Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk

Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id

Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk

Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id

Tiga Keadaan Hati Manusia

Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.

Tiga Keadaan Hati Manusia

Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.
Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.


Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.

Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat

Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat

Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.


Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Bagaimana Cara Menyucikan Hati dari Noda? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ

Bagaimana Cara Menyucikan Hati dari Noda? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ
Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ


Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ

Berapa Jumlah Malaikat yang Membersamai Manusia? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara rahmat Allah Ta’ala bagi manusia adalah dengan menugaskan para malaikat untuknya. Para malaikat yang menjaga manusia dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala menugaskan untuk setiap manusia dua malaikat yang menjaganya dari hal yang buruk, dengan izin Allah Subhanah. Satu di depannya dan satu di belakangnya. Sebagaimana firman Allah Subhanah, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di muka…” Yakni di depannya dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. ar-Ra’d: 11). Yakni dengan perintah Allah. Sebagaimana yang dikatakan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Allah menugaskan dua malaikat untuk menjaga manusia atas perintah Allah lalu jika takdir telah datang, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya.” Jika takdir yang ditetapkan Allah kepada manusia, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya. Namun pada asalnya, dua malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dua malaikat itu selalu menyertainya. Selain itu, Allah juga menugaskan bagi setiap manusia dua malaikat yang mencatat amalannya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya; yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17 – 18). Jadi di kanan dan kiri manusia ada dua malaikat. Salah satunya mencatat amal kebaikan, dan yang lain mencatat amal keburukan. Mereka itulah empat malaikat Dua malaikat menjaga manusia atas perintah Allah, dan dua malaikat lainnya mencatat amalan dan ucapannya atas izin Allah ‘Azza wa Jalla. Jadi, totalnya ada empat malaikat. Lalu empat malaikat ini bergantian dengan empat malaikat lainnya. Mereka berkumpul (untuk berganti tugas) pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Ini maknanya bahwa empat malaikat tersebut bertugas dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar. Lalu datang empat malaikat lain untuk mengganti mereka dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. Dan begitu seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saling silih berganti pada kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka – meskipun Dia lebih mengetahui daripada mereka – ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab, ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” Ini maknanya, selama sehari semalam ada delapan malaikat yang ditugaskan membersamai manusia. Delapan malaikat yang menyertai setiap manusia. Ini menunjukkan perhatian Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia. Bagaimana Allah menugaskan delapan malaikat baginya. Empat malaikat sebagai penjaga, dan empat malaikat lainnya sebagai pencatat amalan. Namun, mereka saling bergantian; empat malaikat dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar, dan empat malaikat dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. ==== مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِنْسَانِ أَنْ وَكَّلَ بِهِ مَلَائِكَةً مَلَائِكَةٌ يَحْفَظُونَهُ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِهِ مِنَ الْمَكْرُوهِ بِإِذْنِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ أَمَامَهُ وَخَلْفَهُ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ يَعْنِي أَمَامَهُ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ أَيْ بِأَمْرِ اللَّهِ وَكَمَا قَالَ عَلِيٌّ رِضَى اللَّهِ عَنْهُ قَالَ وَكَّلَ اللَّهُ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ فَإِذَا جَاءَ الْقَدَرُ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ إِذَا جَاءَ الْقَدَرُ الَّذِي قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ وَإِلَّا فَالْأَصْلُ أَنَّ هَذَيْنِ الْمَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُمَا مُلَازِمَانِ لَهُ وَكَذَلِكَ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ فَعَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ مَلَكَانِ أَحَدُهُمَا يَكْتُبُ الْحَسَنَاتِ وَالْآخَرُ يَكْتُبُ السَّيِّئَاتِ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ اثْنَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ وَاثْنَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ وَأَقْوَالَهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَصْبَحَ الْمَجْمُوعُ أَرْبَعَةً وَهَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةُ يَتَعَاقَبُونَ مَعَ أَرْبَعَةٍ آخَرِيْنَ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةَ يَكُونُونَ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَأْتِي أَرْبَعَةُ مَلَائِكَةٍ آخَرُونَ يَعْقُبُونَهُمْ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهَكَذَا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ مَعْنَى هَذَا أَنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مَعَ كُلِّ الْإِنْسَانِ مِنْ بَنِي آدَمَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عِنَايَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِهَذَا الإِنْسَانِ كَيْفَ أَنَّ اللَّهَ وَكَّلَ بِهِ ثَمَانِيَةً مِنَ الْمَلَائِكَةِ أَرْبَعَةً حَافِظِيْنَ وَأَرْبَعَةً كَاتِبِيْنَ لَكِنَّهُمْ يَتَعَاقَبُونَ أَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ وَأَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ

Berapa Jumlah Malaikat yang Membersamai Manusia? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara rahmat Allah Ta’ala bagi manusia adalah dengan menugaskan para malaikat untuknya. Para malaikat yang menjaga manusia dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala menugaskan untuk setiap manusia dua malaikat yang menjaganya dari hal yang buruk, dengan izin Allah Subhanah. Satu di depannya dan satu di belakangnya. Sebagaimana firman Allah Subhanah, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di muka…” Yakni di depannya dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. ar-Ra’d: 11). Yakni dengan perintah Allah. Sebagaimana yang dikatakan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Allah menugaskan dua malaikat untuk menjaga manusia atas perintah Allah lalu jika takdir telah datang, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya.” Jika takdir yang ditetapkan Allah kepada manusia, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya. Namun pada asalnya, dua malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dua malaikat itu selalu menyertainya. Selain itu, Allah juga menugaskan bagi setiap manusia dua malaikat yang mencatat amalannya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya; yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17 – 18). Jadi di kanan dan kiri manusia ada dua malaikat. Salah satunya mencatat amal kebaikan, dan yang lain mencatat amal keburukan. Mereka itulah empat malaikat Dua malaikat menjaga manusia atas perintah Allah, dan dua malaikat lainnya mencatat amalan dan ucapannya atas izin Allah ‘Azza wa Jalla. Jadi, totalnya ada empat malaikat. Lalu empat malaikat ini bergantian dengan empat malaikat lainnya. Mereka berkumpul (untuk berganti tugas) pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Ini maknanya bahwa empat malaikat tersebut bertugas dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar. Lalu datang empat malaikat lain untuk mengganti mereka dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. Dan begitu seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saling silih berganti pada kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka – meskipun Dia lebih mengetahui daripada mereka – ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab, ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” Ini maknanya, selama sehari semalam ada delapan malaikat yang ditugaskan membersamai manusia. Delapan malaikat yang menyertai setiap manusia. Ini menunjukkan perhatian Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia. Bagaimana Allah menugaskan delapan malaikat baginya. Empat malaikat sebagai penjaga, dan empat malaikat lainnya sebagai pencatat amalan. Namun, mereka saling bergantian; empat malaikat dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar, dan empat malaikat dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. ==== مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِنْسَانِ أَنْ وَكَّلَ بِهِ مَلَائِكَةً مَلَائِكَةٌ يَحْفَظُونَهُ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِهِ مِنَ الْمَكْرُوهِ بِإِذْنِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ أَمَامَهُ وَخَلْفَهُ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ يَعْنِي أَمَامَهُ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ أَيْ بِأَمْرِ اللَّهِ وَكَمَا قَالَ عَلِيٌّ رِضَى اللَّهِ عَنْهُ قَالَ وَكَّلَ اللَّهُ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ فَإِذَا جَاءَ الْقَدَرُ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ إِذَا جَاءَ الْقَدَرُ الَّذِي قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ وَإِلَّا فَالْأَصْلُ أَنَّ هَذَيْنِ الْمَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُمَا مُلَازِمَانِ لَهُ وَكَذَلِكَ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ فَعَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ مَلَكَانِ أَحَدُهُمَا يَكْتُبُ الْحَسَنَاتِ وَالْآخَرُ يَكْتُبُ السَّيِّئَاتِ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ اثْنَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ وَاثْنَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ وَأَقْوَالَهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَصْبَحَ الْمَجْمُوعُ أَرْبَعَةً وَهَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةُ يَتَعَاقَبُونَ مَعَ أَرْبَعَةٍ آخَرِيْنَ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةَ يَكُونُونَ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَأْتِي أَرْبَعَةُ مَلَائِكَةٍ آخَرُونَ يَعْقُبُونَهُمْ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهَكَذَا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ مَعْنَى هَذَا أَنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مَعَ كُلِّ الْإِنْسَانِ مِنْ بَنِي آدَمَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عِنَايَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِهَذَا الإِنْسَانِ كَيْفَ أَنَّ اللَّهَ وَكَّلَ بِهِ ثَمَانِيَةً مِنَ الْمَلَائِكَةِ أَرْبَعَةً حَافِظِيْنَ وَأَرْبَعَةً كَاتِبِيْنَ لَكِنَّهُمْ يَتَعَاقَبُونَ أَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ وَأَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
Di antara rahmat Allah Ta’ala bagi manusia adalah dengan menugaskan para malaikat untuknya. Para malaikat yang menjaga manusia dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala menugaskan untuk setiap manusia dua malaikat yang menjaganya dari hal yang buruk, dengan izin Allah Subhanah. Satu di depannya dan satu di belakangnya. Sebagaimana firman Allah Subhanah, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di muka…” Yakni di depannya dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. ar-Ra’d: 11). Yakni dengan perintah Allah. Sebagaimana yang dikatakan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Allah menugaskan dua malaikat untuk menjaga manusia atas perintah Allah lalu jika takdir telah datang, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya.” Jika takdir yang ditetapkan Allah kepada manusia, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya. Namun pada asalnya, dua malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dua malaikat itu selalu menyertainya. Selain itu, Allah juga menugaskan bagi setiap manusia dua malaikat yang mencatat amalannya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya; yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17 – 18). Jadi di kanan dan kiri manusia ada dua malaikat. Salah satunya mencatat amal kebaikan, dan yang lain mencatat amal keburukan. Mereka itulah empat malaikat Dua malaikat menjaga manusia atas perintah Allah, dan dua malaikat lainnya mencatat amalan dan ucapannya atas izin Allah ‘Azza wa Jalla. Jadi, totalnya ada empat malaikat. Lalu empat malaikat ini bergantian dengan empat malaikat lainnya. Mereka berkumpul (untuk berganti tugas) pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Ini maknanya bahwa empat malaikat tersebut bertugas dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar. Lalu datang empat malaikat lain untuk mengganti mereka dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. Dan begitu seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saling silih berganti pada kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka – meskipun Dia lebih mengetahui daripada mereka – ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab, ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” Ini maknanya, selama sehari semalam ada delapan malaikat yang ditugaskan membersamai manusia. Delapan malaikat yang menyertai setiap manusia. Ini menunjukkan perhatian Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia. Bagaimana Allah menugaskan delapan malaikat baginya. Empat malaikat sebagai penjaga, dan empat malaikat lainnya sebagai pencatat amalan. Namun, mereka saling bergantian; empat malaikat dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar, dan empat malaikat dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. ==== مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِنْسَانِ أَنْ وَكَّلَ بِهِ مَلَائِكَةً مَلَائِكَةٌ يَحْفَظُونَهُ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِهِ مِنَ الْمَكْرُوهِ بِإِذْنِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ أَمَامَهُ وَخَلْفَهُ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ يَعْنِي أَمَامَهُ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ أَيْ بِأَمْرِ اللَّهِ وَكَمَا قَالَ عَلِيٌّ رِضَى اللَّهِ عَنْهُ قَالَ وَكَّلَ اللَّهُ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ فَإِذَا جَاءَ الْقَدَرُ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ إِذَا جَاءَ الْقَدَرُ الَّذِي قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ وَإِلَّا فَالْأَصْلُ أَنَّ هَذَيْنِ الْمَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُمَا مُلَازِمَانِ لَهُ وَكَذَلِكَ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ فَعَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ مَلَكَانِ أَحَدُهُمَا يَكْتُبُ الْحَسَنَاتِ وَالْآخَرُ يَكْتُبُ السَّيِّئَاتِ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ اثْنَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ وَاثْنَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ وَأَقْوَالَهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَصْبَحَ الْمَجْمُوعُ أَرْبَعَةً وَهَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةُ يَتَعَاقَبُونَ مَعَ أَرْبَعَةٍ آخَرِيْنَ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةَ يَكُونُونَ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَأْتِي أَرْبَعَةُ مَلَائِكَةٍ آخَرُونَ يَعْقُبُونَهُمْ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهَكَذَا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ مَعْنَى هَذَا أَنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مَعَ كُلِّ الْإِنْسَانِ مِنْ بَنِي آدَمَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عِنَايَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِهَذَا الإِنْسَانِ كَيْفَ أَنَّ اللَّهَ وَكَّلَ بِهِ ثَمَانِيَةً مِنَ الْمَلَائِكَةِ أَرْبَعَةً حَافِظِيْنَ وَأَرْبَعَةً كَاتِبِيْنَ لَكِنَّهُمْ يَتَعَاقَبُونَ أَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ وَأَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ


Di antara rahmat Allah Ta’ala bagi manusia adalah dengan menugaskan para malaikat untuknya. Para malaikat yang menjaga manusia dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala menugaskan untuk setiap manusia dua malaikat yang menjaganya dari hal yang buruk, dengan izin Allah Subhanah. Satu di depannya dan satu di belakangnya. Sebagaimana firman Allah Subhanah, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di muka…” Yakni di depannya dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. ar-Ra’d: 11). Yakni dengan perintah Allah. Sebagaimana yang dikatakan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Allah menugaskan dua malaikat untuk menjaga manusia atas perintah Allah lalu jika takdir telah datang, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya.” Jika takdir yang ditetapkan Allah kepada manusia, dua malaikat itu akan membiarkannya menimpanya. Namun pada asalnya, dua malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dua malaikat itu selalu menyertainya. Selain itu, Allah juga menugaskan bagi setiap manusia dua malaikat yang mencatat amalannya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya; yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17 – 18). Jadi di kanan dan kiri manusia ada dua malaikat. Salah satunya mencatat amal kebaikan, dan yang lain mencatat amal keburukan. Mereka itulah empat malaikat Dua malaikat menjaga manusia atas perintah Allah, dan dua malaikat lainnya mencatat amalan dan ucapannya atas izin Allah ‘Azza wa Jalla. Jadi, totalnya ada empat malaikat. Lalu empat malaikat ini bergantian dengan empat malaikat lainnya. Mereka berkumpul (untuk berganti tugas) pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Ini maknanya bahwa empat malaikat tersebut bertugas dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar. Lalu datang empat malaikat lain untuk mengganti mereka dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. Dan begitu seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saling silih berganti pada kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari lalu mereka berkumpul pada Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka – meskipun Dia lebih mengetahui daripada mereka – ‘Bagaimana kalian mendapati para hamba-Ku?’ Para malaikat itu menjawab, ‘Kami mendatangi mereka saat mereka sedang shalat, dan kami tinggalkan mereka saat mereka sedang shalat juga.’” Ini maknanya, selama sehari semalam ada delapan malaikat yang ditugaskan membersamai manusia. Delapan malaikat yang menyertai setiap manusia. Ini menunjukkan perhatian Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia. Bagaimana Allah menugaskan delapan malaikat baginya. Empat malaikat sebagai penjaga, dan empat malaikat lainnya sebagai pencatat amalan. Namun, mereka saling bergantian; empat malaikat dari Shalat Subuh hingga Shalat Ashar, dan empat malaikat dari Shalat Ashar hingga Shalat Subuh. ==== مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِنْسَانِ أَنْ وَكَّلَ بِهِ مَلَائِكَةً مَلَائِكَةٌ يَحْفَظُونَهُ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِهِ مِنَ الْمَكْرُوهِ بِإِذْنِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ أَمَامَهُ وَخَلْفَهُ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ يَعْنِي أَمَامَهُ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ أَيْ بِأَمْرِ اللَّهِ وَكَمَا قَالَ عَلِيٌّ رِضَى اللَّهِ عَنْهُ قَالَ وَكَّلَ اللَّهُ مَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ فَإِذَا جَاءَ الْقَدَرُ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ إِذَا جَاءَ الْقَدَرُ الَّذِي قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ خَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ وَإِلَّا فَالْأَصْلُ أَنَّ هَذَيْنِ الْمَلَكَيْنِ يَحْفَظَانِ الْإِنْسَانَ بِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُمَا مُلَازِمَانِ لَهُ وَكَذَلِكَ وَكَّلَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ إِنْسَانٍ مَلَكَيْنِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ فَعَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ مَلَكَانِ أَحَدُهُمَا يَكْتُبُ الْحَسَنَاتِ وَالْآخَرُ يَكْتُبُ السَّيِّئَاتِ فَهَؤُلَاءِ أَرْبَعَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ اثْنَانِ يَحْفَظَانِهِ بِأَمْرِ اللَّهِ وَاثْنَانِ يَكْتُبَانِ أَعْمَالَهُ وَأَقْوَالَهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَصْبَحَ الْمَجْمُوعُ أَرْبَعَةً وَهَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةُ يَتَعَاقَبُونَ مَعَ أَرْبَعَةٍ آخَرِيْنَ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةَ يَكُونُونَ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَأْتِي أَرْبَعَةُ مَلَائِكَةٍ آخَرُونَ يَعْقُبُونَهُمْ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهَكَذَا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ وَجَدْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُولُونَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ مَعْنَى هَذَا أَنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ وُكِّلَ بِهِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ ثَمَانِيَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مَعَ كُلِّ الْإِنْسَانِ مِنْ بَنِي آدَمَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عِنَايَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِهَذَا الإِنْسَانِ كَيْفَ أَنَّ اللَّهَ وَكَّلَ بِهِ ثَمَانِيَةً مِنَ الْمَلَائِكَةِ أَرْبَعَةً حَافِظِيْنَ وَأَرْبَعَةً كَاتِبِيْنَ لَكِنَّهُمْ يَتَعَاقَبُونَ أَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ وَأَرْبَعَةٌ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ

Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat

Daftar Isi Toggle Tidak tumakninahMemandang langitMemejamkan mataTidak salat dengan tenangTidak sujud dengan sempurnaMengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Salat merupakan rukun Islam kedua dan merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Salat juga merupakan tiang dari agama, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Ketika salat, juga terdapat gerakan yang merupakan posisi terdekat seorang hamba dengan Rabbnya, yaitu ketika sujud. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ “Posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, perlu bagi kita untuk memperhatikan kualitas salat kita. Jangan sampai ibadah salat kita yang berharga ini malah dipenuhi oleh kesalahan-kesalahan sehingga mengurangi kualitas salat kita. Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan ketika salat di antaranya adalah: Tidak tumakninah Kesalahan pertama yang adalah tidak tumakninah. Apa itu tumakninah? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, و هي سكون و إن قل “Tumakninah adalah diam walau hanya sebentar.” Tidak tumakninah merupakan kesalahan yang fatal dan bisa membuat salat seseorang tidak sah. Hal tersebut dikarenakan tumakninah adalah salah satu dari rukun salat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan seseorang yang salat tanpa tumakninah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا “Jika kamu mendirikan salat, maka bertakbirlah. Lalu, membaca yang ringan bagi kalian dari Al-Qur’an. Lalu, rukuklah hingga rukuk dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga berdiri tegak. Lalu, sujud hingga sujud dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga duduk dengan tumakninah. Lalu, kerjakan hal tersebut di seluruh salatmu.” (HR. Bukhari) Walaupun demikian, masih sering kita jumpai orang-orang yang melaksanakan salat tanpa tumakninah karena terburu-buru atau juga ketika salat dengan rakaat yang banyak seperti pada salat Tarawih. Memandang langit Kesalahan selanjutnya yang sering terjadi adalah memandang langit atau memandang ke atas. Terkadang kita jumpai orang yang mengerjakan salat dalam keadaan memandang ke arah langit, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Mengapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang salat?” Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda, “Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka.” (HR. Bukhari) Memejamkan mata Kesalahan ketika salat lainnya masih berkaitan dengan pandangan ketika salat, yaitu memejamkan mata. Terkadang seseorang melaksanakan salat dengan memejamkan mata dengan tujuan agar khusyuk, akan tetapi para ulama menyatakan makruhnya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan tentang hukum menutup mata ketika salat, ويكره في الصلاة تغميض عينيه لغير حاجة؛ لأن ذلك من فعل اليهود، وإن كان التغميض لحاجة، كأن يكون أمامه ما يهوش عليه صلاته ؛ كالزخارف والتزويق فلا يكره إغماض عينيه عنه “Dimakruhkan dalam salat untuk menutup kedua mata tanpa keperluan. Hal tersebut dikarenakan merupakan perbuatan Yahudi. Akan tetapi, jika menutup mata karena kebutuhan, seperti adanya hal yang bisa merusak salatnya di hadapannya, seperti ornamen dan perhiasan, maka tidaklah dimakruhkan untuk menutup kedua matanya.” Maka dari itu, sebaiknya kita tidak memejamkan mata ketika salat, kecuali adanya kebutuhan, seperti adanya pandangan yang membuat kita tidak khusyuk ketika mengerjakan salat. Lalu, kemanakah seharusnya pandangan kita ketika sedang salat? Jawabannya adalah hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم الكعبة ما خلف بصره موضع سجوده حتى خرج منها “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam masuk ke dalam Ka’bah. Beliau tidak memalingkan pandangannya dari tempat sujudnya hingga ia keluar darinya.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim) Hadits lainnya yang menunjukkan arah pandangan ketika salat adalah hadis dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ’anhu, كان إذا قعد في التشهد وضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة لا يجاوز بصره إشارته “Ketika beliau (Rasulullah) duduk pada tasyahud, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Pandanyan beliau tidak berpaling dari isyaratnya.” (HR. Abu Daud) Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pandangan ketika salat secara umum adalah ke tempat sujudnya dan bisa ke arah isyarat jari telunjuk ketika sedang melakukan tasyahud. Baca juga: 5 Kesalahan ketika Berpuasa yang Sering Dilakukan Tidak salat dengan tenang Kesalahan yang sering dilakukan lainnya adalah salat dalam keadaan tidak tenang. Hal ini biasanya terjadi ketika seseorang mengejar untuk bisa salat dengan jemaah, tetapi berakhir dengan tidak tenang ketika salat. Di antara kesalahan tersebut bisa berupa berlari menuju ke masjid, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إذا سمعتم الإقامة فامشوا وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا، وما فاتكم فأتموا “Jika kalian mendengar ikamah, maka jalanlah (menuju salat) dengan tenang. Maka, (kondisi) apa yang kalian dapatkan, maka salatlah. Dan apa yang kalian lewatkan, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari) Keadaan yang membuat seseorang tidak tenang ketika salat lainnya adalah salat dalam keadaan menahan buang hajat. Selain itu juga, dimakruhkan salat ketka dalam keadaan lapar, padahal makanan sudah dihidangkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, لا صلاة بحضرة طعام ولا هو يدافعه الأخبثان “Tidak ada salat apabila makanan telah dihidangkan dan juga ketika dia menahan buang air besar atau kecil.” (HR. Bukhari) Selain itu, semua kondisi yang memungkinkan kita untuk tidak tenang dan tidak khusyuk sebaiknya ditinggalkan. Alasan dari hal tersebut dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, کله رعاية لحق الله تعالى ليدخل العبد في العبادة بقلب حاضر مقبل على ربه “Semua hal tersebut merupakan penjagaan untuk hak Allah Ta’ala agar seorang hamba melaksanakan ibadah dengan hati yang hadir menghadap kepada Rabbnya.” Tidak sujud dengan sempurna Kesalahan ketika salat yang sering dijumpai lainnya adalah tidak melakukan gerakan sujud dengan sempurna. Perlu diketahui bahwa ketika kita sujud ada tujuh bagian tubuh kita yang harus menyentuh ke lantai. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang (anggota sujud): kening (lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung), kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung jari dari kedua kaki, dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas bisa disimpulkan bahwa cara sujud yang benar haruslah meletakkan tujuh anggota sujud tersebut: kening yang termasuk juga hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung jari dari kedua kaki. Akan tetapi, terkadang kita jumpai banyak orang yang salat ketika sujud tidak menyentuh seluruh anggota sujud tersebut terutama bagian hidung. Di mana ketika sujud hanya keningnya saja yang menempel ke lantai, akan tetapi hidungnya terangkat. Juga terkadang kita jumpai orang sujud dengan mengangkat kakinya sehingga ujung jari kakinya tidak menyentuh lantai. Mengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Kesalahan ketika salat lainnya adalah ketika seorang makmum mengikuti bacaan surah dalam Al-Qur’an ketika salat. Terkadang ketika salat berjemaah, kita menjumpai ada makmum yang mengikuti bacaan imam ketika salat, padahal hal tersebut telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau bersabda, هَلْ تَقْرَؤُونَ إِذَا جَهَرْتُ بِالْقِرَاءَةِ؟ فَقَالَ بَعْضُنَا: إِنَّا نَصْنَعُ ذَلِكَ، قَالَ:فَلَا، وَأَنَا أَقُولُ مَا لِي يُنَازِعُنِي الْقُرْآنُ، فَلَا تَقْرَءُوا بِشَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ “Apakah kalian membaca (Al-Qur’an) ketika aku men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan (ketika salat)?” Maka, sebagian dari kami berkata, “Sesungguhnya kami melakukannya.”  Beliau bersabda, “Oleh karenanya, aku berkata, ‘Mengapa ada yang membaca bersamaku dan mendahuluiku dalam membaca Al-Qur’an?’ Janganlah kalian membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an ketika aku mengeraskan bacaan, kecuali bacaan surah Al-Fatihah.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, ketika kita menjadi makmum hendaknya cukup mendengarkan bacaan imam saja, kecuali ketika membaca surah Al-Fatihah. Itulah beberapa kesalahan yang sering kita jumpai dalam salat. Masih banyak kesalahan dalam salat yang belum disebutkan dalam artikel ini karena keterbatasan. Hendaknya bagi kita semua untuk terus mempelajari tata cara salat yang benar agar salat kita lebih sempurna. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih Al-Fauzan. Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat

Daftar Isi Toggle Tidak tumakninahMemandang langitMemejamkan mataTidak salat dengan tenangTidak sujud dengan sempurnaMengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Salat merupakan rukun Islam kedua dan merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Salat juga merupakan tiang dari agama, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Ketika salat, juga terdapat gerakan yang merupakan posisi terdekat seorang hamba dengan Rabbnya, yaitu ketika sujud. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ “Posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, perlu bagi kita untuk memperhatikan kualitas salat kita. Jangan sampai ibadah salat kita yang berharga ini malah dipenuhi oleh kesalahan-kesalahan sehingga mengurangi kualitas salat kita. Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan ketika salat di antaranya adalah: Tidak tumakninah Kesalahan pertama yang adalah tidak tumakninah. Apa itu tumakninah? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, و هي سكون و إن قل “Tumakninah adalah diam walau hanya sebentar.” Tidak tumakninah merupakan kesalahan yang fatal dan bisa membuat salat seseorang tidak sah. Hal tersebut dikarenakan tumakninah adalah salah satu dari rukun salat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan seseorang yang salat tanpa tumakninah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا “Jika kamu mendirikan salat, maka bertakbirlah. Lalu, membaca yang ringan bagi kalian dari Al-Qur’an. Lalu, rukuklah hingga rukuk dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga berdiri tegak. Lalu, sujud hingga sujud dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga duduk dengan tumakninah. Lalu, kerjakan hal tersebut di seluruh salatmu.” (HR. Bukhari) Walaupun demikian, masih sering kita jumpai orang-orang yang melaksanakan salat tanpa tumakninah karena terburu-buru atau juga ketika salat dengan rakaat yang banyak seperti pada salat Tarawih. Memandang langit Kesalahan selanjutnya yang sering terjadi adalah memandang langit atau memandang ke atas. Terkadang kita jumpai orang yang mengerjakan salat dalam keadaan memandang ke arah langit, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Mengapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang salat?” Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda, “Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka.” (HR. Bukhari) Memejamkan mata Kesalahan ketika salat lainnya masih berkaitan dengan pandangan ketika salat, yaitu memejamkan mata. Terkadang seseorang melaksanakan salat dengan memejamkan mata dengan tujuan agar khusyuk, akan tetapi para ulama menyatakan makruhnya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan tentang hukum menutup mata ketika salat, ويكره في الصلاة تغميض عينيه لغير حاجة؛ لأن ذلك من فعل اليهود، وإن كان التغميض لحاجة، كأن يكون أمامه ما يهوش عليه صلاته ؛ كالزخارف والتزويق فلا يكره إغماض عينيه عنه “Dimakruhkan dalam salat untuk menutup kedua mata tanpa keperluan. Hal tersebut dikarenakan merupakan perbuatan Yahudi. Akan tetapi, jika menutup mata karena kebutuhan, seperti adanya hal yang bisa merusak salatnya di hadapannya, seperti ornamen dan perhiasan, maka tidaklah dimakruhkan untuk menutup kedua matanya.” Maka dari itu, sebaiknya kita tidak memejamkan mata ketika salat, kecuali adanya kebutuhan, seperti adanya pandangan yang membuat kita tidak khusyuk ketika mengerjakan salat. Lalu, kemanakah seharusnya pandangan kita ketika sedang salat? Jawabannya adalah hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم الكعبة ما خلف بصره موضع سجوده حتى خرج منها “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam masuk ke dalam Ka’bah. Beliau tidak memalingkan pandangannya dari tempat sujudnya hingga ia keluar darinya.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim) Hadits lainnya yang menunjukkan arah pandangan ketika salat adalah hadis dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ’anhu, كان إذا قعد في التشهد وضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة لا يجاوز بصره إشارته “Ketika beliau (Rasulullah) duduk pada tasyahud, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Pandanyan beliau tidak berpaling dari isyaratnya.” (HR. Abu Daud) Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pandangan ketika salat secara umum adalah ke tempat sujudnya dan bisa ke arah isyarat jari telunjuk ketika sedang melakukan tasyahud. Baca juga: 5 Kesalahan ketika Berpuasa yang Sering Dilakukan Tidak salat dengan tenang Kesalahan yang sering dilakukan lainnya adalah salat dalam keadaan tidak tenang. Hal ini biasanya terjadi ketika seseorang mengejar untuk bisa salat dengan jemaah, tetapi berakhir dengan tidak tenang ketika salat. Di antara kesalahan tersebut bisa berupa berlari menuju ke masjid, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إذا سمعتم الإقامة فامشوا وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا، وما فاتكم فأتموا “Jika kalian mendengar ikamah, maka jalanlah (menuju salat) dengan tenang. Maka, (kondisi) apa yang kalian dapatkan, maka salatlah. Dan apa yang kalian lewatkan, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari) Keadaan yang membuat seseorang tidak tenang ketika salat lainnya adalah salat dalam keadaan menahan buang hajat. Selain itu juga, dimakruhkan salat ketka dalam keadaan lapar, padahal makanan sudah dihidangkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, لا صلاة بحضرة طعام ولا هو يدافعه الأخبثان “Tidak ada salat apabila makanan telah dihidangkan dan juga ketika dia menahan buang air besar atau kecil.” (HR. Bukhari) Selain itu, semua kondisi yang memungkinkan kita untuk tidak tenang dan tidak khusyuk sebaiknya ditinggalkan. Alasan dari hal tersebut dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, کله رعاية لحق الله تعالى ليدخل العبد في العبادة بقلب حاضر مقبل على ربه “Semua hal tersebut merupakan penjagaan untuk hak Allah Ta’ala agar seorang hamba melaksanakan ibadah dengan hati yang hadir menghadap kepada Rabbnya.” Tidak sujud dengan sempurna Kesalahan ketika salat yang sering dijumpai lainnya adalah tidak melakukan gerakan sujud dengan sempurna. Perlu diketahui bahwa ketika kita sujud ada tujuh bagian tubuh kita yang harus menyentuh ke lantai. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang (anggota sujud): kening (lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung), kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung jari dari kedua kaki, dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas bisa disimpulkan bahwa cara sujud yang benar haruslah meletakkan tujuh anggota sujud tersebut: kening yang termasuk juga hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung jari dari kedua kaki. Akan tetapi, terkadang kita jumpai banyak orang yang salat ketika sujud tidak menyentuh seluruh anggota sujud tersebut terutama bagian hidung. Di mana ketika sujud hanya keningnya saja yang menempel ke lantai, akan tetapi hidungnya terangkat. Juga terkadang kita jumpai orang sujud dengan mengangkat kakinya sehingga ujung jari kakinya tidak menyentuh lantai. Mengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Kesalahan ketika salat lainnya adalah ketika seorang makmum mengikuti bacaan surah dalam Al-Qur’an ketika salat. Terkadang ketika salat berjemaah, kita menjumpai ada makmum yang mengikuti bacaan imam ketika salat, padahal hal tersebut telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau bersabda, هَلْ تَقْرَؤُونَ إِذَا جَهَرْتُ بِالْقِرَاءَةِ؟ فَقَالَ بَعْضُنَا: إِنَّا نَصْنَعُ ذَلِكَ، قَالَ:فَلَا، وَأَنَا أَقُولُ مَا لِي يُنَازِعُنِي الْقُرْآنُ، فَلَا تَقْرَءُوا بِشَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ “Apakah kalian membaca (Al-Qur’an) ketika aku men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan (ketika salat)?” Maka, sebagian dari kami berkata, “Sesungguhnya kami melakukannya.”  Beliau bersabda, “Oleh karenanya, aku berkata, ‘Mengapa ada yang membaca bersamaku dan mendahuluiku dalam membaca Al-Qur’an?’ Janganlah kalian membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an ketika aku mengeraskan bacaan, kecuali bacaan surah Al-Fatihah.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, ketika kita menjadi makmum hendaknya cukup mendengarkan bacaan imam saja, kecuali ketika membaca surah Al-Fatihah. Itulah beberapa kesalahan yang sering kita jumpai dalam salat. Masih banyak kesalahan dalam salat yang belum disebutkan dalam artikel ini karena keterbatasan. Hendaknya bagi kita semua untuk terus mempelajari tata cara salat yang benar agar salat kita lebih sempurna. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih Al-Fauzan. Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Daftar Isi Toggle Tidak tumakninahMemandang langitMemejamkan mataTidak salat dengan tenangTidak sujud dengan sempurnaMengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Salat merupakan rukun Islam kedua dan merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Salat juga merupakan tiang dari agama, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Ketika salat, juga terdapat gerakan yang merupakan posisi terdekat seorang hamba dengan Rabbnya, yaitu ketika sujud. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ “Posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, perlu bagi kita untuk memperhatikan kualitas salat kita. Jangan sampai ibadah salat kita yang berharga ini malah dipenuhi oleh kesalahan-kesalahan sehingga mengurangi kualitas salat kita. Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan ketika salat di antaranya adalah: Tidak tumakninah Kesalahan pertama yang adalah tidak tumakninah. Apa itu tumakninah? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, و هي سكون و إن قل “Tumakninah adalah diam walau hanya sebentar.” Tidak tumakninah merupakan kesalahan yang fatal dan bisa membuat salat seseorang tidak sah. Hal tersebut dikarenakan tumakninah adalah salah satu dari rukun salat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan seseorang yang salat tanpa tumakninah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا “Jika kamu mendirikan salat, maka bertakbirlah. Lalu, membaca yang ringan bagi kalian dari Al-Qur’an. Lalu, rukuklah hingga rukuk dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga berdiri tegak. Lalu, sujud hingga sujud dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga duduk dengan tumakninah. Lalu, kerjakan hal tersebut di seluruh salatmu.” (HR. Bukhari) Walaupun demikian, masih sering kita jumpai orang-orang yang melaksanakan salat tanpa tumakninah karena terburu-buru atau juga ketika salat dengan rakaat yang banyak seperti pada salat Tarawih. Memandang langit Kesalahan selanjutnya yang sering terjadi adalah memandang langit atau memandang ke atas. Terkadang kita jumpai orang yang mengerjakan salat dalam keadaan memandang ke arah langit, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Mengapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang salat?” Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda, “Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka.” (HR. Bukhari) Memejamkan mata Kesalahan ketika salat lainnya masih berkaitan dengan pandangan ketika salat, yaitu memejamkan mata. Terkadang seseorang melaksanakan salat dengan memejamkan mata dengan tujuan agar khusyuk, akan tetapi para ulama menyatakan makruhnya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan tentang hukum menutup mata ketika salat, ويكره في الصلاة تغميض عينيه لغير حاجة؛ لأن ذلك من فعل اليهود، وإن كان التغميض لحاجة، كأن يكون أمامه ما يهوش عليه صلاته ؛ كالزخارف والتزويق فلا يكره إغماض عينيه عنه “Dimakruhkan dalam salat untuk menutup kedua mata tanpa keperluan. Hal tersebut dikarenakan merupakan perbuatan Yahudi. Akan tetapi, jika menutup mata karena kebutuhan, seperti adanya hal yang bisa merusak salatnya di hadapannya, seperti ornamen dan perhiasan, maka tidaklah dimakruhkan untuk menutup kedua matanya.” Maka dari itu, sebaiknya kita tidak memejamkan mata ketika salat, kecuali adanya kebutuhan, seperti adanya pandangan yang membuat kita tidak khusyuk ketika mengerjakan salat. Lalu, kemanakah seharusnya pandangan kita ketika sedang salat? Jawabannya adalah hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم الكعبة ما خلف بصره موضع سجوده حتى خرج منها “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam masuk ke dalam Ka’bah. Beliau tidak memalingkan pandangannya dari tempat sujudnya hingga ia keluar darinya.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim) Hadits lainnya yang menunjukkan arah pandangan ketika salat adalah hadis dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ’anhu, كان إذا قعد في التشهد وضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة لا يجاوز بصره إشارته “Ketika beliau (Rasulullah) duduk pada tasyahud, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Pandanyan beliau tidak berpaling dari isyaratnya.” (HR. Abu Daud) Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pandangan ketika salat secara umum adalah ke tempat sujudnya dan bisa ke arah isyarat jari telunjuk ketika sedang melakukan tasyahud. Baca juga: 5 Kesalahan ketika Berpuasa yang Sering Dilakukan Tidak salat dengan tenang Kesalahan yang sering dilakukan lainnya adalah salat dalam keadaan tidak tenang. Hal ini biasanya terjadi ketika seseorang mengejar untuk bisa salat dengan jemaah, tetapi berakhir dengan tidak tenang ketika salat. Di antara kesalahan tersebut bisa berupa berlari menuju ke masjid, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إذا سمعتم الإقامة فامشوا وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا، وما فاتكم فأتموا “Jika kalian mendengar ikamah, maka jalanlah (menuju salat) dengan tenang. Maka, (kondisi) apa yang kalian dapatkan, maka salatlah. Dan apa yang kalian lewatkan, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari) Keadaan yang membuat seseorang tidak tenang ketika salat lainnya adalah salat dalam keadaan menahan buang hajat. Selain itu juga, dimakruhkan salat ketka dalam keadaan lapar, padahal makanan sudah dihidangkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, لا صلاة بحضرة طعام ولا هو يدافعه الأخبثان “Tidak ada salat apabila makanan telah dihidangkan dan juga ketika dia menahan buang air besar atau kecil.” (HR. Bukhari) Selain itu, semua kondisi yang memungkinkan kita untuk tidak tenang dan tidak khusyuk sebaiknya ditinggalkan. Alasan dari hal tersebut dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, کله رعاية لحق الله تعالى ليدخل العبد في العبادة بقلب حاضر مقبل على ربه “Semua hal tersebut merupakan penjagaan untuk hak Allah Ta’ala agar seorang hamba melaksanakan ibadah dengan hati yang hadir menghadap kepada Rabbnya.” Tidak sujud dengan sempurna Kesalahan ketika salat yang sering dijumpai lainnya adalah tidak melakukan gerakan sujud dengan sempurna. Perlu diketahui bahwa ketika kita sujud ada tujuh bagian tubuh kita yang harus menyentuh ke lantai. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang (anggota sujud): kening (lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung), kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung jari dari kedua kaki, dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas bisa disimpulkan bahwa cara sujud yang benar haruslah meletakkan tujuh anggota sujud tersebut: kening yang termasuk juga hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung jari dari kedua kaki. Akan tetapi, terkadang kita jumpai banyak orang yang salat ketika sujud tidak menyentuh seluruh anggota sujud tersebut terutama bagian hidung. Di mana ketika sujud hanya keningnya saja yang menempel ke lantai, akan tetapi hidungnya terangkat. Juga terkadang kita jumpai orang sujud dengan mengangkat kakinya sehingga ujung jari kakinya tidak menyentuh lantai. Mengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Kesalahan ketika salat lainnya adalah ketika seorang makmum mengikuti bacaan surah dalam Al-Qur’an ketika salat. Terkadang ketika salat berjemaah, kita menjumpai ada makmum yang mengikuti bacaan imam ketika salat, padahal hal tersebut telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau bersabda, هَلْ تَقْرَؤُونَ إِذَا جَهَرْتُ بِالْقِرَاءَةِ؟ فَقَالَ بَعْضُنَا: إِنَّا نَصْنَعُ ذَلِكَ، قَالَ:فَلَا، وَأَنَا أَقُولُ مَا لِي يُنَازِعُنِي الْقُرْآنُ، فَلَا تَقْرَءُوا بِشَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ “Apakah kalian membaca (Al-Qur’an) ketika aku men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan (ketika salat)?” Maka, sebagian dari kami berkata, “Sesungguhnya kami melakukannya.”  Beliau bersabda, “Oleh karenanya, aku berkata, ‘Mengapa ada yang membaca bersamaku dan mendahuluiku dalam membaca Al-Qur’an?’ Janganlah kalian membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an ketika aku mengeraskan bacaan, kecuali bacaan surah Al-Fatihah.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, ketika kita menjadi makmum hendaknya cukup mendengarkan bacaan imam saja, kecuali ketika membaca surah Al-Fatihah. Itulah beberapa kesalahan yang sering kita jumpai dalam salat. Masih banyak kesalahan dalam salat yang belum disebutkan dalam artikel ini karena keterbatasan. Hendaknya bagi kita semua untuk terus mempelajari tata cara salat yang benar agar salat kita lebih sempurna. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih Al-Fauzan. Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.


