Hukum Suami yang Meninggalkan Istri Terlalu Lama – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Penanya berkata bahwa umurnya sekarang 28 tahun. Dia telah meninggalkan istrinya pergi merantau lebih dari 1,5 tahun. Dia bertanya apakah itu diperbolehkan? Jawaban: Masalah ini ada rinciannya: [PERTAMA]Apabila kamu belum mampu kembali pulang ke istrimu karena kamu tertahan, atau belum mampu membeli tiket atau biaya transportasi. Intinya kamu tidak mampu, maka itu tidak mengapa, karena kamu tidak mampu. “Bertakwalah kepada Allah sesuai kadar kemampuan kalian…” (QS. at-Taghabun: 16). [KEDUA]Sedangkan jika kamu pergi lama untuk urusan pribadi, dan kamu bisa pulang menemuinya, mengatur urusannya dan memenuhi kebutuhannya, lalu kamu kembali ke tempat kerjamu secara berkala, seperti setiap 2, 3, atau 4 bulan sekali, maka inilah yang sebaiknya dilakukan seorang Mukmin; tidak terlalu lama meninggalkan istrinya. Terlebih lagi pada zaman ini, yang merupakan zaman yang paling berbahaya. Seorang Mukmin harus memperhatikan hal-hal ini, sehingga dia tidak seharusnya pergi lama, dan sekaligus dia tidak mengabaikan kebutuhan yang harus dia penuhi, seperti menuntut ilmu atau mencari nafkah yang halal karena di daerahnya tidak ada tempat menuntut ilmu atau mencari nafkah yang cukup. Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memberi waktu bagi para pasukan selama 6 bulan meninggalkan keluarga mereka. Lalu setelah itu mereka harus pulang, dan diganti oleh pasukan lainnya. Kesimpulannya, hal ini berbeda hukumnya sesuai dengan keadaan dan pribadi masing-masing. Janganlah kamu terlalu lama pergi merantau! Usahakan jangan terlalu lama pergi merantau! Seandainya bisa 2 atau 3 bulan, itu sudah cukup. Karena keadaan berbeda-beda. Bisa jadi istrimu di tempat yang tidak aman baginya. Kamu harus memperhatikan keadaannya dan berusaha menjaga keselamatannya, serta berusaha menjauhkannya dari hal yang ditakutkan, seperti bahaya dalam kehormatan dirinya, dan lain sebagainya. Jadi, perhatikanlah perkara yang dapat menuntaskan tanggung jawabmu dan memberi kebaikan bagi istrimu. Baik itu dari sisi kehormatan diri dan agamanya, atau dari sisi pemenuhan kebutuhannya yang berkaitan dengan makanan, minuman, dan pakaiannya, dll. Kamu lebih mengetahui dan memahami dirimu sendiri, maka usahakanlah apa yang membawa manfaat bagimu dan istrimu, dan yang dapat menuntaskan tanggunganmu, baik itu dari sisi waktu kepergianmu atau dari sisi nafkah. Allaahul Musta’an (hanya kepada Allah aku memohon pertolongan). Allahul Musta’an. Jazakumullahu Khairan. ==== يَقُوْلُ إِنَّ عُمْرَهُ ثَمَانٍ وَعِشْرُونَ سَنَةً وَقَدْ غَابَ عَنْ زَوْجَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ عَامٍ وَنِصْفٍ وَيَسْأَلُ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ؟ هَذَا فِيهِ تَفْصِيلٌ أَمَّا إِذَا كُنْتَ عَاجِزًا وَلَمْ تَسْتَطِعِ الْعَوْدَةَ إِلَيْهَا لِأَنَّكَ مَحْبُوسٌ أَوْ لَمْ تَسْتَطِعْ قِيمَةَ التَّذْكِرَةِ أَوْ قِيمَةَ أُجْرَةِ السَّيَّارَةِ الْمَقْصُودُ لَوْ كُنْتَ عَاجِزًا هَذَا لَا شَيْءَ فِيهِ لِأَنَّكَ عَاجِزٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ أَمَّا إِذَا كُنْتَ غِبْتَ فِي حَاجَاتٍ خَاصَّةٍ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهَا وَتَقُومَ بِحَالِهَا وَتُشْرِفَ عَلَى شُؤُونِهَا ثُمَّ تَرْجِعَ إِلَى عَمَلِكَ بَيْنَ وَقْتٍ وَآخَرَ كَشَهْرَيْنِ ثَلَاثَةٍ أَرْبَعَةٍ هَكَذَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ لَا يُطِيلُ السَّفَرَ عَنْ أَهْلِهِ وَلَا سِيَّمَا فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي هُوَ مِنْ أَخْطَرِ الْعُصُورِ فَالْمُؤْمِنُ يُلَاحِظُ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُطِيلُ السَّفَرَ وَلَا يُهْمِلُ حَاجَتَهُ الَّتِي هُوَ فِي حَاجَةٍ إِلَيْهَا مِثْلُ طَلَبِ الْعِلْمِ مِثْلُ طَلَبِ كَسْبِ الْحَلَالِ لِأَنَّ بَلَدَهُ لَيْسَ فِيهَا حَاجَتُهُ لَيْسَ فِيهَا طَلَبُ الْعِلْمِ لَيْسَ فِيهَا كَسْبٌ يَقُومُ بِحَالِهِ وَجَاءَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ وَقَّتَ لِلْجُنُودِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فِي الْغَيْبَةِ عَنْ أَهْلِيهِمْ ثُمَّ يَرْجِعُونَ وَيَذْهَبُ غَيْرُهُمْ فَالْحَاصِلُ أَنَّ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَبِاخْتِلَافِ نَفْسِ الشَّخْصِ فَأَنْتَ لَا تُطِيْلُ الْغُرْبَةَ احْرِصْ عَلَى عَدَمِ طُولِ الْغُرْبَةِ وَلَوْ شَهْرَيْنِ ثَلَاثَةً يَكْفِي لِأَنَّ الْأَحْوَالَ تَخْتَلِفُ فَقَدْ تَكُونُ زَوْجَتُكَ فِي مَحَلٍّ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا فَأَنْتَ لَاحِظْ حَالَهَا وَلَاحِظْ الْحِرْصَ عَلَى سَلَامَتِهَا وَبُعْدِهَا عَمَّا يُخْشَى مِنْهُ مِنْ خَطَرِ الْعِرْضِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَالْحَاصِلُ أَنْتَ تُلَاحِظُ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْرِئُ ذِمَّتَكَ وَيَنْفَعُ زَوْجَتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ عِرْضِهَا وَدِينِهَا وَلَا مِنْ جِهَةِ حَاجَتِهَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِأَكْلِهَا وَشُرْبِهَا وَكِسْوَتِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ وَأَنْتَ تَعْلَمُ بِنَفْسِكَ وَأَبْصَرُ فَاحْرِصْ عَلَى الشَّيْءِ الَّذِي يَنْفَعُكَ وَيَنْفَعُهَا وَيُبْرِئُ ذِمَّتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ الْمُدَّةِ وَلَا مِنْ جِهَةِ النَّفَقَةِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ جَزَاكُمْ اللَّهُ خَيْرًا

