Matan Taqrib: Memberi Minum Air Menjadi Wajib dalam 6 Kondisi

Memberi minum air itu menjadi wajib dalam enam kondisi sebagaimana diterangkan dalam Matan Taqrib berikut ini.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَيَجِبُ بَذْلُ المَاءِ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَفْضَلَ عَنْ حَاجَتِهِ وَ أَنْ يَحْتَاجَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِبَهِيْمَتِهِ وَأَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَسْتَخْلِفُ فِي بِئْرٍ أَوْ عَيْنٍ. Dalam membuka lahan baru, wajib menyumbangkan air jika terdapat tiga syarat: (1) air yang ada melebihi kebutuhan, (2) air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya, (3) air itu terdapat di sumur atau mata air.   Penjelasan: Siapa saja yang menggali sumur atau meletakkan alat untuk mengangkat air, maka ia boleh memanfaatkan air, bahkan ia lebih berhak selama ia itu seorang yang mukim atau berada dalam kepemilikannya. Menyumbangkan air kepada yang lain dihukumi wajib ketika memenuhi enam syarat, yaitu: (1) Air yang ada melebihi kebutuhan untuk diri sendiri atau untuk hewan ternak. ‫ثَلاَثٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلاَةِ يَمْنَعُهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ لأَخَذَهَا بِكَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا وَفَى وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang pedih: (1) seseorang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, tetapi ia enggan memberikannya kepada para musafir yang membutuhkannya; (2) orang yang berjual beli dengan orang lain di waktu ‘Ashar, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia mengambilnya segini dan segini, lalu orang itu mempercayainya padahal tidak demikian keadaannya; (3) orang yang membaiat pemimpinnya hanya karena dunia, bila ia diberi oleh pemimpin ia melaksanakan baiatnya, dan bila tidak diberi, maka ia tidak mau melaksanakan baiatnya.” (HR. Bukhari, no. 2358 dan Muslim, no. 108) (2) Air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya. Namun, jika dibutuhkan untuk tanaman, maka tidak wajib memberikan air. (3) Air itu terdapat di sumur atau mata air. Namun, jika air tersebut dikeluarkan oleh si pemilik ke suatu wadah atau suatu kolam, maka tidaklah wajib memberikan air. (4) Air itu dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka pasti dibutuhkan untuk disiram. (5) Air itu tidak dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka bagi yang mencari air, ia boleh mengambil air darinya, ia lebih berhak dan lebih dekat. (6) Air itu diambil oleh hewan ternak dengan melewati tanaman selama tidak merusak tanaman, dan pemilik air tidak terkena mudarat. Catatan: Jika terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, maka memberi minum air dalam hal ini menjadi wajib dan tidak boleh mengambil upah dalam hal tersebut.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Baca Juga: Memberi Pinjaman yang Baik dan Memberi Makan Termasuk Amalan Muta’addi Kisah Wanita Pezina yang Memberi Minum pada Anjing – Diselesaikan 15 Jumadal Ula 1445 H, 28 November 2023 di perjalanan Panggang – Playen Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshukum seputar air matan taqrib matan taqrib kitabul buyu memberi minum air mukhabarah musaqah muzaraah

Matan Taqrib: Memberi Minum Air Menjadi Wajib dalam 6 Kondisi

Memberi minum air itu menjadi wajib dalam enam kondisi sebagaimana diterangkan dalam Matan Taqrib berikut ini.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَيَجِبُ بَذْلُ المَاءِ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَفْضَلَ عَنْ حَاجَتِهِ وَ أَنْ يَحْتَاجَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِبَهِيْمَتِهِ وَأَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَسْتَخْلِفُ فِي بِئْرٍ أَوْ عَيْنٍ. Dalam membuka lahan baru, wajib menyumbangkan air jika terdapat tiga syarat: (1) air yang ada melebihi kebutuhan, (2) air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya, (3) air itu terdapat di sumur atau mata air.   Penjelasan: Siapa saja yang menggali sumur atau meletakkan alat untuk mengangkat air, maka ia boleh memanfaatkan air, bahkan ia lebih berhak selama ia itu seorang yang mukim atau berada dalam kepemilikannya. Menyumbangkan air kepada yang lain dihukumi wajib ketika memenuhi enam syarat, yaitu: (1) Air yang ada melebihi kebutuhan untuk diri sendiri atau untuk hewan ternak. ‫ثَلاَثٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلاَةِ يَمْنَعُهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ لأَخَذَهَا بِكَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا وَفَى وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang pedih: (1) seseorang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, tetapi ia enggan memberikannya kepada para musafir yang membutuhkannya; (2) orang yang berjual beli dengan orang lain di waktu ‘Ashar, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia mengambilnya segini dan segini, lalu orang itu mempercayainya padahal tidak demikian keadaannya; (3) orang yang membaiat pemimpinnya hanya karena dunia, bila ia diberi oleh pemimpin ia melaksanakan baiatnya, dan bila tidak diberi, maka ia tidak mau melaksanakan baiatnya.” (HR. Bukhari, no. 2358 dan Muslim, no. 108) (2) Air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya. Namun, jika dibutuhkan untuk tanaman, maka tidak wajib memberikan air. (3) Air itu terdapat di sumur atau mata air. Namun, jika air tersebut dikeluarkan oleh si pemilik ke suatu wadah atau suatu kolam, maka tidaklah wajib memberikan air. (4) Air itu dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka pasti dibutuhkan untuk disiram. (5) Air itu tidak dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka bagi yang mencari air, ia boleh mengambil air darinya, ia lebih berhak dan lebih dekat. (6) Air itu diambil oleh hewan ternak dengan melewati tanaman selama tidak merusak tanaman, dan pemilik air tidak terkena mudarat. Catatan: Jika terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, maka memberi minum air dalam hal ini menjadi wajib dan tidak boleh mengambil upah dalam hal tersebut.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Baca Juga: Memberi Pinjaman yang Baik dan Memberi Makan Termasuk Amalan Muta’addi Kisah Wanita Pezina yang Memberi Minum pada Anjing – Diselesaikan 15 Jumadal Ula 1445 H, 28 November 2023 di perjalanan Panggang – Playen Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshukum seputar air matan taqrib matan taqrib kitabul buyu memberi minum air mukhabarah musaqah muzaraah
Memberi minum air itu menjadi wajib dalam enam kondisi sebagaimana diterangkan dalam Matan Taqrib berikut ini.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَيَجِبُ بَذْلُ المَاءِ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَفْضَلَ عَنْ حَاجَتِهِ وَ أَنْ يَحْتَاجَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِبَهِيْمَتِهِ وَأَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَسْتَخْلِفُ فِي بِئْرٍ أَوْ عَيْنٍ. Dalam membuka lahan baru, wajib menyumbangkan air jika terdapat tiga syarat: (1) air yang ada melebihi kebutuhan, (2) air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya, (3) air itu terdapat di sumur atau mata air.   Penjelasan: Siapa saja yang menggali sumur atau meletakkan alat untuk mengangkat air, maka ia boleh memanfaatkan air, bahkan ia lebih berhak selama ia itu seorang yang mukim atau berada dalam kepemilikannya. Menyumbangkan air kepada yang lain dihukumi wajib ketika memenuhi enam syarat, yaitu: (1) Air yang ada melebihi kebutuhan untuk diri sendiri atau untuk hewan ternak. ‫ثَلاَثٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلاَةِ يَمْنَعُهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ لأَخَذَهَا بِكَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا وَفَى وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang pedih: (1) seseorang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, tetapi ia enggan memberikannya kepada para musafir yang membutuhkannya; (2) orang yang berjual beli dengan orang lain di waktu ‘Ashar, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia mengambilnya segini dan segini, lalu orang itu mempercayainya padahal tidak demikian keadaannya; (3) orang yang membaiat pemimpinnya hanya karena dunia, bila ia diberi oleh pemimpin ia melaksanakan baiatnya, dan bila tidak diberi, maka ia tidak mau melaksanakan baiatnya.” (HR. Bukhari, no. 2358 dan Muslim, no. 108) (2) Air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya. Namun, jika dibutuhkan untuk tanaman, maka tidak wajib memberikan air. (3) Air itu terdapat di sumur atau mata air. Namun, jika air tersebut dikeluarkan oleh si pemilik ke suatu wadah atau suatu kolam, maka tidaklah wajib memberikan air. (4) Air itu dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka pasti dibutuhkan untuk disiram. (5) Air itu tidak dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka bagi yang mencari air, ia boleh mengambil air darinya, ia lebih berhak dan lebih dekat. (6) Air itu diambil oleh hewan ternak dengan melewati tanaman selama tidak merusak tanaman, dan pemilik air tidak terkena mudarat. Catatan: Jika terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, maka memberi minum air dalam hal ini menjadi wajib dan tidak boleh mengambil upah dalam hal tersebut.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Baca Juga: Memberi Pinjaman yang Baik dan Memberi Makan Termasuk Amalan Muta’addi Kisah Wanita Pezina yang Memberi Minum pada Anjing – Diselesaikan 15 Jumadal Ula 1445 H, 28 November 2023 di perjalanan Panggang – Playen Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshukum seputar air matan taqrib matan taqrib kitabul buyu memberi minum air mukhabarah musaqah muzaraah


Memberi minum air itu menjadi wajib dalam enam kondisi sebagaimana diterangkan dalam Matan Taqrib berikut ini.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَيَجِبُ بَذْلُ المَاءِ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَفْضَلَ عَنْ حَاجَتِهِ وَ أَنْ يَحْتَاجَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِبَهِيْمَتِهِ وَأَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَسْتَخْلِفُ فِي بِئْرٍ أَوْ عَيْنٍ. Dalam membuka lahan baru, wajib menyumbangkan air jika terdapat tiga syarat: (1) air yang ada melebihi kebutuhan, (2) air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya, (3) air itu terdapat di sumur atau mata air.   Penjelasan: Siapa saja yang menggali sumur atau meletakkan alat untuk mengangkat air, maka ia boleh memanfaatkan air, bahkan ia lebih berhak selama ia itu seorang yang mukim atau berada dalam kepemilikannya. Menyumbangkan air kepada yang lain dihukumi wajib ketika memenuhi enam syarat, yaitu: (1) Air yang ada melebihi kebutuhan untuk diri sendiri atau untuk hewan ternak. ‫ثَلاَثٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلاَةِ يَمْنَعُهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ لأَخَذَهَا بِكَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا وَفَى وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang pedih: (1) seseorang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, tetapi ia enggan memberikannya kepada para musafir yang membutuhkannya; (2) orang yang berjual beli dengan orang lain di waktu ‘Ashar, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia mengambilnya segini dan segini, lalu orang itu mempercayainya padahal tidak demikian keadaannya; (3) orang yang membaiat pemimpinnya hanya karena dunia, bila ia diberi oleh pemimpin ia melaksanakan baiatnya, dan bila tidak diberi, maka ia tidak mau melaksanakan baiatnya.” (HR. Bukhari, no. 2358 dan Muslim, no. 108) (2) Air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya. Namun, jika dibutuhkan untuk tanaman, maka tidak wajib memberikan air. (3) Air itu terdapat di sumur atau mata air. Namun, jika air tersebut dikeluarkan oleh si pemilik ke suatu wadah atau suatu kolam, maka tidaklah wajib memberikan air. (4) Air itu dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka pasti dibutuhkan untuk disiram. (5) Air itu tidak dekat dengan rerumputan atau tanaman yang mubah, maka bagi yang mencari air, ia boleh mengambil air darinya, ia lebih berhak dan lebih dekat. (6) Air itu diambil oleh hewan ternak dengan melewati tanaman selama tidak merusak tanaman, dan pemilik air tidak terkena mudarat. Catatan: Jika terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, maka memberi minum air dalam hal ini menjadi wajib dan tidak boleh mengambil upah dalam hal tersebut.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Baca Juga: Memberi Pinjaman yang Baik dan Memberi Makan Termasuk Amalan Muta’addi Kisah Wanita Pezina yang Memberi Minum pada Anjing – Diselesaikan 15 Jumadal Ula 1445 H, 28 November 2023 di perjalanan Panggang – Playen Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshukum seputar air matan taqrib matan taqrib kitabul buyu memberi minum air mukhabarah musaqah muzaraah

Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabKisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuYang meriwayatkan hadis dari beliauKeistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuKeislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknyaSetan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhuNasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Jika masing-masing kaum muslimin ditanya apakah mereka kenal dengan sosok Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka kita yakin semua mengatakan, “Kami mengenalnya.” Namun, mengenal sosok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama tidak cukup dengan mengenal nama saja sebagaimana ketika kita mengenal sosok teman, kenalan, atau sejawat kita. Mengenalnya lebih jauh adalah salah satu bentuk kecintaan sekaligus bekal untuk meneladani mereka. Sekarang, kita ganti pertanyaannya dengan, “Apakah kaum muslimin mengenal pribadi Umar bin Khattab? Nasab beliau? Keutamaan beliau di hadapan Nabi? Dan apakah nama beliau menjadi salah satu tokoh yang diidolakan oleh anak-anak kaum muslimin di zaman sekarang?” Pertanyaan terakhir sekaligus menjadi teguran, ternyata tidak banyak yang menjawab bahwa mereka menjadikan sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sebagai sosok idola, bahkan mengenalnya lebih dalam pun tidak. Melalui risalah ringkas ini, kita akan sedikit mengenal sosok beliau dan kemuliaan pribadi beliau radhiyallahu ‘anhu. Nama dan nasab Beliau bernama Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Qarth bin Razah bin Adi bin Kaab bin Luaiy Al-Adawi. Digelari dengan Amir Al-Mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman kepada Allah) dan Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu. Kisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang alasan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu masuk Islam, yaitu: Pertama Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu hendak berusaha membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dan mendapatkan kabar bahwasanya saudarinya telah masuk Islam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Umar keluar dengan membawa sebilah pedang. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan seorang dari kalangan Bani Zuhrah dan bertanya, ‘Ke mana engkau hendak pergi, wahai Umar?’ Maka, Umar pun menjawab, ‘Aku hendak membunuh Muhammad.’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Tidakkah engkau khawatir dengan apa yang akan kau terima dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah ketika mereka tahu engkau membunuhnya?’ Maka, Umar menjawab, ‘Kok kurasa kamu sudah berpindah haluan dari agama sebelumnya?’ Orang tersebut pun menjawab, ‘Maukah kuberi tahu berita yang lebih menakjubkan lagi, wahai Umar? Iparmu dan saudarimu telah berpindah ke agama Muhammad.’ Maka, Umar pun bergegas mendatangi keduanya yang tengah bersama seorang dari muhajirin (dikatakan bahwa orang tersebut bernama Khabbab). Keduanya pun berdebat ketika mendengar langkah kaki Umar. Umar masuk sembari mengatakan, ‘Apa yang baru saja kudengar dari kalian?’ (Dikatakan bahwa saat itu mereka membaca surah Thaha) …” (Thabaqat Al-Kubra, 3: 267) Akan tetapi, sanad riwayat ini dhaif karena keberadaan Al-Qasim bin Utsman Al-Bashri yang dikabarkan oleh Ad-Daruquthni (As-Sunan, no. 441) sebagai seorang perawi yang lemah. Begitu pun yang diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dan Imam Bukhari. (Keduanya termaktub dalam Mizan Al-I’tidal, 3: 375) Kedua Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Umar masuk Islam karena mendengar bacaan Al-Qur’an Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad (1: 262) yang menyebutkan bahwa Umar mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama membaca surah Al-Haqqah. Riwayat ini pun dinilai lemah oleh para ulama karena sanadnya terputus sebab Syuraih bin Ubaid tidak berjumpa dengan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dikatakan dalam Tahdzib Al-Kamal (12: 447). Hanya saja mendengar bacaan Al-Qur’an adalah hal yang memang menjadi alasan banyak dari mereka radhiyallahu ‘anhum untuk masuk Islam. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa kisah ini memang benar dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Yang meriwayatkan hadis dari beliau Beliau termasuk sahabat yang tidak terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Namun, banyak dinukil fatwa hukum dari beliau radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, “Aku mengumpulkan fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat kurang lebih dari 130-an sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kudapati dari mereka yang banyak berfatwa adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum.” (I’lam Al-Muwaqqi’in, 2: 18-19) Di antara sahabat yang meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, dan lain-lain. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat Keistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Terdapat banyak keutamaan yang dinisbatkan kepada beliau radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya adalah: Keislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Hal ini termaktub dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallama, اللَّهمَّ أَعِزَّ الإسلامَ بعُمرَ بنِ الخطَّابِ خاصَّةٍ “Ya Allah, muliakanlah agama ini dengan keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.” (HR. Ahmad, 9: 508) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknya Beliau shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, افتحْ له وبشِّره بالجَنَّة “Bukakan pintu untuknya dan kabarkan kepadanya bahwa Allah memasukkan ia ke dalam surga.” (HR. Bukhari no. 6216) Setan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhu Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, إيهٍ يا ابْنَ الخَطَّابِ، والذي نَفْسِي بيَدِهِ، ما لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا إلَّا سَلَكَ فَجًّا غيرَ فَجِّكَ “Wahai Ibnul Khattab, Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya setan berpapasan denganmu, maka ia akan mencari jalan lain selain jalan yang kau lalui.” (HR. Bukhari no. 6085) Nasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Di antara nasihat-nasihat beliau yang dicatat oleh para ulama adalah: Beliau mengatakan, إنا قوم أعزنا الله بالإسلام فلن نلتمس العز بغيره “Kita ini adalah orang-orang yang Allah muliakan dengan Islam dan tidak ada lagi kemuliaan selain Islam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 147) Beliau juga mengatakan, إن الدنيا خضرة حلوة ، فمن أخذها بحقها كان قمنا أن يبارك له فيها ، ومن أخذها بغير ذلك كان كالآكل الذي لا يشبع “Dunia ini hijau lagi menggiurkan. Siapa saja yang mengambilnya sesuai haknya, maka semoga Allah berkahi ia dengannya. Dan siapa saja yang mengambil selain itu, ia laksana orang yang tak akan pernah kenyang.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 148) Dan masih banyak nasihat-nasihat beliau yang lain yang semoga Allah ‘Azza Wajalla ridai beliau dan kumpulkan kita kelak bersama beliau dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum di surga-Nya. Amin. Baca juga: Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Sahabat Nabiumar bin khattab

Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabKisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuYang meriwayatkan hadis dari beliauKeistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuKeislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknyaSetan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhuNasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Jika masing-masing kaum muslimin ditanya apakah mereka kenal dengan sosok Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka kita yakin semua mengatakan, “Kami mengenalnya.” Namun, mengenal sosok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama tidak cukup dengan mengenal nama saja sebagaimana ketika kita mengenal sosok teman, kenalan, atau sejawat kita. Mengenalnya lebih jauh adalah salah satu bentuk kecintaan sekaligus bekal untuk meneladani mereka. Sekarang, kita ganti pertanyaannya dengan, “Apakah kaum muslimin mengenal pribadi Umar bin Khattab? Nasab beliau? Keutamaan beliau di hadapan Nabi? Dan apakah nama beliau menjadi salah satu tokoh yang diidolakan oleh anak-anak kaum muslimin di zaman sekarang?” Pertanyaan terakhir sekaligus menjadi teguran, ternyata tidak banyak yang menjawab bahwa mereka menjadikan sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sebagai sosok idola, bahkan mengenalnya lebih dalam pun tidak. Melalui risalah ringkas ini, kita akan sedikit mengenal sosok beliau dan kemuliaan pribadi beliau radhiyallahu ‘anhu. Nama dan nasab Beliau bernama Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Qarth bin Razah bin Adi bin Kaab bin Luaiy Al-Adawi. Digelari dengan Amir Al-Mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman kepada Allah) dan Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu. Kisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang alasan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu masuk Islam, yaitu: Pertama Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu hendak berusaha membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dan mendapatkan kabar bahwasanya saudarinya telah masuk Islam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Umar keluar dengan membawa sebilah pedang. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan seorang dari kalangan Bani Zuhrah dan bertanya, ‘Ke mana engkau hendak pergi, wahai Umar?’ Maka, Umar pun menjawab, ‘Aku hendak membunuh Muhammad.’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Tidakkah engkau khawatir dengan apa yang akan kau terima dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah ketika mereka tahu engkau membunuhnya?’ Maka, Umar menjawab, ‘Kok kurasa kamu sudah berpindah haluan dari agama sebelumnya?’ Orang tersebut pun menjawab, ‘Maukah kuberi tahu berita yang lebih menakjubkan lagi, wahai Umar? Iparmu dan saudarimu telah berpindah ke agama Muhammad.’ Maka, Umar pun bergegas mendatangi keduanya yang tengah bersama seorang dari muhajirin (dikatakan bahwa orang tersebut bernama Khabbab). Keduanya pun berdebat ketika mendengar langkah kaki Umar. Umar masuk sembari mengatakan, ‘Apa yang baru saja kudengar dari kalian?’ (Dikatakan bahwa saat itu mereka membaca surah Thaha) …” (Thabaqat Al-Kubra, 3: 267) Akan tetapi, sanad riwayat ini dhaif karena keberadaan Al-Qasim bin Utsman Al-Bashri yang dikabarkan oleh Ad-Daruquthni (As-Sunan, no. 441) sebagai seorang perawi yang lemah. Begitu pun yang diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dan Imam Bukhari. (Keduanya termaktub dalam Mizan Al-I’tidal, 3: 375) Kedua Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Umar masuk Islam karena mendengar bacaan Al-Qur’an Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad (1: 262) yang menyebutkan bahwa Umar mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama membaca surah Al-Haqqah. Riwayat ini pun dinilai lemah oleh para ulama karena sanadnya terputus sebab Syuraih bin Ubaid tidak berjumpa dengan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dikatakan dalam Tahdzib Al-Kamal (12: 447). Hanya saja mendengar bacaan Al-Qur’an adalah hal yang memang menjadi alasan banyak dari mereka radhiyallahu ‘anhum untuk masuk Islam. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa kisah ini memang benar dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Yang meriwayatkan hadis dari beliau Beliau termasuk sahabat yang tidak terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Namun, banyak dinukil fatwa hukum dari beliau radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, “Aku mengumpulkan fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat kurang lebih dari 130-an sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kudapati dari mereka yang banyak berfatwa adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum.” (I’lam Al-Muwaqqi’in, 2: 18-19) Di antara sahabat yang meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, dan lain-lain. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat Keistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Terdapat banyak keutamaan yang dinisbatkan kepada beliau radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya adalah: Keislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Hal ini termaktub dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallama, اللَّهمَّ أَعِزَّ الإسلامَ بعُمرَ بنِ الخطَّابِ خاصَّةٍ “Ya Allah, muliakanlah agama ini dengan keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.” (HR. Ahmad, 9: 508) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknya Beliau shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, افتحْ له وبشِّره بالجَنَّة “Bukakan pintu untuknya dan kabarkan kepadanya bahwa Allah memasukkan ia ke dalam surga.” (HR. Bukhari no. 6216) Setan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhu Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, إيهٍ يا ابْنَ الخَطَّابِ، والذي نَفْسِي بيَدِهِ، ما لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا إلَّا سَلَكَ فَجًّا غيرَ فَجِّكَ “Wahai Ibnul Khattab, Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya setan berpapasan denganmu, maka ia akan mencari jalan lain selain jalan yang kau lalui.” (HR. Bukhari no. 6085) Nasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Di antara nasihat-nasihat beliau yang dicatat oleh para ulama adalah: Beliau mengatakan, إنا قوم أعزنا الله بالإسلام فلن نلتمس العز بغيره “Kita ini adalah orang-orang yang Allah muliakan dengan Islam dan tidak ada lagi kemuliaan selain Islam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 147) Beliau juga mengatakan, إن الدنيا خضرة حلوة ، فمن أخذها بحقها كان قمنا أن يبارك له فيها ، ومن أخذها بغير ذلك كان كالآكل الذي لا يشبع “Dunia ini hijau lagi menggiurkan. Siapa saja yang mengambilnya sesuai haknya, maka semoga Allah berkahi ia dengannya. Dan siapa saja yang mengambil selain itu, ia laksana orang yang tak akan pernah kenyang.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 148) Dan masih banyak nasihat-nasihat beliau yang lain yang semoga Allah ‘Azza Wajalla ridai beliau dan kumpulkan kita kelak bersama beliau dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum di surga-Nya. Amin. Baca juga: Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Sahabat Nabiumar bin khattab
Daftar Isi Toggle Nama dan nasabKisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuYang meriwayatkan hadis dari beliauKeistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuKeislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknyaSetan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhuNasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Jika masing-masing kaum muslimin ditanya apakah mereka kenal dengan sosok Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka kita yakin semua mengatakan, “Kami mengenalnya.” Namun, mengenal sosok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama tidak cukup dengan mengenal nama saja sebagaimana ketika kita mengenal sosok teman, kenalan, atau sejawat kita. Mengenalnya lebih jauh adalah salah satu bentuk kecintaan sekaligus bekal untuk meneladani mereka. Sekarang, kita ganti pertanyaannya dengan, “Apakah kaum muslimin mengenal pribadi Umar bin Khattab? Nasab beliau? Keutamaan beliau di hadapan Nabi? Dan apakah nama beliau menjadi salah satu tokoh yang diidolakan oleh anak-anak kaum muslimin di zaman sekarang?” Pertanyaan terakhir sekaligus menjadi teguran, ternyata tidak banyak yang menjawab bahwa mereka menjadikan sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sebagai sosok idola, bahkan mengenalnya lebih dalam pun tidak. Melalui risalah ringkas ini, kita akan sedikit mengenal sosok beliau dan kemuliaan pribadi beliau radhiyallahu ‘anhu. Nama dan nasab Beliau bernama Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Qarth bin Razah bin Adi bin Kaab bin Luaiy Al-Adawi. Digelari dengan Amir Al-Mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman kepada Allah) dan Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu. Kisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang alasan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu masuk Islam, yaitu: Pertama Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu hendak berusaha membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dan mendapatkan kabar bahwasanya saudarinya telah masuk Islam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Umar keluar dengan membawa sebilah pedang. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan seorang dari kalangan Bani Zuhrah dan bertanya, ‘Ke mana engkau hendak pergi, wahai Umar?’ Maka, Umar pun menjawab, ‘Aku hendak membunuh Muhammad.’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Tidakkah engkau khawatir dengan apa yang akan kau terima dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah ketika mereka tahu engkau membunuhnya?’ Maka, Umar menjawab, ‘Kok kurasa kamu sudah berpindah haluan dari agama sebelumnya?’ Orang tersebut pun menjawab, ‘Maukah kuberi tahu berita yang lebih menakjubkan lagi, wahai Umar? Iparmu dan saudarimu telah berpindah ke agama Muhammad.’ Maka, Umar pun bergegas mendatangi keduanya yang tengah bersama seorang dari muhajirin (dikatakan bahwa orang tersebut bernama Khabbab). Keduanya pun berdebat ketika mendengar langkah kaki Umar. Umar masuk sembari mengatakan, ‘Apa yang baru saja kudengar dari kalian?’ (Dikatakan bahwa saat itu mereka membaca surah Thaha) …” (Thabaqat Al-Kubra, 3: 267) Akan tetapi, sanad riwayat ini dhaif karena keberadaan Al-Qasim bin Utsman Al-Bashri yang dikabarkan oleh Ad-Daruquthni (As-Sunan, no. 441) sebagai seorang perawi yang lemah. Begitu pun yang diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dan Imam Bukhari. (Keduanya termaktub dalam Mizan Al-I’tidal, 3: 375) Kedua Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Umar masuk Islam karena mendengar bacaan Al-Qur’an Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad (1: 262) yang menyebutkan bahwa Umar mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama membaca surah Al-Haqqah. Riwayat ini pun dinilai lemah oleh para ulama karena sanadnya terputus sebab Syuraih bin Ubaid tidak berjumpa dengan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dikatakan dalam Tahdzib Al-Kamal (12: 447). Hanya saja mendengar bacaan Al-Qur’an adalah hal yang memang menjadi alasan banyak dari mereka radhiyallahu ‘anhum untuk masuk Islam. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa kisah ini memang benar dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Yang meriwayatkan hadis dari beliau Beliau termasuk sahabat yang tidak terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Namun, banyak dinukil fatwa hukum dari beliau radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, “Aku mengumpulkan fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat kurang lebih dari 130-an sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kudapati dari mereka yang banyak berfatwa adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum.” (I’lam Al-Muwaqqi’in, 2: 18-19) Di antara sahabat yang meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, dan lain-lain. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat Keistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Terdapat banyak keutamaan yang dinisbatkan kepada beliau radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya adalah: Keislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Hal ini termaktub dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallama, اللَّهمَّ أَعِزَّ الإسلامَ بعُمرَ بنِ الخطَّابِ خاصَّةٍ “Ya Allah, muliakanlah agama ini dengan keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.” (HR. Ahmad, 9: 508) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknya Beliau shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, افتحْ له وبشِّره بالجَنَّة “Bukakan pintu untuknya dan kabarkan kepadanya bahwa Allah memasukkan ia ke dalam surga.” (HR. Bukhari no. 6216) Setan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhu Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, إيهٍ يا ابْنَ الخَطَّابِ، والذي نَفْسِي بيَدِهِ، ما لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا إلَّا سَلَكَ فَجًّا غيرَ فَجِّكَ “Wahai Ibnul Khattab, Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya setan berpapasan denganmu, maka ia akan mencari jalan lain selain jalan yang kau lalui.” (HR. Bukhari no. 6085) Nasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Di antara nasihat-nasihat beliau yang dicatat oleh para ulama adalah: Beliau mengatakan, إنا قوم أعزنا الله بالإسلام فلن نلتمس العز بغيره “Kita ini adalah orang-orang yang Allah muliakan dengan Islam dan tidak ada lagi kemuliaan selain Islam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 147) Beliau juga mengatakan, إن الدنيا خضرة حلوة ، فمن أخذها بحقها كان قمنا أن يبارك له فيها ، ومن أخذها بغير ذلك كان كالآكل الذي لا يشبع “Dunia ini hijau lagi menggiurkan. Siapa saja yang mengambilnya sesuai haknya, maka semoga Allah berkahi ia dengannya. Dan siapa saja yang mengambil selain itu, ia laksana orang yang tak akan pernah kenyang.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 148) Dan masih banyak nasihat-nasihat beliau yang lain yang semoga Allah ‘Azza Wajalla ridai beliau dan kumpulkan kita kelak bersama beliau dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum di surga-Nya. Amin. Baca juga: Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Sahabat Nabiumar bin khattab


Daftar Isi Toggle Nama dan nasabKisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuYang meriwayatkan hadis dari beliauKeistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuKeislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknyaSetan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhuNasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Jika masing-masing kaum muslimin ditanya apakah mereka kenal dengan sosok Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka kita yakin semua mengatakan, “Kami mengenalnya.” Namun, mengenal sosok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama tidak cukup dengan mengenal nama saja sebagaimana ketika kita mengenal sosok teman, kenalan, atau sejawat kita. Mengenalnya lebih jauh adalah salah satu bentuk kecintaan sekaligus bekal untuk meneladani mereka. Sekarang, kita ganti pertanyaannya dengan, “Apakah kaum muslimin mengenal pribadi Umar bin Khattab? Nasab beliau? Keutamaan beliau di hadapan Nabi? Dan apakah nama beliau menjadi salah satu tokoh yang diidolakan oleh anak-anak kaum muslimin di zaman sekarang?” Pertanyaan terakhir sekaligus menjadi teguran, ternyata tidak banyak yang menjawab bahwa mereka menjadikan sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sebagai sosok idola, bahkan mengenalnya lebih dalam pun tidak. Melalui risalah ringkas ini, kita akan sedikit mengenal sosok beliau dan kemuliaan pribadi beliau radhiyallahu ‘anhu. Nama dan nasab Beliau bernama Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Qarth bin Razah bin Adi bin Kaab bin Luaiy Al-Adawi. Digelari dengan Amir Al-Mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman kepada Allah) dan Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu. Kisah keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang alasan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu masuk Islam, yaitu: Pertama Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu hendak berusaha membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dan mendapatkan kabar bahwasanya saudarinya telah masuk Islam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Umar keluar dengan membawa sebilah pedang. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan seorang dari kalangan Bani Zuhrah dan bertanya, ‘Ke mana engkau hendak pergi, wahai Umar?’ Maka, Umar pun menjawab, ‘Aku hendak membunuh Muhammad.’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Tidakkah engkau khawatir dengan apa yang akan kau terima dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah ketika mereka tahu engkau membunuhnya?’ Maka, Umar menjawab, ‘Kok kurasa kamu sudah berpindah haluan dari agama sebelumnya?’ Orang tersebut pun menjawab, ‘Maukah kuberi tahu berita yang lebih menakjubkan lagi, wahai Umar? Iparmu dan saudarimu telah berpindah ke agama Muhammad.’ Maka, Umar pun bergegas mendatangi keduanya yang tengah bersama seorang dari muhajirin (dikatakan bahwa orang tersebut bernama Khabbab). Keduanya pun berdebat ketika mendengar langkah kaki Umar. Umar masuk sembari mengatakan, ‘Apa yang baru saja kudengar dari kalian?’ (Dikatakan bahwa saat itu mereka membaca surah Thaha) …” (Thabaqat Al-Kubra, 3: 267) Akan tetapi, sanad riwayat ini dhaif karena keberadaan Al-Qasim bin Utsman Al-Bashri yang dikabarkan oleh Ad-Daruquthni (As-Sunan, no. 441) sebagai seorang perawi yang lemah. Begitu pun yang diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dan Imam Bukhari. (Keduanya termaktub dalam Mizan Al-I’tidal, 3: 375) Kedua Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Umar masuk Islam karena mendengar bacaan Al-Qur’an Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad (1: 262) yang menyebutkan bahwa Umar mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama membaca surah Al-Haqqah. Riwayat ini pun dinilai lemah oleh para ulama karena sanadnya terputus sebab Syuraih bin Ubaid tidak berjumpa dengan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dikatakan dalam Tahdzib Al-Kamal (12: 447). Hanya saja mendengar bacaan Al-Qur’an adalah hal yang memang menjadi alasan banyak dari mereka radhiyallahu ‘anhum untuk masuk Islam. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa kisah ini memang benar dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Yang meriwayatkan hadis dari beliau Beliau termasuk sahabat yang tidak terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Namun, banyak dinukil fatwa hukum dari beliau radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, “Aku mengumpulkan fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat kurang lebih dari 130-an sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kudapati dari mereka yang banyak berfatwa adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum.” (I’lam Al-Muwaqqi’in, 2: 18-19) Di antara sahabat yang meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, dan lain-lain. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat Keistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Terdapat banyak keutamaan yang dinisbatkan kepada beliau radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya adalah: Keislaman Umar adalah hal yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Hal ini termaktub dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallama, اللَّهمَّ أَعِزَّ الإسلامَ بعُمرَ بنِ الخطَّابِ خاصَّةٍ “Ya Allah, muliakanlah agama ini dengan keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.” (HR. Ahmad, 9: 508) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengabarkan surga untuknya Beliau shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, افتحْ له وبشِّره بالجَنَّة “Bukakan pintu untuknya dan kabarkan kepadanya bahwa Allah memasukkan ia ke dalam surga.” (HR. Bukhari no. 6216) Setan lebih memilih jalan lain dibanding harus berpapasan dengan Umar radhiyallahu ‘anhu Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, إيهٍ يا ابْنَ الخَطَّابِ، والذي نَفْسِي بيَدِهِ، ما لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا إلَّا سَلَكَ فَجًّا غيرَ فَجِّكَ “Wahai Ibnul Khattab, Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya setan berpapasan denganmu, maka ia akan mencari jalan lain selain jalan yang kau lalui.” (HR. Bukhari no. 6085) Nasihat-nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Di antara nasihat-nasihat beliau yang dicatat oleh para ulama adalah: Beliau mengatakan, إنا قوم أعزنا الله بالإسلام فلن نلتمس العز بغيره “Kita ini adalah orang-orang yang Allah muliakan dengan Islam dan tidak ada lagi kemuliaan selain Islam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 147) Beliau juga mengatakan, إن الدنيا خضرة حلوة ، فمن أخذها بحقها كان قمنا أن يبارك له فيها ، ومن أخذها بغير ذلك كان كالآكل الذي لا يشبع “Dunia ini hijau lagi menggiurkan. Siapa saja yang mengambilnya sesuai haknya, maka semoga Allah berkahi ia dengannya. Dan siapa saja yang mengambil selain itu, ia laksana orang yang tak akan pernah kenyang.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 148) Dan masih banyak nasihat-nasihat beliau yang lain yang semoga Allah ‘Azza Wajalla ridai beliau dan kumpulkan kita kelak bersama beliau dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum di surga-Nya. Amin. Baca juga: Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Sahabat Nabiumar bin khattab

Pembahasan Seputar “Ludah” dalam Syariat Islam

Daftar Isi Toggle Pertama, dilarang meludah menghadap kiblatKedua, dilarang meludah di dalam masjidKetiga, dianjurkan berobat dengan air ludahKeempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahirKelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi burukKeenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Islam adalah agama yang sempurna. Di mana selain mengatur perkara-perkara besar, juga mengatur perkara kecil yang sering dianggap sepele dalam pandangan sebagian manusia. Salah satu perkara tersebut adalah terkait membuang ludah.  Air ludah sangat bermanfaat bagi metabolisme tubuh kita, karena membantu mulut untuk tetap lembab, membantu perncernaan, membersihkan sisa makanan di mulut, dan membantu menumbuhkan lapisan di gigi yang rusak. Meskipun demikian, air ludah yang dikeluarkan secara sembarangan tentu sangat menganggu orang lain. Terlebih jika ludah tersebut dikeluarkan oleh orang yang mempunyai penyakit tertentu (menular lewat air ludah),  maka sangat membahayakan bagi orang lain. Banyak bakteri dan virus yang hidup dalam air ludah. Maka dari itu, Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan bagi umat manusia. Salah satunya dengan adanya tuntunan membuang ludah. Berikut adab meludah dalam Islam. Pertama, dilarang meludah menghadap kiblat Ketika dalam kondisi salat maupun di luar salat, seseorang yang hendak membuang air ludahnya, maka dilarang untuk menghadap ke arah kiblat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقْ فِي قِبْلَتِهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى “Jika salah satu dari kalian salat, hendaknya tidak meludah ke arah kiblat. Sebab orang yang salat adalah orang yang sedang bermunajat kepada Allah Tabaraka Wata’ala.” (HR.  Ahmad no. 4645) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتَفْلَتَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ “Barangsiapa meludah ke arah kiblat, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan diludahi di antara kedua matanya.” (HR. Abu Dawud, 3: 425) Dalam sabda beliau yang lain, إذَا تَنَخَّمَ أحَدُكُمْ فلا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وجْهِهِ، ولَا عن يَمِينِهِ ولْيَبْصُقْ عن يَسَارِهِ، أوْ تَحْتَ قَدَمِهِ اليُسْرَى “Jika salah seorang dari kalian ingin meludah, maka janganlah sekali-kali ia meludah ke arah depan atau ke arah kanan. Hendaklah ia meludah ke arah kiri atau di bawah telapak kaki sebelah kiri.“ (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, dilarang meludah di dalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا “Meludah di masjid adalah suatu dosa (kesalahan), dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun ludah tersebut.” (HR. Bukhari) Maksud dari menimbun ludah pada hadis di atas adalah apabila lantai masjid itu dari tanah, pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur, maka ia meludah di kainnya, tangannya, tisu atau yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ دَخَلَ هَذَا الْمَسْجِدَ فَبَزَقَ فِيهِ أَوْ تَنَخَّمَ فَلْيَحْفِرْ فَلْيَدْفِنْهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيَبْزُقْ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ لِيَخْرُجْ بِهِ “Barangsiapa yang masuk masjid ini dan meludah padanya atau berdahak, maka hendaklah dia menggali lubang, kemudian pendamlah ludah atau dahak itu. Apabila dia tidak melakukan demikian, maka meludahlah di pakaiannya kemudian keluarlah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 403) Ketiga, dianjurkan berobat dengan air ludah Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan pengobatan dengan tanah dan air ludah, kemudian beliau membaca doa, بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا، يُشْفَى سَقِيْمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا “Dengan menyebut nama Allah, (debu) tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizin Rabb kami.” (HR. Bukhari) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadis bahwa beliau mengambil air ludah dengan jari telunjuknya kemudian meletakkan (menempelkannya) ke tanah, maka akan ada tanah yang menempel kemudian mengusap tempat yang sakit atau luka sambil mengucapkan doa ketika mengucapkannya.” (Lihat Fathul Bari, 10: 208) Perlu diketahui bahwa contoh-contoh pengobatan dalam hadis masih bersifat umum dan perlu dirinci lagi, juga butuh dijelaskan oleh thabib (dokter) pada zamannya atau orang yang memiliki ilmu terkait pengobatan tersebut. Baca juga: Minum Kencing Unta Untuk Berobat Keempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahir Ketika anak kita lahir, maka dianjurkan untuk men-tahnik-nya. Yaitu, memakan dan mengunyah kurma (agar bercampur dengan air ludah), dari air liur yang sudah bercampur dengan kurma diambil dengan jari telunjuk, kemudian dimasukan ke mulut bayi di bagian langit-langit mulut, maka si anak tersebut akan reflek untuk mengecapnya. Dari sisi medis, ada penjelasan bahwa tahnik sesuai dengan medis karena anak bayi yang baru lahir membutuhkan glukosa. Akan tetapi, tentu saja hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jika tidak mendapatkan kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama daripada yang lainnya. (Lihat Fathul Bari, 9: 588) Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ “Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya nama Ibrahim dan men-tahnik-nya dengan sebiji kurma (tamr).” (HR. Bukhari dan Muslim) Kelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi buruk Diriwayatkan dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengadukan gangguan yang ia alami ketika salat. Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً “Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.” Kata Utsman, “Aku pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain Utsman bin Affan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, setan telah mengganggu salat dan bacaanku.” Beliau bersabda, “Itulah setan yang disebut dengan khanzab. Jika engkau merasakan kehadirannya, maka bacalah ta’awudz kepada Allah dan meludah kecillah ke arah kiri tiga kali.” (HR. Ahmad) Cara meludahnya yaitu dengan cara meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah ke arah kiri. Hal ini diperbolehkan selama tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid. Begitu pula, ketika bangun dari mimpi buruk, maka dianjurkan meludah, ber-ta’awudz, dan dilarang untuk menceritakan kepada orang lain tentang mimpi buruk yang dialami karena mimpi buruk datang dari setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرؤيا الصالحة من الله، والحلم من الشيطان، فإذا رأى أحدكم ما يكره فلينفث عن يساره ثلاثا، وليتعوذ بالله من الشيطان ومن شر ما رأى ثلاثاً، ثم ينقلب على جنبه الآخر، فإنها لا تضره ولا يخبر بها أحداً “Mimpi yang baik itu dari Allah. Sedangkan mimpi yang buruk itu dari setan. Jika salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai, maka hendaknya ia meniup ke sebelah kirinya tiga kali dan membaca ta’awudz sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu hendaknya ia membalik tubuhnya ke sisi yang lain, dengan demikian tidak ada lagi yang membahayakan. Dan jangan ceritakan kepada seorang pun mimpi tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia mengusap tangannya sebelum ia menjilatnya atau yang lain yang menjilatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Makan dan Minum di Dalam Masjid *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: ludah

