Beberapa Adab Tercela terhadap Orang yang telah Meninggal

1. Tidak mengurusi jenazahnya Jika ada seorang Muslim yang meninggal namun kaum Muslimin tidak mengurusi jenazahnya, maka perbuatan mereka ini tercela. Karena memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan mayit hukumnya fardu kifayah. Jika penduduk satu daerah tidak mengurusi jenazah yang meninggal di tengah mereka, maka ini adab yang tercela dan mereka semua mendapatkan dosa. Dalam hadis dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata: بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي “Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206). Hadis ini menunjukkan wajibnya memandikan dan mengafani mayit. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُؤتى بالرجلِ الميتِ ، عليه الدين . فيسأل ( هل ترك لدَينه من قضاءٍ ؟ ) فإن حدث أنه ترك وفاءً صلَّى عليه . وإلا قال ( صلُّوا على صاحبِكم) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Salatkanlah saudara kalian” (HR Muslim no. 1619). Hadis ini menunjukkan wajibnya menyalatkan mayit dan menguburkannya. 2. Tidak mendoakannya Tidak mendoakan orang yang telah meninggal atau sedikit sekali melakukannya adalah adab tercela kepadanya. Karena Allah ajarkan kita suatu doa di dalam al-Quran, وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10). Dalam ayat ini kita diajarkan untuk mendoakan orang-orang yang telah mendahului kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah radhiyallahu’anhu, beliau mendoakan Abu Salamah: اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه “Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920). Dan karena doa orang yang masih hidup akan bermanfaat untuk orang yang telah meninggal. Mereka sangat membutuhkan doa-doa dari orang yang masih hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631). 3. Tidak memperbanyak orang untuk menyalatkannya Selain menyalatkan jenazah itu hukumnya fardu kifayah, hendaknya juga berusaha untuk memperbanyak orang yang menyalatkan jenazah. Kurang semangat untuk mengajak orang menyalatkan jenazahnya, ini adalah akhlak tercela. Karena salat jenazah itu akan memberikan syafa’at untuk mayit. Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuk si mayit” (HR. Muslim no. 947). Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أرْبَعُونَ رَجُلا، لا يُشْرِكُونَ بِالله شَيْئاً إِلا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, kecuali Allah akan memberikan syafaat kepada jenazah tersebut dengan sebab mereka” (HR. Muslim no. 948). Maka hendaknya berusaha untuk mengajak orang sebanyak mungkin menyalatkan orang yang telah meninggal. 4. Niyahah Makna niyahah adalah ekspresi kesedihan yang berlebihan atas meninggalnya seseorang, baik dengan menangis meraung-raung, menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, memukul-mukul tembok dan semisalnya. Niyahah adalah adab yang tercela kepada mayit dan bisa memberikan mudarat kepadanya. Dari Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ الميِّتَ يُعذَّبُ ببكاءِ أهلِه عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya menangisinya” (HR. Bukhari no. 1304, Muslim no. 929). Dalam riwayat lain: المَيِّتُ يُعَذَّبُ في قَبْرِهِ بِما نِيحَ عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya melakukan niyahah terhadapnya” (HR. Bukhari no. 1292, Muslim no. 927). Dan niyahah itu sendiri adalah perbuatan dosa besar yang diancam dengan hukum yang keras. Karena niyahah adalah bentuk tidak rida terhadap takdir Allah. Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, « أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ “Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934). 5. Ma’tam Yang dimaksud dengan ma’tam adalah kumpul-kumpul di rumah duka untuk makan-makan setelah mayit dimakamkan. Padahal kumpul-kumpul di rumah duka dan makan-makan termasuk niyahah. Jarir bin Abdillah radhiyallahu’anhu mengatakan: كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ، وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ : مِنْ النِّيَاحَةِ “Dahulu kami (para sahabat Nabi) menganggap kumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan di sana, setelah mayit dimakamkan, ini semua termasuk niyahah” (HR. Ahmad no. 6866, Ibnu Majah no. 1612, dishahihkan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad). Bahkan Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan: وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ ، وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى فِيهِ مِنْ الْأَثَرِ “Aku melarang ma’tam, yaitu kumpul-kumpul (di tempat mayit). Walaupun tidak menangisinya. Karena perbuatan ini memperbarui kesedihan dan membebani keluarga mayit setelah mereka tertimpa kesedihan” (Al-Umm, 1/318). 6. Tidak menunaikan wasiatnya Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Tidak menunaikan wasiat mayit ini termasuk adab yang tercela kepada mayit. Allah ta’ala berfirman, فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181). Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah, 16/369-370). 7. Tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya Jika mayit meninggalkan hutang, maka harta peninggalannya wajib digunakan untuk membayar hutangnya. Jika keluarga dan kerabat dari mayit tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya, ini adalah adab yang tercela. Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris, مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ “(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An-Nisa: 11). Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة “Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At-Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, نفس المؤمن مُعَلّقة بدَيْنِه حتى يُقْضى عنه “Ruh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena hutangnya sampai hutangnya dilunasi” (HR. At-Tirmidzi no. 1079, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Al-Mula Ali Al-Qari rahimahullah menjelaskan, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia.’ Al-Iraqi mengatakan, ‘Maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung. Tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?’” (Mirqatul Mafatih, 5/1948). 8. Duduk di atas kuburannya Duduk di atas kuburan adalah adab yang tercela. Dalam hadis dari Jabir radhiyallahu’anhu, beliau berkata: نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun. Dalam riwayat lain, beliau melarang kuburan ditinggikan. Dalam riwayat yang lain, beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Siapa yang menadaburi tentang larangan duduk di atas kuburan, atau bersandar pada kuburan, atau menginjak kuburan, maka ia akan mengetahui bahwa semua larangan tersebut dalam rangka menghormati penghuninya (yaitu si mayit). Agar para peziarah tidak menginjak kepala penghuni kubur tersebut dengan sandalnya” (Dinukil dari Al-Mulakhos Al-Fiqhi, hal 165). 9. Para pengantar jenazah duduk sebelum mayit dimasukkan ke liang kubur Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman, sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ “Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai ia dimasukkan ke liang kubur” (HR. Al-Bukhari no.1310, Muslim no.959). Dari hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat madzhab Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Namun Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, yang bicara tentang tata cara pengurusan jenazah, beliau radhiyallahu’anhu berkata: إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ “Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk” (HR. Muslim no.962). Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus). Namun yang lebih berhati-hati adalah memilih pendapat yang pertama, karena perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam. 10. Tidak salam ketika melewati kuburannya Karena salam kepada mayit di dalam kubur adalah doa. Dan doa itu bermanfaat untuk mayit yang sudah tidak bisa beramal lagi. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ البَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لهمْ، قالَتْ: قُلتُ: كيفَ أَقُولُ لهمْ يا رَسولَ اللهِ؟ قالَ: قُولِي: السَّلَامُ علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وإنَّا -إنْ شَاءَ اللَّهُ- بكُمْ لَاحِقُونَ. “Sesungguhnya Rabb-mu memerintahkanmu untuk berziarah ke makam Baqi dan memintakan ampunan untuk penghuninya. Aisyah berkata: doa apa yang semestinya saya ucapkan wahai Rasulullah? Beliau bersabda: ucapkanlah assalamu’alaikum ‘ala ahlid diyar minal mu’minin wal muslimin, wa yarhamullahul mustaqdimiin minna wal musta’khiriin. Wa inna insyaa-allahu bikum laahiqqun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum Mukminin dan Muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan. Kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 975). 11. Tidak menjalin hubungan baik dengan temannya Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ “Di antara bentuk bakti kepada orang tua yang paling utama adalah engkau berbuat baik kepada para kerabat dari ayahmu setelah ayahmu meninggal” (HR. Muslim no. 2552). Karena menjalin hubungan baik dengan teman-teman dari orang yang telah meninggalkan akan terus membuat namanya harum dan akan membuat teman-temannya tersebut terus mendoakannya.  12. Tidak menunaikan janjinya Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لَوْ قدْ جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ قدْ أَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا فَلَمْ يَجِئْ مَالُ البَحْرَيْنِ حتَّى قُبِضَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ أَمَرَ أَبُو بَكْرٍ فَنَادَى مَن كانَ له عِنْدَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم عِدَةٌ، أَوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فأتَيْتُهُ، فَقُلتُ: إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قالَ لي كَذَا وَكَذَا، فَحَثَى لي حَثْيَةً فَعَدَدْتُهَا فَإِذَا هي خَمْسُ مِئَةٍ، وَقالَ: خُذْ مِثْلَيْهَا. “Sungguh jika datang pemberian dari negeri Bahrain, aku akan bagikan kepada engkau wahai Jabir”. Ternyata pemberian dari negeri Bahrain tidak juga datang hingga beliau wafat. Maka ketika harta pemberian tersebut datang, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu berseru kepada orang-orang: “Siapa yang pernah dijanjikan pemberian oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam atau yang pernah dihutangi oleh beliau, silakan temui aku!”. Jabir berkata kepada Abu Bakar: “Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah menjanjikan aku pemberian begini dan begitu”. Lalu Abu Bakar pun mengambilkan setangkup harta dengan tangannya untuk diberikan kepadaku. Setelah aku hitung ternyata jumlahnya 500 dinar. Abu Bakar berkata: “Ambil lagi dua kali lipat dari ini!” (HR. Al-Bukhari no. 2296). Dalam hadis ini Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu menunaikan janji dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau. Karena jika janji itu merupakan kebaikan tentu akan mengalirkan pahala kepada orang yang telah meninggalkan yang membuat janji tersebut. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasi Mimpi, Cara Menghilangkan Santet Secara Islam, Apakah Doa Bisa Merubah Takdir, Tidak Boleh Keramas Saat Haid, Tata Cara Shalat Bagi Wanita, Cara Menjamak Shalat Visited 415 times, 1 visit(s) today Post Views: 620

Beberapa Adab Tercela terhadap Orang yang telah Meninggal

1. Tidak mengurusi jenazahnya Jika ada seorang Muslim yang meninggal namun kaum Muslimin tidak mengurusi jenazahnya, maka perbuatan mereka ini tercela. Karena memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan mayit hukumnya fardu kifayah. Jika penduduk satu daerah tidak mengurusi jenazah yang meninggal di tengah mereka, maka ini adab yang tercela dan mereka semua mendapatkan dosa. Dalam hadis dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata: بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي “Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206). Hadis ini menunjukkan wajibnya memandikan dan mengafani mayit. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُؤتى بالرجلِ الميتِ ، عليه الدين . فيسأل ( هل ترك لدَينه من قضاءٍ ؟ ) فإن حدث أنه ترك وفاءً صلَّى عليه . وإلا قال ( صلُّوا على صاحبِكم) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Salatkanlah saudara kalian” (HR Muslim no. 1619). Hadis ini menunjukkan wajibnya menyalatkan mayit dan menguburkannya. 2. Tidak mendoakannya Tidak mendoakan orang yang telah meninggal atau sedikit sekali melakukannya adalah adab tercela kepadanya. Karena Allah ajarkan kita suatu doa di dalam al-Quran, وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10). Dalam ayat ini kita diajarkan untuk mendoakan orang-orang yang telah mendahului kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah radhiyallahu’anhu, beliau mendoakan Abu Salamah: اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه “Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920). Dan karena doa orang yang masih hidup akan bermanfaat untuk orang yang telah meninggal. Mereka sangat membutuhkan doa-doa dari orang yang masih hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631). 3. Tidak memperbanyak orang untuk menyalatkannya Selain menyalatkan jenazah itu hukumnya fardu kifayah, hendaknya juga berusaha untuk memperbanyak orang yang menyalatkan jenazah. Kurang semangat untuk mengajak orang menyalatkan jenazahnya, ini adalah akhlak tercela. Karena salat jenazah itu akan memberikan syafa’at untuk mayit. Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuk si mayit” (HR. Muslim no. 947). Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أرْبَعُونَ رَجُلا، لا يُشْرِكُونَ بِالله شَيْئاً إِلا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, kecuali Allah akan memberikan syafaat kepada jenazah tersebut dengan sebab mereka” (HR. Muslim no. 948). Maka hendaknya berusaha untuk mengajak orang sebanyak mungkin menyalatkan orang yang telah meninggal. 4. Niyahah Makna niyahah adalah ekspresi kesedihan yang berlebihan atas meninggalnya seseorang, baik dengan menangis meraung-raung, menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, memukul-mukul tembok dan semisalnya. Niyahah adalah adab yang tercela kepada mayit dan bisa memberikan mudarat kepadanya. Dari Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ الميِّتَ يُعذَّبُ ببكاءِ أهلِه عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya menangisinya” (HR. Bukhari no. 1304, Muslim no. 929). Dalam riwayat lain: المَيِّتُ يُعَذَّبُ في قَبْرِهِ بِما نِيحَ عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya melakukan niyahah terhadapnya” (HR. Bukhari no. 1292, Muslim no. 927). Dan niyahah itu sendiri adalah perbuatan dosa besar yang diancam dengan hukum yang keras. Karena niyahah adalah bentuk tidak rida terhadap takdir Allah. Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, « أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ “Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934). 5. Ma’tam Yang dimaksud dengan ma’tam adalah kumpul-kumpul di rumah duka untuk makan-makan setelah mayit dimakamkan. Padahal kumpul-kumpul di rumah duka dan makan-makan termasuk niyahah. Jarir bin Abdillah radhiyallahu’anhu mengatakan: كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ، وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ : مِنْ النِّيَاحَةِ “Dahulu kami (para sahabat Nabi) menganggap kumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan di sana, setelah mayit dimakamkan, ini semua termasuk niyahah” (HR. Ahmad no. 6866, Ibnu Majah no. 1612, dishahihkan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad). Bahkan Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan: وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ ، وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى فِيهِ مِنْ الْأَثَرِ “Aku melarang ma’tam, yaitu kumpul-kumpul (di tempat mayit). Walaupun tidak menangisinya. Karena perbuatan ini memperbarui kesedihan dan membebani keluarga mayit setelah mereka tertimpa kesedihan” (Al-Umm, 1/318). 6. Tidak menunaikan wasiatnya Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Tidak menunaikan wasiat mayit ini termasuk adab yang tercela kepada mayit. Allah ta’ala berfirman, فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181). Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah, 16/369-370). 7. Tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya Jika mayit meninggalkan hutang, maka harta peninggalannya wajib digunakan untuk membayar hutangnya. Jika keluarga dan kerabat dari mayit tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya, ini adalah adab yang tercela. Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris, مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ “(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An-Nisa: 11). Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة “Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At-Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, نفس المؤمن مُعَلّقة بدَيْنِه حتى يُقْضى عنه “Ruh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena hutangnya sampai hutangnya dilunasi” (HR. At-Tirmidzi no. 1079, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Al-Mula Ali Al-Qari rahimahullah menjelaskan, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia.’ Al-Iraqi mengatakan, ‘Maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung. Tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?’” (Mirqatul Mafatih, 5/1948). 8. Duduk di atas kuburannya Duduk di atas kuburan adalah adab yang tercela. Dalam hadis dari Jabir radhiyallahu’anhu, beliau berkata: نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun. Dalam riwayat lain, beliau melarang kuburan ditinggikan. Dalam riwayat yang lain, beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Siapa yang menadaburi tentang larangan duduk di atas kuburan, atau bersandar pada kuburan, atau menginjak kuburan, maka ia akan mengetahui bahwa semua larangan tersebut dalam rangka menghormati penghuninya (yaitu si mayit). Agar para peziarah tidak menginjak kepala penghuni kubur tersebut dengan sandalnya” (Dinukil dari Al-Mulakhos Al-Fiqhi, hal 165). 9. Para pengantar jenazah duduk sebelum mayit dimasukkan ke liang kubur Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman, sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ “Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai ia dimasukkan ke liang kubur” (HR. Al-Bukhari no.1310, Muslim no.959). Dari hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat madzhab Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Namun Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, yang bicara tentang tata cara pengurusan jenazah, beliau radhiyallahu’anhu berkata: إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ “Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk” (HR. Muslim no.962). Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus). Namun yang lebih berhati-hati adalah memilih pendapat yang pertama, karena perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam. 10. Tidak salam ketika melewati kuburannya Karena salam kepada mayit di dalam kubur adalah doa. Dan doa itu bermanfaat untuk mayit yang sudah tidak bisa beramal lagi. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ البَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لهمْ، قالَتْ: قُلتُ: كيفَ أَقُولُ لهمْ يا رَسولَ اللهِ؟ قالَ: قُولِي: السَّلَامُ علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وإنَّا -إنْ شَاءَ اللَّهُ- بكُمْ لَاحِقُونَ. “Sesungguhnya Rabb-mu memerintahkanmu untuk berziarah ke makam Baqi dan memintakan ampunan untuk penghuninya. Aisyah berkata: doa apa yang semestinya saya ucapkan wahai Rasulullah? Beliau bersabda: ucapkanlah assalamu’alaikum ‘ala ahlid diyar minal mu’minin wal muslimin, wa yarhamullahul mustaqdimiin minna wal musta’khiriin. Wa inna insyaa-allahu bikum laahiqqun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum Mukminin dan Muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan. Kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 975). 11. Tidak menjalin hubungan baik dengan temannya Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ “Di antara bentuk bakti kepada orang tua yang paling utama adalah engkau berbuat baik kepada para kerabat dari ayahmu setelah ayahmu meninggal” (HR. Muslim no. 2552). Karena menjalin hubungan baik dengan teman-teman dari orang yang telah meninggalkan akan terus membuat namanya harum dan akan membuat teman-temannya tersebut terus mendoakannya.  12. Tidak menunaikan janjinya Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لَوْ قدْ جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ قدْ أَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا فَلَمْ يَجِئْ مَالُ البَحْرَيْنِ حتَّى قُبِضَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ أَمَرَ أَبُو بَكْرٍ فَنَادَى مَن كانَ له عِنْدَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم عِدَةٌ، أَوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فأتَيْتُهُ، فَقُلتُ: إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قالَ لي كَذَا وَكَذَا، فَحَثَى لي حَثْيَةً فَعَدَدْتُهَا فَإِذَا هي خَمْسُ مِئَةٍ، وَقالَ: خُذْ مِثْلَيْهَا. “Sungguh jika datang pemberian dari negeri Bahrain, aku akan bagikan kepada engkau wahai Jabir”. Ternyata pemberian dari negeri Bahrain tidak juga datang hingga beliau wafat. Maka ketika harta pemberian tersebut datang, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu berseru kepada orang-orang: “Siapa yang pernah dijanjikan pemberian oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam atau yang pernah dihutangi oleh beliau, silakan temui aku!”. Jabir berkata kepada Abu Bakar: “Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah menjanjikan aku pemberian begini dan begitu”. Lalu Abu Bakar pun mengambilkan setangkup harta dengan tangannya untuk diberikan kepadaku. Setelah aku hitung ternyata jumlahnya 500 dinar. Abu Bakar berkata: “Ambil lagi dua kali lipat dari ini!” (HR. Al-Bukhari no. 2296). Dalam hadis ini Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu menunaikan janji dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau. Karena jika janji itu merupakan kebaikan tentu akan mengalirkan pahala kepada orang yang telah meninggalkan yang membuat janji tersebut. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasi Mimpi, Cara Menghilangkan Santet Secara Islam, Apakah Doa Bisa Merubah Takdir, Tidak Boleh Keramas Saat Haid, Tata Cara Shalat Bagi Wanita, Cara Menjamak Shalat Visited 415 times, 1 visit(s) today Post Views: 620
1. Tidak mengurusi jenazahnya Jika ada seorang Muslim yang meninggal namun kaum Muslimin tidak mengurusi jenazahnya, maka perbuatan mereka ini tercela. Karena memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan mayit hukumnya fardu kifayah. Jika penduduk satu daerah tidak mengurusi jenazah yang meninggal di tengah mereka, maka ini adab yang tercela dan mereka semua mendapatkan dosa. Dalam hadis dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata: بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي “Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206). Hadis ini menunjukkan wajibnya memandikan dan mengafani mayit. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُؤتى بالرجلِ الميتِ ، عليه الدين . فيسأل ( هل ترك لدَينه من قضاءٍ ؟ ) فإن حدث أنه ترك وفاءً صلَّى عليه . وإلا قال ( صلُّوا على صاحبِكم) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Salatkanlah saudara kalian” (HR Muslim no. 1619). Hadis ini menunjukkan wajibnya menyalatkan mayit dan menguburkannya. 2. Tidak mendoakannya Tidak mendoakan orang yang telah meninggal atau sedikit sekali melakukannya adalah adab tercela kepadanya. Karena Allah ajarkan kita suatu doa di dalam al-Quran, وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10). Dalam ayat ini kita diajarkan untuk mendoakan orang-orang yang telah mendahului kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah radhiyallahu’anhu, beliau mendoakan Abu Salamah: اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه “Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920). Dan karena doa orang yang masih hidup akan bermanfaat untuk orang yang telah meninggal. Mereka sangat membutuhkan doa-doa dari orang yang masih hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631). 3. Tidak memperbanyak orang untuk menyalatkannya Selain menyalatkan jenazah itu hukumnya fardu kifayah, hendaknya juga berusaha untuk memperbanyak orang yang menyalatkan jenazah. Kurang semangat untuk mengajak orang menyalatkan jenazahnya, ini adalah akhlak tercela. Karena salat jenazah itu akan memberikan syafa’at untuk mayit. Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuk si mayit” (HR. Muslim no. 947). Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أرْبَعُونَ رَجُلا، لا يُشْرِكُونَ بِالله شَيْئاً إِلا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, kecuali Allah akan memberikan syafaat kepada jenazah tersebut dengan sebab mereka” (HR. Muslim no. 948). Maka hendaknya berusaha untuk mengajak orang sebanyak mungkin menyalatkan orang yang telah meninggal. 4. Niyahah Makna niyahah adalah ekspresi kesedihan yang berlebihan atas meninggalnya seseorang, baik dengan menangis meraung-raung, menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, memukul-mukul tembok dan semisalnya. Niyahah adalah adab yang tercela kepada mayit dan bisa memberikan mudarat kepadanya. Dari Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ الميِّتَ يُعذَّبُ ببكاءِ أهلِه عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya menangisinya” (HR. Bukhari no. 1304, Muslim no. 929). Dalam riwayat lain: المَيِّتُ يُعَذَّبُ في قَبْرِهِ بِما نِيحَ عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya melakukan niyahah terhadapnya” (HR. Bukhari no. 1292, Muslim no. 927). Dan niyahah itu sendiri adalah perbuatan dosa besar yang diancam dengan hukum yang keras. Karena niyahah adalah bentuk tidak rida terhadap takdir Allah. Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, « أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ “Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934). 5. Ma’tam Yang dimaksud dengan ma’tam adalah kumpul-kumpul di rumah duka untuk makan-makan setelah mayit dimakamkan. Padahal kumpul-kumpul di rumah duka dan makan-makan termasuk niyahah. Jarir bin Abdillah radhiyallahu’anhu mengatakan: كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ، وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ : مِنْ النِّيَاحَةِ “Dahulu kami (para sahabat Nabi) menganggap kumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan di sana, setelah mayit dimakamkan, ini semua termasuk niyahah” (HR. Ahmad no. 6866, Ibnu Majah no. 1612, dishahihkan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad). Bahkan Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan: وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ ، وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى فِيهِ مِنْ الْأَثَرِ “Aku melarang ma’tam, yaitu kumpul-kumpul (di tempat mayit). Walaupun tidak menangisinya. Karena perbuatan ini memperbarui kesedihan dan membebani keluarga mayit setelah mereka tertimpa kesedihan” (Al-Umm, 1/318). 6. Tidak menunaikan wasiatnya Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Tidak menunaikan wasiat mayit ini termasuk adab yang tercela kepada mayit. Allah ta’ala berfirman, فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181). Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah, 16/369-370). 7. Tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya Jika mayit meninggalkan hutang, maka harta peninggalannya wajib digunakan untuk membayar hutangnya. Jika keluarga dan kerabat dari mayit tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya, ini adalah adab yang tercela. Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris, مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ “(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An-Nisa: 11). Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة “Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At-Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, نفس المؤمن مُعَلّقة بدَيْنِه حتى يُقْضى عنه “Ruh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena hutangnya sampai hutangnya dilunasi” (HR. At-Tirmidzi no. 1079, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Al-Mula Ali Al-Qari rahimahullah menjelaskan, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia.’ Al-Iraqi mengatakan, ‘Maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung. Tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?’” (Mirqatul Mafatih, 5/1948). 8. Duduk di atas kuburannya Duduk di atas kuburan adalah adab yang tercela. Dalam hadis dari Jabir radhiyallahu’anhu, beliau berkata: نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun. Dalam riwayat lain, beliau melarang kuburan ditinggikan. Dalam riwayat yang lain, beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Siapa yang menadaburi tentang larangan duduk di atas kuburan, atau bersandar pada kuburan, atau menginjak kuburan, maka ia akan mengetahui bahwa semua larangan tersebut dalam rangka menghormati penghuninya (yaitu si mayit). Agar para peziarah tidak menginjak kepala penghuni kubur tersebut dengan sandalnya” (Dinukil dari Al-Mulakhos Al-Fiqhi, hal 165). 9. Para pengantar jenazah duduk sebelum mayit dimasukkan ke liang kubur Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman, sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ “Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai ia dimasukkan ke liang kubur” (HR. Al-Bukhari no.1310, Muslim no.959). Dari hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat madzhab Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Namun Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, yang bicara tentang tata cara pengurusan jenazah, beliau radhiyallahu’anhu berkata: إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ “Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk” (HR. Muslim no.962). Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus). Namun yang lebih berhati-hati adalah memilih pendapat yang pertama, karena perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam. 10. Tidak salam ketika melewati kuburannya Karena salam kepada mayit di dalam kubur adalah doa. Dan doa itu bermanfaat untuk mayit yang sudah tidak bisa beramal lagi. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ البَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لهمْ، قالَتْ: قُلتُ: كيفَ أَقُولُ لهمْ يا رَسولَ اللهِ؟ قالَ: قُولِي: السَّلَامُ علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وإنَّا -إنْ شَاءَ اللَّهُ- بكُمْ لَاحِقُونَ. “Sesungguhnya Rabb-mu memerintahkanmu untuk berziarah ke makam Baqi dan memintakan ampunan untuk penghuninya. Aisyah berkata: doa apa yang semestinya saya ucapkan wahai Rasulullah? Beliau bersabda: ucapkanlah assalamu’alaikum ‘ala ahlid diyar minal mu’minin wal muslimin, wa yarhamullahul mustaqdimiin minna wal musta’khiriin. Wa inna insyaa-allahu bikum laahiqqun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum Mukminin dan Muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan. Kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 975). 11. Tidak menjalin hubungan baik dengan temannya Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ “Di antara bentuk bakti kepada orang tua yang paling utama adalah engkau berbuat baik kepada para kerabat dari ayahmu setelah ayahmu meninggal” (HR. Muslim no. 2552). Karena menjalin hubungan baik dengan teman-teman dari orang yang telah meninggalkan akan terus membuat namanya harum dan akan membuat teman-temannya tersebut terus mendoakannya.  12. Tidak menunaikan janjinya Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لَوْ قدْ جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ قدْ أَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا فَلَمْ يَجِئْ مَالُ البَحْرَيْنِ حتَّى قُبِضَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ أَمَرَ أَبُو بَكْرٍ فَنَادَى مَن كانَ له عِنْدَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم عِدَةٌ، أَوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فأتَيْتُهُ، فَقُلتُ: إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قالَ لي كَذَا وَكَذَا، فَحَثَى لي حَثْيَةً فَعَدَدْتُهَا فَإِذَا هي خَمْسُ مِئَةٍ، وَقالَ: خُذْ مِثْلَيْهَا. “Sungguh jika datang pemberian dari negeri Bahrain, aku akan bagikan kepada engkau wahai Jabir”. Ternyata pemberian dari negeri Bahrain tidak juga datang hingga beliau wafat. Maka ketika harta pemberian tersebut datang, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu berseru kepada orang-orang: “Siapa yang pernah dijanjikan pemberian oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam atau yang pernah dihutangi oleh beliau, silakan temui aku!”. Jabir berkata kepada Abu Bakar: “Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah menjanjikan aku pemberian begini dan begitu”. Lalu Abu Bakar pun mengambilkan setangkup harta dengan tangannya untuk diberikan kepadaku. Setelah aku hitung ternyata jumlahnya 500 dinar. Abu Bakar berkata: “Ambil lagi dua kali lipat dari ini!” (HR. Al-Bukhari no. 2296). Dalam hadis ini Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu menunaikan janji dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau. Karena jika janji itu merupakan kebaikan tentu akan mengalirkan pahala kepada orang yang telah meninggalkan yang membuat janji tersebut. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasi Mimpi, Cara Menghilangkan Santet Secara Islam, Apakah Doa Bisa Merubah Takdir, Tidak Boleh Keramas Saat Haid, Tata Cara Shalat Bagi Wanita, Cara Menjamak Shalat Visited 415 times, 1 visit(s) today Post Views: 620


1. Tidak mengurusi jenazahnya Jika ada seorang Muslim yang meninggal namun kaum Muslimin tidak mengurusi jenazahnya, maka perbuatan mereka ini tercela. Karena memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan mayit hukumnya fardu kifayah. Jika penduduk satu daerah tidak mengurusi jenazah yang meninggal di tengah mereka, maka ini adab yang tercela dan mereka semua mendapatkan dosa. Dalam hadis dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata: بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي “Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206). Hadis ini menunjukkan wajibnya memandikan dan mengafani mayit. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُؤتى بالرجلِ الميتِ ، عليه الدين . فيسأل ( هل ترك لدَينه من قضاءٍ ؟ ) فإن حدث أنه ترك وفاءً صلَّى عليه . وإلا قال ( صلُّوا على صاحبِكم) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Salatkanlah saudara kalian” (HR Muslim no. 1619). Hadis ini menunjukkan wajibnya menyalatkan mayit dan menguburkannya. 2. Tidak mendoakannya Tidak mendoakan orang yang telah meninggal atau sedikit sekali melakukannya adalah adab tercela kepadanya. Karena Allah ajarkan kita suatu doa di dalam al-Quran, وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10). Dalam ayat ini kita diajarkan untuk mendoakan orang-orang yang telah mendahului kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah radhiyallahu’anhu, beliau mendoakan Abu Salamah: اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه “Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920). Dan karena doa orang yang masih hidup akan bermanfaat untuk orang yang telah meninggal. Mereka sangat membutuhkan doa-doa dari orang yang masih hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631). 3. Tidak memperbanyak orang untuk menyalatkannya Selain menyalatkan jenazah itu hukumnya fardu kifayah, hendaknya juga berusaha untuk memperbanyak orang yang menyalatkan jenazah. Kurang semangat untuk mengajak orang menyalatkan jenazahnya, ini adalah akhlak tercela. Karena salat jenazah itu akan memberikan syafa’at untuk mayit. Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuk si mayit” (HR. Muslim no. 947). Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أرْبَعُونَ رَجُلا، لا يُشْرِكُونَ بِالله شَيْئاً إِلا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, kecuali Allah akan memberikan syafaat kepada jenazah tersebut dengan sebab mereka” (HR. Muslim no. 948). Maka hendaknya berusaha untuk mengajak orang sebanyak mungkin menyalatkan orang yang telah meninggal. 4. Niyahah Makna niyahah adalah ekspresi kesedihan yang berlebihan atas meninggalnya seseorang, baik dengan menangis meraung-raung, menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, memukul-mukul tembok dan semisalnya. Niyahah adalah adab yang tercela kepada mayit dan bisa memberikan mudarat kepadanya. Dari Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ الميِّتَ يُعذَّبُ ببكاءِ أهلِه عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya menangisinya” (HR. Bukhari no. 1304, Muslim no. 929). Dalam riwayat lain: المَيِّتُ يُعَذَّبُ في قَبْرِهِ بِما نِيحَ عليه “Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya melakukan niyahah terhadapnya” (HR. Bukhari no. 1292, Muslim no. 927). Dan niyahah itu sendiri adalah perbuatan dosa besar yang diancam dengan hukum yang keras. Karena niyahah adalah bentuk tidak rida terhadap takdir Allah. Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, « أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ “Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934). 5. Ma’tam Yang dimaksud dengan ma’tam adalah kumpul-kumpul di rumah duka untuk makan-makan setelah mayit dimakamkan. Padahal kumpul-kumpul di rumah duka dan makan-makan termasuk niyahah. Jarir bin Abdillah radhiyallahu’anhu mengatakan: كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ، وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ : مِنْ النِّيَاحَةِ “Dahulu kami (para sahabat Nabi) menganggap kumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan di sana, setelah mayit dimakamkan, ini semua termasuk niyahah” (HR. Ahmad no. 6866, Ibnu Majah no. 1612, dishahihkan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad). Bahkan Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan: وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ ، وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى فِيهِ مِنْ الْأَثَرِ “Aku melarang ma’tam, yaitu kumpul-kumpul (di tempat mayit). Walaupun tidak menangisinya. Karena perbuatan ini memperbarui kesedihan dan membebani keluarga mayit setelah mereka tertimpa kesedihan” (Al-Umm, 1/318). 6. Tidak menunaikan wasiatnya Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Tidak menunaikan wasiat mayit ini termasuk adab yang tercela kepada mayit. Allah ta’ala berfirman, فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181). Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah, 16/369-370). 7. Tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya Jika mayit meninggalkan hutang, maka harta peninggalannya wajib digunakan untuk membayar hutangnya. Jika keluarga dan kerabat dari mayit tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya, ini adalah adab yang tercela. Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris, مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ “(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An-Nisa: 11). Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة “Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At-Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, نفس المؤمن مُعَلّقة بدَيْنِه حتى يُقْضى عنه “Ruh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena hutangnya sampai hutangnya dilunasi” (HR. At-Tirmidzi no. 1079, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Al-Mula Ali Al-Qari rahimahullah menjelaskan, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia.’ Al-Iraqi mengatakan, ‘Maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung. Tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?’” (Mirqatul Mafatih, 5/1948). 8. Duduk di atas kuburannya Duduk di atas kuburan adalah adab yang tercela. Dalam hadis dari Jabir radhiyallahu’anhu, beliau berkata: نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun. Dalam riwayat lain, beliau melarang kuburan ditinggikan. Dalam riwayat yang lain, beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Siapa yang menadaburi tentang larangan duduk di atas kuburan, atau bersandar pada kuburan, atau menginjak kuburan, maka ia akan mengetahui bahwa semua larangan tersebut dalam rangka menghormati penghuninya (yaitu si mayit). Agar para peziarah tidak menginjak kepala penghuni kubur tersebut dengan sandalnya” (Dinukil dari Al-Mulakhos Al-Fiqhi, hal 165). 9. Para pengantar jenazah duduk sebelum mayit dimasukkan ke liang kubur Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman, sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ “Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai ia dimasukkan ke liang kubur” (HR. Al-Bukhari no.1310, Muslim no.959). Dari hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat madzhab Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Namun Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, yang bicara tentang tata cara pengurusan jenazah, beliau radhiyallahu’anhu berkata: إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ “Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk” (HR. Muslim no.962). Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus). Namun yang lebih berhati-hati adalah memilih pendapat yang pertama, karena perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam. 10. Tidak salam ketika melewati kuburannya Karena salam kepada mayit di dalam kubur adalah doa. Dan doa itu bermanfaat untuk mayit yang sudah tidak bisa beramal lagi. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ البَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لهمْ، قالَتْ: قُلتُ: كيفَ أَقُولُ لهمْ يا رَسولَ اللهِ؟ قالَ: قُولِي: السَّلَامُ علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وإنَّا -إنْ شَاءَ اللَّهُ- بكُمْ لَاحِقُونَ. “Sesungguhnya Rabb-mu memerintahkanmu untuk berziarah ke makam Baqi dan memintakan ampunan untuk penghuninya. Aisyah berkata: doa apa yang semestinya saya ucapkan wahai Rasulullah? Beliau bersabda: ucapkanlah assalamu’alaikum ‘ala ahlid diyar minal mu’minin wal muslimin, wa yarhamullahul mustaqdimiin minna wal musta’khiriin. Wa inna insyaa-allahu bikum laahiqqun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum Mukminin dan Muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan. Kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 975). 11. Tidak menjalin hubungan baik dengan temannya Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ “Di antara bentuk bakti kepada orang tua yang paling utama adalah engkau berbuat baik kepada para kerabat dari ayahmu setelah ayahmu meninggal” (HR. Muslim no. 2552). Karena menjalin hubungan baik dengan teman-teman dari orang yang telah meninggalkan akan terus membuat namanya harum dan akan membuat teman-temannya tersebut terus mendoakannya.  12. Tidak menunaikan janjinya Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لَوْ قدْ جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ قدْ أَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا فَلَمْ يَجِئْ مَالُ البَحْرَيْنِ حتَّى قُبِضَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ أَمَرَ أَبُو بَكْرٍ فَنَادَى مَن كانَ له عِنْدَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم عِدَةٌ، أَوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فأتَيْتُهُ، فَقُلتُ: إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قالَ لي كَذَا وَكَذَا، فَحَثَى لي حَثْيَةً فَعَدَدْتُهَا فَإِذَا هي خَمْسُ مِئَةٍ، وَقالَ: خُذْ مِثْلَيْهَا. “Sungguh jika datang pemberian dari negeri Bahrain, aku akan bagikan kepada engkau wahai Jabir”. Ternyata pemberian dari negeri Bahrain tidak juga datang hingga beliau wafat. Maka ketika harta pemberian tersebut datang, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu berseru kepada orang-orang: “Siapa yang pernah dijanjikan pemberian oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam atau yang pernah dihutangi oleh beliau, silakan temui aku!”. Jabir berkata kepada Abu Bakar: “Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah menjanjikan aku pemberian begini dan begitu”. Lalu Abu Bakar pun mengambilkan setangkup harta dengan tangannya untuk diberikan kepadaku. Setelah aku hitung ternyata jumlahnya 500 dinar. Abu Bakar berkata: “Ambil lagi dua kali lipat dari ini!” (HR. Al-Bukhari no. 2296). Dalam hadis ini Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu menunaikan janji dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau. Karena jika janji itu merupakan kebaikan tentu akan mengalirkan pahala kepada orang yang telah meninggalkan yang membuat janji tersebut. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Konsultasi Mimpi, Cara Menghilangkan Santet Secara Islam, Apakah Doa Bisa Merubah Takdir, Tidak Boleh Keramas Saat Haid, Tata Cara Shalat Bagi Wanita, Cara Menjamak Shalat Visited 415 times, 1 visit(s) today Post Views: 620

Mendeteksi Kesucian Hati

Daftar Isi Toggle Tanda bersihnya hatiPentingnya menjaga kebersihan hati Bismillah. Di antara perkara yang wajib diperhatikan oleh setiap muslim di sepanjang waktu adalah kebersihan hatinya dari segala kotoran yang merusak kesehatan dan melemahkan kekuatannya. Sesungguhnya hati menjadi poros kesehatan dan kebaikan seorang hamba. Tanda bersihnya hati Di dalam Al-Qur’an, Allah menceritakan tentang keadaan hati orang kafir, keadaan hati orang munafik, dan keadaan hati orang beriman. Allah juga menggambarkan bahwa hati manusia ibarat tanah yang ada di atas muka bumi ketika terkena siraman air hujan. Apabila tanah itu baik dan subur, maka ia akan menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan buah-buahan. Dari sanalah penting kiranya bagi kita untuk selalu membersihkan hati dengan tobat dan istigfar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terbaik di atas muka bumi ini, (dengan segala keutamaan dan kemuliaan yang ada padanya) adalah orang yang paling banyak beristigfar kepada Allah setiap harinya. Hal itu mencerminkan bahwa bersihnya hati dari noda dosa dan maksiat adalah kebutuhan harian setiap manusia. Karena manusia ini sarat dengan salah dan dosa. Siapakah di antara kita yang merasa hatinya telah bersih dari segala dampak dan kotoran dosa? Para ulama telah menjelaskan bahwa di antara tanda bersihnya hati adalah kenikmatan yang dirasakan oleh seorang muslim tatkala membaca dan merenungkan ayat-ayat Allah. Sebagaimana nasihat dari Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu, “Seandainya hati kalian bersih, niscaya ia tidak pernah merasa kenyang/cukup dari menikmati kalam Allah ‘Azza Wajalla.” (disebutkan oleh Imam Ahmad dalam Fadha’il Ash-Shahabah) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati yang bersih itu memiliki kesempurnaan hidup dan cahaya serta mampu terlepas dari kotoran-kotoran dosa. Oleh sebab itu, ia tidak pernah merasa kenyang terhadap Al-Qur’an. Ia tidak mengambil asupan, kecuali dengan hakikat-hakikat kebenaran dari Al-Qur’an. Ia tidak berobat, kecuali dengan obat-obat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kondisi hati yang tidak disucikan oleh Allah. Ia hanya akan mengambil asupan yang sesuai dengan seleranya (yang rendah) dan ini berbanding lurus dengan najis/kotoran hati yang bersemayam di dalamnya. Sesungguhnya hati yang najis/penuh dengan kotoran dosa seperti badan yang sakit, sehingga tidak cocok baginya makanan-makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang yang dalam keadaan sehat. (lihat Ighatsatul Lahfan) Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah menjelaskan bahwa kebersihan hati itu akan bisa diperoleh dengan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah, melaksanakan berbagai jenis ketaatan, baik amal yang wajib maupun amal-amal yang mustahab (sunah). Hendaknya anda meminta kepada Allah kebaikan hati anda. Misalnya, anda berdoa ‘Allahumma thahhir qalbi’ yang artinya ‘Ya Allah, bersihkanlah hatiku’ atau ‘Ya Allah, perbaikilah hatiku.’ Mintalah hidayah kepada Rabbmu, sebagaimana doa yang selalu kita baca setiap hari ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya ‘Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.’ Akan tetapi, seringkali orang membaca tanpa menghadirkan kandungan maknanya dan keagungan isinya. Sungguh ini adalah doa yang sangat agung. Doa untuk meminta petunjuk jalan yang lurus. Yaitu, ajaran Islam yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. (lihat Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Al-Barrak diambil dari situs resmi beliau) Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati Pentingnya menjaga kebersihan hati Membersihkan hati dari segala hal yang merusak tauhid dan keikhlasan merupakan kunci kebahagiaan. Karena di akhirat, yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah hati yang bersih dari syirik dan kemunafikan. Allah berfirman, یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89) Orang-orang munafik, walaupun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, maka mereka ditetapkan hukuman kekal di akhirat, di lapisan paling dasar dari api neraka, tidak lain karena kotornya hati mereka dengan kedustaan dan kemunafikan. Di dalam Al-Qur’an, Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik adalah pendusta. Mereka mengaku dengan lisannya bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sejatinya mereka bukan termasuk golongan kaum beriman. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Beliau juga mengatakan, “Seorang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat baik dan merasa khawatir, sedangkan orang munafik atau fajir memadukan dalam dirinya perbuatan buruk dan merasa aman (tidak bermasalah).” Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk menuju ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku, karena ia selalu berbolak-balik.” Memelihara amalan hati termasuk sebab utama untuk istikamah dalam beragama. Tidakkah kita melihat ketegaran sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ’anhu? Para ulama mengatakan, “Tidaklah Abu Bakar mengalahkan para sahabat yang lain dengan banyaknya salat atau puasa. Akan tetapi, dengan sesuatu yang ada di dalam hatinya, yaitu keikhlasan dan nasihat bagi segenap manusia.” Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hidupnya hati adalah dengan amal, iradah (kehendak), dan himmah (cita-cita). Apabila manusia menyaksikan pada diri seseorang tampak perkara-perkara ini, mereka pun mengatakan, ‘Dia adalah orang yang hatinya hidup.’ Sementara hidupnya hati adalah dengan terus-menerus berzikir dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat Al-Majmu’ Al-Qayyim, 1: 118) Tanda hati yang hidup adalah khusyuk ketika berzikir kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا یَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِیرࣱ مِّنۡهُمۡ فَـٰسِقُونَ “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka karena mengingat Allah dan menerima kebenaran yang diturunkan? Janganlah mereka itu seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya! Berlalu masa yang panjang sehingga keraslah hati mereka. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) (lihat Mausu’ah Fiqh Al-Qulub, hal. 1298) Demikian sedikit kumpulan tulisan dan faedah. Semoga bermanfaat. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Atsar wa Ta’liq oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, tema ‘Kesucian Hati’ dikutip dari situs resmi beliau di alamat: https://al-badr.net/muqolat/6679 Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, tema ‘Apa Makna Ucapan Utsman’ diambil dari situs beliau di alamat: https://sh-albarrak.com/article/10214 Tags: hati yang bersih

