Fikih Salat Sunah Rawatib Isya

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33.

Fikih Salat Sunah Rawatib Isya

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33.
Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33.


Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33.

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Ditulis pada Rabu pagi, 25 Jumadal Ula 1446 H, 27 November 2024 di Sekar Kedhaton Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Ditulis pada Rabu pagi, 25 Jumadal Ula 1446 H, 27 November 2024 di Sekar Kedhaton Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs
Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Ditulis pada Rabu pagi, 25 Jumadal Ula 1446 H, 27 November 2024 di Sekar Kedhaton Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs


Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Ditulis pada Rabu pagi, 25 Jumadal Ula 1446 H, 27 November 2024 di Sekar Kedhaton Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 2): Orang Kepercayaan (Amin) Umat Ini

Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 2): Orang Kepercayaan (Amin) Umat Ini

Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri
Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri


Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.
Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.


Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Bagaimana Para Sahabat Belajar Al-Qur’an kepada Nabi?

Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.

Bagaimana Para Sahabat Belajar Al-Qur’an kepada Nabi?

Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.
Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.


Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.

Mengenal Nama Allah “Al-Lathif”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.

Mengenal Nama Allah “Al-Lathif”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 1): Mengambil Pelajaran dari Jihad Abu Ubaidah bin Jarrah

Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 1): Mengambil Pelajaran dari Jihad Abu Ubaidah bin Jarrah

Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.
Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.


Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.

Khutbah Jumat: Jangan Bangga Hanya dengan Nilai Akademik!

Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua

Khutbah Jumat: Jangan Bangga Hanya dengan Nilai Akademik!

Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua
Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua


Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua

Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.

Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.

Apa yang Harus Dilakukan di Usia 40 Tahun Menurut Islam?

Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam

Apa yang Harus Dilakukan di Usia 40 Tahun Menurut Islam?

Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam
Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam


Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Apakah Dosa Besar Tidur Sampai Habis Waktu Shalat Subuh? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ

Apakah Dosa Besar Tidur Sampai Habis Waktu Shalat Subuh? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ
Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ


Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ

Sibuklah Mengurusi Kekurangan Diri

Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Sibuklah Mengurusi Kekurangan Diri

Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Prev     Next