CINTA ALLAH, RINDU ALLAH #ilmu #yufidtv #asmaulhusna

Oleh karena itulah, bagi seorang mukmin sejati, hal terbesar yang bergelora dalam hatinya di dunia ini adalah kerinduan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Betapa eloknya perkataan Ibnul Qayyim Raẖimahullāh: “Demi Allah, di dunia ini tidak ada yang lebih nikmat daripada kerinduan seorang hamba kepada Allah ar-Rahmān dan untuk memandang wajah-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. Inilah kenikmatan yang paling sempurna bagi manusia.” Adapun di dunia ini, kenikmatan paling agung dan kelezatan paling sempurna adalah ketika Anda mengenal Allah, mencintai-Nya, dan merindukan-Nya, sebagaimana kenikmatan paling agung di akhirat adalah ketika Anda melihat-Nya, mendengar kalam-Nya, dan mendapatkan rida-Nya. ==== وَلِذَلِكَ الْمُؤْمِنُونَ الصَّادِقُونَ أَعْظَمُ شَيْءٍ يَهِيجُ فِي قُلُوبِهِمْ فِي دُنْيَاهُمْ هُوَ الشَّوْقُ إِلَى الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ وَاللهِ مَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا أَلَذُّ مِنَ اشْتِيَاقِ الْعَبْدِ لِلرَّحْمَنِ كَذَاكَ رُؤْيَةُ وَجْهِهِ سُبْحَانَهُ هِيَ أَكْمَلُ لَذَّاتٍ لِلْإِنْسَانِ فِي الدُّنْيَا أَعْظَمُ نَعِيمٍ وَأَكْمَلُ لَذَّةٍ هِيَ أَنْ تَعْرِفَ اللهَ وَتُحِبَّهُ وَتَشْتَاقَ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ أَعْظَمَ نِعْمَةٍ فِي الْآخِرَةِ هِي أَنْ تَرَاهُ وَتَسْمَعُ كَلَامَهُ وَأَنْ يَحِلَّ عَلَيْكَ رِضْوَانُهُ

CINTA ALLAH, RINDU ALLAH #ilmu #yufidtv #asmaulhusna

Oleh karena itulah, bagi seorang mukmin sejati, hal terbesar yang bergelora dalam hatinya di dunia ini adalah kerinduan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Betapa eloknya perkataan Ibnul Qayyim Raẖimahullāh: “Demi Allah, di dunia ini tidak ada yang lebih nikmat daripada kerinduan seorang hamba kepada Allah ar-Rahmān dan untuk memandang wajah-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. Inilah kenikmatan yang paling sempurna bagi manusia.” Adapun di dunia ini, kenikmatan paling agung dan kelezatan paling sempurna adalah ketika Anda mengenal Allah, mencintai-Nya, dan merindukan-Nya, sebagaimana kenikmatan paling agung di akhirat adalah ketika Anda melihat-Nya, mendengar kalam-Nya, dan mendapatkan rida-Nya. ==== وَلِذَلِكَ الْمُؤْمِنُونَ الصَّادِقُونَ أَعْظَمُ شَيْءٍ يَهِيجُ فِي قُلُوبِهِمْ فِي دُنْيَاهُمْ هُوَ الشَّوْقُ إِلَى الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ وَاللهِ مَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا أَلَذُّ مِنَ اشْتِيَاقِ الْعَبْدِ لِلرَّحْمَنِ كَذَاكَ رُؤْيَةُ وَجْهِهِ سُبْحَانَهُ هِيَ أَكْمَلُ لَذَّاتٍ لِلْإِنْسَانِ فِي الدُّنْيَا أَعْظَمُ نَعِيمٍ وَأَكْمَلُ لَذَّةٍ هِيَ أَنْ تَعْرِفَ اللهَ وَتُحِبَّهُ وَتَشْتَاقَ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ أَعْظَمَ نِعْمَةٍ فِي الْآخِرَةِ هِي أَنْ تَرَاهُ وَتَسْمَعُ كَلَامَهُ وَأَنْ يَحِلَّ عَلَيْكَ رِضْوَانُهُ
Oleh karena itulah, bagi seorang mukmin sejati, hal terbesar yang bergelora dalam hatinya di dunia ini adalah kerinduan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Betapa eloknya perkataan Ibnul Qayyim Raẖimahullāh: “Demi Allah, di dunia ini tidak ada yang lebih nikmat daripada kerinduan seorang hamba kepada Allah ar-Rahmān dan untuk memandang wajah-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. Inilah kenikmatan yang paling sempurna bagi manusia.” Adapun di dunia ini, kenikmatan paling agung dan kelezatan paling sempurna adalah ketika Anda mengenal Allah, mencintai-Nya, dan merindukan-Nya, sebagaimana kenikmatan paling agung di akhirat adalah ketika Anda melihat-Nya, mendengar kalam-Nya, dan mendapatkan rida-Nya. ==== وَلِذَلِكَ الْمُؤْمِنُونَ الصَّادِقُونَ أَعْظَمُ شَيْءٍ يَهِيجُ فِي قُلُوبِهِمْ فِي دُنْيَاهُمْ هُوَ الشَّوْقُ إِلَى الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ وَاللهِ مَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا أَلَذُّ مِنَ اشْتِيَاقِ الْعَبْدِ لِلرَّحْمَنِ كَذَاكَ رُؤْيَةُ وَجْهِهِ سُبْحَانَهُ هِيَ أَكْمَلُ لَذَّاتٍ لِلْإِنْسَانِ فِي الدُّنْيَا أَعْظَمُ نَعِيمٍ وَأَكْمَلُ لَذَّةٍ هِيَ أَنْ تَعْرِفَ اللهَ وَتُحِبَّهُ وَتَشْتَاقَ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ أَعْظَمَ نِعْمَةٍ فِي الْآخِرَةِ هِي أَنْ تَرَاهُ وَتَسْمَعُ كَلَامَهُ وَأَنْ يَحِلَّ عَلَيْكَ رِضْوَانُهُ


Oleh karena itulah, bagi seorang mukmin sejati, hal terbesar yang bergelora dalam hatinya di dunia ini adalah kerinduan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Betapa eloknya perkataan Ibnul Qayyim Raẖimahullāh: “Demi Allah, di dunia ini tidak ada yang lebih nikmat daripada kerinduan seorang hamba kepada Allah ar-Rahmān dan untuk memandang wajah-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. Inilah kenikmatan yang paling sempurna bagi manusia.” Adapun di dunia ini, kenikmatan paling agung dan kelezatan paling sempurna adalah ketika Anda mengenal Allah, mencintai-Nya, dan merindukan-Nya, sebagaimana kenikmatan paling agung di akhirat adalah ketika Anda melihat-Nya, mendengar kalam-Nya, dan mendapatkan rida-Nya. ==== وَلِذَلِكَ الْمُؤْمِنُونَ الصَّادِقُونَ أَعْظَمُ شَيْءٍ يَهِيجُ فِي قُلُوبِهِمْ فِي دُنْيَاهُمْ هُوَ الشَّوْقُ إِلَى الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ وَاللهِ مَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا أَلَذُّ مِنَ اشْتِيَاقِ الْعَبْدِ لِلرَّحْمَنِ كَذَاكَ رُؤْيَةُ وَجْهِهِ سُبْحَانَهُ هِيَ أَكْمَلُ لَذَّاتٍ لِلْإِنْسَانِ فِي الدُّنْيَا أَعْظَمُ نَعِيمٍ وَأَكْمَلُ لَذَّةٍ هِيَ أَنْ تَعْرِفَ اللهَ وَتُحِبَّهُ وَتَشْتَاقَ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ أَعْظَمَ نِعْمَةٍ فِي الْآخِرَةِ هِي أَنْ تَرَاهُ وَتَسْمَعُ كَلَامَهُ وَأَنْ يَحِلَّ عَلَيْكَ رِضْوَانُهُ

Biografi Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu

Daftar Isi Toggle Nama dan nasab beliauKeislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuKarunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaKedekatan beliau dengan Al-Qur’anTahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Masing-masing sahabat radhiyallahu ‘anhum memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan tersebut selain dari apa yang Allah ‘Azza wajalla sebutkan tentang para sahabat radhiyallahu ‘anhum secara umum di dalam firman-Nya, وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100) Keridaan Allah kepada para sahabat bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan nikmat surga yang kelak akan didapatkan. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu dalam Tafsir beliau, “Keridaan Allah itu lebih besar dibandingkan nikmat surga.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 349) Termasuk di antaranya adalah sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Siapa di antara kita yang tidak kenal dengan beliau radhiyallahu ‘anhu? Mari kita ulas biografi ringkas beliau sebagai berikut. Nama dan nasab beliau Beliau bernama Utsman bin Affan bin Abul Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab [1]. Dulunya, kunyah beliau sebelum masuk Islam adalah Abu Amr dan berubah ketika memiliki seorang putra dari Ruqayyah putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menjadi Abu Abdillah [2]. Beliau lahir di Makkah, 5 tahun setelah peristiwa penyerangan kota Makkah oleh tentara bergajah. Secara umur, beliau lebih muda 5 tahun dibandingkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Beliau seorang yang tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, dadanya bidang, lebat rambutnya, rupawan, kakinya kuat, betisnya tinggi, rambutnya sedikit keriting, dan sebagainya. Keislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Usia beliau mencapai 34 tahun ketika Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Tanpa ada pertentangan sedikit pun, beliau dengan teguh menerima Islam sebagai agamanya. Abu Ishaq rahimahullahu mengatakan, “Orang yang pertama masuk Islam setelah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah Ali, Zaid bin Haritsah, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum.” (As-Sirah An-Nabawiyah, 1: 287-289) Dengan demikian, beliau adalah orang keempat yang masuk Islam dari kalangan laki-laki. Peristiwa masuk Islamnya beliau terjadi setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau ditawarkan tentang Islam, dibacakan Al-Qur’an, dikabarkan tentang hak-hak Islam, kemuliaan agama Islam, dan sebagainya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, “Wahai Rasulullah, sepulang kami dari negeri Syam, ketika sampai di antara Ma’an dan Zarqa dan kami tertidur, kami mendengar seruan, ‘Wahai orang-orang yang tengah tidur, segeralah! Karena Ahmad telah sampai di kota Makkah.‘ Dan benar saja, di sini kami mendengar tentangmu.” (At-Thabaqat, 3: 55) Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Karunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Di antara hal yang membahagiakan bagi Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu adalah perkenan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama untuk menikahkan putrinya yang bernama Ruqayyah dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan, dikatakan dalam sebuah syair, “Pasangan terbaik yang pernah disaksikan oleh manusia adalah Ruqayyah dan suaminya, yaitu Utsman –radhiyallahu ‘anhuma-.” (Ansab Al-Asyraf, hal. 89) Kedekatan beliau dengan Al-Qur’an Model pendidikan yang beliau dan para sahabatnya serap dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama adalah pembelajaran Al-Qur’an. Dengannyalah hidup mereka diarahkan dan diberikan tujuan. Ayat-ayat-Nyalah yang membimbing mereka menjalani kehidupan ini. Terutama sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang banyak sekali temuan nasihat-nasihatnya tentang Al-Qur’an. Di antaranya yang disebutkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, “Ketika belajar Al-Qur’an, mereka (para sahabat termasuk Utsman) tidak pernah melebihi 10 ayat untuk mereka pahami terlebih dahulu kandungan maknanya dan mereka amalkan. Mereka mengatakan, ‘Kami belajar Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus.’ Oleh karenanya, mereka butuh waktu untuk menghafal satu surat.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13: 177) Di antara perkataan beliau yang lain adalah, “Kalaulah hati ini benar-benar bersih, niscaya ia tidak akan pernah bosan membaca Al-Qur’an.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Dalam perkataan lain, beliau juga mengatakan, “Aku tidak menyukai satu hari terlewat tanpa mataku sempat melihat kitabullah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Beliau radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Allah jadikan kecintaanku di dunia ini pada tiga hal, yaitu memberi makan orang yang kelaparan, memberikan pakaian orang yang telanjang, dan membaca Al-Qur’an.” (Irsyadul ‘Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 88) Dalam nasihat lain, beliau mengatakan, “Ada 10 hal yang sia-sia: 1) Alim yang tidak menyebarkan ilmu; 2) Ilmu yang tidak diamalkan; 3) Pendapat yang benar, tetapi tidak diambil; 4) Senjata yang tidak pernah dihunuskan untuk jihad; 5) Masjid yang tidak dimakmurkan; 6) Mushaf yang tidak pernah dibaca; 7) Harta yang tidak pernah disedekahkan; 8) Kendaraan yang didiamkan; 9) Pengetahuan tentang kezuhudan pada diri orang yang terobsesi dunia saja; dan 10) Dan umur panjang yang tidak memberikan bekal kebaikan untuk pemiliknya.” (Irsyadul Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 90) Tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Yaitu, pada tahun 35 hijriah, kecuali sebagian yang meriwayatkan pada tahun 36 hijriah. Dan pendapat kedua dinilai syadz oleh para ulama. Beliau syahid dibunuh pada hari Jumat (pendapat mayoritas ulama) oleh orang-orang khawarij. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disebutkan di dalam At-Thabaqat, 3: 53 dan Al-Ishabah, 4: 377. [2] At-Tamhid wal-Bayan, hal. 19. Tags: Sahabat Nabiutsman bin 'affan

Biografi Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu

Daftar Isi Toggle Nama dan nasab beliauKeislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuKarunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaKedekatan beliau dengan Al-Qur’anTahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Masing-masing sahabat radhiyallahu ‘anhum memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan tersebut selain dari apa yang Allah ‘Azza wajalla sebutkan tentang para sahabat radhiyallahu ‘anhum secara umum di dalam firman-Nya, وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100) Keridaan Allah kepada para sahabat bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan nikmat surga yang kelak akan didapatkan. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu dalam Tafsir beliau, “Keridaan Allah itu lebih besar dibandingkan nikmat surga.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 349) Termasuk di antaranya adalah sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Siapa di antara kita yang tidak kenal dengan beliau radhiyallahu ‘anhu? Mari kita ulas biografi ringkas beliau sebagai berikut. Nama dan nasab beliau Beliau bernama Utsman bin Affan bin Abul Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab [1]. Dulunya, kunyah beliau sebelum masuk Islam adalah Abu Amr dan berubah ketika memiliki seorang putra dari Ruqayyah putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menjadi Abu Abdillah [2]. Beliau lahir di Makkah, 5 tahun setelah peristiwa penyerangan kota Makkah oleh tentara bergajah. Secara umur, beliau lebih muda 5 tahun dibandingkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Beliau seorang yang tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, dadanya bidang, lebat rambutnya, rupawan, kakinya kuat, betisnya tinggi, rambutnya sedikit keriting, dan sebagainya. Keislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Usia beliau mencapai 34 tahun ketika Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Tanpa ada pertentangan sedikit pun, beliau dengan teguh menerima Islam sebagai agamanya. Abu Ishaq rahimahullahu mengatakan, “Orang yang pertama masuk Islam setelah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah Ali, Zaid bin Haritsah, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum.” (As-Sirah An-Nabawiyah, 1: 287-289) Dengan demikian, beliau adalah orang keempat yang masuk Islam dari kalangan laki-laki. Peristiwa masuk Islamnya beliau terjadi setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau ditawarkan tentang Islam, dibacakan Al-Qur’an, dikabarkan tentang hak-hak Islam, kemuliaan agama Islam, dan sebagainya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, “Wahai Rasulullah, sepulang kami dari negeri Syam, ketika sampai di antara Ma’an dan Zarqa dan kami tertidur, kami mendengar seruan, ‘Wahai orang-orang yang tengah tidur, segeralah! Karena Ahmad telah sampai di kota Makkah.‘ Dan benar saja, di sini kami mendengar tentangmu.” (At-Thabaqat, 3: 55) Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Karunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Di antara hal yang membahagiakan bagi Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu adalah perkenan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama untuk menikahkan putrinya yang bernama Ruqayyah dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan, dikatakan dalam sebuah syair, “Pasangan terbaik yang pernah disaksikan oleh manusia adalah Ruqayyah dan suaminya, yaitu Utsman –radhiyallahu ‘anhuma-.” (Ansab Al-Asyraf, hal. 89) Kedekatan beliau dengan Al-Qur’an Model pendidikan yang beliau dan para sahabatnya serap dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama adalah pembelajaran Al-Qur’an. Dengannyalah hidup mereka diarahkan dan diberikan tujuan. Ayat-ayat-Nyalah yang membimbing mereka menjalani kehidupan ini. Terutama sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang banyak sekali temuan nasihat-nasihatnya tentang Al-Qur’an. Di antaranya yang disebutkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, “Ketika belajar Al-Qur’an, mereka (para sahabat termasuk Utsman) tidak pernah melebihi 10 ayat untuk mereka pahami terlebih dahulu kandungan maknanya dan mereka amalkan. Mereka mengatakan, ‘Kami belajar Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus.’ Oleh karenanya, mereka butuh waktu untuk menghafal satu surat.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13: 177) Di antara perkataan beliau yang lain adalah, “Kalaulah hati ini benar-benar bersih, niscaya ia tidak akan pernah bosan membaca Al-Qur’an.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Dalam perkataan lain, beliau juga mengatakan, “Aku tidak menyukai satu hari terlewat tanpa mataku sempat melihat kitabullah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Beliau radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Allah jadikan kecintaanku di dunia ini pada tiga hal, yaitu memberi makan orang yang kelaparan, memberikan pakaian orang yang telanjang, dan membaca Al-Qur’an.” (Irsyadul ‘Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 88) Dalam nasihat lain, beliau mengatakan, “Ada 10 hal yang sia-sia: 1) Alim yang tidak menyebarkan ilmu; 2) Ilmu yang tidak diamalkan; 3) Pendapat yang benar, tetapi tidak diambil; 4) Senjata yang tidak pernah dihunuskan untuk jihad; 5) Masjid yang tidak dimakmurkan; 6) Mushaf yang tidak pernah dibaca; 7) Harta yang tidak pernah disedekahkan; 8) Kendaraan yang didiamkan; 9) Pengetahuan tentang kezuhudan pada diri orang yang terobsesi dunia saja; dan 10) Dan umur panjang yang tidak memberikan bekal kebaikan untuk pemiliknya.” (Irsyadul Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 90) Tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Yaitu, pada tahun 35 hijriah, kecuali sebagian yang meriwayatkan pada tahun 36 hijriah. Dan pendapat kedua dinilai syadz oleh para ulama. Beliau syahid dibunuh pada hari Jumat (pendapat mayoritas ulama) oleh orang-orang khawarij. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disebutkan di dalam At-Thabaqat, 3: 53 dan Al-Ishabah, 4: 377. [2] At-Tamhid wal-Bayan, hal. 19. Tags: Sahabat Nabiutsman bin 'affan
Daftar Isi Toggle Nama dan nasab beliauKeislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuKarunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaKedekatan beliau dengan Al-Qur’anTahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Masing-masing sahabat radhiyallahu ‘anhum memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan tersebut selain dari apa yang Allah ‘Azza wajalla sebutkan tentang para sahabat radhiyallahu ‘anhum secara umum di dalam firman-Nya, وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100) Keridaan Allah kepada para sahabat bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan nikmat surga yang kelak akan didapatkan. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu dalam Tafsir beliau, “Keridaan Allah itu lebih besar dibandingkan nikmat surga.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 349) Termasuk di antaranya adalah sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Siapa di antara kita yang tidak kenal dengan beliau radhiyallahu ‘anhu? Mari kita ulas biografi ringkas beliau sebagai berikut. Nama dan nasab beliau Beliau bernama Utsman bin Affan bin Abul Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab [1]. Dulunya, kunyah beliau sebelum masuk Islam adalah Abu Amr dan berubah ketika memiliki seorang putra dari Ruqayyah putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menjadi Abu Abdillah [2]. Beliau lahir di Makkah, 5 tahun setelah peristiwa penyerangan kota Makkah oleh tentara bergajah. Secara umur, beliau lebih muda 5 tahun dibandingkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Beliau seorang yang tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, dadanya bidang, lebat rambutnya, rupawan, kakinya kuat, betisnya tinggi, rambutnya sedikit keriting, dan sebagainya. Keislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Usia beliau mencapai 34 tahun ketika Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Tanpa ada pertentangan sedikit pun, beliau dengan teguh menerima Islam sebagai agamanya. Abu Ishaq rahimahullahu mengatakan, “Orang yang pertama masuk Islam setelah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah Ali, Zaid bin Haritsah, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum.” (As-Sirah An-Nabawiyah, 1: 287-289) Dengan demikian, beliau adalah orang keempat yang masuk Islam dari kalangan laki-laki. Peristiwa masuk Islamnya beliau terjadi setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau ditawarkan tentang Islam, dibacakan Al-Qur’an, dikabarkan tentang hak-hak Islam, kemuliaan agama Islam, dan sebagainya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, “Wahai Rasulullah, sepulang kami dari negeri Syam, ketika sampai di antara Ma’an dan Zarqa dan kami tertidur, kami mendengar seruan, ‘Wahai orang-orang yang tengah tidur, segeralah! Karena Ahmad telah sampai di kota Makkah.‘ Dan benar saja, di sini kami mendengar tentangmu.” (At-Thabaqat, 3: 55) Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Karunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Di antara hal yang membahagiakan bagi Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu adalah perkenan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama untuk menikahkan putrinya yang bernama Ruqayyah dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan, dikatakan dalam sebuah syair, “Pasangan terbaik yang pernah disaksikan oleh manusia adalah Ruqayyah dan suaminya, yaitu Utsman –radhiyallahu ‘anhuma-.” (Ansab Al-Asyraf, hal. 89) Kedekatan beliau dengan Al-Qur’an Model pendidikan yang beliau dan para sahabatnya serap dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama adalah pembelajaran Al-Qur’an. Dengannyalah hidup mereka diarahkan dan diberikan tujuan. Ayat-ayat-Nyalah yang membimbing mereka menjalani kehidupan ini. Terutama sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang banyak sekali temuan nasihat-nasihatnya tentang Al-Qur’an. Di antaranya yang disebutkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, “Ketika belajar Al-Qur’an, mereka (para sahabat termasuk Utsman) tidak pernah melebihi 10 ayat untuk mereka pahami terlebih dahulu kandungan maknanya dan mereka amalkan. Mereka mengatakan, ‘Kami belajar Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus.’ Oleh karenanya, mereka butuh waktu untuk menghafal satu surat.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13: 177) Di antara perkataan beliau yang lain adalah, “Kalaulah hati ini benar-benar bersih, niscaya ia tidak akan pernah bosan membaca Al-Qur’an.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Dalam perkataan lain, beliau juga mengatakan, “Aku tidak menyukai satu hari terlewat tanpa mataku sempat melihat kitabullah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Beliau radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Allah jadikan kecintaanku di dunia ini pada tiga hal, yaitu memberi makan orang yang kelaparan, memberikan pakaian orang yang telanjang, dan membaca Al-Qur’an.” (Irsyadul ‘Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 88) Dalam nasihat lain, beliau mengatakan, “Ada 10 hal yang sia-sia: 1) Alim yang tidak menyebarkan ilmu; 2) Ilmu yang tidak diamalkan; 3) Pendapat yang benar, tetapi tidak diambil; 4) Senjata yang tidak pernah dihunuskan untuk jihad; 5) Masjid yang tidak dimakmurkan; 6) Mushaf yang tidak pernah dibaca; 7) Harta yang tidak pernah disedekahkan; 8) Kendaraan yang didiamkan; 9) Pengetahuan tentang kezuhudan pada diri orang yang terobsesi dunia saja; dan 10) Dan umur panjang yang tidak memberikan bekal kebaikan untuk pemiliknya.” (Irsyadul Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 90) Tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Yaitu, pada tahun 35 hijriah, kecuali sebagian yang meriwayatkan pada tahun 36 hijriah. Dan pendapat kedua dinilai syadz oleh para ulama. Beliau syahid dibunuh pada hari Jumat (pendapat mayoritas ulama) oleh orang-orang khawarij. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disebutkan di dalam At-Thabaqat, 3: 53 dan Al-Ishabah, 4: 377. [2] At-Tamhid wal-Bayan, hal. 19. Tags: Sahabat Nabiutsman bin 'affan


Daftar Isi Toggle Nama dan nasab beliauKeislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuKarunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamaKedekatan beliau dengan Al-Qur’anTahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Masing-masing sahabat radhiyallahu ‘anhum memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan tersebut selain dari apa yang Allah ‘Azza wajalla sebutkan tentang para sahabat radhiyallahu ‘anhum secara umum di dalam firman-Nya, وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100) Keridaan Allah kepada para sahabat bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan nikmat surga yang kelak akan didapatkan. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu dalam Tafsir beliau, “Keridaan Allah itu lebih besar dibandingkan nikmat surga.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 349) Termasuk di antaranya adalah sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Siapa di antara kita yang tidak kenal dengan beliau radhiyallahu ‘anhu? Mari kita ulas biografi ringkas beliau sebagai berikut. Nama dan nasab beliau Beliau bernama Utsman bin Affan bin Abul Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab [1]. Dulunya, kunyah beliau sebelum masuk Islam adalah Abu Amr dan berubah ketika memiliki seorang putra dari Ruqayyah putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menjadi Abu Abdillah [2]. Beliau lahir di Makkah, 5 tahun setelah peristiwa penyerangan kota Makkah oleh tentara bergajah. Secara umur, beliau lebih muda 5 tahun dibandingkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Beliau seorang yang tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, dadanya bidang, lebat rambutnya, rupawan, kakinya kuat, betisnya tinggi, rambutnya sedikit keriting, dan sebagainya. Keislaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Usia beliau mencapai 34 tahun ketika Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Tanpa ada pertentangan sedikit pun, beliau dengan teguh menerima Islam sebagai agamanya. Abu Ishaq rahimahullahu mengatakan, “Orang yang pertama masuk Islam setelah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah Ali, Zaid bin Haritsah, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum.” (As-Sirah An-Nabawiyah, 1: 287-289) Dengan demikian, beliau adalah orang keempat yang masuk Islam dari kalangan laki-laki. Peristiwa masuk Islamnya beliau terjadi setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau ditawarkan tentang Islam, dibacakan Al-Qur’an, dikabarkan tentang hak-hak Islam, kemuliaan agama Islam, dan sebagainya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, “Wahai Rasulullah, sepulang kami dari negeri Syam, ketika sampai di antara Ma’an dan Zarqa dan kami tertidur, kami mendengar seruan, ‘Wahai orang-orang yang tengah tidur, segeralah! Karena Ahmad telah sampai di kota Makkah.‘ Dan benar saja, di sini kami mendengar tentangmu.” (At-Thabaqat, 3: 55) Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Karunia mempersunting putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama Di antara hal yang membahagiakan bagi Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu adalah perkenan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama untuk menikahkan putrinya yang bernama Ruqayyah dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan, dikatakan dalam sebuah syair, “Pasangan terbaik yang pernah disaksikan oleh manusia adalah Ruqayyah dan suaminya, yaitu Utsman –radhiyallahu ‘anhuma-.” (Ansab Al-Asyraf, hal. 89) Kedekatan beliau dengan Al-Qur’an Model pendidikan yang beliau dan para sahabatnya serap dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama adalah pembelajaran Al-Qur’an. Dengannyalah hidup mereka diarahkan dan diberikan tujuan. Ayat-ayat-Nyalah yang membimbing mereka menjalani kehidupan ini. Terutama sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang banyak sekali temuan nasihat-nasihatnya tentang Al-Qur’an. Di antaranya yang disebutkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, “Ketika belajar Al-Qur’an, mereka (para sahabat termasuk Utsman) tidak pernah melebihi 10 ayat untuk mereka pahami terlebih dahulu kandungan maknanya dan mereka amalkan. Mereka mengatakan, ‘Kami belajar Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus.’ Oleh karenanya, mereka butuh waktu untuk menghafal satu surat.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13: 177) Di antara perkataan beliau yang lain adalah, “Kalaulah hati ini benar-benar bersih, niscaya ia tidak akan pernah bosan membaca Al-Qur’an.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Dalam perkataan lain, beliau juga mengatakan, “Aku tidak menyukai satu hari terlewat tanpa mataku sempat melihat kitabullah.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 7: 225) Beliau radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Allah jadikan kecintaanku di dunia ini pada tiga hal, yaitu memberi makan orang yang kelaparan, memberikan pakaian orang yang telanjang, dan membaca Al-Qur’an.” (Irsyadul ‘Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 88) Dalam nasihat lain, beliau mengatakan, “Ada 10 hal yang sia-sia: 1) Alim yang tidak menyebarkan ilmu; 2) Ilmu yang tidak diamalkan; 3) Pendapat yang benar, tetapi tidak diambil; 4) Senjata yang tidak pernah dihunuskan untuk jihad; 5) Masjid yang tidak dimakmurkan; 6) Mushaf yang tidak pernah dibaca; 7) Harta yang tidak pernah disedekahkan; 8) Kendaraan yang didiamkan; 9) Pengetahuan tentang kezuhudan pada diri orang yang terobsesi dunia saja; dan 10) Dan umur panjang yang tidak memberikan bekal kebaikan untuk pemiliknya.” (Irsyadul Ibad lil Isti’dadi li Yaumil Ma’ad, hal. 90) Tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tahun meninggalnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Yaitu, pada tahun 35 hijriah, kecuali sebagian yang meriwayatkan pada tahun 36 hijriah. Dan pendapat kedua dinilai syadz oleh para ulama. Beliau syahid dibunuh pada hari Jumat (pendapat mayoritas ulama) oleh orang-orang khawarij. Baca juga: Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disebutkan di dalam At-Thabaqat, 3: 53 dan Al-Ishabah, 4: 377. [2] At-Tamhid wal-Bayan, hal. 19. Tags: Sahabat Nabiutsman bin 'affan

Hukum Buzzer dalam Islam

Daftar Isi Toggle Hukum buzzer dalam IslamPertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnyaKedua: Menyebarkan hoaks Di zaman ini, media sosial penuh dengan hal-hal yang bisa mengarahkan manusia kepada kebaikan sekaligus keburukan. Dalam perkembangannya, media sosial dijadikan sebagai tempat untuk mendapatkan uang. Baik dengan cara yang halal, seperti dilakukan oleh para pedagang. Atau yang haram, seperti perbuatan menyebarkan aib orang lain yang dilakukan oleh buzzer. Dilansir oleh detik, buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun sosial media miliknya guna menyebarluaskan informasi atau melakukan suatu promosi maupun iklan dari suatu produk atau jasa pada perusahaan atau instansi. Tugas mereka adalah menginformasikan, mengkampanyekan sebuah informasi secara berulang untuk menimbulkan ‘kebisingan’ di tengah audiens. Kata buzzer sendiri mengalami peyorasi sehingga identik dengan satu entitas tertentu yang mengkampanyekan keburukan atau menggali keburukan orang lain. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang orang-orang yang berkecimpung di buzzer? Apakah pernah terjadi hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh buzzer ini? Sebelum menjawab terkait hukum, di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama pernah terjadi kisah yang kita sangat kenal bersama dan merupakan dampak dari ulah buzzer keburukan, yaitu orang-orang munafik. Atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Al-Ifk. Diceritakan oleh ‘Urwah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, tentang bagaimana kesedihan beliau menghadapi desas-desus tidak baik tentang hal ini. Sampai kemudian Allah ‘Azza Wajalla menurunkan ayat yang isinya membersihkan desas-desus tersebut dari diri ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ لَوْلَا جَاۤءُوْ عَلَيْهِ بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَۚ فَاِذْ لَمْ يَأْتُوْا بِالشُّهَدَاۤءِ فَاُولٰۤىِٕكَ عِنْدَ اللّٰهِ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِيْ مَآ اَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ اِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِاَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ وَلَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَآ اَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۚ وَيُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ وَاَنَّ اللّٰهَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ وَمَنْ يَّتَّبِعْ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ فَاِنَّهٗ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًاۙ وَّلٰكِنَّ اللّٰهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ يَّوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ يَوْمَىِٕذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu adalah baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat. Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap kelompok mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu? Dan (mereka) berkata, ‘Ini adalah (berita) bohong yang nyata?’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Karena tidak membawa saksi-saksi, mereka itu adalah para pendusta dalam pandangan Allah. Seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang sangat berat disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang (berita bohong) itu. (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut, kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu masalah besar. Mengapa ketika mendengarnya (berita bohong itu), kamu tidak berkata, ‘Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau. Ini adalah kebohongan yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang-orang mukmin. Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu dan (bukan karena) Allah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan! Siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh (manusia mengerjakan perbuatan) yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Akan tetapi, Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka dan mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Benar lagi Maha Menjelaskan. Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. An-Nur: 11-26) Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial Hukum buzzer dalam Islam Ada sebuah kaidah fikih yang merupakan turunan dari ‘perbuatan itu tergantung tujuannya’ yang berbunyi, العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني، لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi fokus perhatian dalam sebuah akad/transaksi adalah maksud dan hakikat akad tersebut, bukan sekedar namanya saja.” (Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wat-Taujih, 3: 3) Ilustrasi sederhananya adalah sebagai berikut. Bahwa meskipun banyak pemuda/i ajnabi mengemas hubungan mereka dengan nama ta’aruf, akan tetapi jika dalam prosesnya mereka melakukan hal yang diharamkan, seperti berpegangan tangan, berduaan di tempat yang sepi, dan sebagainya, maka hubungan mereka, sebaik apapun mereka namai, tetap diharamkan oleh Allah ‘Azza Wajalla. Karena yang menjadi fokus penilaian adalah hakikat dari hubungan tersebut, dan bukan namanya. Begitu pun hukum menjadi seorang buzzer, maka kita harus merinci berdasarkan definisi bahasa. Yang harus didudukkan adalah informasi apa yang mereka kerjakan? Kampanye apa yang mereka suarakan? Atas dasar apa mereka dipekerjakan? Jika kampanye yang dimaksud adalah menyebarkan kebaikan seperti video-video kajian sehingga lebih meluas jangkauannya, poster-poster nasihat sehingga akan lebih banyak orang yang membacanya, maka sebatas ini adalah sesuatu yang diperbolehkan. Termasuk yang dilakukan sebagian orang di zaman sekarang dengan menjadi buzzer di media sosial agar informasi kondisi saudara kita di Palestina terus diberitakan dan mendapat perhatian dunia, maka itu merupakan kebaikan. Akan tetapi, jika makna peyoratif yang tersemat pada kata buzzer di zaman sekarang yang dimaksud, maka hal tersebut adalah hal yang diharamkan. Yaitu, menjadi buzzer adalah menjadi seorang yang melakukan black campaign terhadap sesama, menyebarkan aib-aib yang sudah terkubur, berkata-kata buruk kepada sesama, dan lain-lain. Hal ini diharamkan karena mengandung perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti: Pertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnya Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bahkan menyebutkan ancaman bagi mereka yang membuka aib seseorang, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإن من تتبع عوراتهم تتبع الله عورته، ومن تتبع الله عورته يفضحه في بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas lisan dan belum masuk ke hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin dan mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang gemar mencari aib orang lain, Allah akan bongkar aibnya. Barangsiapa yang Allah bongkar aibnya, maka Allah akan bongkar aibnya di rumahnya.” (HR. Ahmad no. 18940) Kedua: Menyebarkan hoaks Berita yang belum jelas kebenarannya atau bahkan disengaja kedustaannya adalah salah satu keburukan yang dikerjakan oleh buzzer. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ “Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19) Belum lagi, jika yang dilakukan oleh buzzer ini dibenarkan oleh sebagian orang, kemudian mereka turut menyebarkannya, kita tidak bisa membayangkan betapa berat pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah ‘Azza Wajalla. Semoga Allah jauhkan kita dari golongan orang-orang yang menebar keburukan di tengah kaum muslimin. Baca juga: Bersikap Hati-Hati dalam Menyebarkan (Share) Berita *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: buzzer

Hukum Buzzer dalam Islam

Daftar Isi Toggle Hukum buzzer dalam IslamPertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnyaKedua: Menyebarkan hoaks Di zaman ini, media sosial penuh dengan hal-hal yang bisa mengarahkan manusia kepada kebaikan sekaligus keburukan. Dalam perkembangannya, media sosial dijadikan sebagai tempat untuk mendapatkan uang. Baik dengan cara yang halal, seperti dilakukan oleh para pedagang. Atau yang haram, seperti perbuatan menyebarkan aib orang lain yang dilakukan oleh buzzer. Dilansir oleh detik, buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun sosial media miliknya guna menyebarluaskan informasi atau melakukan suatu promosi maupun iklan dari suatu produk atau jasa pada perusahaan atau instansi. Tugas mereka adalah menginformasikan, mengkampanyekan sebuah informasi secara berulang untuk menimbulkan ‘kebisingan’ di tengah audiens. Kata buzzer sendiri mengalami peyorasi sehingga identik dengan satu entitas tertentu yang mengkampanyekan keburukan atau menggali keburukan orang lain. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang orang-orang yang berkecimpung di buzzer? Apakah pernah terjadi hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh buzzer ini? Sebelum menjawab terkait hukum, di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama pernah terjadi kisah yang kita sangat kenal bersama dan merupakan dampak dari ulah buzzer keburukan, yaitu orang-orang munafik. Atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Al-Ifk. Diceritakan oleh ‘Urwah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, tentang bagaimana kesedihan beliau menghadapi desas-desus tidak baik tentang hal ini. Sampai kemudian Allah ‘Azza Wajalla menurunkan ayat yang isinya membersihkan desas-desus tersebut dari diri ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ لَوْلَا جَاۤءُوْ عَلَيْهِ بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَۚ فَاِذْ لَمْ يَأْتُوْا بِالشُّهَدَاۤءِ فَاُولٰۤىِٕكَ عِنْدَ اللّٰهِ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِيْ مَآ اَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ اِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِاَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ وَلَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَآ اَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۚ وَيُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ وَاَنَّ اللّٰهَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ وَمَنْ يَّتَّبِعْ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ فَاِنَّهٗ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًاۙ وَّلٰكِنَّ اللّٰهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ يَّوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ يَوْمَىِٕذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu adalah baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat. Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap kelompok mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu? Dan (mereka) berkata, ‘Ini adalah (berita) bohong yang nyata?’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Karena tidak membawa saksi-saksi, mereka itu adalah para pendusta dalam pandangan Allah. Seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang sangat berat disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang (berita bohong) itu. (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut, kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu masalah besar. Mengapa ketika mendengarnya (berita bohong itu), kamu tidak berkata, ‘Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau. Ini adalah kebohongan yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang-orang mukmin. Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu dan (bukan karena) Allah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan! Siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh (manusia mengerjakan perbuatan) yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Akan tetapi, Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka dan mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Benar lagi Maha Menjelaskan. Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. An-Nur: 11-26) Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial Hukum buzzer dalam Islam Ada sebuah kaidah fikih yang merupakan turunan dari ‘perbuatan itu tergantung tujuannya’ yang berbunyi, العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني، لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi fokus perhatian dalam sebuah akad/transaksi adalah maksud dan hakikat akad tersebut, bukan sekedar namanya saja.” (Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wat-Taujih, 3: 3) Ilustrasi sederhananya adalah sebagai berikut. Bahwa meskipun banyak pemuda/i ajnabi mengemas hubungan mereka dengan nama ta’aruf, akan tetapi jika dalam prosesnya mereka melakukan hal yang diharamkan, seperti berpegangan tangan, berduaan di tempat yang sepi, dan sebagainya, maka hubungan mereka, sebaik apapun mereka namai, tetap diharamkan oleh Allah ‘Azza Wajalla. Karena yang menjadi fokus penilaian adalah hakikat dari hubungan tersebut, dan bukan namanya. Begitu pun hukum menjadi seorang buzzer, maka kita harus merinci berdasarkan definisi bahasa. Yang harus didudukkan adalah informasi apa yang mereka kerjakan? Kampanye apa yang mereka suarakan? Atas dasar apa mereka dipekerjakan? Jika kampanye yang dimaksud adalah menyebarkan kebaikan seperti video-video kajian sehingga lebih meluas jangkauannya, poster-poster nasihat sehingga akan lebih banyak orang yang membacanya, maka sebatas ini adalah sesuatu yang diperbolehkan. Termasuk yang dilakukan sebagian orang di zaman sekarang dengan menjadi buzzer di media sosial agar informasi kondisi saudara kita di Palestina terus diberitakan dan mendapat perhatian dunia, maka itu merupakan kebaikan. Akan tetapi, jika makna peyoratif yang tersemat pada kata buzzer di zaman sekarang yang dimaksud, maka hal tersebut adalah hal yang diharamkan. Yaitu, menjadi buzzer adalah menjadi seorang yang melakukan black campaign terhadap sesama, menyebarkan aib-aib yang sudah terkubur, berkata-kata buruk kepada sesama, dan lain-lain. Hal ini diharamkan karena mengandung perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti: Pertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnya Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bahkan menyebutkan ancaman bagi mereka yang membuka aib seseorang, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإن من تتبع عوراتهم تتبع الله عورته، ومن تتبع الله عورته يفضحه في بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas lisan dan belum masuk ke hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin dan mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang gemar mencari aib orang lain, Allah akan bongkar aibnya. Barangsiapa yang Allah bongkar aibnya, maka Allah akan bongkar aibnya di rumahnya.” (HR. Ahmad no. 18940) Kedua: Menyebarkan hoaks Berita yang belum jelas kebenarannya atau bahkan disengaja kedustaannya adalah salah satu keburukan yang dikerjakan oleh buzzer. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ “Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19) Belum lagi, jika yang dilakukan oleh buzzer ini dibenarkan oleh sebagian orang, kemudian mereka turut menyebarkannya, kita tidak bisa membayangkan betapa berat pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah ‘Azza Wajalla. Semoga Allah jauhkan kita dari golongan orang-orang yang menebar keburukan di tengah kaum muslimin. Baca juga: Bersikap Hati-Hati dalam Menyebarkan (Share) Berita *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: buzzer
Daftar Isi Toggle Hukum buzzer dalam IslamPertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnyaKedua: Menyebarkan hoaks Di zaman ini, media sosial penuh dengan hal-hal yang bisa mengarahkan manusia kepada kebaikan sekaligus keburukan. Dalam perkembangannya, media sosial dijadikan sebagai tempat untuk mendapatkan uang. Baik dengan cara yang halal, seperti dilakukan oleh para pedagang. Atau yang haram, seperti perbuatan menyebarkan aib orang lain yang dilakukan oleh buzzer. Dilansir oleh detik, buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun sosial media miliknya guna menyebarluaskan informasi atau melakukan suatu promosi maupun iklan dari suatu produk atau jasa pada perusahaan atau instansi. Tugas mereka adalah menginformasikan, mengkampanyekan sebuah informasi secara berulang untuk menimbulkan ‘kebisingan’ di tengah audiens. Kata buzzer sendiri mengalami peyorasi sehingga identik dengan satu entitas tertentu yang mengkampanyekan keburukan atau menggali keburukan orang lain. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang orang-orang yang berkecimpung di buzzer? Apakah pernah terjadi hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh buzzer ini? Sebelum menjawab terkait hukum, di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama pernah terjadi kisah yang kita sangat kenal bersama dan merupakan dampak dari ulah buzzer keburukan, yaitu orang-orang munafik. Atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Al-Ifk. Diceritakan oleh ‘Urwah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, tentang bagaimana kesedihan beliau menghadapi desas-desus tidak baik tentang hal ini. Sampai kemudian Allah ‘Azza Wajalla menurunkan ayat yang isinya membersihkan desas-desus tersebut dari diri ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ لَوْلَا جَاۤءُوْ عَلَيْهِ بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَۚ فَاِذْ لَمْ يَأْتُوْا بِالشُّهَدَاۤءِ فَاُولٰۤىِٕكَ عِنْدَ اللّٰهِ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِيْ مَآ اَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ اِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِاَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ وَلَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَآ اَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۚ وَيُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ وَاَنَّ اللّٰهَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ وَمَنْ يَّتَّبِعْ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ فَاِنَّهٗ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًاۙ وَّلٰكِنَّ اللّٰهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ يَّوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ يَوْمَىِٕذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu adalah baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat. Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap kelompok mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu? Dan (mereka) berkata, ‘Ini adalah (berita) bohong yang nyata?’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Karena tidak membawa saksi-saksi, mereka itu adalah para pendusta dalam pandangan Allah. Seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang sangat berat disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang (berita bohong) itu. (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut, kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu masalah besar. Mengapa ketika mendengarnya (berita bohong itu), kamu tidak berkata, ‘Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau. Ini adalah kebohongan yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang-orang mukmin. Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu dan (bukan karena) Allah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan! Siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh (manusia mengerjakan perbuatan) yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Akan tetapi, Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka dan mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Benar lagi Maha Menjelaskan. Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. An-Nur: 11-26) Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial Hukum buzzer dalam Islam Ada sebuah kaidah fikih yang merupakan turunan dari ‘perbuatan itu tergantung tujuannya’ yang berbunyi, العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني، لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi fokus perhatian dalam sebuah akad/transaksi adalah maksud dan hakikat akad tersebut, bukan sekedar namanya saja.” (Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wat-Taujih, 3: 3) Ilustrasi sederhananya adalah sebagai berikut. Bahwa meskipun banyak pemuda/i ajnabi mengemas hubungan mereka dengan nama ta’aruf, akan tetapi jika dalam prosesnya mereka melakukan hal yang diharamkan, seperti berpegangan tangan, berduaan di tempat yang sepi, dan sebagainya, maka hubungan mereka, sebaik apapun mereka namai, tetap diharamkan oleh Allah ‘Azza Wajalla. Karena yang menjadi fokus penilaian adalah hakikat dari hubungan tersebut, dan bukan namanya. Begitu pun hukum menjadi seorang buzzer, maka kita harus merinci berdasarkan definisi bahasa. Yang harus didudukkan adalah informasi apa yang mereka kerjakan? Kampanye apa yang mereka suarakan? Atas dasar apa mereka dipekerjakan? Jika kampanye yang dimaksud adalah menyebarkan kebaikan seperti video-video kajian sehingga lebih meluas jangkauannya, poster-poster nasihat sehingga akan lebih banyak orang yang membacanya, maka sebatas ini adalah sesuatu yang diperbolehkan. Termasuk yang dilakukan sebagian orang di zaman sekarang dengan menjadi buzzer di media sosial agar informasi kondisi saudara kita di Palestina terus diberitakan dan mendapat perhatian dunia, maka itu merupakan kebaikan. Akan tetapi, jika makna peyoratif yang tersemat pada kata buzzer di zaman sekarang yang dimaksud, maka hal tersebut adalah hal yang diharamkan. Yaitu, menjadi buzzer adalah menjadi seorang yang melakukan black campaign terhadap sesama, menyebarkan aib-aib yang sudah terkubur, berkata-kata buruk kepada sesama, dan lain-lain. Hal ini diharamkan karena mengandung perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti: Pertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnya Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bahkan menyebutkan ancaman bagi mereka yang membuka aib seseorang, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإن من تتبع عوراتهم تتبع الله عورته، ومن تتبع الله عورته يفضحه في بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas lisan dan belum masuk ke hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin dan mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang gemar mencari aib orang lain, Allah akan bongkar aibnya. Barangsiapa yang Allah bongkar aibnya, maka Allah akan bongkar aibnya di rumahnya.” (HR. Ahmad no. 18940) Kedua: Menyebarkan hoaks Berita yang belum jelas kebenarannya atau bahkan disengaja kedustaannya adalah salah satu keburukan yang dikerjakan oleh buzzer. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ “Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19) Belum lagi, jika yang dilakukan oleh buzzer ini dibenarkan oleh sebagian orang, kemudian mereka turut menyebarkannya, kita tidak bisa membayangkan betapa berat pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah ‘Azza Wajalla. Semoga Allah jauhkan kita dari golongan orang-orang yang menebar keburukan di tengah kaum muslimin. Baca juga: Bersikap Hati-Hati dalam Menyebarkan (Share) Berita *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: buzzer


