Surat Al-Fajr adalah surat ke-89 dalam Al-Qur’an yang mengandung sumpah-sumpah Allah tentang waktu fajar, sepuluh malam istimewa, serta fenomena ganjil dan genap sebagai tanda kebesaran-Nya. Allah mengisahkan kehancuran kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun yang dihancurkan karena kesombongan dan kezaliman mereka, serta mengingatkan bahwa kekayaan dan kemiskinan hanyalah ujian, bukan tanda kemuliaan atau kehinaan. Surat ini juga menggambarkan penyesalan manusia pada Hari Kiamat saat menyadari kesalahan mereka, tetapi sudah terlambat untuk bertaubat. Namun, Allah memberikan kabar gembira bagi jiwa yang tenang (an-nafsul muthmainnah), yaitu mereka yang beriman dan bertakwa, yang akan mendapatkan surga-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Tafsir surat ini mengajarkan kita untuk mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu, memahami hakikat ujian dunia, serta meraih ketenangan dengan kembali kepada Allah.
Daftar Isi
tutup
1.
Tafsir Ayat 1-5: Sumpah Allah dan Maknanya
1.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1.2.
Tadabur Ayat
2.
Tafsir Ayat 6-14: Kehancuran Kaum Durhaka
2.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
2.2.
Tadabur Ayat
3.
Tafsir Ayat 15-16: Ujian dalam Kelapangan dan Kesempitan Rezeki
3.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
3.2.
Renungan dari Tafsir Syaikh As-Sa’di
3.3.
Tadabur Ayat
4.
Tafsir Ayat 17-20: Peringatan terhadap Sikap Lalai dan Cinta Dunia
4.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
4.2.
Tadabur Ayat 17-20
5.
Tafsir Ayat 21-24: Gambaran Hari Kiamat dan Penyesalan Manusia
5.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
5.2.
Tadabur Ayat 21-24
6.
Tafsir Ayat 24-30: Balasan bagi Orang Durhaka dan Orang Beriman
6.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
6.2.
Tadabur Ayat 24-30
Tafsir Ayat 1-5: Sumpah Allah dan Maknanya
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلْفَجْرِ
“Demi fajar,”
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan malam yang sepuluh,”
وَٱلشَّفْعِ وَٱلْوَتْرِ
“Dan yang genap dan yang ganjil,”
وَٱلَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
“Dan malam bila berlalu.”
هَلْ فِى ذَٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِى حِجْرٍ
“Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Fajr: 1-5)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar
Menurut Tafsir Al-Muyassar, Allah bersumpah dengan waktu fajar karena fajar adalah momen penting dalam kehidupan manusia, menjadi waktu transisi antara malam dan siang, serta saat dimulainya berbagai aktivitas. Selain itu, waktu fajar memiliki keutamaan dalam ibadah, termasuk shalat Shubuh yang merupakan salah satu shalat utama dalam Islam.
2. Keutamaan 10 Malam Istimewa
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “malam yang sepuluh”, tetapi dua pendapat paling kuat adalah:
10 malam terakhir Ramadhan, yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
10 hari pertama Dzulhijjah, yang mencakup hari Arafah dan puncak ibadah haji.
Menurut Tafsir As-Sa’di, malam-malam ini memiliki keutamaan yang luar biasa, di dalamnya terkandung ibadah-ibadah istimewa seperti puasa, shalat malam, dzikir, dan amal saleh yang sangat dicintai oleh Allah.
3. Makna Ganjil dan Genap dalam Ayat
Ayat ini juga menyebutkan sumpah Allah atas yang genap dan yang ganjil. Menurut sebagian ulama, yang genap merujuk pada semua ciptaan yang berpasangan di alam semesta, sementara yang ganjil mengisyaratkan keesaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.
Pendapat lain mengatakan: (الشفع) adalah dua hari tasyriq pertama yang diperbolehkan bagi orang yang berhaji untuk menyegerakan melempar jumrah pada hari itu. sedangkan (الوتر) yakni hari tasyriq ketiga.
4. Sumpah dengan Malam yang Berlalu
Allah juga bersumpah dengan malam saat berlalu, menandakan bagaimana malam membawa ketenangan bagi manusia, serta pergantian siang dan malam adalah bukti kekuasaan Allah.
5. Pesan bagi Orang yang Berakal
Pada ayat terakhir dalam bagian ini, Allah menegaskan bahwa sumpah-sumpah ini ditujukan kepada orang-orang yang berakal. Sebagaimana disebutkan dalam Zubdatut Tafsir, orang yang memiliki akal akan memahami bahwa apa yang Allah jadikan sumpah merupakan sesuatu yang besar dan memiliki hikmah dalam kehidupan manusia.
Tadabur Ayat
1. Keagungan Waktu Fajar
Allah mengawali surat ini dengan sumpah terhadap waktu fajar, menunjukkan bahwa fajar adalah waktu yang istimewa. Ini mengajarkan kita untuk memanfaatkan waktu pagi dengan ibadah dan aktivitas yang bermanfaat, seperti shalat Subuh, dzikir, dan mencari keberkahan dalam pekerjaan.
2. Keutamaan 10 Malam Istimewa
Dua tafsiran utama tentang “malam yang sepuluh” menyoroti betapa besar keutamaan 10 malam terakhir Ramadhan dan 10 hari pertama Dzulhijjah. Ini mengajarkan kita untuk lebih giat beribadah di waktu-waktu mulia tersebut, termasuk dengan shalat malam, puasa, dan amal saleh lainnya.
3. Memahami Hikmah di Balik Ganjil dan Genap
Konsep ganjil dan genap dalam ayat ini mengajarkan kita untuk merenungi keseimbangan ciptaan Allah. Ada yang berpasangan, ada yang tunggal, dan semuanya menunjukkan keesaan serta kebijaksanaan-Nya dalam menciptakan segala sesuatu.
4. Kesadaran akan Siklus Kehidupan
Allah bersumpah dengan malam yang berlalu, mengingatkan kita bahwa pergantian siang dan malam adalah tanda kebesaran-Nya. Waktu terus berjalan, dan kita harus memanfaatkannya dengan baik sebelum terlambat.
5. Pentingnya Akal dalam Memahami Kebenaran
Allah menegaskan bahwa hanya orang-orang berakal yang dapat memahami makna sumpah-sumpah ini. Ini mengajarkan kita untuk menggunakan akal dengan benar, merenungkan ayat-ayat Allah, dan tidak terjebak dalam kesombongan serta kelalaian dunia.
Tafsir Ayat 6-14: Kehancuran Kaum Durhaka
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad?”
إِرَمَ ذَاتِ ٱلْعِمَادِ
“(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.”
ٱلَّتِى لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِى ٱلْبِلَٰدِ
“Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain.”
وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ
“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.”
وَفِرْعَوْنَ ذِى ٱلْأَوْتَادِ
“Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak).”
ٱلَّذِينَ طَغَوْا۟ فِى ٱلْبِلَٰدِ
“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri.”
فَأَكْثَرُوا۟ فِيهَا ٱلْفَسَادَ
“Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.”
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
“Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.”
إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Kaum ‘Aad: Bangsa Perkasa yang Dibinasakan
Kaum ‘Aad adalah keturunan Iram yang tinggal di daerah Yaman. Mereka terkenal dengan bangunan-bangunan tinggi dan kekuatan fisik yang luar biasa. Namun, mereka durhaka kepada Allah dan menolak dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam. Akibatnya, Allah mengirim angin topan dahsyat yang menghancurkan mereka hingga tak tersisa.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-A’raf: 69,
وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِى ٱلْخَلْقِ بَصْۜطَةً ۖ فَٱذْكُرُوٓا۟ ءَالَآءَ ٱللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-A’raf: 69)
2. Kaum Tsamud: Ahli Pahat Batu yang Menantang Allah
Kaum Tsamud dikenal sebagai bangsa yang memahat gunung-gunung batu sebagai tempat tinggal di daerah Hijr (sekarang di wilayah Arab Saudi). Mereka telah diberi tanda kebesaran Allah berupa mukjizat unta Nabi Shaleh ‘alaihis salam, tetapi malah membunuh unta tersebut dan tetap dalam kekafiran mereka.
