Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 3): Merasa Takut dan Khawatir terhadap Azab Neraka

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا إِنَّهَا سَآءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.’” (QS. Al-Furqan: 65-66)Hamba-hamba Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), di samping mereka senantiasa memperindah amal dan ibadahnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka masih merasa takut dan gentar terhadap azab dan murka-Nya. Inilah keadaan orang-orang mukmin yang sempurna. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)Yaitu, mereka senantiasa mengutamakan ibadah dan ketaatannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dalam hati mereka selalu ada rasa takut jikalau amal yang mereka kerjakan tidak diterima oleh Allah. Sehingga mereka pun khawatir akan mendapatkan azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karenanya.Inilah sifat yang sangat agung yang dimiliki oleh seorang ‘ibadur-rahman, mereka memperindah setiap amalannya, tetapi pada saat yang sama mereka juga merasa khawatir jika amal yang ia lakukan tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini, ( وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ ) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’ Apakah mereka itu adalah para peminum khamr dan pencuri?’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, wahai putrinya Ash-Shiddiq. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan salat dan bersedekah, namun mereka masih merasa takut amalan mereka tidak diterima.’” (HR. Tirmidzi no. 3175, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 162)Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Seorang mukmin menghimpun antara kebaikan dan rasa takut kepada Allah, sedangkan orang munafik menghimpun antara keburukan dan rasa aman (dari azab Allah). Kemudian beliau membaca firman Allah, ( إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ ) ‘Sesungguhnya orang-orang yang karena takut kepada Rabb mereka, merasa khawatir (akan azab-Nya)’.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 68)Orang munafik – wal ‘iyadzubillah – sangat buruk amalannya dan dia merasa aman dari azab Allah serta tidak ada takut sedikit pun (dalam hatinya). Berbeda dengan orang mukmin, karena ada rasa takut terhadap azab Allah yang akan menjadi penghalang baginya dari melakukan maksiat. Demikian pula rasa harap akan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi pendorong baginya untuk semakin menambah amal-amal kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Allah Ta‘ala berfirman,أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra: 57)Dan ucapan hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka sebelumnya, ( رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ )  “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab neraka jahanam dari kami.” Ini juga mencakup doa agar dijauhkan dari sebab-sebab yang membawa kepada azab neraka, dengan taufik dari Allah untuk menjauh darinya. Sebagaimana terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengajarkan kepada Aisyah, Ummul Mukminin, agar berdoa dengan mengucapkan,اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ الجَنَّةَ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ، وأعوذُ بكَ منَ النَّارِ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3846, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1542)Dan ucapan mereka, ( إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا  ) “Sesungguhnya azabnya adalah kesengsaraan yang kekal”, maksudnya, azabnya itu kekal, terus-menerus, keras, dan tidak terputus. Kemudian, ( إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا ) “Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat tinggal.” Maksudnya, seburuk-buruk tempat menetap, dan seburuk-buruk tempat untuk hidup kekal (selamanya).[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 14-16.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 3): Merasa Takut dan Khawatir terhadap Azab Neraka

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا إِنَّهَا سَآءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.’” (QS. Al-Furqan: 65-66)Hamba-hamba Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), di samping mereka senantiasa memperindah amal dan ibadahnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka masih merasa takut dan gentar terhadap azab dan murka-Nya. Inilah keadaan orang-orang mukmin yang sempurna. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)Yaitu, mereka senantiasa mengutamakan ibadah dan ketaatannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dalam hati mereka selalu ada rasa takut jikalau amal yang mereka kerjakan tidak diterima oleh Allah. Sehingga mereka pun khawatir akan mendapatkan azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karenanya.Inilah sifat yang sangat agung yang dimiliki oleh seorang ‘ibadur-rahman, mereka memperindah setiap amalannya, tetapi pada saat yang sama mereka juga merasa khawatir jika amal yang ia lakukan tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini, ( وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ ) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’ Apakah mereka itu adalah para peminum khamr dan pencuri?’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, wahai putrinya Ash-Shiddiq. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan salat dan bersedekah, namun mereka masih merasa takut amalan mereka tidak diterima.’” (HR. Tirmidzi no. 3175, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 162)Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Seorang mukmin menghimpun antara kebaikan dan rasa takut kepada Allah, sedangkan orang munafik menghimpun antara keburukan dan rasa aman (dari azab Allah). Kemudian beliau membaca firman Allah, ( إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ ) ‘Sesungguhnya orang-orang yang karena takut kepada Rabb mereka, merasa khawatir (akan azab-Nya)’.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 68)Orang munafik – wal ‘iyadzubillah – sangat buruk amalannya dan dia merasa aman dari azab Allah serta tidak ada takut sedikit pun (dalam hatinya). Berbeda dengan orang mukmin, karena ada rasa takut terhadap azab Allah yang akan menjadi penghalang baginya dari melakukan maksiat. Demikian pula rasa harap akan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi pendorong baginya untuk semakin menambah amal-amal kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Allah Ta‘ala berfirman,أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra: 57)Dan ucapan hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka sebelumnya, ( رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ )  “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab neraka jahanam dari kami.” Ini juga mencakup doa agar dijauhkan dari sebab-sebab yang membawa kepada azab neraka, dengan taufik dari Allah untuk menjauh darinya. Sebagaimana terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengajarkan kepada Aisyah, Ummul Mukminin, agar berdoa dengan mengucapkan,اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ الجَنَّةَ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ، وأعوذُ بكَ منَ النَّارِ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3846, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1542)Dan ucapan mereka, ( إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا  ) “Sesungguhnya azabnya adalah kesengsaraan yang kekal”, maksudnya, azabnya itu kekal, terus-menerus, keras, dan tidak terputus. Kemudian, ( إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا ) “Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat tinggal.” Maksudnya, seburuk-buruk tempat menetap, dan seburuk-buruk tempat untuk hidup kekal (selamanya).[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 14-16.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا إِنَّهَا سَآءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.’” (QS. Al-Furqan: 65-66)Hamba-hamba Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), di samping mereka senantiasa memperindah amal dan ibadahnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka masih merasa takut dan gentar terhadap azab dan murka-Nya. Inilah keadaan orang-orang mukmin yang sempurna. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)Yaitu, mereka senantiasa mengutamakan ibadah dan ketaatannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dalam hati mereka selalu ada rasa takut jikalau amal yang mereka kerjakan tidak diterima oleh Allah. Sehingga mereka pun khawatir akan mendapatkan azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karenanya.Inilah sifat yang sangat agung yang dimiliki oleh seorang ‘ibadur-rahman, mereka memperindah setiap amalannya, tetapi pada saat yang sama mereka juga merasa khawatir jika amal yang ia lakukan tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini, ( وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ ) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’ Apakah mereka itu adalah para peminum khamr dan pencuri?’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, wahai putrinya Ash-Shiddiq. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan salat dan bersedekah, namun mereka masih merasa takut amalan mereka tidak diterima.’” (HR. Tirmidzi no. 3175, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 162)Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Seorang mukmin menghimpun antara kebaikan dan rasa takut kepada Allah, sedangkan orang munafik menghimpun antara keburukan dan rasa aman (dari azab Allah). Kemudian beliau membaca firman Allah, ( إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ ) ‘Sesungguhnya orang-orang yang karena takut kepada Rabb mereka, merasa khawatir (akan azab-Nya)’.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 68)Orang munafik – wal ‘iyadzubillah – sangat buruk amalannya dan dia merasa aman dari azab Allah serta tidak ada takut sedikit pun (dalam hatinya). Berbeda dengan orang mukmin, karena ada rasa takut terhadap azab Allah yang akan menjadi penghalang baginya dari melakukan maksiat. Demikian pula rasa harap akan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi pendorong baginya untuk semakin menambah amal-amal kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Allah Ta‘ala berfirman,أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra: 57)Dan ucapan hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka sebelumnya, ( رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ )  “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab neraka jahanam dari kami.” Ini juga mencakup doa agar dijauhkan dari sebab-sebab yang membawa kepada azab neraka, dengan taufik dari Allah untuk menjauh darinya. Sebagaimana terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengajarkan kepada Aisyah, Ummul Mukminin, agar berdoa dengan mengucapkan,اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ الجَنَّةَ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ، وأعوذُ بكَ منَ النَّارِ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3846, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1542)Dan ucapan mereka, ( إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا  ) “Sesungguhnya azabnya adalah kesengsaraan yang kekal”, maksudnya, azabnya itu kekal, terus-menerus, keras, dan tidak terputus. Kemudian, ( إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا ) “Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat tinggal.” Maksudnya, seburuk-buruk tempat menetap, dan seburuk-buruk tempat untuk hidup kekal (selamanya).[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 14-16.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا إِنَّهَا سَآءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.’” (QS. Al-Furqan: 65-66)Hamba-hamba Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), di samping mereka senantiasa memperindah amal dan ibadahnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka masih merasa takut dan gentar terhadap azab dan murka-Nya. Inilah keadaan orang-orang mukmin yang sempurna. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)Yaitu, mereka senantiasa mengutamakan ibadah dan ketaatannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dalam hati mereka selalu ada rasa takut jikalau amal yang mereka kerjakan tidak diterima oleh Allah. Sehingga mereka pun khawatir akan mendapatkan azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karenanya.Inilah sifat yang sangat agung yang dimiliki oleh seorang ‘ibadur-rahman, mereka memperindah setiap amalannya, tetapi pada saat yang sama mereka juga merasa khawatir jika amal yang ia lakukan tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini, ( وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ ) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’ Apakah mereka itu adalah para peminum khamr dan pencuri?’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, wahai putrinya Ash-Shiddiq. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan salat dan bersedekah, namun mereka masih merasa takut amalan mereka tidak diterima.’” (HR. Tirmidzi no. 3175, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 162)Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Seorang mukmin menghimpun antara kebaikan dan rasa takut kepada Allah, sedangkan orang munafik menghimpun antara keburukan dan rasa aman (dari azab Allah). Kemudian beliau membaca firman Allah, ( إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ ) ‘Sesungguhnya orang-orang yang karena takut kepada Rabb mereka, merasa khawatir (akan azab-Nya)’.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 68)Orang munafik – wal ‘iyadzubillah – sangat buruk amalannya dan dia merasa aman dari azab Allah serta tidak ada takut sedikit pun (dalam hatinya). Berbeda dengan orang mukmin, karena ada rasa takut terhadap azab Allah yang akan menjadi penghalang baginya dari melakukan maksiat. Demikian pula rasa harap akan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi pendorong baginya untuk semakin menambah amal-amal kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Allah Ta‘ala berfirman,أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra: 57)Dan ucapan hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka sebelumnya, ( رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ )  “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab neraka jahanam dari kami.” Ini juga mencakup doa agar dijauhkan dari sebab-sebab yang membawa kepada azab neraka, dengan taufik dari Allah untuk menjauh darinya. Sebagaimana terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengajarkan kepada Aisyah, Ummul Mukminin, agar berdoa dengan mengucapkan,اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ الجَنَّةَ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ، وأعوذُ بكَ منَ النَّارِ، وما قرَّبَ إليها من قولٍ أو عملٍ“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala sesuatu yang mendekatkan kepadanya berupa ucapan maupun perbuatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3846, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1542)Dan ucapan mereka, ( إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا  ) “Sesungguhnya azabnya adalah kesengsaraan yang kekal”, maksudnya, azabnya itu kekal, terus-menerus, keras, dan tidak terputus. Kemudian, ( إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا ) “Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat tinggal.” Maksudnya, seburuk-buruk tempat menetap, dan seburuk-buruk tempat untuk hidup kekal (selamanya).[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 14-16.

Ini Boleh, tapi Berlebihan Membuat Kita Gelisah dan Gagal – Syaikh Abdullah Al Ma’yuf #NasehatUlama

Hal-hal mubah yang berlebihan. Inilah perkara-perkara sia-sia yang menghabiskan waktu. Betapa banyak waktu, wahai saudara-saudaraku, yang hilang untuk hal-hal tak berguna. Betapa banyak begadang di malam hari dan waktu yang dibuang sia-sia oleh orang-orang yang begadang. Dalam urusan yang — menurut mereka — alhamdulillah bukan haram, lalu mereka menghiasinya bagi diri mereka sendiri. Namun waktu jauh lebih berharga untuk dihabiskan pada hal-hal remeh seperti itu. Waktu itu bagaikan emas (dzahab), sebagaimana ungkapan. Jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan lenyap (dzahab). Bahkan, demi Allah, waktu lebih berharga daripada emas, wahai saudara-saudara. Karena emas bisa hilang darimu lalu kembali lagi. Sedangkan waktu yang berlalu telah sirna, sementara yang diangankan masih gaib. Sedangkan bagimu hanyalah waktu yang sedang kamu jalani ini. Detik inilah yang benar-benar berada di hadapanmu. Adapun masa lalu telah berakhir, dan masa depan masih gaib, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Membuang waktu dengan berlebihan dalam perkara mubah adalah tipu daya setan. Karena jika setan tidak mampu menggoda manusia untuk berbuat maksiat, maka ia akan menggodanya dalam hal apa, saudara-saudara? Dalam berlebih-lebihan pada perkara mubah dan membuang-buang waktu. Silakan bandingkan pandangan mata sebagian besar manusia yang tertuju ke gawai (gadget) mereka, dengan pandangan mata mereka pada Kitabullah ‘Azza wa Jalla (Al-Qur’an). Allahul Musta’an. Adakah perbandingannya? Demi Allah, wahai saudara-saudara, berjam-jam berlalu begitu saja untuk perkara mubah yang sia-sia, pada hal-hal yang dianggap baik. Dia menonton hal-hal menarik dan sesuatu yang menghibur, dan bersenang-senang dengannya. Hingga itu menguasai pikirannya dan menyandera akalnya. Bahkan, kadang sampai kecanduan. Laa haula wa laa quwwata illa billah! Sehingga akalnya tersandera oleh gawai (gadget) itu. Padahal Kitabullah berisi obat penawar dan cahaya, petunjuk, kebaikan, dan keberkahan yang tiada pernah habis. Allahul Musta’an. Ada orang yang berhari-hari tidak pernah melihat Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an dapat dibuka di gawai (gadget) juga. Sangat tidak dianjurkan sikap abai seperti ini dijadikan sebagai kebiasaan, kecuali jika ada kebutuhan mendesak. Namun, ketika tidak ada kebutuhan, maka melihat Al-Qur’an adalah yang utama. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, cahaya dadaku, penghapus dukaku, dan pelenyap resahku.” Menatap layar perangkat-perangkat ini punya banyak efek negatif, terlebih bagi anak-anak. Ada dampak buruknya, dan kamu bisa dengar sendiri bagaimana teriakan anak kecil agar dibolehkan menggunakan benda itu?! Allahul Musta’an. ===== فُضُولُ الْمُبَاحَاتِ هَذِه هِيَ الْفُضُولُ الَّتِي تُهْدَرُ بِهَا الْأَوْقَاتُ كَمْ مِنَ السَّاعَاتِ تَذْهَبُ يَا إِخْوَانِي فِي الْفُضُولِ أَوْقَاتٌ وَكَمْ مِنَ السَّهَرِ فِي اللَّيْلِ وَالسَّاعَاتِ يَقْضِيهَا السَّاهِرُونَ فِي أُمُورٍ الْحَمْدُ لِلَّهِ مَا هِيَ بِحَرَامٍ وَكَذَا يُزَيِّنُونَ لِأَنْفُسِهِمْ لَكِنَّ الْوَقْتَ أَغْلَى مِنْ أَنْ يُهْدَرَ يَا إِخْوَانِي فِي هَذِهِ التَّوَافِهِ وَالْوَقْتُ كَمَا قِيلَ مِنْ ذَهَبٍ مَا لَمْ تَسْتَفِدْ مِنْهُ ذَهَبَ بَلْ وَاللَّهِ أَغْلَى مِنَ الذَّهَبِ يَا إِخْوَاةُ إِذِ الذَّهَبُ يُمْكِنُ أَنْ يَذْهَبَ عَنْكَ وَيَأْتِيكَ وَأَمَّا الْوَقْتُ مَا مَضَى فَاتَ وَالْمُؤَمَّلُ غَيْبٌ وَلَكَ السَّاعَاتُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا اللَّحْظَةُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا هِيَ الَّتِي بَيْنَ يَدَيْكَ أَمَّا الْمَاضِي انْتَهَى وَالْمُسْتَقْبَلُ غَيْبٌ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَإِهْدَارُ الْأَوْقَاتِ يَا إِخْوَانِي بِفُضُولِ الْمُبَاحَاتِ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا عَجِزَ عَنِ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي أَتَاهُ فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ فِي التَّوَسُّعِ بِالْمُبَاحَات وَإِضَاعَةِ الْأَوْقَاتِ وَلَكَ أَنْ تُقَارِنَ بَيْنَ نَظَرِ الْكَثِيرِ مِنَ النَّاسِ فِي الْجُوَالِاتِ وَنَظَرِهِمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ فِيهِ مُقَارَنَةٌ؟ وَاللَّهِ يَا إِخْوَانُ سَاعَاتٌ سَاعَاتٌ تَذْهَبُ فِي فُضُولِ الْمُبَاحَاتِ فِي الشَّيْءِ الَّذِي يُظَنُّ فِيهِ الْخَيْرُ يَشُوْفُ أَشْيَاءَ مُمْتِعَةً وَأَشْيَاءَ مُسْلِيَةً وَيَسْلُو بِهَاحَتَّى تَأْخُذَ لُبَّهُ وَتَأْسِرَ عَقْلَهُ حَتَّى رُبَّمَا أُصِيبَ بِالْإِدْمَانِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَصَارَ عَقْلُهُ رَهِينَةَ هَذَا الْجِهَازِوَكِتَابُ اللَّهِ الَّذِي فِيهِ الشِّفَاءُ وَالنُّورُ وَفِيهِ الْهُدَى وَالْخَيْرُ وَفِيهِ الْبَرَكَاتُ الَّتِي لَا تَنْقَضِي اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ رُبَّمَا يَمُرُّ عَلَى الْإِنْسَانِ أَيَّامًا مَا نَظَرَ فِيهِ مَعَ أَنَّهُ يُقْدَرُ النَّظَرُ حَتَّى فِي الْجَوَّالِ مَا يُحَبَّذُ حَقِيقَةً أَنْ يُتَّخَذَ هَذَا عَادَةً لَكِنْ عِنْدَ الْحَاجَةِ أَمَّا عِنْدَ عَدَمِ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانِي هُوَ الْأَصْلُ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْانَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي النَّظَرُ فِي هَذِهِ الأَجْهِزَةِ يَعْنِي لَهُ مَسَاوِئُ لَا سِيَّمَا عَلَى الصِّغَارِ وَلَهُ أَضْرَارٌ وَلَكَ أَنْ تَسْمَعَ صِيَاحَ الصَّغِيْرِ كَيْفَ يَصِيْحُ هُوَ حَتَّى يُمَكَّنَ مِنْ هَذَا الْجِهَازِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

Ini Boleh, tapi Berlebihan Membuat Kita Gelisah dan Gagal – Syaikh Abdullah Al Ma’yuf #NasehatUlama

Hal-hal mubah yang berlebihan. Inilah perkara-perkara sia-sia yang menghabiskan waktu. Betapa banyak waktu, wahai saudara-saudaraku, yang hilang untuk hal-hal tak berguna. Betapa banyak begadang di malam hari dan waktu yang dibuang sia-sia oleh orang-orang yang begadang. Dalam urusan yang — menurut mereka — alhamdulillah bukan haram, lalu mereka menghiasinya bagi diri mereka sendiri. Namun waktu jauh lebih berharga untuk dihabiskan pada hal-hal remeh seperti itu. Waktu itu bagaikan emas (dzahab), sebagaimana ungkapan. Jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan lenyap (dzahab). Bahkan, demi Allah, waktu lebih berharga daripada emas, wahai saudara-saudara. Karena emas bisa hilang darimu lalu kembali lagi. Sedangkan waktu yang berlalu telah sirna, sementara yang diangankan masih gaib. Sedangkan bagimu hanyalah waktu yang sedang kamu jalani ini. Detik inilah yang benar-benar berada di hadapanmu. Adapun masa lalu telah berakhir, dan masa depan masih gaib, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Membuang waktu dengan berlebihan dalam perkara mubah adalah tipu daya setan. Karena jika setan tidak mampu menggoda manusia untuk berbuat maksiat, maka ia akan menggodanya dalam hal apa, saudara-saudara? Dalam berlebih-lebihan pada perkara mubah dan membuang-buang waktu. Silakan bandingkan pandangan mata sebagian besar manusia yang tertuju ke gawai (gadget) mereka, dengan pandangan mata mereka pada Kitabullah ‘Azza wa Jalla (Al-Qur’an). Allahul Musta’an. Adakah perbandingannya? Demi Allah, wahai saudara-saudara, berjam-jam berlalu begitu saja untuk perkara mubah yang sia-sia, pada hal-hal yang dianggap baik. Dia menonton hal-hal menarik dan sesuatu yang menghibur, dan bersenang-senang dengannya. Hingga itu menguasai pikirannya dan menyandera akalnya. Bahkan, kadang sampai kecanduan. Laa haula wa laa quwwata illa billah! Sehingga akalnya tersandera oleh gawai (gadget) itu. Padahal Kitabullah berisi obat penawar dan cahaya, petunjuk, kebaikan, dan keberkahan yang tiada pernah habis. Allahul Musta’an. Ada orang yang berhari-hari tidak pernah melihat Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an dapat dibuka di gawai (gadget) juga. Sangat tidak dianjurkan sikap abai seperti ini dijadikan sebagai kebiasaan, kecuali jika ada kebutuhan mendesak. Namun, ketika tidak ada kebutuhan, maka melihat Al-Qur’an adalah yang utama. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, cahaya dadaku, penghapus dukaku, dan pelenyap resahku.” Menatap layar perangkat-perangkat ini punya banyak efek negatif, terlebih bagi anak-anak. Ada dampak buruknya, dan kamu bisa dengar sendiri bagaimana teriakan anak kecil agar dibolehkan menggunakan benda itu?! Allahul Musta’an. ===== فُضُولُ الْمُبَاحَاتِ هَذِه هِيَ الْفُضُولُ الَّتِي تُهْدَرُ بِهَا الْأَوْقَاتُ كَمْ مِنَ السَّاعَاتِ تَذْهَبُ يَا إِخْوَانِي فِي الْفُضُولِ أَوْقَاتٌ وَكَمْ مِنَ السَّهَرِ فِي اللَّيْلِ وَالسَّاعَاتِ يَقْضِيهَا السَّاهِرُونَ فِي أُمُورٍ الْحَمْدُ لِلَّهِ مَا هِيَ بِحَرَامٍ وَكَذَا يُزَيِّنُونَ لِأَنْفُسِهِمْ لَكِنَّ الْوَقْتَ أَغْلَى مِنْ أَنْ يُهْدَرَ يَا إِخْوَانِي فِي هَذِهِ التَّوَافِهِ وَالْوَقْتُ كَمَا قِيلَ مِنْ ذَهَبٍ مَا لَمْ تَسْتَفِدْ مِنْهُ ذَهَبَ بَلْ وَاللَّهِ أَغْلَى مِنَ الذَّهَبِ يَا إِخْوَاةُ إِذِ الذَّهَبُ يُمْكِنُ أَنْ يَذْهَبَ عَنْكَ وَيَأْتِيكَ وَأَمَّا الْوَقْتُ مَا مَضَى فَاتَ وَالْمُؤَمَّلُ غَيْبٌ وَلَكَ السَّاعَاتُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا اللَّحْظَةُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا هِيَ الَّتِي بَيْنَ يَدَيْكَ أَمَّا الْمَاضِي انْتَهَى وَالْمُسْتَقْبَلُ غَيْبٌ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَإِهْدَارُ الْأَوْقَاتِ يَا إِخْوَانِي بِفُضُولِ الْمُبَاحَاتِ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا عَجِزَ عَنِ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي أَتَاهُ فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ فِي التَّوَسُّعِ بِالْمُبَاحَات وَإِضَاعَةِ الْأَوْقَاتِ وَلَكَ أَنْ تُقَارِنَ بَيْنَ نَظَرِ الْكَثِيرِ مِنَ النَّاسِ فِي الْجُوَالِاتِ وَنَظَرِهِمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ فِيهِ مُقَارَنَةٌ؟ وَاللَّهِ يَا إِخْوَانُ سَاعَاتٌ سَاعَاتٌ تَذْهَبُ فِي فُضُولِ الْمُبَاحَاتِ فِي الشَّيْءِ الَّذِي يُظَنُّ فِيهِ الْخَيْرُ يَشُوْفُ أَشْيَاءَ مُمْتِعَةً وَأَشْيَاءَ مُسْلِيَةً وَيَسْلُو بِهَاحَتَّى تَأْخُذَ لُبَّهُ وَتَأْسِرَ عَقْلَهُ حَتَّى رُبَّمَا أُصِيبَ بِالْإِدْمَانِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَصَارَ عَقْلُهُ رَهِينَةَ هَذَا الْجِهَازِوَكِتَابُ اللَّهِ الَّذِي فِيهِ الشِّفَاءُ وَالنُّورُ وَفِيهِ الْهُدَى وَالْخَيْرُ وَفِيهِ الْبَرَكَاتُ الَّتِي لَا تَنْقَضِي اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ رُبَّمَا يَمُرُّ عَلَى الْإِنْسَانِ أَيَّامًا مَا نَظَرَ فِيهِ مَعَ أَنَّهُ يُقْدَرُ النَّظَرُ حَتَّى فِي الْجَوَّالِ مَا يُحَبَّذُ حَقِيقَةً أَنْ يُتَّخَذَ هَذَا عَادَةً لَكِنْ عِنْدَ الْحَاجَةِ أَمَّا عِنْدَ عَدَمِ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانِي هُوَ الْأَصْلُ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْانَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي النَّظَرُ فِي هَذِهِ الأَجْهِزَةِ يَعْنِي لَهُ مَسَاوِئُ لَا سِيَّمَا عَلَى الصِّغَارِ وَلَهُ أَضْرَارٌ وَلَكَ أَنْ تَسْمَعَ صِيَاحَ الصَّغِيْرِ كَيْفَ يَصِيْحُ هُوَ حَتَّى يُمَكَّنَ مِنْ هَذَا الْجِهَازِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
Hal-hal mubah yang berlebihan. Inilah perkara-perkara sia-sia yang menghabiskan waktu. Betapa banyak waktu, wahai saudara-saudaraku, yang hilang untuk hal-hal tak berguna. Betapa banyak begadang di malam hari dan waktu yang dibuang sia-sia oleh orang-orang yang begadang. Dalam urusan yang — menurut mereka — alhamdulillah bukan haram, lalu mereka menghiasinya bagi diri mereka sendiri. Namun waktu jauh lebih berharga untuk dihabiskan pada hal-hal remeh seperti itu. Waktu itu bagaikan emas (dzahab), sebagaimana ungkapan. Jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan lenyap (dzahab). Bahkan, demi Allah, waktu lebih berharga daripada emas, wahai saudara-saudara. Karena emas bisa hilang darimu lalu kembali lagi. Sedangkan waktu yang berlalu telah sirna, sementara yang diangankan masih gaib. Sedangkan bagimu hanyalah waktu yang sedang kamu jalani ini. Detik inilah yang benar-benar berada di hadapanmu. Adapun masa lalu telah berakhir, dan masa depan masih gaib, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Membuang waktu dengan berlebihan dalam perkara mubah adalah tipu daya setan. Karena jika setan tidak mampu menggoda manusia untuk berbuat maksiat, maka ia akan menggodanya dalam hal apa, saudara-saudara? Dalam berlebih-lebihan pada perkara mubah dan membuang-buang waktu. Silakan bandingkan pandangan mata sebagian besar manusia yang tertuju ke gawai (gadget) mereka, dengan pandangan mata mereka pada Kitabullah ‘Azza wa Jalla (Al-Qur’an). Allahul Musta’an. Adakah perbandingannya? Demi Allah, wahai saudara-saudara, berjam-jam berlalu begitu saja untuk perkara mubah yang sia-sia, pada hal-hal yang dianggap baik. Dia menonton hal-hal menarik dan sesuatu yang menghibur, dan bersenang-senang dengannya. Hingga itu menguasai pikirannya dan menyandera akalnya. Bahkan, kadang sampai kecanduan. Laa haula wa laa quwwata illa billah! Sehingga akalnya tersandera oleh gawai (gadget) itu. Padahal Kitabullah berisi obat penawar dan cahaya, petunjuk, kebaikan, dan keberkahan yang tiada pernah habis. Allahul Musta’an. Ada orang yang berhari-hari tidak pernah melihat Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an dapat dibuka di gawai (gadget) juga. Sangat tidak dianjurkan sikap abai seperti ini dijadikan sebagai kebiasaan, kecuali jika ada kebutuhan mendesak. Namun, ketika tidak ada kebutuhan, maka melihat Al-Qur’an adalah yang utama. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, cahaya dadaku, penghapus dukaku, dan pelenyap resahku.” Menatap layar perangkat-perangkat ini punya banyak efek negatif, terlebih bagi anak-anak. Ada dampak buruknya, dan kamu bisa dengar sendiri bagaimana teriakan anak kecil agar dibolehkan menggunakan benda itu?! Allahul Musta’an. ===== فُضُولُ الْمُبَاحَاتِ هَذِه هِيَ الْفُضُولُ الَّتِي تُهْدَرُ بِهَا الْأَوْقَاتُ كَمْ مِنَ السَّاعَاتِ تَذْهَبُ يَا إِخْوَانِي فِي الْفُضُولِ أَوْقَاتٌ وَكَمْ مِنَ السَّهَرِ فِي اللَّيْلِ وَالسَّاعَاتِ يَقْضِيهَا السَّاهِرُونَ فِي أُمُورٍ الْحَمْدُ لِلَّهِ مَا هِيَ بِحَرَامٍ وَكَذَا يُزَيِّنُونَ لِأَنْفُسِهِمْ لَكِنَّ الْوَقْتَ أَغْلَى مِنْ أَنْ يُهْدَرَ يَا إِخْوَانِي فِي هَذِهِ التَّوَافِهِ وَالْوَقْتُ كَمَا قِيلَ مِنْ ذَهَبٍ مَا لَمْ تَسْتَفِدْ مِنْهُ ذَهَبَ بَلْ وَاللَّهِ أَغْلَى مِنَ الذَّهَبِ يَا إِخْوَاةُ إِذِ الذَّهَبُ يُمْكِنُ أَنْ يَذْهَبَ عَنْكَ وَيَأْتِيكَ وَأَمَّا الْوَقْتُ مَا مَضَى فَاتَ وَالْمُؤَمَّلُ غَيْبٌ وَلَكَ السَّاعَاتُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا اللَّحْظَةُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا هِيَ الَّتِي بَيْنَ يَدَيْكَ أَمَّا الْمَاضِي انْتَهَى وَالْمُسْتَقْبَلُ غَيْبٌ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَإِهْدَارُ الْأَوْقَاتِ يَا إِخْوَانِي بِفُضُولِ الْمُبَاحَاتِ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا عَجِزَ عَنِ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي أَتَاهُ فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ فِي التَّوَسُّعِ بِالْمُبَاحَات وَإِضَاعَةِ الْأَوْقَاتِ وَلَكَ أَنْ تُقَارِنَ بَيْنَ نَظَرِ الْكَثِيرِ مِنَ النَّاسِ فِي الْجُوَالِاتِ وَنَظَرِهِمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ فِيهِ مُقَارَنَةٌ؟ وَاللَّهِ يَا إِخْوَانُ سَاعَاتٌ سَاعَاتٌ تَذْهَبُ فِي فُضُولِ الْمُبَاحَاتِ فِي الشَّيْءِ الَّذِي يُظَنُّ فِيهِ الْخَيْرُ يَشُوْفُ أَشْيَاءَ مُمْتِعَةً وَأَشْيَاءَ مُسْلِيَةً وَيَسْلُو بِهَاحَتَّى تَأْخُذَ لُبَّهُ وَتَأْسِرَ عَقْلَهُ حَتَّى رُبَّمَا أُصِيبَ بِالْإِدْمَانِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَصَارَ عَقْلُهُ رَهِينَةَ هَذَا الْجِهَازِوَكِتَابُ اللَّهِ الَّذِي فِيهِ الشِّفَاءُ وَالنُّورُ وَفِيهِ الْهُدَى وَالْخَيْرُ وَفِيهِ الْبَرَكَاتُ الَّتِي لَا تَنْقَضِي اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ رُبَّمَا يَمُرُّ عَلَى الْإِنْسَانِ أَيَّامًا مَا نَظَرَ فِيهِ مَعَ أَنَّهُ يُقْدَرُ النَّظَرُ حَتَّى فِي الْجَوَّالِ مَا يُحَبَّذُ حَقِيقَةً أَنْ يُتَّخَذَ هَذَا عَادَةً لَكِنْ عِنْدَ الْحَاجَةِ أَمَّا عِنْدَ عَدَمِ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانِي هُوَ الْأَصْلُ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْانَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي النَّظَرُ فِي هَذِهِ الأَجْهِزَةِ يَعْنِي لَهُ مَسَاوِئُ لَا سِيَّمَا عَلَى الصِّغَارِ وَلَهُ أَضْرَارٌ وَلَكَ أَنْ تَسْمَعَ صِيَاحَ الصَّغِيْرِ كَيْفَ يَصِيْحُ هُوَ حَتَّى يُمَكَّنَ مِنْ هَذَا الْجِهَازِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ


Hal-hal mubah yang berlebihan. Inilah perkara-perkara sia-sia yang menghabiskan waktu. Betapa banyak waktu, wahai saudara-saudaraku, yang hilang untuk hal-hal tak berguna. Betapa banyak begadang di malam hari dan waktu yang dibuang sia-sia oleh orang-orang yang begadang. Dalam urusan yang — menurut mereka — alhamdulillah bukan haram, lalu mereka menghiasinya bagi diri mereka sendiri. Namun waktu jauh lebih berharga untuk dihabiskan pada hal-hal remeh seperti itu. Waktu itu bagaikan emas (dzahab), sebagaimana ungkapan. Jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan lenyap (dzahab). Bahkan, demi Allah, waktu lebih berharga daripada emas, wahai saudara-saudara. Karena emas bisa hilang darimu lalu kembali lagi. Sedangkan waktu yang berlalu telah sirna, sementara yang diangankan masih gaib. Sedangkan bagimu hanyalah waktu yang sedang kamu jalani ini. Detik inilah yang benar-benar berada di hadapanmu. Adapun masa lalu telah berakhir, dan masa depan masih gaib, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Membuang waktu dengan berlebihan dalam perkara mubah adalah tipu daya setan. Karena jika setan tidak mampu menggoda manusia untuk berbuat maksiat, maka ia akan menggodanya dalam hal apa, saudara-saudara? Dalam berlebih-lebihan pada perkara mubah dan membuang-buang waktu. Silakan bandingkan pandangan mata sebagian besar manusia yang tertuju ke gawai (gadget) mereka, dengan pandangan mata mereka pada Kitabullah ‘Azza wa Jalla (Al-Qur’an). Allahul Musta’an. Adakah perbandingannya? Demi Allah, wahai saudara-saudara, berjam-jam berlalu begitu saja untuk perkara mubah yang sia-sia, pada hal-hal yang dianggap baik. Dia menonton hal-hal menarik dan sesuatu yang menghibur, dan bersenang-senang dengannya. Hingga itu menguasai pikirannya dan menyandera akalnya. Bahkan, kadang sampai kecanduan. Laa haula wa laa quwwata illa billah! Sehingga akalnya tersandera oleh gawai (gadget) itu. Padahal Kitabullah berisi obat penawar dan cahaya, petunjuk, kebaikan, dan keberkahan yang tiada pernah habis. Allahul Musta’an. Ada orang yang berhari-hari tidak pernah melihat Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an dapat dibuka di gawai (gadget) juga. Sangat tidak dianjurkan sikap abai seperti ini dijadikan sebagai kebiasaan, kecuali jika ada kebutuhan mendesak. Namun, ketika tidak ada kebutuhan, maka melihat Al-Qur’an adalah yang utama. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an yang agung sebagai musim semi hatiku, cahaya dadaku, penghapus dukaku, dan pelenyap resahku.” Menatap layar perangkat-perangkat ini punya banyak efek negatif, terlebih bagi anak-anak. Ada dampak buruknya, dan kamu bisa dengar sendiri bagaimana teriakan anak kecil agar dibolehkan menggunakan benda itu?! Allahul Musta’an. ===== فُضُولُ الْمُبَاحَاتِ هَذِه هِيَ الْفُضُولُ الَّتِي تُهْدَرُ بِهَا الْأَوْقَاتُ كَمْ مِنَ السَّاعَاتِ تَذْهَبُ يَا إِخْوَانِي فِي الْفُضُولِ أَوْقَاتٌ وَكَمْ مِنَ السَّهَرِ فِي اللَّيْلِ وَالسَّاعَاتِ يَقْضِيهَا السَّاهِرُونَ فِي أُمُورٍ الْحَمْدُ لِلَّهِ مَا هِيَ بِحَرَامٍ وَكَذَا يُزَيِّنُونَ لِأَنْفُسِهِمْ لَكِنَّ الْوَقْتَ أَغْلَى مِنْ أَنْ يُهْدَرَ يَا إِخْوَانِي فِي هَذِهِ التَّوَافِهِ وَالْوَقْتُ كَمَا قِيلَ مِنْ ذَهَبٍ مَا لَمْ تَسْتَفِدْ مِنْهُ ذَهَبَ بَلْ وَاللَّهِ أَغْلَى مِنَ الذَّهَبِ يَا إِخْوَاةُ إِذِ الذَّهَبُ يُمْكِنُ أَنْ يَذْهَبَ عَنْكَ وَيَأْتِيكَ وَأَمَّا الْوَقْتُ مَا مَضَى فَاتَ وَالْمُؤَمَّلُ غَيْبٌ وَلَكَ السَّاعَاتُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا اللَّحْظَةُ الَّتِي أَنْتَ فِيهَا هِيَ الَّتِي بَيْنَ يَدَيْكَ أَمَّا الْمَاضِي انْتَهَى وَالْمُسْتَقْبَلُ غَيْبٌ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَإِهْدَارُ الْأَوْقَاتِ يَا إِخْوَانِي بِفُضُولِ الْمُبَاحَاتِ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا عَجِزَ عَنِ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي أَتَاهُ فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ فِي التَّوَسُّعِ بِالْمُبَاحَات وَإِضَاعَةِ الْأَوْقَاتِ وَلَكَ أَنْ تُقَارِنَ بَيْنَ نَظَرِ الْكَثِيرِ مِنَ النَّاسِ فِي الْجُوَالِاتِ وَنَظَرِهِمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ فِيهِ مُقَارَنَةٌ؟ وَاللَّهِ يَا إِخْوَانُ سَاعَاتٌ سَاعَاتٌ تَذْهَبُ فِي فُضُولِ الْمُبَاحَاتِ فِي الشَّيْءِ الَّذِي يُظَنُّ فِيهِ الْخَيْرُ يَشُوْفُ أَشْيَاءَ مُمْتِعَةً وَأَشْيَاءَ مُسْلِيَةً وَيَسْلُو بِهَاحَتَّى تَأْخُذَ لُبَّهُ وَتَأْسِرَ عَقْلَهُ حَتَّى رُبَّمَا أُصِيبَ بِالْإِدْمَانِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَصَارَ عَقْلُهُ رَهِينَةَ هَذَا الْجِهَازِوَكِتَابُ اللَّهِ الَّذِي فِيهِ الشِّفَاءُ وَالنُّورُ وَفِيهِ الْهُدَى وَالْخَيْرُ وَفِيهِ الْبَرَكَاتُ الَّتِي لَا تَنْقَضِي اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ رُبَّمَا يَمُرُّ عَلَى الْإِنْسَانِ أَيَّامًا مَا نَظَرَ فِيهِ مَعَ أَنَّهُ يُقْدَرُ النَّظَرُ حَتَّى فِي الْجَوَّالِ مَا يُحَبَّذُ حَقِيقَةً أَنْ يُتَّخَذَ هَذَا عَادَةً لَكِنْ عِنْدَ الْحَاجَةِ أَمَّا عِنْدَ عَدَمِ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانِي هُوَ الْأَصْلُ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْانَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي النَّظَرُ فِي هَذِهِ الأَجْهِزَةِ يَعْنِي لَهُ مَسَاوِئُ لَا سِيَّمَا عَلَى الصِّغَارِ وَلَهُ أَضْرَارٌ وَلَكَ أَنْ تَسْمَعَ صِيَاحَ الصَّغِيْرِ كَيْفَ يَصِيْحُ هُوَ حَتَّى يُمَكَّنَ مِنْ هَذَا الْجِهَازِ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

Menakutkan: Dia Mendengar Suara Langkah Sandal Mereka – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hamba diletakkan di kuburnya dan para pengantarnya telah berbalik pulang, sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka. Lalu ia didatangi dua malaikat, mendudukkannya, dan menanyainya…” Renungkanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka.” Subhanallah! Saat-saat yang mengerikan! Detik-detik yang menakutkan! Kerabat dan orang-orang tercintanya ketika meletakkannya di liang lahat. Setelah itu, mereka kembali kepada urusan dunia mereka. Ketika mereka pergi, ruh dikembalikan ke jasad. Ia mendengar suara derap alas kaki mereka saat meninggalkan kuburan. Mereka telah kembali pada urusan dunia mereka. Sementara ia menghadapi kehidupan yang baru. Menghadap ke negeri pembalasan dan perhitungan. Dua malaikat datang kepadanya dan mendudukkannya. “Sungguh ia mendengar suara derap sandal mereka,” yakni suara langkah orang-orang yang mengantarnya. Kemudian malaikat menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dikenal itu. Lalu ia memasuki kehidupan yang baru. Jika dia menggunakan umurnya di dunia dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun jika umurnya habis dalam senda gurau dan kelalaian, maka dia hanya akan merasakan kerugian dan penyesalan. ===== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى أَصْحَابُهُ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ وَيَسْأَلَانِهِ إِلَى آخِرِ الْحَدِيثِ تَأَمَّلْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَحَظَاتٌ مُرْعِبَةٌ لَحَظَاتٌ مُفْزِعَةٌ أَقَارِبُهُ وَأَحِبَّاؤُهُ عِنْدَمَا يَضَعُونَهُ فِي الْقَبْرِ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْصَرِفُونَ لِدُنْيَاهُمْ وَعِنْدَمَا يَنْصَرِفُونَ تُعَادُ الرُّوحُ إِلَى الْبَدَنِ وَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَهُمْ مُنْصَرِفُونَ مِنَ الْمَقْبَرَةِ هُمْ قَدْ ذَهَبُوا إِلَى أُمُورِ دُنْيَاهُمْ وَهُوَ قَدْ أَقْبَلَ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ أَقْبَلَ عَلَى دَارِ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ يَأْتِيهِ الْمَلَكَانِ وَيُجْلِسَانِهِ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ يَعْنِي قَرْعَ نِعَالِ مُشَيِّعِيْهِ ثُمَّ يَسْأَلُهُ الْمَلَائِكَةُ الْأَسْئِلَةَ الْمَعْرُوفَةَ وَيُقْبِلُ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ فَإِنْ قَدْ اغْتَنَمَ عُمُرَهُ فِي الدُّنْيَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّهُ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَإِنْ كَانَ قَدْ مَضَى عُمُرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَاتِ وَالنَّدَامَةِ

Menakutkan: Dia Mendengar Suara Langkah Sandal Mereka – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hamba diletakkan di kuburnya dan para pengantarnya telah berbalik pulang, sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka. Lalu ia didatangi dua malaikat, mendudukkannya, dan menanyainya…” Renungkanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka.” Subhanallah! Saat-saat yang mengerikan! Detik-detik yang menakutkan! Kerabat dan orang-orang tercintanya ketika meletakkannya di liang lahat. Setelah itu, mereka kembali kepada urusan dunia mereka. Ketika mereka pergi, ruh dikembalikan ke jasad. Ia mendengar suara derap alas kaki mereka saat meninggalkan kuburan. Mereka telah kembali pada urusan dunia mereka. Sementara ia menghadapi kehidupan yang baru. Menghadap ke negeri pembalasan dan perhitungan. Dua malaikat datang kepadanya dan mendudukkannya. “Sungguh ia mendengar suara derap sandal mereka,” yakni suara langkah orang-orang yang mengantarnya. Kemudian malaikat menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dikenal itu. Lalu ia memasuki kehidupan yang baru. Jika dia menggunakan umurnya di dunia dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun jika umurnya habis dalam senda gurau dan kelalaian, maka dia hanya akan merasakan kerugian dan penyesalan. ===== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى أَصْحَابُهُ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ وَيَسْأَلَانِهِ إِلَى آخِرِ الْحَدِيثِ تَأَمَّلْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَحَظَاتٌ مُرْعِبَةٌ لَحَظَاتٌ مُفْزِعَةٌ أَقَارِبُهُ وَأَحِبَّاؤُهُ عِنْدَمَا يَضَعُونَهُ فِي الْقَبْرِ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْصَرِفُونَ لِدُنْيَاهُمْ وَعِنْدَمَا يَنْصَرِفُونَ تُعَادُ الرُّوحُ إِلَى الْبَدَنِ وَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَهُمْ مُنْصَرِفُونَ مِنَ الْمَقْبَرَةِ هُمْ قَدْ ذَهَبُوا إِلَى أُمُورِ دُنْيَاهُمْ وَهُوَ قَدْ أَقْبَلَ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ أَقْبَلَ عَلَى دَارِ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ يَأْتِيهِ الْمَلَكَانِ وَيُجْلِسَانِهِ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ يَعْنِي قَرْعَ نِعَالِ مُشَيِّعِيْهِ ثُمَّ يَسْأَلُهُ الْمَلَائِكَةُ الْأَسْئِلَةَ الْمَعْرُوفَةَ وَيُقْبِلُ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ فَإِنْ قَدْ اغْتَنَمَ عُمُرَهُ فِي الدُّنْيَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّهُ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَإِنْ كَانَ قَدْ مَضَى عُمُرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَاتِ وَالنَّدَامَةِ
Diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hamba diletakkan di kuburnya dan para pengantarnya telah berbalik pulang, sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka. Lalu ia didatangi dua malaikat, mendudukkannya, dan menanyainya…” Renungkanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka.” Subhanallah! Saat-saat yang mengerikan! Detik-detik yang menakutkan! Kerabat dan orang-orang tercintanya ketika meletakkannya di liang lahat. Setelah itu, mereka kembali kepada urusan dunia mereka. Ketika mereka pergi, ruh dikembalikan ke jasad. Ia mendengar suara derap alas kaki mereka saat meninggalkan kuburan. Mereka telah kembali pada urusan dunia mereka. Sementara ia menghadapi kehidupan yang baru. Menghadap ke negeri pembalasan dan perhitungan. Dua malaikat datang kepadanya dan mendudukkannya. “Sungguh ia mendengar suara derap sandal mereka,” yakni suara langkah orang-orang yang mengantarnya. Kemudian malaikat menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dikenal itu. Lalu ia memasuki kehidupan yang baru. Jika dia menggunakan umurnya di dunia dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun jika umurnya habis dalam senda gurau dan kelalaian, maka dia hanya akan merasakan kerugian dan penyesalan. ===== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى أَصْحَابُهُ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ وَيَسْأَلَانِهِ إِلَى آخِرِ الْحَدِيثِ تَأَمَّلْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَحَظَاتٌ مُرْعِبَةٌ لَحَظَاتٌ مُفْزِعَةٌ أَقَارِبُهُ وَأَحِبَّاؤُهُ عِنْدَمَا يَضَعُونَهُ فِي الْقَبْرِ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْصَرِفُونَ لِدُنْيَاهُمْ وَعِنْدَمَا يَنْصَرِفُونَ تُعَادُ الرُّوحُ إِلَى الْبَدَنِ وَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَهُمْ مُنْصَرِفُونَ مِنَ الْمَقْبَرَةِ هُمْ قَدْ ذَهَبُوا إِلَى أُمُورِ دُنْيَاهُمْ وَهُوَ قَدْ أَقْبَلَ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ أَقْبَلَ عَلَى دَارِ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ يَأْتِيهِ الْمَلَكَانِ وَيُجْلِسَانِهِ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ يَعْنِي قَرْعَ نِعَالِ مُشَيِّعِيْهِ ثُمَّ يَسْأَلُهُ الْمَلَائِكَةُ الْأَسْئِلَةَ الْمَعْرُوفَةَ وَيُقْبِلُ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ فَإِنْ قَدْ اغْتَنَمَ عُمُرَهُ فِي الدُّنْيَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّهُ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَإِنْ كَانَ قَدْ مَضَى عُمُرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَاتِ وَالنَّدَامَةِ


Diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hamba diletakkan di kuburnya dan para pengantarnya telah berbalik pulang, sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka. Lalu ia didatangi dua malaikat, mendudukkannya, dan menanyainya…” Renungkanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ia mendengar suara derap langkah sandal mereka.” Subhanallah! Saat-saat yang mengerikan! Detik-detik yang menakutkan! Kerabat dan orang-orang tercintanya ketika meletakkannya di liang lahat. Setelah itu, mereka kembali kepada urusan dunia mereka. Ketika mereka pergi, ruh dikembalikan ke jasad. Ia mendengar suara derap alas kaki mereka saat meninggalkan kuburan. Mereka telah kembali pada urusan dunia mereka. Sementara ia menghadapi kehidupan yang baru. Menghadap ke negeri pembalasan dan perhitungan. Dua malaikat datang kepadanya dan mendudukkannya. “Sungguh ia mendengar suara derap sandal mereka,” yakni suara langkah orang-orang yang mengantarnya. Kemudian malaikat menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dikenal itu. Lalu ia memasuki kehidupan yang baru. Jika dia menggunakan umurnya di dunia dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun jika umurnya habis dalam senda gurau dan kelalaian, maka dia hanya akan merasakan kerugian dan penyesalan. ===== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى أَصْحَابُهُ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ وَيَسْأَلَانِهِ إِلَى آخِرِ الْحَدِيثِ تَأَمَّلْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ سُبْحَانَ اللَّهِ لَحَظَاتٌ مُرْعِبَةٌ لَحَظَاتٌ مُفْزِعَةٌ أَقَارِبُهُ وَأَحِبَّاؤُهُ عِنْدَمَا يَضَعُونَهُ فِي الْقَبْرِ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْصَرِفُونَ لِدُنْيَاهُمْ وَعِنْدَمَا يَنْصَرِفُونَ تُعَادُ الرُّوحُ إِلَى الْبَدَنِ وَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَهُمْ مُنْصَرِفُونَ مِنَ الْمَقْبَرَةِ هُمْ قَدْ ذَهَبُوا إِلَى أُمُورِ دُنْيَاهُمْ وَهُوَ قَدْ أَقْبَلَ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ أَقْبَلَ عَلَى دَارِ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ يَأْتِيهِ الْمَلَكَانِ وَيُجْلِسَانِهِ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ يَعْنِي قَرْعَ نِعَالِ مُشَيِّعِيْهِ ثُمَّ يَسْأَلُهُ الْمَلَائِكَةُ الْأَسْئِلَةَ الْمَعْرُوفَةَ وَيُقْبِلُ عَلَى حَيَاةٍ جَدِيدَةٍ فَإِنْ قَدْ اغْتَنَمَ عُمُرَهُ فِي الدُّنْيَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّهُ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَإِنْ كَانَ قَدْ مَضَى عُمُرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَاتِ وَالنَّدَامَةِ

Penjelasan Hadis Arba’in An-Nawawiyah (Bag. 2): Hadis 1, Setiap Amal Tergantung Niat (Lanjutan)