Daftar Isi Toggle Hukum buzzer dalam IslamPertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnyaKedua: Menyebarkan hoaks Di zaman ini, media sosial penuh dengan hal-hal yang bisa mengarahkan manusia kepada kebaikan sekaligus keburukan. Dalam perkembangannya, media sosial dijadikan sebagai tempat untuk mendapatkan uang. Baik dengan cara yang halal, seperti dilakukan oleh para pedagang. Atau yang haram, seperti perbuatan menyebarkan aib orang lain yang dilakukan oleh buzzer. Dilansir oleh detik, buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun sosial media miliknya guna menyebarluaskan informasi atau melakukan suatu promosi maupun iklan dari suatu produk atau jasa pada perusahaan atau instansi. Tugas mereka adalah menginformasikan, mengkampanyekan sebuah informasi secara berulang untuk menimbulkan ‘kebisingan’ di tengah audiens. Kata buzzer sendiri mengalami peyorasi sehingga identik dengan satu entitas tertentu yang mengkampanyekan keburukan atau menggali keburukan orang lain. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang orang-orang yang berkecimpung di buzzer? Apakah pernah terjadi hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh buzzer ini? Sebelum menjawab terkait hukum, di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama pernah terjadi kisah yang kita sangat kenal bersama dan merupakan dampak dari ulah buzzer keburukan, yaitu orang-orang munafik. Atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Al-Ifk. Diceritakan oleh ‘Urwah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, tentang bagaimana kesedihan beliau menghadapi desas-desus tidak baik tentang hal ini. Sampai kemudian Allah ‘Azza Wajalla menurunkan ayat yang isinya membersihkan desas-desus tersebut dari diri ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ لَوْلَا جَاۤءُوْ عَلَيْهِ بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَۚ فَاِذْ لَمْ يَأْتُوْا بِالشُّهَدَاۤءِ فَاُولٰۤىِٕكَ عِنْدَ اللّٰهِ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِيْ مَآ اَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ اِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِاَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ وَلَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَآ اَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۚ وَيُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ وَاَنَّ اللّٰهَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ وَمَنْ يَّتَّبِعْ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ فَاِنَّهٗ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًاۙ وَّلٰكِنَّ اللّٰهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ يَّوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ يَوْمَىِٕذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu adalah baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat. Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap kelompok mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu? Dan (mereka) berkata, ‘Ini adalah (berita) bohong yang nyata?’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Karena tidak membawa saksi-saksi, mereka itu adalah para pendusta dalam pandangan Allah. Seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang sangat berat disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang (berita bohong) itu. (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut, kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu masalah besar. Mengapa ketika mendengarnya (berita bohong itu), kamu tidak berkata, ‘Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau. Ini adalah kebohongan yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang-orang mukmin. Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu dan (bukan karena) Allah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan! Siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh (manusia mengerjakan perbuatan) yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Akan tetapi, Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka dan mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Benar lagi Maha Menjelaskan. Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. An-Nur: 11-26) Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial Hukum buzzer dalam Islam Ada sebuah kaidah fikih yang merupakan turunan dari ‘perbuatan itu tergantung tujuannya’ yang berbunyi, العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني، لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi fokus perhatian dalam sebuah akad/transaksi adalah maksud dan hakikat akad tersebut, bukan sekedar namanya saja.” (Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wat-Taujih, 3: 3) Ilustrasi sederhananya adalah sebagai berikut. Bahwa meskipun banyak pemuda/i ajnabi mengemas hubungan mereka dengan nama ta’aruf, akan tetapi jika dalam prosesnya mereka melakukan hal yang diharamkan, seperti berpegangan tangan, berduaan di tempat yang sepi, dan sebagainya, maka hubungan mereka, sebaik apapun mereka namai, tetap diharamkan oleh Allah ‘Azza Wajalla. Karena yang menjadi fokus penilaian adalah hakikat dari hubungan tersebut, dan bukan namanya. Begitu pun hukum menjadi seorang buzzer, maka kita harus merinci berdasarkan definisi bahasa. Yang harus didudukkan adalah informasi apa yang mereka kerjakan? Kampanye apa yang mereka suarakan? Atas dasar apa mereka dipekerjakan? Jika kampanye yang dimaksud adalah menyebarkan kebaikan seperti video-video kajian sehingga lebih meluas jangkauannya, poster-poster nasihat sehingga akan lebih banyak orang yang membacanya, maka sebatas ini adalah sesuatu yang diperbolehkan. Termasuk yang dilakukan sebagian orang di zaman sekarang dengan menjadi buzzer di media sosial agar informasi kondisi saudara kita di Palestina terus diberitakan dan mendapat perhatian dunia, maka itu merupakan kebaikan. Akan tetapi, jika makna peyoratif yang tersemat pada kata buzzer di zaman sekarang yang dimaksud, maka hal tersebut adalah hal yang diharamkan. Yaitu, menjadi buzzer adalah menjadi seorang yang melakukan black campaign terhadap sesama, menyebarkan aib-aib yang sudah terkubur, berkata-kata buruk kepada sesama, dan lain-lain. Hal ini diharamkan karena mengandung perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti: Pertama: Mencari-cari aib orang lain dan menggunjingnya Allah ‘Azza Wajalla berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bahkan menyebutkan ancaman bagi mereka yang membuka aib seseorang, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإن من تتبع عوراتهم تتبع الله عورته، ومن تتبع الله عورته يفضحه في بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas lisan dan belum masuk ke hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin dan mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang gemar mencari aib orang lain, Allah akan bongkar aibnya. Barangsiapa yang Allah bongkar aibnya, maka Allah akan bongkar aibnya di rumahnya.” (HR. Ahmad no. 18940) Kedua: Menyebarkan hoaks Berita yang belum jelas kebenarannya atau bahkan disengaja kedustaannya adalah salah satu keburukan yang dikerjakan oleh buzzer. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ “Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19) Belum lagi, jika yang dilakukan oleh buzzer ini dibenarkan oleh sebagian orang, kemudian mereka turut menyebarkannya, kita tidak bisa membayangkan betapa berat pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah ‘Azza Wajalla. Semoga Allah jauhkan kita dari golongan orang-orang yang menebar keburukan di tengah kaum muslimin. Baca juga: Bersikap Hati-Hati dalam Menyebarkan (Share) Berita *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: buzzer

Masuk Surga Sekeluarga

Daftar Isi Toggle Upaya orang tuaUsaha anakMendoakan orang tua yang kafir Di antara cita-cita besar keluarga muslim adalah masuk surga bersama-sama. Syekh Prof. Dr. Ashim Al-Qaryuti menjelaskan [1], untuk mendapatkan kemuliaan ini, orang tua dan anak sama-sama bisa berperan untuk mewujudkannya. Upaya orang tua Orang tua bisa mewujudkannya dengan amal saleh dan ketaatan yang dilakukan dalam kehidupannya. Syekh menjelaskan, “Allah memberikan kebaikan pada anak karena berkah amalan orang tua. Dan Allah memberikan kebaikan pada orang tua karena berkah doanya anak. Allah Ta’ala berfirman وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّیَّتُهُم بِإِیمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ وَمَاۤ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَیۡءࣲۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِینࣱ ‘Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.‘ (QS. At-Thur: 21) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘Allah mengabarkan tentang kebaikan, kemuliaan, pemberian, dan kelembutan-Nya pada makhluk-Nya. Yaitu, bahwa orang-orang beriman, jika anak cucunya mengikuti mereka dalam keimanan, Allah akan mempertemukan mereka kembali dalam satu kedudukan. Walaupun kedudukan tersebut tidak dicapai oleh anak cucunya. Sehingga orang tua ini merasa bahagia dengan kehadiran anak cucunya bersama mereka di surga. Allah mengumpulkan mereka dalam penampilan yang terbaik. Allah mengangkat kekurangan amal sang anak-cucu dan menjadikan amal mereka sempurna tanpa mengurangi amal dan kedudukan orang tua. Akhirnya, mereka pun berada dalam derajat yang sama. Karenanya Allah berfirman, ‘Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka.’ Ini bentuk kebaikan Allah pada sang anak karena keberkahan amalan orang tua.” Maka, wahai ayah bunda yang saleh dan salehah, semangatlah dalam beramal kebaikan, baik yang terkait hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang dilakukan hamba-Nya. Dan mudah-mudahan kita bisa kembali berkumpul dengan keluarga kita di surga. Usaha anak Adapun sang anak, ia bisa mewujudkan kemuliaan keluarga ini dengan memperbanyak doa kebaikan dan permohonan ampun untuk kedua orang tuanya. Syekh melanjutkan penjelasannya, “Adapun kebaikan Allah pada orang tua, adalah karena keberkahan amalan anak. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن الله ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول : يا رب ، أنى لي هذه ؟ فيقول : باستغفار ولدك لك “ “Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Sang hamba ini pun berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana bisa setinggi ini?’ Allah berfirman, ‘Karena permohonan ampun anakmu untukmu.'” Sanad hadis ini sahih dan ada hadis lain yang menguatkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ، أو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له ‘Jika seorang anak Adam wafat, terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.’ Maka, wahai putra-putri yang saleh dan salehah, perbanyaklah doa kebaikan untuk orang tua kita, baik ketika mereka hidup maupun ketika mereka sudah wafat. Selipkan doa untuk mereka dalam waktu-waktu mustajab berdoa, ketika sujud, di sepertiga malam terakhir, antara azan dan ikamah, serta waktu-waktu lainnya. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Mendoakan orang tua yang kafir Satu hal yang perlu diingat dalam pembahasan mendoakan kedua orang tua adalah apabila orang tua kita wafat dalam keadaan kufur, maka kita terlarang untuk mendoakan mereka dengan kebahagiaan akhirat seperti ampunan, rahmat, dilapangkan kubur, dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini, “Sesungguhnya memintakan ampun untuk mereka dalam kondisi seperti ini adalah kesalahan dan tak bermanfaat. Hal seperti ini tak layak dilakukan oleh Nabi dan orang beriman. Karena, jika mereka mati dalam keadaan musyrik atau diketahui mati dalam keadaan berbuat kesyirikan, maka telah dipastikan azab bagi mereka dan mereka mesti kekal di neraka. Tidak bermanfaat syafaat siapa pun dan permohonan ampun dari siapa pun untuk mereka.” (Tafsir As-Sa’di) Adapun ketika hidup, maka boleh mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam atau agar mendapatkan kebaikan dunia, seperti ‘Semoga cepat sembuh’ jika mereka sakit; atau ‘Semoga selamat sampai tujuan’ jika mereka safar; dan doa lainnya untuk kebaikan urusan dunia [2]. Dalam satu riwayat, Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ “Dahulu, Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berharap beliau mau mendoakan mereka, ‘yarhamukallah (semoga Allah merahmati kalian).’ Namun, Rasulullah hanya mengatakan, ‘yahdikumullah wa yushlihu balakum’ (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan memperbaiki keadaan kalian).” (HR. Tirmidzi) Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu pernah berpapasan dengan seseorang yang penampilannya seperti penampilan seorang muslim, bahkan orang itu mengucapkan salam. Uqbah pun membalas salamnya, ‘Wa’alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.’ Namun, ada seorang anak kecil yang memberi tahu Uqbah bahwa orang tadi adalah seorang Nasrani. Uqbah pun berbalik mengejarnya dan ketika menjumpainya, Uqbah mengatakan, إن رحمة الله وبركاته على المؤمنين، لكن أطال الله حياتك، وأكثر مالك، وولدك “Sesungguhnya rahmat dan keberkahan Allah itu untuk orang beriman. Namun, semoga Allah memanjangkan umurmu dan memperbanyak harta dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dihasankan oleh Al-Albani) Wallahu a’lam. Baca juga: Orang-Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab *** Penulis: Amrullah Akadhinta Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Status facebook beliau dapat dilihat di tautan ini. [2] Lihat pembahasan di Fatwa Islamweb di tautan ini. Tags: masuk surga

Masuk Surga Sekeluarga

Daftar Isi Toggle Upaya orang tuaUsaha anakMendoakan orang tua yang kafir Di antara cita-cita besar keluarga muslim adalah masuk surga bersama-sama. Syekh Prof. Dr. Ashim Al-Qaryuti menjelaskan [1], untuk mendapatkan kemuliaan ini, orang tua dan anak sama-sama bisa berperan untuk mewujudkannya. Upaya orang tua Orang tua bisa mewujudkannya dengan amal saleh dan ketaatan yang dilakukan dalam kehidupannya. Syekh menjelaskan, “Allah memberikan kebaikan pada anak karena berkah amalan orang tua. Dan Allah memberikan kebaikan pada orang tua karena berkah doanya anak. Allah Ta’ala berfirman وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّیَّتُهُم بِإِیمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ وَمَاۤ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَیۡءࣲۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِینࣱ ‘Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.‘ (QS. At-Thur: 21) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘Allah mengabarkan tentang kebaikan, kemuliaan, pemberian, dan kelembutan-Nya pada makhluk-Nya. Yaitu, bahwa orang-orang beriman, jika anak cucunya mengikuti mereka dalam keimanan, Allah akan mempertemukan mereka kembali dalam satu kedudukan. Walaupun kedudukan tersebut tidak dicapai oleh anak cucunya. Sehingga orang tua ini merasa bahagia dengan kehadiran anak cucunya bersama mereka di surga. Allah mengumpulkan mereka dalam penampilan yang terbaik. Allah mengangkat kekurangan amal sang anak-cucu dan menjadikan amal mereka sempurna tanpa mengurangi amal dan kedudukan orang tua. Akhirnya, mereka pun berada dalam derajat yang sama. Karenanya Allah berfirman, ‘Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka.’ Ini bentuk kebaikan Allah pada sang anak karena keberkahan amalan orang tua.” Maka, wahai ayah bunda yang saleh dan salehah, semangatlah dalam beramal kebaikan, baik yang terkait hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang dilakukan hamba-Nya. Dan mudah-mudahan kita bisa kembali berkumpul dengan keluarga kita di surga. Usaha anak Adapun sang anak, ia bisa mewujudkan kemuliaan keluarga ini dengan memperbanyak doa kebaikan dan permohonan ampun untuk kedua orang tuanya. Syekh melanjutkan penjelasannya, “Adapun kebaikan Allah pada orang tua, adalah karena keberkahan amalan anak. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن الله ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول : يا رب ، أنى لي هذه ؟ فيقول : باستغفار ولدك لك “ “Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Sang hamba ini pun berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana bisa setinggi ini?’ Allah berfirman, ‘Karena permohonan ampun anakmu untukmu.'” Sanad hadis ini sahih dan ada hadis lain yang menguatkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ، أو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له ‘Jika seorang anak Adam wafat, terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.’ Maka, wahai putra-putri yang saleh dan salehah, perbanyaklah doa kebaikan untuk orang tua kita, baik ketika mereka hidup maupun ketika mereka sudah wafat. Selipkan doa untuk mereka dalam waktu-waktu mustajab berdoa, ketika sujud, di sepertiga malam terakhir, antara azan dan ikamah, serta waktu-waktu lainnya. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Mendoakan orang tua yang kafir Satu hal yang perlu diingat dalam pembahasan mendoakan kedua orang tua adalah apabila orang tua kita wafat dalam keadaan kufur, maka kita terlarang untuk mendoakan mereka dengan kebahagiaan akhirat seperti ampunan, rahmat, dilapangkan kubur, dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini, “Sesungguhnya memintakan ampun untuk mereka dalam kondisi seperti ini adalah kesalahan dan tak bermanfaat. Hal seperti ini tak layak dilakukan oleh Nabi dan orang beriman. Karena, jika mereka mati dalam keadaan musyrik atau diketahui mati dalam keadaan berbuat kesyirikan, maka telah dipastikan azab bagi mereka dan mereka mesti kekal di neraka. Tidak bermanfaat syafaat siapa pun dan permohonan ampun dari siapa pun untuk mereka.” (Tafsir As-Sa’di) Adapun ketika hidup, maka boleh mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam atau agar mendapatkan kebaikan dunia, seperti ‘Semoga cepat sembuh’ jika mereka sakit; atau ‘Semoga selamat sampai tujuan’ jika mereka safar; dan doa lainnya untuk kebaikan urusan dunia [2]. Dalam satu riwayat, Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ “Dahulu, Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berharap beliau mau mendoakan mereka, ‘yarhamukallah (semoga Allah merahmati kalian).’ Namun, Rasulullah hanya mengatakan, ‘yahdikumullah wa yushlihu balakum’ (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan memperbaiki keadaan kalian).” (HR. Tirmidzi) Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu pernah berpapasan dengan seseorang yang penampilannya seperti penampilan seorang muslim, bahkan orang itu mengucapkan salam. Uqbah pun membalas salamnya, ‘Wa’alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.’ Namun, ada seorang anak kecil yang memberi tahu Uqbah bahwa orang tadi adalah seorang Nasrani. Uqbah pun berbalik mengejarnya dan ketika menjumpainya, Uqbah mengatakan, إن رحمة الله وبركاته على المؤمنين، لكن أطال الله حياتك، وأكثر مالك، وولدك “Sesungguhnya rahmat dan keberkahan Allah itu untuk orang beriman. Namun, semoga Allah memanjangkan umurmu dan memperbanyak harta dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dihasankan oleh Al-Albani) Wallahu a’lam. Baca juga: Orang-Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab *** Penulis: Amrullah Akadhinta Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Status facebook beliau dapat dilihat di tautan ini. [2] Lihat pembahasan di Fatwa Islamweb di tautan ini. Tags: masuk surga
Daftar Isi Toggle Upaya orang tuaUsaha anakMendoakan orang tua yang kafir Di antara cita-cita besar keluarga muslim adalah masuk surga bersama-sama. Syekh Prof. Dr. Ashim Al-Qaryuti menjelaskan [1], untuk mendapatkan kemuliaan ini, orang tua dan anak sama-sama bisa berperan untuk mewujudkannya. Upaya orang tua Orang tua bisa mewujudkannya dengan amal saleh dan ketaatan yang dilakukan dalam kehidupannya. Syekh menjelaskan, “Allah memberikan kebaikan pada anak karena berkah amalan orang tua. Dan Allah memberikan kebaikan pada orang tua karena berkah doanya anak. Allah Ta’ala berfirman وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّیَّتُهُم بِإِیمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ وَمَاۤ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَیۡءࣲۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِینࣱ ‘Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.‘ (QS. At-Thur: 21) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘Allah mengabarkan tentang kebaikan, kemuliaan, pemberian, dan kelembutan-Nya pada makhluk-Nya. Yaitu, bahwa orang-orang beriman, jika anak cucunya mengikuti mereka dalam keimanan, Allah akan mempertemukan mereka kembali dalam satu kedudukan. Walaupun kedudukan tersebut tidak dicapai oleh anak cucunya. Sehingga orang tua ini merasa bahagia dengan kehadiran anak cucunya bersama mereka di surga. Allah mengumpulkan mereka dalam penampilan yang terbaik. Allah mengangkat kekurangan amal sang anak-cucu dan menjadikan amal mereka sempurna tanpa mengurangi amal dan kedudukan orang tua. Akhirnya, mereka pun berada dalam derajat yang sama. Karenanya Allah berfirman, ‘Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka.’ Ini bentuk kebaikan Allah pada sang anak karena keberkahan amalan orang tua.” Maka, wahai ayah bunda yang saleh dan salehah, semangatlah dalam beramal kebaikan, baik yang terkait hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang dilakukan hamba-Nya. Dan mudah-mudahan kita bisa kembali berkumpul dengan keluarga kita di surga. Usaha anak Adapun sang anak, ia bisa mewujudkan kemuliaan keluarga ini dengan memperbanyak doa kebaikan dan permohonan ampun untuk kedua orang tuanya. Syekh melanjutkan penjelasannya, “Adapun kebaikan Allah pada orang tua, adalah karena keberkahan amalan anak. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن الله ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول : يا رب ، أنى لي هذه ؟ فيقول : باستغفار ولدك لك “ “Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Sang hamba ini pun berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana bisa setinggi ini?’ Allah berfirman, ‘Karena permohonan ampun anakmu untukmu.'” Sanad hadis ini sahih dan ada hadis lain yang menguatkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ، أو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له ‘Jika seorang anak Adam wafat, terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.’ Maka, wahai putra-putri yang saleh dan salehah, perbanyaklah doa kebaikan untuk orang tua kita, baik ketika mereka hidup maupun ketika mereka sudah wafat. Selipkan doa untuk mereka dalam waktu-waktu mustajab berdoa, ketika sujud, di sepertiga malam terakhir, antara azan dan ikamah, serta waktu-waktu lainnya. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Mendoakan orang tua yang kafir Satu hal yang perlu diingat dalam pembahasan mendoakan kedua orang tua adalah apabila orang tua kita wafat dalam keadaan kufur, maka kita terlarang untuk mendoakan mereka dengan kebahagiaan akhirat seperti ampunan, rahmat, dilapangkan kubur, dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini, “Sesungguhnya memintakan ampun untuk mereka dalam kondisi seperti ini adalah kesalahan dan tak bermanfaat. Hal seperti ini tak layak dilakukan oleh Nabi dan orang beriman. Karena, jika mereka mati dalam keadaan musyrik atau diketahui mati dalam keadaan berbuat kesyirikan, maka telah dipastikan azab bagi mereka dan mereka mesti kekal di neraka. Tidak bermanfaat syafaat siapa pun dan permohonan ampun dari siapa pun untuk mereka.” (Tafsir As-Sa’di) Adapun ketika hidup, maka boleh mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam atau agar mendapatkan kebaikan dunia, seperti ‘Semoga cepat sembuh’ jika mereka sakit; atau ‘Semoga selamat sampai tujuan’ jika mereka safar; dan doa lainnya untuk kebaikan urusan dunia [2]. Dalam satu riwayat, Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ “Dahulu, Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berharap beliau mau mendoakan mereka, ‘yarhamukallah (semoga Allah merahmati kalian).’ Namun, Rasulullah hanya mengatakan, ‘yahdikumullah wa yushlihu balakum’ (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan memperbaiki keadaan kalian).” (HR. Tirmidzi) Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu pernah berpapasan dengan seseorang yang penampilannya seperti penampilan seorang muslim, bahkan orang itu mengucapkan salam. Uqbah pun membalas salamnya, ‘Wa’alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.’ Namun, ada seorang anak kecil yang memberi tahu Uqbah bahwa orang tadi adalah seorang Nasrani. Uqbah pun berbalik mengejarnya dan ketika menjumpainya, Uqbah mengatakan, إن رحمة الله وبركاته على المؤمنين، لكن أطال الله حياتك، وأكثر مالك، وولدك “Sesungguhnya rahmat dan keberkahan Allah itu untuk orang beriman. Namun, semoga Allah memanjangkan umurmu dan memperbanyak harta dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dihasankan oleh Al-Albani) Wallahu a’lam. Baca juga: Orang-Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab *** Penulis: Amrullah Akadhinta Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Status facebook beliau dapat dilihat di tautan ini. [2] Lihat pembahasan di Fatwa Islamweb di tautan ini. Tags: masuk surga


Daftar Isi Toggle Upaya orang tuaUsaha anakMendoakan orang tua yang kafir Di antara cita-cita besar keluarga muslim adalah masuk surga bersama-sama. Syekh Prof. Dr. Ashim Al-Qaryuti menjelaskan [1], untuk mendapatkan kemuliaan ini, orang tua dan anak sama-sama bisa berperan untuk mewujudkannya. Upaya orang tua Orang tua bisa mewujudkannya dengan amal saleh dan ketaatan yang dilakukan dalam kehidupannya. Syekh menjelaskan, “Allah memberikan kebaikan pada anak karena berkah amalan orang tua. Dan Allah memberikan kebaikan pada orang tua karena berkah doanya anak. Allah Ta’ala berfirman وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّیَّتُهُم بِإِیمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ وَمَاۤ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَیۡءࣲۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِینࣱ ‘Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.‘ (QS. At-Thur: 21) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘Allah mengabarkan tentang kebaikan, kemuliaan, pemberian, dan kelembutan-Nya pada makhluk-Nya. Yaitu, bahwa orang-orang beriman, jika anak cucunya mengikuti mereka dalam keimanan, Allah akan mempertemukan mereka kembali dalam satu kedudukan. Walaupun kedudukan tersebut tidak dicapai oleh anak cucunya. Sehingga orang tua ini merasa bahagia dengan kehadiran anak cucunya bersama mereka di surga. Allah mengumpulkan mereka dalam penampilan yang terbaik. Allah mengangkat kekurangan amal sang anak-cucu dan menjadikan amal mereka sempurna tanpa mengurangi amal dan kedudukan orang tua. Akhirnya, mereka pun berada dalam derajat yang sama. Karenanya Allah berfirman, ‘Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka.’ Ini bentuk kebaikan Allah pada sang anak karena keberkahan amalan orang tua.” Maka, wahai ayah bunda yang saleh dan salehah, semangatlah dalam beramal kebaikan, baik yang terkait hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang dilakukan hamba-Nya. Dan mudah-mudahan kita bisa kembali berkumpul dengan keluarga kita di surga. Usaha anak Adapun sang anak, ia bisa mewujudkan kemuliaan keluarga ini dengan memperbanyak doa kebaikan dan permohonan ampun untuk kedua orang tuanya. Syekh melanjutkan penjelasannya, “Adapun kebaikan Allah pada orang tua, adalah karena keberkahan amalan anak. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن الله ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول : يا رب ، أنى لي هذه ؟ فيقول : باستغفار ولدك لك “ “Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Sang hamba ini pun berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana bisa setinggi ini?’ Allah berfirman, ‘Karena permohonan ampun anakmu untukmu.'” Sanad hadis ini sahih dan ada hadis lain yang menguatkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ، أو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له ‘Jika seorang anak Adam wafat, terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.’ Maka, wahai putra-putri yang saleh dan salehah, perbanyaklah doa kebaikan untuk orang tua kita, baik ketika mereka hidup maupun ketika mereka sudah wafat. Selipkan doa untuk mereka dalam waktu-waktu mustajab berdoa, ketika sujud, di sepertiga malam terakhir, antara azan dan ikamah, serta waktu-waktu lainnya. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Mendoakan orang tua yang kafir Satu hal yang perlu diingat dalam pembahasan mendoakan kedua orang tua adalah apabila orang tua kita wafat dalam keadaan kufur, maka kita terlarang untuk mendoakan mereka dengan kebahagiaan akhirat seperti ampunan, rahmat, dilapangkan kubur, dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman, مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini, “Sesungguhnya memintakan ampun untuk mereka dalam kondisi seperti ini adalah kesalahan dan tak bermanfaat. Hal seperti ini tak layak dilakukan oleh Nabi dan orang beriman. Karena, jika mereka mati dalam keadaan musyrik atau diketahui mati dalam keadaan berbuat kesyirikan, maka telah dipastikan azab bagi mereka dan mereka mesti kekal di neraka. Tidak bermanfaat syafaat siapa pun dan permohonan ampun dari siapa pun untuk mereka.” (Tafsir As-Sa’di) Adapun ketika hidup, maka boleh mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam atau agar mendapatkan kebaikan dunia, seperti ‘Semoga cepat sembuh’ jika mereka sakit; atau ‘Semoga selamat sampai tujuan’ jika mereka safar; dan doa lainnya untuk kebaikan urusan dunia [2]. Dalam satu riwayat, Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ “Dahulu, Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berharap beliau mau mendoakan mereka, ‘yarhamukallah (semoga Allah merahmati kalian).’ Namun, Rasulullah hanya mengatakan, ‘yahdikumullah wa yushlihu balakum’ (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan memperbaiki keadaan kalian).” (HR. Tirmidzi) Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu pernah berpapasan dengan seseorang yang penampilannya seperti penampilan seorang muslim, bahkan orang itu mengucapkan salam. Uqbah pun membalas salamnya, ‘Wa’alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.’ Namun, ada seorang anak kecil yang memberi tahu Uqbah bahwa orang tadi adalah seorang Nasrani. Uqbah pun berbalik mengejarnya dan ketika menjumpainya, Uqbah mengatakan, إن رحمة الله وبركاته على المؤمنين، لكن أطال الله حياتك، وأكثر مالك، وولدك “Sesungguhnya rahmat dan keberkahan Allah itu untuk orang beriman. Namun, semoga Allah memanjangkan umurmu dan memperbanyak harta dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dihasankan oleh Al-Albani) Wallahu a’lam. Baca juga: Orang-Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab *** Penulis: Amrullah Akadhinta Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Status facebook beliau dapat dilihat di tautan ini. [2] Lihat pembahasan di Fatwa Islamweb di tautan ini. Tags: masuk surga

Ke mana Arahmu, Wahai Pemuda?

Daftar Isi Toggle Untuk apa waktumu?Apa tujuan hidupmu?Siapa panutanmu?Apa manhajmu?Apa programmu? Bismillah. Salah satu perkara yang seringkali luput dari perhatian para pemuda adalah mempersiapkan bekal untuk menyambut hari akhirat. Banyak di antara mereka yang terlena dengan kesehatan, kekuatan, kekayaan, dan kelapangan. Sehingga hanyut dalam kesia-siaan dan berenang dalam lautan dosa dan kedurhakaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أَبَى “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya kepada beliau, ومَنْ يَأْبَى يا رسول الله؟ “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أَبَى Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku, niscaya masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Tidak sedikit di antara anak muda yang ogah untuk belajar agama. Menurut mereka, yang wajib belajar agama adalah anak-anak yang sekolah di pesantren atau di sekolah Islam saja. Kalau sekolah di kampus negeri, maka tidak perlu terlalu serius belajar agama. Kata orang “Jadi orang islam itu yang biasa-biasa saja. Tidak usah terlalu semangat, nanti malah jadi teroris atau jadi gila.” Ada lagi yang merasa sudah kenyang belajar agama karena sudah bertahun-tahun mondok. Jadi, kalau sudah lulus sekolah dan masuk kuliah umum, maka tidak perlu lagi semangat belajar agama. Apalagi yang kuliahnya di kampus yang berlabel Islam, seakan-akan mahasiswanya jadi pintar agama dengan sendirinya. Akhirnya, kajian rutin pun malas dan puas dengan agenda mengerjakan tugas dan healing atau nongkrong bersama rekan sesama mahasiswa. Saudaraku yang dirahmati Allah. Tidaklah diragukan bahwa perkembangan teknologi dan sistem pendidikan di berbagai jenjang sekolah dan perguruan tinggi merupakan fenomena yang telah merambah ke berbagai pelosok negeri. Banjir informasi dan kemudahan mengakses segala bentuk data melalui internet dan media sosial membuat hape menjelma seperti penjajah dan sihir yang mempengaruhi daya hidup dan metode berpikir manusia di zaman ini. Untuk apa waktumu? Di antara pertanyaan yang hampir lenyap dari kamus harian pemuda muslim hari ini adalah “Untuk apa waktumu dihabiskan?” Padahal, mengatur waktu dan menggunakan waktu sebaik-baiknya dalam ketaatan adalah kunci kesuksesan hidup. Allah berfirman, وَٱلۡعَصۡرِ (1) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ (2) إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ (3) “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Sebagian ulama salaf berkata, “Di antara tanda bahwa Allah telah berpaling dari seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan orang itu sibuk dalam perkara yang tidak bermanfaat/tidak penting baginya.” Karena itulah, kita dapati para pendahulu yang saleh dari umat ini sangat perhatian dengan waktunya. Jika mereka telah menyelesaikan suatu ketaatan, maka mereka berpindah menuju ketaatan yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Ada dua nikmat yang banyak orang merugi/tertipu oleh keduanya: yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Dalam sehari semalam, Allah berikan kepada kita waktu 24 jam. Selama rentang waktu itu pula, Allah mewajibkan kita untuk menjaga salat lima waktu. Dan di antara fungsi salat ialah untuk mengingat Allah. Agar Allah mengingat dan membantu segala urusan kita. Selain itu, salat juga menjadi pencegah dari berbagai bentuk perbuatan keji dan mungkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan salat lima waktu seperti mandi 5 kali dalam sehari, sehingga akan bisa membersihkan kotoran dosa yang melekat di tubuh kita. Ini semua merupakan bagian dari pendidikan mental dan pembinaan rohani untuk menjadi pribadi yang tangguh dan disiplin. Apa tujuan hidupmu? Banyak anak muda yang bengong apabila ditanya, “Apa sih tujuan kamu hidup?” Seolah-olah mereka baru terbangun dari mimpi indah dan tidur panjangnya. Ada lagi yang justru marah bin takjub dengan pertanyaan seperti itu. Seakan-akan ini adalah pertanyaan yang tidak cocok dengan semangat pemuda dan pandangan profesionalisme di abad ini. Dan itu semuanya mengakibatkan anak-anak muda cuek dan tidak mau peduli dengan kondisi akidah dan imannya. Pembahasan ilmu agama pun jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Jadilah mereka kaum yang jarang bersentuhan dengan majelis ilmu, jarang salat di masjid, dan jarang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sepertinya ibadah kepada Allah yang menjadi tujuan penciptaan manusia tidak lagi melekat dalam memori dan agenda tetap mereka. Padahal, Allah telah menetapkan misi kehidupan segenap manusia dalam ayat-Nya, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Para ulama tafsir menjelaskan bahwa makna ibadah yang dimaksud dalam ayat ini adalah mentauhidkan Allah. Sementara tauhid itu tidak mungkin terwujud, kecuali dengan menggabungkan antara ibadah kepada Allah dan menolak segala bentuk syirik. Tauhid bukan sekedar mengakui Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki. Tauhid juga tidak berhenti bahwa Allah itu tunggal secara Zat-Nya. Lebih daripada itu, tauhid mengandung sikap pemurnian ibadah dengan segala bentuknya kepada Allah semata. Tauhid juga mengandung ketegasan sikap untuk berlepas diri dari syirik dan pembela-pembelanya. Baca juga: Menjaga Anak dan Pemuda dari Paham Liberal dan Pluralisme Siapa panutanmu? Para pemuda di mana pun berada -semoga Allah berikan taufik-Nya kepada kami dan anda-, patut untuk kita ingat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah panutan dan teladan bagi kita dalam menjalani kehidupan. Benar bahwa beliau telah wafat ratusan tahun yang silam. Akan tetapi, itu bukan berarti akhlak dan ajarannya tidak lagi sesuai dengan kondisi masa kini. Allah Ta’ala berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Barangsiapa yang menaati rasul, sungguh dia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Islam adalah ajaran yang sempurna sehingga bisa diterapkan di mana pun dan kapan pun. Islam bukan hanya mengatur bagaimana seorang hamba beribadah kepada Rabbnya. Akan tetapi, Islam juga mengatur bagaimana manusia bergaul dengan manusia dan makhluk yang lainnya. Oleh sebab itu, sangat tercela apabila pemuda muslim di masa ini melupakan sejarah Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih mengidolakan artis barat atau filosof kafir yang sudah jelas rusak akidahnya. Bahkan, seorang Yahudi pun (dengan kebencian dan kedengkiannya kepada kaum muslimin) bersaksi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala perkara, bahkan sampai urusan buang air. Sebagaimana hal itu disampaikan kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ’anhu. Allah berfirman, فَلَا وَرَبِّكَ لَا یُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ یُحَكِّمُوكَ فِیمَا شَجَرَ بَیۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا یَجِدُوا۟ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَرَجࣰا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَیُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمࣰا “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu. Pada hakikatnya mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikan kamu (rasul) sebagai pemutus perkara dalam urusan yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang telah kamu tetapkan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65) Banyak di antara anak muda zaman ini yang lebih percaya kepada ucapan para da’i penyeru kesesatan daripada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tolak hadis Nabi dengan alasan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman. Sehingga bukan manusia yang harus tunduk kepada syariat Islam, tetapi Islamlah yang harus ditundukkan kepada hawa nafsu manusia dan keinginan-keinginan mereka yang diklaim lebih bijaksana. Subhanallah! Apa manhajmu? Ini adalah di antara pertanyaan yang paling tidak populer di zaman ini. Sebuah pertanyaan yang dianggap asing dan berpotensi memecah-belah umat. Padahal muatan dari pertanyaan ini tidak jauh beda dengan pertanyaan di alam kubur, “Apa agamamu?” Mungkin banyak pemuda yang belum mendengar nasihat dan kaidah emas yang disampaikan oleh Imam Al-Barbahari rahimahullah bahwa Islam adalah sunah dan sunah itu adalah Islam. Yang dimaksud dengan sunah di sini adalah tata cara beragama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis Irbadh bin Sariyah yang sangat masyhur dan tercantum dalam Arba’in Nawawiyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpegang teguh dengan sunahnya dan sunah para khulafa’ ar-rasyidin setelahnya. Inilah yang di masa ini disebut oleh para ulama akidah dengan istilah manhaj/jalan beragama. Yaitu, wajibnya seorang muslim untuk mengikuti jalan/manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam beragama dan mendakwahkannya. Dengan bahasa lain, yaitu mengikuti manhaj salaf, manhaj Ahlu sunah waljamaah. Sebagaimana nasihat dari Imam Al-Auza’i rahimahullah, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak-jejak para ulama salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan waspadalah kamu dari pendapat-pendapat akal manusia, walaupun mereka berusaha menghias-hiasinya dengan ucapan dan kalimat yang indah.” Nasihat ini dibawakan oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqad. Manhaj salaf bukanlah organisasi atau tarekat dan aliran yang terikat dengan kelompok/hizb tertentu. Akan tetapi, mereka yang mengikuti manhaj ini selalu berpegang dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman para salaf saleh. Hal ini menunjukkan bahwa penisbatan kepada salaf bukanlah perkara yang tercela atau mengada-ada. Sebab, ini semuanya adalah demi menjaga kemurnian agama dan melindungi kaum muslimin dari berbagai benturan syubhat dan kerusakan metode beragama yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga, sangat keliru orang yang menuduh bahwa manhaj salaf merupakan dalang di balik segala bentuk aksi terorisme dan paham radikal yang menumpahkan darah sesama kaum muslimin. Apa programmu? Tidak sedikit anak muda yang lalai dari tugas dan kewajibannya. Mereka melupakan program peningkatan kualitas dirinya dengan belajar agama. Padahal, belajar agama merupakan program harian yang tidak boleh disepelekan oleh para pemuda. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, kita diajari untuk berdoa meminta hidayah setiap kali salat dalam setiap rakaat. Kita juga berdoa setelah salat Subuh meminta ilmu yang bermanfaat sebelum rezeki yang baik dan amal yang diterima. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, من سلك طريقًا يبتغي فيه علمًا سهل الله له طريقًا إلى الجنة “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Untuk itu, sangatlah aib bagi para pemuda di zaman ini, ketika teknologi informasi sedemikian canggih, kemudian mereka masih bermalas-malasan untuk belajar agama dan tidak mau menyisihkan waktunya untuk hadir di majelis ilmu di masjid-masjid. Semoga Allah berikan taufik kepada para pemuda untuk menjadi teladan dan garda terdepan pembela agama ini dari serangan musuh-musuh agama dan perusak moral bangsa. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! *** Disusun oleh Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari – semoga Allah mengampuninya – Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: pemuda

Ke mana Arahmu, Wahai Pemuda?

