Seni Menangani Perselisihan Suami-Istri

فن إدارة الصراع بين الزوجين Oleh: Prof. Abdullah bin Abdul Aziz al-Khalidi أ. عبدالله بن عبدالعزيز الخالدي يتشارك الزوجان في كل تفاصيل حياتهم، ومن الطبيعي أن تحدث الخلافات لأسباب عديدة، وعدم وجود خلافات ليس دليلًا على صحة العلاقة الزوجية، حيث يسعى البعض إلى علاقة مثالية، خالية من العيوب، لكن في حقيقة الأمر الخلافات أمر طبيعي، ولا يخلو بيت من المشاكل، أما صفاء النفوس المطلق فيمكن الحصول عليه في الجنة، يقول سبحانه: ﴿ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ ﴾ [الحجر: 47]. والمشكلة ليست في وقُوع المُشكلة؛ وإنما في تركها بلا حل. Suami dan istri selalu bersama dalam setiap sendi kehidupan mereka, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah jika terjadi perselisihan di antara mereka karena berbagai sebab. Tidak terjadinya perselisihan bukan menjadi tanda sehatnya hubungan rumah tangga, ketika sebagian orang berusaha untuk memiliki hubungan yang ideal dan tanpa kekurangan. Namun, pada hakikatnya, perselisihan merupakan perkara yang wajar dan tidak ada rumah tangga yang terbebas dari masalah. Adapun kejernihan jiwa tanpa masalah secara mutlak hanya dapat diraih kelak di surga. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ “Kami mencabut segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka. Mereka bersaudara dan duduk berhadap-hadapan di atas dipan.” (QS. Al-Hijr: 47). Masalah bukanlah ketika masalah itu terjadi, tapi ketika ia dibiarkan tanpa solusi. عندما يبدأ الصراع في الحياة الزوجية يصل الأمر إلى حالة من التوتر تشبه الحرب، وقد يحدث الاعتداء بالسب، والعنف، وإن استمرت الحياة الزوجية، فسيكون استمرارها بكدر، فيتكوَّن جرَّاء ذلك سلوكان: أحدهما هجومي، والآخر دفاعي، وذلك استجابة نفسية في كثير من حالات الصراع. Ketika mulai muncul perselisihan dalam kehidupan berumah tangga, keadaan akan menjadi tegang seperti peperangan, dan terkadang sampai terjadi tindakan berlebihan seperti makian dan kekerasan. Meskipun kehidupan rumah tangga masih mungkin berlanjut, tetapi sejak itu akan berlanjut dengan suasana yang keruh, sehingga akan terbentuk darinya dua sikap, ofensif dan defensif. Ini merupakan reaksi jiwa yang sering kali timbul ketika terjadi perselisihan. بداية المشكلة خلاف، يتجه إلى جدل، ثم شقاق، فعناد، وأخيرًا يبدأ الصراع، وهو بداية التوتر، ويتجه إلى الإيذاء، وتنحية الطرف الآخر. فالخلاف أزمة، والجدال مفاوضة، والشقاق منحى بدون تفكير بصواب أم بخطأ. Awal mula permasalahan adalah adanya perbedaan paham, kemudian berlanjut pada perdebatan, lalu persengketaan dan saling membela diri, dan berujung perselisihan. Inilah awal dari ketegangan hubungan dan dapat berlanjut ke tahap saling menyakiti dan menghindari pihak lain. Perbedaan paham adalah krisis, perdebatan adalah perundingan, sedangkan persengketaan adalah pelarian tanpa memikirkan apakah dalam posisi benar atau salah. هناك نقطتان يجب فهمهما عند إدارة هذا الصراع، النقطة الأولى: التركيز على الحل لا المشكلة، فالعقل لايمكن أن يُوجد الحُلول إذا كان تركيزه منصبًّا على المشكلة، ولأن التركيز السَّلبي يُنشِّط المشاعر السَّلبية التي بدورها تحجُب رؤية الحلول، ولا يعني هذا الكلام تجاهل المشكلة ذاتها، ولتوضيح هذا المعنى أعرض ما حدث لأحد المصانع الكبيرة في اليابان، حيث وجدوا أن عددًا من العبوات فارغة، ولحل هذه المشكلة بدأوا في تصنيع جهاز أشعة للكشف عن العُلَب الفارغة، وخصَّصوا عاملًا لإزالة العبوات، فزاد في التكلفة المالية، في حين حدثت المشكلة في مصنع آخر صغير، قام المصنع بالتفكير في الحل، لا المشكلة؛ فاهتدوا إلى وضع مروحة صغيرة، فتطايرت العبوات الفارغة بسرعة، ولم يكلفهم الحل شيئًا؛ لأن التفكير كان مُنصبًّا على الحل لا على المشكلة، عندما نُركِّز على الحل فإننا نُبدع، ونختصر، وعندما نركز على المشكلة فإننا نخلق مُشكلات أخرى. Ada dua poin yang harus dipahami dalam mengelola perselisihan, yaitu: Poin pertama: Fokus pada solusi, bukan pada masalah. Akal tidak mungkin dapat menghadirkan solusi jika yang menjadi tonggak fokusnya adalah masalah. Selain itu, karena fokus terhadap hal negatif akan membangkitkan perasaan negatif, yang pada akhirnya dapat menghalangi akal untuk melihat solusi. Namun, hal ini tidak berarti kita harus berpura-pura bodoh terhadap masalah itu sendiri. Untuk memperjelas poin ini, saya beri contoh dengan apa yang terjadi di salah satu pabrik besar di Jepang, mereka mendapati bahwa banyak kaleng (sebagai wadah dari hasil produksi mereka) yang tidak terisi. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mulai membuat alat yang memancarkan sinar untuk mengungkap kaleng-kaleng mana yang kosong. Namun, mereka harus menugaskan pekerja khusus untuk menyingkirkan kaleng-kaleng itu, sehingga anggaran pengeluaran semakin bertambah. Sedangkan di pabrik kecil di tempat lain, terjadi masalah yang sama, tapi pabrik ini memfokuskan pikiran mereka pada solusi, bukan pada masalah yang terjadi, sehingga mereka punya ide untuk memasang kipas angin kecil, sehingga kaleng-kaleng yang kosong akan jatuh dengan sendirinya. Solusi ini tidak membebani pengeluaran mereka sedikit pun, karena pikiran mereka lebih tertuju pada solusi, bukan pada masalah. Ketika kita fokus terhadap solusi, kita akan bersikap lebih kreatif dan efektif, tapi ketika kita lebih fokus terhadap masalah, kita akan menciptakan masalah-masalah yang lain. النقطة الثانية: يجب التركيز على السلوك الخاطئ بأنه هو المشكلة، ولا ينصبّ تركيزنا على الذات التي سبَّبت المُشكلة، فإذا ركَّزنا على نقد الذات فسنفقد الثقة في قدرات الشخص المقابل، وسيتملَّكه اليأس تجاه إيجاد حل مناسب للمشكلة، وينتهي بتوقع الفشل؛ لأنه قد يعتقد أنَّ ما قدَّمه هو غير نافع، وليس باستطاعته تقديم الأفضل، فهو لا يُخضع قُدراته لتقييم عادل بل لما تسلَّل إلى ذاته من تقييم غيره. Poin kedua: Kita harus fokus pada sikap yang salah sebagai sumber masalah, tidak mengarahkan fokus kita pada personal yang menimbulkan masalah. Apabila kita fokus mengkritik pribadi seseorang, kita akan kehilangan kepercayaan diri orang tersebut, membuatnya merasa putus asa dalam mencari solusi yang tepat atas masalah yang terjadi, dan akhirnya ia sudah menebak dari awal akan gagal, karena bisa jadi ia menjadi yakin apa yang ia kerjakan tidak bermanfaat dan tidak mampu melakukan yang lebih baik. Ia tidak menilai kemampuannya dengan penilaian yang objektif, tapi dengan keyakinan yang menyusup ke dalam dirinya yang berasal dari penilaian orang lain. وفي المقابل فإنَّ نقد السلوك مجال رحب للإصلاح، وتعديل التصرفات، بحيث يكون ميزانًا نزن به تصرفاتنا، ونُعَدِّل سلوكياتنا ونُصحِّحها، ونصل إلى الحل بسرعة، أمَّا نقد الذات فإنَّه يُعيق المسيرة ويئد الحلول، ويُفضي إلى الفشل. Adapun di sisi lain, kritik terhadap sikap merupakan ruang yang lapang untuk melakukan perbaikan pribadi seseorang, karena terdapat standar yang jelas untuk menimbang tindak-tanduk kita, meluruskan sikap-sikap kita, dan mencapai solusi lebih cepat. Sedangkan kritik terhadap pribadi akan menghambat langkah, mengubur solusi, dan menggiring kepada kegagalan. ويُوجِّهنا القرآن الكريم إلى أهمية نقد السلوك لا الذات؛ فلوط عليه السلام خاطب قومه وقال لهم: ﴿ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ ﴾ [الشعراء: 168]، فكان موقفه التبرؤ من سلوك قومه، ولم يتبرأ منهم، لم يُبغضهم؛ بل أبغض صنيعهم، فمن يُريدُ حلَّ المُشكلة يكون جُل تركيزه على الحل، وعلى نبذ السلوك الخاطئ، وهذا ما فعله لوط عليه السلام. Al-Qur’an telah memberi kita arahan tentang betapa pentingnya kritik terhadap sikap, bukan personal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Luth Alaihissalam berkata kepada kaumnya dengan ucapan: إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang sangat benci terhadap perbuatan kalian.” (QS. Asy-Syu’ara: 168). Nabi Luth memosisikan dirinya sebagai orang yang berlepas diri dari sikap kaumnya, bukan terhadap kaumnya itu sendiri, tidak benci mereka, tapi benci perbuatan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang ingin mengatasi masalah hendaknya lebih memusatkan fokusnya terhadap solusi dan menangani sikap yang salah, dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Luth ‘Alaihissalam. وفي توجيه قرآني آخر، بالتحديد في صراع ابني آدم، أراد هابيل قتل أخيه! (تركيز على الذات) بأنه هو المشكلة، فلإدارة الصراع، ولحل المشكلة بدأ قابيل في مفاوضة أخاه- والتفاوض من أحد أهم إستراتيجيات حل النزاعات-فأشار على أخيه بتقديم قربان (صدقة) لله سبحانه، فمن تُقبَل صدقته يُؤخذ قوله، قال تعالى: ﴿ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ ﴾ [المائدة: 27]، فعندما لم يُتقبَّل منه قتله، ﴿ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ ﴾ [المائدة: 30]، ورغم أن الصراع انتهى بالقتل إلا أنهناك حلولًا قُدِّمت، ونوايا جميلة بُذلت لحل الصراع ﴿ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ ﴾ [المائدة: 28]. Begitu juga dalam arahan Al-Qur’an lainnya, lebih tepatnya pada perselisihan dua anak Nabi Adam. Habil ingin membunuh saudaranya (ia fokus pada personal), dan menganggap saudaranya sebagai masalah. Namun, untuk mengelola perselisihan dan mencari solusi masalah, Qabil ingin memulai perundingan dengan Habil – dan berunding merupakan salah satu strategi terpenting dalam menyelesaikan perselisihan –, sehingga Qabil mengusulkan kepada saudaranya untuk mempersembahkan kurban untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, siapa di antara mereka berdua yang kurbannya diterima maka pendapatnya yang akan dijalankan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ “Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lain.” (QS. Al-Maidah: 27). Namun, ketika kurban salah satunya tidak diterima, ia justru membunuh saudaranya. “Kemudian, hawa nafsunya mendorong dia untuk membunuh saudaranya. Maka, dia pun (benar-benar) membunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 30). Meskipun perselisihan ini berakhir dengan pembunuhan, hanya saja ada solusi-solusi yang diajukan sebelumnya dan niat-niat baik yang dikerahkan demi menyelesaikan perselisihan. “Sesungguhnya jika engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Maidah: 28). وهذه صورة أخرى لأحد الصراعات التي ذُكرت في القرآن الكريم تتجلى في قصة يوسف عليه السلام، فقد حكم أُخْوةُ يوسُف على أخيهم بالقتل؛ لأن التركيز كان مُنصبًّا على الذات، وخُفِّف الحكم من القتل إلى حل بديل، ﴿ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ ﴾ [يوسف: 9] حتى وإن تغيرت الطريقة فلا زال التركيز على الذات، فهم لم يفكروا في الحل، بل كان جُلُّ تركيزهم على الذات، والتخلص منها، فلم ينجحوا في حل المشكلة، وأوجدوا مشاكل أخرى متعددة، كانوا في غِنًى عنها. Berikut ini juga contoh lain dari salah satu perselisihan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saudara-saudara Yusuf telah menetapkan untuk membunuh Yusuf, karena yang menjadi fokus mereka adalah personal. Kemudian keputusan ini menjadi lebih ringan dari pembunuhan ke keputusan lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan: أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ “Atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu dan setelah itu (bertobatlah sehingga) kamu akan menjadi kaum yang saleh.” (QS. Yusuf: 9). Meskipun cara eksekusi keputusan ini akhirnya berubah, tapi fokus mereka masih tertuju pada pribadi Nabi Yusuf. Mereka tidak memikirkan solusi masalah, tapi justru mereka hanya terfokus pada personal dan terbebas dari orangnya, sehingga mereka tidak berhasil mendapatkan solusi dari masalah mereka, bahkan mereka justru menimbulkan banyak masalah lain yang seharusnya bisa mereka hindari. فلإدارة الصراع ينبغي أن نركز على الحل لا المشكلة، ويجب أن يكون تركيزنا على السلوك الصادر لا على الذات؛ وبهذا نستطيع إدارة الصراع في حياتنا بِشَكْلٍ صحيح. Oleh sebab itu, untuk mengelola perselisihan hendaklah kita berfokus pada solusi, bukan pada masalah. Fokus kita harus tertuju pada sikap yang timbul, bukan pada personal. Dengan demikian, kita akan mampu mengelola perselisihan yang ada dalam hidup kita dengan cara yang benar. Sumber: https://www.alukah.net/social/0/169692/فن-إدارة-الصراع-بين-الزوجين/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 171 times, 1 visit(s) today Post Views: 197 QRIS donasi Yufid

Seni Menangani Perselisihan Suami-Istri

فن إدارة الصراع بين الزوجين Oleh: Prof. Abdullah bin Abdul Aziz al-Khalidi أ. عبدالله بن عبدالعزيز الخالدي يتشارك الزوجان في كل تفاصيل حياتهم، ومن الطبيعي أن تحدث الخلافات لأسباب عديدة، وعدم وجود خلافات ليس دليلًا على صحة العلاقة الزوجية، حيث يسعى البعض إلى علاقة مثالية، خالية من العيوب، لكن في حقيقة الأمر الخلافات أمر طبيعي، ولا يخلو بيت من المشاكل، أما صفاء النفوس المطلق فيمكن الحصول عليه في الجنة، يقول سبحانه: ﴿ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ ﴾ [الحجر: 47]. والمشكلة ليست في وقُوع المُشكلة؛ وإنما في تركها بلا حل. Suami dan istri selalu bersama dalam setiap sendi kehidupan mereka, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah jika terjadi perselisihan di antara mereka karena berbagai sebab. Tidak terjadinya perselisihan bukan menjadi tanda sehatnya hubungan rumah tangga, ketika sebagian orang berusaha untuk memiliki hubungan yang ideal dan tanpa kekurangan. Namun, pada hakikatnya, perselisihan merupakan perkara yang wajar dan tidak ada rumah tangga yang terbebas dari masalah. Adapun kejernihan jiwa tanpa masalah secara mutlak hanya dapat diraih kelak di surga. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ “Kami mencabut segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka. Mereka bersaudara dan duduk berhadap-hadapan di atas dipan.” (QS. Al-Hijr: 47). Masalah bukanlah ketika masalah itu terjadi, tapi ketika ia dibiarkan tanpa solusi. عندما يبدأ الصراع في الحياة الزوجية يصل الأمر إلى حالة من التوتر تشبه الحرب، وقد يحدث الاعتداء بالسب، والعنف، وإن استمرت الحياة الزوجية، فسيكون استمرارها بكدر، فيتكوَّن جرَّاء ذلك سلوكان: أحدهما هجومي، والآخر دفاعي، وذلك استجابة نفسية في كثير من حالات الصراع. Ketika mulai muncul perselisihan dalam kehidupan berumah tangga, keadaan akan menjadi tegang seperti peperangan, dan terkadang sampai terjadi tindakan berlebihan seperti makian dan kekerasan. Meskipun kehidupan rumah tangga masih mungkin berlanjut, tetapi sejak itu akan berlanjut dengan suasana yang keruh, sehingga akan terbentuk darinya dua sikap, ofensif dan defensif. Ini merupakan reaksi jiwa yang sering kali timbul ketika terjadi perselisihan. بداية المشكلة خلاف، يتجه إلى جدل، ثم شقاق، فعناد، وأخيرًا يبدأ الصراع، وهو بداية التوتر، ويتجه إلى الإيذاء، وتنحية الطرف الآخر. فالخلاف أزمة، والجدال مفاوضة، والشقاق منحى بدون تفكير بصواب أم بخطأ. Awal mula permasalahan adalah adanya perbedaan paham, kemudian berlanjut pada perdebatan, lalu persengketaan dan saling membela diri, dan berujung perselisihan. Inilah awal dari ketegangan hubungan dan dapat berlanjut ke tahap saling menyakiti dan menghindari pihak lain. Perbedaan paham adalah krisis, perdebatan adalah perundingan, sedangkan persengketaan adalah pelarian tanpa memikirkan apakah dalam posisi benar atau salah. هناك نقطتان يجب فهمهما عند إدارة هذا الصراع، النقطة الأولى: التركيز على الحل لا المشكلة، فالعقل لايمكن أن يُوجد الحُلول إذا كان تركيزه منصبًّا على المشكلة، ولأن التركيز السَّلبي يُنشِّط المشاعر السَّلبية التي بدورها تحجُب رؤية الحلول، ولا يعني هذا الكلام تجاهل المشكلة ذاتها، ولتوضيح هذا المعنى أعرض ما حدث لأحد المصانع الكبيرة في اليابان، حيث وجدوا أن عددًا من العبوات فارغة، ولحل هذه المشكلة بدأوا في تصنيع جهاز أشعة للكشف عن العُلَب الفارغة، وخصَّصوا عاملًا لإزالة العبوات، فزاد في التكلفة المالية، في حين حدثت المشكلة في مصنع آخر صغير، قام المصنع بالتفكير في الحل، لا المشكلة؛ فاهتدوا إلى وضع مروحة صغيرة، فتطايرت العبوات الفارغة بسرعة، ولم يكلفهم الحل شيئًا؛ لأن التفكير كان مُنصبًّا على الحل لا على المشكلة، عندما نُركِّز على الحل فإننا نُبدع، ونختصر، وعندما نركز على المشكلة فإننا نخلق مُشكلات أخرى. Ada dua poin yang harus dipahami dalam mengelola perselisihan, yaitu: Poin pertama: Fokus pada solusi, bukan pada masalah. Akal tidak mungkin dapat menghadirkan solusi jika yang menjadi tonggak fokusnya adalah masalah. Selain itu, karena fokus terhadap hal negatif akan membangkitkan perasaan negatif, yang pada akhirnya dapat menghalangi akal untuk melihat solusi. Namun, hal ini tidak berarti kita harus berpura-pura bodoh terhadap masalah itu sendiri. Untuk memperjelas poin ini, saya beri contoh dengan apa yang terjadi di salah satu pabrik besar di Jepang, mereka mendapati bahwa banyak kaleng (sebagai wadah dari hasil produksi mereka) yang tidak terisi. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mulai membuat alat yang memancarkan sinar untuk mengungkap kaleng-kaleng mana yang kosong. Namun, mereka harus menugaskan pekerja khusus untuk menyingkirkan kaleng-kaleng itu, sehingga anggaran pengeluaran semakin bertambah. Sedangkan di pabrik kecil di tempat lain, terjadi masalah yang sama, tapi pabrik ini memfokuskan pikiran mereka pada solusi, bukan pada masalah yang terjadi, sehingga mereka punya ide untuk memasang kipas angin kecil, sehingga kaleng-kaleng yang kosong akan jatuh dengan sendirinya. Solusi ini tidak membebani pengeluaran mereka sedikit pun, karena pikiran mereka lebih tertuju pada solusi, bukan pada masalah. Ketika kita fokus terhadap solusi, kita akan bersikap lebih kreatif dan efektif, tapi ketika kita lebih fokus terhadap masalah, kita akan menciptakan masalah-masalah yang lain. النقطة الثانية: يجب التركيز على السلوك الخاطئ بأنه هو المشكلة، ولا ينصبّ تركيزنا على الذات التي سبَّبت المُشكلة، فإذا ركَّزنا على نقد الذات فسنفقد الثقة في قدرات الشخص المقابل، وسيتملَّكه اليأس تجاه إيجاد حل مناسب للمشكلة، وينتهي بتوقع الفشل؛ لأنه قد يعتقد أنَّ ما قدَّمه هو غير نافع، وليس باستطاعته تقديم الأفضل، فهو لا يُخضع قُدراته لتقييم عادل بل لما تسلَّل إلى ذاته من تقييم غيره. Poin kedua: Kita harus fokus pada sikap yang salah sebagai sumber masalah, tidak mengarahkan fokus kita pada personal yang menimbulkan masalah. Apabila kita fokus mengkritik pribadi seseorang, kita akan kehilangan kepercayaan diri orang tersebut, membuatnya merasa putus asa dalam mencari solusi yang tepat atas masalah yang terjadi, dan akhirnya ia sudah menebak dari awal akan gagal, karena bisa jadi ia menjadi yakin apa yang ia kerjakan tidak bermanfaat dan tidak mampu melakukan yang lebih baik. Ia tidak menilai kemampuannya dengan penilaian yang objektif, tapi dengan keyakinan yang menyusup ke dalam dirinya yang berasal dari penilaian orang lain. وفي المقابل فإنَّ نقد السلوك مجال رحب للإصلاح، وتعديل التصرفات، بحيث يكون ميزانًا نزن به تصرفاتنا، ونُعَدِّل سلوكياتنا ونُصحِّحها، ونصل إلى الحل بسرعة، أمَّا نقد الذات فإنَّه يُعيق المسيرة ويئد الحلول، ويُفضي إلى الفشل. Adapun di sisi lain, kritik terhadap sikap merupakan ruang yang lapang untuk melakukan perbaikan pribadi seseorang, karena terdapat standar yang jelas untuk menimbang tindak-tanduk kita, meluruskan sikap-sikap kita, dan mencapai solusi lebih cepat. Sedangkan kritik terhadap pribadi akan menghambat langkah, mengubur solusi, dan menggiring kepada kegagalan. ويُوجِّهنا القرآن الكريم إلى أهمية نقد السلوك لا الذات؛ فلوط عليه السلام خاطب قومه وقال لهم: ﴿ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ ﴾ [الشعراء: 168]، فكان موقفه التبرؤ من سلوك قومه، ولم يتبرأ منهم، لم يُبغضهم؛ بل أبغض صنيعهم، فمن يُريدُ حلَّ المُشكلة يكون جُل تركيزه على الحل، وعلى نبذ السلوك الخاطئ، وهذا ما فعله لوط عليه السلام. Al-Qur’an telah memberi kita arahan tentang betapa pentingnya kritik terhadap sikap, bukan personal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Luth Alaihissalam berkata kepada kaumnya dengan ucapan: إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang sangat benci terhadap perbuatan kalian.” (QS. Asy-Syu’ara: 168). Nabi Luth memosisikan dirinya sebagai orang yang berlepas diri dari sikap kaumnya, bukan terhadap kaumnya itu sendiri, tidak benci mereka, tapi benci perbuatan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang ingin mengatasi masalah hendaknya lebih memusatkan fokusnya terhadap solusi dan menangani sikap yang salah, dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Luth ‘Alaihissalam. وفي توجيه قرآني آخر، بالتحديد في صراع ابني آدم، أراد هابيل قتل أخيه! (تركيز على الذات) بأنه هو المشكلة، فلإدارة الصراع، ولحل المشكلة بدأ قابيل في مفاوضة أخاه- والتفاوض من أحد أهم إستراتيجيات حل النزاعات-فأشار على أخيه بتقديم قربان (صدقة) لله سبحانه، فمن تُقبَل صدقته يُؤخذ قوله، قال تعالى: ﴿ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ ﴾ [المائدة: 27]، فعندما لم يُتقبَّل منه قتله، ﴿ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ ﴾ [المائدة: 30]، ورغم أن الصراع انتهى بالقتل إلا أنهناك حلولًا قُدِّمت، ونوايا جميلة بُذلت لحل الصراع ﴿ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ ﴾ [المائدة: 28]. Begitu juga dalam arahan Al-Qur’an lainnya, lebih tepatnya pada perselisihan dua anak Nabi Adam. Habil ingin membunuh saudaranya (ia fokus pada personal), dan menganggap saudaranya sebagai masalah. Namun, untuk mengelola perselisihan dan mencari solusi masalah, Qabil ingin memulai perundingan dengan Habil – dan berunding merupakan salah satu strategi terpenting dalam menyelesaikan perselisihan –, sehingga Qabil mengusulkan kepada saudaranya untuk mempersembahkan kurban untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, siapa di antara mereka berdua yang kurbannya diterima maka pendapatnya yang akan dijalankan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ “Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lain.” (QS. Al-Maidah: 27). Namun, ketika kurban salah satunya tidak diterima, ia justru membunuh saudaranya. “Kemudian, hawa nafsunya mendorong dia untuk membunuh saudaranya. Maka, dia pun (benar-benar) membunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 30). Meskipun perselisihan ini berakhir dengan pembunuhan, hanya saja ada solusi-solusi yang diajukan sebelumnya dan niat-niat baik yang dikerahkan demi menyelesaikan perselisihan. “Sesungguhnya jika engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Maidah: 28). وهذه صورة أخرى لأحد الصراعات التي ذُكرت في القرآن الكريم تتجلى في قصة يوسف عليه السلام، فقد حكم أُخْوةُ يوسُف على أخيهم بالقتل؛ لأن التركيز كان مُنصبًّا على الذات، وخُفِّف الحكم من القتل إلى حل بديل، ﴿ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ ﴾ [يوسف: 9] حتى وإن تغيرت الطريقة فلا زال التركيز على الذات، فهم لم يفكروا في الحل، بل كان جُلُّ تركيزهم على الذات، والتخلص منها، فلم ينجحوا في حل المشكلة، وأوجدوا مشاكل أخرى متعددة، كانوا في غِنًى عنها. Berikut ini juga contoh lain dari salah satu perselisihan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saudara-saudara Yusuf telah menetapkan untuk membunuh Yusuf, karena yang menjadi fokus mereka adalah personal. Kemudian keputusan ini menjadi lebih ringan dari pembunuhan ke keputusan lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan: أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ “Atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu dan setelah itu (bertobatlah sehingga) kamu akan menjadi kaum yang saleh.” (QS. Yusuf: 9). Meskipun cara eksekusi keputusan ini akhirnya berubah, tapi fokus mereka masih tertuju pada pribadi Nabi Yusuf. Mereka tidak memikirkan solusi masalah, tapi justru mereka hanya terfokus pada personal dan terbebas dari orangnya, sehingga mereka tidak berhasil mendapatkan solusi dari masalah mereka, bahkan mereka justru menimbulkan banyak masalah lain yang seharusnya bisa mereka hindari. فلإدارة الصراع ينبغي أن نركز على الحل لا المشكلة، ويجب أن يكون تركيزنا على السلوك الصادر لا على الذات؛ وبهذا نستطيع إدارة الصراع في حياتنا بِشَكْلٍ صحيح. Oleh sebab itu, untuk mengelola perselisihan hendaklah kita berfokus pada solusi, bukan pada masalah. Fokus kita harus tertuju pada sikap yang timbul, bukan pada personal. Dengan demikian, kita akan mampu mengelola perselisihan yang ada dalam hidup kita dengan cara yang benar. Sumber: https://www.alukah.net/social/0/169692/فن-إدارة-الصراع-بين-الزوجين/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 171 times, 1 visit(s) today Post Views: 197 QRIS donasi Yufid
فن إدارة الصراع بين الزوجين Oleh: Prof. Abdullah bin Abdul Aziz al-Khalidi أ. عبدالله بن عبدالعزيز الخالدي يتشارك الزوجان في كل تفاصيل حياتهم، ومن الطبيعي أن تحدث الخلافات لأسباب عديدة، وعدم وجود خلافات ليس دليلًا على صحة العلاقة الزوجية، حيث يسعى البعض إلى علاقة مثالية، خالية من العيوب، لكن في حقيقة الأمر الخلافات أمر طبيعي، ولا يخلو بيت من المشاكل، أما صفاء النفوس المطلق فيمكن الحصول عليه في الجنة، يقول سبحانه: ﴿ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ ﴾ [الحجر: 47]. والمشكلة ليست في وقُوع المُشكلة؛ وإنما في تركها بلا حل. Suami dan istri selalu bersama dalam setiap sendi kehidupan mereka, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah jika terjadi perselisihan di antara mereka karena berbagai sebab. Tidak terjadinya perselisihan bukan menjadi tanda sehatnya hubungan rumah tangga, ketika sebagian orang berusaha untuk memiliki hubungan yang ideal dan tanpa kekurangan. Namun, pada hakikatnya, perselisihan merupakan perkara yang wajar dan tidak ada rumah tangga yang terbebas dari masalah. Adapun kejernihan jiwa tanpa masalah secara mutlak hanya dapat diraih kelak di surga. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ “Kami mencabut segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka. Mereka bersaudara dan duduk berhadap-hadapan di atas dipan.” (QS. Al-Hijr: 47). Masalah bukanlah ketika masalah itu terjadi, tapi ketika ia dibiarkan tanpa solusi. عندما يبدأ الصراع في الحياة الزوجية يصل الأمر إلى حالة من التوتر تشبه الحرب، وقد يحدث الاعتداء بالسب، والعنف، وإن استمرت الحياة الزوجية، فسيكون استمرارها بكدر، فيتكوَّن جرَّاء ذلك سلوكان: أحدهما هجومي، والآخر دفاعي، وذلك استجابة نفسية في كثير من حالات الصراع. Ketika mulai muncul perselisihan dalam kehidupan berumah tangga, keadaan akan menjadi tegang seperti peperangan, dan terkadang sampai terjadi tindakan berlebihan seperti makian dan kekerasan. Meskipun kehidupan rumah tangga masih mungkin berlanjut, tetapi sejak itu akan berlanjut dengan suasana yang keruh, sehingga akan terbentuk darinya dua sikap, ofensif dan defensif. Ini merupakan reaksi jiwa yang sering kali timbul ketika terjadi perselisihan. بداية المشكلة خلاف، يتجه إلى جدل، ثم شقاق، فعناد، وأخيرًا يبدأ الصراع، وهو بداية التوتر، ويتجه إلى الإيذاء، وتنحية الطرف الآخر. فالخلاف أزمة، والجدال مفاوضة، والشقاق منحى بدون تفكير بصواب أم بخطأ. Awal mula permasalahan adalah adanya perbedaan paham, kemudian berlanjut pada perdebatan, lalu persengketaan dan saling membela diri, dan berujung perselisihan. Inilah awal dari ketegangan hubungan dan dapat berlanjut ke tahap saling menyakiti dan menghindari pihak lain. Perbedaan paham adalah krisis, perdebatan adalah perundingan, sedangkan persengketaan adalah pelarian tanpa memikirkan apakah dalam posisi benar atau salah. هناك نقطتان يجب فهمهما عند إدارة هذا الصراع، النقطة الأولى: التركيز على الحل لا المشكلة، فالعقل لايمكن أن يُوجد الحُلول إذا كان تركيزه منصبًّا على المشكلة، ولأن التركيز السَّلبي يُنشِّط المشاعر السَّلبية التي بدورها تحجُب رؤية الحلول، ولا يعني هذا الكلام تجاهل المشكلة ذاتها، ولتوضيح هذا المعنى أعرض ما حدث لأحد المصانع الكبيرة في اليابان، حيث وجدوا أن عددًا من العبوات فارغة، ولحل هذه المشكلة بدأوا في تصنيع جهاز أشعة للكشف عن العُلَب الفارغة، وخصَّصوا عاملًا لإزالة العبوات، فزاد في التكلفة المالية، في حين حدثت المشكلة في مصنع آخر صغير، قام المصنع بالتفكير في الحل، لا المشكلة؛ فاهتدوا إلى وضع مروحة صغيرة، فتطايرت العبوات الفارغة بسرعة، ولم يكلفهم الحل شيئًا؛ لأن التفكير كان مُنصبًّا على الحل لا على المشكلة، عندما نُركِّز على الحل فإننا نُبدع، ونختصر، وعندما نركز على المشكلة فإننا نخلق مُشكلات أخرى. Ada dua poin yang harus dipahami dalam mengelola perselisihan, yaitu: Poin pertama: Fokus pada solusi, bukan pada masalah. Akal tidak mungkin dapat menghadirkan solusi jika yang menjadi tonggak fokusnya adalah masalah. Selain itu, karena fokus terhadap hal negatif akan membangkitkan perasaan negatif, yang pada akhirnya dapat menghalangi akal untuk melihat solusi. Namun, hal ini tidak berarti kita harus berpura-pura bodoh terhadap masalah itu sendiri. Untuk memperjelas poin ini, saya beri contoh dengan apa yang terjadi di salah satu pabrik besar di Jepang, mereka mendapati bahwa banyak kaleng (sebagai wadah dari hasil produksi mereka) yang tidak terisi. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mulai membuat alat yang memancarkan sinar untuk mengungkap kaleng-kaleng mana yang kosong. Namun, mereka harus menugaskan pekerja khusus untuk menyingkirkan kaleng-kaleng itu, sehingga anggaran pengeluaran semakin bertambah. Sedangkan di pabrik kecil di tempat lain, terjadi masalah yang sama, tapi pabrik ini memfokuskan pikiran mereka pada solusi, bukan pada masalah yang terjadi, sehingga mereka punya ide untuk memasang kipas angin kecil, sehingga kaleng-kaleng yang kosong akan jatuh dengan sendirinya. Solusi ini tidak membebani pengeluaran mereka sedikit pun, karena pikiran mereka lebih tertuju pada solusi, bukan pada masalah. Ketika kita fokus terhadap solusi, kita akan bersikap lebih kreatif dan efektif, tapi ketika kita lebih fokus terhadap masalah, kita akan menciptakan masalah-masalah yang lain. النقطة الثانية: يجب التركيز على السلوك الخاطئ بأنه هو المشكلة، ولا ينصبّ تركيزنا على الذات التي سبَّبت المُشكلة، فإذا ركَّزنا على نقد الذات فسنفقد الثقة في قدرات الشخص المقابل، وسيتملَّكه اليأس تجاه إيجاد حل مناسب للمشكلة، وينتهي بتوقع الفشل؛ لأنه قد يعتقد أنَّ ما قدَّمه هو غير نافع، وليس باستطاعته تقديم الأفضل، فهو لا يُخضع قُدراته لتقييم عادل بل لما تسلَّل إلى ذاته من تقييم غيره. Poin kedua: Kita harus fokus pada sikap yang salah sebagai sumber masalah, tidak mengarahkan fokus kita pada personal yang menimbulkan masalah. Apabila kita fokus mengkritik pribadi seseorang, kita akan kehilangan kepercayaan diri orang tersebut, membuatnya merasa putus asa dalam mencari solusi yang tepat atas masalah yang terjadi, dan akhirnya ia sudah menebak dari awal akan gagal, karena bisa jadi ia menjadi yakin apa yang ia kerjakan tidak bermanfaat dan tidak mampu melakukan yang lebih baik. Ia tidak menilai kemampuannya dengan penilaian yang objektif, tapi dengan keyakinan yang menyusup ke dalam dirinya yang berasal dari penilaian orang lain. وفي المقابل فإنَّ نقد السلوك مجال رحب للإصلاح، وتعديل التصرفات، بحيث يكون ميزانًا نزن به تصرفاتنا، ونُعَدِّل سلوكياتنا ونُصحِّحها، ونصل إلى الحل بسرعة، أمَّا نقد الذات فإنَّه يُعيق المسيرة ويئد الحلول، ويُفضي إلى الفشل. Adapun di sisi lain, kritik terhadap sikap merupakan ruang yang lapang untuk melakukan perbaikan pribadi seseorang, karena terdapat standar yang jelas untuk menimbang tindak-tanduk kita, meluruskan sikap-sikap kita, dan mencapai solusi lebih cepat. Sedangkan kritik terhadap pribadi akan menghambat langkah, mengubur solusi, dan menggiring kepada kegagalan. ويُوجِّهنا القرآن الكريم إلى أهمية نقد السلوك لا الذات؛ فلوط عليه السلام خاطب قومه وقال لهم: ﴿ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ ﴾ [الشعراء: 168]، فكان موقفه التبرؤ من سلوك قومه، ولم يتبرأ منهم، لم يُبغضهم؛ بل أبغض صنيعهم، فمن يُريدُ حلَّ المُشكلة يكون جُل تركيزه على الحل، وعلى نبذ السلوك الخاطئ، وهذا ما فعله لوط عليه السلام. Al-Qur’an telah memberi kita arahan tentang betapa pentingnya kritik terhadap sikap, bukan personal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Luth Alaihissalam berkata kepada kaumnya dengan ucapan: إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang sangat benci terhadap perbuatan kalian.” (QS. Asy-Syu’ara: 168). Nabi Luth memosisikan dirinya sebagai orang yang berlepas diri dari sikap kaumnya, bukan terhadap kaumnya itu sendiri, tidak benci mereka, tapi benci perbuatan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang ingin mengatasi masalah hendaknya lebih memusatkan fokusnya terhadap solusi dan menangani sikap yang salah, dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Luth ‘Alaihissalam. وفي توجيه قرآني آخر، بالتحديد في صراع ابني آدم، أراد هابيل قتل أخيه! (تركيز على الذات) بأنه هو المشكلة، فلإدارة الصراع، ولحل المشكلة بدأ قابيل في مفاوضة أخاه- والتفاوض من أحد أهم إستراتيجيات حل النزاعات-فأشار على أخيه بتقديم قربان (صدقة) لله سبحانه، فمن تُقبَل صدقته يُؤخذ قوله، قال تعالى: ﴿ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ ﴾ [المائدة: 27]، فعندما لم يُتقبَّل منه قتله، ﴿ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ ﴾ [المائدة: 30]، ورغم أن الصراع انتهى بالقتل إلا أنهناك حلولًا قُدِّمت، ونوايا جميلة بُذلت لحل الصراع ﴿ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ ﴾ [المائدة: 28]. Begitu juga dalam arahan Al-Qur’an lainnya, lebih tepatnya pada perselisihan dua anak Nabi Adam. Habil ingin membunuh saudaranya (ia fokus pada personal), dan menganggap saudaranya sebagai masalah. Namun, untuk mengelola perselisihan dan mencari solusi masalah, Qabil ingin memulai perundingan dengan Habil – dan berunding merupakan salah satu strategi terpenting dalam menyelesaikan perselisihan –, sehingga Qabil mengusulkan kepada saudaranya untuk mempersembahkan kurban untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, siapa di antara mereka berdua yang kurbannya diterima maka pendapatnya yang akan dijalankan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ “Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lain.” (QS. Al-Maidah: 27). Namun, ketika kurban salah satunya tidak diterima, ia justru membunuh saudaranya. “Kemudian, hawa nafsunya mendorong dia untuk membunuh saudaranya. Maka, dia pun (benar-benar) membunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 30). Meskipun perselisihan ini berakhir dengan pembunuhan, hanya saja ada solusi-solusi yang diajukan sebelumnya dan niat-niat baik yang dikerahkan demi menyelesaikan perselisihan. “Sesungguhnya jika engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Maidah: 28). وهذه صورة أخرى لأحد الصراعات التي ذُكرت في القرآن الكريم تتجلى في قصة يوسف عليه السلام، فقد حكم أُخْوةُ يوسُف على أخيهم بالقتل؛ لأن التركيز كان مُنصبًّا على الذات، وخُفِّف الحكم من القتل إلى حل بديل، ﴿ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ ﴾ [يوسف: 9] حتى وإن تغيرت الطريقة فلا زال التركيز على الذات، فهم لم يفكروا في الحل، بل كان جُلُّ تركيزهم على الذات، والتخلص منها، فلم ينجحوا في حل المشكلة، وأوجدوا مشاكل أخرى متعددة، كانوا في غِنًى عنها. Berikut ini juga contoh lain dari salah satu perselisihan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saudara-saudara Yusuf telah menetapkan untuk membunuh Yusuf, karena yang menjadi fokus mereka adalah personal. Kemudian keputusan ini menjadi lebih ringan dari pembunuhan ke keputusan lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan: أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ “Atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu dan setelah itu (bertobatlah sehingga) kamu akan menjadi kaum yang saleh.” (QS. Yusuf: 9). Meskipun cara eksekusi keputusan ini akhirnya berubah, tapi fokus mereka masih tertuju pada pribadi Nabi Yusuf. Mereka tidak memikirkan solusi masalah, tapi justru mereka hanya terfokus pada personal dan terbebas dari orangnya, sehingga mereka tidak berhasil mendapatkan solusi dari masalah mereka, bahkan mereka justru menimbulkan banyak masalah lain yang seharusnya bisa mereka hindari. فلإدارة الصراع ينبغي أن نركز على الحل لا المشكلة، ويجب أن يكون تركيزنا على السلوك الصادر لا على الذات؛ وبهذا نستطيع إدارة الصراع في حياتنا بِشَكْلٍ صحيح. Oleh sebab itu, untuk mengelola perselisihan hendaklah kita berfokus pada solusi, bukan pada masalah. Fokus kita harus tertuju pada sikap yang timbul, bukan pada personal. Dengan demikian, kita akan mampu mengelola perselisihan yang ada dalam hidup kita dengan cara yang benar. Sumber: https://www.alukah.net/social/0/169692/فن-إدارة-الصراع-بين-الزوجين/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 171 times, 1 visit(s) today Post Views: 197 QRIS donasi Yufid


