Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 2): Mempersiapkan Diri Apabila Perselisihan Tak Berakhir

Daftar Isi ToggleBekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehBeramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahMengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanPerselisihan pasti akan tumbuh subur di akhir zaman ini. Sebab semua orang semakin mudah untuk mengutarakan isi pikirannya. Tak sulit bagi kita untuk menemukan perdebatan di media sosial. Berbagai perkara bisa menjadi tema perdebatan. Bahkan seringnya, perdebatan itu tiada manfaat dan tiada ujungnya. Oleh sebab itu, di dunia yang penuh perselisihan ini, seseorang hendaknya senantiasa berbekal untuk menghadapinya.Setelah berusaha berdialog tatkala terjadi perselisihan, sebagaimana asas pertama sebelumnya, tak semuanya berakhir pada resolusi atau kesimpulan yang melapangkan kedua belah pihak. Jika keduanya tetap bertahan dengan argumennya masing-masing, lalu berlapang dada, maka ini adalah bagian dari kebaikan. Namun, tak dapat dielakkan keadaan di mana salah satu pihak masih tetap kukuh dengan pendapatnya yang mungkin terkadang dianggap lemah. Lalu, apa langkah selanjutnya?Langkah selanjutnya adalah menyiapkan diri untuk menerima keadaan yang tak ideal itu dengan ibadah dan meningkatkan ketakwaan pada Allah ﷻ. Bagi seseorang yang sudah berusaha merendahkan hati dan melapangkan dadanya untuk memulai berdialog, sangat berat rasanya jika pihak yang diajak berdialog tidak mau inshaf atau rujuk kepada pendapat yang benar. Apalagi bagi seorang yang telah berdialog dengan hujjah ilmiah, sementara orang yang diajaknya justru menggunakan argumentasi yang lemah atau menyerang pribadi (ad hominem), maka wajar sekali seorang dapat terpancing emosinya. Maka, dalam keadaan inilah seseorang sangat butuh terhadap bekal yang melapangkan dadanya.Bekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehSyekh Saad As-Syal hafizhahullah mengatakan bekal utama yang melapangkan dada adalah dengan pondasi iman, amal saleh, dan tazkiyatun nafs. Kesemua itu akan melahirkan kesabaran, sifat pemaaf, dan toleransi. Beliau hafizhahullah mengatakan,فإنه لا ينتظر الأدب عموماً، ولا أدب الخلاف خصوصاً إلا ممن زكت نفسه بالإيمان وعمل الصالحات، وتربت على الصبر والعفو والتسامح.“Sesungguhnya adab secara umum, dan adab dalam perbedaan pendapat secara khusus, tidaklah diharapkan muncul kecuali dari orang yang jiwanya telah disucikan dengan iman dan amal saleh, serta telah dididik dengan kesabaran, pemaafan, dan sikap toleran.” (Adabul Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 125)Maka, rumusan bagi seorang yang matang dalam menghadapi perselisihan menurut beliau adalah dengan mensucikan jiwa melalui amal saleh. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an bertemakan talak yang membahas tentang perselisihan sengit di antara dua pihak, Allah ﷻ senantiasa mewasiatkan untuk menjaga amal saleh. Setelah panjang lebar menjelaskan syariat talak, Allah ﷻ berfirman,حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ “Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)Al-Alusi memberikan tafsiran,ولَعَلَّ الأمْرَ بِها عَقِيبَ الحَضِّ عَلى العَفْوِ والنَّهْيِ عَنْ تَرْكِ الفَضْلِ؛ لِأنَّها تُهَيِّئُ النَّفْسَ لِفَواضِلِ المَلَكاتِ لِكَوْنِها النّاهِيَةَ عَنِ الفَحْشاءِ والمُنْكَر“Perintah untuk salat setelah anjuran untuk memaafkan dan larangan meninggalkan kebaikan, mungkin karena salat dapat mempersiapkan jiwa untuk memiliki akhlak yang mulia, sebab salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Ruhul Maani diakses via Al-Bahits Al-Qur’ani)Sehingga seorang muslim dalam setiap perselisihan, Allah ﷻ perintahkan untuk menggandengnya dengan amal ibadah. Semua ini dilakukan sembari menghadirkan sebab dengan berdialog, lalu bertawakal kepada Allah ﷻ dengan beramal saleh.Beramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahKetahuilah, banyak perselisihan itu selesai tanpa dipahami dengan sempurna bagaimana caranya bisa terjadi. Maka, inilah yang disebut dengan keberuntungan. Mungkin kita bisa melihat atau menemukan penjelasannya, tetapi sulit untuk menerangkannya. Dan keberuntungan selalu berada pada orang yang saleh. Allah ﷻ berfirman,فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِيْنُ“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. al-Jatsiyah: 30)Allah ﷻ dengan jelas berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)Maka, keberuntungan apalagi yang lebih besar daripada keberuntungan yang dijanjikan Allah ﷻ kepada hamba-Nya? Keberuntungan yang Allah ﷻ janjikan pun tak hanya dalam satu bentuk, tetapi hadir dalam berbagai rupa. Salah satunya adalah kelapangan hati yang ditanamkan kepada seorang mukmin.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 277)Mengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Hal ini disebabkan paradigma yang telah Allah ﷻ luruskan pada diri seseorang yang mengikuti manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih. Paradigma itu adalah bahwasanya seseorang memang tidak bisa dipaksa untuk menerima argumentasi yang kita berikan. Jika argumentasi atau hidayah irsyad wal bayan saja tak mesti diterima, apalagi hidayah taufiq, hanya Allah ﷻ yang mampu melakukannya.Allah ﷻ berfirman,۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ“Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, (manfaatnya) untuk dirimu (sendiri). Kamu (orang-orang mukmin) tidak berinfak, kecuali karena mencari rida Allah. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 272)Maka, lakukanlah penyiapan diri agar tidak kecewa dengan kemungkinan realita itu. Allah ﷻ tidak hanya mewasiatkan ini kepada level mukmin. Namun, Allah ﷻ menjadikan wasiat ini kepada sosok selevel Nabi Nuh ‘alaihissalam.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَاُوْحِيَ اِلٰى نُوْحٍ اَنَّهٗ لَنْ يُّؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ اِلَّا مَنْ قَدْ اٰمَنَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَۖ  “Diwahyukan (oleh Allah) kepada Nuh, “(Ketahuilah) bahwa tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar telah beriman. Maka, janganlah engkau bersedih atas apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. Hūd: 36)Allah ﷻ menguatkan seorang Nabi Nuh ‘alaihissalam, pendakwah tauhid yang pertama kali berhadapan dengan kesyirikan. Beratus tahun berdakwah, ujiannya luar biasa, sampai mendapat gelar Ulul Azmi, tetapi Allah ﷻ tetap wasiatkan untuk jangan bersedih. Inilah sebuah pengingat bagi kita, bahwa dakwah tak pasti diterima, sedangkan perselisihan mudah sekali terjadi. Maka, bekalilah diri dengan iman dan amal saleh, agar tumbuh hati yang bersih dan jiwa yang sabar.Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanBahkan, mendekatkan diri kepada-Nya dan memperbanyak ibadah adalah perintah Allah ﷻ secara khusus tatkala terjadi perselisihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَۙ (98) وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْن“Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, jadilah engkau termasuk orang-orang yang sujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kepastian (kematian).” (QS. Al-Ḥijr: 97-99)Dalam ayat lain juga Allah ﷻ berfirman,وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. At-Tahrim: 2)Allah ﷻ menjadikan solusi ada pada peningkatan ibadah tersebut. Sehingga bisa dimaknai bahwa solusi itu adalah ibadah itu sendiri, baik ia berbuahkan jalan keluar atau ialah jalan keluar itu sendiri, yakni kelapangan hati. Karena dalam konteks surah Al-Hijr, Allah ﷻ perintahkan hamba-Nya untuk beribadah sampai wafat. Tanda bahwa masalah selalu ada dan solusinya selalu bersenyawa dengan ibadah itu sendiri. Sedangkan dalam konteks surah At-Tahrim, Allah ﷻ narasikan ketakwaan sebagai induk yang berbuahkan solusi.Inilah yang diteladankan Nabi ﷺ dan para salaf yang saleh terdahulu. Tatkala Nabi ﷺ ada masalah, beliau langsung mendirikan salat. Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ meminta Bilal untuk mengistirahatkan kaum muslimin dengan ikamah shalat. Bahkan dari lisannya yang mulia, beliau memotivasi kita,عبادة في الهرج والفتنة كهجرة إلي“Ibadah saat huru-hara dan fitnah, pahalanya laksana hijrah kepadaku.”Oleh karena itu, ambillah manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih, yakni mensucikan jiwa dengan menguatkan iman dan amal saleh. Raihlah pahala hijrah di tengah perselisihan yang terjadi saat ini. Jadilah orang yang beruntung sebab meniti jalan Nabi ﷺ, bukan menjadi orang yang bangkrut karena sibuk ghibah dan fitnah terbawa arus perselisihan di kalangan kita.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneRuhul Maani via Al-Bahits Al-Qur’ani

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 2): Mempersiapkan Diri Apabila Perselisihan Tak Berakhir

Daftar Isi ToggleBekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehBeramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahMengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanPerselisihan pasti akan tumbuh subur di akhir zaman ini. Sebab semua orang semakin mudah untuk mengutarakan isi pikirannya. Tak sulit bagi kita untuk menemukan perdebatan di media sosial. Berbagai perkara bisa menjadi tema perdebatan. Bahkan seringnya, perdebatan itu tiada manfaat dan tiada ujungnya. Oleh sebab itu, di dunia yang penuh perselisihan ini, seseorang hendaknya senantiasa berbekal untuk menghadapinya.Setelah berusaha berdialog tatkala terjadi perselisihan, sebagaimana asas pertama sebelumnya, tak semuanya berakhir pada resolusi atau kesimpulan yang melapangkan kedua belah pihak. Jika keduanya tetap bertahan dengan argumennya masing-masing, lalu berlapang dada, maka ini adalah bagian dari kebaikan. Namun, tak dapat dielakkan keadaan di mana salah satu pihak masih tetap kukuh dengan pendapatnya yang mungkin terkadang dianggap lemah. Lalu, apa langkah selanjutnya?Langkah selanjutnya adalah menyiapkan diri untuk menerima keadaan yang tak ideal itu dengan ibadah dan meningkatkan ketakwaan pada Allah ﷻ. Bagi seseorang yang sudah berusaha merendahkan hati dan melapangkan dadanya untuk memulai berdialog, sangat berat rasanya jika pihak yang diajak berdialog tidak mau inshaf atau rujuk kepada pendapat yang benar. Apalagi bagi seorang yang telah berdialog dengan hujjah ilmiah, sementara orang yang diajaknya justru menggunakan argumentasi yang lemah atau menyerang pribadi (ad hominem), maka wajar sekali seorang dapat terpancing emosinya. Maka, dalam keadaan inilah seseorang sangat butuh terhadap bekal yang melapangkan dadanya.Bekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehSyekh Saad As-Syal hafizhahullah mengatakan bekal utama yang melapangkan dada adalah dengan pondasi iman, amal saleh, dan tazkiyatun nafs. Kesemua itu akan melahirkan kesabaran, sifat pemaaf, dan toleransi. Beliau hafizhahullah mengatakan,فإنه لا ينتظر الأدب عموماً، ولا أدب الخلاف خصوصاً إلا ممن زكت نفسه بالإيمان وعمل الصالحات، وتربت على الصبر والعفو والتسامح.“Sesungguhnya adab secara umum, dan adab dalam perbedaan pendapat secara khusus, tidaklah diharapkan muncul kecuali dari orang yang jiwanya telah disucikan dengan iman dan amal saleh, serta telah dididik dengan kesabaran, pemaafan, dan sikap toleran.” (Adabul Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 125)Maka, rumusan bagi seorang yang matang dalam menghadapi perselisihan menurut beliau adalah dengan mensucikan jiwa melalui amal saleh. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an bertemakan talak yang membahas tentang perselisihan sengit di antara dua pihak, Allah ﷻ senantiasa mewasiatkan untuk menjaga amal saleh. Setelah panjang lebar menjelaskan syariat talak, Allah ﷻ berfirman,حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ “Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)Al-Alusi memberikan tafsiran,ولَعَلَّ الأمْرَ بِها عَقِيبَ الحَضِّ عَلى العَفْوِ والنَّهْيِ عَنْ تَرْكِ الفَضْلِ؛ لِأنَّها تُهَيِّئُ النَّفْسَ لِفَواضِلِ المَلَكاتِ لِكَوْنِها النّاهِيَةَ عَنِ الفَحْشاءِ والمُنْكَر“Perintah untuk salat setelah anjuran untuk memaafkan dan larangan meninggalkan kebaikan, mungkin karena salat dapat mempersiapkan jiwa untuk memiliki akhlak yang mulia, sebab salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Ruhul Maani diakses via Al-Bahits Al-Qur’ani)Sehingga seorang muslim dalam setiap perselisihan, Allah ﷻ perintahkan untuk menggandengnya dengan amal ibadah. Semua ini dilakukan sembari menghadirkan sebab dengan berdialog, lalu bertawakal kepada Allah ﷻ dengan beramal saleh.Beramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahKetahuilah, banyak perselisihan itu selesai tanpa dipahami dengan sempurna bagaimana caranya bisa terjadi. Maka, inilah yang disebut dengan keberuntungan. Mungkin kita bisa melihat atau menemukan penjelasannya, tetapi sulit untuk menerangkannya. Dan keberuntungan selalu berada pada orang yang saleh. Allah ﷻ berfirman,فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِيْنُ“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. al-Jatsiyah: 30)Allah ﷻ dengan jelas berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)Maka, keberuntungan apalagi yang lebih besar daripada keberuntungan yang dijanjikan Allah ﷻ kepada hamba-Nya? Keberuntungan yang Allah ﷻ janjikan pun tak hanya dalam satu bentuk, tetapi hadir dalam berbagai rupa. Salah satunya adalah kelapangan hati yang ditanamkan kepada seorang mukmin.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 277)Mengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Hal ini disebabkan paradigma yang telah Allah ﷻ luruskan pada diri seseorang yang mengikuti manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih. Paradigma itu adalah bahwasanya seseorang memang tidak bisa dipaksa untuk menerima argumentasi yang kita berikan. Jika argumentasi atau hidayah irsyad wal bayan saja tak mesti diterima, apalagi hidayah taufiq, hanya Allah ﷻ yang mampu melakukannya.Allah ﷻ berfirman,۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ“Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, (manfaatnya) untuk dirimu (sendiri). Kamu (orang-orang mukmin) tidak berinfak, kecuali karena mencari rida Allah. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 272)Maka, lakukanlah penyiapan diri agar tidak kecewa dengan kemungkinan realita itu. Allah ﷻ tidak hanya mewasiatkan ini kepada level mukmin. Namun, Allah ﷻ menjadikan wasiat ini kepada sosok selevel Nabi Nuh ‘alaihissalam.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَاُوْحِيَ اِلٰى نُوْحٍ اَنَّهٗ لَنْ يُّؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ اِلَّا مَنْ قَدْ اٰمَنَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَۖ  “Diwahyukan (oleh Allah) kepada Nuh, “(Ketahuilah) bahwa tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar telah beriman. Maka, janganlah engkau bersedih atas apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. Hūd: 36)Allah ﷻ menguatkan seorang Nabi Nuh ‘alaihissalam, pendakwah tauhid yang pertama kali berhadapan dengan kesyirikan. Beratus tahun berdakwah, ujiannya luar biasa, sampai mendapat gelar Ulul Azmi, tetapi Allah ﷻ tetap wasiatkan untuk jangan bersedih. Inilah sebuah pengingat bagi kita, bahwa dakwah tak pasti diterima, sedangkan perselisihan mudah sekali terjadi. Maka, bekalilah diri dengan iman dan amal saleh, agar tumbuh hati yang bersih dan jiwa yang sabar.Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanBahkan, mendekatkan diri kepada-Nya dan memperbanyak ibadah adalah perintah Allah ﷻ secara khusus tatkala terjadi perselisihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَۙ (98) وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْن“Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, jadilah engkau termasuk orang-orang yang sujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kepastian (kematian).” (QS. Al-Ḥijr: 97-99)Dalam ayat lain juga Allah ﷻ berfirman,وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. At-Tahrim: 2)Allah ﷻ menjadikan solusi ada pada peningkatan ibadah tersebut. Sehingga bisa dimaknai bahwa solusi itu adalah ibadah itu sendiri, baik ia berbuahkan jalan keluar atau ialah jalan keluar itu sendiri, yakni kelapangan hati. Karena dalam konteks surah Al-Hijr, Allah ﷻ perintahkan hamba-Nya untuk beribadah sampai wafat. Tanda bahwa masalah selalu ada dan solusinya selalu bersenyawa dengan ibadah itu sendiri. Sedangkan dalam konteks surah At-Tahrim, Allah ﷻ narasikan ketakwaan sebagai induk yang berbuahkan solusi.Inilah yang diteladankan Nabi ﷺ dan para salaf yang saleh terdahulu. Tatkala Nabi ﷺ ada masalah, beliau langsung mendirikan salat. Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ meminta Bilal untuk mengistirahatkan kaum muslimin dengan ikamah shalat. Bahkan dari lisannya yang mulia, beliau memotivasi kita,عبادة في الهرج والفتنة كهجرة إلي“Ibadah saat huru-hara dan fitnah, pahalanya laksana hijrah kepadaku.”Oleh karena itu, ambillah manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih, yakni mensucikan jiwa dengan menguatkan iman dan amal saleh. Raihlah pahala hijrah di tengah perselisihan yang terjadi saat ini. Jadilah orang yang beruntung sebab meniti jalan Nabi ﷺ, bukan menjadi orang yang bangkrut karena sibuk ghibah dan fitnah terbawa arus perselisihan di kalangan kita.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneRuhul Maani via Al-Bahits Al-Qur’ani
Daftar Isi ToggleBekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehBeramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahMengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanPerselisihan pasti akan tumbuh subur di akhir zaman ini. Sebab semua orang semakin mudah untuk mengutarakan isi pikirannya. Tak sulit bagi kita untuk menemukan perdebatan di media sosial. Berbagai perkara bisa menjadi tema perdebatan. Bahkan seringnya, perdebatan itu tiada manfaat dan tiada ujungnya. Oleh sebab itu, di dunia yang penuh perselisihan ini, seseorang hendaknya senantiasa berbekal untuk menghadapinya.Setelah berusaha berdialog tatkala terjadi perselisihan, sebagaimana asas pertama sebelumnya, tak semuanya berakhir pada resolusi atau kesimpulan yang melapangkan kedua belah pihak. Jika keduanya tetap bertahan dengan argumennya masing-masing, lalu berlapang dada, maka ini adalah bagian dari kebaikan. Namun, tak dapat dielakkan keadaan di mana salah satu pihak masih tetap kukuh dengan pendapatnya yang mungkin terkadang dianggap lemah. Lalu, apa langkah selanjutnya?Langkah selanjutnya adalah menyiapkan diri untuk menerima keadaan yang tak ideal itu dengan ibadah dan meningkatkan ketakwaan pada Allah ﷻ. Bagi seseorang yang sudah berusaha merendahkan hati dan melapangkan dadanya untuk memulai berdialog, sangat berat rasanya jika pihak yang diajak berdialog tidak mau inshaf atau rujuk kepada pendapat yang benar. Apalagi bagi seorang yang telah berdialog dengan hujjah ilmiah, sementara orang yang diajaknya justru menggunakan argumentasi yang lemah atau menyerang pribadi (ad hominem), maka wajar sekali seorang dapat terpancing emosinya. Maka, dalam keadaan inilah seseorang sangat butuh terhadap bekal yang melapangkan dadanya.Bekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehSyekh Saad As-Syal hafizhahullah mengatakan bekal utama yang melapangkan dada adalah dengan pondasi iman, amal saleh, dan tazkiyatun nafs. Kesemua itu akan melahirkan kesabaran, sifat pemaaf, dan toleransi. Beliau hafizhahullah mengatakan,فإنه لا ينتظر الأدب عموماً، ولا أدب الخلاف خصوصاً إلا ممن زكت نفسه بالإيمان وعمل الصالحات، وتربت على الصبر والعفو والتسامح.“Sesungguhnya adab secara umum, dan adab dalam perbedaan pendapat secara khusus, tidaklah diharapkan muncul kecuali dari orang yang jiwanya telah disucikan dengan iman dan amal saleh, serta telah dididik dengan kesabaran, pemaafan, dan sikap toleran.” (Adabul Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 125)Maka, rumusan bagi seorang yang matang dalam menghadapi perselisihan menurut beliau adalah dengan mensucikan jiwa melalui amal saleh. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an bertemakan talak yang membahas tentang perselisihan sengit di antara dua pihak, Allah ﷻ senantiasa mewasiatkan untuk menjaga amal saleh. Setelah panjang lebar menjelaskan syariat talak, Allah ﷻ berfirman,حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ “Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)Al-Alusi memberikan tafsiran,ولَعَلَّ الأمْرَ بِها عَقِيبَ الحَضِّ عَلى العَفْوِ والنَّهْيِ عَنْ تَرْكِ الفَضْلِ؛ لِأنَّها تُهَيِّئُ النَّفْسَ لِفَواضِلِ المَلَكاتِ لِكَوْنِها النّاهِيَةَ عَنِ الفَحْشاءِ والمُنْكَر“Perintah untuk salat setelah anjuran untuk memaafkan dan larangan meninggalkan kebaikan, mungkin karena salat dapat mempersiapkan jiwa untuk memiliki akhlak yang mulia, sebab salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Ruhul Maani diakses via Al-Bahits Al-Qur’ani)Sehingga seorang muslim dalam setiap perselisihan, Allah ﷻ perintahkan untuk menggandengnya dengan amal ibadah. Semua ini dilakukan sembari menghadirkan sebab dengan berdialog, lalu bertawakal kepada Allah ﷻ dengan beramal saleh.Beramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahKetahuilah, banyak perselisihan itu selesai tanpa dipahami dengan sempurna bagaimana caranya bisa terjadi. Maka, inilah yang disebut dengan keberuntungan. Mungkin kita bisa melihat atau menemukan penjelasannya, tetapi sulit untuk menerangkannya. Dan keberuntungan selalu berada pada orang yang saleh. Allah ﷻ berfirman,فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِيْنُ“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. al-Jatsiyah: 30)Allah ﷻ dengan jelas berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)Maka, keberuntungan apalagi yang lebih besar daripada keberuntungan yang dijanjikan Allah ﷻ kepada hamba-Nya? Keberuntungan yang Allah ﷻ janjikan pun tak hanya dalam satu bentuk, tetapi hadir dalam berbagai rupa. Salah satunya adalah kelapangan hati yang ditanamkan kepada seorang mukmin.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 277)Mengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Hal ini disebabkan paradigma yang telah Allah ﷻ luruskan pada diri seseorang yang mengikuti manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih. Paradigma itu adalah bahwasanya seseorang memang tidak bisa dipaksa untuk menerima argumentasi yang kita berikan. Jika argumentasi atau hidayah irsyad wal bayan saja tak mesti diterima, apalagi hidayah taufiq, hanya Allah ﷻ yang mampu melakukannya.Allah ﷻ berfirman,۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ“Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, (manfaatnya) untuk dirimu (sendiri). Kamu (orang-orang mukmin) tidak berinfak, kecuali karena mencari rida Allah. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 272)Maka, lakukanlah penyiapan diri agar tidak kecewa dengan kemungkinan realita itu. Allah ﷻ tidak hanya mewasiatkan ini kepada level mukmin. Namun, Allah ﷻ menjadikan wasiat ini kepada sosok selevel Nabi Nuh ‘alaihissalam.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَاُوْحِيَ اِلٰى نُوْحٍ اَنَّهٗ لَنْ يُّؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ اِلَّا مَنْ قَدْ اٰمَنَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَۖ  “Diwahyukan (oleh Allah) kepada Nuh, “(Ketahuilah) bahwa tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar telah beriman. Maka, janganlah engkau bersedih atas apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. Hūd: 36)Allah ﷻ menguatkan seorang Nabi Nuh ‘alaihissalam, pendakwah tauhid yang pertama kali berhadapan dengan kesyirikan. Beratus tahun berdakwah, ujiannya luar biasa, sampai mendapat gelar Ulul Azmi, tetapi Allah ﷻ tetap wasiatkan untuk jangan bersedih. Inilah sebuah pengingat bagi kita, bahwa dakwah tak pasti diterima, sedangkan perselisihan mudah sekali terjadi. Maka, bekalilah diri dengan iman dan amal saleh, agar tumbuh hati yang bersih dan jiwa yang sabar.Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanBahkan, mendekatkan diri kepada-Nya dan memperbanyak ibadah adalah perintah Allah ﷻ secara khusus tatkala terjadi perselisihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَۙ (98) وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْن“Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, jadilah engkau termasuk orang-orang yang sujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kepastian (kematian).” (QS. Al-Ḥijr: 97-99)Dalam ayat lain juga Allah ﷻ berfirman,وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. At-Tahrim: 2)Allah ﷻ menjadikan solusi ada pada peningkatan ibadah tersebut. Sehingga bisa dimaknai bahwa solusi itu adalah ibadah itu sendiri, baik ia berbuahkan jalan keluar atau ialah jalan keluar itu sendiri, yakni kelapangan hati. Karena dalam konteks surah Al-Hijr, Allah ﷻ perintahkan hamba-Nya untuk beribadah sampai wafat. Tanda bahwa masalah selalu ada dan solusinya selalu bersenyawa dengan ibadah itu sendiri. Sedangkan dalam konteks surah At-Tahrim, Allah ﷻ narasikan ketakwaan sebagai induk yang berbuahkan solusi.Inilah yang diteladankan Nabi ﷺ dan para salaf yang saleh terdahulu. Tatkala Nabi ﷺ ada masalah, beliau langsung mendirikan salat. Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ meminta Bilal untuk mengistirahatkan kaum muslimin dengan ikamah shalat. Bahkan dari lisannya yang mulia, beliau memotivasi kita,عبادة في الهرج والفتنة كهجرة إلي“Ibadah saat huru-hara dan fitnah, pahalanya laksana hijrah kepadaku.”Oleh karena itu, ambillah manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih, yakni mensucikan jiwa dengan menguatkan iman dan amal saleh. Raihlah pahala hijrah di tengah perselisihan yang terjadi saat ini. Jadilah orang yang beruntung sebab meniti jalan Nabi ﷺ, bukan menjadi orang yang bangkrut karena sibuk ghibah dan fitnah terbawa arus perselisihan di kalangan kita.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneRuhul Maani via Al-Bahits Al-Qur’ani


Daftar Isi ToggleBekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehBeramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahMengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanPerselisihan pasti akan tumbuh subur di akhir zaman ini. Sebab semua orang semakin mudah untuk mengutarakan isi pikirannya. Tak sulit bagi kita untuk menemukan perdebatan di media sosial. Berbagai perkara bisa menjadi tema perdebatan. Bahkan seringnya, perdebatan itu tiada manfaat dan tiada ujungnya. Oleh sebab itu, di dunia yang penuh perselisihan ini, seseorang hendaknya senantiasa berbekal untuk menghadapinya.Setelah berusaha berdialog tatkala terjadi perselisihan, sebagaimana asas pertama sebelumnya, tak semuanya berakhir pada resolusi atau kesimpulan yang melapangkan kedua belah pihak. Jika keduanya tetap bertahan dengan argumennya masing-masing, lalu berlapang dada, maka ini adalah bagian dari kebaikan. Namun, tak dapat dielakkan keadaan di mana salah satu pihak masih tetap kukuh dengan pendapatnya yang mungkin terkadang dianggap lemah. Lalu, apa langkah selanjutnya?Langkah selanjutnya adalah menyiapkan diri untuk menerima keadaan yang tak ideal itu dengan ibadah dan meningkatkan ketakwaan pada Allah ﷻ. Bagi seseorang yang sudah berusaha merendahkan hati dan melapangkan dadanya untuk memulai berdialog, sangat berat rasanya jika pihak yang diajak berdialog tidak mau inshaf atau rujuk kepada pendapat yang benar. Apalagi bagi seorang yang telah berdialog dengan hujjah ilmiah, sementara orang yang diajaknya justru menggunakan argumentasi yang lemah atau menyerang pribadi (ad hominem), maka wajar sekali seorang dapat terpancing emosinya. Maka, dalam keadaan inilah seseorang sangat butuh terhadap bekal yang melapangkan dadanya.Bekal utama berselisih: Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal salehSyekh Saad As-Syal hafizhahullah mengatakan bekal utama yang melapangkan dada adalah dengan pondasi iman, amal saleh, dan tazkiyatun nafs. Kesemua itu akan melahirkan kesabaran, sifat pemaaf, dan toleransi. Beliau hafizhahullah mengatakan,فإنه لا ينتظر الأدب عموماً، ولا أدب الخلاف خصوصاً إلا ممن زكت نفسه بالإيمان وعمل الصالحات، وتربت على الصبر والعفو والتسامح.“Sesungguhnya adab secara umum, dan adab dalam perbedaan pendapat secara khusus, tidaklah diharapkan muncul kecuali dari orang yang jiwanya telah disucikan dengan iman dan amal saleh, serta telah dididik dengan kesabaran, pemaafan, dan sikap toleran.” (Adabul Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 125)Maka, rumusan bagi seorang yang matang dalam menghadapi perselisihan menurut beliau adalah dengan mensucikan jiwa melalui amal saleh. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an bertemakan talak yang membahas tentang perselisihan sengit di antara dua pihak, Allah ﷻ senantiasa mewasiatkan untuk menjaga amal saleh. Setelah panjang lebar menjelaskan syariat talak, Allah ﷻ berfirman,حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ “Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)Al-Alusi memberikan tafsiran,ولَعَلَّ الأمْرَ بِها عَقِيبَ الحَضِّ عَلى العَفْوِ والنَّهْيِ عَنْ تَرْكِ الفَضْلِ؛ لِأنَّها تُهَيِّئُ النَّفْسَ لِفَواضِلِ المَلَكاتِ لِكَوْنِها النّاهِيَةَ عَنِ الفَحْشاءِ والمُنْكَر“Perintah untuk salat setelah anjuran untuk memaafkan dan larangan meninggalkan kebaikan, mungkin karena salat dapat mempersiapkan jiwa untuk memiliki akhlak yang mulia, sebab salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Ruhul Maani diakses via Al-Bahits Al-Qur’ani)Sehingga seorang muslim dalam setiap perselisihan, Allah ﷻ perintahkan untuk menggandengnya dengan amal ibadah. Semua ini dilakukan sembari menghadirkan sebab dengan berdialog, lalu bertawakal kepada Allah ﷻ dengan beramal saleh.Beramal saleh melahirkan keberuntungan dan penyelesaian masalahKetahuilah, banyak perselisihan itu selesai tanpa dipahami dengan sempurna bagaimana caranya bisa terjadi. Maka, inilah yang disebut dengan keberuntungan. Mungkin kita bisa melihat atau menemukan penjelasannya, tetapi sulit untuk menerangkannya. Dan keberuntungan selalu berada pada orang yang saleh. Allah ﷻ berfirman,فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِيْنُ“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. al-Jatsiyah: 30)Allah ﷻ dengan jelas berfirman,مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)Maka, keberuntungan apalagi yang lebih besar daripada keberuntungan yang dijanjikan Allah ﷻ kepada hamba-Nya? Keberuntungan yang Allah ﷻ janjikan pun tak hanya dalam satu bentuk, tetapi hadir dalam berbagai rupa. Salah satunya adalah kelapangan hati yang ditanamkan kepada seorang mukmin.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 277)Mengapa beramal saleh ditekankan ketika berselisih?Hal ini disebabkan paradigma yang telah Allah ﷻ luruskan pada diri seseorang yang mengikuti manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih. Paradigma itu adalah bahwasanya seseorang memang tidak bisa dipaksa untuk menerima argumentasi yang kita berikan. Jika argumentasi atau hidayah irsyad wal bayan saja tak mesti diterima, apalagi hidayah taufiq, hanya Allah ﷻ yang mampu melakukannya.Allah ﷻ berfirman,۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ“Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, (manfaatnya) untuk dirimu (sendiri). Kamu (orang-orang mukmin) tidak berinfak, kecuali karena mencari rida Allah. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 272)Maka, lakukanlah penyiapan diri agar tidak kecewa dengan kemungkinan realita itu. Allah ﷻ tidak hanya mewasiatkan ini kepada level mukmin. Namun, Allah ﷻ menjadikan wasiat ini kepada sosok selevel Nabi Nuh ‘alaihissalam.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَاُوْحِيَ اِلٰى نُوْحٍ اَنَّهٗ لَنْ يُّؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ اِلَّا مَنْ قَدْ اٰمَنَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَۖ  “Diwahyukan (oleh Allah) kepada Nuh, “(Ketahuilah) bahwa tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar telah beriman. Maka, janganlah engkau bersedih atas apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. Hūd: 36)Allah ﷻ menguatkan seorang Nabi Nuh ‘alaihissalam, pendakwah tauhid yang pertama kali berhadapan dengan kesyirikan. Beratus tahun berdakwah, ujiannya luar biasa, sampai mendapat gelar Ulul Azmi, tetapi Allah ﷻ tetap wasiatkan untuk jangan bersedih. Inilah sebuah pengingat bagi kita, bahwa dakwah tak pasti diterima, sedangkan perselisihan mudah sekali terjadi. Maka, bekalilah diri dengan iman dan amal saleh, agar tumbuh hati yang bersih dan jiwa yang sabar.Beramal saleh adalah perintah khusus saat menghadapi perselisihanBahkan, mendekatkan diri kepada-Nya dan memperbanyak ibadah adalah perintah Allah ﷻ secara khusus tatkala terjadi perselisihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَۙ (98) وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْن“Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, jadilah engkau termasuk orang-orang yang sujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kepastian (kematian).” (QS. Al-Ḥijr: 97-99)Dalam ayat lain juga Allah ﷻ berfirman,وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. At-Tahrim: 2)Allah ﷻ menjadikan solusi ada pada peningkatan ibadah tersebut. Sehingga bisa dimaknai bahwa solusi itu adalah ibadah itu sendiri, baik ia berbuahkan jalan keluar atau ialah jalan keluar itu sendiri, yakni kelapangan hati. Karena dalam konteks surah Al-Hijr, Allah ﷻ perintahkan hamba-Nya untuk beribadah sampai wafat. Tanda bahwa masalah selalu ada dan solusinya selalu bersenyawa dengan ibadah itu sendiri. Sedangkan dalam konteks surah At-Tahrim, Allah ﷻ narasikan ketakwaan sebagai induk yang berbuahkan solusi.Inilah yang diteladankan Nabi ﷺ dan para salaf yang saleh terdahulu. Tatkala Nabi ﷺ ada masalah, beliau langsung mendirikan salat. Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ meminta Bilal untuk mengistirahatkan kaum muslimin dengan ikamah shalat. Bahkan dari lisannya yang mulia, beliau memotivasi kita,عبادة في الهرج والفتنة كهجرة إلي“Ibadah saat huru-hara dan fitnah, pahalanya laksana hijrah kepadaku.”Oleh karena itu, ambillah manhaj Nabi ﷺ dalam berselisih, yakni mensucikan jiwa dengan menguatkan iman dan amal saleh. Raihlah pahala hijrah di tengah perselisihan yang terjadi saat ini. Jadilah orang yang beruntung sebab meniti jalan Nabi ﷺ, bukan menjadi orang yang bangkrut karena sibuk ghibah dan fitnah terbawa arus perselisihan di kalangan kita.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneRuhul Maani via Al-Bahits Al-Qur’ani

Talbiyah

Kupenuhi Panggilan Engkau, Wahai Allah! Talbiyah antara makna dan hukum syar’i. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك لا شريك لك “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak” Talbiyah yang terus menggema dan mengguruh di seantera Tanah Haram Makkah yang dikumandangkan para jamaah haji yang beraneka ragam ras, suku dan bangsa. Sungguh satu pemandangan yang menyentuh hati, pemandangan yang mengharukan dan membanggakan. Bagaimana tidak, kaum Muslimin yang biasanya berseteru dan berselisih serta berpecah belah, dalam kesempatan itu mengumandangkan satu kalimat dan satu ucapan saja. Mereka berpakaian yang sama dan mengucapkan kalimat yang sama “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Berpakaian putih-putih bagi laki-lakinya dan berpakaian menutup aurat untuk perempuannya, tanpa membeda-bedakan kedudukan dan martabat dunia, bangsa dan suku, ulama dan awam, semuanya bersatu mengucapkan talbiyah menyambut seruan Allah dalam firman-Nya: Khot Al-Qur’an وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ ۝٢٧ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini: “Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk mengabarkan manusia agar berhaji, Ibrahim berkata: يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ  فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير 17\106) “Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (Ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apa saja yang ada, lalu mereka berkata لبيك اللهم لبيك .”  (HR. Ibnu Jarir 17/106). (Dr. Sholih bin Muhammad Ali Hasan menyatakan dalam komentar beliau atas kitab Syarhul Umdah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah 2/579: “Ini dikeluarkan oleh Abdun bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Haatim dengan sanda-sanad periwayatan dalam tafsir mereka dari Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Qatadah, dan yang lainnya. Sanad-sanad periwayatan dari mereka ini cukup kuat.”). Demikian juga Imam Mujahid -salah seorang murid besar Ibnu Abbas- menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau: Nabi Ibrahim menyeru manusia (dengan menyatakan): “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyeru manusia berhaji, bangkit berdiri diatas maqam (batu tempat beliau berpijak dalam membangun ka’bah (penukil)) dan berkata: “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Mererka menjawab: “Labaik Labaik.” Maka barang siapa berhaji sekarang ini, maka ia telah memenuhi seruan Nabi Ibrahim ketika itu pada nenek moyang mereka. Ibnu Taimiyah berkata: “Kedua riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Ya’la Al-Maushiliy dengan sanad yang shahih.” Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Syarhul Umdah 2/579). Ibnu Hajar berkata; “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah  para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Fathul Bari 3/406). Makna Talbiyah Kata talbiyah berasal dari bahasa Arab dari kata: ( أَلَبَّ بِالْمَكَانِ) jika mendiami dan tinggal ditempat tersebut. Sehingga makna talbiyah adalah senantiasa bersamanya dan bergantung kepadanya seperti orang yang tinggal dan menetap di satu tempat. Sedangkan talbiyah disini bermakna mengucapkan “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Talbiyah memiliki makna yang agung, karena memuat tauhid dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini dapat dilihat dari makna kata-kata dalam talbiyah tersebut, sebagaimana berikut ini: (اللهم) : Wahai Allah. (لبيك): Adalah penegas yang memiliki makna baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya. (لا شريك لك): Bermakna tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu. (لبيك): Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja. (إن الحمد و النعمة لك والملك): Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan.  (لا شريك لك): Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu.  Kalau kita mencermati makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya, sebagaimana disampaikan  oleh Jabir berkata: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ “Rasulullah bertalbiyah dengan tauhid.” (lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy hal. 55). Hukum-Hukum Seputar Talbiyah Talbiyah sebagai satu syiar haji memiliki hukum-hukum dan adab yang harus diperhatikan para jamaah haji, agar dapat sempurna dalam menunaikan dan melaksanakannya. Di antara hal-hal tersebut adalah: 1. Bacaan Talbiyah Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah: a. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك لا شريك لك (Dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalam Shahih Bukhari dan Muslim). b. لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل  (متفق عليه من تلبية ابن عمر). c. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى). d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat: لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (Hadits Jabir yang diriwayatkan Imam Muslim). 2. Kapan memulai Talbiyyah Talbiyah dimulai setelah berihram, tepatnya ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hajinya, Jabir berkata: حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك. “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di Al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik.” (HR. Muslim). 3. Cara membacanya Talbiyah ini dibaca dengan mengeraskan suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  dalam hadits As-Saaib bin Kholaad yang berbunyi: أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالإهلال أو التلبية “Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah.” (Hadits diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 2/163, Abu Daud 5/260 dan Ibnu Majah 2/991 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Oleh karena itu para sahabat Rasulullah mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah, sebagaimana dikisahkan Abu Haazim: كَانَ أَصْحَاب رسول الله إذا أحرموا لم يبلغوا الروحاء حتى تبح أصواتهم “Para sahabat Rasulullah jika berihrom (bertalbiyah) belum sampai Rauha’ telah serak suara mereka.” (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/94 dengan sanad yang baik. Lihat Al-Wajiiz Fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz hal 242). Hal ini menunjukkan kerasnya mereka bertalbiyah sampai-sampai kehilangan sebagian suara mereka sebelum sampai di kota Makkah. Namun demikian, tidak disyari’atkan bertalbiyah secara berjamaah, dipimpin seorang imam, sebagaimana tampak jelas dalam praktek sebagian kaum Muslimin di musim haji. Sebab hal ini merupakan kebid’ahan dalam bertalbiyah. (Lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh AL Albaniy hal 112). Akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin, maka tidak mengapa karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak. Tentunya hal tersebut sangat memungkinan sekali terjadi talbiyah dengan suara yang berbarengan. Ada hal penting yang harus diperhatikan orang yang bertalbiyah dalam mengangkat suara talbiyahnya yaitu jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga tidak dapat terus bertakbir. Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah. 4. Kapan berhenti bertalbiyah. Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumrah atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Ketika masuk haram, dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al-Hasan serta Mazdhab Maliki. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan An-Nasaai yang lafadznya: كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي كان يفعل ذلك “Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap di Thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian.” B. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib C. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thowaf dengan menyentuh (Istilam) Hajar Aswad. Ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta Mazdhab Hanafi. berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’: كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر  “Dia menghentikan talbiyah dalam umrah kalau telah menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy dan Al-Baihaqy dan dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ 4/297). Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya  dari kakeknya dengan lafazh: اعتمر رسول الله ثلاثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر “RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzulqa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dalam Irwa’ 4/297). Dan mereka berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam (Syarah Umdah 2/461) dan Ibnu Qudamah (Al-Mughny 5/256) akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga melakukan hal itu, dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melakukan, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207). Demikian juga para ulama berbeda pendapat dalam hal ini pada haji selain haji Tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari. Ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-Hasan, Al-Bashry dan Mazhab Maliki. Berdalil dengan hadits: الحج عرفة “Haji itu adalah wuquf di Arafah” Sehingga bila sampai Arafah berhenti bertalbiyah karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Namun dalil ini sangat lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah. B. Menghentikannya ketika melempar Jumrah Aqabah dan ini pendapat jumhur. Namun mereka pun masih berselisih menjadi dua pendapat: a. Menghentikan di awal batu yang dilempar dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al-Abbas: كنت رديف النبي من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة) ”Aku membonceng Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar Jumrah Aqabah.” (HR. Jama’ah). Dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz: خرجت مع رسول الله فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إلا أن يخلطها بتكبير أو تهليل. “Aku berangkat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar Jumrah Aqabah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir.” (HR. Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani  dalam Irwa’ /2966). Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: “Dan secara makna, maka seorang yang telah sampai di Arafah -walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar Jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar Jumrah maka telah selesai panggilannya.” (Majmu’ Fatawa 26/173). b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:  أفضت مع النبي من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة) “Aku telah keluar bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah lalu Beliau terus bertalbiyah sampai melempar Jumrah Aqabah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar.” Demikian sebagian hukum seputar talbiyah, mudah-mudahan dapat memberi sedikit tambahan pengetahuan kepada kita semua. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 73 times, 1 visit(s) today Post Views: 219 QRIS donasi Yufid