Mendeteksi Kesucian Hati

Daftar Isi Toggle Tanda bersihnya hatiPentingnya menjaga kebersihan hati Bismillah. Di antara perkara yang wajib diperhatikan oleh setiap muslim di sepanjang waktu adalah kebersihan hatinya dari segala kotoran yang merusak kesehatan dan melemahkan kekuatannya. Sesungguhnya hati menjadi poros kesehatan dan kebaikan seorang hamba. Tanda bersihnya hati Di dalam Al-Qur’an, Allah menceritakan tentang keadaan hati orang kafir, keadaan hati orang munafik, dan keadaan hati orang beriman. Allah juga menggambarkan bahwa hati manusia ibarat tanah yang ada di atas muka bumi ketika terkena siraman air hujan. Apabila tanah itu baik dan subur, maka ia akan menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan buah-buahan. Dari sanalah penting kiranya bagi kita untuk selalu membersihkan hati dengan tobat dan istigfar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terbaik di atas muka bumi ini, (dengan segala keutamaan dan kemuliaan yang ada padanya) adalah orang yang paling banyak beristigfar kepada Allah setiap harinya. Hal itu mencerminkan bahwa bersihnya hati dari noda dosa dan maksiat adalah kebutuhan harian setiap manusia. Karena manusia ini sarat dengan salah dan dosa. Siapakah di antara kita yang merasa hatinya telah bersih dari segala dampak dan kotoran dosa? Para ulama telah menjelaskan bahwa di antara tanda bersihnya hati adalah kenikmatan yang dirasakan oleh seorang muslim tatkala membaca dan merenungkan ayat-ayat Allah. Sebagaimana nasihat dari Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu, “Seandainya hati kalian bersih, niscaya ia tidak pernah merasa kenyang/cukup dari menikmati kalam Allah ‘Azza Wajalla.” (disebutkan oleh Imam Ahmad dalam Fadha’il Ash-Shahabah) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati yang bersih itu memiliki kesempurnaan hidup dan cahaya serta mampu terlepas dari kotoran-kotoran dosa. Oleh sebab itu, ia tidak pernah merasa kenyang terhadap Al-Qur’an. Ia tidak mengambil asupan, kecuali dengan hakikat-hakikat kebenaran dari Al-Qur’an. Ia tidak berobat, kecuali dengan obat-obat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kondisi hati yang tidak disucikan oleh Allah. Ia hanya akan mengambil asupan yang sesuai dengan seleranya (yang rendah) dan ini berbanding lurus dengan najis/kotoran hati yang bersemayam di dalamnya. Sesungguhnya hati yang najis/penuh dengan kotoran dosa seperti badan yang sakit, sehingga tidak cocok baginya makanan-makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang yang dalam keadaan sehat. (lihat Ighatsatul Lahfan) Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah menjelaskan bahwa kebersihan hati itu akan bisa diperoleh dengan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah, melaksanakan berbagai jenis ketaatan, baik amal yang wajib maupun amal-amal yang mustahab (sunah). Hendaknya anda meminta kepada Allah kebaikan hati anda. Misalnya, anda berdoa ‘Allahumma thahhir qalbi’ yang artinya ‘Ya Allah, bersihkanlah hatiku’ atau ‘Ya Allah, perbaikilah hatiku.’ Mintalah hidayah kepada Rabbmu, sebagaimana doa yang selalu kita baca setiap hari ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya ‘Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.’ Akan tetapi, seringkali orang membaca tanpa menghadirkan kandungan maknanya dan keagungan isinya. Sungguh ini adalah doa yang sangat agung. Doa untuk meminta petunjuk jalan yang lurus. Yaitu, ajaran Islam yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. (lihat Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Al-Barrak diambil dari situs resmi beliau) Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati Pentingnya menjaga kebersihan hati Membersihkan hati dari segala hal yang merusak tauhid dan keikhlasan merupakan kunci kebahagiaan. Karena di akhirat, yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah hati yang bersih dari syirik dan kemunafikan. Allah berfirman, یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89) Orang-orang munafik, walaupun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, maka mereka ditetapkan hukuman kekal di akhirat, di lapisan paling dasar dari api neraka, tidak lain karena kotornya hati mereka dengan kedustaan dan kemunafikan. Di dalam Al-Qur’an, Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik adalah pendusta. Mereka mengaku dengan lisannya bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sejatinya mereka bukan termasuk golongan kaum beriman. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Beliau juga mengatakan, “Seorang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat baik dan merasa khawatir, sedangkan orang munafik atau fajir memadukan dalam dirinya perbuatan buruk dan merasa aman (tidak bermasalah).” Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk menuju ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku, karena ia selalu berbolak-balik.” Memelihara amalan hati termasuk sebab utama untuk istikamah dalam beragama. Tidakkah kita melihat ketegaran sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ’anhu? Para ulama mengatakan, “Tidaklah Abu Bakar mengalahkan para sahabat yang lain dengan banyaknya salat atau puasa. Akan tetapi, dengan sesuatu yang ada di dalam hatinya, yaitu keikhlasan dan nasihat bagi segenap manusia.” Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hidupnya hati adalah dengan amal, iradah (kehendak), dan himmah (cita-cita). Apabila manusia menyaksikan pada diri seseorang tampak perkara-perkara ini, mereka pun mengatakan, ‘Dia adalah orang yang hatinya hidup.’ Sementara hidupnya hati adalah dengan terus-menerus berzikir dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat Al-Majmu’ Al-Qayyim, 1: 118) Tanda hati yang hidup adalah khusyuk ketika berzikir kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا یَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِیرࣱ مِّنۡهُمۡ فَـٰسِقُونَ “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka karena mengingat Allah dan menerima kebenaran yang diturunkan? Janganlah mereka itu seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya! Berlalu masa yang panjang sehingga keraslah hati mereka. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) (lihat Mausu’ah Fiqh Al-Qulub, hal. 1298) Demikian sedikit kumpulan tulisan dan faedah. Semoga bermanfaat. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Atsar wa Ta’liq oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, tema ‘Kesucian Hati’ dikutip dari situs resmi beliau di alamat: https://al-badr.net/muqolat/6679 Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, tema ‘Apa Makna Ucapan Utsman’ diambil dari situs beliau di alamat: https://sh-albarrak.com/article/10214 Tags: hati yang bersih
Daftar Isi Toggle Tanda bersihnya hatiPentingnya menjaga kebersihan hati Bismillah. Di antara perkara yang wajib diperhatikan oleh setiap muslim di sepanjang waktu adalah kebersihan hatinya dari segala kotoran yang merusak kesehatan dan melemahkan kekuatannya. Sesungguhnya hati menjadi poros kesehatan dan kebaikan seorang hamba. Tanda bersihnya hati Di dalam Al-Qur’an, Allah menceritakan tentang keadaan hati orang kafir, keadaan hati orang munafik, dan keadaan hati orang beriman. Allah juga menggambarkan bahwa hati manusia ibarat tanah yang ada di atas muka bumi ketika terkena siraman air hujan. Apabila tanah itu baik dan subur, maka ia akan menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan buah-buahan. Dari sanalah penting kiranya bagi kita untuk selalu membersihkan hati dengan tobat dan istigfar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terbaik di atas muka bumi ini, (dengan segala keutamaan dan kemuliaan yang ada padanya) adalah orang yang paling banyak beristigfar kepada Allah setiap harinya. Hal itu mencerminkan bahwa bersihnya hati dari noda dosa dan maksiat adalah kebutuhan harian setiap manusia. Karena manusia ini sarat dengan salah dan dosa. Siapakah di antara kita yang merasa hatinya telah bersih dari segala dampak dan kotoran dosa? Para ulama telah menjelaskan bahwa di antara tanda bersihnya hati adalah kenikmatan yang dirasakan oleh seorang muslim tatkala membaca dan merenungkan ayat-ayat Allah. Sebagaimana nasihat dari Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu, “Seandainya hati kalian bersih, niscaya ia tidak pernah merasa kenyang/cukup dari menikmati kalam Allah ‘Azza Wajalla.” (disebutkan oleh Imam Ahmad dalam Fadha’il Ash-Shahabah) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati yang bersih itu memiliki kesempurnaan hidup dan cahaya serta mampu terlepas dari kotoran-kotoran dosa. Oleh sebab itu, ia tidak pernah merasa kenyang terhadap Al-Qur’an. Ia tidak mengambil asupan, kecuali dengan hakikat-hakikat kebenaran dari Al-Qur’an. Ia tidak berobat, kecuali dengan obat-obat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kondisi hati yang tidak disucikan oleh Allah. Ia hanya akan mengambil asupan yang sesuai dengan seleranya (yang rendah) dan ini berbanding lurus dengan najis/kotoran hati yang bersemayam di dalamnya. Sesungguhnya hati yang najis/penuh dengan kotoran dosa seperti badan yang sakit, sehingga tidak cocok baginya makanan-makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang yang dalam keadaan sehat. (lihat Ighatsatul Lahfan) Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah menjelaskan bahwa kebersihan hati itu akan bisa diperoleh dengan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah, melaksanakan berbagai jenis ketaatan, baik amal yang wajib maupun amal-amal yang mustahab (sunah). Hendaknya anda meminta kepada Allah kebaikan hati anda. Misalnya, anda berdoa ‘Allahumma thahhir qalbi’ yang artinya ‘Ya Allah, bersihkanlah hatiku’ atau ‘Ya Allah, perbaikilah hatiku.’ Mintalah hidayah kepada Rabbmu, sebagaimana doa yang selalu kita baca setiap hari ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya ‘Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.’ Akan tetapi, seringkali orang membaca tanpa menghadirkan kandungan maknanya dan keagungan isinya. Sungguh ini adalah doa yang sangat agung. Doa untuk meminta petunjuk jalan yang lurus. Yaitu, ajaran Islam yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. (lihat Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Al-Barrak diambil dari situs resmi beliau) Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati Pentingnya menjaga kebersihan hati Membersihkan hati dari segala hal yang merusak tauhid dan keikhlasan merupakan kunci kebahagiaan. Karena di akhirat, yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah hati yang bersih dari syirik dan kemunafikan. Allah berfirman, یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89) Orang-orang munafik, walaupun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, maka mereka ditetapkan hukuman kekal di akhirat, di lapisan paling dasar dari api neraka, tidak lain karena kotornya hati mereka dengan kedustaan dan kemunafikan. Di dalam Al-Qur’an, Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik adalah pendusta. Mereka mengaku dengan lisannya bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sejatinya mereka bukan termasuk golongan kaum beriman. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Beliau juga mengatakan, “Seorang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat baik dan merasa khawatir, sedangkan orang munafik atau fajir memadukan dalam dirinya perbuatan buruk dan merasa aman (tidak bermasalah).” Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk menuju ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku, karena ia selalu berbolak-balik.” Memelihara amalan hati termasuk sebab utama untuk istikamah dalam beragama. Tidakkah kita melihat ketegaran sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ’anhu? Para ulama mengatakan, “Tidaklah Abu Bakar mengalahkan para sahabat yang lain dengan banyaknya salat atau puasa. Akan tetapi, dengan sesuatu yang ada di dalam hatinya, yaitu keikhlasan dan nasihat bagi segenap manusia.” Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hidupnya hati adalah dengan amal, iradah (kehendak), dan himmah (cita-cita). Apabila manusia menyaksikan pada diri seseorang tampak perkara-perkara ini, mereka pun mengatakan, ‘Dia adalah orang yang hatinya hidup.’ Sementara hidupnya hati adalah dengan terus-menerus berzikir dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat Al-Majmu’ Al-Qayyim, 1: 118) Tanda hati yang hidup adalah khusyuk ketika berzikir kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا یَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِیرࣱ مِّنۡهُمۡ فَـٰسِقُونَ “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka karena mengingat Allah dan menerima kebenaran yang diturunkan? Janganlah mereka itu seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya! Berlalu masa yang panjang sehingga keraslah hati mereka. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) (lihat Mausu’ah Fiqh Al-Qulub, hal. 1298) Demikian sedikit kumpulan tulisan dan faedah. Semoga bermanfaat. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Atsar wa Ta’liq oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, tema ‘Kesucian Hati’ dikutip dari situs resmi beliau di alamat: https://al-badr.net/muqolat/6679 Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, tema ‘Apa Makna Ucapan Utsman’ diambil dari situs beliau di alamat: https://sh-albarrak.com/article/10214 Tags: hati yang bersih


Daftar Isi Toggle Tanda bersihnya hatiPentingnya menjaga kebersihan hati Bismillah. Di antara perkara yang wajib diperhatikan oleh setiap muslim di sepanjang waktu adalah kebersihan hatinya dari segala kotoran yang merusak kesehatan dan melemahkan kekuatannya. Sesungguhnya hati menjadi poros kesehatan dan kebaikan seorang hamba. Tanda bersihnya hati Di dalam Al-Qur’an, Allah menceritakan tentang keadaan hati orang kafir, keadaan hati orang munafik, dan keadaan hati orang beriman. Allah juga menggambarkan bahwa hati manusia ibarat tanah yang ada di atas muka bumi ketika terkena siraman air hujan. Apabila tanah itu baik dan subur, maka ia akan menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan buah-buahan. Dari sanalah penting kiranya bagi kita untuk selalu membersihkan hati dengan tobat dan istigfar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terbaik di atas muka bumi ini, (dengan segala keutamaan dan kemuliaan yang ada padanya) adalah orang yang paling banyak beristigfar kepada Allah setiap harinya. Hal itu mencerminkan bahwa bersihnya hati dari noda dosa dan maksiat adalah kebutuhan harian setiap manusia. Karena manusia ini sarat dengan salah dan dosa. Siapakah di antara kita yang merasa hatinya telah bersih dari segala dampak dan kotoran dosa? Para ulama telah menjelaskan bahwa di antara tanda bersihnya hati adalah kenikmatan yang dirasakan oleh seorang muslim tatkala membaca dan merenungkan ayat-ayat Allah. Sebagaimana nasihat dari Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu, “Seandainya hati kalian bersih, niscaya ia tidak pernah merasa kenyang/cukup dari menikmati kalam Allah ‘Azza Wajalla.” (disebutkan oleh Imam Ahmad dalam Fadha’il Ash-Shahabah) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati yang bersih itu memiliki kesempurnaan hidup dan cahaya serta mampu terlepas dari kotoran-kotoran dosa. Oleh sebab itu, ia tidak pernah merasa kenyang terhadap Al-Qur’an. Ia tidak mengambil asupan, kecuali dengan hakikat-hakikat kebenaran dari Al-Qur’an. Ia tidak berobat, kecuali dengan obat-obat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kondisi hati yang tidak disucikan oleh Allah. Ia hanya akan mengambil asupan yang sesuai dengan seleranya (yang rendah) dan ini berbanding lurus dengan najis/kotoran hati yang bersemayam di dalamnya. Sesungguhnya hati yang najis/penuh dengan kotoran dosa seperti badan yang sakit, sehingga tidak cocok baginya makanan-makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang yang dalam keadaan sehat. (lihat Ighatsatul Lahfan) Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah menjelaskan bahwa kebersihan hati itu akan bisa diperoleh dengan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah, melaksanakan berbagai jenis ketaatan, baik amal yang wajib maupun amal-amal yang mustahab (sunah). Hendaknya anda meminta kepada Allah kebaikan hati anda. Misalnya, anda berdoa ‘Allahumma thahhir qalbi’ yang artinya ‘Ya Allah, bersihkanlah hatiku’ atau ‘Ya Allah, perbaikilah hatiku.’ Mintalah hidayah kepada Rabbmu, sebagaimana doa yang selalu kita baca setiap hari ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya ‘Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.’ Akan tetapi, seringkali orang membaca tanpa menghadirkan kandungan maknanya dan keagungan isinya. Sungguh ini adalah doa yang sangat agung. Doa untuk meminta petunjuk jalan yang lurus. Yaitu, ajaran Islam yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. (lihat Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Al-Barrak diambil dari situs resmi beliau) Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati Pentingnya menjaga kebersihan hati Membersihkan hati dari segala hal yang merusak tauhid dan keikhlasan merupakan kunci kebahagiaan. Karena di akhirat, yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah hati yang bersih dari syirik dan kemunafikan. Allah berfirman, یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89) Orang-orang munafik, walaupun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, maka mereka ditetapkan hukuman kekal di akhirat, di lapisan paling dasar dari api neraka, tidak lain karena kotornya hati mereka dengan kedustaan dan kemunafikan. Di dalam Al-Qur’an, Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik adalah pendusta. Mereka mengaku dengan lisannya bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sejatinya mereka bukan termasuk golongan kaum beriman. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Beliau juga mengatakan, “Seorang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat baik dan merasa khawatir, sedangkan orang munafik atau fajir memadukan dalam dirinya perbuatan buruk dan merasa aman (tidak bermasalah).” Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk menuju ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku, karena ia selalu berbolak-balik.” Memelihara amalan hati termasuk sebab utama untuk istikamah dalam beragama. Tidakkah kita melihat ketegaran sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ’anhu? Para ulama mengatakan, “Tidaklah Abu Bakar mengalahkan para sahabat yang lain dengan banyaknya salat atau puasa. Akan tetapi, dengan sesuatu yang ada di dalam hatinya, yaitu keikhlasan dan nasihat bagi segenap manusia.” Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hidupnya hati adalah dengan amal, iradah (kehendak), dan himmah (cita-cita). Apabila manusia menyaksikan pada diri seseorang tampak perkara-perkara ini, mereka pun mengatakan, ‘Dia adalah orang yang hatinya hidup.’ Sementara hidupnya hati adalah dengan terus-menerus berzikir dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat Al-Majmu’ Al-Qayyim, 1: 118) Tanda hati yang hidup adalah khusyuk ketika berzikir kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا یَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِیرࣱ مِّنۡهُمۡ فَـٰسِقُونَ “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka karena mengingat Allah dan menerima kebenaran yang diturunkan? Janganlah mereka itu seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya! Berlalu masa yang panjang sehingga keraslah hati mereka. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) (lihat Mausu’ah Fiqh Al-Qulub, hal. 1298) Demikian sedikit kumpulan tulisan dan faedah. Semoga bermanfaat. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Atsar wa Ta’liq oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, tema ‘Kesucian Hati’ dikutip dari situs resmi beliau di alamat: https://al-badr.net/muqolat/6679 Fatawa Ad-Durus oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, tema ‘Apa Makna Ucapan Utsman’ diambil dari situs beliau di alamat: https://sh-albarrak.com/article/10214 Tags: hati yang bersih

Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasaKedelapan, salat malamKesembilan, ziarah kuburKesepuluh, berteman dan duduk dengan orang salehKesebelas, menghadiri majelis ilmuKeduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Pada artikel sebelumnya (Obat bagi Hati yang Sakit bag.1), telah dijelaskan bahwa hati bisa merasakan sakit dan ada beberapa obat untuk mengatasinya. Berikut adalah obat hati yang selanjutnya. Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasa Berpuasa dapat melembutkan hati karena ia akan merasakan bagaimana keadaan orang-orang yang kelaparan dan kekurangan makanan sehingga timbul kelembutan di dalam hatinya. Puasa juga dapat menekan syahwat dan nafsu dalam dirinya sehingga dapat mengurangi potensi bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah (berkeluarga), hendaknya ia menikah. Karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa. Sebab ia dapat mengendalikan hawa nafsumu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedelapan, salat malam Salat malam dapat melembutkan hati. Ketika malam hari, dalam kondisi yang sepi, banyak orang tidur dan lalai. Sehingga menambah kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ “Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (karena salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الغَافِلِيْنَ وَ مَنْ قَامَ بِمِائَة آيَةٍ كُتِبَ مِنَ القَانِتِيْنَ وَ مَنْ قَرَأَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ المقَنْطِرِيْنَ “Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) sepuluh ayat, maka ia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai (hatinya). Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seratus ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang taat. Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seribu ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang diberi pahala yang melimpah.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 662. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 642) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas salat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut, dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan salat malam dengan kesenangan jiwa di dalam surga.” (Lihat Hadil Arwah ila Biladil Afrah, hal. 278) Kesembilan, ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ “Dahulu, aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah! Karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat.” (HR. Al-Hakim) Baca juga: Perhatian Islam terhadap Kesehatan Mental Kesepuluh, berteman dan duduk dengan orang saleh Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah: 119) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu mengikuti din (agama dan akhlak) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.” (HR. Abu Dawud no. 4833. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 927) Di dalam Al-Adzkar karya Al-Imam An-Nawawi, juga disebutkan lima obat hati. Salah satunya adalah berkumpul (duduk) dengan orang-orang saleh untuk menambah semangat beramal dan beribadah. دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ “Penawar hati itu ada lima: 1) Membaca Al-Qur’an dengan tadabur (perenungan); 2) Kosongnya perut (dengan puasa-pen); 3) Qiyamul lail (salat malam); 4) Berdoa di waktu sahur (waktu akhir malam sebelum Subuh), dan 5) duduk bersama orang-orang saleh”. (Lihat Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 107) Terkadang, ketika seseorang bermalam bersama orang-orang yang saleh, mereka pun salat bersama semalam suntuk. Padahal, biasanya ia hanya salat beberapa waktu saja, atau biasanya ia tidak salat. Akan tetapi, karena bersama mereka, ia pun ikut salat. Sehingga motivasi ibadahnya meningkat disebabkan dirinya bersama orang-orang yang saleh tadi. (Lihat Minhajul Qashidin, hal. 288) Kesebelas, menghadiri majelis ilmu Hendaknya seseorang perhatian dengan majelis ilmu, karena dalam majelis ilmu ia akan termotivasi untuk meningkatkan ketaatan serta menjauhi kemaksiatan. Sehingga diharapkan dengan mendengarkan ayat-ayat Allah dan Sunah Rasulullah di majelis ilmu, maka hati akan menjadi hidup dan lembut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikelilingi para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim) Keduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Hendaknya seseorang berdoa dengan penuh ketundukan dan mengharap kepada Allah agar dihilangkan kelalaian dan penyakit dalam hatinya. Tidak dipungkiri bahwa mungkin saja kita pernah merasa lebih unggul (ujub) dari orang lain, baik dari segi harta, ilmu, dan sebagainya. Oleh karenanya, Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya, وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 205) Dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan kepada kita agar berdoa dan merendahkan diri (menghilangkan kesombongan) kepada-Nya, اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55) Dan ada waktu spesial di mana jika kita berdoa, maka lebih mustajab (dikabulkan), lebih khusyuk (dikarenakan kebanyakan orang tidur dan lalai). Bahkan, Allah memuji orang yang berdoa pada waktu tersebut. Allah memuji orang yang berdoa di waktu sahur menjelang subuh dalam beberapa ayat,  وَٱلۡمُسۡتَغۡفِرِینَ بِٱلۡأَسۡحَارِ “Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ یَسۡتَغۡفِرُونَ “Dan di waktu sahur, mereka memohonkan ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 18) Diriwayatkan oleh Anas bin  Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa, اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل، والبخل والهرم، والقسوة والغفلة، والذلة والمسكنة, وأعوذ بك من الفقر والكفر، والشرك والنفاق، والسمعة والرياء. “Allahumma inni a’udzu bika minal ‘ajzi, wal kasali, wal bukhli, wal harami, wal qaswati, wal ghaflati, wadzilati, wal maskanati, wa a’udzubika minal faqri wal kufri, wa syirki wa nifaqi, wa sum’ati warriya.” “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, kebakhilan, pikun, kerasnya hati, lalai, kehinaan, kemiskinan. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kesyirikan, nifak, sum’ah (rasa ingin dipuji), dan riya’.” (HR. Ibnu Hibban no. 1023 dan Al-Hakim no. 1944. Lihat Shahihul Jami’, no. 1285) Baca juga: Cara Mengobati Hati yang Sempit dan Depresi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi Tags: Obat Hati

Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasaKedelapan, salat malamKesembilan, ziarah kuburKesepuluh, berteman dan duduk dengan orang salehKesebelas, menghadiri majelis ilmuKeduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Pada artikel sebelumnya (Obat bagi Hati yang Sakit bag.1), telah dijelaskan bahwa hati bisa merasakan sakit dan ada beberapa obat untuk mengatasinya. Berikut adalah obat hati yang selanjutnya. Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasa Berpuasa dapat melembutkan hati karena ia akan merasakan bagaimana keadaan orang-orang yang kelaparan dan kekurangan makanan sehingga timbul kelembutan di dalam hatinya. Puasa juga dapat menekan syahwat dan nafsu dalam dirinya sehingga dapat mengurangi potensi bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah (berkeluarga), hendaknya ia menikah. Karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa. Sebab ia dapat mengendalikan hawa nafsumu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedelapan, salat malam Salat malam dapat melembutkan hati. Ketika malam hari, dalam kondisi yang sepi, banyak orang tidur dan lalai. Sehingga menambah kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ “Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (karena salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الغَافِلِيْنَ وَ مَنْ قَامَ بِمِائَة آيَةٍ كُتِبَ مِنَ القَانِتِيْنَ وَ مَنْ قَرَأَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ المقَنْطِرِيْنَ “Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) sepuluh ayat, maka ia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai (hatinya). Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seratus ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang taat. Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seribu ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang diberi pahala yang melimpah.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 662. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 642) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas salat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut, dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan salat malam dengan kesenangan jiwa di dalam surga.” (Lihat Hadil Arwah ila Biladil Afrah, hal. 278) Kesembilan, ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ “Dahulu, aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah! Karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat.” (HR. Al-Hakim) Baca juga: Perhatian Islam terhadap Kesehatan Mental Kesepuluh, berteman dan duduk dengan orang saleh Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah: 119) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu mengikuti din (agama dan akhlak) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.” (HR. Abu Dawud no. 4833. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 927) Di dalam Al-Adzkar karya Al-Imam An-Nawawi, juga disebutkan lima obat hati. Salah satunya adalah berkumpul (duduk) dengan orang-orang saleh untuk menambah semangat beramal dan beribadah. دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ “Penawar hati itu ada lima: 1) Membaca Al-Qur’an dengan tadabur (perenungan); 2) Kosongnya perut (dengan puasa-pen); 3) Qiyamul lail (salat malam); 4) Berdoa di waktu sahur (waktu akhir malam sebelum Subuh), dan 5) duduk bersama orang-orang saleh”. (Lihat Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 107) Terkadang, ketika seseorang bermalam bersama orang-orang yang saleh, mereka pun salat bersama semalam suntuk. Padahal, biasanya ia hanya salat beberapa waktu saja, atau biasanya ia tidak salat. Akan tetapi, karena bersama mereka, ia pun ikut salat. Sehingga motivasi ibadahnya meningkat disebabkan dirinya bersama orang-orang yang saleh tadi. (Lihat Minhajul Qashidin, hal. 288) Kesebelas, menghadiri majelis ilmu Hendaknya seseorang perhatian dengan majelis ilmu, karena dalam majelis ilmu ia akan termotivasi untuk meningkatkan ketaatan serta menjauhi kemaksiatan. Sehingga diharapkan dengan mendengarkan ayat-ayat Allah dan Sunah Rasulullah di majelis ilmu, maka hati akan menjadi hidup dan lembut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikelilingi para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim) Keduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Hendaknya seseorang berdoa dengan penuh ketundukan dan mengharap kepada Allah agar dihilangkan kelalaian dan penyakit dalam hatinya. Tidak dipungkiri bahwa mungkin saja kita pernah merasa lebih unggul (ujub) dari orang lain, baik dari segi harta, ilmu, dan sebagainya. Oleh karenanya, Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya, وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 205) Dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan kepada kita agar berdoa dan merendahkan diri (menghilangkan kesombongan) kepada-Nya, اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55) Dan ada waktu spesial di mana jika kita berdoa, maka lebih mustajab (dikabulkan), lebih khusyuk (dikarenakan kebanyakan orang tidur dan lalai). Bahkan, Allah memuji orang yang berdoa pada waktu tersebut. Allah memuji orang yang berdoa di waktu sahur menjelang subuh dalam beberapa ayat,  وَٱلۡمُسۡتَغۡفِرِینَ بِٱلۡأَسۡحَارِ “Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ یَسۡتَغۡفِرُونَ “Dan di waktu sahur, mereka memohonkan ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 18) Diriwayatkan oleh Anas bin  Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa, اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل، والبخل والهرم، والقسوة والغفلة، والذلة والمسكنة, وأعوذ بك من الفقر والكفر، والشرك والنفاق، والسمعة والرياء. “Allahumma inni a’udzu bika minal ‘ajzi, wal kasali, wal bukhli, wal harami, wal qaswati, wal ghaflati, wadzilati, wal maskanati, wa a’udzubika minal faqri wal kufri, wa syirki wa nifaqi, wa sum’ati warriya.” “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, kebakhilan, pikun, kerasnya hati, lalai, kehinaan, kemiskinan. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kesyirikan, nifak, sum’ah (rasa ingin dipuji), dan riya’.” (HR. Ibnu Hibban no. 1023 dan Al-Hakim no. 1944. Lihat Shahihul Jami’, no. 1285) Baca juga: Cara Mengobati Hati yang Sempit dan Depresi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi Tags: Obat Hati
Daftar Isi Toggle Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasaKedelapan, salat malamKesembilan, ziarah kuburKesepuluh, berteman dan duduk dengan orang salehKesebelas, menghadiri majelis ilmuKeduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Pada artikel sebelumnya (Obat bagi Hati yang Sakit bag.1), telah dijelaskan bahwa hati bisa merasakan sakit dan ada beberapa obat untuk mengatasinya. Berikut adalah obat hati yang selanjutnya. Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasa Berpuasa dapat melembutkan hati karena ia akan merasakan bagaimana keadaan orang-orang yang kelaparan dan kekurangan makanan sehingga timbul kelembutan di dalam hatinya. Puasa juga dapat menekan syahwat dan nafsu dalam dirinya sehingga dapat mengurangi potensi bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah (berkeluarga), hendaknya ia menikah. Karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa. Sebab ia dapat mengendalikan hawa nafsumu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedelapan, salat malam Salat malam dapat melembutkan hati. Ketika malam hari, dalam kondisi yang sepi, banyak orang tidur dan lalai. Sehingga menambah kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ “Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (karena salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الغَافِلِيْنَ وَ مَنْ قَامَ بِمِائَة آيَةٍ كُتِبَ مِنَ القَانِتِيْنَ وَ مَنْ قَرَأَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ المقَنْطِرِيْنَ “Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) sepuluh ayat, maka ia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai (hatinya). Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seratus ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang taat. Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seribu ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang diberi pahala yang melimpah.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 662. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 642) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas salat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut, dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan salat malam dengan kesenangan jiwa di dalam surga.” (Lihat Hadil Arwah ila Biladil Afrah, hal. 278) Kesembilan, ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ “Dahulu, aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah! Karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat.” (HR. Al-Hakim) Baca juga: Perhatian Islam terhadap Kesehatan Mental Kesepuluh, berteman dan duduk dengan orang saleh Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah: 119) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu mengikuti din (agama dan akhlak) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.” (HR. Abu Dawud no. 4833. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 927) Di dalam Al-Adzkar karya Al-Imam An-Nawawi, juga disebutkan lima obat hati. Salah satunya adalah berkumpul (duduk) dengan orang-orang saleh untuk menambah semangat beramal dan beribadah. دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ “Penawar hati itu ada lima: 1) Membaca Al-Qur’an dengan tadabur (perenungan); 2) Kosongnya perut (dengan puasa-pen); 3) Qiyamul lail (salat malam); 4) Berdoa di waktu sahur (waktu akhir malam sebelum Subuh), dan 5) duduk bersama orang-orang saleh”. (Lihat Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 107) Terkadang, ketika seseorang bermalam bersama orang-orang yang saleh, mereka pun salat bersama semalam suntuk. Padahal, biasanya ia hanya salat beberapa waktu saja, atau biasanya ia tidak salat. Akan tetapi, karena bersama mereka, ia pun ikut salat. Sehingga motivasi ibadahnya meningkat disebabkan dirinya bersama orang-orang yang saleh tadi. (Lihat Minhajul Qashidin, hal. 288) Kesebelas, menghadiri majelis ilmu Hendaknya seseorang perhatian dengan majelis ilmu, karena dalam majelis ilmu ia akan termotivasi untuk meningkatkan ketaatan serta menjauhi kemaksiatan. Sehingga diharapkan dengan mendengarkan ayat-ayat Allah dan Sunah Rasulullah di majelis ilmu, maka hati akan menjadi hidup dan lembut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikelilingi para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim) Keduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Hendaknya seseorang berdoa dengan penuh ketundukan dan mengharap kepada Allah agar dihilangkan kelalaian dan penyakit dalam hatinya. Tidak dipungkiri bahwa mungkin saja kita pernah merasa lebih unggul (ujub) dari orang lain, baik dari segi harta, ilmu, dan sebagainya. Oleh karenanya, Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya, وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 205) Dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan kepada kita agar berdoa dan merendahkan diri (menghilangkan kesombongan) kepada-Nya, اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55) Dan ada waktu spesial di mana jika kita berdoa, maka lebih mustajab (dikabulkan), lebih khusyuk (dikarenakan kebanyakan orang tidur dan lalai). Bahkan, Allah memuji orang yang berdoa pada waktu tersebut. Allah memuji orang yang berdoa di waktu sahur menjelang subuh dalam beberapa ayat,  وَٱلۡمُسۡتَغۡفِرِینَ بِٱلۡأَسۡحَارِ “Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ یَسۡتَغۡفِرُونَ “Dan di waktu sahur, mereka memohonkan ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 18) Diriwayatkan oleh Anas bin  Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa, اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل، والبخل والهرم، والقسوة والغفلة، والذلة والمسكنة, وأعوذ بك من الفقر والكفر، والشرك والنفاق، والسمعة والرياء. “Allahumma inni a’udzu bika minal ‘ajzi, wal kasali, wal bukhli, wal harami, wal qaswati, wal ghaflati, wadzilati, wal maskanati, wa a’udzubika minal faqri wal kufri, wa syirki wa nifaqi, wa sum’ati warriya.” “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, kebakhilan, pikun, kerasnya hati, lalai, kehinaan, kemiskinan. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kesyirikan, nifak, sum’ah (rasa ingin dipuji), dan riya’.” (HR. Ibnu Hibban no. 1023 dan Al-Hakim no. 1944. Lihat Shahihul Jami’, no. 1285) Baca juga: Cara Mengobati Hati yang Sempit dan Depresi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi Tags: Obat Hati


Daftar Isi Toggle Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasaKedelapan, salat malamKesembilan, ziarah kuburKesepuluh, berteman dan duduk dengan orang salehKesebelas, menghadiri majelis ilmuKeduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Pada artikel sebelumnya (Obat bagi Hati yang Sakit bag.1), telah dijelaskan bahwa hati bisa merasakan sakit dan ada beberapa obat untuk mengatasinya. Berikut adalah obat hati yang selanjutnya. Ketujuh, mengosongkan perut dengan berpuasa Berpuasa dapat melembutkan hati karena ia akan merasakan bagaimana keadaan orang-orang yang kelaparan dan kekurangan makanan sehingga timbul kelembutan di dalam hatinya. Puasa juga dapat menekan syahwat dan nafsu dalam dirinya sehingga dapat mengurangi potensi bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah (berkeluarga), hendaknya ia menikah. Karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa. Sebab ia dapat mengendalikan hawa nafsumu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedelapan, salat malam Salat malam dapat melembutkan hati. Ketika malam hari, dalam kondisi yang sepi, banyak orang tidur dan lalai. Sehingga menambah kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ “Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (karena salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الغَافِلِيْنَ وَ مَنْ قَامَ بِمِائَة آيَةٍ كُتِبَ مِنَ القَانِتِيْنَ وَ مَنْ قَرَأَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ المقَنْطِرِيْنَ “Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) sepuluh ayat, maka ia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai (hatinya). Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seratus ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang taat. Barangsiapa yang salat malam dengan (membaca) seribu ayat, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang diberi pahala yang melimpah.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 662. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 642) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas salat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut, dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan salat malam dengan kesenangan jiwa di dalam surga.” (Lihat Hadil Arwah ila Biladil Afrah, hal. 278) Kesembilan, ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ “Dahulu, aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah! Karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat.” (HR. Al-Hakim) Baca juga: Perhatian Islam terhadap Kesehatan Mental Kesepuluh, berteman dan duduk dengan orang saleh Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah: 119) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu mengikuti din (agama dan akhlak) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.” (HR. Abu Dawud no. 4833. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 927) Di dalam Al-Adzkar karya Al-Imam An-Nawawi, juga disebutkan lima obat hati. Salah satunya adalah berkumpul (duduk) dengan orang-orang saleh untuk menambah semangat beramal dan beribadah. دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ “Penawar hati itu ada lima: 1) Membaca Al-Qur’an dengan tadabur (perenungan); 2) Kosongnya perut (dengan puasa-pen); 3) Qiyamul lail (salat malam); 4) Berdoa di waktu sahur (waktu akhir malam sebelum Subuh), dan 5) duduk bersama orang-orang saleh”. (Lihat Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 107) Terkadang, ketika seseorang bermalam bersama orang-orang yang saleh, mereka pun salat bersama semalam suntuk. Padahal, biasanya ia hanya salat beberapa waktu saja, atau biasanya ia tidak salat. Akan tetapi, karena bersama mereka, ia pun ikut salat. Sehingga motivasi ibadahnya meningkat disebabkan dirinya bersama orang-orang yang saleh tadi. (Lihat Minhajul Qashidin, hal. 288) Kesebelas, menghadiri majelis ilmu Hendaknya seseorang perhatian dengan majelis ilmu, karena dalam majelis ilmu ia akan termotivasi untuk meningkatkan ketaatan serta menjauhi kemaksiatan. Sehingga diharapkan dengan mendengarkan ayat-ayat Allah dan Sunah Rasulullah di majelis ilmu, maka hati akan menjadi hidup dan lembut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikelilingi para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim) Keduabelas, berdoa dan merendahkan diri kepada Allah Hendaknya seseorang berdoa dengan penuh ketundukan dan mengharap kepada Allah agar dihilangkan kelalaian dan penyakit dalam hatinya. Tidak dipungkiri bahwa mungkin saja kita pernah merasa lebih unggul (ujub) dari orang lain, baik dari segi harta, ilmu, dan sebagainya. Oleh karenanya, Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya, وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 205) Dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan kepada kita agar berdoa dan merendahkan diri (menghilangkan kesombongan) kepada-Nya, اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55) Dan ada waktu spesial di mana jika kita berdoa, maka lebih mustajab (dikabulkan), lebih khusyuk (dikarenakan kebanyakan orang tidur dan lalai). Bahkan, Allah memuji orang yang berdoa pada waktu tersebut. Allah memuji orang yang berdoa di waktu sahur menjelang subuh dalam beberapa ayat,  وَٱلۡمُسۡتَغۡفِرِینَ بِٱلۡأَسۡحَارِ “Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ یَسۡتَغۡفِرُونَ “Dan di waktu sahur, mereka memohonkan ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 18) Diriwayatkan oleh Anas bin  Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa, اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل، والبخل والهرم، والقسوة والغفلة، والذلة والمسكنة, وأعوذ بك من الفقر والكفر، والشرك والنفاق، والسمعة والرياء. “Allahumma inni a’udzu bika minal ‘ajzi, wal kasali, wal bukhli, wal harami, wal qaswati, wal ghaflati, wadzilati, wal maskanati, wa a’udzubika minal faqri wal kufri, wa syirki wa nifaqi, wa sum’ati warriya.” “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, kebakhilan, pikun, kerasnya hati, lalai, kehinaan, kemiskinan. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kesyirikan, nifak, sum’ah (rasa ingin dipuji), dan riya’.” (HR. Ibnu Hibban no. 1023 dan Al-Hakim no. 1944. Lihat Shahihul Jami’, no. 1285) Baca juga: Cara Mengobati Hati yang Sempit dan Depresi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi Tags: Obat Hati

Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama, mengagungkan syiar-syiar AllahKedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawaKetiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatimKeempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfarKelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadaburKeenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Sebagaimana dengan jasad, hati juga dapat mengalami seperti apa yang dirasakan oleh tubuh dengan berbagai kondisinya, seperti: sehat, sakit, hidup, dan mati. Pada artikel yang lalu (Berkenalan dengan Hati bag. 1 dan bag. 2), telah dijelaskan tentang sifat dan kondisi hati. Allah Ta’ala berfirman terkait hati yang sehat dan hati yang sakit, لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “… agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar (mati) hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu (yang hatinya sehat) meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu. Lalu, mereka beriman dan hati mereka tunduk (sehat) kepadanya. Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 53-54) Secara umum, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah membagi kondisi hati manusia menjadi tiga: hati yang hidup dan selamat (yaitu, hati orang yang beriman dan bertakwa), hati yang mati dan buta (yaitu, hati orang kafir yang telah penuh dengan syahwat dan syubhat), dan hati yang sakit (yaitu, hati orang yang terkadang kalah dengan nafsunya dan masih bisa diobati). (Lihat Ighatsatul Lahfan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 41-43) Hasan Muhammad As-Syarqawi membagi penyakit hati dalam sembilan bagian, yaitu: pamer (riya’), marah, lalai, was-was, frustrasi, rakus, terperdaya, sombong, dengki, dan iri hati. (Lihat Nahwa ‘Ilman An-Nafsi, hal. 68) Ada beberapa obat bagi hati yang sakit sebagai berikut: Pertama, mengagungkan syiar-syiar Allah Syiar merupakan simbol atau tanda-tanda kebesaran agama Islam yang membuat orang mengetahui bahwa itu merupakan ajaran Islam, baik berupa perintah maupun larangan, yang terkait tempat maupun waktu. Misalnya adalah azan, jilbab, Ka’bah (haji), Ramadan, dan sebagainya. Maka, siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Islam, maka hal tersebut bisa menyehatkan hatinya. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Cara mengagungkan syiar-syiar Islam seperti: tatkala azan berkumandang, maka baiknya diam, menirukan muazin, dan berdoa atau berselawat setelahnya; ketika hendak salat, memperbagus pakaian dan memakai wewangian. Bahkan, Tamim Ad-Dari membeli pakaian seharga 1.000 dirham untuk beliau pakai khusus di malam-malam yang diharapkan bertepatan dengan malam lailatulqadar. (Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hal. 346-347) Kedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ, فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ “Janganlah kalian terlalu banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. At-Tirmidzi no. 2305) Kita tidak terlarang untuk tertawa, tetapi yang dilarang adalah terlalu sering melakukannya. Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pun dalam beberapa riwayat juga pernah tertawa (tanpa terbahak-bahak). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا ثُمَّ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِإِدَامِهِمْ؟ “Lantas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kami dan tertawa, sehingga gigi serinya terlihat. Kemudian, Nabi berujar, ‘Maukah kamu kuberitahu lauk penghuni surga?'” (Potongan hadis riwayat Bukhari dan Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Dawud) Ketiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatim Dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seseorang yang mengeluhkan kerasnya hati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau berkata kepadanya, إن أردت أن يلين قلبك فأطعم المساكين و امسح رأس اليتيم “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, maka berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Hal demikian dapat melembutkan hati dengan merenungi betapa beruntungnya kita. Ternyata masih banyak orang yang lebih membutuhkan dari kita. Dan betapa kasihannya anak yatim yang sejak kecil sudah ditinggal orang tuanya. Orang miskin adalah orang yang memiliki pendapatan (pekerjaan), tetapi belum bisa memenuhi (mencukupi) kebutuhan pokok hariannya (termasuk biaya pendidikan). Orang miskin bisa jadi mempunyai rumah atau kendaraan untuk menopang penghasilannya. Sedangkan yang dimaksud anak yatim adalah anak yang belum balig (mimpi basah atau haid). Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah Keempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar, dan bertobat, maka niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa, maka niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah ‘penutup’ (hati) yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka. (QS. Al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Tobat hendaknya senantiasa diperbarui (diulang-ulang). Orang yang bertakwa bukanlah yang tidak pernah lepas dari dosa. Akan tetapi, orang yang bertakwa adalah yang ketika berbuat dosa (bersalah), ia segera ingat dan memohon ampun kepada Allah. Kelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadabur Berzikir kepada Allah merupakan obat bagi hati. Semakin lalai dari berzikir dan membaca Al-Qur’an dengan mentadaburinya, maka hatinya lama-kelamaan akan sakit dan mengeras (mati). Allah Ta’ala berfirman, اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dalam firman-Nya yang lain, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Keenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Seseorang yang beramal dalam kondisi yang tersembunyi akan membantu ia untuk semakin ikhlas dan terhindar dari berbagai penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sum’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri (amalannya sering tidak ditampakkan pada orang lain).” (HR. Muslim) Contoh menyembunyikan amal adalah menangis karena Allah, menyembunyikan salat sunah, puasa sunah, sedekah, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Lanjut ke bagian 2: Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 2) *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi. Tags: Obat Hati

Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama, mengagungkan syiar-syiar AllahKedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawaKetiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatimKeempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfarKelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadaburKeenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Sebagaimana dengan jasad, hati juga dapat mengalami seperti apa yang dirasakan oleh tubuh dengan berbagai kondisinya, seperti: sehat, sakit, hidup, dan mati. Pada artikel yang lalu (Berkenalan dengan Hati bag. 1 dan bag. 2), telah dijelaskan tentang sifat dan kondisi hati. Allah Ta’ala berfirman terkait hati yang sehat dan hati yang sakit, لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “… agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar (mati) hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu (yang hatinya sehat) meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu. Lalu, mereka beriman dan hati mereka tunduk (sehat) kepadanya. Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 53-54) Secara umum, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah membagi kondisi hati manusia menjadi tiga: hati yang hidup dan selamat (yaitu, hati orang yang beriman dan bertakwa), hati yang mati dan buta (yaitu, hati orang kafir yang telah penuh dengan syahwat dan syubhat), dan hati yang sakit (yaitu, hati orang yang terkadang kalah dengan nafsunya dan masih bisa diobati). (Lihat Ighatsatul Lahfan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 41-43) Hasan Muhammad As-Syarqawi membagi penyakit hati dalam sembilan bagian, yaitu: pamer (riya’), marah, lalai, was-was, frustrasi, rakus, terperdaya, sombong, dengki, dan iri hati. (Lihat Nahwa ‘Ilman An-Nafsi, hal. 68) Ada beberapa obat bagi hati yang sakit sebagai berikut: Pertama, mengagungkan syiar-syiar Allah Syiar merupakan simbol atau tanda-tanda kebesaran agama Islam yang membuat orang mengetahui bahwa itu merupakan ajaran Islam, baik berupa perintah maupun larangan, yang terkait tempat maupun waktu. Misalnya adalah azan, jilbab, Ka’bah (haji), Ramadan, dan sebagainya. Maka, siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Islam, maka hal tersebut bisa menyehatkan hatinya. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Cara mengagungkan syiar-syiar Islam seperti: tatkala azan berkumandang, maka baiknya diam, menirukan muazin, dan berdoa atau berselawat setelahnya; ketika hendak salat, memperbagus pakaian dan memakai wewangian. Bahkan, Tamim Ad-Dari membeli pakaian seharga 1.000 dirham untuk beliau pakai khusus di malam-malam yang diharapkan bertepatan dengan malam lailatulqadar. (Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hal. 346-347) Kedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ, فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ “Janganlah kalian terlalu banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. At-Tirmidzi no. 2305) Kita tidak terlarang untuk tertawa, tetapi yang dilarang adalah terlalu sering melakukannya. Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pun dalam beberapa riwayat juga pernah tertawa (tanpa terbahak-bahak). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا ثُمَّ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِإِدَامِهِمْ؟ “Lantas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kami dan tertawa, sehingga gigi serinya terlihat. Kemudian, Nabi berujar, ‘Maukah kamu kuberitahu lauk penghuni surga?'” (Potongan hadis riwayat Bukhari dan Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Dawud) Ketiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatim Dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seseorang yang mengeluhkan kerasnya hati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau berkata kepadanya, إن أردت أن يلين قلبك فأطعم المساكين و امسح رأس اليتيم “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, maka berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Hal demikian dapat melembutkan hati dengan merenungi betapa beruntungnya kita. Ternyata masih banyak orang yang lebih membutuhkan dari kita. Dan betapa kasihannya anak yatim yang sejak kecil sudah ditinggal orang tuanya. Orang miskin adalah orang yang memiliki pendapatan (pekerjaan), tetapi belum bisa memenuhi (mencukupi) kebutuhan pokok hariannya (termasuk biaya pendidikan). Orang miskin bisa jadi mempunyai rumah atau kendaraan untuk menopang penghasilannya. Sedangkan yang dimaksud anak yatim adalah anak yang belum balig (mimpi basah atau haid). Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah Keempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar, dan bertobat, maka niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa, maka niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah ‘penutup’ (hati) yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka. (QS. Al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Tobat hendaknya senantiasa diperbarui (diulang-ulang). Orang yang bertakwa bukanlah yang tidak pernah lepas dari dosa. Akan tetapi, orang yang bertakwa adalah yang ketika berbuat dosa (bersalah), ia segera ingat dan memohon ampun kepada Allah. Kelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadabur Berzikir kepada Allah merupakan obat bagi hati. Semakin lalai dari berzikir dan membaca Al-Qur’an dengan mentadaburinya, maka hatinya lama-kelamaan akan sakit dan mengeras (mati). Allah Ta’ala berfirman, اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dalam firman-Nya yang lain, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Keenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Seseorang yang beramal dalam kondisi yang tersembunyi akan membantu ia untuk semakin ikhlas dan terhindar dari berbagai penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sum’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri (amalannya sering tidak ditampakkan pada orang lain).” (HR. Muslim) Contoh menyembunyikan amal adalah menangis karena Allah, menyembunyikan salat sunah, puasa sunah, sedekah, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Lanjut ke bagian 2: Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 2) *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi. Tags: Obat Hati
Daftar Isi Toggle Pertama, mengagungkan syiar-syiar AllahKedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawaKetiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatimKeempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfarKelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadaburKeenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Sebagaimana dengan jasad, hati juga dapat mengalami seperti apa yang dirasakan oleh tubuh dengan berbagai kondisinya, seperti: sehat, sakit, hidup, dan mati. Pada artikel yang lalu (Berkenalan dengan Hati bag. 1 dan bag. 2), telah dijelaskan tentang sifat dan kondisi hati. Allah Ta’ala berfirman terkait hati yang sehat dan hati yang sakit, لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “… agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar (mati) hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu (yang hatinya sehat) meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu. Lalu, mereka beriman dan hati mereka tunduk (sehat) kepadanya. Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 53-54) Secara umum, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah membagi kondisi hati manusia menjadi tiga: hati yang hidup dan selamat (yaitu, hati orang yang beriman dan bertakwa), hati yang mati dan buta (yaitu, hati orang kafir yang telah penuh dengan syahwat dan syubhat), dan hati yang sakit (yaitu, hati orang yang terkadang kalah dengan nafsunya dan masih bisa diobati). (Lihat Ighatsatul Lahfan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 41-43) Hasan Muhammad As-Syarqawi membagi penyakit hati dalam sembilan bagian, yaitu: pamer (riya’), marah, lalai, was-was, frustrasi, rakus, terperdaya, sombong, dengki, dan iri hati. (Lihat Nahwa ‘Ilman An-Nafsi, hal. 68) Ada beberapa obat bagi hati yang sakit sebagai berikut: Pertama, mengagungkan syiar-syiar Allah Syiar merupakan simbol atau tanda-tanda kebesaran agama Islam yang membuat orang mengetahui bahwa itu merupakan ajaran Islam, baik berupa perintah maupun larangan, yang terkait tempat maupun waktu. Misalnya adalah azan, jilbab, Ka’bah (haji), Ramadan, dan sebagainya. Maka, siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Islam, maka hal tersebut bisa menyehatkan hatinya. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Cara mengagungkan syiar-syiar Islam seperti: tatkala azan berkumandang, maka baiknya diam, menirukan muazin, dan berdoa atau berselawat setelahnya; ketika hendak salat, memperbagus pakaian dan memakai wewangian. Bahkan, Tamim Ad-Dari membeli pakaian seharga 1.000 dirham untuk beliau pakai khusus di malam-malam yang diharapkan bertepatan dengan malam lailatulqadar. (Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hal. 346-347) Kedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ, فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ “Janganlah kalian terlalu banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. At-Tirmidzi no. 2305) Kita tidak terlarang untuk tertawa, tetapi yang dilarang adalah terlalu sering melakukannya. Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pun dalam beberapa riwayat juga pernah tertawa (tanpa terbahak-bahak). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا ثُمَّ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِإِدَامِهِمْ؟ “Lantas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kami dan tertawa, sehingga gigi serinya terlihat. Kemudian, Nabi berujar, ‘Maukah kamu kuberitahu lauk penghuni surga?'” (Potongan hadis riwayat Bukhari dan Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Dawud) Ketiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatim Dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seseorang yang mengeluhkan kerasnya hati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau berkata kepadanya, إن أردت أن يلين قلبك فأطعم المساكين و امسح رأس اليتيم “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, maka berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Hal demikian dapat melembutkan hati dengan merenungi betapa beruntungnya kita. Ternyata masih banyak orang yang lebih membutuhkan dari kita. Dan betapa kasihannya anak yatim yang sejak kecil sudah ditinggal orang tuanya. Orang miskin adalah orang yang memiliki pendapatan (pekerjaan), tetapi belum bisa memenuhi (mencukupi) kebutuhan pokok hariannya (termasuk biaya pendidikan). Orang miskin bisa jadi mempunyai rumah atau kendaraan untuk menopang penghasilannya. Sedangkan yang dimaksud anak yatim adalah anak yang belum balig (mimpi basah atau haid). Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah Keempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar, dan bertobat, maka niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa, maka niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah ‘penutup’ (hati) yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka. (QS. Al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Tobat hendaknya senantiasa diperbarui (diulang-ulang). Orang yang bertakwa bukanlah yang tidak pernah lepas dari dosa. Akan tetapi, orang yang bertakwa adalah yang ketika berbuat dosa (bersalah), ia segera ingat dan memohon ampun kepada Allah. Kelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadabur Berzikir kepada Allah merupakan obat bagi hati. Semakin lalai dari berzikir dan membaca Al-Qur’an dengan mentadaburinya, maka hatinya lama-kelamaan akan sakit dan mengeras (mati). Allah Ta’ala berfirman, اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dalam firman-Nya yang lain, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Keenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Seseorang yang beramal dalam kondisi yang tersembunyi akan membantu ia untuk semakin ikhlas dan terhindar dari berbagai penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sum’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri (amalannya sering tidak ditampakkan pada orang lain).” (HR. Muslim) Contoh menyembunyikan amal adalah menangis karena Allah, menyembunyikan salat sunah, puasa sunah, sedekah, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Lanjut ke bagian 2: Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 2) *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi. Tags: Obat Hati


Daftar Isi Toggle Pertama, mengagungkan syiar-syiar AllahKedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawaKetiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatimKeempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfarKelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadaburKeenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Sebagaimana dengan jasad, hati juga dapat mengalami seperti apa yang dirasakan oleh tubuh dengan berbagai kondisinya, seperti: sehat, sakit, hidup, dan mati. Pada artikel yang lalu (Berkenalan dengan Hati bag. 1 dan bag. 2), telah dijelaskan tentang sifat dan kondisi hati. Allah Ta’ala berfirman terkait hati yang sehat dan hati yang sakit, لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “… agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar (mati) hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu (yang hatinya sehat) meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu. Lalu, mereka beriman dan hati mereka tunduk (sehat) kepadanya. Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 53-54) Secara umum, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah membagi kondisi hati manusia menjadi tiga: hati yang hidup dan selamat (yaitu, hati orang yang beriman dan bertakwa), hati yang mati dan buta (yaitu, hati orang kafir yang telah penuh dengan syahwat dan syubhat), dan hati yang sakit (yaitu, hati orang yang terkadang kalah dengan nafsunya dan masih bisa diobati). (Lihat Ighatsatul Lahfan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 41-43) Hasan Muhammad As-Syarqawi membagi penyakit hati dalam sembilan bagian, yaitu: pamer (riya’), marah, lalai, was-was, frustrasi, rakus, terperdaya, sombong, dengki, dan iri hati. (Lihat Nahwa ‘Ilman An-Nafsi, hal. 68) Ada beberapa obat bagi hati yang sakit sebagai berikut: Pertama, mengagungkan syiar-syiar Allah Syiar merupakan simbol atau tanda-tanda kebesaran agama Islam yang membuat orang mengetahui bahwa itu merupakan ajaran Islam, baik berupa perintah maupun larangan, yang terkait tempat maupun waktu. Misalnya adalah azan, jilbab, Ka’bah (haji), Ramadan, dan sebagainya. Maka, siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Islam, maka hal tersebut bisa menyehatkan hatinya. Allah Ta’ala berfirman, ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Cara mengagungkan syiar-syiar Islam seperti: tatkala azan berkumandang, maka baiknya diam, menirukan muazin, dan berdoa atau berselawat setelahnya; ketika hendak salat, memperbagus pakaian dan memakai wewangian. Bahkan, Tamim Ad-Dari membeli pakaian seharga 1.000 dirham untuk beliau pakai khusus di malam-malam yang diharapkan bertepatan dengan malam lailatulqadar. (Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hal. 346-347) Kedua, menahan diri dari terlalu banyak tertawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ, فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ “Janganlah kalian terlalu banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. At-Tirmidzi no. 2305) Kita tidak terlarang untuk tertawa, tetapi yang dilarang adalah terlalu sering melakukannya. Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pun dalam beberapa riwayat juga pernah tertawa (tanpa terbahak-bahak). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا ثُمَّ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِإِدَامِهِمْ؟ “Lantas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kami dan tertawa, sehingga gigi serinya terlihat. Kemudian, Nabi berujar, ‘Maukah kamu kuberitahu lauk penghuni surga?'” (Potongan hadis riwayat Bukhari dan Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Dawud) Ketiga, memberikan makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatim Dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seseorang yang mengeluhkan kerasnya hati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau berkata kepadanya, إن أردت أن يلين قلبك فأطعم المساكين و امسح رأس اليتيم “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, maka berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Hal demikian dapat melembutkan hati dengan merenungi betapa beruntungnya kita. Ternyata masih banyak orang yang lebih membutuhkan dari kita. Dan betapa kasihannya anak yatim yang sejak kecil sudah ditinggal orang tuanya. Orang miskin adalah orang yang memiliki pendapatan (pekerjaan), tetapi belum bisa memenuhi (mencukupi) kebutuhan pokok hariannya (termasuk biaya pendidikan). Orang miskin bisa jadi mempunyai rumah atau kendaraan untuk menopang penghasilannya. Sedangkan yang dimaksud anak yatim adalah anak yang belum balig (mimpi basah atau haid). Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah Keempat, memperbarui tobat dan memperbanyak istigfar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar, dan bertobat, maka niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa, maka niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah ‘penutup’ (hati) yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka. (QS. Al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Tobat hendaknya senantiasa diperbarui (diulang-ulang). Orang yang bertakwa bukanlah yang tidak pernah lepas dari dosa. Akan tetapi, orang yang bertakwa adalah yang ketika berbuat dosa (bersalah), ia segera ingat dan memohon ampun kepada Allah. Kelima, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an dengan tadabur Berzikir kepada Allah merupakan obat bagi hati. Semakin lalai dari berzikir dan membaca Al-Qur’an dengan mentadaburinya, maka hatinya lama-kelamaan akan sakit dan mengeras (mati). Allah Ta’ala berfirman, اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dalam firman-Nya yang lain, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Keenam, berupaya memiliki amalan yang tersembunyi Seseorang yang beramal dalam kondisi yang tersembunyi akan membantu ia untuk semakin ikhlas dan terhindar dari berbagai penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sum’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri (amalannya sering tidak ditampakkan pada orang lain).” (HR. Muslim) Contoh menyembunyikan amal adalah menangis karena Allah, menyembunyikan salat sunah, puasa sunah, sedekah, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Lanjut ke bagian 2: Obat bagi Hati yang Sakit (Bag. 2) *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ishlahul Qulub karya Syekh Abdul Hadi bin Hasan Wahbi. Tags: Obat Hati

Apakah Air Zamzam Tidak Boleh Dibawa Keluar Masjid?

Pertanyaan: Ustadz, ada yang mengatakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram di Mekkah atau di dalam Masjid An Nabawi di Madinah tidak boleh dibawa keluar atau dibawa ke kamar hotel. Hukumnya haram berdasarkan kitab Busyro Karim. Sehingga kita harus membeli air zamzam dari toko atau supermarket jika ingin minum air zamzam di kamar hotel. Apa benar demikian? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, air zamzam adalah air yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan untuk seluruh kaum Muslimin. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ماءُ زمزمَ لِما شُرِبَ له “Khasiat air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya” (HR. Ibnu Majah no.3062, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan hadits ini menunjukkan bahwa seseorang boleh berdoa apa saja secara umum ketika minum air zamzam. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: معناه : من شربه لحاجة نالها ، وقد جربه العلماء والصالحون لحاجات أخروية ودنيوية ، فنالوها بحمد الله تعالى وفضله “Maknanya: Siapa yang meminumnya untuk suatu kebutuhan, ia akan mendapatkannya. Dan para ulama serta orang shalih banyak yang telah mencobanya, baik untuk kebutuhan akhirat maupun kebutuhan dunia. Dan mereka mendapatkan apa yang diinginkan, bi hamdulillah ta’ala wa fadhlihi” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 3/450). Kedua, para ulama memfatwakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram, atau Masjid An-Nabawi, atau Masjid Quba, semuanya boleh dimanfaatkan oleh kaum Muslimin seluruhnya baik di dalam masjid atau di luar masjid. Dengan syarat tetap mengutamakan orang-orang yang ada di masjid karena mereka yang lebih berhak terhadap air zamzam yang berada di masjid. Dengan kata lain, membawa air zamzam keluar masjid hukumnya boleh namun tidak boleh sampai merugikan dan mengganggu para jama’ah yang ada di masjid yang butuh terhadap air zamzam. Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair (anggota Lajnah Daimah) mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid sekadar kebutuhan. Beliau mengatakan: الأصل أن هذا الماء المبارك -ماء زمزم- الموجود في المسجد الحرام لعموم الناس، وليس لأحد بعينه، ولكن لا يجوز لأحد أن يختص به دون غيره، بل حكمه حكم سائر الناس، فلا يأتي بأوانٍ كثيرة أو بإناء كبير جدًّا يُضيِّق به على الناس، بحيث يُنهي ما في هذه البرادات أو الحافظات من الماء البارد، وإنما يأخذ بقدر حاجته. وما ذكره السائل من أنها قارورة صغيرة أو نحوها فهذا الشيء لا يؤثر على عموم الناس، فلا بأس به “Hukum asalnya air zamzam yang berkah ini, yang berada di dalam Masjidil Haram, diperuntukkan untuk seluruh manusia. Tidak dikhususkan bagi orang tertentu saja. Tidak boleh dikhusus hanya untuk orang-orang tertentu saja. Bahkan berlaku untuk semua orang. Maka tidak boleh seseorang membawa wadah air yang besar-besar untuk mengambil air zamzam sehingga menyulitkan orang-orang yang lain. Seperti membawa termos atau galon-galon yang besar. Hendaknya mengambil air tersebut sesuai kebutuhan. Adapun yang ditanya oleh penanya yaitu membawa air zamzam dengan botol-botol kecil, ini tidak mengganggu orang lain, sehingga tidak mengapa” (Fatwa Web Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair no.24748, https://shkhudheir.com/fatwa/24748). Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid jika sedikit semisal dalam botol, yang tidak diperbolehkan adalah jika menggunakan galon. Beliau mengatakan: “Air zamzam di Masjid An-Nabawi adalah wakaf. Tidak boleh mengambilnya kecuali sesuai dengan ketentuan pengurus masjid. Dan yang saya ketahui adalah bahwa mereka tidak mengizinkan untuk membawa air zamzam dalam jumlah banyak. Dibolehkan jika hanya sekedar menggunakan botol. Adapun mengambil air zamzam dengan galon besar, maka ini tidak boleh walaupun diizinkan oleh petugas penjaga pintu masjid. Karena penjaga pintu masjid tidak memiliki air tersebut. Mereka tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebagian orang mengambil air zamzam bergalon-galon setiap hari. Ini hukumnya haram, karena ini bentuk menganggu hak kaum Muslimin. Tidak boleh dan tidak halal mereka meminum air tersebut” (Sumber: https://youtu.be/lnIMDWom5lY). Dewan Fatwa Islamweb dalam fatwa nomor 73976 mengatakan boleh menggunakan air zamzam di masjid dan membawanya keluar karena air zamzam untuk keperluan kaum Muslimin berdasarkan keterangan dari Imam An-Nawawi, Beliau membawakan hadits: عن عائشةَ أنَّها حملَت ماءَ زمزمَ في القواريرِ وقالت حملَهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الأَداوي والقِرَبِ فكان يصبُّ على المرضَى ويَسقيهِم “Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa beliau membawa air zamzam dalam botol-botol. Beliau berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membawa air zamzam (keluar masjid) untuk mengobati orang dan untuk karib kerabat. Beliau biasa mencipratkan air zamzam pada orang yang sakit dan memberi mereka minum dengannya” (HR. Al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir [3/189]. Al-Bukhari berkata: “Dalam sanadnya terdapat Khalad bin Yazid, perawi yang tidak bisa di-mutaba’ah”). Dan fatwa ulama yang lain, yang menunjukkan bolehnya membawa air zamzam keluar dari masjid selama tidak terlalu berlebihan dan mengganggu kaum Muslimin yang lain. Ketiga, dibolehkan untuk mengambil air zamzam dalam jumlah besar di tempat-tempat yang disediakan khusus. Seperti di keran-keran air zamzam yang ada di halaman Masjidil Haram dan Masjid An-Nabawi. Karena memang tempat-tempat tersebut dikhususkan bagi orang yang ingin mengambil dalam jumlah besar, sehingga tidak menganggu jamaah masjid. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah: وأما إذا أخذه من البزابير التي تكون للتروية منها فلا بأس لا بأس أن يغتسل به في الحمام  “Adapun mengambil zamzam dari keran-keran yang memang diperuntukkan untuk menyegarkan badan dengannya, maka tidak mengapa mengambil dalam jumlah besar, kemudian menggunakannya untuk mandi di kamar mandi” (Fatawa Al-Haram Al-Makki, nomor 02b, tahun 1418H). Keempat, kami tidak mendapati keterangan dari kitab Busyra Karim (Syarah Muqaddimah Hadramiyah karya Sa’id bin Muhammad Ba’ali Ba’asyan) yang mengharamkan membawa air zamzam keluar masjid. Namun bisa jadi yang dimaksud adalah perkataan berikut: ويكره غسله من زمزم؛ للخلاف في نجاسة الميت “Dimakruhkan memandikan mayit dengan air zamzam, karena ada khilaf ulama tentang kenajisan badan mayit” (Busyra Karim, hal.450). Dengan argumen, untuk memandikan mayit tentu harus membawa air zamzam keluar masjid. Namun perkataan ini tidak tegas melarang membawa air zamzam keluar masjid. Demikian juga dalam perkataan ini tidak dihukumi haram namun makruh.  Dan andaikan penulis kitab Busyra Karim mengharamkannya pun, ini pendapat yang kurang tepat berdasarkan dalil-dalil yang ada keterangan dari para ulama lain. Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Apakah Jin Bisa Mati, Cara Menghadiahkan Al Fatihah, Contoh Bid'ah Dalam Shalat, Hukum Melukis, Cara Bercipok, Sholat Sunat Tahiyatul Masjid Visited 856 times, 1 visit(s) today Post Views: 606 QRIS donasi Yufid

Apakah Air Zamzam Tidak Boleh Dibawa Keluar Masjid?

Pertanyaan: Ustadz, ada yang mengatakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram di Mekkah atau di dalam Masjid An Nabawi di Madinah tidak boleh dibawa keluar atau dibawa ke kamar hotel. Hukumnya haram berdasarkan kitab Busyro Karim. Sehingga kita harus membeli air zamzam dari toko atau supermarket jika ingin minum air zamzam di kamar hotel. Apa benar demikian? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, air zamzam adalah air yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan untuk seluruh kaum Muslimin. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ماءُ زمزمَ لِما شُرِبَ له “Khasiat air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya” (HR. Ibnu Majah no.3062, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan hadits ini menunjukkan bahwa seseorang boleh berdoa apa saja secara umum ketika minum air zamzam. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: معناه : من شربه لحاجة نالها ، وقد جربه العلماء والصالحون لحاجات أخروية ودنيوية ، فنالوها بحمد الله تعالى وفضله “Maknanya: Siapa yang meminumnya untuk suatu kebutuhan, ia akan mendapatkannya. Dan para ulama serta orang shalih banyak yang telah mencobanya, baik untuk kebutuhan akhirat maupun kebutuhan dunia. Dan mereka mendapatkan apa yang diinginkan, bi hamdulillah ta’ala wa fadhlihi” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 3/450). Kedua, para ulama memfatwakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram, atau Masjid An-Nabawi, atau Masjid Quba, semuanya boleh dimanfaatkan oleh kaum Muslimin seluruhnya baik di dalam masjid atau di luar masjid. Dengan syarat tetap mengutamakan orang-orang yang ada di masjid karena mereka yang lebih berhak terhadap air zamzam yang berada di masjid. Dengan kata lain, membawa air zamzam keluar masjid hukumnya boleh namun tidak boleh sampai merugikan dan mengganggu para jama’ah yang ada di masjid yang butuh terhadap air zamzam. Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair (anggota Lajnah Daimah) mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid sekadar kebutuhan. Beliau mengatakan: الأصل أن هذا الماء المبارك -ماء زمزم- الموجود في المسجد الحرام لعموم الناس، وليس لأحد بعينه، ولكن لا يجوز لأحد أن يختص به دون غيره، بل حكمه حكم سائر الناس، فلا يأتي بأوانٍ كثيرة أو بإناء كبير جدًّا يُضيِّق به على الناس، بحيث يُنهي ما في هذه البرادات أو الحافظات من الماء البارد، وإنما يأخذ بقدر حاجته. وما ذكره السائل من أنها قارورة صغيرة أو نحوها فهذا الشيء لا يؤثر على عموم الناس، فلا بأس به “Hukum asalnya air zamzam yang berkah ini, yang berada di dalam Masjidil Haram, diperuntukkan untuk seluruh manusia. Tidak dikhususkan bagi orang tertentu saja. Tidak boleh dikhusus hanya untuk orang-orang tertentu saja. Bahkan berlaku untuk semua orang. Maka tidak boleh seseorang membawa wadah air yang besar-besar untuk mengambil air zamzam sehingga menyulitkan orang-orang yang lain. Seperti membawa termos atau galon-galon yang besar. Hendaknya mengambil air tersebut sesuai kebutuhan. Adapun yang ditanya oleh penanya yaitu membawa air zamzam dengan botol-botol kecil, ini tidak mengganggu orang lain, sehingga tidak mengapa” (Fatwa Web Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair no.24748, https://shkhudheir.com/fatwa/24748). Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid jika sedikit semisal dalam botol, yang tidak diperbolehkan adalah jika menggunakan galon. Beliau mengatakan: “Air zamzam di Masjid An-Nabawi adalah wakaf. Tidak boleh mengambilnya kecuali sesuai dengan ketentuan pengurus masjid. Dan yang saya ketahui adalah bahwa mereka tidak mengizinkan untuk membawa air zamzam dalam jumlah banyak. Dibolehkan jika hanya sekedar menggunakan botol. Adapun mengambil air zamzam dengan galon besar, maka ini tidak boleh walaupun diizinkan oleh petugas penjaga pintu masjid. Karena penjaga pintu masjid tidak memiliki air tersebut. Mereka tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebagian orang mengambil air zamzam bergalon-galon setiap hari. Ini hukumnya haram, karena ini bentuk menganggu hak kaum Muslimin. Tidak boleh dan tidak halal mereka meminum air tersebut” (Sumber: https://youtu.be/lnIMDWom5lY). Dewan Fatwa Islamweb dalam fatwa nomor 73976 mengatakan boleh menggunakan air zamzam di masjid dan membawanya keluar karena air zamzam untuk keperluan kaum Muslimin berdasarkan keterangan dari Imam An-Nawawi, Beliau membawakan hadits: عن عائشةَ أنَّها حملَت ماءَ زمزمَ في القواريرِ وقالت حملَهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الأَداوي والقِرَبِ فكان يصبُّ على المرضَى ويَسقيهِم “Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa beliau membawa air zamzam dalam botol-botol. Beliau berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membawa air zamzam (keluar masjid) untuk mengobati orang dan untuk karib kerabat. Beliau biasa mencipratkan air zamzam pada orang yang sakit dan memberi mereka minum dengannya” (HR. Al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir [3/189]. Al-Bukhari berkata: “Dalam sanadnya terdapat Khalad bin Yazid, perawi yang tidak bisa di-mutaba’ah”). Dan fatwa ulama yang lain, yang menunjukkan bolehnya membawa air zamzam keluar dari masjid selama tidak terlalu berlebihan dan mengganggu kaum Muslimin yang lain. Ketiga, dibolehkan untuk mengambil air zamzam dalam jumlah besar di tempat-tempat yang disediakan khusus. Seperti di keran-keran air zamzam yang ada di halaman Masjidil Haram dan Masjid An-Nabawi. Karena memang tempat-tempat tersebut dikhususkan bagi orang yang ingin mengambil dalam jumlah besar, sehingga tidak menganggu jamaah masjid. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah: وأما إذا أخذه من البزابير التي تكون للتروية منها فلا بأس لا بأس أن يغتسل به في الحمام  “Adapun mengambil zamzam dari keran-keran yang memang diperuntukkan untuk menyegarkan badan dengannya, maka tidak mengapa mengambil dalam jumlah besar, kemudian menggunakannya untuk mandi di kamar mandi” (Fatawa Al-Haram Al-Makki, nomor 02b, tahun 1418H). Keempat, kami tidak mendapati keterangan dari kitab Busyra Karim (Syarah Muqaddimah Hadramiyah karya Sa’id bin Muhammad Ba’ali Ba’asyan) yang mengharamkan membawa air zamzam keluar masjid. Namun bisa jadi yang dimaksud adalah perkataan berikut: ويكره غسله من زمزم؛ للخلاف في نجاسة الميت “Dimakruhkan memandikan mayit dengan air zamzam, karena ada khilaf ulama tentang kenajisan badan mayit” (Busyra Karim, hal.450). Dengan argumen, untuk memandikan mayit tentu harus membawa air zamzam keluar masjid. Namun perkataan ini tidak tegas melarang membawa air zamzam keluar masjid. Demikian juga dalam perkataan ini tidak dihukumi haram namun makruh.  Dan andaikan penulis kitab Busyra Karim mengharamkannya pun, ini pendapat yang kurang tepat berdasarkan dalil-dalil yang ada keterangan dari para ulama lain. Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Apakah Jin Bisa Mati, Cara Menghadiahkan Al Fatihah, Contoh Bid'ah Dalam Shalat, Hukum Melukis, Cara Bercipok, Sholat Sunat Tahiyatul Masjid Visited 856 times, 1 visit(s) today Post Views: 606 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, ada yang mengatakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram di Mekkah atau di dalam Masjid An Nabawi di Madinah tidak boleh dibawa keluar atau dibawa ke kamar hotel. Hukumnya haram berdasarkan kitab Busyro Karim. Sehingga kita harus membeli air zamzam dari toko atau supermarket jika ingin minum air zamzam di kamar hotel. Apa benar demikian? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, air zamzam adalah air yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan untuk seluruh kaum Muslimin. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ماءُ زمزمَ لِما شُرِبَ له “Khasiat air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya” (HR. Ibnu Majah no.3062, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan hadits ini menunjukkan bahwa seseorang boleh berdoa apa saja secara umum ketika minum air zamzam. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: معناه : من شربه لحاجة نالها ، وقد جربه العلماء والصالحون لحاجات أخروية ودنيوية ، فنالوها بحمد الله تعالى وفضله “Maknanya: Siapa yang meminumnya untuk suatu kebutuhan, ia akan mendapatkannya. Dan para ulama serta orang shalih banyak yang telah mencobanya, baik untuk kebutuhan akhirat maupun kebutuhan dunia. Dan mereka mendapatkan apa yang diinginkan, bi hamdulillah ta’ala wa fadhlihi” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 3/450). Kedua, para ulama memfatwakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram, atau Masjid An-Nabawi, atau Masjid Quba, semuanya boleh dimanfaatkan oleh kaum Muslimin seluruhnya baik di dalam masjid atau di luar masjid. Dengan syarat tetap mengutamakan orang-orang yang ada di masjid karena mereka yang lebih berhak terhadap air zamzam yang berada di masjid. Dengan kata lain, membawa air zamzam keluar masjid hukumnya boleh namun tidak boleh sampai merugikan dan mengganggu para jama’ah yang ada di masjid yang butuh terhadap air zamzam. Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair (anggota Lajnah Daimah) mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid sekadar kebutuhan. Beliau mengatakan: الأصل أن هذا الماء المبارك -ماء زمزم- الموجود في المسجد الحرام لعموم الناس، وليس لأحد بعينه، ولكن لا يجوز لأحد أن يختص به دون غيره، بل حكمه حكم سائر الناس، فلا يأتي بأوانٍ كثيرة أو بإناء كبير جدًّا يُضيِّق به على الناس، بحيث يُنهي ما في هذه البرادات أو الحافظات من الماء البارد، وإنما يأخذ بقدر حاجته. وما ذكره السائل من أنها قارورة صغيرة أو نحوها فهذا الشيء لا يؤثر على عموم الناس، فلا بأس به “Hukum asalnya air zamzam yang berkah ini, yang berada di dalam Masjidil Haram, diperuntukkan untuk seluruh manusia. Tidak dikhususkan bagi orang tertentu saja. Tidak boleh dikhusus hanya untuk orang-orang tertentu saja. Bahkan berlaku untuk semua orang. Maka tidak boleh seseorang membawa wadah air yang besar-besar untuk mengambil air zamzam sehingga menyulitkan orang-orang yang lain. Seperti membawa termos atau galon-galon yang besar. Hendaknya mengambil air tersebut sesuai kebutuhan. Adapun yang ditanya oleh penanya yaitu membawa air zamzam dengan botol-botol kecil, ini tidak mengganggu orang lain, sehingga tidak mengapa” (Fatwa Web Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair no.24748, https://shkhudheir.com/fatwa/24748). Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid jika sedikit semisal dalam botol, yang tidak diperbolehkan adalah jika menggunakan galon. Beliau mengatakan: “Air zamzam di Masjid An-Nabawi adalah wakaf. Tidak boleh mengambilnya kecuali sesuai dengan ketentuan pengurus masjid. Dan yang saya ketahui adalah bahwa mereka tidak mengizinkan untuk membawa air zamzam dalam jumlah banyak. Dibolehkan jika hanya sekedar menggunakan botol. Adapun mengambil air zamzam dengan galon besar, maka ini tidak boleh walaupun diizinkan oleh petugas penjaga pintu masjid. Karena penjaga pintu masjid tidak memiliki air tersebut. Mereka tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebagian orang mengambil air zamzam bergalon-galon setiap hari. Ini hukumnya haram, karena ini bentuk menganggu hak kaum Muslimin. Tidak boleh dan tidak halal mereka meminum air tersebut” (Sumber: https://youtu.be/lnIMDWom5lY). Dewan Fatwa Islamweb dalam fatwa nomor 73976 mengatakan boleh menggunakan air zamzam di masjid dan membawanya keluar karena air zamzam untuk keperluan kaum Muslimin berdasarkan keterangan dari Imam An-Nawawi, Beliau membawakan hadits: عن عائشةَ أنَّها حملَت ماءَ زمزمَ في القواريرِ وقالت حملَهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الأَداوي والقِرَبِ فكان يصبُّ على المرضَى ويَسقيهِم “Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa beliau membawa air zamzam dalam botol-botol. Beliau berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membawa air zamzam (keluar masjid) untuk mengobati orang dan untuk karib kerabat. Beliau biasa mencipratkan air zamzam pada orang yang sakit dan memberi mereka minum dengannya” (HR. Al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir [3/189]. Al-Bukhari berkata: “Dalam sanadnya terdapat Khalad bin Yazid, perawi yang tidak bisa di-mutaba’ah”). Dan fatwa ulama yang lain, yang menunjukkan bolehnya membawa air zamzam keluar dari masjid selama tidak terlalu berlebihan dan mengganggu kaum Muslimin yang lain. Ketiga, dibolehkan untuk mengambil air zamzam dalam jumlah besar di tempat-tempat yang disediakan khusus. Seperti di keran-keran air zamzam yang ada di halaman Masjidil Haram dan Masjid An-Nabawi. Karena memang tempat-tempat tersebut dikhususkan bagi orang yang ingin mengambil dalam jumlah besar, sehingga tidak menganggu jamaah masjid. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah: وأما إذا أخذه من البزابير التي تكون للتروية منها فلا بأس لا بأس أن يغتسل به في الحمام  “Adapun mengambil zamzam dari keran-keran yang memang diperuntukkan untuk menyegarkan badan dengannya, maka tidak mengapa mengambil dalam jumlah besar, kemudian menggunakannya untuk mandi di kamar mandi” (Fatawa Al-Haram Al-Makki, nomor 02b, tahun 1418H). Keempat, kami tidak mendapati keterangan dari kitab Busyra Karim (Syarah Muqaddimah Hadramiyah karya Sa’id bin Muhammad Ba’ali Ba’asyan) yang mengharamkan membawa air zamzam keluar masjid. Namun bisa jadi yang dimaksud adalah perkataan berikut: ويكره غسله من زمزم؛ للخلاف في نجاسة الميت “Dimakruhkan memandikan mayit dengan air zamzam, karena ada khilaf ulama tentang kenajisan badan mayit” (Busyra Karim, hal.450). Dengan argumen, untuk memandikan mayit tentu harus membawa air zamzam keluar masjid. Namun perkataan ini tidak tegas melarang membawa air zamzam keluar masjid. Demikian juga dalam perkataan ini tidak dihukumi haram namun makruh.  Dan andaikan penulis kitab Busyra Karim mengharamkannya pun, ini pendapat yang kurang tepat berdasarkan dalil-dalil yang ada keterangan dari para ulama lain. Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Apakah Jin Bisa Mati, Cara Menghadiahkan Al Fatihah, Contoh Bid'ah Dalam Shalat, Hukum Melukis, Cara Bercipok, Sholat Sunat Tahiyatul Masjid Visited 856 times, 1 visit(s) today Post Views: 606 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, ada yang mengatakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram di Mekkah atau di dalam Masjid An Nabawi di Madinah tidak boleh dibawa keluar atau dibawa ke kamar hotel. Hukumnya haram berdasarkan kitab Busyro Karim. Sehingga kita harus membeli air zamzam dari toko atau supermarket jika ingin minum air zamzam di kamar hotel. Apa benar demikian? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, air zamzam adalah air yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan untuk seluruh kaum Muslimin. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ماءُ زمزمَ لِما شُرِبَ له “Khasiat air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya” (HR. Ibnu Majah no.3062, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan hadits ini menunjukkan bahwa seseorang boleh berdoa apa saja secara umum ketika minum air zamzam. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: معناه : من شربه لحاجة نالها ، وقد جربه العلماء والصالحون لحاجات أخروية ودنيوية ، فنالوها بحمد الله تعالى وفضله “Maknanya: Siapa yang meminumnya untuk suatu kebutuhan, ia akan mendapatkannya. Dan para ulama serta orang shalih banyak yang telah mencobanya, baik untuk kebutuhan akhirat maupun kebutuhan dunia. Dan mereka mendapatkan apa yang diinginkan, bi hamdulillah ta’ala wa fadhlihi” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 3/450). Kedua, para ulama memfatwakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram, atau Masjid An-Nabawi, atau Masjid Quba, semuanya boleh dimanfaatkan oleh kaum Muslimin seluruhnya baik di dalam masjid atau di luar masjid. Dengan syarat tetap mengutamakan orang-orang yang ada di masjid karena mereka yang lebih berhak terhadap air zamzam yang berada di masjid. Dengan kata lain, membawa air zamzam keluar masjid hukumnya boleh namun tidak boleh sampai merugikan dan mengganggu para jama’ah yang ada di masjid yang butuh terhadap air zamzam. Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair (anggota Lajnah Daimah) mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid sekadar kebutuhan. Beliau mengatakan: الأصل أن هذا الماء المبارك -ماء زمزم- الموجود في المسجد الحرام لعموم الناس، وليس لأحد بعينه، ولكن لا يجوز لأحد أن يختص به دون غيره، بل حكمه حكم سائر الناس، فلا يأتي بأوانٍ كثيرة أو بإناء كبير جدًّا يُضيِّق به على الناس، بحيث يُنهي ما في هذه البرادات أو الحافظات من الماء البارد، وإنما يأخذ بقدر حاجته. وما ذكره السائل من أنها قارورة صغيرة أو نحوها فهذا الشيء لا يؤثر على عموم الناس، فلا بأس به “Hukum asalnya air zamzam yang berkah ini, yang berada di dalam Masjidil Haram, diperuntukkan untuk seluruh manusia. Tidak dikhususkan bagi orang tertentu saja. Tidak boleh dikhusus hanya untuk orang-orang tertentu saja. Bahkan berlaku untuk semua orang. Maka tidak boleh seseorang membawa wadah air yang besar-besar untuk mengambil air zamzam sehingga menyulitkan orang-orang yang lain. Seperti membawa termos atau galon-galon yang besar. Hendaknya mengambil air tersebut sesuai kebutuhan. Adapun yang ditanya oleh penanya yaitu membawa air zamzam dengan botol-botol kecil, ini tidak mengganggu orang lain, sehingga tidak mengapa” (Fatwa Web Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair no.24748, https://shkhudheir.com/fatwa/24748). Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid jika sedikit semisal dalam botol, yang tidak diperbolehkan adalah jika menggunakan galon. Beliau mengatakan: “Air zamzam di Masjid An-Nabawi adalah wakaf. Tidak boleh mengambilnya kecuali sesuai dengan ketentuan pengurus masjid. Dan yang saya ketahui adalah bahwa mereka tidak mengizinkan untuk membawa air zamzam dalam jumlah banyak. Dibolehkan jika hanya sekedar menggunakan botol. Adapun mengambil air zamzam dengan galon besar, maka ini tidak boleh walaupun diizinkan oleh petugas penjaga pintu masjid. Karena penjaga pintu masjid tidak memiliki air tersebut. Mereka tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebagian orang mengambil air zamzam bergalon-galon setiap hari. Ini hukumnya haram, karena ini bentuk menganggu hak kaum Muslimin. Tidak boleh dan tidak halal mereka meminum air tersebut” (Sumber: https://youtu.be/lnIMDWom5lY). Dewan Fatwa Islamweb dalam fatwa nomor 73976 mengatakan boleh menggunakan air zamzam di masjid dan membawanya keluar karena air zamzam untuk keperluan kaum Muslimin berdasarkan keterangan dari Imam An-Nawawi, Beliau membawakan hadits: عن عائشةَ أنَّها حملَت ماءَ زمزمَ في القواريرِ وقالت حملَهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الأَداوي والقِرَبِ فكان يصبُّ على المرضَى ويَسقيهِم “Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa beliau membawa air zamzam dalam botol-botol. Beliau berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membawa air zamzam (keluar masjid) untuk mengobati orang dan untuk karib kerabat. Beliau biasa mencipratkan air zamzam pada orang yang sakit dan memberi mereka minum dengannya” (HR. Al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir [3/189]. Al-Bukhari berkata: “Dalam sanadnya terdapat Khalad bin Yazid, perawi yang tidak bisa di-mutaba’ah”). Dan fatwa ulama yang lain, yang menunjukkan bolehnya membawa air zamzam keluar dari masjid selama tidak terlalu berlebihan dan mengganggu kaum Muslimin yang lain. Ketiga, dibolehkan untuk mengambil air zamzam dalam jumlah besar di tempat-tempat yang disediakan khusus. Seperti di keran-keran air zamzam yang ada di halaman Masjidil Haram dan Masjid An-Nabawi. Karena memang tempat-tempat tersebut dikhususkan bagi orang yang ingin mengambil dalam jumlah besar, sehingga tidak menganggu jamaah masjid. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah: وأما إذا أخذه من البزابير التي تكون للتروية منها فلا بأس لا بأس أن يغتسل به في الحمام  “Adapun mengambil zamzam dari keran-keran yang memang diperuntukkan untuk menyegarkan badan dengannya, maka tidak mengapa mengambil dalam jumlah besar, kemudian menggunakannya untuk mandi di kamar mandi” (Fatawa Al-Haram Al-Makki, nomor 02b, tahun 1418H). Keempat, kami tidak mendapati keterangan dari kitab Busyra Karim (Syarah Muqaddimah Hadramiyah karya Sa’id bin Muhammad Ba’ali Ba’asyan) yang mengharamkan membawa air zamzam keluar masjid. Namun bisa jadi yang dimaksud adalah perkataan berikut: ويكره غسله من زمزم؛ للخلاف في نجاسة الميت “Dimakruhkan memandikan mayit dengan air zamzam, karena ada khilaf ulama tentang kenajisan badan mayit” (Busyra Karim, hal.450). Dengan argumen, untuk memandikan mayit tentu harus membawa air zamzam keluar masjid. Namun perkataan ini tidak tegas melarang membawa air zamzam keluar masjid. Demikian juga dalam perkataan ini tidak dihukumi haram namun makruh.  Dan andaikan penulis kitab Busyra Karim mengharamkannya pun, ini pendapat yang kurang tepat berdasarkan dalil-dalil yang ada keterangan dari para ulama lain. Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Apakah Jin Bisa Mati, Cara Menghadiahkan Al Fatihah, Contoh Bid'ah Dalam Shalat, Hukum Melukis, Cara Bercipok, Sholat Sunat Tahiyatul Masjid Visited 856 times, 1 visit(s) today Post Views: 606 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Pengaruh Tertinggal Salat Jamaah dalam Produktifitas Hidup Kita

Di zaman ini, sering kali kita jumpai hampir semua orang memakai dan menggunakan gadget di setiap kegiatan kehidupan keseharian mereka. Bahkan, tak luput pula saat ibadah, baik sebelum maupun sesudah salat. Yang miris adalah setelah salat, mereka langsung melihat gadget. Dan yang membuat teriris adalah saat khotbah Jumat pun banyak yang menyalakan dan memainkan HP/gadget, astaghfirullah. Hal ini menjadi musibah tatkala menjadi suatu kebiasaan, yang merugikan kita dalam aspek kehidupan, bahkan ibadah. Ketika HP/gadget memanggil, lalu pimpinan, atasan dalam pekerjaan memanggil, secepat mungkin kita menanggapi. Bahkan, merespon berlebihan apapun kondisi dan keadaan saat itu. Namun, tatkala Allah ‘Azza Wajalla Yang memiliki segalanya, Yang Maha Besar, dan Maha Segalanya, memangil melalui azan yang berkumandang di setiap sudut-sudut kota maupun desa, insan yang tak merasa bersalah tersebut sengaja datang terlambat. Bahkan, kadangkala sengaja mengakhirkan salat dan sampai pura-pura tidak mendengar suara azan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, إن الإنسان كلما تأخر عن الصف الأول والثاني أو الثالث (أي في الصلاة) ألقى الله في قلبه محبة التأخر في كل عمل صالح والعياذ بالله “Tatkala manusia terlambat dari menempati saf pertama, kedua, atau ketiga (yakni dalam salat), maka Allah buat hatinya suka mengakhirkan semua amal saleh. Wal’iaydzubillah.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 5: 111) Pengaruh yang dikhawatirkan bagi seorang yang terlambat, dan bahkan meninggalkan salat dalam kehidupannya adalah mulai hilang rasa aman dan tentram dalam kehidupannya. Satu contoh, tatkala ia dengan sengaja meninggalkan salat subuh, maka bisa dipastikan aktivitas dia pada hari itu akan terganggu dan akan merusak produktifitas pekerjaan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ ”Barangsiapa yang tidak menjaga salat, maka dia tidak mendapatkan cahaya, tidak mendapatkan burhan (petunjuk), tidak mendapatkan keselamatan, dan di hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad, 2: 169; Ad-Darimi, 2: 301. Hadis ini dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani) Dalam hadis tersebut, banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dan kita renungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwasanya sebagai percontohan orang yang tidak menjaga salatnya, ia akan dikumpulkan berdasarkan golongan mereka, seperti halnya Allah menghukum Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf. Perumpamaan dari penyebutan nama-nama di atas merupakan satu isyarat bagi orang yang meninggalkan salat. Perumpamaan yang pertama, karena seorang sibuk dan mengejar hartanya sampai lupa salat, maka dinisbatkan seperti halnya Qarun. Perumpamaan yang kedua, karena cinta akan jabatan dan kekuasaan, maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan perumpamaannya seperti Fir’aun dan Haman. Mereka melambangkan seorang yang buta akan kekuasaan dan jabatan. Dan perumpamaan yang terakhir atau perumpamaan yang ketiga, yakni manusia yang terlalu sibuk dalam mengejar harta dunia, mengejar harta perdagangan dunianya, dan perniagaannya, dinisbatkan pada nama Ubay bin Khalaf. Mereka itulah nama-nama yang kekal sebagai perumpamaan orang kafir yang telah menyia-nyiakan dan meninggalkan salat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً  إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً ”Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (QS. Maryam: 59-60) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni meninggalkan dan menyia-nyiakan salat. Termasuk di antaranya, terhindar dari tidak memperhatikan syarat sah salat dan rukun salat, tidak khusyuk dalam salat, dan terhindar dari sifat malas dalam melaksanakan ibadah salat. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa, dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Meninggalkan Salat Berjamaah Karena Adanya Kesulitan *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: produktifitassalat jamaah