فن إدارة الصراع بين الزوجين Oleh: Prof. Abdullah bin Abdul Aziz al-Khalidi أ. عبدالله بن عبدالعزيز الخالدي يتشارك الزوجان في كل تفاصيل حياتهم، ومن الطبيعي أن تحدث الخلافات لأسباب عديدة، وعدم وجود خلافات ليس دليلًا على صحة العلاقة الزوجية، حيث يسعى البعض إلى علاقة مثالية، خالية من العيوب، لكن في حقيقة الأمر الخلافات أمر طبيعي، ولا يخلو بيت من المشاكل، أما صفاء النفوس المطلق فيمكن الحصول عليه في الجنة، يقول سبحانه: ﴿ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ ﴾ [الحجر: 47]. والمشكلة ليست في وقُوع المُشكلة؛ وإنما في تركها بلا حل. Suami dan istri selalu bersama dalam setiap sendi kehidupan mereka, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah jika terjadi perselisihan di antara mereka karena berbagai sebab. Tidak terjadinya perselisihan bukan menjadi tanda sehatnya hubungan rumah tangga, ketika sebagian orang berusaha untuk memiliki hubungan yang ideal dan tanpa kekurangan. Namun, pada hakikatnya, perselisihan merupakan perkara yang wajar dan tidak ada rumah tangga yang terbebas dari masalah. Adapun kejernihan jiwa tanpa masalah secara mutlak hanya dapat diraih kelak di surga. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ “Kami mencabut segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka. Mereka bersaudara dan duduk berhadap-hadapan di atas dipan.” (QS. Al-Hijr: 47). Masalah bukanlah ketika masalah itu terjadi, tapi ketika ia dibiarkan tanpa solusi. عندما يبدأ الصراع في الحياة الزوجية يصل الأمر إلى حالة من التوتر تشبه الحرب، وقد يحدث الاعتداء بالسب، والعنف، وإن استمرت الحياة الزوجية، فسيكون استمرارها بكدر، فيتكوَّن جرَّاء ذلك سلوكان: أحدهما هجومي، والآخر دفاعي، وذلك استجابة نفسية في كثير من حالات الصراع. Ketika mulai muncul perselisihan dalam kehidupan berumah tangga, keadaan akan menjadi tegang seperti peperangan, dan terkadang sampai terjadi tindakan berlebihan seperti makian dan kekerasan. Meskipun kehidupan rumah tangga masih mungkin berlanjut, tetapi sejak itu akan berlanjut dengan suasana yang keruh, sehingga akan terbentuk darinya dua sikap, ofensif dan defensif. Ini merupakan reaksi jiwa yang sering kali timbul ketika terjadi perselisihan. بداية المشكلة خلاف، يتجه إلى جدل، ثم شقاق، فعناد، وأخيرًا يبدأ الصراع، وهو بداية التوتر، ويتجه إلى الإيذاء، وتنحية الطرف الآخر. فالخلاف أزمة، والجدال مفاوضة، والشقاق منحى بدون تفكير بصواب أم بخطأ. Awal mula permasalahan adalah adanya perbedaan paham, kemudian berlanjut pada perdebatan, lalu persengketaan dan saling membela diri, dan berujung perselisihan. Inilah awal dari ketegangan hubungan dan dapat berlanjut ke tahap saling menyakiti dan menghindari pihak lain. Perbedaan paham adalah krisis, perdebatan adalah perundingan, sedangkan persengketaan adalah pelarian tanpa memikirkan apakah dalam posisi benar atau salah. هناك نقطتان يجب فهمهما عند إدارة هذا الصراع، النقطة الأولى: التركيز على الحل لا المشكلة، فالعقل لايمكن أن يُوجد الحُلول إذا كان تركيزه منصبًّا على المشكلة، ولأن التركيز السَّلبي يُنشِّط المشاعر السَّلبية التي بدورها تحجُب رؤية الحلول، ولا يعني هذا الكلام تجاهل المشكلة ذاتها، ولتوضيح هذا المعنى أعرض ما حدث لأحد المصانع الكبيرة في اليابان، حيث وجدوا أن عددًا من العبوات فارغة، ولحل هذه المشكلة بدأوا في تصنيع جهاز أشعة للكشف عن العُلَب الفارغة، وخصَّصوا عاملًا لإزالة العبوات، فزاد في التكلفة المالية، في حين حدثت المشكلة في مصنع آخر صغير، قام المصنع بالتفكير في الحل، لا المشكلة؛ فاهتدوا إلى وضع مروحة صغيرة، فتطايرت العبوات الفارغة بسرعة، ولم يكلفهم الحل شيئًا؛ لأن التفكير كان مُنصبًّا على الحل لا على المشكلة، عندما نُركِّز على الحل فإننا نُبدع، ونختصر، وعندما نركز على المشكلة فإننا نخلق مُشكلات أخرى. Ada dua poin yang harus dipahami dalam mengelola perselisihan, yaitu: Poin pertama: Fokus pada solusi, bukan pada masalah. Akal tidak mungkin dapat menghadirkan solusi jika yang menjadi tonggak fokusnya adalah masalah. Selain itu, karena fokus terhadap hal negatif akan membangkitkan perasaan negatif, yang pada akhirnya dapat menghalangi akal untuk melihat solusi. Namun, hal ini tidak berarti kita harus berpura-pura bodoh terhadap masalah itu sendiri. Untuk memperjelas poin ini, saya beri contoh dengan apa yang terjadi di salah satu pabrik besar di Jepang, mereka mendapati bahwa banyak kaleng (sebagai wadah dari hasil produksi mereka) yang tidak terisi. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mulai membuat alat yang memancarkan sinar untuk mengungkap kaleng-kaleng mana yang kosong. Namun, mereka harus menugaskan pekerja khusus untuk menyingkirkan kaleng-kaleng itu, sehingga anggaran pengeluaran semakin bertambah. Sedangkan di pabrik kecil di tempat lain, terjadi masalah yang sama, tapi pabrik ini memfokuskan pikiran mereka pada solusi, bukan pada masalah yang terjadi, sehingga mereka punya ide untuk memasang kipas angin kecil, sehingga kaleng-kaleng yang kosong akan jatuh dengan sendirinya. Solusi ini tidak membebani pengeluaran mereka sedikit pun, karena pikiran mereka lebih tertuju pada solusi, bukan pada masalah. Ketika kita fokus terhadap solusi, kita akan bersikap lebih kreatif dan efektif, tapi ketika kita lebih fokus terhadap masalah, kita akan menciptakan masalah-masalah yang lain. النقطة الثانية: يجب التركيز على السلوك الخاطئ بأنه هو المشكلة، ولا ينصبّ تركيزنا على الذات التي سبَّبت المُشكلة، فإذا ركَّزنا على نقد الذات فسنفقد الثقة في قدرات الشخص المقابل، وسيتملَّكه اليأس تجاه إيجاد حل مناسب للمشكلة، وينتهي بتوقع الفشل؛ لأنه قد يعتقد أنَّ ما قدَّمه هو غير نافع، وليس باستطاعته تقديم الأفضل، فهو لا يُخضع قُدراته لتقييم عادل بل لما تسلَّل إلى ذاته من تقييم غيره. Poin kedua: Kita harus fokus pada sikap yang salah sebagai sumber masalah, tidak mengarahkan fokus kita pada personal yang menimbulkan masalah. Apabila kita fokus mengkritik pribadi seseorang, kita akan kehilangan kepercayaan diri orang tersebut, membuatnya merasa putus asa dalam mencari solusi yang tepat atas masalah yang terjadi, dan akhirnya ia sudah menebak dari awal akan gagal, karena bisa jadi ia menjadi yakin apa yang ia kerjakan tidak bermanfaat dan tidak mampu melakukan yang lebih baik. Ia tidak menilai kemampuannya dengan penilaian yang objektif, tapi dengan keyakinan yang menyusup ke dalam dirinya yang berasal dari penilaian orang lain. وفي المقابل فإنَّ نقد السلوك مجال رحب للإصلاح، وتعديل التصرفات، بحيث يكون ميزانًا نزن به تصرفاتنا، ونُعَدِّل سلوكياتنا ونُصحِّحها، ونصل إلى الحل بسرعة، أمَّا نقد الذات فإنَّه يُعيق المسيرة ويئد الحلول، ويُفضي إلى الفشل. Adapun di sisi lain, kritik terhadap sikap merupakan ruang yang lapang untuk melakukan perbaikan pribadi seseorang, karena terdapat standar yang jelas untuk menimbang tindak-tanduk kita, meluruskan sikap-sikap kita, dan mencapai solusi lebih cepat. Sedangkan kritik terhadap pribadi akan menghambat langkah, mengubur solusi, dan menggiring kepada kegagalan. ويُوجِّهنا القرآن الكريم إلى أهمية نقد السلوك لا الذات؛ فلوط عليه السلام خاطب قومه وقال لهم: ﴿ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ ﴾ [الشعراء: 168]، فكان موقفه التبرؤ من سلوك قومه، ولم يتبرأ منهم، لم يُبغضهم؛ بل أبغض صنيعهم، فمن يُريدُ حلَّ المُشكلة يكون جُل تركيزه على الحل، وعلى نبذ السلوك الخاطئ، وهذا ما فعله لوط عليه السلام. Al-Qur’an telah memberi kita arahan tentang betapa pentingnya kritik terhadap sikap, bukan personal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Luth Alaihissalam berkata kepada kaumnya dengan ucapan: إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang sangat benci terhadap perbuatan kalian.” (QS. Asy-Syu’ara: 168). Nabi Luth memosisikan dirinya sebagai orang yang berlepas diri dari sikap kaumnya, bukan terhadap kaumnya itu sendiri, tidak benci mereka, tapi benci perbuatan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang ingin mengatasi masalah hendaknya lebih memusatkan fokusnya terhadap solusi dan menangani sikap yang salah, dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Luth ‘Alaihissalam. وفي توجيه قرآني آخر، بالتحديد في صراع ابني آدم، أراد هابيل قتل أخيه! (تركيز على الذات) بأنه هو المشكلة، فلإدارة الصراع، ولحل المشكلة بدأ قابيل في مفاوضة أخاه- والتفاوض من أحد أهم إستراتيجيات حل النزاعات-فأشار على أخيه بتقديم قربان (صدقة) لله سبحانه، فمن تُقبَل صدقته يُؤخذ قوله، قال تعالى: ﴿ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ ﴾ [المائدة: 27]، فعندما لم يُتقبَّل منه قتله، ﴿ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ ﴾ [المائدة: 30]، ورغم أن الصراع انتهى بالقتل إلا أنهناك حلولًا قُدِّمت، ونوايا جميلة بُذلت لحل الصراع ﴿ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ ﴾ [المائدة: 28]. Begitu juga dalam arahan Al-Qur’an lainnya, lebih tepatnya pada perselisihan dua anak Nabi Adam. Habil ingin membunuh saudaranya (ia fokus pada personal), dan menganggap saudaranya sebagai masalah. Namun, untuk mengelola perselisihan dan mencari solusi masalah, Qabil ingin memulai perundingan dengan Habil – dan berunding merupakan salah satu strategi terpenting dalam menyelesaikan perselisihan –, sehingga Qabil mengusulkan kepada saudaranya untuk mempersembahkan kurban untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, siapa di antara mereka berdua yang kurbannya diterima maka pendapatnya yang akan dijalankan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ “Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lain.” (QS. Al-Maidah: 27). Namun, ketika kurban salah satunya tidak diterima, ia justru membunuh saudaranya. “Kemudian, hawa nafsunya mendorong dia untuk membunuh saudaranya. Maka, dia pun (benar-benar) membunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 30). Meskipun perselisihan ini berakhir dengan pembunuhan, hanya saja ada solusi-solusi yang diajukan sebelumnya dan niat-niat baik yang dikerahkan demi menyelesaikan perselisihan. “Sesungguhnya jika engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Maidah: 28). وهذه صورة أخرى لأحد الصراعات التي ذُكرت في القرآن الكريم تتجلى في قصة يوسف عليه السلام، فقد حكم أُخْوةُ يوسُف على أخيهم بالقتل؛ لأن التركيز كان مُنصبًّا على الذات، وخُفِّف الحكم من القتل إلى حل بديل، ﴿ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ ﴾ [يوسف: 9] حتى وإن تغيرت الطريقة فلا زال التركيز على الذات، فهم لم يفكروا في الحل، بل كان جُلُّ تركيزهم على الذات، والتخلص منها، فلم ينجحوا في حل المشكلة، وأوجدوا مشاكل أخرى متعددة، كانوا في غِنًى عنها. Berikut ini juga contoh lain dari salah satu perselisihan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saudara-saudara Yusuf telah menetapkan untuk membunuh Yusuf, karena yang menjadi fokus mereka adalah personal. Kemudian keputusan ini menjadi lebih ringan dari pembunuhan ke keputusan lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan: أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ “Atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu dan setelah itu (bertobatlah sehingga) kamu akan menjadi kaum yang saleh.” (QS. Yusuf: 9). Meskipun cara eksekusi keputusan ini akhirnya berubah, tapi fokus mereka masih tertuju pada pribadi Nabi Yusuf. Mereka tidak memikirkan solusi masalah, tapi justru mereka hanya terfokus pada personal dan terbebas dari orangnya, sehingga mereka tidak berhasil mendapatkan solusi dari masalah mereka, bahkan mereka justru menimbulkan banyak masalah lain yang seharusnya bisa mereka hindari. فلإدارة الصراع ينبغي أن نركز على الحل لا المشكلة، ويجب أن يكون تركيزنا على السلوك الصادر لا على الذات؛ وبهذا نستطيع إدارة الصراع في حياتنا بِشَكْلٍ صحيح. Oleh sebab itu, untuk mengelola perselisihan hendaklah kita berfokus pada solusi, bukan pada masalah. Fokus kita harus tertuju pada sikap yang timbul, bukan pada personal. Dengan demikian, kita akan mampu mengelola perselisihan yang ada dalam hidup kita dengan cara yang benar. Sumber: https://www.alukah.net/social/0/169692/فن-إدارة-الصراع-بين-الزوجين/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 171 times, 1 visit(s) today Post Views: 197 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Begadang Ya, Shalat Malam Tidak? – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadis tersebut: Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin terletak pada Shalat Malam. Bagaimana mungkin seorang Mukmin menyia-nyiakan kemuliaan dan kedudukannya, serta meninggalkan Shalat Malam? Maka sudah sepantasnya bagi seorang Mukmin untuk berusaha keras meraih kemuliaannya, dengan bersungguh-sungguh dalam mendirikan Shalat Malam, dan menjadi orang yang konsisten melaksanakannya. Sebelumnya saya telah sampaikan kepada kalian bahwa Shalat Malam berlaku juga untuk shalat yang dilakukan setelah Shalat Isya, meskipun langsung setelahnya. Orang yang tidak mampu mendirikan Shalat Malam pada akhir malam, boleh mendirikannya di awal malam, setelah Shalat Isya. Ia bisa mendirikan Shalat Sunnah Rawatib terlebih dahulu, lalu mendirikan Shalat Malam. Yang sangat disayangkan, mayoritas orang saat ini terjaga selama sebagian besar waktu malamnya, tapi sedikit sekali dari mereka yang mendirikan Shalat Malam. Mereka begadang hingga jam satu, dua, bahkan tiga pagi. Padahal mereka memiliki kemampuan untuk mendirikan Shalat Malam, tapi yang disayangkan, mereka tidak melakukannya. Fenomena ini menjadi penegas bagi para penuntut ilmu untuk mengobarkan semangat orang-orang agar mau mendirikan Shalat Malam, serta menjelaskan kepada mereka keutamaannya. Karena penuntut ilmu harus memanfaatkan kondisi seperti ini. Sebab, jika kamu membimbing seseorang untuk mendirikan Shalat Malam, lalu dia benar-benar mendirikannya, maka setiap kali ia Shalat Malam, pahalanya akan dicatat juga untukmu. Jika ia pun mengajarkan orang lain, maka setiap kali orang itu Shalat Malam, pahalanya tetap ditulis untukmu. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Mukmin mendorong orang lain agar Shalat Malam, dan membimbing mereka untuk Shalat Malam, supaya ia sendiri meraih keberuntungan. Begitu pula dengan orang yang ia bimbing tersebut. ===== وَالشَّاهِدُ مِنَ الْحَدِيثِ وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ المُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ كَيْفَ يُفَرِّطُ الْمُؤْمِنُ فِي شَرَفِهِ وَمَقَامِهِ وَيَتْرُكُ قِيَامَ اللَّيْلِ فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى شَرَفِهِ بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ nوَعَلَى أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ قِيَامِ اللَّيْلِ وَقَدْ قَدَّمْتُ لَكُمْ أَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ يَصْدُقُ عَلَى الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَلَوْ بَعْدَ الْعِشَاءِ مُبَاشَرَةً الَّذِي مَا يَسْتَطِيعُ يَقُومُ فِي آخِرِ اللَّيْلِ يُصَلِّي فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ بَعْدَ مَا يُصَلِّي الْعِشَاءَ يُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ يُصَلِّي وِرْدَهُ وَمِنْ أَسَفٍ أَنَّ النَّاسَ الْيَوْمَ يَسْتَيْقِظُوْنَ أَكْثَرَ اللَّيْلِ لَكِنْ قَلَّ مَنْ يَقُومُ اللَّيْلَ مِنْهُمْ يَسْهَرُون إِلَى الْوَاحِدَةِ وَالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَعِنْدَهُمْ قُدْرَةٌ عَلَى أَنْ يَقُومُوْا اللَّيْلَ لَكِنَّهُمْ لِلْأَسَفِ لَا يَفْعَلُونَ وَهَذَا يُحَتِّمُ عَلَى طُلَّابِ الْعِلْمِ أَنْ يَحُثُّوا النَّاسَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَيُبَيِّنُ لَهُمْ فَضْلَهُ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَغْتَنِمُ مِثْلَ هَذِهِ الْأُمُورِ لِأَنَّكَ إِذَا دَلَلْتَ أَحَدًا عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ فَقَامَ اللَّيْلَ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَكَ أَجْرُهُ فَإِذَا عَلَّمَ غَيْرَهُ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَك أَجْرُهُ وَهَكَذَا فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَحُضَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَأَنْ يَدُلَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ لِيَفُوزَ هُوَ وَمَنْ دَلَّهُ عَلَى ذَلِكَ

Begadang Ya, Shalat Malam Tidak? – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadis tersebut: Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin terletak pada Shalat Malam. Bagaimana mungkin seorang Mukmin menyia-nyiakan kemuliaan dan kedudukannya, serta meninggalkan Shalat Malam? Maka sudah sepantasnya bagi seorang Mukmin untuk berusaha keras meraih kemuliaannya, dengan bersungguh-sungguh dalam mendirikan Shalat Malam, dan menjadi orang yang konsisten melaksanakannya. Sebelumnya saya telah sampaikan kepada kalian bahwa Shalat Malam berlaku juga untuk shalat yang dilakukan setelah Shalat Isya, meskipun langsung setelahnya. Orang yang tidak mampu mendirikan Shalat Malam pada akhir malam, boleh mendirikannya di awal malam, setelah Shalat Isya. Ia bisa mendirikan Shalat Sunnah Rawatib terlebih dahulu, lalu mendirikan Shalat Malam. Yang sangat disayangkan, mayoritas orang saat ini terjaga selama sebagian besar waktu malamnya, tapi sedikit sekali dari mereka yang mendirikan Shalat Malam. Mereka begadang hingga jam satu, dua, bahkan tiga pagi. Padahal mereka memiliki kemampuan untuk mendirikan Shalat Malam, tapi yang disayangkan, mereka tidak melakukannya. Fenomena ini menjadi penegas bagi para penuntut ilmu untuk mengobarkan semangat orang-orang agar mau mendirikan Shalat Malam, serta menjelaskan kepada mereka keutamaannya. Karena penuntut ilmu harus memanfaatkan kondisi seperti ini. Sebab, jika kamu membimbing seseorang untuk mendirikan Shalat Malam, lalu dia benar-benar mendirikannya, maka setiap kali ia Shalat Malam, pahalanya akan dicatat juga untukmu. Jika ia pun mengajarkan orang lain, maka setiap kali orang itu Shalat Malam, pahalanya tetap ditulis untukmu. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Mukmin mendorong orang lain agar Shalat Malam, dan membimbing mereka untuk Shalat Malam, supaya ia sendiri meraih keberuntungan. Begitu pula dengan orang yang ia bimbing tersebut. ===== وَالشَّاهِدُ مِنَ الْحَدِيثِ وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ المُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ كَيْفَ يُفَرِّطُ الْمُؤْمِنُ فِي شَرَفِهِ وَمَقَامِهِ وَيَتْرُكُ قِيَامَ اللَّيْلِ فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى شَرَفِهِ بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ nوَعَلَى أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ قِيَامِ اللَّيْلِ وَقَدْ قَدَّمْتُ لَكُمْ أَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ يَصْدُقُ عَلَى الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَلَوْ بَعْدَ الْعِشَاءِ مُبَاشَرَةً الَّذِي مَا يَسْتَطِيعُ يَقُومُ فِي آخِرِ اللَّيْلِ يُصَلِّي فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ بَعْدَ مَا يُصَلِّي الْعِشَاءَ يُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ يُصَلِّي وِرْدَهُ وَمِنْ أَسَفٍ أَنَّ النَّاسَ الْيَوْمَ يَسْتَيْقِظُوْنَ أَكْثَرَ اللَّيْلِ لَكِنْ قَلَّ مَنْ يَقُومُ اللَّيْلَ مِنْهُمْ يَسْهَرُون إِلَى الْوَاحِدَةِ وَالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَعِنْدَهُمْ قُدْرَةٌ عَلَى أَنْ يَقُومُوْا اللَّيْلَ لَكِنَّهُمْ لِلْأَسَفِ لَا يَفْعَلُونَ وَهَذَا يُحَتِّمُ عَلَى طُلَّابِ الْعِلْمِ أَنْ يَحُثُّوا النَّاسَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَيُبَيِّنُ لَهُمْ فَضْلَهُ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَغْتَنِمُ مِثْلَ هَذِهِ الْأُمُورِ لِأَنَّكَ إِذَا دَلَلْتَ أَحَدًا عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ فَقَامَ اللَّيْلَ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَكَ أَجْرُهُ فَإِذَا عَلَّمَ غَيْرَهُ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَك أَجْرُهُ وَهَكَذَا فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَحُضَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَأَنْ يَدُلَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ لِيَفُوزَ هُوَ وَمَنْ دَلَّهُ عَلَى ذَلِكَ
Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadis tersebut: Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin terletak pada Shalat Malam. Bagaimana mungkin seorang Mukmin menyia-nyiakan kemuliaan dan kedudukannya, serta meninggalkan Shalat Malam? Maka sudah sepantasnya bagi seorang Mukmin untuk berusaha keras meraih kemuliaannya, dengan bersungguh-sungguh dalam mendirikan Shalat Malam, dan menjadi orang yang konsisten melaksanakannya. Sebelumnya saya telah sampaikan kepada kalian bahwa Shalat Malam berlaku juga untuk shalat yang dilakukan setelah Shalat Isya, meskipun langsung setelahnya. Orang yang tidak mampu mendirikan Shalat Malam pada akhir malam, boleh mendirikannya di awal malam, setelah Shalat Isya. Ia bisa mendirikan Shalat Sunnah Rawatib terlebih dahulu, lalu mendirikan Shalat Malam. Yang sangat disayangkan, mayoritas orang saat ini terjaga selama sebagian besar waktu malamnya, tapi sedikit sekali dari mereka yang mendirikan Shalat Malam. Mereka begadang hingga jam satu, dua, bahkan tiga pagi. Padahal mereka memiliki kemampuan untuk mendirikan Shalat Malam, tapi yang disayangkan, mereka tidak melakukannya. Fenomena ini menjadi penegas bagi para penuntut ilmu untuk mengobarkan semangat orang-orang agar mau mendirikan Shalat Malam, serta menjelaskan kepada mereka keutamaannya. Karena penuntut ilmu harus memanfaatkan kondisi seperti ini. Sebab, jika kamu membimbing seseorang untuk mendirikan Shalat Malam, lalu dia benar-benar mendirikannya, maka setiap kali ia Shalat Malam, pahalanya akan dicatat juga untukmu. Jika ia pun mengajarkan orang lain, maka setiap kali orang itu Shalat Malam, pahalanya tetap ditulis untukmu. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Mukmin mendorong orang lain agar Shalat Malam, dan membimbing mereka untuk Shalat Malam, supaya ia sendiri meraih keberuntungan. Begitu pula dengan orang yang ia bimbing tersebut. ===== وَالشَّاهِدُ مِنَ الْحَدِيثِ وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ المُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ كَيْفَ يُفَرِّطُ الْمُؤْمِنُ فِي شَرَفِهِ وَمَقَامِهِ وَيَتْرُكُ قِيَامَ اللَّيْلِ فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى شَرَفِهِ بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ nوَعَلَى أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ قِيَامِ اللَّيْلِ وَقَدْ قَدَّمْتُ لَكُمْ أَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ يَصْدُقُ عَلَى الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَلَوْ بَعْدَ الْعِشَاءِ مُبَاشَرَةً الَّذِي مَا يَسْتَطِيعُ يَقُومُ فِي آخِرِ اللَّيْلِ يُصَلِّي فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ بَعْدَ مَا يُصَلِّي الْعِشَاءَ يُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ يُصَلِّي وِرْدَهُ وَمِنْ أَسَفٍ أَنَّ النَّاسَ الْيَوْمَ يَسْتَيْقِظُوْنَ أَكْثَرَ اللَّيْلِ لَكِنْ قَلَّ مَنْ يَقُومُ اللَّيْلَ مِنْهُمْ يَسْهَرُون إِلَى الْوَاحِدَةِ وَالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَعِنْدَهُمْ قُدْرَةٌ عَلَى أَنْ يَقُومُوْا اللَّيْلَ لَكِنَّهُمْ لِلْأَسَفِ لَا يَفْعَلُونَ وَهَذَا يُحَتِّمُ عَلَى طُلَّابِ الْعِلْمِ أَنْ يَحُثُّوا النَّاسَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَيُبَيِّنُ لَهُمْ فَضْلَهُ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَغْتَنِمُ مِثْلَ هَذِهِ الْأُمُورِ لِأَنَّكَ إِذَا دَلَلْتَ أَحَدًا عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ فَقَامَ اللَّيْلَ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَكَ أَجْرُهُ فَإِذَا عَلَّمَ غَيْرَهُ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَك أَجْرُهُ وَهَكَذَا فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَحُضَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَأَنْ يَدُلَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ لِيَفُوزَ هُوَ وَمَنْ دَلَّهُ عَلَى ذَلِكَ


Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadis tersebut: Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin terletak pada Shalat Malam. Bagaimana mungkin seorang Mukmin menyia-nyiakan kemuliaan dan kedudukannya, serta meninggalkan Shalat Malam? Maka sudah sepantasnya bagi seorang Mukmin untuk berusaha keras meraih kemuliaannya, dengan bersungguh-sungguh dalam mendirikan Shalat Malam, dan menjadi orang yang konsisten melaksanakannya. Sebelumnya saya telah sampaikan kepada kalian bahwa Shalat Malam berlaku juga untuk shalat yang dilakukan setelah Shalat Isya, meskipun langsung setelahnya. Orang yang tidak mampu mendirikan Shalat Malam pada akhir malam, boleh mendirikannya di awal malam, setelah Shalat Isya. Ia bisa mendirikan Shalat Sunnah Rawatib terlebih dahulu, lalu mendirikan Shalat Malam. Yang sangat disayangkan, mayoritas orang saat ini terjaga selama sebagian besar waktu malamnya, tapi sedikit sekali dari mereka yang mendirikan Shalat Malam. Mereka begadang hingga jam satu, dua, bahkan tiga pagi. Padahal mereka memiliki kemampuan untuk mendirikan Shalat Malam, tapi yang disayangkan, mereka tidak melakukannya. Fenomena ini menjadi penegas bagi para penuntut ilmu untuk mengobarkan semangat orang-orang agar mau mendirikan Shalat Malam, serta menjelaskan kepada mereka keutamaannya. Karena penuntut ilmu harus memanfaatkan kondisi seperti ini. Sebab, jika kamu membimbing seseorang untuk mendirikan Shalat Malam, lalu dia benar-benar mendirikannya, maka setiap kali ia Shalat Malam, pahalanya akan dicatat juga untukmu. Jika ia pun mengajarkan orang lain, maka setiap kali orang itu Shalat Malam, pahalanya tetap ditulis untukmu. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Mukmin mendorong orang lain agar Shalat Malam, dan membimbing mereka untuk Shalat Malam, supaya ia sendiri meraih keberuntungan. Begitu pula dengan orang yang ia bimbing tersebut. ===== وَالشَّاهِدُ مِنَ الْحَدِيثِ وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ المُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ كَيْفَ يُفَرِّطُ الْمُؤْمِنُ فِي شَرَفِهِ وَمَقَامِهِ وَيَتْرُكُ قِيَامَ اللَّيْلِ فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى شَرَفِهِ بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ nوَعَلَى أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ قِيَامِ اللَّيْلِ وَقَدْ قَدَّمْتُ لَكُمْ أَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ يَصْدُقُ عَلَى الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَلَوْ بَعْدَ الْعِشَاءِ مُبَاشَرَةً الَّذِي مَا يَسْتَطِيعُ يَقُومُ فِي آخِرِ اللَّيْلِ يُصَلِّي فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ بَعْدَ مَا يُصَلِّي الْعِشَاءَ يُصَلِّي السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ يُصَلِّي وِرْدَهُ وَمِنْ أَسَفٍ أَنَّ النَّاسَ الْيَوْمَ يَسْتَيْقِظُوْنَ أَكْثَرَ اللَّيْلِ لَكِنْ قَلَّ مَنْ يَقُومُ اللَّيْلَ مِنْهُمْ يَسْهَرُون إِلَى الْوَاحِدَةِ وَالثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَعِنْدَهُمْ قُدْرَةٌ عَلَى أَنْ يَقُومُوْا اللَّيْلَ لَكِنَّهُمْ لِلْأَسَفِ لَا يَفْعَلُونَ وَهَذَا يُحَتِّمُ عَلَى طُلَّابِ الْعِلْمِ أَنْ يَحُثُّوا النَّاسَ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَيُبَيِّنُ لَهُمْ فَضْلَهُ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَغْتَنِمُ مِثْلَ هَذِهِ الْأُمُورِ لِأَنَّكَ إِذَا دَلَلْتَ أَحَدًا عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ فَقَامَ اللَّيْلَ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَكَ أَجْرُهُ فَإِذَا عَلَّمَ غَيْرَهُ كُلَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُتِبَ لَك أَجْرُهُ وَهَكَذَا فَحَرِيٌّ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَحُضَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ وَأَنْ يَدُلَّ غَيْرَهُ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ لِيَفُوزَ هُوَ وَمَنْ دَلَّهُ عَلَى ذَلِكَ

Bacaan Tasbih, Tahmid, dan Takbir pada Zikir Setelah Salat

Daftar Isi ToggleMacam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirPertamaKeduaKetigaKeempatCara menghitung zikirKesimpulanZikir merupakan salah satu ibadah harian yang sering kita lakukan. Salah satu jenis zikir yang pasti kita rutinkan setiap harinya adalah zikir setelah salat. Di antara bacaan zikir yang dibaca pada zikir setelah salat adalah tasbih, tahmid, dan takbir. Akan tetapi, sudah tahukah kita apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah salat?Tasbih adalah kita mengucapkan subhanallah, tahmid adalah mengucapkan alhamdulillah, dan takbir adalah mengucapkan Allahuakbar. Ketiga bacaan itu tentu sudah kita ketahui merupakan tiga bacaan zikir yang dianjurkan untuk kita baca ketika berzikir setelah salat. Umumnya kita ketahui total bacaan zikir tersebut adalah bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali. Akan tetapi, adakah contoh lain yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam?Macam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirSelain praktek yang umum dilakukan dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir yang kita ketahui yaitu masing-masing 33 kali, ternyata ada hadits-hadis lain yang mencontohkan tatacara lain dalam bacaan tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat.PertamaTata cara pertama adalah sebagaimana yang umum diketahui, yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali, lalu disempurnakan menjadi 100 dengan bacaan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR,مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ“Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, dan bertakbir tiga puluh tiga kali yang total jumlahnya sembilan puluh sembilan, kemudian ia menyempurnakan hingga seratus dengan membaca, ‘LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), maka akan diampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim)Selain itu, bacaan tasbih, tahmid, dan takbir bisa juga diucapkan secara langsung sebanyak 33 kali. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ إِنْ أَخَذْتُمْ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ إِلَّا مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ“Maukah kalian aku ajarkan sesuatu, yang jika kalian melakukannya, maka kalian akan menyusul orang-orang yang telah mendahului kalian, tidak ada seorang pun setelah kalian yang bisa menyusul kalian, dan kalian menjadi yang terbaik di antara manusia selama mereka tidak melakukan seperti yang kalian lakukan? Yaitu kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari)KeduaTata cara kedua yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali, sehingga total bacaannya adalah 100 kali. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ ، ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً ، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً ، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً“Zikir-zikir yang diucapkan setelah salat wajib yang tidak akan merugi orang yang mengucapkannya — atau melakukannya — yaitu, bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali.” (HR. Muslim)KetigaTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir selanjutnya adalah membaca masing-masingnya 25 kali dan ditambah dengan bacaan tahlil atau mengucapkan laa ilaaha illallah sebanyak 25 kali, sehingga totalnya adalah 100 bacaan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu,أُمِرُوا أَنْ يُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ، فَأُتِيَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي مَنَامِهِ ، فَقِيلَ لَهُ : أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَاجْعَلُوهَا خَمْسًا وَعِشْرِينَ ، وَاجْعَلُوا فِيهَا التَّهْلِيلَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ:اجْعَلُوهَا كَذَلِكَ“Mereka diperintahkan untuk bertasbih setiap selesai salat sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Lalu datanglah seorang laki-laki dari kalangan Anshar dalam tidurnya (mimpi), lalu dikatakan kepadanya, ‘Apakah Rasulullah ﷺ memerintahkan kalian untuk bertasbih setiap selesai salat 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir tiga 34 kali?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Orang itu berkata, ‘Kalau begitu, jadikanlah masing-masing dua puluh lima kali, dan masukkan di dalamnya tahlil (ucapan lā ilāha illallāh).’ Ketika pagi tiba, orang itu mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Jadikanlah seperti itu.’” (HR. An-Nasa’i)KeempatTata cara yang keempat dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir adalah membaca ketiganya masing-masing 10 kali.عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ : يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا ، وَيَحْمَدُ عَشْرًا ، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ’Ada dua perkara atau dua kebiasaan yang tidaklah dijaga oleh seorang hamba muslim kecuali ia pasti masuk surga. Keduanya ringan untuk diamalkan, tetapi yang mengamalkannya sedikit. Bertasbih sepuluh kali setelah setiap salat, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali. Hal tersebut bernilai seratus lima puluh pada lisan, dan bernilai seribu lima ratus dalam timbangan.”Cara menghitung zikirBerdasarkan hadis-hadis di atas, bisa kita ketahui bahwa bacaan zikir-zikir yang dicontohkan memiliki bilangan tertentu. Lalu bagaimana kita menghitungnya? Cara menghitung zikir yang paling utama adalah meniru seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu dengan menggunakan tangan. Hal tersebut dikarenakan tangan kita nanti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda,عليكنَّ بالتَّسبيحِ والتَّهليلِ والتَّقديسِ واعقِدنَ بالأناملِ فإنَّهنَّ مسؤولاتٌ مستنطقاتٌ“Hendaklah kalian bertasbih, bertahlil, dan bertaqdis (menyucikan Allah). Hitunglah dengan jari-jari, karena sesungguhnya jari-jari itu akan dimintai pertanggungjawaban dan akan berbicara (pada hari kiamat).” (HR. Tirmidzi)Lalu bagaimana jika memerlukan alat bantu untuk berzikir? Semisal karena sudah tua atau semisalnya sehingga kesulitan menggunakan jari? Hal tersebut boleh dilakukan seperti menggunakan tasbih dan semacamnya selama tidak menganggap utamanya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitab Mulakhas Fiqhy,ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة، وكرهها بعض العلماء وإن اعتقد أن لها فضيلةٌ فاتخاذها بدعة“Diperbolehkan menggunakan tasbih untuk menghitung zikir-zikir tanpa adanya keyakinan bahwa pada tasbih tersebut ada keutamaan khusus, dan sebagian ulama memakruhkannya. Jika meyakini pada hal tersebut ada keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah.”KesimpulanTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat ada 4 macam, yaitu:Pertama: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak 33 kali, lalu digenapkan menjadi seratus dengan bacaan zikir dengan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR.Kedua: Membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan membaca takbir 34 kali.Ketiga: Membaca tasbih 25 kali, membaca tahmid 25 kali, membaca takbir 25 kali, dan membaca tahlil 25 kali.Keempat: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 10 kali.Dari keempat cara yang ada, manakah yang paling utama untuk dikerjakan? Yang paling utama untuk dikerjakan adalah yang paling sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dan menganjurkan keempat cara tersebut, sehingga yang utama bagi kita adalah mengamalkan semuanya. Terkadang kita menggunakan cara pertama, lalu cara yang keempat, dan seterusnya.Berzikir dengan cara yang berbeda-beda memungkinkan kita untuk zikir dengan fokus. Mengapa? Jika kita hanya terpaku dengan satu cara saja, biasanya lama-kelamaan zikir tersebut hanya menjadi kebiasaan saja sehingga terucap begitu saja di mulut tanpa ada ikatan dengan hati. Berbeda jika sering berganti-ganti, tentu kita akan fokus setiap akan menggunakan cara zikir tertentu.Baca juga: Zikir yang Sahih Setelah Salat*** Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan.Website https://islamqa.info

