Asuransi Dalam Timbangan Syariat

Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603

Asuransi Dalam Timbangan Syariat

Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603
Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603


Daftar Isi Toggle Asuransi komersilAsuransi sosial Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1] Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut. Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua: Pertama: Asuransi komersil Kedua: Asuransi sosial Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda. Asuransi komersil Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2], Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah, كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ “Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.” Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram. Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim) Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29) Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya. Asuransi sosial Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah. Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ “Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3] Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan). Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut. Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya. Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung. Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui, العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي “Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.” Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar *** Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih   Catatan kaki: [1] Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/472 [2] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/8889 [3] Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/20603

Biografi Ringkas Imam Abu Abdirrahman An-Nasa’i

Daftar Isi Toggle Nama dan kelahiranPerjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmuSifat fisik dan kepribadianAkidahKedudukan ilmiah Imam An-Nasa’iGuru-guruMurid-muridKarya-karya Imam An-Nasa’iPujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’iWafat Nama dan kelahiran Beliau adalah imam, hafiz, terpercaya, ahli hadis terkemuka, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasani An-Nasa’i, pengarang kitab As-Sunan. Beliau lahir di kota Nasa’ pada tahun 215 Hijriah. Perjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmu An-Nasa’i menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu ke Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan daerah perbatasan. Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari ilmu, hingga menetap di Mesir. Namun, karena adanya rasa iri dari sebagian ulama di Mesir, beliau kemudian pergi ke Ramlah di Palestina. Sifat fisik dan kepribadian Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa An-Nasa’i adalah seorang syekh yang berwibawa, berparas rupawan, dengan kulit yang terlihat segar, dan jenggot yang indah. Diceritakan pula bahwa beliau berwajah cerah, meski di usia lanjut, mengenakan pakaian nubi berwarna hijau, serta memiliki empat istri. Abu Husain Muhammad bin Muzhaffar Al-Hafizh berkata, “Aku mendengar para ulama Mesir mengakui keutamaan dan kedudukannya sebagai imam, serta menceritakan kesungguhannya dalam beribadah siang dan malam, juga kegemarannya untuk menunaikan ibadah haji dan berjihad.” Akidah Imam An-Nasa’i رحمه الله memiliki akidah yang selaras dengan akidah ahli sunah waljamaah, yang terlihat jelas dalam karya-karya beliau. Qadhi Mesir, Abu Al-Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abi Al-Awwam As-Sa’di, meriwayatkan bahwa An-Nasa’i berkata sebagaimana perkataan ulama besar. “Jika seseorang meyakini bahwa firman Allah, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي ‘Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.’ (QS. Thaha: 14) adalah makhluk, maka orang itu kafir.” Kedudukan ilmiah Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i adalah salah satu ulama besar yang ahli dalam ilmu hadis, dikenal dengan pemahaman mendalam, ketelitian, serta kemampuannya dalam menilai perawi dan menyusun kitab. Beliau mengembara untuk menuntut ilmu ke berbagai wilayah seperti Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan perbatasan negeri-negeri muslim, hingga akhirnya menetap di Mesir, di mana para ahli hadis datang berguru kepadanya. Beliau diakui sebagai tokoh yang tiada tanding dalam bidang ini. Di antara murid yang meriwayatkan darinya adalah Abu Bisyir Ad-Dulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, dan Abu Ali An-Naisaburi. Al-Hafizh Ibnu Thahir menuturkan, “Aku bertanya kepada Sa’ad bin Ali Az-Zanjani tentang seorang perawi, ia menilainya tsiqah (terpercaya). Namun, ketika aku katakan bahwa An-Nasa’i men-dha’if-kannya, ia menjawab, ‘Wahai anakku, syarat Abu Abdurrahman dalam menilai perawi lebih ketat daripada syarat Bukhari dan Muslim.'” Al-Hakim juga mengatakan, “Komentar An-Nasa’i tentang fikih hadis begitu banyak, dan siapa yang memperhatikan kitab Sunan-nya pasti kagum dengan bagusnya kata-katanya.” Ibnu Atsir juga menulis di awal kitab Jami’ul Ushul, “Beliau seorang Syafi’i yang memiliki panduan manasik (ibadah haji) sesuai mazhab Syafi’i, dan dikenal sangat wara’ dan berhati-hati.” Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Dawud Guru-guru An-Nasa’i belajar dari Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin Nadhr bin Musawar, Suwaid bin Nashr, Isa bin Hamad Zaghabah, Ahmad bin Abdah Adh-Dhabiy, Abu Thahir bin As-Sarh, Ahmad bin Mani’, Ishaq bin Syahin, Basyar bin Ma’adz Al-Aqadi, Basyar bin Hilal Ash-Shawaf, Tamim bin Al-Muntashir, dan banyak lagi. Murid-murid Murid-murid beliau di antaranya: Abu Bisyr Ad-Daulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu Ali An-Naisaburi, Hamzah bin Muhammad Al-Kanani, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Ismail An-Nahhas An-Nahwi, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Al-Haddad Asy-Syafi’i, Abdul Karim bin Abi Abdurrahman An-Nasa’i, Al-Hasan bin Al-Khadhir Al-Asyuthi, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin As-Sunni, Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, dan banyak lagi Karya-karya Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i meninggalkan beberapa karya yang penting, di antaranya: Pertama: Kitab As-Sunan Al-Kubra dalam ilmu hadis, yang paling dikenal. Kedua: Kitab Al-Mujtaba atau As-Sunan As-Sughra, salah satu dari enam kitab hadis utama. Ketiga: Musnad ‘Ali yang berisi hadis-hadis terkait Ali bin Abi Thalib. Keempat: Kitab Tafsir dalam satu jilid. Kelima: Adh-Dhu’afa wal Matrukun, mengenai perawi hadis yang lemah dan ditinggalkan. Pujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’i Para ulama besar memberikan pujian yang tinggi terhadap keilmuan dan kedudukan Imam An-Nasa’i dalam ilmu hadis. Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah menyebutkan, “Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar, Abu Abdurrahman An-Nasa’i, pemilik kitab Sunan, adalah seorang imam di zamannya, lebih unggul di antara rekan-rekannya dan para cendekiawan di masanya. Ia mengembara ke berbagai negeri, mempelajari hadis, dan bertemu dengan para ulama ahli hadis yang tajam pemahamannya.” Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ia lebih hafal hadis daripada Imam Muslim.” Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa ia mendengar Manshur Al-Faqih dan Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi berkata, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah seorang imam dari para imam kaum muslimin.” Al-Hafizh Abu Abdurrahman An-Naisaburi menegaskan, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah imam dalam ilmu hadis tanpa ada keraguan.” Abu Al-Hasan Ad-Daraquthni berkata, “Abu Abdurrahman (An-Nasa’i) lebih unggul daripada siapa pun yang dikenal dalam ilmu hadis di zamannya.” Beliau juga meyebutnya sebagai yang paling paham dari guru-guru Mesir pada masanya dan paling ahli dalam memilah antara riwayat sahih dan lemah, serta yang paling paham tentang perawi hadis. Al-Hakim berkata, كلام النَّسَائي على فقه الحديث كثيرٌ، ومن نظر في سننه تحيَّر في حسن كلامه “Penjelasan An-Nasa’i tentang fikih hadis banyak sekali, dan siapa saja yang mempelajari kitab As-Sunan, maka pasti terkagum akan penuturannya.” Wafat Terdapat perbedaan pendapat tentang tempat dan waktu wafatnya Imam An-Nasa’i. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau wafat di Makkah pada tahun 303 H.  Pendapat lain menyebutkan beliau wafat di Palestina pada tahun 302 H. Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wa An-Nihayah bahwa Imam Abu Abdurrahman An-Nasa’i wafat di Ramlah, Palestina pada hari Senin, 13 malam berlalu dari bulan Safar tahun 303 H, dan dimakamkan di Baitul Maqdis. Baca juga: Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: Pertama: https://www.alukah.net/culture/0/100646/ الإمام-الحافظ-أبو-عبدالرحمن-النسائي/ Kedua: https://ar.islamway.net/article/70496/ ترجمة-الإمام-النسائي

Biografi Ringkas Imam Abu Abdirrahman An-Nasa’i

Daftar Isi Toggle Nama dan kelahiranPerjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmuSifat fisik dan kepribadianAkidahKedudukan ilmiah Imam An-Nasa’iGuru-guruMurid-muridKarya-karya Imam An-Nasa’iPujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’iWafat Nama dan kelahiran Beliau adalah imam, hafiz, terpercaya, ahli hadis terkemuka, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasani An-Nasa’i, pengarang kitab As-Sunan. Beliau lahir di kota Nasa’ pada tahun 215 Hijriah. Perjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmu An-Nasa’i menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu ke Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan daerah perbatasan. Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari ilmu, hingga menetap di Mesir. Namun, karena adanya rasa iri dari sebagian ulama di Mesir, beliau kemudian pergi ke Ramlah di Palestina. Sifat fisik dan kepribadian Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa An-Nasa’i adalah seorang syekh yang berwibawa, berparas rupawan, dengan kulit yang terlihat segar, dan jenggot yang indah. Diceritakan pula bahwa beliau berwajah cerah, meski di usia lanjut, mengenakan pakaian nubi berwarna hijau, serta memiliki empat istri. Abu Husain Muhammad bin Muzhaffar Al-Hafizh berkata, “Aku mendengar para ulama Mesir mengakui keutamaan dan kedudukannya sebagai imam, serta menceritakan kesungguhannya dalam beribadah siang dan malam, juga kegemarannya untuk menunaikan ibadah haji dan berjihad.” Akidah Imam An-Nasa’i رحمه الله memiliki akidah yang selaras dengan akidah ahli sunah waljamaah, yang terlihat jelas dalam karya-karya beliau. Qadhi Mesir, Abu Al-Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abi Al-Awwam As-Sa’di, meriwayatkan bahwa An-Nasa’i berkata sebagaimana perkataan ulama besar. “Jika seseorang meyakini bahwa firman Allah, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي ‘Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.’ (QS. Thaha: 14) adalah makhluk, maka orang itu kafir.” Kedudukan ilmiah Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i adalah salah satu ulama besar yang ahli dalam ilmu hadis, dikenal dengan pemahaman mendalam, ketelitian, serta kemampuannya dalam menilai perawi dan menyusun kitab. Beliau mengembara untuk menuntut ilmu ke berbagai wilayah seperti Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan perbatasan negeri-negeri muslim, hingga akhirnya menetap di Mesir, di mana para ahli hadis datang berguru kepadanya. Beliau diakui sebagai tokoh yang tiada tanding dalam bidang ini. Di antara murid yang meriwayatkan darinya adalah Abu Bisyir Ad-Dulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, dan Abu Ali An-Naisaburi. Al-Hafizh Ibnu Thahir menuturkan, “Aku bertanya kepada Sa’ad bin Ali Az-Zanjani tentang seorang perawi, ia menilainya tsiqah (terpercaya). Namun, ketika aku katakan bahwa An-Nasa’i men-dha’if-kannya, ia menjawab, ‘Wahai anakku, syarat Abu Abdurrahman dalam menilai perawi lebih ketat daripada syarat Bukhari dan Muslim.'” Al-Hakim juga mengatakan, “Komentar An-Nasa’i tentang fikih hadis begitu banyak, dan siapa yang memperhatikan kitab Sunan-nya pasti kagum dengan bagusnya kata-katanya.” Ibnu Atsir juga menulis di awal kitab Jami’ul Ushul, “Beliau seorang Syafi’i yang memiliki panduan manasik (ibadah haji) sesuai mazhab Syafi’i, dan dikenal sangat wara’ dan berhati-hati.” Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Dawud Guru-guru An-Nasa’i belajar dari Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin Nadhr bin Musawar, Suwaid bin Nashr, Isa bin Hamad Zaghabah, Ahmad bin Abdah Adh-Dhabiy, Abu Thahir bin As-Sarh, Ahmad bin Mani’, Ishaq bin Syahin, Basyar bin Ma’adz Al-Aqadi, Basyar bin Hilal Ash-Shawaf, Tamim bin Al-Muntashir, dan banyak lagi. Murid-murid Murid-murid beliau di antaranya: Abu Bisyr Ad-Daulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu Ali An-Naisaburi, Hamzah bin Muhammad Al-Kanani, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Ismail An-Nahhas An-Nahwi, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Al-Haddad Asy-Syafi’i, Abdul Karim bin Abi Abdurrahman An-Nasa’i, Al-Hasan bin Al-Khadhir Al-Asyuthi, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin As-Sunni, Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, dan banyak lagi Karya-karya Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i meninggalkan beberapa karya yang penting, di antaranya: Pertama: Kitab As-Sunan Al-Kubra dalam ilmu hadis, yang paling dikenal. Kedua: Kitab Al-Mujtaba atau As-Sunan As-Sughra, salah satu dari enam kitab hadis utama. Ketiga: Musnad ‘Ali yang berisi hadis-hadis terkait Ali bin Abi Thalib. Keempat: Kitab Tafsir dalam satu jilid. Kelima: Adh-Dhu’afa wal Matrukun, mengenai perawi hadis yang lemah dan ditinggalkan. Pujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’i Para ulama besar memberikan pujian yang tinggi terhadap keilmuan dan kedudukan Imam An-Nasa’i dalam ilmu hadis. Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah menyebutkan, “Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar, Abu Abdurrahman An-Nasa’i, pemilik kitab Sunan, adalah seorang imam di zamannya, lebih unggul di antara rekan-rekannya dan para cendekiawan di masanya. Ia mengembara ke berbagai negeri, mempelajari hadis, dan bertemu dengan para ulama ahli hadis yang tajam pemahamannya.” Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ia lebih hafal hadis daripada Imam Muslim.” Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa ia mendengar Manshur Al-Faqih dan Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi berkata, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah seorang imam dari para imam kaum muslimin.” Al-Hafizh Abu Abdurrahman An-Naisaburi menegaskan, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah imam dalam ilmu hadis tanpa ada keraguan.” Abu Al-Hasan Ad-Daraquthni berkata, “Abu Abdurrahman (An-Nasa’i) lebih unggul daripada siapa pun yang dikenal dalam ilmu hadis di zamannya.” Beliau juga meyebutnya sebagai yang paling paham dari guru-guru Mesir pada masanya dan paling ahli dalam memilah antara riwayat sahih dan lemah, serta yang paling paham tentang perawi hadis. Al-Hakim berkata, كلام النَّسَائي على فقه الحديث كثيرٌ، ومن نظر في سننه تحيَّر في حسن كلامه “Penjelasan An-Nasa’i tentang fikih hadis banyak sekali, dan siapa saja yang mempelajari kitab As-Sunan, maka pasti terkagum akan penuturannya.” Wafat Terdapat perbedaan pendapat tentang tempat dan waktu wafatnya Imam An-Nasa’i. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau wafat di Makkah pada tahun 303 H.  Pendapat lain menyebutkan beliau wafat di Palestina pada tahun 302 H. Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wa An-Nihayah bahwa Imam Abu Abdurrahman An-Nasa’i wafat di Ramlah, Palestina pada hari Senin, 13 malam berlalu dari bulan Safar tahun 303 H, dan dimakamkan di Baitul Maqdis. Baca juga: Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: Pertama: https://www.alukah.net/culture/0/100646/ الإمام-الحافظ-أبو-عبدالرحمن-النسائي/ Kedua: https://ar.islamway.net/article/70496/ ترجمة-الإمام-النسائي
Daftar Isi Toggle Nama dan kelahiranPerjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmuSifat fisik dan kepribadianAkidahKedudukan ilmiah Imam An-Nasa’iGuru-guruMurid-muridKarya-karya Imam An-Nasa’iPujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’iWafat Nama dan kelahiran Beliau adalah imam, hafiz, terpercaya, ahli hadis terkemuka, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasani An-Nasa’i, pengarang kitab As-Sunan. Beliau lahir di kota Nasa’ pada tahun 215 Hijriah. Perjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmu An-Nasa’i menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu ke Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan daerah perbatasan. Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari ilmu, hingga menetap di Mesir. Namun, karena adanya rasa iri dari sebagian ulama di Mesir, beliau kemudian pergi ke Ramlah di Palestina. Sifat fisik dan kepribadian Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa An-Nasa’i adalah seorang syekh yang berwibawa, berparas rupawan, dengan kulit yang terlihat segar, dan jenggot yang indah. Diceritakan pula bahwa beliau berwajah cerah, meski di usia lanjut, mengenakan pakaian nubi berwarna hijau, serta memiliki empat istri. Abu Husain Muhammad bin Muzhaffar Al-Hafizh berkata, “Aku mendengar para ulama Mesir mengakui keutamaan dan kedudukannya sebagai imam, serta menceritakan kesungguhannya dalam beribadah siang dan malam, juga kegemarannya untuk menunaikan ibadah haji dan berjihad.” Akidah Imam An-Nasa’i رحمه الله memiliki akidah yang selaras dengan akidah ahli sunah waljamaah, yang terlihat jelas dalam karya-karya beliau. Qadhi Mesir, Abu Al-Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abi Al-Awwam As-Sa’di, meriwayatkan bahwa An-Nasa’i berkata sebagaimana perkataan ulama besar. “Jika seseorang meyakini bahwa firman Allah, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي ‘Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.’ (QS. Thaha: 14) adalah makhluk, maka orang itu kafir.” Kedudukan ilmiah Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i adalah salah satu ulama besar yang ahli dalam ilmu hadis, dikenal dengan pemahaman mendalam, ketelitian, serta kemampuannya dalam menilai perawi dan menyusun kitab. Beliau mengembara untuk menuntut ilmu ke berbagai wilayah seperti Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan perbatasan negeri-negeri muslim, hingga akhirnya menetap di Mesir, di mana para ahli hadis datang berguru kepadanya. Beliau diakui sebagai tokoh yang tiada tanding dalam bidang ini. Di antara murid yang meriwayatkan darinya adalah Abu Bisyir Ad-Dulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, dan Abu Ali An-Naisaburi. Al-Hafizh Ibnu Thahir menuturkan, “Aku bertanya kepada Sa’ad bin Ali Az-Zanjani tentang seorang perawi, ia menilainya tsiqah (terpercaya). Namun, ketika aku katakan bahwa An-Nasa’i men-dha’if-kannya, ia menjawab, ‘Wahai anakku, syarat Abu Abdurrahman dalam menilai perawi lebih ketat daripada syarat Bukhari dan Muslim.'” Al-Hakim juga mengatakan, “Komentar An-Nasa’i tentang fikih hadis begitu banyak, dan siapa yang memperhatikan kitab Sunan-nya pasti kagum dengan bagusnya kata-katanya.” Ibnu Atsir juga menulis di awal kitab Jami’ul Ushul, “Beliau seorang Syafi’i yang memiliki panduan manasik (ibadah haji) sesuai mazhab Syafi’i, dan dikenal sangat wara’ dan berhati-hati.” Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Dawud Guru-guru An-Nasa’i belajar dari Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin Nadhr bin Musawar, Suwaid bin Nashr, Isa bin Hamad Zaghabah, Ahmad bin Abdah Adh-Dhabiy, Abu Thahir bin As-Sarh, Ahmad bin Mani’, Ishaq bin Syahin, Basyar bin Ma’adz Al-Aqadi, Basyar bin Hilal Ash-Shawaf, Tamim bin Al-Muntashir, dan banyak lagi. Murid-murid Murid-murid beliau di antaranya: Abu Bisyr Ad-Daulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu Ali An-Naisaburi, Hamzah bin Muhammad Al-Kanani, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Ismail An-Nahhas An-Nahwi, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Al-Haddad Asy-Syafi’i, Abdul Karim bin Abi Abdurrahman An-Nasa’i, Al-Hasan bin Al-Khadhir Al-Asyuthi, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin As-Sunni, Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, dan banyak lagi Karya-karya Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i meninggalkan beberapa karya yang penting, di antaranya: Pertama: Kitab As-Sunan Al-Kubra dalam ilmu hadis, yang paling dikenal. Kedua: Kitab Al-Mujtaba atau As-Sunan As-Sughra, salah satu dari enam kitab hadis utama. Ketiga: Musnad ‘Ali yang berisi hadis-hadis terkait Ali bin Abi Thalib. Keempat: Kitab Tafsir dalam satu jilid. Kelima: Adh-Dhu’afa wal Matrukun, mengenai perawi hadis yang lemah dan ditinggalkan. Pujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’i Para ulama besar memberikan pujian yang tinggi terhadap keilmuan dan kedudukan Imam An-Nasa’i dalam ilmu hadis. Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah menyebutkan, “Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar, Abu Abdurrahman An-Nasa’i, pemilik kitab Sunan, adalah seorang imam di zamannya, lebih unggul di antara rekan-rekannya dan para cendekiawan di masanya. Ia mengembara ke berbagai negeri, mempelajari hadis, dan bertemu dengan para ulama ahli hadis yang tajam pemahamannya.” Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ia lebih hafal hadis daripada Imam Muslim.” Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa ia mendengar Manshur Al-Faqih dan Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi berkata, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah seorang imam dari para imam kaum muslimin.” Al-Hafizh Abu Abdurrahman An-Naisaburi menegaskan, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah imam dalam ilmu hadis tanpa ada keraguan.” Abu Al-Hasan Ad-Daraquthni berkata, “Abu Abdurrahman (An-Nasa’i) lebih unggul daripada siapa pun yang dikenal dalam ilmu hadis di zamannya.” Beliau juga meyebutnya sebagai yang paling paham dari guru-guru Mesir pada masanya dan paling ahli dalam memilah antara riwayat sahih dan lemah, serta yang paling paham tentang perawi hadis. Al-Hakim berkata, كلام النَّسَائي على فقه الحديث كثيرٌ، ومن نظر في سننه تحيَّر في حسن كلامه “Penjelasan An-Nasa’i tentang fikih hadis banyak sekali, dan siapa saja yang mempelajari kitab As-Sunan, maka pasti terkagum akan penuturannya.” Wafat Terdapat perbedaan pendapat tentang tempat dan waktu wafatnya Imam An-Nasa’i. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau wafat di Makkah pada tahun 303 H.  Pendapat lain menyebutkan beliau wafat di Palestina pada tahun 302 H. Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wa An-Nihayah bahwa Imam Abu Abdurrahman An-Nasa’i wafat di Ramlah, Palestina pada hari Senin, 13 malam berlalu dari bulan Safar tahun 303 H, dan dimakamkan di Baitul Maqdis. Baca juga: Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: Pertama: https://www.alukah.net/culture/0/100646/ الإمام-الحافظ-أبو-عبدالرحمن-النسائي/ Kedua: https://ar.islamway.net/article/70496/ ترجمة-الإمام-النسائي


Daftar Isi Toggle Nama dan kelahiranPerjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmuSifat fisik dan kepribadianAkidahKedudukan ilmiah Imam An-Nasa’iGuru-guruMurid-muridKarya-karya Imam An-Nasa’iPujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’iWafat Nama dan kelahiran Beliau adalah imam, hafiz, terpercaya, ahli hadis terkemuka, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasani An-Nasa’i, pengarang kitab As-Sunan. Beliau lahir di kota Nasa’ pada tahun 215 Hijriah. Perjalanan An-Nasa’i dalam mencari ilmu An-Nasa’i menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu ke Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan daerah perbatasan. Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari ilmu, hingga menetap di Mesir. Namun, karena adanya rasa iri dari sebagian ulama di Mesir, beliau kemudian pergi ke Ramlah di Palestina. Sifat fisik dan kepribadian Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa An-Nasa’i adalah seorang syekh yang berwibawa, berparas rupawan, dengan kulit yang terlihat segar, dan jenggot yang indah. Diceritakan pula bahwa beliau berwajah cerah, meski di usia lanjut, mengenakan pakaian nubi berwarna hijau, serta memiliki empat istri. Abu Husain Muhammad bin Muzhaffar Al-Hafizh berkata, “Aku mendengar para ulama Mesir mengakui keutamaan dan kedudukannya sebagai imam, serta menceritakan kesungguhannya dalam beribadah siang dan malam, juga kegemarannya untuk menunaikan ibadah haji dan berjihad.” Akidah Imam An-Nasa’i رحمه الله memiliki akidah yang selaras dengan akidah ahli sunah waljamaah, yang terlihat jelas dalam karya-karya beliau. Qadhi Mesir, Abu Al-Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abi Al-Awwam As-Sa’di, meriwayatkan bahwa An-Nasa’i berkata sebagaimana perkataan ulama besar. “Jika seseorang meyakini bahwa firman Allah, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي ‘Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.’ (QS. Thaha: 14) adalah makhluk, maka orang itu kafir.” Kedudukan ilmiah Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i adalah salah satu ulama besar yang ahli dalam ilmu hadis, dikenal dengan pemahaman mendalam, ketelitian, serta kemampuannya dalam menilai perawi dan menyusun kitab. Beliau mengembara untuk menuntut ilmu ke berbagai wilayah seperti Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, dan perbatasan negeri-negeri muslim, hingga akhirnya menetap di Mesir, di mana para ahli hadis datang berguru kepadanya. Beliau diakui sebagai tokoh yang tiada tanding dalam bidang ini. Di antara murid yang meriwayatkan darinya adalah Abu Bisyir Ad-Dulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, dan Abu Ali An-Naisaburi. Al-Hafizh Ibnu Thahir menuturkan, “Aku bertanya kepada Sa’ad bin Ali Az-Zanjani tentang seorang perawi, ia menilainya tsiqah (terpercaya). Namun, ketika aku katakan bahwa An-Nasa’i men-dha’if-kannya, ia menjawab, ‘Wahai anakku, syarat Abu Abdurrahman dalam menilai perawi lebih ketat daripada syarat Bukhari dan Muslim.'” Al-Hakim juga mengatakan, “Komentar An-Nasa’i tentang fikih hadis begitu banyak, dan siapa yang memperhatikan kitab Sunan-nya pasti kagum dengan bagusnya kata-katanya.” Ibnu Atsir juga menulis di awal kitab Jami’ul Ushul, “Beliau seorang Syafi’i yang memiliki panduan manasik (ibadah haji) sesuai mazhab Syafi’i, dan dikenal sangat wara’ dan berhati-hati.” Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Dawud Guru-guru An-Nasa’i belajar dari Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin Nadhr bin Musawar, Suwaid bin Nashr, Isa bin Hamad Zaghabah, Ahmad bin Abdah Adh-Dhabiy, Abu Thahir bin As-Sarh, Ahmad bin Mani’, Ishaq bin Syahin, Basyar bin Ma’adz Al-Aqadi, Basyar bin Hilal Ash-Shawaf, Tamim bin Al-Muntashir, dan banyak lagi. Murid-murid Murid-murid beliau di antaranya: Abu Bisyr Ad-Daulabi, Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu Ali An-Naisaburi, Hamzah bin Muhammad Al-Kanani, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Ismail An-Nahhas An-Nahwi, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Al-Haddad Asy-Syafi’i, Abdul Karim bin Abi Abdurrahman An-Nasa’i, Al-Hasan bin Al-Khadhir Al-Asyuthi, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin As-Sunni, Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, dan banyak lagi Karya-karya Imam An-Nasa’i Imam An-Nasa’i meninggalkan beberapa karya yang penting, di antaranya: Pertama: Kitab As-Sunan Al-Kubra dalam ilmu hadis, yang paling dikenal. Kedua: Kitab Al-Mujtaba atau As-Sunan As-Sughra, salah satu dari enam kitab hadis utama. Ketiga: Musnad ‘Ali yang berisi hadis-hadis terkait Ali bin Abi Thalib. Keempat: Kitab Tafsir dalam satu jilid. Kelima: Adh-Dhu’afa wal Matrukun, mengenai perawi hadis yang lemah dan ditinggalkan. Pujian para ulama terhadap Imam An-Nasa’i Para ulama besar memberikan pujian yang tinggi terhadap keilmuan dan kedudukan Imam An-Nasa’i dalam ilmu hadis. Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah menyebutkan, “Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar, Abu Abdurrahman An-Nasa’i, pemilik kitab Sunan, adalah seorang imam di zamannya, lebih unggul di antara rekan-rekannya dan para cendekiawan di masanya. Ia mengembara ke berbagai negeri, mempelajari hadis, dan bertemu dengan para ulama ahli hadis yang tajam pemahamannya.” Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ia lebih hafal hadis daripada Imam Muslim.” Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa ia mendengar Manshur Al-Faqih dan Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi berkata, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah seorang imam dari para imam kaum muslimin.” Al-Hafizh Abu Abdurrahman An-Naisaburi menegaskan, “Abu Abdurrahman An-Nasa’i adalah imam dalam ilmu hadis tanpa ada keraguan.” Abu Al-Hasan Ad-Daraquthni berkata, “Abu Abdurrahman (An-Nasa’i) lebih unggul daripada siapa pun yang dikenal dalam ilmu hadis di zamannya.” Beliau juga meyebutnya sebagai yang paling paham dari guru-guru Mesir pada masanya dan paling ahli dalam memilah antara riwayat sahih dan lemah, serta yang paling paham tentang perawi hadis. Al-Hakim berkata, كلام النَّسَائي على فقه الحديث كثيرٌ، ومن نظر في سننه تحيَّر في حسن كلامه “Penjelasan An-Nasa’i tentang fikih hadis banyak sekali, dan siapa saja yang mempelajari kitab As-Sunan, maka pasti terkagum akan penuturannya.” Wafat Terdapat perbedaan pendapat tentang tempat dan waktu wafatnya Imam An-Nasa’i. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau wafat di Makkah pada tahun 303 H.  Pendapat lain menyebutkan beliau wafat di Palestina pada tahun 302 H. Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wa An-Nihayah bahwa Imam Abu Abdurrahman An-Nasa’i wafat di Ramlah, Palestina pada hari Senin, 13 malam berlalu dari bulan Safar tahun 303 H, dan dimakamkan di Baitul Maqdis. Baca juga: Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: Pertama: https://www.alukah.net/culture/0/100646/ الإمام-الحافظ-أبو-عبدالرحمن-النسائي/ Kedua: https://ar.islamway.net/article/70496/ ترجمة-الإمام-النسائي

Ubah Mindset Anda tentang Kehidupan dan Kematian Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sebagaimana perkataan seorang Sahabat Nabi kepada seorang komandan kafir: “Aku datang kepadamu bersama pasukan yang mereka mencintai kematian lebih dari kalian mencintai kehidupan.” Artinya, ia keluar dengan keyakinan penuh, bahwa keluarnya untuk perang tidaklah mempercepat atau memperlambat ajalnya sedikit pun. “Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.” (QS. Al-A’raf: 34) Hakikat ini, saudara-saudara, adalah keyakinan yang paling berguna bagi muslim, bahkan jika dia tidak dalam medan perang. Betapa banyak muslim menderita bencana, musibah, dan penyakit, lalu ia berkata: “Inilah saat kehancuranku, aku tak mungkin bertahan hidup!” Namun, Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan, sehingga seorang muslim tidak perlu takut dengan kematian. Tak perlu takut! Kita semua pasti mati. “Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” (QS. Zumar: 30). Jika Anda yakin bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah, Anda tidak perlu takut dengan penyakit atau rasa sakit, apa pun kata orang padamu! Anda diberitahu: “Ini penyakit yang tidak ada obatnya.” Maka putuslah harapan kepada makhluk, tapi harapan kepada Allah tetap besar dan mengagumkan. Karena hanya “Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) Namun yang sangat disayangkan, hingga saat ini masih saja ada sebagian orang sakit atau orang lanjut usia, ketika merasa bahwa kondisinya sudah parah–namun sayangnya–hidupnya ditutup dengan akhir yang penuh amarah dan tidak terima, malah mengatakan: “Aku akan mati!” Ia bersedih dan resah, sampai ia mati dalam keyakinan seperti itu. Padahal Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim) Seorang Muslim, ketika memiliki keyakinan yang benar seperti ini, maka dia akan merasa ridha dan menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah. Ia tidak takut dan berkata: “Jika aku mati, maka Allah memilihkan yang terbaik untukku.” “Ya Allah, hidupkanlah aku apabila hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena bisa jadi kematian lebih baik bagiku. Karena bisa jadi jika aku diberi umur panjang, aku justru akan terfitnah dalam agamaku. Karena bisa jadi Allah ingin menutup hidupku sekarang dengan husnul khatimah dalam sakit ini, mengangkat derajatku, dan menghapus dosa-dosaku, sehingga itu menjadi kesudahan yang baik bagiku. Oleh karena itu, seorang muslim tidak akan gelisah, justru ridha dan menyerahkan urusannya kepada Allah, dan fokus menjalankan kewajibannya di waktu itu: “Ketika aku sedang sakit sekarang, aku memuji Allah dan berzikir kepada-Nya.” Jika memang Allah berkehendak untuk menyembuhkan Anda, Allah akan memulihkan kesehatan Anda, bahkan memberi Anda kehidupan baru. Maka, pujilah Allah Yang telah Memberikan nikmat kesehatan pada Anda! “Allah-lah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) ==== كَمَا قَالَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ لِبَعْضِ قَادَةِ الْكُفْرِ جِئْتُكَ بِأُنَاسٍ يَعْنِي يُحِبُّونَ الْمَوْتَ أَكْثَرَ مِمَّا تُحِبُّونَ الْحَيَاةَ يَعْنِي خَلَاصٌ هُوَ خَرَجَ وَيُوقِنُ أَنَّ الْخُرُوجَ هَذَا لَا يُقَدِّمُ وَلَا يُؤَخِّرُ شَيْئًا مِنْ أَجَلِهِ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ هَذِهِ الْحَقِيقَةُ يَا إِخْوَةُ مِنْ أَنْفَعِ مَا يَكُونُ لِلْمُسْلِمِ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُن فِي الْغَزْوَةِ كَمْ تَعْتَرِي الْمُسْلِمُ مِنْ نَكَبَاتٍ مِنْ مَصَائِبَ مِنْ أَمْرَاضٍ يَقُولُ: هَذِهِ مُهْلِكَتِي خَلَاصٌ مَا مُمْكِنٌ أَنْ أَعِيشَ لَكِنَّ اللهَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَمَا يَكُونُ عِنْدَ الْمُسْلِمِ جَزَعٌ مِنَ الْمَوْتِ لَا! كُلُّنَا سَنَمُوتُ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ فَإِذَا تَيَقَّنْتَ أَنَّ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ بِيَدِ اللهِ مَا تَجْزَعُ مِنْ مَرَضٍ وَمِنْ أَلَمٍ مَهْمَا قِيلَ قِيلَ لَكَ: هَذَا مَرَضٌ لَا شِفَاءَ لَهُ فَيَنْقَطِعُ الْأَمَلُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ لَكِنَّ الرَّجَاءَ فِي اللهِ عَظِيمٌ وَكَبِيرٌ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَإِلَى الْآنَ لِلْأَسَفِ يُوجَدُ هَذَا مِنْ بَعْضِ الْمَرْضَى أَوْ كِبَارِ السِّنِّ عِنْدَمَا يَجِدُ أَنَّ حَالَتَهُ خَطِيرَةٌ فَلِلْأَسَفِ يُخْتَمُ لَهُ بِخَاتِمَةٍ فِيهَا تَضَجُّرٌ وَتَسَخُّطٌ وَأَنَا سَأَمُوتُ وَيَحَزْنُ وَيَقْلَقُ إِلَى أَنْ يَمُوتَ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيدَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ (إلّا وَهو يُحْسِنُ باللَّهِ الظَّنَّ) فَالْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَكَونُ عِنْدَ هَذَهِ الْعَقِيدَةِ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ مَا يَجْزَعُ يَقُولُ: إِذَا مِتُّ اللهُ تَعَالَى يَخْتَارُ لِي الْخَيْرَ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي الْمَوْتُ يُمْكِنُ يَكُونُ خَيْرًا لِي يُمْكِنُ إِذَا عُمِّرْتُ أُفْتِنُ فِي دِينِي يُمْكِنُ اللهُ يُرِيدُ أَنْ يَخْتِمَ لِي الْآنَ بِخَاتِمَةٍ حَسَنَةٍ فِي هَذَا الْمَرَضِ أَنْ يَرْفَعَ دَرَجَاتِي وَيُكَفِّرَ سَيِّئَاتِي وَتَكُونَ هَذِهِ خَاتِمَةً حَسَنَةً بِالنِّسْبَةِ لِي فَمَا يَجْزَعُ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ وَهُوَ يَعْتَنِي بِوَاجِبِ وَقْتِهِ أَنَا الْآنَ فِي مَرَضِي أَحْمَدُ اللهَ وَأَذْكُرُ اللهَ وَإِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَشْفِيَكَ شَفَاكَ عَافَاكَ وَأَعْطَاكَ عُمْرًا جَدِيدًا فَتَحْمَدُ اللهُ عَلَى عَافِيَتِكَ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ

Ubah Mindset Anda tentang Kehidupan dan Kematian Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sebagaimana perkataan seorang Sahabat Nabi kepada seorang komandan kafir: “Aku datang kepadamu bersama pasukan yang mereka mencintai kematian lebih dari kalian mencintai kehidupan.” Artinya, ia keluar dengan keyakinan penuh, bahwa keluarnya untuk perang tidaklah mempercepat atau memperlambat ajalnya sedikit pun. “Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.” (QS. Al-A’raf: 34) Hakikat ini, saudara-saudara, adalah keyakinan yang paling berguna bagi muslim, bahkan jika dia tidak dalam medan perang. Betapa banyak muslim menderita bencana, musibah, dan penyakit, lalu ia berkata: “Inilah saat kehancuranku, aku tak mungkin bertahan hidup!” Namun, Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan, sehingga seorang muslim tidak perlu takut dengan kematian. Tak perlu takut! Kita semua pasti mati. “Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” (QS. Zumar: 30). Jika Anda yakin bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah, Anda tidak perlu takut dengan penyakit atau rasa sakit, apa pun kata orang padamu! Anda diberitahu: “Ini penyakit yang tidak ada obatnya.” Maka putuslah harapan kepada makhluk, tapi harapan kepada Allah tetap besar dan mengagumkan. Karena hanya “Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) Namun yang sangat disayangkan, hingga saat ini masih saja ada sebagian orang sakit atau orang lanjut usia, ketika merasa bahwa kondisinya sudah parah–namun sayangnya–hidupnya ditutup dengan akhir yang penuh amarah dan tidak terima, malah mengatakan: “Aku akan mati!” Ia bersedih dan resah, sampai ia mati dalam keyakinan seperti itu. Padahal Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim) Seorang Muslim, ketika memiliki keyakinan yang benar seperti ini, maka dia akan merasa ridha dan menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah. Ia tidak takut dan berkata: “Jika aku mati, maka Allah memilihkan yang terbaik untukku.” “Ya Allah, hidupkanlah aku apabila hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena bisa jadi kematian lebih baik bagiku. Karena bisa jadi jika aku diberi umur panjang, aku justru akan terfitnah dalam agamaku. Karena bisa jadi Allah ingin menutup hidupku sekarang dengan husnul khatimah dalam sakit ini, mengangkat derajatku, dan menghapus dosa-dosaku, sehingga itu menjadi kesudahan yang baik bagiku. Oleh karena itu, seorang muslim tidak akan gelisah, justru ridha dan menyerahkan urusannya kepada Allah, dan fokus menjalankan kewajibannya di waktu itu: “Ketika aku sedang sakit sekarang, aku memuji Allah dan berzikir kepada-Nya.” Jika memang Allah berkehendak untuk menyembuhkan Anda, Allah akan memulihkan kesehatan Anda, bahkan memberi Anda kehidupan baru. Maka, pujilah Allah Yang telah Memberikan nikmat kesehatan pada Anda! “Allah-lah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) ==== كَمَا قَالَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ لِبَعْضِ قَادَةِ الْكُفْرِ جِئْتُكَ بِأُنَاسٍ يَعْنِي يُحِبُّونَ الْمَوْتَ أَكْثَرَ مِمَّا تُحِبُّونَ الْحَيَاةَ يَعْنِي خَلَاصٌ هُوَ خَرَجَ وَيُوقِنُ أَنَّ الْخُرُوجَ هَذَا لَا يُقَدِّمُ وَلَا يُؤَخِّرُ شَيْئًا مِنْ أَجَلِهِ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ هَذِهِ الْحَقِيقَةُ يَا إِخْوَةُ مِنْ أَنْفَعِ مَا يَكُونُ لِلْمُسْلِمِ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُن فِي الْغَزْوَةِ كَمْ تَعْتَرِي الْمُسْلِمُ مِنْ نَكَبَاتٍ مِنْ مَصَائِبَ مِنْ أَمْرَاضٍ يَقُولُ: هَذِهِ مُهْلِكَتِي خَلَاصٌ مَا مُمْكِنٌ أَنْ أَعِيشَ لَكِنَّ اللهَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَمَا يَكُونُ عِنْدَ الْمُسْلِمِ جَزَعٌ مِنَ الْمَوْتِ لَا! كُلُّنَا سَنَمُوتُ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ فَإِذَا تَيَقَّنْتَ أَنَّ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ بِيَدِ اللهِ مَا تَجْزَعُ مِنْ مَرَضٍ وَمِنْ أَلَمٍ مَهْمَا قِيلَ قِيلَ لَكَ: هَذَا مَرَضٌ لَا شِفَاءَ لَهُ فَيَنْقَطِعُ الْأَمَلُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ لَكِنَّ الرَّجَاءَ فِي اللهِ عَظِيمٌ وَكَبِيرٌ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَإِلَى الْآنَ لِلْأَسَفِ يُوجَدُ هَذَا مِنْ بَعْضِ الْمَرْضَى أَوْ كِبَارِ السِّنِّ عِنْدَمَا يَجِدُ أَنَّ حَالَتَهُ خَطِيرَةٌ فَلِلْأَسَفِ يُخْتَمُ لَهُ بِخَاتِمَةٍ فِيهَا تَضَجُّرٌ وَتَسَخُّطٌ وَأَنَا سَأَمُوتُ وَيَحَزْنُ وَيَقْلَقُ إِلَى أَنْ يَمُوتَ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيدَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ (إلّا وَهو يُحْسِنُ باللَّهِ الظَّنَّ) فَالْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَكَونُ عِنْدَ هَذَهِ الْعَقِيدَةِ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ مَا يَجْزَعُ يَقُولُ: إِذَا مِتُّ اللهُ تَعَالَى يَخْتَارُ لِي الْخَيْرَ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي الْمَوْتُ يُمْكِنُ يَكُونُ خَيْرًا لِي يُمْكِنُ إِذَا عُمِّرْتُ أُفْتِنُ فِي دِينِي يُمْكِنُ اللهُ يُرِيدُ أَنْ يَخْتِمَ لِي الْآنَ بِخَاتِمَةٍ حَسَنَةٍ فِي هَذَا الْمَرَضِ أَنْ يَرْفَعَ دَرَجَاتِي وَيُكَفِّرَ سَيِّئَاتِي وَتَكُونَ هَذِهِ خَاتِمَةً حَسَنَةً بِالنِّسْبَةِ لِي فَمَا يَجْزَعُ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ وَهُوَ يَعْتَنِي بِوَاجِبِ وَقْتِهِ أَنَا الْآنَ فِي مَرَضِي أَحْمَدُ اللهَ وَأَذْكُرُ اللهَ وَإِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَشْفِيَكَ شَفَاكَ عَافَاكَ وَأَعْطَاكَ عُمْرًا جَدِيدًا فَتَحْمَدُ اللهُ عَلَى عَافِيَتِكَ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Sebagaimana perkataan seorang Sahabat Nabi kepada seorang komandan kafir: “Aku datang kepadamu bersama pasukan yang mereka mencintai kematian lebih dari kalian mencintai kehidupan.” Artinya, ia keluar dengan keyakinan penuh, bahwa keluarnya untuk perang tidaklah mempercepat atau memperlambat ajalnya sedikit pun. “Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.” (QS. Al-A’raf: 34) Hakikat ini, saudara-saudara, adalah keyakinan yang paling berguna bagi muslim, bahkan jika dia tidak dalam medan perang. Betapa banyak muslim menderita bencana, musibah, dan penyakit, lalu ia berkata: “Inilah saat kehancuranku, aku tak mungkin bertahan hidup!” Namun, Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan, sehingga seorang muslim tidak perlu takut dengan kematian. Tak perlu takut! Kita semua pasti mati. “Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” (QS. Zumar: 30). Jika Anda yakin bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah, Anda tidak perlu takut dengan penyakit atau rasa sakit, apa pun kata orang padamu! Anda diberitahu: “Ini penyakit yang tidak ada obatnya.” Maka putuslah harapan kepada makhluk, tapi harapan kepada Allah tetap besar dan mengagumkan. Karena hanya “Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) Namun yang sangat disayangkan, hingga saat ini masih saja ada sebagian orang sakit atau orang lanjut usia, ketika merasa bahwa kondisinya sudah parah–namun sayangnya–hidupnya ditutup dengan akhir yang penuh amarah dan tidak terima, malah mengatakan: “Aku akan mati!” Ia bersedih dan resah, sampai ia mati dalam keyakinan seperti itu. Padahal Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim) Seorang Muslim, ketika memiliki keyakinan yang benar seperti ini, maka dia akan merasa ridha dan menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah. Ia tidak takut dan berkata: “Jika aku mati, maka Allah memilihkan yang terbaik untukku.” “Ya Allah, hidupkanlah aku apabila hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena bisa jadi kematian lebih baik bagiku. Karena bisa jadi jika aku diberi umur panjang, aku justru akan terfitnah dalam agamaku. Karena bisa jadi Allah ingin menutup hidupku sekarang dengan husnul khatimah dalam sakit ini, mengangkat derajatku, dan menghapus dosa-dosaku, sehingga itu menjadi kesudahan yang baik bagiku. Oleh karena itu, seorang muslim tidak akan gelisah, justru ridha dan menyerahkan urusannya kepada Allah, dan fokus menjalankan kewajibannya di waktu itu: “Ketika aku sedang sakit sekarang, aku memuji Allah dan berzikir kepada-Nya.” Jika memang Allah berkehendak untuk menyembuhkan Anda, Allah akan memulihkan kesehatan Anda, bahkan memberi Anda kehidupan baru. Maka, pujilah Allah Yang telah Memberikan nikmat kesehatan pada Anda! “Allah-lah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) ==== كَمَا قَالَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ لِبَعْضِ قَادَةِ الْكُفْرِ جِئْتُكَ بِأُنَاسٍ يَعْنِي يُحِبُّونَ الْمَوْتَ أَكْثَرَ مِمَّا تُحِبُّونَ الْحَيَاةَ يَعْنِي خَلَاصٌ هُوَ خَرَجَ وَيُوقِنُ أَنَّ الْخُرُوجَ هَذَا لَا يُقَدِّمُ وَلَا يُؤَخِّرُ شَيْئًا مِنْ أَجَلِهِ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ هَذِهِ الْحَقِيقَةُ يَا إِخْوَةُ مِنْ أَنْفَعِ مَا يَكُونُ لِلْمُسْلِمِ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُن فِي الْغَزْوَةِ كَمْ تَعْتَرِي الْمُسْلِمُ مِنْ نَكَبَاتٍ مِنْ مَصَائِبَ مِنْ أَمْرَاضٍ يَقُولُ: هَذِهِ مُهْلِكَتِي خَلَاصٌ مَا مُمْكِنٌ أَنْ أَعِيشَ لَكِنَّ اللهَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَمَا يَكُونُ عِنْدَ الْمُسْلِمِ جَزَعٌ مِنَ الْمَوْتِ لَا! كُلُّنَا سَنَمُوتُ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ فَإِذَا تَيَقَّنْتَ أَنَّ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ بِيَدِ اللهِ مَا تَجْزَعُ مِنْ مَرَضٍ وَمِنْ أَلَمٍ مَهْمَا قِيلَ قِيلَ لَكَ: هَذَا مَرَضٌ لَا شِفَاءَ لَهُ فَيَنْقَطِعُ الْأَمَلُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ لَكِنَّ الرَّجَاءَ فِي اللهِ عَظِيمٌ وَكَبِيرٌ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَإِلَى الْآنَ لِلْأَسَفِ يُوجَدُ هَذَا مِنْ بَعْضِ الْمَرْضَى أَوْ كِبَارِ السِّنِّ عِنْدَمَا يَجِدُ أَنَّ حَالَتَهُ خَطِيرَةٌ فَلِلْأَسَفِ يُخْتَمُ لَهُ بِخَاتِمَةٍ فِيهَا تَضَجُّرٌ وَتَسَخُّطٌ وَأَنَا سَأَمُوتُ وَيَحَزْنُ وَيَقْلَقُ إِلَى أَنْ يَمُوتَ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيدَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ (إلّا وَهو يُحْسِنُ باللَّهِ الظَّنَّ) فَالْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَكَونُ عِنْدَ هَذَهِ الْعَقِيدَةِ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ مَا يَجْزَعُ يَقُولُ: إِذَا مِتُّ اللهُ تَعَالَى يَخْتَارُ لِي الْخَيْرَ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي الْمَوْتُ يُمْكِنُ يَكُونُ خَيْرًا لِي يُمْكِنُ إِذَا عُمِّرْتُ أُفْتِنُ فِي دِينِي يُمْكِنُ اللهُ يُرِيدُ أَنْ يَخْتِمَ لِي الْآنَ بِخَاتِمَةٍ حَسَنَةٍ فِي هَذَا الْمَرَضِ أَنْ يَرْفَعَ دَرَجَاتِي وَيُكَفِّرَ سَيِّئَاتِي وَتَكُونَ هَذِهِ خَاتِمَةً حَسَنَةً بِالنِّسْبَةِ لِي فَمَا يَجْزَعُ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ وَهُوَ يَعْتَنِي بِوَاجِبِ وَقْتِهِ أَنَا الْآنَ فِي مَرَضِي أَحْمَدُ اللهَ وَأَذْكُرُ اللهَ وَإِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَشْفِيَكَ شَفَاكَ عَافَاكَ وَأَعْطَاكَ عُمْرًا جَدِيدًا فَتَحْمَدُ اللهُ عَلَى عَافِيَتِكَ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ


Sebagaimana perkataan seorang Sahabat Nabi kepada seorang komandan kafir: “Aku datang kepadamu bersama pasukan yang mereka mencintai kematian lebih dari kalian mencintai kehidupan.” Artinya, ia keluar dengan keyakinan penuh, bahwa keluarnya untuk perang tidaklah mempercepat atau memperlambat ajalnya sedikit pun. “Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.” (QS. Al-A’raf: 34) Hakikat ini, saudara-saudara, adalah keyakinan yang paling berguna bagi muslim, bahkan jika dia tidak dalam medan perang. Betapa banyak muslim menderita bencana, musibah, dan penyakit, lalu ia berkata: “Inilah saat kehancuranku, aku tak mungkin bertahan hidup!” Namun, Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan, sehingga seorang muslim tidak perlu takut dengan kematian. Tak perlu takut! Kita semua pasti mati. “Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” (QS. Zumar: 30). Jika Anda yakin bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah, Anda tidak perlu takut dengan penyakit atau rasa sakit, apa pun kata orang padamu! Anda diberitahu: “Ini penyakit yang tidak ada obatnya.” Maka putuslah harapan kepada makhluk, tapi harapan kepada Allah tetap besar dan mengagumkan. Karena hanya “Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) Namun yang sangat disayangkan, hingga saat ini masih saja ada sebagian orang sakit atau orang lanjut usia, ketika merasa bahwa kondisinya sudah parah–namun sayangnya–hidupnya ditutup dengan akhir yang penuh amarah dan tidak terima, malah mengatakan: “Aku akan mati!” Ia bersedih dan resah, sampai ia mati dalam keyakinan seperti itu. Padahal Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim) Seorang Muslim, ketika memiliki keyakinan yang benar seperti ini, maka dia akan merasa ridha dan menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah. Ia tidak takut dan berkata: “Jika aku mati, maka Allah memilihkan yang terbaik untukku.” “Ya Allah, hidupkanlah aku apabila hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena bisa jadi kematian lebih baik bagiku. Karena bisa jadi jika aku diberi umur panjang, aku justru akan terfitnah dalam agamaku. Karena bisa jadi Allah ingin menutup hidupku sekarang dengan husnul khatimah dalam sakit ini, mengangkat derajatku, dan menghapus dosa-dosaku, sehingga itu menjadi kesudahan yang baik bagiku. Oleh karena itu, seorang muslim tidak akan gelisah, justru ridha dan menyerahkan urusannya kepada Allah, dan fokus menjalankan kewajibannya di waktu itu: “Ketika aku sedang sakit sekarang, aku memuji Allah dan berzikir kepada-Nya.” Jika memang Allah berkehendak untuk menyembuhkan Anda, Allah akan memulihkan kesehatan Anda, bahkan memberi Anda kehidupan baru. Maka, pujilah Allah Yang telah Memberikan nikmat kesehatan pada Anda! “Allah-lah Yang Menghidupkan dan Mematikan.” (QS. Ali Imran: 156) ==== كَمَا قَالَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ لِبَعْضِ قَادَةِ الْكُفْرِ جِئْتُكَ بِأُنَاسٍ يَعْنِي يُحِبُّونَ الْمَوْتَ أَكْثَرَ مِمَّا تُحِبُّونَ الْحَيَاةَ يَعْنِي خَلَاصٌ هُوَ خَرَجَ وَيُوقِنُ أَنَّ الْخُرُوجَ هَذَا لَا يُقَدِّمُ وَلَا يُؤَخِّرُ شَيْئًا مِنْ أَجَلِهِ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ هَذِهِ الْحَقِيقَةُ يَا إِخْوَةُ مِنْ أَنْفَعِ مَا يَكُونُ لِلْمُسْلِمِ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُن فِي الْغَزْوَةِ كَمْ تَعْتَرِي الْمُسْلِمُ مِنْ نَكَبَاتٍ مِنْ مَصَائِبَ مِنْ أَمْرَاضٍ يَقُولُ: هَذِهِ مُهْلِكَتِي خَلَاصٌ مَا مُمْكِنٌ أَنْ أَعِيشَ لَكِنَّ اللهَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَمَا يَكُونُ عِنْدَ الْمُسْلِمِ جَزَعٌ مِنَ الْمَوْتِ لَا! كُلُّنَا سَنَمُوتُ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ فَإِذَا تَيَقَّنْتَ أَنَّ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ بِيَدِ اللهِ مَا تَجْزَعُ مِنْ مَرَضٍ وَمِنْ أَلَمٍ مَهْمَا قِيلَ قِيلَ لَكَ: هَذَا مَرَضٌ لَا شِفَاءَ لَهُ فَيَنْقَطِعُ الْأَمَلُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ لَكِنَّ الرَّجَاءَ فِي اللهِ عَظِيمٌ وَكَبِيرٌ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَإِلَى الْآنَ لِلْأَسَفِ يُوجَدُ هَذَا مِنْ بَعْضِ الْمَرْضَى أَوْ كِبَارِ السِّنِّ عِنْدَمَا يَجِدُ أَنَّ حَالَتَهُ خَطِيرَةٌ فَلِلْأَسَفِ يُخْتَمُ لَهُ بِخَاتِمَةٍ فِيهَا تَضَجُّرٌ وَتَسَخُّطٌ وَأَنَا سَأَمُوتُ وَيَحَزْنُ وَيَقْلَقُ إِلَى أَنْ يَمُوتَ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيدَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ (إلّا وَهو يُحْسِنُ باللَّهِ الظَّنَّ) فَالْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَكَونُ عِنْدَ هَذَهِ الْعَقِيدَةِ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ مَا يَجْزَعُ يَقُولُ: إِذَا مِتُّ اللهُ تَعَالَى يَخْتَارُ لِي الْخَيْرَ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي الْمَوْتُ يُمْكِنُ يَكُونُ خَيْرًا لِي يُمْكِنُ إِذَا عُمِّرْتُ أُفْتِنُ فِي دِينِي يُمْكِنُ اللهُ يُرِيدُ أَنْ يَخْتِمَ لِي الْآنَ بِخَاتِمَةٍ حَسَنَةٍ فِي هَذَا الْمَرَضِ أَنْ يَرْفَعَ دَرَجَاتِي وَيُكَفِّرَ سَيِّئَاتِي وَتَكُونَ هَذِهِ خَاتِمَةً حَسَنَةً بِالنِّسْبَةِ لِي فَمَا يَجْزَعُ يَرْضَى وَيُسَلِّمُ الْأَمْرَ لِلهِ وَهُوَ يَعْتَنِي بِوَاجِبِ وَقْتِهِ أَنَا الْآنَ فِي مَرَضِي أَحْمَدُ اللهَ وَأَذْكُرُ اللهَ وَإِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَشْفِيَكَ شَفَاكَ عَافَاكَ وَأَعْطَاكَ عُمْرًا جَدِيدًا فَتَحْمَدُ اللهُ عَلَى عَافِيَتِكَ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ

Fatwa Ulama: Hukum Menikah dengan Lelaki yang Tidak Sekufu

Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah menikah dengan pasangan yang tidak sekufu itu diharamkan? Jawaban: Menikah dengan pasangan yang tidak sekufu tidaklah diharamkan karena Allah Ta’ala menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi dalam kitab-Nya yang mulia, kemudian mengatakan, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa’: 24) Sehingga maksimal hukum dalam masalah menikah dengan pasangan (lelaki) yang tidak sekufu adalah bahwa hal itu dapat dianggap sebagai kekurangan (aib atau cela) bagi pihak wanita dan walinya. Adapun jika pihak mempelai wanita dan walinya rida dengan kekurangan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak masalah. Ini menurut mayoritas ulama yang berpendapat bahwa al-kafa’ah (sekufu) adalah perkara yang dianggap/dipertimbangkan (dalam pernikahan).   Pertanyaan: Apakah al-kafa’ah juga dianggap (dinilai) dari pihak (calon mempelai) wanita? Jawaban: Al-kafa’ah -bagi ulama yang berpendapat bahwa itu perkara yang perlu dianggap (dipertimbangkan) dalam pernikahan- itu hanya berlaku untuk pihak lelaki, bukan dari pihak wanita. Jika seorang lelaki menikah dengan wanita yang tidak sekufu dengannya, maka hal itu tidak masalah (tidak ada cela) sama sekali. Hal ini karena kepemimpinan (rumah tangga) ada di tangannya dan juga anak-anaknya akan dinasabkan kepadanya. Dalilnya adalah bahwa tidak ada yang sekufu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, beliau menikah dengan wanita dari suku-suku Arab, serta menikahi Shafiyyah binti Huyay, dan juga memiliki hubungan dengan para budak wanita. Baca juga: Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 1) *** @Unayzah, 7 Sya’ban 1446/ 6 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 82-83.

Fatwa Ulama: Hukum Menikah dengan Lelaki yang Tidak Sekufu

Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah menikah dengan pasangan yang tidak sekufu itu diharamkan? Jawaban: Menikah dengan pasangan yang tidak sekufu tidaklah diharamkan karena Allah Ta’ala menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi dalam kitab-Nya yang mulia, kemudian mengatakan, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa’: 24) Sehingga maksimal hukum dalam masalah menikah dengan pasangan (lelaki) yang tidak sekufu adalah bahwa hal itu dapat dianggap sebagai kekurangan (aib atau cela) bagi pihak wanita dan walinya. Adapun jika pihak mempelai wanita dan walinya rida dengan kekurangan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak masalah. Ini menurut mayoritas ulama yang berpendapat bahwa al-kafa’ah (sekufu) adalah perkara yang dianggap/dipertimbangkan (dalam pernikahan).   Pertanyaan: Apakah al-kafa’ah juga dianggap (dinilai) dari pihak (calon mempelai) wanita? Jawaban: Al-kafa’ah -bagi ulama yang berpendapat bahwa itu perkara yang perlu dianggap (dipertimbangkan) dalam pernikahan- itu hanya berlaku untuk pihak lelaki, bukan dari pihak wanita. Jika seorang lelaki menikah dengan wanita yang tidak sekufu dengannya, maka hal itu tidak masalah (tidak ada cela) sama sekali. Hal ini karena kepemimpinan (rumah tangga) ada di tangannya dan juga anak-anaknya akan dinasabkan kepadanya. Dalilnya adalah bahwa tidak ada yang sekufu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, beliau menikah dengan wanita dari suku-suku Arab, serta menikahi Shafiyyah binti Huyay, dan juga memiliki hubungan dengan para budak wanita. Baca juga: Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 1) *** @Unayzah, 7 Sya’ban 1446/ 6 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 82-83.
Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah menikah dengan pasangan yang tidak sekufu itu diharamkan? Jawaban: Menikah dengan pasangan yang tidak sekufu tidaklah diharamkan karena Allah Ta’ala menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi dalam kitab-Nya yang mulia, kemudian mengatakan, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa’: 24) Sehingga maksimal hukum dalam masalah menikah dengan pasangan (lelaki) yang tidak sekufu adalah bahwa hal itu dapat dianggap sebagai kekurangan (aib atau cela) bagi pihak wanita dan walinya. Adapun jika pihak mempelai wanita dan walinya rida dengan kekurangan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak masalah. Ini menurut mayoritas ulama yang berpendapat bahwa al-kafa’ah (sekufu) adalah perkara yang dianggap/dipertimbangkan (dalam pernikahan).   Pertanyaan: Apakah al-kafa’ah juga dianggap (dinilai) dari pihak (calon mempelai) wanita? Jawaban: Al-kafa’ah -bagi ulama yang berpendapat bahwa itu perkara yang perlu dianggap (dipertimbangkan) dalam pernikahan- itu hanya berlaku untuk pihak lelaki, bukan dari pihak wanita. Jika seorang lelaki menikah dengan wanita yang tidak sekufu dengannya, maka hal itu tidak masalah (tidak ada cela) sama sekali. Hal ini karena kepemimpinan (rumah tangga) ada di tangannya dan juga anak-anaknya akan dinasabkan kepadanya. Dalilnya adalah bahwa tidak ada yang sekufu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, beliau menikah dengan wanita dari suku-suku Arab, serta menikahi Shafiyyah binti Huyay, dan juga memiliki hubungan dengan para budak wanita. Baca juga: Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 1) *** @Unayzah, 7 Sya’ban 1446/ 6 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 82-83.


Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah menikah dengan pasangan yang tidak sekufu itu diharamkan? Jawaban: Menikah dengan pasangan yang tidak sekufu tidaklah diharamkan karena Allah Ta’ala menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi dalam kitab-Nya yang mulia, kemudian mengatakan, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa’: 24) Sehingga maksimal hukum dalam masalah menikah dengan pasangan (lelaki) yang tidak sekufu adalah bahwa hal itu dapat dianggap sebagai kekurangan (aib atau cela) bagi pihak wanita dan walinya. Adapun jika pihak mempelai wanita dan walinya rida dengan kekurangan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak masalah. Ini menurut mayoritas ulama yang berpendapat bahwa al-kafa’ah (sekufu) adalah perkara yang dianggap/dipertimbangkan (dalam pernikahan).   Pertanyaan: Apakah al-kafa’ah juga dianggap (dinilai) dari pihak (calon mempelai) wanita? Jawaban: Al-kafa’ah -bagi ulama yang berpendapat bahwa itu perkara yang perlu dianggap (dipertimbangkan) dalam pernikahan- itu hanya berlaku untuk pihak lelaki, bukan dari pihak wanita. Jika seorang lelaki menikah dengan wanita yang tidak sekufu dengannya, maka hal itu tidak masalah (tidak ada cela) sama sekali. Hal ini karena kepemimpinan (rumah tangga) ada di tangannya dan juga anak-anaknya akan dinasabkan kepadanya. Dalilnya adalah bahwa tidak ada yang sekufu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, beliau menikah dengan wanita dari suku-suku Arab, serta menikahi Shafiyyah binti Huyay, dan juga memiliki hubungan dengan para budak wanita. Baca juga: Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 1) *** @Unayzah, 7 Sya’ban 1446/ 6 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 82-83.

