Panduan Shalat Orang Sakit: Shalat Duduk, Berbaring, dan Isyarat Sesuai Sunnah

Shalat tetap wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim selama akal masih sehat, meskipun tubuh dalam keadaan sakit atau lemah. Islam memberi kemudahan dengan membolehkan shalat sambil duduk, berbaring, atau menggunakan isyarat jika tidak mampu berdiri. Semua ketentuan ini diatur berdasarkan dalil-dalil yang sahih dan kesepakatan para ulama. Dengan memahami panduan ini, orang sakit tetap dapat menunaikan ibadah shalat sesuai kemampuannya dan meraih pahala sempurna.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 1.1. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat fardu 1.2. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelam 1.3. Kaidah Fikih Terkait Masalah Ini 2. Kesimpulan  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، فِيهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ سَجْدَةً، وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُونَ تَكْبِيرَةً، وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ، وَعَشْرُ تَسْلِيمَاتٍ، وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُونَ تَسْبِيحَةً، وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُونَ رُكْنًا، فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُونَ رُكْنًا، وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ رُكْنًا، وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ رُكْنًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا.Jumlah rakaat shalat fardu adalah tujuh belas rakaat. Di dalamnya terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat kali takbir, sembilan kali tasyahud, sepuluh kali salam, dan seratus lima puluh tiga kali tasbih.Jika dihitung jumlah seluruh rukun shalat, totalnya ada seratus dua puluh enam rukun:Dalam shalat Subuh: tiga puluh rukun,Dalam shalat Magrib: empat puluh dua rukun,Dalam shalat yang empat rakaat: lima puluh empat rukun.Bagi orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. PenjelasanIni berlaku apabila shalat dilakukan dalam keadaan mukim (tidak safar) dan bukan pada hari Jumat. Jika di dalamnya terdapat shalat Jumat, maka jumlah rakaatnya berkurang dua rakaat. Jika shalat tersebut dilakukan dengan qashar (dalam safar), maka berkurang empat atau enam rakaat.Pernyataan bahwa shalat fardu berjumlah tujuh belas rakaat hingga akhir rincian gerakannya bisa diketahui dengan memperhatikan secara detail, namun tidak banyak faedah besar yang dihasilkan dari hitungan ini.Wallāhu a‘lam. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat farduSiapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Imrān bin Ḥuṣain:“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi.”(Nasa’i menambahkan:)“Jika tidak mampu juga, maka terlentanglah. Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.”Para ulama juga menukil adanya ijma‘ (kesepakatan) dalam masalah ini.Perlu diketahui, yang dimaksud dengan “tidak mampu” bukanlah benar-benar mustahil secara fisik, tetapi mencakup:khawatir akan binasa,penyakit bertambah parah,timbul kesulitan berat,khawatir tenggelam,atau pusing berat bagi orang yang berada di kapal.Ukuran “tidak mampu” adalah jika timbul kesulitan yang menghilangkan kekhusyukan. Ini dinukil Imam An-Nawawi dalam Ar-Raudhah dan beliau menyetujuinya. Namun dalam Syarḥ Al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyebut bahwa pendapat mazhab justru berbeda, yaitu ukuran tidak mampu adalah tidak sanggup berdiri kecuali dengan kesulitan yang sangat berat. Ibnu Ar-Rif‘ah menegaskan: maksudnya adalah kesulitan yang benar-benar berat.Tidak ada ketentuan khusus untuk cara duduknya. Bagaimana pun cara duduknya, shalatnya sah. Namun ada dua pendapat tentang yang lebih utama:Duduk iftirasy (seperti duduk di antara dua sujud) karena lebih mendekati posisi berdiri, dan duduk bersila dianggap bentuk kemewahan.Duduk bersila lebih utama untuk membedakan duduk pengganti berdiri dari duduk aslinya dalam shalat.Jika tidak mampu duduk, maka shalat dilakukan berbaring. Menurut pendapat yang kuat, ia berbaring di sisi kanan dan wajib menghadap kiblat. Jika tidak mampu menghadap kiblat, maka ia terlentang dan memberi isyarat rukuk dan sujud ke arah kiblat. Jika tidak mampu rukuk dan sujud, maka sujudnya harus dibuat lebih rendah daripada rukuknya.Jika tidak mampu juga, maka ia memberi isyarat dengan mata karena itu batas kemampuannya. Jika bahkan tidak sanggup menggerakkan mata, maka ia cukup menjalankan seluruh gerakan shalat di dalam hati. Jika dalam keadaan ini ia masih mampu melafalkan takbir, bacaan, tasyahud, dan salam, maka ia lakukan. Jika tidak mampu, maka cukup dihadirkan dalam hati.Dalam semua keadaan tersebut, pahalanya tidak berkurang, dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih sehat. Jika ia shalat dalam kondisi seperti ini, maka tidak ada kewajiban mengulang shalatnya.Imam Al-Ghazali berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”Namun Ar-Rafi‘i mengkritisi penggunaan dalil ini dalam konteks tersebut. Meski demikian, ada pendapat yang menyebut: jika ia dalam kondisi ini, maka ia tidak shalat lalu mengulangnya. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelamOrang yang disalib (diikat) tetap wajib shalat. Ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi‘i. Begitu pula orang yang tenggelam di laut namun bertahan di atas papan kayu, sebagaimana dinyatakan Qadhi Husain dan ulama lainnya. Cabang hukum:Jika seseorang bisa berdiri ketika shalat sendirian, tetapi jika shalat berjamaah ia harus duduk di sebagian waktu shalatnya, maka menurut Imam Asy-Syafi‘i keduanya boleh dilakukan, namun shalat sambil berdiri lebih utama demi menjaga rukun. Pendapat ini diikuti Qadhi Husain dan murid-muridnya seperti Al-Baghawi dan Al-Mutawalli, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.Mereka juga mengatakan: jika ia mampu berdiri hanya untuk membaca Al-Fatihah, tetapi jika menambah bacaan surah ia tidak mampu, maka yang lebih utama adalah berdiri hanya untuk Al-Fatihah. Syaikh Abu Hamid menyebut bahwa shalat berjamaah lebih utama.Wallāhu a‘lam. Kaidah Fikih Terkait Masalah IniAda kaidah fikih yang berbunyi:الميسور لا يسقط بالمعسور“Bagian yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena ada bagian lain yang tidak mampu dilakukan.”Kaidah ini bermakna: jika sebuah perintah syariat tidak dapat dilaksanakan secara sempurna sebagaimana yang diperintahkan, karena adanya keterbatasan kemampuan, namun masih memungkinkan untuk melaksanakan sebagian bagiannya yang memang dapat dipisahkan, maka wajib melaksanakan bagian yang mampu dilakukan. Dengan kata lain, tidak boleh meninggalkan seluruh amalan hanya karena ada sebagian yang sulit atau tidak mampu dilakukan.Kaidah ini selaras dengan ayat dan hadits:Firman Allah Ta‘ala:فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم“Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Sehingga, kalau seseorang hanya mampu berdiri saat membaca Al-Fatihah, ia tetap berdiri sebatas itu, lalu duduk untuk bagian yang tidak mampu dilakukan.Baca juga: Melaksanakan Perintah Allah itu Bagaikan Obat Pahit … (Nasihat Ibnul Qayyim) KesimpulanBagi orang sakit, shalat dilakukan sesuai kemampuan: berdiri jika mampu, duduk jika tidak mampu berdiri, berbaring di sisi kanan menghadap kiblat jika tidak mampu duduk, lalu terlentang jika tidak mampu menghadap kiblat sambil memberi isyarat rukuk dan sujud. Jika tidak mampu isyarat dengan kepala, maka cukup dengan gerakan hati dan lisan sesuai kemampuan. Semua ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan, bukan memberatkan, sehingga tidak ada alasan meninggalkan shalat selama akal masih sehat. Referensi:Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair.______ Ditulis saat perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan, 21 Safar 1447 H, 14 Agustus 2025, Kamis Sore (Malam Jumat)Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat sifat shalat nabi

Panduan Shalat Orang Sakit: Shalat Duduk, Berbaring, dan Isyarat Sesuai Sunnah

Shalat tetap wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim selama akal masih sehat, meskipun tubuh dalam keadaan sakit atau lemah. Islam memberi kemudahan dengan membolehkan shalat sambil duduk, berbaring, atau menggunakan isyarat jika tidak mampu berdiri. Semua ketentuan ini diatur berdasarkan dalil-dalil yang sahih dan kesepakatan para ulama. Dengan memahami panduan ini, orang sakit tetap dapat menunaikan ibadah shalat sesuai kemampuannya dan meraih pahala sempurna.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 1.1. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat fardu 1.2. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelam 1.3. Kaidah Fikih Terkait Masalah Ini 2. Kesimpulan  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، فِيهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ سَجْدَةً، وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُونَ تَكْبِيرَةً، وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ، وَعَشْرُ تَسْلِيمَاتٍ، وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُونَ تَسْبِيحَةً، وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُونَ رُكْنًا، فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُونَ رُكْنًا، وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ رُكْنًا، وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ رُكْنًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا.Jumlah rakaat shalat fardu adalah tujuh belas rakaat. Di dalamnya terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat kali takbir, sembilan kali tasyahud, sepuluh kali salam, dan seratus lima puluh tiga kali tasbih.Jika dihitung jumlah seluruh rukun shalat, totalnya ada seratus dua puluh enam rukun:Dalam shalat Subuh: tiga puluh rukun,Dalam shalat Magrib: empat puluh dua rukun,Dalam shalat yang empat rakaat: lima puluh empat rukun.Bagi orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. PenjelasanIni berlaku apabila shalat dilakukan dalam keadaan mukim (tidak safar) dan bukan pada hari Jumat. Jika di dalamnya terdapat shalat Jumat, maka jumlah rakaatnya berkurang dua rakaat. Jika shalat tersebut dilakukan dengan qashar (dalam safar), maka berkurang empat atau enam rakaat.Pernyataan bahwa shalat fardu berjumlah tujuh belas rakaat hingga akhir rincian gerakannya bisa diketahui dengan memperhatikan secara detail, namun tidak banyak faedah besar yang dihasilkan dari hitungan ini.Wallāhu a‘lam. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat farduSiapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Imrān bin Ḥuṣain:“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi.”(Nasa’i menambahkan:)“Jika tidak mampu juga, maka terlentanglah. Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.”Para ulama juga menukil adanya ijma‘ (kesepakatan) dalam masalah ini.Perlu diketahui, yang dimaksud dengan “tidak mampu” bukanlah benar-benar mustahil secara fisik, tetapi mencakup:khawatir akan binasa,penyakit bertambah parah,timbul kesulitan berat,khawatir tenggelam,atau pusing berat bagi orang yang berada di kapal.Ukuran “tidak mampu” adalah jika timbul kesulitan yang menghilangkan kekhusyukan. Ini dinukil Imam An-Nawawi dalam Ar-Raudhah dan beliau menyetujuinya. Namun dalam Syarḥ Al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyebut bahwa pendapat mazhab justru berbeda, yaitu ukuran tidak mampu adalah tidak sanggup berdiri kecuali dengan kesulitan yang sangat berat. Ibnu Ar-Rif‘ah menegaskan: maksudnya adalah kesulitan yang benar-benar berat.Tidak ada ketentuan khusus untuk cara duduknya. Bagaimana pun cara duduknya, shalatnya sah. Namun ada dua pendapat tentang yang lebih utama:Duduk iftirasy (seperti duduk di antara dua sujud) karena lebih mendekati posisi berdiri, dan duduk bersila dianggap bentuk kemewahan.Duduk bersila lebih utama untuk membedakan duduk pengganti berdiri dari duduk aslinya dalam shalat.Jika tidak mampu duduk, maka shalat dilakukan berbaring. Menurut pendapat yang kuat, ia berbaring di sisi kanan dan wajib menghadap kiblat. Jika tidak mampu menghadap kiblat, maka ia terlentang dan memberi isyarat rukuk dan sujud ke arah kiblat. Jika tidak mampu rukuk dan sujud, maka sujudnya harus dibuat lebih rendah daripada rukuknya.Jika tidak mampu juga, maka ia memberi isyarat dengan mata karena itu batas kemampuannya. Jika bahkan tidak sanggup menggerakkan mata, maka ia cukup menjalankan seluruh gerakan shalat di dalam hati. Jika dalam keadaan ini ia masih mampu melafalkan takbir, bacaan, tasyahud, dan salam, maka ia lakukan. Jika tidak mampu, maka cukup dihadirkan dalam hati.Dalam semua keadaan tersebut, pahalanya tidak berkurang, dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih sehat. Jika ia shalat dalam kondisi seperti ini, maka tidak ada kewajiban mengulang shalatnya.Imam Al-Ghazali berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”Namun Ar-Rafi‘i mengkritisi penggunaan dalil ini dalam konteks tersebut. Meski demikian, ada pendapat yang menyebut: jika ia dalam kondisi ini, maka ia tidak shalat lalu mengulangnya. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelamOrang yang disalib (diikat) tetap wajib shalat. Ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi‘i. Begitu pula orang yang tenggelam di laut namun bertahan di atas papan kayu, sebagaimana dinyatakan Qadhi Husain dan ulama lainnya. Cabang hukum:Jika seseorang bisa berdiri ketika shalat sendirian, tetapi jika shalat berjamaah ia harus duduk di sebagian waktu shalatnya, maka menurut Imam Asy-Syafi‘i keduanya boleh dilakukan, namun shalat sambil berdiri lebih utama demi menjaga rukun. Pendapat ini diikuti Qadhi Husain dan murid-muridnya seperti Al-Baghawi dan Al-Mutawalli, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.Mereka juga mengatakan: jika ia mampu berdiri hanya untuk membaca Al-Fatihah, tetapi jika menambah bacaan surah ia tidak mampu, maka yang lebih utama adalah berdiri hanya untuk Al-Fatihah. Syaikh Abu Hamid menyebut bahwa shalat berjamaah lebih utama.Wallāhu a‘lam. Kaidah Fikih Terkait Masalah IniAda kaidah fikih yang berbunyi:الميسور لا يسقط بالمعسور“Bagian yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena ada bagian lain yang tidak mampu dilakukan.”Kaidah ini bermakna: jika sebuah perintah syariat tidak dapat dilaksanakan secara sempurna sebagaimana yang diperintahkan, karena adanya keterbatasan kemampuan, namun masih memungkinkan untuk melaksanakan sebagian bagiannya yang memang dapat dipisahkan, maka wajib melaksanakan bagian yang mampu dilakukan. Dengan kata lain, tidak boleh meninggalkan seluruh amalan hanya karena ada sebagian yang sulit atau tidak mampu dilakukan.Kaidah ini selaras dengan ayat dan hadits:Firman Allah Ta‘ala:فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم“Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Sehingga, kalau seseorang hanya mampu berdiri saat membaca Al-Fatihah, ia tetap berdiri sebatas itu, lalu duduk untuk bagian yang tidak mampu dilakukan.Baca juga: Melaksanakan Perintah Allah itu Bagaikan Obat Pahit … (Nasihat Ibnul Qayyim) KesimpulanBagi orang sakit, shalat dilakukan sesuai kemampuan: berdiri jika mampu, duduk jika tidak mampu berdiri, berbaring di sisi kanan menghadap kiblat jika tidak mampu duduk, lalu terlentang jika tidak mampu menghadap kiblat sambil memberi isyarat rukuk dan sujud. Jika tidak mampu isyarat dengan kepala, maka cukup dengan gerakan hati dan lisan sesuai kemampuan. Semua ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan, bukan memberatkan, sehingga tidak ada alasan meninggalkan shalat selama akal masih sehat. Referensi:Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair.______ Ditulis saat perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan, 21 Safar 1447 H, 14 Agustus 2025, Kamis Sore (Malam Jumat)Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat sifat shalat nabi
Shalat tetap wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim selama akal masih sehat, meskipun tubuh dalam keadaan sakit atau lemah. Islam memberi kemudahan dengan membolehkan shalat sambil duduk, berbaring, atau menggunakan isyarat jika tidak mampu berdiri. Semua ketentuan ini diatur berdasarkan dalil-dalil yang sahih dan kesepakatan para ulama. Dengan memahami panduan ini, orang sakit tetap dapat menunaikan ibadah shalat sesuai kemampuannya dan meraih pahala sempurna.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 1.1. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat fardu 1.2. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelam 1.3. Kaidah Fikih Terkait Masalah Ini 2. Kesimpulan  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، فِيهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ سَجْدَةً، وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُونَ تَكْبِيرَةً، وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ، وَعَشْرُ تَسْلِيمَاتٍ، وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُونَ تَسْبِيحَةً، وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُونَ رُكْنًا، فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُونَ رُكْنًا، وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ رُكْنًا، وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ رُكْنًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا.Jumlah rakaat shalat fardu adalah tujuh belas rakaat. Di dalamnya terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat kali takbir, sembilan kali tasyahud, sepuluh kali salam, dan seratus lima puluh tiga kali tasbih.Jika dihitung jumlah seluruh rukun shalat, totalnya ada seratus dua puluh enam rukun:Dalam shalat Subuh: tiga puluh rukun,Dalam shalat Magrib: empat puluh dua rukun,Dalam shalat yang empat rakaat: lima puluh empat rukun.Bagi orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. PenjelasanIni berlaku apabila shalat dilakukan dalam keadaan mukim (tidak safar) dan bukan pada hari Jumat. Jika di dalamnya terdapat shalat Jumat, maka jumlah rakaatnya berkurang dua rakaat. Jika shalat tersebut dilakukan dengan qashar (dalam safar), maka berkurang empat atau enam rakaat.Pernyataan bahwa shalat fardu berjumlah tujuh belas rakaat hingga akhir rincian gerakannya bisa diketahui dengan memperhatikan secara detail, namun tidak banyak faedah besar yang dihasilkan dari hitungan ini.Wallāhu a‘lam. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat farduSiapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Imrān bin Ḥuṣain:“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi.”(Nasa’i menambahkan:)“Jika tidak mampu juga, maka terlentanglah. Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.”Para ulama juga menukil adanya ijma‘ (kesepakatan) dalam masalah ini.Perlu diketahui, yang dimaksud dengan “tidak mampu” bukanlah benar-benar mustahil secara fisik, tetapi mencakup:khawatir akan binasa,penyakit bertambah parah,timbul kesulitan berat,khawatir tenggelam,atau pusing berat bagi orang yang berada di kapal.Ukuran “tidak mampu” adalah jika timbul kesulitan yang menghilangkan kekhusyukan. Ini dinukil Imam An-Nawawi dalam Ar-Raudhah dan beliau menyetujuinya. Namun dalam Syarḥ Al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyebut bahwa pendapat mazhab justru berbeda, yaitu ukuran tidak mampu adalah tidak sanggup berdiri kecuali dengan kesulitan yang sangat berat. Ibnu Ar-Rif‘ah menegaskan: maksudnya adalah kesulitan yang benar-benar berat.Tidak ada ketentuan khusus untuk cara duduknya. Bagaimana pun cara duduknya, shalatnya sah. Namun ada dua pendapat tentang yang lebih utama:Duduk iftirasy (seperti duduk di antara dua sujud) karena lebih mendekati posisi berdiri, dan duduk bersila dianggap bentuk kemewahan.Duduk bersila lebih utama untuk membedakan duduk pengganti berdiri dari duduk aslinya dalam shalat.Jika tidak mampu duduk, maka shalat dilakukan berbaring. Menurut pendapat yang kuat, ia berbaring di sisi kanan dan wajib menghadap kiblat. Jika tidak mampu menghadap kiblat, maka ia terlentang dan memberi isyarat rukuk dan sujud ke arah kiblat. Jika tidak mampu rukuk dan sujud, maka sujudnya harus dibuat lebih rendah daripada rukuknya.Jika tidak mampu juga, maka ia memberi isyarat dengan mata karena itu batas kemampuannya. Jika bahkan tidak sanggup menggerakkan mata, maka ia cukup menjalankan seluruh gerakan shalat di dalam hati. Jika dalam keadaan ini ia masih mampu melafalkan takbir, bacaan, tasyahud, dan salam, maka ia lakukan. Jika tidak mampu, maka cukup dihadirkan dalam hati.Dalam semua keadaan tersebut, pahalanya tidak berkurang, dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih sehat. Jika ia shalat dalam kondisi seperti ini, maka tidak ada kewajiban mengulang shalatnya.Imam Al-Ghazali berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”Namun Ar-Rafi‘i mengkritisi penggunaan dalil ini dalam konteks tersebut. Meski demikian, ada pendapat yang menyebut: jika ia dalam kondisi ini, maka ia tidak shalat lalu mengulangnya. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelamOrang yang disalib (diikat) tetap wajib shalat. Ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi‘i. Begitu pula orang yang tenggelam di laut namun bertahan di atas papan kayu, sebagaimana dinyatakan Qadhi Husain dan ulama lainnya. Cabang hukum:Jika seseorang bisa berdiri ketika shalat sendirian, tetapi jika shalat berjamaah ia harus duduk di sebagian waktu shalatnya, maka menurut Imam Asy-Syafi‘i keduanya boleh dilakukan, namun shalat sambil berdiri lebih utama demi menjaga rukun. Pendapat ini diikuti Qadhi Husain dan murid-muridnya seperti Al-Baghawi dan Al-Mutawalli, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.Mereka juga mengatakan: jika ia mampu berdiri hanya untuk membaca Al-Fatihah, tetapi jika menambah bacaan surah ia tidak mampu, maka yang lebih utama adalah berdiri hanya untuk Al-Fatihah. Syaikh Abu Hamid menyebut bahwa shalat berjamaah lebih utama.Wallāhu a‘lam. Kaidah Fikih Terkait Masalah IniAda kaidah fikih yang berbunyi:الميسور لا يسقط بالمعسور“Bagian yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena ada bagian lain yang tidak mampu dilakukan.”Kaidah ini bermakna: jika sebuah perintah syariat tidak dapat dilaksanakan secara sempurna sebagaimana yang diperintahkan, karena adanya keterbatasan kemampuan, namun masih memungkinkan untuk melaksanakan sebagian bagiannya yang memang dapat dipisahkan, maka wajib melaksanakan bagian yang mampu dilakukan. Dengan kata lain, tidak boleh meninggalkan seluruh amalan hanya karena ada sebagian yang sulit atau tidak mampu dilakukan.Kaidah ini selaras dengan ayat dan hadits:Firman Allah Ta‘ala:فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم“Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Sehingga, kalau seseorang hanya mampu berdiri saat membaca Al-Fatihah, ia tetap berdiri sebatas itu, lalu duduk untuk bagian yang tidak mampu dilakukan.Baca juga: Melaksanakan Perintah Allah itu Bagaikan Obat Pahit … (Nasihat Ibnul Qayyim) KesimpulanBagi orang sakit, shalat dilakukan sesuai kemampuan: berdiri jika mampu, duduk jika tidak mampu berdiri, berbaring di sisi kanan menghadap kiblat jika tidak mampu duduk, lalu terlentang jika tidak mampu menghadap kiblat sambil memberi isyarat rukuk dan sujud. Jika tidak mampu isyarat dengan kepala, maka cukup dengan gerakan hati dan lisan sesuai kemampuan. Semua ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan, bukan memberatkan, sehingga tidak ada alasan meninggalkan shalat selama akal masih sehat. Referensi:Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair.______ Ditulis saat perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan, 21 Safar 1447 H, 14 Agustus 2025, Kamis Sore (Malam Jumat)Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat sifat shalat nabi


Shalat tetap wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim selama akal masih sehat, meskipun tubuh dalam keadaan sakit atau lemah. Islam memberi kemudahan dengan membolehkan shalat sambil duduk, berbaring, atau menggunakan isyarat jika tidak mampu berdiri. Semua ketentuan ini diatur berdasarkan dalil-dalil yang sahih dan kesepakatan para ulama. Dengan memahami panduan ini, orang sakit tetap dapat menunaikan ibadah shalat sesuai kemampuannya dan meraih pahala sempurna.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 1.1. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat fardu 1.2. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelam 1.3. Kaidah Fikih Terkait Masalah Ini 2. Kesimpulan  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، فِيهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ سَجْدَةً، وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُونَ تَكْبِيرَةً، وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ، وَعَشْرُ تَسْلِيمَاتٍ، وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُونَ تَسْبِيحَةً، وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُونَ رُكْنًا، فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُونَ رُكْنًا، وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ رُكْنًا، وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ رُكْنًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا.Jumlah rakaat shalat fardu adalah tujuh belas rakaat. Di dalamnya terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat kali takbir, sembilan kali tasyahud, sepuluh kali salam, dan seratus lima puluh tiga kali tasbih.Jika dihitung jumlah seluruh rukun shalat, totalnya ada seratus dua puluh enam rukun:Dalam shalat Subuh: tiga puluh rukun,Dalam shalat Magrib: empat puluh dua rukun,Dalam shalat yang empat rakaat: lima puluh empat rukun.Bagi orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. PenjelasanIni berlaku apabila shalat dilakukan dalam keadaan mukim (tidak safar) dan bukan pada hari Jumat. Jika di dalamnya terdapat shalat Jumat, maka jumlah rakaatnya berkurang dua rakaat. Jika shalat tersebut dilakukan dengan qashar (dalam safar), maka berkurang empat atau enam rakaat.Pernyataan bahwa shalat fardu berjumlah tujuh belas rakaat hingga akhir rincian gerakannya bisa diketahui dengan memperhatikan secara detail, namun tidak banyak faedah besar yang dihasilkan dari hitungan ini.Wallāhu a‘lam. Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat farduSiapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Imrān bin Ḥuṣain:“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi.”(Nasa’i menambahkan:)“Jika tidak mampu juga, maka terlentanglah. Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.”Para ulama juga menukil adanya ijma‘ (kesepakatan) dalam masalah ini.Perlu diketahui, yang dimaksud dengan “tidak mampu” bukanlah benar-benar mustahil secara fisik, tetapi mencakup:khawatir akan binasa,penyakit bertambah parah,timbul kesulitan berat,khawatir tenggelam,atau pusing berat bagi orang yang berada di kapal.Ukuran “tidak mampu” adalah jika timbul kesulitan yang menghilangkan kekhusyukan. Ini dinukil Imam An-Nawawi dalam Ar-Raudhah dan beliau menyetujuinya. Namun dalam Syarḥ Al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyebut bahwa pendapat mazhab justru berbeda, yaitu ukuran tidak mampu adalah tidak sanggup berdiri kecuali dengan kesulitan yang sangat berat. Ibnu Ar-Rif‘ah menegaskan: maksudnya adalah kesulitan yang benar-benar berat.Tidak ada ketentuan khusus untuk cara duduknya. Bagaimana pun cara duduknya, shalatnya sah. Namun ada dua pendapat tentang yang lebih utama:Duduk iftirasy (seperti duduk di antara dua sujud) karena lebih mendekati posisi berdiri, dan duduk bersila dianggap bentuk kemewahan.Duduk bersila lebih utama untuk membedakan duduk pengganti berdiri dari duduk aslinya dalam shalat.Jika tidak mampu duduk, maka shalat dilakukan berbaring. Menurut pendapat yang kuat, ia berbaring di sisi kanan dan wajib menghadap kiblat. Jika tidak mampu menghadap kiblat, maka ia terlentang dan memberi isyarat rukuk dan sujud ke arah kiblat. Jika tidak mampu rukuk dan sujud, maka sujudnya harus dibuat lebih rendah daripada rukuknya.Jika tidak mampu juga, maka ia memberi isyarat dengan mata karena itu batas kemampuannya. Jika bahkan tidak sanggup menggerakkan mata, maka ia cukup menjalankan seluruh gerakan shalat di dalam hati. Jika dalam keadaan ini ia masih mampu melafalkan takbir, bacaan, tasyahud, dan salam, maka ia lakukan. Jika tidak mampu, maka cukup dihadirkan dalam hati.Dalam semua keadaan tersebut, pahalanya tidak berkurang, dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih sehat. Jika ia shalat dalam kondisi seperti ini, maka tidak ada kewajiban mengulang shalatnya.Imam Al-Ghazali berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”Namun Ar-Rafi‘i mengkritisi penggunaan dalil ini dalam konteks tersebut. Meski demikian, ada pendapat yang menyebut: jika ia dalam kondisi ini, maka ia tidak shalat lalu mengulangnya. Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelamOrang yang disalib (diikat) tetap wajib shalat. Ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi‘i. Begitu pula orang yang tenggelam di laut namun bertahan di atas papan kayu, sebagaimana dinyatakan Qadhi Husain dan ulama lainnya. Cabang hukum:Jika seseorang bisa berdiri ketika shalat sendirian, tetapi jika shalat berjamaah ia harus duduk di sebagian waktu shalatnya, maka menurut Imam Asy-Syafi‘i keduanya boleh dilakukan, namun shalat sambil berdiri lebih utama demi menjaga rukun. Pendapat ini diikuti Qadhi Husain dan murid-muridnya seperti Al-Baghawi dan Al-Mutawalli, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.Mereka juga mengatakan: jika ia mampu berdiri hanya untuk membaca Al-Fatihah, tetapi jika menambah bacaan surah ia tidak mampu, maka yang lebih utama adalah berdiri hanya untuk Al-Fatihah. Syaikh Abu Hamid menyebut bahwa shalat berjamaah lebih utama.Wallāhu a‘lam. Kaidah Fikih Terkait Masalah IniAda kaidah fikih yang berbunyi:الميسور لا يسقط بالمعسور“Bagian yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena ada bagian lain yang tidak mampu dilakukan.”Kaidah ini bermakna: jika sebuah perintah syariat tidak dapat dilaksanakan secara sempurna sebagaimana yang diperintahkan, karena adanya keterbatasan kemampuan, namun masih memungkinkan untuk melaksanakan sebagian bagiannya yang memang dapat dipisahkan, maka wajib melaksanakan bagian yang mampu dilakukan. Dengan kata lain, tidak boleh meninggalkan seluruh amalan hanya karena ada sebagian yang sulit atau tidak mampu dilakukan.Kaidah ini selaras dengan ayat dan hadits:Firman Allah Ta‘ala:فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم“Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)Sehingga, kalau seseorang hanya mampu berdiri saat membaca Al-Fatihah, ia tetap berdiri sebatas itu, lalu duduk untuk bagian yang tidak mampu dilakukan.Baca juga: Melaksanakan Perintah Allah itu Bagaikan Obat Pahit … (Nasihat Ibnul Qayyim) KesimpulanBagi orang sakit, shalat dilakukan sesuai kemampuan: berdiri jika mampu, duduk jika tidak mampu berdiri, berbaring di sisi kanan menghadap kiblat jika tidak mampu duduk, lalu terlentang jika tidak mampu menghadap kiblat sambil memberi isyarat rukuk dan sujud. Jika tidak mampu isyarat dengan kepala, maka cukup dengan gerakan hati dan lisan sesuai kemampuan. Semua ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan, bukan memberatkan, sehingga tidak ada alasan meninggalkan shalat selama akal masih sehat. Referensi:Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair.______ Ditulis saat perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan, 21 Safar 1447 H, 14 Agustus 2025, Kamis Sore (Malam Jumat)Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat sifat shalat nabi

Hukum Meminang Wanita dalam Berbagai Kondisi Menurut Islam

Dalam Islam, proses pernikahan diawali dengan pinangan atau khithbah. Namun, tidak semua kondisi wanita boleh dipinang, karena syariat telah mengatur hukum pinangan sesuai statusnya—apakah ia masih lajang, sudah menikah, atau dalam masa iddah. Ada pinangan yang dibolehkan secara terang-terangan, ada pula yang hanya boleh dengan sindiran, bahkan ada yang diharamkan sama sekali. Memahami aturan ini penting agar proses menuju pernikahan tetap sesuai syariat dan terhindar dari pelanggaran.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 2. Kesimpulan Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَرَّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ، وَيَجُوزُ أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا، وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا. وَالنِّسَاءُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: ثَيِّبَاتٌ وَأَبْكَارٌ، فَالْبِكْرُ يَجُوزُ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ، وَالثَّيِّبُ لَا يَجُوزُ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهَا وَإِذْنِهَا.“Tidak boleh secara terang-terangan meminang wanita yang masih menjalani masa iddah. Namun, diperbolehkan menyampaikan pinangan secara sindiran, dan boleh menikahinya setelah masa iddahnya selesai.Wanita terbagi menjadi dua jenis:Perawan (bikr): Ayah atau kakek boleh menikahkannya tanpa persetujuannya (dalam hukum fikih klasik, ini disebut hak ijbar).Janda (tsayyib): Tidak boleh dinikahkan kecuali setelah ia baligh dan memberikan izinnya.” PenjelasanDalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan:Khithbah adalah permintaan untuk menikah.Jika seorang wanita tidak sedang menikah dan tidak dalam masa iddah, maka boleh dipinang baik secara terang-terangan (tashrih) maupun sindiran (ta‘ridh).Jika ia masih berstatus istri orang lain, maka haram meminangnya, baik terang-terangan maupun sindiran. Jika ia sedang dalam masa iddah, maka:Untuk iddah talak raj‘i: Haram meminangnya, baik dengan terang-terangan maupun sindiran, karena statusnya masih sebagai istri.Untuk iddah wafat suami, atau status yang semakna dengannya seperti talak bain atau nikah yang dibatalkan (faskh): Haram pinangan secara terang-terangan, tetapi boleh secara sindiran, sebagaimana firman Allah:﴿وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ﴾“Tidak ada dosa bagi kalian jika menyampaikan sindiran dalam meminang wanita.” (QS. Al-Baqarah: 235)Contoh dalam hadits: Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ditalak bain oleh suaminya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika masa iddahmu telah habis, beritahulah aku.”Perbedaan antara pinangan terang-terangan dan sindiran adalah:Jika terang-terangan, sudah jelas ada keinginan menikah sehingga dikhawatirkan wanita tersebut berdusta mengaku iddahnya telah selesai karena dorongan syahwat atau sebab lainnya.Jika sindiran, hal ini tidak terlalu dikhawatirkan.Dalam hal ini, sebagian ulama membedakan antara iddah yang dihitung dengan masa haid (al-aqra’) dan yang dihitung dengan bulan (asy-syuhur), namun pendapat yang lebih kuat mengatakan tidak ada perbedaan hukumnya.Contoh kata-kata pinangan terang-terangan:“Aku ingin menikahimu.”“Jika masa iddahmu selesai, aku akan menikahimu.”Contoh kata-kata sindiran:“Mungkin ada yang tertarik padamu.”“Jika masa iddahmu selesai, kabari aku.”“Siapa yang akan mendapatkan wanita seperti dirimu?”Semua pembahasan ini berlaku jika yang meminang bukan mantan suami yang berhak rujuk. Adapun jika yang meminang adalah mantan suami yang masih boleh menikahinya dalam masa iddah (seperti talak raj‘i), maka ia boleh meminang secara terang-terangan. KesimpulanIslam membedakan hukum meminang berdasarkan kondisi wanita—apakah tidak menikah, masih berstatus istri, atau sedang dalam masa iddah. Pinangan bisa dilakukan dengan dua cara: terang-terangan (tashrih) atau sindiran (ta‘ridh), masing-masing memiliki aturan tersendiri. Dengan memahami ketentuan ini, seorang Muslim dapat menjaga kehormatan, menghindari dosa, dan menempuh jalan pernikahan yang diridai Allah.Referensi:Abu Syujak, Ahmad bin Al-Husain. (t.t.). Matn Abi Syujak al-musamma al-Ghayah wa al-Taqrib. ‘Alam al-Kutub.Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair. _____ Ditulis pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah melamar melamar nikah meminang menikah syarat nikah wali nikah

Hukum Meminang Wanita dalam Berbagai Kondisi Menurut Islam

Dalam Islam, proses pernikahan diawali dengan pinangan atau khithbah. Namun, tidak semua kondisi wanita boleh dipinang, karena syariat telah mengatur hukum pinangan sesuai statusnya—apakah ia masih lajang, sudah menikah, atau dalam masa iddah. Ada pinangan yang dibolehkan secara terang-terangan, ada pula yang hanya boleh dengan sindiran, bahkan ada yang diharamkan sama sekali. Memahami aturan ini penting agar proses menuju pernikahan tetap sesuai syariat dan terhindar dari pelanggaran.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 2. Kesimpulan Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَرَّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ، وَيَجُوزُ أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا، وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا. وَالنِّسَاءُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: ثَيِّبَاتٌ وَأَبْكَارٌ، فَالْبِكْرُ يَجُوزُ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ، وَالثَّيِّبُ لَا يَجُوزُ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهَا وَإِذْنِهَا.“Tidak boleh secara terang-terangan meminang wanita yang masih menjalani masa iddah. Namun, diperbolehkan menyampaikan pinangan secara sindiran, dan boleh menikahinya setelah masa iddahnya selesai.Wanita terbagi menjadi dua jenis:Perawan (bikr): Ayah atau kakek boleh menikahkannya tanpa persetujuannya (dalam hukum fikih klasik, ini disebut hak ijbar).Janda (tsayyib): Tidak boleh dinikahkan kecuali setelah ia baligh dan memberikan izinnya.” PenjelasanDalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan:Khithbah adalah permintaan untuk menikah.Jika seorang wanita tidak sedang menikah dan tidak dalam masa iddah, maka boleh dipinang baik secara terang-terangan (tashrih) maupun sindiran (ta‘ridh).Jika ia masih berstatus istri orang lain, maka haram meminangnya, baik terang-terangan maupun sindiran. Jika ia sedang dalam masa iddah, maka:Untuk iddah talak raj‘i: Haram meminangnya, baik dengan terang-terangan maupun sindiran, karena statusnya masih sebagai istri.Untuk iddah wafat suami, atau status yang semakna dengannya seperti talak bain atau nikah yang dibatalkan (faskh): Haram pinangan secara terang-terangan, tetapi boleh secara sindiran, sebagaimana firman Allah:﴿وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ﴾“Tidak ada dosa bagi kalian jika menyampaikan sindiran dalam meminang wanita.” (QS. Al-Baqarah: 235)Contoh dalam hadits: Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ditalak bain oleh suaminya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika masa iddahmu telah habis, beritahulah aku.”Perbedaan antara pinangan terang-terangan dan sindiran adalah:Jika terang-terangan, sudah jelas ada keinginan menikah sehingga dikhawatirkan wanita tersebut berdusta mengaku iddahnya telah selesai karena dorongan syahwat atau sebab lainnya.Jika sindiran, hal ini tidak terlalu dikhawatirkan.Dalam hal ini, sebagian ulama membedakan antara iddah yang dihitung dengan masa haid (al-aqra’) dan yang dihitung dengan bulan (asy-syuhur), namun pendapat yang lebih kuat mengatakan tidak ada perbedaan hukumnya.Contoh kata-kata pinangan terang-terangan:“Aku ingin menikahimu.”“Jika masa iddahmu selesai, aku akan menikahimu.”Contoh kata-kata sindiran:“Mungkin ada yang tertarik padamu.”“Jika masa iddahmu selesai, kabari aku.”“Siapa yang akan mendapatkan wanita seperti dirimu?”Semua pembahasan ini berlaku jika yang meminang bukan mantan suami yang berhak rujuk. Adapun jika yang meminang adalah mantan suami yang masih boleh menikahinya dalam masa iddah (seperti talak raj‘i), maka ia boleh meminang secara terang-terangan. KesimpulanIslam membedakan hukum meminang berdasarkan kondisi wanita—apakah tidak menikah, masih berstatus istri, atau sedang dalam masa iddah. Pinangan bisa dilakukan dengan dua cara: terang-terangan (tashrih) atau sindiran (ta‘ridh), masing-masing memiliki aturan tersendiri. Dengan memahami ketentuan ini, seorang Muslim dapat menjaga kehormatan, menghindari dosa, dan menempuh jalan pernikahan yang diridai Allah.Referensi:Abu Syujak, Ahmad bin Al-Husain. (t.t.). Matn Abi Syujak al-musamma al-Ghayah wa al-Taqrib. ‘Alam al-Kutub.Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair. _____ Ditulis pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah melamar melamar nikah meminang menikah syarat nikah wali nikah
Dalam Islam, proses pernikahan diawali dengan pinangan atau khithbah. Namun, tidak semua kondisi wanita boleh dipinang, karena syariat telah mengatur hukum pinangan sesuai statusnya—apakah ia masih lajang, sudah menikah, atau dalam masa iddah. Ada pinangan yang dibolehkan secara terang-terangan, ada pula yang hanya boleh dengan sindiran, bahkan ada yang diharamkan sama sekali. Memahami aturan ini penting agar proses menuju pernikahan tetap sesuai syariat dan terhindar dari pelanggaran.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 2. Kesimpulan Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَرَّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ، وَيَجُوزُ أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا، وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا. وَالنِّسَاءُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: ثَيِّبَاتٌ وَأَبْكَارٌ، فَالْبِكْرُ يَجُوزُ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ، وَالثَّيِّبُ لَا يَجُوزُ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهَا وَإِذْنِهَا.“Tidak boleh secara terang-terangan meminang wanita yang masih menjalani masa iddah. Namun, diperbolehkan menyampaikan pinangan secara sindiran, dan boleh menikahinya setelah masa iddahnya selesai.Wanita terbagi menjadi dua jenis:Perawan (bikr): Ayah atau kakek boleh menikahkannya tanpa persetujuannya (dalam hukum fikih klasik, ini disebut hak ijbar).Janda (tsayyib): Tidak boleh dinikahkan kecuali setelah ia baligh dan memberikan izinnya.” PenjelasanDalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan:Khithbah adalah permintaan untuk menikah.Jika seorang wanita tidak sedang menikah dan tidak dalam masa iddah, maka boleh dipinang baik secara terang-terangan (tashrih) maupun sindiran (ta‘ridh).Jika ia masih berstatus istri orang lain, maka haram meminangnya, baik terang-terangan maupun sindiran. Jika ia sedang dalam masa iddah, maka:Untuk iddah talak raj‘i: Haram meminangnya, baik dengan terang-terangan maupun sindiran, karena statusnya masih sebagai istri.Untuk iddah wafat suami, atau status yang semakna dengannya seperti talak bain atau nikah yang dibatalkan (faskh): Haram pinangan secara terang-terangan, tetapi boleh secara sindiran, sebagaimana firman Allah:﴿وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ﴾“Tidak ada dosa bagi kalian jika menyampaikan sindiran dalam meminang wanita.” (QS. Al-Baqarah: 235)Contoh dalam hadits: Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ditalak bain oleh suaminya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika masa iddahmu telah habis, beritahulah aku.”Perbedaan antara pinangan terang-terangan dan sindiran adalah:Jika terang-terangan, sudah jelas ada keinginan menikah sehingga dikhawatirkan wanita tersebut berdusta mengaku iddahnya telah selesai karena dorongan syahwat atau sebab lainnya.Jika sindiran, hal ini tidak terlalu dikhawatirkan.Dalam hal ini, sebagian ulama membedakan antara iddah yang dihitung dengan masa haid (al-aqra’) dan yang dihitung dengan bulan (asy-syuhur), namun pendapat yang lebih kuat mengatakan tidak ada perbedaan hukumnya.Contoh kata-kata pinangan terang-terangan:“Aku ingin menikahimu.”“Jika masa iddahmu selesai, aku akan menikahimu.”Contoh kata-kata sindiran:“Mungkin ada yang tertarik padamu.”“Jika masa iddahmu selesai, kabari aku.”“Siapa yang akan mendapatkan wanita seperti dirimu?”Semua pembahasan ini berlaku jika yang meminang bukan mantan suami yang berhak rujuk. Adapun jika yang meminang adalah mantan suami yang masih boleh menikahinya dalam masa iddah (seperti talak raj‘i), maka ia boleh meminang secara terang-terangan. KesimpulanIslam membedakan hukum meminang berdasarkan kondisi wanita—apakah tidak menikah, masih berstatus istri, atau sedang dalam masa iddah. Pinangan bisa dilakukan dengan dua cara: terang-terangan (tashrih) atau sindiran (ta‘ridh), masing-masing memiliki aturan tersendiri. Dengan memahami ketentuan ini, seorang Muslim dapat menjaga kehormatan, menghindari dosa, dan menempuh jalan pernikahan yang diridai Allah.Referensi:Abu Syujak, Ahmad bin Al-Husain. (t.t.). Matn Abi Syujak al-musamma al-Ghayah wa al-Taqrib. ‘Alam al-Kutub.Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair. _____ Ditulis pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah melamar melamar nikah meminang menikah syarat nikah wali nikah


Dalam Islam, proses pernikahan diawali dengan pinangan atau khithbah. Namun, tidak semua kondisi wanita boleh dipinang, karena syariat telah mengatur hukum pinangan sesuai statusnya—apakah ia masih lajang, sudah menikah, atau dalam masa iddah. Ada pinangan yang dibolehkan secara terang-terangan, ada pula yang hanya boleh dengan sindiran, bahkan ada yang diharamkan sama sekali. Memahami aturan ini penting agar proses menuju pernikahan tetap sesuai syariat dan terhindar dari pelanggaran.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan 2. Kesimpulan Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَرَّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ، وَيَجُوزُ أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا، وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا. وَالنِّسَاءُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: ثَيِّبَاتٌ وَأَبْكَارٌ، فَالْبِكْرُ يَجُوزُ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ، وَالثَّيِّبُ لَا يَجُوزُ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهَا وَإِذْنِهَا.“Tidak boleh secara terang-terangan meminang wanita yang masih menjalani masa iddah. Namun, diperbolehkan menyampaikan pinangan secara sindiran, dan boleh menikahinya setelah masa iddahnya selesai.Wanita terbagi menjadi dua jenis:Perawan (bikr): Ayah atau kakek boleh menikahkannya tanpa persetujuannya (dalam hukum fikih klasik, ini disebut hak ijbar).Janda (tsayyib): Tidak boleh dinikahkan kecuali setelah ia baligh dan memberikan izinnya.” PenjelasanDalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan:Khithbah adalah permintaan untuk menikah.Jika seorang wanita tidak sedang menikah dan tidak dalam masa iddah, maka boleh dipinang baik secara terang-terangan (tashrih) maupun sindiran (ta‘ridh).Jika ia masih berstatus istri orang lain, maka haram meminangnya, baik terang-terangan maupun sindiran. Jika ia sedang dalam masa iddah, maka:Untuk iddah talak raj‘i: Haram meminangnya, baik dengan terang-terangan maupun sindiran, karena statusnya masih sebagai istri.Untuk iddah wafat suami, atau status yang semakna dengannya seperti talak bain atau nikah yang dibatalkan (faskh): Haram pinangan secara terang-terangan, tetapi boleh secara sindiran, sebagaimana firman Allah:﴿وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ﴾“Tidak ada dosa bagi kalian jika menyampaikan sindiran dalam meminang wanita.” (QS. Al-Baqarah: 235)Contoh dalam hadits: Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ditalak bain oleh suaminya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika masa iddahmu telah habis, beritahulah aku.”Perbedaan antara pinangan terang-terangan dan sindiran adalah:Jika terang-terangan, sudah jelas ada keinginan menikah sehingga dikhawatirkan wanita tersebut berdusta mengaku iddahnya telah selesai karena dorongan syahwat atau sebab lainnya.Jika sindiran, hal ini tidak terlalu dikhawatirkan.Dalam hal ini, sebagian ulama membedakan antara iddah yang dihitung dengan masa haid (al-aqra’) dan yang dihitung dengan bulan (asy-syuhur), namun pendapat yang lebih kuat mengatakan tidak ada perbedaan hukumnya.Contoh kata-kata pinangan terang-terangan:“Aku ingin menikahimu.”“Jika masa iddahmu selesai, aku akan menikahimu.”Contoh kata-kata sindiran:“Mungkin ada yang tertarik padamu.”“Jika masa iddahmu selesai, kabari aku.”“Siapa yang akan mendapatkan wanita seperti dirimu?”Semua pembahasan ini berlaku jika yang meminang bukan mantan suami yang berhak rujuk. Adapun jika yang meminang adalah mantan suami yang masih boleh menikahinya dalam masa iddah (seperti talak raj‘i), maka ia boleh meminang secara terang-terangan. KesimpulanIslam membedakan hukum meminang berdasarkan kondisi wanita—apakah tidak menikah, masih berstatus istri, atau sedang dalam masa iddah. Pinangan bisa dilakukan dengan dua cara: terang-terangan (tashrih) atau sindiran (ta‘ridh), masing-masing memiliki aturan tersendiri. Dengan memahami ketentuan ini, seorang Muslim dapat menjaga kehormatan, menghindari dosa, dan menempuh jalan pernikahan yang diridai Allah.Referensi:Abu Syujak, Ahmad bin Al-Husain. (t.t.). Matn Abi Syujak al-musamma al-Ghayah wa al-Taqrib. ‘Alam al-Kutub.Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair. _____ Ditulis pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah melamar melamar nikah meminang menikah syarat nikah wali nikah

Cara Paling Mudah Masuk Surga dan Dicintai Allah – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Jadi, jika engkau ingin benar-benar dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, kerjakanlah amalan-amalan wajib. Cukup itu saja. Disebutkan dalam Ash-Shahih dari hadis Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang diwajibkan Allah kepadaku?” Beliau menjawab, “Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah.” Ia bertanya lagi, “Apakah ada lagi?” Beliau menjawab, “Mendirikan salat lima waktu.” Ia bertanya, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” Ia bertanya, “Apa lagi selain itu?” Beliau menjawab, “Menunaikan zakat hartamu.” Ia bertanya lagi, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” “Juga berpuasa Ramadan. Tidak ada tambahan, kecuali jika engkau ingin melakukan amalan sunnah. Demikian pula dalam ibadah haji.” Lelaki itu lalu pergi meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk kepadanya dan bersabda: “Barang siapa ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga, hendaklah ia melihat orang ini.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jika kamu telah menjalankan semua amalan wajib dengan benar, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan mencintaimu. Namun, manusia tidak berada pada satu tingkatan yang sama, sebagaimana surga juga tidak hanya satu tingkatan saja. ===== إِذًا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُحِبَّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْحَقِيقَةِ فَأْتِ بِالْفَرَائِضِ فَقَطْ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ؟ قَالَ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ هَلْ غَيْرَ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ قَالَ مَاذَا غَيْرُ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاةَ مَالِكَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ وَفِي صَوْمِ رَمَضَانَ لَا تَزِيدُ إِلَّا تَطَّوَّعَ وَالْحَجَّ مِثْلَ ذَلِكَ فَأَدْبَرَ ذَلِكُمُ الرَّجُلُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا إِذَا أَتَيْتَ بِالْفَرَائِضِ عَلَى وَجْهِهَا فَأَنْتَ الَّذِي سَيُحِبُّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا عَلَى دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا أَنَّ الْجَنَّةَ لَيْسَتْ دَرَجَةً وَاحِدَةً

Cara Paling Mudah Masuk Surga dan Dicintai Allah – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Jadi, jika engkau ingin benar-benar dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, kerjakanlah amalan-amalan wajib. Cukup itu saja. Disebutkan dalam Ash-Shahih dari hadis Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang diwajibkan Allah kepadaku?” Beliau menjawab, “Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah.” Ia bertanya lagi, “Apakah ada lagi?” Beliau menjawab, “Mendirikan salat lima waktu.” Ia bertanya, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” Ia bertanya, “Apa lagi selain itu?” Beliau menjawab, “Menunaikan zakat hartamu.” Ia bertanya lagi, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” “Juga berpuasa Ramadan. Tidak ada tambahan, kecuali jika engkau ingin melakukan amalan sunnah. Demikian pula dalam ibadah haji.” Lelaki itu lalu pergi meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk kepadanya dan bersabda: “Barang siapa ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga, hendaklah ia melihat orang ini.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jika kamu telah menjalankan semua amalan wajib dengan benar, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan mencintaimu. Namun, manusia tidak berada pada satu tingkatan yang sama, sebagaimana surga juga tidak hanya satu tingkatan saja. ===== إِذًا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُحِبَّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْحَقِيقَةِ فَأْتِ بِالْفَرَائِضِ فَقَطْ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ؟ قَالَ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ هَلْ غَيْرَ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ قَالَ مَاذَا غَيْرُ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاةَ مَالِكَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ وَفِي صَوْمِ رَمَضَانَ لَا تَزِيدُ إِلَّا تَطَّوَّعَ وَالْحَجَّ مِثْلَ ذَلِكَ فَأَدْبَرَ ذَلِكُمُ الرَّجُلُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا إِذَا أَتَيْتَ بِالْفَرَائِضِ عَلَى وَجْهِهَا فَأَنْتَ الَّذِي سَيُحِبُّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا عَلَى دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا أَنَّ الْجَنَّةَ لَيْسَتْ دَرَجَةً وَاحِدَةً
Jadi, jika engkau ingin benar-benar dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, kerjakanlah amalan-amalan wajib. Cukup itu saja. Disebutkan dalam Ash-Shahih dari hadis Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang diwajibkan Allah kepadaku?” Beliau menjawab, “Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah.” Ia bertanya lagi, “Apakah ada lagi?” Beliau menjawab, “Mendirikan salat lima waktu.” Ia bertanya, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” Ia bertanya, “Apa lagi selain itu?” Beliau menjawab, “Menunaikan zakat hartamu.” Ia bertanya lagi, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” “Juga berpuasa Ramadan. Tidak ada tambahan, kecuali jika engkau ingin melakukan amalan sunnah. Demikian pula dalam ibadah haji.” Lelaki itu lalu pergi meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk kepadanya dan bersabda: “Barang siapa ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga, hendaklah ia melihat orang ini.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jika kamu telah menjalankan semua amalan wajib dengan benar, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan mencintaimu. Namun, manusia tidak berada pada satu tingkatan yang sama, sebagaimana surga juga tidak hanya satu tingkatan saja. ===== إِذًا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُحِبَّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْحَقِيقَةِ فَأْتِ بِالْفَرَائِضِ فَقَطْ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ؟ قَالَ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ هَلْ غَيْرَ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ قَالَ مَاذَا غَيْرُ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاةَ مَالِكَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ وَفِي صَوْمِ رَمَضَانَ لَا تَزِيدُ إِلَّا تَطَّوَّعَ وَالْحَجَّ مِثْلَ ذَلِكَ فَأَدْبَرَ ذَلِكُمُ الرَّجُلُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا إِذَا أَتَيْتَ بِالْفَرَائِضِ عَلَى وَجْهِهَا فَأَنْتَ الَّذِي سَيُحِبُّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا عَلَى دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا أَنَّ الْجَنَّةَ لَيْسَتْ دَرَجَةً وَاحِدَةً


Jadi, jika engkau ingin benar-benar dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, kerjakanlah amalan-amalan wajib. Cukup itu saja. Disebutkan dalam Ash-Shahih dari hadis Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang diwajibkan Allah kepadaku?” Beliau menjawab, “Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah.” Ia bertanya lagi, “Apakah ada lagi?” Beliau menjawab, “Mendirikan salat lima waktu.” Ia bertanya, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” Ia bertanya, “Apa lagi selain itu?” Beliau menjawab, “Menunaikan zakat hartamu.” Ia bertanya lagi, “Adakah kewajiban lain atasku?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin melakukan amalan sunnah.” “Juga berpuasa Ramadan. Tidak ada tambahan, kecuali jika engkau ingin melakukan amalan sunnah. Demikian pula dalam ibadah haji.” Lelaki itu lalu pergi meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk kepadanya dan bersabda: “Barang siapa ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga, hendaklah ia melihat orang ini.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jika kamu telah menjalankan semua amalan wajib dengan benar, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan mencintaimu. Namun, manusia tidak berada pada satu tingkatan yang sama, sebagaimana surga juga tidak hanya satu tingkatan saja. ===== إِذًا إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُحِبَّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْحَقِيقَةِ فَأْتِ بِالْفَرَائِضِ فَقَطْ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ؟ قَالَ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ هَلْ غَيْرَ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ قَالَ مَاذَا غَيْرُ ذَلِكَ؟ قَالَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاةَ مَالِكَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ وَفِي صَوْمِ رَمَضَانَ لَا تَزِيدُ إِلَّا تَطَّوَّعَ وَالْحَجَّ مِثْلَ ذَلِكَ فَأَدْبَرَ ذَلِكُمُ الرَّجُلُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا إِذَا أَتَيْتَ بِالْفَرَائِضِ عَلَى وَجْهِهَا فَأَنْتَ الَّذِي سَيُحِبُّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا عَلَى دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا أَنَّ الْجَنَّةَ لَيْسَتْ دَرَجَةً وَاحِدَةً

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 1): Sikap Tenang dan Rendah Hati

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا“Dan hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapanya, mereka hanya membalasnya dengan mengucapkan perkataan yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)Termasuk sifat ‘ibadur-rahman (hamba-hamba Ar-Rahman) dan keindahaan akhlak mereka adalah ketawadukan mereka kepada Allah Jalla Jalaluh dan hamba-hamba Allah. Mereka senantiasa berjalan dengan rendah hati, penuh ketenangan dan kewibawaan. Ketawadukan yang tampak dari cara mereka berjalan dan selalu menjaga penampilan adalah buah dari keimanan dan pengaruh yang timbul darinya.Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan terkait ayat ini, “Yang dimaksud ( ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا ) “Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” adalah disertai ketaatan, memaafkan, dan ketawadukan (rendah hati).” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, 17: 491)Di antara bentuk sikap tawaduk dan tenang, jika mereka dihalangi oleh orang bodoh dan buruk akhlaknya di perjalanan, maka mereka hanya membalasnya dengan perkataan yang baik, jauh dari sikap bodoh dan gegabah. Inilah makna firman Allah ‘Azza wa Jalla ( وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا ) “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan”, yaitu, ucapan yang menyelamatkan mereka dari dosa dan hal-hal yang sia-sia.Dengan begitu, sejatinya mereka telah menjaga diri mereka dari dua macam ketergelinciran: tergelincirnya kaki (perbuatan) dan tergelincirnya lidah (ucapan).Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Ketergelinciran itu ada dua macam, yaitu tergelincirnya kaki dan lisan, sehingga dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keduanya secara berdampingan,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًاAllah menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang lurus (baik) dalam setiap ucapan maupun langkahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 376)Mereka pun tidak membalas orang-orang bodoh dengan kebodohan serupa. Sebaliknya, mereka justru berpaling dan menghindari interaksi dengan mereka. Jika pun harus membalas, mereka memilih perkataan yang jauh dari celaan dan keburukan. Mereka menolak keburukan dengan kebaikan. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fussilat: 34-35)Manusia memiliki tingkatan yang relatif berbeda-beda dalam masalah akhlak dan interaksinya dengan orang lain. Seorang muslim dituntut untuk selalu memperindah akhlaknya, menjaga agamanya dengan baik, serta menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan tentang hamba-hamba Ar-Rahman dalam ayat sebelumnya, yakni membalas keburukan dengan kebaikan serta bersikap tawaduk (rendah hati) kepada siapapun, bagaimanapun akhlak mereka.Sebelum itu, sepatutnya seseorang supaya memohon pertolongan kepada Allah dalam semua urusannya. Ia hendaknya berdoa agar Allah memberinya akhlak yang baik, serta menjauhkan darinya akhlak yang buruk. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau senantiasa berdoa dalam doa istiftah,ٱهْدِنِي لِأَحْسَنِ ٱلْأَخْلَاقِ، لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَٱصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا، لَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ“Ya Allah, tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik, karena tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk, karena tidak ada yang dapat menjauhkannya dariku kecuali Engkau.” (HR. Muslim no. 771)Begitu pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada umatnya ketika hendak keluar rumah untuk berdoa,اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak tergelincir atau digelincirkan, agar aku tidak tersesat atau disesatkan, agar aku tidak menzalimi atau dizalimi, agar aku tidak melakukan kebodohan atau diperlakukan bodoh oleh orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3477, An-Nasa’i no. 5486. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4709)Dan di dalam doa yang penuh dengan keberkahan ini, bisa menjadi pelindung bagi seorang hamba agar tidak melakukan kebodohan terhadap orang lain, dan agar ia pun selamat dari kebodohan yang dilakukan orang lain terhadapnya.[Bersambung]Baca juga: Jadilah Hamba Allah Yang Bersyukur***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 7-10.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 1): Sikap Tenang dan Rendah Hati

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا“Dan hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapanya, mereka hanya membalasnya dengan mengucapkan perkataan yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)Termasuk sifat ‘ibadur-rahman (hamba-hamba Ar-Rahman) dan keindahaan akhlak mereka adalah ketawadukan mereka kepada Allah Jalla Jalaluh dan hamba-hamba Allah. Mereka senantiasa berjalan dengan rendah hati, penuh ketenangan dan kewibawaan. Ketawadukan yang tampak dari cara mereka berjalan dan selalu menjaga penampilan adalah buah dari keimanan dan pengaruh yang timbul darinya.Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan terkait ayat ini, “Yang dimaksud ( ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا ) “Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” adalah disertai ketaatan, memaafkan, dan ketawadukan (rendah hati).” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, 17: 491)Di antara bentuk sikap tawaduk dan tenang, jika mereka dihalangi oleh orang bodoh dan buruk akhlaknya di perjalanan, maka mereka hanya membalasnya dengan perkataan yang baik, jauh dari sikap bodoh dan gegabah. Inilah makna firman Allah ‘Azza wa Jalla ( وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا ) “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan”, yaitu, ucapan yang menyelamatkan mereka dari dosa dan hal-hal yang sia-sia.Dengan begitu, sejatinya mereka telah menjaga diri mereka dari dua macam ketergelinciran: tergelincirnya kaki (perbuatan) dan tergelincirnya lidah (ucapan).Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Ketergelinciran itu ada dua macam, yaitu tergelincirnya kaki dan lisan, sehingga dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keduanya secara berdampingan,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًاAllah menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang lurus (baik) dalam setiap ucapan maupun langkahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 376)Mereka pun tidak membalas orang-orang bodoh dengan kebodohan serupa. Sebaliknya, mereka justru berpaling dan menghindari interaksi dengan mereka. Jika pun harus membalas, mereka memilih perkataan yang jauh dari celaan dan keburukan. Mereka menolak keburukan dengan kebaikan. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fussilat: 34-35)Manusia memiliki tingkatan yang relatif berbeda-beda dalam masalah akhlak dan interaksinya dengan orang lain. Seorang muslim dituntut untuk selalu memperindah akhlaknya, menjaga agamanya dengan baik, serta menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan tentang hamba-hamba Ar-Rahman dalam ayat sebelumnya, yakni membalas keburukan dengan kebaikan serta bersikap tawaduk (rendah hati) kepada siapapun, bagaimanapun akhlak mereka.Sebelum itu, sepatutnya seseorang supaya memohon pertolongan kepada Allah dalam semua urusannya. Ia hendaknya berdoa agar Allah memberinya akhlak yang baik, serta menjauhkan darinya akhlak yang buruk. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau senantiasa berdoa dalam doa istiftah,ٱهْدِنِي لِأَحْسَنِ ٱلْأَخْلَاقِ، لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَٱصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا، لَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ“Ya Allah, tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik, karena tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk, karena tidak ada yang dapat menjauhkannya dariku kecuali Engkau.” (HR. Muslim no. 771)Begitu pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada umatnya ketika hendak keluar rumah untuk berdoa,اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak tergelincir atau digelincirkan, agar aku tidak tersesat atau disesatkan, agar aku tidak menzalimi atau dizalimi, agar aku tidak melakukan kebodohan atau diperlakukan bodoh oleh orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3477, An-Nasa’i no. 5486. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4709)Dan di dalam doa yang penuh dengan keberkahan ini, bisa menjadi pelindung bagi seorang hamba agar tidak melakukan kebodohan terhadap orang lain, dan agar ia pun selamat dari kebodohan yang dilakukan orang lain terhadapnya.[Bersambung]Baca juga: Jadilah Hamba Allah Yang Bersyukur***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 7-10.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا“Dan hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapanya, mereka hanya membalasnya dengan mengucapkan perkataan yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)Termasuk sifat ‘ibadur-rahman (hamba-hamba Ar-Rahman) dan keindahaan akhlak mereka adalah ketawadukan mereka kepada Allah Jalla Jalaluh dan hamba-hamba Allah. Mereka senantiasa berjalan dengan rendah hati, penuh ketenangan dan kewibawaan. Ketawadukan yang tampak dari cara mereka berjalan dan selalu menjaga penampilan adalah buah dari keimanan dan pengaruh yang timbul darinya.Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan terkait ayat ini, “Yang dimaksud ( ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا ) “Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” adalah disertai ketaatan, memaafkan, dan ketawadukan (rendah hati).” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, 17: 491)Di antara bentuk sikap tawaduk dan tenang, jika mereka dihalangi oleh orang bodoh dan buruk akhlaknya di perjalanan, maka mereka hanya membalasnya dengan perkataan yang baik, jauh dari sikap bodoh dan gegabah. Inilah makna firman Allah ‘Azza wa Jalla ( وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا ) “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan”, yaitu, ucapan yang menyelamatkan mereka dari dosa dan hal-hal yang sia-sia.Dengan begitu, sejatinya mereka telah menjaga diri mereka dari dua macam ketergelinciran: tergelincirnya kaki (perbuatan) dan tergelincirnya lidah (ucapan).Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Ketergelinciran itu ada dua macam, yaitu tergelincirnya kaki dan lisan, sehingga dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keduanya secara berdampingan,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًاAllah menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang lurus (baik) dalam setiap ucapan maupun langkahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 376)Mereka pun tidak membalas orang-orang bodoh dengan kebodohan serupa. Sebaliknya, mereka justru berpaling dan menghindari interaksi dengan mereka. Jika pun harus membalas, mereka memilih perkataan yang jauh dari celaan dan keburukan. Mereka menolak keburukan dengan kebaikan. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fussilat: 34-35)Manusia memiliki tingkatan yang relatif berbeda-beda dalam masalah akhlak dan interaksinya dengan orang lain. Seorang muslim dituntut untuk selalu memperindah akhlaknya, menjaga agamanya dengan baik, serta menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan tentang hamba-hamba Ar-Rahman dalam ayat sebelumnya, yakni membalas keburukan dengan kebaikan serta bersikap tawaduk (rendah hati) kepada siapapun, bagaimanapun akhlak mereka.Sebelum itu, sepatutnya seseorang supaya memohon pertolongan kepada Allah dalam semua urusannya. Ia hendaknya berdoa agar Allah memberinya akhlak yang baik, serta menjauhkan darinya akhlak yang buruk. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau senantiasa berdoa dalam doa istiftah,ٱهْدِنِي لِأَحْسَنِ ٱلْأَخْلَاقِ، لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَٱصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا، لَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ“Ya Allah, tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik, karena tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk, karena tidak ada yang dapat menjauhkannya dariku kecuali Engkau.” (HR. Muslim no. 771)Begitu pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada umatnya ketika hendak keluar rumah untuk berdoa,اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak tergelincir atau digelincirkan, agar aku tidak tersesat atau disesatkan, agar aku tidak menzalimi atau dizalimi, agar aku tidak melakukan kebodohan atau diperlakukan bodoh oleh orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3477, An-Nasa’i no. 5486. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4709)Dan di dalam doa yang penuh dengan keberkahan ini, bisa menjadi pelindung bagi seorang hamba agar tidak melakukan kebodohan terhadap orang lain, dan agar ia pun selamat dari kebodohan yang dilakukan orang lain terhadapnya.[Bersambung]Baca juga: Jadilah Hamba Allah Yang Bersyukur***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 7-10.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا“Dan hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapanya, mereka hanya membalasnya dengan mengucapkan perkataan yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)Termasuk sifat ‘ibadur-rahman (hamba-hamba Ar-Rahman) dan keindahaan akhlak mereka adalah ketawadukan mereka kepada Allah Jalla Jalaluh dan hamba-hamba Allah. Mereka senantiasa berjalan dengan rendah hati, penuh ketenangan dan kewibawaan. Ketawadukan yang tampak dari cara mereka berjalan dan selalu menjaga penampilan adalah buah dari keimanan dan pengaruh yang timbul darinya.Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan terkait ayat ini, “Yang dimaksud ( ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا ) “Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” adalah disertai ketaatan, memaafkan, dan ketawadukan (rendah hati).” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, 17: 491)Di antara bentuk sikap tawaduk dan tenang, jika mereka dihalangi oleh orang bodoh dan buruk akhlaknya di perjalanan, maka mereka hanya membalasnya dengan perkataan yang baik, jauh dari sikap bodoh dan gegabah. Inilah makna firman Allah ‘Azza wa Jalla ( وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا ) “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan”, yaitu, ucapan yang menyelamatkan mereka dari dosa dan hal-hal yang sia-sia.Dengan begitu, sejatinya mereka telah menjaga diri mereka dari dua macam ketergelinciran: tergelincirnya kaki (perbuatan) dan tergelincirnya lidah (ucapan).Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Ketergelinciran itu ada dua macam, yaitu tergelincirnya kaki dan lisan, sehingga dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keduanya secara berdampingan,وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًاAllah menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang lurus (baik) dalam setiap ucapan maupun langkahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 376)Mereka pun tidak membalas orang-orang bodoh dengan kebodohan serupa. Sebaliknya, mereka justru berpaling dan menghindari interaksi dengan mereka. Jika pun harus membalas, mereka memilih perkataan yang jauh dari celaan dan keburukan. Mereka menolak keburukan dengan kebaikan. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fussilat: 34-35)Manusia memiliki tingkatan yang relatif berbeda-beda dalam masalah akhlak dan interaksinya dengan orang lain. Seorang muslim dituntut untuk selalu memperindah akhlaknya, menjaga agamanya dengan baik, serta menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan tentang hamba-hamba Ar-Rahman dalam ayat sebelumnya, yakni membalas keburukan dengan kebaikan serta bersikap tawaduk (rendah hati) kepada siapapun, bagaimanapun akhlak mereka.Sebelum itu, sepatutnya seseorang supaya memohon pertolongan kepada Allah dalam semua urusannya. Ia hendaknya berdoa agar Allah memberinya akhlak yang baik, serta menjauhkan darinya akhlak yang buruk. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau senantiasa berdoa dalam doa istiftah,ٱهْدِنِي لِأَحْسَنِ ٱلْأَخْلَاقِ، لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَٱصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا، لَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ“Ya Allah, tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik, karena tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk, karena tidak ada yang dapat menjauhkannya dariku kecuali Engkau.” (HR. Muslim no. 771)Begitu pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada umatnya ketika hendak keluar rumah untuk berdoa,اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak tergelincir atau digelincirkan, agar aku tidak tersesat atau disesatkan, agar aku tidak menzalimi atau dizalimi, agar aku tidak melakukan kebodohan atau diperlakukan bodoh oleh orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3477, An-Nasa’i no. 5486. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4709)Dan di dalam doa yang penuh dengan keberkahan ini, bisa menjadi pelindung bagi seorang hamba agar tidak melakukan kebodohan terhadap orang lain, dan agar ia pun selamat dari kebodohan yang dilakukan orang lain terhadapnya.[Bersambung]Baca juga: Jadilah Hamba Allah Yang Bersyukur***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 7-10.