Daftar Isi Toggle Tidak tumakninahMemandang langitMemejamkan mataTidak salat dengan tenangTidak sujud dengan sempurnaMengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Salat merupakan rukun Islam kedua dan merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Salat juga merupakan tiang dari agama, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Ketika salat, juga terdapat gerakan yang merupakan posisi terdekat seorang hamba dengan Rabbnya, yaitu ketika sujud. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ “Posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, perlu bagi kita untuk memperhatikan kualitas salat kita. Jangan sampai ibadah salat kita yang berharga ini malah dipenuhi oleh kesalahan-kesalahan sehingga mengurangi kualitas salat kita. Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan ketika salat di antaranya adalah: Tidak tumakninah Kesalahan pertama yang adalah tidak tumakninah. Apa itu tumakninah? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, و هي سكون و إن قل “Tumakninah adalah diam walau hanya sebentar.” Tidak tumakninah merupakan kesalahan yang fatal dan bisa membuat salat seseorang tidak sah. Hal tersebut dikarenakan tumakninah adalah salah satu dari rukun salat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan seseorang yang salat tanpa tumakninah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا “Jika kamu mendirikan salat, maka bertakbirlah. Lalu, membaca yang ringan bagi kalian dari Al-Qur’an. Lalu, rukuklah hingga rukuk dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga berdiri tegak. Lalu, sujud hingga sujud dengan tumakninah. Lalu, bangkit hingga duduk dengan tumakninah. Lalu, kerjakan hal tersebut di seluruh salatmu.” (HR. Bukhari) Walaupun demikian, masih sering kita jumpai orang-orang yang melaksanakan salat tanpa tumakninah karena terburu-buru atau juga ketika salat dengan rakaat yang banyak seperti pada salat Tarawih. Memandang langit Kesalahan selanjutnya yang sering terjadi adalah memandang langit atau memandang ke atas. Terkadang kita jumpai orang yang mengerjakan salat dalam keadaan memandang ke arah langit, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Mengapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang salat?” Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda, “Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka.” (HR. Bukhari) Memejamkan mata Kesalahan ketika salat lainnya masih berkaitan dengan pandangan ketika salat, yaitu memejamkan mata. Terkadang seseorang melaksanakan salat dengan memejamkan mata dengan tujuan agar khusyuk, akan tetapi para ulama menyatakan makruhnya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan tentang hukum menutup mata ketika salat, ويكره في الصلاة تغميض عينيه لغير حاجة؛ لأن ذلك من فعل اليهود، وإن كان التغميض لحاجة، كأن يكون أمامه ما يهوش عليه صلاته ؛ كالزخارف والتزويق فلا يكره إغماض عينيه عنه “Dimakruhkan dalam salat untuk menutup kedua mata tanpa keperluan. Hal tersebut dikarenakan merupakan perbuatan Yahudi. Akan tetapi, jika menutup mata karena kebutuhan, seperti adanya hal yang bisa merusak salatnya di hadapannya, seperti ornamen dan perhiasan, maka tidaklah dimakruhkan untuk menutup kedua matanya.” Maka dari itu, sebaiknya kita tidak memejamkan mata ketika salat, kecuali adanya kebutuhan, seperti adanya pandangan yang membuat kita tidak khusyuk ketika mengerjakan salat. Lalu, kemanakah seharusnya pandangan kita ketika sedang salat? Jawabannya adalah hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم الكعبة ما خلف بصره موضع سجوده حتى خرج منها “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam masuk ke dalam Ka’bah. Beliau tidak memalingkan pandangannya dari tempat sujudnya hingga ia keluar darinya.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim) Hadits lainnya yang menunjukkan arah pandangan ketika salat adalah hadis dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ’anhu, كان إذا قعد في التشهد وضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة لا يجاوز بصره إشارته “Ketika beliau (Rasulullah) duduk pada tasyahud, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Pandanyan beliau tidak berpaling dari isyaratnya.” (HR. Abu Daud) Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pandangan ketika salat secara umum adalah ke tempat sujudnya dan bisa ke arah isyarat jari telunjuk ketika sedang melakukan tasyahud. Baca juga: 5 Kesalahan ketika Berpuasa yang Sering Dilakukan Tidak salat dengan tenang Kesalahan yang sering dilakukan lainnya adalah salat dalam keadaan tidak tenang. Hal ini biasanya terjadi ketika seseorang mengejar untuk bisa salat dengan jemaah, tetapi berakhir dengan tidak tenang ketika salat. Di antara kesalahan tersebut bisa berupa berlari menuju ke masjid, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إذا سمعتم الإقامة فامشوا وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا، وما فاتكم فأتموا “Jika kalian mendengar ikamah, maka jalanlah (menuju salat) dengan tenang. Maka, (kondisi) apa yang kalian dapatkan, maka salatlah. Dan apa yang kalian lewatkan, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari) Keadaan yang membuat seseorang tidak tenang ketika salat lainnya adalah salat dalam keadaan menahan buang hajat. Selain itu juga, dimakruhkan salat ketka dalam keadaan lapar, padahal makanan sudah dihidangkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, لا صلاة بحضرة طعام ولا هو يدافعه الأخبثان “Tidak ada salat apabila makanan telah dihidangkan dan juga ketika dia menahan buang air besar atau kecil.” (HR. Bukhari) Selain itu, semua kondisi yang memungkinkan kita untuk tidak tenang dan tidak khusyuk sebaiknya ditinggalkan. Alasan dari hal tersebut dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, کله رعاية لحق الله تعالى ليدخل العبد في العبادة بقلب حاضر مقبل على ربه “Semua hal tersebut merupakan penjagaan untuk hak Allah Ta’ala agar seorang hamba melaksanakan ibadah dengan hati yang hadir menghadap kepada Rabbnya.” Tidak sujud dengan sempurna Kesalahan ketika salat yang sering dijumpai lainnya adalah tidak melakukan gerakan sujud dengan sempurna. Perlu diketahui bahwa ketika kita sujud ada tujuh bagian tubuh kita yang harus menyentuh ke lantai. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang (anggota sujud): kening (lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung), kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung jari dari kedua kaki, dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas bisa disimpulkan bahwa cara sujud yang benar haruslah meletakkan tujuh anggota sujud tersebut: kening yang termasuk juga hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung jari dari kedua kaki. Akan tetapi, terkadang kita jumpai banyak orang yang salat ketika sujud tidak menyentuh seluruh anggota sujud tersebut terutama bagian hidung. Di mana ketika sujud hanya keningnya saja yang menempel ke lantai, akan tetapi hidungnya terangkat. Juga terkadang kita jumpai orang sujud dengan mengangkat kakinya sehingga ujung jari kakinya tidak menyentuh lantai. Mengikuti bacaan Imam ketika membaca surah dalam Al-Qur’an Kesalahan ketika salat lainnya adalah ketika seorang makmum mengikuti bacaan surah dalam Al-Qur’an ketika salat. Terkadang ketika salat berjemaah, kita menjumpai ada makmum yang mengikuti bacaan imam ketika salat, padahal hal tersebut telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau bersabda, هَلْ تَقْرَؤُونَ إِذَا جَهَرْتُ بِالْقِرَاءَةِ؟ فَقَالَ بَعْضُنَا: إِنَّا نَصْنَعُ ذَلِكَ، قَالَ:فَلَا، وَأَنَا أَقُولُ مَا لِي يُنَازِعُنِي الْقُرْآنُ، فَلَا تَقْرَءُوا بِشَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ “Apakah kalian membaca (Al-Qur’an) ketika aku men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan (ketika salat)?” Maka, sebagian dari kami berkata, “Sesungguhnya kami melakukannya.”  Beliau bersabda, “Oleh karenanya, aku berkata, ‘Mengapa ada yang membaca bersamaku dan mendahuluiku dalam membaca Al-Qur’an?’ Janganlah kalian membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an ketika aku mengeraskan bacaan, kecuali bacaan surah Al-Fatihah.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, ketika kita menjadi makmum hendaknya cukup mendengarkan bacaan imam saja, kecuali ketika membaca surah Al-Fatihah. Itulah beberapa kesalahan yang sering kita jumpai dalam salat. Masih banyak kesalahan dalam salat yang belum disebutkan dalam artikel ini karena keterbatasan. Hendaknya bagi kita semua untuk terus mempelajari tata cara salat yang benar agar salat kita lebih sempurna. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih Al-Fauzan. Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