Daftar Isi ToggleFaidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarFaidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahHijrah, wajib atau sunah?Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Hadis ini adalah salah satu hadis yang menjadi poros utama Islam. Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi‘i berkata,يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم“Hadis tentang amal tergantung pada niat mencakup sepertiga ilmu.”Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,يدخل هذا الحديث في سبعين بابا من الفقه“Hadis ini masuk dalam tujuh puluh bab fikih.”Al-Baihaqi dan ulama lainnya menjelaskan bahwa sebabnya adalah karena usaha seorang hamba dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut. [1]Hadis ini merupakan hadis yang mulia dan penting. Bahkan banyak ulama yang memulai kitab mereka dengan hadis ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan di artikel sebelumnya. Hadis ini memiliki banyak sekali faidah yang dapat diambil. Namun, pada artikel kali ini ada dua faidah besar yang akan dibahas oleh penulis.Faidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat dalam bahasa artinya adalah (القصد) maksud. Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna niat secara syar’i. Beliau rahimahullah berkata,العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها“Tekad untuk melakukan ibadah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, tempatnya adalah di hati. Ia merupakan amalan hati dan tidak ada kaitannya dengan anggota tubuh.” [2]Yang dimaksud dari niat ini adalah membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, serta membedakan antara satu jenis ibadah dengan ibadah yang lainnya.Niat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat sangatlah penting untuk membedakan antara kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dengan sebuah ibadah. Niat dapat menjadikan kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan bisa bernilai ibadah. Sebagai contoh, ada seorang laki-laki makan makanan hanya karena nafsu semata atau untuk mengenyangkan perutnya. Sedangkan di waktu yang bersamaan, ada seorang laki-laki lain makan makanan dengan tujuan menaati sebuah perintah Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,وَكُلُوا وَاشْرَبُوا“Makan dan minumlah…” (QS. Al-A‘raf: 31)Maka, makannya laki-laki yang kedua menjadi sebuah ibadah, sedangkan makannya lelaki yang pertama hanyalah kebiasaan saja.Contoh lain, ada seorang lelaki mandi dengan air hanya untuk menyegarkan badan, sedangkan yang kedua mandi dengan air untuk bersuci dari junub. Maka yang pertama adalah kebiasaan. Dan yang kedua menjadi sebuah ibadah.Niat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat juga sangat penting untuk membedakan antara sebuah ibadah dengan ibadah yang lain. Sebagai contoh, seorang laki-laki salat dua rakaat dengan niat sebagai salat sunah, dan laki-laki lain salat dua rakaat dengan niat sebagai salat fardhu. Maka kedua amalan itu dibedakan oleh niat: yang pertama salat sunah dan yang kedua merupakan salat wajib.Jadi, yang dimaksud dengan niat adalah membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah lainnya, seperti ibadah sunah dengan ibadah fardhu, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.Syekh Ustaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,واعلم أن النية محلها القلب، ولايُنْطَقُ بها إطلاقاً، لأنك تتعبّد لمن يعلم خائنة الأعين وما تخفي الصدور، والله تعالى عليم بما في قلوب عباده، ولست تريد أن تقوم بين يدي من لايعلم حتى تقول أتكلم بما أنوي ليعلم به، إنما تريد أن تقف بين يدي من يعلم ماتوسوس به نفسك ويعلم متقلّبك وماضيك، وحاضرك. ولهذا لم يَرِدْ عن رسول الله ولاعن أصحابه رضوان الله عليهم أنهم كانوا يتلفّظون بالنيّة ولهذا فالنّطق بها بدعة يُنهى عنه سرّاً أو جهراً، خلافاً لمن قال من أهل العلم: إنه ينطق بها جهراً، وبعضهم قال: ينطق بها سرّاً، وعللوا ذلك من أجل أن يطابق القلب اللسان“Ketahuilah bahwa tempat niat adalah di hati, dan tidak diucapkan sama sekali. Hal ini karena engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. Allah Ta‘ala Maha Mengetahui apa yang ada di hati hamba-Nya.Engkau tidak sedang berdiri di hadapan seseorang yang tidak tahu isi hatimu sehingga engkau perlu mengucapkan apa yang engkau niatkan agar dia mengetahuinya. Tetapi engkau berdiri di hadapan Dzat yang mengetahui bisikan hatimu, mengetahui keadaanmu di masa lalu, masa kini, dan seterusnya.Oleh karena itu, tidak pernah datang riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka melafalkan niat. Maka mengucapkan niat adalah bid‘ah yang terlarang, baik dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang membolehkan melafalkannya secara keras, dan sebagian lain membolehkan melafalkannya secara pelan, dengan alasan agar hati dan lisan selaras.” [3]Bukankah pelafalan (لبّيك اللهم عمرة، ولبيك حجّاً، ولبّيك اللهم عمرة وحجّاً) bagi orang berihram adalah pengucapan niat?Syekh Utsaimin menjelaskan hal ini dan berkata, “Bukan, itu adalah bentuk menampakkan syiar ibadah manasik (nusuk). Karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa talbiyah dalam manasik itu kedudukannya seperti takbiratul ihram dalam salat. Jika engkau tidak bertalbiyah, maka ihrammu tidak sah, sebagaimana jika engkau tidak bertakbiratul ihram, salatmu juga tidak sah.Oleh sebab itu, tidak termasuk sunah untuk mengatakan seperti yang diucapkan oleh sebagian orang, “Allahumma inni urîdu nusuka al-‘umrah” (Ya Allah, aku berniat melakukan umrah) atau “Urîdu al-haj fa-yassirhu lî” (Aku berniat haji, maka mudahkanlah bagiku). Karena ucapan itu adalah zikir yang membutuhkan dalil, sedangkan tidak ada dalilnya.Maka jika aku ingin mengingkari orang yang melakukannya, aku mengingkarinya dengan tenang sambil berkata, “Wahai saudaraku, ini tidak pernah diucapkan oleh Nabi ﷺ maupun para sahabatnya, maka tinggalkanlah.”Dan jika dia menjawab, “Tapi si Fulan mengatakannya di dalam kitabnya”; maka katakanlah, “Perkataan yang benar adalah apa yang Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya ﷺ katakan.”” [4]Niat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarSetelah mengetahui urgensi niat, sebagai seorang hamba yang bertauhid, ia akan berusaha untuk menjadikan semua niat ibadahnya ditujukan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sedikitpun baginya untuk meraih dunia ataupun sekedar pujian manusia di dalam niatnya dalam beribadah. Dia sadar dan mengetahui bahwa tujuan ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah,وَمَا خَلَقْتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Faidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahAllah berfirman,وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya ia akan mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah.” (QS. An-Nisa: 100)Hijrah, wajib atau sunah?Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan,إذا كان الإنسان يستطيع أن يظهر دينه وأن يعلنه ولايجد من يمنعه في ذلك، فالهجرة هنا مستحبة. وإن كان لايستطيع فالهجرة واجبة وهذا هو الضابط للمستحبّ والواجب. وهذا يكون في البلاد الكافرة، أما في البلاد الفاسقة -وهي التي تعلن الفسق وتظهره- فإنا نقول: إن خاف الإنسان على نفسه من أن ينزلق فيما انزلق فيه أهل البلد فهنا الهجرة واجبة، وإن لا، فتكون غير واجبة“Jika seseorang mampu menampakkan agamanya dan mengumumkannya serta tidak menemukan orang yang menghalanginya dalam hal itu, maka hijrah dalam kondisi ini hukumnya sunah. Namun jika ia tidak mampu, maka hijrah menjadi wajib. Inilah patokan antara yang sunah dan yang wajib. Hal ini berlaku di negeri-negeri kafir.Adapun di negeri-negeri fasik, yaitu negeri yang menampakkan dan menyiarkan kefasikan, maka kami katakan, jika seseorang khawatir dirinya akan tergelincir pada perbuatan yang dilakukan oleh penduduk negeri tersebut, maka hijrah di sini wajib. Jika tidak, maka hijrah tidak wajib.” [5]Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Adapun hijrah kepada pribadi beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak lagi berlaku, sehingga tidak boleh hijrah ke Madinah hanya karena pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah berada di dalam tanah. Adapun hijrah kepada sunah dan syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalah sesuatu yang dianjurkan, seperti pergi ke suatu negeri untuk menolong syariat Rasul dan membelanya.Maka hijrah kepada Allah berlaku di setiap waktu dan keadaan, sedangkan hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi dan syariat beliau, dan setelah wafatnya hanya kepada syariatnya saja. Seperti firman Allah Ta’ala,فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرسول“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisa: 59), yakni kepada Allah selamanya, dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi beliau, sedangkan setelah wafatnya adalah kepada sunah beliau. [6]Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzetta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Syarh Al-Arba’una An-Nawawiyah, karya Ibnu Daqiq Al-‘Id, hal. 26-27.[2] Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Utsaimin, hal. 20.[3] Ibid, hal. 22.[4] Ibid, hal. 23.[5] Ibid, hal. 32.[6] Ibid, hal. 25.

Penjelasan Hadis Arba’in An-Nawawiyah (Bag. 2): Hadis 1, Setiap Amal Tergantung Niat (Lanjutan)

Daftar Isi ToggleFaidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarFaidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahHijrah, wajib atau sunah?Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Hadis ini adalah salah satu hadis yang menjadi poros utama Islam. Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi‘i berkata,يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم“Hadis tentang amal tergantung pada niat mencakup sepertiga ilmu.”Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,يدخل هذا الحديث في سبعين بابا من الفقه“Hadis ini masuk dalam tujuh puluh bab fikih.”Al-Baihaqi dan ulama lainnya menjelaskan bahwa sebabnya adalah karena usaha seorang hamba dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut. [1]Hadis ini merupakan hadis yang mulia dan penting. Bahkan banyak ulama yang memulai kitab mereka dengan hadis ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan di artikel sebelumnya. Hadis ini memiliki banyak sekali faidah yang dapat diambil. Namun, pada artikel kali ini ada dua faidah besar yang akan dibahas oleh penulis.Faidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat dalam bahasa artinya adalah (القصد) maksud. Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna niat secara syar’i. Beliau rahimahullah berkata,العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها“Tekad untuk melakukan ibadah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, tempatnya adalah di hati. Ia merupakan amalan hati dan tidak ada kaitannya dengan anggota tubuh.” [2]Yang dimaksud dari niat ini adalah membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, serta membedakan antara satu jenis ibadah dengan ibadah yang lainnya.Niat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat sangatlah penting untuk membedakan antara kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dengan sebuah ibadah. Niat dapat menjadikan kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan bisa bernilai ibadah. Sebagai contoh, ada seorang laki-laki makan makanan hanya karena nafsu semata atau untuk mengenyangkan perutnya. Sedangkan di waktu yang bersamaan, ada seorang laki-laki lain makan makanan dengan tujuan menaati sebuah perintah Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,وَكُلُوا وَاشْرَبُوا“Makan dan minumlah…” (QS. Al-A‘raf: 31)Maka, makannya laki-laki yang kedua menjadi sebuah ibadah, sedangkan makannya lelaki yang pertama hanyalah kebiasaan saja.Contoh lain, ada seorang lelaki mandi dengan air hanya untuk menyegarkan badan, sedangkan yang kedua mandi dengan air untuk bersuci dari junub. Maka yang pertama adalah kebiasaan. Dan yang kedua menjadi sebuah ibadah.Niat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat juga sangat penting untuk membedakan antara sebuah ibadah dengan ibadah yang lain. Sebagai contoh, seorang laki-laki salat dua rakaat dengan niat sebagai salat sunah, dan laki-laki lain salat dua rakaat dengan niat sebagai salat fardhu. Maka kedua amalan itu dibedakan oleh niat: yang pertama salat sunah dan yang kedua merupakan salat wajib.Jadi, yang dimaksud dengan niat adalah membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah lainnya, seperti ibadah sunah dengan ibadah fardhu, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.Syekh Ustaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,واعلم أن النية محلها القلب، ولايُنْطَقُ بها إطلاقاً، لأنك تتعبّد لمن يعلم خائنة الأعين وما تخفي الصدور، والله تعالى عليم بما في قلوب عباده، ولست تريد أن تقوم بين يدي من لايعلم حتى تقول أتكلم بما أنوي ليعلم به، إنما تريد أن تقف بين يدي من يعلم ماتوسوس به نفسك ويعلم متقلّبك وماضيك، وحاضرك. ولهذا لم يَرِدْ عن رسول الله ولاعن أصحابه رضوان الله عليهم أنهم كانوا يتلفّظون بالنيّة ولهذا فالنّطق بها بدعة يُنهى عنه سرّاً أو جهراً، خلافاً لمن قال من أهل العلم: إنه ينطق بها جهراً، وبعضهم قال: ينطق بها سرّاً، وعللوا ذلك من أجل أن يطابق القلب اللسان“Ketahuilah bahwa tempat niat adalah di hati, dan tidak diucapkan sama sekali. Hal ini karena engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. Allah Ta‘ala Maha Mengetahui apa yang ada di hati hamba-Nya.Engkau tidak sedang berdiri di hadapan seseorang yang tidak tahu isi hatimu sehingga engkau perlu mengucapkan apa yang engkau niatkan agar dia mengetahuinya. Tetapi engkau berdiri di hadapan Dzat yang mengetahui bisikan hatimu, mengetahui keadaanmu di masa lalu, masa kini, dan seterusnya.Oleh karena itu, tidak pernah datang riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka melafalkan niat. Maka mengucapkan niat adalah bid‘ah yang terlarang, baik dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang membolehkan melafalkannya secara keras, dan sebagian lain membolehkan melafalkannya secara pelan, dengan alasan agar hati dan lisan selaras.” [3]Bukankah pelafalan (لبّيك اللهم عمرة، ولبيك حجّاً، ولبّيك اللهم عمرة وحجّاً) bagi orang berihram adalah pengucapan niat?Syekh Utsaimin menjelaskan hal ini dan berkata, “Bukan, itu adalah bentuk menampakkan syiar ibadah manasik (nusuk). Karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa talbiyah dalam manasik itu kedudukannya seperti takbiratul ihram dalam salat. Jika engkau tidak bertalbiyah, maka ihrammu tidak sah, sebagaimana jika engkau tidak bertakbiratul ihram, salatmu juga tidak sah.Oleh sebab itu, tidak termasuk sunah untuk mengatakan seperti yang diucapkan oleh sebagian orang, “Allahumma inni urîdu nusuka al-‘umrah” (Ya Allah, aku berniat melakukan umrah) atau “Urîdu al-haj fa-yassirhu lî” (Aku berniat haji, maka mudahkanlah bagiku). Karena ucapan itu adalah zikir yang membutuhkan dalil, sedangkan tidak ada dalilnya.Maka jika aku ingin mengingkari orang yang melakukannya, aku mengingkarinya dengan tenang sambil berkata, “Wahai saudaraku, ini tidak pernah diucapkan oleh Nabi ﷺ maupun para sahabatnya, maka tinggalkanlah.”Dan jika dia menjawab, “Tapi si Fulan mengatakannya di dalam kitabnya”; maka katakanlah, “Perkataan yang benar adalah apa yang Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya ﷺ katakan.”” [4]Niat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarSetelah mengetahui urgensi niat, sebagai seorang hamba yang bertauhid, ia akan berusaha untuk menjadikan semua niat ibadahnya ditujukan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sedikitpun baginya untuk meraih dunia ataupun sekedar pujian manusia di dalam niatnya dalam beribadah. Dia sadar dan mengetahui bahwa tujuan ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah,وَمَا خَلَقْتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Faidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahAllah berfirman,وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya ia akan mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah.” (QS. An-Nisa: 100)Hijrah, wajib atau sunah?Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan,إذا كان الإنسان يستطيع أن يظهر دينه وأن يعلنه ولايجد من يمنعه في ذلك، فالهجرة هنا مستحبة. وإن كان لايستطيع فالهجرة واجبة وهذا هو الضابط للمستحبّ والواجب. وهذا يكون في البلاد الكافرة، أما في البلاد الفاسقة -وهي التي تعلن الفسق وتظهره- فإنا نقول: إن خاف الإنسان على نفسه من أن ينزلق فيما انزلق فيه أهل البلد فهنا الهجرة واجبة، وإن لا، فتكون غير واجبة“Jika seseorang mampu menampakkan agamanya dan mengumumkannya serta tidak menemukan orang yang menghalanginya dalam hal itu, maka hijrah dalam kondisi ini hukumnya sunah. Namun jika ia tidak mampu, maka hijrah menjadi wajib. Inilah patokan antara yang sunah dan yang wajib. Hal ini berlaku di negeri-negeri kafir.Adapun di negeri-negeri fasik, yaitu negeri yang menampakkan dan menyiarkan kefasikan, maka kami katakan, jika seseorang khawatir dirinya akan tergelincir pada perbuatan yang dilakukan oleh penduduk negeri tersebut, maka hijrah di sini wajib. Jika tidak, maka hijrah tidak wajib.” [5]Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Adapun hijrah kepada pribadi beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak lagi berlaku, sehingga tidak boleh hijrah ke Madinah hanya karena pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah berada di dalam tanah. Adapun hijrah kepada sunah dan syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalah sesuatu yang dianjurkan, seperti pergi ke suatu negeri untuk menolong syariat Rasul dan membelanya.Maka hijrah kepada Allah berlaku di setiap waktu dan keadaan, sedangkan hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi dan syariat beliau, dan setelah wafatnya hanya kepada syariatnya saja. Seperti firman Allah Ta’ala,فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرسول“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisa: 59), yakni kepada Allah selamanya, dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi beliau, sedangkan setelah wafatnya adalah kepada sunah beliau. [6]Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzetta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Syarh Al-Arba’una An-Nawawiyah, karya Ibnu Daqiq Al-‘Id, hal. 26-27.[2] Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Utsaimin, hal. 20.[3] Ibid, hal. 22.[4] Ibid, hal. 23.[5] Ibid, hal. 32.[6] Ibid, hal. 25.
Daftar Isi ToggleFaidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarFaidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahHijrah, wajib atau sunah?Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Hadis ini adalah salah satu hadis yang menjadi poros utama Islam. Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi‘i berkata,يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم“Hadis tentang amal tergantung pada niat mencakup sepertiga ilmu.”Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,يدخل هذا الحديث في سبعين بابا من الفقه“Hadis ini masuk dalam tujuh puluh bab fikih.”Al-Baihaqi dan ulama lainnya menjelaskan bahwa sebabnya adalah karena usaha seorang hamba dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut. [1]Hadis ini merupakan hadis yang mulia dan penting. Bahkan banyak ulama yang memulai kitab mereka dengan hadis ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan di artikel sebelumnya. Hadis ini memiliki banyak sekali faidah yang dapat diambil. Namun, pada artikel kali ini ada dua faidah besar yang akan dibahas oleh penulis.Faidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat dalam bahasa artinya adalah (القصد) maksud. Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna niat secara syar’i. Beliau rahimahullah berkata,العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها“Tekad untuk melakukan ibadah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, tempatnya adalah di hati. Ia merupakan amalan hati dan tidak ada kaitannya dengan anggota tubuh.” [2]Yang dimaksud dari niat ini adalah membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, serta membedakan antara satu jenis ibadah dengan ibadah yang lainnya.Niat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat sangatlah penting untuk membedakan antara kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dengan sebuah ibadah. Niat dapat menjadikan kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan bisa bernilai ibadah. Sebagai contoh, ada seorang laki-laki makan makanan hanya karena nafsu semata atau untuk mengenyangkan perutnya. Sedangkan di waktu yang bersamaan, ada seorang laki-laki lain makan makanan dengan tujuan menaati sebuah perintah Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,وَكُلُوا وَاشْرَبُوا“Makan dan minumlah…” (QS. Al-A‘raf: 31)Maka, makannya laki-laki yang kedua menjadi sebuah ibadah, sedangkan makannya lelaki yang pertama hanyalah kebiasaan saja.Contoh lain, ada seorang lelaki mandi dengan air hanya untuk menyegarkan badan, sedangkan yang kedua mandi dengan air untuk bersuci dari junub. Maka yang pertama adalah kebiasaan. Dan yang kedua menjadi sebuah ibadah.Niat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat juga sangat penting untuk membedakan antara sebuah ibadah dengan ibadah yang lain. Sebagai contoh, seorang laki-laki salat dua rakaat dengan niat sebagai salat sunah, dan laki-laki lain salat dua rakaat dengan niat sebagai salat fardhu. Maka kedua amalan itu dibedakan oleh niat: yang pertama salat sunah dan yang kedua merupakan salat wajib.Jadi, yang dimaksud dengan niat adalah membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah lainnya, seperti ibadah sunah dengan ibadah fardhu, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.Syekh Ustaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,واعلم أن النية محلها القلب، ولايُنْطَقُ بها إطلاقاً، لأنك تتعبّد لمن يعلم خائنة الأعين وما تخفي الصدور، والله تعالى عليم بما في قلوب عباده، ولست تريد أن تقوم بين يدي من لايعلم حتى تقول أتكلم بما أنوي ليعلم به، إنما تريد أن تقف بين يدي من يعلم ماتوسوس به نفسك ويعلم متقلّبك وماضيك، وحاضرك. ولهذا لم يَرِدْ عن رسول الله ولاعن أصحابه رضوان الله عليهم أنهم كانوا يتلفّظون بالنيّة ولهذا فالنّطق بها بدعة يُنهى عنه سرّاً أو جهراً، خلافاً لمن قال من أهل العلم: إنه ينطق بها جهراً، وبعضهم قال: ينطق بها سرّاً، وعللوا ذلك من أجل أن يطابق القلب اللسان“Ketahuilah bahwa tempat niat adalah di hati, dan tidak diucapkan sama sekali. Hal ini karena engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. Allah Ta‘ala Maha Mengetahui apa yang ada di hati hamba-Nya.Engkau tidak sedang berdiri di hadapan seseorang yang tidak tahu isi hatimu sehingga engkau perlu mengucapkan apa yang engkau niatkan agar dia mengetahuinya. Tetapi engkau berdiri di hadapan Dzat yang mengetahui bisikan hatimu, mengetahui keadaanmu di masa lalu, masa kini, dan seterusnya.Oleh karena itu, tidak pernah datang riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka melafalkan niat. Maka mengucapkan niat adalah bid‘ah yang terlarang, baik dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang membolehkan melafalkannya secara keras, dan sebagian lain membolehkan melafalkannya secara pelan, dengan alasan agar hati dan lisan selaras.” [3]Bukankah pelafalan (لبّيك اللهم عمرة، ولبيك حجّاً، ولبّيك اللهم عمرة وحجّاً) bagi orang berihram adalah pengucapan niat?Syekh Utsaimin menjelaskan hal ini dan berkata, “Bukan, itu adalah bentuk menampakkan syiar ibadah manasik (nusuk). Karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa talbiyah dalam manasik itu kedudukannya seperti takbiratul ihram dalam salat. Jika engkau tidak bertalbiyah, maka ihrammu tidak sah, sebagaimana jika engkau tidak bertakbiratul ihram, salatmu juga tidak sah.Oleh sebab itu, tidak termasuk sunah untuk mengatakan seperti yang diucapkan oleh sebagian orang, “Allahumma inni urîdu nusuka al-‘umrah” (Ya Allah, aku berniat melakukan umrah) atau “Urîdu al-haj fa-yassirhu lî” (Aku berniat haji, maka mudahkanlah bagiku). Karena ucapan itu adalah zikir yang membutuhkan dalil, sedangkan tidak ada dalilnya.Maka jika aku ingin mengingkari orang yang melakukannya, aku mengingkarinya dengan tenang sambil berkata, “Wahai saudaraku, ini tidak pernah diucapkan oleh Nabi ﷺ maupun para sahabatnya, maka tinggalkanlah.”Dan jika dia menjawab, “Tapi si Fulan mengatakannya di dalam kitabnya”; maka katakanlah, “Perkataan yang benar adalah apa yang Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya ﷺ katakan.”” [4]Niat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarSetelah mengetahui urgensi niat, sebagai seorang hamba yang bertauhid, ia akan berusaha untuk menjadikan semua niat ibadahnya ditujukan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sedikitpun baginya untuk meraih dunia ataupun sekedar pujian manusia di dalam niatnya dalam beribadah. Dia sadar dan mengetahui bahwa tujuan ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah,وَمَا خَلَقْتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Faidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahAllah berfirman,وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya ia akan mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah.” (QS. An-Nisa: 100)Hijrah, wajib atau sunah?Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan,إذا كان الإنسان يستطيع أن يظهر دينه وأن يعلنه ولايجد من يمنعه في ذلك، فالهجرة هنا مستحبة. وإن كان لايستطيع فالهجرة واجبة وهذا هو الضابط للمستحبّ والواجب. وهذا يكون في البلاد الكافرة، أما في البلاد الفاسقة -وهي التي تعلن الفسق وتظهره- فإنا نقول: إن خاف الإنسان على نفسه من أن ينزلق فيما انزلق فيه أهل البلد فهنا الهجرة واجبة، وإن لا، فتكون غير واجبة“Jika seseorang mampu menampakkan agamanya dan mengumumkannya serta tidak menemukan orang yang menghalanginya dalam hal itu, maka hijrah dalam kondisi ini hukumnya sunah. Namun jika ia tidak mampu, maka hijrah menjadi wajib. Inilah patokan antara yang sunah dan yang wajib. Hal ini berlaku di negeri-negeri kafir.Adapun di negeri-negeri fasik, yaitu negeri yang menampakkan dan menyiarkan kefasikan, maka kami katakan, jika seseorang khawatir dirinya akan tergelincir pada perbuatan yang dilakukan oleh penduduk negeri tersebut, maka hijrah di sini wajib. Jika tidak, maka hijrah tidak wajib.” [5]Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Adapun hijrah kepada pribadi beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak lagi berlaku, sehingga tidak boleh hijrah ke Madinah hanya karena pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah berada di dalam tanah. Adapun hijrah kepada sunah dan syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalah sesuatu yang dianjurkan, seperti pergi ke suatu negeri untuk menolong syariat Rasul dan membelanya.Maka hijrah kepada Allah berlaku di setiap waktu dan keadaan, sedangkan hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi dan syariat beliau, dan setelah wafatnya hanya kepada syariatnya saja. Seperti firman Allah Ta’ala,فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرسول“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisa: 59), yakni kepada Allah selamanya, dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi beliau, sedangkan setelah wafatnya adalah kepada sunah beliau. [6]Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzetta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Syarh Al-Arba’una An-Nawawiyah, karya Ibnu Daqiq Al-‘Id, hal. 26-27.[2] Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Utsaimin, hal. 20.[3] Ibid, hal. 22.[4] Ibid, hal. 23.[5] Ibid, hal. 32.[6] Ibid, hal. 25.


Daftar Isi ToggleFaidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarFaidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahHijrah, wajib atau sunah?Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Hadis ini adalah salah satu hadis yang menjadi poros utama Islam. Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi‘i berkata,يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم“Hadis tentang amal tergantung pada niat mencakup sepertiga ilmu.”Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,يدخل هذا الحديث في سبعين بابا من الفقه“Hadis ini masuk dalam tujuh puluh bab fikih.”Al-Baihaqi dan ulama lainnya menjelaskan bahwa sebabnya adalah karena usaha seorang hamba dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut. [1]Hadis ini merupakan hadis yang mulia dan penting. Bahkan banyak ulama yang memulai kitab mereka dengan hadis ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan di artikel sebelumnya. Hadis ini memiliki banyak sekali faidah yang dapat diambil. Namun, pada artikel kali ini ada dua faidah besar yang akan dibahas oleh penulis.Faidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadahNiat dalam bahasa artinya adalah (القصد) maksud. Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna niat secara syar’i. Beliau rahimahullah berkata,العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها“Tekad untuk melakukan ibadah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, tempatnya adalah di hati. Ia merupakan amalan hati dan tidak ada kaitannya dengan anggota tubuh.” [2]Yang dimaksud dari niat ini adalah membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, serta membedakan antara satu jenis ibadah dengan ibadah yang lainnya.Niat membedakan kebiasaan dengan ibadahNiat sangatlah penting untuk membedakan antara kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dengan sebuah ibadah. Niat dapat menjadikan kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan bisa bernilai ibadah. Sebagai contoh, ada seorang laki-laki makan makanan hanya karena nafsu semata atau untuk mengenyangkan perutnya. Sedangkan di waktu yang bersamaan, ada seorang laki-laki lain makan makanan dengan tujuan menaati sebuah perintah Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,وَكُلُوا وَاشْرَبُوا“Makan dan minumlah…” (QS. Al-A‘raf: 31)Maka, makannya laki-laki yang kedua menjadi sebuah ibadah, sedangkan makannya lelaki yang pertama hanyalah kebiasaan saja.Contoh lain, ada seorang lelaki mandi dengan air hanya untuk menyegarkan badan, sedangkan yang kedua mandi dengan air untuk bersuci dari junub. Maka yang pertama adalah kebiasaan. Dan yang kedua menjadi sebuah ibadah.Niat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lainNiat juga sangat penting untuk membedakan antara sebuah ibadah dengan ibadah yang lain. Sebagai contoh, seorang laki-laki salat dua rakaat dengan niat sebagai salat sunah, dan laki-laki lain salat dua rakaat dengan niat sebagai salat fardhu. Maka kedua amalan itu dibedakan oleh niat: yang pertama salat sunah dan yang kedua merupakan salat wajib.Jadi, yang dimaksud dengan niat adalah membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah lainnya, seperti ibadah sunah dengan ibadah fardhu, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.Syekh Ustaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,واعلم أن النية محلها القلب، ولايُنْطَقُ بها إطلاقاً، لأنك تتعبّد لمن يعلم خائنة الأعين وما تخفي الصدور، والله تعالى عليم بما في قلوب عباده، ولست تريد أن تقوم بين يدي من لايعلم حتى تقول أتكلم بما أنوي ليعلم به، إنما تريد أن تقف بين يدي من يعلم ماتوسوس به نفسك ويعلم متقلّبك وماضيك، وحاضرك. ولهذا لم يَرِدْ عن رسول الله ولاعن أصحابه رضوان الله عليهم أنهم كانوا يتلفّظون بالنيّة ولهذا فالنّطق بها بدعة يُنهى عنه سرّاً أو جهراً، خلافاً لمن قال من أهل العلم: إنه ينطق بها جهراً، وبعضهم قال: ينطق بها سرّاً، وعللوا ذلك من أجل أن يطابق القلب اللسان“Ketahuilah bahwa tempat niat adalah di hati, dan tidak diucapkan sama sekali. Hal ini karena engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. Allah Ta‘ala Maha Mengetahui apa yang ada di hati hamba-Nya.Engkau tidak sedang berdiri di hadapan seseorang yang tidak tahu isi hatimu sehingga engkau perlu mengucapkan apa yang engkau niatkan agar dia mengetahuinya. Tetapi engkau berdiri di hadapan Dzat yang mengetahui bisikan hatimu, mengetahui keadaanmu di masa lalu, masa kini, dan seterusnya.Oleh karena itu, tidak pernah datang riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka melafalkan niat. Maka mengucapkan niat adalah bid‘ah yang terlarang, baik dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang membolehkan melafalkannya secara keras, dan sebagian lain membolehkan melafalkannya secara pelan, dengan alasan agar hati dan lisan selaras.” [3]Bukankah pelafalan (لبّيك اللهم عمرة، ولبيك حجّاً، ولبّيك اللهم عمرة وحجّاً) bagi orang berihram adalah pengucapan niat?Syekh Utsaimin menjelaskan hal ini dan berkata, “Bukan, itu adalah bentuk menampakkan syiar ibadah manasik (nusuk). Karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa talbiyah dalam manasik itu kedudukannya seperti takbiratul ihram dalam salat. Jika engkau tidak bertalbiyah, maka ihrammu tidak sah, sebagaimana jika engkau tidak bertakbiratul ihram, salatmu juga tidak sah.Oleh sebab itu, tidak termasuk sunah untuk mengatakan seperti yang diucapkan oleh sebagian orang, “Allahumma inni urîdu nusuka al-‘umrah” (Ya Allah, aku berniat melakukan umrah) atau “Urîdu al-haj fa-yassirhu lî” (Aku berniat haji, maka mudahkanlah bagiku). Karena ucapan itu adalah zikir yang membutuhkan dalil, sedangkan tidak ada dalilnya.Maka jika aku ingin mengingkari orang yang melakukannya, aku mengingkarinya dengan tenang sambil berkata, “Wahai saudaraku, ini tidak pernah diucapkan oleh Nabi ﷺ maupun para sahabatnya, maka tinggalkanlah.”Dan jika dia menjawab, “Tapi si Fulan mengatakannya di dalam kitabnya”; maka katakanlah, “Perkataan yang benar adalah apa yang Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya ﷺ katakan.”” [4]Niat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benarSetelah mengetahui urgensi niat, sebagai seorang hamba yang bertauhid, ia akan berusaha untuk menjadikan semua niat ibadahnya ditujukan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sedikitpun baginya untuk meraih dunia ataupun sekedar pujian manusia di dalam niatnya dalam beribadah. Dia sadar dan mengetahui bahwa tujuan ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah,وَمَا خَلَقْتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Faidah 2: Keutamaan hijrah di jalan AllahAllah berfirman,وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya ia akan mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah.” (QS. An-Nisa: 100)Hijrah, wajib atau sunah?Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan,إذا كان الإنسان يستطيع أن يظهر دينه وأن يعلنه ولايجد من يمنعه في ذلك، فالهجرة هنا مستحبة. وإن كان لايستطيع فالهجرة واجبة وهذا هو الضابط للمستحبّ والواجب. وهذا يكون في البلاد الكافرة، أما في البلاد الفاسقة -وهي التي تعلن الفسق وتظهره- فإنا نقول: إن خاف الإنسان على نفسه من أن ينزلق فيما انزلق فيه أهل البلد فهنا الهجرة واجبة، وإن لا، فتكون غير واجبة“Jika seseorang mampu menampakkan agamanya dan mengumumkannya serta tidak menemukan orang yang menghalanginya dalam hal itu, maka hijrah dalam kondisi ini hukumnya sunah. Namun jika ia tidak mampu, maka hijrah menjadi wajib. Inilah patokan antara yang sunah dan yang wajib. Hal ini berlaku di negeri-negeri kafir.Adapun di negeri-negeri fasik, yaitu negeri yang menampakkan dan menyiarkan kefasikan, maka kami katakan, jika seseorang khawatir dirinya akan tergelincir pada perbuatan yang dilakukan oleh penduduk negeri tersebut, maka hijrah di sini wajib. Jika tidak, maka hijrah tidak wajib.” [5]Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?Adapun hijrah kepada pribadi beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak lagi berlaku, sehingga tidak boleh hijrah ke Madinah hanya karena pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah berada di dalam tanah. Adapun hijrah kepada sunah dan syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalah sesuatu yang dianjurkan, seperti pergi ke suatu negeri untuk menolong syariat Rasul dan membelanya.Maka hijrah kepada Allah berlaku di setiap waktu dan keadaan, sedangkan hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi dan syariat beliau, dan setelah wafatnya hanya kepada syariatnya saja. Seperti firman Allah Ta’ala,فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرسول“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisa: 59), yakni kepada Allah selamanya, dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi beliau, sedangkan setelah wafatnya adalah kepada sunah beliau. [6]Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzetta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Syarh Al-Arba’una An-Nawawiyah, karya Ibnu Daqiq Al-‘Id, hal. 26-27.[2] Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Utsaimin, hal. 20.[3] Ibid, hal. 22.[4] Ibid, hal. 23.[5] Ibid, hal. 32.[6] Ibid, hal. 25.

Jenis-Jenis Muhasabah Diri

أنواع محاسبة النفس Oleh:  Syaikh Abdul Aziz as-Salman الشيخ عبدالعزيز السلمان وَمُحَاسَبَةُ النَّفْسِ نَوْعَانِ: أَمَّا الأَولُ: فَيقِفْ عِنْدَ أَوَّلِ هِمَّتِهِ وَإرَادَتِهِ وَلا يُبَادِرُ بالْعملِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُجْحَانُهُ على تركِهِ، قَالَ الْحسنُ: رَحِمَ اللهُ عَبْدًا وَقفَ عندَ هَمِّهِ فَإِنْ كانَ للهِ مَضَى وَإِنْ كَانَ لَغَيْرِهِ تَأخَّرَ. Muhasabah diri terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Bermuhasabah sebelum menjalankan tekad dan keinginannya, tidak terburu-buru menjalankannya sebelum jelas baginya bahwa itu lebih baik dijalankan daripada tidak. Al-Hasan berkata, “Semoga Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam merahmati seorang hamba yang merenung terlebih dahulu sebelum menjalankan amalan yang ia inginkan, apabila keinginan itu bertujuan karena Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia menjalankannya dan jika karena selain Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia mengurungkannya.” النُّوع الثَّانِي: مُحَاسَبَةٌ بَعْدَ العَمَلِ، وهو ثلاثَةُ أَنْوَاعٍ: أحدُهَا مُحَاسَبَتُهَا عَلَى طَاعَةٍ قَصَّرَتْ فِيهَا مِنْ حَقَّ اللهِ فَلَمْ تُوقِعْهَا عَلَى الوَجْهِ الذي يَنْبَغِي وَحَقُّ اللهِ في الطَّاعاتِ بِمُرَاعات سِتَّةِ أُمُورٍ وهِيَ: الإخْلاصُ في العمل والنصيحةُ للهِ فيه وَمُتَابَعَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ وَشُهُودُهُ مَشْهَدَ الإحْسَانِ فيهِ، وَشُهُودُ مِنَّةِ اللهِ عَلَيْهِ فِيهِ، وَشُهُودُ تَقْصِيرِهِ فِيهِ بَعْدَ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَيُحَاسِبُ نَفْسَهُ هَلْ وَفّى هَذِهِ الْمَقَامَاتِ حَقَّهَا، وَهَلْ أَتَى فِي هَذِهِ الطَّاعَاتِ، الثَّانِي: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى عَمَلٍ كَانَ تَركَهُ خَيرًا لَهُ مِن فعله. الثَّالث: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى أَمْرٍ مباحٍ أَوْ مُعْتَادٍ لَما فَعَلَهُ، وَهَلْ أَرَادَ بِهِ اللهِ والدَّارَ الآخِرةَ فَيَكُونُ رَابِحًا فِيهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ الدُّنْيَا وَعَاجِلَتَهَا فَيَخْسَرُ ذَلِكَ الرِّبْحَ وَيَفُوتُهُ الظَّفَرُ بِهِ. Kedua: Bermuhasabah setelah menjalankan amalan. Dan jenis ini terbagi lagi menjadi tiga: 1. Bermuhasabah atas hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan yang ia kerjakan ala kadarnya, sehingga tidak ia kerjakan sebagaimana yang seharusnya. Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan harus ditegakkan di dalamnya 6 perkara, yaitu; (1) ikhlas dalam mengamalkannya, (2) tulus melaksanakannya karena Allah, (3) mengikuti tuntunan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mengamalkannya, (4) menjalankannya seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya (derajat ihsan), (5) bersaksi atas kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya dalam menjalankan amalan itu, (6) bersaksi atas ketidaksempurnaannya dalam menjalankan amalan itu setelah perkara-perkara tersebut. Ia harus memuhasabah dirinya apakah telah menjalankan sepenuhnya tingkatan-tingkatan tersebut dan apakah itu telah tercapai dalam ketaatan tersebut? 2. Bermuhasabah diri atas amalan yang jika ditinggalkan lebih baik baginya daripada dijalankan. 3. Bermuhasabah diri atas perkara mubah atau kebiasaan yang ia kerjakan; mengapa ia mengerjakannya dan apakah ia mengerjakannya karena mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala di kehidupan akhirat, sehingga ia mendapat keuntungan dari amalan mubah itu? Atau justru ia hanya mencari kenikmatan dunia, sehingga ia melewatkan keuntungan darinya? قَالَ: وَجِمَاعُ ذَلِكَ أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَه أولاً عَلَى الْفَرَائِضِ فَإِذَا تَذَكَّرَ فِيهَا نَقْصًا تَدَارَكَهُ إِما بِقَصَاءٍ أَوْ إِصْلاحٍ ثُمَّ يُحَاسِبُ عَلَى الْمَنَاهِي فَإنْ عَرَفَ أَنَّهُ ارْتَكَبَ مِنْهَا شَيْئًا تَدَارَكَهُ بالتَّوْبَةِ والاسْتِغْفَارِ والْحسناتِ الْمَاحِيةِ ثُمَّ يُحَاسِبُ نَفْسَه على الْغَفْلَةِ فإن كَانَ قَدْ غَفَلَ عَمَّا خُلِقَ لَهُ تَدَارَكَهُ بالذِّكْرِ والإِقْبَالِ على الله. Inti dari ini semua adalah pertama-tama seorang hamba harus bermuhasabah diri atas kewajiban-kewajibannya. Apabila ia melihat ada kekurangan di dalamnya, hendaklah ia melakukan koreksi, entah itu dengan menggantinya atau memperbaikinya. Kemudian bermuhasabah diri atas larangan-larangan, apabila ia menyadari ada larangan yang ia langgar, hendaklah ia melakukan koreksi dengan bertobat, beristighfar, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan yang dapat menggugurkan dosa. Selain itu, ia juga harus bermuhasabah diri atas kelalaian, apabila ia lalai terhadap tujuan penciptaannya, ia segera memperbaikinya dengan kembali mengingat dan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. ثُمَّ يُحَاسِبُهَا بِمَا تَكَلَّمَ به لِسَانُهُ أَوْ مَشَتْ بِهِ رِجْلاهُ أَوْ بَطَشَتْهُ يَدَاهُ أَوْ سَمِعَتْهُ أُذْنَاهُ مَاذَا أَرَدْتَ بِهَذَا، وَلِمَ فَعَلْتُ، وَعَلَى أَيْ وَجْهٍ فَعَلْتُهُ، وَيَعْلَمُ أنَّه لا بُدَّ أَنْ يُنْشَرَ لِكلَّ حَرَكةٍ وَكَلِمَةٍ مِنْه دِيوانٌ لِمَ فَعَلْتَهُ وَكَيْفَ فَعَلْتَهُ فَالأوَّلُ: سُؤالٌ عَنْ الإِخْلاصِ. والثَّانِي: سُؤالٌ عَنْ الْمُتَابَعَةِ: ﴿ فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾ [الحجر: 92، 93]، وقَالَ: ﴿ فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ ﴾ [الأعراف: 6، 7]، وقَالَ: ﴿ لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ ﴾ [الأحزاب: 8]، فَإِذَا سُئِلَ الصَّادِقونَ وحُوسِبُوا عَلَى صِدْقِهِمْ فَمَا الظَّنُ بالكَاذِبينَ؟ وقَالَ قَتَادة: كَلِمَتَانِ يُسئلُ عَنْهُمَا الأوَّلَونَ والآخِرونَ: مَاذَا كُنْتمُ تَعْبُدونَ؟ وماذا أجبْتمُ الْمُرَسلينَ، فَيُسألونَ عن الْمَعْبُودِ، وعَنِ العِبَادَةِ، وقَالَ تَعَالى: ﴿ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ ﴾ [التكاثر: 8]. شِعْرًا: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا  وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا  إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Selanjutnya hendaklah ia bermuhasabah diri atas apa yang telah diucapkan lisannya, dituju oleh langkah kakinya, digenggam oleh kedua tangannya, atau didengar oleh kedua telinganya, apa yang kamu kehendaki pada hal tersebut, mengapa saya melakukannya, dan atas alasan apa saya mengerjakannya? Ia harus mengetahui bahwa setiap gerak-gerik dan ucapan yang datang darinya akan dicatat dan dipampang di hadapannya lalu ditanya, “Untuk apa kamu melakukannya?” dan “Bagaimana kamu mengerjakannya?” Pertanyaan pertama tentang keikhlasan (untuk apa), dan pertanyaan kedua tentang mengikuti tuntunan Rasul (bagaimana).  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Hijr: 92-93). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ “Pasti akan Kami tanyai umat yang kepada mereka telah diutus para rasul. Pasti akan Kami tanyai (pula) para rasul. Kemudian, pasti akan Kami kabarkan (hal itu) kepada mereka berdasarkan ilmu (Kami). Sedikit pun Kami tidak pernah gaib (jauh dari mereka).” (QS. Al-A’raf: 6-7). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ “Agar Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8). Apabila orang-orang yang benar saja akan ditanya dan diberi perhitungan atas kebenaran mereka, lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang dusta? Qatadah berkata, “Ada dua kalimat yang akan ditanyakan kepada setiap orang dari yang pertama hingga yang terakhir, yaitu, ‘Apa yang dulu kalian sembah?’ dan ‘Apa jawaban kalian terhadap para rasul?’ Mereka ditanya tentang yang mereka ibadahi dan ibadah mereka.”  Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ “Kemudian, kamu pasti benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8). Dalam bait sair disebutkan: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا Jagalah dirimu dari kehinaan semasa hidup Dan carilah bagi dirimu kehormatan diri yang selalu kamu jaga وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا Tidak ada kebaikan yang dimiliki seseorang yang seperti kehormatan diri Jika dirinya memilih sifat itu sebagai penghias dirinya إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Apabila diri ini tidak puas dengan pembagian Sang Kuasa Atas rezeki yang datang dari-Nya, maka sebenarnya tidak tersisa lagi agamanya قَالَ مُحَمَّدُ بنُ جَريرٍ: يَقُولُ الله تَعَالى: (لِيَسْألنَّكُم اللهُ عزَّ وَجلَّ عن النَّعيمِ الذِي كُنْتمْ فِيهِ فِي الدُّنْيَا: مَاذَا عَمِلتمُ فيهِ؟ وَمِنْ أَيْنَ وَصَلتُم إِليهِ؟ وَفِيمَ أصَبْتُمُوُه؟ وَمَاذَا عملتم بِهِ؟)، وقَالَ قَتَادَةَ: إِنَّ اللهَ سَائِلٌٌ كُلَّ عَبْدٍٍ عَمَّا اسْتَوْدَعهُ مِنْ نِعمَتِهِ وَحَقِّهِ، والنَّعِيمُ الْمَسْئُولُ عَنه نَوعانِ: نَوْعٌ أُخِذَ مِنْ حِلِّهِ وصُرفَ في حَقِّهِ فُيسَأل عَنْ شُكْرِهِ، ونَوْعُ أُخَذَ بِغيرِ حِلِّه وَصُرِف فِي غَيْرَ حَقَّه فُيسأَلُ عَن مُستَخرَجه وعن مَصرَفِهِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَى وُجوبِ الْمُحَاسَبِةِ قَولهُ تَعَالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر: 18]. Muhammad bin Jarir mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada kalian tentang kenikmatan-kenikmatan yang telah kalian nikmati di dunia, apa amalan yang telah kalian lakukan dengan nikmat itu, dari mana kalian dapat meraih nikmat itu, bagaimana kalian mendapatkannya, dan kalian gunakan untuk apa nikmat itu?” Qatadah berkata, “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada setiap hamba tentang kenikmatan dan kewajiban yang telah Dia berikan. Kenikmatan yang akan ditanyakan ada dua bentuk, jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang halal dan disalurkan dengan benar, maka akan ditanya tentang syukurnya, dan jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang tidak halal dan disalurkan ke jalan yang tidak benar, maka akan ditanyakan tentang sumber dan penyaluran nikmat itu. Kewajiban bermuhasabah telah ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18).” اعْلم أَيَّها الإِنسان أن النفسَ الأمارةَ بالسُّوء عَدُوّةٌ لَكَ مَعَ إِبْلِيسَ لَعَنهُ الله، وإنما يَتَقَوَّى عَلَيْكَ الشَّيْطَانُ بِهَوَى النَّفْسِ وَشَهَواتِهَا، فَهِيَ سِلاحُه الذِي يَصِيدُ بِهِ وَهَلْ أَوْقَعَ إِبْلِيسَ فِي كَبْرِهِ وَمَعْصِيَتِهِ إلا نَفْسُهُ، قَالَ اللهُ جَلَّ وَعَلا وَتَقَدَّسَ: ﴿ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ ﴾ [يوسف: 53]. Ketahuilah, hai manusia! Hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan merupakan musuhmu selain Iblis –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknatnya. Setan itu mendapat sokongan kekuatan dari hawa nafsu dan syahwat untuk menjerumuskanmu, sehingga itu merupakan senjata yang ia pakai untuk menjerat. Dan bukankah Iblis itu terjerumus dalam kesombongan dan keangkuhannya karena hawa nafsunya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ  “sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53). فلا تَغُرَنَّكَ نَفْسُكَ بالأَمَانِي والغُرُورِ لأنَّ مِنْ طَبْعِ النَّفْسِ الأَمْنُ والغَفْلَة والرَّاحَةُ والفَتْرةُ والكَسَلُ والعَجْزُ فَدَعْواهَا بَاطِلٌ وَكُلُ شَيْءٍ مِنْهَا غُرورٌ وَإِنْ رَضِيتَ عنها واتَّبَعْتَ أَمْرَهَا هَلَكْتَ، وَإِنْ غَفَلْتَ عَنْ مُحَاسَبَتِها غِرَقْتَ، وإنْ عَجَزْتَ عن مُخَالَفَتِهَا واتَّبعتَ هَواهَا قَادَتْكَ إلى النَّارِ. Oleh sebab itu, janganlah hawa nafsumu menghembuskan angan-angan dan tipu dayanya, karena sudah menjadi tabiat hawa nafsu selalu merasa aman, lalai, bersantai-santai, malas, dan tidak produktif. Ajakannya itu sesat, dan segala hal yang berawal darinya adalah tipu daya. Apabila kamu rela dan mengikuti ajakannya, binasalah dirimu. Jika kamu lalai dalam memperhitungkannya, terjerumuslah kamu. Dan jika kamu enggan menyelisihinya dan justru menurutinya, ia pasti menggiringmu ke neraka. Sumber: https://www.alukah.net/أنواع محاسبة النفس Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 310 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 QRIS donasi Yufid