Rahasia Amalan Termudah Pahala Melimpah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Amma ba’du. Wahai saudara-saudaraku yang mulia, Saya hendak mengingatkan kalian tentang suatu amalan yang agung, yang ringan dan mudah dilakukan oleh seorang hamba, tapi sangat besar manfaat dan dampaknya. Dengan amalan ini, seseorang akan meraih pahala yang melimpah dan ganjaran yang besar. Amalan tersebut adalah zikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, tapi berat dalam timbangan, dan dicintai oleh Allah Ar-Rahman: Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘azhim.” (HR. Bukhari & Muslim). Banyak nash yang mendorong kita untuk berzikir kepada Allah Jalla wa ‘Ala dan anjuran kuat untuk memperbanyaknya. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,“Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian…” (QS. Al-Baqarah: 152). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41–42) Dalam rincian tentang golongan orang-orang beriman, Allah juga berfirman: “…dan laki-laki serta perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Berdasarkan ini, seorang mukmin hendaknya punya keinginan kuat untuk menjadi orang yang banyak berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena dengan berzikir, hati menjadi tenang, sebagaimana firman-Nya:“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Zikir kepada Allah termasuk sebab yang mendatangkan keridhaan Allah bagi hamba-Nya dan menjadi sebab untuk mengangkat derajatnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Isra’ Mi’raj, beliau berjumpa dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Lalu Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu, dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya datar membentang luas, dan pepohonannya berasal dari ucapan: Subhanallah, Alhamdulillah La Ilaaha illallaah, dan Allahu Akbar.” Maka setiap kali kamu mengucapkan: “Subhanallah!” Ditanam bagimu pohon kurma di surga, maka perbanyaklah kebun kurmamu di negeri yang agung itu dengan kalimat-kalimat yang mudah diucapkan ini! ===== أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَحِبَّتِي الأَعِزَّاءُ أُذَكِّرُكُمْ بِعَمَلٍ جَلِيلٍ هَيِّنٌ عَلَى الْعَبْدِ سَهْلٌ عَلَيْهِ لَكِنَّهُ عَظِيمُ النَّفْعِ كَبِيرُ الْأَثَرِ يُحَصِّلُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأُجُورَ الْكَثِيرَةَ وَالثَّوَابَ الْجَزِيلَ أَلَا وَهُوَ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ لَقَدْ جَاءَتْ النُّصُوصُ بِالْأَمْرِ بِذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالتَّرْغِيبِ فِي ذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا فِي تَقْسِيمِ أَهْلِ الْإِيمَانِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرْغَبُ فِي أَنْ يَكُونَ مُكْثِرًا لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِهِ الْقُلُوبُ كَمَا قَالَ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ذِكْرُ اللَّهِ مِنْ أَسْبَابِ رِضَا اللَّهِ عَنِ الْعَبْدِ وَمِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَةِ الْعَبْدِ لَمَّا نَزَلَ لِلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِي حَادِثَةِ الْإِسْرَاءِ قَابَلَهُ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ لَهُ يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ قِيعَانٌ وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلِذَا كُلَّمَا قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ غُرِسَتْ لَكَ نَخْلَةً فِي الْجَنَّةِ فَأَكْثِرَْ مِنْ نَخِيلِكَ فِي تِلْكَ الدَّارِ الْعَظِيمَةِ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْيَسِيرَةِ

Rahasia Amalan Termudah Pahala Melimpah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Amma ba’du. Wahai saudara-saudaraku yang mulia, Saya hendak mengingatkan kalian tentang suatu amalan yang agung, yang ringan dan mudah dilakukan oleh seorang hamba, tapi sangat besar manfaat dan dampaknya. Dengan amalan ini, seseorang akan meraih pahala yang melimpah dan ganjaran yang besar. Amalan tersebut adalah zikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, tapi berat dalam timbangan, dan dicintai oleh Allah Ar-Rahman: Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘azhim.” (HR. Bukhari & Muslim). Banyak nash yang mendorong kita untuk berzikir kepada Allah Jalla wa ‘Ala dan anjuran kuat untuk memperbanyaknya. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,“Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian…” (QS. Al-Baqarah: 152). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41–42) Dalam rincian tentang golongan orang-orang beriman, Allah juga berfirman: “…dan laki-laki serta perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Berdasarkan ini, seorang mukmin hendaknya punya keinginan kuat untuk menjadi orang yang banyak berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena dengan berzikir, hati menjadi tenang, sebagaimana firman-Nya:“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Zikir kepada Allah termasuk sebab yang mendatangkan keridhaan Allah bagi hamba-Nya dan menjadi sebab untuk mengangkat derajatnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Isra’ Mi’raj, beliau berjumpa dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Lalu Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu, dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya datar membentang luas, dan pepohonannya berasal dari ucapan: Subhanallah, Alhamdulillah La Ilaaha illallaah, dan Allahu Akbar.” Maka setiap kali kamu mengucapkan: “Subhanallah!” Ditanam bagimu pohon kurma di surga, maka perbanyaklah kebun kurmamu di negeri yang agung itu dengan kalimat-kalimat yang mudah diucapkan ini! ===== أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَحِبَّتِي الأَعِزَّاءُ أُذَكِّرُكُمْ بِعَمَلٍ جَلِيلٍ هَيِّنٌ عَلَى الْعَبْدِ سَهْلٌ عَلَيْهِ لَكِنَّهُ عَظِيمُ النَّفْعِ كَبِيرُ الْأَثَرِ يُحَصِّلُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأُجُورَ الْكَثِيرَةَ وَالثَّوَابَ الْجَزِيلَ أَلَا وَهُوَ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ لَقَدْ جَاءَتْ النُّصُوصُ بِالْأَمْرِ بِذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالتَّرْغِيبِ فِي ذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا فِي تَقْسِيمِ أَهْلِ الْإِيمَانِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرْغَبُ فِي أَنْ يَكُونَ مُكْثِرًا لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِهِ الْقُلُوبُ كَمَا قَالَ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ذِكْرُ اللَّهِ مِنْ أَسْبَابِ رِضَا اللَّهِ عَنِ الْعَبْدِ وَمِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَةِ الْعَبْدِ لَمَّا نَزَلَ لِلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِي حَادِثَةِ الْإِسْرَاءِ قَابَلَهُ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ لَهُ يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ قِيعَانٌ وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلِذَا كُلَّمَا قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ غُرِسَتْ لَكَ نَخْلَةً فِي الْجَنَّةِ فَأَكْثِرَْ مِنْ نَخِيلِكَ فِي تِلْكَ الدَّارِ الْعَظِيمَةِ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْيَسِيرَةِ
Amma ba’du. Wahai saudara-saudaraku yang mulia, Saya hendak mengingatkan kalian tentang suatu amalan yang agung, yang ringan dan mudah dilakukan oleh seorang hamba, tapi sangat besar manfaat dan dampaknya. Dengan amalan ini, seseorang akan meraih pahala yang melimpah dan ganjaran yang besar. Amalan tersebut adalah zikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, tapi berat dalam timbangan, dan dicintai oleh Allah Ar-Rahman: Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘azhim.” (HR. Bukhari & Muslim). Banyak nash yang mendorong kita untuk berzikir kepada Allah Jalla wa ‘Ala dan anjuran kuat untuk memperbanyaknya. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,“Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian…” (QS. Al-Baqarah: 152). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41–42) Dalam rincian tentang golongan orang-orang beriman, Allah juga berfirman: “…dan laki-laki serta perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Berdasarkan ini, seorang mukmin hendaknya punya keinginan kuat untuk menjadi orang yang banyak berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena dengan berzikir, hati menjadi tenang, sebagaimana firman-Nya:“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Zikir kepada Allah termasuk sebab yang mendatangkan keridhaan Allah bagi hamba-Nya dan menjadi sebab untuk mengangkat derajatnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Isra’ Mi’raj, beliau berjumpa dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Lalu Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu, dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya datar membentang luas, dan pepohonannya berasal dari ucapan: Subhanallah, Alhamdulillah La Ilaaha illallaah, dan Allahu Akbar.” Maka setiap kali kamu mengucapkan: “Subhanallah!” Ditanam bagimu pohon kurma di surga, maka perbanyaklah kebun kurmamu di negeri yang agung itu dengan kalimat-kalimat yang mudah diucapkan ini! ===== أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَحِبَّتِي الأَعِزَّاءُ أُذَكِّرُكُمْ بِعَمَلٍ جَلِيلٍ هَيِّنٌ عَلَى الْعَبْدِ سَهْلٌ عَلَيْهِ لَكِنَّهُ عَظِيمُ النَّفْعِ كَبِيرُ الْأَثَرِ يُحَصِّلُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأُجُورَ الْكَثِيرَةَ وَالثَّوَابَ الْجَزِيلَ أَلَا وَهُوَ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ لَقَدْ جَاءَتْ النُّصُوصُ بِالْأَمْرِ بِذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالتَّرْغِيبِ فِي ذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا فِي تَقْسِيمِ أَهْلِ الْإِيمَانِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرْغَبُ فِي أَنْ يَكُونَ مُكْثِرًا لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِهِ الْقُلُوبُ كَمَا قَالَ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ذِكْرُ اللَّهِ مِنْ أَسْبَابِ رِضَا اللَّهِ عَنِ الْعَبْدِ وَمِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَةِ الْعَبْدِ لَمَّا نَزَلَ لِلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِي حَادِثَةِ الْإِسْرَاءِ قَابَلَهُ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ لَهُ يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ قِيعَانٌ وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلِذَا كُلَّمَا قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ غُرِسَتْ لَكَ نَخْلَةً فِي الْجَنَّةِ فَأَكْثِرَْ مِنْ نَخِيلِكَ فِي تِلْكَ الدَّارِ الْعَظِيمَةِ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْيَسِيرَةِ


Amma ba’du. Wahai saudara-saudaraku yang mulia, Saya hendak mengingatkan kalian tentang suatu amalan yang agung, yang ringan dan mudah dilakukan oleh seorang hamba, tapi sangat besar manfaat dan dampaknya. Dengan amalan ini, seseorang akan meraih pahala yang melimpah dan ganjaran yang besar. Amalan tersebut adalah zikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, tapi berat dalam timbangan, dan dicintai oleh Allah Ar-Rahman: Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘azhim.” (HR. Bukhari & Muslim). Banyak nash yang mendorong kita untuk berzikir kepada Allah Jalla wa ‘Ala dan anjuran kuat untuk memperbanyaknya. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,“Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian…” (QS. Al-Baqarah: 152). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41–42) Dalam rincian tentang golongan orang-orang beriman, Allah juga berfirman: “…dan laki-laki serta perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Berdasarkan ini, seorang mukmin hendaknya punya keinginan kuat untuk menjadi orang yang banyak berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena dengan berzikir, hati menjadi tenang, sebagaimana firman-Nya:“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Zikir kepada Allah termasuk sebab yang mendatangkan keridhaan Allah bagi hamba-Nya dan menjadi sebab untuk mengangkat derajatnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Isra’ Mi’raj, beliau berjumpa dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Lalu Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu, dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya datar membentang luas, dan pepohonannya berasal dari ucapan: Subhanallah, Alhamdulillah La Ilaaha illallaah, dan Allahu Akbar.” Maka setiap kali kamu mengucapkan: “Subhanallah!” Ditanam bagimu pohon kurma di surga, maka perbanyaklah kebun kurmamu di negeri yang agung itu dengan kalimat-kalimat yang mudah diucapkan ini! ===== أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَحِبَّتِي الأَعِزَّاءُ أُذَكِّرُكُمْ بِعَمَلٍ جَلِيلٍ هَيِّنٌ عَلَى الْعَبْدِ سَهْلٌ عَلَيْهِ لَكِنَّهُ عَظِيمُ النَّفْعِ كَبِيرُ الْأَثَرِ يُحَصِّلُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأُجُورَ الْكَثِيرَةَ وَالثَّوَابَ الْجَزِيلَ أَلَا وَهُوَ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ لَقَدْ جَاءَتْ النُّصُوصُ بِالْأَمْرِ بِذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالتَّرْغِيبِ فِي ذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا فِي تَقْسِيمِ أَهْلِ الْإِيمَانِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرْغَبُ فِي أَنْ يَكُونَ مُكْثِرًا لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِهِ الْقُلُوبُ كَمَا قَالَ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ذِكْرُ اللَّهِ مِنْ أَسْبَابِ رِضَا اللَّهِ عَنِ الْعَبْدِ وَمِنْ أَسْبَابِ رِفْعَةِ دَرَجَةِ الْعَبْدِ لَمَّا نَزَلَ لِلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِي حَادِثَةِ الْإِسْرَاءِ قَابَلَهُ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ لَهُ يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ قِيعَانٌ وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلِذَا كُلَّمَا قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ غُرِسَتْ لَكَ نَخْلَةً فِي الْجَنَّةِ فَأَكْثِرَْ مِنْ نَخِيلِكَ فِي تِلْكَ الدَّارِ الْعَظِيمَةِ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْيَسِيرَةِ

Haji Mabrur

الحج المبرور Oleh: Nurah Sulaiman Abdullah نورة سليمان عبدالله قال صلى الله عليه وسلم: ((العمرة إلى العمرة كَفَّارة لما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة))؛ [البخاري ومسلم]. الحجُّ المبرور كما بيَّن أهل العلم «هو الذي أوقعه صاحبه على وجه البِرِّ». وقال ابن بطال رحمه الله: «(والحجُّ المبرور) هو الذي لا رياء فيه ولا رفث ولا فسوق، ويكون بمال حلال». وقيل: المبرور السليم من المعاصي مع طيب النفقة وحل النفقة. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ “Pelaksanaan umrah ke umrah selanjutnya merupakan kafarat (penghapus dosa) yang ada di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Haji mabrur —sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama— adalah haji yang dilaksanakan oleh pelakunya dengan cara yang baik. Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Haji mabrur yakni haji yang tidak mengandung riya, ucapan kotor, dan perbuatan fasik, serta ditunaikan menggunakan harta yang halal.” Dikatakan juga bahwa maksud dari mabrur adalah terbebas dari kemaksiatan dan dilaksanakan menggunakan harta yang baik dan halal. فكيف يكون الحج مبرورًا، ويرجع الحاجُّ كيوم ولدته أمُّه؛ كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ حَجَّ فلم يرفث، ولم يفسق، رجع كيوم ولدته أمُّه))؛ [البخاري ومسلم]. Lalu bagaimana caranya agar ibadah haji menjadi haji yang mabrur dan pelakunya pulang dari haji dalam keadaan bersih tanpa dosa seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya? Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Barang siapa yang menunaikan haji tanpa berkata-kata kotor dan melakukan perbuatan fasik, maka ia akan pulang dalam keadaan seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). مَن حَجَّ للهِ مُبْتغيًا وجْهَه بلا رِياءٍ ولا سُمْعةٍ، رجع (كيوم ولدته أمُّه)؛ أي: بغير ذنب. قال ابن حجر: “وظاهر الحديث غفران الصغائر والكبائر والتبِعات”. فمَنْ فَعَلَ ذلك عادَ بعدَ حَجِّه نَقيًّا مِن خَطاياهُ كما يَخرُجُ المولودُ مِن بطْنِ أُمِّه، أو كأنَّه خَرَجَ حِيَنئذٍ مِن بَطْنِ أُمِّه، ليس عليه خَطيئةٌ ولا ذَنْبٌ. Orang yang menunaikan haji karena Allah dan mengharap keridhaan-Nya, tanpa dinodai dengan riya dan sum’ah, ia akan pulang seperti ketika baru dilahirkan ibunya tanpa dosa. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Secara tekstual, hadis ini mengisyaratkan pengampunan dosa-dosa kecil, besar, dan akibat-akibatnya.” Orang yang menunaikan haji seperti itu, ia akan pulang dari hajinya dalam keadaan bersih dari dosa-dosanya, sebagaimana bayi yang baru keluar dari perut ibunya, atau seakan-akan ia baru keluar dari perut ibunya, tanpa menanggung dosa dan kesalahan. ومما يراعى في باب بِرِّ الحج: 1- ضرورة الإخلاص لله وحده، والاتباع للهدي النبوي، (عن يعلى بن أمية قال: طفت مع عمر بن الخطاب فلما كنت عند الركن الذي يلي الباب مما يلي الحجر أخذت بيده ليستلم فقال: أما طفت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قلت: بلى. قال: فهل رأيته يستلِمه؟ قلت: لا، قال: فانفُذْ عنك؛ فإن لك في رسول الله صلى الله عليه وسلم أسوة حسنة)؛ رواه أحمد. Di antara perkara-perkara yang harus diperhatikan agar dapat meraih haji yang mabrur adalah sebagai berikut: 1. Urgensi keikhlasan kepada Allah semata dan mengikuti tuntunan Nabi dalam pelaksanaannya. Diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia menceritakan, “Aku pernah melakukan tawaf bersama Umar bin Khattab. Lalu ketika aku sampai di rukun (sudut Ka’bah) setelah pintu Ka’bah —setelah rukun Hajar Aswad—, aku menarik tangannya agar ia mengangkat tangan ke arah rukun itu. Kemudian Umar bin Khattab berkata, ‘Bukankah kamu pernah melakukan tawaf bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?’ Aku menjawab, ‘Pernah!’ Dia bertanya lagi, ‘Lalu apakah kamu melihat beliau mengangkat tangan ke arah rukun itu?’ Aku menjawab, ‘Tidak!’ Umar berkata, ‘Kalau begitu, buang jauh-jauh amalan itu darimu, karena kamu punya teladan terbaik dalam diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.’” (HR. Ahmad). 2- التربية على الأخلاق الحسنة والخلال الحميدة، كما قال تعالى: ﴿ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾ [البقرة: 197]. ﴿ فَلَا رَفَثَ ﴾؛ أي: الجِماع ومقدماته، فلم يجامع ولم يأتِ بالكلام السيئ. ﴿ وَلَا فُسُوقَ ﴾؛ أي: المعاصي، فلم يصرَّ على المعاصي ولَم يَرتكِبْ إثمًا أو مُخالَفةً شَرعيَّةً- صَغيرةً أو كَبيرةً- تُخرِجُه عَن طاعةِ اللهِ تعالَى، بل حج تائبًا نادمًا لا معصية له. ﴿ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾؛ أي: المماراة والمخاصمة واللجج فيما ليس له فائدة. 2. Mendidik diri untuk berakhlak mulia dan terpuji, sebagaimana firman Allah Ta’ala: فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ “Janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Makna dari kata (رَفَثَ) yakni hubungan badan dengan pasangan dan hal-hal yang menjurus kepadanya, jadi ia tidak berjimak dan mengucapkan ucapan kotor.  Sedangkan kata (فُسُوقَ) yakni, kemaksiatan, ia tidak terus menerus dalam kemaksiatan, dan tidak melakukan dosa atau pelanggaran syariat —baik itu yang kecil maupun besar— sehingga mengeluarkannya dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Justru, ia menjalankan ibadah hajinya dalam keadaan bertobat dan penuh penyesalan atas dosa-dosanya, tanpa bermaksiat. Adapun kata (جِدَالَ فِي الْحَجِّ) yakni bersitegang, berselisih, dan berdebat dalam perkara yang tidak berfaedah. 3- الحرص على النفقة الطيبة والأكل الحلال؛ لأن النفقة الحرام من موانع الإجابة، فعند الطبراني مرفوعًا: (إذا خرج الرجل حاجًّا بنفقة طيبة ووضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك اللهم لبيك، ناداه من السماء: لبيك وسعديك؛ زادك حلال، وراحلتك حلال، وحجُّك مبرور، وإذا خرج بالنفقة الخبيثة فوضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك، ناداه منادٍ من السماء: لا لبيك ولا سعديك؛ زادك حرام، ونفقتك حرام، وحجُّك غير مبرور). فليتقِ كلُّ عبد ربه، وليتذكر قوله صلى الله عليه وسلم: ((إنَّ الله تعالى طيِّب لا يقبل إلا طيبًا، وإنَّ الله أمر المؤمنين بما أمر به المُرسلين؛ فقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ﴾ [المؤمنون: 51]، وقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ﴾ [البقرة: 172]، ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث، أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومطعمه حرام، وملبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!))؛ رواه مسلم. وعن جابر بن عبدالله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((الحجُّ المبرور ليس له جزاء إلا الجنة، قيل: وما برُّه؟ قال: إطعام الطعام وطيب الكلام)). 3. Mencari nafkah yang baik dan makan dari makanan yang halal, karena nafkah yang haram adalah salah satu penghalang dikabulkannya doa. Diriwayatkan dari Ath-Thabrani secara marfu’ bahwa apabila ada orang yang pergi menunaikan haji dengan nafkah yang baik dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya (hendak memulai perjalanan haji), kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Labbaika wa sa’daik! (Aku juga penuhi panggilanmu dan siap membantumu!) Bekalmu halal, kendaraanmu halal, dan hajimu mabrur!” Namun, jika ia pergi dengan nafkah yang haram dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya, kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Aku tidak akan memenuhi panggilanmu dan membantumu! Bekalmu haram, nafkahmu haram, dan hajimu tidak mabrur!” Oleh sebab itu, hendaklah setiap hamba bertakwa kepada Allah dan senantiasa mengingat sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحاً) (المؤمنون: الآية 51) ، وَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) (البقرة: الآية 172)،ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. Maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai para rasul! makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan yang lusuh dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku!’ Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim). Diriwayatkan juga dari Jabir bin Abdillah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ، قِيلَ: وَمَا بِرُّهُ؟ قَالَ: إطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الكَلَامِ “Haji yang mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” Kemudian Beliau ditanya, “Lalu bagaimana cara agar hajinya menjadi mabrur?” Beliau menjawab, “Dengan menyedekahkan makanan dan membaguskan ucapan.” 4- كثرة الذكر لله، ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]- الآيات في سورة البقرة وسورة الحج- فيها الوصيَّة العظيمة والأمر الكريم بملازمة ذكر الله عزَّ وجلَّ في جميع مقامات الحجِّ في الوقوف بعرفة أمرَ بالذِّكر، وعند المشعر الحرام أمَرَ بالذِّكر، وعند نحر الهدي أمرَ بالذِّكر، وفي أيَّام التشريق أمر بالذِّكر، فالذِّكرُ هو مقصود هذه الأعمال، بل إنَّها لم تشرع إلَّا لإقامة ذكره سبحانه. وقالت عائشة رضي الله عنها: ((إنَّما جُعِل الطواف بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ))[1]، قال ابن القيِّم رحمه الله: «إنَّ أفضل أهل كلِّ عمل أكثرهم فيه ذكرًا لله- عز وجل-، فأفضلُ الصُّوَّام أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- في صومهم، وأفضل المتصدِّقين أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل-، وأفضلُ الحجَّاج أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- وهكذا سائر الأعمال». 4. Banyak berzikir kepada Allah Ta’ala. Dia berfirman:  وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28). —Ayat ini terdapat dalam surat Al-Hajj, dan ayat serupa dalam surat Al-Baqarah—. Di dalamnya terkandung wasiat agung dan perintah mulia untuk senantiasa berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada seluruh rangkaian manasik haji. Ketika berwukuf di Arafah, Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika di Masy’aril Haram (Muzdalifah), Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika menyembelih hadyu, Allah memerintahkan untuk berzikir, pada hari-hari Tasyrik, Allah juga memerintahkan untuk berzikir. Jadi, zikir merupakan tujuan dari amalan-amalan haji tersebut, bahkan tidaklah ia disyariatkan melainkan untuk menegakkan zikir kepada-Nya. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya disyariatkan tawaf mengelilingi Ka’bah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, dan diriwayatkan juga sebagai hadits marfu’ tapi dengan sanad yang lemah). Ibnul Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang terbaik dalam menjalankan segala amal shalih adalah orang yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalamnya. Sehingga pelaku puasa yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam puasanya, pelaku sedekah yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam sedekahnya, dan pelaku haji yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam hajinya, demikian juga dengan seluruh amalan lainnya.” 5- الدعاء في الحج، ومواضع الاستجابة فيها بل وضرورة الدعاء فيها، وهي الصفا والمروة وعرفة والمزدلفة وبعد رمي الجمرة الصغرى والوسطى، – ولا يشرع الدعاء بعد رمي الجمرة الكبرى لا في يوم النحر ولا بعده – فهذه ستة مواضع لاستجابة الدعاء. ويُكثر من الدعاء بقبول حجه، وأن يكون حجًّا مبرورًا، فعن عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: «أَفَضْتُ مَعَ عَبْدِاللهِ فَرَمَى سَبْع حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ، وَاسْتَبْطَنَ الْوَادِي حَتَّى إذَا فَرَغَ، قَالَ: اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا، وَذَنْبًا مَغْفُورًا». 5. Berdoa ketika menjalankan ibadah haji dan pada waktu-waktu mustajab di dalamnya, yang bahkan berdoa merupakan hal yang harus dilakukan saat itu, yaitu saat berada di Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha. Namun, tidak disyariatkan berdoa khusus setelah melempar jumrah kubro, dan pada hari Nahr (10 Zulhijah) dan hari setelahnya. Itulah enam waktu berdoa yang mudah dikabulkan. Hendaklah jemaah haji memperbanyak doa agar hajinya diterima dan menjadi haji yang mabrur. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, ia menceritakan, “Aku pernah pergi bersama Abdullah, lalu ia melempar jumrah dengan tujuh lemparan kerikil, lalu menuruni lembah. Setelah selesai, beliau berdoa, ‘Ya Allah! Jadikanlah ini sebagai haji yang mabrur dan sebab ampunan dosa!’” 6- الإكثار من الاستغفار في تمام الحج… وسؤال الله القبول، وأن يظنَّ بالله الظنَّ الحسن، ففي الحديث القدسي: ((أنا عند ظنِّ عبدي بي فليظن بي ما شاء))، وأن الله لا يخيب رجاءه، ولا يرد دعاءه، وأن يعطيه سؤله، وأن يكرمه بالقبول، والله عند ظنِّ عبده به، فليظن العبد بربِّه خيرًا. 6. Memperbanyak istighfar setelah menyelesaikan haji, memohon agar hajinya diterima Allah, dan berbaik sangka kepada-Nya. Hadits Al-Qudsi disebutkan: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ  “Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, maka biarlah ia memberi sangkaan terhadap-Ku sesukanya.” Hendaklah ia yakin bahwa Allah tidak akan membuat kecewa harapannya dan menolak doanya, Dia akan memberi permintaannya dan memuliakannya dengan menerima hajinya. Allah akan sesuai dengan sangkaan hamba-Nya, maka hendaklah ia berbaik sangka terhadap-Nya. 7- الإحسان إلى الحجَّاج وإكرامهم: وفي الحديث: ((الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ)). فمن برِّ الحجِّ أن يُحسِن الحاج إلى وفد الله وضيوف الرحمن بأنواع الإحسان؛ من إطعامٍ للطعام، وسقيٍ للماء، وإفشاءٍ للسَّلام، ولين للكلام، وإرشادٍ للضَّال، وتعليمٍ للجاهل، وإعانة للمحتاج ونحو ذلك من أنواع المعروف. 7. Berbuat baik dan menghormati jemaah haji yang lain. Dalam hadits disebutkan: الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang sedang menjalankan haji dan umrah adalah tamu Allah, Dia memanggil mereka lalu mereka memenuhi panggilan itu, dan mereka meminta kepada-Nya lalu Dia mengabulkannya.” Sehingga salah satu tanda haji itu mabrur adalah pelakunya berbuat baik kepada utusan dan tamu Allah dengan berbagai bentuk kebaikan, seperti memberi makanan dan minuman, menebar salam, bertutur sopan, memberi petunjuk bagi yang tersesat, mengajarkan ilmu kepada yang jahil, membantu orang yang membutuhkan bantuan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. وما هي علامة الحجِّ المبرور؟ علامة الحجِّ المبرور تظهر بعد الحجِّ، وهي: أن تكون حال الحاج بعد الحجِّ أحسن منها قبله؛ فإذا كانت حاله سيئة قبل الحجِّ تتحوَّل بعده إلى حسنة، وإذا كانت حاله حسنة قبل الحج تتحوَّل بعده إلى أحسن، فمن علامات القبول ودلالات الرِّضا أن تحسن حال الحاج بعد الحجِّ. ولا يمكن لأحدٍ أن يجزم لنفسه ولا لغيره بأن حجَّه متقبَّل، قال تعالى: ﴿ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 60]، قالت عائشة رضي الله عنها: يا رسول الله، أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ؟ قَالَ: ((لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ)). Apa tanda haji yang mabrur? Tanda haji mabrur akan terlihat setelah haji selesai, yaitu pelaku haji itu menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, apabila keadaannya tidak baik sebelum haji, lalu berubah menjadi baik setelahnya, dan apabila keadaannya sudah baik sebelum haji, lalu berubah menjadi lebih baik setelahnya. Jadi salah satu tanda hajinya diterima dan ciri keridhaan Allah terhadapnya adalah keadaannya setelah haji lebih baik daripada sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan bagi dirinya atau orang lain bahwa hajinya diterima. Allah Ta’ala berfirman. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ “Dan orang-orang yang melakukan (kebaikan) yang telah mereka kerjakan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya.” (QS. Al-Mu’minun: 60). Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud (dalam ayat itu) adalah orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Beliau menjawab, “Tidak, wahai putri Abu Bakar —atau dalam riwayat lain: Tidak wahai putri Ash-Shiddiq— namun, ia adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah; tapi ia takut amalan-amalan itu tidak diterima darinya.” نسأل الله أن يتقبل منا جميع أعمالنا، ويغفر لنا ذنوبنا ولوالدينا ولجميع المسلمين. والله أعلم، وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين. Kita memohon kepada Allah agar menerima seluruh amal kebaikan kita, dan mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang tua kita, dan seluruh kaum Muslimin. Wallahu A’lam. Dan salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Sumber: https://www.alukah.net/الحج المبرور Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 6 times, 3 visit(s) today Post Views: 3 QRIS donasi Yufid

Haji Mabrur

الحج المبرور Oleh: Nurah Sulaiman Abdullah نورة سليمان عبدالله قال صلى الله عليه وسلم: ((العمرة إلى العمرة كَفَّارة لما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة))؛ [البخاري ومسلم]. الحجُّ المبرور كما بيَّن أهل العلم «هو الذي أوقعه صاحبه على وجه البِرِّ». وقال ابن بطال رحمه الله: «(والحجُّ المبرور) هو الذي لا رياء فيه ولا رفث ولا فسوق، ويكون بمال حلال». وقيل: المبرور السليم من المعاصي مع طيب النفقة وحل النفقة. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ “Pelaksanaan umrah ke umrah selanjutnya merupakan kafarat (penghapus dosa) yang ada di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Haji mabrur —sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama— adalah haji yang dilaksanakan oleh pelakunya dengan cara yang baik. Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Haji mabrur yakni haji yang tidak mengandung riya, ucapan kotor, dan perbuatan fasik, serta ditunaikan menggunakan harta yang halal.” Dikatakan juga bahwa maksud dari mabrur adalah terbebas dari kemaksiatan dan dilaksanakan menggunakan harta yang baik dan halal. فكيف يكون الحج مبرورًا، ويرجع الحاجُّ كيوم ولدته أمُّه؛ كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ حَجَّ فلم يرفث، ولم يفسق، رجع كيوم ولدته أمُّه))؛ [البخاري ومسلم]. Lalu bagaimana caranya agar ibadah haji menjadi haji yang mabrur dan pelakunya pulang dari haji dalam keadaan bersih tanpa dosa seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya? Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Barang siapa yang menunaikan haji tanpa berkata-kata kotor dan melakukan perbuatan fasik, maka ia akan pulang dalam keadaan seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). مَن حَجَّ للهِ مُبْتغيًا وجْهَه بلا رِياءٍ ولا سُمْعةٍ، رجع (كيوم ولدته أمُّه)؛ أي: بغير ذنب. قال ابن حجر: “وظاهر الحديث غفران الصغائر والكبائر والتبِعات”. فمَنْ فَعَلَ ذلك عادَ بعدَ حَجِّه نَقيًّا مِن خَطاياهُ كما يَخرُجُ المولودُ مِن بطْنِ أُمِّه، أو كأنَّه خَرَجَ حِيَنئذٍ مِن بَطْنِ أُمِّه، ليس عليه خَطيئةٌ ولا ذَنْبٌ. Orang yang menunaikan haji karena Allah dan mengharap keridhaan-Nya, tanpa dinodai dengan riya dan sum’ah, ia akan pulang seperti ketika baru dilahirkan ibunya tanpa dosa. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Secara tekstual, hadis ini mengisyaratkan pengampunan dosa-dosa kecil, besar, dan akibat-akibatnya.” Orang yang menunaikan haji seperti itu, ia akan pulang dari hajinya dalam keadaan bersih dari dosa-dosanya, sebagaimana bayi yang baru keluar dari perut ibunya, atau seakan-akan ia baru keluar dari perut ibunya, tanpa menanggung dosa dan kesalahan. ومما يراعى في باب بِرِّ الحج: 1- ضرورة الإخلاص لله وحده، والاتباع للهدي النبوي، (عن يعلى بن أمية قال: طفت مع عمر بن الخطاب فلما كنت عند الركن الذي يلي الباب مما يلي الحجر أخذت بيده ليستلم فقال: أما طفت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قلت: بلى. قال: فهل رأيته يستلِمه؟ قلت: لا، قال: فانفُذْ عنك؛ فإن لك في رسول الله صلى الله عليه وسلم أسوة حسنة)؛ رواه أحمد. Di antara perkara-perkara yang harus diperhatikan agar dapat meraih haji yang mabrur adalah sebagai berikut: 1. Urgensi keikhlasan kepada Allah semata dan mengikuti tuntunan Nabi dalam pelaksanaannya. Diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia menceritakan, “Aku pernah melakukan tawaf bersama Umar bin Khattab. Lalu ketika aku sampai di rukun (sudut Ka’bah) setelah pintu Ka’bah —setelah rukun Hajar Aswad—, aku menarik tangannya agar ia mengangkat tangan ke arah rukun itu. Kemudian Umar bin Khattab berkata, ‘Bukankah kamu pernah melakukan tawaf bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?’ Aku menjawab, ‘Pernah!’ Dia bertanya lagi, ‘Lalu apakah kamu melihat beliau mengangkat tangan ke arah rukun itu?’ Aku menjawab, ‘Tidak!’ Umar berkata, ‘Kalau begitu, buang jauh-jauh amalan itu darimu, karena kamu punya teladan terbaik dalam diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.’” (HR. Ahmad). 2- التربية على الأخلاق الحسنة والخلال الحميدة، كما قال تعالى: ﴿ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾ [البقرة: 197]. ﴿ فَلَا رَفَثَ ﴾؛ أي: الجِماع ومقدماته، فلم يجامع ولم يأتِ بالكلام السيئ. ﴿ وَلَا فُسُوقَ ﴾؛ أي: المعاصي، فلم يصرَّ على المعاصي ولَم يَرتكِبْ إثمًا أو مُخالَفةً شَرعيَّةً- صَغيرةً أو كَبيرةً- تُخرِجُه عَن طاعةِ اللهِ تعالَى، بل حج تائبًا نادمًا لا معصية له. ﴿ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾؛ أي: المماراة والمخاصمة واللجج فيما ليس له فائدة. 2. Mendidik diri untuk berakhlak mulia dan terpuji, sebagaimana firman Allah Ta’ala: فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ “Janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Makna dari kata (رَفَثَ) yakni hubungan badan dengan pasangan dan hal-hal yang menjurus kepadanya, jadi ia tidak berjimak dan mengucapkan ucapan kotor.  Sedangkan kata (فُسُوقَ) yakni, kemaksiatan, ia tidak terus menerus dalam kemaksiatan, dan tidak melakukan dosa atau pelanggaran syariat —baik itu yang kecil maupun besar— sehingga mengeluarkannya dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Justru, ia menjalankan ibadah hajinya dalam keadaan bertobat dan penuh penyesalan atas dosa-dosanya, tanpa bermaksiat. Adapun kata (جِدَالَ فِي الْحَجِّ) yakni bersitegang, berselisih, dan berdebat dalam perkara yang tidak berfaedah. 3- الحرص على النفقة الطيبة والأكل الحلال؛ لأن النفقة الحرام من موانع الإجابة، فعند الطبراني مرفوعًا: (إذا خرج الرجل حاجًّا بنفقة طيبة ووضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك اللهم لبيك، ناداه من السماء: لبيك وسعديك؛ زادك حلال، وراحلتك حلال، وحجُّك مبرور، وإذا خرج بالنفقة الخبيثة فوضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك، ناداه منادٍ من السماء: لا لبيك ولا سعديك؛ زادك حرام، ونفقتك حرام، وحجُّك غير مبرور). فليتقِ كلُّ عبد ربه، وليتذكر قوله صلى الله عليه وسلم: ((إنَّ الله تعالى طيِّب لا يقبل إلا طيبًا، وإنَّ الله أمر المؤمنين بما أمر به المُرسلين؛ فقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ﴾ [المؤمنون: 51]، وقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ﴾ [البقرة: 172]، ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث، أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومطعمه حرام، وملبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!))؛ رواه مسلم. وعن جابر بن عبدالله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((الحجُّ المبرور ليس له جزاء إلا الجنة، قيل: وما برُّه؟ قال: إطعام الطعام وطيب الكلام)). 3. Mencari nafkah yang baik dan makan dari makanan yang halal, karena nafkah yang haram adalah salah satu penghalang dikabulkannya doa. Diriwayatkan dari Ath-Thabrani secara marfu’ bahwa apabila ada orang yang pergi menunaikan haji dengan nafkah yang baik dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya (hendak memulai perjalanan haji), kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Labbaika wa sa’daik! (Aku juga penuhi panggilanmu dan siap membantumu!) Bekalmu halal, kendaraanmu halal, dan hajimu mabrur!” Namun, jika ia pergi dengan nafkah yang haram dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya, kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Aku tidak akan memenuhi panggilanmu dan membantumu! Bekalmu haram, nafkahmu haram, dan hajimu tidak mabrur!” Oleh sebab itu, hendaklah setiap hamba bertakwa kepada Allah dan senantiasa mengingat sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحاً) (المؤمنون: الآية 51) ، وَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) (البقرة: الآية 172)،ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. Maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai para rasul! makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan yang lusuh dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku!’ Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim). Diriwayatkan juga dari Jabir bin Abdillah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ، قِيلَ: وَمَا بِرُّهُ؟ قَالَ: إطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الكَلَامِ “Haji yang mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” Kemudian Beliau ditanya, “Lalu bagaimana cara agar hajinya menjadi mabrur?” Beliau menjawab, “Dengan menyedekahkan makanan dan membaguskan ucapan.” 4- كثرة الذكر لله، ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]- الآيات في سورة البقرة وسورة الحج- فيها الوصيَّة العظيمة والأمر الكريم بملازمة ذكر الله عزَّ وجلَّ في جميع مقامات الحجِّ في الوقوف بعرفة أمرَ بالذِّكر، وعند المشعر الحرام أمَرَ بالذِّكر، وعند نحر الهدي أمرَ بالذِّكر، وفي أيَّام التشريق أمر بالذِّكر، فالذِّكرُ هو مقصود هذه الأعمال، بل إنَّها لم تشرع إلَّا لإقامة ذكره سبحانه. وقالت عائشة رضي الله عنها: ((إنَّما جُعِل الطواف بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ))[1]، قال ابن القيِّم رحمه الله: «إنَّ أفضل أهل كلِّ عمل أكثرهم فيه ذكرًا لله- عز وجل-، فأفضلُ الصُّوَّام أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- في صومهم، وأفضل المتصدِّقين أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل-، وأفضلُ الحجَّاج أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- وهكذا سائر الأعمال». 4. Banyak berzikir kepada Allah Ta’ala. Dia berfirman:  وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28). —Ayat ini terdapat dalam surat Al-Hajj, dan ayat serupa dalam surat Al-Baqarah—. Di dalamnya terkandung wasiat agung dan perintah mulia untuk senantiasa berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada seluruh rangkaian manasik haji. Ketika berwukuf di Arafah, Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika di Masy’aril Haram (Muzdalifah), Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika menyembelih hadyu, Allah memerintahkan untuk berzikir, pada hari-hari Tasyrik, Allah juga memerintahkan untuk berzikir. Jadi, zikir merupakan tujuan dari amalan-amalan haji tersebut, bahkan tidaklah ia disyariatkan melainkan untuk menegakkan zikir kepada-Nya. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya disyariatkan tawaf mengelilingi Ka’bah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, dan diriwayatkan juga sebagai hadits marfu’ tapi dengan sanad yang lemah). Ibnul Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang terbaik dalam menjalankan segala amal shalih adalah orang yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalamnya. Sehingga pelaku puasa yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam puasanya, pelaku sedekah yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam sedekahnya, dan pelaku haji yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam hajinya, demikian juga dengan seluruh amalan lainnya.” 5- الدعاء في الحج، ومواضع الاستجابة فيها بل وضرورة الدعاء فيها، وهي الصفا والمروة وعرفة والمزدلفة وبعد رمي الجمرة الصغرى والوسطى، – ولا يشرع الدعاء بعد رمي الجمرة الكبرى لا في يوم النحر ولا بعده – فهذه ستة مواضع لاستجابة الدعاء. ويُكثر من الدعاء بقبول حجه، وأن يكون حجًّا مبرورًا، فعن عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: «أَفَضْتُ مَعَ عَبْدِاللهِ فَرَمَى سَبْع حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ، وَاسْتَبْطَنَ الْوَادِي حَتَّى إذَا فَرَغَ، قَالَ: اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا، وَذَنْبًا مَغْفُورًا». 5. Berdoa ketika menjalankan ibadah haji dan pada waktu-waktu mustajab di dalamnya, yang bahkan berdoa merupakan hal yang harus dilakukan saat itu, yaitu saat berada di Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha. Namun, tidak disyariatkan berdoa khusus setelah melempar jumrah kubro, dan pada hari Nahr (10 Zulhijah) dan hari setelahnya. Itulah enam waktu berdoa yang mudah dikabulkan. Hendaklah jemaah haji memperbanyak doa agar hajinya diterima dan menjadi haji yang mabrur. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, ia menceritakan, “Aku pernah pergi bersama Abdullah, lalu ia melempar jumrah dengan tujuh lemparan kerikil, lalu menuruni lembah. Setelah selesai, beliau berdoa, ‘Ya Allah! Jadikanlah ini sebagai haji yang mabrur dan sebab ampunan dosa!’” 6- الإكثار من الاستغفار في تمام الحج… وسؤال الله القبول، وأن يظنَّ بالله الظنَّ الحسن، ففي الحديث القدسي: ((أنا عند ظنِّ عبدي بي فليظن بي ما شاء))، وأن الله لا يخيب رجاءه، ولا يرد دعاءه، وأن يعطيه سؤله، وأن يكرمه بالقبول، والله عند ظنِّ عبده به، فليظن العبد بربِّه خيرًا. 6. Memperbanyak istighfar setelah menyelesaikan haji, memohon agar hajinya diterima Allah, dan berbaik sangka kepada-Nya. Hadits Al-Qudsi disebutkan: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ  “Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, maka biarlah ia memberi sangkaan terhadap-Ku sesukanya.” Hendaklah ia yakin bahwa Allah tidak akan membuat kecewa harapannya dan menolak doanya, Dia akan memberi permintaannya dan memuliakannya dengan menerima hajinya. Allah akan sesuai dengan sangkaan hamba-Nya, maka hendaklah ia berbaik sangka terhadap-Nya. 7- الإحسان إلى الحجَّاج وإكرامهم: وفي الحديث: ((الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ)). فمن برِّ الحجِّ أن يُحسِن الحاج إلى وفد الله وضيوف الرحمن بأنواع الإحسان؛ من إطعامٍ للطعام، وسقيٍ للماء، وإفشاءٍ للسَّلام، ولين للكلام، وإرشادٍ للضَّال، وتعليمٍ للجاهل، وإعانة للمحتاج ونحو ذلك من أنواع المعروف. 7. Berbuat baik dan menghormati jemaah haji yang lain. Dalam hadits disebutkan: الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang sedang menjalankan haji dan umrah adalah tamu Allah, Dia memanggil mereka lalu mereka memenuhi panggilan itu, dan mereka meminta kepada-Nya lalu Dia mengabulkannya.” Sehingga salah satu tanda haji itu mabrur adalah pelakunya berbuat baik kepada utusan dan tamu Allah dengan berbagai bentuk kebaikan, seperti memberi makanan dan minuman, menebar salam, bertutur sopan, memberi petunjuk bagi yang tersesat, mengajarkan ilmu kepada yang jahil, membantu orang yang membutuhkan bantuan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. وما هي علامة الحجِّ المبرور؟ علامة الحجِّ المبرور تظهر بعد الحجِّ، وهي: أن تكون حال الحاج بعد الحجِّ أحسن منها قبله؛ فإذا كانت حاله سيئة قبل الحجِّ تتحوَّل بعده إلى حسنة، وإذا كانت حاله حسنة قبل الحج تتحوَّل بعده إلى أحسن، فمن علامات القبول ودلالات الرِّضا أن تحسن حال الحاج بعد الحجِّ. ولا يمكن لأحدٍ أن يجزم لنفسه ولا لغيره بأن حجَّه متقبَّل، قال تعالى: ﴿ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 60]، قالت عائشة رضي الله عنها: يا رسول الله، أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ؟ قَالَ: ((لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ)). Apa tanda haji yang mabrur? Tanda haji mabrur akan terlihat setelah haji selesai, yaitu pelaku haji itu menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, apabila keadaannya tidak baik sebelum haji, lalu berubah menjadi baik setelahnya, dan apabila keadaannya sudah baik sebelum haji, lalu berubah menjadi lebih baik setelahnya. Jadi salah satu tanda hajinya diterima dan ciri keridhaan Allah terhadapnya adalah keadaannya setelah haji lebih baik daripada sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan bagi dirinya atau orang lain bahwa hajinya diterima. Allah Ta’ala berfirman. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ “Dan orang-orang yang melakukan (kebaikan) yang telah mereka kerjakan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya.” (QS. Al-Mu’minun: 60). Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud (dalam ayat itu) adalah orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Beliau menjawab, “Tidak, wahai putri Abu Bakar —atau dalam riwayat lain: Tidak wahai putri Ash-Shiddiq— namun, ia adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah; tapi ia takut amalan-amalan itu tidak diterima darinya.” نسأل الله أن يتقبل منا جميع أعمالنا، ويغفر لنا ذنوبنا ولوالدينا ولجميع المسلمين. والله أعلم، وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين. Kita memohon kepada Allah agar menerima seluruh amal kebaikan kita, dan mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang tua kita, dan seluruh kaum Muslimin. Wallahu A’lam. Dan salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Sumber: https://www.alukah.net/الحج المبرور Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 6 times, 3 visit(s) today Post Views: 3 QRIS donasi Yufid
الحج المبرور Oleh: Nurah Sulaiman Abdullah نورة سليمان عبدالله قال صلى الله عليه وسلم: ((العمرة إلى العمرة كَفَّارة لما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة))؛ [البخاري ومسلم]. الحجُّ المبرور كما بيَّن أهل العلم «هو الذي أوقعه صاحبه على وجه البِرِّ». وقال ابن بطال رحمه الله: «(والحجُّ المبرور) هو الذي لا رياء فيه ولا رفث ولا فسوق، ويكون بمال حلال». وقيل: المبرور السليم من المعاصي مع طيب النفقة وحل النفقة. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ “Pelaksanaan umrah ke umrah selanjutnya merupakan kafarat (penghapus dosa) yang ada di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Haji mabrur —sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama— adalah haji yang dilaksanakan oleh pelakunya dengan cara yang baik. Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Haji mabrur yakni haji yang tidak mengandung riya, ucapan kotor, dan perbuatan fasik, serta ditunaikan menggunakan harta yang halal.” Dikatakan juga bahwa maksud dari mabrur adalah terbebas dari kemaksiatan dan dilaksanakan menggunakan harta yang baik dan halal. فكيف يكون الحج مبرورًا، ويرجع الحاجُّ كيوم ولدته أمُّه؛ كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ حَجَّ فلم يرفث، ولم يفسق، رجع كيوم ولدته أمُّه))؛ [البخاري ومسلم]. Lalu bagaimana caranya agar ibadah haji menjadi haji yang mabrur dan pelakunya pulang dari haji dalam keadaan bersih tanpa dosa seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya? Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Barang siapa yang menunaikan haji tanpa berkata-kata kotor dan melakukan perbuatan fasik, maka ia akan pulang dalam keadaan seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). مَن حَجَّ للهِ مُبْتغيًا وجْهَه بلا رِياءٍ ولا سُمْعةٍ، رجع (كيوم ولدته أمُّه)؛ أي: بغير ذنب. قال ابن حجر: “وظاهر الحديث غفران الصغائر والكبائر والتبِعات”. فمَنْ فَعَلَ ذلك عادَ بعدَ حَجِّه نَقيًّا مِن خَطاياهُ كما يَخرُجُ المولودُ مِن بطْنِ أُمِّه، أو كأنَّه خَرَجَ حِيَنئذٍ مِن بَطْنِ أُمِّه، ليس عليه خَطيئةٌ ولا ذَنْبٌ. Orang yang menunaikan haji karena Allah dan mengharap keridhaan-Nya, tanpa dinodai dengan riya dan sum’ah, ia akan pulang seperti ketika baru dilahirkan ibunya tanpa dosa. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Secara tekstual, hadis ini mengisyaratkan pengampunan dosa-dosa kecil, besar, dan akibat-akibatnya.” Orang yang menunaikan haji seperti itu, ia akan pulang dari hajinya dalam keadaan bersih dari dosa-dosanya, sebagaimana bayi yang baru keluar dari perut ibunya, atau seakan-akan ia baru keluar dari perut ibunya, tanpa menanggung dosa dan kesalahan. ومما يراعى في باب بِرِّ الحج: 1- ضرورة الإخلاص لله وحده، والاتباع للهدي النبوي، (عن يعلى بن أمية قال: طفت مع عمر بن الخطاب فلما كنت عند الركن الذي يلي الباب مما يلي الحجر أخذت بيده ليستلم فقال: أما طفت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قلت: بلى. قال: فهل رأيته يستلِمه؟ قلت: لا، قال: فانفُذْ عنك؛ فإن لك في رسول الله صلى الله عليه وسلم أسوة حسنة)؛ رواه أحمد. Di antara perkara-perkara yang harus diperhatikan agar dapat meraih haji yang mabrur adalah sebagai berikut: 1. Urgensi keikhlasan kepada Allah semata dan mengikuti tuntunan Nabi dalam pelaksanaannya. Diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia menceritakan, “Aku pernah melakukan tawaf bersama Umar bin Khattab. Lalu ketika aku sampai di rukun (sudut Ka’bah) setelah pintu Ka’bah —setelah rukun Hajar Aswad—, aku menarik tangannya agar ia mengangkat tangan ke arah rukun itu. Kemudian Umar bin Khattab berkata, ‘Bukankah kamu pernah melakukan tawaf bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?’ Aku menjawab, ‘Pernah!’ Dia bertanya lagi, ‘Lalu apakah kamu melihat beliau mengangkat tangan ke arah rukun itu?’ Aku menjawab, ‘Tidak!’ Umar berkata, ‘Kalau begitu, buang jauh-jauh amalan itu darimu, karena kamu punya teladan terbaik dalam diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.’” (HR. Ahmad). 2- التربية على الأخلاق الحسنة والخلال الحميدة، كما قال تعالى: ﴿ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾ [البقرة: 197]. ﴿ فَلَا رَفَثَ ﴾؛ أي: الجِماع ومقدماته، فلم يجامع ولم يأتِ بالكلام السيئ. ﴿ وَلَا فُسُوقَ ﴾؛ أي: المعاصي، فلم يصرَّ على المعاصي ولَم يَرتكِبْ إثمًا أو مُخالَفةً شَرعيَّةً- صَغيرةً أو كَبيرةً- تُخرِجُه عَن طاعةِ اللهِ تعالَى، بل حج تائبًا نادمًا لا معصية له. ﴿ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾؛ أي: المماراة والمخاصمة واللجج فيما ليس له فائدة. 2. Mendidik diri untuk berakhlak mulia dan terpuji, sebagaimana firman Allah Ta’ala: فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ “Janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Makna dari kata (رَفَثَ) yakni hubungan badan dengan pasangan dan hal-hal yang menjurus kepadanya, jadi ia tidak berjimak dan mengucapkan ucapan kotor.  Sedangkan kata (فُسُوقَ) yakni, kemaksiatan, ia tidak terus menerus dalam kemaksiatan, dan tidak melakukan dosa atau pelanggaran syariat —baik itu yang kecil maupun besar— sehingga mengeluarkannya dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Justru, ia menjalankan ibadah hajinya dalam keadaan bertobat dan penuh penyesalan atas dosa-dosanya, tanpa bermaksiat. Adapun kata (جِدَالَ فِي الْحَجِّ) yakni bersitegang, berselisih, dan berdebat dalam perkara yang tidak berfaedah. 3- الحرص على النفقة الطيبة والأكل الحلال؛ لأن النفقة الحرام من موانع الإجابة، فعند الطبراني مرفوعًا: (إذا خرج الرجل حاجًّا بنفقة طيبة ووضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك اللهم لبيك، ناداه من السماء: لبيك وسعديك؛ زادك حلال، وراحلتك حلال، وحجُّك مبرور، وإذا خرج بالنفقة الخبيثة فوضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك، ناداه منادٍ من السماء: لا لبيك ولا سعديك؛ زادك حرام، ونفقتك حرام، وحجُّك غير مبرور). فليتقِ كلُّ عبد ربه، وليتذكر قوله صلى الله عليه وسلم: ((إنَّ الله تعالى طيِّب لا يقبل إلا طيبًا، وإنَّ الله أمر المؤمنين بما أمر به المُرسلين؛ فقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ﴾ [المؤمنون: 51]، وقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ﴾ [البقرة: 172]، ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث، أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومطعمه حرام، وملبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!))؛ رواه مسلم. وعن جابر بن عبدالله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((الحجُّ المبرور ليس له جزاء إلا الجنة، قيل: وما برُّه؟ قال: إطعام الطعام وطيب الكلام)). 3. Mencari nafkah yang baik dan makan dari makanan yang halal, karena nafkah yang haram adalah salah satu penghalang dikabulkannya doa. Diriwayatkan dari Ath-Thabrani secara marfu’ bahwa apabila ada orang yang pergi menunaikan haji dengan nafkah yang baik dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya (hendak memulai perjalanan haji), kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Labbaika wa sa’daik! (Aku juga penuhi panggilanmu dan siap membantumu!) Bekalmu halal, kendaraanmu halal, dan hajimu mabrur!” Namun, jika ia pergi dengan nafkah yang haram dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya, kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Aku tidak akan memenuhi panggilanmu dan membantumu! Bekalmu haram, nafkahmu haram, dan hajimu tidak mabrur!” Oleh sebab itu, hendaklah setiap hamba bertakwa kepada Allah dan senantiasa mengingat sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحاً) (المؤمنون: الآية 51) ، وَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) (البقرة: الآية 172)،ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. Maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai para rasul! makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan yang lusuh dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku!’ Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim). Diriwayatkan juga dari Jabir bin Abdillah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ، قِيلَ: وَمَا بِرُّهُ؟ قَالَ: إطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الكَلَامِ “Haji yang mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” Kemudian Beliau ditanya, “Lalu bagaimana cara agar hajinya menjadi mabrur?” Beliau menjawab, “Dengan menyedekahkan makanan dan membaguskan ucapan.” 4- كثرة الذكر لله، ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]- الآيات في سورة البقرة وسورة الحج- فيها الوصيَّة العظيمة والأمر الكريم بملازمة ذكر الله عزَّ وجلَّ في جميع مقامات الحجِّ في الوقوف بعرفة أمرَ بالذِّكر، وعند المشعر الحرام أمَرَ بالذِّكر، وعند نحر الهدي أمرَ بالذِّكر، وفي أيَّام التشريق أمر بالذِّكر، فالذِّكرُ هو مقصود هذه الأعمال، بل إنَّها لم تشرع إلَّا لإقامة ذكره سبحانه. وقالت عائشة رضي الله عنها: ((إنَّما جُعِل الطواف بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ))[1]، قال ابن القيِّم رحمه الله: «إنَّ أفضل أهل كلِّ عمل أكثرهم فيه ذكرًا لله- عز وجل-، فأفضلُ الصُّوَّام أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- في صومهم، وأفضل المتصدِّقين أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل-، وأفضلُ الحجَّاج أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- وهكذا سائر الأعمال». 4. Banyak berzikir kepada Allah Ta’ala. Dia berfirman:  وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28). —Ayat ini terdapat dalam surat Al-Hajj, dan ayat serupa dalam surat Al-Baqarah—. Di dalamnya terkandung wasiat agung dan perintah mulia untuk senantiasa berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada seluruh rangkaian manasik haji. Ketika berwukuf di Arafah, Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika di Masy’aril Haram (Muzdalifah), Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika menyembelih hadyu, Allah memerintahkan untuk berzikir, pada hari-hari Tasyrik, Allah juga memerintahkan untuk berzikir. Jadi, zikir merupakan tujuan dari amalan-amalan haji tersebut, bahkan tidaklah ia disyariatkan melainkan untuk menegakkan zikir kepada-Nya. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya disyariatkan tawaf mengelilingi Ka’bah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, dan diriwayatkan juga sebagai hadits marfu’ tapi dengan sanad yang lemah). Ibnul Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang terbaik dalam menjalankan segala amal shalih adalah orang yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalamnya. Sehingga pelaku puasa yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam puasanya, pelaku sedekah yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam sedekahnya, dan pelaku haji yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam hajinya, demikian juga dengan seluruh amalan lainnya.” 5- الدعاء في الحج، ومواضع الاستجابة فيها بل وضرورة الدعاء فيها، وهي الصفا والمروة وعرفة والمزدلفة وبعد رمي الجمرة الصغرى والوسطى، – ولا يشرع الدعاء بعد رمي الجمرة الكبرى لا في يوم النحر ولا بعده – فهذه ستة مواضع لاستجابة الدعاء. ويُكثر من الدعاء بقبول حجه، وأن يكون حجًّا مبرورًا، فعن عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: «أَفَضْتُ مَعَ عَبْدِاللهِ فَرَمَى سَبْع حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ، وَاسْتَبْطَنَ الْوَادِي حَتَّى إذَا فَرَغَ، قَالَ: اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا، وَذَنْبًا مَغْفُورًا». 5. Berdoa ketika menjalankan ibadah haji dan pada waktu-waktu mustajab di dalamnya, yang bahkan berdoa merupakan hal yang harus dilakukan saat itu, yaitu saat berada di Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha. Namun, tidak disyariatkan berdoa khusus setelah melempar jumrah kubro, dan pada hari Nahr (10 Zulhijah) dan hari setelahnya. Itulah enam waktu berdoa yang mudah dikabulkan. Hendaklah jemaah haji memperbanyak doa agar hajinya diterima dan menjadi haji yang mabrur. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, ia menceritakan, “Aku pernah pergi bersama Abdullah, lalu ia melempar jumrah dengan tujuh lemparan kerikil, lalu menuruni lembah. Setelah selesai, beliau berdoa, ‘Ya Allah! Jadikanlah ini sebagai haji yang mabrur dan sebab ampunan dosa!’” 6- الإكثار من الاستغفار في تمام الحج… وسؤال الله القبول، وأن يظنَّ بالله الظنَّ الحسن، ففي الحديث القدسي: ((أنا عند ظنِّ عبدي بي فليظن بي ما شاء))، وأن الله لا يخيب رجاءه، ولا يرد دعاءه، وأن يعطيه سؤله، وأن يكرمه بالقبول، والله عند ظنِّ عبده به، فليظن العبد بربِّه خيرًا. 6. Memperbanyak istighfar setelah menyelesaikan haji, memohon agar hajinya diterima Allah, dan berbaik sangka kepada-Nya. Hadits Al-Qudsi disebutkan: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ  “Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, maka biarlah ia memberi sangkaan terhadap-Ku sesukanya.” Hendaklah ia yakin bahwa Allah tidak akan membuat kecewa harapannya dan menolak doanya, Dia akan memberi permintaannya dan memuliakannya dengan menerima hajinya. Allah akan sesuai dengan sangkaan hamba-Nya, maka hendaklah ia berbaik sangka terhadap-Nya. 7- الإحسان إلى الحجَّاج وإكرامهم: وفي الحديث: ((الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ)). فمن برِّ الحجِّ أن يُحسِن الحاج إلى وفد الله وضيوف الرحمن بأنواع الإحسان؛ من إطعامٍ للطعام، وسقيٍ للماء، وإفشاءٍ للسَّلام، ولين للكلام، وإرشادٍ للضَّال، وتعليمٍ للجاهل، وإعانة للمحتاج ونحو ذلك من أنواع المعروف. 7. Berbuat baik dan menghormati jemaah haji yang lain. Dalam hadits disebutkan: الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang sedang menjalankan haji dan umrah adalah tamu Allah, Dia memanggil mereka lalu mereka memenuhi panggilan itu, dan mereka meminta kepada-Nya lalu Dia mengabulkannya.” Sehingga salah satu tanda haji itu mabrur adalah pelakunya berbuat baik kepada utusan dan tamu Allah dengan berbagai bentuk kebaikan, seperti memberi makanan dan minuman, menebar salam, bertutur sopan, memberi petunjuk bagi yang tersesat, mengajarkan ilmu kepada yang jahil, membantu orang yang membutuhkan bantuan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. وما هي علامة الحجِّ المبرور؟ علامة الحجِّ المبرور تظهر بعد الحجِّ، وهي: أن تكون حال الحاج بعد الحجِّ أحسن منها قبله؛ فإذا كانت حاله سيئة قبل الحجِّ تتحوَّل بعده إلى حسنة، وإذا كانت حاله حسنة قبل الحج تتحوَّل بعده إلى أحسن، فمن علامات القبول ودلالات الرِّضا أن تحسن حال الحاج بعد الحجِّ. ولا يمكن لأحدٍ أن يجزم لنفسه ولا لغيره بأن حجَّه متقبَّل، قال تعالى: ﴿ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 60]، قالت عائشة رضي الله عنها: يا رسول الله، أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ؟ قَالَ: ((لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ)). Apa tanda haji yang mabrur? Tanda haji mabrur akan terlihat setelah haji selesai, yaitu pelaku haji itu menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, apabila keadaannya tidak baik sebelum haji, lalu berubah menjadi baik setelahnya, dan apabila keadaannya sudah baik sebelum haji, lalu berubah menjadi lebih baik setelahnya. Jadi salah satu tanda hajinya diterima dan ciri keridhaan Allah terhadapnya adalah keadaannya setelah haji lebih baik daripada sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan bagi dirinya atau orang lain bahwa hajinya diterima. Allah Ta’ala berfirman. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ “Dan orang-orang yang melakukan (kebaikan) yang telah mereka kerjakan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya.” (QS. Al-Mu’minun: 60). Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud (dalam ayat itu) adalah orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Beliau menjawab, “Tidak, wahai putri Abu Bakar —atau dalam riwayat lain: Tidak wahai putri Ash-Shiddiq— namun, ia adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah; tapi ia takut amalan-amalan itu tidak diterima darinya.” نسأل الله أن يتقبل منا جميع أعمالنا، ويغفر لنا ذنوبنا ولوالدينا ولجميع المسلمين. والله أعلم، وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين. Kita memohon kepada Allah agar menerima seluruh amal kebaikan kita, dan mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang tua kita, dan seluruh kaum Muslimin. Wallahu A’lam. Dan salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Sumber: https://www.alukah.net/الحج المبرور Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 6 times, 3 visit(s) today Post Views: 3 QRIS donasi Yufid


الحج المبرور Oleh: Nurah Sulaiman Abdullah نورة سليمان عبدالله قال صلى الله عليه وسلم: ((العمرة إلى العمرة كَفَّارة لما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة))؛ [البخاري ومسلم]. الحجُّ المبرور كما بيَّن أهل العلم «هو الذي أوقعه صاحبه على وجه البِرِّ». وقال ابن بطال رحمه الله: «(والحجُّ المبرور) هو الذي لا رياء فيه ولا رفث ولا فسوق، ويكون بمال حلال». وقيل: المبرور السليم من المعاصي مع طيب النفقة وحل النفقة. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ “Pelaksanaan umrah ke umrah selanjutnya merupakan kafarat (penghapus dosa) yang ada di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Haji mabrur —sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama— adalah haji yang dilaksanakan oleh pelakunya dengan cara yang baik. Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Haji mabrur yakni haji yang tidak mengandung riya, ucapan kotor, dan perbuatan fasik, serta ditunaikan menggunakan harta yang halal.” Dikatakan juga bahwa maksud dari mabrur adalah terbebas dari kemaksiatan dan dilaksanakan menggunakan harta yang baik dan halal. فكيف يكون الحج مبرورًا، ويرجع الحاجُّ كيوم ولدته أمُّه؛ كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ حَجَّ فلم يرفث، ولم يفسق، رجع كيوم ولدته أمُّه))؛ [البخاري ومسلم]. Lalu bagaimana caranya agar ibadah haji menjadi haji yang mabrur dan pelakunya pulang dari haji dalam keadaan bersih tanpa dosa seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya? Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Barang siapa yang menunaikan haji tanpa berkata-kata kotor dan melakukan perbuatan fasik, maka ia akan pulang dalam keadaan seperti hari ketika ia baru dilahirkan ibunya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). مَن حَجَّ للهِ مُبْتغيًا وجْهَه بلا رِياءٍ ولا سُمْعةٍ، رجع (كيوم ولدته أمُّه)؛ أي: بغير ذنب. قال ابن حجر: “وظاهر الحديث غفران الصغائر والكبائر والتبِعات”. فمَنْ فَعَلَ ذلك عادَ بعدَ حَجِّه نَقيًّا مِن خَطاياهُ كما يَخرُجُ المولودُ مِن بطْنِ أُمِّه، أو كأنَّه خَرَجَ حِيَنئذٍ مِن بَطْنِ أُمِّه، ليس عليه خَطيئةٌ ولا ذَنْبٌ. Orang yang menunaikan haji karena Allah dan mengharap keridhaan-Nya, tanpa dinodai dengan riya dan sum’ah, ia akan pulang seperti ketika baru dilahirkan ibunya tanpa dosa. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Secara tekstual, hadis ini mengisyaratkan pengampunan dosa-dosa kecil, besar, dan akibat-akibatnya.” Orang yang menunaikan haji seperti itu, ia akan pulang dari hajinya dalam keadaan bersih dari dosa-dosanya, sebagaimana bayi yang baru keluar dari perut ibunya, atau seakan-akan ia baru keluar dari perut ibunya, tanpa menanggung dosa dan kesalahan. ومما يراعى في باب بِرِّ الحج: 1- ضرورة الإخلاص لله وحده، والاتباع للهدي النبوي، (عن يعلى بن أمية قال: طفت مع عمر بن الخطاب فلما كنت عند الركن الذي يلي الباب مما يلي الحجر أخذت بيده ليستلم فقال: أما طفت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قلت: بلى. قال: فهل رأيته يستلِمه؟ قلت: لا، قال: فانفُذْ عنك؛ فإن لك في رسول الله صلى الله عليه وسلم أسوة حسنة)؛ رواه أحمد. Di antara perkara-perkara yang harus diperhatikan agar dapat meraih haji yang mabrur adalah sebagai berikut: 1. Urgensi keikhlasan kepada Allah semata dan mengikuti tuntunan Nabi dalam pelaksanaannya. Diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia menceritakan, “Aku pernah melakukan tawaf bersama Umar bin Khattab. Lalu ketika aku sampai di rukun (sudut Ka’bah) setelah pintu Ka’bah —setelah rukun Hajar Aswad—, aku menarik tangannya agar ia mengangkat tangan ke arah rukun itu. Kemudian Umar bin Khattab berkata, ‘Bukankah kamu pernah melakukan tawaf bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?’ Aku menjawab, ‘Pernah!’ Dia bertanya lagi, ‘Lalu apakah kamu melihat beliau mengangkat tangan ke arah rukun itu?’ Aku menjawab, ‘Tidak!’ Umar berkata, ‘Kalau begitu, buang jauh-jauh amalan itu darimu, karena kamu punya teladan terbaik dalam diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.’” (HR. Ahmad). 2- التربية على الأخلاق الحسنة والخلال الحميدة، كما قال تعالى: ﴿ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾ [البقرة: 197]. ﴿ فَلَا رَفَثَ ﴾؛ أي: الجِماع ومقدماته، فلم يجامع ولم يأتِ بالكلام السيئ. ﴿ وَلَا فُسُوقَ ﴾؛ أي: المعاصي، فلم يصرَّ على المعاصي ولَم يَرتكِبْ إثمًا أو مُخالَفةً شَرعيَّةً- صَغيرةً أو كَبيرةً- تُخرِجُه عَن طاعةِ اللهِ تعالَى، بل حج تائبًا نادمًا لا معصية له. ﴿ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ﴾؛ أي: المماراة والمخاصمة واللجج فيما ليس له فائدة. 2. Mendidik diri untuk berakhlak mulia dan terpuji, sebagaimana firman Allah Ta’ala: فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ “Janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Makna dari kata (رَفَثَ) yakni hubungan badan dengan pasangan dan hal-hal yang menjurus kepadanya, jadi ia tidak berjimak dan mengucapkan ucapan kotor.  Sedangkan kata (فُسُوقَ) yakni, kemaksiatan, ia tidak terus menerus dalam kemaksiatan, dan tidak melakukan dosa atau pelanggaran syariat —baik itu yang kecil maupun besar— sehingga mengeluarkannya dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Justru, ia menjalankan ibadah hajinya dalam keadaan bertobat dan penuh penyesalan atas dosa-dosanya, tanpa bermaksiat. Adapun kata (جِدَالَ فِي الْحَجِّ) yakni bersitegang, berselisih, dan berdebat dalam perkara yang tidak berfaedah. 3- الحرص على النفقة الطيبة والأكل الحلال؛ لأن النفقة الحرام من موانع الإجابة، فعند الطبراني مرفوعًا: (إذا خرج الرجل حاجًّا بنفقة طيبة ووضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك اللهم لبيك، ناداه من السماء: لبيك وسعديك؛ زادك حلال، وراحلتك حلال، وحجُّك مبرور، وإذا خرج بالنفقة الخبيثة فوضع رِجْله في الغرز فنادى: لبيك، ناداه منادٍ من السماء: لا لبيك ولا سعديك؛ زادك حرام، ونفقتك حرام، وحجُّك غير مبرور). فليتقِ كلُّ عبد ربه، وليتذكر قوله صلى الله عليه وسلم: ((إنَّ الله تعالى طيِّب لا يقبل إلا طيبًا، وإنَّ الله أمر المؤمنين بما أمر به المُرسلين؛ فقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ﴾ [المؤمنون: 51]، وقال تعالى: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ﴾ [البقرة: 172]، ثم ذكر الرجلَ يُطيل السفر، أشعث، أغبر، يمد يديه إلى السماء: يا رب، يا رب، ومطعمه حرام، وملبسه حرام، وغُذي بالحرام، فأنَّى يُستجاب له؟!))؛ رواه مسلم. وعن جابر بن عبدالله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((الحجُّ المبرور ليس له جزاء إلا الجنة، قيل: وما برُّه؟ قال: إطعام الطعام وطيب الكلام)). 3. Mencari nafkah yang baik dan makan dari makanan yang halal, karena nafkah yang haram adalah salah satu penghalang dikabulkannya doa. Diriwayatkan dari Ath-Thabrani secara marfu’ bahwa apabila ada orang yang pergi menunaikan haji dengan nafkah yang baik dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya (hendak memulai perjalanan haji), kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Labbaika wa sa’daik! (Aku juga penuhi panggilanmu dan siap membantumu!) Bekalmu halal, kendaraanmu halal, dan hajimu mabrur!” Namun, jika ia pergi dengan nafkah yang haram dan mulai menapakkan kakinya di pelana untanya, kemudian ia berseru, “Labbaik Allahumma labbaik!” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah!) maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit, “Aku tidak akan memenuhi panggilanmu dan membantumu! Bekalmu haram, nafkahmu haram, dan hajimu tidak mabrur!” Oleh sebab itu, hendaklah setiap hamba bertakwa kepada Allah dan senantiasa mengingat sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحاً) (المؤمنون: الآية 51) ، وَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) (البقرة: الآية 172)،ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. Maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai para rasul! makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan yang lusuh dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku!’ Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim). Diriwayatkan juga dari Jabir bin Abdillah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ، قِيلَ: وَمَا بِرُّهُ؟ قَالَ: إطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الكَلَامِ “Haji yang mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” Kemudian Beliau ditanya, “Lalu bagaimana cara agar hajinya menjadi mabrur?” Beliau menjawab, “Dengan menyedekahkan makanan dan membaguskan ucapan.” 4- كثرة الذكر لله، ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]- الآيات في سورة البقرة وسورة الحج- فيها الوصيَّة العظيمة والأمر الكريم بملازمة ذكر الله عزَّ وجلَّ في جميع مقامات الحجِّ في الوقوف بعرفة أمرَ بالذِّكر، وعند المشعر الحرام أمَرَ بالذِّكر، وعند نحر الهدي أمرَ بالذِّكر، وفي أيَّام التشريق أمر بالذِّكر، فالذِّكرُ هو مقصود هذه الأعمال، بل إنَّها لم تشرع إلَّا لإقامة ذكره سبحانه. وقالت عائشة رضي الله عنها: ((إنَّما جُعِل الطواف بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ))[1]، قال ابن القيِّم رحمه الله: «إنَّ أفضل أهل كلِّ عمل أكثرهم فيه ذكرًا لله- عز وجل-، فأفضلُ الصُّوَّام أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- في صومهم، وأفضل المتصدِّقين أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل-، وأفضلُ الحجَّاج أكثرهم ذكرًا لله- عز وجل- وهكذا سائر الأعمال». 4. Banyak berzikir kepada Allah Ta’ala. Dia berfirman:  وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28). —Ayat ini terdapat dalam surat Al-Hajj, dan ayat serupa dalam surat Al-Baqarah—. Di dalamnya terkandung wasiat agung dan perintah mulia untuk senantiasa berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada seluruh rangkaian manasik haji. Ketika berwukuf di Arafah, Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika di Masy’aril Haram (Muzdalifah), Allah memerintahkan untuk berzikir, ketika menyembelih hadyu, Allah memerintahkan untuk berzikir, pada hari-hari Tasyrik, Allah juga memerintahkan untuk berzikir. Jadi, zikir merupakan tujuan dari amalan-amalan haji tersebut, bahkan tidaklah ia disyariatkan melainkan untuk menegakkan zikir kepada-Nya. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya disyariatkan tawaf mengelilingi Ka’bah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, dan diriwayatkan juga sebagai hadits marfu’ tapi dengan sanad yang lemah). Ibnul Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang terbaik dalam menjalankan segala amal shalih adalah orang yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalamnya. Sehingga pelaku puasa yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam puasanya, pelaku sedekah yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam sedekahnya, dan pelaku haji yang terbaik adalah yang paling banyak mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di dalam hajinya, demikian juga dengan seluruh amalan lainnya.” 5- الدعاء في الحج، ومواضع الاستجابة فيها بل وضرورة الدعاء فيها، وهي الصفا والمروة وعرفة والمزدلفة وبعد رمي الجمرة الصغرى والوسطى، – ولا يشرع الدعاء بعد رمي الجمرة الكبرى لا في يوم النحر ولا بعده – فهذه ستة مواضع لاستجابة الدعاء. ويُكثر من الدعاء بقبول حجه، وأن يكون حجًّا مبرورًا، فعن عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: «أَفَضْتُ مَعَ عَبْدِاللهِ فَرَمَى سَبْع حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ، وَاسْتَبْطَنَ الْوَادِي حَتَّى إذَا فَرَغَ، قَالَ: اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا، وَذَنْبًا مَغْفُورًا». 5. Berdoa ketika menjalankan ibadah haji dan pada waktu-waktu mustajab di dalamnya, yang bahkan berdoa merupakan hal yang harus dilakukan saat itu, yaitu saat berada di Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha. Namun, tidak disyariatkan berdoa khusus setelah melempar jumrah kubro, dan pada hari Nahr (10 Zulhijah) dan hari setelahnya. Itulah enam waktu berdoa yang mudah dikabulkan. Hendaklah jemaah haji memperbanyak doa agar hajinya diterima dan menjadi haji yang mabrur. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, ia menceritakan, “Aku pernah pergi bersama Abdullah, lalu ia melempar jumrah dengan tujuh lemparan kerikil, lalu menuruni lembah. Setelah selesai, beliau berdoa, ‘Ya Allah! Jadikanlah ini sebagai haji yang mabrur dan sebab ampunan dosa!’” 6- الإكثار من الاستغفار في تمام الحج… وسؤال الله القبول، وأن يظنَّ بالله الظنَّ الحسن، ففي الحديث القدسي: ((أنا عند ظنِّ عبدي بي فليظن بي ما شاء))، وأن الله لا يخيب رجاءه، ولا يرد دعاءه، وأن يعطيه سؤله، وأن يكرمه بالقبول، والله عند ظنِّ عبده به، فليظن العبد بربِّه خيرًا. 6. Memperbanyak istighfar setelah menyelesaikan haji, memohon agar hajinya diterima Allah, dan berbaik sangka kepada-Nya. Hadits Al-Qudsi disebutkan: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ  “Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, maka biarlah ia memberi sangkaan terhadap-Ku sesukanya.” Hendaklah ia yakin bahwa Allah tidak akan membuat kecewa harapannya dan menolak doanya, Dia akan memberi permintaannya dan memuliakannya dengan menerima hajinya. Allah akan sesuai dengan sangkaan hamba-Nya, maka hendaklah ia berbaik sangka terhadap-Nya. 7- الإحسان إلى الحجَّاج وإكرامهم: وفي الحديث: ((الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ)). فمن برِّ الحجِّ أن يُحسِن الحاج إلى وفد الله وضيوف الرحمن بأنواع الإحسان؛ من إطعامٍ للطعام، وسقيٍ للماء، وإفشاءٍ للسَّلام، ولين للكلام، وإرشادٍ للضَّال، وتعليمٍ للجاهل، وإعانة للمحتاج ونحو ذلك من أنواع المعروف. 7. Berbuat baik dan menghormati jemaah haji yang lain. Dalam hadits disebutkan: الحَاجُّ وَالعُمَّارُ وَفْدُ الله، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوه، وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang sedang menjalankan haji dan umrah adalah tamu Allah, Dia memanggil mereka lalu mereka memenuhi panggilan itu, dan mereka meminta kepada-Nya lalu Dia mengabulkannya.” Sehingga salah satu tanda haji itu mabrur adalah pelakunya berbuat baik kepada utusan dan tamu Allah dengan berbagai bentuk kebaikan, seperti memberi makanan dan minuman, menebar salam, bertutur sopan, memberi petunjuk bagi yang tersesat, mengajarkan ilmu kepada yang jahil, membantu orang yang membutuhkan bantuan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. وما هي علامة الحجِّ المبرور؟ علامة الحجِّ المبرور تظهر بعد الحجِّ، وهي: أن تكون حال الحاج بعد الحجِّ أحسن منها قبله؛ فإذا كانت حاله سيئة قبل الحجِّ تتحوَّل بعده إلى حسنة، وإذا كانت حاله حسنة قبل الحج تتحوَّل بعده إلى أحسن، فمن علامات القبول ودلالات الرِّضا أن تحسن حال الحاج بعد الحجِّ. ولا يمكن لأحدٍ أن يجزم لنفسه ولا لغيره بأن حجَّه متقبَّل، قال تعالى: ﴿ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 60]، قالت عائشة رضي الله عنها: يا رسول الله، أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ؟ قَالَ: ((لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ)). Apa tanda haji yang mabrur? Tanda haji mabrur akan terlihat setelah haji selesai, yaitu pelaku haji itu menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, apabila keadaannya tidak baik sebelum haji, lalu berubah menjadi baik setelahnya, dan apabila keadaannya sudah baik sebelum haji, lalu berubah menjadi lebih baik setelahnya. Jadi salah satu tanda hajinya diterima dan ciri keridhaan Allah terhadapnya adalah keadaannya setelah haji lebih baik daripada sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan bagi dirinya atau orang lain bahwa hajinya diterima. Allah Ta’ala berfirman. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ “Dan orang-orang yang melakukan (kebaikan) yang telah mereka kerjakan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya.” (QS. Al-Mu’minun: 60). Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud (dalam ayat itu) adalah orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Beliau menjawab, “Tidak, wahai putri Abu Bakar —atau dalam riwayat lain: Tidak wahai putri Ash-Shiddiq— namun, ia adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah; tapi ia takut amalan-amalan itu tidak diterima darinya.” نسأل الله أن يتقبل منا جميع أعمالنا، ويغفر لنا ذنوبنا ولوالدينا ولجميع المسلمين. والله أعلم، وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين. Kita memohon kepada Allah agar menerima seluruh amal kebaikan kita, dan mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang tua kita, dan seluruh kaum Muslimin. Wallahu A’lam. Dan salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Sumber: https://www.alukah.net/الحج المبرور Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 6 times, 3 visit(s) today Post Views: 3 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 6): Kepercayaan dan Agama Bangsa Arab