Talbiyah

Kupenuhi Panggilan Engkau, Wahai Allah! Talbiyah antara makna dan hukum syar’i. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك لا شريك لك “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak” Talbiyah yang terus menggema dan mengguruh di seantera Tanah Haram Makkah yang dikumandangkan para jamaah haji yang beraneka ragam ras, suku dan bangsa. Sungguh satu pemandangan yang menyentuh hati, pemandangan yang mengharukan dan membanggakan. Bagaimana tidak, kaum Muslimin yang biasanya berseteru dan berselisih serta berpecah belah, dalam kesempatan itu mengumandangkan satu kalimat dan satu ucapan saja. Mereka berpakaian yang sama dan mengucapkan kalimat yang sama “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Berpakaian putih-putih bagi laki-lakinya dan berpakaian menutup aurat untuk perempuannya, tanpa membeda-bedakan kedudukan dan martabat dunia, bangsa dan suku, ulama dan awam, semuanya bersatu mengucapkan talbiyah menyambut seruan Allah dalam firman-Nya: Khot Al-Qur’an وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ ۝٢٧ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini: “Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk mengabarkan manusia agar berhaji, Ibrahim berkata: يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ  فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير 17\106) “Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (Ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apa saja yang ada, lalu mereka berkata لبيك اللهم لبيك .”  (HR. Ibnu Jarir 17/106). (Dr. Sholih bin Muhammad Ali Hasan menyatakan dalam komentar beliau atas kitab Syarhul Umdah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah 2/579: “Ini dikeluarkan oleh Abdun bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Haatim dengan sanda-sanad periwayatan dalam tafsir mereka dari Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Qatadah, dan yang lainnya. Sanad-sanad periwayatan dari mereka ini cukup kuat.”). Demikian juga Imam Mujahid -salah seorang murid besar Ibnu Abbas- menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau: Nabi Ibrahim menyeru manusia (dengan menyatakan): “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyeru manusia berhaji, bangkit berdiri diatas maqam (batu tempat beliau berpijak dalam membangun ka’bah (penukil)) dan berkata: “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Mererka menjawab: “Labaik Labaik.” Maka barang siapa berhaji sekarang ini, maka ia telah memenuhi seruan Nabi Ibrahim ketika itu pada nenek moyang mereka. Ibnu Taimiyah berkata: “Kedua riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Ya’la Al-Maushiliy dengan sanad yang shahih.” Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Syarhul Umdah 2/579). Ibnu Hajar berkata; “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah  para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Fathul Bari 3/406). Makna Talbiyah Kata talbiyah berasal dari bahasa Arab dari kata: ( أَلَبَّ بِالْمَكَانِ) jika mendiami dan tinggal ditempat tersebut. Sehingga makna talbiyah adalah senantiasa bersamanya dan bergantung kepadanya seperti orang yang tinggal dan menetap di satu tempat. Sedangkan talbiyah disini bermakna mengucapkan “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Talbiyah memiliki makna yang agung, karena memuat tauhid dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini dapat dilihat dari makna kata-kata dalam talbiyah tersebut, sebagaimana berikut ini: (اللهم) : Wahai Allah. (لبيك): Adalah penegas yang memiliki makna baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya. (لا شريك لك): Bermakna tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu. (لبيك): Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja. (إن الحمد و النعمة لك والملك): Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan.  (لا شريك لك): Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu.  Kalau kita mencermati makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya, sebagaimana disampaikan  oleh Jabir berkata: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ “Rasulullah bertalbiyah dengan tauhid.” (lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy hal. 55). Hukum-Hukum Seputar Talbiyah Talbiyah sebagai satu syiar haji memiliki hukum-hukum dan adab yang harus diperhatikan para jamaah haji, agar dapat sempurna dalam menunaikan dan melaksanakannya. Di antara hal-hal tersebut adalah: 1. Bacaan Talbiyah Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah: a. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك لا شريك لك (Dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalam Shahih Bukhari dan Muslim). b. لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل  (متفق عليه من تلبية ابن عمر). c. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى). d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat: لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (Hadits Jabir yang diriwayatkan Imam Muslim). 2. Kapan memulai Talbiyyah Talbiyah dimulai setelah berihram, tepatnya ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hajinya, Jabir berkata: حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك. “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di Al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik.” (HR. Muslim). 3. Cara membacanya Talbiyah ini dibaca dengan mengeraskan suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  dalam hadits As-Saaib bin Kholaad yang berbunyi: أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالإهلال أو التلبية “Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah.” (Hadits diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 2/163, Abu Daud 5/260 dan Ibnu Majah 2/991 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Oleh karena itu para sahabat Rasulullah mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah, sebagaimana dikisahkan Abu Haazim: كَانَ أَصْحَاب رسول الله إذا أحرموا لم يبلغوا الروحاء حتى تبح أصواتهم “Para sahabat Rasulullah jika berihrom (bertalbiyah) belum sampai Rauha’ telah serak suara mereka.” (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/94 dengan sanad yang baik. Lihat Al-Wajiiz Fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz hal 242). Hal ini menunjukkan kerasnya mereka bertalbiyah sampai-sampai kehilangan sebagian suara mereka sebelum sampai di kota Makkah. Namun demikian, tidak disyari’atkan bertalbiyah secara berjamaah, dipimpin seorang imam, sebagaimana tampak jelas dalam praktek sebagian kaum Muslimin di musim haji. Sebab hal ini merupakan kebid’ahan dalam bertalbiyah. (Lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh AL Albaniy hal 112). Akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin, maka tidak mengapa karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak. Tentunya hal tersebut sangat memungkinan sekali terjadi talbiyah dengan suara yang berbarengan. Ada hal penting yang harus diperhatikan orang yang bertalbiyah dalam mengangkat suara talbiyahnya yaitu jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga tidak dapat terus bertakbir. Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah. 4. Kapan berhenti bertalbiyah. Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumrah atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Ketika masuk haram, dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al-Hasan serta Mazdhab Maliki. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan An-Nasaai yang lafadznya: كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي كان يفعل ذلك “Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap di Thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian.” B. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib C. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thowaf dengan menyentuh (Istilam) Hajar Aswad. Ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta Mazdhab Hanafi. berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’: كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر  “Dia menghentikan talbiyah dalam umrah kalau telah menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy dan Al-Baihaqy dan dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ 4/297). Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya  dari kakeknya dengan lafazh: اعتمر رسول الله ثلاثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر “RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzulqa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dalam Irwa’ 4/297). Dan mereka berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam (Syarah Umdah 2/461) dan Ibnu Qudamah (Al-Mughny 5/256) akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga melakukan hal itu, dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melakukan, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207). Demikian juga para ulama berbeda pendapat dalam hal ini pada haji selain haji Tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari. Ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-Hasan, Al-Bashry dan Mazhab Maliki. Berdalil dengan hadits: الحج عرفة “Haji itu adalah wuquf di Arafah” Sehingga bila sampai Arafah berhenti bertalbiyah karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Namun dalil ini sangat lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah. B. Menghentikannya ketika melempar Jumrah Aqabah dan ini pendapat jumhur. Namun mereka pun masih berselisih menjadi dua pendapat: a. Menghentikan di awal batu yang dilempar dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al-Abbas: كنت رديف النبي من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة) ”Aku membonceng Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar Jumrah Aqabah.” (HR. Jama’ah). Dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz: خرجت مع رسول الله فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إلا أن يخلطها بتكبير أو تهليل. “Aku berangkat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar Jumrah Aqabah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir.” (HR. Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani  dalam Irwa’ /2966). Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: “Dan secara makna, maka seorang yang telah sampai di Arafah -walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar Jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar Jumrah maka telah selesai panggilannya.” (Majmu’ Fatawa 26/173). b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:  أفضت مع النبي من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة) “Aku telah keluar bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah lalu Beliau terus bertalbiyah sampai melempar Jumrah Aqabah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar.” Demikian sebagian hukum seputar talbiyah, mudah-mudahan dapat memberi sedikit tambahan pengetahuan kepada kita semua. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 73 times, 1 visit(s) today Post Views: 219 QRIS donasi Yufid
Kupenuhi Panggilan Engkau, Wahai Allah! Talbiyah antara makna dan hukum syar’i. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك لا شريك لك “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak” Talbiyah yang terus menggema dan mengguruh di seantera Tanah Haram Makkah yang dikumandangkan para jamaah haji yang beraneka ragam ras, suku dan bangsa. Sungguh satu pemandangan yang menyentuh hati, pemandangan yang mengharukan dan membanggakan. Bagaimana tidak, kaum Muslimin yang biasanya berseteru dan berselisih serta berpecah belah, dalam kesempatan itu mengumandangkan satu kalimat dan satu ucapan saja. Mereka berpakaian yang sama dan mengucapkan kalimat yang sama “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Berpakaian putih-putih bagi laki-lakinya dan berpakaian menutup aurat untuk perempuannya, tanpa membeda-bedakan kedudukan dan martabat dunia, bangsa dan suku, ulama dan awam, semuanya bersatu mengucapkan talbiyah menyambut seruan Allah dalam firman-Nya: Khot Al-Qur’an وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ ۝٢٧ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini: “Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk mengabarkan manusia agar berhaji, Ibrahim berkata: يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ  فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير 17\106) “Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (Ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apa saja yang ada, lalu mereka berkata لبيك اللهم لبيك .”  (HR. Ibnu Jarir 17/106). (Dr. Sholih bin Muhammad Ali Hasan menyatakan dalam komentar beliau atas kitab Syarhul Umdah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah 2/579: “Ini dikeluarkan oleh Abdun bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Haatim dengan sanda-sanad periwayatan dalam tafsir mereka dari Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Qatadah, dan yang lainnya. Sanad-sanad periwayatan dari mereka ini cukup kuat.”). Demikian juga Imam Mujahid -salah seorang murid besar Ibnu Abbas- menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau: Nabi Ibrahim menyeru manusia (dengan menyatakan): “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyeru manusia berhaji, bangkit berdiri diatas maqam (batu tempat beliau berpijak dalam membangun ka’bah (penukil)) dan berkata: “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Mererka menjawab: “Labaik Labaik.” Maka barang siapa berhaji sekarang ini, maka ia telah memenuhi seruan Nabi Ibrahim ketika itu pada nenek moyang mereka. Ibnu Taimiyah berkata: “Kedua riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Ya’la Al-Maushiliy dengan sanad yang shahih.” Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Syarhul Umdah 2/579). Ibnu Hajar berkata; “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah  para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Fathul Bari 3/406). Makna Talbiyah Kata talbiyah berasal dari bahasa Arab dari kata: ( أَلَبَّ بِالْمَكَانِ) jika mendiami dan tinggal ditempat tersebut. Sehingga makna talbiyah adalah senantiasa bersamanya dan bergantung kepadanya seperti orang yang tinggal dan menetap di satu tempat. Sedangkan talbiyah disini bermakna mengucapkan “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Talbiyah memiliki makna yang agung, karena memuat tauhid dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini dapat dilihat dari makna kata-kata dalam talbiyah tersebut, sebagaimana berikut ini: (اللهم) : Wahai Allah. (لبيك): Adalah penegas yang memiliki makna baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya. (لا شريك لك): Bermakna tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu. (لبيك): Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja. (إن الحمد و النعمة لك والملك): Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan.  (لا شريك لك): Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu.  Kalau kita mencermati makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya, sebagaimana disampaikan  oleh Jabir berkata: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ “Rasulullah bertalbiyah dengan tauhid.” (lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy hal. 55). Hukum-Hukum Seputar Talbiyah Talbiyah sebagai satu syiar haji memiliki hukum-hukum dan adab yang harus diperhatikan para jamaah haji, agar dapat sempurna dalam menunaikan dan melaksanakannya. Di antara hal-hal tersebut adalah: 1. Bacaan Talbiyah Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah: a. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك لا شريك لك (Dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalam Shahih Bukhari dan Muslim). b. لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل  (متفق عليه من تلبية ابن عمر). c. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى). d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat: لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (Hadits Jabir yang diriwayatkan Imam Muslim). 2. Kapan memulai Talbiyyah Talbiyah dimulai setelah berihram, tepatnya ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hajinya, Jabir berkata: حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك. “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di Al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik.” (HR. Muslim). 3. Cara membacanya Talbiyah ini dibaca dengan mengeraskan suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  dalam hadits As-Saaib bin Kholaad yang berbunyi: أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالإهلال أو التلبية “Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah.” (Hadits diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 2/163, Abu Daud 5/260 dan Ibnu Majah 2/991 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Oleh karena itu para sahabat Rasulullah mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah, sebagaimana dikisahkan Abu Haazim: كَانَ أَصْحَاب رسول الله إذا أحرموا لم يبلغوا الروحاء حتى تبح أصواتهم “Para sahabat Rasulullah jika berihrom (bertalbiyah) belum sampai Rauha’ telah serak suara mereka.” (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/94 dengan sanad yang baik. Lihat Al-Wajiiz Fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz hal 242). Hal ini menunjukkan kerasnya mereka bertalbiyah sampai-sampai kehilangan sebagian suara mereka sebelum sampai di kota Makkah. Namun demikian, tidak disyari’atkan bertalbiyah secara berjamaah, dipimpin seorang imam, sebagaimana tampak jelas dalam praktek sebagian kaum Muslimin di musim haji. Sebab hal ini merupakan kebid’ahan dalam bertalbiyah. (Lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh AL Albaniy hal 112). Akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin, maka tidak mengapa karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak. Tentunya hal tersebut sangat memungkinan sekali terjadi talbiyah dengan suara yang berbarengan. Ada hal penting yang harus diperhatikan orang yang bertalbiyah dalam mengangkat suara talbiyahnya yaitu jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga tidak dapat terus bertakbir. Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah. 4. Kapan berhenti bertalbiyah. Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumrah atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Ketika masuk haram, dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al-Hasan serta Mazdhab Maliki. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan An-Nasaai yang lafadznya: كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي كان يفعل ذلك “Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap di Thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian.” B. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib C. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thowaf dengan menyentuh (Istilam) Hajar Aswad. Ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta Mazdhab Hanafi. berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’: كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر  “Dia menghentikan talbiyah dalam umrah kalau telah menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy dan Al-Baihaqy dan dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ 4/297). Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya  dari kakeknya dengan lafazh: اعتمر رسول الله ثلاثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر “RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzulqa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dalam Irwa’ 4/297). Dan mereka berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam (Syarah Umdah 2/461) dan Ibnu Qudamah (Al-Mughny 5/256) akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga melakukan hal itu, dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melakukan, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207). Demikian juga para ulama berbeda pendapat dalam hal ini pada haji selain haji Tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari. Ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-Hasan, Al-Bashry dan Mazhab Maliki. Berdalil dengan hadits: الحج عرفة “Haji itu adalah wuquf di Arafah” Sehingga bila sampai Arafah berhenti bertalbiyah karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Namun dalil ini sangat lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah. B. Menghentikannya ketika melempar Jumrah Aqabah dan ini pendapat jumhur. Namun mereka pun masih berselisih menjadi dua pendapat: a. Menghentikan di awal batu yang dilempar dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al-Abbas: كنت رديف النبي من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة) ”Aku membonceng Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar Jumrah Aqabah.” (HR. Jama’ah). Dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz: خرجت مع رسول الله فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إلا أن يخلطها بتكبير أو تهليل. “Aku berangkat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar Jumrah Aqabah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir.” (HR. Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani  dalam Irwa’ /2966). Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: “Dan secara makna, maka seorang yang telah sampai di Arafah -walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar Jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar Jumrah maka telah selesai panggilannya.” (Majmu’ Fatawa 26/173). b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:  أفضت مع النبي من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة) “Aku telah keluar bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah lalu Beliau terus bertalbiyah sampai melempar Jumrah Aqabah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar.” Demikian sebagian hukum seputar talbiyah, mudah-mudahan dapat memberi sedikit tambahan pengetahuan kepada kita semua. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 73 times, 1 visit(s) today Post Views: 219 QRIS donasi Yufid


Kupenuhi Panggilan Engkau, Wahai Allah! Talbiyah antara makna dan hukum syar’i. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك لا شريك لك “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak” Talbiyah yang terus menggema dan mengguruh di seantera Tanah Haram Makkah yang dikumandangkan para jamaah haji yang beraneka ragam ras, suku dan bangsa. Sungguh satu pemandangan yang menyentuh hati, pemandangan yang mengharukan dan membanggakan. Bagaimana tidak, kaum Muslimin yang biasanya berseteru dan berselisih serta berpecah belah, dalam kesempatan itu mengumandangkan satu kalimat dan satu ucapan saja. Mereka berpakaian yang sama dan mengucapkan kalimat yang sama “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Berpakaian putih-putih bagi laki-lakinya dan berpakaian menutup aurat untuk perempuannya, tanpa membeda-bedakan kedudukan dan martabat dunia, bangsa dan suku, ulama dan awam, semuanya bersatu mengucapkan talbiyah menyambut seruan Allah dalam firman-Nya: Khot Al-Qur’an وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ ۝٢٧ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini: “Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk mengabarkan manusia agar berhaji, Ibrahim berkata: يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ  فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير 17\106) “Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (Ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apa saja yang ada, lalu mereka berkata لبيك اللهم لبيك .”  (HR. Ibnu Jarir 17/106). (Dr. Sholih bin Muhammad Ali Hasan menyatakan dalam komentar beliau atas kitab Syarhul Umdah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah 2/579: “Ini dikeluarkan oleh Abdun bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Haatim dengan sanda-sanad periwayatan dalam tafsir mereka dari Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Qatadah, dan yang lainnya. Sanad-sanad periwayatan dari mereka ini cukup kuat.”). Demikian juga Imam Mujahid -salah seorang murid besar Ibnu Abbas- menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau: Nabi Ibrahim menyeru manusia (dengan menyatakan): “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyeru manusia berhaji, bangkit berdiri diatas maqam (batu tempat beliau berpijak dalam membangun ka’bah (penukil)) dan berkata: “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Mererka menjawab: “Labaik Labaik.” Maka barang siapa berhaji sekarang ini, maka ia telah memenuhi seruan Nabi Ibrahim ketika itu pada nenek moyang mereka. Ibnu Taimiyah berkata: “Kedua riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Ya’la Al-Maushiliy dengan sanad yang shahih.” Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Syarhul Umdah 2/579). Ibnu Hajar berkata; “Ibnu Abdil Barr berkata: ‘Telah berkata sejumlah  para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.'” (Fathul Bari 3/406). Makna Talbiyah Kata talbiyah berasal dari bahasa Arab dari kata: ( أَلَبَّ بِالْمَكَانِ) jika mendiami dan tinggal ditempat tersebut. Sehingga makna talbiyah adalah senantiasa bersamanya dan bergantung kepadanya seperti orang yang tinggal dan menetap di satu tempat. Sedangkan talbiyah disini bermakna mengucapkan “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaik Laa Syarika Laka Labaaik Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulku La Syarikalak.” Talbiyah memiliki makna yang agung, karena memuat tauhid dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini dapat dilihat dari makna kata-kata dalam talbiyah tersebut, sebagaimana berikut ini: (اللهم) : Wahai Allah. (لبيك): Adalah penegas yang memiliki makna baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya. (لا شريك لك): Bermakna tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu. (لبيك): Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja. (إن الحمد و النعمة لك والملك): Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan.  (لا شريك لك): Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu.  Kalau kita mencermati makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya, sebagaimana disampaikan  oleh Jabir berkata: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ “Rasulullah bertalbiyah dengan tauhid.” (lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy hal. 55). Hukum-Hukum Seputar Talbiyah Talbiyah sebagai satu syiar haji memiliki hukum-hukum dan adab yang harus diperhatikan para jamaah haji, agar dapat sempurna dalam menunaikan dan melaksanakannya. Di antara hal-hal tersebut adalah: 1. Bacaan Talbiyah Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah: a. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك لا شريك لك (Dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalam Shahih Bukhari dan Muslim). b. لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل  (متفق عليه من تلبية ابن عمر). c. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى). d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat: لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (Hadits Jabir yang diriwayatkan Imam Muslim). 2. Kapan memulai Talbiyyah Talbiyah dimulai setelah berihram, tepatnya ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hajinya, Jabir berkata: حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك. “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di Al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik.” (HR. Muslim). 3. Cara membacanya Talbiyah ini dibaca dengan mengeraskan suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  dalam hadits As-Saaib bin Kholaad yang berbunyi: أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالإهلال أو التلبية “Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah.” (Hadits diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 2/163, Abu Daud 5/260 dan Ibnu Majah 2/991 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Oleh karena itu para sahabat Rasulullah mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah, sebagaimana dikisahkan Abu Haazim: كَانَ أَصْحَاب رسول الله إذا أحرموا لم يبلغوا الروحاء حتى تبح أصواتهم “Para sahabat Rasulullah jika berihrom (bertalbiyah) belum sampai Rauha’ telah serak suara mereka.” (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/94 dengan sanad yang baik. Lihat Al-Wajiiz Fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz hal 242). Hal ini menunjukkan kerasnya mereka bertalbiyah sampai-sampai kehilangan sebagian suara mereka sebelum sampai di kota Makkah. Namun demikian, tidak disyari’atkan bertalbiyah secara berjamaah, dipimpin seorang imam, sebagaimana tampak jelas dalam praktek sebagian kaum Muslimin di musim haji. Sebab hal ini merupakan kebid’ahan dalam bertalbiyah. (Lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh AL Albaniy hal 112). Akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin, maka tidak mengapa karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak. Tentunya hal tersebut sangat memungkinan sekali terjadi talbiyah dengan suara yang berbarengan. Ada hal penting yang harus diperhatikan orang yang bertalbiyah dalam mengangkat suara talbiyahnya yaitu jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga tidak dapat terus bertakbir. Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah. 4. Kapan berhenti bertalbiyah. Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumrah atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Ketika masuk haram, dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al-Hasan serta Mazdhab Maliki. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan An-Nasaai yang lafadznya: كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي كان يفعل ذلك “Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap di Thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian.” B. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib C. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thowaf dengan menyentuh (Istilam) Hajar Aswad. Ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta Mazdhab Hanafi. berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’: كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر  “Dia menghentikan talbiyah dalam umrah kalau telah menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy dan Al-Baihaqy dan dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ 4/297). Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya  dari kakeknya dengan lafazh: اعتمر رسول الله ثلاثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر “RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzulqa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dalam Irwa’ 4/297). Dan mereka berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam (Syarah Umdah 2/461) dan Ibnu Qudamah (Al-Mughny 5/256) akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga melakukan hal itu, dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melakukan, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207). Demikian juga para ulama berbeda pendapat dalam hal ini pada haji selain haji Tamatu’ menjadi beberapa pendapat: A. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari. Ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-Hasan, Al-Bashry dan Mazhab Maliki. Berdalil dengan hadits: الحج عرفة “Haji itu adalah wuquf di Arafah” Sehingga bila sampai Arafah berhenti bertalbiyah karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Namun dalil ini sangat lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah. B. Menghentikannya ketika melempar Jumrah Aqabah dan ini pendapat jumhur. Namun mereka pun masih berselisih menjadi dua pendapat: a. Menghentikan di awal batu yang dilempar dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al-Abbas: كنت رديف النبي من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة) ”Aku membonceng Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar Jumrah Aqabah.” (HR. Jama’ah). Dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz: خرجت مع رسول الله فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إلا أن يخلطها بتكبير أو تهليل. “Aku berangkat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar Jumrah Aqabah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir.” (HR. Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani  dalam Irwa’ /2966). Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: “Dan secara makna, maka seorang yang telah sampai di Arafah -walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar Jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar Jumrah maka telah selesai panggilannya.” (Majmu’ Fatawa 26/173). b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:  أفضت مع النبي من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة) “Aku telah keluar bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Arafah lalu Beliau terus bertalbiyah sampai melempar Jumrah Aqabah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar.” Demikian sebagian hukum seputar talbiyah, mudah-mudahan dapat memberi sedikit tambahan pengetahuan kepada kita semua. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 73 times, 1 visit(s) today Post Views: 219 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Curhat ke Teman Bisa Jadi Dosa! Banyak Muslimah Tidak Tahu Ini! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Pertanyaan ketiga, dan saya kira ini adalah pertanyaan banyak wanita, berkaitan dengan curhat. Artinya, kadang seorang wanita mengalami tekanan hidup karena kehidupan bersama suami dan anak-anak, dan kadang juga tekanan dari luar. Mereka pun duduk bersama dalam satu majelis, lalu masing-masing mengungkapkan berbagai masalah yang ia alami, dan seterusnya. Tujuannya bukan untuk memprotes takdir Allah, bukan pula karena keluh kesah, melainkan sekadar ingin meringankan beban psikologis. Apakah hal seperti ini diperbolehkan atau tidak? Jika di dalamnya tidak ada ghibah (menggunjing), ejekan, maupun namimah (mengadu domba), dan hanya sekadar obrolan biasa yang sekilas saja, maka tidak mengapa. Namun, biasanya majelis seperti ini sulit terlepas dari penyakit-penyakit lisan. Tidak terlepas dari terjerumus ke dalam ghibah, ejekan, atau hal semacamnya. Maka, hendaknya wanita muslimah — begitu pula laki-laki muslim bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Hendaknya pula seseorang menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas ucapan dan perbuatannya. Allah Ta’ala telah menugaskan dua malaikat untuk mencatat segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya: “Ketika dua malaikat mencatat amalannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lainnya di sebelah kiri.” “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17–18) Juga firman-Nya: “Dan sesungguhnya bagi kalian ada para malaikat pengawas yang mulia, para pencatat, yang mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. Al-Infithar: 10–12) Maka hendaklah setiap muslim menyadari hal ini, bahwa segala sesuatu tercatat atas dirinya. Ia juga akan dihadapkan pada catatan itu di Hari Kiamat, dalam lembaran amalnya. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap perbuatan yang ia lakukan akan dicatat atasnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya di Hari Kiamat. “Dan Kami akan tegakkan timbangan keadilan pada Hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang dirugikan sedikit pun.” (QS. Al-Anbiya: 47) “Dan diletakkanlah kitab…” yaitu kitab catatan amal. “Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan melihat para pendosa ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya…” (QS. Al-Kahfi: 49), yaitu merasa takut. “Mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini…’ (QS. Al-Kahfi: 49), maksudnya kitab catatan amal. ‘…yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya…’” (QS. Al-Kahfi: 49) “Dan mereka mendapati apa yang telah mereka lakukan ada di hadapan mereka (tertulis), dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49) ==== السُّؤَالُ الثَّالِثُ وَأَعْتَقِدُ أَنَّ هَذَا سُؤَالُ كَثِيرٍ مِنَ النِّسَاءِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْفَضْفَضَةِ يَعْنِي الْمَرْأَةُ أَحْيَانًا قَدْ تَتَعَرَّضُ لِضُغُوْطٍ بِسَبَبِ يَعْنِي الْمَعِيشَةِ مَعَ الزَّوْجِ وَمَعَ الْأَوْلَادِ وَأَحْيَانًا ضُغُوطٍ خَارِجِيَّةٍ فِي ذَلِكَ فَتَجِدُ يَجْلِسُونَ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ ثُمَّ كُلُّ وَاحِدَةٍ تُخْرِجُ يَعْنِي مَا عِنْدَهَا مِنَ الْمَشَاكِلِ وَإِلَى آخِرِهِ هِي لَيْسَ مِنْ قَبِيلِ الِاعْتِرَاضِ عَلَى قَضَاءِ اللَّهِ وَلَا جَزَعًا وَإِنَّمَا تَخْفِيفًا مِنْ هَذَا الضَّغْطِ النَّفْسِيِّ هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ غِيْبَةٌ وَلَا سُخْرِيَّةٌ وَلَا نَمِيمَةٌ وَإِنَّمَا كَانَ مُجَرَّدَ حَدِيثٍ عَابِرٍ فَلَا بَأْسَ لَكِنَّ الْغَالِبَ أَنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَخْلُو مِنْ آفَاتِ اللِّسَانِ لَا يَخْلُو مِنَ الْوُقُوعِ فِي غِيْبَةٍ أَوْ سُخْرِيَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَعَلَى الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ وَهَكَذَا أَيْضًا عَلَى الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ الْعَبْدُ أَنَّهُ مُؤَاخَذٌ بِأَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى قَدْ وَكَّلَ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ كُلَّ شَيْءٍ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ وَقَالَ وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ فَلْيَسْتَحْضِرِ الْمُسْلِمُ هَذَا وَأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ وَسَيُوَاجِهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي صَحِيفَةِ أَعْمَالِهِ كُلُّ كَلِمَةٍ يَتَكَلَّمُ بِهَا كُلُّ فِعْلٍ يَفْعَلُهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْهِ وَيُحَاسَبُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَوُضِعَ الْكِتَابُ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ يَعْنِي خَائِفِيْنَ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Curhat ke Teman Bisa Jadi Dosa! Banyak Muslimah Tidak Tahu Ini! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Pertanyaan ketiga, dan saya kira ini adalah pertanyaan banyak wanita, berkaitan dengan curhat. Artinya, kadang seorang wanita mengalami tekanan hidup karena kehidupan bersama suami dan anak-anak, dan kadang juga tekanan dari luar. Mereka pun duduk bersama dalam satu majelis, lalu masing-masing mengungkapkan berbagai masalah yang ia alami, dan seterusnya. Tujuannya bukan untuk memprotes takdir Allah, bukan pula karena keluh kesah, melainkan sekadar ingin meringankan beban psikologis. Apakah hal seperti ini diperbolehkan atau tidak? Jika di dalamnya tidak ada ghibah (menggunjing), ejekan, maupun namimah (mengadu domba), dan hanya sekadar obrolan biasa yang sekilas saja, maka tidak mengapa. Namun, biasanya majelis seperti ini sulit terlepas dari penyakit-penyakit lisan. Tidak terlepas dari terjerumus ke dalam ghibah, ejekan, atau hal semacamnya. Maka, hendaknya wanita muslimah — begitu pula laki-laki muslim bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Hendaknya pula seseorang menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas ucapan dan perbuatannya. Allah Ta’ala telah menugaskan dua malaikat untuk mencatat segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya: “Ketika dua malaikat mencatat amalannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lainnya di sebelah kiri.” “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17–18) Juga firman-Nya: “Dan sesungguhnya bagi kalian ada para malaikat pengawas yang mulia, para pencatat, yang mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. Al-Infithar: 10–12) Maka hendaklah setiap muslim menyadari hal ini, bahwa segala sesuatu tercatat atas dirinya. Ia juga akan dihadapkan pada catatan itu di Hari Kiamat, dalam lembaran amalnya. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap perbuatan yang ia lakukan akan dicatat atasnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya di Hari Kiamat. “Dan Kami akan tegakkan timbangan keadilan pada Hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang dirugikan sedikit pun.” (QS. Al-Anbiya: 47) “Dan diletakkanlah kitab…” yaitu kitab catatan amal. “Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan melihat para pendosa ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya…” (QS. Al-Kahfi: 49), yaitu merasa takut. “Mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini…’ (QS. Al-Kahfi: 49), maksudnya kitab catatan amal. ‘…yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya…’” (QS. Al-Kahfi: 49) “Dan mereka mendapati apa yang telah mereka lakukan ada di hadapan mereka (tertulis), dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49) ==== السُّؤَالُ الثَّالِثُ وَأَعْتَقِدُ أَنَّ هَذَا سُؤَالُ كَثِيرٍ مِنَ النِّسَاءِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْفَضْفَضَةِ يَعْنِي الْمَرْأَةُ أَحْيَانًا قَدْ تَتَعَرَّضُ لِضُغُوْطٍ بِسَبَبِ يَعْنِي الْمَعِيشَةِ مَعَ الزَّوْجِ وَمَعَ الْأَوْلَادِ وَأَحْيَانًا ضُغُوطٍ خَارِجِيَّةٍ فِي ذَلِكَ فَتَجِدُ يَجْلِسُونَ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ ثُمَّ كُلُّ وَاحِدَةٍ تُخْرِجُ يَعْنِي مَا عِنْدَهَا مِنَ الْمَشَاكِلِ وَإِلَى آخِرِهِ هِي لَيْسَ مِنْ قَبِيلِ الِاعْتِرَاضِ عَلَى قَضَاءِ اللَّهِ وَلَا جَزَعًا وَإِنَّمَا تَخْفِيفًا مِنْ هَذَا الضَّغْطِ النَّفْسِيِّ هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ غِيْبَةٌ وَلَا سُخْرِيَّةٌ وَلَا نَمِيمَةٌ وَإِنَّمَا كَانَ مُجَرَّدَ حَدِيثٍ عَابِرٍ فَلَا بَأْسَ لَكِنَّ الْغَالِبَ أَنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَخْلُو مِنْ آفَاتِ اللِّسَانِ لَا يَخْلُو مِنَ الْوُقُوعِ فِي غِيْبَةٍ أَوْ سُخْرِيَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَعَلَى الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ وَهَكَذَا أَيْضًا عَلَى الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ الْعَبْدُ أَنَّهُ مُؤَاخَذٌ بِأَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى قَدْ وَكَّلَ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ كُلَّ شَيْءٍ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ وَقَالَ وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ فَلْيَسْتَحْضِرِ الْمُسْلِمُ هَذَا وَأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ وَسَيُوَاجِهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي صَحِيفَةِ أَعْمَالِهِ كُلُّ كَلِمَةٍ يَتَكَلَّمُ بِهَا كُلُّ فِعْلٍ يَفْعَلُهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْهِ وَيُحَاسَبُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَوُضِعَ الْكِتَابُ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ يَعْنِي خَائِفِيْنَ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Pertanyaan ketiga, dan saya kira ini adalah pertanyaan banyak wanita, berkaitan dengan curhat. Artinya, kadang seorang wanita mengalami tekanan hidup karena kehidupan bersama suami dan anak-anak, dan kadang juga tekanan dari luar. Mereka pun duduk bersama dalam satu majelis, lalu masing-masing mengungkapkan berbagai masalah yang ia alami, dan seterusnya. Tujuannya bukan untuk memprotes takdir Allah, bukan pula karena keluh kesah, melainkan sekadar ingin meringankan beban psikologis. Apakah hal seperti ini diperbolehkan atau tidak? Jika di dalamnya tidak ada ghibah (menggunjing), ejekan, maupun namimah (mengadu domba), dan hanya sekadar obrolan biasa yang sekilas saja, maka tidak mengapa. Namun, biasanya majelis seperti ini sulit terlepas dari penyakit-penyakit lisan. Tidak terlepas dari terjerumus ke dalam ghibah, ejekan, atau hal semacamnya. Maka, hendaknya wanita muslimah — begitu pula laki-laki muslim bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Hendaknya pula seseorang menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas ucapan dan perbuatannya. Allah Ta’ala telah menugaskan dua malaikat untuk mencatat segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya: “Ketika dua malaikat mencatat amalannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lainnya di sebelah kiri.” “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17–18) Juga firman-Nya: “Dan sesungguhnya bagi kalian ada para malaikat pengawas yang mulia, para pencatat, yang mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. Al-Infithar: 10–12) Maka hendaklah setiap muslim menyadari hal ini, bahwa segala sesuatu tercatat atas dirinya. Ia juga akan dihadapkan pada catatan itu di Hari Kiamat, dalam lembaran amalnya. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap perbuatan yang ia lakukan akan dicatat atasnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya di Hari Kiamat. “Dan Kami akan tegakkan timbangan keadilan pada Hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang dirugikan sedikit pun.” (QS. Al-Anbiya: 47) “Dan diletakkanlah kitab…” yaitu kitab catatan amal. “Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan melihat para pendosa ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya…” (QS. Al-Kahfi: 49), yaitu merasa takut. “Mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini…’ (QS. Al-Kahfi: 49), maksudnya kitab catatan amal. ‘…yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya…’” (QS. Al-Kahfi: 49) “Dan mereka mendapati apa yang telah mereka lakukan ada di hadapan mereka (tertulis), dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49) ==== السُّؤَالُ الثَّالِثُ وَأَعْتَقِدُ أَنَّ هَذَا سُؤَالُ كَثِيرٍ مِنَ النِّسَاءِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْفَضْفَضَةِ يَعْنِي الْمَرْأَةُ أَحْيَانًا قَدْ تَتَعَرَّضُ لِضُغُوْطٍ بِسَبَبِ يَعْنِي الْمَعِيشَةِ مَعَ الزَّوْجِ وَمَعَ الْأَوْلَادِ وَأَحْيَانًا ضُغُوطٍ خَارِجِيَّةٍ فِي ذَلِكَ فَتَجِدُ يَجْلِسُونَ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ ثُمَّ كُلُّ وَاحِدَةٍ تُخْرِجُ يَعْنِي مَا عِنْدَهَا مِنَ الْمَشَاكِلِ وَإِلَى آخِرِهِ هِي لَيْسَ مِنْ قَبِيلِ الِاعْتِرَاضِ عَلَى قَضَاءِ اللَّهِ وَلَا جَزَعًا وَإِنَّمَا تَخْفِيفًا مِنْ هَذَا الضَّغْطِ النَّفْسِيِّ هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ غِيْبَةٌ وَلَا سُخْرِيَّةٌ وَلَا نَمِيمَةٌ وَإِنَّمَا كَانَ مُجَرَّدَ حَدِيثٍ عَابِرٍ فَلَا بَأْسَ لَكِنَّ الْغَالِبَ أَنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَخْلُو مِنْ آفَاتِ اللِّسَانِ لَا يَخْلُو مِنَ الْوُقُوعِ فِي غِيْبَةٍ أَوْ سُخْرِيَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَعَلَى الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ وَهَكَذَا أَيْضًا عَلَى الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ الْعَبْدُ أَنَّهُ مُؤَاخَذٌ بِأَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى قَدْ وَكَّلَ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ كُلَّ شَيْءٍ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ وَقَالَ وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ فَلْيَسْتَحْضِرِ الْمُسْلِمُ هَذَا وَأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ وَسَيُوَاجِهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي صَحِيفَةِ أَعْمَالِهِ كُلُّ كَلِمَةٍ يَتَكَلَّمُ بِهَا كُلُّ فِعْلٍ يَفْعَلُهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْهِ وَيُحَاسَبُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَوُضِعَ الْكِتَابُ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ يَعْنِي خَائِفِيْنَ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا


Pertanyaan ketiga, dan saya kira ini adalah pertanyaan banyak wanita, berkaitan dengan curhat. Artinya, kadang seorang wanita mengalami tekanan hidup karena kehidupan bersama suami dan anak-anak, dan kadang juga tekanan dari luar. Mereka pun duduk bersama dalam satu majelis, lalu masing-masing mengungkapkan berbagai masalah yang ia alami, dan seterusnya. Tujuannya bukan untuk memprotes takdir Allah, bukan pula karena keluh kesah, melainkan sekadar ingin meringankan beban psikologis. Apakah hal seperti ini diperbolehkan atau tidak? Jika di dalamnya tidak ada ghibah (menggunjing), ejekan, maupun namimah (mengadu domba), dan hanya sekadar obrolan biasa yang sekilas saja, maka tidak mengapa. Namun, biasanya majelis seperti ini sulit terlepas dari penyakit-penyakit lisan. Tidak terlepas dari terjerumus ke dalam ghibah, ejekan, atau hal semacamnya. Maka, hendaknya wanita muslimah — begitu pula laki-laki muslim bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Hendaknya pula seseorang menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas ucapan dan perbuatannya. Allah Ta’ala telah menugaskan dua malaikat untuk mencatat segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya: “Ketika dua malaikat mencatat amalannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lainnya di sebelah kiri.” “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17–18) Juga firman-Nya: “Dan sesungguhnya bagi kalian ada para malaikat pengawas yang mulia, para pencatat, yang mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. Al-Infithar: 10–12) Maka hendaklah setiap muslim menyadari hal ini, bahwa segala sesuatu tercatat atas dirinya. Ia juga akan dihadapkan pada catatan itu di Hari Kiamat, dalam lembaran amalnya. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap perbuatan yang ia lakukan akan dicatat atasnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya di Hari Kiamat. “Dan Kami akan tegakkan timbangan keadilan pada Hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang dirugikan sedikit pun.” (QS. Al-Anbiya: 47) “Dan diletakkanlah kitab…” yaitu kitab catatan amal. “Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan melihat para pendosa ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya…” (QS. Al-Kahfi: 49), yaitu merasa takut. “Mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini…’ (QS. Al-Kahfi: 49), maksudnya kitab catatan amal. ‘…yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya…’” (QS. Al-Kahfi: 49) “Dan mereka mendapati apa yang telah mereka lakukan ada di hadapan mereka (tertulis), dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49) ==== السُّؤَالُ الثَّالِثُ وَأَعْتَقِدُ أَنَّ هَذَا سُؤَالُ كَثِيرٍ مِنَ النِّسَاءِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْفَضْفَضَةِ يَعْنِي الْمَرْأَةُ أَحْيَانًا قَدْ تَتَعَرَّضُ لِضُغُوْطٍ بِسَبَبِ يَعْنِي الْمَعِيشَةِ مَعَ الزَّوْجِ وَمَعَ الْأَوْلَادِ وَأَحْيَانًا ضُغُوطٍ خَارِجِيَّةٍ فِي ذَلِكَ فَتَجِدُ يَجْلِسُونَ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ ثُمَّ كُلُّ وَاحِدَةٍ تُخْرِجُ يَعْنِي مَا عِنْدَهَا مِنَ الْمَشَاكِلِ وَإِلَى آخِرِهِ هِي لَيْسَ مِنْ قَبِيلِ الِاعْتِرَاضِ عَلَى قَضَاءِ اللَّهِ وَلَا جَزَعًا وَإِنَّمَا تَخْفِيفًا مِنْ هَذَا الضَّغْطِ النَّفْسِيِّ هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ غِيْبَةٌ وَلَا سُخْرِيَّةٌ وَلَا نَمِيمَةٌ وَإِنَّمَا كَانَ مُجَرَّدَ حَدِيثٍ عَابِرٍ فَلَا بَأْسَ لَكِنَّ الْغَالِبَ أَنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَخْلُو مِنْ آفَاتِ اللِّسَانِ لَا يَخْلُو مِنَ الْوُقُوعِ فِي غِيْبَةٍ أَوْ سُخْرِيَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَعَلَى الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ وَهَكَذَا أَيْضًا عَلَى الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ الْعَبْدُ أَنَّهُ مُؤَاخَذٌ بِأَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى قَدْ وَكَّلَ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ كُلَّ شَيْءٍ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ وَقَالَ وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ فَلْيَسْتَحْضِرِ الْمُسْلِمُ هَذَا وَأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ وَسَيُوَاجِهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي صَحِيفَةِ أَعْمَالِهِ كُلُّ كَلِمَةٍ يَتَكَلَّمُ بِهَا كُلُّ فِعْلٍ يَفْعَلُهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْهِ وَيُحَاسَبُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَوُضِعَ الْكِتَابُ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ يَعْنِي خَائِفِيْنَ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ يَعْنِي كِتَابُ الْأَعْمَالِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Fatwa Ulama: Hukum Membaca Injil dan Taurat

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Apa hukum membaca Injil dan Taurat? Dan apa jawaban terhadap syubhat (keraguan) yang menyatakan bahwa Syekhul Islam (Ibnu Taimiyah) pernah membacanya?Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab yang bercampur (di dalamnya pent.) antara kebenaran dan kebatilan, untuk menghindari kerusakan yang mungkin timbul akibat membacanya terhadap agama kaum muslimin. Dan siapa saja yang mencari kebenaran, dia akan menemukannya dalam dua sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan keduanya.Oleh karena itu, Nabi ﷺ memperingatkan umatnya dari kitab-kitab para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), sebagaimana dalam kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, yang membawa sebuah kitab dari sebagian Ahli Kitab kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ pun marah dan bersabda,أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي“Apakah engkau ragu-ragu, wahai Ibnu Khattab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah membawa ajaran yang putih bersih. Janganlah kalian bertanya kepada mereka (Ahli Kitab) tentang sesuatu, karena mereka mungkin akan memberitahukan kebenaran, lalu kalian mendustakannya; atau mereka memberitahukan kebatilan, lalu kalian mempercayainya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” [1]Adapun orang yang telah memiliki pemahaman yang kuat tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, serta membutuhkan (membaca Kitab Injil dan Taurat) untuk membela agama dan meninggikan kalimat kebenaran dengan mempelajari kitab-kitab ahlul hawa, ahli bid’ah, dan para filosof secara kritis dan mendalam untuk mengungkap kelemahan-kelemahan mereka, serta menunjukkan kontradiksi di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan baginya dan bagi ulama yang mumpuni. Sebagaimana yang dilakukan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah terhadap kitab-kitab ahli logika dan bantahannya terhadap para filosof. Beliau juga mempelajari kitab-kitab Rafidhah dari kalangan Syiah dan membantah mereka dalam kitab “Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqd Kalam Asy-Syi’ah Al-Qadariyyah”. Selain itu, beliau juga menjelaskan kontradiksi yang terjadi di antara berbagai Injil dan kesesatan kaum Nasrani dalam keyakinan mereka dalam kitab “Al-Jawab Ash-Shahih li man Baddala Din Al-Masih”.Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-30Baca juga: Iman Terhadap Kitab Suci***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 15156) dari hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dihasankan oleh Al-Albani dalam Zhilaal Al-Jannah (1: 27). Beliau berkata, “Sanad para perawinya tsiqah (terpercaya) kecuali Mujalid, yaitu Ibnu Sa’id, karena dia lemah. Namun, hadis ini hasan karena memiliki jalur-jalur lain yang telah aku sebutkan dalam Al-Misykah (no. 177), kemudian aku mengeluarkan sebagian jalurnya dalam Al-Irwa’ (no. 1589).”