Jenis-Jenis Muhasabah Diri

أنواع محاسبة النفس Oleh:  Syaikh Abdul Aziz as-Salman الشيخ عبدالعزيز السلمان وَمُحَاسَبَةُ النَّفْسِ نَوْعَانِ: أَمَّا الأَولُ: فَيقِفْ عِنْدَ أَوَّلِ هِمَّتِهِ وَإرَادَتِهِ وَلا يُبَادِرُ بالْعملِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُجْحَانُهُ على تركِهِ، قَالَ الْحسنُ: رَحِمَ اللهُ عَبْدًا وَقفَ عندَ هَمِّهِ فَإِنْ كانَ للهِ مَضَى وَإِنْ كَانَ لَغَيْرِهِ تَأخَّرَ. Muhasabah diri terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Bermuhasabah sebelum menjalankan tekad dan keinginannya, tidak terburu-buru menjalankannya sebelum jelas baginya bahwa itu lebih baik dijalankan daripada tidak. Al-Hasan berkata, “Semoga Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam merahmati seorang hamba yang merenung terlebih dahulu sebelum menjalankan amalan yang ia inginkan, apabila keinginan itu bertujuan karena Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia menjalankannya dan jika karena selain Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia mengurungkannya.” النُّوع الثَّانِي: مُحَاسَبَةٌ بَعْدَ العَمَلِ، وهو ثلاثَةُ أَنْوَاعٍ: أحدُهَا مُحَاسَبَتُهَا عَلَى طَاعَةٍ قَصَّرَتْ فِيهَا مِنْ حَقَّ اللهِ فَلَمْ تُوقِعْهَا عَلَى الوَجْهِ الذي يَنْبَغِي وَحَقُّ اللهِ في الطَّاعاتِ بِمُرَاعات سِتَّةِ أُمُورٍ وهِيَ: الإخْلاصُ في العمل والنصيحةُ للهِ فيه وَمُتَابَعَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ وَشُهُودُهُ مَشْهَدَ الإحْسَانِ فيهِ، وَشُهُودُ مِنَّةِ اللهِ عَلَيْهِ فِيهِ، وَشُهُودُ تَقْصِيرِهِ فِيهِ بَعْدَ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَيُحَاسِبُ نَفْسَهُ هَلْ وَفّى هَذِهِ الْمَقَامَاتِ حَقَّهَا، وَهَلْ أَتَى فِي هَذِهِ الطَّاعَاتِ، الثَّانِي: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى عَمَلٍ كَانَ تَركَهُ خَيرًا لَهُ مِن فعله. الثَّالث: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى أَمْرٍ مباحٍ أَوْ مُعْتَادٍ لَما فَعَلَهُ، وَهَلْ أَرَادَ بِهِ اللهِ والدَّارَ الآخِرةَ فَيَكُونُ رَابِحًا فِيهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ الدُّنْيَا وَعَاجِلَتَهَا فَيَخْسَرُ ذَلِكَ الرِّبْحَ وَيَفُوتُهُ الظَّفَرُ بِهِ. Kedua: Bermuhasabah setelah menjalankan amalan. Dan jenis ini terbagi lagi menjadi tiga: 1. Bermuhasabah atas hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan yang ia kerjakan ala kadarnya, sehingga tidak ia kerjakan sebagaimana yang seharusnya. Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan harus ditegakkan di dalamnya 6 perkara, yaitu; (1) ikhlas dalam mengamalkannya, (2) tulus melaksanakannya karena Allah, (3) mengikuti tuntunan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mengamalkannya, (4) menjalankannya seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya (derajat ihsan), (5) bersaksi atas kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya dalam menjalankan amalan itu, (6) bersaksi atas ketidaksempurnaannya dalam menjalankan amalan itu setelah perkara-perkara tersebut. Ia harus memuhasabah dirinya apakah telah menjalankan sepenuhnya tingkatan-tingkatan tersebut dan apakah itu telah tercapai dalam ketaatan tersebut? 2. Bermuhasabah diri atas amalan yang jika ditinggalkan lebih baik baginya daripada dijalankan. 3. Bermuhasabah diri atas perkara mubah atau kebiasaan yang ia kerjakan; mengapa ia mengerjakannya dan apakah ia mengerjakannya karena mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala di kehidupan akhirat, sehingga ia mendapat keuntungan dari amalan mubah itu? Atau justru ia hanya mencari kenikmatan dunia, sehingga ia melewatkan keuntungan darinya? قَالَ: وَجِمَاعُ ذَلِكَ أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَه أولاً عَلَى الْفَرَائِضِ فَإِذَا تَذَكَّرَ فِيهَا نَقْصًا تَدَارَكَهُ إِما بِقَصَاءٍ أَوْ إِصْلاحٍ ثُمَّ يُحَاسِبُ عَلَى الْمَنَاهِي فَإنْ عَرَفَ أَنَّهُ ارْتَكَبَ مِنْهَا شَيْئًا تَدَارَكَهُ بالتَّوْبَةِ والاسْتِغْفَارِ والْحسناتِ الْمَاحِيةِ ثُمَّ يُحَاسِبُ نَفْسَه على الْغَفْلَةِ فإن كَانَ قَدْ غَفَلَ عَمَّا خُلِقَ لَهُ تَدَارَكَهُ بالذِّكْرِ والإِقْبَالِ على الله. Inti dari ini semua adalah pertama-tama seorang hamba harus bermuhasabah diri atas kewajiban-kewajibannya. Apabila ia melihat ada kekurangan di dalamnya, hendaklah ia melakukan koreksi, entah itu dengan menggantinya atau memperbaikinya. Kemudian bermuhasabah diri atas larangan-larangan, apabila ia menyadari ada larangan yang ia langgar, hendaklah ia melakukan koreksi dengan bertobat, beristighfar, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan yang dapat menggugurkan dosa. Selain itu, ia juga harus bermuhasabah diri atas kelalaian, apabila ia lalai terhadap tujuan penciptaannya, ia segera memperbaikinya dengan kembali mengingat dan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. ثُمَّ يُحَاسِبُهَا بِمَا تَكَلَّمَ به لِسَانُهُ أَوْ مَشَتْ بِهِ رِجْلاهُ أَوْ بَطَشَتْهُ يَدَاهُ أَوْ سَمِعَتْهُ أُذْنَاهُ مَاذَا أَرَدْتَ بِهَذَا، وَلِمَ فَعَلْتُ، وَعَلَى أَيْ وَجْهٍ فَعَلْتُهُ، وَيَعْلَمُ أنَّه لا بُدَّ أَنْ يُنْشَرَ لِكلَّ حَرَكةٍ وَكَلِمَةٍ مِنْه دِيوانٌ لِمَ فَعَلْتَهُ وَكَيْفَ فَعَلْتَهُ فَالأوَّلُ: سُؤالٌ عَنْ الإِخْلاصِ. والثَّانِي: سُؤالٌ عَنْ الْمُتَابَعَةِ: ﴿ فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾ [الحجر: 92، 93]، وقَالَ: ﴿ فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ ﴾ [الأعراف: 6، 7]، وقَالَ: ﴿ لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ ﴾ [الأحزاب: 8]، فَإِذَا سُئِلَ الصَّادِقونَ وحُوسِبُوا عَلَى صِدْقِهِمْ فَمَا الظَّنُ بالكَاذِبينَ؟ وقَالَ قَتَادة: كَلِمَتَانِ يُسئلُ عَنْهُمَا الأوَّلَونَ والآخِرونَ: مَاذَا كُنْتمُ تَعْبُدونَ؟ وماذا أجبْتمُ الْمُرَسلينَ، فَيُسألونَ عن الْمَعْبُودِ، وعَنِ العِبَادَةِ، وقَالَ تَعَالى: ﴿ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ ﴾ [التكاثر: 8]. شِعْرًا: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا  وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا  إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Selanjutnya hendaklah ia bermuhasabah diri atas apa yang telah diucapkan lisannya, dituju oleh langkah kakinya, digenggam oleh kedua tangannya, atau didengar oleh kedua telinganya, apa yang kamu kehendaki pada hal tersebut, mengapa saya melakukannya, dan atas alasan apa saya mengerjakannya? Ia harus mengetahui bahwa setiap gerak-gerik dan ucapan yang datang darinya akan dicatat dan dipampang di hadapannya lalu ditanya, “Untuk apa kamu melakukannya?” dan “Bagaimana kamu mengerjakannya?” Pertanyaan pertama tentang keikhlasan (untuk apa), dan pertanyaan kedua tentang mengikuti tuntunan Rasul (bagaimana).  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Hijr: 92-93). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ “Pasti akan Kami tanyai umat yang kepada mereka telah diutus para rasul. Pasti akan Kami tanyai (pula) para rasul. Kemudian, pasti akan Kami kabarkan (hal itu) kepada mereka berdasarkan ilmu (Kami). Sedikit pun Kami tidak pernah gaib (jauh dari mereka).” (QS. Al-A’raf: 6-7). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ “Agar Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8). Apabila orang-orang yang benar saja akan ditanya dan diberi perhitungan atas kebenaran mereka, lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang dusta? Qatadah berkata, “Ada dua kalimat yang akan ditanyakan kepada setiap orang dari yang pertama hingga yang terakhir, yaitu, ‘Apa yang dulu kalian sembah?’ dan ‘Apa jawaban kalian terhadap para rasul?’ Mereka ditanya tentang yang mereka ibadahi dan ibadah mereka.”  Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ “Kemudian, kamu pasti benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8). Dalam bait sair disebutkan: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا Jagalah dirimu dari kehinaan semasa hidup Dan carilah bagi dirimu kehormatan diri yang selalu kamu jaga وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا Tidak ada kebaikan yang dimiliki seseorang yang seperti kehormatan diri Jika dirinya memilih sifat itu sebagai penghias dirinya إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Apabila diri ini tidak puas dengan pembagian Sang Kuasa Atas rezeki yang datang dari-Nya, maka sebenarnya tidak tersisa lagi agamanya قَالَ مُحَمَّدُ بنُ جَريرٍ: يَقُولُ الله تَعَالى: (لِيَسْألنَّكُم اللهُ عزَّ وَجلَّ عن النَّعيمِ الذِي كُنْتمْ فِيهِ فِي الدُّنْيَا: مَاذَا عَمِلتمُ فيهِ؟ وَمِنْ أَيْنَ وَصَلتُم إِليهِ؟ وَفِيمَ أصَبْتُمُوُه؟ وَمَاذَا عملتم بِهِ؟)، وقَالَ قَتَادَةَ: إِنَّ اللهَ سَائِلٌٌ كُلَّ عَبْدٍٍ عَمَّا اسْتَوْدَعهُ مِنْ نِعمَتِهِ وَحَقِّهِ، والنَّعِيمُ الْمَسْئُولُ عَنه نَوعانِ: نَوْعٌ أُخِذَ مِنْ حِلِّهِ وصُرفَ في حَقِّهِ فُيسَأل عَنْ شُكْرِهِ، ونَوْعُ أُخَذَ بِغيرِ حِلِّه وَصُرِف فِي غَيْرَ حَقَّه فُيسأَلُ عَن مُستَخرَجه وعن مَصرَفِهِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَى وُجوبِ الْمُحَاسَبِةِ قَولهُ تَعَالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر: 18]. Muhammad bin Jarir mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada kalian tentang kenikmatan-kenikmatan yang telah kalian nikmati di dunia, apa amalan yang telah kalian lakukan dengan nikmat itu, dari mana kalian dapat meraih nikmat itu, bagaimana kalian mendapatkannya, dan kalian gunakan untuk apa nikmat itu?” Qatadah berkata, “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada setiap hamba tentang kenikmatan dan kewajiban yang telah Dia berikan. Kenikmatan yang akan ditanyakan ada dua bentuk, jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang halal dan disalurkan dengan benar, maka akan ditanya tentang syukurnya, dan jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang tidak halal dan disalurkan ke jalan yang tidak benar, maka akan ditanyakan tentang sumber dan penyaluran nikmat itu. Kewajiban bermuhasabah telah ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18).” اعْلم أَيَّها الإِنسان أن النفسَ الأمارةَ بالسُّوء عَدُوّةٌ لَكَ مَعَ إِبْلِيسَ لَعَنهُ الله، وإنما يَتَقَوَّى عَلَيْكَ الشَّيْطَانُ بِهَوَى النَّفْسِ وَشَهَواتِهَا، فَهِيَ سِلاحُه الذِي يَصِيدُ بِهِ وَهَلْ أَوْقَعَ إِبْلِيسَ فِي كَبْرِهِ وَمَعْصِيَتِهِ إلا نَفْسُهُ، قَالَ اللهُ جَلَّ وَعَلا وَتَقَدَّسَ: ﴿ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ ﴾ [يوسف: 53]. Ketahuilah, hai manusia! Hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan merupakan musuhmu selain Iblis –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknatnya. Setan itu mendapat sokongan kekuatan dari hawa nafsu dan syahwat untuk menjerumuskanmu, sehingga itu merupakan senjata yang ia pakai untuk menjerat. Dan bukankah Iblis itu terjerumus dalam kesombongan dan keangkuhannya karena hawa nafsunya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ  “sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53). فلا تَغُرَنَّكَ نَفْسُكَ بالأَمَانِي والغُرُورِ لأنَّ مِنْ طَبْعِ النَّفْسِ الأَمْنُ والغَفْلَة والرَّاحَةُ والفَتْرةُ والكَسَلُ والعَجْزُ فَدَعْواهَا بَاطِلٌ وَكُلُ شَيْءٍ مِنْهَا غُرورٌ وَإِنْ رَضِيتَ عنها واتَّبَعْتَ أَمْرَهَا هَلَكْتَ، وَإِنْ غَفَلْتَ عَنْ مُحَاسَبَتِها غِرَقْتَ، وإنْ عَجَزْتَ عن مُخَالَفَتِهَا واتَّبعتَ هَواهَا قَادَتْكَ إلى النَّارِ. Oleh sebab itu, janganlah hawa nafsumu menghembuskan angan-angan dan tipu dayanya, karena sudah menjadi tabiat hawa nafsu selalu merasa aman, lalai, bersantai-santai, malas, dan tidak produktif. Ajakannya itu sesat, dan segala hal yang berawal darinya adalah tipu daya. Apabila kamu rela dan mengikuti ajakannya, binasalah dirimu. Jika kamu lalai dalam memperhitungkannya, terjerumuslah kamu. Dan jika kamu enggan menyelisihinya dan justru menurutinya, ia pasti menggiringmu ke neraka. Sumber: https://www.alukah.net/أنواع محاسبة النفس Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 310 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 QRIS donasi Yufid
أنواع محاسبة النفس Oleh:  Syaikh Abdul Aziz as-Salman الشيخ عبدالعزيز السلمان وَمُحَاسَبَةُ النَّفْسِ نَوْعَانِ: أَمَّا الأَولُ: فَيقِفْ عِنْدَ أَوَّلِ هِمَّتِهِ وَإرَادَتِهِ وَلا يُبَادِرُ بالْعملِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُجْحَانُهُ على تركِهِ، قَالَ الْحسنُ: رَحِمَ اللهُ عَبْدًا وَقفَ عندَ هَمِّهِ فَإِنْ كانَ للهِ مَضَى وَإِنْ كَانَ لَغَيْرِهِ تَأخَّرَ. Muhasabah diri terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Bermuhasabah sebelum menjalankan tekad dan keinginannya, tidak terburu-buru menjalankannya sebelum jelas baginya bahwa itu lebih baik dijalankan daripada tidak. Al-Hasan berkata, “Semoga Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam merahmati seorang hamba yang merenung terlebih dahulu sebelum menjalankan amalan yang ia inginkan, apabila keinginan itu bertujuan karena Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia menjalankannya dan jika karena selain Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia mengurungkannya.” النُّوع الثَّانِي: مُحَاسَبَةٌ بَعْدَ العَمَلِ، وهو ثلاثَةُ أَنْوَاعٍ: أحدُهَا مُحَاسَبَتُهَا عَلَى طَاعَةٍ قَصَّرَتْ فِيهَا مِنْ حَقَّ اللهِ فَلَمْ تُوقِعْهَا عَلَى الوَجْهِ الذي يَنْبَغِي وَحَقُّ اللهِ في الطَّاعاتِ بِمُرَاعات سِتَّةِ أُمُورٍ وهِيَ: الإخْلاصُ في العمل والنصيحةُ للهِ فيه وَمُتَابَعَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ وَشُهُودُهُ مَشْهَدَ الإحْسَانِ فيهِ، وَشُهُودُ مِنَّةِ اللهِ عَلَيْهِ فِيهِ، وَشُهُودُ تَقْصِيرِهِ فِيهِ بَعْدَ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَيُحَاسِبُ نَفْسَهُ هَلْ وَفّى هَذِهِ الْمَقَامَاتِ حَقَّهَا، وَهَلْ أَتَى فِي هَذِهِ الطَّاعَاتِ، الثَّانِي: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى عَمَلٍ كَانَ تَركَهُ خَيرًا لَهُ مِن فعله. الثَّالث: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى أَمْرٍ مباحٍ أَوْ مُعْتَادٍ لَما فَعَلَهُ، وَهَلْ أَرَادَ بِهِ اللهِ والدَّارَ الآخِرةَ فَيَكُونُ رَابِحًا فِيهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ الدُّنْيَا وَعَاجِلَتَهَا فَيَخْسَرُ ذَلِكَ الرِّبْحَ وَيَفُوتُهُ الظَّفَرُ بِهِ. Kedua: Bermuhasabah setelah menjalankan amalan. Dan jenis ini terbagi lagi menjadi tiga: 1. Bermuhasabah atas hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan yang ia kerjakan ala kadarnya, sehingga tidak ia kerjakan sebagaimana yang seharusnya. Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan harus ditegakkan di dalamnya 6 perkara, yaitu; (1) ikhlas dalam mengamalkannya, (2) tulus melaksanakannya karena Allah, (3) mengikuti tuntunan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mengamalkannya, (4) menjalankannya seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya (derajat ihsan), (5) bersaksi atas kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya dalam menjalankan amalan itu, (6) bersaksi atas ketidaksempurnaannya dalam menjalankan amalan itu setelah perkara-perkara tersebut. Ia harus memuhasabah dirinya apakah telah menjalankan sepenuhnya tingkatan-tingkatan tersebut dan apakah itu telah tercapai dalam ketaatan tersebut? 2. Bermuhasabah diri atas amalan yang jika ditinggalkan lebih baik baginya daripada dijalankan. 3. Bermuhasabah diri atas perkara mubah atau kebiasaan yang ia kerjakan; mengapa ia mengerjakannya dan apakah ia mengerjakannya karena mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala di kehidupan akhirat, sehingga ia mendapat keuntungan dari amalan mubah itu? Atau justru ia hanya mencari kenikmatan dunia, sehingga ia melewatkan keuntungan darinya? قَالَ: وَجِمَاعُ ذَلِكَ أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَه أولاً عَلَى الْفَرَائِضِ فَإِذَا تَذَكَّرَ فِيهَا نَقْصًا تَدَارَكَهُ إِما بِقَصَاءٍ أَوْ إِصْلاحٍ ثُمَّ يُحَاسِبُ عَلَى الْمَنَاهِي فَإنْ عَرَفَ أَنَّهُ ارْتَكَبَ مِنْهَا شَيْئًا تَدَارَكَهُ بالتَّوْبَةِ والاسْتِغْفَارِ والْحسناتِ الْمَاحِيةِ ثُمَّ يُحَاسِبُ نَفْسَه على الْغَفْلَةِ فإن كَانَ قَدْ غَفَلَ عَمَّا خُلِقَ لَهُ تَدَارَكَهُ بالذِّكْرِ والإِقْبَالِ على الله. Inti dari ini semua adalah pertama-tama seorang hamba harus bermuhasabah diri atas kewajiban-kewajibannya. Apabila ia melihat ada kekurangan di dalamnya, hendaklah ia melakukan koreksi, entah itu dengan menggantinya atau memperbaikinya. Kemudian bermuhasabah diri atas larangan-larangan, apabila ia menyadari ada larangan yang ia langgar, hendaklah ia melakukan koreksi dengan bertobat, beristighfar, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan yang dapat menggugurkan dosa. Selain itu, ia juga harus bermuhasabah diri atas kelalaian, apabila ia lalai terhadap tujuan penciptaannya, ia segera memperbaikinya dengan kembali mengingat dan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. ثُمَّ يُحَاسِبُهَا بِمَا تَكَلَّمَ به لِسَانُهُ أَوْ مَشَتْ بِهِ رِجْلاهُ أَوْ بَطَشَتْهُ يَدَاهُ أَوْ سَمِعَتْهُ أُذْنَاهُ مَاذَا أَرَدْتَ بِهَذَا، وَلِمَ فَعَلْتُ، وَعَلَى أَيْ وَجْهٍ فَعَلْتُهُ، وَيَعْلَمُ أنَّه لا بُدَّ أَنْ يُنْشَرَ لِكلَّ حَرَكةٍ وَكَلِمَةٍ مِنْه دِيوانٌ لِمَ فَعَلْتَهُ وَكَيْفَ فَعَلْتَهُ فَالأوَّلُ: سُؤالٌ عَنْ الإِخْلاصِ. والثَّانِي: سُؤالٌ عَنْ الْمُتَابَعَةِ: ﴿ فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾ [الحجر: 92، 93]، وقَالَ: ﴿ فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ ﴾ [الأعراف: 6، 7]، وقَالَ: ﴿ لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ ﴾ [الأحزاب: 8]، فَإِذَا سُئِلَ الصَّادِقونَ وحُوسِبُوا عَلَى صِدْقِهِمْ فَمَا الظَّنُ بالكَاذِبينَ؟ وقَالَ قَتَادة: كَلِمَتَانِ يُسئلُ عَنْهُمَا الأوَّلَونَ والآخِرونَ: مَاذَا كُنْتمُ تَعْبُدونَ؟ وماذا أجبْتمُ الْمُرَسلينَ، فَيُسألونَ عن الْمَعْبُودِ، وعَنِ العِبَادَةِ، وقَالَ تَعَالى: ﴿ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ ﴾ [التكاثر: 8]. شِعْرًا: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا  وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا  إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Selanjutnya hendaklah ia bermuhasabah diri atas apa yang telah diucapkan lisannya, dituju oleh langkah kakinya, digenggam oleh kedua tangannya, atau didengar oleh kedua telinganya, apa yang kamu kehendaki pada hal tersebut, mengapa saya melakukannya, dan atas alasan apa saya mengerjakannya? Ia harus mengetahui bahwa setiap gerak-gerik dan ucapan yang datang darinya akan dicatat dan dipampang di hadapannya lalu ditanya, “Untuk apa kamu melakukannya?” dan “Bagaimana kamu mengerjakannya?” Pertanyaan pertama tentang keikhlasan (untuk apa), dan pertanyaan kedua tentang mengikuti tuntunan Rasul (bagaimana).  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Hijr: 92-93). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ “Pasti akan Kami tanyai umat yang kepada mereka telah diutus para rasul. Pasti akan Kami tanyai (pula) para rasul. Kemudian, pasti akan Kami kabarkan (hal itu) kepada mereka berdasarkan ilmu (Kami). Sedikit pun Kami tidak pernah gaib (jauh dari mereka).” (QS. Al-A’raf: 6-7). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ “Agar Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8). Apabila orang-orang yang benar saja akan ditanya dan diberi perhitungan atas kebenaran mereka, lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang dusta? Qatadah berkata, “Ada dua kalimat yang akan ditanyakan kepada setiap orang dari yang pertama hingga yang terakhir, yaitu, ‘Apa yang dulu kalian sembah?’ dan ‘Apa jawaban kalian terhadap para rasul?’ Mereka ditanya tentang yang mereka ibadahi dan ibadah mereka.”  Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ “Kemudian, kamu pasti benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8). Dalam bait sair disebutkan: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا Jagalah dirimu dari kehinaan semasa hidup Dan carilah bagi dirimu kehormatan diri yang selalu kamu jaga وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا Tidak ada kebaikan yang dimiliki seseorang yang seperti kehormatan diri Jika dirinya memilih sifat itu sebagai penghias dirinya إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Apabila diri ini tidak puas dengan pembagian Sang Kuasa Atas rezeki yang datang dari-Nya, maka sebenarnya tidak tersisa lagi agamanya قَالَ مُحَمَّدُ بنُ جَريرٍ: يَقُولُ الله تَعَالى: (لِيَسْألنَّكُم اللهُ عزَّ وَجلَّ عن النَّعيمِ الذِي كُنْتمْ فِيهِ فِي الدُّنْيَا: مَاذَا عَمِلتمُ فيهِ؟ وَمِنْ أَيْنَ وَصَلتُم إِليهِ؟ وَفِيمَ أصَبْتُمُوُه؟ وَمَاذَا عملتم بِهِ؟)، وقَالَ قَتَادَةَ: إِنَّ اللهَ سَائِلٌٌ كُلَّ عَبْدٍٍ عَمَّا اسْتَوْدَعهُ مِنْ نِعمَتِهِ وَحَقِّهِ، والنَّعِيمُ الْمَسْئُولُ عَنه نَوعانِ: نَوْعٌ أُخِذَ مِنْ حِلِّهِ وصُرفَ في حَقِّهِ فُيسَأل عَنْ شُكْرِهِ، ونَوْعُ أُخَذَ بِغيرِ حِلِّه وَصُرِف فِي غَيْرَ حَقَّه فُيسأَلُ عَن مُستَخرَجه وعن مَصرَفِهِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَى وُجوبِ الْمُحَاسَبِةِ قَولهُ تَعَالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر: 18]. Muhammad bin Jarir mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada kalian tentang kenikmatan-kenikmatan yang telah kalian nikmati di dunia, apa amalan yang telah kalian lakukan dengan nikmat itu, dari mana kalian dapat meraih nikmat itu, bagaimana kalian mendapatkannya, dan kalian gunakan untuk apa nikmat itu?” Qatadah berkata, “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada setiap hamba tentang kenikmatan dan kewajiban yang telah Dia berikan. Kenikmatan yang akan ditanyakan ada dua bentuk, jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang halal dan disalurkan dengan benar, maka akan ditanya tentang syukurnya, dan jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang tidak halal dan disalurkan ke jalan yang tidak benar, maka akan ditanyakan tentang sumber dan penyaluran nikmat itu. Kewajiban bermuhasabah telah ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18).” اعْلم أَيَّها الإِنسان أن النفسَ الأمارةَ بالسُّوء عَدُوّةٌ لَكَ مَعَ إِبْلِيسَ لَعَنهُ الله، وإنما يَتَقَوَّى عَلَيْكَ الشَّيْطَانُ بِهَوَى النَّفْسِ وَشَهَواتِهَا، فَهِيَ سِلاحُه الذِي يَصِيدُ بِهِ وَهَلْ أَوْقَعَ إِبْلِيسَ فِي كَبْرِهِ وَمَعْصِيَتِهِ إلا نَفْسُهُ، قَالَ اللهُ جَلَّ وَعَلا وَتَقَدَّسَ: ﴿ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ ﴾ [يوسف: 53]. Ketahuilah, hai manusia! Hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan merupakan musuhmu selain Iblis –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknatnya. Setan itu mendapat sokongan kekuatan dari hawa nafsu dan syahwat untuk menjerumuskanmu, sehingga itu merupakan senjata yang ia pakai untuk menjerat. Dan bukankah Iblis itu terjerumus dalam kesombongan dan keangkuhannya karena hawa nafsunya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ  “sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53). فلا تَغُرَنَّكَ نَفْسُكَ بالأَمَانِي والغُرُورِ لأنَّ مِنْ طَبْعِ النَّفْسِ الأَمْنُ والغَفْلَة والرَّاحَةُ والفَتْرةُ والكَسَلُ والعَجْزُ فَدَعْواهَا بَاطِلٌ وَكُلُ شَيْءٍ مِنْهَا غُرورٌ وَإِنْ رَضِيتَ عنها واتَّبَعْتَ أَمْرَهَا هَلَكْتَ، وَإِنْ غَفَلْتَ عَنْ مُحَاسَبَتِها غِرَقْتَ، وإنْ عَجَزْتَ عن مُخَالَفَتِهَا واتَّبعتَ هَواهَا قَادَتْكَ إلى النَّارِ. Oleh sebab itu, janganlah hawa nafsumu menghembuskan angan-angan dan tipu dayanya, karena sudah menjadi tabiat hawa nafsu selalu merasa aman, lalai, bersantai-santai, malas, dan tidak produktif. Ajakannya itu sesat, dan segala hal yang berawal darinya adalah tipu daya. Apabila kamu rela dan mengikuti ajakannya, binasalah dirimu. Jika kamu lalai dalam memperhitungkannya, terjerumuslah kamu. Dan jika kamu enggan menyelisihinya dan justru menurutinya, ia pasti menggiringmu ke neraka. Sumber: https://www.alukah.net/أنواع محاسبة النفس Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 310 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 QRIS donasi Yufid


أنواع محاسبة النفس Oleh:  Syaikh Abdul Aziz as-Salman الشيخ عبدالعزيز السلمان وَمُحَاسَبَةُ النَّفْسِ نَوْعَانِ: أَمَّا الأَولُ: فَيقِفْ عِنْدَ أَوَّلِ هِمَّتِهِ وَإرَادَتِهِ وَلا يُبَادِرُ بالْعملِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُجْحَانُهُ على تركِهِ، قَالَ الْحسنُ: رَحِمَ اللهُ عَبْدًا وَقفَ عندَ هَمِّهِ فَإِنْ كانَ للهِ مَضَى وَإِنْ كَانَ لَغَيْرِهِ تَأخَّرَ. Muhasabah diri terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Bermuhasabah sebelum menjalankan tekad dan keinginannya, tidak terburu-buru menjalankannya sebelum jelas baginya bahwa itu lebih baik dijalankan daripada tidak. Al-Hasan berkata, “Semoga Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam merahmati seorang hamba yang merenung terlebih dahulu sebelum menjalankan amalan yang ia inginkan, apabila keinginan itu bertujuan karena Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia menjalankannya dan jika karena selain Allah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia mengurungkannya.” النُّوع الثَّانِي: مُحَاسَبَةٌ بَعْدَ العَمَلِ، وهو ثلاثَةُ أَنْوَاعٍ: أحدُهَا مُحَاسَبَتُهَا عَلَى طَاعَةٍ قَصَّرَتْ فِيهَا مِنْ حَقَّ اللهِ فَلَمْ تُوقِعْهَا عَلَى الوَجْهِ الذي يَنْبَغِي وَحَقُّ اللهِ في الطَّاعاتِ بِمُرَاعات سِتَّةِ أُمُورٍ وهِيَ: الإخْلاصُ في العمل والنصيحةُ للهِ فيه وَمُتَابَعَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ وَشُهُودُهُ مَشْهَدَ الإحْسَانِ فيهِ، وَشُهُودُ مِنَّةِ اللهِ عَلَيْهِ فِيهِ، وَشُهُودُ تَقْصِيرِهِ فِيهِ بَعْدَ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَيُحَاسِبُ نَفْسَهُ هَلْ وَفّى هَذِهِ الْمَقَامَاتِ حَقَّهَا، وَهَلْ أَتَى فِي هَذِهِ الطَّاعَاتِ، الثَّانِي: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى عَمَلٍ كَانَ تَركَهُ خَيرًا لَهُ مِن فعله. الثَّالث: أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ عَلَى أَمْرٍ مباحٍ أَوْ مُعْتَادٍ لَما فَعَلَهُ، وَهَلْ أَرَادَ بِهِ اللهِ والدَّارَ الآخِرةَ فَيَكُونُ رَابِحًا فِيهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ الدُّنْيَا وَعَاجِلَتَهَا فَيَخْسَرُ ذَلِكَ الرِّبْحَ وَيَفُوتُهُ الظَّفَرُ بِهِ. Kedua: Bermuhasabah setelah menjalankan amalan. Dan jenis ini terbagi lagi menjadi tiga: 1. Bermuhasabah atas hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan yang ia kerjakan ala kadarnya, sehingga tidak ia kerjakan sebagaimana yang seharusnya. Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ketaatan harus ditegakkan di dalamnya 6 perkara, yaitu; (1) ikhlas dalam mengamalkannya, (2) tulus melaksanakannya karena Allah, (3) mengikuti tuntunan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mengamalkannya, (4) menjalankannya seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya (derajat ihsan), (5) bersaksi atas kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya dalam menjalankan amalan itu, (6) bersaksi atas ketidaksempurnaannya dalam menjalankan amalan itu setelah perkara-perkara tersebut. Ia harus memuhasabah dirinya apakah telah menjalankan sepenuhnya tingkatan-tingkatan tersebut dan apakah itu telah tercapai dalam ketaatan tersebut? 2. Bermuhasabah diri atas amalan yang jika ditinggalkan lebih baik baginya daripada dijalankan. 3. Bermuhasabah diri atas perkara mubah atau kebiasaan yang ia kerjakan; mengapa ia mengerjakannya dan apakah ia mengerjakannya karena mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala di kehidupan akhirat, sehingga ia mendapat keuntungan dari amalan mubah itu? Atau justru ia hanya mencari kenikmatan dunia, sehingga ia melewatkan keuntungan darinya? قَالَ: وَجِمَاعُ ذَلِكَ أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَه أولاً عَلَى الْفَرَائِضِ فَإِذَا تَذَكَّرَ فِيهَا نَقْصًا تَدَارَكَهُ إِما بِقَصَاءٍ أَوْ إِصْلاحٍ ثُمَّ يُحَاسِبُ عَلَى الْمَنَاهِي فَإنْ عَرَفَ أَنَّهُ ارْتَكَبَ مِنْهَا شَيْئًا تَدَارَكَهُ بالتَّوْبَةِ والاسْتِغْفَارِ والْحسناتِ الْمَاحِيةِ ثُمَّ يُحَاسِبُ نَفْسَه على الْغَفْلَةِ فإن كَانَ قَدْ غَفَلَ عَمَّا خُلِقَ لَهُ تَدَارَكَهُ بالذِّكْرِ والإِقْبَالِ على الله. Inti dari ini semua adalah pertama-tama seorang hamba harus bermuhasabah diri atas kewajiban-kewajibannya. Apabila ia melihat ada kekurangan di dalamnya, hendaklah ia melakukan koreksi, entah itu dengan menggantinya atau memperbaikinya. Kemudian bermuhasabah diri atas larangan-larangan, apabila ia menyadari ada larangan yang ia langgar, hendaklah ia melakukan koreksi dengan bertobat, beristighfar, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan yang dapat menggugurkan dosa. Selain itu, ia juga harus bermuhasabah diri atas kelalaian, apabila ia lalai terhadap tujuan penciptaannya, ia segera memperbaikinya dengan kembali mengingat dan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. ثُمَّ يُحَاسِبُهَا بِمَا تَكَلَّمَ به لِسَانُهُ أَوْ مَشَتْ بِهِ رِجْلاهُ أَوْ بَطَشَتْهُ يَدَاهُ أَوْ سَمِعَتْهُ أُذْنَاهُ مَاذَا أَرَدْتَ بِهَذَا، وَلِمَ فَعَلْتُ، وَعَلَى أَيْ وَجْهٍ فَعَلْتُهُ، وَيَعْلَمُ أنَّه لا بُدَّ أَنْ يُنْشَرَ لِكلَّ حَرَكةٍ وَكَلِمَةٍ مِنْه دِيوانٌ لِمَ فَعَلْتَهُ وَكَيْفَ فَعَلْتَهُ فَالأوَّلُ: سُؤالٌ عَنْ الإِخْلاصِ. والثَّانِي: سُؤالٌ عَنْ الْمُتَابَعَةِ: ﴿ فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾ [الحجر: 92، 93]، وقَالَ: ﴿ فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ ﴾ [الأعراف: 6، 7]، وقَالَ: ﴿ لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ ﴾ [الأحزاب: 8]، فَإِذَا سُئِلَ الصَّادِقونَ وحُوسِبُوا عَلَى صِدْقِهِمْ فَمَا الظَّنُ بالكَاذِبينَ؟ وقَالَ قَتَادة: كَلِمَتَانِ يُسئلُ عَنْهُمَا الأوَّلَونَ والآخِرونَ: مَاذَا كُنْتمُ تَعْبُدونَ؟ وماذا أجبْتمُ الْمُرَسلينَ، فَيُسألونَ عن الْمَعْبُودِ، وعَنِ العِبَادَةِ، وقَالَ تَعَالى: ﴿ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ ﴾ [التكاثر: 8]. شِعْرًا: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا  وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا  إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Selanjutnya hendaklah ia bermuhasabah diri atas apa yang telah diucapkan lisannya, dituju oleh langkah kakinya, digenggam oleh kedua tangannya, atau didengar oleh kedua telinganya, apa yang kamu kehendaki pada hal tersebut, mengapa saya melakukannya, dan atas alasan apa saya mengerjakannya? Ia harus mengetahui bahwa setiap gerak-gerik dan ucapan yang datang darinya akan dicatat dan dipampang di hadapannya lalu ditanya, “Untuk apa kamu melakukannya?” dan “Bagaimana kamu mengerjakannya?” Pertanyaan pertama tentang keikhlasan (untuk apa), dan pertanyaan kedua tentang mengikuti tuntunan Rasul (bagaimana).  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Hijr: 92-93). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ * فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ “Pasti akan Kami tanyai umat yang kepada mereka telah diutus para rasul. Pasti akan Kami tanyai (pula) para rasul. Kemudian, pasti akan Kami kabarkan (hal itu) kepada mereka berdasarkan ilmu (Kami). Sedikit pun Kami tidak pernah gaib (jauh dari mereka).” (QS. Al-A’raf: 6-7). Allah Subhanahu wa Ta’ala Juga berfirman: لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ “Agar Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8). Apabila orang-orang yang benar saja akan ditanya dan diberi perhitungan atas kebenaran mereka, lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang dusta? Qatadah berkata, “Ada dua kalimat yang akan ditanyakan kepada setiap orang dari yang pertama hingga yang terakhir, yaitu, ‘Apa yang dulu kalian sembah?’ dan ‘Apa jawaban kalian terhadap para rasul?’ Mereka ditanya tentang yang mereka ibadahi dan ibadah mereka.”  Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ “Kemudian, kamu pasti benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8). Dalam bait sair disebutkan: تَصَاوَنْ عَن الأَنْذَالِ مَا عِشْتَ واكْتَسِبْ لِنَفْسِكَ كَسْبًا مِن خِلالٍ تَصُونُهَا Jagalah dirimu dari kehinaan semasa hidup Dan carilah bagi dirimu kehormatan diri yang selalu kamu jaga وَمَا لِلْفَتَى بِرٌّ كَمِثلِ عَفَافِهِ إِذَا نَفْسُهُ اخْتَارَتْ لَهَا مَا يَزِينُهَا Tidak ada kebaikan yang dimiliki seseorang yang seperti kehormatan diri Jika dirinya memilih sifat itu sebagai penghias dirinya إِذَا النَّفْسُ لَمْ تَقْنَعْ بِقَسْمِ مَلِيكِهَا عَلَى مَا أَتَى مِنْهُ فَمَا ثَمَّ دِينُهَا Apabila diri ini tidak puas dengan pembagian Sang Kuasa Atas rezeki yang datang dari-Nya, maka sebenarnya tidak tersisa lagi agamanya قَالَ مُحَمَّدُ بنُ جَريرٍ: يَقُولُ الله تَعَالى: (لِيَسْألنَّكُم اللهُ عزَّ وَجلَّ عن النَّعيمِ الذِي كُنْتمْ فِيهِ فِي الدُّنْيَا: مَاذَا عَمِلتمُ فيهِ؟ وَمِنْ أَيْنَ وَصَلتُم إِليهِ؟ وَفِيمَ أصَبْتُمُوُه؟ وَمَاذَا عملتم بِهِ؟)، وقَالَ قَتَادَةَ: إِنَّ اللهَ سَائِلٌٌ كُلَّ عَبْدٍٍ عَمَّا اسْتَوْدَعهُ مِنْ نِعمَتِهِ وَحَقِّهِ، والنَّعِيمُ الْمَسْئُولُ عَنه نَوعانِ: نَوْعٌ أُخِذَ مِنْ حِلِّهِ وصُرفَ في حَقِّهِ فُيسَأل عَنْ شُكْرِهِ، ونَوْعُ أُخَذَ بِغيرِ حِلِّه وَصُرِف فِي غَيْرَ حَقَّه فُيسأَلُ عَن مُستَخرَجه وعن مَصرَفِهِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَى وُجوبِ الْمُحَاسَبِةِ قَولهُ تَعَالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر: 18]. Muhammad bin Jarir mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada kalian tentang kenikmatan-kenikmatan yang telah kalian nikmati di dunia, apa amalan yang telah kalian lakukan dengan nikmat itu, dari mana kalian dapat meraih nikmat itu, bagaimana kalian mendapatkannya, dan kalian gunakan untuk apa nikmat itu?” Qatadah berkata, “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada setiap hamba tentang kenikmatan dan kewajiban yang telah Dia berikan. Kenikmatan yang akan ditanyakan ada dua bentuk, jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang halal dan disalurkan dengan benar, maka akan ditanya tentang syukurnya, dan jenis kenikmatan yang didapatkan dengan cara yang tidak halal dan disalurkan ke jalan yang tidak benar, maka akan ditanyakan tentang sumber dan penyaluran nikmat itu. Kewajiban bermuhasabah telah ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18).” اعْلم أَيَّها الإِنسان أن النفسَ الأمارةَ بالسُّوء عَدُوّةٌ لَكَ مَعَ إِبْلِيسَ لَعَنهُ الله، وإنما يَتَقَوَّى عَلَيْكَ الشَّيْطَانُ بِهَوَى النَّفْسِ وَشَهَواتِهَا، فَهِيَ سِلاحُه الذِي يَصِيدُ بِهِ وَهَلْ أَوْقَعَ إِبْلِيسَ فِي كَبْرِهِ وَمَعْصِيَتِهِ إلا نَفْسُهُ، قَالَ اللهُ جَلَّ وَعَلا وَتَقَدَّسَ: ﴿ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ ﴾ [يوسف: 53]. Ketahuilah, hai manusia! Hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan merupakan musuhmu selain Iblis –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknatnya. Setan itu mendapat sokongan kekuatan dari hawa nafsu dan syahwat untuk menjerumuskanmu, sehingga itu merupakan senjata yang ia pakai untuk menjerat. Dan bukankah Iblis itu terjerumus dalam kesombongan dan keangkuhannya karena hawa nafsunya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ  “sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53). فلا تَغُرَنَّكَ نَفْسُكَ بالأَمَانِي والغُرُورِ لأنَّ مِنْ طَبْعِ النَّفْسِ الأَمْنُ والغَفْلَة والرَّاحَةُ والفَتْرةُ والكَسَلُ والعَجْزُ فَدَعْواهَا بَاطِلٌ وَكُلُ شَيْءٍ مِنْهَا غُرورٌ وَإِنْ رَضِيتَ عنها واتَّبَعْتَ أَمْرَهَا هَلَكْتَ، وَإِنْ غَفَلْتَ عَنْ مُحَاسَبَتِها غِرَقْتَ، وإنْ عَجَزْتَ عن مُخَالَفَتِهَا واتَّبعتَ هَواهَا قَادَتْكَ إلى النَّارِ. Oleh sebab itu, janganlah hawa nafsumu menghembuskan angan-angan dan tipu dayanya, karena sudah menjadi tabiat hawa nafsu selalu merasa aman, lalai, bersantai-santai, malas, dan tidak produktif. Ajakannya itu sesat, dan segala hal yang berawal darinya adalah tipu daya. Apabila kamu rela dan mengikuti ajakannya, binasalah dirimu. Jika kamu lalai dalam memperhitungkannya, terjerumuslah kamu. Dan jika kamu enggan menyelisihinya dan justru menurutinya, ia pasti menggiringmu ke neraka. Sumber: https://www.alukah.net/أنواع محاسبة النفس Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 310 times, 1 visit(s) today Post Views: 266 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah

دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي تربية الأبناء مسؤوليةٌ عظيمة وشرفٌ كبير، جعلها الإسلام أمانةً في أعناق الوالدين، وخاصة الآباء؛ حيث تُعَد الأُسرة اللبِنةَ الأولى في بناء المجتمع، وإذا صلح البيت، صلح المجتمع، والعكس بالعكس. وقد وصَّى الإسلام بالاهتمام بتربية الأبناء، ووضَّح أهمية دور الآباء في تربية الأبناء؛ فقال الله تعالى في سورة لقمان: ﴿ وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]، دعوة صريحة لتعليم الأبناء التوحيدَ والابتعاد عن الشرك، وهذا هو أهم دور من أدوار الآباء تجاه الأبناء. وقول الله تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ﴾ [التحريم: 6]؛ قال الإمام الطبري: “أي: علِّموهم وأدِّبوهم”[الطبري، جامع البيان في تأويل آي القرآن.]. Mendidik anak merupakan tanggung jawab yang agung dan kemuliaan besar, agama Islam menjadikannya sebagai amanah di pundak orang tua, terlebih lagi bagi ayah. Hal ini karena keluarga adalah pondasi pertama dalam bangunan masyarakat, apabila setiap keluarga itu baik, maka baik pula masyarakatnya, dan demikian juga sebaliknya. Agama Islam telah memerintahkan untuk memberi perhatian besar pada pendidikan anak dan menjelaskan pentingnya peran ayah dalam mendidik anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Luqman: وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Ini merupakan seruan yang jelas untuk mengajarkan kepada anak-anak ketauhidan dan menjauhi kesyirikan. Demikianlah pentingnya peran ayah terhadap anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Imam Ath-Thabari mengatakan, “Yakni ajarkanlah kepada mereka ilmu dan adab.” (Tafsir Jami Al-Bayan fi Ta’wil Ay Al-Qur’an karya Imam Ath-Thabari). أولًا: مسؤولية الأب في التربية: يتحمل الأب الدورَ الأكبر في التوجيه، والرعاية، ووضع الضوابط التربوية، وهو القائد الأول في البيت؛ يقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((كلُّكم راعٍ ومسؤول عن رعيته؛ فالإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والرجل في أهله راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها، والخادم في مال سيده راعٍ وهو مسؤول عن رعيته))؛ [صحيح البخاري: 893]. Pertama: Tanggung jawab ayah dalam mendidik Seorang ayah mengemban peran terbesar dalam memberi tuntunan dan pengasuhan, dan menentukan garis-garis pendidikan. Dia adalah pemimpin utama di rumah tangga. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap dari kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya, maka seorang imam adalah pemimpin bagi masyarakatnya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin bagi keluarga dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 893). ثانيًا: الجوانب التربوية التي يجب أن يعتني بها الأب: 1- التربية الإيمانية والعقدية: يبدأ الأب بتعليم ابنه التوحيدَ؛ كما فعل لقمان: ﴿ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]. والنبي صلى الله عليه وسلم قال: ((ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانِهِ أو ينصِّرانِهِ أو يمجِّسانِهِ))؛ [رواه البخاري ومسلم]؛ أي: إن للوالدين – والأب خاصة – الأثرَ الأكبر في تشكيل العقيدة والسلوك. 2- التربية الأخلاقية: حثَّ الإسلام على الأخلاق الكريمة، وعلَّمنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نربي أبناءنا على الصدق والأمانة والتواضع[الغزالي، إحياء علوم الدين، دار المعرفة.]. إذا رأى الابن والده صادقًا، أمينًا، محافظًا على صلاته، بارًّا بوالديه، فسيكون ذلك أقوى من ألف نصيحة. 3- التربية الجسدية والنفسية: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((علِّموا أبناءكم السباحةَ والرماية وركوب الخيل))؛ [رواه البيهقي في السنن الكبرى]، وهو توجيه للاهتمام بالنموِّ البدني والاجتماعي. 4- التربية بالمحبة والحوار: كان النبي صلى الله عليه وسلم يحتضن الحسن والحسين، ويقبِّلهما ويلاعبهما، ويُظهر لهما المودة، ليعلمنا كيف تكون التربية بالرحمة، فشعور الأبناء بالمودة والرحمة من الآباء يساعدهم على تنمية هذه الصفات، وبثِّها للآخرين ممن يحيطون بهم. Kedua: Aspek-aspek pendidikan yang harus diperhatikan seorang ayah Pendidikan keimanan dan akidah Seorang ayah harus memulai pendidikan anaknya tentang ketauhidan, seperti yang dilakukan oleh Luqman: يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dilahirkan dengan fitrah Islam, lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Yakni kedua orang tua —terlebih lagi ayah— memiliki pengaruh terbesar dalam membentuk akidah dan perilaku. Pendidikan karakter Agama Islam sangat menganjurkan penerapan budi pekerti yang luhur. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita agar mendidik anak-anak kita kejujuran, amanah, dan rendah hati. (Kitab Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali). Apabila seorang anak melihat ayahnya sebagai sosok yang jujur, amanah, konsisten menegakkan salat, dan berbakti kepada kedua orang tuanya, itu akan lebih berpengaruh daripada seribu nasihat. Pendidikan rohani dan jasmani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَلِّمُوا أَبْنَاءَكُمْ السِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَرُكُوبَ الْخَيْلِ “Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menunggang kuda.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Ini merupakan arahan beliau untuk memberi perhatian pada pertumbuhan anak dari sisi jasmani dan sosialnya. Pendidikan dengan kasih sayang dan komunikasi positif Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sering kali memeluk Hasan dan Husain, mencium dan bercanda dengan mereka berdua, dan mengungkapkan kasih sayang kepada mereka, untuk mengajarkan kepada kita bagaimana cara mendidik dengan kasih sayang. Perasaan anak-anak terhadap kasih sayang dan rasa cinta dari ayah mereka akan mendukung peningkatan sifat-sifat kasih sayang ini pada diri mereka dan menebarnya kepada orang-orang di sekitar mereka. ثالثًا: أهمية القدوة في حياة الأبناء: من الضروري أن يكون الآباء قدوةً صالحة لأبنائهم؛ لأن الأبناء يتأثرون بالأفعال أكثر من الأقوال، وتتشكَّل شخصياتهم وسلوكهم من خلال ما يرونه في آبائهم. والأب هو القدوة الأولى، فإن صلح سلوكه، تبِعه أبناؤه في الخير، وإن انحرف، فسدت القدوة؛ قال تعالى: ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾ [الأحزاب: 21]. لذا؛ فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. Ketiga: Urgensi teladan dalam kehidupan anak  Sudah menjadi keharusan bagi para ayah untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, karena anak-anak akan terpengaruh lebih banyak oleh perbuatan ayah daripada ucapannya, sehingga itu membentuk karakter dan kepribadian mereka melalui apa yang mereka lihat dari sosok ayah. Ayah merupakan teladan pertama, apabila perilakunya baik, maka anak-anaknya akan mengikuti kebaikannya. Namun, jika perilakunya menyimpang, maka ia menjadi teladan yang tidak baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ “Sungguh pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21). Oleh sebab itu, teladan yang baik dari sosok ayah menjadi dasar yang kokoh bagi pertumbuhan generasi yang saleh dan berguna bagi diri dan masyarakatnya. رابعًا: عواقب إهمال التربية: إهمال الأب لدوره التربوي يؤدي إلى انحراف الأبناء، وضياع القيم، وفساد المجتمع؛ وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ما من عبدٍ يسترعيه الله رعيةً يموت يومَ يموت، وهو غاشٌّ لرعيته، إلا حرَّم الله عليه الجنة))؛ [صحيح البخاري: 6731] Keempat: Akibat mengabaikan pendidikan Kelalaian ayah dalam perannya untuk mendidik dapat menyebabkan penyimpangan anak-anak, hilangnya nilai-nilai mereka, dan kerusakan masyarakat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ماَ مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ “Tidaklah ada seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus suatu tanggung jawab, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap tanggung jawabnya, melainkan Allah mengharamkannya masuk surga.” (Shahih Al-Bukhari no. 6731). الخاتمة: • دور الأب في التربية ليس فقط إطعامًا وكساءً، بل توجيهٌ، ورعاية، وبناء شخصيات تؤمن بالله، وتحمل القيم، وتنهض بالأمة. • فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. • فصلاح الأبناء هو ثمرة مباشرة لجهود الآباء، والتربية أمانة يُسأل عنها كل وليِّ أمرٍ يوم القيامة. Penutup  Peran ayah dalam merawat anak tidak hanya terbatas pada makanan dan pakaian, tapi juga dalam memberi arahan, pendidikan, dan pembentukan karakter yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memiliki nilai-nilai luhur, dan berkontribusi dalam kebangkitan umat. Teladan yang baik dari sosok ayah menjadi pondasi kokoh untuk membentuk generasi yang shaleh dan bermanfaat bagi pribadi dan masyarakatnya. Kesalehan anak merupakan hasil langsung dari usaha orang tua, dan pendidikan merupakan amanah akan dimintai pertanggungjawabannya dari setiap orang tua pada Hari Kiamat. Sumber: https://www.alukah.net/دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 293 times, 1 visit(s) today Post Views: 249 QRIS donasi Yufid

Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah

دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي تربية الأبناء مسؤوليةٌ عظيمة وشرفٌ كبير، جعلها الإسلام أمانةً في أعناق الوالدين، وخاصة الآباء؛ حيث تُعَد الأُسرة اللبِنةَ الأولى في بناء المجتمع، وإذا صلح البيت، صلح المجتمع، والعكس بالعكس. وقد وصَّى الإسلام بالاهتمام بتربية الأبناء، ووضَّح أهمية دور الآباء في تربية الأبناء؛ فقال الله تعالى في سورة لقمان: ﴿ وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]، دعوة صريحة لتعليم الأبناء التوحيدَ والابتعاد عن الشرك، وهذا هو أهم دور من أدوار الآباء تجاه الأبناء. وقول الله تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ﴾ [التحريم: 6]؛ قال الإمام الطبري: “أي: علِّموهم وأدِّبوهم”[الطبري، جامع البيان في تأويل آي القرآن.]. Mendidik anak merupakan tanggung jawab yang agung dan kemuliaan besar, agama Islam menjadikannya sebagai amanah di pundak orang tua, terlebih lagi bagi ayah. Hal ini karena keluarga adalah pondasi pertama dalam bangunan masyarakat, apabila setiap keluarga itu baik, maka baik pula masyarakatnya, dan demikian juga sebaliknya. Agama Islam telah memerintahkan untuk memberi perhatian besar pada pendidikan anak dan menjelaskan pentingnya peran ayah dalam mendidik anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Luqman: وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Ini merupakan seruan yang jelas untuk mengajarkan kepada anak-anak ketauhidan dan menjauhi kesyirikan. Demikianlah pentingnya peran ayah terhadap anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Imam Ath-Thabari mengatakan, “Yakni ajarkanlah kepada mereka ilmu dan adab.” (Tafsir Jami Al-Bayan fi Ta’wil Ay Al-Qur’an karya Imam Ath-Thabari). أولًا: مسؤولية الأب في التربية: يتحمل الأب الدورَ الأكبر في التوجيه، والرعاية، ووضع الضوابط التربوية، وهو القائد الأول في البيت؛ يقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((كلُّكم راعٍ ومسؤول عن رعيته؛ فالإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والرجل في أهله راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها، والخادم في مال سيده راعٍ وهو مسؤول عن رعيته))؛ [صحيح البخاري: 893]. Pertama: Tanggung jawab ayah dalam mendidik Seorang ayah mengemban peran terbesar dalam memberi tuntunan dan pengasuhan, dan menentukan garis-garis pendidikan. Dia adalah pemimpin utama di rumah tangga. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap dari kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya, maka seorang imam adalah pemimpin bagi masyarakatnya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin bagi keluarga dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 893). ثانيًا: الجوانب التربوية التي يجب أن يعتني بها الأب: 1- التربية الإيمانية والعقدية: يبدأ الأب بتعليم ابنه التوحيدَ؛ كما فعل لقمان: ﴿ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]. والنبي صلى الله عليه وسلم قال: ((ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانِهِ أو ينصِّرانِهِ أو يمجِّسانِهِ))؛ [رواه البخاري ومسلم]؛ أي: إن للوالدين – والأب خاصة – الأثرَ الأكبر في تشكيل العقيدة والسلوك. 2- التربية الأخلاقية: حثَّ الإسلام على الأخلاق الكريمة، وعلَّمنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نربي أبناءنا على الصدق والأمانة والتواضع[الغزالي، إحياء علوم الدين، دار المعرفة.]. إذا رأى الابن والده صادقًا، أمينًا، محافظًا على صلاته، بارًّا بوالديه، فسيكون ذلك أقوى من ألف نصيحة. 3- التربية الجسدية والنفسية: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((علِّموا أبناءكم السباحةَ والرماية وركوب الخيل))؛ [رواه البيهقي في السنن الكبرى]، وهو توجيه للاهتمام بالنموِّ البدني والاجتماعي. 4- التربية بالمحبة والحوار: كان النبي صلى الله عليه وسلم يحتضن الحسن والحسين، ويقبِّلهما ويلاعبهما، ويُظهر لهما المودة، ليعلمنا كيف تكون التربية بالرحمة، فشعور الأبناء بالمودة والرحمة من الآباء يساعدهم على تنمية هذه الصفات، وبثِّها للآخرين ممن يحيطون بهم. Kedua: Aspek-aspek pendidikan yang harus diperhatikan seorang ayah Pendidikan keimanan dan akidah Seorang ayah harus memulai pendidikan anaknya tentang ketauhidan, seperti yang dilakukan oleh Luqman: يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dilahirkan dengan fitrah Islam, lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Yakni kedua orang tua —terlebih lagi ayah— memiliki pengaruh terbesar dalam membentuk akidah dan perilaku. Pendidikan karakter Agama Islam sangat menganjurkan penerapan budi pekerti yang luhur. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita agar mendidik anak-anak kita kejujuran, amanah, dan rendah hati. (Kitab Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali). Apabila seorang anak melihat ayahnya sebagai sosok yang jujur, amanah, konsisten menegakkan salat, dan berbakti kepada kedua orang tuanya, itu akan lebih berpengaruh daripada seribu nasihat. Pendidikan rohani dan jasmani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَلِّمُوا أَبْنَاءَكُمْ السِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَرُكُوبَ الْخَيْلِ “Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menunggang kuda.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Ini merupakan arahan beliau untuk memberi perhatian pada pertumbuhan anak dari sisi jasmani dan sosialnya. Pendidikan dengan kasih sayang dan komunikasi positif Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sering kali memeluk Hasan dan Husain, mencium dan bercanda dengan mereka berdua, dan mengungkapkan kasih sayang kepada mereka, untuk mengajarkan kepada kita bagaimana cara mendidik dengan kasih sayang. Perasaan anak-anak terhadap kasih sayang dan rasa cinta dari ayah mereka akan mendukung peningkatan sifat-sifat kasih sayang ini pada diri mereka dan menebarnya kepada orang-orang di sekitar mereka. ثالثًا: أهمية القدوة في حياة الأبناء: من الضروري أن يكون الآباء قدوةً صالحة لأبنائهم؛ لأن الأبناء يتأثرون بالأفعال أكثر من الأقوال، وتتشكَّل شخصياتهم وسلوكهم من خلال ما يرونه في آبائهم. والأب هو القدوة الأولى، فإن صلح سلوكه، تبِعه أبناؤه في الخير، وإن انحرف، فسدت القدوة؛ قال تعالى: ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾ [الأحزاب: 21]. لذا؛ فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. Ketiga: Urgensi teladan dalam kehidupan anak  Sudah menjadi keharusan bagi para ayah untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, karena anak-anak akan terpengaruh lebih banyak oleh perbuatan ayah daripada ucapannya, sehingga itu membentuk karakter dan kepribadian mereka melalui apa yang mereka lihat dari sosok ayah. Ayah merupakan teladan pertama, apabila perilakunya baik, maka anak-anaknya akan mengikuti kebaikannya. Namun, jika perilakunya menyimpang, maka ia menjadi teladan yang tidak baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ “Sungguh pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21). Oleh sebab itu, teladan yang baik dari sosok ayah menjadi dasar yang kokoh bagi pertumbuhan generasi yang saleh dan berguna bagi diri dan masyarakatnya. رابعًا: عواقب إهمال التربية: إهمال الأب لدوره التربوي يؤدي إلى انحراف الأبناء، وضياع القيم، وفساد المجتمع؛ وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ما من عبدٍ يسترعيه الله رعيةً يموت يومَ يموت، وهو غاشٌّ لرعيته، إلا حرَّم الله عليه الجنة))؛ [صحيح البخاري: 6731] Keempat: Akibat mengabaikan pendidikan Kelalaian ayah dalam perannya untuk mendidik dapat menyebabkan penyimpangan anak-anak, hilangnya nilai-nilai mereka, dan kerusakan masyarakat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ماَ مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ “Tidaklah ada seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus suatu tanggung jawab, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap tanggung jawabnya, melainkan Allah mengharamkannya masuk surga.” (Shahih Al-Bukhari no. 6731). الخاتمة: • دور الأب في التربية ليس فقط إطعامًا وكساءً، بل توجيهٌ، ورعاية، وبناء شخصيات تؤمن بالله، وتحمل القيم، وتنهض بالأمة. • فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. • فصلاح الأبناء هو ثمرة مباشرة لجهود الآباء، والتربية أمانة يُسأل عنها كل وليِّ أمرٍ يوم القيامة. Penutup  Peran ayah dalam merawat anak tidak hanya terbatas pada makanan dan pakaian, tapi juga dalam memberi arahan, pendidikan, dan pembentukan karakter yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memiliki nilai-nilai luhur, dan berkontribusi dalam kebangkitan umat. Teladan yang baik dari sosok ayah menjadi pondasi kokoh untuk membentuk generasi yang shaleh dan bermanfaat bagi pribadi dan masyarakatnya. Kesalehan anak merupakan hasil langsung dari usaha orang tua, dan pendidikan merupakan amanah akan dimintai pertanggungjawabannya dari setiap orang tua pada Hari Kiamat. Sumber: https://www.alukah.net/دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 293 times, 1 visit(s) today Post Views: 249 QRIS donasi Yufid
دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي تربية الأبناء مسؤوليةٌ عظيمة وشرفٌ كبير، جعلها الإسلام أمانةً في أعناق الوالدين، وخاصة الآباء؛ حيث تُعَد الأُسرة اللبِنةَ الأولى في بناء المجتمع، وإذا صلح البيت، صلح المجتمع، والعكس بالعكس. وقد وصَّى الإسلام بالاهتمام بتربية الأبناء، ووضَّح أهمية دور الآباء في تربية الأبناء؛ فقال الله تعالى في سورة لقمان: ﴿ وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]، دعوة صريحة لتعليم الأبناء التوحيدَ والابتعاد عن الشرك، وهذا هو أهم دور من أدوار الآباء تجاه الأبناء. وقول الله تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ﴾ [التحريم: 6]؛ قال الإمام الطبري: “أي: علِّموهم وأدِّبوهم”[الطبري، جامع البيان في تأويل آي القرآن.]. Mendidik anak merupakan tanggung jawab yang agung dan kemuliaan besar, agama Islam menjadikannya sebagai amanah di pundak orang tua, terlebih lagi bagi ayah. Hal ini karena keluarga adalah pondasi pertama dalam bangunan masyarakat, apabila setiap keluarga itu baik, maka baik pula masyarakatnya, dan demikian juga sebaliknya. Agama Islam telah memerintahkan untuk memberi perhatian besar pada pendidikan anak dan menjelaskan pentingnya peran ayah dalam mendidik anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Luqman: وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Ini merupakan seruan yang jelas untuk mengajarkan kepada anak-anak ketauhidan dan menjauhi kesyirikan. Demikianlah pentingnya peran ayah terhadap anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Imam Ath-Thabari mengatakan, “Yakni ajarkanlah kepada mereka ilmu dan adab.” (Tafsir Jami Al-Bayan fi Ta’wil Ay Al-Qur’an karya Imam Ath-Thabari). أولًا: مسؤولية الأب في التربية: يتحمل الأب الدورَ الأكبر في التوجيه، والرعاية، ووضع الضوابط التربوية، وهو القائد الأول في البيت؛ يقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((كلُّكم راعٍ ومسؤول عن رعيته؛ فالإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والرجل في أهله راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها، والخادم في مال سيده راعٍ وهو مسؤول عن رعيته))؛ [صحيح البخاري: 893]. Pertama: Tanggung jawab ayah dalam mendidik Seorang ayah mengemban peran terbesar dalam memberi tuntunan dan pengasuhan, dan menentukan garis-garis pendidikan. Dia adalah pemimpin utama di rumah tangga. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap dari kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya, maka seorang imam adalah pemimpin bagi masyarakatnya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin bagi keluarga dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 893). ثانيًا: الجوانب التربوية التي يجب أن يعتني بها الأب: 1- التربية الإيمانية والعقدية: يبدأ الأب بتعليم ابنه التوحيدَ؛ كما فعل لقمان: ﴿ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]. والنبي صلى الله عليه وسلم قال: ((ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانِهِ أو ينصِّرانِهِ أو يمجِّسانِهِ))؛ [رواه البخاري ومسلم]؛ أي: إن للوالدين – والأب خاصة – الأثرَ الأكبر في تشكيل العقيدة والسلوك. 2- التربية الأخلاقية: حثَّ الإسلام على الأخلاق الكريمة، وعلَّمنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نربي أبناءنا على الصدق والأمانة والتواضع[الغزالي، إحياء علوم الدين، دار المعرفة.]. إذا رأى الابن والده صادقًا، أمينًا، محافظًا على صلاته، بارًّا بوالديه، فسيكون ذلك أقوى من ألف نصيحة. 3- التربية الجسدية والنفسية: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((علِّموا أبناءكم السباحةَ والرماية وركوب الخيل))؛ [رواه البيهقي في السنن الكبرى]، وهو توجيه للاهتمام بالنموِّ البدني والاجتماعي. 4- التربية بالمحبة والحوار: كان النبي صلى الله عليه وسلم يحتضن الحسن والحسين، ويقبِّلهما ويلاعبهما، ويُظهر لهما المودة، ليعلمنا كيف تكون التربية بالرحمة، فشعور الأبناء بالمودة والرحمة من الآباء يساعدهم على تنمية هذه الصفات، وبثِّها للآخرين ممن يحيطون بهم. Kedua: Aspek-aspek pendidikan yang harus diperhatikan seorang ayah Pendidikan keimanan dan akidah Seorang ayah harus memulai pendidikan anaknya tentang ketauhidan, seperti yang dilakukan oleh Luqman: يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dilahirkan dengan fitrah Islam, lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Yakni kedua orang tua —terlebih lagi ayah— memiliki pengaruh terbesar dalam membentuk akidah dan perilaku. Pendidikan karakter Agama Islam sangat menganjurkan penerapan budi pekerti yang luhur. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita agar mendidik anak-anak kita kejujuran, amanah, dan rendah hati. (Kitab Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali). Apabila seorang anak melihat ayahnya sebagai sosok yang jujur, amanah, konsisten menegakkan salat, dan berbakti kepada kedua orang tuanya, itu akan lebih berpengaruh daripada seribu nasihat. Pendidikan rohani dan jasmani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَلِّمُوا أَبْنَاءَكُمْ السِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَرُكُوبَ الْخَيْلِ “Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menunggang kuda.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Ini merupakan arahan beliau untuk memberi perhatian pada pertumbuhan anak dari sisi jasmani dan sosialnya. Pendidikan dengan kasih sayang dan komunikasi positif Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sering kali memeluk Hasan dan Husain, mencium dan bercanda dengan mereka berdua, dan mengungkapkan kasih sayang kepada mereka, untuk mengajarkan kepada kita bagaimana cara mendidik dengan kasih sayang. Perasaan anak-anak terhadap kasih sayang dan rasa cinta dari ayah mereka akan mendukung peningkatan sifat-sifat kasih sayang ini pada diri mereka dan menebarnya kepada orang-orang di sekitar mereka. ثالثًا: أهمية القدوة في حياة الأبناء: من الضروري أن يكون الآباء قدوةً صالحة لأبنائهم؛ لأن الأبناء يتأثرون بالأفعال أكثر من الأقوال، وتتشكَّل شخصياتهم وسلوكهم من خلال ما يرونه في آبائهم. والأب هو القدوة الأولى، فإن صلح سلوكه، تبِعه أبناؤه في الخير، وإن انحرف، فسدت القدوة؛ قال تعالى: ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾ [الأحزاب: 21]. لذا؛ فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. Ketiga: Urgensi teladan dalam kehidupan anak  Sudah menjadi keharusan bagi para ayah untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, karena anak-anak akan terpengaruh lebih banyak oleh perbuatan ayah daripada ucapannya, sehingga itu membentuk karakter dan kepribadian mereka melalui apa yang mereka lihat dari sosok ayah. Ayah merupakan teladan pertama, apabila perilakunya baik, maka anak-anaknya akan mengikuti kebaikannya. Namun, jika perilakunya menyimpang, maka ia menjadi teladan yang tidak baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ “Sungguh pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21). Oleh sebab itu, teladan yang baik dari sosok ayah menjadi dasar yang kokoh bagi pertumbuhan generasi yang saleh dan berguna bagi diri dan masyarakatnya. رابعًا: عواقب إهمال التربية: إهمال الأب لدوره التربوي يؤدي إلى انحراف الأبناء، وضياع القيم، وفساد المجتمع؛ وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ما من عبدٍ يسترعيه الله رعيةً يموت يومَ يموت، وهو غاشٌّ لرعيته، إلا حرَّم الله عليه الجنة))؛ [صحيح البخاري: 6731] Keempat: Akibat mengabaikan pendidikan Kelalaian ayah dalam perannya untuk mendidik dapat menyebabkan penyimpangan anak-anak, hilangnya nilai-nilai mereka, dan kerusakan masyarakat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ماَ مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ “Tidaklah ada seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus suatu tanggung jawab, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap tanggung jawabnya, melainkan Allah mengharamkannya masuk surga.” (Shahih Al-Bukhari no. 6731). الخاتمة: • دور الأب في التربية ليس فقط إطعامًا وكساءً، بل توجيهٌ، ورعاية، وبناء شخصيات تؤمن بالله، وتحمل القيم، وتنهض بالأمة. • فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. • فصلاح الأبناء هو ثمرة مباشرة لجهود الآباء، والتربية أمانة يُسأل عنها كل وليِّ أمرٍ يوم القيامة. Penutup  Peran ayah dalam merawat anak tidak hanya terbatas pada makanan dan pakaian, tapi juga dalam memberi arahan, pendidikan, dan pembentukan karakter yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memiliki nilai-nilai luhur, dan berkontribusi dalam kebangkitan umat. Teladan yang baik dari sosok ayah menjadi pondasi kokoh untuk membentuk generasi yang shaleh dan bermanfaat bagi pribadi dan masyarakatnya. Kesalehan anak merupakan hasil langsung dari usaha orang tua, dan pendidikan merupakan amanah akan dimintai pertanggungjawabannya dari setiap orang tua pada Hari Kiamat. Sumber: https://www.alukah.net/دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 293 times, 1 visit(s) today Post Views: 249 QRIS donasi Yufid


دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي تربية الأبناء مسؤوليةٌ عظيمة وشرفٌ كبير، جعلها الإسلام أمانةً في أعناق الوالدين، وخاصة الآباء؛ حيث تُعَد الأُسرة اللبِنةَ الأولى في بناء المجتمع، وإذا صلح البيت، صلح المجتمع، والعكس بالعكس. وقد وصَّى الإسلام بالاهتمام بتربية الأبناء، ووضَّح أهمية دور الآباء في تربية الأبناء؛ فقال الله تعالى في سورة لقمان: ﴿ وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]، دعوة صريحة لتعليم الأبناء التوحيدَ والابتعاد عن الشرك، وهذا هو أهم دور من أدوار الآباء تجاه الأبناء. وقول الله تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ﴾ [التحريم: 6]؛ قال الإمام الطبري: “أي: علِّموهم وأدِّبوهم”[الطبري، جامع البيان في تأويل آي القرآن.]. Mendidik anak merupakan tanggung jawab yang agung dan kemuliaan besar, agama Islam menjadikannya sebagai amanah di pundak orang tua, terlebih lagi bagi ayah. Hal ini karena keluarga adalah pondasi pertama dalam bangunan masyarakat, apabila setiap keluarga itu baik, maka baik pula masyarakatnya, dan demikian juga sebaliknya. Agama Islam telah memerintahkan untuk memberi perhatian besar pada pendidikan anak dan menjelaskan pentingnya peran ayah dalam mendidik anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Luqman: وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Ini merupakan seruan yang jelas untuk mengajarkan kepada anak-anak ketauhidan dan menjauhi kesyirikan. Demikianlah pentingnya peran ayah terhadap anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Imam Ath-Thabari mengatakan, “Yakni ajarkanlah kepada mereka ilmu dan adab.” (Tafsir Jami Al-Bayan fi Ta’wil Ay Al-Qur’an karya Imam Ath-Thabari). أولًا: مسؤولية الأب في التربية: يتحمل الأب الدورَ الأكبر في التوجيه، والرعاية، ووضع الضوابط التربوية، وهو القائد الأول في البيت؛ يقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((كلُّكم راعٍ ومسؤول عن رعيته؛ فالإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والرجل في أهله راعٍ وهو مسؤول عن رعيته، والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها، والخادم في مال سيده راعٍ وهو مسؤول عن رعيته))؛ [صحيح البخاري: 893]. Pertama: Tanggung jawab ayah dalam mendidik Seorang ayah mengemban peran terbesar dalam memberi tuntunan dan pengasuhan, dan menentukan garis-garis pendidikan. Dia adalah pemimpin utama di rumah tangga. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap dari kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya, maka seorang imam adalah pemimpin bagi masyarakatnya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin bagi keluarga dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 893). ثانيًا: الجوانب التربوية التي يجب أن يعتني بها الأب: 1- التربية الإيمانية والعقدية: يبدأ الأب بتعليم ابنه التوحيدَ؛ كما فعل لقمان: ﴿ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾ [لقمان: 13]. والنبي صلى الله عليه وسلم قال: ((ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانِهِ أو ينصِّرانِهِ أو يمجِّسانِهِ))؛ [رواه البخاري ومسلم]؛ أي: إن للوالدين – والأب خاصة – الأثرَ الأكبر في تشكيل العقيدة والسلوك. 2- التربية الأخلاقية: حثَّ الإسلام على الأخلاق الكريمة، وعلَّمنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نربي أبناءنا على الصدق والأمانة والتواضع[الغزالي، إحياء علوم الدين، دار المعرفة.]. إذا رأى الابن والده صادقًا، أمينًا، محافظًا على صلاته، بارًّا بوالديه، فسيكون ذلك أقوى من ألف نصيحة. 3- التربية الجسدية والنفسية: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((علِّموا أبناءكم السباحةَ والرماية وركوب الخيل))؛ [رواه البيهقي في السنن الكبرى]، وهو توجيه للاهتمام بالنموِّ البدني والاجتماعي. 4- التربية بالمحبة والحوار: كان النبي صلى الله عليه وسلم يحتضن الحسن والحسين، ويقبِّلهما ويلاعبهما، ويُظهر لهما المودة، ليعلمنا كيف تكون التربية بالرحمة، فشعور الأبناء بالمودة والرحمة من الآباء يساعدهم على تنمية هذه الصفات، وبثِّها للآخرين ممن يحيطون بهم. Kedua: Aspek-aspek pendidikan yang harus diperhatikan seorang ayah Pendidikan keimanan dan akidah Seorang ayah harus memulai pendidikan anaknya tentang ketauhidan, seperti yang dilakukan oleh Luqman: يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dilahirkan dengan fitrah Islam, lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Yakni kedua orang tua —terlebih lagi ayah— memiliki pengaruh terbesar dalam membentuk akidah dan perilaku. Pendidikan karakter Agama Islam sangat menganjurkan penerapan budi pekerti yang luhur. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita agar mendidik anak-anak kita kejujuran, amanah, dan rendah hati. (Kitab Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali). Apabila seorang anak melihat ayahnya sebagai sosok yang jujur, amanah, konsisten menegakkan salat, dan berbakti kepada kedua orang tuanya, itu akan lebih berpengaruh daripada seribu nasihat. Pendidikan rohani dan jasmani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: عَلِّمُوا أَبْنَاءَكُمْ السِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَرُكُوبَ الْخَيْلِ “Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menunggang kuda.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Ini merupakan arahan beliau untuk memberi perhatian pada pertumbuhan anak dari sisi jasmani dan sosialnya. Pendidikan dengan kasih sayang dan komunikasi positif Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sering kali memeluk Hasan dan Husain, mencium dan bercanda dengan mereka berdua, dan mengungkapkan kasih sayang kepada mereka, untuk mengajarkan kepada kita bagaimana cara mendidik dengan kasih sayang. Perasaan anak-anak terhadap kasih sayang dan rasa cinta dari ayah mereka akan mendukung peningkatan sifat-sifat kasih sayang ini pada diri mereka dan menebarnya kepada orang-orang di sekitar mereka. ثالثًا: أهمية القدوة في حياة الأبناء: من الضروري أن يكون الآباء قدوةً صالحة لأبنائهم؛ لأن الأبناء يتأثرون بالأفعال أكثر من الأقوال، وتتشكَّل شخصياتهم وسلوكهم من خلال ما يرونه في آبائهم. والأب هو القدوة الأولى، فإن صلح سلوكه، تبِعه أبناؤه في الخير، وإن انحرف، فسدت القدوة؛ قال تعالى: ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾ [الأحزاب: 21]. لذا؛ فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. Ketiga: Urgensi teladan dalam kehidupan anak  Sudah menjadi keharusan bagi para ayah untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, karena anak-anak akan terpengaruh lebih banyak oleh perbuatan ayah daripada ucapannya, sehingga itu membentuk karakter dan kepribadian mereka melalui apa yang mereka lihat dari sosok ayah. Ayah merupakan teladan pertama, apabila perilakunya baik, maka anak-anaknya akan mengikuti kebaikannya. Namun, jika perilakunya menyimpang, maka ia menjadi teladan yang tidak baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ “Sungguh pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21). Oleh sebab itu, teladan yang baik dari sosok ayah menjadi dasar yang kokoh bagi pertumbuhan generasi yang saleh dan berguna bagi diri dan masyarakatnya. رابعًا: عواقب إهمال التربية: إهمال الأب لدوره التربوي يؤدي إلى انحراف الأبناء، وضياع القيم، وفساد المجتمع؛ وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ما من عبدٍ يسترعيه الله رعيةً يموت يومَ يموت، وهو غاشٌّ لرعيته، إلا حرَّم الله عليه الجنة))؛ [صحيح البخاري: 6731] Keempat: Akibat mengabaikan pendidikan Kelalaian ayah dalam perannya untuk mendidik dapat menyebabkan penyimpangan anak-anak, hilangnya nilai-nilai mereka, dan kerusakan masyarakat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ماَ مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ “Tidaklah ada seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus suatu tanggung jawab, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap tanggung jawabnya, melainkan Allah mengharamkannya masuk surga.” (Shahih Al-Bukhari no. 6731). الخاتمة: • دور الأب في التربية ليس فقط إطعامًا وكساءً، بل توجيهٌ، ورعاية، وبناء شخصيات تؤمن بالله، وتحمل القيم، وتنهض بالأمة. • فإن القدوة الحسنة من الآباء تمثل أساسًا متينًا لتنشئة جيل صالح نافع لنفسه ومجتمعه. • فصلاح الأبناء هو ثمرة مباشرة لجهود الآباء، والتربية أمانة يُسأل عنها كل وليِّ أمرٍ يوم القيامة. Penutup  Peran ayah dalam merawat anak tidak hanya terbatas pada makanan dan pakaian, tapi juga dalam memberi arahan, pendidikan, dan pembentukan karakter yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memiliki nilai-nilai luhur, dan berkontribusi dalam kebangkitan umat. Teladan yang baik dari sosok ayah menjadi pondasi kokoh untuk membentuk generasi yang shaleh dan bermanfaat bagi pribadi dan masyarakatnya. Kesalehan anak merupakan hasil langsung dari usaha orang tua, dan pendidikan merupakan amanah akan dimintai pertanggungjawabannya dari setiap orang tua pada Hari Kiamat. Sumber: https://www.alukah.net/دور الآباء في تربية الأبناء في ضوء الكتاب والسنة النبوية Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 293 times, 1 visit(s) today Post Views: 249 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Hibah (Bag. 2): Konsep Hibah dalam Kehidupan Sosial Islam dan Urgensi Pembahasannya dalam Fikih Muamalah

Daftar Isi ToggleKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamUrgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahHibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanBerkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatBerpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamSetelah mengetahui secara singkat pengertian hibah; baik dari segi bahasa ataupun syariat pada artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa hibah (الهبة) berarti “memberikan sesuatu secara cuma-cuma dan sukarela, tanpa ada imbalan dan paksaan selama pihak pemberi masih hidup.” Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau mengatakan,تَمْلِيكٌ في الحَياةِ بغيرِ عِوَضٍ“Hibah adalah pemberian hak milik selama pihak pemberi masih hidup tanpa imbalan.” (Al-Mughni, 8: 239)Jika melihat lebih jauh, syariat hibah memiliki dampak yang sangat kuat dalam kehidupan sosial Islam, hibah bukan sekadar pemberian biasa. Ia adalah simbol kasih sayang, solidaritas sosial, dan distribusi kekayaan secara adil di antara masyarakat. Hibah mendorong seorang muslim untuk tidak tamak terhadap harta, peduli dengan orang lain serta menghilangkan kecemburuan sosial karena terjadinya pemerataan harta secara sukarela.Hibah juga mempererat hubungan sosial dan ukhuwah; terutama dalam keluarga, tetangga, dan komunitas masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادُوا تَحَابُّوا“Salinglah kalian memberi hadiah (hibah), maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 594. Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)Hadis ini menjelaskan bahwa hibah adalah media sosial yang menguatkan ikatan emosional dan menghapus permusuhan. Oleh karena itu, Islam tidak sekadar memerintahkan infak dan zakat, tetapi juga mendorong pemberian hibah secara pribadi dan sukarela.Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menyebutkan konsep dan dampak baik dari hibah. Tatkala Allah mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan maskawin kepada perempuan yang dinikahinya, Allah Ta’ala berfirman menyebutkan bahwa apabila perempuan tersebut berkehendak untuk memberikan kembali maskawin tersebut sebagai bentuk pemberian kepada suaminya, maka sang suami diperbolehkan untuk mengambilnya dan memanfaatkannya,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Tetapi jika mereka dengan rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah (ambillah) sebagai sesuatu yang nikmat lagi baik.” (QS. An-Nisa: 4)Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian (hibah) yang dilakukan dengan kerelaan hati, maka hukumnya halal dan diberkahi, bahkan diperbolehkan untuk dinikmati oleh penerima.Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa hibah merupakan instrumen sosial yang sangat ditekankan dalam Islam karena mengandung nilai ibadah, solidaritas, dan keikhlasan. Ia mengangkat martabat sosial dan memperkuat tatanan masyarakat Islam yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan.Urgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahDalam Islam, hibah termasuk dalam ranah muamalah, urusan duniawi yang memiliki implikasi hukum. Akad hibah memindahkan kepemilikan harta dan berpotensi menimbulkan perselisihan jika tidak dikelola dengan benar.Sudah begitu banyak cerita yang beredar akan bagaimana sebuah proses hibah yang bertujuan baik pada akhirnya justru menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Hal ini karena minimnya ilmu tentang fikih hibah dan terjadinya kesalahan dalam prosesnya. Berikut adalah beberapa alasan kuat seorang muslim wajib mengetahui seluk beluk mengenai hibah dalam kacamata hukum Islam, sehingga dalam prosesnya dapat sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanDalam Islam, proses akad memiliki berbagai aturan yang wajib dilakukan sehingga akad tersebut menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini berlaku juga untuk akad hibah, dalam prosesnya membutuhkan pencatatan dan kepastian. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)Meskipun ayat ini berbicara tentang utang piutang, prinsip pencatatan dan kepastian hukum juga relevan bagi hibah, terutama dalam konteks hibah bersyarat atau hibah dalam jumlah besar (seperti hibah tanah dan rumah). Maka, pencatatan dapat mencegah konflik di masa depan.Islam begitu tegas menyikapi konflik dan perselisihan, melarang terjadinya hal tersebut dan memberikan solusi yang jelas apabila hal tersebut terlanjur terjadi. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.” (QS. An-Nisâ’: 59)Dengan mengetahui hukum-hukum terkait fikih hibah, maka akan meminimalisir terjadinya pertikaian, sengketa, dan perselisihan di antara kaum muslimin. Berkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatDi antara kasus yang banyak terjadi adalah pembagian harta yang dilakukan oleh orang tua sebelum meninggal dunia. Terkait hal ini, maka perlu pembahasan mendalam, karena berkaitan erat dengan hukum waris yang ketentuan dan porsinya harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Berpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahDalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Hadis ini berkaitan dengan kasus hibah yang dilakukan kepada salah satu anak secara berat sebelah. Rasulullah ﷺ menegur perbuatan tersebut dan menyuruh untuk membatalkannya jika tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa hibah memiliki konsekuensi hukum, dan pembahasannya harus serius dalam fikih.Tiga hal ini cukup menjadi alasan bagi kita akan pentingnya pembahasan fikih hibah secara menyeluruh dan mendalam, agar masyarakat tidak sekadar mengikuti adat atau keinginan hawa nafsu pribadi, tetapi memahami batasan syariat dan mengikuti hukum syariat yang telah ditetapkan.Urgensi membahas hibah dalam fikih muamalah tidak bisa diabaikan karena hibah bukan hanya urusan pribadi, tapi berdampak pada keadilan hukum, keharmonisan keluarga, dan kestabilan sosial. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui batasan hukum hibah agar dapat mengamalkannya secara syar’i dan adil. Wallahu a’lam bissowaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 2): Konsep Hibah dalam Kehidupan Sosial Islam dan Urgensi Pembahasannya dalam Fikih Muamalah

Daftar Isi ToggleKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamUrgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahHibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanBerkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatBerpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamSetelah mengetahui secara singkat pengertian hibah; baik dari segi bahasa ataupun syariat pada artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa hibah (الهبة) berarti “memberikan sesuatu secara cuma-cuma dan sukarela, tanpa ada imbalan dan paksaan selama pihak pemberi masih hidup.” Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau mengatakan,تَمْلِيكٌ في الحَياةِ بغيرِ عِوَضٍ“Hibah adalah pemberian hak milik selama pihak pemberi masih hidup tanpa imbalan.” (Al-Mughni, 8: 239)Jika melihat lebih jauh, syariat hibah memiliki dampak yang sangat kuat dalam kehidupan sosial Islam, hibah bukan sekadar pemberian biasa. Ia adalah simbol kasih sayang, solidaritas sosial, dan distribusi kekayaan secara adil di antara masyarakat. Hibah mendorong seorang muslim untuk tidak tamak terhadap harta, peduli dengan orang lain serta menghilangkan kecemburuan sosial karena terjadinya pemerataan harta secara sukarela.Hibah juga mempererat hubungan sosial dan ukhuwah; terutama dalam keluarga, tetangga, dan komunitas masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادُوا تَحَابُّوا“Salinglah kalian memberi hadiah (hibah), maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 594. Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)Hadis ini menjelaskan bahwa hibah adalah media sosial yang menguatkan ikatan emosional dan menghapus permusuhan. Oleh karena itu, Islam tidak sekadar memerintahkan infak dan zakat, tetapi juga mendorong pemberian hibah secara pribadi dan sukarela.Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menyebutkan konsep dan dampak baik dari hibah. Tatkala Allah mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan maskawin kepada perempuan yang dinikahinya, Allah Ta’ala berfirman menyebutkan bahwa apabila perempuan tersebut berkehendak untuk memberikan kembali maskawin tersebut sebagai bentuk pemberian kepada suaminya, maka sang suami diperbolehkan untuk mengambilnya dan memanfaatkannya,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Tetapi jika mereka dengan rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah (ambillah) sebagai sesuatu yang nikmat lagi baik.” (QS. An-Nisa: 4)Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian (hibah) yang dilakukan dengan kerelaan hati, maka hukumnya halal dan diberkahi, bahkan diperbolehkan untuk dinikmati oleh penerima.Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa hibah merupakan instrumen sosial yang sangat ditekankan dalam Islam karena mengandung nilai ibadah, solidaritas, dan keikhlasan. Ia mengangkat martabat sosial dan memperkuat tatanan masyarakat Islam yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan.Urgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahDalam Islam, hibah termasuk dalam ranah muamalah, urusan duniawi yang memiliki implikasi hukum. Akad hibah memindahkan kepemilikan harta dan berpotensi menimbulkan perselisihan jika tidak dikelola dengan benar.Sudah begitu banyak cerita yang beredar akan bagaimana sebuah proses hibah yang bertujuan baik pada akhirnya justru menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Hal ini karena minimnya ilmu tentang fikih hibah dan terjadinya kesalahan dalam prosesnya. Berikut adalah beberapa alasan kuat seorang muslim wajib mengetahui seluk beluk mengenai hibah dalam kacamata hukum Islam, sehingga dalam prosesnya dapat sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanDalam Islam, proses akad memiliki berbagai aturan yang wajib dilakukan sehingga akad tersebut menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini berlaku juga untuk akad hibah, dalam prosesnya membutuhkan pencatatan dan kepastian. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)Meskipun ayat ini berbicara tentang utang piutang, prinsip pencatatan dan kepastian hukum juga relevan bagi hibah, terutama dalam konteks hibah bersyarat atau hibah dalam jumlah besar (seperti hibah tanah dan rumah). Maka, pencatatan dapat mencegah konflik di masa depan.Islam begitu tegas menyikapi konflik dan perselisihan, melarang terjadinya hal tersebut dan memberikan solusi yang jelas apabila hal tersebut terlanjur terjadi. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.” (QS. An-Nisâ’: 59)Dengan mengetahui hukum-hukum terkait fikih hibah, maka akan meminimalisir terjadinya pertikaian, sengketa, dan perselisihan di antara kaum muslimin. Berkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatDi antara kasus yang banyak terjadi adalah pembagian harta yang dilakukan oleh orang tua sebelum meninggal dunia. Terkait hal ini, maka perlu pembahasan mendalam, karena berkaitan erat dengan hukum waris yang ketentuan dan porsinya harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Berpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahDalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Hadis ini berkaitan dengan kasus hibah yang dilakukan kepada salah satu anak secara berat sebelah. Rasulullah ﷺ menegur perbuatan tersebut dan menyuruh untuk membatalkannya jika tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa hibah memiliki konsekuensi hukum, dan pembahasannya harus serius dalam fikih.Tiga hal ini cukup menjadi alasan bagi kita akan pentingnya pembahasan fikih hibah secara menyeluruh dan mendalam, agar masyarakat tidak sekadar mengikuti adat atau keinginan hawa nafsu pribadi, tetapi memahami batasan syariat dan mengikuti hukum syariat yang telah ditetapkan.Urgensi membahas hibah dalam fikih muamalah tidak bisa diabaikan karena hibah bukan hanya urusan pribadi, tapi berdampak pada keadilan hukum, keharmonisan keluarga, dan kestabilan sosial. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui batasan hukum hibah agar dapat mengamalkannya secara syar’i dan adil. Wallahu a’lam bissowaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamUrgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahHibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanBerkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatBerpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamSetelah mengetahui secara singkat pengertian hibah; baik dari segi bahasa ataupun syariat pada artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa hibah (الهبة) berarti “memberikan sesuatu secara cuma-cuma dan sukarela, tanpa ada imbalan dan paksaan selama pihak pemberi masih hidup.” Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau mengatakan,تَمْلِيكٌ في الحَياةِ بغيرِ عِوَضٍ“Hibah adalah pemberian hak milik selama pihak pemberi masih hidup tanpa imbalan.” (Al-Mughni, 8: 239)Jika melihat lebih jauh, syariat hibah memiliki dampak yang sangat kuat dalam kehidupan sosial Islam, hibah bukan sekadar pemberian biasa. Ia adalah simbol kasih sayang, solidaritas sosial, dan distribusi kekayaan secara adil di antara masyarakat. Hibah mendorong seorang muslim untuk tidak tamak terhadap harta, peduli dengan orang lain serta menghilangkan kecemburuan sosial karena terjadinya pemerataan harta secara sukarela.Hibah juga mempererat hubungan sosial dan ukhuwah; terutama dalam keluarga, tetangga, dan komunitas masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادُوا تَحَابُّوا“Salinglah kalian memberi hadiah (hibah), maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 594. Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)Hadis ini menjelaskan bahwa hibah adalah media sosial yang menguatkan ikatan emosional dan menghapus permusuhan. Oleh karena itu, Islam tidak sekadar memerintahkan infak dan zakat, tetapi juga mendorong pemberian hibah secara pribadi dan sukarela.Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menyebutkan konsep dan dampak baik dari hibah. Tatkala Allah mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan maskawin kepada perempuan yang dinikahinya, Allah Ta’ala berfirman menyebutkan bahwa apabila perempuan tersebut berkehendak untuk memberikan kembali maskawin tersebut sebagai bentuk pemberian kepada suaminya, maka sang suami diperbolehkan untuk mengambilnya dan memanfaatkannya,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Tetapi jika mereka dengan rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah (ambillah) sebagai sesuatu yang nikmat lagi baik.” (QS. An-Nisa: 4)Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian (hibah) yang dilakukan dengan kerelaan hati, maka hukumnya halal dan diberkahi, bahkan diperbolehkan untuk dinikmati oleh penerima.Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa hibah merupakan instrumen sosial yang sangat ditekankan dalam Islam karena mengandung nilai ibadah, solidaritas, dan keikhlasan. Ia mengangkat martabat sosial dan memperkuat tatanan masyarakat Islam yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan.Urgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahDalam Islam, hibah termasuk dalam ranah muamalah, urusan duniawi yang memiliki implikasi hukum. Akad hibah memindahkan kepemilikan harta dan berpotensi menimbulkan perselisihan jika tidak dikelola dengan benar.Sudah begitu banyak cerita yang beredar akan bagaimana sebuah proses hibah yang bertujuan baik pada akhirnya justru menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Hal ini karena minimnya ilmu tentang fikih hibah dan terjadinya kesalahan dalam prosesnya. Berikut adalah beberapa alasan kuat seorang muslim wajib mengetahui seluk beluk mengenai hibah dalam kacamata hukum Islam, sehingga dalam prosesnya dapat sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanDalam Islam, proses akad memiliki berbagai aturan yang wajib dilakukan sehingga akad tersebut menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini berlaku juga untuk akad hibah, dalam prosesnya membutuhkan pencatatan dan kepastian. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)Meskipun ayat ini berbicara tentang utang piutang, prinsip pencatatan dan kepastian hukum juga relevan bagi hibah, terutama dalam konteks hibah bersyarat atau hibah dalam jumlah besar (seperti hibah tanah dan rumah). Maka, pencatatan dapat mencegah konflik di masa depan.Islam begitu tegas menyikapi konflik dan perselisihan, melarang terjadinya hal tersebut dan memberikan solusi yang jelas apabila hal tersebut terlanjur terjadi. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.” (QS. An-Nisâ’: 59)Dengan mengetahui hukum-hukum terkait fikih hibah, maka akan meminimalisir terjadinya pertikaian, sengketa, dan perselisihan di antara kaum muslimin. Berkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatDi antara kasus yang banyak terjadi adalah pembagian harta yang dilakukan oleh orang tua sebelum meninggal dunia. Terkait hal ini, maka perlu pembahasan mendalam, karena berkaitan erat dengan hukum waris yang ketentuan dan porsinya harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Berpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahDalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Hadis ini berkaitan dengan kasus hibah yang dilakukan kepada salah satu anak secara berat sebelah. Rasulullah ﷺ menegur perbuatan tersebut dan menyuruh untuk membatalkannya jika tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa hibah memiliki konsekuensi hukum, dan pembahasannya harus serius dalam fikih.Tiga hal ini cukup menjadi alasan bagi kita akan pentingnya pembahasan fikih hibah secara menyeluruh dan mendalam, agar masyarakat tidak sekadar mengikuti adat atau keinginan hawa nafsu pribadi, tetapi memahami batasan syariat dan mengikuti hukum syariat yang telah ditetapkan.Urgensi membahas hibah dalam fikih muamalah tidak bisa diabaikan karena hibah bukan hanya urusan pribadi, tapi berdampak pada keadilan hukum, keharmonisan keluarga, dan kestabilan sosial. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui batasan hukum hibah agar dapat mengamalkannya secara syar’i dan adil. Wallahu a’lam bissowaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamUrgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahHibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanBerkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatBerpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahKonsep hibah dalam kehidupan sosial IslamSetelah mengetahui secara singkat pengertian hibah; baik dari segi bahasa ataupun syariat pada artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa hibah (الهبة) berarti “memberikan sesuatu secara cuma-cuma dan sukarela, tanpa ada imbalan dan paksaan selama pihak pemberi masih hidup.” Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau mengatakan,تَمْلِيكٌ في الحَياةِ بغيرِ عِوَضٍ“Hibah adalah pemberian hak milik selama pihak pemberi masih hidup tanpa imbalan.” (Al-Mughni, 8: 239)Jika melihat lebih jauh, syariat hibah memiliki dampak yang sangat kuat dalam kehidupan sosial Islam, hibah bukan sekadar pemberian biasa. Ia adalah simbol kasih sayang, solidaritas sosial, dan distribusi kekayaan secara adil di antara masyarakat. Hibah mendorong seorang muslim untuk tidak tamak terhadap harta, peduli dengan orang lain serta menghilangkan kecemburuan sosial karena terjadinya pemerataan harta secara sukarela.Hibah juga mempererat hubungan sosial dan ukhuwah; terutama dalam keluarga, tetangga, dan komunitas masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادُوا تَحَابُّوا“Salinglah kalian memberi hadiah (hibah), maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 594. Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)Hadis ini menjelaskan bahwa hibah adalah media sosial yang menguatkan ikatan emosional dan menghapus permusuhan. Oleh karena itu, Islam tidak sekadar memerintahkan infak dan zakat, tetapi juga mendorong pemberian hibah secara pribadi dan sukarela.Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menyebutkan konsep dan dampak baik dari hibah. Tatkala Allah mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan maskawin kepada perempuan yang dinikahinya, Allah Ta’ala berfirman menyebutkan bahwa apabila perempuan tersebut berkehendak untuk memberikan kembali maskawin tersebut sebagai bentuk pemberian kepada suaminya, maka sang suami diperbolehkan untuk mengambilnya dan memanfaatkannya,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Tetapi jika mereka dengan rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah (ambillah) sebagai sesuatu yang nikmat lagi baik.” (QS. An-Nisa: 4)Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian (hibah) yang dilakukan dengan kerelaan hati, maka hukumnya halal dan diberkahi, bahkan diperbolehkan untuk dinikmati oleh penerima.Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa hibah merupakan instrumen sosial yang sangat ditekankan dalam Islam karena mengandung nilai ibadah, solidaritas, dan keikhlasan. Ia mengangkat martabat sosial dan memperkuat tatanan masyarakat Islam yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan.Urgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalahDalam Islam, hibah termasuk dalam ranah muamalah, urusan duniawi yang memiliki implikasi hukum. Akad hibah memindahkan kepemilikan harta dan berpotensi menimbulkan perselisihan jika tidak dikelola dengan benar.Sudah begitu banyak cerita yang beredar akan bagaimana sebuah proses hibah yang bertujuan baik pada akhirnya justru menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Hal ini karena minimnya ilmu tentang fikih hibah dan terjadinya kesalahan dalam prosesnya. Berikut adalah beberapa alasan kuat seorang muslim wajib mengetahui seluk beluk mengenai hibah dalam kacamata hukum Islam, sehingga dalam prosesnya dapat sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakanDalam Islam, proses akad memiliki berbagai aturan yang wajib dilakukan sehingga akad tersebut menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini berlaku juga untuk akad hibah, dalam prosesnya membutuhkan pencatatan dan kepastian. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)Meskipun ayat ini berbicara tentang utang piutang, prinsip pencatatan dan kepastian hukum juga relevan bagi hibah, terutama dalam konteks hibah bersyarat atau hibah dalam jumlah besar (seperti hibah tanah dan rumah). Maka, pencatatan dapat mencegah konflik di masa depan.Islam begitu tegas menyikapi konflik dan perselisihan, melarang terjadinya hal tersebut dan memberikan solusi yang jelas apabila hal tersebut terlanjur terjadi. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.” (QS. An-Nisâ’: 59)Dengan mengetahui hukum-hukum terkait fikih hibah, maka akan meminimalisir terjadinya pertikaian, sengketa, dan perselisihan di antara kaum muslimin. Berkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafatDi antara kasus yang banyak terjadi adalah pembagian harta yang dilakukan oleh orang tua sebelum meninggal dunia. Terkait hal ini, maka perlu pembahasan mendalam, karena berkaitan erat dengan hukum waris yang ketentuan dan porsinya harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Berpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibahDalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Hadis ini berkaitan dengan kasus hibah yang dilakukan kepada salah satu anak secara berat sebelah. Rasulullah ﷺ menegur perbuatan tersebut dan menyuruh untuk membatalkannya jika tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa hibah memiliki konsekuensi hukum, dan pembahasannya harus serius dalam fikih.Tiga hal ini cukup menjadi alasan bagi kita akan pentingnya pembahasan fikih hibah secara menyeluruh dan mendalam, agar masyarakat tidak sekadar mengikuti adat atau keinginan hawa nafsu pribadi, tetapi memahami batasan syariat dan mengikuti hukum syariat yang telah ditetapkan.Urgensi membahas hibah dalam fikih muamalah tidak bisa diabaikan karena hibah bukan hanya urusan pribadi, tapi berdampak pada keadilan hukum, keharmonisan keluarga, dan kestabilan sosial. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui batasan hukum hibah agar dapat mengamalkannya secara syar’i dan adil. Wallahu a’lam bissowaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Mengenal Nama Allah “Al-Ghafuur”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Ghafuur”Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahPerbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaBeriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaMengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehKesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatSemakin dalam seorang hamba mengenal Rabb-nya, maka semakin dia mencintai-Nya, semakin takut ia bermaksiat, dan semakin besar harapannya kepada rahmat-Nya. Salah satu dari nama-Nya yang paling agung adalah Al-Ghafuur —Yang Maha Pengampun— nama yang sering diulang dalam Al-Qur’an sebagai pintu harapan dan jalan kembali bagi siapa pun yang ingin bertobat dan memperbaiki diri.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Ghafuur, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang berkaitan dengan setiap hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Aamiin.Dalil nama Allah “Al-Ghafuur”Allah menamai diri-Nya dengan “Al-Ghafuur” dalam sembilan puluh satu ayat. Di antaranya:Firman Allah Ta’ala,أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Ketahuilah, sesungguhnya Allah, Dia-lah Al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun) lagi Ar-Rahiim (Maha Penyayang).” (QS. Asy-Syūrā: 5)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ“Dan Dia-lah Al-Ghafuur Al-Waduud (Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih).” (QS. Al-Burūj: 14) [1]Dari penyebutan sebanyak sembilan puluh satu kali tersebut, tujuh puluh dua di antaranya digandengkan dengan nama Ar-Raḥiim, dalam enam ayat bersama Al-Ḥaliim, dalam tiga ayat bersama Asy-Syakuur, dalam dua ayat bersama Al-‘Aziiz, dan dalam satu ayat bersama Al-Waduud. [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghafuur” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Kata al-Ghafuur merupakan ṣifah musyabbahah (kata sifat yang menunjukkan sifat yang menetap) dari kata kerja (غَفَرَ يغفِر) ghafara – yaghfiru. [3] Asal kata dari kata tersebut adalah al-ghafr (الغفر) yang berarti  “penutupan”.Ibnu Fāris dalam Maqāyīs al-Lughah menyatakan,الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا.“Akar kata ghain–fā’–rā’ (الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ) secara umum menunjukkan makna penutupan (as-satr), dan semua turunannya berpangkal pada makna ini. Maka al-ghafr adalah penutupan, begitu juga al-ghufrān dan al-maghfirah. Dikatakan, ‘Ghafarallāhu dzanbahu’ – Allah menutupi dosanya dengan ampunan.” [4]Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahAz-Zajjāj berkata,وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره“Makna al-ghafr (ampunan) dalam konteks Allah Subḥānahu adalah bahwa Dia menutupi dosa-dosa hamba-Nya dan melindungi mereka dengan tutupan-Nya.” [5]Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, ketika menafsirkan nama Al-Ghafuur,أَيْ: يَغْفِرُ ذَنْبَ مَنْ تَابَ إِلَيْهِ وخَضَع لَدَيْهِ، وَلَوْ كَانَ الذَّنْبُ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ كَانَ“Maksud al-Ghafuur: Dia mengampuni dosa siapa saja yang bertobat kepada-Nya dan tunduk di hadapan-Nya, walaupun dosanya berasal dari hal apa pun.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah berkata,“العفو، الغفور، الغفار” الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى}“al-‘Afuww, al-Ghafuur, al-Ghaffaar adalah (tiga) nama Allah yang menunjukkan bahwa Dia selalu dikenal dengan sifat memberi maaf, dan selalu disifati dengan ampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan ampunan dan maaf-Nya, sebagaimana mereka sangat membutuhkan rahmat dan karunia-Nya. Dan Dia telah berjanji akan memberi ampunan dan maaf bagi siapa saja yang memenuhi sebab-sebabnya. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat, beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang benar.’ (QS. Ṭāhā: 82)” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”Perbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarMemahami perbedaan kedua kata ini penting, karena keduanya merupakan nama dari nama-nama Allah yang paling baik, dan menunjukkan makna yang berbeda. Syekh Mubarak al-Musai’id hafidzahullah mengatakan,al-Ghafuur adalah Yang mengampuni dosa, betapapun besar dan beratnya.al-Ghaffaar adalah Yang mengampuni dosa, betapapun banyak dan berulangnya.Jadi, al-Ghafuur berkaitan dengan dosa-dosa yang besar dan berat; sedangkan al-Ghaffaar berkaitan dengan kuantitas dan banyaknya dosa serta kesalahan. [8] Wallaahu a’lam.Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaPenetapan nama “Al-Ghafuur” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaTelah berlalu penyebutan bahwasanya Allah menyebutkan sebanyak sembilan puluh satu kali nama tersebut dalam Al-Qur’an. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menyifati Diri-Nya sebagai Ghafuur (Maha Pengampun) atas dosa, kesalahan, dan kejahatan, baik yang kecil maupun besar—bahkan dosa syirik sekalipun. Jika pelakunya bertobat dan memohon ampun kepada Rabb-nya, maka Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman,قُلْ يَعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)Sebesar apapun dosa seorang hamba, ampunan dan rahmat Allah lebih besar daripada dosa-dosa tersebut. Allah berfirman,إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَة“Sesungguhnya Rabbmu Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) [9]Mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehMeskipun Allah adalah Al-Ghafuur, namun tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlebihan dalam melakukan maksiat, dosa, dan keburukan, dengan dalih bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ampunan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertobat dan kembali kepada Allah. Allah berfirman,إِن تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا“Jika kalian menjadi orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali (bertobat).” (QS. Al-Isra: 25)Dan Allah berfirman pula,إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا بَعْدَ سُوءٍ فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Kecuali orang yang zalim, kemudian mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11)Ayat ini menunjukkan syarat agar ampunan dan rahmat Allah dapat diraih, yaitu mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal saleh. [10]Kesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatHendaknya seorang hamba memperbanyak istigfar (memohon ampun) dalam segala keadaan. Jangan pernah merasa bahwa dosanya terlalu besar untuk diampuni. Bahkan jika dosa itu terus berulang, ia tetap harus terus bertobat dan memperbanyak istigfar. Sebab, Allah adalah Ghafuur dan Ghaffaar. Namun, agar istigfarnya benar-benar tulus, hendaknya ia memohon ampun kepada Rabb-nya dengan penuh kejujuran dan keinginan yang kuat. [11]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertobat dan tidak pernah lelah memohon ampunan. Jangan pernah berputus asa, karena ampunan-Nya lebih luas dari dosa-dosa kita. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”***Rumdin PPIA Sragen, 3 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Musai’id, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahjul al-Asma, hal. 124.[2] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 121.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 483.[4] Maqāyīs al-Lughah, hal. 696. Lihat juga al-Mishbāḥ al-Munīr, hal. 454.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 38.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 372.[7] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[8] At-Ta‘līq al-Asnā, hal. 122.[9] An-Nahjul Asmaa, hal. 126.[10] Ibid, hal. 126-127.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal 123–124.

