Fikih Hibah (Bag. 1): Perbedaan Antara Hibah, Hadiah, dan Sedekah

Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 1): Perbedaan Antara Hibah, Hadiah, dan Sedekah

Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Tanda Allah Ingin Kebaikan pada Seseorang – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا

Tanda Allah Ingin Kebaikan pada Seseorang – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا


“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا

Obat Tenang dari Langit – Syaikh Shalih Alu Syaikh #NasehatUlama

Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ

Obat Tenang dari Langit – Syaikh Shalih Alu Syaikh #NasehatUlama

Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ
Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ


Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ

Satu Ayat Saja Cukup untuk Menambah Iman & Mengubah Hidupmu! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ

Satu Ayat Saja Cukup untuk Menambah Iman & Mengubah Hidupmu! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ
“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ


“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ

Hadis: Apakah Talak Merupakan Perkara yang Allah Benci?

Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Apakah Talak Merupakan Perkara yang Allah Benci?

Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Takut Terkena Syirik

Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Takut Terkena Syirik

Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id
Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id


Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Apakah Orang Junub Boleh Mengurus Pemakaman Jenazah?

Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam

Apakah Orang Junub Boleh Mengurus Pemakaman Jenazah?

Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam
Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam


Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam

Mengenal Nama Allah “Al-Jabbar”

Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.

Mengenal Nama Allah “Al-Jabbar”

Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.
Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.


Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.

Hukum Menyengaja Salat Malam dalam Gelap

Daftar Isi ToggleHukum salat dalam gelapGelapnya malam, lebih terang untuk hatiKemampuan untuk bangun di malam hari, bersujud, dan bersimpuh di hadapan Allah, adalah sebuah nikmat yang agung dan taufik yang amat mahal harganya. Mereka yang mampu menunaikannya adalah para hamba pilihan, jiwa-jiwa yang rela meninggalkan kenyamanan saat kebanyakan manusia terlelap untuk menghadap Tuhan mereka. Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۩ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16-17)Boleh jadi, hari ini kita belum termasuk ke dalam golongan mereka, dan karenanya kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mengampuni dan memberi taufik agar mampu meniti jalan mereka. Namun, barangkali kita sudah akrab dengan satu kebiasaan yang cukup lumrah dijumpai terkait salat malam, baik di rumah maupun di banyak masjid, yaitu menunaikannya di dalam gelap. Bukan karena tak punya penerangan, bahkan mungkin ada yang sebelumnya tertidur di dalam kamar terang menyala, lalu ia terbangun, berwudu, dan mematikan sebagian besar cahaya sebelum berdiri menghadap Rabbnya.Lantas, bagaimana hukum kesengajaan semacam ini? Apakah termasuk bidah dan terlarang dalam agama?Hukum salat dalam gelapAsalnya, tidak ada ketentuan khusus dari syariat, apakah salat itu baiknya didirikan dalam terang ataukah gelap. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah menjelaskan hal ini dalam fatwa beliau,لا حرج في أن يصلي في الظلام إذا عرف القبلة وصار إلى القبلة فلا حرج أن يصلي في الظلام، ولا يشترط له وجود النور، ولا يجب بل ذلك جائز، إن صلى في النور أو في الظلام لا بأس، إذا كانت القبلة معروفة ولا يحتاج إلى النور في معرفة القبلة فلا حاجة إلى النور، المقصود: أنه لا يتعلق بهذا شيء، الصلاة صحيحة مطلقاً، سواء كان ذلك في نور أو في ظلمة إذا كان إلى قبلة واستوفت شروطها. نعم“Tidak mengapa salat dalam keadaan gelap, selama ia mengatahui dan menghadap ke arah kiblat. Maka, tidak mengapa salat dalam kegelapan. Tidak disyaratkan keberadaan cahaya dalam salat. Tidak pula diwajibkan, melainkan hukumnya boleh saja. Tidak masalah (untuk mendirikan) salat baik dalam keadaan terang maupun gelap. Selama arah kiblat itu diketahui dan tidak butuh cahaya untuk mencari tahu arah kiblat, maka tidak perlu (tidak harus, pen.) ada cahaya.Intinya, salat tidak terkait dengan hal ini. Salat tetap sah secara mutlak, baik dikerjakan dalam terang maupun gelap, selama menghadap kiblat dan terpenuhi syarat-syaratnya.” (Fatwa Nur ‘ala Ad-Darb)Fatwa ini menjelaskan hukum seseorang yang memiliki penerangan seperti lampu, senter, dan semisalnya, namun memilih salat dalam keadaan gelap. Kemudian, kebolehan salat dalam kondisi ini berlaku baik pada salat wajib maupun salat sunah, termasuk salat malam. Salat dalam keadaan gelap tidak menjadi bidah, selama tidak diyakini bahwa hal ini disyariatkan atau memiliki keutamaan khusus daripada salat dengan penerangan menyala.Gelapnya malam, lebih terang untuk hatiPerlu kita catat tebal-tebal, bahwa entah salat di saat terang maupun gelap, yang terpenting adalah keikhlasan dan kehadiran hati di dalamnya. Silakan matikan penerangan, jika hal itu dirasa dapat membantu kita lebih khusyuk, merasa nyaman tak terlihat siapa pun selain Allah saat menumpahkan air mata peristirahatan dari berbagai sesal dan beban hidup, maupun merasakan tenang dan aman dalam kesendirian kala mencurahkan keluh kesah kita.Biarkan redup pelitamu, jika dengan itu engkau dapat menyadari bahwa Rasulullah ﷺ, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, hingga orang-orang saleh sejak ribuan tahun lalu juga pernah berdiri sepertimu, mengucap takbir maupun bersujud dengan suasana yang serupa denganmu. Walaupun kondisi mereka mungkin lebih pelik ratusan kali lipat dari yang kita alami hari ini.Silakan padamkan lenteramu, jika dengannya engkau bisa lebih sadar bahwa gelapnya malam memanglah lebih terang untuk hati. Allahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id

Hukum Menyengaja Salat Malam dalam Gelap

Daftar Isi ToggleHukum salat dalam gelapGelapnya malam, lebih terang untuk hatiKemampuan untuk bangun di malam hari, bersujud, dan bersimpuh di hadapan Allah, adalah sebuah nikmat yang agung dan taufik yang amat mahal harganya. Mereka yang mampu menunaikannya adalah para hamba pilihan, jiwa-jiwa yang rela meninggalkan kenyamanan saat kebanyakan manusia terlelap untuk menghadap Tuhan mereka. Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۩ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16-17)Boleh jadi, hari ini kita belum termasuk ke dalam golongan mereka, dan karenanya kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mengampuni dan memberi taufik agar mampu meniti jalan mereka. Namun, barangkali kita sudah akrab dengan satu kebiasaan yang cukup lumrah dijumpai terkait salat malam, baik di rumah maupun di banyak masjid, yaitu menunaikannya di dalam gelap. Bukan karena tak punya penerangan, bahkan mungkin ada yang sebelumnya tertidur di dalam kamar terang menyala, lalu ia terbangun, berwudu, dan mematikan sebagian besar cahaya sebelum berdiri menghadap Rabbnya.Lantas, bagaimana hukum kesengajaan semacam ini? Apakah termasuk bidah dan terlarang dalam agama?Hukum salat dalam gelapAsalnya, tidak ada ketentuan khusus dari syariat, apakah salat itu baiknya didirikan dalam terang ataukah gelap. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah menjelaskan hal ini dalam fatwa beliau,لا حرج في أن يصلي في الظلام إذا عرف القبلة وصار إلى القبلة فلا حرج أن يصلي في الظلام، ولا يشترط له وجود النور، ولا يجب بل ذلك جائز، إن صلى في النور أو في الظلام لا بأس، إذا كانت القبلة معروفة ولا يحتاج إلى النور في معرفة القبلة فلا حاجة إلى النور، المقصود: أنه لا يتعلق بهذا شيء، الصلاة صحيحة مطلقاً، سواء كان ذلك في نور أو في ظلمة إذا كان إلى قبلة واستوفت شروطها. نعم“Tidak mengapa salat dalam keadaan gelap, selama ia mengatahui dan menghadap ke arah kiblat. Maka, tidak mengapa salat dalam kegelapan. Tidak disyaratkan keberadaan cahaya dalam salat. Tidak pula diwajibkan, melainkan hukumnya boleh saja. Tidak masalah (untuk mendirikan) salat baik dalam keadaan terang maupun gelap. Selama arah kiblat itu diketahui dan tidak butuh cahaya untuk mencari tahu arah kiblat, maka tidak perlu (tidak harus, pen.) ada cahaya.Intinya, salat tidak terkait dengan hal ini. Salat tetap sah secara mutlak, baik dikerjakan dalam terang maupun gelap, selama menghadap kiblat dan terpenuhi syarat-syaratnya.” (Fatwa Nur ‘ala Ad-Darb)Fatwa ini menjelaskan hukum seseorang yang memiliki penerangan seperti lampu, senter, dan semisalnya, namun memilih salat dalam keadaan gelap. Kemudian, kebolehan salat dalam kondisi ini berlaku baik pada salat wajib maupun salat sunah, termasuk salat malam. Salat dalam keadaan gelap tidak menjadi bidah, selama tidak diyakini bahwa hal ini disyariatkan atau memiliki keutamaan khusus daripada salat dengan penerangan menyala.Gelapnya malam, lebih terang untuk hatiPerlu kita catat tebal-tebal, bahwa entah salat di saat terang maupun gelap, yang terpenting adalah keikhlasan dan kehadiran hati di dalamnya. Silakan matikan penerangan, jika hal itu dirasa dapat membantu kita lebih khusyuk, merasa nyaman tak terlihat siapa pun selain Allah saat menumpahkan air mata peristirahatan dari berbagai sesal dan beban hidup, maupun merasakan tenang dan aman dalam kesendirian kala mencurahkan keluh kesah kita.Biarkan redup pelitamu, jika dengan itu engkau dapat menyadari bahwa Rasulullah ﷺ, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, hingga orang-orang saleh sejak ribuan tahun lalu juga pernah berdiri sepertimu, mengucap takbir maupun bersujud dengan suasana yang serupa denganmu. Walaupun kondisi mereka mungkin lebih pelik ratusan kali lipat dari yang kita alami hari ini.Silakan padamkan lenteramu, jika dengannya engkau bisa lebih sadar bahwa gelapnya malam memanglah lebih terang untuk hati. Allahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleHukum salat dalam gelapGelapnya malam, lebih terang untuk hatiKemampuan untuk bangun di malam hari, bersujud, dan bersimpuh di hadapan Allah, adalah sebuah nikmat yang agung dan taufik yang amat mahal harganya. Mereka yang mampu menunaikannya adalah para hamba pilihan, jiwa-jiwa yang rela meninggalkan kenyamanan saat kebanyakan manusia terlelap untuk menghadap Tuhan mereka. Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۩ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16-17)Boleh jadi, hari ini kita belum termasuk ke dalam golongan mereka, dan karenanya kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mengampuni dan memberi taufik agar mampu meniti jalan mereka. Namun, barangkali kita sudah akrab dengan satu kebiasaan yang cukup lumrah dijumpai terkait salat malam, baik di rumah maupun di banyak masjid, yaitu menunaikannya di dalam gelap. Bukan karena tak punya penerangan, bahkan mungkin ada yang sebelumnya tertidur di dalam kamar terang menyala, lalu ia terbangun, berwudu, dan mematikan sebagian besar cahaya sebelum berdiri menghadap Rabbnya.Lantas, bagaimana hukum kesengajaan semacam ini? Apakah termasuk bidah dan terlarang dalam agama?Hukum salat dalam gelapAsalnya, tidak ada ketentuan khusus dari syariat, apakah salat itu baiknya didirikan dalam terang ataukah gelap. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah menjelaskan hal ini dalam fatwa beliau,لا حرج في أن يصلي في الظلام إذا عرف القبلة وصار إلى القبلة فلا حرج أن يصلي في الظلام، ولا يشترط له وجود النور، ولا يجب بل ذلك جائز، إن صلى في النور أو في الظلام لا بأس، إذا كانت القبلة معروفة ولا يحتاج إلى النور في معرفة القبلة فلا حاجة إلى النور، المقصود: أنه لا يتعلق بهذا شيء، الصلاة صحيحة مطلقاً، سواء كان ذلك في نور أو في ظلمة إذا كان إلى قبلة واستوفت شروطها. نعم“Tidak mengapa salat dalam keadaan gelap, selama ia mengatahui dan menghadap ke arah kiblat. Maka, tidak mengapa salat dalam kegelapan. Tidak disyaratkan keberadaan cahaya dalam salat. Tidak pula diwajibkan, melainkan hukumnya boleh saja. Tidak masalah (untuk mendirikan) salat baik dalam keadaan terang maupun gelap. Selama arah kiblat itu diketahui dan tidak butuh cahaya untuk mencari tahu arah kiblat, maka tidak perlu (tidak harus, pen.) ada cahaya.Intinya, salat tidak terkait dengan hal ini. Salat tetap sah secara mutlak, baik dikerjakan dalam terang maupun gelap, selama menghadap kiblat dan terpenuhi syarat-syaratnya.” (Fatwa Nur ‘ala Ad-Darb)Fatwa ini menjelaskan hukum seseorang yang memiliki penerangan seperti lampu, senter, dan semisalnya, namun memilih salat dalam keadaan gelap. Kemudian, kebolehan salat dalam kondisi ini berlaku baik pada salat wajib maupun salat sunah, termasuk salat malam. Salat dalam keadaan gelap tidak menjadi bidah, selama tidak diyakini bahwa hal ini disyariatkan atau memiliki keutamaan khusus daripada salat dengan penerangan menyala.Gelapnya malam, lebih terang untuk hatiPerlu kita catat tebal-tebal, bahwa entah salat di saat terang maupun gelap, yang terpenting adalah keikhlasan dan kehadiran hati di dalamnya. Silakan matikan penerangan, jika hal itu dirasa dapat membantu kita lebih khusyuk, merasa nyaman tak terlihat siapa pun selain Allah saat menumpahkan air mata peristirahatan dari berbagai sesal dan beban hidup, maupun merasakan tenang dan aman dalam kesendirian kala mencurahkan keluh kesah kita.Biarkan redup pelitamu, jika dengan itu engkau dapat menyadari bahwa Rasulullah ﷺ, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, hingga orang-orang saleh sejak ribuan tahun lalu juga pernah berdiri sepertimu, mengucap takbir maupun bersujud dengan suasana yang serupa denganmu. Walaupun kondisi mereka mungkin lebih pelik ratusan kali lipat dari yang kita alami hari ini.Silakan padamkan lenteramu, jika dengannya engkau bisa lebih sadar bahwa gelapnya malam memanglah lebih terang untuk hati. Allahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleHukum salat dalam gelapGelapnya malam, lebih terang untuk hatiKemampuan untuk bangun di malam hari, bersujud, dan bersimpuh di hadapan Allah, adalah sebuah nikmat yang agung dan taufik yang amat mahal harganya. Mereka yang mampu menunaikannya adalah para hamba pilihan, jiwa-jiwa yang rela meninggalkan kenyamanan saat kebanyakan manusia terlelap untuk menghadap Tuhan mereka. Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۩ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16-17)Boleh jadi, hari ini kita belum termasuk ke dalam golongan mereka, dan karenanya kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mengampuni dan memberi taufik agar mampu meniti jalan mereka. Namun, barangkali kita sudah akrab dengan satu kebiasaan yang cukup lumrah dijumpai terkait salat malam, baik di rumah maupun di banyak masjid, yaitu menunaikannya di dalam gelap. Bukan karena tak punya penerangan, bahkan mungkin ada yang sebelumnya tertidur di dalam kamar terang menyala, lalu ia terbangun, berwudu, dan mematikan sebagian besar cahaya sebelum berdiri menghadap Rabbnya.Lantas, bagaimana hukum kesengajaan semacam ini? Apakah termasuk bidah dan terlarang dalam agama?Hukum salat dalam gelapAsalnya, tidak ada ketentuan khusus dari syariat, apakah salat itu baiknya didirikan dalam terang ataukah gelap. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah menjelaskan hal ini dalam fatwa beliau,لا حرج في أن يصلي في الظلام إذا عرف القبلة وصار إلى القبلة فلا حرج أن يصلي في الظلام، ولا يشترط له وجود النور، ولا يجب بل ذلك جائز، إن صلى في النور أو في الظلام لا بأس، إذا كانت القبلة معروفة ولا يحتاج إلى النور في معرفة القبلة فلا حاجة إلى النور، المقصود: أنه لا يتعلق بهذا شيء، الصلاة صحيحة مطلقاً، سواء كان ذلك في نور أو في ظلمة إذا كان إلى قبلة واستوفت شروطها. نعم“Tidak mengapa salat dalam keadaan gelap, selama ia mengatahui dan menghadap ke arah kiblat. Maka, tidak mengapa salat dalam kegelapan. Tidak disyaratkan keberadaan cahaya dalam salat. Tidak pula diwajibkan, melainkan hukumnya boleh saja. Tidak masalah (untuk mendirikan) salat baik dalam keadaan terang maupun gelap. Selama arah kiblat itu diketahui dan tidak butuh cahaya untuk mencari tahu arah kiblat, maka tidak perlu (tidak harus, pen.) ada cahaya.Intinya, salat tidak terkait dengan hal ini. Salat tetap sah secara mutlak, baik dikerjakan dalam terang maupun gelap, selama menghadap kiblat dan terpenuhi syarat-syaratnya.” (Fatwa Nur ‘ala Ad-Darb)Fatwa ini menjelaskan hukum seseorang yang memiliki penerangan seperti lampu, senter, dan semisalnya, namun memilih salat dalam keadaan gelap. Kemudian, kebolehan salat dalam kondisi ini berlaku baik pada salat wajib maupun salat sunah, termasuk salat malam. Salat dalam keadaan gelap tidak menjadi bidah, selama tidak diyakini bahwa hal ini disyariatkan atau memiliki keutamaan khusus daripada salat dengan penerangan menyala.Gelapnya malam, lebih terang untuk hatiPerlu kita catat tebal-tebal, bahwa entah salat di saat terang maupun gelap, yang terpenting adalah keikhlasan dan kehadiran hati di dalamnya. Silakan matikan penerangan, jika hal itu dirasa dapat membantu kita lebih khusyuk, merasa nyaman tak terlihat siapa pun selain Allah saat menumpahkan air mata peristirahatan dari berbagai sesal dan beban hidup, maupun merasakan tenang dan aman dalam kesendirian kala mencurahkan keluh kesah kita.Biarkan redup pelitamu, jika dengan itu engkau dapat menyadari bahwa Rasulullah ﷺ, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, hingga orang-orang saleh sejak ribuan tahun lalu juga pernah berdiri sepertimu, mengucap takbir maupun bersujud dengan suasana yang serupa denganmu. Walaupun kondisi mereka mungkin lebih pelik ratusan kali lipat dari yang kita alami hari ini.Silakan padamkan lenteramu, jika dengannya engkau bisa lebih sadar bahwa gelapnya malam memanglah lebih terang untuk hati. Allahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bis shawab.Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id

Anda Harus Waspada: Tiga Jenis Ucapan yang Bisa Jadi Ghibah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ

Anda Harus Waspada: Tiga Jenis Ucapan yang Bisa Jadi Ghibah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ
Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ


Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ

Khutbah Jumat: Jangan Tasyabbuh! Larangan Menyerupai Non-Muslim dalam Islam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan puasa Asyura pada 10 Muharram dan ingin menambah puasa Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisihi Ahli Kitab. Dalam khutbah ini juga dijelaskan bahaya tasyabbuh (menyerupai non-Muslim) yang dilarang karena dapat menyeret kepada kesamaan dalam akhlak dan amalan. Umat Islam diperintahkan menjaga jati diri dengan mengikuti syariat agar selamat dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Apa standar disebut tasyabbuh? 3. Khutbah Kedua  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Marilah kita senantiasa memanjatkan syukur kepada Allah yang telah memberikan kita nikmat berada pada hari yang mulia, berada pada bulan yang mulia, bulan Muharram. Cara kita bersyukur adalah dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah, yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi setiap larangan-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurah pada Nabi kita yang mulia yang telah mengajarkan syariat yang membawa kepada kemaslahatan dan terhindar dari bahaya.Ada hadits yang patut kita renungkan berkenaan dengan hari Asyura, 10 Muharram.Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 1134)Para jama’ah shalat Jumat yang moga dirahmati oleh Allah. Tadi telah disinggung mengenai puasa Tasu’a (9 Muharram) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukannya berbarengan dengan puasa Asyura. Adapun keutamaan dari puasa Asyura (10 Muharram) disebutkan haditsnya dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut.Dari Abu Qatadah Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162).Hadits di atas menunjukkan maksud penting mengenai keutamaan puasa Asyura yaitu menghapuskan dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa Tasu’a, pada tanggal 9 Muharram bertujuan untuk menyelishi Ahli Kitab. Maksud kedua inilah yang ingin kita bahas pada kesempatan khutbah kali ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pada kita akan bahayanya TASYABBUH, menyerupai non-muslim dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka baik dalam beragama maupun dalam perkara dunia semisal dalam hal penampilan.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).Apa standar disebut tasyabbuh?Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, tetapi bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 30).Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras perbuatan tasyabbuh sebagaiman disebutkan dalam hadits berikut ini.Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).Di tempat lain dalam Majmu’ Al Fatawa, beliau berkata,فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!“Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)Ada hal yang perlu kita bedakan bahwa tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir terbagi menjadi dua bagian:1. Penyerupaan yang DiharamkanPenyerupaan yang diharamkan adalah melakukan sesuatu yang merupakan ciri khas agama orang-orang kafir dengan mengetahui hal itu, dan perbuatan tersebut tidak ada dalam syariat kita. Ini hukumnya haram, bahkan bisa termasuk dosa besar. Sebagian dari perbuatan itu bahkan dapat menyebabkan pelakunya kufur, tergantung pada dalil-dalil yang ada.Baik seseorang melakukannya karena ingin meniru-niru orang kafir, mengikuti hawa nafsu, atau karena adanya syubhat yang membuatnya membayangkan bahwa perbuatan tersebut bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.Jika ada yang bertanya: Apakah seseorang yang melakukan perbuatan ini karena tidak tahu (jahil) tetap berdosa, seperti orang yang merayakan ulang tahun?Jawabannya: Orang yang jahil tidak berdosa karena ketidaktahuannya, tetapi ia harus diajari. Jika setelah diajari ia tetap bersikeras melakukannya, maka ia berdosa.2. Penyerupaan yang DibolehkanPenyerupaan yang dibolehkan adalah melakukan suatu perbuatan yang pada asalnya tidak diambil dari orang kafir, tetapi kebetulan mereka juga melakukannya. Penyerupaan seperti ini tidak mengandung larangan, tetapi bisa saja menyebabkan hilangnya manfaat dari menyelisihi mereka.Tasyabbuh dengan non-muslim dalam urusan duniawi hanya dibolehkan dengan syarat-syarat berikut:Tidak termasuk tradisi dan simbol khas mereka yang menjadi ciri pembeda.Tidak berasal dari syariat mereka, dan hal itu bisa dipastikan sebagai bagian dari syariat mereka dengan sumber yang tepercaya, seperti diberitakan oleh Allah dalam kitab-Nya, melalui lisan Rasul-Nya, atau dengan riwayat mutawatir; contohnya seperti sujud penghormatan yang diperbolehkan pada umat-umat terdahulu.Tidak ada penjelasan khusus dalam syariat kita mengenai hal itu. Jika syariat kita sudah memberi penjelasan khusus tentang kesesuaian atau penyelisihan, maka cukup berpegang pada penjelasan tersebut.Penyerupaan itu tidak sampai menyebabkan pelanggaran terhadap salah satu ketentuan syariat.Tidak termasuk dalam penyerupaan pada hari-hari raya mereka.Penyerupaan dilakukan sebatas kebutuhan dan tidak melebihi batas yang diperlukan.Lihat: Kitab As-Sunan wal-Atsar fi An-Nahyi ‘an At-Tasyabbuh bil-Kuffar karya Suhail Hasan (hal. 58–59).Semoga dengan mengetahui hal ini, kita dimudahkan menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya, lalu kita dimudahkan untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaالْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ،عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ،اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ،اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَارَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 9 Muharram 1447 H (4 Juli 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskhutbah jumat loyal non muslim natal natal bersama selamat natal tasyabbuh valentine