Daftar Isi Toggle Untuk apa waktumu?Apa tujuan hidupmu?Siapa panutanmu?Apa manhajmu?Apa programmu? Bismillah. Salah satu perkara yang seringkali luput dari perhatian para pemuda adalah mempersiapkan bekal untuk menyambut hari akhirat. Banyak di antara mereka yang terlena dengan kesehatan, kekuatan, kekayaan, dan kelapangan. Sehingga hanyut dalam kesia-siaan dan berenang dalam lautan dosa dan kedurhakaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أَبَى “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya kepada beliau, ومَنْ يَأْبَى يا رسول الله؟ “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أَبَى Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku, niscaya masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Tidak sedikit di antara anak muda yang ogah untuk belajar agama. Menurut mereka, yang wajib belajar agama adalah anak-anak yang sekolah di pesantren atau di sekolah Islam saja. Kalau sekolah di kampus negeri, maka tidak perlu terlalu serius belajar agama. Kata orang “Jadi orang islam itu yang biasa-biasa saja. Tidak usah terlalu semangat, nanti malah jadi teroris atau jadi gila.” Ada lagi yang merasa sudah kenyang belajar agama karena sudah bertahun-tahun mondok. Jadi, kalau sudah lulus sekolah dan masuk kuliah umum, maka tidak perlu lagi semangat belajar agama. Apalagi yang kuliahnya di kampus yang berlabel Islam, seakan-akan mahasiswanya jadi pintar agama dengan sendirinya. Akhirnya, kajian rutin pun malas dan puas dengan agenda mengerjakan tugas dan healing atau nongkrong bersama rekan sesama mahasiswa. Saudaraku yang dirahmati Allah. Tidaklah diragukan bahwa perkembangan teknologi dan sistem pendidikan di berbagai jenjang sekolah dan perguruan tinggi merupakan fenomena yang telah merambah ke berbagai pelosok negeri. Banjir informasi dan kemudahan mengakses segala bentuk data melalui internet dan media sosial membuat hape menjelma seperti penjajah dan sihir yang mempengaruhi daya hidup dan metode berpikir manusia di zaman ini. Untuk apa waktumu? Di antara pertanyaan yang hampir lenyap dari kamus harian pemuda muslim hari ini adalah “Untuk apa waktumu dihabiskan?” Padahal, mengatur waktu dan menggunakan waktu sebaik-baiknya dalam ketaatan adalah kunci kesuksesan hidup. Allah berfirman, وَٱلۡعَصۡرِ (1) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ (2) إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ (3) “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Sebagian ulama salaf berkata, “Di antara tanda bahwa Allah telah berpaling dari seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan orang itu sibuk dalam perkara yang tidak bermanfaat/tidak penting baginya.” Karena itulah, kita dapati para pendahulu yang saleh dari umat ini sangat perhatian dengan waktunya. Jika mereka telah menyelesaikan suatu ketaatan, maka mereka berpindah menuju ketaatan yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Ada dua nikmat yang banyak orang merugi/tertipu oleh keduanya: yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Dalam sehari semalam, Allah berikan kepada kita waktu 24 jam. Selama rentang waktu itu pula, Allah mewajibkan kita untuk menjaga salat lima waktu. Dan di antara fungsi salat ialah untuk mengingat Allah. Agar Allah mengingat dan membantu segala urusan kita. Selain itu, salat juga menjadi pencegah dari berbagai bentuk perbuatan keji dan mungkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan salat lima waktu seperti mandi 5 kali dalam sehari, sehingga akan bisa membersihkan kotoran dosa yang melekat di tubuh kita. Ini semua merupakan bagian dari pendidikan mental dan pembinaan rohani untuk menjadi pribadi yang tangguh dan disiplin. Apa tujuan hidupmu? Banyak anak muda yang bengong apabila ditanya, “Apa sih tujuan kamu hidup?” Seolah-olah mereka baru terbangun dari mimpi indah dan tidur panjangnya. Ada lagi yang justru marah bin takjub dengan pertanyaan seperti itu. Seakan-akan ini adalah pertanyaan yang tidak cocok dengan semangat pemuda dan pandangan profesionalisme di abad ini. Dan itu semuanya mengakibatkan anak-anak muda cuek dan tidak mau peduli dengan kondisi akidah dan imannya. Pembahasan ilmu agama pun jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Jadilah mereka kaum yang jarang bersentuhan dengan majelis ilmu, jarang salat di masjid, dan jarang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sepertinya ibadah kepada Allah yang menjadi tujuan penciptaan manusia tidak lagi melekat dalam memori dan agenda tetap mereka. Padahal, Allah telah menetapkan misi kehidupan segenap manusia dalam ayat-Nya, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Para ulama tafsir menjelaskan bahwa makna ibadah yang dimaksud dalam ayat ini adalah mentauhidkan Allah. Sementara tauhid itu tidak mungkin terwujud, kecuali dengan menggabungkan antara ibadah kepada Allah dan menolak segala bentuk syirik. Tauhid bukan sekedar mengakui Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki. Tauhid juga tidak berhenti bahwa Allah itu tunggal secara Zat-Nya. Lebih daripada itu, tauhid mengandung sikap pemurnian ibadah dengan segala bentuknya kepada Allah semata. Tauhid juga mengandung ketegasan sikap untuk berlepas diri dari syirik dan pembela-pembelanya. Baca juga: Menjaga Anak dan Pemuda dari Paham Liberal dan Pluralisme Siapa panutanmu? Para pemuda di mana pun berada -semoga Allah berikan taufik-Nya kepada kami dan anda-, patut untuk kita ingat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah panutan dan teladan bagi kita dalam menjalani kehidupan. Benar bahwa beliau telah wafat ratusan tahun yang silam. Akan tetapi, itu bukan berarti akhlak dan ajarannya tidak lagi sesuai dengan kondisi masa kini. Allah Ta’ala berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Barangsiapa yang menaati rasul, sungguh dia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Islam adalah ajaran yang sempurna sehingga bisa diterapkan di mana pun dan kapan pun. Islam bukan hanya mengatur bagaimana seorang hamba beribadah kepada Rabbnya. Akan tetapi, Islam juga mengatur bagaimana manusia bergaul dengan manusia dan makhluk yang lainnya. Oleh sebab itu, sangat tercela apabila pemuda muslim di masa ini melupakan sejarah Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih mengidolakan artis barat atau filosof kafir yang sudah jelas rusak akidahnya. Bahkan, seorang Yahudi pun (dengan kebencian dan kedengkiannya kepada kaum muslimin) bersaksi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala perkara, bahkan sampai urusan buang air. Sebagaimana hal itu disampaikan kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ’anhu. Allah berfirman, فَلَا وَرَبِّكَ لَا یُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ یُحَكِّمُوكَ فِیمَا شَجَرَ بَیۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا یَجِدُوا۟ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَرَجࣰا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَیُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمࣰا “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu. Pada hakikatnya mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikan kamu (rasul) sebagai pemutus perkara dalam urusan yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang telah kamu tetapkan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65) Banyak di antara anak muda zaman ini yang lebih percaya kepada ucapan para da’i penyeru kesesatan daripada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tolak hadis Nabi dengan alasan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman. Sehingga bukan manusia yang harus tunduk kepada syariat Islam, tetapi Islamlah yang harus ditundukkan kepada hawa nafsu manusia dan keinginan-keinginan mereka yang diklaim lebih bijaksana. Subhanallah! Apa manhajmu? Ini adalah di antara pertanyaan yang paling tidak populer di zaman ini. Sebuah pertanyaan yang dianggap asing dan berpotensi memecah-belah umat. Padahal muatan dari pertanyaan ini tidak jauh beda dengan pertanyaan di alam kubur, “Apa agamamu?” Mungkin banyak pemuda yang belum mendengar nasihat dan kaidah emas yang disampaikan oleh Imam Al-Barbahari rahimahullah bahwa Islam adalah sunah dan sunah itu adalah Islam. Yang dimaksud dengan sunah di sini adalah tata cara beragama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis Irbadh bin Sariyah yang sangat masyhur dan tercantum dalam Arba’in Nawawiyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpegang teguh dengan sunahnya dan sunah para khulafa’ ar-rasyidin setelahnya. Inilah yang di masa ini disebut oleh para ulama akidah dengan istilah manhaj/jalan beragama. Yaitu, wajibnya seorang muslim untuk mengikuti jalan/manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam beragama dan mendakwahkannya. Dengan bahasa lain, yaitu mengikuti manhaj salaf, manhaj Ahlu sunah waljamaah. Sebagaimana nasihat dari Imam Al-Auza’i rahimahullah, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak-jejak para ulama salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan waspadalah kamu dari pendapat-pendapat akal manusia, walaupun mereka berusaha menghias-hiasinya dengan ucapan dan kalimat yang indah.” Nasihat ini dibawakan oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqad. Manhaj salaf bukanlah organisasi atau tarekat dan aliran yang terikat dengan kelompok/hizb tertentu. Akan tetapi, mereka yang mengikuti manhaj ini selalu berpegang dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman para salaf saleh. Hal ini menunjukkan bahwa penisbatan kepada salaf bukanlah perkara yang tercela atau mengada-ada. Sebab, ini semuanya adalah demi menjaga kemurnian agama dan melindungi kaum muslimin dari berbagai benturan syubhat dan kerusakan metode beragama yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga, sangat keliru orang yang menuduh bahwa manhaj salaf merupakan dalang di balik segala bentuk aksi terorisme dan paham radikal yang menumpahkan darah sesama kaum muslimin. Apa programmu? Tidak sedikit anak muda yang lalai dari tugas dan kewajibannya. Mereka melupakan program peningkatan kualitas dirinya dengan belajar agama. Padahal, belajar agama merupakan program harian yang tidak boleh disepelekan oleh para pemuda. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, kita diajari untuk berdoa meminta hidayah setiap kali salat dalam setiap rakaat. Kita juga berdoa setelah salat Subuh meminta ilmu yang bermanfaat sebelum rezeki yang baik dan amal yang diterima. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, من سلك طريقًا يبتغي فيه علمًا سهل الله له طريقًا إلى الجنة “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Untuk itu, sangatlah aib bagi para pemuda di zaman ini, ketika teknologi informasi sedemikian canggih, kemudian mereka masih bermalas-malasan untuk belajar agama dan tidak mau menyisihkan waktunya untuk hadir di majelis ilmu di masjid-masjid. Semoga Allah berikan taufik kepada para pemuda untuk menjadi teladan dan garda terdepan pembela agama ini dari serangan musuh-musuh agama dan perusak moral bangsa. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! *** Disusun oleh Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari – semoga Allah mengampuninya – Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: pemuda
Daftar Isi Toggle Untuk apa waktumu?Apa tujuan hidupmu?Siapa panutanmu?Apa manhajmu?Apa programmu? Bismillah. Salah satu perkara yang seringkali luput dari perhatian para pemuda adalah mempersiapkan bekal untuk menyambut hari akhirat. Banyak di antara mereka yang terlena dengan kesehatan, kekuatan, kekayaan, dan kelapangan. Sehingga hanyut dalam kesia-siaan dan berenang dalam lautan dosa dan kedurhakaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أَبَى “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya kepada beliau, ومَنْ يَأْبَى يا رسول الله؟ “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أَبَى Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku, niscaya masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Tidak sedikit di antara anak muda yang ogah untuk belajar agama. Menurut mereka, yang wajib belajar agama adalah anak-anak yang sekolah di pesantren atau di sekolah Islam saja. Kalau sekolah di kampus negeri, maka tidak perlu terlalu serius belajar agama. Kata orang “Jadi orang islam itu yang biasa-biasa saja. Tidak usah terlalu semangat, nanti malah jadi teroris atau jadi gila.” Ada lagi yang merasa sudah kenyang belajar agama karena sudah bertahun-tahun mondok. Jadi, kalau sudah lulus sekolah dan masuk kuliah umum, maka tidak perlu lagi semangat belajar agama. Apalagi yang kuliahnya di kampus yang berlabel Islam, seakan-akan mahasiswanya jadi pintar agama dengan sendirinya. Akhirnya, kajian rutin pun malas dan puas dengan agenda mengerjakan tugas dan healing atau nongkrong bersama rekan sesama mahasiswa. Saudaraku yang dirahmati Allah. Tidaklah diragukan bahwa perkembangan teknologi dan sistem pendidikan di berbagai jenjang sekolah dan perguruan tinggi merupakan fenomena yang telah merambah ke berbagai pelosok negeri. Banjir informasi dan kemudahan mengakses segala bentuk data melalui internet dan media sosial membuat hape menjelma seperti penjajah dan sihir yang mempengaruhi daya hidup dan metode berpikir manusia di zaman ini. Untuk apa waktumu? Di antara pertanyaan yang hampir lenyap dari kamus harian pemuda muslim hari ini adalah “Untuk apa waktumu dihabiskan?” Padahal, mengatur waktu dan menggunakan waktu sebaik-baiknya dalam ketaatan adalah kunci kesuksesan hidup. Allah berfirman, وَٱلۡعَصۡرِ (1) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ (2) إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ (3) “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Sebagian ulama salaf berkata, “Di antara tanda bahwa Allah telah berpaling dari seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan orang itu sibuk dalam perkara yang tidak bermanfaat/tidak penting baginya.” Karena itulah, kita dapati para pendahulu yang saleh dari umat ini sangat perhatian dengan waktunya. Jika mereka telah menyelesaikan suatu ketaatan, maka mereka berpindah menuju ketaatan yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Ada dua nikmat yang banyak orang merugi/tertipu oleh keduanya: yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Dalam sehari semalam, Allah berikan kepada kita waktu 24 jam. Selama rentang waktu itu pula, Allah mewajibkan kita untuk menjaga salat lima waktu. Dan di antara fungsi salat ialah untuk mengingat Allah. Agar Allah mengingat dan membantu segala urusan kita. Selain itu, salat juga menjadi pencegah dari berbagai bentuk perbuatan keji dan mungkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan salat lima waktu seperti mandi 5 kali dalam sehari, sehingga akan bisa membersihkan kotoran dosa yang melekat di tubuh kita. Ini semua merupakan bagian dari pendidikan mental dan pembinaan rohani untuk menjadi pribadi yang tangguh dan disiplin. Apa tujuan hidupmu? Banyak anak muda yang bengong apabila ditanya, “Apa sih tujuan kamu hidup?” Seolah-olah mereka baru terbangun dari mimpi indah dan tidur panjangnya. Ada lagi yang justru marah bin takjub dengan pertanyaan seperti itu. Seakan-akan ini adalah pertanyaan yang tidak cocok dengan semangat pemuda dan pandangan profesionalisme di abad ini. Dan itu semuanya mengakibatkan anak-anak muda cuek dan tidak mau peduli dengan kondisi akidah dan imannya. Pembahasan ilmu agama pun jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Jadilah mereka kaum yang jarang bersentuhan dengan majelis ilmu, jarang salat di masjid, dan jarang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sepertinya ibadah kepada Allah yang menjadi tujuan penciptaan manusia tidak lagi melekat dalam memori dan agenda tetap mereka. Padahal, Allah telah menetapkan misi kehidupan segenap manusia dalam ayat-Nya, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Para ulama tafsir menjelaskan bahwa makna ibadah yang dimaksud dalam ayat ini adalah mentauhidkan Allah. Sementara tauhid itu tidak mungkin terwujud, kecuali dengan menggabungkan antara ibadah kepada Allah dan menolak segala bentuk syirik. Tauhid bukan sekedar mengakui Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki. Tauhid juga tidak berhenti bahwa Allah itu tunggal secara Zat-Nya. Lebih daripada itu, tauhid mengandung sikap pemurnian ibadah dengan segala bentuknya kepada Allah semata. Tauhid juga mengandung ketegasan sikap untuk berlepas diri dari syirik dan pembela-pembelanya. Baca juga: Menjaga Anak dan Pemuda dari Paham Liberal dan Pluralisme Siapa panutanmu? Para pemuda di mana pun berada -semoga Allah berikan taufik-Nya kepada kami dan anda-, patut untuk kita ingat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah panutan dan teladan bagi kita dalam menjalani kehidupan. Benar bahwa beliau telah wafat ratusan tahun yang silam. Akan tetapi, itu bukan berarti akhlak dan ajarannya tidak lagi sesuai dengan kondisi masa kini. Allah Ta’ala berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Barangsiapa yang menaati rasul, sungguh dia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Islam adalah ajaran yang sempurna sehingga bisa diterapkan di mana pun dan kapan pun. Islam bukan hanya mengatur bagaimana seorang hamba beribadah kepada Rabbnya. Akan tetapi, Islam juga mengatur bagaimana manusia bergaul dengan manusia dan makhluk yang lainnya. Oleh sebab itu, sangat tercela apabila pemuda muslim di masa ini melupakan sejarah Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih mengidolakan artis barat atau filosof kafir yang sudah jelas rusak akidahnya. Bahkan, seorang Yahudi pun (dengan kebencian dan kedengkiannya kepada kaum muslimin) bersaksi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala perkara, bahkan sampai urusan buang air. Sebagaimana hal itu disampaikan kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ’anhu. Allah berfirman, فَلَا وَرَبِّكَ لَا یُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ یُحَكِّمُوكَ فِیمَا شَجَرَ بَیۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا یَجِدُوا۟ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَرَجࣰا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَیُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمࣰا “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu. Pada hakikatnya mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikan kamu (rasul) sebagai pemutus perkara dalam urusan yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang telah kamu tetapkan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65) Banyak di antara anak muda zaman ini yang lebih percaya kepada ucapan para da’i penyeru kesesatan daripada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tolak hadis Nabi dengan alasan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman. Sehingga bukan manusia yang harus tunduk kepada syariat Islam, tetapi Islamlah yang harus ditundukkan kepada hawa nafsu manusia dan keinginan-keinginan mereka yang diklaim lebih bijaksana. Subhanallah! Apa manhajmu? Ini adalah di antara pertanyaan yang paling tidak populer di zaman ini. Sebuah pertanyaan yang dianggap asing dan berpotensi memecah-belah umat. Padahal muatan dari pertanyaan ini tidak jauh beda dengan pertanyaan di alam kubur, “Apa agamamu?” Mungkin banyak pemuda yang belum mendengar nasihat dan kaidah emas yang disampaikan oleh Imam Al-Barbahari rahimahullah bahwa Islam adalah sunah dan sunah itu adalah Islam. Yang dimaksud dengan sunah di sini adalah tata cara beragama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis Irbadh bin Sariyah yang sangat masyhur dan tercantum dalam Arba’in Nawawiyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpegang teguh dengan sunahnya dan sunah para khulafa’ ar-rasyidin setelahnya. Inilah yang di masa ini disebut oleh para ulama akidah dengan istilah manhaj/jalan beragama. Yaitu, wajibnya seorang muslim untuk mengikuti jalan/manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam beragama dan mendakwahkannya. Dengan bahasa lain, yaitu mengikuti manhaj salaf, manhaj Ahlu sunah waljamaah. Sebagaimana nasihat dari Imam Al-Auza’i rahimahullah, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak-jejak para ulama salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan waspadalah kamu dari pendapat-pendapat akal manusia, walaupun mereka berusaha menghias-hiasinya dengan ucapan dan kalimat yang indah.” Nasihat ini dibawakan oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqad. Manhaj salaf bukanlah organisasi atau tarekat dan aliran yang terikat dengan kelompok/hizb tertentu. Akan tetapi, mereka yang mengikuti manhaj ini selalu berpegang dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman para salaf saleh. Hal ini menunjukkan bahwa penisbatan kepada salaf bukanlah perkara yang tercela atau mengada-ada. Sebab, ini semuanya adalah demi menjaga kemurnian agama dan melindungi kaum muslimin dari berbagai benturan syubhat dan kerusakan metode beragama yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga, sangat keliru orang yang menuduh bahwa manhaj salaf merupakan dalang di balik segala bentuk aksi terorisme dan paham radikal yang menumpahkan darah sesama kaum muslimin. Apa programmu? Tidak sedikit anak muda yang lalai dari tugas dan kewajibannya. Mereka melupakan program peningkatan kualitas dirinya dengan belajar agama. Padahal, belajar agama merupakan program harian yang tidak boleh disepelekan oleh para pemuda. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, kita diajari untuk berdoa meminta hidayah setiap kali salat dalam setiap rakaat. Kita juga berdoa setelah salat Subuh meminta ilmu yang bermanfaat sebelum rezeki yang baik dan amal yang diterima. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, من سلك طريقًا يبتغي فيه علمًا سهل الله له طريقًا إلى الجنة “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Untuk itu, sangatlah aib bagi para pemuda di zaman ini, ketika teknologi informasi sedemikian canggih, kemudian mereka masih bermalas-malasan untuk belajar agama dan tidak mau menyisihkan waktunya untuk hadir di majelis ilmu di masjid-masjid. Semoga Allah berikan taufik kepada para pemuda untuk menjadi teladan dan garda terdepan pembela agama ini dari serangan musuh-musuh agama dan perusak moral bangsa. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! *** Disusun oleh Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari – semoga Allah mengampuninya – Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: pemuda


Daftar Isi Toggle Untuk apa waktumu?Apa tujuan hidupmu?Siapa panutanmu?Apa manhajmu?Apa programmu? Bismillah. Salah satu perkara yang seringkali luput dari perhatian para pemuda adalah mempersiapkan bekal untuk menyambut hari akhirat. Banyak di antara mereka yang terlena dengan kesehatan, kekuatan, kekayaan, dan kelapangan. Sehingga hanyut dalam kesia-siaan dan berenang dalam lautan dosa dan kedurhakaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أَبَى “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya kepada beliau, ومَنْ يَأْبَى يا رسول الله؟ “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أَبَى Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku, niscaya masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari) Tidak sedikit di antara anak muda yang ogah untuk belajar agama. Menurut mereka, yang wajib belajar agama adalah anak-anak yang sekolah di pesantren atau di sekolah Islam saja. Kalau sekolah di kampus negeri, maka tidak perlu terlalu serius belajar agama. Kata orang “Jadi orang islam itu yang biasa-biasa saja. Tidak usah terlalu semangat, nanti malah jadi teroris atau jadi gila.” Ada lagi yang merasa sudah kenyang belajar agama karena sudah bertahun-tahun mondok. Jadi, kalau sudah lulus sekolah dan masuk kuliah umum, maka tidak perlu lagi semangat belajar agama. Apalagi yang kuliahnya di kampus yang berlabel Islam, seakan-akan mahasiswanya jadi pintar agama dengan sendirinya. Akhirnya, kajian rutin pun malas dan puas dengan agenda mengerjakan tugas dan healing atau nongkrong bersama rekan sesama mahasiswa. Saudaraku yang dirahmati Allah. Tidaklah diragukan bahwa perkembangan teknologi dan sistem pendidikan di berbagai jenjang sekolah dan perguruan tinggi merupakan fenomena yang telah merambah ke berbagai pelosok negeri. Banjir informasi dan kemudahan mengakses segala bentuk data melalui internet dan media sosial membuat hape menjelma seperti penjajah dan sihir yang mempengaruhi daya hidup dan metode berpikir manusia di zaman ini. Untuk apa waktumu? Di antara pertanyaan yang hampir lenyap dari kamus harian pemuda muslim hari ini adalah “Untuk apa waktumu dihabiskan?” Padahal, mengatur waktu dan menggunakan waktu sebaik-baiknya dalam ketaatan adalah kunci kesuksesan hidup. Allah berfirman, وَٱلۡعَصۡرِ (1) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ (2) إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ (3) “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Sebagian ulama salaf berkata, “Di antara tanda bahwa Allah telah berpaling dari seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan orang itu sibuk dalam perkara yang tidak bermanfaat/tidak penting baginya.” Karena itulah, kita dapati para pendahulu yang saleh dari umat ini sangat perhatian dengan waktunya. Jika mereka telah menyelesaikan suatu ketaatan, maka mereka berpindah menuju ketaatan yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Ada dua nikmat yang banyak orang merugi/tertipu oleh keduanya: yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Dalam sehari semalam, Allah berikan kepada kita waktu 24 jam. Selama rentang waktu itu pula, Allah mewajibkan kita untuk menjaga salat lima waktu. Dan di antara fungsi salat ialah untuk mengingat Allah. Agar Allah mengingat dan membantu segala urusan kita. Selain itu, salat juga menjadi pencegah dari berbagai bentuk perbuatan keji dan mungkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan salat lima waktu seperti mandi 5 kali dalam sehari, sehingga akan bisa membersihkan kotoran dosa yang melekat di tubuh kita. Ini semua merupakan bagian dari pendidikan mental dan pembinaan rohani untuk menjadi pribadi yang tangguh dan disiplin. Apa tujuan hidupmu? Banyak anak muda yang bengong apabila ditanya, “Apa sih tujuan kamu hidup?” Seolah-olah mereka baru terbangun dari mimpi indah dan tidur panjangnya. Ada lagi yang justru marah bin takjub dengan pertanyaan seperti itu. Seakan-akan ini adalah pertanyaan yang tidak cocok dengan semangat pemuda dan pandangan profesionalisme di abad ini. Dan itu semuanya mengakibatkan anak-anak muda cuek dan tidak mau peduli dengan kondisi akidah dan imannya. Pembahasan ilmu agama pun jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Jadilah mereka kaum yang jarang bersentuhan dengan majelis ilmu, jarang salat di masjid, dan jarang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sepertinya ibadah kepada Allah yang menjadi tujuan penciptaan manusia tidak lagi melekat dalam memori dan agenda tetap mereka. Padahal, Allah telah menetapkan misi kehidupan segenap manusia dalam ayat-Nya, وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Para ulama tafsir menjelaskan bahwa makna ibadah yang dimaksud dalam ayat ini adalah mentauhidkan Allah. Sementara tauhid itu tidak mungkin terwujud, kecuali dengan menggabungkan antara ibadah kepada Allah dan menolak segala bentuk syirik. Tauhid bukan sekedar mengakui Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki. Tauhid juga tidak berhenti bahwa Allah itu tunggal secara Zat-Nya. Lebih daripada itu, tauhid mengandung sikap pemurnian ibadah dengan segala bentuknya kepada Allah semata. Tauhid juga mengandung ketegasan sikap untuk berlepas diri dari syirik dan pembela-pembelanya. Baca juga: Menjaga Anak dan Pemuda dari Paham Liberal dan Pluralisme Siapa panutanmu? Para pemuda di mana pun berada -semoga Allah berikan taufik-Nya kepada kami dan anda-, patut untuk kita ingat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah panutan dan teladan bagi kita dalam menjalani kehidupan. Benar bahwa beliau telah wafat ratusan tahun yang silam. Akan tetapi, itu bukan berarti akhlak dan ajarannya tidak lagi sesuai dengan kondisi masa kini. Allah Ta’ala berfirman, مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ “Barangsiapa yang menaati rasul, sungguh dia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Islam adalah ajaran yang sempurna sehingga bisa diterapkan di mana pun dan kapan pun. Islam bukan hanya mengatur bagaimana seorang hamba beribadah kepada Rabbnya. Akan tetapi, Islam juga mengatur bagaimana manusia bergaul dengan manusia dan makhluk yang lainnya. Oleh sebab itu, sangat tercela apabila pemuda muslim di masa ini melupakan sejarah Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih mengidolakan artis barat atau filosof kafir yang sudah jelas rusak akidahnya. Bahkan, seorang Yahudi pun (dengan kebencian dan kedengkiannya kepada kaum muslimin) bersaksi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala perkara, bahkan sampai urusan buang air. Sebagaimana hal itu disampaikan kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ’anhu. Allah berfirman, فَلَا وَرَبِّكَ لَا یُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ یُحَكِّمُوكَ فِیمَا شَجَرَ بَیۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا یَجِدُوا۟ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَرَجࣰا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَیُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمࣰا “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu. Pada hakikatnya mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikan kamu (rasul) sebagai pemutus perkara dalam urusan yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang telah kamu tetapkan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65) Banyak di antara anak muda zaman ini yang lebih percaya kepada ucapan para da’i penyeru kesesatan daripada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tolak hadis Nabi dengan alasan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman. Sehingga bukan manusia yang harus tunduk kepada syariat Islam, tetapi Islamlah yang harus ditundukkan kepada hawa nafsu manusia dan keinginan-keinginan mereka yang diklaim lebih bijaksana. Subhanallah! Apa manhajmu? Ini adalah di antara pertanyaan yang paling tidak populer di zaman ini. Sebuah pertanyaan yang dianggap asing dan berpotensi memecah-belah umat. Padahal muatan dari pertanyaan ini tidak jauh beda dengan pertanyaan di alam kubur, “Apa agamamu?” Mungkin banyak pemuda yang belum mendengar nasihat dan kaidah emas yang disampaikan oleh Imam Al-Barbahari rahimahullah bahwa Islam adalah sunah dan sunah itu adalah Islam. Yang dimaksud dengan sunah di sini adalah tata cara beragama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis Irbadh bin Sariyah yang sangat masyhur dan tercantum dalam Arba’in Nawawiyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpegang teguh dengan sunahnya dan sunah para khulafa’ ar-rasyidin setelahnya. Inilah yang di masa ini disebut oleh para ulama akidah dengan istilah manhaj/jalan beragama. Yaitu, wajibnya seorang muslim untuk mengikuti jalan/manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam beragama dan mendakwahkannya. Dengan bahasa lain, yaitu mengikuti manhaj salaf, manhaj Ahlu sunah waljamaah. Sebagaimana nasihat dari Imam Al-Auza’i rahimahullah, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak-jejak para ulama salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan waspadalah kamu dari pendapat-pendapat akal manusia, walaupun mereka berusaha menghias-hiasinya dengan ucapan dan kalimat yang indah.” Nasihat ini dibawakan oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqad. Manhaj salaf bukanlah organisasi atau tarekat dan aliran yang terikat dengan kelompok/hizb tertentu. Akan tetapi, mereka yang mengikuti manhaj ini selalu berpegang dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman para salaf saleh. Hal ini menunjukkan bahwa penisbatan kepada salaf bukanlah perkara yang tercela atau mengada-ada. Sebab, ini semuanya adalah demi menjaga kemurnian agama dan melindungi kaum muslimin dari berbagai benturan syubhat dan kerusakan metode beragama yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga, sangat keliru orang yang menuduh bahwa manhaj salaf merupakan dalang di balik segala bentuk aksi terorisme dan paham radikal yang menumpahkan darah sesama kaum muslimin. Apa programmu? Tidak sedikit anak muda yang lalai dari tugas dan kewajibannya. Mereka melupakan program peningkatan kualitas dirinya dengan belajar agama. Padahal, belajar agama merupakan program harian yang tidak boleh disepelekan oleh para pemuda. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, kita diajari untuk berdoa meminta hidayah setiap kali salat dalam setiap rakaat. Kita juga berdoa setelah salat Subuh meminta ilmu yang bermanfaat sebelum rezeki yang baik dan amal yang diterima. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, من سلك طريقًا يبتغي فيه علمًا سهل الله له طريقًا إلى الجنة “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Untuk itu, sangatlah aib bagi para pemuda di zaman ini, ketika teknologi informasi sedemikian canggih, kemudian mereka masih bermalas-malasan untuk belajar agama dan tidak mau menyisihkan waktunya untuk hadir di majelis ilmu di masjid-masjid. Semoga Allah berikan taufik kepada para pemuda untuk menjadi teladan dan garda terdepan pembela agama ini dari serangan musuh-musuh agama dan perusak moral bangsa. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! *** Disusun oleh Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari – semoga Allah mengampuninya – Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: pemuda

Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Palestina?

Daftar Isi Toggle Luka mereka adalah luka kitaJangan lelah berdoaBantu mereka semampunyaBoikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung merekaTahan lisan dari banyak berbicara Tak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah melihat kondisi saudara kita di Palestina. Hari demi hari, korban berjatuhan. Bahkan hingga artikel ini ditulis, warga Palestina yang menjadi keberingasan Israel mencapai 15 ribu jiwa. Ada anak yang tak lagi memiliki ayah dan bunda. Ada orang tua yang hanya berharap berjumpa dengan anaknya kelak di surga. Dan ada yang harus menahan perih hidup dengan tubuh mereka yang dihantam senjata. Tentu kita menangis. Menangis karena kondisi mereka dan menangisi hati sebagian dari kita yang tulisan dan lisannya dari kejauhan tak henti-hentinya melukai saudara kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Sudahkah tertutup semua pintu yang memungkinkan kita turut menyertai perjuangan mereka? Luka mereka adalah luka kita Laksana anggota tubuh yang saling berkaitan satu sama lainnya, itulah gambaran hubungan kita dengan mereka yang berada di Palestina. Jika ada  yang tertembus peluru di sana, kita pun turut merasakannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, تَرَى المُؤْمِنِينَ في تَراحُمِهِمْ وتَوادِّهِمْ وتَعاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إذا اشْتَكَى عُضْوًا تَداعَى له سائِرُ جَسَدِهِ بالسَّهَرِ والحُمَّى “Engkau saksikan bagaimana kasih sayang sesama orang beriman, cinta mereka satu sama lain, sebagai satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh mereka yang mengeluhkan sakit, maka yang lain akan turut merasakannya dan ikut demam karenanya.” (HR. Bukhari no. 6011) Allah ‘Azza Wajalla juga menegaskan dalam firman-Nya bahwa antara satu mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bersaudara, اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS. Al-Hujurat: 10) Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan, هذا عقد، عقده الله بين المؤمنين، أنه إذا وجد من أي شخص كان، في مشرق الأرض ومغربها، الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، فإنه أخ للمؤمنين، أخوة توجب أن يحب له المؤمنون، ما يحبون لأنفسهم، ويكرهون له، ما يكرهون لأنفسهم “Ini adalah bentuk ikatan yang Allah jadikan di antara orang yang beriman. Bahwasanya tatkala ia menjumpai siapa pun di belahan bumi timur dan barat yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir, maka mereka adalah saudara seiman. Saudara yang harus kita cintai sebagaimana kecintaan kita kepada diri kita sendiri. Dan menghalau dari mereka segala sesuatu yang kita juga tidak sukai menimpa diri kita.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 800) Oleh karenanya, setiap perbuatan yang bisa meningkatkan kecintaan antara orang-orang yang beriman adalah dianjurkan. Dan sebaliknya, setiap perbuatan yang bisa meruntuhkan ikatan persaudaran seperti saling hasad, saling mencela, saling membenci, dan sebagainya, semua itu dilarang oleh Allah ‘Azza Wajalla. Turut merasakan derita yang dirasakan oleh kaum muslimin Palestina adalah bentuk kecintaan kita kepada mereka karena Allah ‘Azza Wajalla. Jangan lelah berdoa Sebagian orang meremehkan bahwa jika seseorang hanya berdoa saja, maka itu menunjukkan betapa lemah dirinya. Maka, dugaan ini adalah bentuk penghinaan kepada ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda tentang betapa berharganya doa seorang mukmin untuk saudaranya, ما مِن عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ، إلَّا قالَ المَلَكُ: وَلَكَ بمِثْلٍ “Tidaklah seorang muslim mendoakan saudaranya dalam kondisi saudaranya tidak mengetahuinya, melainkan malaikat akan berkata kepadanya, ‘Semoga hal yang sama pun dapat engkau rasakan.’” (HR. Muslim no. 2732) Seseorang yang mampu mengangkat kedua tangannya kepada Allah, tulus berdoa kepada-Nya, di waktu-waktu yang Allah ijabah doa seorang hamba, adalah bentuk kelembutan hatinya terhadap sesama saudaranya yang beriman. Dan hadis ini sekaligus menunjukkan tentang keharusan berbuat baik kepada sesama mukmin walaupun dengan hal yang kita bisa berupa doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di antara waktu yang hendaknya seorang muslim mendoakan saudaranya di Palestina adalah sepertiga malam terakhir, yang ketika itu Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, يَتَنَزَّلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له “Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir dan berseru, siapa pun di antara hamba-Ku yang berdoa, maka Aku akan kabulkan. Siapa yang meminta, niscaya Aku beri. Dan siapa yang meminta ampun, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 6321) Jangan sampai lisan lantang menyuarakan pembelaan, tapi tangan tak pernah memanjatkan satu doa pun kepada Sang pemilik kehidupan. Kaum muslimin di Palestina boleh jadi tak banyak yang menolongnya, tetapi Allah adalah Zat yang sedikit pun tak akan pernah membiarkan hamba-hamba-Nya. Baca juga: Keistimewaan Palestina dan Penduduknya dalam Al-Qur’an dan Hadis Bantu mereka semampunya Bukan hanya doa, jika kita memiliki kelebihan harta benda yang bisa bermanfaat bagi saudara kita di Palestina, maka bantulah dengannya. Karena apa pun yang kita keluarkan untuk mereka, dengan izin Allah akan menjadi timbangan kebaikan bagi kita dan bermanfaat bagi mereka. Betapa sebuah selimut, mungkin tak terlalu berharga di negeri ini. Akan tetapi, bagi mereka yang bahkan rumah saja tak berdinding akan jauh lebih berharga daripada perhiasan mentereng. Senantiasalah ingat, bahwa setiap bantuan yang diberikan akan berbuah kebaikan pula di sisi Allah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, المُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ لا يَظْلِمُهُ ولَا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حَاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حَاجَتِهِ، ومَن فَرَّجَ عن مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عنْه كُرْبَةً مِن كُرُبَاتِ يَومِ القِيَامَةِ، ومَن سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَومَ القِيَامَةِ. “Muslim adalah bersaudara yang hendaknya tidak menzalimi dan tidak membiarkan yang lainnya. Barangsiapa yang berupaya memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang mengentaskan seorang muslim dari kesulitan dunia, maka Allah akan bebaskan ia dari kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa menutup aib seorang mukmin, Allah akan tutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Dengan banyaknya lembaga yang mengaku akan menyalurkan bantuan ke sana, pilihlah yang benar-benar amanah dan takut kepada Allah ketika mengelola harta kaum muslimin dan yang diakui pemerintah kaum muslimin. Tak peduli seberapa kecil jumlahnya, keikhlasanmu dan ketulusanmulah yang kelak akan diganjar dengan pahala yang teramat besar. Boikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung mereka Para ulama kita di Indonesia beberapa waktu lalu telah menyarankan (melalui Majelis Ulama Indonesia) untuk memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan bantuan perang untuk Israel. Dalam fatwa MUI nomor 83 tahun 2023 menegaskan tentang anjuran semaksimal mungkin untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel dan penjajahannya. Tahan lisan dari banyak berbicara Di antara hal berlebihan yang dilakukan sebagian orang di zaman ini adalah lisannya yang tidak berhenti menyakiti kaum muslimin di Palestina dengan komentar-komentarnya. Entah dengan meremehkan penderitaan mereka, mengajak orang lain tidak peduli, dan sebagainya. Maka, sebisa mungkin, jika memang tidak banyak informasi yang kita punyai atau kita tidak bisa memverifikasi apakah sebuah informasi itu benar (valid) ataukah tidak, diam adalah solusi terbaik di zaman ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  المُسْلِمُ مَن سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِن لِسانِهِ ويَدِهِ “Muslim sejati adalah yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no.6484) Semoga Allah menjaga saudara-saudara kita di Palestina dan berikan kemenangan untuk mereka dari penjajahan Israel dan pembela mereka. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina

Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Palestina?