Mengenal Nama Allah “Al-Ghafuur”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Ghafuur”Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahPerbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaBeriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaMengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehKesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatSemakin dalam seorang hamba mengenal Rabb-nya, maka semakin dia mencintai-Nya, semakin takut ia bermaksiat, dan semakin besar harapannya kepada rahmat-Nya. Salah satu dari nama-Nya yang paling agung adalah Al-Ghafuur —Yang Maha Pengampun— nama yang sering diulang dalam Al-Qur’an sebagai pintu harapan dan jalan kembali bagi siapa pun yang ingin bertobat dan memperbaiki diri.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Ghafuur, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang berkaitan dengan setiap hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Aamiin.Dalil nama Allah “Al-Ghafuur”Allah menamai diri-Nya dengan “Al-Ghafuur” dalam sembilan puluh satu ayat. Di antaranya:Firman Allah Ta’ala,أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Ketahuilah, sesungguhnya Allah, Dia-lah Al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun) lagi Ar-Rahiim (Maha Penyayang).” (QS. Asy-Syūrā: 5)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ“Dan Dia-lah Al-Ghafuur Al-Waduud (Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih).” (QS. Al-Burūj: 14) [1]Dari penyebutan sebanyak sembilan puluh satu kali tersebut, tujuh puluh dua di antaranya digandengkan dengan nama Ar-Raḥiim, dalam enam ayat bersama Al-Ḥaliim, dalam tiga ayat bersama Asy-Syakuur, dalam dua ayat bersama Al-‘Aziiz, dan dalam satu ayat bersama Al-Waduud. [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghafuur” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Kata al-Ghafuur merupakan ṣifah musyabbahah (kata sifat yang menunjukkan sifat yang menetap) dari kata kerja (غَفَرَ يغفِر) ghafara – yaghfiru. [3] Asal kata dari kata tersebut adalah al-ghafr (الغفر) yang berarti  “penutupan”.Ibnu Fāris dalam Maqāyīs al-Lughah menyatakan,الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا.“Akar kata ghain–fā’–rā’ (الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ) secara umum menunjukkan makna penutupan (as-satr), dan semua turunannya berpangkal pada makna ini. Maka al-ghafr adalah penutupan, begitu juga al-ghufrān dan al-maghfirah. Dikatakan, ‘Ghafarallāhu dzanbahu’ – Allah menutupi dosanya dengan ampunan.” [4]Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahAz-Zajjāj berkata,وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره“Makna al-ghafr (ampunan) dalam konteks Allah Subḥānahu adalah bahwa Dia menutupi dosa-dosa hamba-Nya dan melindungi mereka dengan tutupan-Nya.” [5]Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, ketika menafsirkan nama Al-Ghafuur,أَيْ: يَغْفِرُ ذَنْبَ مَنْ تَابَ إِلَيْهِ وخَضَع لَدَيْهِ، وَلَوْ كَانَ الذَّنْبُ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ كَانَ“Maksud al-Ghafuur: Dia mengampuni dosa siapa saja yang bertobat kepada-Nya dan tunduk di hadapan-Nya, walaupun dosanya berasal dari hal apa pun.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah berkata,“العفو، الغفور، الغفار” الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى}“al-‘Afuww, al-Ghafuur, al-Ghaffaar adalah (tiga) nama Allah yang menunjukkan bahwa Dia selalu dikenal dengan sifat memberi maaf, dan selalu disifati dengan ampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan ampunan dan maaf-Nya, sebagaimana mereka sangat membutuhkan rahmat dan karunia-Nya. Dan Dia telah berjanji akan memberi ampunan dan maaf bagi siapa saja yang memenuhi sebab-sebabnya. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat, beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang benar.’ (QS. Ṭāhā: 82)” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”Perbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarMemahami perbedaan kedua kata ini penting, karena keduanya merupakan nama dari nama-nama Allah yang paling baik, dan menunjukkan makna yang berbeda. Syekh Mubarak al-Musai’id hafidzahullah mengatakan,al-Ghafuur adalah Yang mengampuni dosa, betapapun besar dan beratnya.al-Ghaffaar adalah Yang mengampuni dosa, betapapun banyak dan berulangnya.Jadi, al-Ghafuur berkaitan dengan dosa-dosa yang besar dan berat; sedangkan al-Ghaffaar berkaitan dengan kuantitas dan banyaknya dosa serta kesalahan. [8] Wallaahu a’lam.Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaPenetapan nama “Al-Ghafuur” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaTelah berlalu penyebutan bahwasanya Allah menyebutkan sebanyak sembilan puluh satu kali nama tersebut dalam Al-Qur’an. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menyifati Diri-Nya sebagai Ghafuur (Maha Pengampun) atas dosa, kesalahan, dan kejahatan, baik yang kecil maupun besar—bahkan dosa syirik sekalipun. Jika pelakunya bertobat dan memohon ampun kepada Rabb-nya, maka Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman,قُلْ يَعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)Sebesar apapun dosa seorang hamba, ampunan dan rahmat Allah lebih besar daripada dosa-dosa tersebut. Allah berfirman,إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَة“Sesungguhnya Rabbmu Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) [9]Mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehMeskipun Allah adalah Al-Ghafuur, namun tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlebihan dalam melakukan maksiat, dosa, dan keburukan, dengan dalih bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ampunan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertobat dan kembali kepada Allah. Allah berfirman,إِن تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا“Jika kalian menjadi orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali (bertobat).” (QS. Al-Isra: 25)Dan Allah berfirman pula,إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا بَعْدَ سُوءٍ فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Kecuali orang yang zalim, kemudian mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11)Ayat ini menunjukkan syarat agar ampunan dan rahmat Allah dapat diraih, yaitu mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal saleh. [10]Kesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatHendaknya seorang hamba memperbanyak istigfar (memohon ampun) dalam segala keadaan. Jangan pernah merasa bahwa dosanya terlalu besar untuk diampuni. Bahkan jika dosa itu terus berulang, ia tetap harus terus bertobat dan memperbanyak istigfar. Sebab, Allah adalah Ghafuur dan Ghaffaar. Namun, agar istigfarnya benar-benar tulus, hendaknya ia memohon ampun kepada Rabb-nya dengan penuh kejujuran dan keinginan yang kuat. [11]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertobat dan tidak pernah lelah memohon ampunan. Jangan pernah berputus asa, karena ampunan-Nya lebih luas dari dosa-dosa kita. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”***Rumdin PPIA Sragen, 3 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Musai’id, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahjul al-Asma, hal. 124.[2] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 121.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 483.[4] Maqāyīs al-Lughah, hal. 696. Lihat juga al-Mishbāḥ al-Munīr, hal. 454.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 38.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 372.[7] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[8] At-Ta‘līq al-Asnā, hal. 122.[9] An-Nahjul Asmaa, hal. 126.[10] Ibid, hal. 126-127.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal 123–124.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Ghafuur”Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahPerbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaBeriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaMengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehKesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatSemakin dalam seorang hamba mengenal Rabb-nya, maka semakin dia mencintai-Nya, semakin takut ia bermaksiat, dan semakin besar harapannya kepada rahmat-Nya. Salah satu dari nama-Nya yang paling agung adalah Al-Ghafuur —Yang Maha Pengampun— nama yang sering diulang dalam Al-Qur’an sebagai pintu harapan dan jalan kembali bagi siapa pun yang ingin bertobat dan memperbaiki diri.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Ghafuur, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang berkaitan dengan setiap hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Aamiin.Dalil nama Allah “Al-Ghafuur”Allah menamai diri-Nya dengan “Al-Ghafuur” dalam sembilan puluh satu ayat. Di antaranya:Firman Allah Ta’ala,أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Ketahuilah, sesungguhnya Allah, Dia-lah Al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun) lagi Ar-Rahiim (Maha Penyayang).” (QS. Asy-Syūrā: 5)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ“Dan Dia-lah Al-Ghafuur Al-Waduud (Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih).” (QS. Al-Burūj: 14) [1]Dari penyebutan sebanyak sembilan puluh satu kali tersebut, tujuh puluh dua di antaranya digandengkan dengan nama Ar-Raḥiim, dalam enam ayat bersama Al-Ḥaliim, dalam tiga ayat bersama Asy-Syakuur, dalam dua ayat bersama Al-‘Aziiz, dan dalam satu ayat bersama Al-Waduud. [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghafuur” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Kata al-Ghafuur merupakan ṣifah musyabbahah (kata sifat yang menunjukkan sifat yang menetap) dari kata kerja (غَفَرَ يغفِر) ghafara – yaghfiru. [3] Asal kata dari kata tersebut adalah al-ghafr (الغفر) yang berarti  “penutupan”.Ibnu Fāris dalam Maqāyīs al-Lughah menyatakan,الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا.“Akar kata ghain–fā’–rā’ (الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ) secara umum menunjukkan makna penutupan (as-satr), dan semua turunannya berpangkal pada makna ini. Maka al-ghafr adalah penutupan, begitu juga al-ghufrān dan al-maghfirah. Dikatakan, ‘Ghafarallāhu dzanbahu’ – Allah menutupi dosanya dengan ampunan.” [4]Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahAz-Zajjāj berkata,وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره“Makna al-ghafr (ampunan) dalam konteks Allah Subḥānahu adalah bahwa Dia menutupi dosa-dosa hamba-Nya dan melindungi mereka dengan tutupan-Nya.” [5]Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, ketika menafsirkan nama Al-Ghafuur,أَيْ: يَغْفِرُ ذَنْبَ مَنْ تَابَ إِلَيْهِ وخَضَع لَدَيْهِ، وَلَوْ كَانَ الذَّنْبُ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ كَانَ“Maksud al-Ghafuur: Dia mengampuni dosa siapa saja yang bertobat kepada-Nya dan tunduk di hadapan-Nya, walaupun dosanya berasal dari hal apa pun.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah berkata,“العفو، الغفور، الغفار” الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى}“al-‘Afuww, al-Ghafuur, al-Ghaffaar adalah (tiga) nama Allah yang menunjukkan bahwa Dia selalu dikenal dengan sifat memberi maaf, dan selalu disifati dengan ampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan ampunan dan maaf-Nya, sebagaimana mereka sangat membutuhkan rahmat dan karunia-Nya. Dan Dia telah berjanji akan memberi ampunan dan maaf bagi siapa saja yang memenuhi sebab-sebabnya. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat, beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang benar.’ (QS. Ṭāhā: 82)” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”Perbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarMemahami perbedaan kedua kata ini penting, karena keduanya merupakan nama dari nama-nama Allah yang paling baik, dan menunjukkan makna yang berbeda. Syekh Mubarak al-Musai’id hafidzahullah mengatakan,al-Ghafuur adalah Yang mengampuni dosa, betapapun besar dan beratnya.al-Ghaffaar adalah Yang mengampuni dosa, betapapun banyak dan berulangnya.Jadi, al-Ghafuur berkaitan dengan dosa-dosa yang besar dan berat; sedangkan al-Ghaffaar berkaitan dengan kuantitas dan banyaknya dosa serta kesalahan. [8] Wallaahu a’lam.Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaPenetapan nama “Al-Ghafuur” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaTelah berlalu penyebutan bahwasanya Allah menyebutkan sebanyak sembilan puluh satu kali nama tersebut dalam Al-Qur’an. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menyifati Diri-Nya sebagai Ghafuur (Maha Pengampun) atas dosa, kesalahan, dan kejahatan, baik yang kecil maupun besar—bahkan dosa syirik sekalipun. Jika pelakunya bertobat dan memohon ampun kepada Rabb-nya, maka Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman,قُلْ يَعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)Sebesar apapun dosa seorang hamba, ampunan dan rahmat Allah lebih besar daripada dosa-dosa tersebut. Allah berfirman,إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَة“Sesungguhnya Rabbmu Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) [9]Mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehMeskipun Allah adalah Al-Ghafuur, namun tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlebihan dalam melakukan maksiat, dosa, dan keburukan, dengan dalih bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ampunan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertobat dan kembali kepada Allah. Allah berfirman,إِن تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا“Jika kalian menjadi orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali (bertobat).” (QS. Al-Isra: 25)Dan Allah berfirman pula,إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا بَعْدَ سُوءٍ فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Kecuali orang yang zalim, kemudian mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11)Ayat ini menunjukkan syarat agar ampunan dan rahmat Allah dapat diraih, yaitu mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal saleh. [10]Kesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatHendaknya seorang hamba memperbanyak istigfar (memohon ampun) dalam segala keadaan. Jangan pernah merasa bahwa dosanya terlalu besar untuk diampuni. Bahkan jika dosa itu terus berulang, ia tetap harus terus bertobat dan memperbanyak istigfar. Sebab, Allah adalah Ghafuur dan Ghaffaar. Namun, agar istigfarnya benar-benar tulus, hendaknya ia memohon ampun kepada Rabb-nya dengan penuh kejujuran dan keinginan yang kuat. [11]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertobat dan tidak pernah lelah memohon ampunan. Jangan pernah berputus asa, karena ampunan-Nya lebih luas dari dosa-dosa kita. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”***Rumdin PPIA Sragen, 3 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Musai’id, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahjul al-Asma, hal. 124.[2] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 121.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 483.[4] Maqāyīs al-Lughah, hal. 696. Lihat juga al-Mishbāḥ al-Munīr, hal. 454.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 38.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 372.[7] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[8] At-Ta‘līq al-Asnā, hal. 122.[9] An-Nahjul Asmaa, hal. 126.[10] Ibid, hal. 126-127.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal 123–124.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Ghafuur”Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahPerbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaBeriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaMengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehKesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatSemakin dalam seorang hamba mengenal Rabb-nya, maka semakin dia mencintai-Nya, semakin takut ia bermaksiat, dan semakin besar harapannya kepada rahmat-Nya. Salah satu dari nama-Nya yang paling agung adalah Al-Ghafuur —Yang Maha Pengampun— nama yang sering diulang dalam Al-Qur’an sebagai pintu harapan dan jalan kembali bagi siapa pun yang ingin bertobat dan memperbaiki diri.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Ghafuur, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang berkaitan dengan setiap hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Aamiin.Dalil nama Allah “Al-Ghafuur”Allah menamai diri-Nya dengan “Al-Ghafuur” dalam sembilan puluh satu ayat. Di antaranya:Firman Allah Ta’ala,أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Ketahuilah, sesungguhnya Allah, Dia-lah Al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun) lagi Ar-Rahiim (Maha Penyayang).” (QS. Asy-Syūrā: 5)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ“Dan Dia-lah Al-Ghafuur Al-Waduud (Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih).” (QS. Al-Burūj: 14) [1]Dari penyebutan sebanyak sembilan puluh satu kali tersebut, tujuh puluh dua di antaranya digandengkan dengan nama Ar-Raḥiim, dalam enam ayat bersama Al-Ḥaliim, dalam tiga ayat bersama Asy-Syakuur, dalam dua ayat bersama Al-‘Aziiz, dan dalam satu ayat bersama Al-Waduud. [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Ghafuur”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghafuur” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Ghafuur”Kata al-Ghafuur merupakan ṣifah musyabbahah (kata sifat yang menunjukkan sifat yang menetap) dari kata kerja (غَفَرَ يغفِر) ghafara – yaghfiru. [3] Asal kata dari kata tersebut adalah al-ghafr (الغفر) yang berarti  “penutupan”.Ibnu Fāris dalam Maqāyīs al-Lughah menyatakan,الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا.“Akar kata ghain–fā’–rā’ (الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ) secara umum menunjukkan makna penutupan (as-satr), dan semua turunannya berpangkal pada makna ini. Maka al-ghafr adalah penutupan, begitu juga al-ghufrān dan al-maghfirah. Dikatakan, ‘Ghafarallāhu dzanbahu’ – Allah menutupi dosanya dengan ampunan.” [4]Makna “Al-Ghafuur” dalam konteks AllahAz-Zajjāj berkata,وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره“Makna al-ghafr (ampunan) dalam konteks Allah Subḥānahu adalah bahwa Dia menutupi dosa-dosa hamba-Nya dan melindungi mereka dengan tutupan-Nya.” [5]Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, ketika menafsirkan nama Al-Ghafuur,أَيْ: يَغْفِرُ ذَنْبَ مَنْ تَابَ إِلَيْهِ وخَضَع لَدَيْهِ، وَلَوْ كَانَ الذَّنْبُ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ كَانَ“Maksud al-Ghafuur: Dia mengampuni dosa siapa saja yang bertobat kepada-Nya dan tunduk di hadapan-Nya, walaupun dosanya berasal dari hal apa pun.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah berkata,“العفو، الغفور، الغفار” الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى}“al-‘Afuww, al-Ghafuur, al-Ghaffaar adalah (tiga) nama Allah yang menunjukkan bahwa Dia selalu dikenal dengan sifat memberi maaf, dan selalu disifati dengan ampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan ampunan dan maaf-Nya, sebagaimana mereka sangat membutuhkan rahmat dan karunia-Nya. Dan Dia telah berjanji akan memberi ampunan dan maaf bagi siapa saja yang memenuhi sebab-sebabnya. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat, beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang benar.’ (QS. Ṭāhā: 82)” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”Perbedaan antara al-Ghafuur dan al-GhaffaarMemahami perbedaan kedua kata ini penting, karena keduanya merupakan nama dari nama-nama Allah yang paling baik, dan menunjukkan makna yang berbeda. Syekh Mubarak al-Musai’id hafidzahullah mengatakan,al-Ghafuur adalah Yang mengampuni dosa, betapapun besar dan beratnya.al-Ghaffaar adalah Yang mengampuni dosa, betapapun banyak dan berulangnya.Jadi, al-Ghafuur berkaitan dengan dosa-dosa yang besar dan berat; sedangkan al-Ghaffaar berkaitan dengan kuantitas dan banyaknya dosa serta kesalahan. [8] Wallaahu a’lam.Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghafuur” bagi hambaPenetapan nama “Al-Ghafuur” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa Al-Ghafuur adalah salah satu dari Asmaul HusnaTelah berlalu penyebutan bahwasanya Allah menyebutkan sebanyak sembilan puluh satu kali nama tersebut dalam Al-Qur’an. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menyifati Diri-Nya sebagai Ghafuur (Maha Pengampun) atas dosa, kesalahan, dan kejahatan, baik yang kecil maupun besar—bahkan dosa syirik sekalipun. Jika pelakunya bertobat dan memohon ampun kepada Rabb-nya, maka Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman,قُلْ يَعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)Sebesar apapun dosa seorang hamba, ampunan dan rahmat Allah lebih besar daripada dosa-dosa tersebut. Allah berfirman,إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَة“Sesungguhnya Rabbmu Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) [9]Mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal salehMeskipun Allah adalah Al-Ghafuur, namun tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlebihan dalam melakukan maksiat, dosa, dan keburukan, dengan dalih bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ampunan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertobat dan kembali kepada Allah. Allah berfirman,إِن تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا“Jika kalian menjadi orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali (bertobat).” (QS. Al-Isra: 25)Dan Allah berfirman pula,إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا بَعْدَ سُوءٍ فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Kecuali orang yang zalim, kemudian mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11)Ayat ini menunjukkan syarat agar ampunan dan rahmat Allah dapat diraih, yaitu mengubah keadaan dari melakukan dosa dan keburukan menjadi mengerjakan kebaikan dan amal saleh. [10]Kesungguhan dalam Istighfar sebesar apapun dosa yang telah diperbuatHendaknya seorang hamba memperbanyak istigfar (memohon ampun) dalam segala keadaan. Jangan pernah merasa bahwa dosanya terlalu besar untuk diampuni. Bahkan jika dosa itu terus berulang, ia tetap harus terus bertobat dan memperbanyak istigfar. Sebab, Allah adalah Ghafuur dan Ghaffaar. Namun, agar istigfarnya benar-benar tulus, hendaknya ia memohon ampun kepada Rabb-nya dengan penuh kejujuran dan keinginan yang kuat. [11]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertobat dan tidak pernah lelah memohon ampunan. Jangan pernah berputus asa, karena ampunan-Nya lebih luas dari dosa-dosa kita. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”***Rumdin PPIA Sragen, 3 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Musai’id, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] An-Nahjul al-Asma, hal. 124.[2] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 121.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 483.[4] Maqāyīs al-Lughah, hal. 696. Lihat juga al-Mishbāḥ al-Munīr, hal. 454.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 38.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 372.[7] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[8] At-Ta‘līq al-Asnā, hal. 122.[9] An-Nahjul Asmaa, hal. 126.[10] Ibid, hal. 126-127.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal 123–124.

Sebab Terhalangnya Rezeki: Dosa-Dosa Khalwah

أسباب انقطاع الرزق – الذنوب الخفية (ذنوب الخلوات) Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي مقدمة: ذنوب الخَلوات: هي الذنوب والمعاصي التي يرتكبها الإنسان في الخفاء، بعيدًا عن أعيُن الناس، ولكنها مرئية لله تعالى، وهي من أسباب ضعف الإيمان، وتقلُّب الأحوال، وضياع الأعمال الصالحة. الرزق بيد الله وحده، وهو الذي ﴿ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ﴾ [الرعد: 26]، ولكن هناك أسباب شرعية قد تكون سببًا في نقص الرزق أو انقطاعه، من أعظمها: الذنوب والمعاصي، وبخاصة ذنوبُ الخلوات التي يُصِرُّ عليها العبدُ حين يكون بعيدًا عن أعين الناس، لكنها لا تَغيب عن سمع الله وبصره. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لأعلمنَّ أقوامًا من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة، فيَجعلها الله هباءً منثورًا… إذا خَلوا بمحارم الله انتهكوها”[ابن ماجه، حديث رقم 4245، وصححه الألباني.]. وهذا الحديث يُظهر أثرَ تلك الذنوب في مَحْق الأعمال، فكيف لا تؤثِّر في الرزق؟ Pendahuluan  Dosa-dosa khalwah adalah dosa-dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang ketika sedang sendirian, jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tetap terlihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan salah satu hal yang melemahkan iman, memperburuk keadaan, dan tersia-siakan amal kebaikan. Rezeki berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dia telah berfirman, “(Allah Subhanahu wa Ta’ala) melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa yang Dia kehendaki)” (QS. Ar-Ra’d: 26). Namun, dalam syariat terdapat hal-hal yang mungkin menjadi sebab berkurang atau bahkan terputusnya rezeki, dan di antara hal terbesarnya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan, terlebih lagi dosa-dosa di kala sendiri yang terus-menerus dikerjakan seorang hamba saat ia jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tidak tersembunyi dari pandangan dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ فَيَجْعَلُهَا اللهُ هَبَاءً مَنْثُورًا… إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah, lantas Allah menjadikannya sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan (yaitu mereka yang) jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah no. 4245, dan dishahihkan Al-Albani). Hadits ini menunjukkan pengaruh dosa-dosa dalam melenyapkan amal-amal kebaikan, maka bagaimana mungkin dosa-dosa itu tidak berpengaruh pada rezeki! أثر الذنوب الخفيَّة على الرزق: 1- حِرمان البركة: قال ابن القيم: “الذنوب تُطفئ نور القلب، وتُضعف البدن، وتُقلل الرزق”[ابن القيم، الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي.]. 2- حِجاب بين العبد ودعائه: العبد العاصي في خَلوته قد يُحرَم استجابة الدعاء، فيُغلق باب الرزق؛ كما في الحديث: ” ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومَطعمه حرام، ومَلبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!”؛ رواه مسلم[صحيح مسلم، حديث رقم 1015].  3- محق النِعَم: قال تعالى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴾ [الأنفال: 53] 4- طرد من معية الله: من أعظم ما يُفتَح الرزق قُرب العبد من الله، أما ذنوب الخلوات، فتُورِث البُعد والحِرمان. Pengaruh dosa-dosa khalwah terhadap rezeki Memutus keberkahan Ibnu Al-Qayyim berkata, “Dosa-dosa dapat memadamkan cahaya hati, melemahkan badan, dan mengurangi rezeki.” (Kitab Al-Jawab Al-Kafi karya Ibnu Al-Qayyim). Penghalang antara seorang hamba dengan pengabulan doanya Seorang hamba yang bermaksiat dalam kesendiriannya dapat terhalang dari pengabulan doa, sehingga pintu rezekinya dapat tertutup, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” tapi makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, serta kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan? (HR. Muslim no. 1015). Melenyapkan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman: ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Al-Anfal: 53). Terjauhkan dari penyertaan Allah Subhanahu wa Ta’ala Salah satu perkara terbesar yang dapat membuka pintu rezeki adalah dekatnya seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan dosa-dosa khalwah akan menjadikan seseorang jauh dan terhalang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. لماذا كانت ذنوب الخلوات أشدَّ؟ • لأنها تدل على سوء تعظيم لله، فقد استصغَر العبد نظرَ الله إليه. • وتكشف عن ضَعف مراقبة الله في القلب، وهو أساس الإيمان. قال أحد السلف: “لا تنظر إلى صِغَر الذنب، ولكن انظر إلى عِظَم مَن عصيت”[ابن عطاء السكندري، الحِكم العطائية.]. Mengapa dosa-dosa khalwah lebih berbahaya? Karena dosa-dosa ini menjadi tanda rendahnya pengagungan pelakunya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, orang tersebut meremehkan pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Ini juga menunjukkan lemahnya rasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam hatinya, padahal itu adalah dasar keimanan. Seorang ulama salaf berkata, “Jangan kamu melihat kecilnya dosa, tapi lihatlah besarnya Dzat yang kamu maksiati!” (Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah karya Ibnu Atha’ Al-Askandari). علاج ذنوب الخلوات: كل إنسان مسلم معرَّض للوقوع في الذنوب، وهناك فرق بين الإنسان المستمر في الذنوب والمعاصي، وبين غيره أنه متى ما وقع في الذنب قام بأمرين[ذنوب الخلوات وخطرها على المسلم، إسلام ويب، د. أحمد المحمدي.]: الأول: تاب وأناب وسارَع بالتوبة، والاستغفار؛ قال تعالى: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]، وقال تعالى: ﴿ وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴾ [النساء: 110]. والله تعالى يَفرَح بتوبة عبده إذا تاب إليه؛ كما جاء في الحديث عن أَنَس بْن مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ)؛ رواه البخاري. الثاني: أنه يَدرُس أسباب الوقوع في المعصية ويعمَل على إزالتها، وهذا ما يجب فعله؛ حتى نتخلص من هذه المعاصي. Obat dosa-dosa khalwah Setiap muslim pasti punya kemungkinan untuk terjerumus ke dalam dosa, tapi terdapat perbedaan antara orang yang bersikukuh di atas dosa-dosa dan kemaksiatannya, dan orang yang setiap terjerumus ke dalam dosa akan melakukan dua perkara berikut ini (Lihat: Artikel Dzunub Al-Khalawat wa Khatharuha Ala Al-Muslim karya Dr. Ahmad al-Muhammadi di IslamWeb): Pertama: Segera insaf, bertobat, dan memohon ampun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110). Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat bahagia dengan pertobatan hamba-Nya, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ “Sungguh Allah lebih bahagia dengan pertobatan hamba-Nya saat ia bertobat, daripada bahagianya salah seorang dari kalian yang mengendarai hewan tunggangannya di gurun pasir, lalu hewan itu lepas bersama makanan dan minuman yang ada di atasnya, sehingga ia telah berputus asa darinya. Kemudian ia mendatangi pohon dan berbaring di naungannya, berputus asa untuk menemukan hewan tunggangannya. Saat keadaan sudah demikian, tiba-tiba hewan itu telah berdiri di sisinya, sehingga ia segera mengambil tali kekangnya dan berseru —karena saking senangnya—, ‘Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu!’ Orang itu salah ucap karena saking senangnya.” (HR. al-Bukhari). Kedua: Pelaku dosa itu mempelajari hal-hal yang menyebabkannya terjerumus ke dalam kemaksiatan, lalu berusaha menghilangkannya. Inilah yang harus kita lakukan agar dapat terbebas dari kemaksiatan. ومن علاج ذنوب الخلوات: 1- المراقبة الدائمة لله: قال تعالى: ﴿أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى﴾ [العلق: 14]. 2- كثرة الاستغفار والتوبة: قال صلى الله عليه وسلم: “مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب”[رواه أحمد وأبو داود، وصحَّحه الحاكم.]. 3- شَغْل الوقت بطاعة الله: كلما شُغِلت الخَلوةُ بالذكر والطاعة، ضاقت مساحة المعصية. 4- الصحبة الصالحة والابتعاد عن أسباب الخَلوة المُهلكة. Di antara cara menangani dosa-dosa khalwah: 1. Selalu merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman: أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihatnya.” (QS. Al-Alaq: 14). 2. Banyak beristighfar dan bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب “Siapa yang senantiasa beristigfar, maka Allah akan memberinya jalan keluar di setiap kesempitan, solusi di setiap kegundahan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Dishahihkan Al-Hakim). 3. Mengisi waktu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, setiap kali waktu sendiri itu diisi dengan zikir dan ketaatan, maka semakin sempit kesempatan untuk bermaksiat. 4. Berteman dengan orang-orang saleh dan menjauhi waktu-waktu kesendirian yang dapat membinasakan. خاتمة: الرزق نعمة عظيمة، والمعصية قد تكون مانعًا خفيًّا له. فلنراجِع خَلَواتنا، ولنجعلها مواطنَ ذكرٍ ودموع وخشية، لا مواضع غفلة وهلاك. فمن أصلح خَلوته، أصلَح الله له علانيته، وفتَح له أبواب الرزق مِن حيث لا يحتسب. Penutup  Rezeki merupakan nikmat yang besar, sedangkan kemaksiatan dapat menjadi penghalang yang tidak disadari. Oleh sebab itu, hendaklah kita mengintrospeksi waktu-waktu kesendirian kita, dan menjadikannya sebagai momen untuk berzikir, bersimpuh, dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan sebagai waktu untuk lalai dan membinasakan diri. Siapa yang memperbaiki keadaannya di saat sendiri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperbaiki keadaannya di saat bersama orang lain dan membukakan baginya pintu-pintu rezeki yang tidak disangka-sangka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/177935/أسباب-انقطاع-الرزق-الذنوب-الخفية-ذنوب-الخلوات/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 426 times, 1 visit(s) today Post Views: 233 QRIS donasi Yufid

Sebab Terhalangnya Rezeki: Dosa-Dosa Khalwah

أسباب انقطاع الرزق – الذنوب الخفية (ذنوب الخلوات) Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي مقدمة: ذنوب الخَلوات: هي الذنوب والمعاصي التي يرتكبها الإنسان في الخفاء، بعيدًا عن أعيُن الناس، ولكنها مرئية لله تعالى، وهي من أسباب ضعف الإيمان، وتقلُّب الأحوال، وضياع الأعمال الصالحة. الرزق بيد الله وحده، وهو الذي ﴿ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ﴾ [الرعد: 26]، ولكن هناك أسباب شرعية قد تكون سببًا في نقص الرزق أو انقطاعه، من أعظمها: الذنوب والمعاصي، وبخاصة ذنوبُ الخلوات التي يُصِرُّ عليها العبدُ حين يكون بعيدًا عن أعين الناس، لكنها لا تَغيب عن سمع الله وبصره. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لأعلمنَّ أقوامًا من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة، فيَجعلها الله هباءً منثورًا… إذا خَلوا بمحارم الله انتهكوها”[ابن ماجه، حديث رقم 4245، وصححه الألباني.]. وهذا الحديث يُظهر أثرَ تلك الذنوب في مَحْق الأعمال، فكيف لا تؤثِّر في الرزق؟ Pendahuluan  Dosa-dosa khalwah adalah dosa-dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang ketika sedang sendirian, jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tetap terlihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan salah satu hal yang melemahkan iman, memperburuk keadaan, dan tersia-siakan amal kebaikan. Rezeki berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dia telah berfirman, “(Allah Subhanahu wa Ta’ala) melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa yang Dia kehendaki)” (QS. Ar-Ra’d: 26). Namun, dalam syariat terdapat hal-hal yang mungkin menjadi sebab berkurang atau bahkan terputusnya rezeki, dan di antara hal terbesarnya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan, terlebih lagi dosa-dosa di kala sendiri yang terus-menerus dikerjakan seorang hamba saat ia jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tidak tersembunyi dari pandangan dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ فَيَجْعَلُهَا اللهُ هَبَاءً مَنْثُورًا… إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah, lantas Allah menjadikannya sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan (yaitu mereka yang) jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah no. 4245, dan dishahihkan Al-Albani). Hadits ini menunjukkan pengaruh dosa-dosa dalam melenyapkan amal-amal kebaikan, maka bagaimana mungkin dosa-dosa itu tidak berpengaruh pada rezeki! أثر الذنوب الخفيَّة على الرزق: 1- حِرمان البركة: قال ابن القيم: “الذنوب تُطفئ نور القلب، وتُضعف البدن، وتُقلل الرزق”[ابن القيم، الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي.]. 2- حِجاب بين العبد ودعائه: العبد العاصي في خَلوته قد يُحرَم استجابة الدعاء، فيُغلق باب الرزق؛ كما في الحديث: ” ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومَطعمه حرام، ومَلبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!”؛ رواه مسلم[صحيح مسلم، حديث رقم 1015].  3- محق النِعَم: قال تعالى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴾ [الأنفال: 53] 4- طرد من معية الله: من أعظم ما يُفتَح الرزق قُرب العبد من الله، أما ذنوب الخلوات، فتُورِث البُعد والحِرمان. Pengaruh dosa-dosa khalwah terhadap rezeki Memutus keberkahan Ibnu Al-Qayyim berkata, “Dosa-dosa dapat memadamkan cahaya hati, melemahkan badan, dan mengurangi rezeki.” (Kitab Al-Jawab Al-Kafi karya Ibnu Al-Qayyim). Penghalang antara seorang hamba dengan pengabulan doanya Seorang hamba yang bermaksiat dalam kesendiriannya dapat terhalang dari pengabulan doa, sehingga pintu rezekinya dapat tertutup, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” tapi makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, serta kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan? (HR. Muslim no. 1015). Melenyapkan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman: ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Al-Anfal: 53). Terjauhkan dari penyertaan Allah Subhanahu wa Ta’ala Salah satu perkara terbesar yang dapat membuka pintu rezeki adalah dekatnya seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan dosa-dosa khalwah akan menjadikan seseorang jauh dan terhalang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. لماذا كانت ذنوب الخلوات أشدَّ؟ • لأنها تدل على سوء تعظيم لله، فقد استصغَر العبد نظرَ الله إليه. • وتكشف عن ضَعف مراقبة الله في القلب، وهو أساس الإيمان. قال أحد السلف: “لا تنظر إلى صِغَر الذنب، ولكن انظر إلى عِظَم مَن عصيت”[ابن عطاء السكندري، الحِكم العطائية.]. Mengapa dosa-dosa khalwah lebih berbahaya? Karena dosa-dosa ini menjadi tanda rendahnya pengagungan pelakunya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, orang tersebut meremehkan pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Ini juga menunjukkan lemahnya rasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam hatinya, padahal itu adalah dasar keimanan. Seorang ulama salaf berkata, “Jangan kamu melihat kecilnya dosa, tapi lihatlah besarnya Dzat yang kamu maksiati!” (Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah karya Ibnu Atha’ Al-Askandari). علاج ذنوب الخلوات: كل إنسان مسلم معرَّض للوقوع في الذنوب، وهناك فرق بين الإنسان المستمر في الذنوب والمعاصي، وبين غيره أنه متى ما وقع في الذنب قام بأمرين[ذنوب الخلوات وخطرها على المسلم، إسلام ويب، د. أحمد المحمدي.]: الأول: تاب وأناب وسارَع بالتوبة، والاستغفار؛ قال تعالى: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]، وقال تعالى: ﴿ وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴾ [النساء: 110]. والله تعالى يَفرَح بتوبة عبده إذا تاب إليه؛ كما جاء في الحديث عن أَنَس بْن مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ)؛ رواه البخاري. الثاني: أنه يَدرُس أسباب الوقوع في المعصية ويعمَل على إزالتها، وهذا ما يجب فعله؛ حتى نتخلص من هذه المعاصي. Obat dosa-dosa khalwah Setiap muslim pasti punya kemungkinan untuk terjerumus ke dalam dosa, tapi terdapat perbedaan antara orang yang bersikukuh di atas dosa-dosa dan kemaksiatannya, dan orang yang setiap terjerumus ke dalam dosa akan melakukan dua perkara berikut ini (Lihat: Artikel Dzunub Al-Khalawat wa Khatharuha Ala Al-Muslim karya Dr. Ahmad al-Muhammadi di IslamWeb): Pertama: Segera insaf, bertobat, dan memohon ampun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110). Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat bahagia dengan pertobatan hamba-Nya, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ “Sungguh Allah lebih bahagia dengan pertobatan hamba-Nya saat ia bertobat, daripada bahagianya salah seorang dari kalian yang mengendarai hewan tunggangannya di gurun pasir, lalu hewan itu lepas bersama makanan dan minuman yang ada di atasnya, sehingga ia telah berputus asa darinya. Kemudian ia mendatangi pohon dan berbaring di naungannya, berputus asa untuk menemukan hewan tunggangannya. Saat keadaan sudah demikian, tiba-tiba hewan itu telah berdiri di sisinya, sehingga ia segera mengambil tali kekangnya dan berseru —karena saking senangnya—, ‘Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu!’ Orang itu salah ucap karena saking senangnya.” (HR. al-Bukhari). Kedua: Pelaku dosa itu mempelajari hal-hal yang menyebabkannya terjerumus ke dalam kemaksiatan, lalu berusaha menghilangkannya. Inilah yang harus kita lakukan agar dapat terbebas dari kemaksiatan. ومن علاج ذنوب الخلوات: 1- المراقبة الدائمة لله: قال تعالى: ﴿أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى﴾ [العلق: 14]. 2- كثرة الاستغفار والتوبة: قال صلى الله عليه وسلم: “مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب”[رواه أحمد وأبو داود، وصحَّحه الحاكم.]. 3- شَغْل الوقت بطاعة الله: كلما شُغِلت الخَلوةُ بالذكر والطاعة، ضاقت مساحة المعصية. 4- الصحبة الصالحة والابتعاد عن أسباب الخَلوة المُهلكة. Di antara cara menangani dosa-dosa khalwah: 1. Selalu merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman: أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihatnya.” (QS. Al-Alaq: 14). 2. Banyak beristighfar dan bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب “Siapa yang senantiasa beristigfar, maka Allah akan memberinya jalan keluar di setiap kesempitan, solusi di setiap kegundahan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Dishahihkan Al-Hakim). 3. Mengisi waktu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, setiap kali waktu sendiri itu diisi dengan zikir dan ketaatan, maka semakin sempit kesempatan untuk bermaksiat. 4. Berteman dengan orang-orang saleh dan menjauhi waktu-waktu kesendirian yang dapat membinasakan. خاتمة: الرزق نعمة عظيمة، والمعصية قد تكون مانعًا خفيًّا له. فلنراجِع خَلَواتنا، ولنجعلها مواطنَ ذكرٍ ودموع وخشية، لا مواضع غفلة وهلاك. فمن أصلح خَلوته، أصلَح الله له علانيته، وفتَح له أبواب الرزق مِن حيث لا يحتسب. Penutup  Rezeki merupakan nikmat yang besar, sedangkan kemaksiatan dapat menjadi penghalang yang tidak disadari. Oleh sebab itu, hendaklah kita mengintrospeksi waktu-waktu kesendirian kita, dan menjadikannya sebagai momen untuk berzikir, bersimpuh, dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan sebagai waktu untuk lalai dan membinasakan diri. Siapa yang memperbaiki keadaannya di saat sendiri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperbaiki keadaannya di saat bersama orang lain dan membukakan baginya pintu-pintu rezeki yang tidak disangka-sangka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/177935/أسباب-انقطاع-الرزق-الذنوب-الخفية-ذنوب-الخلوات/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 426 times, 1 visit(s) today Post Views: 233 QRIS donasi Yufid
أسباب انقطاع الرزق – الذنوب الخفية (ذنوب الخلوات) Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي مقدمة: ذنوب الخَلوات: هي الذنوب والمعاصي التي يرتكبها الإنسان في الخفاء، بعيدًا عن أعيُن الناس، ولكنها مرئية لله تعالى، وهي من أسباب ضعف الإيمان، وتقلُّب الأحوال، وضياع الأعمال الصالحة. الرزق بيد الله وحده، وهو الذي ﴿ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ﴾ [الرعد: 26]، ولكن هناك أسباب شرعية قد تكون سببًا في نقص الرزق أو انقطاعه، من أعظمها: الذنوب والمعاصي، وبخاصة ذنوبُ الخلوات التي يُصِرُّ عليها العبدُ حين يكون بعيدًا عن أعين الناس، لكنها لا تَغيب عن سمع الله وبصره. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لأعلمنَّ أقوامًا من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة، فيَجعلها الله هباءً منثورًا… إذا خَلوا بمحارم الله انتهكوها”[ابن ماجه، حديث رقم 4245، وصححه الألباني.]. وهذا الحديث يُظهر أثرَ تلك الذنوب في مَحْق الأعمال، فكيف لا تؤثِّر في الرزق؟ Pendahuluan  Dosa-dosa khalwah adalah dosa-dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang ketika sedang sendirian, jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tetap terlihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan salah satu hal yang melemahkan iman, memperburuk keadaan, dan tersia-siakan amal kebaikan. Rezeki berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dia telah berfirman, “(Allah Subhanahu wa Ta’ala) melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa yang Dia kehendaki)” (QS. Ar-Ra’d: 26). Namun, dalam syariat terdapat hal-hal yang mungkin menjadi sebab berkurang atau bahkan terputusnya rezeki, dan di antara hal terbesarnya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan, terlebih lagi dosa-dosa di kala sendiri yang terus-menerus dikerjakan seorang hamba saat ia jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tidak tersembunyi dari pandangan dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ فَيَجْعَلُهَا اللهُ هَبَاءً مَنْثُورًا… إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah, lantas Allah menjadikannya sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan (yaitu mereka yang) jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah no. 4245, dan dishahihkan Al-Albani). Hadits ini menunjukkan pengaruh dosa-dosa dalam melenyapkan amal-amal kebaikan, maka bagaimana mungkin dosa-dosa itu tidak berpengaruh pada rezeki! أثر الذنوب الخفيَّة على الرزق: 1- حِرمان البركة: قال ابن القيم: “الذنوب تُطفئ نور القلب، وتُضعف البدن، وتُقلل الرزق”[ابن القيم، الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي.]. 2- حِجاب بين العبد ودعائه: العبد العاصي في خَلوته قد يُحرَم استجابة الدعاء، فيُغلق باب الرزق؛ كما في الحديث: ” ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومَطعمه حرام، ومَلبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!”؛ رواه مسلم[صحيح مسلم، حديث رقم 1015].  3- محق النِعَم: قال تعالى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴾ [الأنفال: 53] 4- طرد من معية الله: من أعظم ما يُفتَح الرزق قُرب العبد من الله، أما ذنوب الخلوات، فتُورِث البُعد والحِرمان. Pengaruh dosa-dosa khalwah terhadap rezeki Memutus keberkahan Ibnu Al-Qayyim berkata, “Dosa-dosa dapat memadamkan cahaya hati, melemahkan badan, dan mengurangi rezeki.” (Kitab Al-Jawab Al-Kafi karya Ibnu Al-Qayyim). Penghalang antara seorang hamba dengan pengabulan doanya Seorang hamba yang bermaksiat dalam kesendiriannya dapat terhalang dari pengabulan doa, sehingga pintu rezekinya dapat tertutup, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” tapi makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, serta kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan? (HR. Muslim no. 1015). Melenyapkan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman: ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Al-Anfal: 53). Terjauhkan dari penyertaan Allah Subhanahu wa Ta’ala Salah satu perkara terbesar yang dapat membuka pintu rezeki adalah dekatnya seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan dosa-dosa khalwah akan menjadikan seseorang jauh dan terhalang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. لماذا كانت ذنوب الخلوات أشدَّ؟ • لأنها تدل على سوء تعظيم لله، فقد استصغَر العبد نظرَ الله إليه. • وتكشف عن ضَعف مراقبة الله في القلب، وهو أساس الإيمان. قال أحد السلف: “لا تنظر إلى صِغَر الذنب، ولكن انظر إلى عِظَم مَن عصيت”[ابن عطاء السكندري، الحِكم العطائية.]. Mengapa dosa-dosa khalwah lebih berbahaya? Karena dosa-dosa ini menjadi tanda rendahnya pengagungan pelakunya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, orang tersebut meremehkan pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Ini juga menunjukkan lemahnya rasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam hatinya, padahal itu adalah dasar keimanan. Seorang ulama salaf berkata, “Jangan kamu melihat kecilnya dosa, tapi lihatlah besarnya Dzat yang kamu maksiati!” (Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah karya Ibnu Atha’ Al-Askandari). علاج ذنوب الخلوات: كل إنسان مسلم معرَّض للوقوع في الذنوب، وهناك فرق بين الإنسان المستمر في الذنوب والمعاصي، وبين غيره أنه متى ما وقع في الذنب قام بأمرين[ذنوب الخلوات وخطرها على المسلم، إسلام ويب، د. أحمد المحمدي.]: الأول: تاب وأناب وسارَع بالتوبة، والاستغفار؛ قال تعالى: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]، وقال تعالى: ﴿ وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴾ [النساء: 110]. والله تعالى يَفرَح بتوبة عبده إذا تاب إليه؛ كما جاء في الحديث عن أَنَس بْن مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ)؛ رواه البخاري. الثاني: أنه يَدرُس أسباب الوقوع في المعصية ويعمَل على إزالتها، وهذا ما يجب فعله؛ حتى نتخلص من هذه المعاصي. Obat dosa-dosa khalwah Setiap muslim pasti punya kemungkinan untuk terjerumus ke dalam dosa, tapi terdapat perbedaan antara orang yang bersikukuh di atas dosa-dosa dan kemaksiatannya, dan orang yang setiap terjerumus ke dalam dosa akan melakukan dua perkara berikut ini (Lihat: Artikel Dzunub Al-Khalawat wa Khatharuha Ala Al-Muslim karya Dr. Ahmad al-Muhammadi di IslamWeb): Pertama: Segera insaf, bertobat, dan memohon ampun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110). Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat bahagia dengan pertobatan hamba-Nya, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ “Sungguh Allah lebih bahagia dengan pertobatan hamba-Nya saat ia bertobat, daripada bahagianya salah seorang dari kalian yang mengendarai hewan tunggangannya di gurun pasir, lalu hewan itu lepas bersama makanan dan minuman yang ada di atasnya, sehingga ia telah berputus asa darinya. Kemudian ia mendatangi pohon dan berbaring di naungannya, berputus asa untuk menemukan hewan tunggangannya. Saat keadaan sudah demikian, tiba-tiba hewan itu telah berdiri di sisinya, sehingga ia segera mengambil tali kekangnya dan berseru —karena saking senangnya—, ‘Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu!’ Orang itu salah ucap karena saking senangnya.” (HR. al-Bukhari). Kedua: Pelaku dosa itu mempelajari hal-hal yang menyebabkannya terjerumus ke dalam kemaksiatan, lalu berusaha menghilangkannya. Inilah yang harus kita lakukan agar dapat terbebas dari kemaksiatan. ومن علاج ذنوب الخلوات: 1- المراقبة الدائمة لله: قال تعالى: ﴿أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى﴾ [العلق: 14]. 2- كثرة الاستغفار والتوبة: قال صلى الله عليه وسلم: “مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب”[رواه أحمد وأبو داود، وصحَّحه الحاكم.]. 3- شَغْل الوقت بطاعة الله: كلما شُغِلت الخَلوةُ بالذكر والطاعة، ضاقت مساحة المعصية. 4- الصحبة الصالحة والابتعاد عن أسباب الخَلوة المُهلكة. Di antara cara menangani dosa-dosa khalwah: 1. Selalu merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman: أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihatnya.” (QS. Al-Alaq: 14). 2. Banyak beristighfar dan bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب “Siapa yang senantiasa beristigfar, maka Allah akan memberinya jalan keluar di setiap kesempitan, solusi di setiap kegundahan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Dishahihkan Al-Hakim). 3. Mengisi waktu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, setiap kali waktu sendiri itu diisi dengan zikir dan ketaatan, maka semakin sempit kesempatan untuk bermaksiat. 4. Berteman dengan orang-orang saleh dan menjauhi waktu-waktu kesendirian yang dapat membinasakan. خاتمة: الرزق نعمة عظيمة، والمعصية قد تكون مانعًا خفيًّا له. فلنراجِع خَلَواتنا، ولنجعلها مواطنَ ذكرٍ ودموع وخشية، لا مواضع غفلة وهلاك. فمن أصلح خَلوته، أصلَح الله له علانيته، وفتَح له أبواب الرزق مِن حيث لا يحتسب. Penutup  Rezeki merupakan nikmat yang besar, sedangkan kemaksiatan dapat menjadi penghalang yang tidak disadari. Oleh sebab itu, hendaklah kita mengintrospeksi waktu-waktu kesendirian kita, dan menjadikannya sebagai momen untuk berzikir, bersimpuh, dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan sebagai waktu untuk lalai dan membinasakan diri. Siapa yang memperbaiki keadaannya di saat sendiri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperbaiki keadaannya di saat bersama orang lain dan membukakan baginya pintu-pintu rezeki yang tidak disangka-sangka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/177935/أسباب-انقطاع-الرزق-الذنوب-الخفية-ذنوب-الخلوات/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 426 times, 1 visit(s) today Post Views: 233 QRIS donasi Yufid