Khutbah Jumat: Jangan Tasyabbuh! Larangan Menyerupai Non-Muslim dalam Islam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan puasa Asyura pada 10 Muharram dan ingin menambah puasa Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisihi Ahli Kitab. Dalam khutbah ini juga dijelaskan bahaya tasyabbuh (menyerupai non-Muslim) yang dilarang karena dapat menyeret kepada kesamaan dalam akhlak dan amalan. Umat Islam diperintahkan menjaga jati diri dengan mengikuti syariat agar selamat dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Apa standar disebut tasyabbuh? 3. Khutbah Kedua  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Marilah kita senantiasa memanjatkan syukur kepada Allah yang telah memberikan kita nikmat berada pada hari yang mulia, berada pada bulan yang mulia, bulan Muharram. Cara kita bersyukur adalah dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah, yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi setiap larangan-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurah pada Nabi kita yang mulia yang telah mengajarkan syariat yang membawa kepada kemaslahatan dan terhindar dari bahaya.Ada hadits yang patut kita renungkan berkenaan dengan hari Asyura, 10 Muharram.Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 1134)Para jama’ah shalat Jumat yang moga dirahmati oleh Allah. Tadi telah disinggung mengenai puasa Tasu’a (9 Muharram) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukannya berbarengan dengan puasa Asyura. Adapun keutamaan dari puasa Asyura (10 Muharram) disebutkan haditsnya dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut.Dari Abu Qatadah Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162).Hadits di atas menunjukkan maksud penting mengenai keutamaan puasa Asyura yaitu menghapuskan dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa Tasu’a, pada tanggal 9 Muharram bertujuan untuk menyelishi Ahli Kitab. Maksud kedua inilah yang ingin kita bahas pada kesempatan khutbah kali ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pada kita akan bahayanya TASYABBUH, menyerupai non-muslim dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka baik dalam beragama maupun dalam perkara dunia semisal dalam hal penampilan.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).Apa standar disebut tasyabbuh?Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, tetapi bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 30).Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras perbuatan tasyabbuh sebagaiman disebutkan dalam hadits berikut ini.Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).Di tempat lain dalam Majmu’ Al Fatawa, beliau berkata,فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!“Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)Ada hal yang perlu kita bedakan bahwa tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir terbagi menjadi dua bagian:1. Penyerupaan yang DiharamkanPenyerupaan yang diharamkan adalah melakukan sesuatu yang merupakan ciri khas agama orang-orang kafir dengan mengetahui hal itu, dan perbuatan tersebut tidak ada dalam syariat kita. Ini hukumnya haram, bahkan bisa termasuk dosa besar. Sebagian dari perbuatan itu bahkan dapat menyebabkan pelakunya kufur, tergantung pada dalil-dalil yang ada.Baik seseorang melakukannya karena ingin meniru-niru orang kafir, mengikuti hawa nafsu, atau karena adanya syubhat yang membuatnya membayangkan bahwa perbuatan tersebut bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.Jika ada yang bertanya: Apakah seseorang yang melakukan perbuatan ini karena tidak tahu (jahil) tetap berdosa, seperti orang yang merayakan ulang tahun?Jawabannya: Orang yang jahil tidak berdosa karena ketidaktahuannya, tetapi ia harus diajari. Jika setelah diajari ia tetap bersikeras melakukannya, maka ia berdosa.2. Penyerupaan yang DibolehkanPenyerupaan yang dibolehkan adalah melakukan suatu perbuatan yang pada asalnya tidak diambil dari orang kafir, tetapi kebetulan mereka juga melakukannya. Penyerupaan seperti ini tidak mengandung larangan, tetapi bisa saja menyebabkan hilangnya manfaat dari menyelisihi mereka.Tasyabbuh dengan non-muslim dalam urusan duniawi hanya dibolehkan dengan syarat-syarat berikut:Tidak termasuk tradisi dan simbol khas mereka yang menjadi ciri pembeda.Tidak berasal dari syariat mereka, dan hal itu bisa dipastikan sebagai bagian dari syariat mereka dengan sumber yang tepercaya, seperti diberitakan oleh Allah dalam kitab-Nya, melalui lisan Rasul-Nya, atau dengan riwayat mutawatir; contohnya seperti sujud penghormatan yang diperbolehkan pada umat-umat terdahulu.Tidak ada penjelasan khusus dalam syariat kita mengenai hal itu. Jika syariat kita sudah memberi penjelasan khusus tentang kesesuaian atau penyelisihan, maka cukup berpegang pada penjelasan tersebut.Penyerupaan itu tidak sampai menyebabkan pelanggaran terhadap salah satu ketentuan syariat.Tidak termasuk dalam penyerupaan pada hari-hari raya mereka.Penyerupaan dilakukan sebatas kebutuhan dan tidak melebihi batas yang diperlukan.Lihat: Kitab As-Sunan wal-Atsar fi An-Nahyi ‘an At-Tasyabbuh bil-Kuffar karya Suhail Hasan (hal. 58–59).Semoga dengan mengetahui hal ini, kita dimudahkan menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya, lalu kita dimudahkan untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaالْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ،عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ،اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ،اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَارَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 9 Muharram 1447 H (4 Juli 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskhutbah jumat loyal non muslim natal natal bersama selamat natal tasyabbuh valentine
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan puasa Asyura pada 10 Muharram dan ingin menambah puasa Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisihi Ahli Kitab. Dalam khutbah ini juga dijelaskan bahaya tasyabbuh (menyerupai non-Muslim) yang dilarang karena dapat menyeret kepada kesamaan dalam akhlak dan amalan. Umat Islam diperintahkan menjaga jati diri dengan mengikuti syariat agar selamat dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Apa standar disebut tasyabbuh? 3. Khutbah Kedua  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Marilah kita senantiasa memanjatkan syukur kepada Allah yang telah memberikan kita nikmat berada pada hari yang mulia, berada pada bulan yang mulia, bulan Muharram. Cara kita bersyukur adalah dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah, yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi setiap larangan-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurah pada Nabi kita yang mulia yang telah mengajarkan syariat yang membawa kepada kemaslahatan dan terhindar dari bahaya.Ada hadits yang patut kita renungkan berkenaan dengan hari Asyura, 10 Muharram.Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 1134)Para jama’ah shalat Jumat yang moga dirahmati oleh Allah. Tadi telah disinggung mengenai puasa Tasu’a (9 Muharram) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukannya berbarengan dengan puasa Asyura. Adapun keutamaan dari puasa Asyura (10 Muharram) disebutkan haditsnya dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut.Dari Abu Qatadah Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162).Hadits di atas menunjukkan maksud penting mengenai keutamaan puasa Asyura yaitu menghapuskan dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa Tasu’a, pada tanggal 9 Muharram bertujuan untuk menyelishi Ahli Kitab. Maksud kedua inilah yang ingin kita bahas pada kesempatan khutbah kali ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pada kita akan bahayanya TASYABBUH, menyerupai non-muslim dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka baik dalam beragama maupun dalam perkara dunia semisal dalam hal penampilan.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).Apa standar disebut tasyabbuh?Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, tetapi bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 30).Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras perbuatan tasyabbuh sebagaiman disebutkan dalam hadits berikut ini.Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).Di tempat lain dalam Majmu’ Al Fatawa, beliau berkata,فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!“Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)Ada hal yang perlu kita bedakan bahwa tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir terbagi menjadi dua bagian:1. Penyerupaan yang DiharamkanPenyerupaan yang diharamkan adalah melakukan sesuatu yang merupakan ciri khas agama orang-orang kafir dengan mengetahui hal itu, dan perbuatan tersebut tidak ada dalam syariat kita. Ini hukumnya haram, bahkan bisa termasuk dosa besar. Sebagian dari perbuatan itu bahkan dapat menyebabkan pelakunya kufur, tergantung pada dalil-dalil yang ada.Baik seseorang melakukannya karena ingin meniru-niru orang kafir, mengikuti hawa nafsu, atau karena adanya syubhat yang membuatnya membayangkan bahwa perbuatan tersebut bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.Jika ada yang bertanya: Apakah seseorang yang melakukan perbuatan ini karena tidak tahu (jahil) tetap berdosa, seperti orang yang merayakan ulang tahun?Jawabannya: Orang yang jahil tidak berdosa karena ketidaktahuannya, tetapi ia harus diajari. Jika setelah diajari ia tetap bersikeras melakukannya, maka ia berdosa.2. Penyerupaan yang DibolehkanPenyerupaan yang dibolehkan adalah melakukan suatu perbuatan yang pada asalnya tidak diambil dari orang kafir, tetapi kebetulan mereka juga melakukannya. Penyerupaan seperti ini tidak mengandung larangan, tetapi bisa saja menyebabkan hilangnya manfaat dari menyelisihi mereka.Tasyabbuh dengan non-muslim dalam urusan duniawi hanya dibolehkan dengan syarat-syarat berikut:Tidak termasuk tradisi dan simbol khas mereka yang menjadi ciri pembeda.Tidak berasal dari syariat mereka, dan hal itu bisa dipastikan sebagai bagian dari syariat mereka dengan sumber yang tepercaya, seperti diberitakan oleh Allah dalam kitab-Nya, melalui lisan Rasul-Nya, atau dengan riwayat mutawatir; contohnya seperti sujud penghormatan yang diperbolehkan pada umat-umat terdahulu.Tidak ada penjelasan khusus dalam syariat kita mengenai hal itu. Jika syariat kita sudah memberi penjelasan khusus tentang kesesuaian atau penyelisihan, maka cukup berpegang pada penjelasan tersebut.Penyerupaan itu tidak sampai menyebabkan pelanggaran terhadap salah satu ketentuan syariat.Tidak termasuk dalam penyerupaan pada hari-hari raya mereka.Penyerupaan dilakukan sebatas kebutuhan dan tidak melebihi batas yang diperlukan.Lihat: Kitab As-Sunan wal-Atsar fi An-Nahyi ‘an At-Tasyabbuh bil-Kuffar karya Suhail Hasan (hal. 58–59).Semoga dengan mengetahui hal ini, kita dimudahkan menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya, lalu kita dimudahkan untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaالْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ،عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ،اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ،اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَارَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 9 Muharram 1447 H (4 Juli 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskhutbah jumat loyal non muslim natal natal bersama selamat natal tasyabbuh valentine


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan puasa Asyura pada 10 Muharram dan ingin menambah puasa Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisihi Ahli Kitab. Dalam khutbah ini juga dijelaskan bahaya tasyabbuh (menyerupai non-Muslim) yang dilarang karena dapat menyeret kepada kesamaan dalam akhlak dan amalan. Umat Islam diperintahkan menjaga jati diri dengan mengikuti syariat agar selamat dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Apa standar disebut tasyabbuh? 3. Khutbah Kedua  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Marilah kita senantiasa memanjatkan syukur kepada Allah yang telah memberikan kita nikmat berada pada hari yang mulia, berada pada bulan yang mulia, bulan Muharram. Cara kita bersyukur adalah dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah, yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi setiap larangan-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurah pada Nabi kita yang mulia yang telah mengajarkan syariat yang membawa kepada kemaslahatan dan terhindar dari bahaya.Ada hadits yang patut kita renungkan berkenaan dengan hari Asyura, 10 Muharram.Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 1134)Para jama’ah shalat Jumat yang moga dirahmati oleh Allah. Tadi telah disinggung mengenai puasa Tasu’a (9 Muharram) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukannya berbarengan dengan puasa Asyura. Adapun keutamaan dari puasa Asyura (10 Muharram) disebutkan haditsnya dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut.Dari Abu Qatadah Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162).Hadits di atas menunjukkan maksud penting mengenai keutamaan puasa Asyura yaitu menghapuskan dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa Tasu’a, pada tanggal 9 Muharram bertujuan untuk menyelishi Ahli Kitab. Maksud kedua inilah yang ingin kita bahas pada kesempatan khutbah kali ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pada kita akan bahayanya TASYABBUH, menyerupai non-muslim dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka baik dalam beragama maupun dalam perkara dunia semisal dalam hal penampilan.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).Apa standar disebut tasyabbuh?Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, tetapi bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 30).Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras perbuatan tasyabbuh sebagaiman disebutkan dalam hadits berikut ini.Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).Di tempat lain dalam Majmu’ Al Fatawa, beliau berkata,فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!“Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)Ada hal yang perlu kita bedakan bahwa tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir terbagi menjadi dua bagian:1. Penyerupaan yang DiharamkanPenyerupaan yang diharamkan adalah melakukan sesuatu yang merupakan ciri khas agama orang-orang kafir dengan mengetahui hal itu, dan perbuatan tersebut tidak ada dalam syariat kita. Ini hukumnya haram, bahkan bisa termasuk dosa besar. Sebagian dari perbuatan itu bahkan dapat menyebabkan pelakunya kufur, tergantung pada dalil-dalil yang ada.Baik seseorang melakukannya karena ingin meniru-niru orang kafir, mengikuti hawa nafsu, atau karena adanya syubhat yang membuatnya membayangkan bahwa perbuatan tersebut bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.Jika ada yang bertanya: Apakah seseorang yang melakukan perbuatan ini karena tidak tahu (jahil) tetap berdosa, seperti orang yang merayakan ulang tahun?Jawabannya: Orang yang jahil tidak berdosa karena ketidaktahuannya, tetapi ia harus diajari. Jika setelah diajari ia tetap bersikeras melakukannya, maka ia berdosa.2. Penyerupaan yang DibolehkanPenyerupaan yang dibolehkan adalah melakukan suatu perbuatan yang pada asalnya tidak diambil dari orang kafir, tetapi kebetulan mereka juga melakukannya. Penyerupaan seperti ini tidak mengandung larangan, tetapi bisa saja menyebabkan hilangnya manfaat dari menyelisihi mereka.Tasyabbuh dengan non-muslim dalam urusan duniawi hanya dibolehkan dengan syarat-syarat berikut:Tidak termasuk tradisi dan simbol khas mereka yang menjadi ciri pembeda.Tidak berasal dari syariat mereka, dan hal itu bisa dipastikan sebagai bagian dari syariat mereka dengan sumber yang tepercaya, seperti diberitakan oleh Allah dalam kitab-Nya, melalui lisan Rasul-Nya, atau dengan riwayat mutawatir; contohnya seperti sujud penghormatan yang diperbolehkan pada umat-umat terdahulu.Tidak ada penjelasan khusus dalam syariat kita mengenai hal itu. Jika syariat kita sudah memberi penjelasan khusus tentang kesesuaian atau penyelisihan, maka cukup berpegang pada penjelasan tersebut.Penyerupaan itu tidak sampai menyebabkan pelanggaran terhadap salah satu ketentuan syariat.Tidak termasuk dalam penyerupaan pada hari-hari raya mereka.Penyerupaan dilakukan sebatas kebutuhan dan tidak melebihi batas yang diperlukan.Lihat: Kitab As-Sunan wal-Atsar fi An-Nahyi ‘an At-Tasyabbuh bil-Kuffar karya Suhail Hasan (hal. 58–59).Semoga dengan mengetahui hal ini, kita dimudahkan menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya, lalu kita dimudahkan untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaالْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ،عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ،اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ،اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَارَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 9 Muharram 1447 H (4 Juli 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskhutbah jumat loyal non muslim natal natal bersama selamat natal tasyabbuh valentine

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 9)

Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditKedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Setelah sebelumnya membahas syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit, maka pada pembahasan kali ini, kita akan lebih menitikberatkan pada syarat yang berkaitan dengan ‘ajal (batas waktu atau jatuh tempo).Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Maksudnya adalah syarat yang berkaitan dengan batas waktu atau jatuh tempo dalam transaksi jual beli kredit. Telah diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tentunya pembayaran dilakukan secara dicicil (diangsur). Dalam hal ini, ada satu syarat yang harus terpenuhi, yaitu batas waktu harus jelas.Dalam transaksi jual beli kredit, pembayaran haruslah dalam kurun waktu yang jelas. Hal ini menjadi syarat yang sangat ditekankan oleh para ulama. Mengingat jual beli kredit sangat erat kaitannya dengan utang piutang. Sehingga waktu harus menjadi prioritas utama dalam suatu akad jual beli kredit.Selain itu, perlu diingat bahwa jual beli kredit adalah transaksi yang pembayarannya dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Sehingga sekali lagi, waktu termasuk hal yang harus jelas (disepakati) sejak dari awal transaksi. Hal ini sejatinya untuk menghindari perselisihan di antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli kredit.Terkait dengan syarat berupa “batas waktu harus jelas” terdapat dua hal yang penting untuk diketahui,Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditDalil akan wajibnya waktu yang jelas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu berkata,قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mempraktekkan salaf dalam jual beli buah-buahan, hendaklah dilakukan dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari)Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan maksud hadis di atas,يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الآجَال ‌لَا ‌تَحِلّ ‌إِلَّا ‌أَنْ ‌تَكُوْنَ ‌مَعْلُوْمَةً“(Hadis ini) menunjukkan bahwa batas waktu (utang) tidaklah halal kecuali jika jelas (waktunya).” [2]Begitupun di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat lafaz ”‘ajal”, biasanya disebut beriringan dengan lafaz “musamma”, yang berarti waktu yang ditentukan (=jelas). Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan…” (QS. Al-Baqarah: 282)Sehingga telah menjadi kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengetahui batas waktu pada setiap akad yang sifatnya “utang”. Seperti jual beli salam, jual beli yang dibayar di akhir, dan jual beli kredit. [3]Bahkan mereka menjadikan hal tersebut sebagai kaidah yang menyeluruh akan pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kredit. Di dalam salah satu kitab fikih Hanafi disebutkan,وَيَجُوْزُ البَيْعُ بِثَمَنٍ حَالٍ وَمُؤَجَّلٍ إِذَا كَانَ الأَجَلُ مَعْلُوْمًا“Dan boleh jual beli dalam bentuk cash atau utang, asalkan batas waktu (pada utang) jelas.” [4]Kedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditDalam hal ini, para ulama berselisih menjadi tiga pendapat. Untuk memudahkan, silahkan untuk melihat tabel berikut ini.MazhabPendapatDalil  dan PenjelasanMalikiyah,Syafi’iyah,sebagian riwayat Hanabilah, danZhahiriyahJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tersebut batal.– Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit mengantarkan kepada gharar. Di dalam hadis Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Telah melarang jual beli gharar.” – Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit dianggap sebagai syarat yang faasid (rusak). Dan jual beli batal dengan syarat yang demikian.HanafiJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tidak batal, namun hanya sekedar fasid (rusak). – Mazhab Hanafi bependapat jual beli tersebut tidaklah batal, namun hanya sekedar fasid. Sehingga bisa diperbaiki dengan cara menghilangkan yang dapat menyebabkan akad tersebut fasid. Dalam hal ini adalah dengan cara menyepakati batas waktu atau menghilangkan ketidakjelasan batas waktu.– Dalil mazhab Hanafi dalam hal ini ialah dalam jual beli kredit semacam ini telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hanya saja, ada sedikit ketidakjelasan waktu yang menyangkut pada sifat di luar jual beli itu sendiri. Maka, jual beli itu menjadi fasid dan wajib di-faskh (dihentikan). Namun, jual beli itu masih bisa berlanjut jika diperbaiki akadnya. Dengan cara,1. Memperjelas waktu;2. Menghilangkan ketidakjelasan batas waktu;3. Membayar secara cash.HanbaliJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tetap sah, namun syaratnya batil.– Hadis Barirah (budak yang dimerdekakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Ketika tuan dari Barirah mensyaratkan kepada ‘Aisyah, jika ingin membeli Barirah, maka perwalian (loyalitas) tetap pada tuannya yang lama. Kemudian ‘Aisyah mengadukan hal tersebut kepada Nabi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خُذِيْهَا فَأَعْتِقِيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الوَلَاء فَإِنَّمَا الوَلَاء لِمَنْ أَعْتَقَ“Ambillah (belilah) dia, lalu bebaskanlah. Dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya.” (HR. Bukhari) – Sisi pendalilan dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan jual belinya, namun membatalkan persyaratan faasid yang berkaitan dengan syarat perwalian (loyalitas) untuk selain yang memerdekakannya. Karena syarat tersebut tidak sesuai dengan syariat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما بالُ أقوامٍ يشترطون شروطًا ليست في كتابِ اللهِ ؟ من اشترطَ َشرطًا ليس في كتابِ اللهِ فهو باطلٌ ، وإن كانَ مائةَ شرطٍ“Ada apa dengan suatu kaum?! Mereka mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang memberikan syarat selain dari Kitabullah, maka syarat itu batil, walaupun terdapat seratus syarat.”Ketiga pendapat di atas sebagai bentuk kehati-hatian terhadap batas waktu yang tidak jelas dalam jual beli kredit. Sehingga tentunya perlu diperhatikan terkait dengan syarat berupa “batas waktu yang jelas”.Adapun pendapat yang terpilih adalah pendapat dari madzhab Hanbali, mengingat tidak ada dalil yang menjelaskan akan gugurnya suatu akad dikarenakan syarat yang fasid. Bahkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas menjelaskan bahwa akad jual beli tetap sah bersamaan dengan syarat yang fasid.Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[4] Al-Hidaayah fi Syarhi Bidaayatil Mubtadi, 2: 24 karya Abul Hasan Burhanuddin. Lihat Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144.

