Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan: Mengutamakan Dialog (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Mengutamakan berdialogMenguatkan argumentasi dan tidak saling bersikerasDialog dalam perselisihan besar Terjadinya perbedaan di dalam kehidupan ini adalah realita yang tak dapat terelakkan. Karena tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang tercipta sama persis. Pasti terdapat perbedaan di antara keduanya, bahkan hal ini pun kita maklumi pada orang yang terlahir kembar. Perbedaan itu pasti berpotensi melahirkan perselisihan, baik besar maupun kecil. Apalagi pada insan yang banyak perbedaannya, yaitu manusia dengan kompleksitasnya ketika tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perselisihan adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, keniscayaan akan perselisihan itu bukan berarti menjadikan kita berleha, santai, dan tidak melakukan pencegahan. Bahkan dalam Islam, perselisihan akibat perbedaan itu hendaknya diupayakan untuk diminimalisir dan segera diselesaikan jika sudah terjadi. Allah ﷻ berfirman tentang perintah bersatu, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103) Allah kaitkan perintah persatuan dengan mengingat nikmat Allah akan hal itu. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat persatuan di atas agama Allah adalah nikmat yang besar, sedangkan perselisihan, apalagi perpecahan, adalah ujian kesengsaraan. Maka, penting bagi kita untuk memiliki ilmu tentang fenomena perselisihan dan cara menyikapinya. Mengutamakan berdialog Salah satu langkah yang dianjurkan tatkala menghadapi perselisihan dan perbedaan adalah dengan mengutamakan dialog di antara pihak yang terkait. Berdialog adalah manhaj Nabi ﷺ dan para salaf tatkala terjadi perselisihan di antara mereka. Berbeda pendapat di kalangan mereka sering terjadi, tetapi tidak didiamkan semata tanpa solusi dan gontok-gontokan di belakang satu sama lain. Dalam masalah perbedaan paham fikih misalnya, para sahabat berbeda pemahaman atas sabda Nabi ﷺ, لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Janganlah ada satupun yang salat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. Bukhari no. 946 dan Muslim no. 1770) Para sahabat tidak hanya diam, lalu membiarkan perbedaan ini terjadi begitu saja. Atau salah satu pihak mengikuti pendapat yang lainnya, tetapi ngedumel di belakang. Akan tetapi, mereka berusaha berdialog dan menerangkan pemahaman mereka. Lalu berusaha mencari putusannya kepada otoritas terkait, yakni Nabi ﷺ yang tatkala itu masih hidup. Menguatkan argumentasi dan tidak saling bersikeras Dialog yang dilakukan pun tidak asal ngotot-ngototan, tetapi memiliki argumentasi yang kuat. Salah satu pihak yang tetap berhenti salat ashar, mereka mengatakan, وقالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لمْ يُرَدْ مِنّا ذلكَ “Dan sebagian lain berkata, “Justru kita akan salat (sekarang), karena itu (penundaan salat) tidaklah dimaksudkan demikian.” Atau dalam nukilan lainnya, لم يُرِدْ منّا رسولُ اللَّهِ ﷺ إلّا تَعجيلَ المسيرِ، ولم يُرِدْ منّا تأخيرَ الصَّلاةِ عَن وقتِها “Rasulullah ﷺ tidak menginginkan dari kita selain agar segera berangkat (bercepat-cepat dalam perjalanan), dan beliau tidak bermaksud agar kita menunda salat dari waktunya.” (Umdatut Tafsir, 1: 566; oleh Ahmad Syakir) Begitupula tatkala kesedihan meliputi Umar ketika Nabi ﷺ wafat. Dalam keadaan emosional Umar dan para sahabat lainnya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tetap memberikan perkataan dan argumentasi yang ilmiah dan logis, فقال: أما بعد، فمن كان منكم يعبد محمداً ؛ فإن محمداً قد مات، ومن كان يعبد الله؛ فإن الله حي لا يموت “Abu Bakar berkata, “Amma ba’du. Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha hidup dan tidak akan mati.” (HR. Bukhari no. 4097) Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu melandasi pernyataan tersebut dengan ayat, وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144) Lihatlah, bagaimana kematangan seorang muslim yang cerdas dan pemimpinnya kaum mukminin setelah para Nabi. Pada saat kondisi genting, beliau tetap bisa berargumentasi dengan tenang, tegas, tepat sasaran, dan menyentuh hati. Hal ini terbukti dengan respons para sahabat yang diwakili oleh Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau merasa seakan-akan belum pernah mendengar ayat itu diturunkan kepadanya. Baca juga: Keistimewaan Dakwah Salafus Saleh Dialog dalam perselisihan besar Hal ini pula yang dilakukan para sahabat tatkala terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan. Kedua belah pihak mengirimkan wakilnya untuk berdialog dan menemukan solusinya. Ini yang dilakukan ketika terjadi perselisihan Shiffin, antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Keduanya mengirimkan wakilnya yang cerdas untuk memutuskan permasalahan. Begitupula dalam gonjang-ganjing Khawarij yang muncul di masa Ali radhiyallahu ‘anhu. Tatkala itu, para Khawarij sudah hendak bergerak memberontak. Lalu, dengan gagah berani, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang memiliki kapabilitas serta pembawaan yang berwibawa mengajukan diri untuk berdialog dengan mereka. Meski Ali radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkannya, tetapi beliau tetap mengizinkannya. Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendatangi mereka dengan pakaian terbaik dan bekal menjawab syubhat yang ada di sisi mereka. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan para sahabat lainnya tidak berpangku tangan dengan fitnah dan perselisihan. Ketika terdapat gonjang-ganjing, mereka tidak sekadar membicarakannya di ruang pribadi atau sibuk di majelis publik tanpa melibatkan penyebabnya. Namun, mereka mengutamakan dialog, tentu saja dengan kematangan ilmu di sisi mereka. Langkah utama ini menghasilkan banyak kebaikan dan mencegah banyak keburukan terjadi. Andai saja para sahabat di perjalanan ke Bani Quraizhah itu bertengkar dan saling keras, tentu mereka tak akan dapat menyelesaikan misi Rasulullah ﷺ. Apabila saat Nabi ﷺ wafat, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ikut larut dalam kesedihan dan mengedepankan emosinya, mungkin terjadi cek-cok yang tiada manfaatnya dengan Umar radhiyallahu ‘anhu yang tengah dikuasai rasa sedihnya. Jika dalam perselisihan Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhum tidak ada usulan tahkim, mungkin saja perselisihan tersebut berlarut-larut. Dan seandainya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tidak turun untuk memberantas syubhat Khawarij saat itu, mungkin saja terjadi pertumpahan besar di antara kaum muslimin. Ini adalah perandaian yang dimaksudkan untuk diambil pelajaran darinya. Sebab terdapat hikmah besar dari kelapangan hati berdialog tatkala berselisih. Yakni, selesainya masalah dan mencegah berbagai asumsi liar yang didapatkan dari banyaknya berbagi pikiran dengan orang yang tidak paham masalah ataupun kurang bijaksana. Semoga Allah ﷻ senantiasa memberikan kedamaian dan persatuan di antara kaum muslimin di atas kalimat yang hak dan tali agama Allah ﷻ yang kuat. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id   Referensi: أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syeikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah. Pemahaman teks dibantu oleh terjemahan Adab Ikhtilaf Para Sahabat, Penerbit Al-Kautsar. Baca kisah debat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu di sini: https://almanhaj.or.id/67742-kisah-debat-ibnu-abbas-dengan-khawarij.html Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan: Mengutamakan Dialog (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Mengutamakan berdialogMenguatkan argumentasi dan tidak saling bersikerasDialog dalam perselisihan besar Terjadinya perbedaan di dalam kehidupan ini adalah realita yang tak dapat terelakkan. Karena tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang tercipta sama persis. Pasti terdapat perbedaan di antara keduanya, bahkan hal ini pun kita maklumi pada orang yang terlahir kembar. Perbedaan itu pasti berpotensi melahirkan perselisihan, baik besar maupun kecil. Apalagi pada insan yang banyak perbedaannya, yaitu manusia dengan kompleksitasnya ketika tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perselisihan adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, keniscayaan akan perselisihan itu bukan berarti menjadikan kita berleha, santai, dan tidak melakukan pencegahan. Bahkan dalam Islam, perselisihan akibat perbedaan itu hendaknya diupayakan untuk diminimalisir dan segera diselesaikan jika sudah terjadi. Allah ﷻ berfirman tentang perintah bersatu, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103) Allah kaitkan perintah persatuan dengan mengingat nikmat Allah akan hal itu. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat persatuan di atas agama Allah adalah nikmat yang besar, sedangkan perselisihan, apalagi perpecahan, adalah ujian kesengsaraan. Maka, penting bagi kita untuk memiliki ilmu tentang fenomena perselisihan dan cara menyikapinya. Mengutamakan berdialog Salah satu langkah yang dianjurkan tatkala menghadapi perselisihan dan perbedaan adalah dengan mengutamakan dialog di antara pihak yang terkait. Berdialog adalah manhaj Nabi ﷺ dan para salaf tatkala terjadi perselisihan di antara mereka. Berbeda pendapat di kalangan mereka sering terjadi, tetapi tidak didiamkan semata tanpa solusi dan gontok-gontokan di belakang satu sama lain. Dalam masalah perbedaan paham fikih misalnya, para sahabat berbeda pemahaman atas sabda Nabi ﷺ, لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Janganlah ada satupun yang salat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. Bukhari no. 946 dan Muslim no. 1770) Para sahabat tidak hanya diam, lalu membiarkan perbedaan ini terjadi begitu saja. Atau salah satu pihak mengikuti pendapat yang lainnya, tetapi ngedumel di belakang. Akan tetapi, mereka berusaha berdialog dan menerangkan pemahaman mereka. Lalu berusaha mencari putusannya kepada otoritas terkait, yakni Nabi ﷺ yang tatkala itu masih hidup. Menguatkan argumentasi dan tidak saling bersikeras Dialog yang dilakukan pun tidak asal ngotot-ngototan, tetapi memiliki argumentasi yang kuat. Salah satu pihak yang tetap berhenti salat ashar, mereka mengatakan, وقالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لمْ يُرَدْ مِنّا ذلكَ “Dan sebagian lain berkata, “Justru kita akan salat (sekarang), karena itu (penundaan salat) tidaklah dimaksudkan demikian.” Atau dalam nukilan lainnya, لم يُرِدْ منّا رسولُ اللَّهِ ﷺ إلّا تَعجيلَ المسيرِ، ولم يُرِدْ منّا تأخيرَ الصَّلاةِ عَن وقتِها “Rasulullah ﷺ tidak menginginkan dari kita selain agar segera berangkat (bercepat-cepat dalam perjalanan), dan beliau tidak bermaksud agar kita menunda salat dari waktunya.” (Umdatut Tafsir, 1: 566; oleh Ahmad Syakir) Begitupula tatkala kesedihan meliputi Umar ketika Nabi ﷺ wafat. Dalam keadaan emosional Umar dan para sahabat lainnya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tetap memberikan perkataan dan argumentasi yang ilmiah dan logis, فقال: أما بعد، فمن كان منكم يعبد محمداً ؛ فإن محمداً قد مات، ومن كان يعبد الله؛ فإن الله حي لا يموت “Abu Bakar berkata, “Amma ba’du. Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha hidup dan tidak akan mati.” (HR. Bukhari no. 4097) Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu melandasi pernyataan tersebut dengan ayat, وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144) Lihatlah, bagaimana kematangan seorang muslim yang cerdas dan pemimpinnya kaum mukminin setelah para Nabi. Pada saat kondisi genting, beliau tetap bisa berargumentasi dengan tenang, tegas, tepat sasaran, dan menyentuh hati. Hal ini terbukti dengan respons para sahabat yang diwakili oleh Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau merasa seakan-akan belum pernah mendengar ayat itu diturunkan kepadanya. Baca juga: Keistimewaan Dakwah Salafus Saleh Dialog dalam perselisihan besar Hal ini pula yang dilakukan para sahabat tatkala terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan. Kedua belah pihak mengirimkan wakilnya untuk berdialog dan menemukan solusinya. Ini yang dilakukan ketika terjadi perselisihan Shiffin, antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Keduanya mengirimkan wakilnya yang cerdas untuk memutuskan permasalahan. Begitupula dalam gonjang-ganjing Khawarij yang muncul di masa Ali radhiyallahu ‘anhu. Tatkala itu, para Khawarij sudah hendak bergerak memberontak. Lalu, dengan gagah berani, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang memiliki kapabilitas serta pembawaan yang berwibawa mengajukan diri untuk berdialog dengan mereka. Meski Ali radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkannya, tetapi beliau tetap mengizinkannya. Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendatangi mereka dengan pakaian terbaik dan bekal menjawab syubhat yang ada di sisi mereka. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan para sahabat lainnya tidak berpangku tangan dengan fitnah dan perselisihan. Ketika terdapat gonjang-ganjing, mereka tidak sekadar membicarakannya di ruang pribadi atau sibuk di majelis publik tanpa melibatkan penyebabnya. Namun, mereka mengutamakan dialog, tentu saja dengan kematangan ilmu di sisi mereka. Langkah utama ini menghasilkan banyak kebaikan dan mencegah banyak keburukan terjadi. Andai saja para sahabat di perjalanan ke Bani Quraizhah itu bertengkar dan saling keras, tentu mereka tak akan dapat menyelesaikan misi Rasulullah ﷺ. Apabila saat Nabi ﷺ wafat, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ikut larut dalam kesedihan dan mengedepankan emosinya, mungkin terjadi cek-cok yang tiada manfaatnya dengan Umar radhiyallahu ‘anhu yang tengah dikuasai rasa sedihnya. Jika dalam perselisihan Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhum tidak ada usulan tahkim, mungkin saja perselisihan tersebut berlarut-larut. Dan seandainya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tidak turun untuk memberantas syubhat Khawarij saat itu, mungkin saja terjadi pertumpahan besar di antara kaum muslimin. Ini adalah perandaian yang dimaksudkan untuk diambil pelajaran darinya. Sebab terdapat hikmah besar dari kelapangan hati berdialog tatkala berselisih. Yakni, selesainya masalah dan mencegah berbagai asumsi liar yang didapatkan dari banyaknya berbagi pikiran dengan orang yang tidak paham masalah ataupun kurang bijaksana. Semoga Allah ﷻ senantiasa memberikan kedamaian dan persatuan di antara kaum muslimin di atas kalimat yang hak dan tali agama Allah ﷻ yang kuat. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id   Referensi: أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syeikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah. Pemahaman teks dibantu oleh terjemahan Adab Ikhtilaf Para Sahabat, Penerbit Al-Kautsar. Baca kisah debat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu di sini: https://almanhaj.or.id/67742-kisah-debat-ibnu-abbas-dengan-khawarij.html Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one
Daftar Isi Toggle Mengutamakan berdialogMenguatkan argumentasi dan tidak saling bersikerasDialog dalam perselisihan besar Terjadinya perbedaan di dalam kehidupan ini adalah realita yang tak dapat terelakkan. Karena tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang tercipta sama persis. Pasti terdapat perbedaan di antara keduanya, bahkan hal ini pun kita maklumi pada orang yang terlahir kembar. Perbedaan itu pasti berpotensi melahirkan perselisihan, baik besar maupun kecil. Apalagi pada insan yang banyak perbedaannya, yaitu manusia dengan kompleksitasnya ketika tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perselisihan adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, keniscayaan akan perselisihan itu bukan berarti menjadikan kita berleha, santai, dan tidak melakukan pencegahan. Bahkan dalam Islam, perselisihan akibat perbedaan itu hendaknya diupayakan untuk diminimalisir dan segera diselesaikan jika sudah terjadi. Allah ﷻ berfirman tentang perintah bersatu, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103) Allah kaitkan perintah persatuan dengan mengingat nikmat Allah akan hal itu. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat persatuan di atas agama Allah adalah nikmat yang besar, sedangkan perselisihan, apalagi perpecahan, adalah ujian kesengsaraan. Maka, penting bagi kita untuk memiliki ilmu tentang fenomena perselisihan dan cara menyikapinya. Mengutamakan berdialog Salah satu langkah yang dianjurkan tatkala menghadapi perselisihan dan perbedaan adalah dengan mengutamakan dialog di antara pihak yang terkait. Berdialog adalah manhaj Nabi ﷺ dan para salaf tatkala terjadi perselisihan di antara mereka. Berbeda pendapat di kalangan mereka sering terjadi, tetapi tidak didiamkan semata tanpa solusi dan gontok-gontokan di belakang satu sama lain. Dalam masalah perbedaan paham fikih misalnya, para sahabat berbeda pemahaman atas sabda Nabi ﷺ, لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Janganlah ada satupun yang salat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. Bukhari no. 946 dan Muslim no. 1770) Para sahabat tidak hanya diam, lalu membiarkan perbedaan ini terjadi begitu saja. Atau salah satu pihak mengikuti pendapat yang lainnya, tetapi ngedumel di belakang. Akan tetapi, mereka berusaha berdialog dan menerangkan pemahaman mereka. Lalu berusaha mencari putusannya kepada otoritas terkait, yakni Nabi ﷺ yang tatkala itu masih hidup. Menguatkan argumentasi dan tidak saling bersikeras Dialog yang dilakukan pun tidak asal ngotot-ngototan, tetapi memiliki argumentasi yang kuat. Salah satu pihak yang tetap berhenti salat ashar, mereka mengatakan, وقالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لمْ يُرَدْ مِنّا ذلكَ “Dan sebagian lain berkata, “Justru kita akan salat (sekarang), karena itu (penundaan salat) tidaklah dimaksudkan demikian.” Atau dalam nukilan lainnya, لم يُرِدْ منّا رسولُ اللَّهِ ﷺ إلّا تَعجيلَ المسيرِ، ولم يُرِدْ منّا تأخيرَ الصَّلاةِ عَن وقتِها “Rasulullah ﷺ tidak menginginkan dari kita selain agar segera berangkat (bercepat-cepat dalam perjalanan), dan beliau tidak bermaksud agar kita menunda salat dari waktunya.” (Umdatut Tafsir, 1: 566; oleh Ahmad Syakir) Begitupula tatkala kesedihan meliputi Umar ketika Nabi ﷺ wafat. Dalam keadaan emosional Umar dan para sahabat lainnya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tetap memberikan perkataan dan argumentasi yang ilmiah dan logis, فقال: أما بعد، فمن كان منكم يعبد محمداً ؛ فإن محمداً قد مات، ومن كان يعبد الله؛ فإن الله حي لا يموت “Abu Bakar berkata, “Amma ba’du. Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha hidup dan tidak akan mati.” (HR. Bukhari no. 4097) Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu melandasi pernyataan tersebut dengan ayat, وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144) Lihatlah, bagaimana kematangan seorang muslim yang cerdas dan pemimpinnya kaum mukminin setelah para Nabi. Pada saat kondisi genting, beliau tetap bisa berargumentasi dengan tenang, tegas, tepat sasaran, dan menyentuh hati. Hal ini terbukti dengan respons para sahabat yang diwakili oleh Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau merasa seakan-akan belum pernah mendengar ayat itu diturunkan kepadanya. Baca juga: Keistimewaan Dakwah Salafus Saleh Dialog dalam perselisihan besar Hal ini pula yang dilakukan para sahabat tatkala terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan. Kedua belah pihak mengirimkan wakilnya untuk berdialog dan menemukan solusinya. Ini yang dilakukan ketika terjadi perselisihan Shiffin, antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Keduanya mengirimkan wakilnya yang cerdas untuk memutuskan permasalahan. Begitupula dalam gonjang-ganjing Khawarij yang muncul di masa Ali radhiyallahu ‘anhu. Tatkala itu, para Khawarij sudah hendak bergerak memberontak. Lalu, dengan gagah berani, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang memiliki kapabilitas serta pembawaan yang berwibawa mengajukan diri untuk berdialog dengan mereka. Meski Ali radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkannya, tetapi beliau tetap mengizinkannya. Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendatangi mereka dengan pakaian terbaik dan bekal menjawab syubhat yang ada di sisi mereka. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan para sahabat lainnya tidak berpangku tangan dengan fitnah dan perselisihan. Ketika terdapat gonjang-ganjing, mereka tidak sekadar membicarakannya di ruang pribadi atau sibuk di majelis publik tanpa melibatkan penyebabnya. Namun, mereka mengutamakan dialog, tentu saja dengan kematangan ilmu di sisi mereka. Langkah utama ini menghasilkan banyak kebaikan dan mencegah banyak keburukan terjadi. Andai saja para sahabat di perjalanan ke Bani Quraizhah itu bertengkar dan saling keras, tentu mereka tak akan dapat menyelesaikan misi Rasulullah ﷺ. Apabila saat Nabi ﷺ wafat, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ikut larut dalam kesedihan dan mengedepankan emosinya, mungkin terjadi cek-cok yang tiada manfaatnya dengan Umar radhiyallahu ‘anhu yang tengah dikuasai rasa sedihnya. Jika dalam perselisihan Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhum tidak ada usulan tahkim, mungkin saja perselisihan tersebut berlarut-larut. Dan seandainya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tidak turun untuk memberantas syubhat Khawarij saat itu, mungkin saja terjadi pertumpahan besar di antara kaum muslimin. Ini adalah perandaian yang dimaksudkan untuk diambil pelajaran darinya. Sebab terdapat hikmah besar dari kelapangan hati berdialog tatkala berselisih. Yakni, selesainya masalah dan mencegah berbagai asumsi liar yang didapatkan dari banyaknya berbagi pikiran dengan orang yang tidak paham masalah ataupun kurang bijaksana. Semoga Allah ﷻ senantiasa memberikan kedamaian dan persatuan di antara kaum muslimin di atas kalimat yang hak dan tali agama Allah ﷻ yang kuat. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id   Referensi: أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syeikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah. Pemahaman teks dibantu oleh terjemahan Adab Ikhtilaf Para Sahabat, Penerbit Al-Kautsar. Baca kisah debat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu di sini: https://almanhaj.or.id/67742-kisah-debat-ibnu-abbas-dengan-khawarij.html Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one


Daftar Isi Toggle Mengutamakan berdialogMenguatkan argumentasi dan tidak saling bersikerasDialog dalam perselisihan besar Terjadinya perbedaan di dalam kehidupan ini adalah realita yang tak dapat terelakkan. Karena tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang tercipta sama persis. Pasti terdapat perbedaan di antara keduanya, bahkan hal ini pun kita maklumi pada orang yang terlahir kembar. Perbedaan itu pasti berpotensi melahirkan perselisihan, baik besar maupun kecil. Apalagi pada insan yang banyak perbedaannya, yaitu manusia dengan kompleksitasnya ketika tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perselisihan adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, keniscayaan akan perselisihan itu bukan berarti menjadikan kita berleha, santai, dan tidak melakukan pencegahan. Bahkan dalam Islam, perselisihan akibat perbedaan itu hendaknya diupayakan untuk diminimalisir dan segera diselesaikan jika sudah terjadi. Allah ﷻ berfirman tentang perintah bersatu, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103) Allah kaitkan perintah persatuan dengan mengingat nikmat Allah akan hal itu. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat persatuan di atas agama Allah adalah nikmat yang besar, sedangkan perselisihan, apalagi perpecahan, adalah ujian kesengsaraan. Maka, penting bagi kita untuk memiliki ilmu tentang fenomena perselisihan dan cara menyikapinya. Mengutamakan berdialog Salah satu langkah yang dianjurkan tatkala menghadapi perselisihan dan perbedaan adalah dengan mengutamakan dialog di antara pihak yang terkait. Berdialog adalah manhaj Nabi ﷺ dan para salaf tatkala terjadi perselisihan di antara mereka. Berbeda pendapat di kalangan mereka sering terjadi, tetapi tidak didiamkan semata tanpa solusi dan gontok-gontokan di belakang satu sama lain. Dalam masalah perbedaan paham fikih misalnya, para sahabat berbeda pemahaman atas sabda Nabi ﷺ, لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Janganlah ada satupun yang salat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. Bukhari no. 946 dan Muslim no. 1770) Para sahabat tidak hanya diam, lalu membiarkan perbedaan ini terjadi begitu saja. Atau salah satu pihak mengikuti pendapat yang lainnya, tetapi ngedumel di belakang. Akan tetapi, mereka berusaha berdialog dan menerangkan pemahaman mereka. Lalu berusaha mencari putusannya kepada otoritas terkait, yakni Nabi ﷺ yang tatkala itu masih hidup. Menguatkan argumentasi dan tidak saling bersikeras Dialog yang dilakukan pun tidak asal ngotot-ngototan, tetapi memiliki argumentasi yang kuat. Salah satu pihak yang tetap berhenti salat ashar, mereka mengatakan, وقالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لمْ يُرَدْ مِنّا ذلكَ “Dan sebagian lain berkata, “Justru kita akan salat (sekarang), karena itu (penundaan salat) tidaklah dimaksudkan demikian.” Atau dalam nukilan lainnya, لم يُرِدْ منّا رسولُ اللَّهِ ﷺ إلّا تَعجيلَ المسيرِ، ولم يُرِدْ منّا تأخيرَ الصَّلاةِ عَن وقتِها “Rasulullah ﷺ tidak menginginkan dari kita selain agar segera berangkat (bercepat-cepat dalam perjalanan), dan beliau tidak bermaksud agar kita menunda salat dari waktunya.” (Umdatut Tafsir, 1: 566; oleh Ahmad Syakir) Begitupula tatkala kesedihan meliputi Umar ketika Nabi ﷺ wafat. Dalam keadaan emosional Umar dan para sahabat lainnya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tetap memberikan perkataan dan argumentasi yang ilmiah dan logis, فقال: أما بعد، فمن كان منكم يعبد محمداً ؛ فإن محمداً قد مات، ومن كان يعبد الله؛ فإن الله حي لا يموت “Abu Bakar berkata, “Amma ba’du. Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha hidup dan tidak akan mati.” (HR. Bukhari no. 4097) Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu melandasi pernyataan tersebut dengan ayat, وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144) Lihatlah, bagaimana kematangan seorang muslim yang cerdas dan pemimpinnya kaum mukminin setelah para Nabi. Pada saat kondisi genting, beliau tetap bisa berargumentasi dengan tenang, tegas, tepat sasaran, dan menyentuh hati. Hal ini terbukti dengan respons para sahabat yang diwakili oleh Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau merasa seakan-akan belum pernah mendengar ayat itu diturunkan kepadanya. Baca juga: Keistimewaan Dakwah Salafus Saleh Dialog dalam perselisihan besar Hal ini pula yang dilakukan para sahabat tatkala terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan. Kedua belah pihak mengirimkan wakilnya untuk berdialog dan menemukan solusinya. Ini yang dilakukan ketika terjadi perselisihan Shiffin, antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Keduanya mengirimkan wakilnya yang cerdas untuk memutuskan permasalahan. Begitupula dalam gonjang-ganjing Khawarij yang muncul di masa Ali radhiyallahu ‘anhu. Tatkala itu, para Khawarij sudah hendak bergerak memberontak. Lalu, dengan gagah berani, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang memiliki kapabilitas serta pembawaan yang berwibawa mengajukan diri untuk berdialog dengan mereka. Meski Ali radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkannya, tetapi beliau tetap mengizinkannya. Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendatangi mereka dengan pakaian terbaik dan bekal menjawab syubhat yang ada di sisi mereka. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan para sahabat lainnya tidak berpangku tangan dengan fitnah dan perselisihan. Ketika terdapat gonjang-ganjing, mereka tidak sekadar membicarakannya di ruang pribadi atau sibuk di majelis publik tanpa melibatkan penyebabnya. Namun, mereka mengutamakan dialog, tentu saja dengan kematangan ilmu di sisi mereka. Langkah utama ini menghasilkan banyak kebaikan dan mencegah banyak keburukan terjadi. Andai saja para sahabat di perjalanan ke Bani Quraizhah itu bertengkar dan saling keras, tentu mereka tak akan dapat menyelesaikan misi Rasulullah ﷺ. Apabila saat Nabi ﷺ wafat, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ikut larut dalam kesedihan dan mengedepankan emosinya, mungkin terjadi cek-cok yang tiada manfaatnya dengan Umar radhiyallahu ‘anhu yang tengah dikuasai rasa sedihnya. Jika dalam perselisihan Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhum tidak ada usulan tahkim, mungkin saja perselisihan tersebut berlarut-larut. Dan seandainya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tidak turun untuk memberantas syubhat Khawarij saat itu, mungkin saja terjadi pertumpahan besar di antara kaum muslimin. Ini adalah perandaian yang dimaksudkan untuk diambil pelajaran darinya. Sebab terdapat hikmah besar dari kelapangan hati berdialog tatkala berselisih. Yakni, selesainya masalah dan mencegah berbagai asumsi liar yang didapatkan dari banyaknya berbagi pikiran dengan orang yang tidak paham masalah ataupun kurang bijaksana. Semoga Allah ﷻ senantiasa memberikan kedamaian dan persatuan di antara kaum muslimin di atas kalimat yang hak dan tali agama Allah ﷻ yang kuat. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id   Referensi: أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syeikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah. Pemahaman teks dibantu oleh terjemahan Adab Ikhtilaf Para Sahabat, Penerbit Al-Kautsar. Baca kisah debat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu di sini: https://almanhaj.or.id/67742-kisah-debat-ibnu-abbas-dengan-khawarij.html Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one