Hukum Suami yang Meninggalkan Istri Terlalu Lama – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Penanya berkata bahwa umurnya sekarang 28 tahun. Dia telah meninggalkan istrinya pergi merantau lebih dari 1,5 tahun. Dia bertanya apakah itu diperbolehkan? Jawaban: Masalah ini ada rinciannya: [PERTAMA]Apabila kamu belum mampu kembali pulang ke istrimu karena kamu tertahan, atau belum mampu membeli tiket atau biaya transportasi. Intinya kamu tidak mampu, maka itu tidak mengapa, karena kamu tidak mampu. “Bertakwalah kepada Allah sesuai kadar kemampuan kalian…” (QS. at-Taghabun: 16). [KEDUA]Sedangkan jika kamu pergi lama untuk urusan pribadi, dan kamu bisa pulang menemuinya, mengatur urusannya dan memenuhi kebutuhannya, lalu kamu kembali ke tempat kerjamu secara berkala, seperti setiap 2, 3, atau 4 bulan sekali, maka inilah yang sebaiknya dilakukan seorang Mukmin; tidak terlalu lama meninggalkan istrinya. Terlebih lagi pada zaman ini, yang merupakan zaman yang paling berbahaya. Seorang Mukmin harus memperhatikan hal-hal ini, sehingga dia tidak seharusnya pergi lama, dan sekaligus dia tidak mengabaikan kebutuhan yang harus dia penuhi, seperti menuntut ilmu atau mencari nafkah yang halal karena di daerahnya tidak ada tempat menuntut ilmu atau mencari nafkah yang cukup. Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memberi waktu bagi para pasukan selama 6 bulan meninggalkan keluarga mereka. Lalu setelah itu mereka harus pulang, dan diganti oleh pasukan lainnya. Kesimpulannya, hal ini berbeda hukumnya sesuai dengan keadaan dan pribadi masing-masing. Janganlah kamu terlalu lama pergi merantau! Usahakan jangan terlalu lama pergi merantau! Seandainya bisa 2 atau 3 bulan, itu sudah cukup. Karena keadaan berbeda-beda. Bisa jadi istrimu di tempat yang tidak aman baginya. Kamu harus memperhatikan keadaannya dan berusaha menjaga keselamatannya, serta berusaha menjauhkannya dari hal yang ditakutkan, seperti bahaya dalam kehormatan dirinya, dan lain sebagainya. Jadi, perhatikanlah perkara yang dapat menuntaskan tanggung jawabmu dan memberi kebaikan bagi istrimu. Baik itu dari sisi kehormatan diri dan agamanya, atau dari sisi pemenuhan kebutuhannya yang berkaitan dengan makanan, minuman, dan pakaiannya, dll. Kamu lebih mengetahui dan memahami dirimu sendiri, maka usahakanlah apa yang membawa manfaat bagimu dan istrimu, dan yang dapat menuntaskan tanggunganmu, baik itu dari sisi waktu kepergianmu atau dari sisi nafkah. Allaahul Musta’an (hanya kepada Allah aku memohon pertolongan). Allahul Musta’an. Jazakumullahu Khairan. ==== يَقُوْلُ إِنَّ عُمْرَهُ ثَمَانٍ وَعِشْرُونَ سَنَةً وَقَدْ غَابَ عَنْ زَوْجَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ عَامٍ وَنِصْفٍ وَيَسْأَلُ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ؟ هَذَا فِيهِ تَفْصِيلٌ أَمَّا إِذَا كُنْتَ عَاجِزًا وَلَمْ تَسْتَطِعِ الْعَوْدَةَ إِلَيْهَا لِأَنَّكَ مَحْبُوسٌ أَوْ لَمْ تَسْتَطِعْ قِيمَةَ التَّذْكِرَةِ أَوْ قِيمَةَ أُجْرَةِ السَّيَّارَةِ الْمَقْصُودُ لَوْ كُنْتَ عَاجِزًا هَذَا لَا شَيْءَ فِيهِ لِأَنَّكَ عَاجِزٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ أَمَّا إِذَا كُنْتَ غِبْتَ فِي حَاجَاتٍ خَاصَّةٍ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهَا وَتَقُومَ بِحَالِهَا وَتُشْرِفَ عَلَى شُؤُونِهَا ثُمَّ تَرْجِعَ إِلَى عَمَلِكَ بَيْنَ وَقْتٍ وَآخَرَ كَشَهْرَيْنِ ثَلَاثَةٍ أَرْبَعَةٍ هَكَذَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ لَا يُطِيلُ السَّفَرَ عَنْ أَهْلِهِ وَلَا سِيَّمَا فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي هُوَ مِنْ أَخْطَرِ الْعُصُورِ فَالْمُؤْمِنُ يُلَاحِظُ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُطِيلُ السَّفَرَ وَلَا يُهْمِلُ حَاجَتَهُ الَّتِي هُوَ فِي حَاجَةٍ إِلَيْهَا مِثْلُ طَلَبِ الْعِلْمِ مِثْلُ طَلَبِ كَسْبِ الْحَلَالِ لِأَنَّ بَلَدَهُ لَيْسَ فِيهَا حَاجَتُهُ لَيْسَ فِيهَا طَلَبُ الْعِلْمِ لَيْسَ فِيهَا كَسْبٌ يَقُومُ بِحَالِهِ وَجَاءَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ وَقَّتَ لِلْجُنُودِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فِي الْغَيْبَةِ عَنْ أَهْلِيهِمْ ثُمَّ يَرْجِعُونَ وَيَذْهَبُ غَيْرُهُمْ فَالْحَاصِلُ أَنَّ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَبِاخْتِلَافِ نَفْسِ الشَّخْصِ فَأَنْتَ لَا تُطِيْلُ الْغُرْبَةَ احْرِصْ عَلَى عَدَمِ طُولِ الْغُرْبَةِ وَلَوْ شَهْرَيْنِ ثَلَاثَةً يَكْفِي لِأَنَّ الْأَحْوَالَ تَخْتَلِفُ فَقَدْ تَكُونُ زَوْجَتُكَ فِي مَحَلٍّ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا فَأَنْتَ لَاحِظْ حَالَهَا وَلَاحِظْ الْحِرْصَ عَلَى سَلَامَتِهَا وَبُعْدِهَا عَمَّا يُخْشَى مِنْهُ مِنْ خَطَرِ الْعِرْضِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَالْحَاصِلُ أَنْتَ تُلَاحِظُ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْرِئُ ذِمَّتَكَ وَيَنْفَعُ زَوْجَتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ عِرْضِهَا وَدِينِهَا وَلَا مِنْ جِهَةِ حَاجَتِهَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِأَكْلِهَا وَشُرْبِهَا وَكِسْوَتِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ وَأَنْتَ تَعْلَمُ بِنَفْسِكَ وَأَبْصَرُ فَاحْرِصْ عَلَى الشَّيْءِ الَّذِي يَنْفَعُكَ وَيَنْفَعُهَا وَيُبْرِئُ ذِمَّتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ الْمُدَّةِ وَلَا مِنْ جِهَةِ النَّفَقَةِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ جَزَاكُمْ اللَّهُ خَيْرًا
Pertanyaan: Penanya berkata bahwa umurnya sekarang 28 tahun. Dia telah meninggalkan istrinya pergi merantau lebih dari 1,5 tahun. Dia bertanya apakah itu diperbolehkan? Jawaban: Masalah ini ada rinciannya: [PERTAMA]Apabila kamu belum mampu kembali pulang ke istrimu karena kamu tertahan, atau belum mampu membeli tiket atau biaya transportasi. Intinya kamu tidak mampu, maka itu tidak mengapa, karena kamu tidak mampu. “Bertakwalah kepada Allah sesuai kadar kemampuan kalian…” (QS. at-Taghabun: 16). [KEDUA]Sedangkan jika kamu pergi lama untuk urusan pribadi, dan kamu bisa pulang menemuinya, mengatur urusannya dan memenuhi kebutuhannya, lalu kamu kembali ke tempat kerjamu secara berkala, seperti setiap 2, 3, atau 4 bulan sekali, maka inilah yang sebaiknya dilakukan seorang Mukmin; tidak terlalu lama meninggalkan istrinya. Terlebih lagi pada zaman ini, yang merupakan zaman yang paling berbahaya. Seorang Mukmin harus memperhatikan hal-hal ini, sehingga dia tidak seharusnya pergi lama, dan sekaligus dia tidak mengabaikan kebutuhan yang harus dia penuhi, seperti menuntut ilmu atau mencari nafkah yang halal karena di daerahnya tidak ada tempat menuntut ilmu atau mencari nafkah yang cukup. Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memberi waktu bagi para pasukan selama 6 bulan meninggalkan keluarga mereka. Lalu setelah itu mereka harus pulang, dan diganti oleh pasukan lainnya. Kesimpulannya, hal ini berbeda hukumnya sesuai dengan keadaan dan pribadi masing-masing. Janganlah kamu terlalu lama pergi merantau! Usahakan jangan terlalu lama pergi merantau! Seandainya bisa 2 atau 3 bulan, itu sudah cukup. Karena keadaan berbeda-beda. Bisa jadi istrimu di tempat yang tidak aman baginya. Kamu harus memperhatikan keadaannya dan berusaha menjaga keselamatannya, serta berusaha menjauhkannya dari hal yang ditakutkan, seperti bahaya dalam kehormatan dirinya, dan lain sebagainya. Jadi, perhatikanlah perkara yang dapat menuntaskan tanggung jawabmu dan memberi kebaikan bagi istrimu. Baik itu dari sisi kehormatan diri dan agamanya, atau dari sisi pemenuhan kebutuhannya yang berkaitan dengan makanan, minuman, dan pakaiannya, dll. Kamu lebih mengetahui dan memahami dirimu sendiri, maka usahakanlah apa yang membawa manfaat bagimu dan istrimu, dan yang dapat menuntaskan tanggunganmu, baik itu dari sisi waktu kepergianmu atau dari sisi nafkah. Allaahul Musta’an (hanya kepada Allah aku memohon pertolongan). Allahul Musta’an. Jazakumullahu Khairan. ==== يَقُوْلُ إِنَّ عُمْرَهُ ثَمَانٍ وَعِشْرُونَ سَنَةً وَقَدْ غَابَ عَنْ زَوْجَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ عَامٍ وَنِصْفٍ وَيَسْأَلُ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ؟ هَذَا فِيهِ تَفْصِيلٌ أَمَّا إِذَا كُنْتَ عَاجِزًا وَلَمْ تَسْتَطِعِ الْعَوْدَةَ إِلَيْهَا لِأَنَّكَ مَحْبُوسٌ أَوْ لَمْ تَسْتَطِعْ قِيمَةَ التَّذْكِرَةِ أَوْ قِيمَةَ أُجْرَةِ السَّيَّارَةِ الْمَقْصُودُ لَوْ كُنْتَ عَاجِزًا هَذَا لَا شَيْءَ فِيهِ لِأَنَّكَ عَاجِزٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ أَمَّا إِذَا كُنْتَ غِبْتَ فِي حَاجَاتٍ خَاصَّةٍ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهَا وَتَقُومَ بِحَالِهَا وَتُشْرِفَ عَلَى شُؤُونِهَا ثُمَّ تَرْجِعَ إِلَى عَمَلِكَ بَيْنَ وَقْتٍ وَآخَرَ كَشَهْرَيْنِ ثَلَاثَةٍ أَرْبَعَةٍ هَكَذَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ لَا يُطِيلُ السَّفَرَ عَنْ أَهْلِهِ وَلَا سِيَّمَا فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي هُوَ مِنْ أَخْطَرِ الْعُصُورِ فَالْمُؤْمِنُ يُلَاحِظُ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُطِيلُ السَّفَرَ وَلَا يُهْمِلُ حَاجَتَهُ الَّتِي هُوَ فِي حَاجَةٍ إِلَيْهَا مِثْلُ طَلَبِ الْعِلْمِ مِثْلُ طَلَبِ كَسْبِ الْحَلَالِ لِأَنَّ بَلَدَهُ لَيْسَ فِيهَا حَاجَتُهُ لَيْسَ فِيهَا طَلَبُ الْعِلْمِ لَيْسَ فِيهَا كَسْبٌ يَقُومُ بِحَالِهِ وَجَاءَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ وَقَّتَ لِلْجُنُودِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فِي الْغَيْبَةِ عَنْ أَهْلِيهِمْ ثُمَّ يَرْجِعُونَ وَيَذْهَبُ غَيْرُهُمْ فَالْحَاصِلُ أَنَّ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَبِاخْتِلَافِ نَفْسِ الشَّخْصِ فَأَنْتَ لَا تُطِيْلُ الْغُرْبَةَ احْرِصْ عَلَى عَدَمِ طُولِ الْغُرْبَةِ وَلَوْ شَهْرَيْنِ ثَلَاثَةً يَكْفِي لِأَنَّ الْأَحْوَالَ تَخْتَلِفُ فَقَدْ تَكُونُ زَوْجَتُكَ فِي مَحَلٍّ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا فَأَنْتَ لَاحِظْ حَالَهَا وَلَاحِظْ الْحِرْصَ عَلَى سَلَامَتِهَا وَبُعْدِهَا عَمَّا يُخْشَى مِنْهُ مِنْ خَطَرِ الْعِرْضِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَالْحَاصِلُ أَنْتَ تُلَاحِظُ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْرِئُ ذِمَّتَكَ وَيَنْفَعُ زَوْجَتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ عِرْضِهَا وَدِينِهَا وَلَا مِنْ جِهَةِ حَاجَتِهَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِأَكْلِهَا وَشُرْبِهَا وَكِسْوَتِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ وَأَنْتَ تَعْلَمُ بِنَفْسِكَ وَأَبْصَرُ فَاحْرِصْ عَلَى الشَّيْءِ الَّذِي يَنْفَعُكَ وَيَنْفَعُهَا وَيُبْرِئُ ذِمَّتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ الْمُدَّةِ وَلَا مِنْ جِهَةِ النَّفَقَةِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ جَزَاكُمْ اللَّهُ خَيْرًا