Pembahasan Seputar “Ludah” dalam Syariat Islam

Daftar Isi Toggle Pertama, dilarang meludah menghadap kiblatKedua, dilarang meludah di dalam masjidKetiga, dianjurkan berobat dengan air ludahKeempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahirKelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi burukKeenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Islam adalah agama yang sempurna. Di mana selain mengatur perkara-perkara besar, juga mengatur perkara kecil yang sering dianggap sepele dalam pandangan sebagian manusia. Salah satu perkara tersebut adalah terkait membuang ludah.  Air ludah sangat bermanfaat bagi metabolisme tubuh kita, karena membantu mulut untuk tetap lembab, membantu perncernaan, membersihkan sisa makanan di mulut, dan membantu menumbuhkan lapisan di gigi yang rusak. Meskipun demikian, air ludah yang dikeluarkan secara sembarangan tentu sangat menganggu orang lain. Terlebih jika ludah tersebut dikeluarkan oleh orang yang mempunyai penyakit tertentu (menular lewat air ludah),  maka sangat membahayakan bagi orang lain. Banyak bakteri dan virus yang hidup dalam air ludah. Maka dari itu, Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan bagi umat manusia. Salah satunya dengan adanya tuntunan membuang ludah. Berikut adab meludah dalam Islam. Pertama, dilarang meludah menghadap kiblat Ketika dalam kondisi salat maupun di luar salat, seseorang yang hendak membuang air ludahnya, maka dilarang untuk menghadap ke arah kiblat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقْ فِي قِبْلَتِهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى “Jika salah satu dari kalian salat, hendaknya tidak meludah ke arah kiblat. Sebab orang yang salat adalah orang yang sedang bermunajat kepada Allah Tabaraka Wata’ala.” (HR.  Ahmad no. 4645) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتَفْلَتَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ “Barangsiapa meludah ke arah kiblat, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan diludahi di antara kedua matanya.” (HR. Abu Dawud, 3: 425) Dalam sabda beliau yang lain, إذَا تَنَخَّمَ أحَدُكُمْ فلا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وجْهِهِ، ولَا عن يَمِينِهِ ولْيَبْصُقْ عن يَسَارِهِ، أوْ تَحْتَ قَدَمِهِ اليُسْرَى “Jika salah seorang dari kalian ingin meludah, maka janganlah sekali-kali ia meludah ke arah depan atau ke arah kanan. Hendaklah ia meludah ke arah kiri atau di bawah telapak kaki sebelah kiri.“ (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, dilarang meludah di dalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا “Meludah di masjid adalah suatu dosa (kesalahan), dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun ludah tersebut.” (HR. Bukhari) Maksud dari menimbun ludah pada hadis di atas adalah apabila lantai masjid itu dari tanah, pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur, maka ia meludah di kainnya, tangannya, tisu atau yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ دَخَلَ هَذَا الْمَسْجِدَ فَبَزَقَ فِيهِ أَوْ تَنَخَّمَ فَلْيَحْفِرْ فَلْيَدْفِنْهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيَبْزُقْ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ لِيَخْرُجْ بِهِ “Barangsiapa yang masuk masjid ini dan meludah padanya atau berdahak, maka hendaklah dia menggali lubang, kemudian pendamlah ludah atau dahak itu. Apabila dia tidak melakukan demikian, maka meludahlah di pakaiannya kemudian keluarlah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 403) Ketiga, dianjurkan berobat dengan air ludah Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan pengobatan dengan tanah dan air ludah, kemudian beliau membaca doa, بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا، يُشْفَى سَقِيْمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا “Dengan menyebut nama Allah, (debu) tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizin Rabb kami.” (HR. Bukhari) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadis bahwa beliau mengambil air ludah dengan jari telunjuknya kemudian meletakkan (menempelkannya) ke tanah, maka akan ada tanah yang menempel kemudian mengusap tempat yang sakit atau luka sambil mengucapkan doa ketika mengucapkannya.” (Lihat Fathul Bari, 10: 208) Perlu diketahui bahwa contoh-contoh pengobatan dalam hadis masih bersifat umum dan perlu dirinci lagi, juga butuh dijelaskan oleh thabib (dokter) pada zamannya atau orang yang memiliki ilmu terkait pengobatan tersebut. Baca juga: Minum Kencing Unta Untuk Berobat Keempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahir Ketika anak kita lahir, maka dianjurkan untuk men-tahnik-nya. Yaitu, memakan dan mengunyah kurma (agar bercampur dengan air ludah), dari air liur yang sudah bercampur dengan kurma diambil dengan jari telunjuk, kemudian dimasukan ke mulut bayi di bagian langit-langit mulut, maka si anak tersebut akan reflek untuk mengecapnya. Dari sisi medis, ada penjelasan bahwa tahnik sesuai dengan medis karena anak bayi yang baru lahir membutuhkan glukosa. Akan tetapi, tentu saja hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jika tidak mendapatkan kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama daripada yang lainnya. (Lihat Fathul Bari, 9: 588) Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ “Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya nama Ibrahim dan men-tahnik-nya dengan sebiji kurma (tamr).” (HR. Bukhari dan Muslim) Kelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi buruk Diriwayatkan dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengadukan gangguan yang ia alami ketika salat. Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً “Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.” Kata Utsman, “Aku pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain Utsman bin Affan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, setan telah mengganggu salat dan bacaanku.” Beliau bersabda, “Itulah setan yang disebut dengan khanzab. Jika engkau merasakan kehadirannya, maka bacalah ta’awudz kepada Allah dan meludah kecillah ke arah kiri tiga kali.” (HR. Ahmad) Cara meludahnya yaitu dengan cara meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah ke arah kiri. Hal ini diperbolehkan selama tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid. Begitu pula, ketika bangun dari mimpi buruk, maka dianjurkan meludah, ber-ta’awudz, dan dilarang untuk menceritakan kepada orang lain tentang mimpi buruk yang dialami karena mimpi buruk datang dari setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرؤيا الصالحة من الله، والحلم من الشيطان، فإذا رأى أحدكم ما يكره فلينفث عن يساره ثلاثا، وليتعوذ بالله من الشيطان ومن شر ما رأى ثلاثاً، ثم ينقلب على جنبه الآخر، فإنها لا تضره ولا يخبر بها أحداً “Mimpi yang baik itu dari Allah. Sedangkan mimpi yang buruk itu dari setan. Jika salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai, maka hendaknya ia meniup ke sebelah kirinya tiga kali dan membaca ta’awudz sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu hendaknya ia membalik tubuhnya ke sisi yang lain, dengan demikian tidak ada lagi yang membahayakan. Dan jangan ceritakan kepada seorang pun mimpi tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia mengusap tangannya sebelum ia menjilatnya atau yang lain yang menjilatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Makan dan Minum di Dalam Masjid *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: ludah
Daftar Isi Toggle Pertama, dilarang meludah menghadap kiblatKedua, dilarang meludah di dalam masjidKetiga, dianjurkan berobat dengan air ludahKeempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahirKelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi burukKeenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Islam adalah agama yang sempurna. Di mana selain mengatur perkara-perkara besar, juga mengatur perkara kecil yang sering dianggap sepele dalam pandangan sebagian manusia. Salah satu perkara tersebut adalah terkait membuang ludah.  Air ludah sangat bermanfaat bagi metabolisme tubuh kita, karena membantu mulut untuk tetap lembab, membantu perncernaan, membersihkan sisa makanan di mulut, dan membantu menumbuhkan lapisan di gigi yang rusak. Meskipun demikian, air ludah yang dikeluarkan secara sembarangan tentu sangat menganggu orang lain. Terlebih jika ludah tersebut dikeluarkan oleh orang yang mempunyai penyakit tertentu (menular lewat air ludah),  maka sangat membahayakan bagi orang lain. Banyak bakteri dan virus yang hidup dalam air ludah. Maka dari itu, Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan bagi umat manusia. Salah satunya dengan adanya tuntunan membuang ludah. Berikut adab meludah dalam Islam. Pertama, dilarang meludah menghadap kiblat Ketika dalam kondisi salat maupun di luar salat, seseorang yang hendak membuang air ludahnya, maka dilarang untuk menghadap ke arah kiblat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقْ فِي قِبْلَتِهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى “Jika salah satu dari kalian salat, hendaknya tidak meludah ke arah kiblat. Sebab orang yang salat adalah orang yang sedang bermunajat kepada Allah Tabaraka Wata’ala.” (HR.  Ahmad no. 4645) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتَفْلَتَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ “Barangsiapa meludah ke arah kiblat, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan diludahi di antara kedua matanya.” (HR. Abu Dawud, 3: 425) Dalam sabda beliau yang lain, إذَا تَنَخَّمَ أحَدُكُمْ فلا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وجْهِهِ، ولَا عن يَمِينِهِ ولْيَبْصُقْ عن يَسَارِهِ، أوْ تَحْتَ قَدَمِهِ اليُسْرَى “Jika salah seorang dari kalian ingin meludah, maka janganlah sekali-kali ia meludah ke arah depan atau ke arah kanan. Hendaklah ia meludah ke arah kiri atau di bawah telapak kaki sebelah kiri.“ (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, dilarang meludah di dalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا “Meludah di masjid adalah suatu dosa (kesalahan), dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun ludah tersebut.” (HR. Bukhari) Maksud dari menimbun ludah pada hadis di atas adalah apabila lantai masjid itu dari tanah, pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur, maka ia meludah di kainnya, tangannya, tisu atau yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ دَخَلَ هَذَا الْمَسْجِدَ فَبَزَقَ فِيهِ أَوْ تَنَخَّمَ فَلْيَحْفِرْ فَلْيَدْفِنْهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيَبْزُقْ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ لِيَخْرُجْ بِهِ “Barangsiapa yang masuk masjid ini dan meludah padanya atau berdahak, maka hendaklah dia menggali lubang, kemudian pendamlah ludah atau dahak itu. Apabila dia tidak melakukan demikian, maka meludahlah di pakaiannya kemudian keluarlah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 403) Ketiga, dianjurkan berobat dengan air ludah Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan pengobatan dengan tanah dan air ludah, kemudian beliau membaca doa, بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا، يُشْفَى سَقِيْمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا “Dengan menyebut nama Allah, (debu) tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizin Rabb kami.” (HR. Bukhari) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadis bahwa beliau mengambil air ludah dengan jari telunjuknya kemudian meletakkan (menempelkannya) ke tanah, maka akan ada tanah yang menempel kemudian mengusap tempat yang sakit atau luka sambil mengucapkan doa ketika mengucapkannya.” (Lihat Fathul Bari, 10: 208) Perlu diketahui bahwa contoh-contoh pengobatan dalam hadis masih bersifat umum dan perlu dirinci lagi, juga butuh dijelaskan oleh thabib (dokter) pada zamannya atau orang yang memiliki ilmu terkait pengobatan tersebut. Baca juga: Minum Kencing Unta Untuk Berobat Keempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahir Ketika anak kita lahir, maka dianjurkan untuk men-tahnik-nya. Yaitu, memakan dan mengunyah kurma (agar bercampur dengan air ludah), dari air liur yang sudah bercampur dengan kurma diambil dengan jari telunjuk, kemudian dimasukan ke mulut bayi di bagian langit-langit mulut, maka si anak tersebut akan reflek untuk mengecapnya. Dari sisi medis, ada penjelasan bahwa tahnik sesuai dengan medis karena anak bayi yang baru lahir membutuhkan glukosa. Akan tetapi, tentu saja hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jika tidak mendapatkan kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama daripada yang lainnya. (Lihat Fathul Bari, 9: 588) Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ “Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya nama Ibrahim dan men-tahnik-nya dengan sebiji kurma (tamr).” (HR. Bukhari dan Muslim) Kelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi buruk Diriwayatkan dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengadukan gangguan yang ia alami ketika salat. Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً “Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.” Kata Utsman, “Aku pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain Utsman bin Affan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, setan telah mengganggu salat dan bacaanku.” Beliau bersabda, “Itulah setan yang disebut dengan khanzab. Jika engkau merasakan kehadirannya, maka bacalah ta’awudz kepada Allah dan meludah kecillah ke arah kiri tiga kali.” (HR. Ahmad) Cara meludahnya yaitu dengan cara meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah ke arah kiri. Hal ini diperbolehkan selama tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid. Begitu pula, ketika bangun dari mimpi buruk, maka dianjurkan meludah, ber-ta’awudz, dan dilarang untuk menceritakan kepada orang lain tentang mimpi buruk yang dialami karena mimpi buruk datang dari setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرؤيا الصالحة من الله، والحلم من الشيطان، فإذا رأى أحدكم ما يكره فلينفث عن يساره ثلاثا، وليتعوذ بالله من الشيطان ومن شر ما رأى ثلاثاً، ثم ينقلب على جنبه الآخر، فإنها لا تضره ولا يخبر بها أحداً “Mimpi yang baik itu dari Allah. Sedangkan mimpi yang buruk itu dari setan. Jika salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai, maka hendaknya ia meniup ke sebelah kirinya tiga kali dan membaca ta’awudz sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu hendaknya ia membalik tubuhnya ke sisi yang lain, dengan demikian tidak ada lagi yang membahayakan. Dan jangan ceritakan kepada seorang pun mimpi tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia mengusap tangannya sebelum ia menjilatnya atau yang lain yang menjilatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Makan dan Minum di Dalam Masjid *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: ludah


Daftar Isi Toggle Pertama, dilarang meludah menghadap kiblatKedua, dilarang meludah di dalam masjidKetiga, dianjurkan berobat dengan air ludahKeempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahirKelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi burukKeenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Islam adalah agama yang sempurna. Di mana selain mengatur perkara-perkara besar, juga mengatur perkara kecil yang sering dianggap sepele dalam pandangan sebagian manusia. Salah satu perkara tersebut adalah terkait membuang ludah.  Air ludah sangat bermanfaat bagi metabolisme tubuh kita, karena membantu mulut untuk tetap lembab, membantu perncernaan, membersihkan sisa makanan di mulut, dan membantu menumbuhkan lapisan di gigi yang rusak. Meskipun demikian, air ludah yang dikeluarkan secara sembarangan tentu sangat menganggu orang lain. Terlebih jika ludah tersebut dikeluarkan oleh orang yang mempunyai penyakit tertentu (menular lewat air ludah),  maka sangat membahayakan bagi orang lain. Banyak bakteri dan virus yang hidup dalam air ludah. Maka dari itu, Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan bagi umat manusia. Salah satunya dengan adanya tuntunan membuang ludah. Berikut adab meludah dalam Islam. Pertama, dilarang meludah menghadap kiblat Ketika dalam kondisi salat maupun di luar salat, seseorang yang hendak membuang air ludahnya, maka dilarang untuk menghadap ke arah kiblat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقْ فِي قِبْلَتِهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى “Jika salah satu dari kalian salat, hendaknya tidak meludah ke arah kiblat. Sebab orang yang salat adalah orang yang sedang bermunajat kepada Allah Tabaraka Wata’ala.” (HR.  Ahmad no. 4645) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتَفْلَتَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ “Barangsiapa meludah ke arah kiblat, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan diludahi di antara kedua matanya.” (HR. Abu Dawud, 3: 425) Dalam sabda beliau yang lain, إذَا تَنَخَّمَ أحَدُكُمْ فلا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وجْهِهِ، ولَا عن يَمِينِهِ ولْيَبْصُقْ عن يَسَارِهِ، أوْ تَحْتَ قَدَمِهِ اليُسْرَى “Jika salah seorang dari kalian ingin meludah, maka janganlah sekali-kali ia meludah ke arah depan atau ke arah kanan. Hendaklah ia meludah ke arah kiri atau di bawah telapak kaki sebelah kiri.“ (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, dilarang meludah di dalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا “Meludah di masjid adalah suatu dosa (kesalahan), dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun ludah tersebut.” (HR. Bukhari) Maksud dari menimbun ludah pada hadis di atas adalah apabila lantai masjid itu dari tanah, pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur, maka ia meludah di kainnya, tangannya, tisu atau yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ دَخَلَ هَذَا الْمَسْجِدَ فَبَزَقَ فِيهِ أَوْ تَنَخَّمَ فَلْيَحْفِرْ فَلْيَدْفِنْهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيَبْزُقْ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ لِيَخْرُجْ بِهِ “Barangsiapa yang masuk masjid ini dan meludah padanya atau berdahak, maka hendaklah dia menggali lubang, kemudian pendamlah ludah atau dahak itu. Apabila dia tidak melakukan demikian, maka meludahlah di pakaiannya kemudian keluarlah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 403) Ketiga, dianjurkan berobat dengan air ludah Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan pengobatan dengan tanah dan air ludah, kemudian beliau membaca doa, بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا، يُشْفَى سَقِيْمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا “Dengan menyebut nama Allah, (debu) tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizin Rabb kami.” (HR. Bukhari) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadis bahwa beliau mengambil air ludah dengan jari telunjuknya kemudian meletakkan (menempelkannya) ke tanah, maka akan ada tanah yang menempel kemudian mengusap tempat yang sakit atau luka sambil mengucapkan doa ketika mengucapkannya.” (Lihat Fathul Bari, 10: 208) Perlu diketahui bahwa contoh-contoh pengobatan dalam hadis masih bersifat umum dan perlu dirinci lagi, juga butuh dijelaskan oleh thabib (dokter) pada zamannya atau orang yang memiliki ilmu terkait pengobatan tersebut. Baca juga: Minum Kencing Unta Untuk Berobat Keempat, sunah men-tahnik anak yang baru lahir Ketika anak kita lahir, maka dianjurkan untuk men-tahnik-nya. Yaitu, memakan dan mengunyah kurma (agar bercampur dengan air ludah), dari air liur yang sudah bercampur dengan kurma diambil dengan jari telunjuk, kemudian dimasukan ke mulut bayi di bagian langit-langit mulut, maka si anak tersebut akan reflek untuk mengecapnya. Dari sisi medis, ada penjelasan bahwa tahnik sesuai dengan medis karena anak bayi yang baru lahir membutuhkan glukosa. Akan tetapi, tentu saja hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jika tidak mendapatkan kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama daripada yang lainnya. (Lihat Fathul Bari, 9: 588) Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ “Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya nama Ibrahim dan men-tahnik-nya dengan sebiji kurma (tamr).” (HR. Bukhari dan Muslim) Kelima, meludah ringan ketika lupa bacaan salat dan ketika mimpi buruk Diriwayatkan dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengadukan gangguan yang ia alami ketika salat. Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً “Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.” Kata Utsman, “Aku pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain Utsman bin Affan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, setan telah mengganggu salat dan bacaanku.” Beliau bersabda, “Itulah setan yang disebut dengan khanzab. Jika engkau merasakan kehadirannya, maka bacalah ta’awudz kepada Allah dan meludah kecillah ke arah kiri tiga kali.” (HR. Ahmad) Cara meludahnya yaitu dengan cara meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah ke arah kiri. Hal ini diperbolehkan selama tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid. Begitu pula, ketika bangun dari mimpi buruk, maka dianjurkan meludah, ber-ta’awudz, dan dilarang untuk menceritakan kepada orang lain tentang mimpi buruk yang dialami karena mimpi buruk datang dari setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرؤيا الصالحة من الله، والحلم من الشيطان، فإذا رأى أحدكم ما يكره فلينفث عن يساره ثلاثا، وليتعوذ بالله من الشيطان ومن شر ما رأى ثلاثاً، ثم ينقلب على جنبه الآخر، فإنها لا تضره ولا يخبر بها أحداً “Mimpi yang baik itu dari Allah. Sedangkan mimpi yang buruk itu dari setan. Jika salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai, maka hendaknya ia meniup ke sebelah kirinya tiga kali dan membaca ta’awudz sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu hendaknya ia membalik tubuhnya ke sisi yang lain, dengan demikian tidak ada lagi yang membahayakan. Dan jangan ceritakan kepada seorang pun mimpi tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keenam, disyariatkan menjilat jari setelah makan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia mengusap tangannya sebelum ia menjilatnya atau yang lain yang menjilatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Makan dan Minum di Dalam Masjid *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: ludah

Hadis: Bagaimanakah Hukum Seorang Istri Memberi Zakat kepada Suami atau Sebaliknya?

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami?Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ، وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا. فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ. ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا. فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan tempat salat untuk melaksanakan salat hari raya Iduladha atau Idulfitri. Setelah selesai, beliau memberi nasihat kepada manusia dan memerintahkan mereka untuk menunaikan zakat seraya bersabda, ‘Wahai manusia, bersedekahlah!’ Kemudian beliau mendatangi jemaah wanita, lalu bersabda, ‘Wahai kaum wanita, bersedekahlah. Sungguh, aku melihat kalian adalah yang akan paling banyak menjadi penghuni neraka.’ Mereka (para sahabiyah) bertanya, ‘Mengapa begitu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan mengingkari pemberian (suami). Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para wanita.’ Kemudian beliau mengakhiri khotbahnya, lalu pergi. Sesampainya beliau di tempat tinggalnya, datanglah Zainab, istri Ibnu Mas’ud, meminta izin kepada beliau. Lalu, dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ini adalah Zainab.’ Beliau bertanya, ‘Zainab siapa?’ Dikatakan kepada beliau, ‘Zainab istri dari Ibnu Mas’ud.’ Beliau berkata, ‘Oh ya, persilakanlah dia.’ Maka, dia pun diizinkan masuk, kemudian berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sungguh Anda hari ini sudah memerintahkan sedekah (zakat), sedangkan aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk menyedekahkannya. Namun, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (mustahiq zakat).’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah (zakat) daripada mereka.’” (HR. Bukhari no. 1462) Penjelasan hadis Terdapat dua permasalahan fikih yang terkait dengan hadis di atas, yaitu: Pertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami? Sebagian ulama berdalil dengan hadis di atas untuk mengatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dalam riwayat yang mu’tamad (resmi) dalam mazhab beliau, pengikut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnul Munzir, dan juga dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahumullah. Para ulama tersebut memaknai kata “sedekah” dalam hadis di atas dengan “sedekah wajib”, yaitu zakat. Hal ini berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي “Apakah hal itu sudah mencukupi (menggugurkan kewajibanku)?” (HR. Bukhari no. 1466) Sebagian ulama yang lain memaknai “sedekah” dalam hadis di atas sebagai sedekah sunah. Berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ “Aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk mensedekahkannya.” Zainab tidak mengatakan, “Aku berkehendak untuk menzakatkannya.” Mengapa dimaknai sebagai sedekah sunah, bukan sedekah wajib (zakat), karena Zainab melakukannya setelah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memotivasi sedekah secara umum (bukan sedang menjelaskan kewajiban zakat), sehingga dia pun bersegera mengamalkannya dengan harta yang dia miliki. Adapun perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي yang dimaksud adalah berupa penjagaan dari apa neraka. Seolah-olah Zainab radhiyallahu ‘anha khawatir apabila dia bersedekah kepada suaminya, hal itu tidak mendatangkan pahala dan tidak menghalangi dari azab (hukuman). Ibnul Hamam rahimahullah berkata, “Maknanya adalah apakah sedekah tersebut telah mencukupi untuk disebut sebagai sedekah dan mewujudkan maksud dari sedekah yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala?” (Syarh Fathul Qadir, 2: 271) Pendapat ini (dimaknai sebagai sedekah sunah) adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan para ulama lainnya. Mereka berkata, “Yang dimaksud dengan ‘sedekah’ dalam hadis ini adalah sedekah sunah.” (Lihat Al-Mughni, 4: 102; Fathul Baari, 3: 330; dan Nailul Authar, 4: 187) Adapun pendapat kedua menyatakan tidak bolehnya seorang istri memberi zakat kepada suaminya yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Al-Mughni, 4: 100). Alasannya, seorang suami bagi istri itu sama seperti istri bagi seorang suami. Jika seorang suami tidak boleh memberi zakat kepada istri, maka demikian pula, seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada seorang suami. Alasan lainnya adalah jika seorang istri memberi harta zakat kepada suami, maka suami akan menggunakannya untuk memberi nafkah kepada istri. Maka pada hakikatnya, manfaatnya akan kembali lagi kepada sang istri. Manfaat dari harta zakat itu harus dirasakan oleh orang-orang fakir dan membutuhkan, bukan memberikan manfaat untuk dirinya sendiri. Adapun sedekah sunah (bukan zakat), boleh diberikan kepada suami sebagaimana hadis ini. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami karena dua alasan: Alasan pertama, cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin … “ (QS. At-Taubah: 60) Jika seorang suami itu miskin, maka masih tercakup dalam ayat tersebut. Karena jika terdapat sebab (yaitu miskin), maka terdapat pula hukumnya (yaitu diberikannya harta zakat), kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya. Jika ada yang mengatakan bahwa suami yang miskin itu dikecualikan dari golongan yang berhak menerima zakat, maka dia wajib mendatangkan dalil. Sedangkan tidak ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada suami yang miskin. Alasan kedua, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan (meminta penjelasan) terlebih dahulu kepada Zainab secara rinci, itu menunjukkan bahwa hal itu berlaku umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya terlebih dahulu kepada Zainab, apakah dia hendak sedekah wajib atau sedekah sunah? Maka, seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa engkau akan mendapatkan balasan, baik sedekahmu itu wajib atau sedekah sunah. Adapun hadis ini, zahirnya menunjukkan bahwa maksudnya adalah sedekah sunah, bukan sedekah wajib. Hal ini dikuatkan oleh konteks keseluruhan hadis tersebut. Di antara indikasinya adalah kalimat, زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ “Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah daripada mereka.” Hal ini karena seorang anak tidaklah berhak mendapatkan harta dari sedekah wajib (zakat) ketika orang tuanya masih memberi nafkah kepadanya. Apabila seorang anak itu fakir, dan ayahnya tidak mampu memberinya nafkah, maka diperbolehkan memberi zakat kepadanya. Ini sebagaimana pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. (Al-Ikhtiyarat, hal. 104) Alasan lain bahwa “sedekah” dalam hadis ini adalah sedekah sunah, yaitu dalam hadis ini, Zainab ingin menyedekahkan emas yang dia miliki, bukan mengeluarkan zakat dari harta emas yang dia miliki. Ini pun dengan asumsi bahwa kita menguatkan pendapat bahwa terdapat kewajiban zakat dari harta berupa emas yang digunakan sebagai perhiasan. Baca juga: Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Berkaitan dengan masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama, tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya yang membutuhkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah Abu Hanifah, Malik, Hanabilah, dan Syafi’iyyah. Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah mengklaim adanya ijmak. (Lihat Al-Ijma’, hal. 52; Al-Ikhtiyar, 1: 120; Al-Mughni, 4: 100; dan Al-Majmu’, 6: 229) Mereka berdalil bahwa seorang istri itu sudah berkecukupan dari nafkah wajib yang diberikan oleh suami. Sehingga istri tidak lagi membutuhkan harta zakat. Jika suami memberikan zakat kepada istri, maka konsekuensinya dia tidak butuh lagi nafkah dari suami. Dalam kondisi ini, manfaat dari harta zakat itu pada hakikatnya kembali lagi ke suami, seolah-olah dia  memberikan zakat kepada dirinya sendiri. Pendapat kedua, diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dalam mazhab Syafi’iyyah dan juga pendapat yang marjuh dalam mazhab Imam Ahmad. (Lihat Al-Majmu’, 6: 230) Mereka berdalil bahwa jika seorang suami memberikan zakat kepada istri, maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban nafkah. Karena nafkah adalah kewajiban tersendiri, baik sang istri itu kaya atau miskin. Maka, kasus ini seperti seseorang yang menyewa jasa orang miskin. Si pemakai jasa memberikan uang sebagai jasa upah, di samping memberikan harta zakat. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama bahwa seorang suami tidak boleh memberikan zakat kepada istri. Akan tetapi, kita juga bisa katakan bahwa jika seorang istri itu menjadi berkecukupan dari nafkah wajib pemberian suaminya, maka hal itu tidaklah otomatis menjadikannya seperti orang kaya yang tidak lagi boleh diberi harta zakat. Jika seorang suami memberikan sedikit harta zakatnya tanpa menggugurkan hak istri yang wajib ditunaikan suami, maka hal itu diperbolehkan. Misalnya, seorang suami memberi harta zakat agar istri bisa melunasi utangnya. Maka zahirnya, hal ini diperbolehkan. Hal ini karena seorang suami tidaklah memiliki kewajiban untuk melunasi utang sang istri. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama mazhab Hambali. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Hukum Memberikan Zakat kepada Orang Kaya dan Orang yang Masih Mampu Bekerja *** @Rumah Kasongan, 11 Rabiul akhir 1445/ 26 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 483-486). Tags: zakat

Hadis: Bagaimanakah Hukum Seorang Istri Memberi Zakat kepada Suami atau Sebaliknya?

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami?Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ، وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا. فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ. ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا. فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan tempat salat untuk melaksanakan salat hari raya Iduladha atau Idulfitri. Setelah selesai, beliau memberi nasihat kepada manusia dan memerintahkan mereka untuk menunaikan zakat seraya bersabda, ‘Wahai manusia, bersedekahlah!’ Kemudian beliau mendatangi jemaah wanita, lalu bersabda, ‘Wahai kaum wanita, bersedekahlah. Sungguh, aku melihat kalian adalah yang akan paling banyak menjadi penghuni neraka.’ Mereka (para sahabiyah) bertanya, ‘Mengapa begitu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan mengingkari pemberian (suami). Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para wanita.’ Kemudian beliau mengakhiri khotbahnya, lalu pergi. Sesampainya beliau di tempat tinggalnya, datanglah Zainab, istri Ibnu Mas’ud, meminta izin kepada beliau. Lalu, dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ini adalah Zainab.’ Beliau bertanya, ‘Zainab siapa?’ Dikatakan kepada beliau, ‘Zainab istri dari Ibnu Mas’ud.’ Beliau berkata, ‘Oh ya, persilakanlah dia.’ Maka, dia pun diizinkan masuk, kemudian berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sungguh Anda hari ini sudah memerintahkan sedekah (zakat), sedangkan aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk menyedekahkannya. Namun, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (mustahiq zakat).’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah (zakat) daripada mereka.’” (HR. Bukhari no. 1462) Penjelasan hadis Terdapat dua permasalahan fikih yang terkait dengan hadis di atas, yaitu: Pertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami? Sebagian ulama berdalil dengan hadis di atas untuk mengatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dalam riwayat yang mu’tamad (resmi) dalam mazhab beliau, pengikut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnul Munzir, dan juga dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahumullah. Para ulama tersebut memaknai kata “sedekah” dalam hadis di atas dengan “sedekah wajib”, yaitu zakat. Hal ini berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي “Apakah hal itu sudah mencukupi (menggugurkan kewajibanku)?” (HR. Bukhari no. 1466) Sebagian ulama yang lain memaknai “sedekah” dalam hadis di atas sebagai sedekah sunah. Berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ “Aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk mensedekahkannya.” Zainab tidak mengatakan, “Aku berkehendak untuk menzakatkannya.” Mengapa dimaknai sebagai sedekah sunah, bukan sedekah wajib (zakat), karena Zainab melakukannya setelah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memotivasi sedekah secara umum (bukan sedang menjelaskan kewajiban zakat), sehingga dia pun bersegera mengamalkannya dengan harta yang dia miliki. Adapun perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي yang dimaksud adalah berupa penjagaan dari apa neraka. Seolah-olah Zainab radhiyallahu ‘anha khawatir apabila dia bersedekah kepada suaminya, hal itu tidak mendatangkan pahala dan tidak menghalangi dari azab (hukuman). Ibnul Hamam rahimahullah berkata, “Maknanya adalah apakah sedekah tersebut telah mencukupi untuk disebut sebagai sedekah dan mewujudkan maksud dari sedekah yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala?” (Syarh Fathul Qadir, 2: 271) Pendapat ini (dimaknai sebagai sedekah sunah) adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan para ulama lainnya. Mereka berkata, “Yang dimaksud dengan ‘sedekah’ dalam hadis ini adalah sedekah sunah.” (Lihat Al-Mughni, 4: 102; Fathul Baari, 3: 330; dan Nailul Authar, 4: 187) Adapun pendapat kedua menyatakan tidak bolehnya seorang istri memberi zakat kepada suaminya yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Al-Mughni, 4: 100). Alasannya, seorang suami bagi istri itu sama seperti istri bagi seorang suami. Jika seorang suami tidak boleh memberi zakat kepada istri, maka demikian pula, seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada seorang suami. Alasan lainnya adalah jika seorang istri memberi harta zakat kepada suami, maka suami akan menggunakannya untuk memberi nafkah kepada istri. Maka pada hakikatnya, manfaatnya akan kembali lagi kepada sang istri. Manfaat dari harta zakat itu harus dirasakan oleh orang-orang fakir dan membutuhkan, bukan memberikan manfaat untuk dirinya sendiri. Adapun sedekah sunah (bukan zakat), boleh diberikan kepada suami sebagaimana hadis ini. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami karena dua alasan: Alasan pertama, cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin … “ (QS. At-Taubah: 60) Jika seorang suami itu miskin, maka masih tercakup dalam ayat tersebut. Karena jika terdapat sebab (yaitu miskin), maka terdapat pula hukumnya (yaitu diberikannya harta zakat), kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya. Jika ada yang mengatakan bahwa suami yang miskin itu dikecualikan dari golongan yang berhak menerima zakat, maka dia wajib mendatangkan dalil. Sedangkan tidak ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada suami yang miskin. Alasan kedua, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan (meminta penjelasan) terlebih dahulu kepada Zainab secara rinci, itu menunjukkan bahwa hal itu berlaku umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya terlebih dahulu kepada Zainab, apakah dia hendak sedekah wajib atau sedekah sunah? Maka, seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa engkau akan mendapatkan balasan, baik sedekahmu itu wajib atau sedekah sunah. Adapun hadis ini, zahirnya menunjukkan bahwa maksudnya adalah sedekah sunah, bukan sedekah wajib. Hal ini dikuatkan oleh konteks keseluruhan hadis tersebut. Di antara indikasinya adalah kalimat, زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ “Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah daripada mereka.” Hal ini karena seorang anak tidaklah berhak mendapatkan harta dari sedekah wajib (zakat) ketika orang tuanya masih memberi nafkah kepadanya. Apabila seorang anak itu fakir, dan ayahnya tidak mampu memberinya nafkah, maka diperbolehkan memberi zakat kepadanya. Ini sebagaimana pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. (Al-Ikhtiyarat, hal. 104) Alasan lain bahwa “sedekah” dalam hadis ini adalah sedekah sunah, yaitu dalam hadis ini, Zainab ingin menyedekahkan emas yang dia miliki, bukan mengeluarkan zakat dari harta emas yang dia miliki. Ini pun dengan asumsi bahwa kita menguatkan pendapat bahwa terdapat kewajiban zakat dari harta berupa emas yang digunakan sebagai perhiasan. Baca juga: Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Berkaitan dengan masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama, tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya yang membutuhkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah Abu Hanifah, Malik, Hanabilah, dan Syafi’iyyah. Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah mengklaim adanya ijmak. (Lihat Al-Ijma’, hal. 52; Al-Ikhtiyar, 1: 120; Al-Mughni, 4: 100; dan Al-Majmu’, 6: 229) Mereka berdalil bahwa seorang istri itu sudah berkecukupan dari nafkah wajib yang diberikan oleh suami. Sehingga istri tidak lagi membutuhkan harta zakat. Jika suami memberikan zakat kepada istri, maka konsekuensinya dia tidak butuh lagi nafkah dari suami. Dalam kondisi ini, manfaat dari harta zakat itu pada hakikatnya kembali lagi ke suami, seolah-olah dia  memberikan zakat kepada dirinya sendiri. Pendapat kedua, diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dalam mazhab Syafi’iyyah dan juga pendapat yang marjuh dalam mazhab Imam Ahmad. (Lihat Al-Majmu’, 6: 230) Mereka berdalil bahwa jika seorang suami memberikan zakat kepada istri, maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban nafkah. Karena nafkah adalah kewajiban tersendiri, baik sang istri itu kaya atau miskin. Maka, kasus ini seperti seseorang yang menyewa jasa orang miskin. Si pemakai jasa memberikan uang sebagai jasa upah, di samping memberikan harta zakat. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama bahwa seorang suami tidak boleh memberikan zakat kepada istri. Akan tetapi, kita juga bisa katakan bahwa jika seorang istri itu menjadi berkecukupan dari nafkah wajib pemberian suaminya, maka hal itu tidaklah otomatis menjadikannya seperti orang kaya yang tidak lagi boleh diberi harta zakat. Jika seorang suami memberikan sedikit harta zakatnya tanpa menggugurkan hak istri yang wajib ditunaikan suami, maka hal itu diperbolehkan. Misalnya, seorang suami memberi harta zakat agar istri bisa melunasi utangnya. Maka zahirnya, hal ini diperbolehkan. Hal ini karena seorang suami tidaklah memiliki kewajiban untuk melunasi utang sang istri. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama mazhab Hambali. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Hukum Memberikan Zakat kepada Orang Kaya dan Orang yang Masih Mampu Bekerja *** @Rumah Kasongan, 11 Rabiul akhir 1445/ 26 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 483-486). Tags: zakat
Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami?Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ، وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا. فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ. ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا. فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan tempat salat untuk melaksanakan salat hari raya Iduladha atau Idulfitri. Setelah selesai, beliau memberi nasihat kepada manusia dan memerintahkan mereka untuk menunaikan zakat seraya bersabda, ‘Wahai manusia, bersedekahlah!’ Kemudian beliau mendatangi jemaah wanita, lalu bersabda, ‘Wahai kaum wanita, bersedekahlah. Sungguh, aku melihat kalian adalah yang akan paling banyak menjadi penghuni neraka.’ Mereka (para sahabiyah) bertanya, ‘Mengapa begitu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan mengingkari pemberian (suami). Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para wanita.’ Kemudian beliau mengakhiri khotbahnya, lalu pergi. Sesampainya beliau di tempat tinggalnya, datanglah Zainab, istri Ibnu Mas’ud, meminta izin kepada beliau. Lalu, dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ini adalah Zainab.’ Beliau bertanya, ‘Zainab siapa?’ Dikatakan kepada beliau, ‘Zainab istri dari Ibnu Mas’ud.’ Beliau berkata, ‘Oh ya, persilakanlah dia.’ Maka, dia pun diizinkan masuk, kemudian berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sungguh Anda hari ini sudah memerintahkan sedekah (zakat), sedangkan aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk menyedekahkannya. Namun, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (mustahiq zakat).’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah (zakat) daripada mereka.’” (HR. Bukhari no. 1462) Penjelasan hadis Terdapat dua permasalahan fikih yang terkait dengan hadis di atas, yaitu: Pertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami? Sebagian ulama berdalil dengan hadis di atas untuk mengatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dalam riwayat yang mu’tamad (resmi) dalam mazhab beliau, pengikut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnul Munzir, dan juga dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahumullah. Para ulama tersebut memaknai kata “sedekah” dalam hadis di atas dengan “sedekah wajib”, yaitu zakat. Hal ini berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي “Apakah hal itu sudah mencukupi (menggugurkan kewajibanku)?” (HR. Bukhari no. 1466) Sebagian ulama yang lain memaknai “sedekah” dalam hadis di atas sebagai sedekah sunah. Berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ “Aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk mensedekahkannya.” Zainab tidak mengatakan, “Aku berkehendak untuk menzakatkannya.” Mengapa dimaknai sebagai sedekah sunah, bukan sedekah wajib (zakat), karena Zainab melakukannya setelah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memotivasi sedekah secara umum (bukan sedang menjelaskan kewajiban zakat), sehingga dia pun bersegera mengamalkannya dengan harta yang dia miliki. Adapun perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي yang dimaksud adalah berupa penjagaan dari apa neraka. Seolah-olah Zainab radhiyallahu ‘anha khawatir apabila dia bersedekah kepada suaminya, hal itu tidak mendatangkan pahala dan tidak menghalangi dari azab (hukuman). Ibnul Hamam rahimahullah berkata, “Maknanya adalah apakah sedekah tersebut telah mencukupi untuk disebut sebagai sedekah dan mewujudkan maksud dari sedekah yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala?” (Syarh Fathul Qadir, 2: 271) Pendapat ini (dimaknai sebagai sedekah sunah) adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan para ulama lainnya. Mereka berkata, “Yang dimaksud dengan ‘sedekah’ dalam hadis ini adalah sedekah sunah.” (Lihat Al-Mughni, 4: 102; Fathul Baari, 3: 330; dan Nailul Authar, 4: 187) Adapun pendapat kedua menyatakan tidak bolehnya seorang istri memberi zakat kepada suaminya yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Al-Mughni, 4: 100). Alasannya, seorang suami bagi istri itu sama seperti istri bagi seorang suami. Jika seorang suami tidak boleh memberi zakat kepada istri, maka demikian pula, seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada seorang suami. Alasan lainnya adalah jika seorang istri memberi harta zakat kepada suami, maka suami akan menggunakannya untuk memberi nafkah kepada istri. Maka pada hakikatnya, manfaatnya akan kembali lagi kepada sang istri. Manfaat dari harta zakat itu harus dirasakan oleh orang-orang fakir dan membutuhkan, bukan memberikan manfaat untuk dirinya sendiri. Adapun sedekah sunah (bukan zakat), boleh diberikan kepada suami sebagaimana hadis ini. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami karena dua alasan: Alasan pertama, cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin … “ (QS. At-Taubah: 60) Jika seorang suami itu miskin, maka masih tercakup dalam ayat tersebut. Karena jika terdapat sebab (yaitu miskin), maka terdapat pula hukumnya (yaitu diberikannya harta zakat), kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya. Jika ada yang mengatakan bahwa suami yang miskin itu dikecualikan dari golongan yang berhak menerima zakat, maka dia wajib mendatangkan dalil. Sedangkan tidak ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada suami yang miskin. Alasan kedua, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan (meminta penjelasan) terlebih dahulu kepada Zainab secara rinci, itu menunjukkan bahwa hal itu berlaku umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya terlebih dahulu kepada Zainab, apakah dia hendak sedekah wajib atau sedekah sunah? Maka, seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa engkau akan mendapatkan balasan, baik sedekahmu itu wajib atau sedekah sunah. Adapun hadis ini, zahirnya menunjukkan bahwa maksudnya adalah sedekah sunah, bukan sedekah wajib. Hal ini dikuatkan oleh konteks keseluruhan hadis tersebut. Di antara indikasinya adalah kalimat, زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ “Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah daripada mereka.” Hal ini karena seorang anak tidaklah berhak mendapatkan harta dari sedekah wajib (zakat) ketika orang tuanya masih memberi nafkah kepadanya. Apabila seorang anak itu fakir, dan ayahnya tidak mampu memberinya nafkah, maka diperbolehkan memberi zakat kepadanya. Ini sebagaimana pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. (Al-Ikhtiyarat, hal. 104) Alasan lain bahwa “sedekah” dalam hadis ini adalah sedekah sunah, yaitu dalam hadis ini, Zainab ingin menyedekahkan emas yang dia miliki, bukan mengeluarkan zakat dari harta emas yang dia miliki. Ini pun dengan asumsi bahwa kita menguatkan pendapat bahwa terdapat kewajiban zakat dari harta berupa emas yang digunakan sebagai perhiasan. Baca juga: Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Berkaitan dengan masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama, tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya yang membutuhkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah Abu Hanifah, Malik, Hanabilah, dan Syafi’iyyah. Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah mengklaim adanya ijmak. (Lihat Al-Ijma’, hal. 52; Al-Ikhtiyar, 1: 120; Al-Mughni, 4: 100; dan Al-Majmu’, 6: 229) Mereka berdalil bahwa seorang istri itu sudah berkecukupan dari nafkah wajib yang diberikan oleh suami. Sehingga istri tidak lagi membutuhkan harta zakat. Jika suami memberikan zakat kepada istri, maka konsekuensinya dia tidak butuh lagi nafkah dari suami. Dalam kondisi ini, manfaat dari harta zakat itu pada hakikatnya kembali lagi ke suami, seolah-olah dia  memberikan zakat kepada dirinya sendiri. Pendapat kedua, diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dalam mazhab Syafi’iyyah dan juga pendapat yang marjuh dalam mazhab Imam Ahmad. (Lihat Al-Majmu’, 6: 230) Mereka berdalil bahwa jika seorang suami memberikan zakat kepada istri, maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban nafkah. Karena nafkah adalah kewajiban tersendiri, baik sang istri itu kaya atau miskin. Maka, kasus ini seperti seseorang yang menyewa jasa orang miskin. Si pemakai jasa memberikan uang sebagai jasa upah, di samping memberikan harta zakat. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama bahwa seorang suami tidak boleh memberikan zakat kepada istri. Akan tetapi, kita juga bisa katakan bahwa jika seorang istri itu menjadi berkecukupan dari nafkah wajib pemberian suaminya, maka hal itu tidaklah otomatis menjadikannya seperti orang kaya yang tidak lagi boleh diberi harta zakat. Jika seorang suami memberikan sedikit harta zakatnya tanpa menggugurkan hak istri yang wajib ditunaikan suami, maka hal itu diperbolehkan. Misalnya, seorang suami memberi harta zakat agar istri bisa melunasi utangnya. Maka zahirnya, hal ini diperbolehkan. Hal ini karena seorang suami tidaklah memiliki kewajiban untuk melunasi utang sang istri. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama mazhab Hambali. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Hukum Memberikan Zakat kepada Orang Kaya dan Orang yang Masih Mampu Bekerja *** @Rumah Kasongan, 11 Rabiul akhir 1445/ 26 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 483-486). Tags: zakat


Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami?Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ، وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا. فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ. ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا. فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan tempat salat untuk melaksanakan salat hari raya Iduladha atau Idulfitri. Setelah selesai, beliau memberi nasihat kepada manusia dan memerintahkan mereka untuk menunaikan zakat seraya bersabda, ‘Wahai manusia, bersedekahlah!’ Kemudian beliau mendatangi jemaah wanita, lalu bersabda, ‘Wahai kaum wanita, bersedekahlah. Sungguh, aku melihat kalian adalah yang akan paling banyak menjadi penghuni neraka.’ Mereka (para sahabiyah) bertanya, ‘Mengapa begitu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan mengingkari pemberian (suami). Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para wanita.’ Kemudian beliau mengakhiri khotbahnya, lalu pergi. Sesampainya beliau di tempat tinggalnya, datanglah Zainab, istri Ibnu Mas’ud, meminta izin kepada beliau. Lalu, dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ini adalah Zainab.’ Beliau bertanya, ‘Zainab siapa?’ Dikatakan kepada beliau, ‘Zainab istri dari Ibnu Mas’ud.’ Beliau berkata, ‘Oh ya, persilakanlah dia.’ Maka, dia pun diizinkan masuk, kemudian berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sungguh Anda hari ini sudah memerintahkan sedekah (zakat), sedangkan aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk menyedekahkannya. Namun, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (mustahiq zakat).’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah (zakat) daripada mereka.’” (HR. Bukhari no. 1462) Penjelasan hadis Terdapat dua permasalahan fikih yang terkait dengan hadis di atas, yaitu: Pertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami? Sebagian ulama berdalil dengan hadis di atas untuk mengatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dalam riwayat yang mu’tamad (resmi) dalam mazhab beliau, pengikut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnul Munzir, dan juga dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahumullah. Para ulama tersebut memaknai kata “sedekah” dalam hadis di atas dengan “sedekah wajib”, yaitu zakat. Hal ini berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي “Apakah hal itu sudah mencukupi (menggugurkan kewajibanku)?” (HR. Bukhari no. 1466) Sebagian ulama yang lain memaknai “sedekah” dalam hadis di atas sebagai sedekah sunah. Berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ “Aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk mensedekahkannya.” Zainab tidak mengatakan, “Aku berkehendak untuk menzakatkannya.” Mengapa dimaknai sebagai sedekah sunah, bukan sedekah wajib (zakat), karena Zainab melakukannya setelah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memotivasi sedekah secara umum (bukan sedang menjelaskan kewajiban zakat), sehingga dia pun bersegera mengamalkannya dengan harta yang dia miliki. Adapun perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha, أَيَجْزِي عَنِّي yang dimaksud adalah berupa penjagaan dari apa neraka. Seolah-olah Zainab radhiyallahu ‘anha khawatir apabila dia bersedekah kepada suaminya, hal itu tidak mendatangkan pahala dan tidak menghalangi dari azab (hukuman). Ibnul Hamam rahimahullah berkata, “Maknanya adalah apakah sedekah tersebut telah mencukupi untuk disebut sebagai sedekah dan mewujudkan maksud dari sedekah yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala?” (Syarh Fathul Qadir, 2: 271) Pendapat ini (dimaknai sebagai sedekah sunah) adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan para ulama lainnya. Mereka berkata, “Yang dimaksud dengan ‘sedekah’ dalam hadis ini adalah sedekah sunah.” (Lihat Al-Mughni, 4: 102; Fathul Baari, 3: 330; dan Nailul Authar, 4: 187) Adapun pendapat kedua menyatakan tidak bolehnya seorang istri memberi zakat kepada suaminya yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Al-Mughni, 4: 100). Alasannya, seorang suami bagi istri itu sama seperti istri bagi seorang suami. Jika seorang suami tidak boleh memberi zakat kepada istri, maka demikian pula, seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada seorang suami. Alasan lainnya adalah jika seorang istri memberi harta zakat kepada suami, maka suami akan menggunakannya untuk memberi nafkah kepada istri. Maka pada hakikatnya, manfaatnya akan kembali lagi kepada sang istri. Manfaat dari harta zakat itu harus dirasakan oleh orang-orang fakir dan membutuhkan, bukan memberikan manfaat untuk dirinya sendiri. Adapun sedekah sunah (bukan zakat), boleh diberikan kepada suami sebagaimana hadis ini. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami karena dua alasan: Alasan pertama, cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin … “ (QS. At-Taubah: 60) Jika seorang suami itu miskin, maka masih tercakup dalam ayat tersebut. Karena jika terdapat sebab (yaitu miskin), maka terdapat pula hukumnya (yaitu diberikannya harta zakat), kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya. Jika ada yang mengatakan bahwa suami yang miskin itu dikecualikan dari golongan yang berhak menerima zakat, maka dia wajib mendatangkan dalil. Sedangkan tidak ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada suami yang miskin. Alasan kedua, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan (meminta penjelasan) terlebih dahulu kepada Zainab secara rinci, itu menunjukkan bahwa hal itu berlaku umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya terlebih dahulu kepada Zainab, apakah dia hendak sedekah wajib atau sedekah sunah? Maka, seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa engkau akan mendapatkan balasan, baik sedekahmu itu wajib atau sedekah sunah. Adapun hadis ini, zahirnya menunjukkan bahwa maksudnya adalah sedekah sunah, bukan sedekah wajib. Hal ini dikuatkan oleh konteks keseluruhan hadis tersebut. Di antara indikasinya adalah kalimat, زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ “Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah daripada mereka.” Hal ini karena seorang anak tidaklah berhak mendapatkan harta dari sedekah wajib (zakat) ketika orang tuanya masih memberi nafkah kepadanya. Apabila seorang anak itu fakir, dan ayahnya tidak mampu memberinya nafkah, maka diperbolehkan memberi zakat kepadanya. Ini sebagaimana pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. (Al-Ikhtiyarat, hal. 104) Alasan lain bahwa “sedekah” dalam hadis ini adalah sedekah sunah, yaitu dalam hadis ini, Zainab ingin menyedekahkan emas yang dia miliki, bukan mengeluarkan zakat dari harta emas yang dia miliki. Ini pun dengan asumsi bahwa kita menguatkan pendapat bahwa terdapat kewajiban zakat dari harta berupa emas yang digunakan sebagai perhiasan. Baca juga: Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri? Berkaitan dengan masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama, tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya yang membutuhkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah Abu Hanifah, Malik, Hanabilah, dan Syafi’iyyah. Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah mengklaim adanya ijmak. (Lihat Al-Ijma’, hal. 52; Al-Ikhtiyar, 1: 120; Al-Mughni, 4: 100; dan Al-Majmu’, 6: 229) Mereka berdalil bahwa seorang istri itu sudah berkecukupan dari nafkah wajib yang diberikan oleh suami. Sehingga istri tidak lagi membutuhkan harta zakat. Jika suami memberikan zakat kepada istri, maka konsekuensinya dia tidak butuh lagi nafkah dari suami. Dalam kondisi ini, manfaat dari harta zakat itu pada hakikatnya kembali lagi ke suami, seolah-olah dia  memberikan zakat kepada dirinya sendiri. Pendapat kedua, diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dalam mazhab Syafi’iyyah dan juga pendapat yang marjuh dalam mazhab Imam Ahmad. (Lihat Al-Majmu’, 6: 230) Mereka berdalil bahwa jika seorang suami memberikan zakat kepada istri, maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban nafkah. Karena nafkah adalah kewajiban tersendiri, baik sang istri itu kaya atau miskin. Maka, kasus ini seperti seseorang yang menyewa jasa orang miskin. Si pemakai jasa memberikan uang sebagai jasa upah, di samping memberikan harta zakat. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama bahwa seorang suami tidak boleh memberikan zakat kepada istri. Akan tetapi, kita juga bisa katakan bahwa jika seorang istri itu menjadi berkecukupan dari nafkah wajib pemberian suaminya, maka hal itu tidaklah otomatis menjadikannya seperti orang kaya yang tidak lagi boleh diberi harta zakat. Jika seorang suami memberikan sedikit harta zakatnya tanpa menggugurkan hak istri yang wajib ditunaikan suami, maka hal itu diperbolehkan. Misalnya, seorang suami memberi harta zakat agar istri bisa melunasi utangnya. Maka zahirnya, hal ini diperbolehkan. Hal ini karena seorang suami tidaklah memiliki kewajiban untuk melunasi utang sang istri. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama mazhab Hambali. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Hukum Memberikan Zakat kepada Orang Kaya dan Orang yang Masih Mampu Bekerja *** @Rumah Kasongan, 11 Rabiul akhir 1445/ 26 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 483-486). Tags: zakat

Keistimewaan Palestina dan Penduduknya dalam Al-Qur’an dan Hadis

Daftar Isi Toggle Palestina adalah negeri para nabiNegeri palestina di dalam hadis NabiKebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lainPalestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Tanah Palestina adalah tanah kaum muslimin, tanah yang diberkahi, dan kiblat pertama kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan para nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Bahkan, Allah pilih tempat ini sebagai tempat singgah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan isra dan mikraj, dan menjadi tempat naiknya beliau ke atas langit untuk menerima perintah salat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1) Allah Ta’ala berkahi tanah Palestina dengan pepohonannya yang banyak, kebun-kebunnya yang subur, dan sungai-sungainya yang mengalir. Allah Ta’ala berkahi juga dengan keberadaan Masjidilaqsa di dalamnya, pahala salat di dalamnya berlipat ganda dan adanya anjuran untuk berkeinginan kuat pergi ke masjid tersebut semata-mata dengan tujuan beribadah dan salat di dalamnya. Palestina adalah negeri para nabi Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Di antaranya Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ * وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ “Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi. Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 70-71) Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan, ‘Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri’ adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qurtubi, 11:211) Dan Syam di masa sekarang adalah wilayah yang mencakup Lebanon, Palestina, Suriah, dan Yordania. Di dalam surah Al-Anbiya’, tatkala menceritakan tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, Allah Ta’ala berfirman, وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا “Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya.” (QS. Al-Anbiya’: 81) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “(Negeri yang kami beri berkah padanya), maksudnya adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim) Negeri palestina di dalam hadis Nabi Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, ذَكَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ قالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ فأظُنُّهُ قالَ في الثَّالِثَةِ: هُنَاكَ الزَّلَازِلُ والفِتَنُ، وبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanjatkan doa, ‘Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata, ‘Ya Rasulullah, dan juga dalam Nejed kami!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca doa, “Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata; ‘Ya Rasulullah, juga dalam Nejed kami!’ dan seingatku, pada kali ketiga, beliau bersabda, “Di sanalah muncul keguncangan dan fitnah, dan di sanalah tanduk setan muncul.” (HR. Bukhari no. 7094) Para ulama berpendapat bahwa di antara sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan dua daerah tersebut dengan keberkahan adalah dikarenakan bahan pokok makanan penduduk Madinah di zaman tersebut paling banyak dikirim dan berasal dari dua daerah tersebut. Pada kesempatan lainnya, Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كُنَّا عِندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ نؤلِّفُ القرآنَ منَ الرقاعِ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ طوبى للشامِ فقلْنا لأيٍّ ذلك يا رسولَ اللهِ قال لأن ملائكةَ الرحمنِ باسطةٌ أجنحَتَها عليْها “Kami menulis Al-Qur’an dari pelepah kurma di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Beruntunglah bagi penduduk Syam.’ Lalu, kami bertanya, ‘Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.’” (HR. Tirmidzi no. 3954) Para ulama mengatakan bahwa makna “Malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam” adalah “dikelilingi dengan keberkahan, dan dijauhkan dari mara bahaya dan gangguan.” Dan pendapat lain mengatakan, “dengan menjaganya dari kekafiran.” Sungguh, ini merupakan janji Allah dan Rasul-Nya bahwa meskipun saat ini berada di bawah penjajahan kaum Zionis, ada masanya dan ada saatnya Palestina akan berjaya dan diliputi dengan keamanan serta ketentraman. Setelah mendengar hadis ini, wajib bagi kita untuk semakin yakin dan kuat dalam berdoa. Mendoakan kebebasan, kemerdekaan, dan keamanan bagi negeri Palestina, negeri milik kaum muslimin yang penuh dengan keberkahan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لا يَزالُ أهْلُ الغَرْبِ ظاهِرِينَ علَى الحَقِّ، حتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Orang-orang Magrib (Syam) akan terus nampak di atas kebenaran hingga datang hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1925) Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, ومن ذلك أن بها الطائفة المنصورة إلى قيام الساعة التي ثبت فيها الحديث في الصحاح من حديث معاوية وغيره: “لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم ولا من خذلهم حتى تقوم الساعة ” وفيهما عن معاذ بن جبل قال: ” وهم في الشام ” وفي تاريخ البخاري مرفوعا قال: ” وهم بدمشق “ “Dan dari hadis ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut (Syam/Palestina) adalah wilayah golongan yang akan senantiasa menang dan diberi pertolongan yang disebutkan juga dalam hadis yang sahih diriwayatkan oleh sahabat Muawiyah dan lainnya, ‘Senantiasa ada sekelompok umatku yang membela kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya dan menghinanya hingga hari kiamat, sedangkan mereka tetap seperti itu.’ Terkait kedua hadis tersebut, ada riwayat Muadz bin Jabal yang menyebutkan, ‘Dan mereka berada di Syam.’ Dan dalam kitab ‘Tarikh Al-Bukhari’ dengan rantai sanad yang marfu’, beliau bersabda, ‘Mereka berada di Damaskus.’”  (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, 27: 507, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd) Baca juga: Modal Utama Meraih Kemenangan di Palestina Kebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا فَسَدَ أَهْلُ الشّامِ فَلا خَيْرَ فِيكُمْ “Jika penduduk Syam rusak agamanya, maka tidak akan tersisa kebaikan di tengah kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2192) Rusaknya agama penduduk Syam adalah pertanda rusaknya umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Merekalah benteng terakhir kebaikan agama kaum muslimin. Palestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Sahabat Salamah bin Nufail radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كنتُ جالسًا عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فقالَ رجلٌ: يا رسولَ اللَّهِ أذالَ النَّاسُ الخيلَ ووضعوا السِّلاحَ وقالوا: لا جِهادَ قد وَضعتِ الحربُ أوزارَها فأقبلَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ بوجهِهِ قال: كذبوا الآنَ ، الآنَ جاءَ القتالُ، ولا يزالُ من أمَّتي أمةٌ يقاتِلونَ على الحقِّ، ويزيغُ اللَّهُ لَهم قُلوبَ أقوامٍ، ويرزقُهم منْهم حتَّى تقومَ السَّاعةُ وحتَّى يأتِيَ وعدُ اللَّهِ، والخيلُ معقودٌ في نواصيها الخيرُ إلى يومِ القيامَةِ، وَهوَ يوحي إليَّ أنِّي مقبوضٌ غيرُ ملبَّثٍ، وأنتم تتَّبعوني أفنادًا يضربُ بعضُكم رقابَ بعضٍ، وعقرُ دارِ المؤمنينَ الشَّامُ “Aku pernah duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ada seorang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang telah melepaskan kuda dan meletakkan senjata. Mereka berkata, ‘Tidak ada lagi jihad dan perang telah berakhir.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kepadanya dengan wajahnya sambil bersabda, ‘Mereka dusta! Sekarang telah tiba peperangan. Dan akan senantiasa ada di kalangan umatku yang berperang di atas kebenaran. Allah akan menjadikan hati sebagian orang condong kepada mereka dan Dia akan memberikan rezeki dari mereka hingga tiba hari Kiamat dan hingga datang janji Allah. Dan pada setiap ubun-ubun kuda telah tertulis kebaikan sampai hari Kiamat. Telah diwahyukan kepadaku, bahwa aku akan meninggal dunia tanpa menunggu lama, dan kalian akan mengikutiku secara berpisah-pisah, sebagian kalian menebas leher sebagian yang lain, dan tempat asal orang-orang mukmin adalah Syam.’”  (HR. An-Nasa’i no. 3563) Syam, termasuk di dalamnya Palestina, di saat fitnah akhir zaman sedang terjadi, akan menjadi tempat perlindungan dan tempat yang aman bagi kaum muslimin. Tempat tinggal dan tempat kembali bagi kaum mukminin. Sungguh ini merupakan keistimewaan dari Allah Ta’ala bagi negeri tersebut. Saudaraku, semoga dengan menyebutkan dan membaca keutamaan serta keistimewaan negeri Syam ini, diri kita menjadi semakin cinta dengan Palestina, turut merasakan kesedihan yang mereka rasakan dan membantu mereka sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Semoga Allah Ta’ala memberikan keamanan dan kemenangan untuk negeri Palestina, serta mengembalikan kejayaan kaum muslimin di sana. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina

Keistimewaan Palestina dan Penduduknya dalam Al-Qur’an dan Hadis

Daftar Isi Toggle Palestina adalah negeri para nabiNegeri palestina di dalam hadis NabiKebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lainPalestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Tanah Palestina adalah tanah kaum muslimin, tanah yang diberkahi, dan kiblat pertama kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan para nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Bahkan, Allah pilih tempat ini sebagai tempat singgah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan isra dan mikraj, dan menjadi tempat naiknya beliau ke atas langit untuk menerima perintah salat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1) Allah Ta’ala berkahi tanah Palestina dengan pepohonannya yang banyak, kebun-kebunnya yang subur, dan sungai-sungainya yang mengalir. Allah Ta’ala berkahi juga dengan keberadaan Masjidilaqsa di dalamnya, pahala salat di dalamnya berlipat ganda dan adanya anjuran untuk berkeinginan kuat pergi ke masjid tersebut semata-mata dengan tujuan beribadah dan salat di dalamnya. Palestina adalah negeri para nabi Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Di antaranya Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ * وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ “Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi. Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 70-71) Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan, ‘Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri’ adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qurtubi, 11:211) Dan Syam di masa sekarang adalah wilayah yang mencakup Lebanon, Palestina, Suriah, dan Yordania. Di dalam surah Al-Anbiya’, tatkala menceritakan tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, Allah Ta’ala berfirman, وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا “Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya.” (QS. Al-Anbiya’: 81) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “(Negeri yang kami beri berkah padanya), maksudnya adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim) Negeri palestina di dalam hadis Nabi Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, ذَكَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ قالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ فأظُنُّهُ قالَ في الثَّالِثَةِ: هُنَاكَ الزَّلَازِلُ والفِتَنُ، وبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanjatkan doa, ‘Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata, ‘Ya Rasulullah, dan juga dalam Nejed kami!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca doa, “Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata; ‘Ya Rasulullah, juga dalam Nejed kami!’ dan seingatku, pada kali ketiga, beliau bersabda, “Di sanalah muncul keguncangan dan fitnah, dan di sanalah tanduk setan muncul.” (HR. Bukhari no. 7094) Para ulama berpendapat bahwa di antara sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan dua daerah tersebut dengan keberkahan adalah dikarenakan bahan pokok makanan penduduk Madinah di zaman tersebut paling banyak dikirim dan berasal dari dua daerah tersebut. Pada kesempatan lainnya, Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كُنَّا عِندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ نؤلِّفُ القرآنَ منَ الرقاعِ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ طوبى للشامِ فقلْنا لأيٍّ ذلك يا رسولَ اللهِ قال لأن ملائكةَ الرحمنِ باسطةٌ أجنحَتَها عليْها “Kami menulis Al-Qur’an dari pelepah kurma di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Beruntunglah bagi penduduk Syam.’ Lalu, kami bertanya, ‘Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.’” (HR. Tirmidzi no. 3954) Para ulama mengatakan bahwa makna “Malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam” adalah “dikelilingi dengan keberkahan, dan dijauhkan dari mara bahaya dan gangguan.” Dan pendapat lain mengatakan, “dengan menjaganya dari kekafiran.” Sungguh, ini merupakan janji Allah dan Rasul-Nya bahwa meskipun saat ini berada di bawah penjajahan kaum Zionis, ada masanya dan ada saatnya Palestina akan berjaya dan diliputi dengan keamanan serta ketentraman. Setelah mendengar hadis ini, wajib bagi kita untuk semakin yakin dan kuat dalam berdoa. Mendoakan kebebasan, kemerdekaan, dan keamanan bagi negeri Palestina, negeri milik kaum muslimin yang penuh dengan keberkahan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لا يَزالُ أهْلُ الغَرْبِ ظاهِرِينَ علَى الحَقِّ، حتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Orang-orang Magrib (Syam) akan terus nampak di atas kebenaran hingga datang hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1925) Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, ومن ذلك أن بها الطائفة المنصورة إلى قيام الساعة التي ثبت فيها الحديث في الصحاح من حديث معاوية وغيره: “لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم ولا من خذلهم حتى تقوم الساعة ” وفيهما عن معاذ بن جبل قال: ” وهم في الشام ” وفي تاريخ البخاري مرفوعا قال: ” وهم بدمشق “ “Dan dari hadis ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut (Syam/Palestina) adalah wilayah golongan yang akan senantiasa menang dan diberi pertolongan yang disebutkan juga dalam hadis yang sahih diriwayatkan oleh sahabat Muawiyah dan lainnya, ‘Senantiasa ada sekelompok umatku yang membela kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya dan menghinanya hingga hari kiamat, sedangkan mereka tetap seperti itu.’ Terkait kedua hadis tersebut, ada riwayat Muadz bin Jabal yang menyebutkan, ‘Dan mereka berada di Syam.’ Dan dalam kitab ‘Tarikh Al-Bukhari’ dengan rantai sanad yang marfu’, beliau bersabda, ‘Mereka berada di Damaskus.’”  (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, 27: 507, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd) Baca juga: Modal Utama Meraih Kemenangan di Palestina Kebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا فَسَدَ أَهْلُ الشّامِ فَلا خَيْرَ فِيكُمْ “Jika penduduk Syam rusak agamanya, maka tidak akan tersisa kebaikan di tengah kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2192) Rusaknya agama penduduk Syam adalah pertanda rusaknya umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Merekalah benteng terakhir kebaikan agama kaum muslimin. Palestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Sahabat Salamah bin Nufail radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كنتُ جالسًا عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فقالَ رجلٌ: يا رسولَ اللَّهِ أذالَ النَّاسُ الخيلَ ووضعوا السِّلاحَ وقالوا: لا جِهادَ قد وَضعتِ الحربُ أوزارَها فأقبلَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ بوجهِهِ قال: كذبوا الآنَ ، الآنَ جاءَ القتالُ، ولا يزالُ من أمَّتي أمةٌ يقاتِلونَ على الحقِّ، ويزيغُ اللَّهُ لَهم قُلوبَ أقوامٍ، ويرزقُهم منْهم حتَّى تقومَ السَّاعةُ وحتَّى يأتِيَ وعدُ اللَّهِ، والخيلُ معقودٌ في نواصيها الخيرُ إلى يومِ القيامَةِ، وَهوَ يوحي إليَّ أنِّي مقبوضٌ غيرُ ملبَّثٍ، وأنتم تتَّبعوني أفنادًا يضربُ بعضُكم رقابَ بعضٍ، وعقرُ دارِ المؤمنينَ الشَّامُ “Aku pernah duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ada seorang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang telah melepaskan kuda dan meletakkan senjata. Mereka berkata, ‘Tidak ada lagi jihad dan perang telah berakhir.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kepadanya dengan wajahnya sambil bersabda, ‘Mereka dusta! Sekarang telah tiba peperangan. Dan akan senantiasa ada di kalangan umatku yang berperang di atas kebenaran. Allah akan menjadikan hati sebagian orang condong kepada mereka dan Dia akan memberikan rezeki dari mereka hingga tiba hari Kiamat dan hingga datang janji Allah. Dan pada setiap ubun-ubun kuda telah tertulis kebaikan sampai hari Kiamat. Telah diwahyukan kepadaku, bahwa aku akan meninggal dunia tanpa menunggu lama, dan kalian akan mengikutiku secara berpisah-pisah, sebagian kalian menebas leher sebagian yang lain, dan tempat asal orang-orang mukmin adalah Syam.’”  (HR. An-Nasa’i no. 3563) Syam, termasuk di dalamnya Palestina, di saat fitnah akhir zaman sedang terjadi, akan menjadi tempat perlindungan dan tempat yang aman bagi kaum muslimin. Tempat tinggal dan tempat kembali bagi kaum mukminin. Sungguh ini merupakan keistimewaan dari Allah Ta’ala bagi negeri tersebut. Saudaraku, semoga dengan menyebutkan dan membaca keutamaan serta keistimewaan negeri Syam ini, diri kita menjadi semakin cinta dengan Palestina, turut merasakan kesedihan yang mereka rasakan dan membantu mereka sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Semoga Allah Ta’ala memberikan keamanan dan kemenangan untuk negeri Palestina, serta mengembalikan kejayaan kaum muslimin di sana. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina
Daftar Isi Toggle Palestina adalah negeri para nabiNegeri palestina di dalam hadis NabiKebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lainPalestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Tanah Palestina adalah tanah kaum muslimin, tanah yang diberkahi, dan kiblat pertama kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan para nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Bahkan, Allah pilih tempat ini sebagai tempat singgah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan isra dan mikraj, dan menjadi tempat naiknya beliau ke atas langit untuk menerima perintah salat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1) Allah Ta’ala berkahi tanah Palestina dengan pepohonannya yang banyak, kebun-kebunnya yang subur, dan sungai-sungainya yang mengalir. Allah Ta’ala berkahi juga dengan keberadaan Masjidilaqsa di dalamnya, pahala salat di dalamnya berlipat ganda dan adanya anjuran untuk berkeinginan kuat pergi ke masjid tersebut semata-mata dengan tujuan beribadah dan salat di dalamnya. Palestina adalah negeri para nabi Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Di antaranya Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ * وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ “Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi. Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 70-71) Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan, ‘Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri’ adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qurtubi, 11:211) Dan Syam di masa sekarang adalah wilayah yang mencakup Lebanon, Palestina, Suriah, dan Yordania. Di dalam surah Al-Anbiya’, tatkala menceritakan tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, Allah Ta’ala berfirman, وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا “Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya.” (QS. Al-Anbiya’: 81) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “(Negeri yang kami beri berkah padanya), maksudnya adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim) Negeri palestina di dalam hadis Nabi Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, ذَكَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ قالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ فأظُنُّهُ قالَ في الثَّالِثَةِ: هُنَاكَ الزَّلَازِلُ والفِتَنُ، وبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanjatkan doa, ‘Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata, ‘Ya Rasulullah, dan juga dalam Nejed kami!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca doa, “Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata; ‘Ya Rasulullah, juga dalam Nejed kami!’ dan seingatku, pada kali ketiga, beliau bersabda, “Di sanalah muncul keguncangan dan fitnah, dan di sanalah tanduk setan muncul.” (HR. Bukhari no. 7094) Para ulama berpendapat bahwa di antara sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan dua daerah tersebut dengan keberkahan adalah dikarenakan bahan pokok makanan penduduk Madinah di zaman tersebut paling banyak dikirim dan berasal dari dua daerah tersebut. Pada kesempatan lainnya, Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كُنَّا عِندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ نؤلِّفُ القرآنَ منَ الرقاعِ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ طوبى للشامِ فقلْنا لأيٍّ ذلك يا رسولَ اللهِ قال لأن ملائكةَ الرحمنِ باسطةٌ أجنحَتَها عليْها “Kami menulis Al-Qur’an dari pelepah kurma di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Beruntunglah bagi penduduk Syam.’ Lalu, kami bertanya, ‘Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.’” (HR. Tirmidzi no. 3954) Para ulama mengatakan bahwa makna “Malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam” adalah “dikelilingi dengan keberkahan, dan dijauhkan dari mara bahaya dan gangguan.” Dan pendapat lain mengatakan, “dengan menjaganya dari kekafiran.” Sungguh, ini merupakan janji Allah dan Rasul-Nya bahwa meskipun saat ini berada di bawah penjajahan kaum Zionis, ada masanya dan ada saatnya Palestina akan berjaya dan diliputi dengan keamanan serta ketentraman. Setelah mendengar hadis ini, wajib bagi kita untuk semakin yakin dan kuat dalam berdoa. Mendoakan kebebasan, kemerdekaan, dan keamanan bagi negeri Palestina, negeri milik kaum muslimin yang penuh dengan keberkahan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لا يَزالُ أهْلُ الغَرْبِ ظاهِرِينَ علَى الحَقِّ، حتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Orang-orang Magrib (Syam) akan terus nampak di atas kebenaran hingga datang hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1925) Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, ومن ذلك أن بها الطائفة المنصورة إلى قيام الساعة التي ثبت فيها الحديث في الصحاح من حديث معاوية وغيره: “لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم ولا من خذلهم حتى تقوم الساعة ” وفيهما عن معاذ بن جبل قال: ” وهم في الشام ” وفي تاريخ البخاري مرفوعا قال: ” وهم بدمشق “ “Dan dari hadis ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut (Syam/Palestina) adalah wilayah golongan yang akan senantiasa menang dan diberi pertolongan yang disebutkan juga dalam hadis yang sahih diriwayatkan oleh sahabat Muawiyah dan lainnya, ‘Senantiasa ada sekelompok umatku yang membela kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya dan menghinanya hingga hari kiamat, sedangkan mereka tetap seperti itu.’ Terkait kedua hadis tersebut, ada riwayat Muadz bin Jabal yang menyebutkan, ‘Dan mereka berada di Syam.’ Dan dalam kitab ‘Tarikh Al-Bukhari’ dengan rantai sanad yang marfu’, beliau bersabda, ‘Mereka berada di Damaskus.’”  (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, 27: 507, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd) Baca juga: Modal Utama Meraih Kemenangan di Palestina Kebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا فَسَدَ أَهْلُ الشّامِ فَلا خَيْرَ فِيكُمْ “Jika penduduk Syam rusak agamanya, maka tidak akan tersisa kebaikan di tengah kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2192) Rusaknya agama penduduk Syam adalah pertanda rusaknya umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Merekalah benteng terakhir kebaikan agama kaum muslimin. Palestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Sahabat Salamah bin Nufail radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كنتُ جالسًا عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فقالَ رجلٌ: يا رسولَ اللَّهِ أذالَ النَّاسُ الخيلَ ووضعوا السِّلاحَ وقالوا: لا جِهادَ قد وَضعتِ الحربُ أوزارَها فأقبلَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ بوجهِهِ قال: كذبوا الآنَ ، الآنَ جاءَ القتالُ، ولا يزالُ من أمَّتي أمةٌ يقاتِلونَ على الحقِّ، ويزيغُ اللَّهُ لَهم قُلوبَ أقوامٍ، ويرزقُهم منْهم حتَّى تقومَ السَّاعةُ وحتَّى يأتِيَ وعدُ اللَّهِ، والخيلُ معقودٌ في نواصيها الخيرُ إلى يومِ القيامَةِ، وَهوَ يوحي إليَّ أنِّي مقبوضٌ غيرُ ملبَّثٍ، وأنتم تتَّبعوني أفنادًا يضربُ بعضُكم رقابَ بعضٍ، وعقرُ دارِ المؤمنينَ الشَّامُ “Aku pernah duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ada seorang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang telah melepaskan kuda dan meletakkan senjata. Mereka berkata, ‘Tidak ada lagi jihad dan perang telah berakhir.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kepadanya dengan wajahnya sambil bersabda, ‘Mereka dusta! Sekarang telah tiba peperangan. Dan akan senantiasa ada di kalangan umatku yang berperang di atas kebenaran. Allah akan menjadikan hati sebagian orang condong kepada mereka dan Dia akan memberikan rezeki dari mereka hingga tiba hari Kiamat dan hingga datang janji Allah. Dan pada setiap ubun-ubun kuda telah tertulis kebaikan sampai hari Kiamat. Telah diwahyukan kepadaku, bahwa aku akan meninggal dunia tanpa menunggu lama, dan kalian akan mengikutiku secara berpisah-pisah, sebagian kalian menebas leher sebagian yang lain, dan tempat asal orang-orang mukmin adalah Syam.’”  (HR. An-Nasa’i no. 3563) Syam, termasuk di dalamnya Palestina, di saat fitnah akhir zaman sedang terjadi, akan menjadi tempat perlindungan dan tempat yang aman bagi kaum muslimin. Tempat tinggal dan tempat kembali bagi kaum mukminin. Sungguh ini merupakan keistimewaan dari Allah Ta’ala bagi negeri tersebut. Saudaraku, semoga dengan menyebutkan dan membaca keutamaan serta keistimewaan negeri Syam ini, diri kita menjadi semakin cinta dengan Palestina, turut merasakan kesedihan yang mereka rasakan dan membantu mereka sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Semoga Allah Ta’ala memberikan keamanan dan kemenangan untuk negeri Palestina, serta mengembalikan kejayaan kaum muslimin di sana. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina


Daftar Isi Toggle Palestina adalah negeri para nabiNegeri palestina di dalam hadis NabiKebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lainPalestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Tanah Palestina adalah tanah kaum muslimin, tanah yang diberkahi, dan kiblat pertama kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan para nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Bahkan, Allah pilih tempat ini sebagai tempat singgah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan isra dan mikraj, dan menjadi tempat naiknya beliau ke atas langit untuk menerima perintah salat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1) Allah Ta’ala berkahi tanah Palestina dengan pepohonannya yang banyak, kebun-kebunnya yang subur, dan sungai-sungainya yang mengalir. Allah Ta’ala berkahi juga dengan keberadaan Masjidilaqsa di dalamnya, pahala salat di dalamnya berlipat ganda dan adanya anjuran untuk berkeinginan kuat pergi ke masjid tersebut semata-mata dengan tujuan beribadah dan salat di dalamnya. Palestina adalah negeri para nabi Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Di antaranya Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ * وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ “Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi. Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 70-71) Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan, ‘Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri’ adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qurtubi, 11:211) Dan Syam di masa sekarang adalah wilayah yang mencakup Lebanon, Palestina, Suriah, dan Yordania. Di dalam surah Al-Anbiya’, tatkala menceritakan tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, Allah Ta’ala berfirman, وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا “Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya.” (QS. Al-Anbiya’: 81) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “(Negeri yang kami beri berkah padanya), maksudnya adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim) Negeri palestina di dalam hadis Nabi Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, ذَكَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ قالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ فأظُنُّهُ قالَ في الثَّالِثَةِ: هُنَاكَ الزَّلَازِلُ والفِتَنُ، وبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanjatkan doa, ‘Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata, ‘Ya Rasulullah, dan juga dalam Nejed kami!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca doa, “Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata; ‘Ya Rasulullah, juga dalam Nejed kami!’ dan seingatku, pada kali ketiga, beliau bersabda, “Di sanalah muncul keguncangan dan fitnah, dan di sanalah tanduk setan muncul.” (HR. Bukhari no. 7094) Para ulama berpendapat bahwa di antara sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan dua daerah tersebut dengan keberkahan adalah dikarenakan bahan pokok makanan penduduk Madinah di zaman tersebut paling banyak dikirim dan berasal dari dua daerah tersebut. Pada kesempatan lainnya, Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كُنَّا عِندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ نؤلِّفُ القرآنَ منَ الرقاعِ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ طوبى للشامِ فقلْنا لأيٍّ ذلك يا رسولَ اللهِ قال لأن ملائكةَ الرحمنِ باسطةٌ أجنحَتَها عليْها “Kami menulis Al-Qur’an dari pelepah kurma di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Beruntunglah bagi penduduk Syam.’ Lalu, kami bertanya, ‘Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.’” (HR. Tirmidzi no. 3954) Para ulama mengatakan bahwa makna “Malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam” adalah “dikelilingi dengan keberkahan, dan dijauhkan dari mara bahaya dan gangguan.” Dan pendapat lain mengatakan, “dengan menjaganya dari kekafiran.” Sungguh, ini merupakan janji Allah dan Rasul-Nya bahwa meskipun saat ini berada di bawah penjajahan kaum Zionis, ada masanya dan ada saatnya Palestina akan berjaya dan diliputi dengan keamanan serta ketentraman. Setelah mendengar hadis ini, wajib bagi kita untuk semakin yakin dan kuat dalam berdoa. Mendoakan kebebasan, kemerdekaan, dan keamanan bagi negeri Palestina, negeri milik kaum muslimin yang penuh dengan keberkahan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لا يَزالُ أهْلُ الغَرْبِ ظاهِرِينَ علَى الحَقِّ، حتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Orang-orang Magrib (Syam) akan terus nampak di atas kebenaran hingga datang hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1925) Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, ومن ذلك أن بها الطائفة المنصورة إلى قيام الساعة التي ثبت فيها الحديث في الصحاح من حديث معاوية وغيره: “لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم ولا من خذلهم حتى تقوم الساعة ” وفيهما عن معاذ بن جبل قال: ” وهم في الشام ” وفي تاريخ البخاري مرفوعا قال: ” وهم بدمشق “ “Dan dari hadis ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut (Syam/Palestina) adalah wilayah golongan yang akan senantiasa menang dan diberi pertolongan yang disebutkan juga dalam hadis yang sahih diriwayatkan oleh sahabat Muawiyah dan lainnya, ‘Senantiasa ada sekelompok umatku yang membela kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya dan menghinanya hingga hari kiamat, sedangkan mereka tetap seperti itu.’ Terkait kedua hadis tersebut, ada riwayat Muadz bin Jabal yang menyebutkan, ‘Dan mereka berada di Syam.’ Dan dalam kitab ‘Tarikh Al-Bukhari’ dengan rantai sanad yang marfu’, beliau bersabda, ‘Mereka berada di Damaskus.’”  (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, 27: 507, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd) Baca juga: Modal Utama Meraih Kemenangan di Palestina Kebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا فَسَدَ أَهْلُ الشّامِ فَلا خَيْرَ فِيكُمْ “Jika penduduk Syam rusak agamanya, maka tidak akan tersisa kebaikan di tengah kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2192) Rusaknya agama penduduk Syam adalah pertanda rusaknya umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Merekalah benteng terakhir kebaikan agama kaum muslimin. Palestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman Sahabat Salamah bin Nufail radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كنتُ جالسًا عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فقالَ رجلٌ: يا رسولَ اللَّهِ أذالَ النَّاسُ الخيلَ ووضعوا السِّلاحَ وقالوا: لا جِهادَ قد وَضعتِ الحربُ أوزارَها فأقبلَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ بوجهِهِ قال: كذبوا الآنَ ، الآنَ جاءَ القتالُ، ولا يزالُ من أمَّتي أمةٌ يقاتِلونَ على الحقِّ، ويزيغُ اللَّهُ لَهم قُلوبَ أقوامٍ، ويرزقُهم منْهم حتَّى تقومَ السَّاعةُ وحتَّى يأتِيَ وعدُ اللَّهِ، والخيلُ معقودٌ في نواصيها الخيرُ إلى يومِ القيامَةِ، وَهوَ يوحي إليَّ أنِّي مقبوضٌ غيرُ ملبَّثٍ، وأنتم تتَّبعوني أفنادًا يضربُ بعضُكم رقابَ بعضٍ، وعقرُ دارِ المؤمنينَ الشَّامُ “Aku pernah duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ada seorang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang telah melepaskan kuda dan meletakkan senjata. Mereka berkata, ‘Tidak ada lagi jihad dan perang telah berakhir.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kepadanya dengan wajahnya sambil bersabda, ‘Mereka dusta! Sekarang telah tiba peperangan. Dan akan senantiasa ada di kalangan umatku yang berperang di atas kebenaran. Allah akan menjadikan hati sebagian orang condong kepada mereka dan Dia akan memberikan rezeki dari mereka hingga tiba hari Kiamat dan hingga datang janji Allah. Dan pada setiap ubun-ubun kuda telah tertulis kebaikan sampai hari Kiamat. Telah diwahyukan kepadaku, bahwa aku akan meninggal dunia tanpa menunggu lama, dan kalian akan mengikutiku secara berpisah-pisah, sebagian kalian menebas leher sebagian yang lain, dan tempat asal orang-orang mukmin adalah Syam.’”  (HR. An-Nasa’i no. 3563) Syam, termasuk di dalamnya Palestina, di saat fitnah akhir zaman sedang terjadi, akan menjadi tempat perlindungan dan tempat yang aman bagi kaum muslimin. Tempat tinggal dan tempat kembali bagi kaum mukminin. Sungguh ini merupakan keistimewaan dari Allah Ta’ala bagi negeri tersebut. Saudaraku, semoga dengan menyebutkan dan membaca keutamaan serta keistimewaan negeri Syam ini, diri kita menjadi semakin cinta dengan Palestina, turut merasakan kesedihan yang mereka rasakan dan membantu mereka sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Semoga Allah Ta’ala memberikan keamanan dan kemenangan untuk negeri Palestina, serta mengembalikan kejayaan kaum muslimin di sana. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina

Bolehkah Menonton Film Horor?