Daftar Isi Toggle Luka mereka adalah luka kitaJangan lelah berdoaBantu mereka semampunyaBoikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung merekaTahan lisan dari banyak berbicara Tak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah melihat kondisi saudara kita di Palestina. Hari demi hari, korban berjatuhan. Bahkan hingga artikel ini ditulis, warga Palestina yang menjadi keberingasan Israel mencapai 15 ribu jiwa. Ada anak yang tak lagi memiliki ayah dan bunda. Ada orang tua yang hanya berharap berjumpa dengan anaknya kelak di surga. Dan ada yang harus menahan perih hidup dengan tubuh mereka yang dihantam senjata. Tentu kita menangis. Menangis karena kondisi mereka dan menangisi hati sebagian dari kita yang tulisan dan lisannya dari kejauhan tak henti-hentinya melukai saudara kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Sudahkah tertutup semua pintu yang memungkinkan kita turut menyertai perjuangan mereka? Luka mereka adalah luka kita Laksana anggota tubuh yang saling berkaitan satu sama lainnya, itulah gambaran hubungan kita dengan mereka yang berada di Palestina. Jika ada  yang tertembus peluru di sana, kita pun turut merasakannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, تَرَى المُؤْمِنِينَ في تَراحُمِهِمْ وتَوادِّهِمْ وتَعاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إذا اشْتَكَى عُضْوًا تَداعَى له سائِرُ جَسَدِهِ بالسَّهَرِ والحُمَّى “Engkau saksikan bagaimana kasih sayang sesama orang beriman, cinta mereka satu sama lain, sebagai satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh mereka yang mengeluhkan sakit, maka yang lain akan turut merasakannya dan ikut demam karenanya.” (HR. Bukhari no. 6011) Allah ‘Azza Wajalla juga menegaskan dalam firman-Nya bahwa antara satu mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bersaudara, اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS. Al-Hujurat: 10) Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan, هذا عقد، عقده الله بين المؤمنين، أنه إذا وجد من أي شخص كان، في مشرق الأرض ومغربها، الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، فإنه أخ للمؤمنين، أخوة توجب أن يحب له المؤمنون، ما يحبون لأنفسهم، ويكرهون له، ما يكرهون لأنفسهم “Ini adalah bentuk ikatan yang Allah jadikan di antara orang yang beriman. Bahwasanya tatkala ia menjumpai siapa pun di belahan bumi timur dan barat yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir, maka mereka adalah saudara seiman. Saudara yang harus kita cintai sebagaimana kecintaan kita kepada diri kita sendiri. Dan menghalau dari mereka segala sesuatu yang kita juga tidak sukai menimpa diri kita.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 800) Oleh karenanya, setiap perbuatan yang bisa meningkatkan kecintaan antara orang-orang yang beriman adalah dianjurkan. Dan sebaliknya, setiap perbuatan yang bisa meruntuhkan ikatan persaudaran seperti saling hasad, saling mencela, saling membenci, dan sebagainya, semua itu dilarang oleh Allah ‘Azza Wajalla. Turut merasakan derita yang dirasakan oleh kaum muslimin Palestina adalah bentuk kecintaan kita kepada mereka karena Allah ‘Azza Wajalla. Jangan lelah berdoa Sebagian orang meremehkan bahwa jika seseorang hanya berdoa saja, maka itu menunjukkan betapa lemah dirinya. Maka, dugaan ini adalah bentuk penghinaan kepada ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda tentang betapa berharganya doa seorang mukmin untuk saudaranya, ما مِن عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ، إلَّا قالَ المَلَكُ: وَلَكَ بمِثْلٍ “Tidaklah seorang muslim mendoakan saudaranya dalam kondisi saudaranya tidak mengetahuinya, melainkan malaikat akan berkata kepadanya, ‘Semoga hal yang sama pun dapat engkau rasakan.’” (HR. Muslim no. 2732) Seseorang yang mampu mengangkat kedua tangannya kepada Allah, tulus berdoa kepada-Nya, di waktu-waktu yang Allah ijabah doa seorang hamba, adalah bentuk kelembutan hatinya terhadap sesama saudaranya yang beriman. Dan hadis ini sekaligus menunjukkan tentang keharusan berbuat baik kepada sesama mukmin walaupun dengan hal yang kita bisa berupa doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di antara waktu yang hendaknya seorang muslim mendoakan saudaranya di Palestina adalah sepertiga malam terakhir, yang ketika itu Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, يَتَنَزَّلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له “Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir dan berseru, siapa pun di antara hamba-Ku yang berdoa, maka Aku akan kabulkan. Siapa yang meminta, niscaya Aku beri. Dan siapa yang meminta ampun, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 6321) Jangan sampai lisan lantang menyuarakan pembelaan, tapi tangan tak pernah memanjatkan satu doa pun kepada Sang pemilik kehidupan. Kaum muslimin di Palestina boleh jadi tak banyak yang menolongnya, tetapi Allah adalah Zat yang sedikit pun tak akan pernah membiarkan hamba-hamba-Nya. Baca juga: Keistimewaan Palestina dan Penduduknya dalam Al-Qur’an dan Hadis Bantu mereka semampunya Bukan hanya doa, jika kita memiliki kelebihan harta benda yang bisa bermanfaat bagi saudara kita di Palestina, maka bantulah dengannya. Karena apa pun yang kita keluarkan untuk mereka, dengan izin Allah akan menjadi timbangan kebaikan bagi kita dan bermanfaat bagi mereka. Betapa sebuah selimut, mungkin tak terlalu berharga di negeri ini. Akan tetapi, bagi mereka yang bahkan rumah saja tak berdinding akan jauh lebih berharga daripada perhiasan mentereng. Senantiasalah ingat, bahwa setiap bantuan yang diberikan akan berbuah kebaikan pula di sisi Allah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, المُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ لا يَظْلِمُهُ ولَا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حَاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حَاجَتِهِ، ومَن فَرَّجَ عن مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عنْه كُرْبَةً مِن كُرُبَاتِ يَومِ القِيَامَةِ، ومَن سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَومَ القِيَامَةِ. “Muslim adalah bersaudara yang hendaknya tidak menzalimi dan tidak membiarkan yang lainnya. Barangsiapa yang berupaya memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang mengentaskan seorang muslim dari kesulitan dunia, maka Allah akan bebaskan ia dari kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa menutup aib seorang mukmin, Allah akan tutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Dengan banyaknya lembaga yang mengaku akan menyalurkan bantuan ke sana, pilihlah yang benar-benar amanah dan takut kepada Allah ketika mengelola harta kaum muslimin dan yang diakui pemerintah kaum muslimin. Tak peduli seberapa kecil jumlahnya, keikhlasanmu dan ketulusanmulah yang kelak akan diganjar dengan pahala yang teramat besar. Boikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung mereka Para ulama kita di Indonesia beberapa waktu lalu telah menyarankan (melalui Majelis Ulama Indonesia) untuk memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan bantuan perang untuk Israel. Dalam fatwa MUI nomor 83 tahun 2023 menegaskan tentang anjuran semaksimal mungkin untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel dan penjajahannya. Tahan lisan dari banyak berbicara Di antara hal berlebihan yang dilakukan sebagian orang di zaman ini adalah lisannya yang tidak berhenti menyakiti kaum muslimin di Palestina dengan komentar-komentarnya. Entah dengan meremehkan penderitaan mereka, mengajak orang lain tidak peduli, dan sebagainya. Maka, sebisa mungkin, jika memang tidak banyak informasi yang kita punyai atau kita tidak bisa memverifikasi apakah sebuah informasi itu benar (valid) ataukah tidak, diam adalah solusi terbaik di zaman ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  المُسْلِمُ مَن سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِن لِسانِهِ ويَدِهِ “Muslim sejati adalah yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no.6484) Semoga Allah menjaga saudara-saudara kita di Palestina dan berikan kemenangan untuk mereka dari penjajahan Israel dan pembela mereka. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina
Daftar Isi Toggle Luka mereka adalah luka kitaJangan lelah berdoaBantu mereka semampunyaBoikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung merekaTahan lisan dari banyak berbicara Tak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah melihat kondisi saudara kita di Palestina. Hari demi hari, korban berjatuhan. Bahkan hingga artikel ini ditulis, warga Palestina yang menjadi keberingasan Israel mencapai 15 ribu jiwa. Ada anak yang tak lagi memiliki ayah dan bunda. Ada orang tua yang hanya berharap berjumpa dengan anaknya kelak di surga. Dan ada yang harus menahan perih hidup dengan tubuh mereka yang dihantam senjata. Tentu kita menangis. Menangis karena kondisi mereka dan menangisi hati sebagian dari kita yang tulisan dan lisannya dari kejauhan tak henti-hentinya melukai saudara kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Sudahkah tertutup semua pintu yang memungkinkan kita turut menyertai perjuangan mereka? Luka mereka adalah luka kita Laksana anggota tubuh yang saling berkaitan satu sama lainnya, itulah gambaran hubungan kita dengan mereka yang berada di Palestina. Jika ada  yang tertembus peluru di sana, kita pun turut merasakannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, تَرَى المُؤْمِنِينَ في تَراحُمِهِمْ وتَوادِّهِمْ وتَعاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إذا اشْتَكَى عُضْوًا تَداعَى له سائِرُ جَسَدِهِ بالسَّهَرِ والحُمَّى “Engkau saksikan bagaimana kasih sayang sesama orang beriman, cinta mereka satu sama lain, sebagai satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh mereka yang mengeluhkan sakit, maka yang lain akan turut merasakannya dan ikut demam karenanya.” (HR. Bukhari no. 6011) Allah ‘Azza Wajalla juga menegaskan dalam firman-Nya bahwa antara satu mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bersaudara, اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS. Al-Hujurat: 10) Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan, هذا عقد، عقده الله بين المؤمنين، أنه إذا وجد من أي شخص كان، في مشرق الأرض ومغربها، الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، فإنه أخ للمؤمنين، أخوة توجب أن يحب له المؤمنون، ما يحبون لأنفسهم، ويكرهون له، ما يكرهون لأنفسهم “Ini adalah bentuk ikatan yang Allah jadikan di antara orang yang beriman. Bahwasanya tatkala ia menjumpai siapa pun di belahan bumi timur dan barat yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir, maka mereka adalah saudara seiman. Saudara yang harus kita cintai sebagaimana kecintaan kita kepada diri kita sendiri. Dan menghalau dari mereka segala sesuatu yang kita juga tidak sukai menimpa diri kita.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 800) Oleh karenanya, setiap perbuatan yang bisa meningkatkan kecintaan antara orang-orang yang beriman adalah dianjurkan. Dan sebaliknya, setiap perbuatan yang bisa meruntuhkan ikatan persaudaran seperti saling hasad, saling mencela, saling membenci, dan sebagainya, semua itu dilarang oleh Allah ‘Azza Wajalla. Turut merasakan derita yang dirasakan oleh kaum muslimin Palestina adalah bentuk kecintaan kita kepada mereka karena Allah ‘Azza Wajalla. Jangan lelah berdoa Sebagian orang meremehkan bahwa jika seseorang hanya berdoa saja, maka itu menunjukkan betapa lemah dirinya. Maka, dugaan ini adalah bentuk penghinaan kepada ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda tentang betapa berharganya doa seorang mukmin untuk saudaranya, ما مِن عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ، إلَّا قالَ المَلَكُ: وَلَكَ بمِثْلٍ “Tidaklah seorang muslim mendoakan saudaranya dalam kondisi saudaranya tidak mengetahuinya, melainkan malaikat akan berkata kepadanya, ‘Semoga hal yang sama pun dapat engkau rasakan.’” (HR. Muslim no. 2732) Seseorang yang mampu mengangkat kedua tangannya kepada Allah, tulus berdoa kepada-Nya, di waktu-waktu yang Allah ijabah doa seorang hamba, adalah bentuk kelembutan hatinya terhadap sesama saudaranya yang beriman. Dan hadis ini sekaligus menunjukkan tentang keharusan berbuat baik kepada sesama mukmin walaupun dengan hal yang kita bisa berupa doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di antara waktu yang hendaknya seorang muslim mendoakan saudaranya di Palestina adalah sepertiga malam terakhir, yang ketika itu Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, يَتَنَزَّلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له “Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir dan berseru, siapa pun di antara hamba-Ku yang berdoa, maka Aku akan kabulkan. Siapa yang meminta, niscaya Aku beri. Dan siapa yang meminta ampun, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 6321) Jangan sampai lisan lantang menyuarakan pembelaan, tapi tangan tak pernah memanjatkan satu doa pun kepada Sang pemilik kehidupan. Kaum muslimin di Palestina boleh jadi tak banyak yang menolongnya, tetapi Allah adalah Zat yang sedikit pun tak akan pernah membiarkan hamba-hamba-Nya. Baca juga: Keistimewaan Palestina dan Penduduknya dalam Al-Qur’an dan Hadis Bantu mereka semampunya Bukan hanya doa, jika kita memiliki kelebihan harta benda yang bisa bermanfaat bagi saudara kita di Palestina, maka bantulah dengannya. Karena apa pun yang kita keluarkan untuk mereka, dengan izin Allah akan menjadi timbangan kebaikan bagi kita dan bermanfaat bagi mereka. Betapa sebuah selimut, mungkin tak terlalu berharga di negeri ini. Akan tetapi, bagi mereka yang bahkan rumah saja tak berdinding akan jauh lebih berharga daripada perhiasan mentereng. Senantiasalah ingat, bahwa setiap bantuan yang diberikan akan berbuah kebaikan pula di sisi Allah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, المُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ لا يَظْلِمُهُ ولَا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حَاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حَاجَتِهِ، ومَن فَرَّجَ عن مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عنْه كُرْبَةً مِن كُرُبَاتِ يَومِ القِيَامَةِ، ومَن سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَومَ القِيَامَةِ. “Muslim adalah bersaudara yang hendaknya tidak menzalimi dan tidak membiarkan yang lainnya. Barangsiapa yang berupaya memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang mengentaskan seorang muslim dari kesulitan dunia, maka Allah akan bebaskan ia dari kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa menutup aib seorang mukmin, Allah akan tutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Dengan banyaknya lembaga yang mengaku akan menyalurkan bantuan ke sana, pilihlah yang benar-benar amanah dan takut kepada Allah ketika mengelola harta kaum muslimin dan yang diakui pemerintah kaum muslimin. Tak peduli seberapa kecil jumlahnya, keikhlasanmu dan ketulusanmulah yang kelak akan diganjar dengan pahala yang teramat besar. Boikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung mereka Para ulama kita di Indonesia beberapa waktu lalu telah menyarankan (melalui Majelis Ulama Indonesia) untuk memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan bantuan perang untuk Israel. Dalam fatwa MUI nomor 83 tahun 2023 menegaskan tentang anjuran semaksimal mungkin untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel dan penjajahannya. Tahan lisan dari banyak berbicara Di antara hal berlebihan yang dilakukan sebagian orang di zaman ini adalah lisannya yang tidak berhenti menyakiti kaum muslimin di Palestina dengan komentar-komentarnya. Entah dengan meremehkan penderitaan mereka, mengajak orang lain tidak peduli, dan sebagainya. Maka, sebisa mungkin, jika memang tidak banyak informasi yang kita punyai atau kita tidak bisa memverifikasi apakah sebuah informasi itu benar (valid) ataukah tidak, diam adalah solusi terbaik di zaman ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  المُسْلِمُ مَن سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِن لِسانِهِ ويَدِهِ “Muslim sejati adalah yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no.6484) Semoga Allah menjaga saudara-saudara kita di Palestina dan berikan kemenangan untuk mereka dari penjajahan Israel dan pembela mereka. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina


Daftar Isi Toggle Luka mereka adalah luka kitaJangan lelah berdoaBantu mereka semampunyaBoikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung merekaTahan lisan dari banyak berbicara Tak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah melihat kondisi saudara kita di Palestina. Hari demi hari, korban berjatuhan. Bahkan hingga artikel ini ditulis, warga Palestina yang menjadi keberingasan Israel mencapai 15 ribu jiwa. Ada anak yang tak lagi memiliki ayah dan bunda. Ada orang tua yang hanya berharap berjumpa dengan anaknya kelak di surga. Dan ada yang harus menahan perih hidup dengan tubuh mereka yang dihantam senjata. Tentu kita menangis. Menangis karena kondisi mereka dan menangisi hati sebagian dari kita yang tulisan dan lisannya dari kejauhan tak henti-hentinya melukai saudara kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Sudahkah tertutup semua pintu yang memungkinkan kita turut menyertai perjuangan mereka? Luka mereka adalah luka kita Laksana anggota tubuh yang saling berkaitan satu sama lainnya, itulah gambaran hubungan kita dengan mereka yang berada di Palestina. Jika ada  yang tertembus peluru di sana, kita pun turut merasakannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, تَرَى المُؤْمِنِينَ في تَراحُمِهِمْ وتَوادِّهِمْ وتَعاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إذا اشْتَكَى عُضْوًا تَداعَى له سائِرُ جَسَدِهِ بالسَّهَرِ والحُمَّى “Engkau saksikan bagaimana kasih sayang sesama orang beriman, cinta mereka satu sama lain, sebagai satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh mereka yang mengeluhkan sakit, maka yang lain akan turut merasakannya dan ikut demam karenanya.” (HR. Bukhari no. 6011) Allah ‘Azza Wajalla juga menegaskan dalam firman-Nya bahwa antara satu mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bersaudara, اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS. Al-Hujurat: 10) Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan, هذا عقد، عقده الله بين المؤمنين، أنه إذا وجد من أي شخص كان، في مشرق الأرض ومغربها، الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، فإنه أخ للمؤمنين، أخوة توجب أن يحب له المؤمنون، ما يحبون لأنفسهم، ويكرهون له، ما يكرهون لأنفسهم “Ini adalah bentuk ikatan yang Allah jadikan di antara orang yang beriman. Bahwasanya tatkala ia menjumpai siapa pun di belahan bumi timur dan barat yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir, maka mereka adalah saudara seiman. Saudara yang harus kita cintai sebagaimana kecintaan kita kepada diri kita sendiri. Dan menghalau dari mereka segala sesuatu yang kita juga tidak sukai menimpa diri kita.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 800) Oleh karenanya, setiap perbuatan yang bisa meningkatkan kecintaan antara orang-orang yang beriman adalah dianjurkan. Dan sebaliknya, setiap perbuatan yang bisa meruntuhkan ikatan persaudaran seperti saling hasad, saling mencela, saling membenci, dan sebagainya, semua itu dilarang oleh Allah ‘Azza Wajalla. Turut merasakan derita yang dirasakan oleh kaum muslimin Palestina adalah bentuk kecintaan kita kepada mereka karena Allah ‘Azza Wajalla. Jangan lelah berdoa Sebagian orang meremehkan bahwa jika seseorang hanya berdoa saja, maka itu menunjukkan betapa lemah dirinya. Maka, dugaan ini adalah bentuk penghinaan kepada ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda tentang betapa berharganya doa seorang mukmin untuk saudaranya, ما مِن عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ، إلَّا قالَ المَلَكُ: وَلَكَ بمِثْلٍ “Tidaklah seorang muslim mendoakan saudaranya dalam kondisi saudaranya tidak mengetahuinya, melainkan malaikat akan berkata kepadanya, ‘Semoga hal yang sama pun dapat engkau rasakan.’” (HR. Muslim no. 2732) Seseorang yang mampu mengangkat kedua tangannya kepada Allah, tulus berdoa kepada-Nya, di waktu-waktu yang Allah ijabah doa seorang hamba, adalah bentuk kelembutan hatinya terhadap sesama saudaranya yang beriman. Dan hadis ini sekaligus menunjukkan tentang keharusan berbuat baik kepada sesama mukmin walaupun dengan hal yang kita bisa berupa doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di antara waktu yang hendaknya seorang muslim mendoakan saudaranya di Palestina adalah sepertiga malam terakhir, yang ketika itu Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, يَتَنَزَّلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له “Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir dan berseru, siapa pun di antara hamba-Ku yang berdoa, maka Aku akan kabulkan. Siapa yang meminta, niscaya Aku beri. Dan siapa yang meminta ampun, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 6321) Jangan sampai lisan lantang menyuarakan pembelaan, tapi tangan tak pernah memanjatkan satu doa pun kepada Sang pemilik kehidupan. Kaum muslimin di Palestina boleh jadi tak banyak yang menolongnya, tetapi Allah adalah Zat yang sedikit pun tak akan pernah membiarkan hamba-hamba-Nya. Baca juga: Keistimewaan Palestina dan Penduduknya dalam Al-Qur’an dan Hadis Bantu mereka semampunya Bukan hanya doa, jika kita memiliki kelebihan harta benda yang bisa bermanfaat bagi saudara kita di Palestina, maka bantulah dengannya. Karena apa pun yang kita keluarkan untuk mereka, dengan izin Allah akan menjadi timbangan kebaikan bagi kita dan bermanfaat bagi mereka. Betapa sebuah selimut, mungkin tak terlalu berharga di negeri ini. Akan tetapi, bagi mereka yang bahkan rumah saja tak berdinding akan jauh lebih berharga daripada perhiasan mentereng. Senantiasalah ingat, bahwa setiap bantuan yang diberikan akan berbuah kebaikan pula di sisi Allah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, المُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ لا يَظْلِمُهُ ولَا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حَاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حَاجَتِهِ، ومَن فَرَّجَ عن مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عنْه كُرْبَةً مِن كُرُبَاتِ يَومِ القِيَامَةِ، ومَن سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَومَ القِيَامَةِ. “Muslim adalah bersaudara yang hendaknya tidak menzalimi dan tidak membiarkan yang lainnya. Barangsiapa yang berupaya memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang mengentaskan seorang muslim dari kesulitan dunia, maka Allah akan bebaskan ia dari kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa menutup aib seorang mukmin, Allah akan tutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Dengan banyaknya lembaga yang mengaku akan menyalurkan bantuan ke sana, pilihlah yang benar-benar amanah dan takut kepada Allah ketika mengelola harta kaum muslimin dan yang diakui pemerintah kaum muslimin. Tak peduli seberapa kecil jumlahnya, keikhlasanmu dan ketulusanmulah yang kelak akan diganjar dengan pahala yang teramat besar. Boikot perusahaan yang secara terang-terangan mendukung mereka Para ulama kita di Indonesia beberapa waktu lalu telah menyarankan (melalui Majelis Ulama Indonesia) untuk memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan bantuan perang untuk Israel. Dalam fatwa MUI nomor 83 tahun 2023 menegaskan tentang anjuran semaksimal mungkin untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel dan penjajahannya. Tahan lisan dari banyak berbicara Di antara hal berlebihan yang dilakukan sebagian orang di zaman ini adalah lisannya yang tidak berhenti menyakiti kaum muslimin di Palestina dengan komentar-komentarnya. Entah dengan meremehkan penderitaan mereka, mengajak orang lain tidak peduli, dan sebagainya. Maka, sebisa mungkin, jika memang tidak banyak informasi yang kita punyai atau kita tidak bisa memverifikasi apakah sebuah informasi itu benar (valid) ataukah tidak, diam adalah solusi terbaik di zaman ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,  المُسْلِمُ مَن سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِن لِسانِهِ ويَدِهِ “Muslim sejati adalah yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no.6484) Semoga Allah menjaga saudara-saudara kita di Palestina dan berikan kemenangan untuk mereka dari penjajahan Israel dan pembela mereka. Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag. Artikel: Muslim.or.id Tags: Palestina

Khutbah Jumat: Jauhilah Zina dan Perselingkuhan

Jauhilah zina dan perselingkuhan. Allah telah mengingatkan kepada kita agar tidak mendekati zina karena zina adalah perbuatan keji.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Zina begitu marak saat ini sampai ada juga yang ketangkap basah. Yang berzina pun bukan hanya anak muda, bahkan yang sudah berumur dan punya cucu tanpa ada rasa malu nekad untuk berzina. Allah telah memperingatkan kaum muslimin mengenai bahaya zina sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Bahaya zina juga diterangkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim, no. 6925). Kalau ada yang mau nekad berzina, ingatlah kisah dalam hadits berikut ini bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan seorang lelaki yang ingin berzina. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. Pelaku zina hendaklah bertaubat apalagi jika ingin mendapatkan jodoh yang baik. Dalam surah An-Nuur disebutkan, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3) Salah satu kiat agar selamat dari zina adalah menundukkan pandangan, terutama untuk pria. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Sedangkan untuk wanita agar selamat dari zina adalah hendaklah memakai pakaian yang menutup aurat yang sesuai tuntunan syariat Islam. Untuk pria dan wanita, berpegang teguhlah dengan agama agar selamat dari zina, dengan terus meminta pertolongan Allah. Semoga Allah lindungi pendengaran kita, penglihatan kita, lisan kita, hati kita, dan air mani kita yang digunakan untuk hal yang salah. Semoga Allah beri taufik dan hidayah agar kaum muslimin dan muslimah benar-benar perhatian dan berpegang teguh pada syariat Islam sehingga selamat dari kerusakan termasuk perzinaan. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Baca Juga: Barshisha, Ahli Ibadah yang Berzina, Membunuh, Akhirnya Sujud pada Setan Khutbah Jumat: Empat Pintu Setan dalam Menggoda Manusia — Jumat pagi, 18 Jumadal Ula 1445 H, 1 Desember 2023 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   –   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Download   Tagsbahaya zina berzina cara taubat dari zina dosa zina khutbah jumat zina

Khutbah Jumat: Jauhilah Zina dan Perselingkuhan

Jauhilah zina dan perselingkuhan. Allah telah mengingatkan kepada kita agar tidak mendekati zina karena zina adalah perbuatan keji.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Zina begitu marak saat ini sampai ada juga yang ketangkap basah. Yang berzina pun bukan hanya anak muda, bahkan yang sudah berumur dan punya cucu tanpa ada rasa malu nekad untuk berzina. Allah telah memperingatkan kaum muslimin mengenai bahaya zina sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Bahaya zina juga diterangkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim, no. 6925). Kalau ada yang mau nekad berzina, ingatlah kisah dalam hadits berikut ini bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan seorang lelaki yang ingin berzina. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. Pelaku zina hendaklah bertaubat apalagi jika ingin mendapatkan jodoh yang baik. Dalam surah An-Nuur disebutkan, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3) Salah satu kiat agar selamat dari zina adalah menundukkan pandangan, terutama untuk pria. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Sedangkan untuk wanita agar selamat dari zina adalah hendaklah memakai pakaian yang menutup aurat yang sesuai tuntunan syariat Islam. Untuk pria dan wanita, berpegang teguhlah dengan agama agar selamat dari zina, dengan terus meminta pertolongan Allah. Semoga Allah lindungi pendengaran kita, penglihatan kita, lisan kita, hati kita, dan air mani kita yang digunakan untuk hal yang salah. Semoga Allah beri taufik dan hidayah agar kaum muslimin dan muslimah benar-benar perhatian dan berpegang teguh pada syariat Islam sehingga selamat dari kerusakan termasuk perzinaan. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Baca Juga: Barshisha, Ahli Ibadah yang Berzina, Membunuh, Akhirnya Sujud pada Setan Khutbah Jumat: Empat Pintu Setan dalam Menggoda Manusia — Jumat pagi, 18 Jumadal Ula 1445 H, 1 Desember 2023 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   –   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Download   Tagsbahaya zina berzina cara taubat dari zina dosa zina khutbah jumat zina
Jauhilah zina dan perselingkuhan. Allah telah mengingatkan kepada kita agar tidak mendekati zina karena zina adalah perbuatan keji.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Zina begitu marak saat ini sampai ada juga yang ketangkap basah. Yang berzina pun bukan hanya anak muda, bahkan yang sudah berumur dan punya cucu tanpa ada rasa malu nekad untuk berzina. Allah telah memperingatkan kaum muslimin mengenai bahaya zina sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Bahaya zina juga diterangkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim, no. 6925). Kalau ada yang mau nekad berzina, ingatlah kisah dalam hadits berikut ini bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan seorang lelaki yang ingin berzina. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. Pelaku zina hendaklah bertaubat apalagi jika ingin mendapatkan jodoh yang baik. Dalam surah An-Nuur disebutkan, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3) Salah satu kiat agar selamat dari zina adalah menundukkan pandangan, terutama untuk pria. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Sedangkan untuk wanita agar selamat dari zina adalah hendaklah memakai pakaian yang menutup aurat yang sesuai tuntunan syariat Islam. Untuk pria dan wanita, berpegang teguhlah dengan agama agar selamat dari zina, dengan terus meminta pertolongan Allah. Semoga Allah lindungi pendengaran kita, penglihatan kita, lisan kita, hati kita, dan air mani kita yang digunakan untuk hal yang salah. Semoga Allah beri taufik dan hidayah agar kaum muslimin dan muslimah benar-benar perhatian dan berpegang teguh pada syariat Islam sehingga selamat dari kerusakan termasuk perzinaan. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Baca Juga: Barshisha, Ahli Ibadah yang Berzina, Membunuh, Akhirnya Sujud pada Setan Khutbah Jumat: Empat Pintu Setan dalam Menggoda Manusia — Jumat pagi, 18 Jumadal Ula 1445 H, 1 Desember 2023 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   –   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Download   Tagsbahaya zina berzina cara taubat dari zina dosa zina khutbah jumat zina


Jauhilah zina dan perselingkuhan. Allah telah mengingatkan kepada kita agar tidak mendekati zina karena zina adalah perbuatan keji.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Zina begitu marak saat ini sampai ada juga yang ketangkap basah. Yang berzina pun bukan hanya anak muda, bahkan yang sudah berumur dan punya cucu tanpa ada rasa malu nekad untuk berzina. Allah telah memperingatkan kaum muslimin mengenai bahaya zina sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Bahaya zina juga diterangkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim, no. 6925). Kalau ada yang mau nekad berzina, ingatlah kisah dalam hadits berikut ini bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan seorang lelaki yang ingin berzina. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. Pelaku zina hendaklah bertaubat apalagi jika ingin mendapatkan jodoh yang baik. Dalam surah An-Nuur disebutkan, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3) Salah satu kiat agar selamat dari zina adalah menundukkan pandangan, terutama untuk pria. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Sedangkan untuk wanita agar selamat dari zina adalah hendaklah memakai pakaian yang menutup aurat yang sesuai tuntunan syariat Islam. Untuk pria dan wanita, berpegang teguhlah dengan agama agar selamat dari zina, dengan terus meminta pertolongan Allah. Semoga Allah lindungi pendengaran kita, penglihatan kita, lisan kita, hati kita, dan air mani kita yang digunakan untuk hal yang salah. Semoga Allah beri taufik dan hidayah agar kaum muslimin dan muslimah benar-benar perhatian dan berpegang teguh pada syariat Islam sehingga selamat dari kerusakan termasuk perzinaan. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Baca Juga: Barshisha, Ahli Ibadah yang Berzina, Membunuh, Akhirnya Sujud pada Setan Khutbah Jumat: Empat Pintu Setan dalam Menggoda Manusia — Jumat pagi, 18 Jumadal Ula 1445 H, 1 Desember 2023 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   –   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Jauhilah Zina dan Perselingkuhan” dan Sebarkan!   Download   Tagsbahaya zina berzina cara taubat dari zina dosa zina khutbah jumat zina

Teks Khotbah Jumat: Motivasi agar Giat dalam Bekerja dan Mencari Nafkah

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama   السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena dengan ketakwaan inilah, Allah Ta’ala akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi. Dan dengan ketakwaan ini juga, Allah akan mendatangkan rezeki-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ  وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Mengenai hari Jumat yang istimewa dan penuh keistimewaan ini, Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bersegera ke masjid dan melaksanakan salat Jumat dan melarang kita dari melakukan jual beli saat azan salat jumat berkumandang. Hal ini menunjukkan kepada kita pentingnya perkara salat, karena transaksi jual beli dan perdagangan seringkali akan melalaikan seorang hamba dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Namun, wahai jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, perlu kita ketahui juga bahwa di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10) Para ahli tafsir manafsirkan “karunia” di dalam ayat ini dengan “mencari penghasilan dan berdagang.” Dan ini wahai jemaah yang dimuliakan Allah Taala, menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bekerja, mencari penghasilan, dan tidak melupakan nafkah yang wajib kita tunaikan untuk keluarga kita, setelah sebelumnya kita juga diperintahkan untuk beribadah dan melaksanakan salat. Jemaah yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Islam memerintahkan kita untuk menjemput rezeki dan mencari nafkah di atas muka bumi ini, sehingga dengannya kita bisa mencukupi diri kita sendiri dan orang-orang yang berada di bawah tanggungan kita tanpa perlu meminta belas kasihan orang lain. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita tentang hikmah dari diciptakannya siang dan malam, وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qasas: 73) Allah Ta’ala juga berfirman, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat di atas mengatakan, “Maka, bepergianlah ke mana pun kamu mau dari wilayahnya, dan telusuri serta pulang pergilah ke setiap sudutnya untuk mencari segala macam keuntungan dan perdagangan. Dan ketahuilah bahwa usahamu tidak akan membawa manfaat apa pun kepadamu, kecuali jika Allah memudahkannya untukmu.” (Tafsir Al-Quran Al-Adzim, 8: 179) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa mencari penghasilan dan pekerjaan di muka bumi serta mengelola sumber daya yang ada merupakan salah satu keistimewaan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Ia berfirman, هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, suri teladan kita, juga mengajak kita untuk giat bekerja, dan mencari penghasilan. Di antara sabda beliau, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بحُزْمَةِ الحَطَبِ علَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللَّهُ بهَا وجْهَهُ خَيْرٌ له مِن أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk kemudian dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.” (HR. Bukhari no. 1471) Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan kepada kita bahwa bekerja, apapun jenisnya, lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain dan menjatuhkan kehormatan diri kita. Betapa pun berat dan kerasnya pekerjaan tersebut, itu lebih baik daripada harus menghinakan diri untuk meminta-minta. Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga menjelaskan bahwa makanan yang kita makan karena hasil jerih upaya kita sendiri adalah makanan terbaik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ ”Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan makanan hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihissalam dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di hadis tersebut, beliau juga meyebutkan bahwa Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri. Padahal kita tahu, Nabi Daud merupakan Nabi yang Allah karuniakan dengan kerajaan yang sangat luas dan besar. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa beliau ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri dan bukan dengan jabatan ataupun yang dimilikinya. Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat agar umatnya mencari nafkah yang halal dari hasil jerih upayanya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Di antara doa yang beliau rutinkan dan beliau ajarkan kepada umatnya adalah, اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Ahmad no. 1319, Tirmidzi no. 3563 dan dihasankan al-Hafizh Abu Thahir). أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagimu Pemuda Malas, Nan Enggan Bekerja Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Muzammil, Allah Ta’ala menyamakan kedudukan orang-orang yang keluar untuk mencari nafkah dengan mereka yang keluar untuk berjihad di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman, عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzammil: 20) Imam Al-Qurtubi rahimahullah dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyamakan derajat orang-orang yang berperang dan orang-orang yang mencari nafkah (halal) untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, dan untuk berbuat kebaikan dan keutamaan. Maka, ini adalah dalil bahwa mencari nafkah (yang halal) itu sama kedudukannya dengan jihad, karena Allah Ta’ala menyebutkannya bersamaan dengan penyebutan jihad di jalan Allah Ta’ala.” (Tafsir Al-Qurthubi, 19: 55) Kemudian wahai jemaah yang dimuliakan Allah, meskipun bekerja dan mencari nafkah seringkali hanya dianggap sebagai rutinitas harian saja, di mata Allah hal tersebut dapat menjadi ibadah dan bernilai pahala yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun suapan makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56) Belum lagi, menafkahi keluarga dan orang yang berada di bawah tanggungan kita merupakan salah satu bentuk sedekah yang paling utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Harta yang engkau keluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau berikan pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau berikan pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau berikan pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9185 dan Ahmad no. 17179) Di hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ  “Wajib bagi setiap muslim bersedekah.” Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ “Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bersedekah.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Hendaklah dia berbuat kebaikan (makruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 1445) Ingatlah juga wahai jemaah sekalian, siapa pun yang menelantarkan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya dan tidak mau menafkahi mereka, maka akan mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa apabila menahan makanan (nafkah, upah, dan lain sebagainya) dari orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Ma’asyiral mukminin, jemaah jumat yang berbahagia, Bekerja, meskipun di mata kita hanya rutinitas harian semata, di mata Allah Ta’ala sungguh akan bernilai pahala jika diniatkan sebagai ibadah dan untuk memenuhi hak-hak orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita. Karena dengan niat yang benar, sebuah rutinitas dan aktifitas akan berubah nilainya di sisi Allah Ta’ala. Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى   “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (HR. Bukhari no. 1) Semoga Allah Ta’ala senantiasa mencukupi kebutuhan kita, meluaskan rezeki kita, dan menjadikan kita seorang hamba yang hanya bergantung kepada Allah Ta’ala serta tidak bergantung kepada selain-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ  اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: bekerjamencari nafkah

Teks Khotbah Jumat: Motivasi agar Giat dalam Bekerja dan Mencari Nafkah

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama   السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena dengan ketakwaan inilah, Allah Ta’ala akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi. Dan dengan ketakwaan ini juga, Allah akan mendatangkan rezeki-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ  وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Mengenai hari Jumat yang istimewa dan penuh keistimewaan ini, Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bersegera ke masjid dan melaksanakan salat Jumat dan melarang kita dari melakukan jual beli saat azan salat jumat berkumandang. Hal ini menunjukkan kepada kita pentingnya perkara salat, karena transaksi jual beli dan perdagangan seringkali akan melalaikan seorang hamba dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Namun, wahai jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, perlu kita ketahui juga bahwa di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10) Para ahli tafsir manafsirkan “karunia” di dalam ayat ini dengan “mencari penghasilan dan berdagang.” Dan ini wahai jemaah yang dimuliakan Allah Taala, menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bekerja, mencari penghasilan, dan tidak melupakan nafkah yang wajib kita tunaikan untuk keluarga kita, setelah sebelumnya kita juga diperintahkan untuk beribadah dan melaksanakan salat. Jemaah yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Islam memerintahkan kita untuk menjemput rezeki dan mencari nafkah di atas muka bumi ini, sehingga dengannya kita bisa mencukupi diri kita sendiri dan orang-orang yang berada di bawah tanggungan kita tanpa perlu meminta belas kasihan orang lain. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita tentang hikmah dari diciptakannya siang dan malam, وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qasas: 73) Allah Ta’ala juga berfirman, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat di atas mengatakan, “Maka, bepergianlah ke mana pun kamu mau dari wilayahnya, dan telusuri serta pulang pergilah ke setiap sudutnya untuk mencari segala macam keuntungan dan perdagangan. Dan ketahuilah bahwa usahamu tidak akan membawa manfaat apa pun kepadamu, kecuali jika Allah memudahkannya untukmu.” (Tafsir Al-Quran Al-Adzim, 8: 179) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa mencari penghasilan dan pekerjaan di muka bumi serta mengelola sumber daya yang ada merupakan salah satu keistimewaan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Ia berfirman, هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, suri teladan kita, juga mengajak kita untuk giat bekerja, dan mencari penghasilan. Di antara sabda beliau, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بحُزْمَةِ الحَطَبِ علَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللَّهُ بهَا وجْهَهُ خَيْرٌ له مِن أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk kemudian dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.” (HR. Bukhari no. 1471) Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan kepada kita bahwa bekerja, apapun jenisnya, lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain dan menjatuhkan kehormatan diri kita. Betapa pun berat dan kerasnya pekerjaan tersebut, itu lebih baik daripada harus menghinakan diri untuk meminta-minta. Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga menjelaskan bahwa makanan yang kita makan karena hasil jerih upaya kita sendiri adalah makanan terbaik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ ”Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan makanan hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihissalam dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di hadis tersebut, beliau juga meyebutkan bahwa Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri. Padahal kita tahu, Nabi Daud merupakan Nabi yang Allah karuniakan dengan kerajaan yang sangat luas dan besar. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa beliau ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri dan bukan dengan jabatan ataupun yang dimilikinya. Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat agar umatnya mencari nafkah yang halal dari hasil jerih upayanya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Di antara doa yang beliau rutinkan dan beliau ajarkan kepada umatnya adalah, اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Ahmad no. 1319, Tirmidzi no. 3563 dan dihasankan al-Hafizh Abu Thahir). أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagimu Pemuda Malas, Nan Enggan Bekerja Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Muzammil, Allah Ta’ala menyamakan kedudukan orang-orang yang keluar untuk mencari nafkah dengan mereka yang keluar untuk berjihad di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman, عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzammil: 20) Imam Al-Qurtubi rahimahullah dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyamakan derajat orang-orang yang berperang dan orang-orang yang mencari nafkah (halal) untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, dan untuk berbuat kebaikan dan keutamaan. Maka, ini adalah dalil bahwa mencari nafkah (yang halal) itu sama kedudukannya dengan jihad, karena Allah Ta’ala menyebutkannya bersamaan dengan penyebutan jihad di jalan Allah Ta’ala.” (Tafsir Al-Qurthubi, 19: 55) Kemudian wahai jemaah yang dimuliakan Allah, meskipun bekerja dan mencari nafkah seringkali hanya dianggap sebagai rutinitas harian saja, di mata Allah hal tersebut dapat menjadi ibadah dan bernilai pahala yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun suapan makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56) Belum lagi, menafkahi keluarga dan orang yang berada di bawah tanggungan kita merupakan salah satu bentuk sedekah yang paling utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Harta yang engkau keluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau berikan pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau berikan pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau berikan pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9185 dan Ahmad no. 17179) Di hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ  “Wajib bagi setiap muslim bersedekah.” Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ “Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bersedekah.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Hendaklah dia berbuat kebaikan (makruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 1445) Ingatlah juga wahai jemaah sekalian, siapa pun yang menelantarkan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya dan tidak mau menafkahi mereka, maka akan mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa apabila menahan makanan (nafkah, upah, dan lain sebagainya) dari orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Ma’asyiral mukminin, jemaah jumat yang berbahagia, Bekerja, meskipun di mata kita hanya rutinitas harian semata, di mata Allah Ta’ala sungguh akan bernilai pahala jika diniatkan sebagai ibadah dan untuk memenuhi hak-hak orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita. Karena dengan niat yang benar, sebuah rutinitas dan aktifitas akan berubah nilainya di sisi Allah Ta’ala. Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى   “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (HR. Bukhari no. 1) Semoga Allah Ta’ala senantiasa mencukupi kebutuhan kita, meluaskan rezeki kita, dan menjadikan kita seorang hamba yang hanya bergantung kepada Allah Ta’ala serta tidak bergantung kepada selain-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ  اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: bekerjamencari nafkah
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama   السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena dengan ketakwaan inilah, Allah Ta’ala akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi. Dan dengan ketakwaan ini juga, Allah akan mendatangkan rezeki-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ  وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Mengenai hari Jumat yang istimewa dan penuh keistimewaan ini, Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bersegera ke masjid dan melaksanakan salat Jumat dan melarang kita dari melakukan jual beli saat azan salat jumat berkumandang. Hal ini menunjukkan kepada kita pentingnya perkara salat, karena transaksi jual beli dan perdagangan seringkali akan melalaikan seorang hamba dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Namun, wahai jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, perlu kita ketahui juga bahwa di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10) Para ahli tafsir manafsirkan “karunia” di dalam ayat ini dengan “mencari penghasilan dan berdagang.” Dan ini wahai jemaah yang dimuliakan Allah Taala, menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bekerja, mencari penghasilan, dan tidak melupakan nafkah yang wajib kita tunaikan untuk keluarga kita, setelah sebelumnya kita juga diperintahkan untuk beribadah dan melaksanakan salat. Jemaah yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Islam memerintahkan kita untuk menjemput rezeki dan mencari nafkah di atas muka bumi ini, sehingga dengannya kita bisa mencukupi diri kita sendiri dan orang-orang yang berada di bawah tanggungan kita tanpa perlu meminta belas kasihan orang lain. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita tentang hikmah dari diciptakannya siang dan malam, وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qasas: 73) Allah Ta’ala juga berfirman, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat di atas mengatakan, “Maka, bepergianlah ke mana pun kamu mau dari wilayahnya, dan telusuri serta pulang pergilah ke setiap sudutnya untuk mencari segala macam keuntungan dan perdagangan. Dan ketahuilah bahwa usahamu tidak akan membawa manfaat apa pun kepadamu, kecuali jika Allah memudahkannya untukmu.” (Tafsir Al-Quran Al-Adzim, 8: 179) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa mencari penghasilan dan pekerjaan di muka bumi serta mengelola sumber daya yang ada merupakan salah satu keistimewaan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Ia berfirman, هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, suri teladan kita, juga mengajak kita untuk giat bekerja, dan mencari penghasilan. Di antara sabda beliau, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بحُزْمَةِ الحَطَبِ علَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللَّهُ بهَا وجْهَهُ خَيْرٌ له مِن أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk kemudian dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.” (HR. Bukhari no. 1471) Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan kepada kita bahwa bekerja, apapun jenisnya, lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain dan menjatuhkan kehormatan diri kita. Betapa pun berat dan kerasnya pekerjaan tersebut, itu lebih baik daripada harus menghinakan diri untuk meminta-minta. Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga menjelaskan bahwa makanan yang kita makan karena hasil jerih upaya kita sendiri adalah makanan terbaik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ ”Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan makanan hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihissalam dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di hadis tersebut, beliau juga meyebutkan bahwa Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri. Padahal kita tahu, Nabi Daud merupakan Nabi yang Allah karuniakan dengan kerajaan yang sangat luas dan besar. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa beliau ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri dan bukan dengan jabatan ataupun yang dimilikinya. Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat agar umatnya mencari nafkah yang halal dari hasil jerih upayanya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Di antara doa yang beliau rutinkan dan beliau ajarkan kepada umatnya adalah, اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Ahmad no. 1319, Tirmidzi no. 3563 dan dihasankan al-Hafizh Abu Thahir). أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagimu Pemuda Malas, Nan Enggan Bekerja Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Muzammil, Allah Ta’ala menyamakan kedudukan orang-orang yang keluar untuk mencari nafkah dengan mereka yang keluar untuk berjihad di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman, عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzammil: 20) Imam Al-Qurtubi rahimahullah dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyamakan derajat orang-orang yang berperang dan orang-orang yang mencari nafkah (halal) untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, dan untuk berbuat kebaikan dan keutamaan. Maka, ini adalah dalil bahwa mencari nafkah (yang halal) itu sama kedudukannya dengan jihad, karena Allah Ta’ala menyebutkannya bersamaan dengan penyebutan jihad di jalan Allah Ta’ala.” (Tafsir Al-Qurthubi, 19: 55) Kemudian wahai jemaah yang dimuliakan Allah, meskipun bekerja dan mencari nafkah seringkali hanya dianggap sebagai rutinitas harian saja, di mata Allah hal tersebut dapat menjadi ibadah dan bernilai pahala yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun suapan makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56) Belum lagi, menafkahi keluarga dan orang yang berada di bawah tanggungan kita merupakan salah satu bentuk sedekah yang paling utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Harta yang engkau keluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau berikan pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau berikan pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau berikan pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9185 dan Ahmad no. 17179) Di hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ  “Wajib bagi setiap muslim bersedekah.” Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ “Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bersedekah.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Hendaklah dia berbuat kebaikan (makruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 1445) Ingatlah juga wahai jemaah sekalian, siapa pun yang menelantarkan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya dan tidak mau menafkahi mereka, maka akan mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa apabila menahan makanan (nafkah, upah, dan lain sebagainya) dari orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Ma’asyiral mukminin, jemaah jumat yang berbahagia, Bekerja, meskipun di mata kita hanya rutinitas harian semata, di mata Allah Ta’ala sungguh akan bernilai pahala jika diniatkan sebagai ibadah dan untuk memenuhi hak-hak orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita. Karena dengan niat yang benar, sebuah rutinitas dan aktifitas akan berubah nilainya di sisi Allah Ta’ala. Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى   “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (HR. Bukhari no. 1) Semoga Allah Ta’ala senantiasa mencukupi kebutuhan kita, meluaskan rezeki kita, dan menjadikan kita seorang hamba yang hanya bergantung kepada Allah Ta’ala serta tidak bergantung kepada selain-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ  اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: bekerjamencari nafkah