أسباب انقطاع الرزق – الذنوب الخفية (ذنوب الخلوات) Oleh: Muhammad Ahmad Abdul Baqi al-Khauli محمد أحمد عبدالباقي الخولي مقدمة: ذنوب الخَلوات: هي الذنوب والمعاصي التي يرتكبها الإنسان في الخفاء، بعيدًا عن أعيُن الناس، ولكنها مرئية لله تعالى، وهي من أسباب ضعف الإيمان، وتقلُّب الأحوال، وضياع الأعمال الصالحة. الرزق بيد الله وحده، وهو الذي ﴿ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ﴾ [الرعد: 26]، ولكن هناك أسباب شرعية قد تكون سببًا في نقص الرزق أو انقطاعه، من أعظمها: الذنوب والمعاصي، وبخاصة ذنوبُ الخلوات التي يُصِرُّ عليها العبدُ حين يكون بعيدًا عن أعين الناس، لكنها لا تَغيب عن سمع الله وبصره. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لأعلمنَّ أقوامًا من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة، فيَجعلها الله هباءً منثورًا… إذا خَلوا بمحارم الله انتهكوها”[ابن ماجه، حديث رقم 4245، وصححه الألباني.]. وهذا الحديث يُظهر أثرَ تلك الذنوب في مَحْق الأعمال، فكيف لا تؤثِّر في الرزق؟ Pendahuluan  Dosa-dosa khalwah adalah dosa-dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang ketika sedang sendirian, jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tetap terlihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan salah satu hal yang melemahkan iman, memperburuk keadaan, dan tersia-siakan amal kebaikan. Rezeki berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dia telah berfirman, “(Allah Subhanahu wa Ta’ala) melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa yang Dia kehendaki)” (QS. Ar-Ra’d: 26). Namun, dalam syariat terdapat hal-hal yang mungkin menjadi sebab berkurang atau bahkan terputusnya rezeki, dan di antara hal terbesarnya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan, terlebih lagi dosa-dosa di kala sendiri yang terus-menerus dikerjakan seorang hamba saat ia jauh dari pandangan mata manusia, tapi tentu itu tidak tersembunyi dari pandangan dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ فَيَجْعَلُهَا اللهُ هَبَاءً مَنْثُورًا… إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah, lantas Allah menjadikannya sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan (yaitu mereka yang) jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah no. 4245, dan dishahihkan Al-Albani). Hadits ini menunjukkan pengaruh dosa-dosa dalam melenyapkan amal-amal kebaikan, maka bagaimana mungkin dosa-dosa itu tidak berpengaruh pada rezeki! أثر الذنوب الخفيَّة على الرزق: 1- حِرمان البركة: قال ابن القيم: “الذنوب تُطفئ نور القلب، وتُضعف البدن، وتُقلل الرزق”[ابن القيم، الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي.]. 2- حِجاب بين العبد ودعائه: العبد العاصي في خَلوته قد يُحرَم استجابة الدعاء، فيُغلق باب الرزق؛ كما في الحديث: ” ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومَطعمه حرام، ومَلبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!”؛ رواه مسلم[صحيح مسلم، حديث رقم 1015].  3- محق النِعَم: قال تعالى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴾ [الأنفال: 53] 4- طرد من معية الله: من أعظم ما يُفتَح الرزق قُرب العبد من الله، أما ذنوب الخلوات، فتُورِث البُعد والحِرمان. Pengaruh dosa-dosa khalwah terhadap rezeki Memutus keberkahan Ibnu Al-Qayyim berkata, “Dosa-dosa dapat memadamkan cahaya hati, melemahkan badan, dan mengurangi rezeki.” (Kitab Al-Jawab Al-Kafi karya Ibnu Al-Qayyim). Penghalang antara seorang hamba dengan pengabulan doanya Seorang hamba yang bermaksiat dalam kesendiriannya dapat terhalang dari pengabulan doa, sehingga pintu rezekinya dapat tertutup, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” tapi makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, serta kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan? (HR. Muslim no. 1015). Melenyapkan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman: ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Al-Anfal: 53). Terjauhkan dari penyertaan Allah Subhanahu wa Ta’ala Salah satu perkara terbesar yang dapat membuka pintu rezeki adalah dekatnya seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan dosa-dosa khalwah akan menjadikan seseorang jauh dan terhalang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. لماذا كانت ذنوب الخلوات أشدَّ؟ • لأنها تدل على سوء تعظيم لله، فقد استصغَر العبد نظرَ الله إليه. • وتكشف عن ضَعف مراقبة الله في القلب، وهو أساس الإيمان. قال أحد السلف: “لا تنظر إلى صِغَر الذنب، ولكن انظر إلى عِظَم مَن عصيت”[ابن عطاء السكندري، الحِكم العطائية.]. Mengapa dosa-dosa khalwah lebih berbahaya? Karena dosa-dosa ini menjadi tanda rendahnya pengagungan pelakunya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, orang tersebut meremehkan pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Ini juga menunjukkan lemahnya rasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam hatinya, padahal itu adalah dasar keimanan. Seorang ulama salaf berkata, “Jangan kamu melihat kecilnya dosa, tapi lihatlah besarnya Dzat yang kamu maksiati!” (Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah karya Ibnu Atha’ Al-Askandari). علاج ذنوب الخلوات: كل إنسان مسلم معرَّض للوقوع في الذنوب، وهناك فرق بين الإنسان المستمر في الذنوب والمعاصي، وبين غيره أنه متى ما وقع في الذنب قام بأمرين[ذنوب الخلوات وخطرها على المسلم، إسلام ويب، د. أحمد المحمدي.]: الأول: تاب وأناب وسارَع بالتوبة، والاستغفار؛ قال تعالى: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]، وقال تعالى: ﴿ وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴾ [النساء: 110]. والله تعالى يَفرَح بتوبة عبده إذا تاب إليه؛ كما جاء في الحديث عن أَنَس بْن مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ)؛ رواه البخاري. الثاني: أنه يَدرُس أسباب الوقوع في المعصية ويعمَل على إزالتها، وهذا ما يجب فعله؛ حتى نتخلص من هذه المعاصي. Obat dosa-dosa khalwah Setiap muslim pasti punya kemungkinan untuk terjerumus ke dalam dosa, tapi terdapat perbedaan antara orang yang bersikukuh di atas dosa-dosa dan kemaksiatannya, dan orang yang setiap terjerumus ke dalam dosa akan melakukan dua perkara berikut ini (Lihat: Artikel Dzunub Al-Khalawat wa Khatharuha Ala Al-Muslim karya Dr. Ahmad al-Muhammadi di IslamWeb): Pertama: Segera insaf, bertobat, dan memohon ampun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110). Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat bahagia dengan pertobatan hamba-Nya, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ “Sungguh Allah lebih bahagia dengan pertobatan hamba-Nya saat ia bertobat, daripada bahagianya salah seorang dari kalian yang mengendarai hewan tunggangannya di gurun pasir, lalu hewan itu lepas bersama makanan dan minuman yang ada di atasnya, sehingga ia telah berputus asa darinya. Kemudian ia mendatangi pohon dan berbaring di naungannya, berputus asa untuk menemukan hewan tunggangannya. Saat keadaan sudah demikian, tiba-tiba hewan itu telah berdiri di sisinya, sehingga ia segera mengambil tali kekangnya dan berseru —karena saking senangnya—, ‘Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu!’ Orang itu salah ucap karena saking senangnya.” (HR. al-Bukhari). Kedua: Pelaku dosa itu mempelajari hal-hal yang menyebabkannya terjerumus ke dalam kemaksiatan, lalu berusaha menghilangkannya. Inilah yang harus kita lakukan agar dapat terbebas dari kemaksiatan. ومن علاج ذنوب الخلوات: 1- المراقبة الدائمة لله: قال تعالى: ﴿أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى﴾ [العلق: 14]. 2- كثرة الاستغفار والتوبة: قال صلى الله عليه وسلم: “مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب”[رواه أحمد وأبو داود، وصحَّحه الحاكم.]. 3- شَغْل الوقت بطاعة الله: كلما شُغِلت الخَلوةُ بالذكر والطاعة، ضاقت مساحة المعصية. 4- الصحبة الصالحة والابتعاد عن أسباب الخَلوة المُهلكة. Di antara cara menangani dosa-dosa khalwah: 1. Selalu merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman: أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihatnya.” (QS. Al-Alaq: 14). 2. Banyak beristighfar dan bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن لزِم الاستغفار جعل الله له من كلِّ ضيقٍ مخرجًا، ومن كل همٍّ فرجًا، ورزَقه من حيث لا يَحتسب “Siapa yang senantiasa beristigfar, maka Allah akan memberinya jalan keluar di setiap kesempitan, solusi di setiap kegundahan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Dishahihkan Al-Hakim). 3. Mengisi waktu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, setiap kali waktu sendiri itu diisi dengan zikir dan ketaatan, maka semakin sempit kesempatan untuk bermaksiat. 4. Berteman dengan orang-orang saleh dan menjauhi waktu-waktu kesendirian yang dapat membinasakan. خاتمة: الرزق نعمة عظيمة، والمعصية قد تكون مانعًا خفيًّا له. فلنراجِع خَلَواتنا، ولنجعلها مواطنَ ذكرٍ ودموع وخشية، لا مواضع غفلة وهلاك. فمن أصلح خَلوته، أصلَح الله له علانيته، وفتَح له أبواب الرزق مِن حيث لا يحتسب. Penutup  Rezeki merupakan nikmat yang besar, sedangkan kemaksiatan dapat menjadi penghalang yang tidak disadari. Oleh sebab itu, hendaklah kita mengintrospeksi waktu-waktu kesendirian kita, dan menjadikannya sebagai momen untuk berzikir, bersimpuh, dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan sebagai waktu untuk lalai dan membinasakan diri. Siapa yang memperbaiki keadaannya di saat sendiri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperbaiki keadaannya di saat bersama orang lain dan membukakan baginya pintu-pintu rezeki yang tidak disangka-sangka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/177935/أسباب-انقطاع-الرزق-الذنوب-الخفية-ذنوب-الخلوات/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 426 times, 1 visit(s) today Post Views: 233 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Hati-Hati, Ini yang Bikin Menyesal dan Sengsara di Hari Kiamat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa yang paling disesali manusia pada Hari Kiamat? Jawabannya ada pada firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul…’” (QS. Al-Furqan: 27). Kehidupan yang penuh dengan penyesalan. Dia menggigit kedua tangannya karena begitu besar penyesalannya. Dia berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku…” (QS. Al-Furqan: 27-28). Lalu dia menyebutkan satu hal yang dia rasa menjadi sebab utama yang membuatnya tersesat, dan sebab utama penyimpangannya. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” (QS. Al-Furqan: 28-29). Teman yang buruk akan menjadi penyesalan besar bagi seorang insan. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Mengapa demikian? “Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Teman memiliki pengaruh besar pada diri seseorang. Jika ia teman yang saleh, maka akan berpengaruh pada kesalehan seseorang. Namun, jika ia teman yang buruk, maka akan berpengaruh pada kerusakan amal seseorang. Karena itu, pada Hari Kiamat, penyesalan terbesar manusia adalah memiliki teman yang buruk. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Maka, wahai saudaraku yang mulia, pilihlah teman yang saleh! Salah satu tanda teman yang saleh adalah ia menolongmu dalam ketaatan. dan mengingatkanmu ketika engkau lalai. Darinya engkau mendapatkan kebaikan dan keberkahan dalam urusan agama maupun duniamu. Jauhilah teman yang buruk! Salah satu tanda teman yang buruk adalah engkau tidak mendapatkan kebaikan dan keberkahan darinya. Bahkan, engkau mendapati ia menjauhkanmu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi—perumpamaan bagi teman yang saleh—mungkin memberimu hadiah, atau engkau membeli parfum darinya, atau paling tidak engkau mendapatkan aroma harum darinya. Sedangkan pandai besi—perumpamaan bagi teman yang buruk—mungkin akan membakar bajumu, atau kamu mencium aroma yang tidak sedap darinya. ===== مَا أَشَدُّ شَيْءٍ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ الْجَوَابُ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا حَيَاةٌ مَلِيئَةٌ بِالنَّدَمِ يَعَضُّ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ شِدَّةِ النَّدَمِ وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَى ثُمَّ يَذْكُرُ أَمْرًا وَاحِدًا يَرَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ الرَّئِيْسُ فِي إِضْلَالِهِ وَالسَّبَبُ الرَّئِيسُ فِي انْحِرَافِهِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي صَدِيقُ السُّوءِ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ نَدَمًا عَظِيمًا يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلًا لِمَاذَا؟ لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَالْجَلِيْسُ لَهُ أَثَرٌ كَبِيرٌ عَلَى الْإِنْسَانِ إِنْ كَانَ جَلِيسًا صَالِحًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى صَلَاحِ الْإِنْسَانِ وَإِنْ كَانَ جَلِيسًا سَيِّئًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى فَسَادِ عَمَلِ الْإِنْسَانِ وَلِهَذَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَشَدُّ مَا يَتَنَدَّمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ صَدِيقُ السُّوءِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَاخْتَرْ يَا أَخِي الْكَرِيمَ اخْتَرْ الصِّدِّيقَ الصَّالِحَِ وَمِنْ عَلَامَةِ الصَّدِيقِ الصَّالِحِ أَنَّهُ يُعِينُكَ إِذَا ذَكَرْتَ وَيُذَكِّرُكَ إِذَا نَسِيْتَ تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَالْبَرَكَةَ فِي أُمُورِ دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَابْتَعِدْ عَنْ جَلِيسِ السُّوءِ وَمِنْ عَلَامَةِ جَلِيسِ السُّوءِ أَنَّكَ لَا تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَلَا الْبَرَكَةَ بَلْ تَجِدُهُ يُبْعِدُكَ عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ يَعْنِي الْجَلِيسَ الصَّالِحِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ يَعْنِي يُهْديِ لَكَ هَدِيَّةً وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ يَعْنِي تَشْتَرِي مِنْهُ وَإِمَّا عَلَى الْأَقَلِّ أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ جَلِيسُ السُّوءِ إِمَّا أَنْ يُحَرِّقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Hati-Hati, Ini yang Bikin Menyesal dan Sengsara di Hari Kiamat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa yang paling disesali manusia pada Hari Kiamat? Jawabannya ada pada firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul…’” (QS. Al-Furqan: 27). Kehidupan yang penuh dengan penyesalan. Dia menggigit kedua tangannya karena begitu besar penyesalannya. Dia berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku…” (QS. Al-Furqan: 27-28). Lalu dia menyebutkan satu hal yang dia rasa menjadi sebab utama yang membuatnya tersesat, dan sebab utama penyimpangannya. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” (QS. Al-Furqan: 28-29). Teman yang buruk akan menjadi penyesalan besar bagi seorang insan. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Mengapa demikian? “Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Teman memiliki pengaruh besar pada diri seseorang. Jika ia teman yang saleh, maka akan berpengaruh pada kesalehan seseorang. Namun, jika ia teman yang buruk, maka akan berpengaruh pada kerusakan amal seseorang. Karena itu, pada Hari Kiamat, penyesalan terbesar manusia adalah memiliki teman yang buruk. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Maka, wahai saudaraku yang mulia, pilihlah teman yang saleh! Salah satu tanda teman yang saleh adalah ia menolongmu dalam ketaatan. dan mengingatkanmu ketika engkau lalai. Darinya engkau mendapatkan kebaikan dan keberkahan dalam urusan agama maupun duniamu. Jauhilah teman yang buruk! Salah satu tanda teman yang buruk adalah engkau tidak mendapatkan kebaikan dan keberkahan darinya. Bahkan, engkau mendapati ia menjauhkanmu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi—perumpamaan bagi teman yang saleh—mungkin memberimu hadiah, atau engkau membeli parfum darinya, atau paling tidak engkau mendapatkan aroma harum darinya. Sedangkan pandai besi—perumpamaan bagi teman yang buruk—mungkin akan membakar bajumu, atau kamu mencium aroma yang tidak sedap darinya. ===== مَا أَشَدُّ شَيْءٍ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ الْجَوَابُ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا حَيَاةٌ مَلِيئَةٌ بِالنَّدَمِ يَعَضُّ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ شِدَّةِ النَّدَمِ وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَى ثُمَّ يَذْكُرُ أَمْرًا وَاحِدًا يَرَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ الرَّئِيْسُ فِي إِضْلَالِهِ وَالسَّبَبُ الرَّئِيسُ فِي انْحِرَافِهِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي صَدِيقُ السُّوءِ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ نَدَمًا عَظِيمًا يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلًا لِمَاذَا؟ لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَالْجَلِيْسُ لَهُ أَثَرٌ كَبِيرٌ عَلَى الْإِنْسَانِ إِنْ كَانَ جَلِيسًا صَالِحًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى صَلَاحِ الْإِنْسَانِ وَإِنْ كَانَ جَلِيسًا سَيِّئًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى فَسَادِ عَمَلِ الْإِنْسَانِ وَلِهَذَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَشَدُّ مَا يَتَنَدَّمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ صَدِيقُ السُّوءِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَاخْتَرْ يَا أَخِي الْكَرِيمَ اخْتَرْ الصِّدِّيقَ الصَّالِحَِ وَمِنْ عَلَامَةِ الصَّدِيقِ الصَّالِحِ أَنَّهُ يُعِينُكَ إِذَا ذَكَرْتَ وَيُذَكِّرُكَ إِذَا نَسِيْتَ تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَالْبَرَكَةَ فِي أُمُورِ دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَابْتَعِدْ عَنْ جَلِيسِ السُّوءِ وَمِنْ عَلَامَةِ جَلِيسِ السُّوءِ أَنَّكَ لَا تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَلَا الْبَرَكَةَ بَلْ تَجِدُهُ يُبْعِدُكَ عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ يَعْنِي الْجَلِيسَ الصَّالِحِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ يَعْنِي يُهْديِ لَكَ هَدِيَّةً وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ يَعْنِي تَشْتَرِي مِنْهُ وَإِمَّا عَلَى الْأَقَلِّ أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ جَلِيسُ السُّوءِ إِمَّا أَنْ يُحَرِّقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Apa yang paling disesali manusia pada Hari Kiamat? Jawabannya ada pada firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul…’” (QS. Al-Furqan: 27). Kehidupan yang penuh dengan penyesalan. Dia menggigit kedua tangannya karena begitu besar penyesalannya. Dia berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku…” (QS. Al-Furqan: 27-28). Lalu dia menyebutkan satu hal yang dia rasa menjadi sebab utama yang membuatnya tersesat, dan sebab utama penyimpangannya. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” (QS. Al-Furqan: 28-29). Teman yang buruk akan menjadi penyesalan besar bagi seorang insan. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Mengapa demikian? “Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Teman memiliki pengaruh besar pada diri seseorang. Jika ia teman yang saleh, maka akan berpengaruh pada kesalehan seseorang. Namun, jika ia teman yang buruk, maka akan berpengaruh pada kerusakan amal seseorang. Karena itu, pada Hari Kiamat, penyesalan terbesar manusia adalah memiliki teman yang buruk. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Maka, wahai saudaraku yang mulia, pilihlah teman yang saleh! Salah satu tanda teman yang saleh adalah ia menolongmu dalam ketaatan. dan mengingatkanmu ketika engkau lalai. Darinya engkau mendapatkan kebaikan dan keberkahan dalam urusan agama maupun duniamu. Jauhilah teman yang buruk! Salah satu tanda teman yang buruk adalah engkau tidak mendapatkan kebaikan dan keberkahan darinya. Bahkan, engkau mendapati ia menjauhkanmu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi—perumpamaan bagi teman yang saleh—mungkin memberimu hadiah, atau engkau membeli parfum darinya, atau paling tidak engkau mendapatkan aroma harum darinya. Sedangkan pandai besi—perumpamaan bagi teman yang buruk—mungkin akan membakar bajumu, atau kamu mencium aroma yang tidak sedap darinya. ===== مَا أَشَدُّ شَيْءٍ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ الْجَوَابُ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا حَيَاةٌ مَلِيئَةٌ بِالنَّدَمِ يَعَضُّ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ شِدَّةِ النَّدَمِ وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَى ثُمَّ يَذْكُرُ أَمْرًا وَاحِدًا يَرَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ الرَّئِيْسُ فِي إِضْلَالِهِ وَالسَّبَبُ الرَّئِيسُ فِي انْحِرَافِهِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي صَدِيقُ السُّوءِ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ نَدَمًا عَظِيمًا يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلًا لِمَاذَا؟ لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَالْجَلِيْسُ لَهُ أَثَرٌ كَبِيرٌ عَلَى الْإِنْسَانِ إِنْ كَانَ جَلِيسًا صَالِحًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى صَلَاحِ الْإِنْسَانِ وَإِنْ كَانَ جَلِيسًا سَيِّئًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى فَسَادِ عَمَلِ الْإِنْسَانِ وَلِهَذَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَشَدُّ مَا يَتَنَدَّمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ صَدِيقُ السُّوءِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَاخْتَرْ يَا أَخِي الْكَرِيمَ اخْتَرْ الصِّدِّيقَ الصَّالِحَِ وَمِنْ عَلَامَةِ الصَّدِيقِ الصَّالِحِ أَنَّهُ يُعِينُكَ إِذَا ذَكَرْتَ وَيُذَكِّرُكَ إِذَا نَسِيْتَ تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَالْبَرَكَةَ فِي أُمُورِ دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَابْتَعِدْ عَنْ جَلِيسِ السُّوءِ وَمِنْ عَلَامَةِ جَلِيسِ السُّوءِ أَنَّكَ لَا تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَلَا الْبَرَكَةَ بَلْ تَجِدُهُ يُبْعِدُكَ عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ يَعْنِي الْجَلِيسَ الصَّالِحِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ يَعْنِي يُهْديِ لَكَ هَدِيَّةً وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ يَعْنِي تَشْتَرِي مِنْهُ وَإِمَّا عَلَى الْأَقَلِّ أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ جَلِيسُ السُّوءِ إِمَّا أَنْ يُحَرِّقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً


Apa yang paling disesali manusia pada Hari Kiamat? Jawabannya ada pada firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul…’” (QS. Al-Furqan: 27). Kehidupan yang penuh dengan penyesalan. Dia menggigit kedua tangannya karena begitu besar penyesalannya. Dia berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku…” (QS. Al-Furqan: 27-28). Lalu dia menyebutkan satu hal yang dia rasa menjadi sebab utama yang membuatnya tersesat, dan sebab utama penyimpangannya. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” (QS. Al-Furqan: 28-29). Teman yang buruk akan menjadi penyesalan besar bagi seorang insan. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Mengapa demikian? “Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Teman memiliki pengaruh besar pada diri seseorang. Jika ia teman yang saleh, maka akan berpengaruh pada kesalehan seseorang. Namun, jika ia teman yang buruk, maka akan berpengaruh pada kerusakan amal seseorang. Karena itu, pada Hari Kiamat, penyesalan terbesar manusia adalah memiliki teman yang buruk. “Celakalah aku, sekiranya aku dahulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sungguh, dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an setelah ia datang kepadaku…” Maka, wahai saudaraku yang mulia, pilihlah teman yang saleh! Salah satu tanda teman yang saleh adalah ia menolongmu dalam ketaatan. dan mengingatkanmu ketika engkau lalai. Darinya engkau mendapatkan kebaikan dan keberkahan dalam urusan agama maupun duniamu. Jauhilah teman yang buruk! Salah satu tanda teman yang buruk adalah engkau tidak mendapatkan kebaikan dan keberkahan darinya. Bahkan, engkau mendapati ia menjauhkanmu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi—perumpamaan bagi teman yang saleh—mungkin memberimu hadiah, atau engkau membeli parfum darinya, atau paling tidak engkau mendapatkan aroma harum darinya. Sedangkan pandai besi—perumpamaan bagi teman yang buruk—mungkin akan membakar bajumu, atau kamu mencium aroma yang tidak sedap darinya. ===== مَا أَشَدُّ شَيْءٍ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ الْجَوَابُ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا حَيَاةٌ مَلِيئَةٌ بِالنَّدَمِ يَعَضُّ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ شِدَّةِ النَّدَمِ وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَى ثُمَّ يَذْكُرُ أَمْرًا وَاحِدًا يَرَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ الرَّئِيْسُ فِي إِضْلَالِهِ وَالسَّبَبُ الرَّئِيسُ فِي انْحِرَافِهِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي صَدِيقُ السُّوءِ يَنْدَمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ نَدَمًا عَظِيمًا يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلًا لِمَاذَا؟ لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَالْجَلِيْسُ لَهُ أَثَرٌ كَبِيرٌ عَلَى الْإِنْسَانِ إِنْ كَانَ جَلِيسًا صَالِحًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى صَلَاحِ الْإِنْسَانِ وَإِنْ كَانَ جَلِيسًا سَيِّئًا لَهُ أَثَرٌ عَلَى فَسَادِ عَمَلِ الْإِنْسَانِ وَلِهَذَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَشَدُّ مَا يَتَنَدَّمُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ صَدِيقُ السُّوءِ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَاخْتَرْ يَا أَخِي الْكَرِيمَ اخْتَرْ الصِّدِّيقَ الصَّالِحَِ وَمِنْ عَلَامَةِ الصَّدِيقِ الصَّالِحِ أَنَّهُ يُعِينُكَ إِذَا ذَكَرْتَ وَيُذَكِّرُكَ إِذَا نَسِيْتَ تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَالْبَرَكَةَ فِي أُمُورِ دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَابْتَعِدْ عَنْ جَلِيسِ السُّوءِ وَمِنْ عَلَامَةِ جَلِيسِ السُّوءِ أَنَّكَ لَا تَجِدُ مِنْهُ الْخَيْرَ وَلَا الْبَرَكَةَ بَلْ تَجِدُهُ يُبْعِدُكَ عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ يَعْنِي الْجَلِيسَ الصَّالِحِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ يَعْنِي يُهْديِ لَكَ هَدِيَّةً وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ يَعْنِي تَشْتَرِي مِنْهُ وَإِمَّا عَلَى الْأَقَلِّ أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ جَلِيسُ السُّوءِ إِمَّا أَنْ يُحَرِّقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Untuk Pasangan Suami-Istri: Permintaan Maaf Dapat Merobohkan Tembok Penyekat

للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Oleh: Sahr Fuad Ahmad سحر فؤاد أحمد كثيراً ما يأخذنا الكبرياء والغرور ولا نملك القدرة على أن نرى أنفسنا مخطئين، اعتقادا منا أن الاعتراف بالخطأ والاعتذار عنه دليل ضعف مما يباعد بيننا وبين الآخرين وقد تتجمد العلاقات وتنقطع جسور التواصل معهم لأننا لم نبادر بكلمة صادقة للاعتذار. Sering kali kita terbawa oleh perasaan sombong dan angkuh, dan kita tidak punya kemampuan untuk melihat diri kita bersalah, dengan keyakinan bahwa mengakui kesalahan dan memohon maaf atas kesalahan itu merupakan tanda kelemahan. Padahal ini menjadi salah satu hal yang memperjauh jarak antara kita dengan orang lain, bahkan bisa jadi hubungan menjadi dingin dan terputusnya jembatan penghubung dengan mereka, karena kita tidak segera mengerahkan ucapan yang tulus untuk meminta maaf. إن جملة “أنا آسف” غالباً ما تصفي الأجواء وتفتح الأبواب أمام التسامح والتواصل، وتمنح فرصة للبدء من جديد، كما أنها تجلب الثقة والأمانة والتواضع وهذه من أجمل الصفات التي يمكن أن يتشاركها الناس. Kalimat “Saya minta maaf” sering kali mampu menjernihkan suasana, membuka pintu saling memaafkan dan kembali menjalin hubungan, memberi kesempatan untuk memulai kembali lembaran baru, sebagaimana ia juga mampu mengundang kepercayaan diri, sikap amanah, dan rendah hati. Ini tentu merupakan sifat-sifat terpuji yang dapat dibagi dengan banyak orang. وإذا كان الاعتذار يعد مطلبا لدوام أية علاقة فما بالنا بالعلاقات الزوجية التي تنمو وتقوى بالمودة والرحمة والتسامح فعلى كلا الزوجين ألا يقف لصاحبه بالمرصاد ليتصيد أخطاءه، ومن ثم يدبر له ليرد الخطأ بخطأ أكبر، ويظل كلاهما يدور في دائرة من الأخطاء انتظارا لاعتذار شريكه المكابر، وقد لا يسوؤه ارتكاب شريكه للخطأ بقدر ما يسوؤه عدم اعتذاره عنه!! Apabila permintaan maaf termasuk unsur pokok dalam keberlangsungan hubungan apapun, maka bagaimana menurutmu dengan hubungan dalam rumah tangga yang hanya bisa tumbuh dan menguat dengan hadirnya rasa cinta, kasih sayang, dan toleransi? Sehingga setiap suami dan istri janganlah menanti-nanti kesalahan timbul dari pasangannya dan bahkan menyusun langkah untuk menjerumuskannya ke dalam kesalahan, agar ia mampu membalas kesalahan dengan kesalahan yang lebih besar itu, sehingga kedua pihak itu terus berkutat dalam lingkaran kesalahan untuk menunggu permohonan maaf dari pasangannya yang enggan meminta maaf. Bahkan bisa jadi ia merasaan terganggu atas kesalahan yang diperbuat oleh pasangannya tidak lebih besar daripada perasaan terganggunya ketika pasangannya tidak meminta maaf atas kesalahan itu. كثير من المشكلات الزوجية تبدأ بمكابرة أحد الزوجين – لا سيما الزوج – والامتناع عن الاعتذار لشريكه عندما يغضبه فأغلب الرجاليقاومون الاعتذار ولا يحبون الاعتراف بالخطأ، إذ يعتبرون لحظة الاعتذار منأصعب اللحظات في حياتهم. وهذا ما يؤكده الدكتور كود وول المتخصص في العلاقات الزوجية بقوله: معظم الرجال يشعرون بأن قدراً كبيراً منهيبتهم سيضيع إذا قدموا اعتذاراً أو اعترفوا بخطأ.. فالمخطئ لابد أن يكون هو الخاسر، والرجال يكرهون الخسارة. Banyak masalah rumah tangga timbul dari keangkuhan salah satu dari suami dan istri —terlebih lagi dari pihak suami— dan kegengsian untuk meminta maaf kepada pasangannya saat membuatnya marah. Mayoritas suami akan gengsi untuk meminta maaf dan tidak suka mengakui kesalahannya, karena mereka menganggap meminta maaf merupakan momen tersulit dalam hidup mereka. Inilah yang ditegaskan oleh Dr. Coldwell, spesialis dalam bidang relationship, yang berkata, “Mayoritas kaum pria merasa bahwa sebagian besar kewibawaan mereka akan hilang jika mereka mengajukan permohonan maaf atau mengakui kesalahan, karena orang yang salah pasti kalah, sedangkan kaum pria tidak menyukai kekalahan.” وهناك نموذج آخر من الأزواج يستعجلون الاعتذار حتى لو لم يُطلب منهم، ليس لأنهم يشعرون بوجوب الاعتذار عن أخطاء وقعوا فيها ولكن لينهوا الشجار والجدال بأسرع ما يمكن، وكان يمكن اعتبار هؤلاء علي درجة كبيرة منالحصافة والحكمة لو أنهم استطاعوا إخفاء هذا السبب.. إلا أن ما يدعو للأسف والآسيأنهم يحرصون علي إظهاره! Namun, ada model lain dari suami, yaitu yang terburu-buru meminta maaf meski tidak diminta untuk melakukan itu. Ini bukan karena mereka sadar akan keharusan untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah mereka lakukan, tapi karena mereka ingin segera menyelesaikan perselisihan dan perdebatan secepat mungkin. Suami model ini mungkin bisa disebut punya kadar yang besar dari keteguhan dan kebijaksanaan seandainya mereka mampu menyembunyikan sebab perilaku ini. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa yang mendorong mereka melakukan itu adalah semangat mereka dalam menunjukkan kesalahan. يقول د.سيد صبحي أستاذ الصحة النفسية: إن الاعتذار مطلوب ومن يخطئ لابد أن يعتذر فليس هناك مكابرة وإلا فإن الشخص الذي يرفض الاعتذار يصبح بغيضاً في نظر الآخرين.. والاعتذار سلوك حضاري بين الناس عامة والزوجين خاصة. فالزوج الذي يخطئ عليه أن يسعى بدافع من شعوره الراقي أمام زوجته بالاعتذار، والذي يرفض الاعتذار لزوجته لأن كرامته ورجولته لا تسمحان بذلك، فإن يعتبر مريضاً نفسياً.. فالكرامة الفعلية السامية هي أن نعتذر إذا أخطأنا. Dr. Sayyid Subhi, seorang pakar kesehatan mental berkata, “Meminta maaf merupakan sesuatu yang diharuskan. Barang siapa yang melakukan kesalahan, harus meminta maaf. Tidak perlu ada kegengsian, sebab orang yang menolak meminta maaf akan menjadi orang yang dibenci dalam pandangan orang lain. Meminta maaf merupakan karakter beradab, baik itu antarsesama manusia secara umum atau antara suami istri secara khusus. Suami yang melakukan kesalahan harus berusaha —meski dengan dorongan perasaan terhormatnya di depan istrinya — untuk meminta maaf. Orang yang menolak untuk meminta maaf kepada istrinya karena alasan kehormatan dan kejantanannya tidak membiarkannya melakukan itu, maka ia termasuk orang yang punya gangguan kejiwaan, karena kehormatan yang tertuang dalam tindakan yang terpuji adalah dengan meminta maaf jika kita melakukan kesalahan.” أما الدكتور يسرى عبد المحسن أستاذ علم النفس بجامعة عين شمس فيقول أن تعاليمنا الدينية تدفعنا للاعتذار، والله عز وجل يقبل التوبة من عبادة والاستغفار معنى ذلك أن الإنسان إذا أخطأ في حياته الدنيوية عليه أن يتراجع عن خطئه وباب الاعتذار مفتوح. والاعتذار ليس عيباً بقدر ما يعنى شجاعة المعتذر وقوته وتمتعه بشخصية سوية متكاملة، ومعرفته حدود نفسه وشعوره بالآخرين. Sedangkan Dr. Yusro Abdul Muhsin, pakar ilmu psikologi di Universitas Ain Syams berkata, “Ajaran-ajaran agama kita mendorong kita untuk meminta maaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Menerima tobat dan permohonan ampun dari para hamba-Nya, maknanya bahwa apabila manusia berbuat kesalahan dalam kehidupan duniawinya, hendaklah ia berhenti dari perbuatan salah itu, dan pintu permohonan maaf tetap terbuka baginya. Meminta maaf bukanlah suatu aib karena itu menunjukkan keberanian dan keteguhan orang yang meminta maaf, dan menjadi tanda bahwa ia memiliki kepribadian yang normal dan sempurna, dan bukti pengetahuannya terhadap batas-batas dirinya dan perasaannya terhadap orang lain.” ويؤكد الخبير الاجتماعي الدكتور أحمد المجدوب أن الرجولة تحتم على الزوج أن يعتذر إذا أخطأ فى حق زوجته أو أي شخص آخر، فالرجولة تعنى الصدق والشهامة. وعندما يعتذر الرجل فإنه لا يسقط من عين زوجته أو يهون أمره عليها، بل ترتفع قيمته في نظرها ويعلمها درساً في الأمانة والشهامة واحترام الذات. والاعتذار ليس ضعفاّ بل الضعف أن تخفى خطأك وتظل تكابر، أما الرجل الذي يثق بنفسه ويحترم ذاته فإنه لا يجد غضاضة في أن يعتذر ووقتها سوف يصبح قدوة لزوجته. Hal ini ditegaskan juga oleh pakar sosiologi, Dr. Ahmad Al-Majdub bahwa sikap jantan mengharuskan suami untuk meminta maaf apabila berbuat kesalahan terhadap hak istrinya atau siapa pun itu. Sebab, kejantanan berarti sikap benar dan gagah. Ketika suami meminta maaf, kehormatannya tidak akan jatuh di hadapan istrinya atau menjadi rendah baginya. Bahkan, justru nilainya akan semakin tinggi di pandangan istri, dan itu sekaligus mengajarkan kepada istri sikap amanah, kegagahan, dan penghormatan diri. Meminta maaf bukanlah kelemahan, dan justru kelemahan adalah menyembunyikan kesalahanmu dan terus mengelak untuk meminta maaf. Adapun suami yang percaya diri dan menghormati dirinya tidak akan merasa menahan diri untuk meminta maaf, dan pada waktunya ia akan menjadi teladan bagi istrinya.” فإن كنتما تعتقدان أن عزة النفس والكرامة لا تسمح بالمبادرة وتقديم الاعتذار فإن هناك طرقا غير مباشرة تساعدكما على ذلك: • عندما يترك أحدكما شريكه غاضبا، لا يرجع إلى البيت من دون هدية ولتكن وردة تعبر عما يجيش في النفس. • يمكن كتابة عبارة اعتذار على قالب من الكيك وتقديمه مع الشاي في المساء. • النزهات تجدد الروح والحياة وتبعد العصبية والروتين والملل. • إن كان لا بد من العتاب.. فلينصت كلاكما للآخر ولا ضير إن قلت لشريكك “معك حق”. • استعيدا مواقف طريفة مضحكة حدثت معكما أو مع أحدكما منفرداً.. فالضحك وسيلة مهمة للتواصل العاطفى الإيجابى ومناسبة للتجديد وصفاء النفس والروح. • تقبل الاعتذار بصدر رحب. Apabila kalian berdua —wahai suami dan istri— meyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan diri tidak membiarkan kalian untuk segera mengajukan permintaan maaf, maka ada banyak cara tidak langsung yang dapat membantu kalian untuk meminta maaf, di antaranya: Ketika salah satu dari kalian meninggalkan pasangannya dalam keadaan marah, janganlah kamu pulang ke rumah tanpa membawa hadiah, bisa berupa bunga mawar sebagai bentuk ungkapan atas perasaan yang terpendam dalam hati. Mungkin juga dengan menulis ungkapan permintaan maaf di atas sepotong kue dan menyuguhkannya bersama secangkir teh pada sore hari. Rekreasi yang dapat menyegarkan ruh dan hidup, dan menghilangkan ketegangan, rutinitas, dan kebosanan. Apabila harus ada pertengkaran, maka hendaklah masing-masing berusaha untuk diam. Dan apa salahnya jika kamu mengatakan kepada pasanganmu, “Ya, kamu memang benar!” Ceritakan kembali momen-momen unik dan lucu yang terjadi antara kalian atau salah satu dari kalian, karena canda tawa merupakan cara penting untuk membangun hubungan perasaan yang positif, dan cocok untuk menyegarkan dan menjernihkan perasaan dan jiwa. Menerima permintaan maaf dengan lapang dada. يرفض الكثيرون تقديم الاعتذار خشية عدم إحسان القبول من الطرف الآخر، الذي قد لا يعير الأمر اهتماما، أو يرد متعاليا ببعض التعليقات التي تقلل من شأن الاعتذار، وقد يفشل تماما في قبول الاعتذار !! ولا شك أن عدم المرونة أو القدرة على تقبل الاعتذار يزيد المشكلة تعقيدا إن لم يتسبب في مشكلات جديدة، فالمخطئ سيصبح في المستقبل أقل مبادرة بالاعتذار، وقد يتمادى في أخطائه لاستفزاز الطرف الآخر. Banyak orang yang menolak untuk mengajukan permintaan maaf karena takut tidak diterima dengan baik oleh pihak lain yang mungkin tidak menganggap itu penting, atau membalasnya dengan angkuh disertai komentar-komentar yang merendahkan permintaan maaf. Bahkan, bisa jadi permintaan maaf benar-benar ditolak sepenuhnya! Tidak diragukan lagi bahwa ketidakmampuan untuk menerima permintaan maaf dapat memperumit masalah yang ada, kalau memang tidak menyebabkan masalah-masalah baru. Hal ini akan membuat orang yang bersalah suatu saat nanti lebih lambat dalam meminta maaf, atau bahkan terus melakukan kesalahannya untuk menyinggung pihak lain. إن كلا من تقديم وقبول الاعتذار أجزاء مكملة لعلاقة جميلة وقوية، فالاعتذار فرصة رائعة لتعميق الحب والمشاركة، فعندما نقبل الاعتذار يكون هناك احتمال أكبر بأن يقبل شريك الحياة اعتذارنا عندما يأتي علينا الدور لنعتذر. Mengajukan dan menerima permohonan maaf merupakan bagian yang saling melengkapi dalam hubungan yang baik dan kuat; karena permohonan maaf merupakan kesempatan bagus untuk memperdalam rasa cinta dan kebersamaan. Ketika kita menerima permintaan maaf, akan ada kemungkinan besar di masa depan bahwa pasangan hidup kita juga akan menerima permintaan maaf kita saat datang giliran kita untuk meminta maaf. Sumber: https://www.alukah.net/للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 1,393 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 QRIS donasi Yufid