7 Ayat Ruqyah untuk Obat Orang yang Terkena Sihir – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf ruqyah menggunakan hal-hal tertentu. Diriwayatkan dari al-Laits bin Abi Sulaim, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim rahimahullah, bahwa ia berkata, “Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa tujuh ayat berikut ini merupakan sebab penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Dibacakan pada air, yakni pada wadah yang berisi air. Lalu disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. Jumlahnya ada tujuh ayat. Satu ayat dalam surah Thaha, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thaha: 69). Dan dua ayat dalam surah Yunus “Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya. Sungguh Allah tidak akan membiarkan pekerjaan orang yang membuat kerusakan.’ Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” (QS. Yunus: 81 – 82). Dan empat ayat dalam surah al-A’raf “Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.” (QS. al-A’raf: 118). “Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata: ‘Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.’” (QS. al-A’raf: 120 – 122). Tujuh ayat ini, al-Laits bin Abi Sulaim rahimahullah berkata tentangnya bahwa ada riwayat yang sampai kepadanya bahwa tujuh ayat itu adalah penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Tempatkan air dalam wadah, lalu bacakan ayat-ayat ini padanya. Kemudian air tersebut disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. ==== قَدْ وَرَدَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ الرُّقْيَةُ بِأَشْيَاءَ فَعَنْ اللَّيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ كَمَا رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ هَذِهِ الْآيَاتِ شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تُقْرَأُ فِي مَاءٍ فِي إِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُورِ وَهِيَ سَبْعُ آيَاتٍ آيَةٌ وَاحِدَةٌ فِي طَهَ وَهِيَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى وَآيَتَانِ فِي يُونُسَ فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَىٰ مَا جِئْتُم بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ وَأَرْبَعُ آيَاتٍ فِي الْأَعْرَافِ فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ هَذِهِ الْآيَاتُ السَّبْعُ يَقُولُ اللَّيْثُ بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهَا شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُوْضَعُ مَاءٌ فِي إِنَاءٍ وَيَنْفُثُ فِيهِ هَذِهِ الْآيَاتِ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُوْرِ

7 Ayat Ruqyah untuk Obat Orang yang Terkena Sihir – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf ruqyah menggunakan hal-hal tertentu. Diriwayatkan dari al-Laits bin Abi Sulaim, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim rahimahullah, bahwa ia berkata, “Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa tujuh ayat berikut ini merupakan sebab penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Dibacakan pada air, yakni pada wadah yang berisi air. Lalu disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. Jumlahnya ada tujuh ayat. Satu ayat dalam surah Thaha, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thaha: 69). Dan dua ayat dalam surah Yunus “Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya. Sungguh Allah tidak akan membiarkan pekerjaan orang yang membuat kerusakan.’ Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” (QS. Yunus: 81 – 82). Dan empat ayat dalam surah al-A’raf “Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.” (QS. al-A’raf: 118). “Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata: ‘Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.’” (QS. al-A’raf: 120 – 122). Tujuh ayat ini, al-Laits bin Abi Sulaim rahimahullah berkata tentangnya bahwa ada riwayat yang sampai kepadanya bahwa tujuh ayat itu adalah penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Tempatkan air dalam wadah, lalu bacakan ayat-ayat ini padanya. Kemudian air tersebut disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. ==== قَدْ وَرَدَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ الرُّقْيَةُ بِأَشْيَاءَ فَعَنْ اللَّيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ كَمَا رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ هَذِهِ الْآيَاتِ شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تُقْرَأُ فِي مَاءٍ فِي إِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُورِ وَهِيَ سَبْعُ آيَاتٍ آيَةٌ وَاحِدَةٌ فِي طَهَ وَهِيَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى وَآيَتَانِ فِي يُونُسَ فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَىٰ مَا جِئْتُم بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ وَأَرْبَعُ آيَاتٍ فِي الْأَعْرَافِ فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ هَذِهِ الْآيَاتُ السَّبْعُ يَقُولُ اللَّيْثُ بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهَا شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُوْضَعُ مَاءٌ فِي إِنَاءٍ وَيَنْفُثُ فِيهِ هَذِهِ الْآيَاتِ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُوْرِ
Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf ruqyah menggunakan hal-hal tertentu. Diriwayatkan dari al-Laits bin Abi Sulaim, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim rahimahullah, bahwa ia berkata, “Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa tujuh ayat berikut ini merupakan sebab penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Dibacakan pada air, yakni pada wadah yang berisi air. Lalu disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. Jumlahnya ada tujuh ayat. Satu ayat dalam surah Thaha, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thaha: 69). Dan dua ayat dalam surah Yunus “Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya. Sungguh Allah tidak akan membiarkan pekerjaan orang yang membuat kerusakan.’ Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” (QS. Yunus: 81 – 82). Dan empat ayat dalam surah al-A’raf “Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.” (QS. al-A’raf: 118). “Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata: ‘Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.’” (QS. al-A’raf: 120 – 122). Tujuh ayat ini, al-Laits bin Abi Sulaim rahimahullah berkata tentangnya bahwa ada riwayat yang sampai kepadanya bahwa tujuh ayat itu adalah penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Tempatkan air dalam wadah, lalu bacakan ayat-ayat ini padanya. Kemudian air tersebut disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. ==== قَدْ وَرَدَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ الرُّقْيَةُ بِأَشْيَاءَ فَعَنْ اللَّيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ كَمَا رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ هَذِهِ الْآيَاتِ شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تُقْرَأُ فِي مَاءٍ فِي إِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُورِ وَهِيَ سَبْعُ آيَاتٍ آيَةٌ وَاحِدَةٌ فِي طَهَ وَهِيَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى وَآيَتَانِ فِي يُونُسَ فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَىٰ مَا جِئْتُم بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ وَأَرْبَعُ آيَاتٍ فِي الْأَعْرَافِ فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ هَذِهِ الْآيَاتُ السَّبْعُ يَقُولُ اللَّيْثُ بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهَا شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُوْضَعُ مَاءٌ فِي إِنَاءٍ وَيَنْفُثُ فِيهِ هَذِهِ الْآيَاتِ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُوْرِ


Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf ruqyah menggunakan hal-hal tertentu. Diriwayatkan dari al-Laits bin Abi Sulaim, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim rahimahullah, bahwa ia berkata, “Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa tujuh ayat berikut ini merupakan sebab penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Dibacakan pada air, yakni pada wadah yang berisi air. Lalu disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. Jumlahnya ada tujuh ayat. Satu ayat dalam surah Thaha, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thaha: 69). Dan dua ayat dalam surah Yunus “Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya. Sungguh Allah tidak akan membiarkan pekerjaan orang yang membuat kerusakan.’ Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” (QS. Yunus: 81 – 82). Dan empat ayat dalam surah al-A’raf “Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.” (QS. al-A’raf: 118). “Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata: ‘Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.’” (QS. al-A’raf: 120 – 122). Tujuh ayat ini, al-Laits bin Abi Sulaim rahimahullah berkata tentangnya bahwa ada riwayat yang sampai kepadanya bahwa tujuh ayat itu adalah penyembuh dari sihir, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Tempatkan air dalam wadah, lalu bacakan ayat-ayat ini padanya. Kemudian air tersebut disiramkan ke kepala orang yang terkena sihir. ==== قَدْ وَرَدَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ الرُّقْيَةُ بِأَشْيَاءَ فَعَنْ اللَّيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ كَمَا رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ هَذِهِ الْآيَاتِ شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تُقْرَأُ فِي مَاءٍ فِي إِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُورِ وَهِيَ سَبْعُ آيَاتٍ آيَةٌ وَاحِدَةٌ فِي طَهَ وَهِيَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى وَآيَتَانِ فِي يُونُسَ فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَىٰ مَا جِئْتُم بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ وَأَرْبَعُ آيَاتٍ فِي الْأَعْرَافِ فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ هَذِهِ الْآيَاتُ السَّبْعُ يَقُولُ اللَّيْثُ بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهَا شِفَاءٌ مِنَ السِّحْرِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُوْضَعُ مَاءٌ فِي إِنَاءٍ وَيَنْفُثُ فِيهِ هَذِهِ الْآيَاتِ ثُمَّ يُصَبُّ عَلَى رَأْسِ الْمَسْحُوْرِ