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama   السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena dengan ketakwaan inilah, Allah Ta’ala akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi. Dan dengan ketakwaan ini juga, Allah akan mendatangkan rezeki-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ  وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Mengenai hari Jumat yang istimewa dan penuh keistimewaan ini, Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bersegera ke masjid dan melaksanakan salat Jumat dan melarang kita dari melakukan jual beli saat azan salat jumat berkumandang. Hal ini menunjukkan kepada kita pentingnya perkara salat, karena transaksi jual beli dan perdagangan seringkali akan melalaikan seorang hamba dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Namun, wahai jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, perlu kita ketahui juga bahwa di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10) Para ahli tafsir manafsirkan “karunia” di dalam ayat ini dengan “mencari penghasilan dan berdagang.” Dan ini wahai jemaah yang dimuliakan Allah Taala, menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bekerja, mencari penghasilan, dan tidak melupakan nafkah yang wajib kita tunaikan untuk keluarga kita, setelah sebelumnya kita juga diperintahkan untuk beribadah dan melaksanakan salat. Jemaah yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Islam memerintahkan kita untuk menjemput rezeki dan mencari nafkah di atas muka bumi ini, sehingga dengannya kita bisa mencukupi diri kita sendiri dan orang-orang yang berada di bawah tanggungan kita tanpa perlu meminta belas kasihan orang lain. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita tentang hikmah dari diciptakannya siang dan malam, وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qasas: 73) Allah Ta’ala juga berfirman, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat di atas mengatakan, “Maka, bepergianlah ke mana pun kamu mau dari wilayahnya, dan telusuri serta pulang pergilah ke setiap sudutnya untuk mencari segala macam keuntungan dan perdagangan. Dan ketahuilah bahwa usahamu tidak akan membawa manfaat apa pun kepadamu, kecuali jika Allah memudahkannya untukmu.” (Tafsir Al-Quran Al-Adzim, 8: 179) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa mencari penghasilan dan pekerjaan di muka bumi serta mengelola sumber daya yang ada merupakan salah satu keistimewaan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Ia berfirman, هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, suri teladan kita, juga mengajak kita untuk giat bekerja, dan mencari penghasilan. Di antara sabda beliau, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بحُزْمَةِ الحَطَبِ علَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللَّهُ بهَا وجْهَهُ خَيْرٌ له مِن أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk kemudian dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.” (HR. Bukhari no. 1471) Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan kepada kita bahwa bekerja, apapun jenisnya, lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain dan menjatuhkan kehormatan diri kita. Betapa pun berat dan kerasnya pekerjaan tersebut, itu lebih baik daripada harus menghinakan diri untuk meminta-minta. Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga menjelaskan bahwa makanan yang kita makan karena hasil jerih upaya kita sendiri adalah makanan terbaik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ ”Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan makanan hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihissalam dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di hadis tersebut, beliau juga meyebutkan bahwa Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri. Padahal kita tahu, Nabi Daud merupakan Nabi yang Allah karuniakan dengan kerajaan yang sangat luas dan besar. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa beliau ‘alaihis salam makan dari hasil jerih upayanya sendiri dan bukan dengan jabatan ataupun yang dimilikinya. Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat agar umatnya mencari nafkah yang halal dari hasil jerih upayanya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Di antara doa yang beliau rutinkan dan beliau ajarkan kepada umatnya adalah, اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Ahmad no. 1319, Tirmidzi no. 3563 dan dihasankan al-Hafizh Abu Thahir). أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagimu Pemuda Malas, Nan Enggan Bekerja Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Muzammil, Allah Ta’ala menyamakan kedudukan orang-orang yang keluar untuk mencari nafkah dengan mereka yang keluar untuk berjihad di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman, عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzammil: 20) Imam Al-Qurtubi rahimahullah dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyamakan derajat orang-orang yang berperang dan orang-orang yang mencari nafkah (halal) untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, dan untuk berbuat kebaikan dan keutamaan. Maka, ini adalah dalil bahwa mencari nafkah (yang halal) itu sama kedudukannya dengan jihad, karena Allah Ta’ala menyebutkannya bersamaan dengan penyebutan jihad di jalan Allah Ta’ala.” (Tafsir Al-Qurthubi, 19: 55) Kemudian wahai jemaah yang dimuliakan Allah, meskipun bekerja dan mencari nafkah seringkali hanya dianggap sebagai rutinitas harian saja, di mata Allah hal tersebut dapat menjadi ibadah dan bernilai pahala yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun suapan makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56) Belum lagi, menafkahi keluarga dan orang yang berada di bawah tanggungan kita merupakan salah satu bentuk sedekah yang paling utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Harta yang engkau keluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau berikan pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau berikan pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau berikan pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9185 dan Ahmad no. 17179) Di hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ  “Wajib bagi setiap muslim bersedekah.” Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ “Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bersedekah.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Hendaklah dia berbuat kebaikan (makruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 1445) Ingatlah juga wahai jemaah sekalian, siapa pun yang menelantarkan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya dan tidak mau menafkahi mereka, maka akan mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa apabila menahan makanan (nafkah, upah, dan lain sebagainya) dari orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Ma’asyiral mukminin, jemaah jumat yang berbahagia, Bekerja, meskipun di mata kita hanya rutinitas harian semata, di mata Allah Ta’ala sungguh akan bernilai pahala jika diniatkan sebagai ibadah dan untuk memenuhi hak-hak orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita. Karena dengan niat yang benar, sebuah rutinitas dan aktifitas akan berubah nilainya di sisi Allah Ta’ala. Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى   “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (HR. Bukhari no. 1) Semoga Allah Ta’ala senantiasa mencukupi kebutuhan kita, meluaskan rezeki kita, dan menjadikan kita seorang hamba yang hanya bergantung kepada Allah Ta’ala serta tidak bergantung kepada selain-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ  اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: bekerjamencari nafkah

Keutamaan Surah Al Ikhlas, Sama dengan Sepertiga Al Quran, Surah yang Dicintai

Apa saja keutamaan dari surah Al Ikhlas?   Daftar Isi tutup 1. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) 2. Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu 3. Hadits #1010 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi: 4. Hadits #1011 5. Hadits #1012 6. Hadits #1013 6.1. Faedah hadits 6.2. Referensi:   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) بَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1010 وَعَنْ أَبِي سَعِيْدِ الخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ فِي : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) . وَفِي رِوَايَةٍ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ لِأَصْحَابِهِ : (( أَيَعْجِزُ أحَدُكُمْ أنْ يَقْرَأَ بِثُلُثِ القُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ )) فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ ، وَقَالُوا : أيُّنَا يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رسولَ الله ؟ فَقَالَ : (( { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ } : ثُلُثُ الْقُرْآنِ )) رواه البخاري . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad (surah Al-Ikhlas), “Demi diriku yang ada pada tangan-Nya, sesungguhnya surah tersebut sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Apakah salah seorang di antara kalian merasa lemah membaca sepertiga Al-Qur’an pada satu malam?” Maka itu berat bagi mereka, dan mereka berkata, “Siapakah di antara kami yang sanggup melakukan itu, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qul huwallahu ahad adalah sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5051]   Faedah hadits Surah Al-Ikhlas adalah sepertiga Al-Qur’an. Ini menunjukkan keutamaan dari surah tersebut. Surah Al-Ikhlas itu dinilai sebagai sepertiga Al-Qur’an ditinjau dari maknanya. Karena Al-Qur’an itu terdiri dari hukum, berita, dan tauhid. Surah Al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid. Hendaklah seorang pengajar mengajukan persoalan pada murid-muridnya. Ini salah satu metode dalam mengajar. Boleh menggunakan lafaz yang tidak terbayang dalam benak. Karena kalau disebut sepertiga Al-Qur’an berarti membaca yang tertulis sebanyak sepertiga. Namun, yang dimaksud adalah secara makna, bukan dari sisi yang tertulis.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:236-237.   Hadits #1011 وَعَنْهُ : أنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ : (( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ )) يُرَدِّدُهَا فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إِلَىرَسُولِ الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ وَكَانَ الرَّجُلُ يَتَقَالُّهَا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) رَوَاهُالبُخَارِيُّ . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang mendengar seorang lelaki membaca Qul huwallahu ahad dengan terus mengulang-ulangnya. Maka ketika waktu Shubuh tiba, ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyebutkan tentang hal itu kepada beliau. Seolah orang itu menganggap kecil hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi diriku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya itu sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5013]   Hadits #1012 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ في : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } (( إنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ )) رواه مسلم . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad, “Sesungguhnya ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 812]   Hadits #1013 وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أُحِبُّ هذِهِ السُّورَةَ : { قُلْ هُوَ اللهُ أحَدٌ } قَالَ : (( إنَّ حُبَّهَا أدْخَلَكَ الجَنَّةَ )) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) . وَرَوَاهُ البُخَارِيَّ فِي صَحِيحِهِ تَعْلِيْقاً . Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai surah ini: Qul huwallahu ahad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dengan mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan. Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya secara mu’allaq, tidak disebutkan sanadnya). [HR. Tirmidzi, no. 2901 dan Bukhari, no. 773. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih].   Faedah hadits Boleh membaca satu surah dan terus mengulanginya. Anggapan syariat berbeda dengan anggapan ‘urfi (pandangan manusia). Karena manusia bisa menganggap surah Al-Ikhlas itu remeh, tetapi syariat menganggap surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur’an. Jika ada yang dibingungkan dalam suatu perkara, hendaklah bertanya kepada orang yang berilmu. Penetapan keutamaan surah Al-Ikhlas dan ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an. Boleh membaca satu surah dalam setiap rakaat. Karena sahabat yang diceritakan dalam hadits no. 1013 membaca surah Al-Ikhlas dalam setiap rakaat. Boleh membaca dua surah bakda surah Al-Fatihah dalam satu rakaat. Karena setelah surah Al-Fatihah, sahabat yang diceritakan ini membaca surah Al-Ikhlas lalu surah lainnya. Surah Al-Ikhlas mengantarkan yang membacanya masuk surga. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:237-238.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab al quran al quran keutamaan surat Al ikhlas membaca Al Quran riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surat al ikhlas tafsir surat al ikhlas

Keutamaan Surah Al Ikhlas, Sama dengan Sepertiga Al Quran, Surah yang Dicintai

Apa saja keutamaan dari surah Al Ikhlas?   Daftar Isi tutup 1. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) 2. Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu 3. Hadits #1010 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi: 4. Hadits #1011 5. Hadits #1012 6. Hadits #1013 6.1. Faedah hadits 6.2. Referensi:   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) بَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1010 وَعَنْ أَبِي سَعِيْدِ الخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ فِي : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) . وَفِي رِوَايَةٍ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ لِأَصْحَابِهِ : (( أَيَعْجِزُ أحَدُكُمْ أنْ يَقْرَأَ بِثُلُثِ القُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ )) فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ ، وَقَالُوا : أيُّنَا يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رسولَ الله ؟ فَقَالَ : (( { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ } : ثُلُثُ الْقُرْآنِ )) رواه البخاري . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad (surah Al-Ikhlas), “Demi diriku yang ada pada tangan-Nya, sesungguhnya surah tersebut sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Apakah salah seorang di antara kalian merasa lemah membaca sepertiga Al-Qur’an pada satu malam?” Maka itu berat bagi mereka, dan mereka berkata, “Siapakah di antara kami yang sanggup melakukan itu, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qul huwallahu ahad adalah sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5051]   Faedah hadits Surah Al-Ikhlas adalah sepertiga Al-Qur’an. Ini menunjukkan keutamaan dari surah tersebut. Surah Al-Ikhlas itu dinilai sebagai sepertiga Al-Qur’an ditinjau dari maknanya. Karena Al-Qur’an itu terdiri dari hukum, berita, dan tauhid. Surah Al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid. Hendaklah seorang pengajar mengajukan persoalan pada murid-muridnya. Ini salah satu metode dalam mengajar. Boleh menggunakan lafaz yang tidak terbayang dalam benak. Karena kalau disebut sepertiga Al-Qur’an berarti membaca yang tertulis sebanyak sepertiga. Namun, yang dimaksud adalah secara makna, bukan dari sisi yang tertulis.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:236-237.   Hadits #1011 وَعَنْهُ : أنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ : (( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ )) يُرَدِّدُهَا فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إِلَىرَسُولِ الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ وَكَانَ الرَّجُلُ يَتَقَالُّهَا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) رَوَاهُالبُخَارِيُّ . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang mendengar seorang lelaki membaca Qul huwallahu ahad dengan terus mengulang-ulangnya. Maka ketika waktu Shubuh tiba, ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyebutkan tentang hal itu kepada beliau. Seolah orang itu menganggap kecil hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi diriku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya itu sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5013]   Hadits #1012 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ في : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } (( إنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ )) رواه مسلم . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad, “Sesungguhnya ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 812]   Hadits #1013 وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أُحِبُّ هذِهِ السُّورَةَ : { قُلْ هُوَ اللهُ أحَدٌ } قَالَ : (( إنَّ حُبَّهَا أدْخَلَكَ الجَنَّةَ )) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) . وَرَوَاهُ البُخَارِيَّ فِي صَحِيحِهِ تَعْلِيْقاً . Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai surah ini: Qul huwallahu ahad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dengan mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan. Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya secara mu’allaq, tidak disebutkan sanadnya). [HR. Tirmidzi, no. 2901 dan Bukhari, no. 773. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih].   Faedah hadits Boleh membaca satu surah dan terus mengulanginya. Anggapan syariat berbeda dengan anggapan ‘urfi (pandangan manusia). Karena manusia bisa menganggap surah Al-Ikhlas itu remeh, tetapi syariat menganggap surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur’an. Jika ada yang dibingungkan dalam suatu perkara, hendaklah bertanya kepada orang yang berilmu. Penetapan keutamaan surah Al-Ikhlas dan ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an. Boleh membaca satu surah dalam setiap rakaat. Karena sahabat yang diceritakan dalam hadits no. 1013 membaca surah Al-Ikhlas dalam setiap rakaat. Boleh membaca dua surah bakda surah Al-Fatihah dalam satu rakaat. Karena setelah surah Al-Fatihah, sahabat yang diceritakan ini membaca surah Al-Ikhlas lalu surah lainnya. Surah Al-Ikhlas mengantarkan yang membacanya masuk surga. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:237-238.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab al quran al quran keutamaan surat Al ikhlas membaca Al Quran riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surat al ikhlas tafsir surat al ikhlas
Apa saja keutamaan dari surah Al Ikhlas?   Daftar Isi tutup 1. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) 2. Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu 3. Hadits #1010 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi: 4. Hadits #1011 5. Hadits #1012 6. Hadits #1013 6.1. Faedah hadits 6.2. Referensi:   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) بَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1010 وَعَنْ أَبِي سَعِيْدِ الخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ فِي : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) . وَفِي رِوَايَةٍ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ لِأَصْحَابِهِ : (( أَيَعْجِزُ أحَدُكُمْ أنْ يَقْرَأَ بِثُلُثِ القُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ )) فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ ، وَقَالُوا : أيُّنَا يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رسولَ الله ؟ فَقَالَ : (( { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ } : ثُلُثُ الْقُرْآنِ )) رواه البخاري . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad (surah Al-Ikhlas), “Demi diriku yang ada pada tangan-Nya, sesungguhnya surah tersebut sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Apakah salah seorang di antara kalian merasa lemah membaca sepertiga Al-Qur’an pada satu malam?” Maka itu berat bagi mereka, dan mereka berkata, “Siapakah di antara kami yang sanggup melakukan itu, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qul huwallahu ahad adalah sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5051]   Faedah hadits Surah Al-Ikhlas adalah sepertiga Al-Qur’an. Ini menunjukkan keutamaan dari surah tersebut. Surah Al-Ikhlas itu dinilai sebagai sepertiga Al-Qur’an ditinjau dari maknanya. Karena Al-Qur’an itu terdiri dari hukum, berita, dan tauhid. Surah Al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid. Hendaklah seorang pengajar mengajukan persoalan pada murid-muridnya. Ini salah satu metode dalam mengajar. Boleh menggunakan lafaz yang tidak terbayang dalam benak. Karena kalau disebut sepertiga Al-Qur’an berarti membaca yang tertulis sebanyak sepertiga. Namun, yang dimaksud adalah secara makna, bukan dari sisi yang tertulis.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:236-237.   Hadits #1011 وَعَنْهُ : أنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ : (( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ )) يُرَدِّدُهَا فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إِلَىرَسُولِ الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ وَكَانَ الرَّجُلُ يَتَقَالُّهَا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) رَوَاهُالبُخَارِيُّ . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang mendengar seorang lelaki membaca Qul huwallahu ahad dengan terus mengulang-ulangnya. Maka ketika waktu Shubuh tiba, ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyebutkan tentang hal itu kepada beliau. Seolah orang itu menganggap kecil hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi diriku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya itu sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5013]   Hadits #1012 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ في : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } (( إنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ )) رواه مسلم . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad, “Sesungguhnya ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 812]   Hadits #1013 وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أُحِبُّ هذِهِ السُّورَةَ : { قُلْ هُوَ اللهُ أحَدٌ } قَالَ : (( إنَّ حُبَّهَا أدْخَلَكَ الجَنَّةَ )) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) . وَرَوَاهُ البُخَارِيَّ فِي صَحِيحِهِ تَعْلِيْقاً . Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai surah ini: Qul huwallahu ahad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dengan mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan. Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya secara mu’allaq, tidak disebutkan sanadnya). [HR. Tirmidzi, no. 2901 dan Bukhari, no. 773. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih].   Faedah hadits Boleh membaca satu surah dan terus mengulanginya. Anggapan syariat berbeda dengan anggapan ‘urfi (pandangan manusia). Karena manusia bisa menganggap surah Al-Ikhlas itu remeh, tetapi syariat menganggap surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur’an. Jika ada yang dibingungkan dalam suatu perkara, hendaklah bertanya kepada orang yang berilmu. Penetapan keutamaan surah Al-Ikhlas dan ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an. Boleh membaca satu surah dalam setiap rakaat. Karena sahabat yang diceritakan dalam hadits no. 1013 membaca surah Al-Ikhlas dalam setiap rakaat. Boleh membaca dua surah bakda surah Al-Fatihah dalam satu rakaat. Karena setelah surah Al-Fatihah, sahabat yang diceritakan ini membaca surah Al-Ikhlas lalu surah lainnya. Surah Al-Ikhlas mengantarkan yang membacanya masuk surga. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:237-238.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab al quran al quran keutamaan surat Al ikhlas membaca Al Quran riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surat al ikhlas tafsir surat al ikhlas


Apa saja keutamaan dari surah Al Ikhlas?   Daftar Isi tutup 1. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) 2. Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu 3. Hadits #1010 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi: 4. Hadits #1011 5. Hadits #1012 6. Hadits #1013 6.1. Faedah hadits 6.2. Referensi:   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) بَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1010 وَعَنْ أَبِي سَعِيْدِ الخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ فِي : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) . وَفِي رِوَايَةٍ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ لِأَصْحَابِهِ : (( أَيَعْجِزُ أحَدُكُمْ أنْ يَقْرَأَ بِثُلُثِ القُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ )) فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ ، وَقَالُوا : أيُّنَا يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رسولَ الله ؟ فَقَالَ : (( { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ } : ثُلُثُ الْقُرْآنِ )) رواه البخاري . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad (surah Al-Ikhlas), “Demi diriku yang ada pada tangan-Nya, sesungguhnya surah tersebut sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Apakah salah seorang di antara kalian merasa lemah membaca sepertiga Al-Qur’an pada satu malam?” Maka itu berat bagi mereka, dan mereka berkata, “Siapakah di antara kami yang sanggup melakukan itu, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qul huwallahu ahad adalah sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5051]   Faedah hadits Surah Al-Ikhlas adalah sepertiga Al-Qur’an. Ini menunjukkan keutamaan dari surah tersebut. Surah Al-Ikhlas itu dinilai sebagai sepertiga Al-Qur’an ditinjau dari maknanya. Karena Al-Qur’an itu terdiri dari hukum, berita, dan tauhid. Surah Al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid. Hendaklah seorang pengajar mengajukan persoalan pada murid-muridnya. Ini salah satu metode dalam mengajar. Boleh menggunakan lafaz yang tidak terbayang dalam benak. Karena kalau disebut sepertiga Al-Qur’an berarti membaca yang tertulis sebanyak sepertiga. Namun, yang dimaksud adalah secara makna, bukan dari sisi yang tertulis.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:236-237.   Hadits #1011 وَعَنْهُ : أنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ : (( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ )) يُرَدِّدُهَا فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إِلَىرَسُولِ الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ وَكَانَ الرَّجُلُ يَتَقَالُّهَا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ )) رَوَاهُالبُخَارِيُّ . Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang mendengar seorang lelaki membaca Qul huwallahu ahad dengan terus mengulang-ulangnya. Maka ketika waktu Shubuh tiba, ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyebutkan tentang hal itu kepada beliau. Seolah orang itu menganggap kecil hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi diriku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya itu sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5013]   Hadits #1012 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ في : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } (( إنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ )) رواه مسلم . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surah Qul Huwallahu Ahad, “Sesungguhnya ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 812]   Hadits #1013 وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أُحِبُّ هذِهِ السُّورَةَ : { قُلْ هُوَ اللهُ أحَدٌ } قَالَ : (( إنَّ حُبَّهَا أدْخَلَكَ الجَنَّةَ )) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) . وَرَوَاهُ البُخَارِيَّ فِي صَحِيحِهِ تَعْلِيْقاً . Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai surah ini: Qul huwallahu ahad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dengan mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan. Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya secara mu’allaq, tidak disebutkan sanadnya). [HR. Tirmidzi, no. 2901 dan Bukhari, no. 773. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih].   Faedah hadits Boleh membaca satu surah dan terus mengulanginya. Anggapan syariat berbeda dengan anggapan ‘urfi (pandangan manusia). Karena manusia bisa menganggap surah Al-Ikhlas itu remeh, tetapi syariat menganggap surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur’an. Jika ada yang dibingungkan dalam suatu perkara, hendaklah bertanya kepada orang yang berilmu. Penetapan keutamaan surah Al-Ikhlas dan ia sama dengan sepertiga Al-Qur’an. Boleh membaca satu surah dalam setiap rakaat. Karena sahabat yang diceritakan dalam hadits no. 1013 membaca surah Al-Ikhlas dalam setiap rakaat. Boleh membaca dua surah bakda surah Al-Fatihah dalam satu rakaat. Karena setelah surah Al-Fatihah, sahabat yang diceritakan ini membaca surah Al-Ikhlas lalu surah lainnya. Surah Al-Ikhlas mengantarkan yang membacanya masuk surga. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:237-238.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab al quran al quran keutamaan surat Al ikhlas membaca Al Quran riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surat al ikhlas tafsir surat al ikhlas

Hadis: Dianjurkannya Mendoakan Orang yang Memberi Zakat

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Murrah, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ، قَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ، فَأَتَاهُ أَبِي، أَبُو أَوْفَى بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى “Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM.’ (Ya Allah, berikan selawat atas mereka). Kemudian bapakku, Abu Aufa, mendatangi beliau (dengan membawa sedekah). Maka, beliau pun mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLII ‘ALA ALI ABI AUFA.’ (Ya Allah,  berikan selawat kepada keluarga Abu Aufa).” (HR. Bukhari no. 4166 dan Muslim no. 1078) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil disyariatkannya mendoakan orang yang mengeluarkan atau memberikan zakat dengan mendoakan semoga selawat Allah Ta’ala tercurah kepada mereka. Tidak ada ketentuan khusus lafaz doa tersebut. Selain mendoakan dengan lafaz doa yang terdapat dalam hadis di atas, seseorang boleh saja mendoakan dengan, اللهم بارك لهم فيما أعطيتهم “ALLAHUMMA BARIK LAHUM FIIMA A’THAITAHUM” (Ya Allah, berkahilah mereka dalam harta yang Engkau berikan kepada mereka) Atau bisa juga dengan lafaz, اللهم أعنهم به على طاعتك “ALLAHUMMA A’INHUM BIHI ‘ALA THA’ATIKA.” (Ya Allah, tolonglah mereka untuk taat kepada-Mu) Dan juga doa-doa lain yang mengandung kebaikan. Faedah dari mendoakan orang yang memberi zakat adalah untuk menenteramkan jiwanya agar dia merasa ringan ketika mengeluarkan harta zakat, karena harta adalah sesuatu yang sangat diinginkan oleh jiwa manusia. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mematuhi dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala tersebut, yaitu mendoakan orang yang memberikan harta zakat kepada beliau. Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau pun mendoakan, اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ “ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM”, maksudnya adalah berikanlah pujian untuk mereka. Yang dimaksud dengan doa, “Ya Allah,  berilah selawat kepada keluarga Abu Aufa.” adalah Abu Aufa itu sendiri. Ath-Thahawi rahimahullah memaksudkan diksi “keluarga fulan” sebagai “fulan” itu sendiri, kemudian beliau pun berdalil dengan hadis ini. (Syarh Al-Ma’ani Al-Atsar, 8: 61) Kedua, hadis ini menunjukkan bolehnya berselawat kepada selain para Nabi. Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu makruh. Hal ini karena selawat itu adalah syiar untuk para Nabi ketika disebutkan nama mereka. Sehingga selain Nabi, tidaklah disamakan dengan para Nabi dalam hal selawat. Jumhur ulama memaknai hadis ini, dan juga firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ “Mereka itulah yang mendapat selawat dan rahmat dari Tuhan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 157) dengan “doa untuk mereka”. Oleh karena itu, tidak terdapat keterangan bahwa selawat kepada keluarga Abu Aufa itu sebagai syiar di kalangan mereka. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, وهذا مسلك حسن “Ini adalah keterangan yang baik.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 467) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bagaimanakah Hukum Seorang Istri Memberi Zakat kepada Suami atau Sebaliknya? *** @Rumah Kasongan, 13 Rabi’ul akhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 419-420). Tags: zakat

Hadis: Dianjurkannya Mendoakan Orang yang Memberi Zakat

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Murrah, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ، قَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ، فَأَتَاهُ أَبِي، أَبُو أَوْفَى بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى “Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM.’ (Ya Allah, berikan selawat atas mereka). Kemudian bapakku, Abu Aufa, mendatangi beliau (dengan membawa sedekah). Maka, beliau pun mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLII ‘ALA ALI ABI AUFA.’ (Ya Allah,  berikan selawat kepada keluarga Abu Aufa).” (HR. Bukhari no. 4166 dan Muslim no. 1078) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil disyariatkannya mendoakan orang yang mengeluarkan atau memberikan zakat dengan mendoakan semoga selawat Allah Ta’ala tercurah kepada mereka. Tidak ada ketentuan khusus lafaz doa tersebut. Selain mendoakan dengan lafaz doa yang terdapat dalam hadis di atas, seseorang boleh saja mendoakan dengan, اللهم بارك لهم فيما أعطيتهم “ALLAHUMMA BARIK LAHUM FIIMA A’THAITAHUM” (Ya Allah, berkahilah mereka dalam harta yang Engkau berikan kepada mereka) Atau bisa juga dengan lafaz, اللهم أعنهم به على طاعتك “ALLAHUMMA A’INHUM BIHI ‘ALA THA’ATIKA.” (Ya Allah, tolonglah mereka untuk taat kepada-Mu) Dan juga doa-doa lain yang mengandung kebaikan. Faedah dari mendoakan orang yang memberi zakat adalah untuk menenteramkan jiwanya agar dia merasa ringan ketika mengeluarkan harta zakat, karena harta adalah sesuatu yang sangat diinginkan oleh jiwa manusia. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mematuhi dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala tersebut, yaitu mendoakan orang yang memberikan harta zakat kepada beliau. Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau pun mendoakan, اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ “ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM”, maksudnya adalah berikanlah pujian untuk mereka. Yang dimaksud dengan doa, “Ya Allah,  berilah selawat kepada keluarga Abu Aufa.” adalah Abu Aufa itu sendiri. Ath-Thahawi rahimahullah memaksudkan diksi “keluarga fulan” sebagai “fulan” itu sendiri, kemudian beliau pun berdalil dengan hadis ini. (Syarh Al-Ma’ani Al-Atsar, 8: 61) Kedua, hadis ini menunjukkan bolehnya berselawat kepada selain para Nabi. Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu makruh. Hal ini karena selawat itu adalah syiar untuk para Nabi ketika disebutkan nama mereka. Sehingga selain Nabi, tidaklah disamakan dengan para Nabi dalam hal selawat. Jumhur ulama memaknai hadis ini, dan juga firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ “Mereka itulah yang mendapat selawat dan rahmat dari Tuhan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 157) dengan “doa untuk mereka”. Oleh karena itu, tidak terdapat keterangan bahwa selawat kepada keluarga Abu Aufa itu sebagai syiar di kalangan mereka. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, وهذا مسلك حسن “Ini adalah keterangan yang baik.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 467) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bagaimanakah Hukum Seorang Istri Memberi Zakat kepada Suami atau Sebaliknya? *** @Rumah Kasongan, 13 Rabi’ul akhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 419-420). Tags: zakat
Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Murrah, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ، قَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ، فَأَتَاهُ أَبِي، أَبُو أَوْفَى بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى “Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM.’ (Ya Allah, berikan selawat atas mereka). Kemudian bapakku, Abu Aufa, mendatangi beliau (dengan membawa sedekah). Maka, beliau pun mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLII ‘ALA ALI ABI AUFA.’ (Ya Allah,  berikan selawat kepada keluarga Abu Aufa).” (HR. Bukhari no. 4166 dan Muslim no. 1078) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil disyariatkannya mendoakan orang yang mengeluarkan atau memberikan zakat dengan mendoakan semoga selawat Allah Ta’ala tercurah kepada mereka. Tidak ada ketentuan khusus lafaz doa tersebut. Selain mendoakan dengan lafaz doa yang terdapat dalam hadis di atas, seseorang boleh saja mendoakan dengan, اللهم بارك لهم فيما أعطيتهم “ALLAHUMMA BARIK LAHUM FIIMA A’THAITAHUM” (Ya Allah, berkahilah mereka dalam harta yang Engkau berikan kepada mereka) Atau bisa juga dengan lafaz, اللهم أعنهم به على طاعتك “ALLAHUMMA A’INHUM BIHI ‘ALA THA’ATIKA.” (Ya Allah, tolonglah mereka untuk taat kepada-Mu) Dan juga doa-doa lain yang mengandung kebaikan. Faedah dari mendoakan orang yang memberi zakat adalah untuk menenteramkan jiwanya agar dia merasa ringan ketika mengeluarkan harta zakat, karena harta adalah sesuatu yang sangat diinginkan oleh jiwa manusia. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mematuhi dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala tersebut, yaitu mendoakan orang yang memberikan harta zakat kepada beliau. Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau pun mendoakan, اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ “ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM”, maksudnya adalah berikanlah pujian untuk mereka. Yang dimaksud dengan doa, “Ya Allah,  berilah selawat kepada keluarga Abu Aufa.” adalah Abu Aufa itu sendiri. Ath-Thahawi rahimahullah memaksudkan diksi “keluarga fulan” sebagai “fulan” itu sendiri, kemudian beliau pun berdalil dengan hadis ini. (Syarh Al-Ma’ani Al-Atsar, 8: 61) Kedua, hadis ini menunjukkan bolehnya berselawat kepada selain para Nabi. Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu makruh. Hal ini karena selawat itu adalah syiar untuk para Nabi ketika disebutkan nama mereka. Sehingga selain Nabi, tidaklah disamakan dengan para Nabi dalam hal selawat. Jumhur ulama memaknai hadis ini, dan juga firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ “Mereka itulah yang mendapat selawat dan rahmat dari Tuhan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 157) dengan “doa untuk mereka”. Oleh karena itu, tidak terdapat keterangan bahwa selawat kepada keluarga Abu Aufa itu sebagai syiar di kalangan mereka. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, وهذا مسلك حسن “Ini adalah keterangan yang baik.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 467) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bagaimanakah Hukum Seorang Istri Memberi Zakat kepada Suami atau Sebaliknya? *** @Rumah Kasongan, 13 Rabi’ul akhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 419-420). Tags: zakat


Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Murrah, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ، قَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ، فَأَتَاهُ أَبِي، أَبُو أَوْفَى بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ: اللهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى “Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM.’ (Ya Allah, berikan selawat atas mereka). Kemudian bapakku, Abu Aufa, mendatangi beliau (dengan membawa sedekah). Maka, beliau pun mendoakan, ‘ALLAHUMMA SHALLII ‘ALA ALI ABI AUFA.’ (Ya Allah,  berikan selawat kepada keluarga Abu Aufa).” (HR. Bukhari no. 4166 dan Muslim no. 1078) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil disyariatkannya mendoakan orang yang mengeluarkan atau memberikan zakat dengan mendoakan semoga selawat Allah Ta’ala tercurah kepada mereka. Tidak ada ketentuan khusus lafaz doa tersebut. Selain mendoakan dengan lafaz doa yang terdapat dalam hadis di atas, seseorang boleh saja mendoakan dengan, اللهم بارك لهم فيما أعطيتهم “ALLAHUMMA BARIK LAHUM FIIMA A’THAITAHUM” (Ya Allah, berkahilah mereka dalam harta yang Engkau berikan kepada mereka) Atau bisa juga dengan lafaz, اللهم أعنهم به على طاعتك “ALLAHUMMA A’INHUM BIHI ‘ALA THA’ATIKA.” (Ya Allah, tolonglah mereka untuk taat kepada-Mu) Dan juga doa-doa lain yang mengandung kebaikan. Faedah dari mendoakan orang yang memberi zakat adalah untuk menenteramkan jiwanya agar dia merasa ringan ketika mengeluarkan harta zakat, karena harta adalah sesuatu yang sangat diinginkan oleh jiwa manusia. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mematuhi dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala tersebut, yaitu mendoakan orang yang memberikan harta zakat kepada beliau. Apabila seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau pun mendoakan, اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ “ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIHIM”, maksudnya adalah berikanlah pujian untuk mereka. Yang dimaksud dengan doa, “Ya Allah,  berilah selawat kepada keluarga Abu Aufa.” adalah Abu Aufa itu sendiri. Ath-Thahawi rahimahullah memaksudkan diksi “keluarga fulan” sebagai “fulan” itu sendiri, kemudian beliau pun berdalil dengan hadis ini. (Syarh Al-Ma’ani Al-Atsar, 8: 61) Kedua, hadis ini menunjukkan bolehnya berselawat kepada selain para Nabi. Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu makruh. Hal ini karena selawat itu adalah syiar untuk para Nabi ketika disebutkan nama mereka. Sehingga selain Nabi, tidaklah disamakan dengan para Nabi dalam hal selawat. Jumhur ulama memaknai hadis ini, dan juga firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ “Mereka itulah yang mendapat selawat dan rahmat dari Tuhan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 157) dengan “doa untuk mereka”. Oleh karena itu, tidak terdapat keterangan bahwa selawat kepada keluarga Abu Aufa itu sebagai syiar di kalangan mereka. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, وهذا مسلك حسن “Ini adalah keterangan yang baik.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 467) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bagaimanakah Hukum Seorang Istri Memberi Zakat kepada Suami atau Sebaliknya? *** @Rumah Kasongan, 13 Rabi’ul akhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 419-420). Tags: zakat

Matan Taqrib: Apa Saja yang Termasuk Syarat Sah Shalat?

Apa saja syarat sah shalat yang mesti dilakukan sebelum shalat dilaksanakan? Syarat sah shalat adalah bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan dua lainnya.     Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. 3.2. Kedua: Menutup aurat. 3.3. Ketiga: berdiri di tempat yang suci 3.4. Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat 3.5. Kelima: menghadap kiblat 3.6. Referensi:   Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَشَرَائِطُ الصَّلاَةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ طَهَارَةُ الأَعْضَاءِ مِنَ الحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَسَتْرُ العَوْرَةِ بِلِبَاسٍ طَاهِرٍ وَالوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ وَالعِلْمُ بِدُخُوْلِ الوَقْتِ وَاسْتِقْبَالُ القِبْلَةِ وَيَجُوْزُ تَرْكُ القِبْلَةِ فِي حَالَتَيْنِ فِي شِدَّةِ الخَوْفِ وَفِي النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ. Syarat shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima: menyucikan anggota badan dari hadats dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berdiri di tempat yang suci, mengetahui masuknya waktu shalat, menghadap kiblat. Namun, menghadap kiblat bisa gugur dalam dua keadaan: (a) keadaan sangat takut, (b) dalam shalat sunnah ketika safar di kendaraan.     Penjelasan: Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225) Baca juga: Orang yang Berhadats Tidak Diterima Shalatnya Tubuh suci dari hadats kecil maupun hadats besar harus dilakukan, begitu pula menghilangkan najis dari badan sebelum shalat.   Kedua: Menutup aurat. Yang dimaksud adalah menutup aurat dengan pakaian di dalam shalat. Seandainya seseorang shalat hanya bersendirian tetap harus menutup aurat karena kita shalat itu menghadap Allah dan harus malu ketika berhadapan dengan Allah. Aurat di dalam shalat: untuk laki-laki: antara pusar dan lutut, di mana pusar dan lutut bukanlah aurat. untuk perempuan: seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Catatan: Wanita ketika shalat wajib menutup kaki baik bagian punggung maupun dalam telapak kaki, karena kaki termasuk aurat yang mesti ditutup ketika shalat. Wanita wajib menutup aurat dengan pakaian yang suci, tidak tipis yang akhirnya menampakkan warna kulit. Jika aurat terbuka di tengah shalat, lalu mampu untuk ditutup segera, shalatnya sah. Namun, jika tidak ditutup segera, shalatnya tidaklah sah. Baca juga: Apakah Bawah Dagu Wanita Harus Ditutup Saat Shalat?   Ketiga: berdiri di tempat yang suci Shalat haruslah dilakukan di tempat yang suci. Dalilnya adalah sebagaimana dikeluarkan oleh yang lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh menyiramkan air pada tempat yang dikencingi Arab Badui di dalam masjid. Catatan: Jika seseorang shalat di atas sajadah atau karpet, lalu di tempat tersebut ditemukan najis, tetapi ia shalat di bagian yang tidak terdapat najis dari sajadah atau karpet tersebut, shalatnya tetap sah. Jika sajadahnya suci lalu diletakkan di atas tempat yang terkena najis, maka shalatnya sah. Jika seseorang shalat, lalu bakda shalat mendapati najis pada tempat atau pakaian, lalu ada kemungkinan najis tersebut ada sebelum selesai shalat, maka shalatnya diulangi. Namun jika kemungkinan najis itu ada setelah selesai shalat, maka najis dianggap tidak ada, shalatnya tak perlu diulangi.   Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat Jika seseorang shalat sebelum masuknya waktu shalat, shalatnya harus diulangi karena ia tidak melakukannya di waktunya berarti shalatnya dianggap tidak ada. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103) Tingkatan (marotib) mengetahui masuknya waktu shalat: Mengetahuinya langsung seperti dengan melihat keadaan matahari saat tenggelam. Mendapatkan berita dari yang terpercaya yang menyaksikan langsung, seperti mengetahui waktu shalat dari jam (jadwal shalat) atau mendengar azan. Ijtihad dalam menentukan waktu. Baca juga: Penjelasan Waktu Shalat Lima Waktu   Kelima: menghadap kiblat Allah Ta’ala berfirman, وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144). Yang dimaksud adalah menghadap ke arah Kabah dengan dada. Jika dekat dari Kabah, berarti menghadap Kabah secara yakin. Jika jauh dari Kabah, berarti dengan sangkaan menghadap Kabah. Catatan: Siapa yang tidak mampu menghadap kiblat karena ada uzur ketika melaksanakan shalat fardhu, maka ia shalat tergantung keadaannya. Lalu hendaklah shalatnya diulangi (menurut satu pendapat). Sedangkan pendapat lainnya, shalatnya tidak perlu diulangi. Menghadap kiblat menjadi gugur untuk dua keadaan: Keadaan sangat takut misalnya ketika dalam kondisi perang Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239) Ketika melaksanakan shalat sunnah saat safar di atas kendaraan. Inilah kemudahan bagi musafir. Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.” (HR. Bukhari, no. 1093 dan Muslim, no. 701). Al-Bukhari menambahkan, “Beliau memberi isyarat dengan kepalanya, namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib.” Baca juga: Shalat Sunnah di Kendaraan Saat Safar Catatan: Jika musafir telah sampai di negerinya di pertengahan shalat, wajib baginya menghadap kiblat, juga wajib rukuk dan sujud karena sebab safar telah hilang. Sebagai penutup, ingatlah bahwa syarat sah shalat adalah fondasi ibadah kita. Dengan menyucikan diri, menutup aurat, berdiri di tempat suci, mengetahui waktu shalat, dan menghadap kiblat, kita mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah. Penuhi setiap syarat dengan niat tulus, karena shalat yang sah adalah kunci keberkahan hidup. Mari jaga kualitas shalat kita demi meraih ridha Allah subhanahu wata’ala. Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat syarat sah shalat syarat shalat

Matan Taqrib: Apa Saja yang Termasuk Syarat Sah Shalat?