Inilah Cara Muslim Cerdas Berlomba dengan Cepatnya Waktu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Saudara-saudara! Kita menyaksikan betapa cepatnya malam dan siang berlalu dengan kecepatan yang menakjubkan. Baru saja bulan dimulai, tahu-tahu sudah berakhir dengan cepat. Bahkan, baru saja tahun dimulai, tahu-tahu sudah berlalu begitu cepat. Kecepatan seperti ini adalah sesuatu yang mengerikan bagi manusia. Karena itu menunjukkan betapa cepat habisnya umur. Umur seseorang berlalu begitu cepat, hingga ia berjumpa dengan Rabb-nya. “Wahai manusia! Sungguh kamu telah bekerja keras menuju (pertemuan) dengan Tuhanmu, dan kamu pasti menghadap kepada-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Di antara hal-hal baik yang sepatutnya dilakukan seorang muslim dalam menghadapi cepatnya berlalu malam dan siang adalah menjalankan amalan-amalan sunah setiap hari setelah konsisten menjalankan amalan-amalan wajib. Karena seiring dengan cepatnya berlalu malam dan siang, amal-amal saleh ini menjadi banyak. Sebagai contoh, apabila seseorang berkomitmen setiap hari membaca satu juz dari Al-Qur’an, maka berarti dalam sebulan ia telah membaca 30 juz Al-Qur’an. Dalam setahun, berarti ia telah membaca lebih dari 350 juz Al-Qur’an. Begitu pula halnya dengan amalan-amalan saleh lainnya. Seiring cepatnya malam dan siang berlalu, apabila engkau memiliki amalan sunah yang rutin engkau lakukan setiap hari, niscaya engkau akan bahagia saat bulan berganti, karena engkau ingat telah mengamalkan amalan tersebut sebanyak 30 kali. Saat tahun berganti, engkau akan bergembira dan bersuka cita, karena engkau mengingat bahwa amalan tersebut telah engkau kerjakan lebih dari 350 kali. Ini hendaknya senantiasa disadari oleh setiap muslim. Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memiliki amalan sunah yang rutin engkau jaga setelah menjaga amalan-amalan wajib. Selain pahala dan ganjaran besar yang engkau dapatkan dari amalan sunah tersebut, engkau juga mendapatkan manfaat lain. Pertama: Amalan ini dicintai oleh Allah Ta’ala. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Amalan tersebut akan menjadi banyak. Terutama dengan cepatnya waktu berlalu, malam dan siang silih berganti. Ketiga: Jika seorang muslim mendapat halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, pahalanya tetap tercatat secara sempurna untuknya. Selama sebelumnya ia terbiasa menjaga amalan saleh tersebut, dan kali ini ia tidak melakukannya karena suatu halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, maka pahalanya tetap tercatat baginya dengan sempurna. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, Allah tetap menuliskan pahala sebagaimana yang biasa ia lakukan saat sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari) Maka jadikanlah ini sebagai prinsip hidupmu, wahai saudaraku muslim! Bersemangatlah untuk menjaga amalan-amalan sunah yang engkau lakukan secara konsisten setiap hari setelah menjaga amalan-amalan wajib. ==== نَرَى أَيُّهَا الإِخْوَةُ سُرْعَةَ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ سُرْعَةً عَجِيبَةً مَا إِنْ يَبْدَأْ الشَّهْرُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي بَلْ مَا إِنْ يَبْدَأْ الْعَامُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي هَذِه السُّرْعَةُ سُرْعَةٌ مُخِيفَةٌ لِلْإِنْسَانِ لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى سُرْعَةِ تَصَرُّمِ الْعُمْرِ وَأَنَّ الْعُمْرَ يَمْضِي بِسُرْعَةٍ حَتَّى يَلْقَى الْمُسْلِمُ رَبَّهُ يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ وَمِنَ الْأُمُورِ الْحَسَنَةِ مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يَفْعَلَهَا الْمُسْلِمُ أَنْ يَجْعَلَ لَهُ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَالْوَاجِبَاتِ نَوَافِلَ يُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّهُ بِسُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ تَكُونُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ كَثِيرَةً فَلَوْ أَنَّهُ مَثَلًا الْتَزَمَ كُلَّ يَوْمٍ أَنْ يَقْرَأَ جُزْءًا مِنَ الْقُرْآنِ مَثَلًا فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ عِنْدَ مُرُورِ الشَّهْرِ يَكُونُ قَدْ قَرَأَ ثَلَاثِيْنَ جُزْءًا عِنْدَ مُرُورِ السَّنَةِ قَدْ قَرَأَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِيْنَ جُزْءًا وَهَكَذَا بِالنِّسْبَةِ لِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَمَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ نَوَافِلُ تُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّكَ سَتَفْرَحُ عِنْدَمَا يَمْضِي الشَّهْرُ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ ثَلَاثِيْنَ مَرَّةً عِنْدَمَا يَنْقَضِي الْعَامُ تَفْرَحُ وَتُسَرُّ لِأَنَّكَ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِينَ مَرَّةً فَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا لَدَى الْمُسْلِمِ احْرِصْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى أَنْ تَجْعَلَ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَتَسْتَفِيدُ مَعَ ذَلِكَ يَعْنِي مَعَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَحْصُلُ لَكَ بِهَذِهِ النَّوَافِلِ أَوَّلًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ مَحْبُوبٌ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَانِيًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ يَكُونُ كَثِيرًاخَاصَّةً مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ أَنَّهُ إِذَا عَرَضَ لِلْمُسْلِمِ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا مَا دَامَ أَنَّهُ مُحَافِظٌ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍ لَكِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْهُ بِسَبَبِ عَارِضٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا فَاجْعَلْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَكَ احْرِصْ عَلَى أَنْ تُحَافِظَ عَلَى نَوَافِلَ تُدَاوِمُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ

Inilah Cara Muslim Cerdas Berlomba dengan Cepatnya Waktu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Saudara-saudara! Kita menyaksikan betapa cepatnya malam dan siang berlalu dengan kecepatan yang menakjubkan. Baru saja bulan dimulai, tahu-tahu sudah berakhir dengan cepat. Bahkan, baru saja tahun dimulai, tahu-tahu sudah berlalu begitu cepat. Kecepatan seperti ini adalah sesuatu yang mengerikan bagi manusia. Karena itu menunjukkan betapa cepat habisnya umur. Umur seseorang berlalu begitu cepat, hingga ia berjumpa dengan Rabb-nya. “Wahai manusia! Sungguh kamu telah bekerja keras menuju (pertemuan) dengan Tuhanmu, dan kamu pasti menghadap kepada-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Di antara hal-hal baik yang sepatutnya dilakukan seorang muslim dalam menghadapi cepatnya berlalu malam dan siang adalah menjalankan amalan-amalan sunah setiap hari setelah konsisten menjalankan amalan-amalan wajib. Karena seiring dengan cepatnya berlalu malam dan siang, amal-amal saleh ini menjadi banyak. Sebagai contoh, apabila seseorang berkomitmen setiap hari membaca satu juz dari Al-Qur’an, maka berarti dalam sebulan ia telah membaca 30 juz Al-Qur’an. Dalam setahun, berarti ia telah membaca lebih dari 350 juz Al-Qur’an. Begitu pula halnya dengan amalan-amalan saleh lainnya. Seiring cepatnya malam dan siang berlalu, apabila engkau memiliki amalan sunah yang rutin engkau lakukan setiap hari, niscaya engkau akan bahagia saat bulan berganti, karena engkau ingat telah mengamalkan amalan tersebut sebanyak 30 kali. Saat tahun berganti, engkau akan bergembira dan bersuka cita, karena engkau mengingat bahwa amalan tersebut telah engkau kerjakan lebih dari 350 kali. Ini hendaknya senantiasa disadari oleh setiap muslim. Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memiliki amalan sunah yang rutin engkau jaga setelah menjaga amalan-amalan wajib. Selain pahala dan ganjaran besar yang engkau dapatkan dari amalan sunah tersebut, engkau juga mendapatkan manfaat lain. Pertama: Amalan ini dicintai oleh Allah Ta’ala. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Amalan tersebut akan menjadi banyak. Terutama dengan cepatnya waktu berlalu, malam dan siang silih berganti. Ketiga: Jika seorang muslim mendapat halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, pahalanya tetap tercatat secara sempurna untuknya. Selama sebelumnya ia terbiasa menjaga amalan saleh tersebut, dan kali ini ia tidak melakukannya karena suatu halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, maka pahalanya tetap tercatat baginya dengan sempurna. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, Allah tetap menuliskan pahala sebagaimana yang biasa ia lakukan saat sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari) Maka jadikanlah ini sebagai prinsip hidupmu, wahai saudaraku muslim! Bersemangatlah untuk menjaga amalan-amalan sunah yang engkau lakukan secara konsisten setiap hari setelah menjaga amalan-amalan wajib. ==== نَرَى أَيُّهَا الإِخْوَةُ سُرْعَةَ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ سُرْعَةً عَجِيبَةً مَا إِنْ يَبْدَأْ الشَّهْرُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي بَلْ مَا إِنْ يَبْدَأْ الْعَامُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي هَذِه السُّرْعَةُ سُرْعَةٌ مُخِيفَةٌ لِلْإِنْسَانِ لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى سُرْعَةِ تَصَرُّمِ الْعُمْرِ وَأَنَّ الْعُمْرَ يَمْضِي بِسُرْعَةٍ حَتَّى يَلْقَى الْمُسْلِمُ رَبَّهُ يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ وَمِنَ الْأُمُورِ الْحَسَنَةِ مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يَفْعَلَهَا الْمُسْلِمُ أَنْ يَجْعَلَ لَهُ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَالْوَاجِبَاتِ نَوَافِلَ يُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّهُ بِسُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ تَكُونُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ كَثِيرَةً فَلَوْ أَنَّهُ مَثَلًا الْتَزَمَ كُلَّ يَوْمٍ أَنْ يَقْرَأَ جُزْءًا مِنَ الْقُرْآنِ مَثَلًا فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ عِنْدَ مُرُورِ الشَّهْرِ يَكُونُ قَدْ قَرَأَ ثَلَاثِيْنَ جُزْءًا عِنْدَ مُرُورِ السَّنَةِ قَدْ قَرَأَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِيْنَ جُزْءًا وَهَكَذَا بِالنِّسْبَةِ لِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَمَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ نَوَافِلُ تُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّكَ سَتَفْرَحُ عِنْدَمَا يَمْضِي الشَّهْرُ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ ثَلَاثِيْنَ مَرَّةً عِنْدَمَا يَنْقَضِي الْعَامُ تَفْرَحُ وَتُسَرُّ لِأَنَّكَ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِينَ مَرَّةً فَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا لَدَى الْمُسْلِمِ احْرِصْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى أَنْ تَجْعَلَ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَتَسْتَفِيدُ مَعَ ذَلِكَ يَعْنِي مَعَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَحْصُلُ لَكَ بِهَذِهِ النَّوَافِلِ أَوَّلًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ مَحْبُوبٌ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَانِيًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ يَكُونُ كَثِيرًاخَاصَّةً مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ أَنَّهُ إِذَا عَرَضَ لِلْمُسْلِمِ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا مَا دَامَ أَنَّهُ مُحَافِظٌ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍ لَكِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْهُ بِسَبَبِ عَارِضٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا فَاجْعَلْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَكَ احْرِصْ عَلَى أَنْ تُحَافِظَ عَلَى نَوَافِلَ تُدَاوِمُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ
Saudara-saudara! Kita menyaksikan betapa cepatnya malam dan siang berlalu dengan kecepatan yang menakjubkan. Baru saja bulan dimulai, tahu-tahu sudah berakhir dengan cepat. Bahkan, baru saja tahun dimulai, tahu-tahu sudah berlalu begitu cepat. Kecepatan seperti ini adalah sesuatu yang mengerikan bagi manusia. Karena itu menunjukkan betapa cepat habisnya umur. Umur seseorang berlalu begitu cepat, hingga ia berjumpa dengan Rabb-nya. “Wahai manusia! Sungguh kamu telah bekerja keras menuju (pertemuan) dengan Tuhanmu, dan kamu pasti menghadap kepada-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Di antara hal-hal baik yang sepatutnya dilakukan seorang muslim dalam menghadapi cepatnya berlalu malam dan siang adalah menjalankan amalan-amalan sunah setiap hari setelah konsisten menjalankan amalan-amalan wajib. Karena seiring dengan cepatnya berlalu malam dan siang, amal-amal saleh ini menjadi banyak. Sebagai contoh, apabila seseorang berkomitmen setiap hari membaca satu juz dari Al-Qur’an, maka berarti dalam sebulan ia telah membaca 30 juz Al-Qur’an. Dalam setahun, berarti ia telah membaca lebih dari 350 juz Al-Qur’an. Begitu pula halnya dengan amalan-amalan saleh lainnya. Seiring cepatnya malam dan siang berlalu, apabila engkau memiliki amalan sunah yang rutin engkau lakukan setiap hari, niscaya engkau akan bahagia saat bulan berganti, karena engkau ingat telah mengamalkan amalan tersebut sebanyak 30 kali. Saat tahun berganti, engkau akan bergembira dan bersuka cita, karena engkau mengingat bahwa amalan tersebut telah engkau kerjakan lebih dari 350 kali. Ini hendaknya senantiasa disadari oleh setiap muslim. Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memiliki amalan sunah yang rutin engkau jaga setelah menjaga amalan-amalan wajib. Selain pahala dan ganjaran besar yang engkau dapatkan dari amalan sunah tersebut, engkau juga mendapatkan manfaat lain. Pertama: Amalan ini dicintai oleh Allah Ta’ala. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Amalan tersebut akan menjadi banyak. Terutama dengan cepatnya waktu berlalu, malam dan siang silih berganti. Ketiga: Jika seorang muslim mendapat halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, pahalanya tetap tercatat secara sempurna untuknya. Selama sebelumnya ia terbiasa menjaga amalan saleh tersebut, dan kali ini ia tidak melakukannya karena suatu halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, maka pahalanya tetap tercatat baginya dengan sempurna. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, Allah tetap menuliskan pahala sebagaimana yang biasa ia lakukan saat sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari) Maka jadikanlah ini sebagai prinsip hidupmu, wahai saudaraku muslim! Bersemangatlah untuk menjaga amalan-amalan sunah yang engkau lakukan secara konsisten setiap hari setelah menjaga amalan-amalan wajib. ==== نَرَى أَيُّهَا الإِخْوَةُ سُرْعَةَ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ سُرْعَةً عَجِيبَةً مَا إِنْ يَبْدَأْ الشَّهْرُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي بَلْ مَا إِنْ يَبْدَأْ الْعَامُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي هَذِه السُّرْعَةُ سُرْعَةٌ مُخِيفَةٌ لِلْإِنْسَانِ لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى سُرْعَةِ تَصَرُّمِ الْعُمْرِ وَأَنَّ الْعُمْرَ يَمْضِي بِسُرْعَةٍ حَتَّى يَلْقَى الْمُسْلِمُ رَبَّهُ يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ وَمِنَ الْأُمُورِ الْحَسَنَةِ مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يَفْعَلَهَا الْمُسْلِمُ أَنْ يَجْعَلَ لَهُ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَالْوَاجِبَاتِ نَوَافِلَ يُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّهُ بِسُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ تَكُونُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ كَثِيرَةً فَلَوْ أَنَّهُ مَثَلًا الْتَزَمَ كُلَّ يَوْمٍ أَنْ يَقْرَأَ جُزْءًا مِنَ الْقُرْآنِ مَثَلًا فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ عِنْدَ مُرُورِ الشَّهْرِ يَكُونُ قَدْ قَرَأَ ثَلَاثِيْنَ جُزْءًا عِنْدَ مُرُورِ السَّنَةِ قَدْ قَرَأَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِيْنَ جُزْءًا وَهَكَذَا بِالنِّسْبَةِ لِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَمَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ نَوَافِلُ تُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّكَ سَتَفْرَحُ عِنْدَمَا يَمْضِي الشَّهْرُ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ ثَلَاثِيْنَ مَرَّةً عِنْدَمَا يَنْقَضِي الْعَامُ تَفْرَحُ وَتُسَرُّ لِأَنَّكَ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِينَ مَرَّةً فَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا لَدَى الْمُسْلِمِ احْرِصْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى أَنْ تَجْعَلَ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَتَسْتَفِيدُ مَعَ ذَلِكَ يَعْنِي مَعَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَحْصُلُ لَكَ بِهَذِهِ النَّوَافِلِ أَوَّلًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ مَحْبُوبٌ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَانِيًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ يَكُونُ كَثِيرًاخَاصَّةً مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ أَنَّهُ إِذَا عَرَضَ لِلْمُسْلِمِ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا مَا دَامَ أَنَّهُ مُحَافِظٌ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍ لَكِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْهُ بِسَبَبِ عَارِضٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا فَاجْعَلْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَكَ احْرِصْ عَلَى أَنْ تُحَافِظَ عَلَى نَوَافِلَ تُدَاوِمُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ


Saudara-saudara! Kita menyaksikan betapa cepatnya malam dan siang berlalu dengan kecepatan yang menakjubkan. Baru saja bulan dimulai, tahu-tahu sudah berakhir dengan cepat. Bahkan, baru saja tahun dimulai, tahu-tahu sudah berlalu begitu cepat. Kecepatan seperti ini adalah sesuatu yang mengerikan bagi manusia. Karena itu menunjukkan betapa cepat habisnya umur. Umur seseorang berlalu begitu cepat, hingga ia berjumpa dengan Rabb-nya. “Wahai manusia! Sungguh kamu telah bekerja keras menuju (pertemuan) dengan Tuhanmu, dan kamu pasti menghadap kepada-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Di antara hal-hal baik yang sepatutnya dilakukan seorang muslim dalam menghadapi cepatnya berlalu malam dan siang adalah menjalankan amalan-amalan sunah setiap hari setelah konsisten menjalankan amalan-amalan wajib. Karena seiring dengan cepatnya berlalu malam dan siang, amal-amal saleh ini menjadi banyak. Sebagai contoh, apabila seseorang berkomitmen setiap hari membaca satu juz dari Al-Qur’an, maka berarti dalam sebulan ia telah membaca 30 juz Al-Qur’an. Dalam setahun, berarti ia telah membaca lebih dari 350 juz Al-Qur’an. Begitu pula halnya dengan amalan-amalan saleh lainnya. Seiring cepatnya malam dan siang berlalu, apabila engkau memiliki amalan sunah yang rutin engkau lakukan setiap hari, niscaya engkau akan bahagia saat bulan berganti, karena engkau ingat telah mengamalkan amalan tersebut sebanyak 30 kali. Saat tahun berganti, engkau akan bergembira dan bersuka cita, karena engkau mengingat bahwa amalan tersebut telah engkau kerjakan lebih dari 350 kali. Ini hendaknya senantiasa disadari oleh setiap muslim. Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memiliki amalan sunah yang rutin engkau jaga setelah menjaga amalan-amalan wajib. Selain pahala dan ganjaran besar yang engkau dapatkan dari amalan sunah tersebut, engkau juga mendapatkan manfaat lain. Pertama: Amalan ini dicintai oleh Allah Ta’ala. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Amalan tersebut akan menjadi banyak. Terutama dengan cepatnya waktu berlalu, malam dan siang silih berganti. Ketiga: Jika seorang muslim mendapat halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, pahalanya tetap tercatat secara sempurna untuknya. Selama sebelumnya ia terbiasa menjaga amalan saleh tersebut, dan kali ini ia tidak melakukannya karena suatu halangan seperti sakit atau bepergian atau lainnya, maka pahalanya tetap tercatat baginya dengan sempurna. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, Allah tetap menuliskan pahala sebagaimana yang biasa ia lakukan saat sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari) Maka jadikanlah ini sebagai prinsip hidupmu, wahai saudaraku muslim! Bersemangatlah untuk menjaga amalan-amalan sunah yang engkau lakukan secara konsisten setiap hari setelah menjaga amalan-amalan wajib. ==== نَرَى أَيُّهَا الإِخْوَةُ سُرْعَةَ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ سُرْعَةً عَجِيبَةً مَا إِنْ يَبْدَأْ الشَّهْرُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي بَلْ مَا إِنْ يَبْدَأْ الْعَامُ إِلَّا وَسُرْعَانَ مَا يَنْقَضِي هَذِه السُّرْعَةُ سُرْعَةٌ مُخِيفَةٌ لِلْإِنْسَانِ لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى سُرْعَةِ تَصَرُّمِ الْعُمْرِ وَأَنَّ الْعُمْرَ يَمْضِي بِسُرْعَةٍ حَتَّى يَلْقَى الْمُسْلِمُ رَبَّهُ يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ وَمِنَ الْأُمُورِ الْحَسَنَةِ مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يَفْعَلَهَا الْمُسْلِمُ أَنْ يَجْعَلَ لَهُ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَالْوَاجِبَاتِ نَوَافِلَ يُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّهُ بِسُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ تَكُونُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ كَثِيرَةً فَلَوْ أَنَّهُ مَثَلًا الْتَزَمَ كُلَّ يَوْمٍ أَنْ يَقْرَأَ جُزْءًا مِنَ الْقُرْآنِ مَثَلًا فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ عِنْدَ مُرُورِ الشَّهْرِ يَكُونُ قَدْ قَرَأَ ثَلَاثِيْنَ جُزْءًا عِنْدَ مُرُورِ السَّنَةِ قَدْ قَرَأَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِيْنَ جُزْءًا وَهَكَذَا بِالنِّسْبَةِ لِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَمَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ نَوَافِلُ تُحَافِظُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَإِنَّكَ سَتَفْرَحُ عِنْدَمَا يَمْضِي الشَّهْرُ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ ثَلَاثِيْنَ مَرَّةً عِنْدَمَا يَنْقَضِي الْعَامُ تَفْرَحُ وَتُسَرُّ لِأَنَّكَ تَتَذَكَّرُ أَنَّكَ عَمِلْتَ هَذَا الْعَمَلَ الصَّالِحَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَخَمْسِينَ مَرَّةً فَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا لَدَى الْمُسْلِمِ احْرِصْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى أَنْ تَجْعَلَ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَتَسْتَفِيدُ مَعَ ذَلِكَ يَعْنِي مَعَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَحْصُلُ لَكَ بِهَذِهِ النَّوَافِلِ أَوَّلًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ مَحْبُوبٌ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَانِيًا أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ يَكُونُ كَثِيرًاخَاصَّةً مَعَ سُرْعَةِ مُرُورِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ أَنَّهُ إِذَا عَرَضَ لِلْمُسْلِمِ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا مَا دَامَ أَنَّهُ مُحَافِظٌ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍ لَكِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْهُ بِسَبَبِ عَارِضٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا فَاجْعَلْ يَا أَخِي الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَكَ احْرِصْ عَلَى أَنْ تُحَافِظَ عَلَى نَوَافِلَ تُدَاوِمُ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ بَعْدَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah hajiTujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji Di antara tujuan ibadah haji adalah menyaksikan dan merasakan manfaat-manfaat yang besar dari ibadah haji, serta mendapatkan pelajaran membekas yang beraneka ragam ketika melaksanakannya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Manfaat dan faedah dari ibadah haji tidak terbatas jumlahnya, begitu pula dengan pelajaran-pelajaran penting yang ada di dalamnya. Allah menyebutkan di dalam ayat dengan ungkapan (مَنَافِعَ) (berbagai manfaat), yang menunjukkan banyak sekali manfaat yang ada. Disebutkan dalam bentuk isim nakirah, mengisyaratkan bahwa terdapat banyak sekali ragam dan jumlahnya. Terwujudnya manfaat-manfaat ini merupakan bagian dari tujuan ibadah haji, karena huruf lam dalam firman Allah, (لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ) (Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka) adalah lam ta’lil. Huruf ini berkaitan dengan penyebutan alasan dalam firman Allah sebelumnya, (وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) (Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus). Maksudnya, ketika telah diumumkan untuk menunaikan haji dengan berjalan kaki atau berkendara, tujuannya adalah agar mereka bisa melihat manfat-manfaat ibadah haji, yaitu bisa merasakannya dan mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi setiap hamba yang Allah anugerahkan bisa melakukan ketaatan ini dan Allah mudahkan baginya untuk menunaikannya, agar bisa bersemangat dengan sungguh-sungguh supaya bisa meraih manfaat dan faedah dari ibadah haji. Hal tersebut sebagai tambahan dari apa yang dia dapatkan dari ibadah hajinya berupa pahala yang besar dan ampunan dosa, serta dengan apa yang didapatkan berupa keberuntungan dan kemenangan, yaitu kembali ke negerinya dalam keadaan suci dan bersih, jiwa yang baik, kehidupan baru yang penuh dengan keimanan dan takwa, penuh dengan kebaikan, serta istikamah dan penjagaan dalam ketaatan kepada Allah. Tujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Di antara tujuan ibadah haji adalah menjadi pengingat akan ibadah serta pengorbanan para nabi dan sejarah para rasul. Haji dipenuhi dengan ibadah yang dilakukan di berbagai tempat yang agung dan mengingatkan kaum mukminin dengan para nabi Allah. Di bumi yang penuh berkah ini, Allah memuliakan kita dengan melewatinya ketika melakukan serangkaian manasik haji, di mana ini merupakan tempat yang pernah dilewati sebelumnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلَّى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ سَبْعُونَ نَبِيًّا “Telah salat di masjid Khaif (masjid di Mina) tujuh puluh orang nabi.” (HR. Al-Hakim) Sebelum engkau melakukan ibadah haji, maka telah datang ke tanah yang penuh berkah ini para hamba Allah yang terbaik. Maka, engkau semestinya menyadari dan terpatri di dalam hatimu keterkaitanmu dengan para nabi Allah. Perjalanan yang engkau tempuh berada di atas jalan mereka serta berhentimu ada pada napak tilas mereka. Allah Ta’ala berfirman, أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.“ (QS. Al-An’am: 90) Tempat kenangan yang penuh kemuliaan ini akan engkau datangi dalam setiap amalan haji: 1) Jika engkau datang menuju Ka’bah, maka engkau akan mengingat bahwa yang membangun kembali pondasi Ka’bah adalah dua kekasih Allah, yaitu Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihimas salam. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) 2) Jika engkau selesai thawaf, maka engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.“ (QS. Al-Baqarah: 125) 3) Jika engkau minum air zam-zam dan melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwa, engkau akan mengingat kisah Hajar. Dia adalah seorang wanita mukminah yang jujur dan bertawakal kepada Allah. Dia datang bersama Ibrahim menuju tanah ini dan beliau bermaksud pergi meninggalkannya di lembah yang tidak ada tanaman. Maka, Ibrahim meninggalkan istrinya sendiri bersama anak lelakinya. Wanita tersebut berkata, “Siapakah yang memerintahkanmu untuk menelantarkanku di tanah yang tandus tanpa pepohonan, tanpa ada bekal dan air?” Ibrahim berkata, “Rabbku yang memerintahkanku.“ Lantas wanita itu menjawab, “Kalau begitu, maka Dia tidak akan menelantarkan kami.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya dari Ibnu ‘Abbas) Maka, dia tinggal sendiri di tempat tersebut dan dia adalah wanita mukminah yang bertawakal kepada Allah. Kemudian ketika dia merasakan haus yang teramat sangat dan khawatir terhadap kondisi anaknya, maka dia naik ke atas bukit Shafa mencari air dan berpindah ke bukit Marwa mencari air, dan kembali lagi ke bukit Shafa mencari air. Jika dia turun ke perut lembah, maka dia berlari cepat. Kemudian Allah mengizinkan memancarnya air zam-zam dan menjadi air yang penuh berkah. Dan sungguh terdapat keutamaan dari air ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Dzar dalam Shahih Muslim, إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ “Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang mengenyangkan.” (HR. Muslim no. 2483) Dalam riwayat Abu Dawud terdapat tambahan, وَشِفَاءُ سُقْمٍ “Air zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).” (HR. Abu Dawud) Terdapat pula keutamaan lain sebagaimana dalam hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ “Air zam-zam sesuai keinginan ketika meminumnya.” (HR. Ibnu Majah, hasan shahih) Selanjutnya, Nabi mengguyur kepala beliau dengan air zam-zam. Air zam-zam adalah air berkah, tidak ada air di muka bumi yang lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih berkah daripada air ini. Kemudian melanjutkan dengan sa’i antara Shafa dan Marwa, melakukan syiar di antara syiar-syiar Allah dan ketaatan yang agung yang merupakan warisan dari apa yang dilakukan oleh seorang wanita salehah mukminah. Sampai-sampai para nabi Allah, mereka melakukan sa’i di tempat ini sebagai pengingat lewatnya Hajar berulang kali di tempat ini sampai Allah mudahkan baginya mendapatkan air. 4) Jika engkau pergi menju Arafah, maka di dalam hadis disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabat, كونوا على مشاعرِكم فإنَّكمُ على إرثٍ من إرثِ أبيكم إبراهيمَ “Kalian wajib melakukan haji di tempat-tempat manasik sesuai yang pernah dilakukan bapak kalian nabi Ibrahim.“ (HR. Tirmidzi) Para nabi tidaklah mewariskan dinar mapun dirham, namun mereka mewariskan agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “Laa Ilaaha Illallah wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian, dan Allah menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, hasan) 5) Apabila engkau melempar jumrah, hal tersebut akan mengingatkan engkau dengan hakikat melempar jumrah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah ’Aqabah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Kemudian iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.“ (HR. Hakim, shahih) Sehingga jadilah hal tersebut sebagai syiar agung yang dilakukan oleh kaum mukminin dalam ibadah haji mereka di Baitullah dalam rangka menegakkan dzikrullah. 6) Dalam ibadah menyembelih hewan hadyu, mengingatkan kita dengan kisah mengagumkan ketika Ibrahim Al-Khalil bermimpi melihat dirinya menyembelih putranya, Ismail. Allah kisahkan ini dalam Al-Qur’an, قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ “Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).“ (QS. Ash-Shafat: 102-103) Dia mendatangi putranya sambil membawa pisau dan meletakkan pisau di lehernya, sebagai bentuk ketundukan dirinya dan anaknya terhadap perintah Allah. Kemudian Allah pun menggantinya dengan seekor hewan sembelihan yang agung. Amal-amal ini semua mengingatkan dengan para nabi. Ketika selesai dari menunaikan ibadah hajinya, jemaah haji pun pulang dengan membawa buah yang manis dan kenangan yang indah bersama makhluk terbaik dari para nabi Allah dan rasul-Nya, mereka adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling utama. Sehingga jemaah haji seolah-olah merasakan perilaku perjalanan mereka dan menempuh perjalanan mereka ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk memuji Allah yang telah menjadikan kalian dari pewaris para nabi yang berjalan mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka serta napak tilas jejak mereka. Ini semua adalah anugerah dan karunia yang Allah berikan kepada kalian. Hal ini akan menjadikan seorang hamba semakin bertambah perhatiannya terhadap jalan ini dan menempuh manhaj ini, terlebih lagi tentang tauhid, akidah, dan ikhlas dalam ibadah kepada Allah. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ “Para nabi itu ibarat saudara seibu. Ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365) Maksudnya, akidah mereka satu meskipun syariat mereka beragam. Seorang hamba hendaknya perhatian dengan akidah yang lurus dan sahih, yaitu tauhid yang merupakan jalan para nabi dan pokok dakwah para rasul utusan Allah. [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah hajiTujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji Di antara tujuan ibadah haji adalah menyaksikan dan merasakan manfaat-manfaat yang besar dari ibadah haji, serta mendapatkan pelajaran membekas yang beraneka ragam ketika melaksanakannya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Manfaat dan faedah dari ibadah haji tidak terbatas jumlahnya, begitu pula dengan pelajaran-pelajaran penting yang ada di dalamnya. Allah menyebutkan di dalam ayat dengan ungkapan (مَنَافِعَ) (berbagai manfaat), yang menunjukkan banyak sekali manfaat yang ada. Disebutkan dalam bentuk isim nakirah, mengisyaratkan bahwa terdapat banyak sekali ragam dan jumlahnya. Terwujudnya manfaat-manfaat ini merupakan bagian dari tujuan ibadah haji, karena huruf lam dalam firman Allah, (لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ) (Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka) adalah lam ta’lil. Huruf ini berkaitan dengan penyebutan alasan dalam firman Allah sebelumnya, (وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) (Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus). Maksudnya, ketika telah diumumkan untuk menunaikan haji dengan berjalan kaki atau berkendara, tujuannya adalah agar mereka bisa melihat manfat-manfaat ibadah haji, yaitu bisa merasakannya dan mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi setiap hamba yang Allah anugerahkan bisa melakukan ketaatan ini dan Allah mudahkan baginya untuk menunaikannya, agar bisa bersemangat dengan sungguh-sungguh supaya bisa meraih manfaat dan faedah dari ibadah haji. Hal tersebut sebagai tambahan dari apa yang dia dapatkan dari ibadah hajinya berupa pahala yang besar dan ampunan dosa, serta dengan apa yang didapatkan berupa keberuntungan dan kemenangan, yaitu kembali ke negerinya dalam keadaan suci dan bersih, jiwa yang baik, kehidupan baru yang penuh dengan keimanan dan takwa, penuh dengan kebaikan, serta istikamah dan penjagaan dalam ketaatan kepada Allah. Tujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Di antara tujuan ibadah haji adalah menjadi pengingat akan ibadah serta pengorbanan para nabi dan sejarah para rasul. Haji dipenuhi dengan ibadah yang dilakukan di berbagai tempat yang agung dan mengingatkan kaum mukminin dengan para nabi Allah. Di bumi yang penuh berkah ini, Allah memuliakan kita dengan melewatinya ketika melakukan serangkaian manasik haji, di mana ini merupakan tempat yang pernah dilewati sebelumnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلَّى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ سَبْعُونَ نَبِيًّا “Telah salat di masjid Khaif (masjid di Mina) tujuh puluh orang nabi.” (HR. Al-Hakim) Sebelum engkau melakukan ibadah haji, maka telah datang ke tanah yang penuh berkah ini para hamba Allah yang terbaik. Maka, engkau semestinya menyadari dan terpatri di dalam hatimu keterkaitanmu dengan para nabi Allah. Perjalanan yang engkau tempuh berada di atas jalan mereka serta berhentimu ada pada napak tilas mereka. Allah Ta’ala berfirman, أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.“ (QS. Al-An’am: 90) Tempat kenangan yang penuh kemuliaan ini akan engkau datangi dalam setiap amalan haji: 1) Jika engkau datang menuju Ka’bah, maka engkau akan mengingat bahwa yang membangun kembali pondasi Ka’bah adalah dua kekasih Allah, yaitu Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihimas salam. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) 2) Jika engkau selesai thawaf, maka engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.“ (QS. Al-Baqarah: 125) 3) Jika engkau minum air zam-zam dan melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwa, engkau akan mengingat kisah Hajar. Dia adalah seorang wanita mukminah yang jujur dan bertawakal kepada Allah. Dia datang bersama Ibrahim menuju tanah ini dan beliau bermaksud pergi meninggalkannya di lembah yang tidak ada tanaman. Maka, Ibrahim meninggalkan istrinya sendiri bersama anak lelakinya. Wanita tersebut berkata, “Siapakah yang memerintahkanmu untuk menelantarkanku di tanah yang tandus tanpa pepohonan, tanpa ada bekal dan air?” Ibrahim berkata, “Rabbku yang memerintahkanku.“ Lantas wanita itu menjawab, “Kalau begitu, maka Dia tidak akan menelantarkan kami.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya dari Ibnu ‘Abbas) Maka, dia tinggal sendiri di tempat tersebut dan dia adalah wanita mukminah yang bertawakal kepada Allah. Kemudian ketika dia merasakan haus yang teramat sangat dan khawatir terhadap kondisi anaknya, maka dia naik ke atas bukit Shafa mencari air dan berpindah ke bukit Marwa mencari air, dan kembali lagi ke bukit Shafa mencari air. Jika dia turun ke perut lembah, maka dia berlari cepat. Kemudian Allah mengizinkan memancarnya air zam-zam dan menjadi air yang penuh berkah. Dan sungguh terdapat keutamaan dari air ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Dzar dalam Shahih Muslim, إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ “Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang mengenyangkan.” (HR. Muslim no. 2483) Dalam riwayat Abu Dawud terdapat tambahan, وَشِفَاءُ سُقْمٍ “Air zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).” (HR. Abu Dawud) Terdapat pula keutamaan lain sebagaimana dalam hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ “Air zam-zam sesuai keinginan ketika meminumnya.” (HR. Ibnu Majah, hasan shahih) Selanjutnya, Nabi mengguyur kepala beliau dengan air zam-zam. Air zam-zam adalah air berkah, tidak ada air di muka bumi yang lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih berkah daripada air ini. Kemudian melanjutkan dengan sa’i antara Shafa dan Marwa, melakukan syiar di antara syiar-syiar Allah dan ketaatan yang agung yang merupakan warisan dari apa yang dilakukan oleh seorang wanita salehah mukminah. Sampai-sampai para nabi Allah, mereka melakukan sa’i di tempat ini sebagai pengingat lewatnya Hajar berulang kali di tempat ini sampai Allah mudahkan baginya mendapatkan air. 4) Jika engkau pergi menju Arafah, maka di dalam hadis disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabat, كونوا على مشاعرِكم فإنَّكمُ على إرثٍ من إرثِ أبيكم إبراهيمَ “Kalian wajib melakukan haji di tempat-tempat manasik sesuai yang pernah dilakukan bapak kalian nabi Ibrahim.“ (HR. Tirmidzi) Para nabi tidaklah mewariskan dinar mapun dirham, namun mereka mewariskan agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “Laa Ilaaha Illallah wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian, dan Allah menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, hasan) 5) Apabila engkau melempar jumrah, hal tersebut akan mengingatkan engkau dengan hakikat melempar jumrah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah ’Aqabah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Kemudian iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.“ (HR. Hakim, shahih) Sehingga jadilah hal tersebut sebagai syiar agung yang dilakukan oleh kaum mukminin dalam ibadah haji mereka di Baitullah dalam rangka menegakkan dzikrullah. 6) Dalam ibadah menyembelih hewan hadyu, mengingatkan kita dengan kisah mengagumkan ketika Ibrahim Al-Khalil bermimpi melihat dirinya menyembelih putranya, Ismail. Allah kisahkan ini dalam Al-Qur’an, قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ “Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).“ (QS. Ash-Shafat: 102-103) Dia mendatangi putranya sambil membawa pisau dan meletakkan pisau di lehernya, sebagai bentuk ketundukan dirinya dan anaknya terhadap perintah Allah. Kemudian Allah pun menggantinya dengan seekor hewan sembelihan yang agung. Amal-amal ini semua mengingatkan dengan para nabi. Ketika selesai dari menunaikan ibadah hajinya, jemaah haji pun pulang dengan membawa buah yang manis dan kenangan yang indah bersama makhluk terbaik dari para nabi Allah dan rasul-Nya, mereka adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling utama. Sehingga jemaah haji seolah-olah merasakan perilaku perjalanan mereka dan menempuh perjalanan mereka ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk memuji Allah yang telah menjadikan kalian dari pewaris para nabi yang berjalan mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka serta napak tilas jejak mereka. Ini semua adalah anugerah dan karunia yang Allah berikan kepada kalian. Hal ini akan menjadikan seorang hamba semakin bertambah perhatiannya terhadap jalan ini dan menempuh manhaj ini, terlebih lagi tentang tauhid, akidah, dan ikhlas dalam ibadah kepada Allah. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ “Para nabi itu ibarat saudara seibu. Ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365) Maksudnya, akidah mereka satu meskipun syariat mereka beragam. Seorang hamba hendaknya perhatian dengan akidah yang lurus dan sahih, yaitu tauhid yang merupakan jalan para nabi dan pokok dakwah para rasul utusan Allah. [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi Toggle Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah hajiTujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji Di antara tujuan ibadah haji adalah menyaksikan dan merasakan manfaat-manfaat yang besar dari ibadah haji, serta mendapatkan pelajaran membekas yang beraneka ragam ketika melaksanakannya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Manfaat dan faedah dari ibadah haji tidak terbatas jumlahnya, begitu pula dengan pelajaran-pelajaran penting yang ada di dalamnya. Allah menyebutkan di dalam ayat dengan ungkapan (مَنَافِعَ) (berbagai manfaat), yang menunjukkan banyak sekali manfaat yang ada. Disebutkan dalam bentuk isim nakirah, mengisyaratkan bahwa terdapat banyak sekali ragam dan jumlahnya. Terwujudnya manfaat-manfaat ini merupakan bagian dari tujuan ibadah haji, karena huruf lam dalam firman Allah, (لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ) (Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka) adalah lam ta’lil. Huruf ini berkaitan dengan penyebutan alasan dalam firman Allah sebelumnya, (وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) (Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus). Maksudnya, ketika telah diumumkan untuk menunaikan haji dengan berjalan kaki atau berkendara, tujuannya adalah agar mereka bisa melihat manfat-manfaat ibadah haji, yaitu bisa merasakannya dan mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi setiap hamba yang Allah anugerahkan bisa melakukan ketaatan ini dan Allah mudahkan baginya untuk menunaikannya, agar bisa bersemangat dengan sungguh-sungguh supaya bisa meraih manfaat dan faedah dari ibadah haji. Hal tersebut sebagai tambahan dari apa yang dia dapatkan dari ibadah hajinya berupa pahala yang besar dan ampunan dosa, serta dengan apa yang didapatkan berupa keberuntungan dan kemenangan, yaitu kembali ke negerinya dalam keadaan suci dan bersih, jiwa yang baik, kehidupan baru yang penuh dengan keimanan dan takwa, penuh dengan kebaikan, serta istikamah dan penjagaan dalam ketaatan kepada Allah. Tujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Di antara tujuan ibadah haji adalah menjadi pengingat akan ibadah serta pengorbanan para nabi dan sejarah para rasul. Haji dipenuhi dengan ibadah yang dilakukan di berbagai tempat yang agung dan mengingatkan kaum mukminin dengan para nabi Allah. Di bumi yang penuh berkah ini, Allah memuliakan kita dengan melewatinya ketika melakukan serangkaian manasik haji, di mana ini merupakan tempat yang pernah dilewati sebelumnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلَّى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ سَبْعُونَ نَبِيًّا “Telah salat di masjid Khaif (masjid di Mina) tujuh puluh orang nabi.” (HR. Al-Hakim) Sebelum engkau melakukan ibadah haji, maka telah datang ke tanah yang penuh berkah ini para hamba Allah yang terbaik. Maka, engkau semestinya menyadari dan terpatri di dalam hatimu keterkaitanmu dengan para nabi Allah. Perjalanan yang engkau tempuh berada di atas jalan mereka serta berhentimu ada pada napak tilas mereka. Allah Ta’ala berfirman, أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.“ (QS. Al-An’am: 90) Tempat kenangan yang penuh kemuliaan ini akan engkau datangi dalam setiap amalan haji: 1) Jika engkau datang menuju Ka’bah, maka engkau akan mengingat bahwa yang membangun kembali pondasi Ka’bah adalah dua kekasih Allah, yaitu Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihimas salam. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) 2) Jika engkau selesai thawaf, maka engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.“ (QS. Al-Baqarah: 125) 3) Jika engkau minum air zam-zam dan melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwa, engkau akan mengingat kisah Hajar. Dia adalah seorang wanita mukminah yang jujur dan bertawakal kepada Allah. Dia datang bersama Ibrahim menuju tanah ini dan beliau bermaksud pergi meninggalkannya di lembah yang tidak ada tanaman. Maka, Ibrahim meninggalkan istrinya sendiri bersama anak lelakinya. Wanita tersebut berkata, “Siapakah yang memerintahkanmu untuk menelantarkanku di tanah yang tandus tanpa pepohonan, tanpa ada bekal dan air?” Ibrahim berkata, “Rabbku yang memerintahkanku.“ Lantas wanita itu menjawab, “Kalau begitu, maka Dia tidak akan menelantarkan kami.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya dari Ibnu ‘Abbas) Maka, dia tinggal sendiri di tempat tersebut dan dia adalah wanita mukminah yang bertawakal kepada Allah. Kemudian ketika dia merasakan haus yang teramat sangat dan khawatir terhadap kondisi anaknya, maka dia naik ke atas bukit Shafa mencari air dan berpindah ke bukit Marwa mencari air, dan kembali lagi ke bukit Shafa mencari air. Jika dia turun ke perut lembah, maka dia berlari cepat. Kemudian Allah mengizinkan memancarnya air zam-zam dan menjadi air yang penuh berkah. Dan sungguh terdapat keutamaan dari air ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Dzar dalam Shahih Muslim, إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ “Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang mengenyangkan.” (HR. Muslim no. 2483) Dalam riwayat Abu Dawud terdapat tambahan, وَشِفَاءُ سُقْمٍ “Air zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).” (HR. Abu Dawud) Terdapat pula keutamaan lain sebagaimana dalam hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ “Air zam-zam sesuai keinginan ketika meminumnya.” (HR. Ibnu Majah, hasan shahih) Selanjutnya, Nabi mengguyur kepala beliau dengan air zam-zam. Air zam-zam adalah air berkah, tidak ada air di muka bumi yang lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih berkah daripada air ini. Kemudian melanjutkan dengan sa’i antara Shafa dan Marwa, melakukan syiar di antara syiar-syiar Allah dan ketaatan yang agung yang merupakan warisan dari apa yang dilakukan oleh seorang wanita salehah mukminah. Sampai-sampai para nabi Allah, mereka melakukan sa’i di tempat ini sebagai pengingat lewatnya Hajar berulang kali di tempat ini sampai Allah mudahkan baginya mendapatkan air. 4) Jika engkau pergi menju Arafah, maka di dalam hadis disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabat, كونوا على مشاعرِكم فإنَّكمُ على إرثٍ من إرثِ أبيكم إبراهيمَ “Kalian wajib melakukan haji di tempat-tempat manasik sesuai yang pernah dilakukan bapak kalian nabi Ibrahim.“ (HR. Tirmidzi) Para nabi tidaklah mewariskan dinar mapun dirham, namun mereka mewariskan agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “Laa Ilaaha Illallah wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian, dan Allah menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, hasan) 5) Apabila engkau melempar jumrah, hal tersebut akan mengingatkan engkau dengan hakikat melempar jumrah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah ’Aqabah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Kemudian iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.“ (HR. Hakim, shahih) Sehingga jadilah hal tersebut sebagai syiar agung yang dilakukan oleh kaum mukminin dalam ibadah haji mereka di Baitullah dalam rangka menegakkan dzikrullah. 6) Dalam ibadah menyembelih hewan hadyu, mengingatkan kita dengan kisah mengagumkan ketika Ibrahim Al-Khalil bermimpi melihat dirinya menyembelih putranya, Ismail. Allah kisahkan ini dalam Al-Qur’an, قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ “Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).“ (QS. Ash-Shafat: 102-103) Dia mendatangi putranya sambil membawa pisau dan meletakkan pisau di lehernya, sebagai bentuk ketundukan dirinya dan anaknya terhadap perintah Allah. Kemudian Allah pun menggantinya dengan seekor hewan sembelihan yang agung. Amal-amal ini semua mengingatkan dengan para nabi. Ketika selesai dari menunaikan ibadah hajinya, jemaah haji pun pulang dengan membawa buah yang manis dan kenangan yang indah bersama makhluk terbaik dari para nabi Allah dan rasul-Nya, mereka adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling utama. Sehingga jemaah haji seolah-olah merasakan perilaku perjalanan mereka dan menempuh perjalanan mereka ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk memuji Allah yang telah menjadikan kalian dari pewaris para nabi yang berjalan mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka serta napak tilas jejak mereka. Ini semua adalah anugerah dan karunia yang Allah berikan kepada kalian. Hal ini akan menjadikan seorang hamba semakin bertambah perhatiannya terhadap jalan ini dan menempuh manhaj ini, terlebih lagi tentang tauhid, akidah, dan ikhlas dalam ibadah kepada Allah. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ “Para nabi itu ibarat saudara seibu. Ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365) Maksudnya, akidah mereka satu meskipun syariat mereka beragam. Seorang hamba hendaknya perhatian dengan akidah yang lurus dan sahih, yaitu tauhid yang merupakan jalan para nabi dan pokok dakwah para rasul utusan Allah. [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi Toggle Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah hajiTujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Tujuan ketujuh: Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji Di antara tujuan ibadah haji adalah menyaksikan dan merasakan manfaat-manfaat yang besar dari ibadah haji, serta mendapatkan pelajaran membekas yang beraneka ragam ketika melaksanakannya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Manfaat dan faedah dari ibadah haji tidak terbatas jumlahnya, begitu pula dengan pelajaran-pelajaran penting yang ada di dalamnya. Allah menyebutkan di dalam ayat dengan ungkapan (مَنَافِعَ) (berbagai manfaat), yang menunjukkan banyak sekali manfaat yang ada. Disebutkan dalam bentuk isim nakirah, mengisyaratkan bahwa terdapat banyak sekali ragam dan jumlahnya. Terwujudnya manfaat-manfaat ini merupakan bagian dari tujuan ibadah haji, karena huruf lam dalam firman Allah, (لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ) (Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka) adalah lam ta’lil. Huruf ini berkaitan dengan penyebutan alasan dalam firman Allah sebelumnya, (وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) (Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus). Maksudnya, ketika telah diumumkan untuk menunaikan haji dengan berjalan kaki atau berkendara, tujuannya adalah agar mereka bisa melihat manfat-manfaat ibadah haji, yaitu bisa merasakannya dan mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi setiap hamba yang Allah anugerahkan bisa melakukan ketaatan ini dan Allah mudahkan baginya untuk menunaikannya, agar bisa bersemangat dengan sungguh-sungguh supaya bisa meraih manfaat dan faedah dari ibadah haji. Hal tersebut sebagai tambahan dari apa yang dia dapatkan dari ibadah hajinya berupa pahala yang besar dan ampunan dosa, serta dengan apa yang didapatkan berupa keberuntungan dan kemenangan, yaitu kembali ke negerinya dalam keadaan suci dan bersih, jiwa yang baik, kehidupan baru yang penuh dengan keimanan dan takwa, penuh dengan kebaikan, serta istikamah dan penjagaan dalam ketaatan kepada Allah. Tujuan kedelapan: Mengingat ibadah dan pengorbanan para nabi   Di antara tujuan ibadah haji adalah menjadi pengingat akan ibadah serta pengorbanan para nabi dan sejarah para rasul. Haji dipenuhi dengan ibadah yang dilakukan di berbagai tempat yang agung dan mengingatkan kaum mukminin dengan para nabi Allah. Di bumi yang penuh berkah ini, Allah memuliakan kita dengan melewatinya ketika melakukan serangkaian manasik haji, di mana ini merupakan tempat yang pernah dilewati sebelumnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلَّى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ سَبْعُونَ نَبِيًّا “Telah salat di masjid Khaif (masjid di Mina) tujuh puluh orang nabi.” (HR. Al-Hakim) Sebelum engkau melakukan ibadah haji, maka telah datang ke tanah yang penuh berkah ini para hamba Allah yang terbaik. Maka, engkau semestinya menyadari dan terpatri di dalam hatimu keterkaitanmu dengan para nabi Allah. Perjalanan yang engkau tempuh berada di atas jalan mereka serta berhentimu ada pada napak tilas mereka. Allah Ta’ala berfirman, أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.“ (QS. Al-An’am: 90) Tempat kenangan yang penuh kemuliaan ini akan engkau datangi dalam setiap amalan haji: 1) Jika engkau datang menuju Ka’bah, maka engkau akan mengingat bahwa yang membangun kembali pondasi Ka’bah adalah dua kekasih Allah, yaitu Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihimas salam. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) 2) Jika engkau selesai thawaf, maka engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.“ (QS. Al-Baqarah: 125) 3) Jika engkau minum air zam-zam dan melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwa, engkau akan mengingat kisah Hajar. Dia adalah seorang wanita mukminah yang jujur dan bertawakal kepada Allah. Dia datang bersama Ibrahim menuju tanah ini dan beliau bermaksud pergi meninggalkannya di lembah yang tidak ada tanaman. Maka, Ibrahim meninggalkan istrinya sendiri bersama anak lelakinya. Wanita tersebut berkata, “Siapakah yang memerintahkanmu untuk menelantarkanku di tanah yang tandus tanpa pepohonan, tanpa ada bekal dan air?” Ibrahim berkata, “Rabbku yang memerintahkanku.“ Lantas wanita itu menjawab, “Kalau begitu, maka Dia tidak akan menelantarkan kami.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya dari Ibnu ‘Abbas) Maka, dia tinggal sendiri di tempat tersebut dan dia adalah wanita mukminah yang bertawakal kepada Allah. Kemudian ketika dia merasakan haus yang teramat sangat dan khawatir terhadap kondisi anaknya, maka dia naik ke atas bukit Shafa mencari air dan berpindah ke bukit Marwa mencari air, dan kembali lagi ke bukit Shafa mencari air. Jika dia turun ke perut lembah, maka dia berlari cepat. Kemudian Allah mengizinkan memancarnya air zam-zam dan menjadi air yang penuh berkah. Dan sungguh terdapat keutamaan dari air ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Dzar dalam Shahih Muslim, إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ “Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang mengenyangkan.” (HR. Muslim no. 2483) Dalam riwayat Abu Dawud terdapat tambahan, وَشِفَاءُ سُقْمٍ “Air zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).” (HR. Abu Dawud) Terdapat pula keutamaan lain sebagaimana dalam hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ “Air zam-zam sesuai keinginan ketika meminumnya.” (HR. Ibnu Majah, hasan shahih) Selanjutnya, Nabi mengguyur kepala beliau dengan air zam-zam. Air zam-zam adalah air berkah, tidak ada air di muka bumi yang lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih berkah daripada air ini. Kemudian melanjutkan dengan sa’i antara Shafa dan Marwa, melakukan syiar di antara syiar-syiar Allah dan ketaatan yang agung yang merupakan warisan dari apa yang dilakukan oleh seorang wanita salehah mukminah. Sampai-sampai para nabi Allah, mereka melakukan sa’i di tempat ini sebagai pengingat lewatnya Hajar berulang kali di tempat ini sampai Allah mudahkan baginya mendapatkan air. 4) Jika engkau pergi menju Arafah, maka di dalam hadis disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabat, كونوا على مشاعرِكم فإنَّكمُ على إرثٍ من إرثِ أبيكم إبراهيمَ “Kalian wajib melakukan haji di tempat-tempat manasik sesuai yang pernah dilakukan bapak kalian nabi Ibrahim.“ (HR. Tirmidzi) Para nabi tidaklah mewariskan dinar mapun dirham, namun mereka mewariskan agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “Laa Ilaaha Illallah wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian, dan Allah menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, hasan) 5) Apabila engkau melempar jumrah, hal tersebut akan mengingatkan engkau dengan hakikat melempar jumrah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah ’Aqabah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu pun masuk ke tanah. Kemudian iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.“ (HR. Hakim, shahih) Sehingga jadilah hal tersebut sebagai syiar agung yang dilakukan oleh kaum mukminin dalam ibadah haji mereka di Baitullah dalam rangka menegakkan dzikrullah. 6) Dalam ibadah menyembelih hewan hadyu, mengingatkan kita dengan kisah mengagumkan ketika Ibrahim Al-Khalil bermimpi melihat dirinya menyembelih putranya, Ismail. Allah kisahkan ini dalam Al-Qur’an, قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ “Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).“ (QS. Ash-Shafat: 102-103) Dia mendatangi putranya sambil membawa pisau dan meletakkan pisau di lehernya, sebagai bentuk ketundukan dirinya dan anaknya terhadap perintah Allah. Kemudian Allah pun menggantinya dengan seekor hewan sembelihan yang agung. Amal-amal ini semua mengingatkan dengan para nabi. Ketika selesai dari menunaikan ibadah hajinya, jemaah haji pun pulang dengan membawa buah yang manis dan kenangan yang indah bersama makhluk terbaik dari para nabi Allah dan rasul-Nya, mereka adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling utama. Sehingga jemaah haji seolah-olah merasakan perilaku perjalanan mereka dan menempuh perjalanan mereka ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk memuji Allah yang telah menjadikan kalian dari pewaris para nabi yang berjalan mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka serta napak tilas jejak mereka. Ini semua adalah anugerah dan karunia yang Allah berikan kepada kalian. Hal ini akan menjadikan seorang hamba semakin bertambah perhatiannya terhadap jalan ini dan menempuh manhaj ini, terlebih lagi tentang tauhid, akidah, dan ikhlas dalam ibadah kepada Allah. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ “Para nabi itu ibarat saudara seibu. Ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365) Maksudnya, akidah mereka satu meskipun syariat mereka beragam. Seorang hamba hendaknya perhatian dengan akidah yang lurus dan sahih, yaitu tauhid yang merupakan jalan para nabi dan pokok dakwah para rasul utusan Allah. [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Orang Tua Wajib Tahu Hukum Memberi HP pada Anak Menurut Syariat Islam – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri

Ada yang bertanya: “Apa hukum syar’i membeli ponsel untuk anak-anak dan memberikannya kepada mereka?” Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam, dan salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Apabila seseorang menghendaki pembahasan mendasar dalam masalah seperti ini, maka dapat dikatakan kepadanya: Ada tiga jenis hukum terkait hal ini. Barang seperti ponsel ini termasuk kategori sarana (wasā’il). Hukum-hukum terkait sarana ini terbagi menjadi tiga jenis: Jenis pertama: Sarana yang secara pasti menjerumuskan kepada kerusakan. Maka hukumnya adalah haram, dan wajib dicegah. Apabila diketahui bahwa seorang anak kecil menggunakan ponsel untuk hal-hal yang haram, dan menjadikannya sebagai sarana menuju hal-hal haram tersebut, maka ia wajib dicegah dari ponsel. Sebab, syariat telah menetapkan bahwa sarana memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuannya. Jenis kedua: Sarana yang sangat jarang mengantarkan kepada kerusakan, dan pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan. Maka dalam kondisi ini, tidak mengapa digunakan dan diberikan. Tidak ada permasalahan sama sekali dalam hal ini. Jenis ketiga: Sarana yang pada umumnya mengantarkan kepada kerusakan. Mayoritas remaja, atau mayoritas mereka yang seperti pemuda ini, akan terjerumus menggunakannya. Maka dalam kondisi seperti ini, perlu adanya pengecekan untuk memastikan. Karena syariat telah datang dengan prinsip menutup pintu-pintu kerusakan, dan mewajibkan seseorang untuk menghindarinya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan janganlah kamu mencaci maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” (QS. Al-An’am: 108) Ketika mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik bisa menyebabkan mereka mencaci Allah, maka dilarang mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik. Dalam banyak teks hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat dari suatu tindakan dan ke mana urusannya akan berujung. Ketika Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan jahiliah, niscaya aku akan robohkan Ka’bah, dan pasti aku bangun kembali di atas pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim.” (HR. Ibnu Hibban, Bukhari, Muslim, An-Nasai, dibacakan Syaikh secara makna). Nabi mempertimbangkan dampak yang akan timbul dari tindakannya itu. Demikian pula dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat datang dan berkata kepada Nabi, “Tidakkah engkau bunuh saja orang munafik yang telah mengucapkan dusta-dustanya itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.” “Agar manusia tidak berkata: ‘Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.’” Beliau mempertimbangkan akibat-akibatnya. Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini wajib memperhatikan akibat-akibatnya. ==== هُنَا أَحَدُهُمْ يَسْأَلُ يَقُولُ مَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ فِي شِرَاءِ الْهَوَاتِفِ لِلصِّغَارِ وَمَنْحِهِمْ إِيَّاهَا؟ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَبَعْدُ إِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ تَأْصِيْلَ أَمْثَالِ هَذِهِ الْمَسَائِلِ فَيُقَالُ لَهُ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ هَذِهِ وَسَائِلُ وَأَحْكَامُ الْوَسَائِلِ نَقُولُ إِنَّهَا لَهَا ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ النَّوْعُ الْأَوَّلُ وَسَائِلُ مُفْضِيَةٌ إِلَى الْفَسَادِ قَطْعًا فَإِنَّهُ يُفْتَى بِحُرْمَتِهَا وَبِوُجُوبِ الْمَنْعِ مِنْهَا فَإِذَا عُلِمَ أَنَّ الطِّفْلَ أَوِ الصَّغِيرَ يَسْتَعْمِلُ الْجَوَّالَ فِي الْمُحَرَّمَاتِ وَيَتَّخِذُهَا طَرِيقًا لِذَلِكَ يُمْنَعُ مِنْهُ وُجُوبًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِأَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ النَّوْعُ الثَّانِي مَا كَانَ يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ نَادِرًا وَالْغَالِبُ أَلَّا يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ فَحِينَئِذٍ لَا حَرَجَ فِي اسْتِعْمَالِهِ وَفِي وَضْعِهِ وَلَا يَبْقَى فِيهِ أَيُّ إِشْكَالٍ الثَّالِثُ مَا كَانَ مُفْضِيًا فِي الْغَالِبِ غَالِبُ الشَّبَابِ غَالِبُ كَذَا غَالِبُ مَنْ يَكُونُ مِنْ أَمْثَالِ هَذَا الشَّابِّ فَحِينَئِذٍ لَا بُدَّ مِنَ التَّحَقُّقِ مِنْهُ وَذَلِكَ أَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِسَدِّ مَنَافِذِ الْفَسَادِ وَوُجُوبِ أَنْ يَتَحَرَّزَ الْإِنْسَانُ فِيهَا وَمِنَ الْأَدِلَّةِ الْوَارِدَةِ فِي هَذَا قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ لَمَّا كَانَ سَبُّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ يُفْضِي إِلَى سَبِّ اللَّهِ تَعَالَى مُنِعَ مِنْ سَبِّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ وَفِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَاعِي الْمَآلَاتِ وَمَا تَكُونُ وَمَا تَصِيرُ إِلَيْهِ الأُمُورُ لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ لَهَدَمْتُ الْبَيْتَ وَلَبَنَيْتُهُ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ رَاعَى فِي ذَلِكَ الْمَآلَاتِ وَهَكَذَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ وَقَالَ أَلَا تَقْتُلُ يَعْنِي الْمُنَافِقَ الَّذِي تَكَلَّمَ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا لِأَنْ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ فَرَاعَى الْمَآلَاتِ وَلِذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ مُرَاعَاةِ الْمَآلَاتِ

Orang Tua Wajib Tahu Hukum Memberi HP pada Anak Menurut Syariat Islam – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri

Ada yang bertanya: “Apa hukum syar’i membeli ponsel untuk anak-anak dan memberikannya kepada mereka?” Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam, dan salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Apabila seseorang menghendaki pembahasan mendasar dalam masalah seperti ini, maka dapat dikatakan kepadanya: Ada tiga jenis hukum terkait hal ini. Barang seperti ponsel ini termasuk kategori sarana (wasā’il). Hukum-hukum terkait sarana ini terbagi menjadi tiga jenis: Jenis pertama: Sarana yang secara pasti menjerumuskan kepada kerusakan. Maka hukumnya adalah haram, dan wajib dicegah. Apabila diketahui bahwa seorang anak kecil menggunakan ponsel untuk hal-hal yang haram, dan menjadikannya sebagai sarana menuju hal-hal haram tersebut, maka ia wajib dicegah dari ponsel. Sebab, syariat telah menetapkan bahwa sarana memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuannya. Jenis kedua: Sarana yang sangat jarang mengantarkan kepada kerusakan, dan pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan. Maka dalam kondisi ini, tidak mengapa digunakan dan diberikan. Tidak ada permasalahan sama sekali dalam hal ini. Jenis ketiga: Sarana yang pada umumnya mengantarkan kepada kerusakan. Mayoritas remaja, atau mayoritas mereka yang seperti pemuda ini, akan terjerumus menggunakannya. Maka dalam kondisi seperti ini, perlu adanya pengecekan untuk memastikan. Karena syariat telah datang dengan prinsip menutup pintu-pintu kerusakan, dan mewajibkan seseorang untuk menghindarinya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan janganlah kamu mencaci maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” (QS. Al-An’am: 108) Ketika mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik bisa menyebabkan mereka mencaci Allah, maka dilarang mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik. Dalam banyak teks hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat dari suatu tindakan dan ke mana urusannya akan berujung. Ketika Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan jahiliah, niscaya aku akan robohkan Ka’bah, dan pasti aku bangun kembali di atas pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim.” (HR. Ibnu Hibban, Bukhari, Muslim, An-Nasai, dibacakan Syaikh secara makna). Nabi mempertimbangkan dampak yang akan timbul dari tindakannya itu. Demikian pula dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat datang dan berkata kepada Nabi, “Tidakkah engkau bunuh saja orang munafik yang telah mengucapkan dusta-dustanya itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.” “Agar manusia tidak berkata: ‘Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.’” Beliau mempertimbangkan akibat-akibatnya. Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini wajib memperhatikan akibat-akibatnya. ==== هُنَا أَحَدُهُمْ يَسْأَلُ يَقُولُ مَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ فِي شِرَاءِ الْهَوَاتِفِ لِلصِّغَارِ وَمَنْحِهِمْ إِيَّاهَا؟ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَبَعْدُ إِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ تَأْصِيْلَ أَمْثَالِ هَذِهِ الْمَسَائِلِ فَيُقَالُ لَهُ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ هَذِهِ وَسَائِلُ وَأَحْكَامُ الْوَسَائِلِ نَقُولُ إِنَّهَا لَهَا ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ النَّوْعُ الْأَوَّلُ وَسَائِلُ مُفْضِيَةٌ إِلَى الْفَسَادِ قَطْعًا فَإِنَّهُ يُفْتَى بِحُرْمَتِهَا وَبِوُجُوبِ الْمَنْعِ مِنْهَا فَإِذَا عُلِمَ أَنَّ الطِّفْلَ أَوِ الصَّغِيرَ يَسْتَعْمِلُ الْجَوَّالَ فِي الْمُحَرَّمَاتِ وَيَتَّخِذُهَا طَرِيقًا لِذَلِكَ يُمْنَعُ مِنْهُ وُجُوبًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِأَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ النَّوْعُ الثَّانِي مَا كَانَ يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ نَادِرًا وَالْغَالِبُ أَلَّا يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ فَحِينَئِذٍ لَا حَرَجَ فِي اسْتِعْمَالِهِ وَفِي وَضْعِهِ وَلَا يَبْقَى فِيهِ أَيُّ إِشْكَالٍ الثَّالِثُ مَا كَانَ مُفْضِيًا فِي الْغَالِبِ غَالِبُ الشَّبَابِ غَالِبُ كَذَا غَالِبُ مَنْ يَكُونُ مِنْ أَمْثَالِ هَذَا الشَّابِّ فَحِينَئِذٍ لَا بُدَّ مِنَ التَّحَقُّقِ مِنْهُ وَذَلِكَ أَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِسَدِّ مَنَافِذِ الْفَسَادِ وَوُجُوبِ أَنْ يَتَحَرَّزَ الْإِنْسَانُ فِيهَا وَمِنَ الْأَدِلَّةِ الْوَارِدَةِ فِي هَذَا قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ لَمَّا كَانَ سَبُّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ يُفْضِي إِلَى سَبِّ اللَّهِ تَعَالَى مُنِعَ مِنْ سَبِّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ وَفِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَاعِي الْمَآلَاتِ وَمَا تَكُونُ وَمَا تَصِيرُ إِلَيْهِ الأُمُورُ لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ لَهَدَمْتُ الْبَيْتَ وَلَبَنَيْتُهُ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ رَاعَى فِي ذَلِكَ الْمَآلَاتِ وَهَكَذَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ وَقَالَ أَلَا تَقْتُلُ يَعْنِي الْمُنَافِقَ الَّذِي تَكَلَّمَ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا لِأَنْ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ فَرَاعَى الْمَآلَاتِ وَلِذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ مُرَاعَاةِ الْمَآلَاتِ
Ada yang bertanya: “Apa hukum syar’i membeli ponsel untuk anak-anak dan memberikannya kepada mereka?” Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam, dan salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Apabila seseorang menghendaki pembahasan mendasar dalam masalah seperti ini, maka dapat dikatakan kepadanya: Ada tiga jenis hukum terkait hal ini. Barang seperti ponsel ini termasuk kategori sarana (wasā’il). Hukum-hukum terkait sarana ini terbagi menjadi tiga jenis: Jenis pertama: Sarana yang secara pasti menjerumuskan kepada kerusakan. Maka hukumnya adalah haram, dan wajib dicegah. Apabila diketahui bahwa seorang anak kecil menggunakan ponsel untuk hal-hal yang haram, dan menjadikannya sebagai sarana menuju hal-hal haram tersebut, maka ia wajib dicegah dari ponsel. Sebab, syariat telah menetapkan bahwa sarana memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuannya. Jenis kedua: Sarana yang sangat jarang mengantarkan kepada kerusakan, dan pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan. Maka dalam kondisi ini, tidak mengapa digunakan dan diberikan. Tidak ada permasalahan sama sekali dalam hal ini. Jenis ketiga: Sarana yang pada umumnya mengantarkan kepada kerusakan. Mayoritas remaja, atau mayoritas mereka yang seperti pemuda ini, akan terjerumus menggunakannya. Maka dalam kondisi seperti ini, perlu adanya pengecekan untuk memastikan. Karena syariat telah datang dengan prinsip menutup pintu-pintu kerusakan, dan mewajibkan seseorang untuk menghindarinya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan janganlah kamu mencaci maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” (QS. Al-An’am: 108) Ketika mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik bisa menyebabkan mereka mencaci Allah, maka dilarang mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik. Dalam banyak teks hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat dari suatu tindakan dan ke mana urusannya akan berujung. Ketika Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan jahiliah, niscaya aku akan robohkan Ka’bah, dan pasti aku bangun kembali di atas pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim.” (HR. Ibnu Hibban, Bukhari, Muslim, An-Nasai, dibacakan Syaikh secara makna). Nabi mempertimbangkan dampak yang akan timbul dari tindakannya itu. Demikian pula dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat datang dan berkata kepada Nabi, “Tidakkah engkau bunuh saja orang munafik yang telah mengucapkan dusta-dustanya itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.” “Agar manusia tidak berkata: ‘Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.’” Beliau mempertimbangkan akibat-akibatnya. Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini wajib memperhatikan akibat-akibatnya. ==== هُنَا أَحَدُهُمْ يَسْأَلُ يَقُولُ مَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ فِي شِرَاءِ الْهَوَاتِفِ لِلصِّغَارِ وَمَنْحِهِمْ إِيَّاهَا؟ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَبَعْدُ إِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ تَأْصِيْلَ أَمْثَالِ هَذِهِ الْمَسَائِلِ فَيُقَالُ لَهُ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ هَذِهِ وَسَائِلُ وَأَحْكَامُ الْوَسَائِلِ نَقُولُ إِنَّهَا لَهَا ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ النَّوْعُ الْأَوَّلُ وَسَائِلُ مُفْضِيَةٌ إِلَى الْفَسَادِ قَطْعًا فَإِنَّهُ يُفْتَى بِحُرْمَتِهَا وَبِوُجُوبِ الْمَنْعِ مِنْهَا فَإِذَا عُلِمَ أَنَّ الطِّفْلَ أَوِ الصَّغِيرَ يَسْتَعْمِلُ الْجَوَّالَ فِي الْمُحَرَّمَاتِ وَيَتَّخِذُهَا طَرِيقًا لِذَلِكَ يُمْنَعُ مِنْهُ وُجُوبًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِأَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ النَّوْعُ الثَّانِي مَا كَانَ يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ نَادِرًا وَالْغَالِبُ أَلَّا يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ فَحِينَئِذٍ لَا حَرَجَ فِي اسْتِعْمَالِهِ وَفِي وَضْعِهِ وَلَا يَبْقَى فِيهِ أَيُّ إِشْكَالٍ الثَّالِثُ مَا كَانَ مُفْضِيًا فِي الْغَالِبِ غَالِبُ الشَّبَابِ غَالِبُ كَذَا غَالِبُ مَنْ يَكُونُ مِنْ أَمْثَالِ هَذَا الشَّابِّ فَحِينَئِذٍ لَا بُدَّ مِنَ التَّحَقُّقِ مِنْهُ وَذَلِكَ أَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِسَدِّ مَنَافِذِ الْفَسَادِ وَوُجُوبِ أَنْ يَتَحَرَّزَ الْإِنْسَانُ فِيهَا وَمِنَ الْأَدِلَّةِ الْوَارِدَةِ فِي هَذَا قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ لَمَّا كَانَ سَبُّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ يُفْضِي إِلَى سَبِّ اللَّهِ تَعَالَى مُنِعَ مِنْ سَبِّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ وَفِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَاعِي الْمَآلَاتِ وَمَا تَكُونُ وَمَا تَصِيرُ إِلَيْهِ الأُمُورُ لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ لَهَدَمْتُ الْبَيْتَ وَلَبَنَيْتُهُ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ رَاعَى فِي ذَلِكَ الْمَآلَاتِ وَهَكَذَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ وَقَالَ أَلَا تَقْتُلُ يَعْنِي الْمُنَافِقَ الَّذِي تَكَلَّمَ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا لِأَنْ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ فَرَاعَى الْمَآلَاتِ وَلِذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ مُرَاعَاةِ الْمَآلَاتِ


Ada yang bertanya: “Apa hukum syar’i membeli ponsel untuk anak-anak dan memberikannya kepada mereka?” Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam, dan salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Apabila seseorang menghendaki pembahasan mendasar dalam masalah seperti ini, maka dapat dikatakan kepadanya: Ada tiga jenis hukum terkait hal ini. Barang seperti ponsel ini termasuk kategori sarana (wasā’il). Hukum-hukum terkait sarana ini terbagi menjadi tiga jenis: Jenis pertama: Sarana yang secara pasti menjerumuskan kepada kerusakan. Maka hukumnya adalah haram, dan wajib dicegah. Apabila diketahui bahwa seorang anak kecil menggunakan ponsel untuk hal-hal yang haram, dan menjadikannya sebagai sarana menuju hal-hal haram tersebut, maka ia wajib dicegah dari ponsel. Sebab, syariat telah menetapkan bahwa sarana memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuannya. Jenis kedua: Sarana yang sangat jarang mengantarkan kepada kerusakan, dan pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan. Maka dalam kondisi ini, tidak mengapa digunakan dan diberikan. Tidak ada permasalahan sama sekali dalam hal ini. Jenis ketiga: Sarana yang pada umumnya mengantarkan kepada kerusakan. Mayoritas remaja, atau mayoritas mereka yang seperti pemuda ini, akan terjerumus menggunakannya. Maka dalam kondisi seperti ini, perlu adanya pengecekan untuk memastikan. Karena syariat telah datang dengan prinsip menutup pintu-pintu kerusakan, dan mewajibkan seseorang untuk menghindarinya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan janganlah kamu mencaci maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” (QS. Al-An’am: 108) Ketika mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik bisa menyebabkan mereka mencaci Allah, maka dilarang mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik. Dalam banyak teks hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat dari suatu tindakan dan ke mana urusannya akan berujung. Ketika Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan jahiliah, niscaya aku akan robohkan Ka’bah, dan pasti aku bangun kembali di atas pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim.” (HR. Ibnu Hibban, Bukhari, Muslim, An-Nasai, dibacakan Syaikh secara makna). Nabi mempertimbangkan dampak yang akan timbul dari tindakannya itu. Demikian pula dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat datang dan berkata kepada Nabi, “Tidakkah engkau bunuh saja orang munafik yang telah mengucapkan dusta-dustanya itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.” “Agar manusia tidak berkata: ‘Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.’” Beliau mempertimbangkan akibat-akibatnya. Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini wajib memperhatikan akibat-akibatnya. ==== هُنَا أَحَدُهُمْ يَسْأَلُ يَقُولُ مَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ فِي شِرَاءِ الْهَوَاتِفِ لِلصِّغَارِ وَمَنْحِهِمْ إِيَّاهَا؟ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَبَعْدُ إِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ تَأْصِيْلَ أَمْثَالِ هَذِهِ الْمَسَائِلِ فَيُقَالُ لَهُ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ هَذِهِ وَسَائِلُ وَأَحْكَامُ الْوَسَائِلِ نَقُولُ إِنَّهَا لَهَا ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ النَّوْعُ الْأَوَّلُ وَسَائِلُ مُفْضِيَةٌ إِلَى الْفَسَادِ قَطْعًا فَإِنَّهُ يُفْتَى بِحُرْمَتِهَا وَبِوُجُوبِ الْمَنْعِ مِنْهَا فَإِذَا عُلِمَ أَنَّ الطِّفْلَ أَوِ الصَّغِيرَ يَسْتَعْمِلُ الْجَوَّالَ فِي الْمُحَرَّمَاتِ وَيَتَّخِذُهَا طَرِيقًا لِذَلِكَ يُمْنَعُ مِنْهُ وُجُوبًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِأَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ النَّوْعُ الثَّانِي مَا كَانَ يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ نَادِرًا وَالْغَالِبُ أَلَّا يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ فَحِينَئِذٍ لَا حَرَجَ فِي اسْتِعْمَالِهِ وَفِي وَضْعِهِ وَلَا يَبْقَى فِيهِ أَيُّ إِشْكَالٍ الثَّالِثُ مَا كَانَ مُفْضِيًا فِي الْغَالِبِ غَالِبُ الشَّبَابِ غَالِبُ كَذَا غَالِبُ مَنْ يَكُونُ مِنْ أَمْثَالِ هَذَا الشَّابِّ فَحِينَئِذٍ لَا بُدَّ مِنَ التَّحَقُّقِ مِنْهُ وَذَلِكَ أَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِسَدِّ مَنَافِذِ الْفَسَادِ وَوُجُوبِ أَنْ يَتَحَرَّزَ الْإِنْسَانُ فِيهَا وَمِنَ الْأَدِلَّةِ الْوَارِدَةِ فِي هَذَا قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ لَمَّا كَانَ سَبُّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ يُفْضِي إِلَى سَبِّ اللَّهِ تَعَالَى مُنِعَ مِنْ سَبِّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ وَفِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَاعِي الْمَآلَاتِ وَمَا تَكُونُ وَمَا تَصِيرُ إِلَيْهِ الأُمُورُ لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ لَهَدَمْتُ الْبَيْتَ وَلَبَنَيْتُهُ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ رَاعَى فِي ذَلِكَ الْمَآلَاتِ وَهَكَذَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ وَقَالَ أَلَا تَقْتُلُ يَعْنِي الْمُنَافِقَ الَّذِي تَكَلَّمَ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا لِأَنْ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ فَرَاعَى الْمَآلَاتِ وَلِذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ مُرَاعَاةِ الْمَآلَاتِ

Bikin Gambar dengan AI Bisa Kena Dosa Besar?! Ini Penjelasannya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa hukum menggambar dengan bantuan kecerdasan buatan (AI)? Gambar-gambar tidak lepas dari dua kemungkinan: gambar makhluk tak bernyawa atau gambar makhluk bernyawa. Jika gambar tersebut adalah gambar makhluk tak bernyawa, maka tidaklah mengapa. Misalnya, Anda meminta kepada AI: “Gambarkanlah untukku gunung, pohon, atau mobil.” Maka hal itu tidaklah mengapa. Adapun gambar makhluk bernyawa, maka itu tidak diperbolehkan. Karena sebab larangan menggambar makhluk bernyawa adalah adanya unsur peniruan terhadap ciptaan Allah dan usaha menandingi ciptaan-Nya, dan itu terpenuhi di dalamnya. Sebab larangan menggambar makhluk bernyawa yang disepakati para ulama adalah karena adanya peniruan dan penyerupaan terhadap ciptaan Allah. “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berusaha menciptakan seperti ciptaan-Ku?” (HR. Bukhari). Mereka meniru ciptaan Allah. Pertama, larangan ini berlaku pada patung-patung makhluk bernyawa. Patung manusia, atau patung hewan. Ini termasuk jenis yang disepakati keharamannya. Kedua, gambar makhluk bernyawa juga diharamkan. Sebagaimana terdapat dalam kisah Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, sedangkan Aisyah punya tirai bergambar kuda. Seperti yang disebutkan dalam salah satu riwayat Muslim. Nabi ‘alaihis shalatu was salam pun marah dan bertanya, “Wahai Aisyah, apa ini?” “Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Aisyah berkata, “Aku pun melepas tirai itu dan membuatnya menjadi satu atau dua bantal.” Padahal itu hanya berupa lukisan kuda yang diletakkan Aisyah radhiyallahu ‘anha di dinding. Namun Nabi ‘alaihis shalatu was salam tetap marah dan mengingkari hal tersebut. Nabi berkata, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Kepada mereka akan dikatakan: “Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!” Dengan demikian, tidak boleh meniru dan menandingi ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara apa pun. Termasuk dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI). Namun jika melalui kecerdasan buatan (AI) hanya mengambil (mengimpor) gambar foto asli atau cuplikan video, maka ini dibolehkan, karena gambar foto asli dan video pada dasarnya tidak termasuk gambar-gambar yang diharamkan. Karena tidak mengandung unsur peniruan ciptaan Allah. Itu hanyalah gambar nyata dari manusia sebagaimana diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti gambar di cermin. Namun, jika dalam bentuk gambar hasil lukisan makhluk bernyawa, maka ini termasuk dalam kategori gambar yang diharamkan. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) hendaknya menjauhi hal ini. Hendaknya pula mereka tidak menggambar makhluk bernyawa, baik melalui AI maupun dengan cara lainnya. ==== مَا حُكْمُ الرُّسُومَاتِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الرُّسُومَاتُ لَا تَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ رَسُومَاتٍ لِغَيْرِ ذَوَاتِ أَرْوَاحٍ أَوْ رَسُومَاتٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ فَإِنْ كَانَتْ رَسُومَاتٌ لِغَيْرِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ لَا بَأْسَ تَطْلُبُ مِنَ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ تَقُولُ اُرْسُمْ لِي مَثَلًا جَبَلًا شَجَرَةً سَيَّارَةً لَا بَأْسَ بِهَذَا أَمَّا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ فَهَذِهِ لَا تَجُوزُ لِأَنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ وَهِي الْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ مُتَحَقِّقَةٌ فِيهَا فَإِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ الْمُجْمَعَ عَلَيْهَا هِيَ الْمُضَاهَاةُ وَالْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي يُضَاهِئُونَ خَلْقَ اللَّهِ وَهَذَا مُتَحَقِّقٌ أَوَّلًا فِي الْمُجَسَّمَاتِ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُجَسَّمٌ لِإِنْسَانٍ مُجَسَّمٌ لِحَيَوَانٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ بِالِاتِّفَاقِ كَذَلِكَ أَيْضًا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُحَرَّمَةٌ وَهِيَ الْوَارِدَةُ فِي قِصَّةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهَا سِتْرٌ فِيهِ صُورَةُ خَيْلٍ كَمَا جَاءَ فِي إِحْدَى رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَغَضِبَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ مَا هَذَا؟ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَخَذْنَاهُ وَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ فَهَذَا كَانَتْ مُجَرَّدُ رَسْمَةٍ لِخَيْلٍ وَضَعَتْهَا عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَلَى جِدَارٍ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ غَضِبَ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ وَعَلَى ذَلِكَ لَا تَجُوزُ الْمُحَاكَاةُ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِأَيَّةِ وَسِيلَةٍ وَمِنْ ذَلِكَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ لَكِنْ إِذَا كَانَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ يَسْتَجْلِبُ صُورَةً فُوتُوغْرَافِيَّةً أَوْ مَقْطَعَ فِيدْيُو مَثَلًا هَذَا لَا بَأْسَ لِأَنَّ صُوَرًا فُوتُوغْرَافِيَّةً وَكَذَلِكَ الْفِيدْيُو هَذِهِ لَا تَدْخُلُ فِي الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ أَصْلًا لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا مُحَاكَاةٌ لِخَلْقِ اللَّهِ وَإِنَّمَا هِيَ صُورَةُ الْإِنْسَانِ الْحَقِيقِيَّةُ كَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهِيَ كَصُورَتِهِ فِي الْمِرْآةِ لَكِنْ مَا كَانَ عَلَى شَكْلِ رَسْمٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ فَيَنْبَغِي لِمَنْ يَتَعَامَلُونَ بِالذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَنْ يَحْذَرُوا ذَلِكَ وَأَنْ يَحْذَرُوا رَسْمَ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَوْ غَيْرِهِ

Bikin Gambar dengan AI Bisa Kena Dosa Besar?! Ini Penjelasannya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa hukum menggambar dengan bantuan kecerdasan buatan (AI)? Gambar-gambar tidak lepas dari dua kemungkinan: gambar makhluk tak bernyawa atau gambar makhluk bernyawa. Jika gambar tersebut adalah gambar makhluk tak bernyawa, maka tidaklah mengapa. Misalnya, Anda meminta kepada AI: “Gambarkanlah untukku gunung, pohon, atau mobil.” Maka hal itu tidaklah mengapa. Adapun gambar makhluk bernyawa, maka itu tidak diperbolehkan. Karena sebab larangan menggambar makhluk bernyawa adalah adanya unsur peniruan terhadap ciptaan Allah dan usaha menandingi ciptaan-Nya, dan itu terpenuhi di dalamnya. Sebab larangan menggambar makhluk bernyawa yang disepakati para ulama adalah karena adanya peniruan dan penyerupaan terhadap ciptaan Allah. “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berusaha menciptakan seperti ciptaan-Ku?” (HR. Bukhari). Mereka meniru ciptaan Allah. Pertama, larangan ini berlaku pada patung-patung makhluk bernyawa. Patung manusia, atau patung hewan. Ini termasuk jenis yang disepakati keharamannya. Kedua, gambar makhluk bernyawa juga diharamkan. Sebagaimana terdapat dalam kisah Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, sedangkan Aisyah punya tirai bergambar kuda. Seperti yang disebutkan dalam salah satu riwayat Muslim. Nabi ‘alaihis shalatu was salam pun marah dan bertanya, “Wahai Aisyah, apa ini?” “Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Aisyah berkata, “Aku pun melepas tirai itu dan membuatnya menjadi satu atau dua bantal.” Padahal itu hanya berupa lukisan kuda yang diletakkan Aisyah radhiyallahu ‘anha di dinding. Namun Nabi ‘alaihis shalatu was salam tetap marah dan mengingkari hal tersebut. Nabi berkata, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Kepada mereka akan dikatakan: “Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!” Dengan demikian, tidak boleh meniru dan menandingi ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara apa pun. Termasuk dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI). Namun jika melalui kecerdasan buatan (AI) hanya mengambil (mengimpor) gambar foto asli atau cuplikan video, maka ini dibolehkan, karena gambar foto asli dan video pada dasarnya tidak termasuk gambar-gambar yang diharamkan. Karena tidak mengandung unsur peniruan ciptaan Allah. Itu hanyalah gambar nyata dari manusia sebagaimana diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti gambar di cermin. Namun, jika dalam bentuk gambar hasil lukisan makhluk bernyawa, maka ini termasuk dalam kategori gambar yang diharamkan. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) hendaknya menjauhi hal ini. Hendaknya pula mereka tidak menggambar makhluk bernyawa, baik melalui AI maupun dengan cara lainnya. ==== مَا حُكْمُ الرُّسُومَاتِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الرُّسُومَاتُ لَا تَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ رَسُومَاتٍ لِغَيْرِ ذَوَاتِ أَرْوَاحٍ أَوْ رَسُومَاتٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ فَإِنْ كَانَتْ رَسُومَاتٌ لِغَيْرِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ لَا بَأْسَ تَطْلُبُ مِنَ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ تَقُولُ اُرْسُمْ لِي مَثَلًا جَبَلًا شَجَرَةً سَيَّارَةً لَا بَأْسَ بِهَذَا أَمَّا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ فَهَذِهِ لَا تَجُوزُ لِأَنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ وَهِي الْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ مُتَحَقِّقَةٌ فِيهَا فَإِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ الْمُجْمَعَ عَلَيْهَا هِيَ الْمُضَاهَاةُ وَالْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي يُضَاهِئُونَ خَلْقَ اللَّهِ وَهَذَا مُتَحَقِّقٌ أَوَّلًا فِي الْمُجَسَّمَاتِ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُجَسَّمٌ لِإِنْسَانٍ مُجَسَّمٌ لِحَيَوَانٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ بِالِاتِّفَاقِ كَذَلِكَ أَيْضًا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُحَرَّمَةٌ وَهِيَ الْوَارِدَةُ فِي قِصَّةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهَا سِتْرٌ فِيهِ صُورَةُ خَيْلٍ كَمَا جَاءَ فِي إِحْدَى رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَغَضِبَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ مَا هَذَا؟ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَخَذْنَاهُ وَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ فَهَذَا كَانَتْ مُجَرَّدُ رَسْمَةٍ لِخَيْلٍ وَضَعَتْهَا عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَلَى جِدَارٍ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ غَضِبَ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ وَعَلَى ذَلِكَ لَا تَجُوزُ الْمُحَاكَاةُ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِأَيَّةِ وَسِيلَةٍ وَمِنْ ذَلِكَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ لَكِنْ إِذَا كَانَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ يَسْتَجْلِبُ صُورَةً فُوتُوغْرَافِيَّةً أَوْ مَقْطَعَ فِيدْيُو مَثَلًا هَذَا لَا بَأْسَ لِأَنَّ صُوَرًا فُوتُوغْرَافِيَّةً وَكَذَلِكَ الْفِيدْيُو هَذِهِ لَا تَدْخُلُ فِي الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ أَصْلًا لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا مُحَاكَاةٌ لِخَلْقِ اللَّهِ وَإِنَّمَا هِيَ صُورَةُ الْإِنْسَانِ الْحَقِيقِيَّةُ كَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهِيَ كَصُورَتِهِ فِي الْمِرْآةِ لَكِنْ مَا كَانَ عَلَى شَكْلِ رَسْمٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ فَيَنْبَغِي لِمَنْ يَتَعَامَلُونَ بِالذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَنْ يَحْذَرُوا ذَلِكَ وَأَنْ يَحْذَرُوا رَسْمَ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَوْ غَيْرِهِ
Apa hukum menggambar dengan bantuan kecerdasan buatan (AI)? Gambar-gambar tidak lepas dari dua kemungkinan: gambar makhluk tak bernyawa atau gambar makhluk bernyawa. Jika gambar tersebut adalah gambar makhluk tak bernyawa, maka tidaklah mengapa. Misalnya, Anda meminta kepada AI: “Gambarkanlah untukku gunung, pohon, atau mobil.” Maka hal itu tidaklah mengapa. Adapun gambar makhluk bernyawa, maka itu tidak diperbolehkan. Karena sebab larangan menggambar makhluk bernyawa adalah adanya unsur peniruan terhadap ciptaan Allah dan usaha menandingi ciptaan-Nya, dan itu terpenuhi di dalamnya. Sebab larangan menggambar makhluk bernyawa yang disepakati para ulama adalah karena adanya peniruan dan penyerupaan terhadap ciptaan Allah. “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berusaha menciptakan seperti ciptaan-Ku?” (HR. Bukhari). Mereka meniru ciptaan Allah. Pertama, larangan ini berlaku pada patung-patung makhluk bernyawa. Patung manusia, atau patung hewan. Ini termasuk jenis yang disepakati keharamannya. Kedua, gambar makhluk bernyawa juga diharamkan. Sebagaimana terdapat dalam kisah Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, sedangkan Aisyah punya tirai bergambar kuda. Seperti yang disebutkan dalam salah satu riwayat Muslim. Nabi ‘alaihis shalatu was salam pun marah dan bertanya, “Wahai Aisyah, apa ini?” “Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Aisyah berkata, “Aku pun melepas tirai itu dan membuatnya menjadi satu atau dua bantal.” Padahal itu hanya berupa lukisan kuda yang diletakkan Aisyah radhiyallahu ‘anha di dinding. Namun Nabi ‘alaihis shalatu was salam tetap marah dan mengingkari hal tersebut. Nabi berkata, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Kepada mereka akan dikatakan: “Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!” Dengan demikian, tidak boleh meniru dan menandingi ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara apa pun. Termasuk dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI). Namun jika melalui kecerdasan buatan (AI) hanya mengambil (mengimpor) gambar foto asli atau cuplikan video, maka ini dibolehkan, karena gambar foto asli dan video pada dasarnya tidak termasuk gambar-gambar yang diharamkan. Karena tidak mengandung unsur peniruan ciptaan Allah. Itu hanyalah gambar nyata dari manusia sebagaimana diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti gambar di cermin. Namun, jika dalam bentuk gambar hasil lukisan makhluk bernyawa, maka ini termasuk dalam kategori gambar yang diharamkan. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) hendaknya menjauhi hal ini. Hendaknya pula mereka tidak menggambar makhluk bernyawa, baik melalui AI maupun dengan cara lainnya. ==== مَا حُكْمُ الرُّسُومَاتِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الرُّسُومَاتُ لَا تَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ رَسُومَاتٍ لِغَيْرِ ذَوَاتِ أَرْوَاحٍ أَوْ رَسُومَاتٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ فَإِنْ كَانَتْ رَسُومَاتٌ لِغَيْرِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ لَا بَأْسَ تَطْلُبُ مِنَ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ تَقُولُ اُرْسُمْ لِي مَثَلًا جَبَلًا شَجَرَةً سَيَّارَةً لَا بَأْسَ بِهَذَا أَمَّا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ فَهَذِهِ لَا تَجُوزُ لِأَنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ وَهِي الْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ مُتَحَقِّقَةٌ فِيهَا فَإِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ الْمُجْمَعَ عَلَيْهَا هِيَ الْمُضَاهَاةُ وَالْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي يُضَاهِئُونَ خَلْقَ اللَّهِ وَهَذَا مُتَحَقِّقٌ أَوَّلًا فِي الْمُجَسَّمَاتِ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُجَسَّمٌ لِإِنْسَانٍ مُجَسَّمٌ لِحَيَوَانٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ بِالِاتِّفَاقِ كَذَلِكَ أَيْضًا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُحَرَّمَةٌ وَهِيَ الْوَارِدَةُ فِي قِصَّةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهَا سِتْرٌ فِيهِ صُورَةُ خَيْلٍ كَمَا جَاءَ فِي إِحْدَى رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَغَضِبَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ مَا هَذَا؟ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَخَذْنَاهُ وَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ فَهَذَا كَانَتْ مُجَرَّدُ رَسْمَةٍ لِخَيْلٍ وَضَعَتْهَا عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَلَى جِدَارٍ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ غَضِبَ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ وَعَلَى ذَلِكَ لَا تَجُوزُ الْمُحَاكَاةُ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِأَيَّةِ وَسِيلَةٍ وَمِنْ ذَلِكَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ لَكِنْ إِذَا كَانَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ يَسْتَجْلِبُ صُورَةً فُوتُوغْرَافِيَّةً أَوْ مَقْطَعَ فِيدْيُو مَثَلًا هَذَا لَا بَأْسَ لِأَنَّ صُوَرًا فُوتُوغْرَافِيَّةً وَكَذَلِكَ الْفِيدْيُو هَذِهِ لَا تَدْخُلُ فِي الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ أَصْلًا لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا مُحَاكَاةٌ لِخَلْقِ اللَّهِ وَإِنَّمَا هِيَ صُورَةُ الْإِنْسَانِ الْحَقِيقِيَّةُ كَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهِيَ كَصُورَتِهِ فِي الْمِرْآةِ لَكِنْ مَا كَانَ عَلَى شَكْلِ رَسْمٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ فَيَنْبَغِي لِمَنْ يَتَعَامَلُونَ بِالذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَنْ يَحْذَرُوا ذَلِكَ وَأَنْ يَحْذَرُوا رَسْمَ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَوْ غَيْرِهِ