Daftar Isi Toggle Lantas bagaimana dengan film horor?!Memunculkan rasa takut di hati seorang muslimTerdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Gambar hidup yang menampilkan beberapa lakon adalah salah satu fenomena yang sulit kita hindari di zaman ini. Mulai dari lakon yang bertujuan mendidik, menghibur, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai syariat. Dan film horor merupakan salah satu dari deretan genre film yang digemari kebanyakan masyarakat di negara ini. TV atau bioskop adalah alat yang hukumnya bergantung kepada penggunaannya. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah di dalam film atau televisi terdapat hal-hal yang melanggar nilai-nilai syariat? Seperti tersingkapnya aurat yang bukan mahram kita, mendengarkan alunan musik, tersebarnya keyakinan-keyakinan yang batil, ajakan menyerupai dan mengikuti gaya orang-orang kafir, dan sebagainya. Dan perlu diingat bahwa anggota tubuh manusia yang dengannya mereka menyaksikan film atau berjalan menuju bioskop, akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullahu (dalam Ighatsatul Lahfan, 1: 80) mengatakan, “Tujuh anggota, yakni: mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, dan kaki akan mengantarkan seorang hamba kepada kehancuran dan keselamatan. Barangsiapa yang tidak peduli ke arah mana anggota tubuh tersebut digunakan, tidak menjaganya, maka ia akan celaka. Sebaliknya, siapa saja yang peduli dan mempergunakannya dalam kebaikan, maka ia akan selamat. Jadi, menjaga anggota tersebut adalah sebab keselamatan dan acuh dengannya adalah sebab kehancuran.” Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Begitu pun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam salah satu sabdanya, فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي ، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ “Mata berzina dengan melihat, lisan berzina dengan bicara, hati berzina dengan hasrat, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243) Terkumpulnya banyak sekali keburukan di dalam sebuah film menjadikan tidak ada celah bagi seorang muslim untuk menormalisasi kesalahan tersebut. Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu mengatakan, ومحل الشاهد منه قوله صلى الله عليه وسلم ( فزنى العين النظر ) ، فإطلاق اسم الزنى على نظر العين إلى ما لا يحلّ : دليل واضح على تحريمه ، والتحذير منه ، والأحاديث بمثل هذا كثيرة معلومة  .ومعلوم أن النظر سبب الزنى ؛ فإنَّ مَن أكثر مِن النظر إلى جمال امرأة – مثلاً – : قد يتمكن بسببه حبّها من قلبه تمكّنًا يكون سبب هلاكه – والعياذ باللَّه – ، فالنظر بريد الزنى “Alasan dilarangnya melihat film yang menampilkan aurat perempuan adalah perkataan Nabi, ‘Mata berzina dengan melihat.’ Penggunaan terminologi zina ditujukan untuk setiap hal yang dilarang secara syariat dan ini menunjukkan keharamannya dan peringatan akan hal tersebut. Hadis yang semisal ini berjumlah cukup banyak. Yang sudah diketahui pula, bahwa banyak menonton aurat perempuan akan menyebabkan hati resah dan binasa (semoga Allah jauhkan kita dari hal tersebut). Karena sesungguhnya pandangan adalah akar muasal zina.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 510) Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah Lantas bagaimana dengan film horor?! Film horor yang di dalamnya terdapat hal-hal seperti pengabaran tentang hal gaib (jin) yang tentu hanya karangan manusia semata, keyakinan yang batil (seperti peribadahan kepada selain Allah, aurat wanita, musik, dan menakut-nakuti sesama), maka hukumnya haram dengan beberapa alasan berikut ini. Memunculkan rasa takut di hati seorang muslim Secara ringkas, Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu mengatakan bahwa ada dua alasan menulis kisah-kisah misteri: Pertama: Di dalamnya terkandung cerita-cerita yang bisa melahirkan rasa takut di hati manusia terhadap makhluk Allah ‘Azza Wajalla, penggambaran yang batil tentang tempat-tempat tertentu, dan boleh jadi ada peran setan untuk menakut-nakuti manusia. Maka, hal ini termasuk ke dalam hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh menceburkan diri ke dalam bahaya dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad no. 2865 dan Ibnu Majah no. 2341) Kedua: Di dalam tulisan horor terdapat hal-hal yang mengagetkan atau menakut-nakuti kaum muslimin. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا “Tidak boleh bagi seorang muslim menakut-nakuti yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 5004) Al-Munawi rahimahullahu mengatakan, “Dan tetap tidak diperbolehkan walaupun tujuannya bercanda. Karena terdapat unsur kesengajaan mencelakai orang lain.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 12: 236) Terdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Alasan yang lebih-lebih menjadi dasar pengharaman melihat film horor adalah di dalamnya terdapat simbol-simbol kesyirikan, seperti peribadahan kepada jin, sesajen, dan lain-lain. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا “Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” Al-Baidhawi rahimahullahu menjelaskan, لا يقيمون الشهادة الباطلة، أو لا يحضرون محاضر الكذب؛ فإن مشاهدة الباطل شركة فيه “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang tidak turut menyaksikan kebatilan dan menghadiri sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur kedustaan. Karena menyaksikan kebatilan (tanpa mengingkarinya, pent.) adalah bentuk bekerja sama di dalam acara tersebut.” (Anwar At-Tanzil) Bahkan, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seseorang berkorban di tempat yang biasa dijadikan tempat kesyirikan karena khawatir manusia mengira itu merupakan pembenaran terhadap perbuatan kesyirikan sebelumnya. Sebagaimana ketika salah seorang sahabat hendak menunaikan nazarnya, beliau bertanya terlebih dahulu, “Apakah tempat tersebut dulunya dikenal dengan tempat penyembahan berhala?” “Bukan, ya Rasulullah”, jawab sahabat. Kemudian beliau bertanya kembali, “Apakah dulunya pernah dijadikan tempat merayakan perayaan orang-orang kafir?” “Tidak, ya Rasulallah”, jawab sahabat. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan, أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وَفاءَ لِنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدمَ. “Jika demikian, penuhi nazarmu. Ketahuilah bahwasanya tidak boleh menunaikan nazar untuk kemaksiatan dan dengan sesuatu milik orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 3313, At-Thabrani no. 1341, dan Al-Baihaqi no. 20634) Maka, tidak seharusnya seorang muslim bersenang-senang dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat pengingkaran kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti film horor. Karena kepedihan yang kita rasakan kelak di akhirat akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan kesenangan yang kita dapatkan yang tidak seberapa ketika kita menyaksikan film-film tersebut. Semoga Allah bukakan pintu ampunan kepada kesalahan kita yang lalu maupun akan datang. Amin. Baca juga: Takut Lewat Kuburan *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: film horor

Bolehkah Menonton Film Horor?

Daftar Isi Toggle Lantas bagaimana dengan film horor?!Memunculkan rasa takut di hati seorang muslimTerdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Gambar hidup yang menampilkan beberapa lakon adalah salah satu fenomena yang sulit kita hindari di zaman ini. Mulai dari lakon yang bertujuan mendidik, menghibur, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai syariat. Dan film horor merupakan salah satu dari deretan genre film yang digemari kebanyakan masyarakat di negara ini. TV atau bioskop adalah alat yang hukumnya bergantung kepada penggunaannya. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah di dalam film atau televisi terdapat hal-hal yang melanggar nilai-nilai syariat? Seperti tersingkapnya aurat yang bukan mahram kita, mendengarkan alunan musik, tersebarnya keyakinan-keyakinan yang batil, ajakan menyerupai dan mengikuti gaya orang-orang kafir, dan sebagainya. Dan perlu diingat bahwa anggota tubuh manusia yang dengannya mereka menyaksikan film atau berjalan menuju bioskop, akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullahu (dalam Ighatsatul Lahfan, 1: 80) mengatakan, “Tujuh anggota, yakni: mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, dan kaki akan mengantarkan seorang hamba kepada kehancuran dan keselamatan. Barangsiapa yang tidak peduli ke arah mana anggota tubuh tersebut digunakan, tidak menjaganya, maka ia akan celaka. Sebaliknya, siapa saja yang peduli dan mempergunakannya dalam kebaikan, maka ia akan selamat. Jadi, menjaga anggota tersebut adalah sebab keselamatan dan acuh dengannya adalah sebab kehancuran.” Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Begitu pun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam salah satu sabdanya, فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي ، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ “Mata berzina dengan melihat, lisan berzina dengan bicara, hati berzina dengan hasrat, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243) Terkumpulnya banyak sekali keburukan di dalam sebuah film menjadikan tidak ada celah bagi seorang muslim untuk menormalisasi kesalahan tersebut. Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu mengatakan, ومحل الشاهد منه قوله صلى الله عليه وسلم ( فزنى العين النظر ) ، فإطلاق اسم الزنى على نظر العين إلى ما لا يحلّ : دليل واضح على تحريمه ، والتحذير منه ، والأحاديث بمثل هذا كثيرة معلومة  .ومعلوم أن النظر سبب الزنى ؛ فإنَّ مَن أكثر مِن النظر إلى جمال امرأة – مثلاً – : قد يتمكن بسببه حبّها من قلبه تمكّنًا يكون سبب هلاكه – والعياذ باللَّه – ، فالنظر بريد الزنى “Alasan dilarangnya melihat film yang menampilkan aurat perempuan adalah perkataan Nabi, ‘Mata berzina dengan melihat.’ Penggunaan terminologi zina ditujukan untuk setiap hal yang dilarang secara syariat dan ini menunjukkan keharamannya dan peringatan akan hal tersebut. Hadis yang semisal ini berjumlah cukup banyak. Yang sudah diketahui pula, bahwa banyak menonton aurat perempuan akan menyebabkan hati resah dan binasa (semoga Allah jauhkan kita dari hal tersebut). Karena sesungguhnya pandangan adalah akar muasal zina.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 510) Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah Lantas bagaimana dengan film horor?! Film horor yang di dalamnya terdapat hal-hal seperti pengabaran tentang hal gaib (jin) yang tentu hanya karangan manusia semata, keyakinan yang batil (seperti peribadahan kepada selain Allah, aurat wanita, musik, dan menakut-nakuti sesama), maka hukumnya haram dengan beberapa alasan berikut ini. Memunculkan rasa takut di hati seorang muslim Secara ringkas, Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu mengatakan bahwa ada dua alasan menulis kisah-kisah misteri: Pertama: Di dalamnya terkandung cerita-cerita yang bisa melahirkan rasa takut di hati manusia terhadap makhluk Allah ‘Azza Wajalla, penggambaran yang batil tentang tempat-tempat tertentu, dan boleh jadi ada peran setan untuk menakut-nakuti manusia. Maka, hal ini termasuk ke dalam hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh menceburkan diri ke dalam bahaya dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad no. 2865 dan Ibnu Majah no. 2341) Kedua: Di dalam tulisan horor terdapat hal-hal yang mengagetkan atau menakut-nakuti kaum muslimin. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا “Tidak boleh bagi seorang muslim menakut-nakuti yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 5004) Al-Munawi rahimahullahu mengatakan, “Dan tetap tidak diperbolehkan walaupun tujuannya bercanda. Karena terdapat unsur kesengajaan mencelakai orang lain.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 12: 236) Terdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Alasan yang lebih-lebih menjadi dasar pengharaman melihat film horor adalah di dalamnya terdapat simbol-simbol kesyirikan, seperti peribadahan kepada jin, sesajen, dan lain-lain. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا “Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” Al-Baidhawi rahimahullahu menjelaskan, لا يقيمون الشهادة الباطلة، أو لا يحضرون محاضر الكذب؛ فإن مشاهدة الباطل شركة فيه “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang tidak turut menyaksikan kebatilan dan menghadiri sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur kedustaan. Karena menyaksikan kebatilan (tanpa mengingkarinya, pent.) adalah bentuk bekerja sama di dalam acara tersebut.” (Anwar At-Tanzil) Bahkan, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seseorang berkorban di tempat yang biasa dijadikan tempat kesyirikan karena khawatir manusia mengira itu merupakan pembenaran terhadap perbuatan kesyirikan sebelumnya. Sebagaimana ketika salah seorang sahabat hendak menunaikan nazarnya, beliau bertanya terlebih dahulu, “Apakah tempat tersebut dulunya dikenal dengan tempat penyembahan berhala?” “Bukan, ya Rasulullah”, jawab sahabat. Kemudian beliau bertanya kembali, “Apakah dulunya pernah dijadikan tempat merayakan perayaan orang-orang kafir?” “Tidak, ya Rasulallah”, jawab sahabat. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan, أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وَفاءَ لِنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدمَ. “Jika demikian, penuhi nazarmu. Ketahuilah bahwasanya tidak boleh menunaikan nazar untuk kemaksiatan dan dengan sesuatu milik orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 3313, At-Thabrani no. 1341, dan Al-Baihaqi no. 20634) Maka, tidak seharusnya seorang muslim bersenang-senang dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat pengingkaran kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti film horor. Karena kepedihan yang kita rasakan kelak di akhirat akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan kesenangan yang kita dapatkan yang tidak seberapa ketika kita menyaksikan film-film tersebut. Semoga Allah bukakan pintu ampunan kepada kesalahan kita yang lalu maupun akan datang. Amin. Baca juga: Takut Lewat Kuburan *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: film horor
Daftar Isi Toggle Lantas bagaimana dengan film horor?!Memunculkan rasa takut di hati seorang muslimTerdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Gambar hidup yang menampilkan beberapa lakon adalah salah satu fenomena yang sulit kita hindari di zaman ini. Mulai dari lakon yang bertujuan mendidik, menghibur, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai syariat. Dan film horor merupakan salah satu dari deretan genre film yang digemari kebanyakan masyarakat di negara ini. TV atau bioskop adalah alat yang hukumnya bergantung kepada penggunaannya. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah di dalam film atau televisi terdapat hal-hal yang melanggar nilai-nilai syariat? Seperti tersingkapnya aurat yang bukan mahram kita, mendengarkan alunan musik, tersebarnya keyakinan-keyakinan yang batil, ajakan menyerupai dan mengikuti gaya orang-orang kafir, dan sebagainya. Dan perlu diingat bahwa anggota tubuh manusia yang dengannya mereka menyaksikan film atau berjalan menuju bioskop, akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullahu (dalam Ighatsatul Lahfan, 1: 80) mengatakan, “Tujuh anggota, yakni: mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, dan kaki akan mengantarkan seorang hamba kepada kehancuran dan keselamatan. Barangsiapa yang tidak peduli ke arah mana anggota tubuh tersebut digunakan, tidak menjaganya, maka ia akan celaka. Sebaliknya, siapa saja yang peduli dan mempergunakannya dalam kebaikan, maka ia akan selamat. Jadi, menjaga anggota tersebut adalah sebab keselamatan dan acuh dengannya adalah sebab kehancuran.” Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Begitu pun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam salah satu sabdanya, فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي ، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ “Mata berzina dengan melihat, lisan berzina dengan bicara, hati berzina dengan hasrat, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243) Terkumpulnya banyak sekali keburukan di dalam sebuah film menjadikan tidak ada celah bagi seorang muslim untuk menormalisasi kesalahan tersebut. Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu mengatakan, ومحل الشاهد منه قوله صلى الله عليه وسلم ( فزنى العين النظر ) ، فإطلاق اسم الزنى على نظر العين إلى ما لا يحلّ : دليل واضح على تحريمه ، والتحذير منه ، والأحاديث بمثل هذا كثيرة معلومة  .ومعلوم أن النظر سبب الزنى ؛ فإنَّ مَن أكثر مِن النظر إلى جمال امرأة – مثلاً – : قد يتمكن بسببه حبّها من قلبه تمكّنًا يكون سبب هلاكه – والعياذ باللَّه – ، فالنظر بريد الزنى “Alasan dilarangnya melihat film yang menampilkan aurat perempuan adalah perkataan Nabi, ‘Mata berzina dengan melihat.’ Penggunaan terminologi zina ditujukan untuk setiap hal yang dilarang secara syariat dan ini menunjukkan keharamannya dan peringatan akan hal tersebut. Hadis yang semisal ini berjumlah cukup banyak. Yang sudah diketahui pula, bahwa banyak menonton aurat perempuan akan menyebabkan hati resah dan binasa (semoga Allah jauhkan kita dari hal tersebut). Karena sesungguhnya pandangan adalah akar muasal zina.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 510) Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah Lantas bagaimana dengan film horor?! Film horor yang di dalamnya terdapat hal-hal seperti pengabaran tentang hal gaib (jin) yang tentu hanya karangan manusia semata, keyakinan yang batil (seperti peribadahan kepada selain Allah, aurat wanita, musik, dan menakut-nakuti sesama), maka hukumnya haram dengan beberapa alasan berikut ini. Memunculkan rasa takut di hati seorang muslim Secara ringkas, Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu mengatakan bahwa ada dua alasan menulis kisah-kisah misteri: Pertama: Di dalamnya terkandung cerita-cerita yang bisa melahirkan rasa takut di hati manusia terhadap makhluk Allah ‘Azza Wajalla, penggambaran yang batil tentang tempat-tempat tertentu, dan boleh jadi ada peran setan untuk menakut-nakuti manusia. Maka, hal ini termasuk ke dalam hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh menceburkan diri ke dalam bahaya dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad no. 2865 dan Ibnu Majah no. 2341) Kedua: Di dalam tulisan horor terdapat hal-hal yang mengagetkan atau menakut-nakuti kaum muslimin. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا “Tidak boleh bagi seorang muslim menakut-nakuti yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 5004) Al-Munawi rahimahullahu mengatakan, “Dan tetap tidak diperbolehkan walaupun tujuannya bercanda. Karena terdapat unsur kesengajaan mencelakai orang lain.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 12: 236) Terdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Alasan yang lebih-lebih menjadi dasar pengharaman melihat film horor adalah di dalamnya terdapat simbol-simbol kesyirikan, seperti peribadahan kepada jin, sesajen, dan lain-lain. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا “Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” Al-Baidhawi rahimahullahu menjelaskan, لا يقيمون الشهادة الباطلة، أو لا يحضرون محاضر الكذب؛ فإن مشاهدة الباطل شركة فيه “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang tidak turut menyaksikan kebatilan dan menghadiri sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur kedustaan. Karena menyaksikan kebatilan (tanpa mengingkarinya, pent.) adalah bentuk bekerja sama di dalam acara tersebut.” (Anwar At-Tanzil) Bahkan, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seseorang berkorban di tempat yang biasa dijadikan tempat kesyirikan karena khawatir manusia mengira itu merupakan pembenaran terhadap perbuatan kesyirikan sebelumnya. Sebagaimana ketika salah seorang sahabat hendak menunaikan nazarnya, beliau bertanya terlebih dahulu, “Apakah tempat tersebut dulunya dikenal dengan tempat penyembahan berhala?” “Bukan, ya Rasulullah”, jawab sahabat. Kemudian beliau bertanya kembali, “Apakah dulunya pernah dijadikan tempat merayakan perayaan orang-orang kafir?” “Tidak, ya Rasulallah”, jawab sahabat. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan, أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وَفاءَ لِنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدمَ. “Jika demikian, penuhi nazarmu. Ketahuilah bahwasanya tidak boleh menunaikan nazar untuk kemaksiatan dan dengan sesuatu milik orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 3313, At-Thabrani no. 1341, dan Al-Baihaqi no. 20634) Maka, tidak seharusnya seorang muslim bersenang-senang dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat pengingkaran kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti film horor. Karena kepedihan yang kita rasakan kelak di akhirat akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan kesenangan yang kita dapatkan yang tidak seberapa ketika kita menyaksikan film-film tersebut. Semoga Allah bukakan pintu ampunan kepada kesalahan kita yang lalu maupun akan datang. Amin. Baca juga: Takut Lewat Kuburan *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: film horor


Daftar Isi Toggle Lantas bagaimana dengan film horor?!Memunculkan rasa takut di hati seorang muslimTerdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Gambar hidup yang menampilkan beberapa lakon adalah salah satu fenomena yang sulit kita hindari di zaman ini. Mulai dari lakon yang bertujuan mendidik, menghibur, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai syariat. Dan film horor merupakan salah satu dari deretan genre film yang digemari kebanyakan masyarakat di negara ini. TV atau bioskop adalah alat yang hukumnya bergantung kepada penggunaannya. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah di dalam film atau televisi terdapat hal-hal yang melanggar nilai-nilai syariat? Seperti tersingkapnya aurat yang bukan mahram kita, mendengarkan alunan musik, tersebarnya keyakinan-keyakinan yang batil, ajakan menyerupai dan mengikuti gaya orang-orang kafir, dan sebagainya. Dan perlu diingat bahwa anggota tubuh manusia yang dengannya mereka menyaksikan film atau berjalan menuju bioskop, akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullahu (dalam Ighatsatul Lahfan, 1: 80) mengatakan, “Tujuh anggota, yakni: mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, dan kaki akan mengantarkan seorang hamba kepada kehancuran dan keselamatan. Barangsiapa yang tidak peduli ke arah mana anggota tubuh tersebut digunakan, tidak menjaganya, maka ia akan celaka. Sebaliknya, siapa saja yang peduli dan mempergunakannya dalam kebaikan, maka ia akan selamat. Jadi, menjaga anggota tersebut adalah sebab keselamatan dan acuh dengannya adalah sebab kehancuran.” Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Begitu pun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam salah satu sabdanya, فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي ، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ “Mata berzina dengan melihat, lisan berzina dengan bicara, hati berzina dengan hasrat, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243) Terkumpulnya banyak sekali keburukan di dalam sebuah film menjadikan tidak ada celah bagi seorang muslim untuk menormalisasi kesalahan tersebut. Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu mengatakan, ومحل الشاهد منه قوله صلى الله عليه وسلم ( فزنى العين النظر ) ، فإطلاق اسم الزنى على نظر العين إلى ما لا يحلّ : دليل واضح على تحريمه ، والتحذير منه ، والأحاديث بمثل هذا كثيرة معلومة  .ومعلوم أن النظر سبب الزنى ؛ فإنَّ مَن أكثر مِن النظر إلى جمال امرأة – مثلاً – : قد يتمكن بسببه حبّها من قلبه تمكّنًا يكون سبب هلاكه – والعياذ باللَّه – ، فالنظر بريد الزنى “Alasan dilarangnya melihat film yang menampilkan aurat perempuan adalah perkataan Nabi, ‘Mata berzina dengan melihat.’ Penggunaan terminologi zina ditujukan untuk setiap hal yang dilarang secara syariat dan ini menunjukkan keharamannya dan peringatan akan hal tersebut. Hadis yang semisal ini berjumlah cukup banyak. Yang sudah diketahui pula, bahwa banyak menonton aurat perempuan akan menyebabkan hati resah dan binasa (semoga Allah jauhkan kita dari hal tersebut). Karena sesungguhnya pandangan adalah akar muasal zina.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 510) Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah Lantas bagaimana dengan film horor?! Film horor yang di dalamnya terdapat hal-hal seperti pengabaran tentang hal gaib (jin) yang tentu hanya karangan manusia semata, keyakinan yang batil (seperti peribadahan kepada selain Allah, aurat wanita, musik, dan menakut-nakuti sesama), maka hukumnya haram dengan beberapa alasan berikut ini. Memunculkan rasa takut di hati seorang muslim Secara ringkas, Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu mengatakan bahwa ada dua alasan menulis kisah-kisah misteri: Pertama: Di dalamnya terkandung cerita-cerita yang bisa melahirkan rasa takut di hati manusia terhadap makhluk Allah ‘Azza Wajalla, penggambaran yang batil tentang tempat-tempat tertentu, dan boleh jadi ada peran setan untuk menakut-nakuti manusia. Maka, hal ini termasuk ke dalam hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh menceburkan diri ke dalam bahaya dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad no. 2865 dan Ibnu Majah no. 2341) Kedua: Di dalam tulisan horor terdapat hal-hal yang mengagetkan atau menakut-nakuti kaum muslimin. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا “Tidak boleh bagi seorang muslim menakut-nakuti yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 5004) Al-Munawi rahimahullahu mengatakan, “Dan tetap tidak diperbolehkan walaupun tujuannya bercanda. Karena terdapat unsur kesengajaan mencelakai orang lain.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 12: 236) Terdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan Alasan yang lebih-lebih menjadi dasar pengharaman melihat film horor adalah di dalamnya terdapat simbol-simbol kesyirikan, seperti peribadahan kepada jin, sesajen, dan lain-lain. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا “Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” Al-Baidhawi rahimahullahu menjelaskan, لا يقيمون الشهادة الباطلة، أو لا يحضرون محاضر الكذب؛ فإن مشاهدة الباطل شركة فيه “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang tidak turut menyaksikan kebatilan dan menghadiri sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur kedustaan. Karena menyaksikan kebatilan (tanpa mengingkarinya, pent.) adalah bentuk bekerja sama di dalam acara tersebut.” (Anwar At-Tanzil) Bahkan, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seseorang berkorban di tempat yang biasa dijadikan tempat kesyirikan karena khawatir manusia mengira itu merupakan pembenaran terhadap perbuatan kesyirikan sebelumnya. Sebagaimana ketika salah seorang sahabat hendak menunaikan nazarnya, beliau bertanya terlebih dahulu, “Apakah tempat tersebut dulunya dikenal dengan tempat penyembahan berhala?” “Bukan, ya Rasulullah”, jawab sahabat. Kemudian beliau bertanya kembali, “Apakah dulunya pernah dijadikan tempat merayakan perayaan orang-orang kafir?” “Tidak, ya Rasulallah”, jawab sahabat. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan, أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وَفاءَ لِنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدمَ. “Jika demikian, penuhi nazarmu. Ketahuilah bahwasanya tidak boleh menunaikan nazar untuk kemaksiatan dan dengan sesuatu milik orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 3313, At-Thabrani no. 1341, dan Al-Baihaqi no. 20634) Maka, tidak seharusnya seorang muslim bersenang-senang dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat pengingkaran kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti film horor. Karena kepedihan yang kita rasakan kelak di akhirat akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan kesenangan yang kita dapatkan yang tidak seberapa ketika kita menyaksikan film-film tersebut. Semoga Allah bukakan pintu ampunan kepada kesalahan kita yang lalu maupun akan datang. Amin. Baca juga: Takut Lewat Kuburan *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: film horor

Kenapa Boleh Menutup Wajah Tetapi Tidak Boleh Pakai Nikab (Cadar) ketika Haji dan Umrah?

السؤال وفقاً لإجابة السؤال رقم : (172289) فإنه لا يُجوز للمرأة ارتداء النقاب أو القفازات أثناء الإحرام كما دل على ذلك الحديث الشريف ، وذكرتم أنه ومع ذلك ، يلزمها تغطية وجهها بشيء آخر غير النقاب والبرقع . وسؤالي هو: إذا كانت تغطية الوجه ضرورية فأين الإشكال إذاً في استخدام النقاب ؟ Pertanyaan: Menurut jawaban pertanyaan nomor (172289), seorang wanita tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan saat ihram sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang mulia. Anda juga menyebutkan bahwa meskipun demikian, dia diwajibkan untuk menutupi wajahnya dengan sesuatu yang bukan nikab atau Burqaʿ. Pertanyaan saya adalah; jika memang dituntut untuk menutup wajah, lalu di mana masalahnya menggunakan nikab? الجواب الحمد لله. نهى الرسول صلى الله عليه وسلم المرأة المحرمة بحج أو عمرة أن تلبس النقاب والقفازين ، رواه البخاري . ولم يَرِدْ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى المرأة المحرمة أن تستر وجهها ، ولا أنه صلى الله عليه وسلم أمرها بكشف وجهها . ولذلك كانت النساء المحرمات على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يغطين وجوههن بغير النقاب إذا مر بهن الرجال الأجانب . وقد سبق بيان ذلك في الفتوى رقم : (172289) . Jawaban: Alhamdulillah. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk haji atau umrah memakai nikab dan sarung tangan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk menutupi wajahnya, sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak memerintahkan untuk membuka wajahnya. Itulah sebabnya para wanita yang ihram pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menutup wajahnya bukan dengan nikab ketika mereka berpapasan dengan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam fatwa nomor (172289). فنهي المرأة عن لبس النقاب والقفازين معناه : أنها لا تلبس ثيابا مفصلة على قدر الوجه واليدين ، وليس معناه أنها لا تغطيهما مطلقا . وهذا كما نهى الرسول صلى الله عليه وسلم الرجل المحرم أن يلبس القميص والسراويل (تشبه البنطلون) ؛ فهذا ليس معناه أن يبقى الرجل عاريا ، بل يستر بدنه بالإزار والرداء . فالرجل نهي عن لبس الثياب المفصلة على قدر البدن ، وأمر بستر بدنه بغير ذلك من الثياب ،فكذلك المرأة نهيت عن لبس النقاب والقفازين ، لكنها تستر وجهها وكفيها بغيرهما . Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang seorang wanita mengenakan nikab dan sarung tangan, artinya dia tidak boleh mengenakan pakaian yang membentuk proporsi wajah dan tangannya, bukan artinya tidak boleh menutupinya sama sekali. Hal ini sebagaimana Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang lelaki yang ihram memakai kemeja dan celana panjang, yang tidak berarti bahwa lelaki itu harus telanjang, melainkan harus menutupi badannya dengan Izār (pakaian ihram bagian bawah, pent.) dan Ridāʾ (pakaian ihram bagian atas, pent). Jadi, laki-laki dilarang memakai pakaian yang membentuk sesuai proporsi tubuhnya dan tetap diperintahkan untuk menutupi tubuhnya dengan pakaian lain. Demikian pula wanita, dia dilarang memakai nikab dan sarung tangan, tapi wajah dan tangannya ditutupi dengan yang lain. قال ابن القيم رحمه الله : ” فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يشرع لها [يعني : المرأة] كشف الوجه في الإحرام ولا غيره ، وإنما جاء النص بالنهي عن النقاب خاصة ، كما جاء بالنهي عن القفازين ، وجاء النهي عن لبس القميص والسراويل ، ومعلوم أن نهيه عن لبس هذه الأشياء لم يُرِدْ أنها تكون مكشوفة لا تستر البتة ، بل قد أجمع الناس على أن الرجل يستر بدنه بالرداء والإزار … فكيف يزاد على موجَب النص ، ويفهم منه أنه شرع لها كشف وجهها بين الملأ جهارا ؟ فأي نص اقتضى هذا ، أو مفهوم أو عموم أو قياس أو مصلحة ؟! بل وجه المرأة كبدن الرجل ، يحرم ستره بالمُفَصَّل على قدره كالنقاب والبرقع ، بل وَكَيَدِها ، يحرم سترها بالمُفَصَّل على قدر اليد كالقفاز ، وأما سترها بالكم ، وستر الوجه بالملاءة والخمار والثوب : فلم يُنه عنه البتة” انتهى من ” بدائع الفوائد ” (2/664-665) . Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mensyariatkan baginya (yakni wanita) untuk membuka wajah saat ihram atau dalam kesempatan lain, yang ada hanyalah nas tentang larangan nikab secara khusus, seperti halnya larangan tentang sarung tangan. Ada juga larangan untuk memakai kemeja dan celana. Sudah maklum bahwa larangan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memakai hal-hal ini bukan maksudnya harus terbuka dan tidak ditutup sama sekali, bahkan umat Islam sepakat bahwa laki-laki harus menutupi tubuhnya dengan Izār dan Ridāʾ …. Bagaimana bisa menambah apa yang diwajibkan dalam nas, seolah-olah bahwa artinya dia disyariatkan untuk menampakkan wajahnya secara terbuka di depan umum? Mana dalil yang menuntut demikian, atau mana makna tersirat, makna umum, kias, atau maslahat yang menuntut demikian?! Wajah wanita itu hukumnya seperti tubuh pria, dilarang ditutupi dengan pakaian yang membentuk proporsi wajahnya, seperti nikab dan Burqaʿ, demikian juga tangannya, dilarang ditutupi dengan sesuatu yang membentuk proporsi tangannya, seperti sarung tangan. Adapun menutupnya dengan lengan baju, menutupi wajah dengan sehelai kain, kerudung, atau baju, maka hal itu sama sekali tidak terlarang. Selesai kutipan dari Badāʾiʿu al-Fawāʾid (2/664-665). وجاء في ” فتاوى اللجنة الدائمة ” (11/192-193) : ” لا تلبس المحرمة بحج أو عمرة نقابا ولا قفازين حتى تحل من نسكها التحلل الأول ، وإنما تسدل خمار رأسها على وجهها إذا خشيت أن يراها رجال أجانب ، وليست خشيتها من ذلك مستمرة ؛ لأن بعض النساء ينفردن بمحارمهن ، ومن لم تتمكن من الانفراد عن الأجانب تستمر سادلة خمارها على وجهها ، ولا حرج عليها في ذلك ، وهكذا تغطي يديها بغير القفازين ، كالعباءة . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم” الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز . الشيخ عبد الرزاق عفيفي . الشيخ عبد الله بن غديان . الشيخ عبد الله بن قعود ” انتهى . Disebutkan dalam Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah (11/192-193) bahwa seorang wanita yang ihram untuk haji maupun umrah tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan sampai dia menyelesaikan tahalul awal, melainkan menutup wajahnya dengan kerudungnya jika dia khawatir dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Namun kekhawatiran itu tidaklah terus-menerus karena sebagian wanita bisa bersama mahramnya. Adapun yang tidak mampu menghindari lelaki yang bukan mahram, hendaknya dia terus-menerus menjulurkan kain kerudung ke wajahnya. Yang demikian itu tidaklah mengapa. Demikian juga dia bisa menutupi tangannya dengan selain sarung tangan, seperti dengan abaya. Dengan taufik dari Allah, dan semoga selawat Allah tercurah atas nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Tertanda: Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdul Razzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudyan, dan Syekh Abdullah bin Quʿud. Selesai kutipan. وقال الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله : ” ومعنى : ( لا تنتقب المرأة ولا تلبس القفازين ) أي : لا تلبس ما فُصِّلَ وقُطِّعَ وخِيط لأجل الوجه كالنقاب ، ولأجل اليدين كالقفازين , لا أن المراد أنها لا تغطي وجهها وكفيها كما توهمه البعض ، فإنه يجب سترهما ، لكن بغير النقاب والقفازين ” . انتهى من “مجموع فتاوى ابن باز” (5/223) . وقال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله في “الشرح الممتع” (7/165) : “لم يرد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم نهي المرأة عن تغطية وجهها، وإنما ورد النهي عن النقاب ، والنقاب أخص من تغطية الوجه ، لكون النقاب لباس الوجه ، فكأن المرأة نهيت عن لباس الوجه ، كما نهي الرجل عن لباس الجسم” انتهى . وبهذا يتبين أن سبب نهي المرأة المحرمة عن لبس النقاب : هو كونه قد فُصِّل على قدر الوجه ، ولهذا قال العلماء : وجه المرأة في الإحرام كبدن الرجل . والله أعلم . Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa makna “Wanita tidak boleh memakai nikab atau mengenakan sarung tangan, …” adalah dia tidak memakai sesuatu yang dipotong, dibentuk, dan dijahit sesuai proporsi wajah, seperti nikab, atau sesuai proporsi tangan, seperti sarung tangan. Artinya bukan dia tidak boleh menutupi wajah dan tangannya, seperti anggapan keliru sebagian orang, karena keduanya memang harus ditutupi, tetapi bukan dengan nikab dan sarung tangan. Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (5/223)  Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (7/165) bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meriwayatkan larangan seorang wanita untuk menutup wajahnya, yang ada adalah melarang nikab, sementara nikab lebih khusus maknanya daripada menutupi wajah, karena nikab adalah ‘baju’ untuk wajah, jadi seolah-olah wanita dilarang memakai ‘baju’ untuk wajah, sebagaimana laki-laki dilarang memakai ‘baju’ untuk badan. Selesai kutipan.  Dengan demikian, jelas sudah bahwa sebab dilarangnya wanita ihram memakai nikab adalah karena bentuknya yang mengikuti bentuk wajah. Inilah sebabnya para ulama mengatakan, “Wajah wanita saat ihram hukumnya seperti tubuh laki-laki.” Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber:  https://islamqa.info/ar/answers/223954/لماذا-نهيت-المراة-المحرمة-عن-لبس-النقاب PDF sumber artikel. 🔍 Syaikhul Islam, Arti Hadits Shahih, Foto Buaya Darat, Allahumma Shoyyiban Naafi'an, Isi Kitab Injil Yang Asli, Doa Maryam Untuk Ibu Hamil Visited 1,632 times, 1 visit(s) today Post Views: 643 QRIS donasi Yufid

Kenapa Boleh Menutup Wajah Tetapi Tidak Boleh Pakai Nikab (Cadar) ketika Haji dan Umrah?