Bacaan Tasbih, Tahmid, dan Takbir pada Zikir Setelah Salat

Daftar Isi ToggleMacam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirPertamaKeduaKetigaKeempatCara menghitung zikirKesimpulanZikir merupakan salah satu ibadah harian yang sering kita lakukan. Salah satu jenis zikir yang pasti kita rutinkan setiap harinya adalah zikir setelah salat. Di antara bacaan zikir yang dibaca pada zikir setelah salat adalah tasbih, tahmid, dan takbir. Akan tetapi, sudah tahukah kita apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah salat?Tasbih adalah kita mengucapkan subhanallah, tahmid adalah mengucapkan alhamdulillah, dan takbir adalah mengucapkan Allahuakbar. Ketiga bacaan itu tentu sudah kita ketahui merupakan tiga bacaan zikir yang dianjurkan untuk kita baca ketika berzikir setelah salat. Umumnya kita ketahui total bacaan zikir tersebut adalah bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali. Akan tetapi, adakah contoh lain yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam?Macam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirSelain praktek yang umum dilakukan dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir yang kita ketahui yaitu masing-masing 33 kali, ternyata ada hadits-hadis lain yang mencontohkan tatacara lain dalam bacaan tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat.PertamaTata cara pertama adalah sebagaimana yang umum diketahui, yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali, lalu disempurnakan menjadi 100 dengan bacaan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR,مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ“Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, dan bertakbir tiga puluh tiga kali yang total jumlahnya sembilan puluh sembilan, kemudian ia menyempurnakan hingga seratus dengan membaca, ‘LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), maka akan diampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim)Selain itu, bacaan tasbih, tahmid, dan takbir bisa juga diucapkan secara langsung sebanyak 33 kali. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ إِنْ أَخَذْتُمْ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ إِلَّا مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ“Maukah kalian aku ajarkan sesuatu, yang jika kalian melakukannya, maka kalian akan menyusul orang-orang yang telah mendahului kalian, tidak ada seorang pun setelah kalian yang bisa menyusul kalian, dan kalian menjadi yang terbaik di antara manusia selama mereka tidak melakukan seperti yang kalian lakukan? Yaitu kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari)KeduaTata cara kedua yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali, sehingga total bacaannya adalah 100 kali. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ ، ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً ، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً ، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً“Zikir-zikir yang diucapkan setelah salat wajib yang tidak akan merugi orang yang mengucapkannya — atau melakukannya — yaitu, bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali.” (HR. Muslim)KetigaTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir selanjutnya adalah membaca masing-masingnya 25 kali dan ditambah dengan bacaan tahlil atau mengucapkan laa ilaaha illallah sebanyak 25 kali, sehingga totalnya adalah 100 bacaan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu,أُمِرُوا أَنْ يُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ، فَأُتِيَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي مَنَامِهِ ، فَقِيلَ لَهُ : أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَاجْعَلُوهَا خَمْسًا وَعِشْرِينَ ، وَاجْعَلُوا فِيهَا التَّهْلِيلَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ:اجْعَلُوهَا كَذَلِكَ“Mereka diperintahkan untuk bertasbih setiap selesai salat sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Lalu datanglah seorang laki-laki dari kalangan Anshar dalam tidurnya (mimpi), lalu dikatakan kepadanya, ‘Apakah Rasulullah ﷺ memerintahkan kalian untuk bertasbih setiap selesai salat 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir tiga 34 kali?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Orang itu berkata, ‘Kalau begitu, jadikanlah masing-masing dua puluh lima kali, dan masukkan di dalamnya tahlil (ucapan lā ilāha illallāh).’ Ketika pagi tiba, orang itu mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Jadikanlah seperti itu.’” (HR. An-Nasa’i)KeempatTata cara yang keempat dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir adalah membaca ketiganya masing-masing 10 kali.عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ : يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا ، وَيَحْمَدُ عَشْرًا ، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ’Ada dua perkara atau dua kebiasaan yang tidaklah dijaga oleh seorang hamba muslim kecuali ia pasti masuk surga. Keduanya ringan untuk diamalkan, tetapi yang mengamalkannya sedikit. Bertasbih sepuluh kali setelah setiap salat, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali. Hal tersebut bernilai seratus lima puluh pada lisan, dan bernilai seribu lima ratus dalam timbangan.”Cara menghitung zikirBerdasarkan hadis-hadis di atas, bisa kita ketahui bahwa bacaan zikir-zikir yang dicontohkan memiliki bilangan tertentu. Lalu bagaimana kita menghitungnya? Cara menghitung zikir yang paling utama adalah meniru seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu dengan menggunakan tangan. Hal tersebut dikarenakan tangan kita nanti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda,عليكنَّ بالتَّسبيحِ والتَّهليلِ والتَّقديسِ واعقِدنَ بالأناملِ فإنَّهنَّ مسؤولاتٌ مستنطقاتٌ“Hendaklah kalian bertasbih, bertahlil, dan bertaqdis (menyucikan Allah). Hitunglah dengan jari-jari, karena sesungguhnya jari-jari itu akan dimintai pertanggungjawaban dan akan berbicara (pada hari kiamat).” (HR. Tirmidzi)Lalu bagaimana jika memerlukan alat bantu untuk berzikir? Semisal karena sudah tua atau semisalnya sehingga kesulitan menggunakan jari? Hal tersebut boleh dilakukan seperti menggunakan tasbih dan semacamnya selama tidak menganggap utamanya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitab Mulakhas Fiqhy,ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة، وكرهها بعض العلماء وإن اعتقد أن لها فضيلةٌ فاتخاذها بدعة“Diperbolehkan menggunakan tasbih untuk menghitung zikir-zikir tanpa adanya keyakinan bahwa pada tasbih tersebut ada keutamaan khusus, dan sebagian ulama memakruhkannya. Jika meyakini pada hal tersebut ada keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah.”KesimpulanTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat ada 4 macam, yaitu:Pertama: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak 33 kali, lalu digenapkan menjadi seratus dengan bacaan zikir dengan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR.Kedua: Membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan membaca takbir 34 kali.Ketiga: Membaca tasbih 25 kali, membaca tahmid 25 kali, membaca takbir 25 kali, dan membaca tahlil 25 kali.Keempat: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 10 kali.Dari keempat cara yang ada, manakah yang paling utama untuk dikerjakan? Yang paling utama untuk dikerjakan adalah yang paling sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dan menganjurkan keempat cara tersebut, sehingga yang utama bagi kita adalah mengamalkan semuanya. Terkadang kita menggunakan cara pertama, lalu cara yang keempat, dan seterusnya.Berzikir dengan cara yang berbeda-beda memungkinkan kita untuk zikir dengan fokus. Mengapa? Jika kita hanya terpaku dengan satu cara saja, biasanya lama-kelamaan zikir tersebut hanya menjadi kebiasaan saja sehingga terucap begitu saja di mulut tanpa ada ikatan dengan hati. Berbeda jika sering berganti-ganti, tentu kita akan fokus setiap akan menggunakan cara zikir tertentu.Baca juga: Zikir yang Sahih Setelah Salat*** Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan.Website https://islamqa.info
Daftar Isi ToggleMacam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirPertamaKeduaKetigaKeempatCara menghitung zikirKesimpulanZikir merupakan salah satu ibadah harian yang sering kita lakukan. Salah satu jenis zikir yang pasti kita rutinkan setiap harinya adalah zikir setelah salat. Di antara bacaan zikir yang dibaca pada zikir setelah salat adalah tasbih, tahmid, dan takbir. Akan tetapi, sudah tahukah kita apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah salat?Tasbih adalah kita mengucapkan subhanallah, tahmid adalah mengucapkan alhamdulillah, dan takbir adalah mengucapkan Allahuakbar. Ketiga bacaan itu tentu sudah kita ketahui merupakan tiga bacaan zikir yang dianjurkan untuk kita baca ketika berzikir setelah salat. Umumnya kita ketahui total bacaan zikir tersebut adalah bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali. Akan tetapi, adakah contoh lain yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam?Macam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirSelain praktek yang umum dilakukan dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir yang kita ketahui yaitu masing-masing 33 kali, ternyata ada hadits-hadis lain yang mencontohkan tatacara lain dalam bacaan tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat.PertamaTata cara pertama adalah sebagaimana yang umum diketahui, yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali, lalu disempurnakan menjadi 100 dengan bacaan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR,مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ“Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, dan bertakbir tiga puluh tiga kali yang total jumlahnya sembilan puluh sembilan, kemudian ia menyempurnakan hingga seratus dengan membaca, ‘LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), maka akan diampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim)Selain itu, bacaan tasbih, tahmid, dan takbir bisa juga diucapkan secara langsung sebanyak 33 kali. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ إِنْ أَخَذْتُمْ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ إِلَّا مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ“Maukah kalian aku ajarkan sesuatu, yang jika kalian melakukannya, maka kalian akan menyusul orang-orang yang telah mendahului kalian, tidak ada seorang pun setelah kalian yang bisa menyusul kalian, dan kalian menjadi yang terbaik di antara manusia selama mereka tidak melakukan seperti yang kalian lakukan? Yaitu kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari)KeduaTata cara kedua yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali, sehingga total bacaannya adalah 100 kali. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ ، ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً ، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً ، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً“Zikir-zikir yang diucapkan setelah salat wajib yang tidak akan merugi orang yang mengucapkannya — atau melakukannya — yaitu, bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali.” (HR. Muslim)KetigaTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir selanjutnya adalah membaca masing-masingnya 25 kali dan ditambah dengan bacaan tahlil atau mengucapkan laa ilaaha illallah sebanyak 25 kali, sehingga totalnya adalah 100 bacaan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu,أُمِرُوا أَنْ يُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ، فَأُتِيَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي مَنَامِهِ ، فَقِيلَ لَهُ : أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَاجْعَلُوهَا خَمْسًا وَعِشْرِينَ ، وَاجْعَلُوا فِيهَا التَّهْلِيلَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ:اجْعَلُوهَا كَذَلِكَ“Mereka diperintahkan untuk bertasbih setiap selesai salat sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Lalu datanglah seorang laki-laki dari kalangan Anshar dalam tidurnya (mimpi), lalu dikatakan kepadanya, ‘Apakah Rasulullah ﷺ memerintahkan kalian untuk bertasbih setiap selesai salat 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir tiga 34 kali?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Orang itu berkata, ‘Kalau begitu, jadikanlah masing-masing dua puluh lima kali, dan masukkan di dalamnya tahlil (ucapan lā ilāha illallāh).’ Ketika pagi tiba, orang itu mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Jadikanlah seperti itu.’” (HR. An-Nasa’i)KeempatTata cara yang keempat dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir adalah membaca ketiganya masing-masing 10 kali.عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ : يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا ، وَيَحْمَدُ عَشْرًا ، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ’Ada dua perkara atau dua kebiasaan yang tidaklah dijaga oleh seorang hamba muslim kecuali ia pasti masuk surga. Keduanya ringan untuk diamalkan, tetapi yang mengamalkannya sedikit. Bertasbih sepuluh kali setelah setiap salat, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali. Hal tersebut bernilai seratus lima puluh pada lisan, dan bernilai seribu lima ratus dalam timbangan.”Cara menghitung zikirBerdasarkan hadis-hadis di atas, bisa kita ketahui bahwa bacaan zikir-zikir yang dicontohkan memiliki bilangan tertentu. Lalu bagaimana kita menghitungnya? Cara menghitung zikir yang paling utama adalah meniru seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu dengan menggunakan tangan. Hal tersebut dikarenakan tangan kita nanti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda,عليكنَّ بالتَّسبيحِ والتَّهليلِ والتَّقديسِ واعقِدنَ بالأناملِ فإنَّهنَّ مسؤولاتٌ مستنطقاتٌ“Hendaklah kalian bertasbih, bertahlil, dan bertaqdis (menyucikan Allah). Hitunglah dengan jari-jari, karena sesungguhnya jari-jari itu akan dimintai pertanggungjawaban dan akan berbicara (pada hari kiamat).” (HR. Tirmidzi)Lalu bagaimana jika memerlukan alat bantu untuk berzikir? Semisal karena sudah tua atau semisalnya sehingga kesulitan menggunakan jari? Hal tersebut boleh dilakukan seperti menggunakan tasbih dan semacamnya selama tidak menganggap utamanya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitab Mulakhas Fiqhy,ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة، وكرهها بعض العلماء وإن اعتقد أن لها فضيلةٌ فاتخاذها بدعة“Diperbolehkan menggunakan tasbih untuk menghitung zikir-zikir tanpa adanya keyakinan bahwa pada tasbih tersebut ada keutamaan khusus, dan sebagian ulama memakruhkannya. Jika meyakini pada hal tersebut ada keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah.”KesimpulanTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat ada 4 macam, yaitu:Pertama: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak 33 kali, lalu digenapkan menjadi seratus dengan bacaan zikir dengan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR.Kedua: Membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan membaca takbir 34 kali.Ketiga: Membaca tasbih 25 kali, membaca tahmid 25 kali, membaca takbir 25 kali, dan membaca tahlil 25 kali.Keempat: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 10 kali.Dari keempat cara yang ada, manakah yang paling utama untuk dikerjakan? Yang paling utama untuk dikerjakan adalah yang paling sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dan menganjurkan keempat cara tersebut, sehingga yang utama bagi kita adalah mengamalkan semuanya. Terkadang kita menggunakan cara pertama, lalu cara yang keempat, dan seterusnya.Berzikir dengan cara yang berbeda-beda memungkinkan kita untuk zikir dengan fokus. Mengapa? Jika kita hanya terpaku dengan satu cara saja, biasanya lama-kelamaan zikir tersebut hanya menjadi kebiasaan saja sehingga terucap begitu saja di mulut tanpa ada ikatan dengan hati. Berbeda jika sering berganti-ganti, tentu kita akan fokus setiap akan menggunakan cara zikir tertentu.Baca juga: Zikir yang Sahih Setelah Salat*** Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan.Website https://islamqa.info


Daftar Isi ToggleMacam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirPertamaKeduaKetigaKeempatCara menghitung zikirKesimpulanZikir merupakan salah satu ibadah harian yang sering kita lakukan. Salah satu jenis zikir yang pasti kita rutinkan setiap harinya adalah zikir setelah salat. Di antara bacaan zikir yang dibaca pada zikir setelah salat adalah tasbih, tahmid, dan takbir. Akan tetapi, sudah tahukah kita apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah salat?Tasbih adalah kita mengucapkan subhanallah, tahmid adalah mengucapkan alhamdulillah, dan takbir adalah mengucapkan Allahuakbar. Ketiga bacaan itu tentu sudah kita ketahui merupakan tiga bacaan zikir yang dianjurkan untuk kita baca ketika berzikir setelah salat. Umumnya kita ketahui total bacaan zikir tersebut adalah bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali. Akan tetapi, adakah contoh lain yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam?Macam-macam tata cara bacaan tasbih, tahmid, dan takbirSelain praktek yang umum dilakukan dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir yang kita ketahui yaitu masing-masing 33 kali, ternyata ada hadits-hadis lain yang mencontohkan tatacara lain dalam bacaan tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat.PertamaTata cara pertama adalah sebagaimana yang umum diketahui, yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali, lalu disempurnakan menjadi 100 dengan bacaan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR,مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ“Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, dan bertakbir tiga puluh tiga kali yang total jumlahnya sembilan puluh sembilan, kemudian ia menyempurnakan hingga seratus dengan membaca, ‘LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), maka akan diampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim)Selain itu, bacaan tasbih, tahmid, dan takbir bisa juga diucapkan secara langsung sebanyak 33 kali. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ إِنْ أَخَذْتُمْ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ إِلَّا مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ“Maukah kalian aku ajarkan sesuatu, yang jika kalian melakukannya, maka kalian akan menyusul orang-orang yang telah mendahului kalian, tidak ada seorang pun setelah kalian yang bisa menyusul kalian, dan kalian menjadi yang terbaik di antara manusia selama mereka tidak melakukan seperti yang kalian lakukan? Yaitu kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir setiap selesai salat sebanyak tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari)KeduaTata cara kedua yaitu membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali, sehingga total bacaannya adalah 100 kali. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ ، ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً ، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً ، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً“Zikir-zikir yang diucapkan setelah salat wajib yang tidak akan merugi orang yang mengucapkannya — atau melakukannya — yaitu, bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali.” (HR. Muslim)KetigaTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir selanjutnya adalah membaca masing-masingnya 25 kali dan ditambah dengan bacaan tahlil atau mengucapkan laa ilaaha illallah sebanyak 25 kali, sehingga totalnya adalah 100 bacaan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu,أُمِرُوا أَنْ يُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ، فَأُتِيَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي مَنَامِهِ ، فَقِيلَ لَهُ : أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَاجْعَلُوهَا خَمْسًا وَعِشْرِينَ ، وَاجْعَلُوا فِيهَا التَّهْلِيلَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ:اجْعَلُوهَا كَذَلِكَ“Mereka diperintahkan untuk bertasbih setiap selesai salat sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Lalu datanglah seorang laki-laki dari kalangan Anshar dalam tidurnya (mimpi), lalu dikatakan kepadanya, ‘Apakah Rasulullah ﷺ memerintahkan kalian untuk bertasbih setiap selesai salat 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir tiga 34 kali?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Orang itu berkata, ‘Kalau begitu, jadikanlah masing-masing dua puluh lima kali, dan masukkan di dalamnya tahlil (ucapan lā ilāha illallāh).’ Ketika pagi tiba, orang itu mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Jadikanlah seperti itu.’” (HR. An-Nasa’i)KeempatTata cara yang keempat dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir adalah membaca ketiganya masing-masing 10 kali.عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ : يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا ، وَيَحْمَدُ عَشْرًا ، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ’Ada dua perkara atau dua kebiasaan yang tidaklah dijaga oleh seorang hamba muslim kecuali ia pasti masuk surga. Keduanya ringan untuk diamalkan, tetapi yang mengamalkannya sedikit. Bertasbih sepuluh kali setelah setiap salat, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali. Hal tersebut bernilai seratus lima puluh pada lisan, dan bernilai seribu lima ratus dalam timbangan.”Cara menghitung zikirBerdasarkan hadis-hadis di atas, bisa kita ketahui bahwa bacaan zikir-zikir yang dicontohkan memiliki bilangan tertentu. Lalu bagaimana kita menghitungnya? Cara menghitung zikir yang paling utama adalah meniru seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu dengan menggunakan tangan. Hal tersebut dikarenakan tangan kita nanti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda,عليكنَّ بالتَّسبيحِ والتَّهليلِ والتَّقديسِ واعقِدنَ بالأناملِ فإنَّهنَّ مسؤولاتٌ مستنطقاتٌ“Hendaklah kalian bertasbih, bertahlil, dan bertaqdis (menyucikan Allah). Hitunglah dengan jari-jari, karena sesungguhnya jari-jari itu akan dimintai pertanggungjawaban dan akan berbicara (pada hari kiamat).” (HR. Tirmidzi)Lalu bagaimana jika memerlukan alat bantu untuk berzikir? Semisal karena sudah tua atau semisalnya sehingga kesulitan menggunakan jari? Hal tersebut boleh dilakukan seperti menggunakan tasbih dan semacamnya selama tidak menganggap utamanya hal tersebut. Syekh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitab Mulakhas Fiqhy,ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة، وكرهها بعض العلماء وإن اعتقد أن لها فضيلةٌ فاتخاذها بدعة“Diperbolehkan menggunakan tasbih untuk menghitung zikir-zikir tanpa adanya keyakinan bahwa pada tasbih tersebut ada keutamaan khusus, dan sebagian ulama memakruhkannya. Jika meyakini pada hal tersebut ada keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah.”KesimpulanTata cara membaca tasbih, tahmid, dan takbir pada zikir setelah salat ada 4 macam, yaitu:Pertama: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak 33 kali, lalu digenapkan menjadi seratus dengan bacaan zikir dengan LĀ ILĀHA ILLALLĀHU WAḤDAHU LĀ SYARĪKA LAH, LAHUL-MULKU WA LAHUL-ḤAMDU WA HUWA ‘ALĀ KULLI SYAI’IN QADĪR.Kedua: Membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan membaca takbir 34 kali.Ketiga: Membaca tasbih 25 kali, membaca tahmid 25 kali, membaca takbir 25 kali, dan membaca tahlil 25 kali.Keempat: Membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 10 kali.Dari keempat cara yang ada, manakah yang paling utama untuk dikerjakan? Yang paling utama untuk dikerjakan adalah yang paling sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dan menganjurkan keempat cara tersebut, sehingga yang utama bagi kita adalah mengamalkan semuanya. Terkadang kita menggunakan cara pertama, lalu cara yang keempat, dan seterusnya.Berzikir dengan cara yang berbeda-beda memungkinkan kita untuk zikir dengan fokus. Mengapa? Jika kita hanya terpaku dengan satu cara saja, biasanya lama-kelamaan zikir tersebut hanya menjadi kebiasaan saja sehingga terucap begitu saja di mulut tanpa ada ikatan dengan hati. Berbeda jika sering berganti-ganti, tentu kita akan fokus setiap akan menggunakan cara zikir tertentu.Baca juga: Zikir yang Sahih Setelah Salat*** Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan.Website https://islamqa.info

Lakukan Ini Jika Hubungan Suami & Istri Mulai Terasa Tidak Enak – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, dan dia mengutus bala pasukannya. Setan yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar godaannya. Lalu datanglah salah satu setan yang ia utus, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis lalu menanggapinya, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Lalu datang setan lain, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis kembali menjawab, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Hingga datang setan lain seraya berkata: ‘Aku tidak meninggalkan si Fulan hingga aku berhasil pisahkan dia dari istrinya!’ Maka Iblis mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, ‘Kamulah sebaik-baik setan! Kamulah sebaik-baik setan!’” (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa besar kesungguhan setan dalam menyulut perselisihan antara suami istri, memisahkan keduanya, dan menyebabkan terjadinya talak. Setan berusaha sangat keras untuk menyukseskan misinya tersebut. Karena setan mengetahui bahwa talak dan adu domba antara suami istri dapat meruntuhkan rumah tangga Muslim, memberi dampak buruk terhadap anak-anak, dan terhadap pertumbuhan dan kesalehan mereka. Perceraian mengandung banyak kerusakan. Oleh sebab itu, hendaklah perkara ini selalu diingat oleh suami dan istri, bahwa setan sangat gigih untuk menimbulkan permusuhan dan hasutan di antara keduanya. Sehingga, pertama-tama, suami istri harus selalu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Apabila suami atau istri merasakan sesuatu yang tidak nyaman terhadap pasangannya, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Yakinlah bahwa provokasi yang timbul dalam dirinya itu berasal dari setan. Ucapkan: A-’UUDZUBILLAAHI MINASY SYAITHOONIRROJIIM (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Kedua, harus senantiasa waspada terhadap musuhnya itu. “Sungguh setan itu musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh…” (QS. Fathir: 6). Musuh ini selalu mengintai, ingin menimbulkan perselisihan antara suami dan istri. Ia memanfaatkan setiap kesempatan, setiap ucapan, dan setiap kejadian, untuk memecah belah rumah tangga keduanya. Sehingga suami dan istri harus selalu berhati-hati dari makhluk terlaknat dan musuh terkutuk ini, yang berusaha sangat keras untuk menyulut perselisihan antara suami dan istri. Bahkan bisa jadi ia berhasil memicu perceraian di antara keduanya. Oleh sebab itu, suami dan istri harus berhati-hati dari musuh yang terlaknat ini, serta selalu mengingat perkara yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Bahwa Iblis, ketika mengutus bala tentaranya, akan mendekatkan padanya setan yang berhasil memecah belah suami istri. Ia mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, “Kamulah sebaik-baik setan!” Karena Iblis mengetahui betapa besar dampak buruk yang timbul dari tersulutnya perselisihan di antara suami dan istri. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ وَإِنَّهُ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَأْتِيهِ الشَّيْطَانُ الَّذِي قَدْ بَعَثَهُ وَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا وَيَأْتِيه شَيْطَانٌ آخَرُ يَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيَهُ الشَّيْطَانُ وَيَقُولُ مَا تَرَكْتُ فُلَانًا حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ فَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ نِعْمَ أَنْتَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى حِرْصِ الشَّيْطَانِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَعَلَى التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا وَعَلَى الطَّلَاقِ هَذَا يَحْرِصُ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ حِرْصًا شَدِيدًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ يَعْلَمُ بِأَنَّ الطَّلَاقَ وَالتَّحْرِيْشَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فِيهِ تَقْوِيْضٌ لِأُسْرَةٍ مُسْلِمَةٍ وَفِيهِ تَأْثِيْرٌ سَيِّئٌ عَلَى الْأَوْلَادِ وَعَلَى نَشْأَتِهِمْ وَصَلَاحِهِمْ وَفِيهِ مَفَاسِدُ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَدَى الزَّوْجَيْنِ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ يَحْرِصُ عَلَى التَّحْرِيشِ وَعَلَى الْوَقِيعَةِ بَيْنَهُمَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الزَّوْجَانِ أَوَّلًا عَلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَإِذَا وَجَدَ الزَّوْجُ أَوْ الزَّوْجَةُ شَيْئًا عَلَى الْآخَرِ يَنْبَغِي أَنْ يَلْجَأَ إِلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ أَنَّ هَذَا التَّحْرِيْشَ الَّذِي يَجِدُهُ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ فَيَقُولُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ثَانِيًا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَحْذَرَ مِنْ عَدُوِّهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا فَهَذَا عَدُوٌّ مُتَرَبِّصٌ يُرِيدُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَ الزَّوْجِ وَزَوْجَتِهِ وَيَسْتَغِلُّ كُلَّ ظَرْفٍ وَكُلَّ كَلِمَةٍ وَكُلَّ حَدَثٍ لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الزَّوْجَانِ عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا اللَّعِينِ هَذَا الْعَدُوِّ الرَّجِيم الَّذِي يَحْرِصُ غَايَةَ الْحِرْصِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ حَتَّى رُبَّمَا يَتَمَكَّنُ فِي إِيْقَاعِ الطَّلَاقِ بَيْنَهُمَا فَعَلَى الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَكُونَا عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا الْعَدُوِّ اللَّعِيْنِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ عِنْدَمَا يَبْعَثُ سَرَايَاهُ يُدْنِي الَّذِي سَعَى لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ يُدْنِيْهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ الْأَثَرَ السَّيِّئَ الْكَبِيرَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ

Lakukan Ini Jika Hubungan Suami & Istri Mulai Terasa Tidak Enak – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, dan dia mengutus bala pasukannya. Setan yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar godaannya. Lalu datanglah salah satu setan yang ia utus, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis lalu menanggapinya, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Lalu datang setan lain, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis kembali menjawab, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Hingga datang setan lain seraya berkata: ‘Aku tidak meninggalkan si Fulan hingga aku berhasil pisahkan dia dari istrinya!’ Maka Iblis mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, ‘Kamulah sebaik-baik setan! Kamulah sebaik-baik setan!’” (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa besar kesungguhan setan dalam menyulut perselisihan antara suami istri, memisahkan keduanya, dan menyebabkan terjadinya talak. Setan berusaha sangat keras untuk menyukseskan misinya tersebut. Karena setan mengetahui bahwa talak dan adu domba antara suami istri dapat meruntuhkan rumah tangga Muslim, memberi dampak buruk terhadap anak-anak, dan terhadap pertumbuhan dan kesalehan mereka. Perceraian mengandung banyak kerusakan. Oleh sebab itu, hendaklah perkara ini selalu diingat oleh suami dan istri, bahwa setan sangat gigih untuk menimbulkan permusuhan dan hasutan di antara keduanya. Sehingga, pertama-tama, suami istri harus selalu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Apabila suami atau istri merasakan sesuatu yang tidak nyaman terhadap pasangannya, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Yakinlah bahwa provokasi yang timbul dalam dirinya itu berasal dari setan. Ucapkan: A-’UUDZUBILLAAHI MINASY SYAITHOONIRROJIIM (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Kedua, harus senantiasa waspada terhadap musuhnya itu. “Sungguh setan itu musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh…” (QS. Fathir: 6). Musuh ini selalu mengintai, ingin menimbulkan perselisihan antara suami dan istri. Ia memanfaatkan setiap kesempatan, setiap ucapan, dan setiap kejadian, untuk memecah belah rumah tangga keduanya. Sehingga suami dan istri harus selalu berhati-hati dari makhluk terlaknat dan musuh terkutuk ini, yang berusaha sangat keras untuk menyulut perselisihan antara suami dan istri. Bahkan bisa jadi ia berhasil memicu perceraian di antara keduanya. Oleh sebab itu, suami dan istri harus berhati-hati dari musuh yang terlaknat ini, serta selalu mengingat perkara yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Bahwa Iblis, ketika mengutus bala tentaranya, akan mendekatkan padanya setan yang berhasil memecah belah suami istri. Ia mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, “Kamulah sebaik-baik setan!” Karena Iblis mengetahui betapa besar dampak buruk yang timbul dari tersulutnya perselisihan di antara suami dan istri. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ وَإِنَّهُ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَأْتِيهِ الشَّيْطَانُ الَّذِي قَدْ بَعَثَهُ وَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا وَيَأْتِيه شَيْطَانٌ آخَرُ يَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيَهُ الشَّيْطَانُ وَيَقُولُ مَا تَرَكْتُ فُلَانًا حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ فَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ نِعْمَ أَنْتَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى حِرْصِ الشَّيْطَانِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَعَلَى التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا وَعَلَى الطَّلَاقِ هَذَا يَحْرِصُ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ حِرْصًا شَدِيدًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ يَعْلَمُ بِأَنَّ الطَّلَاقَ وَالتَّحْرِيْشَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فِيهِ تَقْوِيْضٌ لِأُسْرَةٍ مُسْلِمَةٍ وَفِيهِ تَأْثِيْرٌ سَيِّئٌ عَلَى الْأَوْلَادِ وَعَلَى نَشْأَتِهِمْ وَصَلَاحِهِمْ وَفِيهِ مَفَاسِدُ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَدَى الزَّوْجَيْنِ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ يَحْرِصُ عَلَى التَّحْرِيشِ وَعَلَى الْوَقِيعَةِ بَيْنَهُمَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الزَّوْجَانِ أَوَّلًا عَلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَإِذَا وَجَدَ الزَّوْجُ أَوْ الزَّوْجَةُ شَيْئًا عَلَى الْآخَرِ يَنْبَغِي أَنْ يَلْجَأَ إِلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ أَنَّ هَذَا التَّحْرِيْشَ الَّذِي يَجِدُهُ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ فَيَقُولُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ثَانِيًا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَحْذَرَ مِنْ عَدُوِّهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا فَهَذَا عَدُوٌّ مُتَرَبِّصٌ يُرِيدُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَ الزَّوْجِ وَزَوْجَتِهِ وَيَسْتَغِلُّ كُلَّ ظَرْفٍ وَكُلَّ كَلِمَةٍ وَكُلَّ حَدَثٍ لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الزَّوْجَانِ عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا اللَّعِينِ هَذَا الْعَدُوِّ الرَّجِيم الَّذِي يَحْرِصُ غَايَةَ الْحِرْصِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ حَتَّى رُبَّمَا يَتَمَكَّنُ فِي إِيْقَاعِ الطَّلَاقِ بَيْنَهُمَا فَعَلَى الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَكُونَا عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا الْعَدُوِّ اللَّعِيْنِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ عِنْدَمَا يَبْعَثُ سَرَايَاهُ يُدْنِي الَّذِي سَعَى لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ يُدْنِيْهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ الْأَثَرَ السَّيِّئَ الْكَبِيرَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ
Diriwayatkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, dan dia mengutus bala pasukannya. Setan yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar godaannya. Lalu datanglah salah satu setan yang ia utus, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis lalu menanggapinya, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Lalu datang setan lain, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis kembali menjawab, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Hingga datang setan lain seraya berkata: ‘Aku tidak meninggalkan si Fulan hingga aku berhasil pisahkan dia dari istrinya!’ Maka Iblis mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, ‘Kamulah sebaik-baik setan! Kamulah sebaik-baik setan!’” (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa besar kesungguhan setan dalam menyulut perselisihan antara suami istri, memisahkan keduanya, dan menyebabkan terjadinya talak. Setan berusaha sangat keras untuk menyukseskan misinya tersebut. Karena setan mengetahui bahwa talak dan adu domba antara suami istri dapat meruntuhkan rumah tangga Muslim, memberi dampak buruk terhadap anak-anak, dan terhadap pertumbuhan dan kesalehan mereka. Perceraian mengandung banyak kerusakan. Oleh sebab itu, hendaklah perkara ini selalu diingat oleh suami dan istri, bahwa setan sangat gigih untuk menimbulkan permusuhan dan hasutan di antara keduanya. Sehingga, pertama-tama, suami istri harus selalu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Apabila suami atau istri merasakan sesuatu yang tidak nyaman terhadap pasangannya, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Yakinlah bahwa provokasi yang timbul dalam dirinya itu berasal dari setan. Ucapkan: A-’UUDZUBILLAAHI MINASY SYAITHOONIRROJIIM (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Kedua, harus senantiasa waspada terhadap musuhnya itu. “Sungguh setan itu musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh…” (QS. Fathir: 6). Musuh ini selalu mengintai, ingin menimbulkan perselisihan antara suami dan istri. Ia memanfaatkan setiap kesempatan, setiap ucapan, dan setiap kejadian, untuk memecah belah rumah tangga keduanya. Sehingga suami dan istri harus selalu berhati-hati dari makhluk terlaknat dan musuh terkutuk ini, yang berusaha sangat keras untuk menyulut perselisihan antara suami dan istri. Bahkan bisa jadi ia berhasil memicu perceraian di antara keduanya. Oleh sebab itu, suami dan istri harus berhati-hati dari musuh yang terlaknat ini, serta selalu mengingat perkara yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Bahwa Iblis, ketika mengutus bala tentaranya, akan mendekatkan padanya setan yang berhasil memecah belah suami istri. Ia mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, “Kamulah sebaik-baik setan!” Karena Iblis mengetahui betapa besar dampak buruk yang timbul dari tersulutnya perselisihan di antara suami dan istri. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ وَإِنَّهُ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَأْتِيهِ الشَّيْطَانُ الَّذِي قَدْ بَعَثَهُ وَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا وَيَأْتِيه شَيْطَانٌ آخَرُ يَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيَهُ الشَّيْطَانُ وَيَقُولُ مَا تَرَكْتُ فُلَانًا حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ فَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ نِعْمَ أَنْتَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى حِرْصِ الشَّيْطَانِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَعَلَى التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا وَعَلَى الطَّلَاقِ هَذَا يَحْرِصُ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ حِرْصًا شَدِيدًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ يَعْلَمُ بِأَنَّ الطَّلَاقَ وَالتَّحْرِيْشَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فِيهِ تَقْوِيْضٌ لِأُسْرَةٍ مُسْلِمَةٍ وَفِيهِ تَأْثِيْرٌ سَيِّئٌ عَلَى الْأَوْلَادِ وَعَلَى نَشْأَتِهِمْ وَصَلَاحِهِمْ وَفِيهِ مَفَاسِدُ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَدَى الزَّوْجَيْنِ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ يَحْرِصُ عَلَى التَّحْرِيشِ وَعَلَى الْوَقِيعَةِ بَيْنَهُمَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الزَّوْجَانِ أَوَّلًا عَلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَإِذَا وَجَدَ الزَّوْجُ أَوْ الزَّوْجَةُ شَيْئًا عَلَى الْآخَرِ يَنْبَغِي أَنْ يَلْجَأَ إِلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ أَنَّ هَذَا التَّحْرِيْشَ الَّذِي يَجِدُهُ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ فَيَقُولُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ثَانِيًا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَحْذَرَ مِنْ عَدُوِّهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا فَهَذَا عَدُوٌّ مُتَرَبِّصٌ يُرِيدُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَ الزَّوْجِ وَزَوْجَتِهِ وَيَسْتَغِلُّ كُلَّ ظَرْفٍ وَكُلَّ كَلِمَةٍ وَكُلَّ حَدَثٍ لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الزَّوْجَانِ عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا اللَّعِينِ هَذَا الْعَدُوِّ الرَّجِيم الَّذِي يَحْرِصُ غَايَةَ الْحِرْصِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ حَتَّى رُبَّمَا يَتَمَكَّنُ فِي إِيْقَاعِ الطَّلَاقِ بَيْنَهُمَا فَعَلَى الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَكُونَا عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا الْعَدُوِّ اللَّعِيْنِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ عِنْدَمَا يَبْعَثُ سَرَايَاهُ يُدْنِي الَّذِي سَعَى لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ يُدْنِيْهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ الْأَثَرَ السَّيِّئَ الْكَبِيرَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ


Diriwayatkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, dan dia mengutus bala pasukannya. Setan yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar godaannya. Lalu datanglah salah satu setan yang ia utus, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis lalu menanggapinya, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Lalu datang setan lain, seraya berkata, ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis kembali menjawab, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Hingga datang setan lain seraya berkata: ‘Aku tidak meninggalkan si Fulan hingga aku berhasil pisahkan dia dari istrinya!’ Maka Iblis mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, ‘Kamulah sebaik-baik setan! Kamulah sebaik-baik setan!’” (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa besar kesungguhan setan dalam menyulut perselisihan antara suami istri, memisahkan keduanya, dan menyebabkan terjadinya talak. Setan berusaha sangat keras untuk menyukseskan misinya tersebut. Karena setan mengetahui bahwa talak dan adu domba antara suami istri dapat meruntuhkan rumah tangga Muslim, memberi dampak buruk terhadap anak-anak, dan terhadap pertumbuhan dan kesalehan mereka. Perceraian mengandung banyak kerusakan. Oleh sebab itu, hendaklah perkara ini selalu diingat oleh suami dan istri, bahwa setan sangat gigih untuk menimbulkan permusuhan dan hasutan di antara keduanya. Sehingga, pertama-tama, suami istri harus selalu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Apabila suami atau istri merasakan sesuatu yang tidak nyaman terhadap pasangannya, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Yakinlah bahwa provokasi yang timbul dalam dirinya itu berasal dari setan. Ucapkan: A-’UUDZUBILLAAHI MINASY SYAITHOONIRROJIIM (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Kedua, harus senantiasa waspada terhadap musuhnya itu. “Sungguh setan itu musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh…” (QS. Fathir: 6). Musuh ini selalu mengintai, ingin menimbulkan perselisihan antara suami dan istri. Ia memanfaatkan setiap kesempatan, setiap ucapan, dan setiap kejadian, untuk memecah belah rumah tangga keduanya. Sehingga suami dan istri harus selalu berhati-hati dari makhluk terlaknat dan musuh terkutuk ini, yang berusaha sangat keras untuk menyulut perselisihan antara suami dan istri. Bahkan bisa jadi ia berhasil memicu perceraian di antara keduanya. Oleh sebab itu, suami dan istri harus berhati-hati dari musuh yang terlaknat ini, serta selalu mengingat perkara yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Bahwa Iblis, ketika mengutus bala tentaranya, akan mendekatkan padanya setan yang berhasil memecah belah suami istri. Ia mendekatkannya, memeluknya, dan berkata, “Kamulah sebaik-baik setan!” Karena Iblis mengetahui betapa besar dampak buruk yang timbul dari tersulutnya perselisihan di antara suami dan istri. ===== جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ وَإِنَّهُ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَأْتِيهِ الشَّيْطَانُ الَّذِي قَدْ بَعَثَهُ وَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا وَيَأْتِيه شَيْطَانٌ آخَرُ يَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ لَهُ إِبْلِيسُ مَا فَعَلْتَ شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيَهُ الشَّيْطَانُ وَيَقُولُ مَا تَرَكْتُ فُلَانًا حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ فَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ نِعْمَ أَنْتَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى حِرْصِ الشَّيْطَانِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَعَلَى التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا وَعَلَى الطَّلَاقِ هَذَا يَحْرِصُ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ حِرْصًا شَدِيدًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ يَعْلَمُ بِأَنَّ الطَّلَاقَ وَالتَّحْرِيْشَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فِيهِ تَقْوِيْضٌ لِأُسْرَةٍ مُسْلِمَةٍ وَفِيهِ تَأْثِيْرٌ سَيِّئٌ عَلَى الْأَوْلَادِ وَعَلَى نَشْأَتِهِمْ وَصَلَاحِهِمْ وَفِيهِ مَفَاسِدُ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَعْنَى حَاضِرًا لَدَى الزَّوْجَيْنِ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ يَحْرِصُ عَلَى التَّحْرِيشِ وَعَلَى الْوَقِيعَةِ بَيْنَهُمَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الزَّوْجَانِ أَوَّلًا عَلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَإِذَا وَجَدَ الزَّوْجُ أَوْ الزَّوْجَةُ شَيْئًا عَلَى الْآخَرِ يَنْبَغِي أَنْ يَلْجَأَ إِلَى الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ أَنَّ هَذَا التَّحْرِيْشَ الَّذِي يَجِدُهُ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ فَيَقُولُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ثَانِيًا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَحْذَرَ مِنْ عَدُوِّهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا فَهَذَا عَدُوٌّ مُتَرَبِّصٌ يُرِيدُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَ الزَّوْجِ وَزَوْجَتِهِ وَيَسْتَغِلُّ كُلَّ ظَرْفٍ وَكُلَّ كَلِمَةٍ وَكُلَّ حَدَثٍ لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الزَّوْجَانِ عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا اللَّعِينِ هَذَا الْعَدُوِّ الرَّجِيم الَّذِي يَحْرِصُ غَايَةَ الْحِرْصِ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ حَتَّى رُبَّمَا يَتَمَكَّنُ فِي إِيْقَاعِ الطَّلَاقِ بَيْنَهُمَا فَعَلَى الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَكُونَا عَلَى حَذَرٍ مِنْ هَذَا الْعَدُوِّ اللَّعِيْنِ وَأَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ عِنْدَمَا يَبْعَثُ سَرَايَاهُ يُدْنِي الَّذِي سَعَى لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ يُدْنِيْهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ الْأَثَرَ السَّيِّئَ الْكَبِيرَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَى التَّحْرِيشِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ

Fikih Utang Piutang (Bag. 9): Faidah-Faidah dari Ayat Utang Piutang

Sebagaimana yang telah diketahui, Al-Qur’an adalah salah satu di antara mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran, sebagai kitab yang menunjukkan hamba-hamba yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ“Alif Lām Mīm. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya. (Ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)Di dalam Al-Qur’an pun Allah menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an telah menjelaskan semua hal. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ“Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” (QS. An-Nahl: 89)Di antara yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an adalah tentang utang-piutang. Bahkan ayat tentang utang piutang menjadi ayat terpanjang di dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya, yang menunjukkan betapa pentingnya permasalahan utang piutang, mengingat utang sangat erat kaitannya dengan hak sesama manusia.Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan ayat tentang utang piutang, bersama dengan banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat tersebut.Allah Ta’ala berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat 282,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya..”Faidah dari potongan ayat ini:Boleh hukumnya melakukan segala akad utang piutang. Karena pada ayat ini, Allah menjelaskan utang-piutang yang dilakukan oleh orang-orang beriman sebagai bentuk persetujuan hukum, sekaligus menyebutkan tentang hukum-hukumnya. Hal ini menunjukkan akan bolehnya utang piutang.Dari ayat di atas dapat diketahui, bahwasanya dalam akad utang piutang harus jelas waktu tenggang utang tersebut. Maka tidak sah akad utang piutang yang berdasarkan waktu yang tidak diketahui.Pada ayat ini, terdapat petunjuk Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka melakukan penulisan dalam muamalah yang bersifat utang piutang.Terdapat perselisihan di antara para ulama terkait perintah menulis utang. Sebagian mengatakan wajib dan sebagian mengatakan sunah. Tentunya yang terbaik adalah tetap menulis utang tersebut, berupa nominal dan waktu tenggangnya.Sebab, jika tidak ada penulisan di atas kertas ataupun kesepakatan antara pihak pengutang dengan pemberi utang, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan, lupa, perselisihan, pertentangan, keributan, dan lain sebagainya.Walaupun akad di antara keluarga, saudara, teman dekat, dan lain sebagainya, justru penulisan lebih ditekankan lagi dalam keadaan itu agar tidak dianggap ringan. Karena seringkali perselisihan utang itu justru terjadi di antara keluarga maupun saudara.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ“Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar). Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Rabbnya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.”Faidah dari potongan ayat ini:Ayat ini menjelaskan tentang tata cara menuliskan utang sesuai yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala.Allah Ta’ala menyebutkan tentang sifat penulis utang, yaitu hendaknya penulis utang bersifat adil dan benar. Karena orang yang fasik tidak dianggap ucapan dan penulisannya. Penulis tidak boleh memiliki kecondongan kepada salah satu pihak.Penulis tidak boleh menambah atau mengurangi kesepakatan yang ada di antara kedua belah pihak.Tidak berhak bagi penulis yang telah Allah berikan kepadanya ilmu penulisan untuk menolak menuliskan utang piutang jika diminta untuk menuliskan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di atas. Mengingat di zaman dahulu, tidak banyak yang bisa membaca dan menulis.Allah memerintahkan, agar penulis tidaklah menulis kecuali yang didiktekan oleh pengutang.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ“Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada). Sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.”Faidah dari potongan ayat ini:Barangsiapa yang tidak mampu untuk mendiktekan, baik karena usianya yang masih kecil, kurang akalnya, bisu, atau yang sejenisnya, maka dalam hal ini digantikan atau diwakilkan oleh walinya dalam hal mendiktekan dan persetujuan.Disyaratkan bagi wali untuk memiliki sifat adil, karena selain dari penulis yang harus memiliki sifat adil dan tidak fasik, pendikte pun tidak boleh memiliki sifat-sifat tersebut.Jika sudah didiktekan oleh wali, maka hak menjadi untuk yang diwakilkan (pengutang), bukan untuk wali.Persetujuan yang dikeluarkan oleh anak yang masih kecil, kurang akal, orang gila, dan lain sebagainya, tidaklah sah. Karena pada ayat ini, Allah menjadikan pendiktean bukan dari mereka, namun digantikan oleh wali mereka. Sebagai bentuk kelembutan dan kasih sayang Allah kepada mereka. Dikhawatirkan terdapat kerugian pada harta mereka.Diperintahkan untuk menyaksikan akad yang ada di antara kaum muslimin. Kendati perintah ini dalam bentuk anjuran, namun tujuannya adalah sebagai bentuk petunjuk dalam menjaga hak-hak. Dan hal ini kembali maslahatnya kepada orang yang melakukan akad tersebut. Menjadi wajib jika transaksi dilakukan oleh wali anak yatim.Jumlah saksi dalam harta atau yang sejenisnya yaitu: 2 orang laki-laki atau 1 orang laki-laki dengan 2 orang wanita.Perlu diketahui bahwa persaksian anak kecil tidak dapat diterima dan persaksian para wanita dalam masalah harta, jika bersendirian dalam persaksian tersebut juga tidak diterima. Kecuali jika terdapat laki-laki padanya.Bagi seorang saksi, jika khawatir lupa akan persaksiannya, maka ia wajib untuk menuliskan persaksiannya tersebut.Wajib bagi saksi jika tidak ada uzur untuk hadir jika diajak untuk melakukan persaksian atas sebuah akad.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”Faidah dari potongan ayat ini:Pada ayat di atas, terdapat larangan dari merasa bosan atau malas dari mencatat utang kendati utang itu sedikit maupun banyak, kecil ataupun besar.Terdapat hikmah di dalam pensyariatan penulisan dan persaksian utang-piutang, yaitu berupa keadilan dan tidak adanya sengketa, perselisihan, dan pertengkaran jika hal tersebut benar-benar diterapkan.Pada ayat ini terdapat rukhsah (keringanan) untuk tidak menulis. Yaitu dalam hal jual beli yang sifatnya cash dan tidak ada utang-piutang padanya. Namun, tetap disyariatkan adanya saksi dalam jual beli.Tidak bolehnya penulis dan juga saksi merugikan pemilik hak dengan cara mempersulitnya, meminta upah yang besar, atau menuliskan dan memberikan saksi hal yang tidak sesuai realita dan lain sebagainya. Mengingat jika hal tersebut dilakukan, penulis dan saksi akan terkena salah satu dari pada keharaman. Yaitu sebuah kefasikan.Kemudian di akhir ayat Allah menutup dengan takwa, hendaknya orang-orang yang melakukan akad utang-piutang memiliki perangai dari takwa kepada Allah Ta’ala.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 1 Rabi’ul Akhir 1447/ 23 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Tafsir Ibnu Katsir, karya Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir rahimahullah.Fathul Qadir, karya Imam Asy-Syaukani.Taisir Kariimir Rahmaan fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.

