seperti dengan mengkontaminasikan pikiran dan amalan-amalan syubhat.Adapun dalam riwayat lain, begitupun dengan Qatadah, menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah dari segi amal baik. Maksudnya, seseorang diperlambat untuk melaksanakan kebaikan, alias dibuat malas. Juga ketika seseorang merasa terlalu optimis dengan amalan yang sudah ia perbuat selama ini. Ia merasa cukup dan tidak perlu memperbanyak amal saleh lagi, ini juga termasuk, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Juraij.Makna lainnya juga menyebutkan hal senada, seperti dalam suatu riwayat dari Sufyan, yaitu “dihalangi dari jalan kebenaran”.Dari kiriBerkebalikan dengan arah kanan, serangan dari arah kiri cenderung berkaitan dengan keburukan dan maksiat, seperti syahwat dan syubhat. Manusia dibuat tertarik pada maksiat, termasuk ketika maksiat itu dengan begitu mudahnya dapat diakses di manapun, kapanpun, sehingga seakan tidak ada lagi batas antara seorang anak Adam dengan maksiat.Merujuk kepada penafsiran oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, serangan dari kiri ini berarti dari aspek keburukan. Adapun di antara taktiknya sebagaimana ditafsirkan oleh As-Suddi juga Al-Kalbi, yaitu dengan keburukan dan kebatilan yang dibuat mudah diakses dan ringan untuk dilakukan, berbagai syahwat, nafsu, kelezatan, dan kenikmatan dunia yang fana dihias dan dibuat sehingga tampak sangat menggoda di mata manusia, dan taktik-taktik semisal itu.Di antara penafsiran terkait strategi empat arah Iblis ini, mengacu pada penjelasan yang disampaikan oleh Mujahid dan Ibnu Juraij, bahwa jika diklasifikasikan berdasarkan tampak-tidaknya, maka: serangan dari arah depan dan kanan sebagai serangan langsung, tampak, dan dapat dilihat dengan jelas; sementara serangan dari arah belakang dan kiri sebagai sebaliknya, yaitu tidak langsung dan tidak tampak.Serangan yang tampak jelas salah satu bentuknya adalah ketika manusia melakukan suatu amalan buruk, maksiat, kesalahan, kebatilan, dan kefasikan; lalu ia mengetahui yang ia lakukan adalah salah. Berbeda dengan serangan tak tampak, bentuknya ketika manusia melakukan kebatilan, sementara ia tidak menyadari bahwa yang ia lakukan adalah salah; lebih parahnya bahkan ia menganggap yang dilakukannya adalah benar.Serangan dari atas?Jika diamati secara saksama, narasi Iblis mengenai serangannya terhadap manusia tidak menyebutkan arah “atas”. Mengapa demikian?Ibnu Abbas dan Asy-Sya’bi menuturkan bahwa hal ini berkaitan erat dengan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat Yang Maha Tinggi, dan rahmat-Nya senantiasa turun dari atas. Oleh karena itu, Iblis yang merupakan makhluk terlaknat dan pembangkang, tidak akan pernah berani menyinggung arah “atas” dalam konteks serangannya terhadap manusia. Hal ini karena arah “atas” secara simbolis merupakan arah keagungan dan kekuasaan Allah, serta merupakan sumber segala kebaikan dan rahmat.Dengan demikian, tidak disebutkannya arah “atas” dalam narasi serangan Iblis merupakan sebuah isyarat mendalam tentang pengakuan tidak langsung Iblis terhadap keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menunjukkan batasan kekuasaan Iblis yang tidak akan pernah mampu menembus perlindungan dan rahmat Allah yang datang dari arah “atas”.Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanSebagai penutup, mari menukil perkataan seorang zuhud, Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi, beliau pernah menuturkan bagaimana setan benar-benar mendatanginya untuk menggodanya menjauh dari jalan yang benar, serta antidot syar’i yang ia terapkan,ما من صباحٍ إلا قعد لي الشيطان على أربعة مراصد: من بين يديَّ، ومن خلفي، وعن يميني، وعن شمالي، فيقول: لا تَخف فإن الله غفور رحيم، فأقرأ: ((وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى))،وأما من خلفي فيُخوِّفني الضيْعة على من أُخلّفه، فأقرأ: ((وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا))ومن قِبَل يميني، يأتيني من قِبَل الثَّناء، فأقرأ: ((وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ))،ومن قبل شمالي، فيأتيني من قبل الشهوات، فأقرأ: ((وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ))“Tidaklah berlalu suatu pagi, melainkan setan telah bersiaga atasku di empat pos pengintaiannya: di depanku, di belakangku, di kananku, dan di kiriku.(Dari hadapanku) ia kemudian membisikkan, ‘Jangan takut (berbuat dosa), karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.’ (QS. Thaha: 82)Adapun dari belakangku, setan menakutiku dengan kekhawatiran akan (nasib) orang-orang yang kutinggalkan, maka aku membaca (firman-Nya), ‘Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfūẓ).’ (QS. Hud: 6)Sementara dari kanan, ia (setan) mendatangiku lewat pintu pujian dan sanjungan, aku lantas membaca (firman-Nya), ‘Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ (QS. Al-A’raf: 128)Dan dari kiri, ia (setan) mendatangiku lewat pintu syahwat, aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan’. (QS. Saba: 54)”Dari sini, bisa diketahui bahwa kehidupan kita dalam perjalanan menuju kepada Allah Ta’ala tidaklah aman, bahkan selalu dikelilingi oleh godaan Iblis dalam misi primordialnya sejak dahulu kala.Dengan memahami strategi empat arah Iblis: depan (godaan dunia, skeptisisme akhirat), belakang (cinta dunia, desakralisasi agama), kanan (fitnah amal kebaikan seperti memperlambat kebaikan, rasa cukup dengan amal), dan kiri (fitnah maksiat dan syahwat), kita menyadari bahwa Iblis selalu mengintai dari segala penjuru, tentunya hanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika merujuk pada pernyataan yang secara ekspilit ada pada ayat, kecuali dari “atas” yang merupakan simbol keagungan dan rahmat Allah.Oleh karena itu, dengan memperbaiki hubungan vertikal manusia (hamba) dan manusia (Rabbnya), juga dengan selalu membersihkan hati dan memurnikan niat, harapannya kita dapat senantiasa terjaga dan tetap berada di jalan yang lurus. Wallahu Ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Apakah Iblis termasuk Golongan Malaikat ataukah Jin?***Penulis: Abdurrahman Waridi SarpadArtikel Muslim.or.id Referensi:Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Aay Al-Qur’an (10: 96-101).Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah, Igatsat Al-Lahafan fi Mashayid Asy-Syaithan (1: 175-181).Ahmad bin Muhammad bin Ibahim Ats-Tsa’labi, Al-Kasyfu wa Al-Bayan ‘an Tafsir Al-Qur’an (4: 221-222).
Daftar Isi ToggleJalan yang lurusDari depanDari belakangDari kananDari kiriSerangan dari atas?Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanJalan hidup manusia adalah jalan yang tidak pernah mulus, dalam banyak artian dan penafsiran. Terutama dalam jalan menuju Tuhannya, ada Iblis dan bala tentaranya yang selalu mengincar dari segala penjuru dan bersiap menyerang, menjauhkannya dari jalan lurus yang benar.Semuanya bermula dari kejadian pasca penolakan Iblis bersujud kepada Adam ‘alaihissalam yang menjadi titik tolak permusuhan abadi antara makhluk terlaknat itu dan manusia. Dengan sombong dan angkuhnya, Iblis la’natullah ‘alaihi mendeklarasikan perang dan misi penyesatan abadi. Kisah ini diabadikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَـَٔاتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَـٰنِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَـٰكِرِين“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17)Lihat, betapa keras kepala dan liciknya Iblis. Ia diusir dari surga karena pembangkangannya. Akan tetapi, alih-alih mengakui kesalahannya, bertobat, dan meminta ampunan kepada Allah, ia malah meminta penangguhan waktu sampai hari akhir agar bisa membawa pengikut sebanyak mungkin. Menyesatkan sebanyak mungkin, agar ia tidak menjadi satu-satunya yang diazab!Iblis sangat serius ketika mendeklarasikan pembangkangannya tersebut. Ia berjanji dan berazam akan mendatangi manusia yang sedang berjalan di jalan yang benar, kemudian menyesatkannya dari setiap arah. Dalam ayat disebutkan secara eksplisit empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri. Sebut saja ini adalah “strategi empat arah” Iblis dalam misi penyesatannya.Jalan yang lurusAda beberapa penafsiran terhadap apa yang dimaksud dengan “صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ” (Jalan-Mu [Allah] yang lurus),Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan “agama-Mu (Allah) yang sudah jelas”;Ibnu Mas’ud menafsirkan dengan “kitabullah”;Jabir menafsirkan dengan “Islam”; danMujahid menafsirkan dengan “kebenaran”.Apapun itu, penafsiran-penafsiran tersebut tidaklah kontradiktif sama sekali, dan justru hakikatnya satu, dan merujuk pada satu makna: bahwa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan yang mengantarkan seorang hamba pada Rab-nya, Allah Ta’ala”.Lantas, apa yang Iblis maksudkan dengan empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri yang disebutkan dalam ayat tersebut? Mari kita kaji dan analisis strategi empat arah Iblis ini beserta beberapa cara praktis menghadapi serangannya berdasarkan interpretasi dari para ulama dalam hal ini.Dari depanFrasa “dari depan” diartikan dalam berbagai variasi penafsiran, berdasarkan riwayat yang ada. Ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mengartikannya sebagai godaan dari sisi dunia.Sementara itu, riwayat lainnya menafsirkannya sebagai serangan terhadap keyakinan terkait akhirat, di antaranya dengan doktrin anti-akhirat. Hasan Al-Bashri juga meriwayatkan penafsiran yang memperkuat ini, bahwa yang dimaksud dengan “dari depan” adalah Iblis menanamkan skeptisisme pada manusia akan akhirat, di mana manusia dibuat mengingkari kebangkitan setelah kematian, serta hakikat-hakikat akhirat terkait surga dan neraka.Dari belakangAda yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu penafsiran “dari belakang” dengan serangan dan godaan dari segi akhirat. Namun, beberapa riwayat lain menyampaikan berkebalikan, yaitu bahwa ini adalah serangan dari segi yang menyangkut hal-hal terkait dunia.Serangan ini di antaranya berupa dibuatnya manusia menjadi cinta dunia. Dalam nukilan dari Hasan Al-Bashri, ia menyampaikan bahwa Iblis membuat dunia ini begitu indah, menggoda, dan menggiurkan di mata manusia, sehingga orientasi manusia kemudian hanyalah pada dunia, akumulasi materi, harta, tahta, wanita, jabatan, dan validasi duniawi lainnya.Abu Shalih juga menyampaikan penafsiran bahwa yang dimaksud adalah desakralisasi agama, di mana manusia dibuat jauh dari konsep akhirat dan menormalisasi persepsi bahwa akhirat hanyalah fiktif belaka, dan kemudian jadilah seakan dunia lah kehidupan yang hakiki.Dari kananArah kanan secara simbolis merepresentasikan kebenaranan dan amal baik. Maka yang dimaksud serangan dari kanan di antaranya adalah yang berkaitan dengan amalan kebaikan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan pengaburan agama di mata manusia, seperti dengan mengkontaminasikan pikiran dan amalan-amalan syubhat.Adapun dalam riwayat lain, begitupun dengan Qatadah, menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah dari segi amal baik. Maksudnya, seseorang diperlambat untuk melaksanakan kebaikan, alias dibuat malas. Juga ketika seseorang merasa terlalu optimis dengan amalan yang sudah ia perbuat selama ini. Ia merasa cukup dan tidak perlu memperbanyak amal saleh lagi, ini juga termasuk, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Juraij.Makna lainnya juga menyebutkan hal senada, seperti dalam suatu riwayat dari Sufyan, yaitu “dihalangi dari jalan kebenaran”.Dari kiriBerkebalikan dengan arah kanan, serangan dari arah kiri cenderung berkaitan dengan keburukan dan maksiat, seperti syahwat dan syubhat. Manusia dibuat tertarik pada maksiat, termasuk ketika maksiat itu dengan begitu mudahnya dapat diakses di manapun, kapanpun, sehingga seakan tidak ada lagi batas antara seorang anak Adam dengan maksiat.Merujuk kepada penafsiran oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, serangan dari kiri ini berarti dari aspek keburukan. Adapun di antara taktiknya sebagaimana ditafsirkan oleh As-Suddi juga Al-Kalbi, yaitu dengan keburukan dan kebatilan yang dibuat mudah diakses dan ringan untuk dilakukan, berbagai syahwat, nafsu, kelezatan, dan kenikmatan dunia yang fana dihias dan dibuat sehingga tampak sangat menggoda di mata manusia, dan taktik-taktik semisal itu.Di antara penafsiran terkait strategi empat arah Iblis ini, mengacu pada penjelasan yang disampaikan oleh Mujahid dan Ibnu Juraij, bahwa jika diklasifikasikan berdasarkan tampak-tidaknya, maka: serangan dari arah depan dan kanan sebagai serangan langsung, tampak, dan dapat dilihat dengan jelas; sementara serangan dari arah belakang dan kiri sebagai sebaliknya, yaitu tidak langsung dan tidak tampak.Serangan yang tampak jelas salah satu bentuknya adalah ketika manusia melakukan suatu amalan buruk, maksiat, kesalahan, kebatilan, dan kefasikan; lalu ia mengetahui yang ia lakukan adalah salah. Berbeda dengan serangan tak tampak, bentuknya ketika manusia melakukan kebatilan, sementara ia tidak menyadari bahwa yang ia lakukan adalah salah; lebih parahnya bahkan ia menganggap yang dilakukannya adalah benar.Serangan dari atas?Jika diamati secara saksama, narasi Iblis mengenai serangannya terhadap manusia tidak menyebutkan arah “atas”. Mengapa demikian?Ibnu Abbas dan Asy-Sya’bi menuturkan bahwa hal ini berkaitan erat dengan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat Yang Maha Tinggi, dan rahmat-Nya senantiasa turun dari atas. Oleh karena itu, Iblis yang merupakan makhluk terlaknat dan pembangkang, tidak akan pernah berani menyinggung arah “atas” dalam konteks serangannya terhadap manusia. Hal ini karena arah “atas” secara simbolis merupakan arah keagungan dan kekuasaan Allah, serta merupakan sumber segala kebaikan dan rahmat.Dengan demikian, tidak disebutkannya arah “atas” dalam narasi serangan Iblis merupakan sebuah isyarat mendalam tentang pengakuan tidak langsung Iblis terhadap keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menunjukkan batasan kekuasaan Iblis yang tidak akan pernah mampu menembus perlindungan dan rahmat Allah yang datang dari arah “atas”.Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanSebagai penutup, mari menukil perkataan seorang zuhud, Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi, beliau pernah menuturkan bagaimana setan benar-benar mendatanginya untuk menggodanya menjauh dari jalan yang benar, serta antidot syar’i yang ia terapkan,ما من صباحٍ إلا قعد لي الشيطان على أربعة مراصد: من بين يديَّ، ومن خلفي، وعن يميني، وعن شمالي، فيقول: لا تَخف فإن الله غفور رحيم، فأقرأ: ((وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى))،وأما من خلفي فيُخوِّفني الضيْعة على من أُخلّفه، فأقرأ: ((وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا))ومن قِبَل يميني، يأتيني من قِبَل الثَّناء، فأقرأ: ((وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ))،ومن قبل شمالي، فيأتيني من قبل الشهوات، فأقرأ: ((وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ))“Tidaklah berlalu suatu pagi, melainkan setan telah bersiaga atasku di empat pos pengintaiannya: di depanku, di belakangku, di kananku, dan di kiriku.(Dari hadapanku) ia kemudian membisikkan, ‘Jangan takut (berbuat dosa), karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.’ (QS. Thaha: 82)Adapun dari belakangku, setan menakutiku dengan kekhawatiran akan (nasib) orang-orang yang kutinggalkan, maka aku membaca (firman-Nya), ‘Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfūẓ).’ (QS. Hud: 6)Sementara dari kanan, ia (setan) mendatangiku lewat pintu pujian dan sanjungan, aku lantas membaca (firman-Nya), ‘Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ (QS. Al-A’raf: 128)Dan dari kiri, ia (setan) mendatangiku lewat pintu syahwat, aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan’. (QS. Saba: 54)”Dari sini, bisa diketahui bahwa kehidupan kita dalam perjalanan menuju kepada Allah Ta’ala tidaklah aman, bahkan selalu dikelilingi oleh godaan Iblis dalam misi primordialnya sejak dahulu kala.Dengan memahami strategi empat arah Iblis: depan (godaan dunia, skeptisisme akhirat), belakang (cinta dunia, desakralisasi agama), kanan (fitnah amal kebaikan seperti memperlambat kebaikan, rasa cukup dengan amal), dan kiri (fitnah maksiat dan syahwat), kita menyadari bahwa Iblis selalu mengintai dari segala penjuru, tentunya hanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika merujuk pada pernyataan yang secara ekspilit ada pada ayat, kecuali dari “atas” yang merupakan simbol keagungan dan rahmat Allah.Oleh karena itu, dengan memperbaiki hubungan vertikal manusia (hamba) dan manusia (Rabbnya), juga dengan selalu membersihkan hati dan memurnikan niat, harapannya kita dapat senantiasa terjaga dan tetap berada di jalan yang lurus. Wallahu Ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Apakah Iblis termasuk Golongan Malaikat ataukah Jin?***Penulis: Abdurrahman Waridi SarpadArtikel Muslim.or.id Referensi:Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Aay Al-Qur’an (10: 96-101).Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah, Igatsat Al-Lahafan fi Mashayid Asy-Syaithan (1: 175-181).Ahmad bin Muhammad bin Ibahim Ats-Tsa’labi, Al-Kasyfu wa Al-Bayan ‘an Tafsir Al-Qur’an (4: 221-222).


Daftar Isi ToggleJalan yang lurusDari depanDari belakangDari kananDari kiriSerangan dari atas?Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanJalan hidup manusia adalah jalan yang tidak pernah mulus, dalam banyak artian dan penafsiran. Terutama dalam jalan menuju Tuhannya, ada Iblis dan bala tentaranya yang selalu mengincar dari segala penjuru dan bersiap menyerang, menjauhkannya dari jalan lurus yang benar.Semuanya bermula dari kejadian pasca penolakan Iblis bersujud kepada Adam ‘alaihissalam yang menjadi titik tolak permusuhan abadi antara makhluk terlaknat itu dan manusia. Dengan sombong dan angkuhnya, Iblis la’natullah ‘alaihi mendeklarasikan perang dan misi penyesatan abadi. Kisah ini diabadikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَـَٔاتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَـٰنِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَـٰكِرِين“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17)Lihat, betapa keras kepala dan liciknya Iblis. Ia diusir dari surga karena pembangkangannya. Akan tetapi, alih-alih mengakui kesalahannya, bertobat, dan meminta ampunan kepada Allah, ia malah meminta penangguhan waktu sampai hari akhir agar bisa membawa pengikut sebanyak mungkin. Menyesatkan sebanyak mungkin, agar ia tidak menjadi satu-satunya yang diazab!Iblis sangat serius ketika mendeklarasikan pembangkangannya tersebut. Ia berjanji dan berazam akan mendatangi manusia yang sedang berjalan di jalan yang benar, kemudian menyesatkannya dari setiap arah. Dalam ayat disebutkan secara eksplisit empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri. Sebut saja ini adalah “strategi empat arah” Iblis dalam misi penyesatannya.Jalan yang lurusAda beberapa penafsiran terhadap apa yang dimaksud dengan “صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ” (Jalan-Mu [Allah] yang lurus),Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan “agama-Mu (Allah) yang sudah jelas”;Ibnu Mas’ud menafsirkan dengan “kitabullah”;Jabir menafsirkan dengan “Islam”; danMujahid menafsirkan dengan “kebenaran”.Apapun itu, penafsiran-penafsiran tersebut tidaklah kontradiktif sama sekali, dan justru hakikatnya satu, dan merujuk pada satu makna: bahwa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan yang mengantarkan seorang hamba pada Rab-nya, Allah Ta’ala”.Lantas, apa yang Iblis maksudkan dengan empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri yang disebutkan dalam ayat tersebut? Mari kita kaji dan analisis strategi empat arah Iblis ini beserta beberapa cara praktis menghadapi serangannya berdasarkan interpretasi dari para ulama dalam hal ini.Dari depanFrasa “dari depan” diartikan dalam berbagai variasi penafsiran, berdasarkan riwayat yang ada. Ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mengartikannya sebagai godaan dari sisi dunia.Sementara itu, riwayat lainnya menafsirkannya sebagai serangan terhadap keyakinan terkait akhirat, di antaranya dengan doktrin anti-akhirat. Hasan Al-Bashri juga meriwayatkan penafsiran yang memperkuat ini, bahwa yang dimaksud dengan “dari depan” adalah Iblis menanamkan skeptisisme pada manusia akan akhirat, di mana manusia dibuat mengingkari kebangkitan setelah kematian, serta hakikat-hakikat akhirat terkait surga dan neraka.Dari belakangAda yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu penafsiran “dari belakang” dengan serangan dan godaan dari segi akhirat. Namun, beberapa riwayat lain menyampaikan berkebalikan, yaitu bahwa ini adalah serangan dari segi yang menyangkut hal-hal terkait dunia.Serangan ini di antaranya berupa dibuatnya manusia menjadi cinta dunia. Dalam nukilan dari Hasan Al-Bashri, ia menyampaikan bahwa Iblis membuat dunia ini begitu indah, menggoda, dan menggiurkan di mata manusia, sehingga orientasi manusia kemudian hanyalah pada dunia, akumulasi materi, harta, tahta, wanita, jabatan, dan validasi duniawi lainnya.Abu Shalih juga menyampaikan penafsiran bahwa yang dimaksud adalah desakralisasi agama, di mana manusia dibuat jauh dari konsep akhirat dan menormalisasi persepsi bahwa akhirat hanyalah fiktif belaka, dan kemudian jadilah seakan dunia lah kehidupan yang hakiki.Dari kananArah kanan secara simbolis merepresentasikan kebenaranan dan amal baik. Maka yang dimaksud serangan dari kanan di antaranya adalah yang berkaitan dengan amalan kebaikan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan pengaburan agama di mata manusia, seperti dengan mengkontaminasikan pikiran dan amalan-amalan syubhat.Adapun dalam riwayat lain, begitupun dengan Qatadah, menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah dari segi amal baik. Maksudnya, seseorang diperlambat untuk melaksanakan kebaikan, alias dibuat malas. Juga ketika seseorang merasa terlalu optimis dengan amalan yang sudah ia perbuat selama ini. Ia merasa cukup dan tidak perlu memperbanyak amal saleh lagi, ini juga termasuk, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Juraij.Makna lainnya juga menyebutkan hal senada, seperti dalam suatu riwayat dari Sufyan, yaitu “dihalangi dari jalan kebenaran”.Dari kiriBerkebalikan dengan arah kanan, serangan dari arah kiri cenderung berkaitan dengan keburukan dan maksiat, seperti syahwat dan syubhat. Manusia dibuat tertarik pada maksiat, termasuk ketika maksiat itu dengan begitu mudahnya dapat diakses di manapun, kapanpun, sehingga seakan tidak ada lagi batas antara seorang anak Adam dengan maksiat.Merujuk kepada penafsiran oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, serangan dari kiri ini berarti dari aspek keburukan. Adapun di antara taktiknya sebagaimana ditafsirkan oleh As-Suddi juga Al-Kalbi, yaitu dengan keburukan dan kebatilan yang dibuat mudah diakses dan ringan untuk dilakukan, berbagai syahwat, nafsu, kelezatan, dan kenikmatan dunia yang fana dihias dan dibuat sehingga tampak sangat menggoda di mata manusia, dan taktik-taktik semisal itu.Di antara penafsiran terkait strategi empat arah Iblis ini, mengacu pada penjelasan yang disampaikan oleh Mujahid dan Ibnu Juraij, bahwa jika diklasifikasikan berdasarkan tampak-tidaknya, maka: serangan dari arah depan dan kanan sebagai serangan langsung, tampak, dan dapat dilihat dengan jelas; sementara serangan dari arah belakang dan kiri sebagai sebaliknya, yaitu tidak langsung dan tidak tampak.Serangan yang tampak jelas salah satu bentuknya adalah ketika manusia melakukan suatu amalan buruk, maksiat, kesalahan, kebatilan, dan kefasikan; lalu ia mengetahui yang ia lakukan adalah salah. Berbeda dengan serangan tak tampak, bentuknya ketika manusia melakukan kebatilan, sementara ia tidak menyadari bahwa yang ia lakukan adalah salah; lebih parahnya bahkan ia menganggap yang dilakukannya adalah benar.Serangan dari atas?Jika diamati secara saksama, narasi Iblis mengenai serangannya terhadap manusia tidak menyebutkan arah “atas”. Mengapa demikian?Ibnu Abbas dan Asy-Sya’bi menuturkan bahwa hal ini berkaitan erat dengan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat Yang Maha Tinggi, dan rahmat-Nya senantiasa turun dari atas. Oleh karena itu, Iblis yang merupakan makhluk terlaknat dan pembangkang, tidak akan pernah berani menyinggung arah “atas” dalam konteks serangannya terhadap manusia. Hal ini karena arah “atas” secara simbolis merupakan arah keagungan dan kekuasaan Allah, serta merupakan sumber segala kebaikan dan rahmat.Dengan demikian, tidak disebutkannya arah “atas” dalam narasi serangan Iblis merupakan sebuah isyarat mendalam tentang pengakuan tidak langsung Iblis terhadap keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menunjukkan batasan kekuasaan Iblis yang tidak akan pernah mampu menembus perlindungan dan rahmat Allah yang datang dari arah “atas”.Antidot praktis menangkal godaan-tipu daya setanSebagai penutup, mari menukil perkataan seorang zuhud, Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi, beliau pernah menuturkan bagaimana setan benar-benar mendatanginya untuk menggodanya menjauh dari jalan yang benar, serta antidot syar’i yang ia terapkan,ما من صباحٍ إلا قعد لي الشيطان على أربعة مراصد: من بين يديَّ، ومن خلفي، وعن يميني، وعن شمالي، فيقول: لا تَخف فإن الله غفور رحيم، فأقرأ: ((وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى))،وأما من خلفي فيُخوِّفني الضيْعة على من أُخلّفه، فأقرأ: ((وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا))ومن قِبَل يميني، يأتيني من قِبَل الثَّناء، فأقرأ: ((وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ))،ومن قبل شمالي، فيأتيني من قبل الشهوات، فأقرأ: ((وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ))“Tidaklah berlalu suatu pagi, melainkan setan telah bersiaga atasku di empat pos pengintaiannya: di depanku, di belakangku, di kananku, dan di kiriku.(Dari hadapanku) ia kemudian membisikkan, ‘Jangan takut (berbuat dosa), karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.’ (QS. Thaha: 82)Adapun dari belakangku, setan menakutiku dengan kekhawatiran akan (nasib) orang-orang yang kutinggalkan, maka aku membaca (firman-Nya), ‘Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfūẓ).’ (QS. Hud: 6)Sementara dari kanan, ia (setan) mendatangiku lewat pintu pujian dan sanjungan, aku lantas membaca (firman-Nya), ‘Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ (QS. Al-A’raf: 128)Dan dari kiri, ia (setan) mendatangiku lewat pintu syahwat, aku pun membaca (firman-Nya), ‘Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan’. (QS. Saba: 54)”Dari sini, bisa diketahui bahwa kehidupan kita dalam perjalanan menuju kepada Allah Ta’ala tidaklah aman, bahkan selalu dikelilingi oleh godaan Iblis dalam misi primordialnya sejak dahulu kala.Dengan memahami strategi empat arah Iblis: depan (godaan dunia, skeptisisme akhirat), belakang (cinta dunia, desakralisasi agama), kanan (fitnah amal kebaikan seperti memperlambat kebaikan, rasa cukup dengan amal), dan kiri (fitnah maksiat dan syahwat), kita menyadari bahwa Iblis selalu mengintai dari segala penjuru, tentunya hanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika merujuk pada pernyataan yang secara ekspilit ada pada ayat, kecuali dari “atas” yang merupakan simbol keagungan dan rahmat Allah.Oleh karena itu, dengan memperbaiki hubungan vertikal manusia (hamba) dan manusia (Rabbnya), juga dengan selalu membersihkan hati dan memurnikan niat, harapannya kita dapat senantiasa terjaga dan tetap berada di jalan yang lurus. Wallahu Ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Apakah Iblis termasuk Golongan Malaikat ataukah Jin?***Penulis: Abdurrahman Waridi SarpadArtikel Muslim.or.id Referensi:Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Aay Al-Qur’an (10: 96-101).Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah, Igatsat Al-Lahafan fi Mashayid Asy-Syaithan (1: 175-181).Ahmad bin Muhammad bin Ibahim Ats-Tsa’labi, Al-Kasyfu wa Al-Bayan ‘an Tafsir Al-Qur’an (4: 221-222).