السؤال وفقاً لإجابة السؤال رقم : (172289) فإنه لا يُجوز للمرأة ارتداء النقاب أو القفازات أثناء الإحرام كما دل على ذلك الحديث الشريف ، وذكرتم أنه ومع ذلك ، يلزمها تغطية وجهها بشيء آخر غير النقاب والبرقع . وسؤالي هو: إذا كانت تغطية الوجه ضرورية فأين الإشكال إذاً في استخدام النقاب ؟ Pertanyaan: Menurut jawaban pertanyaan nomor (172289), seorang wanita tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan saat ihram sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang mulia. Anda juga menyebutkan bahwa meskipun demikian, dia diwajibkan untuk menutupi wajahnya dengan sesuatu yang bukan nikab atau Burqaʿ. Pertanyaan saya adalah; jika memang dituntut untuk menutup wajah, lalu di mana masalahnya menggunakan nikab? الجواب الحمد لله. نهى الرسول صلى الله عليه وسلم المرأة المحرمة بحج أو عمرة أن تلبس النقاب والقفازين ، رواه البخاري . ولم يَرِدْ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى المرأة المحرمة أن تستر وجهها ، ولا أنه صلى الله عليه وسلم أمرها بكشف وجهها . ولذلك كانت النساء المحرمات على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يغطين وجوههن بغير النقاب إذا مر بهن الرجال الأجانب . وقد سبق بيان ذلك في الفتوى رقم : (172289) . Jawaban: Alhamdulillah. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk haji atau umrah memakai nikab dan sarung tangan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk menutupi wajahnya, sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak memerintahkan untuk membuka wajahnya. Itulah sebabnya para wanita yang ihram pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menutup wajahnya bukan dengan nikab ketika mereka berpapasan dengan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam fatwa nomor (172289). فنهي المرأة عن لبس النقاب والقفازين معناه : أنها لا تلبس ثيابا مفصلة على قدر الوجه واليدين ، وليس معناه أنها لا تغطيهما مطلقا . وهذا كما نهى الرسول صلى الله عليه وسلم الرجل المحرم أن يلبس القميص والسراويل (تشبه البنطلون) ؛ فهذا ليس معناه أن يبقى الرجل عاريا ، بل يستر بدنه بالإزار والرداء . فالرجل نهي عن لبس الثياب المفصلة على قدر البدن ، وأمر بستر بدنه بغير ذلك من الثياب ،فكذلك المرأة نهيت عن لبس النقاب والقفازين ، لكنها تستر وجهها وكفيها بغيرهما . Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang seorang wanita mengenakan nikab dan sarung tangan, artinya dia tidak boleh mengenakan pakaian yang membentuk proporsi wajah dan tangannya, bukan artinya tidak boleh menutupinya sama sekali. Hal ini sebagaimana Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang lelaki yang ihram memakai kemeja dan celana panjang, yang tidak berarti bahwa lelaki itu harus telanjang, melainkan harus menutupi badannya dengan Izār (pakaian ihram bagian bawah, pent.) dan Ridāʾ (pakaian ihram bagian atas, pent). Jadi, laki-laki dilarang memakai pakaian yang membentuk sesuai proporsi tubuhnya dan tetap diperintahkan untuk menutupi tubuhnya dengan pakaian lain. Demikian pula wanita, dia dilarang memakai nikab dan sarung tangan, tapi wajah dan tangannya ditutupi dengan yang lain. قال ابن القيم رحمه الله : ” فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يشرع لها [يعني : المرأة] كشف الوجه في الإحرام ولا غيره ، وإنما جاء النص بالنهي عن النقاب خاصة ، كما جاء بالنهي عن القفازين ، وجاء النهي عن لبس القميص والسراويل ، ومعلوم أن نهيه عن لبس هذه الأشياء لم يُرِدْ أنها تكون مكشوفة لا تستر البتة ، بل قد أجمع الناس على أن الرجل يستر بدنه بالرداء والإزار … فكيف يزاد على موجَب النص ، ويفهم منه أنه شرع لها كشف وجهها بين الملأ جهارا ؟ فأي نص اقتضى هذا ، أو مفهوم أو عموم أو قياس أو مصلحة ؟! بل وجه المرأة كبدن الرجل ، يحرم ستره بالمُفَصَّل على قدره كالنقاب والبرقع ، بل وَكَيَدِها ، يحرم سترها بالمُفَصَّل على قدر اليد كالقفاز ، وأما سترها بالكم ، وستر الوجه بالملاءة والخمار والثوب : فلم يُنه عنه البتة” انتهى من ” بدائع الفوائد ” (2/664-665) . Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mensyariatkan baginya (yakni wanita) untuk membuka wajah saat ihram atau dalam kesempatan lain, yang ada hanyalah nas tentang larangan nikab secara khusus, seperti halnya larangan tentang sarung tangan. Ada juga larangan untuk memakai kemeja dan celana. Sudah maklum bahwa larangan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memakai hal-hal ini bukan maksudnya harus terbuka dan tidak ditutup sama sekali, bahkan umat Islam sepakat bahwa laki-laki harus menutupi tubuhnya dengan Izār dan Ridāʾ …. Bagaimana bisa menambah apa yang diwajibkan dalam nas, seolah-olah bahwa artinya dia disyariatkan untuk menampakkan wajahnya secara terbuka di depan umum? Mana dalil yang menuntut demikian, atau mana makna tersirat, makna umum, kias, atau maslahat yang menuntut demikian?! Wajah wanita itu hukumnya seperti tubuh pria, dilarang ditutupi dengan pakaian yang membentuk proporsi wajahnya, seperti nikab dan Burqaʿ, demikian juga tangannya, dilarang ditutupi dengan sesuatu yang membentuk proporsi tangannya, seperti sarung tangan. Adapun menutupnya dengan lengan baju, menutupi wajah dengan sehelai kain, kerudung, atau baju, maka hal itu sama sekali tidak terlarang. Selesai kutipan dari Badāʾiʿu al-Fawāʾid (2/664-665). وجاء في ” فتاوى اللجنة الدائمة ” (11/192-193) : ” لا تلبس المحرمة بحج أو عمرة نقابا ولا قفازين حتى تحل من نسكها التحلل الأول ، وإنما تسدل خمار رأسها على وجهها إذا خشيت أن يراها رجال أجانب ، وليست خشيتها من ذلك مستمرة ؛ لأن بعض النساء ينفردن بمحارمهن ، ومن لم تتمكن من الانفراد عن الأجانب تستمر سادلة خمارها على وجهها ، ولا حرج عليها في ذلك ، وهكذا تغطي يديها بغير القفازين ، كالعباءة . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم” الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز . الشيخ عبد الرزاق عفيفي . الشيخ عبد الله بن غديان . الشيخ عبد الله بن قعود ” انتهى . Disebutkan dalam Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah (11/192-193) bahwa seorang wanita yang ihram untuk haji maupun umrah tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan sampai dia menyelesaikan tahalul awal, melainkan menutup wajahnya dengan kerudungnya jika dia khawatir dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Namun kekhawatiran itu tidaklah terus-menerus karena sebagian wanita bisa bersama mahramnya. Adapun yang tidak mampu menghindari lelaki yang bukan mahram, hendaknya dia terus-menerus menjulurkan kain kerudung ke wajahnya. Yang demikian itu tidaklah mengapa. Demikian juga dia bisa menutupi tangannya dengan selain sarung tangan, seperti dengan abaya. Dengan taufik dari Allah, dan semoga selawat Allah tercurah atas nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Tertanda: Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdul Razzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudyan, dan Syekh Abdullah bin Quʿud. Selesai kutipan. وقال الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله : ” ومعنى : ( لا تنتقب المرأة ولا تلبس القفازين ) أي : لا تلبس ما فُصِّلَ وقُطِّعَ وخِيط لأجل الوجه كالنقاب ، ولأجل اليدين كالقفازين , لا أن المراد أنها لا تغطي وجهها وكفيها كما توهمه البعض ، فإنه يجب سترهما ، لكن بغير النقاب والقفازين ” . انتهى من “مجموع فتاوى ابن باز” (5/223) . وقال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله في “الشرح الممتع” (7/165) : “لم يرد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم نهي المرأة عن تغطية وجهها، وإنما ورد النهي عن النقاب ، والنقاب أخص من تغطية الوجه ، لكون النقاب لباس الوجه ، فكأن المرأة نهيت عن لباس الوجه ، كما نهي الرجل عن لباس الجسم” انتهى . وبهذا يتبين أن سبب نهي المرأة المحرمة عن لبس النقاب : هو كونه قد فُصِّل على قدر الوجه ، ولهذا قال العلماء : وجه المرأة في الإحرام كبدن الرجل . والله أعلم . Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa makna “Wanita tidak boleh memakai nikab atau mengenakan sarung tangan, …” adalah dia tidak memakai sesuatu yang dipotong, dibentuk, dan dijahit sesuai proporsi wajah, seperti nikab, atau sesuai proporsi tangan, seperti sarung tangan. Artinya bukan dia tidak boleh menutupi wajah dan tangannya, seperti anggapan keliru sebagian orang, karena keduanya memang harus ditutupi, tetapi bukan dengan nikab dan sarung tangan. Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (5/223)  Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (7/165) bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meriwayatkan larangan seorang wanita untuk menutup wajahnya, yang ada adalah melarang nikab, sementara nikab lebih khusus maknanya daripada menutupi wajah, karena nikab adalah ‘baju’ untuk wajah, jadi seolah-olah wanita dilarang memakai ‘baju’ untuk wajah, sebagaimana laki-laki dilarang memakai ‘baju’ untuk badan. Selesai kutipan.  Dengan demikian, jelas sudah bahwa sebab dilarangnya wanita ihram memakai nikab adalah karena bentuknya yang mengikuti bentuk wajah. Inilah sebabnya para ulama mengatakan, “Wajah wanita saat ihram hukumnya seperti tubuh laki-laki.” Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber:  https://islamqa.info/ar/answers/223954/لماذا-نهيت-المراة-المحرمة-عن-لبس-النقاب PDF sumber artikel. 🔍 Syaikhul Islam, Arti Hadits Shahih, Foto Buaya Darat, Allahumma Shoyyiban Naafi'an, Isi Kitab Injil Yang Asli, Doa Maryam Untuk Ibu Hamil Visited 1,632 times, 1 visit(s) today Post Views: 643 QRIS donasi Yufid
السؤال وفقاً لإجابة السؤال رقم : (172289) فإنه لا يُجوز للمرأة ارتداء النقاب أو القفازات أثناء الإحرام كما دل على ذلك الحديث الشريف ، وذكرتم أنه ومع ذلك ، يلزمها تغطية وجهها بشيء آخر غير النقاب والبرقع . وسؤالي هو: إذا كانت تغطية الوجه ضرورية فأين الإشكال إذاً في استخدام النقاب ؟ Pertanyaan: Menurut jawaban pertanyaan nomor (172289), seorang wanita tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan saat ihram sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang mulia. Anda juga menyebutkan bahwa meskipun demikian, dia diwajibkan untuk menutupi wajahnya dengan sesuatu yang bukan nikab atau Burqaʿ. Pertanyaan saya adalah; jika memang dituntut untuk menutup wajah, lalu di mana masalahnya menggunakan nikab? الجواب الحمد لله. نهى الرسول صلى الله عليه وسلم المرأة المحرمة بحج أو عمرة أن تلبس النقاب والقفازين ، رواه البخاري . ولم يَرِدْ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى المرأة المحرمة أن تستر وجهها ، ولا أنه صلى الله عليه وسلم أمرها بكشف وجهها . ولذلك كانت النساء المحرمات على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يغطين وجوههن بغير النقاب إذا مر بهن الرجال الأجانب . وقد سبق بيان ذلك في الفتوى رقم : (172289) . Jawaban: Alhamdulillah. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk haji atau umrah memakai nikab dan sarung tangan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk menutupi wajahnya, sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak memerintahkan untuk membuka wajahnya. Itulah sebabnya para wanita yang ihram pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menutup wajahnya bukan dengan nikab ketika mereka berpapasan dengan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam fatwa nomor (172289). فنهي المرأة عن لبس النقاب والقفازين معناه : أنها لا تلبس ثيابا مفصلة على قدر الوجه واليدين ، وليس معناه أنها لا تغطيهما مطلقا . وهذا كما نهى الرسول صلى الله عليه وسلم الرجل المحرم أن يلبس القميص والسراويل (تشبه البنطلون) ؛ فهذا ليس معناه أن يبقى الرجل عاريا ، بل يستر بدنه بالإزار والرداء . فالرجل نهي عن لبس الثياب المفصلة على قدر البدن ، وأمر بستر بدنه بغير ذلك من الثياب ،فكذلك المرأة نهيت عن لبس النقاب والقفازين ، لكنها تستر وجهها وكفيها بغيرهما . Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang seorang wanita mengenakan nikab dan sarung tangan, artinya dia tidak boleh mengenakan pakaian yang membentuk proporsi wajah dan tangannya, bukan artinya tidak boleh menutupinya sama sekali. Hal ini sebagaimana Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang lelaki yang ihram memakai kemeja dan celana panjang, yang tidak berarti bahwa lelaki itu harus telanjang, melainkan harus menutupi badannya dengan Izār (pakaian ihram bagian bawah, pent.) dan Ridāʾ (pakaian ihram bagian atas, pent). Jadi, laki-laki dilarang memakai pakaian yang membentuk sesuai proporsi tubuhnya dan tetap diperintahkan untuk menutupi tubuhnya dengan pakaian lain. Demikian pula wanita, dia dilarang memakai nikab dan sarung tangan, tapi wajah dan tangannya ditutupi dengan yang lain. قال ابن القيم رحمه الله : ” فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يشرع لها [يعني : المرأة] كشف الوجه في الإحرام ولا غيره ، وإنما جاء النص بالنهي عن النقاب خاصة ، كما جاء بالنهي عن القفازين ، وجاء النهي عن لبس القميص والسراويل ، ومعلوم أن نهيه عن لبس هذه الأشياء لم يُرِدْ أنها تكون مكشوفة لا تستر البتة ، بل قد أجمع الناس على أن الرجل يستر بدنه بالرداء والإزار … فكيف يزاد على موجَب النص ، ويفهم منه أنه شرع لها كشف وجهها بين الملأ جهارا ؟ فأي نص اقتضى هذا ، أو مفهوم أو عموم أو قياس أو مصلحة ؟! بل وجه المرأة كبدن الرجل ، يحرم ستره بالمُفَصَّل على قدره كالنقاب والبرقع ، بل وَكَيَدِها ، يحرم سترها بالمُفَصَّل على قدر اليد كالقفاز ، وأما سترها بالكم ، وستر الوجه بالملاءة والخمار والثوب : فلم يُنه عنه البتة” انتهى من ” بدائع الفوائد ” (2/664-665) . Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mensyariatkan baginya (yakni wanita) untuk membuka wajah saat ihram atau dalam kesempatan lain, yang ada hanyalah nas tentang larangan nikab secara khusus, seperti halnya larangan tentang sarung tangan. Ada juga larangan untuk memakai kemeja dan celana. Sudah maklum bahwa larangan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memakai hal-hal ini bukan maksudnya harus terbuka dan tidak ditutup sama sekali, bahkan umat Islam sepakat bahwa laki-laki harus menutupi tubuhnya dengan Izār dan Ridāʾ …. Bagaimana bisa menambah apa yang diwajibkan dalam nas, seolah-olah bahwa artinya dia disyariatkan untuk menampakkan wajahnya secara terbuka di depan umum? Mana dalil yang menuntut demikian, atau mana makna tersirat, makna umum, kias, atau maslahat yang menuntut demikian?! Wajah wanita itu hukumnya seperti tubuh pria, dilarang ditutupi dengan pakaian yang membentuk proporsi wajahnya, seperti nikab dan Burqaʿ, demikian juga tangannya, dilarang ditutupi dengan sesuatu yang membentuk proporsi tangannya, seperti sarung tangan. Adapun menutupnya dengan lengan baju, menutupi wajah dengan sehelai kain, kerudung, atau baju, maka hal itu sama sekali tidak terlarang. Selesai kutipan dari Badāʾiʿu al-Fawāʾid (2/664-665). وجاء في ” فتاوى اللجنة الدائمة ” (11/192-193) : ” لا تلبس المحرمة بحج أو عمرة نقابا ولا قفازين حتى تحل من نسكها التحلل الأول ، وإنما تسدل خمار رأسها على وجهها إذا خشيت أن يراها رجال أجانب ، وليست خشيتها من ذلك مستمرة ؛ لأن بعض النساء ينفردن بمحارمهن ، ومن لم تتمكن من الانفراد عن الأجانب تستمر سادلة خمارها على وجهها ، ولا حرج عليها في ذلك ، وهكذا تغطي يديها بغير القفازين ، كالعباءة . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم” الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز . الشيخ عبد الرزاق عفيفي . الشيخ عبد الله بن غديان . الشيخ عبد الله بن قعود ” انتهى . Disebutkan dalam Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah (11/192-193) bahwa seorang wanita yang ihram untuk haji maupun umrah tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan sampai dia menyelesaikan tahalul awal, melainkan menutup wajahnya dengan kerudungnya jika dia khawatir dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Namun kekhawatiran itu tidaklah terus-menerus karena sebagian wanita bisa bersama mahramnya. Adapun yang tidak mampu menghindari lelaki yang bukan mahram, hendaknya dia terus-menerus menjulurkan kain kerudung ke wajahnya. Yang demikian itu tidaklah mengapa. Demikian juga dia bisa menutupi tangannya dengan selain sarung tangan, seperti dengan abaya. Dengan taufik dari Allah, dan semoga selawat Allah tercurah atas nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Tertanda: Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdul Razzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudyan, dan Syekh Abdullah bin Quʿud. Selesai kutipan. وقال الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله : ” ومعنى : ( لا تنتقب المرأة ولا تلبس القفازين ) أي : لا تلبس ما فُصِّلَ وقُطِّعَ وخِيط لأجل الوجه كالنقاب ، ولأجل اليدين كالقفازين , لا أن المراد أنها لا تغطي وجهها وكفيها كما توهمه البعض ، فإنه يجب سترهما ، لكن بغير النقاب والقفازين ” . انتهى من “مجموع فتاوى ابن باز” (5/223) . وقال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله في “الشرح الممتع” (7/165) : “لم يرد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم نهي المرأة عن تغطية وجهها، وإنما ورد النهي عن النقاب ، والنقاب أخص من تغطية الوجه ، لكون النقاب لباس الوجه ، فكأن المرأة نهيت عن لباس الوجه ، كما نهي الرجل عن لباس الجسم” انتهى . وبهذا يتبين أن سبب نهي المرأة المحرمة عن لبس النقاب : هو كونه قد فُصِّل على قدر الوجه ، ولهذا قال العلماء : وجه المرأة في الإحرام كبدن الرجل . والله أعلم . Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa makna “Wanita tidak boleh memakai nikab atau mengenakan sarung tangan, …” adalah dia tidak memakai sesuatu yang dipotong, dibentuk, dan dijahit sesuai proporsi wajah, seperti nikab, atau sesuai proporsi tangan, seperti sarung tangan. Artinya bukan dia tidak boleh menutupi wajah dan tangannya, seperti anggapan keliru sebagian orang, karena keduanya memang harus ditutupi, tetapi bukan dengan nikab dan sarung tangan. Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (5/223)  Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (7/165) bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meriwayatkan larangan seorang wanita untuk menutup wajahnya, yang ada adalah melarang nikab, sementara nikab lebih khusus maknanya daripada menutupi wajah, karena nikab adalah ‘baju’ untuk wajah, jadi seolah-olah wanita dilarang memakai ‘baju’ untuk wajah, sebagaimana laki-laki dilarang memakai ‘baju’ untuk badan. Selesai kutipan.  Dengan demikian, jelas sudah bahwa sebab dilarangnya wanita ihram memakai nikab adalah karena bentuknya yang mengikuti bentuk wajah. Inilah sebabnya para ulama mengatakan, “Wajah wanita saat ihram hukumnya seperti tubuh laki-laki.” Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber:  https://islamqa.info/ar/answers/223954/لماذا-نهيت-المراة-المحرمة-عن-لبس-النقاب PDF sumber artikel. 🔍 Syaikhul Islam, Arti Hadits Shahih, Foto Buaya Darat, Allahumma Shoyyiban Naafi'an, Isi Kitab Injil Yang Asli, Doa Maryam Untuk Ibu Hamil Visited 1,632 times, 1 visit(s) today Post Views: 643 QRIS donasi Yufid


السؤال وفقاً لإجابة السؤال رقم : (172289) فإنه لا يُجوز للمرأة ارتداء النقاب أو القفازات أثناء الإحرام كما دل على ذلك الحديث الشريف ، وذكرتم أنه ومع ذلك ، يلزمها تغطية وجهها بشيء آخر غير النقاب والبرقع . وسؤالي هو: إذا كانت تغطية الوجه ضرورية فأين الإشكال إذاً في استخدام النقاب ؟ Pertanyaan: Menurut jawaban pertanyaan nomor (172289), seorang wanita tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan saat ihram sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang mulia. Anda juga menyebutkan bahwa meskipun demikian, dia diwajibkan untuk menutupi wajahnya dengan sesuatu yang bukan nikab atau Burqaʿ. Pertanyaan saya adalah; jika memang dituntut untuk menutup wajah, lalu di mana masalahnya menggunakan nikab? الجواب الحمد لله. نهى الرسول صلى الله عليه وسلم المرأة المحرمة بحج أو عمرة أن تلبس النقاب والقفازين ، رواه البخاري . ولم يَرِدْ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى المرأة المحرمة أن تستر وجهها ، ولا أنه صلى الله عليه وسلم أمرها بكشف وجهها . ولذلك كانت النساء المحرمات على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يغطين وجوههن بغير النقاب إذا مر بهن الرجال الأجانب . وقد سبق بيان ذلك في الفتوى رقم : (172289) . Jawaban: Alhamdulillah. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk haji atau umrah memakai nikab dan sarung tangan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang wanita yang ihram untuk menutupi wajahnya, sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak memerintahkan untuk membuka wajahnya. Itulah sebabnya para wanita yang ihram pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menutup wajahnya bukan dengan nikab ketika mereka berpapasan dengan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam fatwa nomor (172289). فنهي المرأة عن لبس النقاب والقفازين معناه : أنها لا تلبس ثيابا مفصلة على قدر الوجه واليدين ، وليس معناه أنها لا تغطيهما مطلقا . وهذا كما نهى الرسول صلى الله عليه وسلم الرجل المحرم أن يلبس القميص والسراويل (تشبه البنطلون) ؛ فهذا ليس معناه أن يبقى الرجل عاريا ، بل يستر بدنه بالإزار والرداء . فالرجل نهي عن لبس الثياب المفصلة على قدر البدن ، وأمر بستر بدنه بغير ذلك من الثياب ،فكذلك المرأة نهيت عن لبس النقاب والقفازين ، لكنها تستر وجهها وكفيها بغيرهما . Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang seorang wanita mengenakan nikab dan sarung tangan, artinya dia tidak boleh mengenakan pakaian yang membentuk proporsi wajah dan tangannya, bukan artinya tidak boleh menutupinya sama sekali. Hal ini sebagaimana Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang lelaki yang ihram memakai kemeja dan celana panjang, yang tidak berarti bahwa lelaki itu harus telanjang, melainkan harus menutupi badannya dengan Izār (pakaian ihram bagian bawah, pent.) dan Ridāʾ (pakaian ihram bagian atas, pent). Jadi, laki-laki dilarang memakai pakaian yang membentuk sesuai proporsi tubuhnya dan tetap diperintahkan untuk menutupi tubuhnya dengan pakaian lain. Demikian pula wanita, dia dilarang memakai nikab dan sarung tangan, tapi wajah dan tangannya ditutupi dengan yang lain. قال ابن القيم رحمه الله : ” فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يشرع لها [يعني : المرأة] كشف الوجه في الإحرام ولا غيره ، وإنما جاء النص بالنهي عن النقاب خاصة ، كما جاء بالنهي عن القفازين ، وجاء النهي عن لبس القميص والسراويل ، ومعلوم أن نهيه عن لبس هذه الأشياء لم يُرِدْ أنها تكون مكشوفة لا تستر البتة ، بل قد أجمع الناس على أن الرجل يستر بدنه بالرداء والإزار … فكيف يزاد على موجَب النص ، ويفهم منه أنه شرع لها كشف وجهها بين الملأ جهارا ؟ فأي نص اقتضى هذا ، أو مفهوم أو عموم أو قياس أو مصلحة ؟! بل وجه المرأة كبدن الرجل ، يحرم ستره بالمُفَصَّل على قدره كالنقاب والبرقع ، بل وَكَيَدِها ، يحرم سترها بالمُفَصَّل على قدر اليد كالقفاز ، وأما سترها بالكم ، وستر الوجه بالملاءة والخمار والثوب : فلم يُنه عنه البتة” انتهى من ” بدائع الفوائد ” (2/664-665) . Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mensyariatkan baginya (yakni wanita) untuk membuka wajah saat ihram atau dalam kesempatan lain, yang ada hanyalah nas tentang larangan nikab secara khusus, seperti halnya larangan tentang sarung tangan. Ada juga larangan untuk memakai kemeja dan celana. Sudah maklum bahwa larangan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memakai hal-hal ini bukan maksudnya harus terbuka dan tidak ditutup sama sekali, bahkan umat Islam sepakat bahwa laki-laki harus menutupi tubuhnya dengan Izār dan Ridāʾ …. Bagaimana bisa menambah apa yang diwajibkan dalam nas, seolah-olah bahwa artinya dia disyariatkan untuk menampakkan wajahnya secara terbuka di depan umum? Mana dalil yang menuntut demikian, atau mana makna tersirat, makna umum, kias, atau maslahat yang menuntut demikian?! Wajah wanita itu hukumnya seperti tubuh pria, dilarang ditutupi dengan pakaian yang membentuk proporsi wajahnya, seperti nikab dan Burqaʿ, demikian juga tangannya, dilarang ditutupi dengan sesuatu yang membentuk proporsi tangannya, seperti sarung tangan. Adapun menutupnya dengan lengan baju, menutupi wajah dengan sehelai kain, kerudung, atau baju, maka hal itu sama sekali tidak terlarang. Selesai kutipan dari Badāʾiʿu al-Fawāʾid (2/664-665). وجاء في ” فتاوى اللجنة الدائمة ” (11/192-193) : ” لا تلبس المحرمة بحج أو عمرة نقابا ولا قفازين حتى تحل من نسكها التحلل الأول ، وإنما تسدل خمار رأسها على وجهها إذا خشيت أن يراها رجال أجانب ، وليست خشيتها من ذلك مستمرة ؛ لأن بعض النساء ينفردن بمحارمهن ، ومن لم تتمكن من الانفراد عن الأجانب تستمر سادلة خمارها على وجهها ، ولا حرج عليها في ذلك ، وهكذا تغطي يديها بغير القفازين ، كالعباءة . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم” الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز . الشيخ عبد الرزاق عفيفي . الشيخ عبد الله بن غديان . الشيخ عبد الله بن قعود ” انتهى . Disebutkan dalam Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah (11/192-193) bahwa seorang wanita yang ihram untuk haji maupun umrah tidak boleh mengenakan nikab atau sarung tangan sampai dia menyelesaikan tahalul awal, melainkan menutup wajahnya dengan kerudungnya jika dia khawatir dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Namun kekhawatiran itu tidaklah terus-menerus karena sebagian wanita bisa bersama mahramnya. Adapun yang tidak mampu menghindari lelaki yang bukan mahram, hendaknya dia terus-menerus menjulurkan kain kerudung ke wajahnya. Yang demikian itu tidaklah mengapa. Demikian juga dia bisa menutupi tangannya dengan selain sarung tangan, seperti dengan abaya. Dengan taufik dari Allah, dan semoga selawat Allah tercurah atas nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Tertanda: Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdul Razzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudyan, dan Syekh Abdullah bin Quʿud. Selesai kutipan. وقال الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله : ” ومعنى : ( لا تنتقب المرأة ولا تلبس القفازين ) أي : لا تلبس ما فُصِّلَ وقُطِّعَ وخِيط لأجل الوجه كالنقاب ، ولأجل اليدين كالقفازين , لا أن المراد أنها لا تغطي وجهها وكفيها كما توهمه البعض ، فإنه يجب سترهما ، لكن بغير النقاب والقفازين ” . انتهى من “مجموع فتاوى ابن باز” (5/223) . وقال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله في “الشرح الممتع” (7/165) : “لم يرد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم نهي المرأة عن تغطية وجهها، وإنما ورد النهي عن النقاب ، والنقاب أخص من تغطية الوجه ، لكون النقاب لباس الوجه ، فكأن المرأة نهيت عن لباس الوجه ، كما نهي الرجل عن لباس الجسم” انتهى . وبهذا يتبين أن سبب نهي المرأة المحرمة عن لبس النقاب : هو كونه قد فُصِّل على قدر الوجه ، ولهذا قال العلماء : وجه المرأة في الإحرام كبدن الرجل . والله أعلم . Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa makna “Wanita tidak boleh memakai nikab atau mengenakan sarung tangan, …” adalah dia tidak memakai sesuatu yang dipotong, dibentuk, dan dijahit sesuai proporsi wajah, seperti nikab, atau sesuai proporsi tangan, seperti sarung tangan. Artinya bukan dia tidak boleh menutupi wajah dan tangannya, seperti anggapan keliru sebagian orang, karena keduanya memang harus ditutupi, tetapi bukan dengan nikab dan sarung tangan. Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā Ibni Bāz (5/223)  Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (7/165) bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meriwayatkan larangan seorang wanita untuk menutup wajahnya, yang ada adalah melarang nikab, sementara nikab lebih khusus maknanya daripada menutupi wajah, karena nikab adalah ‘baju’ untuk wajah, jadi seolah-olah wanita dilarang memakai ‘baju’ untuk wajah, sebagaimana laki-laki dilarang memakai ‘baju’ untuk badan. Selesai kutipan.  Dengan demikian, jelas sudah bahwa sebab dilarangnya wanita ihram memakai nikab adalah karena bentuknya yang mengikuti bentuk wajah. Inilah sebabnya para ulama mengatakan, “Wajah wanita saat ihram hukumnya seperti tubuh laki-laki.” Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber:  https://islamqa.info/ar/answers/223954/لماذا-نهيت-المراة-المحرمة-عن-لبس-النقاب PDF sumber artikel. 🔍 Syaikhul Islam, Arti Hadits Shahih, Foto Buaya Darat, Allahumma Shoyyiban Naafi'an, Isi Kitab Injil Yang Asli, Doa Maryam Untuk Ibu Hamil Visited 1,632 times, 1 visit(s) today Post Views: 643 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Hadis: Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ “Tidak halal zakat bagi orang kaya (berkecukupan), kecuali bagi lima orang, yaitu: 1) orang yang berperang di jalan Allah; 2) petugas (amil) zakat; 3) orang yang berutang; 4) seseorang yang membelinya (harta zakat) dengan hartanya; atau 5) orang yang memiliki tetangga miskin, kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” (HR. Ahmad 18: 97, Abu Dawud no. 1636, Ibnu Majah no. 1841, Al-Hakim, 1: 407. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 3: 377-378) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa orang yang kaya atau berkecukupan itu bukanlah termasuk golongan yang berhak menerima zakat, kecuali lima orang: Pertama, orang-orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Yaitu, siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Maka, dia boleh diberi zakat, meskipun dia kaya dan berkecukupan. Sehingga dengan harta zakat tersebut, dia bisa menggunakannya untuk membeli persenjataan dan sarana-sarana lain untuk berjihad, baik jihad yang sifatnya ofensif (menyerang) atau defensif (bertahan). Kedua, orang tersebut adalah amil (panitia) zakat. Yaitu, orang-orang yang mendapatkan tugas dan wewenang dari penguasa untuk mengurus zakat, baik petugas yang memungut (mengambil atau mengumpulkan) zakat, yang bertugas menjaga harta zakat, yang bertugas mendistribusikan zakat, atau yang bertugas dalam pencatatan zakat. Mereka itu berhak menerima zakat, meskipun pada asalnya mereka adalah orang kaya berkecukupan. Mereka diberi zakat karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu karena mereka bertugas mengurus zakat. Ketiga, orang yang memiliki utang. Orang kaya yang memiliki utang ini ada dua macam. Pertama adalah orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak atau dua kelompok yang bersengketa atau berselisih. Orang ini berperan sebagai mediator untuk mendamaikan dua kelompok tersebut. Dan untuk mendamaikannya, dia harus menanggung utang. Sehingga utang tersebut membawa manfaat yang besar, yaitu perdamaian antara dua kelompok yang bersengketa. Oleh karena itu, suatu satu hal baik yang perlu dilakukan adalah menanggung utangnya dengan alokasi zakat, sehingga tidak merugikan para tokoh yang berperan dalam proses perdamaian atau melemahkan tekad mereka dalam meredam fitnah dan mencegah kerugian. Jenis kedua adalah orang yang berutang untuk keperluan dirinya sendiri. Yaitu, orang kaya yang tertimpa musibah yang tidak mampu dia tanggung. Misalnya, dia memiliki utang untuk berobat atau hartanya ludes karena musibah yang bukan karena kecerobohannya. Dalam kondisi semacam ini, dia boleh diberi harta zakat untuk melunasi utang-utangnya. Ini pun dengan syarat bahwa orang tersebut memang benar-benar tidak mampu untuk melunasinya sendiri, baik dengan harta yang dia miliki, atau dari gaji, atau dari hasil berdagang, atau yang lainnya. Syarat yang lain adalah tidak boleh berlebih-lebihan dari kebutuhan untuk melunasi utang tersebut. Keempat, orang kaya yang membeli harta zakat dengan hartanya sendiri. Maka, tentu saja hal ini diperbolehkan karena dia membeli dengan hartanya sendiri. Jika harta zakat yang dibeli itu berasal dari harta zakat orang lain, maka diperbolehkan membelinya dengan kesepakatan ulama. Adapun apabila dia membeli lagi harta zakat yang sebelumnya dia setorkan sendiri, maka jumhur (mayoritas ulama) menyatakan hukumnya makruh. Kelima, ada orang kaya yang mengunjungi orang miskin yang telah menerima zakat. Orang miskin tersebut kemudian memberi hadiah kepada orang kaya dari harta zakat yang dia terima. Atau dia ikut makan di rumah orang miskin tersebut dari makanan yang berasal dari zakat. Maka, ini pun diperbolehkan. Karena statusnya adalah hadiah dari orang miskin kepada orang kaya, bukan sedekah kepada orang kaya. Jika hal semacam ini tidak diperbolehkan, nanti bisa mencegah dan menghalangi orang kaya dari mengunjungi orang-orang miskin. Akan tetapi, Allah Ta’ala memperbolehkan hal tersebut dengan rahmat dari-Nya. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor YPIA Pogung, 12 Rabi’ul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 494-496). Tags: zakat

Hadis: Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ “Tidak halal zakat bagi orang kaya (berkecukupan), kecuali bagi lima orang, yaitu: 1) orang yang berperang di jalan Allah; 2) petugas (amil) zakat; 3) orang yang berutang; 4) seseorang yang membelinya (harta zakat) dengan hartanya; atau 5) orang yang memiliki tetangga miskin, kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” (HR. Ahmad 18: 97, Abu Dawud no. 1636, Ibnu Majah no. 1841, Al-Hakim, 1: 407. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 3: 377-378) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa orang yang kaya atau berkecukupan itu bukanlah termasuk golongan yang berhak menerima zakat, kecuali lima orang: Pertama, orang-orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Yaitu, siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Maka, dia boleh diberi zakat, meskipun dia kaya dan berkecukupan. Sehingga dengan harta zakat tersebut, dia bisa menggunakannya untuk membeli persenjataan dan sarana-sarana lain untuk berjihad, baik jihad yang sifatnya ofensif (menyerang) atau defensif (bertahan). Kedua, orang tersebut adalah amil (panitia) zakat. Yaitu, orang-orang yang mendapatkan tugas dan wewenang dari penguasa untuk mengurus zakat, baik petugas yang memungut (mengambil atau mengumpulkan) zakat, yang bertugas menjaga harta zakat, yang bertugas mendistribusikan zakat, atau yang bertugas dalam pencatatan zakat. Mereka itu berhak menerima zakat, meskipun pada asalnya mereka adalah orang kaya berkecukupan. Mereka diberi zakat karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu karena mereka bertugas mengurus zakat. Ketiga, orang yang memiliki utang. Orang kaya yang memiliki utang ini ada dua macam. Pertama adalah orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak atau dua kelompok yang bersengketa atau berselisih. Orang ini berperan sebagai mediator untuk mendamaikan dua kelompok tersebut. Dan untuk mendamaikannya, dia harus menanggung utang. Sehingga utang tersebut membawa manfaat yang besar, yaitu perdamaian antara dua kelompok yang bersengketa. Oleh karena itu, suatu satu hal baik yang perlu dilakukan adalah menanggung utangnya dengan alokasi zakat, sehingga tidak merugikan para tokoh yang berperan dalam proses perdamaian atau melemahkan tekad mereka dalam meredam fitnah dan mencegah kerugian. Jenis kedua adalah orang yang berutang untuk keperluan dirinya sendiri. Yaitu, orang kaya yang tertimpa musibah yang tidak mampu dia tanggung. Misalnya, dia memiliki utang untuk berobat atau hartanya ludes karena musibah yang bukan karena kecerobohannya. Dalam kondisi semacam ini, dia boleh diberi harta zakat untuk melunasi utang-utangnya. Ini pun dengan syarat bahwa orang tersebut memang benar-benar tidak mampu untuk melunasinya sendiri, baik dengan harta yang dia miliki, atau dari gaji, atau dari hasil berdagang, atau yang lainnya. Syarat yang lain adalah tidak boleh berlebih-lebihan dari kebutuhan untuk melunasi utang tersebut. Keempat, orang kaya yang membeli harta zakat dengan hartanya sendiri. Maka, tentu saja hal ini diperbolehkan karena dia membeli dengan hartanya sendiri. Jika harta zakat yang dibeli itu berasal dari harta zakat orang lain, maka diperbolehkan membelinya dengan kesepakatan ulama. Adapun apabila dia membeli lagi harta zakat yang sebelumnya dia setorkan sendiri, maka jumhur (mayoritas ulama) menyatakan hukumnya makruh. Kelima, ada orang kaya yang mengunjungi orang miskin yang telah menerima zakat. Orang miskin tersebut kemudian memberi hadiah kepada orang kaya dari harta zakat yang dia terima. Atau dia ikut makan di rumah orang miskin tersebut dari makanan yang berasal dari zakat. Maka, ini pun diperbolehkan. Karena statusnya adalah hadiah dari orang miskin kepada orang kaya, bukan sedekah kepada orang kaya. Jika hal semacam ini tidak diperbolehkan, nanti bisa mencegah dan menghalangi orang kaya dari mengunjungi orang-orang miskin. Akan tetapi, Allah Ta’ala memperbolehkan hal tersebut dengan rahmat dari-Nya. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor YPIA Pogung, 12 Rabi’ul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 494-496). Tags: zakat
Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ “Tidak halal zakat bagi orang kaya (berkecukupan), kecuali bagi lima orang, yaitu: 1) orang yang berperang di jalan Allah; 2) petugas (amil) zakat; 3) orang yang berutang; 4) seseorang yang membelinya (harta zakat) dengan hartanya; atau 5) orang yang memiliki tetangga miskin, kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” (HR. Ahmad 18: 97, Abu Dawud no. 1636, Ibnu Majah no. 1841, Al-Hakim, 1: 407. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 3: 377-378) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa orang yang kaya atau berkecukupan itu bukanlah termasuk golongan yang berhak menerima zakat, kecuali lima orang: Pertama, orang-orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Yaitu, siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Maka, dia boleh diberi zakat, meskipun dia kaya dan berkecukupan. Sehingga dengan harta zakat tersebut, dia bisa menggunakannya untuk membeli persenjataan dan sarana-sarana lain untuk berjihad, baik jihad yang sifatnya ofensif (menyerang) atau defensif (bertahan). Kedua, orang tersebut adalah amil (panitia) zakat. Yaitu, orang-orang yang mendapatkan tugas dan wewenang dari penguasa untuk mengurus zakat, baik petugas yang memungut (mengambil atau mengumpulkan) zakat, yang bertugas menjaga harta zakat, yang bertugas mendistribusikan zakat, atau yang bertugas dalam pencatatan zakat. Mereka itu berhak menerima zakat, meskipun pada asalnya mereka adalah orang kaya berkecukupan. Mereka diberi zakat karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu karena mereka bertugas mengurus zakat. Ketiga, orang yang memiliki utang. Orang kaya yang memiliki utang ini ada dua macam. Pertama adalah orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak atau dua kelompok yang bersengketa atau berselisih. Orang ini berperan sebagai mediator untuk mendamaikan dua kelompok tersebut. Dan untuk mendamaikannya, dia harus menanggung utang. Sehingga utang tersebut membawa manfaat yang besar, yaitu perdamaian antara dua kelompok yang bersengketa. Oleh karena itu, suatu satu hal baik yang perlu dilakukan adalah menanggung utangnya dengan alokasi zakat, sehingga tidak merugikan para tokoh yang berperan dalam proses perdamaian atau melemahkan tekad mereka dalam meredam fitnah dan mencegah kerugian. Jenis kedua adalah orang yang berutang untuk keperluan dirinya sendiri. Yaitu, orang kaya yang tertimpa musibah yang tidak mampu dia tanggung. Misalnya, dia memiliki utang untuk berobat atau hartanya ludes karena musibah yang bukan karena kecerobohannya. Dalam kondisi semacam ini, dia boleh diberi harta zakat untuk melunasi utang-utangnya. Ini pun dengan syarat bahwa orang tersebut memang benar-benar tidak mampu untuk melunasinya sendiri, baik dengan harta yang dia miliki, atau dari gaji, atau dari hasil berdagang, atau yang lainnya. Syarat yang lain adalah tidak boleh berlebih-lebihan dari kebutuhan untuk melunasi utang tersebut. Keempat, orang kaya yang membeli harta zakat dengan hartanya sendiri. Maka, tentu saja hal ini diperbolehkan karena dia membeli dengan hartanya sendiri. Jika harta zakat yang dibeli itu berasal dari harta zakat orang lain, maka diperbolehkan membelinya dengan kesepakatan ulama. Adapun apabila dia membeli lagi harta zakat yang sebelumnya dia setorkan sendiri, maka jumhur (mayoritas ulama) menyatakan hukumnya makruh. Kelima, ada orang kaya yang mengunjungi orang miskin yang telah menerima zakat. Orang miskin tersebut kemudian memberi hadiah kepada orang kaya dari harta zakat yang dia terima. Atau dia ikut makan di rumah orang miskin tersebut dari makanan yang berasal dari zakat. Maka, ini pun diperbolehkan. Karena statusnya adalah hadiah dari orang miskin kepada orang kaya, bukan sedekah kepada orang kaya. Jika hal semacam ini tidak diperbolehkan, nanti bisa mencegah dan menghalangi orang kaya dari mengunjungi orang-orang miskin. Akan tetapi, Allah Ta’ala memperbolehkan hal tersebut dengan rahmat dari-Nya. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor YPIA Pogung, 12 Rabi’ul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 494-496). Tags: zakat


Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ “Tidak halal zakat bagi orang kaya (berkecukupan), kecuali bagi lima orang, yaitu: 1) orang yang berperang di jalan Allah; 2) petugas (amil) zakat; 3) orang yang berutang; 4) seseorang yang membelinya (harta zakat) dengan hartanya; atau 5) orang yang memiliki tetangga miskin, kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” (HR. Ahmad 18: 97, Abu Dawud no. 1636, Ibnu Majah no. 1841, Al-Hakim, 1: 407. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 3: 377-378) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa orang yang kaya atau berkecukupan itu bukanlah termasuk golongan yang berhak menerima zakat, kecuali lima orang: Pertama, orang-orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Yaitu, siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Maka, dia boleh diberi zakat, meskipun dia kaya dan berkecukupan. Sehingga dengan harta zakat tersebut, dia bisa menggunakannya untuk membeli persenjataan dan sarana-sarana lain untuk berjihad, baik jihad yang sifatnya ofensif (menyerang) atau defensif (bertahan). Kedua, orang tersebut adalah amil (panitia) zakat. Yaitu, orang-orang yang mendapatkan tugas dan wewenang dari penguasa untuk mengurus zakat, baik petugas yang memungut (mengambil atau mengumpulkan) zakat, yang bertugas menjaga harta zakat, yang bertugas mendistribusikan zakat, atau yang bertugas dalam pencatatan zakat. Mereka itu berhak menerima zakat, meskipun pada asalnya mereka adalah orang kaya berkecukupan. Mereka diberi zakat karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu karena mereka bertugas mengurus zakat. Ketiga, orang yang memiliki utang. Orang kaya yang memiliki utang ini ada dua macam. Pertama adalah orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak atau dua kelompok yang bersengketa atau berselisih. Orang ini berperan sebagai mediator untuk mendamaikan dua kelompok tersebut. Dan untuk mendamaikannya, dia harus menanggung utang. Sehingga utang tersebut membawa manfaat yang besar, yaitu perdamaian antara dua kelompok yang bersengketa. Oleh karena itu, suatu satu hal baik yang perlu dilakukan adalah menanggung utangnya dengan alokasi zakat, sehingga tidak merugikan para tokoh yang berperan dalam proses perdamaian atau melemahkan tekad mereka dalam meredam fitnah dan mencegah kerugian. Jenis kedua adalah orang yang berutang untuk keperluan dirinya sendiri. Yaitu, orang kaya yang tertimpa musibah yang tidak mampu dia tanggung. Misalnya, dia memiliki utang untuk berobat atau hartanya ludes karena musibah yang bukan karena kecerobohannya. Dalam kondisi semacam ini, dia boleh diberi harta zakat untuk melunasi utang-utangnya. Ini pun dengan syarat bahwa orang tersebut memang benar-benar tidak mampu untuk melunasinya sendiri, baik dengan harta yang dia miliki, atau dari gaji, atau dari hasil berdagang, atau yang lainnya. Syarat yang lain adalah tidak boleh berlebih-lebihan dari kebutuhan untuk melunasi utang tersebut. Keempat, orang kaya yang membeli harta zakat dengan hartanya sendiri. Maka, tentu saja hal ini diperbolehkan karena dia membeli dengan hartanya sendiri. Jika harta zakat yang dibeli itu berasal dari harta zakat orang lain, maka diperbolehkan membelinya dengan kesepakatan ulama. Adapun apabila dia membeli lagi harta zakat yang sebelumnya dia setorkan sendiri, maka jumhur (mayoritas ulama) menyatakan hukumnya makruh. Kelima, ada orang kaya yang mengunjungi orang miskin yang telah menerima zakat. Orang miskin tersebut kemudian memberi hadiah kepada orang kaya dari harta zakat yang dia terima. Atau dia ikut makan di rumah orang miskin tersebut dari makanan yang berasal dari zakat. Maka, ini pun diperbolehkan. Karena statusnya adalah hadiah dari orang miskin kepada orang kaya, bukan sedekah kepada orang kaya. Jika hal semacam ini tidak diperbolehkan, nanti bisa mencegah dan menghalangi orang kaya dari mengunjungi orang-orang miskin. Akan tetapi, Allah Ta’ala memperbolehkan hal tersebut dengan rahmat dari-Nya. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Tidak Membayar Zakat adalah Dosa Besar *** @Kantor YPIA Pogung, 12 Rabi’ul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 494-496). Tags: zakat

Pendidikan Anak adalah Amanah Allah

Mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak adalah kewajiban bagi setiap orang tua. Hal ini karena pendidikan anak adalah amanah besar yang Allah titipkan. Sebagaimana yang Allah singgung saat menyebutkan sifat-sifat orang beriman, وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ “Mereka adalah orang-orang yang menjaga amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8) Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anak kamu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28) Anak adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada para orang tua. Allah mengingatkan tentang nikmat ini, لِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ “Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49) Oleh karenanya, nikmat yang besar ini menjadi sebuah pertanggungjawaban yang besar pula. Allah menetapkan adanya hak dan kewajiban anak. Dan Allah tetapkan anak sebagai ujian bagi orang tua. Bila mereka mampu menunaikan konsekuensi dari titipan nikmat ini sebagaimana yang Allah perintahkan, maka mereka akan mendapatkan pahala yang besar. Namun, bila teledor dalam menunaikan syukur nikmat ini, maka itu sama saja menceburkan diri pada petaka di akhirat, sesuai kadar keteledorannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini menjadi alasan yang sangat kuat tentang wajibnya mendidik anak. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menerangkan ayat ini dengan pernyataannya yang populer, علموهم وأدبوهم “Didiklah keilmuan mereka, didiklah akhlak mereka.” (Riwayat At-Thabari di dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 23: 103) Amanah pendidikan anak dipertegas oleh hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka. Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829) Baca juga: Cara Tepat Mendidik Anak di Zaman Fitnah Kutipan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin” adalah pengingat tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah di hari kiamat terkait amanah-amanah yang dititipkan. Bahkan, sebagain ulama berpesan, إن الله يسأل الوالد عن ولدِهِ يومَ القيامةِ قبل أن يسأل الولد عن والدِهِ؛ فَإِنَّهُ كما أن للأب على ابنه حقًا فللابن على أبيه حقٌّ “Allah Ta’ala akan bertanya kepada para ayah tentang anaknya sebelum bertanya kepada anak tentang baktinya kepada kedua orangtuanya. Karena sebagaimana ayah memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan anak, maka anak juga memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan ayah.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 229) Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, أَدب ابنك فإنك مسؤول عن وَلَدِك؛ ماذا أَدَبَتَهُ، وماذا عَلَّمْتَهُ، وإنه مسؤول عن برك وطواعيته لك “Didiklah anak Anda karena Anda akan dimintai pertanggungjawaban tentang anak Anda. Nilai apa yang telah Anda tanamkan pada diri anak, ilmu apa yang telah Anda ajarkan. Kemudian anak akan dimintai pertanggungjawaban tentang baktinya kepada Anda.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, hal. 530) Jadi, sebagaimana Allah ‘Azza Wajalla berpesan kepada para anak untuk berbakti kepada orang tua mereka, وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حُسۡنٗاۖ “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al-Ankabut: 8) Allah juga berpesan kepada para orang tua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya dengan memberikan pendidikan kepada mereka. يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ “Allah titip wasiat kepadamu tentang anak-anakmu..” (QS. An-Nisa’: 11) Coba perhatikan (susunan ayat tentang wasiat di atas), wasiat Allah kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya lebih didahulukan daripada wasiat anak untuk berbakti kepada orangtuanya. (Tuhfatul Maudud, karya Ibnul Qayyim, hal. 229) Selanjutnya, anak itu terlahir dalam keadaan bersih dan di atas fitrah. Jika diajari berdusta, menipu, akhlak-akhlak yang rusak atau kejelekan lainnya, maka itu pasti disebabkan oleh faktor eksternal dari fitrahnya. Bisa disebabkan oleh pendidikan yang buruk dari orang tuanya, atau orang tua yang tidak perhatian dengan pendidikan anaknya, atau disebabkan oleh lingkungan yang buruk seperti teman buruk atau faktor eksternal lainnya. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Ahmad Anshori Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari kitab “ ‘Asyru Rokaiz fi Tarbiyatil Abna’ “, karya Syekh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad. Tags: mendidik anak

Pendidikan Anak adalah Amanah Allah

Mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak adalah kewajiban bagi setiap orang tua. Hal ini karena pendidikan anak adalah amanah besar yang Allah titipkan. Sebagaimana yang Allah singgung saat menyebutkan sifat-sifat orang beriman, وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ “Mereka adalah orang-orang yang menjaga amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8) Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anak kamu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28) Anak adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada para orang tua. Allah mengingatkan tentang nikmat ini, لِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ “Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49) Oleh karenanya, nikmat yang besar ini menjadi sebuah pertanggungjawaban yang besar pula. Allah menetapkan adanya hak dan kewajiban anak. Dan Allah tetapkan anak sebagai ujian bagi orang tua. Bila mereka mampu menunaikan konsekuensi dari titipan nikmat ini sebagaimana yang Allah perintahkan, maka mereka akan mendapatkan pahala yang besar. Namun, bila teledor dalam menunaikan syukur nikmat ini, maka itu sama saja menceburkan diri pada petaka di akhirat, sesuai kadar keteledorannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini menjadi alasan yang sangat kuat tentang wajibnya mendidik anak. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menerangkan ayat ini dengan pernyataannya yang populer, علموهم وأدبوهم “Didiklah keilmuan mereka, didiklah akhlak mereka.” (Riwayat At-Thabari di dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 23: 103) Amanah pendidikan anak dipertegas oleh hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka. Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829) Baca juga: Cara Tepat Mendidik Anak di Zaman Fitnah Kutipan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin” adalah pengingat tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah di hari kiamat terkait amanah-amanah yang dititipkan. Bahkan, sebagain ulama berpesan, إن الله يسأل الوالد عن ولدِهِ يومَ القيامةِ قبل أن يسأل الولد عن والدِهِ؛ فَإِنَّهُ كما أن للأب على ابنه حقًا فللابن على أبيه حقٌّ “Allah Ta’ala akan bertanya kepada para ayah tentang anaknya sebelum bertanya kepada anak tentang baktinya kepada kedua orangtuanya. Karena sebagaimana ayah memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan anak, maka anak juga memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan ayah.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 229) Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, أَدب ابنك فإنك مسؤول عن وَلَدِك؛ ماذا أَدَبَتَهُ، وماذا عَلَّمْتَهُ، وإنه مسؤول عن برك وطواعيته لك “Didiklah anak Anda karena Anda akan dimintai pertanggungjawaban tentang anak Anda. Nilai apa yang telah Anda tanamkan pada diri anak, ilmu apa yang telah Anda ajarkan. Kemudian anak akan dimintai pertanggungjawaban tentang baktinya kepada Anda.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, hal. 530) Jadi, sebagaimana Allah ‘Azza Wajalla berpesan kepada para anak untuk berbakti kepada orang tua mereka, وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حُسۡنٗاۖ “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al-Ankabut: 8) Allah juga berpesan kepada para orang tua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya dengan memberikan pendidikan kepada mereka. يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ “Allah titip wasiat kepadamu tentang anak-anakmu..” (QS. An-Nisa’: 11) Coba perhatikan (susunan ayat tentang wasiat di atas), wasiat Allah kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya lebih didahulukan daripada wasiat anak untuk berbakti kepada orangtuanya. (Tuhfatul Maudud, karya Ibnul Qayyim, hal. 229) Selanjutnya, anak itu terlahir dalam keadaan bersih dan di atas fitrah. Jika diajari berdusta, menipu, akhlak-akhlak yang rusak atau kejelekan lainnya, maka itu pasti disebabkan oleh faktor eksternal dari fitrahnya. Bisa disebabkan oleh pendidikan yang buruk dari orang tuanya, atau orang tua yang tidak perhatian dengan pendidikan anaknya, atau disebabkan oleh lingkungan yang buruk seperti teman buruk atau faktor eksternal lainnya. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Ahmad Anshori Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari kitab “ ‘Asyru Rokaiz fi Tarbiyatil Abna’ “, karya Syekh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad. Tags: mendidik anak
Mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak adalah kewajiban bagi setiap orang tua. Hal ini karena pendidikan anak adalah amanah besar yang Allah titipkan. Sebagaimana yang Allah singgung saat menyebutkan sifat-sifat orang beriman, وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ “Mereka adalah orang-orang yang menjaga amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8) Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anak kamu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28) Anak adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada para orang tua. Allah mengingatkan tentang nikmat ini, لِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ “Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49) Oleh karenanya, nikmat yang besar ini menjadi sebuah pertanggungjawaban yang besar pula. Allah menetapkan adanya hak dan kewajiban anak. Dan Allah tetapkan anak sebagai ujian bagi orang tua. Bila mereka mampu menunaikan konsekuensi dari titipan nikmat ini sebagaimana yang Allah perintahkan, maka mereka akan mendapatkan pahala yang besar. Namun, bila teledor dalam menunaikan syukur nikmat ini, maka itu sama saja menceburkan diri pada petaka di akhirat, sesuai kadar keteledorannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini menjadi alasan yang sangat kuat tentang wajibnya mendidik anak. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menerangkan ayat ini dengan pernyataannya yang populer, علموهم وأدبوهم “Didiklah keilmuan mereka, didiklah akhlak mereka.” (Riwayat At-Thabari di dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 23: 103) Amanah pendidikan anak dipertegas oleh hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka. Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829) Baca juga: Cara Tepat Mendidik Anak di Zaman Fitnah Kutipan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin” adalah pengingat tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah di hari kiamat terkait amanah-amanah yang dititipkan. Bahkan, sebagain ulama berpesan, إن الله يسأل الوالد عن ولدِهِ يومَ القيامةِ قبل أن يسأل الولد عن والدِهِ؛ فَإِنَّهُ كما أن للأب على ابنه حقًا فللابن على أبيه حقٌّ “Allah Ta’ala akan bertanya kepada para ayah tentang anaknya sebelum bertanya kepada anak tentang baktinya kepada kedua orangtuanya. Karena sebagaimana ayah memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan anak, maka anak juga memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan ayah.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 229) Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, أَدب ابنك فإنك مسؤول عن وَلَدِك؛ ماذا أَدَبَتَهُ، وماذا عَلَّمْتَهُ، وإنه مسؤول عن برك وطواعيته لك “Didiklah anak Anda karena Anda akan dimintai pertanggungjawaban tentang anak Anda. Nilai apa yang telah Anda tanamkan pada diri anak, ilmu apa yang telah Anda ajarkan. Kemudian anak akan dimintai pertanggungjawaban tentang baktinya kepada Anda.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, hal. 530) Jadi, sebagaimana Allah ‘Azza Wajalla berpesan kepada para anak untuk berbakti kepada orang tua mereka, وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حُسۡنٗاۖ “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al-Ankabut: 8) Allah juga berpesan kepada para orang tua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya dengan memberikan pendidikan kepada mereka. يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ “Allah titip wasiat kepadamu tentang anak-anakmu..” (QS. An-Nisa’: 11) Coba perhatikan (susunan ayat tentang wasiat di atas), wasiat Allah kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya lebih didahulukan daripada wasiat anak untuk berbakti kepada orangtuanya. (Tuhfatul Maudud, karya Ibnul Qayyim, hal. 229) Selanjutnya, anak itu terlahir dalam keadaan bersih dan di atas fitrah. Jika diajari berdusta, menipu, akhlak-akhlak yang rusak atau kejelekan lainnya, maka itu pasti disebabkan oleh faktor eksternal dari fitrahnya. Bisa disebabkan oleh pendidikan yang buruk dari orang tuanya, atau orang tua yang tidak perhatian dengan pendidikan anaknya, atau disebabkan oleh lingkungan yang buruk seperti teman buruk atau faktor eksternal lainnya. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Ahmad Anshori Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari kitab “ ‘Asyru Rokaiz fi Tarbiyatil Abna’ “, karya Syekh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad. Tags: mendidik anak


Mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak adalah kewajiban bagi setiap orang tua. Hal ini karena pendidikan anak adalah amanah besar yang Allah titipkan. Sebagaimana yang Allah singgung saat menyebutkan sifat-sifat orang beriman, وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ “Mereka adalah orang-orang yang menjaga amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8) Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anak kamu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28) Anak adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada para orang tua. Allah mengingatkan tentang nikmat ini, لِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ “Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49) Oleh karenanya, nikmat yang besar ini menjadi sebuah pertanggungjawaban yang besar pula. Allah menetapkan adanya hak dan kewajiban anak. Dan Allah tetapkan anak sebagai ujian bagi orang tua. Bila mereka mampu menunaikan konsekuensi dari titipan nikmat ini sebagaimana yang Allah perintahkan, maka mereka akan mendapatkan pahala yang besar. Namun, bila teledor dalam menunaikan syukur nikmat ini, maka itu sama saja menceburkan diri pada petaka di akhirat, sesuai kadar keteledorannya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini menjadi alasan yang sangat kuat tentang wajibnya mendidik anak. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menerangkan ayat ini dengan pernyataannya yang populer, علموهم وأدبوهم “Didiklah keilmuan mereka, didiklah akhlak mereka.” (Riwayat At-Thabari di dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 23: 103) Amanah pendidikan anak dipertegas oleh hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka. Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829) Baca juga: Cara Tepat Mendidik Anak di Zaman Fitnah Kutipan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin” adalah pengingat tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah di hari kiamat terkait amanah-amanah yang dititipkan. Bahkan, sebagain ulama berpesan, إن الله يسأل الوالد عن ولدِهِ يومَ القيامةِ قبل أن يسأل الولد عن والدِهِ؛ فَإِنَّهُ كما أن للأب على ابنه حقًا فللابن على أبيه حقٌّ “Allah Ta’ala akan bertanya kepada para ayah tentang anaknya sebelum bertanya kepada anak tentang baktinya kepada kedua orangtuanya. Karena sebagaimana ayah memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan anak, maka anak juga memiliki hak yang besar yang harus ditunaikan ayah.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 229) Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, أَدب ابنك فإنك مسؤول عن وَلَدِك؛ ماذا أَدَبَتَهُ، وماذا عَلَّمْتَهُ، وإنه مسؤول عن برك وطواعيته لك “Didiklah anak Anda karena Anda akan dimintai pertanggungjawaban tentang anak Anda. Nilai apa yang telah Anda tanamkan pada diri anak, ilmu apa yang telah Anda ajarkan. Kemudian anak akan dimintai pertanggungjawaban tentang baktinya kepada Anda.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, hal. 530) Jadi, sebagaimana Allah ‘Azza Wajalla berpesan kepada para anak untuk berbakti kepada orang tua mereka, وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حُسۡنٗاۖ “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al-Ankabut: 8) Allah juga berpesan kepada para orang tua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya dengan memberikan pendidikan kepada mereka. يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ “Allah titip wasiat kepadamu tentang anak-anakmu..” (QS. An-Nisa’: 11) Coba perhatikan (susunan ayat tentang wasiat di atas), wasiat Allah kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya lebih didahulukan daripada wasiat anak untuk berbakti kepada orangtuanya. (Tuhfatul Maudud, karya Ibnul Qayyim, hal. 229) Selanjutnya, anak itu terlahir dalam keadaan bersih dan di atas fitrah. Jika diajari berdusta, menipu, akhlak-akhlak yang rusak atau kejelekan lainnya, maka itu pasti disebabkan oleh faktor eksternal dari fitrahnya. Bisa disebabkan oleh pendidikan yang buruk dari orang tuanya, atau orang tua yang tidak perhatian dengan pendidikan anaknya, atau disebabkan oleh lingkungan yang buruk seperti teman buruk atau faktor eksternal lainnya. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Ahmad Anshori Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari kitab “ ‘Asyru Rokaiz fi Tarbiyatil Abna’ “, karya Syekh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad. Tags: mendidik anak

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 6): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1]Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDi antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3]Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepatRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1] Idealnya seorang dai yang hikmah adalah sosok dai yang nampak buah ilmunya dalam keyakinan, ibadahnya, ucapan, perbuatan, muamalah, dan akhlaknya. Sehingga ia menjadi teladan bagi masyarakatnya dalam segala hal kebaikan. Seorang dai yang hikmah dan bijak adalah sosok yang berdakwah selain dengan ilmunya juga dengan berdakwah dengan akhlaknya yang mulia, sehingga masyarakat mencintainya dan menerima dakwahnya. Ia berdakwah dengan sikap lembut, santun dalam berucap, sopan dalam berperilaku, bermuka manis, menebarkan salam, menunaikan hak-hak muslim tetangganya, sabar akan kezaliman dan gangguan terhadapnya, dan memberi contoh sosok yang berbakti kepada orang tuanya, bersikap baik kepada keluarganya, serta dengan menjadi terdepan dalam kegiatan mayarakat yang baik. Barangsiapa yang cara berdakwahnya dengan akhlak mulia dan teladan di setiap kebaikan, disamping dengan ilmunya, maka insyaAllah, masyarakat akan mencintainya, menerima dakwahnya dan mengikutinya dalam kebaikan yang ia dakwahkan via akhlak mulia dan teladannya. Bahkan, seandainya mereka belum bisa mengamalkan isi dakwah sang dai, setidaknya diharapkan mereka tidak membencinya dan tidak menghalangi dakwahnya. Namun sebaliknya, apabila seorang dai berdakwah dengan ilmunya semata, namun akhlaknya buruk dan tidak memberi contoh yang baik, maka biasanya dakwahnya akan sulit diterima. Malah masyarakat membencinya, bahkan bisa jadi mengucilkan dan memusuhinya, kalaupun dakwahnya berhasil, akan sedikit tingkat keberhasilannya. Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh hidup dan teladan yang baik dari apa yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya. Tidak ada satu keutamaan yang dianjurkan, kecuali beliau lakukan bahkan menjadi teladan terbaik. Sebaliknya, tidak ada kejelekan yang beliau larang, kecuali beliau orang yang paling jauh darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنما بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مكارمَ و في روايةٍ ( صالحَ ) الأخلاق “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat lain ‘yang baik’).” Dalam sirah-nya yang harum -semoga selawat Allah dan salam-Nya tercurahkan kepada beliau- terdapat banyak bukti yang menunjukkan keteladanan beliau. Di antaranya [2]: Pertama: Memberi contoh banyak zikrullah, memperhatikan salat lima waktu berjemaah, tawaduk (rendah hati), zuhud terhadap dunia, dermawan. Kedua: Teladan dalam bagusnya berinteraksi dengan istri. Ketiga: Teladan sangat memperhatikan masalah janji sekalipun dengan musuh. Keempat: Itsar (mendahulukan kepentingan orang lain). Kelima: Memaafkan orang-orang yang zalim (kepada beliau). Keenam: Ikut serta dalam membangun masjid. Ketujuh: Ikut serta dalam menggali parit. Kedelapan: Memulai berbuka ketika beliau menyuruh untuk itu. Kesembilan: Meminta kepada keluarganya untuk menjamu orang yang butuh, sebelum meminta hal itu kepada orang lain. Kesepuluh: Membatalkan riba yang dilakukan oleh pamannya sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Kesebelas: Mengembalikan tawanan anak Bani Hawazin sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Di antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3] Hendaklah dai yang bijak aktif bermasyarakat dalam kegiatan masyarakat yang tidak melanggar syariat Islam. Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia! Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti acara-acara bid’ah di masyarakat. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, Contohnya: Kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya. Dengan berjalannya waktu, insyaAllah masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang tidak ada tawar-menawar di dalamnya. Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepat Pertama: Berdakwah di masjid. (HR. Al-Bukhari) Kedua: Berdakwah kepada wanita di rumah salah satu di sntara mereka. (HR. Al-Bukhari) Ketiga: Berdakwah di Mina. (HR. Al-Bukhari) Keempat: Berdakwah dalam perjalanan. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Pertama: Berdakwah kepada keluarga. (HR. Al-Hakim, sahih) Kedua: Berdakwah kepada paman. (HR. At-Tirmidzi, sahih) Ketiga: Berdakwah kepada anak laki-laki paman. (HR. At-Tirmidzi, hasan) Keempat: Berdakwah kepada anak perempuan paman. (HR. Abu Dawud, hasan sahih) Kelima: Berdakwah kepada sahabat. (HR. Al-Bukhari) Keenam: Berdakwah kepada para pemuda. (HR. Al-Bukhari) Ketujuh: Berdakwah kepada anak kecil. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Kedelapan: Berdakwah kepada wanita. (HR. Al-Bukhari) Kesembilan: Berdakwah kepada Arab badui. (HR. Muslim) Kesepuluh: Berdakwah kepada muslim yang baru masuk Islam. (HR. Muslim) Maka, dai yang hikmah itu tipe peka dan peduli terhadap lingkungannya, yang diwujudkan dengan amar makruf nahi munkar. Saat ia melihat masyarakatnya meninggalkan suatu yang makruf, maka ia terdorong memberi contoh dan mengajak masyarakatnya melakukannya. Dan saat melihat masyarakatnya melakukan kemungkaran, baik dalam keyakinan, ibadah, muamalah maupun akhlak, ia terdorong memberi pencerahan, meluruskan, dan mengingkarinya dengan hikmah. Kembali ke bagian 5: Tidak Ada Pengingkaran dalam Masalah Ijtihad Lanjut ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [2] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [3] Sub pasal ini dinukil dari buku “14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah”, Ust. Abdullah Zaen, Lc., MA. dengan beberapa perubahan dan penyesuaian. [4] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi Tags: hikmah dalam berdakwah

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 6): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1]Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDi antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3]Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepatRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1] Idealnya seorang dai yang hikmah adalah sosok dai yang nampak buah ilmunya dalam keyakinan, ibadahnya, ucapan, perbuatan, muamalah, dan akhlaknya. Sehingga ia menjadi teladan bagi masyarakatnya dalam segala hal kebaikan. Seorang dai yang hikmah dan bijak adalah sosok yang berdakwah selain dengan ilmunya juga dengan berdakwah dengan akhlaknya yang mulia, sehingga masyarakat mencintainya dan menerima dakwahnya. Ia berdakwah dengan sikap lembut, santun dalam berucap, sopan dalam berperilaku, bermuka manis, menebarkan salam, menunaikan hak-hak muslim tetangganya, sabar akan kezaliman dan gangguan terhadapnya, dan memberi contoh sosok yang berbakti kepada orang tuanya, bersikap baik kepada keluarganya, serta dengan menjadi terdepan dalam kegiatan mayarakat yang baik. Barangsiapa yang cara berdakwahnya dengan akhlak mulia dan teladan di setiap kebaikan, disamping dengan ilmunya, maka insyaAllah, masyarakat akan mencintainya, menerima dakwahnya dan mengikutinya dalam kebaikan yang ia dakwahkan via akhlak mulia dan teladannya. Bahkan, seandainya mereka belum bisa mengamalkan isi dakwah sang dai, setidaknya diharapkan mereka tidak membencinya dan tidak menghalangi dakwahnya. Namun sebaliknya, apabila seorang dai berdakwah dengan ilmunya semata, namun akhlaknya buruk dan tidak memberi contoh yang baik, maka biasanya dakwahnya akan sulit diterima. Malah masyarakat membencinya, bahkan bisa jadi mengucilkan dan memusuhinya, kalaupun dakwahnya berhasil, akan sedikit tingkat keberhasilannya. Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh hidup dan teladan yang baik dari apa yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya. Tidak ada satu keutamaan yang dianjurkan, kecuali beliau lakukan bahkan menjadi teladan terbaik. Sebaliknya, tidak ada kejelekan yang beliau larang, kecuali beliau orang yang paling jauh darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنما بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مكارمَ و في روايةٍ ( صالحَ ) الأخلاق “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat lain ‘yang baik’).” Dalam sirah-nya yang harum -semoga selawat Allah dan salam-Nya tercurahkan kepada beliau- terdapat banyak bukti yang menunjukkan keteladanan beliau. Di antaranya [2]: Pertama: Memberi contoh banyak zikrullah, memperhatikan salat lima waktu berjemaah, tawaduk (rendah hati), zuhud terhadap dunia, dermawan. Kedua: Teladan dalam bagusnya berinteraksi dengan istri. Ketiga: Teladan sangat memperhatikan masalah janji sekalipun dengan musuh. Keempat: Itsar (mendahulukan kepentingan orang lain). Kelima: Memaafkan orang-orang yang zalim (kepada beliau). Keenam: Ikut serta dalam membangun masjid. Ketujuh: Ikut serta dalam menggali parit. Kedelapan: Memulai berbuka ketika beliau menyuruh untuk itu. Kesembilan: Meminta kepada keluarganya untuk menjamu orang yang butuh, sebelum meminta hal itu kepada orang lain. Kesepuluh: Membatalkan riba yang dilakukan oleh pamannya sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Kesebelas: Mengembalikan tawanan anak Bani Hawazin sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Di antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3] Hendaklah dai yang bijak aktif bermasyarakat dalam kegiatan masyarakat yang tidak melanggar syariat Islam. Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia! Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti acara-acara bid’ah di masyarakat. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, Contohnya: Kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya. Dengan berjalannya waktu, insyaAllah masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang tidak ada tawar-menawar di dalamnya. Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepat Pertama: Berdakwah di masjid. (HR. Al-Bukhari) Kedua: Berdakwah kepada wanita di rumah salah satu di sntara mereka. (HR. Al-Bukhari) Ketiga: Berdakwah di Mina. (HR. Al-Bukhari) Keempat: Berdakwah dalam perjalanan. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Pertama: Berdakwah kepada keluarga. (HR. Al-Hakim, sahih) Kedua: Berdakwah kepada paman. (HR. At-Tirmidzi, sahih) Ketiga: Berdakwah kepada anak laki-laki paman. (HR. At-Tirmidzi, hasan) Keempat: Berdakwah kepada anak perempuan paman. (HR. Abu Dawud, hasan sahih) Kelima: Berdakwah kepada sahabat. (HR. Al-Bukhari) Keenam: Berdakwah kepada para pemuda. (HR. Al-Bukhari) Ketujuh: Berdakwah kepada anak kecil. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Kedelapan: Berdakwah kepada wanita. (HR. Al-Bukhari) Kesembilan: Berdakwah kepada Arab badui. (HR. Muslim) Kesepuluh: Berdakwah kepada muslim yang baru masuk Islam. (HR. Muslim) Maka, dai yang hikmah itu tipe peka dan peduli terhadap lingkungannya, yang diwujudkan dengan amar makruf nahi munkar. Saat ia melihat masyarakatnya meninggalkan suatu yang makruf, maka ia terdorong memberi contoh dan mengajak masyarakatnya melakukannya. Dan saat melihat masyarakatnya melakukan kemungkaran, baik dalam keyakinan, ibadah, muamalah maupun akhlak, ia terdorong memberi pencerahan, meluruskan, dan mengingkarinya dengan hikmah. Kembali ke bagian 5: Tidak Ada Pengingkaran dalam Masalah Ijtihad Lanjut ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [2] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [3] Sub pasal ini dinukil dari buku “14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah”, Ust. Abdullah Zaen, Lc., MA. dengan beberapa perubahan dan penyesuaian. [4] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi Tags: hikmah dalam berdakwah
Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1]Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDi antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3]Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepatRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1] Idealnya seorang dai yang hikmah adalah sosok dai yang nampak buah ilmunya dalam keyakinan, ibadahnya, ucapan, perbuatan, muamalah, dan akhlaknya. Sehingga ia menjadi teladan bagi masyarakatnya dalam segala hal kebaikan. Seorang dai yang hikmah dan bijak adalah sosok yang berdakwah selain dengan ilmunya juga dengan berdakwah dengan akhlaknya yang mulia, sehingga masyarakat mencintainya dan menerima dakwahnya. Ia berdakwah dengan sikap lembut, santun dalam berucap, sopan dalam berperilaku, bermuka manis, menebarkan salam, menunaikan hak-hak muslim tetangganya, sabar akan kezaliman dan gangguan terhadapnya, dan memberi contoh sosok yang berbakti kepada orang tuanya, bersikap baik kepada keluarganya, serta dengan menjadi terdepan dalam kegiatan mayarakat yang baik. Barangsiapa yang cara berdakwahnya dengan akhlak mulia dan teladan di setiap kebaikan, disamping dengan ilmunya, maka insyaAllah, masyarakat akan mencintainya, menerima dakwahnya dan mengikutinya dalam kebaikan yang ia dakwahkan via akhlak mulia dan teladannya. Bahkan, seandainya mereka belum bisa mengamalkan isi dakwah sang dai, setidaknya diharapkan mereka tidak membencinya dan tidak menghalangi dakwahnya. Namun sebaliknya, apabila seorang dai berdakwah dengan ilmunya semata, namun akhlaknya buruk dan tidak memberi contoh yang baik, maka biasanya dakwahnya akan sulit diterima. Malah masyarakat membencinya, bahkan bisa jadi mengucilkan dan memusuhinya, kalaupun dakwahnya berhasil, akan sedikit tingkat keberhasilannya. Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh hidup dan teladan yang baik dari apa yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya. Tidak ada satu keutamaan yang dianjurkan, kecuali beliau lakukan bahkan menjadi teladan terbaik. Sebaliknya, tidak ada kejelekan yang beliau larang, kecuali beliau orang yang paling jauh darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنما بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مكارمَ و في روايةٍ ( صالحَ ) الأخلاق “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat lain ‘yang baik’).” Dalam sirah-nya yang harum -semoga selawat Allah dan salam-Nya tercurahkan kepada beliau- terdapat banyak bukti yang menunjukkan keteladanan beliau. Di antaranya [2]: Pertama: Memberi contoh banyak zikrullah, memperhatikan salat lima waktu berjemaah, tawaduk (rendah hati), zuhud terhadap dunia, dermawan. Kedua: Teladan dalam bagusnya berinteraksi dengan istri. Ketiga: Teladan sangat memperhatikan masalah janji sekalipun dengan musuh. Keempat: Itsar (mendahulukan kepentingan orang lain). Kelima: Memaafkan orang-orang yang zalim (kepada beliau). Keenam: Ikut serta dalam membangun masjid. Ketujuh: Ikut serta dalam menggali parit. Kedelapan: Memulai berbuka ketika beliau menyuruh untuk itu. Kesembilan: Meminta kepada keluarganya untuk menjamu orang yang butuh, sebelum meminta hal itu kepada orang lain. Kesepuluh: Membatalkan riba yang dilakukan oleh pamannya sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Kesebelas: Mengembalikan tawanan anak Bani Hawazin sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Di antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3] Hendaklah dai yang bijak aktif bermasyarakat dalam kegiatan masyarakat yang tidak melanggar syariat Islam. Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia! Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti acara-acara bid’ah di masyarakat. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, Contohnya: Kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya. Dengan berjalannya waktu, insyaAllah masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang tidak ada tawar-menawar di dalamnya. Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepat Pertama: Berdakwah di masjid. (HR. Al-Bukhari) Kedua: Berdakwah kepada wanita di rumah salah satu di sntara mereka. (HR. Al-Bukhari) Ketiga: Berdakwah di Mina. (HR. Al-Bukhari) Keempat: Berdakwah dalam perjalanan. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Pertama: Berdakwah kepada keluarga. (HR. Al-Hakim, sahih) Kedua: Berdakwah kepada paman. (HR. At-Tirmidzi, sahih) Ketiga: Berdakwah kepada anak laki-laki paman. (HR. At-Tirmidzi, hasan) Keempat: Berdakwah kepada anak perempuan paman. (HR. Abu Dawud, hasan sahih) Kelima: Berdakwah kepada sahabat. (HR. Al-Bukhari) Keenam: Berdakwah kepada para pemuda. (HR. Al-Bukhari) Ketujuh: Berdakwah kepada anak kecil. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Kedelapan: Berdakwah kepada wanita. (HR. Al-Bukhari) Kesembilan: Berdakwah kepada Arab badui. (HR. Muslim) Kesepuluh: Berdakwah kepada muslim yang baru masuk Islam. (HR. Muslim) Maka, dai yang hikmah itu tipe peka dan peduli terhadap lingkungannya, yang diwujudkan dengan amar makruf nahi munkar. Saat ia melihat masyarakatnya meninggalkan suatu yang makruf, maka ia terdorong memberi contoh dan mengajak masyarakatnya melakukannya. Dan saat melihat masyarakatnya melakukan kemungkaran, baik dalam keyakinan, ibadah, muamalah maupun akhlak, ia terdorong memberi pencerahan, meluruskan, dan mengingkarinya dengan hikmah. Kembali ke bagian 5: Tidak Ada Pengingkaran dalam Masalah Ijtihad Lanjut ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [2] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [3] Sub pasal ini dinukil dari buku “14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah”, Ust. Abdullah Zaen, Lc., MA. dengan beberapa perubahan dan penyesuaian. [4] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi Tags: hikmah dalam berdakwah


Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1]Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDi antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3]Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepatRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan [1] Idealnya seorang dai yang hikmah adalah sosok dai yang nampak buah ilmunya dalam keyakinan, ibadahnya, ucapan, perbuatan, muamalah, dan akhlaknya. Sehingga ia menjadi teladan bagi masyarakatnya dalam segala hal kebaikan. Seorang dai yang hikmah dan bijak adalah sosok yang berdakwah selain dengan ilmunya juga dengan berdakwah dengan akhlaknya yang mulia, sehingga masyarakat mencintainya dan menerima dakwahnya. Ia berdakwah dengan sikap lembut, santun dalam berucap, sopan dalam berperilaku, bermuka manis, menebarkan salam, menunaikan hak-hak muslim tetangganya, sabar akan kezaliman dan gangguan terhadapnya, dan memberi contoh sosok yang berbakti kepada orang tuanya, bersikap baik kepada keluarganya, serta dengan menjadi terdepan dalam kegiatan mayarakat yang baik. Barangsiapa yang cara berdakwahnya dengan akhlak mulia dan teladan di setiap kebaikan, disamping dengan ilmunya, maka insyaAllah, masyarakat akan mencintainya, menerima dakwahnya dan mengikutinya dalam kebaikan yang ia dakwahkan via akhlak mulia dan teladannya. Bahkan, seandainya mereka belum bisa mengamalkan isi dakwah sang dai, setidaknya diharapkan mereka tidak membencinya dan tidak menghalangi dakwahnya. Namun sebaliknya, apabila seorang dai berdakwah dengan ilmunya semata, namun akhlaknya buruk dan tidak memberi contoh yang baik, maka biasanya dakwahnya akan sulit diterima. Malah masyarakat membencinya, bahkan bisa jadi mengucilkan dan memusuhinya, kalaupun dakwahnya berhasil, akan sedikit tingkat keberhasilannya. Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh hidup dan teladan yang baik dari apa yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya. Tidak ada satu keutamaan yang dianjurkan, kecuali beliau lakukan bahkan menjadi teladan terbaik. Sebaliknya, tidak ada kejelekan yang beliau larang, kecuali beliau orang yang paling jauh darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنما بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مكارمَ و في روايةٍ ( صالحَ ) الأخلاق “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat lain ‘yang baik’).” Dalam sirah-nya yang harum -semoga selawat Allah dan salam-Nya tercurahkan kepada beliau- terdapat banyak bukti yang menunjukkan keteladanan beliau. Di antaranya [2]: Pertama: Memberi contoh banyak zikrullah, memperhatikan salat lima waktu berjemaah, tawaduk (rendah hati), zuhud terhadap dunia, dermawan. Kedua: Teladan dalam bagusnya berinteraksi dengan istri. Ketiga: Teladan sangat memperhatikan masalah janji sekalipun dengan musuh. Keempat: Itsar (mendahulukan kepentingan orang lain). Kelima: Memaafkan orang-orang yang zalim (kepada beliau). Keenam: Ikut serta dalam membangun masjid. Ketujuh: Ikut serta dalam menggali parit. Kedelapan: Memulai berbuka ketika beliau menyuruh untuk itu. Kesembilan: Meminta kepada keluarganya untuk menjamu orang yang butuh, sebelum meminta hal itu kepada orang lain. Kesepuluh: Membatalkan riba yang dilakukan oleh pamannya sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Kesebelas: Mengembalikan tawanan anak Bani Hawazin sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Di antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat [3] Hendaklah dai yang bijak aktif bermasyarakat dalam kegiatan masyarakat yang tidak melanggar syariat Islam. Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia! Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti acara-acara bid’ah di masyarakat. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, Contohnya: Kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya. Dengan berjalannya waktu, insyaAllah masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang tidak ada tawar-menawar di dalamnya. Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat [4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepat Pertama: Berdakwah di masjid. (HR. Al-Bukhari) Kedua: Berdakwah kepada wanita di rumah salah satu di sntara mereka. (HR. Al-Bukhari) Ketiga: Berdakwah di Mina. (HR. Al-Bukhari) Keempat: Berdakwah dalam perjalanan. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan Pertama: Berdakwah kepada keluarga. (HR. Al-Hakim, sahih) Kedua: Berdakwah kepada paman. (HR. At-Tirmidzi, sahih) Ketiga: Berdakwah kepada anak laki-laki paman. (HR. At-Tirmidzi, hasan) Keempat: Berdakwah kepada anak perempuan paman. (HR. Abu Dawud, hasan sahih) Kelima: Berdakwah kepada sahabat. (HR. Al-Bukhari) Keenam: Berdakwah kepada para pemuda. (HR. Al-Bukhari) Ketujuh: Berdakwah kepada anak kecil. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih) Kedelapan: Berdakwah kepada wanita. (HR. Al-Bukhari) Kesembilan: Berdakwah kepada Arab badui. (HR. Muslim) Kesepuluh: Berdakwah kepada muslim yang baru masuk Islam. (HR. Muslim) Maka, dai yang hikmah itu tipe peka dan peduli terhadap lingkungannya, yang diwujudkan dengan amar makruf nahi munkar. Saat ia melihat masyarakatnya meninggalkan suatu yang makruf, maka ia terdorong memberi contoh dan mengajak masyarakatnya melakukannya. Dan saat melihat masyarakatnya melakukan kemungkaran, baik dalam keyakinan, ibadah, muamalah maupun akhlak, ia terdorong memberi pencerahan, meluruskan, dan mengingkarinya dengan hikmah. Kembali ke bagian 5: Tidak Ada Pengingkaran dalam Masalah Ijtihad Lanjut ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [2] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi [3] Sub pasal ini dinukil dari buku “14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah”, Ust. Abdullah Zaen, Lc., MA. dengan beberapa perubahan dan penyesuaian. [4] Disarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi Tags: hikmah dalam berdakwah