Fikih Utang Piutang (Bag. 9): Faidah-Faidah dari Ayat Utang Piutang

Sebagaimana yang telah diketahui, Al-Qur’an adalah salah satu di antara mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran, sebagai kitab yang menunjukkan hamba-hamba yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ“Alif Lām Mīm. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya. (Ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)Di dalam Al-Qur’an pun Allah menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an telah menjelaskan semua hal. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ“Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” (QS. An-Nahl: 89)Di antara yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an adalah tentang utang-piutang. Bahkan ayat tentang utang piutang menjadi ayat terpanjang di dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya, yang menunjukkan betapa pentingnya permasalahan utang piutang, mengingat utang sangat erat kaitannya dengan hak sesama manusia.Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan ayat tentang utang piutang, bersama dengan banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat tersebut.Allah Ta’ala berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat 282,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya..”Faidah dari potongan ayat ini:Boleh hukumnya melakukan segala akad utang piutang. Karena pada ayat ini, Allah menjelaskan utang-piutang yang dilakukan oleh orang-orang beriman sebagai bentuk persetujuan hukum, sekaligus menyebutkan tentang hukum-hukumnya. Hal ini menunjukkan akan bolehnya utang piutang.Dari ayat di atas dapat diketahui, bahwasanya dalam akad utang piutang harus jelas waktu tenggang utang tersebut. Maka tidak sah akad utang piutang yang berdasarkan waktu yang tidak diketahui.Pada ayat ini, terdapat petunjuk Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka melakukan penulisan dalam muamalah yang bersifat utang piutang.Terdapat perselisihan di antara para ulama terkait perintah menulis utang. Sebagian mengatakan wajib dan sebagian mengatakan sunah. Tentunya yang terbaik adalah tetap menulis utang tersebut, berupa nominal dan waktu tenggangnya.Sebab, jika tidak ada penulisan di atas kertas ataupun kesepakatan antara pihak pengutang dengan pemberi utang, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan, lupa, perselisihan, pertentangan, keributan, dan lain sebagainya.Walaupun akad di antara keluarga, saudara, teman dekat, dan lain sebagainya, justru penulisan lebih ditekankan lagi dalam keadaan itu agar tidak dianggap ringan. Karena seringkali perselisihan utang itu justru terjadi di antara keluarga maupun saudara.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ“Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar). Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Rabbnya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.”Faidah dari potongan ayat ini:Ayat ini menjelaskan tentang tata cara menuliskan utang sesuai yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala.Allah Ta’ala menyebutkan tentang sifat penulis utang, yaitu hendaknya penulis utang bersifat adil dan benar. Karena orang yang fasik tidak dianggap ucapan dan penulisannya. Penulis tidak boleh memiliki kecondongan kepada salah satu pihak.Penulis tidak boleh menambah atau mengurangi kesepakatan yang ada di antara kedua belah pihak.Tidak berhak bagi penulis yang telah Allah berikan kepadanya ilmu penulisan untuk menolak menuliskan utang piutang jika diminta untuk menuliskan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di atas. Mengingat di zaman dahulu, tidak banyak yang bisa membaca dan menulis.Allah memerintahkan, agar penulis tidaklah menulis kecuali yang didiktekan oleh pengutang.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ“Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada). Sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.”Faidah dari potongan ayat ini:Barangsiapa yang tidak mampu untuk mendiktekan, baik karena usianya yang masih kecil, kurang akalnya, bisu, atau yang sejenisnya, maka dalam hal ini digantikan atau diwakilkan oleh walinya dalam hal mendiktekan dan persetujuan.Disyaratkan bagi wali untuk memiliki sifat adil, karena selain dari penulis yang harus memiliki sifat adil dan tidak fasik, pendikte pun tidak boleh memiliki sifat-sifat tersebut.Jika sudah didiktekan oleh wali, maka hak menjadi untuk yang diwakilkan (pengutang), bukan untuk wali.Persetujuan yang dikeluarkan oleh anak yang masih kecil, kurang akal, orang gila, dan lain sebagainya, tidaklah sah. Karena pada ayat ini, Allah menjadikan pendiktean bukan dari mereka, namun digantikan oleh wali mereka. Sebagai bentuk kelembutan dan kasih sayang Allah kepada mereka. Dikhawatirkan terdapat kerugian pada harta mereka.Diperintahkan untuk menyaksikan akad yang ada di antara kaum muslimin. Kendati perintah ini dalam bentuk anjuran, namun tujuannya adalah sebagai bentuk petunjuk dalam menjaga hak-hak. Dan hal ini kembali maslahatnya kepada orang yang melakukan akad tersebut. Menjadi wajib jika transaksi dilakukan oleh wali anak yatim.Jumlah saksi dalam harta atau yang sejenisnya yaitu: 2 orang laki-laki atau 1 orang laki-laki dengan 2 orang wanita.Perlu diketahui bahwa persaksian anak kecil tidak dapat diterima dan persaksian para wanita dalam masalah harta, jika bersendirian dalam persaksian tersebut juga tidak diterima. Kecuali jika terdapat laki-laki padanya.Bagi seorang saksi, jika khawatir lupa akan persaksiannya, maka ia wajib untuk menuliskan persaksiannya tersebut.Wajib bagi saksi jika tidak ada uzur untuk hadir jika diajak untuk melakukan persaksian atas sebuah akad.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”Faidah dari potongan ayat ini:Pada ayat di atas, terdapat larangan dari merasa bosan atau malas dari mencatat utang kendati utang itu sedikit maupun banyak, kecil ataupun besar.Terdapat hikmah di dalam pensyariatan penulisan dan persaksian utang-piutang, yaitu berupa keadilan dan tidak adanya sengketa, perselisihan, dan pertengkaran jika hal tersebut benar-benar diterapkan.Pada ayat ini terdapat rukhsah (keringanan) untuk tidak menulis. Yaitu dalam hal jual beli yang sifatnya cash dan tidak ada utang-piutang padanya. Namun, tetap disyariatkan adanya saksi dalam jual beli.Tidak bolehnya penulis dan juga saksi merugikan pemilik hak dengan cara mempersulitnya, meminta upah yang besar, atau menuliskan dan memberikan saksi hal yang tidak sesuai realita dan lain sebagainya. Mengingat jika hal tersebut dilakukan, penulis dan saksi akan terkena salah satu dari pada keharaman. Yaitu sebuah kefasikan.Kemudian di akhir ayat Allah menutup dengan takwa, hendaknya orang-orang yang melakukan akad utang-piutang memiliki perangai dari takwa kepada Allah Ta’ala.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 1 Rabi’ul Akhir 1447/ 23 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Tafsir Ibnu Katsir, karya Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir rahimahullah.Fathul Qadir, karya Imam Asy-Syaukani.Taisir Kariimir Rahmaan fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
Sebagaimana yang telah diketahui, Al-Qur’an adalah salah satu di antara mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran, sebagai kitab yang menunjukkan hamba-hamba yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ“Alif Lām Mīm. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya. (Ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)Di dalam Al-Qur’an pun Allah menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an telah menjelaskan semua hal. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ“Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” (QS. An-Nahl: 89)Di antara yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an adalah tentang utang-piutang. Bahkan ayat tentang utang piutang menjadi ayat terpanjang di dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya, yang menunjukkan betapa pentingnya permasalahan utang piutang, mengingat utang sangat erat kaitannya dengan hak sesama manusia.Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan ayat tentang utang piutang, bersama dengan banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat tersebut.Allah Ta’ala berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat 282,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya..”Faidah dari potongan ayat ini:Boleh hukumnya melakukan segala akad utang piutang. Karena pada ayat ini, Allah menjelaskan utang-piutang yang dilakukan oleh orang-orang beriman sebagai bentuk persetujuan hukum, sekaligus menyebutkan tentang hukum-hukumnya. Hal ini menunjukkan akan bolehnya utang piutang.Dari ayat di atas dapat diketahui, bahwasanya dalam akad utang piutang harus jelas waktu tenggang utang tersebut. Maka tidak sah akad utang piutang yang berdasarkan waktu yang tidak diketahui.Pada ayat ini, terdapat petunjuk Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka melakukan penulisan dalam muamalah yang bersifat utang piutang.Terdapat perselisihan di antara para ulama terkait perintah menulis utang. Sebagian mengatakan wajib dan sebagian mengatakan sunah. Tentunya yang terbaik adalah tetap menulis utang tersebut, berupa nominal dan waktu tenggangnya.Sebab, jika tidak ada penulisan di atas kertas ataupun kesepakatan antara pihak pengutang dengan pemberi utang, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan, lupa, perselisihan, pertentangan, keributan, dan lain sebagainya.Walaupun akad di antara keluarga, saudara, teman dekat, dan lain sebagainya, justru penulisan lebih ditekankan lagi dalam keadaan itu agar tidak dianggap ringan. Karena seringkali perselisihan utang itu justru terjadi di antara keluarga maupun saudara.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ“Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar). Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Rabbnya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.”Faidah dari potongan ayat ini:Ayat ini menjelaskan tentang tata cara menuliskan utang sesuai yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala.Allah Ta’ala menyebutkan tentang sifat penulis utang, yaitu hendaknya penulis utang bersifat adil dan benar. Karena orang yang fasik tidak dianggap ucapan dan penulisannya. Penulis tidak boleh memiliki kecondongan kepada salah satu pihak.Penulis tidak boleh menambah atau mengurangi kesepakatan yang ada di antara kedua belah pihak.Tidak berhak bagi penulis yang telah Allah berikan kepadanya ilmu penulisan untuk menolak menuliskan utang piutang jika diminta untuk menuliskan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di atas. Mengingat di zaman dahulu, tidak banyak yang bisa membaca dan menulis.Allah memerintahkan, agar penulis tidaklah menulis kecuali yang didiktekan oleh pengutang.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ“Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada). Sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.”Faidah dari potongan ayat ini:Barangsiapa yang tidak mampu untuk mendiktekan, baik karena usianya yang masih kecil, kurang akalnya, bisu, atau yang sejenisnya, maka dalam hal ini digantikan atau diwakilkan oleh walinya dalam hal mendiktekan dan persetujuan.Disyaratkan bagi wali untuk memiliki sifat adil, karena selain dari penulis yang harus memiliki sifat adil dan tidak fasik, pendikte pun tidak boleh memiliki sifat-sifat tersebut.Jika sudah didiktekan oleh wali, maka hak menjadi untuk yang diwakilkan (pengutang), bukan untuk wali.Persetujuan yang dikeluarkan oleh anak yang masih kecil, kurang akal, orang gila, dan lain sebagainya, tidaklah sah. Karena pada ayat ini, Allah menjadikan pendiktean bukan dari mereka, namun digantikan oleh wali mereka. Sebagai bentuk kelembutan dan kasih sayang Allah kepada mereka. Dikhawatirkan terdapat kerugian pada harta mereka.Diperintahkan untuk menyaksikan akad yang ada di antara kaum muslimin. Kendati perintah ini dalam bentuk anjuran, namun tujuannya adalah sebagai bentuk petunjuk dalam menjaga hak-hak. Dan hal ini kembali maslahatnya kepada orang yang melakukan akad tersebut. Menjadi wajib jika transaksi dilakukan oleh wali anak yatim.Jumlah saksi dalam harta atau yang sejenisnya yaitu: 2 orang laki-laki atau 1 orang laki-laki dengan 2 orang wanita.Perlu diketahui bahwa persaksian anak kecil tidak dapat diterima dan persaksian para wanita dalam masalah harta, jika bersendirian dalam persaksian tersebut juga tidak diterima. Kecuali jika terdapat laki-laki padanya.Bagi seorang saksi, jika khawatir lupa akan persaksiannya, maka ia wajib untuk menuliskan persaksiannya tersebut.Wajib bagi saksi jika tidak ada uzur untuk hadir jika diajak untuk melakukan persaksian atas sebuah akad.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”Faidah dari potongan ayat ini:Pada ayat di atas, terdapat larangan dari merasa bosan atau malas dari mencatat utang kendati utang itu sedikit maupun banyak, kecil ataupun besar.Terdapat hikmah di dalam pensyariatan penulisan dan persaksian utang-piutang, yaitu berupa keadilan dan tidak adanya sengketa, perselisihan, dan pertengkaran jika hal tersebut benar-benar diterapkan.Pada ayat ini terdapat rukhsah (keringanan) untuk tidak menulis. Yaitu dalam hal jual beli yang sifatnya cash dan tidak ada utang-piutang padanya. Namun, tetap disyariatkan adanya saksi dalam jual beli.Tidak bolehnya penulis dan juga saksi merugikan pemilik hak dengan cara mempersulitnya, meminta upah yang besar, atau menuliskan dan memberikan saksi hal yang tidak sesuai realita dan lain sebagainya. Mengingat jika hal tersebut dilakukan, penulis dan saksi akan terkena salah satu dari pada keharaman. Yaitu sebuah kefasikan.Kemudian di akhir ayat Allah menutup dengan takwa, hendaknya orang-orang yang melakukan akad utang-piutang memiliki perangai dari takwa kepada Allah Ta’ala.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 1 Rabi’ul Akhir 1447/ 23 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Tafsir Ibnu Katsir, karya Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir rahimahullah.Fathul Qadir, karya Imam Asy-Syaukani.Taisir Kariimir Rahmaan fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.


Sebagaimana yang telah diketahui, Al-Qur’an adalah salah satu di antara mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran, sebagai kitab yang menunjukkan hamba-hamba yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ“Alif Lām Mīm. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya. (Ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)Di dalam Al-Qur’an pun Allah menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an telah menjelaskan semua hal. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ“Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” (QS. An-Nahl: 89)Di antara yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an adalah tentang utang-piutang. Bahkan ayat tentang utang piutang menjadi ayat terpanjang di dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya, yang menunjukkan betapa pentingnya permasalahan utang piutang, mengingat utang sangat erat kaitannya dengan hak sesama manusia.Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan ayat tentang utang piutang, bersama dengan banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat tersebut.Allah Ta’ala berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat 282,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya..”Faidah dari potongan ayat ini:Boleh hukumnya melakukan segala akad utang piutang. Karena pada ayat ini, Allah menjelaskan utang-piutang yang dilakukan oleh orang-orang beriman sebagai bentuk persetujuan hukum, sekaligus menyebutkan tentang hukum-hukumnya. Hal ini menunjukkan akan bolehnya utang piutang.Dari ayat di atas dapat diketahui, bahwasanya dalam akad utang piutang harus jelas waktu tenggang utang tersebut. Maka tidak sah akad utang piutang yang berdasarkan waktu yang tidak diketahui.Pada ayat ini, terdapat petunjuk Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka melakukan penulisan dalam muamalah yang bersifat utang piutang.Terdapat perselisihan di antara para ulama terkait perintah menulis utang. Sebagian mengatakan wajib dan sebagian mengatakan sunah. Tentunya yang terbaik adalah tetap menulis utang tersebut, berupa nominal dan waktu tenggangnya.Sebab, jika tidak ada penulisan di atas kertas ataupun kesepakatan antara pihak pengutang dengan pemberi utang, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan, lupa, perselisihan, pertentangan, keributan, dan lain sebagainya.Walaupun akad di antara keluarga, saudara, teman dekat, dan lain sebagainya, justru penulisan lebih ditekankan lagi dalam keadaan itu agar tidak dianggap ringan. Karena seringkali perselisihan utang itu justru terjadi di antara keluarga maupun saudara.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ“Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar). Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Rabbnya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.”Faidah dari potongan ayat ini:Ayat ini menjelaskan tentang tata cara menuliskan utang sesuai yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala.Allah Ta’ala menyebutkan tentang sifat penulis utang, yaitu hendaknya penulis utang bersifat adil dan benar. Karena orang yang fasik tidak dianggap ucapan dan penulisannya. Penulis tidak boleh memiliki kecondongan kepada salah satu pihak.Penulis tidak boleh menambah atau mengurangi kesepakatan yang ada di antara kedua belah pihak.Tidak berhak bagi penulis yang telah Allah berikan kepadanya ilmu penulisan untuk menolak menuliskan utang piutang jika diminta untuk menuliskan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di atas. Mengingat di zaman dahulu, tidak banyak yang bisa membaca dan menulis.Allah memerintahkan, agar penulis tidaklah menulis kecuali yang didiktekan oleh pengutang.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ“Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada). Sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.”Faidah dari potongan ayat ini:Barangsiapa yang tidak mampu untuk mendiktekan, baik karena usianya yang masih kecil, kurang akalnya, bisu, atau yang sejenisnya, maka dalam hal ini digantikan atau diwakilkan oleh walinya dalam hal mendiktekan dan persetujuan.Disyaratkan bagi wali untuk memiliki sifat adil, karena selain dari penulis yang harus memiliki sifat adil dan tidak fasik, pendikte pun tidak boleh memiliki sifat-sifat tersebut.Jika sudah didiktekan oleh wali, maka hak menjadi untuk yang diwakilkan (pengutang), bukan untuk wali.Persetujuan yang dikeluarkan oleh anak yang masih kecil, kurang akal, orang gila, dan lain sebagainya, tidaklah sah. Karena pada ayat ini, Allah menjadikan pendiktean bukan dari mereka, namun digantikan oleh wali mereka. Sebagai bentuk kelembutan dan kasih sayang Allah kepada mereka. Dikhawatirkan terdapat kerugian pada harta mereka.Diperintahkan untuk menyaksikan akad yang ada di antara kaum muslimin. Kendati perintah ini dalam bentuk anjuran, namun tujuannya adalah sebagai bentuk petunjuk dalam menjaga hak-hak. Dan hal ini kembali maslahatnya kepada orang yang melakukan akad tersebut. Menjadi wajib jika transaksi dilakukan oleh wali anak yatim.Jumlah saksi dalam harta atau yang sejenisnya yaitu: 2 orang laki-laki atau 1 orang laki-laki dengan 2 orang wanita.Perlu diketahui bahwa persaksian anak kecil tidak dapat diterima dan persaksian para wanita dalam masalah harta, jika bersendirian dalam persaksian tersebut juga tidak diterima. Kecuali jika terdapat laki-laki padanya.Bagi seorang saksi, jika khawatir lupa akan persaksiannya, maka ia wajib untuk menuliskan persaksiannya tersebut.Wajib bagi saksi jika tidak ada uzur untuk hadir jika diajak untuk melakukan persaksian atas sebuah akad.Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”Faidah dari potongan ayat ini:Pada ayat di atas, terdapat larangan dari merasa bosan atau malas dari mencatat utang kendati utang itu sedikit maupun banyak, kecil ataupun besar.Terdapat hikmah di dalam pensyariatan penulisan dan persaksian utang-piutang, yaitu berupa keadilan dan tidak adanya sengketa, perselisihan, dan pertengkaran jika hal tersebut benar-benar diterapkan.Pada ayat ini terdapat rukhsah (keringanan) untuk tidak menulis. Yaitu dalam hal jual beli yang sifatnya cash dan tidak ada utang-piutang padanya. Namun, tetap disyariatkan adanya saksi dalam jual beli.Tidak bolehnya penulis dan juga saksi merugikan pemilik hak dengan cara mempersulitnya, meminta upah yang besar, atau menuliskan dan memberikan saksi hal yang tidak sesuai realita dan lain sebagainya. Mengingat jika hal tersebut dilakukan, penulis dan saksi akan terkena salah satu dari pada keharaman. Yaitu sebuah kefasikan.Kemudian di akhir ayat Allah menutup dengan takwa, hendaknya orang-orang yang melakukan akad utang-piutang memiliki perangai dari takwa kepada Allah Ta’ala.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Depok, 1 Rabi’ul Akhir 1447/ 23 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Tafsir Ibnu Katsir, karya Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir rahimahullah.Fathul Qadir, karya Imam Asy-Syaukani.Taisir Kariimir Rahmaan fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.

Fikih Hibah (Bag. 5): Bolehkah Menarik Kembali Pemberian Hibah? (Konsekuensi Hukum Akad Hibah)

Daftar Isi TogglePenjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahKesimpulanHibah merupakan salah satu cara Islam mengajarkan kita untuk saling berbagi dan mempererat hubungan. Namun, dalam praktiknya tidak jarang muncul persoalan ketika pemberi hibah ingin menarik kembali pemberiannya dengan berbagai alasan, seperti kebutuhan mendesak karena rasa tidak adil dalam pemberian kepada anak-anak, atau karena adanya perubahan hubungan sosial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah Islam memperbolehkan penarikan kembali hibah tersebut? Ataukah pemberi harus merelakan sepenuhnya hak kepemilikannya yang sudah diberikan?Masalah ini penting untuk dibahas karena menyangkut dua hal utama:Pertama: Pentingnya menjaga janji yang sudah dilakukan oleh pihak pemberi dalam sebuah akad (dalam hal ini adalah akad hibah).Kedua: Memastikan keadilan dalam keluarga maupun masyarakat.Jika hibah dapat ditarik kembali dengan mudah, akan muncul ketidakpastian dan masalah baru. Di sisi lain, ada keadaan tertentu yang membuat penarikan hibah mungkin perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, para ulama dari empat mazhab besar memberikan penjelasan rinci agar umat Islam memiliki pegangan yang jelas dalam menghadapi masalah ini.Penjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahSyekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, menuliskan dan merangkumkan untuk kita perkataan para ulama mazhab terkait hal ini.Para ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa konsekuensi hukum hibah: hak kepemilikan orang yang telah diberi hibah terhadap benda yang dihibahkan tidaklah mengikat, sehingga pemberi boleh menarik kembali pemberiannya dan membatalkannya.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,الواهبُ أحقُّ بهبتِه ما لم يُثبْ منها“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibah yang dia berikan selama orang yang diberi belum membalasnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni, 3: 44 dan Al-Baihaqi no. 12382. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Al-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab, bukan perkataan Nabi)Maksudnya adalah selama tidak ada pemberian balasan dari orang yang diberi.Dalarn hadis di atas, Rasulullah (yang benar adalah perkataan Umar bin Khattab) menjadikan pemberi lebih berhak terhadap apa yang dia berikan selama orang yang diberi tidak membalas pemberiannya. Dan hadis ini menurut mazhab Hanafi merupakan nash (dalil tekstual) dalam permasalahan ini.Seorang pemberi boleh mengambil kembali pemberiannya selama belum ada balasan, walaupun telah diterima atau diambil oleh orang yang diberi.Adapun mayoritas ulama, mereka berpendapat bahwa akad hibah bersifat mengikat, kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya, sehingga seorang ayah boleh mengambil kembali pemberiannya sebelum anaknya menerima atau mengambil pemberian itu.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,العائدُ في هِبَتِهِ كالعائدِ في قَيْئِهِ“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,ليسَ لنا مَثَلُ السَّوْءِ، الذي يَعُودُ في هِبَتِهِ كالكَلْبِ يَرْجِعُ في قَيْئِهِ.“Kita tidak memiliki permisalan dan perumpamaan yang buruk, orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti anjing yang memakan kembaIi muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2622)Maksudnya, tidak sepantasnya bagi kita, wahai orang-orang yang beriman, untuk memiliki sifat tercela yang menyerupai hewan yang paling hina. Jarang sekali perumpamaan seperti ini datang dalam syariat, yang menunjukkan betapa buruknya perbuatan ini. Perumpamaan ini menggunakan muntah, bukan hal haram lainnya, untuk menunjukkan betapa buruknya perbuatan tersebut.Sebagaimana jiwa kita tidak suka untuk memakan kembali muntah kita, merasa jijik dan menganggapnya kotor, demikian pula seharusnya jiwa kita tidak suka dan menjauhi perbuatan menarik kembali pemberian.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لا يحلُّ لأحَدٍ أن يُعْطيَ العطيَّةَ، فيرجعَ فيها إلَّا الوالدَ فيما يعطي ولدَهُ، ومَثلُ الَّذي يعطي العطيَّةَ فيرجعُ فيها، كالكَلبِ يأكلُ، حتَّى إذا شبعَ قاءَ، ثمَّ عادَ فرجعَ في قَيئِهِ“Tidak halal bagi seseorang memberi pemberian, lalu menariknya kembali, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberi pemberian lalu menariknya kembali adalah seperti anjing yang makan hingga kenyang, lalu muntah, kemudian kembali menjilat muntahannya.” (HR. An-Nasa’i no. 3705. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)Pengecualian bagi orang tua untuk menarik kembali hibah kepada anaknya yaitu apabila orang tua tidak memberikan bagian yang sama kepada semua saudaranya seperti itu. Dia boleh menarik kembali hibahnya, karena tidak halal baginya untuk memberikan kepada salah satu anak tanpa memberi anak yang lain. Hal ini sudah pernah kita bahas sebelumnya dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma.Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa akad hibah mengikat kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pendapat di antara mereka terakait penerapannya. Dalam mazhab Maliki, orang tua boleh menarik kembali hibahnya sebelum diterima; sedangkan dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, orang tua boleh menarik kembali hibahnya bahkan setelah diterima. Hak tersebut menurut mazhab Syafi’i bahkan berlaku mutlak dalam setiap hibah yang diberikan dari jalur atas (orang tua dan kakek) kepada cabang (anak).Mazhab Maliki juga memberlakukan lima syarat sahnya penarikan hibah dari seorang ayah kepada anaknya, yaitu:1) Anak tersebut tidak menikah setelah diberi hibah itu.2) Setelah diberi hibah, dia tidak berutang hingga waktu tertentu.3) Pemberian itu tidak berubah dari kondisi aslinya.4) Anak yang diberi hibah itu tidak melakukan tindakan hukum terhadap sesuatu yang diberikan kepadanya.5) Pemberi atau anak yang diberi tidak sakit. Jika salah satu dari kelima hal ini terjadi, maka ayah tidak boleh mengambil kembali pemberiannya.KesimpulanHibah ini dilakukan dalam rangka menumbuhkan kasih sayang dan rasa cinta. Adapun hibah yang murni untuk Allah Ta’ala, yaitu yang disebut dengan sedekah, maka ia sama sekali tidak bisa diambil kembali. Pemberi juga hendaknya tidak mengambil pemberiannya kembali, baik dengan membelinya atau dengan cara yang lain. Jika pemberian itu berupa pohon, maka dia tidak boleh makan dari buahnya. Jika pemberian itu berupa seekor binatang tunggangan, maka dia tidak boleh menungganginya, kecuali jika kembali kepadanya dengan cara pewarisan.Dari penjelasan para ulama empat mazhab, kita bisa memahami bahwa menarik kembali hibah bukan perkara sepele. Terlebih lagi terdapat hadis Nabi yang mencela perkara tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah dalam salah satu kesempatan tanya jawab dengan kaum muslimin dan ini tercantum dalam kitab Majmu’ Fatawa beliau pernah ditanya terkait hal ini kemudian beliau mengatakan,حكمه أنه آثم، وعليه التوبة من ذلك، ورد الهبة إلى صاحبها“Hukum (perbuatan menarik hibah) bagi pelakunya adalah berdosa, dan dia harus bertobat dari itu, serta mengembalikan kembali hibah itu kepada penerimanya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibnu Baz, 20: 67)Pada dasarnya, hibah yang sudah diberikan tidak boleh diambil lagi karena Islam mendorong kita untuk menepati janji dan menjaga ketulusan dalam memberi. Namun, syariat juga memberikan kelonggaran dalam keadaan tertentu, terutama bagi orang tua terhadap anaknya, demi menjaga keadilan dan keharmonisan keluarga.Dengan memahami aturan ini, kita bisa lebih bijak dalam memberi hibah. Sebelum memberikan sesuatu, sebaiknya dipikirkan dengan matang agar tidak menyesal di kemudian hari. Dan jika memang ada kebutuhan untuk menarik hibah, harus diperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan ulama agar sesuai dengan ajaran Islam. Dengan begitu, hibah benar-benar menjadi amal kebaikan yang membawa keberkahan, bukan sumber masalah atau perselisihan.Wallahu a’lam bisshawaab[Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 5): Bolehkah Menarik Kembali Pemberian Hibah? (Konsekuensi Hukum Akad Hibah)