Daftar Isi ToggleSisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilAwal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayTradisi ritual penyembahan berhalaIstilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiSetelah membahas keadaan politik bangsa Arab, kini kita akan menelusuri keyakinan dan bentuk ibadah mereka sebelum datangnya Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah fase penting dalam sejarah, karena dari sinilah akar-akar penyimpangan akidah menyebar di jazirah Arab.Sisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilMayoritas penduduk Arab di masa hidup Nabi Isma’il ‘alaihissalām mengikuti dakwah beliau. Nabi Ismail menyerukan untuk mengikuti agama bapaknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Isi agamanya adalah menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan beragama dengan agama Ibrahim (tauhid). Setelah berlalu masa yang lama, penduduk Arab melupakan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim dan tersisa ajaran tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim.Setelah itu, datanglah masa Amr bin Luhay (عمرو بن لحي), seorang pemimpin kabilah Khuzā’ah. Amr dibesarkan di lingkungan yang baik. Ia adalah orang yang gemar bersedekah dan semangat dalam urusan agama. Akhirnya orang-orang mencintainya dan patuh kepadanya karena menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang mulia.Awal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayPada suatu saat, Amr bin Luhay bepergian ke daerah Syam. Di sana, ia melihat orang-orang yang menyembah berhala-berhala. Amr menganggap perbuatan orang-orang tersebut baik dan menyangka itu kebenaran. Ia beralasan bahwa Syam adalah tempat diutusnya para Nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Alhasil, ia pun membawa berhala Hubal (هبل) ke Mekah dan meletakkannya di dalam Ka’bah. Ia mengajak penduduk Mekah untuk menyekutukan Allah dan masyarakat pun menerima ajakannya.Berhala tertua di jazirah adalah Manah (مناة) yang terletak di Musyallal (المشلل) di pesisir laut merah dekat dengan Qudaid (قديد). Kemudian mereka membuat berhala Lat (اللات) di Thaif (الطائف), lalu ‘Uzza (العزى) di Wadi Nakhlah (وادي نخلة). Inilah tiga berhala terbesar penduduk Arab. Kemudian kesyirikan semakin banyak dan berhala-berhala pun ada di setiap tempat di Hijaz.Dikisahkan bahwa Amr bin Luhai memiliki qarin dari bangsa jin yang mengabarkannya bahwa berhala kaum Nabi Nuh, yaitu Wad (ود), Suwa’ (سواع), Yaghuts (يغوث), Ya’uq (يعوق), Nasr (نسر) terpendam di Jeddah (جدة).  Amr pun pergi ke sana, lalu menggali dan mengambilnya, kemudian membawa berhala-berhala itu ke Tihamah (تهامة). Saat musim haji tiba, ia memberikan berhala-berhala itu kepada kabilah-kabilah. Akhirnya, masing-masing kabilah membawa berhala-berhala itu ke daerah mereka masing-masing. Dengan demikian, setiap kabilah terdapat berhala, bahkan setiap rumah terdapat berhala di dalamnya.Penduduk Mekah memenuhi Masjidil Haram dengan berhala-berhala. Disebutkan bahwa saat Rasulullah menaklukkan kota Mekah, di sekeliling Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian berhala-berhala tersebut diruntuhkan, lalu dikeluarkan dari area Masjidil Haram untuk dibakar. Demikianlah, kesyirikan dan penyembahan kepada berhala menjadi fenomena besar pada agama penduduk jahiliah, yang mereka klaim adalah agamanya Nabi ibrahim.Tradisi ritual penyembahan berhalaPenduduk Arab jahiliah memiliki tradisi dan ritual penyembahan berhala yang mayoritasnya diada-adakan oleh Amr bin Luhay. Masyarakat mengira hal-hal yang diada-adakan oleh Amr bin Luhay adalah inovasi yang baik dan tidak mengubah agama Nabi Ibrahim.Di antara ritual penyembahan berhala mereka adalah mereka berdiam di sisi berhala dan berlindung kepadanya, memanggil-manggilnya, meminta pertolongan kepadanya di saat sulit, dan berdoa kepadanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat menjadi perantara kepada Allah dan mewujudkan keinginan-keinginan mereka. Mereka juga berhaji kepada berhala, mengelilinginya, merendahkan diri di sisi berhala, dan bersujud kepada berhala.Ritual lainnya adalah mereka mendekatkan diri kepada berhala dengan berbagai jenis kurban. Mereka menyembelih baik dengan cara dzabh (menyembelih dengan memutus urat leher) maupun nahr (menyembelih dengan menusuk pangkal leher unta) kepada berhala dan menyebut nama berhala-berhala tersebut. Inilah jenis penyembelihan yang disebutkan oleh Allah Ta’ālā dalam Al-Qur’an,وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ“Dan (janganlah kamu memakan) apa yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Ma’idah: 3)Di antara ritual pendekatan diri kepada berhala yang mereka lakukan adalah mereka mengkhususkan makanan-makanan dan minuman-minuman untuk berhala sesuai yang mereka kehendaki. Demikian pula mereka mengkhususkan sebagian hasil panen dan ternak mereka kepada berhala. Ajaibnya, mereka juga mengkhususkan bagian untuk Allah; namun karena banyak alasan lain, mereka memindahkan bagian untuk Allah kepada berhala. Anehnya, mereka tidak pernah memindahkan bagian untuk berhala kepada Allah dalam kondisi apapun. Allah Ta’ālā berfirman,وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعامِ نَصِيباً، فَقالُوا هذا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهذا لِشُرَكائِنا، فَما كانَ لِشُرَكائِهِمْ فَلا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ، وَما كانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلى شُرَكائِهِمْ، ساءَ ما يَحْكُمُونَ“Dan mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan untuk Allah sambil berkata menurut persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” Bagian yang untuk berhala-berhala mereka tidak akan sampai kepada Allah, dan bagian yang untuk Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruk ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)Di antara bentuk pendekatan mereka kepada berhala adalah bernazar dalam hasil panen dan ternak. Allah Ta’ālā menghikayatkan di dalam Al-Qur’an,وَقالُوا هذِهِ أَنْعامٌ وَحَرْثٌ حِجْرٌ لا يَطْعَمُها إِلَّا مَنْ نَشاءُ بِزَعْمِهِمْ، وَأَنْعامٌ حُرِّمَتْ ظُهُورُها، وَأَنْعامٌ لا يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا افْتِراءً عَلَيْهِ“Dan mereka berkata (menurut anggapan mereka), “Inilah hewan ternak dan hasil bumi yang dilarang, tidak boleh dimakan, kecuali oleh orang yang kami kehendaki.” Dan ada pula hewan yang diharamkan (tidak boleh) ditunggangi, dan ada hewan ternak yang (ketika disembelih) boleh tidak menyebut nama Allah, itu sebagai kebohongan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas semua yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 138)Istilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiMereka juga menetapkan istilah Sa’ibah (السائبة), Bahirah (البحيرة), Washilah (الوصيلة), dan Hami (الحامي).Sa’ibah adalah unta betina yang sudah melahirkan sepuluh unta betina berturut-turut dan tidak diselingi dengan unta jantan. Setelah unta tersebut melahirkan sepuluh unta betina, ia dijadikan Sa’ibah (dibiarkan bebas). Sa’ibah tidak boleh ditunggangi, dicukur bulunya, dan diambil susunya kecuali oleh tamu. Jika setelah itu ia melahirkan unta betina lagi, maka anak yang kesebelas itu dibelah telinganya dan juga dibiarkan bebas sebagaimana induknya. Inilah yang disebut Bahirah.Washilah adalah kambing betina yang telah melahirkan sepuluh anak betina berturut-turut tanpa diselingi anak jantan dalam lima kali kelahiran. Mereka menyatakan, “kambing itu sudah tersambung”, maka disebut Washilah. Aturannya, jika status kambing telah menjadi Washilah, anak kambing yang dilahirkan setelah itu adalah milik kaum lelaki saja. Kaum wanita tidak boleh memilikinya. Hanya saja, jika anak kambing itu mati, maka boleh dimakan oleh lelaki dan wanita.Hami adalah unta pejantan yang telah membuntingi unta-unta betina kemudian melahirkan sepuluh unta betina secara berturut-turut tanpa diselingi unta jantan. Maka punggungnya terjaga, tidak boleh ditunggangi, bulunya tidak boleh dicukur, dan ia dibiarkan bebas di antara kawanannya untuk bisa mengawini unta-unta lainnya. Ia hanya bisa dimanfaatkan untuk hal tersebut.Ini adalah salah satu dari penafsiran makna dari Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami. Terkait dengan Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami, Allah Ta’ālā berfirman,ما جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سائِبَةٍ، وَلا وَصِيلَةٍ، وَلا حامٍ، وَلكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَأَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ“Allah tidak pernah mensyariatkan Bahīrah, Sā’ibah, Washīlah, atau Hāmi; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Ma’idah: 103)Penduduk Arab melakukan ritual-ritual itu semua untuk berhala-berhala mereka karena meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dan memberikan syafaat di sisi Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā,وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ما لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ، وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memberi mudarat dan tidak pula manfaat bagi mereka. Dan mereka berkata, ‘Mereka adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus: 18)Betapa jauhnya masyarakat jahiliah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Tidak hanya setiap rumah memiliki berhala, tetapi seluruh aspek kehidupan mereka dipenuhi penyimpangan. Namun, ritual penyembahan berhala ini hanyalah satu dari bentuk kesesatan mereka. Masih ada penyimpangan-penyimpangan lain yang akan kita bahas pada artikel selanjutnya, insya Allah.[Bersambung]Kembali ke bagian 5***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 6): Kepercayaan dan Agama Bangsa Arab

Daftar Isi ToggleSisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilAwal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayTradisi ritual penyembahan berhalaIstilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiSetelah membahas keadaan politik bangsa Arab, kini kita akan menelusuri keyakinan dan bentuk ibadah mereka sebelum datangnya Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah fase penting dalam sejarah, karena dari sinilah akar-akar penyimpangan akidah menyebar di jazirah Arab.Sisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilMayoritas penduduk Arab di masa hidup Nabi Isma’il ‘alaihissalām mengikuti dakwah beliau. Nabi Ismail menyerukan untuk mengikuti agama bapaknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Isi agamanya adalah menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan beragama dengan agama Ibrahim (tauhid). Setelah berlalu masa yang lama, penduduk Arab melupakan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim dan tersisa ajaran tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim.Setelah itu, datanglah masa Amr bin Luhay (عمرو بن لحي), seorang pemimpin kabilah Khuzā’ah. Amr dibesarkan di lingkungan yang baik. Ia adalah orang yang gemar bersedekah dan semangat dalam urusan agama. Akhirnya orang-orang mencintainya dan patuh kepadanya karena menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang mulia.Awal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayPada suatu saat, Amr bin Luhay bepergian ke daerah Syam. Di sana, ia melihat orang-orang yang menyembah berhala-berhala. Amr menganggap perbuatan orang-orang tersebut baik dan menyangka itu kebenaran. Ia beralasan bahwa Syam adalah tempat diutusnya para Nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Alhasil, ia pun membawa berhala Hubal (هبل) ke Mekah dan meletakkannya di dalam Ka’bah. Ia mengajak penduduk Mekah untuk menyekutukan Allah dan masyarakat pun menerima ajakannya.Berhala tertua di jazirah adalah Manah (مناة) yang terletak di Musyallal (المشلل) di pesisir laut merah dekat dengan Qudaid (قديد). Kemudian mereka membuat berhala Lat (اللات) di Thaif (الطائف), lalu ‘Uzza (العزى) di Wadi Nakhlah (وادي نخلة). Inilah tiga berhala terbesar penduduk Arab. Kemudian kesyirikan semakin banyak dan berhala-berhala pun ada di setiap tempat di Hijaz.Dikisahkan bahwa Amr bin Luhai memiliki qarin dari bangsa jin yang mengabarkannya bahwa berhala kaum Nabi Nuh, yaitu Wad (ود), Suwa’ (سواع), Yaghuts (يغوث), Ya’uq (يعوق), Nasr (نسر) terpendam di Jeddah (جدة).  Amr pun pergi ke sana, lalu menggali dan mengambilnya, kemudian membawa berhala-berhala itu ke Tihamah (تهامة). Saat musim haji tiba, ia memberikan berhala-berhala itu kepada kabilah-kabilah. Akhirnya, masing-masing kabilah membawa berhala-berhala itu ke daerah mereka masing-masing. Dengan demikian, setiap kabilah terdapat berhala, bahkan setiap rumah terdapat berhala di dalamnya.Penduduk Mekah memenuhi Masjidil Haram dengan berhala-berhala. Disebutkan bahwa saat Rasulullah menaklukkan kota Mekah, di sekeliling Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian berhala-berhala tersebut diruntuhkan, lalu dikeluarkan dari area Masjidil Haram untuk dibakar. Demikianlah, kesyirikan dan penyembahan kepada berhala menjadi fenomena besar pada agama penduduk jahiliah, yang mereka klaim adalah agamanya Nabi ibrahim.Tradisi ritual penyembahan berhalaPenduduk Arab jahiliah memiliki tradisi dan ritual penyembahan berhala yang mayoritasnya diada-adakan oleh Amr bin Luhay. Masyarakat mengira hal-hal yang diada-adakan oleh Amr bin Luhay adalah inovasi yang baik dan tidak mengubah agama Nabi Ibrahim.Di antara ritual penyembahan berhala mereka adalah mereka berdiam di sisi berhala dan berlindung kepadanya, memanggil-manggilnya, meminta pertolongan kepadanya di saat sulit, dan berdoa kepadanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat menjadi perantara kepada Allah dan mewujudkan keinginan-keinginan mereka. Mereka juga berhaji kepada berhala, mengelilinginya, merendahkan diri di sisi berhala, dan bersujud kepada berhala.Ritual lainnya adalah mereka mendekatkan diri kepada berhala dengan berbagai jenis kurban. Mereka menyembelih baik dengan cara dzabh (menyembelih dengan memutus urat leher) maupun nahr (menyembelih dengan menusuk pangkal leher unta) kepada berhala dan menyebut nama berhala-berhala tersebut. Inilah jenis penyembelihan yang disebutkan oleh Allah Ta’ālā dalam Al-Qur’an,وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ“Dan (janganlah kamu memakan) apa yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Ma’idah: 3)Di antara ritual pendekatan diri kepada berhala yang mereka lakukan adalah mereka mengkhususkan makanan-makanan dan minuman-minuman untuk berhala sesuai yang mereka kehendaki. Demikian pula mereka mengkhususkan sebagian hasil panen dan ternak mereka kepada berhala. Ajaibnya, mereka juga mengkhususkan bagian untuk Allah; namun karena banyak alasan lain, mereka memindahkan bagian untuk Allah kepada berhala. Anehnya, mereka tidak pernah memindahkan bagian untuk berhala kepada Allah dalam kondisi apapun. Allah Ta’ālā berfirman,وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعامِ نَصِيباً، فَقالُوا هذا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهذا لِشُرَكائِنا، فَما كانَ لِشُرَكائِهِمْ فَلا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ، وَما كانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلى شُرَكائِهِمْ، ساءَ ما يَحْكُمُونَ“Dan mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan untuk Allah sambil berkata menurut persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” Bagian yang untuk berhala-berhala mereka tidak akan sampai kepada Allah, dan bagian yang untuk Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruk ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)Di antara bentuk pendekatan mereka kepada berhala adalah bernazar dalam hasil panen dan ternak. Allah Ta’ālā menghikayatkan di dalam Al-Qur’an,وَقالُوا هذِهِ أَنْعامٌ وَحَرْثٌ حِجْرٌ لا يَطْعَمُها إِلَّا مَنْ نَشاءُ بِزَعْمِهِمْ، وَأَنْعامٌ حُرِّمَتْ ظُهُورُها، وَأَنْعامٌ لا يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا افْتِراءً عَلَيْهِ“Dan mereka berkata (menurut anggapan mereka), “Inilah hewan ternak dan hasil bumi yang dilarang, tidak boleh dimakan, kecuali oleh orang yang kami kehendaki.” Dan ada pula hewan yang diharamkan (tidak boleh) ditunggangi, dan ada hewan ternak yang (ketika disembelih) boleh tidak menyebut nama Allah, itu sebagai kebohongan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas semua yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 138)Istilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiMereka juga menetapkan istilah Sa’ibah (السائبة), Bahirah (البحيرة), Washilah (الوصيلة), dan Hami (الحامي).Sa’ibah adalah unta betina yang sudah melahirkan sepuluh unta betina berturut-turut dan tidak diselingi dengan unta jantan. Setelah unta tersebut melahirkan sepuluh unta betina, ia dijadikan Sa’ibah (dibiarkan bebas). Sa’ibah tidak boleh ditunggangi, dicukur bulunya, dan diambil susunya kecuali oleh tamu. Jika setelah itu ia melahirkan unta betina lagi, maka anak yang kesebelas itu dibelah telinganya dan juga dibiarkan bebas sebagaimana induknya. Inilah yang disebut Bahirah.Washilah adalah kambing betina yang telah melahirkan sepuluh anak betina berturut-turut tanpa diselingi anak jantan dalam lima kali kelahiran. Mereka menyatakan, “kambing itu sudah tersambung”, maka disebut Washilah. Aturannya, jika status kambing telah menjadi Washilah, anak kambing yang dilahirkan setelah itu adalah milik kaum lelaki saja. Kaum wanita tidak boleh memilikinya. Hanya saja, jika anak kambing itu mati, maka boleh dimakan oleh lelaki dan wanita.Hami adalah unta pejantan yang telah membuntingi unta-unta betina kemudian melahirkan sepuluh unta betina secara berturut-turut tanpa diselingi unta jantan. Maka punggungnya terjaga, tidak boleh ditunggangi, bulunya tidak boleh dicukur, dan ia dibiarkan bebas di antara kawanannya untuk bisa mengawini unta-unta lainnya. Ia hanya bisa dimanfaatkan untuk hal tersebut.Ini adalah salah satu dari penafsiran makna dari Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami. Terkait dengan Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami, Allah Ta’ālā berfirman,ما جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سائِبَةٍ، وَلا وَصِيلَةٍ، وَلا حامٍ، وَلكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَأَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ“Allah tidak pernah mensyariatkan Bahīrah, Sā’ibah, Washīlah, atau Hāmi; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Ma’idah: 103)Penduduk Arab melakukan ritual-ritual itu semua untuk berhala-berhala mereka karena meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dan memberikan syafaat di sisi Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā,وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ما لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ، وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memberi mudarat dan tidak pula manfaat bagi mereka. Dan mereka berkata, ‘Mereka adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus: 18)Betapa jauhnya masyarakat jahiliah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Tidak hanya setiap rumah memiliki berhala, tetapi seluruh aspek kehidupan mereka dipenuhi penyimpangan. Namun, ritual penyembahan berhala ini hanyalah satu dari bentuk kesesatan mereka. Masih ada penyimpangan-penyimpangan lain yang akan kita bahas pada artikel selanjutnya, insya Allah.[Bersambung]Kembali ke bagian 5***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.
Daftar Isi ToggleSisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilAwal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayTradisi ritual penyembahan berhalaIstilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiSetelah membahas keadaan politik bangsa Arab, kini kita akan menelusuri keyakinan dan bentuk ibadah mereka sebelum datangnya Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah fase penting dalam sejarah, karena dari sinilah akar-akar penyimpangan akidah menyebar di jazirah Arab.Sisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilMayoritas penduduk Arab di masa hidup Nabi Isma’il ‘alaihissalām mengikuti dakwah beliau. Nabi Ismail menyerukan untuk mengikuti agama bapaknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Isi agamanya adalah menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan beragama dengan agama Ibrahim (tauhid). Setelah berlalu masa yang lama, penduduk Arab melupakan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim dan tersisa ajaran tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim.Setelah itu, datanglah masa Amr bin Luhay (عمرو بن لحي), seorang pemimpin kabilah Khuzā’ah. Amr dibesarkan di lingkungan yang baik. Ia adalah orang yang gemar bersedekah dan semangat dalam urusan agama. Akhirnya orang-orang mencintainya dan patuh kepadanya karena menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang mulia.Awal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayPada suatu saat, Amr bin Luhay bepergian ke daerah Syam. Di sana, ia melihat orang-orang yang menyembah berhala-berhala. Amr menganggap perbuatan orang-orang tersebut baik dan menyangka itu kebenaran. Ia beralasan bahwa Syam adalah tempat diutusnya para Nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Alhasil, ia pun membawa berhala Hubal (هبل) ke Mekah dan meletakkannya di dalam Ka’bah. Ia mengajak penduduk Mekah untuk menyekutukan Allah dan masyarakat pun menerima ajakannya.Berhala tertua di jazirah adalah Manah (مناة) yang terletak di Musyallal (المشلل) di pesisir laut merah dekat dengan Qudaid (قديد). Kemudian mereka membuat berhala Lat (اللات) di Thaif (الطائف), lalu ‘Uzza (العزى) di Wadi Nakhlah (وادي نخلة). Inilah tiga berhala terbesar penduduk Arab. Kemudian kesyirikan semakin banyak dan berhala-berhala pun ada di setiap tempat di Hijaz.Dikisahkan bahwa Amr bin Luhai memiliki qarin dari bangsa jin yang mengabarkannya bahwa berhala kaum Nabi Nuh, yaitu Wad (ود), Suwa’ (سواع), Yaghuts (يغوث), Ya’uq (يعوق), Nasr (نسر) terpendam di Jeddah (جدة).  Amr pun pergi ke sana, lalu menggali dan mengambilnya, kemudian membawa berhala-berhala itu ke Tihamah (تهامة). Saat musim haji tiba, ia memberikan berhala-berhala itu kepada kabilah-kabilah. Akhirnya, masing-masing kabilah membawa berhala-berhala itu ke daerah mereka masing-masing. Dengan demikian, setiap kabilah terdapat berhala, bahkan setiap rumah terdapat berhala di dalamnya.Penduduk Mekah memenuhi Masjidil Haram dengan berhala-berhala. Disebutkan bahwa saat Rasulullah menaklukkan kota Mekah, di sekeliling Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian berhala-berhala tersebut diruntuhkan, lalu dikeluarkan dari area Masjidil Haram untuk dibakar. Demikianlah, kesyirikan dan penyembahan kepada berhala menjadi fenomena besar pada agama penduduk jahiliah, yang mereka klaim adalah agamanya Nabi ibrahim.Tradisi ritual penyembahan berhalaPenduduk Arab jahiliah memiliki tradisi dan ritual penyembahan berhala yang mayoritasnya diada-adakan oleh Amr bin Luhay. Masyarakat mengira hal-hal yang diada-adakan oleh Amr bin Luhay adalah inovasi yang baik dan tidak mengubah agama Nabi Ibrahim.Di antara ritual penyembahan berhala mereka adalah mereka berdiam di sisi berhala dan berlindung kepadanya, memanggil-manggilnya, meminta pertolongan kepadanya di saat sulit, dan berdoa kepadanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat menjadi perantara kepada Allah dan mewujudkan keinginan-keinginan mereka. Mereka juga berhaji kepada berhala, mengelilinginya, merendahkan diri di sisi berhala, dan bersujud kepada berhala.Ritual lainnya adalah mereka mendekatkan diri kepada berhala dengan berbagai jenis kurban. Mereka menyembelih baik dengan cara dzabh (menyembelih dengan memutus urat leher) maupun nahr (menyembelih dengan menusuk pangkal leher unta) kepada berhala dan menyebut nama berhala-berhala tersebut. Inilah jenis penyembelihan yang disebutkan oleh Allah Ta’ālā dalam Al-Qur’an,وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ“Dan (janganlah kamu memakan) apa yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Ma’idah: 3)Di antara ritual pendekatan diri kepada berhala yang mereka lakukan adalah mereka mengkhususkan makanan-makanan dan minuman-minuman untuk berhala sesuai yang mereka kehendaki. Demikian pula mereka mengkhususkan sebagian hasil panen dan ternak mereka kepada berhala. Ajaibnya, mereka juga mengkhususkan bagian untuk Allah; namun karena banyak alasan lain, mereka memindahkan bagian untuk Allah kepada berhala. Anehnya, mereka tidak pernah memindahkan bagian untuk berhala kepada Allah dalam kondisi apapun. Allah Ta’ālā berfirman,وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعامِ نَصِيباً، فَقالُوا هذا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهذا لِشُرَكائِنا، فَما كانَ لِشُرَكائِهِمْ فَلا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ، وَما كانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلى شُرَكائِهِمْ، ساءَ ما يَحْكُمُونَ“Dan mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan untuk Allah sambil berkata menurut persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” Bagian yang untuk berhala-berhala mereka tidak akan sampai kepada Allah, dan bagian yang untuk Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruk ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)Di antara bentuk pendekatan mereka kepada berhala adalah bernazar dalam hasil panen dan ternak. Allah Ta’ālā menghikayatkan di dalam Al-Qur’an,وَقالُوا هذِهِ أَنْعامٌ وَحَرْثٌ حِجْرٌ لا يَطْعَمُها إِلَّا مَنْ نَشاءُ بِزَعْمِهِمْ، وَأَنْعامٌ حُرِّمَتْ ظُهُورُها، وَأَنْعامٌ لا يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا افْتِراءً عَلَيْهِ“Dan mereka berkata (menurut anggapan mereka), “Inilah hewan ternak dan hasil bumi yang dilarang, tidak boleh dimakan, kecuali oleh orang yang kami kehendaki.” Dan ada pula hewan yang diharamkan (tidak boleh) ditunggangi, dan ada hewan ternak yang (ketika disembelih) boleh tidak menyebut nama Allah, itu sebagai kebohongan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas semua yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 138)Istilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiMereka juga menetapkan istilah Sa’ibah (السائبة), Bahirah (البحيرة), Washilah (الوصيلة), dan Hami (الحامي).Sa’ibah adalah unta betina yang sudah melahirkan sepuluh unta betina berturut-turut dan tidak diselingi dengan unta jantan. Setelah unta tersebut melahirkan sepuluh unta betina, ia dijadikan Sa’ibah (dibiarkan bebas). Sa’ibah tidak boleh ditunggangi, dicukur bulunya, dan diambil susunya kecuali oleh tamu. Jika setelah itu ia melahirkan unta betina lagi, maka anak yang kesebelas itu dibelah telinganya dan juga dibiarkan bebas sebagaimana induknya. Inilah yang disebut Bahirah.Washilah adalah kambing betina yang telah melahirkan sepuluh anak betina berturut-turut tanpa diselingi anak jantan dalam lima kali kelahiran. Mereka menyatakan, “kambing itu sudah tersambung”, maka disebut Washilah. Aturannya, jika status kambing telah menjadi Washilah, anak kambing yang dilahirkan setelah itu adalah milik kaum lelaki saja. Kaum wanita tidak boleh memilikinya. Hanya saja, jika anak kambing itu mati, maka boleh dimakan oleh lelaki dan wanita.Hami adalah unta pejantan yang telah membuntingi unta-unta betina kemudian melahirkan sepuluh unta betina secara berturut-turut tanpa diselingi unta jantan. Maka punggungnya terjaga, tidak boleh ditunggangi, bulunya tidak boleh dicukur, dan ia dibiarkan bebas di antara kawanannya untuk bisa mengawini unta-unta lainnya. Ia hanya bisa dimanfaatkan untuk hal tersebut.Ini adalah salah satu dari penafsiran makna dari Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami. Terkait dengan Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami, Allah Ta’ālā berfirman,ما جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سائِبَةٍ، وَلا وَصِيلَةٍ، وَلا حامٍ، وَلكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَأَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ“Allah tidak pernah mensyariatkan Bahīrah, Sā’ibah, Washīlah, atau Hāmi; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Ma’idah: 103)Penduduk Arab melakukan ritual-ritual itu semua untuk berhala-berhala mereka karena meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dan memberikan syafaat di sisi Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā,وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ما لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ، وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memberi mudarat dan tidak pula manfaat bagi mereka. Dan mereka berkata, ‘Mereka adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus: 18)Betapa jauhnya masyarakat jahiliah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Tidak hanya setiap rumah memiliki berhala, tetapi seluruh aspek kehidupan mereka dipenuhi penyimpangan. Namun, ritual penyembahan berhala ini hanyalah satu dari bentuk kesesatan mereka. Masih ada penyimpangan-penyimpangan lain yang akan kita bahas pada artikel selanjutnya, insya Allah.[Bersambung]Kembali ke bagian 5***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.


Daftar Isi ToggleSisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilAwal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayTradisi ritual penyembahan berhalaIstilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiSetelah membahas keadaan politik bangsa Arab, kini kita akan menelusuri keyakinan dan bentuk ibadah mereka sebelum datangnya Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah fase penting dalam sejarah, karena dari sinilah akar-akar penyimpangan akidah menyebar di jazirah Arab.Sisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’ilMayoritas penduduk Arab di masa hidup Nabi Isma’il ‘alaihissalām mengikuti dakwah beliau. Nabi Ismail menyerukan untuk mengikuti agama bapaknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Isi agamanya adalah menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan beragama dengan agama Ibrahim (tauhid). Setelah berlalu masa yang lama, penduduk Arab melupakan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim dan tersisa ajaran tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim.Setelah itu, datanglah masa Amr bin Luhay (عمرو بن لحي), seorang pemimpin kabilah Khuzā’ah. Amr dibesarkan di lingkungan yang baik. Ia adalah orang yang gemar bersedekah dan semangat dalam urusan agama. Akhirnya orang-orang mencintainya dan patuh kepadanya karena menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang mulia.Awal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin LuhayPada suatu saat, Amr bin Luhay bepergian ke daerah Syam. Di sana, ia melihat orang-orang yang menyembah berhala-berhala. Amr menganggap perbuatan orang-orang tersebut baik dan menyangka itu kebenaran. Ia beralasan bahwa Syam adalah tempat diutusnya para Nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Alhasil, ia pun membawa berhala Hubal (هبل) ke Mekah dan meletakkannya di dalam Ka’bah. Ia mengajak penduduk Mekah untuk menyekutukan Allah dan masyarakat pun menerima ajakannya.Berhala tertua di jazirah adalah Manah (مناة) yang terletak di Musyallal (المشلل) di pesisir laut merah dekat dengan Qudaid (قديد). Kemudian mereka membuat berhala Lat (اللات) di Thaif (الطائف), lalu ‘Uzza (العزى) di Wadi Nakhlah (وادي نخلة). Inilah tiga berhala terbesar penduduk Arab. Kemudian kesyirikan semakin banyak dan berhala-berhala pun ada di setiap tempat di Hijaz.Dikisahkan bahwa Amr bin Luhai memiliki qarin dari bangsa jin yang mengabarkannya bahwa berhala kaum Nabi Nuh, yaitu Wad (ود), Suwa’ (سواع), Yaghuts (يغوث), Ya’uq (يعوق), Nasr (نسر) terpendam di Jeddah (جدة).  Amr pun pergi ke sana, lalu menggali dan mengambilnya, kemudian membawa berhala-berhala itu ke Tihamah (تهامة). Saat musim haji tiba, ia memberikan berhala-berhala itu kepada kabilah-kabilah. Akhirnya, masing-masing kabilah membawa berhala-berhala itu ke daerah mereka masing-masing. Dengan demikian, setiap kabilah terdapat berhala, bahkan setiap rumah terdapat berhala di dalamnya.Penduduk Mekah memenuhi Masjidil Haram dengan berhala-berhala. Disebutkan bahwa saat Rasulullah menaklukkan kota Mekah, di sekeliling Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian berhala-berhala tersebut diruntuhkan, lalu dikeluarkan dari area Masjidil Haram untuk dibakar. Demikianlah, kesyirikan dan penyembahan kepada berhala menjadi fenomena besar pada agama penduduk jahiliah, yang mereka klaim adalah agamanya Nabi ibrahim.Tradisi ritual penyembahan berhalaPenduduk Arab jahiliah memiliki tradisi dan ritual penyembahan berhala yang mayoritasnya diada-adakan oleh Amr bin Luhay. Masyarakat mengira hal-hal yang diada-adakan oleh Amr bin Luhay adalah inovasi yang baik dan tidak mengubah agama Nabi Ibrahim.Di antara ritual penyembahan berhala mereka adalah mereka berdiam di sisi berhala dan berlindung kepadanya, memanggil-manggilnya, meminta pertolongan kepadanya di saat sulit, dan berdoa kepadanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat menjadi perantara kepada Allah dan mewujudkan keinginan-keinginan mereka. Mereka juga berhaji kepada berhala, mengelilinginya, merendahkan diri di sisi berhala, dan bersujud kepada berhala.Ritual lainnya adalah mereka mendekatkan diri kepada berhala dengan berbagai jenis kurban. Mereka menyembelih baik dengan cara dzabh (menyembelih dengan memutus urat leher) maupun nahr (menyembelih dengan menusuk pangkal leher unta) kepada berhala dan menyebut nama berhala-berhala tersebut. Inilah jenis penyembelihan yang disebutkan oleh Allah Ta’ālā dalam Al-Qur’an,وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ“Dan (janganlah kamu memakan) apa yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Ma’idah: 3)Di antara ritual pendekatan diri kepada berhala yang mereka lakukan adalah mereka mengkhususkan makanan-makanan dan minuman-minuman untuk berhala sesuai yang mereka kehendaki. Demikian pula mereka mengkhususkan sebagian hasil panen dan ternak mereka kepada berhala. Ajaibnya, mereka juga mengkhususkan bagian untuk Allah; namun karena banyak alasan lain, mereka memindahkan bagian untuk Allah kepada berhala. Anehnya, mereka tidak pernah memindahkan bagian untuk berhala kepada Allah dalam kondisi apapun. Allah Ta’ālā berfirman,وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعامِ نَصِيباً، فَقالُوا هذا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهذا لِشُرَكائِنا، فَما كانَ لِشُرَكائِهِمْ فَلا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ، وَما كانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلى شُرَكائِهِمْ، ساءَ ما يَحْكُمُونَ“Dan mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan untuk Allah sambil berkata menurut persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” Bagian yang untuk berhala-berhala mereka tidak akan sampai kepada Allah, dan bagian yang untuk Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruk ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)Di antara bentuk pendekatan mereka kepada berhala adalah bernazar dalam hasil panen dan ternak. Allah Ta’ālā menghikayatkan di dalam Al-Qur’an,وَقالُوا هذِهِ أَنْعامٌ وَحَرْثٌ حِجْرٌ لا يَطْعَمُها إِلَّا مَنْ نَشاءُ بِزَعْمِهِمْ، وَأَنْعامٌ حُرِّمَتْ ظُهُورُها، وَأَنْعامٌ لا يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا افْتِراءً عَلَيْهِ“Dan mereka berkata (menurut anggapan mereka), “Inilah hewan ternak dan hasil bumi yang dilarang, tidak boleh dimakan, kecuali oleh orang yang kami kehendaki.” Dan ada pula hewan yang diharamkan (tidak boleh) ditunggangi, dan ada hewan ternak yang (ketika disembelih) boleh tidak menyebut nama Allah, itu sebagai kebohongan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas semua yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 138)Istilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan HamiMereka juga menetapkan istilah Sa’ibah (السائبة), Bahirah (البحيرة), Washilah (الوصيلة), dan Hami (الحامي).Sa’ibah adalah unta betina yang sudah melahirkan sepuluh unta betina berturut-turut dan tidak diselingi dengan unta jantan. Setelah unta tersebut melahirkan sepuluh unta betina, ia dijadikan Sa’ibah (dibiarkan bebas). Sa’ibah tidak boleh ditunggangi, dicukur bulunya, dan diambil susunya kecuali oleh tamu. Jika setelah itu ia melahirkan unta betina lagi, maka anak yang kesebelas itu dibelah telinganya dan juga dibiarkan bebas sebagaimana induknya. Inilah yang disebut Bahirah.Washilah adalah kambing betina yang telah melahirkan sepuluh anak betina berturut-turut tanpa diselingi anak jantan dalam lima kali kelahiran. Mereka menyatakan, “kambing itu sudah tersambung”, maka disebut Washilah. Aturannya, jika status kambing telah menjadi Washilah, anak kambing yang dilahirkan setelah itu adalah milik kaum lelaki saja. Kaum wanita tidak boleh memilikinya. Hanya saja, jika anak kambing itu mati, maka boleh dimakan oleh lelaki dan wanita.Hami adalah unta pejantan yang telah membuntingi unta-unta betina kemudian melahirkan sepuluh unta betina secara berturut-turut tanpa diselingi unta jantan. Maka punggungnya terjaga, tidak boleh ditunggangi, bulunya tidak boleh dicukur, dan ia dibiarkan bebas di antara kawanannya untuk bisa mengawini unta-unta lainnya. Ia hanya bisa dimanfaatkan untuk hal tersebut.Ini adalah salah satu dari penafsiran makna dari Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami. Terkait dengan Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami, Allah Ta’ālā berfirman,ما جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سائِبَةٍ، وَلا وَصِيلَةٍ، وَلا حامٍ، وَلكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَأَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ“Allah tidak pernah mensyariatkan Bahīrah, Sā’ibah, Washīlah, atau Hāmi; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Ma’idah: 103)Penduduk Arab melakukan ritual-ritual itu semua untuk berhala-berhala mereka karena meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dan memberikan syafaat di sisi Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā,وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ما لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ، وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memberi mudarat dan tidak pula manfaat bagi mereka. Dan mereka berkata, ‘Mereka adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus: 18)Betapa jauhnya masyarakat jahiliah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Tidak hanya setiap rumah memiliki berhala, tetapi seluruh aspek kehidupan mereka dipenuhi penyimpangan. Namun, ritual penyembahan berhala ini hanyalah satu dari bentuk kesesatan mereka. Masih ada penyimpangan-penyimpangan lain yang akan kita bahas pada artikel selanjutnya, insya Allah.[Bersambung]Kembali ke bagian 5***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.

Cara Berdoa yang Tidak Akan Ditolak – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Saudara kita, Rabih, bertanya, “Bagaimana aku dapat berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla seperti doanya orang yang sedang terdesak?” Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia mengabulkan doa orang yang terdesak. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Allah juga berfirman, “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” yakni dalam keadaan terdesak. “Namun saat Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka kembali berbuat syirik.” (QS. Al-Ankabut: 65). Keadaan terdesak adalah sebab kuat terkabulnya doa. Bahkan bisa menghapus penghalang terbesar dari terkabulnya doa, yaitu kesyirikan. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Padahal mereka adalah orang-orang musyrik. Namun saat mereka benar-benar dalam kondisi terdesak, maka kekuatan sebab tersebut lebih besar daripada penghalang terkabulnya doa itu. Ini menunjukkan bahwa doa orang yang terdesak mudah dikabulkan. Mengapa doa orang terdesak mudah dikabulkan? Karena kondisi terdesak itu disertai dengan keikhlasan yang sangat besar dalam berdoa. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Mereka benar-benar mengosongkan hati hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka pun sepenuhnya bergantung dan berlindung kepada Allah semata. Serta memutuskan harapan dari makhluk. Ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang takut dirinya akan tenggelam. Ombak pun saling menghantam satu sama lain. Sementara ia masih berada di tengah laut itu. Antara dirinya dan kematian tinggal beberapa kejap saja. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Menurutmu, bagaimana perasaan orang ini? Perasaan orang ini, inilah yang disebut kondisi terdesak (iḍṭirār). Saudara kita yang mulia bertanya: “Bagaimana caranya aku bisa berdoa seperti orang yang terdesak?” Yakni dengan membayangkan diri seperti seseorang yang terombang-ambing di tengah lautan, sedangkan ombak saling bertabrakan satu sama lain, dan badai dahsyat menerjang dari segala arah. Sementara antara dirinya dan kematian hanya tinggal beberapa kejap mata. Ia pun memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Apakah masih tersisa ketergantungan kepada makhluk dalam hatinya? Sama sekali tidak! Ketergantungannya sepenuhnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia mengosongkan hatinya hanya untuk Allah Subhanah. Karena ini adalah perkara antara hidup dan mati, ia pun berseru, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Jika Allah Ta’ala tidak menyelamatkannya, ia pasti akan binasa dan mati. Ia bahkan bisa melihat kematian ada di hadapannya. Ini benar-benar perkara hidup dan mati. Jika seseorang yang berdoa mencapai kondisi seperti ini, niscaya doanya dikabulkan. Meskipun secara fisik ia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Mengapa? Karena ia mengosongkan hatinya untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan memutus keterikatannya dengan para makhluk. Ia menghadapkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa ini disertai dengan keikhlasan yang dalam, maka pada saat itu, doa pun akan mudah dikabulkan. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Yang menarik, ayat ini: “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). muncul dalam rangkaian ayat-ayat yang menyampaikan dalil dan bukti yang menegaskan keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Ayat sebelumnya: “Katakanlah, segala puji bagi Allah, dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah yang mereka persekutukan?” (QS. An-Naml: 59). “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi?” Lihat bagaimana langit dan bumi diciptakan. “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untuk kalian, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang menawan?” (QS. An-Naml: 60). Ayat selanjutnya: “Bukankah Dia yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap, dan mengalirkan sungai-sungai di celah-celahnya, serta menjadikan gunung-gunung sebagai penopangnya?” (QS. An-Naml: 61). Lalu, setelahnya ayat, “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Bagaimana ayat ini dapat masuk di antara ayat-ayat tentang kauniyah ini? Di sini ada isyarat yang halus, bahwa dikabulkannya doa orang yang terdesak adalah bukti keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena manusia secara fitrah, hatinya akan tertuju kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Maka jika ada seorang ateis yang mengingkari keberadaan Allah, ia sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu ia jatuh ke dalam sumur yang gelap tanpa seorang pun yang dapat menolongnya, niscaya hatinya langsung tertuju kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan melupakan ateismenya. Ateismenya sirna seketika. Ini termasuk salah satu bukti terbesar atas sifat ketuhanan dan keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Allah Ta’ala menyamakan bukti ini dengan penciptaan langit dan bumi. Sebagaimana penciptaan bumi, sungai-sungai, dan gunung-gunung sebagai penopang bumi. Semua ayat ini sangat agung, menjadi petunjuk atas keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu pula dengan berpalingnya orang yang terdesak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia mencari perlindungan kepada Allah Ta’ala secara spontan, mengikuti fitrahnya. Ia akan berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, tatkala seorang ulama salaf melihat seorang lelaki berjalan diikuti oleh murid-muridnya, lalu mereka berkata, “Ia memiliki seribu dalil tentang keberadaan Allah.” Ulama itu berkata, “Tak perlu sampai seribu dalil, satu dalil saja sudah cukup.” Mereka bertanya, “Apa dalil itu?” Ia menjawab, “Bagaimana jika kamu sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu terjatuh ke dalam sumur, kepada siapa engkau akan memohon pertolongan?” Mereka menjawab, “Kepada Allah.” Ia berkata, “Itulah bukti keberadaan Allah. Bukti secara fitrah.” Bukti secara fitrah tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Ia adalah salah satu dalil terkuat. Jadi, inilah yang disebut sebagai doa orang yang terdesak. Jika seseorang mampu berdoa seperti keadaan orang yang benar-benar terdesak, maka Allah pasti akan mengabulkan doanya. Demikian pula dengan orang yang terzalimi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Takutlah kalian terhadap doa orang yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari & Muslim). Mengapa doa orang terzalimi mustajab? Pertama, karena Allah Ta’ala tidak menyukai kezaliman. Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan menjadikannya haram pula di antara hamba-hamba-Nya. Dia tidak menyukai dan tidak memberi petunjuk orang-orang zalim. Oleh sebab itu, kamu dapati orang zalim hidupnya sengsara. Kedua—dan ini sebab yang paling penting—orang yang terzalimi akan berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh hati, dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, mengadu kepada Allah agar menimpakan azab kepada orang yang menzaliminya. Ia berdoa dengan kejujuran dan gejolak perasaan dari lubuk hatinya. Maka, jika kondisi batin orang yang berdoa itu seperti kondisi orang yang benar-benar terdesak dan terzalimi, niscaya doanya akan dikabulkan. Allahul musta’an. Semoga Allah membalas Anda, wahai Syaikh. ===== الْأَخُ رَابِحٌ يَقُولُ يَعْنِي كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّ؟ دُعَاءُ الْمُضْطَرِّ أَوَّلًا أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّهُ يُجِيبُ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّأَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَقَالَ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ يَعْنِي مُضْطَرِّيْنَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ الِاضْطِرَارُ سَبَبٌ قَوِيٌّ لِإِجَابَةِ الدُّعَاءِ حَتَّى أَنَّهُ يَزُولُ مَعَهُ أَقْوَى مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ وَهُوَ الشِّرْكُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَهُمْ مُشْرِكُونَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا وَصَلُوا إِلَى حَالِ الِاضْطِرَارِ كَانَتْ قُوَّةُ هَذَا السَّبَبِ أَقْوَى مِنْ هَذَا الْمَانِعِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُضْطَرَّ أَنَّهُ تُسْتَجَابُ دَعْوَتُهُ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ؟ تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ لِأَنَّ هَذَا الِاضْطِرَارَ يَصْحَبُهُ اخْلَاصٌ شَدِيدٌ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَتَفْرِيغُ الْقَلْبِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلُجُوءٌ إِلَى اللَّهُ تَعَالَى بِالْكُلِّيَّةِ وَانْقِطَاعٌ عَنِ الْمَخْلُوقِيْنَ كَإِنِسَانٍ عَلَى لُجَّةِ الْبَحْرِ يَخْشَى أَنْ يَغْرَقَ الْبَحْرُ مُتَلَاطِمُ الْأَمْوَاجِ وَهُوَ الْآنَ فِي هَذَا الْبَحْرِ وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ رَافِعُ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ مَا ظَنُّكَ بِشُعُوْرِ هَذَا الْإِنْسَانِ؟ شُعُورُ هَذَا الْإِنْسَانِ هَذَا الشُّعُورُ هَذَا هُوَ هَذِهِ هِيَ حَالَةُ الِاضْطِرَارِ الْأَخُ الْكَرِيمُ يَقُولُ كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى كَالْمُضْطَرِّ كَحَالَةِ هَذَا الْإِنْسَانِ الَّذِي فِي لُجَّةِ الْبَحْرِوَأَمْوَاجُ الْبَحْرِ تَتَلَاطَمُ وَالْعَوَاصِبُ مِنْ حَوْلِهِ وَهُوَ يَعْنِي مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ يَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَا رَبِّ يَا رَبِّ هَلْ سَيَبْقَى فِي قَلْبِ هَذَا الْإِنْسَانِ تَعَلُّقٌ بِمَخْلُوْقٍ؟ أَبَدًا سَيَكُوْنُ التَّعَلُّقُ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلهِ سُبْحَانَهُ هِيَ مَسْأَلَةُ قَضِيَّةِ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ يَعْنِي هُوَ إِنْ لَمْ يُنَجِّهِ اللهُ تَعَالَى هَلَكَ وَمَاتَ الْمَوْتُ الْآنَ يَرَاهُ أَمَامَهُ فَالْقَضِيَّةُ قَضِيَّةُ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ إِذَا وَصَلَ الدَّاعِي إِلَى هَذِهِ الْمَرْحَلَةِ أُسْتُجِيبَتْ دَعْوَتُهُ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُضْطَرًّا لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَطَعَ عَلَاقَتَهُ بِالْمَخْلُوقِيْنَ انْصَرَفَ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى صَحِبَ هَذَا الدُّعَاءَ إِخْلاصٌ شَدِيدٌ فَهُنَا يُسْتَجَابُ الدُّعَاءُ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَالْعَجِيبُ أَنَّ هَذِهِ الآيَةَ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ أَتَتْ فِي سِيَاقِ الآيَاتِ الَّتِي فِيهَا الْأَدِلَّةُ وَالْبَرَاهِينُ الْمُثْبِتَةُ لِرُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ يَعْنِي أَوَّلُ الْآيَاتِ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَىٰ آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَاحِظْ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ كَيْفَ دَخَلَتْ هَذِهِ الايَةُ بَيْنَ يَعْنِي هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ؟ هُنَا يَعْنِي فِيهَا لَمْحَةٌ إِجَابَةُ الْمُضْطَرِّ دَلِيلٌ عَلَى وَحْدَانِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ بِفِطْرَتِهِ يَتَّجِهُ قَلْبُهُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ لَوْ كَانَ إِنْسَانٌ مُلْحِدٌ يُنْكِرُ وُجُودَ اللَّهِ وَكَانَ فِي صَحْرَاءَ يَمْشِي وَحْدَهُ وَوَقَعَ فِي بِئْرٍ مَظْلِمَةٍ مَا عِنْدَهُ أَحَدٌ مِنَ الْبَشَرِ سَيَتَّجِهُ قَلْبُهُ مُبَاشَرَةً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَيَنْسَى إِلْحَادَهُ إِلْحَادُهُ يَنْتَهِي هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَدِلَّةٍ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ فَجَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِثْلَ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مِثْلَ خَلْقِ الْأَرْضِ وَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى خِلَالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِي هَذِهِ الْآيَاتُ عَظِيمَةٌ تَدُلُّ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى وَحْدَانِيِّتِهِ هَكَذَا أَيْضًا لُجُوءُ الْمُضْطَرِّ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَيَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تِلْقَائِيًّا بِفِطْرَتِهِ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِذَلِكَ لَمَّا رَأَى أَحَدُ السَّلَفِ رَجُلًا يَمْشِي وَمَعَهُ أُنَاسٌ مِنْ طُلَّابِهِ قَالُوا عِنْدَهُ أَلْفُ دَلِيلٍ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ قَالَ مَا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ دَلِيلٌ وَاحِدٌ يَكْفِي قَالُوا مَا هُوَ؟ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كُنْتَ تَمْشِي فِي الْبَرِّيَّةِ وَحْدَكَ ثُمَّ وَقَعْتَ فِي بِئْرٍ فَإِلَى مَنْ تَلْتَجِئُ؟ قَالُوا إِلَى اللَّهِ قَالَ إِذًا هَذَا هُوَ الدَّلِيلُ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَلِيلٌ فِطْرِيٌّ فَدَلِيلُ الْفِطْرَةِ لَا أَحَدَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنْكِرَهُ يَعْنِي مِنْ أَقْوَى الْأَدِلَّةِ فَيَعْنِي هَذِهِ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ إِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ فِي دُعَائِهِ مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ فَإِنَّ اللّهَ يُجِيبُ دَعْوَتَهُ وَمِثْلُهُ أَيْضًا الْمَظْلُومُ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ؟ أَوَّلًا إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُحِبُّ الظُّلْمَ وَحَرَّمَ اللَّهُ عَلَى نَفْسِهِ الظُّلْمَ وَجَعَلَهُ بَيْنَ عِبَادِهِ مُحَرَّمًا وَهُوَ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ وَلَا يَهْدِي الظَّالِمِيْنَ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الظَّالِمَ يَتَخَبَّطُ ثَانِيًا وَهُوَ يَعْنِي السَّبَبُ الْأَهَمُّ أَنَّ الْمَظْلُومَ يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِحَرَارَةٍ بِإِخْلَاصٍ بِصِدْقٍ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي أَنْ يُنْزِلَ الْعُقُوبَةَ بِظَالِمِهِ فَهُوَ يَدْعُو بِصِدْقٍ وَحَرَارَةِ الْقَلْبِ فَإِذَا وَصَلَتْ حَالَةُ الدَّاعِي مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ وَحَالَةِ الْمَظْلُومِ أُسْتُجِيبَ الدُّعَاءُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ يَا شَيْخُ

Cara Berdoa yang Tidak Akan Ditolak – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Saudara kita, Rabih, bertanya, “Bagaimana aku dapat berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla seperti doanya orang yang sedang terdesak?” Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia mengabulkan doa orang yang terdesak. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Allah juga berfirman, “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” yakni dalam keadaan terdesak. “Namun saat Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka kembali berbuat syirik.” (QS. Al-Ankabut: 65). Keadaan terdesak adalah sebab kuat terkabulnya doa. Bahkan bisa menghapus penghalang terbesar dari terkabulnya doa, yaitu kesyirikan. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Padahal mereka adalah orang-orang musyrik. Namun saat mereka benar-benar dalam kondisi terdesak, maka kekuatan sebab tersebut lebih besar daripada penghalang terkabulnya doa itu. Ini menunjukkan bahwa doa orang yang terdesak mudah dikabulkan. Mengapa doa orang terdesak mudah dikabulkan? Karena kondisi terdesak itu disertai dengan keikhlasan yang sangat besar dalam berdoa. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Mereka benar-benar mengosongkan hati hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka pun sepenuhnya bergantung dan berlindung kepada Allah semata. Serta memutuskan harapan dari makhluk. Ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang takut dirinya akan tenggelam. Ombak pun saling menghantam satu sama lain. Sementara ia masih berada di tengah laut itu. Antara dirinya dan kematian tinggal beberapa kejap saja. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Menurutmu, bagaimana perasaan orang ini? Perasaan orang ini, inilah yang disebut kondisi terdesak (iḍṭirār). Saudara kita yang mulia bertanya: “Bagaimana caranya aku bisa berdoa seperti orang yang terdesak?” Yakni dengan membayangkan diri seperti seseorang yang terombang-ambing di tengah lautan, sedangkan ombak saling bertabrakan satu sama lain, dan badai dahsyat menerjang dari segala arah. Sementara antara dirinya dan kematian hanya tinggal beberapa kejap mata. Ia pun memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Apakah masih tersisa ketergantungan kepada makhluk dalam hatinya? Sama sekali tidak! Ketergantungannya sepenuhnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia mengosongkan hatinya hanya untuk Allah Subhanah. Karena ini adalah perkara antara hidup dan mati, ia pun berseru, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Jika Allah Ta’ala tidak menyelamatkannya, ia pasti akan binasa dan mati. Ia bahkan bisa melihat kematian ada di hadapannya. Ini benar-benar perkara hidup dan mati. Jika seseorang yang berdoa mencapai kondisi seperti ini, niscaya doanya dikabulkan. Meskipun secara fisik ia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Mengapa? Karena ia mengosongkan hatinya untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan memutus keterikatannya dengan para makhluk. Ia menghadapkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa ini disertai dengan keikhlasan yang dalam, maka pada saat itu, doa pun akan mudah dikabulkan. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Yang menarik, ayat ini: “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). muncul dalam rangkaian ayat-ayat yang menyampaikan dalil dan bukti yang menegaskan keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Ayat sebelumnya: “Katakanlah, segala puji bagi Allah, dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah yang mereka persekutukan?” (QS. An-Naml: 59). “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi?” Lihat bagaimana langit dan bumi diciptakan. “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untuk kalian, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang menawan?” (QS. An-Naml: 60). Ayat selanjutnya: “Bukankah Dia yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap, dan mengalirkan sungai-sungai di celah-celahnya, serta menjadikan gunung-gunung sebagai penopangnya?” (QS. An-Naml: 61). Lalu, setelahnya ayat, “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Bagaimana ayat ini dapat masuk di antara ayat-ayat tentang kauniyah ini? Di sini ada isyarat yang halus, bahwa dikabulkannya doa orang yang terdesak adalah bukti keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena manusia secara fitrah, hatinya akan tertuju kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Maka jika ada seorang ateis yang mengingkari keberadaan Allah, ia sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu ia jatuh ke dalam sumur yang gelap tanpa seorang pun yang dapat menolongnya, niscaya hatinya langsung tertuju kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan melupakan ateismenya. Ateismenya sirna seketika. Ini termasuk salah satu bukti terbesar atas sifat ketuhanan dan keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Allah Ta’ala menyamakan bukti ini dengan penciptaan langit dan bumi. Sebagaimana penciptaan bumi, sungai-sungai, dan gunung-gunung sebagai penopang bumi. Semua ayat ini sangat agung, menjadi petunjuk atas keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu pula dengan berpalingnya orang yang terdesak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia mencari perlindungan kepada Allah Ta’ala secara spontan, mengikuti fitrahnya. Ia akan berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, tatkala seorang ulama salaf melihat seorang lelaki berjalan diikuti oleh murid-muridnya, lalu mereka berkata, “Ia memiliki seribu dalil tentang keberadaan Allah.” Ulama itu berkata, “Tak perlu sampai seribu dalil, satu dalil saja sudah cukup.” Mereka bertanya, “Apa dalil itu?” Ia menjawab, “Bagaimana jika kamu sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu terjatuh ke dalam sumur, kepada siapa engkau akan memohon pertolongan?” Mereka menjawab, “Kepada Allah.” Ia berkata, “Itulah bukti keberadaan Allah. Bukti secara fitrah.” Bukti secara fitrah tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Ia adalah salah satu dalil terkuat. Jadi, inilah yang disebut sebagai doa orang yang terdesak. Jika seseorang mampu berdoa seperti keadaan orang yang benar-benar terdesak, maka Allah pasti akan mengabulkan doanya. Demikian pula dengan orang yang terzalimi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Takutlah kalian terhadap doa orang yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari & Muslim). Mengapa doa orang terzalimi mustajab? Pertama, karena Allah Ta’ala tidak menyukai kezaliman. Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan menjadikannya haram pula di antara hamba-hamba-Nya. Dia tidak menyukai dan tidak memberi petunjuk orang-orang zalim. Oleh sebab itu, kamu dapati orang zalim hidupnya sengsara. Kedua—dan ini sebab yang paling penting—orang yang terzalimi akan berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh hati, dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, mengadu kepada Allah agar menimpakan azab kepada orang yang menzaliminya. Ia berdoa dengan kejujuran dan gejolak perasaan dari lubuk hatinya. Maka, jika kondisi batin orang yang berdoa itu seperti kondisi orang yang benar-benar terdesak dan terzalimi, niscaya doanya akan dikabulkan. Allahul musta’an. Semoga Allah membalas Anda, wahai Syaikh. ===== الْأَخُ رَابِحٌ يَقُولُ يَعْنِي كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّ؟ دُعَاءُ الْمُضْطَرِّ أَوَّلًا أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّهُ يُجِيبُ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّأَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَقَالَ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ يَعْنِي مُضْطَرِّيْنَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ الِاضْطِرَارُ سَبَبٌ قَوِيٌّ لِإِجَابَةِ الدُّعَاءِ حَتَّى أَنَّهُ يَزُولُ مَعَهُ أَقْوَى مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ وَهُوَ الشِّرْكُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَهُمْ مُشْرِكُونَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا وَصَلُوا إِلَى حَالِ الِاضْطِرَارِ كَانَتْ قُوَّةُ هَذَا السَّبَبِ أَقْوَى مِنْ هَذَا الْمَانِعِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُضْطَرَّ أَنَّهُ تُسْتَجَابُ دَعْوَتُهُ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ؟ تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ لِأَنَّ هَذَا الِاضْطِرَارَ يَصْحَبُهُ اخْلَاصٌ شَدِيدٌ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَتَفْرِيغُ الْقَلْبِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلُجُوءٌ إِلَى اللَّهُ تَعَالَى بِالْكُلِّيَّةِ وَانْقِطَاعٌ عَنِ الْمَخْلُوقِيْنَ كَإِنِسَانٍ عَلَى لُجَّةِ الْبَحْرِ يَخْشَى أَنْ يَغْرَقَ الْبَحْرُ مُتَلَاطِمُ الْأَمْوَاجِ وَهُوَ الْآنَ فِي هَذَا الْبَحْرِ وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ رَافِعُ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ مَا ظَنُّكَ بِشُعُوْرِ هَذَا الْإِنْسَانِ؟ شُعُورُ هَذَا الْإِنْسَانِ هَذَا الشُّعُورُ هَذَا هُوَ هَذِهِ هِيَ حَالَةُ الِاضْطِرَارِ الْأَخُ الْكَرِيمُ يَقُولُ كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى كَالْمُضْطَرِّ كَحَالَةِ هَذَا الْإِنْسَانِ الَّذِي فِي لُجَّةِ الْبَحْرِوَأَمْوَاجُ الْبَحْرِ تَتَلَاطَمُ وَالْعَوَاصِبُ مِنْ حَوْلِهِ وَهُوَ يَعْنِي مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ يَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَا رَبِّ يَا رَبِّ هَلْ سَيَبْقَى فِي قَلْبِ هَذَا الْإِنْسَانِ تَعَلُّقٌ بِمَخْلُوْقٍ؟ أَبَدًا سَيَكُوْنُ التَّعَلُّقُ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلهِ سُبْحَانَهُ هِيَ مَسْأَلَةُ قَضِيَّةِ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ يَعْنِي هُوَ إِنْ لَمْ يُنَجِّهِ اللهُ تَعَالَى هَلَكَ وَمَاتَ الْمَوْتُ الْآنَ يَرَاهُ أَمَامَهُ فَالْقَضِيَّةُ قَضِيَّةُ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ إِذَا وَصَلَ الدَّاعِي إِلَى هَذِهِ الْمَرْحَلَةِ أُسْتُجِيبَتْ دَعْوَتُهُ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُضْطَرًّا لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَطَعَ عَلَاقَتَهُ بِالْمَخْلُوقِيْنَ انْصَرَفَ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى صَحِبَ هَذَا الدُّعَاءَ إِخْلاصٌ شَدِيدٌ فَهُنَا يُسْتَجَابُ الدُّعَاءُ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَالْعَجِيبُ أَنَّ هَذِهِ الآيَةَ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ أَتَتْ فِي سِيَاقِ الآيَاتِ الَّتِي فِيهَا الْأَدِلَّةُ وَالْبَرَاهِينُ الْمُثْبِتَةُ لِرُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ يَعْنِي أَوَّلُ الْآيَاتِ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَىٰ آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَاحِظْ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ كَيْفَ دَخَلَتْ هَذِهِ الايَةُ بَيْنَ يَعْنِي هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ؟ هُنَا يَعْنِي فِيهَا لَمْحَةٌ إِجَابَةُ الْمُضْطَرِّ دَلِيلٌ عَلَى وَحْدَانِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ بِفِطْرَتِهِ يَتَّجِهُ قَلْبُهُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ لَوْ كَانَ إِنْسَانٌ مُلْحِدٌ يُنْكِرُ وُجُودَ اللَّهِ وَكَانَ فِي صَحْرَاءَ يَمْشِي وَحْدَهُ وَوَقَعَ فِي بِئْرٍ مَظْلِمَةٍ مَا عِنْدَهُ أَحَدٌ مِنَ الْبَشَرِ سَيَتَّجِهُ قَلْبُهُ مُبَاشَرَةً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَيَنْسَى إِلْحَادَهُ إِلْحَادُهُ يَنْتَهِي هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَدِلَّةٍ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ فَجَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِثْلَ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مِثْلَ خَلْقِ الْأَرْضِ وَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى خِلَالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِي هَذِهِ الْآيَاتُ عَظِيمَةٌ تَدُلُّ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى وَحْدَانِيِّتِهِ هَكَذَا أَيْضًا لُجُوءُ الْمُضْطَرِّ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَيَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تِلْقَائِيًّا بِفِطْرَتِهِ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِذَلِكَ لَمَّا رَأَى أَحَدُ السَّلَفِ رَجُلًا يَمْشِي وَمَعَهُ أُنَاسٌ مِنْ طُلَّابِهِ قَالُوا عِنْدَهُ أَلْفُ دَلِيلٍ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ قَالَ مَا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ دَلِيلٌ وَاحِدٌ يَكْفِي قَالُوا مَا هُوَ؟ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كُنْتَ تَمْشِي فِي الْبَرِّيَّةِ وَحْدَكَ ثُمَّ وَقَعْتَ فِي بِئْرٍ فَإِلَى مَنْ تَلْتَجِئُ؟ قَالُوا إِلَى اللَّهِ قَالَ إِذًا هَذَا هُوَ الدَّلِيلُ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَلِيلٌ فِطْرِيٌّ فَدَلِيلُ الْفِطْرَةِ لَا أَحَدَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنْكِرَهُ يَعْنِي مِنْ أَقْوَى الْأَدِلَّةِ فَيَعْنِي هَذِهِ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ إِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ فِي دُعَائِهِ مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ فَإِنَّ اللّهَ يُجِيبُ دَعْوَتَهُ وَمِثْلُهُ أَيْضًا الْمَظْلُومُ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ؟ أَوَّلًا إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُحِبُّ الظُّلْمَ وَحَرَّمَ اللَّهُ عَلَى نَفْسِهِ الظُّلْمَ وَجَعَلَهُ بَيْنَ عِبَادِهِ مُحَرَّمًا وَهُوَ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ وَلَا يَهْدِي الظَّالِمِيْنَ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الظَّالِمَ يَتَخَبَّطُ ثَانِيًا وَهُوَ يَعْنِي السَّبَبُ الْأَهَمُّ أَنَّ الْمَظْلُومَ يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِحَرَارَةٍ بِإِخْلَاصٍ بِصِدْقٍ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي أَنْ يُنْزِلَ الْعُقُوبَةَ بِظَالِمِهِ فَهُوَ يَدْعُو بِصِدْقٍ وَحَرَارَةِ الْقَلْبِ فَإِذَا وَصَلَتْ حَالَةُ الدَّاعِي مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ وَحَالَةِ الْمَظْلُومِ أُسْتُجِيبَ الدُّعَاءُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ يَا شَيْخُ
Saudara kita, Rabih, bertanya, “Bagaimana aku dapat berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla seperti doanya orang yang sedang terdesak?” Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia mengabulkan doa orang yang terdesak. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Allah juga berfirman, “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” yakni dalam keadaan terdesak. “Namun saat Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka kembali berbuat syirik.” (QS. Al-Ankabut: 65). Keadaan terdesak adalah sebab kuat terkabulnya doa. Bahkan bisa menghapus penghalang terbesar dari terkabulnya doa, yaitu kesyirikan. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Padahal mereka adalah orang-orang musyrik. Namun saat mereka benar-benar dalam kondisi terdesak, maka kekuatan sebab tersebut lebih besar daripada penghalang terkabulnya doa itu. Ini menunjukkan bahwa doa orang yang terdesak mudah dikabulkan. Mengapa doa orang terdesak mudah dikabulkan? Karena kondisi terdesak itu disertai dengan keikhlasan yang sangat besar dalam berdoa. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Mereka benar-benar mengosongkan hati hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka pun sepenuhnya bergantung dan berlindung kepada Allah semata. Serta memutuskan harapan dari makhluk. Ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang takut dirinya akan tenggelam. Ombak pun saling menghantam satu sama lain. Sementara ia masih berada di tengah laut itu. Antara dirinya dan kematian tinggal beberapa kejap saja. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Menurutmu, bagaimana perasaan orang ini? Perasaan orang ini, inilah yang disebut kondisi terdesak (iḍṭirār). Saudara kita yang mulia bertanya: “Bagaimana caranya aku bisa berdoa seperti orang yang terdesak?” Yakni dengan membayangkan diri seperti seseorang yang terombang-ambing di tengah lautan, sedangkan ombak saling bertabrakan satu sama lain, dan badai dahsyat menerjang dari segala arah. Sementara antara dirinya dan kematian hanya tinggal beberapa kejap mata. Ia pun memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Apakah masih tersisa ketergantungan kepada makhluk dalam hatinya? Sama sekali tidak! Ketergantungannya sepenuhnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia mengosongkan hatinya hanya untuk Allah Subhanah. Karena ini adalah perkara antara hidup dan mati, ia pun berseru, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Jika Allah Ta’ala tidak menyelamatkannya, ia pasti akan binasa dan mati. Ia bahkan bisa melihat kematian ada di hadapannya. Ini benar-benar perkara hidup dan mati. Jika seseorang yang berdoa mencapai kondisi seperti ini, niscaya doanya dikabulkan. Meskipun secara fisik ia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Mengapa? Karena ia mengosongkan hatinya untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan memutus keterikatannya dengan para makhluk. Ia menghadapkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa ini disertai dengan keikhlasan yang dalam, maka pada saat itu, doa pun akan mudah dikabulkan. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Yang menarik, ayat ini: “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). muncul dalam rangkaian ayat-ayat yang menyampaikan dalil dan bukti yang menegaskan keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Ayat sebelumnya: “Katakanlah, segala puji bagi Allah, dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah yang mereka persekutukan?” (QS. An-Naml: 59). “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi?” Lihat bagaimana langit dan bumi diciptakan. “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untuk kalian, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang menawan?” (QS. An-Naml: 60). Ayat selanjutnya: “Bukankah Dia yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap, dan mengalirkan sungai-sungai di celah-celahnya, serta menjadikan gunung-gunung sebagai penopangnya?” (QS. An-Naml: 61). Lalu, setelahnya ayat, “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Bagaimana ayat ini dapat masuk di antara ayat-ayat tentang kauniyah ini? Di sini ada isyarat yang halus, bahwa dikabulkannya doa orang yang terdesak adalah bukti keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena manusia secara fitrah, hatinya akan tertuju kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Maka jika ada seorang ateis yang mengingkari keberadaan Allah, ia sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu ia jatuh ke dalam sumur yang gelap tanpa seorang pun yang dapat menolongnya, niscaya hatinya langsung tertuju kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan melupakan ateismenya. Ateismenya sirna seketika. Ini termasuk salah satu bukti terbesar atas sifat ketuhanan dan keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Allah Ta’ala menyamakan bukti ini dengan penciptaan langit dan bumi. Sebagaimana penciptaan bumi, sungai-sungai, dan gunung-gunung sebagai penopang bumi. Semua ayat ini sangat agung, menjadi petunjuk atas keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu pula dengan berpalingnya orang yang terdesak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia mencari perlindungan kepada Allah Ta’ala secara spontan, mengikuti fitrahnya. Ia akan berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, tatkala seorang ulama salaf melihat seorang lelaki berjalan diikuti oleh murid-muridnya, lalu mereka berkata, “Ia memiliki seribu dalil tentang keberadaan Allah.” Ulama itu berkata, “Tak perlu sampai seribu dalil, satu dalil saja sudah cukup.” Mereka bertanya, “Apa dalil itu?” Ia menjawab, “Bagaimana jika kamu sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu terjatuh ke dalam sumur, kepada siapa engkau akan memohon pertolongan?” Mereka menjawab, “Kepada Allah.” Ia berkata, “Itulah bukti keberadaan Allah. Bukti secara fitrah.” Bukti secara fitrah tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Ia adalah salah satu dalil terkuat. Jadi, inilah yang disebut sebagai doa orang yang terdesak. Jika seseorang mampu berdoa seperti keadaan orang yang benar-benar terdesak, maka Allah pasti akan mengabulkan doanya. Demikian pula dengan orang yang terzalimi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Takutlah kalian terhadap doa orang yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari & Muslim). Mengapa doa orang terzalimi mustajab? Pertama, karena Allah Ta’ala tidak menyukai kezaliman. Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan menjadikannya haram pula di antara hamba-hamba-Nya. Dia tidak menyukai dan tidak memberi petunjuk orang-orang zalim. Oleh sebab itu, kamu dapati orang zalim hidupnya sengsara. Kedua—dan ini sebab yang paling penting—orang yang terzalimi akan berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh hati, dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, mengadu kepada Allah agar menimpakan azab kepada orang yang menzaliminya. Ia berdoa dengan kejujuran dan gejolak perasaan dari lubuk hatinya. Maka, jika kondisi batin orang yang berdoa itu seperti kondisi orang yang benar-benar terdesak dan terzalimi, niscaya doanya akan dikabulkan. Allahul musta’an. Semoga Allah membalas Anda, wahai Syaikh. ===== الْأَخُ رَابِحٌ يَقُولُ يَعْنِي كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّ؟ دُعَاءُ الْمُضْطَرِّ أَوَّلًا أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّهُ يُجِيبُ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّأَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَقَالَ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ يَعْنِي مُضْطَرِّيْنَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ الِاضْطِرَارُ سَبَبٌ قَوِيٌّ لِإِجَابَةِ الدُّعَاءِ حَتَّى أَنَّهُ يَزُولُ مَعَهُ أَقْوَى مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ وَهُوَ الشِّرْكُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَهُمْ مُشْرِكُونَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا وَصَلُوا إِلَى حَالِ الِاضْطِرَارِ كَانَتْ قُوَّةُ هَذَا السَّبَبِ أَقْوَى مِنْ هَذَا الْمَانِعِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُضْطَرَّ أَنَّهُ تُسْتَجَابُ دَعْوَتُهُ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ؟ تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ لِأَنَّ هَذَا الِاضْطِرَارَ يَصْحَبُهُ اخْلَاصٌ شَدِيدٌ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَتَفْرِيغُ الْقَلْبِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلُجُوءٌ إِلَى اللَّهُ تَعَالَى بِالْكُلِّيَّةِ وَانْقِطَاعٌ عَنِ الْمَخْلُوقِيْنَ كَإِنِسَانٍ عَلَى لُجَّةِ الْبَحْرِ يَخْشَى أَنْ يَغْرَقَ الْبَحْرُ مُتَلَاطِمُ الْأَمْوَاجِ وَهُوَ الْآنَ فِي هَذَا الْبَحْرِ وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ رَافِعُ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ مَا ظَنُّكَ بِشُعُوْرِ هَذَا الْإِنْسَانِ؟ شُعُورُ هَذَا الْإِنْسَانِ هَذَا الشُّعُورُ هَذَا هُوَ هَذِهِ هِيَ حَالَةُ الِاضْطِرَارِ الْأَخُ الْكَرِيمُ يَقُولُ كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى كَالْمُضْطَرِّ كَحَالَةِ هَذَا الْإِنْسَانِ الَّذِي فِي لُجَّةِ الْبَحْرِوَأَمْوَاجُ الْبَحْرِ تَتَلَاطَمُ وَالْعَوَاصِبُ مِنْ حَوْلِهِ وَهُوَ يَعْنِي مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ يَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَا رَبِّ يَا رَبِّ هَلْ سَيَبْقَى فِي قَلْبِ هَذَا الْإِنْسَانِ تَعَلُّقٌ بِمَخْلُوْقٍ؟ أَبَدًا سَيَكُوْنُ التَّعَلُّقُ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلهِ سُبْحَانَهُ هِيَ مَسْأَلَةُ قَضِيَّةِ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ يَعْنِي هُوَ إِنْ لَمْ يُنَجِّهِ اللهُ تَعَالَى هَلَكَ وَمَاتَ الْمَوْتُ الْآنَ يَرَاهُ أَمَامَهُ فَالْقَضِيَّةُ قَضِيَّةُ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ إِذَا وَصَلَ الدَّاعِي إِلَى هَذِهِ الْمَرْحَلَةِ أُسْتُجِيبَتْ دَعْوَتُهُ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُضْطَرًّا لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَطَعَ عَلَاقَتَهُ بِالْمَخْلُوقِيْنَ انْصَرَفَ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى صَحِبَ هَذَا الدُّعَاءَ إِخْلاصٌ شَدِيدٌ فَهُنَا يُسْتَجَابُ الدُّعَاءُ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَالْعَجِيبُ أَنَّ هَذِهِ الآيَةَ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ أَتَتْ فِي سِيَاقِ الآيَاتِ الَّتِي فِيهَا الْأَدِلَّةُ وَالْبَرَاهِينُ الْمُثْبِتَةُ لِرُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ يَعْنِي أَوَّلُ الْآيَاتِ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَىٰ آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَاحِظْ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ كَيْفَ دَخَلَتْ هَذِهِ الايَةُ بَيْنَ يَعْنِي هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ؟ هُنَا يَعْنِي فِيهَا لَمْحَةٌ إِجَابَةُ الْمُضْطَرِّ دَلِيلٌ عَلَى وَحْدَانِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ بِفِطْرَتِهِ يَتَّجِهُ قَلْبُهُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ لَوْ كَانَ إِنْسَانٌ مُلْحِدٌ يُنْكِرُ وُجُودَ اللَّهِ وَكَانَ فِي صَحْرَاءَ يَمْشِي وَحْدَهُ وَوَقَعَ فِي بِئْرٍ مَظْلِمَةٍ مَا عِنْدَهُ أَحَدٌ مِنَ الْبَشَرِ سَيَتَّجِهُ قَلْبُهُ مُبَاشَرَةً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَيَنْسَى إِلْحَادَهُ إِلْحَادُهُ يَنْتَهِي هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَدِلَّةٍ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ فَجَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِثْلَ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مِثْلَ خَلْقِ الْأَرْضِ وَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى خِلَالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِي هَذِهِ الْآيَاتُ عَظِيمَةٌ تَدُلُّ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى وَحْدَانِيِّتِهِ هَكَذَا أَيْضًا لُجُوءُ الْمُضْطَرِّ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَيَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تِلْقَائِيًّا بِفِطْرَتِهِ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِذَلِكَ لَمَّا رَأَى أَحَدُ السَّلَفِ رَجُلًا يَمْشِي وَمَعَهُ أُنَاسٌ مِنْ طُلَّابِهِ قَالُوا عِنْدَهُ أَلْفُ دَلِيلٍ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ قَالَ مَا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ دَلِيلٌ وَاحِدٌ يَكْفِي قَالُوا مَا هُوَ؟ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كُنْتَ تَمْشِي فِي الْبَرِّيَّةِ وَحْدَكَ ثُمَّ وَقَعْتَ فِي بِئْرٍ فَإِلَى مَنْ تَلْتَجِئُ؟ قَالُوا إِلَى اللَّهِ قَالَ إِذًا هَذَا هُوَ الدَّلِيلُ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَلِيلٌ فِطْرِيٌّ فَدَلِيلُ الْفِطْرَةِ لَا أَحَدَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنْكِرَهُ يَعْنِي مِنْ أَقْوَى الْأَدِلَّةِ فَيَعْنِي هَذِهِ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ إِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ فِي دُعَائِهِ مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ فَإِنَّ اللّهَ يُجِيبُ دَعْوَتَهُ وَمِثْلُهُ أَيْضًا الْمَظْلُومُ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ؟ أَوَّلًا إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُحِبُّ الظُّلْمَ وَحَرَّمَ اللَّهُ عَلَى نَفْسِهِ الظُّلْمَ وَجَعَلَهُ بَيْنَ عِبَادِهِ مُحَرَّمًا وَهُوَ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ وَلَا يَهْدِي الظَّالِمِيْنَ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الظَّالِمَ يَتَخَبَّطُ ثَانِيًا وَهُوَ يَعْنِي السَّبَبُ الْأَهَمُّ أَنَّ الْمَظْلُومَ يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِحَرَارَةٍ بِإِخْلَاصٍ بِصِدْقٍ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي أَنْ يُنْزِلَ الْعُقُوبَةَ بِظَالِمِهِ فَهُوَ يَدْعُو بِصِدْقٍ وَحَرَارَةِ الْقَلْبِ فَإِذَا وَصَلَتْ حَالَةُ الدَّاعِي مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ وَحَالَةِ الْمَظْلُومِ أُسْتُجِيبَ الدُّعَاءُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ يَا شَيْخُ