Apa hukum menggambar dengan bantuan kecerdasan buatan (AI)? Gambar-gambar tidak lepas dari dua kemungkinan: gambar makhluk tak bernyawa atau gambar makhluk bernyawa. Jika gambar tersebut adalah gambar makhluk tak bernyawa, maka tidaklah mengapa. Misalnya, Anda meminta kepada AI: “Gambarkanlah untukku gunung, pohon, atau mobil.” Maka hal itu tidaklah mengapa. Adapun gambar makhluk bernyawa, maka itu tidak diperbolehkan. Karena sebab larangan menggambar makhluk bernyawa adalah adanya unsur peniruan terhadap ciptaan Allah dan usaha menandingi ciptaan-Nya, dan itu terpenuhi di dalamnya. Sebab larangan menggambar makhluk bernyawa yang disepakati para ulama adalah karena adanya peniruan dan penyerupaan terhadap ciptaan Allah. “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berusaha menciptakan seperti ciptaan-Ku?” (HR. Bukhari). Mereka meniru ciptaan Allah. Pertama, larangan ini berlaku pada patung-patung makhluk bernyawa. Patung manusia, atau patung hewan. Ini termasuk jenis yang disepakati keharamannya. Kedua, gambar makhluk bernyawa juga diharamkan. Sebagaimana terdapat dalam kisah Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, sedangkan Aisyah punya tirai bergambar kuda. Seperti yang disebutkan dalam salah satu riwayat Muslim. Nabi ‘alaihis shalatu was salam pun marah dan bertanya, “Wahai Aisyah, apa ini?” “Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Aisyah berkata, “Aku pun melepas tirai itu dan membuatnya menjadi satu atau dua bantal.” Padahal itu hanya berupa lukisan kuda yang diletakkan Aisyah radhiyallahu ‘anha di dinding. Namun Nabi ‘alaihis shalatu was salam tetap marah dan mengingkari hal tersebut. Nabi berkata, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah para pembuat gambar!” Kepada mereka akan dikatakan: “Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!” Dengan demikian, tidak boleh meniru dan menandingi ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara apa pun. Termasuk dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI). Namun jika melalui kecerdasan buatan (AI) hanya mengambil (mengimpor) gambar foto asli atau cuplikan video, maka ini dibolehkan, karena gambar foto asli dan video pada dasarnya tidak termasuk gambar-gambar yang diharamkan. Karena tidak mengandung unsur peniruan ciptaan Allah. Itu hanyalah gambar nyata dari manusia sebagaimana diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti gambar di cermin. Namun, jika dalam bentuk gambar hasil lukisan makhluk bernyawa, maka ini termasuk dalam kategori gambar yang diharamkan. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) hendaknya menjauhi hal ini. Hendaknya pula mereka tidak menggambar makhluk bernyawa, baik melalui AI maupun dengan cara lainnya. ==== مَا حُكْمُ الرُّسُومَاتِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الرُّسُومَاتُ لَا تَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ رَسُومَاتٍ لِغَيْرِ ذَوَاتِ أَرْوَاحٍ أَوْ رَسُومَاتٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ فَإِنْ كَانَتْ رَسُومَاتٌ لِغَيْرِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ لَا بَأْسَ تَطْلُبُ مِنَ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ تَقُولُ اُرْسُمْ لِي مَثَلًا جَبَلًا شَجَرَةً سَيَّارَةً لَا بَأْسَ بِهَذَا أَمَّا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ فَهَذِهِ لَا تَجُوزُ لِأَنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ وَهِي الْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ مُتَحَقِّقَةٌ فِيهَا فَإِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنِ التَّصْوِيرِ الْمُجْمَعَ عَلَيْهَا هِيَ الْمُضَاهَاةُ وَالْمُحَاكَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي يُضَاهِئُونَ خَلْقَ اللَّهِ وَهَذَا مُتَحَقِّقٌ أَوَّلًا فِي الْمُجَسَّمَاتِ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُجَسَّمٌ لِإِنْسَانٍ مُجَسَّمٌ لِحَيَوَانٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ بِالِاتِّفَاقِ كَذَلِكَ أَيْضًا الرُّسُومَاتُ لِذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مُحَرَّمَةٌ وَهِيَ الْوَارِدَةُ فِي قِصَّةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهَا سِتْرٌ فِيهِ صُورَةُ خَيْلٍ كَمَا جَاءَ فِي إِحْدَى رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَغَضِبَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ مَا هَذَا؟ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَخَذْنَاهُ وَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ فَهَذَا كَانَتْ مُجَرَّدُ رَسْمَةٍ لِخَيْلٍ وَضَعَتْهَا عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَلَى جِدَارٍ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ غَضِبَ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ وَعَلَى ذَلِكَ لَا تَجُوزُ الْمُحَاكَاةُ وَالْمُضَاهَاةُ لِخَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِأَيَّةِ وَسِيلَةٍ وَمِنْ ذَلِكَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ لَكِنْ إِذَا كَانَ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ يَسْتَجْلِبُ صُورَةً فُوتُوغْرَافِيَّةً أَوْ مَقْطَعَ فِيدْيُو مَثَلًا هَذَا لَا بَأْسَ لِأَنَّ صُوَرًا فُوتُوغْرَافِيَّةً وَكَذَلِكَ الْفِيدْيُو هَذِهِ لَا تَدْخُلُ فِي الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ أَصْلًا لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا مُحَاكَاةٌ لِخَلْقِ اللَّهِ وَإِنَّمَا هِيَ صُورَةُ الْإِنْسَانِ الْحَقِيقِيَّةُ كَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهِيَ كَصُورَتِهِ فِي الْمِرْآةِ لَكِنْ مَا كَانَ عَلَى شَكْلِ رَسْمٍ لِذَوَاتِ أَرْوَاحٍ هَذَا مِنَ الصُّوَرِ الْمُحَرَّمَةِ فَيَنْبَغِي لِمَنْ يَتَعَامَلُونَ بِالذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَنْ يَحْذَرُوا ذَلِكَ وَأَنْ يَحْذَرُوا رَسْمَ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ أَوْ غَيْرِهِ

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 4)

Tujuan keenam: Memenuhi panggilan Allah Di antara tujuan ibadah haji yang agung ini adalah dalam rangka memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya, taat kepada-Nya, dan tunduk terhadap syariat-Nya. Ini adalah tujuan agung yang sangat penting dan mulia di antara tujuan-tujuan ibadah haji yang harus diperhatikan. Tujuan ini terdapat dalam beragam rangkaian ibadah haji. Di antara yang paling penting adalah ketika talbiyah, yang senantiasa diulang oleh jemaah haji puluhan kali, bahkan ratusan kali sesuai dengan semangat jemaah haji dalam bertalbiyah. Talbiyah merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi pangggilan dan melaksanakan perintah Allah. Dalam setiap ucapan talbiyah, diulang kalimat (لَبَّيْكَ) sebanyak empat kali yang merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi panggilan. Maksud kalimat ini adalah aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, menaati perintah-Mu, tunduk terhadap syariat-Mu. Aku memenuhi seruan-Mu untuk berhaji di rumah-Mu, maka aku katakan, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.“ (QS. Al-Hajj: 27) Datangnya jawaban panggilan dari orang-orang yang beriman terhadap seruan Ar-Rahman ditandai dengan ucapan mereka, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Maksudnya, kami memenuhi pangggilan-Mu, Ya Allah; kami menaati perintah-Mu; dan kami tunduk terhadap panggilan-Mu. Diulangnya kalimat (لَبَّيْكَ) dalam bacaan talbiyah menunjukkan kesungguhan dalam memenuhi panggilan. Ucapanmu, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ), maksudnya kesungguhan dalam memenuhi panggilan, keseriusan dalam ketundukan, dan penekanan dalam melaksanakan perintah. Disyariatkan bagi orang yang bertalbiyah untuk mengeraskan suara saat bertalbiyah, sebagaimana disebutkan dalam hadis, جاءَني جبريلُ فقالَ يا محمَّدُ مُر أصحابَكَ فليَرفَعوا أصواتَهُم بالتَّلبيةِ فإنَّها مِن شعارِ الحجِّ “Jibril datang kepadaku, dan berkata, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu dan hendaknya mereka mengeraskan suara mereka saat bertalbiyah, karena sesungguhnya itu merupakan bagian dari syiar ibadah haji.“ (HR. Ahmad no. 21678) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa itu haji?” Maka beliau menjawab,  العج والثج “Bertalbiyah dengan suara keras dan menyembelih hadyu.” (HR. Ibnu Majah no. 2896) Mengeraskan suara saat bertalbiyah mengandung makna yang mulia dan dampak yang besar bagi seorang hamba dalam mewujudkan memenuhi panggilan dan menaati perintah Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ما مِن مسلمٍ يُلَبِّي إلا لَبَّى مَن عن يمينهِ أو عنْ شِمالِهِ مِن حَجَرٍ أو شجَرٍ أو مَدَرٍ، حتَّى تَنْقَطِعَ الأرضُ مِن ها هنا وها هنا “Tidaklah seorang muslim bertalbiyah, melainkan bertalbiyah pula yang ada di sisi kanan dan kiri berupa batu, pohon, sampai batas bumi dari sini hingga sini (barat dan timur).” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Jaami’ no. 828) Ketika seseorang bertalbiyah dan mengeraskan suara, maka sesungguhnya pohon, batu, gunung yang berada di sisi kanan dan kiri pun akan ikut bertalbiyah. Meskipun kita tidak mendengar suara talbiyah pohon, batu, dan gunung, namun kita yakin terhadap kebenaran hal tersebut karena yang menginformasikan kepada kita adalah orang yang sangat jujur dan dipercaya, yang tidak berkata dari hawa nafsunya. Yang memperkuat hal ini adalah firman Allah di dalam Al-Qur’an, يسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.“ (QS. Al-Isra’: 44) يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.“ (QS. Saba’: 10) Talbiyah ini senantiasa diulang berkali-kali dari lisan orang yang berhaji. Pengulangan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa makna, atau penyebutan yang tidak ada faidahnya, sama sekali tidak. Bahkan sebenarnya pengulangan ini agar semakin menancap dalam hati para jemaah haji untuk senantiasa menjawab panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Tidak hanya ketika di kota Makkah dan perpindahan saat menunaikan rangkaian manasik haji, akan tetapi hal ini harus ada dalam setiap kehidupan orang yang berhaji. Wahai orang yang Allah panggil untuk berhaji, jawablah panggilan tersebut, dan engkau datang ke Baitullah mengharap rahmat-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Lalu, bagaimana sikapmu dengan perintah-perintah yang lain? Bagaimana sikapmu terhadap salat yang merupakan tiang agama dan rukun Islam terbesar setelah syahadat? Bagaimana dengan puasamu? Bagaimana pula dengan penunaian zakatmu? Bagaimana engkau menjauhi larangan dan meninggalkan kemaksiatan? Jika engkau melaksanakannya, maka pujilah Allah dan mintalah tambahan kepada-Nya. Namun apabila engkau meremehkan dan menyepelekannya, maka hisablah dirimu sebelum engkau dihisab pada hari kiamat nanti. Engkau dipanggil untuk salat, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Engkau diseru untuk puasa, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Dan engkau pun juga dipanggil untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Engkau dipanggil pula untuk menjauhi keharaman. Maka bagaimana sebenarnya keadaanmu, wahai orang yang bertalbiyah? Apakah layak seorang muslim mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah, namun kemudian apabila dipanggil untuk salat, dia tidak memenuhi panggilan salat?! Jika dipanggil untuk berpuasa, dia tidak memenuhi perintah-Nya?! Jika diseru untuk menjauhi keharaman, dia tidak mau memenuhinya?! Oleh karena itu, hendaknya kita menyadari bahwasanya talbiyah dan amal-amal haji harus benar-benar menancap di dalam hati-hati kita, yaitu jawaban untuk memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Betapa banyak manusia yang Allah muliakan mereka untuk bisa mengambil faidah dalam hajinya, hingga mereka kembali ke negerinya dalam keadaan baik dan harapan yang bagus. Dia bisa menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan serta mewujudkan takwa kepada Allah. Oleh karena itu, di akhir penghujung ayat haji, Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“  (QS. Al-Baqarah: 197) [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 4)

Tujuan keenam: Memenuhi panggilan Allah Di antara tujuan ibadah haji yang agung ini adalah dalam rangka memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya, taat kepada-Nya, dan tunduk terhadap syariat-Nya. Ini adalah tujuan agung yang sangat penting dan mulia di antara tujuan-tujuan ibadah haji yang harus diperhatikan. Tujuan ini terdapat dalam beragam rangkaian ibadah haji. Di antara yang paling penting adalah ketika talbiyah, yang senantiasa diulang oleh jemaah haji puluhan kali, bahkan ratusan kali sesuai dengan semangat jemaah haji dalam bertalbiyah. Talbiyah merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi pangggilan dan melaksanakan perintah Allah. Dalam setiap ucapan talbiyah, diulang kalimat (لَبَّيْكَ) sebanyak empat kali yang merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi panggilan. Maksud kalimat ini adalah aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, menaati perintah-Mu, tunduk terhadap syariat-Mu. Aku memenuhi seruan-Mu untuk berhaji di rumah-Mu, maka aku katakan, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.“ (QS. Al-Hajj: 27) Datangnya jawaban panggilan dari orang-orang yang beriman terhadap seruan Ar-Rahman ditandai dengan ucapan mereka, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Maksudnya, kami memenuhi pangggilan-Mu, Ya Allah; kami menaati perintah-Mu; dan kami tunduk terhadap panggilan-Mu. Diulangnya kalimat (لَبَّيْكَ) dalam bacaan talbiyah menunjukkan kesungguhan dalam memenuhi panggilan. Ucapanmu, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ), maksudnya kesungguhan dalam memenuhi panggilan, keseriusan dalam ketundukan, dan penekanan dalam melaksanakan perintah. Disyariatkan bagi orang yang bertalbiyah untuk mengeraskan suara saat bertalbiyah, sebagaimana disebutkan dalam hadis, جاءَني جبريلُ فقالَ يا محمَّدُ مُر أصحابَكَ فليَرفَعوا أصواتَهُم بالتَّلبيةِ فإنَّها مِن شعارِ الحجِّ “Jibril datang kepadaku, dan berkata, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu dan hendaknya mereka mengeraskan suara mereka saat bertalbiyah, karena sesungguhnya itu merupakan bagian dari syiar ibadah haji.“ (HR. Ahmad no. 21678) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa itu haji?” Maka beliau menjawab,  العج والثج “Bertalbiyah dengan suara keras dan menyembelih hadyu.” (HR. Ibnu Majah no. 2896) Mengeraskan suara saat bertalbiyah mengandung makna yang mulia dan dampak yang besar bagi seorang hamba dalam mewujudkan memenuhi panggilan dan menaati perintah Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ما مِن مسلمٍ يُلَبِّي إلا لَبَّى مَن عن يمينهِ أو عنْ شِمالِهِ مِن حَجَرٍ أو شجَرٍ أو مَدَرٍ، حتَّى تَنْقَطِعَ الأرضُ مِن ها هنا وها هنا “Tidaklah seorang muslim bertalbiyah, melainkan bertalbiyah pula yang ada di sisi kanan dan kiri berupa batu, pohon, sampai batas bumi dari sini hingga sini (barat dan timur).” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Jaami’ no. 828) Ketika seseorang bertalbiyah dan mengeraskan suara, maka sesungguhnya pohon, batu, gunung yang berada di sisi kanan dan kiri pun akan ikut bertalbiyah. Meskipun kita tidak mendengar suara talbiyah pohon, batu, dan gunung, namun kita yakin terhadap kebenaran hal tersebut karena yang menginformasikan kepada kita adalah orang yang sangat jujur dan dipercaya, yang tidak berkata dari hawa nafsunya. Yang memperkuat hal ini adalah firman Allah di dalam Al-Qur’an, يسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.“ (QS. Al-Isra’: 44) يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.“ (QS. Saba’: 10) Talbiyah ini senantiasa diulang berkali-kali dari lisan orang yang berhaji. Pengulangan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa makna, atau penyebutan yang tidak ada faidahnya, sama sekali tidak. Bahkan sebenarnya pengulangan ini agar semakin menancap dalam hati para jemaah haji untuk senantiasa menjawab panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Tidak hanya ketika di kota Makkah dan perpindahan saat menunaikan rangkaian manasik haji, akan tetapi hal ini harus ada dalam setiap kehidupan orang yang berhaji. Wahai orang yang Allah panggil untuk berhaji, jawablah panggilan tersebut, dan engkau datang ke Baitullah mengharap rahmat-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Lalu, bagaimana sikapmu dengan perintah-perintah yang lain? Bagaimana sikapmu terhadap salat yang merupakan tiang agama dan rukun Islam terbesar setelah syahadat? Bagaimana dengan puasamu? Bagaimana pula dengan penunaian zakatmu? Bagaimana engkau menjauhi larangan dan meninggalkan kemaksiatan? Jika engkau melaksanakannya, maka pujilah Allah dan mintalah tambahan kepada-Nya. Namun apabila engkau meremehkan dan menyepelekannya, maka hisablah dirimu sebelum engkau dihisab pada hari kiamat nanti. Engkau dipanggil untuk salat, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Engkau diseru untuk puasa, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Dan engkau pun juga dipanggil untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Engkau dipanggil pula untuk menjauhi keharaman. Maka bagaimana sebenarnya keadaanmu, wahai orang yang bertalbiyah? Apakah layak seorang muslim mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah, namun kemudian apabila dipanggil untuk salat, dia tidak memenuhi panggilan salat?! Jika dipanggil untuk berpuasa, dia tidak memenuhi perintah-Nya?! Jika diseru untuk menjauhi keharaman, dia tidak mau memenuhinya?! Oleh karena itu, hendaknya kita menyadari bahwasanya talbiyah dan amal-amal haji harus benar-benar menancap di dalam hati-hati kita, yaitu jawaban untuk memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Betapa banyak manusia yang Allah muliakan mereka untuk bisa mengambil faidah dalam hajinya, hingga mereka kembali ke negerinya dalam keadaan baik dan harapan yang bagus. Dia bisa menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan serta mewujudkan takwa kepada Allah. Oleh karena itu, di akhir penghujung ayat haji, Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“  (QS. Al-Baqarah: 197) [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Tujuan keenam: Memenuhi panggilan Allah Di antara tujuan ibadah haji yang agung ini adalah dalam rangka memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya, taat kepada-Nya, dan tunduk terhadap syariat-Nya. Ini adalah tujuan agung yang sangat penting dan mulia di antara tujuan-tujuan ibadah haji yang harus diperhatikan. Tujuan ini terdapat dalam beragam rangkaian ibadah haji. Di antara yang paling penting adalah ketika talbiyah, yang senantiasa diulang oleh jemaah haji puluhan kali, bahkan ratusan kali sesuai dengan semangat jemaah haji dalam bertalbiyah. Talbiyah merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi pangggilan dan melaksanakan perintah Allah. Dalam setiap ucapan talbiyah, diulang kalimat (لَبَّيْكَ) sebanyak empat kali yang merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi panggilan. Maksud kalimat ini adalah aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, menaati perintah-Mu, tunduk terhadap syariat-Mu. Aku memenuhi seruan-Mu untuk berhaji di rumah-Mu, maka aku katakan, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.“ (QS. Al-Hajj: 27) Datangnya jawaban panggilan dari orang-orang yang beriman terhadap seruan Ar-Rahman ditandai dengan ucapan mereka, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Maksudnya, kami memenuhi pangggilan-Mu, Ya Allah; kami menaati perintah-Mu; dan kami tunduk terhadap panggilan-Mu. Diulangnya kalimat (لَبَّيْكَ) dalam bacaan talbiyah menunjukkan kesungguhan dalam memenuhi panggilan. Ucapanmu, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ), maksudnya kesungguhan dalam memenuhi panggilan, keseriusan dalam ketundukan, dan penekanan dalam melaksanakan perintah. Disyariatkan bagi orang yang bertalbiyah untuk mengeraskan suara saat bertalbiyah, sebagaimana disebutkan dalam hadis, جاءَني جبريلُ فقالَ يا محمَّدُ مُر أصحابَكَ فليَرفَعوا أصواتَهُم بالتَّلبيةِ فإنَّها مِن شعارِ الحجِّ “Jibril datang kepadaku, dan berkata, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu dan hendaknya mereka mengeraskan suara mereka saat bertalbiyah, karena sesungguhnya itu merupakan bagian dari syiar ibadah haji.“ (HR. Ahmad no. 21678) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa itu haji?” Maka beliau menjawab,  العج والثج “Bertalbiyah dengan suara keras dan menyembelih hadyu.” (HR. Ibnu Majah no. 2896) Mengeraskan suara saat bertalbiyah mengandung makna yang mulia dan dampak yang besar bagi seorang hamba dalam mewujudkan memenuhi panggilan dan menaati perintah Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ما مِن مسلمٍ يُلَبِّي إلا لَبَّى مَن عن يمينهِ أو عنْ شِمالِهِ مِن حَجَرٍ أو شجَرٍ أو مَدَرٍ، حتَّى تَنْقَطِعَ الأرضُ مِن ها هنا وها هنا “Tidaklah seorang muslim bertalbiyah, melainkan bertalbiyah pula yang ada di sisi kanan dan kiri berupa batu, pohon, sampai batas bumi dari sini hingga sini (barat dan timur).” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Jaami’ no. 828) Ketika seseorang bertalbiyah dan mengeraskan suara, maka sesungguhnya pohon, batu, gunung yang berada di sisi kanan dan kiri pun akan ikut bertalbiyah. Meskipun kita tidak mendengar suara talbiyah pohon, batu, dan gunung, namun kita yakin terhadap kebenaran hal tersebut karena yang menginformasikan kepada kita adalah orang yang sangat jujur dan dipercaya, yang tidak berkata dari hawa nafsunya. Yang memperkuat hal ini adalah firman Allah di dalam Al-Qur’an, يسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.“ (QS. Al-Isra’: 44) يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.“ (QS. Saba’: 10) Talbiyah ini senantiasa diulang berkali-kali dari lisan orang yang berhaji. Pengulangan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa makna, atau penyebutan yang tidak ada faidahnya, sama sekali tidak. Bahkan sebenarnya pengulangan ini agar semakin menancap dalam hati para jemaah haji untuk senantiasa menjawab panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Tidak hanya ketika di kota Makkah dan perpindahan saat menunaikan rangkaian manasik haji, akan tetapi hal ini harus ada dalam setiap kehidupan orang yang berhaji. Wahai orang yang Allah panggil untuk berhaji, jawablah panggilan tersebut, dan engkau datang ke Baitullah mengharap rahmat-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Lalu, bagaimana sikapmu dengan perintah-perintah yang lain? Bagaimana sikapmu terhadap salat yang merupakan tiang agama dan rukun Islam terbesar setelah syahadat? Bagaimana dengan puasamu? Bagaimana pula dengan penunaian zakatmu? Bagaimana engkau menjauhi larangan dan meninggalkan kemaksiatan? Jika engkau melaksanakannya, maka pujilah Allah dan mintalah tambahan kepada-Nya. Namun apabila engkau meremehkan dan menyepelekannya, maka hisablah dirimu sebelum engkau dihisab pada hari kiamat nanti. Engkau dipanggil untuk salat, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Engkau diseru untuk puasa, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Dan engkau pun juga dipanggil untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Engkau dipanggil pula untuk menjauhi keharaman. Maka bagaimana sebenarnya keadaanmu, wahai orang yang bertalbiyah? Apakah layak seorang muslim mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah, namun kemudian apabila dipanggil untuk salat, dia tidak memenuhi panggilan salat?! Jika dipanggil untuk berpuasa, dia tidak memenuhi perintah-Nya?! Jika diseru untuk menjauhi keharaman, dia tidak mau memenuhinya?! Oleh karena itu, hendaknya kita menyadari bahwasanya talbiyah dan amal-amal haji harus benar-benar menancap di dalam hati-hati kita, yaitu jawaban untuk memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Betapa banyak manusia yang Allah muliakan mereka untuk bisa mengambil faidah dalam hajinya, hingga mereka kembali ke negerinya dalam keadaan baik dan harapan yang bagus. Dia bisa menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan serta mewujudkan takwa kepada Allah. Oleh karena itu, di akhir penghujung ayat haji, Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“  (QS. Al-Baqarah: 197) [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Tujuan keenam: Memenuhi panggilan Allah Di antara tujuan ibadah haji yang agung ini adalah dalam rangka memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya, taat kepada-Nya, dan tunduk terhadap syariat-Nya. Ini adalah tujuan agung yang sangat penting dan mulia di antara tujuan-tujuan ibadah haji yang harus diperhatikan. Tujuan ini terdapat dalam beragam rangkaian ibadah haji. Di antara yang paling penting adalah ketika talbiyah, yang senantiasa diulang oleh jemaah haji puluhan kali, bahkan ratusan kali sesuai dengan semangat jemaah haji dalam bertalbiyah. Talbiyah merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi pangggilan dan melaksanakan perintah Allah. Dalam setiap ucapan talbiyah, diulang kalimat (لَبَّيْكَ) sebanyak empat kali yang merupakan kalimat jawaban dalam memenuhi panggilan. Maksud kalimat ini adalah aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, menaati perintah-Mu, tunduk terhadap syariat-Mu. Aku memenuhi seruan-Mu untuk berhaji di rumah-Mu, maka aku katakan, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.“ (QS. Al-Hajj: 27) Datangnya jawaban panggilan dari orang-orang yang beriman terhadap seruan Ar-Rahman ditandai dengan ucapan mereka, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ). Maksudnya, kami memenuhi pangggilan-Mu, Ya Allah; kami menaati perintah-Mu; dan kami tunduk terhadap panggilan-Mu. Diulangnya kalimat (لَبَّيْكَ) dalam bacaan talbiyah menunjukkan kesungguhan dalam memenuhi panggilan. Ucapanmu, (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ), maksudnya kesungguhan dalam memenuhi panggilan, keseriusan dalam ketundukan, dan penekanan dalam melaksanakan perintah. Disyariatkan bagi orang yang bertalbiyah untuk mengeraskan suara saat bertalbiyah, sebagaimana disebutkan dalam hadis, جاءَني جبريلُ فقالَ يا محمَّدُ مُر أصحابَكَ فليَرفَعوا أصواتَهُم بالتَّلبيةِ فإنَّها مِن شعارِ الحجِّ “Jibril datang kepadaku, dan berkata, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu dan hendaknya mereka mengeraskan suara mereka saat bertalbiyah, karena sesungguhnya itu merupakan bagian dari syiar ibadah haji.“ (HR. Ahmad no. 21678) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa itu haji?” Maka beliau menjawab,  العج والثج “Bertalbiyah dengan suara keras dan menyembelih hadyu.” (HR. Ibnu Majah no. 2896) Mengeraskan suara saat bertalbiyah mengandung makna yang mulia dan dampak yang besar bagi seorang hamba dalam mewujudkan memenuhi panggilan dan menaati perintah Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ما مِن مسلمٍ يُلَبِّي إلا لَبَّى مَن عن يمينهِ أو عنْ شِمالِهِ مِن حَجَرٍ أو شجَرٍ أو مَدَرٍ، حتَّى تَنْقَطِعَ الأرضُ مِن ها هنا وها هنا “Tidaklah seorang muslim bertalbiyah, melainkan bertalbiyah pula yang ada di sisi kanan dan kiri berupa batu, pohon, sampai batas bumi dari sini hingga sini (barat dan timur).” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Jaami’ no. 828) Ketika seseorang bertalbiyah dan mengeraskan suara, maka sesungguhnya pohon, batu, gunung yang berada di sisi kanan dan kiri pun akan ikut bertalbiyah. Meskipun kita tidak mendengar suara talbiyah pohon, batu, dan gunung, namun kita yakin terhadap kebenaran hal tersebut karena yang menginformasikan kepada kita adalah orang yang sangat jujur dan dipercaya, yang tidak berkata dari hawa nafsunya. Yang memperkuat hal ini adalah firman Allah di dalam Al-Qur’an, يسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.“ (QS. Al-Isra’: 44) يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.“ (QS. Saba’: 10) Talbiyah ini senantiasa diulang berkali-kali dari lisan orang yang berhaji. Pengulangan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa makna, atau penyebutan yang tidak ada faidahnya, sama sekali tidak. Bahkan sebenarnya pengulangan ini agar semakin menancap dalam hati para jemaah haji untuk senantiasa menjawab panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Tidak hanya ketika di kota Makkah dan perpindahan saat menunaikan rangkaian manasik haji, akan tetapi hal ini harus ada dalam setiap kehidupan orang yang berhaji. Wahai orang yang Allah panggil untuk berhaji, jawablah panggilan tersebut, dan engkau datang ke Baitullah mengharap rahmat-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Lalu, bagaimana sikapmu dengan perintah-perintah yang lain? Bagaimana sikapmu terhadap salat yang merupakan tiang agama dan rukun Islam terbesar setelah syahadat? Bagaimana dengan puasamu? Bagaimana pula dengan penunaian zakatmu? Bagaimana engkau menjauhi larangan dan meninggalkan kemaksiatan? Jika engkau melaksanakannya, maka pujilah Allah dan mintalah tambahan kepada-Nya. Namun apabila engkau meremehkan dan menyepelekannya, maka hisablah dirimu sebelum engkau dihisab pada hari kiamat nanti. Engkau dipanggil untuk salat, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Engkau diseru untuk puasa, sementara dia lebih penting dan lebih agung daripada haji. Dan engkau pun juga dipanggil untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Engkau dipanggil pula untuk menjauhi keharaman. Maka bagaimana sebenarnya keadaanmu, wahai orang yang bertalbiyah? Apakah layak seorang muslim mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah, namun kemudian apabila dipanggil untuk salat, dia tidak memenuhi panggilan salat?! Jika dipanggil untuk berpuasa, dia tidak memenuhi perintah-Nya?! Jika diseru untuk menjauhi keharaman, dia tidak mau memenuhinya?! Oleh karena itu, hendaknya kita menyadari bahwasanya talbiyah dan amal-amal haji harus benar-benar menancap di dalam hati-hati kita, yaitu jawaban untuk memenuhi panggilan Allah dan menunaikan perintah-Nya. Betapa banyak manusia yang Allah muliakan mereka untuk bisa mengambil faidah dalam hajinya, hingga mereka kembali ke negerinya dalam keadaan baik dan harapan yang bagus. Dia bisa menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan serta mewujudkan takwa kepada Allah. Oleh karena itu, di akhir penghujung ayat haji, Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“  (QS. Al-Baqarah: 197) [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Mengapa Kecerdasan Semata Bukanlah Tolok Ukur Kesuksesan?