Konsep Keadilan dalam Syariat Poligami Menurut Al-Qur’an

Daftar Isi TogglePendahuluanTafsir surah An-Nisa’ ayat 3Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganKonsep keadilan dalam poligamiDalam pembagian hariDalam pemberian nafkah makan dan pakaianDalam menyediakan tempat tinggalDalam pemberian hadiahAncaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligamiKesimpulanPendahuluan Poligami adalah bagian dari syariat Islam. Islam membolehkan seorang suami untuk menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Hal ini Allah sebutkan dalam Al-Qur’an,فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.“ (QS. An-Nisa’: 3)Salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika akan menikah dengan lebih dari satu istri adalah bersikap adil. Allah memerintahkan keadilan dalam setiap perkara. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)Bahkan, adil itu wajib dalam setiap perkara kepada siapa saja, sampai-sampai kepada orang yang kita benci dan tidak kita sukai. Allah Ta’ala berfriman,وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.“ (QS. Al-Maidah: 8)Jika bersikap adil adalah merupakan kewajiban, bahkan kepada orang yang kita benci, maka lebih-lebih lagi harus kita terapkan kepada orang yang kita cintai. Di antaranya adalah bersikap adil kepada para istri. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 3Allah Ta’ala berfirman,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.“ (QS. An-Nisa’: 3)Dalam ayat ini, Allah membolehkan untuk menikahi empat wanita dengan syarat bisa berlaku adil. Ini menunjukkan bahwa adil merupakan perintah yang wajib bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adil menjadi syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adapun jika tidak mampu, maka hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak wanitanya sja,Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa sekiranya engkau takut ketika berpoligami tidak bisa berlaku adil terhadap mereka, seperti yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”Barangsiapa yang takut tidak bisa berlaku adil, hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak perempuannya saja, sehingga tidak ada kewajiban untuk berlaku adil kepada mereka. Akan tetapi, berlaku adil kepada mereka hukumnnya mustahab (sunah). Bagi yang melakukan, maka mendapat kebaikan dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. (Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan, “Walaupun demikian, poligami dibolehkan baginya apabila ia merasa mampu untuk tidak berlaku zalim dan aniaya serta yakin dapat memenuhi hak-hak mereka semua. Namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau hanya dengan budak wanitanya, karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut. “Yang demikian itu,” yaitu mencukupkan hanya dengan seorang istri atau dengan budak wanita, ”adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya”; yaitu tidak berbuat zalim.”Beliau melanjutkan, “Ini menunjukan bahwa seorang hamba yang menghadapkan dirinya kepada suatu perkara yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezaliman, aniaya, dan tidak menunaikan kewajiban -walaupun perkara itu adalah suatu hal yang mubah-, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. (Taisiirul Kariimir Rahman)Ketika menafsirkan firman Allah (فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة), Syekh Abu Bakar Al-Jazairi rahimahullah menjelaskan bahwa Allah menginginkan apabila ada seorang mukmin yang khawatir bahwa dia tidak akan berlaku adil di antara istri-istrinya karena kelemahannya, maka hendaknya dia mencukupkan dengan satu istri (saja) dan tidak menambahkan yang lain, atau dia mencukupkan dengan budak wanita yang dia miliki. Karena hal ini lebih dekat dengan perbuatan yang tidak diperbolehkan baginya, yaitu menzalimi istrinya. (Aisarut Tafaasir)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129 Allah Ta’ala berfirman,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 129)Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa seorang lelaki tidak akan mampu berlaku adil kepada para istrinya. Apakah yang dimaksud “adil” dalam ayat ini? Berikut akan disebutkan beberapa penjelasan dari para ulam ahli tafsir.Ath-Thabary rahimahullah menjelaskan firman Allah di atas bahwa laki-laki tidak akan bisa untuk berlaku adil kepada beberapa istri dalam urusan cinta yang ada dalam hati. Karena perkara cinta itu masalah hati dan seseorang tidak bisa mengatur apa yang ada di dalam hati karena itu di luar kemampuannya. (Jaami’u al Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’an)Al-Qurthuby rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah telah menginformasikan kepada kita tentang peniadaan kemampuan dalam bersikap adil kepada para istri; dan yang dimaksud adalah kecenderungan fitrah dalam cinta, jimak, dan kecondongan hati untuk mencintai. Allah menggambarkan kondisi manusia bahwa mereka berdasarkan (fitrah) penciptaan mereka, tidak memiliki (kemampuan mengatur) kecenderungan hati mereka terhadap satu sama lain. Itulah sebabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ“Ya Allah, ini adalah pembagianku yang aku mampu. Maka janganlah Engkau cela aku dalam perkara yang Engkau mampu dan tidak aku mampui.” (Al-Jaami’ li Ahkaami al-Qur’an)Allah berfirman (yang artinya), {Dan kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara wanita} yaitu, kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara para istri dalam perkara cinta dan kecenderungan hati. (Tafsir Al-Baghawi)Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa Allah telah mengabarkan kepada kita tentang peniadaan kemampuan suami untuk melakukan keadilan terhadap para istri dalam bentuk tidak condong kepada istri yang dicintai, dan juga dalam masalah cinta dan benci. Maka ini semua merupakan sifat kemanusiaan dalam arti tidak bisa dikuasai oleh hati. Asumsi ini berdasarakan hukum kemanusiaan yang tidak bisa menguasai hati dan dalam  hal ini tidak mampu jiwa ini berlaku adil. (Fathul Qadir, karya Asy-Syaukani)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah mengabarkan bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan di atas kuasa mereka untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecenderungan hati kepada mereka yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua. Namun hal seperti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Karena itulah, Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang dari perkara yang mungkin dilakukan.Adapun maksud firman Allah (فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ), “Janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, yaitu janganlah kalian condong dengan kecenderungan yang berlebihan, di mana kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka. Akan tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan itu. Sehingga nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya, wajib atas kalian untuk berlaku adil dalam perkara tersebut di antara mereka. Berbeda dengan perkara cinta dan kenikmatan hubungan intim atau semacamnya. (Taisiirul Kariimir Rahman)Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganJika kita perhatikan dua ayat di atas, seolah-olah keduanya saling bertentangan. Ayat yang pertama memerintahkan untuk berbuat adil bagi yang hendak berpoligami, sementara ayat kedua menyatakan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil.Jika kita perhatikan penjelasan ulama tafsir di atas mengenai dua ayat ini, maka perintah adil dalam surah An-Nisa’ ayat 3 maksudnya adalah adil dalam perkara-perkara yang memang mampu dilakukan oleh manusia untuk melakukannya secara adil, seperti pemberian nafkah, pembagian hari, pemberian pakaian, dan lain-lain. Sedangkan penafian sikap adil dalam surah An-Nisa’ ayat 129 yaitu adil dalam masalah yang di luar kemampuan manusia, yaitu adil dalam masalah hati, seperti kecintaan, syahwat, dan sebagainya.Disebutkan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwasanya tidak wajib sama terhadap para istri dalam masalah cinta karena itu di luar kemampuan manusia. Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibandingkan istri-istri beliau yang lain. Dari sini bisa diambil faidah juga bahwa tidak wajib sama dalam masalah hubungan intim, karena hal tersebut erat kaitannya dengan kecintaan yang merupakan masalah hati. (Badzlu Masaratil Akhowaati bi Ta’addudi az-Zaujaati)Baca juga: Alasan Khadijah Tidak Dipoligami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamKonsep keadilan dalam poligami Konsep keadilan dalam poligami sudah diatur dalam Islam. Perkara yang wajib adil dalam poligami yaitu:Dalam pembagian hariMaksudnya, pembagian hari di antara para istri, yaitu memberikan hak istri untuk menginap agar bisa menemani dan membersamainya. Dalil dari Al-Qur’an adalah perintah berbuat adil dalam surah An-Nahl ayat 90 yang sudah disampaikan di atas. Pembagian hari di antara para istri adalah termasuk keadilan yang Allah perintahkan dalam ayat tersebut. Dalil Al-Qur’an yang lain adalah firman Allah,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.“ (QS. An-Nisa’: 19)Maksudnya adalah pergauilah dengan sesuai kepatutan dan kebiasaan masyarakat dan syariat. Bukan termasuk kebiasaan di masyarakat membagi jatah istri A dua malam, sedangkan istri B hanya satu malam saja. Adapun dalil dari hadis adalah hadis riwayat Abu Dawud mengenai wajibnya berlaku adil kepada para istri. Pembagian ini berlaku baik ketika istri sakit ataupun haid. Adapun jika sedang nifas, maka mayoritas ulama menjelaskan bahwa kondisi nifas dikecualikan dari mendapat jatah pembagian hari. (Asy-Syarhu al-Mumti’)Dalam pemberian nafkah makan dan pakaianAdil dalam pemberian nafkah dan pakaian yaitu dengan memberikan kepada setiap istri sesuai dengan kebutuhan untuk dirinya dan anak-anaknya secara layak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika haji Wada’,ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف“Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya.” (HR. Muslim no. 3009)Dalam menyediakan tempat tinggalWajib menyediakan tempat tinggal untuk para istri berdasarkan firman Allah,أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.“ (QS. Ath-Thalaq: 6)Menurut Ibnu Hazm rahimahullah, wajib untuk menyediakan rumah bagi setiap istri sesuai kemampuan suami.Dalam pemberian hadiahMaksudnya adalah pemberian hadiah di luar pemberian yang wajib. Para ulama berselisih pendapat apakah harus sama dalam memberikan hadiah. Namun pendapat yang tepat adalah tetap harus adil dalam masalah hadiah dan pemberian di luar nafkah wajib. Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang benar, hukumnya wajib untuk tetap adil di antara para istri dalam setiap perkara yang mampu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih) (Lihat Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Ancaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligami Kebalikan dari sikap adil adalah zalim, yang merupakan perbuatan yang telah Allah haramkan untuk diri-Nya sebagaimana firman Allah dalam sebuah hadis qudsi,يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian.“ (HR. Muslim)Oleh karena itu, terdapat ancaman yang sangat keras khususnya bagi yang melakukan poligami dan tidak berbuat adil kepada para istrinya. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya berlaku adil adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa saja yang memiliki dua orang istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih)Hadis ini menujukkan dalil penekanan atas wajibnya adil di antara para istri dan haramnya berbuat zalim, yaitu tidak adil kepada para istri tersebut. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati)Kesimpulan Adil adalah syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Yang dimaksud adil di sini adalah adil dalam perkara yang mampu dilakukan, seperti masalah nafkah dan pakaian, tempat tinggal, dan pembagian hari (untuk bermalam). Adapun berkaitan dengan rasa cinta dan masalah hati, maka tidaklah harus sama karena hal itu di luar kehendak dan kemampuan manusia. Terdapat ancaman yang sangat keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak berbuat adil kepada para istrinya. Adapun yang berkaitan dengan rasa cinta, maka hal ini tidaklah sama karena merupakan pengaruh hati, sementara seseorang tidak bisa secara mutlak menguasai hatinya, karena semua berada dalam kehendak Allah.Baca juga: Fikih Ringkas Poligami***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id

Konsep Keadilan dalam Syariat Poligami Menurut Al-Qur’an

Daftar Isi TogglePendahuluanTafsir surah An-Nisa’ ayat 3Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganKonsep keadilan dalam poligamiDalam pembagian hariDalam pemberian nafkah makan dan pakaianDalam menyediakan tempat tinggalDalam pemberian hadiahAncaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligamiKesimpulanPendahuluan Poligami adalah bagian dari syariat Islam. Islam membolehkan seorang suami untuk menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Hal ini Allah sebutkan dalam Al-Qur’an,فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.“ (QS. An-Nisa’: 3)Salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika akan menikah dengan lebih dari satu istri adalah bersikap adil. Allah memerintahkan keadilan dalam setiap perkara. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)Bahkan, adil itu wajib dalam setiap perkara kepada siapa saja, sampai-sampai kepada orang yang kita benci dan tidak kita sukai. Allah Ta’ala berfriman,وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.“ (QS. Al-Maidah: 8)Jika bersikap adil adalah merupakan kewajiban, bahkan kepada orang yang kita benci, maka lebih-lebih lagi harus kita terapkan kepada orang yang kita cintai. Di antaranya adalah bersikap adil kepada para istri. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 3Allah Ta’ala berfirman,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.“ (QS. An-Nisa’: 3)Dalam ayat ini, Allah membolehkan untuk menikahi empat wanita dengan syarat bisa berlaku adil. Ini menunjukkan bahwa adil merupakan perintah yang wajib bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adil menjadi syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adapun jika tidak mampu, maka hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak wanitanya sja,Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa sekiranya engkau takut ketika berpoligami tidak bisa berlaku adil terhadap mereka, seperti yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”Barangsiapa yang takut tidak bisa berlaku adil, hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak perempuannya saja, sehingga tidak ada kewajiban untuk berlaku adil kepada mereka. Akan tetapi, berlaku adil kepada mereka hukumnnya mustahab (sunah). Bagi yang melakukan, maka mendapat kebaikan dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. (Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan, “Walaupun demikian, poligami dibolehkan baginya apabila ia merasa mampu untuk tidak berlaku zalim dan aniaya serta yakin dapat memenuhi hak-hak mereka semua. Namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau hanya dengan budak wanitanya, karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut. “Yang demikian itu,” yaitu mencukupkan hanya dengan seorang istri atau dengan budak wanita, ”adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya”; yaitu tidak berbuat zalim.”Beliau melanjutkan, “Ini menunjukan bahwa seorang hamba yang menghadapkan dirinya kepada suatu perkara yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezaliman, aniaya, dan tidak menunaikan kewajiban -walaupun perkara itu adalah suatu hal yang mubah-, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. (Taisiirul Kariimir Rahman)Ketika menafsirkan firman Allah (فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة), Syekh Abu Bakar Al-Jazairi rahimahullah menjelaskan bahwa Allah menginginkan apabila ada seorang mukmin yang khawatir bahwa dia tidak akan berlaku adil di antara istri-istrinya karena kelemahannya, maka hendaknya dia mencukupkan dengan satu istri (saja) dan tidak menambahkan yang lain, atau dia mencukupkan dengan budak wanita yang dia miliki. Karena hal ini lebih dekat dengan perbuatan yang tidak diperbolehkan baginya, yaitu menzalimi istrinya. (Aisarut Tafaasir)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129 Allah Ta’ala berfirman,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 129)Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa seorang lelaki tidak akan mampu berlaku adil kepada para istrinya. Apakah yang dimaksud “adil” dalam ayat ini? Berikut akan disebutkan beberapa penjelasan dari para ulam ahli tafsir.Ath-Thabary rahimahullah menjelaskan firman Allah di atas bahwa laki-laki tidak akan bisa untuk berlaku adil kepada beberapa istri dalam urusan cinta yang ada dalam hati. Karena perkara cinta itu masalah hati dan seseorang tidak bisa mengatur apa yang ada di dalam hati karena itu di luar kemampuannya. (Jaami’u al Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’an)Al-Qurthuby rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah telah menginformasikan kepada kita tentang peniadaan kemampuan dalam bersikap adil kepada para istri; dan yang dimaksud adalah kecenderungan fitrah dalam cinta, jimak, dan kecondongan hati untuk mencintai. Allah menggambarkan kondisi manusia bahwa mereka berdasarkan (fitrah) penciptaan mereka, tidak memiliki (kemampuan mengatur) kecenderungan hati mereka terhadap satu sama lain. Itulah sebabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ“Ya Allah, ini adalah pembagianku yang aku mampu. Maka janganlah Engkau cela aku dalam perkara yang Engkau mampu dan tidak aku mampui.” (Al-Jaami’ li Ahkaami al-Qur’an)Allah berfirman (yang artinya), {Dan kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara wanita} yaitu, kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara para istri dalam perkara cinta dan kecenderungan hati. (Tafsir Al-Baghawi)Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa Allah telah mengabarkan kepada kita tentang peniadaan kemampuan suami untuk melakukan keadilan terhadap para istri dalam bentuk tidak condong kepada istri yang dicintai, dan juga dalam masalah cinta dan benci. Maka ini semua merupakan sifat kemanusiaan dalam arti tidak bisa dikuasai oleh hati. Asumsi ini berdasarakan hukum kemanusiaan yang tidak bisa menguasai hati dan dalam  hal ini tidak mampu jiwa ini berlaku adil. (Fathul Qadir, karya Asy-Syaukani)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah mengabarkan bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan di atas kuasa mereka untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecenderungan hati kepada mereka yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua. Namun hal seperti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Karena itulah, Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang dari perkara yang mungkin dilakukan.Adapun maksud firman Allah (فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ), “Janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, yaitu janganlah kalian condong dengan kecenderungan yang berlebihan, di mana kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka. Akan tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan itu. Sehingga nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya, wajib atas kalian untuk berlaku adil dalam perkara tersebut di antara mereka. Berbeda dengan perkara cinta dan kenikmatan hubungan intim atau semacamnya. (Taisiirul Kariimir Rahman)Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganJika kita perhatikan dua ayat di atas, seolah-olah keduanya saling bertentangan. Ayat yang pertama memerintahkan untuk berbuat adil bagi yang hendak berpoligami, sementara ayat kedua menyatakan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil.Jika kita perhatikan penjelasan ulama tafsir di atas mengenai dua ayat ini, maka perintah adil dalam surah An-Nisa’ ayat 3 maksudnya adalah adil dalam perkara-perkara yang memang mampu dilakukan oleh manusia untuk melakukannya secara adil, seperti pemberian nafkah, pembagian hari, pemberian pakaian, dan lain-lain. Sedangkan penafian sikap adil dalam surah An-Nisa’ ayat 129 yaitu adil dalam masalah yang di luar kemampuan manusia, yaitu adil dalam masalah hati, seperti kecintaan, syahwat, dan sebagainya.Disebutkan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwasanya tidak wajib sama terhadap para istri dalam masalah cinta karena itu di luar kemampuan manusia. Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibandingkan istri-istri beliau yang lain. Dari sini bisa diambil faidah juga bahwa tidak wajib sama dalam masalah hubungan intim, karena hal tersebut erat kaitannya dengan kecintaan yang merupakan masalah hati. (Badzlu Masaratil Akhowaati bi Ta’addudi az-Zaujaati)Baca juga: Alasan Khadijah Tidak Dipoligami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamKonsep keadilan dalam poligami Konsep keadilan dalam poligami sudah diatur dalam Islam. Perkara yang wajib adil dalam poligami yaitu:Dalam pembagian hariMaksudnya, pembagian hari di antara para istri, yaitu memberikan hak istri untuk menginap agar bisa menemani dan membersamainya. Dalil dari Al-Qur’an adalah perintah berbuat adil dalam surah An-Nahl ayat 90 yang sudah disampaikan di atas. Pembagian hari di antara para istri adalah termasuk keadilan yang Allah perintahkan dalam ayat tersebut. Dalil Al-Qur’an yang lain adalah firman Allah,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.“ (QS. An-Nisa’: 19)Maksudnya adalah pergauilah dengan sesuai kepatutan dan kebiasaan masyarakat dan syariat. Bukan termasuk kebiasaan di masyarakat membagi jatah istri A dua malam, sedangkan istri B hanya satu malam saja. Adapun dalil dari hadis adalah hadis riwayat Abu Dawud mengenai wajibnya berlaku adil kepada para istri. Pembagian ini berlaku baik ketika istri sakit ataupun haid. Adapun jika sedang nifas, maka mayoritas ulama menjelaskan bahwa kondisi nifas dikecualikan dari mendapat jatah pembagian hari. (Asy-Syarhu al-Mumti’)Dalam pemberian nafkah makan dan pakaianAdil dalam pemberian nafkah dan pakaian yaitu dengan memberikan kepada setiap istri sesuai dengan kebutuhan untuk dirinya dan anak-anaknya secara layak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika haji Wada’,ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف“Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya.” (HR. Muslim no. 3009)Dalam menyediakan tempat tinggalWajib menyediakan tempat tinggal untuk para istri berdasarkan firman Allah,أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.“ (QS. Ath-Thalaq: 6)Menurut Ibnu Hazm rahimahullah, wajib untuk menyediakan rumah bagi setiap istri sesuai kemampuan suami.Dalam pemberian hadiahMaksudnya adalah pemberian hadiah di luar pemberian yang wajib. Para ulama berselisih pendapat apakah harus sama dalam memberikan hadiah. Namun pendapat yang tepat adalah tetap harus adil dalam masalah hadiah dan pemberian di luar nafkah wajib. Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang benar, hukumnya wajib untuk tetap adil di antara para istri dalam setiap perkara yang mampu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih) (Lihat Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Ancaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligami Kebalikan dari sikap adil adalah zalim, yang merupakan perbuatan yang telah Allah haramkan untuk diri-Nya sebagaimana firman Allah dalam sebuah hadis qudsi,يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian.“ (HR. Muslim)Oleh karena itu, terdapat ancaman yang sangat keras khususnya bagi yang melakukan poligami dan tidak berbuat adil kepada para istrinya. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya berlaku adil adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa saja yang memiliki dua orang istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih)Hadis ini menujukkan dalil penekanan atas wajibnya adil di antara para istri dan haramnya berbuat zalim, yaitu tidak adil kepada para istri tersebut. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati)Kesimpulan Adil adalah syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Yang dimaksud adil di sini adalah adil dalam perkara yang mampu dilakukan, seperti masalah nafkah dan pakaian, tempat tinggal, dan pembagian hari (untuk bermalam). Adapun berkaitan dengan rasa cinta dan masalah hati, maka tidaklah harus sama karena hal itu di luar kehendak dan kemampuan manusia. Terdapat ancaman yang sangat keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak berbuat adil kepada para istrinya. Adapun yang berkaitan dengan rasa cinta, maka hal ini tidaklah sama karena merupakan pengaruh hati, sementara seseorang tidak bisa secara mutlak menguasai hatinya, karena semua berada dalam kehendak Allah.Baca juga: Fikih Ringkas Poligami***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePendahuluanTafsir surah An-Nisa’ ayat 3Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganKonsep keadilan dalam poligamiDalam pembagian hariDalam pemberian nafkah makan dan pakaianDalam menyediakan tempat tinggalDalam pemberian hadiahAncaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligamiKesimpulanPendahuluan Poligami adalah bagian dari syariat Islam. Islam membolehkan seorang suami untuk menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Hal ini Allah sebutkan dalam Al-Qur’an,فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.“ (QS. An-Nisa’: 3)Salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika akan menikah dengan lebih dari satu istri adalah bersikap adil. Allah memerintahkan keadilan dalam setiap perkara. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)Bahkan, adil itu wajib dalam setiap perkara kepada siapa saja, sampai-sampai kepada orang yang kita benci dan tidak kita sukai. Allah Ta’ala berfriman,وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.“ (QS. Al-Maidah: 8)Jika bersikap adil adalah merupakan kewajiban, bahkan kepada orang yang kita benci, maka lebih-lebih lagi harus kita terapkan kepada orang yang kita cintai. Di antaranya adalah bersikap adil kepada para istri. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 3Allah Ta’ala berfirman,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.“ (QS. An-Nisa’: 3)Dalam ayat ini, Allah membolehkan untuk menikahi empat wanita dengan syarat bisa berlaku adil. Ini menunjukkan bahwa adil merupakan perintah yang wajib bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adil menjadi syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adapun jika tidak mampu, maka hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak wanitanya sja,Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa sekiranya engkau takut ketika berpoligami tidak bisa berlaku adil terhadap mereka, seperti yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”Barangsiapa yang takut tidak bisa berlaku adil, hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak perempuannya saja, sehingga tidak ada kewajiban untuk berlaku adil kepada mereka. Akan tetapi, berlaku adil kepada mereka hukumnnya mustahab (sunah). Bagi yang melakukan, maka mendapat kebaikan dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. (Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan, “Walaupun demikian, poligami dibolehkan baginya apabila ia merasa mampu untuk tidak berlaku zalim dan aniaya serta yakin dapat memenuhi hak-hak mereka semua. Namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau hanya dengan budak wanitanya, karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut. “Yang demikian itu,” yaitu mencukupkan hanya dengan seorang istri atau dengan budak wanita, ”adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya”; yaitu tidak berbuat zalim.”Beliau melanjutkan, “Ini menunjukan bahwa seorang hamba yang menghadapkan dirinya kepada suatu perkara yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezaliman, aniaya, dan tidak menunaikan kewajiban -walaupun perkara itu adalah suatu hal yang mubah-, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. (Taisiirul Kariimir Rahman)Ketika menafsirkan firman Allah (فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة), Syekh Abu Bakar Al-Jazairi rahimahullah menjelaskan bahwa Allah menginginkan apabila ada seorang mukmin yang khawatir bahwa dia tidak akan berlaku adil di antara istri-istrinya karena kelemahannya, maka hendaknya dia mencukupkan dengan satu istri (saja) dan tidak menambahkan yang lain, atau dia mencukupkan dengan budak wanita yang dia miliki. Karena hal ini lebih dekat dengan perbuatan yang tidak diperbolehkan baginya, yaitu menzalimi istrinya. (Aisarut Tafaasir)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129 Allah Ta’ala berfirman,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 129)Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa seorang lelaki tidak akan mampu berlaku adil kepada para istrinya. Apakah yang dimaksud “adil” dalam ayat ini? Berikut akan disebutkan beberapa penjelasan dari para ulam ahli tafsir.Ath-Thabary rahimahullah menjelaskan firman Allah di atas bahwa laki-laki tidak akan bisa untuk berlaku adil kepada beberapa istri dalam urusan cinta yang ada dalam hati. Karena perkara cinta itu masalah hati dan seseorang tidak bisa mengatur apa yang ada di dalam hati karena itu di luar kemampuannya. (Jaami’u al Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’an)Al-Qurthuby rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah telah menginformasikan kepada kita tentang peniadaan kemampuan dalam bersikap adil kepada para istri; dan yang dimaksud adalah kecenderungan fitrah dalam cinta, jimak, dan kecondongan hati untuk mencintai. Allah menggambarkan kondisi manusia bahwa mereka berdasarkan (fitrah) penciptaan mereka, tidak memiliki (kemampuan mengatur) kecenderungan hati mereka terhadap satu sama lain. Itulah sebabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ“Ya Allah, ini adalah pembagianku yang aku mampu. Maka janganlah Engkau cela aku dalam perkara yang Engkau mampu dan tidak aku mampui.” (Al-Jaami’ li Ahkaami al-Qur’an)Allah berfirman (yang artinya), {Dan kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara wanita} yaitu, kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara para istri dalam perkara cinta dan kecenderungan hati. (Tafsir Al-Baghawi)Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa Allah telah mengabarkan kepada kita tentang peniadaan kemampuan suami untuk melakukan keadilan terhadap para istri dalam bentuk tidak condong kepada istri yang dicintai, dan juga dalam masalah cinta dan benci. Maka ini semua merupakan sifat kemanusiaan dalam arti tidak bisa dikuasai oleh hati. Asumsi ini berdasarakan hukum kemanusiaan yang tidak bisa menguasai hati dan dalam  hal ini tidak mampu jiwa ini berlaku adil. (Fathul Qadir, karya Asy-Syaukani)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah mengabarkan bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan di atas kuasa mereka untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecenderungan hati kepada mereka yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua. Namun hal seperti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Karena itulah, Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang dari perkara yang mungkin dilakukan.Adapun maksud firman Allah (فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ), “Janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, yaitu janganlah kalian condong dengan kecenderungan yang berlebihan, di mana kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka. Akan tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan itu. Sehingga nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya, wajib atas kalian untuk berlaku adil dalam perkara tersebut di antara mereka. Berbeda dengan perkara cinta dan kenikmatan hubungan intim atau semacamnya. (Taisiirul Kariimir Rahman)Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganJika kita perhatikan dua ayat di atas, seolah-olah keduanya saling bertentangan. Ayat yang pertama memerintahkan untuk berbuat adil bagi yang hendak berpoligami, sementara ayat kedua menyatakan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil.Jika kita perhatikan penjelasan ulama tafsir di atas mengenai dua ayat ini, maka perintah adil dalam surah An-Nisa’ ayat 3 maksudnya adalah adil dalam perkara-perkara yang memang mampu dilakukan oleh manusia untuk melakukannya secara adil, seperti pemberian nafkah, pembagian hari, pemberian pakaian, dan lain-lain. Sedangkan penafian sikap adil dalam surah An-Nisa’ ayat 129 yaitu adil dalam masalah yang di luar kemampuan manusia, yaitu adil dalam masalah hati, seperti kecintaan, syahwat, dan sebagainya.Disebutkan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwasanya tidak wajib sama terhadap para istri dalam masalah cinta karena itu di luar kemampuan manusia. Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibandingkan istri-istri beliau yang lain. Dari sini bisa diambil faidah juga bahwa tidak wajib sama dalam masalah hubungan intim, karena hal tersebut erat kaitannya dengan kecintaan yang merupakan masalah hati. (Badzlu Masaratil Akhowaati bi Ta’addudi az-Zaujaati)Baca juga: Alasan Khadijah Tidak Dipoligami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamKonsep keadilan dalam poligami Konsep keadilan dalam poligami sudah diatur dalam Islam. Perkara yang wajib adil dalam poligami yaitu:Dalam pembagian hariMaksudnya, pembagian hari di antara para istri, yaitu memberikan hak istri untuk menginap agar bisa menemani dan membersamainya. Dalil dari Al-Qur’an adalah perintah berbuat adil dalam surah An-Nahl ayat 90 yang sudah disampaikan di atas. Pembagian hari di antara para istri adalah termasuk keadilan yang Allah perintahkan dalam ayat tersebut. Dalil Al-Qur’an yang lain adalah firman Allah,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.“ (QS. An-Nisa’: 19)Maksudnya adalah pergauilah dengan sesuai kepatutan dan kebiasaan masyarakat dan syariat. Bukan termasuk kebiasaan di masyarakat membagi jatah istri A dua malam, sedangkan istri B hanya satu malam saja. Adapun dalil dari hadis adalah hadis riwayat Abu Dawud mengenai wajibnya berlaku adil kepada para istri. Pembagian ini berlaku baik ketika istri sakit ataupun haid. Adapun jika sedang nifas, maka mayoritas ulama menjelaskan bahwa kondisi nifas dikecualikan dari mendapat jatah pembagian hari. (Asy-Syarhu al-Mumti’)Dalam pemberian nafkah makan dan pakaianAdil dalam pemberian nafkah dan pakaian yaitu dengan memberikan kepada setiap istri sesuai dengan kebutuhan untuk dirinya dan anak-anaknya secara layak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika haji Wada’,ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف“Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya.” (HR. Muslim no. 3009)Dalam menyediakan tempat tinggalWajib menyediakan tempat tinggal untuk para istri berdasarkan firman Allah,أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.“ (QS. Ath-Thalaq: 6)Menurut Ibnu Hazm rahimahullah, wajib untuk menyediakan rumah bagi setiap istri sesuai kemampuan suami.Dalam pemberian hadiahMaksudnya adalah pemberian hadiah di luar pemberian yang wajib. Para ulama berselisih pendapat apakah harus sama dalam memberikan hadiah. Namun pendapat yang tepat adalah tetap harus adil dalam masalah hadiah dan pemberian di luar nafkah wajib. Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang benar, hukumnya wajib untuk tetap adil di antara para istri dalam setiap perkara yang mampu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih) (Lihat Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Ancaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligami Kebalikan dari sikap adil adalah zalim, yang merupakan perbuatan yang telah Allah haramkan untuk diri-Nya sebagaimana firman Allah dalam sebuah hadis qudsi,يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian.“ (HR. Muslim)Oleh karena itu, terdapat ancaman yang sangat keras khususnya bagi yang melakukan poligami dan tidak berbuat adil kepada para istrinya. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya berlaku adil adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa saja yang memiliki dua orang istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih)Hadis ini menujukkan dalil penekanan atas wajibnya adil di antara para istri dan haramnya berbuat zalim, yaitu tidak adil kepada para istri tersebut. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati)Kesimpulan Adil adalah syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Yang dimaksud adil di sini adalah adil dalam perkara yang mampu dilakukan, seperti masalah nafkah dan pakaian, tempat tinggal, dan pembagian hari (untuk bermalam). Adapun berkaitan dengan rasa cinta dan masalah hati, maka tidaklah harus sama karena hal itu di luar kehendak dan kemampuan manusia. Terdapat ancaman yang sangat keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak berbuat adil kepada para istrinya. Adapun yang berkaitan dengan rasa cinta, maka hal ini tidaklah sama karena merupakan pengaruh hati, sementara seseorang tidak bisa secara mutlak menguasai hatinya, karena semua berada dalam kehendak Allah.Baca juga: Fikih Ringkas Poligami***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePendahuluanTafsir surah An-Nisa’ ayat 3Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganKonsep keadilan dalam poligamiDalam pembagian hariDalam pemberian nafkah makan dan pakaianDalam menyediakan tempat tinggalDalam pemberian hadiahAncaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligamiKesimpulanPendahuluan Poligami adalah bagian dari syariat Islam. Islam membolehkan seorang suami untuk menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Hal ini Allah sebutkan dalam Al-Qur’an,فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.“ (QS. An-Nisa’: 3)Salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika akan menikah dengan lebih dari satu istri adalah bersikap adil. Allah memerintahkan keadilan dalam setiap perkara. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)Bahkan, adil itu wajib dalam setiap perkara kepada siapa saja, sampai-sampai kepada orang yang kita benci dan tidak kita sukai. Allah Ta’ala berfriman,وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.“ (QS. Al-Maidah: 8)Jika bersikap adil adalah merupakan kewajiban, bahkan kepada orang yang kita benci, maka lebih-lebih lagi harus kita terapkan kepada orang yang kita cintai. Di antaranya adalah bersikap adil kepada para istri. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 3Allah Ta’ala berfirman,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.“ (QS. An-Nisa’: 3)Dalam ayat ini, Allah membolehkan untuk menikahi empat wanita dengan syarat bisa berlaku adil. Ini menunjukkan bahwa adil merupakan perintah yang wajib bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adil menjadi syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adapun jika tidak mampu, maka hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak wanitanya sja,Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa sekiranya engkau takut ketika berpoligami tidak bisa berlaku adil terhadap mereka, seperti yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”Barangsiapa yang takut tidak bisa berlaku adil, hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak perempuannya saja, sehingga tidak ada kewajiban untuk berlaku adil kepada mereka. Akan tetapi, berlaku adil kepada mereka hukumnnya mustahab (sunah). Bagi yang melakukan, maka mendapat kebaikan dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. (Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan, “Walaupun demikian, poligami dibolehkan baginya apabila ia merasa mampu untuk tidak berlaku zalim dan aniaya serta yakin dapat memenuhi hak-hak mereka semua. Namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau hanya dengan budak wanitanya, karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut. “Yang demikian itu,” yaitu mencukupkan hanya dengan seorang istri atau dengan budak wanita, ”adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya”; yaitu tidak berbuat zalim.”Beliau melanjutkan, “Ini menunjukan bahwa seorang hamba yang menghadapkan dirinya kepada suatu perkara yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezaliman, aniaya, dan tidak menunaikan kewajiban -walaupun perkara itu adalah suatu hal yang mubah-, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. (Taisiirul Kariimir Rahman)Ketika menafsirkan firman Allah (فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة), Syekh Abu Bakar Al-Jazairi rahimahullah menjelaskan bahwa Allah menginginkan apabila ada seorang mukmin yang khawatir bahwa dia tidak akan berlaku adil di antara istri-istrinya karena kelemahannya, maka hendaknya dia mencukupkan dengan satu istri (saja) dan tidak menambahkan yang lain, atau dia mencukupkan dengan budak wanita yang dia miliki. Karena hal ini lebih dekat dengan perbuatan yang tidak diperbolehkan baginya, yaitu menzalimi istrinya. (Aisarut Tafaasir)Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129 Allah Ta’ala berfirman,وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 129)Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa seorang lelaki tidak akan mampu berlaku adil kepada para istrinya. Apakah yang dimaksud “adil” dalam ayat ini? Berikut akan disebutkan beberapa penjelasan dari para ulam ahli tafsir.Ath-Thabary rahimahullah menjelaskan firman Allah di atas bahwa laki-laki tidak akan bisa untuk berlaku adil kepada beberapa istri dalam urusan cinta yang ada dalam hati. Karena perkara cinta itu masalah hati dan seseorang tidak bisa mengatur apa yang ada di dalam hati karena itu di luar kemampuannya. (Jaami’u al Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’an)Al-Qurthuby rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah telah menginformasikan kepada kita tentang peniadaan kemampuan dalam bersikap adil kepada para istri; dan yang dimaksud adalah kecenderungan fitrah dalam cinta, jimak, dan kecondongan hati untuk mencintai. Allah menggambarkan kondisi manusia bahwa mereka berdasarkan (fitrah) penciptaan mereka, tidak memiliki (kemampuan mengatur) kecenderungan hati mereka terhadap satu sama lain. Itulah sebabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ“Ya Allah, ini adalah pembagianku yang aku mampu. Maka janganlah Engkau cela aku dalam perkara yang Engkau mampu dan tidak aku mampui.” (Al-Jaami’ li Ahkaami al-Qur’an)Allah berfirman (yang artinya), {Dan kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara wanita} yaitu, kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara para istri dalam perkara cinta dan kecenderungan hati. (Tafsir Al-Baghawi)Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa Allah telah mengabarkan kepada kita tentang peniadaan kemampuan suami untuk melakukan keadilan terhadap para istri dalam bentuk tidak condong kepada istri yang dicintai, dan juga dalam masalah cinta dan benci. Maka ini semua merupakan sifat kemanusiaan dalam arti tidak bisa dikuasai oleh hati. Asumsi ini berdasarakan hukum kemanusiaan yang tidak bisa menguasai hati dan dalam  hal ini tidak mampu jiwa ini berlaku adil. (Fathul Qadir, karya Asy-Syaukani)Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah mengabarkan bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan di atas kuasa mereka untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecenderungan hati kepada mereka yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua. Namun hal seperti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Karena itulah, Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang dari perkara yang mungkin dilakukan.Adapun maksud firman Allah (فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ), “Janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, yaitu janganlah kalian condong dengan kecenderungan yang berlebihan, di mana kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka. Akan tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan itu. Sehingga nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya, wajib atas kalian untuk berlaku adil dalam perkara tersebut di antara mereka. Berbeda dengan perkara cinta dan kenikmatan hubungan intim atau semacamnya. (Taisiirul Kariimir Rahman)Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentanganJika kita perhatikan dua ayat di atas, seolah-olah keduanya saling bertentangan. Ayat yang pertama memerintahkan untuk berbuat adil bagi yang hendak berpoligami, sementara ayat kedua menyatakan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil.Jika kita perhatikan penjelasan ulama tafsir di atas mengenai dua ayat ini, maka perintah adil dalam surah An-Nisa’ ayat 3 maksudnya adalah adil dalam perkara-perkara yang memang mampu dilakukan oleh manusia untuk melakukannya secara adil, seperti pemberian nafkah, pembagian hari, pemberian pakaian, dan lain-lain. Sedangkan penafian sikap adil dalam surah An-Nisa’ ayat 129 yaitu adil dalam masalah yang di luar kemampuan manusia, yaitu adil dalam masalah hati, seperti kecintaan, syahwat, dan sebagainya.Disebutkan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwasanya tidak wajib sama terhadap para istri dalam masalah cinta karena itu di luar kemampuan manusia. Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibandingkan istri-istri beliau yang lain. Dari sini bisa diambil faidah juga bahwa tidak wajib sama dalam masalah hubungan intim, karena hal tersebut erat kaitannya dengan kecintaan yang merupakan masalah hati. (Badzlu Masaratil Akhowaati bi Ta’addudi az-Zaujaati)Baca juga: Alasan Khadijah Tidak Dipoligami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamKonsep keadilan dalam poligami Konsep keadilan dalam poligami sudah diatur dalam Islam. Perkara yang wajib adil dalam poligami yaitu:Dalam pembagian hariMaksudnya, pembagian hari di antara para istri, yaitu memberikan hak istri untuk menginap agar bisa menemani dan membersamainya. Dalil dari Al-Qur’an adalah perintah berbuat adil dalam surah An-Nahl ayat 90 yang sudah disampaikan di atas. Pembagian hari di antara para istri adalah termasuk keadilan yang Allah perintahkan dalam ayat tersebut. Dalil Al-Qur’an yang lain adalah firman Allah,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.“ (QS. An-Nisa’: 19)Maksudnya adalah pergauilah dengan sesuai kepatutan dan kebiasaan masyarakat dan syariat. Bukan termasuk kebiasaan di masyarakat membagi jatah istri A dua malam, sedangkan istri B hanya satu malam saja. Adapun dalil dari hadis adalah hadis riwayat Abu Dawud mengenai wajibnya berlaku adil kepada para istri. Pembagian ini berlaku baik ketika istri sakit ataupun haid. Adapun jika sedang nifas, maka mayoritas ulama menjelaskan bahwa kondisi nifas dikecualikan dari mendapat jatah pembagian hari. (Asy-Syarhu al-Mumti’)Dalam pemberian nafkah makan dan pakaianAdil dalam pemberian nafkah dan pakaian yaitu dengan memberikan kepada setiap istri sesuai dengan kebutuhan untuk dirinya dan anak-anaknya secara layak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika haji Wada’,ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف“Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya.” (HR. Muslim no. 3009)Dalam menyediakan tempat tinggalWajib menyediakan tempat tinggal untuk para istri berdasarkan firman Allah,أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.“ (QS. Ath-Thalaq: 6)Menurut Ibnu Hazm rahimahullah, wajib untuk menyediakan rumah bagi setiap istri sesuai kemampuan suami.Dalam pemberian hadiahMaksudnya adalah pemberian hadiah di luar pemberian yang wajib. Para ulama berselisih pendapat apakah harus sama dalam memberikan hadiah. Namun pendapat yang tepat adalah tetap harus adil dalam masalah hadiah dan pemberian di luar nafkah wajib. Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang benar, hukumnya wajib untuk tetap adil di antara para istri dalam setiap perkara yang mampu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih) (Lihat Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)Ancaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligami Kebalikan dari sikap adil adalah zalim, yang merupakan perbuatan yang telah Allah haramkan untuk diri-Nya sebagaimana firman Allah dalam sebuah hadis qudsi,يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian.“ (HR. Muslim)Oleh karena itu, terdapat ancaman yang sangat keras khususnya bagi yang melakukan poligami dan tidak berbuat adil kepada para istrinya. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya berlaku adil adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa saja yang memiliki dua orang istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih)Hadis ini menujukkan dalil penekanan atas wajibnya adil di antara para istri dan haramnya berbuat zalim, yaitu tidak adil kepada para istri tersebut. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati)Kesimpulan Adil adalah syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Yang dimaksud adil di sini adalah adil dalam perkara yang mampu dilakukan, seperti masalah nafkah dan pakaian, tempat tinggal, dan pembagian hari (untuk bermalam). Adapun berkaitan dengan rasa cinta dan masalah hati, maka tidaklah harus sama karena hal itu di luar kehendak dan kemampuan manusia. Terdapat ancaman yang sangat keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak berbuat adil kepada para istrinya. Adapun yang berkaitan dengan rasa cinta, maka hal ini tidaklah sama karena merupakan pengaruh hati, sementara seseorang tidak bisa secara mutlak menguasai hatinya, karena semua berada dalam kehendak Allah.Baca juga: Fikih Ringkas Poligami***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 23): Jama’ Muannats Salim