Gantilah Waktu Anda yang Terbuang dengan Kegiatan Ini – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Para Salaf raẖimahumullāh dahulu memberi perhatian dengan perhatian penuh terhadap Al-Quran. Aku katakan bahwa inilah pelajaran besar bagi kita. Pelajarannya adalah Anda harus memberi perhatian sepenuhnya kepada Al-Quran, sesuai kemampuan Anda. Ya, berikanlah kepada orang yang berhak, sesuatu yang menjadi haknya. Anda punya pekerjaan, istri, anak-anak, dan diri Anda sendiri. Jangan abaikan semuanya, dan jangan menyia-nyiakan hak orang lain. Namun, jangan pula Anda sibuk dengan sesuatu yang sebenarnya tidak Anda perlukan, atau urusan sekunder. Hentikan segala sesuatu yang tidak penting di bulan Ramadan! Semisal menonton video dan mengikuti berita terkini. Demi Allah, semuanya itu tidak banyak manfaatnya untuk Anda. Gantilah waktu-waktu yang terbuang itu dengan Al-Quran, Kalamullah Jalla wa ʿAlā. Luangkanlah dirimu di waktu-waktumu untuk Al-Quran yang mulia. ==== السَّلَفُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى كَانُوا يُقْبِلُونَ إِقْبَالًا تَامًّا عَلَى الْقُرْآنِ أَقُولُ هَذِهِ الْعِبْرَةُ الْعِبْرَةُ أَنْ تُقْبِلَ بِكُلِّيَّتِكَ عَلَى الْقُرْآنِ بِقَدْرِ اسْتِطَاعَتِكَ نَعَمْ أَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ عِنْدَكَ وَظِيفَةٌ عِنْدَكَ زَوْجَةٌ عِنْدَكَ أَوْلَادٌ عِنْدَكَ نَفْسُكَ مَا تُغْلِقْهَا وَلَا تُضَيِّعْ حُقُوقَ الْآخَرِيْنَ لَكِنْ لَا تَتَشَاغَلْ بِشَيْءٍ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ أَوْ بِشَيْءٍ ثَانَوِيٍّ أَلْغِ كُلَّ شَيْءٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى أَنَّكَ تَنْظُرُ إِلَى بَعْضِ الْمَقَاطِعِ وَتُتَابِعُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ وَاللهِ مَا تَنْفَعُكَ النَّفْعَ الْعَظِيمَ اجْعَلْ بَدَلَ هَذِهِ الْأُمُورِ الْقُرْآنَ كَلَامَ اللهِ جَلَّ وَعَلَا فَرِّغْ نَفْسَكَ فِي أَوْقَاتِكَ لِلْقُرْآنِ الْكَرِيمِ

Gantilah Waktu Anda yang Terbuang dengan Kegiatan Ini – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Para Salaf raẖimahumullāh dahulu memberi perhatian dengan perhatian penuh terhadap Al-Quran. Aku katakan bahwa inilah pelajaran besar bagi kita. Pelajarannya adalah Anda harus memberi perhatian sepenuhnya kepada Al-Quran, sesuai kemampuan Anda. Ya, berikanlah kepada orang yang berhak, sesuatu yang menjadi haknya. Anda punya pekerjaan, istri, anak-anak, dan diri Anda sendiri. Jangan abaikan semuanya, dan jangan menyia-nyiakan hak orang lain. Namun, jangan pula Anda sibuk dengan sesuatu yang sebenarnya tidak Anda perlukan, atau urusan sekunder. Hentikan segala sesuatu yang tidak penting di bulan Ramadan! Semisal menonton video dan mengikuti berita terkini. Demi Allah, semuanya itu tidak banyak manfaatnya untuk Anda. Gantilah waktu-waktu yang terbuang itu dengan Al-Quran, Kalamullah Jalla wa ʿAlā. Luangkanlah dirimu di waktu-waktumu untuk Al-Quran yang mulia. ==== السَّلَفُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى كَانُوا يُقْبِلُونَ إِقْبَالًا تَامًّا عَلَى الْقُرْآنِ أَقُولُ هَذِهِ الْعِبْرَةُ الْعِبْرَةُ أَنْ تُقْبِلَ بِكُلِّيَّتِكَ عَلَى الْقُرْآنِ بِقَدْرِ اسْتِطَاعَتِكَ نَعَمْ أَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ عِنْدَكَ وَظِيفَةٌ عِنْدَكَ زَوْجَةٌ عِنْدَكَ أَوْلَادٌ عِنْدَكَ نَفْسُكَ مَا تُغْلِقْهَا وَلَا تُضَيِّعْ حُقُوقَ الْآخَرِيْنَ لَكِنْ لَا تَتَشَاغَلْ بِشَيْءٍ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ أَوْ بِشَيْءٍ ثَانَوِيٍّ أَلْغِ كُلَّ شَيْءٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى أَنَّكَ تَنْظُرُ إِلَى بَعْضِ الْمَقَاطِعِ وَتُتَابِعُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ وَاللهِ مَا تَنْفَعُكَ النَّفْعَ الْعَظِيمَ اجْعَلْ بَدَلَ هَذِهِ الْأُمُورِ الْقُرْآنَ كَلَامَ اللهِ جَلَّ وَعَلَا فَرِّغْ نَفْسَكَ فِي أَوْقَاتِكَ لِلْقُرْآنِ الْكَرِيمِ
Para Salaf raẖimahumullāh dahulu memberi perhatian dengan perhatian penuh terhadap Al-Quran. Aku katakan bahwa inilah pelajaran besar bagi kita. Pelajarannya adalah Anda harus memberi perhatian sepenuhnya kepada Al-Quran, sesuai kemampuan Anda. Ya, berikanlah kepada orang yang berhak, sesuatu yang menjadi haknya. Anda punya pekerjaan, istri, anak-anak, dan diri Anda sendiri. Jangan abaikan semuanya, dan jangan menyia-nyiakan hak orang lain. Namun, jangan pula Anda sibuk dengan sesuatu yang sebenarnya tidak Anda perlukan, atau urusan sekunder. Hentikan segala sesuatu yang tidak penting di bulan Ramadan! Semisal menonton video dan mengikuti berita terkini. Demi Allah, semuanya itu tidak banyak manfaatnya untuk Anda. Gantilah waktu-waktu yang terbuang itu dengan Al-Quran, Kalamullah Jalla wa ʿAlā. Luangkanlah dirimu di waktu-waktumu untuk Al-Quran yang mulia. ==== السَّلَفُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى كَانُوا يُقْبِلُونَ إِقْبَالًا تَامًّا عَلَى الْقُرْآنِ أَقُولُ هَذِهِ الْعِبْرَةُ الْعِبْرَةُ أَنْ تُقْبِلَ بِكُلِّيَّتِكَ عَلَى الْقُرْآنِ بِقَدْرِ اسْتِطَاعَتِكَ نَعَمْ أَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ عِنْدَكَ وَظِيفَةٌ عِنْدَكَ زَوْجَةٌ عِنْدَكَ أَوْلَادٌ عِنْدَكَ نَفْسُكَ مَا تُغْلِقْهَا وَلَا تُضَيِّعْ حُقُوقَ الْآخَرِيْنَ لَكِنْ لَا تَتَشَاغَلْ بِشَيْءٍ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ أَوْ بِشَيْءٍ ثَانَوِيٍّ أَلْغِ كُلَّ شَيْءٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى أَنَّكَ تَنْظُرُ إِلَى بَعْضِ الْمَقَاطِعِ وَتُتَابِعُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ وَاللهِ مَا تَنْفَعُكَ النَّفْعَ الْعَظِيمَ اجْعَلْ بَدَلَ هَذِهِ الْأُمُورِ الْقُرْآنَ كَلَامَ اللهِ جَلَّ وَعَلَا فَرِّغْ نَفْسَكَ فِي أَوْقَاتِكَ لِلْقُرْآنِ الْكَرِيمِ


Para Salaf raẖimahumullāh dahulu memberi perhatian dengan perhatian penuh terhadap Al-Quran. Aku katakan bahwa inilah pelajaran besar bagi kita. Pelajarannya adalah Anda harus memberi perhatian sepenuhnya kepada Al-Quran, sesuai kemampuan Anda. Ya, berikanlah kepada orang yang berhak, sesuatu yang menjadi haknya. Anda punya pekerjaan, istri, anak-anak, dan diri Anda sendiri. Jangan abaikan semuanya, dan jangan menyia-nyiakan hak orang lain. Namun, jangan pula Anda sibuk dengan sesuatu yang sebenarnya tidak Anda perlukan, atau urusan sekunder. Hentikan segala sesuatu yang tidak penting di bulan Ramadan! Semisal menonton video dan mengikuti berita terkini. Demi Allah, semuanya itu tidak banyak manfaatnya untuk Anda. Gantilah waktu-waktu yang terbuang itu dengan Al-Quran, Kalamullah Jalla wa ʿAlā. Luangkanlah dirimu di waktu-waktumu untuk Al-Quran yang mulia. ==== السَّلَفُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى كَانُوا يُقْبِلُونَ إِقْبَالًا تَامًّا عَلَى الْقُرْآنِ أَقُولُ هَذِهِ الْعِبْرَةُ الْعِبْرَةُ أَنْ تُقْبِلَ بِكُلِّيَّتِكَ عَلَى الْقُرْآنِ بِقَدْرِ اسْتِطَاعَتِكَ نَعَمْ أَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ عِنْدَكَ وَظِيفَةٌ عِنْدَكَ زَوْجَةٌ عِنْدَكَ أَوْلَادٌ عِنْدَكَ نَفْسُكَ مَا تُغْلِقْهَا وَلَا تُضَيِّعْ حُقُوقَ الْآخَرِيْنَ لَكِنْ لَا تَتَشَاغَلْ بِشَيْءٍ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ أَوْ بِشَيْءٍ ثَانَوِيٍّ أَلْغِ كُلَّ شَيْءٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى أَنَّكَ تَنْظُرُ إِلَى بَعْضِ الْمَقَاطِعِ وَتُتَابِعُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ وَاللهِ مَا تَنْفَعُكَ النَّفْعَ الْعَظِيمَ اجْعَلْ بَدَلَ هَذِهِ الْأُمُورِ الْقُرْآنَ كَلَامَ اللهِ جَلَّ وَعَلَا فَرِّغْ نَفْسَكَ فِي أَوْقَاتِكَ لِلْقُرْآنِ الْكَرِيمِ

Zuhud Terhadap Akhirat: Alasan Kamu Dipanggil Alim, Padahal Cuma Salat 5 Waktu

Daftar Isi Toggle Zuhud yang kita kenalZuhud terhadap akhiratBentuk-bentuk zuhud terhadap akhiratMasyarakat yang zuhud terhadap akhiratSikap kita Mungkin kamu pernah merasa heran ketika berada di tongkrongan atau lingkungan sosial lainnya, karena kamu bisa digelari “alim” atau “saleh” cukup dengan salat 5 waktu setiap hari dan bisa mengaji, meskipun kamu tidak merutinkannya. Teman-temanmu mungkin akan lebih heran, mempertanyakan kenormalanmu, hingga memanggilmu ustaz (baik serius maupun bercanda) ketika mengetahui komitmenmu untuk tidak merokok, tidak pacaran, atau menjauhi PMO (porn, masturbation, orgasm), meskipun mereka tahu alasanmu murni karena pertimbangan duniawi, dan akan lebih getol lagi jika ternyata yang menjadi pertimbanganmu adalah faktor agama. Fenomena sosial ini sudah dirasa lumrah, khususnya pada kalangan muda akhir-akhir ini. Salah satu faktor yang mungkin menjadi alasan di baliknya adalah kondisi mayoritas masyarakat, terutama pemuda yang zuhud terhadap akhirat. Tulisan ini akan mengulas faktor ini, mulai dari akar pengaruhnya secara personal, hingga sebagian dampaknya pada pergaulan sosial. Zuhud yang kita kenal Zuhud terhadap akhirat berbeda dengan konsep zuhud yang banyak dipahami selama ini, yaitu zuhud terhadap dunia. Secara bahasa, zuhud berarti meninggalkan. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan pengertian zuhud dengan mengatakan, الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ “Zuhud (terhadap dunia) adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat.” [1] Imam Al-Junaid rahimahullah menggambarkan kondisi orang yang zuhud dengan menjelaskan, فَالزَّاهِدُ لَا يَفرَح مِن الدُّنيَا بِمَوجُودٍ وَلَا يَأسَف مِنهَا عَلَى مَفقُودٍ “Orang yang zuhud tidak bergembira karena memiliki dunia, dan tidak bersedih karena kehilangan dunia.” [2] Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, zuhud adalah sebuah sikap hidup yang tidak memiliki minat dan kebutuhan berlebih pada suatu perkara. Alhasil, zuhud terhadap dunia adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara dunia yang tidak membuahkan kemaslahatan di akhirat. Selanjutnya, zuhud merupakan amalan hati, sehingga kita tidak harus menjadi miskin dahulu untuk bisa zuhud terhadap dunia. Niatkan segala ikhtiar kita dalam mencari perkara duniawi yang halal untuk mencapai kemaslahatan akhirat. Dengan menjadikan dunia berada di tangan, bukan di hati, kita bisa menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia, walaupun kita hidup berkecukupan. Ibrahim bin Adham rahimahullah membagi zuhud terhadap dunia menjadi 3 jenis, yakni: zuhud fardhu, zuhud fadhl, dan zuhud salamah. [3] Kita wajib menerapkan zuhud fardhu dan zuhud salamah karena keduanya berkaitan dengan batasan syariat, dan akan semakin baik bila turut mengamalkan zuhud fadhl. Zuhud terhadap akhirat Zuhud terhadap akhirat adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara akhirat. Sikap ini berkebalikan dengan zuhud terhadap dunia. Sebagaimana zuhud terhadap dunia bisa dijalani tanpa harus hidup melarat, demikian pula zuhud terhadap akhirat, berlaku sebaliknya. Sedihnya, banyak orang yang mampu zuhud terhadap akhirat tanpa harus menjadi orang kaya. Faktanya, tak mesti jadi konglomerat dulu untuk melupakan akhirat. Syekh Dr. Ahmad Farid hafidzahullah menyampaikan kaidah pembeda antara orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang zuhud terhadap akhirat, كُلُّ مَن بَاعَ الدُّنيَا بِالآخِرَةِ فَهُوَ زَاهِدٌ فِي الدُّنيَا , وَكُلُّ مَن بَاعَ الآخِرَةَ بِالدُّنيَا فَهُوَ زَاهِدٌ أَيضًا , وَلَكِن فِي الآخِرَةِ “Siapa saja yang rela menjual dunianya untuk akhirat, maka ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Dan siapa saja yang rela menjual akhiratnya untuk dunia, ia juga seorang yang zuhud, namun terhadap akhirat.” [4] Apabila kita mengacu pada kaidah ini, maka dapat kita katakan bahwa semua manusia adalah ahli zuhud. Pertanyaannya, zuhud jenis manakah yang ada pada diri kita selama ini? Baca juga: Zuhud untuk Meraih Cinta Allah ‘Azza Wajalla Bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat Untuk menggambarkan bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat, kita bisa membandingkannya dengan zuhud terhadap dunia dalam beberapa indikator berikut, *indikator bukan batasan. [5] Ringkasnya, orang yang zuhud terhadap akhirat tidak memiliki atensi dan antusiasme terhadap amal saleh, maupun segala hal yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat kelak. Hal ini berbanding terbalik dengan orang yang zuhud terhadap dunia. Masyarakat yang zuhud terhadap akhirat Intisari zuhud terhadap akhirat adalah kurangnya minat dan kebutuhan akan perkara yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat. Salah satu indikasi seorang yang mengalaminya adalah standar ideal amal salehnya yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Alhasil, wajar saja apabila muncul keheranan ketika muncul orang yang memenuhi kewajibannya dalam beragama, di tengah mereka (para ahli zuhud terhadap akhirat) yang meninggalkan kewajiban tersebut. Sedihnya, realitas menunjukkan bahwa orang yang zuhud terhadap akhirat bukan hanya satu orang atau satu keluarga saja. Fenomena ini sudah menyatu ke dalam sendi masyarakat. Demikianlah awal terbentuknya standar ideal amal yang minimalis, berbanding terbalik dengan tingginya standar untuk menjadi “orang” di muka dunia. Lantas, lahirlah banyak label “alim”, “saleh”, maupun “ustaz” di bawah standar syariat yang sebenarnya. Sekali lagi, baik hal itu muncul dalam konteks serius maupun bercanda. Sikap kita Mungkin kamu merasa bahwa amalmu itu bukan standar untuk mendapat gelar-gelar di atas, melainkan sebatas batas minimum untuk menjadi muslim yang normal, muslim yang sudah selesai dengan dirinya sendiri karena memenuhi fungsi eksistensinya untuk menghamba kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Tetap istikamah, bersabar, dan bercengkrama dengan hikmah. Kita tidak diberi tugas untuk berdalam-dalam menyalahkan keadaan. Mungkin di balik dunia yang sedang tidak baik-baik saja, Allah ingin memberi ganjaran terbaik untukmu dengan menjadi jalan hidayah untuk mereka yang belum terbiasa melangkah di atas jalan kebaikan. Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Madarijus Salikin, 2: 10, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 3: 138. (Sumber: di sini) [2] Madarijus Salikin, 2: 10, Darul Kitab Al-Arabiy, Syamilah. (Sumber: di sini) [3] Tazkiyatun Nufus, hal. 67, Darul Qalam Beirut [4] Ibid [5] Dihimpun dari perkataan Yunus bin Maisarah rahimahullah dalam kitab Tazkiyatun Nufus, hal. 65; Darul Qalam Beirut. Penulis menambahkan beberapa poin indikator berdasarkan penjelasan nukilan-nukilan sebelumnya).

Zuhud Terhadap Akhirat: Alasan Kamu Dipanggil Alim, Padahal Cuma Salat 5 Waktu

Daftar Isi Toggle Zuhud yang kita kenalZuhud terhadap akhiratBentuk-bentuk zuhud terhadap akhiratMasyarakat yang zuhud terhadap akhiratSikap kita Mungkin kamu pernah merasa heran ketika berada di tongkrongan atau lingkungan sosial lainnya, karena kamu bisa digelari “alim” atau “saleh” cukup dengan salat 5 waktu setiap hari dan bisa mengaji, meskipun kamu tidak merutinkannya. Teman-temanmu mungkin akan lebih heran, mempertanyakan kenormalanmu, hingga memanggilmu ustaz (baik serius maupun bercanda) ketika mengetahui komitmenmu untuk tidak merokok, tidak pacaran, atau menjauhi PMO (porn, masturbation, orgasm), meskipun mereka tahu alasanmu murni karena pertimbangan duniawi, dan akan lebih getol lagi jika ternyata yang menjadi pertimbanganmu adalah faktor agama. Fenomena sosial ini sudah dirasa lumrah, khususnya pada kalangan muda akhir-akhir ini. Salah satu faktor yang mungkin menjadi alasan di baliknya adalah kondisi mayoritas masyarakat, terutama pemuda yang zuhud terhadap akhirat. Tulisan ini akan mengulas faktor ini, mulai dari akar pengaruhnya secara personal, hingga sebagian dampaknya pada pergaulan sosial. Zuhud yang kita kenal Zuhud terhadap akhirat berbeda dengan konsep zuhud yang banyak dipahami selama ini, yaitu zuhud terhadap dunia. Secara bahasa, zuhud berarti meninggalkan. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan pengertian zuhud dengan mengatakan, الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ “Zuhud (terhadap dunia) adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat.” [1] Imam Al-Junaid rahimahullah menggambarkan kondisi orang yang zuhud dengan menjelaskan, فَالزَّاهِدُ لَا يَفرَح مِن الدُّنيَا بِمَوجُودٍ وَلَا يَأسَف مِنهَا عَلَى مَفقُودٍ “Orang yang zuhud tidak bergembira karena memiliki dunia, dan tidak bersedih karena kehilangan dunia.” [2] Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, zuhud adalah sebuah sikap hidup yang tidak memiliki minat dan kebutuhan berlebih pada suatu perkara. Alhasil, zuhud terhadap dunia adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara dunia yang tidak membuahkan kemaslahatan di akhirat. Selanjutnya, zuhud merupakan amalan hati, sehingga kita tidak harus menjadi miskin dahulu untuk bisa zuhud terhadap dunia. Niatkan segala ikhtiar kita dalam mencari perkara duniawi yang halal untuk mencapai kemaslahatan akhirat. Dengan menjadikan dunia berada di tangan, bukan di hati, kita bisa menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia, walaupun kita hidup berkecukupan. Ibrahim bin Adham rahimahullah membagi zuhud terhadap dunia menjadi 3 jenis, yakni: zuhud fardhu, zuhud fadhl, dan zuhud salamah. [3] Kita wajib menerapkan zuhud fardhu dan zuhud salamah karena keduanya berkaitan dengan batasan syariat, dan akan semakin baik bila turut mengamalkan zuhud fadhl. Zuhud terhadap akhirat Zuhud terhadap akhirat adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara akhirat. Sikap ini berkebalikan dengan zuhud terhadap dunia. Sebagaimana zuhud terhadap dunia bisa dijalani tanpa harus hidup melarat, demikian pula zuhud terhadap akhirat, berlaku sebaliknya. Sedihnya, banyak orang yang mampu zuhud terhadap akhirat tanpa harus menjadi orang kaya. Faktanya, tak mesti jadi konglomerat dulu untuk melupakan akhirat. Syekh Dr. Ahmad Farid hafidzahullah menyampaikan kaidah pembeda antara orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang zuhud terhadap akhirat, كُلُّ مَن بَاعَ الدُّنيَا بِالآخِرَةِ فَهُوَ زَاهِدٌ فِي الدُّنيَا , وَكُلُّ مَن بَاعَ الآخِرَةَ بِالدُّنيَا فَهُوَ زَاهِدٌ أَيضًا , وَلَكِن فِي الآخِرَةِ “Siapa saja yang rela menjual dunianya untuk akhirat, maka ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Dan siapa saja yang rela menjual akhiratnya untuk dunia, ia juga seorang yang zuhud, namun terhadap akhirat.” [4] Apabila kita mengacu pada kaidah ini, maka dapat kita katakan bahwa semua manusia adalah ahli zuhud. Pertanyaannya, zuhud jenis manakah yang ada pada diri kita selama ini? Baca juga: Zuhud untuk Meraih Cinta Allah ‘Azza Wajalla Bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat Untuk menggambarkan bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat, kita bisa membandingkannya dengan zuhud terhadap dunia dalam beberapa indikator berikut, *indikator bukan batasan. [5] Ringkasnya, orang yang zuhud terhadap akhirat tidak memiliki atensi dan antusiasme terhadap amal saleh, maupun segala hal yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat kelak. Hal ini berbanding terbalik dengan orang yang zuhud terhadap dunia. Masyarakat yang zuhud terhadap akhirat Intisari zuhud terhadap akhirat adalah kurangnya minat dan kebutuhan akan perkara yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat. Salah satu indikasi seorang yang mengalaminya adalah standar ideal amal salehnya yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Alhasil, wajar saja apabila muncul keheranan ketika muncul orang yang memenuhi kewajibannya dalam beragama, di tengah mereka (para ahli zuhud terhadap akhirat) yang meninggalkan kewajiban tersebut. Sedihnya, realitas menunjukkan bahwa orang yang zuhud terhadap akhirat bukan hanya satu orang atau satu keluarga saja. Fenomena ini sudah menyatu ke dalam sendi masyarakat. Demikianlah awal terbentuknya standar ideal amal yang minimalis, berbanding terbalik dengan tingginya standar untuk menjadi “orang” di muka dunia. Lantas, lahirlah banyak label “alim”, “saleh”, maupun “ustaz” di bawah standar syariat yang sebenarnya. Sekali lagi, baik hal itu muncul dalam konteks serius maupun bercanda. Sikap kita Mungkin kamu merasa bahwa amalmu itu bukan standar untuk mendapat gelar-gelar di atas, melainkan sebatas batas minimum untuk menjadi muslim yang normal, muslim yang sudah selesai dengan dirinya sendiri karena memenuhi fungsi eksistensinya untuk menghamba kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Tetap istikamah, bersabar, dan bercengkrama dengan hikmah. Kita tidak diberi tugas untuk berdalam-dalam menyalahkan keadaan. Mungkin di balik dunia yang sedang tidak baik-baik saja, Allah ingin memberi ganjaran terbaik untukmu dengan menjadi jalan hidayah untuk mereka yang belum terbiasa melangkah di atas jalan kebaikan. Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Madarijus Salikin, 2: 10, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 3: 138. (Sumber: di sini) [2] Madarijus Salikin, 2: 10, Darul Kitab Al-Arabiy, Syamilah. (Sumber: di sini) [3] Tazkiyatun Nufus, hal. 67, Darul Qalam Beirut [4] Ibid [5] Dihimpun dari perkataan Yunus bin Maisarah rahimahullah dalam kitab Tazkiyatun Nufus, hal. 65; Darul Qalam Beirut. Penulis menambahkan beberapa poin indikator berdasarkan penjelasan nukilan-nukilan sebelumnya).
Daftar Isi Toggle Zuhud yang kita kenalZuhud terhadap akhiratBentuk-bentuk zuhud terhadap akhiratMasyarakat yang zuhud terhadap akhiratSikap kita Mungkin kamu pernah merasa heran ketika berada di tongkrongan atau lingkungan sosial lainnya, karena kamu bisa digelari “alim” atau “saleh” cukup dengan salat 5 waktu setiap hari dan bisa mengaji, meskipun kamu tidak merutinkannya. Teman-temanmu mungkin akan lebih heran, mempertanyakan kenormalanmu, hingga memanggilmu ustaz (baik serius maupun bercanda) ketika mengetahui komitmenmu untuk tidak merokok, tidak pacaran, atau menjauhi PMO (porn, masturbation, orgasm), meskipun mereka tahu alasanmu murni karena pertimbangan duniawi, dan akan lebih getol lagi jika ternyata yang menjadi pertimbanganmu adalah faktor agama. Fenomena sosial ini sudah dirasa lumrah, khususnya pada kalangan muda akhir-akhir ini. Salah satu faktor yang mungkin menjadi alasan di baliknya adalah kondisi mayoritas masyarakat, terutama pemuda yang zuhud terhadap akhirat. Tulisan ini akan mengulas faktor ini, mulai dari akar pengaruhnya secara personal, hingga sebagian dampaknya pada pergaulan sosial. Zuhud yang kita kenal Zuhud terhadap akhirat berbeda dengan konsep zuhud yang banyak dipahami selama ini, yaitu zuhud terhadap dunia. Secara bahasa, zuhud berarti meninggalkan. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan pengertian zuhud dengan mengatakan, الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ “Zuhud (terhadap dunia) adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat.” [1] Imam Al-Junaid rahimahullah menggambarkan kondisi orang yang zuhud dengan menjelaskan, فَالزَّاهِدُ لَا يَفرَح مِن الدُّنيَا بِمَوجُودٍ وَلَا يَأسَف مِنهَا عَلَى مَفقُودٍ “Orang yang zuhud tidak bergembira karena memiliki dunia, dan tidak bersedih karena kehilangan dunia.” [2] Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, zuhud adalah sebuah sikap hidup yang tidak memiliki minat dan kebutuhan berlebih pada suatu perkara. Alhasil, zuhud terhadap dunia adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara dunia yang tidak membuahkan kemaslahatan di akhirat. Selanjutnya, zuhud merupakan amalan hati, sehingga kita tidak harus menjadi miskin dahulu untuk bisa zuhud terhadap dunia. Niatkan segala ikhtiar kita dalam mencari perkara duniawi yang halal untuk mencapai kemaslahatan akhirat. Dengan menjadikan dunia berada di tangan, bukan di hati, kita bisa menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia, walaupun kita hidup berkecukupan. Ibrahim bin Adham rahimahullah membagi zuhud terhadap dunia menjadi 3 jenis, yakni: zuhud fardhu, zuhud fadhl, dan zuhud salamah. [3] Kita wajib menerapkan zuhud fardhu dan zuhud salamah karena keduanya berkaitan dengan batasan syariat, dan akan semakin baik bila turut mengamalkan zuhud fadhl. Zuhud terhadap akhirat Zuhud terhadap akhirat adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara akhirat. Sikap ini berkebalikan dengan zuhud terhadap dunia. Sebagaimana zuhud terhadap dunia bisa dijalani tanpa harus hidup melarat, demikian pula zuhud terhadap akhirat, berlaku sebaliknya. Sedihnya, banyak orang yang mampu zuhud terhadap akhirat tanpa harus menjadi orang kaya. Faktanya, tak mesti jadi konglomerat dulu untuk melupakan akhirat. Syekh Dr. Ahmad Farid hafidzahullah menyampaikan kaidah pembeda antara orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang zuhud terhadap akhirat, كُلُّ مَن بَاعَ الدُّنيَا بِالآخِرَةِ فَهُوَ زَاهِدٌ فِي الدُّنيَا , وَكُلُّ مَن بَاعَ الآخِرَةَ بِالدُّنيَا فَهُوَ زَاهِدٌ أَيضًا , وَلَكِن فِي الآخِرَةِ “Siapa saja yang rela menjual dunianya untuk akhirat, maka ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Dan siapa saja yang rela menjual akhiratnya untuk dunia, ia juga seorang yang zuhud, namun terhadap akhirat.” [4] Apabila kita mengacu pada kaidah ini, maka dapat kita katakan bahwa semua manusia adalah ahli zuhud. Pertanyaannya, zuhud jenis manakah yang ada pada diri kita selama ini? Baca juga: Zuhud untuk Meraih Cinta Allah ‘Azza Wajalla Bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat Untuk menggambarkan bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat, kita bisa membandingkannya dengan zuhud terhadap dunia dalam beberapa indikator berikut, *indikator bukan batasan. [5] Ringkasnya, orang yang zuhud terhadap akhirat tidak memiliki atensi dan antusiasme terhadap amal saleh, maupun segala hal yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat kelak. Hal ini berbanding terbalik dengan orang yang zuhud terhadap dunia. Masyarakat yang zuhud terhadap akhirat Intisari zuhud terhadap akhirat adalah kurangnya minat dan kebutuhan akan perkara yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat. Salah satu indikasi seorang yang mengalaminya adalah standar ideal amal salehnya yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Alhasil, wajar saja apabila muncul keheranan ketika muncul orang yang memenuhi kewajibannya dalam beragama, di tengah mereka (para ahli zuhud terhadap akhirat) yang meninggalkan kewajiban tersebut. Sedihnya, realitas menunjukkan bahwa orang yang zuhud terhadap akhirat bukan hanya satu orang atau satu keluarga saja. Fenomena ini sudah menyatu ke dalam sendi masyarakat. Demikianlah awal terbentuknya standar ideal amal yang minimalis, berbanding terbalik dengan tingginya standar untuk menjadi “orang” di muka dunia. Lantas, lahirlah banyak label “alim”, “saleh”, maupun “ustaz” di bawah standar syariat yang sebenarnya. Sekali lagi, baik hal itu muncul dalam konteks serius maupun bercanda. Sikap kita Mungkin kamu merasa bahwa amalmu itu bukan standar untuk mendapat gelar-gelar di atas, melainkan sebatas batas minimum untuk menjadi muslim yang normal, muslim yang sudah selesai dengan dirinya sendiri karena memenuhi fungsi eksistensinya untuk menghamba kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Tetap istikamah, bersabar, dan bercengkrama dengan hikmah. Kita tidak diberi tugas untuk berdalam-dalam menyalahkan keadaan. Mungkin di balik dunia yang sedang tidak baik-baik saja, Allah ingin memberi ganjaran terbaik untukmu dengan menjadi jalan hidayah untuk mereka yang belum terbiasa melangkah di atas jalan kebaikan. Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Madarijus Salikin, 2: 10, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 3: 138. (Sumber: di sini) [2] Madarijus Salikin, 2: 10, Darul Kitab Al-Arabiy, Syamilah. (Sumber: di sini) [3] Tazkiyatun Nufus, hal. 67, Darul Qalam Beirut [4] Ibid [5] Dihimpun dari perkataan Yunus bin Maisarah rahimahullah dalam kitab Tazkiyatun Nufus, hal. 65; Darul Qalam Beirut. Penulis menambahkan beberapa poin indikator berdasarkan penjelasan nukilan-nukilan sebelumnya).


Daftar Isi Toggle Zuhud yang kita kenalZuhud terhadap akhiratBentuk-bentuk zuhud terhadap akhiratMasyarakat yang zuhud terhadap akhiratSikap kita Mungkin kamu pernah merasa heran ketika berada di tongkrongan atau lingkungan sosial lainnya, karena kamu bisa digelari “alim” atau “saleh” cukup dengan salat 5 waktu setiap hari dan bisa mengaji, meskipun kamu tidak merutinkannya. Teman-temanmu mungkin akan lebih heran, mempertanyakan kenormalanmu, hingga memanggilmu ustaz (baik serius maupun bercanda) ketika mengetahui komitmenmu untuk tidak merokok, tidak pacaran, atau menjauhi PMO (porn, masturbation, orgasm), meskipun mereka tahu alasanmu murni karena pertimbangan duniawi, dan akan lebih getol lagi jika ternyata yang menjadi pertimbanganmu adalah faktor agama. Fenomena sosial ini sudah dirasa lumrah, khususnya pada kalangan muda akhir-akhir ini. Salah satu faktor yang mungkin menjadi alasan di baliknya adalah kondisi mayoritas masyarakat, terutama pemuda yang zuhud terhadap akhirat. Tulisan ini akan mengulas faktor ini, mulai dari akar pengaruhnya secara personal, hingga sebagian dampaknya pada pergaulan sosial. Zuhud yang kita kenal Zuhud terhadap akhirat berbeda dengan konsep zuhud yang banyak dipahami selama ini, yaitu zuhud terhadap dunia. Secara bahasa, zuhud berarti meninggalkan. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan pengertian zuhud dengan mengatakan, الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ “Zuhud (terhadap dunia) adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat.” [1] Imam Al-Junaid rahimahullah menggambarkan kondisi orang yang zuhud dengan menjelaskan, فَالزَّاهِدُ لَا يَفرَح مِن الدُّنيَا بِمَوجُودٍ وَلَا يَأسَف مِنهَا عَلَى مَفقُودٍ “Orang yang zuhud tidak bergembira karena memiliki dunia, dan tidak bersedih karena kehilangan dunia.” [2] Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, zuhud adalah sebuah sikap hidup yang tidak memiliki minat dan kebutuhan berlebih pada suatu perkara. Alhasil, zuhud terhadap dunia adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara dunia yang tidak membuahkan kemaslahatan di akhirat. Selanjutnya, zuhud merupakan amalan hati, sehingga kita tidak harus menjadi miskin dahulu untuk bisa zuhud terhadap dunia. Niatkan segala ikhtiar kita dalam mencari perkara duniawi yang halal untuk mencapai kemaslahatan akhirat. Dengan menjadikan dunia berada di tangan, bukan di hati, kita bisa menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia, walaupun kita hidup berkecukupan. Ibrahim bin Adham rahimahullah membagi zuhud terhadap dunia menjadi 3 jenis, yakni: zuhud fardhu, zuhud fadhl, dan zuhud salamah. [3] Kita wajib menerapkan zuhud fardhu dan zuhud salamah karena keduanya berkaitan dengan batasan syariat, dan akan semakin baik bila turut mengamalkan zuhud fadhl. Zuhud terhadap akhirat Zuhud terhadap akhirat adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara akhirat. Sikap ini berkebalikan dengan zuhud terhadap dunia. Sebagaimana zuhud terhadap dunia bisa dijalani tanpa harus hidup melarat, demikian pula zuhud terhadap akhirat, berlaku sebaliknya. Sedihnya, banyak orang yang mampu zuhud terhadap akhirat tanpa harus menjadi orang kaya. Faktanya, tak mesti jadi konglomerat dulu untuk melupakan akhirat. Syekh Dr. Ahmad Farid hafidzahullah menyampaikan kaidah pembeda antara orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang zuhud terhadap akhirat, كُلُّ مَن بَاعَ الدُّنيَا بِالآخِرَةِ فَهُوَ زَاهِدٌ فِي الدُّنيَا , وَكُلُّ مَن بَاعَ الآخِرَةَ بِالدُّنيَا فَهُوَ زَاهِدٌ أَيضًا , وَلَكِن فِي الآخِرَةِ “Siapa saja yang rela menjual dunianya untuk akhirat, maka ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Dan siapa saja yang rela menjual akhiratnya untuk dunia, ia juga seorang yang zuhud, namun terhadap akhirat.” [4] Apabila kita mengacu pada kaidah ini, maka dapat kita katakan bahwa semua manusia adalah ahli zuhud. Pertanyaannya, zuhud jenis manakah yang ada pada diri kita selama ini? Baca juga: Zuhud untuk Meraih Cinta Allah ‘Azza Wajalla Bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat Untuk menggambarkan bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat, kita bisa membandingkannya dengan zuhud terhadap dunia dalam beberapa indikator berikut, *indikator bukan batasan. [5] Ringkasnya, orang yang zuhud terhadap akhirat tidak memiliki atensi dan antusiasme terhadap amal saleh, maupun segala hal yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat kelak. Hal ini berbanding terbalik dengan orang yang zuhud terhadap dunia. Masyarakat yang zuhud terhadap akhirat Intisari zuhud terhadap akhirat adalah kurangnya minat dan kebutuhan akan perkara yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat. Salah satu indikasi seorang yang mengalaminya adalah standar ideal amal salehnya yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Alhasil, wajar saja apabila muncul keheranan ketika muncul orang yang memenuhi kewajibannya dalam beragama, di tengah mereka (para ahli zuhud terhadap akhirat) yang meninggalkan kewajiban tersebut. Sedihnya, realitas menunjukkan bahwa orang yang zuhud terhadap akhirat bukan hanya satu orang atau satu keluarga saja. Fenomena ini sudah menyatu ke dalam sendi masyarakat. Demikianlah awal terbentuknya standar ideal amal yang minimalis, berbanding terbalik dengan tingginya standar untuk menjadi “orang” di muka dunia. Lantas, lahirlah banyak label “alim”, “saleh”, maupun “ustaz” di bawah standar syariat yang sebenarnya. Sekali lagi, baik hal itu muncul dalam konteks serius maupun bercanda. Sikap kita Mungkin kamu merasa bahwa amalmu itu bukan standar untuk mendapat gelar-gelar di atas, melainkan sebatas batas minimum untuk menjadi muslim yang normal, muslim yang sudah selesai dengan dirinya sendiri karena memenuhi fungsi eksistensinya untuk menghamba kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Tetap istikamah, bersabar, dan bercengkrama dengan hikmah. Kita tidak diberi tugas untuk berdalam-dalam menyalahkan keadaan. Mungkin di balik dunia yang sedang tidak baik-baik saja, Allah ingin memberi ganjaran terbaik untukmu dengan menjadi jalan hidayah untuk mereka yang belum terbiasa melangkah di atas jalan kebaikan. Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Madarijus Salikin, 2: 10, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 3: 138. (Sumber: di sini) [2] Madarijus Salikin, 2: 10, Darul Kitab Al-Arabiy, Syamilah. (Sumber: di sini) [3] Tazkiyatun Nufus, hal. 67, Darul Qalam Beirut [4] Ibid [5] Dihimpun dari perkataan Yunus bin Maisarah rahimahullah dalam kitab Tazkiyatun Nufus, hal. 65; Darul Qalam Beirut. Penulis menambahkan beberapa poin indikator berdasarkan penjelasan nukilan-nukilan sebelumnya).