Daftar Isi TogglePenjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahKesimpulanHibah merupakan salah satu cara Islam mengajarkan kita untuk saling berbagi dan mempererat hubungan. Namun, dalam praktiknya tidak jarang muncul persoalan ketika pemberi hibah ingin menarik kembali pemberiannya dengan berbagai alasan, seperti kebutuhan mendesak karena rasa tidak adil dalam pemberian kepada anak-anak, atau karena adanya perubahan hubungan sosial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah Islam memperbolehkan penarikan kembali hibah tersebut? Ataukah pemberi harus merelakan sepenuhnya hak kepemilikannya yang sudah diberikan?Masalah ini penting untuk dibahas karena menyangkut dua hal utama:Pertama: Pentingnya menjaga janji yang sudah dilakukan oleh pihak pemberi dalam sebuah akad (dalam hal ini adalah akad hibah).Kedua: Memastikan keadilan dalam keluarga maupun masyarakat.Jika hibah dapat ditarik kembali dengan mudah, akan muncul ketidakpastian dan masalah baru. Di sisi lain, ada keadaan tertentu yang membuat penarikan hibah mungkin perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, para ulama dari empat mazhab besar memberikan penjelasan rinci agar umat Islam memiliki pegangan yang jelas dalam menghadapi masalah ini.Penjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahSyekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, menuliskan dan merangkumkan untuk kita perkataan para ulama mazhab terkait hal ini.Para ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa konsekuensi hukum hibah: hak kepemilikan orang yang telah diberi hibah terhadap benda yang dihibahkan tidaklah mengikat, sehingga pemberi boleh menarik kembali pemberiannya dan membatalkannya.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,الواهبُ أحقُّ بهبتِه ما لم يُثبْ منها“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibah yang dia berikan selama orang yang diberi belum membalasnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni, 3: 44 dan Al-Baihaqi no. 12382. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Al-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab, bukan perkataan Nabi)Maksudnya adalah selama tidak ada pemberian balasan dari orang yang diberi.Dalarn hadis di atas, Rasulullah (yang benar adalah perkataan Umar bin Khattab) menjadikan pemberi lebih berhak terhadap apa yang dia berikan selama orang yang diberi tidak membalas pemberiannya. Dan hadis ini menurut mazhab Hanafi merupakan nash (dalil tekstual) dalam permasalahan ini.Seorang pemberi boleh mengambil kembali pemberiannya selama belum ada balasan, walaupun telah diterima atau diambil oleh orang yang diberi.Adapun mayoritas ulama, mereka berpendapat bahwa akad hibah bersifat mengikat, kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya, sehingga seorang ayah boleh mengambil kembali pemberiannya sebelum anaknya menerima atau mengambil pemberian itu.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,العائدُ في هِبَتِهِ كالعائدِ في قَيْئِهِ“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,ليسَ لنا مَثَلُ السَّوْءِ، الذي يَعُودُ في هِبَتِهِ كالكَلْبِ يَرْجِعُ في قَيْئِهِ.“Kita tidak memiliki permisalan dan perumpamaan yang buruk, orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti anjing yang memakan kembaIi muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2622)Maksudnya, tidak sepantasnya bagi kita, wahai orang-orang yang beriman, untuk memiliki sifat tercela yang menyerupai hewan yang paling hina. Jarang sekali perumpamaan seperti ini datang dalam syariat, yang menunjukkan betapa buruknya perbuatan ini. Perumpamaan ini menggunakan muntah, bukan hal haram lainnya, untuk menunjukkan betapa buruknya perbuatan tersebut.Sebagaimana jiwa kita tidak suka untuk memakan kembali muntah kita, merasa jijik dan menganggapnya kotor, demikian pula seharusnya jiwa kita tidak suka dan menjauhi perbuatan menarik kembali pemberian.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لا يحلُّ لأحَدٍ أن يُعْطيَ العطيَّةَ، فيرجعَ فيها إلَّا الوالدَ فيما يعطي ولدَهُ، ومَثلُ الَّذي يعطي العطيَّةَ فيرجعُ فيها، كالكَلبِ يأكلُ، حتَّى إذا شبعَ قاءَ، ثمَّ عادَ فرجعَ في قَيئِهِ“Tidak halal bagi seseorang memberi pemberian, lalu menariknya kembali, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberi pemberian lalu menariknya kembali adalah seperti anjing yang makan hingga kenyang, lalu muntah, kemudian kembali menjilat muntahannya.” (HR. An-Nasa’i no. 3705. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)Pengecualian bagi orang tua untuk menarik kembali hibah kepada anaknya yaitu apabila orang tua tidak memberikan bagian yang sama kepada semua saudaranya seperti itu. Dia boleh menarik kembali hibahnya, karena tidak halal baginya untuk memberikan kepada salah satu anak tanpa memberi anak yang lain. Hal ini sudah pernah kita bahas sebelumnya dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma.Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa akad hibah mengikat kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pendapat di antara mereka terakait penerapannya. Dalam mazhab Maliki, orang tua boleh menarik kembali hibahnya sebelum diterima; sedangkan dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, orang tua boleh menarik kembali hibahnya bahkan setelah diterima. Hak tersebut menurut mazhab Syafi’i bahkan berlaku mutlak dalam setiap hibah yang diberikan dari jalur atas (orang tua dan kakek) kepada cabang (anak).Mazhab Maliki juga memberlakukan lima syarat sahnya penarikan hibah dari seorang ayah kepada anaknya, yaitu:1) Anak tersebut tidak menikah setelah diberi hibah itu.2) Setelah diberi hibah, dia tidak berutang hingga waktu tertentu.3) Pemberian itu tidak berubah dari kondisi aslinya.4) Anak yang diberi hibah itu tidak melakukan tindakan hukum terhadap sesuatu yang diberikan kepadanya.5) Pemberi atau anak yang diberi tidak sakit. Jika salah satu dari kelima hal ini terjadi, maka ayah tidak boleh mengambil kembali pemberiannya.KesimpulanHibah ini dilakukan dalam rangka menumbuhkan kasih sayang dan rasa cinta. Adapun hibah yang murni untuk Allah Ta’ala, yaitu yang disebut dengan sedekah, maka ia sama sekali tidak bisa diambil kembali. Pemberi juga hendaknya tidak mengambil pemberiannya kembali, baik dengan membelinya atau dengan cara yang lain. Jika pemberian itu berupa pohon, maka dia tidak boleh makan dari buahnya. Jika pemberian itu berupa seekor binatang tunggangan, maka dia tidak boleh menungganginya, kecuali jika kembali kepadanya dengan cara pewarisan.Dari penjelasan para ulama empat mazhab, kita bisa memahami bahwa menarik kembali hibah bukan perkara sepele. Terlebih lagi terdapat hadis Nabi yang mencela perkara tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah dalam salah satu kesempatan tanya jawab dengan kaum muslimin dan ini tercantum dalam kitab Majmu’ Fatawa beliau pernah ditanya terkait hal ini kemudian beliau mengatakan,حكمه أنه آثم، وعليه التوبة من ذلك، ورد الهبة إلى صاحبها“Hukum (perbuatan menarik hibah) bagi pelakunya adalah berdosa, dan dia harus bertobat dari itu, serta mengembalikan kembali hibah itu kepada penerimanya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibnu Baz, 20: 67)Pada dasarnya, hibah yang sudah diberikan tidak boleh diambil lagi karena Islam mendorong kita untuk menepati janji dan menjaga ketulusan dalam memberi. Namun, syariat juga memberikan kelonggaran dalam keadaan tertentu, terutama bagi orang tua terhadap anaknya, demi menjaga keadilan dan keharmonisan keluarga.Dengan memahami aturan ini, kita bisa lebih bijak dalam memberi hibah. Sebelum memberikan sesuatu, sebaiknya dipikirkan dengan matang agar tidak menyesal di kemudian hari. Dan jika memang ada kebutuhan untuk menarik hibah, harus diperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan ulama agar sesuai dengan ajaran Islam. Dengan begitu, hibah benar-benar menjadi amal kebaikan yang membawa keberkahan, bukan sumber masalah atau perselisihan.Wallahu a’lam bisshawaab[Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePenjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahKesimpulanHibah merupakan salah satu cara Islam mengajarkan kita untuk saling berbagi dan mempererat hubungan. Namun, dalam praktiknya tidak jarang muncul persoalan ketika pemberi hibah ingin menarik kembali pemberiannya dengan berbagai alasan, seperti kebutuhan mendesak karena rasa tidak adil dalam pemberian kepada anak-anak, atau karena adanya perubahan hubungan sosial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah Islam memperbolehkan penarikan kembali hibah tersebut? Ataukah pemberi harus merelakan sepenuhnya hak kepemilikannya yang sudah diberikan?Masalah ini penting untuk dibahas karena menyangkut dua hal utama:Pertama: Pentingnya menjaga janji yang sudah dilakukan oleh pihak pemberi dalam sebuah akad (dalam hal ini adalah akad hibah).Kedua: Memastikan keadilan dalam keluarga maupun masyarakat.Jika hibah dapat ditarik kembali dengan mudah, akan muncul ketidakpastian dan masalah baru. Di sisi lain, ada keadaan tertentu yang membuat penarikan hibah mungkin perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, para ulama dari empat mazhab besar memberikan penjelasan rinci agar umat Islam memiliki pegangan yang jelas dalam menghadapi masalah ini.Penjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahSyekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, menuliskan dan merangkumkan untuk kita perkataan para ulama mazhab terkait hal ini.Para ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa konsekuensi hukum hibah: hak kepemilikan orang yang telah diberi hibah terhadap benda yang dihibahkan tidaklah mengikat, sehingga pemberi boleh menarik kembali pemberiannya dan membatalkannya.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,الواهبُ أحقُّ بهبتِه ما لم يُثبْ منها“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibah yang dia berikan selama orang yang diberi belum membalasnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni, 3: 44 dan Al-Baihaqi no. 12382. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Al-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab, bukan perkataan Nabi)Maksudnya adalah selama tidak ada pemberian balasan dari orang yang diberi.Dalarn hadis di atas, Rasulullah (yang benar adalah perkataan Umar bin Khattab) menjadikan pemberi lebih berhak terhadap apa yang dia berikan selama orang yang diberi tidak membalas pemberiannya. Dan hadis ini menurut mazhab Hanafi merupakan nash (dalil tekstual) dalam permasalahan ini.Seorang pemberi boleh mengambil kembali pemberiannya selama belum ada balasan, walaupun telah diterima atau diambil oleh orang yang diberi.Adapun mayoritas ulama, mereka berpendapat bahwa akad hibah bersifat mengikat, kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya, sehingga seorang ayah boleh mengambil kembali pemberiannya sebelum anaknya menerima atau mengambil pemberian itu.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,العائدُ في هِبَتِهِ كالعائدِ في قَيْئِهِ“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,ليسَ لنا مَثَلُ السَّوْءِ، الذي يَعُودُ في هِبَتِهِ كالكَلْبِ يَرْجِعُ في قَيْئِهِ.“Kita tidak memiliki permisalan dan perumpamaan yang buruk, orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti anjing yang memakan kembaIi muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2622)Maksudnya, tidak sepantasnya bagi kita, wahai orang-orang yang beriman, untuk memiliki sifat tercela yang menyerupai hewan yang paling hina. Jarang sekali perumpamaan seperti ini datang dalam syariat, yang menunjukkan betapa buruknya perbuatan ini. Perumpamaan ini menggunakan muntah, bukan hal haram lainnya, untuk menunjukkan betapa buruknya perbuatan tersebut.Sebagaimana jiwa kita tidak suka untuk memakan kembali muntah kita, merasa jijik dan menganggapnya kotor, demikian pula seharusnya jiwa kita tidak suka dan menjauhi perbuatan menarik kembali pemberian.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لا يحلُّ لأحَدٍ أن يُعْطيَ العطيَّةَ، فيرجعَ فيها إلَّا الوالدَ فيما يعطي ولدَهُ، ومَثلُ الَّذي يعطي العطيَّةَ فيرجعُ فيها، كالكَلبِ يأكلُ، حتَّى إذا شبعَ قاءَ، ثمَّ عادَ فرجعَ في قَيئِهِ“Tidak halal bagi seseorang memberi pemberian, lalu menariknya kembali, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberi pemberian lalu menariknya kembali adalah seperti anjing yang makan hingga kenyang, lalu muntah, kemudian kembali menjilat muntahannya.” (HR. An-Nasa’i no. 3705. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)Pengecualian bagi orang tua untuk menarik kembali hibah kepada anaknya yaitu apabila orang tua tidak memberikan bagian yang sama kepada semua saudaranya seperti itu. Dia boleh menarik kembali hibahnya, karena tidak halal baginya untuk memberikan kepada salah satu anak tanpa memberi anak yang lain. Hal ini sudah pernah kita bahas sebelumnya dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma.Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa akad hibah mengikat kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pendapat di antara mereka terakait penerapannya. Dalam mazhab Maliki, orang tua boleh menarik kembali hibahnya sebelum diterima; sedangkan dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, orang tua boleh menarik kembali hibahnya bahkan setelah diterima. Hak tersebut menurut mazhab Syafi’i bahkan berlaku mutlak dalam setiap hibah yang diberikan dari jalur atas (orang tua dan kakek) kepada cabang (anak).Mazhab Maliki juga memberlakukan lima syarat sahnya penarikan hibah dari seorang ayah kepada anaknya, yaitu:1) Anak tersebut tidak menikah setelah diberi hibah itu.2) Setelah diberi hibah, dia tidak berutang hingga waktu tertentu.3) Pemberian itu tidak berubah dari kondisi aslinya.4) Anak yang diberi hibah itu tidak melakukan tindakan hukum terhadap sesuatu yang diberikan kepadanya.5) Pemberi atau anak yang diberi tidak sakit. Jika salah satu dari kelima hal ini terjadi, maka ayah tidak boleh mengambil kembali pemberiannya.KesimpulanHibah ini dilakukan dalam rangka menumbuhkan kasih sayang dan rasa cinta. Adapun hibah yang murni untuk Allah Ta’ala, yaitu yang disebut dengan sedekah, maka ia sama sekali tidak bisa diambil kembali. Pemberi juga hendaknya tidak mengambil pemberiannya kembali, baik dengan membelinya atau dengan cara yang lain. Jika pemberian itu berupa pohon, maka dia tidak boleh makan dari buahnya. Jika pemberian itu berupa seekor binatang tunggangan, maka dia tidak boleh menungganginya, kecuali jika kembali kepadanya dengan cara pewarisan.Dari penjelasan para ulama empat mazhab, kita bisa memahami bahwa menarik kembali hibah bukan perkara sepele. Terlebih lagi terdapat hadis Nabi yang mencela perkara tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah dalam salah satu kesempatan tanya jawab dengan kaum muslimin dan ini tercantum dalam kitab Majmu’ Fatawa beliau pernah ditanya terkait hal ini kemudian beliau mengatakan,حكمه أنه آثم، وعليه التوبة من ذلك، ورد الهبة إلى صاحبها“Hukum (perbuatan menarik hibah) bagi pelakunya adalah berdosa, dan dia harus bertobat dari itu, serta mengembalikan kembali hibah itu kepada penerimanya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibnu Baz, 20: 67)Pada dasarnya, hibah yang sudah diberikan tidak boleh diambil lagi karena Islam mendorong kita untuk menepati janji dan menjaga ketulusan dalam memberi. Namun, syariat juga memberikan kelonggaran dalam keadaan tertentu, terutama bagi orang tua terhadap anaknya, demi menjaga keadilan dan keharmonisan keluarga.Dengan memahami aturan ini, kita bisa lebih bijak dalam memberi hibah. Sebelum memberikan sesuatu, sebaiknya dipikirkan dengan matang agar tidak menyesal di kemudian hari. Dan jika memang ada kebutuhan untuk menarik hibah, harus diperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan ulama agar sesuai dengan ajaran Islam. Dengan begitu, hibah benar-benar menjadi amal kebaikan yang membawa keberkahan, bukan sumber masalah atau perselisihan.Wallahu a’lam bisshawaab[Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePenjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahKesimpulanHibah merupakan salah satu cara Islam mengajarkan kita untuk saling berbagi dan mempererat hubungan. Namun, dalam praktiknya tidak jarang muncul persoalan ketika pemberi hibah ingin menarik kembali pemberiannya dengan berbagai alasan, seperti kebutuhan mendesak karena rasa tidak adil dalam pemberian kepada anak-anak, atau karena adanya perubahan hubungan sosial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah Islam memperbolehkan penarikan kembali hibah tersebut? Ataukah pemberi harus merelakan sepenuhnya hak kepemilikannya yang sudah diberikan?Masalah ini penting untuk dibahas karena menyangkut dua hal utama:Pertama: Pentingnya menjaga janji yang sudah dilakukan oleh pihak pemberi dalam sebuah akad (dalam hal ini adalah akad hibah).Kedua: Memastikan keadilan dalam keluarga maupun masyarakat.Jika hibah dapat ditarik kembali dengan mudah, akan muncul ketidakpastian dan masalah baru. Di sisi lain, ada keadaan tertentu yang membuat penarikan hibah mungkin perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, para ulama dari empat mazhab besar memberikan penjelasan rinci agar umat Islam memiliki pegangan yang jelas dalam menghadapi masalah ini.Penjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibahSyekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, menuliskan dan merangkumkan untuk kita perkataan para ulama mazhab terkait hal ini.Para ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa konsekuensi hukum hibah: hak kepemilikan orang yang telah diberi hibah terhadap benda yang dihibahkan tidaklah mengikat, sehingga pemberi boleh menarik kembali pemberiannya dan membatalkannya.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,الواهبُ أحقُّ بهبتِه ما لم يُثبْ منها“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibah yang dia berikan selama orang yang diberi belum membalasnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni, 3: 44 dan Al-Baihaqi no. 12382. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Al-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab, bukan perkataan Nabi)Maksudnya adalah selama tidak ada pemberian balasan dari orang yang diberi.Dalarn hadis di atas, Rasulullah (yang benar adalah perkataan Umar bin Khattab) menjadikan pemberi lebih berhak terhadap apa yang dia berikan selama orang yang diberi tidak membalas pemberiannya. Dan hadis ini menurut mazhab Hanafi merupakan nash (dalil tekstual) dalam permasalahan ini.Seorang pemberi boleh mengambil kembali pemberiannya selama belum ada balasan, walaupun telah diterima atau diambil oleh orang yang diberi.Adapun mayoritas ulama, mereka berpendapat bahwa akad hibah bersifat mengikat, kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya, sehingga seorang ayah boleh mengambil kembali pemberiannya sebelum anaknya menerima atau mengambil pemberian itu.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,العائدُ في هِبَتِهِ كالعائدِ في قَيْئِهِ“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,ليسَ لنا مَثَلُ السَّوْءِ، الذي يَعُودُ في هِبَتِهِ كالكَلْبِ يَرْجِعُ في قَيْئِهِ.“Kita tidak memiliki permisalan dan perumpamaan yang buruk, orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti anjing yang memakan kembaIi muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2622)Maksudnya, tidak sepantasnya bagi kita, wahai orang-orang yang beriman, untuk memiliki sifat tercela yang menyerupai hewan yang paling hina. Jarang sekali perumpamaan seperti ini datang dalam syariat, yang menunjukkan betapa buruknya perbuatan ini. Perumpamaan ini menggunakan muntah, bukan hal haram lainnya, untuk menunjukkan betapa buruknya perbuatan tersebut.Sebagaimana jiwa kita tidak suka untuk memakan kembali muntah kita, merasa jijik dan menganggapnya kotor, demikian pula seharusnya jiwa kita tidak suka dan menjauhi perbuatan menarik kembali pemberian.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لا يحلُّ لأحَدٍ أن يُعْطيَ العطيَّةَ، فيرجعَ فيها إلَّا الوالدَ فيما يعطي ولدَهُ، ومَثلُ الَّذي يعطي العطيَّةَ فيرجعُ فيها، كالكَلبِ يأكلُ، حتَّى إذا شبعَ قاءَ، ثمَّ عادَ فرجعَ في قَيئِهِ“Tidak halal bagi seseorang memberi pemberian, lalu menariknya kembali, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberi pemberian lalu menariknya kembali adalah seperti anjing yang makan hingga kenyang, lalu muntah, kemudian kembali menjilat muntahannya.” (HR. An-Nasa’i no. 3705. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)Pengecualian bagi orang tua untuk menarik kembali hibah kepada anaknya yaitu apabila orang tua tidak memberikan bagian yang sama kepada semua saudaranya seperti itu. Dia boleh menarik kembali hibahnya, karena tidak halal baginya untuk memberikan kepada salah satu anak tanpa memberi anak yang lain. Hal ini sudah pernah kita bahas sebelumnya dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma.Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa akad hibah mengikat kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pendapat di antara mereka terakait penerapannya. Dalam mazhab Maliki, orang tua boleh menarik kembali hibahnya sebelum diterima; sedangkan dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, orang tua boleh menarik kembali hibahnya bahkan setelah diterima. Hak tersebut menurut mazhab Syafi’i bahkan berlaku mutlak dalam setiap hibah yang diberikan dari jalur atas (orang tua dan kakek) kepada cabang (anak).Mazhab Maliki juga memberlakukan lima syarat sahnya penarikan hibah dari seorang ayah kepada anaknya, yaitu:1) Anak tersebut tidak menikah setelah diberi hibah itu.2) Setelah diberi hibah, dia tidak berutang hingga waktu tertentu.3) Pemberian itu tidak berubah dari kondisi aslinya.4) Anak yang diberi hibah itu tidak melakukan tindakan hukum terhadap sesuatu yang diberikan kepadanya.5) Pemberi atau anak yang diberi tidak sakit. Jika salah satu dari kelima hal ini terjadi, maka ayah tidak boleh mengambil kembali pemberiannya.KesimpulanHibah ini dilakukan dalam rangka menumbuhkan kasih sayang dan rasa cinta. Adapun hibah yang murni untuk Allah Ta’ala, yaitu yang disebut dengan sedekah, maka ia sama sekali tidak bisa diambil kembali. Pemberi juga hendaknya tidak mengambil pemberiannya kembali, baik dengan membelinya atau dengan cara yang lain. Jika pemberian itu berupa pohon, maka dia tidak boleh makan dari buahnya. Jika pemberian itu berupa seekor binatang tunggangan, maka dia tidak boleh menungganginya, kecuali jika kembali kepadanya dengan cara pewarisan.Dari penjelasan para ulama empat mazhab, kita bisa memahami bahwa menarik kembali hibah bukan perkara sepele. Terlebih lagi terdapat hadis Nabi yang mencela perkara tersebut. Syekh Bin Baz rahimahullah dalam salah satu kesempatan tanya jawab dengan kaum muslimin dan ini tercantum dalam kitab Majmu’ Fatawa beliau pernah ditanya terkait hal ini kemudian beliau mengatakan,حكمه أنه آثم، وعليه التوبة من ذلك، ورد الهبة إلى صاحبها“Hukum (perbuatan menarik hibah) bagi pelakunya adalah berdosa, dan dia harus bertobat dari itu, serta mengembalikan kembali hibah itu kepada penerimanya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibnu Baz, 20: 67)Pada dasarnya, hibah yang sudah diberikan tidak boleh diambil lagi karena Islam mendorong kita untuk menepati janji dan menjaga ketulusan dalam memberi. Namun, syariat juga memberikan kelonggaran dalam keadaan tertentu, terutama bagi orang tua terhadap anaknya, demi menjaga keadilan dan keharmonisan keluarga.Dengan memahami aturan ini, kita bisa lebih bijak dalam memberi hibah. Sebelum memberikan sesuatu, sebaiknya dipikirkan dengan matang agar tidak menyesal di kemudian hari. Dan jika memang ada kebutuhan untuk menarik hibah, harus diperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan ulama agar sesuai dengan ajaran Islam. Dengan begitu, hibah benar-benar menjadi amal kebaikan yang membawa keberkahan, bukan sumber masalah atau perselisihan.Wallahu a’lam bisshawaab[Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Ternyata Sedahsyat Itu Niat Baik, Mungkin Anda Belum Tahu Tentang Ini

Siapa yang meniatkan kebaikan, maka ia berada dalam ketaatan, meskipun belum mengamalkannya. Siapa yang bertekad untuk terus mengamalkannya, ia tetap mendapat pahala, meskipun belum mengamalkannya. Namun jika ia mengamalkannya, amalannya itu dilipatgandakan berkali-kali, hingga 700 kali lipat. Siapa yang bertekad melakukan ketaatan lalu terhalang uzur, ia tetap mendapat pahala karenanya. Jika berhasil mengamalkannya, ia mendapat pahala dan amalnya dilipatgandakan. Jagalah niatmu! Niat seorang mukmin lebih berpengaruh daripada amalannya sendiri. Tahukah kamu, jika kamu berniat baik saat ini, bisa jadi besok atau lusa kamu mengalami kelalaian, bahkan bisa jadi kamu tertidur, sibuk, atau terhalang oleh urusan dunia lainnya. ternyata kamu tetap mendapat pahala atas niatmu, yaitu pahala yang tidak kamu peroleh dari amalanmu sendiri. ====== مَنْ نَوَى الْخَيْرَ فَهُوَ فِي طَاعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْهَا مَنْ عَزَمَ عَلَى الِاسْتِمْرَارِ فِيهَا أُوتِي أَجْرَهَا وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهَا لَكِنْ إِنْ فَعَلَهَا ضُوعِفَ لَهُ الْعَمَلُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً إِلَى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ فَمَنْ عَزَمَ عَلَى طَاعَةٍ فَعُذِرَ عَنْهَا أُجِرَ عَلَيْهَا فَإِنْ فَعَلَهَا أُجِرَ وَضُوعِفَ عَمَلُهُ احْرِصْ عَلَى النِّيَّةِ نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِذَا نَوَيْتَ هَذِهِ النِّيَّةَ فِي هَذَا الْوَقْتِ فَلَرُبَّمَا جَاءَ مِنْكَ تَقْصِيرٌ فِي غَدٍ أَوْ بَعْدَ غَدٍ بَلْ لَرُبَّمَا نِمْتَ أَوْ شُغِلْتَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ عَوَارِضِ الدُّنْيَا فَتُؤْجَرُ عَلَى نِيَّتِكَ مَا لَمْ تُؤَْجَرْ عَلَى عَمَلِكَ

Ternyata Sedahsyat Itu Niat Baik, Mungkin Anda Belum Tahu Tentang Ini

Siapa yang meniatkan kebaikan, maka ia berada dalam ketaatan, meskipun belum mengamalkannya. Siapa yang bertekad untuk terus mengamalkannya, ia tetap mendapat pahala, meskipun belum mengamalkannya. Namun jika ia mengamalkannya, amalannya itu dilipatgandakan berkali-kali, hingga 700 kali lipat. Siapa yang bertekad melakukan ketaatan lalu terhalang uzur, ia tetap mendapat pahala karenanya. Jika berhasil mengamalkannya, ia mendapat pahala dan amalnya dilipatgandakan. Jagalah niatmu! Niat seorang mukmin lebih berpengaruh daripada amalannya sendiri. Tahukah kamu, jika kamu berniat baik saat ini, bisa jadi besok atau lusa kamu mengalami kelalaian, bahkan bisa jadi kamu tertidur, sibuk, atau terhalang oleh urusan dunia lainnya. ternyata kamu tetap mendapat pahala atas niatmu, yaitu pahala yang tidak kamu peroleh dari amalanmu sendiri. ====== مَنْ نَوَى الْخَيْرَ فَهُوَ فِي طَاعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْهَا مَنْ عَزَمَ عَلَى الِاسْتِمْرَارِ فِيهَا أُوتِي أَجْرَهَا وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهَا لَكِنْ إِنْ فَعَلَهَا ضُوعِفَ لَهُ الْعَمَلُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً إِلَى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ فَمَنْ عَزَمَ عَلَى طَاعَةٍ فَعُذِرَ عَنْهَا أُجِرَ عَلَيْهَا فَإِنْ فَعَلَهَا أُجِرَ وَضُوعِفَ عَمَلُهُ احْرِصْ عَلَى النِّيَّةِ نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِذَا نَوَيْتَ هَذِهِ النِّيَّةَ فِي هَذَا الْوَقْتِ فَلَرُبَّمَا جَاءَ مِنْكَ تَقْصِيرٌ فِي غَدٍ أَوْ بَعْدَ غَدٍ بَلْ لَرُبَّمَا نِمْتَ أَوْ شُغِلْتَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ عَوَارِضِ الدُّنْيَا فَتُؤْجَرُ عَلَى نِيَّتِكَ مَا لَمْ تُؤَْجَرْ عَلَى عَمَلِكَ
Siapa yang meniatkan kebaikan, maka ia berada dalam ketaatan, meskipun belum mengamalkannya. Siapa yang bertekad untuk terus mengamalkannya, ia tetap mendapat pahala, meskipun belum mengamalkannya. Namun jika ia mengamalkannya, amalannya itu dilipatgandakan berkali-kali, hingga 700 kali lipat. Siapa yang bertekad melakukan ketaatan lalu terhalang uzur, ia tetap mendapat pahala karenanya. Jika berhasil mengamalkannya, ia mendapat pahala dan amalnya dilipatgandakan. Jagalah niatmu! Niat seorang mukmin lebih berpengaruh daripada amalannya sendiri. Tahukah kamu, jika kamu berniat baik saat ini, bisa jadi besok atau lusa kamu mengalami kelalaian, bahkan bisa jadi kamu tertidur, sibuk, atau terhalang oleh urusan dunia lainnya. ternyata kamu tetap mendapat pahala atas niatmu, yaitu pahala yang tidak kamu peroleh dari amalanmu sendiri. ====== مَنْ نَوَى الْخَيْرَ فَهُوَ فِي طَاعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْهَا مَنْ عَزَمَ عَلَى الِاسْتِمْرَارِ فِيهَا أُوتِي أَجْرَهَا وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهَا لَكِنْ إِنْ فَعَلَهَا ضُوعِفَ لَهُ الْعَمَلُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً إِلَى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ فَمَنْ عَزَمَ عَلَى طَاعَةٍ فَعُذِرَ عَنْهَا أُجِرَ عَلَيْهَا فَإِنْ فَعَلَهَا أُجِرَ وَضُوعِفَ عَمَلُهُ احْرِصْ عَلَى النِّيَّةِ نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِذَا نَوَيْتَ هَذِهِ النِّيَّةَ فِي هَذَا الْوَقْتِ فَلَرُبَّمَا جَاءَ مِنْكَ تَقْصِيرٌ فِي غَدٍ أَوْ بَعْدَ غَدٍ بَلْ لَرُبَّمَا نِمْتَ أَوْ شُغِلْتَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ عَوَارِضِ الدُّنْيَا فَتُؤْجَرُ عَلَى نِيَّتِكَ مَا لَمْ تُؤَْجَرْ عَلَى عَمَلِكَ


Siapa yang meniatkan kebaikan, maka ia berada dalam ketaatan, meskipun belum mengamalkannya. Siapa yang bertekad untuk terus mengamalkannya, ia tetap mendapat pahala, meskipun belum mengamalkannya. Namun jika ia mengamalkannya, amalannya itu dilipatgandakan berkali-kali, hingga 700 kali lipat. Siapa yang bertekad melakukan ketaatan lalu terhalang uzur, ia tetap mendapat pahala karenanya. Jika berhasil mengamalkannya, ia mendapat pahala dan amalnya dilipatgandakan. Jagalah niatmu! Niat seorang mukmin lebih berpengaruh daripada amalannya sendiri. Tahukah kamu, jika kamu berniat baik saat ini, bisa jadi besok atau lusa kamu mengalami kelalaian, bahkan bisa jadi kamu tertidur, sibuk, atau terhalang oleh urusan dunia lainnya. ternyata kamu tetap mendapat pahala atas niatmu, yaitu pahala yang tidak kamu peroleh dari amalanmu sendiri. ====== مَنْ نَوَى الْخَيْرَ فَهُوَ فِي طَاعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْهَا مَنْ عَزَمَ عَلَى الِاسْتِمْرَارِ فِيهَا أُوتِي أَجْرَهَا وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهَا لَكِنْ إِنْ فَعَلَهَا ضُوعِفَ لَهُ الْعَمَلُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً إِلَى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ فَمَنْ عَزَمَ عَلَى طَاعَةٍ فَعُذِرَ عَنْهَا أُجِرَ عَلَيْهَا فَإِنْ فَعَلَهَا أُجِرَ وَضُوعِفَ عَمَلُهُ احْرِصْ عَلَى النِّيَّةِ نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِذَا نَوَيْتَ هَذِهِ النِّيَّةَ فِي هَذَا الْوَقْتِ فَلَرُبَّمَا جَاءَ مِنْكَ تَقْصِيرٌ فِي غَدٍ أَوْ بَعْدَ غَدٍ بَلْ لَرُبَّمَا نِمْتَ أَوْ شُغِلْتَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ عَوَارِضِ الدُّنْيَا فَتُؤْجَرُ عَلَى نِيَّتِكَ مَا لَمْ تُؤَْجَرْ عَلَى عَمَلِكَ

Mengenal Sifat Tawaduk Rasulullah

Daftar Isi ToggleTawaduk ketika dipujiTawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilTawaduk dalam kesederhanaan hidupTawaduk dalam penghormatanTawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakTawaduk dalam kehidupan rumah tanggaKesimpulanTawaduk adalah lemah lembut dalam bersikap, merendahkan hati, berperilaku baik ketika berinteraksi dengan orang lain, serta menjauhi sikap sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Tawaduk merupakan salah satu sifat yang tampak pada jelas pada akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimanakah sifat tawaduk Rasulullah dalam kesehariannya?Tawaduk merupakan suatu sifat yang mulia. Tawaduk adalah salah satu sifat yang Allah perintahkan dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا“Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, sebaiknya kita berusaha untuk memiliki sifat tawaduk. Di antara sosok yang bisa kita teladani dalam sifat tawaduk tentunya adalah Rasul kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari beliau kita bisa meneladani sifat tawaduk. Lalu bagaimana sifat tawaduk yang dimiliki oleh Rasulullah?Berikut ini beberapa sifat tawaduk yang Rasulullah contohkan kepada kita:Tawaduk ketika dipujiRasulullah merupakan pribadi yang tidak suka dipuji secara berlebihan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد، فقولوا عبد الله ورسوله“Janganlah kalian memujiku secara berlelbihan sebagaimana orang-orang Nasrani lakukan kepada anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”Pada hadis ini, beliau tidak mau dipuji secara berlebihan. Beliau tidak mencari pengkultusan, melainkan menanamkan akidah yang lurus. Pada hadis lain, Rasulullah juga memperingatkan kita ketika ada yang memuji-muji kita, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا رأَيْتُم المدَّاحينَ فاحثُوا في وجوهِهم التُّرابَ“Jika engkau melihat orang yang suka memuji-muju, maka lemparkanlah tanah pada wajahnya.” (HR. Ahmad)Berdasarkan hadis di atas, kita bisa ketahui bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam bukanlah orang yang suka dipuji-puji dan memperingatkan orang yang suka memuji-muji. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pujian bisa memfitnah seseorang sehingga bisa menjadi orang yang sombong.Tawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilRasulullah merupakan seorang Rasul, tokoh penting, pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, status beliau tidak menghalangi beliau untuk berinteraksi dengan orang-orang kecil. Beliau tidak mensyaratkan harus orang tertentu yang bisa menjumpai beliau, harus di tempat khusus, dan lain sebagainya. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,جاءت امرأةٌ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسولَ اللهِ إن لي إليك حاجةً فقال لها: يا أُمَّ فلانٍ، اجلسي في أيِّ نواحي السِّكَكِ شئتِ حتى أجلسَ إليك  قال: فجلستْ ، فجلسَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم إليها، حتى قضت حاجتَهاSeorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai suatu hajat kepadamu.” Beliau pun bersabda, “Wahai Ummu Fulan, duduklah di jalan mana saja yang engkau kehendaki, niscaya aku akan duduk bersamamu.” Maka wanita itu pun duduk, lalu Nabi ﷺ duduk bersamanya hingga ia menyampaikan hajatnya sampai selesai. (HR. Muslim)Dari hadis di atas, kita bisa lihat sifat tawaduk Rasulullah. Ketika seorang wanita biasa mendatangi beliau, Rasulullah menerima wanita tersebut tanpa persyaratan ini dan itu. Beliau melayani wanita tersebut hingga selesai hajatnya di tempat mana pun wanita tersebut bisa.Tawaduk dalam kesederhanaan hidupSifat tawaduk lainnya yang dimiliki oleh Rasulullah adalah kesederhanaan hidup beliau. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُدْعَى إلى خُبْزِ الشَّعِيرِ والإِهالَةِ السَّنِخَةِ فَيُجِيبُ ، ولقدْ كانَتْ لهُ دِرْعٌ عندَ يهُوَديٍّ فما وجدَ ما يفكُّها حتى ماتَ“Nabi ﷺ pernah diundang (makan) dengan roti gandum kasar dan lemak yang sudah berubah baunya, lalu beliau memenuhi undangan tersebut. Dan sungguh, beliau memiliki sebuah baju besi yang digadaikan kepada seorang Yahudi, dan beliau tidak menemukan sesuatu untuk menebusnya hingga beliau wafat.” (HR. Bukhari)Itulah sederhananya beliau, tidak memilih-milih makanan dan hidup apa adanya. Beliau tidak mengejar kemewahan dunia sampai baju besi beliau pun digadaikan dan belum ditebus ketika beliau wafat. Bahkan ketika beliau berangkat berhaji, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan kendaraan mewah. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,حجَّ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ علَى رَحْلٍ رثٍّ وقَطيفةٍ تُساوي أربعةَ دراهمَ أو لا تُساوي ثُمَّ قالَ اللَّهمَّ حَجَّةٌ لا رياءَ فيها ولا سُمعةَ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji dengan mengendarai pelana yang usang dan selembar kain (selimut) yang harganya empat dirham atau kurang dari itu. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, (jadikanlah) hajiku ini tidak ada riya’ dan tidak ada sum‘ah.” (HR. Tirmizi)Beliau juga tidak menggunakan kendaraan mewah dalam keseharian beliau. Jabir bin Abdillah berkata dalam sebuah hadis,جاءني رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم ليس براكبِ بغلٍ ولا برذونٍ“Rasulullah ﷺ datang kepadaku, bukan menunggangi bagal dan bukan pula keledai jantan.” (HR. Tirmizi)Baca juga: Sebuah Ujian dan KetawadukanTawaduk dalam penghormatanRasulullah merupakan seorang Rasul dan juga pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, beliau tidak mengharapkan penghormatan berlebihan kepada para sahabat, bahkan beliau tidak suka ketika diberi penghormatan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis,ما كان شَخْصٌ أحبَّ إليهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، وكَانُوا إذا رَأوْهُ لمْ يَقُومُوا إليهِ لِما يَعْلَمُونَ من كَرَاهيَتِه لِذلكَ“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para sahabat) cintai untuk dilihat melebihi Nabi ﷺ. Namun apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai hal itu.” (HR. Tirmizi)Walaupun para sahabat sangat menghormati Rasulullah dan Rasulullah tentu merupakan salah satu sosok yang paling layak diberikan penghormatan, para sahabat tidaklah berdiri untuk menyambut beliau ketika beliau datang.Tawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakSifat tawaduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya adalah kasih sayang beliau terhadap anak-anak. Beliau senantiasa memperlakukan anak-anak dengan baik dan tidak meremehkan mereka. Hal tersebut tercerminkan dalam sebuah hadis dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, ia berkata,سمَّاني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُوسُفَ، وأقعَدَني في حِجْرِهِ، ومسَحَ على رَأْسي“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menamaiku Yusuf, menempatkanku di pangkuannya, dan mengusap kepalaku.” (HR. Ahmad)Pada hadis lain juga menunjukkan keakraban dan sifat lembut Rasulullah dengan anak kecil. Anas bin Malik berkata,كَانَ لِأَبِي طَلْحَةَ ابْنٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَاحِكُهُ قَالَ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ“Abu Thalhah dahulu memiliki seorang anak laki-laki yang dikenal dengan Abu ‘Umair. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tertawa bersamanya. Suatu ketika, beliau melihatnya sedih. Beliau pun bertanya, “Wahai Abu ‘Umair, ada apa dengan si Nughair?” (HR. Ahmad)Tawaduk dalam kehidupan rumah tanggaSifat tawaduk Rasulullah lainnya adalah mau membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga. Walaupun beliau seorang pemimpin kaum muslimin, seorang Rasul, sekaligus seorang suami yang seharusnya dihormati, hal tersebut tidak mencegah beliau untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Beliau bukan tipe suami yang menuntut istri melayani semua kebutuhan di rumah. Hal tersebut sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu ’anha,عن عائشةَ أنَّها سُئِلتْ ما كان عملُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في بيتِه؟ قالت ما كان إلَّا بشَرًا مِن البشَرِ كان يَفْلي ثوبَه ويحلُبُ شاتَه ويخدُمُ نفسَه“Dari Aisyah, bahwasannya ia ditanya tentang apa yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan di rumahnya? Aisyah menjawab, “Beliau hanyalah seorang manusia biasa, beliau menambal pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.’” (HR. Ahmad)KesimpulanSifat tawaduk Rasulullah ﷺ terlihat jelas pada setiap aspek kehidupannya dalam interaksi dengan orang lain, kehidupan rumah tangga, maupun gaya hidup sehari-hari. Beliau menunjukkan bahwa kekuatan dan kebesaran seorang hamba tidak diukur dari kemewahan atau kedudukan, melainkan dari kerendahan hati dan kesederhanaan. Oleh karena itu, marilah kita meneladani beliau dalam sikap tawaduk, menjadikannya bagian dari akhlak utama dalam hidup kita.Baca juga: Meneladani Ketawadukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

Mengenal Sifat Tawaduk Rasulullah

Daftar Isi ToggleTawaduk ketika dipujiTawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilTawaduk dalam kesederhanaan hidupTawaduk dalam penghormatanTawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakTawaduk dalam kehidupan rumah tanggaKesimpulanTawaduk adalah lemah lembut dalam bersikap, merendahkan hati, berperilaku baik ketika berinteraksi dengan orang lain, serta menjauhi sikap sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Tawaduk merupakan salah satu sifat yang tampak pada jelas pada akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimanakah sifat tawaduk Rasulullah dalam kesehariannya?Tawaduk merupakan suatu sifat yang mulia. Tawaduk adalah salah satu sifat yang Allah perintahkan dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا“Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, sebaiknya kita berusaha untuk memiliki sifat tawaduk. Di antara sosok yang bisa kita teladani dalam sifat tawaduk tentunya adalah Rasul kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari beliau kita bisa meneladani sifat tawaduk. Lalu bagaimana sifat tawaduk yang dimiliki oleh Rasulullah?Berikut ini beberapa sifat tawaduk yang Rasulullah contohkan kepada kita:Tawaduk ketika dipujiRasulullah merupakan pribadi yang tidak suka dipuji secara berlebihan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد، فقولوا عبد الله ورسوله“Janganlah kalian memujiku secara berlelbihan sebagaimana orang-orang Nasrani lakukan kepada anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”Pada hadis ini, beliau tidak mau dipuji secara berlebihan. Beliau tidak mencari pengkultusan, melainkan menanamkan akidah yang lurus. Pada hadis lain, Rasulullah juga memperingatkan kita ketika ada yang memuji-muji kita, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا رأَيْتُم المدَّاحينَ فاحثُوا في وجوهِهم التُّرابَ“Jika engkau melihat orang yang suka memuji-muju, maka lemparkanlah tanah pada wajahnya.” (HR. Ahmad)Berdasarkan hadis di atas, kita bisa ketahui bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam bukanlah orang yang suka dipuji-puji dan memperingatkan orang yang suka memuji-muji. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pujian bisa memfitnah seseorang sehingga bisa menjadi orang yang sombong.Tawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilRasulullah merupakan seorang Rasul, tokoh penting, pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, status beliau tidak menghalangi beliau untuk berinteraksi dengan orang-orang kecil. Beliau tidak mensyaratkan harus orang tertentu yang bisa menjumpai beliau, harus di tempat khusus, dan lain sebagainya. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,جاءت امرأةٌ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسولَ اللهِ إن لي إليك حاجةً فقال لها: يا أُمَّ فلانٍ، اجلسي في أيِّ نواحي السِّكَكِ شئتِ حتى أجلسَ إليك  قال: فجلستْ ، فجلسَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم إليها، حتى قضت حاجتَهاSeorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai suatu hajat kepadamu.” Beliau pun bersabda, “Wahai Ummu Fulan, duduklah di jalan mana saja yang engkau kehendaki, niscaya aku akan duduk bersamamu.” Maka wanita itu pun duduk, lalu Nabi ﷺ duduk bersamanya hingga ia menyampaikan hajatnya sampai selesai. (HR. Muslim)Dari hadis di atas, kita bisa lihat sifat tawaduk Rasulullah. Ketika seorang wanita biasa mendatangi beliau, Rasulullah menerima wanita tersebut tanpa persyaratan ini dan itu. Beliau melayani wanita tersebut hingga selesai hajatnya di tempat mana pun wanita tersebut bisa.Tawaduk dalam kesederhanaan hidupSifat tawaduk lainnya yang dimiliki oleh Rasulullah adalah kesederhanaan hidup beliau. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُدْعَى إلى خُبْزِ الشَّعِيرِ والإِهالَةِ السَّنِخَةِ فَيُجِيبُ ، ولقدْ كانَتْ لهُ دِرْعٌ عندَ يهُوَديٍّ فما وجدَ ما يفكُّها حتى ماتَ“Nabi ﷺ pernah diundang (makan) dengan roti gandum kasar dan lemak yang sudah berubah baunya, lalu beliau memenuhi undangan tersebut. Dan sungguh, beliau memiliki sebuah baju besi yang digadaikan kepada seorang Yahudi, dan beliau tidak menemukan sesuatu untuk menebusnya hingga beliau wafat.” (HR. Bukhari)Itulah sederhananya beliau, tidak memilih-milih makanan dan hidup apa adanya. Beliau tidak mengejar kemewahan dunia sampai baju besi beliau pun digadaikan dan belum ditebus ketika beliau wafat. Bahkan ketika beliau berangkat berhaji, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan kendaraan mewah. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,حجَّ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ علَى رَحْلٍ رثٍّ وقَطيفةٍ تُساوي أربعةَ دراهمَ أو لا تُساوي ثُمَّ قالَ اللَّهمَّ حَجَّةٌ لا رياءَ فيها ولا سُمعةَ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji dengan mengendarai pelana yang usang dan selembar kain (selimut) yang harganya empat dirham atau kurang dari itu. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, (jadikanlah) hajiku ini tidak ada riya’ dan tidak ada sum‘ah.” (HR. Tirmizi)Beliau juga tidak menggunakan kendaraan mewah dalam keseharian beliau. Jabir bin Abdillah berkata dalam sebuah hadis,جاءني رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم ليس براكبِ بغلٍ ولا برذونٍ“Rasulullah ﷺ datang kepadaku, bukan menunggangi bagal dan bukan pula keledai jantan.” (HR. Tirmizi)Baca juga: Sebuah Ujian dan KetawadukanTawaduk dalam penghormatanRasulullah merupakan seorang Rasul dan juga pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, beliau tidak mengharapkan penghormatan berlebihan kepada para sahabat, bahkan beliau tidak suka ketika diberi penghormatan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis,ما كان شَخْصٌ أحبَّ إليهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، وكَانُوا إذا رَأوْهُ لمْ يَقُومُوا إليهِ لِما يَعْلَمُونَ من كَرَاهيَتِه لِذلكَ“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para sahabat) cintai untuk dilihat melebihi Nabi ﷺ. Namun apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai hal itu.” (HR. Tirmizi)Walaupun para sahabat sangat menghormati Rasulullah dan Rasulullah tentu merupakan salah satu sosok yang paling layak diberikan penghormatan, para sahabat tidaklah berdiri untuk menyambut beliau ketika beliau datang.Tawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakSifat tawaduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya adalah kasih sayang beliau terhadap anak-anak. Beliau senantiasa memperlakukan anak-anak dengan baik dan tidak meremehkan mereka. Hal tersebut tercerminkan dalam sebuah hadis dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, ia berkata,سمَّاني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُوسُفَ، وأقعَدَني في حِجْرِهِ، ومسَحَ على رَأْسي“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menamaiku Yusuf, menempatkanku di pangkuannya, dan mengusap kepalaku.” (HR. Ahmad)Pada hadis lain juga menunjukkan keakraban dan sifat lembut Rasulullah dengan anak kecil. Anas bin Malik berkata,كَانَ لِأَبِي طَلْحَةَ ابْنٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَاحِكُهُ قَالَ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ“Abu Thalhah dahulu memiliki seorang anak laki-laki yang dikenal dengan Abu ‘Umair. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tertawa bersamanya. Suatu ketika, beliau melihatnya sedih. Beliau pun bertanya, “Wahai Abu ‘Umair, ada apa dengan si Nughair?” (HR. Ahmad)Tawaduk dalam kehidupan rumah tanggaSifat tawaduk Rasulullah lainnya adalah mau membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga. Walaupun beliau seorang pemimpin kaum muslimin, seorang Rasul, sekaligus seorang suami yang seharusnya dihormati, hal tersebut tidak mencegah beliau untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Beliau bukan tipe suami yang menuntut istri melayani semua kebutuhan di rumah. Hal tersebut sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu ’anha,عن عائشةَ أنَّها سُئِلتْ ما كان عملُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في بيتِه؟ قالت ما كان إلَّا بشَرًا مِن البشَرِ كان يَفْلي ثوبَه ويحلُبُ شاتَه ويخدُمُ نفسَه“Dari Aisyah, bahwasannya ia ditanya tentang apa yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan di rumahnya? Aisyah menjawab, “Beliau hanyalah seorang manusia biasa, beliau menambal pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.’” (HR. Ahmad)KesimpulanSifat tawaduk Rasulullah ﷺ terlihat jelas pada setiap aspek kehidupannya dalam interaksi dengan orang lain, kehidupan rumah tangga, maupun gaya hidup sehari-hari. Beliau menunjukkan bahwa kekuatan dan kebesaran seorang hamba tidak diukur dari kemewahan atau kedudukan, melainkan dari kerendahan hati dan kesederhanaan. Oleh karena itu, marilah kita meneladani beliau dalam sikap tawaduk, menjadikannya bagian dari akhlak utama dalam hidup kita.Baca juga: Meneladani Ketawadukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.
Daftar Isi ToggleTawaduk ketika dipujiTawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilTawaduk dalam kesederhanaan hidupTawaduk dalam penghormatanTawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakTawaduk dalam kehidupan rumah tanggaKesimpulanTawaduk adalah lemah lembut dalam bersikap, merendahkan hati, berperilaku baik ketika berinteraksi dengan orang lain, serta menjauhi sikap sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Tawaduk merupakan salah satu sifat yang tampak pada jelas pada akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimanakah sifat tawaduk Rasulullah dalam kesehariannya?Tawaduk merupakan suatu sifat yang mulia. Tawaduk adalah salah satu sifat yang Allah perintahkan dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا“Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, sebaiknya kita berusaha untuk memiliki sifat tawaduk. Di antara sosok yang bisa kita teladani dalam sifat tawaduk tentunya adalah Rasul kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari beliau kita bisa meneladani sifat tawaduk. Lalu bagaimana sifat tawaduk yang dimiliki oleh Rasulullah?Berikut ini beberapa sifat tawaduk yang Rasulullah contohkan kepada kita:Tawaduk ketika dipujiRasulullah merupakan pribadi yang tidak suka dipuji secara berlebihan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد، فقولوا عبد الله ورسوله“Janganlah kalian memujiku secara berlelbihan sebagaimana orang-orang Nasrani lakukan kepada anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”Pada hadis ini, beliau tidak mau dipuji secara berlebihan. Beliau tidak mencari pengkultusan, melainkan menanamkan akidah yang lurus. Pada hadis lain, Rasulullah juga memperingatkan kita ketika ada yang memuji-muji kita, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا رأَيْتُم المدَّاحينَ فاحثُوا في وجوهِهم التُّرابَ“Jika engkau melihat orang yang suka memuji-muju, maka lemparkanlah tanah pada wajahnya.” (HR. Ahmad)Berdasarkan hadis di atas, kita bisa ketahui bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam bukanlah orang yang suka dipuji-puji dan memperingatkan orang yang suka memuji-muji. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pujian bisa memfitnah seseorang sehingga bisa menjadi orang yang sombong.Tawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilRasulullah merupakan seorang Rasul, tokoh penting, pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, status beliau tidak menghalangi beliau untuk berinteraksi dengan orang-orang kecil. Beliau tidak mensyaratkan harus orang tertentu yang bisa menjumpai beliau, harus di tempat khusus, dan lain sebagainya. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,جاءت امرأةٌ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسولَ اللهِ إن لي إليك حاجةً فقال لها: يا أُمَّ فلانٍ، اجلسي في أيِّ نواحي السِّكَكِ شئتِ حتى أجلسَ إليك  قال: فجلستْ ، فجلسَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم إليها، حتى قضت حاجتَهاSeorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai suatu hajat kepadamu.” Beliau pun bersabda, “Wahai Ummu Fulan, duduklah di jalan mana saja yang engkau kehendaki, niscaya aku akan duduk bersamamu.” Maka wanita itu pun duduk, lalu Nabi ﷺ duduk bersamanya hingga ia menyampaikan hajatnya sampai selesai. (HR. Muslim)Dari hadis di atas, kita bisa lihat sifat tawaduk Rasulullah. Ketika seorang wanita biasa mendatangi beliau, Rasulullah menerima wanita tersebut tanpa persyaratan ini dan itu. Beliau melayani wanita tersebut hingga selesai hajatnya di tempat mana pun wanita tersebut bisa.Tawaduk dalam kesederhanaan hidupSifat tawaduk lainnya yang dimiliki oleh Rasulullah adalah kesederhanaan hidup beliau. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُدْعَى إلى خُبْزِ الشَّعِيرِ والإِهالَةِ السَّنِخَةِ فَيُجِيبُ ، ولقدْ كانَتْ لهُ دِرْعٌ عندَ يهُوَديٍّ فما وجدَ ما يفكُّها حتى ماتَ“Nabi ﷺ pernah diundang (makan) dengan roti gandum kasar dan lemak yang sudah berubah baunya, lalu beliau memenuhi undangan tersebut. Dan sungguh, beliau memiliki sebuah baju besi yang digadaikan kepada seorang Yahudi, dan beliau tidak menemukan sesuatu untuk menebusnya hingga beliau wafat.” (HR. Bukhari)Itulah sederhananya beliau, tidak memilih-milih makanan dan hidup apa adanya. Beliau tidak mengejar kemewahan dunia sampai baju besi beliau pun digadaikan dan belum ditebus ketika beliau wafat. Bahkan ketika beliau berangkat berhaji, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan kendaraan mewah. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,حجَّ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ علَى رَحْلٍ رثٍّ وقَطيفةٍ تُساوي أربعةَ دراهمَ أو لا تُساوي ثُمَّ قالَ اللَّهمَّ حَجَّةٌ لا رياءَ فيها ولا سُمعةَ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji dengan mengendarai pelana yang usang dan selembar kain (selimut) yang harganya empat dirham atau kurang dari itu. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, (jadikanlah) hajiku ini tidak ada riya’ dan tidak ada sum‘ah.” (HR. Tirmizi)Beliau juga tidak menggunakan kendaraan mewah dalam keseharian beliau. Jabir bin Abdillah berkata dalam sebuah hadis,جاءني رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم ليس براكبِ بغلٍ ولا برذونٍ“Rasulullah ﷺ datang kepadaku, bukan menunggangi bagal dan bukan pula keledai jantan.” (HR. Tirmizi)Baca juga: Sebuah Ujian dan KetawadukanTawaduk dalam penghormatanRasulullah merupakan seorang Rasul dan juga pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, beliau tidak mengharapkan penghormatan berlebihan kepada para sahabat, bahkan beliau tidak suka ketika diberi penghormatan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis,ما كان شَخْصٌ أحبَّ إليهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، وكَانُوا إذا رَأوْهُ لمْ يَقُومُوا إليهِ لِما يَعْلَمُونَ من كَرَاهيَتِه لِذلكَ“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para sahabat) cintai untuk dilihat melebihi Nabi ﷺ. Namun apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai hal itu.” (HR. Tirmizi)Walaupun para sahabat sangat menghormati Rasulullah dan Rasulullah tentu merupakan salah satu sosok yang paling layak diberikan penghormatan, para sahabat tidaklah berdiri untuk menyambut beliau ketika beliau datang.Tawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakSifat tawaduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya adalah kasih sayang beliau terhadap anak-anak. Beliau senantiasa memperlakukan anak-anak dengan baik dan tidak meremehkan mereka. Hal tersebut tercerminkan dalam sebuah hadis dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, ia berkata,سمَّاني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُوسُفَ، وأقعَدَني في حِجْرِهِ، ومسَحَ على رَأْسي“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menamaiku Yusuf, menempatkanku di pangkuannya, dan mengusap kepalaku.” (HR. Ahmad)Pada hadis lain juga menunjukkan keakraban dan sifat lembut Rasulullah dengan anak kecil. Anas bin Malik berkata,كَانَ لِأَبِي طَلْحَةَ ابْنٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَاحِكُهُ قَالَ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ“Abu Thalhah dahulu memiliki seorang anak laki-laki yang dikenal dengan Abu ‘Umair. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tertawa bersamanya. Suatu ketika, beliau melihatnya sedih. Beliau pun bertanya, “Wahai Abu ‘Umair, ada apa dengan si Nughair?” (HR. Ahmad)Tawaduk dalam kehidupan rumah tanggaSifat tawaduk Rasulullah lainnya adalah mau membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga. Walaupun beliau seorang pemimpin kaum muslimin, seorang Rasul, sekaligus seorang suami yang seharusnya dihormati, hal tersebut tidak mencegah beliau untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Beliau bukan tipe suami yang menuntut istri melayani semua kebutuhan di rumah. Hal tersebut sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu ’anha,عن عائشةَ أنَّها سُئِلتْ ما كان عملُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في بيتِه؟ قالت ما كان إلَّا بشَرًا مِن البشَرِ كان يَفْلي ثوبَه ويحلُبُ شاتَه ويخدُمُ نفسَه“Dari Aisyah, bahwasannya ia ditanya tentang apa yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan di rumahnya? Aisyah menjawab, “Beliau hanyalah seorang manusia biasa, beliau menambal pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.’” (HR. Ahmad)KesimpulanSifat tawaduk Rasulullah ﷺ terlihat jelas pada setiap aspek kehidupannya dalam interaksi dengan orang lain, kehidupan rumah tangga, maupun gaya hidup sehari-hari. Beliau menunjukkan bahwa kekuatan dan kebesaran seorang hamba tidak diukur dari kemewahan atau kedudukan, melainkan dari kerendahan hati dan kesederhanaan. Oleh karena itu, marilah kita meneladani beliau dalam sikap tawaduk, menjadikannya bagian dari akhlak utama dalam hidup kita.Baca juga: Meneladani Ketawadukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.