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 9)

Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditKedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Setelah sebelumnya membahas syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit, maka pada pembahasan kali ini, kita akan lebih menitikberatkan pada syarat yang berkaitan dengan ‘ajal (batas waktu atau jatuh tempo).Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Maksudnya adalah syarat yang berkaitan dengan batas waktu atau jatuh tempo dalam transaksi jual beli kredit. Telah diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tentunya pembayaran dilakukan secara dicicil (diangsur). Dalam hal ini, ada satu syarat yang harus terpenuhi, yaitu batas waktu harus jelas.Dalam transaksi jual beli kredit, pembayaran haruslah dalam kurun waktu yang jelas. Hal ini menjadi syarat yang sangat ditekankan oleh para ulama. Mengingat jual beli kredit sangat erat kaitannya dengan utang piutang. Sehingga waktu harus menjadi prioritas utama dalam suatu akad jual beli kredit.Selain itu, perlu diingat bahwa jual beli kredit adalah transaksi yang pembayarannya dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Sehingga sekali lagi, waktu termasuk hal yang harus jelas (disepakati) sejak dari awal transaksi. Hal ini sejatinya untuk menghindari perselisihan di antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli kredit.Terkait dengan syarat berupa “batas waktu harus jelas” terdapat dua hal yang penting untuk diketahui,Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditDalil akan wajibnya waktu yang jelas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu berkata,قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mempraktekkan salaf dalam jual beli buah-buahan, hendaklah dilakukan dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari)Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan maksud hadis di atas,يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الآجَال ‌لَا ‌تَحِلّ ‌إِلَّا ‌أَنْ ‌تَكُوْنَ ‌مَعْلُوْمَةً“(Hadis ini) menunjukkan bahwa batas waktu (utang) tidaklah halal kecuali jika jelas (waktunya).” [2]Begitupun di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat lafaz ”‘ajal”, biasanya disebut beriringan dengan lafaz “musamma”, yang berarti waktu yang ditentukan (=jelas). Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan…” (QS. Al-Baqarah: 282)Sehingga telah menjadi kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengetahui batas waktu pada setiap akad yang sifatnya “utang”. Seperti jual beli salam, jual beli yang dibayar di akhir, dan jual beli kredit. [3]Bahkan mereka menjadikan hal tersebut sebagai kaidah yang menyeluruh akan pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kredit. Di dalam salah satu kitab fikih Hanafi disebutkan,وَيَجُوْزُ البَيْعُ بِثَمَنٍ حَالٍ وَمُؤَجَّلٍ إِذَا كَانَ الأَجَلُ مَعْلُوْمًا“Dan boleh jual beli dalam bentuk cash atau utang, asalkan batas waktu (pada utang) jelas.” [4]Kedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditDalam hal ini, para ulama berselisih menjadi tiga pendapat. Untuk memudahkan, silahkan untuk melihat tabel berikut ini.MazhabPendapatDalil  dan PenjelasanMalikiyah,Syafi’iyah,sebagian riwayat Hanabilah, danZhahiriyahJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tersebut batal.– Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit mengantarkan kepada gharar. Di dalam hadis Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Telah melarang jual beli gharar.” – Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit dianggap sebagai syarat yang faasid (rusak). Dan jual beli batal dengan syarat yang demikian.HanafiJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tidak batal, namun hanya sekedar fasid (rusak). – Mazhab Hanafi bependapat jual beli tersebut tidaklah batal, namun hanya sekedar fasid. Sehingga bisa diperbaiki dengan cara menghilangkan yang dapat menyebabkan akad tersebut fasid. Dalam hal ini adalah dengan cara menyepakati batas waktu atau menghilangkan ketidakjelasan batas waktu.– Dalil mazhab Hanafi dalam hal ini ialah dalam jual beli kredit semacam ini telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hanya saja, ada sedikit ketidakjelasan waktu yang menyangkut pada sifat di luar jual beli itu sendiri. Maka, jual beli itu menjadi fasid dan wajib di-faskh (dihentikan). Namun, jual beli itu masih bisa berlanjut jika diperbaiki akadnya. Dengan cara,1. Memperjelas waktu;2. Menghilangkan ketidakjelasan batas waktu;3. Membayar secara cash.HanbaliJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tetap sah, namun syaratnya batil.– Hadis Barirah (budak yang dimerdekakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Ketika tuan dari Barirah mensyaratkan kepada ‘Aisyah, jika ingin membeli Barirah, maka perwalian (loyalitas) tetap pada tuannya yang lama. Kemudian ‘Aisyah mengadukan hal tersebut kepada Nabi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خُذِيْهَا فَأَعْتِقِيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الوَلَاء فَإِنَّمَا الوَلَاء لِمَنْ أَعْتَقَ“Ambillah (belilah) dia, lalu bebaskanlah. Dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya.” (HR. Bukhari) – Sisi pendalilan dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan jual belinya, namun membatalkan persyaratan faasid yang berkaitan dengan syarat perwalian (loyalitas) untuk selain yang memerdekakannya. Karena syarat tersebut tidak sesuai dengan syariat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما بالُ أقوامٍ يشترطون شروطًا ليست في كتابِ اللهِ ؟ من اشترطَ َشرطًا ليس في كتابِ اللهِ فهو باطلٌ ، وإن كانَ مائةَ شرطٍ“Ada apa dengan suatu kaum?! Mereka mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang memberikan syarat selain dari Kitabullah, maka syarat itu batil, walaupun terdapat seratus syarat.”Ketiga pendapat di atas sebagai bentuk kehati-hatian terhadap batas waktu yang tidak jelas dalam jual beli kredit. Sehingga tentunya perlu diperhatikan terkait dengan syarat berupa “batas waktu yang jelas”.Adapun pendapat yang terpilih adalah pendapat dari madzhab Hanbali, mengingat tidak ada dalil yang menjelaskan akan gugurnya suatu akad dikarenakan syarat yang fasid. Bahkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas menjelaskan bahwa akad jual beli tetap sah bersamaan dengan syarat yang fasid.Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[4] Al-Hidaayah fi Syarhi Bidaayatil Mubtadi, 2: 24 karya Abul Hasan Burhanuddin. Lihat Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144.
Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditKedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Setelah sebelumnya membahas syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit, maka pada pembahasan kali ini, kita akan lebih menitikberatkan pada syarat yang berkaitan dengan ‘ajal (batas waktu atau jatuh tempo).Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Maksudnya adalah syarat yang berkaitan dengan batas waktu atau jatuh tempo dalam transaksi jual beli kredit. Telah diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tentunya pembayaran dilakukan secara dicicil (diangsur). Dalam hal ini, ada satu syarat yang harus terpenuhi, yaitu batas waktu harus jelas.Dalam transaksi jual beli kredit, pembayaran haruslah dalam kurun waktu yang jelas. Hal ini menjadi syarat yang sangat ditekankan oleh para ulama. Mengingat jual beli kredit sangat erat kaitannya dengan utang piutang. Sehingga waktu harus menjadi prioritas utama dalam suatu akad jual beli kredit.Selain itu, perlu diingat bahwa jual beli kredit adalah transaksi yang pembayarannya dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Sehingga sekali lagi, waktu termasuk hal yang harus jelas (disepakati) sejak dari awal transaksi. Hal ini sejatinya untuk menghindari perselisihan di antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli kredit.Terkait dengan syarat berupa “batas waktu harus jelas” terdapat dua hal yang penting untuk diketahui,Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditDalil akan wajibnya waktu yang jelas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu berkata,قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mempraktekkan salaf dalam jual beli buah-buahan, hendaklah dilakukan dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari)Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan maksud hadis di atas,يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الآجَال ‌لَا ‌تَحِلّ ‌إِلَّا ‌أَنْ ‌تَكُوْنَ ‌مَعْلُوْمَةً“(Hadis ini) menunjukkan bahwa batas waktu (utang) tidaklah halal kecuali jika jelas (waktunya).” [2]Begitupun di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat lafaz ”‘ajal”, biasanya disebut beriringan dengan lafaz “musamma”, yang berarti waktu yang ditentukan (=jelas). Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan…” (QS. Al-Baqarah: 282)Sehingga telah menjadi kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengetahui batas waktu pada setiap akad yang sifatnya “utang”. Seperti jual beli salam, jual beli yang dibayar di akhir, dan jual beli kredit. [3]Bahkan mereka menjadikan hal tersebut sebagai kaidah yang menyeluruh akan pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kredit. Di dalam salah satu kitab fikih Hanafi disebutkan,وَيَجُوْزُ البَيْعُ بِثَمَنٍ حَالٍ وَمُؤَجَّلٍ إِذَا كَانَ الأَجَلُ مَعْلُوْمًا“Dan boleh jual beli dalam bentuk cash atau utang, asalkan batas waktu (pada utang) jelas.” [4]Kedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditDalam hal ini, para ulama berselisih menjadi tiga pendapat. Untuk memudahkan, silahkan untuk melihat tabel berikut ini.MazhabPendapatDalil  dan PenjelasanMalikiyah,Syafi’iyah,sebagian riwayat Hanabilah, danZhahiriyahJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tersebut batal.– Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit mengantarkan kepada gharar. Di dalam hadis Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Telah melarang jual beli gharar.” – Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit dianggap sebagai syarat yang faasid (rusak). Dan jual beli batal dengan syarat yang demikian.HanafiJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tidak batal, namun hanya sekedar fasid (rusak). – Mazhab Hanafi bependapat jual beli tersebut tidaklah batal, namun hanya sekedar fasid. Sehingga bisa diperbaiki dengan cara menghilangkan yang dapat menyebabkan akad tersebut fasid. Dalam hal ini adalah dengan cara menyepakati batas waktu atau menghilangkan ketidakjelasan batas waktu.– Dalil mazhab Hanafi dalam hal ini ialah dalam jual beli kredit semacam ini telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hanya saja, ada sedikit ketidakjelasan waktu yang menyangkut pada sifat di luar jual beli itu sendiri. Maka, jual beli itu menjadi fasid dan wajib di-faskh (dihentikan). Namun, jual beli itu masih bisa berlanjut jika diperbaiki akadnya. Dengan cara,1. Memperjelas waktu;2. Menghilangkan ketidakjelasan batas waktu;3. Membayar secara cash.HanbaliJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tetap sah, namun syaratnya batil.– Hadis Barirah (budak yang dimerdekakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Ketika tuan dari Barirah mensyaratkan kepada ‘Aisyah, jika ingin membeli Barirah, maka perwalian (loyalitas) tetap pada tuannya yang lama. Kemudian ‘Aisyah mengadukan hal tersebut kepada Nabi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خُذِيْهَا فَأَعْتِقِيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الوَلَاء فَإِنَّمَا الوَلَاء لِمَنْ أَعْتَقَ“Ambillah (belilah) dia, lalu bebaskanlah. Dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya.” (HR. Bukhari) – Sisi pendalilan dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan jual belinya, namun membatalkan persyaratan faasid yang berkaitan dengan syarat perwalian (loyalitas) untuk selain yang memerdekakannya. Karena syarat tersebut tidak sesuai dengan syariat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما بالُ أقوامٍ يشترطون شروطًا ليست في كتابِ اللهِ ؟ من اشترطَ َشرطًا ليس في كتابِ اللهِ فهو باطلٌ ، وإن كانَ مائةَ شرطٍ“Ada apa dengan suatu kaum?! Mereka mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang memberikan syarat selain dari Kitabullah, maka syarat itu batil, walaupun terdapat seratus syarat.”Ketiga pendapat di atas sebagai bentuk kehati-hatian terhadap batas waktu yang tidak jelas dalam jual beli kredit. Sehingga tentunya perlu diperhatikan terkait dengan syarat berupa “batas waktu yang jelas”.Adapun pendapat yang terpilih adalah pendapat dari madzhab Hanbali, mengingat tidak ada dalil yang menjelaskan akan gugurnya suatu akad dikarenakan syarat yang fasid. Bahkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas menjelaskan bahwa akad jual beli tetap sah bersamaan dengan syarat yang fasid.Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[4] Al-Hidaayah fi Syarhi Bidaayatil Mubtadi, 2: 24 karya Abul Hasan Burhanuddin. Lihat Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144.


Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditKedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Setelah sebelumnya membahas syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit, maka pada pembahasan kali ini, kita akan lebih menitikberatkan pada syarat yang berkaitan dengan ‘ajal (batas waktu atau jatuh tempo).Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]Maksudnya adalah syarat yang berkaitan dengan batas waktu atau jatuh tempo dalam transaksi jual beli kredit. Telah diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tentunya pembayaran dilakukan secara dicicil (diangsur). Dalam hal ini, ada satu syarat yang harus terpenuhi, yaitu batas waktu harus jelas.Dalam transaksi jual beli kredit, pembayaran haruslah dalam kurun waktu yang jelas. Hal ini menjadi syarat yang sangat ditekankan oleh para ulama. Mengingat jual beli kredit sangat erat kaitannya dengan utang piutang. Sehingga waktu harus menjadi prioritas utama dalam suatu akad jual beli kredit.Selain itu, perlu diingat bahwa jual beli kredit adalah transaksi yang pembayarannya dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Sehingga sekali lagi, waktu termasuk hal yang harus jelas (disepakati) sejak dari awal transaksi. Hal ini sejatinya untuk menghindari perselisihan di antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli kredit.Terkait dengan syarat berupa “batas waktu harus jelas” terdapat dua hal yang penting untuk diketahui,Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kreditDalil akan wajibnya waktu yang jelas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu berkata,قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mempraktekkan salaf dalam jual beli buah-buahan, hendaklah dilakukan dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari)Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan maksud hadis di atas,يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الآجَال ‌لَا ‌تَحِلّ ‌إِلَّا ‌أَنْ ‌تَكُوْنَ ‌مَعْلُوْمَةً“(Hadis ini) menunjukkan bahwa batas waktu (utang) tidaklah halal kecuali jika jelas (waktunya).” [2]Begitupun di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat lafaz ”‘ajal”, biasanya disebut beriringan dengan lafaz “musamma”, yang berarti waktu yang ditentukan (=jelas). Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan…” (QS. Al-Baqarah: 282)Sehingga telah menjadi kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengetahui batas waktu pada setiap akad yang sifatnya “utang”. Seperti jual beli salam, jual beli yang dibayar di akhir, dan jual beli kredit. [3]Bahkan mereka menjadikan hal tersebut sebagai kaidah yang menyeluruh akan pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kredit. Di dalam salah satu kitab fikih Hanafi disebutkan,وَيَجُوْزُ البَيْعُ بِثَمَنٍ حَالٍ وَمُؤَجَّلٍ إِذَا كَانَ الأَجَلُ مَعْلُوْمًا“Dan boleh jual beli dalam bentuk cash atau utang, asalkan batas waktu (pada utang) jelas.” [4]Kedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kreditDalam hal ini, para ulama berselisih menjadi tiga pendapat. Untuk memudahkan, silahkan untuk melihat tabel berikut ini.MazhabPendapatDalil  dan PenjelasanMalikiyah,Syafi’iyah,sebagian riwayat Hanabilah, danZhahiriyahJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tersebut batal.– Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit mengantarkan kepada gharar. Di dalam hadis Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Telah melarang jual beli gharar.” – Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit dianggap sebagai syarat yang faasid (rusak). Dan jual beli batal dengan syarat yang demikian.HanafiJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tidak batal, namun hanya sekedar fasid (rusak). – Mazhab Hanafi bependapat jual beli tersebut tidaklah batal, namun hanya sekedar fasid. Sehingga bisa diperbaiki dengan cara menghilangkan yang dapat menyebabkan akad tersebut fasid. Dalam hal ini adalah dengan cara menyepakati batas waktu atau menghilangkan ketidakjelasan batas waktu.– Dalil mazhab Hanafi dalam hal ini ialah dalam jual beli kredit semacam ini telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hanya saja, ada sedikit ketidakjelasan waktu yang menyangkut pada sifat di luar jual beli itu sendiri. Maka, jual beli itu menjadi fasid dan wajib di-faskh (dihentikan). Namun, jual beli itu masih bisa berlanjut jika diperbaiki akadnya. Dengan cara,1. Memperjelas waktu;2. Menghilangkan ketidakjelasan batas waktu;3. Membayar secara cash.HanbaliJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tetap sah, namun syaratnya batil.– Hadis Barirah (budak yang dimerdekakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Ketika tuan dari Barirah mensyaratkan kepada ‘Aisyah, jika ingin membeli Barirah, maka perwalian (loyalitas) tetap pada tuannya yang lama. Kemudian ‘Aisyah mengadukan hal tersebut kepada Nabi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خُذِيْهَا فَأَعْتِقِيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الوَلَاء فَإِنَّمَا الوَلَاء لِمَنْ أَعْتَقَ“Ambillah (belilah) dia, lalu bebaskanlah. Dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya.” (HR. Bukhari) – Sisi pendalilan dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan jual belinya, namun membatalkan persyaratan faasid yang berkaitan dengan syarat perwalian (loyalitas) untuk selain yang memerdekakannya. Karena syarat tersebut tidak sesuai dengan syariat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما بالُ أقوامٍ يشترطون شروطًا ليست في كتابِ اللهِ ؟ من اشترطَ َشرطًا ليس في كتابِ اللهِ فهو باطلٌ ، وإن كانَ مائةَ شرطٍ“Ada apa dengan suatu kaum?! Mereka mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang memberikan syarat selain dari Kitabullah, maka syarat itu batil, walaupun terdapat seratus syarat.”Ketiga pendapat di atas sebagai bentuk kehati-hatian terhadap batas waktu yang tidak jelas dalam jual beli kredit. Sehingga tentunya perlu diperhatikan terkait dengan syarat berupa “batas waktu yang jelas”.Adapun pendapat yang terpilih adalah pendapat dari madzhab Hanbali, mengingat tidak ada dalil yang menjelaskan akan gugurnya suatu akad dikarenakan syarat yang fasid. Bahkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas menjelaskan bahwa akad jual beli tetap sah bersamaan dengan syarat yang fasid.Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.[4] Al-Hidaayah fi Syarhi Bidaayatil Mubtadi, 2: 24 karya Abul Hasan Burhanuddin. Lihat Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144.

Obat Mujarab Sembuh dari Waswas – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Ada seseorang yang mengalami waswas yang tak terkendali, apa nasihat Anda untuknya? Semoga Allah menjaga Anda. Waswas adalah salah satu jalan masuk Iblis. Pada dasarnya, munculnya waswas merupakan tanda kesalehan seorang hamba, dan tanda kebersihan hatinya. Karena, jika setan melihat seorang hamba itu saleh, dan setan tidak mampu menyesatkannya lewat perbuatan dosa, maka ia beralih membisikkan waswas. Oleh sebab itu, saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diceritakan tentang hal ini, Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang mengembalikan tipu dayanya setan hanya menjadi waswas.” (HR. Abu Daud). Setan tidak mampu menguasai kita, sehingga hanya datang dengan waswas. Nabi juga bersabda, “Itu adalah tanda keimanan yang nyata.” (HR. Muslim). Inilah hakikat waswas: jika seseorang mengalaminya, itu tanda adanya iman dan kesalehan. Namun, itu bukan berarti kita memuji orang-orang yang terkena waswas. Sebab, menuruti waswas adalah perkara buruk, yang harus dihindari. Orang yang terkena waswas terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama: orang yang tidak dikuasai oleh waswas. Waswas hanya datang dan pergi, tidak menetap. [OBAT PERTAMA]Jenis ini diobati dengan memperbanyak isti‘ādzah. Yaitu memohon perlindungan kepada Allah dan meludah ringan ke arah kiri. [OBAT KEDUA]Juga dengan membaca Al-Qur’an, [OBAT KETIGA]dan membaca hadis-hadis Nabi. Kelompok kedua: orang yang sangat sering didatangi waswas hingga benar-benar dikuasainya. Jenis ini tidak bisa disembuhkan dengan melakukan suatu amalan tertentu. Karena setiap kali ia melakukan sesuatu, waswasnya justru makin parah. Bahkan saat membaca Al-Qur’an pun, waswasnya semakin menjadi-jadi. Lalu bagaimana cara mengobatinya? [OBAT KEEMPAT]Para ulama fikih mengatakan: obatnya adalah dengan berpaling sepenuhnya dari waswas. Apa maksud dari berpaling sepenuhnya? [KAIDAH PENTING PADA OBAT KEEMPAT] Artinya, tidak menanggapi waswas dengan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Jika setan membisikkan waswas padamu, anggap saja setan itu seperti orang gila yang berbicara di belakangmu. Kamu benar-benar yakin bahwa itu tidak akan membahayakanmu. Jangan lakukan apa pun karenanya, dan jangan tinggalkan apa pun karena itu. Sebagian orang, ketika didatangi waswas, ia membuka Al-Qur’an untuk membacanya. Lalu iblis semakin gencar menggodanya hingga membisikkan waswas dalam bacaannya. Atau ia sedang shalat, dan iblis pun membisikkan waswas dalam shalatnya. Jangan pula tinggalkan suatu ibadah karena terganggu waswas. Jika kamu membaca Al-Qur’an dan setan terus membisikkan waswas, jangan tinggalkan bacaannya. Lanjutkan saja! Berhentilah membaca Al-Qur’an hanya jika memang ingin berhenti. Adapun jika kamu berhenti karena waswas, maka jangan berhenti! [OBAT KELIMA] Jika kamu lakukan ini dan bersabar, ketahuilah bahwa masalah ini butuh kesabaran. Karena iblis datang membisikkan waswas seakan-akan dia memberi nasihat dengan tampak penuh kepedulian. Dalam shalat, setan membisikkan, “Ini adalah shalat… dan shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabb-nya Maka, jika shalatmu batal, apa yang tersisa bagimu?” “Hati-hati! Ayo keluar, ulangi wudhu lagi!” Akhirnya iblis merusak shalatnya. Padahal iblis bukanlah pemberi nasihat, tapi dia adalah iblis. Masalah ini memerlukan kesabaran, maka bersabarlah! Ketika berwudhu, lalu datang bisikan waswas, teruskan berwudhu, setelah itu pergilah! Jika iblis berkata, “Masih ada yang belum kamu basuh,” jawablah: “Sudah selesai!” Jangan hiraukan dia! Pergi dan shalatlah! Demi Allah, tidak akan membahayakanmu. Demi Allah, tidak akan merugikanmu sedikit pun. Ketika kamu membaca Al-Qur’an, lalu iblis membisikkan waswas. Lanjutkan bacaanmu dan tinggalkan dia! Teruskan bacaanmu! Demi Allah, itu tidak akan membahayakanmu. Bahkan sebaliknya, kamu akan mendapat pahala. Karena kamu sedang berjihad melawan iblis. Sampai akhirnya iblis putus asa menggodamu, lalu ia meninggalkan pintu waswas ini dan mencari pintu lain untuk menggodamu. Maka saudara-saudara, seperti saudara kita ini yang mengalami waswas yang tidak terkendali, yaitu waswas telah menguasainya sepenuhnya, maka satu-satunya obat baginya adalah berpaling sepenuhnya dari waswas. Adapun maksud berpaling sepenuhnya adalah meyakini bahwa waswas itu tidak membahayakannya. [OBAT KEENAM]Meyakini pula bahwa Allah Maha Pengasih, dan Allah tidak mungkin mengazab hamba-Nya karena perkara seperti ini. [OBAT KETUJUH]Meyakini pula bahwa waswas bukan bagian dari agama. Allah berfirman, “Dan Allah tidak menjadikan untuk kalian kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Bagaimana mungkin seseorang berwudhu sampai 70 kali dianggap bagian dari agama? Itu tidak mungkin berasal dari ajaran agama. Ketahuilah hal ini, yakinilah… selesai. Lakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, dan berpalinglah dari waswas. Teruskan apa yang sedang kamu kerjakan, jangan berhenti karena waswas. Jangan pula melakukan sesuatu karena dorongan waswas. Demi Allah, atas izin Allah, ia akan sembuh. Kami telah membuktikannya. Demi Allah, wahai saudara-saudara, pernah ada seorang lelaki datang kepadaku, yang dibisikkan waswas oleh setan bahwa ia telah mentalak istrinya. Jika ia mengantar istrinya ke rumah keluarganya dan berkata, “Pergilah ke keluargamu,” Lalu iblis datang dan berkata, “Kamu telah mentalaknya.” Ia sering meneleponku, bahkan terkadang jam 2 atau jam 3 dini hari. Ia berkata, “Syaikh, sekarang istriku di sampingku, di atas ranjang…apakah dia masih istriku atau sudah aku talak?” Awalnya kami katakan, “Sibukkan dirimu dengan zikir kepada Allah…agar kamu bisa terlepas dari waswas ini.” Maka ia mulai berzikir, tapi iblis tetap mendatanginya. Saat ia berkata “Subhanallah”, iblis berkata, “Kamu sedang menyiratkan talak.” Saat ia berkata “Allahu Akbar”, iblis berkata, “Itu maksudnya talak, dan ini menyangkut kehormatan istrimu.” Ketika kami melihat keadaannya makin parah, kami nasihati agar ia berpaling dari waswas. Ia pun berpaling sejenak, lalu kambuh lagi. Kadang ia datang ke rumahku, dan aku mengusirnya. Karena selama ia merasa ada orang yang bisa menenangkannya, maka ia akan terus terjebak dalam waswas. Namun kami ajarkan kepadanya kaidah tersebut, dan setelah beberapa waktu – segala puji dan karunia hanya milik Allah – hidupnya pun membaik. Waswas itu hilang sepenuhnya, karena ia konsisten menerapkan kaidah tersebut. Aku juga mengenal banyak orang lain, di antara mereka ada yang terkena waswas lebih dari 20 tahun. Lalu ia datang kepada kami, dan kami bimbing dengan sabar. Akhirnya Allah menyembuhkannya dengan metode ini. Maka nasihatku kepada saudara kita ini: lakukan apa yang telah aku jelaskan. Allah-lah yang Maha Mengetahui. ==== رَجُلٌ أَصَابَهُ وَسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ فَمَا نَصِيْحَتُكُمْ حَفِظَكُمُ اللَّهُ ؟ طَرِيْقٌ مِنْ طُرُقِ إِبْلِيسَ وَأَصْلُ الْوِسْوَاسِ دَلِيْلٌ عَلَى صَلَاحِ الْعَبْدِ وَعَلَى سَلَامَةِ الْقَلْبِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا رَأَى أَنَّ الْعَبْدَ صَالِحٌ وَأَنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُغْوِيَهُ بِالْأَفْعَالِ قَامَ يُوَسْوِسُ لَهُ وَلِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ذُكِرَ لَهُ ذَلِكَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ مَا قَدِرَ عَلَيْنَا فَجَاءَ بِالْوِسْوَاسِ وَقَالَ ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيْمَانِ هَذَا أَصْلُ الْوِسْوَاسِ يَعْنِي إِذَا وَقَعَ الْوِسْوَاسُ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى هَذَا وَلَكِنَّ هَذَا لَا يَعْنِي أَنْ نُثْنِيَ عَلَى الْمُوَسْوَسِيْنَ فَإِنَّ الِاسْتِجَابَةَ لِلْوِسْوَاسِ شَرٌّ يَجِبُ اجْتِنَابُهَا وَمَنْ جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ هُوَ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَنْ لَا يَكُونَ الْوِسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ لَا يَكُونُ الْوَسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَأْتِيْهِ وَيَذْهَبُ وَهَذَا يُعَالَجُ بِكَثْرَةِ الِاسْتِعَاذَةِ فَيَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ مِنْهُ وَيَتْفُلَ عَنْ يَسَارِهِ وَيَقْرَأَ الْقُرْآنَ وَيَقْرَأَ الْأَحَادِيثَ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَنْ يَكْثُرَ عَلَى الْإِنْسَانِ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَيْهِ وَهَذَا لَا يَصْلُحُ عِلَاجُهُ بِفِعْلٍ مِنَ الْأَفْعَالِ لِأَنَّهُ كُلَّمَا فَعَلَ كُلَّمَا ازْدَادَ فِي الْوِسْوَاسِ حَتَّى لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ يَزْدَادُ فِي الْوِسْوَاسِ فَكَيْفَ يَكُونُ عِلَاجُهُ ؟ يَقُولُ الْفُقَهَاءُ عِلَاجُهُ بِالْإِعْرَاضِ التَّامِّ مَا مَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ ؟ أَلَّا تُرَتِّبَ عَلَيْهِ فِعْلاً وَلَا تَرْكاً حَتَّى لَوْ جَاءَكَ اعْتَبِرْهُ كَمَجْنُوْنٍ يَتَكَلَّمُ مِنْ وَرَائِكَ وَأَنْتَ عَلَى يَقِينٍ أَنَّهُ لَا يَضُرُّكَ وَلَا تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ بَعْضُ النَّاسِ إِذَا جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ فَتَحَ الْقُرْآنَ لِيَقْرَأَهُ فَيَطْمَعُ فِيهِ إِبْلِيسُ فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الْقُرْآنِ يَقُومُ يُصَلِّي فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ إِذَا كُنْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَجَاءَكَ الشَّيْطَانُ يُوَسْوِسُ لَكَ يُوَسْوِسُ لَكَ لَا تَتْرُكِ الْقِرَاءَةَ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهَا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتْرُكَ الْقِرَاءَةَ أَمَّا مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ فَلَا تَتْرُكْ إِذَا فَعَلْتَ هَذَا وَصَبَرْتَ اِعْرِفْ أَنَّ المَسْأَلَةَ تَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ لِأَنَّ إِبْلِيسَ يَأْتِي لِلْمُوَسْوَسِ بِصِفَةِ النَّاصِحِ الْمُشْفِقِ فِي الصَّلَاةِ هَذِهِ الصَّلَاةُ وَالصَّلَاةُ صِلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ وَإِذَا بَطَلَتْ صَلَاتُكَ مَاذَا بَقِيَ لَكَ ؟ انْتَبِهْ اُخْرُجْ اذْهَبْ تَوَضَّأْ حَتَّى يُفْسِدَ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ وَلَيْسَ بِنَاصِحٍ وَلَكِنَّهُ إِبْلِيسُ فَيَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ اصْبِرْ فِي الْوُضُوءِ يَأْتِيكَ الْوِسْوَاسُ تَوَضَّأْ وَانْصَرِفْ يَأْتِيكَ إِبْلِيسُ يَقُولُ بَاقِي شَيْءٌ يَقُولُ مَا لَك شَيْءٌ لَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ وَاذْهَبْ وَصَلِّ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ جَاءَكَ إِبْلِيسُ يُوَسْوِسُ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهُ اسْتَمِرَّ اقْرَأْ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ بَلْ سَتُثَابُ لِأَنَّكَ تُجَاهِدُ إِبْلِيسَ ثُمَّ يَيْأَسُ مِنْكَ إِبْلِيسُ فَيَتْرُكَ فِي هَذَا الْبَابِ وَيَبْحَثَ عَنْ بَابٍ آخَرَ إِذَنْ يَا إِخْوَةُ مِثْلُ هَذَا الْأَخِ الَّذِي يُقَالُ إِنَّ عِنْدَهُ وِسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ يَعْنِي أَنَّ الْوِسْوَاسَ غَالِبٌ عَلَيْهِ الْعِلَاجُ الْوَحِيدُ لَهُ الْإِعْرَاضُ التَّامُّ وَمَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ أَنْ يُوقِنَ أَنَّهُ لَا يَضُرُّهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَحِيمٌ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُعَذِّبَ عِبَادَهُ بِهَذَا وَأَنَّ هَذَا لَيْسَ مِنَ الدَّيْنِ اللَّهُ يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ كَيْفَ يَكُونُ إِنْسَانٌ يَتَوَضَّأُ سَبْعِينَ مَرَّةً يَكُونُ مِنَ الدَّيْنِ ؟ مِنَ الْمُحَالِ أَنْ يَكُونَ مِنَ الدَّيْنِ فَتَعْلَمُ هَذَا وَتُوْقِنُ وَخَلَاصٌ تَفْعَلُ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ وَتُعْرِضُ وَتَسْتَمِرُّ فِي فِعْلِكَ لَا تَقْطَعْهُ مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَلاَ تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَاللَّهِ بِإِذْنِ اللَّهِ يُشْفَى وَقَد جَرَّبْنَا هَذَا وَاللّهِ يَا إِخْوَةُ جَاءَنِي رَجُلٌ يُوَسْوِسُ لَهُ الشَّيْطَانُ فِي امْرَأَتِهِ أَنَّه يُطَلِّقُهَا وَإِذَا ذَهَبَ بِهَا إِلَى أَهْلِهَا وَقَالَ اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ يَأْتِيهِ إِبْلِيسُ يَقُولُ طَلَّقْتَهَا كَانَ يَتَّصِلُ بِي أَحْيَاناً السَّاعَةَ الثَّانِيَةَ مِنَ اللَّيْلِ وَالثَّالِثَةَ مِنْ اللَّيْلِ يَقُولُ يَا شَيْخُ الْآنَ هِيَ بِجِوَارِي عَلَى السَّرِيرِ هِيَ امْرَأَتِي وَلَا طَلَّقْتُهَا قُلْنَا لَهُ فِي بِدَايَةِ الأَمْرِ اشْتَغِلْ بِذِكْرِ اللَّهِ حَتَّى تَنْصَرِفَ عَنْ هَذَا الْأَمْرِ فَبَدَأَ يَشْتَغِلُ بِذِكْرِ اللَّهِ فَأَصْبَحَ إِبْلِيسُ يَأْتِيهِ إِذَا قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ قَالَ لَا أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ إِذَا قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ وَهَذَا عِرْضٌ لَمَّا رَأَيْنَا أَنَّ الْأَمْرَ مُشْتَدٌّ بِهِ أَوْصَيْنَاهُ بِالْإِعْرَاضِ فَكَانَ يُعْرِضُ فَتْرَةً ثُمَّ يَعُودُ فَكَانَ يَأْتِي إِلَى بَيْتِي أَحْيَاناً فَأَطْرُدُهُ مِنَ الْبَيْتِ لِأَنَّهُ مَا دَامَ يَعْرِفُ أَنَّ هُنَاكَ مَنْ يُرِيْحُهُ سَيَسْتَمِرُّ مَعَ الْوِسْوَاسِ وَلَكِن أَعْطَيْنَاهُ الْقَاعِدَةَ بَعْدَ الْفَتْرَةِ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ اسْتَقَامَتْ حَيَاتُهُ وَذَهَبَ هَذَا عَنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ لِأَنَّهُ ثَبَتَ عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ وَأَعْرِفُ أَشْخَاصاً كَثِيرِيْنَ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ مَعَهُ الْوِسْوَاسُ أَكْثَرُ مِنْ عِشْرِينَ سَنَةً وَجَاءَنَا وَوَجَّهْنَاهُ وَصَبَرْنَا مَعَهُ شَيْئاً ثُمَّ شَفَاهُ اللَّهُ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ فَنَصِيْحَتِي لِلْأَخِ أَنْ يَفْعَلَ مَا ذَكَرْتُ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