Untuk Pasangan Suami-Istri: Permintaan Maaf Dapat Merobohkan Tembok Penyekat

للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Oleh: Sahr Fuad Ahmad سحر فؤاد أحمد كثيراً ما يأخذنا الكبرياء والغرور ولا نملك القدرة على أن نرى أنفسنا مخطئين، اعتقادا منا أن الاعتراف بالخطأ والاعتذار عنه دليل ضعف مما يباعد بيننا وبين الآخرين وقد تتجمد العلاقات وتنقطع جسور التواصل معهم لأننا لم نبادر بكلمة صادقة للاعتذار. Sering kali kita terbawa oleh perasaan sombong dan angkuh, dan kita tidak punya kemampuan untuk melihat diri kita bersalah, dengan keyakinan bahwa mengakui kesalahan dan memohon maaf atas kesalahan itu merupakan tanda kelemahan. Padahal ini menjadi salah satu hal yang memperjauh jarak antara kita dengan orang lain, bahkan bisa jadi hubungan menjadi dingin dan terputusnya jembatan penghubung dengan mereka, karena kita tidak segera mengerahkan ucapan yang tulus untuk meminta maaf. إن جملة “أنا آسف” غالباً ما تصفي الأجواء وتفتح الأبواب أمام التسامح والتواصل، وتمنح فرصة للبدء من جديد، كما أنها تجلب الثقة والأمانة والتواضع وهذه من أجمل الصفات التي يمكن أن يتشاركها الناس. Kalimat “Saya minta maaf” sering kali mampu menjernihkan suasana, membuka pintu saling memaafkan dan kembali menjalin hubungan, memberi kesempatan untuk memulai kembali lembaran baru, sebagaimana ia juga mampu mengundang kepercayaan diri, sikap amanah, dan rendah hati. Ini tentu merupakan sifat-sifat terpuji yang dapat dibagi dengan banyak orang. وإذا كان الاعتذار يعد مطلبا لدوام أية علاقة فما بالنا بالعلاقات الزوجية التي تنمو وتقوى بالمودة والرحمة والتسامح فعلى كلا الزوجين ألا يقف لصاحبه بالمرصاد ليتصيد أخطاءه، ومن ثم يدبر له ليرد الخطأ بخطأ أكبر، ويظل كلاهما يدور في دائرة من الأخطاء انتظارا لاعتذار شريكه المكابر، وقد لا يسوؤه ارتكاب شريكه للخطأ بقدر ما يسوؤه عدم اعتذاره عنه!! Apabila permintaan maaf termasuk unsur pokok dalam keberlangsungan hubungan apapun, maka bagaimana menurutmu dengan hubungan dalam rumah tangga yang hanya bisa tumbuh dan menguat dengan hadirnya rasa cinta, kasih sayang, dan toleransi? Sehingga setiap suami dan istri janganlah menanti-nanti kesalahan timbul dari pasangannya dan bahkan menyusun langkah untuk menjerumuskannya ke dalam kesalahan, agar ia mampu membalas kesalahan dengan kesalahan yang lebih besar itu, sehingga kedua pihak itu terus berkutat dalam lingkaran kesalahan untuk menunggu permohonan maaf dari pasangannya yang enggan meminta maaf. Bahkan bisa jadi ia merasaan terganggu atas kesalahan yang diperbuat oleh pasangannya tidak lebih besar daripada perasaan terganggunya ketika pasangannya tidak meminta maaf atas kesalahan itu. كثير من المشكلات الزوجية تبدأ بمكابرة أحد الزوجين – لا سيما الزوج – والامتناع عن الاعتذار لشريكه عندما يغضبه فأغلب الرجاليقاومون الاعتذار ولا يحبون الاعتراف بالخطأ، إذ يعتبرون لحظة الاعتذار منأصعب اللحظات في حياتهم. وهذا ما يؤكده الدكتور كود وول المتخصص في العلاقات الزوجية بقوله: معظم الرجال يشعرون بأن قدراً كبيراً منهيبتهم سيضيع إذا قدموا اعتذاراً أو اعترفوا بخطأ.. فالمخطئ لابد أن يكون هو الخاسر، والرجال يكرهون الخسارة. Banyak masalah rumah tangga timbul dari keangkuhan salah satu dari suami dan istri —terlebih lagi dari pihak suami— dan kegengsian untuk meminta maaf kepada pasangannya saat membuatnya marah. Mayoritas suami akan gengsi untuk meminta maaf dan tidak suka mengakui kesalahannya, karena mereka menganggap meminta maaf merupakan momen tersulit dalam hidup mereka. Inilah yang ditegaskan oleh Dr. Coldwell, spesialis dalam bidang relationship, yang berkata, “Mayoritas kaum pria merasa bahwa sebagian besar kewibawaan mereka akan hilang jika mereka mengajukan permohonan maaf atau mengakui kesalahan, karena orang yang salah pasti kalah, sedangkan kaum pria tidak menyukai kekalahan.” وهناك نموذج آخر من الأزواج يستعجلون الاعتذار حتى لو لم يُطلب منهم، ليس لأنهم يشعرون بوجوب الاعتذار عن أخطاء وقعوا فيها ولكن لينهوا الشجار والجدال بأسرع ما يمكن، وكان يمكن اعتبار هؤلاء علي درجة كبيرة منالحصافة والحكمة لو أنهم استطاعوا إخفاء هذا السبب.. إلا أن ما يدعو للأسف والآسيأنهم يحرصون علي إظهاره! Namun, ada model lain dari suami, yaitu yang terburu-buru meminta maaf meski tidak diminta untuk melakukan itu. Ini bukan karena mereka sadar akan keharusan untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah mereka lakukan, tapi karena mereka ingin segera menyelesaikan perselisihan dan perdebatan secepat mungkin. Suami model ini mungkin bisa disebut punya kadar yang besar dari keteguhan dan kebijaksanaan seandainya mereka mampu menyembunyikan sebab perilaku ini. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa yang mendorong mereka melakukan itu adalah semangat mereka dalam menunjukkan kesalahan. يقول د.سيد صبحي أستاذ الصحة النفسية: إن الاعتذار مطلوب ومن يخطئ لابد أن يعتذر فليس هناك مكابرة وإلا فإن الشخص الذي يرفض الاعتذار يصبح بغيضاً في نظر الآخرين.. والاعتذار سلوك حضاري بين الناس عامة والزوجين خاصة. فالزوج الذي يخطئ عليه أن يسعى بدافع من شعوره الراقي أمام زوجته بالاعتذار، والذي يرفض الاعتذار لزوجته لأن كرامته ورجولته لا تسمحان بذلك، فإن يعتبر مريضاً نفسياً.. فالكرامة الفعلية السامية هي أن نعتذر إذا أخطأنا. Dr. Sayyid Subhi, seorang pakar kesehatan mental berkata, “Meminta maaf merupakan sesuatu yang diharuskan. Barang siapa yang melakukan kesalahan, harus meminta maaf. Tidak perlu ada kegengsian, sebab orang yang menolak meminta maaf akan menjadi orang yang dibenci dalam pandangan orang lain. Meminta maaf merupakan karakter beradab, baik itu antarsesama manusia secara umum atau antara suami istri secara khusus. Suami yang melakukan kesalahan harus berusaha —meski dengan dorongan perasaan terhormatnya di depan istrinya — untuk meminta maaf. Orang yang menolak untuk meminta maaf kepada istrinya karena alasan kehormatan dan kejantanannya tidak membiarkannya melakukan itu, maka ia termasuk orang yang punya gangguan kejiwaan, karena kehormatan yang tertuang dalam tindakan yang terpuji adalah dengan meminta maaf jika kita melakukan kesalahan.” أما الدكتور يسرى عبد المحسن أستاذ علم النفس بجامعة عين شمس فيقول أن تعاليمنا الدينية تدفعنا للاعتذار، والله عز وجل يقبل التوبة من عبادة والاستغفار معنى ذلك أن الإنسان إذا أخطأ في حياته الدنيوية عليه أن يتراجع عن خطئه وباب الاعتذار مفتوح. والاعتذار ليس عيباً بقدر ما يعنى شجاعة المعتذر وقوته وتمتعه بشخصية سوية متكاملة، ومعرفته حدود نفسه وشعوره بالآخرين. Sedangkan Dr. Yusro Abdul Muhsin, pakar ilmu psikologi di Universitas Ain Syams berkata, “Ajaran-ajaran agama kita mendorong kita untuk meminta maaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Menerima tobat dan permohonan ampun dari para hamba-Nya, maknanya bahwa apabila manusia berbuat kesalahan dalam kehidupan duniawinya, hendaklah ia berhenti dari perbuatan salah itu, dan pintu permohonan maaf tetap terbuka baginya. Meminta maaf bukanlah suatu aib karena itu menunjukkan keberanian dan keteguhan orang yang meminta maaf, dan menjadi tanda bahwa ia memiliki kepribadian yang normal dan sempurna, dan bukti pengetahuannya terhadap batas-batas dirinya dan perasaannya terhadap orang lain.” ويؤكد الخبير الاجتماعي الدكتور أحمد المجدوب أن الرجولة تحتم على الزوج أن يعتذر إذا أخطأ فى حق زوجته أو أي شخص آخر، فالرجولة تعنى الصدق والشهامة. وعندما يعتذر الرجل فإنه لا يسقط من عين زوجته أو يهون أمره عليها، بل ترتفع قيمته في نظرها ويعلمها درساً في الأمانة والشهامة واحترام الذات. والاعتذار ليس ضعفاّ بل الضعف أن تخفى خطأك وتظل تكابر، أما الرجل الذي يثق بنفسه ويحترم ذاته فإنه لا يجد غضاضة في أن يعتذر ووقتها سوف يصبح قدوة لزوجته. Hal ini ditegaskan juga oleh pakar sosiologi, Dr. Ahmad Al-Majdub bahwa sikap jantan mengharuskan suami untuk meminta maaf apabila berbuat kesalahan terhadap hak istrinya atau siapa pun itu. Sebab, kejantanan berarti sikap benar dan gagah. Ketika suami meminta maaf, kehormatannya tidak akan jatuh di hadapan istrinya atau menjadi rendah baginya. Bahkan, justru nilainya akan semakin tinggi di pandangan istri, dan itu sekaligus mengajarkan kepada istri sikap amanah, kegagahan, dan penghormatan diri. Meminta maaf bukanlah kelemahan, dan justru kelemahan adalah menyembunyikan kesalahanmu dan terus mengelak untuk meminta maaf. Adapun suami yang percaya diri dan menghormati dirinya tidak akan merasa menahan diri untuk meminta maaf, dan pada waktunya ia akan menjadi teladan bagi istrinya.” فإن كنتما تعتقدان أن عزة النفس والكرامة لا تسمح بالمبادرة وتقديم الاعتذار فإن هناك طرقا غير مباشرة تساعدكما على ذلك: • عندما يترك أحدكما شريكه غاضبا، لا يرجع إلى البيت من دون هدية ولتكن وردة تعبر عما يجيش في النفس. • يمكن كتابة عبارة اعتذار على قالب من الكيك وتقديمه مع الشاي في المساء. • النزهات تجدد الروح والحياة وتبعد العصبية والروتين والملل. • إن كان لا بد من العتاب.. فلينصت كلاكما للآخر ولا ضير إن قلت لشريكك “معك حق”. • استعيدا مواقف طريفة مضحكة حدثت معكما أو مع أحدكما منفرداً.. فالضحك وسيلة مهمة للتواصل العاطفى الإيجابى ومناسبة للتجديد وصفاء النفس والروح. • تقبل الاعتذار بصدر رحب. Apabila kalian berdua —wahai suami dan istri— meyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan diri tidak membiarkan kalian untuk segera mengajukan permintaan maaf, maka ada banyak cara tidak langsung yang dapat membantu kalian untuk meminta maaf, di antaranya: Ketika salah satu dari kalian meninggalkan pasangannya dalam keadaan marah, janganlah kamu pulang ke rumah tanpa membawa hadiah, bisa berupa bunga mawar sebagai bentuk ungkapan atas perasaan yang terpendam dalam hati. Mungkin juga dengan menulis ungkapan permintaan maaf di atas sepotong kue dan menyuguhkannya bersama secangkir teh pada sore hari. Rekreasi yang dapat menyegarkan ruh dan hidup, dan menghilangkan ketegangan, rutinitas, dan kebosanan. Apabila harus ada pertengkaran, maka hendaklah masing-masing berusaha untuk diam. Dan apa salahnya jika kamu mengatakan kepada pasanganmu, “Ya, kamu memang benar!” Ceritakan kembali momen-momen unik dan lucu yang terjadi antara kalian atau salah satu dari kalian, karena canda tawa merupakan cara penting untuk membangun hubungan perasaan yang positif, dan cocok untuk menyegarkan dan menjernihkan perasaan dan jiwa. Menerima permintaan maaf dengan lapang dada. يرفض الكثيرون تقديم الاعتذار خشية عدم إحسان القبول من الطرف الآخر، الذي قد لا يعير الأمر اهتماما، أو يرد متعاليا ببعض التعليقات التي تقلل من شأن الاعتذار، وقد يفشل تماما في قبول الاعتذار !! ولا شك أن عدم المرونة أو القدرة على تقبل الاعتذار يزيد المشكلة تعقيدا إن لم يتسبب في مشكلات جديدة، فالمخطئ سيصبح في المستقبل أقل مبادرة بالاعتذار، وقد يتمادى في أخطائه لاستفزاز الطرف الآخر. Banyak orang yang menolak untuk mengajukan permintaan maaf karena takut tidak diterima dengan baik oleh pihak lain yang mungkin tidak menganggap itu penting, atau membalasnya dengan angkuh disertai komentar-komentar yang merendahkan permintaan maaf. Bahkan, bisa jadi permintaan maaf benar-benar ditolak sepenuhnya! Tidak diragukan lagi bahwa ketidakmampuan untuk menerima permintaan maaf dapat memperumit masalah yang ada, kalau memang tidak menyebabkan masalah-masalah baru. Hal ini akan membuat orang yang bersalah suatu saat nanti lebih lambat dalam meminta maaf, atau bahkan terus melakukan kesalahannya untuk menyinggung pihak lain. إن كلا من تقديم وقبول الاعتذار أجزاء مكملة لعلاقة جميلة وقوية، فالاعتذار فرصة رائعة لتعميق الحب والمشاركة، فعندما نقبل الاعتذار يكون هناك احتمال أكبر بأن يقبل شريك الحياة اعتذارنا عندما يأتي علينا الدور لنعتذر. Mengajukan dan menerima permohonan maaf merupakan bagian yang saling melengkapi dalam hubungan yang baik dan kuat; karena permohonan maaf merupakan kesempatan bagus untuk memperdalam rasa cinta dan kebersamaan. Ketika kita menerima permintaan maaf, akan ada kemungkinan besar di masa depan bahwa pasangan hidup kita juga akan menerima permintaan maaf kita saat datang giliran kita untuk meminta maaf. Sumber: https://www.alukah.net/للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 1,393 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 QRIS donasi Yufid
للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Oleh: Sahr Fuad Ahmad سحر فؤاد أحمد كثيراً ما يأخذنا الكبرياء والغرور ولا نملك القدرة على أن نرى أنفسنا مخطئين، اعتقادا منا أن الاعتراف بالخطأ والاعتذار عنه دليل ضعف مما يباعد بيننا وبين الآخرين وقد تتجمد العلاقات وتنقطع جسور التواصل معهم لأننا لم نبادر بكلمة صادقة للاعتذار. Sering kali kita terbawa oleh perasaan sombong dan angkuh, dan kita tidak punya kemampuan untuk melihat diri kita bersalah, dengan keyakinan bahwa mengakui kesalahan dan memohon maaf atas kesalahan itu merupakan tanda kelemahan. Padahal ini menjadi salah satu hal yang memperjauh jarak antara kita dengan orang lain, bahkan bisa jadi hubungan menjadi dingin dan terputusnya jembatan penghubung dengan mereka, karena kita tidak segera mengerahkan ucapan yang tulus untuk meminta maaf. إن جملة “أنا آسف” غالباً ما تصفي الأجواء وتفتح الأبواب أمام التسامح والتواصل، وتمنح فرصة للبدء من جديد، كما أنها تجلب الثقة والأمانة والتواضع وهذه من أجمل الصفات التي يمكن أن يتشاركها الناس. Kalimat “Saya minta maaf” sering kali mampu menjernihkan suasana, membuka pintu saling memaafkan dan kembali menjalin hubungan, memberi kesempatan untuk memulai kembali lembaran baru, sebagaimana ia juga mampu mengundang kepercayaan diri, sikap amanah, dan rendah hati. Ini tentu merupakan sifat-sifat terpuji yang dapat dibagi dengan banyak orang. وإذا كان الاعتذار يعد مطلبا لدوام أية علاقة فما بالنا بالعلاقات الزوجية التي تنمو وتقوى بالمودة والرحمة والتسامح فعلى كلا الزوجين ألا يقف لصاحبه بالمرصاد ليتصيد أخطاءه، ومن ثم يدبر له ليرد الخطأ بخطأ أكبر، ويظل كلاهما يدور في دائرة من الأخطاء انتظارا لاعتذار شريكه المكابر، وقد لا يسوؤه ارتكاب شريكه للخطأ بقدر ما يسوؤه عدم اعتذاره عنه!! Apabila permintaan maaf termasuk unsur pokok dalam keberlangsungan hubungan apapun, maka bagaimana menurutmu dengan hubungan dalam rumah tangga yang hanya bisa tumbuh dan menguat dengan hadirnya rasa cinta, kasih sayang, dan toleransi? Sehingga setiap suami dan istri janganlah menanti-nanti kesalahan timbul dari pasangannya dan bahkan menyusun langkah untuk menjerumuskannya ke dalam kesalahan, agar ia mampu membalas kesalahan dengan kesalahan yang lebih besar itu, sehingga kedua pihak itu terus berkutat dalam lingkaran kesalahan untuk menunggu permohonan maaf dari pasangannya yang enggan meminta maaf. Bahkan bisa jadi ia merasaan terganggu atas kesalahan yang diperbuat oleh pasangannya tidak lebih besar daripada perasaan terganggunya ketika pasangannya tidak meminta maaf atas kesalahan itu. كثير من المشكلات الزوجية تبدأ بمكابرة أحد الزوجين – لا سيما الزوج – والامتناع عن الاعتذار لشريكه عندما يغضبه فأغلب الرجاليقاومون الاعتذار ولا يحبون الاعتراف بالخطأ، إذ يعتبرون لحظة الاعتذار منأصعب اللحظات في حياتهم. وهذا ما يؤكده الدكتور كود وول المتخصص في العلاقات الزوجية بقوله: معظم الرجال يشعرون بأن قدراً كبيراً منهيبتهم سيضيع إذا قدموا اعتذاراً أو اعترفوا بخطأ.. فالمخطئ لابد أن يكون هو الخاسر، والرجال يكرهون الخسارة. Banyak masalah rumah tangga timbul dari keangkuhan salah satu dari suami dan istri —terlebih lagi dari pihak suami— dan kegengsian untuk meminta maaf kepada pasangannya saat membuatnya marah. Mayoritas suami akan gengsi untuk meminta maaf dan tidak suka mengakui kesalahannya, karena mereka menganggap meminta maaf merupakan momen tersulit dalam hidup mereka. Inilah yang ditegaskan oleh Dr. Coldwell, spesialis dalam bidang relationship, yang berkata, “Mayoritas kaum pria merasa bahwa sebagian besar kewibawaan mereka akan hilang jika mereka mengajukan permohonan maaf atau mengakui kesalahan, karena orang yang salah pasti kalah, sedangkan kaum pria tidak menyukai kekalahan.” وهناك نموذج آخر من الأزواج يستعجلون الاعتذار حتى لو لم يُطلب منهم، ليس لأنهم يشعرون بوجوب الاعتذار عن أخطاء وقعوا فيها ولكن لينهوا الشجار والجدال بأسرع ما يمكن، وكان يمكن اعتبار هؤلاء علي درجة كبيرة منالحصافة والحكمة لو أنهم استطاعوا إخفاء هذا السبب.. إلا أن ما يدعو للأسف والآسيأنهم يحرصون علي إظهاره! Namun, ada model lain dari suami, yaitu yang terburu-buru meminta maaf meski tidak diminta untuk melakukan itu. Ini bukan karena mereka sadar akan keharusan untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah mereka lakukan, tapi karena mereka ingin segera menyelesaikan perselisihan dan perdebatan secepat mungkin. Suami model ini mungkin bisa disebut punya kadar yang besar dari keteguhan dan kebijaksanaan seandainya mereka mampu menyembunyikan sebab perilaku ini. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa yang mendorong mereka melakukan itu adalah semangat mereka dalam menunjukkan kesalahan. يقول د.سيد صبحي أستاذ الصحة النفسية: إن الاعتذار مطلوب ومن يخطئ لابد أن يعتذر فليس هناك مكابرة وإلا فإن الشخص الذي يرفض الاعتذار يصبح بغيضاً في نظر الآخرين.. والاعتذار سلوك حضاري بين الناس عامة والزوجين خاصة. فالزوج الذي يخطئ عليه أن يسعى بدافع من شعوره الراقي أمام زوجته بالاعتذار، والذي يرفض الاعتذار لزوجته لأن كرامته ورجولته لا تسمحان بذلك، فإن يعتبر مريضاً نفسياً.. فالكرامة الفعلية السامية هي أن نعتذر إذا أخطأنا. Dr. Sayyid Subhi, seorang pakar kesehatan mental berkata, “Meminta maaf merupakan sesuatu yang diharuskan. Barang siapa yang melakukan kesalahan, harus meminta maaf. Tidak perlu ada kegengsian, sebab orang yang menolak meminta maaf akan menjadi orang yang dibenci dalam pandangan orang lain. Meminta maaf merupakan karakter beradab, baik itu antarsesama manusia secara umum atau antara suami istri secara khusus. Suami yang melakukan kesalahan harus berusaha —meski dengan dorongan perasaan terhormatnya di depan istrinya — untuk meminta maaf. Orang yang menolak untuk meminta maaf kepada istrinya karena alasan kehormatan dan kejantanannya tidak membiarkannya melakukan itu, maka ia termasuk orang yang punya gangguan kejiwaan, karena kehormatan yang tertuang dalam tindakan yang terpuji adalah dengan meminta maaf jika kita melakukan kesalahan.” أما الدكتور يسرى عبد المحسن أستاذ علم النفس بجامعة عين شمس فيقول أن تعاليمنا الدينية تدفعنا للاعتذار، والله عز وجل يقبل التوبة من عبادة والاستغفار معنى ذلك أن الإنسان إذا أخطأ في حياته الدنيوية عليه أن يتراجع عن خطئه وباب الاعتذار مفتوح. والاعتذار ليس عيباً بقدر ما يعنى شجاعة المعتذر وقوته وتمتعه بشخصية سوية متكاملة، ومعرفته حدود نفسه وشعوره بالآخرين. Sedangkan Dr. Yusro Abdul Muhsin, pakar ilmu psikologi di Universitas Ain Syams berkata, “Ajaran-ajaran agama kita mendorong kita untuk meminta maaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Menerima tobat dan permohonan ampun dari para hamba-Nya, maknanya bahwa apabila manusia berbuat kesalahan dalam kehidupan duniawinya, hendaklah ia berhenti dari perbuatan salah itu, dan pintu permohonan maaf tetap terbuka baginya. Meminta maaf bukanlah suatu aib karena itu menunjukkan keberanian dan keteguhan orang yang meminta maaf, dan menjadi tanda bahwa ia memiliki kepribadian yang normal dan sempurna, dan bukti pengetahuannya terhadap batas-batas dirinya dan perasaannya terhadap orang lain.” ويؤكد الخبير الاجتماعي الدكتور أحمد المجدوب أن الرجولة تحتم على الزوج أن يعتذر إذا أخطأ فى حق زوجته أو أي شخص آخر، فالرجولة تعنى الصدق والشهامة. وعندما يعتذر الرجل فإنه لا يسقط من عين زوجته أو يهون أمره عليها، بل ترتفع قيمته في نظرها ويعلمها درساً في الأمانة والشهامة واحترام الذات. والاعتذار ليس ضعفاّ بل الضعف أن تخفى خطأك وتظل تكابر، أما الرجل الذي يثق بنفسه ويحترم ذاته فإنه لا يجد غضاضة في أن يعتذر ووقتها سوف يصبح قدوة لزوجته. Hal ini ditegaskan juga oleh pakar sosiologi, Dr. Ahmad Al-Majdub bahwa sikap jantan mengharuskan suami untuk meminta maaf apabila berbuat kesalahan terhadap hak istrinya atau siapa pun itu. Sebab, kejantanan berarti sikap benar dan gagah. Ketika suami meminta maaf, kehormatannya tidak akan jatuh di hadapan istrinya atau menjadi rendah baginya. Bahkan, justru nilainya akan semakin tinggi di pandangan istri, dan itu sekaligus mengajarkan kepada istri sikap amanah, kegagahan, dan penghormatan diri. Meminta maaf bukanlah kelemahan, dan justru kelemahan adalah menyembunyikan kesalahanmu dan terus mengelak untuk meminta maaf. Adapun suami yang percaya diri dan menghormati dirinya tidak akan merasa menahan diri untuk meminta maaf, dan pada waktunya ia akan menjadi teladan bagi istrinya.” فإن كنتما تعتقدان أن عزة النفس والكرامة لا تسمح بالمبادرة وتقديم الاعتذار فإن هناك طرقا غير مباشرة تساعدكما على ذلك: • عندما يترك أحدكما شريكه غاضبا، لا يرجع إلى البيت من دون هدية ولتكن وردة تعبر عما يجيش في النفس. • يمكن كتابة عبارة اعتذار على قالب من الكيك وتقديمه مع الشاي في المساء. • النزهات تجدد الروح والحياة وتبعد العصبية والروتين والملل. • إن كان لا بد من العتاب.. فلينصت كلاكما للآخر ولا ضير إن قلت لشريكك “معك حق”. • استعيدا مواقف طريفة مضحكة حدثت معكما أو مع أحدكما منفرداً.. فالضحك وسيلة مهمة للتواصل العاطفى الإيجابى ومناسبة للتجديد وصفاء النفس والروح. • تقبل الاعتذار بصدر رحب. Apabila kalian berdua —wahai suami dan istri— meyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan diri tidak membiarkan kalian untuk segera mengajukan permintaan maaf, maka ada banyak cara tidak langsung yang dapat membantu kalian untuk meminta maaf, di antaranya: Ketika salah satu dari kalian meninggalkan pasangannya dalam keadaan marah, janganlah kamu pulang ke rumah tanpa membawa hadiah, bisa berupa bunga mawar sebagai bentuk ungkapan atas perasaan yang terpendam dalam hati. Mungkin juga dengan menulis ungkapan permintaan maaf di atas sepotong kue dan menyuguhkannya bersama secangkir teh pada sore hari. Rekreasi yang dapat menyegarkan ruh dan hidup, dan menghilangkan ketegangan, rutinitas, dan kebosanan. Apabila harus ada pertengkaran, maka hendaklah masing-masing berusaha untuk diam. Dan apa salahnya jika kamu mengatakan kepada pasanganmu, “Ya, kamu memang benar!” Ceritakan kembali momen-momen unik dan lucu yang terjadi antara kalian atau salah satu dari kalian, karena canda tawa merupakan cara penting untuk membangun hubungan perasaan yang positif, dan cocok untuk menyegarkan dan menjernihkan perasaan dan jiwa. Menerima permintaan maaf dengan lapang dada. يرفض الكثيرون تقديم الاعتذار خشية عدم إحسان القبول من الطرف الآخر، الذي قد لا يعير الأمر اهتماما، أو يرد متعاليا ببعض التعليقات التي تقلل من شأن الاعتذار، وقد يفشل تماما في قبول الاعتذار !! ولا شك أن عدم المرونة أو القدرة على تقبل الاعتذار يزيد المشكلة تعقيدا إن لم يتسبب في مشكلات جديدة، فالمخطئ سيصبح في المستقبل أقل مبادرة بالاعتذار، وقد يتمادى في أخطائه لاستفزاز الطرف الآخر. Banyak orang yang menolak untuk mengajukan permintaan maaf karena takut tidak diterima dengan baik oleh pihak lain yang mungkin tidak menganggap itu penting, atau membalasnya dengan angkuh disertai komentar-komentar yang merendahkan permintaan maaf. Bahkan, bisa jadi permintaan maaf benar-benar ditolak sepenuhnya! Tidak diragukan lagi bahwa ketidakmampuan untuk menerima permintaan maaf dapat memperumit masalah yang ada, kalau memang tidak menyebabkan masalah-masalah baru. Hal ini akan membuat orang yang bersalah suatu saat nanti lebih lambat dalam meminta maaf, atau bahkan terus melakukan kesalahannya untuk menyinggung pihak lain. إن كلا من تقديم وقبول الاعتذار أجزاء مكملة لعلاقة جميلة وقوية، فالاعتذار فرصة رائعة لتعميق الحب والمشاركة، فعندما نقبل الاعتذار يكون هناك احتمال أكبر بأن يقبل شريك الحياة اعتذارنا عندما يأتي علينا الدور لنعتذر. Mengajukan dan menerima permohonan maaf merupakan bagian yang saling melengkapi dalam hubungan yang baik dan kuat; karena permohonan maaf merupakan kesempatan bagus untuk memperdalam rasa cinta dan kebersamaan. Ketika kita menerima permintaan maaf, akan ada kemungkinan besar di masa depan bahwa pasangan hidup kita juga akan menerima permintaan maaf kita saat datang giliran kita untuk meminta maaf. Sumber: https://www.alukah.net/للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 1,393 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 QRIS donasi Yufid


للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Oleh: Sahr Fuad Ahmad سحر فؤاد أحمد كثيراً ما يأخذنا الكبرياء والغرور ولا نملك القدرة على أن نرى أنفسنا مخطئين، اعتقادا منا أن الاعتراف بالخطأ والاعتذار عنه دليل ضعف مما يباعد بيننا وبين الآخرين وقد تتجمد العلاقات وتنقطع جسور التواصل معهم لأننا لم نبادر بكلمة صادقة للاعتذار. Sering kali kita terbawa oleh perasaan sombong dan angkuh, dan kita tidak punya kemampuan untuk melihat diri kita bersalah, dengan keyakinan bahwa mengakui kesalahan dan memohon maaf atas kesalahan itu merupakan tanda kelemahan. Padahal ini menjadi salah satu hal yang memperjauh jarak antara kita dengan orang lain, bahkan bisa jadi hubungan menjadi dingin dan terputusnya jembatan penghubung dengan mereka, karena kita tidak segera mengerahkan ucapan yang tulus untuk meminta maaf. إن جملة “أنا آسف” غالباً ما تصفي الأجواء وتفتح الأبواب أمام التسامح والتواصل، وتمنح فرصة للبدء من جديد، كما أنها تجلب الثقة والأمانة والتواضع وهذه من أجمل الصفات التي يمكن أن يتشاركها الناس. Kalimat “Saya minta maaf” sering kali mampu menjernihkan suasana, membuka pintu saling memaafkan dan kembali menjalin hubungan, memberi kesempatan untuk memulai kembali lembaran baru, sebagaimana ia juga mampu mengundang kepercayaan diri, sikap amanah, dan rendah hati. Ini tentu merupakan sifat-sifat terpuji yang dapat dibagi dengan banyak orang. وإذا كان الاعتذار يعد مطلبا لدوام أية علاقة فما بالنا بالعلاقات الزوجية التي تنمو وتقوى بالمودة والرحمة والتسامح فعلى كلا الزوجين ألا يقف لصاحبه بالمرصاد ليتصيد أخطاءه، ومن ثم يدبر له ليرد الخطأ بخطأ أكبر، ويظل كلاهما يدور في دائرة من الأخطاء انتظارا لاعتذار شريكه المكابر، وقد لا يسوؤه ارتكاب شريكه للخطأ بقدر ما يسوؤه عدم اعتذاره عنه!! Apabila permintaan maaf termasuk unsur pokok dalam keberlangsungan hubungan apapun, maka bagaimana menurutmu dengan hubungan dalam rumah tangga yang hanya bisa tumbuh dan menguat dengan hadirnya rasa cinta, kasih sayang, dan toleransi? Sehingga setiap suami dan istri janganlah menanti-nanti kesalahan timbul dari pasangannya dan bahkan menyusun langkah untuk menjerumuskannya ke dalam kesalahan, agar ia mampu membalas kesalahan dengan kesalahan yang lebih besar itu, sehingga kedua pihak itu terus berkutat dalam lingkaran kesalahan untuk menunggu permohonan maaf dari pasangannya yang enggan meminta maaf. Bahkan bisa jadi ia merasaan terganggu atas kesalahan yang diperbuat oleh pasangannya tidak lebih besar daripada perasaan terganggunya ketika pasangannya tidak meminta maaf atas kesalahan itu. كثير من المشكلات الزوجية تبدأ بمكابرة أحد الزوجين – لا سيما الزوج – والامتناع عن الاعتذار لشريكه عندما يغضبه فأغلب الرجاليقاومون الاعتذار ولا يحبون الاعتراف بالخطأ، إذ يعتبرون لحظة الاعتذار منأصعب اللحظات في حياتهم. وهذا ما يؤكده الدكتور كود وول المتخصص في العلاقات الزوجية بقوله: معظم الرجال يشعرون بأن قدراً كبيراً منهيبتهم سيضيع إذا قدموا اعتذاراً أو اعترفوا بخطأ.. فالمخطئ لابد أن يكون هو الخاسر، والرجال يكرهون الخسارة. Banyak masalah rumah tangga timbul dari keangkuhan salah satu dari suami dan istri —terlebih lagi dari pihak suami— dan kegengsian untuk meminta maaf kepada pasangannya saat membuatnya marah. Mayoritas suami akan gengsi untuk meminta maaf dan tidak suka mengakui kesalahannya, karena mereka menganggap meminta maaf merupakan momen tersulit dalam hidup mereka. Inilah yang ditegaskan oleh Dr. Coldwell, spesialis dalam bidang relationship, yang berkata, “Mayoritas kaum pria merasa bahwa sebagian besar kewibawaan mereka akan hilang jika mereka mengajukan permohonan maaf atau mengakui kesalahan, karena orang yang salah pasti kalah, sedangkan kaum pria tidak menyukai kekalahan.” وهناك نموذج آخر من الأزواج يستعجلون الاعتذار حتى لو لم يُطلب منهم، ليس لأنهم يشعرون بوجوب الاعتذار عن أخطاء وقعوا فيها ولكن لينهوا الشجار والجدال بأسرع ما يمكن، وكان يمكن اعتبار هؤلاء علي درجة كبيرة منالحصافة والحكمة لو أنهم استطاعوا إخفاء هذا السبب.. إلا أن ما يدعو للأسف والآسيأنهم يحرصون علي إظهاره! Namun, ada model lain dari suami, yaitu yang terburu-buru meminta maaf meski tidak diminta untuk melakukan itu. Ini bukan karena mereka sadar akan keharusan untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah mereka lakukan, tapi karena mereka ingin segera menyelesaikan perselisihan dan perdebatan secepat mungkin. Suami model ini mungkin bisa disebut punya kadar yang besar dari keteguhan dan kebijaksanaan seandainya mereka mampu menyembunyikan sebab perilaku ini. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa yang mendorong mereka melakukan itu adalah semangat mereka dalam menunjukkan kesalahan. يقول د.سيد صبحي أستاذ الصحة النفسية: إن الاعتذار مطلوب ومن يخطئ لابد أن يعتذر فليس هناك مكابرة وإلا فإن الشخص الذي يرفض الاعتذار يصبح بغيضاً في نظر الآخرين.. والاعتذار سلوك حضاري بين الناس عامة والزوجين خاصة. فالزوج الذي يخطئ عليه أن يسعى بدافع من شعوره الراقي أمام زوجته بالاعتذار، والذي يرفض الاعتذار لزوجته لأن كرامته ورجولته لا تسمحان بذلك، فإن يعتبر مريضاً نفسياً.. فالكرامة الفعلية السامية هي أن نعتذر إذا أخطأنا. Dr. Sayyid Subhi, seorang pakar kesehatan mental berkata, “Meminta maaf merupakan sesuatu yang diharuskan. Barang siapa yang melakukan kesalahan, harus meminta maaf. Tidak perlu ada kegengsian, sebab orang yang menolak meminta maaf akan menjadi orang yang dibenci dalam pandangan orang lain. Meminta maaf merupakan karakter beradab, baik itu antarsesama manusia secara umum atau antara suami istri secara khusus. Suami yang melakukan kesalahan harus berusaha —meski dengan dorongan perasaan terhormatnya di depan istrinya — untuk meminta maaf. Orang yang menolak untuk meminta maaf kepada istrinya karena alasan kehormatan dan kejantanannya tidak membiarkannya melakukan itu, maka ia termasuk orang yang punya gangguan kejiwaan, karena kehormatan yang tertuang dalam tindakan yang terpuji adalah dengan meminta maaf jika kita melakukan kesalahan.” أما الدكتور يسرى عبد المحسن أستاذ علم النفس بجامعة عين شمس فيقول أن تعاليمنا الدينية تدفعنا للاعتذار، والله عز وجل يقبل التوبة من عبادة والاستغفار معنى ذلك أن الإنسان إذا أخطأ في حياته الدنيوية عليه أن يتراجع عن خطئه وباب الاعتذار مفتوح. والاعتذار ليس عيباً بقدر ما يعنى شجاعة المعتذر وقوته وتمتعه بشخصية سوية متكاملة، ومعرفته حدود نفسه وشعوره بالآخرين. Sedangkan Dr. Yusro Abdul Muhsin, pakar ilmu psikologi di Universitas Ain Syams berkata, “Ajaran-ajaran agama kita mendorong kita untuk meminta maaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Menerima tobat dan permohonan ampun dari para hamba-Nya, maknanya bahwa apabila manusia berbuat kesalahan dalam kehidupan duniawinya, hendaklah ia berhenti dari perbuatan salah itu, dan pintu permohonan maaf tetap terbuka baginya. Meminta maaf bukanlah suatu aib karena itu menunjukkan keberanian dan keteguhan orang yang meminta maaf, dan menjadi tanda bahwa ia memiliki kepribadian yang normal dan sempurna, dan bukti pengetahuannya terhadap batas-batas dirinya dan perasaannya terhadap orang lain.” ويؤكد الخبير الاجتماعي الدكتور أحمد المجدوب أن الرجولة تحتم على الزوج أن يعتذر إذا أخطأ فى حق زوجته أو أي شخص آخر، فالرجولة تعنى الصدق والشهامة. وعندما يعتذر الرجل فإنه لا يسقط من عين زوجته أو يهون أمره عليها، بل ترتفع قيمته في نظرها ويعلمها درساً في الأمانة والشهامة واحترام الذات. والاعتذار ليس ضعفاّ بل الضعف أن تخفى خطأك وتظل تكابر، أما الرجل الذي يثق بنفسه ويحترم ذاته فإنه لا يجد غضاضة في أن يعتذر ووقتها سوف يصبح قدوة لزوجته. Hal ini ditegaskan juga oleh pakar sosiologi, Dr. Ahmad Al-Majdub bahwa sikap jantan mengharuskan suami untuk meminta maaf apabila berbuat kesalahan terhadap hak istrinya atau siapa pun itu. Sebab, kejantanan berarti sikap benar dan gagah. Ketika suami meminta maaf, kehormatannya tidak akan jatuh di hadapan istrinya atau menjadi rendah baginya. Bahkan, justru nilainya akan semakin tinggi di pandangan istri, dan itu sekaligus mengajarkan kepada istri sikap amanah, kegagahan, dan penghormatan diri. Meminta maaf bukanlah kelemahan, dan justru kelemahan adalah menyembunyikan kesalahanmu dan terus mengelak untuk meminta maaf. Adapun suami yang percaya diri dan menghormati dirinya tidak akan merasa menahan diri untuk meminta maaf, dan pada waktunya ia akan menjadi teladan bagi istrinya.” فإن كنتما تعتقدان أن عزة النفس والكرامة لا تسمح بالمبادرة وتقديم الاعتذار فإن هناك طرقا غير مباشرة تساعدكما على ذلك: • عندما يترك أحدكما شريكه غاضبا، لا يرجع إلى البيت من دون هدية ولتكن وردة تعبر عما يجيش في النفس. • يمكن كتابة عبارة اعتذار على قالب من الكيك وتقديمه مع الشاي في المساء. • النزهات تجدد الروح والحياة وتبعد العصبية والروتين والملل. • إن كان لا بد من العتاب.. فلينصت كلاكما للآخر ولا ضير إن قلت لشريكك “معك حق”. • استعيدا مواقف طريفة مضحكة حدثت معكما أو مع أحدكما منفرداً.. فالضحك وسيلة مهمة للتواصل العاطفى الإيجابى ومناسبة للتجديد وصفاء النفس والروح. • تقبل الاعتذار بصدر رحب. Apabila kalian berdua —wahai suami dan istri— meyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan diri tidak membiarkan kalian untuk segera mengajukan permintaan maaf, maka ada banyak cara tidak langsung yang dapat membantu kalian untuk meminta maaf, di antaranya: Ketika salah satu dari kalian meninggalkan pasangannya dalam keadaan marah, janganlah kamu pulang ke rumah tanpa membawa hadiah, bisa berupa bunga mawar sebagai bentuk ungkapan atas perasaan yang terpendam dalam hati. Mungkin juga dengan menulis ungkapan permintaan maaf di atas sepotong kue dan menyuguhkannya bersama secangkir teh pada sore hari. Rekreasi yang dapat menyegarkan ruh dan hidup, dan menghilangkan ketegangan, rutinitas, dan kebosanan. Apabila harus ada pertengkaran, maka hendaklah masing-masing berusaha untuk diam. Dan apa salahnya jika kamu mengatakan kepada pasanganmu, “Ya, kamu memang benar!” Ceritakan kembali momen-momen unik dan lucu yang terjadi antara kalian atau salah satu dari kalian, karena canda tawa merupakan cara penting untuk membangun hubungan perasaan yang positif, dan cocok untuk menyegarkan dan menjernihkan perasaan dan jiwa. Menerima permintaan maaf dengan lapang dada. يرفض الكثيرون تقديم الاعتذار خشية عدم إحسان القبول من الطرف الآخر، الذي قد لا يعير الأمر اهتماما، أو يرد متعاليا ببعض التعليقات التي تقلل من شأن الاعتذار، وقد يفشل تماما في قبول الاعتذار !! ولا شك أن عدم المرونة أو القدرة على تقبل الاعتذار يزيد المشكلة تعقيدا إن لم يتسبب في مشكلات جديدة، فالمخطئ سيصبح في المستقبل أقل مبادرة بالاعتذار، وقد يتمادى في أخطائه لاستفزاز الطرف الآخر. Banyak orang yang menolak untuk mengajukan permintaan maaf karena takut tidak diterima dengan baik oleh pihak lain yang mungkin tidak menganggap itu penting, atau membalasnya dengan angkuh disertai komentar-komentar yang merendahkan permintaan maaf. Bahkan, bisa jadi permintaan maaf benar-benar ditolak sepenuhnya! Tidak diragukan lagi bahwa ketidakmampuan untuk menerima permintaan maaf dapat memperumit masalah yang ada, kalau memang tidak menyebabkan masalah-masalah baru. Hal ini akan membuat orang yang bersalah suatu saat nanti lebih lambat dalam meminta maaf, atau bahkan terus melakukan kesalahannya untuk menyinggung pihak lain. إن كلا من تقديم وقبول الاعتذار أجزاء مكملة لعلاقة جميلة وقوية، فالاعتذار فرصة رائعة لتعميق الحب والمشاركة، فعندما نقبل الاعتذار يكون هناك احتمال أكبر بأن يقبل شريك الحياة اعتذارنا عندما يأتي علينا الدور لنعتذر. Mengajukan dan menerima permohonan maaf merupakan bagian yang saling melengkapi dalam hubungan yang baik dan kuat; karena permohonan maaf merupakan kesempatan bagus untuk memperdalam rasa cinta dan kebersamaan. Ketika kita menerima permintaan maaf, akan ada kemungkinan besar di masa depan bahwa pasangan hidup kita juga akan menerima permintaan maaf kita saat datang giliran kita untuk meminta maaf. Sumber: https://www.alukah.net/للزوجين: الاعتذار يحطم الأسوار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 1,393 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Mengenal Nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaBeriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataLarangan menundukkan orang lain dengan cara zalimWajib mengesakan Allah dalam ibadahMengenal nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan bagian penting dari tauhid. Terutama tauhid uluhiyah, yang menuntut kita hanya tunduk, takut, dan beribadah kepada Allah semata. Nama-nama seperti Al-Qaahir dan Al-Qahhaar mengingatkan kita bahwa tidak ada makhluk yang bisa lolos dari kekuasaan dan kehendak-Nya.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Qaahir dan Al-Qahhaar, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menanamkan rasa tunduk, takut yang benar, dan penghambaan yang murni, sekaligus menghadirkan ketenangan karena tahu bahwa segala urusan ada dalam genggaman-Nya.Dalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Nama “Al-Qaahir” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu:Dalam firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An‘ām: 18)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu…” (QS. al-An‘ām: 61)Sedangkan nama “Al-Qahhaar” disebutkan sebanyak enam kali, di antaranya:Firman Allah Ta’ala,قُلِ اللّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah, Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ“Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Ghāfir: 16) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Al-Qaahir adalah ism fā’il (kata pelaku) dari (قَهَرَ يقهَر) qahara – yaqharu yang bermakna “yang menundukkan”. [2] Sedangkan Al-Qahhaar adalah ṣīghat mubālaghah (bentuk hiperbolis) dari akar kata yang sama, bermakna “yang sangat dan terus-menerus menundukkan.” [3]Asal kata dari kedua kata tersebut adalah Al-qahr (القَهْر) yang secara bahasa berarti mengalahkan dan menundukkan dari atas. [4]Ibnu Faris mengatakan,الْقَافُ وَالْهَاءُ وَالرَّاءُ كَلِمَةٌ صَحِيحَةٌ تَدُلُّ عَلَى غَلَبَةٍ وَعُلُوٍّ. يُقَالُ: قَهَرَهُ يَقْهَرُهُ قَهْرًا. وَالْقَاهِرُ: الْغَالِبُ“Huruf qāf, hā’, dan rā’ membentuk akar kata yang menunjukkan makna kemenangan dan keunggulan dari atas. Dikatakan: qaharahu yaqharuhu qahran, dan al-qaahir berarti yang menang (mengalahkan).” [5]Al-Fayyumi mengatakan,قَهَرَهُ قَهْرًا غَلَبَهُ فَهُوَ قَاهِرٌ وَقَهَّارٌ مُبَالَغَةٌ“Qaharahu qahran berarti mengalahkannya. Pelakunya disebut qaahir dan qahhaar (dalam bentuk mubaalaghah).” [6]Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ“Dan Dia-lah Al-Qahīr di atas hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-An’am: 18), beliau mengatakan,فمعنى الكلامِ إذن: واللهُ الغالبُ عبادَه، المذلِّلُهم، العالي عليهم بتذليلِه لهم، وخلقِه إياهم، فهو فوقَهم بقهرِه إياهم، وهم دونَه“Jadi maknanya adalah Allah-lah yang mengalahkan hamba-hamba-Nya, menundukkan mereka, dan Mahatinggi atas mereka melalui penundukan-Nya dan penciptaan-Nya. Maka Dia berada di atas mereka karena kekuasaan-Nya, dan mereka berada di bawah-Nya.” [7]Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,أَيْ: هُوَ الَّذِي خَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ، وَذَلَّتْ لَهُ الْجَبَابِرَةُ، وَعَنَتْ لَهُ الْوُجُوهُ، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ وَدَانَتْ لَهُ الْخَلَائِقُ، وَتَوَاضَعَتْ لِعَظَمَةِ جَلَالِهِ وَكِبْرِيَائِهِ وَعَظَمَتِهِ وَعُلُوِّهِ وَقُدْرَتِهِ الْأَشْيَاءُ، وَاسْتَكَانَتْ وَتَضَاءَلَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَحْتَ حُكْمِهِ وَقَهْرِهِ“Maksudnya: Dialah yang semua leher tunduk kepada-Nya, para penguasa arogan menjadi hina di hadapan-Nya, wajah-wajah merendah kepada-Nya, dan segala sesuatu tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Seluruh makhluk merendah kepada keagungan, keperkasaan, kemuliaan, ketinggian, dan kekuasaan-Nya. Mereka semua berserah diri dan merasa kecil di hadapan hukum dan kekuasaan-Nya.” [8]Sedangkan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,ينفذ فيهم إرادته الشاملة، ومشيئته العامة، فليسوا يملكون من الأمر شيئا، ولا يتحركون ولا يسكنون إلا بإذنه“Dialah Allah yang mengatur seluruh kehendak-Nya atas para hamba, dan kehendak-Nya berlaku menyeluruh. Mereka tidak memiliki sedikit pun urusan, tidak bisa bergerak maupun diam kecuali dengan izin-Nya.” [9]Di tempat yang lain, beliau menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,“‌القهار” لكل شيء، الذي خضعت له المخلوقات، وذلت لعزته وقوته وكمال اقتداره“Al-Qahhaar adalah yang menundukkan segala sesuatu; seluruh makhluk tunduk kepada-Nya, merendah karena keperkasaan, kekuatan, dan kesempurnaan kuasa-Nya.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataAllah-lah satu-satunya yang mengalahkan dan menundukkan seluruh hamba-Nya. Bahkan makhluk yang paling angkuh sekalipun menjadi kecil dan lenyap di hadapan kekuasaan dan keperkasaan Allah. Lihatlah kematian—yang telah Allah tetapkan atas seluruh hamba-Nya; tak seorang pun mampu menolaknya atau menyingkirkannya dari dirinya sendiri, walau mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan sebesar apa pun.Allah menyandingkan penyebutan kematian dengan sifat-Nya sebagai al-Qahhaar, untuk mengingatkan manusia akan satu bentuk kekuasaan yang dengannya Allah menundukkan mereka semua, dalam firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً حَتَّىَ إِذَا جَاء أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ * ثُمَّ رُدُّواْ إِلَى اللّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ“Dan Dia-lah Al-Qaahir (yang menguasai) atas hamba-hamba-Nya. Dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, para utusan Kami mewafatkannya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pelindung mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, hanya milik-Nya segala keputusan, dan Dia-lah yang paling cepat perhitungannya.” (QS. Al-An‘ām: 61–62) [11]Larangan menundukkan orang lain dengan cara zalimSifat “menundukkan” atau ”mengalahkan” pada makhluk, biasanya tercela karena dibangun di atas kezaliman, penindasan, dan dominasi atas orang-orang lemah dan miskin. Sebagaimana ucapan Fir‘aun—laknat Allah atasnya,سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءهُمْ وَنَسْتَحْيِـي نِسَاءهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ“Kita akan membunuh anak-anak lelaki mereka dan membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Sungguh, kita berkuasa atas mereka.” (QS. Al-A‘rāf: 127)Dan Allah juga berfirman,فأما اليتيم فلا تقهر“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang (menindasnya).” (QS. Adh-Dhuḥā: 9)Maksudnya: janganlah menindasnya secara zalim, berikanlah haknya. Allah menyebut secara khusus anak yatim karena dia tidak punya penolong selain Allah, maka Allah menguatkan larangan terhadap pelanggaran atas dirinya dengan ancaman keras terhadap pelakunya. [12]Wajib mengesakan Allah dalam ibadahTentang hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,لا يكون القهار إلا واحداً؛ إذ لو كان معه كفو له فإن لم يقهره لم يكن قاهراً على الإطلاق، وإن قهره لم يكن كفؤاً، وكان القهار واحدًا“Tidak ada yang benar-benar layak disebut al-Qahhaar selain yang satu (esa). Karena jika ada yang setara dengannya, maka jika ia tidak mampu mengalahkan yang lain, berarti ia tidaklah qahhār secara mutlak. Dan jika ia mampu mengalahkan lawannya, maka lawan itu tidaklah setara. Maka, al-Qahhaar itu hanya satu.” (ash-Shawā‘iq al-Mursalah, 3: 1032)Penjelasan ini menunjukkan bahwa tauhid dan iman kepada nama Allah al-Qahhaar adalah dua hal yang saling terkait. Barang siapa meyakini bahwa hanya Allah yang menguasai dan menundukkan segala sesuatu, maka ia harus beribadah hanya kepada-Nya. Dari sinilah terlihat kebatilan syirik: bagaimana mungkin makhluk dari tanah disamakan dengan Tuhan semesta alam? Bagaimana mungkin makhluk-makhluk yang ditundukkan oleh al-Qahhaar disamakan dengan-Nya? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan dan Maha Tinggi dari apa yang mereka gambarkan. [13]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama ini, dapat menguatkan iman, menumbuhkan rasa takut dan harap, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketundukan kepada selain-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”***Rumdin PPIA Sragen, 1 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibnu Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asma, hal. 127.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 129.[3] Ibid, hal. 251.[4] An-Nahj al-Asma, hal. 128.[5] Maqayisul Lughah, hal. 754.[6] al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 527.[7] Tafsir At-Thabari, 9: 180.[8] Tafsīr Ibnu Katsīr, 3: 244.[9] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 259.[10] Ibid, hal. 947. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 128-129.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 129.[12] Ibid, hal. 130.[13] Fiqhul Asmaa’il Husna, hal. 289.