Pengaruh Tertinggal Salat Jamaah dalam Produktifitas Hidup Kita

Di zaman ini, sering kali kita jumpai hampir semua orang memakai dan menggunakan gadget di setiap kegiatan kehidupan keseharian mereka. Bahkan, tak luput pula saat ibadah, baik sebelum maupun sesudah salat. Yang miris adalah setelah salat, mereka langsung melihat gadget. Dan yang membuat teriris adalah saat khotbah Jumat pun banyak yang menyalakan dan memainkan HP/gadget, astaghfirullah. Hal ini menjadi musibah tatkala menjadi suatu kebiasaan, yang merugikan kita dalam aspek kehidupan, bahkan ibadah. Ketika HP/gadget memanggil, lalu pimpinan, atasan dalam pekerjaan memanggil, secepat mungkin kita menanggapi. Bahkan, merespon berlebihan apapun kondisi dan keadaan saat itu. Namun, tatkala Allah ‘Azza Wajalla Yang memiliki segalanya, Yang Maha Besar, dan Maha Segalanya, memangil melalui azan yang berkumandang di setiap sudut-sudut kota maupun desa, insan yang tak merasa bersalah tersebut sengaja datang terlambat. Bahkan, kadangkala sengaja mengakhirkan salat dan sampai pura-pura tidak mendengar suara azan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, إن الإنسان كلما تأخر عن الصف الأول والثاني أو الثالث (أي في الصلاة) ألقى الله في قلبه محبة التأخر في كل عمل صالح والعياذ بالله “Tatkala manusia terlambat dari menempati saf pertama, kedua, atau ketiga (yakni dalam salat), maka Allah buat hatinya suka mengakhirkan semua amal saleh. Wal’iaydzubillah.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 5: 111) Pengaruh yang dikhawatirkan bagi seorang yang terlambat, dan bahkan meninggalkan salat dalam kehidupannya adalah mulai hilang rasa aman dan tentram dalam kehidupannya. Satu contoh, tatkala ia dengan sengaja meninggalkan salat subuh, maka bisa dipastikan aktivitas dia pada hari itu akan terganggu dan akan merusak produktifitas pekerjaan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ ”Barangsiapa yang tidak menjaga salat, maka dia tidak mendapatkan cahaya, tidak mendapatkan burhan (petunjuk), tidak mendapatkan keselamatan, dan di hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad, 2: 169; Ad-Darimi, 2: 301. Hadis ini dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani) Dalam hadis tersebut, banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dan kita renungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwasanya sebagai percontohan orang yang tidak menjaga salatnya, ia akan dikumpulkan berdasarkan golongan mereka, seperti halnya Allah menghukum Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf. Perumpamaan dari penyebutan nama-nama di atas merupakan satu isyarat bagi orang yang meninggalkan salat. Perumpamaan yang pertama, karena seorang sibuk dan mengejar hartanya sampai lupa salat, maka dinisbatkan seperti halnya Qarun. Perumpamaan yang kedua, karena cinta akan jabatan dan kekuasaan, maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan perumpamaannya seperti Fir’aun dan Haman. Mereka melambangkan seorang yang buta akan kekuasaan dan jabatan. Dan perumpamaan yang terakhir atau perumpamaan yang ketiga, yakni manusia yang terlalu sibuk dalam mengejar harta dunia, mengejar harta perdagangan dunianya, dan perniagaannya, dinisbatkan pada nama Ubay bin Khalaf. Mereka itulah nama-nama yang kekal sebagai perumpamaan orang kafir yang telah menyia-nyiakan dan meninggalkan salat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً  إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً ”Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (QS. Maryam: 59-60) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni meninggalkan dan menyia-nyiakan salat. Termasuk di antaranya, terhindar dari tidak memperhatikan syarat sah salat dan rukun salat, tidak khusyuk dalam salat, dan terhindar dari sifat malas dalam melaksanakan ibadah salat. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa, dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Meninggalkan Salat Berjamaah Karena Adanya Kesulitan *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: produktifitassalat jamaah
Di zaman ini, sering kali kita jumpai hampir semua orang memakai dan menggunakan gadget di setiap kegiatan kehidupan keseharian mereka. Bahkan, tak luput pula saat ibadah, baik sebelum maupun sesudah salat. Yang miris adalah setelah salat, mereka langsung melihat gadget. Dan yang membuat teriris adalah saat khotbah Jumat pun banyak yang menyalakan dan memainkan HP/gadget, astaghfirullah. Hal ini menjadi musibah tatkala menjadi suatu kebiasaan, yang merugikan kita dalam aspek kehidupan, bahkan ibadah. Ketika HP/gadget memanggil, lalu pimpinan, atasan dalam pekerjaan memanggil, secepat mungkin kita menanggapi. Bahkan, merespon berlebihan apapun kondisi dan keadaan saat itu. Namun, tatkala Allah ‘Azza Wajalla Yang memiliki segalanya, Yang Maha Besar, dan Maha Segalanya, memangil melalui azan yang berkumandang di setiap sudut-sudut kota maupun desa, insan yang tak merasa bersalah tersebut sengaja datang terlambat. Bahkan, kadangkala sengaja mengakhirkan salat dan sampai pura-pura tidak mendengar suara azan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, إن الإنسان كلما تأخر عن الصف الأول والثاني أو الثالث (أي في الصلاة) ألقى الله في قلبه محبة التأخر في كل عمل صالح والعياذ بالله “Tatkala manusia terlambat dari menempati saf pertama, kedua, atau ketiga (yakni dalam salat), maka Allah buat hatinya suka mengakhirkan semua amal saleh. Wal’iaydzubillah.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 5: 111) Pengaruh yang dikhawatirkan bagi seorang yang terlambat, dan bahkan meninggalkan salat dalam kehidupannya adalah mulai hilang rasa aman dan tentram dalam kehidupannya. Satu contoh, tatkala ia dengan sengaja meninggalkan salat subuh, maka bisa dipastikan aktivitas dia pada hari itu akan terganggu dan akan merusak produktifitas pekerjaan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ ”Barangsiapa yang tidak menjaga salat, maka dia tidak mendapatkan cahaya, tidak mendapatkan burhan (petunjuk), tidak mendapatkan keselamatan, dan di hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad, 2: 169; Ad-Darimi, 2: 301. Hadis ini dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani) Dalam hadis tersebut, banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dan kita renungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwasanya sebagai percontohan orang yang tidak menjaga salatnya, ia akan dikumpulkan berdasarkan golongan mereka, seperti halnya Allah menghukum Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf. Perumpamaan dari penyebutan nama-nama di atas merupakan satu isyarat bagi orang yang meninggalkan salat. Perumpamaan yang pertama, karena seorang sibuk dan mengejar hartanya sampai lupa salat, maka dinisbatkan seperti halnya Qarun. Perumpamaan yang kedua, karena cinta akan jabatan dan kekuasaan, maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan perumpamaannya seperti Fir’aun dan Haman. Mereka melambangkan seorang yang buta akan kekuasaan dan jabatan. Dan perumpamaan yang terakhir atau perumpamaan yang ketiga, yakni manusia yang terlalu sibuk dalam mengejar harta dunia, mengejar harta perdagangan dunianya, dan perniagaannya, dinisbatkan pada nama Ubay bin Khalaf. Mereka itulah nama-nama yang kekal sebagai perumpamaan orang kafir yang telah menyia-nyiakan dan meninggalkan salat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً  إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً ”Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (QS. Maryam: 59-60) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni meninggalkan dan menyia-nyiakan salat. Termasuk di antaranya, terhindar dari tidak memperhatikan syarat sah salat dan rukun salat, tidak khusyuk dalam salat, dan terhindar dari sifat malas dalam melaksanakan ibadah salat. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa, dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Meninggalkan Salat Berjamaah Karena Adanya Kesulitan *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: produktifitassalat jamaah


Di zaman ini, sering kali kita jumpai hampir semua orang memakai dan menggunakan gadget di setiap kegiatan kehidupan keseharian mereka. Bahkan, tak luput pula saat ibadah, baik sebelum maupun sesudah salat. Yang miris adalah setelah salat, mereka langsung melihat gadget. Dan yang membuat teriris adalah saat khotbah Jumat pun banyak yang menyalakan dan memainkan HP/gadget, astaghfirullah. Hal ini menjadi musibah tatkala menjadi suatu kebiasaan, yang merugikan kita dalam aspek kehidupan, bahkan ibadah. Ketika HP/gadget memanggil, lalu pimpinan, atasan dalam pekerjaan memanggil, secepat mungkin kita menanggapi. Bahkan, merespon berlebihan apapun kondisi dan keadaan saat itu. Namun, tatkala Allah ‘Azza Wajalla Yang memiliki segalanya, Yang Maha Besar, dan Maha Segalanya, memangil melalui azan yang berkumandang di setiap sudut-sudut kota maupun desa, insan yang tak merasa bersalah tersebut sengaja datang terlambat. Bahkan, kadangkala sengaja mengakhirkan salat dan sampai pura-pura tidak mendengar suara azan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, إن الإنسان كلما تأخر عن الصف الأول والثاني أو الثالث (أي في الصلاة) ألقى الله في قلبه محبة التأخر في كل عمل صالح والعياذ بالله “Tatkala manusia terlambat dari menempati saf pertama, kedua, atau ketiga (yakni dalam salat), maka Allah buat hatinya suka mengakhirkan semua amal saleh. Wal’iaydzubillah.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 5: 111) Pengaruh yang dikhawatirkan bagi seorang yang terlambat, dan bahkan meninggalkan salat dalam kehidupannya adalah mulai hilang rasa aman dan tentram dalam kehidupannya. Satu contoh, tatkala ia dengan sengaja meninggalkan salat subuh, maka bisa dipastikan aktivitas dia pada hari itu akan terganggu dan akan merusak produktifitas pekerjaan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ ”Barangsiapa yang tidak menjaga salat, maka dia tidak mendapatkan cahaya, tidak mendapatkan burhan (petunjuk), tidak mendapatkan keselamatan, dan di hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad, 2: 169; Ad-Darimi, 2: 301. Hadis ini dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani) Dalam hadis tersebut, banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dan kita renungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwasanya sebagai percontohan orang yang tidak menjaga salatnya, ia akan dikumpulkan berdasarkan golongan mereka, seperti halnya Allah menghukum Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf. Perumpamaan dari penyebutan nama-nama di atas merupakan satu isyarat bagi orang yang meninggalkan salat. Perumpamaan yang pertama, karena seorang sibuk dan mengejar hartanya sampai lupa salat, maka dinisbatkan seperti halnya Qarun. Perumpamaan yang kedua, karena cinta akan jabatan dan kekuasaan, maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan perumpamaannya seperti Fir’aun dan Haman. Mereka melambangkan seorang yang buta akan kekuasaan dan jabatan. Dan perumpamaan yang terakhir atau perumpamaan yang ketiga, yakni manusia yang terlalu sibuk dalam mengejar harta dunia, mengejar harta perdagangan dunianya, dan perniagaannya, dinisbatkan pada nama Ubay bin Khalaf. Mereka itulah nama-nama yang kekal sebagai perumpamaan orang kafir yang telah menyia-nyiakan dan meninggalkan salat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً  إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً ”Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (QS. Maryam: 59-60) Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni meninggalkan dan menyia-nyiakan salat. Termasuk di antaranya, terhindar dari tidak memperhatikan syarat sah salat dan rukun salat, tidak khusyuk dalam salat, dan terhindar dari sifat malas dalam melaksanakan ibadah salat. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa, dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Meninggalkan Salat Berjamaah Karena Adanya Kesulitan *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: produktifitassalat jamaah

Hadis: Apakah Sedekah Harus Dilakukan secara Sembunyi-sembunyi?

Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Terdapat tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari ketika tidak ada naungan, kecuali naungannya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan salah satunya, yaitu: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ “Seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah dan dia menyembunyikan sedekahnya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 1031) Faedah hadis Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuat suatu perumpamaan (majaz). Beliau permisalkan satu orang dengan tangan kanan, dan orang lain dengan satu tangan yang lain (tangan kiri). Maksudnya untuk menekankan betapa perbuatan sedekah tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sampai-sampai, jika ada seseorang bersedekah, maka orang yang ada di sebelah kirinya itu tidak mengetahui dan tidak menyadarinya. Terdapat satu permasalahan yang ingin penulis bahas berkaitan dengan hadis di atas, yaitu apakah sedekah perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Hadis di atas merupakan dalil tentang keutamaan sedekah dan juga motivasi untuk menyembunyikannya di hadapan manusia, baik sedekah itu jumlahnya sedikit, maupun sedekah dalam jumlah besar. Dengan menyembunyikan sedekah, hal itu lebih dekat dengan keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Demikian pula, dengan menyembunyikan sedekah itu lebih menghormati dan memuliakan perasaan si fakir miskin penerima sedekah. Kebanyakan penerima sedekah (yang umumnya adalah fakir miskin), tentu lebih menyukai jika pemberian sedekah itu tidak ditampakkan atau diumumkan di hadapan manusia, karena bisa jadi hal itu akan menyebabkan orang lain akan merendahkan atau menghina dirinya. Atau orang lain bisa jadi menuduhnya karena dia masih mau menerima sedekah, padahal dia orang kaya berkecukupan (menurut anggapan orang yang menuduh), atau semacam itu. Mayoritas ulama mengkhususkan hal ini dengan sedekah sunah. Adapun sedekah wajib (yaitu zakat), maka lebih utama untuk ditampakkan. Akan tetapi, wallahu Ta’ala a’alam, yang tampaknya lebih mendekati adalah kondisi setiap orang itu berbeda-beda. Jika orang yang bersedekah itu merupakan orang yang diteladani atau diikuti oleh masyarakat, sehingga jika masyarakat melihat orang tersebut bersedekah, mereka pun akan termotivasi untuk ikut bersedekah; maka dalam kondisi ini, yang lebih baik adalah menampakkan sedekah tersebut supaya masyarakat kaum muslimin akan mengikutinya. Hal ini bisa kita saksikan di berbagai jalan kebaikan. Ketika ada orang yang diundang untuk bersedekah, maka orang-orang pun akan ikut bersedekah. Terwujudlah faedah lainnya, yaitu semakin nampaklah sunah dan juga pahala sebagai orang yang diteladani. Akan tetapi, hal ini tentu saja bagi orang-orang yang hatinya kuat, niatnya baik (bersih), dan aman dari penyakit riya’. Adapun orang-orang yang lebih lemah hatinya, maka tentu saja menyembunyikan sedekah, itulah yang lebih utama untuk menjaga dirinya dari riya’ dan niat yang tidak benar. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan keutamaan menyembunyikan sedekah. Dan hal itu lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Kecuali jika dengan menampakkannya ada maslahat tertentu, maka hendaklah ditampakkan. Misalnya, menampakkan sedekah dengan tujuan agar diikuti oleh manusia, atau agar masyarakat mengetahui bahwa orang yang diberi sedekah itu sangat membutuhkan, sehingga orang-orang pun kemudian ikut bersedekah untuknya ketika melihat orang tersebut bersedekah untuknya atau untuk rumah itu. Masyarakat bisa mengetahui bahwa orang ini sangat membutuhkan, lalu mereka pun ikut bersedekah untuknya dan meneladani orang yang bersedekah pertama kali tadi.” (Tashilul Ilmam, 3: 149) Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Bersedekah Secara Rahasia *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 467-471). Tags: Sedekah

Hadis: Apakah Sedekah Harus Dilakukan secara Sembunyi-sembunyi?

Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Terdapat tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari ketika tidak ada naungan, kecuali naungannya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan salah satunya, yaitu: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ “Seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah dan dia menyembunyikan sedekahnya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 1031) Faedah hadis Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuat suatu perumpamaan (majaz). Beliau permisalkan satu orang dengan tangan kanan, dan orang lain dengan satu tangan yang lain (tangan kiri). Maksudnya untuk menekankan betapa perbuatan sedekah tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sampai-sampai, jika ada seseorang bersedekah, maka orang yang ada di sebelah kirinya itu tidak mengetahui dan tidak menyadarinya. Terdapat satu permasalahan yang ingin penulis bahas berkaitan dengan hadis di atas, yaitu apakah sedekah perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Hadis di atas merupakan dalil tentang keutamaan sedekah dan juga motivasi untuk menyembunyikannya di hadapan manusia, baik sedekah itu jumlahnya sedikit, maupun sedekah dalam jumlah besar. Dengan menyembunyikan sedekah, hal itu lebih dekat dengan keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Demikian pula, dengan menyembunyikan sedekah itu lebih menghormati dan memuliakan perasaan si fakir miskin penerima sedekah. Kebanyakan penerima sedekah (yang umumnya adalah fakir miskin), tentu lebih menyukai jika pemberian sedekah itu tidak ditampakkan atau diumumkan di hadapan manusia, karena bisa jadi hal itu akan menyebabkan orang lain akan merendahkan atau menghina dirinya. Atau orang lain bisa jadi menuduhnya karena dia masih mau menerima sedekah, padahal dia orang kaya berkecukupan (menurut anggapan orang yang menuduh), atau semacam itu. Mayoritas ulama mengkhususkan hal ini dengan sedekah sunah. Adapun sedekah wajib (yaitu zakat), maka lebih utama untuk ditampakkan. Akan tetapi, wallahu Ta’ala a’alam, yang tampaknya lebih mendekati adalah kondisi setiap orang itu berbeda-beda. Jika orang yang bersedekah itu merupakan orang yang diteladani atau diikuti oleh masyarakat, sehingga jika masyarakat melihat orang tersebut bersedekah, mereka pun akan termotivasi untuk ikut bersedekah; maka dalam kondisi ini, yang lebih baik adalah menampakkan sedekah tersebut supaya masyarakat kaum muslimin akan mengikutinya. Hal ini bisa kita saksikan di berbagai jalan kebaikan. Ketika ada orang yang diundang untuk bersedekah, maka orang-orang pun akan ikut bersedekah. Terwujudlah faedah lainnya, yaitu semakin nampaklah sunah dan juga pahala sebagai orang yang diteladani. Akan tetapi, hal ini tentu saja bagi orang-orang yang hatinya kuat, niatnya baik (bersih), dan aman dari penyakit riya’. Adapun orang-orang yang lebih lemah hatinya, maka tentu saja menyembunyikan sedekah, itulah yang lebih utama untuk menjaga dirinya dari riya’ dan niat yang tidak benar. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan keutamaan menyembunyikan sedekah. Dan hal itu lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Kecuali jika dengan menampakkannya ada maslahat tertentu, maka hendaklah ditampakkan. Misalnya, menampakkan sedekah dengan tujuan agar diikuti oleh manusia, atau agar masyarakat mengetahui bahwa orang yang diberi sedekah itu sangat membutuhkan, sehingga orang-orang pun kemudian ikut bersedekah untuknya ketika melihat orang tersebut bersedekah untuknya atau untuk rumah itu. Masyarakat bisa mengetahui bahwa orang ini sangat membutuhkan, lalu mereka pun ikut bersedekah untuknya dan meneladani orang yang bersedekah pertama kali tadi.” (Tashilul Ilmam, 3: 149) Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Bersedekah Secara Rahasia *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 467-471). Tags: Sedekah
Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Terdapat tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari ketika tidak ada naungan, kecuali naungannya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan salah satunya, yaitu: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ “Seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah dan dia menyembunyikan sedekahnya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 1031) Faedah hadis Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuat suatu perumpamaan (majaz). Beliau permisalkan satu orang dengan tangan kanan, dan orang lain dengan satu tangan yang lain (tangan kiri). Maksudnya untuk menekankan betapa perbuatan sedekah tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sampai-sampai, jika ada seseorang bersedekah, maka orang yang ada di sebelah kirinya itu tidak mengetahui dan tidak menyadarinya. Terdapat satu permasalahan yang ingin penulis bahas berkaitan dengan hadis di atas, yaitu apakah sedekah perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Hadis di atas merupakan dalil tentang keutamaan sedekah dan juga motivasi untuk menyembunyikannya di hadapan manusia, baik sedekah itu jumlahnya sedikit, maupun sedekah dalam jumlah besar. Dengan menyembunyikan sedekah, hal itu lebih dekat dengan keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Demikian pula, dengan menyembunyikan sedekah itu lebih menghormati dan memuliakan perasaan si fakir miskin penerima sedekah. Kebanyakan penerima sedekah (yang umumnya adalah fakir miskin), tentu lebih menyukai jika pemberian sedekah itu tidak ditampakkan atau diumumkan di hadapan manusia, karena bisa jadi hal itu akan menyebabkan orang lain akan merendahkan atau menghina dirinya. Atau orang lain bisa jadi menuduhnya karena dia masih mau menerima sedekah, padahal dia orang kaya berkecukupan (menurut anggapan orang yang menuduh), atau semacam itu. Mayoritas ulama mengkhususkan hal ini dengan sedekah sunah. Adapun sedekah wajib (yaitu zakat), maka lebih utama untuk ditampakkan. Akan tetapi, wallahu Ta’ala a’alam, yang tampaknya lebih mendekati adalah kondisi setiap orang itu berbeda-beda. Jika orang yang bersedekah itu merupakan orang yang diteladani atau diikuti oleh masyarakat, sehingga jika masyarakat melihat orang tersebut bersedekah, mereka pun akan termotivasi untuk ikut bersedekah; maka dalam kondisi ini, yang lebih baik adalah menampakkan sedekah tersebut supaya masyarakat kaum muslimin akan mengikutinya. Hal ini bisa kita saksikan di berbagai jalan kebaikan. Ketika ada orang yang diundang untuk bersedekah, maka orang-orang pun akan ikut bersedekah. Terwujudlah faedah lainnya, yaitu semakin nampaklah sunah dan juga pahala sebagai orang yang diteladani. Akan tetapi, hal ini tentu saja bagi orang-orang yang hatinya kuat, niatnya baik (bersih), dan aman dari penyakit riya’. Adapun orang-orang yang lebih lemah hatinya, maka tentu saja menyembunyikan sedekah, itulah yang lebih utama untuk menjaga dirinya dari riya’ dan niat yang tidak benar. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan keutamaan menyembunyikan sedekah. Dan hal itu lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Kecuali jika dengan menampakkannya ada maslahat tertentu, maka hendaklah ditampakkan. Misalnya, menampakkan sedekah dengan tujuan agar diikuti oleh manusia, atau agar masyarakat mengetahui bahwa orang yang diberi sedekah itu sangat membutuhkan, sehingga orang-orang pun kemudian ikut bersedekah untuknya ketika melihat orang tersebut bersedekah untuknya atau untuk rumah itu. Masyarakat bisa mengetahui bahwa orang ini sangat membutuhkan, lalu mereka pun ikut bersedekah untuknya dan meneladani orang yang bersedekah pertama kali tadi.” (Tashilul Ilmam, 3: 149) Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Bersedekah Secara Rahasia *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 467-471). Tags: Sedekah


Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Terdapat tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari ketika tidak ada naungan, kecuali naungannya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan salah satunya, yaitu: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ “Seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah dan dia menyembunyikan sedekahnya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 1031) Faedah hadis Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuat suatu perumpamaan (majaz). Beliau permisalkan satu orang dengan tangan kanan, dan orang lain dengan satu tangan yang lain (tangan kiri). Maksudnya untuk menekankan betapa perbuatan sedekah tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sampai-sampai, jika ada seseorang bersedekah, maka orang yang ada di sebelah kirinya itu tidak mengetahui dan tidak menyadarinya. Terdapat satu permasalahan yang ingin penulis bahas berkaitan dengan hadis di atas, yaitu apakah sedekah perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Hadis di atas merupakan dalil tentang keutamaan sedekah dan juga motivasi untuk menyembunyikannya di hadapan manusia, baik sedekah itu jumlahnya sedikit, maupun sedekah dalam jumlah besar. Dengan menyembunyikan sedekah, hal itu lebih dekat dengan keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Demikian pula, dengan menyembunyikan sedekah itu lebih menghormati dan memuliakan perasaan si fakir miskin penerima sedekah. Kebanyakan penerima sedekah (yang umumnya adalah fakir miskin), tentu lebih menyukai jika pemberian sedekah itu tidak ditampakkan atau diumumkan di hadapan manusia, karena bisa jadi hal itu akan menyebabkan orang lain akan merendahkan atau menghina dirinya. Atau orang lain bisa jadi menuduhnya karena dia masih mau menerima sedekah, padahal dia orang kaya berkecukupan (menurut anggapan orang yang menuduh), atau semacam itu. Mayoritas ulama mengkhususkan hal ini dengan sedekah sunah. Adapun sedekah wajib (yaitu zakat), maka lebih utama untuk ditampakkan. Akan tetapi, wallahu Ta’ala a’alam, yang tampaknya lebih mendekati adalah kondisi setiap orang itu berbeda-beda. Jika orang yang bersedekah itu merupakan orang yang diteladani atau diikuti oleh masyarakat, sehingga jika masyarakat melihat orang tersebut bersedekah, mereka pun akan termotivasi untuk ikut bersedekah; maka dalam kondisi ini, yang lebih baik adalah menampakkan sedekah tersebut supaya masyarakat kaum muslimin akan mengikutinya. Hal ini bisa kita saksikan di berbagai jalan kebaikan. Ketika ada orang yang diundang untuk bersedekah, maka orang-orang pun akan ikut bersedekah. Terwujudlah faedah lainnya, yaitu semakin nampaklah sunah dan juga pahala sebagai orang yang diteladani. Akan tetapi, hal ini tentu saja bagi orang-orang yang hatinya kuat, niatnya baik (bersih), dan aman dari penyakit riya’. Adapun orang-orang yang lebih lemah hatinya, maka tentu saja menyembunyikan sedekah, itulah yang lebih utama untuk menjaga dirinya dari riya’ dan niat yang tidak benar. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan keutamaan menyembunyikan sedekah. Dan hal itu lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih menjauhkan diri dari riya’. Kecuali jika dengan menampakkannya ada maslahat tertentu, maka hendaklah ditampakkan. Misalnya, menampakkan sedekah dengan tujuan agar diikuti oleh manusia, atau agar masyarakat mengetahui bahwa orang yang diberi sedekah itu sangat membutuhkan, sehingga orang-orang pun kemudian ikut bersedekah untuknya ketika melihat orang tersebut bersedekah untuknya atau untuk rumah itu. Masyarakat bisa mengetahui bahwa orang ini sangat membutuhkan, lalu mereka pun ikut bersedekah untuknya dan meneladani orang yang bersedekah pertama kali tadi.” (Tashilul Ilmam, 3: 149) Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Bersedekah Secara Rahasia *** @Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 467-471). Tags: Sedekah

Apakah setelah Cerai Langsung Pisah Rumah?

Pertanyaan: Ustadz, jika suami-istri bercerai apakah mereka langsung pisah rumah saat itu juga? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Ini adalah sebuah salah kaprah yang beredar di masyarakat. Yaitu anggapan bahwa jika suami-istri bercerai, mereka langsung pisah rumah. Ini kekeliruan. Karena setelah cerai, ada yang disebut dengan masa idah. Allah ta’ala berfirman, والْمُطَـلَّقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَـلَـثَـةَ قُرُوْءٍۗ “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya sampai tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228). Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan: أي يعتددن بترك الزينة والطيب والنقلة على فراق أزواجهن “Maksudnya, ia menghabiskan masa idah dengan tidak berdandan, tidak pakai minyak wangi, dan tidak pindah untuk berpisah dari rumah suaminya” (Tafsir Al-Baghawi). Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: أجمعت الأمَّةُ على وجوبِ العِدَّةِ في الجُملةِ “Ulama sepakat wajibnya menjalani masa idah secara umum” (Al-Mughni, 8/96). Ini menunjukkan bahwa wanita yang dicerai, tidak langsung berpisah dengan suaminya. Bahkan ia wajib tinggal bersama suaminya sampai habis masa idah. Dan selama masa idah, jika talaknya talak 1 atau talak 2, maka masih wajib dinafkahi oleh suaminya sampai habis masa idah. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: عِدَّةُ الرَّجعيَّةِ لأجْلِ الزَّوجِ، وللمَرأةِ فيها النَّفَقةُ والسُّكنى باتِّفاقِ المُسلِمينَ “Idah untuk wanita yang ditalak raj’i (talak 1 atau 2) dari sang suami, maka sang istri tetap punya hak nafkah dan tempat tinggal berdasarkan kesepakatan ulama” (Zadul Ma’ad, 5/598). Demikian dalam masa idah, sang wanita yang dicerai statusnya masih istri yang sah. Boleh melihat auratnya, boleh berduaan, boleh bersentuhan, dan seterusnya. Adapun bagi yang ditalak ba’in atau talak 3, maka sudah tidak ada lagi hak nafkah, tidak ada kewajiban tempat tinggal dan sudah tidak lagi berstatus istri. Tidak boleh lagi melihat auratnya, tidak boleh berduaan, tidak boleh bersentuhan, dan seterusnya. Tentang jangka waktu masa idah, disebutkan dalam ayat di atas adalah tiga quru’. Ini adalah idah bagi wanita yang dicerai dalam keadaan tidak sedang hamil. Tiga quru’ dimaknai oleh jumhur ulama salaf dengan tiga kali haid. Artinya, ketika datang haid yang ketiga, sudah habis masa idah dan sudah tidak lagi wajib tinggal bersama dan tidak wajib lagi bagi sang suami untuk menafkahi istrinya. Pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Sebagian ulama memaknai quru’ adalah suci dari haid. Sehingga ketika datang suci dari haid ketiga, baru habis masa idah.  Adapun masa idah bagi wanita yang sudah tidak lagi haid dan wanita yang dicerai dalam keadaan hamil disebutkan dalam ayat berikut ini: وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ “Wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istri kalian, jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya), maka masa idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid. Sementara wanita yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq: 4). Hikmah adanya idah di antaranya: Memberikan kesempatan bagi sang suami untuk rujuk dengan istrinya tanpa kesulitan, jika talaknya talak 1 atau talak 2. Memastikan kosongnya rahim, dalam rangka untuk menjaga nasab agar tidak tercampur. Agar istri bisa ikut berkabung bersama keluarga suami dan memenuhi hak suami yang meninggal, jika idahnya dari suami yang wafat (Minhajus Muslim, hal. 331) Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alaimin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijelaskan oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tanya Jawab Ustadz Online, Hukum Istri Mengucapkan Cerai, Meminta Jodoh Kepada Allah, Kapan Bacaan Al Fatihah Dikeraskan Oleh Imam, Menjilat Kemaluan Suami Istri, Cara Shalat Berbaring Visited 166 times, 1 visit(s) today Post Views: 614 QRIS donasi Yufid

Apakah setelah Cerai Langsung Pisah Rumah?

Pertanyaan: Ustadz, jika suami-istri bercerai apakah mereka langsung pisah rumah saat itu juga? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Ini adalah sebuah salah kaprah yang beredar di masyarakat. Yaitu anggapan bahwa jika suami-istri bercerai, mereka langsung pisah rumah. Ini kekeliruan. Karena setelah cerai, ada yang disebut dengan masa idah. Allah ta’ala berfirman, والْمُطَـلَّقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَـلَـثَـةَ قُرُوْءٍۗ “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya sampai tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228). Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan: أي يعتددن بترك الزينة والطيب والنقلة على فراق أزواجهن “Maksudnya, ia menghabiskan masa idah dengan tidak berdandan, tidak pakai minyak wangi, dan tidak pindah untuk berpisah dari rumah suaminya” (Tafsir Al-Baghawi). Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: أجمعت الأمَّةُ على وجوبِ العِدَّةِ في الجُملةِ “Ulama sepakat wajibnya menjalani masa idah secara umum” (Al-Mughni, 8/96). Ini menunjukkan bahwa wanita yang dicerai, tidak langsung berpisah dengan suaminya. Bahkan ia wajib tinggal bersama suaminya sampai habis masa idah. Dan selama masa idah, jika talaknya talak 1 atau talak 2, maka masih wajib dinafkahi oleh suaminya sampai habis masa idah. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: عِدَّةُ الرَّجعيَّةِ لأجْلِ الزَّوجِ، وللمَرأةِ فيها النَّفَقةُ والسُّكنى باتِّفاقِ المُسلِمينَ “Idah untuk wanita yang ditalak raj’i (talak 1 atau 2) dari sang suami, maka sang istri tetap punya hak nafkah dan tempat tinggal berdasarkan kesepakatan ulama” (Zadul Ma’ad, 5/598). Demikian dalam masa idah, sang wanita yang dicerai statusnya masih istri yang sah. Boleh melihat auratnya, boleh berduaan, boleh bersentuhan, dan seterusnya. Adapun bagi yang ditalak ba’in atau talak 3, maka sudah tidak ada lagi hak nafkah, tidak ada kewajiban tempat tinggal dan sudah tidak lagi berstatus istri. Tidak boleh lagi melihat auratnya, tidak boleh berduaan, tidak boleh bersentuhan, dan seterusnya. Tentang jangka waktu masa idah, disebutkan dalam ayat di atas adalah tiga quru’. Ini adalah idah bagi wanita yang dicerai dalam keadaan tidak sedang hamil. Tiga quru’ dimaknai oleh jumhur ulama salaf dengan tiga kali haid. Artinya, ketika datang haid yang ketiga, sudah habis masa idah dan sudah tidak lagi wajib tinggal bersama dan tidak wajib lagi bagi sang suami untuk menafkahi istrinya. Pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Sebagian ulama memaknai quru’ adalah suci dari haid. Sehingga ketika datang suci dari haid ketiga, baru habis masa idah.  Adapun masa idah bagi wanita yang sudah tidak lagi haid dan wanita yang dicerai dalam keadaan hamil disebutkan dalam ayat berikut ini: وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ “Wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istri kalian, jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya), maka masa idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid. Sementara wanita yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq: 4). Hikmah adanya idah di antaranya: Memberikan kesempatan bagi sang suami untuk rujuk dengan istrinya tanpa kesulitan, jika talaknya talak 1 atau talak 2. Memastikan kosongnya rahim, dalam rangka untuk menjaga nasab agar tidak tercampur. Agar istri bisa ikut berkabung bersama keluarga suami dan memenuhi hak suami yang meninggal, jika idahnya dari suami yang wafat (Minhajus Muslim, hal. 331) Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alaimin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijelaskan oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tanya Jawab Ustadz Online, Hukum Istri Mengucapkan Cerai, Meminta Jodoh Kepada Allah, Kapan Bacaan Al Fatihah Dikeraskan Oleh Imam, Menjilat Kemaluan Suami Istri, Cara Shalat Berbaring Visited 166 times, 1 visit(s) today Post Views: 614 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, jika suami-istri bercerai apakah mereka langsung pisah rumah saat itu juga? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Ini adalah sebuah salah kaprah yang beredar di masyarakat. Yaitu anggapan bahwa jika suami-istri bercerai, mereka langsung pisah rumah. Ini kekeliruan. Karena setelah cerai, ada yang disebut dengan masa idah. Allah ta’ala berfirman, والْمُطَـلَّقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَـلَـثَـةَ قُرُوْءٍۗ “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya sampai tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228). Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan: أي يعتددن بترك الزينة والطيب والنقلة على فراق أزواجهن “Maksudnya, ia menghabiskan masa idah dengan tidak berdandan, tidak pakai minyak wangi, dan tidak pindah untuk berpisah dari rumah suaminya” (Tafsir Al-Baghawi). Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: أجمعت الأمَّةُ على وجوبِ العِدَّةِ في الجُملةِ “Ulama sepakat wajibnya menjalani masa idah secara umum” (Al-Mughni, 8/96). Ini menunjukkan bahwa wanita yang dicerai, tidak langsung berpisah dengan suaminya. Bahkan ia wajib tinggal bersama suaminya sampai habis masa idah. Dan selama masa idah, jika talaknya talak 1 atau talak 2, maka masih wajib dinafkahi oleh suaminya sampai habis masa idah. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: عِدَّةُ الرَّجعيَّةِ لأجْلِ الزَّوجِ، وللمَرأةِ فيها النَّفَقةُ والسُّكنى باتِّفاقِ المُسلِمينَ “Idah untuk wanita yang ditalak raj’i (talak 1 atau 2) dari sang suami, maka sang istri tetap punya hak nafkah dan tempat tinggal berdasarkan kesepakatan ulama” (Zadul Ma’ad, 5/598). Demikian dalam masa idah, sang wanita yang dicerai statusnya masih istri yang sah. Boleh melihat auratnya, boleh berduaan, boleh bersentuhan, dan seterusnya. Adapun bagi yang ditalak ba’in atau talak 3, maka sudah tidak ada lagi hak nafkah, tidak ada kewajiban tempat tinggal dan sudah tidak lagi berstatus istri. Tidak boleh lagi melihat auratnya, tidak boleh berduaan, tidak boleh bersentuhan, dan seterusnya. Tentang jangka waktu masa idah, disebutkan dalam ayat di atas adalah tiga quru’. Ini adalah idah bagi wanita yang dicerai dalam keadaan tidak sedang hamil. Tiga quru’ dimaknai oleh jumhur ulama salaf dengan tiga kali haid. Artinya, ketika datang haid yang ketiga, sudah habis masa idah dan sudah tidak lagi wajib tinggal bersama dan tidak wajib lagi bagi sang suami untuk menafkahi istrinya. Pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Sebagian ulama memaknai quru’ adalah suci dari haid. Sehingga ketika datang suci dari haid ketiga, baru habis masa idah.  Adapun masa idah bagi wanita yang sudah tidak lagi haid dan wanita yang dicerai dalam keadaan hamil disebutkan dalam ayat berikut ini: وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ “Wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istri kalian, jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya), maka masa idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid. Sementara wanita yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq: 4). Hikmah adanya idah di antaranya: Memberikan kesempatan bagi sang suami untuk rujuk dengan istrinya tanpa kesulitan, jika talaknya talak 1 atau talak 2. Memastikan kosongnya rahim, dalam rangka untuk menjaga nasab agar tidak tercampur. Agar istri bisa ikut berkabung bersama keluarga suami dan memenuhi hak suami yang meninggal, jika idahnya dari suami yang wafat (Minhajus Muslim, hal. 331) Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alaimin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijelaskan oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tanya Jawab Ustadz Online, Hukum Istri Mengucapkan Cerai, Meminta Jodoh Kepada Allah, Kapan Bacaan Al Fatihah Dikeraskan Oleh Imam, Menjilat Kemaluan Suami Istri, Cara Shalat Berbaring Visited 166 times, 1 visit(s) today Post Views: 614 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, jika suami-istri bercerai apakah mereka langsung pisah rumah saat itu juga? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Ini adalah sebuah salah kaprah yang beredar di masyarakat. Yaitu anggapan bahwa jika suami-istri bercerai, mereka langsung pisah rumah. Ini kekeliruan. Karena setelah cerai, ada yang disebut dengan masa idah. Allah ta’ala berfirman, والْمُطَـلَّقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَـلَـثَـةَ قُرُوْءٍۗ “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya sampai tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228). Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan: أي يعتددن بترك الزينة والطيب والنقلة على فراق أزواجهن “Maksudnya, ia menghabiskan masa idah dengan tidak berdandan, tidak pakai minyak wangi, dan tidak pindah untuk berpisah dari rumah suaminya” (Tafsir Al-Baghawi). Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: أجمعت الأمَّةُ على وجوبِ العِدَّةِ في الجُملةِ “Ulama sepakat wajibnya menjalani masa idah secara umum” (Al-Mughni, 8/96). Ini menunjukkan bahwa wanita yang dicerai, tidak langsung berpisah dengan suaminya. Bahkan ia wajib tinggal bersama suaminya sampai habis masa idah. Dan selama masa idah, jika talaknya talak 1 atau talak 2, maka masih wajib dinafkahi oleh suaminya sampai habis masa idah. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: عِدَّةُ الرَّجعيَّةِ لأجْلِ الزَّوجِ، وللمَرأةِ فيها النَّفَقةُ والسُّكنى باتِّفاقِ المُسلِمينَ “Idah untuk wanita yang ditalak raj’i (talak 1 atau 2) dari sang suami, maka sang istri tetap punya hak nafkah dan tempat tinggal berdasarkan kesepakatan ulama” (Zadul Ma’ad, 5/598). Demikian dalam masa idah, sang wanita yang dicerai statusnya masih istri yang sah. Boleh melihat auratnya, boleh berduaan, boleh bersentuhan, dan seterusnya. Adapun bagi yang ditalak ba’in atau talak 3, maka sudah tidak ada lagi hak nafkah, tidak ada kewajiban tempat tinggal dan sudah tidak lagi berstatus istri. Tidak boleh lagi melihat auratnya, tidak boleh berduaan, tidak boleh bersentuhan, dan seterusnya. Tentang jangka waktu masa idah, disebutkan dalam ayat di atas adalah tiga quru’. Ini adalah idah bagi wanita yang dicerai dalam keadaan tidak sedang hamil. Tiga quru’ dimaknai oleh jumhur ulama salaf dengan tiga kali haid. Artinya, ketika datang haid yang ketiga, sudah habis masa idah dan sudah tidak lagi wajib tinggal bersama dan tidak wajib lagi bagi sang suami untuk menafkahi istrinya. Pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Sebagian ulama memaknai quru’ adalah suci dari haid. Sehingga ketika datang suci dari haid ketiga, baru habis masa idah.  Adapun masa idah bagi wanita yang sudah tidak lagi haid dan wanita yang dicerai dalam keadaan hamil disebutkan dalam ayat berikut ini: وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ “Wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istri kalian, jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya), maka masa idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid. Sementara wanita yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq: 4). Hikmah adanya idah di antaranya: Memberikan kesempatan bagi sang suami untuk rujuk dengan istrinya tanpa kesulitan, jika talaknya talak 1 atau talak 2. Memastikan kosongnya rahim, dalam rangka untuk menjaga nasab agar tidak tercampur. Agar istri bisa ikut berkabung bersama keluarga suami dan memenuhi hak suami yang meninggal, jika idahnya dari suami yang wafat (Minhajus Muslim, hal. 331) Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alaimin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijelaskan oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tanya Jawab Ustadz Online, Hukum Istri Mengucapkan Cerai, Meminta Jodoh Kepada Allah, Kapan Bacaan Al Fatihah Dikeraskan Oleh Imam, Menjilat Kemaluan Suami Istri, Cara Shalat Berbaring Visited 166 times, 1 visit(s) today Post Views: 614 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Tragedi Gaza dalam Sorotan