Obat Mujarab Sembuh dari Waswas – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Ada seseorang yang mengalami waswas yang tak terkendali, apa nasihat Anda untuknya? Semoga Allah menjaga Anda. Waswas adalah salah satu jalan masuk Iblis. Pada dasarnya, munculnya waswas merupakan tanda kesalehan seorang hamba, dan tanda kebersihan hatinya. Karena, jika setan melihat seorang hamba itu saleh, dan setan tidak mampu menyesatkannya lewat perbuatan dosa, maka ia beralih membisikkan waswas. Oleh sebab itu, saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diceritakan tentang hal ini, Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang mengembalikan tipu dayanya setan hanya menjadi waswas.” (HR. Abu Daud). Setan tidak mampu menguasai kita, sehingga hanya datang dengan waswas. Nabi juga bersabda, “Itu adalah tanda keimanan yang nyata.” (HR. Muslim). Inilah hakikat waswas: jika seseorang mengalaminya, itu tanda adanya iman dan kesalehan. Namun, itu bukan berarti kita memuji orang-orang yang terkena waswas. Sebab, menuruti waswas adalah perkara buruk, yang harus dihindari. Orang yang terkena waswas terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama: orang yang tidak dikuasai oleh waswas. Waswas hanya datang dan pergi, tidak menetap. [OBAT PERTAMA]Jenis ini diobati dengan memperbanyak isti‘ādzah. Yaitu memohon perlindungan kepada Allah dan meludah ringan ke arah kiri. [OBAT KEDUA]Juga dengan membaca Al-Qur’an, [OBAT KETIGA]dan membaca hadis-hadis Nabi. Kelompok kedua: orang yang sangat sering didatangi waswas hingga benar-benar dikuasainya. Jenis ini tidak bisa disembuhkan dengan melakukan suatu amalan tertentu. Karena setiap kali ia melakukan sesuatu, waswasnya justru makin parah. Bahkan saat membaca Al-Qur’an pun, waswasnya semakin menjadi-jadi. Lalu bagaimana cara mengobatinya? [OBAT KEEMPAT]Para ulama fikih mengatakan: obatnya adalah dengan berpaling sepenuhnya dari waswas. Apa maksud dari berpaling sepenuhnya? [KAIDAH PENTING PADA OBAT KEEMPAT] Artinya, tidak menanggapi waswas dengan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Jika setan membisikkan waswas padamu, anggap saja setan itu seperti orang gila yang berbicara di belakangmu. Kamu benar-benar yakin bahwa itu tidak akan membahayakanmu. Jangan lakukan apa pun karenanya, dan jangan tinggalkan apa pun karena itu. Sebagian orang, ketika didatangi waswas, ia membuka Al-Qur’an untuk membacanya. Lalu iblis semakin gencar menggodanya hingga membisikkan waswas dalam bacaannya. Atau ia sedang shalat, dan iblis pun membisikkan waswas dalam shalatnya. Jangan pula tinggalkan suatu ibadah karena terganggu waswas. Jika kamu membaca Al-Qur’an dan setan terus membisikkan waswas, jangan tinggalkan bacaannya. Lanjutkan saja! Berhentilah membaca Al-Qur’an hanya jika memang ingin berhenti. Adapun jika kamu berhenti karena waswas, maka jangan berhenti! [OBAT KELIMA] Jika kamu lakukan ini dan bersabar, ketahuilah bahwa masalah ini butuh kesabaran. Karena iblis datang membisikkan waswas seakan-akan dia memberi nasihat dengan tampak penuh kepedulian. Dalam shalat, setan membisikkan, “Ini adalah shalat… dan shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabb-nya Maka, jika shalatmu batal, apa yang tersisa bagimu?” “Hati-hati! Ayo keluar, ulangi wudhu lagi!” Akhirnya iblis merusak shalatnya. Padahal iblis bukanlah pemberi nasihat, tapi dia adalah iblis. Masalah ini memerlukan kesabaran, maka bersabarlah! Ketika berwudhu, lalu datang bisikan waswas, teruskan berwudhu, setelah itu pergilah! Jika iblis berkata, “Masih ada yang belum kamu basuh,” jawablah: “Sudah selesai!” Jangan hiraukan dia! Pergi dan shalatlah! Demi Allah, tidak akan membahayakanmu. Demi Allah, tidak akan merugikanmu sedikit pun. Ketika kamu membaca Al-Qur’an, lalu iblis membisikkan waswas. Lanjutkan bacaanmu dan tinggalkan dia! Teruskan bacaanmu! Demi Allah, itu tidak akan membahayakanmu. Bahkan sebaliknya, kamu akan mendapat pahala. Karena kamu sedang berjihad melawan iblis. Sampai akhirnya iblis putus asa menggodamu, lalu ia meninggalkan pintu waswas ini dan mencari pintu lain untuk menggodamu. Maka saudara-saudara, seperti saudara kita ini yang mengalami waswas yang tidak terkendali, yaitu waswas telah menguasainya sepenuhnya, maka satu-satunya obat baginya adalah berpaling sepenuhnya dari waswas. Adapun maksud berpaling sepenuhnya adalah meyakini bahwa waswas itu tidak membahayakannya. [OBAT KEENAM]Meyakini pula bahwa Allah Maha Pengasih, dan Allah tidak mungkin mengazab hamba-Nya karena perkara seperti ini. [OBAT KETUJUH]Meyakini pula bahwa waswas bukan bagian dari agama. Allah berfirman, “Dan Allah tidak menjadikan untuk kalian kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Bagaimana mungkin seseorang berwudhu sampai 70 kali dianggap bagian dari agama? Itu tidak mungkin berasal dari ajaran agama. Ketahuilah hal ini, yakinilah… selesai. Lakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, dan berpalinglah dari waswas. Teruskan apa yang sedang kamu kerjakan, jangan berhenti karena waswas. Jangan pula melakukan sesuatu karena dorongan waswas. Demi Allah, atas izin Allah, ia akan sembuh. Kami telah membuktikannya. Demi Allah, wahai saudara-saudara, pernah ada seorang lelaki datang kepadaku, yang dibisikkan waswas oleh setan bahwa ia telah mentalak istrinya. Jika ia mengantar istrinya ke rumah keluarganya dan berkata, “Pergilah ke keluargamu,” Lalu iblis datang dan berkata, “Kamu telah mentalaknya.” Ia sering meneleponku, bahkan terkadang jam 2 atau jam 3 dini hari. Ia berkata, “Syaikh, sekarang istriku di sampingku, di atas ranjang…apakah dia masih istriku atau sudah aku talak?” Awalnya kami katakan, “Sibukkan dirimu dengan zikir kepada Allah…agar kamu bisa terlepas dari waswas ini.” Maka ia mulai berzikir, tapi iblis tetap mendatanginya. Saat ia berkata “Subhanallah”, iblis berkata, “Kamu sedang menyiratkan talak.” Saat ia berkata “Allahu Akbar”, iblis berkata, “Itu maksudnya talak, dan ini menyangkut kehormatan istrimu.” Ketika kami melihat keadaannya makin parah, kami nasihati agar ia berpaling dari waswas. Ia pun berpaling sejenak, lalu kambuh lagi. Kadang ia datang ke rumahku, dan aku mengusirnya. Karena selama ia merasa ada orang yang bisa menenangkannya, maka ia akan terus terjebak dalam waswas. Namun kami ajarkan kepadanya kaidah tersebut, dan setelah beberapa waktu – segala puji dan karunia hanya milik Allah – hidupnya pun membaik. Waswas itu hilang sepenuhnya, karena ia konsisten menerapkan kaidah tersebut. Aku juga mengenal banyak orang lain, di antara mereka ada yang terkena waswas lebih dari 20 tahun. Lalu ia datang kepada kami, dan kami bimbing dengan sabar. Akhirnya Allah menyembuhkannya dengan metode ini. Maka nasihatku kepada saudara kita ini: lakukan apa yang telah aku jelaskan. Allah-lah yang Maha Mengetahui. ==== رَجُلٌ أَصَابَهُ وَسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ فَمَا نَصِيْحَتُكُمْ حَفِظَكُمُ اللَّهُ ؟ طَرِيْقٌ مِنْ طُرُقِ إِبْلِيسَ وَأَصْلُ الْوِسْوَاسِ دَلِيْلٌ عَلَى صَلَاحِ الْعَبْدِ وَعَلَى سَلَامَةِ الْقَلْبِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا رَأَى أَنَّ الْعَبْدَ صَالِحٌ وَأَنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُغْوِيَهُ بِالْأَفْعَالِ قَامَ يُوَسْوِسُ لَهُ وَلِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ذُكِرَ لَهُ ذَلِكَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ مَا قَدِرَ عَلَيْنَا فَجَاءَ بِالْوِسْوَاسِ وَقَالَ ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيْمَانِ هَذَا أَصْلُ الْوِسْوَاسِ يَعْنِي إِذَا وَقَعَ الْوِسْوَاسُ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى هَذَا وَلَكِنَّ هَذَا لَا يَعْنِي أَنْ نُثْنِيَ عَلَى الْمُوَسْوَسِيْنَ فَإِنَّ الِاسْتِجَابَةَ لِلْوِسْوَاسِ شَرٌّ يَجِبُ اجْتِنَابُهَا وَمَنْ جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ هُوَ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَنْ لَا يَكُونَ الْوِسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ لَا يَكُونُ الْوَسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَأْتِيْهِ وَيَذْهَبُ وَهَذَا يُعَالَجُ بِكَثْرَةِ الِاسْتِعَاذَةِ فَيَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ مِنْهُ وَيَتْفُلَ عَنْ يَسَارِهِ وَيَقْرَأَ الْقُرْآنَ وَيَقْرَأَ الْأَحَادِيثَ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَنْ يَكْثُرَ عَلَى الْإِنْسَانِ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَيْهِ وَهَذَا لَا يَصْلُحُ عِلَاجُهُ بِفِعْلٍ مِنَ الْأَفْعَالِ لِأَنَّهُ كُلَّمَا فَعَلَ كُلَّمَا ازْدَادَ فِي الْوِسْوَاسِ حَتَّى لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ يَزْدَادُ فِي الْوِسْوَاسِ فَكَيْفَ يَكُونُ عِلَاجُهُ ؟ يَقُولُ الْفُقَهَاءُ عِلَاجُهُ بِالْإِعْرَاضِ التَّامِّ مَا مَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ ؟ أَلَّا تُرَتِّبَ عَلَيْهِ فِعْلاً وَلَا تَرْكاً حَتَّى لَوْ جَاءَكَ اعْتَبِرْهُ كَمَجْنُوْنٍ يَتَكَلَّمُ مِنْ وَرَائِكَ وَأَنْتَ عَلَى يَقِينٍ أَنَّهُ لَا يَضُرُّكَ وَلَا تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ بَعْضُ النَّاسِ إِذَا جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ فَتَحَ الْقُرْآنَ لِيَقْرَأَهُ فَيَطْمَعُ فِيهِ إِبْلِيسُ فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الْقُرْآنِ يَقُومُ يُصَلِّي فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ إِذَا كُنْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَجَاءَكَ الشَّيْطَانُ يُوَسْوِسُ لَكَ يُوَسْوِسُ لَكَ لَا تَتْرُكِ الْقِرَاءَةَ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهَا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتْرُكَ الْقِرَاءَةَ أَمَّا مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ فَلَا تَتْرُكْ إِذَا فَعَلْتَ هَذَا وَصَبَرْتَ اِعْرِفْ أَنَّ المَسْأَلَةَ تَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ لِأَنَّ إِبْلِيسَ يَأْتِي لِلْمُوَسْوَسِ بِصِفَةِ النَّاصِحِ الْمُشْفِقِ فِي الصَّلَاةِ هَذِهِ الصَّلَاةُ وَالصَّلَاةُ صِلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ وَإِذَا بَطَلَتْ صَلَاتُكَ مَاذَا بَقِيَ لَكَ ؟ انْتَبِهْ اُخْرُجْ اذْهَبْ تَوَضَّأْ حَتَّى يُفْسِدَ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ وَلَيْسَ بِنَاصِحٍ وَلَكِنَّهُ إِبْلِيسُ فَيَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ اصْبِرْ فِي الْوُضُوءِ يَأْتِيكَ الْوِسْوَاسُ تَوَضَّأْ وَانْصَرِفْ يَأْتِيكَ إِبْلِيسُ يَقُولُ بَاقِي شَيْءٌ يَقُولُ مَا لَك شَيْءٌ لَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ وَاذْهَبْ وَصَلِّ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ جَاءَكَ إِبْلِيسُ يُوَسْوِسُ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهُ اسْتَمِرَّ اقْرَأْ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ بَلْ سَتُثَابُ لِأَنَّكَ تُجَاهِدُ إِبْلِيسَ ثُمَّ يَيْأَسُ مِنْكَ إِبْلِيسُ فَيَتْرُكَ فِي هَذَا الْبَابِ وَيَبْحَثَ عَنْ بَابٍ آخَرَ إِذَنْ يَا إِخْوَةُ مِثْلُ هَذَا الْأَخِ الَّذِي يُقَالُ إِنَّ عِنْدَهُ وِسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ يَعْنِي أَنَّ الْوِسْوَاسَ غَالِبٌ عَلَيْهِ الْعِلَاجُ الْوَحِيدُ لَهُ الْإِعْرَاضُ التَّامُّ وَمَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ أَنْ يُوقِنَ أَنَّهُ لَا يَضُرُّهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَحِيمٌ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُعَذِّبَ عِبَادَهُ بِهَذَا وَأَنَّ هَذَا لَيْسَ مِنَ الدَّيْنِ اللَّهُ يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ كَيْفَ يَكُونُ إِنْسَانٌ يَتَوَضَّأُ سَبْعِينَ مَرَّةً يَكُونُ مِنَ الدَّيْنِ ؟ مِنَ الْمُحَالِ أَنْ يَكُونَ مِنَ الدَّيْنِ فَتَعْلَمُ هَذَا وَتُوْقِنُ وَخَلَاصٌ تَفْعَلُ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ وَتُعْرِضُ وَتَسْتَمِرُّ فِي فِعْلِكَ لَا تَقْطَعْهُ مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَلاَ تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَاللَّهِ بِإِذْنِ اللَّهِ يُشْفَى وَقَد جَرَّبْنَا هَذَا وَاللّهِ يَا إِخْوَةُ جَاءَنِي رَجُلٌ يُوَسْوِسُ لَهُ الشَّيْطَانُ فِي امْرَأَتِهِ أَنَّه يُطَلِّقُهَا وَإِذَا ذَهَبَ بِهَا إِلَى أَهْلِهَا وَقَالَ اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ يَأْتِيهِ إِبْلِيسُ يَقُولُ طَلَّقْتَهَا كَانَ يَتَّصِلُ بِي أَحْيَاناً السَّاعَةَ الثَّانِيَةَ مِنَ اللَّيْلِ وَالثَّالِثَةَ مِنْ اللَّيْلِ يَقُولُ يَا شَيْخُ الْآنَ هِيَ بِجِوَارِي عَلَى السَّرِيرِ هِيَ امْرَأَتِي وَلَا طَلَّقْتُهَا قُلْنَا لَهُ فِي بِدَايَةِ الأَمْرِ اشْتَغِلْ بِذِكْرِ اللَّهِ حَتَّى تَنْصَرِفَ عَنْ هَذَا الْأَمْرِ فَبَدَأَ يَشْتَغِلُ بِذِكْرِ اللَّهِ فَأَصْبَحَ إِبْلِيسُ يَأْتِيهِ إِذَا قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ قَالَ لَا أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ إِذَا قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ وَهَذَا عِرْضٌ لَمَّا رَأَيْنَا أَنَّ الْأَمْرَ مُشْتَدٌّ بِهِ أَوْصَيْنَاهُ بِالْإِعْرَاضِ فَكَانَ يُعْرِضُ فَتْرَةً ثُمَّ يَعُودُ فَكَانَ يَأْتِي إِلَى بَيْتِي أَحْيَاناً فَأَطْرُدُهُ مِنَ الْبَيْتِ لِأَنَّهُ مَا دَامَ يَعْرِفُ أَنَّ هُنَاكَ مَنْ يُرِيْحُهُ سَيَسْتَمِرُّ مَعَ الْوِسْوَاسِ وَلَكِن أَعْطَيْنَاهُ الْقَاعِدَةَ بَعْدَ الْفَتْرَةِ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ اسْتَقَامَتْ حَيَاتُهُ وَذَهَبَ هَذَا عَنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ لِأَنَّهُ ثَبَتَ عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ وَأَعْرِفُ أَشْخَاصاً كَثِيرِيْنَ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ مَعَهُ الْوِسْوَاسُ أَكْثَرُ مِنْ عِشْرِينَ سَنَةً وَجَاءَنَا وَوَجَّهْنَاهُ وَصَبَرْنَا مَعَهُ شَيْئاً ثُمَّ شَفَاهُ اللَّهُ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ فَنَصِيْحَتِي لِلْأَخِ أَنْ يَفْعَلَ مَا ذَكَرْتُ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
Ada seseorang yang mengalami waswas yang tak terkendali, apa nasihat Anda untuknya? Semoga Allah menjaga Anda. Waswas adalah salah satu jalan masuk Iblis. Pada dasarnya, munculnya waswas merupakan tanda kesalehan seorang hamba, dan tanda kebersihan hatinya. Karena, jika setan melihat seorang hamba itu saleh, dan setan tidak mampu menyesatkannya lewat perbuatan dosa, maka ia beralih membisikkan waswas. Oleh sebab itu, saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diceritakan tentang hal ini, Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang mengembalikan tipu dayanya setan hanya menjadi waswas.” (HR. Abu Daud). Setan tidak mampu menguasai kita, sehingga hanya datang dengan waswas. Nabi juga bersabda, “Itu adalah tanda keimanan yang nyata.” (HR. Muslim). Inilah hakikat waswas: jika seseorang mengalaminya, itu tanda adanya iman dan kesalehan. Namun, itu bukan berarti kita memuji orang-orang yang terkena waswas. Sebab, menuruti waswas adalah perkara buruk, yang harus dihindari. Orang yang terkena waswas terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama: orang yang tidak dikuasai oleh waswas. Waswas hanya datang dan pergi, tidak menetap. [OBAT PERTAMA]Jenis ini diobati dengan memperbanyak isti‘ādzah. Yaitu memohon perlindungan kepada Allah dan meludah ringan ke arah kiri. [OBAT KEDUA]Juga dengan membaca Al-Qur’an, [OBAT KETIGA]dan membaca hadis-hadis Nabi. Kelompok kedua: orang yang sangat sering didatangi waswas hingga benar-benar dikuasainya. Jenis ini tidak bisa disembuhkan dengan melakukan suatu amalan tertentu. Karena setiap kali ia melakukan sesuatu, waswasnya justru makin parah. Bahkan saat membaca Al-Qur’an pun, waswasnya semakin menjadi-jadi. Lalu bagaimana cara mengobatinya? [OBAT KEEMPAT]Para ulama fikih mengatakan: obatnya adalah dengan berpaling sepenuhnya dari waswas. Apa maksud dari berpaling sepenuhnya? [KAIDAH PENTING PADA OBAT KEEMPAT] Artinya, tidak menanggapi waswas dengan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Jika setan membisikkan waswas padamu, anggap saja setan itu seperti orang gila yang berbicara di belakangmu. Kamu benar-benar yakin bahwa itu tidak akan membahayakanmu. Jangan lakukan apa pun karenanya, dan jangan tinggalkan apa pun karena itu. Sebagian orang, ketika didatangi waswas, ia membuka Al-Qur’an untuk membacanya. Lalu iblis semakin gencar menggodanya hingga membisikkan waswas dalam bacaannya. Atau ia sedang shalat, dan iblis pun membisikkan waswas dalam shalatnya. Jangan pula tinggalkan suatu ibadah karena terganggu waswas. Jika kamu membaca Al-Qur’an dan setan terus membisikkan waswas, jangan tinggalkan bacaannya. Lanjutkan saja! Berhentilah membaca Al-Qur’an hanya jika memang ingin berhenti. Adapun jika kamu berhenti karena waswas, maka jangan berhenti! [OBAT KELIMA] Jika kamu lakukan ini dan bersabar, ketahuilah bahwa masalah ini butuh kesabaran. Karena iblis datang membisikkan waswas seakan-akan dia memberi nasihat dengan tampak penuh kepedulian. Dalam shalat, setan membisikkan, “Ini adalah shalat… dan shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabb-nya Maka, jika shalatmu batal, apa yang tersisa bagimu?” “Hati-hati! Ayo keluar, ulangi wudhu lagi!” Akhirnya iblis merusak shalatnya. Padahal iblis bukanlah pemberi nasihat, tapi dia adalah iblis. Masalah ini memerlukan kesabaran, maka bersabarlah! Ketika berwudhu, lalu datang bisikan waswas, teruskan berwudhu, setelah itu pergilah! Jika iblis berkata, “Masih ada yang belum kamu basuh,” jawablah: “Sudah selesai!” Jangan hiraukan dia! Pergi dan shalatlah! Demi Allah, tidak akan membahayakanmu. Demi Allah, tidak akan merugikanmu sedikit pun. Ketika kamu membaca Al-Qur’an, lalu iblis membisikkan waswas. Lanjutkan bacaanmu dan tinggalkan dia! Teruskan bacaanmu! Demi Allah, itu tidak akan membahayakanmu. Bahkan sebaliknya, kamu akan mendapat pahala. Karena kamu sedang berjihad melawan iblis. Sampai akhirnya iblis putus asa menggodamu, lalu ia meninggalkan pintu waswas ini dan mencari pintu lain untuk menggodamu. Maka saudara-saudara, seperti saudara kita ini yang mengalami waswas yang tidak terkendali, yaitu waswas telah menguasainya sepenuhnya, maka satu-satunya obat baginya adalah berpaling sepenuhnya dari waswas. Adapun maksud berpaling sepenuhnya adalah meyakini bahwa waswas itu tidak membahayakannya. [OBAT KEENAM]Meyakini pula bahwa Allah Maha Pengasih, dan Allah tidak mungkin mengazab hamba-Nya karena perkara seperti ini. [OBAT KETUJUH]Meyakini pula bahwa waswas bukan bagian dari agama. Allah berfirman, “Dan Allah tidak menjadikan untuk kalian kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Bagaimana mungkin seseorang berwudhu sampai 70 kali dianggap bagian dari agama? Itu tidak mungkin berasal dari ajaran agama. Ketahuilah hal ini, yakinilah… selesai. Lakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, dan berpalinglah dari waswas. Teruskan apa yang sedang kamu kerjakan, jangan berhenti karena waswas. Jangan pula melakukan sesuatu karena dorongan waswas. Demi Allah, atas izin Allah, ia akan sembuh. Kami telah membuktikannya. Demi Allah, wahai saudara-saudara, pernah ada seorang lelaki datang kepadaku, yang dibisikkan waswas oleh setan bahwa ia telah mentalak istrinya. Jika ia mengantar istrinya ke rumah keluarganya dan berkata, “Pergilah ke keluargamu,” Lalu iblis datang dan berkata, “Kamu telah mentalaknya.” Ia sering meneleponku, bahkan terkadang jam 2 atau jam 3 dini hari. Ia berkata, “Syaikh, sekarang istriku di sampingku, di atas ranjang…apakah dia masih istriku atau sudah aku talak?” Awalnya kami katakan, “Sibukkan dirimu dengan zikir kepada Allah…agar kamu bisa terlepas dari waswas ini.” Maka ia mulai berzikir, tapi iblis tetap mendatanginya. Saat ia berkata “Subhanallah”, iblis berkata, “Kamu sedang menyiratkan talak.” Saat ia berkata “Allahu Akbar”, iblis berkata, “Itu maksudnya talak, dan ini menyangkut kehormatan istrimu.” Ketika kami melihat keadaannya makin parah, kami nasihati agar ia berpaling dari waswas. Ia pun berpaling sejenak, lalu kambuh lagi. Kadang ia datang ke rumahku, dan aku mengusirnya. Karena selama ia merasa ada orang yang bisa menenangkannya, maka ia akan terus terjebak dalam waswas. Namun kami ajarkan kepadanya kaidah tersebut, dan setelah beberapa waktu – segala puji dan karunia hanya milik Allah – hidupnya pun membaik. Waswas itu hilang sepenuhnya, karena ia konsisten menerapkan kaidah tersebut. Aku juga mengenal banyak orang lain, di antara mereka ada yang terkena waswas lebih dari 20 tahun. Lalu ia datang kepada kami, dan kami bimbing dengan sabar. Akhirnya Allah menyembuhkannya dengan metode ini. Maka nasihatku kepada saudara kita ini: lakukan apa yang telah aku jelaskan. Allah-lah yang Maha Mengetahui. ==== رَجُلٌ أَصَابَهُ وَسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ فَمَا نَصِيْحَتُكُمْ حَفِظَكُمُ اللَّهُ ؟ طَرِيْقٌ مِنْ طُرُقِ إِبْلِيسَ وَأَصْلُ الْوِسْوَاسِ دَلِيْلٌ عَلَى صَلَاحِ الْعَبْدِ وَعَلَى سَلَامَةِ الْقَلْبِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا رَأَى أَنَّ الْعَبْدَ صَالِحٌ وَأَنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُغْوِيَهُ بِالْأَفْعَالِ قَامَ يُوَسْوِسُ لَهُ وَلِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ذُكِرَ لَهُ ذَلِكَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ مَا قَدِرَ عَلَيْنَا فَجَاءَ بِالْوِسْوَاسِ وَقَالَ ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيْمَانِ هَذَا أَصْلُ الْوِسْوَاسِ يَعْنِي إِذَا وَقَعَ الْوِسْوَاسُ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى هَذَا وَلَكِنَّ هَذَا لَا يَعْنِي أَنْ نُثْنِيَ عَلَى الْمُوَسْوَسِيْنَ فَإِنَّ الِاسْتِجَابَةَ لِلْوِسْوَاسِ شَرٌّ يَجِبُ اجْتِنَابُهَا وَمَنْ جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ هُوَ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَنْ لَا يَكُونَ الْوِسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ لَا يَكُونُ الْوَسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَأْتِيْهِ وَيَذْهَبُ وَهَذَا يُعَالَجُ بِكَثْرَةِ الِاسْتِعَاذَةِ فَيَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ مِنْهُ وَيَتْفُلَ عَنْ يَسَارِهِ وَيَقْرَأَ الْقُرْآنَ وَيَقْرَأَ الْأَحَادِيثَ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَنْ يَكْثُرَ عَلَى الْإِنْسَانِ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَيْهِ وَهَذَا لَا يَصْلُحُ عِلَاجُهُ بِفِعْلٍ مِنَ الْأَفْعَالِ لِأَنَّهُ كُلَّمَا فَعَلَ كُلَّمَا ازْدَادَ فِي الْوِسْوَاسِ حَتَّى لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ يَزْدَادُ فِي الْوِسْوَاسِ فَكَيْفَ يَكُونُ عِلَاجُهُ ؟ يَقُولُ الْفُقَهَاءُ عِلَاجُهُ بِالْإِعْرَاضِ التَّامِّ مَا مَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ ؟ أَلَّا تُرَتِّبَ عَلَيْهِ فِعْلاً وَلَا تَرْكاً حَتَّى لَوْ جَاءَكَ اعْتَبِرْهُ كَمَجْنُوْنٍ يَتَكَلَّمُ مِنْ وَرَائِكَ وَأَنْتَ عَلَى يَقِينٍ أَنَّهُ لَا يَضُرُّكَ وَلَا تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ بَعْضُ النَّاسِ إِذَا جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ فَتَحَ الْقُرْآنَ لِيَقْرَأَهُ فَيَطْمَعُ فِيهِ إِبْلِيسُ فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الْقُرْآنِ يَقُومُ يُصَلِّي فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ إِذَا كُنْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَجَاءَكَ الشَّيْطَانُ يُوَسْوِسُ لَكَ يُوَسْوِسُ لَكَ لَا تَتْرُكِ الْقِرَاءَةَ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهَا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتْرُكَ الْقِرَاءَةَ أَمَّا مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ فَلَا تَتْرُكْ إِذَا فَعَلْتَ هَذَا وَصَبَرْتَ اِعْرِفْ أَنَّ المَسْأَلَةَ تَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ لِأَنَّ إِبْلِيسَ يَأْتِي لِلْمُوَسْوَسِ بِصِفَةِ النَّاصِحِ الْمُشْفِقِ فِي الصَّلَاةِ هَذِهِ الصَّلَاةُ وَالصَّلَاةُ صِلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ وَإِذَا بَطَلَتْ صَلَاتُكَ مَاذَا بَقِيَ لَكَ ؟ انْتَبِهْ اُخْرُجْ اذْهَبْ تَوَضَّأْ حَتَّى يُفْسِدَ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ وَلَيْسَ بِنَاصِحٍ وَلَكِنَّهُ إِبْلِيسُ فَيَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ اصْبِرْ فِي الْوُضُوءِ يَأْتِيكَ الْوِسْوَاسُ تَوَضَّأْ وَانْصَرِفْ يَأْتِيكَ إِبْلِيسُ يَقُولُ بَاقِي شَيْءٌ يَقُولُ مَا لَك شَيْءٌ لَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ وَاذْهَبْ وَصَلِّ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ جَاءَكَ إِبْلِيسُ يُوَسْوِسُ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهُ اسْتَمِرَّ اقْرَأْ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ بَلْ سَتُثَابُ لِأَنَّكَ تُجَاهِدُ إِبْلِيسَ ثُمَّ يَيْأَسُ مِنْكَ إِبْلِيسُ فَيَتْرُكَ فِي هَذَا الْبَابِ وَيَبْحَثَ عَنْ بَابٍ آخَرَ إِذَنْ يَا إِخْوَةُ مِثْلُ هَذَا الْأَخِ الَّذِي يُقَالُ إِنَّ عِنْدَهُ وِسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ يَعْنِي أَنَّ الْوِسْوَاسَ غَالِبٌ عَلَيْهِ الْعِلَاجُ الْوَحِيدُ لَهُ الْإِعْرَاضُ التَّامُّ وَمَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ أَنْ يُوقِنَ أَنَّهُ لَا يَضُرُّهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَحِيمٌ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُعَذِّبَ عِبَادَهُ بِهَذَا وَأَنَّ هَذَا لَيْسَ مِنَ الدَّيْنِ اللَّهُ يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ كَيْفَ يَكُونُ إِنْسَانٌ يَتَوَضَّأُ سَبْعِينَ مَرَّةً يَكُونُ مِنَ الدَّيْنِ ؟ مِنَ الْمُحَالِ أَنْ يَكُونَ مِنَ الدَّيْنِ فَتَعْلَمُ هَذَا وَتُوْقِنُ وَخَلَاصٌ تَفْعَلُ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ وَتُعْرِضُ وَتَسْتَمِرُّ فِي فِعْلِكَ لَا تَقْطَعْهُ مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَلاَ تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَاللَّهِ بِإِذْنِ اللَّهِ يُشْفَى وَقَد جَرَّبْنَا هَذَا وَاللّهِ يَا إِخْوَةُ جَاءَنِي رَجُلٌ يُوَسْوِسُ لَهُ الشَّيْطَانُ فِي امْرَأَتِهِ أَنَّه يُطَلِّقُهَا وَإِذَا ذَهَبَ بِهَا إِلَى أَهْلِهَا وَقَالَ اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ يَأْتِيهِ إِبْلِيسُ يَقُولُ طَلَّقْتَهَا كَانَ يَتَّصِلُ بِي أَحْيَاناً السَّاعَةَ الثَّانِيَةَ مِنَ اللَّيْلِ وَالثَّالِثَةَ مِنْ اللَّيْلِ يَقُولُ يَا شَيْخُ الْآنَ هِيَ بِجِوَارِي عَلَى السَّرِيرِ هِيَ امْرَأَتِي وَلَا طَلَّقْتُهَا قُلْنَا لَهُ فِي بِدَايَةِ الأَمْرِ اشْتَغِلْ بِذِكْرِ اللَّهِ حَتَّى تَنْصَرِفَ عَنْ هَذَا الْأَمْرِ فَبَدَأَ يَشْتَغِلُ بِذِكْرِ اللَّهِ فَأَصْبَحَ إِبْلِيسُ يَأْتِيهِ إِذَا قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ قَالَ لَا أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ إِذَا قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ وَهَذَا عِرْضٌ لَمَّا رَأَيْنَا أَنَّ الْأَمْرَ مُشْتَدٌّ بِهِ أَوْصَيْنَاهُ بِالْإِعْرَاضِ فَكَانَ يُعْرِضُ فَتْرَةً ثُمَّ يَعُودُ فَكَانَ يَأْتِي إِلَى بَيْتِي أَحْيَاناً فَأَطْرُدُهُ مِنَ الْبَيْتِ لِأَنَّهُ مَا دَامَ يَعْرِفُ أَنَّ هُنَاكَ مَنْ يُرِيْحُهُ سَيَسْتَمِرُّ مَعَ الْوِسْوَاسِ وَلَكِن أَعْطَيْنَاهُ الْقَاعِدَةَ بَعْدَ الْفَتْرَةِ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ اسْتَقَامَتْ حَيَاتُهُ وَذَهَبَ هَذَا عَنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ لِأَنَّهُ ثَبَتَ عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ وَأَعْرِفُ أَشْخَاصاً كَثِيرِيْنَ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ مَعَهُ الْوِسْوَاسُ أَكْثَرُ مِنْ عِشْرِينَ سَنَةً وَجَاءَنَا وَوَجَّهْنَاهُ وَصَبَرْنَا مَعَهُ شَيْئاً ثُمَّ شَفَاهُ اللَّهُ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ فَنَصِيْحَتِي لِلْأَخِ أَنْ يَفْعَلَ مَا ذَكَرْتُ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ


Ada seseorang yang mengalami waswas yang tak terkendali, apa nasihat Anda untuknya? Semoga Allah menjaga Anda. Waswas adalah salah satu jalan masuk Iblis. Pada dasarnya, munculnya waswas merupakan tanda kesalehan seorang hamba, dan tanda kebersihan hatinya. Karena, jika setan melihat seorang hamba itu saleh, dan setan tidak mampu menyesatkannya lewat perbuatan dosa, maka ia beralih membisikkan waswas. Oleh sebab itu, saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diceritakan tentang hal ini, Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang mengembalikan tipu dayanya setan hanya menjadi waswas.” (HR. Abu Daud). Setan tidak mampu menguasai kita, sehingga hanya datang dengan waswas. Nabi juga bersabda, “Itu adalah tanda keimanan yang nyata.” (HR. Muslim). Inilah hakikat waswas: jika seseorang mengalaminya, itu tanda adanya iman dan kesalehan. Namun, itu bukan berarti kita memuji orang-orang yang terkena waswas. Sebab, menuruti waswas adalah perkara buruk, yang harus dihindari. Orang yang terkena waswas terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama: orang yang tidak dikuasai oleh waswas. Waswas hanya datang dan pergi, tidak menetap. [OBAT PERTAMA]Jenis ini diobati dengan memperbanyak isti‘ādzah. Yaitu memohon perlindungan kepada Allah dan meludah ringan ke arah kiri. [OBAT KEDUA]Juga dengan membaca Al-Qur’an, [OBAT KETIGA]dan membaca hadis-hadis Nabi. Kelompok kedua: orang yang sangat sering didatangi waswas hingga benar-benar dikuasainya. Jenis ini tidak bisa disembuhkan dengan melakukan suatu amalan tertentu. Karena setiap kali ia melakukan sesuatu, waswasnya justru makin parah. Bahkan saat membaca Al-Qur’an pun, waswasnya semakin menjadi-jadi. Lalu bagaimana cara mengobatinya? [OBAT KEEMPAT]Para ulama fikih mengatakan: obatnya adalah dengan berpaling sepenuhnya dari waswas. Apa maksud dari berpaling sepenuhnya? [KAIDAH PENTING PADA OBAT KEEMPAT] Artinya, tidak menanggapi waswas dengan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Jika setan membisikkan waswas padamu, anggap saja setan itu seperti orang gila yang berbicara di belakangmu. Kamu benar-benar yakin bahwa itu tidak akan membahayakanmu. Jangan lakukan apa pun karenanya, dan jangan tinggalkan apa pun karena itu. Sebagian orang, ketika didatangi waswas, ia membuka Al-Qur’an untuk membacanya. Lalu iblis semakin gencar menggodanya hingga membisikkan waswas dalam bacaannya. Atau ia sedang shalat, dan iblis pun membisikkan waswas dalam shalatnya. Jangan pula tinggalkan suatu ibadah karena terganggu waswas. Jika kamu membaca Al-Qur’an dan setan terus membisikkan waswas, jangan tinggalkan bacaannya. Lanjutkan saja! Berhentilah membaca Al-Qur’an hanya jika memang ingin berhenti. Adapun jika kamu berhenti karena waswas, maka jangan berhenti! [OBAT KELIMA] Jika kamu lakukan ini dan bersabar, ketahuilah bahwa masalah ini butuh kesabaran. Karena iblis datang membisikkan waswas seakan-akan dia memberi nasihat dengan tampak penuh kepedulian. Dalam shalat, setan membisikkan, “Ini adalah shalat… dan shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabb-nya Maka, jika shalatmu batal, apa yang tersisa bagimu?” “Hati-hati! Ayo keluar, ulangi wudhu lagi!” Akhirnya iblis merusak shalatnya. Padahal iblis bukanlah pemberi nasihat, tapi dia adalah iblis. Masalah ini memerlukan kesabaran, maka bersabarlah! Ketika berwudhu, lalu datang bisikan waswas, teruskan berwudhu, setelah itu pergilah! Jika iblis berkata, “Masih ada yang belum kamu basuh,” jawablah: “Sudah selesai!” Jangan hiraukan dia! Pergi dan shalatlah! Demi Allah, tidak akan membahayakanmu. Demi Allah, tidak akan merugikanmu sedikit pun. Ketika kamu membaca Al-Qur’an, lalu iblis membisikkan waswas. Lanjutkan bacaanmu dan tinggalkan dia! Teruskan bacaanmu! Demi Allah, itu tidak akan membahayakanmu. Bahkan sebaliknya, kamu akan mendapat pahala. Karena kamu sedang berjihad melawan iblis. Sampai akhirnya iblis putus asa menggodamu, lalu ia meninggalkan pintu waswas ini dan mencari pintu lain untuk menggodamu. Maka saudara-saudara, seperti saudara kita ini yang mengalami waswas yang tidak terkendali, yaitu waswas telah menguasainya sepenuhnya, maka satu-satunya obat baginya adalah berpaling sepenuhnya dari waswas. Adapun maksud berpaling sepenuhnya adalah meyakini bahwa waswas itu tidak membahayakannya. [OBAT KEENAM]Meyakini pula bahwa Allah Maha Pengasih, dan Allah tidak mungkin mengazab hamba-Nya karena perkara seperti ini. [OBAT KETUJUH]Meyakini pula bahwa waswas bukan bagian dari agama. Allah berfirman, “Dan Allah tidak menjadikan untuk kalian kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Bagaimana mungkin seseorang berwudhu sampai 70 kali dianggap bagian dari agama? Itu tidak mungkin berasal dari ajaran agama. Ketahuilah hal ini, yakinilah… selesai. Lakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, dan berpalinglah dari waswas. Teruskan apa yang sedang kamu kerjakan, jangan berhenti karena waswas. Jangan pula melakukan sesuatu karena dorongan waswas. Demi Allah, atas izin Allah, ia akan sembuh. Kami telah membuktikannya. Demi Allah, wahai saudara-saudara, pernah ada seorang lelaki datang kepadaku, yang dibisikkan waswas oleh setan bahwa ia telah mentalak istrinya. Jika ia mengantar istrinya ke rumah keluarganya dan berkata, “Pergilah ke keluargamu,” Lalu iblis datang dan berkata, “Kamu telah mentalaknya.” Ia sering meneleponku, bahkan terkadang jam 2 atau jam 3 dini hari. Ia berkata, “Syaikh, sekarang istriku di sampingku, di atas ranjang…apakah dia masih istriku atau sudah aku talak?” Awalnya kami katakan, “Sibukkan dirimu dengan zikir kepada Allah…agar kamu bisa terlepas dari waswas ini.” Maka ia mulai berzikir, tapi iblis tetap mendatanginya. Saat ia berkata “Subhanallah”, iblis berkata, “Kamu sedang menyiratkan talak.” Saat ia berkata “Allahu Akbar”, iblis berkata, “Itu maksudnya talak, dan ini menyangkut kehormatan istrimu.” Ketika kami melihat keadaannya makin parah, kami nasihati agar ia berpaling dari waswas. Ia pun berpaling sejenak, lalu kambuh lagi. Kadang ia datang ke rumahku, dan aku mengusirnya. Karena selama ia merasa ada orang yang bisa menenangkannya, maka ia akan terus terjebak dalam waswas. Namun kami ajarkan kepadanya kaidah tersebut, dan setelah beberapa waktu – segala puji dan karunia hanya milik Allah – hidupnya pun membaik. Waswas itu hilang sepenuhnya, karena ia konsisten menerapkan kaidah tersebut. Aku juga mengenal banyak orang lain, di antara mereka ada yang terkena waswas lebih dari 20 tahun. Lalu ia datang kepada kami, dan kami bimbing dengan sabar. Akhirnya Allah menyembuhkannya dengan metode ini. Maka nasihatku kepada saudara kita ini: lakukan apa yang telah aku jelaskan. Allah-lah yang Maha Mengetahui. ==== رَجُلٌ أَصَابَهُ وَسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ فَمَا نَصِيْحَتُكُمْ حَفِظَكُمُ اللَّهُ ؟ طَرِيْقٌ مِنْ طُرُقِ إِبْلِيسَ وَأَصْلُ الْوِسْوَاسِ دَلِيْلٌ عَلَى صَلَاحِ الْعَبْدِ وَعَلَى سَلَامَةِ الْقَلْبِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا رَأَى أَنَّ الْعَبْدَ صَالِحٌ وَأَنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُغْوِيَهُ بِالْأَفْعَالِ قَامَ يُوَسْوِسُ لَهُ وَلِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ذُكِرَ لَهُ ذَلِكَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ مَا قَدِرَ عَلَيْنَا فَجَاءَ بِالْوِسْوَاسِ وَقَالَ ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيْمَانِ هَذَا أَصْلُ الْوِسْوَاسِ يَعْنِي إِذَا وَقَعَ الْوِسْوَاسُ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى هَذَا وَلَكِنَّ هَذَا لَا يَعْنِي أَنْ نُثْنِيَ عَلَى الْمُوَسْوَسِيْنَ فَإِنَّ الِاسْتِجَابَةَ لِلْوِسْوَاسِ شَرٌّ يَجِبُ اجْتِنَابُهَا وَمَنْ جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ هُوَ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَنْ لَا يَكُونَ الْوِسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ لَا يَكُونُ الْوَسْوَاسُ غَالِباً عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَأْتِيْهِ وَيَذْهَبُ وَهَذَا يُعَالَجُ بِكَثْرَةِ الِاسْتِعَاذَةِ فَيَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ مِنْهُ وَيَتْفُلَ عَنْ يَسَارِهِ وَيَقْرَأَ الْقُرْآنَ وَيَقْرَأَ الْأَحَادِيثَ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَنْ يَكْثُرَ عَلَى الْإِنْسَانِ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَيْهِ وَهَذَا لَا يَصْلُحُ عِلَاجُهُ بِفِعْلٍ مِنَ الْأَفْعَالِ لِأَنَّهُ كُلَّمَا فَعَلَ كُلَّمَا ازْدَادَ فِي الْوِسْوَاسِ حَتَّى لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ يَزْدَادُ فِي الْوِسْوَاسِ فَكَيْفَ يَكُونُ عِلَاجُهُ ؟ يَقُولُ الْفُقَهَاءُ عِلَاجُهُ بِالْإِعْرَاضِ التَّامِّ مَا مَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ ؟ أَلَّا تُرَتِّبَ عَلَيْهِ فِعْلاً وَلَا تَرْكاً حَتَّى لَوْ جَاءَكَ اعْتَبِرْهُ كَمَجْنُوْنٍ يَتَكَلَّمُ مِنْ وَرَائِكَ وَأَنْتَ عَلَى يَقِينٍ أَنَّهُ لَا يَضُرُّكَ وَلَا تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ بَعْضُ النَّاسِ إِذَا جَاءَهُ الْوِسْوَاسُ فَتَحَ الْقُرْآنَ لِيَقْرَأَهُ فَيَطْمَعُ فِيهِ إِبْلِيسُ فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الْقُرْآنِ يَقُومُ يُصَلِّي فَيُوَسْوِسُ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا تَتْرُكْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِهِ إِذَا كُنْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَجَاءَكَ الشَّيْطَانُ يُوَسْوِسُ لَكَ يُوَسْوِسُ لَكَ لَا تَتْرُكِ الْقِرَاءَةَ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهَا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتْرُكَ الْقِرَاءَةَ أَمَّا مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ فَلَا تَتْرُكْ إِذَا فَعَلْتَ هَذَا وَصَبَرْتَ اِعْرِفْ أَنَّ المَسْأَلَةَ تَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ لِأَنَّ إِبْلِيسَ يَأْتِي لِلْمُوَسْوَسِ بِصِفَةِ النَّاصِحِ الْمُشْفِقِ فِي الصَّلَاةِ هَذِهِ الصَّلَاةُ وَالصَّلَاةُ صِلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ وَإِذَا بَطَلَتْ صَلَاتُكَ مَاذَا بَقِيَ لَكَ ؟ انْتَبِهْ اُخْرُجْ اذْهَبْ تَوَضَّأْ حَتَّى يُفْسِدَ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ وَلَيْسَ بِنَاصِحٍ وَلَكِنَّهُ إِبْلِيسُ فَيَحْتَاجُ إِلَى صَبْرٍ اصْبِرْ فِي الْوُضُوءِ يَأْتِيكَ الْوِسْوَاسُ تَوَضَّأْ وَانْصَرِفْ يَأْتِيكَ إِبْلِيسُ يَقُولُ بَاقِي شَيْءٌ يَقُولُ مَا لَك شَيْءٌ لَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ وَاذْهَبْ وَصَلِّ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ جَاءَكَ إِبْلِيسُ يُوَسْوِسُ اسْتَمِرَّ اُتْرُكْهُ اسْتَمِرَّ اقْرَأْ وَاللّهِ لَنْ يَضُرَّكَ بَلْ سَتُثَابُ لِأَنَّكَ تُجَاهِدُ إِبْلِيسَ ثُمَّ يَيْأَسُ مِنْكَ إِبْلِيسُ فَيَتْرُكَ فِي هَذَا الْبَابِ وَيَبْحَثَ عَنْ بَابٍ آخَرَ إِذَنْ يَا إِخْوَةُ مِثْلُ هَذَا الْأَخِ الَّذِي يُقَالُ إِنَّ عِنْدَهُ وِسْوَاسٌ قَهْرِيٌّ يَعْنِي أَنَّ الْوِسْوَاسَ غَالِبٌ عَلَيْهِ الْعِلَاجُ الْوَحِيدُ لَهُ الْإِعْرَاضُ التَّامُّ وَمَعْنَى الْإِعْرَاضِ التَّامِّ أَنْ يُوقِنَ أَنَّهُ لَا يَضُرُّهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَحِيمٌ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُعَذِّبَ عِبَادَهُ بِهَذَا وَأَنَّ هَذَا لَيْسَ مِنَ الدَّيْنِ اللَّهُ يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ كَيْفَ يَكُونُ إِنْسَانٌ يَتَوَضَّأُ سَبْعِينَ مَرَّةً يَكُونُ مِنَ الدَّيْنِ ؟ مِنَ الْمُحَالِ أَنْ يَكُونَ مِنَ الدَّيْنِ فَتَعْلَمُ هَذَا وَتُوْقِنُ وَخَلَاصٌ تَفْعَلُ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ وَتُعْرِضُ وَتَسْتَمِرُّ فِي فِعْلِكَ لَا تَقْطَعْهُ مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَلاَ تَفْعَلْ شَيْئاً مِنْ أَجْلِ الْوِسْوَاسِ وَاللَّهِ بِإِذْنِ اللَّهِ يُشْفَى وَقَد جَرَّبْنَا هَذَا وَاللّهِ يَا إِخْوَةُ جَاءَنِي رَجُلٌ يُوَسْوِسُ لَهُ الشَّيْطَانُ فِي امْرَأَتِهِ أَنَّه يُطَلِّقُهَا وَإِذَا ذَهَبَ بِهَا إِلَى أَهْلِهَا وَقَالَ اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ يَأْتِيهِ إِبْلِيسُ يَقُولُ طَلَّقْتَهَا كَانَ يَتَّصِلُ بِي أَحْيَاناً السَّاعَةَ الثَّانِيَةَ مِنَ اللَّيْلِ وَالثَّالِثَةَ مِنْ اللَّيْلِ يَقُولُ يَا شَيْخُ الْآنَ هِيَ بِجِوَارِي عَلَى السَّرِيرِ هِيَ امْرَأَتِي وَلَا طَلَّقْتُهَا قُلْنَا لَهُ فِي بِدَايَةِ الأَمْرِ اشْتَغِلْ بِذِكْرِ اللَّهِ حَتَّى تَنْصَرِفَ عَنْ هَذَا الْأَمْرِ فَبَدَأَ يَشْتَغِلُ بِذِكْرِ اللَّهِ فَأَصْبَحَ إِبْلِيسُ يَأْتِيهِ إِذَا قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ قَالَ لَا أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ إِذَا قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ أَنْتَ تُكَنِّي عَنِ الطَّلَاقِ وَهَذَا عِرْضٌ لَمَّا رَأَيْنَا أَنَّ الْأَمْرَ مُشْتَدٌّ بِهِ أَوْصَيْنَاهُ بِالْإِعْرَاضِ فَكَانَ يُعْرِضُ فَتْرَةً ثُمَّ يَعُودُ فَكَانَ يَأْتِي إِلَى بَيْتِي أَحْيَاناً فَأَطْرُدُهُ مِنَ الْبَيْتِ لِأَنَّهُ مَا دَامَ يَعْرِفُ أَنَّ هُنَاكَ مَنْ يُرِيْحُهُ سَيَسْتَمِرُّ مَعَ الْوِسْوَاسِ وَلَكِن أَعْطَيْنَاهُ الْقَاعِدَةَ بَعْدَ الْفَتْرَةِ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ اسْتَقَامَتْ حَيَاتُهُ وَذَهَبَ هَذَا عَنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ لِأَنَّهُ ثَبَتَ عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ وَأَعْرِفُ أَشْخَاصاً كَثِيرِيْنَ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ مَعَهُ الْوِسْوَاسُ أَكْثَرُ مِنْ عِشْرِينَ سَنَةً وَجَاءَنَا وَوَجَّهْنَاهُ وَصَبَرْنَا مَعَهُ شَيْئاً ثُمَّ شَفَاهُ اللَّهُ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ فَنَصِيْحَتِي لِلْأَخِ أَنْ يَفْعَلَ مَا ذَكَرْتُ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