Karena kezaliman mereka, Allah menghancurkan kaum Tsamud dengan suara yang menggelegar, sehingga mereka binasa dalam sekejap.
3. Fir’aun: Penguasa Kejam dengan Pasukan yang Besar
Allah juga menyebut Fir’aun yang dikenal sebagai “Dzul Awtad” (pemilik pasak-pasak), yang merujuk pada pasukannya yang besar dan sistem kekuasaannya yang kuat. Fir’aun adalah raja yang paling sombong, mengaku sebagai Tuhan, dan melakukan kezaliman terhadap Bani Israil.
Namun, sehebat apa pun kekuasaannya, Fir’aun tetap tidak bisa menghindari azab Allah. Dia dan pasukannya ditenggelamkan di Laut Merah, sebagai bukti bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
4. Kesamaan Kaum Durhaka: Berbuat Kerusakan di Bumi
Kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun memiliki kesamaan: mereka semua melampaui batas, berlaku sewenang-wenang, dan berbuat banyak kerusakan di bumi. Mereka menggunakan kekuatan dan kekuasaan bukan untuk kebaikan, tetapi untuk kezaliman. Akibatnya, Allah menimpakan cemeti azab kepada mereka.
Kata Syaikh As-Sa’di: Yang dimaksud berbuat kerusakan di muka bumi adalah dengan melakukan kekufuran dan berbagai cabangnya dari berbagai jenis kemaksiatan, serta berusaha memerangi para Rasul dan menghalangi manusia dari jalan Allah.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kerusakan sejati bukan hanya merusak fisik dunia, tetapi juga menghancurkan hati dan moral manusia. Kesombongan, kekufuran, dan kemaksiatan adalah bentuk terbesar dari kehancuran yang akhirnya membawa kebinasaan bagi pelakunya. Oleh karena itu, tugas kita sebagai manusia adalah menjaga keimanan, menghindari dosa, dan berusaha memperbaiki kondisi diri serta masyarakat agar keberkahan tetap terjaga di dunia ini.
5. Allah Maha Mengawasi dan Tidak Akan Membiarkan Kezaliman
Allah menegaskan,
إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Artinya, Allah tidak pernah lalai dalam mengawasi hamba-Nya. Kezaliman mungkin dibiarkan sementara, tetapi pada akhirnya, Allah pasti akan membalas setiap perbuatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Tadabur Ayat
Kemewahan dan kekuatan dunia bukan jaminan keselamatan – kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun adalah contoh bahwa kekuasaan bisa menjadi sebab kehancuran jika tidak digunakan dengan benar.
Kezaliman dan kesombongan adalah sebab utama turunnya azab Allah – semua kaum yang disebut dalam ayat ini binasa karena mereka melampaui batas dan mengabaikan peringatan dari para Nabi.
Allah selalu mengawasi dan tidak akan membiarkan kezaliman terjadi selamanya – orang yang durhaka mungkin merasa aman untuk sementara, tetapi pada akhirnya, mereka akan menghadapi balasan dari Allah.
Kisah ini menjadi peringatan bagi kita semua – kita harus selalu berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan kaum terdahulu dengan bersikap sombong, lalai, atau berbuat zalim kepada sesama.
Tafsir Ayat 15-16: Ujian dalam Kelapangan dan Kesempitan Rezeki
Allah Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’.” (QS. Al-Fajr: 15)
وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَٰنَنِ
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’.” (QS. Al-Fajr: 16)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Ujian Kelapangan: Manusia yang Merasa Dimuliakan
Allah menjelaskan bahwa manusia cenderung menilai segala sesuatu hanya dari sisi materi dan kenikmatan dunia. Ketika ia mendapatkan rezeki yang lapang dan hidup dalam kemakmuran, ia menganggap bahwa itu adalah tanda bahwa Allah memuliakannya. Padahal, kelapangan rezeki bukanlah tanda kemuliaan sejati, melainkan ujian dari Allah untuk melihat apakah manusia bersyukur atau justru menjadi sombong dan lalai dari ibadah kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am: 44:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوا۟ أَخَذْنٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Hal ini menunjukkan bahwa kelapangan rezeki bukanlah jaminan kemuliaan seseorang di sisi Allah. Sebaliknya, itu adalah bentuk ujian yang bisa membawa kehancuran jika tidak disikapi dengan benar.
2. Ujian Kesempitan: Manusia yang Menganggap Dirinya Dihina
Sebaliknya, ketika manusia diuji dengan kesulitan ekonomi dan rezekinya dibatasi, ia langsung beranggapan bahwa Allah sedang menghinakannya. Padahal, ujian dalam bentuk kesulitan hidup juga merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk mendidik hamba-Nya agar lebih bersabar, tawakal, dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam QS. Al-Baqarah: 155, Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan sungguh, Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh beranggapan bahwa kesulitan hidup adalah tanda kehinaan di sisi Allah. Sebaliknya, justru orang-orang yang dicintai Allah sering kali diuji dengan berbagai cobaan agar mereka semakin dekat kepada-Nya.
3. Kesalahan Persepsi Manusia terhadap Ujian
Ayat ini menegaskan bahwa manusia sering kali salah dalam menilai kehidupan dunia. Mereka mengira bahwa kenikmatan adalah tanda kasih sayang Allah dan kesulitan adalah tanda kehinaan. Padahal, ujian bisa datang dalam berbagai bentuk: baik dalam kelapangan maupun kesempitan.
Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa manusia yang berpikir seperti ini adalah orang yang tidak memahami hakikat ujian. Ia terlalu berorientasi pada dunia dan lupa bahwa baik kelapangan maupun kesempitan adalah bagian dari ketentuan Allah untuk menguji siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 7:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةًۭ لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًۭا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Kahfi: 7)
Renungan dari Tafsir Syaikh As-Sa’di
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya mengenai surah Al-Fajr ayat 15 dan 16:
يُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ طَبِيعَةِ الإِنْسَانِ مِنْ حَيْثُ هُوَ، وَأَنَّهُ جَاهِلٌ ظَالِمٌ، لَا عِلْمَ لَهُ بِالْعَوَاقِبِ، يَظُنُّ الحَالَةَ الَّتِي تَقَعُ فِيهَا تَسْتَمِرُّ وَلَا تَزُولُ، وَيَظُنُّ أَنَّ إِكْرَامَ اللهِ فِي الدُّنْيَا وَإِنْعَامَهُ عَلَيْهِ يَدُلُّ عَلَى كَرَامَتِهِ عِنْدَهُ وَقُرْبِهِ مِنْهُ، وَأَنَّهُ إِذَا {قَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ} أَيْ: ضَيَّقَهُ، فَصَارَ يَقْدِرُ قُوتَهُ لَا يَفْضُلُ مِنْهُ، أَنَّ هَذَا إِهَانَةٌ مِنَ اللهِ ⦗٩٢٤⦘ لَهُ، فَرَدَّ اللهُ عَلَيْهِ هَذَا الحِسْبَانَ: بِقَوْلِهِ {كَلَّا} أَيْ: لَيْسَ كُلُّ مَنْ نَعَّمْتُهُ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَرِيمٌ عَلَيَّ، وَلَا كُلُّ مَنْ قَدَّرْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَهُوَ مُهَانٌ لَدَيَّ، وَإِنَّمَا الغِنَى وَالفَقْرُ، وَالسَّعَةُ وَالضِّيقُ، ابْتِلَاءٌ مِنَ اللهِ، وَامْتِحَانٌ يَمْتَحِنُ بِهِ العِبَادَ، لِيَرَى مَنْ يَقُومُ لَهُ بِالشُّكْرِ وَالصَّبْرِ، فَيُثِيبُهُ عَلَى ذَلِكَ الثَّوَابَ الجَزِيلَ، مِمَّنْ لَيْسَ كَذَلِكَ فَيَنْقُلُهُ إِلَى العَذَابِ الوَبِيلِ.