Fatwa Ulama: Hukum Membaca Injil dan Taurat

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Apa hukum membaca Injil dan Taurat? Dan apa jawaban terhadap syubhat (keraguan) yang menyatakan bahwa Syekhul Islam (Ibnu Taimiyah) pernah membacanya?Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab yang bercampur (di dalamnya pent.) antara kebenaran dan kebatilan, untuk menghindari kerusakan yang mungkin timbul akibat membacanya terhadap agama kaum muslimin. Dan siapa saja yang mencari kebenaran, dia akan menemukannya dalam dua sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan keduanya.Oleh karena itu, Nabi ﷺ memperingatkan umatnya dari kitab-kitab para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), sebagaimana dalam kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, yang membawa sebuah kitab dari sebagian Ahli Kitab kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ pun marah dan bersabda,أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي“Apakah engkau ragu-ragu, wahai Ibnu Khattab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah membawa ajaran yang putih bersih. Janganlah kalian bertanya kepada mereka (Ahli Kitab) tentang sesuatu, karena mereka mungkin akan memberitahukan kebenaran, lalu kalian mendustakannya; atau mereka memberitahukan kebatilan, lalu kalian mempercayainya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” [1]Adapun orang yang telah memiliki pemahaman yang kuat tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, serta membutuhkan (membaca Kitab Injil dan Taurat) untuk membela agama dan meninggikan kalimat kebenaran dengan mempelajari kitab-kitab ahlul hawa, ahli bid’ah, dan para filosof secara kritis dan mendalam untuk mengungkap kelemahan-kelemahan mereka, serta menunjukkan kontradiksi di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan baginya dan bagi ulama yang mumpuni. Sebagaimana yang dilakukan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah terhadap kitab-kitab ahli logika dan bantahannya terhadap para filosof. Beliau juga mempelajari kitab-kitab Rafidhah dari kalangan Syiah dan membantah mereka dalam kitab “Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqd Kalam Asy-Syi’ah Al-Qadariyyah”. Selain itu, beliau juga menjelaskan kontradiksi yang terjadi di antara berbagai Injil dan kesesatan kaum Nasrani dalam keyakinan mereka dalam kitab “Al-Jawab Ash-Shahih li man Baddala Din Al-Masih”.Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-30Baca juga: Iman Terhadap Kitab Suci***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 15156) dari hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dihasankan oleh Al-Albani dalam Zhilaal Al-Jannah (1: 27). Beliau berkata, “Sanad para perawinya tsiqah (terpercaya) kecuali Mujalid, yaitu Ibnu Sa’id, karena dia lemah. Namun, hadis ini hasan karena memiliki jalur-jalur lain yang telah aku sebutkan dalam Al-Misykah (no. 177), kemudian aku mengeluarkan sebagian jalurnya dalam Al-Irwa’ (no. 1589).”
Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Apa hukum membaca Injil dan Taurat? Dan apa jawaban terhadap syubhat (keraguan) yang menyatakan bahwa Syekhul Islam (Ibnu Taimiyah) pernah membacanya?Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab yang bercampur (di dalamnya pent.) antara kebenaran dan kebatilan, untuk menghindari kerusakan yang mungkin timbul akibat membacanya terhadap agama kaum muslimin. Dan siapa saja yang mencari kebenaran, dia akan menemukannya dalam dua sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan keduanya.Oleh karena itu, Nabi ﷺ memperingatkan umatnya dari kitab-kitab para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), sebagaimana dalam kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, yang membawa sebuah kitab dari sebagian Ahli Kitab kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ pun marah dan bersabda,أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي“Apakah engkau ragu-ragu, wahai Ibnu Khattab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah membawa ajaran yang putih bersih. Janganlah kalian bertanya kepada mereka (Ahli Kitab) tentang sesuatu, karena mereka mungkin akan memberitahukan kebenaran, lalu kalian mendustakannya; atau mereka memberitahukan kebatilan, lalu kalian mempercayainya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” [1]Adapun orang yang telah memiliki pemahaman yang kuat tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, serta membutuhkan (membaca Kitab Injil dan Taurat) untuk membela agama dan meninggikan kalimat kebenaran dengan mempelajari kitab-kitab ahlul hawa, ahli bid’ah, dan para filosof secara kritis dan mendalam untuk mengungkap kelemahan-kelemahan mereka, serta menunjukkan kontradiksi di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan baginya dan bagi ulama yang mumpuni. Sebagaimana yang dilakukan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah terhadap kitab-kitab ahli logika dan bantahannya terhadap para filosof. Beliau juga mempelajari kitab-kitab Rafidhah dari kalangan Syiah dan membantah mereka dalam kitab “Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqd Kalam Asy-Syi’ah Al-Qadariyyah”. Selain itu, beliau juga menjelaskan kontradiksi yang terjadi di antara berbagai Injil dan kesesatan kaum Nasrani dalam keyakinan mereka dalam kitab “Al-Jawab Ash-Shahih li man Baddala Din Al-Masih”.Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-30Baca juga: Iman Terhadap Kitab Suci***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 15156) dari hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dihasankan oleh Al-Albani dalam Zhilaal Al-Jannah (1: 27). Beliau berkata, “Sanad para perawinya tsiqah (terpercaya) kecuali Mujalid, yaitu Ibnu Sa’id, karena dia lemah. Namun, hadis ini hasan karena memiliki jalur-jalur lain yang telah aku sebutkan dalam Al-Misykah (no. 177), kemudian aku mengeluarkan sebagian jalurnya dalam Al-Irwa’ (no. 1589).”


Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Apa hukum membaca Injil dan Taurat? Dan apa jawaban terhadap syubhat (keraguan) yang menyatakan bahwa Syekhul Islam (Ibnu Taimiyah) pernah membacanya?Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab yang bercampur (di dalamnya pent.) antara kebenaran dan kebatilan, untuk menghindari kerusakan yang mungkin timbul akibat membacanya terhadap agama kaum muslimin. Dan siapa saja yang mencari kebenaran, dia akan menemukannya dalam dua sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan keduanya.Oleh karena itu, Nabi ﷺ memperingatkan umatnya dari kitab-kitab para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), sebagaimana dalam kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, yang membawa sebuah kitab dari sebagian Ahli Kitab kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ pun marah dan bersabda,أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي“Apakah engkau ragu-ragu, wahai Ibnu Khattab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah membawa ajaran yang putih bersih. Janganlah kalian bertanya kepada mereka (Ahli Kitab) tentang sesuatu, karena mereka mungkin akan memberitahukan kebenaran, lalu kalian mendustakannya; atau mereka memberitahukan kebatilan, lalu kalian mempercayainya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” [1]Adapun orang yang telah memiliki pemahaman yang kuat tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, serta membutuhkan (membaca Kitab Injil dan Taurat) untuk membela agama dan meninggikan kalimat kebenaran dengan mempelajari kitab-kitab ahlul hawa, ahli bid’ah, dan para filosof secara kritis dan mendalam untuk mengungkap kelemahan-kelemahan mereka, serta menunjukkan kontradiksi di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan baginya dan bagi ulama yang mumpuni. Sebagaimana yang dilakukan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah terhadap kitab-kitab ahli logika dan bantahannya terhadap para filosof. Beliau juga mempelajari kitab-kitab Rafidhah dari kalangan Syiah dan membantah mereka dalam kitab “Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqd Kalam Asy-Syi’ah Al-Qadariyyah”. Selain itu, beliau juga menjelaskan kontradiksi yang terjadi di antara berbagai Injil dan kesesatan kaum Nasrani dalam keyakinan mereka dalam kitab “Al-Jawab Ash-Shahih li man Baddala Din Al-Masih”.Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-30Baca juga: Iman Terhadap Kitab Suci***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 15156) dari hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dihasankan oleh Al-Albani dalam Zhilaal Al-Jannah (1: 27). Beliau berkata, “Sanad para perawinya tsiqah (terpercaya) kecuali Mujalid, yaitu Ibnu Sa’id, karena dia lemah. Namun, hadis ini hasan karena memiliki jalur-jalur lain yang telah aku sebutkan dalam Al-Misykah (no. 177), kemudian aku mengeluarkan sebagian jalurnya dalam Al-Irwa’ (no. 1589).”

Mitos atau Fakta: Mayit Tahu Amal Perbuatan Orang yang Hidup? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Di sini ada pertanyaan tentang hal yang sering diperbincangkan orang. Apa batasan pengetahuan mayit tentang keadaan orang hidup? Misalnya, jika orang hidup mendoakannya atau bersedekah atas namanya, atau merindukannya dan menziarahi kuburnya. Apakah mayit mengetahui semua ini atau tidak? Perkara-perkara ini tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, karena termasuk perkara ghaib. Seberapa pun cerdas dan tajamnya akal manusia, tidak akan mampu menemukan jawabannya. Ini termasuk perkara ghaib. Karena itu, kita merujuk kembali pada nash-nash yang ada. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskannya. Sepengetahuan saya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahui amal perbuatan orang hidup. Adapun hadis dan atsar yang diriwayatkan tentang ini, semuanya lemah. Tidak ada satu pun yang sahih. Semua riwayat yang disebutkan statusnya lemah. Berdasarkan itu, manusia tidak bisa memastikan masalah ini dengan pernyataan tegas bahwa mayit mengetahui atau menyadari hal tersebut. Namun, jika seseorang bermimpi yang menunjukkan kegembiraan mayit—misalnya karena amal saleh yang dihadiahkan untuknya—mungkin ini bisa dijadikan acuan. Setelah masa kenabian berakhir, tidak ada cara untuk mengetahui perkara ghaib, kecuali melalui satu jalan, yaitu mimpi. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada lagi kenabian kecuali kabar gembira.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang muslim yang saleh.” (HR. Bukhari & Muslim). Hanya itu caranya. Selain itu, tidak mungkin seseorang mengetahui perkara ghaib. Sebagaimana telah kami jelaskan, mimpi hanya sebagai sangkaan saja. Dengan demikian, kita tidak bisa memastikan bahwa orang mati mengetahui amal perbuatan orang hidup. Bahkan, jika seseorang berziarah ke makam kerabatnya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahuinya. Hadis yang diriwayatkan tentang ini pun lemah. Ia berziarah untuk mendoakannya, sama seperti berziarah ke makam lainnya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan manfaat ziarah kubur, bukan agar penghuni kubur merasa terhibur dengan kedatangannya. Tidak! Namun, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan pada akhirat.” (HR. Al-Hakim, disampaikan Syaikh secara makna). Tujuan ziarah kubur hanyalah untuk mengingat akhirat. Adapun doa untuk mayit, tidak berbeda, baik dibacakan di kuburannya, di rumah, atau di mana pun. Doa tetaplah doa – di mana pun sama saja. Ada sebagian orang yang menyusahkan diri dengan berziarah setiap hari ke makam kerabatnya, mengira itu bentuk kebaikan untuk mayit. Padahal, sekiranya ia mengalihkan usahanya untuk mendoakan, bersedekah, atau berbuat kebaikan lain untuk mayit, itu lebih baik. Bahkan, ada yang mencela saudara atau kerabatnya, “Mengapa kamu tidak menziarahi kerabat kita, si fulan?” Baiklah. Apakah kerabatmu itu si fulan benar-benar mengetahui kedatanganmu? Kerabatmu, si fulan, telah kembali kepada Tuhannya. Jasadnya akan menjadi tanah dan hancur, kecuali tulang ekornya. Kecuali para nabi, orang saleh, dan syuhada. Adapun ruhnya, jika ia penghuni surga, ruhnya telah naik ke surga. Jika penghuni neraka, ruhnya berada di Sijjin. Dia tidak lagi mengetahui tentangmu. Namun, kamu bisa memberinya manfaat dengan mendoakannya, bersedekah atas namanya—terutama sedekah jariyah, yaitu wakaf—serta umrah atau haji untuknya. Juga sebagaimana disebutkan Nabi yaitu dengan memuliakan sahabat si mayit. “Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah menyambung hubungan dengan sahabat ayahnya.” (HR. Muslim). Inilah yang benar-benar bermanfaat bagi mayit.Namun, jika ia berziarah ke kuburan, itu memang disyariatkan, tetapi tujuannya untuk mengambil pelajaran. Tidak mengapa baginya untuk berziarah ke kuburan kerabatnya dan mendoakannya. ==== هُنَا سُؤَالٌ عَنْ وَهُوَ مِمَّا يَكْثُرُ حَدِيثُ النَّاسِ عَنْهُ مَا هِيَ حُدُودُ عِلْمِ الْمَيِّتِ بِحَالِ الْحَيِّ يَعْنِي مَثَلًا إِذَا دَعَا لَهُ أَوْ تَصَدَّقَ عَنْهُ أَوْ مَثَلًا يَعْنِي اِشْتَاقَ إِلَيْهِ أَوْ زَارَهُ فِي قَبْرِهِ هَلْ الْمَيِّتُ يَعْلَمُ بِهَذَا كُلِّهِ أَوْ لَا؟ هَذِهِ الْأُمُورُ لَا يَسْتَطِيعُ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ أَنْ يَصِلَ فِيهَا إِلَى جَوَابٍ لِأَنَّهَا أُمُورٌ غَيْبِيَّةٌ مَهْمَا كَانَ عَلَيْهِ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ مِنَ الذَّكَاءِ مِنَ الْحِدَّةِ مِنْ قُلْ مَا شِئْتَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَصِلَ لِلْجَوَابِ هَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْغَيْبِيَّةِ فَإِذًا نَرْجِعُ فِيهَا لِمَا وَرَدَ مِنَ النُّصُوصِ لَمْ يَرِدْ فِي هَذَا الشَّيْءِ فِيمَا أَعْلَمُ لَمْ يَرِدْ شَيْءٌ يَدُلُّ عَلَى بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْلَمُ بِأَعْمَالِ الْحَيِّ وَالْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ الْمَرْوِيَّةُ فِي ذَلِكَ كُلُّهَا ضَعِيْفَةٌ لَا يَثْبُتُ مِنْهَا شَيْءٌ كُلُّ مَا ذُكِرَ ضَعِيفٌ وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ لَيْسَ الْإِنْسَانُ أَنْ يَجْزِمَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِقَوْلٍ وَيَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ يَدْرِي أَوْ يَعْرِفُ أَوْ كَذَا لَكِنْ رُبَّمَا لَوْ رَأَى رُؤْيَا تَدُلُّ عَلَى اسْتِبْشَارِهِ بِـ ــ مَثَلًا– عَمَلٍ صَالِحٍ أُهْدِيَ لَهُ رُبَّمَا يَعْنِي يُسْتَأْنَسُ بِذَلِكَ لَيْسَ هُنَاكَ يَعْنِي سَبِيلٌ بَعْدَ انْقِطَاعِ النُّبُوَّةِ لَيْسَ هُنَاكَ سَبِيلٌ لِمَعْرِفَةِ عِلْمِ الْغَيْبِ إِلَّا عَنْ طَرِيقٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الرُّؤَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلّاَ المُبَشِّرَاتُ قَالُوْا وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الرَّجُلُ أَوْ تُرَى لَهُ فَقَطْ مَا عَدَا ذَلِكَ لَا يُمْكِنُ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْلَمَ الْغَيْبَ عَلَى أَنَّ الرُّؤْيَا كَمَا ذَكَرْنَا أَنَّهَا تُفِيدُ الظَّنَّ فَقَطْ وَعَلَى ذَلِكَ يَعْنِي فَلَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَجْزِمَ بِأَنَّ الْأَمْوَاتَ يَعْرِفُونَ أَعْمَالَ الْأَحْيَاءِ وَحَتَّى الْإِنْسَانِ لَوْ ذَهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَزَارَهُ لَيْسَ هُنَاكَ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَعْرِفُهُ حَدِيثٌ مَرْوِيٌّ فِي ذَلِكَ ضَعِيفٌ لَكِنْ هُوَ يَزُورُهُ لِأَجْلِ الدُّعَاءِ هُوَ يَزُوْرُهُ كَمَا يَزُوْرُ غَيْرَهُ وَلِهَذَا ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَائِدَةَ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ لَمْ يَقُلْ حَتَّى يَسْتَأْنِسَ أَهْلُ الْقُبُورِ لَا وَإِنَّمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ الْغَرَضُ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ هُوَ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ فَقَطْ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ لَا يَخْتَلِفُ الدُّعَاءُ عَنْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ عِنْدَ قَبْرِهِ أَوْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ فِي بَيْتِكَ أَوْ فِي أَيِّ مَكَانٍ مِنَ الأَرْضِ الدُّعَاءُ هُوَ الدُّعَاءُ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ يُتْعِبُ نَفْسَهُ كُلَّ يَوْمٍ يَذْهَبُ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ يَظُنُّ أَنَّهُ يُحْسِنُ إِلَيْهِ بِهَذَا الذَّهَابِ وَلَوْ أَنَّهُ صَرَفَ هَذَا الْجُهْدَ فِي الدُّعَاءِ لَهُ وَفِي الصَّدَقَةِ عَنْهُ وَفِي الْأَشْيَاءِ الَّتِي تَنْفَعُهُ لَكَانَ هَذَا أَحْسَنَ بَلْ إِنَّ بَعْضَهُمْ يُنْكِرُ عَلَى إِخْوَانِهِ وَعَلَى أَقَارِيْبِهِ مَا لَا تَزُورُ قَرِيْبَنَا فُلَانًا طَيِّبٌ هَلْ قَرِيبُكَ فُلَانٌ يَعْلَمُ بِكَ أَصْلًا قَرِيبُكَ فُلَانٌ انْتَقَلَ إِلَى رَبِّهِ وَجَسَدُهُ سَيُصْبِحُ تُرَابًا يَبْلَى إِلَّا عَجَبُ الذَّنَبِ إِلَّا مَن اسْتُثْنِيَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ أَمَّا رُوحُهُ فَإِن كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَقَدْ صَعَدَتْ إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيَكُونُ فِي سِجِّينٍ هُوَ لَا يَدْرِي عَنْكَ لَكِنْ أَنْ تَنْفَعَهُ بِالدُّعَاءِ لَهُ بِالصَّدَقَةِ عَنْهُ وَأَفْضَلُ مَا تَكُونُ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ يَعْنِي الْوَقْفَ بِالْعُمْرَة بِالْحَجِّ أَيْضًا كَمَا ذَكَرَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِإِكْرَامِ صَدِيقِهِ إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةُ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ هَذِهِ هِيَ الَّتِي تَنْفَعُ الْمَيِّتَ لَكِنْ لَوْ ذَهَبَ لِلْمَقْبَرَةِ هَذَا أَمْرٌ مَشْرُوعٌ لَكِنْ مَشْرُوعٌ لِأَجْلِ الِاعْتِبَارِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَذْهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَيَدْعُو لَهُ

Mitos atau Fakta: Mayit Tahu Amal Perbuatan Orang yang Hidup? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Di sini ada pertanyaan tentang hal yang sering diperbincangkan orang. Apa batasan pengetahuan mayit tentang keadaan orang hidup? Misalnya, jika orang hidup mendoakannya atau bersedekah atas namanya, atau merindukannya dan menziarahi kuburnya. Apakah mayit mengetahui semua ini atau tidak? Perkara-perkara ini tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, karena termasuk perkara ghaib. Seberapa pun cerdas dan tajamnya akal manusia, tidak akan mampu menemukan jawabannya. Ini termasuk perkara ghaib. Karena itu, kita merujuk kembali pada nash-nash yang ada. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskannya. Sepengetahuan saya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahui amal perbuatan orang hidup. Adapun hadis dan atsar yang diriwayatkan tentang ini, semuanya lemah. Tidak ada satu pun yang sahih. Semua riwayat yang disebutkan statusnya lemah. Berdasarkan itu, manusia tidak bisa memastikan masalah ini dengan pernyataan tegas bahwa mayit mengetahui atau menyadari hal tersebut. Namun, jika seseorang bermimpi yang menunjukkan kegembiraan mayit—misalnya karena amal saleh yang dihadiahkan untuknya—mungkin ini bisa dijadikan acuan. Setelah masa kenabian berakhir, tidak ada cara untuk mengetahui perkara ghaib, kecuali melalui satu jalan, yaitu mimpi. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada lagi kenabian kecuali kabar gembira.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang muslim yang saleh.” (HR. Bukhari & Muslim). Hanya itu caranya. Selain itu, tidak mungkin seseorang mengetahui perkara ghaib. Sebagaimana telah kami jelaskan, mimpi hanya sebagai sangkaan saja. Dengan demikian, kita tidak bisa memastikan bahwa orang mati mengetahui amal perbuatan orang hidup. Bahkan, jika seseorang berziarah ke makam kerabatnya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahuinya. Hadis yang diriwayatkan tentang ini pun lemah. Ia berziarah untuk mendoakannya, sama seperti berziarah ke makam lainnya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan manfaat ziarah kubur, bukan agar penghuni kubur merasa terhibur dengan kedatangannya. Tidak! Namun, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan pada akhirat.” (HR. Al-Hakim, disampaikan Syaikh secara makna). Tujuan ziarah kubur hanyalah untuk mengingat akhirat. Adapun doa untuk mayit, tidak berbeda, baik dibacakan di kuburannya, di rumah, atau di mana pun. Doa tetaplah doa – di mana pun sama saja. Ada sebagian orang yang menyusahkan diri dengan berziarah setiap hari ke makam kerabatnya, mengira itu bentuk kebaikan untuk mayit. Padahal, sekiranya ia mengalihkan usahanya untuk mendoakan, bersedekah, atau berbuat kebaikan lain untuk mayit, itu lebih baik. Bahkan, ada yang mencela saudara atau kerabatnya, “Mengapa kamu tidak menziarahi kerabat kita, si fulan?” Baiklah. Apakah kerabatmu itu si fulan benar-benar mengetahui kedatanganmu? Kerabatmu, si fulan, telah kembali kepada Tuhannya. Jasadnya akan menjadi tanah dan hancur, kecuali tulang ekornya. Kecuali para nabi, orang saleh, dan syuhada. Adapun ruhnya, jika ia penghuni surga, ruhnya telah naik ke surga. Jika penghuni neraka, ruhnya berada di Sijjin. Dia tidak lagi mengetahui tentangmu. Namun, kamu bisa memberinya manfaat dengan mendoakannya, bersedekah atas namanya—terutama sedekah jariyah, yaitu wakaf—serta umrah atau haji untuknya. Juga sebagaimana disebutkan Nabi yaitu dengan memuliakan sahabat si mayit. “Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah menyambung hubungan dengan sahabat ayahnya.” (HR. Muslim). Inilah yang benar-benar bermanfaat bagi mayit.Namun, jika ia berziarah ke kuburan, itu memang disyariatkan, tetapi tujuannya untuk mengambil pelajaran. Tidak mengapa baginya untuk berziarah ke kuburan kerabatnya dan mendoakannya. ==== هُنَا سُؤَالٌ عَنْ وَهُوَ مِمَّا يَكْثُرُ حَدِيثُ النَّاسِ عَنْهُ مَا هِيَ حُدُودُ عِلْمِ الْمَيِّتِ بِحَالِ الْحَيِّ يَعْنِي مَثَلًا إِذَا دَعَا لَهُ أَوْ تَصَدَّقَ عَنْهُ أَوْ مَثَلًا يَعْنِي اِشْتَاقَ إِلَيْهِ أَوْ زَارَهُ فِي قَبْرِهِ هَلْ الْمَيِّتُ يَعْلَمُ بِهَذَا كُلِّهِ أَوْ لَا؟ هَذِهِ الْأُمُورُ لَا يَسْتَطِيعُ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ أَنْ يَصِلَ فِيهَا إِلَى جَوَابٍ لِأَنَّهَا أُمُورٌ غَيْبِيَّةٌ مَهْمَا كَانَ عَلَيْهِ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ مِنَ الذَّكَاءِ مِنَ الْحِدَّةِ مِنْ قُلْ مَا شِئْتَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَصِلَ لِلْجَوَابِ هَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْغَيْبِيَّةِ فَإِذًا نَرْجِعُ فِيهَا لِمَا وَرَدَ مِنَ النُّصُوصِ لَمْ يَرِدْ فِي هَذَا الشَّيْءِ فِيمَا أَعْلَمُ لَمْ يَرِدْ شَيْءٌ يَدُلُّ عَلَى بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْلَمُ بِأَعْمَالِ الْحَيِّ وَالْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ الْمَرْوِيَّةُ فِي ذَلِكَ كُلُّهَا ضَعِيْفَةٌ لَا يَثْبُتُ مِنْهَا شَيْءٌ كُلُّ مَا ذُكِرَ ضَعِيفٌ وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ لَيْسَ الْإِنْسَانُ أَنْ يَجْزِمَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِقَوْلٍ وَيَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ يَدْرِي أَوْ يَعْرِفُ أَوْ كَذَا لَكِنْ رُبَّمَا لَوْ رَأَى رُؤْيَا تَدُلُّ عَلَى اسْتِبْشَارِهِ بِـ ــ مَثَلًا– عَمَلٍ صَالِحٍ أُهْدِيَ لَهُ رُبَّمَا يَعْنِي يُسْتَأْنَسُ بِذَلِكَ لَيْسَ هُنَاكَ يَعْنِي سَبِيلٌ بَعْدَ انْقِطَاعِ النُّبُوَّةِ لَيْسَ هُنَاكَ سَبِيلٌ لِمَعْرِفَةِ عِلْمِ الْغَيْبِ إِلَّا عَنْ طَرِيقٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الرُّؤَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلّاَ المُبَشِّرَاتُ قَالُوْا وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الرَّجُلُ أَوْ تُرَى لَهُ فَقَطْ مَا عَدَا ذَلِكَ لَا يُمْكِنُ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْلَمَ الْغَيْبَ عَلَى أَنَّ الرُّؤْيَا كَمَا ذَكَرْنَا أَنَّهَا تُفِيدُ الظَّنَّ فَقَطْ وَعَلَى ذَلِكَ يَعْنِي فَلَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَجْزِمَ بِأَنَّ الْأَمْوَاتَ يَعْرِفُونَ أَعْمَالَ الْأَحْيَاءِ وَحَتَّى الْإِنْسَانِ لَوْ ذَهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَزَارَهُ لَيْسَ هُنَاكَ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَعْرِفُهُ حَدِيثٌ مَرْوِيٌّ فِي ذَلِكَ ضَعِيفٌ لَكِنْ هُوَ يَزُورُهُ لِأَجْلِ الدُّعَاءِ هُوَ يَزُوْرُهُ كَمَا يَزُوْرُ غَيْرَهُ وَلِهَذَا ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَائِدَةَ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ لَمْ يَقُلْ حَتَّى يَسْتَأْنِسَ أَهْلُ الْقُبُورِ لَا وَإِنَّمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ الْغَرَضُ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ هُوَ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ فَقَطْ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ لَا يَخْتَلِفُ الدُّعَاءُ عَنْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ عِنْدَ قَبْرِهِ أَوْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ فِي بَيْتِكَ أَوْ فِي أَيِّ مَكَانٍ مِنَ الأَرْضِ الدُّعَاءُ هُوَ الدُّعَاءُ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ يُتْعِبُ نَفْسَهُ كُلَّ يَوْمٍ يَذْهَبُ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ يَظُنُّ أَنَّهُ يُحْسِنُ إِلَيْهِ بِهَذَا الذَّهَابِ وَلَوْ أَنَّهُ صَرَفَ هَذَا الْجُهْدَ فِي الدُّعَاءِ لَهُ وَفِي الصَّدَقَةِ عَنْهُ وَفِي الْأَشْيَاءِ الَّتِي تَنْفَعُهُ لَكَانَ هَذَا أَحْسَنَ بَلْ إِنَّ بَعْضَهُمْ يُنْكِرُ عَلَى إِخْوَانِهِ وَعَلَى أَقَارِيْبِهِ مَا لَا تَزُورُ قَرِيْبَنَا فُلَانًا طَيِّبٌ هَلْ قَرِيبُكَ فُلَانٌ يَعْلَمُ بِكَ أَصْلًا قَرِيبُكَ فُلَانٌ انْتَقَلَ إِلَى رَبِّهِ وَجَسَدُهُ سَيُصْبِحُ تُرَابًا يَبْلَى إِلَّا عَجَبُ الذَّنَبِ إِلَّا مَن اسْتُثْنِيَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ أَمَّا رُوحُهُ فَإِن كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَقَدْ صَعَدَتْ إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيَكُونُ فِي سِجِّينٍ هُوَ لَا يَدْرِي عَنْكَ لَكِنْ أَنْ تَنْفَعَهُ بِالدُّعَاءِ لَهُ بِالصَّدَقَةِ عَنْهُ وَأَفْضَلُ مَا تَكُونُ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ يَعْنِي الْوَقْفَ بِالْعُمْرَة بِالْحَجِّ أَيْضًا كَمَا ذَكَرَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِإِكْرَامِ صَدِيقِهِ إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةُ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ هَذِهِ هِيَ الَّتِي تَنْفَعُ الْمَيِّتَ لَكِنْ لَوْ ذَهَبَ لِلْمَقْبَرَةِ هَذَا أَمْرٌ مَشْرُوعٌ لَكِنْ مَشْرُوعٌ لِأَجْلِ الِاعْتِبَارِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَذْهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَيَدْعُو لَهُ
Di sini ada pertanyaan tentang hal yang sering diperbincangkan orang. Apa batasan pengetahuan mayit tentang keadaan orang hidup? Misalnya, jika orang hidup mendoakannya atau bersedekah atas namanya, atau merindukannya dan menziarahi kuburnya. Apakah mayit mengetahui semua ini atau tidak? Perkara-perkara ini tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, karena termasuk perkara ghaib. Seberapa pun cerdas dan tajamnya akal manusia, tidak akan mampu menemukan jawabannya. Ini termasuk perkara ghaib. Karena itu, kita merujuk kembali pada nash-nash yang ada. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskannya. Sepengetahuan saya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahui amal perbuatan orang hidup. Adapun hadis dan atsar yang diriwayatkan tentang ini, semuanya lemah. Tidak ada satu pun yang sahih. Semua riwayat yang disebutkan statusnya lemah. Berdasarkan itu, manusia tidak bisa memastikan masalah ini dengan pernyataan tegas bahwa mayit mengetahui atau menyadari hal tersebut. Namun, jika seseorang bermimpi yang menunjukkan kegembiraan mayit—misalnya karena amal saleh yang dihadiahkan untuknya—mungkin ini bisa dijadikan acuan. Setelah masa kenabian berakhir, tidak ada cara untuk mengetahui perkara ghaib, kecuali melalui satu jalan, yaitu mimpi. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada lagi kenabian kecuali kabar gembira.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang muslim yang saleh.” (HR. Bukhari & Muslim). Hanya itu caranya. Selain itu, tidak mungkin seseorang mengetahui perkara ghaib. Sebagaimana telah kami jelaskan, mimpi hanya sebagai sangkaan saja. Dengan demikian, kita tidak bisa memastikan bahwa orang mati mengetahui amal perbuatan orang hidup. Bahkan, jika seseorang berziarah ke makam kerabatnya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahuinya. Hadis yang diriwayatkan tentang ini pun lemah. Ia berziarah untuk mendoakannya, sama seperti berziarah ke makam lainnya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan manfaat ziarah kubur, bukan agar penghuni kubur merasa terhibur dengan kedatangannya. Tidak! Namun, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan pada akhirat.” (HR. Al-Hakim, disampaikan Syaikh secara makna). Tujuan ziarah kubur hanyalah untuk mengingat akhirat. Adapun doa untuk mayit, tidak berbeda, baik dibacakan di kuburannya, di rumah, atau di mana pun. Doa tetaplah doa – di mana pun sama saja. Ada sebagian orang yang menyusahkan diri dengan berziarah setiap hari ke makam kerabatnya, mengira itu bentuk kebaikan untuk mayit. Padahal, sekiranya ia mengalihkan usahanya untuk mendoakan, bersedekah, atau berbuat kebaikan lain untuk mayit, itu lebih baik. Bahkan, ada yang mencela saudara atau kerabatnya, “Mengapa kamu tidak menziarahi kerabat kita, si fulan?” Baiklah. Apakah kerabatmu itu si fulan benar-benar mengetahui kedatanganmu? Kerabatmu, si fulan, telah kembali kepada Tuhannya. Jasadnya akan menjadi tanah dan hancur, kecuali tulang ekornya. Kecuali para nabi, orang saleh, dan syuhada. Adapun ruhnya, jika ia penghuni surga, ruhnya telah naik ke surga. Jika penghuni neraka, ruhnya berada di Sijjin. Dia tidak lagi mengetahui tentangmu. Namun, kamu bisa memberinya manfaat dengan mendoakannya, bersedekah atas namanya—terutama sedekah jariyah, yaitu wakaf—serta umrah atau haji untuknya. Juga sebagaimana disebutkan Nabi yaitu dengan memuliakan sahabat si mayit. “Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah menyambung hubungan dengan sahabat ayahnya.” (HR. Muslim). Inilah yang benar-benar bermanfaat bagi mayit.Namun, jika ia berziarah ke kuburan, itu memang disyariatkan, tetapi tujuannya untuk mengambil pelajaran. Tidak mengapa baginya untuk berziarah ke kuburan kerabatnya dan mendoakannya. ==== هُنَا سُؤَالٌ عَنْ وَهُوَ مِمَّا يَكْثُرُ حَدِيثُ النَّاسِ عَنْهُ مَا هِيَ حُدُودُ عِلْمِ الْمَيِّتِ بِحَالِ الْحَيِّ يَعْنِي مَثَلًا إِذَا دَعَا لَهُ أَوْ تَصَدَّقَ عَنْهُ أَوْ مَثَلًا يَعْنِي اِشْتَاقَ إِلَيْهِ أَوْ زَارَهُ فِي قَبْرِهِ هَلْ الْمَيِّتُ يَعْلَمُ بِهَذَا كُلِّهِ أَوْ لَا؟ هَذِهِ الْأُمُورُ لَا يَسْتَطِيعُ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ أَنْ يَصِلَ فِيهَا إِلَى جَوَابٍ لِأَنَّهَا أُمُورٌ غَيْبِيَّةٌ مَهْمَا كَانَ عَلَيْهِ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ مِنَ الذَّكَاءِ مِنَ الْحِدَّةِ مِنْ قُلْ مَا شِئْتَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَصِلَ لِلْجَوَابِ هَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْغَيْبِيَّةِ فَإِذًا نَرْجِعُ فِيهَا لِمَا وَرَدَ مِنَ النُّصُوصِ لَمْ يَرِدْ فِي هَذَا الشَّيْءِ فِيمَا أَعْلَمُ لَمْ يَرِدْ شَيْءٌ يَدُلُّ عَلَى بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْلَمُ بِأَعْمَالِ الْحَيِّ وَالْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ الْمَرْوِيَّةُ فِي ذَلِكَ كُلُّهَا ضَعِيْفَةٌ لَا يَثْبُتُ مِنْهَا شَيْءٌ كُلُّ مَا ذُكِرَ ضَعِيفٌ وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ لَيْسَ الْإِنْسَانُ أَنْ يَجْزِمَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِقَوْلٍ وَيَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ يَدْرِي أَوْ يَعْرِفُ أَوْ كَذَا لَكِنْ رُبَّمَا لَوْ رَأَى رُؤْيَا تَدُلُّ عَلَى اسْتِبْشَارِهِ بِـ ــ مَثَلًا– عَمَلٍ صَالِحٍ أُهْدِيَ لَهُ رُبَّمَا يَعْنِي يُسْتَأْنَسُ بِذَلِكَ لَيْسَ هُنَاكَ يَعْنِي سَبِيلٌ بَعْدَ انْقِطَاعِ النُّبُوَّةِ لَيْسَ هُنَاكَ سَبِيلٌ لِمَعْرِفَةِ عِلْمِ الْغَيْبِ إِلَّا عَنْ طَرِيقٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الرُّؤَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلّاَ المُبَشِّرَاتُ قَالُوْا وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الرَّجُلُ أَوْ تُرَى لَهُ فَقَطْ مَا عَدَا ذَلِكَ لَا يُمْكِنُ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْلَمَ الْغَيْبَ عَلَى أَنَّ الرُّؤْيَا كَمَا ذَكَرْنَا أَنَّهَا تُفِيدُ الظَّنَّ فَقَطْ وَعَلَى ذَلِكَ يَعْنِي فَلَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَجْزِمَ بِأَنَّ الْأَمْوَاتَ يَعْرِفُونَ أَعْمَالَ الْأَحْيَاءِ وَحَتَّى الْإِنْسَانِ لَوْ ذَهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَزَارَهُ لَيْسَ هُنَاكَ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَعْرِفُهُ حَدِيثٌ مَرْوِيٌّ فِي ذَلِكَ ضَعِيفٌ لَكِنْ هُوَ يَزُورُهُ لِأَجْلِ الدُّعَاءِ هُوَ يَزُوْرُهُ كَمَا يَزُوْرُ غَيْرَهُ وَلِهَذَا ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَائِدَةَ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ لَمْ يَقُلْ حَتَّى يَسْتَأْنِسَ أَهْلُ الْقُبُورِ لَا وَإِنَّمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ الْغَرَضُ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ هُوَ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ فَقَطْ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ لَا يَخْتَلِفُ الدُّعَاءُ عَنْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ عِنْدَ قَبْرِهِ أَوْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ فِي بَيْتِكَ أَوْ فِي أَيِّ مَكَانٍ مِنَ الأَرْضِ الدُّعَاءُ هُوَ الدُّعَاءُ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ يُتْعِبُ نَفْسَهُ كُلَّ يَوْمٍ يَذْهَبُ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ يَظُنُّ أَنَّهُ يُحْسِنُ إِلَيْهِ بِهَذَا الذَّهَابِ وَلَوْ أَنَّهُ صَرَفَ هَذَا الْجُهْدَ فِي الدُّعَاءِ لَهُ وَفِي الصَّدَقَةِ عَنْهُ وَفِي الْأَشْيَاءِ الَّتِي تَنْفَعُهُ لَكَانَ هَذَا أَحْسَنَ بَلْ إِنَّ بَعْضَهُمْ يُنْكِرُ عَلَى إِخْوَانِهِ وَعَلَى أَقَارِيْبِهِ مَا لَا تَزُورُ قَرِيْبَنَا فُلَانًا طَيِّبٌ هَلْ قَرِيبُكَ فُلَانٌ يَعْلَمُ بِكَ أَصْلًا قَرِيبُكَ فُلَانٌ انْتَقَلَ إِلَى رَبِّهِ وَجَسَدُهُ سَيُصْبِحُ تُرَابًا يَبْلَى إِلَّا عَجَبُ الذَّنَبِ إِلَّا مَن اسْتُثْنِيَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ أَمَّا رُوحُهُ فَإِن كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَقَدْ صَعَدَتْ إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيَكُونُ فِي سِجِّينٍ هُوَ لَا يَدْرِي عَنْكَ لَكِنْ أَنْ تَنْفَعَهُ بِالدُّعَاءِ لَهُ بِالصَّدَقَةِ عَنْهُ وَأَفْضَلُ مَا تَكُونُ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ يَعْنِي الْوَقْفَ بِالْعُمْرَة بِالْحَجِّ أَيْضًا كَمَا ذَكَرَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِإِكْرَامِ صَدِيقِهِ إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةُ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ هَذِهِ هِيَ الَّتِي تَنْفَعُ الْمَيِّتَ لَكِنْ لَوْ ذَهَبَ لِلْمَقْبَرَةِ هَذَا أَمْرٌ مَشْرُوعٌ لَكِنْ مَشْرُوعٌ لِأَجْلِ الِاعْتِبَارِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَذْهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَيَدْعُو لَهُ