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 8): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan).Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat:Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki.Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid.Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal.Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Di antara contoh praktik dakwah dengan hikmah dan bijaksana adalah apa yang disebutkan oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. MA. hafizhahullah dalam bukunya “14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah” pada halaman 117-144. Namun, mengingat panjangnya penjelasan yang beliau tuliskan, maka di bawah ini kami ringkaskan untuk para pembaca dengan beberapa penyesuaian agar lebih mudah untuk diambil faedahnya bagi kaum muslimin secara umum. Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan). Dalil bolehnya meninggalkan amalan yang lebih afdal atau amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari fitnah atau untuk menarik hati masyarakat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْلا حَداثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بالكُفْرِ لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ، ولَجَعَلْتُها علَى أساسِ إبْراهِيمَ “Kalau bukan karena kaummu (wahai Aisyah) yang baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya akan aku hancurkan ka’bah. Lalu, aku akan bangun kembali di atas pondasi Nabi Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari timbulnya fitnah. Oleh karena itu, Imam Bukhari rahimahullah mengambil suatu kesimpulan yang amat indah dari kisah di atas. Beliau menulis, “Bab: (Disyariatkannya bagi) Seseorang untuk Meninggalkan Beberapa Perkara Sunah, karena Khawatir Pemahaman sebagian Orang Tidak Sampai kepadanya, sehingga Mereka Terjerumus ke dalam Perbuatan Yang Lebih Parah.” Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat: Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Seandainya masyarakat kampungnya terbiasa untuk memakai sarung, kemeja, baju koko, dan songkok hitam, maka hendaknya kita tidak berusaha untuk tampil beda dengan memakai jubah, gamis (baju pakistan), imamah (sorban yang dililit di kepala), atau syimagh (kerudung yang biasa dipakai oleh laki-laki Arab). Karena menurut para ulama bahwa yang disunahkan dalam masalah pakaian itu hendaknya seseorang menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian penduduk negerinya, selama pakaian mereka tidak bertentangan dengan syariat Islam. Imam Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkata, “Tidak seyogyanya menyelisihi kebiasaan masyarakat, kecuali dalam hal yang haram.” Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إزرَةُ المؤمنِ إلى عَضَلةِ ساقَيْه، ثم إلى نِصْفِ ساقَيْه، ثم إلى كَعبَيْه، فما كان أَسفَلَ مِن ذلك في النَّارِ “Pakaian (bawah) seorang mukmin hingga di atas pertengahan betisnya, kemudian hingga pertengahan betisnya, kemudian hingga kedua mata kakinya. Jika melebihi mata kaki, maka itu akan (dimasukkan) ke neraka.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad. Sahih) Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam. Berikut ini beberapa hadis menunjukkan hal itu: Pertama: Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang memakai pakaian merah. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf, VII: 371 no. 4791 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Kedua: Ummu Khalid bintu Khalid radhiyallahu ‘anha pernah dipakaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baju bergaris-garis hijau dan kuning. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Ketiga: Istri Abdurrahman bin Zubair Al-Qurazhi radhiyallahu ‘anhuma pernah memakai jilbab hijau. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Oleh karena itu di dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (XVII: 108) disebutkan, “Pakaian wanita muslimah tidak khusus berwarna hitam, dan boleh baginya untuk memakai pakaian berwarna lain, jika menutup auratnya, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak ketat membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, tidak transparan hingga memperlihatkan apa yang ada di balik pakaian, serta tidak menimbulkan fitnah.” Baca juga: Hukum Memakai Pakaian Berwarna Merah Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah. Perlu diketahui bahwa membuat mihrab merupakan suatu perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sebagian mengatakan boleh, sebagian mengatakan bid’ah. Syekh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah menjelaskan permasalahan di atas, “Masalah ini (masalah mihrab) merupakan permasalahan fikih. Kalaupun mihrab dianggap sebagai suatu bid’ah, perbuatan meninggalkan salat di dalamnya tidak melenyapkan bid’ah tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori bid’ah adalah membangun mihrab tersebut, bukan salat di dalamnya.” Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid. Karena hadis yang menjelaskan dikeraskannya bacaan basmalah Fatihah pun sahih, meskipun (derajat) kekuatannya di bawah (derajat) kekuatan hadis yang menerangkan di-sirr-kannya (dilirihkannya) bacaan basmalah. Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimanakah salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pemah salat lebih dari sebelas rakaat baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan. Beliau salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat tiga rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dan hadis ini menjelaskan bolehnya (salat empat empat tiga), meskipun yang lebih afdal adalah salam setiap selesai dua rakaat. Dan inilah yang dikenal dari praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah beliau untuk melakukan salat malam dua rakaat dua rakaat.” Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Syekh Al-‘Allamah Ibn ‘Utsaimin rahimahullah menasihatkan, “Lihatlah para imam (kaum muslimin) yang mereka benar-benar memahami nilai-nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut salat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian, beliau berkata, ‘Jika engkau salat di belakang imam yang qunut, maka ikutilah qunutnya, dan aminilah doa imam tersebut.’ Ini semua demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” Ini jika posisi kita sebagai makmum. Namun, jika posisi kita sebagai imam (dan kita meyakini bahwa hadis tersebut dha’if), maka kita tidak boleh berqunut. Karena jika kita meyakini bahwa hadisnya dha’if, berarti kita telah meyakini bahwa qunut Subuh tidak disyariatkan. Syekh Al-‘Allamah Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah setelah merajihkan bahwa hadis tersebut dha’if, beliau menjelaskan sikap makmum dalam permasalahan-permasalahan seperti ini, “Seseorang mengikuti imam dalam masalah-masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan oleh para ulama) … Dia harus mengikuti imam, dan tidak boleh memisahkan diri atau meninggalkan salat di belakang orang yang berqunut. Jika seseorang memandang bahwa amalan itu tidak cocok (dengan sunah) atau dia berpendapat bahwa perkara itu bid’ah, sedangkan yang lain berpendapat bahwa itu adalah sunah, dalam kondisi seperti itu dia tidak boleh meninggalkan salat di belakang orang yang berbeda pendapat dengannya di saat dia mengamalkan apa yang ia yakini.” Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ Kembali ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: hikmah dalam berdakwah

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 8): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan).Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat:Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki.Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid.Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal.Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Di antara contoh praktik dakwah dengan hikmah dan bijaksana adalah apa yang disebutkan oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. MA. hafizhahullah dalam bukunya “14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah” pada halaman 117-144. Namun, mengingat panjangnya penjelasan yang beliau tuliskan, maka di bawah ini kami ringkaskan untuk para pembaca dengan beberapa penyesuaian agar lebih mudah untuk diambil faedahnya bagi kaum muslimin secara umum. Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan). Dalil bolehnya meninggalkan amalan yang lebih afdal atau amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari fitnah atau untuk menarik hati masyarakat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْلا حَداثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بالكُفْرِ لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ، ولَجَعَلْتُها علَى أساسِ إبْراهِيمَ “Kalau bukan karena kaummu (wahai Aisyah) yang baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya akan aku hancurkan ka’bah. Lalu, aku akan bangun kembali di atas pondasi Nabi Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari timbulnya fitnah. Oleh karena itu, Imam Bukhari rahimahullah mengambil suatu kesimpulan yang amat indah dari kisah di atas. Beliau menulis, “Bab: (Disyariatkannya bagi) Seseorang untuk Meninggalkan Beberapa Perkara Sunah, karena Khawatir Pemahaman sebagian Orang Tidak Sampai kepadanya, sehingga Mereka Terjerumus ke dalam Perbuatan Yang Lebih Parah.” Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat: Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Seandainya masyarakat kampungnya terbiasa untuk memakai sarung, kemeja, baju koko, dan songkok hitam, maka hendaknya kita tidak berusaha untuk tampil beda dengan memakai jubah, gamis (baju pakistan), imamah (sorban yang dililit di kepala), atau syimagh (kerudung yang biasa dipakai oleh laki-laki Arab). Karena menurut para ulama bahwa yang disunahkan dalam masalah pakaian itu hendaknya seseorang menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian penduduk negerinya, selama pakaian mereka tidak bertentangan dengan syariat Islam. Imam Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkata, “Tidak seyogyanya menyelisihi kebiasaan masyarakat, kecuali dalam hal yang haram.” Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إزرَةُ المؤمنِ إلى عَضَلةِ ساقَيْه، ثم إلى نِصْفِ ساقَيْه، ثم إلى كَعبَيْه، فما كان أَسفَلَ مِن ذلك في النَّارِ “Pakaian (bawah) seorang mukmin hingga di atas pertengahan betisnya, kemudian hingga pertengahan betisnya, kemudian hingga kedua mata kakinya. Jika melebihi mata kaki, maka itu akan (dimasukkan) ke neraka.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad. Sahih) Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam. Berikut ini beberapa hadis menunjukkan hal itu: Pertama: Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang memakai pakaian merah. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf, VII: 371 no. 4791 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Kedua: Ummu Khalid bintu Khalid radhiyallahu ‘anha pernah dipakaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baju bergaris-garis hijau dan kuning. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Ketiga: Istri Abdurrahman bin Zubair Al-Qurazhi radhiyallahu ‘anhuma pernah memakai jilbab hijau. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Oleh karena itu di dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (XVII: 108) disebutkan, “Pakaian wanita muslimah tidak khusus berwarna hitam, dan boleh baginya untuk memakai pakaian berwarna lain, jika menutup auratnya, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak ketat membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, tidak transparan hingga memperlihatkan apa yang ada di balik pakaian, serta tidak menimbulkan fitnah.” Baca juga: Hukum Memakai Pakaian Berwarna Merah Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah. Perlu diketahui bahwa membuat mihrab merupakan suatu perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sebagian mengatakan boleh, sebagian mengatakan bid’ah. Syekh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah menjelaskan permasalahan di atas, “Masalah ini (masalah mihrab) merupakan permasalahan fikih. Kalaupun mihrab dianggap sebagai suatu bid’ah, perbuatan meninggalkan salat di dalamnya tidak melenyapkan bid’ah tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori bid’ah adalah membangun mihrab tersebut, bukan salat di dalamnya.” Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid. Karena hadis yang menjelaskan dikeraskannya bacaan basmalah Fatihah pun sahih, meskipun (derajat) kekuatannya di bawah (derajat) kekuatan hadis yang menerangkan di-sirr-kannya (dilirihkannya) bacaan basmalah. Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimanakah salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pemah salat lebih dari sebelas rakaat baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan. Beliau salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat tiga rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dan hadis ini menjelaskan bolehnya (salat empat empat tiga), meskipun yang lebih afdal adalah salam setiap selesai dua rakaat. Dan inilah yang dikenal dari praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah beliau untuk melakukan salat malam dua rakaat dua rakaat.” Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Syekh Al-‘Allamah Ibn ‘Utsaimin rahimahullah menasihatkan, “Lihatlah para imam (kaum muslimin) yang mereka benar-benar memahami nilai-nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut salat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian, beliau berkata, ‘Jika engkau salat di belakang imam yang qunut, maka ikutilah qunutnya, dan aminilah doa imam tersebut.’ Ini semua demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” Ini jika posisi kita sebagai makmum. Namun, jika posisi kita sebagai imam (dan kita meyakini bahwa hadis tersebut dha’if), maka kita tidak boleh berqunut. Karena jika kita meyakini bahwa hadisnya dha’if, berarti kita telah meyakini bahwa qunut Subuh tidak disyariatkan. Syekh Al-‘Allamah Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah setelah merajihkan bahwa hadis tersebut dha’if, beliau menjelaskan sikap makmum dalam permasalahan-permasalahan seperti ini, “Seseorang mengikuti imam dalam masalah-masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan oleh para ulama) … Dia harus mengikuti imam, dan tidak boleh memisahkan diri atau meninggalkan salat di belakang orang yang berqunut. Jika seseorang memandang bahwa amalan itu tidak cocok (dengan sunah) atau dia berpendapat bahwa perkara itu bid’ah, sedangkan yang lain berpendapat bahwa itu adalah sunah, dalam kondisi seperti itu dia tidak boleh meninggalkan salat di belakang orang yang berbeda pendapat dengannya di saat dia mengamalkan apa yang ia yakini.” Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ Kembali ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: hikmah dalam berdakwah
Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan).Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat:Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki.Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid.Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal.Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Di antara contoh praktik dakwah dengan hikmah dan bijaksana adalah apa yang disebutkan oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. MA. hafizhahullah dalam bukunya “14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah” pada halaman 117-144. Namun, mengingat panjangnya penjelasan yang beliau tuliskan, maka di bawah ini kami ringkaskan untuk para pembaca dengan beberapa penyesuaian agar lebih mudah untuk diambil faedahnya bagi kaum muslimin secara umum. Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan). Dalil bolehnya meninggalkan amalan yang lebih afdal atau amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari fitnah atau untuk menarik hati masyarakat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْلا حَداثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بالكُفْرِ لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ، ولَجَعَلْتُها علَى أساسِ إبْراهِيمَ “Kalau bukan karena kaummu (wahai Aisyah) yang baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya akan aku hancurkan ka’bah. Lalu, aku akan bangun kembali di atas pondasi Nabi Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari timbulnya fitnah. Oleh karena itu, Imam Bukhari rahimahullah mengambil suatu kesimpulan yang amat indah dari kisah di atas. Beliau menulis, “Bab: (Disyariatkannya bagi) Seseorang untuk Meninggalkan Beberapa Perkara Sunah, karena Khawatir Pemahaman sebagian Orang Tidak Sampai kepadanya, sehingga Mereka Terjerumus ke dalam Perbuatan Yang Lebih Parah.” Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat: Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Seandainya masyarakat kampungnya terbiasa untuk memakai sarung, kemeja, baju koko, dan songkok hitam, maka hendaknya kita tidak berusaha untuk tampil beda dengan memakai jubah, gamis (baju pakistan), imamah (sorban yang dililit di kepala), atau syimagh (kerudung yang biasa dipakai oleh laki-laki Arab). Karena menurut para ulama bahwa yang disunahkan dalam masalah pakaian itu hendaknya seseorang menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian penduduk negerinya, selama pakaian mereka tidak bertentangan dengan syariat Islam. Imam Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkata, “Tidak seyogyanya menyelisihi kebiasaan masyarakat, kecuali dalam hal yang haram.” Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إزرَةُ المؤمنِ إلى عَضَلةِ ساقَيْه، ثم إلى نِصْفِ ساقَيْه، ثم إلى كَعبَيْه، فما كان أَسفَلَ مِن ذلك في النَّارِ “Pakaian (bawah) seorang mukmin hingga di atas pertengahan betisnya, kemudian hingga pertengahan betisnya, kemudian hingga kedua mata kakinya. Jika melebihi mata kaki, maka itu akan (dimasukkan) ke neraka.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad. Sahih) Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam. Berikut ini beberapa hadis menunjukkan hal itu: Pertama: Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang memakai pakaian merah. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf, VII: 371 no. 4791 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Kedua: Ummu Khalid bintu Khalid radhiyallahu ‘anha pernah dipakaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baju bergaris-garis hijau dan kuning. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Ketiga: Istri Abdurrahman bin Zubair Al-Qurazhi radhiyallahu ‘anhuma pernah memakai jilbab hijau. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Oleh karena itu di dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (XVII: 108) disebutkan, “Pakaian wanita muslimah tidak khusus berwarna hitam, dan boleh baginya untuk memakai pakaian berwarna lain, jika menutup auratnya, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak ketat membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, tidak transparan hingga memperlihatkan apa yang ada di balik pakaian, serta tidak menimbulkan fitnah.” Baca juga: Hukum Memakai Pakaian Berwarna Merah Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah. Perlu diketahui bahwa membuat mihrab merupakan suatu perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sebagian mengatakan boleh, sebagian mengatakan bid’ah. Syekh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah menjelaskan permasalahan di atas, “Masalah ini (masalah mihrab) merupakan permasalahan fikih. Kalaupun mihrab dianggap sebagai suatu bid’ah, perbuatan meninggalkan salat di dalamnya tidak melenyapkan bid’ah tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori bid’ah adalah membangun mihrab tersebut, bukan salat di dalamnya.” Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid. Karena hadis yang menjelaskan dikeraskannya bacaan basmalah Fatihah pun sahih, meskipun (derajat) kekuatannya di bawah (derajat) kekuatan hadis yang menerangkan di-sirr-kannya (dilirihkannya) bacaan basmalah. Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimanakah salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pemah salat lebih dari sebelas rakaat baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan. Beliau salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat tiga rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dan hadis ini menjelaskan bolehnya (salat empat empat tiga), meskipun yang lebih afdal adalah salam setiap selesai dua rakaat. Dan inilah yang dikenal dari praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah beliau untuk melakukan salat malam dua rakaat dua rakaat.” Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Syekh Al-‘Allamah Ibn ‘Utsaimin rahimahullah menasihatkan, “Lihatlah para imam (kaum muslimin) yang mereka benar-benar memahami nilai-nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut salat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian, beliau berkata, ‘Jika engkau salat di belakang imam yang qunut, maka ikutilah qunutnya, dan aminilah doa imam tersebut.’ Ini semua demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” Ini jika posisi kita sebagai makmum. Namun, jika posisi kita sebagai imam (dan kita meyakini bahwa hadis tersebut dha’if), maka kita tidak boleh berqunut. Karena jika kita meyakini bahwa hadisnya dha’if, berarti kita telah meyakini bahwa qunut Subuh tidak disyariatkan. Syekh Al-‘Allamah Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah setelah merajihkan bahwa hadis tersebut dha’if, beliau menjelaskan sikap makmum dalam permasalahan-permasalahan seperti ini, “Seseorang mengikuti imam dalam masalah-masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan oleh para ulama) … Dia harus mengikuti imam, dan tidak boleh memisahkan diri atau meninggalkan salat di belakang orang yang berqunut. Jika seseorang memandang bahwa amalan itu tidak cocok (dengan sunah) atau dia berpendapat bahwa perkara itu bid’ah, sedangkan yang lain berpendapat bahwa itu adalah sunah, dalam kondisi seperti itu dia tidak boleh meninggalkan salat di belakang orang yang berbeda pendapat dengannya di saat dia mengamalkan apa yang ia yakini.” Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ Kembali ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: hikmah dalam berdakwah


Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan).Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat:Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki.Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah.Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid.Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal.Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Di antara contoh praktik dakwah dengan hikmah dan bijaksana adalah apa yang disebutkan oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. MA. hafizhahullah dalam bukunya “14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah” pada halaman 117-144. Namun, mengingat panjangnya penjelasan yang beliau tuliskan, maka di bawah ini kami ringkaskan untuk para pembaca dengan beberapa penyesuaian agar lebih mudah untuk diambil faedahnya bagi kaum muslimin secara umum. Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan). Dalil bolehnya meninggalkan amalan yang lebih afdal atau amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari fitnah atau untuk menarik hati masyarakat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْلا حَداثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بالكُفْرِ لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ، ولَجَعَلْتُها علَى أساسِ إبْراهِيمَ “Kalau bukan karena kaummu (wahai Aisyah) yang baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya akan aku hancurkan ka’bah. Lalu, aku akan bangun kembali di atas pondasi Nabi Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari timbulnya fitnah. Oleh karena itu, Imam Bukhari rahimahullah mengambil suatu kesimpulan yang amat indah dari kisah di atas. Beliau menulis, “Bab: (Disyariatkannya bagi) Seseorang untuk Meninggalkan Beberapa Perkara Sunah, karena Khawatir Pemahaman sebagian Orang Tidak Sampai kepadanya, sehingga Mereka Terjerumus ke dalam Perbuatan Yang Lebih Parah.” Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat: Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Seandainya masyarakat kampungnya terbiasa untuk memakai sarung, kemeja, baju koko, dan songkok hitam, maka hendaknya kita tidak berusaha untuk tampil beda dengan memakai jubah, gamis (baju pakistan), imamah (sorban yang dililit di kepala), atau syimagh (kerudung yang biasa dipakai oleh laki-laki Arab). Karena menurut para ulama bahwa yang disunahkan dalam masalah pakaian itu hendaknya seseorang menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian penduduk negerinya, selama pakaian mereka tidak bertentangan dengan syariat Islam. Imam Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkata, “Tidak seyogyanya menyelisihi kebiasaan masyarakat, kecuali dalam hal yang haram.” Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إزرَةُ المؤمنِ إلى عَضَلةِ ساقَيْه، ثم إلى نِصْفِ ساقَيْه، ثم إلى كَعبَيْه، فما كان أَسفَلَ مِن ذلك في النَّارِ “Pakaian (bawah) seorang mukmin hingga di atas pertengahan betisnya, kemudian hingga pertengahan betisnya, kemudian hingga kedua mata kakinya. Jika melebihi mata kaki, maka itu akan (dimasukkan) ke neraka.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad. Sahih) Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam. Berikut ini beberapa hadis menunjukkan hal itu: Pertama: Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang memakai pakaian merah. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf, VII: 371 no. 4791 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani) Kedua: Ummu Khalid bintu Khalid radhiyallahu ‘anha pernah dipakaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baju bergaris-garis hijau dan kuning. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Ketiga: Istri Abdurrahman bin Zubair Al-Qurazhi radhiyallahu ‘anhuma pernah memakai jilbab hijau. (Diriwayatkan oleh Bukhari) Oleh karena itu di dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (XVII: 108) disebutkan, “Pakaian wanita muslimah tidak khusus berwarna hitam, dan boleh baginya untuk memakai pakaian berwarna lain, jika menutup auratnya, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak ketat membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, tidak transparan hingga memperlihatkan apa yang ada di balik pakaian, serta tidak menimbulkan fitnah.” Baca juga: Hukum Memakai Pakaian Berwarna Merah Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah. Perlu diketahui bahwa membuat mihrab merupakan suatu perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sebagian mengatakan boleh, sebagian mengatakan bid’ah. Syekh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah menjelaskan permasalahan di atas, “Masalah ini (masalah mihrab) merupakan permasalahan fikih. Kalaupun mihrab dianggap sebagai suatu bid’ah, perbuatan meninggalkan salat di dalamnya tidak melenyapkan bid’ah tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori bid’ah adalah membangun mihrab tersebut, bukan salat di dalamnya.” Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid. Karena hadis yang menjelaskan dikeraskannya bacaan basmalah Fatihah pun sahih, meskipun (derajat) kekuatannya di bawah (derajat) kekuatan hadis yang menerangkan di-sirr-kannya (dilirihkannya) bacaan basmalah. Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimanakah salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pemah salat lebih dari sebelas rakaat baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan. Beliau salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat tiga rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dan hadis ini menjelaskan bolehnya (salat empat empat tiga), meskipun yang lebih afdal adalah salam setiap selesai dua rakaat. Dan inilah yang dikenal dari praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah beliau untuk melakukan salat malam dua rakaat dua rakaat.” Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya. Syekh Al-‘Allamah Ibn ‘Utsaimin rahimahullah menasihatkan, “Lihatlah para imam (kaum muslimin) yang mereka benar-benar memahami nilai-nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut salat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian, beliau berkata, ‘Jika engkau salat di belakang imam yang qunut, maka ikutilah qunutnya, dan aminilah doa imam tersebut.’ Ini semua demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” Ini jika posisi kita sebagai makmum. Namun, jika posisi kita sebagai imam (dan kita meyakini bahwa hadis tersebut dha’if), maka kita tidak boleh berqunut. Karena jika kita meyakini bahwa hadisnya dha’if, berarti kita telah meyakini bahwa qunut Subuh tidak disyariatkan. Syekh Al-‘Allamah Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah setelah merajihkan bahwa hadis tersebut dha’if, beliau menjelaskan sikap makmum dalam permasalahan-permasalahan seperti ini, “Seseorang mengikuti imam dalam masalah-masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan oleh para ulama) … Dia harus mengikuti imam, dan tidak boleh memisahkan diri atau meninggalkan salat di belakang orang yang berqunut. Jika seseorang memandang bahwa amalan itu tidak cocok (dengan sunah) atau dia berpendapat bahwa perkara itu bid’ah, sedangkan yang lain berpendapat bahwa itu adalah sunah, dalam kondisi seperti itu dia tidak boleh meninggalkan salat di belakang orang yang berbeda pendapat dengannya di saat dia mengamalkan apa yang ia yakini.” Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ Kembali ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: hikmah dalam berdakwah

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 7): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1]Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2]Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1] Berdakwah yang hikmah itu bukan membatasi dakwah hanya dengan memanfaatkan jadwal berceramah di majelis taklim. Namun, kebijaksanaan dalam berdakwah itu menuntut sikap cerdas memanfaatkan peluang emas untuk menyisipkan pesan dakwah dalam dialog kesehariannya. Sehingga tanpa terasa, mad’u (objek dakwah) tercerahkan aspek diniyyah-nya dengan suasana dialog informalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok utusan Allah dan da’i terbaik yang sangat cerdas dalam memilih kesempatan yang tepat dengan tetap menjaga jangan sampai berlebihan maupun kurang. Berikut ini teladan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memanfaatkan kesempatan untuk berdakwah: Pertama: Kesempatan ketika melihat purnama untuk menjelaskan melihat Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Memerintahkan berlindung dari kejelekan ketika takut melihat bulan. (HR. Ahmad dan lainnya, sahih) Ketiga: Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyaksikan kecintaan ibu pada anaknya. (HR. Bukhari dan Muslim) Keempat: Memanfaatkan perkataan Sa’d bin ‘Ubadah untuk menjelaskan kecemburuan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tentunya seorang da’i harus menjaga agar tidak berlebihan (terlalu banyak) dalam memberi nasihat sehingga dikhawatirkan sang mad’u justru bosan atau malah tidak suka, namun jangan juga kurang (terlalu sedikit) dalam memanfaatkan kesempatan berdakwah. Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2] Dalam berdakwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan perbedaan kondisi mad’u (objek dakwah), sehingga pandai memilihkan isi nasihat dan materi yang tepat untuk disampaikan kepadanya. Berikut ini beberapa hadis yang mulia yang menunjukkan jawaban nasihat yang berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan penanya: Hadis pertama: Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يا رسول الله أي العمل أفضل؟ “Wahai Rasulullah, apa amal saleh yang paling baik?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلاة على ميقاتها “Salat tepat waktu.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بر الوالدين “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الجهاد في سبيل الله “Jihad di jalan Allah.” Lalu, saya tidak bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya aku bertanya lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melanjutkan jawabannya. (HR. Bukhari) Hadis kedua: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل، أفلا نجاهد؟ “Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah sebaik-baik amal saleh, tidakkah kami diizinkan berjihad?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لكن أفضل الجهاد حج مبرور “Akan tetapi, sebaik-baik jihad adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari) Hadis ketiga: Dari Ibnu Abdullah bin Bisr radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak syariat Islam bagiku (sehingga aku tak mampu melakukan semuanya karena kelemahanku), maka beritahu aku amal ibadah yang menyebabkanku bisa istikamah dalam mengamalkannya.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda. لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله “Senantiasalah lisanmu basah dengan zikrullah.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, sahih) Hadis keempat: Dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku pun berkata, “Perintahkan kepadaku (untuk melakukan) suatu amal saleh yang menyebabkanku masuk surga.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بالصوم، فإنه لا عدل له “Berpuasalah! Karena tidak ada amalan yang sebanding (pahala dan keutamaannya) dengannya.” Kemudian aku datang untuk kedua kalinya dan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah!”(HR. Ahmad dan ibnu Khuzaimah, sahih) Hadis kelima: Ada sebuah hadis yang kandungannya secara ringkas sebagai berikut: Mu’adz bin Jabal pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Lalu, dia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu tentang suatu amal yang akan memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, تعبد الله ولا تشرك به شيئًا وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان وتحج البيت “Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pintu-pintu kebaikan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yaitu: الصوم جُنَّة، والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار، وصلاة الرجل في جوف الليل “Puasa adalah perisai. Dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan salat seseorang pada pertengahan malam.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok perkara agama, tiang, dan puncaknya, yaitu: رأس الأمر الإسلام وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد “Pokok dari perkara agama adalah Islam. Tiangnya adalah salat, sedangkan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi, sahih) Penjelasan: Dalam kelima hadis yang mulia di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang berbeda-beda, namun hakikatnya inti pertanyaannya hanya satu, yaitu amal ibadah apa yang paling baik dan paling besar pahala serta keutamaannya. Namun, jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda, padahal inti pertanyaannya sama. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan rukun Islam, terkadang haji mabrur, terkadang zikrullah, terkadang puasa, dan terkadang salat tepat waktu, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah. Jawaban-jawaban tersebut tidaklah saling bertentangan, bahkan gambaran dari puncak hikmah dan kesempurnaan kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu seperti seorang dokter yang mengobati para pasien sesuai dengan kondisinya masing-masing. Dan keutamaan sebuah amal ibadah setelah ibadah yang wajib itu dipengaruhi waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Orang yang berbadan kuat dan memiliki kemampuan perang, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah jihad fi sabilillah. Sedangkan orang yang memiliki harta banyak, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah sedekah. Bagi wanita yang memiliki keterbatasan fisik dibanding pria dan mudah tersingkap auratnya saat melakukan aktifitas fisik yang keras, maka jihad yang paling afdal baginya adalah haji mabrur. Adapun seorang yang lanjut usia, sudah tidak mampu melakukan berbagai amal ibadah fisik, maka zikrullah (berdzikir mengingat Allah) adalah amal ibadah paling utama baginya. Bagi pemuda yang lagi kuat-kuatnya syahwatnya, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah berpuasa guna menundukkan syahwatnya. Intinya, bahwa keutamaan sebuah amal ibadah itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Kembali ke bagian 6: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah Lanjut ke bagian 8: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah dan Bijaksana *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman, Dr. Fadhl Ilahi. [2] Disarikan dari kitab Al-Hikmah fid Da’wah Ilallah, Ta’rif wa Tathbiq,  Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Tags: hikmah dalam berdakwah

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 7): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1]Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2]Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1] Berdakwah yang hikmah itu bukan membatasi dakwah hanya dengan memanfaatkan jadwal berceramah di majelis taklim. Namun, kebijaksanaan dalam berdakwah itu menuntut sikap cerdas memanfaatkan peluang emas untuk menyisipkan pesan dakwah dalam dialog kesehariannya. Sehingga tanpa terasa, mad’u (objek dakwah) tercerahkan aspek diniyyah-nya dengan suasana dialog informalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok utusan Allah dan da’i terbaik yang sangat cerdas dalam memilih kesempatan yang tepat dengan tetap menjaga jangan sampai berlebihan maupun kurang. Berikut ini teladan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memanfaatkan kesempatan untuk berdakwah: Pertama: Kesempatan ketika melihat purnama untuk menjelaskan melihat Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Memerintahkan berlindung dari kejelekan ketika takut melihat bulan. (HR. Ahmad dan lainnya, sahih) Ketiga: Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyaksikan kecintaan ibu pada anaknya. (HR. Bukhari dan Muslim) Keempat: Memanfaatkan perkataan Sa’d bin ‘Ubadah untuk menjelaskan kecemburuan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tentunya seorang da’i harus menjaga agar tidak berlebihan (terlalu banyak) dalam memberi nasihat sehingga dikhawatirkan sang mad’u justru bosan atau malah tidak suka, namun jangan juga kurang (terlalu sedikit) dalam memanfaatkan kesempatan berdakwah. Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2] Dalam berdakwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan perbedaan kondisi mad’u (objek dakwah), sehingga pandai memilihkan isi nasihat dan materi yang tepat untuk disampaikan kepadanya. Berikut ini beberapa hadis yang mulia yang menunjukkan jawaban nasihat yang berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan penanya: Hadis pertama: Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يا رسول الله أي العمل أفضل؟ “Wahai Rasulullah, apa amal saleh yang paling baik?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلاة على ميقاتها “Salat tepat waktu.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بر الوالدين “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الجهاد في سبيل الله “Jihad di jalan Allah.” Lalu, saya tidak bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya aku bertanya lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melanjutkan jawabannya. (HR. Bukhari) Hadis kedua: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل، أفلا نجاهد؟ “Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah sebaik-baik amal saleh, tidakkah kami diizinkan berjihad?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لكن أفضل الجهاد حج مبرور “Akan tetapi, sebaik-baik jihad adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari) Hadis ketiga: Dari Ibnu Abdullah bin Bisr radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak syariat Islam bagiku (sehingga aku tak mampu melakukan semuanya karena kelemahanku), maka beritahu aku amal ibadah yang menyebabkanku bisa istikamah dalam mengamalkannya.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda. لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله “Senantiasalah lisanmu basah dengan zikrullah.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, sahih) Hadis keempat: Dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku pun berkata, “Perintahkan kepadaku (untuk melakukan) suatu amal saleh yang menyebabkanku masuk surga.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بالصوم، فإنه لا عدل له “Berpuasalah! Karena tidak ada amalan yang sebanding (pahala dan keutamaannya) dengannya.” Kemudian aku datang untuk kedua kalinya dan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah!”(HR. Ahmad dan ibnu Khuzaimah, sahih) Hadis kelima: Ada sebuah hadis yang kandungannya secara ringkas sebagai berikut: Mu’adz bin Jabal pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Lalu, dia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu tentang suatu amal yang akan memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, تعبد الله ولا تشرك به شيئًا وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان وتحج البيت “Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pintu-pintu kebaikan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yaitu: الصوم جُنَّة، والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار، وصلاة الرجل في جوف الليل “Puasa adalah perisai. Dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan salat seseorang pada pertengahan malam.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok perkara agama, tiang, dan puncaknya, yaitu: رأس الأمر الإسلام وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد “Pokok dari perkara agama adalah Islam. Tiangnya adalah salat, sedangkan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi, sahih) Penjelasan: Dalam kelima hadis yang mulia di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang berbeda-beda, namun hakikatnya inti pertanyaannya hanya satu, yaitu amal ibadah apa yang paling baik dan paling besar pahala serta keutamaannya. Namun, jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda, padahal inti pertanyaannya sama. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan rukun Islam, terkadang haji mabrur, terkadang zikrullah, terkadang puasa, dan terkadang salat tepat waktu, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah. Jawaban-jawaban tersebut tidaklah saling bertentangan, bahkan gambaran dari puncak hikmah dan kesempurnaan kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu seperti seorang dokter yang mengobati para pasien sesuai dengan kondisinya masing-masing. Dan keutamaan sebuah amal ibadah setelah ibadah yang wajib itu dipengaruhi waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Orang yang berbadan kuat dan memiliki kemampuan perang, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah jihad fi sabilillah. Sedangkan orang yang memiliki harta banyak, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah sedekah. Bagi wanita yang memiliki keterbatasan fisik dibanding pria dan mudah tersingkap auratnya saat melakukan aktifitas fisik yang keras, maka jihad yang paling afdal baginya adalah haji mabrur. Adapun seorang yang lanjut usia, sudah tidak mampu melakukan berbagai amal ibadah fisik, maka zikrullah (berdzikir mengingat Allah) adalah amal ibadah paling utama baginya. Bagi pemuda yang lagi kuat-kuatnya syahwatnya, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah berpuasa guna menundukkan syahwatnya. Intinya, bahwa keutamaan sebuah amal ibadah itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Kembali ke bagian 6: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah Lanjut ke bagian 8: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah dan Bijaksana *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman, Dr. Fadhl Ilahi. [2] Disarikan dari kitab Al-Hikmah fid Da’wah Ilallah, Ta’rif wa Tathbiq,  Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Tags: hikmah dalam berdakwah
Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1]Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2]Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1] Berdakwah yang hikmah itu bukan membatasi dakwah hanya dengan memanfaatkan jadwal berceramah di majelis taklim. Namun, kebijaksanaan dalam berdakwah itu menuntut sikap cerdas memanfaatkan peluang emas untuk menyisipkan pesan dakwah dalam dialog kesehariannya. Sehingga tanpa terasa, mad’u (objek dakwah) tercerahkan aspek diniyyah-nya dengan suasana dialog informalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok utusan Allah dan da’i terbaik yang sangat cerdas dalam memilih kesempatan yang tepat dengan tetap menjaga jangan sampai berlebihan maupun kurang. Berikut ini teladan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memanfaatkan kesempatan untuk berdakwah: Pertama: Kesempatan ketika melihat purnama untuk menjelaskan melihat Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Memerintahkan berlindung dari kejelekan ketika takut melihat bulan. (HR. Ahmad dan lainnya, sahih) Ketiga: Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyaksikan kecintaan ibu pada anaknya. (HR. Bukhari dan Muslim) Keempat: Memanfaatkan perkataan Sa’d bin ‘Ubadah untuk menjelaskan kecemburuan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tentunya seorang da’i harus menjaga agar tidak berlebihan (terlalu banyak) dalam memberi nasihat sehingga dikhawatirkan sang mad’u justru bosan atau malah tidak suka, namun jangan juga kurang (terlalu sedikit) dalam memanfaatkan kesempatan berdakwah. Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2] Dalam berdakwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan perbedaan kondisi mad’u (objek dakwah), sehingga pandai memilihkan isi nasihat dan materi yang tepat untuk disampaikan kepadanya. Berikut ini beberapa hadis yang mulia yang menunjukkan jawaban nasihat yang berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan penanya: Hadis pertama: Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يا رسول الله أي العمل أفضل؟ “Wahai Rasulullah, apa amal saleh yang paling baik?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلاة على ميقاتها “Salat tepat waktu.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بر الوالدين “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الجهاد في سبيل الله “Jihad di jalan Allah.” Lalu, saya tidak bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya aku bertanya lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melanjutkan jawabannya. (HR. Bukhari) Hadis kedua: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل، أفلا نجاهد؟ “Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah sebaik-baik amal saleh, tidakkah kami diizinkan berjihad?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لكن أفضل الجهاد حج مبرور “Akan tetapi, sebaik-baik jihad adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari) Hadis ketiga: Dari Ibnu Abdullah bin Bisr radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak syariat Islam bagiku (sehingga aku tak mampu melakukan semuanya karena kelemahanku), maka beritahu aku amal ibadah yang menyebabkanku bisa istikamah dalam mengamalkannya.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda. لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله “Senantiasalah lisanmu basah dengan zikrullah.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, sahih) Hadis keempat: Dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku pun berkata, “Perintahkan kepadaku (untuk melakukan) suatu amal saleh yang menyebabkanku masuk surga.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بالصوم، فإنه لا عدل له “Berpuasalah! Karena tidak ada amalan yang sebanding (pahala dan keutamaannya) dengannya.” Kemudian aku datang untuk kedua kalinya dan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah!”(HR. Ahmad dan ibnu Khuzaimah, sahih) Hadis kelima: Ada sebuah hadis yang kandungannya secara ringkas sebagai berikut: Mu’adz bin Jabal pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Lalu, dia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu tentang suatu amal yang akan memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, تعبد الله ولا تشرك به شيئًا وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان وتحج البيت “Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pintu-pintu kebaikan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yaitu: الصوم جُنَّة، والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار، وصلاة الرجل في جوف الليل “Puasa adalah perisai. Dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan salat seseorang pada pertengahan malam.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok perkara agama, tiang, dan puncaknya, yaitu: رأس الأمر الإسلام وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد “Pokok dari perkara agama adalah Islam. Tiangnya adalah salat, sedangkan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi, sahih) Penjelasan: Dalam kelima hadis yang mulia di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang berbeda-beda, namun hakikatnya inti pertanyaannya hanya satu, yaitu amal ibadah apa yang paling baik dan paling besar pahala serta keutamaannya. Namun, jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda, padahal inti pertanyaannya sama. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan rukun Islam, terkadang haji mabrur, terkadang zikrullah, terkadang puasa, dan terkadang salat tepat waktu, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah. Jawaban-jawaban tersebut tidaklah saling bertentangan, bahkan gambaran dari puncak hikmah dan kesempurnaan kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu seperti seorang dokter yang mengobati para pasien sesuai dengan kondisinya masing-masing. Dan keutamaan sebuah amal ibadah setelah ibadah yang wajib itu dipengaruhi waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Orang yang berbadan kuat dan memiliki kemampuan perang, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah jihad fi sabilillah. Sedangkan orang yang memiliki harta banyak, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah sedekah. Bagi wanita yang memiliki keterbatasan fisik dibanding pria dan mudah tersingkap auratnya saat melakukan aktifitas fisik yang keras, maka jihad yang paling afdal baginya adalah haji mabrur. Adapun seorang yang lanjut usia, sudah tidak mampu melakukan berbagai amal ibadah fisik, maka zikrullah (berdzikir mengingat Allah) adalah amal ibadah paling utama baginya. Bagi pemuda yang lagi kuat-kuatnya syahwatnya, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah berpuasa guna menundukkan syahwatnya. Intinya, bahwa keutamaan sebuah amal ibadah itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Kembali ke bagian 6: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah Lanjut ke bagian 8: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah dan Bijaksana *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman, Dr. Fadhl Ilahi. [2] Disarikan dari kitab Al-Hikmah fid Da’wah Ilallah, Ta’rif wa Tathbiq,  Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Tags: hikmah dalam berdakwah