Biografi Sufyan Ats-Tsauriy

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaKelahiran dan pertumbuhannyaSifat-sifatZuhudSuka menyendiri dan menjauhi ketenaranGuru-guru dan murid-muridnyaPenyakit dan wafatnya Nama dan nasabnya Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats-Tsauriy, nasab ini dinisbahkan ke salah satu kakeknya, yaitu Tsaur bin Abdu Mannah bin Addi bin Thanijah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Ilyas bin Mudhar. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauriy memiliki kunyah Abu Abdilah. Kelahiran dan pertumbuhannya Sufyan Ats-Tsauriy rahimahullah lahir di Kufah tahun 97 H. Sufyan Ats-Tsauriy tumbuh besar di Kufah dan tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ilmu. Pada saat itu, Kufah merupakan salah satu pusat ilmu dan sunah. Sehingga, Kufah merupakan tujuan rihlah bagi para penuntut ilmu. Pada saat itu, Kufah dipenuhi dengan ulama-ulama yang terkenal termasuk ahli hadis, ahli fikih, hakim, ahli bahasa, dan lainnya. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab utama yang mendorong kecenderungan ilmiah Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. Selain itu, terdapat dua faktor lain yang turut memengaruhi perjalanan ilmunya. Pertama, perhatian kedua orang tuanya terhadap pendidikannya. Ayahnya, Sa’id bin Masruq, adalah seorang ahli hadis Kufah yang terpercaya dan termasuk dalam kalangan tabiin muda. Riwayatnya tercantum dalam kitab-kitab sahih, sunan, dan musnad. Ia meninggal pada tahun 126 H. Sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang salehah dan mulia. Ia berkata kepada putranya, “Wahai anakku, carilah ilmu, dan aku akan mencukupimu dengan hasil dari tenunanku.” Ia selalu mendukung dan menasihati putranya dalam menuntut ilmu. Waki’ berkata, “Ibu Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata kepada Sufyan, ‘Wahai anakku, jika engkau telah menulis sepuluh huruf, maka lihatlah apakah ada peningkatan dalam ketakwaan, kelembutan, dan kehormatanmu. Jika tidak, ketahuilah bahwa ilmu tersebut hanya akan membahayakanmu dan tidak bermanfaat bagimu.’” Kedua, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menganugerahinya kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Hal ini membuat namanya dikenal sejak kecil. Kabar tentang dirinya mulai tersebar saat ia masih muda. Abu Al-Matsanna menceritakan, “Aku mendengar mereka di Maru berkata, ‘Ats-Tsauri telah datang.’ Lalu, aku keluar untuk melihatnya, ternyata ia seorang pemuda yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jenggot.” Abdurrahman bin Mahdi berkata bahwa ketika Abu Ishaq As-Sabi’i melihat Sufyan Ats-Tsauri datang, ia berkata, “Dan Kami telah memberikan kepadanya hikmah sejak masih kanak-kanak” [1]. Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan tentang daya ingatnya, “Aku melewati seorang penenun, lalu aku menutup telingaku karena khawatir akan mengingat apa yang ia katakan.” Oleh sebab itu, ia berkata, “Apa pun yang aku simpan dalam hatiku, tidak pernah berkhianat kepadaku.” Baca juga: Biografi Az-Zubair bin Al-‘Awwam Sifat-sifat Zuhud Sufyan adalah seorang imam dalam hal zuhud, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah. Namun, ia memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini. Banyak orang yang menjalani zuhud, mencapai tingkat kehidupan yang sangat sederhana, penuh dengan kelaparan, keras terhadap diri sendiri, dan meninggalkan usaha untuk mencari nafkah, hingga menyebabkan beberapa dari mereka menderita penyakit, rasa sakit, dan ketergantungan pada orang lain. Namun, Sufyan sangat sadar akan akibat dari hal tersebut, terutama di masa saat kondisi semakin memburuk dan dunia semakin keras. Dia pernah berkata, “Harta dulu tidak disukai, tetapi hari ini ia menjadi perisai bagi seorang mukmin.” Pandangan Sufyan mengenai zuhud diringkas dalam satu kalimat yang bijak, dia berkata, “Zuhud bukanlah dengan makan yang kasar dan mengenakan pakaian yang kasar, namun dengan memendekkan angan-angan dan selalu mengingat kematian.” Sufyan juga berkata, “Zuhud itu ada dua jenis: zuhud wajib dan zuhud sunah. Zuhud wajib adalah meninggalkan kesombongan, keangkuhan, keinginan untuk unggul, riya, ketenaran, dan berhias untuk manusia. Adapun zuhud sunah adalah meninggalkan apa yang Allah berikan dari yang halal. Jika kamu meninggalkan sesuatu dari itu, maka menjadi kewajiban bagimu untuk tidak meninggalkannya, kecuali karena Allah.” Suka menyendiri dan menjauhi ketenaran Abdullah bin Al-Mubarak berkata, Sufyan berkata kepadaku, “Jauhilah ketenaran, karena aku tidak mendatangi siapa pun, kecuali aku melarangnya dari ketenaran.” Dia juga berkata, “Terlalu banyak teman adalah tanda dangkalnya agama.” Sufyan juga mengatakan, “Kurangi mengenal orang lain, niscaya akan sedikit pula orang yang membicarakanmu.” Dan dia berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah zuhud terhadap manusia, dan awal dari itu adalah zuhudmu terhadap dirimu sendiri.” Dia berkata, “Aku menemukan hatiku tenang di antara Makkah dan Madinah, bersama sekelompok orang asing yang memakai kain wol dan jubah kasar.” Guru-guru dan murid-muridnya Sufyan Ats-Tsauri bertemu dengan banyak sekali dari kalangan tabiin dan meriwayatkan dari mereka. Dalam biografinya, disebutkan bahwa ia memiliki sekitar tiga ratus guru, termasuk dari kalangan tabiin dan murid-murid tabiin. Di antara gurunya yang terkenal adalah Habib bin Abi Tsabit, Salamah bin Kuhail, Ziyad bin ‘Alaqah, Amr bin Murrah, Muhammad bin Al-Munkadir, dan lain-lain. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa jumlah gurunya mencapai enam ratus orang. Di antara guru-guru besarnya ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah, Jarir bin Abdullah, Ibnu Abbas, dan lainnya. Sufyan juga membaca seluruh Al-Qur’an sebanyak empat kali secara langsung kepada Hamzah Az-Zayyat. Banyak orang yang menimba ilmu darinya, termasuk beberapa tokoh besar yang meninggal sebelum dirinya, seperti Al-A’masy, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Mas’ar, Syu’bah, dan lainnya. Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa jumlah murid yang meriwayatkan darinya lebih dari dua puluh ribu orang. Namun, Imam Adz-Dzahabi membantah hal ini, dengan mengatakan bahwa jumlah tersebut berlebihan. Menurutnya, jika mencapai seribu saja, itu sudah sangat banyak. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan hafiz (penghafal hadis) yang memiliki jumlah perawi lebih banyak dari Malik, yang mencapai seribu empat ratus orang, termasuk perawi yang tidak dikenal dan para pendusta. Penyakit dan wafatnya Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Sufyan menderita sakit perut, dan pada malam itu, ia berwudu sebanyak enam puluh kali. Ketika ia menyadari akhir hidupnya telah dekat, ia turun dari tempat tidurnya, meletakkan pipinya di tanah, dan berkata, ‘Wahai Abdurrahman! Betapa beratnya kematian ini.’ Ketika ia wafat, aku yang menutup matanya, dan para penduduk datang di tengah malam, setelah mereka mengetahui hal itu.” Abdurrahman berkata, “Sufyan sering berharap untuk meninggal agar ia selamat dari gangguan para penguasa (maksudnya adalah para pemimpin saat itu). Namun, ketika ia sakit, ia justru merasa takut. Ia berkata kepadaku, ‘Bacakan surat Yasin, karena dikatakan bahwa bacaan tersebut meringankan penderitaan orang yang sakit.’ Aku pun membacakan, dan sebelum selesai, ia telah wafat.” Dikatakan bahwa jenazahnya dibawa keluar di tengah-tengah masyarakat Basrah secara tiba-tiba, dan banyak orang yang menghadirinya. Salat jenazahnya diimami oleh Abdurrahman bin Abdul Malik bin Abjar Al-Kufi, atas wasiat dari Sufyan, karena kesalehannya. Ibnu Al-Madini mengatakan bahwa Sufyan hidup dalam persembunyiannya selama sekitar satu tahun. Ia wafat pada bulan Sya’ban tahun 161 Hijriyah. Sebagai penutup, disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus berkata, “Aku mendengar Sufyan sering kali berdoa dengan kata-kata yang tak terhitung banyaknya, ‘Ya Allah, selamatkan kami, selamatkan kami. Ya Allah, berikan kami keselamatan dan kesehatan di dunia dan akhirat.'” Baca juga: Biografi Jabir bin Abdillah *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.islamancient.com/الإمام-سفيان-الثوري/   Catatan kaki: [1] QS. Maryam: 12