Daftar Isi Toggle Pondasi yang menyelamatkanMengapa kecerdasan saja tidak cukup?Simpel, tetapi menyelamatkan“Kompas” menuju Allah Kecerdasan intelektual (IQ) kerap dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Namun, sejarah Islam mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa iman dan tauhid justru menjadi bumerang yang menghancurkan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ َ “Dan meskipun kamu sangat ingin (agar mereka beriman), kebanyakan manusia tidak akan beriman.” (QS. Yusuf: 103) Banyak orang cerdas dan berilmu justru menolak kebenaran. Kisah para pembesar (Al-Mala’) yang menentang dakwah Nabi Nuh, Hud, Saleh, hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi bukti nyata. Artikel ini akan mengurai mengapa tauhid —bukan sekadar kecerdasan— menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat. Ilmu sejati adalah yang melahirkan ketakwaan, bukan kesombongan. Banyak orang cerdas yang justru terjebak dalam sikap angkuh, merasa bahwa ilmu mereka cukup untuk menafikan wahyu. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Contohnya, kaum musyrikin Quraisy yang menentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang pandai dalam sastra dan strategi, tetapi kecerdasan mereka justru menjadi penghalang untuk menerima kebenaran. Oleh karena itu, kecerdasan harus selalu diiringi dengan kerendahan hati dan kesadaran akan keterbatasan diri sebagai makhluk. Pondasi yang menyelamatkan Orang yang bertauhid akan merasa aman karena meyakini bahwa segala urusan berada di tangan Allah. Mereka tidak mudah terombang-ambing oleh kegelisahan duniawi, karena tauhid mengajarkan untuk bersandar hanya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa’: 36) Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Kecerdasan tanpa tauhid ibarat kapal tanpa nahkoda: mungkin bergerak cepat, tetapi mudah terhempas ke jurang kesesatan. Sebaliknya, tauhid mengarahkan kecerdasan untuk mengenal hakikat penciptaan dan menjauhi kesombongan intelektual. Kecerdasan duniawi tidak akan berguna jika seseorang mati dalam keadaan syirik. Sebaliknya, tauhid yang murni akan menjadi penyelamat, meskipun seseorang tidak memiliki banyak ilmu atau harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 145) Mengapa kecerdasan saja tidak cukup? Kecerdasan sering dianggap sebagai kunci kesuksesan. Akan tetapi dalam Islam, kecerdasan tanpa iman justru bisa menjadi jerat yang berbahaya. Orang cerdas cenderung mengandalkan logika dan akal semata, sehingga meragukan wahyu dan petunjuk dari Allah Ta’ala. Padahal, Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam Al-Qur’an, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Ilmu sejati bukanlah yang membuat seseorang sombong, melainkan yang menumbuhkan ketakwaan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Namun, kecerdasan juga bisa menyesatkan ketika seseorang terlalu mengikuti arus mayoritas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّه “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116) Lebih berbahaya lagi, setan sering kali menghiasi kesyirikan dengan kedok “kecerdasan” dan “rasionalitas”. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr dalam kitab “براهن التوحيد” (Bukti-Bukti Tauhid) menjelaskan bahwa setan menipu manusia dengan mengemas syirik dalam bentuk pemikiran filosofis yang terlihat logis. Misalnya, pengkultusan terhadap orang saleh dianggap sebagai bentuk penghormatan, padahal itu adalah kesyirikan yang merusak tauhid. Oleh karenanya, kecerdasan harus diimbangi dengan pemahaman tauhid yang benar. Tanpa tauhid, kecerdasan hanya akan menjadi alat kesombongan dan kesesatan. Sebaliknya, kecerdasan yang dipandu oleh tauhid akan membawa manusia kepada kebenaran, ketenangan, dan keselamatan dunia akhirat. Baca juga: Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih Simpel, tetapi menyelamatkan Tauhid adalah konsep yang mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun. Al-Qur’an menjelaskan tauhid dengan sangat jelas dan gamblang, seperti dalam Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah: 255), yang menegaskan keesaan Allah dalam kekuasaan, ilmu, dan kehidupan. Tidak perlu menjadi ulama atau ahli agama untuk memahami tauhid, karena tauhid adalah fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati setiap manusia. Setiap anak yang lahir sudah membawa fitrah ini, dan tugas kita adalah menjaga serta mengembangkannya. Selain mudah dipahami, tauhid juga menjadi benteng yang melindungi kita dari kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah…” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16) Pondasi tauhid ini menjauhkan kita dari penyimpangan akidah, seperti syirik, bidah, dan khurafat. Bahkan orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu filsafat atau teologi yang mendalam bisa terjaga akidahnya selama ia memegang teguh prinsip tauhid. Tauhid tidak hanya melindungi, tetapi juga mengarahkan kecerdasan kita untuk kebaikan. Dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, العلم ما نفع، ليس العلم ما حُفِظ “Ilmu bukanlah yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat.” “Kompas” menuju Allah Tanpa tauhid, kecerdasan bisa menjadi bumerang yang menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Sejarah telah membuktikan betapa banyak orang pintar —seperti para filsuf dan ilmuwan— yang justru tersesat karena mengabaikan prinsip “إخلاص الدين لله” (memurnikan agama hanya untuk Allah). Mereka mungkin mencapai puncak keilmuan dan kesuksesan duniawi, tetapi tanpa tauhid, semua itu menjadi sia-sia. Tauhid berperan sebagai kompas yang mengarahkan kecerdasan ke jalan yang benar. Tanpa kompas ini, kecerdasan bisa terjerumus ke dalam kesombongan, keangkuhan, atau bahkan penentangan terhadap ajaran Allah. Lihatlah kisah Fir’aun, yang dikenal sebagai penguasa cerdas dan kuat, tetapi karena tidak bertauhid, ia justru menjadi simbol kezaliman dan kekufuran. Tauhid mengajarkan kita untuk rendah hati dan menyadari bahwa segala kecerdasan berasal dari Allah. Oleh karenanya, marilah kita menjadikan tauhid sebagai pondasi dalam mengembangkan kecerdasan. Jadilah orang yang bertauhid yang  meyakini bahwa kecerdasan tidak hanya digunakan untuk mengejar kepentingan duniawi, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan memberikan manfaat bagi sesama. Seorang muslim yang cerdas dan bertauhid akan menggunakan ilmunya untuk memperjuangkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan. Marilah kita senantiasa memurnikan niat dan mengarahkan segala potensi kita hanya untuk mencari keridaan-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id

Mengapa Kecerdasan Semata Bukanlah Tolok Ukur Kesuksesan?

Daftar Isi Toggle Pondasi yang menyelamatkanMengapa kecerdasan saja tidak cukup?Simpel, tetapi menyelamatkan“Kompas” menuju Allah Kecerdasan intelektual (IQ) kerap dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Namun, sejarah Islam mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa iman dan tauhid justru menjadi bumerang yang menghancurkan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ َ “Dan meskipun kamu sangat ingin (agar mereka beriman), kebanyakan manusia tidak akan beriman.” (QS. Yusuf: 103) Banyak orang cerdas dan berilmu justru menolak kebenaran. Kisah para pembesar (Al-Mala’) yang menentang dakwah Nabi Nuh, Hud, Saleh, hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi bukti nyata. Artikel ini akan mengurai mengapa tauhid —bukan sekadar kecerdasan— menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat. Ilmu sejati adalah yang melahirkan ketakwaan, bukan kesombongan. Banyak orang cerdas yang justru terjebak dalam sikap angkuh, merasa bahwa ilmu mereka cukup untuk menafikan wahyu. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Contohnya, kaum musyrikin Quraisy yang menentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang pandai dalam sastra dan strategi, tetapi kecerdasan mereka justru menjadi penghalang untuk menerima kebenaran. Oleh karena itu, kecerdasan harus selalu diiringi dengan kerendahan hati dan kesadaran akan keterbatasan diri sebagai makhluk. Pondasi yang menyelamatkan Orang yang bertauhid akan merasa aman karena meyakini bahwa segala urusan berada di tangan Allah. Mereka tidak mudah terombang-ambing oleh kegelisahan duniawi, karena tauhid mengajarkan untuk bersandar hanya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa’: 36) Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Kecerdasan tanpa tauhid ibarat kapal tanpa nahkoda: mungkin bergerak cepat, tetapi mudah terhempas ke jurang kesesatan. Sebaliknya, tauhid mengarahkan kecerdasan untuk mengenal hakikat penciptaan dan menjauhi kesombongan intelektual. Kecerdasan duniawi tidak akan berguna jika seseorang mati dalam keadaan syirik. Sebaliknya, tauhid yang murni akan menjadi penyelamat, meskipun seseorang tidak memiliki banyak ilmu atau harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 145) Mengapa kecerdasan saja tidak cukup? Kecerdasan sering dianggap sebagai kunci kesuksesan. Akan tetapi dalam Islam, kecerdasan tanpa iman justru bisa menjadi jerat yang berbahaya. Orang cerdas cenderung mengandalkan logika dan akal semata, sehingga meragukan wahyu dan petunjuk dari Allah Ta’ala. Padahal, Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam Al-Qur’an, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Ilmu sejati bukanlah yang membuat seseorang sombong, melainkan yang menumbuhkan ketakwaan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Namun, kecerdasan juga bisa menyesatkan ketika seseorang terlalu mengikuti arus mayoritas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّه “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116) Lebih berbahaya lagi, setan sering kali menghiasi kesyirikan dengan kedok “kecerdasan” dan “rasionalitas”. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr dalam kitab “براهن التوحيد” (Bukti-Bukti Tauhid) menjelaskan bahwa setan menipu manusia dengan mengemas syirik dalam bentuk pemikiran filosofis yang terlihat logis. Misalnya, pengkultusan terhadap orang saleh dianggap sebagai bentuk penghormatan, padahal itu adalah kesyirikan yang merusak tauhid. Oleh karenanya, kecerdasan harus diimbangi dengan pemahaman tauhid yang benar. Tanpa tauhid, kecerdasan hanya akan menjadi alat kesombongan dan kesesatan. Sebaliknya, kecerdasan yang dipandu oleh tauhid akan membawa manusia kepada kebenaran, ketenangan, dan keselamatan dunia akhirat. Baca juga: Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih Simpel, tetapi menyelamatkan Tauhid adalah konsep yang mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun. Al-Qur’an menjelaskan tauhid dengan sangat jelas dan gamblang, seperti dalam Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah: 255), yang menegaskan keesaan Allah dalam kekuasaan, ilmu, dan kehidupan. Tidak perlu menjadi ulama atau ahli agama untuk memahami tauhid, karena tauhid adalah fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati setiap manusia. Setiap anak yang lahir sudah membawa fitrah ini, dan tugas kita adalah menjaga serta mengembangkannya. Selain mudah dipahami, tauhid juga menjadi benteng yang melindungi kita dari kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah…” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16) Pondasi tauhid ini menjauhkan kita dari penyimpangan akidah, seperti syirik, bidah, dan khurafat. Bahkan orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu filsafat atau teologi yang mendalam bisa terjaga akidahnya selama ia memegang teguh prinsip tauhid. Tauhid tidak hanya melindungi, tetapi juga mengarahkan kecerdasan kita untuk kebaikan. Dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, العلم ما نفع، ليس العلم ما حُفِظ “Ilmu bukanlah yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat.” “Kompas” menuju Allah Tanpa tauhid, kecerdasan bisa menjadi bumerang yang menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Sejarah telah membuktikan betapa banyak orang pintar —seperti para filsuf dan ilmuwan— yang justru tersesat karena mengabaikan prinsip “إخلاص الدين لله” (memurnikan agama hanya untuk Allah). Mereka mungkin mencapai puncak keilmuan dan kesuksesan duniawi, tetapi tanpa tauhid, semua itu menjadi sia-sia. Tauhid berperan sebagai kompas yang mengarahkan kecerdasan ke jalan yang benar. Tanpa kompas ini, kecerdasan bisa terjerumus ke dalam kesombongan, keangkuhan, atau bahkan penentangan terhadap ajaran Allah. Lihatlah kisah Fir’aun, yang dikenal sebagai penguasa cerdas dan kuat, tetapi karena tidak bertauhid, ia justru menjadi simbol kezaliman dan kekufuran. Tauhid mengajarkan kita untuk rendah hati dan menyadari bahwa segala kecerdasan berasal dari Allah. Oleh karenanya, marilah kita menjadikan tauhid sebagai pondasi dalam mengembangkan kecerdasan. Jadilah orang yang bertauhid yang  meyakini bahwa kecerdasan tidak hanya digunakan untuk mengejar kepentingan duniawi, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan memberikan manfaat bagi sesama. Seorang muslim yang cerdas dan bertauhid akan menggunakan ilmunya untuk memperjuangkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan. Marilah kita senantiasa memurnikan niat dan mengarahkan segala potensi kita hanya untuk mencari keridaan-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pondasi yang menyelamatkanMengapa kecerdasan saja tidak cukup?Simpel, tetapi menyelamatkan“Kompas” menuju Allah Kecerdasan intelektual (IQ) kerap dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Namun, sejarah Islam mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa iman dan tauhid justru menjadi bumerang yang menghancurkan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ َ “Dan meskipun kamu sangat ingin (agar mereka beriman), kebanyakan manusia tidak akan beriman.” (QS. Yusuf: 103) Banyak orang cerdas dan berilmu justru menolak kebenaran. Kisah para pembesar (Al-Mala’) yang menentang dakwah Nabi Nuh, Hud, Saleh, hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi bukti nyata. Artikel ini akan mengurai mengapa tauhid —bukan sekadar kecerdasan— menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat. Ilmu sejati adalah yang melahirkan ketakwaan, bukan kesombongan. Banyak orang cerdas yang justru terjebak dalam sikap angkuh, merasa bahwa ilmu mereka cukup untuk menafikan wahyu. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Contohnya, kaum musyrikin Quraisy yang menentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang pandai dalam sastra dan strategi, tetapi kecerdasan mereka justru menjadi penghalang untuk menerima kebenaran. Oleh karena itu, kecerdasan harus selalu diiringi dengan kerendahan hati dan kesadaran akan keterbatasan diri sebagai makhluk. Pondasi yang menyelamatkan Orang yang bertauhid akan merasa aman karena meyakini bahwa segala urusan berada di tangan Allah. Mereka tidak mudah terombang-ambing oleh kegelisahan duniawi, karena tauhid mengajarkan untuk bersandar hanya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa’: 36) Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Kecerdasan tanpa tauhid ibarat kapal tanpa nahkoda: mungkin bergerak cepat, tetapi mudah terhempas ke jurang kesesatan. Sebaliknya, tauhid mengarahkan kecerdasan untuk mengenal hakikat penciptaan dan menjauhi kesombongan intelektual. Kecerdasan duniawi tidak akan berguna jika seseorang mati dalam keadaan syirik. Sebaliknya, tauhid yang murni akan menjadi penyelamat, meskipun seseorang tidak memiliki banyak ilmu atau harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 145) Mengapa kecerdasan saja tidak cukup? Kecerdasan sering dianggap sebagai kunci kesuksesan. Akan tetapi dalam Islam, kecerdasan tanpa iman justru bisa menjadi jerat yang berbahaya. Orang cerdas cenderung mengandalkan logika dan akal semata, sehingga meragukan wahyu dan petunjuk dari Allah Ta’ala. Padahal, Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam Al-Qur’an, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Ilmu sejati bukanlah yang membuat seseorang sombong, melainkan yang menumbuhkan ketakwaan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Namun, kecerdasan juga bisa menyesatkan ketika seseorang terlalu mengikuti arus mayoritas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّه “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116) Lebih berbahaya lagi, setan sering kali menghiasi kesyirikan dengan kedok “kecerdasan” dan “rasionalitas”. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr dalam kitab “براهن التوحيد” (Bukti-Bukti Tauhid) menjelaskan bahwa setan menipu manusia dengan mengemas syirik dalam bentuk pemikiran filosofis yang terlihat logis. Misalnya, pengkultusan terhadap orang saleh dianggap sebagai bentuk penghormatan, padahal itu adalah kesyirikan yang merusak tauhid. Oleh karenanya, kecerdasan harus diimbangi dengan pemahaman tauhid yang benar. Tanpa tauhid, kecerdasan hanya akan menjadi alat kesombongan dan kesesatan. Sebaliknya, kecerdasan yang dipandu oleh tauhid akan membawa manusia kepada kebenaran, ketenangan, dan keselamatan dunia akhirat. Baca juga: Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih Simpel, tetapi menyelamatkan Tauhid adalah konsep yang mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun. Al-Qur’an menjelaskan tauhid dengan sangat jelas dan gamblang, seperti dalam Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah: 255), yang menegaskan keesaan Allah dalam kekuasaan, ilmu, dan kehidupan. Tidak perlu menjadi ulama atau ahli agama untuk memahami tauhid, karena tauhid adalah fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati setiap manusia. Setiap anak yang lahir sudah membawa fitrah ini, dan tugas kita adalah menjaga serta mengembangkannya. Selain mudah dipahami, tauhid juga menjadi benteng yang melindungi kita dari kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah…” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16) Pondasi tauhid ini menjauhkan kita dari penyimpangan akidah, seperti syirik, bidah, dan khurafat. Bahkan orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu filsafat atau teologi yang mendalam bisa terjaga akidahnya selama ia memegang teguh prinsip tauhid. Tauhid tidak hanya melindungi, tetapi juga mengarahkan kecerdasan kita untuk kebaikan. Dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, العلم ما نفع، ليس العلم ما حُفِظ “Ilmu bukanlah yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat.” “Kompas” menuju Allah Tanpa tauhid, kecerdasan bisa menjadi bumerang yang menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Sejarah telah membuktikan betapa banyak orang pintar —seperti para filsuf dan ilmuwan— yang justru tersesat karena mengabaikan prinsip “إخلاص الدين لله” (memurnikan agama hanya untuk Allah). Mereka mungkin mencapai puncak keilmuan dan kesuksesan duniawi, tetapi tanpa tauhid, semua itu menjadi sia-sia. Tauhid berperan sebagai kompas yang mengarahkan kecerdasan ke jalan yang benar. Tanpa kompas ini, kecerdasan bisa terjerumus ke dalam kesombongan, keangkuhan, atau bahkan penentangan terhadap ajaran Allah. Lihatlah kisah Fir’aun, yang dikenal sebagai penguasa cerdas dan kuat, tetapi karena tidak bertauhid, ia justru menjadi simbol kezaliman dan kekufuran. Tauhid mengajarkan kita untuk rendah hati dan menyadari bahwa segala kecerdasan berasal dari Allah. Oleh karenanya, marilah kita menjadikan tauhid sebagai pondasi dalam mengembangkan kecerdasan. Jadilah orang yang bertauhid yang  meyakini bahwa kecerdasan tidak hanya digunakan untuk mengejar kepentingan duniawi, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan memberikan manfaat bagi sesama. Seorang muslim yang cerdas dan bertauhid akan menggunakan ilmunya untuk memperjuangkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan. Marilah kita senantiasa memurnikan niat dan mengarahkan segala potensi kita hanya untuk mencari keridaan-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pondasi yang menyelamatkanMengapa kecerdasan saja tidak cukup?Simpel, tetapi menyelamatkan“Kompas” menuju Allah Kecerdasan intelektual (IQ) kerap dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Namun, sejarah Islam mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa iman dan tauhid justru menjadi bumerang yang menghancurkan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ َ “Dan meskipun kamu sangat ingin (agar mereka beriman), kebanyakan manusia tidak akan beriman.” (QS. Yusuf: 103) Banyak orang cerdas dan berilmu justru menolak kebenaran. Kisah para pembesar (Al-Mala’) yang menentang dakwah Nabi Nuh, Hud, Saleh, hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi bukti nyata. Artikel ini akan mengurai mengapa tauhid —bukan sekadar kecerdasan— menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat. Ilmu sejati adalah yang melahirkan ketakwaan, bukan kesombongan. Banyak orang cerdas yang justru terjebak dalam sikap angkuh, merasa bahwa ilmu mereka cukup untuk menafikan wahyu. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Contohnya, kaum musyrikin Quraisy yang menentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang pandai dalam sastra dan strategi, tetapi kecerdasan mereka justru menjadi penghalang untuk menerima kebenaran. Oleh karena itu, kecerdasan harus selalu diiringi dengan kerendahan hati dan kesadaran akan keterbatasan diri sebagai makhluk. Pondasi yang menyelamatkan Orang yang bertauhid akan merasa aman karena meyakini bahwa segala urusan berada di tangan Allah. Mereka tidak mudah terombang-ambing oleh kegelisahan duniawi, karena tauhid mengajarkan untuk bersandar hanya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa’: 36) Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Kecerdasan tanpa tauhid ibarat kapal tanpa nahkoda: mungkin bergerak cepat, tetapi mudah terhempas ke jurang kesesatan. Sebaliknya, tauhid mengarahkan kecerdasan untuk mengenal hakikat penciptaan dan menjauhi kesombongan intelektual. Kecerdasan duniawi tidak akan berguna jika seseorang mati dalam keadaan syirik. Sebaliknya, tauhid yang murni akan menjadi penyelamat, meskipun seseorang tidak memiliki banyak ilmu atau harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 145) Mengapa kecerdasan saja tidak cukup? Kecerdasan sering dianggap sebagai kunci kesuksesan. Akan tetapi dalam Islam, kecerdasan tanpa iman justru bisa menjadi jerat yang berbahaya. Orang cerdas cenderung mengandalkan logika dan akal semata, sehingga meragukan wahyu dan petunjuk dari Allah Ta’ala. Padahal, Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam Al-Qur’an, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28) Ilmu sejati bukanlah yang membuat seseorang sombong, melainkan yang menumbuhkan ketakwaan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Namun, kecerdasan juga bisa menyesatkan ketika seseorang terlalu mengikuti arus mayoritas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّه “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116) Lebih berbahaya lagi, setan sering kali menghiasi kesyirikan dengan kedok “kecerdasan” dan “rasionalitas”. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr dalam kitab “براهن التوحيد” (Bukti-Bukti Tauhid) menjelaskan bahwa setan menipu manusia dengan mengemas syirik dalam bentuk pemikiran filosofis yang terlihat logis. Misalnya, pengkultusan terhadap orang saleh dianggap sebagai bentuk penghormatan, padahal itu adalah kesyirikan yang merusak tauhid. Oleh karenanya, kecerdasan harus diimbangi dengan pemahaman tauhid yang benar. Tanpa tauhid, kecerdasan hanya akan menjadi alat kesombongan dan kesesatan. Sebaliknya, kecerdasan yang dipandu oleh tauhid akan membawa manusia kepada kebenaran, ketenangan, dan keselamatan dunia akhirat. Baca juga: Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih Simpel, tetapi menyelamatkan Tauhid adalah konsep yang mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun. Al-Qur’an menjelaskan tauhid dengan sangat jelas dan gamblang, seperti dalam Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah: 255), yang menegaskan keesaan Allah dalam kekuasaan, ilmu, dan kehidupan. Tidak perlu menjadi ulama atau ahli agama untuk memahami tauhid, karena tauhid adalah fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati setiap manusia. Setiap anak yang lahir sudah membawa fitrah ini, dan tugas kita adalah menjaga serta mengembangkannya. Selain mudah dipahami, tauhid juga menjadi benteng yang melindungi kita dari kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah…” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16) Pondasi tauhid ini menjauhkan kita dari penyimpangan akidah, seperti syirik, bidah, dan khurafat. Bahkan orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu filsafat atau teologi yang mendalam bisa terjaga akidahnya selama ia memegang teguh prinsip tauhid. Tauhid tidak hanya melindungi, tetapi juga mengarahkan kecerdasan kita untuk kebaikan. Dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, العلم ما نفع، ليس العلم ما حُفِظ “Ilmu bukanlah yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat.” “Kompas” menuju Allah Tanpa tauhid, kecerdasan bisa menjadi bumerang yang menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Sejarah telah membuktikan betapa banyak orang pintar —seperti para filsuf dan ilmuwan— yang justru tersesat karena mengabaikan prinsip “إخلاص الدين لله” (memurnikan agama hanya untuk Allah). Mereka mungkin mencapai puncak keilmuan dan kesuksesan duniawi, tetapi tanpa tauhid, semua itu menjadi sia-sia. Tauhid berperan sebagai kompas yang mengarahkan kecerdasan ke jalan yang benar. Tanpa kompas ini, kecerdasan bisa terjerumus ke dalam kesombongan, keangkuhan, atau bahkan penentangan terhadap ajaran Allah. Lihatlah kisah Fir’aun, yang dikenal sebagai penguasa cerdas dan kuat, tetapi karena tidak bertauhid, ia justru menjadi simbol kezaliman dan kekufuran. Tauhid mengajarkan kita untuk rendah hati dan menyadari bahwa segala kecerdasan berasal dari Allah. Oleh karenanya, marilah kita menjadikan tauhid sebagai pondasi dalam mengembangkan kecerdasan. Jadilah orang yang bertauhid yang  meyakini bahwa kecerdasan tidak hanya digunakan untuk mengejar kepentingan duniawi, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan memberikan manfaat bagi sesama. Seorang muslim yang cerdas dan bertauhid akan menggunakan ilmunya untuk memperjuangkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan. Marilah kita senantiasa memurnikan niat dan mengarahkan segala potensi kita hanya untuk mencari keridaan-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id

Banyak yang Salah Paham! Ini Amalan Terbaik di 1/3 Malam Akhir – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Manakah yang lebih utama dilakukan di waktu sahur: membaca Al-Qur’an atau beristigfar? Yang paling utama di waktu sahur adalah seseorang melaksanakan Salat Malam semampunya, kemudian menutupnya dengan Salat Witir. Yang paling utama adalah Salat Malam 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat. Karena inilah tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, lalu ditutup dengan satu rakaat witir. Total sebelas rakaat. Inilah yang paling utama dan paling sempurna. Namun jika seseorang menambah dari sebelas rakaat, tidaklah mengapa, karena hal ini lapang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Subuh, hendaklah ia berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Bukhari, disampaikan oleh Syaikh secara makna). Kemudian setelah selesai dari Salat Malam dan witir, maka yang paling utama adalah menyibukkan diri dengan istigfar. Karena istigfar di waktu tersebut memiliki keutamaan khusus. Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji orang-orang yang beristigfar di waktu sahur dalam dua tempat dalam kitab-Nya yang mulia. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17). Allah berfirman, “Dan di waktu sahur mereka memohon ampun.” (QS. Adz-Dzariyat: 18). Ini menunjukkan bahwa istigfar di waktu sahur memiliki kekhususan tersendiri dan keutamaan yang lebih besar. Sebagian ulama berkata, dan hikmahnya —wallahu a’lam—adalah karena mereka (para orang saleh) telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan telah melaksanakan Salat Malam sesuai yang Allah takdirkan, dan menutupnya dengan witir, tapi mereka tidak merasa ujub (berbangga diri) dengan amalan mereka. Justru mereka menganggap bahwa dengan semua ibadah itu, mereka masih merasa kurang, sehingga mereka memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah sikap yang paling sempurna pada seorang hamba: ia melakukan amal-amal saleh yang besar, tapi tetap merasa dirinya masih kurang dan tidak merasa ujub (berbangga diri). Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Jika engkau melakukan suatu amal, lalu setelahnya merasa bangga diri, maka itu tanda bahwa amal tersebut tidak diterima.” Namun jika engkau melakukan suatu amal lalu merasa kurang, dan berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar amal itu diterima-Nya,’ serta engkau memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini bisa jadi tanda bahwa amal itu diterima. Para orang saleh itu telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla,dan Salat Malam semampu mereka, lalu mereka menutupnya dengan istigfar. Maka amalan paling utama yang dilakukan di waktu sahur setelah Salat Malam adalah istigfar. ==== أَيُّهُمَا أَفْضَلُ فِي السَّحَرِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوِ الِاسْتِغْفَارُ؟ الْأَفْضَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُصَلِّي مَا تَيَسَّرَ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِالْوِتْرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً مَثْنَى مَثْنَى لِأَنَّ هَذَا هُوَ غَالِبُ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِوَاحِدَةٍ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً هَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ وَالْأَكْمَلُ وَإِنْ زَادَ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَلَا بَأْسَ فَإِنَّ الْأَمْرَ وَاسِعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ ثُمَّ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرِ الْأَفْضَلُ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالِاسْتِغْفَارِ لِأَنَّ الِاسْتِغْفَارَ فِي هَذَا الْوَقْتِ لَهُ فَضِيْلَةٌ وَقَدْ أَثْنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فِي مَوْضِعَيْنِ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ فَقَالَ وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ وَقَالَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلِاسْتِغْفَارِ فِي وَقْتِ السَّحَرِ خُصُوصِيَّةً وَلَهُ مَزِيدُ فَضِيلَةٍ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْحِكْمَةُ مِنْ ذَلِكَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ هُوَ أَنَّ هَؤُلَاءِ تَعَبَّدُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَصَلُّوْا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا وَخَتَمُوا ذَلِكَ بِصَلَاةِ الْوِتْرِ وَلَمْ يُعْجَبُوا بِعَمَلِهِمْ هَذَا بَلْ رَأَوْا أَنَّهُمْ مَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ أَنَّهُمْ مُقَصِّرُوْنَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذَا أَكْمَلُ مَا يَكُونُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَعْمَلَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ الْعَظِيمَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَلَا يَشْعُرُ بِالْعُجْبِ وَكَمَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ شَعَرْتَ بَعْدَهُ بِالْعُجْبِ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ قَبُولِهِ لَكِنْ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ تَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَتَقُوْلُ أَسْأَلُ اللَّهَ الْقَبُولَ وَتَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا قَدْ يَكُونُ أَمَارَةً عَلَى قَبُولِهِ فَهَؤُلَاءِ الصَّالِحُوْنَ تَعَبَّدُوا اللَّهَ وَجَلَّ وَصَلَّوا مِنَ اللَّيْلِ مَا صَلَّوْا ثُمَّ خَتَمُوا ذَلِكَ بِالِاسْتِغْفَار فَأَفْضَلُ مَا يُفْعَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ بَعْدَ صَلَاةِ اللَّيْلِ هُوَ الِاسْتِغْفَارُ