Apa saja syarat sah shalat yang mesti dilakukan sebelum shalat dilaksanakan? Syarat sah shalat adalah bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan dua lainnya.     Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. 3.2. Kedua: Menutup aurat. 3.3. Ketiga: berdiri di tempat yang suci 3.4. Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat 3.5. Kelima: menghadap kiblat 3.6. Referensi:   Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَشَرَائِطُ الصَّلاَةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ طَهَارَةُ الأَعْضَاءِ مِنَ الحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَسَتْرُ العَوْرَةِ بِلِبَاسٍ طَاهِرٍ وَالوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ وَالعِلْمُ بِدُخُوْلِ الوَقْتِ وَاسْتِقْبَالُ القِبْلَةِ وَيَجُوْزُ تَرْكُ القِبْلَةِ فِي حَالَتَيْنِ فِي شِدَّةِ الخَوْفِ وَفِي النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ. Syarat shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima: menyucikan anggota badan dari hadats dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berdiri di tempat yang suci, mengetahui masuknya waktu shalat, menghadap kiblat. Namun, menghadap kiblat bisa gugur dalam dua keadaan: (a) keadaan sangat takut, (b) dalam shalat sunnah ketika safar di kendaraan.     Penjelasan: Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225) Baca juga: Orang yang Berhadats Tidak Diterima Shalatnya Tubuh suci dari hadats kecil maupun hadats besar harus dilakukan, begitu pula menghilangkan najis dari badan sebelum shalat.   Kedua: Menutup aurat. Yang dimaksud adalah menutup aurat dengan pakaian di dalam shalat. Seandainya seseorang shalat hanya bersendirian tetap harus menutup aurat karena kita shalat itu menghadap Allah dan harus malu ketika berhadapan dengan Allah. Aurat di dalam shalat: untuk laki-laki: antara pusar dan lutut, di mana pusar dan lutut bukanlah aurat. untuk perempuan: seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Catatan: Wanita ketika shalat wajib menutup kaki baik bagian punggung maupun dalam telapak kaki, karena kaki termasuk aurat yang mesti ditutup ketika shalat. Wanita wajib menutup aurat dengan pakaian yang suci, tidak tipis yang akhirnya menampakkan warna kulit. Jika aurat terbuka di tengah shalat, lalu mampu untuk ditutup segera, shalatnya sah. Namun, jika tidak ditutup segera, shalatnya tidaklah sah. Baca juga: Apakah Bawah Dagu Wanita Harus Ditutup Saat Shalat?   Ketiga: berdiri di tempat yang suci Shalat haruslah dilakukan di tempat yang suci. Dalilnya adalah sebagaimana dikeluarkan oleh yang lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh menyiramkan air pada tempat yang dikencingi Arab Badui di dalam masjid. Catatan: Jika seseorang shalat di atas sajadah atau karpet, lalu di tempat tersebut ditemukan najis, tetapi ia shalat di bagian yang tidak terdapat najis dari sajadah atau karpet tersebut, shalatnya tetap sah. Jika sajadahnya suci lalu diletakkan di atas tempat yang terkena najis, maka shalatnya sah. Jika seseorang shalat, lalu bakda shalat mendapati najis pada tempat atau pakaian, lalu ada kemungkinan najis tersebut ada sebelum selesai shalat, maka shalatnya diulangi. Namun jika kemungkinan najis itu ada setelah selesai shalat, maka najis dianggap tidak ada, shalatnya tak perlu diulangi.   Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat Jika seseorang shalat sebelum masuknya waktu shalat, shalatnya harus diulangi karena ia tidak melakukannya di waktunya berarti shalatnya dianggap tidak ada. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103) Tingkatan (marotib) mengetahui masuknya waktu shalat: Mengetahuinya langsung seperti dengan melihat keadaan matahari saat tenggelam. Mendapatkan berita dari yang terpercaya yang menyaksikan langsung, seperti mengetahui waktu shalat dari jam (jadwal shalat) atau mendengar azan. Ijtihad dalam menentukan waktu. Baca juga: Penjelasan Waktu Shalat Lima Waktu   Kelima: menghadap kiblat Allah Ta’ala berfirman, وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144). Yang dimaksud adalah menghadap ke arah Kabah dengan dada. Jika dekat dari Kabah, berarti menghadap Kabah secara yakin. Jika jauh dari Kabah, berarti dengan sangkaan menghadap Kabah. Catatan: Siapa yang tidak mampu menghadap kiblat karena ada uzur ketika melaksanakan shalat fardhu, maka ia shalat tergantung keadaannya. Lalu hendaklah shalatnya diulangi (menurut satu pendapat). Sedangkan pendapat lainnya, shalatnya tidak perlu diulangi. Menghadap kiblat menjadi gugur untuk dua keadaan: Keadaan sangat takut misalnya ketika dalam kondisi perang Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239) Ketika melaksanakan shalat sunnah saat safar di atas kendaraan. Inilah kemudahan bagi musafir. Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.” (HR. Bukhari, no. 1093 dan Muslim, no. 701). Al-Bukhari menambahkan, “Beliau memberi isyarat dengan kepalanya, namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib.” Baca juga: Shalat Sunnah di Kendaraan Saat Safar Catatan: Jika musafir telah sampai di negerinya di pertengahan shalat, wajib baginya menghadap kiblat, juga wajib rukuk dan sujud karena sebab safar telah hilang. Sebagai penutup, ingatlah bahwa syarat sah shalat adalah fondasi ibadah kita. Dengan menyucikan diri, menutup aurat, berdiri di tempat suci, mengetahui waktu shalat, dan menghadap kiblat, kita mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah. Penuhi setiap syarat dengan niat tulus, karena shalat yang sah adalah kunci keberkahan hidup. Mari jaga kualitas shalat kita demi meraih ridha Allah subhanahu wata’ala. Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat syarat sah shalat syarat shalat
Apa saja syarat sah shalat yang mesti dilakukan sebelum shalat dilaksanakan? Syarat sah shalat adalah bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan dua lainnya.     Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. 3.2. Kedua: Menutup aurat. 3.3. Ketiga: berdiri di tempat yang suci 3.4. Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat 3.5. Kelima: menghadap kiblat 3.6. Referensi:   Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَشَرَائِطُ الصَّلاَةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ طَهَارَةُ الأَعْضَاءِ مِنَ الحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَسَتْرُ العَوْرَةِ بِلِبَاسٍ طَاهِرٍ وَالوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ وَالعِلْمُ بِدُخُوْلِ الوَقْتِ وَاسْتِقْبَالُ القِبْلَةِ وَيَجُوْزُ تَرْكُ القِبْلَةِ فِي حَالَتَيْنِ فِي شِدَّةِ الخَوْفِ وَفِي النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ. Syarat shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima: menyucikan anggota badan dari hadats dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berdiri di tempat yang suci, mengetahui masuknya waktu shalat, menghadap kiblat. Namun, menghadap kiblat bisa gugur dalam dua keadaan: (a) keadaan sangat takut, (b) dalam shalat sunnah ketika safar di kendaraan.     Penjelasan: Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225) Baca juga: Orang yang Berhadats Tidak Diterima Shalatnya Tubuh suci dari hadats kecil maupun hadats besar harus dilakukan, begitu pula menghilangkan najis dari badan sebelum shalat.   Kedua: Menutup aurat. Yang dimaksud adalah menutup aurat dengan pakaian di dalam shalat. Seandainya seseorang shalat hanya bersendirian tetap harus menutup aurat karena kita shalat itu menghadap Allah dan harus malu ketika berhadapan dengan Allah. Aurat di dalam shalat: untuk laki-laki: antara pusar dan lutut, di mana pusar dan lutut bukanlah aurat. untuk perempuan: seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Catatan: Wanita ketika shalat wajib menutup kaki baik bagian punggung maupun dalam telapak kaki, karena kaki termasuk aurat yang mesti ditutup ketika shalat. Wanita wajib menutup aurat dengan pakaian yang suci, tidak tipis yang akhirnya menampakkan warna kulit. Jika aurat terbuka di tengah shalat, lalu mampu untuk ditutup segera, shalatnya sah. Namun, jika tidak ditutup segera, shalatnya tidaklah sah. Baca juga: Apakah Bawah Dagu Wanita Harus Ditutup Saat Shalat?   Ketiga: berdiri di tempat yang suci Shalat haruslah dilakukan di tempat yang suci. Dalilnya adalah sebagaimana dikeluarkan oleh yang lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh menyiramkan air pada tempat yang dikencingi Arab Badui di dalam masjid. Catatan: Jika seseorang shalat di atas sajadah atau karpet, lalu di tempat tersebut ditemukan najis, tetapi ia shalat di bagian yang tidak terdapat najis dari sajadah atau karpet tersebut, shalatnya tetap sah. Jika sajadahnya suci lalu diletakkan di atas tempat yang terkena najis, maka shalatnya sah. Jika seseorang shalat, lalu bakda shalat mendapati najis pada tempat atau pakaian, lalu ada kemungkinan najis tersebut ada sebelum selesai shalat, maka shalatnya diulangi. Namun jika kemungkinan najis itu ada setelah selesai shalat, maka najis dianggap tidak ada, shalatnya tak perlu diulangi.   Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat Jika seseorang shalat sebelum masuknya waktu shalat, shalatnya harus diulangi karena ia tidak melakukannya di waktunya berarti shalatnya dianggap tidak ada. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103) Tingkatan (marotib) mengetahui masuknya waktu shalat: Mengetahuinya langsung seperti dengan melihat keadaan matahari saat tenggelam. Mendapatkan berita dari yang terpercaya yang menyaksikan langsung, seperti mengetahui waktu shalat dari jam (jadwal shalat) atau mendengar azan. Ijtihad dalam menentukan waktu. Baca juga: Penjelasan Waktu Shalat Lima Waktu   Kelima: menghadap kiblat Allah Ta’ala berfirman, وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144). Yang dimaksud adalah menghadap ke arah Kabah dengan dada. Jika dekat dari Kabah, berarti menghadap Kabah secara yakin. Jika jauh dari Kabah, berarti dengan sangkaan menghadap Kabah. Catatan: Siapa yang tidak mampu menghadap kiblat karena ada uzur ketika melaksanakan shalat fardhu, maka ia shalat tergantung keadaannya. Lalu hendaklah shalatnya diulangi (menurut satu pendapat). Sedangkan pendapat lainnya, shalatnya tidak perlu diulangi. Menghadap kiblat menjadi gugur untuk dua keadaan: Keadaan sangat takut misalnya ketika dalam kondisi perang Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239) Ketika melaksanakan shalat sunnah saat safar di atas kendaraan. Inilah kemudahan bagi musafir. Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.” (HR. Bukhari, no. 1093 dan Muslim, no. 701). Al-Bukhari menambahkan, “Beliau memberi isyarat dengan kepalanya, namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib.” Baca juga: Shalat Sunnah di Kendaraan Saat Safar Catatan: Jika musafir telah sampai di negerinya di pertengahan shalat, wajib baginya menghadap kiblat, juga wajib rukuk dan sujud karena sebab safar telah hilang. Sebagai penutup, ingatlah bahwa syarat sah shalat adalah fondasi ibadah kita. Dengan menyucikan diri, menutup aurat, berdiri di tempat suci, mengetahui waktu shalat, dan menghadap kiblat, kita mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah. Penuhi setiap syarat dengan niat tulus, karena shalat yang sah adalah kunci keberkahan hidup. Mari jaga kualitas shalat kita demi meraih ridha Allah subhanahu wata’ala. Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat syarat sah shalat syarat shalat


Apa saja syarat sah shalat yang mesti dilakukan sebelum shalat dilaksanakan? Syarat sah shalat adalah bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan dua lainnya.     Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. 3.2. Kedua: Menutup aurat. 3.3. Ketiga: berdiri di tempat yang suci 3.4. Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat 3.5. Kelima: menghadap kiblat 3.6. Referensi:   Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَشَرَائِطُ الصَّلاَةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ طَهَارَةُ الأَعْضَاءِ مِنَ الحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَسَتْرُ العَوْرَةِ بِلِبَاسٍ طَاهِرٍ وَالوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ وَالعِلْمُ بِدُخُوْلِ الوَقْتِ وَاسْتِقْبَالُ القِبْلَةِ وَيَجُوْزُ تَرْكُ القِبْلَةِ فِي حَالَتَيْنِ فِي شِدَّةِ الخَوْفِ وَفِي النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ. Syarat shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima: menyucikan anggota badan dari hadats dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berdiri di tempat yang suci, mengetahui masuknya waktu shalat, menghadap kiblat. Namun, menghadap kiblat bisa gugur dalam dua keadaan: (a) keadaan sangat takut, (b) dalam shalat sunnah ketika safar di kendaraan.     Penjelasan: Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225) Baca juga: Orang yang Berhadats Tidak Diterima Shalatnya Tubuh suci dari hadats kecil maupun hadats besar harus dilakukan, begitu pula menghilangkan najis dari badan sebelum shalat.   Kedua: Menutup aurat. Yang dimaksud adalah menutup aurat dengan pakaian di dalam shalat. Seandainya seseorang shalat hanya bersendirian tetap harus menutup aurat karena kita shalat itu menghadap Allah dan harus malu ketika berhadapan dengan Allah. Aurat di dalam shalat: untuk laki-laki: antara pusar dan lutut, di mana pusar dan lutut bukanlah aurat. untuk perempuan: seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Catatan: Wanita ketika shalat wajib menutup kaki baik bagian punggung maupun dalam telapak kaki, karena kaki termasuk aurat yang mesti ditutup ketika shalat. Wanita wajib menutup aurat dengan pakaian yang suci, tidak tipis yang akhirnya menampakkan warna kulit. Jika aurat terbuka di tengah shalat, lalu mampu untuk ditutup segera, shalatnya sah. Namun, jika tidak ditutup segera, shalatnya tidaklah sah. Baca juga: Apakah Bawah Dagu Wanita Harus Ditutup Saat Shalat?   Ketiga: berdiri di tempat yang suci Shalat haruslah dilakukan di tempat yang suci. Dalilnya adalah sebagaimana dikeluarkan oleh yang lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh menyiramkan air pada tempat yang dikencingi Arab Badui di dalam masjid. Catatan: Jika seseorang shalat di atas sajadah atau karpet, lalu di tempat tersebut ditemukan najis, tetapi ia shalat di bagian yang tidak terdapat najis dari sajadah atau karpet tersebut, shalatnya tetap sah. Jika sajadahnya suci lalu diletakkan di atas tempat yang terkena najis, maka shalatnya sah. Jika seseorang shalat, lalu bakda shalat mendapati najis pada tempat atau pakaian, lalu ada kemungkinan najis tersebut ada sebelum selesai shalat, maka shalatnya diulangi. Namun jika kemungkinan najis itu ada setelah selesai shalat, maka najis dianggap tidak ada, shalatnya tak perlu diulangi.   Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat Jika seseorang shalat sebelum masuknya waktu shalat, shalatnya harus diulangi karena ia tidak melakukannya di waktunya berarti shalatnya dianggap tidak ada. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103) Tingkatan (marotib) mengetahui masuknya waktu shalat: Mengetahuinya langsung seperti dengan melihat keadaan matahari saat tenggelam. Mendapatkan berita dari yang terpercaya yang menyaksikan langsung, seperti mengetahui waktu shalat dari jam (jadwal shalat) atau mendengar azan. Ijtihad dalam menentukan waktu. Baca juga: Penjelasan Waktu Shalat Lima Waktu   Kelima: menghadap kiblat Allah Ta’ala berfirman, وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144). Yang dimaksud adalah menghadap ke arah Kabah dengan dada. Jika dekat dari Kabah, berarti menghadap Kabah secara yakin. Jika jauh dari Kabah, berarti dengan sangkaan menghadap Kabah. Catatan: Siapa yang tidak mampu menghadap kiblat karena ada uzur ketika melaksanakan shalat fardhu, maka ia shalat tergantung keadaannya. Lalu hendaklah shalatnya diulangi (menurut satu pendapat). Sedangkan pendapat lainnya, shalatnya tidak perlu diulangi. Menghadap kiblat menjadi gugur untuk dua keadaan: Keadaan sangat takut misalnya ketika dalam kondisi perang Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239) Ketika melaksanakan shalat sunnah saat safar di atas kendaraan. Inilah kemudahan bagi musafir. Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.” (HR. Bukhari, no. 1093 dan Muslim, no. 701). Al-Bukhari menambahkan, “Beliau memberi isyarat dengan kepalanya, namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib.” Baca juga: Shalat Sunnah di Kendaraan Saat Safar Catatan: Jika musafir telah sampai di negerinya di pertengahan shalat, wajib baginya menghadap kiblat, juga wajib rukuk dan sujud karena sebab safar telah hilang. Sebagai penutup, ingatlah bahwa syarat sah shalat adalah fondasi ibadah kita. Dengan menyucikan diri, menutup aurat, berdiri di tempat suci, mengetahui waktu shalat, dan menghadap kiblat, kita mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah. Penuhi setiap syarat dengan niat tulus, karena shalat yang sah adalah kunci keberkahan hidup. Mari jaga kualitas shalat kita demi meraih ridha Allah subhanahu wata’ala. Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat syarat sah shalat syarat shalat

Hadis tentang Nabi Yang Menceraikan Istrinya Saat Baru Mau Didekati

السؤال لدي استفسار بخصوص حديث من أحاديث الرسول عليه أفضل الصلاة والسلام : لما أدخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم ابنة الجون ، ودنا منها ، قالت : أعوذ بالله منك . فقال : لقد عذت بعظيم , الحقي بأهلك . فما صحة هذا الحديث ؟ وما سبب تعوذها من الرسول صلى الله عليه وسلم وهي تعلم بأنه رسول الله ؟ وهل الرسول صلى الله عليه وسلم طلقها مِن تعوذها فقط ، أم هناك حكم أخرى ؟ Pertanyaan: Saya ingin mengetahui lebih jauh mengenai salah satu hadis Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengisahkan bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka beliau mendekatinya, lalu dia berkata,  “Aku berlindung kepada Allah darimu!”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.”  Sahihkah hadis ini?  Apa alasan dia berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, padahal dia mengetahui bahwa beliau adalah Rasulullah?  Apakah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menceraikannya hanya karena taawuznya itu, ataukah ada perkara lain? الجواب الحمد لله. أولا : هذه القصة صحيحة ، وردت في أحاديث عدة وسياقات يكمل بعضها بعضا : فروى البخاري رحمه الله في صحيحه (5254) عن الإمام الأوزاعي قَالَ : سَأَلْتُ الزُّهْرِي أَي أَزْوَاجِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم اسْتَعَاذَتْ مِنْهُ ؟ قَالَ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ ، عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : ( أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ لَهَا : لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ ، الْحَقِى بِأَهْلِكِ ) . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, kisah ini memang benar, disebutkan dalam beberapa hadis yang redaksinya saling melengkapi satu sama lain. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— meriwayatkan dalam Shahih-nya (5254) dari Imam al-Auza’i yang mengatakan, “Aku bertanya kepada az-Zuhri tentang siapa istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berlindung kepada Allah dari beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam?”  Dia berkata, “Urwah mengabarkan kepadaku dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (setelah menikahinya, pent.), maka beliau mendekatinya lalu dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah Tuhan darimu!’ Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.'” وروى البخاري أيضا في صحيحه (5255) عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى انْطَلَقْنَا إِلَى حَائِطٍ يُقَالُ لَهُ الشَّوْطُ ، حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى حَائِطَيْنِ ، فَجَلَسْنَا بَيْنَهُمَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : اجْلِسُوا هَا هُنَا . وَدَخَلَ وَقَدْ أُتِىَ بِالْجَوْنِيَّةِ ، فَأُنْزِلَتْ فِي بَيْتٍ فِي نَخْلٍ فِي بَيْتٍ أُمَيْمَةُ بِنْتُ النُّعْمَانِ بْنِ شَرَاحِيلَ ، وَمَعَهَا دَايَتُهَا حَاضِنَةٌ لَهَا ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya (5255) dari Abu Usaid —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Kami pergi bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga sampai pada suatu dinding yang disebut ‘asy-Syauṯh’, kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding, lalu duduk di antara keduanya. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Duduklah kalian di sini.’ Beliau pun masuk dan ternyata seorang perempuan dari Bani Jaun diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia ditempatkan di sebuah rumah di sebuah kebun kurma, yaitu di rumah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, ‘Hibahkan dirimu untukku.’ Wanita itu berkata, ‘Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?’  Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ maka beliau menimpalinya, ‘Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.’ Setelah itu, beliau keluar menemui kami dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.'” وروى أيضا رحمه الله (رقم/5256) عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلٍ عَنْ أَبِيهِ وَأَبِى أُسَيْدٍ قَالاَ : ( تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أُمَيْمَةَ بِنْتَ شَرَاحِيلَ ، فَلَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا ، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا ثَوْبَيْنِ رَازِقِيَّيْنِ ) ثياب من كتان بيض طوال. وروى أيضا رحمه الله (رقم/5637) عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةٌ مِنَ الْعَرَبِ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ السَّاعِدِيَّ أَنْ يُرْسِلَ إِلَيْهَا ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا ، فَقَدِمَتْ فَنَزَلَتْ فِي أُجُمِ بَنِي سَاعِدَةَ ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى جَاءَهَا ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مُنَكِّسَةٌ رَأْسَهَا ، فَلَمَّا كَلَّمَهَا النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ. فَقَالَ : قَدْ أَعَذْتُكِ مِنِّى . فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ . فَأَقْبَلَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ حَتَّى جَلَسَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ ، ثُمَّ قَالَ : اسْقِنَا يَا سَهْلُ . فَخَرَجْتُ لَهُمْ بِهَذَا الْقَدَحِ فَأَسْقَيْتُهُمْ فِيهِ ، فَأَخْرَجَ لَنَا سَهْلٌ ذَلِكَ الْقَدَحَ فَشَرِبْنَا مِنْهُ . قَالَ : ثُمَّ اسْتَوْهَبَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بَعْدَ ذَلِكَ فَوَهَبَهُ لَهُ ) ورواه مسلم أيضا (2007)، الأجم : الحصون . Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5256) dari Abbas bin Sahl dari ayahnya dan Abu Usaid, yang mengisahkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Umaimah binti Syarahil. Ketika dia diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia mengulurkan tangannya padanya, tetapi tampaknya dia tidak menyukai perbuatan beliau itu, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan Abu Usaid untuk mempersiapkan untuknya dua helai kain Rāziqiyyah (yaitu kain katun putih panjang).  Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5637) dari Sahl bin Saad —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika disampaikan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salah seorang wanita Arab, maka beliau pun memerintahkan Abu Usaid as-Sāʿidi untuk mengantarkannya kepadanya. Saat sudah sampai kepadanya, wanita itu datang dan tinggal di benteng milik Bani Sa’idah. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar, mendatanginya, dan masuk menemuinya. Ternyata wanita itu selalu menundukkan kepalanya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajaknya bicara, wanita itu justru berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.”  Beliau menjawab, “Baiklah, aku lindungi kamu dari diriku!”  Setelah itu, mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?”  Wanita itu menjawab, “Tidak.”  Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.”  Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Pada hari itu, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi Bani Sa’idah dan duduk bersama para Sahabat beliau di paviliun Bani Sa’idah, kemudian beliau bersabda, “Beri kami minum, wahai Sahl.”  Sahl bin Saad mengatakan, “Lalu aku keluar membawa mangkuk ini, yang aku pakai untuk memberikan minuman kepada mereka.” Lalu si Sahl mengeluarkan mangkuk tersebut untuk kami dan kami pun meminum air darinya.”  Perawi berkata, “Kemudian, Umar bin Abdul Aziz meminta agar mangkuk itu dihibahkan kepadanya, maka mangkuk tersebut dihibahkan kepadanya.” (HR. Muslim (2007)). ثانيا :  اختلف العلماء في اسم هذه المرأة على أقوال سبعة ، ولكن الراجح منها عند أكثرهم هو :   ” أميمة بنت النعمان بن شراحيل ” كما تصرح رواية حديث أبي أسيد . وقيل اسمها أسماء . ثالثا : لماذا استعاذت المرأة الجونية من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ يمكن توجيه ذلك ببعض الأجوبة الآتية : Kedua, para ulama berbeda pendapat menjadi tujuh pendapat mengenai nama wanita ini, tetapi yang lebih tepat menurut mayoritas ulama adalah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, sebagaimana jelas disebutkan dalam riwayat Abu Usaid. Ada yang bilang namanya Asma’. Ketiga, mengapa wanita dari Bani Jaun ini meminta perlindungan kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Hal ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut ini: 1- قد يقال إنها لم تكن تَعرِفُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم ، بدليل الرواية الأخيرة من الروايات المذكورة أعلاه ، وفيها : (. فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ ) يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” وقال غيره : يحتمل أنها لم تعرفه صلى الله عليه وسلم ، فخاطبته بذلك . وسياق القصة من مجموع طرقها يأبى هذا الاحتمال . Dapat dikatakan bahwa dia belum mengenal Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dengan dalil riwayat terakhir dari riwayat-riwayat yang disebutkan di atas, di mana disebutkan bahwa mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?” Wanita itu menjawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.” Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sehingga menanggapi beliau berdasarkan ketidaktahuannya itu. Redaksi cerita ini dengan keseluruhan jalurnya membuat kemungkinan itu tidak mungkin. نعم سيأتي في أواخر الأشربة من طريق أبي حازم ، عن سهل بن سعد – فذكر الرواية الأخيرة ، ثم قال : – فإن كانت القصة واحدة فلا يكون قوله في حديث الباب : ( ألحقها بأهلها ) ، ولا قوله في حديث عائشة : ( الحقي بأهلك ) تطليقا ، ويتعين أنها لم تعرفه . وإن كانت القصة متعددة – ولا مانع من ذلك – فلعل هذه المرأة هي الكلابية التي وقع فيها الاضطراب ” انتهى. “فتح الباري” (9/358) Ya, akan disebutkan riwayat terakhir dari Abu Hazim dari Sahl bin Saad—lalu beliau menyebutkan riwayat akhir itu—kemudian berkata bahwa jika memang semua kisah ini satu kesatuan, maka sabda beliau dalam salah satu hadis tentang kisah ini, “Pulangkanlah dia kepada keluarganya,” demikian pula dalam hadis Aisyah, “Pulanglah kepada keluargamu,” tidak berarti talak, kalau begitu baru bisa dipastikan kalau dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun jika hadis-hadis itu adalah kisah yang berbeda, maka kemungkinan itu bisa saja, jadi, bisa jadi wanita ini adalah wanita Kullabiyah yang diperselisihkan para ulama. Selesai kutipan dari Fathul Bari (9/358) 2- ويذكر بعض أهل العلم أن سبب استعاذتها من النبي صلى الله عليه وسلم ما غرها به بعض أزواجه صلى الله عليه وسلم ، حيث أوهموها أن النبي صلى الله عليه وسلم يحب هذه الكلمة ، فقالتها رغبة في التقرب إليه ، وهي لا تدري أن النبي صلى الله عليه وسلم سيعيذها من نفسه بالفراق إن سمعها منه . جاء ذلك من طرق ثلاثة : الطريق الأولى : يرويها ابن سعد في “الطبقات” (8/143-148)، والحاكم في “المستدرك” (4/39)، من طريق محمد بن عمر الواقدي وهو ضعيف في الحديث . Sebagian ulama menyatakan bahwa alasan dia berlindung dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah karena adanya istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengelabuinya dengan mengatakan kepadanya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai kalimat tersebut, maka dia mengucapkannya karena ingin lebih akrab dengan beliau, sedangkan dia tidak mengetahui bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memang akan melindunginya dari dirinya dengan menceraikannya jika beliau mendengarnya darinya. Disebutkan dalam tiga jalur riwayat; Riwayat pertama, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/143-148) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/39) dari jalur Muhammad bin Umar al-Waqidi, tetapi hadisnya lemah. والطريق الثانية : يرويها ابن سعد في الطبقات (8/144) بسنده عن سعيد بن عبد الرحمن بن أبزى قال: (الجونية استعاذت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وقيل لها : هو أحظى لك عنده . ولم تستعذ منه امرأة غيرها ، وإنما خدعت لما رؤي من جمالها وهيئتها ، ولقد ذكر لرسول الله من حملها على ما قالت لرسول الله ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنهن صواحب يوسف ). Riwayat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/144) dengan sanadnya dari Said bin Abdurrahman bin Abza yang berkata bahwa seorang wanita dari Bani al-Jauni berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dikatakan kepadanya, “Itu akan membuatmu semakin mulia di sisi beliau,” padahal tidak ada istri-istri lain yang berlindung dari beliau, hanya saja dia telah ditipu, karena dia memang tampak elok kecantikan dan perawakannya. Ketika disampaikan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebab dia mengucapkan ucapan itu kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Mereka memang seperti wanita-wanita di zaman Yusuf.” الطريق الثالثة : رواها ابن سعد أيضا في “الطبقات” (8م145) قال : أخبرنا هشام بن محمد بن السائب ، عن أبيه ، عن أبي صالح ، عن بن عباس قال : ( تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم أسماء بنت النعمان ، وكانت من أجمل أهل زمانها وأشبهم ، قال فلما جعل رسول الله يتزوج الغرائب قالت عائشة : قد وضع يده في الغرائب يوشكن أن يصرفن وجهه عنا . وكان خطبها حين وفدت كندة عليه إلى أبيها ، فلما رآها نساء النبي صلى الله عليه وسلم حسدنها ، فقلن لها : إن أردت أن تحظي عنده فتعوذي بالله منه إذا دخل عليك . فلما دخل وألقى الستر مد يده إليها ، فقالت : أعوذ بالله منك . فقال: أمن عائذ الله ! الحقي بأهلك ) Riwayat ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/145) yang mengatakan, “Hisyam bin Muhammad bin as-Sa’ib mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Asma binti an-Nu’man. Dia adalah salah satu wanita paling cantik dan tampak muda pada masanya. Ketika Rasulullah menikahi orang asing (dari suku lain, pent.), Aisyah berkata, “Beliau telah meletakkan tangannya (memilih istri) dari orang-orang asing hingga hampir-hampir wajah beliau berpaling dari kami. Dia melamarnya melalui ayahnya ketika ada delegasi Kindah datang menemui beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melihatnya, mereka iri padanya lalu berkata kepadanya, ‘Jika engkau ingin lebih mulia di sisi beliau, maka berlindunglah kepada Allah darinya saat beliau masuk menemuimu.’ Lantas ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya dan membuka cadarnya sembari mengulurkan tangannya padanya, tetapi dia malah berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menimpali, ‘Orang yang berlindung kepada Allah telah aman! Pulanglah kepada keluargamu!’” وروى أيضا قال : أخبرنا هشام بن محمد ، حدثني ابن الغسيل ، عن حمزة بن أبي أسيد الساعدي ، عن أبيه – وكان بدريا – قال : ( تزوج رسول الله أسماء بنت النعمان الجونية ، فأرسلني فجئت بها ، فقالت حفصة لعائشة أو عائشة لحفصة : اخضبيها أنت وأنا أمشطها ، ففعلن ، ثم قالت لها إحداهما : إن النبي، صلى الله عليه وسلم يعجبه من المرأة إذا دخلت عليه أن تقول أعوذ بالله منك . فلما دخلت عليه وأغلق الباب وأرخى الستر مد يده إليها فقالت : أعوذ بالله منك .فقال بكمه على وجهه فاستتر به وقال : عذت معاذا ، ثلاث مرات . قال أبو أسيد ثم خرج علي فقال : يا أبا أسيد ألحقها بأهلها ومتعها برازقيتين ، يعني كرباستين ، فكانت تقول : دعوني الشقية ) . وهذه الطرق قد يعضد بعضها بعضا ويستشهد بمجموعها على أن لذلك أصلا . Dia juga meriwayatkan, “Hisyam bin Muhammad mengabarkan kepada kami; Ibnul Ghasil menceritakan kepadaku dari Hamzah bin Abi Usaid as-Sāʿidi dari ayahnya—yang keduanya adalah veteran perang Badar— yang mengatakan, ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengawini Asma binti an-Nu’man al-Jauniyah, lalu beliau mengutusku dan aku datang mengantarkannya kepada beliau. Hafsah berkata kepada Aisyah, atau Aisyah yang berkata kepada Hafsah, ‘Kamu warnai rambutnya dan aku yang menyisirnya.’ Mereka lalu melakukannya, dan salah satu di antara mereka berkata kepadanya, ‘Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai wanita yang apabila beliau menemuinya, dia mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Lalu, ketika wanita itu didatangkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau menutup pintu dan menurunkan tirai, kemudian mengulurkan tangannya padanya, si wanita itu berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Beliau lalu berkata dengan meletakkan lengan bajunya pada wajahnya dengan menutupinya dengannya seraya berkata. ‘Kamu telah dilindungi dariku,’ sebanyak tiga kali.”  Abu Usaid mengatakan, “Kemudian, beliau keluar menemuiku dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, pulangkan dia kepada keluarganya dan berilah dia Mutʿah (semacam hadiah perceraian, pent.) dengan dua kain Rāziqiyyah (yakni kain tebal dari katun).’ Ketika itu dia berkata, ‘Apes sekali nasibku!’” Riwayat dengan jalur-jalur di atas mungkin saling menguatkan dan secara keseluruhan mengindikasikan memang ini yang sebenarnya terjadi. 3- وذكر آخرون من أهل العلم أن سبب استعاذتها هو تكبرها ، حيث كانت جميلة وفي بيت من بيوت ملوك العرب ، وكانت ترغب عن الزواج بمن ليس بِمَلِك ، وهذا يؤيده ما جاء في الرواية المذكورة أعلاه ، وفيها : ( فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Ulama lain menyebutkan bahwa alasan dia berlindung dari beliau adalah karena kesombongannya, karena dia cantik dan berada di rumah salah satu raja Arab. Dia enggan menikah dengan orang yang bukan raja. Hal ini didukung dengan salah satu riwayat yang disebutkan di atas, yang menyebutkan bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, beliau berkata, “Hibahkan dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?” Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu,” maka beliau menimpalinya, “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar menemui kita dan berkata, “Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.” يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” ( السُّوقة ) قيل لهم ذلك لأن الملك يسوقهم فيساقون إليه ، ويصرفهم على مراده ، وأما أهل السوق فالواحد منهم سوقي . قال ابن المنير : هذا من بقية ما كان فيها من الجاهلية ، والسوقة عندهم من ليس بملك كائنا من كان ، فكأنها استبعدت أن يتزوج الملكة من ليس بملك ، وكان صلى الله عليه وسلم قد خير أن يكون ملكا نبيا ، فاختار أن يكون عبدا نبيا ، تواضعا منه صلى الله عليه وسلم لربه ، ولم يؤاخذها النبي صلى الله عليه وسلم بكلامها ، معذرة لها لقرب عهدها بجاهليتها ” انتهى.”فتح الباري” (9/358) Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa rakyat jelata disebut Sūqah (orang-orang yang digiring, pent.) karena raja yang mengarahkan mereka dan mereka digiring kepadanya, dan dia menyetir mereka sesuai kemauannya. Adapun orang-orang pasar, bentuk tunggalnya adalah Sūqi. Ibnul Munir mengatakan bahwa ini adalah dari sisa-sisa adat zaman jahiliah mereka. Sūqah menurut mereka adalah orang yang bukan raja, siapa pun dia, sehingga seolah-olah maksudnya adalah bahwa dia adalah seorang ratu yang berlindung agar tidak dinikahi seseorang yang bukan seorang raja, padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah diberi pilihan untuk menjadi seorang raja sekaligus nabi, tetapi beliau sendiri yang memilih menjadi seorang hamba sekaligus nabi karena kerendahan hati beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hadapan Tuhannya. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menghukumnya atas ucapannya, karena memakluminya yang belum lama meninggalkan kejahiliannya. Selesai kutipan. Fathul Bari (9/358) هذا ما تحصَّل ذكرُه من أسباب جاءت بها الروايات وكلام أهل العلم ، وكله يدل على كريم أخلاقه صلى الله عليه وسلم ، حيث لم يكن يرضى أن يتزوج مَن يشعر أنها لا ترغبه ، وكان يأبى صلى الله عليه وسلم أن يصيب أحدا من المسلمين بأذى في نفسه أو ماله . والله أعلم . Inilah alasan-alasan yang disimpulkan dari riwayat dan perkataan para ulama, yang semuanya menunjukkan akhlak mulia beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di mana beliau tidak memaksakan diri menikah dengan orang yang menurut beliau tidak mau dengan beliau. Beliau juga tidak mau ada satu pun umat Islam yang diganggu jiwa maupun hartanya. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/118282/حديث-المراة-التي-رغبت-عن-اقتراب-رسول-الله-صلى-الله-عليه-وسلم-منها PDF sumber artikel. 🔍 Muttafaq Alaih Adalah, Shollu Alan Nabi Muhammad, Pengertian Wali Allah, Lafal Ijab Kabul Bahasa Arab, Siti Jenar Wali Songo, Doa Bayi Dalam Kandungan Visited 803 times, 5 visit(s) today Post Views: 658 QRIS donasi Yufid