Daftar Isi Toggle Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1]Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2]Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1] Berdakwah yang hikmah itu bukan membatasi dakwah hanya dengan memanfaatkan jadwal berceramah di majelis taklim. Namun, kebijaksanaan dalam berdakwah itu menuntut sikap cerdas memanfaatkan peluang emas untuk menyisipkan pesan dakwah dalam dialog kesehariannya. Sehingga tanpa terasa, mad’u (objek dakwah) tercerahkan aspek diniyyah-nya dengan suasana dialog informalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok utusan Allah dan da’i terbaik yang sangat cerdas dalam memilih kesempatan yang tepat dengan tetap menjaga jangan sampai berlebihan maupun kurang. Berikut ini teladan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memanfaatkan kesempatan untuk berdakwah: Pertama: Kesempatan ketika melihat purnama untuk menjelaskan melihat Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua: Memerintahkan berlindung dari kejelekan ketika takut melihat bulan. (HR. Ahmad dan lainnya, sahih) Ketiga: Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyaksikan kecintaan ibu pada anaknya. (HR. Bukhari dan Muslim) Keempat: Memanfaatkan perkataan Sa’d bin ‘Ubadah untuk menjelaskan kecemburuan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tentunya seorang da’i harus menjaga agar tidak berlebihan (terlalu banyak) dalam memberi nasihat sehingga dikhawatirkan sang mad’u justru bosan atau malah tidak suka, namun jangan juga kurang (terlalu sedikit) dalam memanfaatkan kesempatan berdakwah. Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2] Dalam berdakwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan perbedaan kondisi mad’u (objek dakwah), sehingga pandai memilihkan isi nasihat dan materi yang tepat untuk disampaikan kepadanya. Berikut ini beberapa hadis yang mulia yang menunjukkan jawaban nasihat yang berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan penanya: Hadis pertama: Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يا رسول الله أي العمل أفضل؟ “Wahai Rasulullah, apa amal saleh yang paling baik?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلاة على ميقاتها “Salat tepat waktu.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بر الوالدين “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الجهاد في سبيل الله “Jihad di jalan Allah.” Lalu, saya tidak bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya aku bertanya lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melanjutkan jawabannya. (HR. Bukhari) Hadis kedua: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل، أفلا نجاهد؟ “Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah sebaik-baik amal saleh, tidakkah kami diizinkan berjihad?” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لكن أفضل الجهاد حج مبرور “Akan tetapi, sebaik-baik jihad adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari) Hadis ketiga: Dari Ibnu Abdullah bin Bisr radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak syariat Islam bagiku (sehingga aku tak mampu melakukan semuanya karena kelemahanku), maka beritahu aku amal ibadah yang menyebabkanku bisa istikamah dalam mengamalkannya.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda. لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله “Senantiasalah lisanmu basah dengan zikrullah.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, sahih) Hadis keempat: Dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku pun berkata, “Perintahkan kepadaku (untuk melakukan) suatu amal saleh yang menyebabkanku masuk surga.” Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بالصوم، فإنه لا عدل له “Berpuasalah! Karena tidak ada amalan yang sebanding (pahala dan keutamaannya) dengannya.” Kemudian aku datang untuk kedua kalinya dan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah!”(HR. Ahmad dan ibnu Khuzaimah, sahih) Hadis kelima: Ada sebuah hadis yang kandungannya secara ringkas sebagai berikut: Mu’adz bin Jabal pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Lalu, dia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu tentang suatu amal yang akan memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, تعبد الله ولا تشرك به شيئًا وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان وتحج البيت “Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pintu-pintu kebaikan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yaitu: الصوم جُنَّة، والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار، وصلاة الرجل في جوف الليل “Puasa adalah perisai. Dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan salat seseorang pada pertengahan malam.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok perkara agama, tiang, dan puncaknya, yaitu: رأس الأمر الإسلام وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد “Pokok dari perkara agama adalah Islam. Tiangnya adalah salat, sedangkan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi, sahih) Penjelasan: Dalam kelima hadis yang mulia di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang berbeda-beda, namun hakikatnya inti pertanyaannya hanya satu, yaitu amal ibadah apa yang paling baik dan paling besar pahala serta keutamaannya. Namun, jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda, padahal inti pertanyaannya sama. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan rukun Islam, terkadang haji mabrur, terkadang zikrullah, terkadang puasa, dan terkadang salat tepat waktu, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah. Jawaban-jawaban tersebut tidaklah saling bertentangan, bahkan gambaran dari puncak hikmah dan kesempurnaan kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu seperti seorang dokter yang mengobati para pasien sesuai dengan kondisinya masing-masing. Dan keutamaan sebuah amal ibadah setelah ibadah yang wajib itu dipengaruhi waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya Orang yang berbadan kuat dan memiliki kemampuan perang, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah jihad fi sabilillah. Sedangkan orang yang memiliki harta banyak, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah sedekah. Bagi wanita yang memiliki keterbatasan fisik dibanding pria dan mudah tersingkap auratnya saat melakukan aktifitas fisik yang keras, maka jihad yang paling afdal baginya adalah haji mabrur. Adapun seorang yang lanjut usia, sudah tidak mampu melakukan berbagai amal ibadah fisik, maka zikrullah (berdzikir mengingat Allah) adalah amal ibadah paling utama baginya. Bagi pemuda yang lagi kuat-kuatnya syahwatnya, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah berpuasa guna menundukkan syahwatnya. Intinya, bahwa keutamaan sebuah amal ibadah itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya. Kembali ke bagian 6: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah Lanjut ke bagian 8: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah dan Bijaksana *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disarikan dari kitab An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman, Dr. Fadhl Ilahi. [2] Disarikan dari kitab Al-Hikmah fid Da’wah Ilallah, Ta’rif wa Tathbiq,  Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Tags: hikmah dalam berdakwah

Janji Allah Melalui Salat Tahajud Bagi Hamba-Nya

Jangan malas untuk mengerjakan salat tahajud, karena janji Allah itu benar. Allah akan mengangkat kedudukan kita ke maqam dan derajat terpuji tatkala kita bergegas melaksanakan salah satu ibadah utama, yakni salat tahajud. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا “Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79) Wahai jiwa-jiwa perindu ampunan Allah Azza Wajalla, Zat Sang Maha Pengampun Ketahuilah bahwa pada tiap malam, Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, “Barangsiapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barangsiapa meminta ampunan kepada-Ku, aku ampuni dia.” (HR. Bukhari dan Muslim) Wahai jiwa-jiwa yang tidur, bangunlah … Jangan sia-siakan malammu hanya dengan tidur! Bangunlah sesaat dan mulai melawan diri untuk bangun dari kenyamanan tempat tidur! Bangunlah sesaat dan kerjakan sedikitnya 2 rakaat salat malam! Karena ada banyak manfaat dan keberkahan yang terkandung di dalam proses dan nilainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًاۗ “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al-Muzzammil: 6) Wahai jiwa-jiwa yang malas, bangkitlah … Tetaplah bangun, walaupun susah payah untuk menjalankannya. Bangun dengan susah payah dan meniatkan untuk melaksanakan salat tahajud menjadi satu kemuliaan yang amat besar. Karena ini mampu menghidupkan hati yang mati, membangkitkan semangat diri dalam mengawali aktivitas pagi, mendekatkan diri pada Ilahi, menghapus dosa yang telah terjadi, serta menjadi wasilah mustajabnya doa-doa. “Doa yang dipanjatkan di waktu tahajud adalah ibarat anak panah yang tepat mengenai sasaran.” (Imam Asy-Syafi’i) Baca juga: Shalat Malam Adalah Kebiasaan Orang Shalih Wahai jiwa-jiwa yang gelisah, bersegeralah … Setiap kali di awal hari, Allah menanti dan menunggumu, percayalah. Setumpuk kesedihan hidup, setumpuk pedihmu, segudang keinginan dan harapan, dan segala keluh kesah akan terjawab di heningnya malam dengan suara alam penuh syahdu, waktu sepertiga malam. Hampiri malam-malammu dengan keheningan dalam hati, dengan iman dalam diri, iman yang tulus dari lubuk hati mengharap rida pada sang pencipta. Lakukanlah salat, seolah-olah ini adalah malam terakhir kali bagi diri. Apalagi salat tahajud, yakni salat sunah tebaik setelah salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ : شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ ، وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ “Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah bulan Allah Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.”  (HR. Muslim, no. 1163) Salat malam merupakan sarana dan wasilah bagi hamba dalam mengatasi masalah diri dan hati, terutama menghapus dosa yang sudah teramat banyak dalam diri. Bukan hanya cukup sampai di sini, ketenangan dalam salat malam yang syahdu juga menjadi wasilah dalam menenangkan hati, membersihkan jiwa yang gundah gulana, dan taqarrub yang paling efektif. Salat malam juga menjadi pengobatan diri paling mujarab. Obat bagi segala macam penyakit hati, berbagai macam kegundahan diri, kegelisahan, kesedihan, kemarahan, keterasingan, keputusasaan, dan masalah berat kerohanian lainya. Ia adalah ruang wasilah bahkan tiket untuk meraih jalan keberkahan yang menghantarkan kebahagiaan akhirat dan kebahagiaan dunia; serta yang paling utama adalah tiket dalam memudahkan kita meraih surga-Nya dan keridaan serta kemuliaan di sisi-Nya. Selain mendapatkan kedudukan dan derajat yang mulia di akhirat kelak, orang-orang yang berkenan dengan ikhlas menjalankan salat tahajud, maka akan Allah limpahkan keridaan dan keberkahan kedudukan yang mulia di atas bumi. وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ “Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada salat malamnya.” (HR. Hakim, hasan) Sahabatku yang dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla … Bila kita memahami dan mengetahui keutamaaan dari melaksanakan dan menjalankan salat sunah lail atau tahajud, pasti dengan kesadaran dan mengandalkan logika sederhana, kita tidak akan rela jika harus meninggalkan salat malam. Tidak ada satu pun jamuan dan hidangan terindah yang diadakan, kecuali di sepertiga malam terakhir. Sebagai umpama, bilamana kita dijamu dan disambut oleh pejabat, penguasa negeri, atau bahkan orang penting dan nomor satu di negeri kita, sudah pasti kita senang dan bahagia. Nah, ini apalagi yang langsung menjamu adalah bukan hanya penguasa negeri melainkan Penguasa langit dan bumi langsung yang menjamu. MasyaAllah. Maka, sudah sepatutnya diri ini mengkhususkan untuk menyediakan sebagian dari malam kita untuk Sang Pemilik hidup kita. Karena salat malam adalah lapangan, bandara bagi setiap insan yang memiliki mimpi-mimpi dan cita-cita yang tinggi. Dan di waktu sepertiga malam adalah waktu istimewa dan terbaik, dambaan bagi ahli ibadah dalam mencari bekal yang terbaik guna mengarungi setiap hambatan dan ujian lautan hidup. Nabi shallallahu ’alaihi wassallam berpesan bahwasanya salat malam merupakan salat para nabi dan rasul, juga menjadi bagian terindah bagi kebiasaan setiap orang yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﻘِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺩَﺃْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻭَﻫُﻮَ ﻗُﺮْﺑَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﻜَﻔِّﺮَﺓٌ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ، ﻣَﻨْﻬَﺎﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍْﻹِﺛْﻢِ “Lakukanlah salat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi, hadis hasan) Banyak orang yang membicarakan tentang Allah, tetapi sedikit sekali yang mau berbicara kepada Allah. Bawa serta tahajud dan doamu ke dalam hidupmu dan berbicaralah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟَﺴَﺎﻋَـﺔً، ﻻَ ﻳُﻮَﺍﻓِﻘُﻬَﺎ ﺭَﺟُـﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ، ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ . “Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan kita, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah senantiasa menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi serta menjadi manusia yang bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat dan dimudahkan serta dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas dalam diri. Baca juga: Tata Cara Shalat Malam dan Witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: salat malamsalat tahajud

Janji Allah Melalui Salat Tahajud Bagi Hamba-Nya

Jangan malas untuk mengerjakan salat tahajud, karena janji Allah itu benar. Allah akan mengangkat kedudukan kita ke maqam dan derajat terpuji tatkala kita bergegas melaksanakan salah satu ibadah utama, yakni salat tahajud. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا “Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79) Wahai jiwa-jiwa perindu ampunan Allah Azza Wajalla, Zat Sang Maha Pengampun Ketahuilah bahwa pada tiap malam, Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, “Barangsiapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barangsiapa meminta ampunan kepada-Ku, aku ampuni dia.” (HR. Bukhari dan Muslim) Wahai jiwa-jiwa yang tidur, bangunlah … Jangan sia-siakan malammu hanya dengan tidur! Bangunlah sesaat dan mulai melawan diri untuk bangun dari kenyamanan tempat tidur! Bangunlah sesaat dan kerjakan sedikitnya 2 rakaat salat malam! Karena ada banyak manfaat dan keberkahan yang terkandung di dalam proses dan nilainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًاۗ “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al-Muzzammil: 6) Wahai jiwa-jiwa yang malas, bangkitlah … Tetaplah bangun, walaupun susah payah untuk menjalankannya. Bangun dengan susah payah dan meniatkan untuk melaksanakan salat tahajud menjadi satu kemuliaan yang amat besar. Karena ini mampu menghidupkan hati yang mati, membangkitkan semangat diri dalam mengawali aktivitas pagi, mendekatkan diri pada Ilahi, menghapus dosa yang telah terjadi, serta menjadi wasilah mustajabnya doa-doa. “Doa yang dipanjatkan di waktu tahajud adalah ibarat anak panah yang tepat mengenai sasaran.” (Imam Asy-Syafi’i) Baca juga: Shalat Malam Adalah Kebiasaan Orang Shalih Wahai jiwa-jiwa yang gelisah, bersegeralah … Setiap kali di awal hari, Allah menanti dan menunggumu, percayalah. Setumpuk kesedihan hidup, setumpuk pedihmu, segudang keinginan dan harapan, dan segala keluh kesah akan terjawab di heningnya malam dengan suara alam penuh syahdu, waktu sepertiga malam. Hampiri malam-malammu dengan keheningan dalam hati, dengan iman dalam diri, iman yang tulus dari lubuk hati mengharap rida pada sang pencipta. Lakukanlah salat, seolah-olah ini adalah malam terakhir kali bagi diri. Apalagi salat tahajud, yakni salat sunah tebaik setelah salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ : شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ ، وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ “Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah bulan Allah Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.”  (HR. Muslim, no. 1163) Salat malam merupakan sarana dan wasilah bagi hamba dalam mengatasi masalah diri dan hati, terutama menghapus dosa yang sudah teramat banyak dalam diri. Bukan hanya cukup sampai di sini, ketenangan dalam salat malam yang syahdu juga menjadi wasilah dalam menenangkan hati, membersihkan jiwa yang gundah gulana, dan taqarrub yang paling efektif. Salat malam juga menjadi pengobatan diri paling mujarab. Obat bagi segala macam penyakit hati, berbagai macam kegundahan diri, kegelisahan, kesedihan, kemarahan, keterasingan, keputusasaan, dan masalah berat kerohanian lainya. Ia adalah ruang wasilah bahkan tiket untuk meraih jalan keberkahan yang menghantarkan kebahagiaan akhirat dan kebahagiaan dunia; serta yang paling utama adalah tiket dalam memudahkan kita meraih surga-Nya dan keridaan serta kemuliaan di sisi-Nya. Selain mendapatkan kedudukan dan derajat yang mulia di akhirat kelak, orang-orang yang berkenan dengan ikhlas menjalankan salat tahajud, maka akan Allah limpahkan keridaan dan keberkahan kedudukan yang mulia di atas bumi. وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ “Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada salat malamnya.” (HR. Hakim, hasan) Sahabatku yang dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla … Bila kita memahami dan mengetahui keutamaaan dari melaksanakan dan menjalankan salat sunah lail atau tahajud, pasti dengan kesadaran dan mengandalkan logika sederhana, kita tidak akan rela jika harus meninggalkan salat malam. Tidak ada satu pun jamuan dan hidangan terindah yang diadakan, kecuali di sepertiga malam terakhir. Sebagai umpama, bilamana kita dijamu dan disambut oleh pejabat, penguasa negeri, atau bahkan orang penting dan nomor satu di negeri kita, sudah pasti kita senang dan bahagia. Nah, ini apalagi yang langsung menjamu adalah bukan hanya penguasa negeri melainkan Penguasa langit dan bumi langsung yang menjamu. MasyaAllah. Maka, sudah sepatutnya diri ini mengkhususkan untuk menyediakan sebagian dari malam kita untuk Sang Pemilik hidup kita. Karena salat malam adalah lapangan, bandara bagi setiap insan yang memiliki mimpi-mimpi dan cita-cita yang tinggi. Dan di waktu sepertiga malam adalah waktu istimewa dan terbaik, dambaan bagi ahli ibadah dalam mencari bekal yang terbaik guna mengarungi setiap hambatan dan ujian lautan hidup. Nabi shallallahu ’alaihi wassallam berpesan bahwasanya salat malam merupakan salat para nabi dan rasul, juga menjadi bagian terindah bagi kebiasaan setiap orang yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﻘِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺩَﺃْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻭَﻫُﻮَ ﻗُﺮْﺑَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﻜَﻔِّﺮَﺓٌ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ، ﻣَﻨْﻬَﺎﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍْﻹِﺛْﻢِ “Lakukanlah salat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi, hadis hasan) Banyak orang yang membicarakan tentang Allah, tetapi sedikit sekali yang mau berbicara kepada Allah. Bawa serta tahajud dan doamu ke dalam hidupmu dan berbicaralah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟَﺴَﺎﻋَـﺔً، ﻻَ ﻳُﻮَﺍﻓِﻘُﻬَﺎ ﺭَﺟُـﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ، ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ . “Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan kita, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah senantiasa menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi serta menjadi manusia yang bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat dan dimudahkan serta dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas dalam diri. Baca juga: Tata Cara Shalat Malam dan Witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: salat malamsalat tahajud
Jangan malas untuk mengerjakan salat tahajud, karena janji Allah itu benar. Allah akan mengangkat kedudukan kita ke maqam dan derajat terpuji tatkala kita bergegas melaksanakan salah satu ibadah utama, yakni salat tahajud. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا “Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79) Wahai jiwa-jiwa perindu ampunan Allah Azza Wajalla, Zat Sang Maha Pengampun Ketahuilah bahwa pada tiap malam, Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, “Barangsiapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barangsiapa meminta ampunan kepada-Ku, aku ampuni dia.” (HR. Bukhari dan Muslim) Wahai jiwa-jiwa yang tidur, bangunlah … Jangan sia-siakan malammu hanya dengan tidur! Bangunlah sesaat dan mulai melawan diri untuk bangun dari kenyamanan tempat tidur! Bangunlah sesaat dan kerjakan sedikitnya 2 rakaat salat malam! Karena ada banyak manfaat dan keberkahan yang terkandung di dalam proses dan nilainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًاۗ “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al-Muzzammil: 6) Wahai jiwa-jiwa yang malas, bangkitlah … Tetaplah bangun, walaupun susah payah untuk menjalankannya. Bangun dengan susah payah dan meniatkan untuk melaksanakan salat tahajud menjadi satu kemuliaan yang amat besar. Karena ini mampu menghidupkan hati yang mati, membangkitkan semangat diri dalam mengawali aktivitas pagi, mendekatkan diri pada Ilahi, menghapus dosa yang telah terjadi, serta menjadi wasilah mustajabnya doa-doa. “Doa yang dipanjatkan di waktu tahajud adalah ibarat anak panah yang tepat mengenai sasaran.” (Imam Asy-Syafi’i) Baca juga: Shalat Malam Adalah Kebiasaan Orang Shalih Wahai jiwa-jiwa yang gelisah, bersegeralah … Setiap kali di awal hari, Allah menanti dan menunggumu, percayalah. Setumpuk kesedihan hidup, setumpuk pedihmu, segudang keinginan dan harapan, dan segala keluh kesah akan terjawab di heningnya malam dengan suara alam penuh syahdu, waktu sepertiga malam. Hampiri malam-malammu dengan keheningan dalam hati, dengan iman dalam diri, iman yang tulus dari lubuk hati mengharap rida pada sang pencipta. Lakukanlah salat, seolah-olah ini adalah malam terakhir kali bagi diri. Apalagi salat tahajud, yakni salat sunah tebaik setelah salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ : شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ ، وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ “Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah bulan Allah Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.”  (HR. Muslim, no. 1163) Salat malam merupakan sarana dan wasilah bagi hamba dalam mengatasi masalah diri dan hati, terutama menghapus dosa yang sudah teramat banyak dalam diri. Bukan hanya cukup sampai di sini, ketenangan dalam salat malam yang syahdu juga menjadi wasilah dalam menenangkan hati, membersihkan jiwa yang gundah gulana, dan taqarrub yang paling efektif. Salat malam juga menjadi pengobatan diri paling mujarab. Obat bagi segala macam penyakit hati, berbagai macam kegundahan diri, kegelisahan, kesedihan, kemarahan, keterasingan, keputusasaan, dan masalah berat kerohanian lainya. Ia adalah ruang wasilah bahkan tiket untuk meraih jalan keberkahan yang menghantarkan kebahagiaan akhirat dan kebahagiaan dunia; serta yang paling utama adalah tiket dalam memudahkan kita meraih surga-Nya dan keridaan serta kemuliaan di sisi-Nya. Selain mendapatkan kedudukan dan derajat yang mulia di akhirat kelak, orang-orang yang berkenan dengan ikhlas menjalankan salat tahajud, maka akan Allah limpahkan keridaan dan keberkahan kedudukan yang mulia di atas bumi. وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ “Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada salat malamnya.” (HR. Hakim, hasan) Sahabatku yang dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla … Bila kita memahami dan mengetahui keutamaaan dari melaksanakan dan menjalankan salat sunah lail atau tahajud, pasti dengan kesadaran dan mengandalkan logika sederhana, kita tidak akan rela jika harus meninggalkan salat malam. Tidak ada satu pun jamuan dan hidangan terindah yang diadakan, kecuali di sepertiga malam terakhir. Sebagai umpama, bilamana kita dijamu dan disambut oleh pejabat, penguasa negeri, atau bahkan orang penting dan nomor satu di negeri kita, sudah pasti kita senang dan bahagia. Nah, ini apalagi yang langsung menjamu adalah bukan hanya penguasa negeri melainkan Penguasa langit dan bumi langsung yang menjamu. MasyaAllah. Maka, sudah sepatutnya diri ini mengkhususkan untuk menyediakan sebagian dari malam kita untuk Sang Pemilik hidup kita. Karena salat malam adalah lapangan, bandara bagi setiap insan yang memiliki mimpi-mimpi dan cita-cita yang tinggi. Dan di waktu sepertiga malam adalah waktu istimewa dan terbaik, dambaan bagi ahli ibadah dalam mencari bekal yang terbaik guna mengarungi setiap hambatan dan ujian lautan hidup. Nabi shallallahu ’alaihi wassallam berpesan bahwasanya salat malam merupakan salat para nabi dan rasul, juga menjadi bagian terindah bagi kebiasaan setiap orang yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﻘِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺩَﺃْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻭَﻫُﻮَ ﻗُﺮْﺑَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﻜَﻔِّﺮَﺓٌ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ، ﻣَﻨْﻬَﺎﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍْﻹِﺛْﻢِ “Lakukanlah salat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi, hadis hasan) Banyak orang yang membicarakan tentang Allah, tetapi sedikit sekali yang mau berbicara kepada Allah. Bawa serta tahajud dan doamu ke dalam hidupmu dan berbicaralah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟَﺴَﺎﻋَـﺔً، ﻻَ ﻳُﻮَﺍﻓِﻘُﻬَﺎ ﺭَﺟُـﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ، ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ . “Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan kita, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah senantiasa menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi serta menjadi manusia yang bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat dan dimudahkan serta dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas dalam diri. Baca juga: Tata Cara Shalat Malam dan Witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: salat malamsalat tahajud


Jangan malas untuk mengerjakan salat tahajud, karena janji Allah itu benar. Allah akan mengangkat kedudukan kita ke maqam dan derajat terpuji tatkala kita bergegas melaksanakan salah satu ibadah utama, yakni salat tahajud. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا “Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79) Wahai jiwa-jiwa perindu ampunan Allah Azza Wajalla, Zat Sang Maha Pengampun Ketahuilah bahwa pada tiap malam, Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, “Barangsiapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barangsiapa meminta ampunan kepada-Ku, aku ampuni dia.” (HR. Bukhari dan Muslim) Wahai jiwa-jiwa yang tidur, bangunlah … Jangan sia-siakan malammu hanya dengan tidur! Bangunlah sesaat dan mulai melawan diri untuk bangun dari kenyamanan tempat tidur! Bangunlah sesaat dan kerjakan sedikitnya 2 rakaat salat malam! Karena ada banyak manfaat dan keberkahan yang terkandung di dalam proses dan nilainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًاۗ “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al-Muzzammil: 6) Wahai jiwa-jiwa yang malas, bangkitlah … Tetaplah bangun, walaupun susah payah untuk menjalankannya. Bangun dengan susah payah dan meniatkan untuk melaksanakan salat tahajud menjadi satu kemuliaan yang amat besar. Karena ini mampu menghidupkan hati yang mati, membangkitkan semangat diri dalam mengawali aktivitas pagi, mendekatkan diri pada Ilahi, menghapus dosa yang telah terjadi, serta menjadi wasilah mustajabnya doa-doa. “Doa yang dipanjatkan di waktu tahajud adalah ibarat anak panah yang tepat mengenai sasaran.” (Imam Asy-Syafi’i) Baca juga: Shalat Malam Adalah Kebiasaan Orang Shalih Wahai jiwa-jiwa yang gelisah, bersegeralah … Setiap kali di awal hari, Allah menanti dan menunggumu, percayalah. Setumpuk kesedihan hidup, setumpuk pedihmu, segudang keinginan dan harapan, dan segala keluh kesah akan terjawab di heningnya malam dengan suara alam penuh syahdu, waktu sepertiga malam. Hampiri malam-malammu dengan keheningan dalam hati, dengan iman dalam diri, iman yang tulus dari lubuk hati mengharap rida pada sang pencipta. Lakukanlah salat, seolah-olah ini adalah malam terakhir kali bagi diri. Apalagi salat tahajud, yakni salat sunah tebaik setelah salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ : شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ ، وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ “Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah bulan Allah Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.”  (HR. Muslim, no. 1163) Salat malam merupakan sarana dan wasilah bagi hamba dalam mengatasi masalah diri dan hati, terutama menghapus dosa yang sudah teramat banyak dalam diri. Bukan hanya cukup sampai di sini, ketenangan dalam salat malam yang syahdu juga menjadi wasilah dalam menenangkan hati, membersihkan jiwa yang gundah gulana, dan taqarrub yang paling efektif. Salat malam juga menjadi pengobatan diri paling mujarab. Obat bagi segala macam penyakit hati, berbagai macam kegundahan diri, kegelisahan, kesedihan, kemarahan, keterasingan, keputusasaan, dan masalah berat kerohanian lainya. Ia adalah ruang wasilah bahkan tiket untuk meraih jalan keberkahan yang menghantarkan kebahagiaan akhirat dan kebahagiaan dunia; serta yang paling utama adalah tiket dalam memudahkan kita meraih surga-Nya dan keridaan serta kemuliaan di sisi-Nya. Selain mendapatkan kedudukan dan derajat yang mulia di akhirat kelak, orang-orang yang berkenan dengan ikhlas menjalankan salat tahajud, maka akan Allah limpahkan keridaan dan keberkahan kedudukan yang mulia di atas bumi. وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ “Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada salat malamnya.” (HR. Hakim, hasan) Sahabatku yang dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla … Bila kita memahami dan mengetahui keutamaaan dari melaksanakan dan menjalankan salat sunah lail atau tahajud, pasti dengan kesadaran dan mengandalkan logika sederhana, kita tidak akan rela jika harus meninggalkan salat malam. Tidak ada satu pun jamuan dan hidangan terindah yang diadakan, kecuali di sepertiga malam terakhir. Sebagai umpama, bilamana kita dijamu dan disambut oleh pejabat, penguasa negeri, atau bahkan orang penting dan nomor satu di negeri kita, sudah pasti kita senang dan bahagia. Nah, ini apalagi yang langsung menjamu adalah bukan hanya penguasa negeri melainkan Penguasa langit dan bumi langsung yang menjamu. MasyaAllah. Maka, sudah sepatutnya diri ini mengkhususkan untuk menyediakan sebagian dari malam kita untuk Sang Pemilik hidup kita. Karena salat malam adalah lapangan, bandara bagi setiap insan yang memiliki mimpi-mimpi dan cita-cita yang tinggi. Dan di waktu sepertiga malam adalah waktu istimewa dan terbaik, dambaan bagi ahli ibadah dalam mencari bekal yang terbaik guna mengarungi setiap hambatan dan ujian lautan hidup. Nabi shallallahu ’alaihi wassallam berpesan bahwasanya salat malam merupakan salat para nabi dan rasul, juga menjadi bagian terindah bagi kebiasaan setiap orang yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﻘِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺩَﺃْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻭَﻫُﻮَ ﻗُﺮْﺑَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﻜَﻔِّﺮَﺓٌ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ، ﻣَﻨْﻬَﺎﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍْﻹِﺛْﻢِ “Lakukanlah salat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan, dan mencegah dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi, hadis hasan) Banyak orang yang membicarakan tentang Allah, tetapi sedikit sekali yang mau berbicara kepada Allah. Bawa serta tahajud dan doamu ke dalam hidupmu dan berbicaralah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟَﺴَﺎﻋَـﺔً، ﻻَ ﻳُﻮَﺍﻓِﻘُﻬَﺎ ﺭَﺟُـﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ، ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ . “Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan kita, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah senantiasa menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi serta menjadi manusia yang bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat dan dimudahkan serta dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas dalam diri. Baca juga: Tata Cara Shalat Malam dan Witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: salat malamsalat tahajud

Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur

Daftar Isi Toggle Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak diniMenyadari nikmat zahir dan batin Semakin seseorang pandai mengingat-ingat nikmat Allah Ta’ala, maka ia akan lebih terdorong untuk bersyukur. Hal ini perlu dilatih dan diasah setiap saat untuk mengenal dan menyadarkan bahwa berbagai nikmat yang ada di hadapan kita adalah bersumber dari Allah Ta’ala, bukan datang dari akal (kemampuan) dirinya atau alat (teknologi) yang ia buat. Sesungguhnya nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya tidak dapat dihitung dan dibilangkan karena saking banyaknya nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, وَاِ نْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ اِنَّ الْاِ نْسَا نَ لَـظَلُوْمٌ كَفَّا رٌ “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menentukan jumlahnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak dini Anak-anak kecil hendaknya dibiasakan dan diingatkan bahwa berbagai nikmat itu datangnya dari Allah, sehingga akan terbawa dalam hatinya tatkala ia beranjak dewasa. Ia akan sadar bahwa dokter yang menyembuhkannya, kurir yang mengantar paketnya, penjual yang memurahkan harganya, semua hanya perantara yang mengantarkan nikmat Allah kepada dirinya. Begitu pula nikmat kesuksesan yang ia dapatkan, akan ia sadari bahwa datang dari Allah bukan dari kecerdasan akal atau kemampuan dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَٰلِقٍ غَيْرُ ٱللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapakah kalian berpaling?” (QS. Al-Fatir: 3) Baca juga: Nikmat Waktu dalam Pandangan Seorang Muslim Menyadari nikmat zahir dan batin Sesungguhnya tertutupnya jalan syukur seorang hamba disebabkan karena ketidaktahuannya terhadap macam-macam nikmat Allah, yaitu nikmat yang zahir (nampak) dan nikmat yang batin (tidak nampak). Contoh nikmat yang nampak misalnya tempat tinggal, uang, kendaraan, pekerjaan, dan yang lainnya. Sedangkan nikmat batin semisal diberikan ketenangan, keimanaan, dijauhkan dari bahaya, dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ “Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20) Di antara nikmat pertama kali yang diberikan Allah adalah nikmat penciptaan dan pengadaan. Kita ada di dunia ini adalah termasuk nikmat. Allah tidak menjadikan kita sebagai sesuatu yang tiada. Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى  الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى  وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan, dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. Al-A’la: 1-3) Kemudian Allah memberikan nikmat kepada kita dengan nikmat adaniyah wal insaniyah, yaitu nikmat berupa manusia (anak keuturunan Adam) bukan menjadikan kita sebagai hewan, tumbuhan, atau benda mati. Allah juga memberikan nikmat kepada kita dengan menjadikan kita beragama Islam, bukan Yahudi, Nasrani, atau yang lainnya. Dan Allah menyempurnakan nikmat Islam tersebut dengan nikmat iman dan hidayah untuk menjalankan syariat Islam dengan benar sesuai dengan yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maidah: 3) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَ إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيْمَانَ إِلَّا مَنْ أَحَبَّ “Dan Allah memberikan dunia kepada siapa pun yang Dia cintai dan tidak Dia dicintai. Akan tetapi, Dia memberikan iman (agama) hanya kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 1: 348-349 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 275. Lihat As-Silsilah Ash-Sahihah, 6: 213, no. 2714) Maka, ketika kita sudah mengetahui berbagai nikmat Allah di atas, sudah semestinya menjadikan kita sebagai seorang hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Baca juga: Nikmat Tauhid bagi Negeri Ini *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: nikmat dari Allah

Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur

Daftar Isi Toggle Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak diniMenyadari nikmat zahir dan batin Semakin seseorang pandai mengingat-ingat nikmat Allah Ta’ala, maka ia akan lebih terdorong untuk bersyukur. Hal ini perlu dilatih dan diasah setiap saat untuk mengenal dan menyadarkan bahwa berbagai nikmat yang ada di hadapan kita adalah bersumber dari Allah Ta’ala, bukan datang dari akal (kemampuan) dirinya atau alat (teknologi) yang ia buat. Sesungguhnya nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya tidak dapat dihitung dan dibilangkan karena saking banyaknya nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, وَاِ نْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ اِنَّ الْاِ نْسَا نَ لَـظَلُوْمٌ كَفَّا رٌ “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menentukan jumlahnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak dini Anak-anak kecil hendaknya dibiasakan dan diingatkan bahwa berbagai nikmat itu datangnya dari Allah, sehingga akan terbawa dalam hatinya tatkala ia beranjak dewasa. Ia akan sadar bahwa dokter yang menyembuhkannya, kurir yang mengantar paketnya, penjual yang memurahkan harganya, semua hanya perantara yang mengantarkan nikmat Allah kepada dirinya. Begitu pula nikmat kesuksesan yang ia dapatkan, akan ia sadari bahwa datang dari Allah bukan dari kecerdasan akal atau kemampuan dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَٰلِقٍ غَيْرُ ٱللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapakah kalian berpaling?” (QS. Al-Fatir: 3) Baca juga: Nikmat Waktu dalam Pandangan Seorang Muslim Menyadari nikmat zahir dan batin Sesungguhnya tertutupnya jalan syukur seorang hamba disebabkan karena ketidaktahuannya terhadap macam-macam nikmat Allah, yaitu nikmat yang zahir (nampak) dan nikmat yang batin (tidak nampak). Contoh nikmat yang nampak misalnya tempat tinggal, uang, kendaraan, pekerjaan, dan yang lainnya. Sedangkan nikmat batin semisal diberikan ketenangan, keimanaan, dijauhkan dari bahaya, dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ “Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20) Di antara nikmat pertama kali yang diberikan Allah adalah nikmat penciptaan dan pengadaan. Kita ada di dunia ini adalah termasuk nikmat. Allah tidak menjadikan kita sebagai sesuatu yang tiada. Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى  الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى  وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan, dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. Al-A’la: 1-3) Kemudian Allah memberikan nikmat kepada kita dengan nikmat adaniyah wal insaniyah, yaitu nikmat berupa manusia (anak keuturunan Adam) bukan menjadikan kita sebagai hewan, tumbuhan, atau benda mati. Allah juga memberikan nikmat kepada kita dengan menjadikan kita beragama Islam, bukan Yahudi, Nasrani, atau yang lainnya. Dan Allah menyempurnakan nikmat Islam tersebut dengan nikmat iman dan hidayah untuk menjalankan syariat Islam dengan benar sesuai dengan yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maidah: 3) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَ إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيْمَانَ إِلَّا مَنْ أَحَبَّ “Dan Allah memberikan dunia kepada siapa pun yang Dia cintai dan tidak Dia dicintai. Akan tetapi, Dia memberikan iman (agama) hanya kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 1: 348-349 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 275. Lihat As-Silsilah Ash-Sahihah, 6: 213, no. 2714) Maka, ketika kita sudah mengetahui berbagai nikmat Allah di atas, sudah semestinya menjadikan kita sebagai seorang hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Baca juga: Nikmat Tauhid bagi Negeri Ini *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: nikmat dari Allah
Daftar Isi Toggle Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak diniMenyadari nikmat zahir dan batin Semakin seseorang pandai mengingat-ingat nikmat Allah Ta’ala, maka ia akan lebih terdorong untuk bersyukur. Hal ini perlu dilatih dan diasah setiap saat untuk mengenal dan menyadarkan bahwa berbagai nikmat yang ada di hadapan kita adalah bersumber dari Allah Ta’ala, bukan datang dari akal (kemampuan) dirinya atau alat (teknologi) yang ia buat. Sesungguhnya nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya tidak dapat dihitung dan dibilangkan karena saking banyaknya nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, وَاِ نْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ اِنَّ الْاِ نْسَا نَ لَـظَلُوْمٌ كَفَّا رٌ “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menentukan jumlahnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak dini Anak-anak kecil hendaknya dibiasakan dan diingatkan bahwa berbagai nikmat itu datangnya dari Allah, sehingga akan terbawa dalam hatinya tatkala ia beranjak dewasa. Ia akan sadar bahwa dokter yang menyembuhkannya, kurir yang mengantar paketnya, penjual yang memurahkan harganya, semua hanya perantara yang mengantarkan nikmat Allah kepada dirinya. Begitu pula nikmat kesuksesan yang ia dapatkan, akan ia sadari bahwa datang dari Allah bukan dari kecerdasan akal atau kemampuan dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَٰلِقٍ غَيْرُ ٱللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapakah kalian berpaling?” (QS. Al-Fatir: 3) Baca juga: Nikmat Waktu dalam Pandangan Seorang Muslim Menyadari nikmat zahir dan batin Sesungguhnya tertutupnya jalan syukur seorang hamba disebabkan karena ketidaktahuannya terhadap macam-macam nikmat Allah, yaitu nikmat yang zahir (nampak) dan nikmat yang batin (tidak nampak). Contoh nikmat yang nampak misalnya tempat tinggal, uang, kendaraan, pekerjaan, dan yang lainnya. Sedangkan nikmat batin semisal diberikan ketenangan, keimanaan, dijauhkan dari bahaya, dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ “Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20) Di antara nikmat pertama kali yang diberikan Allah adalah nikmat penciptaan dan pengadaan. Kita ada di dunia ini adalah termasuk nikmat. Allah tidak menjadikan kita sebagai sesuatu yang tiada. Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى  الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى  وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan, dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. Al-A’la: 1-3) Kemudian Allah memberikan nikmat kepada kita dengan nikmat adaniyah wal insaniyah, yaitu nikmat berupa manusia (anak keuturunan Adam) bukan menjadikan kita sebagai hewan, tumbuhan, atau benda mati. Allah juga memberikan nikmat kepada kita dengan menjadikan kita beragama Islam, bukan Yahudi, Nasrani, atau yang lainnya. Dan Allah menyempurnakan nikmat Islam tersebut dengan nikmat iman dan hidayah untuk menjalankan syariat Islam dengan benar sesuai dengan yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maidah: 3) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَ إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيْمَانَ إِلَّا مَنْ أَحَبَّ “Dan Allah memberikan dunia kepada siapa pun yang Dia cintai dan tidak Dia dicintai. Akan tetapi, Dia memberikan iman (agama) hanya kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 1: 348-349 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 275. Lihat As-Silsilah Ash-Sahihah, 6: 213, no. 2714) Maka, ketika kita sudah mengetahui berbagai nikmat Allah di atas, sudah semestinya menjadikan kita sebagai seorang hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Baca juga: Nikmat Tauhid bagi Negeri Ini *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: nikmat dari Allah


Daftar Isi Toggle Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak diniMenyadari nikmat zahir dan batin Semakin seseorang pandai mengingat-ingat nikmat Allah Ta’ala, maka ia akan lebih terdorong untuk bersyukur. Hal ini perlu dilatih dan diasah setiap saat untuk mengenal dan menyadarkan bahwa berbagai nikmat yang ada di hadapan kita adalah bersumber dari Allah Ta’ala, bukan datang dari akal (kemampuan) dirinya atau alat (teknologi) yang ia buat. Sesungguhnya nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya tidak dapat dihitung dan dibilangkan karena saking banyaknya nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, وَاِ نْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ اِنَّ الْاِ نْسَا نَ لَـظَلُوْمٌ كَفَّا رٌ “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menentukan jumlahnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Berlatih melihat dan mengingat nikmat Allah sejak dini Anak-anak kecil hendaknya dibiasakan dan diingatkan bahwa berbagai nikmat itu datangnya dari Allah, sehingga akan terbawa dalam hatinya tatkala ia beranjak dewasa. Ia akan sadar bahwa dokter yang menyembuhkannya, kurir yang mengantar paketnya, penjual yang memurahkan harganya, semua hanya perantara yang mengantarkan nikmat Allah kepada dirinya. Begitu pula nikmat kesuksesan yang ia dapatkan, akan ia sadari bahwa datang dari Allah bukan dari kecerdasan akal atau kemampuan dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَٰلِقٍ غَيْرُ ٱللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapakah kalian berpaling?” (QS. Al-Fatir: 3) Baca juga: Nikmat Waktu dalam Pandangan Seorang Muslim Menyadari nikmat zahir dan batin Sesungguhnya tertutupnya jalan syukur seorang hamba disebabkan karena ketidaktahuannya terhadap macam-macam nikmat Allah, yaitu nikmat yang zahir (nampak) dan nikmat yang batin (tidak nampak). Contoh nikmat yang nampak misalnya tempat tinggal, uang, kendaraan, pekerjaan, dan yang lainnya. Sedangkan nikmat batin semisal diberikan ketenangan, keimanaan, dijauhkan dari bahaya, dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ “Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20) Di antara nikmat pertama kali yang diberikan Allah adalah nikmat penciptaan dan pengadaan. Kita ada di dunia ini adalah termasuk nikmat. Allah tidak menjadikan kita sebagai sesuatu yang tiada. Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى  الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى  وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan, dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. Al-A’la: 1-3) Kemudian Allah memberikan nikmat kepada kita dengan nikmat adaniyah wal insaniyah, yaitu nikmat berupa manusia (anak keuturunan Adam) bukan menjadikan kita sebagai hewan, tumbuhan, atau benda mati. Allah juga memberikan nikmat kepada kita dengan menjadikan kita beragama Islam, bukan Yahudi, Nasrani, atau yang lainnya. Dan Allah menyempurnakan nikmat Islam tersebut dengan nikmat iman dan hidayah untuk menjalankan syariat Islam dengan benar sesuai dengan yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maidah: 3) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَ إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيْمَانَ إِلَّا مَنْ أَحَبَّ “Dan Allah memberikan dunia kepada siapa pun yang Dia cintai dan tidak Dia dicintai. Akan tetapi, Dia memberikan iman (agama) hanya kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 1: 348-349 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 275. Lihat As-Silsilah Ash-Sahihah, 6: 213, no. 2714) Maka, ketika kita sudah mengetahui berbagai nikmat Allah di atas, sudah semestinya menjadikan kita sebagai seorang hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Baca juga: Nikmat Tauhid bagi Negeri Ini *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: nikmat dari Allah
Prev     Next