Daftar Isi Toggle Sikap pemerintah IndonesiaPerhatian para ulamaTumbuhkan kepedulianJalan menuju kejayaan Bismillah. Sebulan lebih, rakyat Gaza mendapatkan gempuran luar biasa dari militer Israel (baca: Yahudi) hingga menewaskan ribuan warga sipil tak bersalah, seperti anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua. Sekolah, pemukiman penduduk, tempat ibadah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum dihancurkan dengan dalih untuk memburu teroris. Berbagai negara di dunia, terutama negara muslim, mengecam keras pembantaian dan kebiadaban ini. Tidaklah salah, jika Menteri Luar Negeri Indonesia menyebut perbuatan Israel kepada rakyat Gaza secara khusus dan Palestina secara umum merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan ketidakadilan yang nyata. Sikap pemerintah Indonesia Pada kesempatan Sidang Umum PBB di New York 26 Oktober 2023, Menteri Luar Negeri Indonesia ,semoga Allah menjaga dan menambahkan taufik untuk beliau, menegaskan dalam pidatonya yang berbahasa Inggris bahwa kehadiran beliau dalam sidang ini adalah demi memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Beliau memberikan imbauan untuk segera menghentikan agresi Israel, demi mencegah jatuhnya korban sipil yang lebih besar lagi. Beliau juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Beliau juga menyampaikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Gaza dengan membombardir kawasan pemukiman, blokade listrik, gas, bahan bakar, dan air, ini semuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Beliau juga menyatakan, “Ini adalah tugas kita untuk menghentikan ketidakadilan ini sekarang juga. Cukup, ini semua sudah cukup/harus dihentikan.” Beliau juga menegaskan bahwa Indonesia akan selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina. (lihat Speeches of the Minister of Foreign Affairs Friday 27 October 2023, diakses dari website resmi Kementerian Luar Negeri RI) Dalam acara pertemuan tingkat tinggi bersama Dewan Keamanan PBB pada 29 November 2023 di New York, Menteri Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa beliau hadir kembali di pertemuan Dewan Keamanan PBB karena ingin berada di sisi yang benar dari sejarah, yaitu membela keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina. Dalam pernyataan sikapnya, beliau juga mengutip pernyataan PM Israel Netanyahu yang mengatakan bahwa operasi militer akan dilakukan kembali dengan kekuatan penuh pada saat gencatan senjata selesai. Ibu Menteri menuturkan, “Saya sampaikan saya tidak dapat memahami pernyataan semacam ini. Saya juga tidak bisa memahami jika DK PBB membiarkan ancaman terhadap kemanusiaan ini pada akhirnya menjadi kenyataan.” (lihat: https://www.kemlu.go.id/portal/id/read/5560/siaran_pers/transkripsi-press-briefing-menlu-ri-new-york-29-november-2023) Hal ini menunjukkan kepada kita betapa besar perhatian pemerintah Indonesia terhadap nasib dan kepedihan yang dialami oleh saudara-saudara kita, kaum muslimin rakyat Palestina. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita mendukung kebijakan internasional yang diambil oleh pemerintah ini. Dukungan kita menjadi bagian dari bentuk kepatuhan kepada ulil amri yang diperintahkan di dalam Islam. Lebih daripada itu, dukungan kita kepada rakyat Palestina adalah dukungan yang dibangun di atas akidah dan ukhuwah keimanan. Mereka adalah saudara kita, walaupun berbeda bangsa dan suku serta warna kulitnya. Karena umat Islam itu bersaudara. Tidak sempurna iman seorang muslim hingga dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya. Perhatian para ulama Para ulama dari berbagai negara telah memberikan dukungan dan fatwa untuk membantu saudara-saudara kita yang lemah dan tertindas di bumi Palestina. Kekejaman Yahudi telah membuat ribuan nyawa melayang, ribuan warga sipil harus mengungsi dan kehilangan tempat tinggalnya. Ini adalah tragedi kemanusiaan, sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kezaliman yang nyata, senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Ibu Menteri Luar Negeri RI di atas. Pemerintah RI telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Demikian pula, pemerintah negara Islam yang lain, seperti Arab Saudi yang secara resmi menggalang dana secara nasional untuk membantu Palestina. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa tinggal diam menyaksikan rakyat Palestina dizalimi dan dibantai sedemikan rupa. Sampai-sampai perwakilan Palestina di depan Sidang PBB mengatakan, “Tidak ada lagi keadilan di atas muka bumi ini.” Setelah berminggu-minggu, Gaza dibombardir oleh militer Israel dari udara dan serangan darat. Bahkan, mereka juga menggunakan senjata terlarang dalam perang berdasarkan peraturan hukum internasional. Para ulama juga mengutarakan bentuk keprihatinan dan kepedulian kita, kaum muslimin, terhadap keadaan saudara-saudara kita di Gaza. Meskipun demikian, para ulama juga mengingatkan bahwa kita harus membangun semangat dan kepedulian ini dengan landasan ilmu dan selalu mempertimbangkan maslahat dan mafsadat. Tidak boleh hanya bermodal semangat, apalagi emosi, yang pada akhirnya justru merusak dan merugikan kaum muslimin itu sendiri. Semua ucapan dan tindakan harus dibangun dengan ilmu dan mengikuti kaidah agama. Sebagaimana dinasihatkan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, “Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak justru lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitab Shahih-nya pun telah mencantumkan pedoman bagi kita bahwa ilmu harus didahulukan sebelum ucapan dan amalan (perbuatan). Hal ini disebabkan ucapan dan amalan tidak akan benar, kecuali jika sesuai dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من يرد الله خيرا يفقهه في الدين “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ilmu agama ini selalu dibutuhkan, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan kaya atau miskin, dalam kondisi perang maupun damai. Justru, dalam keadaan semacam ini, kaum muslimin harus lebih bersemangat dalam mengkaji agama. Karena kemuliaan Islam tidak bisa dicapai, kecuali dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّه يرفَعُ بِهذَا الكتاب أَقواماً ويضَعُ بِهِ آخَرين “Sesungguhnya Allah memuliakan dengan sebab kitab ini (Al-Qur’an) sebagian kaum dan merendahkan dengan sebab itu sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim) Khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu, yang di bawah kekuasaannya Baitul Maqdis berhasil ditaklukkan, berkata, “Kita adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Oleh sebab itu, kapan saja kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, pasti Allah menghinakan kita.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak) Bahkan, menimba ilmu termasuk bentuk jihad yang sangat mulia. Sebagian sahabat mengatakan, “Barangsiapa menganggap bahwa berangkat di pagi hari atau di sore hari dalam rangka mencari ilmu agama bukan bagian dari jihad, maka sungguh akal dan pikirannya telah berkurang (tidak sempurna).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah) Tidakkah kita ingat ketika Allah turunkan ayat di dalam surah Al-Furqan, memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berjihad melawan orang-orang kafir? Padahal, saat itu adalah periode Makkah (ketika itu kaum muslimin lemah). Sementara yang dimaksud dengan jihad (berjuang) dalam ayat itu adalah jihad dengan Al-Qur’an, yaitu dengan ilmu dan dakwah. Inilah jihadnya para nabi dan rasul. Karena Islam ini dimuliakan dan dimenangkan di atas musuh-musuhnya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Dan saya katakan, dan ilmu yang sesungguhnya di sisi Allah, bahwa tidak mungkin negeri Syam dan secara khusus Palestina akan kembali ke pangkuan kaum muslimin (secara utuh), kecuali dengan cara/sebab sebagaimana ia ditaklukkan pada masa generasi awal umat ini. Dengan kepemimpinan sebagaimana kepemimpinan Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu. Dengan pasukan sebagaimana pasukan-pasukan Umar bin Khatthab. Yang mana mereka berperang tidak ada tujuan lain, kecuali untuk meninggikan kalimat Allah/kalimat tauhid sebagai yang paling tinggi.” (lihat Silsilah Liqa’ Syahri, bisa disimak di situs resmi beliau di alamat : https://binothaimeen.net/content/168) Baca juga: Sebuah Renungan, Inilah Pelajaran dari Jalur Gaza Tumbuhkan kepedulian Sebagai seorang muslim, maka kita wajib merasa tersakiti dan terluka karena musibah dan kezaliman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Gaza. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa kaum muslimin ibarat satu tubuh, yang mana apabila ada salah satu bagian yang sakit, maka bagian tubuh yang lain ikut merasakannya dengan bentuk tidak bisa tidur dan demam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan bahwa kaum mukmin satu sama lain ibarat sebuah bangunan, yang satu sama lain saling memperkuat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim) Apabila kita menyukai kesehatan, kelapangan, dan keamanan, maka kita pun wajib menyukai hal itu bagi saudara-saudara kita sesama muslim, termasuk mereka yang sekarang menderita di Gaza akibat keganasan agresi Zionis, semoga Allah menghancurkan mereka. Kita tentu merasa ikut susah dan sedih akibat musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Gaza yang dibantai dengan sangat keji oleh saudara-saudara kera dan babi (baca: kaum Yahudi). Apalagi kezaliman ini dilancarkan oleh kaum kuffar kepada kaum muslimin. Setiap muslim yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, tentu geram dan marah, melihat saudaranya seakidah dibantai dan dizalimi sedemikian rupa. Sungguh benar firman Allah yang menjelaskan dengan tegas bahwa orang-orang Yahudi dan kaum musyrik adalah kalangan manusia yang paling keras permusuhannya kepada orang-orang yang beriman. Oleh sebab itu, para ulama kita sejak dahulu telah mengingatkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan sekadar persoalan tanah Palestina atau Jalur Gaza. Sebab (pada hakikatnya) perseteruan ini adalah permusuhan yang mereka kobarkan atas dasar prinsip agama. Sejarah pun membuktikan bagaimana kejahatan Yahudi (orang-orang kafir dari kalangan bani Isra’il) yang membunuhi para nabi, menyembunyikan ayat-ayat Allah, menyelewengkan Kitabullah, dan mengkhianati perjanjian dengan kaum muslimin. Orang-orang yang telah disifati oleh Allah sebagai ‘kelompok yang dimurkai (almaghdhubi ‘alaihim), sebagaimana telah ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, kita diajari untuk senantiasa berdoa agar dilindungi dari jalan mereka, jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang tersesat. Yahudi menjadi kaum yang dimurkai akibat mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menyombongkan diri dan tidak mau tunduk kepadanya. Mereka menyimpan dengki kepada kaum muslimin. Apa yang dilakukan Zionis Israel kepada rakyat Palestina secara umum dan Gaza secara khusus adalah sebuah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan. Sesuatu yang tidak bisa diterima dan pasti ditolak oleh akal sehat dan jiwa yang selaras dengan fitrahnya. Benarlah yang dikatakan oleh Ibu Menteri bahwa apa yang terjadi ini adalah suatu kejahatan kepada kemanusiaan dan suatu bentuk ketidakadilan. Oleh sebab itu, wajar jika sebagian orang mengatakan bahwa cukup dengan menjadi manusia, untuk mendukung rakyat Palestina. Ini artinya bahwa segala bentuk kekejian, pembantaian, dan penindasan yang dilakukan oleh Zionis Israel adalah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina. Dari sinilah, kita bisa melihat bagaimana lemahnya dunia Internasional secara umum dan kaum muslimin secara khusus di hadapan makar Israel dan sekutu-sekutunya. Apa yang selama ini digembar-gemborkan sebagai penghormatan kepada HAM (Hak Asasi Manusia), toleransi, dan kemanusiaan, adalah tidak lebih dari pemanis bibir belaka. Sebulan lebih rakyat Gaza diserang habis-habisan hingga ribuan nyawa tak bersalah melayang. Di manakah penghargaan kepada Hak Asasi Manusia?! Di manakah toleransi yang selama ini mereka serukan itu?! Di manakah peran sang negara adidaya yang disebut sebagai “Kampiun Demokrasi” dan “Polisi Dunia”?! Apakah mereka berdiri di barisan negara yang membela rakyat Gaza ataukah justru sebaliknya. Para ulama menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mendoakan keselamatan dan kemenangan bagi saudara-saudara kita di Palestina. Agar umat Islam dari berbagai penjuru dunia memberikan bantuan secara moril dan materiil untuk mencukupi kebutuhan rakyat Gaza (Palestina) dan menempuh segala upaya diplomasi dan kenegaraan yang bisa dilakukan untuk bisa segera menghentikan kebiadaban ini. Adapun bagi saudara-saudara kita di Palestina dan Gaza secara khusus, maka peristiwa dan musibah ini adalah medan perjuangan dan kesabaran untuk mereka dalam mempertahankan kehidupan, tanah air, dan agamanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  والذي نفسُ مُحَمَّدٍ بيدِهِ لا يُؤْمِنُ أحدُكُم حتى يُحِبَّ لِأَخِيهِ ما يُحِبُّ لنفسِهِ من الخيرِ “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya dalam hal kebaikan.” (HR. Nasa’i dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, disahihkan oleh Al-Albani) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Wajib bagi seorang muslim untuk mencintai kebaikan bagi saudara-saudaranya (seiman), mencintai untuk mereka petunjuk, kesalehan, dan tidak suka apabila mereka tertimpa keburukan, tidak boleh dia dengki kepada mereka. Barangsiapa yang mendapati dalam dirinya perasaan tidak suka saudaranya mendapatkan kebaikan, maka hatinya telah sakit, dan dia wajib bertobat kepada Allah dari hal itu.” (lihat Fatawa Nur ‘ala Darb, judul At-Tahdzir minal Hiqd wal Hasad, link website: https://binbaz.org.sa/fatwas/15304) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ إذا اشتكَى منْهُ عضوٌ تدَاعَى لَهُ سائِرُ الجسَدِ بالسَّهَرِ والْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan memberikan empati (kepedulian) itu seperti perumpamaan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang kesakitan, maka seluruh anggota badan ikut merasakan kesusahan hingga tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ’anhuma) Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah memaparkan, “Semakin kuat iman seseorang, maka semakin kuat pula sifat rahmat (kasih sayang) terhadap saudara-saudaranya. Kekuatan kasih sayang yang ada pada diri seorang hamba, timbul karena kuatnya iman padanya. Adapun lemahnya hal itu karena lemah imannya. Hal ini tampak jelas dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal sifat saling mencintai, saling menyayangi, dan saling peduli seperti satu tubuh.” Yang demikian itu karena Allah Yang kita sembah dan kita tuju dengan segala bentuk ibadah adalah Zat Yang Maha Pengasih serta mencintai orang-orang yang penyayang. Dan agama kita adalah agama rahmat. Nabi kita adalah Nabi yang membawa rahmat. Kitab kita pun kitab yang penuh dengan rahmat. Dan Allah pun menyifati hamba-hamba-Nya yang beriman di dalam kitab-Nya sebagai orang-orang yang ‘penuh kasih sayang di antara mereka’.” (lihat Fawa’id Mukhtasharah, judul Ar-Rahmah minal Iman, link website: https://al-badr.net/muqolat/7750) Jalan menuju kejayaan Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًۭا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًۭٔا ۚ “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 55) Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas paling utama dan kewajiban paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan, atau menguranginya. Demikian pula, wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak (menodainya).” (lihat Asy-Syarh Al-Mujaz, hal. 8) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas (dampak) yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akhirat, itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16) Akidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘lailahaillallah wa anna muhammadar rasulullah’. Akidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu, wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas akidah yang benar. Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar, niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Ta’liqat ‘ala Ath-Thahawiyah, hal. 23) Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: jalur gazaPalestina

Tragedi Gaza dalam Sorotan

Daftar Isi Toggle Sikap pemerintah IndonesiaPerhatian para ulamaTumbuhkan kepedulianJalan menuju kejayaan Bismillah. Sebulan lebih, rakyat Gaza mendapatkan gempuran luar biasa dari militer Israel (baca: Yahudi) hingga menewaskan ribuan warga sipil tak bersalah, seperti anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua. Sekolah, pemukiman penduduk, tempat ibadah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum dihancurkan dengan dalih untuk memburu teroris. Berbagai negara di dunia, terutama negara muslim, mengecam keras pembantaian dan kebiadaban ini. Tidaklah salah, jika Menteri Luar Negeri Indonesia menyebut perbuatan Israel kepada rakyat Gaza secara khusus dan Palestina secara umum merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan ketidakadilan yang nyata. Sikap pemerintah Indonesia Pada kesempatan Sidang Umum PBB di New York 26 Oktober 2023, Menteri Luar Negeri Indonesia ,semoga Allah menjaga dan menambahkan taufik untuk beliau, menegaskan dalam pidatonya yang berbahasa Inggris bahwa kehadiran beliau dalam sidang ini adalah demi memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Beliau memberikan imbauan untuk segera menghentikan agresi Israel, demi mencegah jatuhnya korban sipil yang lebih besar lagi. Beliau juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Beliau juga menyampaikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Gaza dengan membombardir kawasan pemukiman, blokade listrik, gas, bahan bakar, dan air, ini semuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Beliau juga menyatakan, “Ini adalah tugas kita untuk menghentikan ketidakadilan ini sekarang juga. Cukup, ini semua sudah cukup/harus dihentikan.” Beliau juga menegaskan bahwa Indonesia akan selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina. (lihat Speeches of the Minister of Foreign Affairs Friday 27 October 2023, diakses dari website resmi Kementerian Luar Negeri RI) Dalam acara pertemuan tingkat tinggi bersama Dewan Keamanan PBB pada 29 November 2023 di New York, Menteri Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa beliau hadir kembali di pertemuan Dewan Keamanan PBB karena ingin berada di sisi yang benar dari sejarah, yaitu membela keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina. Dalam pernyataan sikapnya, beliau juga mengutip pernyataan PM Israel Netanyahu yang mengatakan bahwa operasi militer akan dilakukan kembali dengan kekuatan penuh pada saat gencatan senjata selesai. Ibu Menteri menuturkan, “Saya sampaikan saya tidak dapat memahami pernyataan semacam ini. Saya juga tidak bisa memahami jika DK PBB membiarkan ancaman terhadap kemanusiaan ini pada akhirnya menjadi kenyataan.” (lihat: https://www.kemlu.go.id/portal/id/read/5560/siaran_pers/transkripsi-press-briefing-menlu-ri-new-york-29-november-2023) Hal ini menunjukkan kepada kita betapa besar perhatian pemerintah Indonesia terhadap nasib dan kepedihan yang dialami oleh saudara-saudara kita, kaum muslimin rakyat Palestina. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita mendukung kebijakan internasional yang diambil oleh pemerintah ini. Dukungan kita menjadi bagian dari bentuk kepatuhan kepada ulil amri yang diperintahkan di dalam Islam. Lebih daripada itu, dukungan kita kepada rakyat Palestina adalah dukungan yang dibangun di atas akidah dan ukhuwah keimanan. Mereka adalah saudara kita, walaupun berbeda bangsa dan suku serta warna kulitnya. Karena umat Islam itu bersaudara. Tidak sempurna iman seorang muslim hingga dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya. Perhatian para ulama Para ulama dari berbagai negara telah memberikan dukungan dan fatwa untuk membantu saudara-saudara kita yang lemah dan tertindas di bumi Palestina. Kekejaman Yahudi telah membuat ribuan nyawa melayang, ribuan warga sipil harus mengungsi dan kehilangan tempat tinggalnya. Ini adalah tragedi kemanusiaan, sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kezaliman yang nyata, senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Ibu Menteri Luar Negeri RI di atas. Pemerintah RI telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Demikian pula, pemerintah negara Islam yang lain, seperti Arab Saudi yang secara resmi menggalang dana secara nasional untuk membantu Palestina. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa tinggal diam menyaksikan rakyat Palestina dizalimi dan dibantai sedemikan rupa. Sampai-sampai perwakilan Palestina di depan Sidang PBB mengatakan, “Tidak ada lagi keadilan di atas muka bumi ini.” Setelah berminggu-minggu, Gaza dibombardir oleh militer Israel dari udara dan serangan darat. Bahkan, mereka juga menggunakan senjata terlarang dalam perang berdasarkan peraturan hukum internasional. Para ulama juga mengutarakan bentuk keprihatinan dan kepedulian kita, kaum muslimin, terhadap keadaan saudara-saudara kita di Gaza. Meskipun demikian, para ulama juga mengingatkan bahwa kita harus membangun semangat dan kepedulian ini dengan landasan ilmu dan selalu mempertimbangkan maslahat dan mafsadat. Tidak boleh hanya bermodal semangat, apalagi emosi, yang pada akhirnya justru merusak dan merugikan kaum muslimin itu sendiri. Semua ucapan dan tindakan harus dibangun dengan ilmu dan mengikuti kaidah agama. Sebagaimana dinasihatkan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, “Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak justru lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitab Shahih-nya pun telah mencantumkan pedoman bagi kita bahwa ilmu harus didahulukan sebelum ucapan dan amalan (perbuatan). Hal ini disebabkan ucapan dan amalan tidak akan benar, kecuali jika sesuai dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من يرد الله خيرا يفقهه في الدين “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ilmu agama ini selalu dibutuhkan, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan kaya atau miskin, dalam kondisi perang maupun damai. Justru, dalam keadaan semacam ini, kaum muslimin harus lebih bersemangat dalam mengkaji agama. Karena kemuliaan Islam tidak bisa dicapai, kecuali dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّه يرفَعُ بِهذَا الكتاب أَقواماً ويضَعُ بِهِ آخَرين “Sesungguhnya Allah memuliakan dengan sebab kitab ini (Al-Qur’an) sebagian kaum dan merendahkan dengan sebab itu sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim) Khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu, yang di bawah kekuasaannya Baitul Maqdis berhasil ditaklukkan, berkata, “Kita adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Oleh sebab itu, kapan saja kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, pasti Allah menghinakan kita.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak) Bahkan, menimba ilmu termasuk bentuk jihad yang sangat mulia. Sebagian sahabat mengatakan, “Barangsiapa menganggap bahwa berangkat di pagi hari atau di sore hari dalam rangka mencari ilmu agama bukan bagian dari jihad, maka sungguh akal dan pikirannya telah berkurang (tidak sempurna).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah) Tidakkah kita ingat ketika Allah turunkan ayat di dalam surah Al-Furqan, memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berjihad melawan orang-orang kafir? Padahal, saat itu adalah periode Makkah (ketika itu kaum muslimin lemah). Sementara yang dimaksud dengan jihad (berjuang) dalam ayat itu adalah jihad dengan Al-Qur’an, yaitu dengan ilmu dan dakwah. Inilah jihadnya para nabi dan rasul. Karena Islam ini dimuliakan dan dimenangkan di atas musuh-musuhnya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Dan saya katakan, dan ilmu yang sesungguhnya di sisi Allah, bahwa tidak mungkin negeri Syam dan secara khusus Palestina akan kembali ke pangkuan kaum muslimin (secara utuh), kecuali dengan cara/sebab sebagaimana ia ditaklukkan pada masa generasi awal umat ini. Dengan kepemimpinan sebagaimana kepemimpinan Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu. Dengan pasukan sebagaimana pasukan-pasukan Umar bin Khatthab. Yang mana mereka berperang tidak ada tujuan lain, kecuali untuk meninggikan kalimat Allah/kalimat tauhid sebagai yang paling tinggi.” (lihat Silsilah Liqa’ Syahri, bisa disimak di situs resmi beliau di alamat : https://binothaimeen.net/content/168) Baca juga: Sebuah Renungan, Inilah Pelajaran dari Jalur Gaza Tumbuhkan kepedulian Sebagai seorang muslim, maka kita wajib merasa tersakiti dan terluka karena musibah dan kezaliman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Gaza. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa kaum muslimin ibarat satu tubuh, yang mana apabila ada salah satu bagian yang sakit, maka bagian tubuh yang lain ikut merasakannya dengan bentuk tidak bisa tidur dan demam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan bahwa kaum mukmin satu sama lain ibarat sebuah bangunan, yang satu sama lain saling memperkuat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim) Apabila kita menyukai kesehatan, kelapangan, dan keamanan, maka kita pun wajib menyukai hal itu bagi saudara-saudara kita sesama muslim, termasuk mereka yang sekarang menderita di Gaza akibat keganasan agresi Zionis, semoga Allah menghancurkan mereka. Kita tentu merasa ikut susah dan sedih akibat musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Gaza yang dibantai dengan sangat keji oleh saudara-saudara kera dan babi (baca: kaum Yahudi). Apalagi kezaliman ini dilancarkan oleh kaum kuffar kepada kaum muslimin. Setiap muslim yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, tentu geram dan marah, melihat saudaranya seakidah dibantai dan dizalimi sedemikian rupa. Sungguh benar firman Allah yang menjelaskan dengan tegas bahwa orang-orang Yahudi dan kaum musyrik adalah kalangan manusia yang paling keras permusuhannya kepada orang-orang yang beriman. Oleh sebab itu, para ulama kita sejak dahulu telah mengingatkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan sekadar persoalan tanah Palestina atau Jalur Gaza. Sebab (pada hakikatnya) perseteruan ini adalah permusuhan yang mereka kobarkan atas dasar prinsip agama. Sejarah pun membuktikan bagaimana kejahatan Yahudi (orang-orang kafir dari kalangan bani Isra’il) yang membunuhi para nabi, menyembunyikan ayat-ayat Allah, menyelewengkan Kitabullah, dan mengkhianati perjanjian dengan kaum muslimin. Orang-orang yang telah disifati oleh Allah sebagai ‘kelompok yang dimurkai (almaghdhubi ‘alaihim), sebagaimana telah ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, kita diajari untuk senantiasa berdoa agar dilindungi dari jalan mereka, jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang tersesat. Yahudi menjadi kaum yang dimurkai akibat mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menyombongkan diri dan tidak mau tunduk kepadanya. Mereka menyimpan dengki kepada kaum muslimin. Apa yang dilakukan Zionis Israel kepada rakyat Palestina secara umum dan Gaza secara khusus adalah sebuah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan. Sesuatu yang tidak bisa diterima dan pasti ditolak oleh akal sehat dan jiwa yang selaras dengan fitrahnya. Benarlah yang dikatakan oleh Ibu Menteri bahwa apa yang terjadi ini adalah suatu kejahatan kepada kemanusiaan dan suatu bentuk ketidakadilan. Oleh sebab itu, wajar jika sebagian orang mengatakan bahwa cukup dengan menjadi manusia, untuk mendukung rakyat Palestina. Ini artinya bahwa segala bentuk kekejian, pembantaian, dan penindasan yang dilakukan oleh Zionis Israel adalah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina. Dari sinilah, kita bisa melihat bagaimana lemahnya dunia Internasional secara umum dan kaum muslimin secara khusus di hadapan makar Israel dan sekutu-sekutunya. Apa yang selama ini digembar-gemborkan sebagai penghormatan kepada HAM (Hak Asasi Manusia), toleransi, dan kemanusiaan, adalah tidak lebih dari pemanis bibir belaka. Sebulan lebih rakyat Gaza diserang habis-habisan hingga ribuan nyawa tak bersalah melayang. Di manakah penghargaan kepada Hak Asasi Manusia?! Di manakah toleransi yang selama ini mereka serukan itu?! Di manakah peran sang negara adidaya yang disebut sebagai “Kampiun Demokrasi” dan “Polisi Dunia”?! Apakah mereka berdiri di barisan negara yang membela rakyat Gaza ataukah justru sebaliknya. Para ulama menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mendoakan keselamatan dan kemenangan bagi saudara-saudara kita di Palestina. Agar umat Islam dari berbagai penjuru dunia memberikan bantuan secara moril dan materiil untuk mencukupi kebutuhan rakyat Gaza (Palestina) dan menempuh segala upaya diplomasi dan kenegaraan yang bisa dilakukan untuk bisa segera menghentikan kebiadaban ini. Adapun bagi saudara-saudara kita di Palestina dan Gaza secara khusus, maka peristiwa dan musibah ini adalah medan perjuangan dan kesabaran untuk mereka dalam mempertahankan kehidupan, tanah air, dan agamanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  والذي نفسُ مُحَمَّدٍ بيدِهِ لا يُؤْمِنُ أحدُكُم حتى يُحِبَّ لِأَخِيهِ ما يُحِبُّ لنفسِهِ من الخيرِ “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya dalam hal kebaikan.” (HR. Nasa’i dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, disahihkan oleh Al-Albani) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Wajib bagi seorang muslim untuk mencintai kebaikan bagi saudara-saudaranya (seiman), mencintai untuk mereka petunjuk, kesalehan, dan tidak suka apabila mereka tertimpa keburukan, tidak boleh dia dengki kepada mereka. Barangsiapa yang mendapati dalam dirinya perasaan tidak suka saudaranya mendapatkan kebaikan, maka hatinya telah sakit, dan dia wajib bertobat kepada Allah dari hal itu.” (lihat Fatawa Nur ‘ala Darb, judul At-Tahdzir minal Hiqd wal Hasad, link website: https://binbaz.org.sa/fatwas/15304) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ إذا اشتكَى منْهُ عضوٌ تدَاعَى لَهُ سائِرُ الجسَدِ بالسَّهَرِ والْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan memberikan empati (kepedulian) itu seperti perumpamaan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang kesakitan, maka seluruh anggota badan ikut merasakan kesusahan hingga tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ’anhuma) Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah memaparkan, “Semakin kuat iman seseorang, maka semakin kuat pula sifat rahmat (kasih sayang) terhadap saudara-saudaranya. Kekuatan kasih sayang yang ada pada diri seorang hamba, timbul karena kuatnya iman padanya. Adapun lemahnya hal itu karena lemah imannya. Hal ini tampak jelas dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal sifat saling mencintai, saling menyayangi, dan saling peduli seperti satu tubuh.” Yang demikian itu karena Allah Yang kita sembah dan kita tuju dengan segala bentuk ibadah adalah Zat Yang Maha Pengasih serta mencintai orang-orang yang penyayang. Dan agama kita adalah agama rahmat. Nabi kita adalah Nabi yang membawa rahmat. Kitab kita pun kitab yang penuh dengan rahmat. Dan Allah pun menyifati hamba-hamba-Nya yang beriman di dalam kitab-Nya sebagai orang-orang yang ‘penuh kasih sayang di antara mereka’.” (lihat Fawa’id Mukhtasharah, judul Ar-Rahmah minal Iman, link website: https://al-badr.net/muqolat/7750) Jalan menuju kejayaan Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًۭا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًۭٔا ۚ “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 55) Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas paling utama dan kewajiban paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan, atau menguranginya. Demikian pula, wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak (menodainya).” (lihat Asy-Syarh Al-Mujaz, hal. 8) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas (dampak) yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akhirat, itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16) Akidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘lailahaillallah wa anna muhammadar rasulullah’. Akidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu, wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas akidah yang benar. Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar, niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Ta’liqat ‘ala Ath-Thahawiyah, hal. 23) Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: jalur gazaPalestina
Daftar Isi Toggle Sikap pemerintah IndonesiaPerhatian para ulamaTumbuhkan kepedulianJalan menuju kejayaan Bismillah. Sebulan lebih, rakyat Gaza mendapatkan gempuran luar biasa dari militer Israel (baca: Yahudi) hingga menewaskan ribuan warga sipil tak bersalah, seperti anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua. Sekolah, pemukiman penduduk, tempat ibadah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum dihancurkan dengan dalih untuk memburu teroris. Berbagai negara di dunia, terutama negara muslim, mengecam keras pembantaian dan kebiadaban ini. Tidaklah salah, jika Menteri Luar Negeri Indonesia menyebut perbuatan Israel kepada rakyat Gaza secara khusus dan Palestina secara umum merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan ketidakadilan yang nyata. Sikap pemerintah Indonesia Pada kesempatan Sidang Umum PBB di New York 26 Oktober 2023, Menteri Luar Negeri Indonesia ,semoga Allah menjaga dan menambahkan taufik untuk beliau, menegaskan dalam pidatonya yang berbahasa Inggris bahwa kehadiran beliau dalam sidang ini adalah demi memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Beliau memberikan imbauan untuk segera menghentikan agresi Israel, demi mencegah jatuhnya korban sipil yang lebih besar lagi. Beliau juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Beliau juga menyampaikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Gaza dengan membombardir kawasan pemukiman, blokade listrik, gas, bahan bakar, dan air, ini semuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Beliau juga menyatakan, “Ini adalah tugas kita untuk menghentikan ketidakadilan ini sekarang juga. Cukup, ini semua sudah cukup/harus dihentikan.” Beliau juga menegaskan bahwa Indonesia akan selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina. (lihat Speeches of the Minister of Foreign Affairs Friday 27 October 2023, diakses dari website resmi Kementerian Luar Negeri RI) Dalam acara pertemuan tingkat tinggi bersama Dewan Keamanan PBB pada 29 November 2023 di New York, Menteri Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa beliau hadir kembali di pertemuan Dewan Keamanan PBB karena ingin berada di sisi yang benar dari sejarah, yaitu membela keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina. Dalam pernyataan sikapnya, beliau juga mengutip pernyataan PM Israel Netanyahu yang mengatakan bahwa operasi militer akan dilakukan kembali dengan kekuatan penuh pada saat gencatan senjata selesai. Ibu Menteri menuturkan, “Saya sampaikan saya tidak dapat memahami pernyataan semacam ini. Saya juga tidak bisa memahami jika DK PBB membiarkan ancaman terhadap kemanusiaan ini pada akhirnya menjadi kenyataan.” (lihat: https://www.kemlu.go.id/portal/id/read/5560/siaran_pers/transkripsi-press-briefing-menlu-ri-new-york-29-november-2023) Hal ini menunjukkan kepada kita betapa besar perhatian pemerintah Indonesia terhadap nasib dan kepedihan yang dialami oleh saudara-saudara kita, kaum muslimin rakyat Palestina. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita mendukung kebijakan internasional yang diambil oleh pemerintah ini. Dukungan kita menjadi bagian dari bentuk kepatuhan kepada ulil amri yang diperintahkan di dalam Islam. Lebih daripada itu, dukungan kita kepada rakyat Palestina adalah dukungan yang dibangun di atas akidah dan ukhuwah keimanan. Mereka adalah saudara kita, walaupun berbeda bangsa dan suku serta warna kulitnya. Karena umat Islam itu bersaudara. Tidak sempurna iman seorang muslim hingga dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya. Perhatian para ulama Para ulama dari berbagai negara telah memberikan dukungan dan fatwa untuk membantu saudara-saudara kita yang lemah dan tertindas di bumi Palestina. Kekejaman Yahudi telah membuat ribuan nyawa melayang, ribuan warga sipil harus mengungsi dan kehilangan tempat tinggalnya. Ini adalah tragedi kemanusiaan, sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kezaliman yang nyata, senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Ibu Menteri Luar Negeri RI di atas. Pemerintah RI telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Demikian pula, pemerintah negara Islam yang lain, seperti Arab Saudi yang secara resmi menggalang dana secara nasional untuk membantu Palestina. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa tinggal diam menyaksikan rakyat Palestina dizalimi dan dibantai sedemikan rupa. Sampai-sampai perwakilan Palestina di depan Sidang PBB mengatakan, “Tidak ada lagi keadilan di atas muka bumi ini.” Setelah berminggu-minggu, Gaza dibombardir oleh militer Israel dari udara dan serangan darat. Bahkan, mereka juga menggunakan senjata terlarang dalam perang berdasarkan peraturan hukum internasional. Para ulama juga mengutarakan bentuk keprihatinan dan kepedulian kita, kaum muslimin, terhadap keadaan saudara-saudara kita di Gaza. Meskipun demikian, para ulama juga mengingatkan bahwa kita harus membangun semangat dan kepedulian ini dengan landasan ilmu dan selalu mempertimbangkan maslahat dan mafsadat. Tidak boleh hanya bermodal semangat, apalagi emosi, yang pada akhirnya justru merusak dan merugikan kaum muslimin itu sendiri. Semua ucapan dan tindakan harus dibangun dengan ilmu dan mengikuti kaidah agama. Sebagaimana dinasihatkan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, “Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak justru lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitab Shahih-nya pun telah mencantumkan pedoman bagi kita bahwa ilmu harus didahulukan sebelum ucapan dan amalan (perbuatan). Hal ini disebabkan ucapan dan amalan tidak akan benar, kecuali jika sesuai dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من يرد الله خيرا يفقهه في الدين “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ilmu agama ini selalu dibutuhkan, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan kaya atau miskin, dalam kondisi perang maupun damai. Justru, dalam keadaan semacam ini, kaum muslimin harus lebih bersemangat dalam mengkaji agama. Karena kemuliaan Islam tidak bisa dicapai, kecuali dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّه يرفَعُ بِهذَا الكتاب أَقواماً ويضَعُ بِهِ آخَرين “Sesungguhnya Allah memuliakan dengan sebab kitab ini (Al-Qur’an) sebagian kaum dan merendahkan dengan sebab itu sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim) Khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu, yang di bawah kekuasaannya Baitul Maqdis berhasil ditaklukkan, berkata, “Kita adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Oleh sebab itu, kapan saja kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, pasti Allah menghinakan kita.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak) Bahkan, menimba ilmu termasuk bentuk jihad yang sangat mulia. Sebagian sahabat mengatakan, “Barangsiapa menganggap bahwa berangkat di pagi hari atau di sore hari dalam rangka mencari ilmu agama bukan bagian dari jihad, maka sungguh akal dan pikirannya telah berkurang (tidak sempurna).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah) Tidakkah kita ingat ketika Allah turunkan ayat di dalam surah Al-Furqan, memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berjihad melawan orang-orang kafir? Padahal, saat itu adalah periode Makkah (ketika itu kaum muslimin lemah). Sementara yang dimaksud dengan jihad (berjuang) dalam ayat itu adalah jihad dengan Al-Qur’an, yaitu dengan ilmu dan dakwah. Inilah jihadnya para nabi dan rasul. Karena Islam ini dimuliakan dan dimenangkan di atas musuh-musuhnya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Dan saya katakan, dan ilmu yang sesungguhnya di sisi Allah, bahwa tidak mungkin negeri Syam dan secara khusus Palestina akan kembali ke pangkuan kaum muslimin (secara utuh), kecuali dengan cara/sebab sebagaimana ia ditaklukkan pada masa generasi awal umat ini. Dengan kepemimpinan sebagaimana kepemimpinan Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu. Dengan pasukan sebagaimana pasukan-pasukan Umar bin Khatthab. Yang mana mereka berperang tidak ada tujuan lain, kecuali untuk meninggikan kalimat Allah/kalimat tauhid sebagai yang paling tinggi.” (lihat Silsilah Liqa’ Syahri, bisa disimak di situs resmi beliau di alamat : https://binothaimeen.net/content/168) Baca juga: Sebuah Renungan, Inilah Pelajaran dari Jalur Gaza Tumbuhkan kepedulian Sebagai seorang muslim, maka kita wajib merasa tersakiti dan terluka karena musibah dan kezaliman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Gaza. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa kaum muslimin ibarat satu tubuh, yang mana apabila ada salah satu bagian yang sakit, maka bagian tubuh yang lain ikut merasakannya dengan bentuk tidak bisa tidur dan demam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan bahwa kaum mukmin satu sama lain ibarat sebuah bangunan, yang satu sama lain saling memperkuat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim) Apabila kita menyukai kesehatan, kelapangan, dan keamanan, maka kita pun wajib menyukai hal itu bagi saudara-saudara kita sesama muslim, termasuk mereka yang sekarang menderita di Gaza akibat keganasan agresi Zionis, semoga Allah menghancurkan mereka. Kita tentu merasa ikut susah dan sedih akibat musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Gaza yang dibantai dengan sangat keji oleh saudara-saudara kera dan babi (baca: kaum Yahudi). Apalagi kezaliman ini dilancarkan oleh kaum kuffar kepada kaum muslimin. Setiap muslim yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, tentu geram dan marah, melihat saudaranya seakidah dibantai dan dizalimi sedemikian rupa. Sungguh benar firman Allah yang menjelaskan dengan tegas bahwa orang-orang Yahudi dan kaum musyrik adalah kalangan manusia yang paling keras permusuhannya kepada orang-orang yang beriman. Oleh sebab itu, para ulama kita sejak dahulu telah mengingatkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan sekadar persoalan tanah Palestina atau Jalur Gaza. Sebab (pada hakikatnya) perseteruan ini adalah permusuhan yang mereka kobarkan atas dasar prinsip agama. Sejarah pun membuktikan bagaimana kejahatan Yahudi (orang-orang kafir dari kalangan bani Isra’il) yang membunuhi para nabi, menyembunyikan ayat-ayat Allah, menyelewengkan Kitabullah, dan mengkhianati perjanjian dengan kaum muslimin. Orang-orang yang telah disifati oleh Allah sebagai ‘kelompok yang dimurkai (almaghdhubi ‘alaihim), sebagaimana telah ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, kita diajari untuk senantiasa berdoa agar dilindungi dari jalan mereka, jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang tersesat. Yahudi menjadi kaum yang dimurkai akibat mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menyombongkan diri dan tidak mau tunduk kepadanya. Mereka menyimpan dengki kepada kaum muslimin. Apa yang dilakukan Zionis Israel kepada rakyat Palestina secara umum dan Gaza secara khusus adalah sebuah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan. Sesuatu yang tidak bisa diterima dan pasti ditolak oleh akal sehat dan jiwa yang selaras dengan fitrahnya. Benarlah yang dikatakan oleh Ibu Menteri bahwa apa yang terjadi ini adalah suatu kejahatan kepada kemanusiaan dan suatu bentuk ketidakadilan. Oleh sebab itu, wajar jika sebagian orang mengatakan bahwa cukup dengan menjadi manusia, untuk mendukung rakyat Palestina. Ini artinya bahwa segala bentuk kekejian, pembantaian, dan penindasan yang dilakukan oleh Zionis Israel adalah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina. Dari sinilah, kita bisa melihat bagaimana lemahnya dunia Internasional secara umum dan kaum muslimin secara khusus di hadapan makar Israel dan sekutu-sekutunya. Apa yang selama ini digembar-gemborkan sebagai penghormatan kepada HAM (Hak Asasi Manusia), toleransi, dan kemanusiaan, adalah tidak lebih dari pemanis bibir belaka. Sebulan lebih rakyat Gaza diserang habis-habisan hingga ribuan nyawa tak bersalah melayang. Di manakah penghargaan kepada Hak Asasi Manusia?! Di manakah toleransi yang selama ini mereka serukan itu?! Di manakah peran sang negara adidaya yang disebut sebagai “Kampiun Demokrasi” dan “Polisi Dunia”?! Apakah mereka berdiri di barisan negara yang membela rakyat Gaza ataukah justru sebaliknya. Para ulama menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mendoakan keselamatan dan kemenangan bagi saudara-saudara kita di Palestina. Agar umat Islam dari berbagai penjuru dunia memberikan bantuan secara moril dan materiil untuk mencukupi kebutuhan rakyat Gaza (Palestina) dan menempuh segala upaya diplomasi dan kenegaraan yang bisa dilakukan untuk bisa segera menghentikan kebiadaban ini. Adapun bagi saudara-saudara kita di Palestina dan Gaza secara khusus, maka peristiwa dan musibah ini adalah medan perjuangan dan kesabaran untuk mereka dalam mempertahankan kehidupan, tanah air, dan agamanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  والذي نفسُ مُحَمَّدٍ بيدِهِ لا يُؤْمِنُ أحدُكُم حتى يُحِبَّ لِأَخِيهِ ما يُحِبُّ لنفسِهِ من الخيرِ “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya dalam hal kebaikan.” (HR. Nasa’i dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, disahihkan oleh Al-Albani) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Wajib bagi seorang muslim untuk mencintai kebaikan bagi saudara-saudaranya (seiman), mencintai untuk mereka petunjuk, kesalehan, dan tidak suka apabila mereka tertimpa keburukan, tidak boleh dia dengki kepada mereka. Barangsiapa yang mendapati dalam dirinya perasaan tidak suka saudaranya mendapatkan kebaikan, maka hatinya telah sakit, dan dia wajib bertobat kepada Allah dari hal itu.” (lihat Fatawa Nur ‘ala Darb, judul At-Tahdzir minal Hiqd wal Hasad, link website: https://binbaz.org.sa/fatwas/15304) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ إذا اشتكَى منْهُ عضوٌ تدَاعَى لَهُ سائِرُ الجسَدِ بالسَّهَرِ والْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan memberikan empati (kepedulian) itu seperti perumpamaan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang kesakitan, maka seluruh anggota badan ikut merasakan kesusahan hingga tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ’anhuma) Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah memaparkan, “Semakin kuat iman seseorang, maka semakin kuat pula sifat rahmat (kasih sayang) terhadap saudara-saudaranya. Kekuatan kasih sayang yang ada pada diri seorang hamba, timbul karena kuatnya iman padanya. Adapun lemahnya hal itu karena lemah imannya. Hal ini tampak jelas dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal sifat saling mencintai, saling menyayangi, dan saling peduli seperti satu tubuh.” Yang demikian itu karena Allah Yang kita sembah dan kita tuju dengan segala bentuk ibadah adalah Zat Yang Maha Pengasih serta mencintai orang-orang yang penyayang. Dan agama kita adalah agama rahmat. Nabi kita adalah Nabi yang membawa rahmat. Kitab kita pun kitab yang penuh dengan rahmat. Dan Allah pun menyifati hamba-hamba-Nya yang beriman di dalam kitab-Nya sebagai orang-orang yang ‘penuh kasih sayang di antara mereka’.” (lihat Fawa’id Mukhtasharah, judul Ar-Rahmah minal Iman, link website: https://al-badr.net/muqolat/7750) Jalan menuju kejayaan Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًۭا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًۭٔا ۚ “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 55) Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas paling utama dan kewajiban paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan, atau menguranginya. Demikian pula, wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak (menodainya).” (lihat Asy-Syarh Al-Mujaz, hal. 8) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas (dampak) yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akhirat, itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16) Akidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘lailahaillallah wa anna muhammadar rasulullah’. Akidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu, wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas akidah yang benar. Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar, niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Ta’liqat ‘ala Ath-Thahawiyah, hal. 23) Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: jalur gazaPalestina