Gerbang Ramadan Menuju Kejayaan

Daftar Isi Toggle Bukan sekadar puasaPuasa perlu pondasiIni kewajiban besar!Puasa itu ibadahAgungnya ibadah puasa Bismillah. Di antara perkara yang sangat menggembirakan adalah berita hadirnya bulan Ramadan di hadapan kita, tidak lama lagi insyaAllah. Apa yang sudah kita siapkan untuk memasukinya? Apa yang perlu kita lakukan sebelum menjumpainya? Bukan sekadar puasa Perlu kita ingat, bahwa Ramadan yang kita temui bukan sekadar waktu untuk berpuasa, menahan haus dan lapar saja. Lebih daripada itu, puasa yang dikehendaki adalah yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa ini akan membuahkan pahala dan surga apabila dibangun di atas keimanan, di atas tauhid, dan dengan senantiasa berpegang-teguh dengan sunah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakannya. Sebab, amal yang tidak dituntunkan tidak akan diterima. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka hal itu pasti tertolak/tidak diterima.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa perlu pondasi Sebagaimana amal ibadah yang lainnya, puasa membutuhkan pondasi tegaknya amalan, yaitu: keikhlasan, iman, dan tauhid kepada Allah. Sebab, Allah tidak akan menerima amal dari orang kafir dan musyrik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Sungguh, apabila kamu berbuat syirik, maka pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’ ” (QS. Az-Zumar: 65) Karena itulah, puasa bukan sekadar menahan haus dan lapar atau hubungan biologis. Puasa dibangun di atas nilai-nilai takwa. Puasa ditegakkan di atas ittiba’ atau kesetiaan untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى “Barangsiapa taat kepadaku, maka masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dialah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Baca juga: Nasihat Jelang Ramadan: Mari Makmurkan Masjid-Masjid di Sekitar Kita Ini kewajiban besar! Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa puasa Ramadan termasuk dalam rukun Islam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak boleh meremehkannya, sebagaimana kita pun tidak boleh meremehkan amal-amal yang lain. Agungnya ibadah puasa dapat kita petik dari agungnya hikmah disyariatkannya puasa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Allah tujukan panggilan ini kepada mereka yang Allah berikan nikmat iman di dalam hatinya. Allah seolah mengingatkan bahwa di antara bentuk mensyukuri nikmat iman itu adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Sebuah kewajiban yang ditetapkan untuk umat ini dan umat-umat sebelumnya, demi menggapai sebuah tujuan agung nan mulia, yaitu takwa. Dan di antara bentuk keindahan dan keajaiban kalamullah, Allah jadikan perintah puasa demi meraih takwa, sebagaimana Allah jadikan perintah tauhid (kewajiban terbesar) juga untuk meraih takwa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan menciptakan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا “Hak Allah atas segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa itu ibadah Sebagaimana juga yang telah sering disampaikan oleh para ustaz bahwa hakikat ibadah adalah segala hal yang dicintai oleh Allah dan diridai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Inilah definisi ibadah yang dipaparkan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Al-’Ubudiyah. Allah memerintahkan ibadah puasa. Hal itu menunjukkan bahwa Allah mencintai dan meridai-Nya. Oleh sebab itu, Allah juga menjanjikan pahala dan ampunan bagi kaum muslimin yang menjalankan puasa sesuai dengan syariat-Nya. Ibadah kepada Allah dibangun di atas kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nuniyah-nya juga menyampaikan bahwa hakikat ibadah adalah perpaduan antara puncak perendahan diri dengan puncak kecintaan. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً “Katakanlah, maukah aku beritakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia amal usahanya di dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Agungnya ibadah puasa Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai. Oleh sebab itu, janganlah berkata-kata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada orang yang memerangi atau mencacinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku puasa.’ sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Jabir radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Rabb kita ‘Azza Wajalla berkata, ‘Puasa adalah perisai yang melindungi diri seorang hamba dari neraka. Dan puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan membalasnya.’ ” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai dan benteng kokoh yang melindungi dari api neraka.” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan. Gembira ketika berbuka (berhari raya), dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya surga itu memiliki delapan pintu gerbang. Di antaranya ada sebuah pintu bernama’ Ar-Rayyan’. Tidaklah memasukinya, kecuali orang-orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya: seorang pemimpin yang adil; orang yang berpuasa sampai dia berbuka; dan doanya orang yang terzalimi…” (HR. Ibnu Majah) Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ketika berbuka, orang yang berpuasa memiliki kesempatan memanjatkan doa yang tidak akan ditolak.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim) Dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa pada suatu hari demi mencari wajah Allah dan dia mati dalam keadaan itu, niscaya akan masuk surga.” (HR. Ahmad) Dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dengan itu aku bisa masuk surga.” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu berpuasa, sesungguhnya tidak ada yang serupa dengannya.” (HR. Ibnu Hibban) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud, lafal milik Abu Dawud) Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berperilaku bodoh (dungu) bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja, pengharaman hal itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan, seperti pengharaman zina bagi orang yang sudah tua renta dan diharamkannya sombong bagi orang miskin. (lihat Subul As-Salam, 2: 876) Baca juga: Buah Manis Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id

Gerbang Ramadan Menuju Kejayaan

Daftar Isi Toggle Bukan sekadar puasaPuasa perlu pondasiIni kewajiban besar!Puasa itu ibadahAgungnya ibadah puasa Bismillah. Di antara perkara yang sangat menggembirakan adalah berita hadirnya bulan Ramadan di hadapan kita, tidak lama lagi insyaAllah. Apa yang sudah kita siapkan untuk memasukinya? Apa yang perlu kita lakukan sebelum menjumpainya? Bukan sekadar puasa Perlu kita ingat, bahwa Ramadan yang kita temui bukan sekadar waktu untuk berpuasa, menahan haus dan lapar saja. Lebih daripada itu, puasa yang dikehendaki adalah yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa ini akan membuahkan pahala dan surga apabila dibangun di atas keimanan, di atas tauhid, dan dengan senantiasa berpegang-teguh dengan sunah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakannya. Sebab, amal yang tidak dituntunkan tidak akan diterima. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka hal itu pasti tertolak/tidak diterima.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa perlu pondasi Sebagaimana amal ibadah yang lainnya, puasa membutuhkan pondasi tegaknya amalan, yaitu: keikhlasan, iman, dan tauhid kepada Allah. Sebab, Allah tidak akan menerima amal dari orang kafir dan musyrik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Sungguh, apabila kamu berbuat syirik, maka pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’ ” (QS. Az-Zumar: 65) Karena itulah, puasa bukan sekadar menahan haus dan lapar atau hubungan biologis. Puasa dibangun di atas nilai-nilai takwa. Puasa ditegakkan di atas ittiba’ atau kesetiaan untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى “Barangsiapa taat kepadaku, maka masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dialah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Baca juga: Nasihat Jelang Ramadan: Mari Makmurkan Masjid-Masjid di Sekitar Kita Ini kewajiban besar! Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa puasa Ramadan termasuk dalam rukun Islam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak boleh meremehkannya, sebagaimana kita pun tidak boleh meremehkan amal-amal yang lain. Agungnya ibadah puasa dapat kita petik dari agungnya hikmah disyariatkannya puasa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Allah tujukan panggilan ini kepada mereka yang Allah berikan nikmat iman di dalam hatinya. Allah seolah mengingatkan bahwa di antara bentuk mensyukuri nikmat iman itu adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Sebuah kewajiban yang ditetapkan untuk umat ini dan umat-umat sebelumnya, demi menggapai sebuah tujuan agung nan mulia, yaitu takwa. Dan di antara bentuk keindahan dan keajaiban kalamullah, Allah jadikan perintah puasa demi meraih takwa, sebagaimana Allah jadikan perintah tauhid (kewajiban terbesar) juga untuk meraih takwa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan menciptakan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا “Hak Allah atas segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa itu ibadah Sebagaimana juga yang telah sering disampaikan oleh para ustaz bahwa hakikat ibadah adalah segala hal yang dicintai oleh Allah dan diridai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Inilah definisi ibadah yang dipaparkan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Al-’Ubudiyah. Allah memerintahkan ibadah puasa. Hal itu menunjukkan bahwa Allah mencintai dan meridai-Nya. Oleh sebab itu, Allah juga menjanjikan pahala dan ampunan bagi kaum muslimin yang menjalankan puasa sesuai dengan syariat-Nya. Ibadah kepada Allah dibangun di atas kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nuniyah-nya juga menyampaikan bahwa hakikat ibadah adalah perpaduan antara puncak perendahan diri dengan puncak kecintaan. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً “Katakanlah, maukah aku beritakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia amal usahanya di dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Agungnya ibadah puasa Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai. Oleh sebab itu, janganlah berkata-kata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada orang yang memerangi atau mencacinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku puasa.’ sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Jabir radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Rabb kita ‘Azza Wajalla berkata, ‘Puasa adalah perisai yang melindungi diri seorang hamba dari neraka. Dan puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan membalasnya.’ ” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai dan benteng kokoh yang melindungi dari api neraka.” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan. Gembira ketika berbuka (berhari raya), dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya surga itu memiliki delapan pintu gerbang. Di antaranya ada sebuah pintu bernama’ Ar-Rayyan’. Tidaklah memasukinya, kecuali orang-orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya: seorang pemimpin yang adil; orang yang berpuasa sampai dia berbuka; dan doanya orang yang terzalimi…” (HR. Ibnu Majah) Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ketika berbuka, orang yang berpuasa memiliki kesempatan memanjatkan doa yang tidak akan ditolak.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim) Dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa pada suatu hari demi mencari wajah Allah dan dia mati dalam keadaan itu, niscaya akan masuk surga.” (HR. Ahmad) Dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dengan itu aku bisa masuk surga.” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu berpuasa, sesungguhnya tidak ada yang serupa dengannya.” (HR. Ibnu Hibban) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud, lafal milik Abu Dawud) Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berperilaku bodoh (dungu) bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja, pengharaman hal itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan, seperti pengharaman zina bagi orang yang sudah tua renta dan diharamkannya sombong bagi orang miskin. (lihat Subul As-Salam, 2: 876) Baca juga: Buah Manis Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Bukan sekadar puasaPuasa perlu pondasiIni kewajiban besar!Puasa itu ibadahAgungnya ibadah puasa Bismillah. Di antara perkara yang sangat menggembirakan adalah berita hadirnya bulan Ramadan di hadapan kita, tidak lama lagi insyaAllah. Apa yang sudah kita siapkan untuk memasukinya? Apa yang perlu kita lakukan sebelum menjumpainya? Bukan sekadar puasa Perlu kita ingat, bahwa Ramadan yang kita temui bukan sekadar waktu untuk berpuasa, menahan haus dan lapar saja. Lebih daripada itu, puasa yang dikehendaki adalah yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa ini akan membuahkan pahala dan surga apabila dibangun di atas keimanan, di atas tauhid, dan dengan senantiasa berpegang-teguh dengan sunah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakannya. Sebab, amal yang tidak dituntunkan tidak akan diterima. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka hal itu pasti tertolak/tidak diterima.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa perlu pondasi Sebagaimana amal ibadah yang lainnya, puasa membutuhkan pondasi tegaknya amalan, yaitu: keikhlasan, iman, dan tauhid kepada Allah. Sebab, Allah tidak akan menerima amal dari orang kafir dan musyrik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Sungguh, apabila kamu berbuat syirik, maka pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’ ” (QS. Az-Zumar: 65) Karena itulah, puasa bukan sekadar menahan haus dan lapar atau hubungan biologis. Puasa dibangun di atas nilai-nilai takwa. Puasa ditegakkan di atas ittiba’ atau kesetiaan untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى “Barangsiapa taat kepadaku, maka masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dialah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Baca juga: Nasihat Jelang Ramadan: Mari Makmurkan Masjid-Masjid di Sekitar Kita Ini kewajiban besar! Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa puasa Ramadan termasuk dalam rukun Islam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak boleh meremehkannya, sebagaimana kita pun tidak boleh meremehkan amal-amal yang lain. Agungnya ibadah puasa dapat kita petik dari agungnya hikmah disyariatkannya puasa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Allah tujukan panggilan ini kepada mereka yang Allah berikan nikmat iman di dalam hatinya. Allah seolah mengingatkan bahwa di antara bentuk mensyukuri nikmat iman itu adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Sebuah kewajiban yang ditetapkan untuk umat ini dan umat-umat sebelumnya, demi menggapai sebuah tujuan agung nan mulia, yaitu takwa. Dan di antara bentuk keindahan dan keajaiban kalamullah, Allah jadikan perintah puasa demi meraih takwa, sebagaimana Allah jadikan perintah tauhid (kewajiban terbesar) juga untuk meraih takwa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan menciptakan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا “Hak Allah atas segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa itu ibadah Sebagaimana juga yang telah sering disampaikan oleh para ustaz bahwa hakikat ibadah adalah segala hal yang dicintai oleh Allah dan diridai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Inilah definisi ibadah yang dipaparkan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Al-’Ubudiyah. Allah memerintahkan ibadah puasa. Hal itu menunjukkan bahwa Allah mencintai dan meridai-Nya. Oleh sebab itu, Allah juga menjanjikan pahala dan ampunan bagi kaum muslimin yang menjalankan puasa sesuai dengan syariat-Nya. Ibadah kepada Allah dibangun di atas kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nuniyah-nya juga menyampaikan bahwa hakikat ibadah adalah perpaduan antara puncak perendahan diri dengan puncak kecintaan. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً “Katakanlah, maukah aku beritakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia amal usahanya di dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Agungnya ibadah puasa Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai. Oleh sebab itu, janganlah berkata-kata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada orang yang memerangi atau mencacinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku puasa.’ sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Jabir radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Rabb kita ‘Azza Wajalla berkata, ‘Puasa adalah perisai yang melindungi diri seorang hamba dari neraka. Dan puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan membalasnya.’ ” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai dan benteng kokoh yang melindungi dari api neraka.” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan. Gembira ketika berbuka (berhari raya), dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya surga itu memiliki delapan pintu gerbang. Di antaranya ada sebuah pintu bernama’ Ar-Rayyan’. Tidaklah memasukinya, kecuali orang-orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya: seorang pemimpin yang adil; orang yang berpuasa sampai dia berbuka; dan doanya orang yang terzalimi…” (HR. Ibnu Majah) Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ketika berbuka, orang yang berpuasa memiliki kesempatan memanjatkan doa yang tidak akan ditolak.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim) Dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa pada suatu hari demi mencari wajah Allah dan dia mati dalam keadaan itu, niscaya akan masuk surga.” (HR. Ahmad) Dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dengan itu aku bisa masuk surga.” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu berpuasa, sesungguhnya tidak ada yang serupa dengannya.” (HR. Ibnu Hibban) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud, lafal milik Abu Dawud) Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berperilaku bodoh (dungu) bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja, pengharaman hal itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan, seperti pengharaman zina bagi orang yang sudah tua renta dan diharamkannya sombong bagi orang miskin. (lihat Subul As-Salam, 2: 876) Baca juga: Buah Manis Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Bukan sekadar puasaPuasa perlu pondasiIni kewajiban besar!Puasa itu ibadahAgungnya ibadah puasa Bismillah. Di antara perkara yang sangat menggembirakan adalah berita hadirnya bulan Ramadan di hadapan kita, tidak lama lagi insyaAllah. Apa yang sudah kita siapkan untuk memasukinya? Apa yang perlu kita lakukan sebelum menjumpainya? Bukan sekadar puasa Perlu kita ingat, bahwa Ramadan yang kita temui bukan sekadar waktu untuk berpuasa, menahan haus dan lapar saja. Lebih daripada itu, puasa yang dikehendaki adalah yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa ini akan membuahkan pahala dan surga apabila dibangun di atas keimanan, di atas tauhid, dan dengan senantiasa berpegang-teguh dengan sunah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakannya. Sebab, amal yang tidak dituntunkan tidak akan diterima. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka hal itu pasti tertolak/tidak diterima.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa perlu pondasi Sebagaimana amal ibadah yang lainnya, puasa membutuhkan pondasi tegaknya amalan, yaitu: keikhlasan, iman, dan tauhid kepada Allah. Sebab, Allah tidak akan menerima amal dari orang kafir dan musyrik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Sungguh, apabila kamu berbuat syirik, maka pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’ ” (QS. Az-Zumar: 65) Karena itulah, puasa bukan sekadar menahan haus dan lapar atau hubungan biologis. Puasa dibangun di atas nilai-nilai takwa. Puasa ditegakkan di atas ittiba’ atau kesetiaan untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى “Barangsiapa taat kepadaku, maka masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dialah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Baca juga: Nasihat Jelang Ramadan: Mari Makmurkan Masjid-Masjid di Sekitar Kita Ini kewajiban besar! Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa puasa Ramadan termasuk dalam rukun Islam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak boleh meremehkannya, sebagaimana kita pun tidak boleh meremehkan amal-amal yang lain. Agungnya ibadah puasa dapat kita petik dari agungnya hikmah disyariatkannya puasa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Allah tujukan panggilan ini kepada mereka yang Allah berikan nikmat iman di dalam hatinya. Allah seolah mengingatkan bahwa di antara bentuk mensyukuri nikmat iman itu adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Sebuah kewajiban yang ditetapkan untuk umat ini dan umat-umat sebelumnya, demi menggapai sebuah tujuan agung nan mulia, yaitu takwa. Dan di antara bentuk keindahan dan keajaiban kalamullah, Allah jadikan perintah puasa demi meraih takwa, sebagaimana Allah jadikan perintah tauhid (kewajiban terbesar) juga untuk meraih takwa. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan menciptakan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا “Hak Allah atas segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa itu ibadah Sebagaimana juga yang telah sering disampaikan oleh para ustaz bahwa hakikat ibadah adalah segala hal yang dicintai oleh Allah dan diridai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Inilah definisi ibadah yang dipaparkan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Al-’Ubudiyah. Allah memerintahkan ibadah puasa. Hal itu menunjukkan bahwa Allah mencintai dan meridai-Nya. Oleh sebab itu, Allah juga menjanjikan pahala dan ampunan bagi kaum muslimin yang menjalankan puasa sesuai dengan syariat-Nya. Ibadah kepada Allah dibangun di atas kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nuniyah-nya juga menyampaikan bahwa hakikat ibadah adalah perpaduan antara puncak perendahan diri dengan puncak kecintaan. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً  الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً “Katakanlah, maukah aku beritakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia amal usahanya di dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104) Agungnya ibadah puasa Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai. Oleh sebab itu, janganlah berkata-kata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada orang yang memerangi atau mencacinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku puasa.’ sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Jabir radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Rabb kita ‘Azza Wajalla berkata, ‘Puasa adalah perisai yang melindungi diri seorang hamba dari neraka. Dan puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan membalasnya.’ ” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai dan benteng kokoh yang melindungi dari api neraka.” (HR. Ahmad) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan. Gembira ketika berbuka (berhari raya), dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya surga itu memiliki delapan pintu gerbang. Di antaranya ada sebuah pintu bernama’ Ar-Rayyan’. Tidaklah memasukinya, kecuali orang-orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya: seorang pemimpin yang adil; orang yang berpuasa sampai dia berbuka; dan doanya orang yang terzalimi…” (HR. Ibnu Majah) Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ketika berbuka, orang yang berpuasa memiliki kesempatan memanjatkan doa yang tidak akan ditolak.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim) Dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa pada suatu hari demi mencari wajah Allah dan dia mati dalam keadaan itu, niscaya akan masuk surga.” (HR. Ahmad) Dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dengan itu aku bisa masuk surga.” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu berpuasa, sesungguhnya tidak ada yang serupa dengannya.” (HR. Ibnu Hibban) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud, lafal milik Abu Dawud) Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berperilaku bodoh (dungu) bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja, pengharaman hal itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan, seperti pengharaman zina bagi orang yang sudah tua renta dan diharamkannya sombong bagi orang miskin. (lihat Subul As-Salam, 2: 876) Baca juga: Buah Manis Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id

Mengenal Nama Allah “Al-Bashir”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Bashir“Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“Makna bahasa dari “Al-Bashir“Makna “Al-Bashir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hambaPertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanyaKedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukaiKetiga: Ihsan dalam beribadah Setiap nama Allah mengandung makna yang mendalam yang sangat bermanfaat bagi hamba-Nya. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-Bashir, yang biasa diartikan Maha Melihat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Bashir, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta mendorong kita untuk selalu beramal dengan penuh keikhlasan dan ihsan. Dalil nama Allah “Al-Bashir“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak empat puluh dua kali, di antaranya: Pertama: Firman Allah ‘Azza Wajalla, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233) Kedua: Firman-Nya Ta’ala, واللهُ بصيرٌ بالعباد “Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 15, 20) Ketiga: Firman-Nya, وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4) Keempat: Firman-Nya Subhanahu, مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ “Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pengasih. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk: 19) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Bashir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Bashir“ Al-Bashir merupakan bentuk shifat musyabbahah (sifat yang menunjukkan keadaan yang tetap). [2] Asal kata ‘Bashir‘ ( بصير ) adalah ‘Mubsir‘ ( مُبْصِرٌ, yaitu orang yang melihat). [3] Sedangkan al-bashar (yang merupakan mashdar dari kata بَصُرَ), memiliki dua makna utama, yaitu (1) indera penglihatan mata; dan (2) ilmu (pengetahuan). Ibnu Sidah berkata, البَصَرُ حِسُّ العَين وَالْجَمْعُ أَبْصارٌ ‘Al-Bashar adalah indera penglihatan mata, dan bentuk jamaknya adalah Abshar.‘ [4] Sibawaih berkata, بَصُرَ صَارَ مُبْصِراً، وأَبصره إِذا أَخبر بِالَّذِي وَقَعَتْ عَيْنُهُ عَلَيْهِ “Absharahu berarti mengabarkan sesuatu yang dilihat matanya.” [5] Ibn Faris mengatakan, وَيُقَالُ: بَصُرْتُ بِالشَّيْءِ: إِذَا صِرْتَ بِهِ بَصِيرًا عَالِمًا، وَأَبْصَرْتُهُ: إِذَا رَأَيْتَهُ. “Dikatakan ‘Bashurtu bisy-syai’’ jika seseorang menjadi tahu dan memahami sesuatu. Sedangkan ‘Abshartuhu’ berarti ‘Aku melihatnya’.” [6] Makna “Al-Bashir” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ “Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 163), beliau mengatakan, واللهُ ذو إبصارٍ بما يَعمَلون، لا يَخْفَى عليه شيءٌ من أعمالِهم، بل هو بجميعِها مُحيطٌ، ولها حافظٌ ذاكرٌ، حتى يُذِيقَهم بها من العقابِ جزاءَها. “Allah memiliki penglihatan terhadap segala perbuatan mereka. Tidak ada satu pun dari amal perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, Dia mengetahui dan mengawasi semuanya, serta mengingatnya hingga Dia memberikan balasan kepada mereka dengan azab yang setimpal.”  [7] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “البصير” الذي يبصر كل شيء وإن دق وصغر، فيبصر دبيب النملة السوداء في الليلة الظلماء على الصخرة الصماء. ويبصر ما تحت الأرضين السبع، كما يبصر ما فوق السموات السبع. وأيضا سميع بصير بمن يستحق الجزاء بحسب حكمته، والمعنى الأخير يرجع إلى الحكمة. “‘Al-Bashir’ adalah Zat yang melihat segala sesuatu, sekecil dan sehalus apa pun. Dia melihat pergerakan semut hitam di malam yang gelap gulita di atas batu yang padat. Dia juga melihat apa yang ada di bawah tujuh lapisan bumi, sebagaimana Dia melihat apa yang ada di atas tujuh lapisan langit. Selain itu, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan hikmah-Nya. Makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” [8] Berdasarkan hal ini, nama Al-Bashir memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memiliki penglihatan yang dengannya Dia melihat segala sesuatu. Kedua: Bahwa Allah memiliki bashirah (pengetahuan yang mendalam) terhadap segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui dan Mahateliti terhadapnya. [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Bashir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanya Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Maha Melihat keadaan para hamba-Nya, Maha Mengetahui segala sesuatu tentang mereka, Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan hidayah dan siapa yang tidak berhak, serta Maha Melihat siapa yang keadaannya akan menjadi baik dengan kekayaan dan harta, dan siapa yang justru akan menjadi buruk karenanya. Begitu pula, seorang hamba harus menetapkan sifat bashar (penglihatan) bagi Allah Ta’ala, karena Dia telah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, dan Dia lebih mengetahui tentang diri-Nya. Sifat bashar merupakan sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat sama’ (pendengaran). Makhluk yang memiliki kedua sifat tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan yang tidak memilikinya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang buta dan orang yang melihat? Maka, tidakkah kamu berpikir?'” (QS. Al-An’am: 50) [10] Syekh Abdur Razzaq Al-Badr berkata, “Termasuk perkara yang wajib diimani adalah bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala melihat dengan dua mata yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. (Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an. Kemudian, beliau melanjutkan), Hadis sahih dari Rasulullah ﷺ juga menunjukkan bahwa Allah memiliki dua mata, sebagaimana dalam hadis tentang Dajjal Al-Akbar, di mana beliau bersabda, إنّه أعور، وإن ربكم ليس بأعور ‘Sesungguhnya dia (Dajjal) itu buta sebelah, sedangkan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.’ (Muttafaqun ‘alaih) Pensucian Allah dari sifat buta sebelah ini menjadi dalil bahwa Dia memiliki dua mata, dengan cara (bentuk) yang sesuai dengan keagungan-Nya.” [11] Kedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukai Seorang hamba harus merasa malu jika Allah melihatnya dalam keadaan bermaksiat atau dalam hal yang tidak Dia sukai. Ibn Rajab rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki merayu seorang wanita di tempat sunyi pada malam hari, tetapi wanita itu menolak. Lalu, laki-laki itu berkata kepadanya, ‘Tidak ada yang melihat kita selain bintang-bintang.’ Wanita itu pun menjawab, ‘Lalu, di mana Zat yang menciptakan bintang-bintang itu?!'” Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمَ بِأَنَّ اللَّهَ يرى ‘Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihatnya?’ (QS. Al-‘Alaq: 14) Cukuplah ayat ini sebagai peringatan dan pencegah (dari perbuatan maksiat).” [12] Ketiga: Ihsan dalam beribadah Seorang hamba harus memperbaiki amal dan ibadahnya, serta mengikhlaskannya untuk Rabbnya dan khusyuk di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika seorang hamba menyaksikan makna nama Allah ‘Al-Bashir‘ (Maha Melihat), yaitu Zat Yang Maha Melihat pergerakan semut hitam di atas batu yang keras dalam kegelapan malam yang pekat, yang melihat setiap detail ciptaan makhluk sekecil debu, otaknya, urat-uratnya, dagingnya, dan gerakannya, yang melihat gerakan sayap nyamuk di kegelapan malam, lalu ia memberikan hak penghambaan kepada Allah sesuai dengan penglihatan ini. Maka, ia akan menjaga setiap gerakan dan diamnya serta meyakini bahwa semua itu selalu berada dalam pengawasan Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [13] Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa merasa diawasi-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma’, hal. 164; lihat juga Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 152. [2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Syarif, hal. 51. [3] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [4] Dinukil dari Lisanul ‘Arab, 4: 64. [5] Ibid [6] Maqayis Al-Lughah, hal. 95. Di kitab ini, beliau menyebutkan asal makna yang berbeda. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, hal. 54. [7] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [8] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [9] An-Nahjul Asma’, hal. 165. [10] Diringkas dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 165-166. [11] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 153. [12] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 156. [13] Thariq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’adatain, 1: 90.