Hadis tentang Nabi Yang Menceraikan Istrinya Saat Baru Mau Didekati

السؤال لدي استفسار بخصوص حديث من أحاديث الرسول عليه أفضل الصلاة والسلام : لما أدخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم ابنة الجون ، ودنا منها ، قالت : أعوذ بالله منك . فقال : لقد عذت بعظيم , الحقي بأهلك . فما صحة هذا الحديث ؟ وما سبب تعوذها من الرسول صلى الله عليه وسلم وهي تعلم بأنه رسول الله ؟ وهل الرسول صلى الله عليه وسلم طلقها مِن تعوذها فقط ، أم هناك حكم أخرى ؟ Pertanyaan: Saya ingin mengetahui lebih jauh mengenai salah satu hadis Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengisahkan bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka beliau mendekatinya, lalu dia berkata,  “Aku berlindung kepada Allah darimu!”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.”  Sahihkah hadis ini?  Apa alasan dia berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, padahal dia mengetahui bahwa beliau adalah Rasulullah?  Apakah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menceraikannya hanya karena taawuznya itu, ataukah ada perkara lain? الجواب الحمد لله. أولا : هذه القصة صحيحة ، وردت في أحاديث عدة وسياقات يكمل بعضها بعضا : فروى البخاري رحمه الله في صحيحه (5254) عن الإمام الأوزاعي قَالَ : سَأَلْتُ الزُّهْرِي أَي أَزْوَاجِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم اسْتَعَاذَتْ مِنْهُ ؟ قَالَ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ ، عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : ( أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ لَهَا : لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ ، الْحَقِى بِأَهْلِكِ ) . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, kisah ini memang benar, disebutkan dalam beberapa hadis yang redaksinya saling melengkapi satu sama lain. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— meriwayatkan dalam Shahih-nya (5254) dari Imam al-Auza’i yang mengatakan, “Aku bertanya kepada az-Zuhri tentang siapa istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berlindung kepada Allah dari beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam?”  Dia berkata, “Urwah mengabarkan kepadaku dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (setelah menikahinya, pent.), maka beliau mendekatinya lalu dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah Tuhan darimu!’ Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.'” وروى البخاري أيضا في صحيحه (5255) عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى انْطَلَقْنَا إِلَى حَائِطٍ يُقَالُ لَهُ الشَّوْطُ ، حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى حَائِطَيْنِ ، فَجَلَسْنَا بَيْنَهُمَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : اجْلِسُوا هَا هُنَا . وَدَخَلَ وَقَدْ أُتِىَ بِالْجَوْنِيَّةِ ، فَأُنْزِلَتْ فِي بَيْتٍ فِي نَخْلٍ فِي بَيْتٍ أُمَيْمَةُ بِنْتُ النُّعْمَانِ بْنِ شَرَاحِيلَ ، وَمَعَهَا دَايَتُهَا حَاضِنَةٌ لَهَا ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya (5255) dari Abu Usaid —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Kami pergi bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga sampai pada suatu dinding yang disebut ‘asy-Syauṯh’, kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding, lalu duduk di antara keduanya. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Duduklah kalian di sini.’ Beliau pun masuk dan ternyata seorang perempuan dari Bani Jaun diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia ditempatkan di sebuah rumah di sebuah kebun kurma, yaitu di rumah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, ‘Hibahkan dirimu untukku.’ Wanita itu berkata, ‘Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?’  Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ maka beliau menimpalinya, ‘Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.’ Setelah itu, beliau keluar menemui kami dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.'” وروى أيضا رحمه الله (رقم/5256) عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلٍ عَنْ أَبِيهِ وَأَبِى أُسَيْدٍ قَالاَ : ( تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أُمَيْمَةَ بِنْتَ شَرَاحِيلَ ، فَلَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا ، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا ثَوْبَيْنِ رَازِقِيَّيْنِ ) ثياب من كتان بيض طوال. وروى أيضا رحمه الله (رقم/5637) عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةٌ مِنَ الْعَرَبِ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ السَّاعِدِيَّ أَنْ يُرْسِلَ إِلَيْهَا ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا ، فَقَدِمَتْ فَنَزَلَتْ فِي أُجُمِ بَنِي سَاعِدَةَ ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى جَاءَهَا ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مُنَكِّسَةٌ رَأْسَهَا ، فَلَمَّا كَلَّمَهَا النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ. فَقَالَ : قَدْ أَعَذْتُكِ مِنِّى . فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ . فَأَقْبَلَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ حَتَّى جَلَسَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ ، ثُمَّ قَالَ : اسْقِنَا يَا سَهْلُ . فَخَرَجْتُ لَهُمْ بِهَذَا الْقَدَحِ فَأَسْقَيْتُهُمْ فِيهِ ، فَأَخْرَجَ لَنَا سَهْلٌ ذَلِكَ الْقَدَحَ فَشَرِبْنَا مِنْهُ . قَالَ : ثُمَّ اسْتَوْهَبَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بَعْدَ ذَلِكَ فَوَهَبَهُ لَهُ ) ورواه مسلم أيضا (2007)، الأجم : الحصون . Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5256) dari Abbas bin Sahl dari ayahnya dan Abu Usaid, yang mengisahkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Umaimah binti Syarahil. Ketika dia diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia mengulurkan tangannya padanya, tetapi tampaknya dia tidak menyukai perbuatan beliau itu, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan Abu Usaid untuk mempersiapkan untuknya dua helai kain Rāziqiyyah (yaitu kain katun putih panjang).  Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5637) dari Sahl bin Saad —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika disampaikan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salah seorang wanita Arab, maka beliau pun memerintahkan Abu Usaid as-Sāʿidi untuk mengantarkannya kepadanya. Saat sudah sampai kepadanya, wanita itu datang dan tinggal di benteng milik Bani Sa’idah. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar, mendatanginya, dan masuk menemuinya. Ternyata wanita itu selalu menundukkan kepalanya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajaknya bicara, wanita itu justru berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.”  Beliau menjawab, “Baiklah, aku lindungi kamu dari diriku!”  Setelah itu, mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?”  Wanita itu menjawab, “Tidak.”  Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.”  Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Pada hari itu, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi Bani Sa’idah dan duduk bersama para Sahabat beliau di paviliun Bani Sa’idah, kemudian beliau bersabda, “Beri kami minum, wahai Sahl.”  Sahl bin Saad mengatakan, “Lalu aku keluar membawa mangkuk ini, yang aku pakai untuk memberikan minuman kepada mereka.” Lalu si Sahl mengeluarkan mangkuk tersebut untuk kami dan kami pun meminum air darinya.”  Perawi berkata, “Kemudian, Umar bin Abdul Aziz meminta agar mangkuk itu dihibahkan kepadanya, maka mangkuk tersebut dihibahkan kepadanya.” (HR. Muslim (2007)). ثانيا :  اختلف العلماء في اسم هذه المرأة على أقوال سبعة ، ولكن الراجح منها عند أكثرهم هو :   ” أميمة بنت النعمان بن شراحيل ” كما تصرح رواية حديث أبي أسيد . وقيل اسمها أسماء . ثالثا : لماذا استعاذت المرأة الجونية من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ يمكن توجيه ذلك ببعض الأجوبة الآتية : Kedua, para ulama berbeda pendapat menjadi tujuh pendapat mengenai nama wanita ini, tetapi yang lebih tepat menurut mayoritas ulama adalah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, sebagaimana jelas disebutkan dalam riwayat Abu Usaid. Ada yang bilang namanya Asma’. Ketiga, mengapa wanita dari Bani Jaun ini meminta perlindungan kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Hal ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut ini: 1- قد يقال إنها لم تكن تَعرِفُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم ، بدليل الرواية الأخيرة من الروايات المذكورة أعلاه ، وفيها : (. فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ ) يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” وقال غيره : يحتمل أنها لم تعرفه صلى الله عليه وسلم ، فخاطبته بذلك . وسياق القصة من مجموع طرقها يأبى هذا الاحتمال . Dapat dikatakan bahwa dia belum mengenal Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dengan dalil riwayat terakhir dari riwayat-riwayat yang disebutkan di atas, di mana disebutkan bahwa mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?” Wanita itu menjawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.” Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sehingga menanggapi beliau berdasarkan ketidaktahuannya itu. Redaksi cerita ini dengan keseluruhan jalurnya membuat kemungkinan itu tidak mungkin. نعم سيأتي في أواخر الأشربة من طريق أبي حازم ، عن سهل بن سعد – فذكر الرواية الأخيرة ، ثم قال : – فإن كانت القصة واحدة فلا يكون قوله في حديث الباب : ( ألحقها بأهلها ) ، ولا قوله في حديث عائشة : ( الحقي بأهلك ) تطليقا ، ويتعين أنها لم تعرفه . وإن كانت القصة متعددة – ولا مانع من ذلك – فلعل هذه المرأة هي الكلابية التي وقع فيها الاضطراب ” انتهى. “فتح الباري” (9/358) Ya, akan disebutkan riwayat terakhir dari Abu Hazim dari Sahl bin Saad—lalu beliau menyebutkan riwayat akhir itu—kemudian berkata bahwa jika memang semua kisah ini satu kesatuan, maka sabda beliau dalam salah satu hadis tentang kisah ini, “Pulangkanlah dia kepada keluarganya,” demikian pula dalam hadis Aisyah, “Pulanglah kepada keluargamu,” tidak berarti talak, kalau begitu baru bisa dipastikan kalau dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun jika hadis-hadis itu adalah kisah yang berbeda, maka kemungkinan itu bisa saja, jadi, bisa jadi wanita ini adalah wanita Kullabiyah yang diperselisihkan para ulama. Selesai kutipan dari Fathul Bari (9/358) 2- ويذكر بعض أهل العلم أن سبب استعاذتها من النبي صلى الله عليه وسلم ما غرها به بعض أزواجه صلى الله عليه وسلم ، حيث أوهموها أن النبي صلى الله عليه وسلم يحب هذه الكلمة ، فقالتها رغبة في التقرب إليه ، وهي لا تدري أن النبي صلى الله عليه وسلم سيعيذها من نفسه بالفراق إن سمعها منه . جاء ذلك من طرق ثلاثة : الطريق الأولى : يرويها ابن سعد في “الطبقات” (8/143-148)، والحاكم في “المستدرك” (4/39)، من طريق محمد بن عمر الواقدي وهو ضعيف في الحديث . Sebagian ulama menyatakan bahwa alasan dia berlindung dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah karena adanya istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengelabuinya dengan mengatakan kepadanya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai kalimat tersebut, maka dia mengucapkannya karena ingin lebih akrab dengan beliau, sedangkan dia tidak mengetahui bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memang akan melindunginya dari dirinya dengan menceraikannya jika beliau mendengarnya darinya. Disebutkan dalam tiga jalur riwayat; Riwayat pertama, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/143-148) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/39) dari jalur Muhammad bin Umar al-Waqidi, tetapi hadisnya lemah. والطريق الثانية : يرويها ابن سعد في الطبقات (8/144) بسنده عن سعيد بن عبد الرحمن بن أبزى قال: (الجونية استعاذت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وقيل لها : هو أحظى لك عنده . ولم تستعذ منه امرأة غيرها ، وإنما خدعت لما رؤي من جمالها وهيئتها ، ولقد ذكر لرسول الله من حملها على ما قالت لرسول الله ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنهن صواحب يوسف ). Riwayat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/144) dengan sanadnya dari Said bin Abdurrahman bin Abza yang berkata bahwa seorang wanita dari Bani al-Jauni berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dikatakan kepadanya, “Itu akan membuatmu semakin mulia di sisi beliau,” padahal tidak ada istri-istri lain yang berlindung dari beliau, hanya saja dia telah ditipu, karena dia memang tampak elok kecantikan dan perawakannya. Ketika disampaikan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebab dia mengucapkan ucapan itu kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Mereka memang seperti wanita-wanita di zaman Yusuf.” الطريق الثالثة : رواها ابن سعد أيضا في “الطبقات” (8م145) قال : أخبرنا هشام بن محمد بن السائب ، عن أبيه ، عن أبي صالح ، عن بن عباس قال : ( تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم أسماء بنت النعمان ، وكانت من أجمل أهل زمانها وأشبهم ، قال فلما جعل رسول الله يتزوج الغرائب قالت عائشة : قد وضع يده في الغرائب يوشكن أن يصرفن وجهه عنا . وكان خطبها حين وفدت كندة عليه إلى أبيها ، فلما رآها نساء النبي صلى الله عليه وسلم حسدنها ، فقلن لها : إن أردت أن تحظي عنده فتعوذي بالله منه إذا دخل عليك . فلما دخل وألقى الستر مد يده إليها ، فقالت : أعوذ بالله منك . فقال: أمن عائذ الله ! الحقي بأهلك ) Riwayat ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/145) yang mengatakan, “Hisyam bin Muhammad bin as-Sa’ib mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Asma binti an-Nu’man. Dia adalah salah satu wanita paling cantik dan tampak muda pada masanya. Ketika Rasulullah menikahi orang asing (dari suku lain, pent.), Aisyah berkata, “Beliau telah meletakkan tangannya (memilih istri) dari orang-orang asing hingga hampir-hampir wajah beliau berpaling dari kami. Dia melamarnya melalui ayahnya ketika ada delegasi Kindah datang menemui beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melihatnya, mereka iri padanya lalu berkata kepadanya, ‘Jika engkau ingin lebih mulia di sisi beliau, maka berlindunglah kepada Allah darinya saat beliau masuk menemuimu.’ Lantas ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya dan membuka cadarnya sembari mengulurkan tangannya padanya, tetapi dia malah berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menimpali, ‘Orang yang berlindung kepada Allah telah aman! Pulanglah kepada keluargamu!’” وروى أيضا قال : أخبرنا هشام بن محمد ، حدثني ابن الغسيل ، عن حمزة بن أبي أسيد الساعدي ، عن أبيه – وكان بدريا – قال : ( تزوج رسول الله أسماء بنت النعمان الجونية ، فأرسلني فجئت بها ، فقالت حفصة لعائشة أو عائشة لحفصة : اخضبيها أنت وأنا أمشطها ، ففعلن ، ثم قالت لها إحداهما : إن النبي، صلى الله عليه وسلم يعجبه من المرأة إذا دخلت عليه أن تقول أعوذ بالله منك . فلما دخلت عليه وأغلق الباب وأرخى الستر مد يده إليها فقالت : أعوذ بالله منك .فقال بكمه على وجهه فاستتر به وقال : عذت معاذا ، ثلاث مرات . قال أبو أسيد ثم خرج علي فقال : يا أبا أسيد ألحقها بأهلها ومتعها برازقيتين ، يعني كرباستين ، فكانت تقول : دعوني الشقية ) . وهذه الطرق قد يعضد بعضها بعضا ويستشهد بمجموعها على أن لذلك أصلا . Dia juga meriwayatkan, “Hisyam bin Muhammad mengabarkan kepada kami; Ibnul Ghasil menceritakan kepadaku dari Hamzah bin Abi Usaid as-Sāʿidi dari ayahnya—yang keduanya adalah veteran perang Badar— yang mengatakan, ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengawini Asma binti an-Nu’man al-Jauniyah, lalu beliau mengutusku dan aku datang mengantarkannya kepada beliau. Hafsah berkata kepada Aisyah, atau Aisyah yang berkata kepada Hafsah, ‘Kamu warnai rambutnya dan aku yang menyisirnya.’ Mereka lalu melakukannya, dan salah satu di antara mereka berkata kepadanya, ‘Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai wanita yang apabila beliau menemuinya, dia mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Lalu, ketika wanita itu didatangkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau menutup pintu dan menurunkan tirai, kemudian mengulurkan tangannya padanya, si wanita itu berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Beliau lalu berkata dengan meletakkan lengan bajunya pada wajahnya dengan menutupinya dengannya seraya berkata. ‘Kamu telah dilindungi dariku,’ sebanyak tiga kali.”  Abu Usaid mengatakan, “Kemudian, beliau keluar menemuiku dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, pulangkan dia kepada keluarganya dan berilah dia Mutʿah (semacam hadiah perceraian, pent.) dengan dua kain Rāziqiyyah (yakni kain tebal dari katun).’ Ketika itu dia berkata, ‘Apes sekali nasibku!’” Riwayat dengan jalur-jalur di atas mungkin saling menguatkan dan secara keseluruhan mengindikasikan memang ini yang sebenarnya terjadi. 3- وذكر آخرون من أهل العلم أن سبب استعاذتها هو تكبرها ، حيث كانت جميلة وفي بيت من بيوت ملوك العرب ، وكانت ترغب عن الزواج بمن ليس بِمَلِك ، وهذا يؤيده ما جاء في الرواية المذكورة أعلاه ، وفيها : ( فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Ulama lain menyebutkan bahwa alasan dia berlindung dari beliau adalah karena kesombongannya, karena dia cantik dan berada di rumah salah satu raja Arab. Dia enggan menikah dengan orang yang bukan raja. Hal ini didukung dengan salah satu riwayat yang disebutkan di atas, yang menyebutkan bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, beliau berkata, “Hibahkan dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?” Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu,” maka beliau menimpalinya, “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar menemui kita dan berkata, “Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.” يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” ( السُّوقة ) قيل لهم ذلك لأن الملك يسوقهم فيساقون إليه ، ويصرفهم على مراده ، وأما أهل السوق فالواحد منهم سوقي . قال ابن المنير : هذا من بقية ما كان فيها من الجاهلية ، والسوقة عندهم من ليس بملك كائنا من كان ، فكأنها استبعدت أن يتزوج الملكة من ليس بملك ، وكان صلى الله عليه وسلم قد خير أن يكون ملكا نبيا ، فاختار أن يكون عبدا نبيا ، تواضعا منه صلى الله عليه وسلم لربه ، ولم يؤاخذها النبي صلى الله عليه وسلم بكلامها ، معذرة لها لقرب عهدها بجاهليتها ” انتهى.”فتح الباري” (9/358) Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa rakyat jelata disebut Sūqah (orang-orang yang digiring, pent.) karena raja yang mengarahkan mereka dan mereka digiring kepadanya, dan dia menyetir mereka sesuai kemauannya. Adapun orang-orang pasar, bentuk tunggalnya adalah Sūqi. Ibnul Munir mengatakan bahwa ini adalah dari sisa-sisa adat zaman jahiliah mereka. Sūqah menurut mereka adalah orang yang bukan raja, siapa pun dia, sehingga seolah-olah maksudnya adalah bahwa dia adalah seorang ratu yang berlindung agar tidak dinikahi seseorang yang bukan seorang raja, padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah diberi pilihan untuk menjadi seorang raja sekaligus nabi, tetapi beliau sendiri yang memilih menjadi seorang hamba sekaligus nabi karena kerendahan hati beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hadapan Tuhannya. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menghukumnya atas ucapannya, karena memakluminya yang belum lama meninggalkan kejahiliannya. Selesai kutipan. Fathul Bari (9/358) هذا ما تحصَّل ذكرُه من أسباب جاءت بها الروايات وكلام أهل العلم ، وكله يدل على كريم أخلاقه صلى الله عليه وسلم ، حيث لم يكن يرضى أن يتزوج مَن يشعر أنها لا ترغبه ، وكان يأبى صلى الله عليه وسلم أن يصيب أحدا من المسلمين بأذى في نفسه أو ماله . والله أعلم . Inilah alasan-alasan yang disimpulkan dari riwayat dan perkataan para ulama, yang semuanya menunjukkan akhlak mulia beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di mana beliau tidak memaksakan diri menikah dengan orang yang menurut beliau tidak mau dengan beliau. Beliau juga tidak mau ada satu pun umat Islam yang diganggu jiwa maupun hartanya. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/118282/حديث-المراة-التي-رغبت-عن-اقتراب-رسول-الله-صلى-الله-عليه-وسلم-منها PDF sumber artikel. 🔍 Muttafaq Alaih Adalah, Shollu Alan Nabi Muhammad, Pengertian Wali Allah, Lafal Ijab Kabul Bahasa Arab, Siti Jenar Wali Songo, Doa Bayi Dalam Kandungan Visited 803 times, 5 visit(s) today Post Views: 658 QRIS donasi Yufid
السؤال لدي استفسار بخصوص حديث من أحاديث الرسول عليه أفضل الصلاة والسلام : لما أدخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم ابنة الجون ، ودنا منها ، قالت : أعوذ بالله منك . فقال : لقد عذت بعظيم , الحقي بأهلك . فما صحة هذا الحديث ؟ وما سبب تعوذها من الرسول صلى الله عليه وسلم وهي تعلم بأنه رسول الله ؟ وهل الرسول صلى الله عليه وسلم طلقها مِن تعوذها فقط ، أم هناك حكم أخرى ؟ Pertanyaan: Saya ingin mengetahui lebih jauh mengenai salah satu hadis Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengisahkan bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka beliau mendekatinya, lalu dia berkata,  “Aku berlindung kepada Allah darimu!”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.”  Sahihkah hadis ini?  Apa alasan dia berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, padahal dia mengetahui bahwa beliau adalah Rasulullah?  Apakah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menceraikannya hanya karena taawuznya itu, ataukah ada perkara lain? الجواب الحمد لله. أولا : هذه القصة صحيحة ، وردت في أحاديث عدة وسياقات يكمل بعضها بعضا : فروى البخاري رحمه الله في صحيحه (5254) عن الإمام الأوزاعي قَالَ : سَأَلْتُ الزُّهْرِي أَي أَزْوَاجِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم اسْتَعَاذَتْ مِنْهُ ؟ قَالَ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ ، عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : ( أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ لَهَا : لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ ، الْحَقِى بِأَهْلِكِ ) . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, kisah ini memang benar, disebutkan dalam beberapa hadis yang redaksinya saling melengkapi satu sama lain. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— meriwayatkan dalam Shahih-nya (5254) dari Imam al-Auza’i yang mengatakan, “Aku bertanya kepada az-Zuhri tentang siapa istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berlindung kepada Allah dari beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam?”  Dia berkata, “Urwah mengabarkan kepadaku dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (setelah menikahinya, pent.), maka beliau mendekatinya lalu dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah Tuhan darimu!’ Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.'” وروى البخاري أيضا في صحيحه (5255) عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى انْطَلَقْنَا إِلَى حَائِطٍ يُقَالُ لَهُ الشَّوْطُ ، حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى حَائِطَيْنِ ، فَجَلَسْنَا بَيْنَهُمَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : اجْلِسُوا هَا هُنَا . وَدَخَلَ وَقَدْ أُتِىَ بِالْجَوْنِيَّةِ ، فَأُنْزِلَتْ فِي بَيْتٍ فِي نَخْلٍ فِي بَيْتٍ أُمَيْمَةُ بِنْتُ النُّعْمَانِ بْنِ شَرَاحِيلَ ، وَمَعَهَا دَايَتُهَا حَاضِنَةٌ لَهَا ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya (5255) dari Abu Usaid —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Kami pergi bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga sampai pada suatu dinding yang disebut ‘asy-Syauṯh’, kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding, lalu duduk di antara keduanya. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Duduklah kalian di sini.’ Beliau pun masuk dan ternyata seorang perempuan dari Bani Jaun diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia ditempatkan di sebuah rumah di sebuah kebun kurma, yaitu di rumah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, ‘Hibahkan dirimu untukku.’ Wanita itu berkata, ‘Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?’  Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ maka beliau menimpalinya, ‘Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.’ Setelah itu, beliau keluar menemui kami dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.'” وروى أيضا رحمه الله (رقم/5256) عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلٍ عَنْ أَبِيهِ وَأَبِى أُسَيْدٍ قَالاَ : ( تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أُمَيْمَةَ بِنْتَ شَرَاحِيلَ ، فَلَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا ، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا ثَوْبَيْنِ رَازِقِيَّيْنِ ) ثياب من كتان بيض طوال. وروى أيضا رحمه الله (رقم/5637) عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةٌ مِنَ الْعَرَبِ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ السَّاعِدِيَّ أَنْ يُرْسِلَ إِلَيْهَا ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا ، فَقَدِمَتْ فَنَزَلَتْ فِي أُجُمِ بَنِي سَاعِدَةَ ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى جَاءَهَا ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مُنَكِّسَةٌ رَأْسَهَا ، فَلَمَّا كَلَّمَهَا النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ. فَقَالَ : قَدْ أَعَذْتُكِ مِنِّى . فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ . فَأَقْبَلَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ حَتَّى جَلَسَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ ، ثُمَّ قَالَ : اسْقِنَا يَا سَهْلُ . فَخَرَجْتُ لَهُمْ بِهَذَا الْقَدَحِ فَأَسْقَيْتُهُمْ فِيهِ ، فَأَخْرَجَ لَنَا سَهْلٌ ذَلِكَ الْقَدَحَ فَشَرِبْنَا مِنْهُ . قَالَ : ثُمَّ اسْتَوْهَبَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بَعْدَ ذَلِكَ فَوَهَبَهُ لَهُ ) ورواه مسلم أيضا (2007)، الأجم : الحصون . Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5256) dari Abbas bin Sahl dari ayahnya dan Abu Usaid, yang mengisahkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Umaimah binti Syarahil. Ketika dia diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia mengulurkan tangannya padanya, tetapi tampaknya dia tidak menyukai perbuatan beliau itu, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan Abu Usaid untuk mempersiapkan untuknya dua helai kain Rāziqiyyah (yaitu kain katun putih panjang).  Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5637) dari Sahl bin Saad —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika disampaikan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salah seorang wanita Arab, maka beliau pun memerintahkan Abu Usaid as-Sāʿidi untuk mengantarkannya kepadanya. Saat sudah sampai kepadanya, wanita itu datang dan tinggal di benteng milik Bani Sa’idah. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar, mendatanginya, dan masuk menemuinya. Ternyata wanita itu selalu menundukkan kepalanya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajaknya bicara, wanita itu justru berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.”  Beliau menjawab, “Baiklah, aku lindungi kamu dari diriku!”  Setelah itu, mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?”  Wanita itu menjawab, “Tidak.”  Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.”  Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Pada hari itu, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi Bani Sa’idah dan duduk bersama para Sahabat beliau di paviliun Bani Sa’idah, kemudian beliau bersabda, “Beri kami minum, wahai Sahl.”  Sahl bin Saad mengatakan, “Lalu aku keluar membawa mangkuk ini, yang aku pakai untuk memberikan minuman kepada mereka.” Lalu si Sahl mengeluarkan mangkuk tersebut untuk kami dan kami pun meminum air darinya.”  Perawi berkata, “Kemudian, Umar bin Abdul Aziz meminta agar mangkuk itu dihibahkan kepadanya, maka mangkuk tersebut dihibahkan kepadanya.” (HR. Muslim (2007)). ثانيا :  اختلف العلماء في اسم هذه المرأة على أقوال سبعة ، ولكن الراجح منها عند أكثرهم هو :   ” أميمة بنت النعمان بن شراحيل ” كما تصرح رواية حديث أبي أسيد . وقيل اسمها أسماء . ثالثا : لماذا استعاذت المرأة الجونية من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ يمكن توجيه ذلك ببعض الأجوبة الآتية : Kedua, para ulama berbeda pendapat menjadi tujuh pendapat mengenai nama wanita ini, tetapi yang lebih tepat menurut mayoritas ulama adalah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, sebagaimana jelas disebutkan dalam riwayat Abu Usaid. Ada yang bilang namanya Asma’. Ketiga, mengapa wanita dari Bani Jaun ini meminta perlindungan kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Hal ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut ini: 1- قد يقال إنها لم تكن تَعرِفُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم ، بدليل الرواية الأخيرة من الروايات المذكورة أعلاه ، وفيها : (. فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ ) يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” وقال غيره : يحتمل أنها لم تعرفه صلى الله عليه وسلم ، فخاطبته بذلك . وسياق القصة من مجموع طرقها يأبى هذا الاحتمال . Dapat dikatakan bahwa dia belum mengenal Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dengan dalil riwayat terakhir dari riwayat-riwayat yang disebutkan di atas, di mana disebutkan bahwa mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?” Wanita itu menjawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.” Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sehingga menanggapi beliau berdasarkan ketidaktahuannya itu. Redaksi cerita ini dengan keseluruhan jalurnya membuat kemungkinan itu tidak mungkin. نعم سيأتي في أواخر الأشربة من طريق أبي حازم ، عن سهل بن سعد – فذكر الرواية الأخيرة ، ثم قال : – فإن كانت القصة واحدة فلا يكون قوله في حديث الباب : ( ألحقها بأهلها ) ، ولا قوله في حديث عائشة : ( الحقي بأهلك ) تطليقا ، ويتعين أنها لم تعرفه . وإن كانت القصة متعددة – ولا مانع من ذلك – فلعل هذه المرأة هي الكلابية التي وقع فيها الاضطراب ” انتهى. “فتح الباري” (9/358) Ya, akan disebutkan riwayat terakhir dari Abu Hazim dari Sahl bin Saad—lalu beliau menyebutkan riwayat akhir itu—kemudian berkata bahwa jika memang semua kisah ini satu kesatuan, maka sabda beliau dalam salah satu hadis tentang kisah ini, “Pulangkanlah dia kepada keluarganya,” demikian pula dalam hadis Aisyah, “Pulanglah kepada keluargamu,” tidak berarti talak, kalau begitu baru bisa dipastikan kalau dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun jika hadis-hadis itu adalah kisah yang berbeda, maka kemungkinan itu bisa saja, jadi, bisa jadi wanita ini adalah wanita Kullabiyah yang diperselisihkan para ulama. Selesai kutipan dari Fathul Bari (9/358) 2- ويذكر بعض أهل العلم أن سبب استعاذتها من النبي صلى الله عليه وسلم ما غرها به بعض أزواجه صلى الله عليه وسلم ، حيث أوهموها أن النبي صلى الله عليه وسلم يحب هذه الكلمة ، فقالتها رغبة في التقرب إليه ، وهي لا تدري أن النبي صلى الله عليه وسلم سيعيذها من نفسه بالفراق إن سمعها منه . جاء ذلك من طرق ثلاثة : الطريق الأولى : يرويها ابن سعد في “الطبقات” (8/143-148)، والحاكم في “المستدرك” (4/39)، من طريق محمد بن عمر الواقدي وهو ضعيف في الحديث . Sebagian ulama menyatakan bahwa alasan dia berlindung dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah karena adanya istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengelabuinya dengan mengatakan kepadanya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai kalimat tersebut, maka dia mengucapkannya karena ingin lebih akrab dengan beliau, sedangkan dia tidak mengetahui bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memang akan melindunginya dari dirinya dengan menceraikannya jika beliau mendengarnya darinya. Disebutkan dalam tiga jalur riwayat; Riwayat pertama, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/143-148) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/39) dari jalur Muhammad bin Umar al-Waqidi, tetapi hadisnya lemah. والطريق الثانية : يرويها ابن سعد في الطبقات (8/144) بسنده عن سعيد بن عبد الرحمن بن أبزى قال: (الجونية استعاذت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وقيل لها : هو أحظى لك عنده . ولم تستعذ منه امرأة غيرها ، وإنما خدعت لما رؤي من جمالها وهيئتها ، ولقد ذكر لرسول الله من حملها على ما قالت لرسول الله ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنهن صواحب يوسف ). Riwayat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/144) dengan sanadnya dari Said bin Abdurrahman bin Abza yang berkata bahwa seorang wanita dari Bani al-Jauni berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dikatakan kepadanya, “Itu akan membuatmu semakin mulia di sisi beliau,” padahal tidak ada istri-istri lain yang berlindung dari beliau, hanya saja dia telah ditipu, karena dia memang tampak elok kecantikan dan perawakannya. Ketika disampaikan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebab dia mengucapkan ucapan itu kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Mereka memang seperti wanita-wanita di zaman Yusuf.” الطريق الثالثة : رواها ابن سعد أيضا في “الطبقات” (8م145) قال : أخبرنا هشام بن محمد بن السائب ، عن أبيه ، عن أبي صالح ، عن بن عباس قال : ( تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم أسماء بنت النعمان ، وكانت من أجمل أهل زمانها وأشبهم ، قال فلما جعل رسول الله يتزوج الغرائب قالت عائشة : قد وضع يده في الغرائب يوشكن أن يصرفن وجهه عنا . وكان خطبها حين وفدت كندة عليه إلى أبيها ، فلما رآها نساء النبي صلى الله عليه وسلم حسدنها ، فقلن لها : إن أردت أن تحظي عنده فتعوذي بالله منه إذا دخل عليك . فلما دخل وألقى الستر مد يده إليها ، فقالت : أعوذ بالله منك . فقال: أمن عائذ الله ! الحقي بأهلك ) Riwayat ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/145) yang mengatakan, “Hisyam bin Muhammad bin as-Sa’ib mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Asma binti an-Nu’man. Dia adalah salah satu wanita paling cantik dan tampak muda pada masanya. Ketika Rasulullah menikahi orang asing (dari suku lain, pent.), Aisyah berkata, “Beliau telah meletakkan tangannya (memilih istri) dari orang-orang asing hingga hampir-hampir wajah beliau berpaling dari kami. Dia melamarnya melalui ayahnya ketika ada delegasi Kindah datang menemui beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melihatnya, mereka iri padanya lalu berkata kepadanya, ‘Jika engkau ingin lebih mulia di sisi beliau, maka berlindunglah kepada Allah darinya saat beliau masuk menemuimu.’ Lantas ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya dan membuka cadarnya sembari mengulurkan tangannya padanya, tetapi dia malah berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menimpali, ‘Orang yang berlindung kepada Allah telah aman! Pulanglah kepada keluargamu!’” وروى أيضا قال : أخبرنا هشام بن محمد ، حدثني ابن الغسيل ، عن حمزة بن أبي أسيد الساعدي ، عن أبيه – وكان بدريا – قال : ( تزوج رسول الله أسماء بنت النعمان الجونية ، فأرسلني فجئت بها ، فقالت حفصة لعائشة أو عائشة لحفصة : اخضبيها أنت وأنا أمشطها ، ففعلن ، ثم قالت لها إحداهما : إن النبي، صلى الله عليه وسلم يعجبه من المرأة إذا دخلت عليه أن تقول أعوذ بالله منك . فلما دخلت عليه وأغلق الباب وأرخى الستر مد يده إليها فقالت : أعوذ بالله منك .فقال بكمه على وجهه فاستتر به وقال : عذت معاذا ، ثلاث مرات . قال أبو أسيد ثم خرج علي فقال : يا أبا أسيد ألحقها بأهلها ومتعها برازقيتين ، يعني كرباستين ، فكانت تقول : دعوني الشقية ) . وهذه الطرق قد يعضد بعضها بعضا ويستشهد بمجموعها على أن لذلك أصلا . Dia juga meriwayatkan, “Hisyam bin Muhammad mengabarkan kepada kami; Ibnul Ghasil menceritakan kepadaku dari Hamzah bin Abi Usaid as-Sāʿidi dari ayahnya—yang keduanya adalah veteran perang Badar— yang mengatakan, ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengawini Asma binti an-Nu’man al-Jauniyah, lalu beliau mengutusku dan aku datang mengantarkannya kepada beliau. Hafsah berkata kepada Aisyah, atau Aisyah yang berkata kepada Hafsah, ‘Kamu warnai rambutnya dan aku yang menyisirnya.’ Mereka lalu melakukannya, dan salah satu di antara mereka berkata kepadanya, ‘Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai wanita yang apabila beliau menemuinya, dia mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Lalu, ketika wanita itu didatangkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau menutup pintu dan menurunkan tirai, kemudian mengulurkan tangannya padanya, si wanita itu berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Beliau lalu berkata dengan meletakkan lengan bajunya pada wajahnya dengan menutupinya dengannya seraya berkata. ‘Kamu telah dilindungi dariku,’ sebanyak tiga kali.”  Abu Usaid mengatakan, “Kemudian, beliau keluar menemuiku dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, pulangkan dia kepada keluarganya dan berilah dia Mutʿah (semacam hadiah perceraian, pent.) dengan dua kain Rāziqiyyah (yakni kain tebal dari katun).’ Ketika itu dia berkata, ‘Apes sekali nasibku!’” Riwayat dengan jalur-jalur di atas mungkin saling menguatkan dan secara keseluruhan mengindikasikan memang ini yang sebenarnya terjadi. 3- وذكر آخرون من أهل العلم أن سبب استعاذتها هو تكبرها ، حيث كانت جميلة وفي بيت من بيوت ملوك العرب ، وكانت ترغب عن الزواج بمن ليس بِمَلِك ، وهذا يؤيده ما جاء في الرواية المذكورة أعلاه ، وفيها : ( فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Ulama lain menyebutkan bahwa alasan dia berlindung dari beliau adalah karena kesombongannya, karena dia cantik dan berada di rumah salah satu raja Arab. Dia enggan menikah dengan orang yang bukan raja. Hal ini didukung dengan salah satu riwayat yang disebutkan di atas, yang menyebutkan bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, beliau berkata, “Hibahkan dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?” Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu,” maka beliau menimpalinya, “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar menemui kita dan berkata, “Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.” يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” ( السُّوقة ) قيل لهم ذلك لأن الملك يسوقهم فيساقون إليه ، ويصرفهم على مراده ، وأما أهل السوق فالواحد منهم سوقي . قال ابن المنير : هذا من بقية ما كان فيها من الجاهلية ، والسوقة عندهم من ليس بملك كائنا من كان ، فكأنها استبعدت أن يتزوج الملكة من ليس بملك ، وكان صلى الله عليه وسلم قد خير أن يكون ملكا نبيا ، فاختار أن يكون عبدا نبيا ، تواضعا منه صلى الله عليه وسلم لربه ، ولم يؤاخذها النبي صلى الله عليه وسلم بكلامها ، معذرة لها لقرب عهدها بجاهليتها ” انتهى.”فتح الباري” (9/358) Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa rakyat jelata disebut Sūqah (orang-orang yang digiring, pent.) karena raja yang mengarahkan mereka dan mereka digiring kepadanya, dan dia menyetir mereka sesuai kemauannya. Adapun orang-orang pasar, bentuk tunggalnya adalah Sūqi. Ibnul Munir mengatakan bahwa ini adalah dari sisa-sisa adat zaman jahiliah mereka. Sūqah menurut mereka adalah orang yang bukan raja, siapa pun dia, sehingga seolah-olah maksudnya adalah bahwa dia adalah seorang ratu yang berlindung agar tidak dinikahi seseorang yang bukan seorang raja, padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah diberi pilihan untuk menjadi seorang raja sekaligus nabi, tetapi beliau sendiri yang memilih menjadi seorang hamba sekaligus nabi karena kerendahan hati beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hadapan Tuhannya. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menghukumnya atas ucapannya, karena memakluminya yang belum lama meninggalkan kejahiliannya. Selesai kutipan. Fathul Bari (9/358) هذا ما تحصَّل ذكرُه من أسباب جاءت بها الروايات وكلام أهل العلم ، وكله يدل على كريم أخلاقه صلى الله عليه وسلم ، حيث لم يكن يرضى أن يتزوج مَن يشعر أنها لا ترغبه ، وكان يأبى صلى الله عليه وسلم أن يصيب أحدا من المسلمين بأذى في نفسه أو ماله . والله أعلم . Inilah alasan-alasan yang disimpulkan dari riwayat dan perkataan para ulama, yang semuanya menunjukkan akhlak mulia beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di mana beliau tidak memaksakan diri menikah dengan orang yang menurut beliau tidak mau dengan beliau. Beliau juga tidak mau ada satu pun umat Islam yang diganggu jiwa maupun hartanya. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/118282/حديث-المراة-التي-رغبت-عن-اقتراب-رسول-الله-صلى-الله-عليه-وسلم-منها PDF sumber artikel. 🔍 Muttafaq Alaih Adalah, Shollu Alan Nabi Muhammad, Pengertian Wali Allah, Lafal Ijab Kabul Bahasa Arab, Siti Jenar Wali Songo, Doa Bayi Dalam Kandungan Visited 803 times, 5 visit(s) today Post Views: 658 QRIS donasi Yufid


السؤال لدي استفسار بخصوص حديث من أحاديث الرسول عليه أفضل الصلاة والسلام : لما أدخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم ابنة الجون ، ودنا منها ، قالت : أعوذ بالله منك . فقال : لقد عذت بعظيم , الحقي بأهلك . فما صحة هذا الحديث ؟ وما سبب تعوذها من الرسول صلى الله عليه وسلم وهي تعلم بأنه رسول الله ؟ وهل الرسول صلى الله عليه وسلم طلقها مِن تعوذها فقط ، أم هناك حكم أخرى ؟ Pertanyaan: Saya ingin mengetahui lebih jauh mengenai salah satu hadis Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengisahkan bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka beliau mendekatinya, lalu dia berkata,  “Aku berlindung kepada Allah darimu!”  Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.”  Sahihkah hadis ini?  Apa alasan dia berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, padahal dia mengetahui bahwa beliau adalah Rasulullah?  Apakah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menceraikannya hanya karena taawuznya itu, ataukah ada perkara lain? الجواب الحمد لله. أولا : هذه القصة صحيحة ، وردت في أحاديث عدة وسياقات يكمل بعضها بعضا : فروى البخاري رحمه الله في صحيحه (5254) عن الإمام الأوزاعي قَالَ : سَأَلْتُ الزُّهْرِي أَي أَزْوَاجِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم اسْتَعَاذَتْ مِنْهُ ؟ قَالَ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ ، عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : ( أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ لَهَا : لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ ، الْحَقِى بِأَهْلِكِ ) . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, kisah ini memang benar, disebutkan dalam beberapa hadis yang redaksinya saling melengkapi satu sama lain. Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— meriwayatkan dalam Shahih-nya (5254) dari Imam al-Auza’i yang mengatakan, “Aku bertanya kepada az-Zuhri tentang siapa istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berlindung kepada Allah dari beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam?”  Dia berkata, “Urwah mengabarkan kepadaku dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa ketika putri al-Jaun diantarkan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (setelah menikahinya, pent.), maka beliau mendekatinya lalu dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah Tuhan darimu!’ Lantas beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Kamu telah berlindung kepada Yang Maha Agung, pulanglah kepada keluargamu.'” وروى البخاري أيضا في صحيحه (5255) عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى انْطَلَقْنَا إِلَى حَائِطٍ يُقَالُ لَهُ الشَّوْطُ ، حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى حَائِطَيْنِ ، فَجَلَسْنَا بَيْنَهُمَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : اجْلِسُوا هَا هُنَا . وَدَخَلَ وَقَدْ أُتِىَ بِالْجَوْنِيَّةِ ، فَأُنْزِلَتْ فِي بَيْتٍ فِي نَخْلٍ فِي بَيْتٍ أُمَيْمَةُ بِنْتُ النُّعْمَانِ بْنِ شَرَاحِيلَ ، وَمَعَهَا دَايَتُهَا حَاضِنَةٌ لَهَا ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya (5255) dari Abu Usaid —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Kami pergi bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga sampai pada suatu dinding yang disebut ‘asy-Syauṯh’, kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding, lalu duduk di antara keduanya. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Duduklah kalian di sini.’ Beliau pun masuk dan ternyata seorang perempuan dari Bani Jaun diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dia ditempatkan di sebuah rumah di sebuah kebun kurma, yaitu di rumah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, ‘Hibahkan dirimu untukku.’ Wanita itu berkata, ‘Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?’  Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ maka beliau menimpalinya, ‘Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.’ Setelah itu, beliau keluar menemui kami dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.'” وروى أيضا رحمه الله (رقم/5256) عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلٍ عَنْ أَبِيهِ وَأَبِى أُسَيْدٍ قَالاَ : ( تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أُمَيْمَةَ بِنْتَ شَرَاحِيلَ ، فَلَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا ، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا ثَوْبَيْنِ رَازِقِيَّيْنِ ) ثياب من كتان بيض طوال. وروى أيضا رحمه الله (رقم/5637) عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضى الله عنه قَالَ : ( ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةٌ مِنَ الْعَرَبِ ، فَأَمَرَ أَبَا أُسَيْدٍ السَّاعِدِيَّ أَنْ يُرْسِلَ إِلَيْهَا ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا ، فَقَدِمَتْ فَنَزَلَتْ فِي أُجُمِ بَنِي سَاعِدَةَ ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى جَاءَهَا ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مُنَكِّسَةٌ رَأْسَهَا ، فَلَمَّا كَلَّمَهَا النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ. فَقَالَ : قَدْ أَعَذْتُكِ مِنِّى . فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ . فَأَقْبَلَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ حَتَّى جَلَسَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ ، ثُمَّ قَالَ : اسْقِنَا يَا سَهْلُ . فَخَرَجْتُ لَهُمْ بِهَذَا الْقَدَحِ فَأَسْقَيْتُهُمْ فِيهِ ، فَأَخْرَجَ لَنَا سَهْلٌ ذَلِكَ الْقَدَحَ فَشَرِبْنَا مِنْهُ . قَالَ : ثُمَّ اسْتَوْهَبَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بَعْدَ ذَلِكَ فَوَهَبَهُ لَهُ ) ورواه مسلم أيضا (2007)، الأجم : الحصون . Imam Bukhari —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5256) dari Abbas bin Sahl dari ayahnya dan Abu Usaid, yang mengisahkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Umaimah binti Syarahil. Ketika dia diantarkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia mengulurkan tangannya padanya, tetapi tampaknya dia tidak menyukai perbuatan beliau itu, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan Abu Usaid untuk mempersiapkan untuknya dua helai kain Rāziqiyyah (yaitu kain katun putih panjang).  Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— juga meriwayatkan dalam hadis nomor (5637) dari Sahl bin Saad —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika disampaikan kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang salah seorang wanita Arab, maka beliau pun memerintahkan Abu Usaid as-Sāʿidi untuk mengantarkannya kepadanya. Saat sudah sampai kepadanya, wanita itu datang dan tinggal di benteng milik Bani Sa’idah. Lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar, mendatanginya, dan masuk menemuinya. Ternyata wanita itu selalu menundukkan kepalanya.  Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajaknya bicara, wanita itu justru berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.”  Beliau menjawab, “Baiklah, aku lindungi kamu dari diriku!”  Setelah itu, mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?”  Wanita itu menjawab, “Tidak.”  Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.”  Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Pada hari itu, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi Bani Sa’idah dan duduk bersama para Sahabat beliau di paviliun Bani Sa’idah, kemudian beliau bersabda, “Beri kami minum, wahai Sahl.”  Sahl bin Saad mengatakan, “Lalu aku keluar membawa mangkuk ini, yang aku pakai untuk memberikan minuman kepada mereka.” Lalu si Sahl mengeluarkan mangkuk tersebut untuk kami dan kami pun meminum air darinya.”  Perawi berkata, “Kemudian, Umar bin Abdul Aziz meminta agar mangkuk itu dihibahkan kepadanya, maka mangkuk tersebut dihibahkan kepadanya.” (HR. Muslim (2007)). ثانيا :  اختلف العلماء في اسم هذه المرأة على أقوال سبعة ، ولكن الراجح منها عند أكثرهم هو :   ” أميمة بنت النعمان بن شراحيل ” كما تصرح رواية حديث أبي أسيد . وقيل اسمها أسماء . ثالثا : لماذا استعاذت المرأة الجونية من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ يمكن توجيه ذلك ببعض الأجوبة الآتية : Kedua, para ulama berbeda pendapat menjadi tujuh pendapat mengenai nama wanita ini, tetapi yang lebih tepat menurut mayoritas ulama adalah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahil, sebagaimana jelas disebutkan dalam riwayat Abu Usaid. Ada yang bilang namanya Asma’. Ketiga, mengapa wanita dari Bani Jaun ini meminta perlindungan kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Hal ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut ini: 1- قد يقال إنها لم تكن تَعرِفُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم ، بدليل الرواية الأخيرة من الروايات المذكورة أعلاه ، وفيها : (. فَقَالُوا لَهَا : أَتَدْرِينَ مَنْ هَذَا ؟ قَالَتْ : لاَ . قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَ لِيَخْطُبَكِ . قَالَتْ : كُنْتُ أَنَا أَشْقَى مِنْ ذَلِكَ ) يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” وقال غيره : يحتمل أنها لم تعرفه صلى الله عليه وسلم ، فخاطبته بذلك . وسياق القصة من مجموع طرقها يأبى هذا الاحتمال . Dapat dikatakan bahwa dia belum mengenal Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dengan dalil riwayat terakhir dari riwayat-riwayat yang disebutkan di atas, di mana disebutkan bahwa mereka (para Sahabat) berkata kepadanya, “Tahukah kamu siapakah orang ini?” Wanita itu menjawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Dia itu adalah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang datang untuk melamarmu.” Wanita itu berkata, “Sungguh rugi aku!” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa ada pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sehingga menanggapi beliau berdasarkan ketidaktahuannya itu. Redaksi cerita ini dengan keseluruhan jalurnya membuat kemungkinan itu tidak mungkin. نعم سيأتي في أواخر الأشربة من طريق أبي حازم ، عن سهل بن سعد – فذكر الرواية الأخيرة ، ثم قال : – فإن كانت القصة واحدة فلا يكون قوله في حديث الباب : ( ألحقها بأهلها ) ، ولا قوله في حديث عائشة : ( الحقي بأهلك ) تطليقا ، ويتعين أنها لم تعرفه . وإن كانت القصة متعددة – ولا مانع من ذلك – فلعل هذه المرأة هي الكلابية التي وقع فيها الاضطراب ” انتهى. “فتح الباري” (9/358) Ya, akan disebutkan riwayat terakhir dari Abu Hazim dari Sahl bin Saad—lalu beliau menyebutkan riwayat akhir itu—kemudian berkata bahwa jika memang semua kisah ini satu kesatuan, maka sabda beliau dalam salah satu hadis tentang kisah ini, “Pulangkanlah dia kepada keluarganya,” demikian pula dalam hadis Aisyah, “Pulanglah kepada keluargamu,” tidak berarti talak, kalau begitu baru bisa dipastikan kalau dia belum mengenal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Adapun jika hadis-hadis itu adalah kisah yang berbeda, maka kemungkinan itu bisa saja, jadi, bisa jadi wanita ini adalah wanita Kullabiyah yang diperselisihkan para ulama. Selesai kutipan dari Fathul Bari (9/358) 2- ويذكر بعض أهل العلم أن سبب استعاذتها من النبي صلى الله عليه وسلم ما غرها به بعض أزواجه صلى الله عليه وسلم ، حيث أوهموها أن النبي صلى الله عليه وسلم يحب هذه الكلمة ، فقالتها رغبة في التقرب إليه ، وهي لا تدري أن النبي صلى الله عليه وسلم سيعيذها من نفسه بالفراق إن سمعها منه . جاء ذلك من طرق ثلاثة : الطريق الأولى : يرويها ابن سعد في “الطبقات” (8/143-148)، والحاكم في “المستدرك” (4/39)، من طريق محمد بن عمر الواقدي وهو ضعيف في الحديث . Sebagian ulama menyatakan bahwa alasan dia berlindung dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah karena adanya istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengelabuinya dengan mengatakan kepadanya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai kalimat tersebut, maka dia mengucapkannya karena ingin lebih akrab dengan beliau, sedangkan dia tidak mengetahui bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memang akan melindunginya dari dirinya dengan menceraikannya jika beliau mendengarnya darinya. Disebutkan dalam tiga jalur riwayat; Riwayat pertama, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/143-148) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/39) dari jalur Muhammad bin Umar al-Waqidi, tetapi hadisnya lemah. والطريق الثانية : يرويها ابن سعد في الطبقات (8/144) بسنده عن سعيد بن عبد الرحمن بن أبزى قال: (الجونية استعاذت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وقيل لها : هو أحظى لك عنده . ولم تستعذ منه امرأة غيرها ، وإنما خدعت لما رؤي من جمالها وهيئتها ، ولقد ذكر لرسول الله من حملها على ما قالت لرسول الله ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنهن صواحب يوسف ). Riwayat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/144) dengan sanadnya dari Said bin Abdurrahman bin Abza yang berkata bahwa seorang wanita dari Bani al-Jauni berlindung kepada Allah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dikatakan kepadanya, “Itu akan membuatmu semakin mulia di sisi beliau,” padahal tidak ada istri-istri lain yang berlindung dari beliau, hanya saja dia telah ditipu, karena dia memang tampak elok kecantikan dan perawakannya. Ketika disampaikan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebab dia mengucapkan ucapan itu kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Mereka memang seperti wanita-wanita di zaman Yusuf.” الطريق الثالثة : رواها ابن سعد أيضا في “الطبقات” (8م145) قال : أخبرنا هشام بن محمد بن السائب ، عن أبيه ، عن أبي صالح ، عن بن عباس قال : ( تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم أسماء بنت النعمان ، وكانت من أجمل أهل زمانها وأشبهم ، قال فلما جعل رسول الله يتزوج الغرائب قالت عائشة : قد وضع يده في الغرائب يوشكن أن يصرفن وجهه عنا . وكان خطبها حين وفدت كندة عليه إلى أبيها ، فلما رآها نساء النبي صلى الله عليه وسلم حسدنها ، فقلن لها : إن أردت أن تحظي عنده فتعوذي بالله منه إذا دخل عليك . فلما دخل وألقى الستر مد يده إليها ، فقالت : أعوذ بالله منك . فقال: أمن عائذ الله ! الحقي بأهلك ) Riwayat ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam at-Tabaqāt (8/145) yang mengatakan, “Hisyam bin Muhammad bin as-Sa’ib mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menikahi Asma binti an-Nu’man. Dia adalah salah satu wanita paling cantik dan tampak muda pada masanya. Ketika Rasulullah menikahi orang asing (dari suku lain, pent.), Aisyah berkata, “Beliau telah meletakkan tangannya (memilih istri) dari orang-orang asing hingga hampir-hampir wajah beliau berpaling dari kami. Dia melamarnya melalui ayahnya ketika ada delegasi Kindah datang menemui beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melihatnya, mereka iri padanya lalu berkata kepadanya, ‘Jika engkau ingin lebih mulia di sisi beliau, maka berlindunglah kepada Allah darinya saat beliau masuk menemuimu.’ Lantas ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya dan membuka cadarnya sembari mengulurkan tangannya padanya, tetapi dia malah berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menimpali, ‘Orang yang berlindung kepada Allah telah aman! Pulanglah kepada keluargamu!’” وروى أيضا قال : أخبرنا هشام بن محمد ، حدثني ابن الغسيل ، عن حمزة بن أبي أسيد الساعدي ، عن أبيه – وكان بدريا – قال : ( تزوج رسول الله أسماء بنت النعمان الجونية ، فأرسلني فجئت بها ، فقالت حفصة لعائشة أو عائشة لحفصة : اخضبيها أنت وأنا أمشطها ، ففعلن ، ثم قالت لها إحداهما : إن النبي، صلى الله عليه وسلم يعجبه من المرأة إذا دخلت عليه أن تقول أعوذ بالله منك . فلما دخلت عليه وأغلق الباب وأرخى الستر مد يده إليها فقالت : أعوذ بالله منك .فقال بكمه على وجهه فاستتر به وقال : عذت معاذا ، ثلاث مرات . قال أبو أسيد ثم خرج علي فقال : يا أبا أسيد ألحقها بأهلها ومتعها برازقيتين ، يعني كرباستين ، فكانت تقول : دعوني الشقية ) . وهذه الطرق قد يعضد بعضها بعضا ويستشهد بمجموعها على أن لذلك أصلا . Dia juga meriwayatkan, “Hisyam bin Muhammad mengabarkan kepada kami; Ibnul Ghasil menceritakan kepadaku dari Hamzah bin Abi Usaid as-Sāʿidi dari ayahnya—yang keduanya adalah veteran perang Badar— yang mengatakan, ‘Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengawini Asma binti an-Nu’man al-Jauniyah, lalu beliau mengutusku dan aku datang mengantarkannya kepada beliau. Hafsah berkata kepada Aisyah, atau Aisyah yang berkata kepada Hafsah, ‘Kamu warnai rambutnya dan aku yang menyisirnya.’ Mereka lalu melakukannya, dan salah satu di antara mereka berkata kepadanya, ‘Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyukai wanita yang apabila beliau menemuinya, dia mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Lalu, ketika wanita itu didatangkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu beliau menutup pintu dan menurunkan tirai, kemudian mengulurkan tangannya padanya, si wanita itu berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Beliau lalu berkata dengan meletakkan lengan bajunya pada wajahnya dengan menutupinya dengannya seraya berkata. ‘Kamu telah dilindungi dariku,’ sebanyak tiga kali.”  Abu Usaid mengatakan, “Kemudian, beliau keluar menemuiku dan berkata, ‘Wahai Abu Usaid, pulangkan dia kepada keluarganya dan berilah dia Mutʿah (semacam hadiah perceraian, pent.) dengan dua kain Rāziqiyyah (yakni kain tebal dari katun).’ Ketika itu dia berkata, ‘Apes sekali nasibku!’” Riwayat dengan jalur-jalur di atas mungkin saling menguatkan dan secara keseluruhan mengindikasikan memang ini yang sebenarnya terjadi. 3- وذكر آخرون من أهل العلم أن سبب استعاذتها هو تكبرها ، حيث كانت جميلة وفي بيت من بيوت ملوك العرب ، وكانت ترغب عن الزواج بمن ليس بِمَلِك ، وهذا يؤيده ما جاء في الرواية المذكورة أعلاه ، وفيها : ( فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : هَبِي نَفْسَكِ لِي . قَالَتْ : وَهَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ . قَالَ : فَأَهْوَى بِيَدِهِ يَضَعُ يَدَهُ عَلَيْهَا لِتَسْكُنَ . فَقَالَتْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ . فَقَالَ : قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ . ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا ، فَقَالَ : يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا ) Ulama lain menyebutkan bahwa alasan dia berlindung dari beliau adalah karena kesombongannya, karena dia cantik dan berada di rumah salah satu raja Arab. Dia enggan menikah dengan orang yang bukan raja. Hal ini didukung dengan salah satu riwayat yang disebutkan di atas, yang menyebutkan bahwa ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk menemuinya, beliau berkata, “Hibahkan dirimu untukku.” Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu akan menghibahkan dirinya untuk seorang rakyat jelata?” Lantas beliau menjulurkan tangannya dan hendak menyentuhnya untuk menenangkannya, tetapi dia berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu,” maka beliau menimpalinya, “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Zat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar menemui kita dan berkata, “Wahai Abu Usaid, berilah ia dua helai kain Rāziqiyyah, lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.” يقول الحافظ ابن حجر رحمه الله : ” ( السُّوقة ) قيل لهم ذلك لأن الملك يسوقهم فيساقون إليه ، ويصرفهم على مراده ، وأما أهل السوق فالواحد منهم سوقي . قال ابن المنير : هذا من بقية ما كان فيها من الجاهلية ، والسوقة عندهم من ليس بملك كائنا من كان ، فكأنها استبعدت أن يتزوج الملكة من ليس بملك ، وكان صلى الله عليه وسلم قد خير أن يكون ملكا نبيا ، فاختار أن يكون عبدا نبيا ، تواضعا منه صلى الله عليه وسلم لربه ، ولم يؤاخذها النبي صلى الله عليه وسلم بكلامها ، معذرة لها لقرب عهدها بجاهليتها ” انتهى.”فتح الباري” (9/358) Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa rakyat jelata disebut Sūqah (orang-orang yang digiring, pent.) karena raja yang mengarahkan mereka dan mereka digiring kepadanya, dan dia menyetir mereka sesuai kemauannya. Adapun orang-orang pasar, bentuk tunggalnya adalah Sūqi. Ibnul Munir mengatakan bahwa ini adalah dari sisa-sisa adat zaman jahiliah mereka. Sūqah menurut mereka adalah orang yang bukan raja, siapa pun dia, sehingga seolah-olah maksudnya adalah bahwa dia adalah seorang ratu yang berlindung agar tidak dinikahi seseorang yang bukan seorang raja, padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah diberi pilihan untuk menjadi seorang raja sekaligus nabi, tetapi beliau sendiri yang memilih menjadi seorang hamba sekaligus nabi karena kerendahan hati beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hadapan Tuhannya. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menghukumnya atas ucapannya, karena memakluminya yang belum lama meninggalkan kejahiliannya. Selesai kutipan. Fathul Bari (9/358) هذا ما تحصَّل ذكرُه من أسباب جاءت بها الروايات وكلام أهل العلم ، وكله يدل على كريم أخلاقه صلى الله عليه وسلم ، حيث لم يكن يرضى أن يتزوج مَن يشعر أنها لا ترغبه ، وكان يأبى صلى الله عليه وسلم أن يصيب أحدا من المسلمين بأذى في نفسه أو ماله . والله أعلم . Inilah alasan-alasan yang disimpulkan dari riwayat dan perkataan para ulama, yang semuanya menunjukkan akhlak mulia beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di mana beliau tidak memaksakan diri menikah dengan orang yang menurut beliau tidak mau dengan beliau. Beliau juga tidak mau ada satu pun umat Islam yang diganggu jiwa maupun hartanya. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/118282/حديث-المراة-التي-رغبت-عن-اقتراب-رسول-الله-صلى-الله-عليه-وسلم-منها PDF sumber artikel. 🔍 Muttafaq Alaih Adalah, Shollu Alan Nabi Muhammad, Pengertian Wali Allah, Lafal Ijab Kabul Bahasa Arab, Siti Jenar Wali Songo, Doa Bayi Dalam Kandungan Visited 803 times, 5 visit(s) today Post Views: 658 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Hadis: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta?