Di sini ada pertanyaan tentang hal yang sering diperbincangkan orang. Apa batasan pengetahuan mayit tentang keadaan orang hidup? Misalnya, jika orang hidup mendoakannya atau bersedekah atas namanya, atau merindukannya dan menziarahi kuburnya. Apakah mayit mengetahui semua ini atau tidak? Perkara-perkara ini tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, karena termasuk perkara ghaib. Seberapa pun cerdas dan tajamnya akal manusia, tidak akan mampu menemukan jawabannya. Ini termasuk perkara ghaib. Karena itu, kita merujuk kembali pada nash-nash yang ada. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskannya. Sepengetahuan saya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahui amal perbuatan orang hidup. Adapun hadis dan atsar yang diriwayatkan tentang ini, semuanya lemah. Tidak ada satu pun yang sahih. Semua riwayat yang disebutkan statusnya lemah. Berdasarkan itu, manusia tidak bisa memastikan masalah ini dengan pernyataan tegas bahwa mayit mengetahui atau menyadari hal tersebut. Namun, jika seseorang bermimpi yang menunjukkan kegembiraan mayit—misalnya karena amal saleh yang dihadiahkan untuknya—mungkin ini bisa dijadikan acuan. Setelah masa kenabian berakhir, tidak ada cara untuk mengetahui perkara ghaib, kecuali melalui satu jalan, yaitu mimpi. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada lagi kenabian kecuali kabar gembira.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang muslim yang saleh.” (HR. Bukhari & Muslim). Hanya itu caranya. Selain itu, tidak mungkin seseorang mengetahui perkara ghaib. Sebagaimana telah kami jelaskan, mimpi hanya sebagai sangkaan saja. Dengan demikian, kita tidak bisa memastikan bahwa orang mati mengetahui amal perbuatan orang hidup. Bahkan, jika seseorang berziarah ke makam kerabatnya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mayit mengetahuinya. Hadis yang diriwayatkan tentang ini pun lemah. Ia berziarah untuk mendoakannya, sama seperti berziarah ke makam lainnya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan manfaat ziarah kubur, bukan agar penghuni kubur merasa terhibur dengan kedatangannya. Tidak! Namun, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan pada akhirat.” (HR. Al-Hakim, disampaikan Syaikh secara makna). Tujuan ziarah kubur hanyalah untuk mengingat akhirat. Adapun doa untuk mayit, tidak berbeda, baik dibacakan di kuburannya, di rumah, atau di mana pun. Doa tetaplah doa – di mana pun sama saja. Ada sebagian orang yang menyusahkan diri dengan berziarah setiap hari ke makam kerabatnya, mengira itu bentuk kebaikan untuk mayit. Padahal, sekiranya ia mengalihkan usahanya untuk mendoakan, bersedekah, atau berbuat kebaikan lain untuk mayit, itu lebih baik. Bahkan, ada yang mencela saudara atau kerabatnya, “Mengapa kamu tidak menziarahi kerabat kita, si fulan?” Baiklah. Apakah kerabatmu itu si fulan benar-benar mengetahui kedatanganmu? Kerabatmu, si fulan, telah kembali kepada Tuhannya. Jasadnya akan menjadi tanah dan hancur, kecuali tulang ekornya. Kecuali para nabi, orang saleh, dan syuhada. Adapun ruhnya, jika ia penghuni surga, ruhnya telah naik ke surga. Jika penghuni neraka, ruhnya berada di Sijjin. Dia tidak lagi mengetahui tentangmu. Namun, kamu bisa memberinya manfaat dengan mendoakannya, bersedekah atas namanya—terutama sedekah jariyah, yaitu wakaf—serta umrah atau haji untuknya. Juga sebagaimana disebutkan Nabi yaitu dengan memuliakan sahabat si mayit. “Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah menyambung hubungan dengan sahabat ayahnya.” (HR. Muslim). Inilah yang benar-benar bermanfaat bagi mayit.Namun, jika ia berziarah ke kuburan, itu memang disyariatkan, tetapi tujuannya untuk mengambil pelajaran. Tidak mengapa baginya untuk berziarah ke kuburan kerabatnya dan mendoakannya. ==== هُنَا سُؤَالٌ عَنْ وَهُوَ مِمَّا يَكْثُرُ حَدِيثُ النَّاسِ عَنْهُ مَا هِيَ حُدُودُ عِلْمِ الْمَيِّتِ بِحَالِ الْحَيِّ يَعْنِي مَثَلًا إِذَا دَعَا لَهُ أَوْ تَصَدَّقَ عَنْهُ أَوْ مَثَلًا يَعْنِي اِشْتَاقَ إِلَيْهِ أَوْ زَارَهُ فِي قَبْرِهِ هَلْ الْمَيِّتُ يَعْلَمُ بِهَذَا كُلِّهِ أَوْ لَا؟ هَذِهِ الْأُمُورُ لَا يَسْتَطِيعُ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ أَنْ يَصِلَ فِيهَا إِلَى جَوَابٍ لِأَنَّهَا أُمُورٌ غَيْبِيَّةٌ مَهْمَا كَانَ عَلَيْهِ الْعَقْلُ الْبَشَرِيُّ مِنَ الذَّكَاءِ مِنَ الْحِدَّةِ مِنْ قُلْ مَا شِئْتَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَصِلَ لِلْجَوَابِ هَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْغَيْبِيَّةِ فَإِذًا نَرْجِعُ فِيهَا لِمَا وَرَدَ مِنَ النُّصُوصِ لَمْ يَرِدْ فِي هَذَا الشَّيْءِ فِيمَا أَعْلَمُ لَمْ يَرِدْ شَيْءٌ يَدُلُّ عَلَى بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْلَمُ بِأَعْمَالِ الْحَيِّ وَالْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ الْمَرْوِيَّةُ فِي ذَلِكَ كُلُّهَا ضَعِيْفَةٌ لَا يَثْبُتُ مِنْهَا شَيْءٌ كُلُّ مَا ذُكِرَ ضَعِيفٌ وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ لَيْسَ الْإِنْسَانُ أَنْ يَجْزِمَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِقَوْلٍ وَيَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ يَدْرِي أَوْ يَعْرِفُ أَوْ كَذَا لَكِنْ رُبَّمَا لَوْ رَأَى رُؤْيَا تَدُلُّ عَلَى اسْتِبْشَارِهِ بِـ ــ مَثَلًا– عَمَلٍ صَالِحٍ أُهْدِيَ لَهُ رُبَّمَا يَعْنِي يُسْتَأْنَسُ بِذَلِكَ لَيْسَ هُنَاكَ يَعْنِي سَبِيلٌ بَعْدَ انْقِطَاعِ النُّبُوَّةِ لَيْسَ هُنَاكَ سَبِيلٌ لِمَعْرِفَةِ عِلْمِ الْغَيْبِ إِلَّا عَنْ طَرِيقٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الرُّؤَى كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلّاَ المُبَشِّرَاتُ قَالُوْا وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الرَّجُلُ أَوْ تُرَى لَهُ فَقَطْ مَا عَدَا ذَلِكَ لَا يُمْكِنُ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْلَمَ الْغَيْبَ عَلَى أَنَّ الرُّؤْيَا كَمَا ذَكَرْنَا أَنَّهَا تُفِيدُ الظَّنَّ فَقَطْ وَعَلَى ذَلِكَ يَعْنِي فَلَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَجْزِمَ بِأَنَّ الْأَمْوَاتَ يَعْرِفُونَ أَعْمَالَ الْأَحْيَاءِ وَحَتَّى الْإِنْسَانِ لَوْ ذَهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَزَارَهُ لَيْسَ هُنَاكَ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَعْرِفُهُ حَدِيثٌ مَرْوِيٌّ فِي ذَلِكَ ضَعِيفٌ لَكِنْ هُوَ يَزُورُهُ لِأَجْلِ الدُّعَاءِ هُوَ يَزُوْرُهُ كَمَا يَزُوْرُ غَيْرَهُ وَلِهَذَا ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَائِدَةَ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ لَمْ يَقُلْ حَتَّى يَسْتَأْنِسَ أَهْلُ الْقُبُورِ لَا وَإِنَّمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ الْغَرَضُ مِنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ هُوَ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ فَقَطْ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ لَا يَخْتَلِفُ الدُّعَاءُ عَنْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ عِنْدَ قَبْرِهِ أَوْ أَنْ تَدْعُوَ لَهُ فِي بَيْتِكَ أَوْ فِي أَيِّ مَكَانٍ مِنَ الأَرْضِ الدُّعَاءُ هُوَ الدُّعَاءُ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ يُتْعِبُ نَفْسَهُ كُلَّ يَوْمٍ يَذْهَبُ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ يَظُنُّ أَنَّهُ يُحْسِنُ إِلَيْهِ بِهَذَا الذَّهَابِ وَلَوْ أَنَّهُ صَرَفَ هَذَا الْجُهْدَ فِي الدُّعَاءِ لَهُ وَفِي الصَّدَقَةِ عَنْهُ وَفِي الْأَشْيَاءِ الَّتِي تَنْفَعُهُ لَكَانَ هَذَا أَحْسَنَ بَلْ إِنَّ بَعْضَهُمْ يُنْكِرُ عَلَى إِخْوَانِهِ وَعَلَى أَقَارِيْبِهِ مَا لَا تَزُورُ قَرِيْبَنَا فُلَانًا طَيِّبٌ هَلْ قَرِيبُكَ فُلَانٌ يَعْلَمُ بِكَ أَصْلًا قَرِيبُكَ فُلَانٌ انْتَقَلَ إِلَى رَبِّهِ وَجَسَدُهُ سَيُصْبِحُ تُرَابًا يَبْلَى إِلَّا عَجَبُ الذَّنَبِ إِلَّا مَن اسْتُثْنِيَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ أَمَّا رُوحُهُ فَإِن كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَقَدْ صَعَدَتْ إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيَكُونُ فِي سِجِّينٍ هُوَ لَا يَدْرِي عَنْكَ لَكِنْ أَنْ تَنْفَعَهُ بِالدُّعَاءِ لَهُ بِالصَّدَقَةِ عَنْهُ وَأَفْضَلُ مَا تَكُونُ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ يَعْنِي الْوَقْفَ بِالْعُمْرَة بِالْحَجِّ أَيْضًا كَمَا ذَكَرَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِإِكْرَامِ صَدِيقِهِ إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةُ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ هَذِهِ هِيَ الَّتِي تَنْفَعُ الْمَيِّتَ لَكِنْ لَوْ ذَهَبَ لِلْمَقْبَرَةِ هَذَا أَمْرٌ مَشْرُوعٌ لَكِنْ مَشْرُوعٌ لِأَجْلِ الِاعْتِبَارِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَذْهَبَ لِقَبْرِ قَرِيبِهِ وَيَدْعُو لَهُ

Inspirasi Dunia Akhirat: Pelajaran Hebat dari Kisah Ashabul A’raf – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Ashabul A’raf adalah orang-orang yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Subhanallah! Timbangan amal kebaikan mereka tidak lebih berat, meski hanya dengan satu kebaikan. Timbangan amal keburukan mereka pun tidak lebih berat, meskipun hanya dengan satu keburukan. Sehingga amal kebaikan dan amal keburukan mereka benar-benar seimbang. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa manusia akan ditimbang amalnya pada hari Kiamat dengan timbangan yang nyata dan memiliki dua cawan. Barang siapa yang cawan amal kebaikannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, “Adapun orang yang berat timbangan kebaikannya, maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan.” (QS. Al-Qari’ah: 6–7) Sebaliknya, barang siapa yang cawan amal keburukannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni neraka—kecuali jika Allah mengampuninya. Sebagaimana firman Allah, “Adapun orang yang ringan timbangan kebaikannya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah… Tahukah kamu apa itu Hawiyah? Yaitu api yang sangat panas.” (QS. Al-Qari’ah: 8–11) Secara logika, berarti ada golongan ketiga, yaitu mereka yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Merekalah golongan manusia yang timbangan amal baik dan buruknya sama berat. Sebagai bentuk kesempurnaan keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, mereka tidak langsung dimasukkan bersama orang-orang yang timbangan kebaikannya lebih berat untuk masuk surga, tetapi mereka ditahan di tempat antara surga dan neraka. Lalu pada akhirnya, mereka akan masuk surga karena rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Sebagaimana Allah Ta‘ala menyebutkan keadaan mereka dalam surah Al-A’raf. Wahai saudara-saudara! Ini menunjukkan bahwa seorang muslim tidak boleh meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi satu kali membaca tasbih menjadi sebab timbangan kebaikan lebih berat. Bisa jadi sedekah dengan jumlah yang kecil menjadi sebab timbangan amal kebaikan lebih berat. Bisa jadi satu kalimat yang baik menjadi sedekah dan menjadi sebab beratnya timbangan amal kebaikan, dan begitu seterusnya. Sebaliknya, seorang muslim juga tidak boleh meremehkan dosa atau keburukan, karena bisa jadi satu keburukan saja menyebabkan beratnya timbangan keburukan. Lihatlah betapa presisinya timbangan itu, dan betapa agungnya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla. “Kami akan meletakkan timbangan yang adil pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun dirugikan sedikit pun Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami akan mendatangkannya. Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47) Amal kebaikan atau keburukan sebesar biji sawi sekalipun akan tetap didatangkan dan diletakkan dalam timbangan itu. Oleh karena itu, hendaknya makna ini selalu hadir dalam benakmu, wahai saudaraku muslim! Misalnya, setelah kamu selesai Shalat Fardhu, lalu kamu hendak pergi meninggalkan tempat shalat, tapi kamu teringat dan berkata dalam hati, “Mungkin aku Shalat Sunnah Rawatib dulu karena melalui amal sunnah ini dituliskan bagiku amal kebaikan dan siapa tahu, amal kebaikan ini menjadi sebab beratnya timbangan kebaikanku.” Ketika kamu melihat orang fakir atau miskin, kamu berkata, “Aku ingin bersedekah kepadanya, semoga aku mendapat pahala dan siapa tahu, amal inilah yang memberatkan timbangan kebaikanku.” Begitulah seterusnya. Inilah bagian dari keadilan Allah ‘Azza wa Jalla yang begitu agung. ==== أَصْحَابُ الأَعْرَافِ هُمْ قَوْمٌ تَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ بِحَسَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ بِسَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ فَتَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ وَذَلِكَ أَنَّهُ مِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ تُوزَنُ أَعْمَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي مِيزَانٍ حِسِّيٍّ لَهُ كِفَّتَانِ فَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ وَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ عَنْهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ الْقِسْمَةُ الْمَنْطِقِيَّةُ الْعَقْلِيَّةُ تَقُولُ هُنَاكَ قِسْمٌ ثَالِثٌ وَهُوَ تَسَاوِي كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ وَهَؤُلَاءِ صِنْفٌ مِنَ الْبَشَرِ تَتَسَاوَى حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ فَمِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُمْ لَا يَكُونُونَ مَعَ مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يُحْبَسُونَ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ أَمْرِهِمْ إِلَى الْجَنَّةِ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِينَ كَمَا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى شَأْنَهُمْ فِي سُورَةِ الْأَعْرَافِ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَلَّا يَحْتَقِرَ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ فَرُبَّ تَسْبِيحَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ صَدَقَةٍ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ كَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ تَكُونَ صَدَقَةً وَتَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَفِي الْمُقَابِلِ لَا يَحْتَقِرُ الْمُسْلِمُ السَّيِّئَاتِ رُبَّ سَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ السَّيِّئَاتِ فَانْظُرْ إِلَى دِقَّةِ الْمِيزَانِ وَعَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ حَتَّى مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنَ الْخَرْدَلِ مِنَ الْحَسَنَاتِ أَوْ مِنَ السَّيِّئَاتِ يُؤْتَى بِهِ وَيُوضَعُ فِي هَذَا الْمِيزَانِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ مَثَلًا صَلَّيْتَ صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَرَدْتَ أَنْ تَنْصَرِفَ فَتَتَذَكَّرُ وَتَقُولُ رُبَّمَا أُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ هَذِهِ السُّنَّةُ يُكْتَبُ لِي بِهَا حَسَنَاتٌ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رَأَيْتَ فَقِيرًا أَوْ مِسْكِينًا تَقُولُ أَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ أَكْسَبُ بِذَلِكَ حَسَنَاتٍ وَمَا يُدْرِيكَ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَهَذَا مِنْ عَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Inspirasi Dunia Akhirat: Pelajaran Hebat dari Kisah Ashabul A’raf – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Ashabul A’raf adalah orang-orang yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Subhanallah! Timbangan amal kebaikan mereka tidak lebih berat, meski hanya dengan satu kebaikan. Timbangan amal keburukan mereka pun tidak lebih berat, meskipun hanya dengan satu keburukan. Sehingga amal kebaikan dan amal keburukan mereka benar-benar seimbang. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa manusia akan ditimbang amalnya pada hari Kiamat dengan timbangan yang nyata dan memiliki dua cawan. Barang siapa yang cawan amal kebaikannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, “Adapun orang yang berat timbangan kebaikannya, maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan.” (QS. Al-Qari’ah: 6–7) Sebaliknya, barang siapa yang cawan amal keburukannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni neraka—kecuali jika Allah mengampuninya. Sebagaimana firman Allah, “Adapun orang yang ringan timbangan kebaikannya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah… Tahukah kamu apa itu Hawiyah? Yaitu api yang sangat panas.” (QS. Al-Qari’ah: 8–11) Secara logika, berarti ada golongan ketiga, yaitu mereka yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Merekalah golongan manusia yang timbangan amal baik dan buruknya sama berat. Sebagai bentuk kesempurnaan keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, mereka tidak langsung dimasukkan bersama orang-orang yang timbangan kebaikannya lebih berat untuk masuk surga, tetapi mereka ditahan di tempat antara surga dan neraka. Lalu pada akhirnya, mereka akan masuk surga karena rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Sebagaimana Allah Ta‘ala menyebutkan keadaan mereka dalam surah Al-A’raf. Wahai saudara-saudara! Ini menunjukkan bahwa seorang muslim tidak boleh meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi satu kali membaca tasbih menjadi sebab timbangan kebaikan lebih berat. Bisa jadi sedekah dengan jumlah yang kecil menjadi sebab timbangan amal kebaikan lebih berat. Bisa jadi satu kalimat yang baik menjadi sedekah dan menjadi sebab beratnya timbangan amal kebaikan, dan begitu seterusnya. Sebaliknya, seorang muslim juga tidak boleh meremehkan dosa atau keburukan, karena bisa jadi satu keburukan saja menyebabkan beratnya timbangan keburukan. Lihatlah betapa presisinya timbangan itu, dan betapa agungnya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla. “Kami akan meletakkan timbangan yang adil pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun dirugikan sedikit pun Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami akan mendatangkannya. Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47) Amal kebaikan atau keburukan sebesar biji sawi sekalipun akan tetap didatangkan dan diletakkan dalam timbangan itu. Oleh karena itu, hendaknya makna ini selalu hadir dalam benakmu, wahai saudaraku muslim! Misalnya, setelah kamu selesai Shalat Fardhu, lalu kamu hendak pergi meninggalkan tempat shalat, tapi kamu teringat dan berkata dalam hati, “Mungkin aku Shalat Sunnah Rawatib dulu karena melalui amal sunnah ini dituliskan bagiku amal kebaikan dan siapa tahu, amal kebaikan ini menjadi sebab beratnya timbangan kebaikanku.” Ketika kamu melihat orang fakir atau miskin, kamu berkata, “Aku ingin bersedekah kepadanya, semoga aku mendapat pahala dan siapa tahu, amal inilah yang memberatkan timbangan kebaikanku.” Begitulah seterusnya. Inilah bagian dari keadilan Allah ‘Azza wa Jalla yang begitu agung. ==== أَصْحَابُ الأَعْرَافِ هُمْ قَوْمٌ تَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ بِحَسَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ بِسَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ فَتَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ وَذَلِكَ أَنَّهُ مِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ تُوزَنُ أَعْمَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي مِيزَانٍ حِسِّيٍّ لَهُ كِفَّتَانِ فَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ وَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ عَنْهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ الْقِسْمَةُ الْمَنْطِقِيَّةُ الْعَقْلِيَّةُ تَقُولُ هُنَاكَ قِسْمٌ ثَالِثٌ وَهُوَ تَسَاوِي كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ وَهَؤُلَاءِ صِنْفٌ مِنَ الْبَشَرِ تَتَسَاوَى حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ فَمِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُمْ لَا يَكُونُونَ مَعَ مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يُحْبَسُونَ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ أَمْرِهِمْ إِلَى الْجَنَّةِ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِينَ كَمَا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى شَأْنَهُمْ فِي سُورَةِ الْأَعْرَافِ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَلَّا يَحْتَقِرَ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ فَرُبَّ تَسْبِيحَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ صَدَقَةٍ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ كَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ تَكُونَ صَدَقَةً وَتَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَفِي الْمُقَابِلِ لَا يَحْتَقِرُ الْمُسْلِمُ السَّيِّئَاتِ رُبَّ سَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ السَّيِّئَاتِ فَانْظُرْ إِلَى دِقَّةِ الْمِيزَانِ وَعَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ حَتَّى مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنَ الْخَرْدَلِ مِنَ الْحَسَنَاتِ أَوْ مِنَ السَّيِّئَاتِ يُؤْتَى بِهِ وَيُوضَعُ فِي هَذَا الْمِيزَانِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ مَثَلًا صَلَّيْتَ صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَرَدْتَ أَنْ تَنْصَرِفَ فَتَتَذَكَّرُ وَتَقُولُ رُبَّمَا أُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ هَذِهِ السُّنَّةُ يُكْتَبُ لِي بِهَا حَسَنَاتٌ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رَأَيْتَ فَقِيرًا أَوْ مِسْكِينًا تَقُولُ أَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ أَكْسَبُ بِذَلِكَ حَسَنَاتٍ وَمَا يُدْرِيكَ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَهَذَا مِنْ عَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Ashabul A’raf adalah orang-orang yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Subhanallah! Timbangan amal kebaikan mereka tidak lebih berat, meski hanya dengan satu kebaikan. Timbangan amal keburukan mereka pun tidak lebih berat, meskipun hanya dengan satu keburukan. Sehingga amal kebaikan dan amal keburukan mereka benar-benar seimbang. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa manusia akan ditimbang amalnya pada hari Kiamat dengan timbangan yang nyata dan memiliki dua cawan. Barang siapa yang cawan amal kebaikannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, “Adapun orang yang berat timbangan kebaikannya, maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan.” (QS. Al-Qari’ah: 6–7) Sebaliknya, barang siapa yang cawan amal keburukannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni neraka—kecuali jika Allah mengampuninya. Sebagaimana firman Allah, “Adapun orang yang ringan timbangan kebaikannya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah… Tahukah kamu apa itu Hawiyah? Yaitu api yang sangat panas.” (QS. Al-Qari’ah: 8–11) Secara logika, berarti ada golongan ketiga, yaitu mereka yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Merekalah golongan manusia yang timbangan amal baik dan buruknya sama berat. Sebagai bentuk kesempurnaan keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, mereka tidak langsung dimasukkan bersama orang-orang yang timbangan kebaikannya lebih berat untuk masuk surga, tetapi mereka ditahan di tempat antara surga dan neraka. Lalu pada akhirnya, mereka akan masuk surga karena rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Sebagaimana Allah Ta‘ala menyebutkan keadaan mereka dalam surah Al-A’raf. Wahai saudara-saudara! Ini menunjukkan bahwa seorang muslim tidak boleh meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi satu kali membaca tasbih menjadi sebab timbangan kebaikan lebih berat. Bisa jadi sedekah dengan jumlah yang kecil menjadi sebab timbangan amal kebaikan lebih berat. Bisa jadi satu kalimat yang baik menjadi sedekah dan menjadi sebab beratnya timbangan amal kebaikan, dan begitu seterusnya. Sebaliknya, seorang muslim juga tidak boleh meremehkan dosa atau keburukan, karena bisa jadi satu keburukan saja menyebabkan beratnya timbangan keburukan. Lihatlah betapa presisinya timbangan itu, dan betapa agungnya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla. “Kami akan meletakkan timbangan yang adil pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun dirugikan sedikit pun Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami akan mendatangkannya. Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47) Amal kebaikan atau keburukan sebesar biji sawi sekalipun akan tetap didatangkan dan diletakkan dalam timbangan itu. Oleh karena itu, hendaknya makna ini selalu hadir dalam benakmu, wahai saudaraku muslim! Misalnya, setelah kamu selesai Shalat Fardhu, lalu kamu hendak pergi meninggalkan tempat shalat, tapi kamu teringat dan berkata dalam hati, “Mungkin aku Shalat Sunnah Rawatib dulu karena melalui amal sunnah ini dituliskan bagiku amal kebaikan dan siapa tahu, amal kebaikan ini menjadi sebab beratnya timbangan kebaikanku.” Ketika kamu melihat orang fakir atau miskin, kamu berkata, “Aku ingin bersedekah kepadanya, semoga aku mendapat pahala dan siapa tahu, amal inilah yang memberatkan timbangan kebaikanku.” Begitulah seterusnya. Inilah bagian dari keadilan Allah ‘Azza wa Jalla yang begitu agung. ==== أَصْحَابُ الأَعْرَافِ هُمْ قَوْمٌ تَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ بِحَسَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ بِسَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ فَتَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ وَذَلِكَ أَنَّهُ مِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ تُوزَنُ أَعْمَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي مِيزَانٍ حِسِّيٍّ لَهُ كِفَّتَانِ فَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ وَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ عَنْهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ الْقِسْمَةُ الْمَنْطِقِيَّةُ الْعَقْلِيَّةُ تَقُولُ هُنَاكَ قِسْمٌ ثَالِثٌ وَهُوَ تَسَاوِي كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ وَهَؤُلَاءِ صِنْفٌ مِنَ الْبَشَرِ تَتَسَاوَى حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ فَمِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُمْ لَا يَكُونُونَ مَعَ مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يُحْبَسُونَ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ أَمْرِهِمْ إِلَى الْجَنَّةِ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِينَ كَمَا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى شَأْنَهُمْ فِي سُورَةِ الْأَعْرَافِ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَلَّا يَحْتَقِرَ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ فَرُبَّ تَسْبِيحَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ صَدَقَةٍ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ كَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ تَكُونَ صَدَقَةً وَتَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَفِي الْمُقَابِلِ لَا يَحْتَقِرُ الْمُسْلِمُ السَّيِّئَاتِ رُبَّ سَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ السَّيِّئَاتِ فَانْظُرْ إِلَى دِقَّةِ الْمِيزَانِ وَعَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ حَتَّى مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنَ الْخَرْدَلِ مِنَ الْحَسَنَاتِ أَوْ مِنَ السَّيِّئَاتِ يُؤْتَى بِهِ وَيُوضَعُ فِي هَذَا الْمِيزَانِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ مَثَلًا صَلَّيْتَ صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَرَدْتَ أَنْ تَنْصَرِفَ فَتَتَذَكَّرُ وَتَقُولُ رُبَّمَا أُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ هَذِهِ السُّنَّةُ يُكْتَبُ لِي بِهَا حَسَنَاتٌ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رَأَيْتَ فَقِيرًا أَوْ مِسْكِينًا تَقُولُ أَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ أَكْسَبُ بِذَلِكَ حَسَنَاتٍ وَمَا يُدْرِيكَ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَهَذَا مِنْ عَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


Ashabul A’raf adalah orang-orang yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Subhanallah! Timbangan amal kebaikan mereka tidak lebih berat, meski hanya dengan satu kebaikan. Timbangan amal keburukan mereka pun tidak lebih berat, meskipun hanya dengan satu keburukan. Sehingga amal kebaikan dan amal keburukan mereka benar-benar seimbang. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa manusia akan ditimbang amalnya pada hari Kiamat dengan timbangan yang nyata dan memiliki dua cawan. Barang siapa yang cawan amal kebaikannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, “Adapun orang yang berat timbangan kebaikannya, maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan.” (QS. Al-Qari’ah: 6–7) Sebaliknya, barang siapa yang cawan amal keburukannya lebih berat, maka ia termasuk penghuni neraka—kecuali jika Allah mengampuninya. Sebagaimana firman Allah, “Adapun orang yang ringan timbangan kebaikannya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah… Tahukah kamu apa itu Hawiyah? Yaitu api yang sangat panas.” (QS. Al-Qari’ah: 8–11) Secara logika, berarti ada golongan ketiga, yaitu mereka yang amal kebaikan dan keburukannya seimbang. Merekalah golongan manusia yang timbangan amal baik dan buruknya sama berat. Sebagai bentuk kesempurnaan keadilan Allah ‘Azza wa Jalla, mereka tidak langsung dimasukkan bersama orang-orang yang timbangan kebaikannya lebih berat untuk masuk surga, tetapi mereka ditahan di tempat antara surga dan neraka. Lalu pada akhirnya, mereka akan masuk surga karena rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Sebagaimana Allah Ta‘ala menyebutkan keadaan mereka dalam surah Al-A’raf. Wahai saudara-saudara! Ini menunjukkan bahwa seorang muslim tidak boleh meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi satu kali membaca tasbih menjadi sebab timbangan kebaikan lebih berat. Bisa jadi sedekah dengan jumlah yang kecil menjadi sebab timbangan amal kebaikan lebih berat. Bisa jadi satu kalimat yang baik menjadi sedekah dan menjadi sebab beratnya timbangan amal kebaikan, dan begitu seterusnya. Sebaliknya, seorang muslim juga tidak boleh meremehkan dosa atau keburukan, karena bisa jadi satu keburukan saja menyebabkan beratnya timbangan keburukan. Lihatlah betapa presisinya timbangan itu, dan betapa agungnya keadilan Allah ‘Azza wa Jalla. “Kami akan meletakkan timbangan yang adil pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun dirugikan sedikit pun Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami akan mendatangkannya. Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47) Amal kebaikan atau keburukan sebesar biji sawi sekalipun akan tetap didatangkan dan diletakkan dalam timbangan itu. Oleh karena itu, hendaknya makna ini selalu hadir dalam benakmu, wahai saudaraku muslim! Misalnya, setelah kamu selesai Shalat Fardhu, lalu kamu hendak pergi meninggalkan tempat shalat, tapi kamu teringat dan berkata dalam hati, “Mungkin aku Shalat Sunnah Rawatib dulu karena melalui amal sunnah ini dituliskan bagiku amal kebaikan dan siapa tahu, amal kebaikan ini menjadi sebab beratnya timbangan kebaikanku.” Ketika kamu melihat orang fakir atau miskin, kamu berkata, “Aku ingin bersedekah kepadanya, semoga aku mendapat pahala dan siapa tahu, amal inilah yang memberatkan timbangan kebaikanku.” Begitulah seterusnya. Inilah bagian dari keadilan Allah ‘Azza wa Jalla yang begitu agung. ==== أَصْحَابُ الأَعْرَافِ هُمْ قَوْمٌ تَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ بِحَسَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَمْ تَرْجَحْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ بِسَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ فَتَسَاوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ وَذَلِكَ أَنَّهُ مِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ تُوزَنُ أَعْمَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي مِيزَانٍ حِسِّيٍّ لَهُ كِفَّتَانِ فَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ الْحَسَنَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ وَإِنْ رَجَحَتْ كِفَّةُ السَّيِّئَاتِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ عَنْهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ الْقِسْمَةُ الْمَنْطِقِيَّةُ الْعَقْلِيَّةُ تَقُولُ هُنَاكَ قِسْمٌ ثَالِثٌ وَهُوَ تَسَاوِي كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ وَهَؤُلَاءِ صِنْفٌ مِنَ الْبَشَرِ تَتَسَاوَى حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ فَمِنْ تَمَامِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُمْ لَا يَكُونُونَ مَعَ مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يُحْبَسُونَ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ أَمْرِهِمْ إِلَى الْجَنَّةِ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِينَ كَمَا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى شَأْنَهُمْ فِي سُورَةِ الْأَعْرَافِ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَلَّا يَحْتَقِرَ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ فَرُبَّ تَسْبِيحَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ صَدَقَةٍ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رُبَّ كَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ تَكُونَ صَدَقَةً وَتَكُونُ سَبَبًا لِرُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَفِي الْمُقَابِلِ لَا يَحْتَقِرُ الْمُسْلِمُ السَّيِّئَاتِ رُبَّ سَيِّئَةٍ وَاحِدَةٍ تَكُونُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ السَّيِّئَاتِ فَانْظُرْ إِلَى دِقَّةِ الْمِيزَانِ وَعَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ حَتَّى مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنَ الْخَرْدَلِ مِنَ الْحَسَنَاتِ أَوْ مِنَ السَّيِّئَاتِ يُؤْتَى بِهِ وَيُوضَعُ فِي هَذَا الْمِيزَانِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ مَثَلًا صَلَّيْتَ صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَرَدْتَ أَنْ تَنْصَرِفَ فَتَتَذَكَّرُ وَتَقُولُ رُبَّمَا أُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ هَذِهِ السُّنَّةُ يُكْتَبُ لِي بِهَا حَسَنَاتٌ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ رَأَيْتَ فَقِيرًا أَوْ مِسْكِينًا تَقُولُ أَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ أَكْسَبُ بِذَلِكَ حَسَنَاتٍ وَمَا يُدْرِيكَ رُبَّمَا تَكُونُ هَذِهِ الْحَسَنَاتُ هِيَ السَّبَبُ فِي رُجْحَانِ كِفَّةِ الْحَسَنَاتِ وَهَكَذَا وَهَذَا مِنْ عَظِيمِ عَدْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Obat Cemas, Sedih dan Galau Menurut Islam – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Ia bertanya: Apakah seorang mukmin bisa mengalami gangguan kejiwaan? Apa itu penyakit kejiwaan menurut syariat? Bagaimana pula cara mengobatinya, seperti rasa cemas? Apakah jiwa yang selalu menyalahkan (an-nafs al-lawwāmah) dapat menyebabkan kecemasan? Para dokter di sini mengobatinya dengan metode pengobatan modern. Mungkin maksudnya dengan obat-obatan? Tapi tertulis di sini bi al-amrād (yaitu dengan penyakit). Yang dimaksud seharusnya adalah dengan pengobatan modern, sebagaimana metode dari Amerika dan Eropa, dan mereka tidak menggunakan metode pengobatan rohaniah. Berilah kami fatwa, wahai Syaikh. Jazakallahu khairan. Baiklah. Tidak diragukan lagi bahwa manusia bisa mengalami gangguan kejiwaan. Seperti rasa cemas terhadap masa depan dan kesedihan mengingat masa lalu. Dampak penyakit kejiwaan terhadap tubuh bahkan lebih besar dibanding penyakit fisik yang kasatmata. Adapun obat untuk penyakit-penyakit ini dengan metode syar’i, seperti ruqyah syar’iyyah, lebih berhasil daripada pengobatan dengan obat-obatan fisik atau medis. Sebagaimana telah diketahui. Salah satu obat penyakit kejiwaan ini, sebagaimana dalam hadis sahih yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa cemas, gelisah, atau sedih, lalu ia berdoa: ALLAAHUMMA INNII ‘ABDUKAYa Allah, aku adalah hamba-Mu, IBNU ‘ABDIKA IBNU AMATIKAanak dari hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. NAASHIYATII BIYADIKA MAADHIN FIYYA HUKMUKAUbun-ubunku ada di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku atasku, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UKAkeputusan-Mu adil terhadap diriku. AS ALUKA ALLAAHUMMA BIKULLISMIN HUWA LAKAAku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, SAMMAITA BIHI NAFSAKA AU ANZALTAHU FII KITAABIKAyang Engkau tetapkan atas diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, AU ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIKAatau Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, AWIS TA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAKAatau Engkau simpan dalam ilmu ghaib-Mu sendiri, AN TAJ ‘ALAL QUR-AANAL ‘AZHIIMA ROBII’A QOLBIIagar Engkau menjadikan Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, WANUURO SHODRII WAJALAA-A HUZNII WADZAHAABA HAMMII WAGHOMMIIcahaya dadaku, penghilang kesedihanku, dan pengusir kecemasan serta kegelisahanku. Melainkan Allah akan memberinya jalan keluar.” (HR. Ahmad). Ini termasuk pengobatan secara syar’i. Demikian pula, termasuk pengobatan secara syariat yang lain, dengan membaca zikir: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH-ZHOOLIMIINYa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Barang siapa menginginkan tambahan doa selain itu, hendaklah ia merujuk kepada karya-karya para ulama dalam bab ini, yaitu bab zikir. Seperti kitab Al-Wābil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim dan Al-Kalim Ath-Thayyib karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi, serta kitab Zād Al-Ma‘ād karya Ibnul Qayyim. Namun, ketika iman mulai melemah, jiwa pun menjadi lemah dalam menerima pengobatan syar’i. Kini, kebanyakan orang justru lebih bergantung pada obat-obatan fisik daripada ketergantungan mereka pada obat-obatan yang syar’i. Ketika keimanan masih kuat, pengobatan syar’i benar-benar ampuh. Bahkan pengaruhnya lebih cepat daripada pengaruh obat-obatan fisik. Hal ini tidaklah samar bagi kita semua, yaitu kisah lelaki yang diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah pasukan. Lalu mereka singgah di tempat suatu kaum. Pasukan ini singgah di salah satu kaum arab, tetapi kaum itu enggan untuk menjamu mereka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak pemimpin kaum itu digigit binatang berbisa. Ia digigit oleh seekor ular. Maka, sebagian dari mereka berkata satu sama lain: “Pergilah kalian kepada kaum yang singgah itu, barangkali kalian dapat menemukan seseorang di antara mereka yang bisa meruqyah.” Sehingga ia dapat meruqyah orang yang sedang sakit karena gigitan ular itu. Maka para sahabat berkata kepada mereka: “Kami tidak akan meruqyah pemimpin kalian kecuali jika kalian memberi kami beberapa ekor kambing.” Mereka menjawab, “Baik, tidak mengapa.” Lalu salah satu anggota pasukan itu pun pergi untuk membacakan ruqyah kepada orang yang digigit ular itu, dengan hanya membaca surat Al-Fatihah. Ia pun membaca surat Al-Fatihah. Lalu orang yang digigit ular itu berdiri, seolah-olah ia terlepas dari ikatan. Allahu Akbar! Makna “seakan-akan ia terlepas dari ikatan” yakni seperti unta yang dilepaskan talinya, lalu ia pun bangkit dengan cepat. Demikianlah bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh pada orang yang digigit ular itu, karena bacaan itu keluar dari hati yang dipenuhi keimanan. Ketika mereka kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Bagaimana kamu tahu bahwa surah Al-Fatihah itu adalah ruqyah?” Namun di zaman kita ini, agama menjadi lemah, keimanan pun ikut melemah. Orang-orang lebih bersandar pada hal-hal yang bersifat indrawi dan tampak saja. Sebenarnya mereka telah diuji dengan hal itu. Namun, di sisi lain, muncul golongan yang berseberangan dengan mereka: para pelaku perdukunan yang mempermainkan akal orang-orang serta memperdaya potensi dan harta mereka. Mereka, para dukun, mengaku sebagai pembaca ruqyah yang saleh, tetapi kenyataannya mereka adalah pemakan harta dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, bukanlah pembaca ruqyah yang saleh, tapi mereka adalah orang-orang yang memeras harta manusia dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, mempermainkan dan menertawakan akal sehat orang-orang. Manusia pun terpecah antara dua kutub yang saling bertolak belakang: Sebagian bersikap ekstrem dengan mengingkari sepenuhnya adanya pengaruh dari bacaan ruqyah. Sebagian lainnya bersikap ekstrem dengan memperdaya akal orang-orang lewat bacaan-bacaan palsu dan menipu. ==== يَقُولُ هَلِ الْمُؤْمِنُ يَمْرَضُ نَفْسِيّاً؟ وَمَا هُوَ الْمَرَضُ النَّفْسِيُّ فِي الشَّرْعِ؟ وَكَيْفِيَّةُ عِلَاجُهُ مِثْلَ القَلَقِ؟ وَهَلِ النَّفْسُ اللَّوَّامَةُ تُسَبِّبُ الْقَلَقَ؟ الْأَطِبَّاءُ هُنَا يُعَالِجُوْنَ الْمَرَضَ بِالْأَمْرَاضِ الْعَصْرِيَّةِ أَوْ بِالْأَدْوِيَةِ؟ بِالْأَمْرَاضِ مَكْتُوْبٌ هُنَا هُوَ الْمَفْرُوضُ بِالْأَدْوِيَة الْعَصْرِيَّةِ بِطَرِيقِةِ أَمْرِيْكَا وَأُوْرُوبَّا وَلَا يَسْتَعْمِلُونَ الْعِلَاجَ الرُّوْحِيَّ أَفْتِنَا يَا شَيْخُ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً نَعَم فَلَا شَكَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ مُصَابٌ بِالْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ بِالْهَمِّ لِلْمُسْتَقْبَل وَالْحَزَنِ عَلَى الْمَاضِي وَتَفْعَلُ الْأَمْرَاضُ النَّفْسِيَّةُ فِي الْبَدَنِ أَكْثَرَ مِمَّا تَفْعَلُهُ الْأَمْرَاضُ الْحِسِّيَّةُ الْبَدَنِيَّةُ وَدَوَاءُ هَذِهِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأُمُورِ الشَّرْعِيَّةِ أَيْ بِالرُّقَى الشَّرْعِيَّةِ أَنْجَحُ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ مِنْ عِلَاجِهَا بِالْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ وَمِنْ أَدْوِيَتِهَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُصِيبُهُ هَمٌّ أَوْ غَمٌّ أَوْ حَزَنٌ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ بِكُلِّ اسمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّيْ وَغَمِّيْ إِلَّا فَرَّجَ اللّهُ عَنْهُ هَذَا مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ أَنْ يَقُولَ الْإِنْسَانُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ وَمَنْ أَرَادَ مَزِيْدَ مِنْ ذَلِكَ فَلْيَرْجِعْ إِلَى مَا كَتَبَهُ الْعُلَمَاءُ فِي هَذَا الْبَابِ فِي بَابِ الْأَذْكَارِ كَالْوَابِلُ الصَّيِّبُ لِابْنِ الْقَيِّمِ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبِ لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَالْأَذْكَارُ لِلنَّوَوِيِّ وَكَذَلِكَ زَادُ الْمَعَادِ لِابْنِ الْقَيِّمِ لَكِنْ لَمَّا ضَعُفَ إِيْمَانٌ ضَعُفَ قَبُولُ النَّفْسِ لِلْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَصَارَ النَّاسُ الْآنَ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِمَادِهِمْ عَلَى الْأَدْوِيَةِ أَيْش؟ الشَّرْعِيَّةِ وَلَمَّا كَانَ الْإِيمَانُ قَوِيّاً كَانَتِ الْأَدْوِيَةُ الشَّرْعِيَّةُ مُؤَثِّرَةً تَمَاماً بَلْ إِنَّ تَأْثِيرَهَا أَسْرَعُ مِنْ تَأْثِيرِ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَلَا يَخْفَى عَلَيْنَا جَمِيْعاً قِصَّةُ الرَّجُلِ الَّذِي بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلُوا عَلَى قَوْمٍ السَّرِيَّةُ نَزَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْعَرَبِ وَلَكِنَّ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ مَنَعُوا ضِيَافَتَهُمْ لَمْ يُضَيِّفُوْهُمْ فَشَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لُدِغَ سَيِّدُ الْقَوْمِ لَدَغَتْهُ حَيَّةٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ اذْهَبُوا إِلَى هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ الَّذِينَ نَزَلُوا لَعَلَّكُم تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ رَاقِياً يَرْقَى هَذَا الْمَرِيضَ الَّذِي لَدَغَتْهُ الْحَيَّةُ فَقَالَ الصَّحَابَةُ لَهُمْ لَا نَرْقَى عَلَى سَيِّدِكُم إِلَّا إِذَا أَعْطَيْتُمُوْنَا كَذَا وَكَذَا مِنَ الْغَنَمِ فَقَالُوا لَا بَأْسَ فَذَهَبَ أَحَدُ الْقَوْمِ مِنَ السَّرِيَّةِ يَقْرَأُ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَطْ قَرَأَ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَامَ هَذَا اللَّدِيغُ كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ اللَّهُ أَكْبَرُ وَالْمَعْنَى كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ يَعْنِي كَأَنَّهُ بَعِيْرٌ فُكَّ عِقَالُهُ فَقَامَ بِسُرْعَةٍ هَكَذَا أَثَّرَتْ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ لِأَنَّهَا صَدَرَتْ مِنْ قَلْبٍ مَمْلُوْءٍ إِيْمَانًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ رَجَعُوا إِلَيْهِ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ لَكِنْ فِي زَمَنِنَا هَذَا ضَعُفَ الدِّيْنُ وَضَعُفَ الْإِيْمَانُ وَصَار النَّاسُ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأُمُورِ الْحِسِّيَّةِ الظَّاهِرَةِ وَابْتُلُوا بِهَا فِي الْوَاقِعِ وَلَكِنْ ظَهَرَ فِي مُقَابِلِ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ أَهْلُ الشَّعْوَذَةِ وَلَعِبُوا بِعُقُوْلِ النَّاسِ وَمُقَدَّرَاتِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ قُرَّاءٌ بَرَرَةٌ وَلَكِنَّهُمْ أَكَلَةُ مَالٍ بِالْبَاطِلِ لَيْسُوا قُرَّاءً بَرَرَةً بَلْ هُمْ أُنَاسٌ يَبْتَزُّوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَضْحَكُوْنَ عَلَى عُقُولِ النَّاس فَالنَّاسُ بَيْنَ طَرَفَيْ نَقِيْضٍ مِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَم يَرَى لِلْقِرَاءَةِ أَثَراً إِطْلَاقاً وَمِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَعِبَ بِعُقُوْلِ النَّاسِ بِالْقِرَاءَاتِ الْكَاذِبَةِ الْخَادِعَةِ