Daftar Isi ToggleMakna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”KesimpulanPembahasan selanjutnya adalah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in, yakni kata-kata yang di-jama’ dengan penambahan huruf alif dan taa’ di akhir. Bentuk ini sering disamakan dengan istilah Jama’ Muannats Salim. Namun, para ulama, termasuk Ibnu Hisyam rahimahullah, menjelaskan bahwa istilah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in lebih tepat digunakan. Hal ini karena tidak semua kata yang mengikuti pola ini berasal dari isim muannats, dan tidak semuanya “selamat” dari perubahan bentuk dasar.Pembahasan ini menjadi bagian dari bab keempat mengenai isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang. Melalui penjelasan para ulama dan contoh dari ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan memahami kaidah, pengecualian, dan penerapan bentuk jama’ ini, termasuk alasan mengapa tanda i‘rab-nya berbeda dari bentuk jama’ lainnya. Dengan pemahaman ini, diharapkan pembaca dapat mengidentifikasi serta menggunakan bentuk Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in secara tepat dalam pembelajaran dan praktik bahasa Arab.Ibnu Hisyam rahimahullah menjelaskan,“أُولاتُ dan semua kata yang dijama’ dengan tambahan huruf alif dan taa, serta kata-kata yang dijadikan nama dari أُولاتُ  dan kata-kata yang ditambahkan huruf alif dan taa, maka kata-kata tersebut manshub dengan tanda kasrah.”Contohnya disebutkan dalam ayat Al-Qur’an berikut,Surah Al-Ankabut ayat 44:خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”Surah Ash-Shafat ayat 153:اَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِيْنَۗ“Apakah (patut) Dia memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki?”Pembahasan ini merupakan bagian dari bab keempat tentang isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu: ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ (kata-kata yang dijamak dengan tambahan huruf alif dan taa’). Sebagian ulama menamakannya dengan istilah جمع المؤنث السالم (jama’ muannats salim).Namun, penamaan pertama dianggap lebih tepat, yaitu ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ, karena alasan berikut:Pertama, tidak semua isim mufrad-nya berjenis muannats (perempuan)Sebagian isim mufrad yang di-jama’ menggunakan huruf alif dan taa’, bukanlah muannats. Contohnya:إِصْطَبْلٌ“kandang ternak”Bentuk jama’ dari kata tersebut ialah:إِصْطَبْلَاتٌ“kandang-kandang ternak”حَمَّامٌ“kamar mandi”Bentuk jama’-nya ialah:حَمَّامَاتٌ“kamar mandi”Kedua kata di atas merupakan isim mudzakkar, bentuk jama’-nya menggunakan tambahan huruf alif dan taa.Kedua, tidak selalu “salim” (selamat dari perubahan)Sebagian kata yang di-jama’ dengan pola jama’ muannats salim justru mengalami perubahan bentuk.Contohnya:سَجْدَةٌ“sujud”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:سَجَدَاتٌ“sujud-sujud”Contoh lainya adalah:حُبْلَى“wanita hamil”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:حُبْلَيَاتٌ“wanita-wanita hamil”Contoh lainya adalah:صَحْرَاءُ“padang”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:صَحْرَاوَاتٌ“padang-padang”Maka, meskipun dinamakan jama’ muannats salim, bukan berarti bentuk tersebut harus mutlak berasal dari isim muannats dan tidak berubah bentuk. Ini hanya sebatas istilah, bukan syarat mutlak.Makna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”Yang dimaksud dengan ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ adalah bentuk jama’ yang terjadi karena adanya tambahan huruf alif dan taa. Tambahan ini menjadi penanda bentuk jama’.Contoh:جَاءَتْ فَاطِمَةُ“Telah datang seseorang yang bernama Fathimah.” (kata Fathimah adalah isim mufrad)جَاءَتْ فَاطِمَاتٌ“Telah datang banyak orang yang bernama Fathimah”Kata Fathimaat menjadi jamak karena tambahan huruf alif dan taa. Kita dapat melihat bahwa huruf alif dan taa tidak terdapat pada bentuk isim mufrad pada contoh pertama, tetapi hanya muncul pada bentuk jama’ pada contoh kedua. Karena itu, keduanya disebut مَزِيدَتَيْنِ (dua huruf tambahan).Perlukah kata “Madzidataini”?Sebenarnya, penyebutan kata مَزِيدَتَيْنِ tidak wajib. Dalam istilah ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ sudah terkandung makna sebab, melalui huruf ba’ yang menunjukkan “disebabkan oleh”. Namun, jika huruf ba’ di sini dimaknai sebagai mushohabah (kebersamaan, bukan sebab), maka penyebutan مَزِيدَتَيْنِ menjadi penting untuk menjelaskan bahwa alif dan taa tersebut adalah tambahan, bukan bagian asli dari kata dasar.Hukum jama’ ini marfu’ dengan tanda utama yaitu dhommah. Contohnya adalah:فَازَتْ ٱلْمُتَسَابِقَاتُ“Para peserta lomba (perempuan) telah menang.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتُ merupakan isim (kata benda) jama’ muannats salim yang marfu’ dengan tanda dhammah.Jika dalam posisi manshub (objek atau setelah kata kerja yang memerlukan objek), maka jama’ muannats salim diberi fathah sebagai tanda i‘rab pengganti.Contohnya adalah:هَنَّأْتُ ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku mengucapkan selamat kepada para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ adalah maf‘ul bih (objek) yang manshub, tetapi diberi tanda kasrah sebagai pengganti fathah karena termasuk dalam kelompok ٱلْجَمْعُ ٱلْمُؤَنَّثُ ٱلسَّالِمُ jama’ muannats salim.Apabila dalam posisi majrur (misalnya setelah huruf jarr seperti ‘ala, min, fi, dan lain-lain), maka jama’ muannats salim tetap menggunakan kasrah sebagai tanda utamanya.Contohnya:أَثْنَيْتُ عَلَى ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku memuji para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ dalam contoh ini adalah majrur setelah huruf jarr عَلَى, sehingga i‘rab-nya ditandai dengan kasrah.Pembahasan mengenai Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ memberikan gambaran bahwa pemahaman bentuk jama’ dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada Jama’ Muannats Salim semata. Istilah yang digunakan para ulama, khususnya Ibnu Hisyam, menegaskan adanya perbedaan makna dan fungsi, sehingga penyebutan yang tepat sangat penting dalam kajian nahwu.Melalui penelaahan kaidah, pengecualian, dan contoh-contoh dari Al-Qur’an, kita dapat memahami bahwa bentuk jama’ ini memiliki tanda i‘rab tersendiri, yakni dengan huruf, serta memiliki karakteristik yang membedakannya dari jama’ lainnya.KesimpulanPertama, Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ adalah bentuk jama’ dengan tambahan alif dan taa’ di akhir kata.Kedua, tidak semua kata dalam bentuk ini termasuk isim muannats, sehingga penyebutannya berbeda dari Jama’ Muannats Salim.Ketiga, bentuk ini dibahas pada bab isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang.Keempat, tanda i‘rab-nya menggunakan huruf, bukan harakat.[Bersambung]Kembali ke bagian 22 Lanjut ke bagian 24***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 23): Jama’ Muannats Salim

Daftar Isi ToggleMakna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”KesimpulanPembahasan selanjutnya adalah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in, yakni kata-kata yang di-jama’ dengan penambahan huruf alif dan taa’ di akhir. Bentuk ini sering disamakan dengan istilah Jama’ Muannats Salim. Namun, para ulama, termasuk Ibnu Hisyam rahimahullah, menjelaskan bahwa istilah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in lebih tepat digunakan. Hal ini karena tidak semua kata yang mengikuti pola ini berasal dari isim muannats, dan tidak semuanya “selamat” dari perubahan bentuk dasar.Pembahasan ini menjadi bagian dari bab keempat mengenai isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang. Melalui penjelasan para ulama dan contoh dari ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan memahami kaidah, pengecualian, dan penerapan bentuk jama’ ini, termasuk alasan mengapa tanda i‘rab-nya berbeda dari bentuk jama’ lainnya. Dengan pemahaman ini, diharapkan pembaca dapat mengidentifikasi serta menggunakan bentuk Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in secara tepat dalam pembelajaran dan praktik bahasa Arab.Ibnu Hisyam rahimahullah menjelaskan,“أُولاتُ dan semua kata yang dijama’ dengan tambahan huruf alif dan taa, serta kata-kata yang dijadikan nama dari أُولاتُ  dan kata-kata yang ditambahkan huruf alif dan taa, maka kata-kata tersebut manshub dengan tanda kasrah.”Contohnya disebutkan dalam ayat Al-Qur’an berikut,Surah Al-Ankabut ayat 44:خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”Surah Ash-Shafat ayat 153:اَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِيْنَۗ“Apakah (patut) Dia memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki?”Pembahasan ini merupakan bagian dari bab keempat tentang isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu: ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ (kata-kata yang dijamak dengan tambahan huruf alif dan taa’). Sebagian ulama menamakannya dengan istilah جمع المؤنث السالم (jama’ muannats salim).Namun, penamaan pertama dianggap lebih tepat, yaitu ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ, karena alasan berikut:Pertama, tidak semua isim mufrad-nya berjenis muannats (perempuan)Sebagian isim mufrad yang di-jama’ menggunakan huruf alif dan taa’, bukanlah muannats. Contohnya:إِصْطَبْلٌ“kandang ternak”Bentuk jama’ dari kata tersebut ialah:إِصْطَبْلَاتٌ“kandang-kandang ternak”حَمَّامٌ“kamar mandi”Bentuk jama’-nya ialah:حَمَّامَاتٌ“kamar mandi”Kedua kata di atas merupakan isim mudzakkar, bentuk jama’-nya menggunakan tambahan huruf alif dan taa.Kedua, tidak selalu “salim” (selamat dari perubahan)Sebagian kata yang di-jama’ dengan pola jama’ muannats salim justru mengalami perubahan bentuk.Contohnya:سَجْدَةٌ“sujud”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:سَجَدَاتٌ“sujud-sujud”Contoh lainya adalah:حُبْلَى“wanita hamil”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:حُبْلَيَاتٌ“wanita-wanita hamil”Contoh lainya adalah:صَحْرَاءُ“padang”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:صَحْرَاوَاتٌ“padang-padang”Maka, meskipun dinamakan jama’ muannats salim, bukan berarti bentuk tersebut harus mutlak berasal dari isim muannats dan tidak berubah bentuk. Ini hanya sebatas istilah, bukan syarat mutlak.Makna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”Yang dimaksud dengan ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ adalah bentuk jama’ yang terjadi karena adanya tambahan huruf alif dan taa. Tambahan ini menjadi penanda bentuk jama’.Contoh:جَاءَتْ فَاطِمَةُ“Telah datang seseorang yang bernama Fathimah.” (kata Fathimah adalah isim mufrad)جَاءَتْ فَاطِمَاتٌ“Telah datang banyak orang yang bernama Fathimah”Kata Fathimaat menjadi jamak karena tambahan huruf alif dan taa. Kita dapat melihat bahwa huruf alif dan taa tidak terdapat pada bentuk isim mufrad pada contoh pertama, tetapi hanya muncul pada bentuk jama’ pada contoh kedua. Karena itu, keduanya disebut مَزِيدَتَيْنِ (dua huruf tambahan).Perlukah kata “Madzidataini”?Sebenarnya, penyebutan kata مَزِيدَتَيْنِ tidak wajib. Dalam istilah ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ sudah terkandung makna sebab, melalui huruf ba’ yang menunjukkan “disebabkan oleh”. Namun, jika huruf ba’ di sini dimaknai sebagai mushohabah (kebersamaan, bukan sebab), maka penyebutan مَزِيدَتَيْنِ menjadi penting untuk menjelaskan bahwa alif dan taa tersebut adalah tambahan, bukan bagian asli dari kata dasar.Hukum jama’ ini marfu’ dengan tanda utama yaitu dhommah. Contohnya adalah:فَازَتْ ٱلْمُتَسَابِقَاتُ“Para peserta lomba (perempuan) telah menang.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتُ merupakan isim (kata benda) jama’ muannats salim yang marfu’ dengan tanda dhammah.Jika dalam posisi manshub (objek atau setelah kata kerja yang memerlukan objek), maka jama’ muannats salim diberi fathah sebagai tanda i‘rab pengganti.Contohnya adalah:هَنَّأْتُ ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku mengucapkan selamat kepada para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ adalah maf‘ul bih (objek) yang manshub, tetapi diberi tanda kasrah sebagai pengganti fathah karena termasuk dalam kelompok ٱلْجَمْعُ ٱلْمُؤَنَّثُ ٱلسَّالِمُ jama’ muannats salim.Apabila dalam posisi majrur (misalnya setelah huruf jarr seperti ‘ala, min, fi, dan lain-lain), maka jama’ muannats salim tetap menggunakan kasrah sebagai tanda utamanya.Contohnya:أَثْنَيْتُ عَلَى ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku memuji para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ dalam contoh ini adalah majrur setelah huruf jarr عَلَى, sehingga i‘rab-nya ditandai dengan kasrah.Pembahasan mengenai Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ memberikan gambaran bahwa pemahaman bentuk jama’ dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada Jama’ Muannats Salim semata. Istilah yang digunakan para ulama, khususnya Ibnu Hisyam, menegaskan adanya perbedaan makna dan fungsi, sehingga penyebutan yang tepat sangat penting dalam kajian nahwu.Melalui penelaahan kaidah, pengecualian, dan contoh-contoh dari Al-Qur’an, kita dapat memahami bahwa bentuk jama’ ini memiliki tanda i‘rab tersendiri, yakni dengan huruf, serta memiliki karakteristik yang membedakannya dari jama’ lainnya.KesimpulanPertama, Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ adalah bentuk jama’ dengan tambahan alif dan taa’ di akhir kata.Kedua, tidak semua kata dalam bentuk ini termasuk isim muannats, sehingga penyebutannya berbeda dari Jama’ Muannats Salim.Ketiga, bentuk ini dibahas pada bab isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang.Keempat, tanda i‘rab-nya menggunakan huruf, bukan harakat.[Bersambung]Kembali ke bagian 22 Lanjut ke bagian 24***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleMakna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”KesimpulanPembahasan selanjutnya adalah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in, yakni kata-kata yang di-jama’ dengan penambahan huruf alif dan taa’ di akhir. Bentuk ini sering disamakan dengan istilah Jama’ Muannats Salim. Namun, para ulama, termasuk Ibnu Hisyam rahimahullah, menjelaskan bahwa istilah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in lebih tepat digunakan. Hal ini karena tidak semua kata yang mengikuti pola ini berasal dari isim muannats, dan tidak semuanya “selamat” dari perubahan bentuk dasar.Pembahasan ini menjadi bagian dari bab keempat mengenai isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang. Melalui penjelasan para ulama dan contoh dari ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan memahami kaidah, pengecualian, dan penerapan bentuk jama’ ini, termasuk alasan mengapa tanda i‘rab-nya berbeda dari bentuk jama’ lainnya. Dengan pemahaman ini, diharapkan pembaca dapat mengidentifikasi serta menggunakan bentuk Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in secara tepat dalam pembelajaran dan praktik bahasa Arab.Ibnu Hisyam rahimahullah menjelaskan,“أُولاتُ dan semua kata yang dijama’ dengan tambahan huruf alif dan taa, serta kata-kata yang dijadikan nama dari أُولاتُ  dan kata-kata yang ditambahkan huruf alif dan taa, maka kata-kata tersebut manshub dengan tanda kasrah.”Contohnya disebutkan dalam ayat Al-Qur’an berikut,Surah Al-Ankabut ayat 44:خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”Surah Ash-Shafat ayat 153:اَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِيْنَۗ“Apakah (patut) Dia memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki?”Pembahasan ini merupakan bagian dari bab keempat tentang isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu: ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ (kata-kata yang dijamak dengan tambahan huruf alif dan taa’). Sebagian ulama menamakannya dengan istilah جمع المؤنث السالم (jama’ muannats salim).Namun, penamaan pertama dianggap lebih tepat, yaitu ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ, karena alasan berikut:Pertama, tidak semua isim mufrad-nya berjenis muannats (perempuan)Sebagian isim mufrad yang di-jama’ menggunakan huruf alif dan taa’, bukanlah muannats. Contohnya:إِصْطَبْلٌ“kandang ternak”Bentuk jama’ dari kata tersebut ialah:إِصْطَبْلَاتٌ“kandang-kandang ternak”حَمَّامٌ“kamar mandi”Bentuk jama’-nya ialah:حَمَّامَاتٌ“kamar mandi”Kedua kata di atas merupakan isim mudzakkar, bentuk jama’-nya menggunakan tambahan huruf alif dan taa.Kedua, tidak selalu “salim” (selamat dari perubahan)Sebagian kata yang di-jama’ dengan pola jama’ muannats salim justru mengalami perubahan bentuk.Contohnya:سَجْدَةٌ“sujud”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:سَجَدَاتٌ“sujud-sujud”Contoh lainya adalah:حُبْلَى“wanita hamil”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:حُبْلَيَاتٌ“wanita-wanita hamil”Contoh lainya adalah:صَحْرَاءُ“padang”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:صَحْرَاوَاتٌ“padang-padang”Maka, meskipun dinamakan jama’ muannats salim, bukan berarti bentuk tersebut harus mutlak berasal dari isim muannats dan tidak berubah bentuk. Ini hanya sebatas istilah, bukan syarat mutlak.Makna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”Yang dimaksud dengan ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ adalah bentuk jama’ yang terjadi karena adanya tambahan huruf alif dan taa. Tambahan ini menjadi penanda bentuk jama’.Contoh:جَاءَتْ فَاطِمَةُ“Telah datang seseorang yang bernama Fathimah.” (kata Fathimah adalah isim mufrad)جَاءَتْ فَاطِمَاتٌ“Telah datang banyak orang yang bernama Fathimah”Kata Fathimaat menjadi jamak karena tambahan huruf alif dan taa. Kita dapat melihat bahwa huruf alif dan taa tidak terdapat pada bentuk isim mufrad pada contoh pertama, tetapi hanya muncul pada bentuk jama’ pada contoh kedua. Karena itu, keduanya disebut مَزِيدَتَيْنِ (dua huruf tambahan).Perlukah kata “Madzidataini”?Sebenarnya, penyebutan kata مَزِيدَتَيْنِ tidak wajib. Dalam istilah ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ sudah terkandung makna sebab, melalui huruf ba’ yang menunjukkan “disebabkan oleh”. Namun, jika huruf ba’ di sini dimaknai sebagai mushohabah (kebersamaan, bukan sebab), maka penyebutan مَزِيدَتَيْنِ menjadi penting untuk menjelaskan bahwa alif dan taa tersebut adalah tambahan, bukan bagian asli dari kata dasar.Hukum jama’ ini marfu’ dengan tanda utama yaitu dhommah. Contohnya adalah:فَازَتْ ٱلْمُتَسَابِقَاتُ“Para peserta lomba (perempuan) telah menang.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتُ merupakan isim (kata benda) jama’ muannats salim yang marfu’ dengan tanda dhammah.Jika dalam posisi manshub (objek atau setelah kata kerja yang memerlukan objek), maka jama’ muannats salim diberi fathah sebagai tanda i‘rab pengganti.Contohnya adalah:هَنَّأْتُ ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku mengucapkan selamat kepada para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ adalah maf‘ul bih (objek) yang manshub, tetapi diberi tanda kasrah sebagai pengganti fathah karena termasuk dalam kelompok ٱلْجَمْعُ ٱلْمُؤَنَّثُ ٱلسَّالِمُ jama’ muannats salim.Apabila dalam posisi majrur (misalnya setelah huruf jarr seperti ‘ala, min, fi, dan lain-lain), maka jama’ muannats salim tetap menggunakan kasrah sebagai tanda utamanya.Contohnya:أَثْنَيْتُ عَلَى ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku memuji para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ dalam contoh ini adalah majrur setelah huruf jarr عَلَى, sehingga i‘rab-nya ditandai dengan kasrah.Pembahasan mengenai Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ memberikan gambaran bahwa pemahaman bentuk jama’ dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada Jama’ Muannats Salim semata. Istilah yang digunakan para ulama, khususnya Ibnu Hisyam, menegaskan adanya perbedaan makna dan fungsi, sehingga penyebutan yang tepat sangat penting dalam kajian nahwu.Melalui penelaahan kaidah, pengecualian, dan contoh-contoh dari Al-Qur’an, kita dapat memahami bahwa bentuk jama’ ini memiliki tanda i‘rab tersendiri, yakni dengan huruf, serta memiliki karakteristik yang membedakannya dari jama’ lainnya.KesimpulanPertama, Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ adalah bentuk jama’ dengan tambahan alif dan taa’ di akhir kata.Kedua, tidak semua kata dalam bentuk ini termasuk isim muannats, sehingga penyebutannya berbeda dari Jama’ Muannats Salim.Ketiga, bentuk ini dibahas pada bab isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang.Keempat, tanda i‘rab-nya menggunakan huruf, bukan harakat.[Bersambung]Kembali ke bagian 22 Lanjut ke bagian 24***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleMakna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”KesimpulanPembahasan selanjutnya adalah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in, yakni kata-kata yang di-jama’ dengan penambahan huruf alif dan taa’ di akhir. Bentuk ini sering disamakan dengan istilah Jama’ Muannats Salim. Namun, para ulama, termasuk Ibnu Hisyam rahimahullah, menjelaskan bahwa istilah Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in lebih tepat digunakan. Hal ini karena tidak semua kata yang mengikuti pola ini berasal dari isim muannats, dan tidak semuanya “selamat” dari perubahan bentuk dasar.Pembahasan ini menjadi bagian dari bab keempat mengenai isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang. Melalui penjelasan para ulama dan contoh dari ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan memahami kaidah, pengecualian, dan penerapan bentuk jama’ ini, termasuk alasan mengapa tanda i‘rab-nya berbeda dari bentuk jama’ lainnya. Dengan pemahaman ini, diharapkan pembaca dapat mengidentifikasi serta menggunakan bentuk Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’in secara tepat dalam pembelajaran dan praktik bahasa Arab.Ibnu Hisyam rahimahullah menjelaskan,“أُولاتُ dan semua kata yang dijama’ dengan tambahan huruf alif dan taa, serta kata-kata yang dijadikan nama dari أُولاتُ  dan kata-kata yang ditambahkan huruf alif dan taa, maka kata-kata tersebut manshub dengan tanda kasrah.”Contohnya disebutkan dalam ayat Al-Qur’an berikut,Surah Al-Ankabut ayat 44:خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”Surah Ash-Shafat ayat 153:اَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِيْنَۗ“Apakah (patut) Dia memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki?”Pembahasan ini merupakan bagian dari bab keempat tentang isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu: ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ (kata-kata yang dijamak dengan tambahan huruf alif dan taa’). Sebagian ulama menamakannya dengan istilah جمع المؤنث السالم (jama’ muannats salim).Namun, penamaan pertama dianggap lebih tepat, yaitu ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ, karena alasan berikut:Pertama, tidak semua isim mufrad-nya berjenis muannats (perempuan)Sebagian isim mufrad yang di-jama’ menggunakan huruf alif dan taa’, bukanlah muannats. Contohnya:إِصْطَبْلٌ“kandang ternak”Bentuk jama’ dari kata tersebut ialah:إِصْطَبْلَاتٌ“kandang-kandang ternak”حَمَّامٌ“kamar mandi”Bentuk jama’-nya ialah:حَمَّامَاتٌ“kamar mandi”Kedua kata di atas merupakan isim mudzakkar, bentuk jama’-nya menggunakan tambahan huruf alif dan taa.Kedua, tidak selalu “salim” (selamat dari perubahan)Sebagian kata yang di-jama’ dengan pola jama’ muannats salim justru mengalami perubahan bentuk.Contohnya:سَجْدَةٌ“sujud”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:سَجَدَاتٌ“sujud-sujud”Contoh lainya adalah:حُبْلَى“wanita hamil”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:حُبْلَيَاتٌ“wanita-wanita hamil”Contoh lainya adalah:صَحْرَاءُ“padang”Bentuk jama’ dari kata tersebut adalah:صَحْرَاوَاتٌ“padang-padang”Maka, meskipun dinamakan jama’ muannats salim, bukan berarti bentuk tersebut harus mutlak berasal dari isim muannats dan tidak berubah bentuk. Ini hanya sebatas istilah, bukan syarat mutlak.Makna perkataan Ibnu Hisyam, “Maa jumi‘a bi alif wa taa”Yang dimaksud dengan ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ adalah bentuk jama’ yang terjadi karena adanya tambahan huruf alif dan taa. Tambahan ini menjadi penanda bentuk jama’.Contoh:جَاءَتْ فَاطِمَةُ“Telah datang seseorang yang bernama Fathimah.” (kata Fathimah adalah isim mufrad)جَاءَتْ فَاطِمَاتٌ“Telah datang banyak orang yang bernama Fathimah”Kata Fathimaat menjadi jamak karena tambahan huruf alif dan taa. Kita dapat melihat bahwa huruf alif dan taa tidak terdapat pada bentuk isim mufrad pada contoh pertama, tetapi hanya muncul pada bentuk jama’ pada contoh kedua. Karena itu, keduanya disebut مَزِيدَتَيْنِ (dua huruf tambahan).Perlukah kata “Madzidataini”?Sebenarnya, penyebutan kata مَزِيدَتَيْنِ tidak wajib. Dalam istilah ما جُمِعَ بِأَلِفٍ وَتَاءٍ sudah terkandung makna sebab, melalui huruf ba’ yang menunjukkan “disebabkan oleh”. Namun, jika huruf ba’ di sini dimaknai sebagai mushohabah (kebersamaan, bukan sebab), maka penyebutan مَزِيدَتَيْنِ menjadi penting untuk menjelaskan bahwa alif dan taa tersebut adalah tambahan, bukan bagian asli dari kata dasar.Hukum jama’ ini marfu’ dengan tanda utama yaitu dhommah. Contohnya adalah:فَازَتْ ٱلْمُتَسَابِقَاتُ“Para peserta lomba (perempuan) telah menang.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتُ merupakan isim (kata benda) jama’ muannats salim yang marfu’ dengan tanda dhammah.Jika dalam posisi manshub (objek atau setelah kata kerja yang memerlukan objek), maka jama’ muannats salim diberi fathah sebagai tanda i‘rab pengganti.Contohnya adalah:هَنَّأْتُ ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku mengucapkan selamat kepada para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ adalah maf‘ul bih (objek) yang manshub, tetapi diberi tanda kasrah sebagai pengganti fathah karena termasuk dalam kelompok ٱلْجَمْعُ ٱلْمُؤَنَّثُ ٱلسَّالِمُ jama’ muannats salim.Apabila dalam posisi majrur (misalnya setelah huruf jarr seperti ‘ala, min, fi, dan lain-lain), maka jama’ muannats salim tetap menggunakan kasrah sebagai tanda utamanya.Contohnya:أَثْنَيْتُ عَلَى ٱلْمُتَسَابِقَاتِ“Aku memuji para peserta lomba.”Kata ٱلْمُتَسَابِقَاتِ dalam contoh ini adalah majrur setelah huruf jarr عَلَى, sehingga i‘rab-nya ditandai dengan kasrah.Pembahasan mengenai Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ memberikan gambaran bahwa pemahaman bentuk jama’ dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada Jama’ Muannats Salim semata. Istilah yang digunakan para ulama, khususnya Ibnu Hisyam, menegaskan adanya perbedaan makna dan fungsi, sehingga penyebutan yang tepat sangat penting dalam kajian nahwu.Melalui penelaahan kaidah, pengecualian, dan contoh-contoh dari Al-Qur’an, kita dapat memahami bahwa bentuk jama’ ini memiliki tanda i‘rab tersendiri, yakni dengan huruf, serta memiliki karakteristik yang membedakannya dari jama’ lainnya.KesimpulanPertama, Maa Jumi‘a bi Alifin wa Taa’ adalah bentuk jama’ dengan tambahan alif dan taa’ di akhir kata.Kedua, tidak semua kata dalam bentuk ini termasuk isim muannats, sehingga penyebutannya berbeda dari Jama’ Muannats Salim.Ketiga, bentuk ini dibahas pada bab isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang.Keempat, tanda i‘rab-nya menggunakan huruf, bukan harakat.[Bersambung]Kembali ke bagian 22 Lanjut ke bagian 24***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