Daftar Isi Toggle Sikap pemerintah IndonesiaPerhatian para ulamaTumbuhkan kepedulianJalan menuju kejayaan Bismillah. Sebulan lebih, rakyat Gaza mendapatkan gempuran luar biasa dari militer Israel (baca: Yahudi) hingga menewaskan ribuan warga sipil tak bersalah, seperti anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua. Sekolah, pemukiman penduduk, tempat ibadah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum dihancurkan dengan dalih untuk memburu teroris. Berbagai negara di dunia, terutama negara muslim, mengecam keras pembantaian dan kebiadaban ini. Tidaklah salah, jika Menteri Luar Negeri Indonesia menyebut perbuatan Israel kepada rakyat Gaza secara khusus dan Palestina secara umum merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan ketidakadilan yang nyata. Sikap pemerintah Indonesia Pada kesempatan Sidang Umum PBB di New York 26 Oktober 2023, Menteri Luar Negeri Indonesia ,semoga Allah menjaga dan menambahkan taufik untuk beliau, menegaskan dalam pidatonya yang berbahasa Inggris bahwa kehadiran beliau dalam sidang ini adalah demi memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Beliau memberikan imbauan untuk segera menghentikan agresi Israel, demi mencegah jatuhnya korban sipil yang lebih besar lagi. Beliau juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Beliau juga menyampaikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Gaza dengan membombardir kawasan pemukiman, blokade listrik, gas, bahan bakar, dan air, ini semuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Beliau juga menyatakan, “Ini adalah tugas kita untuk menghentikan ketidakadilan ini sekarang juga. Cukup, ini semua sudah cukup/harus dihentikan.” Beliau juga menegaskan bahwa Indonesia akan selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina. (lihat Speeches of the Minister of Foreign Affairs Friday 27 October 2023, diakses dari website resmi Kementerian Luar Negeri RI) Dalam acara pertemuan tingkat tinggi bersama Dewan Keamanan PBB pada 29 November 2023 di New York, Menteri Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa beliau hadir kembali di pertemuan Dewan Keamanan PBB karena ingin berada di sisi yang benar dari sejarah, yaitu membela keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina. Dalam pernyataan sikapnya, beliau juga mengutip pernyataan PM Israel Netanyahu yang mengatakan bahwa operasi militer akan dilakukan kembali dengan kekuatan penuh pada saat gencatan senjata selesai. Ibu Menteri menuturkan, “Saya sampaikan saya tidak dapat memahami pernyataan semacam ini. Saya juga tidak bisa memahami jika DK PBB membiarkan ancaman terhadap kemanusiaan ini pada akhirnya menjadi kenyataan.” (lihat: https://www.kemlu.go.id/portal/id/read/5560/siaran_pers/transkripsi-press-briefing-menlu-ri-new-york-29-november-2023) Hal ini menunjukkan kepada kita betapa besar perhatian pemerintah Indonesia terhadap nasib dan kepedihan yang dialami oleh saudara-saudara kita, kaum muslimin rakyat Palestina. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita mendukung kebijakan internasional yang diambil oleh pemerintah ini. Dukungan kita menjadi bagian dari bentuk kepatuhan kepada ulil amri yang diperintahkan di dalam Islam. Lebih daripada itu, dukungan kita kepada rakyat Palestina adalah dukungan yang dibangun di atas akidah dan ukhuwah keimanan. Mereka adalah saudara kita, walaupun berbeda bangsa dan suku serta warna kulitnya. Karena umat Islam itu bersaudara. Tidak sempurna iman seorang muslim hingga dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya. Perhatian para ulama Para ulama dari berbagai negara telah memberikan dukungan dan fatwa untuk membantu saudara-saudara kita yang lemah dan tertindas di bumi Palestina. Kekejaman Yahudi telah membuat ribuan nyawa melayang, ribuan warga sipil harus mengungsi dan kehilangan tempat tinggalnya. Ini adalah tragedi kemanusiaan, sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kezaliman yang nyata, senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Ibu Menteri Luar Negeri RI di atas. Pemerintah RI telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Demikian pula, pemerintah negara Islam yang lain, seperti Arab Saudi yang secara resmi menggalang dana secara nasional untuk membantu Palestina. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa tinggal diam menyaksikan rakyat Palestina dizalimi dan dibantai sedemikan rupa. Sampai-sampai perwakilan Palestina di depan Sidang PBB mengatakan, “Tidak ada lagi keadilan di atas muka bumi ini.” Setelah berminggu-minggu, Gaza dibombardir oleh militer Israel dari udara dan serangan darat. Bahkan, mereka juga menggunakan senjata terlarang dalam perang berdasarkan peraturan hukum internasional. Para ulama juga mengutarakan bentuk keprihatinan dan kepedulian kita, kaum muslimin, terhadap keadaan saudara-saudara kita di Gaza. Meskipun demikian, para ulama juga mengingatkan bahwa kita harus membangun semangat dan kepedulian ini dengan landasan ilmu dan selalu mempertimbangkan maslahat dan mafsadat. Tidak boleh hanya bermodal semangat, apalagi emosi, yang pada akhirnya justru merusak dan merugikan kaum muslimin itu sendiri. Semua ucapan dan tindakan harus dibangun dengan ilmu dan mengikuti kaidah agama. Sebagaimana dinasihatkan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, “Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak justru lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitab Shahih-nya pun telah mencantumkan pedoman bagi kita bahwa ilmu harus didahulukan sebelum ucapan dan amalan (perbuatan). Hal ini disebabkan ucapan dan amalan tidak akan benar, kecuali jika sesuai dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من يرد الله خيرا يفقهه في الدين “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ilmu agama ini selalu dibutuhkan, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan kaya atau miskin, dalam kondisi perang maupun damai. Justru, dalam keadaan semacam ini, kaum muslimin harus lebih bersemangat dalam mengkaji agama. Karena kemuliaan Islam tidak bisa dicapai, kecuali dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّه يرفَعُ بِهذَا الكتاب أَقواماً ويضَعُ بِهِ آخَرين “Sesungguhnya Allah memuliakan dengan sebab kitab ini (Al-Qur’an) sebagian kaum dan merendahkan dengan sebab itu sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim) Khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu, yang di bawah kekuasaannya Baitul Maqdis berhasil ditaklukkan, berkata, “Kita adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Oleh sebab itu, kapan saja kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, pasti Allah menghinakan kita.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak) Bahkan, menimba ilmu termasuk bentuk jihad yang sangat mulia. Sebagian sahabat mengatakan, “Barangsiapa menganggap bahwa berangkat di pagi hari atau di sore hari dalam rangka mencari ilmu agama bukan bagian dari jihad, maka sungguh akal dan pikirannya telah berkurang (tidak sempurna).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah) Tidakkah kita ingat ketika Allah turunkan ayat di dalam surah Al-Furqan, memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berjihad melawan orang-orang kafir? Padahal, saat itu adalah periode Makkah (ketika itu kaum muslimin lemah). Sementara yang dimaksud dengan jihad (berjuang) dalam ayat itu adalah jihad dengan Al-Qur’an, yaitu dengan ilmu dan dakwah. Inilah jihadnya para nabi dan rasul. Karena Islam ini dimuliakan dan dimenangkan di atas musuh-musuhnya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Dan saya katakan, dan ilmu yang sesungguhnya di sisi Allah, bahwa tidak mungkin negeri Syam dan secara khusus Palestina akan kembali ke pangkuan kaum muslimin (secara utuh), kecuali dengan cara/sebab sebagaimana ia ditaklukkan pada masa generasi awal umat ini. Dengan kepemimpinan sebagaimana kepemimpinan Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu. Dengan pasukan sebagaimana pasukan-pasukan Umar bin Khatthab. Yang mana mereka berperang tidak ada tujuan lain, kecuali untuk meninggikan kalimat Allah/kalimat tauhid sebagai yang paling tinggi.” (lihat Silsilah Liqa’ Syahri, bisa disimak di situs resmi beliau di alamat : https://binothaimeen.net/content/168) Baca juga: Sebuah Renungan, Inilah Pelajaran dari Jalur Gaza Tumbuhkan kepedulian Sebagai seorang muslim, maka kita wajib merasa tersakiti dan terluka karena musibah dan kezaliman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Gaza. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa kaum muslimin ibarat satu tubuh, yang mana apabila ada salah satu bagian yang sakit, maka bagian tubuh yang lain ikut merasakannya dengan bentuk tidak bisa tidur dan demam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menggambarkan bahwa kaum mukmin satu sama lain ibarat sebuah bangunan, yang satu sama lain saling memperkuat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim) Apabila kita menyukai kesehatan, kelapangan, dan keamanan, maka kita pun wajib menyukai hal itu bagi saudara-saudara kita sesama muslim, termasuk mereka yang sekarang menderita di Gaza akibat keganasan agresi Zionis, semoga Allah menghancurkan mereka. Kita tentu merasa ikut susah dan sedih akibat musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Gaza yang dibantai dengan sangat keji oleh saudara-saudara kera dan babi (baca: kaum Yahudi). Apalagi kezaliman ini dilancarkan oleh kaum kuffar kepada kaum muslimin. Setiap muslim yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, tentu geram dan marah, melihat saudaranya seakidah dibantai dan dizalimi sedemikian rupa. Sungguh benar firman Allah yang menjelaskan dengan tegas bahwa orang-orang Yahudi dan kaum musyrik adalah kalangan manusia yang paling keras permusuhannya kepada orang-orang yang beriman. Oleh sebab itu, para ulama kita sejak dahulu telah mengingatkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan sekadar persoalan tanah Palestina atau Jalur Gaza. Sebab (pada hakikatnya) perseteruan ini adalah permusuhan yang mereka kobarkan atas dasar prinsip agama. Sejarah pun membuktikan bagaimana kejahatan Yahudi (orang-orang kafir dari kalangan bani Isra’il) yang membunuhi para nabi, menyembunyikan ayat-ayat Allah, menyelewengkan Kitabullah, dan mengkhianati perjanjian dengan kaum muslimin. Orang-orang yang telah disifati oleh Allah sebagai ‘kelompok yang dimurkai (almaghdhubi ‘alaihim), sebagaimana telah ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, kita diajari untuk senantiasa berdoa agar dilindungi dari jalan mereka, jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang tersesat. Yahudi menjadi kaum yang dimurkai akibat mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menyombongkan diri dan tidak mau tunduk kepadanya. Mereka menyimpan dengki kepada kaum muslimin. Apa yang dilakukan Zionis Israel kepada rakyat Palestina secara umum dan Gaza secara khusus adalah sebuah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan. Sesuatu yang tidak bisa diterima dan pasti ditolak oleh akal sehat dan jiwa yang selaras dengan fitrahnya. Benarlah yang dikatakan oleh Ibu Menteri bahwa apa yang terjadi ini adalah suatu kejahatan kepada kemanusiaan dan suatu bentuk ketidakadilan. Oleh sebab itu, wajar jika sebagian orang mengatakan bahwa cukup dengan menjadi manusia, untuk mendukung rakyat Palestina. Ini artinya bahwa segala bentuk kekejian, pembantaian, dan penindasan yang dilakukan oleh Zionis Israel adalah kezaliman dan kejahatan kepada kemanusiaan yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina. Dari sinilah, kita bisa melihat bagaimana lemahnya dunia Internasional secara umum dan kaum muslimin secara khusus di hadapan makar Israel dan sekutu-sekutunya. Apa yang selama ini digembar-gemborkan sebagai penghormatan kepada HAM (Hak Asasi Manusia), toleransi, dan kemanusiaan, adalah tidak lebih dari pemanis bibir belaka. Sebulan lebih rakyat Gaza diserang habis-habisan hingga ribuan nyawa tak bersalah melayang. Di manakah penghargaan kepada Hak Asasi Manusia?! Di manakah toleransi yang selama ini mereka serukan itu?! Di manakah peran sang negara adidaya yang disebut sebagai “Kampiun Demokrasi” dan “Polisi Dunia”?! Apakah mereka berdiri di barisan negara yang membela rakyat Gaza ataukah justru sebaliknya. Para ulama menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mendoakan keselamatan dan kemenangan bagi saudara-saudara kita di Palestina. Agar umat Islam dari berbagai penjuru dunia memberikan bantuan secara moril dan materiil untuk mencukupi kebutuhan rakyat Gaza (Palestina) dan menempuh segala upaya diplomasi dan kenegaraan yang bisa dilakukan untuk bisa segera menghentikan kebiadaban ini. Adapun bagi saudara-saudara kita di Palestina dan Gaza secara khusus, maka peristiwa dan musibah ini adalah medan perjuangan dan kesabaran untuk mereka dalam mempertahankan kehidupan, tanah air, dan agamanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  والذي نفسُ مُحَمَّدٍ بيدِهِ لا يُؤْمِنُ أحدُكُم حتى يُحِبَّ لِأَخِيهِ ما يُحِبُّ لنفسِهِ من الخيرِ “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya dalam hal kebaikan.” (HR. Nasa’i dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, disahihkan oleh Al-Albani) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Wajib bagi seorang muslim untuk mencintai kebaikan bagi saudara-saudaranya (seiman), mencintai untuk mereka petunjuk, kesalehan, dan tidak suka apabila mereka tertimpa keburukan, tidak boleh dia dengki kepada mereka. Barangsiapa yang mendapati dalam dirinya perasaan tidak suka saudaranya mendapatkan kebaikan, maka hatinya telah sakit, dan dia wajib bertobat kepada Allah dari hal itu.” (lihat Fatawa Nur ‘ala Darb, judul At-Tahdzir minal Hiqd wal Hasad, link website: https://binbaz.org.sa/fatwas/15304) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ إذا اشتكَى منْهُ عضوٌ تدَاعَى لَهُ سائِرُ الجسَدِ بالسَّهَرِ والْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan memberikan empati (kepedulian) itu seperti perumpamaan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang kesakitan, maka seluruh anggota badan ikut merasakan kesusahan hingga tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ’anhuma) Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah memaparkan, “Semakin kuat iman seseorang, maka semakin kuat pula sifat rahmat (kasih sayang) terhadap saudara-saudaranya. Kekuatan kasih sayang yang ada pada diri seorang hamba, timbul karena kuatnya iman padanya. Adapun lemahnya hal itu karena lemah imannya. Hal ini tampak jelas dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal sifat saling mencintai, saling menyayangi, dan saling peduli seperti satu tubuh.” Yang demikian itu karena Allah Yang kita sembah dan kita tuju dengan segala bentuk ibadah adalah Zat Yang Maha Pengasih serta mencintai orang-orang yang penyayang. Dan agama kita adalah agama rahmat. Nabi kita adalah Nabi yang membawa rahmat. Kitab kita pun kitab yang penuh dengan rahmat. Dan Allah pun menyifati hamba-hamba-Nya yang beriman di dalam kitab-Nya sebagai orang-orang yang ‘penuh kasih sayang di antara mereka’.” (lihat Fawa’id Mukhtasharah, judul Ar-Rahmah minal Iman, link website: https://al-badr.net/muqolat/7750) Jalan menuju kejayaan Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًۭا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًۭٔا ۚ “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 55) Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas paling utama dan kewajiban paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan, atau menguranginya. Demikian pula, wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak (menodainya).” (lihat Asy-Syarh Al-Mujaz, hal. 8) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas (dampak) yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akhirat, itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16) Akidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘lailahaillallah wa anna muhammadar rasulullah’. Akidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu, wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas akidah yang benar. Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar, niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Ta’liqat ‘ala Ath-Thahawiyah, hal. 23) Baca juga: Pelajaran dari Palestina *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: jalur gazaPalestina

Hadis: Tiga Keadaan yang Menyebabkan Boleh Meminta-minta

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal), kecuali untuk tiga golongan. (Pertama), orang yang menanggung utang (gharim, misalnya untuk mendamaikan dua pihak yang saling bersengketa). Maka, orang itu boleh meminta-minta, sehingga utangnya lunas. Apabila utangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Kedua), orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Ketiga), orang yang ditimpa kemiskinan, dipersaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercaya bahwa dia memang miskin. Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim no. 1044, Abu Dawud no. 1640, Ibnu Khuzaimah no. 2361, dan Ibnu Hiban 8: 190) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa terdapat tiga kondisi yang menyebabkan seseorang boleh meminta-minta, yaitu: Pertama, orang yang memiliki tanggungan utang kepada orang lain. Misalnya, utang yang digunakan untuk mendamaikan dua pihak atau kelompok yang bersengketa. Orang tersebut boleh diberi zakat untuk melunasi utang tersebut, meskipun pada asalnya dia kaya dan berkecukupan. Dalam syariat tersebut, terkandung motivasi untuk memiliki akhlak yang mulia. Orang Arab dulu, apabila ada di antara mereka yang memiliki utang, maka mereka bersegera untuk membantunya. Oleh karena itu, jika orang yang memiliki utang tersebut meminta-minta agar utangnya lunas, maka hal itu tidak dinilai sebagai perbuatan yang menjatuhkan kehormatannya. Bahkan, termasuk hal yang bisa dibanggakan. Kedua, orang yang terkena musibah sehingga harta bendanya menjadi musnah dan ludes, misalnya karena terkena banjir, kebakaran, gempa, atau lainnya. Dalam kondisi tersebut, dia boleh untuk meminta-minta. Dan wajib bagi orang yang memiliki kemampuan untuk membantunya agar dia bisa keluar dari kesulitan tersebut. Orang tersebut tidak perlu meminta bukti bahwa orang yang terkena musibah tersebut benar-benar sedang membutuhkan. Karena apabila ada orang yang terkena musibah semacam ini, dampaknya pasti terlihat secara nyata. Ketiga, siapa saja yang mengklaim bahwa dia jatuh miskin atau bangkrut setelah sebelumnya adalah orang kaya dan berkecukupan. Jika keadaan tersebut didukung oleh tiga saksi yang bisa dipercaya, maka dia boleh meminta-minta. Zahir hadis ini menunjukkan bahwa saksi tersebut berjumlah tiga orang. Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama berdalil bahwa kondisi bangkrut (kesulitan) itu harus dipersaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat Ibnu Khuzaimah, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan juga disebutkan oleh Ibnu Qudamah bahwa Imam Ahmad juga berpendapat demikian. (Lihat Al-Mughni, 14: 128 dan Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah, hal. 172) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa cukup dipersaksikan oleh dua orang sebagaimana persaksian yang lainnya, selain zina. Sehingga jumhur memaknai hadis ini sebagai anjuran saja. (Subulus Salam, 2: 288) Hadis ini tidaklah dimaknai bahwa yang boleh meminta-minta itu hanya tiga orang ini saja. Dalam hadis yang lain, juga terdapat dalil bahwa ada kondisi yang membolehkan seseorang meminta-minta, misalnya boleh meminta kepada penguasa (pemerintah). Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Sesungguhnya perbuatan meminta-minta itu seperti seseorang yang mencakar wajahnya sendiri, kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. At-Tirmidzi no. 681. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani) Contoh yang lain adalah bolehnya orang yang berhak menerima zakat untuk meminta bagian zakat. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Larangan Meminta-Minta Kepada Orang Lain *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 500-503). Tags: meminta-mintapengemis

Hadis: Tiga Keadaan yang Menyebabkan Boleh Meminta-minta

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal), kecuali untuk tiga golongan. (Pertama), orang yang menanggung utang (gharim, misalnya untuk mendamaikan dua pihak yang saling bersengketa). Maka, orang itu boleh meminta-minta, sehingga utangnya lunas. Apabila utangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Kedua), orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Ketiga), orang yang ditimpa kemiskinan, dipersaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercaya bahwa dia memang miskin. Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim no. 1044, Abu Dawud no. 1640, Ibnu Khuzaimah no. 2361, dan Ibnu Hiban 8: 190) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa terdapat tiga kondisi yang menyebabkan seseorang boleh meminta-minta, yaitu: Pertama, orang yang memiliki tanggungan utang kepada orang lain. Misalnya, utang yang digunakan untuk mendamaikan dua pihak atau kelompok yang bersengketa. Orang tersebut boleh diberi zakat untuk melunasi utang tersebut, meskipun pada asalnya dia kaya dan berkecukupan. Dalam syariat tersebut, terkandung motivasi untuk memiliki akhlak yang mulia. Orang Arab dulu, apabila ada di antara mereka yang memiliki utang, maka mereka bersegera untuk membantunya. Oleh karena itu, jika orang yang memiliki utang tersebut meminta-minta agar utangnya lunas, maka hal itu tidak dinilai sebagai perbuatan yang menjatuhkan kehormatannya. Bahkan, termasuk hal yang bisa dibanggakan. Kedua, orang yang terkena musibah sehingga harta bendanya menjadi musnah dan ludes, misalnya karena terkena banjir, kebakaran, gempa, atau lainnya. Dalam kondisi tersebut, dia boleh untuk meminta-minta. Dan wajib bagi orang yang memiliki kemampuan untuk membantunya agar dia bisa keluar dari kesulitan tersebut. Orang tersebut tidak perlu meminta bukti bahwa orang yang terkena musibah tersebut benar-benar sedang membutuhkan. Karena apabila ada orang yang terkena musibah semacam ini, dampaknya pasti terlihat secara nyata. Ketiga, siapa saja yang mengklaim bahwa dia jatuh miskin atau bangkrut setelah sebelumnya adalah orang kaya dan berkecukupan. Jika keadaan tersebut didukung oleh tiga saksi yang bisa dipercaya, maka dia boleh meminta-minta. Zahir hadis ini menunjukkan bahwa saksi tersebut berjumlah tiga orang. Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama berdalil bahwa kondisi bangkrut (kesulitan) itu harus dipersaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat Ibnu Khuzaimah, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan juga disebutkan oleh Ibnu Qudamah bahwa Imam Ahmad juga berpendapat demikian. (Lihat Al-Mughni, 14: 128 dan Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah, hal. 172) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa cukup dipersaksikan oleh dua orang sebagaimana persaksian yang lainnya, selain zina. Sehingga jumhur memaknai hadis ini sebagai anjuran saja. (Subulus Salam, 2: 288) Hadis ini tidaklah dimaknai bahwa yang boleh meminta-minta itu hanya tiga orang ini saja. Dalam hadis yang lain, juga terdapat dalil bahwa ada kondisi yang membolehkan seseorang meminta-minta, misalnya boleh meminta kepada penguasa (pemerintah). Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Sesungguhnya perbuatan meminta-minta itu seperti seseorang yang mencakar wajahnya sendiri, kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. At-Tirmidzi no. 681. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani) Contoh yang lain adalah bolehnya orang yang berhak menerima zakat untuk meminta bagian zakat. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Larangan Meminta-Minta Kepada Orang Lain *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 500-503). Tags: meminta-mintapengemis
Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal), kecuali untuk tiga golongan. (Pertama), orang yang menanggung utang (gharim, misalnya untuk mendamaikan dua pihak yang saling bersengketa). Maka, orang itu boleh meminta-minta, sehingga utangnya lunas. Apabila utangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Kedua), orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Ketiga), orang yang ditimpa kemiskinan, dipersaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercaya bahwa dia memang miskin. Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim no. 1044, Abu Dawud no. 1640, Ibnu Khuzaimah no. 2361, dan Ibnu Hiban 8: 190) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa terdapat tiga kondisi yang menyebabkan seseorang boleh meminta-minta, yaitu: Pertama, orang yang memiliki tanggungan utang kepada orang lain. Misalnya, utang yang digunakan untuk mendamaikan dua pihak atau kelompok yang bersengketa. Orang tersebut boleh diberi zakat untuk melunasi utang tersebut, meskipun pada asalnya dia kaya dan berkecukupan. Dalam syariat tersebut, terkandung motivasi untuk memiliki akhlak yang mulia. Orang Arab dulu, apabila ada di antara mereka yang memiliki utang, maka mereka bersegera untuk membantunya. Oleh karena itu, jika orang yang memiliki utang tersebut meminta-minta agar utangnya lunas, maka hal itu tidak dinilai sebagai perbuatan yang menjatuhkan kehormatannya. Bahkan, termasuk hal yang bisa dibanggakan. Kedua, orang yang terkena musibah sehingga harta bendanya menjadi musnah dan ludes, misalnya karena terkena banjir, kebakaran, gempa, atau lainnya. Dalam kondisi tersebut, dia boleh untuk meminta-minta. Dan wajib bagi orang yang memiliki kemampuan untuk membantunya agar dia bisa keluar dari kesulitan tersebut. Orang tersebut tidak perlu meminta bukti bahwa orang yang terkena musibah tersebut benar-benar sedang membutuhkan. Karena apabila ada orang yang terkena musibah semacam ini, dampaknya pasti terlihat secara nyata. Ketiga, siapa saja yang mengklaim bahwa dia jatuh miskin atau bangkrut setelah sebelumnya adalah orang kaya dan berkecukupan. Jika keadaan tersebut didukung oleh tiga saksi yang bisa dipercaya, maka dia boleh meminta-minta. Zahir hadis ini menunjukkan bahwa saksi tersebut berjumlah tiga orang. Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama berdalil bahwa kondisi bangkrut (kesulitan) itu harus dipersaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat Ibnu Khuzaimah, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan juga disebutkan oleh Ibnu Qudamah bahwa Imam Ahmad juga berpendapat demikian. (Lihat Al-Mughni, 14: 128 dan Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah, hal. 172) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa cukup dipersaksikan oleh dua orang sebagaimana persaksian yang lainnya, selain zina. Sehingga jumhur memaknai hadis ini sebagai anjuran saja. (Subulus Salam, 2: 288) Hadis ini tidaklah dimaknai bahwa yang boleh meminta-minta itu hanya tiga orang ini saja. Dalam hadis yang lain, juga terdapat dalil bahwa ada kondisi yang membolehkan seseorang meminta-minta, misalnya boleh meminta kepada penguasa (pemerintah). Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Sesungguhnya perbuatan meminta-minta itu seperti seseorang yang mencakar wajahnya sendiri, kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. At-Tirmidzi no. 681. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani) Contoh yang lain adalah bolehnya orang yang berhak menerima zakat untuk meminta bagian zakat. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Larangan Meminta-Minta Kepada Orang Lain *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 500-503). Tags: meminta-mintapengemis


Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal), kecuali untuk tiga golongan. (Pertama), orang yang menanggung utang (gharim, misalnya untuk mendamaikan dua pihak yang saling bersengketa). Maka, orang itu boleh meminta-minta, sehingga utangnya lunas. Apabila utangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Kedua), orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Ketiga), orang yang ditimpa kemiskinan, dipersaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercaya bahwa dia memang miskin. Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim no. 1044, Abu Dawud no. 1640, Ibnu Khuzaimah no. 2361, dan Ibnu Hiban 8: 190) Kandungan hadis Hadis di atas merupakan dalil bahwa terdapat tiga kondisi yang menyebabkan seseorang boleh meminta-minta, yaitu: Pertama, orang yang memiliki tanggungan utang kepada orang lain. Misalnya, utang yang digunakan untuk mendamaikan dua pihak atau kelompok yang bersengketa. Orang tersebut boleh diberi zakat untuk melunasi utang tersebut, meskipun pada asalnya dia kaya dan berkecukupan. Dalam syariat tersebut, terkandung motivasi untuk memiliki akhlak yang mulia. Orang Arab dulu, apabila ada di antara mereka yang memiliki utang, maka mereka bersegera untuk membantunya. Oleh karena itu, jika orang yang memiliki utang tersebut meminta-minta agar utangnya lunas, maka hal itu tidak dinilai sebagai perbuatan yang menjatuhkan kehormatannya. Bahkan, termasuk hal yang bisa dibanggakan. Kedua, orang yang terkena musibah sehingga harta bendanya menjadi musnah dan ludes, misalnya karena terkena banjir, kebakaran, gempa, atau lainnya. Dalam kondisi tersebut, dia boleh untuk meminta-minta. Dan wajib bagi orang yang memiliki kemampuan untuk membantunya agar dia bisa keluar dari kesulitan tersebut. Orang tersebut tidak perlu meminta bukti bahwa orang yang terkena musibah tersebut benar-benar sedang membutuhkan. Karena apabila ada orang yang terkena musibah semacam ini, dampaknya pasti terlihat secara nyata. Ketiga, siapa saja yang mengklaim bahwa dia jatuh miskin atau bangkrut setelah sebelumnya adalah orang kaya dan berkecukupan. Jika keadaan tersebut didukung oleh tiga saksi yang bisa dipercaya, maka dia boleh meminta-minta. Zahir hadis ini menunjukkan bahwa saksi tersebut berjumlah tiga orang. Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama berdalil bahwa kondisi bangkrut (kesulitan) itu harus dipersaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat Ibnu Khuzaimah, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan juga disebutkan oleh Ibnu Qudamah bahwa Imam Ahmad juga berpendapat demikian. (Lihat Al-Mughni, 14: 128 dan Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah, hal. 172) Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa cukup dipersaksikan oleh dua orang sebagaimana persaksian yang lainnya, selain zina. Sehingga jumhur memaknai hadis ini sebagai anjuran saja. (Subulus Salam, 2: 288) Hadis ini tidaklah dimaknai bahwa yang boleh meminta-minta itu hanya tiga orang ini saja. Dalam hadis yang lain, juga terdapat dalil bahwa ada kondisi yang membolehkan seseorang meminta-minta, misalnya boleh meminta kepada penguasa (pemerintah). Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Sesungguhnya perbuatan meminta-minta itu seperti seseorang yang mencakar wajahnya sendiri, kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. At-Tirmidzi no. 681. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani) Contoh yang lain adalah bolehnya orang yang berhak menerima zakat untuk meminta bagian zakat. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Larangan Meminta-Minta Kepada Orang Lain *** @Rumah Kasongan, 12 Rabiul akhir 1445/ 27 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 500-503). Tags: meminta-mintapengemis

Ringkasan Fikih Sujud Sahwi

Daftar Isi Toggle Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannyaHukum sujud sahwiLetak sujud sahwi dan sebab-sebabnyaPertama: Sujud sahwi setelah salamSebab pertama: Adanya tambahanSebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan.Kedua: Sujud sahwi sebelum salamSebab pertama, yaitu karena ada kekuranganSebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebutPenutup Lupa adalah salah satu fitrah yang Allah berikan kepada manusia. Dalam ibadah salat, seorang muslim terkadang juga mengalami lupa, baik itu lupa bacaan, lupa sebuah gerakan (dengan melewatkannya), lupa jumlah rakaat, atau lupa sudah sampai pada posisi apa. Pada kondisi lupa rakaat, lupa menambah gerakan, dan lupa sehingga mengurangi gerakan, maka Islam mensyariatkan adanya sujud sahwi. Yaitu, sujud yang dilakukan untuk menyempurnakan salat karena adanya kekurangan dalam salat yang kita lakukan. Berikut ini adalah poin-poin penting terkait sujud sahwi yang bisa kami ringkas untuk memudahkan kita semua di dalam memahami fikih sujud sahwi. Sehingga, tatkala menemukan kasus serupa dalam salat kita, kita dapat mempraktikkan sujud sahwi tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannya Sahwi secara bahasa artinya adalah lupa atau lalai. Sedangkan secara istilah, sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan di penghujung (sebelum salam) atau seusai salat (setelah salam) untuk menutupi cacat yang terjadi dalam salat dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja. Para ulama sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ “Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan ikamah, setan pun berpaling lagi. Apabila ikamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, ‘Ingatlah demikian, ingatlah demikian!’ untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia salat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1222 dan Muslim no. 389) Di hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia salat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan salatnya. Lalu, jika ternyata salatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571) Hukum sujud sahwi Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum sujud sahwi menjadi dua pendapat. Ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati kita adalah pendapat yang menyatakan wajibnya sujud sahwi tatkala mendapati sebabnya. Mengapa? Pertama: Karena di dalam hadis yang menjelaskan sujud sahwi (sebagaimana dua hadis yang telah kita sebutkan sebelumnya) seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah menunjukkan hukum wajib. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus menerus melakukan sujud sahwi ketika mendapati sebabnya. Dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya. Baca juga: Sujud Sahwi dalam Shalat Berjamaah Letak sujud sahwi dan sebab-sebabnya Sujud sahwi menurut letak dan waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua macam: Pertama: Sujud sahwi setelah salam Kondisi ini terjadi karena dua sebab. Sebab pertama: Adanya tambahan Tambahan tersebut dapat berupa: 1) Menambah berdiri atau duduk atau rukuk atau sujud; 2) Melakukan salam sebelum salat berakhir; dan 3) Meninggalkan rukun salat. Adapun yang pertama, yaitu menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud. Dalilnya adalah hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat zuhur 5 rakaat, maka dikatakan kepada beliau, ‘Apakah jumlah rakaat telah ditambah?’ Maka, Nabi bersabda, ‘Memangnya ada apa?’ Maka, ada yang berkata, ‘Engkau salat 5 rakaat.’ Maka, beliaupun sujud dua kali setelah salam.” (HR. Al-Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572) Adapun yang kedua, yaitu salam sebelum berakhirnya. Hal ini termasuk kategori penambahan dalam salat. Karena tatkala ia salam sebelum waktunya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan salatnya, maka di akhir salat ia akan salam lagi. Karenanya, ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam lagi dalam salatnya tersebut. Yang ketiga, yaitu meninggalkan rukun salat. Seperti orang yang lupa sujud kedua dalam rakaat pertama, lalu ketika ia dalam posisi sujud kedua pada rakaat kedua, ia teringat akan kekurangan sujudnya pada rakaat sebelumnya tersebut. Pada kondisi semacam ini, rakaat pertama yang telah dilakukannya tersebut gugur dan tidak teranggap, dan rakaat kedua yang sedang dilakukan tersebut menggantikan posisi rakaat pertamanya. Dalam kasus seperti ini, maka terdapat gerakan tambahan di dalam salat, yaitu rakaat pertama, di mana dia lupa untuk sujud kedua di dalamnya. Rakaat tersebut dikategorikan sebagai tambahan gerakan dalam salat yang mewajibkan sujud sahwi. Sebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ “Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu, kecondongan pada yang lebih kuat yang ia yakini). Kemudian, ia sempurnakan salatnya, kemudian salam, kemudian sujud dua kali.” (HR. Bukhari no. 401 dan Muslim no. 572) Kedua: Sujud sahwi sebelum salam Hal ini karena dua sebab: 1) ada kekurangan; dan 2) terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut. Sebab pertama, yaitu karena ada kekurangan Dalam hal ini yang dimaksud adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban salat, seperti tasyahud awal. Berdasarkan hadis Abdullah bin Buhainah yang bercerita tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ صَلَّى بهِمُ الظَّهْرَ ، فَقَامَ  في الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ معهُ حتَّى إذَا قَضَى الصَّلَاةَ وانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ “Bahwasanya Nabi mengimami mereka salat zuhur. Beliau pun berdiri setelah dua rakaat (menuju rakaat ketiga) dan tidak duduk (tasyahud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai salat, orang-orang menunggu beliau salam. Beliau lalu bertakbir dalam keadaan duduk, lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam.” (HR. Bukhari no. 829) Sebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ “Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam salatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia salat, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut. Dan dia bangun salatnya di atas yang dia yakini (yaitu, jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti), kemudian ia sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim no. 571) Baca juga: Lupa Melakukan Sujud Sahwi Penutup Beberapa poin penting lainnya: Pertama: Keraguan tidak dianggap dan tidak perlu sujud sahwi jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering terjadi, baik itu selalu muncul setiap kali salat, atau muncul setelah selesai salat. Kedua: Al-Imam Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka yang berbeda pendapat dari kalangan ulama (dalam masalah sujud sahwi), setelah menyebutkan perbedaan pendapat mereka, bahwa siapa saja yang sujud sebelum salam atau sesudah salam karena adanya tambahan ataupun kekurangan dalam salatnya, maka itu dianggap sah dan tidak merusak salat yang telah dilakukannya. Perbedaan pendapat mereka hanya dalam masalah mana yang lebih utama.” (Syarhu An-Nawawi, 5: 56) Dapat dipahami bahwa jika kita tidak mengetahui rincian letak hukum sujud sahwi, namun sudah berusaha untuk melakukannya meskipun ternyata salah penempatan, seperti sujud sebelum salam dalam kasus yang seharusnya sujud sahwinya tersebut setelah salam, maka itu tidaklah mengapa. Salatnya sudah sah dan tidak perlu mengulang kembali. Sebagian ulama menambahkan bahwa apabila kasus dan sebab sujudnya itu terdapat dalam hadis dan terdapat penyebutan bahwa beliau sujud sebelum salam, maka kita wajib juga untuk melakukannya sebelum salam. Dan apabila disebutkan bahwa beliau (karena suatu sebab) bersujud sahwi setelah salam, maka kita pun wajib untuk melakukannya setelah salam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. (Al-Fatawa, 23: 36-37) Ketiga: Jika imam lupa dalam salatnya kemudian melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya meskipun sang makmum tersebut ingat dan tidak lupa. Kecuali, bagi yang terlambat salat, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam, maka orang yang terlambat salat tersebut mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan salatnya. Keempat: Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya. Bisa dengan, سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى  “Subhana rabbiyal a’la.” (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi) atau dengan, سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ “Subbuhun quddusun, rabbul mala’ikati war-ruh.” (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-) (HR. Muslim no. 487) Atau dengan bacaan-bacaan lainnya yang memang benar datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti, سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو “Subhana man la yansa, subhana man la yashu.” atau, ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na.” maka, doa-doa tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Shalat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: sujud sahwi

Ringkasan Fikih Sujud Sahwi

Daftar Isi Toggle Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannyaHukum sujud sahwiLetak sujud sahwi dan sebab-sebabnyaPertama: Sujud sahwi setelah salamSebab pertama: Adanya tambahanSebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan.Kedua: Sujud sahwi sebelum salamSebab pertama, yaitu karena ada kekuranganSebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebutPenutup Lupa adalah salah satu fitrah yang Allah berikan kepada manusia. Dalam ibadah salat, seorang muslim terkadang juga mengalami lupa, baik itu lupa bacaan, lupa sebuah gerakan (dengan melewatkannya), lupa jumlah rakaat, atau lupa sudah sampai pada posisi apa. Pada kondisi lupa rakaat, lupa menambah gerakan, dan lupa sehingga mengurangi gerakan, maka Islam mensyariatkan adanya sujud sahwi. Yaitu, sujud yang dilakukan untuk menyempurnakan salat karena adanya kekurangan dalam salat yang kita lakukan. Berikut ini adalah poin-poin penting terkait sujud sahwi yang bisa kami ringkas untuk memudahkan kita semua di dalam memahami fikih sujud sahwi. Sehingga, tatkala menemukan kasus serupa dalam salat kita, kita dapat mempraktikkan sujud sahwi tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannya Sahwi secara bahasa artinya adalah lupa atau lalai. Sedangkan secara istilah, sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan di penghujung (sebelum salam) atau seusai salat (setelah salam) untuk menutupi cacat yang terjadi dalam salat dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja. Para ulama sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ “Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan ikamah, setan pun berpaling lagi. Apabila ikamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, ‘Ingatlah demikian, ingatlah demikian!’ untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia salat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1222 dan Muslim no. 389) Di hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia salat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan salatnya. Lalu, jika ternyata salatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571) Hukum sujud sahwi Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum sujud sahwi menjadi dua pendapat. Ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati kita adalah pendapat yang menyatakan wajibnya sujud sahwi tatkala mendapati sebabnya. Mengapa? Pertama: Karena di dalam hadis yang menjelaskan sujud sahwi (sebagaimana dua hadis yang telah kita sebutkan sebelumnya) seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah menunjukkan hukum wajib. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus menerus melakukan sujud sahwi ketika mendapati sebabnya. Dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya. Baca juga: Sujud Sahwi dalam Shalat Berjamaah Letak sujud sahwi dan sebab-sebabnya Sujud sahwi menurut letak dan waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua macam: Pertama: Sujud sahwi setelah salam Kondisi ini terjadi karena dua sebab. Sebab pertama: Adanya tambahan Tambahan tersebut dapat berupa: 1) Menambah berdiri atau duduk atau rukuk atau sujud; 2) Melakukan salam sebelum salat berakhir; dan 3) Meninggalkan rukun salat. Adapun yang pertama, yaitu menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud. Dalilnya adalah hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat zuhur 5 rakaat, maka dikatakan kepada beliau, ‘Apakah jumlah rakaat telah ditambah?’ Maka, Nabi bersabda, ‘Memangnya ada apa?’ Maka, ada yang berkata, ‘Engkau salat 5 rakaat.’ Maka, beliaupun sujud dua kali setelah salam.” (HR. Al-Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572) Adapun yang kedua, yaitu salam sebelum berakhirnya. Hal ini termasuk kategori penambahan dalam salat. Karena tatkala ia salam sebelum waktunya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan salatnya, maka di akhir salat ia akan salam lagi. Karenanya, ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam lagi dalam salatnya tersebut. Yang ketiga, yaitu meninggalkan rukun salat. Seperti orang yang lupa sujud kedua dalam rakaat pertama, lalu ketika ia dalam posisi sujud kedua pada rakaat kedua, ia teringat akan kekurangan sujudnya pada rakaat sebelumnya tersebut. Pada kondisi semacam ini, rakaat pertama yang telah dilakukannya tersebut gugur dan tidak teranggap, dan rakaat kedua yang sedang dilakukan tersebut menggantikan posisi rakaat pertamanya. Dalam kasus seperti ini, maka terdapat gerakan tambahan di dalam salat, yaitu rakaat pertama, di mana dia lupa untuk sujud kedua di dalamnya. Rakaat tersebut dikategorikan sebagai tambahan gerakan dalam salat yang mewajibkan sujud sahwi. Sebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ “Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu, kecondongan pada yang lebih kuat yang ia yakini). Kemudian, ia sempurnakan salatnya, kemudian salam, kemudian sujud dua kali.” (HR. Bukhari no. 401 dan Muslim no. 572) Kedua: Sujud sahwi sebelum salam Hal ini karena dua sebab: 1) ada kekurangan; dan 2) terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut. Sebab pertama, yaitu karena ada kekurangan Dalam hal ini yang dimaksud adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban salat, seperti tasyahud awal. Berdasarkan hadis Abdullah bin Buhainah yang bercerita tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ صَلَّى بهِمُ الظَّهْرَ ، فَقَامَ  في الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ معهُ حتَّى إذَا قَضَى الصَّلَاةَ وانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ “Bahwasanya Nabi mengimami mereka salat zuhur. Beliau pun berdiri setelah dua rakaat (menuju rakaat ketiga) dan tidak duduk (tasyahud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai salat, orang-orang menunggu beliau salam. Beliau lalu bertakbir dalam keadaan duduk, lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam.” (HR. Bukhari no. 829) Sebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ “Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam salatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia salat, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut. Dan dia bangun salatnya di atas yang dia yakini (yaitu, jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti), kemudian ia sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim no. 571) Baca juga: Lupa Melakukan Sujud Sahwi Penutup Beberapa poin penting lainnya: Pertama: Keraguan tidak dianggap dan tidak perlu sujud sahwi jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering terjadi, baik itu selalu muncul setiap kali salat, atau muncul setelah selesai salat. Kedua: Al-Imam Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka yang berbeda pendapat dari kalangan ulama (dalam masalah sujud sahwi), setelah menyebutkan perbedaan pendapat mereka, bahwa siapa saja yang sujud sebelum salam atau sesudah salam karena adanya tambahan ataupun kekurangan dalam salatnya, maka itu dianggap sah dan tidak merusak salat yang telah dilakukannya. Perbedaan pendapat mereka hanya dalam masalah mana yang lebih utama.” (Syarhu An-Nawawi, 5: 56) Dapat dipahami bahwa jika kita tidak mengetahui rincian letak hukum sujud sahwi, namun sudah berusaha untuk melakukannya meskipun ternyata salah penempatan, seperti sujud sebelum salam dalam kasus yang seharusnya sujud sahwinya tersebut setelah salam, maka itu tidaklah mengapa. Salatnya sudah sah dan tidak perlu mengulang kembali. Sebagian ulama menambahkan bahwa apabila kasus dan sebab sujudnya itu terdapat dalam hadis dan terdapat penyebutan bahwa beliau sujud sebelum salam, maka kita wajib juga untuk melakukannya sebelum salam. Dan apabila disebutkan bahwa beliau (karena suatu sebab) bersujud sahwi setelah salam, maka kita pun wajib untuk melakukannya setelah salam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. (Al-Fatawa, 23: 36-37) Ketiga: Jika imam lupa dalam salatnya kemudian melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya meskipun sang makmum tersebut ingat dan tidak lupa. Kecuali, bagi yang terlambat salat, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam, maka orang yang terlambat salat tersebut mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan salatnya. Keempat: Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya. Bisa dengan, سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى  “Subhana rabbiyal a’la.” (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi) atau dengan, سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ “Subbuhun quddusun, rabbul mala’ikati war-ruh.” (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-) (HR. Muslim no. 487) Atau dengan bacaan-bacaan lainnya yang memang benar datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti, سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو “Subhana man la yansa, subhana man la yashu.” atau, ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na.” maka, doa-doa tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Shalat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: sujud sahwi
Daftar Isi Toggle Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannyaHukum sujud sahwiLetak sujud sahwi dan sebab-sebabnyaPertama: Sujud sahwi setelah salamSebab pertama: Adanya tambahanSebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan.Kedua: Sujud sahwi sebelum salamSebab pertama, yaitu karena ada kekuranganSebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebutPenutup Lupa adalah salah satu fitrah yang Allah berikan kepada manusia. Dalam ibadah salat, seorang muslim terkadang juga mengalami lupa, baik itu lupa bacaan, lupa sebuah gerakan (dengan melewatkannya), lupa jumlah rakaat, atau lupa sudah sampai pada posisi apa. Pada kondisi lupa rakaat, lupa menambah gerakan, dan lupa sehingga mengurangi gerakan, maka Islam mensyariatkan adanya sujud sahwi. Yaitu, sujud yang dilakukan untuk menyempurnakan salat karena adanya kekurangan dalam salat yang kita lakukan. Berikut ini adalah poin-poin penting terkait sujud sahwi yang bisa kami ringkas untuk memudahkan kita semua di dalam memahami fikih sujud sahwi. Sehingga, tatkala menemukan kasus serupa dalam salat kita, kita dapat mempraktikkan sujud sahwi tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannya Sahwi secara bahasa artinya adalah lupa atau lalai. Sedangkan secara istilah, sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan di penghujung (sebelum salam) atau seusai salat (setelah salam) untuk menutupi cacat yang terjadi dalam salat dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja. Para ulama sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ “Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan ikamah, setan pun berpaling lagi. Apabila ikamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, ‘Ingatlah demikian, ingatlah demikian!’ untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia salat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1222 dan Muslim no. 389) Di hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia salat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan salatnya. Lalu, jika ternyata salatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571) Hukum sujud sahwi Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum sujud sahwi menjadi dua pendapat. Ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati kita adalah pendapat yang menyatakan wajibnya sujud sahwi tatkala mendapati sebabnya. Mengapa? Pertama: Karena di dalam hadis yang menjelaskan sujud sahwi (sebagaimana dua hadis yang telah kita sebutkan sebelumnya) seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah menunjukkan hukum wajib. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus menerus melakukan sujud sahwi ketika mendapati sebabnya. Dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya. Baca juga: Sujud Sahwi dalam Shalat Berjamaah Letak sujud sahwi dan sebab-sebabnya Sujud sahwi menurut letak dan waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua macam: Pertama: Sujud sahwi setelah salam Kondisi ini terjadi karena dua sebab. Sebab pertama: Adanya tambahan Tambahan tersebut dapat berupa: 1) Menambah berdiri atau duduk atau rukuk atau sujud; 2) Melakukan salam sebelum salat berakhir; dan 3) Meninggalkan rukun salat. Adapun yang pertama, yaitu menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud. Dalilnya adalah hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat zuhur 5 rakaat, maka dikatakan kepada beliau, ‘Apakah jumlah rakaat telah ditambah?’ Maka, Nabi bersabda, ‘Memangnya ada apa?’ Maka, ada yang berkata, ‘Engkau salat 5 rakaat.’ Maka, beliaupun sujud dua kali setelah salam.” (HR. Al-Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572) Adapun yang kedua, yaitu salam sebelum berakhirnya. Hal ini termasuk kategori penambahan dalam salat. Karena tatkala ia salam sebelum waktunya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan salatnya, maka di akhir salat ia akan salam lagi. Karenanya, ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam lagi dalam salatnya tersebut. Yang ketiga, yaitu meninggalkan rukun salat. Seperti orang yang lupa sujud kedua dalam rakaat pertama, lalu ketika ia dalam posisi sujud kedua pada rakaat kedua, ia teringat akan kekurangan sujudnya pada rakaat sebelumnya tersebut. Pada kondisi semacam ini, rakaat pertama yang telah dilakukannya tersebut gugur dan tidak teranggap, dan rakaat kedua yang sedang dilakukan tersebut menggantikan posisi rakaat pertamanya. Dalam kasus seperti ini, maka terdapat gerakan tambahan di dalam salat, yaitu rakaat pertama, di mana dia lupa untuk sujud kedua di dalamnya. Rakaat tersebut dikategorikan sebagai tambahan gerakan dalam salat yang mewajibkan sujud sahwi. Sebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ “Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu, kecondongan pada yang lebih kuat yang ia yakini). Kemudian, ia sempurnakan salatnya, kemudian salam, kemudian sujud dua kali.” (HR. Bukhari no. 401 dan Muslim no. 572) Kedua: Sujud sahwi sebelum salam Hal ini karena dua sebab: 1) ada kekurangan; dan 2) terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut. Sebab pertama, yaitu karena ada kekurangan Dalam hal ini yang dimaksud adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban salat, seperti tasyahud awal. Berdasarkan hadis Abdullah bin Buhainah yang bercerita tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ صَلَّى بهِمُ الظَّهْرَ ، فَقَامَ  في الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ معهُ حتَّى إذَا قَضَى الصَّلَاةَ وانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ “Bahwasanya Nabi mengimami mereka salat zuhur. Beliau pun berdiri setelah dua rakaat (menuju rakaat ketiga) dan tidak duduk (tasyahud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai salat, orang-orang menunggu beliau salam. Beliau lalu bertakbir dalam keadaan duduk, lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam.” (HR. Bukhari no. 829) Sebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ “Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam salatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia salat, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut. Dan dia bangun salatnya di atas yang dia yakini (yaitu, jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti), kemudian ia sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim no. 571) Baca juga: Lupa Melakukan Sujud Sahwi Penutup Beberapa poin penting lainnya: Pertama: Keraguan tidak dianggap dan tidak perlu sujud sahwi jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering terjadi, baik itu selalu muncul setiap kali salat, atau muncul setelah selesai salat. Kedua: Al-Imam Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka yang berbeda pendapat dari kalangan ulama (dalam masalah sujud sahwi), setelah menyebutkan perbedaan pendapat mereka, bahwa siapa saja yang sujud sebelum salam atau sesudah salam karena adanya tambahan ataupun kekurangan dalam salatnya, maka itu dianggap sah dan tidak merusak salat yang telah dilakukannya. Perbedaan pendapat mereka hanya dalam masalah mana yang lebih utama.” (Syarhu An-Nawawi, 5: 56) Dapat dipahami bahwa jika kita tidak mengetahui rincian letak hukum sujud sahwi, namun sudah berusaha untuk melakukannya meskipun ternyata salah penempatan, seperti sujud sebelum salam dalam kasus yang seharusnya sujud sahwinya tersebut setelah salam, maka itu tidaklah mengapa. Salatnya sudah sah dan tidak perlu mengulang kembali. Sebagian ulama menambahkan bahwa apabila kasus dan sebab sujudnya itu terdapat dalam hadis dan terdapat penyebutan bahwa beliau sujud sebelum salam, maka kita wajib juga untuk melakukannya sebelum salam. Dan apabila disebutkan bahwa beliau (karena suatu sebab) bersujud sahwi setelah salam, maka kita pun wajib untuk melakukannya setelah salam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. (Al-Fatawa, 23: 36-37) Ketiga: Jika imam lupa dalam salatnya kemudian melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya meskipun sang makmum tersebut ingat dan tidak lupa. Kecuali, bagi yang terlambat salat, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam, maka orang yang terlambat salat tersebut mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan salatnya. Keempat: Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya. Bisa dengan, سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى  “Subhana rabbiyal a’la.” (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi) atau dengan, سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ “Subbuhun quddusun, rabbul mala’ikati war-ruh.” (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-) (HR. Muslim no. 487) Atau dengan bacaan-bacaan lainnya yang memang benar datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti, سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو “Subhana man la yansa, subhana man la yashu.” atau, ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na.” maka, doa-doa tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Shalat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: sujud sahwi


