Setelah Menonton Ini Semoga Anda Tidak Kesiangan Shalat Subuh Lagi – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh, maka dia berada dalam perlindungan Allah.Maka jangan sampai Allah menuntut kalian karena melanggar perlindungan-Nya.Karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya, pasti Allah akan mengejarnya sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya. Sabda beliau ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh,” yaitu Shalat Fajar. “…maka dia dalam perlindungan Allah.” Maksudnya, jika dia mendirikan Shalat Subuh sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu kaum laki-laki mendirikannya secara berjamaah di Masjid dan kaum wanita mendirikan Shalat Subuh tepat pada waktunya (di rumah). Maka dia berada dalam perlindungan Allah. Adapun makna “dalam perlindungan Allah,” yaitu dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah. Hal ini karena Shalat Subuh tidak mungkin dijaga pelaksanaannya kecuali oleh orang yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan orang yang kuat imannya. Karena dia bangkit dari tempat tidurnya dan meninggalkan istirahat, lalu dia bangun dan mendirikan shalat ini sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla. Kalaulah bukan karena imannya yang kuat, niscaya dia tidak akan melakukannya. Orang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini yang menjawab panggilan azan. Lalu ia mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dijanjikan untuk berada dalam janji, penjagaan, dan jaminan Allah. Dia berada dalam perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla sepanjang harinya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya.” Maksudnya, janganlah ada seorang pun yang berusaha mengganggu seorang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini, yang telah mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu Allah mengancam orang yang berusaha mengganggunya, Nabi bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya, karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya…” yaitu siapa saja yang berusaha mengganggu Mukmin yang tulus ini pasti Allah akan mengejarnya, sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Dalam hadits ini terdapat ancaman bagi orang yang ingin mengganggu seorang Mukmin yang tulus ini dengan menyakitinya. Dengan demikian, hendaklah seorang Muslim memberi perhatian besar pada Shalat Subuh ini, dan shalat yang lainnya. Namun, Shalat Subuh ini adalah shalat yang paling berat, karena waktu pelaksanaannya setelah waktu tidur malam, sehingga seseorang harus bangun dari tidurnya dan meninggalkan istirahatnya, serta memenuhi panggilan Allah ‘Azza wa Jalla, lalu mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menjadi bukti kuatnya keimanannya. Jika kamu mendapati dirimu selalu menjaga Shalat Subuh secara berjamaah di masjid setiap hari, maka itu adalah bukti kuatnya imanmu, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Serta bukti bahwa kamu tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan begitu, kamu berada dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah Ta’ala. Selain itu, pada Shalat Subuh, para malaikat berkumpul, sebagaimana pada Shalat Ashar. Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Karena setiap manusia disertai dua malaikat, untuk menjaganya, atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di arah depan dan belakangnya. Ditambah dua malaikat yang mencatat amalannya, duduk di kanan dan kirinya. Empat malaikat ini silih berganti tugas pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Saling silih berganti menyertai kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari, lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Allah bertanya kepada mereka–meskipun Allah lebih mengetahui daripada mereka: ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab: ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” (HR. Bukhari) ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ هَذَا الْحَدِيثُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِيْ صَحِيحِهِ قَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ يَعْنِي صَلَاةَ الْفَجْرِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَإِذَا صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الرَّجُلُ يُصَلِّيْهَا مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَرْأَةُ تُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ وَمَعْنَى فِي ذِمَّةِ اللَّهِ أَيْ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ وَذَلِكَ لِأَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا إِلَّا مَنْ كَانَ صَادِقًا مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ كَانَ قَوِيَّ الْإِيمَانِ فَإِنَّهُ يَقُومُ مِنْ فِرَاشِ النَّوْمِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيَنْهَضُ وَيُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَوْلَا أَنَّ عِنْدَهُ قُوَّةَ إِيْمَانٍ مَا فَعَلَ ذَلِكَ فَهَذَا الْمُؤْمِنُ الصَّادِقُ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي لَبَّى النِّدَاءَ وَصَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مَوْعُودٌ بِأَنْ يَكُونَ فِي عَهْدِ اللَّهِ وَحِفْظِهِ وَضَمَانِهِ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَوَالَ يَوْمِهِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي لَا أَحَدَ يَتَعَرَّضُ لِهَذَا الْمُؤمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ثُمَّ تَوَعَّدَ مَنْ تَعَرَّضَ لَهُ قَالَ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي مَنْ يَتَعَرَّض لِهَذَا الْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّه يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَفِيهِ التَّحْذِيرُ لِمَنْ تَعَرَّضَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ بِالْاِعْتِدَاءِ عَلَيْهِ وَعَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذِهِ الصَّلَاةِ وَعَلَى الصَّلَوَاتِ عُمُومًا لَكِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ هِيَ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ لِكَوْنِهَا تَأْتِي بَعْدَ فَتْرَةِ النَّوْمِ فَيَقُومُ الْإِنْسَانُ مِنْ نَوْمِهِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيُلَبِّي نِدَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى قُوَّةِ إِيمَانِهِ إِذَا وَجَدْتَ مِنْ نَفْسِكَ أَنَّكَ تُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ كُلَّ يَوْمٍ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى قُوَّةِ إِيْمَانِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى أَنَّكَ صَادِقٌ مَعَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَكُونُ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ ثُمَّ إِنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ تَجْتَمِعُ فِيهَا الْمَلَائِكَةُ هِيَ وَصَلَاةُ الْعَصْرِ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فَإِنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَمَلَكَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ يَتَعَاقَبُوَن فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ

Setelah Menonton Ini Semoga Anda Tidak Kesiangan Shalat Subuh Lagi – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh, maka dia berada dalam perlindungan Allah.Maka jangan sampai Allah menuntut kalian karena melanggar perlindungan-Nya.Karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya, pasti Allah akan mengejarnya sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya. Sabda beliau ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh,” yaitu Shalat Fajar. “…maka dia dalam perlindungan Allah.” Maksudnya, jika dia mendirikan Shalat Subuh sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu kaum laki-laki mendirikannya secara berjamaah di Masjid dan kaum wanita mendirikan Shalat Subuh tepat pada waktunya (di rumah). Maka dia berada dalam perlindungan Allah. Adapun makna “dalam perlindungan Allah,” yaitu dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah. Hal ini karena Shalat Subuh tidak mungkin dijaga pelaksanaannya kecuali oleh orang yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan orang yang kuat imannya. Karena dia bangkit dari tempat tidurnya dan meninggalkan istirahat, lalu dia bangun dan mendirikan shalat ini sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla. Kalaulah bukan karena imannya yang kuat, niscaya dia tidak akan melakukannya. Orang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini yang menjawab panggilan azan. Lalu ia mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dijanjikan untuk berada dalam janji, penjagaan, dan jaminan Allah. Dia berada dalam perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla sepanjang harinya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya.” Maksudnya, janganlah ada seorang pun yang berusaha mengganggu seorang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini, yang telah mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu Allah mengancam orang yang berusaha mengganggunya, Nabi bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya, karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya…” yaitu siapa saja yang berusaha mengganggu Mukmin yang tulus ini pasti Allah akan mengejarnya, sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Dalam hadits ini terdapat ancaman bagi orang yang ingin mengganggu seorang Mukmin yang tulus ini dengan menyakitinya. Dengan demikian, hendaklah seorang Muslim memberi perhatian besar pada Shalat Subuh ini, dan shalat yang lainnya. Namun, Shalat Subuh ini adalah shalat yang paling berat, karena waktu pelaksanaannya setelah waktu tidur malam, sehingga seseorang harus bangun dari tidurnya dan meninggalkan istirahatnya, serta memenuhi panggilan Allah ‘Azza wa Jalla, lalu mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menjadi bukti kuatnya keimanannya. Jika kamu mendapati dirimu selalu menjaga Shalat Subuh secara berjamaah di masjid setiap hari, maka itu adalah bukti kuatnya imanmu, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Serta bukti bahwa kamu tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan begitu, kamu berada dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah Ta’ala. Selain itu, pada Shalat Subuh, para malaikat berkumpul, sebagaimana pada Shalat Ashar. Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Karena setiap manusia disertai dua malaikat, untuk menjaganya, atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di arah depan dan belakangnya. Ditambah dua malaikat yang mencatat amalannya, duduk di kanan dan kirinya. Empat malaikat ini silih berganti tugas pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Saling silih berganti menyertai kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari, lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Allah bertanya kepada mereka–meskipun Allah lebih mengetahui daripada mereka: ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab: ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” (HR. Bukhari) ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ هَذَا الْحَدِيثُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِيْ صَحِيحِهِ قَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ يَعْنِي صَلَاةَ الْفَجْرِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَإِذَا صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الرَّجُلُ يُصَلِّيْهَا مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَرْأَةُ تُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ وَمَعْنَى فِي ذِمَّةِ اللَّهِ أَيْ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ وَذَلِكَ لِأَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا إِلَّا مَنْ كَانَ صَادِقًا مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ كَانَ قَوِيَّ الْإِيمَانِ فَإِنَّهُ يَقُومُ مِنْ فِرَاشِ النَّوْمِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيَنْهَضُ وَيُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَوْلَا أَنَّ عِنْدَهُ قُوَّةَ إِيْمَانٍ مَا فَعَلَ ذَلِكَ فَهَذَا الْمُؤْمِنُ الصَّادِقُ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي لَبَّى النِّدَاءَ وَصَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مَوْعُودٌ بِأَنْ يَكُونَ فِي عَهْدِ اللَّهِ وَحِفْظِهِ وَضَمَانِهِ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَوَالَ يَوْمِهِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي لَا أَحَدَ يَتَعَرَّضُ لِهَذَا الْمُؤمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ثُمَّ تَوَعَّدَ مَنْ تَعَرَّضَ لَهُ قَالَ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي مَنْ يَتَعَرَّض لِهَذَا الْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّه يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَفِيهِ التَّحْذِيرُ لِمَنْ تَعَرَّضَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ بِالْاِعْتِدَاءِ عَلَيْهِ وَعَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذِهِ الصَّلَاةِ وَعَلَى الصَّلَوَاتِ عُمُومًا لَكِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ هِيَ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ لِكَوْنِهَا تَأْتِي بَعْدَ فَتْرَةِ النَّوْمِ فَيَقُومُ الْإِنْسَانُ مِنْ نَوْمِهِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيُلَبِّي نِدَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى قُوَّةِ إِيمَانِهِ إِذَا وَجَدْتَ مِنْ نَفْسِكَ أَنَّكَ تُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ كُلَّ يَوْمٍ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى قُوَّةِ إِيْمَانِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى أَنَّكَ صَادِقٌ مَعَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَكُونُ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ ثُمَّ إِنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ تَجْتَمِعُ فِيهَا الْمَلَائِكَةُ هِيَ وَصَلَاةُ الْعَصْرِ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فَإِنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَمَلَكَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ يَتَعَاقَبُوَن فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh, maka dia berada dalam perlindungan Allah.Maka jangan sampai Allah menuntut kalian karena melanggar perlindungan-Nya.Karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya, pasti Allah akan mengejarnya sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya. Sabda beliau ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh,” yaitu Shalat Fajar. “…maka dia dalam perlindungan Allah.” Maksudnya, jika dia mendirikan Shalat Subuh sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu kaum laki-laki mendirikannya secara berjamaah di Masjid dan kaum wanita mendirikan Shalat Subuh tepat pada waktunya (di rumah). Maka dia berada dalam perlindungan Allah. Adapun makna “dalam perlindungan Allah,” yaitu dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah. Hal ini karena Shalat Subuh tidak mungkin dijaga pelaksanaannya kecuali oleh orang yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan orang yang kuat imannya. Karena dia bangkit dari tempat tidurnya dan meninggalkan istirahat, lalu dia bangun dan mendirikan shalat ini sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla. Kalaulah bukan karena imannya yang kuat, niscaya dia tidak akan melakukannya. Orang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini yang menjawab panggilan azan. Lalu ia mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dijanjikan untuk berada dalam janji, penjagaan, dan jaminan Allah. Dia berada dalam perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla sepanjang harinya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya.” Maksudnya, janganlah ada seorang pun yang berusaha mengganggu seorang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini, yang telah mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu Allah mengancam orang yang berusaha mengganggunya, Nabi bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya, karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya…” yaitu siapa saja yang berusaha mengganggu Mukmin yang tulus ini pasti Allah akan mengejarnya, sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Dalam hadits ini terdapat ancaman bagi orang yang ingin mengganggu seorang Mukmin yang tulus ini dengan menyakitinya. Dengan demikian, hendaklah seorang Muslim memberi perhatian besar pada Shalat Subuh ini, dan shalat yang lainnya. Namun, Shalat Subuh ini adalah shalat yang paling berat, karena waktu pelaksanaannya setelah waktu tidur malam, sehingga seseorang harus bangun dari tidurnya dan meninggalkan istirahatnya, serta memenuhi panggilan Allah ‘Azza wa Jalla, lalu mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menjadi bukti kuatnya keimanannya. Jika kamu mendapati dirimu selalu menjaga Shalat Subuh secara berjamaah di masjid setiap hari, maka itu adalah bukti kuatnya imanmu, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Serta bukti bahwa kamu tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan begitu, kamu berada dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah Ta’ala. Selain itu, pada Shalat Subuh, para malaikat berkumpul, sebagaimana pada Shalat Ashar. Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Karena setiap manusia disertai dua malaikat, untuk menjaganya, atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di arah depan dan belakangnya. Ditambah dua malaikat yang mencatat amalannya, duduk di kanan dan kirinya. Empat malaikat ini silih berganti tugas pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Saling silih berganti menyertai kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari, lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Allah bertanya kepada mereka–meskipun Allah lebih mengetahui daripada mereka: ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab: ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” (HR. Bukhari) ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ هَذَا الْحَدِيثُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِيْ صَحِيحِهِ قَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ يَعْنِي صَلَاةَ الْفَجْرِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَإِذَا صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الرَّجُلُ يُصَلِّيْهَا مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَرْأَةُ تُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ وَمَعْنَى فِي ذِمَّةِ اللَّهِ أَيْ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ وَذَلِكَ لِأَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا إِلَّا مَنْ كَانَ صَادِقًا مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ كَانَ قَوِيَّ الْإِيمَانِ فَإِنَّهُ يَقُومُ مِنْ فِرَاشِ النَّوْمِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيَنْهَضُ وَيُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَوْلَا أَنَّ عِنْدَهُ قُوَّةَ إِيْمَانٍ مَا فَعَلَ ذَلِكَ فَهَذَا الْمُؤْمِنُ الصَّادِقُ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي لَبَّى النِّدَاءَ وَصَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مَوْعُودٌ بِأَنْ يَكُونَ فِي عَهْدِ اللَّهِ وَحِفْظِهِ وَضَمَانِهِ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَوَالَ يَوْمِهِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي لَا أَحَدَ يَتَعَرَّضُ لِهَذَا الْمُؤمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ثُمَّ تَوَعَّدَ مَنْ تَعَرَّضَ لَهُ قَالَ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي مَنْ يَتَعَرَّض لِهَذَا الْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّه يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَفِيهِ التَّحْذِيرُ لِمَنْ تَعَرَّضَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ بِالْاِعْتِدَاءِ عَلَيْهِ وَعَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذِهِ الصَّلَاةِ وَعَلَى الصَّلَوَاتِ عُمُومًا لَكِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ هِيَ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ لِكَوْنِهَا تَأْتِي بَعْدَ فَتْرَةِ النَّوْمِ فَيَقُومُ الْإِنْسَانُ مِنْ نَوْمِهِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيُلَبِّي نِدَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى قُوَّةِ إِيمَانِهِ إِذَا وَجَدْتَ مِنْ نَفْسِكَ أَنَّكَ تُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ كُلَّ يَوْمٍ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى قُوَّةِ إِيْمَانِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى أَنَّكَ صَادِقٌ مَعَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَكُونُ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ ثُمَّ إِنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ تَجْتَمِعُ فِيهَا الْمَلَائِكَةُ هِيَ وَصَلَاةُ الْعَصْرِ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فَإِنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَمَلَكَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ يَتَعَاقَبُوَن فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh, maka dia berada dalam perlindungan Allah.Maka jangan sampai Allah menuntut kalian karena melanggar perlindungan-Nya.Karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya, pasti Allah akan mengejarnya sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya. Sabda beliau ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh,” yaitu Shalat Fajar. “…maka dia dalam perlindungan Allah.” Maksudnya, jika dia mendirikan Shalat Subuh sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu kaum laki-laki mendirikannya secara berjamaah di Masjid dan kaum wanita mendirikan Shalat Subuh tepat pada waktunya (di rumah). Maka dia berada dalam perlindungan Allah. Adapun makna “dalam perlindungan Allah,” yaitu dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah. Hal ini karena Shalat Subuh tidak mungkin dijaga pelaksanaannya kecuali oleh orang yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan orang yang kuat imannya. Karena dia bangkit dari tempat tidurnya dan meninggalkan istirahat, lalu dia bangun dan mendirikan shalat ini sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla. Kalaulah bukan karena imannya yang kuat, niscaya dia tidak akan melakukannya. Orang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini yang menjawab panggilan azan. Lalu ia mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dijanjikan untuk berada dalam janji, penjagaan, dan jaminan Allah. Dia berada dalam perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla sepanjang harinya. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya.” Maksudnya, janganlah ada seorang pun yang berusaha mengganggu seorang Mukmin yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini, yang telah mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu Allah mengancam orang yang berusaha mengganggunya, Nabi bersabda: “Maka jangan sampai Allah menuntut kalian atas perlindungan-Nya, karena siapa saja yang Allah tuntut atas pelanggaran perlindungan-Nya…” yaitu siapa saja yang berusaha mengganggu Mukmin yang tulus ini pasti Allah akan mengejarnya, sampai Allah menelungkupkan wajahnya di dalam neraka Jahannam.” Dalam hadits ini terdapat ancaman bagi orang yang ingin mengganggu seorang Mukmin yang tulus ini dengan menyakitinya. Dengan demikian, hendaklah seorang Muslim memberi perhatian besar pada Shalat Subuh ini, dan shalat yang lainnya. Namun, Shalat Subuh ini adalah shalat yang paling berat, karena waktu pelaksanaannya setelah waktu tidur malam, sehingga seseorang harus bangun dari tidurnya dan meninggalkan istirahatnya, serta memenuhi panggilan Allah ‘Azza wa Jalla, lalu mendirikan Shalat Subuh sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menjadi bukti kuatnya keimanannya. Jika kamu mendapati dirimu selalu menjaga Shalat Subuh secara berjamaah di masjid setiap hari, maka itu adalah bukti kuatnya imanmu, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Serta bukti bahwa kamu tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan begitu, kamu berada dalam penjagaan, janji, dan jaminan Allah Ta’ala. Selain itu, pada Shalat Subuh, para malaikat berkumpul, sebagaimana pada Shalat Ashar. Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Karena setiap manusia disertai dua malaikat, untuk menjaganya, atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di arah depan dan belakangnya. Ditambah dua malaikat yang mencatat amalannya, duduk di kanan dan kirinya. Empat malaikat ini silih berganti tugas pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Saling silih berganti menyertai kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari, lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Allah bertanya kepada mereka–meskipun Allah lebih mengetahui daripada mereka: ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab: ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” (HR. Bukhari) ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ هَذَا الْحَدِيثُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِيْ صَحِيحِهِ قَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ يَعْنِي صَلَاةَ الْفَجْرِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَإِذَا صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الرَّجُلُ يُصَلِّيْهَا مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَرْأَةُ تُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ وَمَعْنَى فِي ذِمَّةِ اللَّهِ أَيْ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ وَذَلِكَ لِأَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا إِلَّا مَنْ كَانَ صَادِقًا مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ كَانَ قَوِيَّ الْإِيمَانِ فَإِنَّهُ يَقُومُ مِنْ فِرَاشِ النَّوْمِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيَنْهَضُ وَيُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَوْلَا أَنَّ عِنْدَهُ قُوَّةَ إِيْمَانٍ مَا فَعَلَ ذَلِكَ فَهَذَا الْمُؤْمِنُ الصَّادِقُ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي لَبَّى النِّدَاءَ وَصَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مَوْعُودٌ بِأَنْ يَكُونَ فِي عَهْدِ اللَّهِ وَحِفْظِهِ وَضَمَانِهِ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَوَالَ يَوْمِهِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي لَا أَحَدَ يَتَعَرَّضُ لِهَذَا الْمُؤمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي صَلَّى صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ثُمَّ تَوَعَّدَ مَنْ تَعَرَّضَ لَهُ قَالَ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يَعْنِي مَنْ يَتَعَرَّض لِهَذَا الْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ مَعَ اللَّه يُدْرِكْهُ حَتَّى يُكِبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَفِيهِ التَّحْذِيرُ لِمَنْ تَعَرَّضَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّادِقِ بِالْاِعْتِدَاءِ عَلَيْهِ وَعَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذِهِ الصَّلَاةِ وَعَلَى الصَّلَوَاتِ عُمُومًا لَكِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ هِيَ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ لِكَوْنِهَا تَأْتِي بَعْدَ فَتْرَةِ النَّوْمِ فَيَقُومُ الْإِنْسَانُ مِنْ نَوْمِهِ وَيَدَعُ الرَّاحَةَ وَيُلَبِّي نِدَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى قُوَّةِ إِيمَانِهِ إِذَا وَجَدْتَ مِنْ نَفْسِكَ أَنَّكَ تُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ مَعَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ كُلَّ يَوْمٍ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى قُوَّةِ إِيْمَانِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى أَنَّكَ صَادِقٌ مَعَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَكُونُ فِي حِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَهْدِهِ وَضَمَانِهِ ثُمَّ إِنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ تَجْتَمِعُ فِيهَا الْمَلَائِكَةُ هِيَ وَصَلَاةُ الْعَصْرِ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فَإِنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَمَلَكَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ يَتَعَاقَبُوَن فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ

Fikih Salat Tobat

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2

Fikih Salat Tobat

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2
Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2


Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2

Doa Indah yang Mengubah Hidup: Makna dan Pelajaran Mendalam (Doa Ammar bin Yasir)

Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa

Doa Indah yang Mengubah Hidup: Makna dan Pelajaran Mendalam (Doa Ammar bin Yasir)

Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa
Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa


Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa

Apakah Bekam Membatalkan Puasa?

Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.

Apakah Bekam Membatalkan Puasa?

Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.
Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.


Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.

Menemukan Rumus Bahagia

Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Menemukan Rumus Bahagia

Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Kisah Kaum Tsamud: Peradaban yang Hilang Karena Azab Allah

Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an

Kisah Kaum Tsamud: Peradaban yang Hilang Karena Azab Allah

Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an
Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an


Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an

Selamat Datang Ramadhan! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

Selamat Datang Ramadhan! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ


Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

Jangan Lupa Baca Doa Ini Saat Ramadhan Tiba – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ

Jangan Lupa Baca Doa Ini Saat Ramadhan Tiba – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ
Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ


Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ

Bunuh Diri Bukan Solusi

Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534

Bunuh Diri Bukan Solusi

Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534
Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534


Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 3): Pemerintahan dan Kekuasaan sebelum Islam

Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 3): Pemerintahan dan Kekuasaan sebelum Islam

Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16
Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16


Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16

Yuk, Kita Bersiap-siap Membersamai Al-Quran di Bulan Al-Quran – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr

Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ

Yuk, Kita Bersiap-siap Membersamai Al-Quran di Bulan Al-Quran – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr

Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ
Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ


Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ

Beginikah Kita Bersiap untuk Ramadhan? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Apa itu persiapan untuk Ramadan? Apa yang dimaksud persiapan untuk Ramadan? Bagaimana semestinya persiapan untuk bulan yang mulia ini? Saya sudah singgung beberapa poin dalam topik ini. Subḥānallāh! Ini adalah realitas yang ada di tengah kita! Mungkin saja atau terkadang karena realitas ini, ada yang berpikir bahwa Ramadan adalah bulan makan. Ketika Ramadan tiba, orang-orang mulai mengumpulkan berbagai makanan yang tidak pernah mereka kumpulkan di luar Ramadan; beli ini itu, seolah-olah mereka memasuki bulan makan dan minum. Tidak mengapa seseorang menyiapkan makanan dan yang lainnya, tapi itu bukan tujuan utama. “Makan dan minumlah namun jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Jadi, persiapan untuk Ramadan adalah menyiapkan diri untuk keistimewaan dan keutamaan di bulan ini, apa yang ada di dalamnya berupa keberkahan dan kebaikan. Seseorang menyiapkan dirinya untuk amal-amal yang sesuai dengan bulan ini, dan pantas dengan kedudukannya yang mulia. Ini hanya akan tercapai dengan menyiapkan diri dengan amal saleh, dengan membaca Al-Quran, berzikir, berdoa, dan beribadah, serta berbagai jenis ibadah lainnya. ==== وَمَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ مَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ كَيْفَ يَكُونُ الْاِسْتِعْدَادُ لِهَذَا الشَّهْرِ الْكَرِيمِ؟ أَشَرْتُ إِلَى بَعْضِ الْمَعَانِي فِي هَذَا الْبَابِ وَسُبْحَانَ اللهِ! يَعْنِي هَذِهِ ظَاهِرَةٌ عِنْدَنَا رُبَّمَا أَحْيَانًا يَعْنِي مِنْ هَذِهِ الظَّاهِرَةِ يُتَصَوَّرُ أَنَّ رَمَضَانَ شَهْرُ أَكْلٍ إِذَا أَقْبَلَ رَمَضَانُ بَدَأَ النَّاسُ يَجْمَعُونَ أَطْعِمَةً مَا كَانُوا يَجْمَعُونَهَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَيَشْتَرُونَ كَأَنَّهُمْ لَا … يَعْنِي فِي دُخُولِ الشَهْرِ يَعْنِي أَكْلٌ وَرَوَاءٌ وَمَا هُنَاكَ مَانِعَ مِنَ الْإِنْسَانِ يُهَيِّءُ طَعَامًا وَيُهَيِّءُ لَكِنْ لَيْسَ هَذَا الْمُرَادُ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا فَالتَّهَيُّؤُ لِرَمَضَانَ بِالتَّهَيُّؤِ لِمَا فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ خَصَائِصَ فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ فَضَائِلِ مَا فِيهِ مِنْ بَرَكَاتٍ مَا فِيهِ مِنْ خَيْرَاتٍ يُهَيِّءُ نَفْسَهُ لِلْأَعْمَالِ الَّتِي تُنَاسِبُ هَذَا الشَّهْرَ وَتَلِيقُ بِمَقَامِهَا الْكَرِيمِ وَهَذَا إِنَّمَا يَكُونُ بِتَهْيِئَةِ نَفْسِهِ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ بِالْقُرْآنِ بِالذِّكْرِ بِالدُّعَاءِ بِالْعِبَادَةِ بِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْقُرُبَاتِ

Beginikah Kita Bersiap untuk Ramadhan? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Apa itu persiapan untuk Ramadan? Apa yang dimaksud persiapan untuk Ramadan? Bagaimana semestinya persiapan untuk bulan yang mulia ini? Saya sudah singgung beberapa poin dalam topik ini. Subḥānallāh! Ini adalah realitas yang ada di tengah kita! Mungkin saja atau terkadang karena realitas ini, ada yang berpikir bahwa Ramadan adalah bulan makan. Ketika Ramadan tiba, orang-orang mulai mengumpulkan berbagai makanan yang tidak pernah mereka kumpulkan di luar Ramadan; beli ini itu, seolah-olah mereka memasuki bulan makan dan minum. Tidak mengapa seseorang menyiapkan makanan dan yang lainnya, tapi itu bukan tujuan utama. “Makan dan minumlah namun jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Jadi, persiapan untuk Ramadan adalah menyiapkan diri untuk keistimewaan dan keutamaan di bulan ini, apa yang ada di dalamnya berupa keberkahan dan kebaikan. Seseorang menyiapkan dirinya untuk amal-amal yang sesuai dengan bulan ini, dan pantas dengan kedudukannya yang mulia. Ini hanya akan tercapai dengan menyiapkan diri dengan amal saleh, dengan membaca Al-Quran, berzikir, berdoa, dan beribadah, serta berbagai jenis ibadah lainnya. ==== وَمَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ مَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ كَيْفَ يَكُونُ الْاِسْتِعْدَادُ لِهَذَا الشَّهْرِ الْكَرِيمِ؟ أَشَرْتُ إِلَى بَعْضِ الْمَعَانِي فِي هَذَا الْبَابِ وَسُبْحَانَ اللهِ! يَعْنِي هَذِهِ ظَاهِرَةٌ عِنْدَنَا رُبَّمَا أَحْيَانًا يَعْنِي مِنْ هَذِهِ الظَّاهِرَةِ يُتَصَوَّرُ أَنَّ رَمَضَانَ شَهْرُ أَكْلٍ إِذَا أَقْبَلَ رَمَضَانُ بَدَأَ النَّاسُ يَجْمَعُونَ أَطْعِمَةً مَا كَانُوا يَجْمَعُونَهَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَيَشْتَرُونَ كَأَنَّهُمْ لَا … يَعْنِي فِي دُخُولِ الشَهْرِ يَعْنِي أَكْلٌ وَرَوَاءٌ وَمَا هُنَاكَ مَانِعَ مِنَ الْإِنْسَانِ يُهَيِّءُ طَعَامًا وَيُهَيِّءُ لَكِنْ لَيْسَ هَذَا الْمُرَادُ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا فَالتَّهَيُّؤُ لِرَمَضَانَ بِالتَّهَيُّؤِ لِمَا فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ خَصَائِصَ فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ فَضَائِلِ مَا فِيهِ مِنْ بَرَكَاتٍ مَا فِيهِ مِنْ خَيْرَاتٍ يُهَيِّءُ نَفْسَهُ لِلْأَعْمَالِ الَّتِي تُنَاسِبُ هَذَا الشَّهْرَ وَتَلِيقُ بِمَقَامِهَا الْكَرِيمِ وَهَذَا إِنَّمَا يَكُونُ بِتَهْيِئَةِ نَفْسِهِ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ بِالْقُرْآنِ بِالذِّكْرِ بِالدُّعَاءِ بِالْعِبَادَةِ بِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْقُرُبَاتِ
Apa itu persiapan untuk Ramadan? Apa yang dimaksud persiapan untuk Ramadan? Bagaimana semestinya persiapan untuk bulan yang mulia ini? Saya sudah singgung beberapa poin dalam topik ini. Subḥānallāh! Ini adalah realitas yang ada di tengah kita! Mungkin saja atau terkadang karena realitas ini, ada yang berpikir bahwa Ramadan adalah bulan makan. Ketika Ramadan tiba, orang-orang mulai mengumpulkan berbagai makanan yang tidak pernah mereka kumpulkan di luar Ramadan; beli ini itu, seolah-olah mereka memasuki bulan makan dan minum. Tidak mengapa seseorang menyiapkan makanan dan yang lainnya, tapi itu bukan tujuan utama. “Makan dan minumlah namun jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Jadi, persiapan untuk Ramadan adalah menyiapkan diri untuk keistimewaan dan keutamaan di bulan ini, apa yang ada di dalamnya berupa keberkahan dan kebaikan. Seseorang menyiapkan dirinya untuk amal-amal yang sesuai dengan bulan ini, dan pantas dengan kedudukannya yang mulia. Ini hanya akan tercapai dengan menyiapkan diri dengan amal saleh, dengan membaca Al-Quran, berzikir, berdoa, dan beribadah, serta berbagai jenis ibadah lainnya. ==== وَمَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ مَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ كَيْفَ يَكُونُ الْاِسْتِعْدَادُ لِهَذَا الشَّهْرِ الْكَرِيمِ؟ أَشَرْتُ إِلَى بَعْضِ الْمَعَانِي فِي هَذَا الْبَابِ وَسُبْحَانَ اللهِ! يَعْنِي هَذِهِ ظَاهِرَةٌ عِنْدَنَا رُبَّمَا أَحْيَانًا يَعْنِي مِنْ هَذِهِ الظَّاهِرَةِ يُتَصَوَّرُ أَنَّ رَمَضَانَ شَهْرُ أَكْلٍ إِذَا أَقْبَلَ رَمَضَانُ بَدَأَ النَّاسُ يَجْمَعُونَ أَطْعِمَةً مَا كَانُوا يَجْمَعُونَهَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَيَشْتَرُونَ كَأَنَّهُمْ لَا … يَعْنِي فِي دُخُولِ الشَهْرِ يَعْنِي أَكْلٌ وَرَوَاءٌ وَمَا هُنَاكَ مَانِعَ مِنَ الْإِنْسَانِ يُهَيِّءُ طَعَامًا وَيُهَيِّءُ لَكِنْ لَيْسَ هَذَا الْمُرَادُ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا فَالتَّهَيُّؤُ لِرَمَضَانَ بِالتَّهَيُّؤِ لِمَا فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ خَصَائِصَ فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ فَضَائِلِ مَا فِيهِ مِنْ بَرَكَاتٍ مَا فِيهِ مِنْ خَيْرَاتٍ يُهَيِّءُ نَفْسَهُ لِلْأَعْمَالِ الَّتِي تُنَاسِبُ هَذَا الشَّهْرَ وَتَلِيقُ بِمَقَامِهَا الْكَرِيمِ وَهَذَا إِنَّمَا يَكُونُ بِتَهْيِئَةِ نَفْسِهِ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ بِالْقُرْآنِ بِالذِّكْرِ بِالدُّعَاءِ بِالْعِبَادَةِ بِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْقُرُبَاتِ


Apa itu persiapan untuk Ramadan? Apa yang dimaksud persiapan untuk Ramadan? Bagaimana semestinya persiapan untuk bulan yang mulia ini? Saya sudah singgung beberapa poin dalam topik ini. Subḥānallāh! Ini adalah realitas yang ada di tengah kita! Mungkin saja atau terkadang karena realitas ini, ada yang berpikir bahwa Ramadan adalah bulan makan. Ketika Ramadan tiba, orang-orang mulai mengumpulkan berbagai makanan yang tidak pernah mereka kumpulkan di luar Ramadan; beli ini itu, seolah-olah mereka memasuki bulan makan dan minum. Tidak mengapa seseorang menyiapkan makanan dan yang lainnya, tapi itu bukan tujuan utama. “Makan dan minumlah namun jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Jadi, persiapan untuk Ramadan adalah menyiapkan diri untuk keistimewaan dan keutamaan di bulan ini, apa yang ada di dalamnya berupa keberkahan dan kebaikan. Seseorang menyiapkan dirinya untuk amal-amal yang sesuai dengan bulan ini, dan pantas dengan kedudukannya yang mulia. Ini hanya akan tercapai dengan menyiapkan diri dengan amal saleh, dengan membaca Al-Quran, berzikir, berdoa, dan beribadah, serta berbagai jenis ibadah lainnya. ==== وَمَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ مَا هُوَ الْاِسْتِعْدَادُ لِرَمَضَانَ؟ كَيْفَ يَكُونُ الْاِسْتِعْدَادُ لِهَذَا الشَّهْرِ الْكَرِيمِ؟ أَشَرْتُ إِلَى بَعْضِ الْمَعَانِي فِي هَذَا الْبَابِ وَسُبْحَانَ اللهِ! يَعْنِي هَذِهِ ظَاهِرَةٌ عِنْدَنَا رُبَّمَا أَحْيَانًا يَعْنِي مِنْ هَذِهِ الظَّاهِرَةِ يُتَصَوَّرُ أَنَّ رَمَضَانَ شَهْرُ أَكْلٍ إِذَا أَقْبَلَ رَمَضَانُ بَدَأَ النَّاسُ يَجْمَعُونَ أَطْعِمَةً مَا كَانُوا يَجْمَعُونَهَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَيَشْتَرُونَ كَأَنَّهُمْ لَا … يَعْنِي فِي دُخُولِ الشَهْرِ يَعْنِي أَكْلٌ وَرَوَاءٌ وَمَا هُنَاكَ مَانِعَ مِنَ الْإِنْسَانِ يُهَيِّءُ طَعَامًا وَيُهَيِّءُ لَكِنْ لَيْسَ هَذَا الْمُرَادُ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا فَالتَّهَيُّؤُ لِرَمَضَانَ بِالتَّهَيُّؤِ لِمَا فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ خَصَائِصَ فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ فَضَائِلِ مَا فِيهِ مِنْ بَرَكَاتٍ مَا فِيهِ مِنْ خَيْرَاتٍ يُهَيِّءُ نَفْسَهُ لِلْأَعْمَالِ الَّتِي تُنَاسِبُ هَذَا الشَّهْرَ وَتَلِيقُ بِمَقَامِهَا الْكَرِيمِ وَهَذَا إِنَّمَا يَكُونُ بِتَهْيِئَةِ نَفْسِهِ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ بِالْقُرْآنِ بِالذِّكْرِ بِالدُّعَاءِ بِالْعِبَادَةِ بِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْقُرُبَاتِ

Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Apakah orang bunuh diri kafir?Pertama: Bunuh diri aktifKedua: Bunuh diri pasifLantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Apakah orang bunuh diri kafir? Keharaman pada bunuh diri adalah predikat hukum dalam Islam yang tidak dapat terhindarkan, sudah terlalu banyak dalil yang menunjukkannya, baik menyiratkannya secara umum ataupun menyuratkannya secara jelas. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah orang yang membunuh dirinya sendiri dapat dihukumi sebagai kafir? Atau juga, apakah setiap bunuh diri benar-benar mempunyai hukum haram dan tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun? Sebelumnya perlu diperjelas dan diketahui bersama bahwa dalam Islam, para ulama yang membahas bunuh diri membagi bunuh diri menjadi beberapa bagian berdasarkan klasifikasinya. Seperti: sengaja, semi-sengaja, dan tidak sengaja; juga bunuh diri sendiri dan bunuh diri bersama. Dan yang perlu sedikit diulik di sini adalah pembagiannya menjadi aktif dan pasif. Pertama: Bunuh diri aktif Yang diklasifikasikan ke dalam bunuh diri aktif adalah bunuh diri yang berupa perilaku dan tindakan secara langsung dan dengan kesadaran penuh untuk mempercepat kematian. Di antaranya seperti dengan membunuh menggunakan senjata, meminum racun, dan juga melompat atau terjun dari tempat tinggi. Dalam hadis yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109, dan Bukhari no. 5778) Kedua: Bunuh diri pasif Adapun yang dimaksudkan dan termasuk ke dalam kategori bunuh diri pasif adalah pengabaian hak-hak diri yang menunjang keberlangsungan dan keberlanjutan hidup, bisa pula disebut pembunuhan secara halus. Di antaranya seperti menolak dan menahan diri dari hal-hal mubah yang diperlukan untuk keberlangsungan nyawa dalam tingkatan yang ekstrem. Seperti mengabaikan kebutuhan tubuh akan makanan, tidak makan ataupun minum dalam waktu yang lama sampai akhirnya mati. Maka, ini dapat disebut bunuh diri juga, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakar Al-Jasshash sebagai penafsiran firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “… dan janganlah kamu membunuh dirimu…” (QS. An-Nisa: 29)[1] Termasuk pula bila seseorang dengan penyakit berat dan kronis atau luka yang parah menolak penyembuhan dan tidak mau melakukan perawatan hingga pada akhirnya menyebabkan kematian karena tindakan menolak perawatan medisnya itu, maka ini juga adalah bunuh diri, bunuh diri secara pasif. Bilamana seorang dengan keadaan darurat dan diharuskan oleh dokter untuk dilakukan sebuah tindakan yang dapat menyelamatkan nyawanya, tetapi ia menolaknya, yang seperti ini dapat dikatakan bunuh diri juga. Meskipun begitu, masih ada perselisihan ulama dalam hal ini dan mengkategorikannya sebagai tawakal, sementara ulama lainnya mengkategorikannya sebagai penjerumusan diri ke dalam kebinasaan dan kematian.[2] Lantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Maka, jawaban yang benar adalah tidak. Seseorang yang melakukan bunuh diri tidak dihukumi sebagai seorang kafir dan tindakan bunuh dirinya tidak menghapus status keislamannya. Hal ini berdasarkan argumen-argumen para ulama dalam menafsirkan dan memahami, sehingga mensarikan dari dalil-dalil syar’i yang ada Mungkin bagian yang mengganjal dari bagaimana seorang pelaku bunuh diri tidak dihukumi kafir, padahal dalil-dalil yang sudah disebutkan bahkan menggariskan nasibnya di akhirat dengan kekekalan di dalam neraka dalam azab yang sangat pedih dan juga diharamkan dari surga. Ancaman itu seharusnya hanyalah ditujukan untuk orang kafir. Pertama-tama, satu ayat yang perlu dirujuk adalah tentang pengampunan Allah dan yang dikecualikan dari pengampunan hanyalah syirik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya, menukil perkataan Abu Ja’far, bahwa sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan kekufuran. Adapun selain itu, dosa-dosa dari para pendosa, maka akan diampuni oleh-Nya jika Allah berkehendak. Ia juga kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa pelaku dosa besar sekalipun tetaplah berada di bawah kehendak Allah, di mana Allah berkehendak untuk mengampuninya ataupun mengazabnya.[3] Sedangkan bunuh diri termasuk ke dalam kategori dosa besar. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah kisah dalam hadisnya, فَلَمّا هاجَرَ النبيُّ ﷺ إلى المَدِينَةِ، هاجَرَ إلَيْهِ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو وهاجَرَ معهُ رَجُلٌ مِن قَوْمِهِ، فاجْتَوَوُا المَدِينَةَ، فَمَرِضَ، فَجَزِعَ، فأخَذَ مَشاقِصَ له، فَقَطَعَ بها بَراجِمَهُ، فَشَخَبَتْ يَداهُ حتّى ماتَ، فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو في مَنامِهِ، فَرَآهُ وهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ، ورَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ، فقالَ له: ما صَنَعَ بكَ رَبُّكَ؟ فقالَ: غَفَرَ لي بهِجْرَتي إلى نَبِيِّهِ ﷺ، فقالَ: ما لي أراكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ؟ قالَ: قيلَ لِي: لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ ما أفْسَدْتَ، فَقَصَّها الطُّفَيْلُ على رَسولِ اللهِ ﷺ، فقالَ رَسولُ اللهِ ﷺ: اللَّهُمَّ ولِيَدَيْهِ فاغْفِرْ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Ath-Thufail bin Amr dan seorang lelaki dari kaumnya ikut hijrah. Namun, lelaki itu tidak tahan dengan iklim Madinah hingga jatuh sakit. Ia pun panik, mengambil pisau kecilnya, dan memotong urat nadinya sendiri. Kedua tangannya mengeluarkan darah deras hingga ia meninggal. Suatu malam, Ath-Thufail bermimpi melihat lelaki itu dalam rupa yang baik, tetapi kedua tangannya tertutup. Ath-Thufail bertanya, ‘Apa yang dilakukan Allah padamu?’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku diampuni karena hijrahku kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Ath-Thufail bertanya lagi, ‘Mengapa tanganmu tertutup?’ Ia berkata, ‘Dikatakan kepadaku, ‘Kami tidak akan memperbaiki apa yang kau rusak (dengan bunuh diri).’ ‘ Ath-Thufail menceritakan mimpi ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah kedua tangannya!’ ” (HR. Muslim no. 116) Ada beberapa hal menarik dalam hadis yang menunjukkan pelaku bunuh diri bukanlah seorang kafir, yaitu: Pertama: Ia (orang melakukan bunuh diri), ia mengatakan bahwa ia diampuni oleh Allah Ta’ala karena ia berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalaulah ia kafir, tidak akan Allah mengampuninya. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan pengampunan atas apa yang telah diperbuat oleh tangan pelaku bunuh diri itu. Ini jelas sekali menjelaskan bahwa ia bukanlah kafir, karena seorang nabi tidak diperkenankan untuk mendoakan pengampunan untuk orang musyrik kafir. (Lihat QS. At-Taubah: 113) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, أن رجلًا قتل نفسَه بِمَشاقصٍ فقال رسولُ اللهِ ﷺ أما أنا فلا أصلّي عليه “Ada seorang lelaki yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah senjata tajam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Adapun aku tidak mensalatkan jenazahnya.’ ” (HR. Muslim no. 978, An-Nasa’i no. 1964, dan Abu Dawud no. 3185) Bagaimana hadis ini dijadikan dalil atas tidak kafirnya orang yang melakukan tindakan bunuh diri? Ya, dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mensalatkannya. Ia shallallahu ‘alaihi wasallam hanya tidak mau mensalatkan jenazahnya, dan tidak melarangnya. Adapun kalau ia dianggap sebagai kafir, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melarang seluruh sahabat dan umat untuk mensalatkannya, karena seorang kafir tidak disalatkan jenazahnya. Seorang pelaku bunuh diri memang akan dibalas karena tindakannya yang sangat berat dan besar. Meskipun begitu, selama ia melakukan juga amalan-amalan saleh, maka ia tetap akan mendapatkan ganjarannya, dan Allah akan memberi ganjaran dan balasan untuk setiap amalan baik itu saleh ataupun dosa dengan sangat teliti. Karena ia tidak dikategorikan sebagai kafir, maka amalannya tidak terhapus. Dan anggapan bahwa pelaku bunuh diri langsung mendapat predikat kafir adalah anggapan yang salah. Allah Ta’ala berfirman, فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌۭ شَيْـًۭٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَـٰسِبِينَ “… maka tidak seorang pun dirugikan walaupun sedikit. Sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47)[4] Meski demikian, status keislaman pelaku bunuh diri yang tidak hilang, perlu diperhatikan pula bahwa pelaku bunuh diri bisa mendapat ancaman kekufuran, bilamana ia dengan yakin dan sadar meyakini bahwa bunuh diri yang Allah haramkan itu adalah halal. Ia melegalkan apa yang dengan jelas Allah larang dan kecam tindakannya, sedangkan pada sebenarnya ia tahu bahwa itu haram, maka yang seperti ini dapat kehilangan status keislamannya dan dianggap kafir dengan menghalalkan apa yang Allah Ta’ala haramkan dan melakukannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk orang yang seperti inilah ancaman kekal di dalam neraka di hadis Abu Hurairah (yang telah disebutkan) diperuntukkan.[5] Semoga tren bunuh diri di kalangan umat ini semakin menurun dan semakin banyak orang-orang yang dilapangkan kehidupannya oleh Allah Ta’ala dan diberi pula kelapangan jiwa sehingga terhindar dari godaan mengakhiri hidup secara tragis untuk melanjutkan kehidupan yang lebih tragis lagi. Wallahu Ta’ala A’lam bis-shawab. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jasshash, Ahkam Al-Qur’an, 1: 155. [2] Syamsuddin bin Muflih, Al-Adab As-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah, 2: 349. [3] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, 8: 448. [4] Ibnu Rusyd Al-Qurthubi, Al-Muqaddimat wa Al-Mumahhidat, 3: 277. [5] Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih Al-Fauzan, Atsar Al-’Ilm Asy-Syar’i fii Muwajahat Al-‘unf wa Al-’Udwan, hal. 23.

Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Apakah orang bunuh diri kafir?Pertama: Bunuh diri aktifKedua: Bunuh diri pasifLantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Apakah orang bunuh diri kafir? Keharaman pada bunuh diri adalah predikat hukum dalam Islam yang tidak dapat terhindarkan, sudah terlalu banyak dalil yang menunjukkannya, baik menyiratkannya secara umum ataupun menyuratkannya secara jelas. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah orang yang membunuh dirinya sendiri dapat dihukumi sebagai kafir? Atau juga, apakah setiap bunuh diri benar-benar mempunyai hukum haram dan tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun? Sebelumnya perlu diperjelas dan diketahui bersama bahwa dalam Islam, para ulama yang membahas bunuh diri membagi bunuh diri menjadi beberapa bagian berdasarkan klasifikasinya. Seperti: sengaja, semi-sengaja, dan tidak sengaja; juga bunuh diri sendiri dan bunuh diri bersama. Dan yang perlu sedikit diulik di sini adalah pembagiannya menjadi aktif dan pasif. Pertama: Bunuh diri aktif Yang diklasifikasikan ke dalam bunuh diri aktif adalah bunuh diri yang berupa perilaku dan tindakan secara langsung dan dengan kesadaran penuh untuk mempercepat kematian. Di antaranya seperti dengan membunuh menggunakan senjata, meminum racun, dan juga melompat atau terjun dari tempat tinggi. Dalam hadis yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109, dan Bukhari no. 5778) Kedua: Bunuh diri pasif Adapun yang dimaksudkan dan termasuk ke dalam kategori bunuh diri pasif adalah pengabaian hak-hak diri yang menunjang keberlangsungan dan keberlanjutan hidup, bisa pula disebut pembunuhan secara halus. Di antaranya seperti menolak dan menahan diri dari hal-hal mubah yang diperlukan untuk keberlangsungan nyawa dalam tingkatan yang ekstrem. Seperti mengabaikan kebutuhan tubuh akan makanan, tidak makan ataupun minum dalam waktu yang lama sampai akhirnya mati. Maka, ini dapat disebut bunuh diri juga, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakar Al-Jasshash sebagai penafsiran firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “… dan janganlah kamu membunuh dirimu…” (QS. An-Nisa: 29)[1] Termasuk pula bila seseorang dengan penyakit berat dan kronis atau luka yang parah menolak penyembuhan dan tidak mau melakukan perawatan hingga pada akhirnya menyebabkan kematian karena tindakan menolak perawatan medisnya itu, maka ini juga adalah bunuh diri, bunuh diri secara pasif. Bilamana seorang dengan keadaan darurat dan diharuskan oleh dokter untuk dilakukan sebuah tindakan yang dapat menyelamatkan nyawanya, tetapi ia menolaknya, yang seperti ini dapat dikatakan bunuh diri juga. Meskipun begitu, masih ada perselisihan ulama dalam hal ini dan mengkategorikannya sebagai tawakal, sementara ulama lainnya mengkategorikannya sebagai penjerumusan diri ke dalam kebinasaan dan kematian.[2] Lantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Maka, jawaban yang benar adalah tidak. Seseorang yang melakukan bunuh diri tidak dihukumi sebagai seorang kafir dan tindakan bunuh dirinya tidak menghapus status keislamannya. Hal ini berdasarkan argumen-argumen para ulama dalam menafsirkan dan memahami, sehingga mensarikan dari dalil-dalil syar’i yang ada Mungkin bagian yang mengganjal dari bagaimana seorang pelaku bunuh diri tidak dihukumi kafir, padahal dalil-dalil yang sudah disebutkan bahkan menggariskan nasibnya di akhirat dengan kekekalan di dalam neraka dalam azab yang sangat pedih dan juga diharamkan dari surga. Ancaman itu seharusnya hanyalah ditujukan untuk orang kafir. Pertama-tama, satu ayat yang perlu dirujuk adalah tentang pengampunan Allah dan yang dikecualikan dari pengampunan hanyalah syirik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya, menukil perkataan Abu Ja’far, bahwa sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan kekufuran. Adapun selain itu, dosa-dosa dari para pendosa, maka akan diampuni oleh-Nya jika Allah berkehendak. Ia juga kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa pelaku dosa besar sekalipun tetaplah berada di bawah kehendak Allah, di mana Allah berkehendak untuk mengampuninya ataupun mengazabnya.[3] Sedangkan bunuh diri termasuk ke dalam kategori dosa besar. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah kisah dalam hadisnya, فَلَمّا هاجَرَ النبيُّ ﷺ إلى المَدِينَةِ، هاجَرَ إلَيْهِ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو وهاجَرَ معهُ رَجُلٌ مِن قَوْمِهِ، فاجْتَوَوُا المَدِينَةَ، فَمَرِضَ، فَجَزِعَ، فأخَذَ مَشاقِصَ له، فَقَطَعَ بها بَراجِمَهُ، فَشَخَبَتْ يَداهُ حتّى ماتَ، فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو في مَنامِهِ، فَرَآهُ وهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ، ورَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ، فقالَ له: ما صَنَعَ بكَ رَبُّكَ؟ فقالَ: غَفَرَ لي بهِجْرَتي إلى نَبِيِّهِ ﷺ، فقالَ: ما لي أراكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ؟ قالَ: قيلَ لِي: لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ ما أفْسَدْتَ، فَقَصَّها الطُّفَيْلُ على رَسولِ اللهِ ﷺ، فقالَ رَسولُ اللهِ ﷺ: اللَّهُمَّ ولِيَدَيْهِ فاغْفِرْ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Ath-Thufail bin Amr dan seorang lelaki dari kaumnya ikut hijrah. Namun, lelaki itu tidak tahan dengan iklim Madinah hingga jatuh sakit. Ia pun panik, mengambil pisau kecilnya, dan memotong urat nadinya sendiri. Kedua tangannya mengeluarkan darah deras hingga ia meninggal. Suatu malam, Ath-Thufail bermimpi melihat lelaki itu dalam rupa yang baik, tetapi kedua tangannya tertutup. Ath-Thufail bertanya, ‘Apa yang dilakukan Allah padamu?’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku diampuni karena hijrahku kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Ath-Thufail bertanya lagi, ‘Mengapa tanganmu tertutup?’ Ia berkata, ‘Dikatakan kepadaku, ‘Kami tidak akan memperbaiki apa yang kau rusak (dengan bunuh diri).’ ‘ Ath-Thufail menceritakan mimpi ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah kedua tangannya!’ ” (HR. Muslim no. 116) Ada beberapa hal menarik dalam hadis yang menunjukkan pelaku bunuh diri bukanlah seorang kafir, yaitu: Pertama: Ia (orang melakukan bunuh diri), ia mengatakan bahwa ia diampuni oleh Allah Ta’ala karena ia berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalaulah ia kafir, tidak akan Allah mengampuninya. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan pengampunan atas apa yang telah diperbuat oleh tangan pelaku bunuh diri itu. Ini jelas sekali menjelaskan bahwa ia bukanlah kafir, karena seorang nabi tidak diperkenankan untuk mendoakan pengampunan untuk orang musyrik kafir. (Lihat QS. At-Taubah: 113) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, أن رجلًا قتل نفسَه بِمَشاقصٍ فقال رسولُ اللهِ ﷺ أما أنا فلا أصلّي عليه “Ada seorang lelaki yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah senjata tajam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Adapun aku tidak mensalatkan jenazahnya.’ ” (HR. Muslim no. 978, An-Nasa’i no. 1964, dan Abu Dawud no. 3185) Bagaimana hadis ini dijadikan dalil atas tidak kafirnya orang yang melakukan tindakan bunuh diri? Ya, dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mensalatkannya. Ia shallallahu ‘alaihi wasallam hanya tidak mau mensalatkan jenazahnya, dan tidak melarangnya. Adapun kalau ia dianggap sebagai kafir, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melarang seluruh sahabat dan umat untuk mensalatkannya, karena seorang kafir tidak disalatkan jenazahnya. Seorang pelaku bunuh diri memang akan dibalas karena tindakannya yang sangat berat dan besar. Meskipun begitu, selama ia melakukan juga amalan-amalan saleh, maka ia tetap akan mendapatkan ganjarannya, dan Allah akan memberi ganjaran dan balasan untuk setiap amalan baik itu saleh ataupun dosa dengan sangat teliti. Karena ia tidak dikategorikan sebagai kafir, maka amalannya tidak terhapus. Dan anggapan bahwa pelaku bunuh diri langsung mendapat predikat kafir adalah anggapan yang salah. Allah Ta’ala berfirman, فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌۭ شَيْـًۭٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَـٰسِبِينَ “… maka tidak seorang pun dirugikan walaupun sedikit. Sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47)[4] Meski demikian, status keislaman pelaku bunuh diri yang tidak hilang, perlu diperhatikan pula bahwa pelaku bunuh diri bisa mendapat ancaman kekufuran, bilamana ia dengan yakin dan sadar meyakini bahwa bunuh diri yang Allah haramkan itu adalah halal. Ia melegalkan apa yang dengan jelas Allah larang dan kecam tindakannya, sedangkan pada sebenarnya ia tahu bahwa itu haram, maka yang seperti ini dapat kehilangan status keislamannya dan dianggap kafir dengan menghalalkan apa yang Allah Ta’ala haramkan dan melakukannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk orang yang seperti inilah ancaman kekal di dalam neraka di hadis Abu Hurairah (yang telah disebutkan) diperuntukkan.[5] Semoga tren bunuh diri di kalangan umat ini semakin menurun dan semakin banyak orang-orang yang dilapangkan kehidupannya oleh Allah Ta’ala dan diberi pula kelapangan jiwa sehingga terhindar dari godaan mengakhiri hidup secara tragis untuk melanjutkan kehidupan yang lebih tragis lagi. Wallahu Ta’ala A’lam bis-shawab. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jasshash, Ahkam Al-Qur’an, 1: 155. [2] Syamsuddin bin Muflih, Al-Adab As-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah, 2: 349. [3] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, 8: 448. [4] Ibnu Rusyd Al-Qurthubi, Al-Muqaddimat wa Al-Mumahhidat, 3: 277. [5] Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih Al-Fauzan, Atsar Al-’Ilm Asy-Syar’i fii Muwajahat Al-‘unf wa Al-’Udwan, hal. 23.