Saudara kita, Rabih, bertanya, “Bagaimana aku dapat berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla seperti doanya orang yang sedang terdesak?” Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia mengabulkan doa orang yang terdesak. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Allah juga berfirman, “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” yakni dalam keadaan terdesak. “Namun saat Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka kembali berbuat syirik.” (QS. Al-Ankabut: 65). Keadaan terdesak adalah sebab kuat terkabulnya doa. Bahkan bisa menghapus penghalang terbesar dari terkabulnya doa, yaitu kesyirikan. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Padahal mereka adalah orang-orang musyrik. Namun saat mereka benar-benar dalam kondisi terdesak, maka kekuatan sebab tersebut lebih besar daripada penghalang terkabulnya doa itu. Ini menunjukkan bahwa doa orang yang terdesak mudah dikabulkan. Mengapa doa orang terdesak mudah dikabulkan? Karena kondisi terdesak itu disertai dengan keikhlasan yang sangat besar dalam berdoa. “Maka ketika mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” Mereka benar-benar mengosongkan hati hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka pun sepenuhnya bergantung dan berlindung kepada Allah semata. Serta memutuskan harapan dari makhluk. Ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang takut dirinya akan tenggelam. Ombak pun saling menghantam satu sama lain. Sementara ia masih berada di tengah laut itu. Antara dirinya dan kematian tinggal beberapa kejap saja. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Menurutmu, bagaimana perasaan orang ini? Perasaan orang ini, inilah yang disebut kondisi terdesak (iḍṭirār). Saudara kita yang mulia bertanya: “Bagaimana caranya aku bisa berdoa seperti orang yang terdesak?” Yakni dengan membayangkan diri seperti seseorang yang terombang-ambing di tengah lautan, sedangkan ombak saling bertabrakan satu sama lain, dan badai dahsyat menerjang dari segala arah. Sementara antara dirinya dan kematian hanya tinggal beberapa kejap mata. Ia pun memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Apakah masih tersisa ketergantungan kepada makhluk dalam hatinya? Sama sekali tidak! Ketergantungannya sepenuhnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia mengosongkan hatinya hanya untuk Allah Subhanah. Karena ini adalah perkara antara hidup dan mati, ia pun berseru, “Ya Rabb! Ya Rabb!” Jika Allah Ta’ala tidak menyelamatkannya, ia pasti akan binasa dan mati. Ia bahkan bisa melihat kematian ada di hadapannya. Ini benar-benar perkara hidup dan mati. Jika seseorang yang berdoa mencapai kondisi seperti ini, niscaya doanya dikabulkan. Meskipun secara fisik ia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Mengapa? Karena ia mengosongkan hatinya untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan memutus keterikatannya dengan para makhluk. Ia menghadapkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa ini disertai dengan keikhlasan yang dalam, maka pada saat itu, doa pun akan mudah dikabulkan. “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Yang menarik, ayat ini: “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). muncul dalam rangkaian ayat-ayat yang menyampaikan dalil dan bukti yang menegaskan keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Ayat sebelumnya: “Katakanlah, segala puji bagi Allah, dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah yang mereka persekutukan?” (QS. An-Naml: 59). “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi?” Lihat bagaimana langit dan bumi diciptakan. “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untuk kalian, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang menawan?” (QS. An-Naml: 60). Ayat selanjutnya: “Bukankah Dia yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap, dan mengalirkan sungai-sungai di celah-celahnya, serta menjadikan gunung-gunung sebagai penopangnya?” (QS. An-Naml: 61). Lalu, setelahnya ayat, “Bukankah Dia (Allah) yang mengabulkan (doa) orang yang terdesak ketika ia berdoa kepada-Nya…” (QS. An-Naml: 62). Bagaimana ayat ini dapat masuk di antara ayat-ayat tentang kauniyah ini? Di sini ada isyarat yang halus, bahwa dikabulkannya doa orang yang terdesak adalah bukti keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena manusia secara fitrah, hatinya akan tertuju kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Maka jika ada seorang ateis yang mengingkari keberadaan Allah, ia sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu ia jatuh ke dalam sumur yang gelap tanpa seorang pun yang dapat menolongnya, niscaya hatinya langsung tertuju kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia akan melupakan ateismenya. Ateismenya sirna seketika. Ini termasuk salah satu bukti terbesar atas sifat ketuhanan dan keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Allah Ta’ala menyamakan bukti ini dengan penciptaan langit dan bumi. Sebagaimana penciptaan bumi, sungai-sungai, dan gunung-gunung sebagai penopang bumi. Semua ayat ini sangat agung, menjadi petunjuk atas keesaan dan ketuhanan Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu pula dengan berpalingnya orang yang terdesak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia mencari perlindungan kepada Allah Ta’ala secara spontan, mengikuti fitrahnya. Ia akan berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, tatkala seorang ulama salaf melihat seorang lelaki berjalan diikuti oleh murid-muridnya, lalu mereka berkata, “Ia memiliki seribu dalil tentang keberadaan Allah.” Ulama itu berkata, “Tak perlu sampai seribu dalil, satu dalil saja sudah cukup.” Mereka bertanya, “Apa dalil itu?” Ia menjawab, “Bagaimana jika kamu sedang berjalan sendirian di padang pasir, lalu terjatuh ke dalam sumur, kepada siapa engkau akan memohon pertolongan?” Mereka menjawab, “Kepada Allah.” Ia berkata, “Itulah bukti keberadaan Allah. Bukti secara fitrah.” Bukti secara fitrah tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Ia adalah salah satu dalil terkuat. Jadi, inilah yang disebut sebagai doa orang yang terdesak. Jika seseorang mampu berdoa seperti keadaan orang yang benar-benar terdesak, maka Allah pasti akan mengabulkan doanya. Demikian pula dengan orang yang terzalimi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Takutlah kalian terhadap doa orang yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari & Muslim). Mengapa doa orang terzalimi mustajab? Pertama, karena Allah Ta’ala tidak menyukai kezaliman. Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan menjadikannya haram pula di antara hamba-hamba-Nya. Dia tidak menyukai dan tidak memberi petunjuk orang-orang zalim. Oleh sebab itu, kamu dapati orang zalim hidupnya sengsara. Kedua—dan ini sebab yang paling penting—orang yang terzalimi akan berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh hati, dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, mengadu kepada Allah agar menimpakan azab kepada orang yang menzaliminya. Ia berdoa dengan kejujuran dan gejolak perasaan dari lubuk hatinya. Maka, jika kondisi batin orang yang berdoa itu seperti kondisi orang yang benar-benar terdesak dan terzalimi, niscaya doanya akan dikabulkan. Allahul musta’an. Semoga Allah membalas Anda, wahai Syaikh. ===== الْأَخُ رَابِحٌ يَقُولُ يَعْنِي كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّ؟ دُعَاءُ الْمُضْطَرِّ أَوَّلًا أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّهُ يُجِيبُ دُعَاءَ الْمُضْطَرِّأَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَقَالَ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ يَعْنِي مُضْطَرِّيْنَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ الِاضْطِرَارُ سَبَبٌ قَوِيٌّ لِإِجَابَةِ الدُّعَاءِ حَتَّى أَنَّهُ يَزُولُ مَعَهُ أَقْوَى مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ وَهُوَ الشِّرْكُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَهُمْ مُشْرِكُونَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا وَصَلُوا إِلَى حَالِ الِاضْطِرَارِ كَانَتْ قُوَّةُ هَذَا السَّبَبِ أَقْوَى مِنْ هَذَا الْمَانِعِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُضْطَرَّ أَنَّهُ تُسْتَجَابُ دَعْوَتُهُ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ؟ تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ لِأَنَّ هَذَا الِاضْطِرَارَ يَصْحَبُهُ اخْلَاصٌ شَدِيدٌ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَتَفْرِيغُ الْقَلْبِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلُجُوءٌ إِلَى اللَّهُ تَعَالَى بِالْكُلِّيَّةِ وَانْقِطَاعٌ عَنِ الْمَخْلُوقِيْنَ كَإِنِسَانٍ عَلَى لُجَّةِ الْبَحْرِ يَخْشَى أَنْ يَغْرَقَ الْبَحْرُ مُتَلَاطِمُ الْأَمْوَاجِ وَهُوَ الْآنَ فِي هَذَا الْبَحْرِ وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ رَافِعُ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ مَا ظَنُّكَ بِشُعُوْرِ هَذَا الْإِنْسَانِ؟ شُعُورُ هَذَا الْإِنْسَانِ هَذَا الشُّعُورُ هَذَا هُوَ هَذِهِ هِيَ حَالَةُ الِاضْطِرَارِ الْأَخُ الْكَرِيمُ يَقُولُ كَيْفَ أَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى كَالْمُضْطَرِّ كَحَالَةِ هَذَا الْإِنْسَانِ الَّذِي فِي لُجَّةِ الْبَحْرِوَأَمْوَاجُ الْبَحْرِ تَتَلَاطَمُ وَالْعَوَاصِبُ مِنْ حَوْلِهِ وَهُوَ يَعْنِي مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَوْتِ إِلَّا لَحَظَاتٌ وَهُوَ يَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَا رَبِّ يَا رَبِّ هَلْ سَيَبْقَى فِي قَلْبِ هَذَا الْإِنْسَانِ تَعَلُّقٌ بِمَخْلُوْقٍ؟ أَبَدًا سَيَكُوْنُ التَّعَلُّقُ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلهِ سُبْحَانَهُ هِيَ مَسْأَلَةُ قَضِيَّةِ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ يَعْنِي هُوَ إِنْ لَمْ يُنَجِّهِ اللهُ تَعَالَى هَلَكَ وَمَاتَ الْمَوْتُ الْآنَ يَرَاهُ أَمَامَهُ فَالْقَضِيَّةُ قَضِيَّةُ الْحَيَاةِ وَاْلمَوْتِ إِذَا وَصَلَ الدَّاعِي إِلَى هَذِهِ الْمَرْحَلَةِ أُسْتُجِيبَتْ دَعْوَتُهُ حَتَّى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُضْطَرًّا لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَطَعَ عَلَاقَتَهُ بِالْمَخْلُوقِيْنَ انْصَرَفَ بِالْكُلِّيَّةِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى صَحِبَ هَذَا الدُّعَاءَ إِخْلاصٌ شَدِيدٌ فَهُنَا يُسْتَجَابُ الدُّعَاءُ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَالْعَجِيبُ أَنَّ هَذِهِ الآيَةَ أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ أَتَتْ فِي سِيَاقِ الآيَاتِ الَّتِي فِيهَا الْأَدِلَّةُ وَالْبَرَاهِينُ الْمُثْبِتَةُ لِرُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ يَعْنِي أَوَّلُ الْآيَاتِ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَىٰ آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَاحِظْ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ كَيْفَ دَخَلَتْ هَذِهِ الايَةُ بَيْنَ يَعْنِي هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ؟ هُنَا يَعْنِي فِيهَا لَمْحَةٌ إِجَابَةُ الْمُضْطَرِّ دَلِيلٌ عَلَى وَحْدَانِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ بِفِطْرَتِهِ يَتَّجِهُ قَلْبُهُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ لَوْ كَانَ إِنْسَانٌ مُلْحِدٌ يُنْكِرُ وُجُودَ اللَّهِ وَكَانَ فِي صَحْرَاءَ يَمْشِي وَحْدَهُ وَوَقَعَ فِي بِئْرٍ مَظْلِمَةٍ مَا عِنْدَهُ أَحَدٌ مِنَ الْبَشَرِ سَيَتَّجِهُ قَلْبُهُ مُبَاشَرَةً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَيَنْسَى إِلْحَادَهُ إِلْحَادُهُ يَنْتَهِي هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَدِلَّةٍ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَوَحْدَانِيَّتِهِ فَجَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِثْلَ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مِثْلَ خَلْقِ الْأَرْضِ وَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى خِلَالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِي هَذِهِ الْآيَاتُ عَظِيمَةٌ تَدُلُّ عَلَى رُبُوبِيَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى وَحْدَانِيِّتِهِ هَكَذَا أَيْضًا لُجُوءُ الْمُضْطَرِّ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَيَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تِلْقَائِيًّا بِفِطْرَتِهِ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِذَلِكَ لَمَّا رَأَى أَحَدُ السَّلَفِ رَجُلًا يَمْشِي وَمَعَهُ أُنَاسٌ مِنْ طُلَّابِهِ قَالُوا عِنْدَهُ أَلْفُ دَلِيلٍ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ قَالَ مَا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ دَلِيلٌ وَاحِدٌ يَكْفِي قَالُوا مَا هُوَ؟ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كُنْتَ تَمْشِي فِي الْبَرِّيَّةِ وَحْدَكَ ثُمَّ وَقَعْتَ فِي بِئْرٍ فَإِلَى مَنْ تَلْتَجِئُ؟ قَالُوا إِلَى اللَّهِ قَالَ إِذًا هَذَا هُوَ الدَّلِيلُ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَلِيلٌ فِطْرِيٌّ فَدَلِيلُ الْفِطْرَةِ لَا أَحَدَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنْكِرَهُ يَعْنِي مِنْ أَقْوَى الْأَدِلَّةِ فَيَعْنِي هَذِهِ دَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ إِذَا وَصَلَ الْإِنْسَانُ فِي دُعَائِهِ مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ فَإِنَّ اللّهَ يُجِيبُ دَعْوَتَهُ وَمِثْلُهُ أَيْضًا الْمَظْلُومُ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ لِمَاذَا تُسْتَجَابُ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ؟ أَوَّلًا إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُحِبُّ الظُّلْمَ وَحَرَّمَ اللَّهُ عَلَى نَفْسِهِ الظُّلْمَ وَجَعَلَهُ بَيْنَ عِبَادِهِ مُحَرَّمًا وَهُوَ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ وَلَا يَهْدِي الظَّالِمِيْنَ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الظَّالِمَ يَتَخَبَّطُ ثَانِيًا وَهُوَ يَعْنِي السَّبَبُ الْأَهَمُّ أَنَّ الْمَظْلُومَ يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِحَرَارَةٍ بِإِخْلَاصٍ بِصِدْقٍ يَلْجَأُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي أَنْ يُنْزِلَ الْعُقُوبَةَ بِظَالِمِهِ فَهُوَ يَدْعُو بِصِدْقٍ وَحَرَارَةِ الْقَلْبِ فَإِذَا وَصَلَتْ حَالَةُ الدَّاعِي مِثْلَ حَالَةِ الْمُضْطَرِّ وَحَالَةِ الْمَظْلُومِ أُسْتُجِيبَ الدُّعَاءُ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ شَكَرَ اللَّهُ لَكُمْ يَا شَيْخُ

Teguran Allah kepada Rasulullah dalam Al-Qur’an

Daftar Isi ToggleSurah AbasaSurah Al-AnfalSurah Al-KahfiSurah At-TahrimSurah At-TaubahAllah menegur dan membimbing Nabi-Nya dalam Al-Qur’an. Namun, teguran ini bukanlah bentuk celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan bentuk bimbingan dan kasih sayang dari Allah Rabb semesta Allah kepada hamba dan utusan-Nya yang mulia.Teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukan bahwa beliau adalah hamba Allah, manusia biasa. Akan tetapi, beliau merupakan manusia yang khusus (istimewa). Sehingga ketika ada kesalahan yang beliau lakukan, Allah langsung membimbing Rasulullah melalui ayat Al-Qur’an.Lalu, apa saja teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah yang terdapat dalam Al-Qur’an?Surah AbasaAllah menegur Rasulullah dalam surah Abasa ketika seorang sahabat tunanetra yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta petunjuk. Akan tetapi, beliau berpaling dan memilih untuk membersamai pembesar Quraisy yang beliau harapkan keislamannya. Allah Ta’ala berfirman,عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ وَهُوَ يَخْشٰىۙ  فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ“Dia (Nabi) berwajah masam dan berpaling karena seorang tunanetra datang kepadanya. Tahukah engkau boleh jadi dia ingin menyucikan dirinya atau dia ingin mendapatkan pengajaran hingga mendapatkan manfaat baginya. Adapun orang yang kaya (pembesar Quraisy), engkau memberi perhatian kepadanya. Padahal, tidak ada cela atasmu kalau dia tidak menyucikan diri. Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedangkan ia takut (kepada Allah), malah engkau abaikan.” (QS. Abasa: 1-10)Surah Al-AnfalAllah juga menegur Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam surah Al-Anfal ayat 67 yang turun ketika perang Badar. Allah Ta’ala berfirman,مَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ لَّوْلَا كِتَٰبٌ مِّنَ ٱللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَآ أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS. Al-Anfal: 67-68)Ketika itu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat hendak menawan kaum musyrikin yang kalah dalam peperangan untuk dimintai tebusan. Akan tetapi, Umar bin Al-Khattab tidak setuju dan menyarankan untuk membunuh mereka. Allah pun menegur Rasulullah dan para sahabat dengan menurunkan ayat ini.Hal ini dikarenakan tidak pantas bagi seseorang yang berusaha meredupkan cahaya Allah di muka bumi dan bersikeras untuk melenyapkan hamba-hamba Allah yang bertauhid di bumi ini malah dibiarkan hidup demi mendapatkan tebusan berupa harta. Oleh karena itu, Allah pun menegur Rasulullah dengan surah ini.Surah Al-KahfiRasulullah juga diingatkan oleh Allah Ta’ala ketika lupa mengucapkan insya Allah pada surah Al-Kahfi. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُۖ“Janganlah engkau mengatakan akan melakukan sesuatu besok kecuali dengan mengatakan insya Allah.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)Ayat ini turun ketika beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tentang kisah Ashabul Kahfi dan kisah tentang Zulkarnain. Rasulullah ketika itu menjawab, “Saya akan melakukannya besok.” Tanpa menggunakan kalimat Insya Allah. Oleh karena itu, Allah ingatkan Rasul-Nya dalam ayat ini agar mengatakan Insya Allah. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak tahu tentang masa depan sehingga sepatutnya mengucapkan Insya Allah (Jika Allah berkehendak) ketika akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang.Baca juga: “Al-Qur’an Journaling”Surah At-TahrimDalam surah At-Tahrim juga terdapat teguran Allah kepada Rasulullah berkaitan pengharaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam terhadap apa yang Allah halalkan. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكَۚ تَبْتَغِيْ مَرْضَاتَ اَزْوَاجِكَۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu? Engkau bermaksud menyenangkan istri-istrimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)Hal ini terjadi ketika Rasulullah mengharamkan baginya hamba sahaya wanitanya yang bernama Mariyah, juga untuk tidak meminum madu di tempat Zainab binti Jahsy. Hal tersebut beliau lakukan untuk menyenangkan dua dari istri-istri beliau, yaitu Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi, Allah tegur Rasul-Nya dengan turunnya surah At-Tahrim.Surah At-TaubahRasulullah juga menerima teguran dari Allah di dalam surah At-Taubah karena memberi izin kaum munafik untuk tidak ikut berjihad. Allah Ta’ala berfirman,عَفَا اللّٰهُ عَنْكَۚ لِمَ اَذِنْتَ لَهُمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَتَعْلَمَ الْكٰذِبِيْنَ“Allah telah memaafkanmu (Nabi Muhammad). Mengapa engkau mengizinkan mereka (tidak berperang) sehingga jelas bagimu mana orang-orang yang benar dan orang orang yang berdusta.” (QS. At-Taubah: 43)Ayat ini turun ketika orang-orang munafik beralasan untuk mencari cara agar tidak ikut berjihad ke medan perang. Rasulullah memberikan izin kepada mereka ketika itu sehingga Allah menegur Rasulullah dengan ayat ini. Hal tersebut dikarenakan jihad merupakan amalan yang sangat penting dan medekatkan diri kepada Allah. Maka dari itu, orang yang mencari-cari alasan untuk tidak ikut berjihad tidak mungkin merupakan orang yang beriman.Hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِالْمُتَّقِيْنَ“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidaklah akan meminta izin kepadamu untuk tidak berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 44)Itulah beberapa teguran Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dari teguran tersebut kita bisa pelajari besarnya kasih sayang Allah kepada Nabi-Nya sehingga Allah senantiasa menjaga Rasulullah dari kesalahan. Selain itu, hal tersebut merupakan bukti bahwa Al-Qur’an bukan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Mengapa teguran Allah ini bisa menjadikan bukti bahwa Al-Qur’an tidak mungkin merupakan tulisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Alasannya:Pertama: Tentunya menegur dirinya sendiri yang salah adalah suatu hal yang tidak lazim dalam karya buatan manusia, terlebih lagi dari seorang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi.Kedua: Teguran yang ada dalam Al-Qur’an yang diabadikan hingga sekarang sejak 1400 tahun lalu menunjukkan sifat kenabian yang jujur dan amanah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan isi Al-Qur’an seluruhnya walaupun di dalamnya terdapat teguran pada diri Rasulullah pribadi.Ketiga: Jika Al-Qur’an bukan kitab suci yang Allah turunkan dan Allah janjikan penjagaannya, bisa jadi ayat-ayat teguran ini ada yang menghapus demi menjaga sempurnanya sosok Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi, ayat yang berisi teguran tersebut masih ada hingga sekarang dan dihafalkan oleh jutaan kaum muslimin.Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Warna Pakaian yang Paling Disukai Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisir Karimir Rahman, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

Teguran Allah kepada Rasulullah dalam Al-Qur’an

Daftar Isi ToggleSurah AbasaSurah Al-AnfalSurah Al-KahfiSurah At-TahrimSurah At-TaubahAllah menegur dan membimbing Nabi-Nya dalam Al-Qur’an. Namun, teguran ini bukanlah bentuk celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan bentuk bimbingan dan kasih sayang dari Allah Rabb semesta Allah kepada hamba dan utusan-Nya yang mulia.Teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukan bahwa beliau adalah hamba Allah, manusia biasa. Akan tetapi, beliau merupakan manusia yang khusus (istimewa). Sehingga ketika ada kesalahan yang beliau lakukan, Allah langsung membimbing Rasulullah melalui ayat Al-Qur’an.Lalu, apa saja teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah yang terdapat dalam Al-Qur’an?Surah AbasaAllah menegur Rasulullah dalam surah Abasa ketika seorang sahabat tunanetra yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta petunjuk. Akan tetapi, beliau berpaling dan memilih untuk membersamai pembesar Quraisy yang beliau harapkan keislamannya. Allah Ta’ala berfirman,عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ وَهُوَ يَخْشٰىۙ  فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ“Dia (Nabi) berwajah masam dan berpaling karena seorang tunanetra datang kepadanya. Tahukah engkau boleh jadi dia ingin menyucikan dirinya atau dia ingin mendapatkan pengajaran hingga mendapatkan manfaat baginya. Adapun orang yang kaya (pembesar Quraisy), engkau memberi perhatian kepadanya. Padahal, tidak ada cela atasmu kalau dia tidak menyucikan diri. Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedangkan ia takut (kepada Allah), malah engkau abaikan.” (QS. Abasa: 1-10)Surah Al-AnfalAllah juga menegur Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam surah Al-Anfal ayat 67 yang turun ketika perang Badar. Allah Ta’ala berfirman,مَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ لَّوْلَا كِتَٰبٌ مِّنَ ٱللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَآ أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS. Al-Anfal: 67-68)Ketika itu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat hendak menawan kaum musyrikin yang kalah dalam peperangan untuk dimintai tebusan. Akan tetapi, Umar bin Al-Khattab tidak setuju dan menyarankan untuk membunuh mereka. Allah pun menegur Rasulullah dan para sahabat dengan menurunkan ayat ini.Hal ini dikarenakan tidak pantas bagi seseorang yang berusaha meredupkan cahaya Allah di muka bumi dan bersikeras untuk melenyapkan hamba-hamba Allah yang bertauhid di bumi ini malah dibiarkan hidup demi mendapatkan tebusan berupa harta. Oleh karena itu, Allah pun menegur Rasulullah dengan surah ini.Surah Al-KahfiRasulullah juga diingatkan oleh Allah Ta’ala ketika lupa mengucapkan insya Allah pada surah Al-Kahfi. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُۖ“Janganlah engkau mengatakan akan melakukan sesuatu besok kecuali dengan mengatakan insya Allah.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)Ayat ini turun ketika beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tentang kisah Ashabul Kahfi dan kisah tentang Zulkarnain. Rasulullah ketika itu menjawab, “Saya akan melakukannya besok.” Tanpa menggunakan kalimat Insya Allah. Oleh karena itu, Allah ingatkan Rasul-Nya dalam ayat ini agar mengatakan Insya Allah. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak tahu tentang masa depan sehingga sepatutnya mengucapkan Insya Allah (Jika Allah berkehendak) ketika akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang.Baca juga: “Al-Qur’an Journaling”Surah At-TahrimDalam surah At-Tahrim juga terdapat teguran Allah kepada Rasulullah berkaitan pengharaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam terhadap apa yang Allah halalkan. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكَۚ تَبْتَغِيْ مَرْضَاتَ اَزْوَاجِكَۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu? Engkau bermaksud menyenangkan istri-istrimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)Hal ini terjadi ketika Rasulullah mengharamkan baginya hamba sahaya wanitanya yang bernama Mariyah, juga untuk tidak meminum madu di tempat Zainab binti Jahsy. Hal tersebut beliau lakukan untuk menyenangkan dua dari istri-istri beliau, yaitu Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi, Allah tegur Rasul-Nya dengan turunnya surah At-Tahrim.Surah At-TaubahRasulullah juga menerima teguran dari Allah di dalam surah At-Taubah karena memberi izin kaum munafik untuk tidak ikut berjihad. Allah Ta’ala berfirman,عَفَا اللّٰهُ عَنْكَۚ لِمَ اَذِنْتَ لَهُمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَتَعْلَمَ الْكٰذِبِيْنَ“Allah telah memaafkanmu (Nabi Muhammad). Mengapa engkau mengizinkan mereka (tidak berperang) sehingga jelas bagimu mana orang-orang yang benar dan orang orang yang berdusta.” (QS. At-Taubah: 43)Ayat ini turun ketika orang-orang munafik beralasan untuk mencari cara agar tidak ikut berjihad ke medan perang. Rasulullah memberikan izin kepada mereka ketika itu sehingga Allah menegur Rasulullah dengan ayat ini. Hal tersebut dikarenakan jihad merupakan amalan yang sangat penting dan medekatkan diri kepada Allah. Maka dari itu, orang yang mencari-cari alasan untuk tidak ikut berjihad tidak mungkin merupakan orang yang beriman.Hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِالْمُتَّقِيْنَ“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidaklah akan meminta izin kepadamu untuk tidak berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 44)Itulah beberapa teguran Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dari teguran tersebut kita bisa pelajari besarnya kasih sayang Allah kepada Nabi-Nya sehingga Allah senantiasa menjaga Rasulullah dari kesalahan. Selain itu, hal tersebut merupakan bukti bahwa Al-Qur’an bukan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Mengapa teguran Allah ini bisa menjadikan bukti bahwa Al-Qur’an tidak mungkin merupakan tulisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Alasannya:Pertama: Tentunya menegur dirinya sendiri yang salah adalah suatu hal yang tidak lazim dalam karya buatan manusia, terlebih lagi dari seorang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi.Kedua: Teguran yang ada dalam Al-Qur’an yang diabadikan hingga sekarang sejak 1400 tahun lalu menunjukkan sifat kenabian yang jujur dan amanah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan isi Al-Qur’an seluruhnya walaupun di dalamnya terdapat teguran pada diri Rasulullah pribadi.Ketiga: Jika Al-Qur’an bukan kitab suci yang Allah turunkan dan Allah janjikan penjagaannya, bisa jadi ayat-ayat teguran ini ada yang menghapus demi menjaga sempurnanya sosok Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi, ayat yang berisi teguran tersebut masih ada hingga sekarang dan dihafalkan oleh jutaan kaum muslimin.Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Warna Pakaian yang Paling Disukai Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisir Karimir Rahman, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
Daftar Isi ToggleSurah AbasaSurah Al-AnfalSurah Al-KahfiSurah At-TahrimSurah At-TaubahAllah menegur dan membimbing Nabi-Nya dalam Al-Qur’an. Namun, teguran ini bukanlah bentuk celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan bentuk bimbingan dan kasih sayang dari Allah Rabb semesta Allah kepada hamba dan utusan-Nya yang mulia.Teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukan bahwa beliau adalah hamba Allah, manusia biasa. Akan tetapi, beliau merupakan manusia yang khusus (istimewa). Sehingga ketika ada kesalahan yang beliau lakukan, Allah langsung membimbing Rasulullah melalui ayat Al-Qur’an.Lalu, apa saja teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah yang terdapat dalam Al-Qur’an?Surah AbasaAllah menegur Rasulullah dalam surah Abasa ketika seorang sahabat tunanetra yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta petunjuk. Akan tetapi, beliau berpaling dan memilih untuk membersamai pembesar Quraisy yang beliau harapkan keislamannya. Allah Ta’ala berfirman,عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ وَهُوَ يَخْشٰىۙ  فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ“Dia (Nabi) berwajah masam dan berpaling karena seorang tunanetra datang kepadanya. Tahukah engkau boleh jadi dia ingin menyucikan dirinya atau dia ingin mendapatkan pengajaran hingga mendapatkan manfaat baginya. Adapun orang yang kaya (pembesar Quraisy), engkau memberi perhatian kepadanya. Padahal, tidak ada cela atasmu kalau dia tidak menyucikan diri. Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedangkan ia takut (kepada Allah), malah engkau abaikan.” (QS. Abasa: 1-10)Surah Al-AnfalAllah juga menegur Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam surah Al-Anfal ayat 67 yang turun ketika perang Badar. Allah Ta’ala berfirman,مَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ لَّوْلَا كِتَٰبٌ مِّنَ ٱللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَآ أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS. Al-Anfal: 67-68)Ketika itu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat hendak menawan kaum musyrikin yang kalah dalam peperangan untuk dimintai tebusan. Akan tetapi, Umar bin Al-Khattab tidak setuju dan menyarankan untuk membunuh mereka. Allah pun menegur Rasulullah dan para sahabat dengan menurunkan ayat ini.Hal ini dikarenakan tidak pantas bagi seseorang yang berusaha meredupkan cahaya Allah di muka bumi dan bersikeras untuk melenyapkan hamba-hamba Allah yang bertauhid di bumi ini malah dibiarkan hidup demi mendapatkan tebusan berupa harta. Oleh karena itu, Allah pun menegur Rasulullah dengan surah ini.Surah Al-KahfiRasulullah juga diingatkan oleh Allah Ta’ala ketika lupa mengucapkan insya Allah pada surah Al-Kahfi. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُۖ“Janganlah engkau mengatakan akan melakukan sesuatu besok kecuali dengan mengatakan insya Allah.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)Ayat ini turun ketika beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tentang kisah Ashabul Kahfi dan kisah tentang Zulkarnain. Rasulullah ketika itu menjawab, “Saya akan melakukannya besok.” Tanpa menggunakan kalimat Insya Allah. Oleh karena itu, Allah ingatkan Rasul-Nya dalam ayat ini agar mengatakan Insya Allah. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak tahu tentang masa depan sehingga sepatutnya mengucapkan Insya Allah (Jika Allah berkehendak) ketika akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang.Baca juga: “Al-Qur’an Journaling”Surah At-TahrimDalam surah At-Tahrim juga terdapat teguran Allah kepada Rasulullah berkaitan pengharaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam terhadap apa yang Allah halalkan. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكَۚ تَبْتَغِيْ مَرْضَاتَ اَزْوَاجِكَۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu? Engkau bermaksud menyenangkan istri-istrimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)Hal ini terjadi ketika Rasulullah mengharamkan baginya hamba sahaya wanitanya yang bernama Mariyah, juga untuk tidak meminum madu di tempat Zainab binti Jahsy. Hal tersebut beliau lakukan untuk menyenangkan dua dari istri-istri beliau, yaitu Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi, Allah tegur Rasul-Nya dengan turunnya surah At-Tahrim.Surah At-TaubahRasulullah juga menerima teguran dari Allah di dalam surah At-Taubah karena memberi izin kaum munafik untuk tidak ikut berjihad. Allah Ta’ala berfirman,عَفَا اللّٰهُ عَنْكَۚ لِمَ اَذِنْتَ لَهُمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَتَعْلَمَ الْكٰذِبِيْنَ“Allah telah memaafkanmu (Nabi Muhammad). Mengapa engkau mengizinkan mereka (tidak berperang) sehingga jelas bagimu mana orang-orang yang benar dan orang orang yang berdusta.” (QS. At-Taubah: 43)Ayat ini turun ketika orang-orang munafik beralasan untuk mencari cara agar tidak ikut berjihad ke medan perang. Rasulullah memberikan izin kepada mereka ketika itu sehingga Allah menegur Rasulullah dengan ayat ini. Hal tersebut dikarenakan jihad merupakan amalan yang sangat penting dan medekatkan diri kepada Allah. Maka dari itu, orang yang mencari-cari alasan untuk tidak ikut berjihad tidak mungkin merupakan orang yang beriman.Hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِالْمُتَّقِيْنَ“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidaklah akan meminta izin kepadamu untuk tidak berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 44)Itulah beberapa teguran Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dari teguran tersebut kita bisa pelajari besarnya kasih sayang Allah kepada Nabi-Nya sehingga Allah senantiasa menjaga Rasulullah dari kesalahan. Selain itu, hal tersebut merupakan bukti bahwa Al-Qur’an bukan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Mengapa teguran Allah ini bisa menjadikan bukti bahwa Al-Qur’an tidak mungkin merupakan tulisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Alasannya:Pertama: Tentunya menegur dirinya sendiri yang salah adalah suatu hal yang tidak lazim dalam karya buatan manusia, terlebih lagi dari seorang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi.Kedua: Teguran yang ada dalam Al-Qur’an yang diabadikan hingga sekarang sejak 1400 tahun lalu menunjukkan sifat kenabian yang jujur dan amanah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan isi Al-Qur’an seluruhnya walaupun di dalamnya terdapat teguran pada diri Rasulullah pribadi.Ketiga: Jika Al-Qur’an bukan kitab suci yang Allah turunkan dan Allah janjikan penjagaannya, bisa jadi ayat-ayat teguran ini ada yang menghapus demi menjaga sempurnanya sosok Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi, ayat yang berisi teguran tersebut masih ada hingga sekarang dan dihafalkan oleh jutaan kaum muslimin.Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Warna Pakaian yang Paling Disukai Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisir Karimir Rahman, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.


Daftar Isi ToggleSurah AbasaSurah Al-AnfalSurah Al-KahfiSurah At-TahrimSurah At-TaubahAllah menegur dan membimbing Nabi-Nya dalam Al-Qur’an. Namun, teguran ini bukanlah bentuk celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan bentuk bimbingan dan kasih sayang dari Allah Rabb semesta Allah kepada hamba dan utusan-Nya yang mulia.Teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukan bahwa beliau adalah hamba Allah, manusia biasa. Akan tetapi, beliau merupakan manusia yang khusus (istimewa). Sehingga ketika ada kesalahan yang beliau lakukan, Allah langsung membimbing Rasulullah melalui ayat Al-Qur’an.Lalu, apa saja teguran yang Allah berikan kepada Rasulullah yang terdapat dalam Al-Qur’an?Surah AbasaAllah menegur Rasulullah dalam surah Abasa ketika seorang sahabat tunanetra yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta petunjuk. Akan tetapi, beliau berpaling dan memilih untuk membersamai pembesar Quraisy yang beliau harapkan keislamannya. Allah Ta’ala berfirman,عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ وَهُوَ يَخْشٰىۙ  فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ“Dia (Nabi) berwajah masam dan berpaling karena seorang tunanetra datang kepadanya. Tahukah engkau boleh jadi dia ingin menyucikan dirinya atau dia ingin mendapatkan pengajaran hingga mendapatkan manfaat baginya. Adapun orang yang kaya (pembesar Quraisy), engkau memberi perhatian kepadanya. Padahal, tidak ada cela atasmu kalau dia tidak menyucikan diri. Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedangkan ia takut (kepada Allah), malah engkau abaikan.” (QS. Abasa: 1-10)Surah Al-AnfalAllah juga menegur Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam surah Al-Anfal ayat 67 yang turun ketika perang Badar. Allah Ta’ala berfirman,مَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ لَّوْلَا كِتَٰبٌ مِّنَ ٱللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَآ أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS. Al-Anfal: 67-68)Ketika itu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat hendak menawan kaum musyrikin yang kalah dalam peperangan untuk dimintai tebusan. Akan tetapi, Umar bin Al-Khattab tidak setuju dan menyarankan untuk membunuh mereka. Allah pun menegur Rasulullah dan para sahabat dengan menurunkan ayat ini.Hal ini dikarenakan tidak pantas bagi seseorang yang berusaha meredupkan cahaya Allah di muka bumi dan bersikeras untuk melenyapkan hamba-hamba Allah yang bertauhid di bumi ini malah dibiarkan hidup demi mendapatkan tebusan berupa harta. Oleh karena itu, Allah pun menegur Rasulullah dengan surah ini.Surah Al-KahfiRasulullah juga diingatkan oleh Allah Ta’ala ketika lupa mengucapkan insya Allah pada surah Al-Kahfi. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُۖ“Janganlah engkau mengatakan akan melakukan sesuatu besok kecuali dengan mengatakan insya Allah.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)Ayat ini turun ketika beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tentang kisah Ashabul Kahfi dan kisah tentang Zulkarnain. Rasulullah ketika itu menjawab, “Saya akan melakukannya besok.” Tanpa menggunakan kalimat Insya Allah. Oleh karena itu, Allah ingatkan Rasul-Nya dalam ayat ini agar mengatakan Insya Allah. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak tahu tentang masa depan sehingga sepatutnya mengucapkan Insya Allah (Jika Allah berkehendak) ketika akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang.Baca juga: “Al-Qur’an Journaling”Surah At-TahrimDalam surah At-Tahrim juga terdapat teguran Allah kepada Rasulullah berkaitan pengharaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam terhadap apa yang Allah halalkan. Allah Ta’ala berfirman,يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكَۚ تَبْتَغِيْ مَرْضَاتَ اَزْوَاجِكَۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu? Engkau bermaksud menyenangkan istri-istrimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)Hal ini terjadi ketika Rasulullah mengharamkan baginya hamba sahaya wanitanya yang bernama Mariyah, juga untuk tidak meminum madu di tempat Zainab binti Jahsy. Hal tersebut beliau lakukan untuk menyenangkan dua dari istri-istri beliau, yaitu Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi, Allah tegur Rasul-Nya dengan turunnya surah At-Tahrim.Surah At-TaubahRasulullah juga menerima teguran dari Allah di dalam surah At-Taubah karena memberi izin kaum munafik untuk tidak ikut berjihad. Allah Ta’ala berfirman,عَفَا اللّٰهُ عَنْكَۚ لِمَ اَذِنْتَ لَهُمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَتَعْلَمَ الْكٰذِبِيْنَ“Allah telah memaafkanmu (Nabi Muhammad). Mengapa engkau mengizinkan mereka (tidak berperang) sehingga jelas bagimu mana orang-orang yang benar dan orang orang yang berdusta.” (QS. At-Taubah: 43)Ayat ini turun ketika orang-orang munafik beralasan untuk mencari cara agar tidak ikut berjihad ke medan perang. Rasulullah memberikan izin kepada mereka ketika itu sehingga Allah menegur Rasulullah dengan ayat ini. Hal tersebut dikarenakan jihad merupakan amalan yang sangat penting dan medekatkan diri kepada Allah. Maka dari itu, orang yang mencari-cari alasan untuk tidak ikut berjihad tidak mungkin merupakan orang yang beriman.Hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِالْمُتَّقِيْنَ“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidaklah akan meminta izin kepadamu untuk tidak berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 44)Itulah beberapa teguran Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dari teguran tersebut kita bisa pelajari besarnya kasih sayang Allah kepada Nabi-Nya sehingga Allah senantiasa menjaga Rasulullah dari kesalahan. Selain itu, hal tersebut merupakan bukti bahwa Al-Qur’an bukan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Mengapa teguran Allah ini bisa menjadikan bukti bahwa Al-Qur’an tidak mungkin merupakan tulisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Alasannya:Pertama: Tentunya menegur dirinya sendiri yang salah adalah suatu hal yang tidak lazim dalam karya buatan manusia, terlebih lagi dari seorang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi.Kedua: Teguran yang ada dalam Al-Qur’an yang diabadikan hingga sekarang sejak 1400 tahun lalu menunjukkan sifat kenabian yang jujur dan amanah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan isi Al-Qur’an seluruhnya walaupun di dalamnya terdapat teguran pada diri Rasulullah pribadi.Ketiga: Jika Al-Qur’an bukan kitab suci yang Allah turunkan dan Allah janjikan penjagaannya, bisa jadi ayat-ayat teguran ini ada yang menghapus demi menjaga sempurnanya sosok Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi, ayat yang berisi teguran tersebut masih ada hingga sekarang dan dihafalkan oleh jutaan kaum muslimin.Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Warna Pakaian yang Paling Disukai Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisir Karimir Rahman, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

Musuh No.1 & Sebab Gagalnya Penuntut Ilmu Zaman Now! – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Di antara hal yang berkembang pesat di zaman kita ini adalah media sosial. Salah satu permasalahan besar dari media sosial adalah: ia kini berada di dalam sakumu. Artinya, ia selalu bersamamu. Kamu tak perlu lagi pergi ke ruangan khusus atau menyalakan perangkat tertentu, sebagaimana penggunaan internet di zaman dulu. Sekarang ia bersamamu, di sakumu. Saat kamu duduk antara azan dan iqamah, kamu masih bisa mengecek status: Apa yang ditulis? Apa yang dikatakan? Bahkan bisa mengetahui apa yang terjadi secara rinci di belahan dunia paling jauh. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa ini berkaitan dengan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang akhir zaman, di mana waktu terasa semakin singkat, sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari. Para ulama menjelaskan bahwa maksud “singkatnya waktu” itu ada tiga bentuk: Pertama: waktu terasa berjalan sangat cepat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad dari Auf bin Malik Al-Asyja’i. Kedua: berita yang dahulu perlu waktu lama untuk menyebar, kini bisa tersebar dalam waktu singkat. Ketiga: waktu menjadi singkat dalam hal perjalanan atau jarak tempuh. Dulu, perjalanan antarnegara membutuhkan waktu lama. sekarang waktu tempuhnya jauh lebih singkat, berkat kemajuan alat transportasi. Semua hal ini benar-benar terjadi. Namun ilmu yang pasti tetap milik Allah ‘Azza wa Jalla. Intinya, media sosial memang memiliki sisi manfaat yang tidak bisa disangkal. Kita tahu juga tahu bahwa akidah Ahlusunah wal Jamaah meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Tidak ada keburukan sepenuhnya. Dalam talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan: “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepada-Mu.” Artinya, Allah Jalla wa ‘Ala tidak menciptakan keburukan secara mutlak. Bahkan ketika Allah menciptakan iblis, tetap ada hikmah di balik penciptaannya, yaitu untuk membedakan antara yang buruk dan yang baik. Manusia memiliki tingkatan yang berbeda di surga—ada yang lebih tinggi dari yang lain. Sebabnya, orang yang satu mengikuti langkah-langkah setan, sedangkan yang lain menolaknya. Ada yang masuk surga, ada pula yang ke neraka. Ada yang di surga tingkat tertinggi, ada yang di bawahnya. Jadi, Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Dalam segala hal, pasti ada sisi kebaikannya. Namun, sungguh waktu penuntut ilmu sangatlah berharga. Jangan bayangkan, betapa berharganya waktu yang ia miliki. Terutama pada fase-fase usia tertentu. Saya tidak membicarakan masa kanak-kanak, karena masa itu memiliki keadaan tersendiri. Yang saya maksud adalah fase belajar dan menghadiri majelis ilmu, terutama usia 20–30 tahun. Karena ketika seseorang menginjak usia 40, ia berpindah ke fase kehidupan yang lainnya. Pola pikirnya berubah, cara pandangnya terhadap hidup pun ikut berubah. Sebagaimana firman Allah:“Hingga apabila ia telah dewasa dan mencapai umur 40 tahun, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bimbinglah aku agar dapat bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…’” (QS Al-Ahqaf: 15). Seseorang akan berubah setelah melewati usia 40. Namun yang sedang saya bicarakan adalah usia 20 hingga 30 tahun. Usia 20–30 tahun merupakan inti kehidupan manusia. Ini adalah masa produktif untuk menuntut ilmu, menulis, memahami, dan mengembangkan potensi fisik maupun akalnya. Di masa seperti ini, bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sangatlah penting. Dahulu, para ulama sangat memperhatikan waktu mereka. Jika kita mendengar sebagian kisah mereka, kita akan merasa takjub. Disebutkan bahwa Imam An-Nawawi rahimahullah ketika hendak menghadiri majelis ilmu, hanya makan sepotong kue. Sebab, kue tidak memerlukan banyak kunyahan. Karena tidak perlu banyak dikunyah, maka bisa langsung ditelan. Cara ini membuatnya bisa menghemat waktu makan—sekitar 10 atau 15 menit. Kisah ulama lainnya. Apabila datang seorang tamu kepada Ibnu Al-Jauzi, beliau memanfaatkan waktu menjamu tamunya untuk pekerjaan yang tidak memerlukan konsentrasi tinggi, seperti memotong kertas atau meraut pena. Bahkan jika tamunya berkata, “Mari kita raut bersama,” mereka pun bersama-sama meraut pena—tentu bukan dengan peraut, tetapi dengan pisau, misalnya. Beliau bisa memiliki hingga 20 atau 30 pena sekaligus. Demikian juga untuk menggunting dan merapikan kertas atau menjilid buku. Jadi, perkara memanfaatkan waktu sangatlah penting. Kamu dapat mengenali kematangan seseorang dari bagaimana ia memanfaatkan waktunya sejak usia muda. Tentu ada perbedaan antara mengisolasi diri sepenuhnya dari masyarakat dan memanfaatkan waktu dengan baik. Sebagian orang menutup diri, hanya diam di rumah, lalu sibuk membuka gawai (gadget), mengakses media sosial, internet, dan lainnya, hingga waktunya terbuang sia-sia. Ini hal yang berbeda sama sekali. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu sejati—berdasarkan pengamatan terhadap banyak pelajar—yang diberi keberkahan oleh Allah dalam usahanya dan waktunya adalah orang yang sebisa mungkin mengurangi keterikatan dengan urusan duniawi. Imam Asy-Syafi’i bahkan pernah berkata, “Jangan menikah lagi (istri kedua),” padahal poligami adalah perkara yang mubah secara syariat dan terkadang berpahala. Namun, beliau tetap berpesan demikian. Maka bagaimana dengan kesibukan dunia lainnya? Sesungguhnya, media sosial itu menyibukkan, terlebih lagi bagi penuntut ilmu. Ada yang berisi berita, ada pula yang penuh dengan gosip. Ada pula yang menyajikan komentar dan analisis atas berita, sebagian benar dan sebagian bohong. Ada juga yang hanya berisi lelucon dan hal-hal yang tak berguna. Percayalah, ilmu yang kamu dapatkan—atau kamu kira bisa kamu dapatkan—dari media sosial, pasti bisa kamu temukan di tempat lain. Kamu dapat berlepas diri dari media sosial. Hal-hal seperti ini tak perlu diikuti, dapat ditinggalkan sepenuhnya. Saya bahkan sampaikan satu hal padamu: ada orang yang dalam penelitian ilmiahnya, membuktikan bahwa seseorang bisa hidup tanpa mengandalkannya sama sekali. Ia hanya bergantung pada ensiklopedia digital seperti Maktabah Syamila, dan semisalnya. Namun, ada saudara kita berkata, “Saya menolak itu. Saya tidak akan pernah menggunakannya.” Sebab, terlalu bergantung padanya membuat penuntut ilmu enggan kembali membuka kitab-kitab secara langsung. Orang-orang mengomentarinya, “Kau hanya membuang-buang waktu. Alat itu membuat efisien, juga bermanfaat untukmu.” Namun, seiring waktu, terbukti bahwa cara manual yang ia pilih justru lebih tepat. Ternyata ia mendapatkan manfaat yang lebih banyak dibandingkan orang lain. Sebab ketika seseorang meneliti suatu persoalan atau mencari hadis secara manual, dalam prosesnya, ia akan membaca 100 hadis sebelum sampai pada hadis yang ia cari. Dari situ, bisa jadi ia memperoleh manfaat berkali-kali lipat dari yang ia niatkan. Bahkan ia menemukan faedah yang sebelumnya tidak ia cari atau tidak ia ketahui. Hal-hal semacam ini merupakan bagian dari ilmu. Sering kali, lamanya proses pencarian ilmu justru akan menambah kedalaman ilmu itu sendiri. Sebaliknya, pencarian yang serba ringkas dan hasil yang instan bisa menjadi sebab melemahnya kualitas ilmu yang diperoleh. Saya sudah katakan sebelumnya, ada pendapat yang menyebut bahwa para ulama fikih sengaja mempersulit ilmu agar pelajar bisa mendapatkan faedah lebih dan kemampuannya benar-benar terasah. Oleh sebab itu, saya ingin menasihati diri saya sendiri dan kalian semua, hendaknya kita berusaha mengurangi ketergantungan terhadap media-media semacam ini. Sebisa mungkin, berusaha untuk meninggalkannya. Jangan terlalu banyak menyibukkan diri dengannya, kecuali dalam hal yang benar-benar diperlukan. Sehingga jika ia mampu mengendalikan dirinya, maka alhamdulillah! Namun jika tidak, sebaiknya ia hapus saja media tersebut, meskipun hanya untuk sementara waktu, agar ia bisa istirahat. Ada sebagian orang yang jika tidak membawa ponselnya, seakan-akan dunia ini telah runtuh. Banyak orang saat ini sangat terpengaruh. Ketika ia kehilangan ponsel selama sehari atau dua hari saja, mereka merasa seolah dunia telah berubah. Karena itu, biasakan dirimu untuk meninggalkannya sesekali. Tinggalkan beberapa hari! Agar kamu menggunakan ponsel yang lain untuk berkomunikasi dengan keluargamu. Adapun media sosial, tinggalkanlah selama berhari-hari. Sungguh, saya katakan benar-benar, media ini telah menyibukkan manusia dan menyia-nyiakan waktu mereka. Lebih dari itu, media ini membawa bahaya besar, yaitu rasa gelisah. Kegelisahan ini bukan perkara sepele. Mendengar berbagai kabar orang lain bisa menimbulkan kegelisahan dalam diri. Kegelisahan ini adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Kita lupa membahas hal ini: kegelisahan yang menghantui jiwa. Kegelisahan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Syuraih Al-Qadhi rahimahullah Ta’ala, bahwa jika terjadi fitnah, beliau tidak mencari tahu dan tidak memberi tahu kabarnya. Beliau tidak mendengarkan kabarnya dan tidak membicarakannya. Sedangkan muridnya, Ibrahim An-Nakha’i, jika terjadi fitnah, ia mencari tahu kabarnya, tapi tidak menyebarkannya. Beliau tidak membicarakannya, meski mungkin kadang mendengarnya. Adapun Syuraih sama sekali tidak mencari tahu tentangnya ataupun menyampaikannya. Maka ketika terjadi fitnah besar di zamannya, Allah melindunginya. Ia adalah seorang mukhadhram; ia hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tidak bertemu langsung. Allah selamatkan Syuraih dari banyak fitnah. Maka, tidak mencari tahu berita kadang bisa membuat pikiranmu tenang. Sehingga engkau bisa menuntut ilmu dalam keadaan tenang, kamu dapat fokus menuntut ilmu. Berita-berita semacam itu terkadang membuat seseorang sulit tidur — terutama sebagian orang. Seperti saya, misalnya. Terkadang, jika mendengar berita tertentu, saya tidak bisa tidur malam itu. Karena perasaan gelisah dan ketidakberdayaan menghadapi sesuatu yang di luar kendali. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, tenangkanlah dirimu dan teladanilah Syuraih dan Ibrahim An-Nakha’i, karena keduanya adalah imam besar. Tenangkan pikiranmu, dan arahkanlah perhatianmu kepada hal yang bermanfaat, yaitu ilmu. Ini adalah poin kedua. Poin pertama tadi: media sosial dapat membuang waktu. Poin kedua: media sosial menyibukkan pikiran. Poin ketiga — ini sangat penting Media sosial membuka peluang bagi siapa saja berbicara, baik orang jujur maupun pendusta. Ini berbahaya sekali. Orang yang berdusta — baik dalam ilmu maupun hal lain — bisa menanamkan keburukan di hatimu. Pikiranmu akan sibuk karenanya. Kita tahu bahwa Muhammad bin Syihab Az-Zuhri pernah berkata, “Terkadang aku meletakkan tanganku di atas kertas agar tidak menghafalnya,” karena hafalannya yang sangat kuat. Ia berkata, “Aku tidak ingin menghafalnya.” Ulama yang lain mengatakan, “Aku menutup telingaku agar tidak mendengar ucapan orang-orang di pasar, supaya tidak terhafal olehku.” Demikian pula dengan bacaan dan tulisan di media, di antaranya ada yang bohong. Ada juga yang memuat syubhat dalam urusan agama. Baik dalam bab akidah, takfir, atau fikih, atau topik-topik lain yang saling berkaitan. Terkadang menimbulkan sesuatu dalam hati, atau membuat hati sibuk memikirkannya. Ini jelas sangat berbahaya. Maka dari itu, saudara-saudara! Saya hampir lupa: salah satu penghalang besar dalam menuntut ilmu adalah sibuk berdebat. Sungguh disayangkan, media sosial justru memfasilitasi perdebatan itu. Padahal, debat termasuk salah satu penghalang terbesar dalam meraih ilmu. Oleh sebab itu, Imam Ad-Darimi menulis satu bab khusus dalam kitab Sunan-nya tentang larangan berdebat dalam ilmu. Para ulama sejak dahulu terus-menerus memperingatkan kita darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin istana di pinggiran surga bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. At-Thabarani, dibacakan Syaikh secara makna). Beliau juga bersabda, “Aku menjamin istana di tengah (pinggiran) surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia berada di pihak yang benar.” (HR. Abu Daud, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Meninggalkan perdebatan dan tidak mendebat dalam agama termasuk amalan besar. Barang siapa mencari ilmu untuk membantah orang-orang bodoh dan mendebat para ulama, maka itu saja yang ia dapatkan. Ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya. Media sosial penuh dengan pertengkaran dan debat. Bahkan di WhatsApp dan yang sejenisnya, mungkin ada yang berkata, “Kita gunakan ini untuk menyebarkan ilmu.” Lalu seseorang membahas satu masalah, dan yang lain membalas untuk membela pendapatnya sendiri. Begitulah seterusnya, hingga muncul berbagai hal yang pada hakikatnya menjadi penghalang ilmu. Bukan sarana untuk mencapainya. Jadi, jauhilah perdebatan! Jauhilah saling berbantahan! Kamu jelaskan dan bacalah ilmu, tapi jangan sibuk dengan perdebatan dan bantah-bantahan. Karena itu adalah penyakit dalam ilmu dan salah satu penghalang besar dalam meraihnya. ==== الْحَقِيقَةُ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي جَدَّتْ فِي وَقْتِنَا هَذَا وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ وَمِنْ أَشْكَلِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ أَنَّهَا مَوْجُودَةٌ فِي جَيْبِكَ يَعْنِي هِيَ مَعَكَ لَيْسَ تَحْتَاجُ أَنْ تَذْهَبَ بِغُرْفَةٍ بِعَيْنِهَا وَتُشَغِّلَ جِهَازًا بِعَيْنِهِ كَمَا كَانَ قَدِيمًا يُسْتَخْدَمُ النِّتُ الْآنَ هِيَ مَعَكَ فِي جَيْبِكَ وَأَنْتَ جَالِسٌ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ تَنْظُرُ مَا الَّذِي كُتِبَ؟ وَمَا الَّذِي قِيلَ؟ وَمَا الَّذِي يَدُورُ فِي الأَسْرَارِ فِي أَقْصَى الْبُلْدَانِ؟ وَلِذَلِكَ قَدْ يُقَالُ إِنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِالْأَخْبَارِ الَّتِي جَاءَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَنَّ آخِرَ الزَّمَانِ يَتَقَارَبُ كَمَا فِي الْبُخَارِيِّ قِيلَ وَالتَّقَارُبُ بِثَلَاثَةِ أُمُورٍ إِمَّا تَقَارُبُ الزَّمَانِ بِمَعْنَى أَنَّهُ يَكُونُ الْوَقْتُ سَرِيعًا كَمَا فُسِّرَ عِنْدَ الْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ عَوْفٍ الأَشْجَعِيِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ وَإِمَّا أَنْ يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ بِحَيْثُ إِنَّهُ مَا كَانَ الْخَبَرُ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ طَوِيلٍ أَصْبَحَ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ قَصِيرٍ أَوْ أَنَّهُ يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ فِي الْمَسَافَاتِ فَمَا كَانَ يُنْتَقَلُ إِلَيْهِ بَيْنَ الْبُلْدَانِ فِي مَسَافَةٍ طَوِيلَةٍ أَصْبَحَ يَتَقَارَبُ فِيهِ الزَّمَانُ فَيُنْتَقَلُ إِلَيْهِ فِي مَسَافَةٍ قَصِيرَةٍ وَهِيَ وَسَائِلُ الْمُوَاصَلَاتِ وَكُلُّ هَذِهِ مَوْجُودَةٌ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ هَذِهِ الْوَسَائِلَ لَا شَكَّ أَنَّ فِيهَا نَفْعًا وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُعْتَقَدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا مَا فِيهِ شَيْءٌ شَرٌّ مَحْضٌ لَيْسَ إِلَيْكَ مِنْ تَلْبِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ فَلَا يَخْلُقُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا شَرًّا مَحْضًا حَتَّى إِبْلِيسَ حِينَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَوْجَدَهُ فِيهِ فَائِدَةٌ لِيَمِيْزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ النَّاسُ دَرَجَاتٌ فِي الْجَنَّةِ بَعْضُهُمْ أَعْلَى مِنْ بَعْضِ وَالسَّبَبُ أَنَّ ذَاكَ قَدِ اتَّبَعَ بَعْضَ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَالْآخَرُ قَدْ عَصَاهُ وَذَاكَ فِي الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ فِي النَّارِ وَذَاكَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ دُونَهُ فِي الدَّرَجَاتِ إِذًا فَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا فَفِي كُلِّ شَيْءٍ خَيْرٌ وَلَكِنْ حَقِيقَةً طَالِبُ الْعِلْمِ وَقْتُهُ عَزِيزٌ لَا تَتَصَوَّرْ كَيْفَ الْوَقْتُ عَزِيزٌ جِدًّا وَقْتُهُ عَزِيزٌ وَخَاصَّةً فِي سِنِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ فِي عُمْرِهِ لَا أَقُولُ فِي طُفُولَتِهِ فِي الطُّفُولَةِ لَهَا وَضْعُهَا وَإِنَّمَا فِي فَتْرَةِ يَعْنِي الْعِلْمِ وَحُضُورِهِ خَاصَّةً فِي الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا وَصَلَ الْأَرْبَعِيْنَ انْتَقَلَ لِمَرْحَلَةٍ أُخْرَى فِي سِنِّهِ تَغَيَّرَ تَفْكِيرُهُ تَغَيَّرَ نَظَرُهُ لِلْأُمُورِ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ يَتَغَيَّرُ الْمَرْءُ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ لَكِنْ أَنَا أَتَكَلَّمُ عَنْ مَرْحَلَةِ الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ وَهِيَ يَعْنِي لُبُّ عُمْرِ الْإِنْسَانِ وَوَقْتُ إِنْتَاجِهِ وَتَحْصِيْلِهِ لِلْعِلْمِ وَكِتَابَتِهِ وَفَهْمِهِ وَقُدْرَتِهِ الْبَدَنِيَّةِ وَالْعَقْلِيَّةِ وَهَكَذَا مِثْلُ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الْحِرْصُ مِثْلُ هَذِهِ الْأَزْمَاتِ أَوِ الْأَوْقَاتِ مِنَ الْعُمْرِ الْحِرْصُ فِيهَا عَلَى الزَّمَنِ مُهِمٌّ جِدًّا وَكَانَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُعْنَونَ بِأَوْقَاتِهِمْ لَوْ نَسْمَعُ بَعْضَ أَخْبَارِهِمْ فِي ذَلِكَ نَرَى عَجَبًا كَانَ يَذْكُرُونَ أَنَّ النَّوَوِيَّ عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ كَانَ إِذَا حَضَرَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا كَعْكَةً لِأَنَّ الْكَعْكَ لَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ مَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ فَيَأْكُلُهُ الْتِهَامًا فِيهِ أَوْفَرُ لِوَقْتهِ يُوَفِّرُ رُبُعَ سَاعَةٍ أَوْ عَشْرَ دَقَائِقَ قِيمَةُ وَجْبَةٍ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ابْنُ الْجَوْزِيِّ كَانَ إِذَا حَضَرَ عِنْدَهُ أَحَدُ ضَيْفٍ وَجَاءَهُ يَسْتَغِلُّ حُضُورَ هَذَا الضَّيْفِ فِيمَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَفْكِيرٍ فِي قَطْعِ الْوَرَقِ وَفِي بَرْيِ الْأَقْلَامِ هُوَ وَرُبَّمَا إِذَا كَانَ ضَيْفُهُ يَمُنُّ عَلَيْهِ قَالَ اِبْرِ مَعِيْ فَيَبْرِي مَعَهُ الْأَقْلَامَ طَبْعًا بَرْيُ الْأَقْلَامِ لَيْسَ بِالبَرَّايَةِ وَإِنَّمَا بِالسِّكِّينِ مَثَلًا فَيَكُونُ عِنْدَهُ عِشْرِينَ قَلَمًا أَوْ ثَلَاثِينَ وَقَصِّ الْأَوْرَاقِ وَتَهْذِيبِهَا وَتَجْلِيدِ الْكُتُبِ إِذًا فَقَضِيَّةُ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ مُهِمَّةٌ جِدًّا وَأَنْتَ تَعْرِفُ الْمَرْءَ مِنْ حَدَاثَةِ سِنِّهِ فِي قَضِيَّةِ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ فِيهِ فَرْقٌ بَيْنَ الِانْغِلَاقِ الْكُلِّيِّ عَنِ النَّاسِ وَبَيْنَ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ بَعْضُ النَّاسِ يَنْغَلِقُ وَيَجْلِسُ فِي بَيْتِهِ وَيَفْتَحُ هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ فِي التَّوَاصُلِ وَالنِّتِ وَغَيْرِهَا فَيَضِيعُ وَقْتُهُ هَذَا شَيْءٌ آخَرُ وَلِذَلِكَ طَالِبُ الْعِلْمِ حَقِيقَةً يَعْنِي بِاسْتِقْرَاءِ لِكَثِيرٍ مِنْ طَلَبَةِ الْعِلْمِ الَّذِي يَنْفَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِجُهْدِهِ وَبِوَقْتِهِ هُوَ الَّذِي يَتَخَفَّفُ عَنْ أَشْغَالِ الدُّنْيَا يَتَخَفَّفُ قَدْرَ اسْتِطَاعَتِهِ لِذَا كَانَ الشَّافِعِيُّ يَقُولُ لَا تَأْخُذُ ثَانِيَةً زَوْجَةً ثَانِيَةً مَعَ أَنَّهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ الْمَشْرُوعَةِ وَفِيهَا أَجْرٌ فِي أَحْيَانٍ كَثِيرَةٍ مَعَ ذَلِكَ فَمَا ظَنُّكَ بِالْإِنْشَغَالِ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَالْحَقِيقَةُ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ بِالْخُصُوصِ مَشْغَلَةٌ فَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ خَبَرٌ وَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ إِشَاعَةٌ وَمِنْ شَيْءٍ ثَالِثٍ أَوْ أَمْرٍ ثَالِثٍ فِيهِ تَعْلِيقٌ عَلَى خَبَرٍ وَتَحْلِيلٌ بَيْنَ صَادِقٍ وَكَاذِبٍ وَمِنْ أَمْرٍ يَتَعَلَّقُ بِنُكْتَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي لَا فَائِدَةَ مِنْهَا وَثِقْ أَنَّ مَا تَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ أَوْ تَظُنُّ أَنَّكَ سَتَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ هُنَا سَتَجِدُهُ فِي غَيْرِهِ وَتَسْتَطِيْعُ الِاسْتِغْنَاءَ عَنْهُ فَمِثْلُ هَذِهِ الْأُمُورِ يُمْكِنُ الِاسْتِغْنَاءُ عَنْهَا وَتَرْكُهَا بَلْ إِنِّي أَقُولُ لَكَ شَيْءٌ هُنَاكَ بَعْضُ النَّاسِ يَعْتَمِدُ فِي الْبَحْثِ لِكَيْ أَقُولُ لَكَ الِاسْتِغْنَاءُ الْآنَ يَقُولُ لَكَ الْمَوْسُوعاتِ الشَّامِلَةِ وَغَيْرِهَا وَحَدِيثِ هَذَا النِّتِ بَعْضُ الْإِخْوَانِ يَقُولُ أَنَا ضِدُّهَا لَا أَرْجِعُ لَهَا مُطْلَقًا لِأَنَّ الِاعْتِمَادَ عَلَيْهَا جَعَلَ طَالِبَ الْعِلْمِ لَا يَرْجِعُ لِلْكُتُبِ فَكَانَ النَّاسُ يَقُولُونَ لَهُ إِنَّكَ سَوْفَ تُضَيِّعُ وَقْتَكَ وَهَذِهِ تَخْتَصِرُ عَلَيْكَ وَتُفِيْدُكَ تَبَيَّنَ بَعْدَ ذَلِكَ أَنَّ طَرِيقَتَهُ أَصَحُّ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَبْحَثَ مَسْأَلَةً أَوْ يَبْحَثَ عَنْ حَدِيثٍ سَيَقْرَأُ فِي طَرِيقِهِ مِئَةَ حَدِيثٍ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ الْحَدِيثَ الَّذِي يُرِيدُهُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَسْتَفِيدُ فَوَائِدَ رُبَّمَا أَضْعَافَ مَا أَرَادَ وَيَجِدُ فَوَائِدَ لَا يُرِيدُهَا أَوْ غَائِبَةً عَنْهُ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ هِيَ مِنَ الْعِلْمِ فَأَحْيَانًا طُولُ الْبَحْثِ فِي الْعِلْمِ يَزِيدُ الْعِلْمَ وَأَمَّا الِاخْتِصَارُ فِي الْبَحْثِ وَالْوُصُولُ لِلْمَعْلُومَةِ بِسُرْعَةٍ قَدْ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِضْعَافِ الْعِلْمِ وَقُلْتُ لَكُمْ قَبْلَ قَلِيلٍ أَنَّ الْفَارِقَ قَالَ إِنَّ الْفُقَهَاءَ يَتَعَمَّدُونَ تَصْعِيْبَ الْعِلْمِ لِكَيْ الْمَرْءَ يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ وَتَقْوَى مَلَكَتُهُ وَلِذَلِكَ أَنَا نَاصِحٌ لِي وَلَكُمْ أَنَّ الْمَرْءَ يُحَاوِلُ أَنْ يَتَخَفَّفَ مِنْ هَذِهِ الْوَسَائِلِ يُحَاوِلُ أَنْ يُلْغِيَهَا وَأَنْ لَا يَعْنِي يَنْشَغِلَ بِهَا كَثِيرًا إِلَّا فِي شَيْءٍ يَعْنِي ضَرُورِيٍّ فَيَكُونُ إِنِ اسْتَطَاعَ يَعْنِي أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ يَحْذِفْهَا وَلَوْ فَتْرَةً يَرْتَاحُ بَعْضُ النَّاسِ لَوْ حُذِفَ عَنْهُ لَمْ يَأْتِ بِهَاتِفِهِ مَعَهُ رُبَّمَا أَحَسَّ أَنَّ الدُّنْيَا قَدْ يَعْنِي انْهَدَمَتْ وَتَأَثَّرَ تَأَثُّرًا كَثِيرًا جِدًّا كَثِيرٌ الْآنَ وُجِدَ عِنْدَنَا عِنْدَمَا يَفْقِدُ الْهَاتِفَ يَوْمٌ كَامِلٌ أَوْ يَومَيْنِ لَيْسَ مَعَهُ كَأَنَّ الدُّنْيَا يَعْنِي تَغَيَّرَتْ وَلِذَلِكَ يَجِبُ أَنْ تُعَوِّدَ عَلَى نَفْسِكَ عَلَى تَرْكِهِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا لِيَكُنْ مَعَكَ آخَرُ لِلتَّوَاصُلِ مَعَ أَهْلِكَ وَهَذَا الَّذِي فِيهِ وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا كَثِيرَةً فَأَنَا أَقُولُ حَقِيقَةً أَنَّ هَذِهِ أَشْغَلَتِ النَّاسَ وَأَضَاعَتْ أَوْقَاتَهُمْ إِضَافَةً إِلَى أَنَّ فِيهَا أَمْرٌ خَطِيرٌ جِدًّا وَهُوَ قَضِيَّةُ الْهَمِّ هَذَا الْهَمُّ لَيْسَ بِالسَّهْلِ سَمَاعُ أَخْبَارِ النَّاسِ تُكْسِبُ الْمَرْءَ هَمًّا وَهَذَا الْهَمُّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ نَسِيْنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ عَنْهُ وَهُوَ الْهَمُّ مَا يَقَعُ فِي النَّفْسِ مِنْ هَمٍّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ الَّتِي تَصْرِفُ عَنِ الْعِلْمِ الْهَمُّ وَلِذَلِكَ ثَبَتَ عَنْ شُرَيْحٍ الْقَاضِي رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ لَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَسْمَعُ أَخْبَارًا وَلَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا وَتِلْمِيذُهُ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ كَانَ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَتَكَلَّمُ وَلَكِنَّهُ رُبَّمَا سَمِعَ الْإِخْبَارَ وَأَمَّا شُرَيْحٌ فَلَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ وَلِذَلِكَ حَدَثَ فِي وَقْتِهِ فِتَنٌ عَظِيمَةٌ وَمَنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى شُرَيْحٍ وَهُوَ مُخَضْرَمٌ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ لَمْ يَرَهُ بِالْعِصْمَةِ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الْفِتَنِ وَلِذَلِكَ عَدَمُ الِاسْتِخْبَارِ هَذَا أَحْيَانًا يُرِيحُ ذِهْنَكَ فَتَطْلُبُ الْعِلْمَ وَأَنْتَ فِي حَالِكَ وَأَنْتَ مُنْشَغَلٌ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ وَمِثْلُ هَذِهِ الأَخْبَارِ أَحْيَانًا تَجْعَلُ الْوَاحِدَ لَا يَنَامُ خَاصَّةً بَعْضُ النَّاسِ مِثْلِيْ أَنَا أَحْيَانًا إِذَا سَمِعْتُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ مَا أَنَامُ فِي اللَّيْلِ مِنْ كَدَرٍ فِي النَّفْسِ وَتَكَدُّرٍ وَمَا بِالْيَدِ حِيلَةٌ لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَفْعَلَ شَيْئًا لَا أَسْتَطِيعُ فَلِذَلِكَ أَرِحْ نَفْسَكَ وَاسْتَنَّ بِمَا فَعَلَهُ شُرَيْحٌ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ فَإِنَّهُمَا إِمَامَانِ عَظِيمَانِ فَتَنْشَغِلَ أَوْ فَتُرِيحَ بَالَكَ وَتَنْصَرِفَ لِمَا تَسْتَطِيعُ أَنْ تَنْفَعَ بِهِ وَهُوَ الْعِلْمُ إِذًا هَذَا الْأَمْرُ الثَّانِي قُلْنَا الأَوَّلُ أَمْرُ تَضْيِيعِ الْوَقْتِ الْأَمْرُ الثَّانِي أَنَّهُ مَشْغَلَةٌ لِلذِّهْنِ الْأَمْرُ الثَّالِثُ وَهَذَا مُهِمٌّ جِدًّا أَنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْوَسَائِلِ قَدْ يَأْتِي فِيهَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَهَذِه خَطِيرَةٌ فَالْكَاذِبُ هَذَا فِي الْعِلْمِ وَفِي غَيْرِهِ يَجْعَلُ فِي قَلْبِكَ شَيْئًا يَنْشَغِلُ الذِّهْنُ بِهِ نَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِىَّ يَقُولُ أَحْيَانًا أَضَعُ يَدِي عَلَى الْوَرَقَةِ لِكَيْ لَا أَحْفَظَهَا لِأَنَّهُ كَانَ قَوِيَّ الْحِفْظِ مَا أَبْغِي أَحْفَظُهَا وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَقُولُ أَسُدُّ أُذُنِي لِكَي لَا أَسْمَعَ كَلَامَ النَّاسِ فِي السُّوقِ فَأَحْفَظَ كَلَامَهُمْ كَذَلِكَ الَّذِي يُقْرَأُ هَذِهِ الْقِرَاءَاتُ الَّتِي هِيَ مِنْهَا الْكَاذِبُ وَمِنْهَا الَّذِي يَأْتِي بِكَلَامٍ يَعْنِي فِيهِ أَهْوَاءُ فِي أُمُورِ الشَّرْعِ سَوَاءٌ فِي بَابِ الِاعْتِقَادِ أَوْ فِي بَابِ التَّكْفِيرِ أَوْ فِي بَابِ الْفِقْهِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَسْبَابٍ مُتَدَاخِلَةٍ قَدْ يَقَعُ فِي النَّفْسِ شَيْءٌ أَوْ تَنْشَغِلُ بِهِ النَّفْسُ فَحِينَئِذٍ يَكُونُ أَمْرًا خَطِيرًا وَلِذَلِكَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فَهَذِهِ نُسِيتُهَا أَنَّ مِنْ أَعْظَمِ عَوَائِقِ طَلَبِ الْعِلْمِ الِانْشِغَالُ بِالْجَدَلِ وَلِلْأَسَفِ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ مِمَّا يُعِينُ عَلَى الْجَدَلِ الْجَدَلُ هَذَا مِنْ أَكْثَرِ مَا يُعِيقُ عَنِ الْعِلْمِ وَلِذَلِكَ عَقَّدَ الدَّارِمِيُّ فِي السُّنَنِ بَابًا كَامِلًا فِي النَّهْيِ عَنِ الْجَدَلِ فِي الْعِلْمِ وَمَا زَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُحَذِّرُونَ مِنْهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ وَقَالَ وَأَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي وَسَطِ (رَبَضِ) الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَلَوْ كَانَ مُحِقًّا فَتَرْكُ الْمِرَاءِ وَعَدَمُ الْمُجَادَلَةِ فِي الدِّيْنِ مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ وَمَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيُجَادِلَ بِهِ الْعُلَمَاءَ فَهُوَ حَسْبُهُ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ شَيْئًا وَمِثْلُ هَذِهِ الْوَسَائِلِ تَجِدُ فِيهَا مِنَ الْمُمَارَاةِ وَالْمُجَادَلَةِ وَحَتَّى هَذَا الْوَاتْسَابِ وَغَيْرِهَا تَجِدُ فِيهَا يَقُولُ نَجْعَلُهُ عِلْمًا فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِمَسْأَلَةٍ وَيَتَكَلَّمُ الثَّانِي لِيَنْتَصِرَ لِنَفْسِهِ وَهَكَذَا تَجِدُ أَشْيَاءَ هِيَ فِي الْحَقِيقَةِ مِنْ عَوَائِقِ الْعِلْمِ وَلَيْسَتْ مِنْ وَسَائِلِ تَحْصِيلِهِ إِذًا إِيَّاكَ وَالْمُجَادَلَةَ إِيَّاكَ وَالْمُنَاظَرَةَ أَنْتَ تُبَيِّنُ الْعِلْمَ وَتَقْرَأُ الْعِلْمَ لَكِنْ لَا تَنْشَغِلُ بِالْمُنَاظَرَةِ وَالْمُجَادَلَةِ فَإِنَّهَا آفَةٌ مِنْ آفَاتِ الْعِلْمِ وَعَائِقٌ مِنْ عَوَائِقِ تَحْصِيلِهِ