Tidak Semua Perlu Ditanggapi: Bedakan antara Taghaful dan Tajahul

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ia suka berkumpul dan membangun hubungan. Dalam perjalanan hidup, kita dipertemukan dengan beragam jenis relasi—ada yang merupakan anugerah dari Allah dan menjadi sumber kebahagiaan, ada pula yang justru menjadi ujian, pelajaran, atau bahkan sumber luka dan gangguan. Semuanya bergantung pada karakter dan pola asuh masing-masing individu.  Daftar Isi tutup 1. Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul? 2. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul? 3. Jenis-Jenis Tajaahul yang Bermanfaat 4. Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan! 5. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang Taghaaful 5.1. Perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang Hati 5.2. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 5.3. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang Lain 6. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang Taghaaful 6.1. Pemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak Masyarakat 6.2. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan Tenang 6.3. Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak Mendengar 7. Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful  Allah menciptakan manusia dari air dan tanah. Ada yang lebih dominan sifat “air”-nya—lembut dan mengalir seperti sungai—dan ada pula yang lebih dominan sifat “tanah”-nya—keras seperti batu. Maka, dalam berhadapan dengan berbagai karakter ini, seseorang bisa jadi merasa bingung: bagaimana cara menyikapi orang seperti ini? Apalagi jika mereka adalah orang dekat, seperti keluarga. Di sinilah muncul kebutuhan akan sikap toleran yang cerdas, seperti tahammul (bersabar), taghaaful (berpura-pura tidak tahu), dan tajaahul (bersikap seolah tidak peduli). Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul?Saat mencari tahu lebih dalam, ditemukan bahwa banyak orang menganggap taghaaful dan tajaahul itu sama. Namun, ternyata keduanya memiliki perbedaan halus namun penting:Taghaaful adalah bentuk penghormatan dan kasih sayang: ketika seseorang seolah-olah tidak melihat kesalahan orang lain karena ingin menjaga hubungan baik.Tajaahul, sebaliknya, adalah bentuk penolakan dan pengabaian: saat kita memilih untuk benar-benar tidak peduli pada orang yang bersangkutan.Secara bahasa, taghaaful berarti “berpura-pura lalai atau sengaja melupakan kesalahan kecil”, sedangkan tajaahul berarti “bersikap seolah-olah tidak tahu padahal sebenarnya tahu”.Keduanya merupakan seni berinteraksi. Bedanya, taghaaful menunjukkan bahwa kita peduli dan ingin tetap menjaga hubungan, sementara tajaahul menunjukkan bahwa kita sudah tidak mau repot lagi dan merasa cukup.Dikatakan, taghaaful itu seperti menutup mata atas kesalahan kecil, tidak mengungkit-ungkit kekeliruan, dan tidak fokus pada sisi negatif orang lain. Ini adalah seni yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mencapai kedewasaan emosional dan kecerdasan sosial. Orang Arab dahulu berkata:لَيْسَ الغَبِيُّ بِسَيِّدٍ فِي قَوْمِهِ، وَلَكِنْ سَيِّدُ قَوْمِهِ المُتَغَابِي“Bukanlah orang bodoh yang menjadi pemimpin kaumnya, tetapi pemimpin mereka adalah orang yang bersikap seolah-olah tidak tahu (atas kekeliruan kecil).”Sementara itu, tajaahul sering disebut sebagai “balas dendam yang berkelas”, atau sedekah bagi orang-orang yang miskin adab. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul?Keduanya memiliki tempat masing-masing dalam kehidupan sosial.Taghaaful biasa digunakan terhadap orang-orang yang kita cintai atau yang memiliki hubungan dekat dengan kita. Contohnya, saat seseorang dari keluarga kita melakukan kesalahan kecil, kita berpura-pura tidak tahu dan tidak menegur dengan keras.Sebaliknya, tajaahul digunakan dalam menghadapi orang asing atau mereka yang hanya hadir sejenak dalam hidup kita, seperti orang yang menyakiti atau menghina, tapi tidak layak diberi perhatian lebih.Namun, tidak semua kondisi cocok untuk taghaaful. Kita perlu memahami kapan harus menggunakan sikap ini:Jika kesalahan itu jarang terjadi, maka abaikan saja. Karena hal yang jarang tidak berpengaruh besar.Jika kesalahan itu masih bisa ditoleransi dan tidak menyakiti secara signifikan.Jika kesalahan itu di luar kendali kita untuk mengubahnya.Tetapi jika kesalahan itu berulang-ulang, tidak dapat ditoleransi, dan kita tahu dia bisa berubah, maka jangan buru-buru melakukan tajaahul. Ada satu tahap penting sebelum itu: berbicara langsung dan mengungkapkan ketidaknyamanan kita.Dengan kata lain, taghaaful memberi ruang untuk memahami latar belakang tindakan seseorang. Mungkin mereka tidak bermaksud menyakiti, atau tidak tahu bahwa tindakan mereka mengganggu. Jika setelah diberi tahu mereka tidak berubah, maka tajaahul bisa menjadi pilihan terakhir—untuk menyelamatkan hubungan atau setidaknya menjaga kewarasan diri sendiri. Jenis-Jenis Tajaahul yang BermanfaatTajaahul sendiri terdiri dari beberapa bentuk:1. Mengabaikan orang yang menyakiti — seolah-olah dia tidak ada, sampai akhirnya ia menyadari kesalahannya dan minta maaf. Ada ungkapan bijak: “Sedikit tajāhul bisa mengembalikan orang ke ukuran aslinya.”2. Mengabaikan kenangan atau peristiwa yang menyakitkan — dengan membuka lembaran baru dalam hidup dan menjadikannya batu loncatan untuk masa depan yang lebih cerah.3. Mengabaikan kata-kata buruk atau penghinaan — seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ ketika orang-orang Quraisy mencelanya dengan sebutan “Mudzammam” (yang tercela), beliau berkata:أَلَا تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَسَبَّهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا، وَأَنَا مُحَمَّدٌ!“Tidakkah kalian heran bagaimana Allah memalingkan hinaan Quraisy dariku? Mereka mencela Mudzammam dan melaknat Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.” (HR. Bukhari)4. Mengabaikan perilaku kasar atau tidak sopan, seperti dalam kisah Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu:“Aku berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu mengenakan baju tebal dari Yaman. Tiba-tiba datang seorang Arab Badui dan menarik baju itu dengan keras hingga meninggalkan bekas di pundak beliau. Orang itu berkata, ‘Hai Muhammad, berikan aku harta dari Allah yang ada padamu!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menoleh, tersenyum, dan menyuruh agar diberi sesuatu.” (Muttafaqun ‘Alaih)Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan!Penting diingat: tidak semua kesalahan layak diabaikan. Jika menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah atau penindasan terhadap orang lain, maka perlu tindakan langsung yang bijaksana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ”“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) Jadi, biasakan diri untuk tajāhul yang cerdas. Tak semua hal layak untuk dijadikan bahan perdebatan. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang TaghaafulPerintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang HatiAllah Ta‘ālā berfirman kepada Nabi-Nya,خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ“Jadilah pemaaf, perintahkan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil.” (QS. Al-A‘rāf: 199)Makna firman-Nya “خُذِ الْعَفْوَ” adalah: ambillah bagian yang mudah dan ringan dari akhlak manusia. Maksudnya, terimalah permintaan maaf mereka, maafkan kekeliruan mereka, permudahlah urusan dengan mereka, jangan terlalu banyak menyelidik atau menggali hal-hal yang tersembunyi. Sikap seperti ini akan membuat hati lebih tenang dan hubungan sosial tetap harmonis.Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan ayat ini sebagai berikut:“Yaitu ambillah dari manusia apa yang mereka mampu berikan dengan mudah dari amal dan akhlak mereka. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat mereka. Syukurilah setiap kebaikan dan kata yang indah dari siapa pun, bahkan jika itu sederhana. Maafkan kekurangan mereka, tutuplah mata dari kesalahan mereka. Jangan merendahkan yang masih muda karena usianya, atau mencela yang kurang akal karena kelemahannya, atau menghina yang miskin karena keadaannya. Perlakukan semua orang dengan kelembutan dan perlakuan yang sesuai dengan situasinya hingga hati mereka pun lapang terhadapmu.”Kesimpulan ayat ini menunjukkan kepada kita pentingnya bersikap toleran terhadap kekurangan orang lain, memaafkan kesalahan, dan menerapkan seni taghaaful (berpura-pura tidak tahu) terhadap kesalahan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah juga berfirman dalam menggambarkan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya,فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ“Ketika dia (istrinya) memberitahukannya, dan Allah memperlihatkan hal itu kepada Nabi, maka beliau memberitahukan sebagian dari perkara itu dan membiarkan sebagian yang lain.” (QS. At-Taḥrīm: 3)Imam As-Sam‘ānī menjelaskan:“Maksud dari firman-Nya ‘Beliau memberitahukan sebagian dan membiarkan sebagian’ adalah: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebagian dari yang terjadi kepada istrinya, dan memilih untuk berpaling dari sebagian lainnya sebagai bentuk kemuliaan, kelapangan dada, dan pemaafan. Bersikap taghaaful terhadap banyak hal adalah akhlak orang-orang yang bijak dan mulia.”Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan teladan nyata bahwa tidak semua kesalahan harus dihadapi dengan konfrontasi. Kadang, justru dengan membiarkan sebagian hal berlalu dan tidak diungkit, hubungan bisa tetap hangat dan penuh penghormatan. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang LainAllah juga berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah menggunjing satu sama lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ḥujurāt: 12)Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan:“Janganlah kalian memata-matai atau menyelidiki aib kaum muslimin. Jangan kalian ikuti dan korek-korek urusan mereka. Biarkanlah seorang muslim dengan keadaannya, dan gunakanlah sikap taghaaful terhadap sisi kehidupannya yang—jika diselidiki—mungkin akan tampak hal-hal yang tidak pantas diketahui.”Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu bentuk akhlak mulia adalah tidak ikut campur atau menyibukkan diri dengan kesalahan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi yang mereka sendiri tidak ingin orang lain mengetahuinya. Sikap taghaaful di sini adalah bentuk kasih sayang dan penjagaan terhadap kehormatan saudara sesama muslim. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang TaghaafulPemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak MasyarakatDari Abū Umāmah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»“Sesungguhnya seorang pemimpin, jika terlalu mencurigai manusia (selalu mencari kesalahan mereka), maka ia akan merusak mereka.” (HR. Abū Dāwud, sanad hasan)Imam Al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan maksud hadis ini:“Inti dari hadis ini adalah anjuran kepada seorang pemimpin untuk bersikap taghaaful, tidak mudah menaruh curiga, dan tidak sibuk mencari-cari kesalahan orang. Karena dengan sikap seperti itu, tatanan masyarakat akan stabil dan kehidupan berjalan tertib.”Maknanya: Pemimpin yang bijak bukan yang tahu segalanya tentang rakyatnya, tapi yang tahu kapan harus menutup mata dan membiarkan hal-hal kecil berlalu. Mencari-cari kesalahan hanya akan membuat masyarakat takut, tidak jujur, dan penuh kepalsuan.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan TenangDari ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullāh, ia meriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa ia berkata:“Suatu ketika sekelompok orang Yahudi masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata: ‘As-sāmu ‘alaikum’ (kematian atasmu). Aku pun langsung memahami maksud mereka, maka aku membalas: ‘Wa ‘alaikum as-sāmu wal-la‘nah’ (dan atas kalian juga kematian dan laknat).’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tenanglah, wahai ‘Āisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.’ Aku pun berkata: ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau mendengar apa yang mereka katakan?’ Beliau menjawab: ‘Aku sudah menjawab: Wa ‘alaikum (dan atas kalian juga).'” (HR. Bukhārī dan Muslim)Kesimpulan yang diambil para ulama dari hadis ini adalah: Dianjurkan bagi orang yang mulia dan berhati lapang untuk bersikap taghaaful terhadap ucapan-ucapan buruk dari orang-orang rendahan, selama tidak menimbulkan kerusakan besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bereaksi berlebihan terhadap hinaan tersembunyi itu, melainkan cukup menjawab dengan tenang tanpa menurunkan martabat beliau.Pelajaran: Taghaaful adalah tanda kekuatan batin. Kadang, merespons setiap ejekan justru menunjukkan kelemahan. Menahan diri dan membalas dengan elegan adalah ciri orang yang beradab dan cerdas.Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak MendengarDari ‘Abdullāh bin Zam‘ah radhiyallāhu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah… dan dalam khutbah itu beliau menasihati orang-orang tentang kebiasaan mereka menertawakan suara kentut, lalu beliau bersabda:“Mengapa salah seorang di antara kalian menertawakan sesuatu yang ia sendiri juga bisa melakukannya?” (HR. Bukhārī dan Muslim)Imam An-Nawawī rahimahullāh memberi penjelasan penting:“Hadis ini berisi larangan menertawakan suara kentut yang terdengar dari orang lain. Sebaliknya, seharusnya seseorang bersikap taghaaful terhadap hal itu—seolah tidak mendengar—dan tetap melanjutkan apa yang sedang ia lakukan tanpa menoleh atau bereaksi, serta menunjukkan seakan ia tidak mendengar apa pun.”Maknanya: Dalam situasi sosial yang canggung atau memalukan, adab terbaik bukan ikut menertawakan atau mempermalukan orang lain, tapi bersikap seolah tidak tahu dan tetap tenang. Itu adalah bentuk kasih sayang dan kehalusan budi.Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful1. Abu Bakr ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berkata:فَازَ بِالمُرُوءَةِ مَنِ امْتَطَى التَّغَافُلَ، وَهَانَ عَلَى القُرَنَاءِ مَنْ عُرِفَ بِاللَّجَاجِ“Beruntunglah orang yang menjunjung kemuliaan diri dengan menunggangi sikap berpura-pura tidak tahu (taghaaful), dan rendahlah nilainya di mata rekan-rekannya orang yang dikenal suka membantah tanpa henti.”Maknanya: Kemuliaan tidak diperoleh dengan mempermasalahkan semua hal, tapi dengan kelapangan jiwa dan kemampuan menahan diri.2. Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata:اللَّبِيبُ العَاقِلُ هُوَ الفَطِنُ المُتَغَافِلُ“Orang yang bijak dan berakal adalah dia yang cerdik namun bersikap taghaaful.”Maknanya: Kecerdikan dan toleransi adalah pasangan terbaik untuk membangun akhlak yang luhur.3. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh berkata:العَافِيَةُ عَشَرَةُ أَجْزَاءٍ كُلُّهَا فِي التَّغَافُلِ“Kesejahteraan itu ada sepuluh bagian, semuanya terletak dalam taghaaful.”Maknanya: Jika ingin hidup tenang, maka bersikaplah toleran dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil yang mengganggu.4. Sufyān Ats-Tsauri rahimahullāh berkata:مَا زَالَ التَّغَافُلُ مِنْ فِعْلِ الكِرَامِ“Taghaaful selalu menjadi kebiasaan orang-orang mulia.”Maknanya: Sikap ini bukan kelemahan, melainkan bagian dari akhlak orang terhormat.5. Ibnu al-Muqaffa‘ rahimahullāh berkata:مَا رَأَيْتُ حَكِيمًا إِلَّا وَتَغَافُلُهُ أَكْثَرُ مِنْ فِطْنَتِهِ“Aku tidak pernah melihat orang bijak kecuali sikap taghaaful-nya lebih banyak daripada kecerdikannya.”Maknanya: Orang bijak tahu bahwa tidak semua hal harus dikomentari atau dibalas. Menahan diri adalah bentuk tertinggi dari hikmah.Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan: bereaksi dengan emosi—marah, stres, dan tersakiti, atau bersikap tenang—mengabaikan, tersenyum, dan melanjutkan hidup. Referensi:dorar.netislamweb.net ____ Perjalanan Panggang – Sekar Kedhaton Kotagede, 7 Muharram 1447 H, 2 Juli 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab islami adab sosial akhlak interaksi muamalah taghaful tajahul