Daftar Isi Toggle Apakah orang bunuh diri kafir?Pertama: Bunuh diri aktifKedua: Bunuh diri pasifLantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Apakah orang bunuh diri kafir? Keharaman pada bunuh diri adalah predikat hukum dalam Islam yang tidak dapat terhindarkan, sudah terlalu banyak dalil yang menunjukkannya, baik menyiratkannya secara umum ataupun menyuratkannya secara jelas. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah orang yang membunuh dirinya sendiri dapat dihukumi sebagai kafir? Atau juga, apakah setiap bunuh diri benar-benar mempunyai hukum haram dan tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun? Sebelumnya perlu diperjelas dan diketahui bersama bahwa dalam Islam, para ulama yang membahas bunuh diri membagi bunuh diri menjadi beberapa bagian berdasarkan klasifikasinya. Seperti: sengaja, semi-sengaja, dan tidak sengaja; juga bunuh diri sendiri dan bunuh diri bersama. Dan yang perlu sedikit diulik di sini adalah pembagiannya menjadi aktif dan pasif. Pertama: Bunuh diri aktif Yang diklasifikasikan ke dalam bunuh diri aktif adalah bunuh diri yang berupa perilaku dan tindakan secara langsung dan dengan kesadaran penuh untuk mempercepat kematian. Di antaranya seperti dengan membunuh menggunakan senjata, meminum racun, dan juga melompat atau terjun dari tempat tinggi. Dalam hadis yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109, dan Bukhari no. 5778) Kedua: Bunuh diri pasif Adapun yang dimaksudkan dan termasuk ke dalam kategori bunuh diri pasif adalah pengabaian hak-hak diri yang menunjang keberlangsungan dan keberlanjutan hidup, bisa pula disebut pembunuhan secara halus. Di antaranya seperti menolak dan menahan diri dari hal-hal mubah yang diperlukan untuk keberlangsungan nyawa dalam tingkatan yang ekstrem. Seperti mengabaikan kebutuhan tubuh akan makanan, tidak makan ataupun minum dalam waktu yang lama sampai akhirnya mati. Maka, ini dapat disebut bunuh diri juga, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakar Al-Jasshash sebagai penafsiran firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “… dan janganlah kamu membunuh dirimu…” (QS. An-Nisa: 29)[1] Termasuk pula bila seseorang dengan penyakit berat dan kronis atau luka yang parah menolak penyembuhan dan tidak mau melakukan perawatan hingga pada akhirnya menyebabkan kematian karena tindakan menolak perawatan medisnya itu, maka ini juga adalah bunuh diri, bunuh diri secara pasif. Bilamana seorang dengan keadaan darurat dan diharuskan oleh dokter untuk dilakukan sebuah tindakan yang dapat menyelamatkan nyawanya, tetapi ia menolaknya, yang seperti ini dapat dikatakan bunuh diri juga. Meskipun begitu, masih ada perselisihan ulama dalam hal ini dan mengkategorikannya sebagai tawakal, sementara ulama lainnya mengkategorikannya sebagai penjerumusan diri ke dalam kebinasaan dan kematian.[2] Lantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Maka, jawaban yang benar adalah tidak. Seseorang yang melakukan bunuh diri tidak dihukumi sebagai seorang kafir dan tindakan bunuh dirinya tidak menghapus status keislamannya. Hal ini berdasarkan argumen-argumen para ulama dalam menafsirkan dan memahami, sehingga mensarikan dari dalil-dalil syar’i yang ada Mungkin bagian yang mengganjal dari bagaimana seorang pelaku bunuh diri tidak dihukumi kafir, padahal dalil-dalil yang sudah disebutkan bahkan menggariskan nasibnya di akhirat dengan kekekalan di dalam neraka dalam azab yang sangat pedih dan juga diharamkan dari surga. Ancaman itu seharusnya hanyalah ditujukan untuk orang kafir. Pertama-tama, satu ayat yang perlu dirujuk adalah tentang pengampunan Allah dan yang dikecualikan dari pengampunan hanyalah syirik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya, menukil perkataan Abu Ja’far, bahwa sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan kekufuran. Adapun selain itu, dosa-dosa dari para pendosa, maka akan diampuni oleh-Nya jika Allah berkehendak. Ia juga kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa pelaku dosa besar sekalipun tetaplah berada di bawah kehendak Allah, di mana Allah berkehendak untuk mengampuninya ataupun mengazabnya.[3] Sedangkan bunuh diri termasuk ke dalam kategori dosa besar. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah kisah dalam hadisnya, فَلَمّا هاجَرَ النبيُّ ﷺ إلى المَدِينَةِ، هاجَرَ إلَيْهِ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو وهاجَرَ معهُ رَجُلٌ مِن قَوْمِهِ، فاجْتَوَوُا المَدِينَةَ، فَمَرِضَ، فَجَزِعَ، فأخَذَ مَشاقِصَ له، فَقَطَعَ بها بَراجِمَهُ، فَشَخَبَتْ يَداهُ حتّى ماتَ، فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو في مَنامِهِ، فَرَآهُ وهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ، ورَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ، فقالَ له: ما صَنَعَ بكَ رَبُّكَ؟ فقالَ: غَفَرَ لي بهِجْرَتي إلى نَبِيِّهِ ﷺ، فقالَ: ما لي أراكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ؟ قالَ: قيلَ لِي: لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ ما أفْسَدْتَ، فَقَصَّها الطُّفَيْلُ على رَسولِ اللهِ ﷺ، فقالَ رَسولُ اللهِ ﷺ: اللَّهُمَّ ولِيَدَيْهِ فاغْفِرْ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Ath-Thufail bin Amr dan seorang lelaki dari kaumnya ikut hijrah. Namun, lelaki itu tidak tahan dengan iklim Madinah hingga jatuh sakit. Ia pun panik, mengambil pisau kecilnya, dan memotong urat nadinya sendiri. Kedua tangannya mengeluarkan darah deras hingga ia meninggal. Suatu malam, Ath-Thufail bermimpi melihat lelaki itu dalam rupa yang baik, tetapi kedua tangannya tertutup. Ath-Thufail bertanya, ‘Apa yang dilakukan Allah padamu?’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku diampuni karena hijrahku kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Ath-Thufail bertanya lagi, ‘Mengapa tanganmu tertutup?’ Ia berkata, ‘Dikatakan kepadaku, ‘Kami tidak akan memperbaiki apa yang kau rusak (dengan bunuh diri).’ ‘ Ath-Thufail menceritakan mimpi ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah kedua tangannya!’ ” (HR. Muslim no. 116) Ada beberapa hal menarik dalam hadis yang menunjukkan pelaku bunuh diri bukanlah seorang kafir, yaitu: Pertama: Ia (orang melakukan bunuh diri), ia mengatakan bahwa ia diampuni oleh Allah Ta’ala karena ia berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalaulah ia kafir, tidak akan Allah mengampuninya. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan pengampunan atas apa yang telah diperbuat oleh tangan pelaku bunuh diri itu. Ini jelas sekali menjelaskan bahwa ia bukanlah kafir, karena seorang nabi tidak diperkenankan untuk mendoakan pengampunan untuk orang musyrik kafir. (Lihat QS. At-Taubah: 113) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, أن رجلًا قتل نفسَه بِمَشاقصٍ فقال رسولُ اللهِ ﷺ أما أنا فلا أصلّي عليه “Ada seorang lelaki yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah senjata tajam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Adapun aku tidak mensalatkan jenazahnya.’ ” (HR. Muslim no. 978, An-Nasa’i no. 1964, dan Abu Dawud no. 3185) Bagaimana hadis ini dijadikan dalil atas tidak kafirnya orang yang melakukan tindakan bunuh diri? Ya, dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mensalatkannya. Ia shallallahu ‘alaihi wasallam hanya tidak mau mensalatkan jenazahnya, dan tidak melarangnya. Adapun kalau ia dianggap sebagai kafir, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melarang seluruh sahabat dan umat untuk mensalatkannya, karena seorang kafir tidak disalatkan jenazahnya. Seorang pelaku bunuh diri memang akan dibalas karena tindakannya yang sangat berat dan besar. Meskipun begitu, selama ia melakukan juga amalan-amalan saleh, maka ia tetap akan mendapatkan ganjarannya, dan Allah akan memberi ganjaran dan balasan untuk setiap amalan baik itu saleh ataupun dosa dengan sangat teliti. Karena ia tidak dikategorikan sebagai kafir, maka amalannya tidak terhapus. Dan anggapan bahwa pelaku bunuh diri langsung mendapat predikat kafir adalah anggapan yang salah. Allah Ta’ala berfirman, فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌۭ شَيْـًۭٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَـٰسِبِينَ “… maka tidak seorang pun dirugikan walaupun sedikit. Sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47)[4] Meski demikian, status keislaman pelaku bunuh diri yang tidak hilang, perlu diperhatikan pula bahwa pelaku bunuh diri bisa mendapat ancaman kekufuran, bilamana ia dengan yakin dan sadar meyakini bahwa bunuh diri yang Allah haramkan itu adalah halal. Ia melegalkan apa yang dengan jelas Allah larang dan kecam tindakannya, sedangkan pada sebenarnya ia tahu bahwa itu haram, maka yang seperti ini dapat kehilangan status keislamannya dan dianggap kafir dengan menghalalkan apa yang Allah Ta’ala haramkan dan melakukannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk orang yang seperti inilah ancaman kekal di dalam neraka di hadis Abu Hurairah (yang telah disebutkan) diperuntukkan.[5] Semoga tren bunuh diri di kalangan umat ini semakin menurun dan semakin banyak orang-orang yang dilapangkan kehidupannya oleh Allah Ta’ala dan diberi pula kelapangan jiwa sehingga terhindar dari godaan mengakhiri hidup secara tragis untuk melanjutkan kehidupan yang lebih tragis lagi. Wallahu Ta’ala A’lam bis-shawab. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jasshash, Ahkam Al-Qur’an, 1: 155. [2] Syamsuddin bin Muflih, Al-Adab As-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah, 2: 349. [3] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, 8: 448. [4] Ibnu Rusyd Al-Qurthubi, Al-Muqaddimat wa Al-Mumahhidat, 3: 277. [5] Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih Al-Fauzan, Atsar Al-’Ilm Asy-Syar’i fii Muwajahat Al-‘unf wa Al-’Udwan, hal. 23.