3 Nikmat Besar yang Sering Kita Anggap Kecil dan Sepelekan – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr

Diriwayatkan dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barang siapa di pagi hari merasa aman di lingkungannya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia seluruhnya telah diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad). Ini adalah nikmat yang sangat agung, di antara nikmat teragung dan karunia paling besar, ketika seorang hamba hidup di lingkungannya, dalam keadaan dirinya aman, keluarganya aman, bersama dengan anak-anaknya dalam nikmat keamanan. Sehat jasmaninya, dia tidak mengeluhkan di badannya berupa penyakit, rasa sakit, atau gangguan kesehatan. Ia memiliki makanan di hari itu, maksudnya, ia mendapati makanan yang cukup untuk memenuhi keperluannya di hari itu. Jika seseorang memiliki tiga hal ini: keamanan, kesehatan, dan makanan sehari-hari, maka beliau ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Maka seolah-olah dunia telah terkumpul untuknya.” Dalam sebagian riwayat disebutkan: “…dengan segala sisinya.” Seolah-olah dunia dengan segala penjurunya dikumpulkan untuknya. Mengapa demikian? Karena siapa pun yang memiliki dunia, dan siapa pun yang memiliki kekayaan yang melimpah, ia tidak dapat mengambil manfaat darinya kecuali dalam batas tiga hal ini. ====== عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا هَذِهِ نِعْمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا مِنْ أَعْظَمِ النِعَمِ وَأَكْبَرِ الْمِنَنِ أَنْ يَعِيشَ الْعَبْدُ فِي سِرْبِهِ فِي نَفْسِهِ وَفِي أَهْلِهِ وَمَعَ وَلَدِهِ فِي نِعْمَةِ أَمْنٍ مُعَافًى فِي بَدَنِهِ لَا يَشْكُو فِي بَدَنِهِ مِنْ أَسْقَامٍ أَوْ أَوْجَاعٍ أَوْ أَمْرَاضٍ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ يَعْنِي يَجِدُ مَا يَكْفِيهِ فِي طَعَامِ ذَلِكَ الْيَوْمِ إِذَا كَانَ عِنْدَهُ هَذِهِ الثَّلَاثَةُ الأَمْنُ وَالْمُعَافَاةُ وَقُوتُ الْيَوْمِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ بِحَذَافِيرِهَا كَأَنَّمَا جُمِعَتْ لَهُ الدُّنْيَا بأَطْرَافِهَا لِمَاذَا؟ لَأَنَّ مَنْ مَلَكَ الدُّنْيَا وَمَنْ مَلَكَ الْأَمْوَالَ الطَّائِلَةَ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهَا إِلَّا فِي حُدُودِ هَذِهِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ

3 Nikmat Besar yang Sering Kita Anggap Kecil dan Sepelekan – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr

Diriwayatkan dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barang siapa di pagi hari merasa aman di lingkungannya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia seluruhnya telah diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad). Ini adalah nikmat yang sangat agung, di antara nikmat teragung dan karunia paling besar, ketika seorang hamba hidup di lingkungannya, dalam keadaan dirinya aman, keluarganya aman, bersama dengan anak-anaknya dalam nikmat keamanan. Sehat jasmaninya, dia tidak mengeluhkan di badannya berupa penyakit, rasa sakit, atau gangguan kesehatan. Ia memiliki makanan di hari itu, maksudnya, ia mendapati makanan yang cukup untuk memenuhi keperluannya di hari itu. Jika seseorang memiliki tiga hal ini: keamanan, kesehatan, dan makanan sehari-hari, maka beliau ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Maka seolah-olah dunia telah terkumpul untuknya.” Dalam sebagian riwayat disebutkan: “…dengan segala sisinya.” Seolah-olah dunia dengan segala penjurunya dikumpulkan untuknya. Mengapa demikian? Karena siapa pun yang memiliki dunia, dan siapa pun yang memiliki kekayaan yang melimpah, ia tidak dapat mengambil manfaat darinya kecuali dalam batas tiga hal ini. ====== عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا هَذِهِ نِعْمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا مِنْ أَعْظَمِ النِعَمِ وَأَكْبَرِ الْمِنَنِ أَنْ يَعِيشَ الْعَبْدُ فِي سِرْبِهِ فِي نَفْسِهِ وَفِي أَهْلِهِ وَمَعَ وَلَدِهِ فِي نِعْمَةِ أَمْنٍ مُعَافًى فِي بَدَنِهِ لَا يَشْكُو فِي بَدَنِهِ مِنْ أَسْقَامٍ أَوْ أَوْجَاعٍ أَوْ أَمْرَاضٍ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ يَعْنِي يَجِدُ مَا يَكْفِيهِ فِي طَعَامِ ذَلِكَ الْيَوْمِ إِذَا كَانَ عِنْدَهُ هَذِهِ الثَّلَاثَةُ الأَمْنُ وَالْمُعَافَاةُ وَقُوتُ الْيَوْمِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ بِحَذَافِيرِهَا كَأَنَّمَا جُمِعَتْ لَهُ الدُّنْيَا بأَطْرَافِهَا لِمَاذَا؟ لَأَنَّ مَنْ مَلَكَ الدُّنْيَا وَمَنْ مَلَكَ الْأَمْوَالَ الطَّائِلَةَ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهَا إِلَّا فِي حُدُودِ هَذِهِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ
Diriwayatkan dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barang siapa di pagi hari merasa aman di lingkungannya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia seluruhnya telah diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad). Ini adalah nikmat yang sangat agung, di antara nikmat teragung dan karunia paling besar, ketika seorang hamba hidup di lingkungannya, dalam keadaan dirinya aman, keluarganya aman, bersama dengan anak-anaknya dalam nikmat keamanan. Sehat jasmaninya, dia tidak mengeluhkan di badannya berupa penyakit, rasa sakit, atau gangguan kesehatan. Ia memiliki makanan di hari itu, maksudnya, ia mendapati makanan yang cukup untuk memenuhi keperluannya di hari itu. Jika seseorang memiliki tiga hal ini: keamanan, kesehatan, dan makanan sehari-hari, maka beliau ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Maka seolah-olah dunia telah terkumpul untuknya.” Dalam sebagian riwayat disebutkan: “…dengan segala sisinya.” Seolah-olah dunia dengan segala penjurunya dikumpulkan untuknya. Mengapa demikian? Karena siapa pun yang memiliki dunia, dan siapa pun yang memiliki kekayaan yang melimpah, ia tidak dapat mengambil manfaat darinya kecuali dalam batas tiga hal ini. ====== عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا هَذِهِ نِعْمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا مِنْ أَعْظَمِ النِعَمِ وَأَكْبَرِ الْمِنَنِ أَنْ يَعِيشَ الْعَبْدُ فِي سِرْبِهِ فِي نَفْسِهِ وَفِي أَهْلِهِ وَمَعَ وَلَدِهِ فِي نِعْمَةِ أَمْنٍ مُعَافًى فِي بَدَنِهِ لَا يَشْكُو فِي بَدَنِهِ مِنْ أَسْقَامٍ أَوْ أَوْجَاعٍ أَوْ أَمْرَاضٍ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ يَعْنِي يَجِدُ مَا يَكْفِيهِ فِي طَعَامِ ذَلِكَ الْيَوْمِ إِذَا كَانَ عِنْدَهُ هَذِهِ الثَّلَاثَةُ الأَمْنُ وَالْمُعَافَاةُ وَقُوتُ الْيَوْمِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ بِحَذَافِيرِهَا كَأَنَّمَا جُمِعَتْ لَهُ الدُّنْيَا بأَطْرَافِهَا لِمَاذَا؟ لَأَنَّ مَنْ مَلَكَ الدُّنْيَا وَمَنْ مَلَكَ الْأَمْوَالَ الطَّائِلَةَ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهَا إِلَّا فِي حُدُودِ هَذِهِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ


Diriwayatkan dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barang siapa di pagi hari merasa aman di lingkungannya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia seluruhnya telah diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad). Ini adalah nikmat yang sangat agung, di antara nikmat teragung dan karunia paling besar, ketika seorang hamba hidup di lingkungannya, dalam keadaan dirinya aman, keluarganya aman, bersama dengan anak-anaknya dalam nikmat keamanan. Sehat jasmaninya, dia tidak mengeluhkan di badannya berupa penyakit, rasa sakit, atau gangguan kesehatan. Ia memiliki makanan di hari itu, maksudnya, ia mendapati makanan yang cukup untuk memenuhi keperluannya di hari itu. Jika seseorang memiliki tiga hal ini: keamanan, kesehatan, dan makanan sehari-hari, maka beliau ‘alaihis shalātu was salām bersabda: “Maka seolah-olah dunia telah terkumpul untuknya.” Dalam sebagian riwayat disebutkan: “…dengan segala sisinya.” Seolah-olah dunia dengan segala penjurunya dikumpulkan untuknya. Mengapa demikian? Karena siapa pun yang memiliki dunia, dan siapa pun yang memiliki kekayaan yang melimpah, ia tidak dapat mengambil manfaat darinya kecuali dalam batas tiga hal ini. ====== عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا هَذِهِ نِعْمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا مِنْ أَعْظَمِ النِعَمِ وَأَكْبَرِ الْمِنَنِ أَنْ يَعِيشَ الْعَبْدُ فِي سِرْبِهِ فِي نَفْسِهِ وَفِي أَهْلِهِ وَمَعَ وَلَدِهِ فِي نِعْمَةِ أَمْنٍ مُعَافًى فِي بَدَنِهِ لَا يَشْكُو فِي بَدَنِهِ مِنْ أَسْقَامٍ أَوْ أَوْجَاعٍ أَوْ أَمْرَاضٍ عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمِهِ يَعْنِي يَجِدُ مَا يَكْفِيهِ فِي طَعَامِ ذَلِكَ الْيَوْمِ إِذَا كَانَ عِنْدَهُ هَذِهِ الثَّلَاثَةُ الأَمْنُ وَالْمُعَافَاةُ وَقُوتُ الْيَوْمِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ بِحَذَافِيرِهَا كَأَنَّمَا جُمِعَتْ لَهُ الدُّنْيَا بأَطْرَافِهَا لِمَاذَا؟ لَأَنَّ مَنْ مَلَكَ الدُّنْيَا وَمَنْ مَلَكَ الْأَمْوَالَ الطَّائِلَةَ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهَا إِلَّا فِي حُدُودِ هَذِهِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ

Kaidah Fikih: Asal-Usul dan Perkembangan Ilmu Kaidah Fikih

Daftar Isi ToggleAsal-usul ilmu kaidah fikihFase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihFase kedua: Pengumpulan dan penulisanMengetahui tentang asal-usul sekaligus perkembangan suatu ilmu, menjadi poin penting dalam mempelajari salah satu cabang ilmu. Berangkat dari hal tersebut, tentunya dapat membantu seseorang untuk memahami tujuan-tujuan dalam mempelajari ilmu itu.Asal-usul ilmu kaidah fikihMunculnya ilmu kaidah fikih dapat dibagi dalam dua marhalah (fase),Fase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihBisa dikatakan, ilmu kaidah fikih pada fase awal keberadaannya erat hubungannya dengan dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, seperti halnya dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya. Karena sebab itulah, ilmu kaidah fikih ini menjadi erat pula kaitannya dengan perkembangan ilmu “fikih” itu sendiri, baik dalam permasalahan furu’ (cabang) dan kematangan dalam membahas ilmu fikih itu sendiri.Sehingga menjadi hal yang relevan jika dikatakan asal-usul munculnya ilmu kaidah fikih sangat erat kaitannya dengan masa-masa ijtihad dalam masalah fikih yang fokusnya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sejatinya, munculnya ilmu kaidah fikih ini ada di fase awal-awal bahkan sebelum dituliskannya ilmu fikih itu sendiri. Fase yang mana para sahabat dan para tabi’in masih hidup. Bahkan didapati dari perkataan-perkataan mereka pada masa itu, sebagian kaidah-kaidah yang dapat dijadikan contoh dalam kaidah fikih. Di antaranya,Perkataan ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu,مَقَاطِعُ الحُقُوْقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا“Batas-batas hak sesuai dengan syarat-syaratnya.” Artinya, hak-hak seseorang dibatasi dan ditentukan oleh syarat-syarat yang telah disepakati atau ditetapkan bersama.Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu,لَيْسَ عَلَى صَاحِبِ العَارِيَةِ ضَمَانٌ“Tidak ada tanggungan (kewajiban ganti rugi) bagi orang yang meminjam barang pinjaman.” Artinya, orang yang meminjam barang pada asalnya tidak mengganti barang pinjamannya selama tidak menyalahgunakannya dan melampaui batas penggunaannya.Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu:لاَ إِيْلَاءَ إِلاَّ بِحَلِفٍ“Tidak ada ilaa kecuali dengan sumpah.” Ilaa adalah suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. Ilaa tidak sah kecuali dengan adanya lafal sumpah.Inilah di antara perkataan-perkataan para sahabat yang sejatinya menjadi contoh untuk kaidah-kaidah fikih. Kemudian setelah penulisan ilmu fikih dimulai, semakin bermunculan dan berkembanglah kaidah-kaidah fikih yang lain, terutama ketika para ulama memaparkan permasalahan-permasalahan fikih. Biasanya para ulama menyebutkan kaidah-kaidah fikih bertujuan untuk menjelaskan atau berdalil terhadap permasalahan-permasalahan fikih, dan bukan dalam rangka penyusunan ilmu kaidah fikih.Di antara contohnya adalah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah,كُلُّ مَا لَا يُفْسِدُ الثَّوْبَ فَلَا يُفْسِدُ الْمَاءَ“Segala yang tidak merusak pakaian, maka tidak pula merusak (kesucian) air.” Artinya, sesuatu yang menempel namun bersifat ringan seperti debu, kotoran halus, dan lain sebagainya, maka tidak menjadikan air itu rusak atau tidak suci. Hal ini sebagai bentuk perumpamaan kalau saja suatu hal seperti noda, kotoran, atau yang sejenisnya tidak merusak pakaian, maka menurut Imam Malik rahimahullah, hal-hal itu tidak pula merusak kesucian air.Begitupun ucapan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, الأَرْضُ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ النَّجَاسَة“(Hukum asal) tanah adalah suci, sampai diyakini terdapat najis.” Kedua kaidah di atas disebutkan oleh Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i bukan dalam rangka membuat kitab khusus dalam bidang ilmu kaidah fikih. Namun, mereka berdua menyebutkan kaidah tersebut untuk menjelaskan permasalahan fikih.Inilah fase pertama dari munculnya ilmu kaidah fikih.Fase kedua: Pengumpulan dan penulisanBisa dikatakan awal mula pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih ini dimulai pada abad keempat hijriyah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kitab yang ditulis pada waktu tersebut. Ditulis oleh Abul Hasan Al-Karakhi, salah seorang ulama dari mazhab Hanafi. Kitabnya dikenal dengan nama “Ushul Al-Karakhi”. Inilah kitab tentang kaidah fikih yang ditulis dan dikumpulkan pertama kali.Mungkin timbul pertanyaan mendasar, mengapa pengumpulan dan penulisan kaidah fikih ini baru ditulis pada abad keempat hijriyah? Dari pertanyaan ini setidaknya ada dua jawaban,Pertama, dikarenakan terdapat kaitan yang sangat kuat antara kaidah-kaidah fikih dengan hukum-hukum dan cabang-cabang fikih. Saat itu, belum ada kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan dan menulis ilmu kaidah fikih secara tersendiri kecuali setelah selesainya penulisan ilmu fikih itu sendiri.Setelah beberapa kitab fikih selesai ditulis oleh para ulama, barulah muncul pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih (secara tersendiri) untuk membantu para penuntut ilmu yang belajar kepada para imam atau gurunya. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menguatkan permasalahan-permasalahan fikih dan menyatukan pendapat yang sebelumnya berbeda-beda.Kedua, sibuknya para ulama dari menulis ilmu tentang kaidah fikih. Terutama para ulama yang dikenal dengan semangat mereka dalam meletakkan sebuah cabang ilmu kala itu. Contohnya, Imam Asy-Syafi’i, disebutkan bahwasanya beliau lah yang pertama kali menuliskan ilmu ushul fikih. Namun bersamaan dengan itu, beliau belum sempat untuk mengumpulkan ilmu kaidah fikih sebagai salah satu dari cabang ilmu. Hal ini disebabkan beliau disibukan dengan ilmu fikih, ushul fikih, dan yang berkaitan dengan keduanya, yang notabennya menjadi permasalahan-permasalahan yang dilontarkan untuk dialog pemikiran pada zaman beliau rahimahullah.Setelah fase ini, maka menyebarlah kitab-kitab yang ditulis berkaitan dengan ilmu kaidah fikih. Sampai pada saat ini, ilmu yang berkaitan dengan kaidah fikih pun meluas seiring dengan berkembangnya zaman. Dari mengetahui asal-usul perkembangan ilmu ini, dapat diketahui bagaimana semangat para ulama untuk memudahkan kaum muslimin dalam mempelajari agamanya, yakni agama Islam.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Mengenal Definisi “Kaidah Fikih”***Depok, 16 Rabi’ul awal 1447/ 8 September 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.

Kaidah Fikih: Asal-Usul dan Perkembangan Ilmu Kaidah Fikih

Daftar Isi ToggleAsal-usul ilmu kaidah fikihFase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihFase kedua: Pengumpulan dan penulisanMengetahui tentang asal-usul sekaligus perkembangan suatu ilmu, menjadi poin penting dalam mempelajari salah satu cabang ilmu. Berangkat dari hal tersebut, tentunya dapat membantu seseorang untuk memahami tujuan-tujuan dalam mempelajari ilmu itu.Asal-usul ilmu kaidah fikihMunculnya ilmu kaidah fikih dapat dibagi dalam dua marhalah (fase),Fase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihBisa dikatakan, ilmu kaidah fikih pada fase awal keberadaannya erat hubungannya dengan dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, seperti halnya dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya. Karena sebab itulah, ilmu kaidah fikih ini menjadi erat pula kaitannya dengan perkembangan ilmu “fikih” itu sendiri, baik dalam permasalahan furu’ (cabang) dan kematangan dalam membahas ilmu fikih itu sendiri.Sehingga menjadi hal yang relevan jika dikatakan asal-usul munculnya ilmu kaidah fikih sangat erat kaitannya dengan masa-masa ijtihad dalam masalah fikih yang fokusnya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sejatinya, munculnya ilmu kaidah fikih ini ada di fase awal-awal bahkan sebelum dituliskannya ilmu fikih itu sendiri. Fase yang mana para sahabat dan para tabi’in masih hidup. Bahkan didapati dari perkataan-perkataan mereka pada masa itu, sebagian kaidah-kaidah yang dapat dijadikan contoh dalam kaidah fikih. Di antaranya,Perkataan ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu,مَقَاطِعُ الحُقُوْقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا“Batas-batas hak sesuai dengan syarat-syaratnya.” Artinya, hak-hak seseorang dibatasi dan ditentukan oleh syarat-syarat yang telah disepakati atau ditetapkan bersama.Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu,لَيْسَ عَلَى صَاحِبِ العَارِيَةِ ضَمَانٌ“Tidak ada tanggungan (kewajiban ganti rugi) bagi orang yang meminjam barang pinjaman.” Artinya, orang yang meminjam barang pada asalnya tidak mengganti barang pinjamannya selama tidak menyalahgunakannya dan melampaui batas penggunaannya.Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu:لاَ إِيْلَاءَ إِلاَّ بِحَلِفٍ“Tidak ada ilaa kecuali dengan sumpah.” Ilaa adalah suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. Ilaa tidak sah kecuali dengan adanya lafal sumpah.Inilah di antara perkataan-perkataan para sahabat yang sejatinya menjadi contoh untuk kaidah-kaidah fikih. Kemudian setelah penulisan ilmu fikih dimulai, semakin bermunculan dan berkembanglah kaidah-kaidah fikih yang lain, terutama ketika para ulama memaparkan permasalahan-permasalahan fikih. Biasanya para ulama menyebutkan kaidah-kaidah fikih bertujuan untuk menjelaskan atau berdalil terhadap permasalahan-permasalahan fikih, dan bukan dalam rangka penyusunan ilmu kaidah fikih.Di antara contohnya adalah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah,كُلُّ مَا لَا يُفْسِدُ الثَّوْبَ فَلَا يُفْسِدُ الْمَاءَ“Segala yang tidak merusak pakaian, maka tidak pula merusak (kesucian) air.” Artinya, sesuatu yang menempel namun bersifat ringan seperti debu, kotoran halus, dan lain sebagainya, maka tidak menjadikan air itu rusak atau tidak suci. Hal ini sebagai bentuk perumpamaan kalau saja suatu hal seperti noda, kotoran, atau yang sejenisnya tidak merusak pakaian, maka menurut Imam Malik rahimahullah, hal-hal itu tidak pula merusak kesucian air.Begitupun ucapan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, الأَرْضُ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ النَّجَاسَة“(Hukum asal) tanah adalah suci, sampai diyakini terdapat najis.” Kedua kaidah di atas disebutkan oleh Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i bukan dalam rangka membuat kitab khusus dalam bidang ilmu kaidah fikih. Namun, mereka berdua menyebutkan kaidah tersebut untuk menjelaskan permasalahan fikih.Inilah fase pertama dari munculnya ilmu kaidah fikih.Fase kedua: Pengumpulan dan penulisanBisa dikatakan awal mula pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih ini dimulai pada abad keempat hijriyah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kitab yang ditulis pada waktu tersebut. Ditulis oleh Abul Hasan Al-Karakhi, salah seorang ulama dari mazhab Hanafi. Kitabnya dikenal dengan nama “Ushul Al-Karakhi”. Inilah kitab tentang kaidah fikih yang ditulis dan dikumpulkan pertama kali.Mungkin timbul pertanyaan mendasar, mengapa pengumpulan dan penulisan kaidah fikih ini baru ditulis pada abad keempat hijriyah? Dari pertanyaan ini setidaknya ada dua jawaban,Pertama, dikarenakan terdapat kaitan yang sangat kuat antara kaidah-kaidah fikih dengan hukum-hukum dan cabang-cabang fikih. Saat itu, belum ada kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan dan menulis ilmu kaidah fikih secara tersendiri kecuali setelah selesainya penulisan ilmu fikih itu sendiri.Setelah beberapa kitab fikih selesai ditulis oleh para ulama, barulah muncul pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih (secara tersendiri) untuk membantu para penuntut ilmu yang belajar kepada para imam atau gurunya. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menguatkan permasalahan-permasalahan fikih dan menyatukan pendapat yang sebelumnya berbeda-beda.Kedua, sibuknya para ulama dari menulis ilmu tentang kaidah fikih. Terutama para ulama yang dikenal dengan semangat mereka dalam meletakkan sebuah cabang ilmu kala itu. Contohnya, Imam Asy-Syafi’i, disebutkan bahwasanya beliau lah yang pertama kali menuliskan ilmu ushul fikih. Namun bersamaan dengan itu, beliau belum sempat untuk mengumpulkan ilmu kaidah fikih sebagai salah satu dari cabang ilmu. Hal ini disebabkan beliau disibukan dengan ilmu fikih, ushul fikih, dan yang berkaitan dengan keduanya, yang notabennya menjadi permasalahan-permasalahan yang dilontarkan untuk dialog pemikiran pada zaman beliau rahimahullah.Setelah fase ini, maka menyebarlah kitab-kitab yang ditulis berkaitan dengan ilmu kaidah fikih. Sampai pada saat ini, ilmu yang berkaitan dengan kaidah fikih pun meluas seiring dengan berkembangnya zaman. Dari mengetahui asal-usul perkembangan ilmu ini, dapat diketahui bagaimana semangat para ulama untuk memudahkan kaum muslimin dalam mempelajari agamanya, yakni agama Islam.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Mengenal Definisi “Kaidah Fikih”***Depok, 16 Rabi’ul awal 1447/ 8 September 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.
Daftar Isi ToggleAsal-usul ilmu kaidah fikihFase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihFase kedua: Pengumpulan dan penulisanMengetahui tentang asal-usul sekaligus perkembangan suatu ilmu, menjadi poin penting dalam mempelajari salah satu cabang ilmu. Berangkat dari hal tersebut, tentunya dapat membantu seseorang untuk memahami tujuan-tujuan dalam mempelajari ilmu itu.Asal-usul ilmu kaidah fikihMunculnya ilmu kaidah fikih dapat dibagi dalam dua marhalah (fase),Fase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihBisa dikatakan, ilmu kaidah fikih pada fase awal keberadaannya erat hubungannya dengan dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, seperti halnya dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya. Karena sebab itulah, ilmu kaidah fikih ini menjadi erat pula kaitannya dengan perkembangan ilmu “fikih” itu sendiri, baik dalam permasalahan furu’ (cabang) dan kematangan dalam membahas ilmu fikih itu sendiri.Sehingga menjadi hal yang relevan jika dikatakan asal-usul munculnya ilmu kaidah fikih sangat erat kaitannya dengan masa-masa ijtihad dalam masalah fikih yang fokusnya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sejatinya, munculnya ilmu kaidah fikih ini ada di fase awal-awal bahkan sebelum dituliskannya ilmu fikih itu sendiri. Fase yang mana para sahabat dan para tabi’in masih hidup. Bahkan didapati dari perkataan-perkataan mereka pada masa itu, sebagian kaidah-kaidah yang dapat dijadikan contoh dalam kaidah fikih. Di antaranya,Perkataan ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu,مَقَاطِعُ الحُقُوْقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا“Batas-batas hak sesuai dengan syarat-syaratnya.” Artinya, hak-hak seseorang dibatasi dan ditentukan oleh syarat-syarat yang telah disepakati atau ditetapkan bersama.Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu,لَيْسَ عَلَى صَاحِبِ العَارِيَةِ ضَمَانٌ“Tidak ada tanggungan (kewajiban ganti rugi) bagi orang yang meminjam barang pinjaman.” Artinya, orang yang meminjam barang pada asalnya tidak mengganti barang pinjamannya selama tidak menyalahgunakannya dan melampaui batas penggunaannya.Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu:لاَ إِيْلَاءَ إِلاَّ بِحَلِفٍ“Tidak ada ilaa kecuali dengan sumpah.” Ilaa adalah suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. Ilaa tidak sah kecuali dengan adanya lafal sumpah.Inilah di antara perkataan-perkataan para sahabat yang sejatinya menjadi contoh untuk kaidah-kaidah fikih. Kemudian setelah penulisan ilmu fikih dimulai, semakin bermunculan dan berkembanglah kaidah-kaidah fikih yang lain, terutama ketika para ulama memaparkan permasalahan-permasalahan fikih. Biasanya para ulama menyebutkan kaidah-kaidah fikih bertujuan untuk menjelaskan atau berdalil terhadap permasalahan-permasalahan fikih, dan bukan dalam rangka penyusunan ilmu kaidah fikih.Di antara contohnya adalah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah,كُلُّ مَا لَا يُفْسِدُ الثَّوْبَ فَلَا يُفْسِدُ الْمَاءَ“Segala yang tidak merusak pakaian, maka tidak pula merusak (kesucian) air.” Artinya, sesuatu yang menempel namun bersifat ringan seperti debu, kotoran halus, dan lain sebagainya, maka tidak menjadikan air itu rusak atau tidak suci. Hal ini sebagai bentuk perumpamaan kalau saja suatu hal seperti noda, kotoran, atau yang sejenisnya tidak merusak pakaian, maka menurut Imam Malik rahimahullah, hal-hal itu tidak pula merusak kesucian air.Begitupun ucapan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, الأَرْضُ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ النَّجَاسَة“(Hukum asal) tanah adalah suci, sampai diyakini terdapat najis.” Kedua kaidah di atas disebutkan oleh Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i bukan dalam rangka membuat kitab khusus dalam bidang ilmu kaidah fikih. Namun, mereka berdua menyebutkan kaidah tersebut untuk menjelaskan permasalahan fikih.Inilah fase pertama dari munculnya ilmu kaidah fikih.Fase kedua: Pengumpulan dan penulisanBisa dikatakan awal mula pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih ini dimulai pada abad keempat hijriyah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kitab yang ditulis pada waktu tersebut. Ditulis oleh Abul Hasan Al-Karakhi, salah seorang ulama dari mazhab Hanafi. Kitabnya dikenal dengan nama “Ushul Al-Karakhi”. Inilah kitab tentang kaidah fikih yang ditulis dan dikumpulkan pertama kali.Mungkin timbul pertanyaan mendasar, mengapa pengumpulan dan penulisan kaidah fikih ini baru ditulis pada abad keempat hijriyah? Dari pertanyaan ini setidaknya ada dua jawaban,Pertama, dikarenakan terdapat kaitan yang sangat kuat antara kaidah-kaidah fikih dengan hukum-hukum dan cabang-cabang fikih. Saat itu, belum ada kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan dan menulis ilmu kaidah fikih secara tersendiri kecuali setelah selesainya penulisan ilmu fikih itu sendiri.Setelah beberapa kitab fikih selesai ditulis oleh para ulama, barulah muncul pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih (secara tersendiri) untuk membantu para penuntut ilmu yang belajar kepada para imam atau gurunya. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menguatkan permasalahan-permasalahan fikih dan menyatukan pendapat yang sebelumnya berbeda-beda.Kedua, sibuknya para ulama dari menulis ilmu tentang kaidah fikih. Terutama para ulama yang dikenal dengan semangat mereka dalam meletakkan sebuah cabang ilmu kala itu. Contohnya, Imam Asy-Syafi’i, disebutkan bahwasanya beliau lah yang pertama kali menuliskan ilmu ushul fikih. Namun bersamaan dengan itu, beliau belum sempat untuk mengumpulkan ilmu kaidah fikih sebagai salah satu dari cabang ilmu. Hal ini disebabkan beliau disibukan dengan ilmu fikih, ushul fikih, dan yang berkaitan dengan keduanya, yang notabennya menjadi permasalahan-permasalahan yang dilontarkan untuk dialog pemikiran pada zaman beliau rahimahullah.Setelah fase ini, maka menyebarlah kitab-kitab yang ditulis berkaitan dengan ilmu kaidah fikih. Sampai pada saat ini, ilmu yang berkaitan dengan kaidah fikih pun meluas seiring dengan berkembangnya zaman. Dari mengetahui asal-usul perkembangan ilmu ini, dapat diketahui bagaimana semangat para ulama untuk memudahkan kaum muslimin dalam mempelajari agamanya, yakni agama Islam.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Mengenal Definisi “Kaidah Fikih”***Depok, 16 Rabi’ul awal 1447/ 8 September 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.