Musuh No.1 & Sebab Gagalnya Penuntut Ilmu Zaman Now! – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Di antara hal yang berkembang pesat di zaman kita ini adalah media sosial. Salah satu permasalahan besar dari media sosial adalah: ia kini berada di dalam sakumu. Artinya, ia selalu bersamamu. Kamu tak perlu lagi pergi ke ruangan khusus atau menyalakan perangkat tertentu, sebagaimana penggunaan internet di zaman dulu. Sekarang ia bersamamu, di sakumu. Saat kamu duduk antara azan dan iqamah, kamu masih bisa mengecek status: Apa yang ditulis? Apa yang dikatakan? Bahkan bisa mengetahui apa yang terjadi secara rinci di belahan dunia paling jauh. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa ini berkaitan dengan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang akhir zaman, di mana waktu terasa semakin singkat, sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari. Para ulama menjelaskan bahwa maksud “singkatnya waktu” itu ada tiga bentuk: Pertama: waktu terasa berjalan sangat cepat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad dari Auf bin Malik Al-Asyja’i. Kedua: berita yang dahulu perlu waktu lama untuk menyebar, kini bisa tersebar dalam waktu singkat. Ketiga: waktu menjadi singkat dalam hal perjalanan atau jarak tempuh. Dulu, perjalanan antarnegara membutuhkan waktu lama. sekarang waktu tempuhnya jauh lebih singkat, berkat kemajuan alat transportasi. Semua hal ini benar-benar terjadi. Namun ilmu yang pasti tetap milik Allah ‘Azza wa Jalla. Intinya, media sosial memang memiliki sisi manfaat yang tidak bisa disangkal. Kita tahu juga tahu bahwa akidah Ahlusunah wal Jamaah meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Tidak ada keburukan sepenuhnya. Dalam talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan: “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepada-Mu.” Artinya, Allah Jalla wa ‘Ala tidak menciptakan keburukan secara mutlak. Bahkan ketika Allah menciptakan iblis, tetap ada hikmah di balik penciptaannya, yaitu untuk membedakan antara yang buruk dan yang baik. Manusia memiliki tingkatan yang berbeda di surga—ada yang lebih tinggi dari yang lain. Sebabnya, orang yang satu mengikuti langkah-langkah setan, sedangkan yang lain menolaknya. Ada yang masuk surga, ada pula yang ke neraka. Ada yang di surga tingkat tertinggi, ada yang di bawahnya. Jadi, Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Dalam segala hal, pasti ada sisi kebaikannya. Namun, sungguh waktu penuntut ilmu sangatlah berharga. Jangan bayangkan, betapa berharganya waktu yang ia miliki. Terutama pada fase-fase usia tertentu. Saya tidak membicarakan masa kanak-kanak, karena masa itu memiliki keadaan tersendiri. Yang saya maksud adalah fase belajar dan menghadiri majelis ilmu, terutama usia 20–30 tahun. Karena ketika seseorang menginjak usia 40, ia berpindah ke fase kehidupan yang lainnya. Pola pikirnya berubah, cara pandangnya terhadap hidup pun ikut berubah. Sebagaimana firman Allah:“Hingga apabila ia telah dewasa dan mencapai umur 40 tahun, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bimbinglah aku agar dapat bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…’” (QS Al-Ahqaf: 15). Seseorang akan berubah setelah melewati usia 40. Namun yang sedang saya bicarakan adalah usia 20 hingga 30 tahun. Usia 20–30 tahun merupakan inti kehidupan manusia. Ini adalah masa produktif untuk menuntut ilmu, menulis, memahami, dan mengembangkan potensi fisik maupun akalnya. Di masa seperti ini, bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sangatlah penting. Dahulu, para ulama sangat memperhatikan waktu mereka. Jika kita mendengar sebagian kisah mereka, kita akan merasa takjub. Disebutkan bahwa Imam An-Nawawi rahimahullah ketika hendak menghadiri majelis ilmu, hanya makan sepotong kue. Sebab, kue tidak memerlukan banyak kunyahan. Karena tidak perlu banyak dikunyah, maka bisa langsung ditelan. Cara ini membuatnya bisa menghemat waktu makan—sekitar 10 atau 15 menit. Kisah ulama lainnya. Apabila datang seorang tamu kepada Ibnu Al-Jauzi, beliau memanfaatkan waktu menjamu tamunya untuk pekerjaan yang tidak memerlukan konsentrasi tinggi, seperti memotong kertas atau meraut pena. Bahkan jika tamunya berkata, “Mari kita raut bersama,” mereka pun bersama-sama meraut pena—tentu bukan dengan peraut, tetapi dengan pisau, misalnya. Beliau bisa memiliki hingga 20 atau 30 pena sekaligus. Demikian juga untuk menggunting dan merapikan kertas atau menjilid buku. Jadi, perkara memanfaatkan waktu sangatlah penting. Kamu dapat mengenali kematangan seseorang dari bagaimana ia memanfaatkan waktunya sejak usia muda. Tentu ada perbedaan antara mengisolasi diri sepenuhnya dari masyarakat dan memanfaatkan waktu dengan baik. Sebagian orang menutup diri, hanya diam di rumah, lalu sibuk membuka gawai (gadget), mengakses media sosial, internet, dan lainnya, hingga waktunya terbuang sia-sia. Ini hal yang berbeda sama sekali. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu sejati—berdasarkan pengamatan terhadap banyak pelajar—yang diberi keberkahan oleh Allah dalam usahanya dan waktunya adalah orang yang sebisa mungkin mengurangi keterikatan dengan urusan duniawi. Imam Asy-Syafi’i bahkan pernah berkata, “Jangan menikah lagi (istri kedua),” padahal poligami adalah perkara yang mubah secara syariat dan terkadang berpahala. Namun, beliau tetap berpesan demikian. Maka bagaimana dengan kesibukan dunia lainnya? Sesungguhnya, media sosial itu menyibukkan, terlebih lagi bagi penuntut ilmu. Ada yang berisi berita, ada pula yang penuh dengan gosip. Ada pula yang menyajikan komentar dan analisis atas berita, sebagian benar dan sebagian bohong. Ada juga yang hanya berisi lelucon dan hal-hal yang tak berguna. Percayalah, ilmu yang kamu dapatkan—atau kamu kira bisa kamu dapatkan—dari media sosial, pasti bisa kamu temukan di tempat lain. Kamu dapat berlepas diri dari media sosial. Hal-hal seperti ini tak perlu diikuti, dapat ditinggalkan sepenuhnya. Saya bahkan sampaikan satu hal padamu: ada orang yang dalam penelitian ilmiahnya, membuktikan bahwa seseorang bisa hidup tanpa mengandalkannya sama sekali. Ia hanya bergantung pada ensiklopedia digital seperti Maktabah Syamila, dan semisalnya. Namun, ada saudara kita berkata, “Saya menolak itu. Saya tidak akan pernah menggunakannya.” Sebab, terlalu bergantung padanya membuat penuntut ilmu enggan kembali membuka kitab-kitab secara langsung. Orang-orang mengomentarinya, “Kau hanya membuang-buang waktu. Alat itu membuat efisien, juga bermanfaat untukmu.” Namun, seiring waktu, terbukti bahwa cara manual yang ia pilih justru lebih tepat. Ternyata ia mendapatkan manfaat yang lebih banyak dibandingkan orang lain. Sebab ketika seseorang meneliti suatu persoalan atau mencari hadis secara manual, dalam prosesnya, ia akan membaca 100 hadis sebelum sampai pada hadis yang ia cari. Dari situ, bisa jadi ia memperoleh manfaat berkali-kali lipat dari yang ia niatkan. Bahkan ia menemukan faedah yang sebelumnya tidak ia cari atau tidak ia ketahui. Hal-hal semacam ini merupakan bagian dari ilmu. Sering kali, lamanya proses pencarian ilmu justru akan menambah kedalaman ilmu itu sendiri. Sebaliknya, pencarian yang serba ringkas dan hasil yang instan bisa menjadi sebab melemahnya kualitas ilmu yang diperoleh. Saya sudah katakan sebelumnya, ada pendapat yang menyebut bahwa para ulama fikih sengaja mempersulit ilmu agar pelajar bisa mendapatkan faedah lebih dan kemampuannya benar-benar terasah. Oleh sebab itu, saya ingin menasihati diri saya sendiri dan kalian semua, hendaknya kita berusaha mengurangi ketergantungan terhadap media-media semacam ini. Sebisa mungkin, berusaha untuk meninggalkannya. Jangan terlalu banyak menyibukkan diri dengannya, kecuali dalam hal yang benar-benar diperlukan. Sehingga jika ia mampu mengendalikan dirinya, maka alhamdulillah! Namun jika tidak, sebaiknya ia hapus saja media tersebut, meskipun hanya untuk sementara waktu, agar ia bisa istirahat. Ada sebagian orang yang jika tidak membawa ponselnya, seakan-akan dunia ini telah runtuh. Banyak orang saat ini sangat terpengaruh. Ketika ia kehilangan ponsel selama sehari atau dua hari saja, mereka merasa seolah dunia telah berubah. Karena itu, biasakan dirimu untuk meninggalkannya sesekali. Tinggalkan beberapa hari! Agar kamu menggunakan ponsel yang lain untuk berkomunikasi dengan keluargamu. Adapun media sosial, tinggalkanlah selama berhari-hari. Sungguh, saya katakan benar-benar, media ini telah menyibukkan manusia dan menyia-nyiakan waktu mereka. Lebih dari itu, media ini membawa bahaya besar, yaitu rasa gelisah. Kegelisahan ini bukan perkara sepele. Mendengar berbagai kabar orang lain bisa menimbulkan kegelisahan dalam diri. Kegelisahan ini adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Kita lupa membahas hal ini: kegelisahan yang menghantui jiwa. Kegelisahan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Syuraih Al-Qadhi rahimahullah Ta’ala, bahwa jika terjadi fitnah, beliau tidak mencari tahu dan tidak memberi tahu kabarnya. Beliau tidak mendengarkan kabarnya dan tidak membicarakannya. Sedangkan muridnya, Ibrahim An-Nakha’i, jika terjadi fitnah, ia mencari tahu kabarnya, tapi tidak menyebarkannya. Beliau tidak membicarakannya, meski mungkin kadang mendengarnya. Adapun Syuraih sama sekali tidak mencari tahu tentangnya ataupun menyampaikannya. Maka ketika terjadi fitnah besar di zamannya, Allah melindunginya. Ia adalah seorang mukhadhram; ia hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tidak bertemu langsung. Allah selamatkan Syuraih dari banyak fitnah. Maka, tidak mencari tahu berita kadang bisa membuat pikiranmu tenang. Sehingga engkau bisa menuntut ilmu dalam keadaan tenang, kamu dapat fokus menuntut ilmu. Berita-berita semacam itu terkadang membuat seseorang sulit tidur — terutama sebagian orang. Seperti saya, misalnya. Terkadang, jika mendengar berita tertentu, saya tidak bisa tidur malam itu. Karena perasaan gelisah dan ketidakberdayaan menghadapi sesuatu yang di luar kendali. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, tenangkanlah dirimu dan teladanilah Syuraih dan Ibrahim An-Nakha’i, karena keduanya adalah imam besar. Tenangkan pikiranmu, dan arahkanlah perhatianmu kepada hal yang bermanfaat, yaitu ilmu. Ini adalah poin kedua. Poin pertama tadi: media sosial dapat membuang waktu. Poin kedua: media sosial menyibukkan pikiran. Poin ketiga — ini sangat penting Media sosial membuka peluang bagi siapa saja berbicara, baik orang jujur maupun pendusta. Ini berbahaya sekali. Orang yang berdusta — baik dalam ilmu maupun hal lain — bisa menanamkan keburukan di hatimu. Pikiranmu akan sibuk karenanya. Kita tahu bahwa Muhammad bin Syihab Az-Zuhri pernah berkata, “Terkadang aku meletakkan tanganku di atas kertas agar tidak menghafalnya,” karena hafalannya yang sangat kuat. Ia berkata, “Aku tidak ingin menghafalnya.” Ulama yang lain mengatakan, “Aku menutup telingaku agar tidak mendengar ucapan orang-orang di pasar, supaya tidak terhafal olehku.” Demikian pula dengan bacaan dan tulisan di media, di antaranya ada yang bohong. Ada juga yang memuat syubhat dalam urusan agama. Baik dalam bab akidah, takfir, atau fikih, atau topik-topik lain yang saling berkaitan. Terkadang menimbulkan sesuatu dalam hati, atau membuat hati sibuk memikirkannya. Ini jelas sangat berbahaya. Maka dari itu, saudara-saudara! Saya hampir lupa: salah satu penghalang besar dalam menuntut ilmu adalah sibuk berdebat. Sungguh disayangkan, media sosial justru memfasilitasi perdebatan itu. Padahal, debat termasuk salah satu penghalang terbesar dalam meraih ilmu. Oleh sebab itu, Imam Ad-Darimi menulis satu bab khusus dalam kitab Sunan-nya tentang larangan berdebat dalam ilmu. Para ulama sejak dahulu terus-menerus memperingatkan kita darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin istana di pinggiran surga bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. At-Thabarani, dibacakan Syaikh secara makna). Beliau juga bersabda, “Aku menjamin istana di tengah (pinggiran) surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia berada di pihak yang benar.” (HR. Abu Daud, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Meninggalkan perdebatan dan tidak mendebat dalam agama termasuk amalan besar. Barang siapa mencari ilmu untuk membantah orang-orang bodoh dan mendebat para ulama, maka itu saja yang ia dapatkan. Ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya. Media sosial penuh dengan pertengkaran dan debat. Bahkan di WhatsApp dan yang sejenisnya, mungkin ada yang berkata, “Kita gunakan ini untuk menyebarkan ilmu.” Lalu seseorang membahas satu masalah, dan yang lain membalas untuk membela pendapatnya sendiri. Begitulah seterusnya, hingga muncul berbagai hal yang pada hakikatnya menjadi penghalang ilmu. Bukan sarana untuk mencapainya. Jadi, jauhilah perdebatan! Jauhilah saling berbantahan! Kamu jelaskan dan bacalah ilmu, tapi jangan sibuk dengan perdebatan dan bantah-bantahan. Karena itu adalah penyakit dalam ilmu dan salah satu penghalang besar dalam meraihnya. ==== الْحَقِيقَةُ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي جَدَّتْ فِي وَقْتِنَا هَذَا وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ وَمِنْ أَشْكَلِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ أَنَّهَا مَوْجُودَةٌ فِي جَيْبِكَ يَعْنِي هِيَ مَعَكَ لَيْسَ تَحْتَاجُ أَنْ تَذْهَبَ بِغُرْفَةٍ بِعَيْنِهَا وَتُشَغِّلَ جِهَازًا بِعَيْنِهِ كَمَا كَانَ قَدِيمًا يُسْتَخْدَمُ النِّتُ الْآنَ هِيَ مَعَكَ فِي جَيْبِكَ وَأَنْتَ جَالِسٌ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ تَنْظُرُ مَا الَّذِي كُتِبَ؟ وَمَا الَّذِي قِيلَ؟ وَمَا الَّذِي يَدُورُ فِي الأَسْرَارِ فِي أَقْصَى الْبُلْدَانِ؟ وَلِذَلِكَ قَدْ يُقَالُ إِنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِالْأَخْبَارِ الَّتِي جَاءَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَنَّ آخِرَ الزَّمَانِ يَتَقَارَبُ كَمَا فِي الْبُخَارِيِّ قِيلَ وَالتَّقَارُبُ بِثَلَاثَةِ أُمُورٍ إِمَّا تَقَارُبُ الزَّمَانِ بِمَعْنَى أَنَّهُ يَكُونُ الْوَقْتُ سَرِيعًا كَمَا فُسِّرَ عِنْدَ الْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ عَوْفٍ الأَشْجَعِيِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ وَإِمَّا أَنْ يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ بِحَيْثُ إِنَّهُ مَا كَانَ الْخَبَرُ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ طَوِيلٍ أَصْبَحَ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ قَصِيرٍ أَوْ أَنَّهُ يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ فِي الْمَسَافَاتِ فَمَا كَانَ يُنْتَقَلُ إِلَيْهِ بَيْنَ الْبُلْدَانِ فِي مَسَافَةٍ طَوِيلَةٍ أَصْبَحَ يَتَقَارَبُ فِيهِ الزَّمَانُ فَيُنْتَقَلُ إِلَيْهِ فِي مَسَافَةٍ قَصِيرَةٍ وَهِيَ وَسَائِلُ الْمُوَاصَلَاتِ وَكُلُّ هَذِهِ مَوْجُودَةٌ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ هَذِهِ الْوَسَائِلَ لَا شَكَّ أَنَّ فِيهَا نَفْعًا وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُعْتَقَدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا مَا فِيهِ شَيْءٌ شَرٌّ مَحْضٌ لَيْسَ إِلَيْكَ مِنْ تَلْبِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ فَلَا يَخْلُقُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا شَرًّا مَحْضًا حَتَّى إِبْلِيسَ حِينَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَوْجَدَهُ فِيهِ فَائِدَةٌ لِيَمِيْزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ النَّاسُ دَرَجَاتٌ فِي الْجَنَّةِ بَعْضُهُمْ أَعْلَى مِنْ بَعْضِ وَالسَّبَبُ أَنَّ ذَاكَ قَدِ اتَّبَعَ بَعْضَ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَالْآخَرُ قَدْ عَصَاهُ وَذَاكَ فِي الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ فِي النَّارِ وَذَاكَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ دُونَهُ فِي الدَّرَجَاتِ إِذًا فَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا فَفِي كُلِّ شَيْءٍ خَيْرٌ وَلَكِنْ حَقِيقَةً طَالِبُ الْعِلْمِ وَقْتُهُ عَزِيزٌ لَا تَتَصَوَّرْ كَيْفَ الْوَقْتُ عَزِيزٌ جِدًّا وَقْتُهُ عَزِيزٌ وَخَاصَّةً فِي سِنِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ فِي عُمْرِهِ لَا أَقُولُ فِي طُفُولَتِهِ فِي الطُّفُولَةِ لَهَا وَضْعُهَا وَإِنَّمَا فِي فَتْرَةِ يَعْنِي الْعِلْمِ وَحُضُورِهِ خَاصَّةً فِي الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا وَصَلَ الْأَرْبَعِيْنَ انْتَقَلَ لِمَرْحَلَةٍ أُخْرَى فِي سِنِّهِ تَغَيَّرَ تَفْكِيرُهُ تَغَيَّرَ نَظَرُهُ لِلْأُمُورِ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ يَتَغَيَّرُ الْمَرْءُ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ لَكِنْ أَنَا أَتَكَلَّمُ عَنْ مَرْحَلَةِ الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ وَهِيَ يَعْنِي لُبُّ عُمْرِ الْإِنْسَانِ وَوَقْتُ إِنْتَاجِهِ وَتَحْصِيْلِهِ لِلْعِلْمِ وَكِتَابَتِهِ وَفَهْمِهِ وَقُدْرَتِهِ الْبَدَنِيَّةِ وَالْعَقْلِيَّةِ وَهَكَذَا مِثْلُ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الْحِرْصُ مِثْلُ هَذِهِ الْأَزْمَاتِ أَوِ الْأَوْقَاتِ مِنَ الْعُمْرِ الْحِرْصُ فِيهَا عَلَى الزَّمَنِ مُهِمٌّ جِدًّا وَكَانَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُعْنَونَ بِأَوْقَاتِهِمْ لَوْ نَسْمَعُ بَعْضَ أَخْبَارِهِمْ فِي ذَلِكَ نَرَى عَجَبًا كَانَ يَذْكُرُونَ أَنَّ النَّوَوِيَّ عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ كَانَ إِذَا حَضَرَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا كَعْكَةً لِأَنَّ الْكَعْكَ لَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ مَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ فَيَأْكُلُهُ الْتِهَامًا فِيهِ أَوْفَرُ لِوَقْتهِ يُوَفِّرُ رُبُعَ سَاعَةٍ أَوْ عَشْرَ دَقَائِقَ قِيمَةُ وَجْبَةٍ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ابْنُ الْجَوْزِيِّ كَانَ إِذَا حَضَرَ عِنْدَهُ أَحَدُ ضَيْفٍ وَجَاءَهُ يَسْتَغِلُّ حُضُورَ هَذَا الضَّيْفِ فِيمَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَفْكِيرٍ فِي قَطْعِ الْوَرَقِ وَفِي بَرْيِ الْأَقْلَامِ هُوَ وَرُبَّمَا إِذَا كَانَ ضَيْفُهُ يَمُنُّ عَلَيْهِ قَالَ اِبْرِ مَعِيْ فَيَبْرِي مَعَهُ الْأَقْلَامَ طَبْعًا بَرْيُ الْأَقْلَامِ لَيْسَ بِالبَرَّايَةِ وَإِنَّمَا بِالسِّكِّينِ مَثَلًا فَيَكُونُ عِنْدَهُ عِشْرِينَ قَلَمًا أَوْ ثَلَاثِينَ وَقَصِّ الْأَوْرَاقِ وَتَهْذِيبِهَا وَتَجْلِيدِ الْكُتُبِ إِذًا فَقَضِيَّةُ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ مُهِمَّةٌ جِدًّا وَأَنْتَ تَعْرِفُ الْمَرْءَ مِنْ حَدَاثَةِ سِنِّهِ فِي قَضِيَّةِ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ فِيهِ فَرْقٌ بَيْنَ الِانْغِلَاقِ الْكُلِّيِّ عَنِ النَّاسِ وَبَيْنَ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ بَعْضُ النَّاسِ يَنْغَلِقُ وَيَجْلِسُ فِي بَيْتِهِ وَيَفْتَحُ هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ فِي التَّوَاصُلِ وَالنِّتِ وَغَيْرِهَا فَيَضِيعُ وَقْتُهُ هَذَا شَيْءٌ آخَرُ وَلِذَلِكَ طَالِبُ الْعِلْمِ حَقِيقَةً يَعْنِي بِاسْتِقْرَاءِ لِكَثِيرٍ مِنْ طَلَبَةِ الْعِلْمِ الَّذِي يَنْفَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِجُهْدِهِ وَبِوَقْتِهِ هُوَ الَّذِي يَتَخَفَّفُ عَنْ أَشْغَالِ الدُّنْيَا يَتَخَفَّفُ قَدْرَ اسْتِطَاعَتِهِ لِذَا كَانَ الشَّافِعِيُّ يَقُولُ لَا تَأْخُذُ ثَانِيَةً زَوْجَةً ثَانِيَةً مَعَ أَنَّهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ الْمَشْرُوعَةِ وَفِيهَا أَجْرٌ فِي أَحْيَانٍ كَثِيرَةٍ مَعَ ذَلِكَ فَمَا ظَنُّكَ بِالْإِنْشَغَالِ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَالْحَقِيقَةُ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ بِالْخُصُوصِ مَشْغَلَةٌ فَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ خَبَرٌ وَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ إِشَاعَةٌ وَمِنْ شَيْءٍ ثَالِثٍ أَوْ أَمْرٍ ثَالِثٍ فِيهِ تَعْلِيقٌ عَلَى خَبَرٍ وَتَحْلِيلٌ بَيْنَ صَادِقٍ وَكَاذِبٍ وَمِنْ أَمْرٍ يَتَعَلَّقُ بِنُكْتَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي لَا فَائِدَةَ مِنْهَا وَثِقْ أَنَّ مَا تَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ أَوْ تَظُنُّ أَنَّكَ سَتَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ هُنَا سَتَجِدُهُ فِي غَيْرِهِ وَتَسْتَطِيْعُ الِاسْتِغْنَاءَ عَنْهُ فَمِثْلُ هَذِهِ الْأُمُورِ يُمْكِنُ الِاسْتِغْنَاءُ عَنْهَا وَتَرْكُهَا بَلْ إِنِّي أَقُولُ لَكَ شَيْءٌ هُنَاكَ بَعْضُ النَّاسِ يَعْتَمِدُ فِي الْبَحْثِ لِكَيْ أَقُولُ لَكَ الِاسْتِغْنَاءُ الْآنَ يَقُولُ لَكَ الْمَوْسُوعاتِ الشَّامِلَةِ وَغَيْرِهَا وَحَدِيثِ هَذَا النِّتِ بَعْضُ الْإِخْوَانِ يَقُولُ أَنَا ضِدُّهَا لَا أَرْجِعُ لَهَا مُطْلَقًا لِأَنَّ الِاعْتِمَادَ عَلَيْهَا جَعَلَ طَالِبَ الْعِلْمِ لَا يَرْجِعُ لِلْكُتُبِ فَكَانَ النَّاسُ يَقُولُونَ لَهُ إِنَّكَ سَوْفَ تُضَيِّعُ وَقْتَكَ وَهَذِهِ تَخْتَصِرُ عَلَيْكَ وَتُفِيْدُكَ تَبَيَّنَ بَعْدَ ذَلِكَ أَنَّ طَرِيقَتَهُ أَصَحُّ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَبْحَثَ مَسْأَلَةً أَوْ يَبْحَثَ عَنْ حَدِيثٍ سَيَقْرَأُ فِي طَرِيقِهِ مِئَةَ حَدِيثٍ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ الْحَدِيثَ الَّذِي يُرِيدُهُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَسْتَفِيدُ فَوَائِدَ رُبَّمَا أَضْعَافَ مَا أَرَادَ وَيَجِدُ فَوَائِدَ لَا يُرِيدُهَا أَوْ غَائِبَةً عَنْهُ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ هِيَ مِنَ الْعِلْمِ فَأَحْيَانًا طُولُ الْبَحْثِ فِي الْعِلْمِ يَزِيدُ الْعِلْمَ وَأَمَّا الِاخْتِصَارُ فِي الْبَحْثِ وَالْوُصُولُ لِلْمَعْلُومَةِ بِسُرْعَةٍ قَدْ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِضْعَافِ الْعِلْمِ وَقُلْتُ لَكُمْ قَبْلَ قَلِيلٍ أَنَّ الْفَارِقَ قَالَ إِنَّ الْفُقَهَاءَ يَتَعَمَّدُونَ تَصْعِيْبَ الْعِلْمِ لِكَيْ الْمَرْءَ يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ وَتَقْوَى مَلَكَتُهُ وَلِذَلِكَ أَنَا نَاصِحٌ لِي وَلَكُمْ أَنَّ الْمَرْءَ يُحَاوِلُ أَنْ يَتَخَفَّفَ مِنْ هَذِهِ الْوَسَائِلِ يُحَاوِلُ أَنْ يُلْغِيَهَا وَأَنْ لَا يَعْنِي يَنْشَغِلَ بِهَا كَثِيرًا إِلَّا فِي شَيْءٍ يَعْنِي ضَرُورِيٍّ فَيَكُونُ إِنِ اسْتَطَاعَ يَعْنِي أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ يَحْذِفْهَا وَلَوْ فَتْرَةً يَرْتَاحُ بَعْضُ النَّاسِ لَوْ حُذِفَ عَنْهُ لَمْ يَأْتِ بِهَاتِفِهِ مَعَهُ رُبَّمَا أَحَسَّ أَنَّ الدُّنْيَا قَدْ يَعْنِي انْهَدَمَتْ وَتَأَثَّرَ تَأَثُّرًا كَثِيرًا جِدًّا كَثِيرٌ الْآنَ وُجِدَ عِنْدَنَا عِنْدَمَا يَفْقِدُ الْهَاتِفَ يَوْمٌ كَامِلٌ أَوْ يَومَيْنِ لَيْسَ مَعَهُ كَأَنَّ الدُّنْيَا يَعْنِي تَغَيَّرَتْ وَلِذَلِكَ يَجِبُ أَنْ تُعَوِّدَ عَلَى نَفْسِكَ عَلَى تَرْكِهِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا لِيَكُنْ مَعَكَ آخَرُ لِلتَّوَاصُلِ مَعَ أَهْلِكَ وَهَذَا الَّذِي فِيهِ وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا كَثِيرَةً فَأَنَا أَقُولُ حَقِيقَةً أَنَّ هَذِهِ أَشْغَلَتِ النَّاسَ وَأَضَاعَتْ أَوْقَاتَهُمْ إِضَافَةً إِلَى أَنَّ فِيهَا أَمْرٌ خَطِيرٌ جِدًّا وَهُوَ قَضِيَّةُ الْهَمِّ هَذَا الْهَمُّ لَيْسَ بِالسَّهْلِ سَمَاعُ أَخْبَارِ النَّاسِ تُكْسِبُ الْمَرْءَ هَمًّا وَهَذَا الْهَمُّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ نَسِيْنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ عَنْهُ وَهُوَ الْهَمُّ مَا يَقَعُ فِي النَّفْسِ مِنْ هَمٍّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ الَّتِي تَصْرِفُ عَنِ الْعِلْمِ الْهَمُّ وَلِذَلِكَ ثَبَتَ عَنْ شُرَيْحٍ الْقَاضِي رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ لَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَسْمَعُ أَخْبَارًا وَلَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا وَتِلْمِيذُهُ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ كَانَ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَتَكَلَّمُ وَلَكِنَّهُ رُبَّمَا سَمِعَ الْإِخْبَارَ وَأَمَّا شُرَيْحٌ فَلَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ وَلِذَلِكَ حَدَثَ فِي وَقْتِهِ فِتَنٌ عَظِيمَةٌ وَمَنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى شُرَيْحٍ وَهُوَ مُخَضْرَمٌ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ لَمْ يَرَهُ بِالْعِصْمَةِ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الْفِتَنِ وَلِذَلِكَ عَدَمُ الِاسْتِخْبَارِ هَذَا أَحْيَانًا يُرِيحُ ذِهْنَكَ فَتَطْلُبُ الْعِلْمَ وَأَنْتَ فِي حَالِكَ وَأَنْتَ مُنْشَغَلٌ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ وَمِثْلُ هَذِهِ الأَخْبَارِ أَحْيَانًا تَجْعَلُ الْوَاحِدَ لَا يَنَامُ خَاصَّةً بَعْضُ النَّاسِ مِثْلِيْ أَنَا أَحْيَانًا إِذَا سَمِعْتُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ مَا أَنَامُ فِي اللَّيْلِ مِنْ كَدَرٍ فِي النَّفْسِ وَتَكَدُّرٍ وَمَا بِالْيَدِ حِيلَةٌ لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَفْعَلَ شَيْئًا لَا أَسْتَطِيعُ فَلِذَلِكَ أَرِحْ نَفْسَكَ وَاسْتَنَّ بِمَا فَعَلَهُ شُرَيْحٌ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ فَإِنَّهُمَا إِمَامَانِ عَظِيمَانِ فَتَنْشَغِلَ أَوْ فَتُرِيحَ بَالَكَ وَتَنْصَرِفَ لِمَا تَسْتَطِيعُ أَنْ تَنْفَعَ بِهِ وَهُوَ الْعِلْمُ إِذًا هَذَا الْأَمْرُ الثَّانِي قُلْنَا الأَوَّلُ أَمْرُ تَضْيِيعِ الْوَقْتِ الْأَمْرُ الثَّانِي أَنَّهُ مَشْغَلَةٌ لِلذِّهْنِ الْأَمْرُ الثَّالِثُ وَهَذَا مُهِمٌّ جِدًّا أَنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْوَسَائِلِ قَدْ يَأْتِي فِيهَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَهَذِه خَطِيرَةٌ فَالْكَاذِبُ هَذَا فِي الْعِلْمِ وَفِي غَيْرِهِ يَجْعَلُ فِي قَلْبِكَ شَيْئًا يَنْشَغِلُ الذِّهْنُ بِهِ نَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِىَّ يَقُولُ أَحْيَانًا أَضَعُ يَدِي عَلَى الْوَرَقَةِ لِكَيْ لَا أَحْفَظَهَا لِأَنَّهُ كَانَ قَوِيَّ الْحِفْظِ مَا أَبْغِي أَحْفَظُهَا وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَقُولُ أَسُدُّ أُذُنِي لِكَي لَا أَسْمَعَ كَلَامَ النَّاسِ فِي السُّوقِ فَأَحْفَظَ كَلَامَهُمْ كَذَلِكَ الَّذِي يُقْرَأُ هَذِهِ الْقِرَاءَاتُ الَّتِي هِيَ مِنْهَا الْكَاذِبُ وَمِنْهَا الَّذِي يَأْتِي بِكَلَامٍ يَعْنِي فِيهِ أَهْوَاءُ فِي أُمُورِ الشَّرْعِ سَوَاءٌ فِي بَابِ الِاعْتِقَادِ أَوْ فِي بَابِ التَّكْفِيرِ أَوْ فِي بَابِ الْفِقْهِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَسْبَابٍ مُتَدَاخِلَةٍ قَدْ يَقَعُ فِي النَّفْسِ شَيْءٌ أَوْ تَنْشَغِلُ بِهِ النَّفْسُ فَحِينَئِذٍ يَكُونُ أَمْرًا خَطِيرًا وَلِذَلِكَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فَهَذِهِ نُسِيتُهَا أَنَّ مِنْ أَعْظَمِ عَوَائِقِ طَلَبِ الْعِلْمِ الِانْشِغَالُ بِالْجَدَلِ وَلِلْأَسَفِ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ مِمَّا يُعِينُ عَلَى الْجَدَلِ الْجَدَلُ هَذَا مِنْ أَكْثَرِ مَا يُعِيقُ عَنِ الْعِلْمِ وَلِذَلِكَ عَقَّدَ الدَّارِمِيُّ فِي السُّنَنِ بَابًا كَامِلًا فِي النَّهْيِ عَنِ الْجَدَلِ فِي الْعِلْمِ وَمَا زَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُحَذِّرُونَ مِنْهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ وَقَالَ وَأَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي وَسَطِ (رَبَضِ) الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَلَوْ كَانَ مُحِقًّا فَتَرْكُ الْمِرَاءِ وَعَدَمُ الْمُجَادَلَةِ فِي الدِّيْنِ مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ وَمَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيُجَادِلَ بِهِ الْعُلَمَاءَ فَهُوَ حَسْبُهُ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ شَيْئًا وَمِثْلُ هَذِهِ الْوَسَائِلِ تَجِدُ فِيهَا مِنَ الْمُمَارَاةِ وَالْمُجَادَلَةِ وَحَتَّى هَذَا الْوَاتْسَابِ وَغَيْرِهَا تَجِدُ فِيهَا يَقُولُ نَجْعَلُهُ عِلْمًا فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِمَسْأَلَةٍ وَيَتَكَلَّمُ الثَّانِي لِيَنْتَصِرَ لِنَفْسِهِ وَهَكَذَا تَجِدُ أَشْيَاءَ هِيَ فِي الْحَقِيقَةِ مِنْ عَوَائِقِ الْعِلْمِ وَلَيْسَتْ مِنْ وَسَائِلِ تَحْصِيلِهِ إِذًا إِيَّاكَ وَالْمُجَادَلَةَ إِيَّاكَ وَالْمُنَاظَرَةَ أَنْتَ تُبَيِّنُ الْعِلْمَ وَتَقْرَأُ الْعِلْمَ لَكِنْ لَا تَنْشَغِلُ بِالْمُنَاظَرَةِ وَالْمُجَادَلَةِ فَإِنَّهَا آفَةٌ مِنْ آفَاتِ الْعِلْمِ وَعَائِقٌ مِنْ عَوَائِقِ تَحْصِيلِهِ
Di antara hal yang berkembang pesat di zaman kita ini adalah media sosial. Salah satu permasalahan besar dari media sosial adalah: ia kini berada di dalam sakumu. Artinya, ia selalu bersamamu. Kamu tak perlu lagi pergi ke ruangan khusus atau menyalakan perangkat tertentu, sebagaimana penggunaan internet di zaman dulu. Sekarang ia bersamamu, di sakumu. Saat kamu duduk antara azan dan iqamah, kamu masih bisa mengecek status: Apa yang ditulis? Apa yang dikatakan? Bahkan bisa mengetahui apa yang terjadi secara rinci di belahan dunia paling jauh. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa ini berkaitan dengan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang akhir zaman, di mana waktu terasa semakin singkat, sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari. Para ulama menjelaskan bahwa maksud “singkatnya waktu” itu ada tiga bentuk: Pertama: waktu terasa berjalan sangat cepat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad dari Auf bin Malik Al-Asyja’i. Kedua: berita yang dahulu perlu waktu lama untuk menyebar, kini bisa tersebar dalam waktu singkat. Ketiga: waktu menjadi singkat dalam hal perjalanan atau jarak tempuh. Dulu, perjalanan antarnegara membutuhkan waktu lama. sekarang waktu tempuhnya jauh lebih singkat, berkat kemajuan alat transportasi. Semua hal ini benar-benar terjadi. Namun ilmu yang pasti tetap milik Allah ‘Azza wa Jalla. Intinya, media sosial memang memiliki sisi manfaat yang tidak bisa disangkal. Kita tahu juga tahu bahwa akidah Ahlusunah wal Jamaah meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Tidak ada keburukan sepenuhnya. Dalam talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan: “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepada-Mu.” Artinya, Allah Jalla wa ‘Ala tidak menciptakan keburukan secara mutlak. Bahkan ketika Allah menciptakan iblis, tetap ada hikmah di balik penciptaannya, yaitu untuk membedakan antara yang buruk dan yang baik. Manusia memiliki tingkatan yang berbeda di surga—ada yang lebih tinggi dari yang lain. Sebabnya, orang yang satu mengikuti langkah-langkah setan, sedangkan yang lain menolaknya. Ada yang masuk surga, ada pula yang ke neraka. Ada yang di surga tingkat tertinggi, ada yang di bawahnya. Jadi, Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Dalam segala hal, pasti ada sisi kebaikannya. Namun, sungguh waktu penuntut ilmu sangatlah berharga. Jangan bayangkan, betapa berharganya waktu yang ia miliki. Terutama pada fase-fase usia tertentu. Saya tidak membicarakan masa kanak-kanak, karena masa itu memiliki keadaan tersendiri. Yang saya maksud adalah fase belajar dan menghadiri majelis ilmu, terutama usia 20–30 tahun. Karena ketika seseorang menginjak usia 40, ia berpindah ke fase kehidupan yang lainnya. Pola pikirnya berubah, cara pandangnya terhadap hidup pun ikut berubah. Sebagaimana firman Allah:“Hingga apabila ia telah dewasa dan mencapai umur 40 tahun, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bimbinglah aku agar dapat bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…’” (QS Al-Ahqaf: 15). Seseorang akan berubah setelah melewati usia 40. Namun yang sedang saya bicarakan adalah usia 20 hingga 30 tahun. Usia 20–30 tahun merupakan inti kehidupan manusia. Ini adalah masa produktif untuk menuntut ilmu, menulis, memahami, dan mengembangkan potensi fisik maupun akalnya. Di masa seperti ini, bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sangatlah penting. Dahulu, para ulama sangat memperhatikan waktu mereka. Jika kita mendengar sebagian kisah mereka, kita akan merasa takjub. Disebutkan bahwa Imam An-Nawawi rahimahullah ketika hendak menghadiri majelis ilmu, hanya makan sepotong kue. Sebab, kue tidak memerlukan banyak kunyahan. Karena tidak perlu banyak dikunyah, maka bisa langsung ditelan. Cara ini membuatnya bisa menghemat waktu makan—sekitar 10 atau 15 menit. Kisah ulama lainnya. Apabila datang seorang tamu kepada Ibnu Al-Jauzi, beliau memanfaatkan waktu menjamu tamunya untuk pekerjaan yang tidak memerlukan konsentrasi tinggi, seperti memotong kertas atau meraut pena. Bahkan jika tamunya berkata, “Mari kita raut bersama,” mereka pun bersama-sama meraut pena—tentu bukan dengan peraut, tetapi dengan pisau, misalnya. Beliau bisa memiliki hingga 20 atau 30 pena sekaligus. Demikian juga untuk menggunting dan merapikan kertas atau menjilid buku. Jadi, perkara memanfaatkan waktu sangatlah penting. Kamu dapat mengenali kematangan seseorang dari bagaimana ia memanfaatkan waktunya sejak usia muda. Tentu ada perbedaan antara mengisolasi diri sepenuhnya dari masyarakat dan memanfaatkan waktu dengan baik. Sebagian orang menutup diri, hanya diam di rumah, lalu sibuk membuka gawai (gadget), mengakses media sosial, internet, dan lainnya, hingga waktunya terbuang sia-sia. Ini hal yang berbeda sama sekali. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu sejati—berdasarkan pengamatan terhadap banyak pelajar—yang diberi keberkahan oleh Allah dalam usahanya dan waktunya adalah orang yang sebisa mungkin mengurangi keterikatan dengan urusan duniawi. Imam Asy-Syafi’i bahkan pernah berkata, “Jangan menikah lagi (istri kedua),” padahal poligami adalah perkara yang mubah secara syariat dan terkadang berpahala. Namun, beliau tetap berpesan demikian. Maka bagaimana dengan kesibukan dunia lainnya? Sesungguhnya, media sosial itu menyibukkan, terlebih lagi bagi penuntut ilmu. Ada yang berisi berita, ada pula yang penuh dengan gosip. Ada pula yang menyajikan komentar dan analisis atas berita, sebagian benar dan sebagian bohong. Ada juga yang hanya berisi lelucon dan hal-hal yang tak berguna. Percayalah, ilmu yang kamu dapatkan—atau kamu kira bisa kamu dapatkan—dari media sosial, pasti bisa kamu temukan di tempat lain. Kamu dapat berlepas diri dari media sosial. Hal-hal seperti ini tak perlu diikuti, dapat ditinggalkan sepenuhnya. Saya bahkan sampaikan satu hal padamu: ada orang yang dalam penelitian ilmiahnya, membuktikan bahwa seseorang bisa hidup tanpa mengandalkannya sama sekali. Ia hanya bergantung pada ensiklopedia digital seperti Maktabah Syamila, dan semisalnya. Namun, ada saudara kita berkata, “Saya menolak itu. Saya tidak akan pernah menggunakannya.” Sebab, terlalu bergantung padanya membuat penuntut ilmu enggan kembali membuka kitab-kitab secara langsung. Orang-orang mengomentarinya, “Kau hanya membuang-buang waktu. Alat itu membuat efisien, juga bermanfaat untukmu.” Namun, seiring waktu, terbukti bahwa cara manual yang ia pilih justru lebih tepat. Ternyata ia mendapatkan manfaat yang lebih banyak dibandingkan orang lain. Sebab ketika seseorang meneliti suatu persoalan atau mencari hadis secara manual, dalam prosesnya, ia akan membaca 100 hadis sebelum sampai pada hadis yang ia cari. Dari situ, bisa jadi ia memperoleh manfaat berkali-kali lipat dari yang ia niatkan. Bahkan ia menemukan faedah yang sebelumnya tidak ia cari atau tidak ia ketahui. Hal-hal semacam ini merupakan bagian dari ilmu. Sering kali, lamanya proses pencarian ilmu justru akan menambah kedalaman ilmu itu sendiri. Sebaliknya, pencarian yang serba ringkas dan hasil yang instan bisa menjadi sebab melemahnya kualitas ilmu yang diperoleh. Saya sudah katakan sebelumnya, ada pendapat yang menyebut bahwa para ulama fikih sengaja mempersulit ilmu agar pelajar bisa mendapatkan faedah lebih dan kemampuannya benar-benar terasah. Oleh sebab itu, saya ingin menasihati diri saya sendiri dan kalian semua, hendaknya kita berusaha mengurangi ketergantungan terhadap media-media semacam ini. Sebisa mungkin, berusaha untuk meninggalkannya. Jangan terlalu banyak menyibukkan diri dengannya, kecuali dalam hal yang benar-benar diperlukan. Sehingga jika ia mampu mengendalikan dirinya, maka alhamdulillah! Namun jika tidak, sebaiknya ia hapus saja media tersebut, meskipun hanya untuk sementara waktu, agar ia bisa istirahat. Ada sebagian orang yang jika tidak membawa ponselnya, seakan-akan dunia ini telah runtuh. Banyak orang saat ini sangat terpengaruh. Ketika ia kehilangan ponsel selama sehari atau dua hari saja, mereka merasa seolah dunia telah berubah. Karena itu, biasakan dirimu untuk meninggalkannya sesekali. Tinggalkan beberapa hari! Agar kamu menggunakan ponsel yang lain untuk berkomunikasi dengan keluargamu. Adapun media sosial, tinggalkanlah selama berhari-hari. Sungguh, saya katakan benar-benar, media ini telah menyibukkan manusia dan menyia-nyiakan waktu mereka. Lebih dari itu, media ini membawa bahaya besar, yaitu rasa gelisah. Kegelisahan ini bukan perkara sepele. Mendengar berbagai kabar orang lain bisa menimbulkan kegelisahan dalam diri. Kegelisahan ini adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Kita lupa membahas hal ini: kegelisahan yang menghantui jiwa. Kegelisahan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Syuraih Al-Qadhi rahimahullah Ta’ala, bahwa jika terjadi fitnah, beliau tidak mencari tahu dan tidak memberi tahu kabarnya. Beliau tidak mendengarkan kabarnya dan tidak membicarakannya. Sedangkan muridnya, Ibrahim An-Nakha’i, jika terjadi fitnah, ia mencari tahu kabarnya, tapi tidak menyebarkannya. Beliau tidak membicarakannya, meski mungkin kadang mendengarnya. Adapun Syuraih sama sekali tidak mencari tahu tentangnya ataupun menyampaikannya. Maka ketika terjadi fitnah besar di zamannya, Allah melindunginya. Ia adalah seorang mukhadhram; ia hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tidak bertemu langsung. Allah selamatkan Syuraih dari banyak fitnah. Maka, tidak mencari tahu berita kadang bisa membuat pikiranmu tenang. Sehingga engkau bisa menuntut ilmu dalam keadaan tenang, kamu dapat fokus menuntut ilmu. Berita-berita semacam itu terkadang membuat seseorang sulit tidur — terutama sebagian orang. Seperti saya, misalnya. Terkadang, jika mendengar berita tertentu, saya tidak bisa tidur malam itu. Karena perasaan gelisah dan ketidakberdayaan menghadapi sesuatu yang di luar kendali. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, tenangkanlah dirimu dan teladanilah Syuraih dan Ibrahim An-Nakha’i, karena keduanya adalah imam besar. Tenangkan pikiranmu, dan arahkanlah perhatianmu kepada hal yang bermanfaat, yaitu ilmu. Ini adalah poin kedua. Poin pertama tadi: media sosial dapat membuang waktu. Poin kedua: media sosial menyibukkan pikiran. Poin ketiga — ini sangat penting Media sosial membuka peluang bagi siapa saja berbicara, baik orang jujur maupun pendusta. Ini berbahaya sekali. Orang yang berdusta — baik dalam ilmu maupun hal lain — bisa menanamkan keburukan di hatimu. Pikiranmu akan sibuk karenanya. Kita tahu bahwa Muhammad bin Syihab Az-Zuhri pernah berkata, “Terkadang aku meletakkan tanganku di atas kertas agar tidak menghafalnya,” karena hafalannya yang sangat kuat. Ia berkata, “Aku tidak ingin menghafalnya.” Ulama yang lain mengatakan, “Aku menutup telingaku agar tidak mendengar ucapan orang-orang di pasar, supaya tidak terhafal olehku.” Demikian pula dengan bacaan dan tulisan di media, di antaranya ada yang bohong. Ada juga yang memuat syubhat dalam urusan agama. Baik dalam bab akidah, takfir, atau fikih, atau topik-topik lain yang saling berkaitan. Terkadang menimbulkan sesuatu dalam hati, atau membuat hati sibuk memikirkannya. Ini jelas sangat berbahaya. Maka dari itu, saudara-saudara! Saya hampir lupa: salah satu penghalang besar dalam menuntut ilmu adalah sibuk berdebat. Sungguh disayangkan, media sosial justru memfasilitasi perdebatan itu. Padahal, debat termasuk salah satu penghalang terbesar dalam meraih ilmu. Oleh sebab itu, Imam Ad-Darimi menulis satu bab khusus dalam kitab Sunan-nya tentang larangan berdebat dalam ilmu. Para ulama sejak dahulu terus-menerus memperingatkan kita darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin istana di pinggiran surga bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. At-Thabarani, dibacakan Syaikh secara makna). Beliau juga bersabda, “Aku menjamin istana di tengah (pinggiran) surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia berada di pihak yang benar.” (HR. Abu Daud, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Meninggalkan perdebatan dan tidak mendebat dalam agama termasuk amalan besar. Barang siapa mencari ilmu untuk membantah orang-orang bodoh dan mendebat para ulama, maka itu saja yang ia dapatkan. Ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya. Media sosial penuh dengan pertengkaran dan debat. Bahkan di WhatsApp dan yang sejenisnya, mungkin ada yang berkata, “Kita gunakan ini untuk menyebarkan ilmu.” Lalu seseorang membahas satu masalah, dan yang lain membalas untuk membela pendapatnya sendiri. Begitulah seterusnya, hingga muncul berbagai hal yang pada hakikatnya menjadi penghalang ilmu. Bukan sarana untuk mencapainya. Jadi, jauhilah perdebatan! Jauhilah saling berbantahan! Kamu jelaskan dan bacalah ilmu, tapi jangan sibuk dengan perdebatan dan bantah-bantahan. Karena itu adalah penyakit dalam ilmu dan salah satu penghalang besar dalam meraihnya. ==== الْحَقِيقَةُ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي جَدَّتْ فِي وَقْتِنَا هَذَا وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ وَمِنْ أَشْكَلِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ أَنَّهَا مَوْجُودَةٌ فِي جَيْبِكَ يَعْنِي هِيَ مَعَكَ لَيْسَ تَحْتَاجُ أَنْ تَذْهَبَ بِغُرْفَةٍ بِعَيْنِهَا وَتُشَغِّلَ جِهَازًا بِعَيْنِهِ كَمَا كَانَ قَدِيمًا يُسْتَخْدَمُ النِّتُ الْآنَ هِيَ مَعَكَ فِي جَيْبِكَ وَأَنْتَ جَالِسٌ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ تَنْظُرُ مَا الَّذِي كُتِبَ؟ وَمَا الَّذِي قِيلَ؟ وَمَا الَّذِي يَدُورُ فِي الأَسْرَارِ فِي أَقْصَى الْبُلْدَانِ؟ وَلِذَلِكَ قَدْ يُقَالُ إِنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِالْأَخْبَارِ الَّتِي جَاءَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَنَّ آخِرَ الزَّمَانِ يَتَقَارَبُ كَمَا فِي الْبُخَارِيِّ قِيلَ وَالتَّقَارُبُ بِثَلَاثَةِ أُمُورٍ إِمَّا تَقَارُبُ الزَّمَانِ بِمَعْنَى أَنَّهُ يَكُونُ الْوَقْتُ سَرِيعًا كَمَا فُسِّرَ عِنْدَ الْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ عَوْفٍ الأَشْجَعِيِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ وَإِمَّا أَنْ يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ بِحَيْثُ إِنَّهُ مَا كَانَ الْخَبَرُ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ طَوِيلٍ أَصْبَحَ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ قَصِيرٍ أَوْ أَنَّهُ يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ فِي الْمَسَافَاتِ فَمَا كَانَ يُنْتَقَلُ إِلَيْهِ بَيْنَ الْبُلْدَانِ فِي مَسَافَةٍ طَوِيلَةٍ أَصْبَحَ يَتَقَارَبُ فِيهِ الزَّمَانُ فَيُنْتَقَلُ إِلَيْهِ فِي مَسَافَةٍ قَصِيرَةٍ وَهِيَ وَسَائِلُ الْمُوَاصَلَاتِ وَكُلُّ هَذِهِ مَوْجُودَةٌ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ هَذِهِ الْوَسَائِلَ لَا شَكَّ أَنَّ فِيهَا نَفْعًا وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُعْتَقَدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا مَا فِيهِ شَيْءٌ شَرٌّ مَحْضٌ لَيْسَ إِلَيْكَ مِنْ تَلْبِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ فَلَا يَخْلُقُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا شَرًّا مَحْضًا حَتَّى إِبْلِيسَ حِينَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَوْجَدَهُ فِيهِ فَائِدَةٌ لِيَمِيْزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ النَّاسُ دَرَجَاتٌ فِي الْجَنَّةِ بَعْضُهُمْ أَعْلَى مِنْ بَعْضِ وَالسَّبَبُ أَنَّ ذَاكَ قَدِ اتَّبَعَ بَعْضَ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَالْآخَرُ قَدْ عَصَاهُ وَذَاكَ فِي الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ فِي النَّارِ وَذَاكَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ دُونَهُ فِي الدَّرَجَاتِ إِذًا فَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا فَفِي كُلِّ شَيْءٍ خَيْرٌ وَلَكِنْ حَقِيقَةً طَالِبُ الْعِلْمِ وَقْتُهُ عَزِيزٌ لَا تَتَصَوَّرْ كَيْفَ الْوَقْتُ عَزِيزٌ جِدًّا وَقْتُهُ عَزِيزٌ وَخَاصَّةً فِي سِنِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ فِي عُمْرِهِ لَا أَقُولُ فِي طُفُولَتِهِ فِي الطُّفُولَةِ لَهَا وَضْعُهَا وَإِنَّمَا فِي فَتْرَةِ يَعْنِي الْعِلْمِ وَحُضُورِهِ خَاصَّةً فِي الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا وَصَلَ الْأَرْبَعِيْنَ انْتَقَلَ لِمَرْحَلَةٍ أُخْرَى فِي سِنِّهِ تَغَيَّرَ تَفْكِيرُهُ تَغَيَّرَ نَظَرُهُ لِلْأُمُورِ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ يَتَغَيَّرُ الْمَرْءُ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ لَكِنْ أَنَا أَتَكَلَّمُ عَنْ مَرْحَلَةِ الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ وَهِيَ يَعْنِي لُبُّ عُمْرِ الْإِنْسَانِ وَوَقْتُ إِنْتَاجِهِ وَتَحْصِيْلِهِ لِلْعِلْمِ وَكِتَابَتِهِ وَفَهْمِهِ وَقُدْرَتِهِ الْبَدَنِيَّةِ وَالْعَقْلِيَّةِ وَهَكَذَا مِثْلُ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الْحِرْصُ مِثْلُ هَذِهِ الْأَزْمَاتِ أَوِ الْأَوْقَاتِ مِنَ الْعُمْرِ الْحِرْصُ فِيهَا عَلَى الزَّمَنِ مُهِمٌّ جِدًّا وَكَانَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُعْنَونَ بِأَوْقَاتِهِمْ لَوْ نَسْمَعُ بَعْضَ أَخْبَارِهِمْ فِي ذَلِكَ نَرَى عَجَبًا كَانَ يَذْكُرُونَ أَنَّ النَّوَوِيَّ عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ كَانَ إِذَا حَضَرَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا كَعْكَةً لِأَنَّ الْكَعْكَ لَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ مَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ فَيَأْكُلُهُ الْتِهَامًا فِيهِ أَوْفَرُ لِوَقْتهِ يُوَفِّرُ رُبُعَ سَاعَةٍ أَوْ عَشْرَ دَقَائِقَ قِيمَةُ وَجْبَةٍ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ابْنُ الْجَوْزِيِّ كَانَ إِذَا حَضَرَ عِنْدَهُ أَحَدُ ضَيْفٍ وَجَاءَهُ يَسْتَغِلُّ حُضُورَ هَذَا الضَّيْفِ فِيمَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَفْكِيرٍ فِي قَطْعِ الْوَرَقِ وَفِي بَرْيِ الْأَقْلَامِ هُوَ وَرُبَّمَا إِذَا كَانَ ضَيْفُهُ يَمُنُّ عَلَيْهِ قَالَ اِبْرِ مَعِيْ فَيَبْرِي مَعَهُ الْأَقْلَامَ طَبْعًا بَرْيُ الْأَقْلَامِ لَيْسَ بِالبَرَّايَةِ وَإِنَّمَا بِالسِّكِّينِ مَثَلًا فَيَكُونُ عِنْدَهُ عِشْرِينَ قَلَمًا أَوْ ثَلَاثِينَ وَقَصِّ الْأَوْرَاقِ وَتَهْذِيبِهَا وَتَجْلِيدِ الْكُتُبِ إِذًا فَقَضِيَّةُ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ مُهِمَّةٌ جِدًّا وَأَنْتَ تَعْرِفُ الْمَرْءَ مِنْ حَدَاثَةِ سِنِّهِ فِي قَضِيَّةِ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ فِيهِ فَرْقٌ بَيْنَ الِانْغِلَاقِ الْكُلِّيِّ عَنِ النَّاسِ وَبَيْنَ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ بَعْضُ النَّاسِ يَنْغَلِقُ وَيَجْلِسُ فِي بَيْتِهِ وَيَفْتَحُ هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ فِي التَّوَاصُلِ وَالنِّتِ وَغَيْرِهَا فَيَضِيعُ وَقْتُهُ هَذَا شَيْءٌ آخَرُ وَلِذَلِكَ طَالِبُ الْعِلْمِ حَقِيقَةً يَعْنِي بِاسْتِقْرَاءِ لِكَثِيرٍ مِنْ طَلَبَةِ الْعِلْمِ الَّذِي يَنْفَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِجُهْدِهِ وَبِوَقْتِهِ هُوَ الَّذِي يَتَخَفَّفُ عَنْ أَشْغَالِ الدُّنْيَا يَتَخَفَّفُ قَدْرَ اسْتِطَاعَتِهِ لِذَا كَانَ الشَّافِعِيُّ يَقُولُ لَا تَأْخُذُ ثَانِيَةً زَوْجَةً ثَانِيَةً مَعَ أَنَّهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ الْمَشْرُوعَةِ وَفِيهَا أَجْرٌ فِي أَحْيَانٍ كَثِيرَةٍ مَعَ ذَلِكَ فَمَا ظَنُّكَ بِالْإِنْشَغَالِ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَالْحَقِيقَةُ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ بِالْخُصُوصِ مَشْغَلَةٌ فَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ خَبَرٌ وَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ إِشَاعَةٌ وَمِنْ شَيْءٍ ثَالِثٍ أَوْ أَمْرٍ ثَالِثٍ فِيهِ تَعْلِيقٌ عَلَى خَبَرٍ وَتَحْلِيلٌ بَيْنَ صَادِقٍ وَكَاذِبٍ وَمِنْ أَمْرٍ يَتَعَلَّقُ بِنُكْتَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي لَا فَائِدَةَ مِنْهَا وَثِقْ أَنَّ مَا تَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ أَوْ تَظُنُّ أَنَّكَ سَتَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ هُنَا سَتَجِدُهُ فِي غَيْرِهِ وَتَسْتَطِيْعُ الِاسْتِغْنَاءَ عَنْهُ فَمِثْلُ هَذِهِ الْأُمُورِ يُمْكِنُ الِاسْتِغْنَاءُ عَنْهَا وَتَرْكُهَا بَلْ إِنِّي أَقُولُ لَكَ شَيْءٌ هُنَاكَ بَعْضُ النَّاسِ يَعْتَمِدُ فِي الْبَحْثِ لِكَيْ أَقُولُ لَكَ الِاسْتِغْنَاءُ الْآنَ يَقُولُ لَكَ الْمَوْسُوعاتِ الشَّامِلَةِ وَغَيْرِهَا وَحَدِيثِ هَذَا النِّتِ بَعْضُ الْإِخْوَانِ يَقُولُ أَنَا ضِدُّهَا لَا أَرْجِعُ لَهَا مُطْلَقًا لِأَنَّ الِاعْتِمَادَ عَلَيْهَا جَعَلَ طَالِبَ الْعِلْمِ لَا يَرْجِعُ لِلْكُتُبِ فَكَانَ النَّاسُ يَقُولُونَ لَهُ إِنَّكَ سَوْفَ تُضَيِّعُ وَقْتَكَ وَهَذِهِ تَخْتَصِرُ عَلَيْكَ وَتُفِيْدُكَ تَبَيَّنَ بَعْدَ ذَلِكَ أَنَّ طَرِيقَتَهُ أَصَحُّ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَبْحَثَ مَسْأَلَةً أَوْ يَبْحَثَ عَنْ حَدِيثٍ سَيَقْرَأُ فِي طَرِيقِهِ مِئَةَ حَدِيثٍ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ الْحَدِيثَ الَّذِي يُرِيدُهُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَسْتَفِيدُ فَوَائِدَ رُبَّمَا أَضْعَافَ مَا أَرَادَ وَيَجِدُ فَوَائِدَ لَا يُرِيدُهَا أَوْ غَائِبَةً عَنْهُ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ هِيَ مِنَ الْعِلْمِ فَأَحْيَانًا طُولُ الْبَحْثِ فِي الْعِلْمِ يَزِيدُ الْعِلْمَ وَأَمَّا الِاخْتِصَارُ فِي الْبَحْثِ وَالْوُصُولُ لِلْمَعْلُومَةِ بِسُرْعَةٍ قَدْ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِضْعَافِ الْعِلْمِ وَقُلْتُ لَكُمْ قَبْلَ قَلِيلٍ أَنَّ الْفَارِقَ قَالَ إِنَّ الْفُقَهَاءَ يَتَعَمَّدُونَ تَصْعِيْبَ الْعِلْمِ لِكَيْ الْمَرْءَ يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ وَتَقْوَى مَلَكَتُهُ وَلِذَلِكَ أَنَا نَاصِحٌ لِي وَلَكُمْ أَنَّ الْمَرْءَ يُحَاوِلُ أَنْ يَتَخَفَّفَ مِنْ هَذِهِ الْوَسَائِلِ يُحَاوِلُ أَنْ يُلْغِيَهَا وَأَنْ لَا يَعْنِي يَنْشَغِلَ بِهَا كَثِيرًا إِلَّا فِي شَيْءٍ يَعْنِي ضَرُورِيٍّ فَيَكُونُ إِنِ اسْتَطَاعَ يَعْنِي أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ يَحْذِفْهَا وَلَوْ فَتْرَةً يَرْتَاحُ بَعْضُ النَّاسِ لَوْ حُذِفَ عَنْهُ لَمْ يَأْتِ بِهَاتِفِهِ مَعَهُ رُبَّمَا أَحَسَّ أَنَّ الدُّنْيَا قَدْ يَعْنِي انْهَدَمَتْ وَتَأَثَّرَ تَأَثُّرًا كَثِيرًا جِدًّا كَثِيرٌ الْآنَ وُجِدَ عِنْدَنَا عِنْدَمَا يَفْقِدُ الْهَاتِفَ يَوْمٌ كَامِلٌ أَوْ يَومَيْنِ لَيْسَ مَعَهُ كَأَنَّ الدُّنْيَا يَعْنِي تَغَيَّرَتْ وَلِذَلِكَ يَجِبُ أَنْ تُعَوِّدَ عَلَى نَفْسِكَ عَلَى تَرْكِهِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا لِيَكُنْ مَعَكَ آخَرُ لِلتَّوَاصُلِ مَعَ أَهْلِكَ وَهَذَا الَّذِي فِيهِ وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا كَثِيرَةً فَأَنَا أَقُولُ حَقِيقَةً أَنَّ هَذِهِ أَشْغَلَتِ النَّاسَ وَأَضَاعَتْ أَوْقَاتَهُمْ إِضَافَةً إِلَى أَنَّ فِيهَا أَمْرٌ خَطِيرٌ جِدًّا وَهُوَ قَضِيَّةُ الْهَمِّ هَذَا الْهَمُّ لَيْسَ بِالسَّهْلِ سَمَاعُ أَخْبَارِ النَّاسِ تُكْسِبُ الْمَرْءَ هَمًّا وَهَذَا الْهَمُّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ نَسِيْنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ عَنْهُ وَهُوَ الْهَمُّ مَا يَقَعُ فِي النَّفْسِ مِنْ هَمٍّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ الَّتِي تَصْرِفُ عَنِ الْعِلْمِ الْهَمُّ وَلِذَلِكَ ثَبَتَ عَنْ شُرَيْحٍ الْقَاضِي رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ لَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَسْمَعُ أَخْبَارًا وَلَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا وَتِلْمِيذُهُ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ كَانَ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَتَكَلَّمُ وَلَكِنَّهُ رُبَّمَا سَمِعَ الْإِخْبَارَ وَأَمَّا شُرَيْحٌ فَلَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ وَلِذَلِكَ حَدَثَ فِي وَقْتِهِ فِتَنٌ عَظِيمَةٌ وَمَنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى شُرَيْحٍ وَهُوَ مُخَضْرَمٌ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ لَمْ يَرَهُ بِالْعِصْمَةِ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الْفِتَنِ وَلِذَلِكَ عَدَمُ الِاسْتِخْبَارِ هَذَا أَحْيَانًا يُرِيحُ ذِهْنَكَ فَتَطْلُبُ الْعِلْمَ وَأَنْتَ فِي حَالِكَ وَأَنْتَ مُنْشَغَلٌ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ وَمِثْلُ هَذِهِ الأَخْبَارِ أَحْيَانًا تَجْعَلُ الْوَاحِدَ لَا يَنَامُ خَاصَّةً بَعْضُ النَّاسِ مِثْلِيْ أَنَا أَحْيَانًا إِذَا سَمِعْتُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ مَا أَنَامُ فِي اللَّيْلِ مِنْ كَدَرٍ فِي النَّفْسِ وَتَكَدُّرٍ وَمَا بِالْيَدِ حِيلَةٌ لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَفْعَلَ شَيْئًا لَا أَسْتَطِيعُ فَلِذَلِكَ أَرِحْ نَفْسَكَ وَاسْتَنَّ بِمَا فَعَلَهُ شُرَيْحٌ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ فَإِنَّهُمَا إِمَامَانِ عَظِيمَانِ فَتَنْشَغِلَ أَوْ فَتُرِيحَ بَالَكَ وَتَنْصَرِفَ لِمَا تَسْتَطِيعُ أَنْ تَنْفَعَ بِهِ وَهُوَ الْعِلْمُ إِذًا هَذَا الْأَمْرُ الثَّانِي قُلْنَا الأَوَّلُ أَمْرُ تَضْيِيعِ الْوَقْتِ الْأَمْرُ الثَّانِي أَنَّهُ مَشْغَلَةٌ لِلذِّهْنِ الْأَمْرُ الثَّالِثُ وَهَذَا مُهِمٌّ جِدًّا أَنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْوَسَائِلِ قَدْ يَأْتِي فِيهَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَهَذِه خَطِيرَةٌ فَالْكَاذِبُ هَذَا فِي الْعِلْمِ وَفِي غَيْرِهِ يَجْعَلُ فِي قَلْبِكَ شَيْئًا يَنْشَغِلُ الذِّهْنُ بِهِ نَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِىَّ يَقُولُ أَحْيَانًا أَضَعُ يَدِي عَلَى الْوَرَقَةِ لِكَيْ لَا أَحْفَظَهَا لِأَنَّهُ كَانَ قَوِيَّ الْحِفْظِ مَا أَبْغِي أَحْفَظُهَا وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَقُولُ أَسُدُّ أُذُنِي لِكَي لَا أَسْمَعَ كَلَامَ النَّاسِ فِي السُّوقِ فَأَحْفَظَ كَلَامَهُمْ كَذَلِكَ الَّذِي يُقْرَأُ هَذِهِ الْقِرَاءَاتُ الَّتِي هِيَ مِنْهَا الْكَاذِبُ وَمِنْهَا الَّذِي يَأْتِي بِكَلَامٍ يَعْنِي فِيهِ أَهْوَاءُ فِي أُمُورِ الشَّرْعِ سَوَاءٌ فِي بَابِ الِاعْتِقَادِ أَوْ فِي بَابِ التَّكْفِيرِ أَوْ فِي بَابِ الْفِقْهِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَسْبَابٍ مُتَدَاخِلَةٍ قَدْ يَقَعُ فِي النَّفْسِ شَيْءٌ أَوْ تَنْشَغِلُ بِهِ النَّفْسُ فَحِينَئِذٍ يَكُونُ أَمْرًا خَطِيرًا وَلِذَلِكَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فَهَذِهِ نُسِيتُهَا أَنَّ مِنْ أَعْظَمِ عَوَائِقِ طَلَبِ الْعِلْمِ الِانْشِغَالُ بِالْجَدَلِ وَلِلْأَسَفِ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ مِمَّا يُعِينُ عَلَى الْجَدَلِ الْجَدَلُ هَذَا مِنْ أَكْثَرِ مَا يُعِيقُ عَنِ الْعِلْمِ وَلِذَلِكَ عَقَّدَ الدَّارِمِيُّ فِي السُّنَنِ بَابًا كَامِلًا فِي النَّهْيِ عَنِ الْجَدَلِ فِي الْعِلْمِ وَمَا زَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُحَذِّرُونَ مِنْهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ وَقَالَ وَأَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي وَسَطِ (رَبَضِ) الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَلَوْ كَانَ مُحِقًّا فَتَرْكُ الْمِرَاءِ وَعَدَمُ الْمُجَادَلَةِ فِي الدِّيْنِ مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ وَمَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيُجَادِلَ بِهِ الْعُلَمَاءَ فَهُوَ حَسْبُهُ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ شَيْئًا وَمِثْلُ هَذِهِ الْوَسَائِلِ تَجِدُ فِيهَا مِنَ الْمُمَارَاةِ وَالْمُجَادَلَةِ وَحَتَّى هَذَا الْوَاتْسَابِ وَغَيْرِهَا تَجِدُ فِيهَا يَقُولُ نَجْعَلُهُ عِلْمًا فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِمَسْأَلَةٍ وَيَتَكَلَّمُ الثَّانِي لِيَنْتَصِرَ لِنَفْسِهِ وَهَكَذَا تَجِدُ أَشْيَاءَ هِيَ فِي الْحَقِيقَةِ مِنْ عَوَائِقِ الْعِلْمِ وَلَيْسَتْ مِنْ وَسَائِلِ تَحْصِيلِهِ إِذًا إِيَّاكَ وَالْمُجَادَلَةَ إِيَّاكَ وَالْمُنَاظَرَةَ أَنْتَ تُبَيِّنُ الْعِلْمَ وَتَقْرَأُ الْعِلْمَ لَكِنْ لَا تَنْشَغِلُ بِالْمُنَاظَرَةِ وَالْمُجَادَلَةِ فَإِنَّهَا آفَةٌ مِنْ آفَاتِ الْعِلْمِ وَعَائِقٌ مِنْ عَوَائِقِ تَحْصِيلِهِ