Daftar Isi ToggleTawaduk ketika dipujiTawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilTawaduk dalam kesederhanaan hidupTawaduk dalam penghormatanTawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakTawaduk dalam kehidupan rumah tanggaKesimpulanTawaduk adalah lemah lembut dalam bersikap, merendahkan hati, berperilaku baik ketika berinteraksi dengan orang lain, serta menjauhi sikap sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Tawaduk merupakan salah satu sifat yang tampak pada jelas pada akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimanakah sifat tawaduk Rasulullah dalam kesehariannya?Tawaduk merupakan suatu sifat yang mulia. Tawaduk adalah salah satu sifat yang Allah perintahkan dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا“Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, sebaiknya kita berusaha untuk memiliki sifat tawaduk. Di antara sosok yang bisa kita teladani dalam sifat tawaduk tentunya adalah Rasul kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari beliau kita bisa meneladani sifat tawaduk. Lalu bagaimana sifat tawaduk yang dimiliki oleh Rasulullah?Berikut ini beberapa sifat tawaduk yang Rasulullah contohkan kepada kita:Tawaduk ketika dipujiRasulullah merupakan pribadi yang tidak suka dipuji secara berlebihan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد، فقولوا عبد الله ورسوله“Janganlah kalian memujiku secara berlelbihan sebagaimana orang-orang Nasrani lakukan kepada anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”Pada hadis ini, beliau tidak mau dipuji secara berlebihan. Beliau tidak mencari pengkultusan, melainkan menanamkan akidah yang lurus. Pada hadis lain, Rasulullah juga memperingatkan kita ketika ada yang memuji-muji kita, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا رأَيْتُم المدَّاحينَ فاحثُوا في وجوهِهم التُّرابَ“Jika engkau melihat orang yang suka memuji-muju, maka lemparkanlah tanah pada wajahnya.” (HR. Ahmad)Berdasarkan hadis di atas, kita bisa ketahui bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam bukanlah orang yang suka dipuji-puji dan memperingatkan orang yang suka memuji-muji. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pujian bisa memfitnah seseorang sehingga bisa menjadi orang yang sombong.Tawaduk dalam berinteraksi dengan orang kecilRasulullah merupakan seorang Rasul, tokoh penting, pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, status beliau tidak menghalangi beliau untuk berinteraksi dengan orang-orang kecil. Beliau tidak mensyaratkan harus orang tertentu yang bisa menjumpai beliau, harus di tempat khusus, dan lain sebagainya. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,جاءت امرأةٌ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسولَ اللهِ إن لي إليك حاجةً فقال لها: يا أُمَّ فلانٍ، اجلسي في أيِّ نواحي السِّكَكِ شئتِ حتى أجلسَ إليك  قال: فجلستْ ، فجلسَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم إليها، حتى قضت حاجتَهاSeorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai suatu hajat kepadamu.” Beliau pun bersabda, “Wahai Ummu Fulan, duduklah di jalan mana saja yang engkau kehendaki, niscaya aku akan duduk bersamamu.” Maka wanita itu pun duduk, lalu Nabi ﷺ duduk bersamanya hingga ia menyampaikan hajatnya sampai selesai. (HR. Muslim)Dari hadis di atas, kita bisa lihat sifat tawaduk Rasulullah. Ketika seorang wanita biasa mendatangi beliau, Rasulullah menerima wanita tersebut tanpa persyaratan ini dan itu. Beliau melayani wanita tersebut hingga selesai hajatnya di tempat mana pun wanita tersebut bisa.Tawaduk dalam kesederhanaan hidupSifat tawaduk lainnya yang dimiliki oleh Rasulullah adalah kesederhanaan hidup beliau. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُدْعَى إلى خُبْزِ الشَّعِيرِ والإِهالَةِ السَّنِخَةِ فَيُجِيبُ ، ولقدْ كانَتْ لهُ دِرْعٌ عندَ يهُوَديٍّ فما وجدَ ما يفكُّها حتى ماتَ“Nabi ﷺ pernah diundang (makan) dengan roti gandum kasar dan lemak yang sudah berubah baunya, lalu beliau memenuhi undangan tersebut. Dan sungguh, beliau memiliki sebuah baju besi yang digadaikan kepada seorang Yahudi, dan beliau tidak menemukan sesuatu untuk menebusnya hingga beliau wafat.” (HR. Bukhari)Itulah sederhananya beliau, tidak memilih-milih makanan dan hidup apa adanya. Beliau tidak mengejar kemewahan dunia sampai baju besi beliau pun digadaikan dan belum ditebus ketika beliau wafat. Bahkan ketika beliau berangkat berhaji, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan kendaraan mewah. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,حجَّ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ علَى رَحْلٍ رثٍّ وقَطيفةٍ تُساوي أربعةَ دراهمَ أو لا تُساوي ثُمَّ قالَ اللَّهمَّ حَجَّةٌ لا رياءَ فيها ولا سُمعةَ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji dengan mengendarai pelana yang usang dan selembar kain (selimut) yang harganya empat dirham atau kurang dari itu. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, (jadikanlah) hajiku ini tidak ada riya’ dan tidak ada sum‘ah.” (HR. Tirmizi)Beliau juga tidak menggunakan kendaraan mewah dalam keseharian beliau. Jabir bin Abdillah berkata dalam sebuah hadis,جاءني رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم ليس براكبِ بغلٍ ولا برذونٍ“Rasulullah ﷺ datang kepadaku, bukan menunggangi bagal dan bukan pula keledai jantan.” (HR. Tirmizi)Baca juga: Sebuah Ujian dan KetawadukanTawaduk dalam penghormatanRasulullah merupakan seorang Rasul dan juga pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, beliau tidak mengharapkan penghormatan berlebihan kepada para sahabat, bahkan beliau tidak suka ketika diberi penghormatan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis,ما كان شَخْصٌ أحبَّ إليهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، وكَانُوا إذا رَأوْهُ لمْ يَقُومُوا إليهِ لِما يَعْلَمُونَ من كَرَاهيَتِه لِذلكَ“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para sahabat) cintai untuk dilihat melebihi Nabi ﷺ. Namun apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai hal itu.” (HR. Tirmizi)Walaupun para sahabat sangat menghormati Rasulullah dan Rasulullah tentu merupakan salah satu sosok yang paling layak diberikan penghormatan, para sahabat tidaklah berdiri untuk menyambut beliau ketika beliau datang.Tawaduk dalam kasih sayang kepada anak-anakSifat tawaduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya adalah kasih sayang beliau terhadap anak-anak. Beliau senantiasa memperlakukan anak-anak dengan baik dan tidak meremehkan mereka. Hal tersebut tercerminkan dalam sebuah hadis dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, ia berkata,سمَّاني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُوسُفَ، وأقعَدَني في حِجْرِهِ، ومسَحَ على رَأْسي“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menamaiku Yusuf, menempatkanku di pangkuannya, dan mengusap kepalaku.” (HR. Ahmad)Pada hadis lain juga menunjukkan keakraban dan sifat lembut Rasulullah dengan anak kecil. Anas bin Malik berkata,كَانَ لِأَبِي طَلْحَةَ ابْنٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَاحِكُهُ قَالَ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ“Abu Thalhah dahulu memiliki seorang anak laki-laki yang dikenal dengan Abu ‘Umair. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tertawa bersamanya. Suatu ketika, beliau melihatnya sedih. Beliau pun bertanya, “Wahai Abu ‘Umair, ada apa dengan si Nughair?” (HR. Ahmad)Tawaduk dalam kehidupan rumah tanggaSifat tawaduk Rasulullah lainnya adalah mau membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga. Walaupun beliau seorang pemimpin kaum muslimin, seorang Rasul, sekaligus seorang suami yang seharusnya dihormati, hal tersebut tidak mencegah beliau untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Beliau bukan tipe suami yang menuntut istri melayani semua kebutuhan di rumah. Hal tersebut sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu ’anha,عن عائشةَ أنَّها سُئِلتْ ما كان عملُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في بيتِه؟ قالت ما كان إلَّا بشَرًا مِن البشَرِ كان يَفْلي ثوبَه ويحلُبُ شاتَه ويخدُمُ نفسَه“Dari Aisyah, bahwasannya ia ditanya tentang apa yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan di rumahnya? Aisyah menjawab, “Beliau hanyalah seorang manusia biasa, beliau menambal pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.’” (HR. Ahmad)KesimpulanSifat tawaduk Rasulullah ﷺ terlihat jelas pada setiap aspek kehidupannya dalam interaksi dengan orang lain, kehidupan rumah tangga, maupun gaya hidup sehari-hari. Beliau menunjukkan bahwa kekuatan dan kebesaran seorang hamba tidak diukur dari kemewahan atau kedudukan, melainkan dari kerendahan hati dan kesederhanaan. Oleh karena itu, marilah kita meneladani beliau dalam sikap tawaduk, menjadikannya bagian dari akhlak utama dalam hidup kita.Baca juga: Meneladani Ketawadukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

Ini Saat Kita Paling Dekat dengan Allah & Saat Doa Kita Paling Dikabulkan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena manusia meletakkan anggota tubuhnya yang paling mulia, yaitu dahinya dan hidungnya, di atas tanah. Dengan demikian, ia menjadi sangat dekat dengan Allah Subhanahu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat patut doa kalian dikabulkan.” Sujud, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya, adalah ambang pintu penghambaan. Bahkan para ulama mengatakan bahwa posisi berdiri, rukuk, dan bangkit dari rukuk bagaikan pendahuluan bagi sujud. Oleh sebab itu, sujud adalah salah satu rukun shalat yang paling penting, dan kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Oleh sebab itu, hendaklah kita memberi perhatian pada sujud, terlebih lagi pada sujud di shalat sunnah, karena biasanya sujud di shalat fardhu, imam terikat dengan para makmum, sehingga tidak boleh berlama-lama, begitu pun makmum yang mengikuti imam. Namun, dalam shalat sunnah secara khusus, hendaklah kita manfaatkan kondisi ini untuk berdoa. Setelah kamu membaca tasbih, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat layak bagi kalian untuk dikabulkan doanya.” Berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla saat sujud dengan permintaan yang kamu inginkan berupa kebaikan dunia dan akhirat. Terlebih lagi jika sujud itu pada sepertiga malam terakhir. Sehingga terhimpun dua keutamaan: yaitu dalam keadaan bersujud dan pada waktu sepertiga malam terakhir. Yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya: “Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Adakah yang meminta, sehingga Aku beri?’ ‘Adakah yang berdoa, sehingga Aku kabulkan?’ Adakah yang memohon ampunan, sehingga Aku ampuni?’” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna) Jadi, wahai saudara Muslimku, hendaklah kamu memberi perhatian besar, untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa dalam kondisi ini. ===== أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ يَضَعُ أَشْرَفَ أَعْضَائِهِ يَضَعُ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ عَلَى الْأَرْضِ فَيَكُونُ بِهَذَا قَرِيبًا جِدًّا مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامِ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ يَعْنِي حَرِيٌّ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُم السُّجُودُ كَمَا يَقُولُ ابْنُ الْقَيِّمِ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ هُوَ عَتَبَةُ الْعُبُودِيَّةِ بَلْ قَالُوا إِنَّ الْقِيَامَ وَالرُّكُوعَ وَالرَّفْعَ مِنْهُ هُوَ كَالْمُقَدِّمَاتِ لِلسُّجُود وَلِذَلِكَ السُّجُودُ هُوَ آكَدُ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَأَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَيَنْبَغِي اغْتِنَامُ السُّجُودِ خَاصَّةً السُّجُودُ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ يَعْنِي رُبَّمَا يَكُونُ السُّجُودُ فِي صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ يَكُونُ الْإِمَامُ مُرْتَبِطًا بِالْمَأْمُومِيْنَ فَلَا يُطِيلُ عَلَيْهِمْ وَالْمَأْمُومُ مُرْتَبِطًا بِالْإِمَامِ لَكِنْ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ يَنْبَغِي اغْتِنَامُ هَذَا الْمَوْضِعِ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَمَا تَأْتِي بِالتَّسْبِيحَاتِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ اُدْعُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي السُّجُودِ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ خَاصَّةً إِذَا كَانَ السُّجُودُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَاجْتَمَعَ كَوْنُهُ سُجُودًا وَكَوْنُهُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَقُولُ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَيَقُولُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي الدُّعَاءِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ

Ini Saat Kita Paling Dekat dengan Allah & Saat Doa Kita Paling Dikabulkan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena manusia meletakkan anggota tubuhnya yang paling mulia, yaitu dahinya dan hidungnya, di atas tanah. Dengan demikian, ia menjadi sangat dekat dengan Allah Subhanahu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat patut doa kalian dikabulkan.” Sujud, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya, adalah ambang pintu penghambaan. Bahkan para ulama mengatakan bahwa posisi berdiri, rukuk, dan bangkit dari rukuk bagaikan pendahuluan bagi sujud. Oleh sebab itu, sujud adalah salah satu rukun shalat yang paling penting, dan kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Oleh sebab itu, hendaklah kita memberi perhatian pada sujud, terlebih lagi pada sujud di shalat sunnah, karena biasanya sujud di shalat fardhu, imam terikat dengan para makmum, sehingga tidak boleh berlama-lama, begitu pun makmum yang mengikuti imam. Namun, dalam shalat sunnah secara khusus, hendaklah kita manfaatkan kondisi ini untuk berdoa. Setelah kamu membaca tasbih, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat layak bagi kalian untuk dikabulkan doanya.” Berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla saat sujud dengan permintaan yang kamu inginkan berupa kebaikan dunia dan akhirat. Terlebih lagi jika sujud itu pada sepertiga malam terakhir. Sehingga terhimpun dua keutamaan: yaitu dalam keadaan bersujud dan pada waktu sepertiga malam terakhir. Yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya: “Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Adakah yang meminta, sehingga Aku beri?’ ‘Adakah yang berdoa, sehingga Aku kabulkan?’ Adakah yang memohon ampunan, sehingga Aku ampuni?’” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna) Jadi, wahai saudara Muslimku, hendaklah kamu memberi perhatian besar, untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa dalam kondisi ini. ===== أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ يَضَعُ أَشْرَفَ أَعْضَائِهِ يَضَعُ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ عَلَى الْأَرْضِ فَيَكُونُ بِهَذَا قَرِيبًا جِدًّا مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامِ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ يَعْنِي حَرِيٌّ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُم السُّجُودُ كَمَا يَقُولُ ابْنُ الْقَيِّمِ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ هُوَ عَتَبَةُ الْعُبُودِيَّةِ بَلْ قَالُوا إِنَّ الْقِيَامَ وَالرُّكُوعَ وَالرَّفْعَ مِنْهُ هُوَ كَالْمُقَدِّمَاتِ لِلسُّجُود وَلِذَلِكَ السُّجُودُ هُوَ آكَدُ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَأَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَيَنْبَغِي اغْتِنَامُ السُّجُودِ خَاصَّةً السُّجُودُ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ يَعْنِي رُبَّمَا يَكُونُ السُّجُودُ فِي صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ يَكُونُ الْإِمَامُ مُرْتَبِطًا بِالْمَأْمُومِيْنَ فَلَا يُطِيلُ عَلَيْهِمْ وَالْمَأْمُومُ مُرْتَبِطًا بِالْإِمَامِ لَكِنْ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ يَنْبَغِي اغْتِنَامُ هَذَا الْمَوْضِعِ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَمَا تَأْتِي بِالتَّسْبِيحَاتِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ اُدْعُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي السُّجُودِ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ خَاصَّةً إِذَا كَانَ السُّجُودُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَاجْتَمَعَ كَوْنُهُ سُجُودًا وَكَوْنُهُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَقُولُ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَيَقُولُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي الدُّعَاءِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ
Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena manusia meletakkan anggota tubuhnya yang paling mulia, yaitu dahinya dan hidungnya, di atas tanah. Dengan demikian, ia menjadi sangat dekat dengan Allah Subhanahu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat patut doa kalian dikabulkan.” Sujud, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya, adalah ambang pintu penghambaan. Bahkan para ulama mengatakan bahwa posisi berdiri, rukuk, dan bangkit dari rukuk bagaikan pendahuluan bagi sujud. Oleh sebab itu, sujud adalah salah satu rukun shalat yang paling penting, dan kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Oleh sebab itu, hendaklah kita memberi perhatian pada sujud, terlebih lagi pada sujud di shalat sunnah, karena biasanya sujud di shalat fardhu, imam terikat dengan para makmum, sehingga tidak boleh berlama-lama, begitu pun makmum yang mengikuti imam. Namun, dalam shalat sunnah secara khusus, hendaklah kita manfaatkan kondisi ini untuk berdoa. Setelah kamu membaca tasbih, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat layak bagi kalian untuk dikabulkan doanya.” Berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla saat sujud dengan permintaan yang kamu inginkan berupa kebaikan dunia dan akhirat. Terlebih lagi jika sujud itu pada sepertiga malam terakhir. Sehingga terhimpun dua keutamaan: yaitu dalam keadaan bersujud dan pada waktu sepertiga malam terakhir. Yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya: “Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Adakah yang meminta, sehingga Aku beri?’ ‘Adakah yang berdoa, sehingga Aku kabulkan?’ Adakah yang memohon ampunan, sehingga Aku ampuni?’” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna) Jadi, wahai saudara Muslimku, hendaklah kamu memberi perhatian besar, untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa dalam kondisi ini. ===== أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ يَضَعُ أَشْرَفَ أَعْضَائِهِ يَضَعُ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ عَلَى الْأَرْضِ فَيَكُونُ بِهَذَا قَرِيبًا جِدًّا مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامِ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ يَعْنِي حَرِيٌّ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُم السُّجُودُ كَمَا يَقُولُ ابْنُ الْقَيِّمِ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ هُوَ عَتَبَةُ الْعُبُودِيَّةِ بَلْ قَالُوا إِنَّ الْقِيَامَ وَالرُّكُوعَ وَالرَّفْعَ مِنْهُ هُوَ كَالْمُقَدِّمَاتِ لِلسُّجُود وَلِذَلِكَ السُّجُودُ هُوَ آكَدُ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَأَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَيَنْبَغِي اغْتِنَامُ السُّجُودِ خَاصَّةً السُّجُودُ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ يَعْنِي رُبَّمَا يَكُونُ السُّجُودُ فِي صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ يَكُونُ الْإِمَامُ مُرْتَبِطًا بِالْمَأْمُومِيْنَ فَلَا يُطِيلُ عَلَيْهِمْ وَالْمَأْمُومُ مُرْتَبِطًا بِالْإِمَامِ لَكِنْ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ يَنْبَغِي اغْتِنَامُ هَذَا الْمَوْضِعِ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَمَا تَأْتِي بِالتَّسْبِيحَاتِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ اُدْعُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي السُّجُودِ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ خَاصَّةً إِذَا كَانَ السُّجُودُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَاجْتَمَعَ كَوْنُهُ سُجُودًا وَكَوْنُهُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَقُولُ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَيَقُولُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي الدُّعَاءِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ


Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena manusia meletakkan anggota tubuhnya yang paling mulia, yaitu dahinya dan hidungnya, di atas tanah. Dengan demikian, ia menjadi sangat dekat dengan Allah Subhanahu. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat patut doa kalian dikabulkan.” Sujud, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya, adalah ambang pintu penghambaan. Bahkan para ulama mengatakan bahwa posisi berdiri, rukuk, dan bangkit dari rukuk bagaikan pendahuluan bagi sujud. Oleh sebab itu, sujud adalah salah satu rukun shalat yang paling penting, dan kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang bersujud. Oleh sebab itu, hendaklah kita memberi perhatian pada sujud, terlebih lagi pada sujud di shalat sunnah, karena biasanya sujud di shalat fardhu, imam terikat dengan para makmum, sehingga tidak boleh berlama-lama, begitu pun makmum yang mengikuti imam. Namun, dalam shalat sunnah secara khusus, hendaklah kita manfaatkan kondisi ini untuk berdoa. Setelah kamu membaca tasbih, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat layak bagi kalian untuk dikabulkan doanya.” Berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla saat sujud dengan permintaan yang kamu inginkan berupa kebaikan dunia dan akhirat. Terlebih lagi jika sujud itu pada sepertiga malam terakhir. Sehingga terhimpun dua keutamaan: yaitu dalam keadaan bersujud dan pada waktu sepertiga malam terakhir. Yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya: “Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Adakah yang meminta, sehingga Aku beri?’ ‘Adakah yang berdoa, sehingga Aku kabulkan?’ Adakah yang memohon ampunan, sehingga Aku ampuni?’” (HR. Bukhari, disampaikan secara makna) Jadi, wahai saudara Muslimku, hendaklah kamu memberi perhatian besar, untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa dalam kondisi ini. ===== أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ يَضَعُ أَشْرَفَ أَعْضَائِهِ يَضَعُ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ عَلَى الْأَرْضِ فَيَكُونُ بِهَذَا قَرِيبًا جِدًّا مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامِ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ يَعْنِي حَرِيٌّ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُم السُّجُودُ كَمَا يَقُولُ ابْنُ الْقَيِّمِ وَغَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ هُوَ عَتَبَةُ الْعُبُودِيَّةِ بَلْ قَالُوا إِنَّ الْقِيَامَ وَالرُّكُوعَ وَالرَّفْعَ مِنْهُ هُوَ كَالْمُقَدِّمَاتِ لِلسُّجُود وَلِذَلِكَ السُّجُودُ هُوَ آكَدُ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَأَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَيَنْبَغِي اغْتِنَامُ السُّجُودِ خَاصَّةً السُّجُودُ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ يَعْنِي رُبَّمَا يَكُونُ السُّجُودُ فِي صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ يَكُونُ الْإِمَامُ مُرْتَبِطًا بِالْمَأْمُومِيْنَ فَلَا يُطِيلُ عَلَيْهِمْ وَالْمَأْمُومُ مُرْتَبِطًا بِالْإِمَامِ لَكِنْ فِي صَلَاةِ النَّافِلَةِ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوصِ يَنْبَغِي اغْتِنَامُ هَذَا الْمَوْضِعِ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَمَا تَأْتِي بِالتَّسْبِيحَاتِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ اُدْعُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي السُّجُودِ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ خَاصَّةً إِذَا كَانَ السُّجُودُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَاجْتَمَعَ كَوْنُهُ سُجُودًا وَكَوْنُهُ فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَقُولُ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَيَقُولُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي الدُّعَاءِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ

Fikih Utang Piutang (Bag. 8): Mengembalikan Utang atau Pinjaman

Daftar Isi ToggleMengembalikan utang atau pinjaman [1]Keadaan pertamaKeadaan keduaKeadaan ketigaCara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Dalam masalah utang piutang, tentunya setelah pihak pengutang meminjam, maka wajib bagi pengutang untuk mengembalikan utangnya. Pada pembahasan kali ini, akan diketahui tentang pengembalian utang dan tata cara pengembalian utang.Mengembalikan utang atau pinjaman [1]Tidak diwajibkan sejatinya bagi orang yang meminjam (muqtaridh) untuk mengembalikan barang pinjaman itu sendiri (secara fisik), karena barang yang dipinjam sudah menjadi miliknya secara sempurna dengan cara penerimaan (qabdh), selama penerima atau pengutang tidak mengalami kebangkrutan dan di-hajr (boikot). Dia tidak harus mengembalikannya secara fisik, karena ia telah memilikinya dengan kepemilikan penuh sejak barang itu diterima dan kemudian telah memanfaatkan barang yang dipinjam tersebut.Gambaran sederhananya seperti ketika seseorang meminjam uang, tentunya peminjam tidak perlu mengembalikan uang dengan seri yang sama seperti uang ketika ia meminjamnya. Dia cukup mengembalikan sesuai nominal yang dipinjamnya.Karena utang piutang adalah akad tabarru’ (sosial atau tolong-menolong). Sehingga ketika suatu barang atau uang dipinjamkan, otomatis akan digunakan oleh si pengutang untuk diambil manfaatnya. Setelah manfaat itu diperoleh, maka akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Apabila si peminjam mengembalikannya secara fisik (dengan barang yang sama), maka tidak terlepas dari tiga keadaan:Keadaan pertamaBarang yang dipinjam adalah barang yang bisa ditakar (mikyal), ditimbang (mauzun), seperti beras, gandum, gula, minyak, dan uang; atau barang yang bisa ukur dengan takaran (menggunakan liter, mud, sha’, dan sebagainya); atau barang yang bisa diukur dengan kilogram, gram, dan sebagainya.Maka dalam hal ini, si pemberi pinjaman wajib menerimanya tanpa perselisihan dari para ulama. Mengingat barang tersebut dikembalikan dengan sifat yang semisal, selama barang itu belum rusak. Baik harganya berubah ataupun tidak, seperti gandum yang masih utuh atau belum rusak. Dia wajib menerimanya, karena tidak ada mudarat baginya; sebab itu adalah haknya.Namun jika barang tersebut ada cacatnya, seperti gandum yang basah atau terlalu kering, atau beras yang rusak, maka pemberi pinjaman berhak menolaknya, karena tidak sesuainya gandum atau beras yang diberikan, dan hal tersebut mengandung kemudaratan.Keadaan keduaBarang yang dipinjam adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan (tidak ada persamaannya), yakni barang-barang yang dinilai dengan nominal, seperti pakaian, hewan, dan sejenisnya.Sebagian ulama berpendapat, pemberi pinjaman tidak mesti menerima barang yang sama itu, bahkan boleh baginya untuk meminta nominal dari barang tersebut. Sebagian lagi berpendapat, bisa dengan dua cara; yaitu mengembalikan dengan nominal barang tersebut atau bisa juga dengan mengembalikan barang tersebut. Sebagaimana dalam hadis,استسلَفَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بَكْرًا فجاءتهُ إبلٌ منَ الصَّدقةِ ، قالَ أبو رافعٍ: فأمرَني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أن أقضيَ الرَّجلَ بَكْرَهُ ، فقلتُ: لا أجدُ في الإبلِ إلَّا جملًا خِيارًا رباعيًا ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أعطِهِ إيَّاهُ ، فإنَّ خيارَ النَّاسِ أحسنُهُم قضاءً“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berutang seekor unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah utang-utang sedekah, Abu Rafi’ mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk membayar kepada orang itu unta muda yang pernah beliau pinjam.’ Akupun berkata, ‘Aku tidak menemukan unta kecuali unta-unta bagus yang sudah berusia empat tahun.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berikan saja kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam menunaikan pembayaran utang.’” (HR. Muslim)Dari hadis di atas, dapat diketahui beberapa hal:Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminjam unta muda kepada seseorang, kemudian mengembalikan dengan unta lagi, bahkan dengan unta yang lebih baik.Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa Nabi tidak mengembalikan dengan nominal, baik dinar atau dirham.Nabi mengembalikan dengan yang lebih baik, dalam hal ini diperbolehkan karena tidak ada persyaratan di awal akad. Jika ada persyaratan di awal akad, maka tidak diperbolehkan.Keadaan ketigaApabila pinjaman itu berupa dinar atau dirham, maka ia (si peminjam) boleh mengembalikannya dengan dinar atau dirham yang sama, dan hukumnya seperti barang-barang yang memiliki padanan (mitsli), karena sama sifatnya, sehigga nilainya tidak berubah.Namun, jika dinar atau dirham itu sudah dilarang penggunaannya oleh penguasa atau pemerintah, maka pemberi pinjaman tidak wajib menerimanya, karena nilai/harganya telah hilang atau jika dinar atau dirham tersebut sudah tidak digunakan. Maka yang wajib adalah mengembalikan nilainya, yaitu dengan jenis mata uang yang berlaku saat itu.Dan apabila pinjaman itu dikembalikan dengan selain jenis dinar atau dirham –seperti emas atau perak lain yang bukan sejenis–, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu bisa mengantarkan kepada riba.Cara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya harta yang biasanya dijadikan utang piutang terbagi menjadi dua:Mitsli : Yaitu barang yang terdapat padanannya dan satuannya serupa, bisa saling menggantikan tanpa ada perbedaan berarti, seperti barang takaran, timbangan, barang hitungan yang sama, dan uang.Qimi : Yaitu barang yang tidak ada padanannya di pasar, atau ada tapi dengan perbedaan nilai yang sangat jauh, seperti hewan, pakaian, dan permata. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.Maka ketentuan pengembaliannya sebagai berikut:– Jika barang pinjaman itu mitsli, maka wajib mengembalikan barang yang sepadan.– Jika barang pinjaman itu qimi, para ulama berbeda pendapat (sebagaimana yang telah dijelaskan):Sebagian berpendapat wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam.Sebagian lain berpendapat wajib mengembalikan barang yang sepadan dalam rupa dan sifatnya. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijelaskan di atas.Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni berkata,يجب رد المثل في المكيل والموزون. لا نعلم فيه خلافا … فأما غير المكيل والموزون، ففيه وجهان: أحدهما: يجب رد قيمته يوم القرض؛ لأنه لا مثل له، فيضمنه بقيمته، كحال الإتلاف والغصب. والثاني: يجب رد مثله؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بكرا، فرد مثله … اهـ.“Wajib mengembalikan barang sepadan pada barang yang ditakar dan ditimbang, dan ini tidak ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, ada dua pendapat: pertama, wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam, karena ia tidak punya padanan; kedua, wajib mengembalikan barang sepadan dalam rupa dan sifatnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta muda dan beliau mengembalikan unta yang sepadan bahkan lebih baik.” Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7 Lanjut ke bagian 9***Depok, 21 Rabi’ul awal 1447/ 14 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 193-194.[2] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/397978