Daftar Isi ToggleAsal-usul ilmu kaidah fikihFase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihFase kedua: Pengumpulan dan penulisanMengetahui tentang asal-usul sekaligus perkembangan suatu ilmu, menjadi poin penting dalam mempelajari salah satu cabang ilmu. Berangkat dari hal tersebut, tentunya dapat membantu seseorang untuk memahami tujuan-tujuan dalam mempelajari ilmu itu.Asal-usul ilmu kaidah fikihMunculnya ilmu kaidah fikih dapat dibagi dalam dua marhalah (fase),Fase pertama:  Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikihBisa dikatakan, ilmu kaidah fikih pada fase awal keberadaannya erat hubungannya dengan dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, seperti halnya dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya. Karena sebab itulah, ilmu kaidah fikih ini menjadi erat pula kaitannya dengan perkembangan ilmu “fikih” itu sendiri, baik dalam permasalahan furu’ (cabang) dan kematangan dalam membahas ilmu fikih itu sendiri.Sehingga menjadi hal yang relevan jika dikatakan asal-usul munculnya ilmu kaidah fikih sangat erat kaitannya dengan masa-masa ijtihad dalam masalah fikih yang fokusnya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sejatinya, munculnya ilmu kaidah fikih ini ada di fase awal-awal bahkan sebelum dituliskannya ilmu fikih itu sendiri. Fase yang mana para sahabat dan para tabi’in masih hidup. Bahkan didapati dari perkataan-perkataan mereka pada masa itu, sebagian kaidah-kaidah yang dapat dijadikan contoh dalam kaidah fikih. Di antaranya,Perkataan ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu,مَقَاطِعُ الحُقُوْقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا“Batas-batas hak sesuai dengan syarat-syaratnya.” Artinya, hak-hak seseorang dibatasi dan ditentukan oleh syarat-syarat yang telah disepakati atau ditetapkan bersama.Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu,لَيْسَ عَلَى صَاحِبِ العَارِيَةِ ضَمَانٌ“Tidak ada tanggungan (kewajiban ganti rugi) bagi orang yang meminjam barang pinjaman.” Artinya, orang yang meminjam barang pada asalnya tidak mengganti barang pinjamannya selama tidak menyalahgunakannya dan melampaui batas penggunaannya.Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu:لاَ إِيْلَاءَ إِلاَّ بِحَلِفٍ“Tidak ada ilaa kecuali dengan sumpah.” Ilaa adalah suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. Ilaa tidak sah kecuali dengan adanya lafal sumpah.Inilah di antara perkataan-perkataan para sahabat yang sejatinya menjadi contoh untuk kaidah-kaidah fikih. Kemudian setelah penulisan ilmu fikih dimulai, semakin bermunculan dan berkembanglah kaidah-kaidah fikih yang lain, terutama ketika para ulama memaparkan permasalahan-permasalahan fikih. Biasanya para ulama menyebutkan kaidah-kaidah fikih bertujuan untuk menjelaskan atau berdalil terhadap permasalahan-permasalahan fikih, dan bukan dalam rangka penyusunan ilmu kaidah fikih.Di antara contohnya adalah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah,كُلُّ مَا لَا يُفْسِدُ الثَّوْبَ فَلَا يُفْسِدُ الْمَاءَ“Segala yang tidak merusak pakaian, maka tidak pula merusak (kesucian) air.” Artinya, sesuatu yang menempel namun bersifat ringan seperti debu, kotoran halus, dan lain sebagainya, maka tidak menjadikan air itu rusak atau tidak suci. Hal ini sebagai bentuk perumpamaan kalau saja suatu hal seperti noda, kotoran, atau yang sejenisnya tidak merusak pakaian, maka menurut Imam Malik rahimahullah, hal-hal itu tidak pula merusak kesucian air.Begitupun ucapan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, الأَرْضُ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ النَّجَاسَة“(Hukum asal) tanah adalah suci, sampai diyakini terdapat najis.” Kedua kaidah di atas disebutkan oleh Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i bukan dalam rangka membuat kitab khusus dalam bidang ilmu kaidah fikih. Namun, mereka berdua menyebutkan kaidah tersebut untuk menjelaskan permasalahan fikih.Inilah fase pertama dari munculnya ilmu kaidah fikih.Fase kedua: Pengumpulan dan penulisanBisa dikatakan awal mula pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih ini dimulai pada abad keempat hijriyah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kitab yang ditulis pada waktu tersebut. Ditulis oleh Abul Hasan Al-Karakhi, salah seorang ulama dari mazhab Hanafi. Kitabnya dikenal dengan nama “Ushul Al-Karakhi”. Inilah kitab tentang kaidah fikih yang ditulis dan dikumpulkan pertama kali.Mungkin timbul pertanyaan mendasar, mengapa pengumpulan dan penulisan kaidah fikih ini baru ditulis pada abad keempat hijriyah? Dari pertanyaan ini setidaknya ada dua jawaban,Pertama, dikarenakan terdapat kaitan yang sangat kuat antara kaidah-kaidah fikih dengan hukum-hukum dan cabang-cabang fikih. Saat itu, belum ada kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan dan menulis ilmu kaidah fikih secara tersendiri kecuali setelah selesainya penulisan ilmu fikih itu sendiri.Setelah beberapa kitab fikih selesai ditulis oleh para ulama, barulah muncul pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih (secara tersendiri) untuk membantu para penuntut ilmu yang belajar kepada para imam atau gurunya. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menguatkan permasalahan-permasalahan fikih dan menyatukan pendapat yang sebelumnya berbeda-beda.Kedua, sibuknya para ulama dari menulis ilmu tentang kaidah fikih. Terutama para ulama yang dikenal dengan semangat mereka dalam meletakkan sebuah cabang ilmu kala itu. Contohnya, Imam Asy-Syafi’i, disebutkan bahwasanya beliau lah yang pertama kali menuliskan ilmu ushul fikih. Namun bersamaan dengan itu, beliau belum sempat untuk mengumpulkan ilmu kaidah fikih sebagai salah satu dari cabang ilmu. Hal ini disebabkan beliau disibukan dengan ilmu fikih, ushul fikih, dan yang berkaitan dengan keduanya, yang notabennya menjadi permasalahan-permasalahan yang dilontarkan untuk dialog pemikiran pada zaman beliau rahimahullah.Setelah fase ini, maka menyebarlah kitab-kitab yang ditulis berkaitan dengan ilmu kaidah fikih. Sampai pada saat ini, ilmu yang berkaitan dengan kaidah fikih pun meluas seiring dengan berkembangnya zaman. Dari mengetahui asal-usul perkembangan ilmu ini, dapat diketahui bagaimana semangat para ulama untuk memudahkan kaum muslimin dalam mempelajari agamanya, yakni agama Islam.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Mengenal Definisi “Kaidah Fikih”***Depok, 16 Rabi’ul awal 1447/ 8 September 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.

Laporan Produksi Yufid Bulan Agustus 2025

Laporan Produksi Yufid Bulan Agustus 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 23.455 video dengan total 6.813.292 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 10.071 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 923.807.216 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 19.429 video Total Subscribers: 4.178.407 subscribers Total Tayangan Video: 732.106.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Agustus 2025: 105 video Tayangan Video Agustus 2025: 2.612.389 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 287.303 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +6.351 Selama bulan Agustus 2025 tim Yufid menyiarkan 129 video live. Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 3.051 video Total Subscribers: 329.865 Total Tayangan Video: 22.587.381 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 21 video Produksi Video Agustus 2025: 43 video Tayangan Video Agustus 2025: 158.611 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 8.892 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +1.633 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 91 video Total Subscribers: 532.447 Total Tayangan Video: 165.228.445 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 1.761.781 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 92.976 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +3.661 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 5.003 Total Tayangan Video: 478.097 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Agustus 2025: 920 views Jam Tayang Video Agustus 2025: 128 Jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: 10 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 57.200 Total Tayangan Video: 3.406.804 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 32.239 views Penambahan Subscribers Agustus 2025: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.626 Postingan Total Pengikut: 1.191.208 followers Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 3.206.980 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +9.257 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.538 Postingan Total Pengikut: 519.162 Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 96.401 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +4.764 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 1 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.133 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 20 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.136 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 669 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.302 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.505 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 34.054 file mp3 dengan total ukuran 481 Gb dan pada bulan Agustus 2025 ini telah mempublikasikan 1.650 file mp3. Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Agustus 2025 ini saja telah didengarkan 16.259 kali dan telah di download sebanyak 120 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.440.608 kata dengan rata-rata produksi per bulan 53.501 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 62.507 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.743 artikel dengan total durasi audio 258 jam dengan rata-rata perekaman 28 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Agustus 2025. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 254 QRIS donasi Yufid

Laporan Produksi Yufid Bulan Agustus 2025

Laporan Produksi Yufid Bulan Agustus 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 23.455 video dengan total 6.813.292 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 10.071 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 923.807.216 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 19.429 video Total Subscribers: 4.178.407 subscribers Total Tayangan Video: 732.106.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Agustus 2025: 105 video Tayangan Video Agustus 2025: 2.612.389 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 287.303 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +6.351 Selama bulan Agustus 2025 tim Yufid menyiarkan 129 video live. Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 3.051 video Total Subscribers: 329.865 Total Tayangan Video: 22.587.381 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 21 video Produksi Video Agustus 2025: 43 video Tayangan Video Agustus 2025: 158.611 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 8.892 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +1.633 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 91 video Total Subscribers: 532.447 Total Tayangan Video: 165.228.445 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 1.761.781 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 92.976 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +3.661 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 5.003 Total Tayangan Video: 478.097 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Agustus 2025: 920 views Jam Tayang Video Agustus 2025: 128 Jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: 10 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 57.200 Total Tayangan Video: 3.406.804 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 32.239 views Penambahan Subscribers Agustus 2025: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.626 Postingan Total Pengikut: 1.191.208 followers Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 3.206.980 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +9.257 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.538 Postingan Total Pengikut: 519.162 Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 96.401 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +4.764 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 1 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.133 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 20 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.136 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 669 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.302 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.505 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 34.054 file mp3 dengan total ukuran 481 Gb dan pada bulan Agustus 2025 ini telah mempublikasikan 1.650 file mp3. Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Agustus 2025 ini saja telah didengarkan 16.259 kali dan telah di download sebanyak 120 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.440.608 kata dengan rata-rata produksi per bulan 53.501 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 62.507 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.743 artikel dengan total durasi audio 258 jam dengan rata-rata perekaman 28 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Agustus 2025. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 254 QRIS donasi Yufid
Laporan Produksi Yufid Bulan Agustus 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 23.455 video dengan total 6.813.292 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 10.071 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 923.807.216 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 19.429 video Total Subscribers: 4.178.407 subscribers Total Tayangan Video: 732.106.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Agustus 2025: 105 video Tayangan Video Agustus 2025: 2.612.389 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 287.303 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +6.351 Selama bulan Agustus 2025 tim Yufid menyiarkan 129 video live. Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 3.051 video Total Subscribers: 329.865 Total Tayangan Video: 22.587.381 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 21 video Produksi Video Agustus 2025: 43 video Tayangan Video Agustus 2025: 158.611 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 8.892 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +1.633 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 91 video Total Subscribers: 532.447 Total Tayangan Video: 165.228.445 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 1.761.781 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 92.976 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +3.661 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 5.003 Total Tayangan Video: 478.097 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Agustus 2025: 920 views Jam Tayang Video Agustus 2025: 128 Jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: 10 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 57.200 Total Tayangan Video: 3.406.804 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 32.239 views Penambahan Subscribers Agustus 2025: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.626 Postingan Total Pengikut: 1.191.208 followers Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 3.206.980 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +9.257 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.538 Postingan Total Pengikut: 519.162 Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 96.401 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +4.764 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 1 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.133 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 20 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.136 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 669 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.302 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.505 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 34.054 file mp3 dengan total ukuran 481 Gb dan pada bulan Agustus 2025 ini telah mempublikasikan 1.650 file mp3. Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Agustus 2025 ini saja telah didengarkan 16.259 kali dan telah di download sebanyak 120 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.440.608 kata dengan rata-rata produksi per bulan 53.501 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 62.507 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.743 artikel dengan total durasi audio 258 jam dengan rata-rata perekaman 28 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Agustus 2025. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 254 QRIS donasi Yufid


Laporan Produksi Yufid Bulan Agustus 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 23.455 video dengan total 6.813.292 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 10.071 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 923.807.216 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 19.429 video Total Subscribers: 4.178.407 subscribers Total Tayangan Video: 732.106.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Agustus 2025: 105 video Tayangan Video Agustus 2025: 2.612.389 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 287.303 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +6.351 Selama bulan Agustus 2025 tim Yufid menyiarkan 129 video live. Channel YouTube YUFID EDU <img decoding="async" width="1024" height="768" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image.png" alt="" class="wp-image-45191" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image.png 1024w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-300x225.png 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-150x113.png 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-768x576.png 768w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-816x612.png 816w" sizes="(max-width: 1024px) 100vw, 1024px" /> Total Video Yufid Edu: 3.051 video Total Subscribers: 329.865 Total Tayangan Video: 22.587.381 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 21 video Produksi Video Agustus 2025: 43 video Tayangan Video Agustus 2025: 158.611 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 8.892 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +1.633 Channel YouTube YUFID KIDS <img decoding="async" width="1024" height="768" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-4.png" alt="" class="wp-image-45194" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-4.png 1024w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-4-300x225.png 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-4-150x113.png 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-4-768x576.png 768w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-4-816x612.png 816w" sizes="(max-width: 1024px) 100vw, 1024px" /> Total Video Yufid Kids: 91 video Total Subscribers: 532.447 Total Tayangan Video: 165.228.445 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 1.761.781 views Waktu Tayang Video Agustus 2025: 92.976 jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: +3.661 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 5.003 Total Tayangan Video: 478.097 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Agustus 2025: 920 views Jam Tayang Video Agustus 2025: 128 Jam Penambahan Subscribers Agustus 2025: 10 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 57.200 Total Tayangan Video: 3.406.804 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Agustus 2025: 0 video Tayangan Video Agustus 2025: 32.239 views Penambahan Subscribers Agustus 2025: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network <img decoding="async" width="1024" height="768" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-3.png" alt="" class="wp-image-45193" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-3.png 1024w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-3-300x225.png 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-3-150x113.png 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-3-768x576.png 768w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-3-816x612.png 816w" sizes="(max-width: 1024px) 100vw, 1024px" /> Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.626 Postingan Total Pengikut: 1.191.208 followers Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 3.206.980 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +9.257 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.538 Postingan Total Pengikut: 519.162 Konten Bulan Agustus 2025: 68 Views Konten Agustus: 96.401 views Rata-Rata Produksi: 47 konten/bulan Penambahan Followers Agustus 2025: +4.764 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. <img decoding="async" src="blob:https://konsultasisyariah.com/f0a79fb3-918f-45d2-8c50-1497f2068d1d" style=""> Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. <img decoding="async" width="1024" height="768" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-1.png" alt="" class="wp-image-45190" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-1.png 1024w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-1-300x225.png 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-1-150x113.png 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-1-768x576.png 768w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/09/image-1-816x612.png 816w" sizes="(max-width: 1024px) 100vw, 1024px" />Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 1 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.133 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 20 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.136 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 669 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.302 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.505 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 34.054 file mp3 dengan total ukuran 481 Gb dan pada bulan Agustus 2025 ini telah mempublikasikan 1.650 file mp3. Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Agustus 2025 ini saja telah didengarkan 16.259 kali dan telah di download sebanyak 120 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.440.608 kata dengan rata-rata produksi per bulan 53.501 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 62.507 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.743 artikel dengan total durasi audio 258 jam dengan rata-rata perekaman 28 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Agustus 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Agustus 2025. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 76 times, 1 visit(s) today Post Views: 254 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Jangan Lupa Membaca 2 Ayat Ini Setiap Malam – Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad

Ketika Jibril sedang duduk di sisi Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara dari langit. Jibril berkata, “Ini adalah sebuah pintu di langit yang dibuka hari ini, dan belum pernah dibuka sebelumnya.” Lalu, dari pintu itu turun malaikat. Jibril berkata, “Malaikat ini turun hari ini, dan belum pernah turun sebelumnya.” Malaikat itu lalu mendatangi Nabi kita ‘alaihis shalātu was salām, lalu berkata, “Wahai Muhammad, bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang belum pernah diberikan kepada nabi mana pun sebelummu: Pembuka Al-Qur’an (surah Al-Fatihah) dan 2 ayat terakhir surah Al-Baqarah. Sungguh, tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau diberi ganjaran atasnya.” (HR. Muslim). Ini adalah pelipatgandaan pahala dan ganjaran kebaikan. Ada juga hadis ini, yang telah disinggung penulis, yakni hadis Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa membaca dua ayat terakhir Surah Al-Baqarah di malam hari, niscaya itu akan mencukupinya.” (HR. Bukhari). Maksudnya: melindunginya dari segala keburukan, kejahatan, dan hal-hal yang tidak disukainya. Dalam hadis ini ada anjuran untuk merutinkan membaca dua ayat ini setiap malam. ===== بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ نَقِيضًا مِنَ السَّمَاءِ صَوْتٌ فَقَالُ جِبْرِيلُ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ قَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ الْيَوْمَ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَجَاءَ هَذَا الْمَلَكُ إِلَى نَبِيِّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَإِنَّكَ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ هَذَا فِيهِ التَّضْعِيفُ فِي الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ وَفِيهَا هَذَا الْحَدِيثُ الَّذِي أَشَارَ إِلَيهِ الْمُصَنِّفُ حَدِيثُ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ أَيْ مِنْ كُلِّ سُوءٍ وَشَرٍّ وَمَكْرُوهٍ وَهَذَا فِيهِ حَثٌّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ عَلَى قِرَاءَةِ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ كُلَّ لَيْلَةٍ

Jangan Lupa Membaca 2 Ayat Ini Setiap Malam – Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad

Ketika Jibril sedang duduk di sisi Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara dari langit. Jibril berkata, “Ini adalah sebuah pintu di langit yang dibuka hari ini, dan belum pernah dibuka sebelumnya.” Lalu, dari pintu itu turun malaikat. Jibril berkata, “Malaikat ini turun hari ini, dan belum pernah turun sebelumnya.” Malaikat itu lalu mendatangi Nabi kita ‘alaihis shalātu was salām, lalu berkata, “Wahai Muhammad, bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang belum pernah diberikan kepada nabi mana pun sebelummu: Pembuka Al-Qur’an (surah Al-Fatihah) dan 2 ayat terakhir surah Al-Baqarah. Sungguh, tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau diberi ganjaran atasnya.” (HR. Muslim). Ini adalah pelipatgandaan pahala dan ganjaran kebaikan. Ada juga hadis ini, yang telah disinggung penulis, yakni hadis Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa membaca dua ayat terakhir Surah Al-Baqarah di malam hari, niscaya itu akan mencukupinya.” (HR. Bukhari). Maksudnya: melindunginya dari segala keburukan, kejahatan, dan hal-hal yang tidak disukainya. Dalam hadis ini ada anjuran untuk merutinkan membaca dua ayat ini setiap malam. ===== بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ نَقِيضًا مِنَ السَّمَاءِ صَوْتٌ فَقَالُ جِبْرِيلُ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ قَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ الْيَوْمَ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَجَاءَ هَذَا الْمَلَكُ إِلَى نَبِيِّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَإِنَّكَ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ هَذَا فِيهِ التَّضْعِيفُ فِي الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ وَفِيهَا هَذَا الْحَدِيثُ الَّذِي أَشَارَ إِلَيهِ الْمُصَنِّفُ حَدِيثُ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ أَيْ مِنْ كُلِّ سُوءٍ وَشَرٍّ وَمَكْرُوهٍ وَهَذَا فِيهِ حَثٌّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ عَلَى قِرَاءَةِ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ كُلَّ لَيْلَةٍ
Ketika Jibril sedang duduk di sisi Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara dari langit. Jibril berkata, “Ini adalah sebuah pintu di langit yang dibuka hari ini, dan belum pernah dibuka sebelumnya.” Lalu, dari pintu itu turun malaikat. Jibril berkata, “Malaikat ini turun hari ini, dan belum pernah turun sebelumnya.” Malaikat itu lalu mendatangi Nabi kita ‘alaihis shalātu was salām, lalu berkata, “Wahai Muhammad, bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang belum pernah diberikan kepada nabi mana pun sebelummu: Pembuka Al-Qur’an (surah Al-Fatihah) dan 2 ayat terakhir surah Al-Baqarah. Sungguh, tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau diberi ganjaran atasnya.” (HR. Muslim). Ini adalah pelipatgandaan pahala dan ganjaran kebaikan. Ada juga hadis ini, yang telah disinggung penulis, yakni hadis Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa membaca dua ayat terakhir Surah Al-Baqarah di malam hari, niscaya itu akan mencukupinya.” (HR. Bukhari). Maksudnya: melindunginya dari segala keburukan, kejahatan, dan hal-hal yang tidak disukainya. Dalam hadis ini ada anjuran untuk merutinkan membaca dua ayat ini setiap malam. ===== بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ نَقِيضًا مِنَ السَّمَاءِ صَوْتٌ فَقَالُ جِبْرِيلُ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ قَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ الْيَوْمَ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَجَاءَ هَذَا الْمَلَكُ إِلَى نَبِيِّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَإِنَّكَ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ هَذَا فِيهِ التَّضْعِيفُ فِي الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ وَفِيهَا هَذَا الْحَدِيثُ الَّذِي أَشَارَ إِلَيهِ الْمُصَنِّفُ حَدِيثُ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ أَيْ مِنْ كُلِّ سُوءٍ وَشَرٍّ وَمَكْرُوهٍ وَهَذَا فِيهِ حَثٌّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ عَلَى قِرَاءَةِ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ كُلَّ لَيْلَةٍ


Ketika Jibril sedang duduk di sisi Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara dari langit. Jibril berkata, “Ini adalah sebuah pintu di langit yang dibuka hari ini, dan belum pernah dibuka sebelumnya.” Lalu, dari pintu itu turun malaikat. Jibril berkata, “Malaikat ini turun hari ini, dan belum pernah turun sebelumnya.” Malaikat itu lalu mendatangi Nabi kita ‘alaihis shalātu was salām, lalu berkata, “Wahai Muhammad, bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang belum pernah diberikan kepada nabi mana pun sebelummu: Pembuka Al-Qur’an (surah Al-Fatihah) dan 2 ayat terakhir surah Al-Baqarah. Sungguh, tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau diberi ganjaran atasnya.” (HR. Muslim). Ini adalah pelipatgandaan pahala dan ganjaran kebaikan. Ada juga hadis ini, yang telah disinggung penulis, yakni hadis Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa membaca dua ayat terakhir Surah Al-Baqarah di malam hari, niscaya itu akan mencukupinya.” (HR. Bukhari). Maksudnya: melindunginya dari segala keburukan, kejahatan, dan hal-hal yang tidak disukainya. Dalam hadis ini ada anjuran untuk merutinkan membaca dua ayat ini setiap malam. ===== بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ نَقِيضًا مِنَ السَّمَاءِ صَوْتٌ فَقَالُ جِبْرِيلُ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ قَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ الْيَوْمَ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ قَبْلَ الْيَوْمِ فَجَاءَ هَذَا الْمَلَكُ إِلَى نَبِيِّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَإِنَّكَ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ هَذَا فِيهِ التَّضْعِيفُ فِي الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ وَفِيهَا هَذَا الْحَدِيثُ الَّذِي أَشَارَ إِلَيهِ الْمُصَنِّفُ حَدِيثُ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ أَيْ مِنْ كُلِّ سُوءٍ وَشَرٍّ وَمَكْرُوهٍ وَهَذَا فِيهِ حَثٌّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ عَلَى قِرَاءَةِ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ كُلَّ لَيْلَةٍ

Fikih Hibah (Bag. 3): Rukun Hibah

Daftar Isi ToggleEmpat rukun hibahDua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuʿUmrāRuqbāHibah manfaatEmpat rukun hibahAgar sebuah proses hibah dianggap sah dalam syariat kita, maka menurut jumhur ulama haruslah terdiri dari empat hal (rukun), yaitu:Pertama: Orang yang memberi (Al-Waahib);Kedua: Orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu);Ketiga: Benda yang diberikan (Al-Mauhuub);Keempat: Dan sighah (tanda serah terima).Adapun pemberi (Waahib), maka dia adalah pemilik barang ketika dalam kondisi sehat dan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap urusannya. Jika ada orang yang sakit menghibahkan sesuatu kepada orang lain, kemudian setelah itu dia mati, maka menurut jumhur ulama, hibahnya tersebut masuk dalam sepertiga warisannya (menjadi wasiat dan bukan hibah), dan berlaku hukum-hukum wasiat di dalamnya.Adapun orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu), maka bisa siapa saja. Dengan catatan, apabila hibah tersebut diberikan kepada anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengasuh yang sah dari mereka.Terkait porsi dan jumlah benda yang diberikan, ulama sepakat bahwa seseorang boleh memberikan seluruh hartanya kepada orang lain yang bukan kerabatnya. Adapun memberikan semua harta kepada sebagian anaknya saja, atau melebihkan pemberian kepada sebagian anak saja, maka menurut jumhur ulama hukumnya adalah makruh. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, 21: 71 dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya no. 5104)Adapun sesuatu yang diberikan (Al-Mauhuub) adalah semua yang dimiliki oleh pemberi. Tidak sah memberikan sesuatu yang bukan miliknya.Adapun sighah (tanda serah terima), maka semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul termasuk darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti lafal hadiah, hibah, pemberian, dan sejenisnya.Dua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Misalnya, “Saya menghibahkan benda ini kepadamu.” Atau juga dengan lafal yang umumnya digunakan untuk makna sharih, misalnya, “Saya berikan kepemilikan benda ini kepadamu”, “Saya menjadikan benda ini sebagai milikmu”, “Saya menghadiahkannya kepadamu”, “Saya memberimu makan dengan makanan ini”, dan, “Saya menjadikan binatang ini sebagai tungganganmu”, yang semua ini diucapkan dengan niat hibah.Hukumnya: Semua ini menjadi hibah, karena pemberian kepemilikan benda itu berlangsung pada waktu itu juga, atau terjadi dengan menjadikannya untuk orang lain tanpa meminta gantinya, semua ini adalah makna dari hibah. Hal ini karena dalam kebiasaan orang-orang, lafal-lafal yang disebutkan di atas tadi menunjukkan pemberian kepemilikan kepada orang lain secara langsung pada waktu itu juga.Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuAda tiga istilah umum terkait hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentu:ʿUmrāʿUmrā adalah hibah dengan batasan masa hidup seseorang. Hal ini dahulunya banyak dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sebagai bentuk melarikan diri dari syariat waris. Misalnya pemberi berkata, “Aku berikan rumah ini kepadamu selama engkau hidup.” atau “…selama aku hidup.”Artinya, penerima boleh memanfaatkan atau memiliki barang tersebut selama hidupnya atau selama hidup si pemberi.Menurut mayoritas ulama (jumhur, yaitu Syafi’i, Hanbali, dan sebagian Hanafi), hibah ʿumrā sah dan berlaku permanen, bukan hanya terbatas pada masa hidup salah satu dari kedua orang tersebut. Artinya, jika penerima sudah menerimanya, harta itu tetap menjadi miliknya bahkan setelah ia wafat dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,أَمْسِكُوا علَيْكُم أَمْوَالَكُمْ، وَلَا تُفْسِدُوهَا؛ فإنَّه مَن أَعْمَرَ عُمْرَى فَهي لِلَّذِي أُعْمِرَهَا حَيًّا وَمَيِّتًا، وَلِعَقِبِهِ“Peliharalah harta kalian, dan janganlah kalian merusaknya; karena barangsiapa memberikan hibah ‘umra’, maka pemberian itu adalah untuk orang yang menerimanya, baik selama hidupnya maupun setelah matinya, dan akan menjadi hak keturunannya (keturunan orang yang menerimanya).” (HR. Muslim no. 1625)Adapun mazhab Maliki membatasi makna ʿumrā pada pemberian manfaat, bukan kepemilikan penuh. Jadi setelah penerima meninggal, barang kembali ke pemberi atau ahli warisnya.RuqbāRuqbā adalah hibah dengan syarat “siapa yang hidup lebih lama akan memilikinya.” Misalnya pemberi berkata, “Jika aku meninggal lebih dulu, maka rumah ini untukmu; jika engkau meninggal dulu, maka rumah kembali kepadaku.”Jadi sifatnya semacam “menunggu siapa yang hidup lebih lama.”Ulama Hanafi dan Maliki menilai hibah ruqbā tidak sah, karena termasuk hibah yang digantungkan pada sesuatu yang belum pasti (gharar). Namun jika dianggap sebagai pinjaman (manfaat), maka sah sebatas itu. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hanbali, ruqbā dipandang sebagai hibah sah, selama penerima telah menerimanya (sudah terjadi qabdh). Kata syaratnya dianggap gugur, sehingga barang tetap menjadi milik penerima secara penuh. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْعُمْرَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُعْمِرَهَا وَالرُّقْبَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُرْقِبَهَا‘’Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.” (HR. An-Nasa’i no. 3724 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih-nya)Kedua jenis hibah ini pada akhirnya tetap dianggap sebagai hibah mutlak, tidak dapat kembali lagi ke pihak pemberi.Hibah manfaatHibah manfaat adalah pemberian hak pakai (manfaat) suatu barang tanpa memindahkan kepemilikan benda pokoknya (raqabah atau ‘ayn). Contoh, “Aku hibahkan kepadamu manfaat rumah ini selama 10 tahun.”Dalam fikih, bentuk seperti ini biasanya tidak diperlakukan sebagai “hibah ‘ayn”, tetapi masuk ke rumpun akad ‘āriyah (pinjam pakai) atau masuk dalam kategori akad wakaf/umra/ruqba, tergantung redaksi dan syaratnya.Hukum “hibah manfaat” menurut pendapat jumhur (banyak ulama Syafi‘iyah, Hanabilah, dan juga Hanafiyah) adalah sah. Namun yang menjadi catatan, akad tersebut bukan lagi disebut “hibah”, akan tetapi disebut akad ‘āriyah (pinjam pakai). Adapun ketentuan akad ‘āriyah (pinjam pakai) yaitu: hak pemanfaatan boleh dicabut dan berakhir saat pihaknya wafat atau masa manfaat selesai.Ibnu Qudāmah mencontohkan ucapan “Rumah ini untukmu selama hidupmu”, bukan akad yang lazim; ini hibah manfaat (‘ariyah).” Sehingga hanya mengikat pada manfaat yang sudah terpakai.Dari sini dapat kita simpulkan bahwa apabila seseorang menghibahkan pemanfaatan benda yang dimilikinya, maka sejatinya ia hanya ingin memberikan aariyah saja (hak pakai). Dan tidak bermaksud untuk memberikan hak kepemilikan harta sepenuhnya.Wallahu a’lam bisshawab.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 3): Rukun Hibah