Allah Ta’ala mengabarkan tentang sifat dasar manusia secara umum, bahwa manusia itu cenderung bodoh dan zalim, serta tidak memahami akibat dari suatu keadaan. Ia mengira bahwa kondisi yang menimpanya akan tetap seperti itu dan tidak akan berubah. Jika Allah memuliakannya dan memberinya kenikmatan di dunia, ia menganggap bahwa itu adalah tanda kemuliaan dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rezekinya sehingga ia hanya memiliki cukup untuk kebutuhan pokoknya tanpa kelebihan, ia mengira bahwa itu adalah tanda kehinaan dari Allah.
Allah membantah anggapan tersebut dengan firman-Nya: “Sekali-kali tidak!” Artinya, tidaklah setiap orang yang diberikan kenikmatan di dunia berarti ia dimuliakan di sisi Allah, dan tidak pula setiap orang yang rezekinya disempitkan berarti ia dihinakan oleh-Nya. Kekayaan dan kemiskinan, kelapangan dan kesempitan, semuanya adalah ujian dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Dengan ujian ini, Allah ingin melihat siapa yang bersyukur dan bersabar sehingga layak mendapatkan pahala yang besar, dan siapa yang tidak bersyukur serta tidak bersabar sehingga berhak mendapatkan azab yang pedih.
Tadabur Ayat
Rezeki yang luas bukan tanda kemuliaan, dan rezeki yang sedikit bukan tanda kehinaan. Semuanya adalah ujian dari Allah untuk melihat bagaimana manusia bersikap terhadap nikmat atau musibah yang diberikan.
Manusia harus menghindari kesalahan dalam memahami takdir Allah. Jangan beranggapan bahwa kehidupan dunia mencerminkan status kita di sisi Allah.
Bersyukur dalam kelapangan dan bersabar dalam kesulitan adalah kunci keberhasilan dalam ujian kehidupan.
Ujian datang dalam berbagai bentuk, dan semua itu adalah bagian dari cara Allah mendidik hamba-Nya.
Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Dia menguji hamba-Nya sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 286: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan dunia adalah ujian semata. Seorang mukmin harus memahami bahwa segala bentuk kenikmatan dan kesulitan adalah bagian dari skenario Allah untuk menguji keimanan manusia. Oleh karena itu, hendaklah kita selalu bersyukur dalam kelapangan dan bersabar dalam kesulitan, karena itulah kunci menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tafsir Ayat 17-20: Peringatan terhadap Sikap Lalai dan Cinta Dunia
Allah Ta’ala berfirman:
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ ٱلْيَتِيمَ
وَلَا تَحَٰٓضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ
وَتَأْكُلُونَ ٱلتُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّۭا
وَتُحِبُّونَ ٱلْمَالَ حُبًّۭا جَمًّۭا
“Sekali-kali tidak! Tetapi kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 17-20)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Kesalahan Manusia dalam Menilai Kehidupan Dunia
Setelah Allah menjelaskan dalam ayat sebelumnya bahwa manusia sering keliru menilai ujian kelapangan dan kesempitan rezeki, kini Allah membongkar kesalahan lain dalam sikap manusia, yaitu kelalaian dalam menunaikan hak-hak sosial. Ayat ini menegaskan bahwa manusia seringkali sibuk dengan harta dan kenikmatan dunia, tetapi mengabaikan kewajiban mereka terhadap sesama, terutama kepada kaum yang lemah seperti anak yatim dan orang miskin.
Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Muyassar, ayat-ayat ini mengkritik orang-orang yang tidak memuliakan anak yatim, tidak mendorong pemberian makan kepada orang miskin, dan bahkan rakus dalam mengambil harta warisan tanpa memerhatikan kehalalannya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih mencintai harta daripada nilai-nilai moral yang diajarkan oleh agama.
2. Tidak Memuliakan Anak Yatim
Allah berfirman: “Tetapi kamu tidak memuliakan anak yatim.”
Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan bahwa ini menunjukkan bahwa manusia lalai terhadap kewajibannya terhadap anak yatim, yaitu mereka yang kehilangan ayahnya sejak kecil dan membutuhkan perhatian serta perlindungan. Manusia yang rakus terhadap dunia cenderung mengabaikan anak-anak yatim, bahkan kadang-kadang menzalimi mereka dengan mengambil haknya. Padahal, Allah telah berulang kali memerintahkan dalam Al-Qur’an agar manusia memperlakukan anak yatim dengan baik dan memberikan mereka hak-haknya.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Ad-Duha: 9:
فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.” (QS. Ad-Duha: 9)
3. Tidak Mengajak Memberi Makan Orang Miskin
Allah berfirman: “Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.”
Ayat ini mengandung dua kecaman: pertama, mereka sendiri tidak mau memberi makan orang miskin, dan kedua, mereka tidak mengajak orang lain untuk melakukannya. Dalam Tafsir As-Sa’di, disebutkan bahwa ajakan untuk berbuat baik adalah tanda kepedulian sosial yang tinggi. Orang yang benar-benar memiliki iman akan senantiasa mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, termasuk dalam memberi makan orang-orang yang membutuhkan.
Firman Allah dalam QS. Al-Ma’un juga menegaskan hal ini:
أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ
فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 1-3)
4. Rakus dalam Memakan Harta Warisan
Allah berfirman: “Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil).”
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa mereka yang cinta dunia sering kali tidak peduli dengan hukum halal dan haram dalam mendapatkan harta. Mereka mengambil harta warisan secara tidak adil, bahkan kadang-kadang merampas hak ahli waris yang seharusnya menerimanya, seperti anak perempuan atau kerabat yang lebih lemah.
Syaikh As-Sa’di menegaskan bahwa perilaku ini adalah tanda kerakusan terhadap dunia yang membutakan hati. Mereka hanya memikirkan bagaimana memperoleh harta sebanyak mungkin tanpa memerhatikan hak-hak orang lain.
5. Cinta Berlebihan terhadap Harta
Allah berfirman: “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, ayat ini menunjukkan bahwa manusia sering kali menjadikan harta sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Mereka mencintai harta dengan sangat berlebihan hingga lupa bahwa harta hanyalah alat, bukan tujuan.
Allah mengingatkan dalam ayat,
ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)
Tadabur Ayat 17-20
Jangan lalai terhadap anak yatim dan orang miskin. Allah mencela mereka yang tidak peduli terhadap kaum yang lemah. Keimanan sejati ditunjukkan dengan kepedulian sosial, bukan sekadar ibadah pribadi.
Harta bukanlah tujuan utama. Cinta dunia yang berlebihan membuat manusia lalai dari tanggung jawabnya terhadap sesama dan terhadap akhirat.
Perhatikan kehalalan harta. Jangan sampai kerakusan terhadap dunia membuat kita mengambil harta dengan cara yang haram, termasuk dalam hal warisan.
Ajak orang lain dalam kebaikan. Tidak cukup hanya berbuat baik sendirian, tetapi kita juga harus mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Hidup bukan sekadar mengumpulkan harta. Kita harus mengingat bahwa kehidupan dunia ini sementara, dan yang lebih utama adalah bagaimana kita mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-A’la: 16-17,
بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا
وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17)
Dengan memahami tafsir ayat-ayat ini, kita diingatkan agar tidak terjebak dalam kecintaan dunia yang berlebihan, tetapi fokus pada amal kebaikan yang akan membawa manfaat di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Tafsir Ayat 21-24: Gambaran Hari Kiamat dan Penyesalan Manusia
Allah Ta’ala berfirman:
كَلَّآ إِذَا دُكَّتِ ٱلْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا
وَجَآءَ رَبُّكَ وَٱلْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
وَجِا۟ىٓءَ يَوْمَئِذٍۭ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ ٱلْإِنسَٰنُ وَأَنَّىٰ لَهُ ٱلذِّكْرَىٰ
يَقُولُ يَٰلَيْتَنِى قَدَّمْتُ لِحَيَاتِى
“Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini‘.” (QS. Al-Fajr: 21-24)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Gambaran Dahsyatnya Hari Kiamat
Allah menggambarkan peristiwa dahsyat yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa bumi akan diguncangkan dengan keras dan seluruh isinya akan hancur. Ini adalah tanda bahwa kehidupan dunia telah berakhir, dan manusia akan menghadapi pengadilan akhirat.
Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa tidak ada yang tersisa dari dunia yang selama ini diperebutkan oleh manusia. Gunung-gunung akan diratakan, lautan akan meluap, dan bumi akan kehilangan bentuknya yang sekarang.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Zalzalah: 1-2:
إِذَا زُلْزِلَتِ ٱلْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
وَأَخْرَجَتِ ٱلْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan yang dahsyat, dan bumi mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya.” (QS. Al-Zalzalah: 1-2)
2. Kehadiran Allah dan Malaikat dalam Keadaan Berbaris
Allah berfirman: “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa ini adalah momen penghakiman Allah terhadap seluruh makhluk. Para malaikat hadir dalam barisan yang rapi, menunjukkan keteraturan dan kepatuhan mereka kepada perintah Allah. Ini juga menandakan bahwa seluruh ciptaan tunduk pada kehendak-Nya di hari itu.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Haqqah: 17:
وَٱلْمَلَكُ عَلَىٰٓ أَرْجَآئِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَٰنِيَةٌ
“Dan malaikat-malaikat berada di semua penjuru langit. Pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas mereka.” (QS. Al-Haqqah: 17)
3. Ditampakkannya Neraka Jahannam
Allah berfirman: “Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa neraka Jahannam akan didatangkan dan diperlihatkan dengan jelas kepada seluruh manusia. Ini adalah pemandangan yang sangat mengerikan, yang membuat manusia sadar akan akibat dari perbuatan mereka di dunia.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لَهَا سَبْعُونَ أَلْفَ زِمَامٍ، مَعَ كُلِّ زِمَامٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ يَجُرُّونَهَا
“Pada hari kiamat, neraka Jahannam akan didatangkan dengan 70.000 tali kendali, setiap tali kendali ditarik oleh 70.000 malaikat.” (HR. Muslim, no. 2842)
Ini menunjukkan betapa dahsyat dan mengerikannya neraka yang telah disiapkan bagi orang-orang yang mendustakan kebenaran.
4. Penyesalan Manusia yang Terlambat
Allah berfirman: “Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, disebutkan bahwa manusia akan menyadari kesalahan mereka dan menyesal atas kelalaian mereka dalam beramal saleh. Namun, saat itu sudah terlambat. Tidak ada lagi kesempatan untuk kembali ke dunia dan memperbaiki kesalahan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Munafiqun: 10:
وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقْنَٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.'” (QS. Al-Munafiqun: 10)
5. Penyesalan Karena Tidak Beramal Saleh
Allah berfirman: “Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.'”
Dalam Tafsir Al-Muyassar, dijelaskan bahwa manusia akan menyesali waktu yang telah mereka sia-siakan di dunia. Mereka baru menyadari bahwa kehidupan dunia hanya sementara, dan kehidupan akhiratlah yang kekal.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Furqan: 27-28,
وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلً
يَٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
“Pada hari itu orang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai, kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku).” (QS. Al-Furqan: 27-28)
Tadabur Ayat 21-24
Hari Kiamat adalah kepastian. Semua yang ada di dunia ini akan hancur, dan manusia akan menghadapi pengadilan Allah.
Tidak ada tempat bersembunyi. Malaikat hadir dalam barisan untuk menyaksikan keputusan Allah terhadap setiap makhluk.
Neraka Jahannam adalah kenyataan. Ia akan diperlihatkan kepada seluruh manusia sebagai bentuk peringatan akan akibat dari dosa-dosa mereka.
Penyesalan di akhirat tidak berguna. Banyak orang baru menyadari pentingnya amal saleh setelah semuanya terlambat.
Gunakan waktu di dunia dengan bijak. Jangan sampai kita termasuk orang yang menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan untuk beramal saleh.
Tafsir Ayat 24-30: Balasan bagi Orang Durhaka dan Orang Beriman
Allah Ta’ala berfirman:
فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُۥٓ أَحَدٌ
وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُۥٓ أَحَدٌ
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ
ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى
وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
“Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 24-30)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Balasan bagi Orang yang Durhaka
Allah berfirman: “Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar, dijelaskan bahwa pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat menyiksa sebagaimana Allah menyiksa orang-orang yang mendurhakai-Nya. Siksaan-Nya sangat dahsyat dan tidak ada seorang pun yang dapat menandingi-Nya dalam memberikan hukuman kepada mereka yang melalaikan perintah-Nya.
Allah juga berfirman: “Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.”
Mereka yang durhaka akan dibelenggu dengan rantai dari api neraka dan diseret ke dalamnya. Ini adalah bentuk balasan yang adil bagi mereka yang selama hidupnya menolak kebenaran dan melalaikan perintah Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Haqqah: 30-32:
خُذُوهُ فَغُلُّوهُ
ثُمَّ ٱلْجَحِيمَ صَلُّوهُ
ثُمَّ فِى سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَٱسْلُكُوهُ
“(Allah berfirman), ‘Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.'” (QS. Al-Haqqah: 30-32)
2. Seruan bagi Jiwa yang Tenang
Allah berfirman: “Hai jiwa yang tenang.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan jiwa yang tenang adalah jiwa orang-orang yang beriman kepada Allah, yang selalu merasa tenang dalam mengingat-Nya, dan yang yakin terhadap janji-janji Allah. Jiwa mereka tenteram karena keimanan yang kuat dan keyakinan akan pahala yang Allah janjikan bagi mereka.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d: 28:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
3. Kembali kepada Allah dengan Keridhaan
Allah berfirman: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman akan kembali kepada Allah dalam keadaan penuh kebahagiaan. Mereka ridha dengan ketetapan Allah, dan Allah pun ridha kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah menjalani kehidupan dunia dengan keimanan dan amal saleh, sehingga mereka memperoleh kebahagiaan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 119:
رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 119)
4. Masuk ke dalam Golongan Hamba Allah yang Saleh
Allah berfirman: “Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa ayat ini adalah kabar gembira bagi orang-orang beriman. Mereka akan dihimpun bersama orang-orang saleh dan para nabi dalam kenikmatan surga yang abadi. Allah mempersilakan mereka untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang mulia.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa: 69:
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa: 69)
5. Masuk ke dalam Surga sebagai Balasan atas Keimanan
Allah berfirman: “Masuklah ke dalam surga-Ku.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar, disebutkan bahwa ini adalah balasan terakhir bagi orang-orang yang beriman. Setelah melalui berbagai ujian di dunia, mereka akhirnya mendapatkan kehidupan yang kekal dalam surga. Ini adalah puncak kebahagiaan yang tidak akan pernah berakhir.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Az-Zumar: 73-74:
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ رَبَّهُمْ إِلَى ٱلْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَٰبُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَٱدْخُلُوهَا خَٰلِدِينَ
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombongan, hingga apabila mereka sampai ke surga itu dan pintu-pintunya telah terbuka, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.'” (QS. Az-Zumar: 73)
Tadabur Ayat 24-30
Siksa Allah adalah yang paling dahsyat. Tidak ada yang bisa menandingi hukuman Allah terhadap orang-orang yang mendurhakai-Nya.
Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu mengingat Allah. Orang yang hatinya tenteram dengan iman akan mendapatkan kebahagiaan sejati.
Ridha kepada Allah adalah kunci keselamatan. Orang-orang yang ridha terhadap ketetapan Allah akan mendapatkan ridha-Nya pula.
Menjadi bagian dari hamba Allah yang saleh adalah anugerah besar. Allah akan mengumpulkan orang-orang beriman bersama golongan yang mulia di akhirat.
Surga adalah balasan tertinggi bagi orang beriman. Mereka akan hidup dalam kenikmatan yang tidak pernah berakhir sebagai ganjaran atas amal baik mereka di dunia.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.