Obat Cemas, Sedih dan Galau Menurut Islam – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Ia bertanya: Apakah seorang mukmin bisa mengalami gangguan kejiwaan? Apa itu penyakit kejiwaan menurut syariat? Bagaimana pula cara mengobatinya, seperti rasa cemas? Apakah jiwa yang selalu menyalahkan (an-nafs al-lawwāmah) dapat menyebabkan kecemasan? Para dokter di sini mengobatinya dengan metode pengobatan modern. Mungkin maksudnya dengan obat-obatan? Tapi tertulis di sini bi al-amrād (yaitu dengan penyakit). Yang dimaksud seharusnya adalah dengan pengobatan modern, sebagaimana metode dari Amerika dan Eropa, dan mereka tidak menggunakan metode pengobatan rohaniah. Berilah kami fatwa, wahai Syaikh. Jazakallahu khairan. Baiklah. Tidak diragukan lagi bahwa manusia bisa mengalami gangguan kejiwaan. Seperti rasa cemas terhadap masa depan dan kesedihan mengingat masa lalu. Dampak penyakit kejiwaan terhadap tubuh bahkan lebih besar dibanding penyakit fisik yang kasatmata. Adapun obat untuk penyakit-penyakit ini dengan metode syar’i, seperti ruqyah syar’iyyah, lebih berhasil daripada pengobatan dengan obat-obatan fisik atau medis. Sebagaimana telah diketahui. Salah satu obat penyakit kejiwaan ini, sebagaimana dalam hadis sahih yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa cemas, gelisah, atau sedih, lalu ia berdoa: ALLAAHUMMA INNII ‘ABDUKAYa Allah, aku adalah hamba-Mu, IBNU ‘ABDIKA IBNU AMATIKAanak dari hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. NAASHIYATII BIYADIKA MAADHIN FIYYA HUKMUKAUbun-ubunku ada di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku atasku, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UKAkeputusan-Mu adil terhadap diriku. AS ALUKA ALLAAHUMMA BIKULLISMIN HUWA LAKAAku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, SAMMAITA BIHI NAFSAKA AU ANZALTAHU FII KITAABIKAyang Engkau tetapkan atas diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, AU ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIKAatau Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, AWIS TA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAKAatau Engkau simpan dalam ilmu ghaib-Mu sendiri, AN TAJ ‘ALAL QUR-AANAL ‘AZHIIMA ROBII’A QOLBIIagar Engkau menjadikan Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, WANUURO SHODRII WAJALAA-A HUZNII WADZAHAABA HAMMII WAGHOMMIIcahaya dadaku, penghilang kesedihanku, dan pengusir kecemasan serta kegelisahanku. Melainkan Allah akan memberinya jalan keluar.” (HR. Ahmad). Ini termasuk pengobatan secara syar’i. Demikian pula, termasuk pengobatan secara syariat yang lain, dengan membaca zikir: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH-ZHOOLIMIINYa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Barang siapa menginginkan tambahan doa selain itu, hendaklah ia merujuk kepada karya-karya para ulama dalam bab ini, yaitu bab zikir. Seperti kitab Al-Wābil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim dan Al-Kalim Ath-Thayyib karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi, serta kitab Zād Al-Ma‘ād karya Ibnul Qayyim. Namun, ketika iman mulai melemah, jiwa pun menjadi lemah dalam menerima pengobatan syar’i. Kini, kebanyakan orang justru lebih bergantung pada obat-obatan fisik daripada ketergantungan mereka pada obat-obatan yang syar’i. Ketika keimanan masih kuat, pengobatan syar’i benar-benar ampuh. Bahkan pengaruhnya lebih cepat daripada pengaruh obat-obatan fisik. Hal ini tidaklah samar bagi kita semua, yaitu kisah lelaki yang diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah pasukan. Lalu mereka singgah di tempat suatu kaum. Pasukan ini singgah di salah satu kaum arab, tetapi kaum itu enggan untuk menjamu mereka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak pemimpin kaum itu digigit binatang berbisa. Ia digigit oleh seekor ular. Maka, sebagian dari mereka berkata satu sama lain: “Pergilah kalian kepada kaum yang singgah itu, barangkali kalian dapat menemukan seseorang di antara mereka yang bisa meruqyah.” Sehingga ia dapat meruqyah orang yang sedang sakit karena gigitan ular itu. Maka para sahabat berkata kepada mereka: “Kami tidak akan meruqyah pemimpin kalian kecuali jika kalian memberi kami beberapa ekor kambing.” Mereka menjawab, “Baik, tidak mengapa.” Lalu salah satu anggota pasukan itu pun pergi untuk membacakan ruqyah kepada orang yang digigit ular itu, dengan hanya membaca surat Al-Fatihah. Ia pun membaca surat Al-Fatihah. Lalu orang yang digigit ular itu berdiri, seolah-olah ia terlepas dari ikatan. Allahu Akbar! Makna “seakan-akan ia terlepas dari ikatan” yakni seperti unta yang dilepaskan talinya, lalu ia pun bangkit dengan cepat. Demikianlah bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh pada orang yang digigit ular itu, karena bacaan itu keluar dari hati yang dipenuhi keimanan. Ketika mereka kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Bagaimana kamu tahu bahwa surah Al-Fatihah itu adalah ruqyah?” Namun di zaman kita ini, agama menjadi lemah, keimanan pun ikut melemah. Orang-orang lebih bersandar pada hal-hal yang bersifat indrawi dan tampak saja. Sebenarnya mereka telah diuji dengan hal itu. Namun, di sisi lain, muncul golongan yang berseberangan dengan mereka: para pelaku perdukunan yang mempermainkan akal orang-orang serta memperdaya potensi dan harta mereka. Mereka, para dukun, mengaku sebagai pembaca ruqyah yang saleh, tetapi kenyataannya mereka adalah pemakan harta dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, bukanlah pembaca ruqyah yang saleh, tapi mereka adalah orang-orang yang memeras harta manusia dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, mempermainkan dan menertawakan akal sehat orang-orang. Manusia pun terpecah antara dua kutub yang saling bertolak belakang: Sebagian bersikap ekstrem dengan mengingkari sepenuhnya adanya pengaruh dari bacaan ruqyah. Sebagian lainnya bersikap ekstrem dengan memperdaya akal orang-orang lewat bacaan-bacaan palsu dan menipu. ==== يَقُولُ هَلِ الْمُؤْمِنُ يَمْرَضُ نَفْسِيّاً؟ وَمَا هُوَ الْمَرَضُ النَّفْسِيُّ فِي الشَّرْعِ؟ وَكَيْفِيَّةُ عِلَاجُهُ مِثْلَ القَلَقِ؟ وَهَلِ النَّفْسُ اللَّوَّامَةُ تُسَبِّبُ الْقَلَقَ؟ الْأَطِبَّاءُ هُنَا يُعَالِجُوْنَ الْمَرَضَ بِالْأَمْرَاضِ الْعَصْرِيَّةِ أَوْ بِالْأَدْوِيَةِ؟ بِالْأَمْرَاضِ مَكْتُوْبٌ هُنَا هُوَ الْمَفْرُوضُ بِالْأَدْوِيَة الْعَصْرِيَّةِ بِطَرِيقِةِ أَمْرِيْكَا وَأُوْرُوبَّا وَلَا يَسْتَعْمِلُونَ الْعِلَاجَ الرُّوْحِيَّ أَفْتِنَا يَا شَيْخُ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً نَعَم فَلَا شَكَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ مُصَابٌ بِالْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ بِالْهَمِّ لِلْمُسْتَقْبَل وَالْحَزَنِ عَلَى الْمَاضِي وَتَفْعَلُ الْأَمْرَاضُ النَّفْسِيَّةُ فِي الْبَدَنِ أَكْثَرَ مِمَّا تَفْعَلُهُ الْأَمْرَاضُ الْحِسِّيَّةُ الْبَدَنِيَّةُ وَدَوَاءُ هَذِهِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأُمُورِ الشَّرْعِيَّةِ أَيْ بِالرُّقَى الشَّرْعِيَّةِ أَنْجَحُ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ مِنْ عِلَاجِهَا بِالْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ وَمِنْ أَدْوِيَتِهَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُصِيبُهُ هَمٌّ أَوْ غَمٌّ أَوْ حَزَنٌ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ بِكُلِّ اسمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّيْ وَغَمِّيْ إِلَّا فَرَّجَ اللّهُ عَنْهُ هَذَا مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ أَنْ يَقُولَ الْإِنْسَانُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ وَمَنْ أَرَادَ مَزِيْدَ مِنْ ذَلِكَ فَلْيَرْجِعْ إِلَى مَا كَتَبَهُ الْعُلَمَاءُ فِي هَذَا الْبَابِ فِي بَابِ الْأَذْكَارِ كَالْوَابِلُ الصَّيِّبُ لِابْنِ الْقَيِّمِ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبِ لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَالْأَذْكَارُ لِلنَّوَوِيِّ وَكَذَلِكَ زَادُ الْمَعَادِ لِابْنِ الْقَيِّمِ لَكِنْ لَمَّا ضَعُفَ إِيْمَانٌ ضَعُفَ قَبُولُ النَّفْسِ لِلْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَصَارَ النَّاسُ الْآنَ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِمَادِهِمْ عَلَى الْأَدْوِيَةِ أَيْش؟ الشَّرْعِيَّةِ وَلَمَّا كَانَ الْإِيمَانُ قَوِيّاً كَانَتِ الْأَدْوِيَةُ الشَّرْعِيَّةُ مُؤَثِّرَةً تَمَاماً بَلْ إِنَّ تَأْثِيرَهَا أَسْرَعُ مِنْ تَأْثِيرِ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَلَا يَخْفَى عَلَيْنَا جَمِيْعاً قِصَّةُ الرَّجُلِ الَّذِي بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلُوا عَلَى قَوْمٍ السَّرِيَّةُ نَزَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْعَرَبِ وَلَكِنَّ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ مَنَعُوا ضِيَافَتَهُمْ لَمْ يُضَيِّفُوْهُمْ فَشَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لُدِغَ سَيِّدُ الْقَوْمِ لَدَغَتْهُ حَيَّةٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ اذْهَبُوا إِلَى هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ الَّذِينَ نَزَلُوا لَعَلَّكُم تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ رَاقِياً يَرْقَى هَذَا الْمَرِيضَ الَّذِي لَدَغَتْهُ الْحَيَّةُ فَقَالَ الصَّحَابَةُ لَهُمْ لَا نَرْقَى عَلَى سَيِّدِكُم إِلَّا إِذَا أَعْطَيْتُمُوْنَا كَذَا وَكَذَا مِنَ الْغَنَمِ فَقَالُوا لَا بَأْسَ فَذَهَبَ أَحَدُ الْقَوْمِ مِنَ السَّرِيَّةِ يَقْرَأُ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَطْ قَرَأَ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَامَ هَذَا اللَّدِيغُ كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ اللَّهُ أَكْبَرُ وَالْمَعْنَى كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ يَعْنِي كَأَنَّهُ بَعِيْرٌ فُكَّ عِقَالُهُ فَقَامَ بِسُرْعَةٍ هَكَذَا أَثَّرَتْ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ لِأَنَّهَا صَدَرَتْ مِنْ قَلْبٍ مَمْلُوْءٍ إِيْمَانًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ رَجَعُوا إِلَيْهِ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ لَكِنْ فِي زَمَنِنَا هَذَا ضَعُفَ الدِّيْنُ وَضَعُفَ الْإِيْمَانُ وَصَار النَّاسُ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأُمُورِ الْحِسِّيَّةِ الظَّاهِرَةِ وَابْتُلُوا بِهَا فِي الْوَاقِعِ وَلَكِنْ ظَهَرَ فِي مُقَابِلِ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ أَهْلُ الشَّعْوَذَةِ وَلَعِبُوا بِعُقُوْلِ النَّاسِ وَمُقَدَّرَاتِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ قُرَّاءٌ بَرَرَةٌ وَلَكِنَّهُمْ أَكَلَةُ مَالٍ بِالْبَاطِلِ لَيْسُوا قُرَّاءً بَرَرَةً بَلْ هُمْ أُنَاسٌ يَبْتَزُّوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَضْحَكُوْنَ عَلَى عُقُولِ النَّاس فَالنَّاسُ بَيْنَ طَرَفَيْ نَقِيْضٍ مِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَم يَرَى لِلْقِرَاءَةِ أَثَراً إِطْلَاقاً وَمِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَعِبَ بِعُقُوْلِ النَّاسِ بِالْقِرَاءَاتِ الْكَاذِبَةِ الْخَادِعَةِ
Ia bertanya: Apakah seorang mukmin bisa mengalami gangguan kejiwaan? Apa itu penyakit kejiwaan menurut syariat? Bagaimana pula cara mengobatinya, seperti rasa cemas? Apakah jiwa yang selalu menyalahkan (an-nafs al-lawwāmah) dapat menyebabkan kecemasan? Para dokter di sini mengobatinya dengan metode pengobatan modern. Mungkin maksudnya dengan obat-obatan? Tapi tertulis di sini bi al-amrād (yaitu dengan penyakit). Yang dimaksud seharusnya adalah dengan pengobatan modern, sebagaimana metode dari Amerika dan Eropa, dan mereka tidak menggunakan metode pengobatan rohaniah. Berilah kami fatwa, wahai Syaikh. Jazakallahu khairan. Baiklah. Tidak diragukan lagi bahwa manusia bisa mengalami gangguan kejiwaan. Seperti rasa cemas terhadap masa depan dan kesedihan mengingat masa lalu. Dampak penyakit kejiwaan terhadap tubuh bahkan lebih besar dibanding penyakit fisik yang kasatmata. Adapun obat untuk penyakit-penyakit ini dengan metode syar’i, seperti ruqyah syar’iyyah, lebih berhasil daripada pengobatan dengan obat-obatan fisik atau medis. Sebagaimana telah diketahui. Salah satu obat penyakit kejiwaan ini, sebagaimana dalam hadis sahih yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa cemas, gelisah, atau sedih, lalu ia berdoa: ALLAAHUMMA INNII ‘ABDUKAYa Allah, aku adalah hamba-Mu, IBNU ‘ABDIKA IBNU AMATIKAanak dari hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. NAASHIYATII BIYADIKA MAADHIN FIYYA HUKMUKAUbun-ubunku ada di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku atasku, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UKAkeputusan-Mu adil terhadap diriku. AS ALUKA ALLAAHUMMA BIKULLISMIN HUWA LAKAAku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, SAMMAITA BIHI NAFSAKA AU ANZALTAHU FII KITAABIKAyang Engkau tetapkan atas diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, AU ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIKAatau Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, AWIS TA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAKAatau Engkau simpan dalam ilmu ghaib-Mu sendiri, AN TAJ ‘ALAL QUR-AANAL ‘AZHIIMA ROBII’A QOLBIIagar Engkau menjadikan Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, WANUURO SHODRII WAJALAA-A HUZNII WADZAHAABA HAMMII WAGHOMMIIcahaya dadaku, penghilang kesedihanku, dan pengusir kecemasan serta kegelisahanku. Melainkan Allah akan memberinya jalan keluar.” (HR. Ahmad). Ini termasuk pengobatan secara syar’i. Demikian pula, termasuk pengobatan secara syariat yang lain, dengan membaca zikir: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH-ZHOOLIMIINYa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Barang siapa menginginkan tambahan doa selain itu, hendaklah ia merujuk kepada karya-karya para ulama dalam bab ini, yaitu bab zikir. Seperti kitab Al-Wābil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim dan Al-Kalim Ath-Thayyib karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi, serta kitab Zād Al-Ma‘ād karya Ibnul Qayyim. Namun, ketika iman mulai melemah, jiwa pun menjadi lemah dalam menerima pengobatan syar’i. Kini, kebanyakan orang justru lebih bergantung pada obat-obatan fisik daripada ketergantungan mereka pada obat-obatan yang syar’i. Ketika keimanan masih kuat, pengobatan syar’i benar-benar ampuh. Bahkan pengaruhnya lebih cepat daripada pengaruh obat-obatan fisik. Hal ini tidaklah samar bagi kita semua, yaitu kisah lelaki yang diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah pasukan. Lalu mereka singgah di tempat suatu kaum. Pasukan ini singgah di salah satu kaum arab, tetapi kaum itu enggan untuk menjamu mereka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak pemimpin kaum itu digigit binatang berbisa. Ia digigit oleh seekor ular. Maka, sebagian dari mereka berkata satu sama lain: “Pergilah kalian kepada kaum yang singgah itu, barangkali kalian dapat menemukan seseorang di antara mereka yang bisa meruqyah.” Sehingga ia dapat meruqyah orang yang sedang sakit karena gigitan ular itu. Maka para sahabat berkata kepada mereka: “Kami tidak akan meruqyah pemimpin kalian kecuali jika kalian memberi kami beberapa ekor kambing.” Mereka menjawab, “Baik, tidak mengapa.” Lalu salah satu anggota pasukan itu pun pergi untuk membacakan ruqyah kepada orang yang digigit ular itu, dengan hanya membaca surat Al-Fatihah. Ia pun membaca surat Al-Fatihah. Lalu orang yang digigit ular itu berdiri, seolah-olah ia terlepas dari ikatan. Allahu Akbar! Makna “seakan-akan ia terlepas dari ikatan” yakni seperti unta yang dilepaskan talinya, lalu ia pun bangkit dengan cepat. Demikianlah bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh pada orang yang digigit ular itu, karena bacaan itu keluar dari hati yang dipenuhi keimanan. Ketika mereka kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Bagaimana kamu tahu bahwa surah Al-Fatihah itu adalah ruqyah?” Namun di zaman kita ini, agama menjadi lemah, keimanan pun ikut melemah. Orang-orang lebih bersandar pada hal-hal yang bersifat indrawi dan tampak saja. Sebenarnya mereka telah diuji dengan hal itu. Namun, di sisi lain, muncul golongan yang berseberangan dengan mereka: para pelaku perdukunan yang mempermainkan akal orang-orang serta memperdaya potensi dan harta mereka. Mereka, para dukun, mengaku sebagai pembaca ruqyah yang saleh, tetapi kenyataannya mereka adalah pemakan harta dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, bukanlah pembaca ruqyah yang saleh, tapi mereka adalah orang-orang yang memeras harta manusia dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, mempermainkan dan menertawakan akal sehat orang-orang. Manusia pun terpecah antara dua kutub yang saling bertolak belakang: Sebagian bersikap ekstrem dengan mengingkari sepenuhnya adanya pengaruh dari bacaan ruqyah. Sebagian lainnya bersikap ekstrem dengan memperdaya akal orang-orang lewat bacaan-bacaan palsu dan menipu. ==== يَقُولُ هَلِ الْمُؤْمِنُ يَمْرَضُ نَفْسِيّاً؟ وَمَا هُوَ الْمَرَضُ النَّفْسِيُّ فِي الشَّرْعِ؟ وَكَيْفِيَّةُ عِلَاجُهُ مِثْلَ القَلَقِ؟ وَهَلِ النَّفْسُ اللَّوَّامَةُ تُسَبِّبُ الْقَلَقَ؟ الْأَطِبَّاءُ هُنَا يُعَالِجُوْنَ الْمَرَضَ بِالْأَمْرَاضِ الْعَصْرِيَّةِ أَوْ بِالْأَدْوِيَةِ؟ بِالْأَمْرَاضِ مَكْتُوْبٌ هُنَا هُوَ الْمَفْرُوضُ بِالْأَدْوِيَة الْعَصْرِيَّةِ بِطَرِيقِةِ أَمْرِيْكَا وَأُوْرُوبَّا وَلَا يَسْتَعْمِلُونَ الْعِلَاجَ الرُّوْحِيَّ أَفْتِنَا يَا شَيْخُ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً نَعَم فَلَا شَكَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ مُصَابٌ بِالْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ بِالْهَمِّ لِلْمُسْتَقْبَل وَالْحَزَنِ عَلَى الْمَاضِي وَتَفْعَلُ الْأَمْرَاضُ النَّفْسِيَّةُ فِي الْبَدَنِ أَكْثَرَ مِمَّا تَفْعَلُهُ الْأَمْرَاضُ الْحِسِّيَّةُ الْبَدَنِيَّةُ وَدَوَاءُ هَذِهِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأُمُورِ الشَّرْعِيَّةِ أَيْ بِالرُّقَى الشَّرْعِيَّةِ أَنْجَحُ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ مِنْ عِلَاجِهَا بِالْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ وَمِنْ أَدْوِيَتِهَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُصِيبُهُ هَمٌّ أَوْ غَمٌّ أَوْ حَزَنٌ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ بِكُلِّ اسمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّيْ وَغَمِّيْ إِلَّا فَرَّجَ اللّهُ عَنْهُ هَذَا مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ أَنْ يَقُولَ الْإِنْسَانُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ وَمَنْ أَرَادَ مَزِيْدَ مِنْ ذَلِكَ فَلْيَرْجِعْ إِلَى مَا كَتَبَهُ الْعُلَمَاءُ فِي هَذَا الْبَابِ فِي بَابِ الْأَذْكَارِ كَالْوَابِلُ الصَّيِّبُ لِابْنِ الْقَيِّمِ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبِ لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَالْأَذْكَارُ لِلنَّوَوِيِّ وَكَذَلِكَ زَادُ الْمَعَادِ لِابْنِ الْقَيِّمِ لَكِنْ لَمَّا ضَعُفَ إِيْمَانٌ ضَعُفَ قَبُولُ النَّفْسِ لِلْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَصَارَ النَّاسُ الْآنَ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِمَادِهِمْ عَلَى الْأَدْوِيَةِ أَيْش؟ الشَّرْعِيَّةِ وَلَمَّا كَانَ الْإِيمَانُ قَوِيّاً كَانَتِ الْأَدْوِيَةُ الشَّرْعِيَّةُ مُؤَثِّرَةً تَمَاماً بَلْ إِنَّ تَأْثِيرَهَا أَسْرَعُ مِنْ تَأْثِيرِ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَلَا يَخْفَى عَلَيْنَا جَمِيْعاً قِصَّةُ الرَّجُلِ الَّذِي بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلُوا عَلَى قَوْمٍ السَّرِيَّةُ نَزَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْعَرَبِ وَلَكِنَّ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ مَنَعُوا ضِيَافَتَهُمْ لَمْ يُضَيِّفُوْهُمْ فَشَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لُدِغَ سَيِّدُ الْقَوْمِ لَدَغَتْهُ حَيَّةٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ اذْهَبُوا إِلَى هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ الَّذِينَ نَزَلُوا لَعَلَّكُم تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ رَاقِياً يَرْقَى هَذَا الْمَرِيضَ الَّذِي لَدَغَتْهُ الْحَيَّةُ فَقَالَ الصَّحَابَةُ لَهُمْ لَا نَرْقَى عَلَى سَيِّدِكُم إِلَّا إِذَا أَعْطَيْتُمُوْنَا كَذَا وَكَذَا مِنَ الْغَنَمِ فَقَالُوا لَا بَأْسَ فَذَهَبَ أَحَدُ الْقَوْمِ مِنَ السَّرِيَّةِ يَقْرَأُ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَطْ قَرَأَ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَامَ هَذَا اللَّدِيغُ كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ اللَّهُ أَكْبَرُ وَالْمَعْنَى كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ يَعْنِي كَأَنَّهُ بَعِيْرٌ فُكَّ عِقَالُهُ فَقَامَ بِسُرْعَةٍ هَكَذَا أَثَّرَتْ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ لِأَنَّهَا صَدَرَتْ مِنْ قَلْبٍ مَمْلُوْءٍ إِيْمَانًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ رَجَعُوا إِلَيْهِ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ لَكِنْ فِي زَمَنِنَا هَذَا ضَعُفَ الدِّيْنُ وَضَعُفَ الْإِيْمَانُ وَصَار النَّاسُ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأُمُورِ الْحِسِّيَّةِ الظَّاهِرَةِ وَابْتُلُوا بِهَا فِي الْوَاقِعِ وَلَكِنْ ظَهَرَ فِي مُقَابِلِ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ أَهْلُ الشَّعْوَذَةِ وَلَعِبُوا بِعُقُوْلِ النَّاسِ وَمُقَدَّرَاتِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ قُرَّاءٌ بَرَرَةٌ وَلَكِنَّهُمْ أَكَلَةُ مَالٍ بِالْبَاطِلِ لَيْسُوا قُرَّاءً بَرَرَةً بَلْ هُمْ أُنَاسٌ يَبْتَزُّوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَضْحَكُوْنَ عَلَى عُقُولِ النَّاس فَالنَّاسُ بَيْنَ طَرَفَيْ نَقِيْضٍ مِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَم يَرَى لِلْقِرَاءَةِ أَثَراً إِطْلَاقاً وَمِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَعِبَ بِعُقُوْلِ النَّاسِ بِالْقِرَاءَاتِ الْكَاذِبَةِ الْخَادِعَةِ


Ia bertanya: Apakah seorang mukmin bisa mengalami gangguan kejiwaan? Apa itu penyakit kejiwaan menurut syariat? Bagaimana pula cara mengobatinya, seperti rasa cemas? Apakah jiwa yang selalu menyalahkan (an-nafs al-lawwāmah) dapat menyebabkan kecemasan? Para dokter di sini mengobatinya dengan metode pengobatan modern. Mungkin maksudnya dengan obat-obatan? Tapi tertulis di sini bi al-amrād (yaitu dengan penyakit). Yang dimaksud seharusnya adalah dengan pengobatan modern, sebagaimana metode dari Amerika dan Eropa, dan mereka tidak menggunakan metode pengobatan rohaniah. Berilah kami fatwa, wahai Syaikh. Jazakallahu khairan. Baiklah. Tidak diragukan lagi bahwa manusia bisa mengalami gangguan kejiwaan. Seperti rasa cemas terhadap masa depan dan kesedihan mengingat masa lalu. Dampak penyakit kejiwaan terhadap tubuh bahkan lebih besar dibanding penyakit fisik yang kasatmata. Adapun obat untuk penyakit-penyakit ini dengan metode syar’i, seperti ruqyah syar’iyyah, lebih berhasil daripada pengobatan dengan obat-obatan fisik atau medis. Sebagaimana telah diketahui. Salah satu obat penyakit kejiwaan ini, sebagaimana dalam hadis sahih yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa cemas, gelisah, atau sedih, lalu ia berdoa: ALLAAHUMMA INNII ‘ABDUKAYa Allah, aku adalah hamba-Mu, IBNU ‘ABDIKA IBNU AMATIKAanak dari hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. NAASHIYATII BIYADIKA MAADHIN FIYYA HUKMUKAUbun-ubunku ada di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku atasku, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UKAkeputusan-Mu adil terhadap diriku. AS ALUKA ALLAAHUMMA BIKULLISMIN HUWA LAKAAku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, SAMMAITA BIHI NAFSAKA AU ANZALTAHU FII KITAABIKAyang Engkau tetapkan atas diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, AU ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIKAatau Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, AWIS TA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAKAatau Engkau simpan dalam ilmu ghaib-Mu sendiri, AN TAJ ‘ALAL QUR-AANAL ‘AZHIIMA ROBII’A QOLBIIagar Engkau menjadikan Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, WANUURO SHODRII WAJALAA-A HUZNII WADZAHAABA HAMMII WAGHOMMIIcahaya dadaku, penghilang kesedihanku, dan pengusir kecemasan serta kegelisahanku. Melainkan Allah akan memberinya jalan keluar.” (HR. Ahmad). Ini termasuk pengobatan secara syar’i. Demikian pula, termasuk pengobatan secara syariat yang lain, dengan membaca zikir: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH-ZHOOLIMIINYa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Barang siapa menginginkan tambahan doa selain itu, hendaklah ia merujuk kepada karya-karya para ulama dalam bab ini, yaitu bab zikir. Seperti kitab Al-Wābil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim dan Al-Kalim Ath-Thayyib karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi, serta kitab Zād Al-Ma‘ād karya Ibnul Qayyim. Namun, ketika iman mulai melemah, jiwa pun menjadi lemah dalam menerima pengobatan syar’i. Kini, kebanyakan orang justru lebih bergantung pada obat-obatan fisik daripada ketergantungan mereka pada obat-obatan yang syar’i. Ketika keimanan masih kuat, pengobatan syar’i benar-benar ampuh. Bahkan pengaruhnya lebih cepat daripada pengaruh obat-obatan fisik. Hal ini tidaklah samar bagi kita semua, yaitu kisah lelaki yang diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah pasukan. Lalu mereka singgah di tempat suatu kaum. Pasukan ini singgah di salah satu kaum arab, tetapi kaum itu enggan untuk menjamu mereka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak pemimpin kaum itu digigit binatang berbisa. Ia digigit oleh seekor ular. Maka, sebagian dari mereka berkata satu sama lain: “Pergilah kalian kepada kaum yang singgah itu, barangkali kalian dapat menemukan seseorang di antara mereka yang bisa meruqyah.” Sehingga ia dapat meruqyah orang yang sedang sakit karena gigitan ular itu. Maka para sahabat berkata kepada mereka: “Kami tidak akan meruqyah pemimpin kalian kecuali jika kalian memberi kami beberapa ekor kambing.” Mereka menjawab, “Baik, tidak mengapa.” Lalu salah satu anggota pasukan itu pun pergi untuk membacakan ruqyah kepada orang yang digigit ular itu, dengan hanya membaca surat Al-Fatihah. Ia pun membaca surat Al-Fatihah. Lalu orang yang digigit ular itu berdiri, seolah-olah ia terlepas dari ikatan. Allahu Akbar! Makna “seakan-akan ia terlepas dari ikatan” yakni seperti unta yang dilepaskan talinya, lalu ia pun bangkit dengan cepat. Demikianlah bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh pada orang yang digigit ular itu, karena bacaan itu keluar dari hati yang dipenuhi keimanan. Ketika mereka kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Bagaimana kamu tahu bahwa surah Al-Fatihah itu adalah ruqyah?” Namun di zaman kita ini, agama menjadi lemah, keimanan pun ikut melemah. Orang-orang lebih bersandar pada hal-hal yang bersifat indrawi dan tampak saja. Sebenarnya mereka telah diuji dengan hal itu. Namun, di sisi lain, muncul golongan yang berseberangan dengan mereka: para pelaku perdukunan yang mempermainkan akal orang-orang serta memperdaya potensi dan harta mereka. Mereka, para dukun, mengaku sebagai pembaca ruqyah yang saleh, tetapi kenyataannya mereka adalah pemakan harta dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, bukanlah pembaca ruqyah yang saleh, tapi mereka adalah orang-orang yang memeras harta manusia dengan cara yang batil. Mereka, para dukun, mempermainkan dan menertawakan akal sehat orang-orang. Manusia pun terpecah antara dua kutub yang saling bertolak belakang: Sebagian bersikap ekstrem dengan mengingkari sepenuhnya adanya pengaruh dari bacaan ruqyah. Sebagian lainnya bersikap ekstrem dengan memperdaya akal orang-orang lewat bacaan-bacaan palsu dan menipu. ==== يَقُولُ هَلِ الْمُؤْمِنُ يَمْرَضُ نَفْسِيّاً؟ وَمَا هُوَ الْمَرَضُ النَّفْسِيُّ فِي الشَّرْعِ؟ وَكَيْفِيَّةُ عِلَاجُهُ مِثْلَ القَلَقِ؟ وَهَلِ النَّفْسُ اللَّوَّامَةُ تُسَبِّبُ الْقَلَقَ؟ الْأَطِبَّاءُ هُنَا يُعَالِجُوْنَ الْمَرَضَ بِالْأَمْرَاضِ الْعَصْرِيَّةِ أَوْ بِالْأَدْوِيَةِ؟ بِالْأَمْرَاضِ مَكْتُوْبٌ هُنَا هُوَ الْمَفْرُوضُ بِالْأَدْوِيَة الْعَصْرِيَّةِ بِطَرِيقِةِ أَمْرِيْكَا وَأُوْرُوبَّا وَلَا يَسْتَعْمِلُونَ الْعِلَاجَ الرُّوْحِيَّ أَفْتِنَا يَا شَيْخُ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً نَعَم فَلَا شَكَّ أَنَّ الْإِنْسَانَ مُصَابٌ بِالْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ بِالْهَمِّ لِلْمُسْتَقْبَل وَالْحَزَنِ عَلَى الْمَاضِي وَتَفْعَلُ الْأَمْرَاضُ النَّفْسِيَّةُ فِي الْبَدَنِ أَكْثَرَ مِمَّا تَفْعَلُهُ الْأَمْرَاضُ الْحِسِّيَّةُ الْبَدَنِيَّةُ وَدَوَاءُ هَذِهِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأُمُورِ الشَّرْعِيَّةِ أَيْ بِالرُّقَى الشَّرْعِيَّةِ أَنْجَحُ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ مِنْ عِلَاجِهَا بِالْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ وَمِنْ أَدْوِيَتِهَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُصِيبُهُ هَمٌّ أَوْ غَمٌّ أَوْ حَزَنٌ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ بِكُلِّ اسمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّيْ وَغَمِّيْ إِلَّا فَرَّجَ اللّهُ عَنْهُ هَذَا مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ أَنْ يَقُولَ الْإِنْسَانُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ وَمَنْ أَرَادَ مَزِيْدَ مِنْ ذَلِكَ فَلْيَرْجِعْ إِلَى مَا كَتَبَهُ الْعُلَمَاءُ فِي هَذَا الْبَابِ فِي بَابِ الْأَذْكَارِ كَالْوَابِلُ الصَّيِّبُ لِابْنِ الْقَيِّمِ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبِ لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَالْأَذْكَارُ لِلنَّوَوِيِّ وَكَذَلِكَ زَادُ الْمَعَادِ لِابْنِ الْقَيِّمِ لَكِنْ لَمَّا ضَعُفَ إِيْمَانٌ ضَعُفَ قَبُولُ النَّفْسِ لِلْأَدْوِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَصَارَ النَّاسُ الْآنَ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِمَادِهِمْ عَلَى الْأَدْوِيَةِ أَيْش؟ الشَّرْعِيَّةِ وَلَمَّا كَانَ الْإِيمَانُ قَوِيّاً كَانَتِ الْأَدْوِيَةُ الشَّرْعِيَّةُ مُؤَثِّرَةً تَمَاماً بَلْ إِنَّ تَأْثِيرَهَا أَسْرَعُ مِنْ تَأْثِيرِ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَلَا يَخْفَى عَلَيْنَا جَمِيْعاً قِصَّةُ الرَّجُلِ الَّذِي بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلُوا عَلَى قَوْمٍ السَّرِيَّةُ نَزَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْعَرَبِ وَلَكِنَّ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ مَنَعُوا ضِيَافَتَهُمْ لَمْ يُضَيِّفُوْهُمْ فَشَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لُدِغَ سَيِّدُ الْقَوْمِ لَدَغَتْهُ حَيَّةٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ اذْهَبُوا إِلَى هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ الَّذِينَ نَزَلُوا لَعَلَّكُم تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ رَاقِياً يَرْقَى هَذَا الْمَرِيضَ الَّذِي لَدَغَتْهُ الْحَيَّةُ فَقَالَ الصَّحَابَةُ لَهُمْ لَا نَرْقَى عَلَى سَيِّدِكُم إِلَّا إِذَا أَعْطَيْتُمُوْنَا كَذَا وَكَذَا مِنَ الْغَنَمِ فَقَالُوا لَا بَأْسَ فَذَهَبَ أَحَدُ الْقَوْمِ مِنَ السَّرِيَّةِ يَقْرَأُ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَطْ قَرَأَ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ فَقَامَ هَذَا اللَّدِيغُ كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ اللَّهُ أَكْبَرُ وَالْمَعْنَى كَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ يَعْنِي كَأَنَّهُ بَعِيْرٌ فُكَّ عِقَالُهُ فَقَامَ بِسُرْعَةٍ هَكَذَا أَثَّرَتْ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ عَلَى هَذَا اللَّدِيغِ لِأَنَّهَا صَدَرَتْ مِنْ قَلْبٍ مَمْلُوْءٍ إِيْمَانًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ رَجَعُوا إِلَيْهِ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ لَكِنْ فِي زَمَنِنَا هَذَا ضَعُفَ الدِّيْنُ وَضَعُفَ الْإِيْمَانُ وَصَار النَّاسُ يَعْتَمِدُونَ عَلَى الْأُمُورِ الْحِسِّيَّةِ الظَّاهِرَةِ وَابْتُلُوا بِهَا فِي الْوَاقِعِ وَلَكِنْ ظَهَرَ فِي مُقَابِلِ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ أَهْلُ الشَّعْوَذَةِ وَلَعِبُوا بِعُقُوْلِ النَّاسِ وَمُقَدَّرَاتِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ قُرَّاءٌ بَرَرَةٌ وَلَكِنَّهُمْ أَكَلَةُ مَالٍ بِالْبَاطِلِ لَيْسُوا قُرَّاءً بَرَرَةً بَلْ هُمْ أُنَاسٌ يَبْتَزُّوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَضْحَكُوْنَ عَلَى عُقُولِ النَّاس فَالنَّاسُ بَيْنَ طَرَفَيْ نَقِيْضٍ مِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَم يَرَى لِلْقِرَاءَةِ أَثَراً إِطْلَاقاً وَمِنْهُمْ مَنْ تَطَرَّفَ وَلَعِبَ بِعُقُوْلِ النَّاسِ بِالْقِرَاءَاتِ الْكَاذِبَةِ الْخَادِعَةِ