Daftar Isi Toggle Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannyaHukum sujud sahwiLetak sujud sahwi dan sebab-sebabnyaPertama: Sujud sahwi setelah salamSebab pertama: Adanya tambahanSebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan.Kedua: Sujud sahwi sebelum salamSebab pertama, yaitu karena ada kekuranganSebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebutPenutup Lupa adalah salah satu fitrah yang Allah berikan kepada manusia. Dalam ibadah salat, seorang muslim terkadang juga mengalami lupa, baik itu lupa bacaan, lupa sebuah gerakan (dengan melewatkannya), lupa jumlah rakaat, atau lupa sudah sampai pada posisi apa. Pada kondisi lupa rakaat, lupa menambah gerakan, dan lupa sehingga mengurangi gerakan, maka Islam mensyariatkan adanya sujud sahwi. Yaitu, sujud yang dilakukan untuk menyempurnakan salat karena adanya kekurangan dalam salat yang kita lakukan. Berikut ini adalah poin-poin penting terkait sujud sahwi yang bisa kami ringkas untuk memudahkan kita semua di dalam memahami fikih sujud sahwi. Sehingga, tatkala menemukan kasus serupa dalam salat kita, kita dapat mempraktikkan sujud sahwi tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pengertian sujud sahwi dan dalil pensyariatannya Sahwi secara bahasa artinya adalah lupa atau lalai. Sedangkan secara istilah, sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan di penghujung (sebelum salam) atau seusai salat (setelah salam) untuk menutupi cacat yang terjadi dalam salat dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja. Para ulama sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ “Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan ikamah, setan pun berpaling lagi. Apabila ikamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, ‘Ingatlah demikian, ingatlah demikian!’ untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia salat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1222 dan Muslim no. 389) Di hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia salat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan salatnya. Lalu, jika ternyata salatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571) Hukum sujud sahwi Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum sujud sahwi menjadi dua pendapat. Ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati kita adalah pendapat yang menyatakan wajibnya sujud sahwi tatkala mendapati sebabnya. Mengapa? Pertama: Karena di dalam hadis yang menjelaskan sujud sahwi (sebagaimana dua hadis yang telah kita sebutkan sebelumnya) seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah menunjukkan hukum wajib. Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus menerus melakukan sujud sahwi ketika mendapati sebabnya. Dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya. Baca juga: Sujud Sahwi dalam Shalat Berjamaah Letak sujud sahwi dan sebab-sebabnya Sujud sahwi menurut letak dan waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua macam: Pertama: Sujud sahwi setelah salam Kondisi ini terjadi karena dua sebab. Sebab pertama: Adanya tambahan Tambahan tersebut dapat berupa: 1) Menambah berdiri atau duduk atau rukuk atau sujud; 2) Melakukan salam sebelum salat berakhir; dan 3) Meninggalkan rukun salat. Adapun yang pertama, yaitu menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud. Dalilnya adalah hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat zuhur 5 rakaat, maka dikatakan kepada beliau, ‘Apakah jumlah rakaat telah ditambah?’ Maka, Nabi bersabda, ‘Memangnya ada apa?’ Maka, ada yang berkata, ‘Engkau salat 5 rakaat.’ Maka, beliaupun sujud dua kali setelah salam.” (HR. Al-Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572) Adapun yang kedua, yaitu salam sebelum berakhirnya. Hal ini termasuk kategori penambahan dalam salat. Karena tatkala ia salam sebelum waktunya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan salatnya, maka di akhir salat ia akan salam lagi. Karenanya, ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam lagi dalam salatnya tersebut. Yang ketiga, yaitu meninggalkan rukun salat. Seperti orang yang lupa sujud kedua dalam rakaat pertama, lalu ketika ia dalam posisi sujud kedua pada rakaat kedua, ia teringat akan kekurangan sujudnya pada rakaat sebelumnya tersebut. Pada kondisi semacam ini, rakaat pertama yang telah dilakukannya tersebut gugur dan tidak teranggap, dan rakaat kedua yang sedang dilakukan tersebut menggantikan posisi rakaat pertamanya. Dalam kasus seperti ini, maka terdapat gerakan tambahan di dalam salat, yaitu rakaat pertama, di mana dia lupa untuk sujud kedua di dalamnya. Rakaat tersebut dikategorikan sebagai tambahan gerakan dalam salat yang mewajibkan sujud sahwi. Sebab kedua: Jika terjadi keraguan, namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ “Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu, kecondongan pada yang lebih kuat yang ia yakini). Kemudian, ia sempurnakan salatnya, kemudian salam, kemudian sujud dua kali.” (HR. Bukhari no. 401 dan Muslim no. 572) Kedua: Sujud sahwi sebelum salam Hal ini karena dua sebab: 1) ada kekurangan; dan 2) terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut. Sebab pertama, yaitu karena ada kekurangan Dalam hal ini yang dimaksud adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban salat, seperti tasyahud awal. Berdasarkan hadis Abdullah bin Buhainah yang bercerita tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ صَلَّى بهِمُ الظَّهْرَ ، فَقَامَ  في الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ معهُ حتَّى إذَا قَضَى الصَّلَاةَ وانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ “Bahwasanya Nabi mengimami mereka salat zuhur. Beliau pun berdiri setelah dua rakaat (menuju rakaat ketiga) dan tidak duduk (tasyahud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai salat, orang-orang menunggu beliau salam. Beliau lalu bertakbir dalam keadaan duduk, lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam.” (HR. Bukhari no. 829) Sebab kedua, yaitu terjadi keraguan, namun ia tidak bisa menguatkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan tersebut Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ “Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam salatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia salat, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut. Dan dia bangun salatnya di atas yang dia yakini (yaitu, jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti), kemudian ia sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim no. 571) Baca juga: Lupa Melakukan Sujud Sahwi Penutup Beberapa poin penting lainnya: Pertama: Keraguan tidak dianggap dan tidak perlu sujud sahwi jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering terjadi, baik itu selalu muncul setiap kali salat, atau muncul setelah selesai salat. Kedua: Al-Imam Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka yang berbeda pendapat dari kalangan ulama (dalam masalah sujud sahwi), setelah menyebutkan perbedaan pendapat mereka, bahwa siapa saja yang sujud sebelum salam atau sesudah salam karena adanya tambahan ataupun kekurangan dalam salatnya, maka itu dianggap sah dan tidak merusak salat yang telah dilakukannya. Perbedaan pendapat mereka hanya dalam masalah mana yang lebih utama.” (Syarhu An-Nawawi, 5: 56) Dapat dipahami bahwa jika kita tidak mengetahui rincian letak hukum sujud sahwi, namun sudah berusaha untuk melakukannya meskipun ternyata salah penempatan, seperti sujud sebelum salam dalam kasus yang seharusnya sujud sahwinya tersebut setelah salam, maka itu tidaklah mengapa. Salatnya sudah sah dan tidak perlu mengulang kembali. Sebagian ulama menambahkan bahwa apabila kasus dan sebab sujudnya itu terdapat dalam hadis dan terdapat penyebutan bahwa beliau sujud sebelum salam, maka kita wajib juga untuk melakukannya sebelum salam. Dan apabila disebutkan bahwa beliau (karena suatu sebab) bersujud sahwi setelah salam, maka kita pun wajib untuk melakukannya setelah salam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. (Al-Fatawa, 23: 36-37) Ketiga: Jika imam lupa dalam salatnya kemudian melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya meskipun sang makmum tersebut ingat dan tidak lupa. Kecuali, bagi yang terlambat salat, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam, maka orang yang terlambat salat tersebut mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan salatnya. Keempat: Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya. Bisa dengan, سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى  “Subhana rabbiyal a’la.” (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi) atau dengan, سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ “Subbuhun quddusun, rabbul mala’ikati war-ruh.” (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-) (HR. Muslim no. 487) Atau dengan bacaan-bacaan lainnya yang memang benar datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti, سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو “Subhana man la yansa, subhana man la yashu.” atau, ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na.” maka, doa-doa tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Shalat *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: sujud sahwi

Anak Kecil Joget Secara Naluriah, Jadi Dalil Halalnya Musik?

Pertanyaan: Kalau ada anak-anak balita, kita putarkan musik disco dangdut kemudian anak-anak itu bergembira & bergoyang. Apakah itu menjadi landasan hukum halalnya disco dangdut karena anak-anak ini lahir dalam keadaan fitrah? Apakah fitrah anak-anak dan orang awam bisa menjadi landasan aqidah dan halal-haramnya suatu perkara? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, dalil itu Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan yang lainnya. Bukan akal, bukan perbuatan kebanyakan orang, bukan perbuatan orang awam, dan bukan juga perbuatan anak kecil.  Allah ta’ala berfirman: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada Al-Qur’an. Mengembalikan kepada Rasul artinya kembali kepada As-Sunnah. Allah ta’ala tegaskan dalam ayat ini bahwa jika terjadi perselisihan, kembalikanlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan kepada perbuatan anak kecil. Allah ta’ala juga berfirman: أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ “Sesungguhnya yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah kebenaran” (QS. Ar-Ra’du : 19). Dari Malik bin Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: تركتُ فيكم أمريْنِ لن تضلُّوا ما تمسَّكْتُم بهما : كتابَ اللهِ وسُنَّةَ رسولِه “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang membuat kalian tidak akan sesat jika berpegang teguh padanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik dalam Al-Muwatha [2/889], dihasankan Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykah no. 184). Imam Al-Barbahari rahimahullah dalam matan Syarhus Sunnah berkata: واعلم رحمك الله أن الدين إنـما جاء من قبل الله تبارك وتعالى لم يوضع على عقول الرجال وآرائـهم وعلمه عند الله وعند رسوله فلا تتبع شيئاً يهواك “Ketahuilah saudaraku, semoga Allah merahmatimu, bahwa agama Islam itu datang dari Allah tabaaraka wa ta’ala. Tidak disandarkan pada akal atau pendapat-pendapat seseorang. Janganlah engkau mengikuti sesuatu hanya karena hawa nafsumu” . Kedua, tidak semua tabi’at asli manusia itu baik. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا “Sesungguhnya manusia diciptakan punya sifat banyak mengeluh” (QS. Al-Ma’arij: 19). Lalu apakah mengeluh itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا “Sesungguhnya manusia diciptakan lemah” (QS. An-Nisa: 28). Lalu apakah lemah itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, dalam keadaan tidak tahu apa-apa?” (QS. An-Nahl: 78). Maka apakah bodoh itu boleh dan baik? Tentu ini pendalilan yang tidak benar dan terlalu dipaksakan. Ketiga, sebagaimana ayat di atas, manusia terlahir dalam keadaan jahil dan tidak tahu kebenaran. Itulah fitrah anak-anak, mereka jahil dan belum paham kebenaran. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman: يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai hambaku, sesungguhnya kalian itu sesat kecuali orang-orang yang Aku beri hidayah. Maka mintalah hidayah kepada-Ku, Aku akan beri kalian hidayah” (HR. Muslim no.2577, dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu’anhu). Oleh karena itu perilaku anak-anak bukanlah dalil kebenaran. Adapun yang bahwa anak-anak terlahir dalam fitrah, maksudnya mereka terlahir dalam keadaan Islam dan siap untuk menerima kebenaran selama belum dipengaruhi oleh pengaruh buruk dari luar.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak yang lahir, ia terlahir di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang membuat dia jadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Al-Bukhari no.1385, Muslim no.2658). Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan:  وليس كذلك ، فإنَّ الله خلق بني آدم ، وفطرهم على قبول الإسلام ، والميل إليه دونَ غيره ، والتهيؤ لذلك ، والاستعداد له بالقوَّة ، لكن لابدَّ للعبد من تعليم الإسلام بالفعل ، فإنَّه قبل التعليم جاهلٌ لا يعلم شيئاً “Kedua hadits di atas tidak bertentangan. Karena Allah menciptakan manusia dan menanamkan fitrah bagi mereka untuk menerima Islam dan punya kecenderungan kepada Islam bukan kepada agama lain. Dan Allah siapkan manusia untuk menerima Islam dengan kuat. Namun wajib bagi seorang hamba untuk berusaha mempelajari islam. Karena sebelum mempelajari Islam ia adalah orang jahil yang tidak tahu apa-apa” (Jami al-Ulum wal Hikam, 2/662). Keempat, banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang musik, apakah semua dalil ini akan kita abaikan dan kita buang ke tong sampah? Musik juga telah diharamkan oleh ulama empat madzhab dan telah dinukil ijma’ oleh belasan ulama di antaranya: Al-Ajurri, Abu Thayyib Asy-Syafi’i, Ibnu Qudamah, Ibnu Shalah, Abul Abbas Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, Tajuddin As-Subki, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Abdil Barr, dan lainnya. Mereka semua menukil kata kesepakatan ulama tentang haramnya musik. Tentu saja, dengan nukilan ijma sebanyak ini, menjadi suatu hal meyakinkan. Apakah semua dalil ini diabaikan saja dan menjadikan perbuatan anak kecil sebagai sandaran?  Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Putih, Hukum Sholat Berdua Sama Pacar, Apa Hukum Nya Suami Menjilat Kemaluan Istri, Hukum Muntah Saat Puasa, Arti Nama Shidqia Dalam Islam, Yufid Org Visited 132 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 QRIS donasi Yufid

Anak Kecil Joget Secara Naluriah, Jadi Dalil Halalnya Musik?

Pertanyaan: Kalau ada anak-anak balita, kita putarkan musik disco dangdut kemudian anak-anak itu bergembira & bergoyang. Apakah itu menjadi landasan hukum halalnya disco dangdut karena anak-anak ini lahir dalam keadaan fitrah? Apakah fitrah anak-anak dan orang awam bisa menjadi landasan aqidah dan halal-haramnya suatu perkara? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, dalil itu Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan yang lainnya. Bukan akal, bukan perbuatan kebanyakan orang, bukan perbuatan orang awam, dan bukan juga perbuatan anak kecil.  Allah ta’ala berfirman: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada Al-Qur’an. Mengembalikan kepada Rasul artinya kembali kepada As-Sunnah. Allah ta’ala tegaskan dalam ayat ini bahwa jika terjadi perselisihan, kembalikanlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan kepada perbuatan anak kecil. Allah ta’ala juga berfirman: أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ “Sesungguhnya yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah kebenaran” (QS. Ar-Ra’du : 19). Dari Malik bin Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: تركتُ فيكم أمريْنِ لن تضلُّوا ما تمسَّكْتُم بهما : كتابَ اللهِ وسُنَّةَ رسولِه “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang membuat kalian tidak akan sesat jika berpegang teguh padanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik dalam Al-Muwatha [2/889], dihasankan Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykah no. 184). Imam Al-Barbahari rahimahullah dalam matan Syarhus Sunnah berkata: واعلم رحمك الله أن الدين إنـما جاء من قبل الله تبارك وتعالى لم يوضع على عقول الرجال وآرائـهم وعلمه عند الله وعند رسوله فلا تتبع شيئاً يهواك “Ketahuilah saudaraku, semoga Allah merahmatimu, bahwa agama Islam itu datang dari Allah tabaaraka wa ta’ala. Tidak disandarkan pada akal atau pendapat-pendapat seseorang. Janganlah engkau mengikuti sesuatu hanya karena hawa nafsumu” . Kedua, tidak semua tabi’at asli manusia itu baik. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا “Sesungguhnya manusia diciptakan punya sifat banyak mengeluh” (QS. Al-Ma’arij: 19). Lalu apakah mengeluh itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا “Sesungguhnya manusia diciptakan lemah” (QS. An-Nisa: 28). Lalu apakah lemah itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, dalam keadaan tidak tahu apa-apa?” (QS. An-Nahl: 78). Maka apakah bodoh itu boleh dan baik? Tentu ini pendalilan yang tidak benar dan terlalu dipaksakan. Ketiga, sebagaimana ayat di atas, manusia terlahir dalam keadaan jahil dan tidak tahu kebenaran. Itulah fitrah anak-anak, mereka jahil dan belum paham kebenaran. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman: يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai hambaku, sesungguhnya kalian itu sesat kecuali orang-orang yang Aku beri hidayah. Maka mintalah hidayah kepada-Ku, Aku akan beri kalian hidayah” (HR. Muslim no.2577, dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu’anhu). Oleh karena itu perilaku anak-anak bukanlah dalil kebenaran. Adapun yang bahwa anak-anak terlahir dalam fitrah, maksudnya mereka terlahir dalam keadaan Islam dan siap untuk menerima kebenaran selama belum dipengaruhi oleh pengaruh buruk dari luar.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak yang lahir, ia terlahir di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang membuat dia jadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Al-Bukhari no.1385, Muslim no.2658). Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan:  وليس كذلك ، فإنَّ الله خلق بني آدم ، وفطرهم على قبول الإسلام ، والميل إليه دونَ غيره ، والتهيؤ لذلك ، والاستعداد له بالقوَّة ، لكن لابدَّ للعبد من تعليم الإسلام بالفعل ، فإنَّه قبل التعليم جاهلٌ لا يعلم شيئاً “Kedua hadits di atas tidak bertentangan. Karena Allah menciptakan manusia dan menanamkan fitrah bagi mereka untuk menerima Islam dan punya kecenderungan kepada Islam bukan kepada agama lain. Dan Allah siapkan manusia untuk menerima Islam dengan kuat. Namun wajib bagi seorang hamba untuk berusaha mempelajari islam. Karena sebelum mempelajari Islam ia adalah orang jahil yang tidak tahu apa-apa” (Jami al-Ulum wal Hikam, 2/662). Keempat, banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang musik, apakah semua dalil ini akan kita abaikan dan kita buang ke tong sampah? Musik juga telah diharamkan oleh ulama empat madzhab dan telah dinukil ijma’ oleh belasan ulama di antaranya: Al-Ajurri, Abu Thayyib Asy-Syafi’i, Ibnu Qudamah, Ibnu Shalah, Abul Abbas Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, Tajuddin As-Subki, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Abdil Barr, dan lainnya. Mereka semua menukil kata kesepakatan ulama tentang haramnya musik. Tentu saja, dengan nukilan ijma sebanyak ini, menjadi suatu hal meyakinkan. Apakah semua dalil ini diabaikan saja dan menjadikan perbuatan anak kecil sebagai sandaran?  Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Putih, Hukum Sholat Berdua Sama Pacar, Apa Hukum Nya Suami Menjilat Kemaluan Istri, Hukum Muntah Saat Puasa, Arti Nama Shidqia Dalam Islam, Yufid Org Visited 132 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Kalau ada anak-anak balita, kita putarkan musik disco dangdut kemudian anak-anak itu bergembira & bergoyang. Apakah itu menjadi landasan hukum halalnya disco dangdut karena anak-anak ini lahir dalam keadaan fitrah? Apakah fitrah anak-anak dan orang awam bisa menjadi landasan aqidah dan halal-haramnya suatu perkara? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, dalil itu Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan yang lainnya. Bukan akal, bukan perbuatan kebanyakan orang, bukan perbuatan orang awam, dan bukan juga perbuatan anak kecil.  Allah ta’ala berfirman: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada Al-Qur’an. Mengembalikan kepada Rasul artinya kembali kepada As-Sunnah. Allah ta’ala tegaskan dalam ayat ini bahwa jika terjadi perselisihan, kembalikanlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan kepada perbuatan anak kecil. Allah ta’ala juga berfirman: أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ “Sesungguhnya yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah kebenaran” (QS. Ar-Ra’du : 19). Dari Malik bin Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: تركتُ فيكم أمريْنِ لن تضلُّوا ما تمسَّكْتُم بهما : كتابَ اللهِ وسُنَّةَ رسولِه “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang membuat kalian tidak akan sesat jika berpegang teguh padanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik dalam Al-Muwatha [2/889], dihasankan Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykah no. 184). Imam Al-Barbahari rahimahullah dalam matan Syarhus Sunnah berkata: واعلم رحمك الله أن الدين إنـما جاء من قبل الله تبارك وتعالى لم يوضع على عقول الرجال وآرائـهم وعلمه عند الله وعند رسوله فلا تتبع شيئاً يهواك “Ketahuilah saudaraku, semoga Allah merahmatimu, bahwa agama Islam itu datang dari Allah tabaaraka wa ta’ala. Tidak disandarkan pada akal atau pendapat-pendapat seseorang. Janganlah engkau mengikuti sesuatu hanya karena hawa nafsumu” . Kedua, tidak semua tabi’at asli manusia itu baik. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا “Sesungguhnya manusia diciptakan punya sifat banyak mengeluh” (QS. Al-Ma’arij: 19). Lalu apakah mengeluh itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا “Sesungguhnya manusia diciptakan lemah” (QS. An-Nisa: 28). Lalu apakah lemah itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, dalam keadaan tidak tahu apa-apa?” (QS. An-Nahl: 78). Maka apakah bodoh itu boleh dan baik? Tentu ini pendalilan yang tidak benar dan terlalu dipaksakan. Ketiga, sebagaimana ayat di atas, manusia terlahir dalam keadaan jahil dan tidak tahu kebenaran. Itulah fitrah anak-anak, mereka jahil dan belum paham kebenaran. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman: يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai hambaku, sesungguhnya kalian itu sesat kecuali orang-orang yang Aku beri hidayah. Maka mintalah hidayah kepada-Ku, Aku akan beri kalian hidayah” (HR. Muslim no.2577, dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu’anhu). Oleh karena itu perilaku anak-anak bukanlah dalil kebenaran. Adapun yang bahwa anak-anak terlahir dalam fitrah, maksudnya mereka terlahir dalam keadaan Islam dan siap untuk menerima kebenaran selama belum dipengaruhi oleh pengaruh buruk dari luar.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak yang lahir, ia terlahir di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang membuat dia jadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Al-Bukhari no.1385, Muslim no.2658). Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan:  وليس كذلك ، فإنَّ الله خلق بني آدم ، وفطرهم على قبول الإسلام ، والميل إليه دونَ غيره ، والتهيؤ لذلك ، والاستعداد له بالقوَّة ، لكن لابدَّ للعبد من تعليم الإسلام بالفعل ، فإنَّه قبل التعليم جاهلٌ لا يعلم شيئاً “Kedua hadits di atas tidak bertentangan. Karena Allah menciptakan manusia dan menanamkan fitrah bagi mereka untuk menerima Islam dan punya kecenderungan kepada Islam bukan kepada agama lain. Dan Allah siapkan manusia untuk menerima Islam dengan kuat. Namun wajib bagi seorang hamba untuk berusaha mempelajari islam. Karena sebelum mempelajari Islam ia adalah orang jahil yang tidak tahu apa-apa” (Jami al-Ulum wal Hikam, 2/662). Keempat, banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang musik, apakah semua dalil ini akan kita abaikan dan kita buang ke tong sampah? Musik juga telah diharamkan oleh ulama empat madzhab dan telah dinukil ijma’ oleh belasan ulama di antaranya: Al-Ajurri, Abu Thayyib Asy-Syafi’i, Ibnu Qudamah, Ibnu Shalah, Abul Abbas Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, Tajuddin As-Subki, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Abdil Barr, dan lainnya. Mereka semua menukil kata kesepakatan ulama tentang haramnya musik. Tentu saja, dengan nukilan ijma sebanyak ini, menjadi suatu hal meyakinkan. Apakah semua dalil ini diabaikan saja dan menjadikan perbuatan anak kecil sebagai sandaran?  Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Putih, Hukum Sholat Berdua Sama Pacar, Apa Hukum Nya Suami Menjilat Kemaluan Istri, Hukum Muntah Saat Puasa, Arti Nama Shidqia Dalam Islam, Yufid Org Visited 132 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Kalau ada anak-anak balita, kita putarkan musik disco dangdut kemudian anak-anak itu bergembira & bergoyang. Apakah itu menjadi landasan hukum halalnya disco dangdut karena anak-anak ini lahir dalam keadaan fitrah? Apakah fitrah anak-anak dan orang awam bisa menjadi landasan aqidah dan halal-haramnya suatu perkara? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Pertama, dalil itu Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan yang lainnya. Bukan akal, bukan perbuatan kebanyakan orang, bukan perbuatan orang awam, dan bukan juga perbuatan anak kecil.  Allah ta’ala berfirman: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada Al-Qur’an. Mengembalikan kepada Rasul artinya kembali kepada As-Sunnah. Allah ta’ala tegaskan dalam ayat ini bahwa jika terjadi perselisihan, kembalikanlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan kepada perbuatan anak kecil. Allah ta’ala juga berfirman: أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ “Sesungguhnya yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah kebenaran” (QS. Ar-Ra’du : 19). Dari Malik bin Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: تركتُ فيكم أمريْنِ لن تضلُّوا ما تمسَّكْتُم بهما : كتابَ اللهِ وسُنَّةَ رسولِه “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang membuat kalian tidak akan sesat jika berpegang teguh padanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik dalam Al-Muwatha [2/889], dihasankan Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykah no. 184). Imam Al-Barbahari rahimahullah dalam matan Syarhus Sunnah berkata: واعلم رحمك الله أن الدين إنـما جاء من قبل الله تبارك وتعالى لم يوضع على عقول الرجال وآرائـهم وعلمه عند الله وعند رسوله فلا تتبع شيئاً يهواك “Ketahuilah saudaraku, semoga Allah merahmatimu, bahwa agama Islam itu datang dari Allah tabaaraka wa ta’ala. Tidak disandarkan pada akal atau pendapat-pendapat seseorang. Janganlah engkau mengikuti sesuatu hanya karena hawa nafsumu” . Kedua, tidak semua tabi’at asli manusia itu baik. Allah ta’ala berfirman: إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا “Sesungguhnya manusia diciptakan punya sifat banyak mengeluh” (QS. Al-Ma’arij: 19). Lalu apakah mengeluh itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا “Sesungguhnya manusia diciptakan lemah” (QS. An-Nisa: 28). Lalu apakah lemah itu boleh dan baik? Allah ta’ala juga berfirman: وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, dalam keadaan tidak tahu apa-apa?” (QS. An-Nahl: 78). Maka apakah bodoh itu boleh dan baik? Tentu ini pendalilan yang tidak benar dan terlalu dipaksakan. Ketiga, sebagaimana ayat di atas, manusia terlahir dalam keadaan jahil dan tidak tahu kebenaran. Itulah fitrah anak-anak, mereka jahil dan belum paham kebenaran. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman: يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai hambaku, sesungguhnya kalian itu sesat kecuali orang-orang yang Aku beri hidayah. Maka mintalah hidayah kepada-Ku, Aku akan beri kalian hidayah” (HR. Muslim no.2577, dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu’anhu). Oleh karena itu perilaku anak-anak bukanlah dalil kebenaran. Adapun yang bahwa anak-anak terlahir dalam fitrah, maksudnya mereka terlahir dalam keadaan Islam dan siap untuk menerima kebenaran selama belum dipengaruhi oleh pengaruh buruk dari luar.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak yang lahir, ia terlahir di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang membuat dia jadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Al-Bukhari no.1385, Muslim no.2658). Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan:  وليس كذلك ، فإنَّ الله خلق بني آدم ، وفطرهم على قبول الإسلام ، والميل إليه دونَ غيره ، والتهيؤ لذلك ، والاستعداد له بالقوَّة ، لكن لابدَّ للعبد من تعليم الإسلام بالفعل ، فإنَّه قبل التعليم جاهلٌ لا يعلم شيئاً “Kedua hadits di atas tidak bertentangan. Karena Allah menciptakan manusia dan menanamkan fitrah bagi mereka untuk menerima Islam dan punya kecenderungan kepada Islam bukan kepada agama lain. Dan Allah siapkan manusia untuk menerima Islam dengan kuat. Namun wajib bagi seorang hamba untuk berusaha mempelajari islam. Karena sebelum mempelajari Islam ia adalah orang jahil yang tidak tahu apa-apa” (Jami al-Ulum wal Hikam, 2/662). Keempat, banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang musik, apakah semua dalil ini akan kita abaikan dan kita buang ke tong sampah? Musik juga telah diharamkan oleh ulama empat madzhab dan telah dinukil ijma’ oleh belasan ulama di antaranya: Al-Ajurri, Abu Thayyib Asy-Syafi’i, Ibnu Qudamah, Ibnu Shalah, Abul Abbas Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, Tajuddin As-Subki, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Abdil Barr, dan lainnya. Mereka semua menukil kata kesepakatan ulama tentang haramnya musik. Tentu saja, dengan nukilan ijma sebanyak ini, menjadi suatu hal meyakinkan. Apakah semua dalil ini diabaikan saja dan menjadikan perbuatan anak kecil sebagai sandaran?  Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Putih, Hukum Sholat Berdua Sama Pacar, Apa Hukum Nya Suami Menjilat Kemaluan Istri, Hukum Muntah Saat Puasa, Arti Nama Shidqia Dalam Islam, Yufid Org Visited 132 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Cara Mencegah Efek Negatif dari Media Sosial dalam Pandangan Islam

Daftar Isi Toggle Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosialLangkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan IslamMengatasi pengaruh media sosialEtika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosialLangkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’iMencari informasi yang bermanfaatMenjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulisBudayakanlah tabayyunMenjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikanMeminta perlindungan dengan berdoa Akhir-akhir ini, hampir semua masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menggunakan media sosial sebagai aktivitas dan kebutuhan harian. Media sosial menjadi wadah untuk berbagai agenda kegiatan dan alat yang sering digunakan oleh masyarakat, khususnya anak muda, untuk berinteraksi antar sesama. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengakses media sosial untuk mencari hiburan dan informasi yang dibutuhkan. Bahkan, menjadikan media sosial sebagai ladang untuk mencari pekerjaan, atau bahkan dalam mendapatkan pendapatan hidup, serta bisa menjadi wadah kebermanfaatan. Namun, dalam menggunakan media sosial, perlu memperhatikan beberapa hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Karena banyak juga hal negatif yang ditimbulkan dengan adanya media sosial. Dalam hal ini, tentu agama Islam mengatur dan memperhatikan dalam berbagai segi, baik dalam penggunaannya, dalam segi adab, maupun etika. Islam adalah agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menjaga interaksi, baik secara langsung maupun tidak langsung (daring), semisal dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya. Adapun beberapa langkah dalam menghindari dampak negatif dari penggunaan media sosial, yang bisa kita lakukan dan upayakan, dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain: Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosial Cara mengurangi dampak negatif media sosial, antara lain: 1) Membatasi waktu penggunaan media sosial; 2) Menghindari bermain menggunakan media sosial untuk sesuatu yang tidak penting; 3) Menghindari menggunakan media sosial saat jam-jam tertentu; 4) Mematikan notifikasi media sosial; 5) Menghabiskan waktu luang dengan keluarga; dan 6) Fokus dengan pekerjaan. Langkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan Islam Berikut ini adalah adab-adab dalam menggunakan media sosial sesuai ajaran Islam: 1) Mencari informasi yang bermanfaat; 2) Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Mengatasi pengaruh media sosial Beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam mengatasi kecanduan media sosial, antara lain: 1) Memulai hobi baru yang tidak berkaitan dengan media sosial; 2) Membuat jadwal atau membatasi waktu untuk bermain media sosial; 3) Memperbanyak aktivitas di luar rumah; dan 4) Meletakkan gadget yang jauh dari genggaman atau pandangan. Etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial Beberapa etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial adalah: 1) Pergunakan bahasa yang baik; 2) Hindari penyebaran SARA, aksi kekerasan, dan lainnya; 3) Kroscek kebenaran berita; 4) Menghargai hasil karya orang lain; 5) Jangan terlalu mengumbar informasi pribadi; 6) Bijak dalam menggunakan media sosial; 7) Menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi; 8) Selektif dalam menyebarkan informasi; 9) Tidak menyebarkan rahasia pribadi ke ranah publik; 10) Bijak dalam mengatur waktu online; dan 11) Hati-hati dalam menyebarkan atau menyampaikan data pribadi. Sedangkan, dampak negatif lainnya dari menggunakan atau pelaku media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, dan membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet. Selain itu, juga dapat menimbulkan konflik. Masalah privasi rentan terhadap pengaruh buruk orang lain. Maka, hal yang perlu dihindari saat menggunakan media sosial, yakni hindari dalam lingkungan toxic. Selain itu, hindari dalam perilaku atau keterlibatan menyebarkan info atau berita hoax serta informasi bohong, meskipun dengan tujuan yang baik, seperti informasi mengenai kematian orang yang masih hidup dan lain sebagainya. Hindari pula dan berhati-hati dalam area yang terdapat penyebaran materi pornografi dan kemaksiatan, meskipun hanya sekedar gambar. Info perselingkuhan hal tersebut dapat mengotori hati. Hindari segala macam hal yang terlarang secara syar’i dan hindari segala konten yang benar, namun tidak sesuai tempat dan/atau waktunya. Islam sangat mengatur umatnya dalam bermuamalah dan berinteraksi, baik secara langsung maupun secara online. Islam pun mengatur etika dan adab dalam kita berkomunikasi secara online di dalam media sosial. Jika kita tidak menjaga adab dalam hubungan sosial, pasti akan dibenci orang. Demikian pula, dalam media sosial, tulisan yang menyakiti orang pasti akan membekas pada hati mereka. Bedanya, jika dengan lisan, akan terhapus; sedangkan dengan tulisan, kata-kata itu akan selamanya dibaca orang dan terekam dalam bukti jejak media. Baca juga: Efektifitas Berdakwah Melalui Media Sosial Langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i Adapun beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain : Mencari informasi yang bermanfaat Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkannya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا, سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulis Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk menjaga lisan dan ucapan kita, baik dalam hal muamalah harian maupun dalam kegiatan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang berisi nasihat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمر دينك “Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu.” (HR. Ahmad) Budayakanlah tabayyun Sebagai seorang muslim, kita harus bersikap tabayyun terlebih dahulu dalam menerima informasi atau berita. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan informasi atau berita yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seperti dalam firman Allah pada surah Al-Hujurat ayat 6, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Menjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikan Kebaikan dapat kita sampaikan dengan banyak cara dan berbagai media sarana. Salah satunya adalah dengan menyebarkan kebaikan melalui media sosial. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dari media sosial. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, hadis dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Meminta perlindungan dengan berdoa Meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang banyak beredar dalam dunia maya, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Berdoa dan senantiasa meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni fitnah-fitnah informasi yang memperburuk dan menimbulkan penyakit hati yang terumbar dalam berbagai segi kehidupan, termasuk di media sosial. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosial

Cara Mencegah Efek Negatif dari Media Sosial dalam Pandangan Islam

Daftar Isi Toggle Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosialLangkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan IslamMengatasi pengaruh media sosialEtika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosialLangkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’iMencari informasi yang bermanfaatMenjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulisBudayakanlah tabayyunMenjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikanMeminta perlindungan dengan berdoa Akhir-akhir ini, hampir semua masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menggunakan media sosial sebagai aktivitas dan kebutuhan harian. Media sosial menjadi wadah untuk berbagai agenda kegiatan dan alat yang sering digunakan oleh masyarakat, khususnya anak muda, untuk berinteraksi antar sesama. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengakses media sosial untuk mencari hiburan dan informasi yang dibutuhkan. Bahkan, menjadikan media sosial sebagai ladang untuk mencari pekerjaan, atau bahkan dalam mendapatkan pendapatan hidup, serta bisa menjadi wadah kebermanfaatan. Namun, dalam menggunakan media sosial, perlu memperhatikan beberapa hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Karena banyak juga hal negatif yang ditimbulkan dengan adanya media sosial. Dalam hal ini, tentu agama Islam mengatur dan memperhatikan dalam berbagai segi, baik dalam penggunaannya, dalam segi adab, maupun etika. Islam adalah agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menjaga interaksi, baik secara langsung maupun tidak langsung (daring), semisal dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya. Adapun beberapa langkah dalam menghindari dampak negatif dari penggunaan media sosial, yang bisa kita lakukan dan upayakan, dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain: Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosial Cara mengurangi dampak negatif media sosial, antara lain: 1) Membatasi waktu penggunaan media sosial; 2) Menghindari bermain menggunakan media sosial untuk sesuatu yang tidak penting; 3) Menghindari menggunakan media sosial saat jam-jam tertentu; 4) Mematikan notifikasi media sosial; 5) Menghabiskan waktu luang dengan keluarga; dan 6) Fokus dengan pekerjaan. Langkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan Islam Berikut ini adalah adab-adab dalam menggunakan media sosial sesuai ajaran Islam: 1) Mencari informasi yang bermanfaat; 2) Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Mengatasi pengaruh media sosial Beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam mengatasi kecanduan media sosial, antara lain: 1) Memulai hobi baru yang tidak berkaitan dengan media sosial; 2) Membuat jadwal atau membatasi waktu untuk bermain media sosial; 3) Memperbanyak aktivitas di luar rumah; dan 4) Meletakkan gadget yang jauh dari genggaman atau pandangan. Etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial Beberapa etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial adalah: 1) Pergunakan bahasa yang baik; 2) Hindari penyebaran SARA, aksi kekerasan, dan lainnya; 3) Kroscek kebenaran berita; 4) Menghargai hasil karya orang lain; 5) Jangan terlalu mengumbar informasi pribadi; 6) Bijak dalam menggunakan media sosial; 7) Menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi; 8) Selektif dalam menyebarkan informasi; 9) Tidak menyebarkan rahasia pribadi ke ranah publik; 10) Bijak dalam mengatur waktu online; dan 11) Hati-hati dalam menyebarkan atau menyampaikan data pribadi. Sedangkan, dampak negatif lainnya dari menggunakan atau pelaku media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, dan membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet. Selain itu, juga dapat menimbulkan konflik. Masalah privasi rentan terhadap pengaruh buruk orang lain. Maka, hal yang perlu dihindari saat menggunakan media sosial, yakni hindari dalam lingkungan toxic. Selain itu, hindari dalam perilaku atau keterlibatan menyebarkan info atau berita hoax serta informasi bohong, meskipun dengan tujuan yang baik, seperti informasi mengenai kematian orang yang masih hidup dan lain sebagainya. Hindari pula dan berhati-hati dalam area yang terdapat penyebaran materi pornografi dan kemaksiatan, meskipun hanya sekedar gambar. Info perselingkuhan hal tersebut dapat mengotori hati. Hindari segala macam hal yang terlarang secara syar’i dan hindari segala konten yang benar, namun tidak sesuai tempat dan/atau waktunya. Islam sangat mengatur umatnya dalam bermuamalah dan berinteraksi, baik secara langsung maupun secara online. Islam pun mengatur etika dan adab dalam kita berkomunikasi secara online di dalam media sosial. Jika kita tidak menjaga adab dalam hubungan sosial, pasti akan dibenci orang. Demikian pula, dalam media sosial, tulisan yang menyakiti orang pasti akan membekas pada hati mereka. Bedanya, jika dengan lisan, akan terhapus; sedangkan dengan tulisan, kata-kata itu akan selamanya dibaca orang dan terekam dalam bukti jejak media. Baca juga: Efektifitas Berdakwah Melalui Media Sosial Langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i Adapun beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain : Mencari informasi yang bermanfaat Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkannya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا, سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulis Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk menjaga lisan dan ucapan kita, baik dalam hal muamalah harian maupun dalam kegiatan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang berisi nasihat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمر دينك “Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu.” (HR. Ahmad) Budayakanlah tabayyun Sebagai seorang muslim, kita harus bersikap tabayyun terlebih dahulu dalam menerima informasi atau berita. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan informasi atau berita yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seperti dalam firman Allah pada surah Al-Hujurat ayat 6, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Menjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikan Kebaikan dapat kita sampaikan dengan banyak cara dan berbagai media sarana. Salah satunya adalah dengan menyebarkan kebaikan melalui media sosial. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dari media sosial. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, hadis dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Meminta perlindungan dengan berdoa Meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang banyak beredar dalam dunia maya, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Berdoa dan senantiasa meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni fitnah-fitnah informasi yang memperburuk dan menimbulkan penyakit hati yang terumbar dalam berbagai segi kehidupan, termasuk di media sosial. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosial
Daftar Isi Toggle Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosialLangkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan IslamMengatasi pengaruh media sosialEtika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosialLangkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’iMencari informasi yang bermanfaatMenjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulisBudayakanlah tabayyunMenjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikanMeminta perlindungan dengan berdoa Akhir-akhir ini, hampir semua masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menggunakan media sosial sebagai aktivitas dan kebutuhan harian. Media sosial menjadi wadah untuk berbagai agenda kegiatan dan alat yang sering digunakan oleh masyarakat, khususnya anak muda, untuk berinteraksi antar sesama. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengakses media sosial untuk mencari hiburan dan informasi yang dibutuhkan. Bahkan, menjadikan media sosial sebagai ladang untuk mencari pekerjaan, atau bahkan dalam mendapatkan pendapatan hidup, serta bisa menjadi wadah kebermanfaatan. Namun, dalam menggunakan media sosial, perlu memperhatikan beberapa hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Karena banyak juga hal negatif yang ditimbulkan dengan adanya media sosial. Dalam hal ini, tentu agama Islam mengatur dan memperhatikan dalam berbagai segi, baik dalam penggunaannya, dalam segi adab, maupun etika. Islam adalah agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menjaga interaksi, baik secara langsung maupun tidak langsung (daring), semisal dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya. Adapun beberapa langkah dalam menghindari dampak negatif dari penggunaan media sosial, yang bisa kita lakukan dan upayakan, dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain: Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosial Cara mengurangi dampak negatif media sosial, antara lain: 1) Membatasi waktu penggunaan media sosial; 2) Menghindari bermain menggunakan media sosial untuk sesuatu yang tidak penting; 3) Menghindari menggunakan media sosial saat jam-jam tertentu; 4) Mematikan notifikasi media sosial; 5) Menghabiskan waktu luang dengan keluarga; dan 6) Fokus dengan pekerjaan. Langkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan Islam Berikut ini adalah adab-adab dalam menggunakan media sosial sesuai ajaran Islam: 1) Mencari informasi yang bermanfaat; 2) Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Mengatasi pengaruh media sosial Beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam mengatasi kecanduan media sosial, antara lain: 1) Memulai hobi baru yang tidak berkaitan dengan media sosial; 2) Membuat jadwal atau membatasi waktu untuk bermain media sosial; 3) Memperbanyak aktivitas di luar rumah; dan 4) Meletakkan gadget yang jauh dari genggaman atau pandangan. Etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial Beberapa etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial adalah: 1) Pergunakan bahasa yang baik; 2) Hindari penyebaran SARA, aksi kekerasan, dan lainnya; 3) Kroscek kebenaran berita; 4) Menghargai hasil karya orang lain; 5) Jangan terlalu mengumbar informasi pribadi; 6) Bijak dalam menggunakan media sosial; 7) Menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi; 8) Selektif dalam menyebarkan informasi; 9) Tidak menyebarkan rahasia pribadi ke ranah publik; 10) Bijak dalam mengatur waktu online; dan 11) Hati-hati dalam menyebarkan atau menyampaikan data pribadi. Sedangkan, dampak negatif lainnya dari menggunakan atau pelaku media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, dan membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet. Selain itu, juga dapat menimbulkan konflik. Masalah privasi rentan terhadap pengaruh buruk orang lain. Maka, hal yang perlu dihindari saat menggunakan media sosial, yakni hindari dalam lingkungan toxic. Selain itu, hindari dalam perilaku atau keterlibatan menyebarkan info atau berita hoax serta informasi bohong, meskipun dengan tujuan yang baik, seperti informasi mengenai kematian orang yang masih hidup dan lain sebagainya. Hindari pula dan berhati-hati dalam area yang terdapat penyebaran materi pornografi dan kemaksiatan, meskipun hanya sekedar gambar. Info perselingkuhan hal tersebut dapat mengotori hati. Hindari segala macam hal yang terlarang secara syar’i dan hindari segala konten yang benar, namun tidak sesuai tempat dan/atau waktunya. Islam sangat mengatur umatnya dalam bermuamalah dan berinteraksi, baik secara langsung maupun secara online. Islam pun mengatur etika dan adab dalam kita berkomunikasi secara online di dalam media sosial. Jika kita tidak menjaga adab dalam hubungan sosial, pasti akan dibenci orang. Demikian pula, dalam media sosial, tulisan yang menyakiti orang pasti akan membekas pada hati mereka. Bedanya, jika dengan lisan, akan terhapus; sedangkan dengan tulisan, kata-kata itu akan selamanya dibaca orang dan terekam dalam bukti jejak media. Baca juga: Efektifitas Berdakwah Melalui Media Sosial Langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i Adapun beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain : Mencari informasi yang bermanfaat Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkannya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا, سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulis Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk menjaga lisan dan ucapan kita, baik dalam hal muamalah harian maupun dalam kegiatan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang berisi nasihat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمر دينك “Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu.” (HR. Ahmad) Budayakanlah tabayyun Sebagai seorang muslim, kita harus bersikap tabayyun terlebih dahulu dalam menerima informasi atau berita. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan informasi atau berita yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seperti dalam firman Allah pada surah Al-Hujurat ayat 6, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Menjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikan Kebaikan dapat kita sampaikan dengan banyak cara dan berbagai media sarana. Salah satunya adalah dengan menyebarkan kebaikan melalui media sosial. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dari media sosial. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, hadis dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Meminta perlindungan dengan berdoa Meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang banyak beredar dalam dunia maya, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Berdoa dan senantiasa meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni fitnah-fitnah informasi yang memperburuk dan menimbulkan penyakit hati yang terumbar dalam berbagai segi kehidupan, termasuk di media sosial. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosial


Daftar Isi Toggle Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosialLangkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan IslamMengatasi pengaruh media sosialEtika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosialLangkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’iMencari informasi yang bermanfaatMenjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulisBudayakanlah tabayyunMenjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikanMeminta perlindungan dengan berdoa Akhir-akhir ini, hampir semua masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menggunakan media sosial sebagai aktivitas dan kebutuhan harian. Media sosial menjadi wadah untuk berbagai agenda kegiatan dan alat yang sering digunakan oleh masyarakat, khususnya anak muda, untuk berinteraksi antar sesama. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengakses media sosial untuk mencari hiburan dan informasi yang dibutuhkan. Bahkan, menjadikan media sosial sebagai ladang untuk mencari pekerjaan, atau bahkan dalam mendapatkan pendapatan hidup, serta bisa menjadi wadah kebermanfaatan. Namun, dalam menggunakan media sosial, perlu memperhatikan beberapa hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Karena banyak juga hal negatif yang ditimbulkan dengan adanya media sosial. Dalam hal ini, tentu agama Islam mengatur dan memperhatikan dalam berbagai segi, baik dalam penggunaannya, dalam segi adab, maupun etika. Islam adalah agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan, termasuk memiliki batasan-batasan syar’i dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menjaga interaksi, baik secara langsung maupun tidak langsung (daring), semisal dalam menggunakan media sosial. Hal ini agar tercipta kondisi yang lebih nyaman, bijak, dan tetap memperhatikan etika yang bermoral dalam setiap aktivitasnya. Adapun beberapa langkah dalam menghindari dampak negatif dari penggunaan media sosial, yang bisa kita lakukan dan upayakan, dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain: Langkah menghindari dampak negatif dari pengunaan media sosial Cara mengurangi dampak negatif media sosial, antara lain: 1) Membatasi waktu penggunaan media sosial; 2) Menghindari bermain menggunakan media sosial untuk sesuatu yang tidak penting; 3) Menghindari menggunakan media sosial saat jam-jam tertentu; 4) Mematikan notifikasi media sosial; 5) Menghabiskan waktu luang dengan keluarga; dan 6) Fokus dengan pekerjaan. Langkah dan cara menggunakan media sosial dalam pandangan Islam Berikut ini adalah adab-adab dalam menggunakan media sosial sesuai ajaran Islam: 1) Mencari informasi yang bermanfaat; 2) Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkanya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Mengatasi pengaruh media sosial Beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam mengatasi kecanduan media sosial, antara lain: 1) Memulai hobi baru yang tidak berkaitan dengan media sosial; 2) Membuat jadwal atau membatasi waktu untuk bermain media sosial; 3) Memperbanyak aktivitas di luar rumah; dan 4) Meletakkan gadget yang jauh dari genggaman atau pandangan. Etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial Beberapa etika yang perlu diterapkan dalam bermedia sosial adalah: 1) Pergunakan bahasa yang baik; 2) Hindari penyebaran SARA, aksi kekerasan, dan lainnya; 3) Kroscek kebenaran berita; 4) Menghargai hasil karya orang lain; 5) Jangan terlalu mengumbar informasi pribadi; 6) Bijak dalam menggunakan media sosial; 7) Menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi; 8) Selektif dalam menyebarkan informasi; 9) Tidak menyebarkan rahasia pribadi ke ranah publik; 10) Bijak dalam mengatur waktu online; dan 11) Hati-hati dalam menyebarkan atau menyampaikan data pribadi. Sedangkan, dampak negatif lainnya dari menggunakan atau pelaku media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, dan membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet. Selain itu, juga dapat menimbulkan konflik. Masalah privasi rentan terhadap pengaruh buruk orang lain. Maka, hal yang perlu dihindari saat menggunakan media sosial, yakni hindari dalam lingkungan toxic. Selain itu, hindari dalam perilaku atau keterlibatan menyebarkan info atau berita hoax serta informasi bohong, meskipun dengan tujuan yang baik, seperti informasi mengenai kematian orang yang masih hidup dan lain sebagainya. Hindari pula dan berhati-hati dalam area yang terdapat penyebaran materi pornografi dan kemaksiatan, meskipun hanya sekedar gambar. Info perselingkuhan hal tersebut dapat mengotori hati. Hindari segala macam hal yang terlarang secara syar’i dan hindari segala konten yang benar, namun tidak sesuai tempat dan/atau waktunya. Islam sangat mengatur umatnya dalam bermuamalah dan berinteraksi, baik secara langsung maupun secara online. Islam pun mengatur etika dan adab dalam kita berkomunikasi secara online di dalam media sosial. Jika kita tidak menjaga adab dalam hubungan sosial, pasti akan dibenci orang. Demikian pula, dalam media sosial, tulisan yang menyakiti orang pasti akan membekas pada hati mereka. Bedanya, jika dengan lisan, akan terhapus; sedangkan dengan tulisan, kata-kata itu akan selamanya dibaca orang dan terekam dalam bukti jejak media. Baca juga: Efektifitas Berdakwah Melalui Media Sosial Langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i Adapun beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan dan upayakan dalam menggunakan dan mengakses media sosial agar tidak menyalahi aturan-aturan syar’i, antara lain : Mencari informasi yang bermanfaat Dalam menggunakan media sosial, seyogyanya kita memanfaatkannya dengan bijak dan positif. Salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi dan pengetahuan yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا, سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Menjaga lisan dan kata-kata dalam berucap atau ketika menulis Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk menjaga lisan dan ucapan kita, baik dalam hal muamalah harian maupun dalam kegiatan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang berisi nasihat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمر دينك “Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu.” (HR. Ahmad) Budayakanlah tabayyun Sebagai seorang muslim, kita harus bersikap tabayyun terlebih dahulu dalam menerima informasi atau berita. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan informasi atau berita yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seperti dalam firman Allah pada surah Al-Hujurat ayat 6, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) Menjadikan media sosial sebagai sarana menyebar kebaikan Kebaikan dapat kita sampaikan dengan banyak cara dan berbagai media sarana. Salah satunya adalah dengan menyebarkan kebaikan melalui media sosial. Salah satu cara berdakwah kaum muslimin akhir-akhir ini pun tidak terlepas dari media sosial. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, hadis dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Meminta perlindungan dengan berdoa Meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang banyak beredar dalam dunia maya, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Berdoa dan senantiasa meminta perlindungan kepada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan perbuatan keji, yakni fitnah-fitnah informasi yang memperburuk dan menimbulkan penyakit hati yang terumbar dalam berbagai segi kehidupan, termasuk di media sosial. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi. Baca juga: Menjaga Lisan di Era Media Sosial *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi S.Sos. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosial

Benarkah Ziarah Kubur Terlarang dan Termasuk Kesyirikan?

Pertanyaan: Benarkah bahwa ziarah kubur itu tidak diperbolehkan dan termasuk kesyirikan?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disamakan terlebih dahulu persepsi tentang apa yang dimaksud dengan ziarah kubur?  Kata ziarah berasal dari bahasa Arab yaitu az-ziyarah, yang artinya adalah mengunjungi suatu tempat. Sehingga ziarah kubur artinya mengunjungi kuburan. Dengan demikian, ziarah kubur itu tidak berarti mengunjungi kuburan yang tempatnya jauh. Karena dengan mengunjungi kuburan yang ada di sekitar kita itu pun sudah termasuk ziarah kubur. Kedua, tidak ada satupun ulama yang melarang ziarah kubur secara mutlak. Tidak akan kita temukan pendapat ulama yang demikian. Andaikan ada, maka itu pendapat yang aneh. Karena secara umum, ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan bahkan diperintahkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: زوروا القبورَ ؛ فإِنَّها تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ “Berziarah-kubur lah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no.3577). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كنتُ نهيتُكم عن زيارَةِ القبورِ ألا فزورُوها ، فإِنَّها تُرِقُّ القلْبَ ، و تُدْمِعُ العينَ ، وتُذَكِّرُ الآخرةَ ، ولا تقولوا هُجْرًا “Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al-Haakim no.1393, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’, no.7584). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa Allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dari sini kita ketahui bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan untuk mendoakan kebaikan kepada penghuni kubur. Ketiga, An-Nawawi, Al-‘Abdari, Al-Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits, لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At-Tirmidzi no.1056, Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”). Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al-Janaaiz Lil Albani, 180). Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keempat, ziarah kubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan dan diperintahkan. Namun ada sebagian orang yang melakukan ziarah kubur dengan tujuan yang keliru sehingga terjerumus ke dalam kebid’ahan atau bahkan kesyirikan. Kedua model ziarah kubur inilah yang terlarang.  Al-Maqrizi, seorang ulama madzhab Syafi’i, mengatakan: زيارة القبور – على ثلاثة أقسام:  يزورون الموتى فيدعون لهم. وهذه هي الزّيارة الشرعيّة.  يزورونهم يدعون بهم، فهؤلاء هم المشركون في الألوهيّة والمحبّة.  يزورونهم فيدعونهم أنفسهم … وهؤلاء هم المشركون في الربوبيّة “Ziarah kubur ada tiga macam:  Pertama, kaum yang berziarah kubur untuk mendoakan mayit. Ini adalah ziarah kubur yang syar’i.  Kedua, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa (kepada Allah) dengan perantaraan mayit (tawasul). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam uluhiyah dan mahabbah.  Ketiga, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa kepada mayit … mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam rububiyah” (Tajrid at-Tauhid al-Mufid, hal. 20). Tawasul kepada orang yang sudah mati, tidak diperbolehkan, bahkan ini termasuk kesyirikan. Sebab inilah jenis kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin terdahulu. Allah ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى “Orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, mereka berkata: tidaklah kami menyembah sesembahan-sesembahan itu kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya” (QS. Az-Zumar: 3).  Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan: فإن غالب الأمم كانت مقرة بالصانع ولكن تعبد معه غيره من الوسائط التي بظنونها تنفعهم أو تقربهم من الله زلفى “Mayoritas umat manusia yang ada mengakui bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, namun mereka menyembah sesembahan lain selain menyembah Allah juga sebagai perantara, yang menurut sangkaan mereka bisa memberikan manfaat untuk mereka, atau untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/482). Adapun berdoa meminta hajat kepada mayit, ini jelas merupakan kesyirikan. Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّـهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan janganlah kamu berdoa kepada apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”” (QS. Yunus: 106). Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ ۘ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ “Janganlah kamu berdoa di samping (berdoa) kepada Allah, juga berdoa kepada selain-Nya. Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia” (QS. Al-Qashash: 88). Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menjelaskan: زيارة القبور نوعان: أحدهما: مشروع ومطلوب لأجل الدعاء للأموات والترحم عليهم ولأجل تذكر الموت والإعداد للآخرة … النوع الثاني: بدعي وهو: زيارة القبور لدعاء أهلها والاستغاثة بهم أو للذبح لهم أو للنذر لهم، وهذا منكر وشرك أكبر “Ziarah kubur ada dua macam: pertama, ziarah kubur yang disyariatkan, yaitu ziarah dalam rangka mendoakan orang yang sudah meninggal dan untuk mengingat kematian dan mempersiapkan akhirat … kedua, ziarah kubur yang bid’ah, yaitu ziarah kubur untuk berdoa kepada mayit, meminta bantuan kepadanya, atau menyembelih sesajen untuknya, atau bernadzar kepadanya. Ini adalah kemungkaran dan syirik akbar” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 4/344). Kelima, demikian juga tidak boleh berdoa kepada Allah (bukan kepada mayit) namun bersengaja melakukannya di kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa kuburan tersebut adalah tempat mustajab doa. Karena perbuatan demikian tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, para tabi’in, atau tabi’ut tabi’in. Dan juga perbuatan yang dapat menjadi sarana kepada kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: قول القائل: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ  قول ليس له أصل في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا قاله أحد من الصحابة ولا التابعين لهم بإحسان ولا أحد من أئمة المسلمين المشهورين بالإمامة في الدين ـ كمالك والثوري والأوزاعي والليث بن سعد وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل  وإسحاق بن راهويه وأبي عبيدة ـ ولا مشايخهم الذين يقتدي بهم ـ كالفضيل بن عياض وإبراهيم بن أدهم وأبي سليمان الداراني وأمثالهم ـ ولم يكن في الصحابة والتابعين والأئمة والمشايخ المتقدمين من يقول: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ لا مطلقًا ولا معينًا “Pendapat yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih. Ini adalah pendapat yang tidak memiliki landasan dari Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya ataupun dari perkataan para sahabat dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ataupun perkataan para imam kaum Muslimin yang masyhur, seperti Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits bin sa’ad, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Ubaidah, ataupun para masyaikh mereka yang mulia seperti Al-Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Abu Sulaiman Ad-Darani, dan yang semisal mereka. Bahkan tidak ada di antara sahabat Nabi, atau tabi’in, para imam, dan para masyaikh terdahulu yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih, secara mutlak atau pun pada kuburan tertentu” (Majmu’ Al-Fatawa, 27/67). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan: زيارة الأضرحة -يعني القبور- سنة، لكنها ليست لدفع حاجة الزائر، وإنما هي لمصلحة النذور، أو لاتعاظ الزائر بهؤلاء وليست لدفع حاجاته أو حصول مطلوباته. فزيارة القبور اتعاظاً وتذكراً بالآخرة … وأما زيارة القبور للتبرك بها واعتقاد أن الدعاء عندها مجاب فإن هذا بدعة وحرام ولا يجوز؛ لأن ذلك لم يثبت لا في القرآن ولا في السنة أن محل القبور أطيب وأعظم بركة وأقرب لإجابة الدعاء. وعلى هذا فلا يجوز قصد القبور بهذا الغرض، ولا ريب أن المساجد خير من المقبرة وأقرب إلى إجابة الدعاء وإلى حضور القلب وخشوعه “Ziarah kubur hukumnya sunnah. Namun bukan untuk meminta hajat. Ziarah kubur dilakukan untuk kemaslahatan orang yang berziarah. Yaitu agar mereka bisa mengambil ibrah dari orang-orang yang sudah meninggal, bukan untuk meminta hajat atau meminta sesuatu. Ziarah kubur itu untuk mengambil ibrah dan untuk mengingat akhirat … Adapun ziarah kubur untuk ngalap berkah dengan kuburan atau berkeyakinan bahwa berdoa di sisi kuburan lebih mustajab, ini adalah bid’ah dan haram hukumnya, tidak diperbolehkan. Karena perbuatan seperti ini tidak terdapat dalil shahih dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa kuburan itu lebih baik dan lebih besar berkahnya atau lebih besar kemungkinan diijabahnya doa. Oleh karena itu maka tidak diperbolehkan bersengaja untuk ke kuburan untuk tujuan demikian. Dan tidak diragukan lagi bahwa masjid lebih baik daripada kuburan dan lebih besar kemungkinannya doa dikabulkan di sana ketika berdoa dengan hati yang hadir dan khusyuk” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.87). Jelaslah bahwa para ulama tidak melarang ziarah kubur, bahkan mereka memotivasi kita untuk berziarah kubur. Yang mereka larang adalah ziarah kubur yang mengandung kebid’ahan atau kesyirikan. Dan ulama yang melarang ziarah kubur yang bid’ah dan ziarah kubur yang syirik tidak boleh dikatakan ia melarang ziarah kubur. Karena ini berarti tuduhan dusta kepada ulama.    Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Mengirim Mimpi Basah Secara Islami, Tata Cara Mengubur Ari Ari, Menjadi Kaya Dengan Sedekah, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Doa Agar Di Dekatkan Jodoh, Cara Berpuasa Daud Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 565 QRIS donasi Yufid

Benarkah Ziarah Kubur Terlarang dan Termasuk Kesyirikan?

Pertanyaan: Benarkah bahwa ziarah kubur itu tidak diperbolehkan dan termasuk kesyirikan?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disamakan terlebih dahulu persepsi tentang apa yang dimaksud dengan ziarah kubur?  Kata ziarah berasal dari bahasa Arab yaitu az-ziyarah, yang artinya adalah mengunjungi suatu tempat. Sehingga ziarah kubur artinya mengunjungi kuburan. Dengan demikian, ziarah kubur itu tidak berarti mengunjungi kuburan yang tempatnya jauh. Karena dengan mengunjungi kuburan yang ada di sekitar kita itu pun sudah termasuk ziarah kubur. Kedua, tidak ada satupun ulama yang melarang ziarah kubur secara mutlak. Tidak akan kita temukan pendapat ulama yang demikian. Andaikan ada, maka itu pendapat yang aneh. Karena secara umum, ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan bahkan diperintahkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: زوروا القبورَ ؛ فإِنَّها تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ “Berziarah-kubur lah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no.3577). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كنتُ نهيتُكم عن زيارَةِ القبورِ ألا فزورُوها ، فإِنَّها تُرِقُّ القلْبَ ، و تُدْمِعُ العينَ ، وتُذَكِّرُ الآخرةَ ، ولا تقولوا هُجْرًا “Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al-Haakim no.1393, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’, no.7584). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa Allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dari sini kita ketahui bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan untuk mendoakan kebaikan kepada penghuni kubur. Ketiga, An-Nawawi, Al-‘Abdari, Al-Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits, لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At-Tirmidzi no.1056, Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”). Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al-Janaaiz Lil Albani, 180). Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keempat, ziarah kubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan dan diperintahkan. Namun ada sebagian orang yang melakukan ziarah kubur dengan tujuan yang keliru sehingga terjerumus ke dalam kebid’ahan atau bahkan kesyirikan. Kedua model ziarah kubur inilah yang terlarang.  Al-Maqrizi, seorang ulama madzhab Syafi’i, mengatakan: زيارة القبور – على ثلاثة أقسام:  يزورون الموتى فيدعون لهم. وهذه هي الزّيارة الشرعيّة.  يزورونهم يدعون بهم، فهؤلاء هم المشركون في الألوهيّة والمحبّة.  يزورونهم فيدعونهم أنفسهم … وهؤلاء هم المشركون في الربوبيّة “Ziarah kubur ada tiga macam:  Pertama, kaum yang berziarah kubur untuk mendoakan mayit. Ini adalah ziarah kubur yang syar’i.  Kedua, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa (kepada Allah) dengan perantaraan mayit (tawasul). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam uluhiyah dan mahabbah.  Ketiga, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa kepada mayit … mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam rububiyah” (Tajrid at-Tauhid al-Mufid, hal. 20). Tawasul kepada orang yang sudah mati, tidak diperbolehkan, bahkan ini termasuk kesyirikan. Sebab inilah jenis kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin terdahulu. Allah ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى “Orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, mereka berkata: tidaklah kami menyembah sesembahan-sesembahan itu kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya” (QS. Az-Zumar: 3).  Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan: فإن غالب الأمم كانت مقرة بالصانع ولكن تعبد معه غيره من الوسائط التي بظنونها تنفعهم أو تقربهم من الله زلفى “Mayoritas umat manusia yang ada mengakui bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, namun mereka menyembah sesembahan lain selain menyembah Allah juga sebagai perantara, yang menurut sangkaan mereka bisa memberikan manfaat untuk mereka, atau untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/482). Adapun berdoa meminta hajat kepada mayit, ini jelas merupakan kesyirikan. Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّـهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan janganlah kamu berdoa kepada apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”” (QS. Yunus: 106). Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ ۘ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ “Janganlah kamu berdoa di samping (berdoa) kepada Allah, juga berdoa kepada selain-Nya. Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia” (QS. Al-Qashash: 88). Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menjelaskan: زيارة القبور نوعان: أحدهما: مشروع ومطلوب لأجل الدعاء للأموات والترحم عليهم ولأجل تذكر الموت والإعداد للآخرة … النوع الثاني: بدعي وهو: زيارة القبور لدعاء أهلها والاستغاثة بهم أو للذبح لهم أو للنذر لهم، وهذا منكر وشرك أكبر “Ziarah kubur ada dua macam: pertama, ziarah kubur yang disyariatkan, yaitu ziarah dalam rangka mendoakan orang yang sudah meninggal dan untuk mengingat kematian dan mempersiapkan akhirat … kedua, ziarah kubur yang bid’ah, yaitu ziarah kubur untuk berdoa kepada mayit, meminta bantuan kepadanya, atau menyembelih sesajen untuknya, atau bernadzar kepadanya. Ini adalah kemungkaran dan syirik akbar” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 4/344). Kelima, demikian juga tidak boleh berdoa kepada Allah (bukan kepada mayit) namun bersengaja melakukannya di kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa kuburan tersebut adalah tempat mustajab doa. Karena perbuatan demikian tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, para tabi’in, atau tabi’ut tabi’in. Dan juga perbuatan yang dapat menjadi sarana kepada kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: قول القائل: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ  قول ليس له أصل في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا قاله أحد من الصحابة ولا التابعين لهم بإحسان ولا أحد من أئمة المسلمين المشهورين بالإمامة في الدين ـ كمالك والثوري والأوزاعي والليث بن سعد وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل  وإسحاق بن راهويه وأبي عبيدة ـ ولا مشايخهم الذين يقتدي بهم ـ كالفضيل بن عياض وإبراهيم بن أدهم وأبي سليمان الداراني وأمثالهم ـ ولم يكن في الصحابة والتابعين والأئمة والمشايخ المتقدمين من يقول: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ لا مطلقًا ولا معينًا “Pendapat yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih. Ini adalah pendapat yang tidak memiliki landasan dari Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya ataupun dari perkataan para sahabat dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ataupun perkataan para imam kaum Muslimin yang masyhur, seperti Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits bin sa’ad, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Ubaidah, ataupun para masyaikh mereka yang mulia seperti Al-Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Abu Sulaiman Ad-Darani, dan yang semisal mereka. Bahkan tidak ada di antara sahabat Nabi, atau tabi’in, para imam, dan para masyaikh terdahulu yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih, secara mutlak atau pun pada kuburan tertentu” (Majmu’ Al-Fatawa, 27/67). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan: زيارة الأضرحة -يعني القبور- سنة، لكنها ليست لدفع حاجة الزائر، وإنما هي لمصلحة النذور، أو لاتعاظ الزائر بهؤلاء وليست لدفع حاجاته أو حصول مطلوباته. فزيارة القبور اتعاظاً وتذكراً بالآخرة … وأما زيارة القبور للتبرك بها واعتقاد أن الدعاء عندها مجاب فإن هذا بدعة وحرام ولا يجوز؛ لأن ذلك لم يثبت لا في القرآن ولا في السنة أن محل القبور أطيب وأعظم بركة وأقرب لإجابة الدعاء. وعلى هذا فلا يجوز قصد القبور بهذا الغرض، ولا ريب أن المساجد خير من المقبرة وأقرب إلى إجابة الدعاء وإلى حضور القلب وخشوعه “Ziarah kubur hukumnya sunnah. Namun bukan untuk meminta hajat. Ziarah kubur dilakukan untuk kemaslahatan orang yang berziarah. Yaitu agar mereka bisa mengambil ibrah dari orang-orang yang sudah meninggal, bukan untuk meminta hajat atau meminta sesuatu. Ziarah kubur itu untuk mengambil ibrah dan untuk mengingat akhirat … Adapun ziarah kubur untuk ngalap berkah dengan kuburan atau berkeyakinan bahwa berdoa di sisi kuburan lebih mustajab, ini adalah bid’ah dan haram hukumnya, tidak diperbolehkan. Karena perbuatan seperti ini tidak terdapat dalil shahih dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa kuburan itu lebih baik dan lebih besar berkahnya atau lebih besar kemungkinan diijabahnya doa. Oleh karena itu maka tidak diperbolehkan bersengaja untuk ke kuburan untuk tujuan demikian. Dan tidak diragukan lagi bahwa masjid lebih baik daripada kuburan dan lebih besar kemungkinannya doa dikabulkan di sana ketika berdoa dengan hati yang hadir dan khusyuk” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.87). Jelaslah bahwa para ulama tidak melarang ziarah kubur, bahkan mereka memotivasi kita untuk berziarah kubur. Yang mereka larang adalah ziarah kubur yang mengandung kebid’ahan atau kesyirikan. Dan ulama yang melarang ziarah kubur yang bid’ah dan ziarah kubur yang syirik tidak boleh dikatakan ia melarang ziarah kubur. Karena ini berarti tuduhan dusta kepada ulama.    Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Mengirim Mimpi Basah Secara Islami, Tata Cara Mengubur Ari Ari, Menjadi Kaya Dengan Sedekah, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Doa Agar Di Dekatkan Jodoh, Cara Berpuasa Daud Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 565 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Benarkah bahwa ziarah kubur itu tidak diperbolehkan dan termasuk kesyirikan?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disamakan terlebih dahulu persepsi tentang apa yang dimaksud dengan ziarah kubur?  Kata ziarah berasal dari bahasa Arab yaitu az-ziyarah, yang artinya adalah mengunjungi suatu tempat. Sehingga ziarah kubur artinya mengunjungi kuburan. Dengan demikian, ziarah kubur itu tidak berarti mengunjungi kuburan yang tempatnya jauh. Karena dengan mengunjungi kuburan yang ada di sekitar kita itu pun sudah termasuk ziarah kubur. Kedua, tidak ada satupun ulama yang melarang ziarah kubur secara mutlak. Tidak akan kita temukan pendapat ulama yang demikian. Andaikan ada, maka itu pendapat yang aneh. Karena secara umum, ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan bahkan diperintahkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: زوروا القبورَ ؛ فإِنَّها تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ “Berziarah-kubur lah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no.3577). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كنتُ نهيتُكم عن زيارَةِ القبورِ ألا فزورُوها ، فإِنَّها تُرِقُّ القلْبَ ، و تُدْمِعُ العينَ ، وتُذَكِّرُ الآخرةَ ، ولا تقولوا هُجْرًا “Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al-Haakim no.1393, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’, no.7584). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa Allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dari sini kita ketahui bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan untuk mendoakan kebaikan kepada penghuni kubur. Ketiga, An-Nawawi, Al-‘Abdari, Al-Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits, لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At-Tirmidzi no.1056, Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”). Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al-Janaaiz Lil Albani, 180). Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keempat, ziarah kubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan dan diperintahkan. Namun ada sebagian orang yang melakukan ziarah kubur dengan tujuan yang keliru sehingga terjerumus ke dalam kebid’ahan atau bahkan kesyirikan. Kedua model ziarah kubur inilah yang terlarang.  Al-Maqrizi, seorang ulama madzhab Syafi’i, mengatakan: زيارة القبور – على ثلاثة أقسام:  يزورون الموتى فيدعون لهم. وهذه هي الزّيارة الشرعيّة.  يزورونهم يدعون بهم، فهؤلاء هم المشركون في الألوهيّة والمحبّة.  يزورونهم فيدعونهم أنفسهم … وهؤلاء هم المشركون في الربوبيّة “Ziarah kubur ada tiga macam:  Pertama, kaum yang berziarah kubur untuk mendoakan mayit. Ini adalah ziarah kubur yang syar’i.  Kedua, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa (kepada Allah) dengan perantaraan mayit (tawasul). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam uluhiyah dan mahabbah.  Ketiga, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa kepada mayit … mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam rububiyah” (Tajrid at-Tauhid al-Mufid, hal. 20). Tawasul kepada orang yang sudah mati, tidak diperbolehkan, bahkan ini termasuk kesyirikan. Sebab inilah jenis kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin terdahulu. Allah ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى “Orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, mereka berkata: tidaklah kami menyembah sesembahan-sesembahan itu kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya” (QS. Az-Zumar: 3).  Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan: فإن غالب الأمم كانت مقرة بالصانع ولكن تعبد معه غيره من الوسائط التي بظنونها تنفعهم أو تقربهم من الله زلفى “Mayoritas umat manusia yang ada mengakui bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, namun mereka menyembah sesembahan lain selain menyembah Allah juga sebagai perantara, yang menurut sangkaan mereka bisa memberikan manfaat untuk mereka, atau untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/482). Adapun berdoa meminta hajat kepada mayit, ini jelas merupakan kesyirikan. Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّـهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan janganlah kamu berdoa kepada apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”” (QS. Yunus: 106). Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ ۘ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ “Janganlah kamu berdoa di samping (berdoa) kepada Allah, juga berdoa kepada selain-Nya. Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia” (QS. Al-Qashash: 88). Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menjelaskan: زيارة القبور نوعان: أحدهما: مشروع ومطلوب لأجل الدعاء للأموات والترحم عليهم ولأجل تذكر الموت والإعداد للآخرة … النوع الثاني: بدعي وهو: زيارة القبور لدعاء أهلها والاستغاثة بهم أو للذبح لهم أو للنذر لهم، وهذا منكر وشرك أكبر “Ziarah kubur ada dua macam: pertama, ziarah kubur yang disyariatkan, yaitu ziarah dalam rangka mendoakan orang yang sudah meninggal dan untuk mengingat kematian dan mempersiapkan akhirat … kedua, ziarah kubur yang bid’ah, yaitu ziarah kubur untuk berdoa kepada mayit, meminta bantuan kepadanya, atau menyembelih sesajen untuknya, atau bernadzar kepadanya. Ini adalah kemungkaran dan syirik akbar” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 4/344). Kelima, demikian juga tidak boleh berdoa kepada Allah (bukan kepada mayit) namun bersengaja melakukannya di kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa kuburan tersebut adalah tempat mustajab doa. Karena perbuatan demikian tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, para tabi’in, atau tabi’ut tabi’in. Dan juga perbuatan yang dapat menjadi sarana kepada kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: قول القائل: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ  قول ليس له أصل في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا قاله أحد من الصحابة ولا التابعين لهم بإحسان ولا أحد من أئمة المسلمين المشهورين بالإمامة في الدين ـ كمالك والثوري والأوزاعي والليث بن سعد وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل  وإسحاق بن راهويه وأبي عبيدة ـ ولا مشايخهم الذين يقتدي بهم ـ كالفضيل بن عياض وإبراهيم بن أدهم وأبي سليمان الداراني وأمثالهم ـ ولم يكن في الصحابة والتابعين والأئمة والمشايخ المتقدمين من يقول: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ لا مطلقًا ولا معينًا “Pendapat yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih. Ini adalah pendapat yang tidak memiliki landasan dari Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya ataupun dari perkataan para sahabat dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ataupun perkataan para imam kaum Muslimin yang masyhur, seperti Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits bin sa’ad, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Ubaidah, ataupun para masyaikh mereka yang mulia seperti Al-Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Abu Sulaiman Ad-Darani, dan yang semisal mereka. Bahkan tidak ada di antara sahabat Nabi, atau tabi’in, para imam, dan para masyaikh terdahulu yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih, secara mutlak atau pun pada kuburan tertentu” (Majmu’ Al-Fatawa, 27/67). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan: زيارة الأضرحة -يعني القبور- سنة، لكنها ليست لدفع حاجة الزائر، وإنما هي لمصلحة النذور، أو لاتعاظ الزائر بهؤلاء وليست لدفع حاجاته أو حصول مطلوباته. فزيارة القبور اتعاظاً وتذكراً بالآخرة … وأما زيارة القبور للتبرك بها واعتقاد أن الدعاء عندها مجاب فإن هذا بدعة وحرام ولا يجوز؛ لأن ذلك لم يثبت لا في القرآن ولا في السنة أن محل القبور أطيب وأعظم بركة وأقرب لإجابة الدعاء. وعلى هذا فلا يجوز قصد القبور بهذا الغرض، ولا ريب أن المساجد خير من المقبرة وأقرب إلى إجابة الدعاء وإلى حضور القلب وخشوعه “Ziarah kubur hukumnya sunnah. Namun bukan untuk meminta hajat. Ziarah kubur dilakukan untuk kemaslahatan orang yang berziarah. Yaitu agar mereka bisa mengambil ibrah dari orang-orang yang sudah meninggal, bukan untuk meminta hajat atau meminta sesuatu. Ziarah kubur itu untuk mengambil ibrah dan untuk mengingat akhirat … Adapun ziarah kubur untuk ngalap berkah dengan kuburan atau berkeyakinan bahwa berdoa di sisi kuburan lebih mustajab, ini adalah bid’ah dan haram hukumnya, tidak diperbolehkan. Karena perbuatan seperti ini tidak terdapat dalil shahih dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa kuburan itu lebih baik dan lebih besar berkahnya atau lebih besar kemungkinan diijabahnya doa. Oleh karena itu maka tidak diperbolehkan bersengaja untuk ke kuburan untuk tujuan demikian. Dan tidak diragukan lagi bahwa masjid lebih baik daripada kuburan dan lebih besar kemungkinannya doa dikabulkan di sana ketika berdoa dengan hati yang hadir dan khusyuk” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.87). Jelaslah bahwa para ulama tidak melarang ziarah kubur, bahkan mereka memotivasi kita untuk berziarah kubur. Yang mereka larang adalah ziarah kubur yang mengandung kebid’ahan atau kesyirikan. Dan ulama yang melarang ziarah kubur yang bid’ah dan ziarah kubur yang syirik tidak boleh dikatakan ia melarang ziarah kubur. Karena ini berarti tuduhan dusta kepada ulama.    Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Mengirim Mimpi Basah Secara Islami, Tata Cara Mengubur Ari Ari, Menjadi Kaya Dengan Sedekah, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Doa Agar Di Dekatkan Jodoh, Cara Berpuasa Daud Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 565 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Benarkah bahwa ziarah kubur itu tidak diperbolehkan dan termasuk kesyirikan?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disamakan terlebih dahulu persepsi tentang apa yang dimaksud dengan ziarah kubur?  Kata ziarah berasal dari bahasa Arab yaitu az-ziyarah, yang artinya adalah mengunjungi suatu tempat. Sehingga ziarah kubur artinya mengunjungi kuburan. Dengan demikian, ziarah kubur itu tidak berarti mengunjungi kuburan yang tempatnya jauh. Karena dengan mengunjungi kuburan yang ada di sekitar kita itu pun sudah termasuk ziarah kubur. Kedua, tidak ada satupun ulama yang melarang ziarah kubur secara mutlak. Tidak akan kita temukan pendapat ulama yang demikian. Andaikan ada, maka itu pendapat yang aneh. Karena secara umum, ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan bahkan diperintahkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: زوروا القبورَ ؛ فإِنَّها تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ “Berziarah-kubur lah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no.3577). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كنتُ نهيتُكم عن زيارَةِ القبورِ ألا فزورُوها ، فإِنَّها تُرِقُّ القلْبَ ، و تُدْمِعُ العينَ ، وتُذَكِّرُ الآخرةَ ، ولا تقولوا هُجْرًا “Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al-Haakim no.1393, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’, no.7584). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa Allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249). Dari sini kita ketahui bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan untuk mendoakan kebaikan kepada penghuni kubur. Ketiga, An-Nawawi, Al-‘Abdari, Al-Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits, لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At-Tirmidzi no.1056, Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”). Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al-Janaaiz Lil Albani, 180). Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keempat, ziarah kubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan dan diperintahkan. Namun ada sebagian orang yang melakukan ziarah kubur dengan tujuan yang keliru sehingga terjerumus ke dalam kebid’ahan atau bahkan kesyirikan. Kedua model ziarah kubur inilah yang terlarang.  Al-Maqrizi, seorang ulama madzhab Syafi’i, mengatakan: زيارة القبور – على ثلاثة أقسام:  يزورون الموتى فيدعون لهم. وهذه هي الزّيارة الشرعيّة.  يزورونهم يدعون بهم، فهؤلاء هم المشركون في الألوهيّة والمحبّة.  يزورونهم فيدعونهم أنفسهم … وهؤلاء هم المشركون في الربوبيّة “Ziarah kubur ada tiga macam:  Pertama, kaum yang berziarah kubur untuk mendoakan mayit. Ini adalah ziarah kubur yang syar’i.  Kedua, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa (kepada Allah) dengan perantaraan mayit (tawasul). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam uluhiyah dan mahabbah.  Ketiga, kaum yang berziarah kubur untuk berdoa kepada mayit … mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dalam rububiyah” (Tajrid at-Tauhid al-Mufid, hal. 20). Tawasul kepada orang yang sudah mati, tidak diperbolehkan, bahkan ini termasuk kesyirikan. Sebab inilah jenis kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin terdahulu. Allah ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى “Orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, mereka berkata: tidaklah kami menyembah sesembahan-sesembahan itu kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya” (QS. Az-Zumar: 3).  Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan: فإن غالب الأمم كانت مقرة بالصانع ولكن تعبد معه غيره من الوسائط التي بظنونها تنفعهم أو تقربهم من الله زلفى “Mayoritas umat manusia yang ada mengakui bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, namun mereka menyembah sesembahan lain selain menyembah Allah juga sebagai perantara, yang menurut sangkaan mereka bisa memberikan manfaat untuk mereka, atau untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/482). Adapun berdoa meminta hajat kepada mayit, ini jelas merupakan kesyirikan. Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّـهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan janganlah kamu berdoa kepada apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”” (QS. Yunus: 106). Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ ۘ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ “Janganlah kamu berdoa di samping (berdoa) kepada Allah, juga berdoa kepada selain-Nya. Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia” (QS. Al-Qashash: 88). Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menjelaskan: زيارة القبور نوعان: أحدهما: مشروع ومطلوب لأجل الدعاء للأموات والترحم عليهم ولأجل تذكر الموت والإعداد للآخرة … النوع الثاني: بدعي وهو: زيارة القبور لدعاء أهلها والاستغاثة بهم أو للذبح لهم أو للنذر لهم، وهذا منكر وشرك أكبر “Ziarah kubur ada dua macam: pertama, ziarah kubur yang disyariatkan, yaitu ziarah dalam rangka mendoakan orang yang sudah meninggal dan untuk mengingat kematian dan mempersiapkan akhirat … kedua, ziarah kubur yang bid’ah, yaitu ziarah kubur untuk berdoa kepada mayit, meminta bantuan kepadanya, atau menyembelih sesajen untuknya, atau bernadzar kepadanya. Ini adalah kemungkaran dan syirik akbar” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 4/344). Kelima, demikian juga tidak boleh berdoa kepada Allah (bukan kepada mayit) namun bersengaja melakukannya di kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa kuburan tersebut adalah tempat mustajab doa. Karena perbuatan demikian tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, para tabi’in, atau tabi’ut tabi’in. Dan juga perbuatan yang dapat menjadi sarana kepada kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: قول القائل: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ  قول ليس له أصل في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا قاله أحد من الصحابة ولا التابعين لهم بإحسان ولا أحد من أئمة المسلمين المشهورين بالإمامة في الدين ـ كمالك والثوري والأوزاعي والليث بن سعد وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل  وإسحاق بن راهويه وأبي عبيدة ـ ولا مشايخهم الذين يقتدي بهم ـ كالفضيل بن عياض وإبراهيم بن أدهم وأبي سليمان الداراني وأمثالهم ـ ولم يكن في الصحابة والتابعين والأئمة والمشايخ المتقدمين من يقول: إن الدعاء مستجاب عند قبور الأنبياء والصالحين ـ لا مطلقًا ولا معينًا “Pendapat yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih. Ini adalah pendapat yang tidak memiliki landasan dari Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya ataupun dari perkataan para sahabat dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ataupun perkataan para imam kaum Muslimin yang masyhur, seperti Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits bin sa’ad, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Ubaidah, ataupun para masyaikh mereka yang mulia seperti Al-Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Abu Sulaiman Ad-Darani, dan yang semisal mereka. Bahkan tidak ada di antara sahabat Nabi, atau tabi’in, para imam, dan para masyaikh terdahulu yang mengatakan bahwa doa itu mustajab jika dilakukan di sisi kuburan para Nabi dan orang shalih, secara mutlak atau pun pada kuburan tertentu” (Majmu’ Al-Fatawa, 27/67). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan: زيارة الأضرحة -يعني القبور- سنة، لكنها ليست لدفع حاجة الزائر، وإنما هي لمصلحة النذور، أو لاتعاظ الزائر بهؤلاء وليست لدفع حاجاته أو حصول مطلوباته. فزيارة القبور اتعاظاً وتذكراً بالآخرة … وأما زيارة القبور للتبرك بها واعتقاد أن الدعاء عندها مجاب فإن هذا بدعة وحرام ولا يجوز؛ لأن ذلك لم يثبت لا في القرآن ولا في السنة أن محل القبور أطيب وأعظم بركة وأقرب لإجابة الدعاء. وعلى هذا فلا يجوز قصد القبور بهذا الغرض، ولا ريب أن المساجد خير من المقبرة وأقرب إلى إجابة الدعاء وإلى حضور القلب وخشوعه “Ziarah kubur hukumnya sunnah. Namun bukan untuk meminta hajat. Ziarah kubur dilakukan untuk kemaslahatan orang yang berziarah. Yaitu agar mereka bisa mengambil ibrah dari orang-orang yang sudah meninggal, bukan untuk meminta hajat atau meminta sesuatu. Ziarah kubur itu untuk mengambil ibrah dan untuk mengingat akhirat … Adapun ziarah kubur untuk ngalap berkah dengan kuburan atau berkeyakinan bahwa berdoa di sisi kuburan lebih mustajab, ini adalah bid’ah dan haram hukumnya, tidak diperbolehkan. Karena perbuatan seperti ini tidak terdapat dalil shahih dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa kuburan itu lebih baik dan lebih besar berkahnya atau lebih besar kemungkinan diijabahnya doa. Oleh karena itu maka tidak diperbolehkan bersengaja untuk ke kuburan untuk tujuan demikian. Dan tidak diragukan lagi bahwa masjid lebih baik daripada kuburan dan lebih besar kemungkinannya doa dikabulkan di sana ketika berdoa dengan hati yang hadir dan khusyuk” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.87). Jelaslah bahwa para ulama tidak melarang ziarah kubur, bahkan mereka memotivasi kita untuk berziarah kubur. Yang mereka larang adalah ziarah kubur yang mengandung kebid’ahan atau kesyirikan. Dan ulama yang melarang ziarah kubur yang bid’ah dan ziarah kubur yang syirik tidak boleh dikatakan ia melarang ziarah kubur. Karena ini berarti tuduhan dusta kepada ulama.    Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Mengirim Mimpi Basah Secara Islami, Tata Cara Mengubur Ari Ari, Menjadi Kaya Dengan Sedekah, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Doa Agar Di Dekatkan Jodoh, Cara Berpuasa Daud Visited 207 times, 1 visit(s) today Post Views: 565 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next