–
6 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin
Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Tagsan-nafsul muthmainnah janji surga dalam Al-Qur’an jiwa yang tenang kehancuran kaum Tsamud kesombongan Fir’aun kisah kaum ‘Aad penyesalan di Hari Kiamat renungan ayat renungan quran shalat shubuh shubuh tafsir juz amma tafsir surat Al-Fajr tafsir ulama ujian kekayaan dan kemiskinan waktu shubuh
Surat Al-Fajr adalah surat ke-89 dalam Al-Qur’an yang mengandung sumpah-sumpah Allah tentang waktu fajar, sepuluh malam istimewa, serta fenomena ganjil dan genap sebagai tanda kebesaran-Nya. Allah mengisahkan kehancuran kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun yang dihancurkan karena kesombongan dan kezaliman mereka, serta mengingatkan bahwa kekayaan dan kemiskinan hanyalah ujian, bukan tanda kemuliaan atau kehinaan. Surat ini juga menggambarkan penyesalan manusia pada Hari Kiamat saat menyadari kesalahan mereka, tetapi sudah terlambat untuk bertaubat. Namun, Allah memberikan kabar gembira bagi jiwa yang tenang (an-nafsul muthmainnah), yaitu mereka yang beriman dan bertakwa, yang akan mendapatkan surga-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Tafsir surat ini mengajarkan kita untuk mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu, memahami hakikat ujian dunia, serta meraih ketenangan dengan kembali kepada Allah.
Daftar Isi
tutup
1.
Tafsir Ayat 1-5: Sumpah Allah dan Maknanya
1.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1.2.
Tadabur Ayat
2.
Tafsir Ayat 6-14: Kehancuran Kaum Durhaka
2.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
2.2.
Tadabur Ayat
3.
Tafsir Ayat 15-16: Ujian dalam Kelapangan dan Kesempitan Rezeki
3.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
3.2.
Renungan dari Tafsir Syaikh As-Sa’di
3.3.
Tadabur Ayat
4.
Tafsir Ayat 17-20: Peringatan terhadap Sikap Lalai dan Cinta Dunia
4.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
4.2.
Tadabur Ayat 17-20
5.
Tafsir Ayat 21-24: Gambaran Hari Kiamat dan Penyesalan Manusia
5.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
5.2.
Tadabur Ayat 21-24
6.
Tafsir Ayat 24-30: Balasan bagi Orang Durhaka dan Orang Beriman
6.1.
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
6.2.
Tadabur Ayat 24-30
Tafsir Ayat 1-5: Sumpah Allah dan Maknanya
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلْفَجْرِ
“Demi fajar,”
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan malam yang sepuluh,”
وَٱلشَّفْعِ وَٱلْوَتْرِ
“Dan yang genap dan yang ganjil,”
وَٱلَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
“Dan malam bila berlalu.”
هَلْ فِى ذَٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِى حِجْرٍ
“Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Fajr: 1-5)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar
Menurut Tafsir Al-Muyassar, Allah bersumpah dengan waktu fajar karena fajar adalah momen penting dalam kehidupan manusia, menjadi waktu transisi antara malam dan siang, serta saat dimulainya berbagai aktivitas. Selain itu, waktu fajar memiliki keutamaan dalam ibadah, termasuk shalat Shubuh yang merupakan salah satu shalat utama dalam Islam.
2. Keutamaan 10 Malam Istimewa
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “malam yang sepuluh”, tetapi dua pendapat paling kuat adalah:
10 malam terakhir Ramadhan, yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
10 hari pertama Dzulhijjah, yang mencakup hari Arafah dan puncak ibadah haji.
Menurut Tafsir As-Sa’di, malam-malam ini memiliki keutamaan yang luar biasa, di dalamnya terkandung ibadah-ibadah istimewa seperti puasa, shalat malam, dzikir, dan amal saleh yang sangat dicintai oleh Allah.
3. Makna Ganjil dan Genap dalam Ayat
Ayat ini juga menyebutkan sumpah Allah atas yang genap dan yang ganjil. Menurut sebagian ulama, yang genap merujuk pada semua ciptaan yang berpasangan di alam semesta, sementara yang ganjil mengisyaratkan keesaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.
Pendapat lain mengatakan: (الشفع) adalah dua hari tasyriq pertama yang diperbolehkan bagi orang yang berhaji untuk menyegerakan melempar jumrah pada hari itu. sedangkan (الوتر) yakni hari tasyriq ketiga.
4. Sumpah dengan Malam yang Berlalu
Allah juga bersumpah dengan malam saat berlalu, menandakan bagaimana malam membawa ketenangan bagi manusia, serta pergantian siang dan malam adalah bukti kekuasaan Allah.
5. Pesan bagi Orang yang Berakal
Pada ayat terakhir dalam bagian ini, Allah menegaskan bahwa sumpah-sumpah ini ditujukan kepada orang-orang yang berakal. Sebagaimana disebutkan dalam Zubdatut Tafsir, orang yang memiliki akal akan memahami bahwa apa yang Allah jadikan sumpah merupakan sesuatu yang besar dan memiliki hikmah dalam kehidupan manusia.
Tadabur Ayat
1. Keagungan Waktu Fajar
Allah mengawali surat ini dengan sumpah terhadap waktu fajar, menunjukkan bahwa fajar adalah waktu yang istimewa. Ini mengajarkan kita untuk memanfaatkan waktu pagi dengan ibadah dan aktivitas yang bermanfaat, seperti shalat Subuh, dzikir, dan mencari keberkahan dalam pekerjaan.
2. Keutamaan 10 Malam Istimewa
Dua tafsiran utama tentang “malam yang sepuluh” menyoroti betapa besar keutamaan 10 malam terakhir Ramadhan dan 10 hari pertama Dzulhijjah. Ini mengajarkan kita untuk lebih giat beribadah di waktu-waktu mulia tersebut, termasuk dengan shalat malam, puasa, dan amal saleh lainnya.
3. Memahami Hikmah di Balik Ganjil dan Genap
Konsep ganjil dan genap dalam ayat ini mengajarkan kita untuk merenungi keseimbangan ciptaan Allah. Ada yang berpasangan, ada yang tunggal, dan semuanya menunjukkan keesaan serta kebijaksanaan-Nya dalam menciptakan segala sesuatu.
4. Kesadaran akan Siklus Kehidupan
Allah bersumpah dengan malam yang berlalu, mengingatkan kita bahwa pergantian siang dan malam adalah tanda kebesaran-Nya. Waktu terus berjalan, dan kita harus memanfaatkannya dengan baik sebelum terlambat.
5. Pentingnya Akal dalam Memahami Kebenaran
Allah menegaskan bahwa hanya orang-orang berakal yang dapat memahami makna sumpah-sumpah ini. Ini mengajarkan kita untuk menggunakan akal dengan benar, merenungkan ayat-ayat Allah, dan tidak terjebak dalam kesombongan serta kelalaian dunia.
Tafsir Ayat 6-14: Kehancuran Kaum Durhaka
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad?”
إِرَمَ ذَاتِ ٱلْعِمَادِ
“(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.”
ٱلَّتِى لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِى ٱلْبِلَٰدِ
“Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain.”
وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ
“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.”
وَفِرْعَوْنَ ذِى ٱلْأَوْتَادِ
“Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak).”
ٱلَّذِينَ طَغَوْا۟ فِى ٱلْبِلَٰدِ
“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri.”
فَأَكْثَرُوا۟ فِيهَا ٱلْفَسَادَ
“Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.”
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
“Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.”
إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Kaum ‘Aad: Bangsa Perkasa yang Dibinasakan
Kaum ‘Aad adalah keturunan Iram yang tinggal di daerah Yaman. Mereka terkenal dengan bangunan-bangunan tinggi dan kekuatan fisik yang luar biasa. Namun, mereka durhaka kepada Allah dan menolak dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam. Akibatnya, Allah mengirim angin topan dahsyat yang menghancurkan mereka hingga tak tersisa.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-A’raf: 69,
وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِى ٱلْخَلْقِ بَصْۜطَةً ۖ فَٱذْكُرُوٓا۟ ءَالَآءَ ٱللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-A’raf: 69)
2. Kaum Tsamud: Ahli Pahat Batu yang Menantang Allah
Kaum Tsamud dikenal sebagai bangsa yang memahat gunung-gunung batu sebagai tempat tinggal di daerah Hijr (sekarang di wilayah Arab Saudi). Mereka telah diberi tanda kebesaran Allah berupa mukjizat unta Nabi Shaleh ‘alaihis salam, tetapi malah membunuh unta tersebut dan tetap dalam kekafiran mereka.