Mengenal Nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaBeriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataLarangan menundukkan orang lain dengan cara zalimWajib mengesakan Allah dalam ibadahMengenal nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan bagian penting dari tauhid. Terutama tauhid uluhiyah, yang menuntut kita hanya tunduk, takut, dan beribadah kepada Allah semata. Nama-nama seperti Al-Qaahir dan Al-Qahhaar mengingatkan kita bahwa tidak ada makhluk yang bisa lolos dari kekuasaan dan kehendak-Nya.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Qaahir dan Al-Qahhaar, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menanamkan rasa tunduk, takut yang benar, dan penghambaan yang murni, sekaligus menghadirkan ketenangan karena tahu bahwa segala urusan ada dalam genggaman-Nya.Dalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Nama “Al-Qaahir” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu:Dalam firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An‘ām: 18)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu…” (QS. al-An‘ām: 61)Sedangkan nama “Al-Qahhaar” disebutkan sebanyak enam kali, di antaranya:Firman Allah Ta’ala,قُلِ اللّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah, Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ“Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Ghāfir: 16) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Al-Qaahir adalah ism fā’il (kata pelaku) dari (قَهَرَ يقهَر) qahara – yaqharu yang bermakna “yang menundukkan”. [2] Sedangkan Al-Qahhaar adalah ṣīghat mubālaghah (bentuk hiperbolis) dari akar kata yang sama, bermakna “yang sangat dan terus-menerus menundukkan.” [3]Asal kata dari kedua kata tersebut adalah Al-qahr (القَهْر) yang secara bahasa berarti mengalahkan dan menundukkan dari atas. [4]Ibnu Faris mengatakan,الْقَافُ وَالْهَاءُ وَالرَّاءُ كَلِمَةٌ صَحِيحَةٌ تَدُلُّ عَلَى غَلَبَةٍ وَعُلُوٍّ. يُقَالُ: قَهَرَهُ يَقْهَرُهُ قَهْرًا. وَالْقَاهِرُ: الْغَالِبُ“Huruf qāf, hā’, dan rā’ membentuk akar kata yang menunjukkan makna kemenangan dan keunggulan dari atas. Dikatakan: qaharahu yaqharuhu qahran, dan al-qaahir berarti yang menang (mengalahkan).” [5]Al-Fayyumi mengatakan,قَهَرَهُ قَهْرًا غَلَبَهُ فَهُوَ قَاهِرٌ وَقَهَّارٌ مُبَالَغَةٌ“Qaharahu qahran berarti mengalahkannya. Pelakunya disebut qaahir dan qahhaar (dalam bentuk mubaalaghah).” [6]Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ“Dan Dia-lah Al-Qahīr di atas hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-An’am: 18), beliau mengatakan,فمعنى الكلامِ إذن: واللهُ الغالبُ عبادَه، المذلِّلُهم، العالي عليهم بتذليلِه لهم، وخلقِه إياهم، فهو فوقَهم بقهرِه إياهم، وهم دونَه“Jadi maknanya adalah Allah-lah yang mengalahkan hamba-hamba-Nya, menundukkan mereka, dan Mahatinggi atas mereka melalui penundukan-Nya dan penciptaan-Nya. Maka Dia berada di atas mereka karena kekuasaan-Nya, dan mereka berada di bawah-Nya.” [7]Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,أَيْ: هُوَ الَّذِي خَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ، وَذَلَّتْ لَهُ الْجَبَابِرَةُ، وَعَنَتْ لَهُ الْوُجُوهُ، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ وَدَانَتْ لَهُ الْخَلَائِقُ، وَتَوَاضَعَتْ لِعَظَمَةِ جَلَالِهِ وَكِبْرِيَائِهِ وَعَظَمَتِهِ وَعُلُوِّهِ وَقُدْرَتِهِ الْأَشْيَاءُ، وَاسْتَكَانَتْ وَتَضَاءَلَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَحْتَ حُكْمِهِ وَقَهْرِهِ“Maksudnya: Dialah yang semua leher tunduk kepada-Nya, para penguasa arogan menjadi hina di hadapan-Nya, wajah-wajah merendah kepada-Nya, dan segala sesuatu tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Seluruh makhluk merendah kepada keagungan, keperkasaan, kemuliaan, ketinggian, dan kekuasaan-Nya. Mereka semua berserah diri dan merasa kecil di hadapan hukum dan kekuasaan-Nya.” [8]Sedangkan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,ينفذ فيهم إرادته الشاملة، ومشيئته العامة، فليسوا يملكون من الأمر شيئا، ولا يتحركون ولا يسكنون إلا بإذنه“Dialah Allah yang mengatur seluruh kehendak-Nya atas para hamba, dan kehendak-Nya berlaku menyeluruh. Mereka tidak memiliki sedikit pun urusan, tidak bisa bergerak maupun diam kecuali dengan izin-Nya.” [9]Di tempat yang lain, beliau menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,“‌القهار” لكل شيء، الذي خضعت له المخلوقات، وذلت لعزته وقوته وكمال اقتداره“Al-Qahhaar adalah yang menundukkan segala sesuatu; seluruh makhluk tunduk kepada-Nya, merendah karena keperkasaan, kekuatan, dan kesempurnaan kuasa-Nya.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataAllah-lah satu-satunya yang mengalahkan dan menundukkan seluruh hamba-Nya. Bahkan makhluk yang paling angkuh sekalipun menjadi kecil dan lenyap di hadapan kekuasaan dan keperkasaan Allah. Lihatlah kematian—yang telah Allah tetapkan atas seluruh hamba-Nya; tak seorang pun mampu menolaknya atau menyingkirkannya dari dirinya sendiri, walau mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan sebesar apa pun.Allah menyandingkan penyebutan kematian dengan sifat-Nya sebagai al-Qahhaar, untuk mengingatkan manusia akan satu bentuk kekuasaan yang dengannya Allah menundukkan mereka semua, dalam firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً حَتَّىَ إِذَا جَاء أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ * ثُمَّ رُدُّواْ إِلَى اللّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ“Dan Dia-lah Al-Qaahir (yang menguasai) atas hamba-hamba-Nya. Dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, para utusan Kami mewafatkannya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pelindung mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, hanya milik-Nya segala keputusan, dan Dia-lah yang paling cepat perhitungannya.” (QS. Al-An‘ām: 61–62) [11]Larangan menundukkan orang lain dengan cara zalimSifat “menundukkan” atau ”mengalahkan” pada makhluk, biasanya tercela karena dibangun di atas kezaliman, penindasan, dan dominasi atas orang-orang lemah dan miskin. Sebagaimana ucapan Fir‘aun—laknat Allah atasnya,سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءهُمْ وَنَسْتَحْيِـي نِسَاءهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ“Kita akan membunuh anak-anak lelaki mereka dan membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Sungguh, kita berkuasa atas mereka.” (QS. Al-A‘rāf: 127)Dan Allah juga berfirman,فأما اليتيم فلا تقهر“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang (menindasnya).” (QS. Adh-Dhuḥā: 9)Maksudnya: janganlah menindasnya secara zalim, berikanlah haknya. Allah menyebut secara khusus anak yatim karena dia tidak punya penolong selain Allah, maka Allah menguatkan larangan terhadap pelanggaran atas dirinya dengan ancaman keras terhadap pelakunya. [12]Wajib mengesakan Allah dalam ibadahTentang hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,لا يكون القهار إلا واحداً؛ إذ لو كان معه كفو له فإن لم يقهره لم يكن قاهراً على الإطلاق، وإن قهره لم يكن كفؤاً، وكان القهار واحدًا“Tidak ada yang benar-benar layak disebut al-Qahhaar selain yang satu (esa). Karena jika ada yang setara dengannya, maka jika ia tidak mampu mengalahkan yang lain, berarti ia tidaklah qahhār secara mutlak. Dan jika ia mampu mengalahkan lawannya, maka lawan itu tidaklah setara. Maka, al-Qahhaar itu hanya satu.” (ash-Shawā‘iq al-Mursalah, 3: 1032)Penjelasan ini menunjukkan bahwa tauhid dan iman kepada nama Allah al-Qahhaar adalah dua hal yang saling terkait. Barang siapa meyakini bahwa hanya Allah yang menguasai dan menundukkan segala sesuatu, maka ia harus beribadah hanya kepada-Nya. Dari sinilah terlihat kebatilan syirik: bagaimana mungkin makhluk dari tanah disamakan dengan Tuhan semesta alam? Bagaimana mungkin makhluk-makhluk yang ditundukkan oleh al-Qahhaar disamakan dengan-Nya? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan dan Maha Tinggi dari apa yang mereka gambarkan. [13]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama ini, dapat menguatkan iman, menumbuhkan rasa takut dan harap, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketundukan kepada selain-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”***Rumdin PPIA Sragen, 1 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibnu Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asma, hal. 127.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 129.[3] Ibid, hal. 251.[4] An-Nahj al-Asma, hal. 128.[5] Maqayisul Lughah, hal. 754.[6] al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 527.[7] Tafsir At-Thabari, 9: 180.[8] Tafsīr Ibnu Katsīr, 3: 244.[9] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 259.[10] Ibid, hal. 947. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 128-129.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 129.[12] Ibid, hal. 130.[13] Fiqhul Asmaa’il Husna, hal. 289.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaBeriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataLarangan menundukkan orang lain dengan cara zalimWajib mengesakan Allah dalam ibadahMengenal nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan bagian penting dari tauhid. Terutama tauhid uluhiyah, yang menuntut kita hanya tunduk, takut, dan beribadah kepada Allah semata. Nama-nama seperti Al-Qaahir dan Al-Qahhaar mengingatkan kita bahwa tidak ada makhluk yang bisa lolos dari kekuasaan dan kehendak-Nya.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Qaahir dan Al-Qahhaar, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menanamkan rasa tunduk, takut yang benar, dan penghambaan yang murni, sekaligus menghadirkan ketenangan karena tahu bahwa segala urusan ada dalam genggaman-Nya.Dalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Nama “Al-Qaahir” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu:Dalam firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An‘ām: 18)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu…” (QS. al-An‘ām: 61)Sedangkan nama “Al-Qahhaar” disebutkan sebanyak enam kali, di antaranya:Firman Allah Ta’ala,قُلِ اللّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah, Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ“Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Ghāfir: 16) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Al-Qaahir adalah ism fā’il (kata pelaku) dari (قَهَرَ يقهَر) qahara – yaqharu yang bermakna “yang menundukkan”. [2] Sedangkan Al-Qahhaar adalah ṣīghat mubālaghah (bentuk hiperbolis) dari akar kata yang sama, bermakna “yang sangat dan terus-menerus menundukkan.” [3]Asal kata dari kedua kata tersebut adalah Al-qahr (القَهْر) yang secara bahasa berarti mengalahkan dan menundukkan dari atas. [4]Ibnu Faris mengatakan,الْقَافُ وَالْهَاءُ وَالرَّاءُ كَلِمَةٌ صَحِيحَةٌ تَدُلُّ عَلَى غَلَبَةٍ وَعُلُوٍّ. يُقَالُ: قَهَرَهُ يَقْهَرُهُ قَهْرًا. وَالْقَاهِرُ: الْغَالِبُ“Huruf qāf, hā’, dan rā’ membentuk akar kata yang menunjukkan makna kemenangan dan keunggulan dari atas. Dikatakan: qaharahu yaqharuhu qahran, dan al-qaahir berarti yang menang (mengalahkan).” [5]Al-Fayyumi mengatakan,قَهَرَهُ قَهْرًا غَلَبَهُ فَهُوَ قَاهِرٌ وَقَهَّارٌ مُبَالَغَةٌ“Qaharahu qahran berarti mengalahkannya. Pelakunya disebut qaahir dan qahhaar (dalam bentuk mubaalaghah).” [6]Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ“Dan Dia-lah Al-Qahīr di atas hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-An’am: 18), beliau mengatakan,فمعنى الكلامِ إذن: واللهُ الغالبُ عبادَه، المذلِّلُهم، العالي عليهم بتذليلِه لهم، وخلقِه إياهم، فهو فوقَهم بقهرِه إياهم، وهم دونَه“Jadi maknanya adalah Allah-lah yang mengalahkan hamba-hamba-Nya, menundukkan mereka, dan Mahatinggi atas mereka melalui penundukan-Nya dan penciptaan-Nya. Maka Dia berada di atas mereka karena kekuasaan-Nya, dan mereka berada di bawah-Nya.” [7]Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,أَيْ: هُوَ الَّذِي خَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ، وَذَلَّتْ لَهُ الْجَبَابِرَةُ، وَعَنَتْ لَهُ الْوُجُوهُ، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ وَدَانَتْ لَهُ الْخَلَائِقُ، وَتَوَاضَعَتْ لِعَظَمَةِ جَلَالِهِ وَكِبْرِيَائِهِ وَعَظَمَتِهِ وَعُلُوِّهِ وَقُدْرَتِهِ الْأَشْيَاءُ، وَاسْتَكَانَتْ وَتَضَاءَلَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَحْتَ حُكْمِهِ وَقَهْرِهِ“Maksudnya: Dialah yang semua leher tunduk kepada-Nya, para penguasa arogan menjadi hina di hadapan-Nya, wajah-wajah merendah kepada-Nya, dan segala sesuatu tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Seluruh makhluk merendah kepada keagungan, keperkasaan, kemuliaan, ketinggian, dan kekuasaan-Nya. Mereka semua berserah diri dan merasa kecil di hadapan hukum dan kekuasaan-Nya.” [8]Sedangkan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,ينفذ فيهم إرادته الشاملة، ومشيئته العامة، فليسوا يملكون من الأمر شيئا، ولا يتحركون ولا يسكنون إلا بإذنه“Dialah Allah yang mengatur seluruh kehendak-Nya atas para hamba, dan kehendak-Nya berlaku menyeluruh. Mereka tidak memiliki sedikit pun urusan, tidak bisa bergerak maupun diam kecuali dengan izin-Nya.” [9]Di tempat yang lain, beliau menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,“‌القهار” لكل شيء، الذي خضعت له المخلوقات، وذلت لعزته وقوته وكمال اقتداره“Al-Qahhaar adalah yang menundukkan segala sesuatu; seluruh makhluk tunduk kepada-Nya, merendah karena keperkasaan, kekuatan, dan kesempurnaan kuasa-Nya.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataAllah-lah satu-satunya yang mengalahkan dan menundukkan seluruh hamba-Nya. Bahkan makhluk yang paling angkuh sekalipun menjadi kecil dan lenyap di hadapan kekuasaan dan keperkasaan Allah. Lihatlah kematian—yang telah Allah tetapkan atas seluruh hamba-Nya; tak seorang pun mampu menolaknya atau menyingkirkannya dari dirinya sendiri, walau mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan sebesar apa pun.Allah menyandingkan penyebutan kematian dengan sifat-Nya sebagai al-Qahhaar, untuk mengingatkan manusia akan satu bentuk kekuasaan yang dengannya Allah menundukkan mereka semua, dalam firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً حَتَّىَ إِذَا جَاء أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ * ثُمَّ رُدُّواْ إِلَى اللّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ“Dan Dia-lah Al-Qaahir (yang menguasai) atas hamba-hamba-Nya. Dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, para utusan Kami mewafatkannya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pelindung mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, hanya milik-Nya segala keputusan, dan Dia-lah yang paling cepat perhitungannya.” (QS. Al-An‘ām: 61–62) [11]Larangan menundukkan orang lain dengan cara zalimSifat “menundukkan” atau ”mengalahkan” pada makhluk, biasanya tercela karena dibangun di atas kezaliman, penindasan, dan dominasi atas orang-orang lemah dan miskin. Sebagaimana ucapan Fir‘aun—laknat Allah atasnya,سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءهُمْ وَنَسْتَحْيِـي نِسَاءهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ“Kita akan membunuh anak-anak lelaki mereka dan membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Sungguh, kita berkuasa atas mereka.” (QS. Al-A‘rāf: 127)Dan Allah juga berfirman,فأما اليتيم فلا تقهر“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang (menindasnya).” (QS. Adh-Dhuḥā: 9)Maksudnya: janganlah menindasnya secara zalim, berikanlah haknya. Allah menyebut secara khusus anak yatim karena dia tidak punya penolong selain Allah, maka Allah menguatkan larangan terhadap pelanggaran atas dirinya dengan ancaman keras terhadap pelakunya. [12]Wajib mengesakan Allah dalam ibadahTentang hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,لا يكون القهار إلا واحداً؛ إذ لو كان معه كفو له فإن لم يقهره لم يكن قاهراً على الإطلاق، وإن قهره لم يكن كفؤاً، وكان القهار واحدًا“Tidak ada yang benar-benar layak disebut al-Qahhaar selain yang satu (esa). Karena jika ada yang setara dengannya, maka jika ia tidak mampu mengalahkan yang lain, berarti ia tidaklah qahhār secara mutlak. Dan jika ia mampu mengalahkan lawannya, maka lawan itu tidaklah setara. Maka, al-Qahhaar itu hanya satu.” (ash-Shawā‘iq al-Mursalah, 3: 1032)Penjelasan ini menunjukkan bahwa tauhid dan iman kepada nama Allah al-Qahhaar adalah dua hal yang saling terkait. Barang siapa meyakini bahwa hanya Allah yang menguasai dan menundukkan segala sesuatu, maka ia harus beribadah hanya kepada-Nya. Dari sinilah terlihat kebatilan syirik: bagaimana mungkin makhluk dari tanah disamakan dengan Tuhan semesta alam? Bagaimana mungkin makhluk-makhluk yang ditundukkan oleh al-Qahhaar disamakan dengan-Nya? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan dan Maha Tinggi dari apa yang mereka gambarkan. [13]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama ini, dapat menguatkan iman, menumbuhkan rasa takut dan harap, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketundukan kepada selain-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”***Rumdin PPIA Sragen, 1 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibnu Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asma, hal. 127.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 129.[3] Ibid, hal. 251.[4] An-Nahj al-Asma, hal. 128.[5] Maqayisul Lughah, hal. 754.[6] al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 527.[7] Tafsir At-Thabari, 9: 180.[8] Tafsīr Ibnu Katsīr, 3: 244.[9] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 259.[10] Ibid, hal. 947. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 128-129.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 129.[12] Ibid, hal. 130.[13] Fiqhul Asmaa’il Husna, hal. 289.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaBeriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataLarangan menundukkan orang lain dengan cara zalimWajib mengesakan Allah dalam ibadahMengenal nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan bagian penting dari tauhid. Terutama tauhid uluhiyah, yang menuntut kita hanya tunduk, takut, dan beribadah kepada Allah semata. Nama-nama seperti Al-Qaahir dan Al-Qahhaar mengingatkan kita bahwa tidak ada makhluk yang bisa lolos dari kekuasaan dan kehendak-Nya.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Qaahir dan Al-Qahhaar, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menanamkan rasa tunduk, takut yang benar, dan penghambaan yang murni, sekaligus menghadirkan ketenangan karena tahu bahwa segala urusan ada dalam genggaman-Nya.Dalil nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Nama “Al-Qaahir” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu:Dalam firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An‘ām: 18)Dan firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya, dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu…” (QS. al-An‘ām: 61)Sedangkan nama “Al-Qahhaar” disebutkan sebanyak enam kali, di antaranya:Firman Allah Ta’ala,قُلِ اللّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah, Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ“Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Ghāfir: 16) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar”Al-Qaahir adalah ism fā’il (kata pelaku) dari (قَهَرَ يقهَر) qahara – yaqharu yang bermakna “yang menundukkan”. [2] Sedangkan Al-Qahhaar adalah ṣīghat mubālaghah (bentuk hiperbolis) dari akar kata yang sama, bermakna “yang sangat dan terus-menerus menundukkan.” [3]Asal kata dari kedua kata tersebut adalah Al-qahr (القَهْر) yang secara bahasa berarti mengalahkan dan menundukkan dari atas. [4]Ibnu Faris mengatakan,الْقَافُ وَالْهَاءُ وَالرَّاءُ كَلِمَةٌ صَحِيحَةٌ تَدُلُّ عَلَى غَلَبَةٍ وَعُلُوٍّ. يُقَالُ: قَهَرَهُ يَقْهَرُهُ قَهْرًا. وَالْقَاهِرُ: الْغَالِبُ“Huruf qāf, hā’, dan rā’ membentuk akar kata yang menunjukkan makna kemenangan dan keunggulan dari atas. Dikatakan: qaharahu yaqharuhu qahran, dan al-qaahir berarti yang menang (mengalahkan).” [5]Al-Fayyumi mengatakan,قَهَرَهُ قَهْرًا غَلَبَهُ فَهُوَ قَاهِرٌ وَقَهَّارٌ مُبَالَغَةٌ“Qaharahu qahran berarti mengalahkannya. Pelakunya disebut qaahir dan qahhaar (dalam bentuk mubaalaghah).” [6]Makna “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ“Dan Dia-lah Al-Qahīr di atas hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-An’am: 18), beliau mengatakan,فمعنى الكلامِ إذن: واللهُ الغالبُ عبادَه، المذلِّلُهم، العالي عليهم بتذليلِه لهم، وخلقِه إياهم، فهو فوقَهم بقهرِه إياهم، وهم دونَه“Jadi maknanya adalah Allah-lah yang mengalahkan hamba-hamba-Nya, menundukkan mereka, dan Mahatinggi atas mereka melalui penundukan-Nya dan penciptaan-Nya. Maka Dia berada di atas mereka karena kekuasaan-Nya, dan mereka berada di bawah-Nya.” [7]Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,أَيْ: هُوَ الَّذِي خَضَعَتْ لَهُ الرِّقَابُ، وَذَلَّتْ لَهُ الْجَبَابِرَةُ، وَعَنَتْ لَهُ الْوُجُوهُ، وَقَهَرَ كُلَّ شَيْءٍ وَدَانَتْ لَهُ الْخَلَائِقُ، وَتَوَاضَعَتْ لِعَظَمَةِ جَلَالِهِ وَكِبْرِيَائِهِ وَعَظَمَتِهِ وَعُلُوِّهِ وَقُدْرَتِهِ الْأَشْيَاءُ، وَاسْتَكَانَتْ وَتَضَاءَلَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَحْتَ حُكْمِهِ وَقَهْرِهِ“Maksudnya: Dialah yang semua leher tunduk kepada-Nya, para penguasa arogan menjadi hina di hadapan-Nya, wajah-wajah merendah kepada-Nya, dan segala sesuatu tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Seluruh makhluk merendah kepada keagungan, keperkasaan, kemuliaan, ketinggian, dan kekuasaan-Nya. Mereka semua berserah diri dan merasa kecil di hadapan hukum dan kekuasaan-Nya.” [8]Sedangkan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,ينفذ فيهم إرادته الشاملة، ومشيئته العامة، فليسوا يملكون من الأمر شيئا، ولا يتحركون ولا يسكنون إلا بإذنه“Dialah Allah yang mengatur seluruh kehendak-Nya atas para hamba, dan kehendak-Nya berlaku menyeluruh. Mereka tidak memiliki sedikit pun urusan, tidak bisa bergerak maupun diam kecuali dengan izin-Nya.” [9]Di tempat yang lain, beliau menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,“‌القهار” لكل شيء، الذي خضعت له المخلوقات، وذلت لعزته وقوته وكمال اقتداره“Al-Qahhaar adalah yang menundukkan segala sesuatu; seluruh makhluk tunduk kepada-Nya, merendah karena keperkasaan, kekuatan, dan kesempurnaan kuasa-Nya.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qaahir” dan “Al-Qahhaar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Beriman bahwa yang benar-benar Maha Mengalahkan (Al-Qahhaar) hanyalah Allah semataAllah-lah satu-satunya yang mengalahkan dan menundukkan seluruh hamba-Nya. Bahkan makhluk yang paling angkuh sekalipun menjadi kecil dan lenyap di hadapan kekuasaan dan keperkasaan Allah. Lihatlah kematian—yang telah Allah tetapkan atas seluruh hamba-Nya; tak seorang pun mampu menolaknya atau menyingkirkannya dari dirinya sendiri, walau mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan sebesar apa pun.Allah menyandingkan penyebutan kematian dengan sifat-Nya sebagai al-Qahhaar, untuk mengingatkan manusia akan satu bentuk kekuasaan yang dengannya Allah menundukkan mereka semua, dalam firman-Nya,وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً حَتَّىَ إِذَا جَاء أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ * ثُمَّ رُدُّواْ إِلَى اللّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ“Dan Dia-lah Al-Qaahir (yang menguasai) atas hamba-hamba-Nya. Dan Dia mengirimkan penjaga-penjaga (malaikat) kepadamu, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, para utusan Kami mewafatkannya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pelindung mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, hanya milik-Nya segala keputusan, dan Dia-lah yang paling cepat perhitungannya.” (QS. Al-An‘ām: 61–62) [11]Larangan menundukkan orang lain dengan cara zalimSifat “menundukkan” atau ”mengalahkan” pada makhluk, biasanya tercela karena dibangun di atas kezaliman, penindasan, dan dominasi atas orang-orang lemah dan miskin. Sebagaimana ucapan Fir‘aun—laknat Allah atasnya,سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءهُمْ وَنَسْتَحْيِـي نِسَاءهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ“Kita akan membunuh anak-anak lelaki mereka dan membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Sungguh, kita berkuasa atas mereka.” (QS. Al-A‘rāf: 127)Dan Allah juga berfirman,فأما اليتيم فلا تقهر“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang (menindasnya).” (QS. Adh-Dhuḥā: 9)Maksudnya: janganlah menindasnya secara zalim, berikanlah haknya. Allah menyebut secara khusus anak yatim karena dia tidak punya penolong selain Allah, maka Allah menguatkan larangan terhadap pelanggaran atas dirinya dengan ancaman keras terhadap pelakunya. [12]Wajib mengesakan Allah dalam ibadahTentang hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,لا يكون القهار إلا واحداً؛ إذ لو كان معه كفو له فإن لم يقهره لم يكن قاهراً على الإطلاق، وإن قهره لم يكن كفؤاً، وكان القهار واحدًا“Tidak ada yang benar-benar layak disebut al-Qahhaar selain yang satu (esa). Karena jika ada yang setara dengannya, maka jika ia tidak mampu mengalahkan yang lain, berarti ia tidaklah qahhār secara mutlak. Dan jika ia mampu mengalahkan lawannya, maka lawan itu tidaklah setara. Maka, al-Qahhaar itu hanya satu.” (ash-Shawā‘iq al-Mursalah, 3: 1032)Penjelasan ini menunjukkan bahwa tauhid dan iman kepada nama Allah al-Qahhaar adalah dua hal yang saling terkait. Barang siapa meyakini bahwa hanya Allah yang menguasai dan menundukkan segala sesuatu, maka ia harus beribadah hanya kepada-Nya. Dari sinilah terlihat kebatilan syirik: bagaimana mungkin makhluk dari tanah disamakan dengan Tuhan semesta alam? Bagaimana mungkin makhluk-makhluk yang ditundukkan oleh al-Qahhaar disamakan dengan-Nya? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan dan Maha Tinggi dari apa yang mereka gambarkan. [13]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama ini, dapat menguatkan iman, menumbuhkan rasa takut dan harap, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketundukan kepada selain-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Raqiib”***Rumdin PPIA Sragen, 1 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibnu Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asma, hal. 127.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 129.[3] Ibid, hal. 251.[4] An-Nahj al-Asma, hal. 128.[5] Maqayisul Lughah, hal. 754.[6] al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 527.[7] Tafsir At-Thabari, 9: 180.[8] Tafsīr Ibnu Katsīr, 3: 244.[9] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 259.[10] Ibid, hal. 947. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 128-129.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 129.[12] Ibid, hal. 130.[13] Fiqhul Asmaa’il Husna, hal. 289.

Begini Cara Menjadi Wali – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana saya dapat mencapai derajat wali Allah? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya memiliki keinginan besar terhadap kebaikan, dan ingin mencapai derajat tersebut. Derajat ini dapat dicapai oleh siapa saja dari kalangan Muslim. Tidak terbatas pada kelompok tertentu saja. Seorang ulama bisa meraihnya, dan orang awam pun bisa meraihnya. Bisa diraih oleh petani. Bisa pula diraih oleh karyawan. Bisa diraih oleh siapa pun. “Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Bagaimana seseorang dapat mencapai derajat kewalian? Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62). Siapa mereka itu? “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 63). Seseorang dapat meraih derajat kewalian dengan iman dan takwa. Barang siapa beriman dan bertakwa, maka ia menjadi wali Allah. Barang siapa memiliki ketakwaan yang besar kepada Allah ’Azza wa Jalla, maka bisa jadi ia akan mencapai derajat ini, derajat kewalian. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dunia dan di akhirat…” (QS. Yunus: 62–64). Di akhirat, kabar gembira itu adalah surga. Sedangkan kabar gembira di dunia adalah nama baik, kedudukan mulia, penerimaan dan kecintaan manusia, serta mimpi baik yang ia lihat sendiri atau diperlihatkan kepada orang lain. Inilah penafsiran terbaik tentang kabar gembira yang diberikan di dunia. Sedangkan kabar gembira di akhirat adalah surga. Apabila seseorang telah mencapai derajat ini, derajat kewalian, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentangnya dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Artinya, orang yang menyakiti salah satu wali Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah akan memeranginya. “…maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Barang siapa diperangi Tuhannya, maka ia akan ditimpa berbagai musibah dari arah mana saja dan dengan cara apa saja. Ia telah menabuh genderang perang, tapi dengan siapa? Dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang menyakiti wali Allah Subhanah. “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” ===== كَيْفَ أَصِلُ لِدَرَجَةِ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ؟ يَعْنِي هَذَا السُّؤَالُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السَّائِلَ عِنْدَهُ خَيْرٌ كَثِيرٌ وَيُرِيدُ أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ وَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ مُسْلِمٍ لَيْسَتْ خَاصَّةً بِطَبَقَةٍ مُعَيَّنَةٍ مِنَ النَّاسِ يُمْكِنُ يَصِلُ إِلَيْهَا عَالِمٌ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْأُمِّيُّ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْفَلَّاحُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْعَامِلُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ إِنْسَانٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ؟ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ مَنْ هُمْ؟ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ بِاْلاِيْمَانِ وَالتَّقْوَى مَنْ كَانَ مُؤْمِنًا تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا مَنْ كَانَ تَقِيًّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظُمَتِ التَّقْوَى عِنْدَهُ فَإِنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ فِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ أَمَّا الْبُشْرَى الَّتِي فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَالسُّمْعَةُ الْحَسَنَةُ وَالسِّيرَةُ الطَّيِّبَةُ وَالْقَبُولُ وَمَحَبَّةُ النَّاسِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ هَذَا أَحْسَنُ مَا فُسِّرَتْ بِه الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ وَإِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ أَيْ أَنَّ هَذَا الَّذِي آذَى وَلِيًّا مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحَارِبُهُ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَنْ حَارَبَهُ رَبُّهُ فَلْيَتَوَقَّعْ أَنْ تَأْتِيَهُ الْمَصَائِبُ مِنْ أَيِّ جِهَةٍ وَبِأَيَّةِ طَرِيقَةٍ فَتَحَ جَبْهَةَ حَرْبٍ وَلَكِنْ مَعَ مَنْ؟ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا فِيهِ تَحْذِيرٌ شَدِيدٌ لِمَنْ يُؤْذِي أَوْلِيَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

Begini Cara Menjadi Wali – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana saya dapat mencapai derajat wali Allah? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya memiliki keinginan besar terhadap kebaikan, dan ingin mencapai derajat tersebut. Derajat ini dapat dicapai oleh siapa saja dari kalangan Muslim. Tidak terbatas pada kelompok tertentu saja. Seorang ulama bisa meraihnya, dan orang awam pun bisa meraihnya. Bisa diraih oleh petani. Bisa pula diraih oleh karyawan. Bisa diraih oleh siapa pun. “Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Bagaimana seseorang dapat mencapai derajat kewalian? Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62). Siapa mereka itu? “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 63). Seseorang dapat meraih derajat kewalian dengan iman dan takwa. Barang siapa beriman dan bertakwa, maka ia menjadi wali Allah. Barang siapa memiliki ketakwaan yang besar kepada Allah ’Azza wa Jalla, maka bisa jadi ia akan mencapai derajat ini, derajat kewalian. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dunia dan di akhirat…” (QS. Yunus: 62–64). Di akhirat, kabar gembira itu adalah surga. Sedangkan kabar gembira di dunia adalah nama baik, kedudukan mulia, penerimaan dan kecintaan manusia, serta mimpi baik yang ia lihat sendiri atau diperlihatkan kepada orang lain. Inilah penafsiran terbaik tentang kabar gembira yang diberikan di dunia. Sedangkan kabar gembira di akhirat adalah surga. Apabila seseorang telah mencapai derajat ini, derajat kewalian, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentangnya dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Artinya, orang yang menyakiti salah satu wali Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah akan memeranginya. “…maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Barang siapa diperangi Tuhannya, maka ia akan ditimpa berbagai musibah dari arah mana saja dan dengan cara apa saja. Ia telah menabuh genderang perang, tapi dengan siapa? Dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang menyakiti wali Allah Subhanah. “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” ===== كَيْفَ أَصِلُ لِدَرَجَةِ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ؟ يَعْنِي هَذَا السُّؤَالُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السَّائِلَ عِنْدَهُ خَيْرٌ كَثِيرٌ وَيُرِيدُ أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ وَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ مُسْلِمٍ لَيْسَتْ خَاصَّةً بِطَبَقَةٍ مُعَيَّنَةٍ مِنَ النَّاسِ يُمْكِنُ يَصِلُ إِلَيْهَا عَالِمٌ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْأُمِّيُّ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْفَلَّاحُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْعَامِلُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ إِنْسَانٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ؟ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ مَنْ هُمْ؟ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ بِاْلاِيْمَانِ وَالتَّقْوَى مَنْ كَانَ مُؤْمِنًا تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا مَنْ كَانَ تَقِيًّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظُمَتِ التَّقْوَى عِنْدَهُ فَإِنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ فِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ أَمَّا الْبُشْرَى الَّتِي فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَالسُّمْعَةُ الْحَسَنَةُ وَالسِّيرَةُ الطَّيِّبَةُ وَالْقَبُولُ وَمَحَبَّةُ النَّاسِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ هَذَا أَحْسَنُ مَا فُسِّرَتْ بِه الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ وَإِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ أَيْ أَنَّ هَذَا الَّذِي آذَى وَلِيًّا مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحَارِبُهُ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَنْ حَارَبَهُ رَبُّهُ فَلْيَتَوَقَّعْ أَنْ تَأْتِيَهُ الْمَصَائِبُ مِنْ أَيِّ جِهَةٍ وَبِأَيَّةِ طَرِيقَةٍ فَتَحَ جَبْهَةَ حَرْبٍ وَلَكِنْ مَعَ مَنْ؟ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا فِيهِ تَحْذِيرٌ شَدِيدٌ لِمَنْ يُؤْذِي أَوْلِيَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
Bagaimana saya dapat mencapai derajat wali Allah? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya memiliki keinginan besar terhadap kebaikan, dan ingin mencapai derajat tersebut. Derajat ini dapat dicapai oleh siapa saja dari kalangan Muslim. Tidak terbatas pada kelompok tertentu saja. Seorang ulama bisa meraihnya, dan orang awam pun bisa meraihnya. Bisa diraih oleh petani. Bisa pula diraih oleh karyawan. Bisa diraih oleh siapa pun. “Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Bagaimana seseorang dapat mencapai derajat kewalian? Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62). Siapa mereka itu? “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 63). Seseorang dapat meraih derajat kewalian dengan iman dan takwa. Barang siapa beriman dan bertakwa, maka ia menjadi wali Allah. Barang siapa memiliki ketakwaan yang besar kepada Allah ’Azza wa Jalla, maka bisa jadi ia akan mencapai derajat ini, derajat kewalian. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dunia dan di akhirat…” (QS. Yunus: 62–64). Di akhirat, kabar gembira itu adalah surga. Sedangkan kabar gembira di dunia adalah nama baik, kedudukan mulia, penerimaan dan kecintaan manusia, serta mimpi baik yang ia lihat sendiri atau diperlihatkan kepada orang lain. Inilah penafsiran terbaik tentang kabar gembira yang diberikan di dunia. Sedangkan kabar gembira di akhirat adalah surga. Apabila seseorang telah mencapai derajat ini, derajat kewalian, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentangnya dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Artinya, orang yang menyakiti salah satu wali Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah akan memeranginya. “…maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Barang siapa diperangi Tuhannya, maka ia akan ditimpa berbagai musibah dari arah mana saja dan dengan cara apa saja. Ia telah menabuh genderang perang, tapi dengan siapa? Dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang menyakiti wali Allah Subhanah. “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” ===== كَيْفَ أَصِلُ لِدَرَجَةِ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ؟ يَعْنِي هَذَا السُّؤَالُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السَّائِلَ عِنْدَهُ خَيْرٌ كَثِيرٌ وَيُرِيدُ أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ وَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ مُسْلِمٍ لَيْسَتْ خَاصَّةً بِطَبَقَةٍ مُعَيَّنَةٍ مِنَ النَّاسِ يُمْكِنُ يَصِلُ إِلَيْهَا عَالِمٌ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْأُمِّيُّ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْفَلَّاحُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْعَامِلُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ إِنْسَانٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ؟ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ مَنْ هُمْ؟ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ بِاْلاِيْمَانِ وَالتَّقْوَى مَنْ كَانَ مُؤْمِنًا تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا مَنْ كَانَ تَقِيًّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظُمَتِ التَّقْوَى عِنْدَهُ فَإِنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ فِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ أَمَّا الْبُشْرَى الَّتِي فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَالسُّمْعَةُ الْحَسَنَةُ وَالسِّيرَةُ الطَّيِّبَةُ وَالْقَبُولُ وَمَحَبَّةُ النَّاسِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ هَذَا أَحْسَنُ مَا فُسِّرَتْ بِه الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ وَإِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ أَيْ أَنَّ هَذَا الَّذِي آذَى وَلِيًّا مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحَارِبُهُ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَنْ حَارَبَهُ رَبُّهُ فَلْيَتَوَقَّعْ أَنْ تَأْتِيَهُ الْمَصَائِبُ مِنْ أَيِّ جِهَةٍ وَبِأَيَّةِ طَرِيقَةٍ فَتَحَ جَبْهَةَ حَرْبٍ وَلَكِنْ مَعَ مَنْ؟ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا فِيهِ تَحْذِيرٌ شَدِيدٌ لِمَنْ يُؤْذِي أَوْلِيَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ


Bagaimana saya dapat mencapai derajat wali Allah? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya memiliki keinginan besar terhadap kebaikan, dan ingin mencapai derajat tersebut. Derajat ini dapat dicapai oleh siapa saja dari kalangan Muslim. Tidak terbatas pada kelompok tertentu saja. Seorang ulama bisa meraihnya, dan orang awam pun bisa meraihnya. Bisa diraih oleh petani. Bisa pula diraih oleh karyawan. Bisa diraih oleh siapa pun. “Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Bagaimana seseorang dapat mencapai derajat kewalian? Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62). Siapa mereka itu? “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 63). Seseorang dapat meraih derajat kewalian dengan iman dan takwa. Barang siapa beriman dan bertakwa, maka ia menjadi wali Allah. Barang siapa memiliki ketakwaan yang besar kepada Allah ’Azza wa Jalla, maka bisa jadi ia akan mencapai derajat ini, derajat kewalian. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dunia dan di akhirat…” (QS. Yunus: 62–64). Di akhirat, kabar gembira itu adalah surga. Sedangkan kabar gembira di dunia adalah nama baik, kedudukan mulia, penerimaan dan kecintaan manusia, serta mimpi baik yang ia lihat sendiri atau diperlihatkan kepada orang lain. Inilah penafsiran terbaik tentang kabar gembira yang diberikan di dunia. Sedangkan kabar gembira di akhirat adalah surga. Apabila seseorang telah mencapai derajat ini, derajat kewalian, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentangnya dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Artinya, orang yang menyakiti salah satu wali Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah akan memeranginya. “…maka Aku menyatakan perang kepadanya.” Barang siapa diperangi Tuhannya, maka ia akan ditimpa berbagai musibah dari arah mana saja dan dengan cara apa saja. Ia telah menabuh genderang perang, tapi dengan siapa? Dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang menyakiti wali Allah Subhanah. “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.” ===== كَيْفَ أَصِلُ لِدَرَجَةِ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ؟ يَعْنِي هَذَا السُّؤَالُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السَّائِلَ عِنْدَهُ خَيْرٌ كَثِيرٌ وَيُرِيدُ أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ وَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ مُسْلِمٍ لَيْسَتْ خَاصَّةً بِطَبَقَةٍ مُعَيَّنَةٍ مِنَ النَّاسِ يُمْكِنُ يَصِلُ إِلَيْهَا عَالِمٌ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْأُمِّيُّ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْفَلَّاحُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا الْعَامِلُ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا أَيُّ إِنْسَانٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ؟ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ مَنْ هُمْ؟ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ يَصِلُ الْإِنْسَانُ إِلَى مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ بِاْلاِيْمَانِ وَالتَّقْوَى مَنْ كَانَ مُؤْمِنًا تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا مَنْ كَانَ تَقِيًّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظُمَتِ التَّقْوَى عِنْدَهُ فَإِنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ فِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ أَمَّا الْبُشْرَى الَّتِي فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَالسُّمْعَةُ الْحَسَنَةُ وَالسِّيرَةُ الطَّيِّبَةُ وَالْقَبُولُ وَمَحَبَّةُ النَّاسِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ هَذَا أَحْسَنُ مَا فُسِّرَتْ بِه الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ الْجَنَّةُ وَإِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ مَرْتَبَةِ الْوِلَايَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ أَيْ أَنَّ هَذَا الَّذِي آذَى وَلِيًّا مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحَارِبُهُ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَنْ حَارَبَهُ رَبُّهُ فَلْيَتَوَقَّعْ أَنْ تَأْتِيَهُ الْمَصَائِبُ مِنْ أَيِّ جِهَةٍ وَبِأَيَّةِ طَرِيقَةٍ فَتَحَ جَبْهَةَ حَرْبٍ وَلَكِنْ مَعَ مَنْ؟ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا فِيهِ تَحْذِيرٌ شَدِيدٌ لِمَنْ يُؤْذِي أَوْلِيَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

Semakin Banyak Membaca Al-Qur’an Semakin Lancar Urusan Kita – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Salah seorang murid Imaduddin Ibrahim bin Abdul Wahid Al-Maqdisi berkata: “Guruku berwasiat kepadaku ketika aku hendak bersafar, ia berkata: ‘Perbanyaklah membaca Al-Qur’an, janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya, karena segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.’ Aku pun menyaksikan kebenarannya dan telah mencobanya berkali-kali. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, aku dimudahkan untuk mendengar dan menulis banyak riwayat hadis. Namun ketika aku tidak membaca Al-Qur’an, semua itu terasa sulit bagiku.” Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab yang penuh berkah, penuh berkah dalam setiap aspek. Cukuplah Al-Qur’an sebagai firman Tuhan kita yang dijadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penuh berkah ketika dibaca, penuh berkah ketika dihafal. Penuh berkah ketika diamalkan, penuh berkah ketika dijadikan pedoman hukum. Penuh berkah ketika dijadikan obat. Penuh berkah dalam segala hal. Seseorang akan merasakan pengaruh keberkahannya dalam waktu, kehidupan, pekerjaan, dan segala urusannya. Karena itu, di sini Imaduddin Ibrahim Al-Maqdisi berwasiat kepada salah seorang muridnya dengan wasiat agung ini: agar ia memperbanyak membaca Al-Qur’an. Beliau berkata, “Segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.” Yakni pekerjaan lain akan dimudahkan bagimu jika engkau memperbanyak membaca Al-Qur’an Al-Karim. Lalu muridnya yang menjalankan wasiat ini mengatakan: “Aku telah mencobanya berkali-kali, dan benar-benar melihat hasilnya. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, pekerjaanku menjadi mudah, begitu pula segala yang aku harapkan dan inginkan. Namun, jika aku tidak membacanya, semua itu terasa sulit bagiku.” Inilah salah satu pengaruh dari keberkahan Al-Qur’an. Hal ini dapat dirasakan oleh orang yang banyak membaca Al-Qur’an. Mereka mendapati bahwa bacaan Al-Qur’an memberi pengaruh nyata pada diri mereka. Pengaruh pada jiwa mereka. Pengaruh pada keberkahan waktu mereka. Pengaruh pada produktivitas mereka. Serta pengaruh dan keberkahan pada seluruh kehidupan mereka. Al-Qur’an ini punya keberkahan yang besar dan beraneka ragam. Ia merupakan Kitab Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan orang-orang yang berakal mendapat pelajaran.” (QS. Shad: 29). ===== قَالَ أَحَدُ تَلاَمِيْذِ عِمَادِ الدِّينِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِيِّ أَوْصَانِي يَعْنِي شَيْخِي وَقْتَ سَفَرِيْ فَقَالَ أَكْثِرْ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَلَا تَتْرُكْهُ فَإِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ قَالَ فَرَأَيْتُ ذَلِكَ وَجَرَّبْتُهُ كَثِيرًا فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَ لِي مِنْ سَمَاعِ الْحَدِيثِ وَكِتَابَتِهِ الْكَثِيرِ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ كِتَابٌ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَكْفِي أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّنَا جَعَلَهُ آيَةَ نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الِاسْتِشْفَاءِ بِه مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَجِدُ الْإِنْسَانُ أَثَرَ بَرَكَتِهِ عَلَيْهِ فِي وَقْتِهِ وَفِي حَيَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ وَلِذَلِكَ هُنَا عِمَادُ الدِّينِ إِبْرَاهِيمُ الْمَقْدِسِيُّ أَوْصَى أَحَدَ تَلَامِذَتِهِ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ الْعَظِيمَةِ بِأَنْ يُكْثِرَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَيَقُولُ إِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ يَعْنِي تَتَيَسَّرُ لَكَ أَعْمَالُكَ الْأُخْرَى إِذَا أَكْثَرْتَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ يَقُولُ هَذَا الَّذِي قَدْ عَمِلَ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ جَرَّبْتُ هَذَا كَثِيرًا فَرَأَيْتُ ذَلِكَ فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَتْ الْأَعْمَالُ لِي وَتَيَسَّرَ مَا أَطْلُبُهُ وَمَا أُرِيدُهُ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي وَهَذَا مِنْ آثَارِ بَرَكَةِ الْقُرْآنِ وَهَذَا أَمْرٌ يَجِدُهُ الْمُكْثِرُونَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ يَجِدُوْنَ أَنَّ لِهَذِهِ التِّلَاوَةِ أَثَرًا عَلَيْهِمْ أَثَرًا عَلَى نَفْسِيَاتِهِمْ أَثَرًا عَلَى بَرَكَةِ الْوَقْتِ أَثَرًا عَلَى الْإِنْجَازِ أَثَرًا وَبَرَكَةً عَلَى حَيَاتِهِمْ كُلِّهَا فَهَذَا الْقُرْآنُ بَرَكَاتُهُ عَظِيمَةٌ وَمُتَنَوِّعَةٌ فَهُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Semakin Banyak Membaca Al-Qur’an Semakin Lancar Urusan Kita – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Salah seorang murid Imaduddin Ibrahim bin Abdul Wahid Al-Maqdisi berkata: “Guruku berwasiat kepadaku ketika aku hendak bersafar, ia berkata: ‘Perbanyaklah membaca Al-Qur’an, janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya, karena segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.’ Aku pun menyaksikan kebenarannya dan telah mencobanya berkali-kali. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, aku dimudahkan untuk mendengar dan menulis banyak riwayat hadis. Namun ketika aku tidak membaca Al-Qur’an, semua itu terasa sulit bagiku.” Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab yang penuh berkah, penuh berkah dalam setiap aspek. Cukuplah Al-Qur’an sebagai firman Tuhan kita yang dijadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penuh berkah ketika dibaca, penuh berkah ketika dihafal. Penuh berkah ketika diamalkan, penuh berkah ketika dijadikan pedoman hukum. Penuh berkah ketika dijadikan obat. Penuh berkah dalam segala hal. Seseorang akan merasakan pengaruh keberkahannya dalam waktu, kehidupan, pekerjaan, dan segala urusannya. Karena itu, di sini Imaduddin Ibrahim Al-Maqdisi berwasiat kepada salah seorang muridnya dengan wasiat agung ini: agar ia memperbanyak membaca Al-Qur’an. Beliau berkata, “Segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.” Yakni pekerjaan lain akan dimudahkan bagimu jika engkau memperbanyak membaca Al-Qur’an Al-Karim. Lalu muridnya yang menjalankan wasiat ini mengatakan: “Aku telah mencobanya berkali-kali, dan benar-benar melihat hasilnya. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, pekerjaanku menjadi mudah, begitu pula segala yang aku harapkan dan inginkan. Namun, jika aku tidak membacanya, semua itu terasa sulit bagiku.” Inilah salah satu pengaruh dari keberkahan Al-Qur’an. Hal ini dapat dirasakan oleh orang yang banyak membaca Al-Qur’an. Mereka mendapati bahwa bacaan Al-Qur’an memberi pengaruh nyata pada diri mereka. Pengaruh pada jiwa mereka. Pengaruh pada keberkahan waktu mereka. Pengaruh pada produktivitas mereka. Serta pengaruh dan keberkahan pada seluruh kehidupan mereka. Al-Qur’an ini punya keberkahan yang besar dan beraneka ragam. Ia merupakan Kitab Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan orang-orang yang berakal mendapat pelajaran.” (QS. Shad: 29). ===== قَالَ أَحَدُ تَلاَمِيْذِ عِمَادِ الدِّينِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِيِّ أَوْصَانِي يَعْنِي شَيْخِي وَقْتَ سَفَرِيْ فَقَالَ أَكْثِرْ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَلَا تَتْرُكْهُ فَإِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ قَالَ فَرَأَيْتُ ذَلِكَ وَجَرَّبْتُهُ كَثِيرًا فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَ لِي مِنْ سَمَاعِ الْحَدِيثِ وَكِتَابَتِهِ الْكَثِيرِ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ كِتَابٌ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَكْفِي أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّنَا جَعَلَهُ آيَةَ نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الِاسْتِشْفَاءِ بِه مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَجِدُ الْإِنْسَانُ أَثَرَ بَرَكَتِهِ عَلَيْهِ فِي وَقْتِهِ وَفِي حَيَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ وَلِذَلِكَ هُنَا عِمَادُ الدِّينِ إِبْرَاهِيمُ الْمَقْدِسِيُّ أَوْصَى أَحَدَ تَلَامِذَتِهِ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ الْعَظِيمَةِ بِأَنْ يُكْثِرَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَيَقُولُ إِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ يَعْنِي تَتَيَسَّرُ لَكَ أَعْمَالُكَ الْأُخْرَى إِذَا أَكْثَرْتَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ يَقُولُ هَذَا الَّذِي قَدْ عَمِلَ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ جَرَّبْتُ هَذَا كَثِيرًا فَرَأَيْتُ ذَلِكَ فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَتْ الْأَعْمَالُ لِي وَتَيَسَّرَ مَا أَطْلُبُهُ وَمَا أُرِيدُهُ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي وَهَذَا مِنْ آثَارِ بَرَكَةِ الْقُرْآنِ وَهَذَا أَمْرٌ يَجِدُهُ الْمُكْثِرُونَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ يَجِدُوْنَ أَنَّ لِهَذِهِ التِّلَاوَةِ أَثَرًا عَلَيْهِمْ أَثَرًا عَلَى نَفْسِيَاتِهِمْ أَثَرًا عَلَى بَرَكَةِ الْوَقْتِ أَثَرًا عَلَى الْإِنْجَازِ أَثَرًا وَبَرَكَةً عَلَى حَيَاتِهِمْ كُلِّهَا فَهَذَا الْقُرْآنُ بَرَكَاتُهُ عَظِيمَةٌ وَمُتَنَوِّعَةٌ فَهُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Salah seorang murid Imaduddin Ibrahim bin Abdul Wahid Al-Maqdisi berkata: “Guruku berwasiat kepadaku ketika aku hendak bersafar, ia berkata: ‘Perbanyaklah membaca Al-Qur’an, janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya, karena segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.’ Aku pun menyaksikan kebenarannya dan telah mencobanya berkali-kali. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, aku dimudahkan untuk mendengar dan menulis banyak riwayat hadis. Namun ketika aku tidak membaca Al-Qur’an, semua itu terasa sulit bagiku.” Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab yang penuh berkah, penuh berkah dalam setiap aspek. Cukuplah Al-Qur’an sebagai firman Tuhan kita yang dijadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penuh berkah ketika dibaca, penuh berkah ketika dihafal. Penuh berkah ketika diamalkan, penuh berkah ketika dijadikan pedoman hukum. Penuh berkah ketika dijadikan obat. Penuh berkah dalam segala hal. Seseorang akan merasakan pengaruh keberkahannya dalam waktu, kehidupan, pekerjaan, dan segala urusannya. Karena itu, di sini Imaduddin Ibrahim Al-Maqdisi berwasiat kepada salah seorang muridnya dengan wasiat agung ini: agar ia memperbanyak membaca Al-Qur’an. Beliau berkata, “Segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.” Yakni pekerjaan lain akan dimudahkan bagimu jika engkau memperbanyak membaca Al-Qur’an Al-Karim. Lalu muridnya yang menjalankan wasiat ini mengatakan: “Aku telah mencobanya berkali-kali, dan benar-benar melihat hasilnya. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, pekerjaanku menjadi mudah, begitu pula segala yang aku harapkan dan inginkan. Namun, jika aku tidak membacanya, semua itu terasa sulit bagiku.” Inilah salah satu pengaruh dari keberkahan Al-Qur’an. Hal ini dapat dirasakan oleh orang yang banyak membaca Al-Qur’an. Mereka mendapati bahwa bacaan Al-Qur’an memberi pengaruh nyata pada diri mereka. Pengaruh pada jiwa mereka. Pengaruh pada keberkahan waktu mereka. Pengaruh pada produktivitas mereka. Serta pengaruh dan keberkahan pada seluruh kehidupan mereka. Al-Qur’an ini punya keberkahan yang besar dan beraneka ragam. Ia merupakan Kitab Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan orang-orang yang berakal mendapat pelajaran.” (QS. Shad: 29). ===== قَالَ أَحَدُ تَلاَمِيْذِ عِمَادِ الدِّينِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِيِّ أَوْصَانِي يَعْنِي شَيْخِي وَقْتَ سَفَرِيْ فَقَالَ أَكْثِرْ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَلَا تَتْرُكْهُ فَإِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ قَالَ فَرَأَيْتُ ذَلِكَ وَجَرَّبْتُهُ كَثِيرًا فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَ لِي مِنْ سَمَاعِ الْحَدِيثِ وَكِتَابَتِهِ الْكَثِيرِ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ كِتَابٌ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَكْفِي أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّنَا جَعَلَهُ آيَةَ نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الِاسْتِشْفَاءِ بِه مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَجِدُ الْإِنْسَانُ أَثَرَ بَرَكَتِهِ عَلَيْهِ فِي وَقْتِهِ وَفِي حَيَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ وَلِذَلِكَ هُنَا عِمَادُ الدِّينِ إِبْرَاهِيمُ الْمَقْدِسِيُّ أَوْصَى أَحَدَ تَلَامِذَتِهِ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ الْعَظِيمَةِ بِأَنْ يُكْثِرَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَيَقُولُ إِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ يَعْنِي تَتَيَسَّرُ لَكَ أَعْمَالُكَ الْأُخْرَى إِذَا أَكْثَرْتَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ يَقُولُ هَذَا الَّذِي قَدْ عَمِلَ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ جَرَّبْتُ هَذَا كَثِيرًا فَرَأَيْتُ ذَلِكَ فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَتْ الْأَعْمَالُ لِي وَتَيَسَّرَ مَا أَطْلُبُهُ وَمَا أُرِيدُهُ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي وَهَذَا مِنْ آثَارِ بَرَكَةِ الْقُرْآنِ وَهَذَا أَمْرٌ يَجِدُهُ الْمُكْثِرُونَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ يَجِدُوْنَ أَنَّ لِهَذِهِ التِّلَاوَةِ أَثَرًا عَلَيْهِمْ أَثَرًا عَلَى نَفْسِيَاتِهِمْ أَثَرًا عَلَى بَرَكَةِ الْوَقْتِ أَثَرًا عَلَى الْإِنْجَازِ أَثَرًا وَبَرَكَةً عَلَى حَيَاتِهِمْ كُلِّهَا فَهَذَا الْقُرْآنُ بَرَكَاتُهُ عَظِيمَةٌ وَمُتَنَوِّعَةٌ فَهُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ


Salah seorang murid Imaduddin Ibrahim bin Abdul Wahid Al-Maqdisi berkata: “Guruku berwasiat kepadaku ketika aku hendak bersafar, ia berkata: ‘Perbanyaklah membaca Al-Qur’an, janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya, karena segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.’ Aku pun menyaksikan kebenarannya dan telah mencobanya berkali-kali. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, aku dimudahkan untuk mendengar dan menulis banyak riwayat hadis. Namun ketika aku tidak membaca Al-Qur’an, semua itu terasa sulit bagiku.” Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab yang penuh berkah, penuh berkah dalam setiap aspek. Cukuplah Al-Qur’an sebagai firman Tuhan kita yang dijadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penuh berkah ketika dibaca, penuh berkah ketika dihafal. Penuh berkah ketika diamalkan, penuh berkah ketika dijadikan pedoman hukum. Penuh berkah ketika dijadikan obat. Penuh berkah dalam segala hal. Seseorang akan merasakan pengaruh keberkahannya dalam waktu, kehidupan, pekerjaan, dan segala urusannya. Karena itu, di sini Imaduddin Ibrahim Al-Maqdisi berwasiat kepada salah seorang muridnya dengan wasiat agung ini: agar ia memperbanyak membaca Al-Qur’an. Beliau berkata, “Segala yang engkau harapkan akan dimudahkan sesuai kadar bacaan Al-Qur’anmu.” Yakni pekerjaan lain akan dimudahkan bagimu jika engkau memperbanyak membaca Al-Qur’an Al-Karim. Lalu muridnya yang menjalankan wasiat ini mengatakan: “Aku telah mencobanya berkali-kali, dan benar-benar melihat hasilnya. Setiap kali aku banyak membaca Al-Qur’an, pekerjaanku menjadi mudah, begitu pula segala yang aku harapkan dan inginkan. Namun, jika aku tidak membacanya, semua itu terasa sulit bagiku.” Inilah salah satu pengaruh dari keberkahan Al-Qur’an. Hal ini dapat dirasakan oleh orang yang banyak membaca Al-Qur’an. Mereka mendapati bahwa bacaan Al-Qur’an memberi pengaruh nyata pada diri mereka. Pengaruh pada jiwa mereka. Pengaruh pada keberkahan waktu mereka. Pengaruh pada produktivitas mereka. Serta pengaruh dan keberkahan pada seluruh kehidupan mereka. Al-Qur’an ini punya keberkahan yang besar dan beraneka ragam. Ia merupakan Kitab Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan orang-orang yang berakal mendapat pelajaran.” (QS. Shad: 29). ===== قَالَ أَحَدُ تَلاَمِيْذِ عِمَادِ الدِّينِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِيِّ أَوْصَانِي يَعْنِي شَيْخِي وَقْتَ سَفَرِيْ فَقَالَ أَكْثِرْ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَلَا تَتْرُكْهُ فَإِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ قَالَ فَرَأَيْتُ ذَلِكَ وَجَرَّبْتُهُ كَثِيرًا فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَ لِي مِنْ سَمَاعِ الْحَدِيثِ وَكِتَابَتِهِ الْكَثِيرِ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ كِتَابٌ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَكْفِي أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّنَا جَعَلَهُ آيَةَ نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الِاسْتِشْفَاءِ بِه مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ يَجِدُ الْإِنْسَانُ أَثَرَ بَرَكَتِهِ عَلَيْهِ فِي وَقْتِهِ وَفِي حَيَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ وَلِذَلِكَ هُنَا عِمَادُ الدِّينِ إِبْرَاهِيمُ الْمَقْدِسِيُّ أَوْصَى أَحَدَ تَلَامِذَتِهِ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ الْعَظِيمَةِ بِأَنْ يُكْثِرَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَيَقُولُ إِنَّهُ يَتَيَسَّرُ لَكَ الَّذِي تَطْلُبُهُ عَلَى قَدْرِ مَا تَقْرَأُ يَعْنِي تَتَيَسَّرُ لَكَ أَعْمَالُكَ الْأُخْرَى إِذَا أَكْثَرْتَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ يَقُولُ هَذَا الَّذِي قَدْ عَمِلَ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ جَرَّبْتُ هَذَا كَثِيرًا فَرَأَيْتُ ذَلِكَ فَكُنْتُ إِذَا قَرَأْتُ كَثِيرًا تَيَسَّرَتْ الْأَعْمَالُ لِي وَتَيَسَّرَ مَا أَطْلُبُهُ وَمَا أُرِيدُهُ وَإِذَا لَمْ أَقْرَأْ لَمْ يَتَيَسَّرْ لِي وَهَذَا مِنْ آثَارِ بَرَكَةِ الْقُرْآنِ وَهَذَا أَمْرٌ يَجِدُهُ الْمُكْثِرُونَ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ يَجِدُوْنَ أَنَّ لِهَذِهِ التِّلَاوَةِ أَثَرًا عَلَيْهِمْ أَثَرًا عَلَى نَفْسِيَاتِهِمْ أَثَرًا عَلَى بَرَكَةِ الْوَقْتِ أَثَرًا عَلَى الْإِنْجَازِ أَثَرًا وَبَرَكَةً عَلَى حَيَاتِهِمْ كُلِّهَا فَهَذَا الْقُرْآنُ بَرَكَاتُهُ عَظِيمَةٌ وَمُتَنَوِّعَةٌ فَهُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Prev     Next