Banyak yang Salah Paham! Ini Amalan Terbaik di 1/3 Malam Akhir – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Manakah yang lebih utama dilakukan di waktu sahur: membaca Al-Qur’an atau beristigfar? Yang paling utama di waktu sahur adalah seseorang melaksanakan Salat Malam semampunya, kemudian menutupnya dengan Salat Witir. Yang paling utama adalah Salat Malam 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat. Karena inilah tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, lalu ditutup dengan satu rakaat witir. Total sebelas rakaat. Inilah yang paling utama dan paling sempurna. Namun jika seseorang menambah dari sebelas rakaat, tidaklah mengapa, karena hal ini lapang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Subuh, hendaklah ia berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Bukhari, disampaikan oleh Syaikh secara makna). Kemudian setelah selesai dari Salat Malam dan witir, maka yang paling utama adalah menyibukkan diri dengan istigfar. Karena istigfar di waktu tersebut memiliki keutamaan khusus. Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji orang-orang yang beristigfar di waktu sahur dalam dua tempat dalam kitab-Nya yang mulia. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17). Allah berfirman, “Dan di waktu sahur mereka memohon ampun.” (QS. Adz-Dzariyat: 18). Ini menunjukkan bahwa istigfar di waktu sahur memiliki kekhususan tersendiri dan keutamaan yang lebih besar. Sebagian ulama berkata, dan hikmahnya —wallahu a’lam—adalah karena mereka (para orang saleh) telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan telah melaksanakan Salat Malam sesuai yang Allah takdirkan, dan menutupnya dengan witir, tapi mereka tidak merasa ujub (berbangga diri) dengan amalan mereka. Justru mereka menganggap bahwa dengan semua ibadah itu, mereka masih merasa kurang, sehingga mereka memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah sikap yang paling sempurna pada seorang hamba: ia melakukan amal-amal saleh yang besar, tapi tetap merasa dirinya masih kurang dan tidak merasa ujub (berbangga diri). Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Jika engkau melakukan suatu amal, lalu setelahnya merasa bangga diri, maka itu tanda bahwa amal tersebut tidak diterima.” Namun jika engkau melakukan suatu amal lalu merasa kurang, dan berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar amal itu diterima-Nya,’ serta engkau memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini bisa jadi tanda bahwa amal itu diterima. Para orang saleh itu telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla,dan Salat Malam semampu mereka, lalu mereka menutupnya dengan istigfar. Maka amalan paling utama yang dilakukan di waktu sahur setelah Salat Malam adalah istigfar. ==== أَيُّهُمَا أَفْضَلُ فِي السَّحَرِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوِ الِاسْتِغْفَارُ؟ الْأَفْضَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُصَلِّي مَا تَيَسَّرَ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِالْوِتْرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً مَثْنَى مَثْنَى لِأَنَّ هَذَا هُوَ غَالِبُ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِوَاحِدَةٍ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً هَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ وَالْأَكْمَلُ وَإِنْ زَادَ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَلَا بَأْسَ فَإِنَّ الْأَمْرَ وَاسِعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ ثُمَّ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرِ الْأَفْضَلُ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالِاسْتِغْفَارِ لِأَنَّ الِاسْتِغْفَارَ فِي هَذَا الْوَقْتِ لَهُ فَضِيْلَةٌ وَقَدْ أَثْنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فِي مَوْضِعَيْنِ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ فَقَالَ وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ وَقَالَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلِاسْتِغْفَارِ فِي وَقْتِ السَّحَرِ خُصُوصِيَّةً وَلَهُ مَزِيدُ فَضِيلَةٍ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْحِكْمَةُ مِنْ ذَلِكَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ هُوَ أَنَّ هَؤُلَاءِ تَعَبَّدُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَصَلُّوْا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا وَخَتَمُوا ذَلِكَ بِصَلَاةِ الْوِتْرِ وَلَمْ يُعْجَبُوا بِعَمَلِهِمْ هَذَا بَلْ رَأَوْا أَنَّهُمْ مَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ أَنَّهُمْ مُقَصِّرُوْنَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذَا أَكْمَلُ مَا يَكُونُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَعْمَلَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ الْعَظِيمَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَلَا يَشْعُرُ بِالْعُجْبِ وَكَمَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ شَعَرْتَ بَعْدَهُ بِالْعُجْبِ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ قَبُولِهِ لَكِنْ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ تَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَتَقُوْلُ أَسْأَلُ اللَّهَ الْقَبُولَ وَتَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا قَدْ يَكُونُ أَمَارَةً عَلَى قَبُولِهِ فَهَؤُلَاءِ الصَّالِحُوْنَ تَعَبَّدُوا اللَّهَ وَجَلَّ وَصَلَّوا مِنَ اللَّيْلِ مَا صَلَّوْا ثُمَّ خَتَمُوا ذَلِكَ بِالِاسْتِغْفَار فَأَفْضَلُ مَا يُفْعَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ بَعْدَ صَلَاةِ اللَّيْلِ هُوَ الِاسْتِغْفَارُ
Manakah yang lebih utama dilakukan di waktu sahur: membaca Al-Qur’an atau beristigfar? Yang paling utama di waktu sahur adalah seseorang melaksanakan Salat Malam semampunya, kemudian menutupnya dengan Salat Witir. Yang paling utama adalah Salat Malam 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat. Karena inilah tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, lalu ditutup dengan satu rakaat witir. Total sebelas rakaat. Inilah yang paling utama dan paling sempurna. Namun jika seseorang menambah dari sebelas rakaat, tidaklah mengapa, karena hal ini lapang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Subuh, hendaklah ia berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Bukhari, disampaikan oleh Syaikh secara makna). Kemudian setelah selesai dari Salat Malam dan witir, maka yang paling utama adalah menyibukkan diri dengan istigfar. Karena istigfar di waktu tersebut memiliki keutamaan khusus. Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji orang-orang yang beristigfar di waktu sahur dalam dua tempat dalam kitab-Nya yang mulia. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17). Allah berfirman, “Dan di waktu sahur mereka memohon ampun.” (QS. Adz-Dzariyat: 18). Ini menunjukkan bahwa istigfar di waktu sahur memiliki kekhususan tersendiri dan keutamaan yang lebih besar. Sebagian ulama berkata, dan hikmahnya —wallahu a’lam—adalah karena mereka (para orang saleh) telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan telah melaksanakan Salat Malam sesuai yang Allah takdirkan, dan menutupnya dengan witir, tapi mereka tidak merasa ujub (berbangga diri) dengan amalan mereka. Justru mereka menganggap bahwa dengan semua ibadah itu, mereka masih merasa kurang, sehingga mereka memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah sikap yang paling sempurna pada seorang hamba: ia melakukan amal-amal saleh yang besar, tapi tetap merasa dirinya masih kurang dan tidak merasa ujub (berbangga diri). Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Jika engkau melakukan suatu amal, lalu setelahnya merasa bangga diri, maka itu tanda bahwa amal tersebut tidak diterima.” Namun jika engkau melakukan suatu amal lalu merasa kurang, dan berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar amal itu diterima-Nya,’ serta engkau memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini bisa jadi tanda bahwa amal itu diterima. Para orang saleh itu telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla,dan Salat Malam semampu mereka, lalu mereka menutupnya dengan istigfar. Maka amalan paling utama yang dilakukan di waktu sahur setelah Salat Malam adalah istigfar. ==== أَيُّهُمَا أَفْضَلُ فِي السَّحَرِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوِ الِاسْتِغْفَارُ؟ الْأَفْضَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُصَلِّي مَا تَيَسَّرَ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِالْوِتْرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً مَثْنَى مَثْنَى لِأَنَّ هَذَا هُوَ غَالِبُ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِوَاحِدَةٍ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً هَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ وَالْأَكْمَلُ وَإِنْ زَادَ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَلَا بَأْسَ فَإِنَّ الْأَمْرَ وَاسِعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ ثُمَّ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرِ الْأَفْضَلُ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالِاسْتِغْفَارِ لِأَنَّ الِاسْتِغْفَارَ فِي هَذَا الْوَقْتِ لَهُ فَضِيْلَةٌ وَقَدْ أَثْنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فِي مَوْضِعَيْنِ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ فَقَالَ وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ وَقَالَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلِاسْتِغْفَارِ فِي وَقْتِ السَّحَرِ خُصُوصِيَّةً وَلَهُ مَزِيدُ فَضِيلَةٍ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْحِكْمَةُ مِنْ ذَلِكَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ هُوَ أَنَّ هَؤُلَاءِ تَعَبَّدُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَصَلُّوْا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا وَخَتَمُوا ذَلِكَ بِصَلَاةِ الْوِتْرِ وَلَمْ يُعْجَبُوا بِعَمَلِهِمْ هَذَا بَلْ رَأَوْا أَنَّهُمْ مَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ أَنَّهُمْ مُقَصِّرُوْنَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذَا أَكْمَلُ مَا يَكُونُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَعْمَلَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ الْعَظِيمَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَلَا يَشْعُرُ بِالْعُجْبِ وَكَمَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ شَعَرْتَ بَعْدَهُ بِالْعُجْبِ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ قَبُولِهِ لَكِنْ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ تَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَتَقُوْلُ أَسْأَلُ اللَّهَ الْقَبُولَ وَتَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا قَدْ يَكُونُ أَمَارَةً عَلَى قَبُولِهِ فَهَؤُلَاءِ الصَّالِحُوْنَ تَعَبَّدُوا اللَّهَ وَجَلَّ وَصَلَّوا مِنَ اللَّيْلِ مَا صَلَّوْا ثُمَّ خَتَمُوا ذَلِكَ بِالِاسْتِغْفَار فَأَفْضَلُ مَا يُفْعَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ بَعْدَ صَلَاةِ اللَّيْلِ هُوَ الِاسْتِغْفَارُ


Manakah yang lebih utama dilakukan di waktu sahur: membaca Al-Qur’an atau beristigfar? Yang paling utama di waktu sahur adalah seseorang melaksanakan Salat Malam semampunya, kemudian menutupnya dengan Salat Witir. Yang paling utama adalah Salat Malam 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat. Karena inilah tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, lalu ditutup dengan satu rakaat witir. Total sebelas rakaat. Inilah yang paling utama dan paling sempurna. Namun jika seseorang menambah dari sebelas rakaat, tidaklah mengapa, karena hal ini lapang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Subuh, hendaklah ia berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Bukhari, disampaikan oleh Syaikh secara makna). Kemudian setelah selesai dari Salat Malam dan witir, maka yang paling utama adalah menyibukkan diri dengan istigfar. Karena istigfar di waktu tersebut memiliki keutamaan khusus. Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji orang-orang yang beristigfar di waktu sahur dalam dua tempat dalam kitab-Nya yang mulia. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17). Allah berfirman, “Dan di waktu sahur mereka memohon ampun.” (QS. Adz-Dzariyat: 18). Ini menunjukkan bahwa istigfar di waktu sahur memiliki kekhususan tersendiri dan keutamaan yang lebih besar. Sebagian ulama berkata, dan hikmahnya —wallahu a’lam—adalah karena mereka (para orang saleh) telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan telah melaksanakan Salat Malam sesuai yang Allah takdirkan, dan menutupnya dengan witir, tapi mereka tidak merasa ujub (berbangga diri) dengan amalan mereka. Justru mereka menganggap bahwa dengan semua ibadah itu, mereka masih merasa kurang, sehingga mereka memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah sikap yang paling sempurna pada seorang hamba: ia melakukan amal-amal saleh yang besar, tapi tetap merasa dirinya masih kurang dan tidak merasa ujub (berbangga diri). Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Jika engkau melakukan suatu amal, lalu setelahnya merasa bangga diri, maka itu tanda bahwa amal tersebut tidak diterima.” Namun jika engkau melakukan suatu amal lalu merasa kurang, dan berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar amal itu diterima-Nya,’ serta engkau memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini bisa jadi tanda bahwa amal itu diterima. Para orang saleh itu telah beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla,dan Salat Malam semampu mereka, lalu mereka menutupnya dengan istigfar. Maka amalan paling utama yang dilakukan di waktu sahur setelah Salat Malam adalah istigfar. ==== أَيُّهُمَا أَفْضَلُ فِي السَّحَرِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوِ الِاسْتِغْفَارُ؟ الْأَفْضَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُصَلِّي مَا تَيَسَّرَ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِالْوِتْرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً مَثْنَى مَثْنَى لِأَنَّ هَذَا هُوَ غَالِبُ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَخْتِمُ ذَلِكَ بِوَاحِدَةٍ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً هَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ وَالْأَكْمَلُ وَإِنْ زَادَ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَلَا بَأْسَ فَإِنَّ الْأَمْرَ وَاسِعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ ثُمَّ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرِ الْأَفْضَلُ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالِاسْتِغْفَارِ لِأَنَّ الِاسْتِغْفَارَ فِي هَذَا الْوَقْتِ لَهُ فَضِيْلَةٌ وَقَدْ أَثْنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فِي مَوْضِعَيْنِ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ فَقَالَ وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ وَقَالَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلِاسْتِغْفَارِ فِي وَقْتِ السَّحَرِ خُصُوصِيَّةً وَلَهُ مَزِيدُ فَضِيلَةٍ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْحِكْمَةُ مِنْ ذَلِكَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ هُوَ أَنَّ هَؤُلَاءِ تَعَبَّدُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَصَلُّوْا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا وَخَتَمُوا ذَلِكَ بِصَلَاةِ الْوِتْرِ وَلَمْ يُعْجَبُوا بِعَمَلِهِمْ هَذَا بَلْ رَأَوْا أَنَّهُمْ مَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ أَنَّهُمْ مُقَصِّرُوْنَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذَا أَكْمَلُ مَا يَكُونُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَعْمَلَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ الْعَظِيمَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَلَا يَشْعُرُ بِالْعُجْبِ وَكَمَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ شَعَرْتَ بَعْدَهُ بِالْعُجْبِ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ قَبُولِهِ لَكِنْ إِذَا عَمِلْتَ عَمَلًا ثُمَّ تَشْعُرُ بِالتَّقْصِيْرِ وَتَقُوْلُ أَسْأَلُ اللَّهَ الْقَبُولَ وَتَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا قَدْ يَكُونُ أَمَارَةً عَلَى قَبُولِهِ فَهَؤُلَاءِ الصَّالِحُوْنَ تَعَبَّدُوا اللَّهَ وَجَلَّ وَصَلَّوا مِنَ اللَّيْلِ مَا صَلَّوْا ثُمَّ خَتَمُوا ذَلِكَ بِالِاسْتِغْفَار فَأَفْضَلُ مَا يُفْعَلُ فِي وَقْتِ السَّحَرِ بَعْدَ صَلَاةِ اللَّيْلِ هُوَ الِاسْتِغْفَارُ

DI BALIK LAYAR DAKWAH YUFID

Sobat Yufid yang dirahmati Allah,Setiap kali Anda menikmati konten-konten Yufid secara GRATIS, tahukah Anda… Di balik semua itu, ada tangan-tangan dermawan yang tulus membiayainya. Ada waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan yang dicurahkan. Ada banyak kisah di balik layar. Ada suka dan suka… Jazakumullahu khairan untuk semua orang baik yang setiap hari menyisihkan sebagian hartanya. Berkat izin Allah kemudian bantuan Anda, siapa pun bisa mengakses konten dakwah Yufid secara GRATIS. Sobat Yufid yang baik, kita pasti sepakat:“YUFID ADALAH LADANG UNTUK BERAMAL”Tempat kita menanam kebaikan. Tempat kita berinvestasi dengan harta, waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan. Semoga Allah menjadikan ladang ini subur…Agar kita bisa memetik hasilnya di dunia, sebelum panen raya yang sesungguhnya kelak di akhirat. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin. Tak lupa, jazakumullahu khairan juga untuk para pembeli di YufidStore.com!Ya, kami juga berjualan di sana—semata-mata untuk menopang operasional dakwah ini agar terus berjalan. Baarakallahu fiikum. – DONASI DAKWAH YUFID Bank Syariah IndonesiaNo. Rekening: 7086882242a.n. Yayasan Yufid NetworkKode BSI: 451(Tidak perlu konfirmasi, rekening ini khusus untuk donasi.) PayPal: [email protected](Donasi melalui PayPal digunakan untuk membiayai server yang menaungi banyak website dakwah. Juga untuk membiayai berlangganan software untuk memproduksi konten dakwah, seperti Adobe, dll.) YUFID JUGA MENERIMA ZAKAT MAL UNTUK OPERASIONAL DAKWAH YANG TERUS BERJALAN 3 CHANNEL YUFID DI YOUTUBE: YUFID.TV:https://youtube.com/@yufid YUFID EDU:https://youtube.com/@yufidedu YUFID KIDS:https://youtube.com/@YufidKids SEKILAS TENTANG YUFID: Profil Ringkas Yufid: https://yufid.org/profil-yufid-network/ Laporan Produktivitas: https://yufid.org/category/laporan-produksi-yufid/ Laporan Donasi: https://yufid.org/donasi-untuk-yufid/ 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 18 times, 1 visit(s) today Post Views: 16 QRIS donasi Yufid

DI BALIK LAYAR DAKWAH YUFID

Sobat Yufid yang dirahmati Allah,Setiap kali Anda menikmati konten-konten Yufid secara GRATIS, tahukah Anda… Di balik semua itu, ada tangan-tangan dermawan yang tulus membiayainya. Ada waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan yang dicurahkan. Ada banyak kisah di balik layar. Ada suka dan suka… Jazakumullahu khairan untuk semua orang baik yang setiap hari menyisihkan sebagian hartanya. Berkat izin Allah kemudian bantuan Anda, siapa pun bisa mengakses konten dakwah Yufid secara GRATIS. Sobat Yufid yang baik, kita pasti sepakat:“YUFID ADALAH LADANG UNTUK BERAMAL”Tempat kita menanam kebaikan. Tempat kita berinvestasi dengan harta, waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan. Semoga Allah menjadikan ladang ini subur…Agar kita bisa memetik hasilnya di dunia, sebelum panen raya yang sesungguhnya kelak di akhirat. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin. Tak lupa, jazakumullahu khairan juga untuk para pembeli di YufidStore.com!Ya, kami juga berjualan di sana—semata-mata untuk menopang operasional dakwah ini agar terus berjalan. Baarakallahu fiikum. – DONASI DAKWAH YUFID Bank Syariah IndonesiaNo. Rekening: 7086882242a.n. Yayasan Yufid NetworkKode BSI: 451(Tidak perlu konfirmasi, rekening ini khusus untuk donasi.) PayPal: [email protected](Donasi melalui PayPal digunakan untuk membiayai server yang menaungi banyak website dakwah. Juga untuk membiayai berlangganan software untuk memproduksi konten dakwah, seperti Adobe, dll.) YUFID JUGA MENERIMA ZAKAT MAL UNTUK OPERASIONAL DAKWAH YANG TERUS BERJALAN 3 CHANNEL YUFID DI YOUTUBE: YUFID.TV:https://youtube.com/@yufid YUFID EDU:https://youtube.com/@yufidedu YUFID KIDS:https://youtube.com/@YufidKids SEKILAS TENTANG YUFID: Profil Ringkas Yufid: https://yufid.org/profil-yufid-network/ Laporan Produktivitas: https://yufid.org/category/laporan-produksi-yufid/ Laporan Donasi: https://yufid.org/donasi-untuk-yufid/ 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 18 times, 1 visit(s) today Post Views: 16 QRIS donasi Yufid
Sobat Yufid yang dirahmati Allah,Setiap kali Anda menikmati konten-konten Yufid secara GRATIS, tahukah Anda… Di balik semua itu, ada tangan-tangan dermawan yang tulus membiayainya. Ada waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan yang dicurahkan. Ada banyak kisah di balik layar. Ada suka dan suka… Jazakumullahu khairan untuk semua orang baik yang setiap hari menyisihkan sebagian hartanya. Berkat izin Allah kemudian bantuan Anda, siapa pun bisa mengakses konten dakwah Yufid secara GRATIS. Sobat Yufid yang baik, kita pasti sepakat:“YUFID ADALAH LADANG UNTUK BERAMAL”Tempat kita menanam kebaikan. Tempat kita berinvestasi dengan harta, waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan. Semoga Allah menjadikan ladang ini subur…Agar kita bisa memetik hasilnya di dunia, sebelum panen raya yang sesungguhnya kelak di akhirat. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin. Tak lupa, jazakumullahu khairan juga untuk para pembeli di YufidStore.com!Ya, kami juga berjualan di sana—semata-mata untuk menopang operasional dakwah ini agar terus berjalan. Baarakallahu fiikum. – DONASI DAKWAH YUFID Bank Syariah IndonesiaNo. Rekening: 7086882242a.n. Yayasan Yufid NetworkKode BSI: 451(Tidak perlu konfirmasi, rekening ini khusus untuk donasi.) PayPal: [email protected](Donasi melalui PayPal digunakan untuk membiayai server yang menaungi banyak website dakwah. Juga untuk membiayai berlangganan software untuk memproduksi konten dakwah, seperti Adobe, dll.) YUFID JUGA MENERIMA ZAKAT MAL UNTUK OPERASIONAL DAKWAH YANG TERUS BERJALAN 3 CHANNEL YUFID DI YOUTUBE: YUFID.TV:https://youtube.com/@yufid YUFID EDU:https://youtube.com/@yufidedu YUFID KIDS:https://youtube.com/@YufidKids SEKILAS TENTANG YUFID: Profil Ringkas Yufid: https://yufid.org/profil-yufid-network/ Laporan Produktivitas: https://yufid.org/category/laporan-produksi-yufid/ Laporan Donasi: https://yufid.org/donasi-untuk-yufid/ 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 18 times, 1 visit(s) today Post Views: 16 QRIS donasi Yufid


Sobat Yufid yang dirahmati Allah,Setiap kali Anda menikmati konten-konten Yufid secara GRATIS, tahukah Anda… Di balik semua itu, ada tangan-tangan dermawan yang tulus membiayainya. Ada waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan yang dicurahkan. Ada banyak kisah di balik layar. Ada suka dan suka… Jazakumullahu khairan untuk semua orang baik yang setiap hari menyisihkan sebagian hartanya. Berkat izin Allah kemudian bantuan Anda, siapa pun bisa mengakses konten dakwah Yufid secara GRATIS. Sobat Yufid yang baik, kita pasti sepakat:“YUFID ADALAH LADANG UNTUK BERAMAL”Tempat kita menanam kebaikan. Tempat kita berinvestasi dengan harta, waktu, tenaga, pikiran, dan keterampilan. Semoga Allah menjadikan ladang ini subur…Agar kita bisa memetik hasilnya di dunia, sebelum panen raya yang sesungguhnya kelak di akhirat. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin. Tak lupa, jazakumullahu khairan juga untuk para pembeli di YufidStore.com!Ya, kami juga berjualan di sana—semata-mata untuk menopang operasional dakwah ini agar terus berjalan. Baarakallahu fiikum. – DONASI DAKWAH YUFID Bank Syariah IndonesiaNo. Rekening: 7086882242a.n. Yayasan Yufid NetworkKode BSI: 451(Tidak perlu konfirmasi, rekening ini khusus untuk donasi.) PayPal: [email protected](Donasi melalui PayPal digunakan untuk membiayai server yang menaungi banyak website dakwah. Juga untuk membiayai berlangganan software untuk memproduksi konten dakwah, seperti Adobe, dll.) YUFID JUGA MENERIMA ZAKAT MAL UNTUK OPERASIONAL DAKWAH YANG TERUS BERJALAN 3 CHANNEL YUFID DI YOUTUBE: YUFID.TV:https://youtube.com/@yufid YUFID EDU:https://youtube.com/@yufidedu YUFID KIDS:https://youtube.com/@YufidKids SEKILAS TENTANG YUFID: Profil Ringkas Yufid: https://yufid.org/profil-yufid-network/ Laporan Produktivitas: https://yufid.org/category/laporan-produksi-yufid/ Laporan Donasi: https://yufid.org/donasi-untuk-yufid/ 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 18 times, 1 visit(s) today Post Views: 16 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Salat di Masjid Quba

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat di masjid QubaKeutamaan salat di masjid QubaTata cara salat di masjid QubaPertama: Berwudu dari rumah atau tempat asalKedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunahKetiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari SabtuApakah bersuci dari rumah merupakan syarat?Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba?Doa dan zikir yang dibaca Salat merupakan tiang agama, dan amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat. Keutamaan salat tidak hanya ditentukan oleh waktu pelaksanaannya, tetapi juga oleh tempat di mana salat itu ditunaikan. Di antara tempat yang paling utama untuk mendirikan salat setelah tiga masjid utama (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha) adalah masjid Quba, masjid pertama yang dibangun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hijrah ke Madinah. Disunahkan untuk mengunjungi masjid Quba dan melaksanakan salat di dalamnya. Allah Ta‘ala berfirman, لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ “Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar takwa (yaitu masjid Quba) sejak hari pertama lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108) [1] Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas hadis-hadis tentang salat di masjid Quba, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca. Hadis-hadis tentang salat di masjid Quba Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat di masjid Quba. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut, Pertama: Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ ‌تَطَهَّرَ ‌فِي ‌بَيْتِهِ، ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian datang ke masjid Quba, lalu salat di dalamnya satu salat, maka baginya pahala seperti umrah.” (HR. Ibnu Majah 320, disahihkan oleh al-Albani) Kedua: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي مسجد قباء، راكباً وماشياً، فيصلي فيه ركعتين “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa datang ke masjid Quba dalam keadaan berkendara dan berjalan kaki, lalu beliau salat di dalamnya dua rakaat.” Dalam riwayat lain disebutkan, رأيت النبي يأتيه كل سبت “Aku melihat Nabi datang ke masjid itu setiap hari Sabtu.” (HR. Bukhari dan Muslim) [2] Keutamaan salat di masjid Quba Salat di masjid Quba memiliki keistimewaan yang sangat agung. Di antaranya adalah: Pertama: Pahalanya setara dengan umrah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di atas. Kedua: Merupakan masjid yang didirikan di atas dasar takwa sejak hari pertama, Allah mendorong dan memotivasi kita untuk menunaikan salat di situ. Ketiga: Bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Keempat: Menjadi tempat pemersatu kaum mukminin. Kelima: Berfungsi sebagai benteng dan perlindungan bagi Islam dan kaum muslimin. Keempat poin di atas (poin kedua sampai kelima), disarikan dari perkataan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau terhadap surah At-Taubah ayat 108. Beliau mengatakan, ثُمَّ حَثَّهُ عَلَى الصَّلَاةِ فِي مَسْجِدِ قُباء الَّذِي أُسِّسَ مِنْ أَوَّلِ يَوْمِ بِنَائِهِ عَلَى التَّقْوَى، وَهِيَ طَاعَةُ اللَّهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ، وَجَمْعًا لِكَلِمَةِ الْمُؤْمِنِينَ ومَعقلا وَمَوْئِلًا لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ} وَالسِّيَاقُ إِنَّمَا هُوَ فِي مَعْرِضِ مسجد قباء “Kemudian Allah mendorong (Nabi dan umatnya) untuk menunaikan salat di masjid Quba, yaitu masjid yang sejak hari pertama pembangunannya telah didirikan di atas dasar takwa. Salat di dalamnya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, serta sebagai sarana untuk mempersatukan kalimat kaum mukminin, sekaligus menjadi benteng dan tempat perlindungan bagi Islam dan pemeluknya. Oleh karena itu, Allah Ta‘ala berfirman (yang artinya), ‘Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya‘ (QS. At-Taubah: 108).” [3] Tata cara salat di masjid Quba Pertama: Berwudu dari rumah atau tempat asal Disunahkan bagi seorang muslim untuk bersuci (berwudu) terlebih dahulu di tempat tinggalnya (atau hotel tempat menginap), kemudian berangkat menuju masjid Quba. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ibnu Majah di atas. Sebagian ulama menganggap sunah ini merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah, sebagaimana yang akan kami singgung dalam sub-bab berikutnya. Kedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunah Tidak ada pembatasan khusus; salat yang dilakukan di masjid Quba bisa berupa salat fardu jika waktunya bersamaan, atau salat sunah dua rakaat sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga berdasarkan hadis Ibnu Majah di atas. Ketiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari Sabtu Berdasarkan hadis sahih dari Ibnu Umar, sebagaimana telah disebutkan di atas. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, يستحب ‌استحبابا ‌متأكدا أن يأتي مسجد قباء وهو في يوم السبت آكد ناويا التقرب بزيارته والصلاة فيه … “Disunahkan dengan penekanan yang kuat untuk mendatangi masjid Quba, terutama pada hari Sabtu, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah melalui kunjungan dan salat di dalamnya.” (kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil atasnya) [4] Apakah bersuci dari rumah merupakan syarat? Para ulama berselisih pendapat, apakah bersuci dari rumah merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah? Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan syarat (untuk mendapatkan keutamaan pahala seperti umrah) [5], dan sebagian lain menyatakan bahwa itu bukan syarat. As-Sindi rahimahullah dalam Hasyiyah-nya atas Sunan Ibnu Majah menjelaskan, قَوْلُهُ: (مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ) ‌لَعَلَّ ‌هَذَا ‌الْقَيْدَ ‌لَمْ ‌يَكُنْ ‌مُعْتَبَرًا ‌فِي ‌نَيْلِ ‌هَذَا الثَّوَابِ بَلْ ذَكَرَهُ لِمُجَرَّدِ التَّنْبِيهِ عَلَى أَنَّ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَيْسَ إِلَّا لِمَنْ كَانَ قَرِيبَ الدَّارِ مِنْهُ … “Ucapan Nabi, ‘Barangsiapa bersuci di rumahnya‘, kemungkinan syarat ini bukanlah sesuatu yang mutlak untuk memperoleh pahala tersebut, melainkan hanya sekadar penjelasan bahwa orang yang dimaksud adalah penduduk sekitar … ” [6] Namun tidak diragukan bahwa sikap yang paling hati-hati (al-aḥwaṭ) untuk mendapatkan keutamaan tersebut adalah bersuci terlebih dahulu sebelum berangkat menuju masjid Quba, sebagai pengamalan terhadap zahir hadis. Wallaahu a’lam. [7] Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba? Seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام، ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم، ومسجد الأقصى. “Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaihi) Syekh Bin Baaz rahimahullah pernah ditanya permasalahan tersebut, dan beliau menjawab, لا، شَدُّ الرحال إلى ثلاثة مساجد بس، ومسجد قباء اللي في المدينة يروح بالسيارة ما يخالف، أما يأتي من خارج المدينة فلا، الرسول ﷺ كان يزوره من المدينة راكبًا أو ماشيًا عليه الصلاة والسلام، أما شد الرحل إليه من بلد أخرى لا، إلا الثلاثة مساجد. “Tidak, karena perjalanan jauh (syaddur-rihāl) hanya dibolehkan menuju tiga masjid saja, yaitu: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha. Adapun Masjid Quba yang berada di Madinah, boleh dikunjungi oleh penduduk Madinah atau yang sedang berada di dalamnya, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasa mengunjungi masjid Quba dari Madinah, dalam keadaan berkendaraan atau berjalan kaki. Namun, seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh dari negeri lain, dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba, karena yang dibolehkan syaddur-rihāl hanyalah ke tiga masjid utama.” [8] Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat di masjid Quba ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta‘ala memberikan kita taufik untuk mengamalkannya dengan niat yang ikhlas dan mengikuti sunah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Zulqadah 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Ibnu Katsir, Isma‘il bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Cetakan ke-2. Kairo: Dar ‘Alamiyah, 2012 M. 4 jilid.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 101; dan Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [2] Lihat Bughyat al-Mutathawwi‘ fi Salat at-Tathawwu‘, hal. 154. [3] Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [4] Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, 8: 276. [5] Lihat fatwa Syekh Ibn Bāz tersebut di: https://binbaz.org.sa/fatwas/11618 [6] Hasyiyah As-Sindiy ‘ala Sunan Ibn Majah, 1: 431. [7] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/132290/ [8] https://binbaz.org.sa/fatwas/21477/