Di antara hal yang berkembang pesat di zaman kita ini adalah media sosial. Salah satu permasalahan besar dari media sosial adalah: ia kini berada di dalam sakumu. Artinya, ia selalu bersamamu. Kamu tak perlu lagi pergi ke ruangan khusus atau menyalakan perangkat tertentu, sebagaimana penggunaan internet di zaman dulu. Sekarang ia bersamamu, di sakumu. Saat kamu duduk antara azan dan iqamah, kamu masih bisa mengecek status: Apa yang ditulis? Apa yang dikatakan? Bahkan bisa mengetahui apa yang terjadi secara rinci di belahan dunia paling jauh. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa ini berkaitan dengan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang akhir zaman, di mana waktu terasa semakin singkat, sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari. Para ulama menjelaskan bahwa maksud “singkatnya waktu” itu ada tiga bentuk: Pertama: waktu terasa berjalan sangat cepat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad dari Auf bin Malik Al-Asyja’i. Kedua: berita yang dahulu perlu waktu lama untuk menyebar, kini bisa tersebar dalam waktu singkat. Ketiga: waktu menjadi singkat dalam hal perjalanan atau jarak tempuh. Dulu, perjalanan antarnegara membutuhkan waktu lama. sekarang waktu tempuhnya jauh lebih singkat, berkat kemajuan alat transportasi. Semua hal ini benar-benar terjadi. Namun ilmu yang pasti tetap milik Allah ‘Azza wa Jalla. Intinya, media sosial memang memiliki sisi manfaat yang tidak bisa disangkal. Kita tahu juga tahu bahwa akidah Ahlusunah wal Jamaah meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Tidak ada keburukan sepenuhnya. Dalam talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan: “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepada-Mu.” Artinya, Allah Jalla wa ‘Ala tidak menciptakan keburukan secara mutlak. Bahkan ketika Allah menciptakan iblis, tetap ada hikmah di balik penciptaannya, yaitu untuk membedakan antara yang buruk dan yang baik. Manusia memiliki tingkatan yang berbeda di surga—ada yang lebih tinggi dari yang lain. Sebabnya, orang yang satu mengikuti langkah-langkah setan, sedangkan yang lain menolaknya. Ada yang masuk surga, ada pula yang ke neraka. Ada yang di surga tingkat tertinggi, ada yang di bawahnya. Jadi, Allah tidak menciptakan keburukan yang mutlak. Dalam segala hal, pasti ada sisi kebaikannya. Namun, sungguh waktu penuntut ilmu sangatlah berharga. Jangan bayangkan, betapa berharganya waktu yang ia miliki. Terutama pada fase-fase usia tertentu. Saya tidak membicarakan masa kanak-kanak, karena masa itu memiliki keadaan tersendiri. Yang saya maksud adalah fase belajar dan menghadiri majelis ilmu, terutama usia 20–30 tahun. Karena ketika seseorang menginjak usia 40, ia berpindah ke fase kehidupan yang lainnya. Pola pikirnya berubah, cara pandangnya terhadap hidup pun ikut berubah. Sebagaimana firman Allah:“Hingga apabila ia telah dewasa dan mencapai umur 40 tahun, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bimbinglah aku agar dapat bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…’” (QS Al-Ahqaf: 15). Seseorang akan berubah setelah melewati usia 40. Namun yang sedang saya bicarakan adalah usia 20 hingga 30 tahun. Usia 20–30 tahun merupakan inti kehidupan manusia. Ini adalah masa produktif untuk menuntut ilmu, menulis, memahami, dan mengembangkan potensi fisik maupun akalnya. Di masa seperti ini, bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sangatlah penting. Dahulu, para ulama sangat memperhatikan waktu mereka. Jika kita mendengar sebagian kisah mereka, kita akan merasa takjub. Disebutkan bahwa Imam An-Nawawi rahimahullah ketika hendak menghadiri majelis ilmu, hanya makan sepotong kue. Sebab, kue tidak memerlukan banyak kunyahan. Karena tidak perlu banyak dikunyah, maka bisa langsung ditelan. Cara ini membuatnya bisa menghemat waktu makan—sekitar 10 atau 15 menit. Kisah ulama lainnya. Apabila datang seorang tamu kepada Ibnu Al-Jauzi, beliau memanfaatkan waktu menjamu tamunya untuk pekerjaan yang tidak memerlukan konsentrasi tinggi, seperti memotong kertas atau meraut pena. Bahkan jika tamunya berkata, “Mari kita raut bersama,” mereka pun bersama-sama meraut pena—tentu bukan dengan peraut, tetapi dengan pisau, misalnya. Beliau bisa memiliki hingga 20 atau 30 pena sekaligus. Demikian juga untuk menggunting dan merapikan kertas atau menjilid buku. Jadi, perkara memanfaatkan waktu sangatlah penting. Kamu dapat mengenali kematangan seseorang dari bagaimana ia memanfaatkan waktunya sejak usia muda. Tentu ada perbedaan antara mengisolasi diri sepenuhnya dari masyarakat dan memanfaatkan waktu dengan baik. Sebagian orang menutup diri, hanya diam di rumah, lalu sibuk membuka gawai (gadget), mengakses media sosial, internet, dan lainnya, hingga waktunya terbuang sia-sia. Ini hal yang berbeda sama sekali. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu sejati—berdasarkan pengamatan terhadap banyak pelajar—yang diberi keberkahan oleh Allah dalam usahanya dan waktunya adalah orang yang sebisa mungkin mengurangi keterikatan dengan urusan duniawi. Imam Asy-Syafi’i bahkan pernah berkata, “Jangan menikah lagi (istri kedua),” padahal poligami adalah perkara yang mubah secara syariat dan terkadang berpahala. Namun, beliau tetap berpesan demikian. Maka bagaimana dengan kesibukan dunia lainnya? Sesungguhnya, media sosial itu menyibukkan, terlebih lagi bagi penuntut ilmu. Ada yang berisi berita, ada pula yang penuh dengan gosip. Ada pula yang menyajikan komentar dan analisis atas berita, sebagian benar dan sebagian bohong. Ada juga yang hanya berisi lelucon dan hal-hal yang tak berguna. Percayalah, ilmu yang kamu dapatkan—atau kamu kira bisa kamu dapatkan—dari media sosial, pasti bisa kamu temukan di tempat lain. Kamu dapat berlepas diri dari media sosial. Hal-hal seperti ini tak perlu diikuti, dapat ditinggalkan sepenuhnya. Saya bahkan sampaikan satu hal padamu: ada orang yang dalam penelitian ilmiahnya, membuktikan bahwa seseorang bisa hidup tanpa mengandalkannya sama sekali. Ia hanya bergantung pada ensiklopedia digital seperti Maktabah Syamila, dan semisalnya. Namun, ada saudara kita berkata, “Saya menolak itu. Saya tidak akan pernah menggunakannya.” Sebab, terlalu bergantung padanya membuat penuntut ilmu enggan kembali membuka kitab-kitab secara langsung. Orang-orang mengomentarinya, “Kau hanya membuang-buang waktu. Alat itu membuat efisien, juga bermanfaat untukmu.” Namun, seiring waktu, terbukti bahwa cara manual yang ia pilih justru lebih tepat. Ternyata ia mendapatkan manfaat yang lebih banyak dibandingkan orang lain. Sebab ketika seseorang meneliti suatu persoalan atau mencari hadis secara manual, dalam prosesnya, ia akan membaca 100 hadis sebelum sampai pada hadis yang ia cari. Dari situ, bisa jadi ia memperoleh manfaat berkali-kali lipat dari yang ia niatkan. Bahkan ia menemukan faedah yang sebelumnya tidak ia cari atau tidak ia ketahui. Hal-hal semacam ini merupakan bagian dari ilmu. Sering kali, lamanya proses pencarian ilmu justru akan menambah kedalaman ilmu itu sendiri. Sebaliknya, pencarian yang serba ringkas dan hasil yang instan bisa menjadi sebab melemahnya kualitas ilmu yang diperoleh. Saya sudah katakan sebelumnya, ada pendapat yang menyebut bahwa para ulama fikih sengaja mempersulit ilmu agar pelajar bisa mendapatkan faedah lebih dan kemampuannya benar-benar terasah. Oleh sebab itu, saya ingin menasihati diri saya sendiri dan kalian semua, hendaknya kita berusaha mengurangi ketergantungan terhadap media-media semacam ini. Sebisa mungkin, berusaha untuk meninggalkannya. Jangan terlalu banyak menyibukkan diri dengannya, kecuali dalam hal yang benar-benar diperlukan. Sehingga jika ia mampu mengendalikan dirinya, maka alhamdulillah! Namun jika tidak, sebaiknya ia hapus saja media tersebut, meskipun hanya untuk sementara waktu, agar ia bisa istirahat. Ada sebagian orang yang jika tidak membawa ponselnya, seakan-akan dunia ini telah runtuh. Banyak orang saat ini sangat terpengaruh. Ketika ia kehilangan ponsel selama sehari atau dua hari saja, mereka merasa seolah dunia telah berubah. Karena itu, biasakan dirimu untuk meninggalkannya sesekali. Tinggalkan beberapa hari! Agar kamu menggunakan ponsel yang lain untuk berkomunikasi dengan keluargamu. Adapun media sosial, tinggalkanlah selama berhari-hari. Sungguh, saya katakan benar-benar, media ini telah menyibukkan manusia dan menyia-nyiakan waktu mereka. Lebih dari itu, media ini membawa bahaya besar, yaitu rasa gelisah. Kegelisahan ini bukan perkara sepele. Mendengar berbagai kabar orang lain bisa menimbulkan kegelisahan dalam diri. Kegelisahan ini adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Kita lupa membahas hal ini: kegelisahan yang menghantui jiwa. Kegelisahan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Syuraih Al-Qadhi rahimahullah Ta’ala, bahwa jika terjadi fitnah, beliau tidak mencari tahu dan tidak memberi tahu kabarnya. Beliau tidak mendengarkan kabarnya dan tidak membicarakannya. Sedangkan muridnya, Ibrahim An-Nakha’i, jika terjadi fitnah, ia mencari tahu kabarnya, tapi tidak menyebarkannya. Beliau tidak membicarakannya, meski mungkin kadang mendengarnya. Adapun Syuraih sama sekali tidak mencari tahu tentangnya ataupun menyampaikannya. Maka ketika terjadi fitnah besar di zamannya, Allah melindunginya. Ia adalah seorang mukhadhram; ia hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tidak bertemu langsung. Allah selamatkan Syuraih dari banyak fitnah. Maka, tidak mencari tahu berita kadang bisa membuat pikiranmu tenang. Sehingga engkau bisa menuntut ilmu dalam keadaan tenang, kamu dapat fokus menuntut ilmu. Berita-berita semacam itu terkadang membuat seseorang sulit tidur — terutama sebagian orang. Seperti saya, misalnya. Terkadang, jika mendengar berita tertentu, saya tidak bisa tidur malam itu. Karena perasaan gelisah dan ketidakberdayaan menghadapi sesuatu yang di luar kendali. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, tenangkanlah dirimu dan teladanilah Syuraih dan Ibrahim An-Nakha’i, karena keduanya adalah imam besar. Tenangkan pikiranmu, dan arahkanlah perhatianmu kepada hal yang bermanfaat, yaitu ilmu. Ini adalah poin kedua. Poin pertama tadi: media sosial dapat membuang waktu. Poin kedua: media sosial menyibukkan pikiran. Poin ketiga — ini sangat penting Media sosial membuka peluang bagi siapa saja berbicara, baik orang jujur maupun pendusta. Ini berbahaya sekali. Orang yang berdusta — baik dalam ilmu maupun hal lain — bisa menanamkan keburukan di hatimu. Pikiranmu akan sibuk karenanya. Kita tahu bahwa Muhammad bin Syihab Az-Zuhri pernah berkata, “Terkadang aku meletakkan tanganku di atas kertas agar tidak menghafalnya,” karena hafalannya yang sangat kuat. Ia berkata, “Aku tidak ingin menghafalnya.” Ulama yang lain mengatakan, “Aku menutup telingaku agar tidak mendengar ucapan orang-orang di pasar, supaya tidak terhafal olehku.” Demikian pula dengan bacaan dan tulisan di media, di antaranya ada yang bohong. Ada juga yang memuat syubhat dalam urusan agama. Baik dalam bab akidah, takfir, atau fikih, atau topik-topik lain yang saling berkaitan. Terkadang menimbulkan sesuatu dalam hati, atau membuat hati sibuk memikirkannya. Ini jelas sangat berbahaya. Maka dari itu, saudara-saudara! Saya hampir lupa: salah satu penghalang besar dalam menuntut ilmu adalah sibuk berdebat. Sungguh disayangkan, media sosial justru memfasilitasi perdebatan itu. Padahal, debat termasuk salah satu penghalang terbesar dalam meraih ilmu. Oleh sebab itu, Imam Ad-Darimi menulis satu bab khusus dalam kitab Sunan-nya tentang larangan berdebat dalam ilmu. Para ulama sejak dahulu terus-menerus memperingatkan kita darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin istana di pinggiran surga bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. At-Thabarani, dibacakan Syaikh secara makna). Beliau juga bersabda, “Aku menjamin istana di tengah (pinggiran) surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia berada di pihak yang benar.” (HR. Abu Daud, dibacakan secara makna oleh Syaikh). Meninggalkan perdebatan dan tidak mendebat dalam agama termasuk amalan besar. Barang siapa mencari ilmu untuk membantah orang-orang bodoh dan mendebat para ulama, maka itu saja yang ia dapatkan. Ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya. Media sosial penuh dengan pertengkaran dan debat. Bahkan di WhatsApp dan yang sejenisnya, mungkin ada yang berkata, “Kita gunakan ini untuk menyebarkan ilmu.” Lalu seseorang membahas satu masalah, dan yang lain membalas untuk membela pendapatnya sendiri. Begitulah seterusnya, hingga muncul berbagai hal yang pada hakikatnya menjadi penghalang ilmu. Bukan sarana untuk mencapainya. Jadi, jauhilah perdebatan! Jauhilah saling berbantahan! Kamu jelaskan dan bacalah ilmu, tapi jangan sibuk dengan perdebatan dan bantah-bantahan. Karena itu adalah penyakit dalam ilmu dan salah satu penghalang besar dalam meraihnya. ==== الْحَقِيقَةُ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي جَدَّتْ فِي وَقْتِنَا هَذَا وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ وَمِنْ أَشْكَلِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ أَنَّهَا مَوْجُودَةٌ فِي جَيْبِكَ يَعْنِي هِيَ مَعَكَ لَيْسَ تَحْتَاجُ أَنْ تَذْهَبَ بِغُرْفَةٍ بِعَيْنِهَا وَتُشَغِّلَ جِهَازًا بِعَيْنِهِ كَمَا كَانَ قَدِيمًا يُسْتَخْدَمُ النِّتُ الْآنَ هِيَ مَعَكَ فِي جَيْبِكَ وَأَنْتَ جَالِسٌ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ تَنْظُرُ مَا الَّذِي كُتِبَ؟ وَمَا الَّذِي قِيلَ؟ وَمَا الَّذِي يَدُورُ فِي الأَسْرَارِ فِي أَقْصَى الْبُلْدَانِ؟ وَلِذَلِكَ قَدْ يُقَالُ إِنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِالْأَخْبَارِ الَّتِي جَاءَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَنَّ آخِرَ الزَّمَانِ يَتَقَارَبُ كَمَا فِي الْبُخَارِيِّ قِيلَ وَالتَّقَارُبُ بِثَلَاثَةِ أُمُورٍ إِمَّا تَقَارُبُ الزَّمَانِ بِمَعْنَى أَنَّهُ يَكُونُ الْوَقْتُ سَرِيعًا كَمَا فُسِّرَ عِنْدَ الْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ عَوْفٍ الأَشْجَعِيِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ وَإِمَّا أَنْ يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ بِحَيْثُ إِنَّهُ مَا كَانَ الْخَبَرُ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ طَوِيلٍ أَصْبَحَ يَنْتَقِلُ فِي زَمَنٍ قَصِيرٍ أَوْ أَنَّهُ يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ فِي الْمَسَافَاتِ فَمَا كَانَ يُنْتَقَلُ إِلَيْهِ بَيْنَ الْبُلْدَانِ فِي مَسَافَةٍ طَوِيلَةٍ أَصْبَحَ يَتَقَارَبُ فِيهِ الزَّمَانُ فَيُنْتَقَلُ إِلَيْهِ فِي مَسَافَةٍ قَصِيرَةٍ وَهِيَ وَسَائِلُ الْمُوَاصَلَاتِ وَكُلُّ هَذِهِ مَوْجُودَةٌ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ هَذِهِ الْوَسَائِلَ لَا شَكَّ أَنَّ فِيهَا نَفْعًا وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُعْتَقَدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا مَا فِيهِ شَيْءٌ شَرٌّ مَحْضٌ لَيْسَ إِلَيْكَ مِنْ تَلْبِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ فَلَا يَخْلُقُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا شَرًّا مَحْضًا حَتَّى إِبْلِيسَ حِينَمَا خَلَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَوْجَدَهُ فِيهِ فَائِدَةٌ لِيَمِيْزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ النَّاسُ دَرَجَاتٌ فِي الْجَنَّةِ بَعْضُهُمْ أَعْلَى مِنْ بَعْضِ وَالسَّبَبُ أَنَّ ذَاكَ قَدِ اتَّبَعَ بَعْضَ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَالْآخَرُ قَدْ عَصَاهُ وَذَاكَ فِي الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ فِي النَّارِ وَذَاكَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّةِ وَالْآخَرُ دُونَهُ فِي الدَّرَجَاتِ إِذًا فَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْلُقُ شَرًّا مَحْضًا فَفِي كُلِّ شَيْءٍ خَيْرٌ وَلَكِنْ حَقِيقَةً طَالِبُ الْعِلْمِ وَقْتُهُ عَزِيزٌ لَا تَتَصَوَّرْ كَيْفَ الْوَقْتُ عَزِيزٌ جِدًّا وَقْتُهُ عَزِيزٌ وَخَاصَّةً فِي سِنِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ فِي عُمْرِهِ لَا أَقُولُ فِي طُفُولَتِهِ فِي الطُّفُولَةِ لَهَا وَضْعُهَا وَإِنَّمَا فِي فَتْرَةِ يَعْنِي الْعِلْمِ وَحُضُورِهِ خَاصَّةً فِي الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا وَصَلَ الْأَرْبَعِيْنَ انْتَقَلَ لِمَرْحَلَةٍ أُخْرَى فِي سِنِّهِ تَغَيَّرَ تَفْكِيرُهُ تَغَيَّرَ نَظَرُهُ لِلْأُمُورِ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ يَتَغَيَّرُ الْمَرْءُ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ لَكِنْ أَنَا أَتَكَلَّمُ عَنْ مَرْحَلَةِ الْعِشْرِينَ وَالثَّلَاثِينَ وَهِيَ يَعْنِي لُبُّ عُمْرِ الْإِنْسَانِ وَوَقْتُ إِنْتَاجِهِ وَتَحْصِيْلِهِ لِلْعِلْمِ وَكِتَابَتِهِ وَفَهْمِهِ وَقُدْرَتِهِ الْبَدَنِيَّةِ وَالْعَقْلِيَّةِ وَهَكَذَا مِثْلُ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الْحِرْصُ مِثْلُ هَذِهِ الْأَزْمَاتِ أَوِ الْأَوْقَاتِ مِنَ الْعُمْرِ الْحِرْصُ فِيهَا عَلَى الزَّمَنِ مُهِمٌّ جِدًّا وَكَانَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُعْنَونَ بِأَوْقَاتِهِمْ لَوْ نَسْمَعُ بَعْضَ أَخْبَارِهِمْ فِي ذَلِكَ نَرَى عَجَبًا كَانَ يَذْكُرُونَ أَنَّ النَّوَوِيَّ عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ كَانَ إِذَا حَضَرَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا كَعْكَةً لِأَنَّ الْكَعْكَ لَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ مَا يَحْتَاجُ إِلَى هَضْمٍ فَيَأْكُلُهُ الْتِهَامًا فِيهِ أَوْفَرُ لِوَقْتهِ يُوَفِّرُ رُبُعَ سَاعَةٍ أَوْ عَشْرَ دَقَائِقَ قِيمَةُ وَجْبَةٍ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ابْنُ الْجَوْزِيِّ كَانَ إِذَا حَضَرَ عِنْدَهُ أَحَدُ ضَيْفٍ وَجَاءَهُ يَسْتَغِلُّ حُضُورَ هَذَا الضَّيْفِ فِيمَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَفْكِيرٍ فِي قَطْعِ الْوَرَقِ وَفِي بَرْيِ الْأَقْلَامِ هُوَ وَرُبَّمَا إِذَا كَانَ ضَيْفُهُ يَمُنُّ عَلَيْهِ قَالَ اِبْرِ مَعِيْ فَيَبْرِي مَعَهُ الْأَقْلَامَ طَبْعًا بَرْيُ الْأَقْلَامِ لَيْسَ بِالبَرَّايَةِ وَإِنَّمَا بِالسِّكِّينِ مَثَلًا فَيَكُونُ عِنْدَهُ عِشْرِينَ قَلَمًا أَوْ ثَلَاثِينَ وَقَصِّ الْأَوْرَاقِ وَتَهْذِيبِهَا وَتَجْلِيدِ الْكُتُبِ إِذًا فَقَضِيَّةُ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ مُهِمَّةٌ جِدًّا وَأَنْتَ تَعْرِفُ الْمَرْءَ مِنْ حَدَاثَةِ سِنِّهِ فِي قَضِيَّةِ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ فِيهِ فَرْقٌ بَيْنَ الِانْغِلَاقِ الْكُلِّيِّ عَنِ النَّاسِ وَبَيْنَ الِاسْتِفَادَةِ مِنَ الْوَقْتِ بَعْضُ النَّاسِ يَنْغَلِقُ وَيَجْلِسُ فِي بَيْتِهِ وَيَفْتَحُ هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ فِي التَّوَاصُلِ وَالنِّتِ وَغَيْرِهَا فَيَضِيعُ وَقْتُهُ هَذَا شَيْءٌ آخَرُ وَلِذَلِكَ طَالِبُ الْعِلْمِ حَقِيقَةً يَعْنِي بِاسْتِقْرَاءِ لِكَثِيرٍ مِنْ طَلَبَةِ الْعِلْمِ الَّذِي يَنْفَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِجُهْدِهِ وَبِوَقْتِهِ هُوَ الَّذِي يَتَخَفَّفُ عَنْ أَشْغَالِ الدُّنْيَا يَتَخَفَّفُ قَدْرَ اسْتِطَاعَتِهِ لِذَا كَانَ الشَّافِعِيُّ يَقُولُ لَا تَأْخُذُ ثَانِيَةً زَوْجَةً ثَانِيَةً مَعَ أَنَّهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ الْمَشْرُوعَةِ وَفِيهَا أَجْرٌ فِي أَحْيَانٍ كَثِيرَةٍ مَعَ ذَلِكَ فَمَا ظَنُّكَ بِالْإِنْشَغَالِ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَالْحَقِيقَةُ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ بِالْخُصُوصِ مَشْغَلَةٌ فَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ خَبَرٌ وَمِنْ شَيْءٍ فِيهِ إِشَاعَةٌ وَمِنْ شَيْءٍ ثَالِثٍ أَوْ أَمْرٍ ثَالِثٍ فِيهِ تَعْلِيقٌ عَلَى خَبَرٍ وَتَحْلِيلٌ بَيْنَ صَادِقٍ وَكَاذِبٍ وَمِنْ أَمْرٍ يَتَعَلَّقُ بِنُكْتَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي لَا فَائِدَةَ مِنْهَا وَثِقْ أَنَّ مَا تَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ أَوْ تَظُنُّ أَنَّكَ سَتَجِدُهُ مِنْ عِلْمٍ هُنَا سَتَجِدُهُ فِي غَيْرِهِ وَتَسْتَطِيْعُ الِاسْتِغْنَاءَ عَنْهُ فَمِثْلُ هَذِهِ الْأُمُورِ يُمْكِنُ الِاسْتِغْنَاءُ عَنْهَا وَتَرْكُهَا بَلْ إِنِّي أَقُولُ لَكَ شَيْءٌ هُنَاكَ بَعْضُ النَّاسِ يَعْتَمِدُ فِي الْبَحْثِ لِكَيْ أَقُولُ لَكَ الِاسْتِغْنَاءُ الْآنَ يَقُولُ لَكَ الْمَوْسُوعاتِ الشَّامِلَةِ وَغَيْرِهَا وَحَدِيثِ هَذَا النِّتِ بَعْضُ الْإِخْوَانِ يَقُولُ أَنَا ضِدُّهَا لَا أَرْجِعُ لَهَا مُطْلَقًا لِأَنَّ الِاعْتِمَادَ عَلَيْهَا جَعَلَ طَالِبَ الْعِلْمِ لَا يَرْجِعُ لِلْكُتُبِ فَكَانَ النَّاسُ يَقُولُونَ لَهُ إِنَّكَ سَوْفَ تُضَيِّعُ وَقْتَكَ وَهَذِهِ تَخْتَصِرُ عَلَيْكَ وَتُفِيْدُكَ تَبَيَّنَ بَعْدَ ذَلِكَ أَنَّ طَرِيقَتَهُ أَصَحُّ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَرْءَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَبْحَثَ مَسْأَلَةً أَوْ يَبْحَثَ عَنْ حَدِيثٍ سَيَقْرَأُ فِي طَرِيقِهِ مِئَةَ حَدِيثٍ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ الْحَدِيثَ الَّذِي يُرِيدُهُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَسْتَفِيدُ فَوَائِدَ رُبَّمَا أَضْعَافَ مَا أَرَادَ وَيَجِدُ فَوَائِدَ لَا يُرِيدُهَا أَوْ غَائِبَةً عَنْهُ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ هِيَ مِنَ الْعِلْمِ فَأَحْيَانًا طُولُ الْبَحْثِ فِي الْعِلْمِ يَزِيدُ الْعِلْمَ وَأَمَّا الِاخْتِصَارُ فِي الْبَحْثِ وَالْوُصُولُ لِلْمَعْلُومَةِ بِسُرْعَةٍ قَدْ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِضْعَافِ الْعِلْمِ وَقُلْتُ لَكُمْ قَبْلَ قَلِيلٍ أَنَّ الْفَارِقَ قَالَ إِنَّ الْفُقَهَاءَ يَتَعَمَّدُونَ تَصْعِيْبَ الْعِلْمِ لِكَيْ الْمَرْءَ يَسْتَفِيدُ أَكْثَرَ وَتَقْوَى مَلَكَتُهُ وَلِذَلِكَ أَنَا نَاصِحٌ لِي وَلَكُمْ أَنَّ الْمَرْءَ يُحَاوِلُ أَنْ يَتَخَفَّفَ مِنْ هَذِهِ الْوَسَائِلِ يُحَاوِلُ أَنْ يُلْغِيَهَا وَأَنْ لَا يَعْنِي يَنْشَغِلَ بِهَا كَثِيرًا إِلَّا فِي شَيْءٍ يَعْنِي ضَرُورِيٍّ فَيَكُونُ إِنِ اسْتَطَاعَ يَعْنِي أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ يَحْذِفْهَا وَلَوْ فَتْرَةً يَرْتَاحُ بَعْضُ النَّاسِ لَوْ حُذِفَ عَنْهُ لَمْ يَأْتِ بِهَاتِفِهِ مَعَهُ رُبَّمَا أَحَسَّ أَنَّ الدُّنْيَا قَدْ يَعْنِي انْهَدَمَتْ وَتَأَثَّرَ تَأَثُّرًا كَثِيرًا جِدًّا كَثِيرٌ الْآنَ وُجِدَ عِنْدَنَا عِنْدَمَا يَفْقِدُ الْهَاتِفَ يَوْمٌ كَامِلٌ أَوْ يَومَيْنِ لَيْسَ مَعَهُ كَأَنَّ الدُّنْيَا يَعْنِي تَغَيَّرَتْ وَلِذَلِكَ يَجِبُ أَنْ تُعَوِّدَ عَلَى نَفْسِكَ عَلَى تَرْكِهِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا لِيَكُنْ مَعَكَ آخَرُ لِلتَّوَاصُلِ مَعَ أَهْلِكَ وَهَذَا الَّذِي فِيهِ وَسَائِلُ التَّوَاصُلِ اُتْرُكْهُ أَيَّامًا كَثِيرَةً فَأَنَا أَقُولُ حَقِيقَةً أَنَّ هَذِهِ أَشْغَلَتِ النَّاسَ وَأَضَاعَتْ أَوْقَاتَهُمْ إِضَافَةً إِلَى أَنَّ فِيهَا أَمْرٌ خَطِيرٌ جِدًّا وَهُوَ قَضِيَّةُ الْهَمِّ هَذَا الْهَمُّ لَيْسَ بِالسَّهْلِ سَمَاعُ أَخْبَارِ النَّاسِ تُكْسِبُ الْمَرْءَ هَمًّا وَهَذَا الْهَمُّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ نَسِيْنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ عَنْهُ وَهُوَ الْهَمُّ مَا يَقَعُ فِي النَّفْسِ مِنْ هَمٍّ مِنْ أَعْظَمِ الْعَوَائِقِ الَّتِي تَصْرِفُ عَنِ الْعِلْمِ الْهَمُّ وَلِذَلِكَ ثَبَتَ عَنْ شُرَيْحٍ الْقَاضِي رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ لَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَسْمَعُ أَخْبَارًا وَلَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا وَتِلْمِيذُهُ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ كَانَ إِذَا جَاءَتْ الْفِتَنُ يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ لَا يَتَكَلَّمُ وَلَكِنَّهُ رُبَّمَا سَمِعَ الْإِخْبَارَ وَأَمَّا شُرَيْحٌ فَلَا يَسْتَخْبِرُ وَلَا يُخْبِرُ وَلِذَلِكَ حَدَثَ فِي وَقْتِهِ فِتَنٌ عَظِيمَةٌ وَمَنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى شُرَيْحٍ وَهُوَ مُخَضْرَمٌ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ لَمْ يَرَهُ بِالْعِصْمَةِ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الْفِتَنِ وَلِذَلِكَ عَدَمُ الِاسْتِخْبَارِ هَذَا أَحْيَانًا يُرِيحُ ذِهْنَكَ فَتَطْلُبُ الْعِلْمَ وَأَنْتَ فِي حَالِكَ وَأَنْتَ مُنْشَغَلٌ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ وَمِثْلُ هَذِهِ الأَخْبَارِ أَحْيَانًا تَجْعَلُ الْوَاحِدَ لَا يَنَامُ خَاصَّةً بَعْضُ النَّاسِ مِثْلِيْ أَنَا أَحْيَانًا إِذَا سَمِعْتُ بَعْضَ الْأَخْبَارِ مَا أَنَامُ فِي اللَّيْلِ مِنْ كَدَرٍ فِي النَّفْسِ وَتَكَدُّرٍ وَمَا بِالْيَدِ حِيلَةٌ لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَفْعَلَ شَيْئًا لَا أَسْتَطِيعُ فَلِذَلِكَ أَرِحْ نَفْسَكَ وَاسْتَنَّ بِمَا فَعَلَهُ شُرَيْحٌ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ فَإِنَّهُمَا إِمَامَانِ عَظِيمَانِ فَتَنْشَغِلَ أَوْ فَتُرِيحَ بَالَكَ وَتَنْصَرِفَ لِمَا تَسْتَطِيعُ أَنْ تَنْفَعَ بِهِ وَهُوَ الْعِلْمُ إِذًا هَذَا الْأَمْرُ الثَّانِي قُلْنَا الأَوَّلُ أَمْرُ تَضْيِيعِ الْوَقْتِ الْأَمْرُ الثَّانِي أَنَّهُ مَشْغَلَةٌ لِلذِّهْنِ الْأَمْرُ الثَّالِثُ وَهَذَا مُهِمٌّ جِدًّا أَنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْوَسَائِلِ قَدْ يَأْتِي فِيهَا يَتَكَلَّمُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَهَذِه خَطِيرَةٌ فَالْكَاذِبُ هَذَا فِي الْعِلْمِ وَفِي غَيْرِهِ يَجْعَلُ فِي قَلْبِكَ شَيْئًا يَنْشَغِلُ الذِّهْنُ بِهِ نَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِىَّ يَقُولُ أَحْيَانًا أَضَعُ يَدِي عَلَى الْوَرَقَةِ لِكَيْ لَا أَحْفَظَهَا لِأَنَّهُ كَانَ قَوِيَّ الْحِفْظِ مَا أَبْغِي أَحْفَظُهَا وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَقُولُ أَسُدُّ أُذُنِي لِكَي لَا أَسْمَعَ كَلَامَ النَّاسِ فِي السُّوقِ فَأَحْفَظَ كَلَامَهُمْ كَذَلِكَ الَّذِي يُقْرَأُ هَذِهِ الْقِرَاءَاتُ الَّتِي هِيَ مِنْهَا الْكَاذِبُ وَمِنْهَا الَّذِي يَأْتِي بِكَلَامٍ يَعْنِي فِيهِ أَهْوَاءُ فِي أُمُورِ الشَّرْعِ سَوَاءٌ فِي بَابِ الِاعْتِقَادِ أَوْ فِي بَابِ التَّكْفِيرِ أَوْ فِي بَابِ الْفِقْهِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَسْبَابٍ مُتَدَاخِلَةٍ قَدْ يَقَعُ فِي النَّفْسِ شَيْءٌ أَوْ تَنْشَغِلُ بِهِ النَّفْسُ فَحِينَئِذٍ يَكُونُ أَمْرًا خَطِيرًا وَلِذَلِكَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فَهَذِهِ نُسِيتُهَا أَنَّ مِنْ أَعْظَمِ عَوَائِقِ طَلَبِ الْعِلْمِ الِانْشِغَالُ بِالْجَدَلِ وَلِلْأَسَفِ أَنَّ وَسَائِلَ التَّوَاصُلِ مِمَّا يُعِينُ عَلَى الْجَدَلِ الْجَدَلُ هَذَا مِنْ أَكْثَرِ مَا يُعِيقُ عَنِ الْعِلْمِ وَلِذَلِكَ عَقَّدَ الدَّارِمِيُّ فِي السُّنَنِ بَابًا كَامِلًا فِي النَّهْيِ عَنِ الْجَدَلِ فِي الْعِلْمِ وَمَا زَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُحَذِّرُونَ مِنْهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ وَقَالَ وَأَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي وَسَطِ (رَبَضِ) الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَلَوْ كَانَ مُحِقًّا فَتَرْكُ الْمِرَاءِ وَعَدَمُ الْمُجَادَلَةِ فِي الدِّيْنِ مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ وَمَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيُجَادِلَ بِهِ الْعُلَمَاءَ فَهُوَ حَسْبُهُ لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ شَيْئًا وَمِثْلُ هَذِهِ الْوَسَائِلِ تَجِدُ فِيهَا مِنَ الْمُمَارَاةِ وَالْمُجَادَلَةِ وَحَتَّى هَذَا الْوَاتْسَابِ وَغَيْرِهَا تَجِدُ فِيهَا يَقُولُ نَجْعَلُهُ عِلْمًا فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِمَسْأَلَةٍ وَيَتَكَلَّمُ الثَّانِي لِيَنْتَصِرَ لِنَفْسِهِ وَهَكَذَا تَجِدُ أَشْيَاءَ هِيَ فِي الْحَقِيقَةِ مِنْ عَوَائِقِ الْعِلْمِ وَلَيْسَتْ مِنْ وَسَائِلِ تَحْصِيلِهِ إِذًا إِيَّاكَ وَالْمُجَادَلَةَ إِيَّاكَ وَالْمُنَاظَرَةَ أَنْتَ تُبَيِّنُ الْعِلْمَ وَتَقْرَأُ الْعِلْمَ لَكِنْ لَا تَنْشَغِلُ بِالْمُنَاظَرَةِ وَالْمُجَادَلَةِ فَإِنَّهَا آفَةٌ مِنْ آفَاتِ الْعِلْمِ وَعَائِقٌ مِنْ عَوَائِقِ تَحْصِيلِهِ

Mengendalikan Syahwat di Zaman Fitnah

Daftar Isi ToggleKeberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMenyentuh logika dan hatiDoa Rasulullah ﷺFitnah syahwat zaman iniDari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,إن فتى شابا أتى النبيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقال: يا رسول الله، ائذن لي بالزنا!، فأقبل القوم عليه فزجروه، وقالوا: مه مه، فقال: ادنه، فدنا منه قريبا، قال: فجلس، قال: أتحبه لأمك؟، قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأمهاتهم، قال: أفتحبه لابنتك؟، قال: لا واللَّه، يا رسول اللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لبناتهم، قال: أفتحبه لأختك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم، قال: أفتحبه لعمتك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم، قال أفتحبه لخالتك؟ قال: لا واللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم قال: فوضع يده عليه وقال: اللَّهمّ اغفر ذنبه وطهر قلبه، وحَصِّنْ فرْجَه، فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء“Seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina!’ Maka orang-orang yang hadir pun menghampirinya dan memarahinya seraya berkata, ‘Cukup! Cukup!’Nabi bersabda, ‘Mendekatlah kepadaku.’ Maka pemuda itu pun mendekat hingga berada di dekat beliau.Beliau bertanya, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap ibumu?’Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap ibu-ibu mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap putrimu?’Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap putri-putri mereka.’Beliau bertanya lagi. ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap saudarimu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap saudari-saudari mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ayah)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ayah).’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ibu)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ibu).’Kemudian Nabi meletakkan tangan beliau pada pemuda itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.’Setelah itu, pemuda itu tidak lagi terlintas untuk melakukan perbuatan tersebut.” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan beliau berdoa, ‘Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan peliharalah kemaluannya.’ Maka tidak ada sesuatu pun yang lebih ia benci setelah itu daripada perbuatan zina.”—Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan terbaik dalam segala aspek kehidupan. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan menuju surga. Tanpa ilmu, seorang muslim akan tersesat di tengah gelapnya godaan dunia. Karena itu, kesabaran dalam menuntut ilmu adalah keniscayaan, bahkan ketika kondisi fisik tidak mendukung, seperti cuaca panas ataupun lelah yang mendera.Lantas, bagaimana menghadapi dorongan syahwat yang begitu kuat, khususnya di era penuh fitnah dan keterbukaan aurat yang masif? Fitnah syahwat telah menyelinap ke dalam genggaman setiap orang, bahkan anak-anak kecil, melalui media sosial dan internet.Kesabaran dalam menuntut ilmu amatlah penting, karena di balik kesabaran itu terdapat ilmu yang menyelamatkan dari kehancuran moral. Kisah di atas mengandung banyak hikmah yang luar biasa dari kehidupan Rasulullah ﷺ, yaitu tentang seorang pemuda yang datang dan secara terang-terangan meminta izin untuk berzina. Kisah ini mengandung pelajaran penting dalam menghadapi nafsu dan mendidik generasi muda di era yang penuh jebakan maksiat ini.Keberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMari kita renungkan kembali hadis pada awal pendahuluan di atas, di mana seorang pemuda datang langsung kepada Rasulullah ﷺ dan berkata dengan polos, “Izinkan aku untuk berzina.” Sebuah pernyataan yang mengejutkan, membuat para sahabat yang hadir langsung bereaksi keras. Mereka ingin menghentikan pemuda itu dengan cara yang tegas. Namun, lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ, pemimpin umat yang penuh hikmah, tidak serta merta membentak atau mengusirnya, tapi justru berkata, “Mendekatlah.”Inilah awal mula pendekatan yang luar biasa. Rasulullah ﷺ tidak menolak niat buruk itu dengan kemarahan, tapi dengan membuka ruang dialog. Beliau memberikan teladan luar biasa tentang bagaimana menyambut kejujuran seorang anak muda yang tengah bergumul dengan nafsunya. Rasulullah ﷺ paham bahwa ini adalah momen langka — seorang pemuda terbuka tentang gejolak syahwatnya. Maka, beliau memilih untuk membimbing, bukan menghakimi.Di sinilah para pendidik dan orang tua perlu bercermin. Seringkali, kita justru mematikan kejujuran anak-anak dengan kemarahan dan hukuman. Padahal, jika seorang anak berani mengungkapkan niat buruknya, itu tanda adanya kepercayaan dan peluang emas untuk membimbing hatinya ke jalan yang benar. Nabi ﷺ telah memberikan contoh kebesaran jiwa dalam menghadapi pernyataan yang bisa saja dianggap hina oleh masyarakat.Kisah ini menunjukkan bahwa keberanian anak muda tidak selalu harus dihadapi dengan keras. Sebaliknya, pemuda itu justru menemukan ketenangan dan jawaban yang menyentuh hati dari Nabi ﷺ. Maka kita pun sebagai umatnya harus meneladani pendekatan ini dalam mendidik dan membina anak-anak kita yang hidup di zaman penuh fitnah ini.Baca juga: Ujian Tersulit untuk Laki-LakiMenyentuh logika dan hatiRasulullah ﷺ melanjutkan dengan serangkaian pertanyaan yang sangat menyentuh perasaan pemuda tersebut. “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan terhadap ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah.” Pertanyaan serupa diajukan untuk anak perempuan, saudari perempuan, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu — semuanya dijawab dengan penolakan yang tegas.Melalui pertanyaan ini, Rasulullah ﷺ mengajak pemuda itu berpikir dari sudut pandang empati. Sebuah pendekatan yang membangkitkan perasaan dan kesadaran sosial. Betapa banyak orang yang merasa wajar berzina, namun akan marah besar bila hal itu menimpa keluarganya. Di sinilah letak keadilan: seseorang harus membenci kemaksiatan bukan hanya karena itu dosa, tapi karena itu juga menyakitkan bagi sesama manusia.Kebanyakan pendekatan dakwah atau pendidikan hari ini terjebak pada ceramah satu arah yang hanya menekankan larangan, tanpa membangun kesadaran batin. Rasulullah ﷺ justru membangun dialog dua arah, menyentuh akar emosional dari niat buruk itu, dan perlahan-lahan membalikkan hati pemuda tersebut dengan kasih dan logika yang menyentuh.Inilah metode yang perlu kita tiru dalam menghadapi anak-anak, remaja, atau siapa pun yang sedang tergoda oleh syahwat. Jangan langsung mencaci, tetapi ajak mereka berpikir: bagaimana jika itu terjadi pada keluargamu? Maka, pelan-pelan hati yang keras akan melunak, dan nafsu akan tunduk kepada akal yang tercerahkan oleh cahaya iman.Doa Rasulullah ﷺSetelah menyadarkan pemuda itu secara emosional dan intelektual, Rasulullah ﷺ menutup momen tersebut dengan meletakkan tangannya di dada pemuda itu dan berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan lindungi kemaluannya.” Doa yang penuh makna ini menjadi penutup proses tarbiyah yang paripurna — dari akal, perasaan, hingga ruhaniyah.Doa ini menunjukkan bahwa perubahan hakiki tidak cukup hanya dengan nasihat atau logika semata. Hati manusia adalah milik Allah ﷻ. Maka setelah segala upaya dialog dan penjelasan, Rasulullah ﷺ menyerahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala dalam bentuk doa. Dan Allah pun mengabulkan doa itu. Dalam riwayat disebutkan, pemuda itu tidak lagi pernah mendekati zina, bahkan hal-hal yang mengarah ke sana.Transformasi ini begitu luar biasa dan menjadi bukti bahwa hidayah Allah bisa datang melalui pendekatan yang lembut dan menyentuh. Tidak ada bentakan, tidak ada kekerasan, hanya kasih sayang dan doa. Hasilnya: perubahan total dalam hidup seorang pemuda yang sebelumnya terjerumus dalam gejolak syahwat.Bagi para orang tua, guru, dan pendidik, ini menjadi pelajaran penting. Jangan hanya fokus pada larangan, tapi bimbing dengan kasih, doakan dengan tulus, dan jangan pernah putus asa dari perubahan seseorang — karena hati bisa berubah dalam sekejap bila Allah menghendaki.Fitnah syahwat zaman ini Jika godaan zina di masa Rasulullah ﷺ sudah begitu menggoda, maka godaan di zaman sekarang jauh lebih dahsyat. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan platform lain bahkan menjadikan aurat sebagai komoditas. Bahkan anak-anak berusia 8 tahun sudah bisa dengan mudah mengakses konten yang sangat merusak moral. Maka tidak heran apabila dorongan syahwat hari ini lebih brutal dan masif.Di sinilah hadis ini menemukan relevansinya. Generasi muda hari ini membutuhkan bimbingan yang lebih sabar, pendekatan yang lebih empatik, dan doa yang lebih sering. Jika Nabi ﷺ saja membimbing pemuda dengan kasih sayang dalam kondisi godaan yang lebih kecil, maka kita lebih wajib lagi bersikap lembut menghadapi fitnah syahwat hari ini.Orang tua harus sadar, pendekatan Nabi ﷺ adalah teladan terbaik dalam mendidik anak. Jadilah ayah yang mau mendengar, ibu yang bisa dipercaya anak-anaknya. Bila anak berani berkata, “Aku tergoda untuk berzina,” jangan marah — bersyukurlah karena anak membuka hatinya. Itulah kesempatan untuk membimbing sebelum terlambat.Ajak anak berdialog, berikan nasihat yang menyentuh, dan jangan lupa panjatkan doa yang tulus untuk hati mereka. Hanya dengan bimbingan seperti ini, kita bisa berharap agar generasi kita tetap bertahan dalam kesucian, di tengah badai fitnah yang tak pernah reda. Semoga Allah menjaga diri dan keluarga kita dari fitnah syahwat yang menjerumuskan. Aamiin.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Mengendalikan Syahwat di Zaman Fitnah

Daftar Isi ToggleKeberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMenyentuh logika dan hatiDoa Rasulullah ﷺFitnah syahwat zaman iniDari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,إن فتى شابا أتى النبيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقال: يا رسول الله، ائذن لي بالزنا!، فأقبل القوم عليه فزجروه، وقالوا: مه مه، فقال: ادنه، فدنا منه قريبا، قال: فجلس، قال: أتحبه لأمك؟، قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأمهاتهم، قال: أفتحبه لابنتك؟، قال: لا واللَّه، يا رسول اللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لبناتهم، قال: أفتحبه لأختك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم، قال: أفتحبه لعمتك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم، قال أفتحبه لخالتك؟ قال: لا واللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم قال: فوضع يده عليه وقال: اللَّهمّ اغفر ذنبه وطهر قلبه، وحَصِّنْ فرْجَه، فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء“Seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina!’ Maka orang-orang yang hadir pun menghampirinya dan memarahinya seraya berkata, ‘Cukup! Cukup!’Nabi bersabda, ‘Mendekatlah kepadaku.’ Maka pemuda itu pun mendekat hingga berada di dekat beliau.Beliau bertanya, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap ibumu?’Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap ibu-ibu mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap putrimu?’Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap putri-putri mereka.’Beliau bertanya lagi. ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap saudarimu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap saudari-saudari mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ayah)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ayah).’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ibu)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ibu).’Kemudian Nabi meletakkan tangan beliau pada pemuda itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.’Setelah itu, pemuda itu tidak lagi terlintas untuk melakukan perbuatan tersebut.” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan beliau berdoa, ‘Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan peliharalah kemaluannya.’ Maka tidak ada sesuatu pun yang lebih ia benci setelah itu daripada perbuatan zina.”—Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan terbaik dalam segala aspek kehidupan. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan menuju surga. Tanpa ilmu, seorang muslim akan tersesat di tengah gelapnya godaan dunia. Karena itu, kesabaran dalam menuntut ilmu adalah keniscayaan, bahkan ketika kondisi fisik tidak mendukung, seperti cuaca panas ataupun lelah yang mendera.Lantas, bagaimana menghadapi dorongan syahwat yang begitu kuat, khususnya di era penuh fitnah dan keterbukaan aurat yang masif? Fitnah syahwat telah menyelinap ke dalam genggaman setiap orang, bahkan anak-anak kecil, melalui media sosial dan internet.Kesabaran dalam menuntut ilmu amatlah penting, karena di balik kesabaran itu terdapat ilmu yang menyelamatkan dari kehancuran moral. Kisah di atas mengandung banyak hikmah yang luar biasa dari kehidupan Rasulullah ﷺ, yaitu tentang seorang pemuda yang datang dan secara terang-terangan meminta izin untuk berzina. Kisah ini mengandung pelajaran penting dalam menghadapi nafsu dan mendidik generasi muda di era yang penuh jebakan maksiat ini.Keberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMari kita renungkan kembali hadis pada awal pendahuluan di atas, di mana seorang pemuda datang langsung kepada Rasulullah ﷺ dan berkata dengan polos, “Izinkan aku untuk berzina.” Sebuah pernyataan yang mengejutkan, membuat para sahabat yang hadir langsung bereaksi keras. Mereka ingin menghentikan pemuda itu dengan cara yang tegas. Namun, lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ, pemimpin umat yang penuh hikmah, tidak serta merta membentak atau mengusirnya, tapi justru berkata, “Mendekatlah.”Inilah awal mula pendekatan yang luar biasa. Rasulullah ﷺ tidak menolak niat buruk itu dengan kemarahan, tapi dengan membuka ruang dialog. Beliau memberikan teladan luar biasa tentang bagaimana menyambut kejujuran seorang anak muda yang tengah bergumul dengan nafsunya. Rasulullah ﷺ paham bahwa ini adalah momen langka — seorang pemuda terbuka tentang gejolak syahwatnya. Maka, beliau memilih untuk membimbing, bukan menghakimi.Di sinilah para pendidik dan orang tua perlu bercermin. Seringkali, kita justru mematikan kejujuran anak-anak dengan kemarahan dan hukuman. Padahal, jika seorang anak berani mengungkapkan niat buruknya, itu tanda adanya kepercayaan dan peluang emas untuk membimbing hatinya ke jalan yang benar. Nabi ﷺ telah memberikan contoh kebesaran jiwa dalam menghadapi pernyataan yang bisa saja dianggap hina oleh masyarakat.Kisah ini menunjukkan bahwa keberanian anak muda tidak selalu harus dihadapi dengan keras. Sebaliknya, pemuda itu justru menemukan ketenangan dan jawaban yang menyentuh hati dari Nabi ﷺ. Maka kita pun sebagai umatnya harus meneladani pendekatan ini dalam mendidik dan membina anak-anak kita yang hidup di zaman penuh fitnah ini.Baca juga: Ujian Tersulit untuk Laki-LakiMenyentuh logika dan hatiRasulullah ﷺ melanjutkan dengan serangkaian pertanyaan yang sangat menyentuh perasaan pemuda tersebut. “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan terhadap ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah.” Pertanyaan serupa diajukan untuk anak perempuan, saudari perempuan, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu — semuanya dijawab dengan penolakan yang tegas.Melalui pertanyaan ini, Rasulullah ﷺ mengajak pemuda itu berpikir dari sudut pandang empati. Sebuah pendekatan yang membangkitkan perasaan dan kesadaran sosial. Betapa banyak orang yang merasa wajar berzina, namun akan marah besar bila hal itu menimpa keluarganya. Di sinilah letak keadilan: seseorang harus membenci kemaksiatan bukan hanya karena itu dosa, tapi karena itu juga menyakitkan bagi sesama manusia.Kebanyakan pendekatan dakwah atau pendidikan hari ini terjebak pada ceramah satu arah yang hanya menekankan larangan, tanpa membangun kesadaran batin. Rasulullah ﷺ justru membangun dialog dua arah, menyentuh akar emosional dari niat buruk itu, dan perlahan-lahan membalikkan hati pemuda tersebut dengan kasih dan logika yang menyentuh.Inilah metode yang perlu kita tiru dalam menghadapi anak-anak, remaja, atau siapa pun yang sedang tergoda oleh syahwat. Jangan langsung mencaci, tetapi ajak mereka berpikir: bagaimana jika itu terjadi pada keluargamu? Maka, pelan-pelan hati yang keras akan melunak, dan nafsu akan tunduk kepada akal yang tercerahkan oleh cahaya iman.Doa Rasulullah ﷺSetelah menyadarkan pemuda itu secara emosional dan intelektual, Rasulullah ﷺ menutup momen tersebut dengan meletakkan tangannya di dada pemuda itu dan berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan lindungi kemaluannya.” Doa yang penuh makna ini menjadi penutup proses tarbiyah yang paripurna — dari akal, perasaan, hingga ruhaniyah.Doa ini menunjukkan bahwa perubahan hakiki tidak cukup hanya dengan nasihat atau logika semata. Hati manusia adalah milik Allah ﷻ. Maka setelah segala upaya dialog dan penjelasan, Rasulullah ﷺ menyerahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala dalam bentuk doa. Dan Allah pun mengabulkan doa itu. Dalam riwayat disebutkan, pemuda itu tidak lagi pernah mendekati zina, bahkan hal-hal yang mengarah ke sana.Transformasi ini begitu luar biasa dan menjadi bukti bahwa hidayah Allah bisa datang melalui pendekatan yang lembut dan menyentuh. Tidak ada bentakan, tidak ada kekerasan, hanya kasih sayang dan doa. Hasilnya: perubahan total dalam hidup seorang pemuda yang sebelumnya terjerumus dalam gejolak syahwat.Bagi para orang tua, guru, dan pendidik, ini menjadi pelajaran penting. Jangan hanya fokus pada larangan, tapi bimbing dengan kasih, doakan dengan tulus, dan jangan pernah putus asa dari perubahan seseorang — karena hati bisa berubah dalam sekejap bila Allah menghendaki.Fitnah syahwat zaman ini Jika godaan zina di masa Rasulullah ﷺ sudah begitu menggoda, maka godaan di zaman sekarang jauh lebih dahsyat. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan platform lain bahkan menjadikan aurat sebagai komoditas. Bahkan anak-anak berusia 8 tahun sudah bisa dengan mudah mengakses konten yang sangat merusak moral. Maka tidak heran apabila dorongan syahwat hari ini lebih brutal dan masif.Di sinilah hadis ini menemukan relevansinya. Generasi muda hari ini membutuhkan bimbingan yang lebih sabar, pendekatan yang lebih empatik, dan doa yang lebih sering. Jika Nabi ﷺ saja membimbing pemuda dengan kasih sayang dalam kondisi godaan yang lebih kecil, maka kita lebih wajib lagi bersikap lembut menghadapi fitnah syahwat hari ini.Orang tua harus sadar, pendekatan Nabi ﷺ adalah teladan terbaik dalam mendidik anak. Jadilah ayah yang mau mendengar, ibu yang bisa dipercaya anak-anaknya. Bila anak berani berkata, “Aku tergoda untuk berzina,” jangan marah — bersyukurlah karena anak membuka hatinya. Itulah kesempatan untuk membimbing sebelum terlambat.Ajak anak berdialog, berikan nasihat yang menyentuh, dan jangan lupa panjatkan doa yang tulus untuk hati mereka. Hanya dengan bimbingan seperti ini, kita bisa berharap agar generasi kita tetap bertahan dalam kesucian, di tengah badai fitnah yang tak pernah reda. Semoga Allah menjaga diri dan keluarga kita dari fitnah syahwat yang menjerumuskan. Aamiin.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKeberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMenyentuh logika dan hatiDoa Rasulullah ﷺFitnah syahwat zaman iniDari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,إن فتى شابا أتى النبيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقال: يا رسول الله، ائذن لي بالزنا!، فأقبل القوم عليه فزجروه، وقالوا: مه مه، فقال: ادنه، فدنا منه قريبا، قال: فجلس، قال: أتحبه لأمك؟، قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأمهاتهم، قال: أفتحبه لابنتك؟، قال: لا واللَّه، يا رسول اللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لبناتهم، قال: أفتحبه لأختك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم، قال: أفتحبه لعمتك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم، قال أفتحبه لخالتك؟ قال: لا واللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم قال: فوضع يده عليه وقال: اللَّهمّ اغفر ذنبه وطهر قلبه، وحَصِّنْ فرْجَه، فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء“Seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina!’ Maka orang-orang yang hadir pun menghampirinya dan memarahinya seraya berkata, ‘Cukup! Cukup!’Nabi bersabda, ‘Mendekatlah kepadaku.’ Maka pemuda itu pun mendekat hingga berada di dekat beliau.Beliau bertanya, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap ibumu?’Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap ibu-ibu mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap putrimu?’Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap putri-putri mereka.’Beliau bertanya lagi. ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap saudarimu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap saudari-saudari mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ayah)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ayah).’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ibu)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ibu).’Kemudian Nabi meletakkan tangan beliau pada pemuda itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.’Setelah itu, pemuda itu tidak lagi terlintas untuk melakukan perbuatan tersebut.” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan beliau berdoa, ‘Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan peliharalah kemaluannya.’ Maka tidak ada sesuatu pun yang lebih ia benci setelah itu daripada perbuatan zina.”—Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan terbaik dalam segala aspek kehidupan. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan menuju surga. Tanpa ilmu, seorang muslim akan tersesat di tengah gelapnya godaan dunia. Karena itu, kesabaran dalam menuntut ilmu adalah keniscayaan, bahkan ketika kondisi fisik tidak mendukung, seperti cuaca panas ataupun lelah yang mendera.Lantas, bagaimana menghadapi dorongan syahwat yang begitu kuat, khususnya di era penuh fitnah dan keterbukaan aurat yang masif? Fitnah syahwat telah menyelinap ke dalam genggaman setiap orang, bahkan anak-anak kecil, melalui media sosial dan internet.Kesabaran dalam menuntut ilmu amatlah penting, karena di balik kesabaran itu terdapat ilmu yang menyelamatkan dari kehancuran moral. Kisah di atas mengandung banyak hikmah yang luar biasa dari kehidupan Rasulullah ﷺ, yaitu tentang seorang pemuda yang datang dan secara terang-terangan meminta izin untuk berzina. Kisah ini mengandung pelajaran penting dalam menghadapi nafsu dan mendidik generasi muda di era yang penuh jebakan maksiat ini.Keberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMari kita renungkan kembali hadis pada awal pendahuluan di atas, di mana seorang pemuda datang langsung kepada Rasulullah ﷺ dan berkata dengan polos, “Izinkan aku untuk berzina.” Sebuah pernyataan yang mengejutkan, membuat para sahabat yang hadir langsung bereaksi keras. Mereka ingin menghentikan pemuda itu dengan cara yang tegas. Namun, lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ, pemimpin umat yang penuh hikmah, tidak serta merta membentak atau mengusirnya, tapi justru berkata, “Mendekatlah.”Inilah awal mula pendekatan yang luar biasa. Rasulullah ﷺ tidak menolak niat buruk itu dengan kemarahan, tapi dengan membuka ruang dialog. Beliau memberikan teladan luar biasa tentang bagaimana menyambut kejujuran seorang anak muda yang tengah bergumul dengan nafsunya. Rasulullah ﷺ paham bahwa ini adalah momen langka — seorang pemuda terbuka tentang gejolak syahwatnya. Maka, beliau memilih untuk membimbing, bukan menghakimi.Di sinilah para pendidik dan orang tua perlu bercermin. Seringkali, kita justru mematikan kejujuran anak-anak dengan kemarahan dan hukuman. Padahal, jika seorang anak berani mengungkapkan niat buruknya, itu tanda adanya kepercayaan dan peluang emas untuk membimbing hatinya ke jalan yang benar. Nabi ﷺ telah memberikan contoh kebesaran jiwa dalam menghadapi pernyataan yang bisa saja dianggap hina oleh masyarakat.Kisah ini menunjukkan bahwa keberanian anak muda tidak selalu harus dihadapi dengan keras. Sebaliknya, pemuda itu justru menemukan ketenangan dan jawaban yang menyentuh hati dari Nabi ﷺ. Maka kita pun sebagai umatnya harus meneladani pendekatan ini dalam mendidik dan membina anak-anak kita yang hidup di zaman penuh fitnah ini.Baca juga: Ujian Tersulit untuk Laki-LakiMenyentuh logika dan hatiRasulullah ﷺ melanjutkan dengan serangkaian pertanyaan yang sangat menyentuh perasaan pemuda tersebut. “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan terhadap ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah.” Pertanyaan serupa diajukan untuk anak perempuan, saudari perempuan, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu — semuanya dijawab dengan penolakan yang tegas.Melalui pertanyaan ini, Rasulullah ﷺ mengajak pemuda itu berpikir dari sudut pandang empati. Sebuah pendekatan yang membangkitkan perasaan dan kesadaran sosial. Betapa banyak orang yang merasa wajar berzina, namun akan marah besar bila hal itu menimpa keluarganya. Di sinilah letak keadilan: seseorang harus membenci kemaksiatan bukan hanya karena itu dosa, tapi karena itu juga menyakitkan bagi sesama manusia.Kebanyakan pendekatan dakwah atau pendidikan hari ini terjebak pada ceramah satu arah yang hanya menekankan larangan, tanpa membangun kesadaran batin. Rasulullah ﷺ justru membangun dialog dua arah, menyentuh akar emosional dari niat buruk itu, dan perlahan-lahan membalikkan hati pemuda tersebut dengan kasih dan logika yang menyentuh.Inilah metode yang perlu kita tiru dalam menghadapi anak-anak, remaja, atau siapa pun yang sedang tergoda oleh syahwat. Jangan langsung mencaci, tetapi ajak mereka berpikir: bagaimana jika itu terjadi pada keluargamu? Maka, pelan-pelan hati yang keras akan melunak, dan nafsu akan tunduk kepada akal yang tercerahkan oleh cahaya iman.Doa Rasulullah ﷺSetelah menyadarkan pemuda itu secara emosional dan intelektual, Rasulullah ﷺ menutup momen tersebut dengan meletakkan tangannya di dada pemuda itu dan berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan lindungi kemaluannya.” Doa yang penuh makna ini menjadi penutup proses tarbiyah yang paripurna — dari akal, perasaan, hingga ruhaniyah.Doa ini menunjukkan bahwa perubahan hakiki tidak cukup hanya dengan nasihat atau logika semata. Hati manusia adalah milik Allah ﷻ. Maka setelah segala upaya dialog dan penjelasan, Rasulullah ﷺ menyerahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala dalam bentuk doa. Dan Allah pun mengabulkan doa itu. Dalam riwayat disebutkan, pemuda itu tidak lagi pernah mendekati zina, bahkan hal-hal yang mengarah ke sana.Transformasi ini begitu luar biasa dan menjadi bukti bahwa hidayah Allah bisa datang melalui pendekatan yang lembut dan menyentuh. Tidak ada bentakan, tidak ada kekerasan, hanya kasih sayang dan doa. Hasilnya: perubahan total dalam hidup seorang pemuda yang sebelumnya terjerumus dalam gejolak syahwat.Bagi para orang tua, guru, dan pendidik, ini menjadi pelajaran penting. Jangan hanya fokus pada larangan, tapi bimbing dengan kasih, doakan dengan tulus, dan jangan pernah putus asa dari perubahan seseorang — karena hati bisa berubah dalam sekejap bila Allah menghendaki.Fitnah syahwat zaman ini Jika godaan zina di masa Rasulullah ﷺ sudah begitu menggoda, maka godaan di zaman sekarang jauh lebih dahsyat. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan platform lain bahkan menjadikan aurat sebagai komoditas. Bahkan anak-anak berusia 8 tahun sudah bisa dengan mudah mengakses konten yang sangat merusak moral. Maka tidak heran apabila dorongan syahwat hari ini lebih brutal dan masif.Di sinilah hadis ini menemukan relevansinya. Generasi muda hari ini membutuhkan bimbingan yang lebih sabar, pendekatan yang lebih empatik, dan doa yang lebih sering. Jika Nabi ﷺ saja membimbing pemuda dengan kasih sayang dalam kondisi godaan yang lebih kecil, maka kita lebih wajib lagi bersikap lembut menghadapi fitnah syahwat hari ini.Orang tua harus sadar, pendekatan Nabi ﷺ adalah teladan terbaik dalam mendidik anak. Jadilah ayah yang mau mendengar, ibu yang bisa dipercaya anak-anaknya. Bila anak berani berkata, “Aku tergoda untuk berzina,” jangan marah — bersyukurlah karena anak membuka hatinya. Itulah kesempatan untuk membimbing sebelum terlambat.Ajak anak berdialog, berikan nasihat yang menyentuh, dan jangan lupa panjatkan doa yang tulus untuk hati mereka. Hanya dengan bimbingan seperti ini, kita bisa berharap agar generasi kita tetap bertahan dalam kesucian, di tengah badai fitnah yang tak pernah reda. Semoga Allah menjaga diri dan keluarga kita dari fitnah syahwat yang menjerumuskan. Aamiin.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKeberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMenyentuh logika dan hatiDoa Rasulullah ﷺFitnah syahwat zaman iniDari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,إن فتى شابا أتى النبيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقال: يا رسول الله، ائذن لي بالزنا!، فأقبل القوم عليه فزجروه، وقالوا: مه مه، فقال: ادنه، فدنا منه قريبا، قال: فجلس، قال: أتحبه لأمك؟، قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأمهاتهم، قال: أفتحبه لابنتك؟، قال: لا واللَّه، يا رسول اللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لبناتهم، قال: أفتحبه لأختك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم، قال: أفتحبه لعمتك؟ قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم، قال أفتحبه لخالتك؟ قال: لا واللَّه جعلني اللَّه فداك، قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم قال: فوضع يده عليه وقال: اللَّهمّ اغفر ذنبه وطهر قلبه، وحَصِّنْ فرْجَه، فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء“Seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina!’ Maka orang-orang yang hadir pun menghampirinya dan memarahinya seraya berkata, ‘Cukup! Cukup!’Nabi bersabda, ‘Mendekatlah kepadaku.’ Maka pemuda itu pun mendekat hingga berada di dekat beliau.Beliau bertanya, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap ibumu?’<img decoding="async" src="https://cdnm.muslim.or.id/2025/08/Rehabilitasi-Narkoba-Islami.webp" alt="" srcset="https://cdnm.muslim.or.id/2025/08/Rehabilitasi-Narkoba-Islami.webp 740w, https://cdnm.muslim.or.id/2025/08/Rehabilitasi-Narkoba-Islami-200x300.webp 200w, https://cdnm.muslim.or.id/2025/08/Rehabilitasi-Narkoba-Islami-683x1024.webp 683w" sizes="(max-width: 740px) 100vw, 740px" width="740" height="1109" />Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap ibu-ibu mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap putrimu?’Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap putri-putri mereka.’Beliau bertanya lagi. ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap saudarimu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap saudari-saudari mereka.’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ayah)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ayah).’Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau suka perbuatan itu dilakukan terhadap bibimu (dari pihak ibu)?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Dan orang-orang pun tidak suka hal itu dilakukan terhadap bibi-bibi mereka (dari pihak ibu).’Kemudian Nabi meletakkan tangan beliau pada pemuda itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.’Setelah itu, pemuda itu tidak lagi terlintas untuk melakukan perbuatan tersebut.” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan beliau berdoa, ‘Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan peliharalah kemaluannya.’ Maka tidak ada sesuatu pun yang lebih ia benci setelah itu daripada perbuatan zina.”—Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan terbaik dalam segala aspek kehidupan. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan menuju surga. Tanpa ilmu, seorang muslim akan tersesat di tengah gelapnya godaan dunia. Karena itu, kesabaran dalam menuntut ilmu adalah keniscayaan, bahkan ketika kondisi fisik tidak mendukung, seperti cuaca panas ataupun lelah yang mendera.Lantas, bagaimana menghadapi dorongan syahwat yang begitu kuat, khususnya di era penuh fitnah dan keterbukaan aurat yang masif? Fitnah syahwat telah menyelinap ke dalam genggaman setiap orang, bahkan anak-anak kecil, melalui media sosial dan internet.Kesabaran dalam menuntut ilmu amatlah penting, karena di balik kesabaran itu terdapat ilmu yang menyelamatkan dari kehancuran moral. Kisah di atas mengandung banyak hikmah yang luar biasa dari kehidupan Rasulullah ﷺ, yaitu tentang seorang pemuda yang datang dan secara terang-terangan meminta izin untuk berzina. Kisah ini mengandung pelajaran penting dalam menghadapi nafsu dan mendidik generasi muda di era yang penuh jebakan maksiat ini.Keberanian pemuda dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺMari kita renungkan kembali hadis pada awal pendahuluan di atas, di mana seorang pemuda datang langsung kepada Rasulullah ﷺ dan berkata dengan polos, “Izinkan aku untuk berzina.” Sebuah pernyataan yang mengejutkan, membuat para sahabat yang hadir langsung bereaksi keras. Mereka ingin menghentikan pemuda itu dengan cara yang tegas. Namun, lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ, pemimpin umat yang penuh hikmah, tidak serta merta membentak atau mengusirnya, tapi justru berkata, “Mendekatlah.”Inilah awal mula pendekatan yang luar biasa. Rasulullah ﷺ tidak menolak niat buruk itu dengan kemarahan, tapi dengan membuka ruang dialog. Beliau memberikan teladan luar biasa tentang bagaimana menyambut kejujuran seorang anak muda yang tengah bergumul dengan nafsunya. Rasulullah ﷺ paham bahwa ini adalah momen langka — seorang pemuda terbuka tentang gejolak syahwatnya. Maka, beliau memilih untuk membimbing, bukan menghakimi.Di sinilah para pendidik dan orang tua perlu bercermin. Seringkali, kita justru mematikan kejujuran anak-anak dengan kemarahan dan hukuman. Padahal, jika seorang anak berani mengungkapkan niat buruknya, itu tanda adanya kepercayaan dan peluang emas untuk membimbing hatinya ke jalan yang benar. Nabi ﷺ telah memberikan contoh kebesaran jiwa dalam menghadapi pernyataan yang bisa saja dianggap hina oleh masyarakat.Kisah ini menunjukkan bahwa keberanian anak muda tidak selalu harus dihadapi dengan keras. Sebaliknya, pemuda itu justru menemukan ketenangan dan jawaban yang menyentuh hati dari Nabi ﷺ. Maka kita pun sebagai umatnya harus meneladani pendekatan ini dalam mendidik dan membina anak-anak kita yang hidup di zaman penuh fitnah ini.Baca juga: Ujian Tersulit untuk Laki-LakiMenyentuh logika dan hatiRasulullah ﷺ melanjutkan dengan serangkaian pertanyaan yang sangat menyentuh perasaan pemuda tersebut. “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan terhadap ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah.” Pertanyaan serupa diajukan untuk anak perempuan, saudari perempuan, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu — semuanya dijawab dengan penolakan yang tegas.Melalui pertanyaan ini, Rasulullah ﷺ mengajak pemuda itu berpikir dari sudut pandang empati. Sebuah pendekatan yang membangkitkan perasaan dan kesadaran sosial. Betapa banyak orang yang merasa wajar berzina, namun akan marah besar bila hal itu menimpa keluarganya. Di sinilah letak keadilan: seseorang harus membenci kemaksiatan bukan hanya karena itu dosa, tapi karena itu juga menyakitkan bagi sesama manusia.Kebanyakan pendekatan dakwah atau pendidikan hari ini terjebak pada ceramah satu arah yang hanya menekankan larangan, tanpa membangun kesadaran batin. Rasulullah ﷺ justru membangun dialog dua arah, menyentuh akar emosional dari niat buruk itu, dan perlahan-lahan membalikkan hati pemuda tersebut dengan kasih dan logika yang menyentuh.Inilah metode yang perlu kita tiru dalam menghadapi anak-anak, remaja, atau siapa pun yang sedang tergoda oleh syahwat. Jangan langsung mencaci, tetapi ajak mereka berpikir: bagaimana jika itu terjadi pada keluargamu? Maka, pelan-pelan hati yang keras akan melunak, dan nafsu akan tunduk kepada akal yang tercerahkan oleh cahaya iman.Doa Rasulullah ﷺSetelah menyadarkan pemuda itu secara emosional dan intelektual, Rasulullah ﷺ menutup momen tersebut dengan meletakkan tangannya di dada pemuda itu dan berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan lindungi kemaluannya.” Doa yang penuh makna ini menjadi penutup proses tarbiyah yang paripurna — dari akal, perasaan, hingga ruhaniyah.Doa ini menunjukkan bahwa perubahan hakiki tidak cukup hanya dengan nasihat atau logika semata. Hati manusia adalah milik Allah ﷻ. Maka setelah segala upaya dialog dan penjelasan, Rasulullah ﷺ menyerahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala dalam bentuk doa. Dan Allah pun mengabulkan doa itu. Dalam riwayat disebutkan, pemuda itu tidak lagi pernah mendekati zina, bahkan hal-hal yang mengarah ke sana.Transformasi ini begitu luar biasa dan menjadi bukti bahwa hidayah Allah bisa datang melalui pendekatan yang lembut dan menyentuh. Tidak ada bentakan, tidak ada kekerasan, hanya kasih sayang dan doa. Hasilnya: perubahan total dalam hidup seorang pemuda yang sebelumnya terjerumus dalam gejolak syahwat.Bagi para orang tua, guru, dan pendidik, ini menjadi pelajaran penting. Jangan hanya fokus pada larangan, tapi bimbing dengan kasih, doakan dengan tulus, dan jangan pernah putus asa dari perubahan seseorang — karena hati bisa berubah dalam sekejap bila Allah menghendaki.Fitnah syahwat zaman ini Jika godaan zina di masa Rasulullah ﷺ sudah begitu menggoda, maka godaan di zaman sekarang jauh lebih dahsyat. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan platform lain bahkan menjadikan aurat sebagai komoditas. Bahkan anak-anak berusia 8 tahun sudah bisa dengan mudah mengakses konten yang sangat merusak moral. Maka tidak heran apabila dorongan syahwat hari ini lebih brutal dan masif.Di sinilah hadis ini menemukan relevansinya. Generasi muda hari ini membutuhkan bimbingan yang lebih sabar, pendekatan yang lebih empatik, dan doa yang lebih sering. Jika Nabi ﷺ saja membimbing pemuda dengan kasih sayang dalam kondisi godaan yang lebih kecil, maka kita lebih wajib lagi bersikap lembut menghadapi fitnah syahwat hari ini.Orang tua harus sadar, pendekatan Nabi ﷺ adalah teladan terbaik dalam mendidik anak. Jadilah ayah yang mau mendengar, ibu yang bisa dipercaya anak-anaknya. Bila anak berani berkata, “Aku tergoda untuk berzina,” jangan marah — bersyukurlah karena anak membuka hatinya. Itulah kesempatan untuk membimbing sebelum terlambat.Ajak anak berdialog, berikan nasihat yang menyentuh, dan jangan lupa panjatkan doa yang tulus untuk hati mereka. Hanya dengan bimbingan seperti ini, kita bisa berharap agar generasi kita tetap bertahan dalam kesucian, di tengah badai fitnah yang tak pernah reda. Semoga Allah menjaga diri dan keluarga kita dari fitnah syahwat yang menjerumuskan. Aamiin.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Kerusakan Moral di Era Modern, Sebab-Sebab dan Bahayanya

الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ الْمُجْتَمَعَاتِ الْإِسْلَامِيَّةَ تَتَعَرَّضُ لِمَوْجَةٍ مِنَ اهْتِزَازَاتٍ أَخْلَاقِيَّةٍ مُتَنَاقِضَةٍ، تُخَالِفُ مَبَادِئَ الْإِسْلَامِ، فَتَسْلُبُ مِنَ الْفَرْدِ وَالْمُجْتَمَعِ السَّعَادَةَ وَالْأَمْنَ وَالِاسْتِقْرَارَ، وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ هَذِهِ الْهَزَّاتِ نَقْصُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَلَقَدْ كَانَ لِهَذِهِ الْهَزَّاتِ صِفَةُ الْعَالَمِيَّةِ؛ بِسَبَبِ التَّقَدُّمِ التِّكْنُولُوجِيِّ الْحَدِيثِ، الَّذِي جَعَلَ الْعَالَمَ كَقَرْيَةٍ صَغِيرَةٍ، وَلَمْ يَعُدْ بِمَقْدُورِ أَيِّ مُجْتَمَعٍ إِغْلَاقُ مَنَافِذِهِ أَمَامَهَا، فَمَا هِيَ أَسْبَابُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الْمُعَاصِرِ؟ وَمَا الْخُطُورَةُ الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى ذَلِكَ؟ Segala puji hanya bagi Allah. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Masyarakat Muslim sedang menghadapi gelombang guncangan keruntuhan moral yang menyelisihi norma-norma Islam, sehingga hal tersebut mencabut kebahagiaan, keamanan, dan kedamaian dalam lingkup personal dan komunitas mereka. Di antara sebab yang paling besar timbulnya guncangan ini adalah lemahnya iman kepada Allah Ta’ala. Guncangan ini mencakup seluruh belahan bumi, disebabkan kemajuan teknologi modern yang membuat dunia ini seperti kota kecil, dan tidak ada masyarakat manapun yang mampu menutup jendela persebarannya. Lalu apa sebab-sebab kerusakan moral di era modern ini? dan apa bahaya yang tersimpan di baliknya? عِبَادَ اللَّهِ: إِنَّ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الشَّرْعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- ضَعْفَ الْإِيمَانِ: فَالْأَزْمَةُ الْكُبْرَى الَّتِي يَعِيشُهَا الْإِنْسَانُ هِيَ أَزْمَةُ الْعَقِيدَةِ، أَزْمَةُ ضَعْفِ الْإِيمَانِ، وَمَصْدَرُ كُلِّ الشُّرُورِ سَبَبُهَا ضَعْفُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا ضَعُفَ إِيمَانُهُ بِاللَّهِ ضَعُفَ تَعْظِيمُهُ لِحُرُمَاتِ اللَّهِ، فَيَتَجَرَّأُ عَلَى الْمَعَاصِي وَالْآثَامِ. Wahai para hamba Allah! Di antara sebab terpenting dari sisi syariat atas kerusakan moral ini adalah sebagai berikut: Kelemahan iman   Krisis terbesar yang dihadapi manusia adalah krisis akidah dan kelemahan iman. Sumber segala keburukan adalah lemahnya keimanan kepada Allah Ta’ala. Apabila keimanan seseorang lemah kepada Allah, maka akan lemah pula penghormatannya terhadap hal-hal yang diharamkan Allah, sehingga ia akan berani untuk melakukan kemaksiatan dan dosa. 2- قِلَّةَ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ: فَالْجَهْلُ هُوَ مَنْشَأُ الْأَخْلَاقِ السَّافِلَةِ، وَهُوَ سَبَبٌ رَئِيسٌ لِإِضَاعَةِ الْمَالِ فِي أَوْجُهِ الْفَسَادِ، وَعَدَمِ تَقْوَى اللَّهِ، وَمَدْعَاةٌ لِقَطِيعَةِ الرَّحِمِ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَقِلَّةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ يَتَزَامَنُ مَعَهُ، وَيَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ انْتِشَارُ كَثِيرٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Pemahaman ilmu syar’i yang dangkal Kebodohan adalah sumber moralitas yang anjlok. Ia juga merupakan sebab utama pembelanjaan harta untuk berbagai bentuk kerusakan dan ketidakhadiran ketakwaan kepada Allah. Ia juga penyebab terputusnya silaturahmi. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ “Dan ada seorang hamba yang Allah karuniakan harta tapi tidak mengaruniakan ilmu kepadanya, sehingga ia menghambur-hamburkan hartanya tanpa ilmu, tanpa takut terhadap Tuhannya, tidak menyambung silaturahminya, dan tidak menghiraukan hak Allah di dalamnya, inilah kedudukan yang paling buruk” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Rendahnya pemahaman ilmu syar’i akan berbanding lurus dan menyebabkan tersebarnya banyak bentuk kerusakan moral. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ “Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah tersebarnya kebodohan, berkurangnya ilmu, tersebarnya riba, dan tersebarnya minum khamr.” (HR. Al-Bukhari). 3- تَرْكُ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ: أَسَاسُ بِنَاءِ الْمُجْتَمَعِ هُوَ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ﴾ [الْحَجِّ:41]، وَمَعَ مُرُورِ الزَّمَنِ تَتَحَوَّلُ بَعْضُ الْمُنْكَرَاتِ إِلَى أَمْرٍ وَاقِعٍ، وَسَيَصْعُبُ تَغْيِيرُهَا. Ditinggalkannya amar makruf nahi mungkar Pondasi pembangunan masyarakat adalah dengan amar makruf nahi mungkar (seruan kepada kebaikan dan pencegahan terhadap kemungkaran). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kemantapan (hidup) di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Al-Hajj: 41). 4- عَدَمُ الِاسْتِجَابَةِ لِأَوَامِرِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ» حُسَنٌ – رَوَاهُ مَالِكٌ فِي “الْمُوَطَّأِ”. وَإِذَا ابْتَعَدَ النَّاسُ عَنْ هَدْيِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ تَخَطَّفَتْهُمُ الْأَهْوَاءُ، وَتَجَاذَبَتْهُمُ الِاخْتِلَافَاتُ، وَانْحَرَفُوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ، وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. Tidak menghiraukan perintah-perintah Allah dan Rasulullah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang kepada keduanya, (1) Kitab Allah, dan (2) Sunnah Nabi-Nya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa). Apabila manusia telah menjauh dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka akan terseret oleh hawa nafsu, terombang-ambing oleh perselisihan, dan tersesatkan dari jalan Allah, sedangkan mereka mengira sedang melakukan perbuatan yang benar. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (النَّفْسِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- اتِّبَاعُ الْهَوَى وَالشَّهَوَاتِ: فَالشَّهْوَةُ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَرْتَكِبُ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ، وَهُوَ يَعْلَمُ بِتَحْرِيمِهَا، وَحِينَمَا يَنْسَاقُ وَرَاءَ أَهْوَائِهِ وَشَهَوَاتِهِ، وَيَنْسَى رَبَّهُ؛ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي مَعِيشَةٍ أَضَلَّ مِنَ الْحَيَوَانِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَخْدِمْ عَقْلَهُ الَّذِي مَيَّزَهُ اللَّهُ بِهِ عَلَى الْحَيَوَانِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 43-44]. Adapun di antara sebab-sebab psikologis yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Menuruti hawa nafsu dan gejolak syahwat Syahwat akan membuat manusia berbuat berbagai kerusakan, meskipun ia telah mengetahui keharamannya. Ketika manusia telah terseret di belakang hawa nafsu dan syahwatnya, dan lupa terhadap Tuhannya, maka ia akan berada dalam kehidupan yang lebih sesat daripada hewan, karena ia tidak menggunakan akalnya yang merupakan garis pembedanya dengan hewan yang Allah berikan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا “Sudahkah engkau (Nabi Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan: 43-44). 2- الْإِيحَاءَاتُ الشَّيْطَانِيَّةُ: الشَّيْطَانُ عَدُوٌّ لَدُودٌ لِكُلِّ النَّاسِ، يُبَغِّضُ إِلَيْهِمُ الطَّاعَاتِ، وَيُحَبِّبُ إِلَيْهِمُ الْمَعَاصِيَ وَالْفَوَاحِشَ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 168-169]، وَلِخَطَرِهِ وَضَرَرِهِ؛ حَذَّرَنَا اللَّهُ تَعَالَى مِنْ مَكَائِدِهِ، وَطُرُقِهِ وَأَسَالِيبِهِ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ، بَلَغَتْ قَرِيبًا مِنْ بِضْعٍ وَثَمَانِينَ مَوْضِعًا فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا ﴾ [النِّسَاءِ: 119]. Bisikan-bisikan setan Setan merupakan musuh bebuyutan bagi setiap manusia, ia akan membuat mereka membenci amal ketaatan, dan menyukai kemaksiatan dan perbuatan keji. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata. Sesungguhnya (setan) hanya menyuruh kamu untuk berbuat jahat dan keji serta mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 168-169). Karena begitu besar bahaya dan mudharat yang ditimbulkan setan, Allah Ta’ala memperingatkan kita dari segala tipu daya, cara-cara, dan segala muslihatnya dalam banyak ayat Al-Qur’an, bahkan mencapai lebih dari 80 ayat dalam Al-Quran. Allah ta’ala berfirman: وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “barang siapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah sungguh telah menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 119). 3- تَغْلِيبُ الرَّجَاءِ عَلَى الْخَوْفِ: فَالْمُتَأَمِّلُ فِي سُلُوكِ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ، يَجِدُ أَنَّهُمْ يَعْتَمِدُونَ عَلَى كَرَمِ اللَّهِ تَعَالَى وَفَضْلِهِ وَتَسَامُحِهِ، فَيَسْتَرْسِلُونَ مَعَ الْمَعَاصِي مَعَ الِاتِّكَالِ عَلَى رَحْمَةِ اللَّهِ فَقَطْ! عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ» ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ [الْأَنْعَامِ:44]. حَسَنٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ، قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَعُمُومُ الْعَوَامِّ يُبَارِزُونَ بِالذُّنُوبِ؛ اعْتِمَادًا عَلَى الْعَفْوِ، وَيَنْسَوْنَ الْعِقَابَ). Terlalu besar berharap daripada takut kepada Allah Orang yang mencermati tingkah laku banyak orang akan mendapati bahwa mereka bersandar pada kemurahan, karunia, dan keluasan ampunan Allah Ta’ala, sehingga mereka terus melakukan kemaksiatan dan hanya bersandar pada rahmat Allah semata. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda: إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ “Barang siapa yang melihat Allah melimpahkan nikmat dunia kepada seorang hamba, padahal ia melakukan kemaksiatan apa saja yang ia sukai, maka sesungguhnya itu adalah istidraj (penundaan azab dari Allah agar menggiringnya ke dalam azab yang lebih besar dan tiba-tiba).” Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat: فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS. Al-An’am: 44). (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Mayoritas orang awam menampakkan dosa-dosa mereka karena bersandar pada ampunan dan lupa terhadap siksaan.” 4- قِلَّةُ الْحَيَاءِ، أَوْ زَوَالُهُ: كُلَّمَا ازْدَادَ الْإِنْسَانُ فَسَادًا وَارْتِكَابًا لِلْمَعَاصِي؛ كُلَّمَا قَلَّ حَيَاؤُهُ، وَرُبَّمَا زَالَ، حَتَّى إِنَّهُ لَا يَكْتَرِثُ بِنَظَرِ اللَّهِ لَهُ، وَلَا بِمَا يَقُولُهُ النَّاسُ عَنْهُ، وَقَدْ بَيَّنَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Rendahnya —atau bahkan tidak adanya— rasa malu Semakin banyak kerusakan dan maksiat yang dilakukan oleh manusia, maka rasa malunya akan semakin berkurang, atau bahkan sirna sama sekali, karena ia tidak memedulikan penglihatan Allah terhadapnya dan ucapan orang lain tentangnya. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada kita dengan sabdanya: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah apa yang kamu suka.’” (HR. Al-Bukhari). أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الِاجْتِمَاعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ: كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ يَسْتَغِلُّونَ الصِّحَّةَ وَالْفَرَاغَ فِي الْفَسَادِ وَالِانْحِرَافِ؛ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. فَالصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ الْمُبَاشِرَةِ لِانْحِرَافِ الشَّبَابِ. Wahai kaum Muslimin! Di antara sebab-sebab sosial yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Kesehatan dan waktu luang yang melimpah Banyak orang yang memanfaatkan kesehatan dan waktu luang untuk berbuat kerusakan dan penyimpangan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, kesehatan dan waktu luang termasuk sebab terbesar yang secara langsung mempengaruhi penyimpangan generasi muda. 2- التَّرَفُ: فَالْمُتْرَفُونَ هُمُ السَّبَبُ الْمُبَاشِرُ فِي إِفْسَادِ الْمُجْتَمَعَاتِ وَإِهْلَاكِهَا؛ لِأَنَّهُمْ فَقَدُوا بُوصَلَةَ الْإِيمَانِ، وَنَشَرُوا التَّحَلُّلَ الْأَخْلَاقِيَّ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 16]. Kemewahan Orang-orang yang bergelimang harta merupakan penyebab langsung kerusakan dan kebinasaan suatu komunitas, karena mereka telah kehilangan kompas keimanan dan menyebarkan kemerosotan moral. Allah Ta’ala berfirman:  وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra: 16). 3- قُرَنَاءُ السُّوءِ: فَإِنَّهُمْ يَتَسَلَّطُونَ عَلَى الْإِنْسَانِ، وَيُغْرُونَهُ وَيُهَيِّجُونَهُ عَلَى ارْتِكَابِ الْمَعَاصِي تَهْيِيجًا شَدِيدًا؛ وَلِذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَا تُخَالِطْ سَيِّءَ الْخُلُقِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَدْعُو إِلَّا إِلَى شَرٍّ). Teman-teman yang tidak baik Hal ini karena teman-teman buruk akan mempengaruhi temannya yang lain, membujuknya, dan mendorongnya untuk berbuat kemaksiatan. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang akan mengikuti cara beragama teman dekatnya, maka hendaklah setiap kalian melihat dengan siapa ia berteman dekat.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Janganlah kamu berinteraksi dengan orang yang buruk akhlaknya, karena ia hanya akan mengajak kepada keburukan.”  4- حُبُّ الدُّنْيَا، وَالِاشْتِغَالُ بِهَا عَنِ الْآخِرَةِ: فَهَذَا هُوَ أَصْلُ الْأَفْعَالِ الْخَسِيسَةِ، وَهُوَ رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَرُبَّمَا يَصِلُ بِالْإِنْسَانِ إِلَى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ السُّقُوطِ، فَيَقْضِي عَلَى كَرَامَتِهِ، وَيَحْلِقُ دِينَهُ، وَالْمُنْشَغِلُونَ بِالدُّنْيَا هُمْ عَبَدَةُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَالْبُطُونِ وَالْفُرُوجِ، وَفِي أَمْثَالِهِمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Cinta dan sibuk dengan dunia sehingga lalai dari akhirat Ini merupakan sumber perbuatan tercela dan pusat penyebab segala dosa. Bahkan, terkadang perkara ini dapat menyeret manusia ke dalam titik terendah amoralitas, sehingga ia merusak kehormatannya dan melenyapkan agamanya. Orang-orang yang sibuk dengan dunia adalah para budak dinar dan dirham, serta pemburu kepuasan perut dan kemaluan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang orang-orang seperti mereka: تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ “Celakalah budak dinar, dirham, dan sutera. Apabila ia diberi, ia mereka puas, dan apabila tidak diberi, ia murka.” (HR. Al-Bukhari). 5- الْعُزُوفُ عَنِ الزَّوَاجِ: فَإِنَّ الزَّوَاجَ هُوَ الْحِصْنُ الْوَاقِي لِلْإِنْسَانِ مِنَ الِانْحِرَافِ وَالْوُقُوعِ فِي الْفَسَادِ – إِذَا كَانَ سَلِيمَ الْفِطْرَةِ، وَهُنَاكَ عَوَائِقُ مَادِّيَّةٌ وَاجْتِمَاعِيَّةٌ -تَقِفُ عَقَبَةً كَؤُودًا أَمَامَ ارْتِبَاطِ الشَّابِّ بِالْفَتَاةِ، وَمِنْ أَهَمِّهَا: الْمُغَالَاةُ فِي الْمُهُورِ، وَاشْتِرَاطُ التَّكَالِيفِ الْبَاهِظَةِ لِلزَّوَاجِ، وَالْمُبَالَغَةُ فِي اشْتِرَاطِ الْمُؤَهِّلَاتِ الْعِلْمِيَّةِ، وَالْمَكَانَةِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ الْعَالِيَةِ، وَبَعْضُ الْأُسَرِ تَشْتَرِطُ زَوَاجَ الْبَنَاتِ حَسَبَ تَسَلْسُلِ الْأَعْمَارِ. Menolak pernikahan Pernikahan merupakan benteng kokoh bagi manusia dari penyimpangan dan perbuatan rusak jika ia merupakan orang yang punya fitrah yang sehat. Namun, terdapat banyak penghalang dari sisi materi dan sosial yang merintangi hubungan antara pemuda dan pemudi dalam menuju pernikahan; dan yang paling besar adalah mahalnya mahar, syarat-syarat pernikahan yang sangat mahal, berlebihan dalam menetapkan syarat riwayat pendidikan dan kedudukan sosial yang tinggi, dan ada juga sebagian keluarga yang mensyaratkan pernikahan anak-anak perempuan harus sesuai dengan urutan umur mereka. 6- إِهْمَالُ الْوَالِدَيْنِ لِلْأَوْلَادِ: التَّنْشِئَةُ الْأُسَرِيَّةُ الْخَاطِئَةُ تُؤَدِّي إِلَى انْحِرَافِ السُّلُوكِ، وَفَسَادِ الْأَخْلَاقِ، وَيَزْدَادُ الْأَمْرُ سُوءًا عِنْدَمَا يَقْضِي الْوَالِدَانِ جُلَّ الْأَوْقَاتِ فِي حَيَاةِ الْإِثْمِ وَالْغَوَايَةِ، وَيَتَقَلَّبَانِ فِي أَتُونِ الشَّهَوَاتِ وَالْمَلَذَّاتِ، وَبَعْضُ الْآبَاءِ لَا يُعْطِي أَوْلَادَهُ مِنَ الْوَقْتِ وَالرِّعَايَةِ إِلَّا الشَّيْءَ الْقَلِيلَ دُونَ حَقِّهِمْ، فَيُمْضِي جُلَّ وَقْتِهِ مِنْ أَجْلِ مَزِيدٍ مِنَ الْكَسْبِ، وَلِيَشْتَرِيَ لَهُمْ مَزِيدًا مِنَ الْكَمَالِيَّاتِ، وَلَا يُدْرِكُ أَنَّهُمْ أَحْوَجُ إِلَى رِعَايَتِهِ الرُّوحِيَّةِ، وَتَوْجِيهَاتِهِ التَّرْبَوِيَّةِ، نَاهِيكَ عَنِ انْشِغَالِ كَثِيرٍ مِنَ الْأُمَّهَاتِ بِالْعَمَلِ وَالْوَظِيفَةِ. Ketidakpedulian orang tua terhadap anak-anaknya Membangun rumah tangga dengan cara yang salah akan menimbulkan penyimpangan kepribadian dan kerusakan akhlak. Hal ini akan semakin parah apabila mayoritas waktu kedua orang tua dihabiskan dalam gelimang dosa dan kesesatan; mereka berdua hanya sibuk silih berganti dalam lembah syahwat dan kenikmatan duniawi. Ada sebagian orang tua yang tidak memberi waktu dan perhatian kepada anak-anak mereka kecuali sedikit sekali di bawah batas hak mereka; mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk menambah penghasilan, agar dapat membelikan kebutuhan-kebutuhan tersier bagi anak-anak mereka. Mereka tidak sadar bahwa anak-anak lebih membutuhkan perhatian psikologis dan bimbingan-bimbingan. Terlebih lagi dengan ibu-ibu yang sibuk menjadi pekerja dan karyawan. الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. هُنَاكَ أَسْبَابٌ (عَالَمِيَّةٌ) لِلْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ، وَمِنْهَا: 1- الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ: لِلْإِعْلَامِ -بِوَسَائِلِهِ الْمُتَنَوِّعَةِ- خُطُورَتُهُ وَتَأْثِيرُهُ عَلَى النَّاسِ، وَلَا سِيَّمَا الشَّبَكَةُ الْعَنْكَبُوتِيَّةُ، فَهَذِهِ الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ تُؤَثِّرُ مِنْ خِلَالِ الْكَلِمَةِ مَقْرُوءَةً أَوْ مَسْمُوعَةً أَوْ مَنْظُورَةً؛ بَلْ إِنَّ أَكْثَرَ وَسَائِلِ الْإِعْلَامِ الْمُعَاصِرَةِ – إِلَّا مَا رَحِمَ رَبُّكَ- مُسَخَّرَةٌ لِإِشَاعَةِ الْفَاحِشَةِ، وَالْإِغْرَاءِ بِالْجَرِيمَةِ، وَالسَّعْيِ بِالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ، وَفِي هَذَا مُحَارَبَةٌ لِلدِّينِ الْإِسْلَامِيِّ، وَتَحْطِيمٌ لِلْأَخْلَاقِ وَالْقِيَمِ، خُصُوصًا لَدَى النَّاشِئَةِ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Terdapat sebab-sebab kerusakan moral yang berlaku secara global, di antaranya: Media-media informasi Informasi —dengan berbagai bentuk mediany— mengandung banyak bahaya dan pengaruh terhadap manusia. Terlebih lagi jaringan internet. Media-media informasi ini dapat mempengaruhi dari kalimat-kalimatnya, baik itu yang tersedia dalam bentuk bacaan, audio, atau video. Bahkan sebagian besar media informasi modern dipakai untuk menyebar perbuatan keji, mempengaruhi kejahatan, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Hal ini tentu merupakan peperangan terhadap agama Islam, dan meruntuhkan akhlak dan moral, terlebih lagi terhadap generasi muda. 2- الِاخْتِلَاطُ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى: غَالِبُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الَّذِي تُعَانِي مِنْهُ مُجْتَمَعَاتُ الْمُسْلِمِينَ، مَنْشَؤُهُ وَمَصْدَرُهُ اخْتِلَاطُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى، وَتَقْلِيدُهُمْ فِي رَذَائِلِ الْأَخْلَاقِ، وَلَا سِيَّمَا مَعَ تَوَفُّرِ الْإِمْكَانَاتِ، وَسُرْعَةِ الِاتِّصَالَاتِ؛ حَيْثُ غَرِقَ الْكَثِيرُ فِي بَحْرِ الْفُجُورِ وَالْفَسَادِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ. Interaksi dengan bangsa-bangsa lain Mayoritas kerusakan moral yang dialami oleh masyarakat Islam, sumbernya adalah interaksi mereka dengan bangsa-bangsa lain, lalu kerusakan moral yang mereka serap dari bangsa-bangsa tersebut. Terlebih lagi dengan tersedianya fasilitas dan cepatnya komunikasi, yang mana banyak dari mereka yang telah terjerumus ke dalam perbuatan keji dan kerusakan. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. 3- الِانْبِهَارُ الْحَضَارِيُّ الْمُزَيَّفُ: انْبَهَرَ الْمُسْلِمُونَ بِمَا لَدَى الْأُمَمِ الْأُخْرَى مِنْ تَقَدُّمٍ مَدَنِيٍّ؛ فَكَانُوا هُمُ الْجَانِبَ الضَّعِيفَ، وَأَصْبَحَتْ لَدَيْهِمْ قَابِلِيَّةٌ شَدِيدَةٌ لِلتَّأَثُّرِ، وَتَشَرُّبِ الْأَخْلَاقِ الْمُنْحَرِفَةِ، وَالسُّلُوكِيَّاتِ الْفَاسِدَةِ، وَمِنْ هُنَا بَدَأَتْ دَوْرَةُ التَّقْلِيدِ وَالْمُحَاكَاةِ الْعَمْيَاءِ، وَمُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ فِي كَثِيرٍ مِنْ عَوَائِدِهِمْ، وَأَحْوَالِهِمُ السَّقِيمَةِ؛ إِذْ إِنَّ تَقْلِيدَهُمْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا فِي قُشُورِ الْأَشْيَاءِ، وَمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ، وَلَيْسَ فِي لُبَابِ الْحَضَارَةِ، وَمَا هُوَ مُفِيدٌ. وَقَدْ أَشَارَ إِلَى هَذِهِ الظَّاهِرَةِ ابْنُ خَلْدُونَ رَحِمَهُ اللَّهُ؛ حَيْثُ قَالَ: (إِنَّ الْمَغْلُوبَ مُولَعٌ أَبَدًا بِالِاقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِي شِعَارِهِ وَزِيِّهِ، وَنِحْلَتِهِ، وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ. وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ: أَنَّ النَّفْسَ أَبَدًا تَعْتَقِدُ الْكَمَالَ فِي مَنْ غَلَبَهَا، وَانْقَادَتْ إِلَيْهِ). Silau dengan peradaban palsu Kaum Muslimin merasa takjub dengan kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain, sehingga posisi mereka adalah sebagai pihak yang lemah, sehingga mereka memiliki kesiapan yang besar untuk menerima pengaruh, mengadopsi akhlak-akhlak menyimpang dan perilaku-perilaku rusak. Dari sini, dimulailah peran meniru dan mencontoh secara buta, dan mengikuti orang-orang kafir dalam berbagai adat kebiasaan dan keadaan mereka yang cacat. Peniruan mereka hanya pada kulit luar saja dan hal-hal yang tidak bermanfaat, bukan pada inti peradaban dan hal-hal yang bermanfaat. Fenomena ini telah diisyaratkan Ibnu Khaldun Rahimahullah melalui perkataan, “Kaum yang lemah pasti ingin meniru kaum yang lebih dominan dalam slogan, penampilan, ritual, dan segala adat kebiasaannya. Hal ini disebabkan karena jiwa manusia selalu merasa bahwa kesempurnaan ada pada pihak yang mendominasinya, dan selalu tunduk pada mereka.” Sumber: https://www.alukah.net/الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 57 times, 2 visit(s) today Post Views: 15 QRIS donasi Yufid

Kerusakan Moral di Era Modern, Sebab-Sebab dan Bahayanya

الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ الْمُجْتَمَعَاتِ الْإِسْلَامِيَّةَ تَتَعَرَّضُ لِمَوْجَةٍ مِنَ اهْتِزَازَاتٍ أَخْلَاقِيَّةٍ مُتَنَاقِضَةٍ، تُخَالِفُ مَبَادِئَ الْإِسْلَامِ، فَتَسْلُبُ مِنَ الْفَرْدِ وَالْمُجْتَمَعِ السَّعَادَةَ وَالْأَمْنَ وَالِاسْتِقْرَارَ، وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ هَذِهِ الْهَزَّاتِ نَقْصُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَلَقَدْ كَانَ لِهَذِهِ الْهَزَّاتِ صِفَةُ الْعَالَمِيَّةِ؛ بِسَبَبِ التَّقَدُّمِ التِّكْنُولُوجِيِّ الْحَدِيثِ، الَّذِي جَعَلَ الْعَالَمَ كَقَرْيَةٍ صَغِيرَةٍ، وَلَمْ يَعُدْ بِمَقْدُورِ أَيِّ مُجْتَمَعٍ إِغْلَاقُ مَنَافِذِهِ أَمَامَهَا، فَمَا هِيَ أَسْبَابُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الْمُعَاصِرِ؟ وَمَا الْخُطُورَةُ الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى ذَلِكَ؟ Segala puji hanya bagi Allah. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Masyarakat Muslim sedang menghadapi gelombang guncangan keruntuhan moral yang menyelisihi norma-norma Islam, sehingga hal tersebut mencabut kebahagiaan, keamanan, dan kedamaian dalam lingkup personal dan komunitas mereka. Di antara sebab yang paling besar timbulnya guncangan ini adalah lemahnya iman kepada Allah Ta’ala. Guncangan ini mencakup seluruh belahan bumi, disebabkan kemajuan teknologi modern yang membuat dunia ini seperti kota kecil, dan tidak ada masyarakat manapun yang mampu menutup jendela persebarannya. Lalu apa sebab-sebab kerusakan moral di era modern ini? dan apa bahaya yang tersimpan di baliknya? عِبَادَ اللَّهِ: إِنَّ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الشَّرْعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- ضَعْفَ الْإِيمَانِ: فَالْأَزْمَةُ الْكُبْرَى الَّتِي يَعِيشُهَا الْإِنْسَانُ هِيَ أَزْمَةُ الْعَقِيدَةِ، أَزْمَةُ ضَعْفِ الْإِيمَانِ، وَمَصْدَرُ كُلِّ الشُّرُورِ سَبَبُهَا ضَعْفُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا ضَعُفَ إِيمَانُهُ بِاللَّهِ ضَعُفَ تَعْظِيمُهُ لِحُرُمَاتِ اللَّهِ، فَيَتَجَرَّأُ عَلَى الْمَعَاصِي وَالْآثَامِ. Wahai para hamba Allah! Di antara sebab terpenting dari sisi syariat atas kerusakan moral ini adalah sebagai berikut: Kelemahan iman   Krisis terbesar yang dihadapi manusia adalah krisis akidah dan kelemahan iman. Sumber segala keburukan adalah lemahnya keimanan kepada Allah Ta’ala. Apabila keimanan seseorang lemah kepada Allah, maka akan lemah pula penghormatannya terhadap hal-hal yang diharamkan Allah, sehingga ia akan berani untuk melakukan kemaksiatan dan dosa. 2- قِلَّةَ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ: فَالْجَهْلُ هُوَ مَنْشَأُ الْأَخْلَاقِ السَّافِلَةِ، وَهُوَ سَبَبٌ رَئِيسٌ لِإِضَاعَةِ الْمَالِ فِي أَوْجُهِ الْفَسَادِ، وَعَدَمِ تَقْوَى اللَّهِ، وَمَدْعَاةٌ لِقَطِيعَةِ الرَّحِمِ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَقِلَّةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ يَتَزَامَنُ مَعَهُ، وَيَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ انْتِشَارُ كَثِيرٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Pemahaman ilmu syar’i yang dangkal Kebodohan adalah sumber moralitas yang anjlok. Ia juga merupakan sebab utama pembelanjaan harta untuk berbagai bentuk kerusakan dan ketidakhadiran ketakwaan kepada Allah. Ia juga penyebab terputusnya silaturahmi. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ “Dan ada seorang hamba yang Allah karuniakan harta tapi tidak mengaruniakan ilmu kepadanya, sehingga ia menghambur-hamburkan hartanya tanpa ilmu, tanpa takut terhadap Tuhannya, tidak menyambung silaturahminya, dan tidak menghiraukan hak Allah di dalamnya, inilah kedudukan yang paling buruk” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Rendahnya pemahaman ilmu syar’i akan berbanding lurus dan menyebabkan tersebarnya banyak bentuk kerusakan moral. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ “Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah tersebarnya kebodohan, berkurangnya ilmu, tersebarnya riba, dan tersebarnya minum khamr.” (HR. Al-Bukhari). 3- تَرْكُ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ: أَسَاسُ بِنَاءِ الْمُجْتَمَعِ هُوَ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ﴾ [الْحَجِّ:41]، وَمَعَ مُرُورِ الزَّمَنِ تَتَحَوَّلُ بَعْضُ الْمُنْكَرَاتِ إِلَى أَمْرٍ وَاقِعٍ، وَسَيَصْعُبُ تَغْيِيرُهَا. Ditinggalkannya amar makruf nahi mungkar Pondasi pembangunan masyarakat adalah dengan amar makruf nahi mungkar (seruan kepada kebaikan dan pencegahan terhadap kemungkaran). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kemantapan (hidup) di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Al-Hajj: 41). 4- عَدَمُ الِاسْتِجَابَةِ لِأَوَامِرِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ» حُسَنٌ – رَوَاهُ مَالِكٌ فِي “الْمُوَطَّأِ”. وَإِذَا ابْتَعَدَ النَّاسُ عَنْ هَدْيِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ تَخَطَّفَتْهُمُ الْأَهْوَاءُ، وَتَجَاذَبَتْهُمُ الِاخْتِلَافَاتُ، وَانْحَرَفُوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ، وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. Tidak menghiraukan perintah-perintah Allah dan Rasulullah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang kepada keduanya, (1) Kitab Allah, dan (2) Sunnah Nabi-Nya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa). Apabila manusia telah menjauh dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka akan terseret oleh hawa nafsu, terombang-ambing oleh perselisihan, dan tersesatkan dari jalan Allah, sedangkan mereka mengira sedang melakukan perbuatan yang benar. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (النَّفْسِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- اتِّبَاعُ الْهَوَى وَالشَّهَوَاتِ: فَالشَّهْوَةُ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَرْتَكِبُ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ، وَهُوَ يَعْلَمُ بِتَحْرِيمِهَا، وَحِينَمَا يَنْسَاقُ وَرَاءَ أَهْوَائِهِ وَشَهَوَاتِهِ، وَيَنْسَى رَبَّهُ؛ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي مَعِيشَةٍ أَضَلَّ مِنَ الْحَيَوَانِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَخْدِمْ عَقْلَهُ الَّذِي مَيَّزَهُ اللَّهُ بِهِ عَلَى الْحَيَوَانِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 43-44]. Adapun di antara sebab-sebab psikologis yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Menuruti hawa nafsu dan gejolak syahwat Syahwat akan membuat manusia berbuat berbagai kerusakan, meskipun ia telah mengetahui keharamannya. Ketika manusia telah terseret di belakang hawa nafsu dan syahwatnya, dan lupa terhadap Tuhannya, maka ia akan berada dalam kehidupan yang lebih sesat daripada hewan, karena ia tidak menggunakan akalnya yang merupakan garis pembedanya dengan hewan yang Allah berikan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا “Sudahkah engkau (Nabi Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan: 43-44). 2- الْإِيحَاءَاتُ الشَّيْطَانِيَّةُ: الشَّيْطَانُ عَدُوٌّ لَدُودٌ لِكُلِّ النَّاسِ، يُبَغِّضُ إِلَيْهِمُ الطَّاعَاتِ، وَيُحَبِّبُ إِلَيْهِمُ الْمَعَاصِيَ وَالْفَوَاحِشَ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 168-169]، وَلِخَطَرِهِ وَضَرَرِهِ؛ حَذَّرَنَا اللَّهُ تَعَالَى مِنْ مَكَائِدِهِ، وَطُرُقِهِ وَأَسَالِيبِهِ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ، بَلَغَتْ قَرِيبًا مِنْ بِضْعٍ وَثَمَانِينَ مَوْضِعًا فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا ﴾ [النِّسَاءِ: 119]. Bisikan-bisikan setan Setan merupakan musuh bebuyutan bagi setiap manusia, ia akan membuat mereka membenci amal ketaatan, dan menyukai kemaksiatan dan perbuatan keji. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata. Sesungguhnya (setan) hanya menyuruh kamu untuk berbuat jahat dan keji serta mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 168-169). Karena begitu besar bahaya dan mudharat yang ditimbulkan setan, Allah Ta’ala memperingatkan kita dari segala tipu daya, cara-cara, dan segala muslihatnya dalam banyak ayat Al-Qur’an, bahkan mencapai lebih dari 80 ayat dalam Al-Quran. Allah ta’ala berfirman: وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “barang siapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah sungguh telah menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 119). 3- تَغْلِيبُ الرَّجَاءِ عَلَى الْخَوْفِ: فَالْمُتَأَمِّلُ فِي سُلُوكِ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ، يَجِدُ أَنَّهُمْ يَعْتَمِدُونَ عَلَى كَرَمِ اللَّهِ تَعَالَى وَفَضْلِهِ وَتَسَامُحِهِ، فَيَسْتَرْسِلُونَ مَعَ الْمَعَاصِي مَعَ الِاتِّكَالِ عَلَى رَحْمَةِ اللَّهِ فَقَطْ! عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ» ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ [الْأَنْعَامِ:44]. حَسَنٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ، قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَعُمُومُ الْعَوَامِّ يُبَارِزُونَ بِالذُّنُوبِ؛ اعْتِمَادًا عَلَى الْعَفْوِ، وَيَنْسَوْنَ الْعِقَابَ). Terlalu besar berharap daripada takut kepada Allah Orang yang mencermati tingkah laku banyak orang akan mendapati bahwa mereka bersandar pada kemurahan, karunia, dan keluasan ampunan Allah Ta’ala, sehingga mereka terus melakukan kemaksiatan dan hanya bersandar pada rahmat Allah semata. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda: إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ “Barang siapa yang melihat Allah melimpahkan nikmat dunia kepada seorang hamba, padahal ia melakukan kemaksiatan apa saja yang ia sukai, maka sesungguhnya itu adalah istidraj (penundaan azab dari Allah agar menggiringnya ke dalam azab yang lebih besar dan tiba-tiba).” Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat: فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS. Al-An’am: 44). (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Mayoritas orang awam menampakkan dosa-dosa mereka karena bersandar pada ampunan dan lupa terhadap siksaan.” 4- قِلَّةُ الْحَيَاءِ، أَوْ زَوَالُهُ: كُلَّمَا ازْدَادَ الْإِنْسَانُ فَسَادًا وَارْتِكَابًا لِلْمَعَاصِي؛ كُلَّمَا قَلَّ حَيَاؤُهُ، وَرُبَّمَا زَالَ، حَتَّى إِنَّهُ لَا يَكْتَرِثُ بِنَظَرِ اللَّهِ لَهُ، وَلَا بِمَا يَقُولُهُ النَّاسُ عَنْهُ، وَقَدْ بَيَّنَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Rendahnya —atau bahkan tidak adanya— rasa malu Semakin banyak kerusakan dan maksiat yang dilakukan oleh manusia, maka rasa malunya akan semakin berkurang, atau bahkan sirna sama sekali, karena ia tidak memedulikan penglihatan Allah terhadapnya dan ucapan orang lain tentangnya. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada kita dengan sabdanya: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah apa yang kamu suka.’” (HR. Al-Bukhari). أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الِاجْتِمَاعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ: كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ يَسْتَغِلُّونَ الصِّحَّةَ وَالْفَرَاغَ فِي الْفَسَادِ وَالِانْحِرَافِ؛ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. فَالصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ الْمُبَاشِرَةِ لِانْحِرَافِ الشَّبَابِ. Wahai kaum Muslimin! Di antara sebab-sebab sosial yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Kesehatan dan waktu luang yang melimpah Banyak orang yang memanfaatkan kesehatan dan waktu luang untuk berbuat kerusakan dan penyimpangan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, kesehatan dan waktu luang termasuk sebab terbesar yang secara langsung mempengaruhi penyimpangan generasi muda. 2- التَّرَفُ: فَالْمُتْرَفُونَ هُمُ السَّبَبُ الْمُبَاشِرُ فِي إِفْسَادِ الْمُجْتَمَعَاتِ وَإِهْلَاكِهَا؛ لِأَنَّهُمْ فَقَدُوا بُوصَلَةَ الْإِيمَانِ، وَنَشَرُوا التَّحَلُّلَ الْأَخْلَاقِيَّ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 16]. Kemewahan Orang-orang yang bergelimang harta merupakan penyebab langsung kerusakan dan kebinasaan suatu komunitas, karena mereka telah kehilangan kompas keimanan dan menyebarkan kemerosotan moral. Allah Ta’ala berfirman:  وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra: 16). 3- قُرَنَاءُ السُّوءِ: فَإِنَّهُمْ يَتَسَلَّطُونَ عَلَى الْإِنْسَانِ، وَيُغْرُونَهُ وَيُهَيِّجُونَهُ عَلَى ارْتِكَابِ الْمَعَاصِي تَهْيِيجًا شَدِيدًا؛ وَلِذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَا تُخَالِطْ سَيِّءَ الْخُلُقِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَدْعُو إِلَّا إِلَى شَرٍّ). Teman-teman yang tidak baik Hal ini karena teman-teman buruk akan mempengaruhi temannya yang lain, membujuknya, dan mendorongnya untuk berbuat kemaksiatan. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang akan mengikuti cara beragama teman dekatnya, maka hendaklah setiap kalian melihat dengan siapa ia berteman dekat.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Janganlah kamu berinteraksi dengan orang yang buruk akhlaknya, karena ia hanya akan mengajak kepada keburukan.”  4- حُبُّ الدُّنْيَا، وَالِاشْتِغَالُ بِهَا عَنِ الْآخِرَةِ: فَهَذَا هُوَ أَصْلُ الْأَفْعَالِ الْخَسِيسَةِ، وَهُوَ رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَرُبَّمَا يَصِلُ بِالْإِنْسَانِ إِلَى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ السُّقُوطِ، فَيَقْضِي عَلَى كَرَامَتِهِ، وَيَحْلِقُ دِينَهُ، وَالْمُنْشَغِلُونَ بِالدُّنْيَا هُمْ عَبَدَةُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَالْبُطُونِ وَالْفُرُوجِ، وَفِي أَمْثَالِهِمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Cinta dan sibuk dengan dunia sehingga lalai dari akhirat Ini merupakan sumber perbuatan tercela dan pusat penyebab segala dosa. Bahkan, terkadang perkara ini dapat menyeret manusia ke dalam titik terendah amoralitas, sehingga ia merusak kehormatannya dan melenyapkan agamanya. Orang-orang yang sibuk dengan dunia adalah para budak dinar dan dirham, serta pemburu kepuasan perut dan kemaluan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang orang-orang seperti mereka: تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ “Celakalah budak dinar, dirham, dan sutera. Apabila ia diberi, ia mereka puas, dan apabila tidak diberi, ia murka.” (HR. Al-Bukhari). 5- الْعُزُوفُ عَنِ الزَّوَاجِ: فَإِنَّ الزَّوَاجَ هُوَ الْحِصْنُ الْوَاقِي لِلْإِنْسَانِ مِنَ الِانْحِرَافِ وَالْوُقُوعِ فِي الْفَسَادِ – إِذَا كَانَ سَلِيمَ الْفِطْرَةِ، وَهُنَاكَ عَوَائِقُ مَادِّيَّةٌ وَاجْتِمَاعِيَّةٌ -تَقِفُ عَقَبَةً كَؤُودًا أَمَامَ ارْتِبَاطِ الشَّابِّ بِالْفَتَاةِ، وَمِنْ أَهَمِّهَا: الْمُغَالَاةُ فِي الْمُهُورِ، وَاشْتِرَاطُ التَّكَالِيفِ الْبَاهِظَةِ لِلزَّوَاجِ، وَالْمُبَالَغَةُ فِي اشْتِرَاطِ الْمُؤَهِّلَاتِ الْعِلْمِيَّةِ، وَالْمَكَانَةِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ الْعَالِيَةِ، وَبَعْضُ الْأُسَرِ تَشْتَرِطُ زَوَاجَ الْبَنَاتِ حَسَبَ تَسَلْسُلِ الْأَعْمَارِ. Menolak pernikahan Pernikahan merupakan benteng kokoh bagi manusia dari penyimpangan dan perbuatan rusak jika ia merupakan orang yang punya fitrah yang sehat. Namun, terdapat banyak penghalang dari sisi materi dan sosial yang merintangi hubungan antara pemuda dan pemudi dalam menuju pernikahan; dan yang paling besar adalah mahalnya mahar, syarat-syarat pernikahan yang sangat mahal, berlebihan dalam menetapkan syarat riwayat pendidikan dan kedudukan sosial yang tinggi, dan ada juga sebagian keluarga yang mensyaratkan pernikahan anak-anak perempuan harus sesuai dengan urutan umur mereka. 6- إِهْمَالُ الْوَالِدَيْنِ لِلْأَوْلَادِ: التَّنْشِئَةُ الْأُسَرِيَّةُ الْخَاطِئَةُ تُؤَدِّي إِلَى انْحِرَافِ السُّلُوكِ، وَفَسَادِ الْأَخْلَاقِ، وَيَزْدَادُ الْأَمْرُ سُوءًا عِنْدَمَا يَقْضِي الْوَالِدَانِ جُلَّ الْأَوْقَاتِ فِي حَيَاةِ الْإِثْمِ وَالْغَوَايَةِ، وَيَتَقَلَّبَانِ فِي أَتُونِ الشَّهَوَاتِ وَالْمَلَذَّاتِ، وَبَعْضُ الْآبَاءِ لَا يُعْطِي أَوْلَادَهُ مِنَ الْوَقْتِ وَالرِّعَايَةِ إِلَّا الشَّيْءَ الْقَلِيلَ دُونَ حَقِّهِمْ، فَيُمْضِي جُلَّ وَقْتِهِ مِنْ أَجْلِ مَزِيدٍ مِنَ الْكَسْبِ، وَلِيَشْتَرِيَ لَهُمْ مَزِيدًا مِنَ الْكَمَالِيَّاتِ، وَلَا يُدْرِكُ أَنَّهُمْ أَحْوَجُ إِلَى رِعَايَتِهِ الرُّوحِيَّةِ، وَتَوْجِيهَاتِهِ التَّرْبَوِيَّةِ، نَاهِيكَ عَنِ انْشِغَالِ كَثِيرٍ مِنَ الْأُمَّهَاتِ بِالْعَمَلِ وَالْوَظِيفَةِ. Ketidakpedulian orang tua terhadap anak-anaknya Membangun rumah tangga dengan cara yang salah akan menimbulkan penyimpangan kepribadian dan kerusakan akhlak. Hal ini akan semakin parah apabila mayoritas waktu kedua orang tua dihabiskan dalam gelimang dosa dan kesesatan; mereka berdua hanya sibuk silih berganti dalam lembah syahwat dan kenikmatan duniawi. Ada sebagian orang tua yang tidak memberi waktu dan perhatian kepada anak-anak mereka kecuali sedikit sekali di bawah batas hak mereka; mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk menambah penghasilan, agar dapat membelikan kebutuhan-kebutuhan tersier bagi anak-anak mereka. Mereka tidak sadar bahwa anak-anak lebih membutuhkan perhatian psikologis dan bimbingan-bimbingan. Terlebih lagi dengan ibu-ibu yang sibuk menjadi pekerja dan karyawan. الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. هُنَاكَ أَسْبَابٌ (عَالَمِيَّةٌ) لِلْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ، وَمِنْهَا: 1- الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ: لِلْإِعْلَامِ -بِوَسَائِلِهِ الْمُتَنَوِّعَةِ- خُطُورَتُهُ وَتَأْثِيرُهُ عَلَى النَّاسِ، وَلَا سِيَّمَا الشَّبَكَةُ الْعَنْكَبُوتِيَّةُ، فَهَذِهِ الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ تُؤَثِّرُ مِنْ خِلَالِ الْكَلِمَةِ مَقْرُوءَةً أَوْ مَسْمُوعَةً أَوْ مَنْظُورَةً؛ بَلْ إِنَّ أَكْثَرَ وَسَائِلِ الْإِعْلَامِ الْمُعَاصِرَةِ – إِلَّا مَا رَحِمَ رَبُّكَ- مُسَخَّرَةٌ لِإِشَاعَةِ الْفَاحِشَةِ، وَالْإِغْرَاءِ بِالْجَرِيمَةِ، وَالسَّعْيِ بِالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ، وَفِي هَذَا مُحَارَبَةٌ لِلدِّينِ الْإِسْلَامِيِّ، وَتَحْطِيمٌ لِلْأَخْلَاقِ وَالْقِيَمِ، خُصُوصًا لَدَى النَّاشِئَةِ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Terdapat sebab-sebab kerusakan moral yang berlaku secara global, di antaranya: Media-media informasi Informasi —dengan berbagai bentuk mediany— mengandung banyak bahaya dan pengaruh terhadap manusia. Terlebih lagi jaringan internet. Media-media informasi ini dapat mempengaruhi dari kalimat-kalimatnya, baik itu yang tersedia dalam bentuk bacaan, audio, atau video. Bahkan sebagian besar media informasi modern dipakai untuk menyebar perbuatan keji, mempengaruhi kejahatan, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Hal ini tentu merupakan peperangan terhadap agama Islam, dan meruntuhkan akhlak dan moral, terlebih lagi terhadap generasi muda. 2- الِاخْتِلَاطُ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى: غَالِبُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الَّذِي تُعَانِي مِنْهُ مُجْتَمَعَاتُ الْمُسْلِمِينَ، مَنْشَؤُهُ وَمَصْدَرُهُ اخْتِلَاطُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى، وَتَقْلِيدُهُمْ فِي رَذَائِلِ الْأَخْلَاقِ، وَلَا سِيَّمَا مَعَ تَوَفُّرِ الْإِمْكَانَاتِ، وَسُرْعَةِ الِاتِّصَالَاتِ؛ حَيْثُ غَرِقَ الْكَثِيرُ فِي بَحْرِ الْفُجُورِ وَالْفَسَادِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ. Interaksi dengan bangsa-bangsa lain Mayoritas kerusakan moral yang dialami oleh masyarakat Islam, sumbernya adalah interaksi mereka dengan bangsa-bangsa lain, lalu kerusakan moral yang mereka serap dari bangsa-bangsa tersebut. Terlebih lagi dengan tersedianya fasilitas dan cepatnya komunikasi, yang mana banyak dari mereka yang telah terjerumus ke dalam perbuatan keji dan kerusakan. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. 3- الِانْبِهَارُ الْحَضَارِيُّ الْمُزَيَّفُ: انْبَهَرَ الْمُسْلِمُونَ بِمَا لَدَى الْأُمَمِ الْأُخْرَى مِنْ تَقَدُّمٍ مَدَنِيٍّ؛ فَكَانُوا هُمُ الْجَانِبَ الضَّعِيفَ، وَأَصْبَحَتْ لَدَيْهِمْ قَابِلِيَّةٌ شَدِيدَةٌ لِلتَّأَثُّرِ، وَتَشَرُّبِ الْأَخْلَاقِ الْمُنْحَرِفَةِ، وَالسُّلُوكِيَّاتِ الْفَاسِدَةِ، وَمِنْ هُنَا بَدَأَتْ دَوْرَةُ التَّقْلِيدِ وَالْمُحَاكَاةِ الْعَمْيَاءِ، وَمُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ فِي كَثِيرٍ مِنْ عَوَائِدِهِمْ، وَأَحْوَالِهِمُ السَّقِيمَةِ؛ إِذْ إِنَّ تَقْلِيدَهُمْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا فِي قُشُورِ الْأَشْيَاءِ، وَمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ، وَلَيْسَ فِي لُبَابِ الْحَضَارَةِ، وَمَا هُوَ مُفِيدٌ. وَقَدْ أَشَارَ إِلَى هَذِهِ الظَّاهِرَةِ ابْنُ خَلْدُونَ رَحِمَهُ اللَّهُ؛ حَيْثُ قَالَ: (إِنَّ الْمَغْلُوبَ مُولَعٌ أَبَدًا بِالِاقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِي شِعَارِهِ وَزِيِّهِ، وَنِحْلَتِهِ، وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ. وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ: أَنَّ النَّفْسَ أَبَدًا تَعْتَقِدُ الْكَمَالَ فِي مَنْ غَلَبَهَا، وَانْقَادَتْ إِلَيْهِ). Silau dengan peradaban palsu Kaum Muslimin merasa takjub dengan kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain, sehingga posisi mereka adalah sebagai pihak yang lemah, sehingga mereka memiliki kesiapan yang besar untuk menerima pengaruh, mengadopsi akhlak-akhlak menyimpang dan perilaku-perilaku rusak. Dari sini, dimulailah peran meniru dan mencontoh secara buta, dan mengikuti orang-orang kafir dalam berbagai adat kebiasaan dan keadaan mereka yang cacat. Peniruan mereka hanya pada kulit luar saja dan hal-hal yang tidak bermanfaat, bukan pada inti peradaban dan hal-hal yang bermanfaat. Fenomena ini telah diisyaratkan Ibnu Khaldun Rahimahullah melalui perkataan, “Kaum yang lemah pasti ingin meniru kaum yang lebih dominan dalam slogan, penampilan, ritual, dan segala adat kebiasaannya. Hal ini disebabkan karena jiwa manusia selalu merasa bahwa kesempurnaan ada pada pihak yang mendominasinya, dan selalu tunduk pada mereka.” Sumber: https://www.alukah.net/الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 57 times, 2 visit(s) today Post Views: 15 QRIS donasi Yufid
الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ الْمُجْتَمَعَاتِ الْإِسْلَامِيَّةَ تَتَعَرَّضُ لِمَوْجَةٍ مِنَ اهْتِزَازَاتٍ أَخْلَاقِيَّةٍ مُتَنَاقِضَةٍ، تُخَالِفُ مَبَادِئَ الْإِسْلَامِ، فَتَسْلُبُ مِنَ الْفَرْدِ وَالْمُجْتَمَعِ السَّعَادَةَ وَالْأَمْنَ وَالِاسْتِقْرَارَ، وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ هَذِهِ الْهَزَّاتِ نَقْصُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَلَقَدْ كَانَ لِهَذِهِ الْهَزَّاتِ صِفَةُ الْعَالَمِيَّةِ؛ بِسَبَبِ التَّقَدُّمِ التِّكْنُولُوجِيِّ الْحَدِيثِ، الَّذِي جَعَلَ الْعَالَمَ كَقَرْيَةٍ صَغِيرَةٍ، وَلَمْ يَعُدْ بِمَقْدُورِ أَيِّ مُجْتَمَعٍ إِغْلَاقُ مَنَافِذِهِ أَمَامَهَا، فَمَا هِيَ أَسْبَابُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الْمُعَاصِرِ؟ وَمَا الْخُطُورَةُ الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى ذَلِكَ؟ Segala puji hanya bagi Allah. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Masyarakat Muslim sedang menghadapi gelombang guncangan keruntuhan moral yang menyelisihi norma-norma Islam, sehingga hal tersebut mencabut kebahagiaan, keamanan, dan kedamaian dalam lingkup personal dan komunitas mereka. Di antara sebab yang paling besar timbulnya guncangan ini adalah lemahnya iman kepada Allah Ta’ala. Guncangan ini mencakup seluruh belahan bumi, disebabkan kemajuan teknologi modern yang membuat dunia ini seperti kota kecil, dan tidak ada masyarakat manapun yang mampu menutup jendela persebarannya. Lalu apa sebab-sebab kerusakan moral di era modern ini? dan apa bahaya yang tersimpan di baliknya? عِبَادَ اللَّهِ: إِنَّ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الشَّرْعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- ضَعْفَ الْإِيمَانِ: فَالْأَزْمَةُ الْكُبْرَى الَّتِي يَعِيشُهَا الْإِنْسَانُ هِيَ أَزْمَةُ الْعَقِيدَةِ، أَزْمَةُ ضَعْفِ الْإِيمَانِ، وَمَصْدَرُ كُلِّ الشُّرُورِ سَبَبُهَا ضَعْفُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا ضَعُفَ إِيمَانُهُ بِاللَّهِ ضَعُفَ تَعْظِيمُهُ لِحُرُمَاتِ اللَّهِ، فَيَتَجَرَّأُ عَلَى الْمَعَاصِي وَالْآثَامِ. Wahai para hamba Allah! Di antara sebab terpenting dari sisi syariat atas kerusakan moral ini adalah sebagai berikut: Kelemahan iman   Krisis terbesar yang dihadapi manusia adalah krisis akidah dan kelemahan iman. Sumber segala keburukan adalah lemahnya keimanan kepada Allah Ta’ala. Apabila keimanan seseorang lemah kepada Allah, maka akan lemah pula penghormatannya terhadap hal-hal yang diharamkan Allah, sehingga ia akan berani untuk melakukan kemaksiatan dan dosa. 2- قِلَّةَ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ: فَالْجَهْلُ هُوَ مَنْشَأُ الْأَخْلَاقِ السَّافِلَةِ، وَهُوَ سَبَبٌ رَئِيسٌ لِإِضَاعَةِ الْمَالِ فِي أَوْجُهِ الْفَسَادِ، وَعَدَمِ تَقْوَى اللَّهِ، وَمَدْعَاةٌ لِقَطِيعَةِ الرَّحِمِ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَقِلَّةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ يَتَزَامَنُ مَعَهُ، وَيَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ انْتِشَارُ كَثِيرٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Pemahaman ilmu syar’i yang dangkal Kebodohan adalah sumber moralitas yang anjlok. Ia juga merupakan sebab utama pembelanjaan harta untuk berbagai bentuk kerusakan dan ketidakhadiran ketakwaan kepada Allah. Ia juga penyebab terputusnya silaturahmi. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ “Dan ada seorang hamba yang Allah karuniakan harta tapi tidak mengaruniakan ilmu kepadanya, sehingga ia menghambur-hamburkan hartanya tanpa ilmu, tanpa takut terhadap Tuhannya, tidak menyambung silaturahminya, dan tidak menghiraukan hak Allah di dalamnya, inilah kedudukan yang paling buruk” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Rendahnya pemahaman ilmu syar’i akan berbanding lurus dan menyebabkan tersebarnya banyak bentuk kerusakan moral. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ “Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah tersebarnya kebodohan, berkurangnya ilmu, tersebarnya riba, dan tersebarnya minum khamr.” (HR. Al-Bukhari). 3- تَرْكُ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ: أَسَاسُ بِنَاءِ الْمُجْتَمَعِ هُوَ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ﴾ [الْحَجِّ:41]، وَمَعَ مُرُورِ الزَّمَنِ تَتَحَوَّلُ بَعْضُ الْمُنْكَرَاتِ إِلَى أَمْرٍ وَاقِعٍ، وَسَيَصْعُبُ تَغْيِيرُهَا. Ditinggalkannya amar makruf nahi mungkar Pondasi pembangunan masyarakat adalah dengan amar makruf nahi mungkar (seruan kepada kebaikan dan pencegahan terhadap kemungkaran). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kemantapan (hidup) di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Al-Hajj: 41). 4- عَدَمُ الِاسْتِجَابَةِ لِأَوَامِرِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ» حُسَنٌ – رَوَاهُ مَالِكٌ فِي “الْمُوَطَّأِ”. وَإِذَا ابْتَعَدَ النَّاسُ عَنْ هَدْيِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ تَخَطَّفَتْهُمُ الْأَهْوَاءُ، وَتَجَاذَبَتْهُمُ الِاخْتِلَافَاتُ، وَانْحَرَفُوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ، وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. Tidak menghiraukan perintah-perintah Allah dan Rasulullah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang kepada keduanya, (1) Kitab Allah, dan (2) Sunnah Nabi-Nya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa). Apabila manusia telah menjauh dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka akan terseret oleh hawa nafsu, terombang-ambing oleh perselisihan, dan tersesatkan dari jalan Allah, sedangkan mereka mengira sedang melakukan perbuatan yang benar. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (النَّفْسِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- اتِّبَاعُ الْهَوَى وَالشَّهَوَاتِ: فَالشَّهْوَةُ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَرْتَكِبُ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ، وَهُوَ يَعْلَمُ بِتَحْرِيمِهَا، وَحِينَمَا يَنْسَاقُ وَرَاءَ أَهْوَائِهِ وَشَهَوَاتِهِ، وَيَنْسَى رَبَّهُ؛ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي مَعِيشَةٍ أَضَلَّ مِنَ الْحَيَوَانِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَخْدِمْ عَقْلَهُ الَّذِي مَيَّزَهُ اللَّهُ بِهِ عَلَى الْحَيَوَانِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 43-44]. Adapun di antara sebab-sebab psikologis yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Menuruti hawa nafsu dan gejolak syahwat Syahwat akan membuat manusia berbuat berbagai kerusakan, meskipun ia telah mengetahui keharamannya. Ketika manusia telah terseret di belakang hawa nafsu dan syahwatnya, dan lupa terhadap Tuhannya, maka ia akan berada dalam kehidupan yang lebih sesat daripada hewan, karena ia tidak menggunakan akalnya yang merupakan garis pembedanya dengan hewan yang Allah berikan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا “Sudahkah engkau (Nabi Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan: 43-44). 2- الْإِيحَاءَاتُ الشَّيْطَانِيَّةُ: الشَّيْطَانُ عَدُوٌّ لَدُودٌ لِكُلِّ النَّاسِ، يُبَغِّضُ إِلَيْهِمُ الطَّاعَاتِ، وَيُحَبِّبُ إِلَيْهِمُ الْمَعَاصِيَ وَالْفَوَاحِشَ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 168-169]، وَلِخَطَرِهِ وَضَرَرِهِ؛ حَذَّرَنَا اللَّهُ تَعَالَى مِنْ مَكَائِدِهِ، وَطُرُقِهِ وَأَسَالِيبِهِ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ، بَلَغَتْ قَرِيبًا مِنْ بِضْعٍ وَثَمَانِينَ مَوْضِعًا فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا ﴾ [النِّسَاءِ: 119]. Bisikan-bisikan setan Setan merupakan musuh bebuyutan bagi setiap manusia, ia akan membuat mereka membenci amal ketaatan, dan menyukai kemaksiatan dan perbuatan keji. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata. Sesungguhnya (setan) hanya menyuruh kamu untuk berbuat jahat dan keji serta mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 168-169). Karena begitu besar bahaya dan mudharat yang ditimbulkan setan, Allah Ta’ala memperingatkan kita dari segala tipu daya, cara-cara, dan segala muslihatnya dalam banyak ayat Al-Qur’an, bahkan mencapai lebih dari 80 ayat dalam Al-Quran. Allah ta’ala berfirman: وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “barang siapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah sungguh telah menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 119). 3- تَغْلِيبُ الرَّجَاءِ عَلَى الْخَوْفِ: فَالْمُتَأَمِّلُ فِي سُلُوكِ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ، يَجِدُ أَنَّهُمْ يَعْتَمِدُونَ عَلَى كَرَمِ اللَّهِ تَعَالَى وَفَضْلِهِ وَتَسَامُحِهِ، فَيَسْتَرْسِلُونَ مَعَ الْمَعَاصِي مَعَ الِاتِّكَالِ عَلَى رَحْمَةِ اللَّهِ فَقَطْ! عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ» ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ [الْأَنْعَامِ:44]. حَسَنٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ، قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَعُمُومُ الْعَوَامِّ يُبَارِزُونَ بِالذُّنُوبِ؛ اعْتِمَادًا عَلَى الْعَفْوِ، وَيَنْسَوْنَ الْعِقَابَ). Terlalu besar berharap daripada takut kepada Allah Orang yang mencermati tingkah laku banyak orang akan mendapati bahwa mereka bersandar pada kemurahan, karunia, dan keluasan ampunan Allah Ta’ala, sehingga mereka terus melakukan kemaksiatan dan hanya bersandar pada rahmat Allah semata. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda: إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ “Barang siapa yang melihat Allah melimpahkan nikmat dunia kepada seorang hamba, padahal ia melakukan kemaksiatan apa saja yang ia sukai, maka sesungguhnya itu adalah istidraj (penundaan azab dari Allah agar menggiringnya ke dalam azab yang lebih besar dan tiba-tiba).” Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat: فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS. Al-An’am: 44). (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Mayoritas orang awam menampakkan dosa-dosa mereka karena bersandar pada ampunan dan lupa terhadap siksaan.” 4- قِلَّةُ الْحَيَاءِ، أَوْ زَوَالُهُ: كُلَّمَا ازْدَادَ الْإِنْسَانُ فَسَادًا وَارْتِكَابًا لِلْمَعَاصِي؛ كُلَّمَا قَلَّ حَيَاؤُهُ، وَرُبَّمَا زَالَ، حَتَّى إِنَّهُ لَا يَكْتَرِثُ بِنَظَرِ اللَّهِ لَهُ، وَلَا بِمَا يَقُولُهُ النَّاسُ عَنْهُ، وَقَدْ بَيَّنَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Rendahnya —atau bahkan tidak adanya— rasa malu Semakin banyak kerusakan dan maksiat yang dilakukan oleh manusia, maka rasa malunya akan semakin berkurang, atau bahkan sirna sama sekali, karena ia tidak memedulikan penglihatan Allah terhadapnya dan ucapan orang lain tentangnya. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada kita dengan sabdanya: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah apa yang kamu suka.’” (HR. Al-Bukhari). أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الِاجْتِمَاعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ: كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ يَسْتَغِلُّونَ الصِّحَّةَ وَالْفَرَاغَ فِي الْفَسَادِ وَالِانْحِرَافِ؛ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. فَالصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ الْمُبَاشِرَةِ لِانْحِرَافِ الشَّبَابِ. Wahai kaum Muslimin! Di antara sebab-sebab sosial yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Kesehatan dan waktu luang yang melimpah Banyak orang yang memanfaatkan kesehatan dan waktu luang untuk berbuat kerusakan dan penyimpangan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, kesehatan dan waktu luang termasuk sebab terbesar yang secara langsung mempengaruhi penyimpangan generasi muda. 2- التَّرَفُ: فَالْمُتْرَفُونَ هُمُ السَّبَبُ الْمُبَاشِرُ فِي إِفْسَادِ الْمُجْتَمَعَاتِ وَإِهْلَاكِهَا؛ لِأَنَّهُمْ فَقَدُوا بُوصَلَةَ الْإِيمَانِ، وَنَشَرُوا التَّحَلُّلَ الْأَخْلَاقِيَّ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 16]. Kemewahan Orang-orang yang bergelimang harta merupakan penyebab langsung kerusakan dan kebinasaan suatu komunitas, karena mereka telah kehilangan kompas keimanan dan menyebarkan kemerosotan moral. Allah Ta’ala berfirman:  وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra: 16). 3- قُرَنَاءُ السُّوءِ: فَإِنَّهُمْ يَتَسَلَّطُونَ عَلَى الْإِنْسَانِ، وَيُغْرُونَهُ وَيُهَيِّجُونَهُ عَلَى ارْتِكَابِ الْمَعَاصِي تَهْيِيجًا شَدِيدًا؛ وَلِذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَا تُخَالِطْ سَيِّءَ الْخُلُقِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَدْعُو إِلَّا إِلَى شَرٍّ). Teman-teman yang tidak baik Hal ini karena teman-teman buruk akan mempengaruhi temannya yang lain, membujuknya, dan mendorongnya untuk berbuat kemaksiatan. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang akan mengikuti cara beragama teman dekatnya, maka hendaklah setiap kalian melihat dengan siapa ia berteman dekat.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Janganlah kamu berinteraksi dengan orang yang buruk akhlaknya, karena ia hanya akan mengajak kepada keburukan.”  4- حُبُّ الدُّنْيَا، وَالِاشْتِغَالُ بِهَا عَنِ الْآخِرَةِ: فَهَذَا هُوَ أَصْلُ الْأَفْعَالِ الْخَسِيسَةِ، وَهُوَ رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَرُبَّمَا يَصِلُ بِالْإِنْسَانِ إِلَى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ السُّقُوطِ، فَيَقْضِي عَلَى كَرَامَتِهِ، وَيَحْلِقُ دِينَهُ، وَالْمُنْشَغِلُونَ بِالدُّنْيَا هُمْ عَبَدَةُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَالْبُطُونِ وَالْفُرُوجِ، وَفِي أَمْثَالِهِمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Cinta dan sibuk dengan dunia sehingga lalai dari akhirat Ini merupakan sumber perbuatan tercela dan pusat penyebab segala dosa. Bahkan, terkadang perkara ini dapat menyeret manusia ke dalam titik terendah amoralitas, sehingga ia merusak kehormatannya dan melenyapkan agamanya. Orang-orang yang sibuk dengan dunia adalah para budak dinar dan dirham, serta pemburu kepuasan perut dan kemaluan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang orang-orang seperti mereka: تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ “Celakalah budak dinar, dirham, dan sutera. Apabila ia diberi, ia mereka puas, dan apabila tidak diberi, ia murka.” (HR. Al-Bukhari). 5- الْعُزُوفُ عَنِ الزَّوَاجِ: فَإِنَّ الزَّوَاجَ هُوَ الْحِصْنُ الْوَاقِي لِلْإِنْسَانِ مِنَ الِانْحِرَافِ وَالْوُقُوعِ فِي الْفَسَادِ – إِذَا كَانَ سَلِيمَ الْفِطْرَةِ، وَهُنَاكَ عَوَائِقُ مَادِّيَّةٌ وَاجْتِمَاعِيَّةٌ -تَقِفُ عَقَبَةً كَؤُودًا أَمَامَ ارْتِبَاطِ الشَّابِّ بِالْفَتَاةِ، وَمِنْ أَهَمِّهَا: الْمُغَالَاةُ فِي الْمُهُورِ، وَاشْتِرَاطُ التَّكَالِيفِ الْبَاهِظَةِ لِلزَّوَاجِ، وَالْمُبَالَغَةُ فِي اشْتِرَاطِ الْمُؤَهِّلَاتِ الْعِلْمِيَّةِ، وَالْمَكَانَةِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ الْعَالِيَةِ، وَبَعْضُ الْأُسَرِ تَشْتَرِطُ زَوَاجَ الْبَنَاتِ حَسَبَ تَسَلْسُلِ الْأَعْمَارِ. Menolak pernikahan Pernikahan merupakan benteng kokoh bagi manusia dari penyimpangan dan perbuatan rusak jika ia merupakan orang yang punya fitrah yang sehat. Namun, terdapat banyak penghalang dari sisi materi dan sosial yang merintangi hubungan antara pemuda dan pemudi dalam menuju pernikahan; dan yang paling besar adalah mahalnya mahar, syarat-syarat pernikahan yang sangat mahal, berlebihan dalam menetapkan syarat riwayat pendidikan dan kedudukan sosial yang tinggi, dan ada juga sebagian keluarga yang mensyaratkan pernikahan anak-anak perempuan harus sesuai dengan urutan umur mereka. 6- إِهْمَالُ الْوَالِدَيْنِ لِلْأَوْلَادِ: التَّنْشِئَةُ الْأُسَرِيَّةُ الْخَاطِئَةُ تُؤَدِّي إِلَى انْحِرَافِ السُّلُوكِ، وَفَسَادِ الْأَخْلَاقِ، وَيَزْدَادُ الْأَمْرُ سُوءًا عِنْدَمَا يَقْضِي الْوَالِدَانِ جُلَّ الْأَوْقَاتِ فِي حَيَاةِ الْإِثْمِ وَالْغَوَايَةِ، وَيَتَقَلَّبَانِ فِي أَتُونِ الشَّهَوَاتِ وَالْمَلَذَّاتِ، وَبَعْضُ الْآبَاءِ لَا يُعْطِي أَوْلَادَهُ مِنَ الْوَقْتِ وَالرِّعَايَةِ إِلَّا الشَّيْءَ الْقَلِيلَ دُونَ حَقِّهِمْ، فَيُمْضِي جُلَّ وَقْتِهِ مِنْ أَجْلِ مَزِيدٍ مِنَ الْكَسْبِ، وَلِيَشْتَرِيَ لَهُمْ مَزِيدًا مِنَ الْكَمَالِيَّاتِ، وَلَا يُدْرِكُ أَنَّهُمْ أَحْوَجُ إِلَى رِعَايَتِهِ الرُّوحِيَّةِ، وَتَوْجِيهَاتِهِ التَّرْبَوِيَّةِ، نَاهِيكَ عَنِ انْشِغَالِ كَثِيرٍ مِنَ الْأُمَّهَاتِ بِالْعَمَلِ وَالْوَظِيفَةِ. Ketidakpedulian orang tua terhadap anak-anaknya Membangun rumah tangga dengan cara yang salah akan menimbulkan penyimpangan kepribadian dan kerusakan akhlak. Hal ini akan semakin parah apabila mayoritas waktu kedua orang tua dihabiskan dalam gelimang dosa dan kesesatan; mereka berdua hanya sibuk silih berganti dalam lembah syahwat dan kenikmatan duniawi. Ada sebagian orang tua yang tidak memberi waktu dan perhatian kepada anak-anak mereka kecuali sedikit sekali di bawah batas hak mereka; mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk menambah penghasilan, agar dapat membelikan kebutuhan-kebutuhan tersier bagi anak-anak mereka. Mereka tidak sadar bahwa anak-anak lebih membutuhkan perhatian psikologis dan bimbingan-bimbingan. Terlebih lagi dengan ibu-ibu yang sibuk menjadi pekerja dan karyawan. الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. هُنَاكَ أَسْبَابٌ (عَالَمِيَّةٌ) لِلْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ، وَمِنْهَا: 1- الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ: لِلْإِعْلَامِ -بِوَسَائِلِهِ الْمُتَنَوِّعَةِ- خُطُورَتُهُ وَتَأْثِيرُهُ عَلَى النَّاسِ، وَلَا سِيَّمَا الشَّبَكَةُ الْعَنْكَبُوتِيَّةُ، فَهَذِهِ الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ تُؤَثِّرُ مِنْ خِلَالِ الْكَلِمَةِ مَقْرُوءَةً أَوْ مَسْمُوعَةً أَوْ مَنْظُورَةً؛ بَلْ إِنَّ أَكْثَرَ وَسَائِلِ الْإِعْلَامِ الْمُعَاصِرَةِ – إِلَّا مَا رَحِمَ رَبُّكَ- مُسَخَّرَةٌ لِإِشَاعَةِ الْفَاحِشَةِ، وَالْإِغْرَاءِ بِالْجَرِيمَةِ، وَالسَّعْيِ بِالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ، وَفِي هَذَا مُحَارَبَةٌ لِلدِّينِ الْإِسْلَامِيِّ، وَتَحْطِيمٌ لِلْأَخْلَاقِ وَالْقِيَمِ، خُصُوصًا لَدَى النَّاشِئَةِ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Terdapat sebab-sebab kerusakan moral yang berlaku secara global, di antaranya: Media-media informasi Informasi —dengan berbagai bentuk mediany— mengandung banyak bahaya dan pengaruh terhadap manusia. Terlebih lagi jaringan internet. Media-media informasi ini dapat mempengaruhi dari kalimat-kalimatnya, baik itu yang tersedia dalam bentuk bacaan, audio, atau video. Bahkan sebagian besar media informasi modern dipakai untuk menyebar perbuatan keji, mempengaruhi kejahatan, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Hal ini tentu merupakan peperangan terhadap agama Islam, dan meruntuhkan akhlak dan moral, terlebih lagi terhadap generasi muda. 2- الِاخْتِلَاطُ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى: غَالِبُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الَّذِي تُعَانِي مِنْهُ مُجْتَمَعَاتُ الْمُسْلِمِينَ، مَنْشَؤُهُ وَمَصْدَرُهُ اخْتِلَاطُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى، وَتَقْلِيدُهُمْ فِي رَذَائِلِ الْأَخْلَاقِ، وَلَا سِيَّمَا مَعَ تَوَفُّرِ الْإِمْكَانَاتِ، وَسُرْعَةِ الِاتِّصَالَاتِ؛ حَيْثُ غَرِقَ الْكَثِيرُ فِي بَحْرِ الْفُجُورِ وَالْفَسَادِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ. Interaksi dengan bangsa-bangsa lain Mayoritas kerusakan moral yang dialami oleh masyarakat Islam, sumbernya adalah interaksi mereka dengan bangsa-bangsa lain, lalu kerusakan moral yang mereka serap dari bangsa-bangsa tersebut. Terlebih lagi dengan tersedianya fasilitas dan cepatnya komunikasi, yang mana banyak dari mereka yang telah terjerumus ke dalam perbuatan keji dan kerusakan. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. 3- الِانْبِهَارُ الْحَضَارِيُّ الْمُزَيَّفُ: انْبَهَرَ الْمُسْلِمُونَ بِمَا لَدَى الْأُمَمِ الْأُخْرَى مِنْ تَقَدُّمٍ مَدَنِيٍّ؛ فَكَانُوا هُمُ الْجَانِبَ الضَّعِيفَ، وَأَصْبَحَتْ لَدَيْهِمْ قَابِلِيَّةٌ شَدِيدَةٌ لِلتَّأَثُّرِ، وَتَشَرُّبِ الْأَخْلَاقِ الْمُنْحَرِفَةِ، وَالسُّلُوكِيَّاتِ الْفَاسِدَةِ، وَمِنْ هُنَا بَدَأَتْ دَوْرَةُ التَّقْلِيدِ وَالْمُحَاكَاةِ الْعَمْيَاءِ، وَمُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ فِي كَثِيرٍ مِنْ عَوَائِدِهِمْ، وَأَحْوَالِهِمُ السَّقِيمَةِ؛ إِذْ إِنَّ تَقْلِيدَهُمْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا فِي قُشُورِ الْأَشْيَاءِ، وَمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ، وَلَيْسَ فِي لُبَابِ الْحَضَارَةِ، وَمَا هُوَ مُفِيدٌ. وَقَدْ أَشَارَ إِلَى هَذِهِ الظَّاهِرَةِ ابْنُ خَلْدُونَ رَحِمَهُ اللَّهُ؛ حَيْثُ قَالَ: (إِنَّ الْمَغْلُوبَ مُولَعٌ أَبَدًا بِالِاقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِي شِعَارِهِ وَزِيِّهِ، وَنِحْلَتِهِ، وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ. وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ: أَنَّ النَّفْسَ أَبَدًا تَعْتَقِدُ الْكَمَالَ فِي مَنْ غَلَبَهَا، وَانْقَادَتْ إِلَيْهِ). Silau dengan peradaban palsu Kaum Muslimin merasa takjub dengan kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain, sehingga posisi mereka adalah sebagai pihak yang lemah, sehingga mereka memiliki kesiapan yang besar untuk menerima pengaruh, mengadopsi akhlak-akhlak menyimpang dan perilaku-perilaku rusak. Dari sini, dimulailah peran meniru dan mencontoh secara buta, dan mengikuti orang-orang kafir dalam berbagai adat kebiasaan dan keadaan mereka yang cacat. Peniruan mereka hanya pada kulit luar saja dan hal-hal yang tidak bermanfaat, bukan pada inti peradaban dan hal-hal yang bermanfaat. Fenomena ini telah diisyaratkan Ibnu Khaldun Rahimahullah melalui perkataan, “Kaum yang lemah pasti ingin meniru kaum yang lebih dominan dalam slogan, penampilan, ritual, dan segala adat kebiasaannya. Hal ini disebabkan karena jiwa manusia selalu merasa bahwa kesempurnaan ada pada pihak yang mendominasinya, dan selalu tunduk pada mereka.” Sumber: https://www.alukah.net/الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 57 times, 2 visit(s) today Post Views: 15 QRIS donasi Yufid


الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ الْمُجْتَمَعَاتِ الْإِسْلَامِيَّةَ تَتَعَرَّضُ لِمَوْجَةٍ مِنَ اهْتِزَازَاتٍ أَخْلَاقِيَّةٍ مُتَنَاقِضَةٍ، تُخَالِفُ مَبَادِئَ الْإِسْلَامِ، فَتَسْلُبُ مِنَ الْفَرْدِ وَالْمُجْتَمَعِ السَّعَادَةَ وَالْأَمْنَ وَالِاسْتِقْرَارَ، وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ هَذِهِ الْهَزَّاتِ نَقْصُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَلَقَدْ كَانَ لِهَذِهِ الْهَزَّاتِ صِفَةُ الْعَالَمِيَّةِ؛ بِسَبَبِ التَّقَدُّمِ التِّكْنُولُوجِيِّ الْحَدِيثِ، الَّذِي جَعَلَ الْعَالَمَ كَقَرْيَةٍ صَغِيرَةٍ، وَلَمْ يَعُدْ بِمَقْدُورِ أَيِّ مُجْتَمَعٍ إِغْلَاقُ مَنَافِذِهِ أَمَامَهَا، فَمَا هِيَ أَسْبَابُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الْمُعَاصِرِ؟ وَمَا الْخُطُورَةُ الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى ذَلِكَ؟ Segala puji hanya bagi Allah. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Masyarakat Muslim sedang menghadapi gelombang guncangan keruntuhan moral yang menyelisihi norma-norma Islam, sehingga hal tersebut mencabut kebahagiaan, keamanan, dan kedamaian dalam lingkup personal dan komunitas mereka. Di antara sebab yang paling besar timbulnya guncangan ini adalah lemahnya iman kepada Allah Ta’ala. Guncangan ini mencakup seluruh belahan bumi, disebabkan kemajuan teknologi modern yang membuat dunia ini seperti kota kecil, dan tidak ada masyarakat manapun yang mampu menutup jendela persebarannya. Lalu apa sebab-sebab kerusakan moral di era modern ini? dan apa bahaya yang tersimpan di baliknya? عِبَادَ اللَّهِ: إِنَّ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الشَّرْعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- ضَعْفَ الْإِيمَانِ: فَالْأَزْمَةُ الْكُبْرَى الَّتِي يَعِيشُهَا الْإِنْسَانُ هِيَ أَزْمَةُ الْعَقِيدَةِ، أَزْمَةُ ضَعْفِ الْإِيمَانِ، وَمَصْدَرُ كُلِّ الشُّرُورِ سَبَبُهَا ضَعْفُ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا ضَعُفَ إِيمَانُهُ بِاللَّهِ ضَعُفَ تَعْظِيمُهُ لِحُرُمَاتِ اللَّهِ، فَيَتَجَرَّأُ عَلَى الْمَعَاصِي وَالْآثَامِ. Wahai para hamba Allah! Di antara sebab terpenting dari sisi syariat atas kerusakan moral ini adalah sebagai berikut: Kelemahan iman   Krisis terbesar yang dihadapi manusia adalah krisis akidah dan kelemahan iman. Sumber segala keburukan adalah lemahnya keimanan kepada Allah Ta’ala. Apabila keimanan seseorang lemah kepada Allah, maka akan lemah pula penghormatannya terhadap hal-hal yang diharamkan Allah, sehingga ia akan berani untuk melakukan kemaksiatan dan dosa. 2- قِلَّةَ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ: فَالْجَهْلُ هُوَ مَنْشَأُ الْأَخْلَاقِ السَّافِلَةِ، وَهُوَ سَبَبٌ رَئِيسٌ لِإِضَاعَةِ الْمَالِ فِي أَوْجُهِ الْفَسَادِ، وَعَدَمِ تَقْوَى اللَّهِ، وَمَدْعَاةٌ لِقَطِيعَةِ الرَّحِمِ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَقِلَّةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ يَتَزَامَنُ مَعَهُ، وَيَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ انْتِشَارُ كَثِيرٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ؛ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Pemahaman ilmu syar’i yang dangkal Kebodohan adalah sumber moralitas yang anjlok. Ia juga merupakan sebab utama pembelanjaan harta untuk berbagai bentuk kerusakan dan ketidakhadiran ketakwaan kepada Allah. Ia juga penyebab terputusnya silaturahmi. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ “Dan ada seorang hamba yang Allah karuniakan harta tapi tidak mengaruniakan ilmu kepadanya, sehingga ia menghambur-hamburkan hartanya tanpa ilmu, tanpa takut terhadap Tuhannya, tidak menyambung silaturahminya, dan tidak menghiraukan hak Allah di dalamnya, inilah kedudukan yang paling buruk” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Rendahnya pemahaman ilmu syar’i akan berbanding lurus dan menyebabkan tersebarnya banyak bentuk kerusakan moral. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ، وَيَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا، وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ “Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah tersebarnya kebodohan, berkurangnya ilmu, tersebarnya riba, dan tersebarnya minum khamr.” (HR. Al-Bukhari). 3- تَرْكُ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ: أَسَاسُ بِنَاءِ الْمُجْتَمَعِ هُوَ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ﴾ [الْحَجِّ:41]، وَمَعَ مُرُورِ الزَّمَنِ تَتَحَوَّلُ بَعْضُ الْمُنْكَرَاتِ إِلَى أَمْرٍ وَاقِعٍ، وَسَيَصْعُبُ تَغْيِيرُهَا. Ditinggalkannya amar makruf nahi mungkar Pondasi pembangunan masyarakat adalah dengan amar makruf nahi mungkar (seruan kepada kebaikan dan pencegahan terhadap kemungkaran). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kemantapan (hidup) di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Al-Hajj: 41). 4- عَدَمُ الِاسْتِجَابَةِ لِأَوَامِرِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ» حُسَنٌ – رَوَاهُ مَالِكٌ فِي “الْمُوَطَّأِ”. وَإِذَا ابْتَعَدَ النَّاسُ عَنْ هَدْيِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ تَخَطَّفَتْهُمُ الْأَهْوَاءُ، وَتَجَاذَبَتْهُمُ الِاخْتِلَافَاتُ، وَانْحَرَفُوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ، وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. Tidak menghiraukan perintah-perintah Allah dan Rasulullah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang kepada keduanya, (1) Kitab Allah, dan (2) Sunnah Nabi-Nya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa). Apabila manusia telah menjauh dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka akan terseret oleh hawa nafsu, terombang-ambing oleh perselisihan, dan tersesatkan dari jalan Allah, sedangkan mereka mengira sedang melakukan perbuatan yang benar. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (النَّفْسِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- اتِّبَاعُ الْهَوَى وَالشَّهَوَاتِ: فَالشَّهْوَةُ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَرْتَكِبُ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ، وَهُوَ يَعْلَمُ بِتَحْرِيمِهَا، وَحِينَمَا يَنْسَاقُ وَرَاءَ أَهْوَائِهِ وَشَهَوَاتِهِ، وَيَنْسَى رَبَّهُ؛ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي مَعِيشَةٍ أَضَلَّ مِنَ الْحَيَوَانِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَخْدِمْ عَقْلَهُ الَّذِي مَيَّزَهُ اللَّهُ بِهِ عَلَى الْحَيَوَانِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 43-44]. Adapun di antara sebab-sebab psikologis yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Menuruti hawa nafsu dan gejolak syahwat Syahwat akan membuat manusia berbuat berbagai kerusakan, meskipun ia telah mengetahui keharamannya. Ketika manusia telah terseret di belakang hawa nafsu dan syahwatnya, dan lupa terhadap Tuhannya, maka ia akan berada dalam kehidupan yang lebih sesat daripada hewan, karena ia tidak menggunakan akalnya yang merupakan garis pembedanya dengan hewan yang Allah berikan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا “Sudahkah engkau (Nabi Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan: 43-44). 2- الْإِيحَاءَاتُ الشَّيْطَانِيَّةُ: الشَّيْطَانُ عَدُوٌّ لَدُودٌ لِكُلِّ النَّاسِ، يُبَغِّضُ إِلَيْهِمُ الطَّاعَاتِ، وَيُحَبِّبُ إِلَيْهِمُ الْمَعَاصِيَ وَالْفَوَاحِشَ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 168-169]، وَلِخَطَرِهِ وَضَرَرِهِ؛ حَذَّرَنَا اللَّهُ تَعَالَى مِنْ مَكَائِدِهِ، وَطُرُقِهِ وَأَسَالِيبِهِ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ، بَلَغَتْ قَرِيبًا مِنْ بِضْعٍ وَثَمَانِينَ مَوْضِعًا فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا ﴾ [النِّسَاءِ: 119]. Bisikan-bisikan setan Setan merupakan musuh bebuyutan bagi setiap manusia, ia akan membuat mereka membenci amal ketaatan, dan menyukai kemaksiatan dan perbuatan keji. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata. Sesungguhnya (setan) hanya menyuruh kamu untuk berbuat jahat dan keji serta mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 168-169). Karena begitu besar bahaya dan mudharat yang ditimbulkan setan, Allah Ta’ala memperingatkan kita dari segala tipu daya, cara-cara, dan segala muslihatnya dalam banyak ayat Al-Qur’an, bahkan mencapai lebih dari 80 ayat dalam Al-Quran. Allah ta’ala berfirman: وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “barang siapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah sungguh telah menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 119). 3- تَغْلِيبُ الرَّجَاءِ عَلَى الْخَوْفِ: فَالْمُتَأَمِّلُ فِي سُلُوكِ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ، يَجِدُ أَنَّهُمْ يَعْتَمِدُونَ عَلَى كَرَمِ اللَّهِ تَعَالَى وَفَضْلِهِ وَتَسَامُحِهِ، فَيَسْتَرْسِلُونَ مَعَ الْمَعَاصِي مَعَ الِاتِّكَالِ عَلَى رَحْمَةِ اللَّهِ فَقَطْ! عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ» ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ [الْأَنْعَامِ:44]. حَسَنٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ، قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (وَعُمُومُ الْعَوَامِّ يُبَارِزُونَ بِالذُّنُوبِ؛ اعْتِمَادًا عَلَى الْعَفْوِ، وَيَنْسَوْنَ الْعِقَابَ). Terlalu besar berharap daripada takut kepada Allah Orang yang mencermati tingkah laku banyak orang akan mendapati bahwa mereka bersandar pada kemurahan, karunia, dan keluasan ampunan Allah Ta’ala, sehingga mereka terus melakukan kemaksiatan dan hanya bersandar pada rahmat Allah semata. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda: إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ “Barang siapa yang melihat Allah melimpahkan nikmat dunia kepada seorang hamba, padahal ia melakukan kemaksiatan apa saja yang ia sukai, maka sesungguhnya itu adalah istidraj (penundaan azab dari Allah agar menggiringnya ke dalam azab yang lebih besar dan tiba-tiba).” Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat: فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS. Al-An’am: 44). (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Mayoritas orang awam menampakkan dosa-dosa mereka karena bersandar pada ampunan dan lupa terhadap siksaan.” 4- قِلَّةُ الْحَيَاءِ، أَوْ زَوَالُهُ: كُلَّمَا ازْدَادَ الْإِنْسَانُ فَسَادًا وَارْتِكَابًا لِلْمَعَاصِي؛ كُلَّمَا قَلَّ حَيَاؤُهُ، وَرُبَّمَا زَالَ، حَتَّى إِنَّهُ لَا يَكْتَرِثُ بِنَظَرِ اللَّهِ لَهُ، وَلَا بِمَا يَقُولُهُ النَّاسُ عَنْهُ، وَقَدْ بَيَّنَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Rendahnya —atau bahkan tidak adanya— rasa malu Semakin banyak kerusakan dan maksiat yang dilakukan oleh manusia, maka rasa malunya akan semakin berkurang, atau bahkan sirna sama sekali, karena ia tidak memedulikan penglihatan Allah terhadapnya dan ucapan orang lain tentangnya. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada kita dengan sabdanya: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah apa yang kamu suka.’” (HR. Al-Bukhari). أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ (الِاجْتِمَاعِيَّةِ) فِي الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ: 1- الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ: كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ يَسْتَغِلُّونَ الصِّحَّةَ وَالْفَرَاغَ فِي الْفَسَادِ وَالِانْحِرَافِ؛ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. فَالصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ مِنْ أَهَمِّ الْأَسْبَابِ الْمُبَاشِرَةِ لِانْحِرَافِ الشَّبَابِ. Wahai kaum Muslimin! Di antara sebab-sebab sosial yang paling berpengaruh terhadap kerusakan moral adalah sebagai berikut: Kesehatan dan waktu luang yang melimpah Banyak orang yang memanfaatkan kesehatan dan waktu luang untuk berbuat kerusakan dan penyimpangan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari). Jadi, kesehatan dan waktu luang termasuk sebab terbesar yang secara langsung mempengaruhi penyimpangan generasi muda. 2- التَّرَفُ: فَالْمُتْرَفُونَ هُمُ السَّبَبُ الْمُبَاشِرُ فِي إِفْسَادِ الْمُجْتَمَعَاتِ وَإِهْلَاكِهَا؛ لِأَنَّهُمْ فَقَدُوا بُوصَلَةَ الْإِيمَانِ، وَنَشَرُوا التَّحَلُّلَ الْأَخْلَاقِيَّ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 16]. Kemewahan Orang-orang yang bergelimang harta merupakan penyebab langsung kerusakan dan kebinasaan suatu komunitas, karena mereka telah kehilangan kompas keimanan dan menyebarkan kemerosotan moral. Allah Ta’ala berfirman:  وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra: 16). 3- قُرَنَاءُ السُّوءِ: فَإِنَّهُمْ يَتَسَلَّطُونَ عَلَى الْإِنْسَانِ، وَيُغْرُونَهُ وَيُهَيِّجُونَهُ عَلَى ارْتِكَابِ الْمَعَاصِي تَهْيِيجًا شَدِيدًا؛ وَلِذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَا تُخَالِطْ سَيِّءَ الْخُلُقِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَدْعُو إِلَّا إِلَى شَرٍّ). Teman-teman yang tidak baik Hal ini karena teman-teman buruk akan mempengaruhi temannya yang lain, membujuknya, dan mendorongnya untuk berbuat kemaksiatan. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang akan mengikuti cara beragama teman dekatnya, maka hendaklah setiap kalian melihat dengan siapa ia berteman dekat.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Janganlah kamu berinteraksi dengan orang yang buruk akhlaknya, karena ia hanya akan mengajak kepada keburukan.”  4- حُبُّ الدُّنْيَا، وَالِاشْتِغَالُ بِهَا عَنِ الْآخِرَةِ: فَهَذَا هُوَ أَصْلُ الْأَفْعَالِ الْخَسِيسَةِ، وَهُوَ رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَرُبَّمَا يَصِلُ بِالْإِنْسَانِ إِلَى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ السُّقُوطِ، فَيَقْضِي عَلَى كَرَامَتِهِ، وَيَحْلِقُ دِينَهُ، وَالْمُنْشَغِلُونَ بِالدُّنْيَا هُمْ عَبَدَةُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَالْبُطُونِ وَالْفُرُوجِ، وَفِي أَمْثَالِهِمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. Cinta dan sibuk dengan dunia sehingga lalai dari akhirat Ini merupakan sumber perbuatan tercela dan pusat penyebab segala dosa. Bahkan, terkadang perkara ini dapat menyeret manusia ke dalam titik terendah amoralitas, sehingga ia merusak kehormatannya dan melenyapkan agamanya. Orang-orang yang sibuk dengan dunia adalah para budak dinar dan dirham, serta pemburu kepuasan perut dan kemaluan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang orang-orang seperti mereka: تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ “Celakalah budak dinar, dirham, dan sutera. Apabila ia diberi, ia mereka puas, dan apabila tidak diberi, ia murka.” (HR. Al-Bukhari). 5- الْعُزُوفُ عَنِ الزَّوَاجِ: فَإِنَّ الزَّوَاجَ هُوَ الْحِصْنُ الْوَاقِي لِلْإِنْسَانِ مِنَ الِانْحِرَافِ وَالْوُقُوعِ فِي الْفَسَادِ – إِذَا كَانَ سَلِيمَ الْفِطْرَةِ، وَهُنَاكَ عَوَائِقُ مَادِّيَّةٌ وَاجْتِمَاعِيَّةٌ -تَقِفُ عَقَبَةً كَؤُودًا أَمَامَ ارْتِبَاطِ الشَّابِّ بِالْفَتَاةِ، وَمِنْ أَهَمِّهَا: الْمُغَالَاةُ فِي الْمُهُورِ، وَاشْتِرَاطُ التَّكَالِيفِ الْبَاهِظَةِ لِلزَّوَاجِ، وَالْمُبَالَغَةُ فِي اشْتِرَاطِ الْمُؤَهِّلَاتِ الْعِلْمِيَّةِ، وَالْمَكَانَةِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ الْعَالِيَةِ، وَبَعْضُ الْأُسَرِ تَشْتَرِطُ زَوَاجَ الْبَنَاتِ حَسَبَ تَسَلْسُلِ الْأَعْمَارِ. Menolak pernikahan Pernikahan merupakan benteng kokoh bagi manusia dari penyimpangan dan perbuatan rusak jika ia merupakan orang yang punya fitrah yang sehat. Namun, terdapat banyak penghalang dari sisi materi dan sosial yang merintangi hubungan antara pemuda dan pemudi dalam menuju pernikahan; dan yang paling besar adalah mahalnya mahar, syarat-syarat pernikahan yang sangat mahal, berlebihan dalam menetapkan syarat riwayat pendidikan dan kedudukan sosial yang tinggi, dan ada juga sebagian keluarga yang mensyaratkan pernikahan anak-anak perempuan harus sesuai dengan urutan umur mereka. 6- إِهْمَالُ الْوَالِدَيْنِ لِلْأَوْلَادِ: التَّنْشِئَةُ الْأُسَرِيَّةُ الْخَاطِئَةُ تُؤَدِّي إِلَى انْحِرَافِ السُّلُوكِ، وَفَسَادِ الْأَخْلَاقِ، وَيَزْدَادُ الْأَمْرُ سُوءًا عِنْدَمَا يَقْضِي الْوَالِدَانِ جُلَّ الْأَوْقَاتِ فِي حَيَاةِ الْإِثْمِ وَالْغَوَايَةِ، وَيَتَقَلَّبَانِ فِي أَتُونِ الشَّهَوَاتِ وَالْمَلَذَّاتِ، وَبَعْضُ الْآبَاءِ لَا يُعْطِي أَوْلَادَهُ مِنَ الْوَقْتِ وَالرِّعَايَةِ إِلَّا الشَّيْءَ الْقَلِيلَ دُونَ حَقِّهِمْ، فَيُمْضِي جُلَّ وَقْتِهِ مِنْ أَجْلِ مَزِيدٍ مِنَ الْكَسْبِ، وَلِيَشْتَرِيَ لَهُمْ مَزِيدًا مِنَ الْكَمَالِيَّاتِ، وَلَا يُدْرِكُ أَنَّهُمْ أَحْوَجُ إِلَى رِعَايَتِهِ الرُّوحِيَّةِ، وَتَوْجِيهَاتِهِ التَّرْبَوِيَّةِ، نَاهِيكَ عَنِ انْشِغَالِ كَثِيرٍ مِنَ الْأُمَّهَاتِ بِالْعَمَلِ وَالْوَظِيفَةِ. Ketidakpedulian orang tua terhadap anak-anaknya Membangun rumah tangga dengan cara yang salah akan menimbulkan penyimpangan kepribadian dan kerusakan akhlak. Hal ini akan semakin parah apabila mayoritas waktu kedua orang tua dihabiskan dalam gelimang dosa dan kesesatan; mereka berdua hanya sibuk silih berganti dalam lembah syahwat dan kenikmatan duniawi. Ada sebagian orang tua yang tidak memberi waktu dan perhatian kepada anak-anak mereka kecuali sedikit sekali di bawah batas hak mereka; mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk menambah penghasilan, agar dapat membelikan kebutuhan-kebutuhan tersier bagi anak-anak mereka. Mereka tidak sadar bahwa anak-anak lebih membutuhkan perhatian psikologis dan bimbingan-bimbingan. Terlebih lagi dengan ibu-ibu yang sibuk menjadi pekerja dan karyawan. الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. هُنَاكَ أَسْبَابٌ (عَالَمِيَّةٌ) لِلْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ، وَمِنْهَا: 1- الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ: لِلْإِعْلَامِ -بِوَسَائِلِهِ الْمُتَنَوِّعَةِ- خُطُورَتُهُ وَتَأْثِيرُهُ عَلَى النَّاسِ، وَلَا سِيَّمَا الشَّبَكَةُ الْعَنْكَبُوتِيَّةُ، فَهَذِهِ الْوَسَائِلُ الْإِعْلَامِيَّةُ تُؤَثِّرُ مِنْ خِلَالِ الْكَلِمَةِ مَقْرُوءَةً أَوْ مَسْمُوعَةً أَوْ مَنْظُورَةً؛ بَلْ إِنَّ أَكْثَرَ وَسَائِلِ الْإِعْلَامِ الْمُعَاصِرَةِ – إِلَّا مَا رَحِمَ رَبُّكَ- مُسَخَّرَةٌ لِإِشَاعَةِ الْفَاحِشَةِ، وَالْإِغْرَاءِ بِالْجَرِيمَةِ، وَالسَّعْيِ بِالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ، وَفِي هَذَا مُحَارَبَةٌ لِلدِّينِ الْإِسْلَامِيِّ، وَتَحْطِيمٌ لِلْأَخْلَاقِ وَالْقِيَمِ، خُصُوصًا لَدَى النَّاشِئَةِ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Terdapat sebab-sebab kerusakan moral yang berlaku secara global, di antaranya: Media-media informasi Informasi —dengan berbagai bentuk mediany— mengandung banyak bahaya dan pengaruh terhadap manusia. Terlebih lagi jaringan internet. Media-media informasi ini dapat mempengaruhi dari kalimat-kalimatnya, baik itu yang tersedia dalam bentuk bacaan, audio, atau video. Bahkan sebagian besar media informasi modern dipakai untuk menyebar perbuatan keji, mempengaruhi kejahatan, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Hal ini tentu merupakan peperangan terhadap agama Islam, dan meruntuhkan akhlak dan moral, terlebih lagi terhadap generasi muda. 2- الِاخْتِلَاطُ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى: غَالِبُ الْفَسَادِ الْأَخْلَاقِيِّ الَّذِي تُعَانِي مِنْهُ مُجْتَمَعَاتُ الْمُسْلِمِينَ، مَنْشَؤُهُ وَمَصْدَرُهُ اخْتِلَاطُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأُمَمِ الْأُخْرَى، وَتَقْلِيدُهُمْ فِي رَذَائِلِ الْأَخْلَاقِ، وَلَا سِيَّمَا مَعَ تَوَفُّرِ الْإِمْكَانَاتِ، وَسُرْعَةِ الِاتِّصَالَاتِ؛ حَيْثُ غَرِقَ الْكَثِيرُ فِي بَحْرِ الْفُجُورِ وَالْفَسَادِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ. Interaksi dengan bangsa-bangsa lain Mayoritas kerusakan moral yang dialami oleh masyarakat Islam, sumbernya adalah interaksi mereka dengan bangsa-bangsa lain, lalu kerusakan moral yang mereka serap dari bangsa-bangsa tersebut. Terlebih lagi dengan tersedianya fasilitas dan cepatnya komunikasi, yang mana banyak dari mereka yang telah terjerumus ke dalam perbuatan keji dan kerusakan. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. 3- الِانْبِهَارُ الْحَضَارِيُّ الْمُزَيَّفُ: انْبَهَرَ الْمُسْلِمُونَ بِمَا لَدَى الْأُمَمِ الْأُخْرَى مِنْ تَقَدُّمٍ مَدَنِيٍّ؛ فَكَانُوا هُمُ الْجَانِبَ الضَّعِيفَ، وَأَصْبَحَتْ لَدَيْهِمْ قَابِلِيَّةٌ شَدِيدَةٌ لِلتَّأَثُّرِ، وَتَشَرُّبِ الْأَخْلَاقِ الْمُنْحَرِفَةِ، وَالسُّلُوكِيَّاتِ الْفَاسِدَةِ، وَمِنْ هُنَا بَدَأَتْ دَوْرَةُ التَّقْلِيدِ وَالْمُحَاكَاةِ الْعَمْيَاءِ، وَمُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ فِي كَثِيرٍ مِنْ عَوَائِدِهِمْ، وَأَحْوَالِهِمُ السَّقِيمَةِ؛ إِذْ إِنَّ تَقْلِيدَهُمْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا فِي قُشُورِ الْأَشْيَاءِ، وَمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ، وَلَيْسَ فِي لُبَابِ الْحَضَارَةِ، وَمَا هُوَ مُفِيدٌ. وَقَدْ أَشَارَ إِلَى هَذِهِ الظَّاهِرَةِ ابْنُ خَلْدُونَ رَحِمَهُ اللَّهُ؛ حَيْثُ قَالَ: (إِنَّ الْمَغْلُوبَ مُولَعٌ أَبَدًا بِالِاقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِي شِعَارِهِ وَزِيِّهِ، وَنِحْلَتِهِ، وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ. وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ: أَنَّ النَّفْسَ أَبَدًا تَعْتَقِدُ الْكَمَالَ فِي مَنْ غَلَبَهَا، وَانْقَادَتْ إِلَيْهِ). Silau dengan peradaban palsu Kaum Muslimin merasa takjub dengan kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain, sehingga posisi mereka adalah sebagai pihak yang lemah, sehingga mereka memiliki kesiapan yang besar untuk menerima pengaruh, mengadopsi akhlak-akhlak menyimpang dan perilaku-perilaku rusak. Dari sini, dimulailah peran meniru dan mencontoh secara buta, dan mengikuti orang-orang kafir dalam berbagai adat kebiasaan dan keadaan mereka yang cacat. Peniruan mereka hanya pada kulit luar saja dan hal-hal yang tidak bermanfaat, bukan pada inti peradaban dan hal-hal yang bermanfaat. Fenomena ini telah diisyaratkan Ibnu Khaldun Rahimahullah melalui perkataan, “Kaum yang lemah pasti ingin meniru kaum yang lebih dominan dalam slogan, penampilan, ritual, dan segala adat kebiasaannya. Hal ini disebabkan karena jiwa manusia selalu merasa bahwa kesempurnaan ada pada pihak yang mendominasinya, dan selalu tunduk pada mereka.” Sumber: https://www.alukah.net/الفساد الأخلاقي المعاصر: أسبابه وخطورته (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 57 times, 2 visit(s) today Post Views: 15 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Penyembelihan Hewan (Bag. 2)

Daftar Isi TogglePenyembelihan mekanis dengan mesinPenyembelihan tanpa menyebut nama AllahPembiusan sebelum penyembelihanSeiring berkembangnya zaman dan teknologi, praktik penyembelihan hewan pun mengalami perubahan signifikan. Di berbagai rumah potong modern, penyembelihan sering kali dilakukan secara mekanis dengan mesin, menggunakan peralatan otomatis, bahkan didahului dengan pembiusan atau pingsan sebelum penyembelihan. Di sisi lain, muncul pula kelalaian atau kesengajaan dalam tidak menyebut nama Allah saat penyembelihan.Pada artikel kedua ini, kita akan membahas tiga permasalahan penting: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan.Penyembelihan mekanis dengan mesinJumlah manusia semakin banyak dan kebutuhan terhadap hewan yang boleh dimakan pun meningkat dalam jumlah besar, sehingga menyulitkan proses penyembelihan dan pensyariatan secara manual seperti cara-cara lama. Oleh karena itu, metode penyembelihan pun mengalami perubahan dari cara-cara sebelumnya, seiring dengan banyaknya jumlah hewan yang disembelih dan kemudahan dalam distribusinya. Hal ini menuntut penggunaan alat (mesin) yang modern, untuk mempercepat proses penyembelihan. [1]Para ulama telah mengumpulkan syarat-syarat penyembelihan, yang jika terpenuhi syarat-syarat tersebut, dan tidak ada penghalangnya; maka penyembelihan dianggap sah, dan hewan hasil penyembelihan halal dikonsumsi. [2]Ada empat syarat agar penyembelihan dianggap sah menurut syariat:Pertama: Kelayakan penyembelih, yaitu orang yang berakal dan bermaksud menyembelih secara syar‘i. Maka tidak sah sembelihan dari orang gila, orang mabuk, atau anak kecil yang belum mumayyiz, karena mereka tidak memiliki maksud (niat) yang sah.Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على إباحة ذبيحة المرأة والصبي“Seluruh ulama yang kami ketahui bersepakat bahwa sembelihan perempuan dan anak kecil yang sudah mumayyiz adalah halal.” [3]Kedua: Menggunakan alat yang tajam dan bisa memotong karena ketajamannya, bukan karena beratnya. Baik itu dari besi, batu, kayu, atau selainnya, asalkan bukan dari tulang atau kuku. Ini merupakan pendapat yang disepakati oleh para ulama tentang keabsahan penyembelihannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Rafi‘ bin Khadij,ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السن والظفر“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah padanya, maka makanlah. Kecuali gigi dan kuku.” (HR. Bukhari no. 2488 dan Muslim no. 5065) [4]Ketiga: Memotong al-halqūm (tenggorokan, yaitu saluran napas), al-marī’ (kerongkongan, yaitu saluran makanan dan minuman), dan salah satu dari dua wadajain (dua urat nadi di leher, yaitu pembuluh darah besar).Keempat: Penyembelih mengucapkan bismillah ( باسم الله ) saat menggerakkan tangannya untuk menyembelih, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْق“Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena sesungguhnya itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An‘ām: 121) [5]Namun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang keabsahan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, yang akan dijelaskan di sub bab berikut ini:Penyembelihan tanpa menyebut nama AllahSyekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, “Masalah ini —yakni tentang menyebut nama Allah saat menyembelih atau saat berburu— diperselisihkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat:Pendapat pertama: Menyebut nama Allah tidak wajib baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan, tetapi hanya sunah. Mereka berdalil dengan hadis yang tidak sahih:ذبيحة المسلم حلال وإن لم يذكر اسم الله عليها“Sembelihan seorang Muslim itu halal meskipun ia tidak menyebut nama Allah atasnya.”Pendapat kedua: Menyebut nama Allah wajib, tetapi gugur jika karena lupa atau tidak tahu, baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan.Pendapat ketiga: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan dan perburuan, namun gugur karena lupa dalam penyembelihan, tidak gugur dalam perburuan. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan fuqaha Hanabilah.Pendapat keempat: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan maupun perburuan, dan tidak gugur karena lupa atau karena tidak tahu. Ini adalah pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan merupakan pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada. [6]Di tempat yang lain, beliau menyebutkan dalil tersebut, dengan mengatakan, “Menyebut nama Allah (basmalah) saat menyembelih adalah syarat sahnya penyembelihan. Ia tidak gugur —baik karena sengaja, lupa, maupun karena tidak tahu— karena ia termasuk syarat, dan syarat tidak gugur baik secara sengaja, lupa, ataupun karena kebodohan. Hal ini karena Allah Ta‘ala berfirman,وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ‘Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya.’ (QS. Al-An‘ām: 121)Dalam ayat tersebut, Allah berfirman (yang artinya) ‘yang tidak disebut nama Allah atasnya’, tanpa membatasi apakah ditinggalkan secara sengaja atau karena lupa.” [7]Pembiusan sebelum penyembelihanSeiring dengan keperluan terhadap penyembelihan dalam jumlah yang sangat banyak, mulai ditemukan dan digunakan alat listrik untuk menyetrum hewan sebelum disembelih. Persoalan ini telah dikaji oleh lembaga-lembaga fikih, di antaranya Majelis Fikih yang berada di bawah naungan Rabithah ‘Alam Islami, dalam sidangnya yang ke-10 yang diselenggarakan di Makkah, mulai hari Sabtu, 24 Safar 1408 hingga Rabu, 28 Safar 1408.Sidang tersebut mengeluarkan keputusan dengan menetapkan beberapa syarat agar sembelihan dianggap sah, yaitu:Pertama: Jika hewan yang boleh dimakan disetrum dengan arus listrik, kemudian disembelih atau ditusuk (nahr) dalam keadaan masih hidup, maka sembelihannya sah secara syar’i dan halal dimakan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ“Kecuali yang sempat kalian sembelih …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Kedua: Jika ruh hewan tersebut hilang (mati) karena setruman sebelum sempat disembelih, maka statusnya adalah bangkai dan haram dimakan, karena keumuman firman Allah Ta‘ala,حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ“Diharamkan atas kalian bangkai …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Ketiga: Jika arus listrik yang digunakan bertegangan rendah, ringan, dan tidak menyiksa hewan, serta terdapat maslahat —seperti meringankan rasa sakit saat disembelih atau menenangkan hewan agar tidak melawan—, maka hal tersebut diperbolehkan secara syar’i dengan mempertimbangkan maslahat.Disebutkan pula dalam keputusan Majma‘ Fiqh Islami Internasional, yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam, keputusan nomor 94 (3/10), dalam pembahasan seputar penyembelihan unggas, bahwa:لا يجوز تدويخ الدواجن بالصدمة الكهربائية؛ لما ثبت بالتجربة من إفضاء ذلك إلى موت نسبة غير قليلة منها قبل التذكية“Tidak boleh membius unggas dengan setrum listrik, karena terbukti dari hasil eksperimen bahwa sebagian besar unggas mati sebelum sempat disembelih secara syar’i.”Keputusan tersebut juga memuat beberapa syarat teknis terkait penggunaan alat listrik untuk pembiusan sebelum penyembelihan. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut, silakan merujuk langsung ke dokumen keputusannya. [8]Demikian pembahasan tentang tiga permasalahan kontemporer seputar penyembelihan hewan: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan. Wallaahu a’lam bish showaab.Pada artikel ketiga, insya Allah akan dibahas dua hal penting lainnya: hukum impor daging dari negara non-Muslim serta jawaban terhadap kritik para aktivis hewan tentang penyembelihan dalam Islam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 2 Safar 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi. Mesir: Dar al-‘Aqidah, 2009.Al-Muthlaq, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.[2] Lihat Syarh Nadzm Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 49.[3] Al-‘Uddah Syarḥ al-‘Umdah, hal. 447. Dinukil dari Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[4] Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[5] Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2: 430-432.[6] Diringkas dari Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 445-446.[7] Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 443.[8] Disarikan dari Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 120-121.[9] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.

Fikih Penyembelihan Hewan (Bag. 2)

Daftar Isi TogglePenyembelihan mekanis dengan mesinPenyembelihan tanpa menyebut nama AllahPembiusan sebelum penyembelihanSeiring berkembangnya zaman dan teknologi, praktik penyembelihan hewan pun mengalami perubahan signifikan. Di berbagai rumah potong modern, penyembelihan sering kali dilakukan secara mekanis dengan mesin, menggunakan peralatan otomatis, bahkan didahului dengan pembiusan atau pingsan sebelum penyembelihan. Di sisi lain, muncul pula kelalaian atau kesengajaan dalam tidak menyebut nama Allah saat penyembelihan.Pada artikel kedua ini, kita akan membahas tiga permasalahan penting: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan.Penyembelihan mekanis dengan mesinJumlah manusia semakin banyak dan kebutuhan terhadap hewan yang boleh dimakan pun meningkat dalam jumlah besar, sehingga menyulitkan proses penyembelihan dan pensyariatan secara manual seperti cara-cara lama. Oleh karena itu, metode penyembelihan pun mengalami perubahan dari cara-cara sebelumnya, seiring dengan banyaknya jumlah hewan yang disembelih dan kemudahan dalam distribusinya. Hal ini menuntut penggunaan alat (mesin) yang modern, untuk mempercepat proses penyembelihan. [1]Para ulama telah mengumpulkan syarat-syarat penyembelihan, yang jika terpenuhi syarat-syarat tersebut, dan tidak ada penghalangnya; maka penyembelihan dianggap sah, dan hewan hasil penyembelihan halal dikonsumsi. [2]Ada empat syarat agar penyembelihan dianggap sah menurut syariat:Pertama: Kelayakan penyembelih, yaitu orang yang berakal dan bermaksud menyembelih secara syar‘i. Maka tidak sah sembelihan dari orang gila, orang mabuk, atau anak kecil yang belum mumayyiz, karena mereka tidak memiliki maksud (niat) yang sah.Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على إباحة ذبيحة المرأة والصبي“Seluruh ulama yang kami ketahui bersepakat bahwa sembelihan perempuan dan anak kecil yang sudah mumayyiz adalah halal.” [3]Kedua: Menggunakan alat yang tajam dan bisa memotong karena ketajamannya, bukan karena beratnya. Baik itu dari besi, batu, kayu, atau selainnya, asalkan bukan dari tulang atau kuku. Ini merupakan pendapat yang disepakati oleh para ulama tentang keabsahan penyembelihannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Rafi‘ bin Khadij,ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السن والظفر“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah padanya, maka makanlah. Kecuali gigi dan kuku.” (HR. Bukhari no. 2488 dan Muslim no. 5065) [4]Ketiga: Memotong al-halqūm (tenggorokan, yaitu saluran napas), al-marī’ (kerongkongan, yaitu saluran makanan dan minuman), dan salah satu dari dua wadajain (dua urat nadi di leher, yaitu pembuluh darah besar).Keempat: Penyembelih mengucapkan bismillah ( باسم الله ) saat menggerakkan tangannya untuk menyembelih, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْق“Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena sesungguhnya itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An‘ām: 121) [5]Namun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang keabsahan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, yang akan dijelaskan di sub bab berikut ini:Penyembelihan tanpa menyebut nama AllahSyekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, “Masalah ini —yakni tentang menyebut nama Allah saat menyembelih atau saat berburu— diperselisihkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat:Pendapat pertama: Menyebut nama Allah tidak wajib baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan, tetapi hanya sunah. Mereka berdalil dengan hadis yang tidak sahih:ذبيحة المسلم حلال وإن لم يذكر اسم الله عليها“Sembelihan seorang Muslim itu halal meskipun ia tidak menyebut nama Allah atasnya.”Pendapat kedua: Menyebut nama Allah wajib, tetapi gugur jika karena lupa atau tidak tahu, baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan.Pendapat ketiga: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan dan perburuan, namun gugur karena lupa dalam penyembelihan, tidak gugur dalam perburuan. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan fuqaha Hanabilah.Pendapat keempat: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan maupun perburuan, dan tidak gugur karena lupa atau karena tidak tahu. Ini adalah pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan merupakan pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada. [6]Di tempat yang lain, beliau menyebutkan dalil tersebut, dengan mengatakan, “Menyebut nama Allah (basmalah) saat menyembelih adalah syarat sahnya penyembelihan. Ia tidak gugur —baik karena sengaja, lupa, maupun karena tidak tahu— karena ia termasuk syarat, dan syarat tidak gugur baik secara sengaja, lupa, ataupun karena kebodohan. Hal ini karena Allah Ta‘ala berfirman,وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ‘Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya.’ (QS. Al-An‘ām: 121)Dalam ayat tersebut, Allah berfirman (yang artinya) ‘yang tidak disebut nama Allah atasnya’, tanpa membatasi apakah ditinggalkan secara sengaja atau karena lupa.” [7]Pembiusan sebelum penyembelihanSeiring dengan keperluan terhadap penyembelihan dalam jumlah yang sangat banyak, mulai ditemukan dan digunakan alat listrik untuk menyetrum hewan sebelum disembelih. Persoalan ini telah dikaji oleh lembaga-lembaga fikih, di antaranya Majelis Fikih yang berada di bawah naungan Rabithah ‘Alam Islami, dalam sidangnya yang ke-10 yang diselenggarakan di Makkah, mulai hari Sabtu, 24 Safar 1408 hingga Rabu, 28 Safar 1408.Sidang tersebut mengeluarkan keputusan dengan menetapkan beberapa syarat agar sembelihan dianggap sah, yaitu:Pertama: Jika hewan yang boleh dimakan disetrum dengan arus listrik, kemudian disembelih atau ditusuk (nahr) dalam keadaan masih hidup, maka sembelihannya sah secara syar’i dan halal dimakan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ“Kecuali yang sempat kalian sembelih …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Kedua: Jika ruh hewan tersebut hilang (mati) karena setruman sebelum sempat disembelih, maka statusnya adalah bangkai dan haram dimakan, karena keumuman firman Allah Ta‘ala,حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ“Diharamkan atas kalian bangkai …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Ketiga: Jika arus listrik yang digunakan bertegangan rendah, ringan, dan tidak menyiksa hewan, serta terdapat maslahat —seperti meringankan rasa sakit saat disembelih atau menenangkan hewan agar tidak melawan—, maka hal tersebut diperbolehkan secara syar’i dengan mempertimbangkan maslahat.Disebutkan pula dalam keputusan Majma‘ Fiqh Islami Internasional, yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam, keputusan nomor 94 (3/10), dalam pembahasan seputar penyembelihan unggas, bahwa:لا يجوز تدويخ الدواجن بالصدمة الكهربائية؛ لما ثبت بالتجربة من إفضاء ذلك إلى موت نسبة غير قليلة منها قبل التذكية“Tidak boleh membius unggas dengan setrum listrik, karena terbukti dari hasil eksperimen bahwa sebagian besar unggas mati sebelum sempat disembelih secara syar’i.”Keputusan tersebut juga memuat beberapa syarat teknis terkait penggunaan alat listrik untuk pembiusan sebelum penyembelihan. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut, silakan merujuk langsung ke dokumen keputusannya. [8]Demikian pembahasan tentang tiga permasalahan kontemporer seputar penyembelihan hewan: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan. Wallaahu a’lam bish showaab.Pada artikel ketiga, insya Allah akan dibahas dua hal penting lainnya: hukum impor daging dari negara non-Muslim serta jawaban terhadap kritik para aktivis hewan tentang penyembelihan dalam Islam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 2 Safar 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi. Mesir: Dar al-‘Aqidah, 2009.Al-Muthlaq, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.[2] Lihat Syarh Nadzm Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 49.[3] Al-‘Uddah Syarḥ al-‘Umdah, hal. 447. Dinukil dari Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[4] Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[5] Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2: 430-432.[6] Diringkas dari Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 445-446.[7] Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 443.[8] Disarikan dari Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 120-121.[9] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.
Daftar Isi TogglePenyembelihan mekanis dengan mesinPenyembelihan tanpa menyebut nama AllahPembiusan sebelum penyembelihanSeiring berkembangnya zaman dan teknologi, praktik penyembelihan hewan pun mengalami perubahan signifikan. Di berbagai rumah potong modern, penyembelihan sering kali dilakukan secara mekanis dengan mesin, menggunakan peralatan otomatis, bahkan didahului dengan pembiusan atau pingsan sebelum penyembelihan. Di sisi lain, muncul pula kelalaian atau kesengajaan dalam tidak menyebut nama Allah saat penyembelihan.Pada artikel kedua ini, kita akan membahas tiga permasalahan penting: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan.Penyembelihan mekanis dengan mesinJumlah manusia semakin banyak dan kebutuhan terhadap hewan yang boleh dimakan pun meningkat dalam jumlah besar, sehingga menyulitkan proses penyembelihan dan pensyariatan secara manual seperti cara-cara lama. Oleh karena itu, metode penyembelihan pun mengalami perubahan dari cara-cara sebelumnya, seiring dengan banyaknya jumlah hewan yang disembelih dan kemudahan dalam distribusinya. Hal ini menuntut penggunaan alat (mesin) yang modern, untuk mempercepat proses penyembelihan. [1]Para ulama telah mengumpulkan syarat-syarat penyembelihan, yang jika terpenuhi syarat-syarat tersebut, dan tidak ada penghalangnya; maka penyembelihan dianggap sah, dan hewan hasil penyembelihan halal dikonsumsi. [2]Ada empat syarat agar penyembelihan dianggap sah menurut syariat:Pertama: Kelayakan penyembelih, yaitu orang yang berakal dan bermaksud menyembelih secara syar‘i. Maka tidak sah sembelihan dari orang gila, orang mabuk, atau anak kecil yang belum mumayyiz, karena mereka tidak memiliki maksud (niat) yang sah.Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على إباحة ذبيحة المرأة والصبي“Seluruh ulama yang kami ketahui bersepakat bahwa sembelihan perempuan dan anak kecil yang sudah mumayyiz adalah halal.” [3]Kedua: Menggunakan alat yang tajam dan bisa memotong karena ketajamannya, bukan karena beratnya. Baik itu dari besi, batu, kayu, atau selainnya, asalkan bukan dari tulang atau kuku. Ini merupakan pendapat yang disepakati oleh para ulama tentang keabsahan penyembelihannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Rafi‘ bin Khadij,ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السن والظفر“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah padanya, maka makanlah. Kecuali gigi dan kuku.” (HR. Bukhari no. 2488 dan Muslim no. 5065) [4]Ketiga: Memotong al-halqūm (tenggorokan, yaitu saluran napas), al-marī’ (kerongkongan, yaitu saluran makanan dan minuman), dan salah satu dari dua wadajain (dua urat nadi di leher, yaitu pembuluh darah besar).Keempat: Penyembelih mengucapkan bismillah ( باسم الله ) saat menggerakkan tangannya untuk menyembelih, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْق“Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena sesungguhnya itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An‘ām: 121) [5]Namun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang keabsahan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, yang akan dijelaskan di sub bab berikut ini:Penyembelihan tanpa menyebut nama AllahSyekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, “Masalah ini —yakni tentang menyebut nama Allah saat menyembelih atau saat berburu— diperselisihkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat:Pendapat pertama: Menyebut nama Allah tidak wajib baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan, tetapi hanya sunah. Mereka berdalil dengan hadis yang tidak sahih:ذبيحة المسلم حلال وإن لم يذكر اسم الله عليها“Sembelihan seorang Muslim itu halal meskipun ia tidak menyebut nama Allah atasnya.”Pendapat kedua: Menyebut nama Allah wajib, tetapi gugur jika karena lupa atau tidak tahu, baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan.Pendapat ketiga: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan dan perburuan, namun gugur karena lupa dalam penyembelihan, tidak gugur dalam perburuan. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan fuqaha Hanabilah.Pendapat keempat: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan maupun perburuan, dan tidak gugur karena lupa atau karena tidak tahu. Ini adalah pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan merupakan pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada. [6]Di tempat yang lain, beliau menyebutkan dalil tersebut, dengan mengatakan, “Menyebut nama Allah (basmalah) saat menyembelih adalah syarat sahnya penyembelihan. Ia tidak gugur —baik karena sengaja, lupa, maupun karena tidak tahu— karena ia termasuk syarat, dan syarat tidak gugur baik secara sengaja, lupa, ataupun karena kebodohan. Hal ini karena Allah Ta‘ala berfirman,وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ‘Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya.’ (QS. Al-An‘ām: 121)Dalam ayat tersebut, Allah berfirman (yang artinya) ‘yang tidak disebut nama Allah atasnya’, tanpa membatasi apakah ditinggalkan secara sengaja atau karena lupa.” [7]Pembiusan sebelum penyembelihanSeiring dengan keperluan terhadap penyembelihan dalam jumlah yang sangat banyak, mulai ditemukan dan digunakan alat listrik untuk menyetrum hewan sebelum disembelih. Persoalan ini telah dikaji oleh lembaga-lembaga fikih, di antaranya Majelis Fikih yang berada di bawah naungan Rabithah ‘Alam Islami, dalam sidangnya yang ke-10 yang diselenggarakan di Makkah, mulai hari Sabtu, 24 Safar 1408 hingga Rabu, 28 Safar 1408.Sidang tersebut mengeluarkan keputusan dengan menetapkan beberapa syarat agar sembelihan dianggap sah, yaitu:Pertama: Jika hewan yang boleh dimakan disetrum dengan arus listrik, kemudian disembelih atau ditusuk (nahr) dalam keadaan masih hidup, maka sembelihannya sah secara syar’i dan halal dimakan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ“Kecuali yang sempat kalian sembelih …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Kedua: Jika ruh hewan tersebut hilang (mati) karena setruman sebelum sempat disembelih, maka statusnya adalah bangkai dan haram dimakan, karena keumuman firman Allah Ta‘ala,حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ“Diharamkan atas kalian bangkai …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Ketiga: Jika arus listrik yang digunakan bertegangan rendah, ringan, dan tidak menyiksa hewan, serta terdapat maslahat —seperti meringankan rasa sakit saat disembelih atau menenangkan hewan agar tidak melawan—, maka hal tersebut diperbolehkan secara syar’i dengan mempertimbangkan maslahat.Disebutkan pula dalam keputusan Majma‘ Fiqh Islami Internasional, yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam, keputusan nomor 94 (3/10), dalam pembahasan seputar penyembelihan unggas, bahwa:لا يجوز تدويخ الدواجن بالصدمة الكهربائية؛ لما ثبت بالتجربة من إفضاء ذلك إلى موت نسبة غير قليلة منها قبل التذكية“Tidak boleh membius unggas dengan setrum listrik, karena terbukti dari hasil eksperimen bahwa sebagian besar unggas mati sebelum sempat disembelih secara syar’i.”Keputusan tersebut juga memuat beberapa syarat teknis terkait penggunaan alat listrik untuk pembiusan sebelum penyembelihan. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut, silakan merujuk langsung ke dokumen keputusannya. [8]Demikian pembahasan tentang tiga permasalahan kontemporer seputar penyembelihan hewan: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan. Wallaahu a’lam bish showaab.Pada artikel ketiga, insya Allah akan dibahas dua hal penting lainnya: hukum impor daging dari negara non-Muslim serta jawaban terhadap kritik para aktivis hewan tentang penyembelihan dalam Islam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 2 Safar 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi. Mesir: Dar al-‘Aqidah, 2009.Al-Muthlaq, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.[2] Lihat Syarh Nadzm Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 49.[3] Al-‘Uddah Syarḥ al-‘Umdah, hal. 447. Dinukil dari Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[4] Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[5] Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2: 430-432.[6] Diringkas dari Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 445-446.[7] Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 443.[8] Disarikan dari Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 120-121.[9] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.


Daftar Isi TogglePenyembelihan mekanis dengan mesinPenyembelihan tanpa menyebut nama AllahPembiusan sebelum penyembelihanSeiring berkembangnya zaman dan teknologi, praktik penyembelihan hewan pun mengalami perubahan signifikan. Di berbagai rumah potong modern, penyembelihan sering kali dilakukan secara mekanis dengan mesin, menggunakan peralatan otomatis, bahkan didahului dengan pembiusan atau pingsan sebelum penyembelihan. Di sisi lain, muncul pula kelalaian atau kesengajaan dalam tidak menyebut nama Allah saat penyembelihan.Pada artikel kedua ini, kita akan membahas tiga permasalahan penting: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan.Penyembelihan mekanis dengan mesinJumlah manusia semakin banyak dan kebutuhan terhadap hewan yang boleh dimakan pun meningkat dalam jumlah besar, sehingga menyulitkan proses penyembelihan dan pensyariatan secara manual seperti cara-cara lama. Oleh karena itu, metode penyembelihan pun mengalami perubahan dari cara-cara sebelumnya, seiring dengan banyaknya jumlah hewan yang disembelih dan kemudahan dalam distribusinya. Hal ini menuntut penggunaan alat (mesin) yang modern, untuk mempercepat proses penyembelihan. [1]Para ulama telah mengumpulkan syarat-syarat penyembelihan, yang jika terpenuhi syarat-syarat tersebut, dan tidak ada penghalangnya; maka penyembelihan dianggap sah, dan hewan hasil penyembelihan halal dikonsumsi. [2]Ada empat syarat agar penyembelihan dianggap sah menurut syariat:Pertama: Kelayakan penyembelih, yaitu orang yang berakal dan bermaksud menyembelih secara syar‘i. Maka tidak sah sembelihan dari orang gila, orang mabuk, atau anak kecil yang belum mumayyiz, karena mereka tidak memiliki maksud (niat) yang sah.Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على إباحة ذبيحة المرأة والصبي“Seluruh ulama yang kami ketahui bersepakat bahwa sembelihan perempuan dan anak kecil yang sudah mumayyiz adalah halal.” [3]Kedua: Menggunakan alat yang tajam dan bisa memotong karena ketajamannya, bukan karena beratnya. Baik itu dari besi, batu, kayu, atau selainnya, asalkan bukan dari tulang atau kuku. Ini merupakan pendapat yang disepakati oleh para ulama tentang keabsahan penyembelihannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Rafi‘ bin Khadij,ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السن والظفر“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah padanya, maka makanlah. Kecuali gigi dan kuku.” (HR. Bukhari no. 2488 dan Muslim no. 5065) [4]Ketiga: Memotong al-halqūm (tenggorokan, yaitu saluran napas), al-marī’ (kerongkongan, yaitu saluran makanan dan minuman), dan salah satu dari dua wadajain (dua urat nadi di leher, yaitu pembuluh darah besar).Keempat: Penyembelih mengucapkan bismillah ( باسم الله ) saat menggerakkan tangannya untuk menyembelih, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْق“Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena sesungguhnya itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An‘ām: 121) [5]Namun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang keabsahan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, yang akan dijelaskan di sub bab berikut ini:Penyembelihan tanpa menyebut nama AllahSyekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, “Masalah ini —yakni tentang menyebut nama Allah saat menyembelih atau saat berburu— diperselisihkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat:Pendapat pertama: Menyebut nama Allah tidak wajib baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan, tetapi hanya sunah. Mereka berdalil dengan hadis yang tidak sahih:ذبيحة المسلم حلال وإن لم يذكر اسم الله عليها“Sembelihan seorang Muslim itu halal meskipun ia tidak menyebut nama Allah atasnya.”Pendapat kedua: Menyebut nama Allah wajib, tetapi gugur jika karena lupa atau tidak tahu, baik dalam penyembelihan maupun dalam perburuan.Pendapat ketiga: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan dan perburuan, namun gugur karena lupa dalam penyembelihan, tidak gugur dalam perburuan. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan fuqaha Hanabilah.Pendapat keempat: Menyebut nama Allah adalah syarat dalam penyembelihan maupun perburuan, dan tidak gugur karena lupa atau karena tidak tahu. Ini adalah pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan merupakan pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada. [6]Di tempat yang lain, beliau menyebutkan dalil tersebut, dengan mengatakan, “Menyebut nama Allah (basmalah) saat menyembelih adalah syarat sahnya penyembelihan. Ia tidak gugur —baik karena sengaja, lupa, maupun karena tidak tahu— karena ia termasuk syarat, dan syarat tidak gugur baik secara sengaja, lupa, ataupun karena kebodohan. Hal ini karena Allah Ta‘ala berfirman,وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ‘Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya.’ (QS. Al-An‘ām: 121)Dalam ayat tersebut, Allah berfirman (yang artinya) ‘yang tidak disebut nama Allah atasnya’, tanpa membatasi apakah ditinggalkan secara sengaja atau karena lupa.” [7]Pembiusan sebelum penyembelihanSeiring dengan keperluan terhadap penyembelihan dalam jumlah yang sangat banyak, mulai ditemukan dan digunakan alat listrik untuk menyetrum hewan sebelum disembelih. Persoalan ini telah dikaji oleh lembaga-lembaga fikih, di antaranya Majelis Fikih yang berada di bawah naungan Rabithah ‘Alam Islami, dalam sidangnya yang ke-10 yang diselenggarakan di Makkah, mulai hari Sabtu, 24 Safar 1408 hingga Rabu, 28 Safar 1408.Sidang tersebut mengeluarkan keputusan dengan menetapkan beberapa syarat agar sembelihan dianggap sah, yaitu:Pertama: Jika hewan yang boleh dimakan disetrum dengan arus listrik, kemudian disembelih atau ditusuk (nahr) dalam keadaan masih hidup, maka sembelihannya sah secara syar’i dan halal dimakan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ“Kecuali yang sempat kalian sembelih …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Kedua: Jika ruh hewan tersebut hilang (mati) karena setruman sebelum sempat disembelih, maka statusnya adalah bangkai dan haram dimakan, karena keumuman firman Allah Ta‘ala,حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ“Diharamkan atas kalian bangkai …” (QS. Al-Mā’idah: 3)Ketiga: Jika arus listrik yang digunakan bertegangan rendah, ringan, dan tidak menyiksa hewan, serta terdapat maslahat —seperti meringankan rasa sakit saat disembelih atau menenangkan hewan agar tidak melawan—, maka hal tersebut diperbolehkan secara syar’i dengan mempertimbangkan maslahat.Disebutkan pula dalam keputusan Majma‘ Fiqh Islami Internasional, yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam, keputusan nomor 94 (3/10), dalam pembahasan seputar penyembelihan unggas, bahwa:لا يجوز تدويخ الدواجن بالصدمة الكهربائية؛ لما ثبت بالتجربة من إفضاء ذلك إلى موت نسبة غير قليلة منها قبل التذكية“Tidak boleh membius unggas dengan setrum listrik, karena terbukti dari hasil eksperimen bahwa sebagian besar unggas mati sebelum sempat disembelih secara syar’i.”Keputusan tersebut juga memuat beberapa syarat teknis terkait penggunaan alat listrik untuk pembiusan sebelum penyembelihan. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut, silakan merujuk langsung ke dokumen keputusannya. [8]Demikian pembahasan tentang tiga permasalahan kontemporer seputar penyembelihan hewan: (1) penyembelihan mekanis dengan mesin, (2) penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, dan (3) pembiusan sebelum penyembelihan. Wallaahu a’lam bish showaab.Pada artikel ketiga, insya Allah akan dibahas dua hal penting lainnya: hukum impor daging dari negara non-Muslim serta jawaban terhadap kritik para aktivis hewan tentang penyembelihan dalam Islam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1***Rumdin PPIA Sragen, 2 Safar 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi. Mesir: Dar al-‘Aqidah, 2009.Al-Muthlaq, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.[2] Lihat Syarh Nadzm Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 49.[3] Al-‘Uddah Syarḥ al-‘Umdah, hal. 447. Dinukil dari Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[4] Al-Fiqh al-Muyassar, 7: 17.[5] Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2: 430-432.[6] Diringkas dari Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 445-446.[7] Syarḥ al-Mumti‘ ‘ala Zād al-Mustaqni‘, 7: 443.[8] Disarikan dari Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 120-121.[9] Al-Fiqh al-Muyassar, 13: 38.

Doa Agar Dicintai Allah dan Penduduk Langit – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Manusia yang paling bahagia di dunia ini adalah orang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan dicintai oleh-Nya. Karena itu, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam senantiasa berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengucapkan: “Ya Allah, aku memohon cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, serta cinta terhadap amalan yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.” Dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah ‘Azza wa Jalla mencintai seorang hamba, Dia menyeru Jibril ‘alaihissalam: ‘Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka Jibril ‘alaihissalam pun mencintainya. Kemudian, jika Jibril telah mencintainya, ia menyeru kepada para penghuni langit: ‘Wahai para penghuni langit! Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka seluruh penghuni langit pun mencintainya. Lalu apabila para penghuni langit telah mencintainya, dia pun mendapat penerimaan di bumi.” (HR. Muslim, disampaikan Syaikh secara makna). Ini benar-benar nyata. Kadang kamu melihat seseorang berjalan di tengah-tengah manusia, tapi hati mereka menyimpan rasa hormat dan cinta kepadanya, penghargaan, dan pengagungan. Itu semua bukan karena hal lain, melainkan karena Allah ‘Azza wa Jalla mencintainya. ==== إِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا هُوَ مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَحَبَّهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِذَلِكَ فَإِنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَا جِبْرِيلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرَائِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِذَا أَحَبَّهُ جِبْرَائِيلُ نَادَى فِي أَهْلِ السَّمَاءِ يَا أَهْلَ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ كُلُّهُمْ فَإِذَا أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ طُرِحَ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَهَذَا حَقٌّ فَإِنَّكَ تَرَى الرَّجُلَ يَمْشِي بَيْنَ ظَهْرَانَي النَّاسِ وَالْقُلُوبُ تُكِنُّ لَهُ إِجْلَالًا وَمَحَبَّةً وَتَوْقِيرًا وَتَعْظِيمًا لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَحَبَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Doa Agar Dicintai Allah dan Penduduk Langit – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Manusia yang paling bahagia di dunia ini adalah orang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan dicintai oleh-Nya. Karena itu, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam senantiasa berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengucapkan: “Ya Allah, aku memohon cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, serta cinta terhadap amalan yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.” Dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah ‘Azza wa Jalla mencintai seorang hamba, Dia menyeru Jibril ‘alaihissalam: ‘Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka Jibril ‘alaihissalam pun mencintainya. Kemudian, jika Jibril telah mencintainya, ia menyeru kepada para penghuni langit: ‘Wahai para penghuni langit! Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka seluruh penghuni langit pun mencintainya. Lalu apabila para penghuni langit telah mencintainya, dia pun mendapat penerimaan di bumi.” (HR. Muslim, disampaikan Syaikh secara makna). Ini benar-benar nyata. Kadang kamu melihat seseorang berjalan di tengah-tengah manusia, tapi hati mereka menyimpan rasa hormat dan cinta kepadanya, penghargaan, dan pengagungan. Itu semua bukan karena hal lain, melainkan karena Allah ‘Azza wa Jalla mencintainya. ==== إِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا هُوَ مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَحَبَّهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِذَلِكَ فَإِنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَا جِبْرِيلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرَائِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِذَا أَحَبَّهُ جِبْرَائِيلُ نَادَى فِي أَهْلِ السَّمَاءِ يَا أَهْلَ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ كُلُّهُمْ فَإِذَا أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ طُرِحَ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَهَذَا حَقٌّ فَإِنَّكَ تَرَى الرَّجُلَ يَمْشِي بَيْنَ ظَهْرَانَي النَّاسِ وَالْقُلُوبُ تُكِنُّ لَهُ إِجْلَالًا وَمَحَبَّةً وَتَوْقِيرًا وَتَعْظِيمًا لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَحَبَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Manusia yang paling bahagia di dunia ini adalah orang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan dicintai oleh-Nya. Karena itu, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam senantiasa berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengucapkan: “Ya Allah, aku memohon cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, serta cinta terhadap amalan yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.” Dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah ‘Azza wa Jalla mencintai seorang hamba, Dia menyeru Jibril ‘alaihissalam: ‘Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka Jibril ‘alaihissalam pun mencintainya. Kemudian, jika Jibril telah mencintainya, ia menyeru kepada para penghuni langit: ‘Wahai para penghuni langit! Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka seluruh penghuni langit pun mencintainya. Lalu apabila para penghuni langit telah mencintainya, dia pun mendapat penerimaan di bumi.” (HR. Muslim, disampaikan Syaikh secara makna). Ini benar-benar nyata. Kadang kamu melihat seseorang berjalan di tengah-tengah manusia, tapi hati mereka menyimpan rasa hormat dan cinta kepadanya, penghargaan, dan pengagungan. Itu semua bukan karena hal lain, melainkan karena Allah ‘Azza wa Jalla mencintainya. ==== إِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا هُوَ مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَحَبَّهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِذَلِكَ فَإِنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَا جِبْرِيلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرَائِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِذَا أَحَبَّهُ جِبْرَائِيلُ نَادَى فِي أَهْلِ السَّمَاءِ يَا أَهْلَ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ كُلُّهُمْ فَإِذَا أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ طُرِحَ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَهَذَا حَقٌّ فَإِنَّكَ تَرَى الرَّجُلَ يَمْشِي بَيْنَ ظَهْرَانَي النَّاسِ وَالْقُلُوبُ تُكِنُّ لَهُ إِجْلَالًا وَمَحَبَّةً وَتَوْقِيرًا وَتَعْظِيمًا لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَحَبَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


Manusia yang paling bahagia di dunia ini adalah orang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan dicintai oleh-Nya. Karena itu, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam senantiasa berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengucapkan: “Ya Allah, aku memohon cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, serta cinta terhadap amalan yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.” Dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah ‘Azza wa Jalla mencintai seorang hamba, Dia menyeru Jibril ‘alaihissalam: ‘Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka Jibril ‘alaihissalam pun mencintainya. Kemudian, jika Jibril telah mencintainya, ia menyeru kepada para penghuni langit: ‘Wahai para penghuni langit! Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka seluruh penghuni langit pun mencintainya. Lalu apabila para penghuni langit telah mencintainya, dia pun mendapat penerimaan di bumi.” (HR. Muslim, disampaikan Syaikh secara makna). Ini benar-benar nyata. Kadang kamu melihat seseorang berjalan di tengah-tengah manusia, tapi hati mereka menyimpan rasa hormat dan cinta kepadanya, penghargaan, dan pengagungan. Itu semua bukan karena hal lain, melainkan karena Allah ‘Azza wa Jalla mencintainya. ==== إِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا هُوَ مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَحَبَّهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِذَلِكَ فَإِنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَا جِبْرِيلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرَائِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِذَا أَحَبَّهُ جِبْرَائِيلُ نَادَى فِي أَهْلِ السَّمَاءِ يَا أَهْلَ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ كُلُّهُمْ فَإِذَا أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ طُرِحَ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَهَذَا حَقٌّ فَإِنَّكَ تَرَى الرَّجُلَ يَمْشِي بَيْنَ ظَهْرَانَي النَّاسِ وَالْقُلُوبُ تُكِنُّ لَهُ إِجْلَالًا وَمَحَبَّةً وَتَوْقِيرًا وَتَعْظِيمًا لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَحَبَّةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Prev     Next