Tidak Semua Perlu Ditanggapi: Bedakan antara Taghaful dan Tajahul

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ia suka berkumpul dan membangun hubungan. Dalam perjalanan hidup, kita dipertemukan dengan beragam jenis relasi—ada yang merupakan anugerah dari Allah dan menjadi sumber kebahagiaan, ada pula yang justru menjadi ujian, pelajaran, atau bahkan sumber luka dan gangguan. Semuanya bergantung pada karakter dan pola asuh masing-masing individu.  Daftar Isi tutup 1. Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul? 2. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul? 3. Jenis-Jenis Tajaahul yang Bermanfaat 4. Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan! 5. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang Taghaaful 5.1. Perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang Hati 5.2. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 5.3. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang Lain 6. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang Taghaaful 6.1. Pemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak Masyarakat 6.2. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan Tenang 6.3. Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak Mendengar 7. Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful  Allah menciptakan manusia dari air dan tanah. Ada yang lebih dominan sifat “air”-nya—lembut dan mengalir seperti sungai—dan ada pula yang lebih dominan sifat “tanah”-nya—keras seperti batu. Maka, dalam berhadapan dengan berbagai karakter ini, seseorang bisa jadi merasa bingung: bagaimana cara menyikapi orang seperti ini? Apalagi jika mereka adalah orang dekat, seperti keluarga. Di sinilah muncul kebutuhan akan sikap toleran yang cerdas, seperti tahammul (bersabar), taghaaful (berpura-pura tidak tahu), dan tajaahul (bersikap seolah tidak peduli). Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul?Saat mencari tahu lebih dalam, ditemukan bahwa banyak orang menganggap taghaaful dan tajaahul itu sama. Namun, ternyata keduanya memiliki perbedaan halus namun penting:Taghaaful adalah bentuk penghormatan dan kasih sayang: ketika seseorang seolah-olah tidak melihat kesalahan orang lain karena ingin menjaga hubungan baik.Tajaahul, sebaliknya, adalah bentuk penolakan dan pengabaian: saat kita memilih untuk benar-benar tidak peduli pada orang yang bersangkutan.Secara bahasa, taghaaful berarti “berpura-pura lalai atau sengaja melupakan kesalahan kecil”, sedangkan tajaahul berarti “bersikap seolah-olah tidak tahu padahal sebenarnya tahu”.Keduanya merupakan seni berinteraksi. Bedanya, taghaaful menunjukkan bahwa kita peduli dan ingin tetap menjaga hubungan, sementara tajaahul menunjukkan bahwa kita sudah tidak mau repot lagi dan merasa cukup.Dikatakan, taghaaful itu seperti menutup mata atas kesalahan kecil, tidak mengungkit-ungkit kekeliruan, dan tidak fokus pada sisi negatif orang lain. Ini adalah seni yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mencapai kedewasaan emosional dan kecerdasan sosial. Orang Arab dahulu berkata:لَيْسَ الغَبِيُّ بِسَيِّدٍ فِي قَوْمِهِ، وَلَكِنْ سَيِّدُ قَوْمِهِ المُتَغَابِي“Bukanlah orang bodoh yang menjadi pemimpin kaumnya, tetapi pemimpin mereka adalah orang yang bersikap seolah-olah tidak tahu (atas kekeliruan kecil).”Sementara itu, tajaahul sering disebut sebagai “balas dendam yang berkelas”, atau sedekah bagi orang-orang yang miskin adab. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul?Keduanya memiliki tempat masing-masing dalam kehidupan sosial.Taghaaful biasa digunakan terhadap orang-orang yang kita cintai atau yang memiliki hubungan dekat dengan kita. Contohnya, saat seseorang dari keluarga kita melakukan kesalahan kecil, kita berpura-pura tidak tahu dan tidak menegur dengan keras.Sebaliknya, tajaahul digunakan dalam menghadapi orang asing atau mereka yang hanya hadir sejenak dalam hidup kita, seperti orang yang menyakiti atau menghina, tapi tidak layak diberi perhatian lebih.Namun, tidak semua kondisi cocok untuk taghaaful. Kita perlu memahami kapan harus menggunakan sikap ini:Jika kesalahan itu jarang terjadi, maka abaikan saja. Karena hal yang jarang tidak berpengaruh besar.Jika kesalahan itu masih bisa ditoleransi dan tidak menyakiti secara signifikan.Jika kesalahan itu di luar kendali kita untuk mengubahnya.Tetapi jika kesalahan itu berulang-ulang, tidak dapat ditoleransi, dan kita tahu dia bisa berubah, maka jangan buru-buru melakukan tajaahul. Ada satu tahap penting sebelum itu: berbicara langsung dan mengungkapkan ketidaknyamanan kita.Dengan kata lain, taghaaful memberi ruang untuk memahami latar belakang tindakan seseorang. Mungkin mereka tidak bermaksud menyakiti, atau tidak tahu bahwa tindakan mereka mengganggu. Jika setelah diberi tahu mereka tidak berubah, maka tajaahul bisa menjadi pilihan terakhir—untuk menyelamatkan hubungan atau setidaknya menjaga kewarasan diri sendiri. Jenis-Jenis Tajaahul yang BermanfaatTajaahul sendiri terdiri dari beberapa bentuk:1. Mengabaikan orang yang menyakiti — seolah-olah dia tidak ada, sampai akhirnya ia menyadari kesalahannya dan minta maaf. Ada ungkapan bijak: “Sedikit tajāhul bisa mengembalikan orang ke ukuran aslinya.”2. Mengabaikan kenangan atau peristiwa yang menyakitkan — dengan membuka lembaran baru dalam hidup dan menjadikannya batu loncatan untuk masa depan yang lebih cerah.3. Mengabaikan kata-kata buruk atau penghinaan — seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ ketika orang-orang Quraisy mencelanya dengan sebutan “Mudzammam” (yang tercela), beliau berkata:أَلَا تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَسَبَّهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا، وَأَنَا مُحَمَّدٌ!“Tidakkah kalian heran bagaimana Allah memalingkan hinaan Quraisy dariku? Mereka mencela Mudzammam dan melaknat Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.” (HR. Bukhari)4. Mengabaikan perilaku kasar atau tidak sopan, seperti dalam kisah Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu:“Aku berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu mengenakan baju tebal dari Yaman. Tiba-tiba datang seorang Arab Badui dan menarik baju itu dengan keras hingga meninggalkan bekas di pundak beliau. Orang itu berkata, ‘Hai Muhammad, berikan aku harta dari Allah yang ada padamu!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menoleh, tersenyum, dan menyuruh agar diberi sesuatu.” (Muttafaqun ‘Alaih)Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan!Penting diingat: tidak semua kesalahan layak diabaikan. Jika menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah atau penindasan terhadap orang lain, maka perlu tindakan langsung yang bijaksana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ”“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) Jadi, biasakan diri untuk tajāhul yang cerdas. Tak semua hal layak untuk dijadikan bahan perdebatan. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang TaghaafulPerintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang HatiAllah Ta‘ālā berfirman kepada Nabi-Nya,خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ“Jadilah pemaaf, perintahkan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil.” (QS. Al-A‘rāf: 199)Makna firman-Nya “خُذِ الْعَفْوَ” adalah: ambillah bagian yang mudah dan ringan dari akhlak manusia. Maksudnya, terimalah permintaan maaf mereka, maafkan kekeliruan mereka, permudahlah urusan dengan mereka, jangan terlalu banyak menyelidik atau menggali hal-hal yang tersembunyi. Sikap seperti ini akan membuat hati lebih tenang dan hubungan sosial tetap harmonis.Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan ayat ini sebagai berikut:“Yaitu ambillah dari manusia apa yang mereka mampu berikan dengan mudah dari amal dan akhlak mereka. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat mereka. Syukurilah setiap kebaikan dan kata yang indah dari siapa pun, bahkan jika itu sederhana. Maafkan kekurangan mereka, tutuplah mata dari kesalahan mereka. Jangan merendahkan yang masih muda karena usianya, atau mencela yang kurang akal karena kelemahannya, atau menghina yang miskin karena keadaannya. Perlakukan semua orang dengan kelembutan dan perlakuan yang sesuai dengan situasinya hingga hati mereka pun lapang terhadapmu.”Kesimpulan ayat ini menunjukkan kepada kita pentingnya bersikap toleran terhadap kekurangan orang lain, memaafkan kesalahan, dan menerapkan seni taghaaful (berpura-pura tidak tahu) terhadap kesalahan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah juga berfirman dalam menggambarkan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya,فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ“Ketika dia (istrinya) memberitahukannya, dan Allah memperlihatkan hal itu kepada Nabi, maka beliau memberitahukan sebagian dari perkara itu dan membiarkan sebagian yang lain.” (QS. At-Taḥrīm: 3)Imam As-Sam‘ānī menjelaskan:“Maksud dari firman-Nya ‘Beliau memberitahukan sebagian dan membiarkan sebagian’ adalah: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebagian dari yang terjadi kepada istrinya, dan memilih untuk berpaling dari sebagian lainnya sebagai bentuk kemuliaan, kelapangan dada, dan pemaafan. Bersikap taghaaful terhadap banyak hal adalah akhlak orang-orang yang bijak dan mulia.”Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan teladan nyata bahwa tidak semua kesalahan harus dihadapi dengan konfrontasi. Kadang, justru dengan membiarkan sebagian hal berlalu dan tidak diungkit, hubungan bisa tetap hangat dan penuh penghormatan. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang LainAllah juga berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah menggunjing satu sama lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ḥujurāt: 12)Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan:“Janganlah kalian memata-matai atau menyelidiki aib kaum muslimin. Jangan kalian ikuti dan korek-korek urusan mereka. Biarkanlah seorang muslim dengan keadaannya, dan gunakanlah sikap taghaaful terhadap sisi kehidupannya yang—jika diselidiki—mungkin akan tampak hal-hal yang tidak pantas diketahui.”Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu bentuk akhlak mulia adalah tidak ikut campur atau menyibukkan diri dengan kesalahan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi yang mereka sendiri tidak ingin orang lain mengetahuinya. Sikap taghaaful di sini adalah bentuk kasih sayang dan penjagaan terhadap kehormatan saudara sesama muslim. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang TaghaafulPemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak MasyarakatDari Abū Umāmah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»“Sesungguhnya seorang pemimpin, jika terlalu mencurigai manusia (selalu mencari kesalahan mereka), maka ia akan merusak mereka.” (HR. Abū Dāwud, sanad hasan)Imam Al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan maksud hadis ini:“Inti dari hadis ini adalah anjuran kepada seorang pemimpin untuk bersikap taghaaful, tidak mudah menaruh curiga, dan tidak sibuk mencari-cari kesalahan orang. Karena dengan sikap seperti itu, tatanan masyarakat akan stabil dan kehidupan berjalan tertib.”Maknanya: Pemimpin yang bijak bukan yang tahu segalanya tentang rakyatnya, tapi yang tahu kapan harus menutup mata dan membiarkan hal-hal kecil berlalu. Mencari-cari kesalahan hanya akan membuat masyarakat takut, tidak jujur, dan penuh kepalsuan.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan TenangDari ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullāh, ia meriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa ia berkata:“Suatu ketika sekelompok orang Yahudi masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata: ‘As-sāmu ‘alaikum’ (kematian atasmu). Aku pun langsung memahami maksud mereka, maka aku membalas: ‘Wa ‘alaikum as-sāmu wal-la‘nah’ (dan atas kalian juga kematian dan laknat).’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tenanglah, wahai ‘Āisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.’ Aku pun berkata: ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau mendengar apa yang mereka katakan?’ Beliau menjawab: ‘Aku sudah menjawab: Wa ‘alaikum (dan atas kalian juga).'” (HR. Bukhārī dan Muslim)Kesimpulan yang diambil para ulama dari hadis ini adalah: Dianjurkan bagi orang yang mulia dan berhati lapang untuk bersikap taghaaful terhadap ucapan-ucapan buruk dari orang-orang rendahan, selama tidak menimbulkan kerusakan besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bereaksi berlebihan terhadap hinaan tersembunyi itu, melainkan cukup menjawab dengan tenang tanpa menurunkan martabat beliau.Pelajaran: Taghaaful adalah tanda kekuatan batin. Kadang, merespons setiap ejekan justru menunjukkan kelemahan. Menahan diri dan membalas dengan elegan adalah ciri orang yang beradab dan cerdas.Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak MendengarDari ‘Abdullāh bin Zam‘ah radhiyallāhu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah… dan dalam khutbah itu beliau menasihati orang-orang tentang kebiasaan mereka menertawakan suara kentut, lalu beliau bersabda:“Mengapa salah seorang di antara kalian menertawakan sesuatu yang ia sendiri juga bisa melakukannya?” (HR. Bukhārī dan Muslim)Imam An-Nawawī rahimahullāh memberi penjelasan penting:“Hadis ini berisi larangan menertawakan suara kentut yang terdengar dari orang lain. Sebaliknya, seharusnya seseorang bersikap taghaaful terhadap hal itu—seolah tidak mendengar—dan tetap melanjutkan apa yang sedang ia lakukan tanpa menoleh atau bereaksi, serta menunjukkan seakan ia tidak mendengar apa pun.”Maknanya: Dalam situasi sosial yang canggung atau memalukan, adab terbaik bukan ikut menertawakan atau mempermalukan orang lain, tapi bersikap seolah tidak tahu dan tetap tenang. Itu adalah bentuk kasih sayang dan kehalusan budi.Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful1. Abu Bakr ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berkata:فَازَ بِالمُرُوءَةِ مَنِ امْتَطَى التَّغَافُلَ، وَهَانَ عَلَى القُرَنَاءِ مَنْ عُرِفَ بِاللَّجَاجِ“Beruntunglah orang yang menjunjung kemuliaan diri dengan menunggangi sikap berpura-pura tidak tahu (taghaaful), dan rendahlah nilainya di mata rekan-rekannya orang yang dikenal suka membantah tanpa henti.”Maknanya: Kemuliaan tidak diperoleh dengan mempermasalahkan semua hal, tapi dengan kelapangan jiwa dan kemampuan menahan diri.2. Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata:اللَّبِيبُ العَاقِلُ هُوَ الفَطِنُ المُتَغَافِلُ“Orang yang bijak dan berakal adalah dia yang cerdik namun bersikap taghaaful.”Maknanya: Kecerdikan dan toleransi adalah pasangan terbaik untuk membangun akhlak yang luhur.3. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh berkata:العَافِيَةُ عَشَرَةُ أَجْزَاءٍ كُلُّهَا فِي التَّغَافُلِ“Kesejahteraan itu ada sepuluh bagian, semuanya terletak dalam taghaaful.”Maknanya: Jika ingin hidup tenang, maka bersikaplah toleran dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil yang mengganggu.4. Sufyān Ats-Tsauri rahimahullāh berkata:مَا زَالَ التَّغَافُلُ مِنْ فِعْلِ الكِرَامِ“Taghaaful selalu menjadi kebiasaan orang-orang mulia.”Maknanya: Sikap ini bukan kelemahan, melainkan bagian dari akhlak orang terhormat.5. Ibnu al-Muqaffa‘ rahimahullāh berkata:مَا رَأَيْتُ حَكِيمًا إِلَّا وَتَغَافُلُهُ أَكْثَرُ مِنْ فِطْنَتِهِ“Aku tidak pernah melihat orang bijak kecuali sikap taghaaful-nya lebih banyak daripada kecerdikannya.”Maknanya: Orang bijak tahu bahwa tidak semua hal harus dikomentari atau dibalas. Menahan diri adalah bentuk tertinggi dari hikmah.Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan: bereaksi dengan emosi—marah, stres, dan tersakiti, atau bersikap tenang—mengabaikan, tersenyum, dan melanjutkan hidup. Referensi:dorar.netislamweb.net ____ Perjalanan Panggang – Sekar Kedhaton Kotagede, 7 Muharram 1447 H, 2 Juli 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab islami adab sosial akhlak interaksi muamalah taghaful tajahul
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ia suka berkumpul dan membangun hubungan. Dalam perjalanan hidup, kita dipertemukan dengan beragam jenis relasi—ada yang merupakan anugerah dari Allah dan menjadi sumber kebahagiaan, ada pula yang justru menjadi ujian, pelajaran, atau bahkan sumber luka dan gangguan. Semuanya bergantung pada karakter dan pola asuh masing-masing individu.  Daftar Isi tutup 1. Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul? 2. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul? 3. Jenis-Jenis Tajaahul yang Bermanfaat 4. Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan! 5. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang Taghaaful 5.1. Perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang Hati 5.2. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 5.3. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang Lain 6. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang Taghaaful 6.1. Pemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak Masyarakat 6.2. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan Tenang 6.3. Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak Mendengar 7. Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful  Allah menciptakan manusia dari air dan tanah. Ada yang lebih dominan sifat “air”-nya—lembut dan mengalir seperti sungai—dan ada pula yang lebih dominan sifat “tanah”-nya—keras seperti batu. Maka, dalam berhadapan dengan berbagai karakter ini, seseorang bisa jadi merasa bingung: bagaimana cara menyikapi orang seperti ini? Apalagi jika mereka adalah orang dekat, seperti keluarga. Di sinilah muncul kebutuhan akan sikap toleran yang cerdas, seperti tahammul (bersabar), taghaaful (berpura-pura tidak tahu), dan tajaahul (bersikap seolah tidak peduli). Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul?Saat mencari tahu lebih dalam, ditemukan bahwa banyak orang menganggap taghaaful dan tajaahul itu sama. Namun, ternyata keduanya memiliki perbedaan halus namun penting:Taghaaful adalah bentuk penghormatan dan kasih sayang: ketika seseorang seolah-olah tidak melihat kesalahan orang lain karena ingin menjaga hubungan baik.Tajaahul, sebaliknya, adalah bentuk penolakan dan pengabaian: saat kita memilih untuk benar-benar tidak peduli pada orang yang bersangkutan.Secara bahasa, taghaaful berarti “berpura-pura lalai atau sengaja melupakan kesalahan kecil”, sedangkan tajaahul berarti “bersikap seolah-olah tidak tahu padahal sebenarnya tahu”.Keduanya merupakan seni berinteraksi. Bedanya, taghaaful menunjukkan bahwa kita peduli dan ingin tetap menjaga hubungan, sementara tajaahul menunjukkan bahwa kita sudah tidak mau repot lagi dan merasa cukup.Dikatakan, taghaaful itu seperti menutup mata atas kesalahan kecil, tidak mengungkit-ungkit kekeliruan, dan tidak fokus pada sisi negatif orang lain. Ini adalah seni yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mencapai kedewasaan emosional dan kecerdasan sosial. Orang Arab dahulu berkata:لَيْسَ الغَبِيُّ بِسَيِّدٍ فِي قَوْمِهِ، وَلَكِنْ سَيِّدُ قَوْمِهِ المُتَغَابِي“Bukanlah orang bodoh yang menjadi pemimpin kaumnya, tetapi pemimpin mereka adalah orang yang bersikap seolah-olah tidak tahu (atas kekeliruan kecil).”Sementara itu, tajaahul sering disebut sebagai “balas dendam yang berkelas”, atau sedekah bagi orang-orang yang miskin adab. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul?Keduanya memiliki tempat masing-masing dalam kehidupan sosial.Taghaaful biasa digunakan terhadap orang-orang yang kita cintai atau yang memiliki hubungan dekat dengan kita. Contohnya, saat seseorang dari keluarga kita melakukan kesalahan kecil, kita berpura-pura tidak tahu dan tidak menegur dengan keras.Sebaliknya, tajaahul digunakan dalam menghadapi orang asing atau mereka yang hanya hadir sejenak dalam hidup kita, seperti orang yang menyakiti atau menghina, tapi tidak layak diberi perhatian lebih.Namun, tidak semua kondisi cocok untuk taghaaful. Kita perlu memahami kapan harus menggunakan sikap ini:Jika kesalahan itu jarang terjadi, maka abaikan saja. Karena hal yang jarang tidak berpengaruh besar.Jika kesalahan itu masih bisa ditoleransi dan tidak menyakiti secara signifikan.Jika kesalahan itu di luar kendali kita untuk mengubahnya.Tetapi jika kesalahan itu berulang-ulang, tidak dapat ditoleransi, dan kita tahu dia bisa berubah, maka jangan buru-buru melakukan tajaahul. Ada satu tahap penting sebelum itu: berbicara langsung dan mengungkapkan ketidaknyamanan kita.Dengan kata lain, taghaaful memberi ruang untuk memahami latar belakang tindakan seseorang. Mungkin mereka tidak bermaksud menyakiti, atau tidak tahu bahwa tindakan mereka mengganggu. Jika setelah diberi tahu mereka tidak berubah, maka tajaahul bisa menjadi pilihan terakhir—untuk menyelamatkan hubungan atau setidaknya menjaga kewarasan diri sendiri. Jenis-Jenis Tajaahul yang BermanfaatTajaahul sendiri terdiri dari beberapa bentuk:1. Mengabaikan orang yang menyakiti — seolah-olah dia tidak ada, sampai akhirnya ia menyadari kesalahannya dan minta maaf. Ada ungkapan bijak: “Sedikit tajāhul bisa mengembalikan orang ke ukuran aslinya.”2. Mengabaikan kenangan atau peristiwa yang menyakitkan — dengan membuka lembaran baru dalam hidup dan menjadikannya batu loncatan untuk masa depan yang lebih cerah.3. Mengabaikan kata-kata buruk atau penghinaan — seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ ketika orang-orang Quraisy mencelanya dengan sebutan “Mudzammam” (yang tercela), beliau berkata:أَلَا تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَسَبَّهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا، وَأَنَا مُحَمَّدٌ!“Tidakkah kalian heran bagaimana Allah memalingkan hinaan Quraisy dariku? Mereka mencela Mudzammam dan melaknat Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.” (HR. Bukhari)4. Mengabaikan perilaku kasar atau tidak sopan, seperti dalam kisah Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu:“Aku berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu mengenakan baju tebal dari Yaman. Tiba-tiba datang seorang Arab Badui dan menarik baju itu dengan keras hingga meninggalkan bekas di pundak beliau. Orang itu berkata, ‘Hai Muhammad, berikan aku harta dari Allah yang ada padamu!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menoleh, tersenyum, dan menyuruh agar diberi sesuatu.” (Muttafaqun ‘Alaih)Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan!Penting diingat: tidak semua kesalahan layak diabaikan. Jika menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah atau penindasan terhadap orang lain, maka perlu tindakan langsung yang bijaksana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ”“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) Jadi, biasakan diri untuk tajāhul yang cerdas. Tak semua hal layak untuk dijadikan bahan perdebatan. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang TaghaafulPerintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang HatiAllah Ta‘ālā berfirman kepada Nabi-Nya,خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ“Jadilah pemaaf, perintahkan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil.” (QS. Al-A‘rāf: 199)Makna firman-Nya “خُذِ الْعَفْوَ” adalah: ambillah bagian yang mudah dan ringan dari akhlak manusia. Maksudnya, terimalah permintaan maaf mereka, maafkan kekeliruan mereka, permudahlah urusan dengan mereka, jangan terlalu banyak menyelidik atau menggali hal-hal yang tersembunyi. Sikap seperti ini akan membuat hati lebih tenang dan hubungan sosial tetap harmonis.Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan ayat ini sebagai berikut:“Yaitu ambillah dari manusia apa yang mereka mampu berikan dengan mudah dari amal dan akhlak mereka. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat mereka. Syukurilah setiap kebaikan dan kata yang indah dari siapa pun, bahkan jika itu sederhana. Maafkan kekurangan mereka, tutuplah mata dari kesalahan mereka. Jangan merendahkan yang masih muda karena usianya, atau mencela yang kurang akal karena kelemahannya, atau menghina yang miskin karena keadaannya. Perlakukan semua orang dengan kelembutan dan perlakuan yang sesuai dengan situasinya hingga hati mereka pun lapang terhadapmu.”Kesimpulan ayat ini menunjukkan kepada kita pentingnya bersikap toleran terhadap kekurangan orang lain, memaafkan kesalahan, dan menerapkan seni taghaaful (berpura-pura tidak tahu) terhadap kesalahan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah juga berfirman dalam menggambarkan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya,فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ“Ketika dia (istrinya) memberitahukannya, dan Allah memperlihatkan hal itu kepada Nabi, maka beliau memberitahukan sebagian dari perkara itu dan membiarkan sebagian yang lain.” (QS. At-Taḥrīm: 3)Imam As-Sam‘ānī menjelaskan:“Maksud dari firman-Nya ‘Beliau memberitahukan sebagian dan membiarkan sebagian’ adalah: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebagian dari yang terjadi kepada istrinya, dan memilih untuk berpaling dari sebagian lainnya sebagai bentuk kemuliaan, kelapangan dada, dan pemaafan. Bersikap taghaaful terhadap banyak hal adalah akhlak orang-orang yang bijak dan mulia.”Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan teladan nyata bahwa tidak semua kesalahan harus dihadapi dengan konfrontasi. Kadang, justru dengan membiarkan sebagian hal berlalu dan tidak diungkit, hubungan bisa tetap hangat dan penuh penghormatan. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang LainAllah juga berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah menggunjing satu sama lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ḥujurāt: 12)Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan:“Janganlah kalian memata-matai atau menyelidiki aib kaum muslimin. Jangan kalian ikuti dan korek-korek urusan mereka. Biarkanlah seorang muslim dengan keadaannya, dan gunakanlah sikap taghaaful terhadap sisi kehidupannya yang—jika diselidiki—mungkin akan tampak hal-hal yang tidak pantas diketahui.”Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu bentuk akhlak mulia adalah tidak ikut campur atau menyibukkan diri dengan kesalahan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi yang mereka sendiri tidak ingin orang lain mengetahuinya. Sikap taghaaful di sini adalah bentuk kasih sayang dan penjagaan terhadap kehormatan saudara sesama muslim. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang TaghaafulPemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak MasyarakatDari Abū Umāmah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»“Sesungguhnya seorang pemimpin, jika terlalu mencurigai manusia (selalu mencari kesalahan mereka), maka ia akan merusak mereka.” (HR. Abū Dāwud, sanad hasan)Imam Al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan maksud hadis ini:“Inti dari hadis ini adalah anjuran kepada seorang pemimpin untuk bersikap taghaaful, tidak mudah menaruh curiga, dan tidak sibuk mencari-cari kesalahan orang. Karena dengan sikap seperti itu, tatanan masyarakat akan stabil dan kehidupan berjalan tertib.”Maknanya: Pemimpin yang bijak bukan yang tahu segalanya tentang rakyatnya, tapi yang tahu kapan harus menutup mata dan membiarkan hal-hal kecil berlalu. Mencari-cari kesalahan hanya akan membuat masyarakat takut, tidak jujur, dan penuh kepalsuan.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan TenangDari ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullāh, ia meriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa ia berkata:“Suatu ketika sekelompok orang Yahudi masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata: ‘As-sāmu ‘alaikum’ (kematian atasmu). Aku pun langsung memahami maksud mereka, maka aku membalas: ‘Wa ‘alaikum as-sāmu wal-la‘nah’ (dan atas kalian juga kematian dan laknat).’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tenanglah, wahai ‘Āisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.’ Aku pun berkata: ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau mendengar apa yang mereka katakan?’ Beliau menjawab: ‘Aku sudah menjawab: Wa ‘alaikum (dan atas kalian juga).'” (HR. Bukhārī dan Muslim)Kesimpulan yang diambil para ulama dari hadis ini adalah: Dianjurkan bagi orang yang mulia dan berhati lapang untuk bersikap taghaaful terhadap ucapan-ucapan buruk dari orang-orang rendahan, selama tidak menimbulkan kerusakan besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bereaksi berlebihan terhadap hinaan tersembunyi itu, melainkan cukup menjawab dengan tenang tanpa menurunkan martabat beliau.Pelajaran: Taghaaful adalah tanda kekuatan batin. Kadang, merespons setiap ejekan justru menunjukkan kelemahan. Menahan diri dan membalas dengan elegan adalah ciri orang yang beradab dan cerdas.Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak MendengarDari ‘Abdullāh bin Zam‘ah radhiyallāhu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah… dan dalam khutbah itu beliau menasihati orang-orang tentang kebiasaan mereka menertawakan suara kentut, lalu beliau bersabda:“Mengapa salah seorang di antara kalian menertawakan sesuatu yang ia sendiri juga bisa melakukannya?” (HR. Bukhārī dan Muslim)Imam An-Nawawī rahimahullāh memberi penjelasan penting:“Hadis ini berisi larangan menertawakan suara kentut yang terdengar dari orang lain. Sebaliknya, seharusnya seseorang bersikap taghaaful terhadap hal itu—seolah tidak mendengar—dan tetap melanjutkan apa yang sedang ia lakukan tanpa menoleh atau bereaksi, serta menunjukkan seakan ia tidak mendengar apa pun.”Maknanya: Dalam situasi sosial yang canggung atau memalukan, adab terbaik bukan ikut menertawakan atau mempermalukan orang lain, tapi bersikap seolah tidak tahu dan tetap tenang. Itu adalah bentuk kasih sayang dan kehalusan budi.Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful1. Abu Bakr ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berkata:فَازَ بِالمُرُوءَةِ مَنِ امْتَطَى التَّغَافُلَ، وَهَانَ عَلَى القُرَنَاءِ مَنْ عُرِفَ بِاللَّجَاجِ“Beruntunglah orang yang menjunjung kemuliaan diri dengan menunggangi sikap berpura-pura tidak tahu (taghaaful), dan rendahlah nilainya di mata rekan-rekannya orang yang dikenal suka membantah tanpa henti.”Maknanya: Kemuliaan tidak diperoleh dengan mempermasalahkan semua hal, tapi dengan kelapangan jiwa dan kemampuan menahan diri.2. Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata:اللَّبِيبُ العَاقِلُ هُوَ الفَطِنُ المُتَغَافِلُ“Orang yang bijak dan berakal adalah dia yang cerdik namun bersikap taghaaful.”Maknanya: Kecerdikan dan toleransi adalah pasangan terbaik untuk membangun akhlak yang luhur.3. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh berkata:العَافِيَةُ عَشَرَةُ أَجْزَاءٍ كُلُّهَا فِي التَّغَافُلِ“Kesejahteraan itu ada sepuluh bagian, semuanya terletak dalam taghaaful.”Maknanya: Jika ingin hidup tenang, maka bersikaplah toleran dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil yang mengganggu.4. Sufyān Ats-Tsauri rahimahullāh berkata:مَا زَالَ التَّغَافُلُ مِنْ فِعْلِ الكِرَامِ“Taghaaful selalu menjadi kebiasaan orang-orang mulia.”Maknanya: Sikap ini bukan kelemahan, melainkan bagian dari akhlak orang terhormat.5. Ibnu al-Muqaffa‘ rahimahullāh berkata:مَا رَأَيْتُ حَكِيمًا إِلَّا وَتَغَافُلُهُ أَكْثَرُ مِنْ فِطْنَتِهِ“Aku tidak pernah melihat orang bijak kecuali sikap taghaaful-nya lebih banyak daripada kecerdikannya.”Maknanya: Orang bijak tahu bahwa tidak semua hal harus dikomentari atau dibalas. Menahan diri adalah bentuk tertinggi dari hikmah.Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan: bereaksi dengan emosi—marah, stres, dan tersakiti, atau bersikap tenang—mengabaikan, tersenyum, dan melanjutkan hidup. Referensi:dorar.netislamweb.net ____ Perjalanan Panggang – Sekar Kedhaton Kotagede, 7 Muharram 1447 H, 2 Juli 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab islami adab sosial akhlak interaksi muamalah taghaful tajahul


Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ia suka berkumpul dan membangun hubungan. Dalam perjalanan hidup, kita dipertemukan dengan beragam jenis relasi—ada yang merupakan anugerah dari Allah dan menjadi sumber kebahagiaan, ada pula yang justru menjadi ujian, pelajaran, atau bahkan sumber luka dan gangguan. Semuanya bergantung pada karakter dan pola asuh masing-masing individu.  Daftar Isi tutup 1. Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul? 2. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul? 3. Jenis-Jenis Tajaahul yang Bermanfaat 4. Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan! 5. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang Taghaaful 5.1. Perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang Hati 5.2. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 5.3. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang Lain 6. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang Taghaaful 6.1. Pemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak Masyarakat 6.2. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan Tenang 6.3. Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak Mendengar 7. Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful  Allah menciptakan manusia dari air dan tanah. Ada yang lebih dominan sifat “air”-nya—lembut dan mengalir seperti sungai—dan ada pula yang lebih dominan sifat “tanah”-nya—keras seperti batu. Maka, dalam berhadapan dengan berbagai karakter ini, seseorang bisa jadi merasa bingung: bagaimana cara menyikapi orang seperti ini? Apalagi jika mereka adalah orang dekat, seperti keluarga. Di sinilah muncul kebutuhan akan sikap toleran yang cerdas, seperti tahammul (bersabar), taghaaful (berpura-pura tidak tahu), dan tajaahul (bersikap seolah tidak peduli). Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul?Saat mencari tahu lebih dalam, ditemukan bahwa banyak orang menganggap taghaaful dan tajaahul itu sama. Namun, ternyata keduanya memiliki perbedaan halus namun penting:Taghaaful adalah bentuk penghormatan dan kasih sayang: ketika seseorang seolah-olah tidak melihat kesalahan orang lain karena ingin menjaga hubungan baik.Tajaahul, sebaliknya, adalah bentuk penolakan dan pengabaian: saat kita memilih untuk benar-benar tidak peduli pada orang yang bersangkutan.Secara bahasa, taghaaful berarti “berpura-pura lalai atau sengaja melupakan kesalahan kecil”, sedangkan tajaahul berarti “bersikap seolah-olah tidak tahu padahal sebenarnya tahu”.Keduanya merupakan seni berinteraksi. Bedanya, taghaaful menunjukkan bahwa kita peduli dan ingin tetap menjaga hubungan, sementara tajaahul menunjukkan bahwa kita sudah tidak mau repot lagi dan merasa cukup.Dikatakan, taghaaful itu seperti menutup mata atas kesalahan kecil, tidak mengungkit-ungkit kekeliruan, dan tidak fokus pada sisi negatif orang lain. Ini adalah seni yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mencapai kedewasaan emosional dan kecerdasan sosial. Orang Arab dahulu berkata:لَيْسَ الغَبِيُّ بِسَيِّدٍ فِي قَوْمِهِ، وَلَكِنْ سَيِّدُ قَوْمِهِ المُتَغَابِي“Bukanlah orang bodoh yang menjadi pemimpin kaumnya, tetapi pemimpin mereka adalah orang yang bersikap seolah-olah tidak tahu (atas kekeliruan kecil).”Sementara itu, tajaahul sering disebut sebagai “balas dendam yang berkelas”, atau sedekah bagi orang-orang yang miskin adab. Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul?Keduanya memiliki tempat masing-masing dalam kehidupan sosial.Taghaaful biasa digunakan terhadap orang-orang yang kita cintai atau yang memiliki hubungan dekat dengan kita. Contohnya, saat seseorang dari keluarga kita melakukan kesalahan kecil, kita berpura-pura tidak tahu dan tidak menegur dengan keras.Sebaliknya, tajaahul digunakan dalam menghadapi orang asing atau mereka yang hanya hadir sejenak dalam hidup kita, seperti orang yang menyakiti atau menghina, tapi tidak layak diberi perhatian lebih.Namun, tidak semua kondisi cocok untuk taghaaful. Kita perlu memahami kapan harus menggunakan sikap ini:Jika kesalahan itu jarang terjadi, maka abaikan saja. Karena hal yang jarang tidak berpengaruh besar.Jika kesalahan itu masih bisa ditoleransi dan tidak menyakiti secara signifikan.Jika kesalahan itu di luar kendali kita untuk mengubahnya.Tetapi jika kesalahan itu berulang-ulang, tidak dapat ditoleransi, dan kita tahu dia bisa berubah, maka jangan buru-buru melakukan tajaahul. Ada satu tahap penting sebelum itu: berbicara langsung dan mengungkapkan ketidaknyamanan kita.Dengan kata lain, taghaaful memberi ruang untuk memahami latar belakang tindakan seseorang. Mungkin mereka tidak bermaksud menyakiti, atau tidak tahu bahwa tindakan mereka mengganggu. Jika setelah diberi tahu mereka tidak berubah, maka tajaahul bisa menjadi pilihan terakhir—untuk menyelamatkan hubungan atau setidaknya menjaga kewarasan diri sendiri. Jenis-Jenis Tajaahul yang BermanfaatTajaahul sendiri terdiri dari beberapa bentuk:1. Mengabaikan orang yang menyakiti — seolah-olah dia tidak ada, sampai akhirnya ia menyadari kesalahannya dan minta maaf. Ada ungkapan bijak: “Sedikit tajāhul bisa mengembalikan orang ke ukuran aslinya.”2. Mengabaikan kenangan atau peristiwa yang menyakitkan — dengan membuka lembaran baru dalam hidup dan menjadikannya batu loncatan untuk masa depan yang lebih cerah.3. Mengabaikan kata-kata buruk atau penghinaan — seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ ketika orang-orang Quraisy mencelanya dengan sebutan “Mudzammam” (yang tercela), beliau berkata:أَلَا تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَسَبَّهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا، وَأَنَا مُحَمَّدٌ!“Tidakkah kalian heran bagaimana Allah memalingkan hinaan Quraisy dariku? Mereka mencela Mudzammam dan melaknat Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.” (HR. Bukhari)4. Mengabaikan perilaku kasar atau tidak sopan, seperti dalam kisah Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu:“Aku berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu mengenakan baju tebal dari Yaman. Tiba-tiba datang seorang Arab Badui dan menarik baju itu dengan keras hingga meninggalkan bekas di pundak beliau. Orang itu berkata, ‘Hai Muhammad, berikan aku harta dari Allah yang ada padamu!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menoleh, tersenyum, dan menyuruh agar diberi sesuatu.” (Muttafaqun ‘Alaih)Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan!Penting diingat: tidak semua kesalahan layak diabaikan. Jika menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah atau penindasan terhadap orang lain, maka perlu tindakan langsung yang bijaksana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ”“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) Jadi, biasakan diri untuk tajāhul yang cerdas. Tak semua hal layak untuk dijadikan bahan perdebatan. Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang TaghaafulPerintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang HatiAllah Ta‘ālā berfirman kepada Nabi-Nya,خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ“Jadilah pemaaf, perintahkan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil.” (QS. Al-A‘rāf: 199)Makna firman-Nya “خُذِ الْعَفْوَ” adalah: ambillah bagian yang mudah dan ringan dari akhlak manusia. Maksudnya, terimalah permintaan maaf mereka, maafkan kekeliruan mereka, permudahlah urusan dengan mereka, jangan terlalu banyak menyelidik atau menggali hal-hal yang tersembunyi. Sikap seperti ini akan membuat hati lebih tenang dan hubungan sosial tetap harmonis.Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan ayat ini sebagai berikut:“Yaitu ambillah dari manusia apa yang mereka mampu berikan dengan mudah dari amal dan akhlak mereka. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat mereka. Syukurilah setiap kebaikan dan kata yang indah dari siapa pun, bahkan jika itu sederhana. Maafkan kekurangan mereka, tutuplah mata dari kesalahan mereka. Jangan merendahkan yang masih muda karena usianya, atau mencela yang kurang akal karena kelemahannya, atau menghina yang miskin karena keadaannya. Perlakukan semua orang dengan kelembutan dan perlakuan yang sesuai dengan situasinya hingga hati mereka pun lapang terhadapmu.”Kesimpulan ayat ini menunjukkan kepada kita pentingnya bersikap toleran terhadap kekurangan orang lain, memaafkan kesalahan, dan menerapkan seni taghaaful (berpura-pura tidak tahu) terhadap kesalahan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah juga berfirman dalam menggambarkan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya,فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ“Ketika dia (istrinya) memberitahukannya, dan Allah memperlihatkan hal itu kepada Nabi, maka beliau memberitahukan sebagian dari perkara itu dan membiarkan sebagian yang lain.” (QS. At-Taḥrīm: 3)Imam As-Sam‘ānī menjelaskan:“Maksud dari firman-Nya ‘Beliau memberitahukan sebagian dan membiarkan sebagian’ adalah: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebagian dari yang terjadi kepada istrinya, dan memilih untuk berpaling dari sebagian lainnya sebagai bentuk kemuliaan, kelapangan dada, dan pemaafan. Bersikap taghaaful terhadap banyak hal adalah akhlak orang-orang yang bijak dan mulia.”Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan teladan nyata bahwa tidak semua kesalahan harus dihadapi dengan konfrontasi. Kadang, justru dengan membiarkan sebagian hal berlalu dan tidak diungkit, hubungan bisa tetap hangat dan penuh penghormatan. Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang LainAllah juga berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah menggunjing satu sama lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ḥujurāt: 12)Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan:“Janganlah kalian memata-matai atau menyelidiki aib kaum muslimin. Jangan kalian ikuti dan korek-korek urusan mereka. Biarkanlah seorang muslim dengan keadaannya, dan gunakanlah sikap taghaaful terhadap sisi kehidupannya yang—jika diselidiki—mungkin akan tampak hal-hal yang tidak pantas diketahui.”Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu bentuk akhlak mulia adalah tidak ikut campur atau menyibukkan diri dengan kesalahan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi yang mereka sendiri tidak ingin orang lain mengetahuinya. Sikap taghaaful di sini adalah bentuk kasih sayang dan penjagaan terhadap kehormatan saudara sesama muslim. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang TaghaafulPemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak MasyarakatDari Abū Umāmah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»“Sesungguhnya seorang pemimpin, jika terlalu mencurigai manusia (selalu mencari kesalahan mereka), maka ia akan merusak mereka.” (HR. Abū Dāwud, sanad hasan)Imam Al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan maksud hadis ini:“Inti dari hadis ini adalah anjuran kepada seorang pemimpin untuk bersikap taghaaful, tidak mudah menaruh curiga, dan tidak sibuk mencari-cari kesalahan orang. Karena dengan sikap seperti itu, tatanan masyarakat akan stabil dan kehidupan berjalan tertib.”Maknanya: Pemimpin yang bijak bukan yang tahu segalanya tentang rakyatnya, tapi yang tahu kapan harus menutup mata dan membiarkan hal-hal kecil berlalu. Mencari-cari kesalahan hanya akan membuat masyarakat takut, tidak jujur, dan penuh kepalsuan.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan TenangDari ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullāh, ia meriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa ia berkata:“Suatu ketika sekelompok orang Yahudi masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata: ‘As-sāmu ‘alaikum’ (kematian atasmu). Aku pun langsung memahami maksud mereka, maka aku membalas: ‘Wa ‘alaikum as-sāmu wal-la‘nah’ (dan atas kalian juga kematian dan laknat).’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tenanglah, wahai ‘Āisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.’ Aku pun berkata: ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau mendengar apa yang mereka katakan?’ Beliau menjawab: ‘Aku sudah menjawab: Wa ‘alaikum (dan atas kalian juga).'” (HR. Bukhārī dan Muslim)Kesimpulan yang diambil para ulama dari hadis ini adalah: Dianjurkan bagi orang yang mulia dan berhati lapang untuk bersikap taghaaful terhadap ucapan-ucapan buruk dari orang-orang rendahan, selama tidak menimbulkan kerusakan besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bereaksi berlebihan terhadap hinaan tersembunyi itu, melainkan cukup menjawab dengan tenang tanpa menurunkan martabat beliau.Pelajaran: Taghaaful adalah tanda kekuatan batin. Kadang, merespons setiap ejekan justru menunjukkan kelemahan. Menahan diri dan membalas dengan elegan adalah ciri orang yang beradab dan cerdas.Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak MendengarDari ‘Abdullāh bin Zam‘ah radhiyallāhu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah… dan dalam khutbah itu beliau menasihati orang-orang tentang kebiasaan mereka menertawakan suara kentut, lalu beliau bersabda:“Mengapa salah seorang di antara kalian menertawakan sesuatu yang ia sendiri juga bisa melakukannya?” (HR. Bukhārī dan Muslim)Imam An-Nawawī rahimahullāh memberi penjelasan penting:“Hadis ini berisi larangan menertawakan suara kentut yang terdengar dari orang lain. Sebaliknya, seharusnya seseorang bersikap taghaaful terhadap hal itu—seolah tidak mendengar—dan tetap melanjutkan apa yang sedang ia lakukan tanpa menoleh atau bereaksi, serta menunjukkan seakan ia tidak mendengar apa pun.”Maknanya: Dalam situasi sosial yang canggung atau memalukan, adab terbaik bukan ikut menertawakan atau mempermalukan orang lain, tapi bersikap seolah tidak tahu dan tetap tenang. Itu adalah bentuk kasih sayang dan kehalusan budi.Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful1. Abu Bakr ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berkata:فَازَ بِالمُرُوءَةِ مَنِ امْتَطَى التَّغَافُلَ، وَهَانَ عَلَى القُرَنَاءِ مَنْ عُرِفَ بِاللَّجَاجِ“Beruntunglah orang yang menjunjung kemuliaan diri dengan menunggangi sikap berpura-pura tidak tahu (taghaaful), dan rendahlah nilainya di mata rekan-rekannya orang yang dikenal suka membantah tanpa henti.”Maknanya: Kemuliaan tidak diperoleh dengan mempermasalahkan semua hal, tapi dengan kelapangan jiwa dan kemampuan menahan diri.2. Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata:اللَّبِيبُ العَاقِلُ هُوَ الفَطِنُ المُتَغَافِلُ“Orang yang bijak dan berakal adalah dia yang cerdik namun bersikap taghaaful.”Maknanya: Kecerdikan dan toleransi adalah pasangan terbaik untuk membangun akhlak yang luhur.3. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh berkata:العَافِيَةُ عَشَرَةُ أَجْزَاءٍ كُلُّهَا فِي التَّغَافُلِ“Kesejahteraan itu ada sepuluh bagian, semuanya terletak dalam taghaaful.”Maknanya: Jika ingin hidup tenang, maka bersikaplah toleran dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil yang mengganggu.4. Sufyān Ats-Tsauri rahimahullāh berkata:مَا زَالَ التَّغَافُلُ مِنْ فِعْلِ الكِرَامِ“Taghaaful selalu menjadi kebiasaan orang-orang mulia.”Maknanya: Sikap ini bukan kelemahan, melainkan bagian dari akhlak orang terhormat.5. Ibnu al-Muqaffa‘ rahimahullāh berkata:مَا رَأَيْتُ حَكِيمًا إِلَّا وَتَغَافُلُهُ أَكْثَرُ مِنْ فِطْنَتِهِ“Aku tidak pernah melihat orang bijak kecuali sikap taghaaful-nya lebih banyak daripada kecerdikannya.”Maknanya: Orang bijak tahu bahwa tidak semua hal harus dikomentari atau dibalas. Menahan diri adalah bentuk tertinggi dari hikmah.Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan: bereaksi dengan emosi—marah, stres, dan tersakiti, atau bersikap tenang—mengabaikan, tersenyum, dan melanjutkan hidup. Referensi:dorar.netislamweb.net ____ Perjalanan Panggang – Sekar Kedhaton Kotagede, 7 Muharram 1447 H, 2 Juli 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab islami adab sosial akhlak interaksi muamalah taghaful tajahul
Prev     Next