Daftar Isi ToggleEmpat rukun hibahDua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuʿUmrāRuqbāHibah manfaatEmpat rukun hibahAgar sebuah proses hibah dianggap sah dalam syariat kita, maka menurut jumhur ulama haruslah terdiri dari empat hal (rukun), yaitu:Pertama: Orang yang memberi (Al-Waahib);Kedua: Orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu);Ketiga: Benda yang diberikan (Al-Mauhuub);Keempat: Dan sighah (tanda serah terima).Adapun pemberi (Waahib), maka dia adalah pemilik barang ketika dalam kondisi sehat dan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap urusannya. Jika ada orang yang sakit menghibahkan sesuatu kepada orang lain, kemudian setelah itu dia mati, maka menurut jumhur ulama, hibahnya tersebut masuk dalam sepertiga warisannya (menjadi wasiat dan bukan hibah), dan berlaku hukum-hukum wasiat di dalamnya.Adapun orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu), maka bisa siapa saja. Dengan catatan, apabila hibah tersebut diberikan kepada anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengasuh yang sah dari mereka.Terkait porsi dan jumlah benda yang diberikan, ulama sepakat bahwa seseorang boleh memberikan seluruh hartanya kepada orang lain yang bukan kerabatnya. Adapun memberikan semua harta kepada sebagian anaknya saja, atau melebihkan pemberian kepada sebagian anak saja, maka menurut jumhur ulama hukumnya adalah makruh. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, 21: 71 dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya no. 5104)Adapun sesuatu yang diberikan (Al-Mauhuub) adalah semua yang dimiliki oleh pemberi. Tidak sah memberikan sesuatu yang bukan miliknya.Adapun sighah (tanda serah terima), maka semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul termasuk darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti lafal hadiah, hibah, pemberian, dan sejenisnya.Dua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Misalnya, “Saya menghibahkan benda ini kepadamu.” Atau juga dengan lafal yang umumnya digunakan untuk makna sharih, misalnya, “Saya berikan kepemilikan benda ini kepadamu”, “Saya menjadikan benda ini sebagai milikmu”, “Saya menghadiahkannya kepadamu”, “Saya memberimu makan dengan makanan ini”, dan, “Saya menjadikan binatang ini sebagai tungganganmu”, yang semua ini diucapkan dengan niat hibah.Hukumnya: Semua ini menjadi hibah, karena pemberian kepemilikan benda itu berlangsung pada waktu itu juga, atau terjadi dengan menjadikannya untuk orang lain tanpa meminta gantinya, semua ini adalah makna dari hibah. Hal ini karena dalam kebiasaan orang-orang, lafal-lafal yang disebutkan di atas tadi menunjukkan pemberian kepemilikan kepada orang lain secara langsung pada waktu itu juga.Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuAda tiga istilah umum terkait hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentu:ʿUmrāʿUmrā adalah hibah dengan batasan masa hidup seseorang. Hal ini dahulunya banyak dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sebagai bentuk melarikan diri dari syariat waris. Misalnya pemberi berkata, “Aku berikan rumah ini kepadamu selama engkau hidup.” atau “…selama aku hidup.”Artinya, penerima boleh memanfaatkan atau memiliki barang tersebut selama hidupnya atau selama hidup si pemberi.Menurut mayoritas ulama (jumhur, yaitu Syafi’i, Hanbali, dan sebagian Hanafi), hibah ʿumrā sah dan berlaku permanen, bukan hanya terbatas pada masa hidup salah satu dari kedua orang tersebut. Artinya, jika penerima sudah menerimanya, harta itu tetap menjadi miliknya bahkan setelah ia wafat dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,أَمْسِكُوا علَيْكُم أَمْوَالَكُمْ، وَلَا تُفْسِدُوهَا؛ فإنَّه مَن أَعْمَرَ عُمْرَى فَهي لِلَّذِي أُعْمِرَهَا حَيًّا وَمَيِّتًا، وَلِعَقِبِهِ“Peliharalah harta kalian, dan janganlah kalian merusaknya; karena barangsiapa memberikan hibah ‘umra’, maka pemberian itu adalah untuk orang yang menerimanya, baik selama hidupnya maupun setelah matinya, dan akan menjadi hak keturunannya (keturunan orang yang menerimanya).” (HR. Muslim no. 1625)Adapun mazhab Maliki membatasi makna ʿumrā pada pemberian manfaat, bukan kepemilikan penuh. Jadi setelah penerima meninggal, barang kembali ke pemberi atau ahli warisnya.RuqbāRuqbā adalah hibah dengan syarat “siapa yang hidup lebih lama akan memilikinya.” Misalnya pemberi berkata, “Jika aku meninggal lebih dulu, maka rumah ini untukmu; jika engkau meninggal dulu, maka rumah kembali kepadaku.”Jadi sifatnya semacam “menunggu siapa yang hidup lebih lama.”Ulama Hanafi dan Maliki menilai hibah ruqbā tidak sah, karena termasuk hibah yang digantungkan pada sesuatu yang belum pasti (gharar). Namun jika dianggap sebagai pinjaman (manfaat), maka sah sebatas itu. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hanbali, ruqbā dipandang sebagai hibah sah, selama penerima telah menerimanya (sudah terjadi qabdh). Kata syaratnya dianggap gugur, sehingga barang tetap menjadi milik penerima secara penuh. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْعُمْرَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُعْمِرَهَا وَالرُّقْبَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُرْقِبَهَا‘’Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.” (HR. An-Nasa’i no. 3724 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih-nya)Kedua jenis hibah ini pada akhirnya tetap dianggap sebagai hibah mutlak, tidak dapat kembali lagi ke pihak pemberi.Hibah manfaatHibah manfaat adalah pemberian hak pakai (manfaat) suatu barang tanpa memindahkan kepemilikan benda pokoknya (raqabah atau ‘ayn). Contoh, “Aku hibahkan kepadamu manfaat rumah ini selama 10 tahun.”Dalam fikih, bentuk seperti ini biasanya tidak diperlakukan sebagai “hibah ‘ayn”, tetapi masuk ke rumpun akad ‘āriyah (pinjam pakai) atau masuk dalam kategori akad wakaf/umra/ruqba, tergantung redaksi dan syaratnya.Hukum “hibah manfaat” menurut pendapat jumhur (banyak ulama Syafi‘iyah, Hanabilah, dan juga Hanafiyah) adalah sah. Namun yang menjadi catatan, akad tersebut bukan lagi disebut “hibah”, akan tetapi disebut akad ‘āriyah (pinjam pakai). Adapun ketentuan akad ‘āriyah (pinjam pakai) yaitu: hak pemanfaatan boleh dicabut dan berakhir saat pihaknya wafat atau masa manfaat selesai.Ibnu Qudāmah mencontohkan ucapan “Rumah ini untukmu selama hidupmu”, bukan akad yang lazim; ini hibah manfaat (‘ariyah).” Sehingga hanya mengikat pada manfaat yang sudah terpakai.Dari sini dapat kita simpulkan bahwa apabila seseorang menghibahkan pemanfaatan benda yang dimilikinya, maka sejatinya ia hanya ingin memberikan aariyah saja (hak pakai). Dan tidak bermaksud untuk memberikan hak kepemilikan harta sepenuhnya.Wallahu a’lam bisshawab.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleEmpat rukun hibahDua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuʿUmrāRuqbāHibah manfaatEmpat rukun hibahAgar sebuah proses hibah dianggap sah dalam syariat kita, maka menurut jumhur ulama haruslah terdiri dari empat hal (rukun), yaitu:Pertama: Orang yang memberi (Al-Waahib);Kedua: Orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu);Ketiga: Benda yang diberikan (Al-Mauhuub);Keempat: Dan sighah (tanda serah terima).Adapun pemberi (Waahib), maka dia adalah pemilik barang ketika dalam kondisi sehat dan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap urusannya. Jika ada orang yang sakit menghibahkan sesuatu kepada orang lain, kemudian setelah itu dia mati, maka menurut jumhur ulama, hibahnya tersebut masuk dalam sepertiga warisannya (menjadi wasiat dan bukan hibah), dan berlaku hukum-hukum wasiat di dalamnya.Adapun orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu), maka bisa siapa saja. Dengan catatan, apabila hibah tersebut diberikan kepada anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengasuh yang sah dari mereka.Terkait porsi dan jumlah benda yang diberikan, ulama sepakat bahwa seseorang boleh memberikan seluruh hartanya kepada orang lain yang bukan kerabatnya. Adapun memberikan semua harta kepada sebagian anaknya saja, atau melebihkan pemberian kepada sebagian anak saja, maka menurut jumhur ulama hukumnya adalah makruh. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, 21: 71 dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya no. 5104)Adapun sesuatu yang diberikan (Al-Mauhuub) adalah semua yang dimiliki oleh pemberi. Tidak sah memberikan sesuatu yang bukan miliknya.Adapun sighah (tanda serah terima), maka semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul termasuk darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti lafal hadiah, hibah, pemberian, dan sejenisnya.Dua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Misalnya, “Saya menghibahkan benda ini kepadamu.” Atau juga dengan lafal yang umumnya digunakan untuk makna sharih, misalnya, “Saya berikan kepemilikan benda ini kepadamu”, “Saya menjadikan benda ini sebagai milikmu”, “Saya menghadiahkannya kepadamu”, “Saya memberimu makan dengan makanan ini”, dan, “Saya menjadikan binatang ini sebagai tungganganmu”, yang semua ini diucapkan dengan niat hibah.Hukumnya: Semua ini menjadi hibah, karena pemberian kepemilikan benda itu berlangsung pada waktu itu juga, atau terjadi dengan menjadikannya untuk orang lain tanpa meminta gantinya, semua ini adalah makna dari hibah. Hal ini karena dalam kebiasaan orang-orang, lafal-lafal yang disebutkan di atas tadi menunjukkan pemberian kepemilikan kepada orang lain secara langsung pada waktu itu juga.Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuAda tiga istilah umum terkait hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentu:ʿUmrāʿUmrā adalah hibah dengan batasan masa hidup seseorang. Hal ini dahulunya banyak dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sebagai bentuk melarikan diri dari syariat waris. Misalnya pemberi berkata, “Aku berikan rumah ini kepadamu selama engkau hidup.” atau “…selama aku hidup.”Artinya, penerima boleh memanfaatkan atau memiliki barang tersebut selama hidupnya atau selama hidup si pemberi.Menurut mayoritas ulama (jumhur, yaitu Syafi’i, Hanbali, dan sebagian Hanafi), hibah ʿumrā sah dan berlaku permanen, bukan hanya terbatas pada masa hidup salah satu dari kedua orang tersebut. Artinya, jika penerima sudah menerimanya, harta itu tetap menjadi miliknya bahkan setelah ia wafat dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,أَمْسِكُوا علَيْكُم أَمْوَالَكُمْ، وَلَا تُفْسِدُوهَا؛ فإنَّه مَن أَعْمَرَ عُمْرَى فَهي لِلَّذِي أُعْمِرَهَا حَيًّا وَمَيِّتًا، وَلِعَقِبِهِ“Peliharalah harta kalian, dan janganlah kalian merusaknya; karena barangsiapa memberikan hibah ‘umra’, maka pemberian itu adalah untuk orang yang menerimanya, baik selama hidupnya maupun setelah matinya, dan akan menjadi hak keturunannya (keturunan orang yang menerimanya).” (HR. Muslim no. 1625)Adapun mazhab Maliki membatasi makna ʿumrā pada pemberian manfaat, bukan kepemilikan penuh. Jadi setelah penerima meninggal, barang kembali ke pemberi atau ahli warisnya.RuqbāRuqbā adalah hibah dengan syarat “siapa yang hidup lebih lama akan memilikinya.” Misalnya pemberi berkata, “Jika aku meninggal lebih dulu, maka rumah ini untukmu; jika engkau meninggal dulu, maka rumah kembali kepadaku.”Jadi sifatnya semacam “menunggu siapa yang hidup lebih lama.”Ulama Hanafi dan Maliki menilai hibah ruqbā tidak sah, karena termasuk hibah yang digantungkan pada sesuatu yang belum pasti (gharar). Namun jika dianggap sebagai pinjaman (manfaat), maka sah sebatas itu. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hanbali, ruqbā dipandang sebagai hibah sah, selama penerima telah menerimanya (sudah terjadi qabdh). Kata syaratnya dianggap gugur, sehingga barang tetap menjadi milik penerima secara penuh. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْعُمْرَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُعْمِرَهَا وَالرُّقْبَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُرْقِبَهَا‘’Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.” (HR. An-Nasa’i no. 3724 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih-nya)Kedua jenis hibah ini pada akhirnya tetap dianggap sebagai hibah mutlak, tidak dapat kembali lagi ke pihak pemberi.Hibah manfaatHibah manfaat adalah pemberian hak pakai (manfaat) suatu barang tanpa memindahkan kepemilikan benda pokoknya (raqabah atau ‘ayn). Contoh, “Aku hibahkan kepadamu manfaat rumah ini selama 10 tahun.”Dalam fikih, bentuk seperti ini biasanya tidak diperlakukan sebagai “hibah ‘ayn”, tetapi masuk ke rumpun akad ‘āriyah (pinjam pakai) atau masuk dalam kategori akad wakaf/umra/ruqba, tergantung redaksi dan syaratnya.Hukum “hibah manfaat” menurut pendapat jumhur (banyak ulama Syafi‘iyah, Hanabilah, dan juga Hanafiyah) adalah sah. Namun yang menjadi catatan, akad tersebut bukan lagi disebut “hibah”, akan tetapi disebut akad ‘āriyah (pinjam pakai). Adapun ketentuan akad ‘āriyah (pinjam pakai) yaitu: hak pemanfaatan boleh dicabut dan berakhir saat pihaknya wafat atau masa manfaat selesai.Ibnu Qudāmah mencontohkan ucapan “Rumah ini untukmu selama hidupmu”, bukan akad yang lazim; ini hibah manfaat (‘ariyah).” Sehingga hanya mengikat pada manfaat yang sudah terpakai.Dari sini dapat kita simpulkan bahwa apabila seseorang menghibahkan pemanfaatan benda yang dimilikinya, maka sejatinya ia hanya ingin memberikan aariyah saja (hak pakai). Dan tidak bermaksud untuk memberikan hak kepemilikan harta sepenuhnya.Wallahu a’lam bisshawab.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleEmpat rukun hibahDua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuʿUmrāRuqbāHibah manfaatEmpat rukun hibahAgar sebuah proses hibah dianggap sah dalam syariat kita, maka menurut jumhur ulama haruslah terdiri dari empat hal (rukun), yaitu:Pertama: Orang yang memberi (Al-Waahib);Kedua: Orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu);Ketiga: Benda yang diberikan (Al-Mauhuub);Keempat: Dan sighah (tanda serah terima).Adapun pemberi (Waahib), maka dia adalah pemilik barang ketika dalam kondisi sehat dan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap urusannya. Jika ada orang yang sakit menghibahkan sesuatu kepada orang lain, kemudian setelah itu dia mati, maka menurut jumhur ulama, hibahnya tersebut masuk dalam sepertiga warisannya (menjadi wasiat dan bukan hibah), dan berlaku hukum-hukum wasiat di dalamnya.Adapun orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu), maka bisa siapa saja. Dengan catatan, apabila hibah tersebut diberikan kepada anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengasuh yang sah dari mereka.Terkait porsi dan jumlah benda yang diberikan, ulama sepakat bahwa seseorang boleh memberikan seluruh hartanya kepada orang lain yang bukan kerabatnya. Adapun memberikan semua harta kepada sebagian anaknya saja, atau melebihkan pemberian kepada sebagian anak saja, maka menurut jumhur ulama hukumnya adalah makruh. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, 21: 71 dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya no. 5104)Adapun sesuatu yang diberikan (Al-Mauhuub) adalah semua yang dimiliki oleh pemberi. Tidak sah memberikan sesuatu yang bukan miliknya.Adapun sighah (tanda serah terima), maka semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul termasuk darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti lafal hadiah, hibah, pemberian, dan sejenisnya.Dua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannyaPertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)Misalnya, “Saya menghibahkan benda ini kepadamu.” Atau juga dengan lafal yang umumnya digunakan untuk makna sharih, misalnya, “Saya berikan kepemilikan benda ini kepadamu”, “Saya menjadikan benda ini sebagai milikmu”, “Saya menghadiahkannya kepadamu”, “Saya memberimu makan dengan makanan ini”, dan, “Saya menjadikan binatang ini sebagai tungganganmu”, yang semua ini diucapkan dengan niat hibah.Hukumnya: Semua ini menjadi hibah, karena pemberian kepemilikan benda itu berlangsung pada waktu itu juga, atau terjadi dengan menjadikannya untuk orang lain tanpa meminta gantinya, semua ini adalah makna dari hibah. Hal ini karena dalam kebiasaan orang-orang, lafal-lafal yang disebutkan di atas tadi menunjukkan pemberian kepemilikan kepada orang lain secara langsung pada waktu itu juga.Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentuAda tiga istilah umum terkait hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentu:ʿUmrāʿUmrā adalah hibah dengan batasan masa hidup seseorang. Hal ini dahulunya banyak dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sebagai bentuk melarikan diri dari syariat waris. Misalnya pemberi berkata, “Aku berikan rumah ini kepadamu selama engkau hidup.” atau “…selama aku hidup.”Artinya, penerima boleh memanfaatkan atau memiliki barang tersebut selama hidupnya atau selama hidup si pemberi.Menurut mayoritas ulama (jumhur, yaitu Syafi’i, Hanbali, dan sebagian Hanafi), hibah ʿumrā sah dan berlaku permanen, bukan hanya terbatas pada masa hidup salah satu dari kedua orang tersebut. Artinya, jika penerima sudah menerimanya, harta itu tetap menjadi miliknya bahkan setelah ia wafat dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,أَمْسِكُوا علَيْكُم أَمْوَالَكُمْ، وَلَا تُفْسِدُوهَا؛ فإنَّه مَن أَعْمَرَ عُمْرَى فَهي لِلَّذِي أُعْمِرَهَا حَيًّا وَمَيِّتًا، وَلِعَقِبِهِ“Peliharalah harta kalian, dan janganlah kalian merusaknya; karena barangsiapa memberikan hibah ‘umra’, maka pemberian itu adalah untuk orang yang menerimanya, baik selama hidupnya maupun setelah matinya, dan akan menjadi hak keturunannya (keturunan orang yang menerimanya).” (HR. Muslim no. 1625)Adapun mazhab Maliki membatasi makna ʿumrā pada pemberian manfaat, bukan kepemilikan penuh. Jadi setelah penerima meninggal, barang kembali ke pemberi atau ahli warisnya.RuqbāRuqbā adalah hibah dengan syarat “siapa yang hidup lebih lama akan memilikinya.” Misalnya pemberi berkata, “Jika aku meninggal lebih dulu, maka rumah ini untukmu; jika engkau meninggal dulu, maka rumah kembali kepadaku.”Jadi sifatnya semacam “menunggu siapa yang hidup lebih lama.”Ulama Hanafi dan Maliki menilai hibah ruqbā tidak sah, karena termasuk hibah yang digantungkan pada sesuatu yang belum pasti (gharar). Namun jika dianggap sebagai pinjaman (manfaat), maka sah sebatas itu. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hanbali, ruqbā dipandang sebagai hibah sah, selama penerima telah menerimanya (sudah terjadi qabdh). Kata syaratnya dianggap gugur, sehingga barang tetap menjadi milik penerima secara penuh. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْعُمْرَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُعْمِرَهَا وَالرُّقْبَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُرْقِبَهَا‘’Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.” (HR. An-Nasa’i no. 3724 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih-nya)Kedua jenis hibah ini pada akhirnya tetap dianggap sebagai hibah mutlak, tidak dapat kembali lagi ke pihak pemberi.Hibah manfaatHibah manfaat adalah pemberian hak pakai (manfaat) suatu barang tanpa memindahkan kepemilikan benda pokoknya (raqabah atau ‘ayn). Contoh, “Aku hibahkan kepadamu manfaat rumah ini selama 10 tahun.”Dalam fikih, bentuk seperti ini biasanya tidak diperlakukan sebagai “hibah ‘ayn”, tetapi masuk ke rumpun akad ‘āriyah (pinjam pakai) atau masuk dalam kategori akad wakaf/umra/ruqba, tergantung redaksi dan syaratnya.Hukum “hibah manfaat” menurut pendapat jumhur (banyak ulama Syafi‘iyah, Hanabilah, dan juga Hanafiyah) adalah sah. Namun yang menjadi catatan, akad tersebut bukan lagi disebut “hibah”, akan tetapi disebut akad ‘āriyah (pinjam pakai). Adapun ketentuan akad ‘āriyah (pinjam pakai) yaitu: hak pemanfaatan boleh dicabut dan berakhir saat pihaknya wafat atau masa manfaat selesai.Ibnu Qudāmah mencontohkan ucapan “Rumah ini untukmu selama hidupmu”, bukan akad yang lazim; ini hibah manfaat (‘ariyah).” Sehingga hanya mengikat pada manfaat yang sudah terpakai.Dari sini dapat kita simpulkan bahwa apabila seseorang menghibahkan pemanfaatan benda yang dimilikinya, maka sejatinya ia hanya ingin memberikan aariyah saja (hak pakai). Dan tidak bermaksud untuk memberikan hak kepemilikan harta sepenuhnya.Wallahu a’lam bisshawab.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Anda Sering Dihina dan Diejek Keluarga Sendiri? Ini Hiburan untukmu – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri

Saudara Muhammad meminta nasihat dari Anda, wahai Syaikh. Ia berkata, “Saya seorang yang berusaha istiqamah di atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Namun saya menghadapi hinaan karena berpegang teguh pada sunnah, baik dari keluarga maupun kerabat saya. Apa nasihat Anda dalam hal ini? Apakah hal itu dapat merusak agama saya? Dan apakah saya boleh menjauhi mereka?” Perkara ini justru bermanfaat bagimu dan akan meninggikan derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Omongan orang lain terhadapmu dan hinaan mereka terhadapmu, mudharatnya justru kembali kepada mereka, bukan kepadamu. Kamu justru mendapat manfaat dari itu. Allah ‘Azza wa Jalla telah menceritakan tentang para nabi ‘alaihimus salam, bahwa dulu mereka juga mendapat hinaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh, telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum kamu maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan mereka azab yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-Anbiya: 41). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa dahulu selalu menertawakan orang-orang beriman dan apabila orang beriman lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan mata.” (QS. Al-Muthaffifin: 29–30). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjamin kecukupan bagi orang-orang beriman dan melindungi mereka dari cemoohan orang-orang yang menghina. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami cukupkan bagimu (perlindungan dari kejahatan) orang-orang yang menghina.” (QS. Al-Hijr: 95). Jadi, pada hakikatnya, puncak dari hinaan hanyalah sebatas ucapan. Sedangkan pada kenyataannya, telah jelas bahwa keunggulan ada pada mereka yang teguh di jalan ketaatan. Terkadang seseorang mendapat takdir yang membuatnya menyesali apa yang telah terjadi di masa lalunya. Intinya, keteguhan seseorang untuk berpegang pada ketentuan syariat tidak akan terpengaruh oleh ejekan orang lain terhadapnya. Justru itu akan meninggikan derajatnya. Allah Ta’ala berfirman, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS. Al-Humazah: 1). Ketika seseorang mencermati hakikat perkara ini, ia akan mendapati bahwa tidak ada seorang pun yang saleh terbebas dari hinaan. Bahkan, Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Agung, Pencipta langit dan bumi juga mendapatkan ejekan dan hinaan. Namun, Allah Jalla wa ‘Ala tetaplah Maha Lembut terhadap para hamba-Nya. Orang yang mencermati sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan menemukan banyak contoh dalam masalah ini. Selain itu, wahai Syaikh, apakah dia boleh menjauhi atau memutus hubungan dengan mereka? Mohon nasihat Anda. Kami nasihatkan agar dia tetap menyambung silaturahmi dengan mereka, berbuat baik kepada mereka, dan menasihati mereka, serta bersabar atas gangguan yang datang dari mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 2-3). Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka bersabarlah kamu seperti mereka yang punya keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar…” (QS. Al-Ahqaf: 35). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10). Allah Ta’ala juga berfirman, “…Dan sungguh Kami akan memberi balasan bagi orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96). Dengan demikian, hinaan orang lain terhadapmu adalah salah satu peninggi derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Maka janganlah bersedih hati karenanya, dan jangan mengira mereka dapat memberi pengaruh buruk kepadamu. ===== الْأَخُ مُحَمَّدٌ يُرِيدُ التَّوْجِيهَ مِنْكُمْ مَعَالِيَ الشَّيْخ فَيَقُولُ أَنَا شَخْصٌ مُسْتَقِيمٌ عَلَى أَمْرِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأُعَانِي مِنْ شَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ مِنْ جِهَةِ تَمَسُّكِي بِالسُّنَّةِ مِنْ قِبَلِ أَهْلِي وَكَذَلِك أَقَارِبِي مَا التَّوْجِيهُ فِي ذَلِكَ؟ يَقُولُ هَلْ يَضُرُّنِي فِي دِينِي؟ أَوْ كَذَلِكَ هَلْ نَبْتَعِدُ عَنْهُمْ؟ هَذَا الْأَمْرُ يَنْفَعُكَ وَيَرْفَعُ دَرَجَتَكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَاحَدِيثُ الْآخَرِيْنَ فِيْكَ وَاسْتِهْزَاؤُهُم بِكَ هَذَا مَضَرَّتُهُ عَلَيْهِمْ وَلَيْسَتْ عَلَيْكَ فَأَنْتَ تَنْتَفِعُ بِهَذَا وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ أَنْبِيَائِهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَعَرَّضُونَ لِلِاسْتِهْزَاءِ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ وَقَالَ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ وَقَدْ تَكَفَّلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِكِفَايَةِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَحِمَايَتِهِمْ مِنِ اسْتِهْزَاءِ هَؤُلَاءِ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ فَقَالَ إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّ غَايَةَ هَذَا الِاسْتِهْزَاءِ هُوَ اللَّفْظُ وَالْكَلَامُ وَأَمَّا عِنْدَ حَقَائِقِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا تَتَبَيَّنُ فِيهَا رُجْحَانُ كِفَّةِ أُولَئِكَ الَّذِينَ الْتَزَمُوا طَرِيقَ الطَّاعَةِ وَقَدْ يُدْرِكُ الْإِنْسَانُ بَعْضَ الْأَقْدَارِ الَّتِي تَجْعَلُهُ يَتَأَسَّفُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ أَيَّامِهِ فَالْمَقْصُودُ أَنَّ حِرْصَ الْإِنْسَانِ عَلَى الْمُقْتَضَى الشَّرْعِيِّ لَا يُؤَثِّرُ اسْتِهْزَاءُ الْآخَرِيْنَ بِهِ بَلْ يَرْفَعُ ذَلِكَ مِنْ دَرَجَتِهِ قَالَ تَعَالَى وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ لُمَزَةٍ وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ فِي حَقَائِقِ الْأُمُورِ وَجَدَ أَنَّ الِاسْتِهْزَاءَ لَمْ يَسْلَمْ مِنْهُ أَحَدٌ مِنَ الصَّالِحِيْنَ بَلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ خَالِقُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرَاضِيْنَ كَانَ يَتَعَرَّضُ لِشَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ وَالسُّخْرِيَةِ وَكَانَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا حَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَالنَّاظِرُ فِي سِيْرَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِدُ نَمَاذِجَ كَثِيرَةً مِنْ هَذَا الْبَابِ أَيْضًا شَيْخَنَا هَلْ يَبْتَعِدُ عَنْهُمْ نَصِيحَتَكُمْ أَوْ يُقَاطِعُهُمْ؟ نَصِيحَتُنَا أَنْ يُوَاصِلَهُمْ وَأَنْ يُحْسِنَ إِلَيْهِمْ وَأَنْ يَنْصَحَهُمْ وَأَنْ يَتَحَمَّلَ الْأَذَى الَّذِي يَكُونُ مِنْهُمْ قَالَ تَعَالَى إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَقَالَ تَعَالَى فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَقَالَ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ وَقَال وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَمِنْ ثَمَّ فَاسْتِهْزَاءُ الْآخَرَيْنِ بِكَ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَتِكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَلَا تَجْزَعْ مِنْ ذَلِكَ وَلَا تَظُنُّ أَنَّهُمْ سَيُؤَثِّرُونَ عَلَيْكَ

Anda Sering Dihina dan Diejek Keluarga Sendiri? Ini Hiburan untukmu – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri

Saudara Muhammad meminta nasihat dari Anda, wahai Syaikh. Ia berkata, “Saya seorang yang berusaha istiqamah di atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Namun saya menghadapi hinaan karena berpegang teguh pada sunnah, baik dari keluarga maupun kerabat saya. Apa nasihat Anda dalam hal ini? Apakah hal itu dapat merusak agama saya? Dan apakah saya boleh menjauhi mereka?” Perkara ini justru bermanfaat bagimu dan akan meninggikan derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Omongan orang lain terhadapmu dan hinaan mereka terhadapmu, mudharatnya justru kembali kepada mereka, bukan kepadamu. Kamu justru mendapat manfaat dari itu. Allah ‘Azza wa Jalla telah menceritakan tentang para nabi ‘alaihimus salam, bahwa dulu mereka juga mendapat hinaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh, telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum kamu maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan mereka azab yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-Anbiya: 41). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa dahulu selalu menertawakan orang-orang beriman dan apabila orang beriman lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan mata.” (QS. Al-Muthaffifin: 29–30). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjamin kecukupan bagi orang-orang beriman dan melindungi mereka dari cemoohan orang-orang yang menghina. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami cukupkan bagimu (perlindungan dari kejahatan) orang-orang yang menghina.” (QS. Al-Hijr: 95). Jadi, pada hakikatnya, puncak dari hinaan hanyalah sebatas ucapan. Sedangkan pada kenyataannya, telah jelas bahwa keunggulan ada pada mereka yang teguh di jalan ketaatan. Terkadang seseorang mendapat takdir yang membuatnya menyesali apa yang telah terjadi di masa lalunya. Intinya, keteguhan seseorang untuk berpegang pada ketentuan syariat tidak akan terpengaruh oleh ejekan orang lain terhadapnya. Justru itu akan meninggikan derajatnya. Allah Ta’ala berfirman, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS. Al-Humazah: 1). Ketika seseorang mencermati hakikat perkara ini, ia akan mendapati bahwa tidak ada seorang pun yang saleh terbebas dari hinaan. Bahkan, Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Agung, Pencipta langit dan bumi juga mendapatkan ejekan dan hinaan. Namun, Allah Jalla wa ‘Ala tetaplah Maha Lembut terhadap para hamba-Nya. Orang yang mencermati sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan menemukan banyak contoh dalam masalah ini. Selain itu, wahai Syaikh, apakah dia boleh menjauhi atau memutus hubungan dengan mereka? Mohon nasihat Anda. Kami nasihatkan agar dia tetap menyambung silaturahmi dengan mereka, berbuat baik kepada mereka, dan menasihati mereka, serta bersabar atas gangguan yang datang dari mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 2-3). Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka bersabarlah kamu seperti mereka yang punya keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar…” (QS. Al-Ahqaf: 35). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10). Allah Ta’ala juga berfirman, “…Dan sungguh Kami akan memberi balasan bagi orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96). Dengan demikian, hinaan orang lain terhadapmu adalah salah satu peninggi derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Maka janganlah bersedih hati karenanya, dan jangan mengira mereka dapat memberi pengaruh buruk kepadamu. ===== الْأَخُ مُحَمَّدٌ يُرِيدُ التَّوْجِيهَ مِنْكُمْ مَعَالِيَ الشَّيْخ فَيَقُولُ أَنَا شَخْصٌ مُسْتَقِيمٌ عَلَى أَمْرِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأُعَانِي مِنْ شَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ مِنْ جِهَةِ تَمَسُّكِي بِالسُّنَّةِ مِنْ قِبَلِ أَهْلِي وَكَذَلِك أَقَارِبِي مَا التَّوْجِيهُ فِي ذَلِكَ؟ يَقُولُ هَلْ يَضُرُّنِي فِي دِينِي؟ أَوْ كَذَلِكَ هَلْ نَبْتَعِدُ عَنْهُمْ؟ هَذَا الْأَمْرُ يَنْفَعُكَ وَيَرْفَعُ دَرَجَتَكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَاحَدِيثُ الْآخَرِيْنَ فِيْكَ وَاسْتِهْزَاؤُهُم بِكَ هَذَا مَضَرَّتُهُ عَلَيْهِمْ وَلَيْسَتْ عَلَيْكَ فَأَنْتَ تَنْتَفِعُ بِهَذَا وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ أَنْبِيَائِهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَعَرَّضُونَ لِلِاسْتِهْزَاءِ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ وَقَالَ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ وَقَدْ تَكَفَّلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِكِفَايَةِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَحِمَايَتِهِمْ مِنِ اسْتِهْزَاءِ هَؤُلَاءِ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ فَقَالَ إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّ غَايَةَ هَذَا الِاسْتِهْزَاءِ هُوَ اللَّفْظُ وَالْكَلَامُ وَأَمَّا عِنْدَ حَقَائِقِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا تَتَبَيَّنُ فِيهَا رُجْحَانُ كِفَّةِ أُولَئِكَ الَّذِينَ الْتَزَمُوا طَرِيقَ الطَّاعَةِ وَقَدْ يُدْرِكُ الْإِنْسَانُ بَعْضَ الْأَقْدَارِ الَّتِي تَجْعَلُهُ يَتَأَسَّفُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ أَيَّامِهِ فَالْمَقْصُودُ أَنَّ حِرْصَ الْإِنْسَانِ عَلَى الْمُقْتَضَى الشَّرْعِيِّ لَا يُؤَثِّرُ اسْتِهْزَاءُ الْآخَرِيْنَ بِهِ بَلْ يَرْفَعُ ذَلِكَ مِنْ دَرَجَتِهِ قَالَ تَعَالَى وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ لُمَزَةٍ وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ فِي حَقَائِقِ الْأُمُورِ وَجَدَ أَنَّ الِاسْتِهْزَاءَ لَمْ يَسْلَمْ مِنْهُ أَحَدٌ مِنَ الصَّالِحِيْنَ بَلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ خَالِقُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرَاضِيْنَ كَانَ يَتَعَرَّضُ لِشَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ وَالسُّخْرِيَةِ وَكَانَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا حَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَالنَّاظِرُ فِي سِيْرَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِدُ نَمَاذِجَ كَثِيرَةً مِنْ هَذَا الْبَابِ أَيْضًا شَيْخَنَا هَلْ يَبْتَعِدُ عَنْهُمْ نَصِيحَتَكُمْ أَوْ يُقَاطِعُهُمْ؟ نَصِيحَتُنَا أَنْ يُوَاصِلَهُمْ وَأَنْ يُحْسِنَ إِلَيْهِمْ وَأَنْ يَنْصَحَهُمْ وَأَنْ يَتَحَمَّلَ الْأَذَى الَّذِي يَكُونُ مِنْهُمْ قَالَ تَعَالَى إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَقَالَ تَعَالَى فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَقَالَ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ وَقَال وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَمِنْ ثَمَّ فَاسْتِهْزَاءُ الْآخَرَيْنِ بِكَ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَتِكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَلَا تَجْزَعْ مِنْ ذَلِكَ وَلَا تَظُنُّ أَنَّهُمْ سَيُؤَثِّرُونَ عَلَيْكَ
Saudara Muhammad meminta nasihat dari Anda, wahai Syaikh. Ia berkata, “Saya seorang yang berusaha istiqamah di atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Namun saya menghadapi hinaan karena berpegang teguh pada sunnah, baik dari keluarga maupun kerabat saya. Apa nasihat Anda dalam hal ini? Apakah hal itu dapat merusak agama saya? Dan apakah saya boleh menjauhi mereka?” Perkara ini justru bermanfaat bagimu dan akan meninggikan derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Omongan orang lain terhadapmu dan hinaan mereka terhadapmu, mudharatnya justru kembali kepada mereka, bukan kepadamu. Kamu justru mendapat manfaat dari itu. Allah ‘Azza wa Jalla telah menceritakan tentang para nabi ‘alaihimus salam, bahwa dulu mereka juga mendapat hinaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh, telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum kamu maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan mereka azab yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-Anbiya: 41). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa dahulu selalu menertawakan orang-orang beriman dan apabila orang beriman lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan mata.” (QS. Al-Muthaffifin: 29–30). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjamin kecukupan bagi orang-orang beriman dan melindungi mereka dari cemoohan orang-orang yang menghina. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami cukupkan bagimu (perlindungan dari kejahatan) orang-orang yang menghina.” (QS. Al-Hijr: 95). Jadi, pada hakikatnya, puncak dari hinaan hanyalah sebatas ucapan. Sedangkan pada kenyataannya, telah jelas bahwa keunggulan ada pada mereka yang teguh di jalan ketaatan. Terkadang seseorang mendapat takdir yang membuatnya menyesali apa yang telah terjadi di masa lalunya. Intinya, keteguhan seseorang untuk berpegang pada ketentuan syariat tidak akan terpengaruh oleh ejekan orang lain terhadapnya. Justru itu akan meninggikan derajatnya. Allah Ta’ala berfirman, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS. Al-Humazah: 1). Ketika seseorang mencermati hakikat perkara ini, ia akan mendapati bahwa tidak ada seorang pun yang saleh terbebas dari hinaan. Bahkan, Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Agung, Pencipta langit dan bumi juga mendapatkan ejekan dan hinaan. Namun, Allah Jalla wa ‘Ala tetaplah Maha Lembut terhadap para hamba-Nya. Orang yang mencermati sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan menemukan banyak contoh dalam masalah ini. Selain itu, wahai Syaikh, apakah dia boleh menjauhi atau memutus hubungan dengan mereka? Mohon nasihat Anda. Kami nasihatkan agar dia tetap menyambung silaturahmi dengan mereka, berbuat baik kepada mereka, dan menasihati mereka, serta bersabar atas gangguan yang datang dari mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 2-3). Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka bersabarlah kamu seperti mereka yang punya keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar…” (QS. Al-Ahqaf: 35). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10). Allah Ta’ala juga berfirman, “…Dan sungguh Kami akan memberi balasan bagi orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96). Dengan demikian, hinaan orang lain terhadapmu adalah salah satu peninggi derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Maka janganlah bersedih hati karenanya, dan jangan mengira mereka dapat memberi pengaruh buruk kepadamu. ===== الْأَخُ مُحَمَّدٌ يُرِيدُ التَّوْجِيهَ مِنْكُمْ مَعَالِيَ الشَّيْخ فَيَقُولُ أَنَا شَخْصٌ مُسْتَقِيمٌ عَلَى أَمْرِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأُعَانِي مِنْ شَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ مِنْ جِهَةِ تَمَسُّكِي بِالسُّنَّةِ مِنْ قِبَلِ أَهْلِي وَكَذَلِك أَقَارِبِي مَا التَّوْجِيهُ فِي ذَلِكَ؟ يَقُولُ هَلْ يَضُرُّنِي فِي دِينِي؟ أَوْ كَذَلِكَ هَلْ نَبْتَعِدُ عَنْهُمْ؟ هَذَا الْأَمْرُ يَنْفَعُكَ وَيَرْفَعُ دَرَجَتَكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَاحَدِيثُ الْآخَرِيْنَ فِيْكَ وَاسْتِهْزَاؤُهُم بِكَ هَذَا مَضَرَّتُهُ عَلَيْهِمْ وَلَيْسَتْ عَلَيْكَ فَأَنْتَ تَنْتَفِعُ بِهَذَا وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ أَنْبِيَائِهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَعَرَّضُونَ لِلِاسْتِهْزَاءِ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ وَقَالَ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ وَقَدْ تَكَفَّلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِكِفَايَةِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَحِمَايَتِهِمْ مِنِ اسْتِهْزَاءِ هَؤُلَاءِ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ فَقَالَ إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّ غَايَةَ هَذَا الِاسْتِهْزَاءِ هُوَ اللَّفْظُ وَالْكَلَامُ وَأَمَّا عِنْدَ حَقَائِقِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا تَتَبَيَّنُ فِيهَا رُجْحَانُ كِفَّةِ أُولَئِكَ الَّذِينَ الْتَزَمُوا طَرِيقَ الطَّاعَةِ وَقَدْ يُدْرِكُ الْإِنْسَانُ بَعْضَ الْأَقْدَارِ الَّتِي تَجْعَلُهُ يَتَأَسَّفُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ أَيَّامِهِ فَالْمَقْصُودُ أَنَّ حِرْصَ الْإِنْسَانِ عَلَى الْمُقْتَضَى الشَّرْعِيِّ لَا يُؤَثِّرُ اسْتِهْزَاءُ الْآخَرِيْنَ بِهِ بَلْ يَرْفَعُ ذَلِكَ مِنْ دَرَجَتِهِ قَالَ تَعَالَى وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ لُمَزَةٍ وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ فِي حَقَائِقِ الْأُمُورِ وَجَدَ أَنَّ الِاسْتِهْزَاءَ لَمْ يَسْلَمْ مِنْهُ أَحَدٌ مِنَ الصَّالِحِيْنَ بَلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ خَالِقُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرَاضِيْنَ كَانَ يَتَعَرَّضُ لِشَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ وَالسُّخْرِيَةِ وَكَانَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا حَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَالنَّاظِرُ فِي سِيْرَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِدُ نَمَاذِجَ كَثِيرَةً مِنْ هَذَا الْبَابِ أَيْضًا شَيْخَنَا هَلْ يَبْتَعِدُ عَنْهُمْ نَصِيحَتَكُمْ أَوْ يُقَاطِعُهُمْ؟ نَصِيحَتُنَا أَنْ يُوَاصِلَهُمْ وَأَنْ يُحْسِنَ إِلَيْهِمْ وَأَنْ يَنْصَحَهُمْ وَأَنْ يَتَحَمَّلَ الْأَذَى الَّذِي يَكُونُ مِنْهُمْ قَالَ تَعَالَى إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَقَالَ تَعَالَى فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَقَالَ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ وَقَال وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَمِنْ ثَمَّ فَاسْتِهْزَاءُ الْآخَرَيْنِ بِكَ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَتِكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَلَا تَجْزَعْ مِنْ ذَلِكَ وَلَا تَظُنُّ أَنَّهُمْ سَيُؤَثِّرُونَ عَلَيْكَ


Saudara Muhammad meminta nasihat dari Anda, wahai Syaikh. Ia berkata, “Saya seorang yang berusaha istiqamah di atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Namun saya menghadapi hinaan karena berpegang teguh pada sunnah, baik dari keluarga maupun kerabat saya. Apa nasihat Anda dalam hal ini? Apakah hal itu dapat merusak agama saya? Dan apakah saya boleh menjauhi mereka?” Perkara ini justru bermanfaat bagimu dan akan meninggikan derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Omongan orang lain terhadapmu dan hinaan mereka terhadapmu, mudharatnya justru kembali kepada mereka, bukan kepadamu. Kamu justru mendapat manfaat dari itu. Allah ‘Azza wa Jalla telah menceritakan tentang para nabi ‘alaihimus salam, bahwa dulu mereka juga mendapat hinaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh, telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum kamu maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan mereka azab yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-Anbiya: 41). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa dahulu selalu menertawakan orang-orang beriman dan apabila orang beriman lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan mata.” (QS. Al-Muthaffifin: 29–30). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjamin kecukupan bagi orang-orang beriman dan melindungi mereka dari cemoohan orang-orang yang menghina. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami cukupkan bagimu (perlindungan dari kejahatan) orang-orang yang menghina.” (QS. Al-Hijr: 95). Jadi, pada hakikatnya, puncak dari hinaan hanyalah sebatas ucapan. Sedangkan pada kenyataannya, telah jelas bahwa keunggulan ada pada mereka yang teguh di jalan ketaatan. Terkadang seseorang mendapat takdir yang membuatnya menyesali apa yang telah terjadi di masa lalunya. Intinya, keteguhan seseorang untuk berpegang pada ketentuan syariat tidak akan terpengaruh oleh ejekan orang lain terhadapnya. Justru itu akan meninggikan derajatnya. Allah Ta’ala berfirman, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS. Al-Humazah: 1). Ketika seseorang mencermati hakikat perkara ini, ia akan mendapati bahwa tidak ada seorang pun yang saleh terbebas dari hinaan. Bahkan, Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Agung, Pencipta langit dan bumi juga mendapatkan ejekan dan hinaan. Namun, Allah Jalla wa ‘Ala tetaplah Maha Lembut terhadap para hamba-Nya. Orang yang mencermati sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan menemukan banyak contoh dalam masalah ini. Selain itu, wahai Syaikh, apakah dia boleh menjauhi atau memutus hubungan dengan mereka? Mohon nasihat Anda. Kami nasihatkan agar dia tetap menyambung silaturahmi dengan mereka, berbuat baik kepada mereka, dan menasihati mereka, serta bersabar atas gangguan yang datang dari mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 2-3). Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka bersabarlah kamu seperti mereka yang punya keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar…” (QS. Al-Ahqaf: 35). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10). Allah Ta’ala juga berfirman, “…Dan sungguh Kami akan memberi balasan bagi orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96). Dengan demikian, hinaan orang lain terhadapmu adalah salah satu peninggi derajatmu di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Maka janganlah bersedih hati karenanya, dan jangan mengira mereka dapat memberi pengaruh buruk kepadamu. ===== الْأَخُ مُحَمَّدٌ يُرِيدُ التَّوْجِيهَ مِنْكُمْ مَعَالِيَ الشَّيْخ فَيَقُولُ أَنَا شَخْصٌ مُسْتَقِيمٌ عَلَى أَمْرِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأُعَانِي مِنْ شَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ مِنْ جِهَةِ تَمَسُّكِي بِالسُّنَّةِ مِنْ قِبَلِ أَهْلِي وَكَذَلِك أَقَارِبِي مَا التَّوْجِيهُ فِي ذَلِكَ؟ يَقُولُ هَلْ يَضُرُّنِي فِي دِينِي؟ أَوْ كَذَلِكَ هَلْ نَبْتَعِدُ عَنْهُمْ؟ هَذَا الْأَمْرُ يَنْفَعُكَ وَيَرْفَعُ دَرَجَتَكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَاحَدِيثُ الْآخَرِيْنَ فِيْكَ وَاسْتِهْزَاؤُهُم بِكَ هَذَا مَضَرَّتُهُ عَلَيْهِمْ وَلَيْسَتْ عَلَيْكَ فَأَنْتَ تَنْتَفِعُ بِهَذَا وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ أَنْبِيَائِهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَعَرَّضُونَ لِلِاسْتِهْزَاءِ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ وَقَالَ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ وَقَدْ تَكَفَّلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِكِفَايَةِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَحِمَايَتِهِمْ مِنِ اسْتِهْزَاءِ هَؤُلَاءِ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ فَقَالَ إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّ غَايَةَ هَذَا الِاسْتِهْزَاءِ هُوَ اللَّفْظُ وَالْكَلَامُ وَأَمَّا عِنْدَ حَقَائِقِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا تَتَبَيَّنُ فِيهَا رُجْحَانُ كِفَّةِ أُولَئِكَ الَّذِينَ الْتَزَمُوا طَرِيقَ الطَّاعَةِ وَقَدْ يُدْرِكُ الْإِنْسَانُ بَعْضَ الْأَقْدَارِ الَّتِي تَجْعَلُهُ يَتَأَسَّفُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ أَيَّامِهِ فَالْمَقْصُودُ أَنَّ حِرْصَ الْإِنْسَانِ عَلَى الْمُقْتَضَى الشَّرْعِيِّ لَا يُؤَثِّرُ اسْتِهْزَاءُ الْآخَرِيْنَ بِهِ بَلْ يَرْفَعُ ذَلِكَ مِنْ دَرَجَتِهِ قَالَ تَعَالَى وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ لُمَزَةٍ وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ فِي حَقَائِقِ الْأُمُورِ وَجَدَ أَنَّ الِاسْتِهْزَاءَ لَمْ يَسْلَمْ مِنْهُ أَحَدٌ مِنَ الصَّالِحِيْنَ بَلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ خَالِقُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرَاضِيْنَ كَانَ يَتَعَرَّضُ لِشَيْءٍ مِنَ الِاسْتِهْزَاءِ وَالسُّخْرِيَةِ وَكَانَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا حَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَالنَّاظِرُ فِي سِيْرَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِدُ نَمَاذِجَ كَثِيرَةً مِنْ هَذَا الْبَابِ أَيْضًا شَيْخَنَا هَلْ يَبْتَعِدُ عَنْهُمْ نَصِيحَتَكُمْ أَوْ يُقَاطِعُهُمْ؟ نَصِيحَتُنَا أَنْ يُوَاصِلَهُمْ وَأَنْ يُحْسِنَ إِلَيْهِمْ وَأَنْ يَنْصَحَهُمْ وَأَنْ يَتَحَمَّلَ الْأَذَى الَّذِي يَكُونُ مِنْهُمْ قَالَ تَعَالَى إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَقَالَ تَعَالَى فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَقَالَ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ وَقَال وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَمِنْ ثَمَّ فَاسْتِهْزَاءُ الْآخَرَيْنِ بِكَ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَتِكَ عِنْدَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَلَا تَجْزَعْ مِنْ ذَلِكَ وَلَا تَظُنُّ أَنَّهُمْ سَيُؤَثِّرُونَ عَلَيْكَ

Anda Akan Bahagia Jika Memiliki yang Satu Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Salah satu jalan menuju kebahagiaan adalah merasa cukup dan ridha dengan rezeki yang Allah bagikan. Ada ungkapan lama, “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada orang lain, melainkan kebahagiaan adalah merasa lebih puas daripada orang lain.” Maka, di antara jalan meraih kebahagiaan ialah merasa cukup dengan apa yang Allah tetapkan bagimu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, melainkan kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.” Kekayaan itu terletak pada jiwa yang merasa cukup. Jika seseorang tidak memiliki kekayaan jiwa ini, maka sebanyak apa pun harta dan kekayaan yang ia miliki, ia tetap merasa miskin. Sedangkan orang yang memiliki jiwa yang merasa cukup, meskipun penghasilannya sedikit, ia tetap merasa kaya. Merasa cukup adalah harta simpanan yang tidak pernah habis. Demikian pula, ridha terhadap rezeki yang Allah Ta’ala tetapkan bagi seseorang, termasuk di antara jalan menuju kebahagiaan. Maka dari itu, dalam ungkapan hikmah disebutkan: “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain, tapi kebahagiaan adalah dengan merasa lebih puas daripada orang lain.” Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya ridha terhadap apa yang Allah Ta’ala tetapkan baginya. Terhadap rezeki yang Allah tetapkan baginya, dan terhadap segala urusan lain yang telah ditakdirkan-Nya. Ia harus merasa puas dengan pembagian tersebut. Serta hidup dengan penuh optimisme dan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Senantiasa memohon karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Merasa puas atas takdir yang ditetapkan Allah Ta’ala baginya. Ada sebagian orang yang cenderung suka mengeluh, tidak puas, menggerutu, dan selalu merasa kurang. Tiada satu pun yang membuatnya merasa cukup. Padahal, mungkin ia tengah hidup dalam kenikmatan dan kenyamanan. Namun meski demikian, ia tetap tidak puas dengan keadaannya, terus menggerutu dan mengeluh. Orang seperti ini tentu jauh dari kebahagiaan. Namun di sisi lain, ada orang yang mungkin lebih sedikit hartanya, tapi rasa puasnya lebih besar, sehingga ia merasa bahagia dalam hidupnya. Oleh sebab itu, hal-hal semacam ini harus sungguh-sungguh diupayakan oleh seorang Muslim, dan dia perlu melatih jiwanya untuk merasa cukup dan ridha. Sebab jika tidak, jiwa manusia akan terus menginginkan lebih banyak. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia menginginkan dua lembah. Jika ia telah memiliki dua lembah, ia menginginkan tiga. Tidak ada yang memenuhi rongga anak Adam kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Jiwa manusia senantiasa menginginkan dan mengejar lebih banyak. Oleh sebab itu, jiwa ini harus dilatih. Seseorang harus membiasakan jiwanya untuk merasa puas. dan menanamkan keyakinan dalam hatinya, bahwa rezeki yang datang kepadanya hanyalah yang telah Allah tetapkan untuknya. Rezeki tidak akan didapatkan seseorang kecuali yang telah ditetapkan Allah untuknya. Rezeki seseorang telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam rahim ibunya: 40 hari sebagai nutfah, lalu 40 hari sebagai ‘alaqah, lalu 40 hari sebagai mudghah…” (HR. Bukhari). Yakni 40 hari ditambah 40 hari, lalu 40 hari lagi, total 120 hari. Kemudian malaikat didatangkan, diperintahkan meniupkan ruh, dan diperintahkan mencatat empat perkara: Rezekinya, ajalnya, amalannya, serta apakah ia termasuk orang yang celaka atau bahagia. Jadi, rezeki telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya ridha terhadap rezeki yang Allah tetapkan untuknya. Kamu tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah tetapkan untukmu. Rezeki yang telah ditetapkan untukmu akan menghampirimu. Oleh sebab itu, ketika seorang Muslim mengetahui hakikat ini dan memahami dengan baik perkara rezeki, dia akan merasa puas dengan yang telah Allah berikan kepadanya, dan jauh dari sikap mengeluh dan menggerutu. ===== مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ وَالرِّضَا بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ وَقَدِيمًا قِيلَ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ مِنْ أَسْبَابِ حُصُولِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ أَنْ تَقْنَعَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ الْغِنَى هُوَ غِنَى النَّفْسِ وَإِلَّا إِذَا لَمْ يُوجَدْ عِنْدَ الْإِنْسَانِ غِنَى النَّفْسِ فَمَهْمَا مَلَكَ مِنَ الثَّرَوَاتِ وَمِنَ الْأَمْوَالِ يَبْقَى فَقِيرًا أَمَّا إِذَا كَانَ عِنْدَهُ غِنَى النَّفْسِ فَحَتَّى لَوْ كَانَ قَلِيلَ ذَاتِ الْيَدِ يَكُونُ غَنِيًّا فَالْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى وَهَكَذَا أَيْضًا الرِّضَا بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فَهُوَ مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ وَلِهَذَا قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْمُسْلِمُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الرِّزْقِ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الْأُمُورِ كُلِّهَا أَنْ يَكُونَ رَاضِيًا بِهَذِهِ الْقِسْمَةِ وَأَنْ يَعِيشَ مُتَفَائِلًا حَسَنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى سَائِلًا لَهَا عَزَّ وَجَلَّ مِنْ فَضْلِهِ رَاضِيًا بِمَا قَدَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بَعْضُ النَّاسِ تَجِدُ أَنَّهُ يَغْلِبُ عَلَيْهِ التَّشَكِّي وَالتَّسَخُّطُ وَالتَّبَرُّمُ لَا يُعْجِبُهُ الْعَجَبُ وَرُبَّمَا يَكُونُ فِي نِعْمَةٍ وَفِي عِيْشَةٍ هَنِيَّةٍ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ يَبْقَى غَيْرَ رَاضٍ عَنْ حَالِهِ مُتَسَخِّطًا مُتَشَكِّيًا وَهَذَا يَكُونُ بِمَنْأًى عَنِ السَّعَادَةِ وَتَجِدُ فِي الْمُقَابِلِ مَنْ هُوَ رُبَّمَا أَقَلُّ مِنْهُ مَالًا لَكِنَّهُ أَكْثَرُ رِضًا فَهُوَ سَعِيدٌ فِي حَيَاتِهِ وَلِذَلِكَ هَذِهِ الْمَعَانِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى تَحْقِيقِهَا وَعَلَى تَرْوِيْضِ النَّفْسِ عَلَى الْقَنَاعَةِ وَالرِّضَا وَإِلَّا فَإِنَّ النَّفْسَ تَطْمَحُ دَائِمًا تَطْمَحُ لِلْكَثِيرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى وَادِيَيْنِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ فَالنَّفْسُ دَائِمًا تَطْمَعُ وَتَطْمَحُ وَلِهَذَا لَا بُدَّ مِنْ تَرْوِيْضِ هَذِهِ النَّفْسِ وَيُعَوِّدُ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ عَلَى الرَّضَا وَأَنْ يَسْتَقِرَّ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ لَنْ يَأْتِيَهُ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَ الْإِنْسَانَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ وَالرِّزْقُ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ عَلَقةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ يَعْنِي أَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ مِئَةً وَعِشْرِينَ ثُمَّ يَأْتِيهِ الْمَلَكُ وَيُؤْمَرُ بِنَفْخِ الرُّوحِ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَالرِّزْقُ يُكْتَبُ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْإِنْسَانُ بِالرِّزْقِ الَّذِي كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَكَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكَ وَالرِّزْقُ الْمَكْتُوبُ لَكَ سَيَأْتِيكَ فَلِذَلِكَ إِذَا عَرَفَ الْمُسْلِمُ هَذِهِ الْحَقِيقَةَ وَفَهِمَ قَضِيَّةَ الرِّزْقِ فَهْمًا جَيِّدًا فَإِنَّهُ يَرضَى بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَهُ وَيَكُونُ بَعِيدًا عَنِ التَّشَكِّي وَعَنِ التَّسَخُّطِ