Pertanyaan: Penanya berkata bahwa umurnya sekarang 28 tahun. Dia telah meninggalkan istrinya pergi merantau lebih dari 1,5 tahun. Dia bertanya apakah itu diperbolehkan? Jawaban: Masalah ini ada rinciannya: [PERTAMA]Apabila kamu belum mampu kembali pulang ke istrimu karena kamu tertahan, atau belum mampu membeli tiket atau biaya transportasi. Intinya kamu tidak mampu, maka itu tidak mengapa, karena kamu tidak mampu. “Bertakwalah kepada Allah sesuai kadar kemampuan kalian…” (QS. at-Taghabun: 16). [KEDUA]Sedangkan jika kamu pergi lama untuk urusan pribadi, dan kamu bisa pulang menemuinya, mengatur urusannya dan memenuhi kebutuhannya, lalu kamu kembali ke tempat kerjamu secara berkala, seperti setiap 2, 3, atau 4 bulan sekali, maka inilah yang sebaiknya dilakukan seorang Mukmin; tidak terlalu lama meninggalkan istrinya. Terlebih lagi pada zaman ini, yang merupakan zaman yang paling berbahaya. Seorang Mukmin harus memperhatikan hal-hal ini, sehingga dia tidak seharusnya pergi lama, dan sekaligus dia tidak mengabaikan kebutuhan yang harus dia penuhi, seperti menuntut ilmu atau mencari nafkah yang halal karena di daerahnya tidak ada tempat menuntut ilmu atau mencari nafkah yang cukup. Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memberi waktu bagi para pasukan selama 6 bulan meninggalkan keluarga mereka. Lalu setelah itu mereka harus pulang, dan diganti oleh pasukan lainnya. Kesimpulannya, hal ini berbeda hukumnya sesuai dengan keadaan dan pribadi masing-masing. Janganlah kamu terlalu lama pergi merantau! Usahakan jangan terlalu lama pergi merantau! Seandainya bisa 2 atau 3 bulan, itu sudah cukup. Karena keadaan berbeda-beda. Bisa jadi istrimu di tempat yang tidak aman baginya. Kamu harus memperhatikan keadaannya dan berusaha menjaga keselamatannya, serta berusaha menjauhkannya dari hal yang ditakutkan, seperti bahaya dalam kehormatan dirinya, dan lain sebagainya. Jadi, perhatikanlah perkara yang dapat menuntaskan tanggung jawabmu dan memberi kebaikan bagi istrimu. Baik itu dari sisi kehormatan diri dan agamanya, atau dari sisi pemenuhan kebutuhannya yang berkaitan dengan makanan, minuman, dan pakaiannya, dll. Kamu lebih mengetahui dan memahami dirimu sendiri, maka usahakanlah apa yang membawa manfaat bagimu dan istrimu, dan yang dapat menuntaskan tanggunganmu, baik itu dari sisi waktu kepergianmu atau dari sisi nafkah. Allaahul Musta’an (hanya kepada Allah aku memohon pertolongan). Allahul Musta’an. Jazakumullahu Khairan. ==== يَقُوْلُ إِنَّ عُمْرَهُ ثَمَانٍ وَعِشْرُونَ سَنَةً وَقَدْ غَابَ عَنْ زَوْجَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ عَامٍ وَنِصْفٍ وَيَسْأَلُ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ؟ هَذَا فِيهِ تَفْصِيلٌ أَمَّا إِذَا كُنْتَ عَاجِزًا وَلَمْ تَسْتَطِعِ الْعَوْدَةَ إِلَيْهَا لِأَنَّكَ مَحْبُوسٌ أَوْ لَمْ تَسْتَطِعْ قِيمَةَ التَّذْكِرَةِ أَوْ قِيمَةَ أُجْرَةِ السَّيَّارَةِ الْمَقْصُودُ لَوْ كُنْتَ عَاجِزًا هَذَا لَا شَيْءَ فِيهِ لِأَنَّكَ عَاجِزٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ أَمَّا إِذَا كُنْتَ غِبْتَ فِي حَاجَاتٍ خَاصَّةٍ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهَا وَتَقُومَ بِحَالِهَا وَتُشْرِفَ عَلَى شُؤُونِهَا ثُمَّ تَرْجِعَ إِلَى عَمَلِكَ بَيْنَ وَقْتٍ وَآخَرَ كَشَهْرَيْنِ ثَلَاثَةٍ أَرْبَعَةٍ هَكَذَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ لَا يُطِيلُ السَّفَرَ عَنْ أَهْلِهِ وَلَا سِيَّمَا فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي هُوَ مِنْ أَخْطَرِ الْعُصُورِ فَالْمُؤْمِنُ يُلَاحِظُ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُطِيلُ السَّفَرَ وَلَا يُهْمِلُ حَاجَتَهُ الَّتِي هُوَ فِي حَاجَةٍ إِلَيْهَا مِثْلُ طَلَبِ الْعِلْمِ مِثْلُ طَلَبِ كَسْبِ الْحَلَالِ لِأَنَّ بَلَدَهُ لَيْسَ فِيهَا حَاجَتُهُ لَيْسَ فِيهَا طَلَبُ الْعِلْمِ لَيْسَ فِيهَا كَسْبٌ يَقُومُ بِحَالِهِ وَجَاءَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ وَقَّتَ لِلْجُنُودِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فِي الْغَيْبَةِ عَنْ أَهْلِيهِمْ ثُمَّ يَرْجِعُونَ وَيَذْهَبُ غَيْرُهُمْ فَالْحَاصِلُ أَنَّ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَبِاخْتِلَافِ نَفْسِ الشَّخْصِ فَأَنْتَ لَا تُطِيْلُ الْغُرْبَةَ احْرِصْ عَلَى عَدَمِ طُولِ الْغُرْبَةِ وَلَوْ شَهْرَيْنِ ثَلَاثَةً يَكْفِي لِأَنَّ الْأَحْوَالَ تَخْتَلِفُ فَقَدْ تَكُونُ زَوْجَتُكَ فِي مَحَلٍّ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا فَأَنْتَ لَاحِظْ حَالَهَا وَلَاحِظْ الْحِرْصَ عَلَى سَلَامَتِهَا وَبُعْدِهَا عَمَّا يُخْشَى مِنْهُ مِنْ خَطَرِ الْعِرْضِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَالْحَاصِلُ أَنْتَ تُلَاحِظُ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْرِئُ ذِمَّتَكَ وَيَنْفَعُ زَوْجَتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ عِرْضِهَا وَدِينِهَا وَلَا مِنْ جِهَةِ حَاجَتِهَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِأَكْلِهَا وَشُرْبِهَا وَكِسْوَتِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ وَأَنْتَ تَعْلَمُ بِنَفْسِكَ وَأَبْصَرُ فَاحْرِصْ عَلَى الشَّيْءِ الَّذِي يَنْفَعُكَ وَيَنْفَعُهَا وَيُبْرِئُ ذِمَّتَكَ لَا مِنْ جِهَةِ الْمُدَّةِ وَلَا مِنْ جِهَةِ النَّفَقَةِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ جَزَاكُمْ اللَّهُ خَيْرًا

Keajaiban Ayat Kursi: Pelajaran dari Kisah Abu Hurairah dan Setan

Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi

Keajaiban Ayat Kursi: Pelajaran dari Kisah Abu Hurairah dan Setan

Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi
Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi


Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi

Mengenal Nama Allah “Al-Mannan”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.

Mengenal Nama Allah “Al-Mannan”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.
Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.


Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.

Dengarkan Nasihat Ini Wahai Pemuda yang Baik – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ

Dengarkan Nasihat Ini Wahai Pemuda yang Baik – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ
Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ


Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah
Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah


Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Ketika Maksiat Menggodamu, Ucapkan Doa Nabi Yusuf Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Ketika Maksiat Menggodamu, Ucapkan Doa Nabi Yusuf Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat

Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.

Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat

Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.
Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.


Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.

Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.
Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.


Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan?

Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan?

Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Hadis: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Inilah 2 Orang: Satu Paling Dibenci & Satunya Paling Dicintai Allah – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ

Inilah 2 Orang: Satu Paling Dibenci & Satunya Paling Dicintai Allah – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ


Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ

Fikih Salat Sunah setelah Wudu

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.

Fikih Salat Sunah setelah Wudu

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.
Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.


Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.
Prev     Next