Biografi Imam Malik bin Anas

Daftar Isi ToggleNamaKelahiranPertumbuhanCiri fisikGuru dan muridnyaImam ahlus sunnah wal jama’ahPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahPendapatnya tentang imanPendapatnya tentang istiwa’Pendapatnya tentang Al-Qur’anPendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaKarya tulisPerkataan ulama tentang Imam MalikWafatNamaBeliau adalah Imam Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al-Harith, yang nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Yashjub bin Qahtan Al-Asbahi. Kakeknya, Abu Amir, adalah seorang sahabat yang mulia.KelahiranImam Malik bin Anas merupakan salah satu tokoh besar dalam Islam, Imam Dar al-Hijrah, lahir di Madinah. Tidak ada kesepakatan dalam riwayat mengenai tahun kelahirannya, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Imam Malik lahir antara tahun 90 H hingga 97 H. Namun yang dikuatkan mengenai penapat tahun kelahiran Imam Malik adalah pada tahun 93 Hijriyah di Madinah, yaitu tahun wafatnya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.PertumbuhanImam Malik tumbuh di sebuah keluarga yang fokus pada ilmu hadis, dalam lingkungan yang sepenuhnya didedikasikan untuk hadis dan ilmu pengetahuan. Kakeknya, Malik bin Abi Amir, adalah salah satu tokoh besar di kalangan tabi’in, yang meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah, ibu kaum mukminin. Anaknya, Anas, yang juga dikenal sebagai Abu Malik, serta Rabi’ dan Nafi’ (yang dikenal dengan nama Abu Suhail), meriwayatkan darinya. Namun, tampaknya ayahnya, Anas, tidak terlalu banyak terlibat dalam hadis. Meskipun demikian, kakek dan pamannya sangat berperan dalam membentuk ilmiah keluarga tersebut. Hal ini membuat keluarga Imam Malik dikenal sebagai keluarga yang sangat terkemuka dalam ilmu pengetahuan. Sebelum Imam Malik, saudaranya yang bernama Nadr juga mengikuti jalur ilmu, sering berada di sekitar para ulama dan belajar dari mereka. Imam Malik dibesarkan di Madinah dengan kehidupan yang penuh kecukupan, rasa aman, dan kesempatan untuk mengejar ilmu. Ia tidak mengenal pekerjaan atau perdagangan, serta tidak tertarik pada perjalanan atau kerajinan. Satu-satunya tujuannya adalah mencari ilmu dan meriwayatkan hadis.Imam Malik mulai fokus pada ilmu pada tahun kesepuluh setelah abad pertama (110 Hijriah), di tahun yang sama dengan wafatnya Al-Hasan Al-Basri. Ia belajar dari beberapa ulama besar, di antaranya: Nafi’, yang menjadi gurunya dan ia sangat mengikutinya; Sa’id Al-Maqbari; Nu’aim Al-Mujammir; Wahb bin Kaysan; Az-Zuhri; Ibn Al-Munkadir; Amir bin Abdullah bin Az-Zubair; Abdullah bin Dinar; Zayd bin Aslam; Sufyan bin Sulaim; Ishaq bin Abi Talhah; Muhammad bin Yahya bin Hibban; Yahya bin Sa’id; Ayyub As-Sakhtiyani; Abu Az-Zanad; Rabi’ah bin Abi Abd Al-Rahman, dan banyak lainnya dari para ulama Madinah. Oleh karena itu, ia jarang meriwayatkan hadis dari orang selain ahli ilmu dari kota kelahirannya, Madinah.Ciri fisikImam Malik memiliki tubuh yang tinggi dan besar, dengan kepala yang besar pula. Rambut dan jenggotnya berwarna putih, dan ada yang mengatakan bahwa jenggotnya mencapai dadanya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau memiliki mata biru. Ia biasa mengenakan pakaian putih yang halus dari Yaman. Ashhab berkata, “Jika Imam Malik mengenakan sorban, ia akan menaruhnya di bawah dagunya, dengan ujung sorban menjuntai di antara kedua bahunya.”Khalid bin Khudasy berkata, “Saya pernah melihat Imam Malik mengenakan sebuah jilbab dan pakaian mewah yang sangat baik, dan dikatakan bahwa beliau tidak suka pakaian yang terlalu mewah. Ia menganggapnya sebagai tindakan berlebihan dan juga tidak merubah warna rambutnya yang sudah memutih.”Guru dan muridnyaImam Malik rahimahullah mengambil ilmu dari banyak ulama, di antaranya: Nafi’, Sa’id al-Maqbari, Amir bin Abdullah bin al-Zubair, Rabi’ah bin Abi Abdulrahman, Ibn al-Minkadar, al-Zuhri, dan Abdullah bin Dinar.Imam Malik rahimahullah memiliki banyak murid dan sahabat yang tak terhitung jumlahnya, mereka tersebar di berbagai wilayah dunia Islam, seperti Mesir, Afrika, Andalusia, dan Irak.Di Mesir: Ibn al-Qasim (w. 191 H), Ashhab (w. 204 H).Di Afrika: Asad bin al-Furat (w. 214 H).Di Andalusia: Yahya bin Yahya al-Laythi (w. 224 H).Di Irak: Di antara pengikutnya yang menyebarkan mazhabnya adalah Abdulrahman bin Mahdi bin Hasan al-Anbari (w. 186 H) dan Abdullah bin Muslimah bin Qan’ab al-Tamimi al-Harthi (w. 220 H); dari para ulama ini, dan lainnya, dimulai penyebaran mazhab Maliki.Imam ahlus sunnah wal jama’ahImam Malik merupakan salah satu imam mazhab. Imamnya ahlul hadis dan fiqih. Salah satu kitab hadisnya adalah Al-Muwatha’ yang begitu terkenal. Imam Malik juga merupakan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memiliki aqidah yang lurus yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para salaful ummah. Dalam kitabnya, Al-Muwatha’, beliau menyusun satu bab yang begitu mulia, yaitu Kitab Al-Qur’an. Imam Malik menulis semua hal tentang Al-Qur’an di kitabnya dan juga menafsirkan Al-Qur’an. Barangsiapa yang mempelajari kehidupan Imam Malik, ia akan memahami bahwa beliau hidup dengan Al-Qur’an, baik dalam ilmu maupun amalnya.Imam Malik juga merupakan ulama yang berpegang teguh dengan sunah dan juga menjadi pembela sunah. Adapun dalam manhaj dan akidah Imam Malik, maka beliau rahimahullah tidaklah menyusun kitab Al-Muwatha’ kecuali untuk membela prinsip-prinsip ahlus sunah dari serangan kelompok Jahmiyyah dan Ahli Ro’yu (orang-orang yang mendahulukan akal).Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-JauziPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahTerdapat banyak riwayat dari Imam Malik dalam bidang akidah, di antaranya:Pendapatnya tentang imanQadhi ‘Iyadh berkata bahwa banyak ulama berkata, “Aku mendengar Malik berkata: Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, dan sebagian iman lebih utama dari sebagian yang lain.” [1]Pendapatnya tentang istiwa’Sufyan bin ‘Uyaynah berkata: Seseorang bertanya kepada Malik tentang firman Allah Ta’ala,ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ“Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy.” [2]“Bagaimana Dia bersemayam?”Maka Malik diam cukup lama hingga keringat membasahi wajahnya. Kami tidak pernah melihat Malik marah karena suatu pembicaraan seperti kemarahannya terhadap pertanyaan ini. Orang-orang pun menunggu apa yang akan ia katakan, lalu beliau berkata,الاستواء منه معلوم، والكيف منه غير معقول، والسؤال عن هذا بدعة،والإيمان به واجب،وإني أظنك ضالا،أخرجوه“Istiwa’ itu diketahui (maknanya), bagaimana caranya tidak dapat dijangkau oleh akal. Bertanya tentang hal ini adalah bid’ah, dan beriman dengannya adalah wajib. Aku melihat engkau adalah orang yang sesat, keluarkan dia!”Orang itu pun berseru, “Wahai Abu Abdillah, demi Allah yang tiada ilah (sesembahan yang berhak disembah) selain Dia, aku telah bertanya tentang masalah ini kepada penduduk Bashrah, Kufah, dan Irak, namun aku tidak menemukan seseorang pun yang jawabannya seperti engkau.” [3]Pendapatnya tentang Al-Qur’anIbn Abi Uwais berkata, bahwa Malik berkata,القرآن كلام الله،وكلام الله من الله، وليس من الله شيء مخلوق“Al-Qur’an adalah kalam Allah, dan kalam Allah berasal dari-Nya, dan tidak ada sesuatu pun dari Allah yang merupakan makhluk.” [4]Pendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaQadhi ‘Iyadh rahimahullah meriwayatkan, Ibn Nafi’ dan Ashhab berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang firman Allah,وُجُوهٌ يَّومئذٍ نَّاضِرَةٌ ۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ​“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, melihat kepada Tuhannya.” [5]“Apakah mereka akan melihat Allah dengan mata mereka ini?”Beliau menjawab, “Ya, dengan mata mereka ini.” [6]Karya tulisRisaalatu fii Al-Qadr, yang ditulis oleh Imam Malik kepada Ibn Wahb, dan risalah ini masih ada.Memiliki tulisan tentang bintang dan kedudukan bulan yang diriwayatkan oleh Sahnun. Saat ini, kitab ini belum ditemukan, namun buku ini sangat terkenal pada masanya dan menjadi rujukan.Risaalah fii Al-Aqdiyah, yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Yusuf bin Matruh, dari Abdullah bin Abduljalil.Risalah kepada Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif.Imam Malik juga memiliki tulisan tentang tafsir Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Khalid bin Abdulrahman al-Makhzumi, yang kemudian diriwayatkan oleh Qadhi Iyadh, dari Abu Ja’far Ahmad bin Said, dari Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan al-Muqri’, dari Muhammad bin Ali al-Masisi, dari ayahnya, dengan sanadnya.Risalah kepada Al-Laits tentang kesepakatan pendapat ahli Madinah.Perkataan Imam Malik yang dirangkum oleh para ulama tentang masalah hukum, fatwa, dan faedah, termasuk di antaranya Al-Mudawwana, Al-Wadhihah, dan lainnya.Dan yang paling terkenal dari karya-karya beliau adalah kitab Al-Muwatta’.Perkataan ulama tentang Imam MalikAbu Hanifah, “Demi Allah, saya belum pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memberikan jawaban darinya, seseorang yang jujur dan memiliki kesederhanaan yang sempurna.”Asy-Syafi’i berkata, “Jika datang kepadamu riwayat dari Malik, peganglah itu erat-erat.” Beliau berkata, “Jika datang berita (hadis), maka Malik adalah bintangnya.” Beliau berkata, “Siapa yang ingin belajar hadis, maka dia perlu bersandar kepada Malik.”Imam Ahmad berkata, “Malik adalah pemimpinnya para ulama, dan imam dalam hadis dan fiqih.”WafatMuhammad bin Sa’d berkata, “Imam Malik mengeluh sakit beberapa hari, dan saya bertanya kepada beberapa keluarganya mengenai apa yang dia katakan saat menjelang wafat. Mereka berkata, ‘Dia mengucapkan syahadat, lalu berkata, “Hanya milik Allah segala urusan, baik sebelum maupun setelahnya,” kemudian beliau wafat pada pagi hari tanggal 14 Rabi’ul Awal, tahun 179 Hijriah (795 Masehi), pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Salat jenazah dipimpin oleh Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’, dan beliau berusia 85 tahun.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Referensi:Diterjemahkan dan dirangkum oleh penulis dari web alukah.net Catatan kaki:[1] Tartiib Al-Madaarik wa Taqriibu Al-Masaalik, jilid 2.[2] QS. Thaha: 5[3] An-Nihayah fii Ghariib Al-Hadits, karya Ibnu Atsir, 2: 208.[4] Tazyiin Al-Mamalik bi Manaqib Al-Imam Malik, karya As-Suyuthi, hal. 19.[5] QS. Al-Qiyamah: 22–23.[6] Tartiib Al-Madarik wa Taqriib Al-Masaalik, 2: 82.

Biografi Imam Malik bin Anas

Daftar Isi ToggleNamaKelahiranPertumbuhanCiri fisikGuru dan muridnyaImam ahlus sunnah wal jama’ahPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahPendapatnya tentang imanPendapatnya tentang istiwa’Pendapatnya tentang Al-Qur’anPendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaKarya tulisPerkataan ulama tentang Imam MalikWafatNamaBeliau adalah Imam Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al-Harith, yang nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Yashjub bin Qahtan Al-Asbahi. Kakeknya, Abu Amir, adalah seorang sahabat yang mulia.KelahiranImam Malik bin Anas merupakan salah satu tokoh besar dalam Islam, Imam Dar al-Hijrah, lahir di Madinah. Tidak ada kesepakatan dalam riwayat mengenai tahun kelahirannya, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Imam Malik lahir antara tahun 90 H hingga 97 H. Namun yang dikuatkan mengenai penapat tahun kelahiran Imam Malik adalah pada tahun 93 Hijriyah di Madinah, yaitu tahun wafatnya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.PertumbuhanImam Malik tumbuh di sebuah keluarga yang fokus pada ilmu hadis, dalam lingkungan yang sepenuhnya didedikasikan untuk hadis dan ilmu pengetahuan. Kakeknya, Malik bin Abi Amir, adalah salah satu tokoh besar di kalangan tabi’in, yang meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah, ibu kaum mukminin. Anaknya, Anas, yang juga dikenal sebagai Abu Malik, serta Rabi’ dan Nafi’ (yang dikenal dengan nama Abu Suhail), meriwayatkan darinya. Namun, tampaknya ayahnya, Anas, tidak terlalu banyak terlibat dalam hadis. Meskipun demikian, kakek dan pamannya sangat berperan dalam membentuk ilmiah keluarga tersebut. Hal ini membuat keluarga Imam Malik dikenal sebagai keluarga yang sangat terkemuka dalam ilmu pengetahuan. Sebelum Imam Malik, saudaranya yang bernama Nadr juga mengikuti jalur ilmu, sering berada di sekitar para ulama dan belajar dari mereka. Imam Malik dibesarkan di Madinah dengan kehidupan yang penuh kecukupan, rasa aman, dan kesempatan untuk mengejar ilmu. Ia tidak mengenal pekerjaan atau perdagangan, serta tidak tertarik pada perjalanan atau kerajinan. Satu-satunya tujuannya adalah mencari ilmu dan meriwayatkan hadis.Imam Malik mulai fokus pada ilmu pada tahun kesepuluh setelah abad pertama (110 Hijriah), di tahun yang sama dengan wafatnya Al-Hasan Al-Basri. Ia belajar dari beberapa ulama besar, di antaranya: Nafi’, yang menjadi gurunya dan ia sangat mengikutinya; Sa’id Al-Maqbari; Nu’aim Al-Mujammir; Wahb bin Kaysan; Az-Zuhri; Ibn Al-Munkadir; Amir bin Abdullah bin Az-Zubair; Abdullah bin Dinar; Zayd bin Aslam; Sufyan bin Sulaim; Ishaq bin Abi Talhah; Muhammad bin Yahya bin Hibban; Yahya bin Sa’id; Ayyub As-Sakhtiyani; Abu Az-Zanad; Rabi’ah bin Abi Abd Al-Rahman, dan banyak lainnya dari para ulama Madinah. Oleh karena itu, ia jarang meriwayatkan hadis dari orang selain ahli ilmu dari kota kelahirannya, Madinah.Ciri fisikImam Malik memiliki tubuh yang tinggi dan besar, dengan kepala yang besar pula. Rambut dan jenggotnya berwarna putih, dan ada yang mengatakan bahwa jenggotnya mencapai dadanya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau memiliki mata biru. Ia biasa mengenakan pakaian putih yang halus dari Yaman. Ashhab berkata, “Jika Imam Malik mengenakan sorban, ia akan menaruhnya di bawah dagunya, dengan ujung sorban menjuntai di antara kedua bahunya.”Khalid bin Khudasy berkata, “Saya pernah melihat Imam Malik mengenakan sebuah jilbab dan pakaian mewah yang sangat baik, dan dikatakan bahwa beliau tidak suka pakaian yang terlalu mewah. Ia menganggapnya sebagai tindakan berlebihan dan juga tidak merubah warna rambutnya yang sudah memutih.”Guru dan muridnyaImam Malik rahimahullah mengambil ilmu dari banyak ulama, di antaranya: Nafi’, Sa’id al-Maqbari, Amir bin Abdullah bin al-Zubair, Rabi’ah bin Abi Abdulrahman, Ibn al-Minkadar, al-Zuhri, dan Abdullah bin Dinar.Imam Malik rahimahullah memiliki banyak murid dan sahabat yang tak terhitung jumlahnya, mereka tersebar di berbagai wilayah dunia Islam, seperti Mesir, Afrika, Andalusia, dan Irak.Di Mesir: Ibn al-Qasim (w. 191 H), Ashhab (w. 204 H).Di Afrika: Asad bin al-Furat (w. 214 H).Di Andalusia: Yahya bin Yahya al-Laythi (w. 224 H).Di Irak: Di antara pengikutnya yang menyebarkan mazhabnya adalah Abdulrahman bin Mahdi bin Hasan al-Anbari (w. 186 H) dan Abdullah bin Muslimah bin Qan’ab al-Tamimi al-Harthi (w. 220 H); dari para ulama ini, dan lainnya, dimulai penyebaran mazhab Maliki.Imam ahlus sunnah wal jama’ahImam Malik merupakan salah satu imam mazhab. Imamnya ahlul hadis dan fiqih. Salah satu kitab hadisnya adalah Al-Muwatha’ yang begitu terkenal. Imam Malik juga merupakan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memiliki aqidah yang lurus yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para salaful ummah. Dalam kitabnya, Al-Muwatha’, beliau menyusun satu bab yang begitu mulia, yaitu Kitab Al-Qur’an. Imam Malik menulis semua hal tentang Al-Qur’an di kitabnya dan juga menafsirkan Al-Qur’an. Barangsiapa yang mempelajari kehidupan Imam Malik, ia akan memahami bahwa beliau hidup dengan Al-Qur’an, baik dalam ilmu maupun amalnya.Imam Malik juga merupakan ulama yang berpegang teguh dengan sunah dan juga menjadi pembela sunah. Adapun dalam manhaj dan akidah Imam Malik, maka beliau rahimahullah tidaklah menyusun kitab Al-Muwatha’ kecuali untuk membela prinsip-prinsip ahlus sunah dari serangan kelompok Jahmiyyah dan Ahli Ro’yu (orang-orang yang mendahulukan akal).Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-JauziPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahTerdapat banyak riwayat dari Imam Malik dalam bidang akidah, di antaranya:Pendapatnya tentang imanQadhi ‘Iyadh berkata bahwa banyak ulama berkata, “Aku mendengar Malik berkata: Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, dan sebagian iman lebih utama dari sebagian yang lain.” [1]Pendapatnya tentang istiwa’Sufyan bin ‘Uyaynah berkata: Seseorang bertanya kepada Malik tentang firman Allah Ta’ala,ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ“Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy.” [2]“Bagaimana Dia bersemayam?”Maka Malik diam cukup lama hingga keringat membasahi wajahnya. Kami tidak pernah melihat Malik marah karena suatu pembicaraan seperti kemarahannya terhadap pertanyaan ini. Orang-orang pun menunggu apa yang akan ia katakan, lalu beliau berkata,الاستواء منه معلوم، والكيف منه غير معقول، والسؤال عن هذا بدعة،والإيمان به واجب،وإني أظنك ضالا،أخرجوه“Istiwa’ itu diketahui (maknanya), bagaimana caranya tidak dapat dijangkau oleh akal. Bertanya tentang hal ini adalah bid’ah, dan beriman dengannya adalah wajib. Aku melihat engkau adalah orang yang sesat, keluarkan dia!”Orang itu pun berseru, “Wahai Abu Abdillah, demi Allah yang tiada ilah (sesembahan yang berhak disembah) selain Dia, aku telah bertanya tentang masalah ini kepada penduduk Bashrah, Kufah, dan Irak, namun aku tidak menemukan seseorang pun yang jawabannya seperti engkau.” [3]Pendapatnya tentang Al-Qur’anIbn Abi Uwais berkata, bahwa Malik berkata,القرآن كلام الله،وكلام الله من الله، وليس من الله شيء مخلوق“Al-Qur’an adalah kalam Allah, dan kalam Allah berasal dari-Nya, dan tidak ada sesuatu pun dari Allah yang merupakan makhluk.” [4]Pendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaQadhi ‘Iyadh rahimahullah meriwayatkan, Ibn Nafi’ dan Ashhab berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang firman Allah,وُجُوهٌ يَّومئذٍ نَّاضِرَةٌ ۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ​“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, melihat kepada Tuhannya.” [5]“Apakah mereka akan melihat Allah dengan mata mereka ini?”Beliau menjawab, “Ya, dengan mata mereka ini.” [6]Karya tulisRisaalatu fii Al-Qadr, yang ditulis oleh Imam Malik kepada Ibn Wahb, dan risalah ini masih ada.Memiliki tulisan tentang bintang dan kedudukan bulan yang diriwayatkan oleh Sahnun. Saat ini, kitab ini belum ditemukan, namun buku ini sangat terkenal pada masanya dan menjadi rujukan.Risaalah fii Al-Aqdiyah, yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Yusuf bin Matruh, dari Abdullah bin Abduljalil.Risalah kepada Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif.Imam Malik juga memiliki tulisan tentang tafsir Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Khalid bin Abdulrahman al-Makhzumi, yang kemudian diriwayatkan oleh Qadhi Iyadh, dari Abu Ja’far Ahmad bin Said, dari Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan al-Muqri’, dari Muhammad bin Ali al-Masisi, dari ayahnya, dengan sanadnya.Risalah kepada Al-Laits tentang kesepakatan pendapat ahli Madinah.Perkataan Imam Malik yang dirangkum oleh para ulama tentang masalah hukum, fatwa, dan faedah, termasuk di antaranya Al-Mudawwana, Al-Wadhihah, dan lainnya.Dan yang paling terkenal dari karya-karya beliau adalah kitab Al-Muwatta’.Perkataan ulama tentang Imam MalikAbu Hanifah, “Demi Allah, saya belum pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memberikan jawaban darinya, seseorang yang jujur dan memiliki kesederhanaan yang sempurna.”Asy-Syafi’i berkata, “Jika datang kepadamu riwayat dari Malik, peganglah itu erat-erat.” Beliau berkata, “Jika datang berita (hadis), maka Malik adalah bintangnya.” Beliau berkata, “Siapa yang ingin belajar hadis, maka dia perlu bersandar kepada Malik.”Imam Ahmad berkata, “Malik adalah pemimpinnya para ulama, dan imam dalam hadis dan fiqih.”WafatMuhammad bin Sa’d berkata, “Imam Malik mengeluh sakit beberapa hari, dan saya bertanya kepada beberapa keluarganya mengenai apa yang dia katakan saat menjelang wafat. Mereka berkata, ‘Dia mengucapkan syahadat, lalu berkata, “Hanya milik Allah segala urusan, baik sebelum maupun setelahnya,” kemudian beliau wafat pada pagi hari tanggal 14 Rabi’ul Awal, tahun 179 Hijriah (795 Masehi), pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Salat jenazah dipimpin oleh Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’, dan beliau berusia 85 tahun.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Referensi:Diterjemahkan dan dirangkum oleh penulis dari web alukah.net Catatan kaki:[1] Tartiib Al-Madaarik wa Taqriibu Al-Masaalik, jilid 2.[2] QS. Thaha: 5[3] An-Nihayah fii Ghariib Al-Hadits, karya Ibnu Atsir, 2: 208.[4] Tazyiin Al-Mamalik bi Manaqib Al-Imam Malik, karya As-Suyuthi, hal. 19.[5] QS. Al-Qiyamah: 22–23.[6] Tartiib Al-Madarik wa Taqriib Al-Masaalik, 2: 82.
Daftar Isi ToggleNamaKelahiranPertumbuhanCiri fisikGuru dan muridnyaImam ahlus sunnah wal jama’ahPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahPendapatnya tentang imanPendapatnya tentang istiwa’Pendapatnya tentang Al-Qur’anPendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaKarya tulisPerkataan ulama tentang Imam MalikWafatNamaBeliau adalah Imam Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al-Harith, yang nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Yashjub bin Qahtan Al-Asbahi. Kakeknya, Abu Amir, adalah seorang sahabat yang mulia.KelahiranImam Malik bin Anas merupakan salah satu tokoh besar dalam Islam, Imam Dar al-Hijrah, lahir di Madinah. Tidak ada kesepakatan dalam riwayat mengenai tahun kelahirannya, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Imam Malik lahir antara tahun 90 H hingga 97 H. Namun yang dikuatkan mengenai penapat tahun kelahiran Imam Malik adalah pada tahun 93 Hijriyah di Madinah, yaitu tahun wafatnya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.PertumbuhanImam Malik tumbuh di sebuah keluarga yang fokus pada ilmu hadis, dalam lingkungan yang sepenuhnya didedikasikan untuk hadis dan ilmu pengetahuan. Kakeknya, Malik bin Abi Amir, adalah salah satu tokoh besar di kalangan tabi’in, yang meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah, ibu kaum mukminin. Anaknya, Anas, yang juga dikenal sebagai Abu Malik, serta Rabi’ dan Nafi’ (yang dikenal dengan nama Abu Suhail), meriwayatkan darinya. Namun, tampaknya ayahnya, Anas, tidak terlalu banyak terlibat dalam hadis. Meskipun demikian, kakek dan pamannya sangat berperan dalam membentuk ilmiah keluarga tersebut. Hal ini membuat keluarga Imam Malik dikenal sebagai keluarga yang sangat terkemuka dalam ilmu pengetahuan. Sebelum Imam Malik, saudaranya yang bernama Nadr juga mengikuti jalur ilmu, sering berada di sekitar para ulama dan belajar dari mereka. Imam Malik dibesarkan di Madinah dengan kehidupan yang penuh kecukupan, rasa aman, dan kesempatan untuk mengejar ilmu. Ia tidak mengenal pekerjaan atau perdagangan, serta tidak tertarik pada perjalanan atau kerajinan. Satu-satunya tujuannya adalah mencari ilmu dan meriwayatkan hadis.Imam Malik mulai fokus pada ilmu pada tahun kesepuluh setelah abad pertama (110 Hijriah), di tahun yang sama dengan wafatnya Al-Hasan Al-Basri. Ia belajar dari beberapa ulama besar, di antaranya: Nafi’, yang menjadi gurunya dan ia sangat mengikutinya; Sa’id Al-Maqbari; Nu’aim Al-Mujammir; Wahb bin Kaysan; Az-Zuhri; Ibn Al-Munkadir; Amir bin Abdullah bin Az-Zubair; Abdullah bin Dinar; Zayd bin Aslam; Sufyan bin Sulaim; Ishaq bin Abi Talhah; Muhammad bin Yahya bin Hibban; Yahya bin Sa’id; Ayyub As-Sakhtiyani; Abu Az-Zanad; Rabi’ah bin Abi Abd Al-Rahman, dan banyak lainnya dari para ulama Madinah. Oleh karena itu, ia jarang meriwayatkan hadis dari orang selain ahli ilmu dari kota kelahirannya, Madinah.Ciri fisikImam Malik memiliki tubuh yang tinggi dan besar, dengan kepala yang besar pula. Rambut dan jenggotnya berwarna putih, dan ada yang mengatakan bahwa jenggotnya mencapai dadanya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau memiliki mata biru. Ia biasa mengenakan pakaian putih yang halus dari Yaman. Ashhab berkata, “Jika Imam Malik mengenakan sorban, ia akan menaruhnya di bawah dagunya, dengan ujung sorban menjuntai di antara kedua bahunya.”Khalid bin Khudasy berkata, “Saya pernah melihat Imam Malik mengenakan sebuah jilbab dan pakaian mewah yang sangat baik, dan dikatakan bahwa beliau tidak suka pakaian yang terlalu mewah. Ia menganggapnya sebagai tindakan berlebihan dan juga tidak merubah warna rambutnya yang sudah memutih.”Guru dan muridnyaImam Malik rahimahullah mengambil ilmu dari banyak ulama, di antaranya: Nafi’, Sa’id al-Maqbari, Amir bin Abdullah bin al-Zubair, Rabi’ah bin Abi Abdulrahman, Ibn al-Minkadar, al-Zuhri, dan Abdullah bin Dinar.Imam Malik rahimahullah memiliki banyak murid dan sahabat yang tak terhitung jumlahnya, mereka tersebar di berbagai wilayah dunia Islam, seperti Mesir, Afrika, Andalusia, dan Irak.Di Mesir: Ibn al-Qasim (w. 191 H), Ashhab (w. 204 H).Di Afrika: Asad bin al-Furat (w. 214 H).Di Andalusia: Yahya bin Yahya al-Laythi (w. 224 H).Di Irak: Di antara pengikutnya yang menyebarkan mazhabnya adalah Abdulrahman bin Mahdi bin Hasan al-Anbari (w. 186 H) dan Abdullah bin Muslimah bin Qan’ab al-Tamimi al-Harthi (w. 220 H); dari para ulama ini, dan lainnya, dimulai penyebaran mazhab Maliki.Imam ahlus sunnah wal jama’ahImam Malik merupakan salah satu imam mazhab. Imamnya ahlul hadis dan fiqih. Salah satu kitab hadisnya adalah Al-Muwatha’ yang begitu terkenal. Imam Malik juga merupakan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memiliki aqidah yang lurus yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para salaful ummah. Dalam kitabnya, Al-Muwatha’, beliau menyusun satu bab yang begitu mulia, yaitu Kitab Al-Qur’an. Imam Malik menulis semua hal tentang Al-Qur’an di kitabnya dan juga menafsirkan Al-Qur’an. Barangsiapa yang mempelajari kehidupan Imam Malik, ia akan memahami bahwa beliau hidup dengan Al-Qur’an, baik dalam ilmu maupun amalnya.Imam Malik juga merupakan ulama yang berpegang teguh dengan sunah dan juga menjadi pembela sunah. Adapun dalam manhaj dan akidah Imam Malik, maka beliau rahimahullah tidaklah menyusun kitab Al-Muwatha’ kecuali untuk membela prinsip-prinsip ahlus sunah dari serangan kelompok Jahmiyyah dan Ahli Ro’yu (orang-orang yang mendahulukan akal).Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-JauziPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahTerdapat banyak riwayat dari Imam Malik dalam bidang akidah, di antaranya:Pendapatnya tentang imanQadhi ‘Iyadh berkata bahwa banyak ulama berkata, “Aku mendengar Malik berkata: Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, dan sebagian iman lebih utama dari sebagian yang lain.” [1]Pendapatnya tentang istiwa’Sufyan bin ‘Uyaynah berkata: Seseorang bertanya kepada Malik tentang firman Allah Ta’ala,ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ“Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy.” [2]“Bagaimana Dia bersemayam?”Maka Malik diam cukup lama hingga keringat membasahi wajahnya. Kami tidak pernah melihat Malik marah karena suatu pembicaraan seperti kemarahannya terhadap pertanyaan ini. Orang-orang pun menunggu apa yang akan ia katakan, lalu beliau berkata,الاستواء منه معلوم، والكيف منه غير معقول، والسؤال عن هذا بدعة،والإيمان به واجب،وإني أظنك ضالا،أخرجوه“Istiwa’ itu diketahui (maknanya), bagaimana caranya tidak dapat dijangkau oleh akal. Bertanya tentang hal ini adalah bid’ah, dan beriman dengannya adalah wajib. Aku melihat engkau adalah orang yang sesat, keluarkan dia!”Orang itu pun berseru, “Wahai Abu Abdillah, demi Allah yang tiada ilah (sesembahan yang berhak disembah) selain Dia, aku telah bertanya tentang masalah ini kepada penduduk Bashrah, Kufah, dan Irak, namun aku tidak menemukan seseorang pun yang jawabannya seperti engkau.” [3]Pendapatnya tentang Al-Qur’anIbn Abi Uwais berkata, bahwa Malik berkata,القرآن كلام الله،وكلام الله من الله، وليس من الله شيء مخلوق“Al-Qur’an adalah kalam Allah, dan kalam Allah berasal dari-Nya, dan tidak ada sesuatu pun dari Allah yang merupakan makhluk.” [4]Pendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaQadhi ‘Iyadh rahimahullah meriwayatkan, Ibn Nafi’ dan Ashhab berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang firman Allah,وُجُوهٌ يَّومئذٍ نَّاضِرَةٌ ۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ​“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, melihat kepada Tuhannya.” [5]“Apakah mereka akan melihat Allah dengan mata mereka ini?”Beliau menjawab, “Ya, dengan mata mereka ini.” [6]Karya tulisRisaalatu fii Al-Qadr, yang ditulis oleh Imam Malik kepada Ibn Wahb, dan risalah ini masih ada.Memiliki tulisan tentang bintang dan kedudukan bulan yang diriwayatkan oleh Sahnun. Saat ini, kitab ini belum ditemukan, namun buku ini sangat terkenal pada masanya dan menjadi rujukan.Risaalah fii Al-Aqdiyah, yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Yusuf bin Matruh, dari Abdullah bin Abduljalil.Risalah kepada Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif.Imam Malik juga memiliki tulisan tentang tafsir Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Khalid bin Abdulrahman al-Makhzumi, yang kemudian diriwayatkan oleh Qadhi Iyadh, dari Abu Ja’far Ahmad bin Said, dari Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan al-Muqri’, dari Muhammad bin Ali al-Masisi, dari ayahnya, dengan sanadnya.Risalah kepada Al-Laits tentang kesepakatan pendapat ahli Madinah.Perkataan Imam Malik yang dirangkum oleh para ulama tentang masalah hukum, fatwa, dan faedah, termasuk di antaranya Al-Mudawwana, Al-Wadhihah, dan lainnya.Dan yang paling terkenal dari karya-karya beliau adalah kitab Al-Muwatta’.Perkataan ulama tentang Imam MalikAbu Hanifah, “Demi Allah, saya belum pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memberikan jawaban darinya, seseorang yang jujur dan memiliki kesederhanaan yang sempurna.”Asy-Syafi’i berkata, “Jika datang kepadamu riwayat dari Malik, peganglah itu erat-erat.” Beliau berkata, “Jika datang berita (hadis), maka Malik adalah bintangnya.” Beliau berkata, “Siapa yang ingin belajar hadis, maka dia perlu bersandar kepada Malik.”Imam Ahmad berkata, “Malik adalah pemimpinnya para ulama, dan imam dalam hadis dan fiqih.”WafatMuhammad bin Sa’d berkata, “Imam Malik mengeluh sakit beberapa hari, dan saya bertanya kepada beberapa keluarganya mengenai apa yang dia katakan saat menjelang wafat. Mereka berkata, ‘Dia mengucapkan syahadat, lalu berkata, “Hanya milik Allah segala urusan, baik sebelum maupun setelahnya,” kemudian beliau wafat pada pagi hari tanggal 14 Rabi’ul Awal, tahun 179 Hijriah (795 Masehi), pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Salat jenazah dipimpin oleh Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’, dan beliau berusia 85 tahun.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Referensi:Diterjemahkan dan dirangkum oleh penulis dari web alukah.net Catatan kaki:[1] Tartiib Al-Madaarik wa Taqriibu Al-Masaalik, jilid 2.[2] QS. Thaha: 5[3] An-Nihayah fii Ghariib Al-Hadits, karya Ibnu Atsir, 2: 208.[4] Tazyiin Al-Mamalik bi Manaqib Al-Imam Malik, karya As-Suyuthi, hal. 19.[5] QS. Al-Qiyamah: 22–23.[6] Tartiib Al-Madarik wa Taqriib Al-Masaalik, 2: 82.