Mengenal Nama Allah “Al-Bashir”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Bashir“Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“Makna bahasa dari “Al-Bashir“Makna “Al-Bashir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hambaPertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanyaKedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukaiKetiga: Ihsan dalam beribadah Setiap nama Allah mengandung makna yang mendalam yang sangat bermanfaat bagi hamba-Nya. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-Bashir, yang biasa diartikan Maha Melihat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Bashir, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta mendorong kita untuk selalu beramal dengan penuh keikhlasan dan ihsan. Dalil nama Allah “Al-Bashir“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak empat puluh dua kali, di antaranya: Pertama: Firman Allah ‘Azza Wajalla, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233) Kedua: Firman-Nya Ta’ala, واللهُ بصيرٌ بالعباد “Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 15, 20) Ketiga: Firman-Nya, وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4) Keempat: Firman-Nya Subhanahu, مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ “Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pengasih. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk: 19) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Bashir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Bashir“ Al-Bashir merupakan bentuk shifat musyabbahah (sifat yang menunjukkan keadaan yang tetap). [2] Asal kata ‘Bashir‘ ( بصير ) adalah ‘Mubsir‘ ( مُبْصِرٌ, yaitu orang yang melihat). [3] Sedangkan al-bashar (yang merupakan mashdar dari kata بَصُرَ), memiliki dua makna utama, yaitu (1) indera penglihatan mata; dan (2) ilmu (pengetahuan). Ibnu Sidah berkata, البَصَرُ حِسُّ العَين وَالْجَمْعُ أَبْصارٌ ‘Al-Bashar adalah indera penglihatan mata, dan bentuk jamaknya adalah Abshar.‘ [4] Sibawaih berkata, بَصُرَ صَارَ مُبْصِراً، وأَبصره إِذا أَخبر بِالَّذِي وَقَعَتْ عَيْنُهُ عَلَيْهِ “Absharahu berarti mengabarkan sesuatu yang dilihat matanya.” [5] Ibn Faris mengatakan, وَيُقَالُ: بَصُرْتُ بِالشَّيْءِ: إِذَا صِرْتَ بِهِ بَصِيرًا عَالِمًا، وَأَبْصَرْتُهُ: إِذَا رَأَيْتَهُ. “Dikatakan ‘Bashurtu bisy-syai’’ jika seseorang menjadi tahu dan memahami sesuatu. Sedangkan ‘Abshartuhu’ berarti ‘Aku melihatnya’.” [6] Makna “Al-Bashir” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ “Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 163), beliau mengatakan, واللهُ ذو إبصارٍ بما يَعمَلون، لا يَخْفَى عليه شيءٌ من أعمالِهم، بل هو بجميعِها مُحيطٌ، ولها حافظٌ ذاكرٌ، حتى يُذِيقَهم بها من العقابِ جزاءَها. “Allah memiliki penglihatan terhadap segala perbuatan mereka. Tidak ada satu pun dari amal perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, Dia mengetahui dan mengawasi semuanya, serta mengingatnya hingga Dia memberikan balasan kepada mereka dengan azab yang setimpal.”  [7] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “البصير” الذي يبصر كل شيء وإن دق وصغر، فيبصر دبيب النملة السوداء في الليلة الظلماء على الصخرة الصماء. ويبصر ما تحت الأرضين السبع، كما يبصر ما فوق السموات السبع. وأيضا سميع بصير بمن يستحق الجزاء بحسب حكمته، والمعنى الأخير يرجع إلى الحكمة. “‘Al-Bashir’ adalah Zat yang melihat segala sesuatu, sekecil dan sehalus apa pun. Dia melihat pergerakan semut hitam di malam yang gelap gulita di atas batu yang padat. Dia juga melihat apa yang ada di bawah tujuh lapisan bumi, sebagaimana Dia melihat apa yang ada di atas tujuh lapisan langit. Selain itu, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan hikmah-Nya. Makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” [8] Berdasarkan hal ini, nama Al-Bashir memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memiliki penglihatan yang dengannya Dia melihat segala sesuatu. Kedua: Bahwa Allah memiliki bashirah (pengetahuan yang mendalam) terhadap segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui dan Mahateliti terhadapnya. [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Bashir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanya Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Maha Melihat keadaan para hamba-Nya, Maha Mengetahui segala sesuatu tentang mereka, Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan hidayah dan siapa yang tidak berhak, serta Maha Melihat siapa yang keadaannya akan menjadi baik dengan kekayaan dan harta, dan siapa yang justru akan menjadi buruk karenanya. Begitu pula, seorang hamba harus menetapkan sifat bashar (penglihatan) bagi Allah Ta’ala, karena Dia telah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, dan Dia lebih mengetahui tentang diri-Nya. Sifat bashar merupakan sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat sama’ (pendengaran). Makhluk yang memiliki kedua sifat tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan yang tidak memilikinya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang buta dan orang yang melihat? Maka, tidakkah kamu berpikir?'” (QS. Al-An’am: 50) [10] Syekh Abdur Razzaq Al-Badr berkata, “Termasuk perkara yang wajib diimani adalah bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala melihat dengan dua mata yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. (Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an. Kemudian, beliau melanjutkan), Hadis sahih dari Rasulullah ﷺ juga menunjukkan bahwa Allah memiliki dua mata, sebagaimana dalam hadis tentang Dajjal Al-Akbar, di mana beliau bersabda, إنّه أعور، وإن ربكم ليس بأعور ‘Sesungguhnya dia (Dajjal) itu buta sebelah, sedangkan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.’ (Muttafaqun ‘alaih) Pensucian Allah dari sifat buta sebelah ini menjadi dalil bahwa Dia memiliki dua mata, dengan cara (bentuk) yang sesuai dengan keagungan-Nya.” [11] Kedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukai Seorang hamba harus merasa malu jika Allah melihatnya dalam keadaan bermaksiat atau dalam hal yang tidak Dia sukai. Ibn Rajab rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki merayu seorang wanita di tempat sunyi pada malam hari, tetapi wanita itu menolak. Lalu, laki-laki itu berkata kepadanya, ‘Tidak ada yang melihat kita selain bintang-bintang.’ Wanita itu pun menjawab, ‘Lalu, di mana Zat yang menciptakan bintang-bintang itu?!'” Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمَ بِأَنَّ اللَّهَ يرى ‘Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihatnya?’ (QS. Al-‘Alaq: 14) Cukuplah ayat ini sebagai peringatan dan pencegah (dari perbuatan maksiat).” [12] Ketiga: Ihsan dalam beribadah Seorang hamba harus memperbaiki amal dan ibadahnya, serta mengikhlaskannya untuk Rabbnya dan khusyuk di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika seorang hamba menyaksikan makna nama Allah ‘Al-Bashir‘ (Maha Melihat), yaitu Zat Yang Maha Melihat pergerakan semut hitam di atas batu yang keras dalam kegelapan malam yang pekat, yang melihat setiap detail ciptaan makhluk sekecil debu, otaknya, urat-uratnya, dagingnya, dan gerakannya, yang melihat gerakan sayap nyamuk di kegelapan malam, lalu ia memberikan hak penghambaan kepada Allah sesuai dengan penglihatan ini. Maka, ia akan menjaga setiap gerakan dan diamnya serta meyakini bahwa semua itu selalu berada dalam pengawasan Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [13] Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa merasa diawasi-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma’, hal. 164; lihat juga Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 152. [2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Syarif, hal. 51. [3] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [4] Dinukil dari Lisanul ‘Arab, 4: 64. [5] Ibid [6] Maqayis Al-Lughah, hal. 95. Di kitab ini, beliau menyebutkan asal makna yang berbeda. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, hal. 54. [7] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [8] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [9] An-Nahjul Asma’, hal. 165. [10] Diringkas dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 165-166. [11] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 153. [12] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 156. [13] Thariq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’adatain, 1: 90.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Bashir“Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“Makna bahasa dari “Al-Bashir“Makna “Al-Bashir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hambaPertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanyaKedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukaiKetiga: Ihsan dalam beribadah Setiap nama Allah mengandung makna yang mendalam yang sangat bermanfaat bagi hamba-Nya. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-Bashir, yang biasa diartikan Maha Melihat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Bashir, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta mendorong kita untuk selalu beramal dengan penuh keikhlasan dan ihsan. Dalil nama Allah “Al-Bashir“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak empat puluh dua kali, di antaranya: Pertama: Firman Allah ‘Azza Wajalla, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233) Kedua: Firman-Nya Ta’ala, واللهُ بصيرٌ بالعباد “Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 15, 20) Ketiga: Firman-Nya, وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4) Keempat: Firman-Nya Subhanahu, مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ “Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pengasih. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk: 19) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Bashir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Bashir“ Al-Bashir merupakan bentuk shifat musyabbahah (sifat yang menunjukkan keadaan yang tetap). [2] Asal kata ‘Bashir‘ ( بصير ) adalah ‘Mubsir‘ ( مُبْصِرٌ, yaitu orang yang melihat). [3] Sedangkan al-bashar (yang merupakan mashdar dari kata بَصُرَ), memiliki dua makna utama, yaitu (1) indera penglihatan mata; dan (2) ilmu (pengetahuan). Ibnu Sidah berkata, البَصَرُ حِسُّ العَين وَالْجَمْعُ أَبْصارٌ ‘Al-Bashar adalah indera penglihatan mata, dan bentuk jamaknya adalah Abshar.‘ [4] Sibawaih berkata, بَصُرَ صَارَ مُبْصِراً، وأَبصره إِذا أَخبر بِالَّذِي وَقَعَتْ عَيْنُهُ عَلَيْهِ “Absharahu berarti mengabarkan sesuatu yang dilihat matanya.” [5] Ibn Faris mengatakan, وَيُقَالُ: بَصُرْتُ بِالشَّيْءِ: إِذَا صِرْتَ بِهِ بَصِيرًا عَالِمًا، وَأَبْصَرْتُهُ: إِذَا رَأَيْتَهُ. “Dikatakan ‘Bashurtu bisy-syai’’ jika seseorang menjadi tahu dan memahami sesuatu. Sedangkan ‘Abshartuhu’ berarti ‘Aku melihatnya’.” [6] Makna “Al-Bashir” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ “Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 163), beliau mengatakan, واللهُ ذو إبصارٍ بما يَعمَلون، لا يَخْفَى عليه شيءٌ من أعمالِهم، بل هو بجميعِها مُحيطٌ، ولها حافظٌ ذاكرٌ، حتى يُذِيقَهم بها من العقابِ جزاءَها. “Allah memiliki penglihatan terhadap segala perbuatan mereka. Tidak ada satu pun dari amal perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, Dia mengetahui dan mengawasi semuanya, serta mengingatnya hingga Dia memberikan balasan kepada mereka dengan azab yang setimpal.”  [7] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “البصير” الذي يبصر كل شيء وإن دق وصغر، فيبصر دبيب النملة السوداء في الليلة الظلماء على الصخرة الصماء. ويبصر ما تحت الأرضين السبع، كما يبصر ما فوق السموات السبع. وأيضا سميع بصير بمن يستحق الجزاء بحسب حكمته، والمعنى الأخير يرجع إلى الحكمة. “‘Al-Bashir’ adalah Zat yang melihat segala sesuatu, sekecil dan sehalus apa pun. Dia melihat pergerakan semut hitam di malam yang gelap gulita di atas batu yang padat. Dia juga melihat apa yang ada di bawah tujuh lapisan bumi, sebagaimana Dia melihat apa yang ada di atas tujuh lapisan langit. Selain itu, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan hikmah-Nya. Makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” [8] Berdasarkan hal ini, nama Al-Bashir memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memiliki penglihatan yang dengannya Dia melihat segala sesuatu. Kedua: Bahwa Allah memiliki bashirah (pengetahuan yang mendalam) terhadap segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui dan Mahateliti terhadapnya. [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Bashir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanya Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Maha Melihat keadaan para hamba-Nya, Maha Mengetahui segala sesuatu tentang mereka, Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan hidayah dan siapa yang tidak berhak, serta Maha Melihat siapa yang keadaannya akan menjadi baik dengan kekayaan dan harta, dan siapa yang justru akan menjadi buruk karenanya. Begitu pula, seorang hamba harus menetapkan sifat bashar (penglihatan) bagi Allah Ta’ala, karena Dia telah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, dan Dia lebih mengetahui tentang diri-Nya. Sifat bashar merupakan sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat sama’ (pendengaran). Makhluk yang memiliki kedua sifat tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan yang tidak memilikinya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang buta dan orang yang melihat? Maka, tidakkah kamu berpikir?'” (QS. Al-An’am: 50) [10] Syekh Abdur Razzaq Al-Badr berkata, “Termasuk perkara yang wajib diimani adalah bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala melihat dengan dua mata yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. (Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an. Kemudian, beliau melanjutkan), Hadis sahih dari Rasulullah ﷺ juga menunjukkan bahwa Allah memiliki dua mata, sebagaimana dalam hadis tentang Dajjal Al-Akbar, di mana beliau bersabda, إنّه أعور، وإن ربكم ليس بأعور ‘Sesungguhnya dia (Dajjal) itu buta sebelah, sedangkan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.’ (Muttafaqun ‘alaih) Pensucian Allah dari sifat buta sebelah ini menjadi dalil bahwa Dia memiliki dua mata, dengan cara (bentuk) yang sesuai dengan keagungan-Nya.” [11] Kedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukai Seorang hamba harus merasa malu jika Allah melihatnya dalam keadaan bermaksiat atau dalam hal yang tidak Dia sukai. Ibn Rajab rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki merayu seorang wanita di tempat sunyi pada malam hari, tetapi wanita itu menolak. Lalu, laki-laki itu berkata kepadanya, ‘Tidak ada yang melihat kita selain bintang-bintang.’ Wanita itu pun menjawab, ‘Lalu, di mana Zat yang menciptakan bintang-bintang itu?!'” Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمَ بِأَنَّ اللَّهَ يرى ‘Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihatnya?’ (QS. Al-‘Alaq: 14) Cukuplah ayat ini sebagai peringatan dan pencegah (dari perbuatan maksiat).” [12] Ketiga: Ihsan dalam beribadah Seorang hamba harus memperbaiki amal dan ibadahnya, serta mengikhlaskannya untuk Rabbnya dan khusyuk di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika seorang hamba menyaksikan makna nama Allah ‘Al-Bashir‘ (Maha Melihat), yaitu Zat Yang Maha Melihat pergerakan semut hitam di atas batu yang keras dalam kegelapan malam yang pekat, yang melihat setiap detail ciptaan makhluk sekecil debu, otaknya, urat-uratnya, dagingnya, dan gerakannya, yang melihat gerakan sayap nyamuk di kegelapan malam, lalu ia memberikan hak penghambaan kepada Allah sesuai dengan penglihatan ini. Maka, ia akan menjaga setiap gerakan dan diamnya serta meyakini bahwa semua itu selalu berada dalam pengawasan Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [13] Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa merasa diawasi-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma’, hal. 164; lihat juga Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 152. [2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Syarif, hal. 51. [3] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [4] Dinukil dari Lisanul ‘Arab, 4: 64. [5] Ibid [6] Maqayis Al-Lughah, hal. 95. Di kitab ini, beliau menyebutkan asal makna yang berbeda. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, hal. 54. [7] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [8] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [9] An-Nahjul Asma’, hal. 165. [10] Diringkas dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 165-166. [11] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 153. [12] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 156. [13] Thariq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’adatain, 1: 90.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Bashir“Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“Makna bahasa dari “Al-Bashir“Makna “Al-Bashir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hambaPertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanyaKedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukaiKetiga: Ihsan dalam beribadah Setiap nama Allah mengandung makna yang mendalam yang sangat bermanfaat bagi hamba-Nya. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-Bashir, yang biasa diartikan Maha Melihat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Bashir, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta mendorong kita untuk selalu beramal dengan penuh keikhlasan dan ihsan. Dalil nama Allah “Al-Bashir“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak empat puluh dua kali, di antaranya: Pertama: Firman Allah ‘Azza Wajalla, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233) Kedua: Firman-Nya Ta’ala, واللهُ بصيرٌ بالعباد “Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 15, 20) Ketiga: Firman-Nya, وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4) Keempat: Firman-Nya Subhanahu, مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ “Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pengasih. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk: 19) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Bashir“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Bashir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Bashir“ Al-Bashir merupakan bentuk shifat musyabbahah (sifat yang menunjukkan keadaan yang tetap). [2] Asal kata ‘Bashir‘ ( بصير ) adalah ‘Mubsir‘ ( مُبْصِرٌ, yaitu orang yang melihat). [3] Sedangkan al-bashar (yang merupakan mashdar dari kata بَصُرَ), memiliki dua makna utama, yaitu (1) indera penglihatan mata; dan (2) ilmu (pengetahuan). Ibnu Sidah berkata, البَصَرُ حِسُّ العَين وَالْجَمْعُ أَبْصارٌ ‘Al-Bashar adalah indera penglihatan mata, dan bentuk jamaknya adalah Abshar.‘ [4] Sibawaih berkata, بَصُرَ صَارَ مُبْصِراً، وأَبصره إِذا أَخبر بِالَّذِي وَقَعَتْ عَيْنُهُ عَلَيْهِ “Absharahu berarti mengabarkan sesuatu yang dilihat matanya.” [5] Ibn Faris mengatakan, وَيُقَالُ: بَصُرْتُ بِالشَّيْءِ: إِذَا صِرْتَ بِهِ بَصِيرًا عَالِمًا، وَأَبْصَرْتُهُ: إِذَا رَأَيْتَهُ. “Dikatakan ‘Bashurtu bisy-syai’’ jika seseorang menjadi tahu dan memahami sesuatu. Sedangkan ‘Abshartuhu’ berarti ‘Aku melihatnya’.” [6] Makna “Al-Bashir” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ “Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 163), beliau mengatakan, واللهُ ذو إبصارٍ بما يَعمَلون، لا يَخْفَى عليه شيءٌ من أعمالِهم، بل هو بجميعِها مُحيطٌ، ولها حافظٌ ذاكرٌ، حتى يُذِيقَهم بها من العقابِ جزاءَها. “Allah memiliki penglihatan terhadap segala perbuatan mereka. Tidak ada satu pun dari amal perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, Dia mengetahui dan mengawasi semuanya, serta mengingatnya hingga Dia memberikan balasan kepada mereka dengan azab yang setimpal.”  [7] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “البصير” الذي يبصر كل شيء وإن دق وصغر، فيبصر دبيب النملة السوداء في الليلة الظلماء على الصخرة الصماء. ويبصر ما تحت الأرضين السبع، كما يبصر ما فوق السموات السبع. وأيضا سميع بصير بمن يستحق الجزاء بحسب حكمته، والمعنى الأخير يرجع إلى الحكمة. “‘Al-Bashir’ adalah Zat yang melihat segala sesuatu, sekecil dan sehalus apa pun. Dia melihat pergerakan semut hitam di malam yang gelap gulita di atas batu yang padat. Dia juga melihat apa yang ada di bawah tujuh lapisan bumi, sebagaimana Dia melihat apa yang ada di atas tujuh lapisan langit. Selain itu, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan hikmah-Nya. Makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” [8] Berdasarkan hal ini, nama Al-Bashir memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memiliki penglihatan yang dengannya Dia melihat segala sesuatu. Kedua: Bahwa Allah memiliki bashirah (pengetahuan yang mendalam) terhadap segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui dan Mahateliti terhadapnya. [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Bashir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Bashir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Menetapkan sifat bashar bagi Allah Ta’ala, dengan kedua maknanya Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Maha Melihat keadaan para hamba-Nya, Maha Mengetahui segala sesuatu tentang mereka, Maha Melihat siapa yang berhak mendapatkan hidayah dan siapa yang tidak berhak, serta Maha Melihat siapa yang keadaannya akan menjadi baik dengan kekayaan dan harta, dan siapa yang justru akan menjadi buruk karenanya. Begitu pula, seorang hamba harus menetapkan sifat bashar (penglihatan) bagi Allah Ta’ala, karena Dia telah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, dan Dia lebih mengetahui tentang diri-Nya. Sifat bashar merupakan sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat sama’ (pendengaran). Makhluk yang memiliki kedua sifat tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan yang tidak memilikinya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang buta dan orang yang melihat? Maka, tidakkah kamu berpikir?'” (QS. Al-An’am: 50) [10] Syekh Abdur Razzaq Al-Badr berkata, “Termasuk perkara yang wajib diimani adalah bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala melihat dengan dua mata yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. (Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an. Kemudian, beliau melanjutkan), Hadis sahih dari Rasulullah ﷺ juga menunjukkan bahwa Allah memiliki dua mata, sebagaimana dalam hadis tentang Dajjal Al-Akbar, di mana beliau bersabda, إنّه أعور، وإن ربكم ليس بأعور ‘Sesungguhnya dia (Dajjal) itu buta sebelah, sedangkan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.’ (Muttafaqun ‘alaih) Pensucian Allah dari sifat buta sebelah ini menjadi dalil bahwa Dia memiliki dua mata, dengan cara (bentuk) yang sesuai dengan keagungan-Nya.” [11] Kedua: Menjauhi hal yang tidak Dia sukai Seorang hamba harus merasa malu jika Allah melihatnya dalam keadaan bermaksiat atau dalam hal yang tidak Dia sukai. Ibn Rajab rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki merayu seorang wanita di tempat sunyi pada malam hari, tetapi wanita itu menolak. Lalu, laki-laki itu berkata kepadanya, ‘Tidak ada yang melihat kita selain bintang-bintang.’ Wanita itu pun menjawab, ‘Lalu, di mana Zat yang menciptakan bintang-bintang itu?!'” Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمَ بِأَنَّ اللَّهَ يرى ‘Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihatnya?’ (QS. Al-‘Alaq: 14) Cukuplah ayat ini sebagai peringatan dan pencegah (dari perbuatan maksiat).” [12] Ketiga: Ihsan dalam beribadah Seorang hamba harus memperbaiki amal dan ibadahnya, serta mengikhlaskannya untuk Rabbnya dan khusyuk di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika seorang hamba menyaksikan makna nama Allah ‘Al-Bashir‘ (Maha Melihat), yaitu Zat Yang Maha Melihat pergerakan semut hitam di atas batu yang keras dalam kegelapan malam yang pekat, yang melihat setiap detail ciptaan makhluk sekecil debu, otaknya, urat-uratnya, dagingnya, dan gerakannya, yang melihat gerakan sayap nyamuk di kegelapan malam, lalu ia memberikan hak penghambaan kepada Allah sesuai dengan penglihatan ini. Maka, ia akan menjaga setiap gerakan dan diamnya serta meyakini bahwa semua itu selalu berada dalam pengawasan Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [13] Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa merasa diawasi-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma’, hal. 164; lihat juga Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 152. [2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Syarif, hal. 51. [3] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [4] Dinukil dari Lisanul ‘Arab, 4: 64. [5] Ibid [6] Maqayis Al-Lughah, hal. 95. Di kitab ini, beliau menyebutkan asal makna yang berbeda. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, hal. 54. [7] Tafsir At-Thabari, 2: 283. [8] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [9] An-Nahjul Asma’, hal. 165. [10] Diringkas dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 165-166. [11] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 153. [12] Fiqh Al-Asma’il Husna, hal. 156. [13] Thariq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’adatain, 1: 90.

Keutamaan dan Buah dari Shalat Malam

فضائل وثمرات قيام الليل Oleh: Dr. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad at-Mathari الدكتور أبو الحسن علي بن محمد المطري الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف المرسلين، سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه، ومن اتَّبع هدْيَه إلى يوم الدين، أمَّا بعد: فضائل وثمرات قيام الليل: • هو إقامة للروح على معارج القدس، وإقامة للحياة وترويحٌ للنفس، ومناجاة للمولى وكلام همس، حيث يحلو القرب من الله والأنس، هذه السنة والعبادة التي أصبحت منسيةً، فتسلط علينا كل وسواس خناس، فاضطربت الأحوال وضاقت الحياة على الناس، هل عرفتم عن ماذا أتحدث؟ إنها (قيام الليل)، وهذه كلماتٌ وقطوف من دوحة القانتين والذاكرين، نستشعر بها معاني الصلاة في جوف الليل. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul yang paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada para keluarga dan sahabat beliau, serta orang yang mengikuti ajaran beliau hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: Keutamaan dan buah dari Shalat Malam: Shalat Malam merupakan kegiatan menapakkan jiwa di atas derajat-derajat suci, menegakkan hidup dan mendamaikan jiwa, serta munajat dan bisikan kepada Sang Kuasa. Ketika itulah akan terasa manis dan damainya kedekatan kepada Allah. Sunah dan ibadah ini menjadi sesuatu yang terlupakan. Kita dikuasai oleh segala bisikan setan, sehingga keadaan menjadi tidak menentu, dan kehidupan menjadi terasa sulit bagi manusia.  Apakah kalian mengetahui, tentang apa aku berbicara? Ini adalah tentang “Shalat Malam”. Berikut ini adalah untaian kalimat dan ranting-ranting dari pohon tempat bernaung para orang-orang khusyuk dan ahli zikir. Dengan kalimat ini, kita mencoba mendalami makna-makna salat pada pertengahan malam. فضائل قيام الليل: يقول الله تعالى مادحًا عباده المؤمنين بخصالٍ جميلة وأعمالٍ جليلة: ﴿ تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴾ [السجدة: 16]. ومن أخص هذه الصفات (قيام الليل) الذي هو طريق الأولياء إلى الله، الولاية تلك المنزلة التي يتمناها كل مسلم؛ منزلة القرب والعناية، فندخل في قوله تعالى: ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾ [يونس: 62]. Keutamaan Shalat Malam: Allah Ta’ala berfirman sebagai pujian bagi para hamba-Nya yang beriman, yang memiliki sifat-sifat mulia dan amalan-amalan agung: تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menginfakkan rezeki yang telah Kami berikan.” (QS. As-Sajdah: 16). Di antara sifat yang paling istimewa dari Shalat Malam – yang merupakan jalan para wali (kekasih) Allah menuju kepada-Nya; dan kewalian adalah derajat yang diharapkan setiap Muslim – adalah menjadi status kedekatan kepada Allah dan perhatian dari-Nya; sehingga kita dapat tercakup dalam cakupan firman Allah Ta’ala: أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.” (QS. Yunus: 62). فطريق الأولياء إلى الله هو: الابتعاد عن المُحرَّمات، وأداء الفرائض، والتقرُّب بالنوافل، كلٌّ بحسب استطاعته وإقباله، وأفضل النوافل قيام الليل، جاء في صحيح مسلم من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: “أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل”. وهذا الفضل الكبير لقيام الليل؛ لأنه أقرب إلى الإخلاص فهو عبادة سرية لا يعلم بها أحد، وفيه مشقة على النفس، فالمؤمن يقوم من فراشه ونومه وراحته، وهو أقرب إلى التدبُّر والخشوع.. ولهذا سميَ قيام الليل (شرف المؤمن)، قال عليه الصلاة والسلام: “أتاني جبريل، فقال يا محمد، عِشْ ما شئت فإنك ميت، وأحبب من شئت فإنك مفارقه، واعمل ما شئت فإنك مجزي به، واعلم أن شرف المؤمن قيامه بالليل، وعزه استغناؤه عن الناس”. Jalan kewalian menuju Allah adalah dengan menjauhi hal-hal yang diharamkan, menjalankan kewajiban-kewajiban, dan mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunah. Setiap mereka melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan kecondongan mereka masing-masing. Adapun ibadah sunah yang paling utama adalah Shalat Malam. Diriwayatkan dalam “Shahih Muslim” dari riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ “Salat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah Shalat Malam.” (HR. Muslim). Ini merupakan keutamaan besar yang dimiliki Shalat Malam, karena ia lebih mudah untuk dilaksanakan dengan ikhlas; sebab ia menjadi ibadah rahasia yang tidak diketahui orang lain. Dalam Shalat Malam juga terasa berat bagi hawa nafsu; karena seorang mukmin harus bangun dari tempat tidurnya, serta bangkit dari tidur dan kenyamanannya. Ia juga menjadikan tadabur dan kekhusyukan lebih mudah dilakukan. Oleh sebab itu, Shalat Malam disebut sebagai “Kemuliaan seorang mukmin”. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Malaikat Jibril pernah datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sungguh kamu akan mati; cintai siapa pun sesukamu, karena kamu pasti akan meninggalkannya; dan lakukanlah apa saja sesukamu, karena kamu pasti mendapatkan balasannya; serta ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah dengan Shalat Malamnya, sedangkan kehormatan dirinya adalah dengan tidak bergantung kepada orang lain.’” فوائد وثمرات قيام الليل: وفوائد قيام الليل عظيمة، وثمراته كثيرة، أذكر لكم بعضها: • تكفير الذنوب: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر يقول: من يدعوني، فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له)). Manfaat dan Buah dari Shalat Malam Manfaat Shalat Malam sangat besar dan buah yang banyak; dan saya akan menyebutkan kepada kalian beberapa di antaranya: Menggugurkan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit paling bawah saat waktu malam tersisa sepertiga terakhir. Lalu Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, sehingga Aku akan mengabulkannya? Siapa yang meminta kepada-Ku, sehingga Aku akan memberinya? Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, sehingga Aku akan mengampuni-Nya?’” • استجابة الدعاء: إن كنت تريد قضاء الحاجات، وتفريج الهموم وتيسير الأمور وتحقيق الأمنيات، فعليك بالدعاء في قيام الليل، قال رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((إنَّ من اللَّيل ساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيرًا إلا أعطاه إياه، وذلك كل ليلة)). Dikabulkannya doa. Apabila kamu ingin kebutuhanmu terpenuhi, masalahmu terselesaikan, urusanmu dimudahkan, dan tujuanmu tercapai; maka hendaklah kamu berdoa dalam Shalat Malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada sebagian malam itu terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kebaikan kepada Allah yang bertepatan dengan waktu itu, melainkan Allah pasti akan mengabulkannya; dan waktu ini ada pada setiap malam.” • يطرد العجز والكسل وداء الجسد: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((عليكم بقيام الليل؛ فإنَّه دأْبُ الصالحين قبلكم؛ فإنَّ قيامَ الليل قُرْبَةٌ إلى الله عز وجل، وتكفيرٌ للذُّنوب، ومَطْرَدَةٌ للدَّاء عن الجسد، ومنهاة عن الإثم))، وقال العراقيُّ: إسنادُه حسنٌ. Mengusir sifat lemah dan malas serta penyakit jasmani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian mendirikan Shalat Malam, karena ia adalah jalan orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Shalat Malam merupakan ibadah yang mendekatkan pelakunya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, penghapus dosa-dosa, mengusir penyakit dari badan, dan penghalang dari perbuatan dosa.” Al-Iraqi berkata bahwa sanadnya hasan. • صلاح الأبناء والأسرة: فعندما يراك أهلك وأولادك تقوم الليل فإن هذا السلوك سيؤثر فيهم، ويُحبِّب إليهم الدين والعبادة فيقتدون بك، والله سبحانه وتعالى يتولَّى ذريته حتى بعد مماته، قال تعالى: ﴿ وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ﴾ [الكهف: 82]. Menjadi sebab kesalehan anak-anak dan istri. Ketika istri dan anak-anakmu melihatmu sedang mendirikan Shalat Malam, ini akan menjadi perilaku yang memberi pengaruh terhadap mereka, dan membuat mereka ikut mencintai agama dan ibadah, sehingga mereka mencontohmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan menjaga keturunan orang itu hingga setelah kematiannya. Dia berfirman: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ “Adapun tembok itu adalah punya dua anak yatim yang ada di kota; dan di bawah tembok itu terdapat harta mereka berdua. Dan ayah mereka berdua adalah orang yang saleh, sehingga Tuhanmu berkehendak agar mereka berdua mencapai usia dewasa lalu mereka mengeluarkan harta mereka sebagai rahmat dari Tuhanmu.”  (QS. Al-Kahfi: 82). • سبب الرحمة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((رَحِم اللهُ رجلًا قام من الليل فصلَّى وأيقظَ امرأتَه، فإن أَبَتْ نضح في وجهها الماءَ، ورحم اللهُ امرأةً قامت من اللَّيل فصلَّت وأيقظت زوجَها، فإن أبى نضحت في وجهه الماء)). Menjadi sebab diraihnya rahmat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan istrinya. Apabila istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan suaminya. Apabila suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” • دخول الجنة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((يا أيها الناس، أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصِلُوا الأرحام، وصَلُّوا بالليل والناس نيام، تدخلوا الجنة بسلام)). Menjadi sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Wahai segenap manusia! Tebarkanlah salam, berilah makan, dan sambunglah silaturahmi, serta dirikanlah Shalat Malam ketika orang-orang terlelap; niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” حال السلف مع قيام الليل: • ولهذه الفضائل والفوائد صار قيام الليل حال الصالحين ودَأْب العابدين، فكان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يَمُرُّ بالآية من وِرْده بالليل فيسقط، حتى يُعاد منها أيَّامًا كثيرةً كما يُعادُ المريضُ. • وكان ابنُ مسعود رضي الله عنه إذا هدأت العيونُ قام فيُسْمَعُ له دَوِيٌّ كَدَويِّ النَّحْل حتى يصبحَ. Keadaan Para Salaf Bersama Shalat Malam Karena berbagai keutamaan dan manfaat tersebut, Shalat Malam menjadi kegiatan orang-orang saleh dan kebiasaan para ahli ibadah. Dulu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu membaca satu ayat dari wirid malamnya hingga pingsan; hingga beliau dijenguk berhari-hari karena hal itu, sebagaimana dijenguknya orang sakit. Dulu Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu apabila mata orang-orang telah terlelap, beliau segera mendirikan shalat, sehingga terdengar dari beliau dengungan seperti suara dengungan lebah hingga pagi hari.  كل ذلك الحرص على قيام الليل خوفًا من عذاب الله سبحانه، ورجاء لرضا الله سبحانه، قال المغيرةُ بن حبيب: رمقتُ مالك بن دينار رحمه اللهُ فتوضَّأ بعد العشاء ثم قام إلى مُصَلَّاه فقبضَ على لحيته فخنقته العبرةُ، فجعل يقول: اللهم حَرِّمْ شيبةَ مالك على النار، إلهي قد علمت ساكن الجنة من ساكن النار، فأيُّ الرجلين مالك، وأيُّ الدَّارين دار مالك؟! فلم يزل ذلك قوله حتى طلع الفجر. سبحان الله! هذا حال الولي الصالح والرجل العابد مالك بن دينار، فما حالنا نحن اليوم الذين غرقنا في الذنوب والغفلة؟! Kesungguhan mereka dalam menjalankan Shalat Malam ini merupakan bentuk ketakutan mereka terhadap azab Allah, dan harapan terhadap keridhaan-Nya. Al-Mughirah bin Habib berkata, “Aku pernah memperhatikan Malik bin Dinar rahimahullah. Beliau berwudu setelah Isya, lalu berdiri menuju tempat salatnya. Beliau kemudian menggenggam jenggotnya dan menangis tersedu-sedu, beliau berkata, ‘Ya Allah, haramkanlah Malik dari neraka! Ya Tuhanku, aku telah mengetahui siapa yang layak menjadi penghuni surga dan siapa yang layak menjadi penghuni neraka. Lalu Malik termasuk dari golongan mana? Dan mana tempat bagi Malik?!’ Beliau terus mengucapkan itu hingga terbit fajar. Subhanallah! Demikianlah keadaan seorang wali yang saleh dan ahli ibadah, Malik bin Dinar. Lalu bagaimana keadaan kita hari ini, yang tenggelam dalam dosa-dosa dan kelalaian?! وكما أن الطعام لنا أمر لا نتركه في كل يوم، فكذلك كان حال سلفنا الصالح رضوان الله تعالى عليهم أجمعين مع قيام الليل، ويندر أن تجد أحدًا في ذلك الزمان لا يصلي في جوف الليل، وإن وجد فهو أمرٌ منكرٌ مستغرب، كان للحسن بن صالح جاريةٌ فباعها من قوم، فلما كان في جوف الليل قامت الجاريةُ فقالت: يا أهلَ الدار، الصلاة الصلاة، فقالوا: أصبحنا؟ أَطَلَعَ الفجرُ؟ فقالت: وما تُصَلُّون إلا المكتوبة؟! قالوا: نعم، فرجعت إلى الحسن فقالت: يا مولاي، بعتني من قوم لا يُصَلُّون إلا المكتوبة؛ رُدَّني، فَرَدَّها. • وعن مسعر عن رجل قال: أتى طاووس رجلًا في السحر، فقالوا: هو نائم، فقال: ما كنت أرى أن أحدًا ينام في السحر؟ Sebagaimana makanan bagi kita adalah perkara yang tidak mungkin kita tinggalkan setiap hari; demikianlah keadaan para Salafus Saleh terhadap Shalat Malam. Hampir jarang sekali ada orang pada zaman itu yang tidak mendirikan salat pada tengah malam; dan jika memang ada, maka itu adalah hal yang nyeleneh. Dulu al-Hasan bin Shalih memiliki seorang budak wanita, lalu menjualnya kepada suatu kaum. Pada saat pertengahan malam, budak wanita itu bangun dan berkata, “Wahai para penghuni rumah! Waktunya salat!” Mereka pun bertanya, “Apakah sudah subuh? Apakah sudah terbit waktu fajar?” Budak wanita itu menjawab, “Apakah kalian tidak mendirikan salat kecuali Shalat Fardhu?” Mereka menjawab, “Ya!” Budak wanita itu lalu kembali kepada al-Hasan bin Shalih dan berkata, “Wahai tuanku, Anda telah menjualku kepada kaum yang tidak mendirikan salat kecuali yang wajib saja, tolong kembalikanlah aku kepadamu!” Akhirnya al-Hasan pun mengembalikannya. Diriwayatkan dari Mus’ir dari seseorang, ia berkata bahwa Thawus pernah datang pada waktu sahur untuk mencari seseorang. Lalu orang-orang menjawab, “Orang itu sedang tidur.” Thawus lalu berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang tidur pada waktu sahur!” الحث على قيام الليل: إن قيام الليل هو السبيل الأوفى للإصلاح للفرد والأسرة والمجتمع، والمنزل الأكرم للسعادة والرضا والعلاج الأنجع للحفظ من الفتن، وبعد أن استعرضنا بعض الفضائل والفوائد لقيام الليل، فحريٌّ بنا أن نسارع إلى امتثال هذه العبادة العظيمة، لما يترتب عليها من مهنأة في العيش وسعة في الرزق، ورضا الرحمن ومسارعة الدخول إلى الجنان بسلام، كل هذه الخيرات الدنيوية والأخروية مفتاح بابها الصلاة في جوف الليل، فهل يليق بمسلمٍ أن يتأخر عنها؟ هل يليق بمسلم أن يقصر فيها؟ إن الإنسان فُطِرَ على حب الخير والسعادة، وها نحن الآن نتعرف على مفتاح الخير كله (قيام الليل) فهيا لنشمر عن ساعد الجد، ونسعى لنكون من أهل القرب، ونسارع لنخرج من الغفلة ونكتب مع الذاكرين، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((من قام بعشر آيات لم يُكتب من الغافلين، ومن قام بمائة آية كتب من القانتين، ومن قام بألف آية كتب من المقنطرين)). Anjuran untuk Melaksanakan Shalat Malam Shalat Malam merupakan jalan yang paling sempurna untuk perbaikan diri, keluarga, dan masyarakat; dan ia merupakan kedudukan yang tinggi untuk mencapai kebahagiaan, keridhaan, dan obat yang manjur untuk menjaga diri dari segala ujian.  Setelah kita memaparkan keutamaan dan manfaat dari Shalat malam, sekarang saat kita untuk segera mengamalkan ibadah yang agung ini; karena ia dapat menghadirkan kedamaian hidup, kelapangan rezeki, keridhaan Allah, dan percepatan untuk masuk surga dengan selamat. Semua kebaikan dunia dan akhirat ini, kuncinya adalah salat pada malam hari; sehingga apakah layak bagi seorang Muslim untuk terlambat mengamalkannya? Apakah pantas bagi seorang Muslim untuk lalai dalam melaksanakannya? Manusia diciptakan dengan tabiat menyukai kebaikan dan kebahagiaan. Dan sekarang kita telah mengetahui kunci segala kebaikan, yaitu Shalat Malam. Oleh sebab itu, marilah kita bergegas dengan penuh semangat, dan berusaha untuk menjadi termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah, segera keluar dari kelalaian, dan dicatat bersama golongan orang-orang yang banyak berzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca sepuluh ayat, maka dia tidak dicatat termasuk golongan orang-orang yang lalai; barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seratus ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang khusyuk; dan barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seribu ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang memperoleh pahala amat besar.” ومن الأسباب التي تعيننا على قيام الليل: ترك المعاصي، والحرص على الأكل الحلال، وتجنُّب الحرام، الاستعانة والتقوِّي بقيلولة في النهار، والإكثار من ذكر الله في النهار، عسى نحظى برضا التواب الغفار، وندخل في فريق أتباع المختار صلى الله تعالى عليه وآله وسلم. Di antara hal-hal yang dapat memudahkan kita untuk melaksanakan Shalat Malam: Meninggalkan kemaksiatan, berusaha selalu mengonsumsi makanan yang halal, menjauhi perkara yang haram, mengumpulkan tenaga dengan melakukan tidur singkat pada siang hari, dan memperbanyak zikir kepada Allah pada siang hari. Semoga dengan ini kita dapat meraih keridhaan Allah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun; dan kita dapat termasuk golongan para pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. صلاة قيام الليل وطريقة تأديتها: ويندب أن تكون صلاة الليل في آخره، فهو أفضل الأوقات، وأقل ما ينبغي أن يتنفل بالليل ثمانٍ ركعات، والأفضل أن يصليها أربعًا أربعًا، وطول القيام فيها أفضل، هذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله تعالى. Shalat Malam dan Tata Caranya Shalat Malam disunahkan untuk dilaksanakan pada akhir malam, karena itulah waktunya yang paling utama. Jumlah rakaat minimal yang sebaiknya dilakukan pada Shalat Malam adalah delapan rakaat; dan lebih baik dikerjakan satu salam setiap empat rakaat. Dan durasi berdiri yang lama lebih utama dalam salat ini. Inilah pendapat yang menjadi mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala. فيا أيها المسلم، اشددْ مئزرك واسْعَ لإرضاء الله تعالى، وقف بين يدي ربك متواضعًا وخاضعًا في جوف الليل، وكن من المستغفرين بالأسحار، فلن يخيب أملك ولن يُبعدك عن رحمته؛ بل سيُدْنيك منه ويُكرمك بالخير الكثير ويمُنُّ عليك بالنِّعَم الوفيرة. نسأل الله سبحانه وتعالى أن يوفقنا لقيام الليل، ويجعلنا من الذين يعبدونه آناء الليل وأطراف النهار. وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين. Wahai Muslim! Kencangkanlah tali kekangmu dan berusahalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala. Berdirilah di hadapan Tuhanmu dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri di pertengahan malam. Jadilah termasuk orang-orang yang memohon ampun pada waktu sahur. Niscaya Allah tidak akan mengecewakan harapanmu dan tidak akan menjauhkanmu dari rahmat-Nya. Bahkan, justru Allah akan mendekatkanmu kepada-Nya, memuliakanmu dengan kebaikan yang banyak, dan mengaruniakan kepadamu kenikmatan yang melimpah. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi kita taufik untuk menjalankan Shalat Malam, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang beribadah kepada-Nya pada tengah malam, serta pagi dan sore. Semoga Allah senantiasa melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/167549/فضائل-وثمرات-قيام-الليل/PDF Sumber Artikel. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 593 times, 7 visit(s) today Post Views: 322 QRIS donasi Yufid