Karena kezaliman mereka, Allah menghancurkan kaum Tsamud dengan suara yang menggelegar, sehingga mereka binasa dalam sekejap.
3. Fir’aun: Penguasa Kejam dengan Pasukan yang Besar
Allah juga menyebut Fir’aun yang dikenal sebagai “Dzul Awtad” (pemilik pasak-pasak), yang merujuk pada pasukannya yang besar dan sistem kekuasaannya yang kuat. Fir’aun adalah raja yang paling sombong, mengaku sebagai Tuhan, dan melakukan kezaliman terhadap Bani Israil.
Namun, sehebat apa pun kekuasaannya, Fir’aun tetap tidak bisa menghindari azab Allah. Dia dan pasukannya ditenggelamkan di Laut Merah, sebagai bukti bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
4. Kesamaan Kaum Durhaka: Berbuat Kerusakan di Bumi
Kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun memiliki kesamaan: mereka semua melampaui batas, berlaku sewenang-wenang, dan berbuat banyak kerusakan di bumi. Mereka menggunakan kekuatan dan kekuasaan bukan untuk kebaikan, tetapi untuk kezaliman. Akibatnya, Allah menimpakan cemeti azab kepada mereka.
Kata Syaikh As-Sa’di: Yang dimaksud berbuat kerusakan di muka bumi adalah dengan melakukan kekufuran dan berbagai cabangnya dari berbagai jenis kemaksiatan, serta berusaha memerangi para Rasul dan menghalangi manusia dari jalan Allah.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kerusakan sejati bukan hanya merusak fisik dunia, tetapi juga menghancurkan hati dan moral manusia. Kesombongan, kekufuran, dan kemaksiatan adalah bentuk terbesar dari kehancuran yang akhirnya membawa kebinasaan bagi pelakunya. Oleh karena itu, tugas kita sebagai manusia adalah menjaga keimanan, menghindari dosa, dan berusaha memperbaiki kondisi diri serta masyarakat agar keberkahan tetap terjaga di dunia ini.
5. Allah Maha Mengawasi dan Tidak Akan Membiarkan Kezaliman
Allah menegaskan,
إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Artinya, Allah tidak pernah lalai dalam mengawasi hamba-Nya. Kezaliman mungkin dibiarkan sementara, tetapi pada akhirnya, Allah pasti akan membalas setiap perbuatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Tadabur Ayat
Kemewahan dan kekuatan dunia bukan jaminan keselamatan – kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun adalah contoh bahwa kekuasaan bisa menjadi sebab kehancuran jika tidak digunakan dengan benar.
Kezaliman dan kesombongan adalah sebab utama turunnya azab Allah – semua kaum yang disebut dalam ayat ini binasa karena mereka melampaui batas dan mengabaikan peringatan dari para Nabi.
Allah selalu mengawasi dan tidak akan membiarkan kezaliman terjadi selamanya – orang yang durhaka mungkin merasa aman untuk sementara, tetapi pada akhirnya, mereka akan menghadapi balasan dari Allah.
Kisah ini menjadi peringatan bagi kita semua – kita harus selalu berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan kaum terdahulu dengan bersikap sombong, lalai, atau berbuat zalim kepada sesama.
Tafsir Ayat 15-16: Ujian dalam Kelapangan dan Kesempitan Rezeki
Allah Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’.” (QS. Al-Fajr: 15)
وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَٰنَنِ
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’.” (QS. Al-Fajr: 16)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Ujian Kelapangan: Manusia yang Merasa Dimuliakan
Allah menjelaskan bahwa manusia cenderung menilai segala sesuatu hanya dari sisi materi dan kenikmatan dunia. Ketika ia mendapatkan rezeki yang lapang dan hidup dalam kemakmuran, ia menganggap bahwa itu adalah tanda bahwa Allah memuliakannya. Padahal, kelapangan rezeki bukanlah tanda kemuliaan sejati, melainkan ujian dari Allah untuk melihat apakah manusia bersyukur atau justru menjadi sombong dan lalai dari ibadah kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am: 44:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوا۟ أَخَذْنٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Hal ini menunjukkan bahwa kelapangan rezeki bukanlah jaminan kemuliaan seseorang di sisi Allah. Sebaliknya, itu adalah bentuk ujian yang bisa membawa kehancuran jika tidak disikapi dengan benar.
2. Ujian Kesempitan: Manusia yang Menganggap Dirinya Dihina
Sebaliknya, ketika manusia diuji dengan kesulitan ekonomi dan rezekinya dibatasi, ia langsung beranggapan bahwa Allah sedang menghinakannya. Padahal, ujian dalam bentuk kesulitan hidup juga merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk mendidik hamba-Nya agar lebih bersabar, tawakal, dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam QS. Al-Baqarah: 155, Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan sungguh, Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh beranggapan bahwa kesulitan hidup adalah tanda kehinaan di sisi Allah. Sebaliknya, justru orang-orang yang dicintai Allah sering kali diuji dengan berbagai cobaan agar mereka semakin dekat kepada-Nya.
3. Kesalahan Persepsi Manusia terhadap Ujian
Ayat ini menegaskan bahwa manusia sering kali salah dalam menilai kehidupan dunia. Mereka mengira bahwa kenikmatan adalah tanda kasih sayang Allah dan kesulitan adalah tanda kehinaan. Padahal, ujian bisa datang dalam berbagai bentuk: baik dalam kelapangan maupun kesempitan.
Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa manusia yang berpikir seperti ini adalah orang yang tidak memahami hakikat ujian. Ia terlalu berorientasi pada dunia dan lupa bahwa baik kelapangan maupun kesempitan adalah bagian dari ketentuan Allah untuk menguji siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 7:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةًۭ لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًۭا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Kahfi: 7)
Renungan dari Tafsir Syaikh As-Sa’di
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya mengenai surah Al-Fajr ayat 15 dan 16:
يُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ طَبِيعَةِ الإِنْسَانِ مِنْ حَيْثُ هُوَ، وَأَنَّهُ جَاهِلٌ ظَالِمٌ، لَا عِلْمَ لَهُ بِالْعَوَاقِبِ، يَظُنُّ الحَالَةَ الَّتِي تَقَعُ فِيهَا تَسْتَمِرُّ وَلَا تَزُولُ، وَيَظُنُّ أَنَّ إِكْرَامَ اللهِ فِي الدُّنْيَا وَإِنْعَامَهُ عَلَيْهِ يَدُلُّ عَلَى كَرَامَتِهِ عِنْدَهُ وَقُرْبِهِ مِنْهُ، وَأَنَّهُ إِذَا {قَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ} أَيْ: ضَيَّقَهُ، فَصَارَ يَقْدِرُ قُوتَهُ لَا يَفْضُلُ مِنْهُ، أَنَّ هَذَا إِهَانَةٌ مِنَ اللهِ ⦗٩٢٤⦘ لَهُ، فَرَدَّ اللهُ عَلَيْهِ هَذَا الحِسْبَانَ: بِقَوْلِهِ {كَلَّا} أَيْ: لَيْسَ كُلُّ مَنْ نَعَّمْتُهُ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَرِيمٌ عَلَيَّ، وَلَا كُلُّ مَنْ قَدَّرْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَهُوَ مُهَانٌ لَدَيَّ، وَإِنَّمَا الغِنَى وَالفَقْرُ، وَالسَّعَةُ وَالضِّيقُ، ابْتِلَاءٌ مِنَ اللهِ، وَامْتِحَانٌ يَمْتَحِنُ بِهِ العِبَادَ، لِيَرَى مَنْ يَقُومُ لَهُ بِالشُّكْرِ وَالصَّبْرِ، فَيُثِيبُهُ عَلَى ذَلِكَ الثَّوَابَ الجَزِيلَ، مِمَّنْ لَيْسَ كَذَلِكَ فَيَنْقُلُهُ إِلَى العَذَابِ الوَبِيلِ.