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, beliau berkata, سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ، فَأَقُولُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا، فَقُلْتُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Saya mendengar Umar bin Al-Khattab berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi sesuatu kepadaku, namun aku berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Hingga suatu hari beliau memberikan harta kepadaku lagi, maka aku pun berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ‘Ambillah. Apabila kamu diberikan sesuatu, sedangkan kamu tidak mengidam-idamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka janganlah kamu memperturutkan hawa nafsumu.’” (HR. Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 1045) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil bolehnya menerima pemberian sesuatu berupa harta, jika memang diberikan kepadanya, selama dia tidak berambisi (mengidam-idamkan) untuk mendapatkan harta tersebut, dan tidak pula meminta-minta agar diberi harta tersebut. Artinya, selama dia mendapatkan pemberian tersebut sesuai dengan aturan syariat. Misalnya, dia mendapatkan sebagai bentuk hadiah, atau sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dia lakukan, atau semacam itu, meskipun orang yang diberi itu kaya atau berkecukupan. Orang tersebut boleh menerima pemberian tersebut dan membelanjakannya di jalan-jalan kebaikan, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau disedekahkan kembali kepada orang lain. Kedua, hadis ini menunjukkan keistimewaan sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menunjukkan sikap zuhud terhdap dunia, tidak memperturutkan hawa nafsunya, dan juga lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Ketiga, ada kemungkinan bahwa pemberian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut berasal dari harta selain zakat, seperti kharraj (semacam pajak tanah yang dikenakan kepada ahlul kitab yang menggarap lahan milik negara Islam), atau jizyah (harta yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya), atau sedekah sunah. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta-harta tersebut kepada sebagian sahabatnya, termasuk memberikannya kepada Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, ada juga kemungkinan bahwa harta tersebut sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebagai amil zakat. Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu As Sa’idi Al-Maliki, beliau berkata, اسْتَعْمَلَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا، وَأَدَّيْتُهَا إِلَيْهِ، أَمَرَ لِي بِعُمَالَةٍ، فَقُلْتُ إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ، وَأَجْرِي عَلَى اللهِ، فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيتَ، فَإِنِّي عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَمَّلَنِي، فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أُعْطِيتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ، فَكُلْ وَتَصَدَّقْ “Umar bin Al­-Khattab pernah menugaskanku sebagai amil zakat. Setelah tugas itu selesai kulaksanakan, dan hasil zakat yang aku kumpulkan itu telah aku serahkan kepadanya, maka Umar menyuruhku mengambil bagian amil untukku. Lalu aku menjawab, ‘Aku bekerja karena Allah, karena itu upahku pun aku serahkan kepada Allah.’ Umar berkata, ‘Ambillah apa yang diberikan kepadamu itu. Sesungguhnya aku pernah pula bertugas pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai amil zakat. Aku menolak pemberian itu seraya menjawab seperti jawabanmu. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Apabila kamu diberi orang suatu pemberian tanpa kamu minta, makanlah atau sedekahkanlah.’” (HR. Muslim no. 1045) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 510-511). Tags: harta

Hadis: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta?

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, beliau berkata, سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ، فَأَقُولُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا، فَقُلْتُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Saya mendengar Umar bin Al-Khattab berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi sesuatu kepadaku, namun aku berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Hingga suatu hari beliau memberikan harta kepadaku lagi, maka aku pun berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ‘Ambillah. Apabila kamu diberikan sesuatu, sedangkan kamu tidak mengidam-idamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka janganlah kamu memperturutkan hawa nafsumu.’” (HR. Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 1045) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil bolehnya menerima pemberian sesuatu berupa harta, jika memang diberikan kepadanya, selama dia tidak berambisi (mengidam-idamkan) untuk mendapatkan harta tersebut, dan tidak pula meminta-minta agar diberi harta tersebut. Artinya, selama dia mendapatkan pemberian tersebut sesuai dengan aturan syariat. Misalnya, dia mendapatkan sebagai bentuk hadiah, atau sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dia lakukan, atau semacam itu, meskipun orang yang diberi itu kaya atau berkecukupan. Orang tersebut boleh menerima pemberian tersebut dan membelanjakannya di jalan-jalan kebaikan, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau disedekahkan kembali kepada orang lain. Kedua, hadis ini menunjukkan keistimewaan sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menunjukkan sikap zuhud terhdap dunia, tidak memperturutkan hawa nafsunya, dan juga lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Ketiga, ada kemungkinan bahwa pemberian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut berasal dari harta selain zakat, seperti kharraj (semacam pajak tanah yang dikenakan kepada ahlul kitab yang menggarap lahan milik negara Islam), atau jizyah (harta yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya), atau sedekah sunah. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta-harta tersebut kepada sebagian sahabatnya, termasuk memberikannya kepada Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, ada juga kemungkinan bahwa harta tersebut sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebagai amil zakat. Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu As Sa’idi Al-Maliki, beliau berkata, اسْتَعْمَلَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا، وَأَدَّيْتُهَا إِلَيْهِ، أَمَرَ لِي بِعُمَالَةٍ، فَقُلْتُ إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ، وَأَجْرِي عَلَى اللهِ، فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيتَ، فَإِنِّي عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَمَّلَنِي، فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أُعْطِيتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ، فَكُلْ وَتَصَدَّقْ “Umar bin Al­-Khattab pernah menugaskanku sebagai amil zakat. Setelah tugas itu selesai kulaksanakan, dan hasil zakat yang aku kumpulkan itu telah aku serahkan kepadanya, maka Umar menyuruhku mengambil bagian amil untukku. Lalu aku menjawab, ‘Aku bekerja karena Allah, karena itu upahku pun aku serahkan kepada Allah.’ Umar berkata, ‘Ambillah apa yang diberikan kepadamu itu. Sesungguhnya aku pernah pula bertugas pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai amil zakat. Aku menolak pemberian itu seraya menjawab seperti jawabanmu. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Apabila kamu diberi orang suatu pemberian tanpa kamu minta, makanlah atau sedekahkanlah.’” (HR. Muslim no. 1045) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 510-511). Tags: harta
Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, beliau berkata, سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ، فَأَقُولُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا، فَقُلْتُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Saya mendengar Umar bin Al-Khattab berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi sesuatu kepadaku, namun aku berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Hingga suatu hari beliau memberikan harta kepadaku lagi, maka aku pun berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ‘Ambillah. Apabila kamu diberikan sesuatu, sedangkan kamu tidak mengidam-idamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka janganlah kamu memperturutkan hawa nafsumu.’” (HR. Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 1045) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil bolehnya menerima pemberian sesuatu berupa harta, jika memang diberikan kepadanya, selama dia tidak berambisi (mengidam-idamkan) untuk mendapatkan harta tersebut, dan tidak pula meminta-minta agar diberi harta tersebut. Artinya, selama dia mendapatkan pemberian tersebut sesuai dengan aturan syariat. Misalnya, dia mendapatkan sebagai bentuk hadiah, atau sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dia lakukan, atau semacam itu, meskipun orang yang diberi itu kaya atau berkecukupan. Orang tersebut boleh menerima pemberian tersebut dan membelanjakannya di jalan-jalan kebaikan, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau disedekahkan kembali kepada orang lain. Kedua, hadis ini menunjukkan keistimewaan sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menunjukkan sikap zuhud terhdap dunia, tidak memperturutkan hawa nafsunya, dan juga lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Ketiga, ada kemungkinan bahwa pemberian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut berasal dari harta selain zakat, seperti kharraj (semacam pajak tanah yang dikenakan kepada ahlul kitab yang menggarap lahan milik negara Islam), atau jizyah (harta yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya), atau sedekah sunah. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta-harta tersebut kepada sebagian sahabatnya, termasuk memberikannya kepada Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, ada juga kemungkinan bahwa harta tersebut sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebagai amil zakat. Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu As Sa’idi Al-Maliki, beliau berkata, اسْتَعْمَلَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا، وَأَدَّيْتُهَا إِلَيْهِ، أَمَرَ لِي بِعُمَالَةٍ، فَقُلْتُ إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ، وَأَجْرِي عَلَى اللهِ، فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيتَ، فَإِنِّي عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَمَّلَنِي، فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أُعْطِيتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ، فَكُلْ وَتَصَدَّقْ “Umar bin Al­-Khattab pernah menugaskanku sebagai amil zakat. Setelah tugas itu selesai kulaksanakan, dan hasil zakat yang aku kumpulkan itu telah aku serahkan kepadanya, maka Umar menyuruhku mengambil bagian amil untukku. Lalu aku menjawab, ‘Aku bekerja karena Allah, karena itu upahku pun aku serahkan kepada Allah.’ Umar berkata, ‘Ambillah apa yang diberikan kepadamu itu. Sesungguhnya aku pernah pula bertugas pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai amil zakat. Aku menolak pemberian itu seraya menjawab seperti jawabanmu. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Apabila kamu diberi orang suatu pemberian tanpa kamu minta, makanlah atau sedekahkanlah.’” (HR. Muslim no. 1045) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 510-511). Tags: harta


Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, beliau berkata, سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ، فَأَقُولُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا، فَقُلْتُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Saya mendengar Umar bin Al-Khattab berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi sesuatu kepadaku, namun aku berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Hingga suatu hari beliau memberikan harta kepadaku lagi, maka aku pun berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ‘Ambillah. Apabila kamu diberikan sesuatu, sedangkan kamu tidak mengidam-idamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka janganlah kamu memperturutkan hawa nafsumu.’” (HR. Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 1045) Kandungan hadis Pertama, hadis ini adalah dalil bolehnya menerima pemberian sesuatu berupa harta, jika memang diberikan kepadanya, selama dia tidak berambisi (mengidam-idamkan) untuk mendapatkan harta tersebut, dan tidak pula meminta-minta agar diberi harta tersebut. Artinya, selama dia mendapatkan pemberian tersebut sesuai dengan aturan syariat. Misalnya, dia mendapatkan sebagai bentuk hadiah, atau sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dia lakukan, atau semacam itu, meskipun orang yang diberi itu kaya atau berkecukupan. Orang tersebut boleh menerima pemberian tersebut dan membelanjakannya di jalan-jalan kebaikan, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau disedekahkan kembali kepada orang lain. Kedua, hadis ini menunjukkan keistimewaan sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menunjukkan sikap zuhud terhdap dunia, tidak memperturutkan hawa nafsunya, dan juga lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Ketiga, ada kemungkinan bahwa pemberian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut berasal dari harta selain zakat, seperti kharraj (semacam pajak tanah yang dikenakan kepada ahlul kitab yang menggarap lahan milik negara Islam), atau jizyah (harta yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya), atau sedekah sunah. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta-harta tersebut kepada sebagian sahabatnya, termasuk memberikannya kepada Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, ada juga kemungkinan bahwa harta tersebut sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebagai amil zakat. Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu As Sa’idi Al-Maliki, beliau berkata, اسْتَعْمَلَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا، وَأَدَّيْتُهَا إِلَيْهِ، أَمَرَ لِي بِعُمَالَةٍ، فَقُلْتُ إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ، وَأَجْرِي عَلَى اللهِ، فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيتَ، فَإِنِّي عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَمَّلَنِي، فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أُعْطِيتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ، فَكُلْ وَتَصَدَّقْ “Umar bin Al­-Khattab pernah menugaskanku sebagai amil zakat. Setelah tugas itu selesai kulaksanakan, dan hasil zakat yang aku kumpulkan itu telah aku serahkan kepadanya, maka Umar menyuruhku mengambil bagian amil untukku. Lalu aku menjawab, ‘Aku bekerja karena Allah, karena itu upahku pun aku serahkan kepada Allah.’ Umar berkata, ‘Ambillah apa yang diberikan kepadamu itu. Sesungguhnya aku pernah pula bertugas pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai amil zakat. Aku menolak pemberian itu seraya menjawab seperti jawabanmu. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Apabila kamu diberi orang suatu pemberian tanpa kamu minta, makanlah atau sedekahkanlah.’” (HR. Muslim no. 1045) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 510-511). Tags: harta

Efektifitas Berdakwah Melalui Media Sosial

Daftar Isi Toggle Sharing dakwah kebermanfaatanMenghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhanMemaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosialMemanfaatkan media dalam berdakwahMengoptimalkan media sosial sebagai media dakwahManfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Dalam menjalankan aktivitas dakwah, Allah ‘Azza Wajalla mudahkan kita dalam menjalankannya melalui berbagai hal, baik melalui berbagai alat bantu atau media. Salah satu cara yang dapat kita lakukan dalam berdakwah adalah dengan menyampaikan melalui media sosial masif dan modern. Salah satunya dengan menyebarkan konten-konten kebaikan dan konten dakwah melalui media sosial, yakni bisa berupa desain poster nasihat maupun berupa video pendek yang berisi potongan nasihat atau hikmah dari berbagai sumber info kajian atau majelis yang ada di berbagai lembaga dakwah. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dengan satu anjuran penting dalam tuntunan sebagai seorang muslim dalam menyebarluaskan kebaikan dan kebermanfaatan, seperti yang di terangkan dalam sebuah hadis. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) [1] Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai kaum muslimin sudah selayaknya mampu memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menebar kebaikan dan berdakwah serta menyampaikan hal positif yang dapat meningkatkan ketakwaan dan keimanan secara efektif dan inovatif. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), sekitar 196,71 juta orang Indonesia atau sekitar 73,7% telah terhubung dengan jaringan internet pengguna sepanjang tahun 2019-2020. Hal tersebut terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung menggunakan internet dalam segala hal, terutama dalam berkomunikasi dan mencari informasi, baik dalam keperluan yang penting, privasi, maupun sekedar hiburan. Bahkan, kadangkala menjadi pelarian dalam menghabiskan waktu dengan berselancar tanpa mengenal waktu. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai aktivis dakwah memanfaatkan peluang ini menjadi ladang amal jariyah untuk mengisi kekosongan atau mengalihkan hal negatif yang sering kita temui di dalam ruang-ruang media sosial menjadi ruang interaktif kebaikan dan sharing dakwah, baik dalam kemasan audio visual maupun media desain poster yang bisa mengena. Juga video sesi rekaman yang dapat dinikmati dan dikaji oleh para pemuda, baik dalam kondisi sibuk ataupun luang yang bisa disesuaikan dan diakses dalam waktu kapan pun dan di mana pun Hal lain juga yang perlu diperhatikan adalah dalam segi adab dan etika. Islam sebagai agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i bagi umatnya dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya, baik dalam hal bermuamalah maupun hal yang mubah agar mampu mengefektifkan peran dalam segi kehidupan keseharian. Adapun beberapa langkah yang bisa kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar dapat dikategorikan sebagai efektifitas dakwah, antara lain: Sharing dakwah kebermanfaatan Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, khususnya ilmu syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ . رَوَاهُ مُسْلِم “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhan Ujaran kebencian dan menyebarkan berita yang memicu kegaduhan termasuk dalam akhlak yang tercela (akhlak madzmumah) yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam dan tidak sesuai dengan sunah Nabi. Maka, sudah selayaknya kita sebagai seorang muslim mampu menjaga lisan kita dalam perilaku yang buruk. Bahkan, lebih baik diam ketika berucap, akan tetapi tidak menghadirkan kebaikan. Baca juga: Sikap Generasi Muda Islam dalam Memanfaatkan Media Sosial Memaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosial Pemanfaatan media sosial sebagai media dakwah yang mampu memberikan efek dan nilai positif sekaligus dampak negatif bagi umat Islam. Efek dan nilai positifnya yang bisa diambil dari dakwah melalui media sosial di antaranya adalah kemudahan akses media sosial yang memungkinkan masyarakat mampu mengakses informasi keislaman dan mempelajari berbagai ilmu ajaran Islam di mana pun dan kapan pun. Memanfaatkan media dalam berdakwah Media kala ini dikenal sebagai media baru/pembaru dalam lingkup media modern yang memiliki peran sebagai media informasi dalam berdakwah. Media baru atau modern ini memberikan kemudahan bagi manusia dalam mengakses informasi, baik seputar ilmu agama maupun berbagai disiplin ilmu lainya. Maka, bagi seorang dai masa kini diharapkan mampu dan dapat memanfaatkan media pembaru ini dalam agenda-agenda kebaikan khususnya agenda dakwah islam. Mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah Pertanyaan yang mesti dijawab bagi aktivis dakwah adalah, “Bagaimana mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah?” Melalui berbagai sumber dan referensi, dapat dijelaskan bahwa cara optimalisasi dakwah yang jitu adalah dengan cara pendekatan melalui media sosial dengan teknik komunikasi momentum atau viral yang sesuai dengan waktu yang tepat dalam menghadirkan pengemasan konten yang menarik dengan memanfaatkan media sosial dengan bersifat lebih interaktif dan konten yang mudah diterima oleh kaum muslimin dengan tetap mengedepankan kaidah syari dan sesuai tuntunan sunah. Manfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Menjadikan media sosial sebagai wasilah dan sarana menyebarkan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Dan semoga Allah menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi, serta menjadi manusia yang bertanggung-jawab atas apa yang kita perbuat, dan mampu menggunakan teknologi secara bijak. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1]  Fawaid hadis: Pertama: Keutamaan dakwah di jalan Allah dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain, baik kebaikan dunia atau akhirat. Kedua: Orang yang menunjukkan kebaikan, maka akan mendapatkan pahala karena telah menunjukkan kebaikan serta pahala orang yang mengikutinya. Ketiga: Amal yang bisa dirasakan oleh orang lain lebih besar manfaatnya dibandingkan amal yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri. Keempat: Hadis ini mencakup orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain dengan perbuatannya, meskipun tidak dengan lisannya. Seperti orang yang menyebarkan buku-buku yang bermanfaat, berakhlak mulia, dan berpegang teguh dengan syariat Islam agar manusia juga bisa meneladaninya. Kelima: Keutamaan mengajarkan ilmu dan besarnya pahala seorang pengajar yang mengharapkan pahala di akhirat. Keenam: Dianjurkan seseorang untuk meminta kepada Allah agar menjadi teladan dalam kebaikan. (Lihat: Syarah Bulughul Maram, Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syastry hafizhahullah) Tags: media sosial

Efektifitas Berdakwah Melalui Media Sosial

Daftar Isi Toggle Sharing dakwah kebermanfaatanMenghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhanMemaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosialMemanfaatkan media dalam berdakwahMengoptimalkan media sosial sebagai media dakwahManfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Dalam menjalankan aktivitas dakwah, Allah ‘Azza Wajalla mudahkan kita dalam menjalankannya melalui berbagai hal, baik melalui berbagai alat bantu atau media. Salah satu cara yang dapat kita lakukan dalam berdakwah adalah dengan menyampaikan melalui media sosial masif dan modern. Salah satunya dengan menyebarkan konten-konten kebaikan dan konten dakwah melalui media sosial, yakni bisa berupa desain poster nasihat maupun berupa video pendek yang berisi potongan nasihat atau hikmah dari berbagai sumber info kajian atau majelis yang ada di berbagai lembaga dakwah. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dengan satu anjuran penting dalam tuntunan sebagai seorang muslim dalam menyebarluaskan kebaikan dan kebermanfaatan, seperti yang di terangkan dalam sebuah hadis. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) [1] Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai kaum muslimin sudah selayaknya mampu memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menebar kebaikan dan berdakwah serta menyampaikan hal positif yang dapat meningkatkan ketakwaan dan keimanan secara efektif dan inovatif. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), sekitar 196,71 juta orang Indonesia atau sekitar 73,7% telah terhubung dengan jaringan internet pengguna sepanjang tahun 2019-2020. Hal tersebut terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung menggunakan internet dalam segala hal, terutama dalam berkomunikasi dan mencari informasi, baik dalam keperluan yang penting, privasi, maupun sekedar hiburan. Bahkan, kadangkala menjadi pelarian dalam menghabiskan waktu dengan berselancar tanpa mengenal waktu. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai aktivis dakwah memanfaatkan peluang ini menjadi ladang amal jariyah untuk mengisi kekosongan atau mengalihkan hal negatif yang sering kita temui di dalam ruang-ruang media sosial menjadi ruang interaktif kebaikan dan sharing dakwah, baik dalam kemasan audio visual maupun media desain poster yang bisa mengena. Juga video sesi rekaman yang dapat dinikmati dan dikaji oleh para pemuda, baik dalam kondisi sibuk ataupun luang yang bisa disesuaikan dan diakses dalam waktu kapan pun dan di mana pun Hal lain juga yang perlu diperhatikan adalah dalam segi adab dan etika. Islam sebagai agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i bagi umatnya dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya, baik dalam hal bermuamalah maupun hal yang mubah agar mampu mengefektifkan peran dalam segi kehidupan keseharian. Adapun beberapa langkah yang bisa kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar dapat dikategorikan sebagai efektifitas dakwah, antara lain: Sharing dakwah kebermanfaatan Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, khususnya ilmu syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ . رَوَاهُ مُسْلِم “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhan Ujaran kebencian dan menyebarkan berita yang memicu kegaduhan termasuk dalam akhlak yang tercela (akhlak madzmumah) yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam dan tidak sesuai dengan sunah Nabi. Maka, sudah selayaknya kita sebagai seorang muslim mampu menjaga lisan kita dalam perilaku yang buruk. Bahkan, lebih baik diam ketika berucap, akan tetapi tidak menghadirkan kebaikan. Baca juga: Sikap Generasi Muda Islam dalam Memanfaatkan Media Sosial Memaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosial Pemanfaatan media sosial sebagai media dakwah yang mampu memberikan efek dan nilai positif sekaligus dampak negatif bagi umat Islam. Efek dan nilai positifnya yang bisa diambil dari dakwah melalui media sosial di antaranya adalah kemudahan akses media sosial yang memungkinkan masyarakat mampu mengakses informasi keislaman dan mempelajari berbagai ilmu ajaran Islam di mana pun dan kapan pun. Memanfaatkan media dalam berdakwah Media kala ini dikenal sebagai media baru/pembaru dalam lingkup media modern yang memiliki peran sebagai media informasi dalam berdakwah. Media baru atau modern ini memberikan kemudahan bagi manusia dalam mengakses informasi, baik seputar ilmu agama maupun berbagai disiplin ilmu lainya. Maka, bagi seorang dai masa kini diharapkan mampu dan dapat memanfaatkan media pembaru ini dalam agenda-agenda kebaikan khususnya agenda dakwah islam. Mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah Pertanyaan yang mesti dijawab bagi aktivis dakwah adalah, “Bagaimana mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah?” Melalui berbagai sumber dan referensi, dapat dijelaskan bahwa cara optimalisasi dakwah yang jitu adalah dengan cara pendekatan melalui media sosial dengan teknik komunikasi momentum atau viral yang sesuai dengan waktu yang tepat dalam menghadirkan pengemasan konten yang menarik dengan memanfaatkan media sosial dengan bersifat lebih interaktif dan konten yang mudah diterima oleh kaum muslimin dengan tetap mengedepankan kaidah syari dan sesuai tuntunan sunah. Manfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Menjadikan media sosial sebagai wasilah dan sarana menyebarkan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Dan semoga Allah menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi, serta menjadi manusia yang bertanggung-jawab atas apa yang kita perbuat, dan mampu menggunakan teknologi secara bijak. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1]  Fawaid hadis: Pertama: Keutamaan dakwah di jalan Allah dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain, baik kebaikan dunia atau akhirat. Kedua: Orang yang menunjukkan kebaikan, maka akan mendapatkan pahala karena telah menunjukkan kebaikan serta pahala orang yang mengikutinya. Ketiga: Amal yang bisa dirasakan oleh orang lain lebih besar manfaatnya dibandingkan amal yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri. Keempat: Hadis ini mencakup orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain dengan perbuatannya, meskipun tidak dengan lisannya. Seperti orang yang menyebarkan buku-buku yang bermanfaat, berakhlak mulia, dan berpegang teguh dengan syariat Islam agar manusia juga bisa meneladaninya. Kelima: Keutamaan mengajarkan ilmu dan besarnya pahala seorang pengajar yang mengharapkan pahala di akhirat. Keenam: Dianjurkan seseorang untuk meminta kepada Allah agar menjadi teladan dalam kebaikan. (Lihat: Syarah Bulughul Maram, Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syastry hafizhahullah) Tags: media sosial
Daftar Isi Toggle Sharing dakwah kebermanfaatanMenghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhanMemaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosialMemanfaatkan media dalam berdakwahMengoptimalkan media sosial sebagai media dakwahManfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Dalam menjalankan aktivitas dakwah, Allah ‘Azza Wajalla mudahkan kita dalam menjalankannya melalui berbagai hal, baik melalui berbagai alat bantu atau media. Salah satu cara yang dapat kita lakukan dalam berdakwah adalah dengan menyampaikan melalui media sosial masif dan modern. Salah satunya dengan menyebarkan konten-konten kebaikan dan konten dakwah melalui media sosial, yakni bisa berupa desain poster nasihat maupun berupa video pendek yang berisi potongan nasihat atau hikmah dari berbagai sumber info kajian atau majelis yang ada di berbagai lembaga dakwah. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dengan satu anjuran penting dalam tuntunan sebagai seorang muslim dalam menyebarluaskan kebaikan dan kebermanfaatan, seperti yang di terangkan dalam sebuah hadis. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) [1] Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai kaum muslimin sudah selayaknya mampu memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menebar kebaikan dan berdakwah serta menyampaikan hal positif yang dapat meningkatkan ketakwaan dan keimanan secara efektif dan inovatif. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), sekitar 196,71 juta orang Indonesia atau sekitar 73,7% telah terhubung dengan jaringan internet pengguna sepanjang tahun 2019-2020. Hal tersebut terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung menggunakan internet dalam segala hal, terutama dalam berkomunikasi dan mencari informasi, baik dalam keperluan yang penting, privasi, maupun sekedar hiburan. Bahkan, kadangkala menjadi pelarian dalam menghabiskan waktu dengan berselancar tanpa mengenal waktu. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai aktivis dakwah memanfaatkan peluang ini menjadi ladang amal jariyah untuk mengisi kekosongan atau mengalihkan hal negatif yang sering kita temui di dalam ruang-ruang media sosial menjadi ruang interaktif kebaikan dan sharing dakwah, baik dalam kemasan audio visual maupun media desain poster yang bisa mengena. Juga video sesi rekaman yang dapat dinikmati dan dikaji oleh para pemuda, baik dalam kondisi sibuk ataupun luang yang bisa disesuaikan dan diakses dalam waktu kapan pun dan di mana pun Hal lain juga yang perlu diperhatikan adalah dalam segi adab dan etika. Islam sebagai agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i bagi umatnya dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya, baik dalam hal bermuamalah maupun hal yang mubah agar mampu mengefektifkan peran dalam segi kehidupan keseharian. Adapun beberapa langkah yang bisa kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar dapat dikategorikan sebagai efektifitas dakwah, antara lain: Sharing dakwah kebermanfaatan Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, khususnya ilmu syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ . رَوَاهُ مُسْلِم “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhan Ujaran kebencian dan menyebarkan berita yang memicu kegaduhan termasuk dalam akhlak yang tercela (akhlak madzmumah) yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam dan tidak sesuai dengan sunah Nabi. Maka, sudah selayaknya kita sebagai seorang muslim mampu menjaga lisan kita dalam perilaku yang buruk. Bahkan, lebih baik diam ketika berucap, akan tetapi tidak menghadirkan kebaikan. Baca juga: Sikap Generasi Muda Islam dalam Memanfaatkan Media Sosial Memaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosial Pemanfaatan media sosial sebagai media dakwah yang mampu memberikan efek dan nilai positif sekaligus dampak negatif bagi umat Islam. Efek dan nilai positifnya yang bisa diambil dari dakwah melalui media sosial di antaranya adalah kemudahan akses media sosial yang memungkinkan masyarakat mampu mengakses informasi keislaman dan mempelajari berbagai ilmu ajaran Islam di mana pun dan kapan pun. Memanfaatkan media dalam berdakwah Media kala ini dikenal sebagai media baru/pembaru dalam lingkup media modern yang memiliki peran sebagai media informasi dalam berdakwah. Media baru atau modern ini memberikan kemudahan bagi manusia dalam mengakses informasi, baik seputar ilmu agama maupun berbagai disiplin ilmu lainya. Maka, bagi seorang dai masa kini diharapkan mampu dan dapat memanfaatkan media pembaru ini dalam agenda-agenda kebaikan khususnya agenda dakwah islam. Mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah Pertanyaan yang mesti dijawab bagi aktivis dakwah adalah, “Bagaimana mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah?” Melalui berbagai sumber dan referensi, dapat dijelaskan bahwa cara optimalisasi dakwah yang jitu adalah dengan cara pendekatan melalui media sosial dengan teknik komunikasi momentum atau viral yang sesuai dengan waktu yang tepat dalam menghadirkan pengemasan konten yang menarik dengan memanfaatkan media sosial dengan bersifat lebih interaktif dan konten yang mudah diterima oleh kaum muslimin dengan tetap mengedepankan kaidah syari dan sesuai tuntunan sunah. Manfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Menjadikan media sosial sebagai wasilah dan sarana menyebarkan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Dan semoga Allah menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi, serta menjadi manusia yang bertanggung-jawab atas apa yang kita perbuat, dan mampu menggunakan teknologi secara bijak. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1]  Fawaid hadis: Pertama: Keutamaan dakwah di jalan Allah dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain, baik kebaikan dunia atau akhirat. Kedua: Orang yang menunjukkan kebaikan, maka akan mendapatkan pahala karena telah menunjukkan kebaikan serta pahala orang yang mengikutinya. Ketiga: Amal yang bisa dirasakan oleh orang lain lebih besar manfaatnya dibandingkan amal yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri. Keempat: Hadis ini mencakup orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain dengan perbuatannya, meskipun tidak dengan lisannya. Seperti orang yang menyebarkan buku-buku yang bermanfaat, berakhlak mulia, dan berpegang teguh dengan syariat Islam agar manusia juga bisa meneladaninya. Kelima: Keutamaan mengajarkan ilmu dan besarnya pahala seorang pengajar yang mengharapkan pahala di akhirat. Keenam: Dianjurkan seseorang untuk meminta kepada Allah agar menjadi teladan dalam kebaikan. (Lihat: Syarah Bulughul Maram, Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syastry hafizhahullah) Tags: media sosial


Daftar Isi Toggle Sharing dakwah kebermanfaatanMenghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhanMemaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosialMemanfaatkan media dalam berdakwahMengoptimalkan media sosial sebagai media dakwahManfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Dalam menjalankan aktivitas dakwah, Allah ‘Azza Wajalla mudahkan kita dalam menjalankannya melalui berbagai hal, baik melalui berbagai alat bantu atau media. Salah satu cara yang dapat kita lakukan dalam berdakwah adalah dengan menyampaikan melalui media sosial masif dan modern. Salah satunya dengan menyebarkan konten-konten kebaikan dan konten dakwah melalui media sosial, yakni bisa berupa desain poster nasihat maupun berupa video pendek yang berisi potongan nasihat atau hikmah dari berbagai sumber info kajian atau majelis yang ada di berbagai lembaga dakwah. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dengan satu anjuran penting dalam tuntunan sebagai seorang muslim dalam menyebarluaskan kebaikan dan kebermanfaatan, seperti yang di terangkan dalam sebuah hadis. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) [1] Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai kaum muslimin sudah selayaknya mampu memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menebar kebaikan dan berdakwah serta menyampaikan hal positif yang dapat meningkatkan ketakwaan dan keimanan secara efektif dan inovatif. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), sekitar 196,71 juta orang Indonesia atau sekitar 73,7% telah terhubung dengan jaringan internet pengguna sepanjang tahun 2019-2020. Hal tersebut terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung menggunakan internet dalam segala hal, terutama dalam berkomunikasi dan mencari informasi, baik dalam keperluan yang penting, privasi, maupun sekedar hiburan. Bahkan, kadangkala menjadi pelarian dalam menghabiskan waktu dengan berselancar tanpa mengenal waktu. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai aktivis dakwah memanfaatkan peluang ini menjadi ladang amal jariyah untuk mengisi kekosongan atau mengalihkan hal negatif yang sering kita temui di dalam ruang-ruang media sosial menjadi ruang interaktif kebaikan dan sharing dakwah, baik dalam kemasan audio visual maupun media desain poster yang bisa mengena. Juga video sesi rekaman yang dapat dinikmati dan dikaji oleh para pemuda, baik dalam kondisi sibuk ataupun luang yang bisa disesuaikan dan diakses dalam waktu kapan pun dan di mana pun Hal lain juga yang perlu diperhatikan adalah dalam segi adab dan etika. Islam sebagai agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i bagi umatnya dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya, baik dalam hal bermuamalah maupun hal yang mubah agar mampu mengefektifkan peran dalam segi kehidupan keseharian. Adapun beberapa langkah yang bisa kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar dapat dikategorikan sebagai efektifitas dakwah, antara lain: Sharing dakwah kebermanfaatan Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, khususnya ilmu syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ . رَوَاهُ مُسْلِم “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menghindari materi dakwah yang mengandung kata buruk dan dapat menimbulkan kegaduhan Ujaran kebencian dan menyebarkan berita yang memicu kegaduhan termasuk dalam akhlak yang tercela (akhlak madzmumah) yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam dan tidak sesuai dengan sunah Nabi. Maka, sudah selayaknya kita sebagai seorang muslim mampu menjaga lisan kita dalam perilaku yang buruk. Bahkan, lebih baik diam ketika berucap, akan tetapi tidak menghadirkan kebaikan. Baca juga: Sikap Generasi Muda Islam dalam Memanfaatkan Media Sosial Memaksimalkan manfaat dakwah melalui media sosial Pemanfaatan media sosial sebagai media dakwah yang mampu memberikan efek dan nilai positif sekaligus dampak negatif bagi umat Islam. Efek dan nilai positifnya yang bisa diambil dari dakwah melalui media sosial di antaranya adalah kemudahan akses media sosial yang memungkinkan masyarakat mampu mengakses informasi keislaman dan mempelajari berbagai ilmu ajaran Islam di mana pun dan kapan pun. Memanfaatkan media dalam berdakwah Media kala ini dikenal sebagai media baru/pembaru dalam lingkup media modern yang memiliki peran sebagai media informasi dalam berdakwah. Media baru atau modern ini memberikan kemudahan bagi manusia dalam mengakses informasi, baik seputar ilmu agama maupun berbagai disiplin ilmu lainya. Maka, bagi seorang dai masa kini diharapkan mampu dan dapat memanfaatkan media pembaru ini dalam agenda-agenda kebaikan khususnya agenda dakwah islam. Mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah Pertanyaan yang mesti dijawab bagi aktivis dakwah adalah, “Bagaimana mengoptimalkan media sosial sebagai media dakwah?” Melalui berbagai sumber dan referensi, dapat dijelaskan bahwa cara optimalisasi dakwah yang jitu adalah dengan cara pendekatan melalui media sosial dengan teknik komunikasi momentum atau viral yang sesuai dengan waktu yang tepat dalam menghadirkan pengemasan konten yang menarik dengan memanfaatkan media sosial dengan bersifat lebih interaktif dan konten yang mudah diterima oleh kaum muslimin dengan tetap mengedepankan kaidah syari dan sesuai tuntunan sunah. Manfaat kebaikan dan kebermanfaatan media sosial dalam pandangan Islam Menjadikan media sosial sebagai wasilah dan sarana menyebarkan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Dan semoga Allah menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi, serta menjadi manusia yang bertanggung-jawab atas apa yang kita perbuat, dan mampu menggunakan teknologi secara bijak. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1]  Fawaid hadis: Pertama: Keutamaan dakwah di jalan Allah dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain, baik kebaikan dunia atau akhirat. Kedua: Orang yang menunjukkan kebaikan, maka akan mendapatkan pahala karena telah menunjukkan kebaikan serta pahala orang yang mengikutinya. Ketiga: Amal yang bisa dirasakan oleh orang lain lebih besar manfaatnya dibandingkan amal yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri. Keempat: Hadis ini mencakup orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain dengan perbuatannya, meskipun tidak dengan lisannya. Seperti orang yang menyebarkan buku-buku yang bermanfaat, berakhlak mulia, dan berpegang teguh dengan syariat Islam agar manusia juga bisa meneladaninya. Kelima: Keutamaan mengajarkan ilmu dan besarnya pahala seorang pengajar yang mengharapkan pahala di akhirat. Keenam: Dianjurkan seseorang untuk meminta kepada Allah agar menjadi teladan dalam kebaikan. (Lihat: Syarah Bulughul Maram, Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syastry hafizhahullah) Tags: media sosial
Prev     Next