Keutamaan dan Buah dari Shalat Malam

فضائل وثمرات قيام الليل Oleh: Dr. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad at-Mathari الدكتور أبو الحسن علي بن محمد المطري الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف المرسلين، سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه، ومن اتَّبع هدْيَه إلى يوم الدين، أمَّا بعد: فضائل وثمرات قيام الليل: • هو إقامة للروح على معارج القدس، وإقامة للحياة وترويحٌ للنفس، ومناجاة للمولى وكلام همس، حيث يحلو القرب من الله والأنس، هذه السنة والعبادة التي أصبحت منسيةً، فتسلط علينا كل وسواس خناس، فاضطربت الأحوال وضاقت الحياة على الناس، هل عرفتم عن ماذا أتحدث؟ إنها (قيام الليل)، وهذه كلماتٌ وقطوف من دوحة القانتين والذاكرين، نستشعر بها معاني الصلاة في جوف الليل. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul yang paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada para keluarga dan sahabat beliau, serta orang yang mengikuti ajaran beliau hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: Keutamaan dan buah dari Shalat Malam: Shalat Malam merupakan kegiatan menapakkan jiwa di atas derajat-derajat suci, menegakkan hidup dan mendamaikan jiwa, serta munajat dan bisikan kepada Sang Kuasa. Ketika itulah akan terasa manis dan damainya kedekatan kepada Allah. Sunah dan ibadah ini menjadi sesuatu yang terlupakan. Kita dikuasai oleh segala bisikan setan, sehingga keadaan menjadi tidak menentu, dan kehidupan menjadi terasa sulit bagi manusia.  Apakah kalian mengetahui, tentang apa aku berbicara? Ini adalah tentang “Shalat Malam”. Berikut ini adalah untaian kalimat dan ranting-ranting dari pohon tempat bernaung para orang-orang khusyuk dan ahli zikir. Dengan kalimat ini, kita mencoba mendalami makna-makna salat pada pertengahan malam. فضائل قيام الليل: يقول الله تعالى مادحًا عباده المؤمنين بخصالٍ جميلة وأعمالٍ جليلة: ﴿ تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴾ [السجدة: 16]. ومن أخص هذه الصفات (قيام الليل) الذي هو طريق الأولياء إلى الله، الولاية تلك المنزلة التي يتمناها كل مسلم؛ منزلة القرب والعناية، فندخل في قوله تعالى: ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾ [يونس: 62]. Keutamaan Shalat Malam: Allah Ta’ala berfirman sebagai pujian bagi para hamba-Nya yang beriman, yang memiliki sifat-sifat mulia dan amalan-amalan agung: تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menginfakkan rezeki yang telah Kami berikan.” (QS. As-Sajdah: 16). Di antara sifat yang paling istimewa dari Shalat Malam – yang merupakan jalan para wali (kekasih) Allah menuju kepada-Nya; dan kewalian adalah derajat yang diharapkan setiap Muslim – adalah menjadi status kedekatan kepada Allah dan perhatian dari-Nya; sehingga kita dapat tercakup dalam cakupan firman Allah Ta’ala: أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.” (QS. Yunus: 62). فطريق الأولياء إلى الله هو: الابتعاد عن المُحرَّمات، وأداء الفرائض، والتقرُّب بالنوافل، كلٌّ بحسب استطاعته وإقباله، وأفضل النوافل قيام الليل، جاء في صحيح مسلم من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: “أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل”. وهذا الفضل الكبير لقيام الليل؛ لأنه أقرب إلى الإخلاص فهو عبادة سرية لا يعلم بها أحد، وفيه مشقة على النفس، فالمؤمن يقوم من فراشه ونومه وراحته، وهو أقرب إلى التدبُّر والخشوع.. ولهذا سميَ قيام الليل (شرف المؤمن)، قال عليه الصلاة والسلام: “أتاني جبريل، فقال يا محمد، عِشْ ما شئت فإنك ميت، وأحبب من شئت فإنك مفارقه، واعمل ما شئت فإنك مجزي به، واعلم أن شرف المؤمن قيامه بالليل، وعزه استغناؤه عن الناس”. Jalan kewalian menuju Allah adalah dengan menjauhi hal-hal yang diharamkan, menjalankan kewajiban-kewajiban, dan mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunah. Setiap mereka melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan kecondongan mereka masing-masing. Adapun ibadah sunah yang paling utama adalah Shalat Malam. Diriwayatkan dalam “Shahih Muslim” dari riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ “Salat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah Shalat Malam.” (HR. Muslim). Ini merupakan keutamaan besar yang dimiliki Shalat Malam, karena ia lebih mudah untuk dilaksanakan dengan ikhlas; sebab ia menjadi ibadah rahasia yang tidak diketahui orang lain. Dalam Shalat Malam juga terasa berat bagi hawa nafsu; karena seorang mukmin harus bangun dari tempat tidurnya, serta bangkit dari tidur dan kenyamanannya. Ia juga menjadikan tadabur dan kekhusyukan lebih mudah dilakukan. Oleh sebab itu, Shalat Malam disebut sebagai “Kemuliaan seorang mukmin”. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Malaikat Jibril pernah datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sungguh kamu akan mati; cintai siapa pun sesukamu, karena kamu pasti akan meninggalkannya; dan lakukanlah apa saja sesukamu, karena kamu pasti mendapatkan balasannya; serta ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah dengan Shalat Malamnya, sedangkan kehormatan dirinya adalah dengan tidak bergantung kepada orang lain.’” فوائد وثمرات قيام الليل: وفوائد قيام الليل عظيمة، وثمراته كثيرة، أذكر لكم بعضها: • تكفير الذنوب: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر يقول: من يدعوني، فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له)). Manfaat dan Buah dari Shalat Malam Manfaat Shalat Malam sangat besar dan buah yang banyak; dan saya akan menyebutkan kepada kalian beberapa di antaranya: Menggugurkan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit paling bawah saat waktu malam tersisa sepertiga terakhir. Lalu Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, sehingga Aku akan mengabulkannya? Siapa yang meminta kepada-Ku, sehingga Aku akan memberinya? Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, sehingga Aku akan mengampuni-Nya?’” • استجابة الدعاء: إن كنت تريد قضاء الحاجات، وتفريج الهموم وتيسير الأمور وتحقيق الأمنيات، فعليك بالدعاء في قيام الليل، قال رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((إنَّ من اللَّيل ساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيرًا إلا أعطاه إياه، وذلك كل ليلة)). Dikabulkannya doa. Apabila kamu ingin kebutuhanmu terpenuhi, masalahmu terselesaikan, urusanmu dimudahkan, dan tujuanmu tercapai; maka hendaklah kamu berdoa dalam Shalat Malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada sebagian malam itu terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kebaikan kepada Allah yang bertepatan dengan waktu itu, melainkan Allah pasti akan mengabulkannya; dan waktu ini ada pada setiap malam.” • يطرد العجز والكسل وداء الجسد: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((عليكم بقيام الليل؛ فإنَّه دأْبُ الصالحين قبلكم؛ فإنَّ قيامَ الليل قُرْبَةٌ إلى الله عز وجل، وتكفيرٌ للذُّنوب، ومَطْرَدَةٌ للدَّاء عن الجسد، ومنهاة عن الإثم))، وقال العراقيُّ: إسنادُه حسنٌ. Mengusir sifat lemah dan malas serta penyakit jasmani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian mendirikan Shalat Malam, karena ia adalah jalan orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Shalat Malam merupakan ibadah yang mendekatkan pelakunya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, penghapus dosa-dosa, mengusir penyakit dari badan, dan penghalang dari perbuatan dosa.” Al-Iraqi berkata bahwa sanadnya hasan. • صلاح الأبناء والأسرة: فعندما يراك أهلك وأولادك تقوم الليل فإن هذا السلوك سيؤثر فيهم، ويُحبِّب إليهم الدين والعبادة فيقتدون بك، والله سبحانه وتعالى يتولَّى ذريته حتى بعد مماته، قال تعالى: ﴿ وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ﴾ [الكهف: 82]. Menjadi sebab kesalehan anak-anak dan istri. Ketika istri dan anak-anakmu melihatmu sedang mendirikan Shalat Malam, ini akan menjadi perilaku yang memberi pengaruh terhadap mereka, dan membuat mereka ikut mencintai agama dan ibadah, sehingga mereka mencontohmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan menjaga keturunan orang itu hingga setelah kematiannya. Dia berfirman: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ “Adapun tembok itu adalah punya dua anak yatim yang ada di kota; dan di bawah tembok itu terdapat harta mereka berdua. Dan ayah mereka berdua adalah orang yang saleh, sehingga Tuhanmu berkehendak agar mereka berdua mencapai usia dewasa lalu mereka mengeluarkan harta mereka sebagai rahmat dari Tuhanmu.”  (QS. Al-Kahfi: 82). • سبب الرحمة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((رَحِم اللهُ رجلًا قام من الليل فصلَّى وأيقظَ امرأتَه، فإن أَبَتْ نضح في وجهها الماءَ، ورحم اللهُ امرأةً قامت من اللَّيل فصلَّت وأيقظت زوجَها، فإن أبى نضحت في وجهه الماء)). Menjadi sebab diraihnya rahmat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan istrinya. Apabila istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan suaminya. Apabila suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” • دخول الجنة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((يا أيها الناس، أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصِلُوا الأرحام، وصَلُّوا بالليل والناس نيام، تدخلوا الجنة بسلام)). Menjadi sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Wahai segenap manusia! Tebarkanlah salam, berilah makan, dan sambunglah silaturahmi, serta dirikanlah Shalat Malam ketika orang-orang terlelap; niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” حال السلف مع قيام الليل: • ولهذه الفضائل والفوائد صار قيام الليل حال الصالحين ودَأْب العابدين، فكان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يَمُرُّ بالآية من وِرْده بالليل فيسقط، حتى يُعاد منها أيَّامًا كثيرةً كما يُعادُ المريضُ. • وكان ابنُ مسعود رضي الله عنه إذا هدأت العيونُ قام فيُسْمَعُ له دَوِيٌّ كَدَويِّ النَّحْل حتى يصبحَ. Keadaan Para Salaf Bersama Shalat Malam Karena berbagai keutamaan dan manfaat tersebut, Shalat Malam menjadi kegiatan orang-orang saleh dan kebiasaan para ahli ibadah. Dulu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu membaca satu ayat dari wirid malamnya hingga pingsan; hingga beliau dijenguk berhari-hari karena hal itu, sebagaimana dijenguknya orang sakit. Dulu Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu apabila mata orang-orang telah terlelap, beliau segera mendirikan shalat, sehingga terdengar dari beliau dengungan seperti suara dengungan lebah hingga pagi hari.  كل ذلك الحرص على قيام الليل خوفًا من عذاب الله سبحانه، ورجاء لرضا الله سبحانه، قال المغيرةُ بن حبيب: رمقتُ مالك بن دينار رحمه اللهُ فتوضَّأ بعد العشاء ثم قام إلى مُصَلَّاه فقبضَ على لحيته فخنقته العبرةُ، فجعل يقول: اللهم حَرِّمْ شيبةَ مالك على النار، إلهي قد علمت ساكن الجنة من ساكن النار، فأيُّ الرجلين مالك، وأيُّ الدَّارين دار مالك؟! فلم يزل ذلك قوله حتى طلع الفجر. سبحان الله! هذا حال الولي الصالح والرجل العابد مالك بن دينار، فما حالنا نحن اليوم الذين غرقنا في الذنوب والغفلة؟! Kesungguhan mereka dalam menjalankan Shalat Malam ini merupakan bentuk ketakutan mereka terhadap azab Allah, dan harapan terhadap keridhaan-Nya. Al-Mughirah bin Habib berkata, “Aku pernah memperhatikan Malik bin Dinar rahimahullah. Beliau berwudu setelah Isya, lalu berdiri menuju tempat salatnya. Beliau kemudian menggenggam jenggotnya dan menangis tersedu-sedu, beliau berkata, ‘Ya Allah, haramkanlah Malik dari neraka! Ya Tuhanku, aku telah mengetahui siapa yang layak menjadi penghuni surga dan siapa yang layak menjadi penghuni neraka. Lalu Malik termasuk dari golongan mana? Dan mana tempat bagi Malik?!’ Beliau terus mengucapkan itu hingga terbit fajar. Subhanallah! Demikianlah keadaan seorang wali yang saleh dan ahli ibadah, Malik bin Dinar. Lalu bagaimana keadaan kita hari ini, yang tenggelam dalam dosa-dosa dan kelalaian?! وكما أن الطعام لنا أمر لا نتركه في كل يوم، فكذلك كان حال سلفنا الصالح رضوان الله تعالى عليهم أجمعين مع قيام الليل، ويندر أن تجد أحدًا في ذلك الزمان لا يصلي في جوف الليل، وإن وجد فهو أمرٌ منكرٌ مستغرب، كان للحسن بن صالح جاريةٌ فباعها من قوم، فلما كان في جوف الليل قامت الجاريةُ فقالت: يا أهلَ الدار، الصلاة الصلاة، فقالوا: أصبحنا؟ أَطَلَعَ الفجرُ؟ فقالت: وما تُصَلُّون إلا المكتوبة؟! قالوا: نعم، فرجعت إلى الحسن فقالت: يا مولاي، بعتني من قوم لا يُصَلُّون إلا المكتوبة؛ رُدَّني، فَرَدَّها. • وعن مسعر عن رجل قال: أتى طاووس رجلًا في السحر، فقالوا: هو نائم، فقال: ما كنت أرى أن أحدًا ينام في السحر؟ Sebagaimana makanan bagi kita adalah perkara yang tidak mungkin kita tinggalkan setiap hari; demikianlah keadaan para Salafus Saleh terhadap Shalat Malam. Hampir jarang sekali ada orang pada zaman itu yang tidak mendirikan salat pada tengah malam; dan jika memang ada, maka itu adalah hal yang nyeleneh. Dulu al-Hasan bin Shalih memiliki seorang budak wanita, lalu menjualnya kepada suatu kaum. Pada saat pertengahan malam, budak wanita itu bangun dan berkata, “Wahai para penghuni rumah! Waktunya salat!” Mereka pun bertanya, “Apakah sudah subuh? Apakah sudah terbit waktu fajar?” Budak wanita itu menjawab, “Apakah kalian tidak mendirikan salat kecuali Shalat Fardhu?” Mereka menjawab, “Ya!” Budak wanita itu lalu kembali kepada al-Hasan bin Shalih dan berkata, “Wahai tuanku, Anda telah menjualku kepada kaum yang tidak mendirikan salat kecuali yang wajib saja, tolong kembalikanlah aku kepadamu!” Akhirnya al-Hasan pun mengembalikannya. Diriwayatkan dari Mus’ir dari seseorang, ia berkata bahwa Thawus pernah datang pada waktu sahur untuk mencari seseorang. Lalu orang-orang menjawab, “Orang itu sedang tidur.” Thawus lalu berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang tidur pada waktu sahur!” الحث على قيام الليل: إن قيام الليل هو السبيل الأوفى للإصلاح للفرد والأسرة والمجتمع، والمنزل الأكرم للسعادة والرضا والعلاج الأنجع للحفظ من الفتن، وبعد أن استعرضنا بعض الفضائل والفوائد لقيام الليل، فحريٌّ بنا أن نسارع إلى امتثال هذه العبادة العظيمة، لما يترتب عليها من مهنأة في العيش وسعة في الرزق، ورضا الرحمن ومسارعة الدخول إلى الجنان بسلام، كل هذه الخيرات الدنيوية والأخروية مفتاح بابها الصلاة في جوف الليل، فهل يليق بمسلمٍ أن يتأخر عنها؟ هل يليق بمسلم أن يقصر فيها؟ إن الإنسان فُطِرَ على حب الخير والسعادة، وها نحن الآن نتعرف على مفتاح الخير كله (قيام الليل) فهيا لنشمر عن ساعد الجد، ونسعى لنكون من أهل القرب، ونسارع لنخرج من الغفلة ونكتب مع الذاكرين، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((من قام بعشر آيات لم يُكتب من الغافلين، ومن قام بمائة آية كتب من القانتين، ومن قام بألف آية كتب من المقنطرين)). Anjuran untuk Melaksanakan Shalat Malam Shalat Malam merupakan jalan yang paling sempurna untuk perbaikan diri, keluarga, dan masyarakat; dan ia merupakan kedudukan yang tinggi untuk mencapai kebahagiaan, keridhaan, dan obat yang manjur untuk menjaga diri dari segala ujian.  Setelah kita memaparkan keutamaan dan manfaat dari Shalat malam, sekarang saat kita untuk segera mengamalkan ibadah yang agung ini; karena ia dapat menghadirkan kedamaian hidup, kelapangan rezeki, keridhaan Allah, dan percepatan untuk masuk surga dengan selamat. Semua kebaikan dunia dan akhirat ini, kuncinya adalah salat pada malam hari; sehingga apakah layak bagi seorang Muslim untuk terlambat mengamalkannya? Apakah pantas bagi seorang Muslim untuk lalai dalam melaksanakannya? Manusia diciptakan dengan tabiat menyukai kebaikan dan kebahagiaan. Dan sekarang kita telah mengetahui kunci segala kebaikan, yaitu Shalat Malam. Oleh sebab itu, marilah kita bergegas dengan penuh semangat, dan berusaha untuk menjadi termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah, segera keluar dari kelalaian, dan dicatat bersama golongan orang-orang yang banyak berzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca sepuluh ayat, maka dia tidak dicatat termasuk golongan orang-orang yang lalai; barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seratus ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang khusyuk; dan barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seribu ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang memperoleh pahala amat besar.” ومن الأسباب التي تعيننا على قيام الليل: ترك المعاصي، والحرص على الأكل الحلال، وتجنُّب الحرام، الاستعانة والتقوِّي بقيلولة في النهار، والإكثار من ذكر الله في النهار، عسى نحظى برضا التواب الغفار، وندخل في فريق أتباع المختار صلى الله تعالى عليه وآله وسلم. Di antara hal-hal yang dapat memudahkan kita untuk melaksanakan Shalat Malam: Meninggalkan kemaksiatan, berusaha selalu mengonsumsi makanan yang halal, menjauhi perkara yang haram, mengumpulkan tenaga dengan melakukan tidur singkat pada siang hari, dan memperbanyak zikir kepada Allah pada siang hari. Semoga dengan ini kita dapat meraih keridhaan Allah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun; dan kita dapat termasuk golongan para pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. صلاة قيام الليل وطريقة تأديتها: ويندب أن تكون صلاة الليل في آخره، فهو أفضل الأوقات، وأقل ما ينبغي أن يتنفل بالليل ثمانٍ ركعات، والأفضل أن يصليها أربعًا أربعًا، وطول القيام فيها أفضل، هذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله تعالى. Shalat Malam dan Tata Caranya Shalat Malam disunahkan untuk dilaksanakan pada akhir malam, karena itulah waktunya yang paling utama. Jumlah rakaat minimal yang sebaiknya dilakukan pada Shalat Malam adalah delapan rakaat; dan lebih baik dikerjakan satu salam setiap empat rakaat. Dan durasi berdiri yang lama lebih utama dalam salat ini. Inilah pendapat yang menjadi mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala. فيا أيها المسلم، اشددْ مئزرك واسْعَ لإرضاء الله تعالى، وقف بين يدي ربك متواضعًا وخاضعًا في جوف الليل، وكن من المستغفرين بالأسحار، فلن يخيب أملك ولن يُبعدك عن رحمته؛ بل سيُدْنيك منه ويُكرمك بالخير الكثير ويمُنُّ عليك بالنِّعَم الوفيرة. نسأل الله سبحانه وتعالى أن يوفقنا لقيام الليل، ويجعلنا من الذين يعبدونه آناء الليل وأطراف النهار. وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين. Wahai Muslim! Kencangkanlah tali kekangmu dan berusahalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala. Berdirilah di hadapan Tuhanmu dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri di pertengahan malam. Jadilah termasuk orang-orang yang memohon ampun pada waktu sahur. Niscaya Allah tidak akan mengecewakan harapanmu dan tidak akan menjauhkanmu dari rahmat-Nya. Bahkan, justru Allah akan mendekatkanmu kepada-Nya, memuliakanmu dengan kebaikan yang banyak, dan mengaruniakan kepadamu kenikmatan yang melimpah. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi kita taufik untuk menjalankan Shalat Malam, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang beribadah kepada-Nya pada tengah malam, serta pagi dan sore. Semoga Allah senantiasa melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/167549/فضائل-وثمرات-قيام-الليل/PDF Sumber Artikel. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 593 times, 7 visit(s) today Post Views: 322 QRIS donasi Yufid
فضائل وثمرات قيام الليل Oleh: Dr. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad at-Mathari الدكتور أبو الحسن علي بن محمد المطري الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف المرسلين، سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه، ومن اتَّبع هدْيَه إلى يوم الدين، أمَّا بعد: فضائل وثمرات قيام الليل: • هو إقامة للروح على معارج القدس، وإقامة للحياة وترويحٌ للنفس، ومناجاة للمولى وكلام همس، حيث يحلو القرب من الله والأنس، هذه السنة والعبادة التي أصبحت منسيةً، فتسلط علينا كل وسواس خناس، فاضطربت الأحوال وضاقت الحياة على الناس، هل عرفتم عن ماذا أتحدث؟ إنها (قيام الليل)، وهذه كلماتٌ وقطوف من دوحة القانتين والذاكرين، نستشعر بها معاني الصلاة في جوف الليل. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul yang paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada para keluarga dan sahabat beliau, serta orang yang mengikuti ajaran beliau hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: Keutamaan dan buah dari Shalat Malam: Shalat Malam merupakan kegiatan menapakkan jiwa di atas derajat-derajat suci, menegakkan hidup dan mendamaikan jiwa, serta munajat dan bisikan kepada Sang Kuasa. Ketika itulah akan terasa manis dan damainya kedekatan kepada Allah. Sunah dan ibadah ini menjadi sesuatu yang terlupakan. Kita dikuasai oleh segala bisikan setan, sehingga keadaan menjadi tidak menentu, dan kehidupan menjadi terasa sulit bagi manusia.  Apakah kalian mengetahui, tentang apa aku berbicara? Ini adalah tentang “Shalat Malam”. Berikut ini adalah untaian kalimat dan ranting-ranting dari pohon tempat bernaung para orang-orang khusyuk dan ahli zikir. Dengan kalimat ini, kita mencoba mendalami makna-makna salat pada pertengahan malam. فضائل قيام الليل: يقول الله تعالى مادحًا عباده المؤمنين بخصالٍ جميلة وأعمالٍ جليلة: ﴿ تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴾ [السجدة: 16]. ومن أخص هذه الصفات (قيام الليل) الذي هو طريق الأولياء إلى الله، الولاية تلك المنزلة التي يتمناها كل مسلم؛ منزلة القرب والعناية، فندخل في قوله تعالى: ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾ [يونس: 62]. Keutamaan Shalat Malam: Allah Ta’ala berfirman sebagai pujian bagi para hamba-Nya yang beriman, yang memiliki sifat-sifat mulia dan amalan-amalan agung: تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menginfakkan rezeki yang telah Kami berikan.” (QS. As-Sajdah: 16). Di antara sifat yang paling istimewa dari Shalat Malam – yang merupakan jalan para wali (kekasih) Allah menuju kepada-Nya; dan kewalian adalah derajat yang diharapkan setiap Muslim – adalah menjadi status kedekatan kepada Allah dan perhatian dari-Nya; sehingga kita dapat tercakup dalam cakupan firman Allah Ta’ala: أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.” (QS. Yunus: 62). فطريق الأولياء إلى الله هو: الابتعاد عن المُحرَّمات، وأداء الفرائض، والتقرُّب بالنوافل، كلٌّ بحسب استطاعته وإقباله، وأفضل النوافل قيام الليل، جاء في صحيح مسلم من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: “أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل”. وهذا الفضل الكبير لقيام الليل؛ لأنه أقرب إلى الإخلاص فهو عبادة سرية لا يعلم بها أحد، وفيه مشقة على النفس، فالمؤمن يقوم من فراشه ونومه وراحته، وهو أقرب إلى التدبُّر والخشوع.. ولهذا سميَ قيام الليل (شرف المؤمن)، قال عليه الصلاة والسلام: “أتاني جبريل، فقال يا محمد، عِشْ ما شئت فإنك ميت، وأحبب من شئت فإنك مفارقه، واعمل ما شئت فإنك مجزي به، واعلم أن شرف المؤمن قيامه بالليل، وعزه استغناؤه عن الناس”. Jalan kewalian menuju Allah adalah dengan menjauhi hal-hal yang diharamkan, menjalankan kewajiban-kewajiban, dan mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunah. Setiap mereka melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan kecondongan mereka masing-masing. Adapun ibadah sunah yang paling utama adalah Shalat Malam. Diriwayatkan dalam “Shahih Muslim” dari riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ “Salat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah Shalat Malam.” (HR. Muslim). Ini merupakan keutamaan besar yang dimiliki Shalat Malam, karena ia lebih mudah untuk dilaksanakan dengan ikhlas; sebab ia menjadi ibadah rahasia yang tidak diketahui orang lain. Dalam Shalat Malam juga terasa berat bagi hawa nafsu; karena seorang mukmin harus bangun dari tempat tidurnya, serta bangkit dari tidur dan kenyamanannya. Ia juga menjadikan tadabur dan kekhusyukan lebih mudah dilakukan. Oleh sebab itu, Shalat Malam disebut sebagai “Kemuliaan seorang mukmin”. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Malaikat Jibril pernah datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sungguh kamu akan mati; cintai siapa pun sesukamu, karena kamu pasti akan meninggalkannya; dan lakukanlah apa saja sesukamu, karena kamu pasti mendapatkan balasannya; serta ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah dengan Shalat Malamnya, sedangkan kehormatan dirinya adalah dengan tidak bergantung kepada orang lain.’” فوائد وثمرات قيام الليل: وفوائد قيام الليل عظيمة، وثمراته كثيرة، أذكر لكم بعضها: • تكفير الذنوب: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر يقول: من يدعوني، فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له)). Manfaat dan Buah dari Shalat Malam Manfaat Shalat Malam sangat besar dan buah yang banyak; dan saya akan menyebutkan kepada kalian beberapa di antaranya: Menggugurkan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit paling bawah saat waktu malam tersisa sepertiga terakhir. Lalu Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, sehingga Aku akan mengabulkannya? Siapa yang meminta kepada-Ku, sehingga Aku akan memberinya? Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, sehingga Aku akan mengampuni-Nya?’” • استجابة الدعاء: إن كنت تريد قضاء الحاجات، وتفريج الهموم وتيسير الأمور وتحقيق الأمنيات، فعليك بالدعاء في قيام الليل، قال رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((إنَّ من اللَّيل ساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيرًا إلا أعطاه إياه، وذلك كل ليلة)). Dikabulkannya doa. Apabila kamu ingin kebutuhanmu terpenuhi, masalahmu terselesaikan, urusanmu dimudahkan, dan tujuanmu tercapai; maka hendaklah kamu berdoa dalam Shalat Malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada sebagian malam itu terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kebaikan kepada Allah yang bertepatan dengan waktu itu, melainkan Allah pasti akan mengabulkannya; dan waktu ini ada pada setiap malam.” • يطرد العجز والكسل وداء الجسد: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((عليكم بقيام الليل؛ فإنَّه دأْبُ الصالحين قبلكم؛ فإنَّ قيامَ الليل قُرْبَةٌ إلى الله عز وجل، وتكفيرٌ للذُّنوب، ومَطْرَدَةٌ للدَّاء عن الجسد، ومنهاة عن الإثم))، وقال العراقيُّ: إسنادُه حسنٌ. Mengusir sifat lemah dan malas serta penyakit jasmani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian mendirikan Shalat Malam, karena ia adalah jalan orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Shalat Malam merupakan ibadah yang mendekatkan pelakunya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, penghapus dosa-dosa, mengusir penyakit dari badan, dan penghalang dari perbuatan dosa.” Al-Iraqi berkata bahwa sanadnya hasan. • صلاح الأبناء والأسرة: فعندما يراك أهلك وأولادك تقوم الليل فإن هذا السلوك سيؤثر فيهم، ويُحبِّب إليهم الدين والعبادة فيقتدون بك، والله سبحانه وتعالى يتولَّى ذريته حتى بعد مماته، قال تعالى: ﴿ وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ﴾ [الكهف: 82]. Menjadi sebab kesalehan anak-anak dan istri. Ketika istri dan anak-anakmu melihatmu sedang mendirikan Shalat Malam, ini akan menjadi perilaku yang memberi pengaruh terhadap mereka, dan membuat mereka ikut mencintai agama dan ibadah, sehingga mereka mencontohmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan menjaga keturunan orang itu hingga setelah kematiannya. Dia berfirman: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ “Adapun tembok itu adalah punya dua anak yatim yang ada di kota; dan di bawah tembok itu terdapat harta mereka berdua. Dan ayah mereka berdua adalah orang yang saleh, sehingga Tuhanmu berkehendak agar mereka berdua mencapai usia dewasa lalu mereka mengeluarkan harta mereka sebagai rahmat dari Tuhanmu.”  (QS. Al-Kahfi: 82). • سبب الرحمة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((رَحِم اللهُ رجلًا قام من الليل فصلَّى وأيقظَ امرأتَه، فإن أَبَتْ نضح في وجهها الماءَ، ورحم اللهُ امرأةً قامت من اللَّيل فصلَّت وأيقظت زوجَها، فإن أبى نضحت في وجهه الماء)). Menjadi sebab diraihnya rahmat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan istrinya. Apabila istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan suaminya. Apabila suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” • دخول الجنة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((يا أيها الناس، أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصِلُوا الأرحام، وصَلُّوا بالليل والناس نيام، تدخلوا الجنة بسلام)). Menjadi sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Wahai segenap manusia! Tebarkanlah salam, berilah makan, dan sambunglah silaturahmi, serta dirikanlah Shalat Malam ketika orang-orang terlelap; niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” حال السلف مع قيام الليل: • ولهذه الفضائل والفوائد صار قيام الليل حال الصالحين ودَأْب العابدين، فكان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يَمُرُّ بالآية من وِرْده بالليل فيسقط، حتى يُعاد منها أيَّامًا كثيرةً كما يُعادُ المريضُ. • وكان ابنُ مسعود رضي الله عنه إذا هدأت العيونُ قام فيُسْمَعُ له دَوِيٌّ كَدَويِّ النَّحْل حتى يصبحَ. Keadaan Para Salaf Bersama Shalat Malam Karena berbagai keutamaan dan manfaat tersebut, Shalat Malam menjadi kegiatan orang-orang saleh dan kebiasaan para ahli ibadah. Dulu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu membaca satu ayat dari wirid malamnya hingga pingsan; hingga beliau dijenguk berhari-hari karena hal itu, sebagaimana dijenguknya orang sakit. Dulu Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu apabila mata orang-orang telah terlelap, beliau segera mendirikan shalat, sehingga terdengar dari beliau dengungan seperti suara dengungan lebah hingga pagi hari.  كل ذلك الحرص على قيام الليل خوفًا من عذاب الله سبحانه، ورجاء لرضا الله سبحانه، قال المغيرةُ بن حبيب: رمقتُ مالك بن دينار رحمه اللهُ فتوضَّأ بعد العشاء ثم قام إلى مُصَلَّاه فقبضَ على لحيته فخنقته العبرةُ، فجعل يقول: اللهم حَرِّمْ شيبةَ مالك على النار، إلهي قد علمت ساكن الجنة من ساكن النار، فأيُّ الرجلين مالك، وأيُّ الدَّارين دار مالك؟! فلم يزل ذلك قوله حتى طلع الفجر. سبحان الله! هذا حال الولي الصالح والرجل العابد مالك بن دينار، فما حالنا نحن اليوم الذين غرقنا في الذنوب والغفلة؟! Kesungguhan mereka dalam menjalankan Shalat Malam ini merupakan bentuk ketakutan mereka terhadap azab Allah, dan harapan terhadap keridhaan-Nya. Al-Mughirah bin Habib berkata, “Aku pernah memperhatikan Malik bin Dinar rahimahullah. Beliau berwudu setelah Isya, lalu berdiri menuju tempat salatnya. Beliau kemudian menggenggam jenggotnya dan menangis tersedu-sedu, beliau berkata, ‘Ya Allah, haramkanlah Malik dari neraka! Ya Tuhanku, aku telah mengetahui siapa yang layak menjadi penghuni surga dan siapa yang layak menjadi penghuni neraka. Lalu Malik termasuk dari golongan mana? Dan mana tempat bagi Malik?!’ Beliau terus mengucapkan itu hingga terbit fajar. Subhanallah! Demikianlah keadaan seorang wali yang saleh dan ahli ibadah, Malik bin Dinar. Lalu bagaimana keadaan kita hari ini, yang tenggelam dalam dosa-dosa dan kelalaian?! وكما أن الطعام لنا أمر لا نتركه في كل يوم، فكذلك كان حال سلفنا الصالح رضوان الله تعالى عليهم أجمعين مع قيام الليل، ويندر أن تجد أحدًا في ذلك الزمان لا يصلي في جوف الليل، وإن وجد فهو أمرٌ منكرٌ مستغرب، كان للحسن بن صالح جاريةٌ فباعها من قوم، فلما كان في جوف الليل قامت الجاريةُ فقالت: يا أهلَ الدار، الصلاة الصلاة، فقالوا: أصبحنا؟ أَطَلَعَ الفجرُ؟ فقالت: وما تُصَلُّون إلا المكتوبة؟! قالوا: نعم، فرجعت إلى الحسن فقالت: يا مولاي، بعتني من قوم لا يُصَلُّون إلا المكتوبة؛ رُدَّني، فَرَدَّها. • وعن مسعر عن رجل قال: أتى طاووس رجلًا في السحر، فقالوا: هو نائم، فقال: ما كنت أرى أن أحدًا ينام في السحر؟ Sebagaimana makanan bagi kita adalah perkara yang tidak mungkin kita tinggalkan setiap hari; demikianlah keadaan para Salafus Saleh terhadap Shalat Malam. Hampir jarang sekali ada orang pada zaman itu yang tidak mendirikan salat pada tengah malam; dan jika memang ada, maka itu adalah hal yang nyeleneh. Dulu al-Hasan bin Shalih memiliki seorang budak wanita, lalu menjualnya kepada suatu kaum. Pada saat pertengahan malam, budak wanita itu bangun dan berkata, “Wahai para penghuni rumah! Waktunya salat!” Mereka pun bertanya, “Apakah sudah subuh? Apakah sudah terbit waktu fajar?” Budak wanita itu menjawab, “Apakah kalian tidak mendirikan salat kecuali Shalat Fardhu?” Mereka menjawab, “Ya!” Budak wanita itu lalu kembali kepada al-Hasan bin Shalih dan berkata, “Wahai tuanku, Anda telah menjualku kepada kaum yang tidak mendirikan salat kecuali yang wajib saja, tolong kembalikanlah aku kepadamu!” Akhirnya al-Hasan pun mengembalikannya. Diriwayatkan dari Mus’ir dari seseorang, ia berkata bahwa Thawus pernah datang pada waktu sahur untuk mencari seseorang. Lalu orang-orang menjawab, “Orang itu sedang tidur.” Thawus lalu berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang tidur pada waktu sahur!” الحث على قيام الليل: إن قيام الليل هو السبيل الأوفى للإصلاح للفرد والأسرة والمجتمع، والمنزل الأكرم للسعادة والرضا والعلاج الأنجع للحفظ من الفتن، وبعد أن استعرضنا بعض الفضائل والفوائد لقيام الليل، فحريٌّ بنا أن نسارع إلى امتثال هذه العبادة العظيمة، لما يترتب عليها من مهنأة في العيش وسعة في الرزق، ورضا الرحمن ومسارعة الدخول إلى الجنان بسلام، كل هذه الخيرات الدنيوية والأخروية مفتاح بابها الصلاة في جوف الليل، فهل يليق بمسلمٍ أن يتأخر عنها؟ هل يليق بمسلم أن يقصر فيها؟ إن الإنسان فُطِرَ على حب الخير والسعادة، وها نحن الآن نتعرف على مفتاح الخير كله (قيام الليل) فهيا لنشمر عن ساعد الجد، ونسعى لنكون من أهل القرب، ونسارع لنخرج من الغفلة ونكتب مع الذاكرين، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((من قام بعشر آيات لم يُكتب من الغافلين، ومن قام بمائة آية كتب من القانتين، ومن قام بألف آية كتب من المقنطرين)). Anjuran untuk Melaksanakan Shalat Malam Shalat Malam merupakan jalan yang paling sempurna untuk perbaikan diri, keluarga, dan masyarakat; dan ia merupakan kedudukan yang tinggi untuk mencapai kebahagiaan, keridhaan, dan obat yang manjur untuk menjaga diri dari segala ujian.  Setelah kita memaparkan keutamaan dan manfaat dari Shalat malam, sekarang saat kita untuk segera mengamalkan ibadah yang agung ini; karena ia dapat menghadirkan kedamaian hidup, kelapangan rezeki, keridhaan Allah, dan percepatan untuk masuk surga dengan selamat. Semua kebaikan dunia dan akhirat ini, kuncinya adalah salat pada malam hari; sehingga apakah layak bagi seorang Muslim untuk terlambat mengamalkannya? Apakah pantas bagi seorang Muslim untuk lalai dalam melaksanakannya? Manusia diciptakan dengan tabiat menyukai kebaikan dan kebahagiaan. Dan sekarang kita telah mengetahui kunci segala kebaikan, yaitu Shalat Malam. Oleh sebab itu, marilah kita bergegas dengan penuh semangat, dan berusaha untuk menjadi termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah, segera keluar dari kelalaian, dan dicatat bersama golongan orang-orang yang banyak berzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca sepuluh ayat, maka dia tidak dicatat termasuk golongan orang-orang yang lalai; barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seratus ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang khusyuk; dan barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seribu ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang memperoleh pahala amat besar.” ومن الأسباب التي تعيننا على قيام الليل: ترك المعاصي، والحرص على الأكل الحلال، وتجنُّب الحرام، الاستعانة والتقوِّي بقيلولة في النهار، والإكثار من ذكر الله في النهار، عسى نحظى برضا التواب الغفار، وندخل في فريق أتباع المختار صلى الله تعالى عليه وآله وسلم. Di antara hal-hal yang dapat memudahkan kita untuk melaksanakan Shalat Malam: Meninggalkan kemaksiatan, berusaha selalu mengonsumsi makanan yang halal, menjauhi perkara yang haram, mengumpulkan tenaga dengan melakukan tidur singkat pada siang hari, dan memperbanyak zikir kepada Allah pada siang hari. Semoga dengan ini kita dapat meraih keridhaan Allah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun; dan kita dapat termasuk golongan para pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. صلاة قيام الليل وطريقة تأديتها: ويندب أن تكون صلاة الليل في آخره، فهو أفضل الأوقات، وأقل ما ينبغي أن يتنفل بالليل ثمانٍ ركعات، والأفضل أن يصليها أربعًا أربعًا، وطول القيام فيها أفضل، هذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله تعالى. Shalat Malam dan Tata Caranya Shalat Malam disunahkan untuk dilaksanakan pada akhir malam, karena itulah waktunya yang paling utama. Jumlah rakaat minimal yang sebaiknya dilakukan pada Shalat Malam adalah delapan rakaat; dan lebih baik dikerjakan satu salam setiap empat rakaat. Dan durasi berdiri yang lama lebih utama dalam salat ini. Inilah pendapat yang menjadi mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala. فيا أيها المسلم، اشددْ مئزرك واسْعَ لإرضاء الله تعالى، وقف بين يدي ربك متواضعًا وخاضعًا في جوف الليل، وكن من المستغفرين بالأسحار، فلن يخيب أملك ولن يُبعدك عن رحمته؛ بل سيُدْنيك منه ويُكرمك بالخير الكثير ويمُنُّ عليك بالنِّعَم الوفيرة. نسأل الله سبحانه وتعالى أن يوفقنا لقيام الليل، ويجعلنا من الذين يعبدونه آناء الليل وأطراف النهار. وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين. Wahai Muslim! Kencangkanlah tali kekangmu dan berusahalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala. Berdirilah di hadapan Tuhanmu dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri di pertengahan malam. Jadilah termasuk orang-orang yang memohon ampun pada waktu sahur. Niscaya Allah tidak akan mengecewakan harapanmu dan tidak akan menjauhkanmu dari rahmat-Nya. Bahkan, justru Allah akan mendekatkanmu kepada-Nya, memuliakanmu dengan kebaikan yang banyak, dan mengaruniakan kepadamu kenikmatan yang melimpah. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi kita taufik untuk menjalankan Shalat Malam, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang beribadah kepada-Nya pada tengah malam, serta pagi dan sore. Semoga Allah senantiasa melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/167549/فضائل-وثمرات-قيام-الليل/PDF Sumber Artikel. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 593 times, 7 visit(s) today Post Views: 322 QRIS donasi Yufid