Fikih Salat di Masjid Quba

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat di masjid QubaKeutamaan salat di masjid QubaTata cara salat di masjid QubaPertama: Berwudu dari rumah atau tempat asalKedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunahKetiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari SabtuApakah bersuci dari rumah merupakan syarat?Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba?Doa dan zikir yang dibaca Salat merupakan tiang agama, dan amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat. Keutamaan salat tidak hanya ditentukan oleh waktu pelaksanaannya, tetapi juga oleh tempat di mana salat itu ditunaikan. Di antara tempat yang paling utama untuk mendirikan salat setelah tiga masjid utama (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha) adalah masjid Quba, masjid pertama yang dibangun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hijrah ke Madinah. Disunahkan untuk mengunjungi masjid Quba dan melaksanakan salat di dalamnya. Allah Ta‘ala berfirman, لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ “Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar takwa (yaitu masjid Quba) sejak hari pertama lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108) [1] Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas hadis-hadis tentang salat di masjid Quba, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca. Hadis-hadis tentang salat di masjid Quba Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat di masjid Quba. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut, Pertama: Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ ‌تَطَهَّرَ ‌فِي ‌بَيْتِهِ، ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian datang ke masjid Quba, lalu salat di dalamnya satu salat, maka baginya pahala seperti umrah.” (HR. Ibnu Majah 320, disahihkan oleh al-Albani) Kedua: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي مسجد قباء، راكباً وماشياً، فيصلي فيه ركعتين “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa datang ke masjid Quba dalam keadaan berkendara dan berjalan kaki, lalu beliau salat di dalamnya dua rakaat.” Dalam riwayat lain disebutkan, رأيت النبي يأتيه كل سبت “Aku melihat Nabi datang ke masjid itu setiap hari Sabtu.” (HR. Bukhari dan Muslim) [2] Keutamaan salat di masjid Quba Salat di masjid Quba memiliki keistimewaan yang sangat agung. Di antaranya adalah: Pertama: Pahalanya setara dengan umrah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di atas. Kedua: Merupakan masjid yang didirikan di atas dasar takwa sejak hari pertama, Allah mendorong dan memotivasi kita untuk menunaikan salat di situ. Ketiga: Bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Keempat: Menjadi tempat pemersatu kaum mukminin. Kelima: Berfungsi sebagai benteng dan perlindungan bagi Islam dan kaum muslimin. Keempat poin di atas (poin kedua sampai kelima), disarikan dari perkataan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau terhadap surah At-Taubah ayat 108. Beliau mengatakan, ثُمَّ حَثَّهُ عَلَى الصَّلَاةِ فِي مَسْجِدِ قُباء الَّذِي أُسِّسَ مِنْ أَوَّلِ يَوْمِ بِنَائِهِ عَلَى التَّقْوَى، وَهِيَ طَاعَةُ اللَّهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ، وَجَمْعًا لِكَلِمَةِ الْمُؤْمِنِينَ ومَعقلا وَمَوْئِلًا لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ} وَالسِّيَاقُ إِنَّمَا هُوَ فِي مَعْرِضِ مسجد قباء “Kemudian Allah mendorong (Nabi dan umatnya) untuk menunaikan salat di masjid Quba, yaitu masjid yang sejak hari pertama pembangunannya telah didirikan di atas dasar takwa. Salat di dalamnya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, serta sebagai sarana untuk mempersatukan kalimat kaum mukminin, sekaligus menjadi benteng dan tempat perlindungan bagi Islam dan pemeluknya. Oleh karena itu, Allah Ta‘ala berfirman (yang artinya), ‘Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya‘ (QS. At-Taubah: 108).” [3] Tata cara salat di masjid Quba Pertama: Berwudu dari rumah atau tempat asal Disunahkan bagi seorang muslim untuk bersuci (berwudu) terlebih dahulu di tempat tinggalnya (atau hotel tempat menginap), kemudian berangkat menuju masjid Quba. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ibnu Majah di atas. Sebagian ulama menganggap sunah ini merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah, sebagaimana yang akan kami singgung dalam sub-bab berikutnya. Kedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunah Tidak ada pembatasan khusus; salat yang dilakukan di masjid Quba bisa berupa salat fardu jika waktunya bersamaan, atau salat sunah dua rakaat sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga berdasarkan hadis Ibnu Majah di atas. Ketiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari Sabtu Berdasarkan hadis sahih dari Ibnu Umar, sebagaimana telah disebutkan di atas. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, يستحب ‌استحبابا ‌متأكدا أن يأتي مسجد قباء وهو في يوم السبت آكد ناويا التقرب بزيارته والصلاة فيه … “Disunahkan dengan penekanan yang kuat untuk mendatangi masjid Quba, terutama pada hari Sabtu, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah melalui kunjungan dan salat di dalamnya.” (kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil atasnya) [4] Apakah bersuci dari rumah merupakan syarat? Para ulama berselisih pendapat, apakah bersuci dari rumah merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah? Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan syarat (untuk mendapatkan keutamaan pahala seperti umrah) [5], dan sebagian lain menyatakan bahwa itu bukan syarat. As-Sindi rahimahullah dalam Hasyiyah-nya atas Sunan Ibnu Majah menjelaskan, قَوْلُهُ: (مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ) ‌لَعَلَّ ‌هَذَا ‌الْقَيْدَ ‌لَمْ ‌يَكُنْ ‌مُعْتَبَرًا ‌فِي ‌نَيْلِ ‌هَذَا الثَّوَابِ بَلْ ذَكَرَهُ لِمُجَرَّدِ التَّنْبِيهِ عَلَى أَنَّ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَيْسَ إِلَّا لِمَنْ كَانَ قَرِيبَ الدَّارِ مِنْهُ … “Ucapan Nabi, ‘Barangsiapa bersuci di rumahnya‘, kemungkinan syarat ini bukanlah sesuatu yang mutlak untuk memperoleh pahala tersebut, melainkan hanya sekadar penjelasan bahwa orang yang dimaksud adalah penduduk sekitar … ” [6] Namun tidak diragukan bahwa sikap yang paling hati-hati (al-aḥwaṭ) untuk mendapatkan keutamaan tersebut adalah bersuci terlebih dahulu sebelum berangkat menuju masjid Quba, sebagai pengamalan terhadap zahir hadis. Wallaahu a’lam. [7] Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba? Seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام، ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم، ومسجد الأقصى. “Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaihi) Syekh Bin Baaz rahimahullah pernah ditanya permasalahan tersebut, dan beliau menjawab, لا، شَدُّ الرحال إلى ثلاثة مساجد بس، ومسجد قباء اللي في المدينة يروح بالسيارة ما يخالف، أما يأتي من خارج المدينة فلا، الرسول ﷺ كان يزوره من المدينة راكبًا أو ماشيًا عليه الصلاة والسلام، أما شد الرحل إليه من بلد أخرى لا، إلا الثلاثة مساجد. “Tidak, karena perjalanan jauh (syaddur-rihāl) hanya dibolehkan menuju tiga masjid saja, yaitu: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha. Adapun Masjid Quba yang berada di Madinah, boleh dikunjungi oleh penduduk Madinah atau yang sedang berada di dalamnya, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasa mengunjungi masjid Quba dari Madinah, dalam keadaan berkendaraan atau berjalan kaki. Namun, seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh dari negeri lain, dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba, karena yang dibolehkan syaddur-rihāl hanyalah ke tiga masjid utama.” [8] Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat di masjid Quba ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta‘ala memberikan kita taufik untuk mengamalkannya dengan niat yang ikhlas dan mengikuti sunah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Zulqadah 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Ibnu Katsir, Isma‘il bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Cetakan ke-2. Kairo: Dar ‘Alamiyah, 2012 M. 4 jilid.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 101; dan Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [2] Lihat Bughyat al-Mutathawwi‘ fi Salat at-Tathawwu‘, hal. 154. [3] Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [4] Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, 8: 276. [5] Lihat fatwa Syekh Ibn Bāz tersebut di: https://binbaz.org.sa/fatwas/11618 [6] Hasyiyah As-Sindiy ‘ala Sunan Ibn Majah, 1: 431. [7] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/132290/ [8] https://binbaz.org.sa/fatwas/21477/
Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat di masjid QubaKeutamaan salat di masjid QubaTata cara salat di masjid QubaPertama: Berwudu dari rumah atau tempat asalKedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunahKetiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari SabtuApakah bersuci dari rumah merupakan syarat?Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba?Doa dan zikir yang dibaca Salat merupakan tiang agama, dan amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat. Keutamaan salat tidak hanya ditentukan oleh waktu pelaksanaannya, tetapi juga oleh tempat di mana salat itu ditunaikan. Di antara tempat yang paling utama untuk mendirikan salat setelah tiga masjid utama (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha) adalah masjid Quba, masjid pertama yang dibangun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hijrah ke Madinah. Disunahkan untuk mengunjungi masjid Quba dan melaksanakan salat di dalamnya. Allah Ta‘ala berfirman, لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ “Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar takwa (yaitu masjid Quba) sejak hari pertama lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108) [1] Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas hadis-hadis tentang salat di masjid Quba, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca. Hadis-hadis tentang salat di masjid Quba Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat di masjid Quba. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut, Pertama: Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ ‌تَطَهَّرَ ‌فِي ‌بَيْتِهِ، ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian datang ke masjid Quba, lalu salat di dalamnya satu salat, maka baginya pahala seperti umrah.” (HR. Ibnu Majah 320, disahihkan oleh al-Albani) Kedua: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي مسجد قباء، راكباً وماشياً، فيصلي فيه ركعتين “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa datang ke masjid Quba dalam keadaan berkendara dan berjalan kaki, lalu beliau salat di dalamnya dua rakaat.” Dalam riwayat lain disebutkan, رأيت النبي يأتيه كل سبت “Aku melihat Nabi datang ke masjid itu setiap hari Sabtu.” (HR. Bukhari dan Muslim) [2] Keutamaan salat di masjid Quba Salat di masjid Quba memiliki keistimewaan yang sangat agung. Di antaranya adalah: Pertama: Pahalanya setara dengan umrah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di atas. Kedua: Merupakan masjid yang didirikan di atas dasar takwa sejak hari pertama, Allah mendorong dan memotivasi kita untuk menunaikan salat di situ. Ketiga: Bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Keempat: Menjadi tempat pemersatu kaum mukminin. Kelima: Berfungsi sebagai benteng dan perlindungan bagi Islam dan kaum muslimin. Keempat poin di atas (poin kedua sampai kelima), disarikan dari perkataan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau terhadap surah At-Taubah ayat 108. Beliau mengatakan, ثُمَّ حَثَّهُ عَلَى الصَّلَاةِ فِي مَسْجِدِ قُباء الَّذِي أُسِّسَ مِنْ أَوَّلِ يَوْمِ بِنَائِهِ عَلَى التَّقْوَى، وَهِيَ طَاعَةُ اللَّهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ، وَجَمْعًا لِكَلِمَةِ الْمُؤْمِنِينَ ومَعقلا وَمَوْئِلًا لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ} وَالسِّيَاقُ إِنَّمَا هُوَ فِي مَعْرِضِ مسجد قباء “Kemudian Allah mendorong (Nabi dan umatnya) untuk menunaikan salat di masjid Quba, yaitu masjid yang sejak hari pertama pembangunannya telah didirikan di atas dasar takwa. Salat di dalamnya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, serta sebagai sarana untuk mempersatukan kalimat kaum mukminin, sekaligus menjadi benteng dan tempat perlindungan bagi Islam dan pemeluknya. Oleh karena itu, Allah Ta‘ala berfirman (yang artinya), ‘Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya‘ (QS. At-Taubah: 108).” [3] Tata cara salat di masjid Quba Pertama: Berwudu dari rumah atau tempat asal Disunahkan bagi seorang muslim untuk bersuci (berwudu) terlebih dahulu di tempat tinggalnya (atau hotel tempat menginap), kemudian berangkat menuju masjid Quba. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ibnu Majah di atas. Sebagian ulama menganggap sunah ini merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah, sebagaimana yang akan kami singgung dalam sub-bab berikutnya. Kedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunah Tidak ada pembatasan khusus; salat yang dilakukan di masjid Quba bisa berupa salat fardu jika waktunya bersamaan, atau salat sunah dua rakaat sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga berdasarkan hadis Ibnu Majah di atas. Ketiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari Sabtu Berdasarkan hadis sahih dari Ibnu Umar, sebagaimana telah disebutkan di atas. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, يستحب ‌استحبابا ‌متأكدا أن يأتي مسجد قباء وهو في يوم السبت آكد ناويا التقرب بزيارته والصلاة فيه … “Disunahkan dengan penekanan yang kuat untuk mendatangi masjid Quba, terutama pada hari Sabtu, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah melalui kunjungan dan salat di dalamnya.” (kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil atasnya) [4] Apakah bersuci dari rumah merupakan syarat? Para ulama berselisih pendapat, apakah bersuci dari rumah merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah? Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan syarat (untuk mendapatkan keutamaan pahala seperti umrah) [5], dan sebagian lain menyatakan bahwa itu bukan syarat. As-Sindi rahimahullah dalam Hasyiyah-nya atas Sunan Ibnu Majah menjelaskan, قَوْلُهُ: (مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ) ‌لَعَلَّ ‌هَذَا ‌الْقَيْدَ ‌لَمْ ‌يَكُنْ ‌مُعْتَبَرًا ‌فِي ‌نَيْلِ ‌هَذَا الثَّوَابِ بَلْ ذَكَرَهُ لِمُجَرَّدِ التَّنْبِيهِ عَلَى أَنَّ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَيْسَ إِلَّا لِمَنْ كَانَ قَرِيبَ الدَّارِ مِنْهُ … “Ucapan Nabi, ‘Barangsiapa bersuci di rumahnya‘, kemungkinan syarat ini bukanlah sesuatu yang mutlak untuk memperoleh pahala tersebut, melainkan hanya sekadar penjelasan bahwa orang yang dimaksud adalah penduduk sekitar … ” [6] Namun tidak diragukan bahwa sikap yang paling hati-hati (al-aḥwaṭ) untuk mendapatkan keutamaan tersebut adalah bersuci terlebih dahulu sebelum berangkat menuju masjid Quba, sebagai pengamalan terhadap zahir hadis. Wallaahu a’lam. [7] Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba? Seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام، ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم، ومسجد الأقصى. “Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaihi) Syekh Bin Baaz rahimahullah pernah ditanya permasalahan tersebut, dan beliau menjawab, لا، شَدُّ الرحال إلى ثلاثة مساجد بس، ومسجد قباء اللي في المدينة يروح بالسيارة ما يخالف، أما يأتي من خارج المدينة فلا، الرسول ﷺ كان يزوره من المدينة راكبًا أو ماشيًا عليه الصلاة والسلام، أما شد الرحل إليه من بلد أخرى لا، إلا الثلاثة مساجد. “Tidak, karena perjalanan jauh (syaddur-rihāl) hanya dibolehkan menuju tiga masjid saja, yaitu: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha. Adapun Masjid Quba yang berada di Madinah, boleh dikunjungi oleh penduduk Madinah atau yang sedang berada di dalamnya, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasa mengunjungi masjid Quba dari Madinah, dalam keadaan berkendaraan atau berjalan kaki. Namun, seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh dari negeri lain, dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba, karena yang dibolehkan syaddur-rihāl hanyalah ke tiga masjid utama.” [8] Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat di masjid Quba ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta‘ala memberikan kita taufik untuk mengamalkannya dengan niat yang ikhlas dan mengikuti sunah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Zulqadah 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Ibnu Katsir, Isma‘il bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Cetakan ke-2. Kairo: Dar ‘Alamiyah, 2012 M. 4 jilid.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 101; dan Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [2] Lihat Bughyat al-Mutathawwi‘ fi Salat at-Tathawwu‘, hal. 154. [3] Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [4] Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, 8: 276. [5] Lihat fatwa Syekh Ibn Bāz tersebut di: https://binbaz.org.sa/fatwas/11618 [6] Hasyiyah As-Sindiy ‘ala Sunan Ibn Majah, 1: 431. [7] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/132290/ [8] https://binbaz.org.sa/fatwas/21477/


Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat di masjid QubaKeutamaan salat di masjid QubaTata cara salat di masjid QubaPertama: Berwudu dari rumah atau tempat asalKedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunahKetiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari SabtuApakah bersuci dari rumah merupakan syarat?Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba?Doa dan zikir yang dibaca Salat merupakan tiang agama, dan amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat. Keutamaan salat tidak hanya ditentukan oleh waktu pelaksanaannya, tetapi juga oleh tempat di mana salat itu ditunaikan. Di antara tempat yang paling utama untuk mendirikan salat setelah tiga masjid utama (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha) adalah masjid Quba, masjid pertama yang dibangun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hijrah ke Madinah. Disunahkan untuk mengunjungi masjid Quba dan melaksanakan salat di dalamnya. Allah Ta‘ala berfirman, لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ “Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar takwa (yaitu masjid Quba) sejak hari pertama lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108) [1] Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas hadis-hadis tentang salat di masjid Quba, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca. Hadis-hadis tentang salat di masjid Quba Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat di masjid Quba. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut, Pertama: Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ ‌تَطَهَّرَ ‌فِي ‌بَيْتِهِ، ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian datang ke masjid Quba, lalu salat di dalamnya satu salat, maka baginya pahala seperti umrah.” (HR. Ibnu Majah 320, disahihkan oleh al-Albani) Kedua: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي مسجد قباء، راكباً وماشياً، فيصلي فيه ركعتين “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa datang ke masjid Quba dalam keadaan berkendara dan berjalan kaki, lalu beliau salat di dalamnya dua rakaat.” Dalam riwayat lain disebutkan, رأيت النبي يأتيه كل سبت “Aku melihat Nabi datang ke masjid itu setiap hari Sabtu.” (HR. Bukhari dan Muslim) [2] Keutamaan salat di masjid Quba Salat di masjid Quba memiliki keistimewaan yang sangat agung. Di antaranya adalah: Pertama: Pahalanya setara dengan umrah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di atas. Kedua: Merupakan masjid yang didirikan di atas dasar takwa sejak hari pertama, Allah mendorong dan memotivasi kita untuk menunaikan salat di situ. Ketiga: Bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Keempat: Menjadi tempat pemersatu kaum mukminin. Kelima: Berfungsi sebagai benteng dan perlindungan bagi Islam dan kaum muslimin. Keempat poin di atas (poin kedua sampai kelima), disarikan dari perkataan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau terhadap surah At-Taubah ayat 108. Beliau mengatakan, ثُمَّ حَثَّهُ عَلَى الصَّلَاةِ فِي مَسْجِدِ قُباء الَّذِي أُسِّسَ مِنْ أَوَّلِ يَوْمِ بِنَائِهِ عَلَى التَّقْوَى، وَهِيَ طَاعَةُ اللَّهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ، وَجَمْعًا لِكَلِمَةِ الْمُؤْمِنِينَ ومَعقلا وَمَوْئِلًا لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ} وَالسِّيَاقُ إِنَّمَا هُوَ فِي مَعْرِضِ مسجد قباء “Kemudian Allah mendorong (Nabi dan umatnya) untuk menunaikan salat di masjid Quba, yaitu masjid yang sejak hari pertama pembangunannya telah didirikan di atas dasar takwa. Salat di dalamnya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, serta sebagai sarana untuk mempersatukan kalimat kaum mukminin, sekaligus menjadi benteng dan tempat perlindungan bagi Islam dan pemeluknya. Oleh karena itu, Allah Ta‘ala berfirman (yang artinya), ‘Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, lebih berhak untuk kamu salat di dalamnya‘ (QS. At-Taubah: 108).” [3] Tata cara salat di masjid Quba Pertama: Berwudu dari rumah atau tempat asal Disunahkan bagi seorang muslim untuk bersuci (berwudu) terlebih dahulu di tempat tinggalnya (atau hotel tempat menginap), kemudian berangkat menuju masjid Quba. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ibnu Majah di atas. Sebagian ulama menganggap sunah ini merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah, sebagaimana yang akan kami singgung dalam sub-bab berikutnya. Kedua: Salat yang dilakukan boleh fardu maupun sunah Tidak ada pembatasan khusus; salat yang dilakukan di masjid Quba bisa berupa salat fardu jika waktunya bersamaan, atau salat sunah dua rakaat sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga berdasarkan hadis Ibnu Majah di atas. Ketiga: Hari yang paling dianjurkan adalah hari Sabtu Berdasarkan hadis sahih dari Ibnu Umar, sebagaimana telah disebutkan di atas. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, يستحب ‌استحبابا ‌متأكدا أن يأتي مسجد قباء وهو في يوم السبت آكد ناويا التقرب بزيارته والصلاة فيه … “Disunahkan dengan penekanan yang kuat untuk mendatangi masjid Quba, terutama pada hari Sabtu, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah melalui kunjungan dan salat di dalamnya.” (kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil atasnya) [4] Apakah bersuci dari rumah merupakan syarat? Para ulama berselisih pendapat, apakah bersuci dari rumah merupakan syarat untuk mendapatkan keutamaan berupa pahala umrah? Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan syarat (untuk mendapatkan keutamaan pahala seperti umrah) [5], dan sebagian lain menyatakan bahwa itu bukan syarat. As-Sindi rahimahullah dalam Hasyiyah-nya atas Sunan Ibnu Majah menjelaskan, قَوْلُهُ: (مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ) ‌لَعَلَّ ‌هَذَا ‌الْقَيْدَ ‌لَمْ ‌يَكُنْ ‌مُعْتَبَرًا ‌فِي ‌نَيْلِ ‌هَذَا الثَّوَابِ بَلْ ذَكَرَهُ لِمُجَرَّدِ التَّنْبِيهِ عَلَى أَنَّ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَيْسَ إِلَّا لِمَنْ كَانَ قَرِيبَ الدَّارِ مِنْهُ … “Ucapan Nabi, ‘Barangsiapa bersuci di rumahnya‘, kemungkinan syarat ini bukanlah sesuatu yang mutlak untuk memperoleh pahala tersebut, melainkan hanya sekadar penjelasan bahwa orang yang dimaksud adalah penduduk sekitar … ” [6] Namun tidak diragukan bahwa sikap yang paling hati-hati (al-aḥwaṭ) untuk mendapatkan keutamaan tersebut adalah bersuci terlebih dahulu sebelum berangkat menuju masjid Quba, sebagai pengamalan terhadap zahir hadis. Wallaahu a’lam. [7] Bolehkah melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) khusus untuk mengunjungi masjid Quba? Seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام، ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم، ومسجد الأقصى. “Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihāl) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaihi) Syekh Bin Baaz rahimahullah pernah ditanya permasalahan tersebut, dan beliau menjawab, لا، شَدُّ الرحال إلى ثلاثة مساجد بس، ومسجد قباء اللي في المدينة يروح بالسيارة ما يخالف، أما يأتي من خارج المدينة فلا، الرسول ﷺ كان يزوره من المدينة راكبًا أو ماشيًا عليه الصلاة والسلام، أما شد الرحل إليه من بلد أخرى لا، إلا الثلاثة مساجد. “Tidak, karena perjalanan jauh (syaddur-rihāl) hanya dibolehkan menuju tiga masjid saja, yaitu: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha. Adapun Masjid Quba yang berada di Madinah, boleh dikunjungi oleh penduduk Madinah atau yang sedang berada di dalamnya, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasa mengunjungi masjid Quba dari Madinah, dalam keadaan berkendaraan atau berjalan kaki. Namun, seseorang tidak boleh melakukan perjalanan jauh dari negeri lain, dengan tujuan khusus untuk salat di masjid Quba, karena yang dibolehkan syaddur-rihāl hanyalah ke tiga masjid utama.” [8] Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat di masjid Quba ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta‘ala memberikan kita taufik untuk mengamalkannya dengan niat yang ikhlas dan mengikuti sunah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Zulqadah 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Ibnu Katsir, Isma‘il bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Cetakan ke-2. Kairo: Dar ‘Alamiyah, 2012 M. 4 jilid.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 101; dan Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [2] Lihat Bughyat al-Mutathawwi‘ fi Salat at-Tathawwu‘, hal. 154. [3] Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 2: 557. [4] Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, 8: 276. [5] Lihat fatwa Syekh Ibn Bāz tersebut di: https://binbaz.org.sa/fatwas/11618 [6] Hasyiyah As-Sindiy ‘ala Sunan Ibn Majah, 1: 431. [7] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/132290/ [8] https://binbaz.org.sa/fatwas/21477/

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa takut dan cemas yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan takut dan gentar.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Tak akan kamu temui seorang pendosa melainkan hatinya seperti seekor burung yang terhimpit di antara dua sayap. Jika angin menggerakkan pintu, ia berkata, “Itu pasti pengejaranku datang.” Jika ia mendengar langkah kaki, ia takut itu adalah tanda kehancurannya.Ia mengira setiap teriakan ditujukan untuk dirinya, dan setiap keburukan sedang mengarah kepadanya.Barang siapa takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya aman dari segala sesuatu. Sebaliknya, siapa yang tidak takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya takut kepada segala sesuatu.” 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. Masih bersambung Insya-Allah … – Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa takut dan cemas yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan takut dan gentar.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Tak akan kamu temui seorang pendosa melainkan hatinya seperti seekor burung yang terhimpit di antara dua sayap. Jika angin menggerakkan pintu, ia berkata, “Itu pasti pengejaranku datang.” Jika ia mendengar langkah kaki, ia takut itu adalah tanda kehancurannya.Ia mengira setiap teriakan ditujukan untuk dirinya, dan setiap keburukan sedang mengarah kepadanya.Barang siapa takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya aman dari segala sesuatu. Sebaliknya, siapa yang tidak takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya takut kepada segala sesuatu.” 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. Masih bersambung Insya-Allah … – Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs
Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa takut dan cemas yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan takut dan gentar.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Tak akan kamu temui seorang pendosa melainkan hatinya seperti seekor burung yang terhimpit di antara dua sayap. Jika angin menggerakkan pintu, ia berkata, “Itu pasti pengejaranku datang.” Jika ia mendengar langkah kaki, ia takut itu adalah tanda kehancurannya.Ia mengira setiap teriakan ditujukan untuk dirinya, dan setiap keburukan sedang mengarah kepadanya.Barang siapa takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya aman dari segala sesuatu. Sebaliknya, siapa yang tidak takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya takut kepada segala sesuatu.” 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. Masih bersambung Insya-Allah … – Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs


Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa takut dan cemas yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan takut dan gentar.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Tak akan kamu temui seorang pendosa melainkan hatinya seperti seekor burung yang terhimpit di antara dua sayap. Jika angin menggerakkan pintu, ia berkata, “Itu pasti pengejaranku datang.” Jika ia mendengar langkah kaki, ia takut itu adalah tanda kehancurannya.Ia mengira setiap teriakan ditujukan untuk dirinya, dan setiap keburukan sedang mengarah kepadanya.Barang siapa takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya aman dari segala sesuatu. Sebaliknya, siapa yang tidak takut kepada Allah, niscaya Allah akan membuatnya takut kepada segala sesuatu.” 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. Masih bersambung Insya-Allah … – Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba

Daftar Isi Toggle Sejarah masjid QubaKeutamaan masjid Quba Sejarah masjid Quba Di dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah. Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan. Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.” Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء “Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326) Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan, نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً “Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713) Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ “Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108) Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau. Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Keutamaan masjid Quba Masjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah. Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه “Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399) Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci, أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها. “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191) Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda, الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ “Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah. Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ} “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31) Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173) Wallahu a’lam bisshowaab. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba

Daftar Isi Toggle Sejarah masjid QubaKeutamaan masjid Quba Sejarah masjid Quba Di dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah. Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan. Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.” Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء “Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326) Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan, نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً “Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713) Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ “Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108) Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau. Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Keutamaan masjid Quba Masjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah. Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه “Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399) Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci, أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها. “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191) Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda, الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ “Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah. Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ} “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31) Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173) Wallahu a’lam bisshowaab. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Sejarah masjid QubaKeutamaan masjid Quba Sejarah masjid Quba Di dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah. Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan. Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.” Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء “Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326) Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan, نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً “Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713) Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ “Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108) Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau. Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Keutamaan masjid Quba Masjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah. Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه “Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399) Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci, أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها. “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191) Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda, الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ “Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah. Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ} “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31) Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173) Wallahu a’lam bisshowaab. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Sejarah masjid QubaKeutamaan masjid Quba Sejarah masjid Quba Di dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah. Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan. Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.” Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء “Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326) Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan, نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً “Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713) Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ “Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108) Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau. Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam Masjid Keutamaan masjid Quba Masjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah. Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه “Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399) Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci, أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها. “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191) Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ “Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda, الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ “Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan) Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah. Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ} “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31) Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173) Wallahu a’lam bisshowaab. Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Kelahiran Isa Menurut Agama Islam dan Urgensinya bagi Umat Islam

السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 58 times, 1 visit(s) today Post Views: 22 QRIS donasi Yufid

Kelahiran Isa Menurut Agama Islam dan Urgensinya bagi Umat Islam

السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 58 times, 1 visit(s) today Post Views: 22 QRIS donasi Yufid
السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 58 times, 1 visit(s) today Post Views: 22 QRIS donasi Yufid


السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 58 times, 1 visit(s) today Post Views: 22 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Tata Cara Shalat Khauf Saat Perang dan Bahaya: Penjelasan Lengkap Sesuai Sunnah

Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf

Tata Cara Shalat Khauf Saat Perang dan Bahaya: Penjelasan Lengkap Sesuai Sunnah

Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf
Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf


Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf
Prev     Next