Fikih Utang Piutang (Bag. 8): Mengembalikan Utang atau Pinjaman

Daftar Isi ToggleMengembalikan utang atau pinjaman [1]Keadaan pertamaKeadaan keduaKeadaan ketigaCara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Dalam masalah utang piutang, tentunya setelah pihak pengutang meminjam, maka wajib bagi pengutang untuk mengembalikan utangnya. Pada pembahasan kali ini, akan diketahui tentang pengembalian utang dan tata cara pengembalian utang.Mengembalikan utang atau pinjaman [1]Tidak diwajibkan sejatinya bagi orang yang meminjam (muqtaridh) untuk mengembalikan barang pinjaman itu sendiri (secara fisik), karena barang yang dipinjam sudah menjadi miliknya secara sempurna dengan cara penerimaan (qabdh), selama penerima atau pengutang tidak mengalami kebangkrutan dan di-hajr (boikot). Dia tidak harus mengembalikannya secara fisik, karena ia telah memilikinya dengan kepemilikan penuh sejak barang itu diterima dan kemudian telah memanfaatkan barang yang dipinjam tersebut.Gambaran sederhananya seperti ketika seseorang meminjam uang, tentunya peminjam tidak perlu mengembalikan uang dengan seri yang sama seperti uang ketika ia meminjamnya. Dia cukup mengembalikan sesuai nominal yang dipinjamnya.Karena utang piutang adalah akad tabarru’ (sosial atau tolong-menolong). Sehingga ketika suatu barang atau uang dipinjamkan, otomatis akan digunakan oleh si pengutang untuk diambil manfaatnya. Setelah manfaat itu diperoleh, maka akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Apabila si peminjam mengembalikannya secara fisik (dengan barang yang sama), maka tidak terlepas dari tiga keadaan:Keadaan pertamaBarang yang dipinjam adalah barang yang bisa ditakar (mikyal), ditimbang (mauzun), seperti beras, gandum, gula, minyak, dan uang; atau barang yang bisa ukur dengan takaran (menggunakan liter, mud, sha’, dan sebagainya); atau barang yang bisa diukur dengan kilogram, gram, dan sebagainya.Maka dalam hal ini, si pemberi pinjaman wajib menerimanya tanpa perselisihan dari para ulama. Mengingat barang tersebut dikembalikan dengan sifat yang semisal, selama barang itu belum rusak. Baik harganya berubah ataupun tidak, seperti gandum yang masih utuh atau belum rusak. Dia wajib menerimanya, karena tidak ada mudarat baginya; sebab itu adalah haknya.Namun jika barang tersebut ada cacatnya, seperti gandum yang basah atau terlalu kering, atau beras yang rusak, maka pemberi pinjaman berhak menolaknya, karena tidak sesuainya gandum atau beras yang diberikan, dan hal tersebut mengandung kemudaratan.Keadaan keduaBarang yang dipinjam adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan (tidak ada persamaannya), yakni barang-barang yang dinilai dengan nominal, seperti pakaian, hewan, dan sejenisnya.Sebagian ulama berpendapat, pemberi pinjaman tidak mesti menerima barang yang sama itu, bahkan boleh baginya untuk meminta nominal dari barang tersebut. Sebagian lagi berpendapat, bisa dengan dua cara; yaitu mengembalikan dengan nominal barang tersebut atau bisa juga dengan mengembalikan barang tersebut. Sebagaimana dalam hadis,استسلَفَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بَكْرًا فجاءتهُ إبلٌ منَ الصَّدقةِ ، قالَ أبو رافعٍ: فأمرَني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أن أقضيَ الرَّجلَ بَكْرَهُ ، فقلتُ: لا أجدُ في الإبلِ إلَّا جملًا خِيارًا رباعيًا ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أعطِهِ إيَّاهُ ، فإنَّ خيارَ النَّاسِ أحسنُهُم قضاءً“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berutang seekor unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah utang-utang sedekah, Abu Rafi’ mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk membayar kepada orang itu unta muda yang pernah beliau pinjam.’ Akupun berkata, ‘Aku tidak menemukan unta kecuali unta-unta bagus yang sudah berusia empat tahun.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berikan saja kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam menunaikan pembayaran utang.’” (HR. Muslim)Dari hadis di atas, dapat diketahui beberapa hal:Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminjam unta muda kepada seseorang, kemudian mengembalikan dengan unta lagi, bahkan dengan unta yang lebih baik.Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa Nabi tidak mengembalikan dengan nominal, baik dinar atau dirham.Nabi mengembalikan dengan yang lebih baik, dalam hal ini diperbolehkan karena tidak ada persyaratan di awal akad. Jika ada persyaratan di awal akad, maka tidak diperbolehkan.Keadaan ketigaApabila pinjaman itu berupa dinar atau dirham, maka ia (si peminjam) boleh mengembalikannya dengan dinar atau dirham yang sama, dan hukumnya seperti barang-barang yang memiliki padanan (mitsli), karena sama sifatnya, sehigga nilainya tidak berubah.Namun, jika dinar atau dirham itu sudah dilarang penggunaannya oleh penguasa atau pemerintah, maka pemberi pinjaman tidak wajib menerimanya, karena nilai/harganya telah hilang atau jika dinar atau dirham tersebut sudah tidak digunakan. Maka yang wajib adalah mengembalikan nilainya, yaitu dengan jenis mata uang yang berlaku saat itu.Dan apabila pinjaman itu dikembalikan dengan selain jenis dinar atau dirham –seperti emas atau perak lain yang bukan sejenis–, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu bisa mengantarkan kepada riba.Cara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya harta yang biasanya dijadikan utang piutang terbagi menjadi dua:Mitsli : Yaitu barang yang terdapat padanannya dan satuannya serupa, bisa saling menggantikan tanpa ada perbedaan berarti, seperti barang takaran, timbangan, barang hitungan yang sama, dan uang.Qimi : Yaitu barang yang tidak ada padanannya di pasar, atau ada tapi dengan perbedaan nilai yang sangat jauh, seperti hewan, pakaian, dan permata. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.Maka ketentuan pengembaliannya sebagai berikut:– Jika barang pinjaman itu mitsli, maka wajib mengembalikan barang yang sepadan.– Jika barang pinjaman itu qimi, para ulama berbeda pendapat (sebagaimana yang telah dijelaskan):Sebagian berpendapat wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam.Sebagian lain berpendapat wajib mengembalikan barang yang sepadan dalam rupa dan sifatnya. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijelaskan di atas.Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni berkata,يجب رد المثل في المكيل والموزون. لا نعلم فيه خلافا … فأما غير المكيل والموزون، ففيه وجهان: أحدهما: يجب رد قيمته يوم القرض؛ لأنه لا مثل له، فيضمنه بقيمته، كحال الإتلاف والغصب. والثاني: يجب رد مثله؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بكرا، فرد مثله … اهـ.“Wajib mengembalikan barang sepadan pada barang yang ditakar dan ditimbang, dan ini tidak ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, ada dua pendapat: pertama, wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam, karena ia tidak punya padanan; kedua, wajib mengembalikan barang sepadan dalam rupa dan sifatnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta muda dan beliau mengembalikan unta yang sepadan bahkan lebih baik.” Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7 Lanjut ke bagian 9***Depok, 21 Rabi’ul awal 1447/ 14 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 193-194.[2] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/397978
Daftar Isi ToggleMengembalikan utang atau pinjaman [1]Keadaan pertamaKeadaan keduaKeadaan ketigaCara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Dalam masalah utang piutang, tentunya setelah pihak pengutang meminjam, maka wajib bagi pengutang untuk mengembalikan utangnya. Pada pembahasan kali ini, akan diketahui tentang pengembalian utang dan tata cara pengembalian utang.Mengembalikan utang atau pinjaman [1]Tidak diwajibkan sejatinya bagi orang yang meminjam (muqtaridh) untuk mengembalikan barang pinjaman itu sendiri (secara fisik), karena barang yang dipinjam sudah menjadi miliknya secara sempurna dengan cara penerimaan (qabdh), selama penerima atau pengutang tidak mengalami kebangkrutan dan di-hajr (boikot). Dia tidak harus mengembalikannya secara fisik, karena ia telah memilikinya dengan kepemilikan penuh sejak barang itu diterima dan kemudian telah memanfaatkan barang yang dipinjam tersebut.Gambaran sederhananya seperti ketika seseorang meminjam uang, tentunya peminjam tidak perlu mengembalikan uang dengan seri yang sama seperti uang ketika ia meminjamnya. Dia cukup mengembalikan sesuai nominal yang dipinjamnya.Karena utang piutang adalah akad tabarru’ (sosial atau tolong-menolong). Sehingga ketika suatu barang atau uang dipinjamkan, otomatis akan digunakan oleh si pengutang untuk diambil manfaatnya. Setelah manfaat itu diperoleh, maka akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Apabila si peminjam mengembalikannya secara fisik (dengan barang yang sama), maka tidak terlepas dari tiga keadaan:Keadaan pertamaBarang yang dipinjam adalah barang yang bisa ditakar (mikyal), ditimbang (mauzun), seperti beras, gandum, gula, minyak, dan uang; atau barang yang bisa ukur dengan takaran (menggunakan liter, mud, sha’, dan sebagainya); atau barang yang bisa diukur dengan kilogram, gram, dan sebagainya.Maka dalam hal ini, si pemberi pinjaman wajib menerimanya tanpa perselisihan dari para ulama. Mengingat barang tersebut dikembalikan dengan sifat yang semisal, selama barang itu belum rusak. Baik harganya berubah ataupun tidak, seperti gandum yang masih utuh atau belum rusak. Dia wajib menerimanya, karena tidak ada mudarat baginya; sebab itu adalah haknya.Namun jika barang tersebut ada cacatnya, seperti gandum yang basah atau terlalu kering, atau beras yang rusak, maka pemberi pinjaman berhak menolaknya, karena tidak sesuainya gandum atau beras yang diberikan, dan hal tersebut mengandung kemudaratan.Keadaan keduaBarang yang dipinjam adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan (tidak ada persamaannya), yakni barang-barang yang dinilai dengan nominal, seperti pakaian, hewan, dan sejenisnya.Sebagian ulama berpendapat, pemberi pinjaman tidak mesti menerima barang yang sama itu, bahkan boleh baginya untuk meminta nominal dari barang tersebut. Sebagian lagi berpendapat, bisa dengan dua cara; yaitu mengembalikan dengan nominal barang tersebut atau bisa juga dengan mengembalikan barang tersebut. Sebagaimana dalam hadis,استسلَفَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بَكْرًا فجاءتهُ إبلٌ منَ الصَّدقةِ ، قالَ أبو رافعٍ: فأمرَني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أن أقضيَ الرَّجلَ بَكْرَهُ ، فقلتُ: لا أجدُ في الإبلِ إلَّا جملًا خِيارًا رباعيًا ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أعطِهِ إيَّاهُ ، فإنَّ خيارَ النَّاسِ أحسنُهُم قضاءً“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berutang seekor unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah utang-utang sedekah, Abu Rafi’ mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk membayar kepada orang itu unta muda yang pernah beliau pinjam.’ Akupun berkata, ‘Aku tidak menemukan unta kecuali unta-unta bagus yang sudah berusia empat tahun.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berikan saja kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam menunaikan pembayaran utang.’” (HR. Muslim)Dari hadis di atas, dapat diketahui beberapa hal:Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminjam unta muda kepada seseorang, kemudian mengembalikan dengan unta lagi, bahkan dengan unta yang lebih baik.Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa Nabi tidak mengembalikan dengan nominal, baik dinar atau dirham.Nabi mengembalikan dengan yang lebih baik, dalam hal ini diperbolehkan karena tidak ada persyaratan di awal akad. Jika ada persyaratan di awal akad, maka tidak diperbolehkan.Keadaan ketigaApabila pinjaman itu berupa dinar atau dirham, maka ia (si peminjam) boleh mengembalikannya dengan dinar atau dirham yang sama, dan hukumnya seperti barang-barang yang memiliki padanan (mitsli), karena sama sifatnya, sehigga nilainya tidak berubah.Namun, jika dinar atau dirham itu sudah dilarang penggunaannya oleh penguasa atau pemerintah, maka pemberi pinjaman tidak wajib menerimanya, karena nilai/harganya telah hilang atau jika dinar atau dirham tersebut sudah tidak digunakan. Maka yang wajib adalah mengembalikan nilainya, yaitu dengan jenis mata uang yang berlaku saat itu.Dan apabila pinjaman itu dikembalikan dengan selain jenis dinar atau dirham –seperti emas atau perak lain yang bukan sejenis–, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu bisa mengantarkan kepada riba.Cara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya harta yang biasanya dijadikan utang piutang terbagi menjadi dua:Mitsli : Yaitu barang yang terdapat padanannya dan satuannya serupa, bisa saling menggantikan tanpa ada perbedaan berarti, seperti barang takaran, timbangan, barang hitungan yang sama, dan uang.Qimi : Yaitu barang yang tidak ada padanannya di pasar, atau ada tapi dengan perbedaan nilai yang sangat jauh, seperti hewan, pakaian, dan permata. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.Maka ketentuan pengembaliannya sebagai berikut:– Jika barang pinjaman itu mitsli, maka wajib mengembalikan barang yang sepadan.– Jika barang pinjaman itu qimi, para ulama berbeda pendapat (sebagaimana yang telah dijelaskan):Sebagian berpendapat wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam.Sebagian lain berpendapat wajib mengembalikan barang yang sepadan dalam rupa dan sifatnya. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijelaskan di atas.Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni berkata,يجب رد المثل في المكيل والموزون. لا نعلم فيه خلافا … فأما غير المكيل والموزون، ففيه وجهان: أحدهما: يجب رد قيمته يوم القرض؛ لأنه لا مثل له، فيضمنه بقيمته، كحال الإتلاف والغصب. والثاني: يجب رد مثله؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بكرا، فرد مثله … اهـ.“Wajib mengembalikan barang sepadan pada barang yang ditakar dan ditimbang, dan ini tidak ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, ada dua pendapat: pertama, wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam, karena ia tidak punya padanan; kedua, wajib mengembalikan barang sepadan dalam rupa dan sifatnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta muda dan beliau mengembalikan unta yang sepadan bahkan lebih baik.” Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7 Lanjut ke bagian 9***Depok, 21 Rabi’ul awal 1447/ 14 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 193-194.[2] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/397978


Daftar Isi ToggleMengembalikan utang atau pinjaman [1]Keadaan pertamaKeadaan keduaKeadaan ketigaCara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Dalam masalah utang piutang, tentunya setelah pihak pengutang meminjam, maka wajib bagi pengutang untuk mengembalikan utangnya. Pada pembahasan kali ini, akan diketahui tentang pengembalian utang dan tata cara pengembalian utang.Mengembalikan utang atau pinjaman [1]Tidak diwajibkan sejatinya bagi orang yang meminjam (muqtaridh) untuk mengembalikan barang pinjaman itu sendiri (secara fisik), karena barang yang dipinjam sudah menjadi miliknya secara sempurna dengan cara penerimaan (qabdh), selama penerima atau pengutang tidak mengalami kebangkrutan dan di-hajr (boikot). Dia tidak harus mengembalikannya secara fisik, karena ia telah memilikinya dengan kepemilikan penuh sejak barang itu diterima dan kemudian telah memanfaatkan barang yang dipinjam tersebut.Gambaran sederhananya seperti ketika seseorang meminjam uang, tentunya peminjam tidak perlu mengembalikan uang dengan seri yang sama seperti uang ketika ia meminjamnya. Dia cukup mengembalikan sesuai nominal yang dipinjamnya.Karena utang piutang adalah akad tabarru’ (sosial atau tolong-menolong). Sehingga ketika suatu barang atau uang dipinjamkan, otomatis akan digunakan oleh si pengutang untuk diambil manfaatnya. Setelah manfaat itu diperoleh, maka akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Apabila si peminjam mengembalikannya secara fisik (dengan barang yang sama), maka tidak terlepas dari tiga keadaan:Keadaan pertamaBarang yang dipinjam adalah barang yang bisa ditakar (mikyal), ditimbang (mauzun), seperti beras, gandum, gula, minyak, dan uang; atau barang yang bisa ukur dengan takaran (menggunakan liter, mud, sha’, dan sebagainya); atau barang yang bisa diukur dengan kilogram, gram, dan sebagainya.Maka dalam hal ini, si pemberi pinjaman wajib menerimanya tanpa perselisihan dari para ulama. Mengingat barang tersebut dikembalikan dengan sifat yang semisal, selama barang itu belum rusak. Baik harganya berubah ataupun tidak, seperti gandum yang masih utuh atau belum rusak. Dia wajib menerimanya, karena tidak ada mudarat baginya; sebab itu adalah haknya.Namun jika barang tersebut ada cacatnya, seperti gandum yang basah atau terlalu kering, atau beras yang rusak, maka pemberi pinjaman berhak menolaknya, karena tidak sesuainya gandum atau beras yang diberikan, dan hal tersebut mengandung kemudaratan.Keadaan keduaBarang yang dipinjam adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan (tidak ada persamaannya), yakni barang-barang yang dinilai dengan nominal, seperti pakaian, hewan, dan sejenisnya.Sebagian ulama berpendapat, pemberi pinjaman tidak mesti menerima barang yang sama itu, bahkan boleh baginya untuk meminta nominal dari barang tersebut. Sebagian lagi berpendapat, bisa dengan dua cara; yaitu mengembalikan dengan nominal barang tersebut atau bisa juga dengan mengembalikan barang tersebut. Sebagaimana dalam hadis,استسلَفَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بَكْرًا فجاءتهُ إبلٌ منَ الصَّدقةِ ، قالَ أبو رافعٍ: فأمرَني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أن أقضيَ الرَّجلَ بَكْرَهُ ، فقلتُ: لا أجدُ في الإبلِ إلَّا جملًا خِيارًا رباعيًا ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أعطِهِ إيَّاهُ ، فإنَّ خيارَ النَّاسِ أحسنُهُم قضاءً“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berutang seekor unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah utang-utang sedekah, Abu Rafi’ mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk membayar kepada orang itu unta muda yang pernah beliau pinjam.’ Akupun berkata, ‘Aku tidak menemukan unta kecuali unta-unta bagus yang sudah berusia empat tahun.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berikan saja kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam menunaikan pembayaran utang.’” (HR. Muslim)Dari hadis di atas, dapat diketahui beberapa hal:Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminjam unta muda kepada seseorang, kemudian mengembalikan dengan unta lagi, bahkan dengan unta yang lebih baik.Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa Nabi tidak mengembalikan dengan nominal, baik dinar atau dirham.Nabi mengembalikan dengan yang lebih baik, dalam hal ini diperbolehkan karena tidak ada persyaratan di awal akad. Jika ada persyaratan di awal akad, maka tidak diperbolehkan.Keadaan ketigaApabila pinjaman itu berupa dinar atau dirham, maka ia (si peminjam) boleh mengembalikannya dengan dinar atau dirham yang sama, dan hukumnya seperti barang-barang yang memiliki padanan (mitsli), karena sama sifatnya, sehigga nilainya tidak berubah.Namun, jika dinar atau dirham itu sudah dilarang penggunaannya oleh penguasa atau pemerintah, maka pemberi pinjaman tidak wajib menerimanya, karena nilai/harganya telah hilang atau jika dinar atau dirham tersebut sudah tidak digunakan. Maka yang wajib adalah mengembalikan nilainya, yaitu dengan jenis mata uang yang berlaku saat itu.Dan apabila pinjaman itu dikembalikan dengan selain jenis dinar atau dirham –seperti emas atau perak lain yang bukan sejenis–, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu bisa mengantarkan kepada riba.Cara mengembalikan utang atau pinjaman [2]Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya harta yang biasanya dijadikan utang piutang terbagi menjadi dua:Mitsli : Yaitu barang yang terdapat padanannya dan satuannya serupa, bisa saling menggantikan tanpa ada perbedaan berarti, seperti barang takaran, timbangan, barang hitungan yang sama, dan uang.Qimi : Yaitu barang yang tidak ada padanannya di pasar, atau ada tapi dengan perbedaan nilai yang sangat jauh, seperti hewan, pakaian, dan permata. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.Maka ketentuan pengembaliannya sebagai berikut:– Jika barang pinjaman itu mitsli, maka wajib mengembalikan barang yang sepadan.– Jika barang pinjaman itu qimi, para ulama berbeda pendapat (sebagaimana yang telah dijelaskan):Sebagian berpendapat wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam.Sebagian lain berpendapat wajib mengembalikan barang yang sepadan dalam rupa dan sifatnya. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijelaskan di atas.Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni berkata,يجب رد المثل في المكيل والموزون. لا نعلم فيه خلافا … فأما غير المكيل والموزون، ففيه وجهان: أحدهما: يجب رد قيمته يوم القرض؛ لأنه لا مثل له، فيضمنه بقيمته، كحال الإتلاف والغصب. والثاني: يجب رد مثله؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بكرا، فرد مثله … اهـ.“Wajib mengembalikan barang sepadan pada barang yang ditakar dan ditimbang, dan ini tidak ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, ada dua pendapat: pertama, wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam, karena ia tidak punya padanan; kedua, wajib mengembalikan barang sepadan dalam rupa dan sifatnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta muda dan beliau mengembalikan unta yang sepadan bahkan lebih baik.” Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7 Lanjut ke bagian 9***Depok, 21 Rabi’ul awal 1447/ 14 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 193-194.[2] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/397978

Sifat-Sifat Istri Shalihah: Suami & Pemuda Wajib Paham! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi kaum wanita menjadi dua golongan. Golongan pertama:“…wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada…” (QS. An-Nisa: 34) Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, lalu taat kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis: “Apabila seorang wanita mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjaga kemaluannya, serta menaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau sukai!’” (HR. Ibnu Hibban). Yakni, jika ia mengamalkan semua hal tersebut. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Istri seperti apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Istri yang membuat suaminya senang ketika memandangnya, menaati suaminya ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya dalam urusan dirinya maupun harta suaminya.” (HR. Abu Daud). Adapun golongan yang lainnya akan dibahas dalam konteks nusyuz (pembangkangan istri). Namun, di sini Allah berfirman: “Wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah…” Lalu, apa makna al-qunūt (القُنُوتُ), wahai saudara-saudara? Al-qunūt artinya ketaatan. Jadi, kata ini menegaskan makna yang telah disebutkan sebelumnya. ===== ثُمَّ قَسَمَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى النِّسَاءَ إِلَى قِسْمَيْنِ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ الصَّالِحَةُ مُطِيعَةٌ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمُطِيعَةٌ لِزَوْجِهَا وَفِي الْحَدِيثِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَت شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ إِذَا جَمَعَتْ هَذِهِ الْأُمُورَ وَسُئِلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ مَنْ تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَهَا وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ وَفِى الْمُقَابِلِ وَسَيَأْتِي يَعْنِي بِالنِّسْبَةِ لِلنُّشُوزِ لَكِنْ قَالَ هُنَا فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ وَالْقُنُوتُ مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ الْقُنُوتُ الطَّاعَةُ فَفِيهَا تَأْكِيدٌ لِمَعْنًى سَابِقٍ

Sifat-Sifat Istri Shalihah: Suami & Pemuda Wajib Paham! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi kaum wanita menjadi dua golongan. Golongan pertama:“…wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada…” (QS. An-Nisa: 34) Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, lalu taat kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis: “Apabila seorang wanita mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjaga kemaluannya, serta menaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau sukai!’” (HR. Ibnu Hibban). Yakni, jika ia mengamalkan semua hal tersebut. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Istri seperti apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Istri yang membuat suaminya senang ketika memandangnya, menaati suaminya ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya dalam urusan dirinya maupun harta suaminya.” (HR. Abu Daud). Adapun golongan yang lainnya akan dibahas dalam konteks nusyuz (pembangkangan istri). Namun, di sini Allah berfirman: “Wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah…” Lalu, apa makna al-qunūt (القُنُوتُ), wahai saudara-saudara? Al-qunūt artinya ketaatan. Jadi, kata ini menegaskan makna yang telah disebutkan sebelumnya. ===== ثُمَّ قَسَمَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى النِّسَاءَ إِلَى قِسْمَيْنِ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ الصَّالِحَةُ مُطِيعَةٌ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمُطِيعَةٌ لِزَوْجِهَا وَفِي الْحَدِيثِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَت شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ إِذَا جَمَعَتْ هَذِهِ الْأُمُورَ وَسُئِلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ مَنْ تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَهَا وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ وَفِى الْمُقَابِلِ وَسَيَأْتِي يَعْنِي بِالنِّسْبَةِ لِلنُّشُوزِ لَكِنْ قَالَ هُنَا فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ وَالْقُنُوتُ مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ الْقُنُوتُ الطَّاعَةُ فَفِيهَا تَأْكِيدٌ لِمَعْنًى سَابِقٍ
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi kaum wanita menjadi dua golongan. Golongan pertama:“…wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada…” (QS. An-Nisa: 34) Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, lalu taat kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis: “Apabila seorang wanita mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjaga kemaluannya, serta menaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau sukai!’” (HR. Ibnu Hibban). Yakni, jika ia mengamalkan semua hal tersebut. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Istri seperti apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Istri yang membuat suaminya senang ketika memandangnya, menaati suaminya ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya dalam urusan dirinya maupun harta suaminya.” (HR. Abu Daud). Adapun golongan yang lainnya akan dibahas dalam konteks nusyuz (pembangkangan istri). Namun, di sini Allah berfirman: “Wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah…” Lalu, apa makna al-qunūt (القُنُوتُ), wahai saudara-saudara? Al-qunūt artinya ketaatan. Jadi, kata ini menegaskan makna yang telah disebutkan sebelumnya. ===== ثُمَّ قَسَمَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى النِّسَاءَ إِلَى قِسْمَيْنِ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ الصَّالِحَةُ مُطِيعَةٌ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمُطِيعَةٌ لِزَوْجِهَا وَفِي الْحَدِيثِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَت شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ إِذَا جَمَعَتْ هَذِهِ الْأُمُورَ وَسُئِلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ مَنْ تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَهَا وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ وَفِى الْمُقَابِلِ وَسَيَأْتِي يَعْنِي بِالنِّسْبَةِ لِلنُّشُوزِ لَكِنْ قَالَ هُنَا فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ وَالْقُنُوتُ مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ الْقُنُوتُ الطَّاعَةُ فَفِيهَا تَأْكِيدٌ لِمَعْنًى سَابِقٍ


Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi kaum wanita menjadi dua golongan. Golongan pertama:“…wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada…” (QS. An-Nisa: 34) Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, lalu taat kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis: “Apabila seorang wanita mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjaga kemaluannya, serta menaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau sukai!’” (HR. Ibnu Hibban). Yakni, jika ia mengamalkan semua hal tersebut. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Istri seperti apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Istri yang membuat suaminya senang ketika memandangnya, menaati suaminya ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya dalam urusan dirinya maupun harta suaminya.” (HR. Abu Daud). Adapun golongan yang lainnya akan dibahas dalam konteks nusyuz (pembangkangan istri). Namun, di sini Allah berfirman: “Wanita yang shalihah, yaitu yang taat kepada Allah…” Lalu, apa makna al-qunūt (القُنُوتُ), wahai saudara-saudara? Al-qunūt artinya ketaatan. Jadi, kata ini menegaskan makna yang telah disebutkan sebelumnya. ===== ثُمَّ قَسَمَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى النِّسَاءَ إِلَى قِسْمَيْنِ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ الصَّالِحَةُ مُطِيعَةٌ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمُطِيعَةٌ لِزَوْجِهَا وَفِي الْحَدِيثِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَت شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ إِذَا جَمَعَتْ هَذِهِ الْأُمُورَ وَسُئِلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ مَنْ تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَهَا وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ وَفِى الْمُقَابِلِ وَسَيَأْتِي يَعْنِي بِالنِّسْبَةِ لِلنُّشُوزِ لَكِنْ قَالَ هُنَا فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ وَالْقُنُوتُ مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ الْقُنُوتُ الطَّاعَةُ فَفِيهَا تَأْكِيدٌ لِمَعْنًى سَابِقٍ

Fikih Hibah (Bag. 4): Syarat-Syarat Hibah

Daftar Isi TogglePertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadKeempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Benda tersebut ada ketika dihibahkanBenda tersebut adalah benda yang bernilaiBenda tersebut dapat dimiliki secara peroranganBenda tersebut milik pemberiBenda tersebut ditentukanHukum hibah musyaa’Hibah memiliki kedudukan penting, baik dalam ranah ibadah maupun muamalah, karena ia mempererat persaudaraan, menumbuhkan rasa saling cinta, serta menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat. Namun, agar hibah benar-benar sah dan bernilai ibadah, syariat Islam menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh pemberi, penerima, barang yang dihibahkan, serta sighah akad yang mengikat keduanya.Syarat-syarat ini tidak sekadar formalitas hukum, melainkan juga mencerminkan prinsip keadilan, kerelaan, dan keteraturan dalam muamalah Islam. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa hibah bukan hanya sekadar “memberi”, tetapi juga sebuah akad yang memiliki rukun, syarat, dan konsekuensi hukum yang jelas demi menjaga kemaslahatan semua pihak.Secara umum pembahasan mengenai syarat hibah terbagi menjadi empat pembahasan.Pertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)[1] Kepemilikan sah: Pemberi harus memiliki barang secara sah: bukan barang curian, bukan hasil penipuan, bukan barang yang secara hukum tidak diizinkan untuk dikuasai. Jika bukan milik sendiri, hibah tidak sah.[2] Kerelaan pemberi hibah: Pemberi adalah orang yang berakal, balig, dan bisa menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian. Hibah adalah pemberian sukarela, sehingga tidak sah pemberian dari anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak memiliki kewenangan untuk memberi secara sukarela, mengingat hal itu adalah kerugian murni.Seorang ayah, menurut kesepakatan ulama, juga tidak mempunyai kewenangan untuk menghibahkan harta anaknya yang masih kecil tanpa mensyaratkan gantinya dari orang yang diberi, karena kekuasaan sang ayah terbatas pada hal-hal yang mendatangkan manfaat. Sedangkan hibah adalah pemberian sukarela yang mengandung kerugian murni (dari segi pelaksanaan akad, berbeda dengan akad jual beli yang seringkali tujuannya adalah kemanfaatan untuk sang anak), sehingga dia tidak boleh melakukannya dari harta anak kecil.Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)[1] Penerima hibah mampu menerima hak milik dan sudah ada ketika terjadi akad: yaitu diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, Hibah tidak sah diberikan kepada bayi yang masih berada dalam kandungan atau kepada hewan karena kepemilikan tidak bisa berpindah kepada mereka.Adapun hibah  untuk anak kecil dan orang gila, maka hal tersebut juga diperbolehkan, akan tetapi penerimaan dan pengelolaannya dilakukan oleh walinya.[2] Penerimaan dan penguasaan barang (qabdh) oleh penerima hibah atau walinya sudah terjadi saat pemberi hibah dalam kondisi masih hidup. Hibah tidak sah kecuali jika telah terjadi penerimaan (qabdh) oleh pihak penerima. Hal ini berdasarkan atsar Abu bakar radhiyallahu ‘anhu yang diceritakan oleh putrinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha,أنَّ أبا بكرٍ كان نَحَلَها جدادُ عشرين وسقًا من مالِهِ بالغابةِ فلمَّا حضرَتهُ الوفاةُ قالَ : يا بنيَّةُ : إني كنتُ نحلتُكِ جدادَ عشرين وسْقًا ولو كنتِ جددتيهِ وأحرزتيهِ كانَ لكِ ، وإنّما هو اليومَ مالُ الوارثِ فاقتسِموهُ على كتابِ اللَّهِ“Bahwa Abu Bakar (Ash-Shiddiq) pernah memberikan (menghibahkan) kepadanya (Aisyah) hasil panen sebanyak dua puluh wasaq dari hartanya yang ada di (kebun) Al-Ghābah. Namun ketika ajal hendak menjemputnya, beliau berkata, ‘Wahai putriku, sesungguhnya aku dahulu telah memberikan kepadamu hasil panen dua puluh wasaq. Seandainya engkau sudah memanennya dan menguasainya, niscaya itu menjadi milikmu. Tetapi sekarang (karena belum engkau kuasai), maka itu adalah harta warisan. Maka bagilah sesuai dengan ketentuan Allah.’” (HR. Malik no. 4/1089 dan Al-Baihaqi no. 12070, disebutkan juga oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya, Irsyad Al-Faqiih, 2: 104)Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu ingin memberi hibah kepada putrinya ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berupa hasil kebun. Akan tetapi, ‘Āisyah belum sempat menerima dan menguasainya secara penuh, sehingga belum terjadi qabdh. Oleh karenanya, hibah masih dianggap harta milik pemberi; sehingga jika pemberi wafat, maka harta itu menjadi bagian dari harta warisan dan bukan lagi dianggap hibah.Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadSyarat-syarat sighah, menurut para ulama Mazhab Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, adalah sebagai berikut:[1] Bersambungnya antara qabul dengan ijab tanpa adanya pemisah yang secara syariat dianggap berpengaruh terhadap keabsahan ijab qabul tersebut.[2] Tidak adanya pengaitan dengan syarat tertentu. Karena hibah adalah pemberian kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan terjadi.[3] Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu tahun. Karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap benda secara mutlak yang terus-menerus, seperti jual beli.Berikut juga syarat paten yang harus ada dalam sighah akad pada umumnya; adanya ijab dan qabul yang jelas.Ijab adalah pernyataan dari pemberi, misalnya: “Aku hibahkan rumah ini kepadamu.” Sedangkan qabul adalah jawaban penerima: “Aku terima hibah ini.”Tanpa ijab qabul yang jelas, hibah hanya sebatas niat, belum dianggap sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam transaksi pada umumnya,إنَّما البيعُ عَن تراضٍ“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan saling rida.” (HR. Ibnu Mājah no. 4987, dinyatakan sahih oleh Syekh Al-Albānī)Para ulama qiyaskan ke hibah, bahwa rida harus tampak melalui sighah ijab-qabul.Keempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Disyaratkan beberapa hal berikut ini untuk sesuatu yang dihibahkan. Benda tersebut ada ketika dihibahkanTidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah, seperti menghibahkan buah kurmanya yang akan muncul pada tahun ini dan menghibahkan anak-anak ternak kambingnya yang akan lahir pada tahun ini. Hibah ini tidak sah, karena ia merupakan pemberian kepemilikan pada suatu benda yang tidak ada kepada orang lain, sehingga akadnya tidak sah.Juga seperti menghibahkan sesuatu yang masih di dalam perut seekor kambing dan memberikan kewenangan untuk mengambilnya ketika dilahirkan. Akad hibah ini tidak sah karena terdapat dua kemungkinan pada janin itu, yaitu ada atau tidak. Hal ini mengingat bisa jadi buncitnya perut kambing itu memang karena kehamilan atau karena penyakit yang ada di dalam perut.Adapun menghibahkan susu yang masih di dalam ambingnya, bulu yang masih ada di tubuh domba, tanaman dan pohon kurma yang belum dicabut, dan buah kurma yang masih di pohon, maka semua itu seperti hibah benda-benda yang tidak diketahui kadarnya sehingga hukumnya tidak sah. Maka seandainya pemilik memisahkan benda-benda tersebut dari tempatnya, lalu menyerahkannya kepada orang yang diberi, maka itu dibolehkan. Karena, ketika itu benda yang dihibahkan ada dan dimiliki oleh orang yang mendapat hibah saat itu juga. Sedangkan ketika benda yang dihibahkan itu belum dipisahkan dari tempat asalnya, maka hibah itu belum terlaksana karena adanya penghalang. Penghalang tersebut adalah masih terkaitnya benda yang dihibahkan itu dengan kepemilikan orang lain. Oleh karena itu, jika dia dikeluarkan dari kepemilikan pemilik aslinya, berarti penghalangnya hilang. Dengan demikian, maka hibah terhadapnya dibolehkan dan akadnya pun sah. Benda tersebut adalah benda yang bernilaiTidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan di tanah haram, binatang buruan orang yang berihram, dan yang lainnya. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang tidak bernilai, seperti minuman keras. Benda tersebut dapat dimiliki secara peroranganTidak sah hibah terhadap benda milik umum. Benda tersebut milik pemberiTidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, karena tidak mungkin seseorang memberikan kepemilikan atas suatu benda yang bukan miliknya kepada orang lain. Benda tersebut ditentukanHibah hanya sah bila barang yang dihibahkan jelas wujudnya, jenisnya, dan batasannya. Kalau berupa barang tertentu, maka harus ditunjukkan, misalnya, “Saya hibahkan rumah yang di Jalan Mawar no. 5 ini kepadamu.”Kalau berupa sebagian harta, maka harus jelas juga kadarnya, misalnya, “Saya hibahkan 2 hektar dari tanah saya yang luasnya 10 hektar di Desa X.”Tidak sah jika bendanya samar (majhūl), misalnya, “Saya hibahkan salah satu rumah saya,” atau “Saya hibahkan sebagian tanah saya,” tanpa penjelasan yang mana atau berapa.Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini, yaitu tentang hukum hibah musya’.Hukum hibah musyaa’Hibatul musyaa’ itu sendiri adalah ketika salah seorang dari dua orang yang berserikat menghibahkan bagiannya dari harta bersama, atau ketika seseorang menghibahkan suatu bagian tertentu kepada dua orang atau lebih.Jumhur ulama: Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah, juga pendapat sebagian salaf mengatakan bolehnya memberikan hibah terhadap harta musyā‘, baik yang memungkinkan untuk dibagi maupun yang tidak memungkinkan untuk dibagi.Adapun benda-benda yang memungkinkan untuk dibagi, contohnya seperti tanah, barang takaran, barang timbangan, barang hitungan, dan barang ukuran. Sedangkan benda yang tidak bisa dibagi, contohnya seperti pedang, mutiara, dan pakaian.Dalilnya adalah hadis dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata,كُنَّا عندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذ أتَتْه وَفْدُ هَوازِنَ، فقالوا: يا مُحمَّدُ، إنَّا أصْلٌ وعَشيرةٌ، وقدْ نَزَل بنا مِن البَلاءِ ما لا يَخفَى عليك، فامنُنْ علينا مَنَّ اللهُ عليك، فقال: اختَارُوا مِن أموالِكُم، أو مِن نِسائكُم وأبنائِكُم، فقالُوا: قد خيَّرْتَنا بيْن أحْسابِنا وأموالِنا، بلْ نَختارُ نِساءَنا وأبناءَنا، فقالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أمَّا ما كان لي ولبَنِي عبدِ المُطَّلِبِ فهو لَكُم“Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah delegasi dari Hawāzin. Mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami ini adalah keluarga besar dan kerabat dekatmu. Telah menimpa kami musibah yang tidak samar bagimu. Maka berilah kami keringanan sebagaimana Allah telah memberi keringanan kepadamu.’ Maka Nabi bersabda, ‘Pilihlah, apakah kalian ingin (aku kembalikan) harta kalian, atau istri-istri dan anak-anak kalian.’ Mereka berkata, ‘Engkau telah memberikan pilihan kepada kami antara kehormatan kami dan harta kami. Maka kami memilih istri-istri dan anak-anak kami.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani ‘Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian…’” (HR. An-Nasa’i no. 3688 dan Ahmad no. 6729)Sisi pendalilannya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian”; merupakan contoh hibah terhadap harta musyā‘. Wallahu a’lam bisshawaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Muhammad IdrisArtikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 4): Syarat-Syarat Hibah