فضائل وثمرات قيام الليل Oleh: Dr. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad at-Mathari الدكتور أبو الحسن علي بن محمد المطري الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف المرسلين، سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه، ومن اتَّبع هدْيَه إلى يوم الدين، أمَّا بعد: فضائل وثمرات قيام الليل: • هو إقامة للروح على معارج القدس، وإقامة للحياة وترويحٌ للنفس، ومناجاة للمولى وكلام همس، حيث يحلو القرب من الله والأنس، هذه السنة والعبادة التي أصبحت منسيةً، فتسلط علينا كل وسواس خناس، فاضطربت الأحوال وضاقت الحياة على الناس، هل عرفتم عن ماذا أتحدث؟ إنها (قيام الليل)، وهذه كلماتٌ وقطوف من دوحة القانتين والذاكرين، نستشعر بها معاني الصلاة في جوف الليل. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul yang paling mulia, Nabi kita, Muhammad, dan kepada para keluarga dan sahabat beliau, serta orang yang mengikuti ajaran beliau hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: Keutamaan dan buah dari Shalat Malam: Shalat Malam merupakan kegiatan menapakkan jiwa di atas derajat-derajat suci, menegakkan hidup dan mendamaikan jiwa, serta munajat dan bisikan kepada Sang Kuasa. Ketika itulah akan terasa manis dan damainya kedekatan kepada Allah. Sunah dan ibadah ini menjadi sesuatu yang terlupakan. Kita dikuasai oleh segala bisikan setan, sehingga keadaan menjadi tidak menentu, dan kehidupan menjadi terasa sulit bagi manusia.  Apakah kalian mengetahui, tentang apa aku berbicara? Ini adalah tentang “Shalat Malam”. Berikut ini adalah untaian kalimat dan ranting-ranting dari pohon tempat bernaung para orang-orang khusyuk dan ahli zikir. Dengan kalimat ini, kita mencoba mendalami makna-makna salat pada pertengahan malam. فضائل قيام الليل: يقول الله تعالى مادحًا عباده المؤمنين بخصالٍ جميلة وأعمالٍ جليلة: ﴿ تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴾ [السجدة: 16]. ومن أخص هذه الصفات (قيام الليل) الذي هو طريق الأولياء إلى الله، الولاية تلك المنزلة التي يتمناها كل مسلم؛ منزلة القرب والعناية، فندخل في قوله تعالى: ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾ [يونس: 62]. Keutamaan Shalat Malam: Allah Ta’ala berfirman sebagai pujian bagi para hamba-Nya yang beriman, yang memiliki sifat-sifat mulia dan amalan-amalan agung: تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menginfakkan rezeki yang telah Kami berikan.” (QS. As-Sajdah: 16). Di antara sifat yang paling istimewa dari Shalat Malam – yang merupakan jalan para wali (kekasih) Allah menuju kepada-Nya; dan kewalian adalah derajat yang diharapkan setiap Muslim – adalah menjadi status kedekatan kepada Allah dan perhatian dari-Nya; sehingga kita dapat tercakup dalam cakupan firman Allah Ta’ala: أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.” (QS. Yunus: 62). فطريق الأولياء إلى الله هو: الابتعاد عن المُحرَّمات، وأداء الفرائض، والتقرُّب بالنوافل، كلٌّ بحسب استطاعته وإقباله، وأفضل النوافل قيام الليل، جاء في صحيح مسلم من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: “أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل”. وهذا الفضل الكبير لقيام الليل؛ لأنه أقرب إلى الإخلاص فهو عبادة سرية لا يعلم بها أحد، وفيه مشقة على النفس، فالمؤمن يقوم من فراشه ونومه وراحته، وهو أقرب إلى التدبُّر والخشوع.. ولهذا سميَ قيام الليل (شرف المؤمن)، قال عليه الصلاة والسلام: “أتاني جبريل، فقال يا محمد، عِشْ ما شئت فإنك ميت، وأحبب من شئت فإنك مفارقه، واعمل ما شئت فإنك مجزي به، واعلم أن شرف المؤمن قيامه بالليل، وعزه استغناؤه عن الناس”. Jalan kewalian menuju Allah adalah dengan menjauhi hal-hal yang diharamkan, menjalankan kewajiban-kewajiban, dan mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunah. Setiap mereka melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan kecondongan mereka masing-masing. Adapun ibadah sunah yang paling utama adalah Shalat Malam. Diriwayatkan dalam “Shahih Muslim” dari riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ “Salat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah Shalat Malam.” (HR. Muslim). Ini merupakan keutamaan besar yang dimiliki Shalat Malam, karena ia lebih mudah untuk dilaksanakan dengan ikhlas; sebab ia menjadi ibadah rahasia yang tidak diketahui orang lain. Dalam Shalat Malam juga terasa berat bagi hawa nafsu; karena seorang mukmin harus bangun dari tempat tidurnya, serta bangkit dari tidur dan kenyamanannya. Ia juga menjadikan tadabur dan kekhusyukan lebih mudah dilakukan. Oleh sebab itu, Shalat Malam disebut sebagai “Kemuliaan seorang mukmin”. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Malaikat Jibril pernah datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sungguh kamu akan mati; cintai siapa pun sesukamu, karena kamu pasti akan meninggalkannya; dan lakukanlah apa saja sesukamu, karena kamu pasti mendapatkan balasannya; serta ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah dengan Shalat Malamnya, sedangkan kehormatan dirinya adalah dengan tidak bergantung kepada orang lain.’” فوائد وثمرات قيام الليل: وفوائد قيام الليل عظيمة، وثمراته كثيرة، أذكر لكم بعضها: • تكفير الذنوب: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر يقول: من يدعوني، فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له)). Manfaat dan Buah dari Shalat Malam Manfaat Shalat Malam sangat besar dan buah yang banyak; dan saya akan menyebutkan kepada kalian beberapa di antaranya: Menggugurkan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit paling bawah saat waktu malam tersisa sepertiga terakhir. Lalu Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, sehingga Aku akan mengabulkannya? Siapa yang meminta kepada-Ku, sehingga Aku akan memberinya? Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, sehingga Aku akan mengampuni-Nya?’” • استجابة الدعاء: إن كنت تريد قضاء الحاجات، وتفريج الهموم وتيسير الأمور وتحقيق الأمنيات، فعليك بالدعاء في قيام الليل، قال رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((إنَّ من اللَّيل ساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيرًا إلا أعطاه إياه، وذلك كل ليلة)). Dikabulkannya doa. Apabila kamu ingin kebutuhanmu terpenuhi, masalahmu terselesaikan, urusanmu dimudahkan, dan tujuanmu tercapai; maka hendaklah kamu berdoa dalam Shalat Malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada sebagian malam itu terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kebaikan kepada Allah yang bertepatan dengan waktu itu, melainkan Allah pasti akan mengabulkannya; dan waktu ini ada pada setiap malam.” • يطرد العجز والكسل وداء الجسد: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((عليكم بقيام الليل؛ فإنَّه دأْبُ الصالحين قبلكم؛ فإنَّ قيامَ الليل قُرْبَةٌ إلى الله عز وجل، وتكفيرٌ للذُّنوب، ومَطْرَدَةٌ للدَّاء عن الجسد، ومنهاة عن الإثم))، وقال العراقيُّ: إسنادُه حسنٌ. Mengusir sifat lemah dan malas serta penyakit jasmani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian mendirikan Shalat Malam, karena ia adalah jalan orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Shalat Malam merupakan ibadah yang mendekatkan pelakunya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, penghapus dosa-dosa, mengusir penyakit dari badan, dan penghalang dari perbuatan dosa.” Al-Iraqi berkata bahwa sanadnya hasan. • صلاح الأبناء والأسرة: فعندما يراك أهلك وأولادك تقوم الليل فإن هذا السلوك سيؤثر فيهم، ويُحبِّب إليهم الدين والعبادة فيقتدون بك، والله سبحانه وتعالى يتولَّى ذريته حتى بعد مماته، قال تعالى: ﴿ وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ﴾ [الكهف: 82]. Menjadi sebab kesalehan anak-anak dan istri. Ketika istri dan anak-anakmu melihatmu sedang mendirikan Shalat Malam, ini akan menjadi perilaku yang memberi pengaruh terhadap mereka, dan membuat mereka ikut mencintai agama dan ibadah, sehingga mereka mencontohmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan menjaga keturunan orang itu hingga setelah kematiannya. Dia berfirman: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ “Adapun tembok itu adalah punya dua anak yatim yang ada di kota; dan di bawah tembok itu terdapat harta mereka berdua. Dan ayah mereka berdua adalah orang yang saleh, sehingga Tuhanmu berkehendak agar mereka berdua mencapai usia dewasa lalu mereka mengeluarkan harta mereka sebagai rahmat dari Tuhanmu.”  (QS. Al-Kahfi: 82). • سبب الرحمة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((رَحِم اللهُ رجلًا قام من الليل فصلَّى وأيقظَ امرأتَه، فإن أَبَتْ نضح في وجهها الماءَ، ورحم اللهُ امرأةً قامت من اللَّيل فصلَّت وأيقظت زوجَها، فإن أبى نضحت في وجهه الماء)). Menjadi sebab diraihnya rahmat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan istrinya. Apabila istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari, lalu mendirikan salat dan membangunkan suaminya. Apabila suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” • دخول الجنة: قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((يا أيها الناس، أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصِلُوا الأرحام، وصَلُّوا بالليل والناس نيام، تدخلوا الجنة بسلام)). Menjadi sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Wahai segenap manusia! Tebarkanlah salam, berilah makan, dan sambunglah silaturahmi, serta dirikanlah Shalat Malam ketika orang-orang terlelap; niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” حال السلف مع قيام الليل: • ولهذه الفضائل والفوائد صار قيام الليل حال الصالحين ودَأْب العابدين، فكان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يَمُرُّ بالآية من وِرْده بالليل فيسقط، حتى يُعاد منها أيَّامًا كثيرةً كما يُعادُ المريضُ. • وكان ابنُ مسعود رضي الله عنه إذا هدأت العيونُ قام فيُسْمَعُ له دَوِيٌّ كَدَويِّ النَّحْل حتى يصبحَ. Keadaan Para Salaf Bersama Shalat Malam Karena berbagai keutamaan dan manfaat tersebut, Shalat Malam menjadi kegiatan orang-orang saleh dan kebiasaan para ahli ibadah. Dulu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu membaca satu ayat dari wirid malamnya hingga pingsan; hingga beliau dijenguk berhari-hari karena hal itu, sebagaimana dijenguknya orang sakit. Dulu Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu apabila mata orang-orang telah terlelap, beliau segera mendirikan shalat, sehingga terdengar dari beliau dengungan seperti suara dengungan lebah hingga pagi hari.  كل ذلك الحرص على قيام الليل خوفًا من عذاب الله سبحانه، ورجاء لرضا الله سبحانه، قال المغيرةُ بن حبيب: رمقتُ مالك بن دينار رحمه اللهُ فتوضَّأ بعد العشاء ثم قام إلى مُصَلَّاه فقبضَ على لحيته فخنقته العبرةُ، فجعل يقول: اللهم حَرِّمْ شيبةَ مالك على النار، إلهي قد علمت ساكن الجنة من ساكن النار، فأيُّ الرجلين مالك، وأيُّ الدَّارين دار مالك؟! فلم يزل ذلك قوله حتى طلع الفجر. سبحان الله! هذا حال الولي الصالح والرجل العابد مالك بن دينار، فما حالنا نحن اليوم الذين غرقنا في الذنوب والغفلة؟! Kesungguhan mereka dalam menjalankan Shalat Malam ini merupakan bentuk ketakutan mereka terhadap azab Allah, dan harapan terhadap keridhaan-Nya. Al-Mughirah bin Habib berkata, “Aku pernah memperhatikan Malik bin Dinar rahimahullah. Beliau berwudu setelah Isya, lalu berdiri menuju tempat salatnya. Beliau kemudian menggenggam jenggotnya dan menangis tersedu-sedu, beliau berkata, ‘Ya Allah, haramkanlah Malik dari neraka! Ya Tuhanku, aku telah mengetahui siapa yang layak menjadi penghuni surga dan siapa yang layak menjadi penghuni neraka. Lalu Malik termasuk dari golongan mana? Dan mana tempat bagi Malik?!’ Beliau terus mengucapkan itu hingga terbit fajar. Subhanallah! Demikianlah keadaan seorang wali yang saleh dan ahli ibadah, Malik bin Dinar. Lalu bagaimana keadaan kita hari ini, yang tenggelam dalam dosa-dosa dan kelalaian?! وكما أن الطعام لنا أمر لا نتركه في كل يوم، فكذلك كان حال سلفنا الصالح رضوان الله تعالى عليهم أجمعين مع قيام الليل، ويندر أن تجد أحدًا في ذلك الزمان لا يصلي في جوف الليل، وإن وجد فهو أمرٌ منكرٌ مستغرب، كان للحسن بن صالح جاريةٌ فباعها من قوم، فلما كان في جوف الليل قامت الجاريةُ فقالت: يا أهلَ الدار، الصلاة الصلاة، فقالوا: أصبحنا؟ أَطَلَعَ الفجرُ؟ فقالت: وما تُصَلُّون إلا المكتوبة؟! قالوا: نعم، فرجعت إلى الحسن فقالت: يا مولاي، بعتني من قوم لا يُصَلُّون إلا المكتوبة؛ رُدَّني، فَرَدَّها. • وعن مسعر عن رجل قال: أتى طاووس رجلًا في السحر، فقالوا: هو نائم، فقال: ما كنت أرى أن أحدًا ينام في السحر؟ Sebagaimana makanan bagi kita adalah perkara yang tidak mungkin kita tinggalkan setiap hari; demikianlah keadaan para Salafus Saleh terhadap Shalat Malam. Hampir jarang sekali ada orang pada zaman itu yang tidak mendirikan salat pada tengah malam; dan jika memang ada, maka itu adalah hal yang nyeleneh. Dulu al-Hasan bin Shalih memiliki seorang budak wanita, lalu menjualnya kepada suatu kaum. Pada saat pertengahan malam, budak wanita itu bangun dan berkata, “Wahai para penghuni rumah! Waktunya salat!” Mereka pun bertanya, “Apakah sudah subuh? Apakah sudah terbit waktu fajar?” Budak wanita itu menjawab, “Apakah kalian tidak mendirikan salat kecuali Shalat Fardhu?” Mereka menjawab, “Ya!” Budak wanita itu lalu kembali kepada al-Hasan bin Shalih dan berkata, “Wahai tuanku, Anda telah menjualku kepada kaum yang tidak mendirikan salat kecuali yang wajib saja, tolong kembalikanlah aku kepadamu!” Akhirnya al-Hasan pun mengembalikannya. Diriwayatkan dari Mus’ir dari seseorang, ia berkata bahwa Thawus pernah datang pada waktu sahur untuk mencari seseorang. Lalu orang-orang menjawab, “Orang itu sedang tidur.” Thawus lalu berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang tidur pada waktu sahur!” الحث على قيام الليل: إن قيام الليل هو السبيل الأوفى للإصلاح للفرد والأسرة والمجتمع، والمنزل الأكرم للسعادة والرضا والعلاج الأنجع للحفظ من الفتن، وبعد أن استعرضنا بعض الفضائل والفوائد لقيام الليل، فحريٌّ بنا أن نسارع إلى امتثال هذه العبادة العظيمة، لما يترتب عليها من مهنأة في العيش وسعة في الرزق، ورضا الرحمن ومسارعة الدخول إلى الجنان بسلام، كل هذه الخيرات الدنيوية والأخروية مفتاح بابها الصلاة في جوف الليل، فهل يليق بمسلمٍ أن يتأخر عنها؟ هل يليق بمسلم أن يقصر فيها؟ إن الإنسان فُطِرَ على حب الخير والسعادة، وها نحن الآن نتعرف على مفتاح الخير كله (قيام الليل) فهيا لنشمر عن ساعد الجد، ونسعى لنكون من أهل القرب، ونسارع لنخرج من الغفلة ونكتب مع الذاكرين، قال صلى الله تعالى عليه وآله وسلم: ((من قام بعشر آيات لم يُكتب من الغافلين، ومن قام بمائة آية كتب من القانتين، ومن قام بألف آية كتب من المقنطرين)). Anjuran untuk Melaksanakan Shalat Malam Shalat Malam merupakan jalan yang paling sempurna untuk perbaikan diri, keluarga, dan masyarakat; dan ia merupakan kedudukan yang tinggi untuk mencapai kebahagiaan, keridhaan, dan obat yang manjur untuk menjaga diri dari segala ujian.  Setelah kita memaparkan keutamaan dan manfaat dari Shalat malam, sekarang saat kita untuk segera mengamalkan ibadah yang agung ini; karena ia dapat menghadirkan kedamaian hidup, kelapangan rezeki, keridhaan Allah, dan percepatan untuk masuk surga dengan selamat. Semua kebaikan dunia dan akhirat ini, kuncinya adalah salat pada malam hari; sehingga apakah layak bagi seorang Muslim untuk terlambat mengamalkannya? Apakah pantas bagi seorang Muslim untuk lalai dalam melaksanakannya? Manusia diciptakan dengan tabiat menyukai kebaikan dan kebahagiaan. Dan sekarang kita telah mengetahui kunci segala kebaikan, yaitu Shalat Malam. Oleh sebab itu, marilah kita bergegas dengan penuh semangat, dan berusaha untuk menjadi termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah, segera keluar dari kelalaian, dan dicatat bersama golongan orang-orang yang banyak berzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca sepuluh ayat, maka dia tidak dicatat termasuk golongan orang-orang yang lalai; barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seratus ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang khusyuk; dan barang siapa yang mendirikan Shalat Malam dengan membaca seribu ayat, maka dia dicatat termasuk golongan orang-orang yang memperoleh pahala amat besar.” ومن الأسباب التي تعيننا على قيام الليل: ترك المعاصي، والحرص على الأكل الحلال، وتجنُّب الحرام، الاستعانة والتقوِّي بقيلولة في النهار، والإكثار من ذكر الله في النهار، عسى نحظى برضا التواب الغفار، وندخل في فريق أتباع المختار صلى الله تعالى عليه وآله وسلم. Di antara hal-hal yang dapat memudahkan kita untuk melaksanakan Shalat Malam: Meninggalkan kemaksiatan, berusaha selalu mengonsumsi makanan yang halal, menjauhi perkara yang haram, mengumpulkan tenaga dengan melakukan tidur singkat pada siang hari, dan memperbanyak zikir kepada Allah pada siang hari. Semoga dengan ini kita dapat meraih keridhaan Allah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun; dan kita dapat termasuk golongan para pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. صلاة قيام الليل وطريقة تأديتها: ويندب أن تكون صلاة الليل في آخره، فهو أفضل الأوقات، وأقل ما ينبغي أن يتنفل بالليل ثمانٍ ركعات، والأفضل أن يصليها أربعًا أربعًا، وطول القيام فيها أفضل، هذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله تعالى. Shalat Malam dan Tata Caranya Shalat Malam disunahkan untuk dilaksanakan pada akhir malam, karena itulah waktunya yang paling utama. Jumlah rakaat minimal yang sebaiknya dilakukan pada Shalat Malam adalah delapan rakaat; dan lebih baik dikerjakan satu salam setiap empat rakaat. Dan durasi berdiri yang lama lebih utama dalam salat ini. Inilah pendapat yang menjadi mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala. فيا أيها المسلم، اشددْ مئزرك واسْعَ لإرضاء الله تعالى، وقف بين يدي ربك متواضعًا وخاضعًا في جوف الليل، وكن من المستغفرين بالأسحار، فلن يخيب أملك ولن يُبعدك عن رحمته؛ بل سيُدْنيك منه ويُكرمك بالخير الكثير ويمُنُّ عليك بالنِّعَم الوفيرة. نسأل الله سبحانه وتعالى أن يوفقنا لقيام الليل، ويجعلنا من الذين يعبدونه آناء الليل وأطراف النهار. وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين. Wahai Muslim! Kencangkanlah tali kekangmu dan berusahalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala. Berdirilah di hadapan Tuhanmu dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri di pertengahan malam. Jadilah termasuk orang-orang yang memohon ampun pada waktu sahur. Niscaya Allah tidak akan mengecewakan harapanmu dan tidak akan menjauhkanmu dari rahmat-Nya. Bahkan, justru Allah akan mendekatkanmu kepada-Nya, memuliakanmu dengan kebaikan yang banyak, dan mengaruniakan kepadamu kenikmatan yang melimpah. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi kita taufik untuk menjalankan Shalat Malam, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang beribadah kepada-Nya pada tengah malam, serta pagi dan sore. Semoga Allah senantiasa melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/167549/فضائل-وثمرات-قيام-الليل/PDF Sumber Artikel. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 593 times, 7 visit(s) today Post Views: 322 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Doa Apa Saja yang Dianjurkan Dibaca sebelum Salam dalam Shalat? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan kedua: “Setelah tasyahud akhir, apakah ada doa khusus untuk dibaca, atau cukup membaca sesuai yang kita kehendaki?” Disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa setelah beliau menyebutkan doa tasyahud akhir, beliau bersabda: “Lalu hendaklah ia (orang yang shalat) memilih doa yang ia sukai.” (HR. Ibnu Hibban). Ini menunjukkan bahwa doa pada waktu itu tidak terbatas dengan doa-doa tertentu, tapi seorang Muslim boleh memilih doa apa saja yang ia sukai. Namun dalam hadits Nabi disebutkan juga beberapa doa yang hendaknya diperhatikan oleh seorang Muslim (untuk membacanya setelah tasyahud akhir). Namun ini dianjurkan, bukan diwajibkan. Di antaranya adalah doa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZU BIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAM WA MIN ‘ADZAABIL QOBRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari keburukan fitnah Dajjal). (HR. Muslim). Doa ini diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibaca, beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah bertasyahud, maka hendaklah kalian berlindung kepada Allah dari empat perkara.” (HR. Muslim). Selain itu juga, disebutkan dalam hadits riwayat Mu’adz radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu! Janganlah kamu meninggalkan membaca doa pada akhir setiap shalat: ALLAAHUMMA A-’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.”(Ya Allah, berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). (HR. Abu Daud). Doa ini juga dibaca pada akhir shalat. Juga disebutkan dalam hadits riwayat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku!” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRON…(Ya Allah, ya Tuhanku, sungguh aku telah banyak menzalimi diriku…) WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA…(dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau…) FAGHFIRLII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM.”(Maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu, dan sayangilah aku, sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). (HR. al-Bukhari dan Muslim). Itulah doa-doa yang disebutkan dalam hadits Nabi. Selain doa tersebut, orang yang shalat boleh memilih doa lain yang ia sukai. ===== السُّؤَالُ الثَّانِي يَقُولُ بَعْدَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ يَدْعُو بِهِ أَوْ أَنَّهُ يَدْعُو بِمَا شَاءَ جَاءَ فِي حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ التَّشَهُّدَ الْأَخِيرَ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الدُّعَاءَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَيْسَ مُحَدَّدًا بِدَعَوَاتٍ مُعَيَّنَةٍ وَإِنَّمَا يَتَخَيَّرُ الْمُسْلِمُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ لَكِنْ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِبَعْضِ الْأَدْعِيَةِ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ وَعَلَى سَبِيلِ اسْتِحْبَابٍ وَلَيْسَ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ مِنْ ذَلِكَ مَثَلًا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ وَهَذَا قَدْ أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ لَا تَدَعَنَّ أَنْ تَقُولَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ يَعْنِي آخِرَ كُلِّ صَلَاةٍ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ هَذَا أَيْضًا يُقَالُ فِي آخِرِ الصَّلَاةِ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذِهِ الْأَدْعِيَةُ قَدْ وَرَدَتْ بِهَا السُّنَّةُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ

Doa Apa Saja yang Dianjurkan Dibaca sebelum Salam dalam Shalat? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan kedua: “Setelah tasyahud akhir, apakah ada doa khusus untuk dibaca, atau cukup membaca sesuai yang kita kehendaki?” Disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa setelah beliau menyebutkan doa tasyahud akhir, beliau bersabda: “Lalu hendaklah ia (orang yang shalat) memilih doa yang ia sukai.” (HR. Ibnu Hibban). Ini menunjukkan bahwa doa pada waktu itu tidak terbatas dengan doa-doa tertentu, tapi seorang Muslim boleh memilih doa apa saja yang ia sukai. Namun dalam hadits Nabi disebutkan juga beberapa doa yang hendaknya diperhatikan oleh seorang Muslim (untuk membacanya setelah tasyahud akhir). Namun ini dianjurkan, bukan diwajibkan. Di antaranya adalah doa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZU BIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAM WA MIN ‘ADZAABIL QOBRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari keburukan fitnah Dajjal). (HR. Muslim). Doa ini diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibaca, beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah bertasyahud, maka hendaklah kalian berlindung kepada Allah dari empat perkara.” (HR. Muslim). Selain itu juga, disebutkan dalam hadits riwayat Mu’adz radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu! Janganlah kamu meninggalkan membaca doa pada akhir setiap shalat: ALLAAHUMMA A-’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.”(Ya Allah, berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). (HR. Abu Daud). Doa ini juga dibaca pada akhir shalat. Juga disebutkan dalam hadits riwayat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku!” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRON…(Ya Allah, ya Tuhanku, sungguh aku telah banyak menzalimi diriku…) WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA…(dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau…) FAGHFIRLII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM.”(Maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu, dan sayangilah aku, sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). (HR. al-Bukhari dan Muslim). Itulah doa-doa yang disebutkan dalam hadits Nabi. Selain doa tersebut, orang yang shalat boleh memilih doa lain yang ia sukai. ===== السُّؤَالُ الثَّانِي يَقُولُ بَعْدَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ يَدْعُو بِهِ أَوْ أَنَّهُ يَدْعُو بِمَا شَاءَ جَاءَ فِي حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ التَّشَهُّدَ الْأَخِيرَ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الدُّعَاءَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَيْسَ مُحَدَّدًا بِدَعَوَاتٍ مُعَيَّنَةٍ وَإِنَّمَا يَتَخَيَّرُ الْمُسْلِمُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ لَكِنْ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِبَعْضِ الْأَدْعِيَةِ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ وَعَلَى سَبِيلِ اسْتِحْبَابٍ وَلَيْسَ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ مِنْ ذَلِكَ مَثَلًا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ وَهَذَا قَدْ أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ لَا تَدَعَنَّ أَنْ تَقُولَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ يَعْنِي آخِرَ كُلِّ صَلَاةٍ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ هَذَا أَيْضًا يُقَالُ فِي آخِرِ الصَّلَاةِ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذِهِ الْأَدْعِيَةُ قَدْ وَرَدَتْ بِهَا السُّنَّةُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ
Pertanyaan kedua: “Setelah tasyahud akhir, apakah ada doa khusus untuk dibaca, atau cukup membaca sesuai yang kita kehendaki?” Disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa setelah beliau menyebutkan doa tasyahud akhir, beliau bersabda: “Lalu hendaklah ia (orang yang shalat) memilih doa yang ia sukai.” (HR. Ibnu Hibban). Ini menunjukkan bahwa doa pada waktu itu tidak terbatas dengan doa-doa tertentu, tapi seorang Muslim boleh memilih doa apa saja yang ia sukai. Namun dalam hadits Nabi disebutkan juga beberapa doa yang hendaknya diperhatikan oleh seorang Muslim (untuk membacanya setelah tasyahud akhir). Namun ini dianjurkan, bukan diwajibkan. Di antaranya adalah doa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZU BIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAM WA MIN ‘ADZAABIL QOBRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari keburukan fitnah Dajjal). (HR. Muslim). Doa ini diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibaca, beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah bertasyahud, maka hendaklah kalian berlindung kepada Allah dari empat perkara.” (HR. Muslim). Selain itu juga, disebutkan dalam hadits riwayat Mu’adz radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu! Janganlah kamu meninggalkan membaca doa pada akhir setiap shalat: ALLAAHUMMA A-’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.”(Ya Allah, berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). (HR. Abu Daud). Doa ini juga dibaca pada akhir shalat. Juga disebutkan dalam hadits riwayat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku!” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRON…(Ya Allah, ya Tuhanku, sungguh aku telah banyak menzalimi diriku…) WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA…(dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau…) FAGHFIRLII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM.”(Maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu, dan sayangilah aku, sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). (HR. al-Bukhari dan Muslim). Itulah doa-doa yang disebutkan dalam hadits Nabi. Selain doa tersebut, orang yang shalat boleh memilih doa lain yang ia sukai. ===== السُّؤَالُ الثَّانِي يَقُولُ بَعْدَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ يَدْعُو بِهِ أَوْ أَنَّهُ يَدْعُو بِمَا شَاءَ جَاءَ فِي حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ التَّشَهُّدَ الْأَخِيرَ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الدُّعَاءَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَيْسَ مُحَدَّدًا بِدَعَوَاتٍ مُعَيَّنَةٍ وَإِنَّمَا يَتَخَيَّرُ الْمُسْلِمُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ لَكِنْ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِبَعْضِ الْأَدْعِيَةِ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ وَعَلَى سَبِيلِ اسْتِحْبَابٍ وَلَيْسَ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ مِنْ ذَلِكَ مَثَلًا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ وَهَذَا قَدْ أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ لَا تَدَعَنَّ أَنْ تَقُولَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ يَعْنِي آخِرَ كُلِّ صَلَاةٍ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ هَذَا أَيْضًا يُقَالُ فِي آخِرِ الصَّلَاةِ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذِهِ الْأَدْعِيَةُ قَدْ وَرَدَتْ بِهَا السُّنَّةُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ


Pertanyaan kedua: “Setelah tasyahud akhir, apakah ada doa khusus untuk dibaca, atau cukup membaca sesuai yang kita kehendaki?” Disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa setelah beliau menyebutkan doa tasyahud akhir, beliau bersabda: “Lalu hendaklah ia (orang yang shalat) memilih doa yang ia sukai.” (HR. Ibnu Hibban). Ini menunjukkan bahwa doa pada waktu itu tidak terbatas dengan doa-doa tertentu, tapi seorang Muslim boleh memilih doa apa saja yang ia sukai. Namun dalam hadits Nabi disebutkan juga beberapa doa yang hendaknya diperhatikan oleh seorang Muslim (untuk membacanya setelah tasyahud akhir). Namun ini dianjurkan, bukan diwajibkan. Di antaranya adalah doa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZU BIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAM WA MIN ‘ADZAABIL QOBRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari keburukan fitnah Dajjal). (HR. Muslim). Doa ini diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibaca, beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah bertasyahud, maka hendaklah kalian berlindung kepada Allah dari empat perkara.” (HR. Muslim). Selain itu juga, disebutkan dalam hadits riwayat Mu’adz radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu! Janganlah kamu meninggalkan membaca doa pada akhir setiap shalat: ALLAAHUMMA A-’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.”(Ya Allah, berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). (HR. Abu Daud). Doa ini juga dibaca pada akhir shalat. Juga disebutkan dalam hadits riwayat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku!” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRON…(Ya Allah, ya Tuhanku, sungguh aku telah banyak menzalimi diriku…) WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA…(dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau…) FAGHFIRLII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM.”(Maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu, dan sayangilah aku, sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). (HR. al-Bukhari dan Muslim). Itulah doa-doa yang disebutkan dalam hadits Nabi. Selain doa tersebut, orang yang shalat boleh memilih doa lain yang ia sukai. ===== السُّؤَالُ الثَّانِي يَقُولُ بَعْدَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ يَدْعُو بِهِ أَوْ أَنَّهُ يَدْعُو بِمَا شَاءَ جَاءَ فِي حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ التَّشَهُّدَ الْأَخِيرَ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الدُّعَاءَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَيْسَ مُحَدَّدًا بِدَعَوَاتٍ مُعَيَّنَةٍ وَإِنَّمَا يَتَخَيَّرُ الْمُسْلِمُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ لَكِنْ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِبَعْضِ الْأَدْعِيَةِ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ وَعَلَى سَبِيلِ اسْتِحْبَابٍ وَلَيْسَ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ مِنْ ذَلِكَ مَثَلًا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ وَهَذَا قَدْ أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ لَا تَدَعَنَّ أَنْ تَقُولَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ يَعْنِي آخِرَ كُلِّ صَلَاةٍ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ هَذَا أَيْضًا يُقَالُ فِي آخِرِ الصَّلَاةِ كَذَلِكَ أَيْضًا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذِهِ الْأَدْعِيَةُ قَدْ وَرَدَتْ بِهَا السُّنَّةُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ

Mengenal Nama Allah “At-Tawwab”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “At-Tawwab“Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“Makna bahasa dari “At-Tawwab“Makna “At-Tawwab” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hambaPertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-TawwabKedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebutKetiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Mengenal nama-nama Allah merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah At-Tawwab, di mana Allah memberikan taufik kepada para hamba-Nya untuk bertobat, kemudian menerima tobat dari mereka, setiap kali mereka bertobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah At-Tawwab, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah “At-Tawwab“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Dan firman-Nya, إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kecuali mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka kepada mereka Aku akan menerima tobatnya. Dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 160) Serta firman-Nya, أَلَمْ يَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima sedekah, serta bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104) [1] Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “At-Tawwab” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “At-Tawwab“ At-Tawwab merupakan bentuk sighah mubalaghah (menunjukkan makna yang berlebihan) dari kata kerja taba yatubu ( تاب يتوب ). Kata ini seperti dharrab ( ضراب ) bagi orang yang banyak memukul. [2] Kata ( تَوْبَةً ) yang merupakan mashdar, berarti kembali dan meninggalkan dengan sepenuhnya. Ibnu Faris mengatakan, (‌تَوَبَ) التَّاءُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ كَلِمَةٌ وَاحِدَةٌ تَدُلُّ عَلَى الرُّجُوعِ. يُقَالُ تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ، أَيْ رَجَعَ عَنْهُ “Huruf ta’, wau, dan ba’ memiliki satu makna dasar, yaitu kembali. Dikatakan, ‘Dia bertobat dari dosanya,’ artinya dia kembali dari dosa tersebut.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ يَتُوبُ تَوْبًا وَتَوْبَةً وَمَتَابًا أَقْلَعَ “Dia bertobat dari dosanya, yaitu dia meninggalkan dosa tersebut sepenuhnya.” [4] Makna “At-Tawwab” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37), beliau mengatakan, “Bahwa Allah Ta’ala adalah At-Tawwab bagi hamba-Nya yang bertobat kepada-Nya dari dosa-dosanya. Dia tidak menghukumnya karena ia telah kembali kepada ketaatan setelah sebelumnya bermaksiat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna tobat seorang hamba kepada Rabbnya adalah kembali pada ketaatan kepada-Nya, kembali kepada hal yang diridai-Nya dengan meninggalkan perbuatan yang dibenci oleh-Nya. Maka, demikian pula tobat Allah atas hamba-Nya, berarti Dia menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, serta berpindahnya Allah dari murka-Nya kepada rida-Nya, dari hukuman kepada ampunan dan pemaafan-Nya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “‌التواب” الذي لم يزل يتوب على التائبين، ويغفر ذنوب المنيبين، فكل من تاب إلى الله توبة نصوحا، تاب الله عليه، فهو التائب على التائبين أولا بتوفيقهم للتوبة والإقبال بقلوبهم إليه، وهو التائب عليهم بعد توبتهم قبولا لها، وعفوا عن خطاياهم. “At-Tawwab adalah Dia yang senantiasa menerima tobat dari hamba-hamba-Nya yang bertobat, serta mengampuni dosa orang-orang yang kembali kepada-Nya. Setiap orang yang bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Dialah yang memberi taufik kepada hamba-Nya diawali dengan bertobat dan kembali kepada-Nya dengan hati yang tulus. Lalu, setelah mereka bertobat, Dia menerimanya dengan penuh ampunan dan pemaafan atas dosa-dosa mereka.” [6] Syekh Hafidz Al-Hakami mengatakan, التَّوَّابُ الَّذِي يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ التَّوْبَةَ فَيَتُوبُ عَلَيْهِ وَيُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ. “At-Tawwab adalah Dia yang menganugerahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki kemampuan untuk bertobat, lalu Dia menerima tobatnya dan menyelamatkannya dari azab neraka yang menyala-nyala.” [7] Berdasarkan hal ini, nama At-Tawwab memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memberikan taufik untuk bertobat kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Kedua: Bahwa Allah menerima tobat mereka setelah mereka bertobat. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” Konsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hamba Penetapan nama “At-Tawwab” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-Tawwab Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah At-Tawwab yang menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, dan menerima tobat darinya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Allah berfirman, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sesungguhnya Dialah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Kedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebut Syekh Abdurrazzaq Al-Badr berkata, “Mengetahui nama-nama Allah yang agung ini (di antaranya adalah At-Tawwab) merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi, terutama jika seseorang bersungguh-sungguh dalam merealisasikan konsekuensinya, seperti senantiasa beristigfar, memohon ampunan, terus bertobat, berharap ampunan, menjauhi keputusasaan, dan meyakini keluasan ampunan Allah. Sebab, Allah Maha Pengampun, tidak ada dosa yang terlalu besar bagi-Nya untuk diampuni, sebesar apa pun dosa itu. Seorang hamba akan tetap berada dalam kebaikan, selama ia terus memohon ampunan dan mengharapkan rahmat Tuhannya.” Kemudian beliau menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6099 dan Muslim no. 2804 dari Abu Hurairah, radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dalam hadis qudsi, “Seorang hamba berbuat dosa lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Kemudian, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Lalu, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa. Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, Aku telah mengampunimu,’ yakni selama ia terus bertobat dan kembali kepada Allah.” [9] Ketiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Hendaknya seorang hamba memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling mulia dan paling bertakwa, tetapi beliau tetap beristigfar dan bertobat lebih dari 70 kali dalam sehari. Beliau hallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar beristigfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 6307) Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa kembali kepada-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 430-431. [2] Lihat Isytiqaq Asma’illah hal. 62-63, dan Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif, hal. 6. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 131. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 83. [5] Tafsir Ath-Thabari, 1: 587. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [7] Ma‘arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, hal. 24. [8] Lihat Fiqh Al-Asma’, hal. 165. [9] Fiqh Al-Asma’, hal. 168-169.

Mengenal Nama Allah “At-Tawwab”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “At-Tawwab“Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“Makna bahasa dari “At-Tawwab“Makna “At-Tawwab” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hambaPertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-TawwabKedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebutKetiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Mengenal nama-nama Allah merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah At-Tawwab, di mana Allah memberikan taufik kepada para hamba-Nya untuk bertobat, kemudian menerima tobat dari mereka, setiap kali mereka bertobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah At-Tawwab, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah “At-Tawwab“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Dan firman-Nya, إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kecuali mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka kepada mereka Aku akan menerima tobatnya. Dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 160) Serta firman-Nya, أَلَمْ يَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima sedekah, serta bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104) [1] Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “At-Tawwab” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “At-Tawwab“ At-Tawwab merupakan bentuk sighah mubalaghah (menunjukkan makna yang berlebihan) dari kata kerja taba yatubu ( تاب يتوب ). Kata ini seperti dharrab ( ضراب ) bagi orang yang banyak memukul. [2] Kata ( تَوْبَةً ) yang merupakan mashdar, berarti kembali dan meninggalkan dengan sepenuhnya. Ibnu Faris mengatakan, (‌تَوَبَ) التَّاءُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ كَلِمَةٌ وَاحِدَةٌ تَدُلُّ عَلَى الرُّجُوعِ. يُقَالُ تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ، أَيْ رَجَعَ عَنْهُ “Huruf ta’, wau, dan ba’ memiliki satu makna dasar, yaitu kembali. Dikatakan, ‘Dia bertobat dari dosanya,’ artinya dia kembali dari dosa tersebut.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ يَتُوبُ تَوْبًا وَتَوْبَةً وَمَتَابًا أَقْلَعَ “Dia bertobat dari dosanya, yaitu dia meninggalkan dosa tersebut sepenuhnya.” [4] Makna “At-Tawwab” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37), beliau mengatakan, “Bahwa Allah Ta’ala adalah At-Tawwab bagi hamba-Nya yang bertobat kepada-Nya dari dosa-dosanya. Dia tidak menghukumnya karena ia telah kembali kepada ketaatan setelah sebelumnya bermaksiat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna tobat seorang hamba kepada Rabbnya adalah kembali pada ketaatan kepada-Nya, kembali kepada hal yang diridai-Nya dengan meninggalkan perbuatan yang dibenci oleh-Nya. Maka, demikian pula tobat Allah atas hamba-Nya, berarti Dia menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, serta berpindahnya Allah dari murka-Nya kepada rida-Nya, dari hukuman kepada ampunan dan pemaafan-Nya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “‌التواب” الذي لم يزل يتوب على التائبين، ويغفر ذنوب المنيبين، فكل من تاب إلى الله توبة نصوحا، تاب الله عليه، فهو التائب على التائبين أولا بتوفيقهم للتوبة والإقبال بقلوبهم إليه، وهو التائب عليهم بعد توبتهم قبولا لها، وعفوا عن خطاياهم. “At-Tawwab adalah Dia yang senantiasa menerima tobat dari hamba-hamba-Nya yang bertobat, serta mengampuni dosa orang-orang yang kembali kepada-Nya. Setiap orang yang bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Dialah yang memberi taufik kepada hamba-Nya diawali dengan bertobat dan kembali kepada-Nya dengan hati yang tulus. Lalu, setelah mereka bertobat, Dia menerimanya dengan penuh ampunan dan pemaafan atas dosa-dosa mereka.” [6] Syekh Hafidz Al-Hakami mengatakan, التَّوَّابُ الَّذِي يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ التَّوْبَةَ فَيَتُوبُ عَلَيْهِ وَيُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ. “At-Tawwab adalah Dia yang menganugerahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki kemampuan untuk bertobat, lalu Dia menerima tobatnya dan menyelamatkannya dari azab neraka yang menyala-nyala.” [7] Berdasarkan hal ini, nama At-Tawwab memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memberikan taufik untuk bertobat kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Kedua: Bahwa Allah menerima tobat mereka setelah mereka bertobat. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” Konsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hamba Penetapan nama “At-Tawwab” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-Tawwab Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah At-Tawwab yang menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, dan menerima tobat darinya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Allah berfirman, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sesungguhnya Dialah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Kedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebut Syekh Abdurrazzaq Al-Badr berkata, “Mengetahui nama-nama Allah yang agung ini (di antaranya adalah At-Tawwab) merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi, terutama jika seseorang bersungguh-sungguh dalam merealisasikan konsekuensinya, seperti senantiasa beristigfar, memohon ampunan, terus bertobat, berharap ampunan, menjauhi keputusasaan, dan meyakini keluasan ampunan Allah. Sebab, Allah Maha Pengampun, tidak ada dosa yang terlalu besar bagi-Nya untuk diampuni, sebesar apa pun dosa itu. Seorang hamba akan tetap berada dalam kebaikan, selama ia terus memohon ampunan dan mengharapkan rahmat Tuhannya.” Kemudian beliau menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6099 dan Muslim no. 2804 dari Abu Hurairah, radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dalam hadis qudsi, “Seorang hamba berbuat dosa lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Kemudian, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Lalu, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa. Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, Aku telah mengampunimu,’ yakni selama ia terus bertobat dan kembali kepada Allah.” [9] Ketiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Hendaknya seorang hamba memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling mulia dan paling bertakwa, tetapi beliau tetap beristigfar dan bertobat lebih dari 70 kali dalam sehari. Beliau hallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar beristigfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 6307) Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa kembali kepada-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 430-431. [2] Lihat Isytiqaq Asma’illah hal. 62-63, dan Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif, hal. 6. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 131. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 83. [5] Tafsir Ath-Thabari, 1: 587. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [7] Ma‘arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, hal. 24. [8] Lihat Fiqh Al-Asma’, hal. 165. [9] Fiqh Al-Asma’, hal. 168-169.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “At-Tawwab“Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“Makna bahasa dari “At-Tawwab“Makna “At-Tawwab” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hambaPertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-TawwabKedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebutKetiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Mengenal nama-nama Allah merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah At-Tawwab, di mana Allah memberikan taufik kepada para hamba-Nya untuk bertobat, kemudian menerima tobat dari mereka, setiap kali mereka bertobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah At-Tawwab, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah “At-Tawwab“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Dan firman-Nya, إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kecuali mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka kepada mereka Aku akan menerima tobatnya. Dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 160) Serta firman-Nya, أَلَمْ يَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima sedekah, serta bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104) [1] Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “At-Tawwab” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “At-Tawwab“ At-Tawwab merupakan bentuk sighah mubalaghah (menunjukkan makna yang berlebihan) dari kata kerja taba yatubu ( تاب يتوب ). Kata ini seperti dharrab ( ضراب ) bagi orang yang banyak memukul. [2] Kata ( تَوْبَةً ) yang merupakan mashdar, berarti kembali dan meninggalkan dengan sepenuhnya. Ibnu Faris mengatakan, (‌تَوَبَ) التَّاءُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ كَلِمَةٌ وَاحِدَةٌ تَدُلُّ عَلَى الرُّجُوعِ. يُقَالُ تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ، أَيْ رَجَعَ عَنْهُ “Huruf ta’, wau, dan ba’ memiliki satu makna dasar, yaitu kembali. Dikatakan, ‘Dia bertobat dari dosanya,’ artinya dia kembali dari dosa tersebut.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ يَتُوبُ تَوْبًا وَتَوْبَةً وَمَتَابًا أَقْلَعَ “Dia bertobat dari dosanya, yaitu dia meninggalkan dosa tersebut sepenuhnya.” [4] Makna “At-Tawwab” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37), beliau mengatakan, “Bahwa Allah Ta’ala adalah At-Tawwab bagi hamba-Nya yang bertobat kepada-Nya dari dosa-dosanya. Dia tidak menghukumnya karena ia telah kembali kepada ketaatan setelah sebelumnya bermaksiat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna tobat seorang hamba kepada Rabbnya adalah kembali pada ketaatan kepada-Nya, kembali kepada hal yang diridai-Nya dengan meninggalkan perbuatan yang dibenci oleh-Nya. Maka, demikian pula tobat Allah atas hamba-Nya, berarti Dia menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, serta berpindahnya Allah dari murka-Nya kepada rida-Nya, dari hukuman kepada ampunan dan pemaafan-Nya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “‌التواب” الذي لم يزل يتوب على التائبين، ويغفر ذنوب المنيبين، فكل من تاب إلى الله توبة نصوحا، تاب الله عليه، فهو التائب على التائبين أولا بتوفيقهم للتوبة والإقبال بقلوبهم إليه، وهو التائب عليهم بعد توبتهم قبولا لها، وعفوا عن خطاياهم. “At-Tawwab adalah Dia yang senantiasa menerima tobat dari hamba-hamba-Nya yang bertobat, serta mengampuni dosa orang-orang yang kembali kepada-Nya. Setiap orang yang bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Dialah yang memberi taufik kepada hamba-Nya diawali dengan bertobat dan kembali kepada-Nya dengan hati yang tulus. Lalu, setelah mereka bertobat, Dia menerimanya dengan penuh ampunan dan pemaafan atas dosa-dosa mereka.” [6] Syekh Hafidz Al-Hakami mengatakan, التَّوَّابُ الَّذِي يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ التَّوْبَةَ فَيَتُوبُ عَلَيْهِ وَيُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ. “At-Tawwab adalah Dia yang menganugerahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki kemampuan untuk bertobat, lalu Dia menerima tobatnya dan menyelamatkannya dari azab neraka yang menyala-nyala.” [7] Berdasarkan hal ini, nama At-Tawwab memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memberikan taufik untuk bertobat kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Kedua: Bahwa Allah menerima tobat mereka setelah mereka bertobat. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” Konsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hamba Penetapan nama “At-Tawwab” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-Tawwab Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah At-Tawwab yang menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, dan menerima tobat darinya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Allah berfirman, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sesungguhnya Dialah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Kedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebut Syekh Abdurrazzaq Al-Badr berkata, “Mengetahui nama-nama Allah yang agung ini (di antaranya adalah At-Tawwab) merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi, terutama jika seseorang bersungguh-sungguh dalam merealisasikan konsekuensinya, seperti senantiasa beristigfar, memohon ampunan, terus bertobat, berharap ampunan, menjauhi keputusasaan, dan meyakini keluasan ampunan Allah. Sebab, Allah Maha Pengampun, tidak ada dosa yang terlalu besar bagi-Nya untuk diampuni, sebesar apa pun dosa itu. Seorang hamba akan tetap berada dalam kebaikan, selama ia terus memohon ampunan dan mengharapkan rahmat Tuhannya.” Kemudian beliau menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6099 dan Muslim no. 2804 dari Abu Hurairah, radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dalam hadis qudsi, “Seorang hamba berbuat dosa lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Kemudian, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Lalu, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa. Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, Aku telah mengampunimu,’ yakni selama ia terus bertobat dan kembali kepada Allah.” [9] Ketiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Hendaknya seorang hamba memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling mulia dan paling bertakwa, tetapi beliau tetap beristigfar dan bertobat lebih dari 70 kali dalam sehari. Beliau hallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar beristigfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 6307) Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa kembali kepada-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 430-431. [2] Lihat Isytiqaq Asma’illah hal. 62-63, dan Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif, hal. 6. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 131. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 83. [5] Tafsir Ath-Thabari, 1: 587. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [7] Ma‘arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, hal. 24. [8] Lihat Fiqh Al-Asma’, hal. 165. [9] Fiqh Al-Asma’, hal. 168-169.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “At-Tawwab“Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“Makna bahasa dari “At-Tawwab“Makna “At-Tawwab” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hambaPertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-TawwabKedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebutKetiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Mengenal nama-nama Allah merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah At-Tawwab, di mana Allah memberikan taufik kepada para hamba-Nya untuk bertobat, kemudian menerima tobat dari mereka, setiap kali mereka bertobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah At-Tawwab, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menambah keyakinan kita, memperkuat keimanan, serta kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah “At-Tawwab“ Nama ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Dan firman-Nya, إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kecuali mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka kepada mereka Aku akan menerima tobatnya. Dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 160) Serta firman-Nya, أَلَمْ يَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima sedekah, serta bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104) [1] Kandungan makna nama Allah “At-Tawwab“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “At-Tawwab” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “At-Tawwab“ At-Tawwab merupakan bentuk sighah mubalaghah (menunjukkan makna yang berlebihan) dari kata kerja taba yatubu ( تاب يتوب ). Kata ini seperti dharrab ( ضراب ) bagi orang yang banyak memukul. [2] Kata ( تَوْبَةً ) yang merupakan mashdar, berarti kembali dan meninggalkan dengan sepenuhnya. Ibnu Faris mengatakan, (‌تَوَبَ) التَّاءُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ كَلِمَةٌ وَاحِدَةٌ تَدُلُّ عَلَى الرُّجُوعِ. يُقَالُ تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ، أَيْ رَجَعَ عَنْهُ “Huruf ta’, wau, dan ba’ memiliki satu makna dasar, yaitu kembali. Dikatakan, ‘Dia bertobat dari dosanya,’ artinya dia kembali dari dosa tersebut.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, تَابَ مِنْ ذَنْبِهِ يَتُوبُ تَوْبًا وَتَوْبَةً وَمَتَابًا أَقْلَعَ “Dia bertobat dari dosanya, yaitu dia meninggalkan dosa tersebut sepenuhnya.” [4] Makna “At-Tawwab” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37), beliau mengatakan, “Bahwa Allah Ta’ala adalah At-Tawwab bagi hamba-Nya yang bertobat kepada-Nya dari dosa-dosanya. Dia tidak menghukumnya karena ia telah kembali kepada ketaatan setelah sebelumnya bermaksiat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna tobat seorang hamba kepada Rabbnya adalah kembali pada ketaatan kepada-Nya, kembali kepada hal yang diridai-Nya dengan meninggalkan perbuatan yang dibenci oleh-Nya. Maka, demikian pula tobat Allah atas hamba-Nya, berarti Dia menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, serta berpindahnya Allah dari murka-Nya kepada rida-Nya, dari hukuman kepada ampunan dan pemaafan-Nya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan, “‌التواب” الذي لم يزل يتوب على التائبين، ويغفر ذنوب المنيبين، فكل من تاب إلى الله توبة نصوحا، تاب الله عليه، فهو التائب على التائبين أولا بتوفيقهم للتوبة والإقبال بقلوبهم إليه، وهو التائب عليهم بعد توبتهم قبولا لها، وعفوا عن خطاياهم. “At-Tawwab adalah Dia yang senantiasa menerima tobat dari hamba-hamba-Nya yang bertobat, serta mengampuni dosa orang-orang yang kembali kepada-Nya. Setiap orang yang bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Dialah yang memberi taufik kepada hamba-Nya diawali dengan bertobat dan kembali kepada-Nya dengan hati yang tulus. Lalu, setelah mereka bertobat, Dia menerimanya dengan penuh ampunan dan pemaafan atas dosa-dosa mereka.” [6] Syekh Hafidz Al-Hakami mengatakan, التَّوَّابُ الَّذِي يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ التَّوْبَةَ فَيَتُوبُ عَلَيْهِ وَيُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ. “At-Tawwab adalah Dia yang menganugerahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki kemampuan untuk bertobat, lalu Dia menerima tobatnya dan menyelamatkannya dari azab neraka yang menyala-nyala.” [7] Berdasarkan hal ini, nama At-Tawwab memiliki dua makna: Pertama: Bahwa Allah memberikan taufik untuk bertobat kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Kedua: Bahwa Allah menerima tobat mereka setelah mereka bertobat. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Fattah” Konsekuensi dari nama Allah “At-Tawwab” bagi hamba Penetapan nama “At-Tawwab” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Meyakini bahwasanya Allah adalah At-Tawwab Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah At-Tawwab yang menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk bertobat, dan menerima tobat darinya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Allah berfirman, إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sesungguhnya Dialah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37) Kedua: Senantiasa bertobat setiap kali berbuat dosa, sekecil atau sebesar apa pun dosa tersebut Syekh Abdurrazzaq Al-Badr berkata, “Mengetahui nama-nama Allah yang agung ini (di antaranya adalah At-Tawwab) merupakan pintu besar untuk meraih derajat yang tinggi, terutama jika seseorang bersungguh-sungguh dalam merealisasikan konsekuensinya, seperti senantiasa beristigfar, memohon ampunan, terus bertobat, berharap ampunan, menjauhi keputusasaan, dan meyakini keluasan ampunan Allah. Sebab, Allah Maha Pengampun, tidak ada dosa yang terlalu besar bagi-Nya untuk diampuni, sebesar apa pun dosa itu. Seorang hamba akan tetap berada dalam kebaikan, selama ia terus memohon ampunan dan mengharapkan rahmat Tuhannya.” Kemudian beliau menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6099 dan Muslim no. 2804 dari Abu Hurairah, radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dalam hadis qudsi, “Seorang hamba berbuat dosa lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Kemudian, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa.’ Lalu, ia kembali berbuat dosa dan berkata, ‘Wahai Rabb, ampunilah dosaku.’ Maka, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, namun ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum atas dosa. Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, Aku telah mengampunimu,’ yakni selama ia terus bertobat dan kembali kepada Allah.” [9] Ketiga: Memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari Hendaknya seorang hamba memperbanyak tobat dan istigfar setiap hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling mulia dan paling bertakwa, tetapi beliau tetap beristigfar dan bertobat lebih dari 70 kali dalam sehari. Beliau hallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar beristigfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 6307) Semoga pemahaman yang benar tentang nama ini, dapat semakin mendekatkan kita kepada Allah, dan senantiasa kembali kepada-Nya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 430-431. [2] Lihat Isytiqaq Asma’illah hal. 62-63, dan Al-Bayan fi Tasrif Mufradat Al-Qur’an ‘ala Hamisy Al-Mushaf Al-Sharif, hal. 6. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 131. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 83. [5] Tafsir Ath-Thabari, 1: 587. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 946. [7] Ma‘arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, hal. 24. [8] Lihat Fiqh Al-Asma’, hal. 165. [9] Fiqh Al-Asma’, hal. 168-169.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 10)

Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 10)

Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.
Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.


Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.

Pandangan Mata dalam Shalat: Arah yang Dianjurkan dan Larangan Memandang ke Atas

Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat

Pandangan Mata dalam Shalat: Arah yang Dianjurkan dan Larangan Memandang ke Atas

Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat
Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat


Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat

Menginspirasi: Mengapa Orang Saleh Ini Bersedekah Setiap Hari? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ

Menginspirasi: Mengapa Orang Saleh Ini Bersedekah Setiap Hari? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ
Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ


Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ
Prev     Next