Daftar Isi ToggleNamaKelahiranPertumbuhanCiri fisikGuru dan muridnyaImam ahlus sunnah wal jama’ahPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahPendapatnya tentang imanPendapatnya tentang istiwa’Pendapatnya tentang Al-Qur’anPendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaKarya tulisPerkataan ulama tentang Imam MalikWafatNamaBeliau adalah Imam Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al-Harith, yang nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Yashjub bin Qahtan Al-Asbahi. Kakeknya, Abu Amir, adalah seorang sahabat yang mulia.KelahiranImam Malik bin Anas merupakan salah satu tokoh besar dalam Islam, Imam Dar al-Hijrah, lahir di Madinah. Tidak ada kesepakatan dalam riwayat mengenai tahun kelahirannya, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Imam Malik lahir antara tahun 90 H hingga 97 H. Namun yang dikuatkan mengenai penapat tahun kelahiran Imam Malik adalah pada tahun 93 Hijriyah di Madinah, yaitu tahun wafatnya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.PertumbuhanImam Malik tumbuh di sebuah keluarga yang fokus pada ilmu hadis, dalam lingkungan yang sepenuhnya didedikasikan untuk hadis dan ilmu pengetahuan. Kakeknya, Malik bin Abi Amir, adalah salah satu tokoh besar di kalangan tabi’in, yang meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah, ibu kaum mukminin. Anaknya, Anas, yang juga dikenal sebagai Abu Malik, serta Rabi’ dan Nafi’ (yang dikenal dengan nama Abu Suhail), meriwayatkan darinya. Namun, tampaknya ayahnya, Anas, tidak terlalu banyak terlibat dalam hadis. Meskipun demikian, kakek dan pamannya sangat berperan dalam membentuk ilmiah keluarga tersebut. Hal ini membuat keluarga Imam Malik dikenal sebagai keluarga yang sangat terkemuka dalam ilmu pengetahuan. Sebelum Imam Malik, saudaranya yang bernama Nadr juga mengikuti jalur ilmu, sering berada di sekitar para ulama dan belajar dari mereka. Imam Malik dibesarkan di Madinah dengan kehidupan yang penuh kecukupan, rasa aman, dan kesempatan untuk mengejar ilmu. Ia tidak mengenal pekerjaan atau perdagangan, serta tidak tertarik pada perjalanan atau kerajinan. Satu-satunya tujuannya adalah mencari ilmu dan meriwayatkan hadis.Imam Malik mulai fokus pada ilmu pada tahun kesepuluh setelah abad pertama (110 Hijriah), di tahun yang sama dengan wafatnya Al-Hasan Al-Basri. Ia belajar dari beberapa ulama besar, di antaranya: Nafi’, yang menjadi gurunya dan ia sangat mengikutinya; Sa’id Al-Maqbari; Nu’aim Al-Mujammir; Wahb bin Kaysan; Az-Zuhri; Ibn Al-Munkadir; Amir bin Abdullah bin Az-Zubair; Abdullah bin Dinar; Zayd bin Aslam; Sufyan bin Sulaim; Ishaq bin Abi Talhah; Muhammad bin Yahya bin Hibban; Yahya bin Sa’id; Ayyub As-Sakhtiyani; Abu Az-Zanad; Rabi’ah bin Abi Abd Al-Rahman, dan banyak lainnya dari para ulama Madinah. Oleh karena itu, ia jarang meriwayatkan hadis dari orang selain ahli ilmu dari kota kelahirannya, Madinah.Ciri fisikImam Malik memiliki tubuh yang tinggi dan besar, dengan kepala yang besar pula. Rambut dan jenggotnya berwarna putih, dan ada yang mengatakan bahwa jenggotnya mencapai dadanya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau memiliki mata biru. Ia biasa mengenakan pakaian putih yang halus dari Yaman. Ashhab berkata, “Jika Imam Malik mengenakan sorban, ia akan menaruhnya di bawah dagunya, dengan ujung sorban menjuntai di antara kedua bahunya.”Khalid bin Khudasy berkata, “Saya pernah melihat Imam Malik mengenakan sebuah jilbab dan pakaian mewah yang sangat baik, dan dikatakan bahwa beliau tidak suka pakaian yang terlalu mewah. Ia menganggapnya sebagai tindakan berlebihan dan juga tidak merubah warna rambutnya yang sudah memutih.”Guru dan muridnyaImam Malik rahimahullah mengambil ilmu dari banyak ulama, di antaranya: Nafi’, Sa’id al-Maqbari, Amir bin Abdullah bin al-Zubair, Rabi’ah bin Abi Abdulrahman, Ibn al-Minkadar, al-Zuhri, dan Abdullah bin Dinar.Imam Malik rahimahullah memiliki banyak murid dan sahabat yang tak terhitung jumlahnya, mereka tersebar di berbagai wilayah dunia Islam, seperti Mesir, Afrika, Andalusia, dan Irak.Di Mesir: Ibn al-Qasim (w. 191 H), Ashhab (w. 204 H).Di Afrika: Asad bin al-Furat (w. 214 H).Di Andalusia: Yahya bin Yahya al-Laythi (w. 224 H).Di Irak: Di antara pengikutnya yang menyebarkan mazhabnya adalah Abdulrahman bin Mahdi bin Hasan al-Anbari (w. 186 H) dan Abdullah bin Muslimah bin Qan’ab al-Tamimi al-Harthi (w. 220 H); dari para ulama ini, dan lainnya, dimulai penyebaran mazhab Maliki.Imam ahlus sunnah wal jama’ahImam Malik merupakan salah satu imam mazhab. Imamnya ahlul hadis dan fiqih. Salah satu kitab hadisnya adalah Al-Muwatha’ yang begitu terkenal. Imam Malik juga merupakan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memiliki aqidah yang lurus yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para salaful ummah. Dalam kitabnya, Al-Muwatha’, beliau menyusun satu bab yang begitu mulia, yaitu Kitab Al-Qur’an. Imam Malik menulis semua hal tentang Al-Qur’an di kitabnya dan juga menafsirkan Al-Qur’an. Barangsiapa yang mempelajari kehidupan Imam Malik, ia akan memahami bahwa beliau hidup dengan Al-Qur’an, baik dalam ilmu maupun amalnya.Imam Malik juga merupakan ulama yang berpegang teguh dengan sunah dan juga menjadi pembela sunah. Adapun dalam manhaj dan akidah Imam Malik, maka beliau rahimahullah tidaklah menyusun kitab Al-Muwatha’ kecuali untuk membela prinsip-prinsip ahlus sunah dari serangan kelompok Jahmiyyah dan Ahli Ro’yu (orang-orang yang mendahulukan akal).Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-JauziPerkataan Imam Malik dalam permasalahan akidahTerdapat banyak riwayat dari Imam Malik dalam bidang akidah, di antaranya:Pendapatnya tentang imanQadhi ‘Iyadh berkata bahwa banyak ulama berkata, “Aku mendengar Malik berkata: Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, dan sebagian iman lebih utama dari sebagian yang lain.” [1]Pendapatnya tentang istiwa’Sufyan bin ‘Uyaynah berkata: Seseorang bertanya kepada Malik tentang firman Allah Ta’ala,ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ“Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy.” [2]“Bagaimana Dia bersemayam?”Maka Malik diam cukup lama hingga keringat membasahi wajahnya. Kami tidak pernah melihat Malik marah karena suatu pembicaraan seperti kemarahannya terhadap pertanyaan ini. Orang-orang pun menunggu apa yang akan ia katakan, lalu beliau berkata,الاستواء منه معلوم، والكيف منه غير معقول، والسؤال عن هذا بدعة،والإيمان به واجب،وإني أظنك ضالا،أخرجوه“Istiwa’ itu diketahui (maknanya), bagaimana caranya tidak dapat dijangkau oleh akal. Bertanya tentang hal ini adalah bid’ah, dan beriman dengannya adalah wajib. Aku melihat engkau adalah orang yang sesat, keluarkan dia!”Orang itu pun berseru, “Wahai Abu Abdillah, demi Allah yang tiada ilah (sesembahan yang berhak disembah) selain Dia, aku telah bertanya tentang masalah ini kepada penduduk Bashrah, Kufah, dan Irak, namun aku tidak menemukan seseorang pun yang jawabannya seperti engkau.” [3]Pendapatnya tentang Al-Qur’anIbn Abi Uwais berkata, bahwa Malik berkata,القرآن كلام الله،وكلام الله من الله، وليس من الله شيء مخلوق“Al-Qur’an adalah kalam Allah, dan kalam Allah berasal dari-Nya, dan tidak ada sesuatu pun dari Allah yang merupakan makhluk.” [4]Pendapatnya tentang melihat Allah Ta’alaQadhi ‘Iyadh rahimahullah meriwayatkan, Ibn Nafi’ dan Ashhab berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang firman Allah,وُجُوهٌ يَّومئذٍ نَّاضِرَةٌ ۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ​“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, melihat kepada Tuhannya.” [5]“Apakah mereka akan melihat Allah dengan mata mereka ini?”Beliau menjawab, “Ya, dengan mata mereka ini.” [6]Karya tulisRisaalatu fii Al-Qadr, yang ditulis oleh Imam Malik kepada Ibn Wahb, dan risalah ini masih ada.Memiliki tulisan tentang bintang dan kedudukan bulan yang diriwayatkan oleh Sahnun. Saat ini, kitab ini belum ditemukan, namun buku ini sangat terkenal pada masanya dan menjadi rujukan.Risaalah fii Al-Aqdiyah, yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Yusuf bin Matruh, dari Abdullah bin Abduljalil.Risalah kepada Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif.Imam Malik juga memiliki tulisan tentang tafsir Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Khalid bin Abdulrahman al-Makhzumi, yang kemudian diriwayatkan oleh Qadhi Iyadh, dari Abu Ja’far Ahmad bin Said, dari Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan al-Muqri’, dari Muhammad bin Ali al-Masisi, dari ayahnya, dengan sanadnya.Risalah kepada Al-Laits tentang kesepakatan pendapat ahli Madinah.Perkataan Imam Malik yang dirangkum oleh para ulama tentang masalah hukum, fatwa, dan faedah, termasuk di antaranya Al-Mudawwana, Al-Wadhihah, dan lainnya.Dan yang paling terkenal dari karya-karya beliau adalah kitab Al-Muwatta’.Perkataan ulama tentang Imam MalikAbu Hanifah, “Demi Allah, saya belum pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memberikan jawaban darinya, seseorang yang jujur dan memiliki kesederhanaan yang sempurna.”Asy-Syafi’i berkata, “Jika datang kepadamu riwayat dari Malik, peganglah itu erat-erat.” Beliau berkata, “Jika datang berita (hadis), maka Malik adalah bintangnya.” Beliau berkata, “Siapa yang ingin belajar hadis, maka dia perlu bersandar kepada Malik.”Imam Ahmad berkata, “Malik adalah pemimpinnya para ulama, dan imam dalam hadis dan fiqih.”WafatMuhammad bin Sa’d berkata, “Imam Malik mengeluh sakit beberapa hari, dan saya bertanya kepada beberapa keluarganya mengenai apa yang dia katakan saat menjelang wafat. Mereka berkata, ‘Dia mengucapkan syahadat, lalu berkata, “Hanya milik Allah segala urusan, baik sebelum maupun setelahnya,” kemudian beliau wafat pada pagi hari tanggal 14 Rabi’ul Awal, tahun 179 Hijriah (795 Masehi), pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Salat jenazah dipimpin oleh Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’, dan beliau berusia 85 tahun.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Referensi:Diterjemahkan dan dirangkum oleh penulis dari web alukah.net Catatan kaki:[1] Tartiib Al-Madaarik wa Taqriibu Al-Masaalik, jilid 2.[2] QS. Thaha: 5[3] An-Nihayah fii Ghariib Al-Hadits, karya Ibnu Atsir, 2: 208.[4] Tazyiin Al-Mamalik bi Manaqib Al-Imam Malik, karya As-Suyuthi, hal. 19.[5] QS. Al-Qiyamah: 22–23.[6] Tartiib Al-Madarik wa Taqriib Al-Masaalik, 2: 82.

Miqat Haji

Miqat dalam ibadah haji termasuk permasalahan penting karena ini berhubungan dengan kesempurnaan ibaddah haji sebagai salah satu rukun Islam. Apalagi banyak kaum Muslimin yang tidak mengetahuinya dan terjerumus dalam kesalahan saat berihram. Bertambah penting lagi dengan adanya kemudahan transportasi seperti pesawat terbang dan sejenisnya sehingga melewati miqat yang telah ditetapkan syariat dan berihrom dari tempat yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat tertentu untuk berihram bagi yang akan menunaikan ibadah haji atau umroh, yang dikenal dengan miqat. Pengertian Miqat Miqat dalam bahasa Arab memberikan pengertian waktu dan tempat yang ditetapkan untuk pelaksanaan sebuah perbuatan. seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: وَاِذَا الرُّسُلُ اُقِّتَتْۗ ۝١ Dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (QS. Al-Mursalat 77:11). Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan satu waktu untuk pelaksanaan perbuatan dalam keputusan hukum diantara umatnya. Demikian pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisâ` 4: 103). Miqat menurut para ahli fikih adalah waktu atau tempat yang ditetapkan untuk pelaksanan ibadah. (lihat Hâsyiyah Al-Jumal ‘ala Syarh Manhâj Ath-Thulaab 2/395). Sedangkan Al-Bahuty Al-Hambali mendefinisikannya dengan tempat dan waktu tertentu untuk ibadah khusus. (Kasyâf al-Qanâ’ 2/399). Dengan demikian miqat digunakan untuk waktu yang ditetapkan syariat untuk sebuah ibadah seperti mawaqit shalat atau tempat seperti mawaqit Ihram. Sehingga miqat dalam haji atau umroh adalah waktu atau tempat yang ditetapkan syariat untuk memulai ibadah haji atau umroh. Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat. Miqat digunakan dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah. Jenis Miqat Para ulama membagi miqat dalam haji dan umroh menjadi dua jenis: 1. Miqat Zamani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﺯﻣﺎﻧﻲ) adalah penentuan bulan-bulan haji sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala : اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197) Allah subhanahu wa ta’ala tidak menetapkan bulan-bulan haji dalam Al-Qur`an dan begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu sudah dimaklumi bangsa Arab dahulu. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan haji itu ada tiga bulan, yang diawali dengan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Batasan yang disepakati adalah dimulai dengan awal bulan Syawal hingga terbit fajar hari iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian mereka berbeda pendapat dari siang hari kurban (Iduladha) hingga akhir Dzulhijjah apakah termasuk bulan-bulan haji atau tidak? Sebab perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan para ulama dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Sebab lafazh Al-Asyhur (bulan) terkadang untuk seluruh harinya dan terkadang untuk sebagian harinya saja. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Para ulama Malikiyah memandang pengertian pertama dan mayoritas ulama memandang pengertian kedua. Kemudian mayoritas ulama berbeda pendapat tentang masuknya siang hari iduladha dalam bulan-bulan haji atau tidak? Dari sebab perbedaan ini maka pendapat ulama terbagi menjadi tiga pendapat: A. Bulan-bulan haji itu adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah seluruhnya. Inilah pendapat Malikiyah dengan dasar keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Lafaz bulan di dalam ayat ini mencakup seluruh hari-harinya, sebagaimana disepakati para ulama pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah mencakup seluruh harinya. (lihat Bidayatul Mujtahid 1/238 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 2/142). B. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari awal dengan malam harinya sehingga dimulai awal Syawal sampai terbenam matahari hari Iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah berdasarkan dalil berikut: a. Hadits Ibnu Umar, beliau berkata: وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الجَمَرَاتِ فِي الحَجَّةِ الَّتِي حَجَّ بِهَذَا، وَقَالَ: هَذَا يَوْمُ الحَجِّ الأَكْبَرِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hari kurban (10 Dzulhijjah) diantara jamarat pada haji yang beliau berhaji (haji wada’) dan berkata: ‘Inilah hari Al-Hajj Al-Akbar.'” (HR. Abu Dawud no. 1945 2/195 dan Al-Bukhari secara muallaq, Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini). Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kata Haji pada siang hari An-Nahr (10 Dzulhijjah) sehingga menunjukkan siang hari tersebut masuk dalam bulan haji. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). c. Pada hari Nahr ada rukun haji yang harus dilaksankan yaitu thawaf ifadhah dan juga berisi banyak amalan-amalan haji juga, diantaranya melempar jumrah aqabah, mencukur rambut, berkurban dan thawaf dan sa’i serta kembali ke Mina. Hal ini menunjukkan maksud dari firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). adalah dua bulan dan sebagian dari bulan ketiga bukan seluruhnya. Setelah sepuluh pertama Dzulhijjah bukan lagi masuk bulan haji, karena itu bukan waktunya berihram. C. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh malam hari awal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah berdasarkan dalil: a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Akhir waktu niat haji adalah terbitnya fajar hari An-Nahr dan setelahnya tidak sah hajinya. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-buan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). Yang dimaksud di sini adalah sepuluh macam dari Dzulhijjah. Inilah pendapat yang rojih, karena firman Allah: (ﱅاَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ) Maknanya orang yang mengharuskan dirinya di bulan haji dengan memulai hajinya dan setelah terbit fajar hari An-Nahr tidak sah ihrom berhaji karena sudah kehilangan waktu wukuf di Arafah. Wallahu a’lam. 2. Miqat Makani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﻣﻛﺎﻧﻲ) Yaitu miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai menggunakan pakaian ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah. Miqat Makani ini ada lima. Para ulama bersepakat pada empat dari lima miqat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang berbunyi: أَنَّ النَّبِيَّ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ: ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ : الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ: قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ: يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Al-Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya setelah daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (Muttafaqun ‘alaihi). Keempat miqat tersebut adalah:  1. Dzulhulaifah dikenal juga sekarang dengan Bier Ali yang terletak sekitar 12 km dari Madinah, merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Madinah. Miqat ini adalah miqat terjauh dari Makkah. 2. Al-Juhfah, suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah, sekitar 187 km dari Makkah, sekarang dikenal dengan nama Al-Maqabir dan merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir dan Maroko atau yang searah. Setelah Al-Juhfah hancur akibat banjir dan tidak layak dihuni, miqat ini diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, yang berjarak 204 km dari Makkah. Terakhir pada tahun 1406 H dibangun Masjid Miqat Al-Juhfah dan kelengkapannya.   3. Qarnul Manazil adalah sebuah bukit atau lembah di sebelah Timur Makkah berjarak sekitar  94 km dari kota Makkah. Sekarang dinamakan As-Sa`il Al-Kabir. Miqat ini bersambung dengan Wadi Muhrim yang berada dibagian atas Wadi Qarnulmanazil yang menggunakan jalan Kara` mengarah ke kota Makkah. Ini miqat untuk penduduk Najd dan sekitarnya serta orang yang melewatinya. 4. Yalamlam, sebuah bukit di Tuhamah berada disebelah selatan kota Makkah dan berjarak sekitar 54 km dari Makkah, merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari arah Yaman dan Asia yang melewati jalur Yaman. Sekarang dikenal dengan As-Sa’diyah. Yang masih diperselisihkan adalah : 5. Dzatu Irqin, suatu tempat miqat yang terletak di sebelah utara Mekah, berjarak 94 km dari Mekah, merupakan miqat bagi jama’ah dari Iraq dan yang searah.  Para ulama berbeda pendapat tentang miqat penduduk Iraq ini, mayoritas ulama diantaranya Mazhab Hanafiyah (lihat al-Mabsuuth 4/166) dan Hanabilah (lihat al-Mughni 5/56) menetapkan Dzatu Irqin sebagai miqat penduduk Iraq berdasarkan dalil: a. Hadits Aisyah yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menentukan Dzatu Irq sebagai miqat penduduk Iraq. Beliau berkata:  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat penduduk Iraq adalah Dzatu Irq.” (HR. Abu Dawud no. 1739 dan dishahihkan Al-Albani).  b. Riwayat dari Ibnu Umar bin al-Khathab, beliau berkata: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ المِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا، وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا، قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ، فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ “Ketika dua kota ini ditakklukan, maka mereka mendatangi Umar, seraya berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat penduduk Najd adalah Qarn dan ia jauh dari jalan kami. Kami bila berangkat ke Qarn menyusahkan kami.’ Umar berkata: ‘Lihatlah yang sejajar dengannya dari jalan kalian! Lalu beliau menetapkan Dzatu Irq sebagai miqat mereka.'” (Riwayat Al-Bukhari  dalam shahihnya no. 1531). Sedangkan sebagian besar ulama Syâfi’iyah (Lihat Al-Majmu’ 7/195) dan Mazhab Malikiyah (Al-Kaafi karya Ibnu Abdilbarr 1/379) memandang lebih baik berihram dari Al-‘Aqiiq sebagai bentuk kehati-hatian dan tidak salah, karena Dzatu Irqin adalah sebuah daerah yang terlantar dan bangunannya sudah dipindahkan ke arah Makkah. Juga berdalil dengan hadits lemah dari Ibnu Abbas, beliau berkata: وقَّتَ رسولُ الله لأهلِ المَشْرِقِ العَقِيقَ “Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk daerah timur (Iraq) adalah Al-Aqiiq.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya no. 1740 dan di hukumi sebagai hadits lemah oleh Syeikh Al-Albani dan Syu’aib Al-Arnauth). Dengan demikian jelaslah bahwa Dzatu Irqin adalah miqat bagi penduduk Iraq dengan Nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Gambar Peta Miqaat. Orang yang melewati Miqat Orang yang melewati salah satu miqat atau yang sejajar dengannya baik melalui darat, laut atau pun udara ada tiga keadaan: 1. Orang tersebut ingin melakukan haji atau umroh. maka diwajibkan atasnya berihram dari miqat yang dilewatinya atau sejajar dengannya. Apabila melewati miqat tersebut tanpa berihram maka ia berdosa dan diwajibkan membayar dam (sembelihan) kecuali bila ia kembali ilahi ke miqat dan berihram darinya. Hal ini bersadarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. (Muttafaqun ‘alaihi).  2. Orang tersebut tidak berniat dan berkeinginan untuk haji atau umroh dan bukan termasuk orang yang sering lalu lalang kekota Makkah, misalnya orang yang datang untuk mengunjungi saudaranya atau ada kebutuhan tertentu. Orang seperti ini tidak diwajibkan berihram dari miqat, berdasarkan pengertian yang diambil dari hadits Ibnu Abbas di atas menunjukkan orang yang tidak berkeinginan untuk haji atau umroh tidak diwajibakn berihram darinya. Akan tetapi lebih utama baginya untuk berihram tatawwu’ selama Allah subhanahu wa ta’ala telah memudahkannya melewati miqat dalam keadaan aman dan sehat agar mendapatkan pahala haji atau umroh. 3. Orang yang memiliki hajat untuk bolak balik dan lalu lalang seperti sopir bus atau sejenisnya, maka mereka tidak diharuskan berihram karena akan sangat menyusahkannya. Demikianlah sebagian hukum berkenaan dengan miqat dalam ibadah haji dan umroh. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 112 times, 1 visit(s) today Post Views: 281 QRIS donasi Yufid

Miqat Haji

Miqat dalam ibadah haji termasuk permasalahan penting karena ini berhubungan dengan kesempurnaan ibaddah haji sebagai salah satu rukun Islam. Apalagi banyak kaum Muslimin yang tidak mengetahuinya dan terjerumus dalam kesalahan saat berihram. Bertambah penting lagi dengan adanya kemudahan transportasi seperti pesawat terbang dan sejenisnya sehingga melewati miqat yang telah ditetapkan syariat dan berihrom dari tempat yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat tertentu untuk berihram bagi yang akan menunaikan ibadah haji atau umroh, yang dikenal dengan miqat. Pengertian Miqat Miqat dalam bahasa Arab memberikan pengertian waktu dan tempat yang ditetapkan untuk pelaksanaan sebuah perbuatan. seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: وَاِذَا الرُّسُلُ اُقِّتَتْۗ ۝١ Dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (QS. Al-Mursalat 77:11). Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan satu waktu untuk pelaksanaan perbuatan dalam keputusan hukum diantara umatnya. Demikian pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisâ` 4: 103). Miqat menurut para ahli fikih adalah waktu atau tempat yang ditetapkan untuk pelaksanan ibadah. (lihat Hâsyiyah Al-Jumal ‘ala Syarh Manhâj Ath-Thulaab 2/395). Sedangkan Al-Bahuty Al-Hambali mendefinisikannya dengan tempat dan waktu tertentu untuk ibadah khusus. (Kasyâf al-Qanâ’ 2/399). Dengan demikian miqat digunakan untuk waktu yang ditetapkan syariat untuk sebuah ibadah seperti mawaqit shalat atau tempat seperti mawaqit Ihram. Sehingga miqat dalam haji atau umroh adalah waktu atau tempat yang ditetapkan syariat untuk memulai ibadah haji atau umroh. Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat. Miqat digunakan dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah. Jenis Miqat Para ulama membagi miqat dalam haji dan umroh menjadi dua jenis: 1. Miqat Zamani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﺯﻣﺎﻧﻲ) adalah penentuan bulan-bulan haji sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala : اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197) Allah subhanahu wa ta’ala tidak menetapkan bulan-bulan haji dalam Al-Qur`an dan begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu sudah dimaklumi bangsa Arab dahulu. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan haji itu ada tiga bulan, yang diawali dengan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Batasan yang disepakati adalah dimulai dengan awal bulan Syawal hingga terbit fajar hari iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian mereka berbeda pendapat dari siang hari kurban (Iduladha) hingga akhir Dzulhijjah apakah termasuk bulan-bulan haji atau tidak? Sebab perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan para ulama dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Sebab lafazh Al-Asyhur (bulan) terkadang untuk seluruh harinya dan terkadang untuk sebagian harinya saja. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Para ulama Malikiyah memandang pengertian pertama dan mayoritas ulama memandang pengertian kedua. Kemudian mayoritas ulama berbeda pendapat tentang masuknya siang hari iduladha dalam bulan-bulan haji atau tidak? Dari sebab perbedaan ini maka pendapat ulama terbagi menjadi tiga pendapat: A. Bulan-bulan haji itu adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah seluruhnya. Inilah pendapat Malikiyah dengan dasar keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Lafaz bulan di dalam ayat ini mencakup seluruh hari-harinya, sebagaimana disepakati para ulama pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah mencakup seluruh harinya. (lihat Bidayatul Mujtahid 1/238 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 2/142). B. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari awal dengan malam harinya sehingga dimulai awal Syawal sampai terbenam matahari hari Iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah berdasarkan dalil berikut: a. Hadits Ibnu Umar, beliau berkata: وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الجَمَرَاتِ فِي الحَجَّةِ الَّتِي حَجَّ بِهَذَا، وَقَالَ: هَذَا يَوْمُ الحَجِّ الأَكْبَرِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hari kurban (10 Dzulhijjah) diantara jamarat pada haji yang beliau berhaji (haji wada’) dan berkata: ‘Inilah hari Al-Hajj Al-Akbar.'” (HR. Abu Dawud no. 1945 2/195 dan Al-Bukhari secara muallaq, Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini). Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kata Haji pada siang hari An-Nahr (10 Dzulhijjah) sehingga menunjukkan siang hari tersebut masuk dalam bulan haji. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). c. Pada hari Nahr ada rukun haji yang harus dilaksankan yaitu thawaf ifadhah dan juga berisi banyak amalan-amalan haji juga, diantaranya melempar jumrah aqabah, mencukur rambut, berkurban dan thawaf dan sa’i serta kembali ke Mina. Hal ini menunjukkan maksud dari firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). adalah dua bulan dan sebagian dari bulan ketiga bukan seluruhnya. Setelah sepuluh pertama Dzulhijjah bukan lagi masuk bulan haji, karena itu bukan waktunya berihram. C. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh malam hari awal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah berdasarkan dalil: a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Akhir waktu niat haji adalah terbitnya fajar hari An-Nahr dan setelahnya tidak sah hajinya. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-buan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). Yang dimaksud di sini adalah sepuluh macam dari Dzulhijjah. Inilah pendapat yang rojih, karena firman Allah: (ﱅاَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ) Maknanya orang yang mengharuskan dirinya di bulan haji dengan memulai hajinya dan setelah terbit fajar hari An-Nahr tidak sah ihrom berhaji karena sudah kehilangan waktu wukuf di Arafah. Wallahu a’lam. 2. Miqat Makani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﻣﻛﺎﻧﻲ) Yaitu miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai menggunakan pakaian ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah. Miqat Makani ini ada lima. Para ulama bersepakat pada empat dari lima miqat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang berbunyi: أَنَّ النَّبِيَّ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ: ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ : الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ: قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ: يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Al-Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya setelah daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (Muttafaqun ‘alaihi). Keempat miqat tersebut adalah:  1. Dzulhulaifah dikenal juga sekarang dengan Bier Ali yang terletak sekitar 12 km dari Madinah, merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Madinah. Miqat ini adalah miqat terjauh dari Makkah. 2. Al-Juhfah, suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah, sekitar 187 km dari Makkah, sekarang dikenal dengan nama Al-Maqabir dan merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir dan Maroko atau yang searah. Setelah Al-Juhfah hancur akibat banjir dan tidak layak dihuni, miqat ini diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, yang berjarak 204 km dari Makkah. Terakhir pada tahun 1406 H dibangun Masjid Miqat Al-Juhfah dan kelengkapannya.   3. Qarnul Manazil adalah sebuah bukit atau lembah di sebelah Timur Makkah berjarak sekitar  94 km dari kota Makkah. Sekarang dinamakan As-Sa`il Al-Kabir. Miqat ini bersambung dengan Wadi Muhrim yang berada dibagian atas Wadi Qarnulmanazil yang menggunakan jalan Kara` mengarah ke kota Makkah. Ini miqat untuk penduduk Najd dan sekitarnya serta orang yang melewatinya. 4. Yalamlam, sebuah bukit di Tuhamah berada disebelah selatan kota Makkah dan berjarak sekitar 54 km dari Makkah, merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari arah Yaman dan Asia yang melewati jalur Yaman. Sekarang dikenal dengan As-Sa’diyah. Yang masih diperselisihkan adalah : 5. Dzatu Irqin, suatu tempat miqat yang terletak di sebelah utara Mekah, berjarak 94 km dari Mekah, merupakan miqat bagi jama’ah dari Iraq dan yang searah.  Para ulama berbeda pendapat tentang miqat penduduk Iraq ini, mayoritas ulama diantaranya Mazhab Hanafiyah (lihat al-Mabsuuth 4/166) dan Hanabilah (lihat al-Mughni 5/56) menetapkan Dzatu Irqin sebagai miqat penduduk Iraq berdasarkan dalil: a. Hadits Aisyah yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menentukan Dzatu Irq sebagai miqat penduduk Iraq. Beliau berkata:  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat penduduk Iraq adalah Dzatu Irq.” (HR. Abu Dawud no. 1739 dan dishahihkan Al-Albani).  b. Riwayat dari Ibnu Umar bin al-Khathab, beliau berkata: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ المِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا، وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا، قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ، فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ “Ketika dua kota ini ditakklukan, maka mereka mendatangi Umar, seraya berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat penduduk Najd adalah Qarn dan ia jauh dari jalan kami. Kami bila berangkat ke Qarn menyusahkan kami.’ Umar berkata: ‘Lihatlah yang sejajar dengannya dari jalan kalian! Lalu beliau menetapkan Dzatu Irq sebagai miqat mereka.'” (Riwayat Al-Bukhari  dalam shahihnya no. 1531). Sedangkan sebagian besar ulama Syâfi’iyah (Lihat Al-Majmu’ 7/195) dan Mazhab Malikiyah (Al-Kaafi karya Ibnu Abdilbarr 1/379) memandang lebih baik berihram dari Al-‘Aqiiq sebagai bentuk kehati-hatian dan tidak salah, karena Dzatu Irqin adalah sebuah daerah yang terlantar dan bangunannya sudah dipindahkan ke arah Makkah. Juga berdalil dengan hadits lemah dari Ibnu Abbas, beliau berkata: وقَّتَ رسولُ الله لأهلِ المَشْرِقِ العَقِيقَ “Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk daerah timur (Iraq) adalah Al-Aqiiq.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya no. 1740 dan di hukumi sebagai hadits lemah oleh Syeikh Al-Albani dan Syu’aib Al-Arnauth). Dengan demikian jelaslah bahwa Dzatu Irqin adalah miqat bagi penduduk Iraq dengan Nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Gambar Peta Miqaat. Orang yang melewati Miqat Orang yang melewati salah satu miqat atau yang sejajar dengannya baik melalui darat, laut atau pun udara ada tiga keadaan: 1. Orang tersebut ingin melakukan haji atau umroh. maka diwajibkan atasnya berihram dari miqat yang dilewatinya atau sejajar dengannya. Apabila melewati miqat tersebut tanpa berihram maka ia berdosa dan diwajibkan membayar dam (sembelihan) kecuali bila ia kembali ilahi ke miqat dan berihram darinya. Hal ini bersadarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. (Muttafaqun ‘alaihi).  2. Orang tersebut tidak berniat dan berkeinginan untuk haji atau umroh dan bukan termasuk orang yang sering lalu lalang kekota Makkah, misalnya orang yang datang untuk mengunjungi saudaranya atau ada kebutuhan tertentu. Orang seperti ini tidak diwajibkan berihram dari miqat, berdasarkan pengertian yang diambil dari hadits Ibnu Abbas di atas menunjukkan orang yang tidak berkeinginan untuk haji atau umroh tidak diwajibakn berihram darinya. Akan tetapi lebih utama baginya untuk berihram tatawwu’ selama Allah subhanahu wa ta’ala telah memudahkannya melewati miqat dalam keadaan aman dan sehat agar mendapatkan pahala haji atau umroh. 3. Orang yang memiliki hajat untuk bolak balik dan lalu lalang seperti sopir bus atau sejenisnya, maka mereka tidak diharuskan berihram karena akan sangat menyusahkannya. Demikianlah sebagian hukum berkenaan dengan miqat dalam ibadah haji dan umroh. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 112 times, 1 visit(s) today Post Views: 281 QRIS donasi Yufid
Miqat dalam ibadah haji termasuk permasalahan penting karena ini berhubungan dengan kesempurnaan ibaddah haji sebagai salah satu rukun Islam. Apalagi banyak kaum Muslimin yang tidak mengetahuinya dan terjerumus dalam kesalahan saat berihram. Bertambah penting lagi dengan adanya kemudahan transportasi seperti pesawat terbang dan sejenisnya sehingga melewati miqat yang telah ditetapkan syariat dan berihrom dari tempat yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat tertentu untuk berihram bagi yang akan menunaikan ibadah haji atau umroh, yang dikenal dengan miqat. Pengertian Miqat Miqat dalam bahasa Arab memberikan pengertian waktu dan tempat yang ditetapkan untuk pelaksanaan sebuah perbuatan. seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: وَاِذَا الرُّسُلُ اُقِّتَتْۗ ۝١ Dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (QS. Al-Mursalat 77:11). Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan satu waktu untuk pelaksanaan perbuatan dalam keputusan hukum diantara umatnya. Demikian pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisâ` 4: 103). Miqat menurut para ahli fikih adalah waktu atau tempat yang ditetapkan untuk pelaksanan ibadah. (lihat Hâsyiyah Al-Jumal ‘ala Syarh Manhâj Ath-Thulaab 2/395). Sedangkan Al-Bahuty Al-Hambali mendefinisikannya dengan tempat dan waktu tertentu untuk ibadah khusus. (Kasyâf al-Qanâ’ 2/399). Dengan demikian miqat digunakan untuk waktu yang ditetapkan syariat untuk sebuah ibadah seperti mawaqit shalat atau tempat seperti mawaqit Ihram. Sehingga miqat dalam haji atau umroh adalah waktu atau tempat yang ditetapkan syariat untuk memulai ibadah haji atau umroh. Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat. Miqat digunakan dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah. Jenis Miqat Para ulama membagi miqat dalam haji dan umroh menjadi dua jenis: 1. Miqat Zamani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﺯﻣﺎﻧﻲ) adalah penentuan bulan-bulan haji sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala : اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197) Allah subhanahu wa ta’ala tidak menetapkan bulan-bulan haji dalam Al-Qur`an dan begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu sudah dimaklumi bangsa Arab dahulu. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan haji itu ada tiga bulan, yang diawali dengan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Batasan yang disepakati adalah dimulai dengan awal bulan Syawal hingga terbit fajar hari iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian mereka berbeda pendapat dari siang hari kurban (Iduladha) hingga akhir Dzulhijjah apakah termasuk bulan-bulan haji atau tidak? Sebab perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan para ulama dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Sebab lafazh Al-Asyhur (bulan) terkadang untuk seluruh harinya dan terkadang untuk sebagian harinya saja. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Para ulama Malikiyah memandang pengertian pertama dan mayoritas ulama memandang pengertian kedua. Kemudian mayoritas ulama berbeda pendapat tentang masuknya siang hari iduladha dalam bulan-bulan haji atau tidak? Dari sebab perbedaan ini maka pendapat ulama terbagi menjadi tiga pendapat: A. Bulan-bulan haji itu adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah seluruhnya. Inilah pendapat Malikiyah dengan dasar keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Lafaz bulan di dalam ayat ini mencakup seluruh hari-harinya, sebagaimana disepakati para ulama pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah mencakup seluruh harinya. (lihat Bidayatul Mujtahid 1/238 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 2/142). B. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari awal dengan malam harinya sehingga dimulai awal Syawal sampai terbenam matahari hari Iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah berdasarkan dalil berikut: a. Hadits Ibnu Umar, beliau berkata: وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الجَمَرَاتِ فِي الحَجَّةِ الَّتِي حَجَّ بِهَذَا، وَقَالَ: هَذَا يَوْمُ الحَجِّ الأَكْبَرِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hari kurban (10 Dzulhijjah) diantara jamarat pada haji yang beliau berhaji (haji wada’) dan berkata: ‘Inilah hari Al-Hajj Al-Akbar.'” (HR. Abu Dawud no. 1945 2/195 dan Al-Bukhari secara muallaq, Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini). Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kata Haji pada siang hari An-Nahr (10 Dzulhijjah) sehingga menunjukkan siang hari tersebut masuk dalam bulan haji. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). c. Pada hari Nahr ada rukun haji yang harus dilaksankan yaitu thawaf ifadhah dan juga berisi banyak amalan-amalan haji juga, diantaranya melempar jumrah aqabah, mencukur rambut, berkurban dan thawaf dan sa’i serta kembali ke Mina. Hal ini menunjukkan maksud dari firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). adalah dua bulan dan sebagian dari bulan ketiga bukan seluruhnya. Setelah sepuluh pertama Dzulhijjah bukan lagi masuk bulan haji, karena itu bukan waktunya berihram. C. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh malam hari awal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah berdasarkan dalil: a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Akhir waktu niat haji adalah terbitnya fajar hari An-Nahr dan setelahnya tidak sah hajinya. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-buan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). Yang dimaksud di sini adalah sepuluh macam dari Dzulhijjah. Inilah pendapat yang rojih, karena firman Allah: (ﱅاَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ) Maknanya orang yang mengharuskan dirinya di bulan haji dengan memulai hajinya dan setelah terbit fajar hari An-Nahr tidak sah ihrom berhaji karena sudah kehilangan waktu wukuf di Arafah. Wallahu a’lam. 2. Miqat Makani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﻣﻛﺎﻧﻲ) Yaitu miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai menggunakan pakaian ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah. Miqat Makani ini ada lima. Para ulama bersepakat pada empat dari lima miqat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang berbunyi: أَنَّ النَّبِيَّ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ: ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ : الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ: قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ: يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Al-Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya setelah daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (Muttafaqun ‘alaihi). Keempat miqat tersebut adalah:  1. Dzulhulaifah dikenal juga sekarang dengan Bier Ali yang terletak sekitar 12 km dari Madinah, merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Madinah. Miqat ini adalah miqat terjauh dari Makkah. 2. Al-Juhfah, suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah, sekitar 187 km dari Makkah, sekarang dikenal dengan nama Al-Maqabir dan merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir dan Maroko atau yang searah. Setelah Al-Juhfah hancur akibat banjir dan tidak layak dihuni, miqat ini diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, yang berjarak 204 km dari Makkah. Terakhir pada tahun 1406 H dibangun Masjid Miqat Al-Juhfah dan kelengkapannya.   3. Qarnul Manazil adalah sebuah bukit atau lembah di sebelah Timur Makkah berjarak sekitar  94 km dari kota Makkah. Sekarang dinamakan As-Sa`il Al-Kabir. Miqat ini bersambung dengan Wadi Muhrim yang berada dibagian atas Wadi Qarnulmanazil yang menggunakan jalan Kara` mengarah ke kota Makkah. Ini miqat untuk penduduk Najd dan sekitarnya serta orang yang melewatinya. 4. Yalamlam, sebuah bukit di Tuhamah berada disebelah selatan kota Makkah dan berjarak sekitar 54 km dari Makkah, merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari arah Yaman dan Asia yang melewati jalur Yaman. Sekarang dikenal dengan As-Sa’diyah. Yang masih diperselisihkan adalah : 5. Dzatu Irqin, suatu tempat miqat yang terletak di sebelah utara Mekah, berjarak 94 km dari Mekah, merupakan miqat bagi jama’ah dari Iraq dan yang searah.  Para ulama berbeda pendapat tentang miqat penduduk Iraq ini, mayoritas ulama diantaranya Mazhab Hanafiyah (lihat al-Mabsuuth 4/166) dan Hanabilah (lihat al-Mughni 5/56) menetapkan Dzatu Irqin sebagai miqat penduduk Iraq berdasarkan dalil: a. Hadits Aisyah yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menentukan Dzatu Irq sebagai miqat penduduk Iraq. Beliau berkata:  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat penduduk Iraq adalah Dzatu Irq.” (HR. Abu Dawud no. 1739 dan dishahihkan Al-Albani).  b. Riwayat dari Ibnu Umar bin al-Khathab, beliau berkata: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ المِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا، وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا، قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ، فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ “Ketika dua kota ini ditakklukan, maka mereka mendatangi Umar, seraya berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat penduduk Najd adalah Qarn dan ia jauh dari jalan kami. Kami bila berangkat ke Qarn menyusahkan kami.’ Umar berkata: ‘Lihatlah yang sejajar dengannya dari jalan kalian! Lalu beliau menetapkan Dzatu Irq sebagai miqat mereka.'” (Riwayat Al-Bukhari  dalam shahihnya no. 1531). Sedangkan sebagian besar ulama Syâfi’iyah (Lihat Al-Majmu’ 7/195) dan Mazhab Malikiyah (Al-Kaafi karya Ibnu Abdilbarr 1/379) memandang lebih baik berihram dari Al-‘Aqiiq sebagai bentuk kehati-hatian dan tidak salah, karena Dzatu Irqin adalah sebuah daerah yang terlantar dan bangunannya sudah dipindahkan ke arah Makkah. Juga berdalil dengan hadits lemah dari Ibnu Abbas, beliau berkata: وقَّتَ رسولُ الله لأهلِ المَشْرِقِ العَقِيقَ “Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk daerah timur (Iraq) adalah Al-Aqiiq.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya no. 1740 dan di hukumi sebagai hadits lemah oleh Syeikh Al-Albani dan Syu’aib Al-Arnauth). Dengan demikian jelaslah bahwa Dzatu Irqin adalah miqat bagi penduduk Iraq dengan Nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Gambar Peta Miqaat. Orang yang melewati Miqat Orang yang melewati salah satu miqat atau yang sejajar dengannya baik melalui darat, laut atau pun udara ada tiga keadaan: 1. Orang tersebut ingin melakukan haji atau umroh. maka diwajibkan atasnya berihram dari miqat yang dilewatinya atau sejajar dengannya. Apabila melewati miqat tersebut tanpa berihram maka ia berdosa dan diwajibkan membayar dam (sembelihan) kecuali bila ia kembali ilahi ke miqat dan berihram darinya. Hal ini bersadarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. (Muttafaqun ‘alaihi).  2. Orang tersebut tidak berniat dan berkeinginan untuk haji atau umroh dan bukan termasuk orang yang sering lalu lalang kekota Makkah, misalnya orang yang datang untuk mengunjungi saudaranya atau ada kebutuhan tertentu. Orang seperti ini tidak diwajibkan berihram dari miqat, berdasarkan pengertian yang diambil dari hadits Ibnu Abbas di atas menunjukkan orang yang tidak berkeinginan untuk haji atau umroh tidak diwajibakn berihram darinya. Akan tetapi lebih utama baginya untuk berihram tatawwu’ selama Allah subhanahu wa ta’ala telah memudahkannya melewati miqat dalam keadaan aman dan sehat agar mendapatkan pahala haji atau umroh. 3. Orang yang memiliki hajat untuk bolak balik dan lalu lalang seperti sopir bus atau sejenisnya, maka mereka tidak diharuskan berihram karena akan sangat menyusahkannya. Demikianlah sebagian hukum berkenaan dengan miqat dalam ibadah haji dan umroh. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 112 times, 1 visit(s) today Post Views: 281 QRIS donasi Yufid