Allah Ta’ala mengabarkan tentang sifat dasar manusia secara umum, bahwa manusia itu cenderung bodoh dan zalim, serta tidak memahami akibat dari suatu keadaan. Ia mengira bahwa kondisi yang menimpanya akan tetap seperti itu dan tidak akan berubah. Jika Allah memuliakannya dan memberinya kenikmatan di dunia, ia menganggap bahwa itu adalah tanda kemuliaan dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rezekinya sehingga ia hanya memiliki cukup untuk kebutuhan pokoknya tanpa kelebihan, ia mengira bahwa itu adalah tanda kehinaan dari Allah.
Allah membantah anggapan tersebut dengan firman-Nya: “Sekali-kali tidak!” Artinya, tidaklah setiap orang yang diberikan kenikmatan di dunia berarti ia dimuliakan di sisi Allah, dan tidak pula setiap orang yang rezekinya disempitkan berarti ia dihinakan oleh-Nya. Kekayaan dan kemiskinan, kelapangan dan kesempitan, semuanya adalah ujian dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Dengan ujian ini, Allah ingin melihat siapa yang bersyukur dan bersabar sehingga layak mendapatkan pahala yang besar, dan siapa yang tidak bersyukur serta tidak bersabar sehingga berhak mendapatkan azab yang pedih.
Tadabur Ayat
Rezeki yang luas bukan tanda kemuliaan, dan rezeki yang sedikit bukan tanda kehinaan. Semuanya adalah ujian dari Allah untuk melihat bagaimana manusia bersikap terhadap nikmat atau musibah yang diberikan.
Manusia harus menghindari kesalahan dalam memahami takdir Allah. Jangan beranggapan bahwa kehidupan dunia mencerminkan status kita di sisi Allah.
Bersyukur dalam kelapangan dan bersabar dalam kesulitan adalah kunci keberhasilan dalam ujian kehidupan.
Ujian datang dalam berbagai bentuk, dan semua itu adalah bagian dari cara Allah mendidik hamba-Nya.
Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Dia menguji hamba-Nya sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 286: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan dunia adalah ujian semata. Seorang mukmin harus memahami bahwa segala bentuk kenikmatan dan kesulitan adalah bagian dari skenario Allah untuk menguji keimanan manusia. Oleh karena itu, hendaklah kita selalu bersyukur dalam kelapangan dan bersabar dalam kesulitan, karena itulah kunci menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tafsir Ayat 17-20: Peringatan terhadap Sikap Lalai dan Cinta Dunia
Allah Ta’ala berfirman:
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ ٱلْيَتِيمَ
وَلَا تَحَٰٓضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ
وَتَأْكُلُونَ ٱلتُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّۭا
وَتُحِبُّونَ ٱلْمَالَ حُبًّۭا جَمًّۭا
“Sekali-kali tidak! Tetapi kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 17-20)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Kesalahan Manusia dalam Menilai Kehidupan Dunia
Setelah Allah menjelaskan dalam ayat sebelumnya bahwa manusia sering keliru menilai ujian kelapangan dan kesempitan rezeki, kini Allah membongkar kesalahan lain dalam sikap manusia, yaitu kelalaian dalam menunaikan hak-hak sosial. Ayat ini menegaskan bahwa manusia seringkali sibuk dengan harta dan kenikmatan dunia, tetapi mengabaikan kewajiban mereka terhadap sesama, terutama kepada kaum yang lemah seperti anak yatim dan orang miskin.
Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Muyassar, ayat-ayat ini mengkritik orang-orang yang tidak memuliakan anak yatim, tidak mendorong pemberian makan kepada orang miskin, dan bahkan rakus dalam mengambil harta warisan tanpa memerhatikan kehalalannya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih mencintai harta daripada nilai-nilai moral yang diajarkan oleh agama.
2. Tidak Memuliakan Anak Yatim
Allah berfirman: “Tetapi kamu tidak memuliakan anak yatim.”
Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan bahwa ini menunjukkan bahwa manusia lalai terhadap kewajibannya terhadap anak yatim, yaitu mereka yang kehilangan ayahnya sejak kecil dan membutuhkan perhatian serta perlindungan. Manusia yang rakus terhadap dunia cenderung mengabaikan anak-anak yatim, bahkan kadang-kadang menzalimi mereka dengan mengambil haknya. Padahal, Allah telah berulang kali memerintahkan dalam Al-Qur’an agar manusia memperlakukan anak yatim dengan baik dan memberikan mereka hak-haknya.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Ad-Duha: 9:
فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.” (QS. Ad-Duha: 9)
3. Tidak Mengajak Memberi Makan Orang Miskin
Allah berfirman: “Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.”
Ayat ini mengandung dua kecaman: pertama, mereka sendiri tidak mau memberi makan orang miskin, dan kedua, mereka tidak mengajak orang lain untuk melakukannya. Dalam Tafsir As-Sa’di, disebutkan bahwa ajakan untuk berbuat baik adalah tanda kepedulian sosial yang tinggi. Orang yang benar-benar memiliki iman akan senantiasa mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, termasuk dalam memberi makan orang-orang yang membutuhkan.
Firman Allah dalam QS. Al-Ma’un juga menegaskan hal ini:
أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ
فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 1-3)
4. Rakus dalam Memakan Harta Warisan
Allah berfirman: “Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil).”
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa mereka yang cinta dunia sering kali tidak peduli dengan hukum halal dan haram dalam mendapatkan harta. Mereka mengambil harta warisan secara tidak adil, bahkan kadang-kadang merampas hak ahli waris yang seharusnya menerimanya, seperti anak perempuan atau kerabat yang lebih lemah.
Syaikh As-Sa’di menegaskan bahwa perilaku ini adalah tanda kerakusan terhadap dunia yang membutakan hati. Mereka hanya memikirkan bagaimana memperoleh harta sebanyak mungkin tanpa memerhatikan hak-hak orang lain.
5. Cinta Berlebihan terhadap Harta
Allah berfirman: “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, ayat ini menunjukkan bahwa manusia sering kali menjadikan harta sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Mereka mencintai harta dengan sangat berlebihan hingga lupa bahwa harta hanyalah alat, bukan tujuan.
Allah mengingatkan dalam ayat,
ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)
Tadabur Ayat 17-20
Jangan lalai terhadap anak yatim dan orang miskin. Allah mencela mereka yang tidak peduli terhadap kaum yang lemah. Keimanan sejati ditunjukkan dengan kepedulian sosial, bukan sekadar ibadah pribadi.
Harta bukanlah tujuan utama. Cinta dunia yang berlebihan membuat manusia lalai dari tanggung jawabnya terhadap sesama dan terhadap akhirat.
Perhatikan kehalalan harta. Jangan sampai kerakusan terhadap dunia membuat kita mengambil harta dengan cara yang haram, termasuk dalam hal warisan.
Ajak orang lain dalam kebaikan. Tidak cukup hanya berbuat baik sendirian, tetapi kita juga harus mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Hidup bukan sekadar mengumpulkan harta. Kita harus mengingat bahwa kehidupan dunia ini sementara, dan yang lebih utama adalah bagaimana kita mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-A’la: 16-17,
بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا
وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17)
Dengan memahami tafsir ayat-ayat ini, kita diingatkan agar tidak terjebak dalam kecintaan dunia yang berlebihan, tetapi fokus pada amal kebaikan yang akan membawa manfaat di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Tafsir Ayat 21-24: Gambaran Hari Kiamat dan Penyesalan Manusia
Allah Ta’ala berfirman:
كَلَّآ إِذَا دُكَّتِ ٱلْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا
وَجَآءَ رَبُّكَ وَٱلْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
وَجِا۟ىٓءَ يَوْمَئِذٍۭ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ ٱلْإِنسَٰنُ وَأَنَّىٰ لَهُ ٱلذِّكْرَىٰ
يَقُولُ يَٰلَيْتَنِى قَدَّمْتُ لِحَيَاتِى
“Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini‘.” (QS. Al-Fajr: 21-24)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Gambaran Dahsyatnya Hari Kiamat
Allah menggambarkan peristiwa dahsyat yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa bumi akan diguncangkan dengan keras dan seluruh isinya akan hancur. Ini adalah tanda bahwa kehidupan dunia telah berakhir, dan manusia akan menghadapi pengadilan akhirat.
Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa tidak ada yang tersisa dari dunia yang selama ini diperebutkan oleh manusia. Gunung-gunung akan diratakan, lautan akan meluap, dan bumi akan kehilangan bentuknya yang sekarang.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Zalzalah: 1-2:
إِذَا زُلْزِلَتِ ٱلْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
وَأَخْرَجَتِ ٱلْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan yang dahsyat, dan bumi mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya.” (QS. Al-Zalzalah: 1-2)
2. Kehadiran Allah dan Malaikat dalam Keadaan Berbaris
Allah berfirman: “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa ini adalah momen penghakiman Allah terhadap seluruh makhluk. Para malaikat hadir dalam barisan yang rapi, menunjukkan keteraturan dan kepatuhan mereka kepada perintah Allah. Ini juga menandakan bahwa seluruh ciptaan tunduk pada kehendak-Nya di hari itu.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Haqqah: 17:
وَٱلْمَلَكُ عَلَىٰٓ أَرْجَآئِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَٰنِيَةٌ
“Dan malaikat-malaikat berada di semua penjuru langit. Pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas mereka.” (QS. Al-Haqqah: 17)
3. Ditampakkannya Neraka Jahannam
Allah berfirman: “Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa neraka Jahannam akan didatangkan dan diperlihatkan dengan jelas kepada seluruh manusia. Ini adalah pemandangan yang sangat mengerikan, yang membuat manusia sadar akan akibat dari perbuatan mereka di dunia.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لَهَا سَبْعُونَ أَلْفَ زِمَامٍ، مَعَ كُلِّ زِمَامٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ يَجُرُّونَهَا
“Pada hari kiamat, neraka Jahannam akan didatangkan dengan 70.000 tali kendali, setiap tali kendali ditarik oleh 70.000 malaikat.” (HR. Muslim, no. 2842)
Ini menunjukkan betapa dahsyat dan mengerikannya neraka yang telah disiapkan bagi orang-orang yang mendustakan kebenaran.
4. Penyesalan Manusia yang Terlambat
Allah berfirman: “Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, disebutkan bahwa manusia akan menyadari kesalahan mereka dan menyesal atas kelalaian mereka dalam beramal saleh. Namun, saat itu sudah terlambat. Tidak ada lagi kesempatan untuk kembali ke dunia dan memperbaiki kesalahan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Munafiqun: 10:
وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقْنَٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.'” (QS. Al-Munafiqun: 10)
5. Penyesalan Karena Tidak Beramal Saleh
Allah berfirman: “Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.'”
Dalam Tafsir Al-Muyassar, dijelaskan bahwa manusia akan menyesali waktu yang telah mereka sia-siakan di dunia. Mereka baru menyadari bahwa kehidupan dunia hanya sementara, dan kehidupan akhiratlah yang kekal.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Furqan: 27-28,
وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلً
يَٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
“Pada hari itu orang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai, kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku).” (QS. Al-Furqan: 27-28)
Tadabur Ayat 21-24
Hari Kiamat adalah kepastian. Semua yang ada di dunia ini akan hancur, dan manusia akan menghadapi pengadilan Allah.
Tidak ada tempat bersembunyi. Malaikat hadir dalam barisan untuk menyaksikan keputusan Allah terhadap setiap makhluk.
Neraka Jahannam adalah kenyataan. Ia akan diperlihatkan kepada seluruh manusia sebagai bentuk peringatan akan akibat dari dosa-dosa mereka.
Penyesalan di akhirat tidak berguna. Banyak orang baru menyadari pentingnya amal saleh setelah semuanya terlambat.
Gunakan waktu di dunia dengan bijak. Jangan sampai kita termasuk orang yang menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan untuk beramal saleh.
Tafsir Ayat 24-30: Balasan bagi Orang Durhaka dan Orang Beriman
Allah Ta’ala berfirman:
فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُۥٓ أَحَدٌ
وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُۥٓ أَحَدٌ
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ
ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى
وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
“Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 24-30)
Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama
1. Balasan bagi Orang yang Durhaka
Allah berfirman: “Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar, dijelaskan bahwa pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat menyiksa sebagaimana Allah menyiksa orang-orang yang mendurhakai-Nya. Siksaan-Nya sangat dahsyat dan tidak ada seorang pun yang dapat menandingi-Nya dalam memberikan hukuman kepada mereka yang melalaikan perintah-Nya.
Allah juga berfirman: “Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.”
Mereka yang durhaka akan dibelenggu dengan rantai dari api neraka dan diseret ke dalamnya. Ini adalah bentuk balasan yang adil bagi mereka yang selama hidupnya menolak kebenaran dan melalaikan perintah Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Haqqah: 30-32:
خُذُوهُ فَغُلُّوهُ
ثُمَّ ٱلْجَحِيمَ صَلُّوهُ
ثُمَّ فِى سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَٱسْلُكُوهُ
“(Allah berfirman), ‘Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.'” (QS. Al-Haqqah: 30-32)
2. Seruan bagi Jiwa yang Tenang
Allah berfirman: “Hai jiwa yang tenang.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan jiwa yang tenang adalah jiwa orang-orang yang beriman kepada Allah, yang selalu merasa tenang dalam mengingat-Nya, dan yang yakin terhadap janji-janji Allah. Jiwa mereka tenteram karena keimanan yang kuat dan keyakinan akan pahala yang Allah janjikan bagi mereka.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d: 28:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
3. Kembali kepada Allah dengan Keridhaan
Allah berfirman: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman akan kembali kepada Allah dalam keadaan penuh kebahagiaan. Mereka ridha dengan ketetapan Allah, dan Allah pun ridha kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah menjalani kehidupan dunia dengan keimanan dan amal saleh, sehingga mereka memperoleh kebahagiaan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 119:
رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 119)
4. Masuk ke dalam Golongan Hamba Allah yang Saleh
Allah berfirman: “Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku.”
Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa ayat ini adalah kabar gembira bagi orang-orang beriman. Mereka akan dihimpun bersama orang-orang saleh dan para nabi dalam kenikmatan surga yang abadi. Allah mempersilakan mereka untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang mulia.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa: 69:
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa: 69)
5. Masuk ke dalam Surga sebagai Balasan atas Keimanan
Allah berfirman: “Masuklah ke dalam surga-Ku.”
Dalam Tafsir Al-Muyassar, disebutkan bahwa ini adalah balasan terakhir bagi orang-orang yang beriman. Setelah melalui berbagai ujian di dunia, mereka akhirnya mendapatkan kehidupan yang kekal dalam surga. Ini adalah puncak kebahagiaan yang tidak akan pernah berakhir.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Az-Zumar: 73-74:
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ رَبَّهُمْ إِلَى ٱلْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَٰبُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَٱدْخُلُوهَا خَٰلِدِينَ
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombongan, hingga apabila mereka sampai ke surga itu dan pintu-pintunya telah terbuka, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.'” (QS. Az-Zumar: 73)
Tadabur Ayat 24-30
Siksa Allah adalah yang paling dahsyat. Tidak ada yang bisa menandingi hukuman Allah terhadap orang-orang yang mendurhakai-Nya.
Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu mengingat Allah. Orang yang hatinya tenteram dengan iman akan mendapatkan kebahagiaan sejati.
Ridha kepada Allah adalah kunci keselamatan. Orang-orang yang ridha terhadap ketetapan Allah akan mendapatkan ridha-Nya pula.
Menjadi bagian dari hamba Allah yang saleh adalah anugerah besar. Allah akan mengumpulkan orang-orang beriman bersama golongan yang mulia di akhirat.
Surga adalah balasan tertinggi bagi orang beriman. Mereka akan hidup dalam kenikmatan yang tidak pernah berakhir sebagai ganjaran atas amal baik mereka di dunia.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.
–
6 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin
Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Tagsan-nafsul muthmainnah janji surga dalam Al-Qur’an jiwa yang tenang kehancuran kaum Tsamud kesombongan Fir’aun kisah kaum ‘Aad penyesalan di Hari Kiamat renungan ayat renungan quran shalat shubuh shubuh tafsir juz amma tafsir surat Al-Fajr tafsir ulama ujian kekayaan dan kemiskinan waktu shubuh