Anda Akan Bahagia Jika Memiliki yang Satu Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Salah satu jalan menuju kebahagiaan adalah merasa cukup dan ridha dengan rezeki yang Allah bagikan. Ada ungkapan lama, “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada orang lain, melainkan kebahagiaan adalah merasa lebih puas daripada orang lain.” Maka, di antara jalan meraih kebahagiaan ialah merasa cukup dengan apa yang Allah tetapkan bagimu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, melainkan kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.” Kekayaan itu terletak pada jiwa yang merasa cukup. Jika seseorang tidak memiliki kekayaan jiwa ini, maka sebanyak apa pun harta dan kekayaan yang ia miliki, ia tetap merasa miskin. Sedangkan orang yang memiliki jiwa yang merasa cukup, meskipun penghasilannya sedikit, ia tetap merasa kaya. Merasa cukup adalah harta simpanan yang tidak pernah habis. Demikian pula, ridha terhadap rezeki yang Allah Ta’ala tetapkan bagi seseorang, termasuk di antara jalan menuju kebahagiaan. Maka dari itu, dalam ungkapan hikmah disebutkan: “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain, tapi kebahagiaan adalah dengan merasa lebih puas daripada orang lain.” Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya ridha terhadap apa yang Allah Ta’ala tetapkan baginya. Terhadap rezeki yang Allah tetapkan baginya, dan terhadap segala urusan lain yang telah ditakdirkan-Nya. Ia harus merasa puas dengan pembagian tersebut. Serta hidup dengan penuh optimisme dan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Senantiasa memohon karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Merasa puas atas takdir yang ditetapkan Allah Ta’ala baginya. Ada sebagian orang yang cenderung suka mengeluh, tidak puas, menggerutu, dan selalu merasa kurang. Tiada satu pun yang membuatnya merasa cukup. Padahal, mungkin ia tengah hidup dalam kenikmatan dan kenyamanan. Namun meski demikian, ia tetap tidak puas dengan keadaannya, terus menggerutu dan mengeluh. Orang seperti ini tentu jauh dari kebahagiaan. Namun di sisi lain, ada orang yang mungkin lebih sedikit hartanya, tapi rasa puasnya lebih besar, sehingga ia merasa bahagia dalam hidupnya. Oleh sebab itu, hal-hal semacam ini harus sungguh-sungguh diupayakan oleh seorang Muslim, dan dia perlu melatih jiwanya untuk merasa cukup dan ridha. Sebab jika tidak, jiwa manusia akan terus menginginkan lebih banyak. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia menginginkan dua lembah. Jika ia telah memiliki dua lembah, ia menginginkan tiga. Tidak ada yang memenuhi rongga anak Adam kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Jiwa manusia senantiasa menginginkan dan mengejar lebih banyak. Oleh sebab itu, jiwa ini harus dilatih. Seseorang harus membiasakan jiwanya untuk merasa puas. dan menanamkan keyakinan dalam hatinya, bahwa rezeki yang datang kepadanya hanyalah yang telah Allah tetapkan untuknya. Rezeki tidak akan didapatkan seseorang kecuali yang telah ditetapkan Allah untuknya. Rezeki seseorang telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam rahim ibunya: 40 hari sebagai nutfah, lalu 40 hari sebagai ‘alaqah, lalu 40 hari sebagai mudghah…” (HR. Bukhari). Yakni 40 hari ditambah 40 hari, lalu 40 hari lagi, total 120 hari. Kemudian malaikat didatangkan, diperintahkan meniupkan ruh, dan diperintahkan mencatat empat perkara: Rezekinya, ajalnya, amalannya, serta apakah ia termasuk orang yang celaka atau bahagia. Jadi, rezeki telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya ridha terhadap rezeki yang Allah tetapkan untuknya. Kamu tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah tetapkan untukmu. Rezeki yang telah ditetapkan untukmu akan menghampirimu. Oleh sebab itu, ketika seorang Muslim mengetahui hakikat ini dan memahami dengan baik perkara rezeki, dia akan merasa puas dengan yang telah Allah berikan kepadanya, dan jauh dari sikap mengeluh dan menggerutu. ===== مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ وَالرِّضَا بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ وَقَدِيمًا قِيلَ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ مِنْ أَسْبَابِ حُصُولِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ أَنْ تَقْنَعَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ الْغِنَى هُوَ غِنَى النَّفْسِ وَإِلَّا إِذَا لَمْ يُوجَدْ عِنْدَ الْإِنْسَانِ غِنَى النَّفْسِ فَمَهْمَا مَلَكَ مِنَ الثَّرَوَاتِ وَمِنَ الْأَمْوَالِ يَبْقَى فَقِيرًا أَمَّا إِذَا كَانَ عِنْدَهُ غِنَى النَّفْسِ فَحَتَّى لَوْ كَانَ قَلِيلَ ذَاتِ الْيَدِ يَكُونُ غَنِيًّا فَالْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى وَهَكَذَا أَيْضًا الرِّضَا بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فَهُوَ مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ وَلِهَذَا قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْمُسْلِمُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الرِّزْقِ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الْأُمُورِ كُلِّهَا أَنْ يَكُونَ رَاضِيًا بِهَذِهِ الْقِسْمَةِ وَأَنْ يَعِيشَ مُتَفَائِلًا حَسَنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى سَائِلًا لَهَا عَزَّ وَجَلَّ مِنْ فَضْلِهِ رَاضِيًا بِمَا قَدَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بَعْضُ النَّاسِ تَجِدُ أَنَّهُ يَغْلِبُ عَلَيْهِ التَّشَكِّي وَالتَّسَخُّطُ وَالتَّبَرُّمُ لَا يُعْجِبُهُ الْعَجَبُ وَرُبَّمَا يَكُونُ فِي نِعْمَةٍ وَفِي عِيْشَةٍ هَنِيَّةٍ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ يَبْقَى غَيْرَ رَاضٍ عَنْ حَالِهِ مُتَسَخِّطًا مُتَشَكِّيًا وَهَذَا يَكُونُ بِمَنْأًى عَنِ السَّعَادَةِ وَتَجِدُ فِي الْمُقَابِلِ مَنْ هُوَ رُبَّمَا أَقَلُّ مِنْهُ مَالًا لَكِنَّهُ أَكْثَرُ رِضًا فَهُوَ سَعِيدٌ فِي حَيَاتِهِ وَلِذَلِكَ هَذِهِ الْمَعَانِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى تَحْقِيقِهَا وَعَلَى تَرْوِيْضِ النَّفْسِ عَلَى الْقَنَاعَةِ وَالرِّضَا وَإِلَّا فَإِنَّ النَّفْسَ تَطْمَحُ دَائِمًا تَطْمَحُ لِلْكَثِيرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى وَادِيَيْنِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ فَالنَّفْسُ دَائِمًا تَطْمَعُ وَتَطْمَحُ وَلِهَذَا لَا بُدَّ مِنْ تَرْوِيْضِ هَذِهِ النَّفْسِ وَيُعَوِّدُ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ عَلَى الرَّضَا وَأَنْ يَسْتَقِرَّ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ لَنْ يَأْتِيَهُ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَ الْإِنْسَانَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ وَالرِّزْقُ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ عَلَقةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ يَعْنِي أَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ مِئَةً وَعِشْرِينَ ثُمَّ يَأْتِيهِ الْمَلَكُ وَيُؤْمَرُ بِنَفْخِ الرُّوحِ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَالرِّزْقُ يُكْتَبُ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْإِنْسَانُ بِالرِّزْقِ الَّذِي كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَكَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكَ وَالرِّزْقُ الْمَكْتُوبُ لَكَ سَيَأْتِيكَ فَلِذَلِكَ إِذَا عَرَفَ الْمُسْلِمُ هَذِهِ الْحَقِيقَةَ وَفَهِمَ قَضِيَّةَ الرِّزْقِ فَهْمًا جَيِّدًا فَإِنَّهُ يَرضَى بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَهُ وَيَكُونُ بَعِيدًا عَنِ التَّشَكِّي وَعَنِ التَّسَخُّطِ
Salah satu jalan menuju kebahagiaan adalah merasa cukup dan ridha dengan rezeki yang Allah bagikan. Ada ungkapan lama, “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada orang lain, melainkan kebahagiaan adalah merasa lebih puas daripada orang lain.” Maka, di antara jalan meraih kebahagiaan ialah merasa cukup dengan apa yang Allah tetapkan bagimu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, melainkan kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.” Kekayaan itu terletak pada jiwa yang merasa cukup. Jika seseorang tidak memiliki kekayaan jiwa ini, maka sebanyak apa pun harta dan kekayaan yang ia miliki, ia tetap merasa miskin. Sedangkan orang yang memiliki jiwa yang merasa cukup, meskipun penghasilannya sedikit, ia tetap merasa kaya. Merasa cukup adalah harta simpanan yang tidak pernah habis. Demikian pula, ridha terhadap rezeki yang Allah Ta’ala tetapkan bagi seseorang, termasuk di antara jalan menuju kebahagiaan. Maka dari itu, dalam ungkapan hikmah disebutkan: “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain, tapi kebahagiaan adalah dengan merasa lebih puas daripada orang lain.” Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya ridha terhadap apa yang Allah Ta’ala tetapkan baginya. Terhadap rezeki yang Allah tetapkan baginya, dan terhadap segala urusan lain yang telah ditakdirkan-Nya. Ia harus merasa puas dengan pembagian tersebut. Serta hidup dengan penuh optimisme dan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Senantiasa memohon karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Merasa puas atas takdir yang ditetapkan Allah Ta’ala baginya. Ada sebagian orang yang cenderung suka mengeluh, tidak puas, menggerutu, dan selalu merasa kurang. Tiada satu pun yang membuatnya merasa cukup. Padahal, mungkin ia tengah hidup dalam kenikmatan dan kenyamanan. Namun meski demikian, ia tetap tidak puas dengan keadaannya, terus menggerutu dan mengeluh. Orang seperti ini tentu jauh dari kebahagiaan. Namun di sisi lain, ada orang yang mungkin lebih sedikit hartanya, tapi rasa puasnya lebih besar, sehingga ia merasa bahagia dalam hidupnya. Oleh sebab itu, hal-hal semacam ini harus sungguh-sungguh diupayakan oleh seorang Muslim, dan dia perlu melatih jiwanya untuk merasa cukup dan ridha. Sebab jika tidak, jiwa manusia akan terus menginginkan lebih banyak. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia menginginkan dua lembah. Jika ia telah memiliki dua lembah, ia menginginkan tiga. Tidak ada yang memenuhi rongga anak Adam kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Jiwa manusia senantiasa menginginkan dan mengejar lebih banyak. Oleh sebab itu, jiwa ini harus dilatih. Seseorang harus membiasakan jiwanya untuk merasa puas. dan menanamkan keyakinan dalam hatinya, bahwa rezeki yang datang kepadanya hanyalah yang telah Allah tetapkan untuknya. Rezeki tidak akan didapatkan seseorang kecuali yang telah ditetapkan Allah untuknya. Rezeki seseorang telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam rahim ibunya: 40 hari sebagai nutfah, lalu 40 hari sebagai ‘alaqah, lalu 40 hari sebagai mudghah…” (HR. Bukhari). Yakni 40 hari ditambah 40 hari, lalu 40 hari lagi, total 120 hari. Kemudian malaikat didatangkan, diperintahkan meniupkan ruh, dan diperintahkan mencatat empat perkara: Rezekinya, ajalnya, amalannya, serta apakah ia termasuk orang yang celaka atau bahagia. Jadi, rezeki telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya ridha terhadap rezeki yang Allah tetapkan untuknya. Kamu tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah tetapkan untukmu. Rezeki yang telah ditetapkan untukmu akan menghampirimu. Oleh sebab itu, ketika seorang Muslim mengetahui hakikat ini dan memahami dengan baik perkara rezeki, dia akan merasa puas dengan yang telah Allah berikan kepadanya, dan jauh dari sikap mengeluh dan menggerutu. ===== مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ وَالرِّضَا بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ وَقَدِيمًا قِيلَ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ مِنْ أَسْبَابِ حُصُولِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ أَنْ تَقْنَعَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ الْغِنَى هُوَ غِنَى النَّفْسِ وَإِلَّا إِذَا لَمْ يُوجَدْ عِنْدَ الْإِنْسَانِ غِنَى النَّفْسِ فَمَهْمَا مَلَكَ مِنَ الثَّرَوَاتِ وَمِنَ الْأَمْوَالِ يَبْقَى فَقِيرًا أَمَّا إِذَا كَانَ عِنْدَهُ غِنَى النَّفْسِ فَحَتَّى لَوْ كَانَ قَلِيلَ ذَاتِ الْيَدِ يَكُونُ غَنِيًّا فَالْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى وَهَكَذَا أَيْضًا الرِّضَا بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فَهُوَ مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ وَلِهَذَا قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْمُسْلِمُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الرِّزْقِ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الْأُمُورِ كُلِّهَا أَنْ يَكُونَ رَاضِيًا بِهَذِهِ الْقِسْمَةِ وَأَنْ يَعِيشَ مُتَفَائِلًا حَسَنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى سَائِلًا لَهَا عَزَّ وَجَلَّ مِنْ فَضْلِهِ رَاضِيًا بِمَا قَدَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بَعْضُ النَّاسِ تَجِدُ أَنَّهُ يَغْلِبُ عَلَيْهِ التَّشَكِّي وَالتَّسَخُّطُ وَالتَّبَرُّمُ لَا يُعْجِبُهُ الْعَجَبُ وَرُبَّمَا يَكُونُ فِي نِعْمَةٍ وَفِي عِيْشَةٍ هَنِيَّةٍ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ يَبْقَى غَيْرَ رَاضٍ عَنْ حَالِهِ مُتَسَخِّطًا مُتَشَكِّيًا وَهَذَا يَكُونُ بِمَنْأًى عَنِ السَّعَادَةِ وَتَجِدُ فِي الْمُقَابِلِ مَنْ هُوَ رُبَّمَا أَقَلُّ مِنْهُ مَالًا لَكِنَّهُ أَكْثَرُ رِضًا فَهُوَ سَعِيدٌ فِي حَيَاتِهِ وَلِذَلِكَ هَذِهِ الْمَعَانِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى تَحْقِيقِهَا وَعَلَى تَرْوِيْضِ النَّفْسِ عَلَى الْقَنَاعَةِ وَالرِّضَا وَإِلَّا فَإِنَّ النَّفْسَ تَطْمَحُ دَائِمًا تَطْمَحُ لِلْكَثِيرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى وَادِيَيْنِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ فَالنَّفْسُ دَائِمًا تَطْمَعُ وَتَطْمَحُ وَلِهَذَا لَا بُدَّ مِنْ تَرْوِيْضِ هَذِهِ النَّفْسِ وَيُعَوِّدُ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ عَلَى الرَّضَا وَأَنْ يَسْتَقِرَّ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ لَنْ يَأْتِيَهُ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَ الْإِنْسَانَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ وَالرِّزْقُ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ عَلَقةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ يَعْنِي أَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ مِئَةً وَعِشْرِينَ ثُمَّ يَأْتِيهِ الْمَلَكُ وَيُؤْمَرُ بِنَفْخِ الرُّوحِ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَالرِّزْقُ يُكْتَبُ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْإِنْسَانُ بِالرِّزْقِ الَّذِي كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَكَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكَ وَالرِّزْقُ الْمَكْتُوبُ لَكَ سَيَأْتِيكَ فَلِذَلِكَ إِذَا عَرَفَ الْمُسْلِمُ هَذِهِ الْحَقِيقَةَ وَفَهِمَ قَضِيَّةَ الرِّزْقِ فَهْمًا جَيِّدًا فَإِنَّهُ يَرضَى بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَهُ وَيَكُونُ بَعِيدًا عَنِ التَّشَكِّي وَعَنِ التَّسَخُّطِ


Salah satu jalan menuju kebahagiaan adalah merasa cukup dan ridha dengan rezeki yang Allah bagikan. Ada ungkapan lama, “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada orang lain, melainkan kebahagiaan adalah merasa lebih puas daripada orang lain.” Maka, di antara jalan meraih kebahagiaan ialah merasa cukup dengan apa yang Allah tetapkan bagimu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, melainkan kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.” Kekayaan itu terletak pada jiwa yang merasa cukup. Jika seseorang tidak memiliki kekayaan jiwa ini, maka sebanyak apa pun harta dan kekayaan yang ia miliki, ia tetap merasa miskin. Sedangkan orang yang memiliki jiwa yang merasa cukup, meskipun penghasilannya sedikit, ia tetap merasa kaya. Merasa cukup adalah harta simpanan yang tidak pernah habis. Demikian pula, ridha terhadap rezeki yang Allah Ta’ala tetapkan bagi seseorang, termasuk di antara jalan menuju kebahagiaan. Maka dari itu, dalam ungkapan hikmah disebutkan: “Kebahagiaan bukanlah dengan memiliki lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain, tapi kebahagiaan adalah dengan merasa lebih puas daripada orang lain.” Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya ridha terhadap apa yang Allah Ta’ala tetapkan baginya. Terhadap rezeki yang Allah tetapkan baginya, dan terhadap segala urusan lain yang telah ditakdirkan-Nya. Ia harus merasa puas dengan pembagian tersebut. Serta hidup dengan penuh optimisme dan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Senantiasa memohon karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Merasa puas atas takdir yang ditetapkan Allah Ta’ala baginya. Ada sebagian orang yang cenderung suka mengeluh, tidak puas, menggerutu, dan selalu merasa kurang. Tiada satu pun yang membuatnya merasa cukup. Padahal, mungkin ia tengah hidup dalam kenikmatan dan kenyamanan. Namun meski demikian, ia tetap tidak puas dengan keadaannya, terus menggerutu dan mengeluh. Orang seperti ini tentu jauh dari kebahagiaan. Namun di sisi lain, ada orang yang mungkin lebih sedikit hartanya, tapi rasa puasnya lebih besar, sehingga ia merasa bahagia dalam hidupnya. Oleh sebab itu, hal-hal semacam ini harus sungguh-sungguh diupayakan oleh seorang Muslim, dan dia perlu melatih jiwanya untuk merasa cukup dan ridha. Sebab jika tidak, jiwa manusia akan terus menginginkan lebih banyak. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia menginginkan dua lembah. Jika ia telah memiliki dua lembah, ia menginginkan tiga. Tidak ada yang memenuhi rongga anak Adam kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna). Jiwa manusia senantiasa menginginkan dan mengejar lebih banyak. Oleh sebab itu, jiwa ini harus dilatih. Seseorang harus membiasakan jiwanya untuk merasa puas. dan menanamkan keyakinan dalam hatinya, bahwa rezeki yang datang kepadanya hanyalah yang telah Allah tetapkan untuknya. Rezeki tidak akan didapatkan seseorang kecuali yang telah ditetapkan Allah untuknya. Rezeki seseorang telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam rahim ibunya: 40 hari sebagai nutfah, lalu 40 hari sebagai ‘alaqah, lalu 40 hari sebagai mudghah…” (HR. Bukhari). Yakni 40 hari ditambah 40 hari, lalu 40 hari lagi, total 120 hari. Kemudian malaikat didatangkan, diperintahkan meniupkan ruh, dan diperintahkan mencatat empat perkara: Rezekinya, ajalnya, amalannya, serta apakah ia termasuk orang yang celaka atau bahagia. Jadi, rezeki telah ditetapkan saat ia masih dalam kandungan ibunya. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya ridha terhadap rezeki yang Allah tetapkan untuknya. Kamu tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah tetapkan untukmu. Rezeki yang telah ditetapkan untukmu akan menghampirimu. Oleh sebab itu, ketika seorang Muslim mengetahui hakikat ini dan memahami dengan baik perkara rezeki, dia akan merasa puas dengan yang telah Allah berikan kepadanya, dan jauh dari sikap mengeluh dan menggerutu. ===== مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ وَالرِّضَا بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ وَقَدِيمًا قِيلَ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ مِنْ أَسْبَابِ حُصُولِ السَّعَادَةِ الْقَنَاعَةُ أَنْ تَقْنَعَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ الْغِنَى هُوَ غِنَى النَّفْسِ وَإِلَّا إِذَا لَمْ يُوجَدْ عِنْدَ الْإِنْسَانِ غِنَى النَّفْسِ فَمَهْمَا مَلَكَ مِنَ الثَّرَوَاتِ وَمِنَ الْأَمْوَالِ يَبْقَى فَقِيرًا أَمَّا إِذَا كَانَ عِنْدَهُ غِنَى النَّفْسِ فَحَتَّى لَوْ كَانَ قَلِيلَ ذَاتِ الْيَدِ يَكُونُ غَنِيًّا فَالْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى وَهَكَذَا أَيْضًا الرِّضَا بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فَهُوَ مِنْ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ وَلِهَذَا قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ لَيْسَتْ السَّعَادَةُ فِي أَنْ تَمْلِكَ أَكْثَرَ مِمَّا يَمْلِكُ النَّاسُ وَلَكِنَّ السَّعَادَةَ أَنْ تَرْضَى أَكْثَرَ مِمَّا يَرْضَى النَّاسُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْمُسْلِمُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِمَا قَسَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الرِّزْقِ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ الْأُمُورِ كُلِّهَا أَنْ يَكُونَ رَاضِيًا بِهَذِهِ الْقِسْمَةِ وَأَنْ يَعِيشَ مُتَفَائِلًا حَسَنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى سَائِلًا لَهَا عَزَّ وَجَلَّ مِنْ فَضْلِهِ رَاضِيًا بِمَا قَدَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بَعْضُ النَّاسِ تَجِدُ أَنَّهُ يَغْلِبُ عَلَيْهِ التَّشَكِّي وَالتَّسَخُّطُ وَالتَّبَرُّمُ لَا يُعْجِبُهُ الْعَجَبُ وَرُبَّمَا يَكُونُ فِي نِعْمَةٍ وَفِي عِيْشَةٍ هَنِيَّةٍ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ يَبْقَى غَيْرَ رَاضٍ عَنْ حَالِهِ مُتَسَخِّطًا مُتَشَكِّيًا وَهَذَا يَكُونُ بِمَنْأًى عَنِ السَّعَادَةِ وَتَجِدُ فِي الْمُقَابِلِ مَنْ هُوَ رُبَّمَا أَقَلُّ مِنْهُ مَالًا لَكِنَّهُ أَكْثَرُ رِضًا فَهُوَ سَعِيدٌ فِي حَيَاتِهِ وَلِذَلِكَ هَذِهِ الْمَعَانِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى تَحْقِيقِهَا وَعَلَى تَرْوِيْضِ النَّفْسِ عَلَى الْقَنَاعَةِ وَالرِّضَا وَإِلَّا فَإِنَّ النَّفْسَ تَطْمَحُ دَائِمًا تَطْمَحُ لِلْكَثِيرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى وَادِيَيْنِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ فَالنَّفْسُ دَائِمًا تَطْمَعُ وَتَطْمَحُ وَلِهَذَا لَا بُدَّ مِنْ تَرْوِيْضِ هَذِهِ النَّفْسِ وَيُعَوِّدُ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ عَلَى الرَّضَا وَأَنْ يَسْتَقِرَّ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ لَنْ يَأْتِيَهُ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَ الْإِنْسَانَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ وَالرِّزْقُ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ عَلَقةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ يَعْنِي أَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ وَأَرْبَعُونَ مِئَةً وَعِشْرِينَ ثُمَّ يَأْتِيهِ الْمَلَكُ وَيُؤْمَرُ بِنَفْخِ الرُّوحِ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَالرِّزْقُ يُكْتَبُ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَرْضَى الْإِنْسَانُ بِالرِّزْقِ الَّذِي كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ لَنْ يَأْتِيَكَ مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكَ وَالرِّزْقُ الْمَكْتُوبُ لَكَ سَيَأْتِيكَ فَلِذَلِكَ إِذَا عَرَفَ الْمُسْلِمُ هَذِهِ الْحَقِيقَةَ وَفَهِمَ قَضِيَّةَ الرِّزْقِ فَهْمًا جَيِّدًا فَإِنَّهُ يَرضَى بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَهُ وَيَكُونُ بَعِيدًا عَنِ التَّشَكِّي وَعَنِ التَّسَخُّطِ

Derajat Hadis: ‘Barangsiapa Mengunjungi Makam Kedua Orang Tuanya atau Salah Satunya pada Hari Jumat..’

Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana status hadis,من مشى في زيارة أبويه، كان له بكل خطوة مائة حسنة“Barangsiapa berjalan untuk mengunjungi (kuburan) kedua orang tuanya, maka setiap langkahnya diganjar seratus kebaikan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.Kami tidak menemukan hadis dengan redaksi seperti yang Anda sebutkan. Namun, terdapat beberapa hadis tentang keutamaan mengunjungi makam orang tua. Hadis-hadis ini dinilai palsu (maudhu’) atau lemah (dha’if). Di antaranya adalah hadis,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، فقرأ عنده {يس} غفر له“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, lalu membaca surah Yasin di sana, maka dosanya diampuni.”Syekh Al-Albani menyatakan hadis ini maudhu’ (palsu), sebagaimana dalam Shahih al-Jami’.As-Sakhawi menyebutkan beberapa hadis terkait topik ini dalam kitabnya Al-Ajwibah al-Mardhiyyah tentang pertanyaan yang ditujukan kepadanya mengenai hadis-hadis Nabi. Disebutkan dari Aisyah, dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan redaksi,من زار قبر والديه كل جمعة، أو أحدهما، فقرأ عندهما “يس والقرآن الحكيم” غفر له بعدد كل آية وحرف“Barangsiapa mengunjungi kuburan kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat, lalu membaca ‘Yasin wal-Qur’an al-Hakim’ di sana, maka dosanya diampuni sebanyak jumlah ayat dan hurufnya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus melalui jalur Abu Syaikh. Ibnu ‘Adi berkata, “Sanadnya batil, tidak ada asalnya. Amru (perawi) dituduh memalsukan hadis.” Hadis ini juga dicantumkan dalam kitab Al-Maudhu’at (kumpulan hadis-hadis maudhu’) karya Ibnul Jauzi.Terdapat syahid (penguat) dari riwayat At-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir dari Abu Hurairah dengan redaksi,من زار قبر أبويه أو أحدهما كل جمعة، غفر له، وكتب بارًا“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, dosanya diampuni, dan ia dicatat sebagai anak yang berbakti.”Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdul Karim Abu Umayyah, dan ia lemah (dha’if).Ibnul Jauzi juga meriwayatkannya dalam Al-Maudhu’at melalui jalur Ad-Daraquthni dengan sanadnya hingga Ibnu Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar secara marfu’,من زار قبر أبيه أو قبر أمه، أو قبر أحد من قرابته، كتب له كحجة مبرورة، ومن كان زوّاراً لهم حتى يموت، زارت الملائكة قبره.“Barangsiapa mengunjungi makam ayahnya, ibunya, atau kerabatnya, maka ia dicatat seperti pahala haji mabrur. Dan barangsiapa rutin mengunjungi mereka hingga meninggal, para malaikat akan mengunjungi kuburnya.”Hadis serupa juga diriwayatkan oleh:Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsawab;Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil.Dari jalur yang sama (Ibnu ‘Adi), hadis ini juga dikeluarkan oleh:Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at;Abu Manshur Ad-Dailami dalam Musnad-nya, namun dengan redaksi,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، كان كحجة‘Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, pahalanya seperti (melakukan) haji.’Wallahu a’lam.Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/513160/

Derajat Hadis: ‘Barangsiapa Mengunjungi Makam Kedua Orang Tuanya atau Salah Satunya pada Hari Jumat..’

Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana status hadis,من مشى في زيارة أبويه، كان له بكل خطوة مائة حسنة“Barangsiapa berjalan untuk mengunjungi (kuburan) kedua orang tuanya, maka setiap langkahnya diganjar seratus kebaikan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.Kami tidak menemukan hadis dengan redaksi seperti yang Anda sebutkan. Namun, terdapat beberapa hadis tentang keutamaan mengunjungi makam orang tua. Hadis-hadis ini dinilai palsu (maudhu’) atau lemah (dha’if). Di antaranya adalah hadis,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، فقرأ عنده {يس} غفر له“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, lalu membaca surah Yasin di sana, maka dosanya diampuni.”Syekh Al-Albani menyatakan hadis ini maudhu’ (palsu), sebagaimana dalam Shahih al-Jami’.As-Sakhawi menyebutkan beberapa hadis terkait topik ini dalam kitabnya Al-Ajwibah al-Mardhiyyah tentang pertanyaan yang ditujukan kepadanya mengenai hadis-hadis Nabi. Disebutkan dari Aisyah, dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan redaksi,من زار قبر والديه كل جمعة، أو أحدهما، فقرأ عندهما “يس والقرآن الحكيم” غفر له بعدد كل آية وحرف“Barangsiapa mengunjungi kuburan kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat, lalu membaca ‘Yasin wal-Qur’an al-Hakim’ di sana, maka dosanya diampuni sebanyak jumlah ayat dan hurufnya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus melalui jalur Abu Syaikh. Ibnu ‘Adi berkata, “Sanadnya batil, tidak ada asalnya. Amru (perawi) dituduh memalsukan hadis.” Hadis ini juga dicantumkan dalam kitab Al-Maudhu’at (kumpulan hadis-hadis maudhu’) karya Ibnul Jauzi.Terdapat syahid (penguat) dari riwayat At-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir dari Abu Hurairah dengan redaksi,من زار قبر أبويه أو أحدهما كل جمعة، غفر له، وكتب بارًا“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, dosanya diampuni, dan ia dicatat sebagai anak yang berbakti.”Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdul Karim Abu Umayyah, dan ia lemah (dha’if).Ibnul Jauzi juga meriwayatkannya dalam Al-Maudhu’at melalui jalur Ad-Daraquthni dengan sanadnya hingga Ibnu Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar secara marfu’,من زار قبر أبيه أو قبر أمه، أو قبر أحد من قرابته، كتب له كحجة مبرورة، ومن كان زوّاراً لهم حتى يموت، زارت الملائكة قبره.“Barangsiapa mengunjungi makam ayahnya, ibunya, atau kerabatnya, maka ia dicatat seperti pahala haji mabrur. Dan barangsiapa rutin mengunjungi mereka hingga meninggal, para malaikat akan mengunjungi kuburnya.”Hadis serupa juga diriwayatkan oleh:Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsawab;Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil.Dari jalur yang sama (Ibnu ‘Adi), hadis ini juga dikeluarkan oleh:Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at;Abu Manshur Ad-Dailami dalam Musnad-nya, namun dengan redaksi,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، كان كحجة‘Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, pahalanya seperti (melakukan) haji.’Wallahu a’lam.Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/513160/
Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana status hadis,من مشى في زيارة أبويه، كان له بكل خطوة مائة حسنة“Barangsiapa berjalan untuk mengunjungi (kuburan) kedua orang tuanya, maka setiap langkahnya diganjar seratus kebaikan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.Kami tidak menemukan hadis dengan redaksi seperti yang Anda sebutkan. Namun, terdapat beberapa hadis tentang keutamaan mengunjungi makam orang tua. Hadis-hadis ini dinilai palsu (maudhu’) atau lemah (dha’if). Di antaranya adalah hadis,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، فقرأ عنده {يس} غفر له“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, lalu membaca surah Yasin di sana, maka dosanya diampuni.”Syekh Al-Albani menyatakan hadis ini maudhu’ (palsu), sebagaimana dalam Shahih al-Jami’.As-Sakhawi menyebutkan beberapa hadis terkait topik ini dalam kitabnya Al-Ajwibah al-Mardhiyyah tentang pertanyaan yang ditujukan kepadanya mengenai hadis-hadis Nabi. Disebutkan dari Aisyah, dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan redaksi,من زار قبر والديه كل جمعة، أو أحدهما، فقرأ عندهما “يس والقرآن الحكيم” غفر له بعدد كل آية وحرف“Barangsiapa mengunjungi kuburan kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat, lalu membaca ‘Yasin wal-Qur’an al-Hakim’ di sana, maka dosanya diampuni sebanyak jumlah ayat dan hurufnya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus melalui jalur Abu Syaikh. Ibnu ‘Adi berkata, “Sanadnya batil, tidak ada asalnya. Amru (perawi) dituduh memalsukan hadis.” Hadis ini juga dicantumkan dalam kitab Al-Maudhu’at (kumpulan hadis-hadis maudhu’) karya Ibnul Jauzi.Terdapat syahid (penguat) dari riwayat At-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir dari Abu Hurairah dengan redaksi,من زار قبر أبويه أو أحدهما كل جمعة، غفر له، وكتب بارًا“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, dosanya diampuni, dan ia dicatat sebagai anak yang berbakti.”Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdul Karim Abu Umayyah, dan ia lemah (dha’if).Ibnul Jauzi juga meriwayatkannya dalam Al-Maudhu’at melalui jalur Ad-Daraquthni dengan sanadnya hingga Ibnu Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar secara marfu’,من زار قبر أبيه أو قبر أمه، أو قبر أحد من قرابته، كتب له كحجة مبرورة، ومن كان زوّاراً لهم حتى يموت، زارت الملائكة قبره.“Barangsiapa mengunjungi makam ayahnya, ibunya, atau kerabatnya, maka ia dicatat seperti pahala haji mabrur. Dan barangsiapa rutin mengunjungi mereka hingga meninggal, para malaikat akan mengunjungi kuburnya.”Hadis serupa juga diriwayatkan oleh:Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsawab;Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil.Dari jalur yang sama (Ibnu ‘Adi), hadis ini juga dikeluarkan oleh:Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at;Abu Manshur Ad-Dailami dalam Musnad-nya, namun dengan redaksi,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، كان كحجة‘Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, pahalanya seperti (melakukan) haji.’Wallahu a’lam.Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/513160/


Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana status hadis,من مشى في زيارة أبويه، كان له بكل خطوة مائة حسنة“Barangsiapa berjalan untuk mengunjungi (kuburan) kedua orang tuanya, maka setiap langkahnya diganjar seratus kebaikan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.Kami tidak menemukan hadis dengan redaksi seperti yang Anda sebutkan. Namun, terdapat beberapa hadis tentang keutamaan mengunjungi makam orang tua. Hadis-hadis ini dinilai palsu (maudhu’) atau lemah (dha’if). Di antaranya adalah hadis,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، فقرأ عنده {يس} غفر له“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, lalu membaca surah Yasin di sana, maka dosanya diampuni.”Syekh Al-Albani menyatakan hadis ini maudhu’ (palsu), sebagaimana dalam Shahih al-Jami’.As-Sakhawi menyebutkan beberapa hadis terkait topik ini dalam kitabnya Al-Ajwibah al-Mardhiyyah tentang pertanyaan yang ditujukan kepadanya mengenai hadis-hadis Nabi. Disebutkan dari Aisyah, dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan redaksi,من زار قبر والديه كل جمعة، أو أحدهما، فقرأ عندهما “يس والقرآن الحكيم” غفر له بعدد كل آية وحرف“Barangsiapa mengunjungi kuburan kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat, lalu membaca ‘Yasin wal-Qur’an al-Hakim’ di sana, maka dosanya diampuni sebanyak jumlah ayat dan hurufnya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus melalui jalur Abu Syaikh. Ibnu ‘Adi berkata, “Sanadnya batil, tidak ada asalnya. Amru (perawi) dituduh memalsukan hadis.” Hadis ini juga dicantumkan dalam kitab Al-Maudhu’at (kumpulan hadis-hadis maudhu’) karya Ibnul Jauzi.Terdapat syahid (penguat) dari riwayat At-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir dari Abu Hurairah dengan redaksi,من زار قبر أبويه أو أحدهما كل جمعة، غفر له، وكتب بارًا“Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, dosanya diampuni, dan ia dicatat sebagai anak yang berbakti.”Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdul Karim Abu Umayyah, dan ia lemah (dha’if).Ibnul Jauzi juga meriwayatkannya dalam Al-Maudhu’at melalui jalur Ad-Daraquthni dengan sanadnya hingga Ibnu Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar secara marfu’,من زار قبر أبيه أو قبر أمه، أو قبر أحد من قرابته، كتب له كحجة مبرورة، ومن كان زوّاراً لهم حتى يموت، زارت الملائكة قبره.“Barangsiapa mengunjungi makam ayahnya, ibunya, atau kerabatnya, maka ia dicatat seperti pahala haji mabrur. Dan barangsiapa rutin mengunjungi mereka hingga meninggal, para malaikat akan mengunjungi kuburnya.”Hadis serupa juga diriwayatkan oleh:Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsawab;Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil.Dari jalur yang sama (Ibnu ‘Adi), hadis ini juga dikeluarkan oleh:Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at;Abu Manshur Ad-Dailami dalam Musnad-nya, namun dengan redaksi,من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة، كان كحجة‘Barangsiapa mengunjungi makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, pahalanya seperti (melakukan) haji.’Wallahu a’lam.Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/513160/
Prev     Next