Daftar Isi Toggle Apakah orang bunuh diri kafir?Pertama: Bunuh diri aktifKedua: Bunuh diri pasifLantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Apakah orang bunuh diri kafir? Keharaman pada bunuh diri adalah predikat hukum dalam Islam yang tidak dapat terhindarkan, sudah terlalu banyak dalil yang menunjukkannya, baik menyiratkannya secara umum ataupun menyuratkannya secara jelas. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah orang yang membunuh dirinya sendiri dapat dihukumi sebagai kafir? Atau juga, apakah setiap bunuh diri benar-benar mempunyai hukum haram dan tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun? Sebelumnya perlu diperjelas dan diketahui bersama bahwa dalam Islam, para ulama yang membahas bunuh diri membagi bunuh diri menjadi beberapa bagian berdasarkan klasifikasinya. Seperti: sengaja, semi-sengaja, dan tidak sengaja; juga bunuh diri sendiri dan bunuh diri bersama. Dan yang perlu sedikit diulik di sini adalah pembagiannya menjadi aktif dan pasif. Pertama: Bunuh diri aktif Yang diklasifikasikan ke dalam bunuh diri aktif adalah bunuh diri yang berupa perilaku dan tindakan secara langsung dan dengan kesadaran penuh untuk mempercepat kematian. Di antaranya seperti dengan membunuh menggunakan senjata, meminum racun, dan juga melompat atau terjun dari tempat tinggi. Dalam hadis yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109, dan Bukhari no. 5778) Kedua: Bunuh diri pasif Adapun yang dimaksudkan dan termasuk ke dalam kategori bunuh diri pasif adalah pengabaian hak-hak diri yang menunjang keberlangsungan dan keberlanjutan hidup, bisa pula disebut pembunuhan secara halus. Di antaranya seperti menolak dan menahan diri dari hal-hal mubah yang diperlukan untuk keberlangsungan nyawa dalam tingkatan yang ekstrem. Seperti mengabaikan kebutuhan tubuh akan makanan, tidak makan ataupun minum dalam waktu yang lama sampai akhirnya mati. Maka, ini dapat disebut bunuh diri juga, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakar Al-Jasshash sebagai penafsiran firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “… dan janganlah kamu membunuh dirimu…” (QS. An-Nisa: 29)[1] Termasuk pula bila seseorang dengan penyakit berat dan kronis atau luka yang parah menolak penyembuhan dan tidak mau melakukan perawatan hingga pada akhirnya menyebabkan kematian karena tindakan menolak perawatan medisnya itu, maka ini juga adalah bunuh diri, bunuh diri secara pasif. Bilamana seorang dengan keadaan darurat dan diharuskan oleh dokter untuk dilakukan sebuah tindakan yang dapat menyelamatkan nyawanya, tetapi ia menolaknya, yang seperti ini dapat dikatakan bunuh diri juga. Meskipun begitu, masih ada perselisihan ulama dalam hal ini dan mengkategorikannya sebagai tawakal, sementara ulama lainnya mengkategorikannya sebagai penjerumusan diri ke dalam kebinasaan dan kematian.[2] Lantas, apakah pelaku bunuh diri dapat dihukumi dengan kekufuran dan dapat dikategorikan sebagai seorang kafir? Maka, jawaban yang benar adalah tidak. Seseorang yang melakukan bunuh diri tidak dihukumi sebagai seorang kafir dan tindakan bunuh dirinya tidak menghapus status keislamannya. Hal ini berdasarkan argumen-argumen para ulama dalam menafsirkan dan memahami, sehingga mensarikan dari dalil-dalil syar’i yang ada Mungkin bagian yang mengganjal dari bagaimana seorang pelaku bunuh diri tidak dihukumi kafir, padahal dalil-dalil yang sudah disebutkan bahkan menggariskan nasibnya di akhirat dengan kekekalan di dalam neraka dalam azab yang sangat pedih dan juga diharamkan dari surga. Ancaman itu seharusnya hanyalah ditujukan untuk orang kafir. Pertama-tama, satu ayat yang perlu dirujuk adalah tentang pengampunan Allah dan yang dikecualikan dari pengampunan hanyalah syirik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya, menukil perkataan Abu Ja’far, bahwa sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan kekufuran. Adapun selain itu, dosa-dosa dari para pendosa, maka akan diampuni oleh-Nya jika Allah berkehendak. Ia juga kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa pelaku dosa besar sekalipun tetaplah berada di bawah kehendak Allah, di mana Allah berkehendak untuk mengampuninya ataupun mengazabnya.[3] Sedangkan bunuh diri termasuk ke dalam kategori dosa besar. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah kisah dalam hadisnya, فَلَمّا هاجَرَ النبيُّ ﷺ إلى المَدِينَةِ، هاجَرَ إلَيْهِ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو وهاجَرَ معهُ رَجُلٌ مِن قَوْمِهِ، فاجْتَوَوُا المَدِينَةَ، فَمَرِضَ، فَجَزِعَ، فأخَذَ مَشاقِصَ له، فَقَطَعَ بها بَراجِمَهُ، فَشَخَبَتْ يَداهُ حتّى ماتَ، فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بنُ عَمْرٍو في مَنامِهِ، فَرَآهُ وهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ، ورَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ، فقالَ له: ما صَنَعَ بكَ رَبُّكَ؟ فقالَ: غَفَرَ لي بهِجْرَتي إلى نَبِيِّهِ ﷺ، فقالَ: ما لي أراكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ؟ قالَ: قيلَ لِي: لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ ما أفْسَدْتَ، فَقَصَّها الطُّفَيْلُ على رَسولِ اللهِ ﷺ، فقالَ رَسولُ اللهِ ﷺ: اللَّهُمَّ ولِيَدَيْهِ فاغْفِرْ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Ath-Thufail bin Amr dan seorang lelaki dari kaumnya ikut hijrah. Namun, lelaki itu tidak tahan dengan iklim Madinah hingga jatuh sakit. Ia pun panik, mengambil pisau kecilnya, dan memotong urat nadinya sendiri. Kedua tangannya mengeluarkan darah deras hingga ia meninggal. Suatu malam, Ath-Thufail bermimpi melihat lelaki itu dalam rupa yang baik, tetapi kedua tangannya tertutup. Ath-Thufail bertanya, ‘Apa yang dilakukan Allah padamu?’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku diampuni karena hijrahku kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Ath-Thufail bertanya lagi, ‘Mengapa tanganmu tertutup?’ Ia berkata, ‘Dikatakan kepadaku, ‘Kami tidak akan memperbaiki apa yang kau rusak (dengan bunuh diri).’ ‘ Ath-Thufail menceritakan mimpi ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah kedua tangannya!’ ” (HR. Muslim no. 116) Ada beberapa hal menarik dalam hadis yang menunjukkan pelaku bunuh diri bukanlah seorang kafir, yaitu: Pertama: Ia (orang melakukan bunuh diri), ia mengatakan bahwa ia diampuni oleh Allah Ta’ala karena ia berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalaulah ia kafir, tidak akan Allah mengampuninya. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan pengampunan atas apa yang telah diperbuat oleh tangan pelaku bunuh diri itu. Ini jelas sekali menjelaskan bahwa ia bukanlah kafir, karena seorang nabi tidak diperkenankan untuk mendoakan pengampunan untuk orang musyrik kafir. (Lihat QS. At-Taubah: 113) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, أن رجلًا قتل نفسَه بِمَشاقصٍ فقال رسولُ اللهِ ﷺ أما أنا فلا أصلّي عليه “Ada seorang lelaki yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah senjata tajam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Adapun aku tidak mensalatkan jenazahnya.’ ” (HR. Muslim no. 978, An-Nasa’i no. 1964, dan Abu Dawud no. 3185) Bagaimana hadis ini dijadikan dalil atas tidak kafirnya orang yang melakukan tindakan bunuh diri? Ya, dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mensalatkannya. Ia shallallahu ‘alaihi wasallam hanya tidak mau mensalatkan jenazahnya, dan tidak melarangnya. Adapun kalau ia dianggap sebagai kafir, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melarang seluruh sahabat dan umat untuk mensalatkannya, karena seorang kafir tidak disalatkan jenazahnya. Seorang pelaku bunuh diri memang akan dibalas karena tindakannya yang sangat berat dan besar. Meskipun begitu, selama ia melakukan juga amalan-amalan saleh, maka ia tetap akan mendapatkan ganjarannya, dan Allah akan memberi ganjaran dan balasan untuk setiap amalan baik itu saleh ataupun dosa dengan sangat teliti. Karena ia tidak dikategorikan sebagai kafir, maka amalannya tidak terhapus. Dan anggapan bahwa pelaku bunuh diri langsung mendapat predikat kafir adalah anggapan yang salah. Allah Ta’ala berfirman, فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌۭ شَيْـًۭٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَـٰسِبِينَ “… maka tidak seorang pun dirugikan walaupun sedikit. Sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47)[4] Meski demikian, status keislaman pelaku bunuh diri yang tidak hilang, perlu diperhatikan pula bahwa pelaku bunuh diri bisa mendapat ancaman kekufuran, bilamana ia dengan yakin dan sadar meyakini bahwa bunuh diri yang Allah haramkan itu adalah halal. Ia melegalkan apa yang dengan jelas Allah larang dan kecam tindakannya, sedangkan pada sebenarnya ia tahu bahwa itu haram, maka yang seperti ini dapat kehilangan status keislamannya dan dianggap kafir dengan menghalalkan apa yang Allah Ta’ala haramkan dan melakukannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk orang yang seperti inilah ancaman kekal di dalam neraka di hadis Abu Hurairah (yang telah disebutkan) diperuntukkan.[5] Semoga tren bunuh diri di kalangan umat ini semakin menurun dan semakin banyak orang-orang yang dilapangkan kehidupannya oleh Allah Ta’ala dan diberi pula kelapangan jiwa sehingga terhindar dari godaan mengakhiri hidup secara tragis untuk melanjutkan kehidupan yang lebih tragis lagi. Wallahu Ta’ala A’lam bis-shawab. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jasshash, Ahkam Al-Qur’an, 1: 155. [2] Syamsuddin bin Muflih, Al-Adab As-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah, 2: 349. [3] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, 8: 448. [4] Ibnu Rusyd Al-Qurthubi, Al-Muqaddimat wa Al-Mumahhidat, 3: 277. [5] Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih Al-Fauzan, Atsar Al-’Ilm Asy-Syar’i fii Muwajahat Al-‘unf wa Al-’Udwan, hal. 23.

Asuransi Dalam Timbangan Syariat

Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603

Asuransi Dalam Timbangan Syariat

Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603
Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603


Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603
Prev     Next