Biografi Sufyan Ats-Tsauriy

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaKelahiran dan pertumbuhannyaSifat-sifatZuhudSuka menyendiri dan menjauhi ketenaranGuru-guru dan murid-muridnyaPenyakit dan wafatnya Nama dan nasabnya Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats-Tsauriy, nasab ini dinisbahkan ke salah satu kakeknya, yaitu Tsaur bin Abdu Mannah bin Addi bin Thanijah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Ilyas bin Mudhar. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauriy memiliki kunyah Abu Abdilah. Kelahiran dan pertumbuhannya Sufyan Ats-Tsauriy rahimahullah lahir di Kufah tahun 97 H. Sufyan Ats-Tsauriy tumbuh besar di Kufah dan tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ilmu. Pada saat itu, Kufah merupakan salah satu pusat ilmu dan sunah. Sehingga, Kufah merupakan tujuan rihlah bagi para penuntut ilmu. Pada saat itu, Kufah dipenuhi dengan ulama-ulama yang terkenal termasuk ahli hadis, ahli fikih, hakim, ahli bahasa, dan lainnya. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab utama yang mendorong kecenderungan ilmiah Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. Selain itu, terdapat dua faktor lain yang turut memengaruhi perjalanan ilmunya. Pertama, perhatian kedua orang tuanya terhadap pendidikannya. Ayahnya, Sa’id bin Masruq, adalah seorang ahli hadis Kufah yang terpercaya dan termasuk dalam kalangan tabiin muda. Riwayatnya tercantum dalam kitab-kitab sahih, sunan, dan musnad. Ia meninggal pada tahun 126 H. Sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang salehah dan mulia. Ia berkata kepada putranya, “Wahai anakku, carilah ilmu, dan aku akan mencukupimu dengan hasil dari tenunanku.” Ia selalu mendukung dan menasihati putranya dalam menuntut ilmu. Waki’ berkata, “Ibu Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata kepada Sufyan, ‘Wahai anakku, jika engkau telah menulis sepuluh huruf, maka lihatlah apakah ada peningkatan dalam ketakwaan, kelembutan, dan kehormatanmu. Jika tidak, ketahuilah bahwa ilmu tersebut hanya akan membahayakanmu dan tidak bermanfaat bagimu.’” Kedua, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menganugerahinya kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Hal ini membuat namanya dikenal sejak kecil. Kabar tentang dirinya mulai tersebar saat ia masih muda. Abu Al-Matsanna menceritakan, “Aku mendengar mereka di Maru berkata, ‘Ats-Tsauri telah datang.’ Lalu, aku keluar untuk melihatnya, ternyata ia seorang pemuda yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jenggot.” Abdurrahman bin Mahdi berkata bahwa ketika Abu Ishaq As-Sabi’i melihat Sufyan Ats-Tsauri datang, ia berkata, “Dan Kami telah memberikan kepadanya hikmah sejak masih kanak-kanak” [1]. Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan tentang daya ingatnya, “Aku melewati seorang penenun, lalu aku menutup telingaku karena khawatir akan mengingat apa yang ia katakan.” Oleh sebab itu, ia berkata, “Apa pun yang aku simpan dalam hatiku, tidak pernah berkhianat kepadaku.” Baca juga: Biografi Az-Zubair bin Al-‘Awwam Sifat-sifat Zuhud Sufyan adalah seorang imam dalam hal zuhud, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah. Namun, ia memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini. Banyak orang yang menjalani zuhud, mencapai tingkat kehidupan yang sangat sederhana, penuh dengan kelaparan, keras terhadap diri sendiri, dan meninggalkan usaha untuk mencari nafkah, hingga menyebabkan beberapa dari mereka menderita penyakit, rasa sakit, dan ketergantungan pada orang lain. Namun, Sufyan sangat sadar akan akibat dari hal tersebut, terutama di masa saat kondisi semakin memburuk dan dunia semakin keras. Dia pernah berkata, “Harta dulu tidak disukai, tetapi hari ini ia menjadi perisai bagi seorang mukmin.” Pandangan Sufyan mengenai zuhud diringkas dalam satu kalimat yang bijak, dia berkata, “Zuhud bukanlah dengan makan yang kasar dan mengenakan pakaian yang kasar, namun dengan memendekkan angan-angan dan selalu mengingat kematian.” Sufyan juga berkata, “Zuhud itu ada dua jenis: zuhud wajib dan zuhud sunah. Zuhud wajib adalah meninggalkan kesombongan, keangkuhan, keinginan untuk unggul, riya, ketenaran, dan berhias untuk manusia. Adapun zuhud sunah adalah meninggalkan apa yang Allah berikan dari yang halal. Jika kamu meninggalkan sesuatu dari itu, maka menjadi kewajiban bagimu untuk tidak meninggalkannya, kecuali karena Allah.” Suka menyendiri dan menjauhi ketenaran Abdullah bin Al-Mubarak berkata, Sufyan berkata kepadaku, “Jauhilah ketenaran, karena aku tidak mendatangi siapa pun, kecuali aku melarangnya dari ketenaran.” Dia juga berkata, “Terlalu banyak teman adalah tanda dangkalnya agama.” Sufyan juga mengatakan, “Kurangi mengenal orang lain, niscaya akan sedikit pula orang yang membicarakanmu.” Dan dia berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah zuhud terhadap manusia, dan awal dari itu adalah zuhudmu terhadap dirimu sendiri.” Dia berkata, “Aku menemukan hatiku tenang di antara Makkah dan Madinah, bersama sekelompok orang asing yang memakai kain wol dan jubah kasar.” Guru-guru dan murid-muridnya Sufyan Ats-Tsauri bertemu dengan banyak sekali dari kalangan tabiin dan meriwayatkan dari mereka. Dalam biografinya, disebutkan bahwa ia memiliki sekitar tiga ratus guru, termasuk dari kalangan tabiin dan murid-murid tabiin. Di antara gurunya yang terkenal adalah Habib bin Abi Tsabit, Salamah bin Kuhail, Ziyad bin ‘Alaqah, Amr bin Murrah, Muhammad bin Al-Munkadir, dan lain-lain. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa jumlah gurunya mencapai enam ratus orang. Di antara guru-guru besarnya ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah, Jarir bin Abdullah, Ibnu Abbas, dan lainnya. Sufyan juga membaca seluruh Al-Qur’an sebanyak empat kali secara langsung kepada Hamzah Az-Zayyat. Banyak orang yang menimba ilmu darinya, termasuk beberapa tokoh besar yang meninggal sebelum dirinya, seperti Al-A’masy, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Mas’ar, Syu’bah, dan lainnya. Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa jumlah murid yang meriwayatkan darinya lebih dari dua puluh ribu orang. Namun, Imam Adz-Dzahabi membantah hal ini, dengan mengatakan bahwa jumlah tersebut berlebihan. Menurutnya, jika mencapai seribu saja, itu sudah sangat banyak. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan hafiz (penghafal hadis) yang memiliki jumlah perawi lebih banyak dari Malik, yang mencapai seribu empat ratus orang, termasuk perawi yang tidak dikenal dan para pendusta. Penyakit dan wafatnya Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Sufyan menderita sakit perut, dan pada malam itu, ia berwudu sebanyak enam puluh kali. Ketika ia menyadari akhir hidupnya telah dekat, ia turun dari tempat tidurnya, meletakkan pipinya di tanah, dan berkata, ‘Wahai Abdurrahman! Betapa beratnya kematian ini.’ Ketika ia wafat, aku yang menutup matanya, dan para penduduk datang di tengah malam, setelah mereka mengetahui hal itu.” Abdurrahman berkata, “Sufyan sering berharap untuk meninggal agar ia selamat dari gangguan para penguasa (maksudnya adalah para pemimpin saat itu). Namun, ketika ia sakit, ia justru merasa takut. Ia berkata kepadaku, ‘Bacakan surat Yasin, karena dikatakan bahwa bacaan tersebut meringankan penderitaan orang yang sakit.’ Aku pun membacakan, dan sebelum selesai, ia telah wafat.” Dikatakan bahwa jenazahnya dibawa keluar di tengah-tengah masyarakat Basrah secara tiba-tiba, dan banyak orang yang menghadirinya. Salat jenazahnya diimami oleh Abdurrahman bin Abdul Malik bin Abjar Al-Kufi, atas wasiat dari Sufyan, karena kesalehannya. Ibnu Al-Madini mengatakan bahwa Sufyan hidup dalam persembunyiannya selama sekitar satu tahun. Ia wafat pada bulan Sya’ban tahun 161 Hijriyah. Sebagai penutup, disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus berkata, “Aku mendengar Sufyan sering kali berdoa dengan kata-kata yang tak terhitung banyaknya, ‘Ya Allah, selamatkan kami, selamatkan kami. Ya Allah, berikan kami keselamatan dan kesehatan di dunia dan akhirat.'” Baca juga: Biografi Jabir bin Abdillah *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.islamancient.com/الإمام-سفيان-الثوري/   Catatan kaki: [1] QS. Maryam: 12
Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaKelahiran dan pertumbuhannyaSifat-sifatZuhudSuka menyendiri dan menjauhi ketenaranGuru-guru dan murid-muridnyaPenyakit dan wafatnya Nama dan nasabnya Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats-Tsauriy, nasab ini dinisbahkan ke salah satu kakeknya, yaitu Tsaur bin Abdu Mannah bin Addi bin Thanijah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Ilyas bin Mudhar. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauriy memiliki kunyah Abu Abdilah. Kelahiran dan pertumbuhannya Sufyan Ats-Tsauriy rahimahullah lahir di Kufah tahun 97 H. Sufyan Ats-Tsauriy tumbuh besar di Kufah dan tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ilmu. Pada saat itu, Kufah merupakan salah satu pusat ilmu dan sunah. Sehingga, Kufah merupakan tujuan rihlah bagi para penuntut ilmu. Pada saat itu, Kufah dipenuhi dengan ulama-ulama yang terkenal termasuk ahli hadis, ahli fikih, hakim, ahli bahasa, dan lainnya. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab utama yang mendorong kecenderungan ilmiah Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. Selain itu, terdapat dua faktor lain yang turut memengaruhi perjalanan ilmunya. Pertama, perhatian kedua orang tuanya terhadap pendidikannya. Ayahnya, Sa’id bin Masruq, adalah seorang ahli hadis Kufah yang terpercaya dan termasuk dalam kalangan tabiin muda. Riwayatnya tercantum dalam kitab-kitab sahih, sunan, dan musnad. Ia meninggal pada tahun 126 H. Sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang salehah dan mulia. Ia berkata kepada putranya, “Wahai anakku, carilah ilmu, dan aku akan mencukupimu dengan hasil dari tenunanku.” Ia selalu mendukung dan menasihati putranya dalam menuntut ilmu. Waki’ berkata, “Ibu Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata kepada Sufyan, ‘Wahai anakku, jika engkau telah menulis sepuluh huruf, maka lihatlah apakah ada peningkatan dalam ketakwaan, kelembutan, dan kehormatanmu. Jika tidak, ketahuilah bahwa ilmu tersebut hanya akan membahayakanmu dan tidak bermanfaat bagimu.’” Kedua, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menganugerahinya kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Hal ini membuat namanya dikenal sejak kecil. Kabar tentang dirinya mulai tersebar saat ia masih muda. Abu Al-Matsanna menceritakan, “Aku mendengar mereka di Maru berkata, ‘Ats-Tsauri telah datang.’ Lalu, aku keluar untuk melihatnya, ternyata ia seorang pemuda yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jenggot.” Abdurrahman bin Mahdi berkata bahwa ketika Abu Ishaq As-Sabi’i melihat Sufyan Ats-Tsauri datang, ia berkata, “Dan Kami telah memberikan kepadanya hikmah sejak masih kanak-kanak” [1]. Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan tentang daya ingatnya, “Aku melewati seorang penenun, lalu aku menutup telingaku karena khawatir akan mengingat apa yang ia katakan.” Oleh sebab itu, ia berkata, “Apa pun yang aku simpan dalam hatiku, tidak pernah berkhianat kepadaku.” Baca juga: Biografi Az-Zubair bin Al-‘Awwam Sifat-sifat Zuhud Sufyan adalah seorang imam dalam hal zuhud, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah. Namun, ia memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini. Banyak orang yang menjalani zuhud, mencapai tingkat kehidupan yang sangat sederhana, penuh dengan kelaparan, keras terhadap diri sendiri, dan meninggalkan usaha untuk mencari nafkah, hingga menyebabkan beberapa dari mereka menderita penyakit, rasa sakit, dan ketergantungan pada orang lain. Namun, Sufyan sangat sadar akan akibat dari hal tersebut, terutama di masa saat kondisi semakin memburuk dan dunia semakin keras. Dia pernah berkata, “Harta dulu tidak disukai, tetapi hari ini ia menjadi perisai bagi seorang mukmin.” Pandangan Sufyan mengenai zuhud diringkas dalam satu kalimat yang bijak, dia berkata, “Zuhud bukanlah dengan makan yang kasar dan mengenakan pakaian yang kasar, namun dengan memendekkan angan-angan dan selalu mengingat kematian.” Sufyan juga berkata, “Zuhud itu ada dua jenis: zuhud wajib dan zuhud sunah. Zuhud wajib adalah meninggalkan kesombongan, keangkuhan, keinginan untuk unggul, riya, ketenaran, dan berhias untuk manusia. Adapun zuhud sunah adalah meninggalkan apa yang Allah berikan dari yang halal. Jika kamu meninggalkan sesuatu dari itu, maka menjadi kewajiban bagimu untuk tidak meninggalkannya, kecuali karena Allah.” Suka menyendiri dan menjauhi ketenaran Abdullah bin Al-Mubarak berkata, Sufyan berkata kepadaku, “Jauhilah ketenaran, karena aku tidak mendatangi siapa pun, kecuali aku melarangnya dari ketenaran.” Dia juga berkata, “Terlalu banyak teman adalah tanda dangkalnya agama.” Sufyan juga mengatakan, “Kurangi mengenal orang lain, niscaya akan sedikit pula orang yang membicarakanmu.” Dan dia berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah zuhud terhadap manusia, dan awal dari itu adalah zuhudmu terhadap dirimu sendiri.” Dia berkata, “Aku menemukan hatiku tenang di antara Makkah dan Madinah, bersama sekelompok orang asing yang memakai kain wol dan jubah kasar.” Guru-guru dan murid-muridnya Sufyan Ats-Tsauri bertemu dengan banyak sekali dari kalangan tabiin dan meriwayatkan dari mereka. Dalam biografinya, disebutkan bahwa ia memiliki sekitar tiga ratus guru, termasuk dari kalangan tabiin dan murid-murid tabiin. Di antara gurunya yang terkenal adalah Habib bin Abi Tsabit, Salamah bin Kuhail, Ziyad bin ‘Alaqah, Amr bin Murrah, Muhammad bin Al-Munkadir, dan lain-lain. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa jumlah gurunya mencapai enam ratus orang. Di antara guru-guru besarnya ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah, Jarir bin Abdullah, Ibnu Abbas, dan lainnya. Sufyan juga membaca seluruh Al-Qur’an sebanyak empat kali secara langsung kepada Hamzah Az-Zayyat. Banyak orang yang menimba ilmu darinya, termasuk beberapa tokoh besar yang meninggal sebelum dirinya, seperti Al-A’masy, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Mas’ar, Syu’bah, dan lainnya. Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa jumlah murid yang meriwayatkan darinya lebih dari dua puluh ribu orang. Namun, Imam Adz-Dzahabi membantah hal ini, dengan mengatakan bahwa jumlah tersebut berlebihan. Menurutnya, jika mencapai seribu saja, itu sudah sangat banyak. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan hafiz (penghafal hadis) yang memiliki jumlah perawi lebih banyak dari Malik, yang mencapai seribu empat ratus orang, termasuk perawi yang tidak dikenal dan para pendusta. Penyakit dan wafatnya Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Sufyan menderita sakit perut, dan pada malam itu, ia berwudu sebanyak enam puluh kali. Ketika ia menyadari akhir hidupnya telah dekat, ia turun dari tempat tidurnya, meletakkan pipinya di tanah, dan berkata, ‘Wahai Abdurrahman! Betapa beratnya kematian ini.’ Ketika ia wafat, aku yang menutup matanya, dan para penduduk datang di tengah malam, setelah mereka mengetahui hal itu.” Abdurrahman berkata, “Sufyan sering berharap untuk meninggal agar ia selamat dari gangguan para penguasa (maksudnya adalah para pemimpin saat itu). Namun, ketika ia sakit, ia justru merasa takut. Ia berkata kepadaku, ‘Bacakan surat Yasin, karena dikatakan bahwa bacaan tersebut meringankan penderitaan orang yang sakit.’ Aku pun membacakan, dan sebelum selesai, ia telah wafat.” Dikatakan bahwa jenazahnya dibawa keluar di tengah-tengah masyarakat Basrah secara tiba-tiba, dan banyak orang yang menghadirinya. Salat jenazahnya diimami oleh Abdurrahman bin Abdul Malik bin Abjar Al-Kufi, atas wasiat dari Sufyan, karena kesalehannya. Ibnu Al-Madini mengatakan bahwa Sufyan hidup dalam persembunyiannya selama sekitar satu tahun. Ia wafat pada bulan Sya’ban tahun 161 Hijriyah. Sebagai penutup, disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus berkata, “Aku mendengar Sufyan sering kali berdoa dengan kata-kata yang tak terhitung banyaknya, ‘Ya Allah, selamatkan kami, selamatkan kami. Ya Allah, berikan kami keselamatan dan kesehatan di dunia dan akhirat.'” Baca juga: Biografi Jabir bin Abdillah *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.islamancient.com/الإمام-سفيان-الثوري/   Catatan kaki: [1] QS. Maryam: 12


Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaKelahiran dan pertumbuhannyaSifat-sifatZuhudSuka menyendiri dan menjauhi ketenaranGuru-guru dan murid-muridnyaPenyakit dan wafatnya Nama dan nasabnya Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats-Tsauriy, nasab ini dinisbahkan ke salah satu kakeknya, yaitu Tsaur bin Abdu Mannah bin Addi bin Thanijah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Ilyas bin Mudhar. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauriy memiliki kunyah Abu Abdilah. Kelahiran dan pertumbuhannya Sufyan Ats-Tsauriy rahimahullah lahir di Kufah tahun 97 H. Sufyan Ats-Tsauriy tumbuh besar di Kufah dan tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ilmu. Pada saat itu, Kufah merupakan salah satu pusat ilmu dan sunah. Sehingga, Kufah merupakan tujuan rihlah bagi para penuntut ilmu. Pada saat itu, Kufah dipenuhi dengan ulama-ulama yang terkenal termasuk ahli hadis, ahli fikih, hakim, ahli bahasa, dan lainnya. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab utama yang mendorong kecenderungan ilmiah Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. Selain itu, terdapat dua faktor lain yang turut memengaruhi perjalanan ilmunya. Pertama, perhatian kedua orang tuanya terhadap pendidikannya. Ayahnya, Sa’id bin Masruq, adalah seorang ahli hadis Kufah yang terpercaya dan termasuk dalam kalangan tabiin muda. Riwayatnya tercantum dalam kitab-kitab sahih, sunan, dan musnad. Ia meninggal pada tahun 126 H. Sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang salehah dan mulia. Ia berkata kepada putranya, “Wahai anakku, carilah ilmu, dan aku akan mencukupimu dengan hasil dari tenunanku.” Ia selalu mendukung dan menasihati putranya dalam menuntut ilmu. Waki’ berkata, “Ibu Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata kepada Sufyan, ‘Wahai anakku, jika engkau telah menulis sepuluh huruf, maka lihatlah apakah ada peningkatan dalam ketakwaan, kelembutan, dan kehormatanmu. Jika tidak, ketahuilah bahwa ilmu tersebut hanya akan membahayakanmu dan tidak bermanfaat bagimu.’” Kedua, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menganugerahinya kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Hal ini membuat namanya dikenal sejak kecil. Kabar tentang dirinya mulai tersebar saat ia masih muda. Abu Al-Matsanna menceritakan, “Aku mendengar mereka di Maru berkata, ‘Ats-Tsauri telah datang.’ Lalu, aku keluar untuk melihatnya, ternyata ia seorang pemuda yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jenggot.” Abdurrahman bin Mahdi berkata bahwa ketika Abu Ishaq As-Sabi’i melihat Sufyan Ats-Tsauri datang, ia berkata, “Dan Kami telah memberikan kepadanya hikmah sejak masih kanak-kanak” [1]. Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan tentang daya ingatnya, “Aku melewati seorang penenun, lalu aku menutup telingaku karena khawatir akan mengingat apa yang ia katakan.” Oleh sebab itu, ia berkata, “Apa pun yang aku simpan dalam hatiku, tidak pernah berkhianat kepadaku.” Baca juga: Biografi Az-Zubair bin Al-‘Awwam Sifat-sifat Zuhud Sufyan adalah seorang imam dalam hal zuhud, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah. Namun, ia memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini. Banyak orang yang menjalani zuhud, mencapai tingkat kehidupan yang sangat sederhana, penuh dengan kelaparan, keras terhadap diri sendiri, dan meninggalkan usaha untuk mencari nafkah, hingga menyebabkan beberapa dari mereka menderita penyakit, rasa sakit, dan ketergantungan pada orang lain. Namun, Sufyan sangat sadar akan akibat dari hal tersebut, terutama di masa saat kondisi semakin memburuk dan dunia semakin keras. Dia pernah berkata, “Harta dulu tidak disukai, tetapi hari ini ia menjadi perisai bagi seorang mukmin.” Pandangan Sufyan mengenai zuhud diringkas dalam satu kalimat yang bijak, dia berkata, “Zuhud bukanlah dengan makan yang kasar dan mengenakan pakaian yang kasar, namun dengan memendekkan angan-angan dan selalu mengingat kematian.” Sufyan juga berkata, “Zuhud itu ada dua jenis: zuhud wajib dan zuhud sunah. Zuhud wajib adalah meninggalkan kesombongan, keangkuhan, keinginan untuk unggul, riya, ketenaran, dan berhias untuk manusia. Adapun zuhud sunah adalah meninggalkan apa yang Allah berikan dari yang halal. Jika kamu meninggalkan sesuatu dari itu, maka menjadi kewajiban bagimu untuk tidak meninggalkannya, kecuali karena Allah.” Suka menyendiri dan menjauhi ketenaran Abdullah bin Al-Mubarak berkata, Sufyan berkata kepadaku, “Jauhilah ketenaran, karena aku tidak mendatangi siapa pun, kecuali aku melarangnya dari ketenaran.” Dia juga berkata, “Terlalu banyak teman adalah tanda dangkalnya agama.” Sufyan juga mengatakan, “Kurangi mengenal orang lain, niscaya akan sedikit pula orang yang membicarakanmu.” Dan dia berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah zuhud terhadap manusia, dan awal dari itu adalah zuhudmu terhadap dirimu sendiri.” Dia berkata, “Aku menemukan hatiku tenang di antara Makkah dan Madinah, bersama sekelompok orang asing yang memakai kain wol dan jubah kasar.” Guru-guru dan murid-muridnya Sufyan Ats-Tsauri bertemu dengan banyak sekali dari kalangan tabiin dan meriwayatkan dari mereka. Dalam biografinya, disebutkan bahwa ia memiliki sekitar tiga ratus guru, termasuk dari kalangan tabiin dan murid-murid tabiin. Di antara gurunya yang terkenal adalah Habib bin Abi Tsabit, Salamah bin Kuhail, Ziyad bin ‘Alaqah, Amr bin Murrah, Muhammad bin Al-Munkadir, dan lain-lain. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa jumlah gurunya mencapai enam ratus orang. Di antara guru-guru besarnya ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah, Jarir bin Abdullah, Ibnu Abbas, dan lainnya. Sufyan juga membaca seluruh Al-Qur’an sebanyak empat kali secara langsung kepada Hamzah Az-Zayyat. Banyak orang yang menimba ilmu darinya, termasuk beberapa tokoh besar yang meninggal sebelum dirinya, seperti Al-A’masy, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Mas’ar, Syu’bah, dan lainnya. Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa jumlah murid yang meriwayatkan darinya lebih dari dua puluh ribu orang. Namun, Imam Adz-Dzahabi membantah hal ini, dengan mengatakan bahwa jumlah tersebut berlebihan. Menurutnya, jika mencapai seribu saja, itu sudah sangat banyak. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan hafiz (penghafal hadis) yang memiliki jumlah perawi lebih banyak dari Malik, yang mencapai seribu empat ratus orang, termasuk perawi yang tidak dikenal dan para pendusta. Penyakit dan wafatnya Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Sufyan menderita sakit perut, dan pada malam itu, ia berwudu sebanyak enam puluh kali. Ketika ia menyadari akhir hidupnya telah dekat, ia turun dari tempat tidurnya, meletakkan pipinya di tanah, dan berkata, ‘Wahai Abdurrahman! Betapa beratnya kematian ini.’ Ketika ia wafat, aku yang menutup matanya, dan para penduduk datang di tengah malam, setelah mereka mengetahui hal itu.” Abdurrahman berkata, “Sufyan sering berharap untuk meninggal agar ia selamat dari gangguan para penguasa (maksudnya adalah para pemimpin saat itu). Namun, ketika ia sakit, ia justru merasa takut. Ia berkata kepadaku, ‘Bacakan surat Yasin, karena dikatakan bahwa bacaan tersebut meringankan penderitaan orang yang sakit.’ Aku pun membacakan, dan sebelum selesai, ia telah wafat.” Dikatakan bahwa jenazahnya dibawa keluar di tengah-tengah masyarakat Basrah secara tiba-tiba, dan banyak orang yang menghadirinya. Salat jenazahnya diimami oleh Abdurrahman bin Abdul Malik bin Abjar Al-Kufi, atas wasiat dari Sufyan, karena kesalehannya. Ibnu Al-Madini mengatakan bahwa Sufyan hidup dalam persembunyiannya selama sekitar satu tahun. Ia wafat pada bulan Sya’ban tahun 161 Hijriyah. Sebagai penutup, disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus berkata, “Aku mendengar Sufyan sering kali berdoa dengan kata-kata yang tak terhitung banyaknya, ‘Ya Allah, selamatkan kami, selamatkan kami. Ya Allah, berikan kami keselamatan dan kesehatan di dunia dan akhirat.'” Baca juga: Biografi Jabir bin Abdillah *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.islamancient.com/الإمام-سفيان-الثوري/   Catatan kaki: [1] QS. Maryam: 12

Mengapa Harus Sabar Kalau Bisa Marah?

Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Harus Sabar Kalau Bisa Marah?

Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id

Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Rezeki Berkah

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat

Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Rezeki Berkah

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat


Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat

Adab-Adab terhadap Orang Sakit

Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Adab-Adab terhadap Orang Sakit

Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya

Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.

Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya

Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.
Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.


Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.

Teks Khotbah Jumat: Menghiasi Diri dengan Kedermawanan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Menghiasi Diri dengan Kedermawanan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital
Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital


Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital
Prev     Next