Miqat dalam ibadah haji termasuk permasalahan penting karena ini berhubungan dengan kesempurnaan ibaddah haji sebagai salah satu rukun Islam. Apalagi banyak kaum Muslimin yang tidak mengetahuinya dan terjerumus dalam kesalahan saat berihram. Bertambah penting lagi dengan adanya kemudahan transportasi seperti pesawat terbang dan sejenisnya sehingga melewati miqat yang telah ditetapkan syariat dan berihrom dari tempat yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat tertentu untuk berihram bagi yang akan menunaikan ibadah haji atau umroh, yang dikenal dengan miqat. Pengertian Miqat Miqat dalam bahasa Arab memberikan pengertian waktu dan tempat yang ditetapkan untuk pelaksanaan sebuah perbuatan. seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: وَاِذَا الرُّسُلُ اُقِّتَتْۗ ۝١ Dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (QS. Al-Mursalat 77:11). Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan satu waktu untuk pelaksanaan perbuatan dalam keputusan hukum diantara umatnya. Demikian pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisâ` 4: 103). Miqat menurut para ahli fikih adalah waktu atau tempat yang ditetapkan untuk pelaksanan ibadah. (lihat Hâsyiyah Al-Jumal ‘ala Syarh Manhâj Ath-Thulaab 2/395). Sedangkan Al-Bahuty Al-Hambali mendefinisikannya dengan tempat dan waktu tertentu untuk ibadah khusus. (Kasyâf al-Qanâ’ 2/399). Dengan demikian miqat digunakan untuk waktu yang ditetapkan syariat untuk sebuah ibadah seperti mawaqit shalat atau tempat seperti mawaqit Ihram. Sehingga miqat dalam haji atau umroh adalah waktu atau tempat yang ditetapkan syariat untuk memulai ibadah haji atau umroh. Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat. Miqat digunakan dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah. Jenis Miqat Para ulama membagi miqat dalam haji dan umroh menjadi dua jenis: 1. Miqat Zamani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﺯﻣﺎﻧﻲ) adalah penentuan bulan-bulan haji sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala : اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197) Allah subhanahu wa ta’ala tidak menetapkan bulan-bulan haji dalam Al-Qur`an dan begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu sudah dimaklumi bangsa Arab dahulu. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan haji itu ada tiga bulan, yang diawali dengan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Batasan yang disepakati adalah dimulai dengan awal bulan Syawal hingga terbit fajar hari iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian mereka berbeda pendapat dari siang hari kurban (Iduladha) hingga akhir Dzulhijjah apakah termasuk bulan-bulan haji atau tidak? Sebab perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan para ulama dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Sebab lafazh Al-Asyhur (bulan) terkadang untuk seluruh harinya dan terkadang untuk sebagian harinya saja. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 2/405). Para ulama Malikiyah memandang pengertian pertama dan mayoritas ulama memandang pengertian kedua. Kemudian mayoritas ulama berbeda pendapat tentang masuknya siang hari iduladha dalam bulan-bulan haji atau tidak? Dari sebab perbedaan ini maka pendapat ulama terbagi menjadi tiga pendapat: A. Bulan-bulan haji itu adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah seluruhnya. Inilah pendapat Malikiyah dengan dasar keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Lafaz bulan di dalam ayat ini mencakup seluruh hari-harinya, sebagaimana disepakati para ulama pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah mencakup seluruh harinya. (lihat Bidayatul Mujtahid 1/238 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 2/142). B. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari awal dengan malam harinya sehingga dimulai awal Syawal sampai terbenam matahari hari Iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah berdasarkan dalil berikut: a. Hadits Ibnu Umar, beliau berkata: وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الجَمَرَاتِ فِي الحَجَّةِ الَّتِي حَجَّ بِهَذَا، وَقَالَ: هَذَا يَوْمُ الحَجِّ الأَكْبَرِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hari kurban (10 Dzulhijjah) diantara jamarat pada haji yang beliau berhaji (haji wada’) dan berkata: ‘Inilah hari Al-Hajj Al-Akbar.'” (HR. Abu Dawud no. 1945 2/195 dan Al-Bukhari secara muallaq, Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini). Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kata Haji pada siang hari An-Nahr (10 Dzulhijjah) sehingga menunjukkan siang hari tersebut masuk dalam bulan haji. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). c. Pada hari Nahr ada rukun haji yang harus dilaksankan yaitu thawaf ifadhah dan juga berisi banyak amalan-amalan haji juga, diantaranya melempar jumrah aqabah, mencukur rambut, berkurban dan thawaf dan sa’i serta kembali ke Mina. Hal ini menunjukkan maksud dari firman Allah subhanahu wa ta’ala: اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). adalah dua bulan dan sebagian dari bulan ketiga bukan seluruhnya. Setelah sepuluh pertama Dzulhijjah bukan lagi masuk bulan haji, karena itu bukan waktunya berihram. C. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh malam hari awal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah berdasarkan dalil: a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197). Akhir waktu niat haji adalah terbitnya fajar hari An-Nahr dan setelahnya tidak sah hajinya. b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat: أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ “Bulan-buan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari  secara muallaq dalam kitab Al-Hajj no. 1560). Yang dimaksud di sini adalah sepuluh macam dari Dzulhijjah. Inilah pendapat yang rojih, karena firman Allah: (ﱅاَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ) Maknanya orang yang mengharuskan dirinya di bulan haji dengan memulai hajinya dan setelah terbit fajar hari An-Nahr tidak sah ihrom berhaji karena sudah kehilangan waktu wukuf di Arafah. Wallahu a’lam. 2. Miqat Makani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﻣﻛﺎﻧﻲ) Yaitu miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai menggunakan pakaian ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah. Miqat Makani ini ada lima. Para ulama bersepakat pada empat dari lima miqat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang berbunyi: أَنَّ النَّبِيَّ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ: ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ : الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ: قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ: يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Al-Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya setelah daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (Muttafaqun ‘alaihi). Keempat miqat tersebut adalah:  1. Dzulhulaifah dikenal juga sekarang dengan Bier Ali yang terletak sekitar 12 km dari Madinah, merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Madinah. Miqat ini adalah miqat terjauh dari Makkah. 2. Al-Juhfah, suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah, sekitar 187 km dari Makkah, sekarang dikenal dengan nama Al-Maqabir dan merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir dan Maroko atau yang searah. Setelah Al-Juhfah hancur akibat banjir dan tidak layak dihuni, miqat ini diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, yang berjarak 204 km dari Makkah. Terakhir pada tahun 1406 H dibangun Masjid Miqat Al-Juhfah dan kelengkapannya.   3. Qarnul Manazil adalah sebuah bukit atau lembah di sebelah Timur Makkah berjarak sekitar  94 km dari kota Makkah. Sekarang dinamakan As-Sa`il Al-Kabir. Miqat ini bersambung dengan Wadi Muhrim yang berada dibagian atas Wadi Qarnulmanazil yang menggunakan jalan Kara` mengarah ke kota Makkah. Ini miqat untuk penduduk Najd dan sekitarnya serta orang yang melewatinya. 4. Yalamlam, sebuah bukit di Tuhamah berada disebelah selatan kota Makkah dan berjarak sekitar 54 km dari Makkah, merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari arah Yaman dan Asia yang melewati jalur Yaman. Sekarang dikenal dengan As-Sa’diyah. Yang masih diperselisihkan adalah : 5. Dzatu Irqin, suatu tempat miqat yang terletak di sebelah utara Mekah, berjarak 94 km dari Mekah, merupakan miqat bagi jama’ah dari Iraq dan yang searah.  Para ulama berbeda pendapat tentang miqat penduduk Iraq ini, mayoritas ulama diantaranya Mazhab Hanafiyah (lihat al-Mabsuuth 4/166) dan Hanabilah (lihat al-Mughni 5/56) menetapkan Dzatu Irqin sebagai miqat penduduk Iraq berdasarkan dalil: a. Hadits Aisyah yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menentukan Dzatu Irq sebagai miqat penduduk Iraq. Beliau berkata:  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat penduduk Iraq adalah Dzatu Irq.” (HR. Abu Dawud no. 1739 dan dishahihkan Al-Albani).  b. Riwayat dari Ibnu Umar bin al-Khathab, beliau berkata: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ المِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا، وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا، قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ، فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ “Ketika dua kota ini ditakklukan, maka mereka mendatangi Umar, seraya berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat penduduk Najd adalah Qarn dan ia jauh dari jalan kami. Kami bila berangkat ke Qarn menyusahkan kami.’ Umar berkata: ‘Lihatlah yang sejajar dengannya dari jalan kalian! Lalu beliau menetapkan Dzatu Irq sebagai miqat mereka.'” (Riwayat Al-Bukhari  dalam shahihnya no. 1531). Sedangkan sebagian besar ulama Syâfi’iyah (Lihat Al-Majmu’ 7/195) dan Mazhab Malikiyah (Al-Kaafi karya Ibnu Abdilbarr 1/379) memandang lebih baik berihram dari Al-‘Aqiiq sebagai bentuk kehati-hatian dan tidak salah, karena Dzatu Irqin adalah sebuah daerah yang terlantar dan bangunannya sudah dipindahkan ke arah Makkah. Juga berdalil dengan hadits lemah dari Ibnu Abbas, beliau berkata: وقَّتَ رسولُ الله لأهلِ المَشْرِقِ العَقِيقَ “Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk daerah timur (Iraq) adalah Al-Aqiiq.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya no. 1740 dan di hukumi sebagai hadits lemah oleh Syeikh Al-Albani dan Syu’aib Al-Arnauth). Dengan demikian jelaslah bahwa Dzatu Irqin adalah miqat bagi penduduk Iraq dengan Nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  <img decoding="async" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/06/peta_miqot1-1.jpg" alt="" class="wp-image-45021" width="273" height="363" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/06/peta_miqot1-1.jpg 244w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/06/peta_miqot1-1-225x300.jpg 225w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/06/peta_miqot1-1-113x150.jpg 113w" sizes="(max-width: 273px) 100vw, 273px" /> Gambar Peta Miqaat. Orang yang melewati Miqat Orang yang melewati salah satu miqat atau yang sejajar dengannya baik melalui darat, laut atau pun udara ada tiga keadaan: 1. Orang tersebut ingin melakukan haji atau umroh. maka diwajibkan atasnya berihram dari miqat yang dilewatinya atau sejajar dengannya. Apabila melewati miqat tersebut tanpa berihram maka ia berdosa dan diwajibkan membayar dam (sembelihan) kecuali bila ia kembali ilahi ke miqat dan berihram darinya. Hal ini bersadarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. (Muttafaqun ‘alaihi).  2. Orang tersebut tidak berniat dan berkeinginan untuk haji atau umroh dan bukan termasuk orang yang sering lalu lalang kekota Makkah, misalnya orang yang datang untuk mengunjungi saudaranya atau ada kebutuhan tertentu. Orang seperti ini tidak diwajibkan berihram dari miqat, berdasarkan pengertian yang diambil dari hadits Ibnu Abbas di atas menunjukkan orang yang tidak berkeinginan untuk haji atau umroh tidak diwajibakn berihram darinya. Akan tetapi lebih utama baginya untuk berihram tatawwu’ selama Allah subhanahu wa ta’ala telah memudahkannya melewati miqat dalam keadaan aman dan sehat agar mendapatkan pahala haji atau umroh. 3. Orang yang memiliki hajat untuk bolak balik dan lalu lalang seperti sopir bus atau sejenisnya, maka mereka tidak diharuskan berihram karena akan sangat menyusahkannya. Demikianlah sebagian hukum berkenaan dengan miqat dalam ibadah haji dan umroh. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 112 times, 1 visit(s) today Post Views: 281 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahHendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganMengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahBersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaMengetahui nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah jalan agung untuk mencapai pengenalan dan penghambaan sejati kepada-Nya. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Mutakabbir, yaitu Yang Memiliki Segala Keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan meneguhkan bahwa tidak ada yang pantas untuk diagungkan, ditunduki, dan disembah kecuali Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.Dalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Nama Al-Mutakabbir disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Maha Menguasai, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Mutakabbir. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mutakabbir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Al-Mutakabbir merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku) dari yang disifati dengan al-kibriyā’. [2]Kata al-kibriyā’ ( الكبرياء ) bermakna: kekuasaan dan kerajaan. Allah berfirman mengisahkan ucapan Fir‘aun,وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاء فِي الأَرْضِ“… dan agar kamu berdua memiliki kekuasaan atau kerajaan (al-kibriyā’) di muka bumi.” (QS. Yunus: 78), yang dimaksud adalah kekuasaan atau kerajaan.Kata ini juga bermakna ( العَظَمة والتَّجبر ), yaitu keagungan dan keperkasaan. [3]Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahAl-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,(‌الْمُتَكَبِّرُ) الذي تكبر بربوبيته فلا شي مِثْلَهُ. وَقِيلَ: ‌الْمُتَكَبِّرُ عَنْ كُلِّ سُوءٍ الْمُتَعَظِّمُ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ مِنْ صِفَاتِ الْحَدَثِ وَالذَّمِّ. وَأَصْلُ الْكِبْرِ وَالْكِبْرِيَاءِ الِامْتِنَاعُ وَقِلَّةُ الِانْقِيَادِ“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang menyombongkan diri karena rubūbiyah-Nya; maka tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dikatakan pula bahwa Al-Mutakabbir adalah yang bersih dari segala keburukan, dan yang meninggikan diri dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya berupa sifat-sifat makhluk dan kekurangan. Asal makna al-kibr dan al-kibriyā’ adalah: penolakan dan tidak tunduk.” [4]Ketika menafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {الْعَزِيزُ} أَيِ: الَّذِي قَدْ عَزَّ كُلَّ شَيْءٍ فَقَهَرَهُ، وَغَلَبَ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُنَالُ جَنَابُهُ؛ لِعِزَّتِهِ وَعَظَمَتِهِ وَجَبَرُوتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {الْجَبَّارُ ‌الْمُتَكَبِّرُ} أَيِ: الَّذِي لَا تَلِيقُ الجَبْرّية إِلَّا لَهُ، وَلَا التَّكَبُّرُ إِلَّا لِعَظَمَتِهِ“Al-‘Azīz (Yang Mahaperkasa) artinya Dzat yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya, dan Dia menundukkan segala sesuatu, sehingga tidak ada satu pun yang dapat mencapai kedudukan-Nya karena keperkasaan, keagungan, kekuasaan mutlak, dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, Dia disebut juga Al-Jabbār dan Al-Mutakabbir — yaitu Dzat yang tidak layak sifat jabāriyah (keperkasaan mutlak) dan keagungan (yang menolak ketundukan) kecuali hanya bagi-Nya.” [5]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,“المتكبر” عن السوء والنقص والعيوب، لعظمته وكبريائه“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang suci dari segala keburukan, kekurangan, dan cacat, karena keagungan dan keperkasaan-Nya.” [6]Kesimpulannya, Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut, dengan mengatakan,وجماع ذلك أن هذا الاسم يدل على تعالي الله عن صفات الخلق، وتعظمه سبحانه عن مماثلتهم أو أن يماثلوه، ورفعته سبحانه عن كل نقص وعيب، فهو المتكبر عن الشر وعن السوء وعن الظلم وعن كل نقص، وهذا متضمن ثبوت الكمال له سبحانه في أسمائه وصفاته وأفعاله.“Kesimpulannya, nama Al-Mutakabbir menunjukkan bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā Maha Tinggi dari sifat-sifat makhluk, dan Maha Agung sehingga tidak bisa diserupakan ataupun dipersamakan dengan siapa pun. Dia Maha Tinggi dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, dan ketidaksempurnaan — yang semuanya menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mutakabbir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Wajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Mutakabbir adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya yang mutlak, yang tidak layak dimiliki oleh siapa pun selain-Nya. Hendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganKesombongan adalah sifat yang hanya layak bagi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sifat seorang tuan adalah keagungan dan keperkasaan, sedangkan sifat seorang hamba adalah kerendahan, ketundukan, dan khusyuk. Allah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat keras di hari kiamat. Allah Ta‘ala berfirman,فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَفْسُقُونَ“Maka pada hari ini, kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dan karena kamu berbuat kefasikan.” (QS. Al-Aḥqāf: 20)Kesombongan inilah yang menghancurkan umat-umat terdahulu. Bahkan, itulah sebab utama kehancuran Iblis — semoga Allah melaknatnya — dan pengusirannya dari rahmat Allah. Dia enggan bersujud kepada Nabi Ādam ‘alaihis-salām dan menyombongkan diri terhadap perintah Rabb-nya. Allah berfirman,إلا إبْليسَ أبى واستكبر وكان من الكافرين“Kecuali Iblis; ia enggan dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) [8] Mengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahSungguh mengherankan —bahkan sangat mengherankan— bagaimana mungkin orang-orang bodoh lagi lemah akal itu merasa cukup dengan kesombongan, lalu enggan beribadah kepada Yang Maha Perkasa, dan menolak mengikhlaskan ibadah kepada Yang Maha Pengampun, tetapi malah mempersembahkan ibadah, pengagungan, dan ketundukan mereka kepada batu, pohon, atau makhluk lain yang sama sekali tidak memiliki kuasa selain kehinaan dan kefakiran. Tiada ilah (sesembahan) yang benar (berhak disembah) selain Allah! Ke manakah akal mereka pergi dari kebenaran dan petunjuk? Bagaimana bisa mata hati mereka buta dari cahaya dan terang kebenaran? Mahasuci Allah, sungguh betapa buruknya keadaan mereka.Allah berfirman,وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ“Dan apabila disebut nama Allah saja, maka merasa jengkellah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Tetapi apabila disebut selain-Nya, mereka serta-merta bergembira.” (QS. Az-Zumar: 45)Sungguh betapa rusaknya akal mereka. Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan, kita memohon kepada-Nya agar dikaruniai kerendahan hati di hadapan-Nya, dan dilindungi dari jalan orang-orang yang sombong. Hanya Allah yang Maha Pemberi lagi Maha Penolong. [9] Bersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaDi antara buah keimanan terhadap nama Allah Al-Mutakabbir adalah tumbuhnya sikap tawadhu‘ (rendah hati) dan khusyuk karena keagungan Allah ‘Azza wa Jalla, serta kerendahan hati terhadap sesama manusia.Barang siapa menyaingi Allah dalam keagungan-Nya, maka tempat kembalinya adalah neraka, seburuk-buruk tempat kembali.Allah Ta‘ala berfirman,أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوَى لِلْمُتَكَبِرِينَ“Bukankah di neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60)Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan nama-Mu Al-Mutakabbir, karuniakanlah kepada kami kerendahan hati di hadapan keagungan-Mu. Lindungilah kami dari jalan orang-orang yang sombong, dan dari keburukan diri kami serta amal kami yang buruk. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga selawat, salam, dan keberkahan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”***Rumdin PPIA Sragen, 15 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah, 2015 M.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 106.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 142.[3] An-Nahj al-Asmā, hal. 106. Lihat juga Maqayisul Lughoh, hal. 799; dan Al-Mishbaul Munir, hal. 533.[4] Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 18: 47.[5] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[6] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 294.[8] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 108–109.[9] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 178.[10] At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 145.

Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahHendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganMengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahBersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaMengetahui nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah jalan agung untuk mencapai pengenalan dan penghambaan sejati kepada-Nya. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Mutakabbir, yaitu Yang Memiliki Segala Keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan meneguhkan bahwa tidak ada yang pantas untuk diagungkan, ditunduki, dan disembah kecuali Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.Dalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Nama Al-Mutakabbir disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Maha Menguasai, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Mutakabbir. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mutakabbir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Al-Mutakabbir merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku) dari yang disifati dengan al-kibriyā’. [2]Kata al-kibriyā’ ( الكبرياء ) bermakna: kekuasaan dan kerajaan. Allah berfirman mengisahkan ucapan Fir‘aun,وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاء فِي الأَرْضِ“… dan agar kamu berdua memiliki kekuasaan atau kerajaan (al-kibriyā’) di muka bumi.” (QS. Yunus: 78), yang dimaksud adalah kekuasaan atau kerajaan.Kata ini juga bermakna ( العَظَمة والتَّجبر ), yaitu keagungan dan keperkasaan. [3]Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahAl-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,(‌الْمُتَكَبِّرُ) الذي تكبر بربوبيته فلا شي مِثْلَهُ. وَقِيلَ: ‌الْمُتَكَبِّرُ عَنْ كُلِّ سُوءٍ الْمُتَعَظِّمُ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ مِنْ صِفَاتِ الْحَدَثِ وَالذَّمِّ. وَأَصْلُ الْكِبْرِ وَالْكِبْرِيَاءِ الِامْتِنَاعُ وَقِلَّةُ الِانْقِيَادِ“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang menyombongkan diri karena rubūbiyah-Nya; maka tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dikatakan pula bahwa Al-Mutakabbir adalah yang bersih dari segala keburukan, dan yang meninggikan diri dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya berupa sifat-sifat makhluk dan kekurangan. Asal makna al-kibr dan al-kibriyā’ adalah: penolakan dan tidak tunduk.” [4]Ketika menafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {الْعَزِيزُ} أَيِ: الَّذِي قَدْ عَزَّ كُلَّ شَيْءٍ فَقَهَرَهُ، وَغَلَبَ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُنَالُ جَنَابُهُ؛ لِعِزَّتِهِ وَعَظَمَتِهِ وَجَبَرُوتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {الْجَبَّارُ ‌الْمُتَكَبِّرُ} أَيِ: الَّذِي لَا تَلِيقُ الجَبْرّية إِلَّا لَهُ، وَلَا التَّكَبُّرُ إِلَّا لِعَظَمَتِهِ“Al-‘Azīz (Yang Mahaperkasa) artinya Dzat yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya, dan Dia menundukkan segala sesuatu, sehingga tidak ada satu pun yang dapat mencapai kedudukan-Nya karena keperkasaan, keagungan, kekuasaan mutlak, dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, Dia disebut juga Al-Jabbār dan Al-Mutakabbir — yaitu Dzat yang tidak layak sifat jabāriyah (keperkasaan mutlak) dan keagungan (yang menolak ketundukan) kecuali hanya bagi-Nya.” [5]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,“المتكبر” عن السوء والنقص والعيوب، لعظمته وكبريائه“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang suci dari segala keburukan, kekurangan, dan cacat, karena keagungan dan keperkasaan-Nya.” [6]Kesimpulannya, Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut, dengan mengatakan,وجماع ذلك أن هذا الاسم يدل على تعالي الله عن صفات الخلق، وتعظمه سبحانه عن مماثلتهم أو أن يماثلوه، ورفعته سبحانه عن كل نقص وعيب، فهو المتكبر عن الشر وعن السوء وعن الظلم وعن كل نقص، وهذا متضمن ثبوت الكمال له سبحانه في أسمائه وصفاته وأفعاله.“Kesimpulannya, nama Al-Mutakabbir menunjukkan bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā Maha Tinggi dari sifat-sifat makhluk, dan Maha Agung sehingga tidak bisa diserupakan ataupun dipersamakan dengan siapa pun. Dia Maha Tinggi dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, dan ketidaksempurnaan — yang semuanya menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mutakabbir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Wajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Mutakabbir adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya yang mutlak, yang tidak layak dimiliki oleh siapa pun selain-Nya. Hendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganKesombongan adalah sifat yang hanya layak bagi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sifat seorang tuan adalah keagungan dan keperkasaan, sedangkan sifat seorang hamba adalah kerendahan, ketundukan, dan khusyuk. Allah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat keras di hari kiamat. Allah Ta‘ala berfirman,فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَفْسُقُونَ“Maka pada hari ini, kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dan karena kamu berbuat kefasikan.” (QS. Al-Aḥqāf: 20)Kesombongan inilah yang menghancurkan umat-umat terdahulu. Bahkan, itulah sebab utama kehancuran Iblis — semoga Allah melaknatnya — dan pengusirannya dari rahmat Allah. Dia enggan bersujud kepada Nabi Ādam ‘alaihis-salām dan menyombongkan diri terhadap perintah Rabb-nya. Allah berfirman,إلا إبْليسَ أبى واستكبر وكان من الكافرين“Kecuali Iblis; ia enggan dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) [8] Mengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahSungguh mengherankan —bahkan sangat mengherankan— bagaimana mungkin orang-orang bodoh lagi lemah akal itu merasa cukup dengan kesombongan, lalu enggan beribadah kepada Yang Maha Perkasa, dan menolak mengikhlaskan ibadah kepada Yang Maha Pengampun, tetapi malah mempersembahkan ibadah, pengagungan, dan ketundukan mereka kepada batu, pohon, atau makhluk lain yang sama sekali tidak memiliki kuasa selain kehinaan dan kefakiran. Tiada ilah (sesembahan) yang benar (berhak disembah) selain Allah! Ke manakah akal mereka pergi dari kebenaran dan petunjuk? Bagaimana bisa mata hati mereka buta dari cahaya dan terang kebenaran? Mahasuci Allah, sungguh betapa buruknya keadaan mereka.Allah berfirman,وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ“Dan apabila disebut nama Allah saja, maka merasa jengkellah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Tetapi apabila disebut selain-Nya, mereka serta-merta bergembira.” (QS. Az-Zumar: 45)Sungguh betapa rusaknya akal mereka. Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan, kita memohon kepada-Nya agar dikaruniai kerendahan hati di hadapan-Nya, dan dilindungi dari jalan orang-orang yang sombong. Hanya Allah yang Maha Pemberi lagi Maha Penolong. [9] Bersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaDi antara buah keimanan terhadap nama Allah Al-Mutakabbir adalah tumbuhnya sikap tawadhu‘ (rendah hati) dan khusyuk karena keagungan Allah ‘Azza wa Jalla, serta kerendahan hati terhadap sesama manusia.Barang siapa menyaingi Allah dalam keagungan-Nya, maka tempat kembalinya adalah neraka, seburuk-buruk tempat kembali.Allah Ta‘ala berfirman,أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوَى لِلْمُتَكَبِرِينَ“Bukankah di neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60)Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan nama-Mu Al-Mutakabbir, karuniakanlah kepada kami kerendahan hati di hadapan keagungan-Mu. Lindungilah kami dari jalan orang-orang yang sombong, dan dari keburukan diri kami serta amal kami yang buruk. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga selawat, salam, dan keberkahan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”***Rumdin PPIA Sragen, 15 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah, 2015 M.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 106.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 142.[3] An-Nahj al-Asmā, hal. 106. Lihat juga Maqayisul Lughoh, hal. 799; dan Al-Mishbaul Munir, hal. 533.[4] Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 18: 47.[5] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[6] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 294.[8] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 108–109.[9] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 178.[10] At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 145.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahHendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganMengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahBersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaMengetahui nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah jalan agung untuk mencapai pengenalan dan penghambaan sejati kepada-Nya. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Mutakabbir, yaitu Yang Memiliki Segala Keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan meneguhkan bahwa tidak ada yang pantas untuk diagungkan, ditunduki, dan disembah kecuali Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.Dalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Nama Al-Mutakabbir disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Maha Menguasai, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Mutakabbir. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mutakabbir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Al-Mutakabbir merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku) dari yang disifati dengan al-kibriyā’. [2]Kata al-kibriyā’ ( الكبرياء ) bermakna: kekuasaan dan kerajaan. Allah berfirman mengisahkan ucapan Fir‘aun,وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاء فِي الأَرْضِ“… dan agar kamu berdua memiliki kekuasaan atau kerajaan (al-kibriyā’) di muka bumi.” (QS. Yunus: 78), yang dimaksud adalah kekuasaan atau kerajaan.Kata ini juga bermakna ( العَظَمة والتَّجبر ), yaitu keagungan dan keperkasaan. [3]Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahAl-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,(‌الْمُتَكَبِّرُ) الذي تكبر بربوبيته فلا شي مِثْلَهُ. وَقِيلَ: ‌الْمُتَكَبِّرُ عَنْ كُلِّ سُوءٍ الْمُتَعَظِّمُ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ مِنْ صِفَاتِ الْحَدَثِ وَالذَّمِّ. وَأَصْلُ الْكِبْرِ وَالْكِبْرِيَاءِ الِامْتِنَاعُ وَقِلَّةُ الِانْقِيَادِ“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang menyombongkan diri karena rubūbiyah-Nya; maka tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dikatakan pula bahwa Al-Mutakabbir adalah yang bersih dari segala keburukan, dan yang meninggikan diri dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya berupa sifat-sifat makhluk dan kekurangan. Asal makna al-kibr dan al-kibriyā’ adalah: penolakan dan tidak tunduk.” [4]Ketika menafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {الْعَزِيزُ} أَيِ: الَّذِي قَدْ عَزَّ كُلَّ شَيْءٍ فَقَهَرَهُ، وَغَلَبَ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُنَالُ جَنَابُهُ؛ لِعِزَّتِهِ وَعَظَمَتِهِ وَجَبَرُوتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {الْجَبَّارُ ‌الْمُتَكَبِّرُ} أَيِ: الَّذِي لَا تَلِيقُ الجَبْرّية إِلَّا لَهُ، وَلَا التَّكَبُّرُ إِلَّا لِعَظَمَتِهِ“Al-‘Azīz (Yang Mahaperkasa) artinya Dzat yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya, dan Dia menundukkan segala sesuatu, sehingga tidak ada satu pun yang dapat mencapai kedudukan-Nya karena keperkasaan, keagungan, kekuasaan mutlak, dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, Dia disebut juga Al-Jabbār dan Al-Mutakabbir — yaitu Dzat yang tidak layak sifat jabāriyah (keperkasaan mutlak) dan keagungan (yang menolak ketundukan) kecuali hanya bagi-Nya.” [5]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,“المتكبر” عن السوء والنقص والعيوب، لعظمته وكبريائه“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang suci dari segala keburukan, kekurangan, dan cacat, karena keagungan dan keperkasaan-Nya.” [6]Kesimpulannya, Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut, dengan mengatakan,وجماع ذلك أن هذا الاسم يدل على تعالي الله عن صفات الخلق، وتعظمه سبحانه عن مماثلتهم أو أن يماثلوه، ورفعته سبحانه عن كل نقص وعيب، فهو المتكبر عن الشر وعن السوء وعن الظلم وعن كل نقص، وهذا متضمن ثبوت الكمال له سبحانه في أسمائه وصفاته وأفعاله.“Kesimpulannya, nama Al-Mutakabbir menunjukkan bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā Maha Tinggi dari sifat-sifat makhluk, dan Maha Agung sehingga tidak bisa diserupakan ataupun dipersamakan dengan siapa pun. Dia Maha Tinggi dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, dan ketidaksempurnaan — yang semuanya menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mutakabbir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Wajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Mutakabbir adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya yang mutlak, yang tidak layak dimiliki oleh siapa pun selain-Nya. Hendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganKesombongan adalah sifat yang hanya layak bagi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sifat seorang tuan adalah keagungan dan keperkasaan, sedangkan sifat seorang hamba adalah kerendahan, ketundukan, dan khusyuk. Allah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat keras di hari kiamat. Allah Ta‘ala berfirman,فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَفْسُقُونَ“Maka pada hari ini, kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dan karena kamu berbuat kefasikan.” (QS. Al-Aḥqāf: 20)Kesombongan inilah yang menghancurkan umat-umat terdahulu. Bahkan, itulah sebab utama kehancuran Iblis — semoga Allah melaknatnya — dan pengusirannya dari rahmat Allah. Dia enggan bersujud kepada Nabi Ādam ‘alaihis-salām dan menyombongkan diri terhadap perintah Rabb-nya. Allah berfirman,إلا إبْليسَ أبى واستكبر وكان من الكافرين“Kecuali Iblis; ia enggan dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) [8] Mengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahSungguh mengherankan —bahkan sangat mengherankan— bagaimana mungkin orang-orang bodoh lagi lemah akal itu merasa cukup dengan kesombongan, lalu enggan beribadah kepada Yang Maha Perkasa, dan menolak mengikhlaskan ibadah kepada Yang Maha Pengampun, tetapi malah mempersembahkan ibadah, pengagungan, dan ketundukan mereka kepada batu, pohon, atau makhluk lain yang sama sekali tidak memiliki kuasa selain kehinaan dan kefakiran. Tiada ilah (sesembahan) yang benar (berhak disembah) selain Allah! Ke manakah akal mereka pergi dari kebenaran dan petunjuk? Bagaimana bisa mata hati mereka buta dari cahaya dan terang kebenaran? Mahasuci Allah, sungguh betapa buruknya keadaan mereka.Allah berfirman,وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ“Dan apabila disebut nama Allah saja, maka merasa jengkellah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Tetapi apabila disebut selain-Nya, mereka serta-merta bergembira.” (QS. Az-Zumar: 45)Sungguh betapa rusaknya akal mereka. Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan, kita memohon kepada-Nya agar dikaruniai kerendahan hati di hadapan-Nya, dan dilindungi dari jalan orang-orang yang sombong. Hanya Allah yang Maha Pemberi lagi Maha Penolong. [9] Bersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaDi antara buah keimanan terhadap nama Allah Al-Mutakabbir adalah tumbuhnya sikap tawadhu‘ (rendah hati) dan khusyuk karena keagungan Allah ‘Azza wa Jalla, serta kerendahan hati terhadap sesama manusia.Barang siapa menyaingi Allah dalam keagungan-Nya, maka tempat kembalinya adalah neraka, seburuk-buruk tempat kembali.Allah Ta‘ala berfirman,أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوَى لِلْمُتَكَبِرِينَ“Bukankah di neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60)Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan nama-Mu Al-Mutakabbir, karuniakanlah kepada kami kerendahan hati di hadapan keagungan-Mu. Lindungilah kami dari jalan orang-orang yang sombong, dan dari keburukan diri kami serta amal kami yang buruk. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga selawat, salam, dan keberkahan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”***Rumdin PPIA Sragen, 15 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah, 2015 M.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 106.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 142.[3] An-Nahj al-Asmā, hal. 106. Lihat juga Maqayisul Lughoh, hal. 799; dan Al-Mishbaul Munir, hal. 533.[4] Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 18: 47.[5] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[6] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 294.[8] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 108–109.[9] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 178.[10] At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 145.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahHendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganMengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahBersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaMengetahui nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah jalan agung untuk mencapai pengenalan dan penghambaan sejati kepada-Nya. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Mutakabbir, yaitu Yang Memiliki Segala Keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan meneguhkan bahwa tidak ada yang pantas untuk diagungkan, ditunduki, dan disembah kecuali Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.Dalil nama Allah “Al-Mutakabbir”Nama Al-Mutakabbir disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Maha Menguasai, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Mutakabbir. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mutakabbir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”Al-Mutakabbir merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku) dari yang disifati dengan al-kibriyā’. [2]Kata al-kibriyā’ ( الكبرياء ) bermakna: kekuasaan dan kerajaan. Allah berfirman mengisahkan ucapan Fir‘aun,وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاء فِي الأَرْضِ“… dan agar kamu berdua memiliki kekuasaan atau kerajaan (al-kibriyā’) di muka bumi.” (QS. Yunus: 78), yang dimaksud adalah kekuasaan atau kerajaan.Kata ini juga bermakna ( العَظَمة والتَّجبر ), yaitu keagungan dan keperkasaan. [3]Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks AllahAl-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,(‌الْمُتَكَبِّرُ) الذي تكبر بربوبيته فلا شي مِثْلَهُ. وَقِيلَ: ‌الْمُتَكَبِّرُ عَنْ كُلِّ سُوءٍ الْمُتَعَظِّمُ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ مِنْ صِفَاتِ الْحَدَثِ وَالذَّمِّ. وَأَصْلُ الْكِبْرِ وَالْكِبْرِيَاءِ الِامْتِنَاعُ وَقِلَّةُ الِانْقِيَادِ“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang menyombongkan diri karena rubūbiyah-Nya; maka tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dikatakan pula bahwa Al-Mutakabbir adalah yang bersih dari segala keburukan, dan yang meninggikan diri dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya berupa sifat-sifat makhluk dan kekurangan. Asal makna al-kibr dan al-kibriyā’ adalah: penolakan dan tidak tunduk.” [4]Ketika menafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {الْعَزِيزُ} أَيِ: الَّذِي قَدْ عَزَّ كُلَّ شَيْءٍ فَقَهَرَهُ، وَغَلَبَ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُنَالُ جَنَابُهُ؛ لِعِزَّتِهِ وَعَظَمَتِهِ وَجَبَرُوتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {الْجَبَّارُ ‌الْمُتَكَبِّرُ} أَيِ: الَّذِي لَا تَلِيقُ الجَبْرّية إِلَّا لَهُ، وَلَا التَّكَبُّرُ إِلَّا لِعَظَمَتِهِ“Al-‘Azīz (Yang Mahaperkasa) artinya Dzat yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya, dan Dia menundukkan segala sesuatu, sehingga tidak ada satu pun yang dapat mencapai kedudukan-Nya karena keperkasaan, keagungan, kekuasaan mutlak, dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, Dia disebut juga Al-Jabbār dan Al-Mutakabbir — yaitu Dzat yang tidak layak sifat jabāriyah (keperkasaan mutlak) dan keagungan (yang menolak ketundukan) kecuali hanya bagi-Nya.” [5]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,“المتكبر” عن السوء والنقص والعيوب، لعظمته وكبريائه“Al-Mutakabbir adalah Dzat yang suci dari segala keburukan, kekurangan, dan cacat, karena keagungan dan keperkasaan-Nya.” [6]Kesimpulannya, Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut, dengan mengatakan,وجماع ذلك أن هذا الاسم يدل على تعالي الله عن صفات الخلق، وتعظمه سبحانه عن مماثلتهم أو أن يماثلوه، ورفعته سبحانه عن كل نقص وعيب، فهو المتكبر عن الشر وعن السوء وعن الظلم وعن كل نقص، وهذا متضمن ثبوت الكمال له سبحانه في أسمائه وصفاته وأفعاله.“Kesimpulannya, nama Al-Mutakabbir menunjukkan bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā Maha Tinggi dari sifat-sifat makhluk, dan Maha Agung sehingga tidak bisa diserupakan ataupun dipersamakan dengan siapa pun. Dia Maha Tinggi dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, dan ketidaksempurnaan — yang semuanya menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mutakabbir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Wajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Mutakabbir adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya yang mutlak, yang tidak layak dimiliki oleh siapa pun selain-Nya. Hendaknya seorang hamba menjauhi kesombonganKesombongan adalah sifat yang hanya layak bagi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sifat seorang tuan adalah keagungan dan keperkasaan, sedangkan sifat seorang hamba adalah kerendahan, ketundukan, dan khusyuk. Allah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat keras di hari kiamat. Allah Ta‘ala berfirman,فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَفْسُقُونَ“Maka pada hari ini, kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dan karena kamu berbuat kefasikan.” (QS. Al-Aḥqāf: 20)Kesombongan inilah yang menghancurkan umat-umat terdahulu. Bahkan, itulah sebab utama kehancuran Iblis — semoga Allah melaknatnya — dan pengusirannya dari rahmat Allah. Dia enggan bersujud kepada Nabi Ādam ‘alaihis-salām dan menyombongkan diri terhadap perintah Rabb-nya. Allah berfirman,إلا إبْليسَ أبى واستكبر وكان من الكافرين“Kecuali Iblis; ia enggan dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) [8] Mengikhlaskan ibadah hanya untuk AllahSungguh mengherankan —bahkan sangat mengherankan— bagaimana mungkin orang-orang bodoh lagi lemah akal itu merasa cukup dengan kesombongan, lalu enggan beribadah kepada Yang Maha Perkasa, dan menolak mengikhlaskan ibadah kepada Yang Maha Pengampun, tetapi malah mempersembahkan ibadah, pengagungan, dan ketundukan mereka kepada batu, pohon, atau makhluk lain yang sama sekali tidak memiliki kuasa selain kehinaan dan kefakiran. Tiada ilah (sesembahan) yang benar (berhak disembah) selain Allah! Ke manakah akal mereka pergi dari kebenaran dan petunjuk? Bagaimana bisa mata hati mereka buta dari cahaya dan terang kebenaran? Mahasuci Allah, sungguh betapa buruknya keadaan mereka.Allah berfirman,وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ“Dan apabila disebut nama Allah saja, maka merasa jengkellah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Tetapi apabila disebut selain-Nya, mereka serta-merta bergembira.” (QS. Az-Zumar: 45)Sungguh betapa rusaknya akal mereka. Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan, kita memohon kepada-Nya agar dikaruniai kerendahan hati di hadapan-Nya, dan dilindungi dari jalan orang-orang yang sombong. Hanya Allah yang Maha Pemberi lagi Maha Penolong. [9] Bersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesamaDi antara buah keimanan terhadap nama Allah Al-Mutakabbir adalah tumbuhnya sikap tawadhu‘ (rendah hati) dan khusyuk karena keagungan Allah ‘Azza wa Jalla, serta kerendahan hati terhadap sesama manusia.Barang siapa menyaingi Allah dalam keagungan-Nya, maka tempat kembalinya adalah neraka, seburuk-buruk tempat kembali.Allah Ta‘ala berfirman,أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوَى لِلْمُتَكَبِرِينَ“Bukankah di neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60)Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan nama-Mu Al-Mutakabbir, karuniakanlah kepada kami kerendahan hati di hadapan keagungan-Mu. Lindungilah kami dari jalan orang-orang yang sombong, dan dari keburukan diri kami serta amal kami yang buruk. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga selawat, salam, dan keberkahan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”***Rumdin PPIA Sragen, 15 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah, 2015 M.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 106.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 142.[3] An-Nahj al-Asmā, hal. 106. Lihat juga Maqayisul Lughoh, hal. 799; dan Al-Mishbaul Munir, hal. 533.[4] Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 18: 47.[5] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[6] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 294.[8] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 108–109.[9] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 178.[10] At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 145.

Musibah untuk Muhasabah

Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id

Musibah untuk Muhasabah

Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id

Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah

Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah

Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Punya Utang tapi Gak Niat Bayar? Dengar Ini! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ

Punya Utang tapi Gak Niat Bayar? Dengar Ini! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ


Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ

Doa Memohon Cinta Allah, Kekasih-Nya, dan Amal Terbaik

Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah

Doa Memohon Cinta Allah, Kekasih-Nya, dan Amal Terbaik

Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah
Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah


Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah
Prev     Next