Daftar Isi TogglePertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadKeempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Benda tersebut ada ketika dihibahkanBenda tersebut adalah benda yang bernilaiBenda tersebut dapat dimiliki secara peroranganBenda tersebut milik pemberiBenda tersebut ditentukanHukum hibah musyaa’Hibah memiliki kedudukan penting, baik dalam ranah ibadah maupun muamalah, karena ia mempererat persaudaraan, menumbuhkan rasa saling cinta, serta menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat. Namun, agar hibah benar-benar sah dan bernilai ibadah, syariat Islam menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh pemberi, penerima, barang yang dihibahkan, serta sighah akad yang mengikat keduanya.Syarat-syarat ini tidak sekadar formalitas hukum, melainkan juga mencerminkan prinsip keadilan, kerelaan, dan keteraturan dalam muamalah Islam. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa hibah bukan hanya sekadar “memberi”, tetapi juga sebuah akad yang memiliki rukun, syarat, dan konsekuensi hukum yang jelas demi menjaga kemaslahatan semua pihak.Secara umum pembahasan mengenai syarat hibah terbagi menjadi empat pembahasan.Pertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)[1] Kepemilikan sah: Pemberi harus memiliki barang secara sah: bukan barang curian, bukan hasil penipuan, bukan barang yang secara hukum tidak diizinkan untuk dikuasai. Jika bukan milik sendiri, hibah tidak sah.[2] Kerelaan pemberi hibah: Pemberi adalah orang yang berakal, balig, dan bisa menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian. Hibah adalah pemberian sukarela, sehingga tidak sah pemberian dari anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak memiliki kewenangan untuk memberi secara sukarela, mengingat hal itu adalah kerugian murni.Seorang ayah, menurut kesepakatan ulama, juga tidak mempunyai kewenangan untuk menghibahkan harta anaknya yang masih kecil tanpa mensyaratkan gantinya dari orang yang diberi, karena kekuasaan sang ayah terbatas pada hal-hal yang mendatangkan manfaat. Sedangkan hibah adalah pemberian sukarela yang mengandung kerugian murni (dari segi pelaksanaan akad, berbeda dengan akad jual beli yang seringkali tujuannya adalah kemanfaatan untuk sang anak), sehingga dia tidak boleh melakukannya dari harta anak kecil.Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)[1] Penerima hibah mampu menerima hak milik dan sudah ada ketika terjadi akad: yaitu diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, Hibah tidak sah diberikan kepada bayi yang masih berada dalam kandungan atau kepada hewan karena kepemilikan tidak bisa berpindah kepada mereka.Adapun hibah  untuk anak kecil dan orang gila, maka hal tersebut juga diperbolehkan, akan tetapi penerimaan dan pengelolaannya dilakukan oleh walinya.[2] Penerimaan dan penguasaan barang (qabdh) oleh penerima hibah atau walinya sudah terjadi saat pemberi hibah dalam kondisi masih hidup. Hibah tidak sah kecuali jika telah terjadi penerimaan (qabdh) oleh pihak penerima. Hal ini berdasarkan atsar Abu bakar radhiyallahu ‘anhu yang diceritakan oleh putrinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha,أنَّ أبا بكرٍ كان نَحَلَها جدادُ عشرين وسقًا من مالِهِ بالغابةِ فلمَّا حضرَتهُ الوفاةُ قالَ : يا بنيَّةُ : إني كنتُ نحلتُكِ جدادَ عشرين وسْقًا ولو كنتِ جددتيهِ وأحرزتيهِ كانَ لكِ ، وإنّما هو اليومَ مالُ الوارثِ فاقتسِموهُ على كتابِ اللَّهِ“Bahwa Abu Bakar (Ash-Shiddiq) pernah memberikan (menghibahkan) kepadanya (Aisyah) hasil panen sebanyak dua puluh wasaq dari hartanya yang ada di (kebun) Al-Ghābah. Namun ketika ajal hendak menjemputnya, beliau berkata, ‘Wahai putriku, sesungguhnya aku dahulu telah memberikan kepadamu hasil panen dua puluh wasaq. Seandainya engkau sudah memanennya dan menguasainya, niscaya itu menjadi milikmu. Tetapi sekarang (karena belum engkau kuasai), maka itu adalah harta warisan. Maka bagilah sesuai dengan ketentuan Allah.’” (HR. Malik no. 4/1089 dan Al-Baihaqi no. 12070, disebutkan juga oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya, Irsyad Al-Faqiih, 2: 104)Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu ingin memberi hibah kepada putrinya ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berupa hasil kebun. Akan tetapi, ‘Āisyah belum sempat menerima dan menguasainya secara penuh, sehingga belum terjadi qabdh. Oleh karenanya, hibah masih dianggap harta milik pemberi; sehingga jika pemberi wafat, maka harta itu menjadi bagian dari harta warisan dan bukan lagi dianggap hibah.Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadSyarat-syarat sighah, menurut para ulama Mazhab Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, adalah sebagai berikut:[1] Bersambungnya antara qabul dengan ijab tanpa adanya pemisah yang secara syariat dianggap berpengaruh terhadap keabsahan ijab qabul tersebut.[2] Tidak adanya pengaitan dengan syarat tertentu. Karena hibah adalah pemberian kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan terjadi.[3] Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu tahun. Karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap benda secara mutlak yang terus-menerus, seperti jual beli.Berikut juga syarat paten yang harus ada dalam sighah akad pada umumnya; adanya ijab dan qabul yang jelas.Ijab adalah pernyataan dari pemberi, misalnya: “Aku hibahkan rumah ini kepadamu.” Sedangkan qabul adalah jawaban penerima: “Aku terima hibah ini.”Tanpa ijab qabul yang jelas, hibah hanya sebatas niat, belum dianggap sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam transaksi pada umumnya,إنَّما البيعُ عَن تراضٍ“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan saling rida.” (HR. Ibnu Mājah no. 4987, dinyatakan sahih oleh Syekh Al-Albānī)Para ulama qiyaskan ke hibah, bahwa rida harus tampak melalui sighah ijab-qabul.Keempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Disyaratkan beberapa hal berikut ini untuk sesuatu yang dihibahkan. Benda tersebut ada ketika dihibahkanTidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah, seperti menghibahkan buah kurmanya yang akan muncul pada tahun ini dan menghibahkan anak-anak ternak kambingnya yang akan lahir pada tahun ini. Hibah ini tidak sah, karena ia merupakan pemberian kepemilikan pada suatu benda yang tidak ada kepada orang lain, sehingga akadnya tidak sah.Juga seperti menghibahkan sesuatu yang masih di dalam perut seekor kambing dan memberikan kewenangan untuk mengambilnya ketika dilahirkan. Akad hibah ini tidak sah karena terdapat dua kemungkinan pada janin itu, yaitu ada atau tidak. Hal ini mengingat bisa jadi buncitnya perut kambing itu memang karena kehamilan atau karena penyakit yang ada di dalam perut.Adapun menghibahkan susu yang masih di dalam ambingnya, bulu yang masih ada di tubuh domba, tanaman dan pohon kurma yang belum dicabut, dan buah kurma yang masih di pohon, maka semua itu seperti hibah benda-benda yang tidak diketahui kadarnya sehingga hukumnya tidak sah. Maka seandainya pemilik memisahkan benda-benda tersebut dari tempatnya, lalu menyerahkannya kepada orang yang diberi, maka itu dibolehkan. Karena, ketika itu benda yang dihibahkan ada dan dimiliki oleh orang yang mendapat hibah saat itu juga. Sedangkan ketika benda yang dihibahkan itu belum dipisahkan dari tempat asalnya, maka hibah itu belum terlaksana karena adanya penghalang. Penghalang tersebut adalah masih terkaitnya benda yang dihibahkan itu dengan kepemilikan orang lain. Oleh karena itu, jika dia dikeluarkan dari kepemilikan pemilik aslinya, berarti penghalangnya hilang. Dengan demikian, maka hibah terhadapnya dibolehkan dan akadnya pun sah. Benda tersebut adalah benda yang bernilaiTidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan di tanah haram, binatang buruan orang yang berihram, dan yang lainnya. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang tidak bernilai, seperti minuman keras. Benda tersebut dapat dimiliki secara peroranganTidak sah hibah terhadap benda milik umum. Benda tersebut milik pemberiTidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, karena tidak mungkin seseorang memberikan kepemilikan atas suatu benda yang bukan miliknya kepada orang lain. Benda tersebut ditentukanHibah hanya sah bila barang yang dihibahkan jelas wujudnya, jenisnya, dan batasannya. Kalau berupa barang tertentu, maka harus ditunjukkan, misalnya, “Saya hibahkan rumah yang di Jalan Mawar no. 5 ini kepadamu.”Kalau berupa sebagian harta, maka harus jelas juga kadarnya, misalnya, “Saya hibahkan 2 hektar dari tanah saya yang luasnya 10 hektar di Desa X.”Tidak sah jika bendanya samar (majhūl), misalnya, “Saya hibahkan salah satu rumah saya,” atau “Saya hibahkan sebagian tanah saya,” tanpa penjelasan yang mana atau berapa.Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini, yaitu tentang hukum hibah musya’.Hukum hibah musyaa’Hibatul musyaa’ itu sendiri adalah ketika salah seorang dari dua orang yang berserikat menghibahkan bagiannya dari harta bersama, atau ketika seseorang menghibahkan suatu bagian tertentu kepada dua orang atau lebih.Jumhur ulama: Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah, juga pendapat sebagian salaf mengatakan bolehnya memberikan hibah terhadap harta musyā‘, baik yang memungkinkan untuk dibagi maupun yang tidak memungkinkan untuk dibagi.Adapun benda-benda yang memungkinkan untuk dibagi, contohnya seperti tanah, barang takaran, barang timbangan, barang hitungan, dan barang ukuran. Sedangkan benda yang tidak bisa dibagi, contohnya seperti pedang, mutiara, dan pakaian.Dalilnya adalah hadis dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata,كُنَّا عندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذ أتَتْه وَفْدُ هَوازِنَ، فقالوا: يا مُحمَّدُ، إنَّا أصْلٌ وعَشيرةٌ، وقدْ نَزَل بنا مِن البَلاءِ ما لا يَخفَى عليك، فامنُنْ علينا مَنَّ اللهُ عليك، فقال: اختَارُوا مِن أموالِكُم، أو مِن نِسائكُم وأبنائِكُم، فقالُوا: قد خيَّرْتَنا بيْن أحْسابِنا وأموالِنا، بلْ نَختارُ نِساءَنا وأبناءَنا، فقالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أمَّا ما كان لي ولبَنِي عبدِ المُطَّلِبِ فهو لَكُم“Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah delegasi dari Hawāzin. Mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami ini adalah keluarga besar dan kerabat dekatmu. Telah menimpa kami musibah yang tidak samar bagimu. Maka berilah kami keringanan sebagaimana Allah telah memberi keringanan kepadamu.’ Maka Nabi bersabda, ‘Pilihlah, apakah kalian ingin (aku kembalikan) harta kalian, atau istri-istri dan anak-anak kalian.’ Mereka berkata, ‘Engkau telah memberikan pilihan kepada kami antara kehormatan kami dan harta kami. Maka kami memilih istri-istri dan anak-anak kami.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani ‘Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian…’” (HR. An-Nasa’i no. 3688 dan Ahmad no. 6729)Sisi pendalilannya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian”; merupakan contoh hibah terhadap harta musyā‘. Wallahu a’lam bisshawaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Muhammad IdrisArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadKeempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Benda tersebut ada ketika dihibahkanBenda tersebut adalah benda yang bernilaiBenda tersebut dapat dimiliki secara peroranganBenda tersebut milik pemberiBenda tersebut ditentukanHukum hibah musyaa’Hibah memiliki kedudukan penting, baik dalam ranah ibadah maupun muamalah, karena ia mempererat persaudaraan, menumbuhkan rasa saling cinta, serta menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat. Namun, agar hibah benar-benar sah dan bernilai ibadah, syariat Islam menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh pemberi, penerima, barang yang dihibahkan, serta sighah akad yang mengikat keduanya.Syarat-syarat ini tidak sekadar formalitas hukum, melainkan juga mencerminkan prinsip keadilan, kerelaan, dan keteraturan dalam muamalah Islam. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa hibah bukan hanya sekadar “memberi”, tetapi juga sebuah akad yang memiliki rukun, syarat, dan konsekuensi hukum yang jelas demi menjaga kemaslahatan semua pihak.Secara umum pembahasan mengenai syarat hibah terbagi menjadi empat pembahasan.Pertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)[1] Kepemilikan sah: Pemberi harus memiliki barang secara sah: bukan barang curian, bukan hasil penipuan, bukan barang yang secara hukum tidak diizinkan untuk dikuasai. Jika bukan milik sendiri, hibah tidak sah.[2] Kerelaan pemberi hibah: Pemberi adalah orang yang berakal, balig, dan bisa menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian. Hibah adalah pemberian sukarela, sehingga tidak sah pemberian dari anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak memiliki kewenangan untuk memberi secara sukarela, mengingat hal itu adalah kerugian murni.Seorang ayah, menurut kesepakatan ulama, juga tidak mempunyai kewenangan untuk menghibahkan harta anaknya yang masih kecil tanpa mensyaratkan gantinya dari orang yang diberi, karena kekuasaan sang ayah terbatas pada hal-hal yang mendatangkan manfaat. Sedangkan hibah adalah pemberian sukarela yang mengandung kerugian murni (dari segi pelaksanaan akad, berbeda dengan akad jual beli yang seringkali tujuannya adalah kemanfaatan untuk sang anak), sehingga dia tidak boleh melakukannya dari harta anak kecil.Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)[1] Penerima hibah mampu menerima hak milik dan sudah ada ketika terjadi akad: yaitu diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, Hibah tidak sah diberikan kepada bayi yang masih berada dalam kandungan atau kepada hewan karena kepemilikan tidak bisa berpindah kepada mereka.Adapun hibah  untuk anak kecil dan orang gila, maka hal tersebut juga diperbolehkan, akan tetapi penerimaan dan pengelolaannya dilakukan oleh walinya.[2] Penerimaan dan penguasaan barang (qabdh) oleh penerima hibah atau walinya sudah terjadi saat pemberi hibah dalam kondisi masih hidup. Hibah tidak sah kecuali jika telah terjadi penerimaan (qabdh) oleh pihak penerima. Hal ini berdasarkan atsar Abu bakar radhiyallahu ‘anhu yang diceritakan oleh putrinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha,أنَّ أبا بكرٍ كان نَحَلَها جدادُ عشرين وسقًا من مالِهِ بالغابةِ فلمَّا حضرَتهُ الوفاةُ قالَ : يا بنيَّةُ : إني كنتُ نحلتُكِ جدادَ عشرين وسْقًا ولو كنتِ جددتيهِ وأحرزتيهِ كانَ لكِ ، وإنّما هو اليومَ مالُ الوارثِ فاقتسِموهُ على كتابِ اللَّهِ“Bahwa Abu Bakar (Ash-Shiddiq) pernah memberikan (menghibahkan) kepadanya (Aisyah) hasil panen sebanyak dua puluh wasaq dari hartanya yang ada di (kebun) Al-Ghābah. Namun ketika ajal hendak menjemputnya, beliau berkata, ‘Wahai putriku, sesungguhnya aku dahulu telah memberikan kepadamu hasil panen dua puluh wasaq. Seandainya engkau sudah memanennya dan menguasainya, niscaya itu menjadi milikmu. Tetapi sekarang (karena belum engkau kuasai), maka itu adalah harta warisan. Maka bagilah sesuai dengan ketentuan Allah.’” (HR. Malik no. 4/1089 dan Al-Baihaqi no. 12070, disebutkan juga oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya, Irsyad Al-Faqiih, 2: 104)Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu ingin memberi hibah kepada putrinya ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berupa hasil kebun. Akan tetapi, ‘Āisyah belum sempat menerima dan menguasainya secara penuh, sehingga belum terjadi qabdh. Oleh karenanya, hibah masih dianggap harta milik pemberi; sehingga jika pemberi wafat, maka harta itu menjadi bagian dari harta warisan dan bukan lagi dianggap hibah.Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadSyarat-syarat sighah, menurut para ulama Mazhab Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, adalah sebagai berikut:[1] Bersambungnya antara qabul dengan ijab tanpa adanya pemisah yang secara syariat dianggap berpengaruh terhadap keabsahan ijab qabul tersebut.[2] Tidak adanya pengaitan dengan syarat tertentu. Karena hibah adalah pemberian kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan terjadi.[3] Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu tahun. Karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap benda secara mutlak yang terus-menerus, seperti jual beli.Berikut juga syarat paten yang harus ada dalam sighah akad pada umumnya; adanya ijab dan qabul yang jelas.Ijab adalah pernyataan dari pemberi, misalnya: “Aku hibahkan rumah ini kepadamu.” Sedangkan qabul adalah jawaban penerima: “Aku terima hibah ini.”Tanpa ijab qabul yang jelas, hibah hanya sebatas niat, belum dianggap sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam transaksi pada umumnya,إنَّما البيعُ عَن تراضٍ“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan saling rida.” (HR. Ibnu Mājah no. 4987, dinyatakan sahih oleh Syekh Al-Albānī)Para ulama qiyaskan ke hibah, bahwa rida harus tampak melalui sighah ijab-qabul.Keempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Disyaratkan beberapa hal berikut ini untuk sesuatu yang dihibahkan. Benda tersebut ada ketika dihibahkanTidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah, seperti menghibahkan buah kurmanya yang akan muncul pada tahun ini dan menghibahkan anak-anak ternak kambingnya yang akan lahir pada tahun ini. Hibah ini tidak sah, karena ia merupakan pemberian kepemilikan pada suatu benda yang tidak ada kepada orang lain, sehingga akadnya tidak sah.Juga seperti menghibahkan sesuatu yang masih di dalam perut seekor kambing dan memberikan kewenangan untuk mengambilnya ketika dilahirkan. Akad hibah ini tidak sah karena terdapat dua kemungkinan pada janin itu, yaitu ada atau tidak. Hal ini mengingat bisa jadi buncitnya perut kambing itu memang karena kehamilan atau karena penyakit yang ada di dalam perut.Adapun menghibahkan susu yang masih di dalam ambingnya, bulu yang masih ada di tubuh domba, tanaman dan pohon kurma yang belum dicabut, dan buah kurma yang masih di pohon, maka semua itu seperti hibah benda-benda yang tidak diketahui kadarnya sehingga hukumnya tidak sah. Maka seandainya pemilik memisahkan benda-benda tersebut dari tempatnya, lalu menyerahkannya kepada orang yang diberi, maka itu dibolehkan. Karena, ketika itu benda yang dihibahkan ada dan dimiliki oleh orang yang mendapat hibah saat itu juga. Sedangkan ketika benda yang dihibahkan itu belum dipisahkan dari tempat asalnya, maka hibah itu belum terlaksana karena adanya penghalang. Penghalang tersebut adalah masih terkaitnya benda yang dihibahkan itu dengan kepemilikan orang lain. Oleh karena itu, jika dia dikeluarkan dari kepemilikan pemilik aslinya, berarti penghalangnya hilang. Dengan demikian, maka hibah terhadapnya dibolehkan dan akadnya pun sah. Benda tersebut adalah benda yang bernilaiTidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan di tanah haram, binatang buruan orang yang berihram, dan yang lainnya. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang tidak bernilai, seperti minuman keras. Benda tersebut dapat dimiliki secara peroranganTidak sah hibah terhadap benda milik umum. Benda tersebut milik pemberiTidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, karena tidak mungkin seseorang memberikan kepemilikan atas suatu benda yang bukan miliknya kepada orang lain. Benda tersebut ditentukanHibah hanya sah bila barang yang dihibahkan jelas wujudnya, jenisnya, dan batasannya. Kalau berupa barang tertentu, maka harus ditunjukkan, misalnya, “Saya hibahkan rumah yang di Jalan Mawar no. 5 ini kepadamu.”Kalau berupa sebagian harta, maka harus jelas juga kadarnya, misalnya, “Saya hibahkan 2 hektar dari tanah saya yang luasnya 10 hektar di Desa X.”Tidak sah jika bendanya samar (majhūl), misalnya, “Saya hibahkan salah satu rumah saya,” atau “Saya hibahkan sebagian tanah saya,” tanpa penjelasan yang mana atau berapa.Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini, yaitu tentang hukum hibah musya’.Hukum hibah musyaa’Hibatul musyaa’ itu sendiri adalah ketika salah seorang dari dua orang yang berserikat menghibahkan bagiannya dari harta bersama, atau ketika seseorang menghibahkan suatu bagian tertentu kepada dua orang atau lebih.Jumhur ulama: Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah, juga pendapat sebagian salaf mengatakan bolehnya memberikan hibah terhadap harta musyā‘, baik yang memungkinkan untuk dibagi maupun yang tidak memungkinkan untuk dibagi.Adapun benda-benda yang memungkinkan untuk dibagi, contohnya seperti tanah, barang takaran, barang timbangan, barang hitungan, dan barang ukuran. Sedangkan benda yang tidak bisa dibagi, contohnya seperti pedang, mutiara, dan pakaian.Dalilnya adalah hadis dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata,كُنَّا عندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذ أتَتْه وَفْدُ هَوازِنَ، فقالوا: يا مُحمَّدُ، إنَّا أصْلٌ وعَشيرةٌ، وقدْ نَزَل بنا مِن البَلاءِ ما لا يَخفَى عليك، فامنُنْ علينا مَنَّ اللهُ عليك، فقال: اختَارُوا مِن أموالِكُم، أو مِن نِسائكُم وأبنائِكُم، فقالُوا: قد خيَّرْتَنا بيْن أحْسابِنا وأموالِنا، بلْ نَختارُ نِساءَنا وأبناءَنا، فقالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أمَّا ما كان لي ولبَنِي عبدِ المُطَّلِبِ فهو لَكُم“Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah delegasi dari Hawāzin. Mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami ini adalah keluarga besar dan kerabat dekatmu. Telah menimpa kami musibah yang tidak samar bagimu. Maka berilah kami keringanan sebagaimana Allah telah memberi keringanan kepadamu.’ Maka Nabi bersabda, ‘Pilihlah, apakah kalian ingin (aku kembalikan) harta kalian, atau istri-istri dan anak-anak kalian.’ Mereka berkata, ‘Engkau telah memberikan pilihan kepada kami antara kehormatan kami dan harta kami. Maka kami memilih istri-istri dan anak-anak kami.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani ‘Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian…’” (HR. An-Nasa’i no. 3688 dan Ahmad no. 6729)Sisi pendalilannya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian”; merupakan contoh hibah terhadap harta musyā‘. Wallahu a’lam bisshawaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Muhammad IdrisArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadKeempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Benda tersebut ada ketika dihibahkanBenda tersebut adalah benda yang bernilaiBenda tersebut dapat dimiliki secara peroranganBenda tersebut milik pemberiBenda tersebut ditentukanHukum hibah musyaa’Hibah memiliki kedudukan penting, baik dalam ranah ibadah maupun muamalah, karena ia mempererat persaudaraan, menumbuhkan rasa saling cinta, serta menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat. Namun, agar hibah benar-benar sah dan bernilai ibadah, syariat Islam menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh pemberi, penerima, barang yang dihibahkan, serta sighah akad yang mengikat keduanya.Syarat-syarat ini tidak sekadar formalitas hukum, melainkan juga mencerminkan prinsip keadilan, kerelaan, dan keteraturan dalam muamalah Islam. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa hibah bukan hanya sekadar “memberi”, tetapi juga sebuah akad yang memiliki rukun, syarat, dan konsekuensi hukum yang jelas demi menjaga kemaslahatan semua pihak.Secara umum pembahasan mengenai syarat hibah terbagi menjadi empat pembahasan.Pertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)[1] Kepemilikan sah: Pemberi harus memiliki barang secara sah: bukan barang curian, bukan hasil penipuan, bukan barang yang secara hukum tidak diizinkan untuk dikuasai. Jika bukan milik sendiri, hibah tidak sah.[2] Kerelaan pemberi hibah: Pemberi adalah orang yang berakal, balig, dan bisa menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian. Hibah adalah pemberian sukarela, sehingga tidak sah pemberian dari anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak memiliki kewenangan untuk memberi secara sukarela, mengingat hal itu adalah kerugian murni.Seorang ayah, menurut kesepakatan ulama, juga tidak mempunyai kewenangan untuk menghibahkan harta anaknya yang masih kecil tanpa mensyaratkan gantinya dari orang yang diberi, karena kekuasaan sang ayah terbatas pada hal-hal yang mendatangkan manfaat. Sedangkan hibah adalah pemberian sukarela yang mengandung kerugian murni (dari segi pelaksanaan akad, berbeda dengan akad jual beli yang seringkali tujuannya adalah kemanfaatan untuk sang anak), sehingga dia tidak boleh melakukannya dari harta anak kecil.Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)[1] Penerima hibah mampu menerima hak milik dan sudah ada ketika terjadi akad: yaitu diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, Hibah tidak sah diberikan kepada bayi yang masih berada dalam kandungan atau kepada hewan karena kepemilikan tidak bisa berpindah kepada mereka.Adapun hibah  untuk anak kecil dan orang gila, maka hal tersebut juga diperbolehkan, akan tetapi penerimaan dan pengelolaannya dilakukan oleh walinya.[2] Penerimaan dan penguasaan barang (qabdh) oleh penerima hibah atau walinya sudah terjadi saat pemberi hibah dalam kondisi masih hidup. Hibah tidak sah kecuali jika telah terjadi penerimaan (qabdh) oleh pihak penerima. Hal ini berdasarkan atsar Abu bakar radhiyallahu ‘anhu yang diceritakan oleh putrinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha,أنَّ أبا بكرٍ كان نَحَلَها جدادُ عشرين وسقًا من مالِهِ بالغابةِ فلمَّا حضرَتهُ الوفاةُ قالَ : يا بنيَّةُ : إني كنتُ نحلتُكِ جدادَ عشرين وسْقًا ولو كنتِ جددتيهِ وأحرزتيهِ كانَ لكِ ، وإنّما هو اليومَ مالُ الوارثِ فاقتسِموهُ على كتابِ اللَّهِ“Bahwa Abu Bakar (Ash-Shiddiq) pernah memberikan (menghibahkan) kepadanya (Aisyah) hasil panen sebanyak dua puluh wasaq dari hartanya yang ada di (kebun) Al-Ghābah. Namun ketika ajal hendak menjemputnya, beliau berkata, ‘Wahai putriku, sesungguhnya aku dahulu telah memberikan kepadamu hasil panen dua puluh wasaq. Seandainya engkau sudah memanennya dan menguasainya, niscaya itu menjadi milikmu. Tetapi sekarang (karena belum engkau kuasai), maka itu adalah harta warisan. Maka bagilah sesuai dengan ketentuan Allah.’” (HR. Malik no. 4/1089 dan Al-Baihaqi no. 12070, disebutkan juga oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya, Irsyad Al-Faqiih, 2: 104)Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu ingin memberi hibah kepada putrinya ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berupa hasil kebun. Akan tetapi, ‘Āisyah belum sempat menerima dan menguasainya secara penuh, sehingga belum terjadi qabdh. Oleh karenanya, hibah masih dianggap harta milik pemberi; sehingga jika pemberi wafat, maka harta itu menjadi bagian dari harta warisan dan bukan lagi dianggap hibah.Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akadSyarat-syarat sighah, menurut para ulama Mazhab Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, adalah sebagai berikut:[1] Bersambungnya antara qabul dengan ijab tanpa adanya pemisah yang secara syariat dianggap berpengaruh terhadap keabsahan ijab qabul tersebut.[2] Tidak adanya pengaitan dengan syarat tertentu. Karena hibah adalah pemberian kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan terjadi.[3] Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu tahun. Karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap benda secara mutlak yang terus-menerus, seperti jual beli.Berikut juga syarat paten yang harus ada dalam sighah akad pada umumnya; adanya ijab dan qabul yang jelas.Ijab adalah pernyataan dari pemberi, misalnya: “Aku hibahkan rumah ini kepadamu.” Sedangkan qabul adalah jawaban penerima: “Aku terima hibah ini.”Tanpa ijab qabul yang jelas, hibah hanya sebatas niat, belum dianggap sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam transaksi pada umumnya,إنَّما البيعُ عَن تراضٍ“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan saling rida.” (HR. Ibnu Mājah no. 4987, dinyatakan sahih oleh Syekh Al-Albānī)Para ulama qiyaskan ke hibah, bahwa rida harus tampak melalui sighah ijab-qabul.Keempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)Disyaratkan beberapa hal berikut ini untuk sesuatu yang dihibahkan. Benda tersebut ada ketika dihibahkanTidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah, seperti menghibahkan buah kurmanya yang akan muncul pada tahun ini dan menghibahkan anak-anak ternak kambingnya yang akan lahir pada tahun ini. Hibah ini tidak sah, karena ia merupakan pemberian kepemilikan pada suatu benda yang tidak ada kepada orang lain, sehingga akadnya tidak sah.Juga seperti menghibahkan sesuatu yang masih di dalam perut seekor kambing dan memberikan kewenangan untuk mengambilnya ketika dilahirkan. Akad hibah ini tidak sah karena terdapat dua kemungkinan pada janin itu, yaitu ada atau tidak. Hal ini mengingat bisa jadi buncitnya perut kambing itu memang karena kehamilan atau karena penyakit yang ada di dalam perut.Adapun menghibahkan susu yang masih di dalam ambingnya, bulu yang masih ada di tubuh domba, tanaman dan pohon kurma yang belum dicabut, dan buah kurma yang masih di pohon, maka semua itu seperti hibah benda-benda yang tidak diketahui kadarnya sehingga hukumnya tidak sah. Maka seandainya pemilik memisahkan benda-benda tersebut dari tempatnya, lalu menyerahkannya kepada orang yang diberi, maka itu dibolehkan. Karena, ketika itu benda yang dihibahkan ada dan dimiliki oleh orang yang mendapat hibah saat itu juga. Sedangkan ketika benda yang dihibahkan itu belum dipisahkan dari tempat asalnya, maka hibah itu belum terlaksana karena adanya penghalang. Penghalang tersebut adalah masih terkaitnya benda yang dihibahkan itu dengan kepemilikan orang lain. Oleh karena itu, jika dia dikeluarkan dari kepemilikan pemilik aslinya, berarti penghalangnya hilang. Dengan demikian, maka hibah terhadapnya dibolehkan dan akadnya pun sah. Benda tersebut adalah benda yang bernilaiTidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan di tanah haram, binatang buruan orang yang berihram, dan yang lainnya. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang tidak bernilai, seperti minuman keras. Benda tersebut dapat dimiliki secara peroranganTidak sah hibah terhadap benda milik umum. Benda tersebut milik pemberiTidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, karena tidak mungkin seseorang memberikan kepemilikan atas suatu benda yang bukan miliknya kepada orang lain. Benda tersebut ditentukanHibah hanya sah bila barang yang dihibahkan jelas wujudnya, jenisnya, dan batasannya. Kalau berupa barang tertentu, maka harus ditunjukkan, misalnya, “Saya hibahkan rumah yang di Jalan Mawar no. 5 ini kepadamu.”Kalau berupa sebagian harta, maka harus jelas juga kadarnya, misalnya, “Saya hibahkan 2 hektar dari tanah saya yang luasnya 10 hektar di Desa X.”Tidak sah jika bendanya samar (majhūl), misalnya, “Saya hibahkan salah satu rumah saya,” atau “Saya hibahkan sebagian tanah saya,” tanpa penjelasan yang mana atau berapa.Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini, yaitu tentang hukum hibah musya’.Hukum hibah musyaa’Hibatul musyaa’ itu sendiri adalah ketika salah seorang dari dua orang yang berserikat menghibahkan bagiannya dari harta bersama, atau ketika seseorang menghibahkan suatu bagian tertentu kepada dua orang atau lebih.Jumhur ulama: Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah, juga pendapat sebagian salaf mengatakan bolehnya memberikan hibah terhadap harta musyā‘, baik yang memungkinkan untuk dibagi maupun yang tidak memungkinkan untuk dibagi.Adapun benda-benda yang memungkinkan untuk dibagi, contohnya seperti tanah, barang takaran, barang timbangan, barang hitungan, dan barang ukuran. Sedangkan benda yang tidak bisa dibagi, contohnya seperti pedang, mutiara, dan pakaian.Dalilnya adalah hadis dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata,كُنَّا عندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذ أتَتْه وَفْدُ هَوازِنَ، فقالوا: يا مُحمَّدُ، إنَّا أصْلٌ وعَشيرةٌ، وقدْ نَزَل بنا مِن البَلاءِ ما لا يَخفَى عليك، فامنُنْ علينا مَنَّ اللهُ عليك، فقال: اختَارُوا مِن أموالِكُم، أو مِن نِسائكُم وأبنائِكُم، فقالُوا: قد خيَّرْتَنا بيْن أحْسابِنا وأموالِنا، بلْ نَختارُ نِساءَنا وأبناءَنا، فقالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أمَّا ما كان لي ولبَنِي عبدِ المُطَّلِبِ فهو لَكُم“Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah delegasi dari Hawāzin. Mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami ini adalah keluarga besar dan kerabat dekatmu. Telah menimpa kami musibah yang tidak samar bagimu. Maka berilah kami keringanan sebagaimana Allah telah memberi keringanan kepadamu.’ Maka Nabi bersabda, ‘Pilihlah, apakah kalian ingin (aku kembalikan) harta kalian, atau istri-istri dan anak-anak kalian.’ Mereka berkata, ‘Engkau telah memberikan pilihan kepada kami antara kehormatan kami dan harta kami. Maka kami memilih istri-istri dan anak-anak kami.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani ‘Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian…’” (HR. An-Nasa’i no. 3688 dan Ahmad no. 6729)Sisi pendalilannya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian”; merupakan contoh hibah terhadap harta musyā‘. Wallahu a’lam bisshawaab.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Muhammad IdrisArtikel Muslim.or.id

Derajat Hadis: “Sebaik-Baik Perkara adalah yang Pertengahan”

Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana kesahihan hadis ini:خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya.Hadis yang diriwayatkan,خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”; adalah tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini hanyalah perkataan para ahli hikmah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar.Al-Hafizh Al-Iraqi dalam Takhrij Al-Ihya menyatakan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman dari riwayat Mutharrif bin Abdullah secara mu’dhal (terputus sanadnya).”As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh As-Sam’ani dalam Dzail Tarikh Baghdad dengan sanad yang majhul (tidak dikenal) dari Ali secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi). Juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya sebagai perkataan Mutharrif bin Abdullah dan Yazid bin Murrah Al-Ju’fi. Demikian pula Al-Dailami meriwayatkannya tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu’.”Wallahu a’lam.Baca juga: Maksud Pertengahan (Wasathiyyah) dalam Beragama***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/61534/

Derajat Hadis: “Sebaik-Baik Perkara adalah yang Pertengahan”

Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana kesahihan hadis ini:خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya.Hadis yang diriwayatkan,خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”; adalah tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini hanyalah perkataan para ahli hikmah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar.Al-Hafizh Al-Iraqi dalam Takhrij Al-Ihya menyatakan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman dari riwayat Mutharrif bin Abdullah secara mu’dhal (terputus sanadnya).”As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh As-Sam’ani dalam Dzail Tarikh Baghdad dengan sanad yang majhul (tidak dikenal) dari Ali secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi). Juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya sebagai perkataan Mutharrif bin Abdullah dan Yazid bin Murrah Al-Ju’fi. Demikian pula Al-Dailami meriwayatkannya tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu’.”Wallahu a’lam.Baca juga: Maksud Pertengahan (Wasathiyyah) dalam Beragama***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/61534/
Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana kesahihan hadis ini:خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya.Hadis yang diriwayatkan,خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”; adalah tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini hanyalah perkataan para ahli hikmah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar.Al-Hafizh Al-Iraqi dalam Takhrij Al-Ihya menyatakan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman dari riwayat Mutharrif bin Abdullah secara mu’dhal (terputus sanadnya).”As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh As-Sam’ani dalam Dzail Tarikh Baghdad dengan sanad yang majhul (tidak dikenal) dari Ali secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi). Juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya sebagai perkataan Mutharrif bin Abdullah dan Yazid bin Murrah Al-Ju’fi. Demikian pula Al-Dailami meriwayatkannya tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu’.”Wallahu a’lam.Baca juga: Maksud Pertengahan (Wasathiyyah) dalam Beragama***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/61534/


Daftar Isi TogglePertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Bagaimana kesahihan hadis ini:خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”?Jawaban:Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya.Hadis yang diriwayatkan,خير الأمور أوسطها”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan”; adalah tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini hanyalah perkataan para ahli hikmah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar.Al-Hafizh Al-Iraqi dalam Takhrij Al-Ihya menyatakan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman dari riwayat Mutharrif bin Abdullah secara mu’dhal (terputus sanadnya).”As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh As-Sam’ani dalam Dzail Tarikh Baghdad dengan sanad yang majhul (tidak dikenal) dari Ali secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi). Juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya sebagai perkataan Mutharrif bin Abdullah dan Yazid bin Murrah Al-Ju’fi. Demikian pula Al-Dailami meriwayatkannya tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu’.”Wallahu a’lam.Baca juga: Maksud Pertengahan (Wasathiyyah) dalam Beragama***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/61534/

Bolehkah Bertanya dan Minta Fatwa Kepada ChatGPT dan AI Lainnya? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apakah boleh meminta fatwa dari Kecerdasan Buatan (AI)? Fatwa adalah ucapan yang disampaikan atas nama Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, fatwa harus diagungkan, dan hanya boleh diberikan oleh orang yang memenuhi syarat untuk berfatwa. Sementara itu, Kecerdasan Buatan (AI) kerap melakukan kesalahan, bahkan mengalami “halusinasi” data. Sehingga fatwa harus dihindarkan dari Kecerdasan Buatan (AI). Selain itu, mufti (orang yang berfatwa) sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Sebagai contoh, jika orang yang meminta fatwa punya masalah waswas, maka fatwa yang diberikan kepadanya berbeda dengan fatwa untuk orang yang tidak mengalami waswas. Jadi, mufti sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Ada peminta fatwa yang dalam keadaan darurat, dan ada pula yang tidak demikian. Perkara-perkara ini harus dipertimbangkan oleh pemberi fatwa. Namun, Kecerdasan Buatan (AI) tidak mungkin mampu memahami dan mempertimbangkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, saya tegaskan: fatwa tidak boleh diberikan melalui Kecerdasan Buatan (AI). ===== هَلْ يَجُوزُ اسْتِفْتَاءُ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الْفَتْوَى قَوْلٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ تُعَظَّمَ وَلَا يُفْتِي إِلَّا مَنْ كَانَ مُؤَهَّلًا لِفَتْوَى وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ يَقَعُ مِنْهُ أَخْطَاءٌ وَتَقَعُ مِنْه هَلْوَسَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُبْعَدَ الْفَتْوَى عَنْ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ ثُمَّ إِنَّ الْمُفْتِيَ قَدْ يُرَاعِي فِي الْفَتْوَى أَحْيَانًا حَالَ الْمُسْتَفْتِي فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الْمُسْتَفْتِي عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَتْوَاهُ تَخْتَلِفُ عَنْ فَتْوَى مَنْ لَيْسَ عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَأَحْيَانًا الْمُفْتِي يُرَاعِي حَالَ الْمُسْتَفْتِي الْمُسْتَفْتِي قَدْ يَكُونُ مُضْطَرًّا مُسْتَفْتٍ آخَرُ قَدْ لَا يَكُونُ مُضْطَرًّا هَذِهِ الْأُمُورُ تَحْتَاجُ إِلَى مُرَاعَاةٍ مِنْ قِبَلِ الْمُفْتِي وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَدِّرَ ذَلِكَ وَعَلَى هَذَا فَأَقُولُ إِنَّ الْفَتْوَى لَا تَكُونُ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ

Bolehkah Bertanya dan Minta Fatwa Kepada ChatGPT dan AI Lainnya? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apakah boleh meminta fatwa dari Kecerdasan Buatan (AI)? Fatwa adalah ucapan yang disampaikan atas nama Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, fatwa harus diagungkan, dan hanya boleh diberikan oleh orang yang memenuhi syarat untuk berfatwa. Sementara itu, Kecerdasan Buatan (AI) kerap melakukan kesalahan, bahkan mengalami “halusinasi” data. Sehingga fatwa harus dihindarkan dari Kecerdasan Buatan (AI). Selain itu, mufti (orang yang berfatwa) sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Sebagai contoh, jika orang yang meminta fatwa punya masalah waswas, maka fatwa yang diberikan kepadanya berbeda dengan fatwa untuk orang yang tidak mengalami waswas. Jadi, mufti sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Ada peminta fatwa yang dalam keadaan darurat, dan ada pula yang tidak demikian. Perkara-perkara ini harus dipertimbangkan oleh pemberi fatwa. Namun, Kecerdasan Buatan (AI) tidak mungkin mampu memahami dan mempertimbangkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, saya tegaskan: fatwa tidak boleh diberikan melalui Kecerdasan Buatan (AI). ===== هَلْ يَجُوزُ اسْتِفْتَاءُ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الْفَتْوَى قَوْلٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ تُعَظَّمَ وَلَا يُفْتِي إِلَّا مَنْ كَانَ مُؤَهَّلًا لِفَتْوَى وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ يَقَعُ مِنْهُ أَخْطَاءٌ وَتَقَعُ مِنْه هَلْوَسَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُبْعَدَ الْفَتْوَى عَنْ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ ثُمَّ إِنَّ الْمُفْتِيَ قَدْ يُرَاعِي فِي الْفَتْوَى أَحْيَانًا حَالَ الْمُسْتَفْتِي فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الْمُسْتَفْتِي عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَتْوَاهُ تَخْتَلِفُ عَنْ فَتْوَى مَنْ لَيْسَ عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَأَحْيَانًا الْمُفْتِي يُرَاعِي حَالَ الْمُسْتَفْتِي الْمُسْتَفْتِي قَدْ يَكُونُ مُضْطَرًّا مُسْتَفْتٍ آخَرُ قَدْ لَا يَكُونُ مُضْطَرًّا هَذِهِ الْأُمُورُ تَحْتَاجُ إِلَى مُرَاعَاةٍ مِنْ قِبَلِ الْمُفْتِي وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَدِّرَ ذَلِكَ وَعَلَى هَذَا فَأَقُولُ إِنَّ الْفَتْوَى لَا تَكُونُ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ
Apakah boleh meminta fatwa dari Kecerdasan Buatan (AI)? Fatwa adalah ucapan yang disampaikan atas nama Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, fatwa harus diagungkan, dan hanya boleh diberikan oleh orang yang memenuhi syarat untuk berfatwa. Sementara itu, Kecerdasan Buatan (AI) kerap melakukan kesalahan, bahkan mengalami “halusinasi” data. Sehingga fatwa harus dihindarkan dari Kecerdasan Buatan (AI). Selain itu, mufti (orang yang berfatwa) sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Sebagai contoh, jika orang yang meminta fatwa punya masalah waswas, maka fatwa yang diberikan kepadanya berbeda dengan fatwa untuk orang yang tidak mengalami waswas. Jadi, mufti sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Ada peminta fatwa yang dalam keadaan darurat, dan ada pula yang tidak demikian. Perkara-perkara ini harus dipertimbangkan oleh pemberi fatwa. Namun, Kecerdasan Buatan (AI) tidak mungkin mampu memahami dan mempertimbangkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, saya tegaskan: fatwa tidak boleh diberikan melalui Kecerdasan Buatan (AI). ===== هَلْ يَجُوزُ اسْتِفْتَاءُ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الْفَتْوَى قَوْلٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ تُعَظَّمَ وَلَا يُفْتِي إِلَّا مَنْ كَانَ مُؤَهَّلًا لِفَتْوَى وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ يَقَعُ مِنْهُ أَخْطَاءٌ وَتَقَعُ مِنْه هَلْوَسَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُبْعَدَ الْفَتْوَى عَنْ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ ثُمَّ إِنَّ الْمُفْتِيَ قَدْ يُرَاعِي فِي الْفَتْوَى أَحْيَانًا حَالَ الْمُسْتَفْتِي فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الْمُسْتَفْتِي عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَتْوَاهُ تَخْتَلِفُ عَنْ فَتْوَى مَنْ لَيْسَ عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَأَحْيَانًا الْمُفْتِي يُرَاعِي حَالَ الْمُسْتَفْتِي الْمُسْتَفْتِي قَدْ يَكُونُ مُضْطَرًّا مُسْتَفْتٍ آخَرُ قَدْ لَا يَكُونُ مُضْطَرًّا هَذِهِ الْأُمُورُ تَحْتَاجُ إِلَى مُرَاعَاةٍ مِنْ قِبَلِ الْمُفْتِي وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَدِّرَ ذَلِكَ وَعَلَى هَذَا فَأَقُولُ إِنَّ الْفَتْوَى لَا تَكُونُ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ


Apakah boleh meminta fatwa dari Kecerdasan Buatan (AI)? Fatwa adalah ucapan yang disampaikan atas nama Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, fatwa harus diagungkan, dan hanya boleh diberikan oleh orang yang memenuhi syarat untuk berfatwa. Sementara itu, Kecerdasan Buatan (AI) kerap melakukan kesalahan, bahkan mengalami “halusinasi” data. Sehingga fatwa harus dihindarkan dari Kecerdasan Buatan (AI). Selain itu, mufti (orang yang berfatwa) sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Sebagai contoh, jika orang yang meminta fatwa punya masalah waswas, maka fatwa yang diberikan kepadanya berbeda dengan fatwa untuk orang yang tidak mengalami waswas. Jadi, mufti sering kali mempertimbangkan keadaan orang yang meminta fatwa. Ada peminta fatwa yang dalam keadaan darurat, dan ada pula yang tidak demikian. Perkara-perkara ini harus dipertimbangkan oleh pemberi fatwa. Namun, Kecerdasan Buatan (AI) tidak mungkin mampu memahami dan mempertimbangkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, saya tegaskan: fatwa tidak boleh diberikan melalui Kecerdasan Buatan (AI). ===== هَلْ يَجُوزُ اسْتِفْتَاءُ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ؟ الْفَتْوَى قَوْلٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ تُعَظَّمَ وَلَا يُفْتِي إِلَّا مَنْ كَانَ مُؤَهَّلًا لِفَتْوَى وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ يَقَعُ مِنْهُ أَخْطَاءٌ وَتَقَعُ مِنْه هَلْوَسَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُبْعَدَ الْفَتْوَى عَنْ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ ثُمَّ إِنَّ الْمُفْتِيَ قَدْ يُرَاعِي فِي الْفَتْوَى أَحْيَانًا حَالَ الْمُسْتَفْتِي فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الْمُسْتَفْتِي عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَتْوَاهُ تَخْتَلِفُ عَنْ فَتْوَى مَنْ لَيْسَ عِنْدَهُ وَسْوَاسٌ فَأَحْيَانًا الْمُفْتِي يُرَاعِي حَالَ الْمُسْتَفْتِي الْمُسْتَفْتِي قَدْ يَكُونُ مُضْطَرًّا مُسْتَفْتٍ آخَرُ قَدْ لَا يَكُونُ مُضْطَرًّا هَذِهِ الْأُمُورُ تَحْتَاجُ إِلَى مُرَاعَاةٍ مِنْ قِبَلِ الْمُفْتِي وَالذَّكَاءُ الصِّنَاعِيُّ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَدِّرَ ذَلِكَ وَعَلَى هَذَا فَأَقُولُ إِنَّ الْفَتْوَى لَا تَكُونُ عَنْ طَرِيقِ الذَّكَاءِ الصِّنَاعِيِّ
Prev     Next