Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial

Daftar Isi Toggle Definisi sabarKesabaran, wasiat Luqman kepada anaknyaPahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabarRealisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kesabaran merupakan salah satu akhlak mulia yang senantiasa ditekankan oleh syariat ini kepada umatnya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada hamba-Nya. Ia berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan, “Kesabaran memiliki dampak yang besar di dalam menolong seorang hamba dalam segala hal, karena tidak ada jalan keluar dan solusi sama sekali bagi orang yang tidak bersabar untuk menggapai apa yang diinginkannya. Dalam hal ketaatan yang seringkali sulit dan berat untuk dilakukan dan harus berkesinambungan di dalam melaksanakannya, maka itu membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk merasakan kepahitan yang menyakitkan. Saat seorang hamba konsekuen dengan kesabarannya, niscaya dia akan memperoleh kemenangan dan pertolongan di dalam menjalani ketaatan tersebut. Dan bila dia dijauhkan dari kesabaran dan konsekuen terhadapnya, niscaya dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kehampaan. Demikian pula, dalam hal kemaksiatan yang mana dorongan nafsu dan godaannya begitu kuat untuk melakukannya, maka ini tidaklah mungkin ditinggalkan, kecuali dengan kesabaran yang besar serta menahan godaan nafsunya karena Allah Ta’ala.” Pada akhirnya, kesabaran adalah teman terbaik seorang hamba di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan banyak sekali keutamaan kepada hamba-Nya. Definisi sabar Sabar merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa, sabar bermakna melarang dan menahan diri. Adapun secara istilah, sabar bermakna “Menahan jiwa dari rasa cemas dan gelisah, menahan lidah dari mengeluh, dan menahan anggota badan lainnya dari menampar pipi, merobek kantong, dan lain sebagainya yang menggambarkan kecemasan dan kemarahan karena hilangnya kesabaran.” Sabar merupakan karakter jiwa yang akan mencegah seseorang melakukan apa pun yang tidak baik dan tidak indah. Dan ia merupakan salah satu kekuatan jiwa yang membuat setiap tindak tanduk pelakunya menjadi baik dan urusannya menjadi mudah dan dilancarkan. Cakupan “sabar” sangatlah luas, sampai-sampai ada yang mengatakan perihal definisi kesabaran, “Sabar berarti menjauhi kemaksiatan, tetap tenang ketika menghadapi pahitnya musibah, dan menampakkan kecukupan ketika kemiskinan menghampiri kehidupan.” Sabar juga diperlukan saat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Yaitu, dengan menerima seluruh kewajiban yang diwajibkan kepadanya dengan lapang dada, lalu menjalankannya dengan tidak mengeluh dan berputus asa. Kesabaran, wasiat Luqman kepada anaknya Allah Ta’ala berfirman mengisahkan wasiat Luqman kepada anaknya, يَٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17) Begitu pentingnya kesabaran ini, hingga menjadi salah satu poin penting dalam wasiat Luqman kepada anaknya. Karena dengan kesabaran ini, seseorang akan dimudahkan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dimudahkan juga untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang, serta dimudahkan juga untuk menghadapi segala macam ujian yang menimpa. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabar Kesabaran, meskipun terlihat mudah ketika diucapkan, pada kenyataanya tidaklah mudah untuk direalisasikan. Saat ujian menimpa, saat kita dituntut dengan beragam bentuk perintah, dan saat kita juga harus meninggalkan berbagai macam larangan Allah Ta’ala, maka dalam hati seringkali masih muncul perasaan tidak rida, lelah, mengeluh, dan putus asa. Belum lagi, besarnya godaan dan bisikan setan yang menghasut kita untuk bersikap murka, tidak terima, dan tidak rida dengan takdir dan ujian yang Allah berikan. Begitu beratnya ujian kesabaran ini, hingga Allah Ta’ala janjikan pahala tanpa batas bagi siapa pun yang bisa bersabar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa dirinya mencintai orang-orang yang bersabar, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ “Allah menyukai orang-orang yang sabar.”  (QS. Ali Imran: 146) Allah Ta’ala juga menyelamatkan mereka yang bersabar dari pedihnya siksa api neraka serta memberikan mereka nikmat surga yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman, إِنِّي جَزَيْتُهُمْ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمْ الْفَائِزُونَ “Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al-Mukiminun: 111) Syekh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya memaknai kemenangan dengan, “Berhasil meraih kenikmatan yang lestari dan keselamatan dari neraka Jahim.” Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah didatangi seorang wanita hitam yang mengadu kepadanya, إنِّي أُصْرَعُ، وإنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي ، قَالَ  إنْ شِئْتِ صَبَرْتِ ولَكِ الجَنَّةُ، وإنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أنْ يُعَافِيَكِ، فَقَالَتْ: أصْبِرُ،فَقَالَتْ: إنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لي ألَّا أتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا “Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Beliau bersabda, “Jika kamu berkenan, bersabarlah, maka bagimu surga. Dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata, “Baiklah, aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun, berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka, beliau mendoakan untuknya. (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan kepada wanita tersebut, antara bersabar menghadapi penyakitnya lalu akan mendapatkan surga Allah Ta’ala, ataukah mendapatkaan doa Nabi agar diberikan kesembuhan. Dan wanita tersebut memilih untuk bersabar di dalam menghadapi penyakitnya dengan harapan ia akan mendapatkan surga. Sungguh sebuah keutamaan yang besar bagi siapapun yang bisa bersabar atas setiap cobaan dan ujian yang sedang dihadapinya. Realisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kita hidup di era digital, di mana informasi sangat mudah diakses dan disebarluaskan. Media sosial menjadi salah satu wadah dan tempat bertukar informasi, ngobrol, dan bersenda gurau, layaknya seseorang yang berkumpul dan berjumpa langsung dengan teman-temannya di dunia nyata. Hingga kemudian, layaknya sedang ngobrol dan berkumpul dengan temannya, banyak dari mereka yang lalai hingga mengorbankan sifat kesabaran yang dimilikinya. Ada yang begitu mudahnya mengumbar problem dan kesulitan yang sedang dihadapinya ke khalayak umum. Ketika sedang dirundung prahara dalam rumah tangganya, lalu memasang status di WA. Sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, update story di FB dan media sosial lainnya. Hingga kemudian semua orang jadi tahu dengan permasalahan yang dihadapinya. Ada juga yang jari jemarinya tidak terkontrol untuk berkomentar buruk, keji, dan tidak senonoh saat melihat sebuah postingan atau mendapati fenomena tertentu di berandanya. Ada juga yang tidak sabar untuk menyebarluaskan segala macam informasi tanpa ia tahu kevalidannya dan tanpa berpikir terlebih dahulu asas kebermanfaatannya. Ketahuilah wahai saudaraku, perbuatan semacam ini merupakan salah satu perusak bangunan kesabaran dari diri seorang muslim. Seorang muslim seharusnya hanya mengadukan rasa susah yang dihadapinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada makhluk selain-Nya. Sebagaimana Nabiyullah Ya’qub alaihissalam mengatakan, إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ “Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf: 86) Begitu pula, Nabi Ayyub ‘alaihis salam mengatakan, أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.“ (QS. Al-Anbiya’: 83). Aduan perihal penyakit yang dideritanya tersebut kepada Tuhannya tidaklah Allah kategorikan sebagai perbuatan yang merusak kesabarannya. Bahkan Allah Ta’ala mengatakan tentang beliau ‘alaihis salam, إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44) Saat sedang diliputi masalah dan problematika, maka tidak sepatutnya seorang muslim untuk mengumbarnya ke khalayak umum. Karena perbuatan semacam ini jelas akan meniadakan makna sabar dari diri kita. Saat sedang menghadapi masalah, bersimpuhlah di hadapan Allah Ta’ala, karena hanya kepada-Nyalah seorang hamba mengadu dan menumpahkan pernak pernik masalahnya. Sebagaimana hal ini telah diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى “Apabila ada masalah berat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan dihasankan oleh Syekh Albani) Semisal pun kita butuh untuk berdiskusi dan meminta masukan dari orang lain, maka carilah orang yang benar-benar amanah dan kompeten. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Tanyalah kepada ahlinya (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43) Seorang muslim juga dituntut untuk menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang tidak Allah sukai. Menahan diri dari mengucapkan dan menuliskan hal-hal yang dapat melukai dan mengganggu saudara muslim lainnya. Tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosinya saat ada yang menyinggungnya. Dan tidak membalas komentar buruk dengan keburukan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesabaran di dalam menghadapi setiap ujian yang menimpa kita. Semoga Allah menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang bisa bersabar dalam segala kondisi, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ۗ “Rabbana afrigh ‘alaina shabraw wa tsabbit aqdamana wansurna ‘alal qaumil kafirin.” “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250) Wallahu A’lam bisshawab Baca juga: Media Sosial dalam Timbangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosialsabar

Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial

Daftar Isi Toggle Definisi sabarKesabaran, wasiat Luqman kepada anaknyaPahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabarRealisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kesabaran merupakan salah satu akhlak mulia yang senantiasa ditekankan oleh syariat ini kepada umatnya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada hamba-Nya. Ia berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan, “Kesabaran memiliki dampak yang besar di dalam menolong seorang hamba dalam segala hal, karena tidak ada jalan keluar dan solusi sama sekali bagi orang yang tidak bersabar untuk menggapai apa yang diinginkannya. Dalam hal ketaatan yang seringkali sulit dan berat untuk dilakukan dan harus berkesinambungan di dalam melaksanakannya, maka itu membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk merasakan kepahitan yang menyakitkan. Saat seorang hamba konsekuen dengan kesabarannya, niscaya dia akan memperoleh kemenangan dan pertolongan di dalam menjalani ketaatan tersebut. Dan bila dia dijauhkan dari kesabaran dan konsekuen terhadapnya, niscaya dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kehampaan. Demikian pula, dalam hal kemaksiatan yang mana dorongan nafsu dan godaannya begitu kuat untuk melakukannya, maka ini tidaklah mungkin ditinggalkan, kecuali dengan kesabaran yang besar serta menahan godaan nafsunya karena Allah Ta’ala.” Pada akhirnya, kesabaran adalah teman terbaik seorang hamba di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan banyak sekali keutamaan kepada hamba-Nya. Definisi sabar Sabar merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa, sabar bermakna melarang dan menahan diri. Adapun secara istilah, sabar bermakna “Menahan jiwa dari rasa cemas dan gelisah, menahan lidah dari mengeluh, dan menahan anggota badan lainnya dari menampar pipi, merobek kantong, dan lain sebagainya yang menggambarkan kecemasan dan kemarahan karena hilangnya kesabaran.” Sabar merupakan karakter jiwa yang akan mencegah seseorang melakukan apa pun yang tidak baik dan tidak indah. Dan ia merupakan salah satu kekuatan jiwa yang membuat setiap tindak tanduk pelakunya menjadi baik dan urusannya menjadi mudah dan dilancarkan. Cakupan “sabar” sangatlah luas, sampai-sampai ada yang mengatakan perihal definisi kesabaran, “Sabar berarti menjauhi kemaksiatan, tetap tenang ketika menghadapi pahitnya musibah, dan menampakkan kecukupan ketika kemiskinan menghampiri kehidupan.” Sabar juga diperlukan saat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Yaitu, dengan menerima seluruh kewajiban yang diwajibkan kepadanya dengan lapang dada, lalu menjalankannya dengan tidak mengeluh dan berputus asa. Kesabaran, wasiat Luqman kepada anaknya Allah Ta’ala berfirman mengisahkan wasiat Luqman kepada anaknya, يَٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17) Begitu pentingnya kesabaran ini, hingga menjadi salah satu poin penting dalam wasiat Luqman kepada anaknya. Karena dengan kesabaran ini, seseorang akan dimudahkan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dimudahkan juga untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang, serta dimudahkan juga untuk menghadapi segala macam ujian yang menimpa. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabar Kesabaran, meskipun terlihat mudah ketika diucapkan, pada kenyataanya tidaklah mudah untuk direalisasikan. Saat ujian menimpa, saat kita dituntut dengan beragam bentuk perintah, dan saat kita juga harus meninggalkan berbagai macam larangan Allah Ta’ala, maka dalam hati seringkali masih muncul perasaan tidak rida, lelah, mengeluh, dan putus asa. Belum lagi, besarnya godaan dan bisikan setan yang menghasut kita untuk bersikap murka, tidak terima, dan tidak rida dengan takdir dan ujian yang Allah berikan. Begitu beratnya ujian kesabaran ini, hingga Allah Ta’ala janjikan pahala tanpa batas bagi siapa pun yang bisa bersabar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa dirinya mencintai orang-orang yang bersabar, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ “Allah menyukai orang-orang yang sabar.”  (QS. Ali Imran: 146) Allah Ta’ala juga menyelamatkan mereka yang bersabar dari pedihnya siksa api neraka serta memberikan mereka nikmat surga yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman, إِنِّي جَزَيْتُهُمْ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمْ الْفَائِزُونَ “Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al-Mukiminun: 111) Syekh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya memaknai kemenangan dengan, “Berhasil meraih kenikmatan yang lestari dan keselamatan dari neraka Jahim.” Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah didatangi seorang wanita hitam yang mengadu kepadanya, إنِّي أُصْرَعُ، وإنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي ، قَالَ  إنْ شِئْتِ صَبَرْتِ ولَكِ الجَنَّةُ، وإنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أنْ يُعَافِيَكِ، فَقَالَتْ: أصْبِرُ،فَقَالَتْ: إنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لي ألَّا أتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا “Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Beliau bersabda, “Jika kamu berkenan, bersabarlah, maka bagimu surga. Dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata, “Baiklah, aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun, berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka, beliau mendoakan untuknya. (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan kepada wanita tersebut, antara bersabar menghadapi penyakitnya lalu akan mendapatkan surga Allah Ta’ala, ataukah mendapatkaan doa Nabi agar diberikan kesembuhan. Dan wanita tersebut memilih untuk bersabar di dalam menghadapi penyakitnya dengan harapan ia akan mendapatkan surga. Sungguh sebuah keutamaan yang besar bagi siapapun yang bisa bersabar atas setiap cobaan dan ujian yang sedang dihadapinya. Realisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kita hidup di era digital, di mana informasi sangat mudah diakses dan disebarluaskan. Media sosial menjadi salah satu wadah dan tempat bertukar informasi, ngobrol, dan bersenda gurau, layaknya seseorang yang berkumpul dan berjumpa langsung dengan teman-temannya di dunia nyata. Hingga kemudian, layaknya sedang ngobrol dan berkumpul dengan temannya, banyak dari mereka yang lalai hingga mengorbankan sifat kesabaran yang dimilikinya. Ada yang begitu mudahnya mengumbar problem dan kesulitan yang sedang dihadapinya ke khalayak umum. Ketika sedang dirundung prahara dalam rumah tangganya, lalu memasang status di WA. Sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, update story di FB dan media sosial lainnya. Hingga kemudian semua orang jadi tahu dengan permasalahan yang dihadapinya. Ada juga yang jari jemarinya tidak terkontrol untuk berkomentar buruk, keji, dan tidak senonoh saat melihat sebuah postingan atau mendapati fenomena tertentu di berandanya. Ada juga yang tidak sabar untuk menyebarluaskan segala macam informasi tanpa ia tahu kevalidannya dan tanpa berpikir terlebih dahulu asas kebermanfaatannya. Ketahuilah wahai saudaraku, perbuatan semacam ini merupakan salah satu perusak bangunan kesabaran dari diri seorang muslim. Seorang muslim seharusnya hanya mengadukan rasa susah yang dihadapinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada makhluk selain-Nya. Sebagaimana Nabiyullah Ya’qub alaihissalam mengatakan, إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ “Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf: 86) Begitu pula, Nabi Ayyub ‘alaihis salam mengatakan, أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.“ (QS. Al-Anbiya’: 83). Aduan perihal penyakit yang dideritanya tersebut kepada Tuhannya tidaklah Allah kategorikan sebagai perbuatan yang merusak kesabarannya. Bahkan Allah Ta’ala mengatakan tentang beliau ‘alaihis salam, إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44) Saat sedang diliputi masalah dan problematika, maka tidak sepatutnya seorang muslim untuk mengumbarnya ke khalayak umum. Karena perbuatan semacam ini jelas akan meniadakan makna sabar dari diri kita. Saat sedang menghadapi masalah, bersimpuhlah di hadapan Allah Ta’ala, karena hanya kepada-Nyalah seorang hamba mengadu dan menumpahkan pernak pernik masalahnya. Sebagaimana hal ini telah diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى “Apabila ada masalah berat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan dihasankan oleh Syekh Albani) Semisal pun kita butuh untuk berdiskusi dan meminta masukan dari orang lain, maka carilah orang yang benar-benar amanah dan kompeten. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Tanyalah kepada ahlinya (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43) Seorang muslim juga dituntut untuk menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang tidak Allah sukai. Menahan diri dari mengucapkan dan menuliskan hal-hal yang dapat melukai dan mengganggu saudara muslim lainnya. Tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosinya saat ada yang menyinggungnya. Dan tidak membalas komentar buruk dengan keburukan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesabaran di dalam menghadapi setiap ujian yang menimpa kita. Semoga Allah menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang bisa bersabar dalam segala kondisi, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ۗ “Rabbana afrigh ‘alaina shabraw wa tsabbit aqdamana wansurna ‘alal qaumil kafirin.” “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250) Wallahu A’lam bisshawab Baca juga: Media Sosial dalam Timbangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosialsabar
Daftar Isi Toggle Definisi sabarKesabaran, wasiat Luqman kepada anaknyaPahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabarRealisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kesabaran merupakan salah satu akhlak mulia yang senantiasa ditekankan oleh syariat ini kepada umatnya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada hamba-Nya. Ia berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan, “Kesabaran memiliki dampak yang besar di dalam menolong seorang hamba dalam segala hal, karena tidak ada jalan keluar dan solusi sama sekali bagi orang yang tidak bersabar untuk menggapai apa yang diinginkannya. Dalam hal ketaatan yang seringkali sulit dan berat untuk dilakukan dan harus berkesinambungan di dalam melaksanakannya, maka itu membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk merasakan kepahitan yang menyakitkan. Saat seorang hamba konsekuen dengan kesabarannya, niscaya dia akan memperoleh kemenangan dan pertolongan di dalam menjalani ketaatan tersebut. Dan bila dia dijauhkan dari kesabaran dan konsekuen terhadapnya, niscaya dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kehampaan. Demikian pula, dalam hal kemaksiatan yang mana dorongan nafsu dan godaannya begitu kuat untuk melakukannya, maka ini tidaklah mungkin ditinggalkan, kecuali dengan kesabaran yang besar serta menahan godaan nafsunya karena Allah Ta’ala.” Pada akhirnya, kesabaran adalah teman terbaik seorang hamba di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan banyak sekali keutamaan kepada hamba-Nya. Definisi sabar Sabar merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa, sabar bermakna melarang dan menahan diri. Adapun secara istilah, sabar bermakna “Menahan jiwa dari rasa cemas dan gelisah, menahan lidah dari mengeluh, dan menahan anggota badan lainnya dari menampar pipi, merobek kantong, dan lain sebagainya yang menggambarkan kecemasan dan kemarahan karena hilangnya kesabaran.” Sabar merupakan karakter jiwa yang akan mencegah seseorang melakukan apa pun yang tidak baik dan tidak indah. Dan ia merupakan salah satu kekuatan jiwa yang membuat setiap tindak tanduk pelakunya menjadi baik dan urusannya menjadi mudah dan dilancarkan. Cakupan “sabar” sangatlah luas, sampai-sampai ada yang mengatakan perihal definisi kesabaran, “Sabar berarti menjauhi kemaksiatan, tetap tenang ketika menghadapi pahitnya musibah, dan menampakkan kecukupan ketika kemiskinan menghampiri kehidupan.” Sabar juga diperlukan saat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Yaitu, dengan menerima seluruh kewajiban yang diwajibkan kepadanya dengan lapang dada, lalu menjalankannya dengan tidak mengeluh dan berputus asa. Kesabaran, wasiat Luqman kepada anaknya Allah Ta’ala berfirman mengisahkan wasiat Luqman kepada anaknya, يَٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17) Begitu pentingnya kesabaran ini, hingga menjadi salah satu poin penting dalam wasiat Luqman kepada anaknya. Karena dengan kesabaran ini, seseorang akan dimudahkan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dimudahkan juga untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang, serta dimudahkan juga untuk menghadapi segala macam ujian yang menimpa. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabar Kesabaran, meskipun terlihat mudah ketika diucapkan, pada kenyataanya tidaklah mudah untuk direalisasikan. Saat ujian menimpa, saat kita dituntut dengan beragam bentuk perintah, dan saat kita juga harus meninggalkan berbagai macam larangan Allah Ta’ala, maka dalam hati seringkali masih muncul perasaan tidak rida, lelah, mengeluh, dan putus asa. Belum lagi, besarnya godaan dan bisikan setan yang menghasut kita untuk bersikap murka, tidak terima, dan tidak rida dengan takdir dan ujian yang Allah berikan. Begitu beratnya ujian kesabaran ini, hingga Allah Ta’ala janjikan pahala tanpa batas bagi siapa pun yang bisa bersabar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa dirinya mencintai orang-orang yang bersabar, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ “Allah menyukai orang-orang yang sabar.”  (QS. Ali Imran: 146) Allah Ta’ala juga menyelamatkan mereka yang bersabar dari pedihnya siksa api neraka serta memberikan mereka nikmat surga yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman, إِنِّي جَزَيْتُهُمْ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمْ الْفَائِزُونَ “Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al-Mukiminun: 111) Syekh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya memaknai kemenangan dengan, “Berhasil meraih kenikmatan yang lestari dan keselamatan dari neraka Jahim.” Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah didatangi seorang wanita hitam yang mengadu kepadanya, إنِّي أُصْرَعُ، وإنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي ، قَالَ  إنْ شِئْتِ صَبَرْتِ ولَكِ الجَنَّةُ، وإنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أنْ يُعَافِيَكِ، فَقَالَتْ: أصْبِرُ،فَقَالَتْ: إنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لي ألَّا أتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا “Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Beliau bersabda, “Jika kamu berkenan, bersabarlah, maka bagimu surga. Dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata, “Baiklah, aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun, berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka, beliau mendoakan untuknya. (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan kepada wanita tersebut, antara bersabar menghadapi penyakitnya lalu akan mendapatkan surga Allah Ta’ala, ataukah mendapatkaan doa Nabi agar diberikan kesembuhan. Dan wanita tersebut memilih untuk bersabar di dalam menghadapi penyakitnya dengan harapan ia akan mendapatkan surga. Sungguh sebuah keutamaan yang besar bagi siapapun yang bisa bersabar atas setiap cobaan dan ujian yang sedang dihadapinya. Realisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kita hidup di era digital, di mana informasi sangat mudah diakses dan disebarluaskan. Media sosial menjadi salah satu wadah dan tempat bertukar informasi, ngobrol, dan bersenda gurau, layaknya seseorang yang berkumpul dan berjumpa langsung dengan teman-temannya di dunia nyata. Hingga kemudian, layaknya sedang ngobrol dan berkumpul dengan temannya, banyak dari mereka yang lalai hingga mengorbankan sifat kesabaran yang dimilikinya. Ada yang begitu mudahnya mengumbar problem dan kesulitan yang sedang dihadapinya ke khalayak umum. Ketika sedang dirundung prahara dalam rumah tangganya, lalu memasang status di WA. Sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, update story di FB dan media sosial lainnya. Hingga kemudian semua orang jadi tahu dengan permasalahan yang dihadapinya. Ada juga yang jari jemarinya tidak terkontrol untuk berkomentar buruk, keji, dan tidak senonoh saat melihat sebuah postingan atau mendapati fenomena tertentu di berandanya. Ada juga yang tidak sabar untuk menyebarluaskan segala macam informasi tanpa ia tahu kevalidannya dan tanpa berpikir terlebih dahulu asas kebermanfaatannya. Ketahuilah wahai saudaraku, perbuatan semacam ini merupakan salah satu perusak bangunan kesabaran dari diri seorang muslim. Seorang muslim seharusnya hanya mengadukan rasa susah yang dihadapinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada makhluk selain-Nya. Sebagaimana Nabiyullah Ya’qub alaihissalam mengatakan, إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ “Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf: 86) Begitu pula, Nabi Ayyub ‘alaihis salam mengatakan, أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.“ (QS. Al-Anbiya’: 83). Aduan perihal penyakit yang dideritanya tersebut kepada Tuhannya tidaklah Allah kategorikan sebagai perbuatan yang merusak kesabarannya. Bahkan Allah Ta’ala mengatakan tentang beliau ‘alaihis salam, إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44) Saat sedang diliputi masalah dan problematika, maka tidak sepatutnya seorang muslim untuk mengumbarnya ke khalayak umum. Karena perbuatan semacam ini jelas akan meniadakan makna sabar dari diri kita. Saat sedang menghadapi masalah, bersimpuhlah di hadapan Allah Ta’ala, karena hanya kepada-Nyalah seorang hamba mengadu dan menumpahkan pernak pernik masalahnya. Sebagaimana hal ini telah diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى “Apabila ada masalah berat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan dihasankan oleh Syekh Albani) Semisal pun kita butuh untuk berdiskusi dan meminta masukan dari orang lain, maka carilah orang yang benar-benar amanah dan kompeten. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Tanyalah kepada ahlinya (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43) Seorang muslim juga dituntut untuk menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang tidak Allah sukai. Menahan diri dari mengucapkan dan menuliskan hal-hal yang dapat melukai dan mengganggu saudara muslim lainnya. Tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosinya saat ada yang menyinggungnya. Dan tidak membalas komentar buruk dengan keburukan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesabaran di dalam menghadapi setiap ujian yang menimpa kita. Semoga Allah menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang bisa bersabar dalam segala kondisi, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ۗ “Rabbana afrigh ‘alaina shabraw wa tsabbit aqdamana wansurna ‘alal qaumil kafirin.” “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250) Wallahu A’lam bisshawab Baca juga: Media Sosial dalam Timbangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosialsabar


Daftar Isi Toggle Definisi sabarKesabaran, wasiat Luqman kepada anaknyaPahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabarRealisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kesabaran merupakan salah satu akhlak mulia yang senantiasa ditekankan oleh syariat ini kepada umatnya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada hamba-Nya. Ia berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan, “Kesabaran memiliki dampak yang besar di dalam menolong seorang hamba dalam segala hal, karena tidak ada jalan keluar dan solusi sama sekali bagi orang yang tidak bersabar untuk menggapai apa yang diinginkannya. Dalam hal ketaatan yang seringkali sulit dan berat untuk dilakukan dan harus berkesinambungan di dalam melaksanakannya, maka itu membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk merasakan kepahitan yang menyakitkan. Saat seorang hamba konsekuen dengan kesabarannya, niscaya dia akan memperoleh kemenangan dan pertolongan di dalam menjalani ketaatan tersebut. Dan bila dia dijauhkan dari kesabaran dan konsekuen terhadapnya, niscaya dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kehampaan. Demikian pula, dalam hal kemaksiatan yang mana dorongan nafsu dan godaannya begitu kuat untuk melakukannya, maka ini tidaklah mungkin ditinggalkan, kecuali dengan kesabaran yang besar serta menahan godaan nafsunya karena Allah Ta’ala.” Pada akhirnya, kesabaran adalah teman terbaik seorang hamba di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan banyak sekali keutamaan kepada hamba-Nya. Definisi sabar Sabar merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa, sabar bermakna melarang dan menahan diri. Adapun secara istilah, sabar bermakna “Menahan jiwa dari rasa cemas dan gelisah, menahan lidah dari mengeluh, dan menahan anggota badan lainnya dari menampar pipi, merobek kantong, dan lain sebagainya yang menggambarkan kecemasan dan kemarahan karena hilangnya kesabaran.” Sabar merupakan karakter jiwa yang akan mencegah seseorang melakukan apa pun yang tidak baik dan tidak indah. Dan ia merupakan salah satu kekuatan jiwa yang membuat setiap tindak tanduk pelakunya menjadi baik dan urusannya menjadi mudah dan dilancarkan. Cakupan “sabar” sangatlah luas, sampai-sampai ada yang mengatakan perihal definisi kesabaran, “Sabar berarti menjauhi kemaksiatan, tetap tenang ketika menghadapi pahitnya musibah, dan menampakkan kecukupan ketika kemiskinan menghampiri kehidupan.” Sabar juga diperlukan saat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Yaitu, dengan menerima seluruh kewajiban yang diwajibkan kepadanya dengan lapang dada, lalu menjalankannya dengan tidak mengeluh dan berputus asa. Kesabaran, wasiat Luqman kepada anaknya Allah Ta’ala berfirman mengisahkan wasiat Luqman kepada anaknya, يَٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17) Begitu pentingnya kesabaran ini, hingga menjadi salah satu poin penting dalam wasiat Luqman kepada anaknya. Karena dengan kesabaran ini, seseorang akan dimudahkan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dimudahkan juga untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang, serta dimudahkan juga untuk menghadapi segala macam ujian yang menimpa. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabar Kesabaran, meskipun terlihat mudah ketika diucapkan, pada kenyataanya tidaklah mudah untuk direalisasikan. Saat ujian menimpa, saat kita dituntut dengan beragam bentuk perintah, dan saat kita juga harus meninggalkan berbagai macam larangan Allah Ta’ala, maka dalam hati seringkali masih muncul perasaan tidak rida, lelah, mengeluh, dan putus asa. Belum lagi, besarnya godaan dan bisikan setan yang menghasut kita untuk bersikap murka, tidak terima, dan tidak rida dengan takdir dan ujian yang Allah berikan. Begitu beratnya ujian kesabaran ini, hingga Allah Ta’ala janjikan pahala tanpa batas bagi siapa pun yang bisa bersabar. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa dirinya mencintai orang-orang yang bersabar, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ “Allah menyukai orang-orang yang sabar.”  (QS. Ali Imran: 146) Allah Ta’ala juga menyelamatkan mereka yang bersabar dari pedihnya siksa api neraka serta memberikan mereka nikmat surga yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman, إِنِّي جَزَيْتُهُمْ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمْ الْفَائِزُونَ “Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al-Mukiminun: 111) Syekh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya memaknai kemenangan dengan, “Berhasil meraih kenikmatan yang lestari dan keselamatan dari neraka Jahim.” Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah didatangi seorang wanita hitam yang mengadu kepadanya, إنِّي أُصْرَعُ، وإنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي ، قَالَ  إنْ شِئْتِ صَبَرْتِ ولَكِ الجَنَّةُ، وإنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أنْ يُعَافِيَكِ، فَقَالَتْ: أصْبِرُ،فَقَالَتْ: إنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لي ألَّا أتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا “Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Beliau bersabda, “Jika kamu berkenan, bersabarlah, maka bagimu surga. Dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata, “Baiklah, aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun, berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka, beliau mendoakan untuknya. (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan kepada wanita tersebut, antara bersabar menghadapi penyakitnya lalu akan mendapatkan surga Allah Ta’ala, ataukah mendapatkaan doa Nabi agar diberikan kesembuhan. Dan wanita tersebut memilih untuk bersabar di dalam menghadapi penyakitnya dengan harapan ia akan mendapatkan surga. Sungguh sebuah keutamaan yang besar bagi siapapun yang bisa bersabar atas setiap cobaan dan ujian yang sedang dihadapinya. Realisasi sifat sabar di era digital dan media sosial Kita hidup di era digital, di mana informasi sangat mudah diakses dan disebarluaskan. Media sosial menjadi salah satu wadah dan tempat bertukar informasi, ngobrol, dan bersenda gurau, layaknya seseorang yang berkumpul dan berjumpa langsung dengan teman-temannya di dunia nyata. Hingga kemudian, layaknya sedang ngobrol dan berkumpul dengan temannya, banyak dari mereka yang lalai hingga mengorbankan sifat kesabaran yang dimilikinya. Ada yang begitu mudahnya mengumbar problem dan kesulitan yang sedang dihadapinya ke khalayak umum. Ketika sedang dirundung prahara dalam rumah tangganya, lalu memasang status di WA. Sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, update story di FB dan media sosial lainnya. Hingga kemudian semua orang jadi tahu dengan permasalahan yang dihadapinya. Ada juga yang jari jemarinya tidak terkontrol untuk berkomentar buruk, keji, dan tidak senonoh saat melihat sebuah postingan atau mendapati fenomena tertentu di berandanya. Ada juga yang tidak sabar untuk menyebarluaskan segala macam informasi tanpa ia tahu kevalidannya dan tanpa berpikir terlebih dahulu asas kebermanfaatannya. Ketahuilah wahai saudaraku, perbuatan semacam ini merupakan salah satu perusak bangunan kesabaran dari diri seorang muslim. Seorang muslim seharusnya hanya mengadukan rasa susah yang dihadapinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada makhluk selain-Nya. Sebagaimana Nabiyullah Ya’qub alaihissalam mengatakan, إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ “Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf: 86) Begitu pula, Nabi Ayyub ‘alaihis salam mengatakan, أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.“ (QS. Al-Anbiya’: 83). Aduan perihal penyakit yang dideritanya tersebut kepada Tuhannya tidaklah Allah kategorikan sebagai perbuatan yang merusak kesabarannya. Bahkan Allah Ta’ala mengatakan tentang beliau ‘alaihis salam, إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44) Saat sedang diliputi masalah dan problematika, maka tidak sepatutnya seorang muslim untuk mengumbarnya ke khalayak umum. Karena perbuatan semacam ini jelas akan meniadakan makna sabar dari diri kita. Saat sedang menghadapi masalah, bersimpuhlah di hadapan Allah Ta’ala, karena hanya kepada-Nyalah seorang hamba mengadu dan menumpahkan pernak pernik masalahnya. Sebagaimana hal ini telah diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى “Apabila ada masalah berat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan dihasankan oleh Syekh Albani) Semisal pun kita butuh untuk berdiskusi dan meminta masukan dari orang lain, maka carilah orang yang benar-benar amanah dan kompeten. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Tanyalah kepada ahlinya (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43) Seorang muslim juga dituntut untuk menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang tidak Allah sukai. Menahan diri dari mengucapkan dan menuliskan hal-hal yang dapat melukai dan mengganggu saudara muslim lainnya. Tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosinya saat ada yang menyinggungnya. Dan tidak membalas komentar buruk dengan keburukan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesabaran di dalam menghadapi setiap ujian yang menimpa kita. Semoga Allah menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang bisa bersabar dalam segala kondisi, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ۗ “Rabbana afrigh ‘alaina shabraw wa tsabbit aqdamana wansurna ‘alal qaumil kafirin.” “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250) Wallahu A’lam bisshawab Baca juga: Media Sosial dalam Timbangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: media sosialsabar

Hadis: Zakat Barang Perdagangan

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ “Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” (HR. Abu Dawud no. 1562) Sanad hadis ini dha’if. Abu Dawud bersendirian meriwayatkan hadis ini di antara penulis kitab kutubut sittah (yaitu, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Jami’ At-Tirmidzi). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul, yaitu Ja’far bin Sa’d bin Samurah; gurunya, yaitu Khabib bin Sulaiman; dan juga guru dari gurunya Ja’far, yaitu Sulaiman bin Samurah. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul.” (At-Talkhish, 2: 179) Hadis ini juga dinilai dha’if oleh Al-Albani. Kandungan hadis Hadis ini merupakan dalil wajibnya zakat barang perdagangan. Yang dimaksud dengan barang perdagangan (‘urudhut tijarah) adalah semua barang yang dimaksudkan untuk aktivitas perdagangan (jual beli) dalam rangka mendapatkan keuntungan, dari semua jenis barang yang diperdagangkan. Contohnya, kendaraan (mobil, motor), makanan, pakaian, bejana (cangkir, mangkok), tanah dan bangunan, hewan, atau selain itu yang termasuk dalam definisi yang telah disebutkan. Hadis ini, meskipun sanadnya dha’if, akan tetapi dikuatkan oleh dalil-dalil umum. Di antaranya firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka sebagai zakat yang kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian (kewajiban) tertentu.” (QS. Al-Ma’arij: 24) Harta berupa barang perdagangan adalah harta yang sifatnya umum, karena mencakup semua jenis barang yang diperdagangkan sesuai penjelasan sebelumnya. Sehingga harta semacam ini sudah selayaknya termasuk dalam ayat-ayat tersebut. Sebagaimana juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267) Mayoritas ahli tafsir, seperti Ibnu Jarir At-Thabari, Al-Jashash, Ibnul ‘Arabi, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah zakat barang perdagangan, karena termasuk dalam harta yang diusahakan oleh manusia. Sedangkan nafkah atau infak yang paling agung adalah infak berupa zakat (sedekah wajib). (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 5: 555; Ahkam Al-Qur’an, 2: 174 karya Al-Jashash; dan Ahkam Al-Qur’an, 1: 235 karya Ibnul ‘Arabi) Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya, بَابُ صَدَقَةِ الكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ “Bab Zakat Hasil Usaha dan Perdagangan.” Setelah itu, beliau pun menyebutkan ayat di atas. Demikian pula, terdapat sejumlah atsar perkataan para sahabat yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, seperti perkataan Umar, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum dengan sanad yang sahih. Zahirnya, perkataan semacam ini tentu saja tidak bersumber dari akal (pendapat) mereka saja, akan tetapi berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, tidak dijumpai sahabat lain yang menyelisihi atau menentang perkataan-perkataan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid, 17: 130). Ini adalah suatu perkara yang masyhur, memiliki banyak faktor pendorong untuk dinukil, sehingga ketika tidak dijumpai nukilan sahabat yang mengingkarinya, maka hal ini dianggap ijmak (kesepakatan) mereka, bahwa terdapat kewajiban zakat barang perdagangan dari syariat. Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya ijmak bahwa barang yang diperdagangkan itu ada kewajiban zakatnya jika telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah) (Al-Ijma’, hal. 51). Perkataan beliau ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, dan beliau pun menyetujuinya (Al-Mughni, 4: 248). Baca juga: Kewajiban Zakat dari Harta Anak Yatim Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat barang perdagangan (Al-Muhalla, 5: 233). Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama belakangan seperti Asy-Syaukani (As-Sail Al-Jarar, 2: 26-27) dan juga Al-Albani (Tamamul Minnah, hal. 363). Mereka berdalil bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, sedangkan hukum asal mukallaf adalah bara’ah adz-dzimmah (tidak dikenai suatu kewajiban sampai adanya dalil). Tentu saja, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa ada kewajiban zakat pada barang perdagangan. Adapun pendapat kedua (yang menyatakan tidak wajibnya), telah disebutkan oleh Abu ‘Ubaid bahwa pendapat itu bukan termasuk mazhab para ulama (Al-Amwal, hal. 434). Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama belakangan dari ulama zahiriyyah menyangka bahwa tidak ada kewajiban zakat (bagi barang perdagangan), padahal sudah ada ijmak sebelumnya.” (Ma’alim As-Sunan, 2: 223) Sehingga berdasarkan perkataan Al-Khattabi rahimahullah tersebut, maka penyelisihan ulama Zahiriyah dan yang mengikuti mereka dalam masalah ini tidak perlu dianggap, karena telah ada ijmak sebelumnya. Mereka berdalil dengan kaidah bara’atu adz-dzimmah, padahal ada dalil yang memalingkan dari hukum asal, yaitu dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Selain itu, kewajiban zakat barang perdagangan juga didukung oleh dalil qiyas, dari dua sisi berikut ini: Pertama, barang yang dimaksudkan untuk perdagangan adalah harta yang dimaksudkan atau diniatkan untuk berkembang, sama seperti harta yang dikenakan kewajiban zakat seperti hewan ternak, hasil pertanian, emas, dan perak. Bahkan, mayoritas harta yang dimiliki oleh manusia adalah barang yang diperdagangkan. Kalau kita katakan, “Tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan”, maka akan gugurlah kewajiban zakat dari sebagian besar harta kaum muslimin. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 75) Kedua, barang-barang yang diputar sebagai modal itu sama dengan naqd (alat tukar) secara makna. Sehingga tidak ada bedanya antara barang perdagangan tersebut dengan nilai (harganya) dari dinar dan dirham. Kalau tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan, maka orang-orang kaya akan memperdagangkan dinar atau dirhamnya supaya tidak dikenai kewajiban zakat. Kesimpulan, berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat yang terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kewajiban zakat pada barang perdagangan. Zakat barang perdagangan dihitung berdasarkan nilai (harga) barang tersebut. Jika harga atau nilainya telah mencapai nishab emas atau perak, maka ada kewajiban zakat. Nishab-nya dipilih yang lebih hati-hati atau lebih memberikan manfaat untuk orang-orang miskin dari nishab emas atau perak (nishab emas adalah 85 gram; sedangkan nishab perak adalah 595 gram). Kemudian juga telah mencapai haul (satu tahun hijriah). Haul dihitung setelah harga barang tersebut mencapai nishab. Jika harga barang saat dibeli sudah mencapai nishab, maka haul mulai dihitung dari sejak pembelian barang tersebut. Besar zakatnya adalah sebesar 2,5% dari harga barang, diqiyaskan dengan besaran zakat emas atau perak. Adapun keuntungan yang didapatkan dari perdagangan tersebut, diikutkan dengan nilai asal barang, sehingga tidak disyaratkan adanya haul yang baru. Karena keuntungan ini adalah far’un (cabang), dan dia mengikuti hukum barang pokoknya. Misalnya, seseorang membeli tanah yang dia niatkan sejak awal untuk barang dagangan. Dia membeli pada tanggal 1 Jumadilakhir 1445 seharga Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Harga tersebut sudah melampaui nishab emas atau perak saat dibeli. Akan tetapi, sebulan sebelum mencapai haul (yaitu pada tanggal 1 Jumadilawal 1446), nilai tanah tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp. 120.000.000. Maka kewajiban zakatnya adalah 2,5% x Rp. 120.000.000 = Rp. 3.000.000; dan dibayarkan pada tanggal 1 Jumadil akhir 1446. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Baca juga: Dianjurkannya Mendoakan Orang yang Memberi Zakat *** @Rumah Kasongan, 18 Jumadilawal 1445/ 2 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 446-449). Tags: barang daganganzakat

Hadis: Zakat Barang Perdagangan

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ “Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” (HR. Abu Dawud no. 1562) Sanad hadis ini dha’if. Abu Dawud bersendirian meriwayatkan hadis ini di antara penulis kitab kutubut sittah (yaitu, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Jami’ At-Tirmidzi). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul, yaitu Ja’far bin Sa’d bin Samurah; gurunya, yaitu Khabib bin Sulaiman; dan juga guru dari gurunya Ja’far, yaitu Sulaiman bin Samurah. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul.” (At-Talkhish, 2: 179) Hadis ini juga dinilai dha’if oleh Al-Albani. Kandungan hadis Hadis ini merupakan dalil wajibnya zakat barang perdagangan. Yang dimaksud dengan barang perdagangan (‘urudhut tijarah) adalah semua barang yang dimaksudkan untuk aktivitas perdagangan (jual beli) dalam rangka mendapatkan keuntungan, dari semua jenis barang yang diperdagangkan. Contohnya, kendaraan (mobil, motor), makanan, pakaian, bejana (cangkir, mangkok), tanah dan bangunan, hewan, atau selain itu yang termasuk dalam definisi yang telah disebutkan. Hadis ini, meskipun sanadnya dha’if, akan tetapi dikuatkan oleh dalil-dalil umum. Di antaranya firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka sebagai zakat yang kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian (kewajiban) tertentu.” (QS. Al-Ma’arij: 24) Harta berupa barang perdagangan adalah harta yang sifatnya umum, karena mencakup semua jenis barang yang diperdagangkan sesuai penjelasan sebelumnya. Sehingga harta semacam ini sudah selayaknya termasuk dalam ayat-ayat tersebut. Sebagaimana juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267) Mayoritas ahli tafsir, seperti Ibnu Jarir At-Thabari, Al-Jashash, Ibnul ‘Arabi, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah zakat barang perdagangan, karena termasuk dalam harta yang diusahakan oleh manusia. Sedangkan nafkah atau infak yang paling agung adalah infak berupa zakat (sedekah wajib). (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 5: 555; Ahkam Al-Qur’an, 2: 174 karya Al-Jashash; dan Ahkam Al-Qur’an, 1: 235 karya Ibnul ‘Arabi) Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya, بَابُ صَدَقَةِ الكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ “Bab Zakat Hasil Usaha dan Perdagangan.” Setelah itu, beliau pun menyebutkan ayat di atas. Demikian pula, terdapat sejumlah atsar perkataan para sahabat yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, seperti perkataan Umar, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum dengan sanad yang sahih. Zahirnya, perkataan semacam ini tentu saja tidak bersumber dari akal (pendapat) mereka saja, akan tetapi berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, tidak dijumpai sahabat lain yang menyelisihi atau menentang perkataan-perkataan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid, 17: 130). Ini adalah suatu perkara yang masyhur, memiliki banyak faktor pendorong untuk dinukil, sehingga ketika tidak dijumpai nukilan sahabat yang mengingkarinya, maka hal ini dianggap ijmak (kesepakatan) mereka, bahwa terdapat kewajiban zakat barang perdagangan dari syariat. Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya ijmak bahwa barang yang diperdagangkan itu ada kewajiban zakatnya jika telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah) (Al-Ijma’, hal. 51). Perkataan beliau ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, dan beliau pun menyetujuinya (Al-Mughni, 4: 248). Baca juga: Kewajiban Zakat dari Harta Anak Yatim Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat barang perdagangan (Al-Muhalla, 5: 233). Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama belakangan seperti Asy-Syaukani (As-Sail Al-Jarar, 2: 26-27) dan juga Al-Albani (Tamamul Minnah, hal. 363). Mereka berdalil bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, sedangkan hukum asal mukallaf adalah bara’ah adz-dzimmah (tidak dikenai suatu kewajiban sampai adanya dalil). Tentu saja, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa ada kewajiban zakat pada barang perdagangan. Adapun pendapat kedua (yang menyatakan tidak wajibnya), telah disebutkan oleh Abu ‘Ubaid bahwa pendapat itu bukan termasuk mazhab para ulama (Al-Amwal, hal. 434). Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama belakangan dari ulama zahiriyyah menyangka bahwa tidak ada kewajiban zakat (bagi barang perdagangan), padahal sudah ada ijmak sebelumnya.” (Ma’alim As-Sunan, 2: 223) Sehingga berdasarkan perkataan Al-Khattabi rahimahullah tersebut, maka penyelisihan ulama Zahiriyah dan yang mengikuti mereka dalam masalah ini tidak perlu dianggap, karena telah ada ijmak sebelumnya. Mereka berdalil dengan kaidah bara’atu adz-dzimmah, padahal ada dalil yang memalingkan dari hukum asal, yaitu dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Selain itu, kewajiban zakat barang perdagangan juga didukung oleh dalil qiyas, dari dua sisi berikut ini: Pertama, barang yang dimaksudkan untuk perdagangan adalah harta yang dimaksudkan atau diniatkan untuk berkembang, sama seperti harta yang dikenakan kewajiban zakat seperti hewan ternak, hasil pertanian, emas, dan perak. Bahkan, mayoritas harta yang dimiliki oleh manusia adalah barang yang diperdagangkan. Kalau kita katakan, “Tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan”, maka akan gugurlah kewajiban zakat dari sebagian besar harta kaum muslimin. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 75) Kedua, barang-barang yang diputar sebagai modal itu sama dengan naqd (alat tukar) secara makna. Sehingga tidak ada bedanya antara barang perdagangan tersebut dengan nilai (harganya) dari dinar dan dirham. Kalau tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan, maka orang-orang kaya akan memperdagangkan dinar atau dirhamnya supaya tidak dikenai kewajiban zakat. Kesimpulan, berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat yang terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kewajiban zakat pada barang perdagangan. Zakat barang perdagangan dihitung berdasarkan nilai (harga) barang tersebut. Jika harga atau nilainya telah mencapai nishab emas atau perak, maka ada kewajiban zakat. Nishab-nya dipilih yang lebih hati-hati atau lebih memberikan manfaat untuk orang-orang miskin dari nishab emas atau perak (nishab emas adalah 85 gram; sedangkan nishab perak adalah 595 gram). Kemudian juga telah mencapai haul (satu tahun hijriah). Haul dihitung setelah harga barang tersebut mencapai nishab. Jika harga barang saat dibeli sudah mencapai nishab, maka haul mulai dihitung dari sejak pembelian barang tersebut. Besar zakatnya adalah sebesar 2,5% dari harga barang, diqiyaskan dengan besaran zakat emas atau perak. Adapun keuntungan yang didapatkan dari perdagangan tersebut, diikutkan dengan nilai asal barang, sehingga tidak disyaratkan adanya haul yang baru. Karena keuntungan ini adalah far’un (cabang), dan dia mengikuti hukum barang pokoknya. Misalnya, seseorang membeli tanah yang dia niatkan sejak awal untuk barang dagangan. Dia membeli pada tanggal 1 Jumadilakhir 1445 seharga Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Harga tersebut sudah melampaui nishab emas atau perak saat dibeli. Akan tetapi, sebulan sebelum mencapai haul (yaitu pada tanggal 1 Jumadilawal 1446), nilai tanah tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp. 120.000.000. Maka kewajiban zakatnya adalah 2,5% x Rp. 120.000.000 = Rp. 3.000.000; dan dibayarkan pada tanggal 1 Jumadil akhir 1446. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Baca juga: Dianjurkannya Mendoakan Orang yang Memberi Zakat *** @Rumah Kasongan, 18 Jumadilawal 1445/ 2 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 446-449). Tags: barang daganganzakat
Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ “Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” (HR. Abu Dawud no. 1562) Sanad hadis ini dha’if. Abu Dawud bersendirian meriwayatkan hadis ini di antara penulis kitab kutubut sittah (yaitu, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Jami’ At-Tirmidzi). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul, yaitu Ja’far bin Sa’d bin Samurah; gurunya, yaitu Khabib bin Sulaiman; dan juga guru dari gurunya Ja’far, yaitu Sulaiman bin Samurah. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul.” (At-Talkhish, 2: 179) Hadis ini juga dinilai dha’if oleh Al-Albani. Kandungan hadis Hadis ini merupakan dalil wajibnya zakat barang perdagangan. Yang dimaksud dengan barang perdagangan (‘urudhut tijarah) adalah semua barang yang dimaksudkan untuk aktivitas perdagangan (jual beli) dalam rangka mendapatkan keuntungan, dari semua jenis barang yang diperdagangkan. Contohnya, kendaraan (mobil, motor), makanan, pakaian, bejana (cangkir, mangkok), tanah dan bangunan, hewan, atau selain itu yang termasuk dalam definisi yang telah disebutkan. Hadis ini, meskipun sanadnya dha’if, akan tetapi dikuatkan oleh dalil-dalil umum. Di antaranya firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka sebagai zakat yang kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian (kewajiban) tertentu.” (QS. Al-Ma’arij: 24) Harta berupa barang perdagangan adalah harta yang sifatnya umum, karena mencakup semua jenis barang yang diperdagangkan sesuai penjelasan sebelumnya. Sehingga harta semacam ini sudah selayaknya termasuk dalam ayat-ayat tersebut. Sebagaimana juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267) Mayoritas ahli tafsir, seperti Ibnu Jarir At-Thabari, Al-Jashash, Ibnul ‘Arabi, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah zakat barang perdagangan, karena termasuk dalam harta yang diusahakan oleh manusia. Sedangkan nafkah atau infak yang paling agung adalah infak berupa zakat (sedekah wajib). (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 5: 555; Ahkam Al-Qur’an, 2: 174 karya Al-Jashash; dan Ahkam Al-Qur’an, 1: 235 karya Ibnul ‘Arabi) Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya, بَابُ صَدَقَةِ الكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ “Bab Zakat Hasil Usaha dan Perdagangan.” Setelah itu, beliau pun menyebutkan ayat di atas. Demikian pula, terdapat sejumlah atsar perkataan para sahabat yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, seperti perkataan Umar, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum dengan sanad yang sahih. Zahirnya, perkataan semacam ini tentu saja tidak bersumber dari akal (pendapat) mereka saja, akan tetapi berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, tidak dijumpai sahabat lain yang menyelisihi atau menentang perkataan-perkataan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid, 17: 130). Ini adalah suatu perkara yang masyhur, memiliki banyak faktor pendorong untuk dinukil, sehingga ketika tidak dijumpai nukilan sahabat yang mengingkarinya, maka hal ini dianggap ijmak (kesepakatan) mereka, bahwa terdapat kewajiban zakat barang perdagangan dari syariat. Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya ijmak bahwa barang yang diperdagangkan itu ada kewajiban zakatnya jika telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah) (Al-Ijma’, hal. 51). Perkataan beliau ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, dan beliau pun menyetujuinya (Al-Mughni, 4: 248). Baca juga: Kewajiban Zakat dari Harta Anak Yatim Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat barang perdagangan (Al-Muhalla, 5: 233). Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama belakangan seperti Asy-Syaukani (As-Sail Al-Jarar, 2: 26-27) dan juga Al-Albani (Tamamul Minnah, hal. 363). Mereka berdalil bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, sedangkan hukum asal mukallaf adalah bara’ah adz-dzimmah (tidak dikenai suatu kewajiban sampai adanya dalil). Tentu saja, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa ada kewajiban zakat pada barang perdagangan. Adapun pendapat kedua (yang menyatakan tidak wajibnya), telah disebutkan oleh Abu ‘Ubaid bahwa pendapat itu bukan termasuk mazhab para ulama (Al-Amwal, hal. 434). Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama belakangan dari ulama zahiriyyah menyangka bahwa tidak ada kewajiban zakat (bagi barang perdagangan), padahal sudah ada ijmak sebelumnya.” (Ma’alim As-Sunan, 2: 223) Sehingga berdasarkan perkataan Al-Khattabi rahimahullah tersebut, maka penyelisihan ulama Zahiriyah dan yang mengikuti mereka dalam masalah ini tidak perlu dianggap, karena telah ada ijmak sebelumnya. Mereka berdalil dengan kaidah bara’atu adz-dzimmah, padahal ada dalil yang memalingkan dari hukum asal, yaitu dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Selain itu, kewajiban zakat barang perdagangan juga didukung oleh dalil qiyas, dari dua sisi berikut ini: Pertama, barang yang dimaksudkan untuk perdagangan adalah harta yang dimaksudkan atau diniatkan untuk berkembang, sama seperti harta yang dikenakan kewajiban zakat seperti hewan ternak, hasil pertanian, emas, dan perak. Bahkan, mayoritas harta yang dimiliki oleh manusia adalah barang yang diperdagangkan. Kalau kita katakan, “Tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan”, maka akan gugurlah kewajiban zakat dari sebagian besar harta kaum muslimin. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 75) Kedua, barang-barang yang diputar sebagai modal itu sama dengan naqd (alat tukar) secara makna. Sehingga tidak ada bedanya antara barang perdagangan tersebut dengan nilai (harganya) dari dinar dan dirham. Kalau tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan, maka orang-orang kaya akan memperdagangkan dinar atau dirhamnya supaya tidak dikenai kewajiban zakat. Kesimpulan, berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat yang terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kewajiban zakat pada barang perdagangan. Zakat barang perdagangan dihitung berdasarkan nilai (harga) barang tersebut. Jika harga atau nilainya telah mencapai nishab emas atau perak, maka ada kewajiban zakat. Nishab-nya dipilih yang lebih hati-hati atau lebih memberikan manfaat untuk orang-orang miskin dari nishab emas atau perak (nishab emas adalah 85 gram; sedangkan nishab perak adalah 595 gram). Kemudian juga telah mencapai haul (satu tahun hijriah). Haul dihitung setelah harga barang tersebut mencapai nishab. Jika harga barang saat dibeli sudah mencapai nishab, maka haul mulai dihitung dari sejak pembelian barang tersebut. Besar zakatnya adalah sebesar 2,5% dari harga barang, diqiyaskan dengan besaran zakat emas atau perak. Adapun keuntungan yang didapatkan dari perdagangan tersebut, diikutkan dengan nilai asal barang, sehingga tidak disyaratkan adanya haul yang baru. Karena keuntungan ini adalah far’un (cabang), dan dia mengikuti hukum barang pokoknya. Misalnya, seseorang membeli tanah yang dia niatkan sejak awal untuk barang dagangan. Dia membeli pada tanggal 1 Jumadilakhir 1445 seharga Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Harga tersebut sudah melampaui nishab emas atau perak saat dibeli. Akan tetapi, sebulan sebelum mencapai haul (yaitu pada tanggal 1 Jumadilawal 1446), nilai tanah tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp. 120.000.000. Maka kewajiban zakatnya adalah 2,5% x Rp. 120.000.000 = Rp. 3.000.000; dan dibayarkan pada tanggal 1 Jumadil akhir 1446. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Baca juga: Dianjurkannya Mendoakan Orang yang Memberi Zakat *** @Rumah Kasongan, 18 Jumadilawal 1445/ 2 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 446-449). Tags: barang daganganzakat


Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ “Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” (HR. Abu Dawud no. 1562) Sanad hadis ini dha’if. Abu Dawud bersendirian meriwayatkan hadis ini di antara penulis kitab kutubut sittah (yaitu, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Jami’ At-Tirmidzi). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul, yaitu Ja’far bin Sa’d bin Samurah; gurunya, yaitu Khabib bin Sulaiman; dan juga guru dari gurunya Ja’far, yaitu Sulaiman bin Samurah. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul.” (At-Talkhish, 2: 179) Hadis ini juga dinilai dha’if oleh Al-Albani. Kandungan hadis Hadis ini merupakan dalil wajibnya zakat barang perdagangan. Yang dimaksud dengan barang perdagangan (‘urudhut tijarah) adalah semua barang yang dimaksudkan untuk aktivitas perdagangan (jual beli) dalam rangka mendapatkan keuntungan, dari semua jenis barang yang diperdagangkan. Contohnya, kendaraan (mobil, motor), makanan, pakaian, bejana (cangkir, mangkok), tanah dan bangunan, hewan, atau selain itu yang termasuk dalam definisi yang telah disebutkan. Hadis ini, meskipun sanadnya dha’if, akan tetapi dikuatkan oleh dalil-dalil umum. Di antaranya firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka sebagai zakat yang kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian (kewajiban) tertentu.” (QS. Al-Ma’arij: 24) Harta berupa barang perdagangan adalah harta yang sifatnya umum, karena mencakup semua jenis barang yang diperdagangkan sesuai penjelasan sebelumnya. Sehingga harta semacam ini sudah selayaknya termasuk dalam ayat-ayat tersebut. Sebagaimana juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267) Mayoritas ahli tafsir, seperti Ibnu Jarir At-Thabari, Al-Jashash, Ibnul ‘Arabi, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah zakat barang perdagangan, karena termasuk dalam harta yang diusahakan oleh manusia. Sedangkan nafkah atau infak yang paling agung adalah infak berupa zakat (sedekah wajib). (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 5: 555; Ahkam Al-Qur’an, 2: 174 karya Al-Jashash; dan Ahkam Al-Qur’an, 1: 235 karya Ibnul ‘Arabi) Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya, بَابُ صَدَقَةِ الكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ “Bab Zakat Hasil Usaha dan Perdagangan.” Setelah itu, beliau pun menyebutkan ayat di atas. Demikian pula, terdapat sejumlah atsar perkataan para sahabat yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, seperti perkataan Umar, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum dengan sanad yang sahih. Zahirnya, perkataan semacam ini tentu saja tidak bersumber dari akal (pendapat) mereka saja, akan tetapi berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, tidak dijumpai sahabat lain yang menyelisihi atau menentang perkataan-perkataan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid, 17: 130). Ini adalah suatu perkara yang masyhur, memiliki banyak faktor pendorong untuk dinukil, sehingga ketika tidak dijumpai nukilan sahabat yang mengingkarinya, maka hal ini dianggap ijmak (kesepakatan) mereka, bahwa terdapat kewajiban zakat barang perdagangan dari syariat. Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya ijmak bahwa barang yang diperdagangkan itu ada kewajiban zakatnya jika telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah) (Al-Ijma’, hal. 51). Perkataan beliau ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, dan beliau pun menyetujuinya (Al-Mughni, 4: 248). Baca juga: Kewajiban Zakat dari Harta Anak Yatim Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat barang perdagangan (Al-Muhalla, 5: 233). Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama belakangan seperti Asy-Syaukani (As-Sail Al-Jarar, 2: 26-27) dan juga Al-Albani (Tamamul Minnah, hal. 363). Mereka berdalil bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, sedangkan hukum asal mukallaf adalah bara’ah adz-dzimmah (tidak dikenai suatu kewajiban sampai adanya dalil). Tentu saja, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa ada kewajiban zakat pada barang perdagangan. Adapun pendapat kedua (yang menyatakan tidak wajibnya), telah disebutkan oleh Abu ‘Ubaid bahwa pendapat itu bukan termasuk mazhab para ulama (Al-Amwal, hal. 434). Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama belakangan dari ulama zahiriyyah menyangka bahwa tidak ada kewajiban zakat (bagi barang perdagangan), padahal sudah ada ijmak sebelumnya.” (Ma’alim As-Sunan, 2: 223) Sehingga berdasarkan perkataan Al-Khattabi rahimahullah tersebut, maka penyelisihan ulama Zahiriyah dan yang mengikuti mereka dalam masalah ini tidak perlu dianggap, karena telah ada ijmak sebelumnya. Mereka berdalil dengan kaidah bara’atu adz-dzimmah, padahal ada dalil yang memalingkan dari hukum asal, yaitu dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Selain itu, kewajiban zakat barang perdagangan juga didukung oleh dalil qiyas, dari dua sisi berikut ini: Pertama, barang yang dimaksudkan untuk perdagangan adalah harta yang dimaksudkan atau diniatkan untuk berkembang, sama seperti harta yang dikenakan kewajiban zakat seperti hewan ternak, hasil pertanian, emas, dan perak. Bahkan, mayoritas harta yang dimiliki oleh manusia adalah barang yang diperdagangkan. Kalau kita katakan, “Tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan”, maka akan gugurlah kewajiban zakat dari sebagian besar harta kaum muslimin. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 75) Kedua, barang-barang yang diputar sebagai modal itu sama dengan naqd (alat tukar) secara makna. Sehingga tidak ada bedanya antara barang perdagangan tersebut dengan nilai (harganya) dari dinar dan dirham. Kalau tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan, maka orang-orang kaya akan memperdagangkan dinar atau dirhamnya supaya tidak dikenai kewajiban zakat. Kesimpulan, berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat yang terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kewajiban zakat pada barang perdagangan. Zakat barang perdagangan dihitung berdasarkan nilai (harga) barang tersebut. Jika harga atau nilainya telah mencapai nishab emas atau perak, maka ada kewajiban zakat. Nishab-nya dipilih yang lebih hati-hati atau lebih memberikan manfaat untuk orang-orang miskin dari nishab emas atau perak (nishab emas adalah 85 gram; sedangkan nishab perak adalah 595 gram). Kemudian juga telah mencapai haul (satu tahun hijriah). Haul dihitung setelah harga barang tersebut mencapai nishab. Jika harga barang saat dibeli sudah mencapai nishab, maka haul mulai dihitung dari sejak pembelian barang tersebut. Besar zakatnya adalah sebesar 2,5% dari harga barang, diqiyaskan dengan besaran zakat emas atau perak. Adapun keuntungan yang didapatkan dari perdagangan tersebut, diikutkan dengan nilai asal barang, sehingga tidak disyaratkan adanya haul yang baru. Karena keuntungan ini adalah far’un (cabang), dan dia mengikuti hukum barang pokoknya. Misalnya, seseorang membeli tanah yang dia niatkan sejak awal untuk barang dagangan. Dia membeli pada tanggal 1 Jumadilakhir 1445 seharga Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Harga tersebut sudah melampaui nishab emas atau perak saat dibeli. Akan tetapi, sebulan sebelum mencapai haul (yaitu pada tanggal 1 Jumadilawal 1446), nilai tanah tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp. 120.000.000. Maka kewajiban zakatnya adalah 2,5% x Rp. 120.000.000 = Rp. 3.000.000; dan dibayarkan pada tanggal 1 Jumadil akhir 1446. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Baca juga: Dianjurkannya Mendoakan Orang yang Memberi Zakat *** @Rumah Kasongan, 18 Jumadilawal 1445/ 2 Desember 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 446-449). Tags: barang daganganzakat

Tanya Jawab Tentang Iman dan Islam

Daftar Isi Toggle Makna IslamMakna imanMakna tauhidMakna tauhid rububiyahMakna tauhid uluhiyahMakna ibadah Bismillah. Berikut ini, kami sajikan beberapa tanya-jawab seputar iman dan Islam. Semoga bisa menjadi sarana belajar dan meningkatkan pemahaman bagi kaum muslimin. Makna Islam Pertanyaan: Apakah makna Islam? Jawaban: Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah pengertian Islam yang telah disampaikan oleh para ulama kepada kita. Dengan demikian, tidak mungkin Islam tegak pada diri seorang hamba, kecuali setelah dia mewujudkan tauhid. Oleh sebab itu, setiap nabi mengajak kepada kalimat tauhid ‘lailahaillallah’. Allah berfirman,  وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25) Makna iman Pertanyaan: Apakah makna Iman? Jawaban: Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menjelaskan bahwa iman itu meliputi ucapan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, dan diyakini dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang karena kemaksiatan. (lihat Irsyadul ‘Ibad ila Ma’ani Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 80-81) Ibnu Abi Zamanin Al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlusunah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunah (tuntunan). (lihat Ushul As-Sunnah, hlm. 143) Makna tauhid Pertanyaan: Apakah makna tauhid? Jawaban: Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya, yaitu dalam perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Pembagian tauhid ini muncul berdasarkan penelitian (istiqra’) terhadap dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Ketiga macam tauhid ini telah terpadu di dalam sebuah ayat, yaitu firman Allah, رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَـٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِیࣰّا “Rabb penguasa langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka, beribadahlah kepada-Nya dan teruslah bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65) Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Makna tauhid rububiyah Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah? Jawaban: Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan. Meyakini bahwa tidak ada pencipta, selain Allah; tidak ada yang menguasai seluruh makhluk ini, selain Allah; dan tidak ada yang mengatur segala urusan, kecuali Allah. Atau dengan ungkapan lain, yang dimaksud tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Tauhid rububiyah ini tidak diingkari oleh kaum musyrikin yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus di tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡعَلِیمُ “Dan sungguh apabila kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab bahwa yang menciptakannya adalah (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 9) Allah juga berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, benar-benar mereka akan menjawab ‘Allah’.” (QS. Luqman: 25) Dalam ayat lain, Allah menegaskan, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (QS. Az-Zukhruf: 87) Makna tauhid uluhiyah Pertanyaan: Apakah makna dari tauhid uluhiyah? Jawaban: Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Dengan bahasa lain, tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah. Apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada Allah sebagai ilah (sesembahan), maka ia disebut tauhid uluhiyah. Dan apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada hamba sebagai pelaku ibadah, maka ia disebut tauhid ibadah. Dalil yang menunjukkan bahwa hanya Allah yang patut disembah adalah firman Allah,  ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا یَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَـٰطِلُ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah (ilah/sesembahan) yang benar, dan apa-apa yang mereka seru (ibadahi) selain Allah adalah batil.” (QS. Luqman: 30) Tauhid uluhiyah inilah yang ditolak dan diingkari oleh kebanyakan manusia. Oleh sebab itulah, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab dalam rangka mengajak manusia untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang pun rasul, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Umat-umat yang kafir telah mengetahui apa maksud dari dakwah para rasul. Yaitu, bahwasanya mereka datang dalam rangka mengajak umat untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Oleh sebab itu, mereka mengatakan, أَتَنۡهَىٰنَاۤ أَن نَّعۡبُدَ مَا یَعۡبُدُ ءَابَاۤؤُنَا “Apakah kamu hendak melarang kami menyembah apa-apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (QS. Hud : 62) Mereka juga mengatakan, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ “Apakah dia (Muhammad) itu menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja.” (QS. Shad: 5) Makna ibadah Pertanyaan: Apakah makna ibadah? Jawaban: Secara bahasa, ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Ibadah kepada Allah itu dilandasi oleh puncak perendahan diri kepada Allah, disertai dengan puncak kecintaan kepada-Nya. Dalam terminologi syariat, istilah ibadah mencakup dua pemaknaan: Pertama, ibadah adalah ta’abbud (perbuatan menghamba kepada Allah). Yaitu, merendahkan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kedua, ibadah dalam arti segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah itu bisa dilakukan dengan lisan, hati, atau anggota badan. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah yang bersih dari syirik. Tidak cukup beribadah kepada Allah apabila tidak disertai dengan sikap menjauhi segala bentuk perbuatan syirik. Seandainya orang melakukan salat dan puasa, bahkan haji dan berumrah, tetapi dia berdoa kepada selain Allah, maka semua amalnya menjadi bagaikan debu-debu yang beterbangan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Maka, tidaklah bermanfaat ibadah, kecuali apabila disertai dengan sikap menjauhi segala macam bentuk syirik. Demikian sedikit kumpulan tanya jawab seputar Islam dan iman. Semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: imanislamtanya jawab

Tanya Jawab Tentang Iman dan Islam

Daftar Isi Toggle Makna IslamMakna imanMakna tauhidMakna tauhid rububiyahMakna tauhid uluhiyahMakna ibadah Bismillah. Berikut ini, kami sajikan beberapa tanya-jawab seputar iman dan Islam. Semoga bisa menjadi sarana belajar dan meningkatkan pemahaman bagi kaum muslimin. Makna Islam Pertanyaan: Apakah makna Islam? Jawaban: Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah pengertian Islam yang telah disampaikan oleh para ulama kepada kita. Dengan demikian, tidak mungkin Islam tegak pada diri seorang hamba, kecuali setelah dia mewujudkan tauhid. Oleh sebab itu, setiap nabi mengajak kepada kalimat tauhid ‘lailahaillallah’. Allah berfirman,  وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25) Makna iman Pertanyaan: Apakah makna Iman? Jawaban: Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menjelaskan bahwa iman itu meliputi ucapan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, dan diyakini dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang karena kemaksiatan. (lihat Irsyadul ‘Ibad ila Ma’ani Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 80-81) Ibnu Abi Zamanin Al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlusunah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunah (tuntunan). (lihat Ushul As-Sunnah, hlm. 143) Makna tauhid Pertanyaan: Apakah makna tauhid? Jawaban: Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya, yaitu dalam perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Pembagian tauhid ini muncul berdasarkan penelitian (istiqra’) terhadap dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Ketiga macam tauhid ini telah terpadu di dalam sebuah ayat, yaitu firman Allah, رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَـٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِیࣰّا “Rabb penguasa langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka, beribadahlah kepada-Nya dan teruslah bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65) Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Makna tauhid rububiyah Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah? Jawaban: Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan. Meyakini bahwa tidak ada pencipta, selain Allah; tidak ada yang menguasai seluruh makhluk ini, selain Allah; dan tidak ada yang mengatur segala urusan, kecuali Allah. Atau dengan ungkapan lain, yang dimaksud tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Tauhid rububiyah ini tidak diingkari oleh kaum musyrikin yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus di tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡعَلِیمُ “Dan sungguh apabila kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab bahwa yang menciptakannya adalah (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 9) Allah juga berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, benar-benar mereka akan menjawab ‘Allah’.” (QS. Luqman: 25) Dalam ayat lain, Allah menegaskan, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (QS. Az-Zukhruf: 87) Makna tauhid uluhiyah Pertanyaan: Apakah makna dari tauhid uluhiyah? Jawaban: Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Dengan bahasa lain, tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah. Apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada Allah sebagai ilah (sesembahan), maka ia disebut tauhid uluhiyah. Dan apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada hamba sebagai pelaku ibadah, maka ia disebut tauhid ibadah. Dalil yang menunjukkan bahwa hanya Allah yang patut disembah adalah firman Allah,  ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا یَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَـٰطِلُ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah (ilah/sesembahan) yang benar, dan apa-apa yang mereka seru (ibadahi) selain Allah adalah batil.” (QS. Luqman: 30) Tauhid uluhiyah inilah yang ditolak dan diingkari oleh kebanyakan manusia. Oleh sebab itulah, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab dalam rangka mengajak manusia untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang pun rasul, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Umat-umat yang kafir telah mengetahui apa maksud dari dakwah para rasul. Yaitu, bahwasanya mereka datang dalam rangka mengajak umat untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Oleh sebab itu, mereka mengatakan, أَتَنۡهَىٰنَاۤ أَن نَّعۡبُدَ مَا یَعۡبُدُ ءَابَاۤؤُنَا “Apakah kamu hendak melarang kami menyembah apa-apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (QS. Hud : 62) Mereka juga mengatakan, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ “Apakah dia (Muhammad) itu menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja.” (QS. Shad: 5) Makna ibadah Pertanyaan: Apakah makna ibadah? Jawaban: Secara bahasa, ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Ibadah kepada Allah itu dilandasi oleh puncak perendahan diri kepada Allah, disertai dengan puncak kecintaan kepada-Nya. Dalam terminologi syariat, istilah ibadah mencakup dua pemaknaan: Pertama, ibadah adalah ta’abbud (perbuatan menghamba kepada Allah). Yaitu, merendahkan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kedua, ibadah dalam arti segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah itu bisa dilakukan dengan lisan, hati, atau anggota badan. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah yang bersih dari syirik. Tidak cukup beribadah kepada Allah apabila tidak disertai dengan sikap menjauhi segala bentuk perbuatan syirik. Seandainya orang melakukan salat dan puasa, bahkan haji dan berumrah, tetapi dia berdoa kepada selain Allah, maka semua amalnya menjadi bagaikan debu-debu yang beterbangan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Maka, tidaklah bermanfaat ibadah, kecuali apabila disertai dengan sikap menjauhi segala macam bentuk syirik. Demikian sedikit kumpulan tanya jawab seputar Islam dan iman. Semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: imanislamtanya jawab
Daftar Isi Toggle Makna IslamMakna imanMakna tauhidMakna tauhid rububiyahMakna tauhid uluhiyahMakna ibadah Bismillah. Berikut ini, kami sajikan beberapa tanya-jawab seputar iman dan Islam. Semoga bisa menjadi sarana belajar dan meningkatkan pemahaman bagi kaum muslimin. Makna Islam Pertanyaan: Apakah makna Islam? Jawaban: Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah pengertian Islam yang telah disampaikan oleh para ulama kepada kita. Dengan demikian, tidak mungkin Islam tegak pada diri seorang hamba, kecuali setelah dia mewujudkan tauhid. Oleh sebab itu, setiap nabi mengajak kepada kalimat tauhid ‘lailahaillallah’. Allah berfirman,  وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25) Makna iman Pertanyaan: Apakah makna Iman? Jawaban: Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menjelaskan bahwa iman itu meliputi ucapan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, dan diyakini dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang karena kemaksiatan. (lihat Irsyadul ‘Ibad ila Ma’ani Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 80-81) Ibnu Abi Zamanin Al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlusunah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunah (tuntunan). (lihat Ushul As-Sunnah, hlm. 143) Makna tauhid Pertanyaan: Apakah makna tauhid? Jawaban: Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya, yaitu dalam perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Pembagian tauhid ini muncul berdasarkan penelitian (istiqra’) terhadap dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Ketiga macam tauhid ini telah terpadu di dalam sebuah ayat, yaitu firman Allah, رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَـٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِیࣰّا “Rabb penguasa langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka, beribadahlah kepada-Nya dan teruslah bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65) Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Makna tauhid rububiyah Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah? Jawaban: Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan. Meyakini bahwa tidak ada pencipta, selain Allah; tidak ada yang menguasai seluruh makhluk ini, selain Allah; dan tidak ada yang mengatur segala urusan, kecuali Allah. Atau dengan ungkapan lain, yang dimaksud tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Tauhid rububiyah ini tidak diingkari oleh kaum musyrikin yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus di tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡعَلِیمُ “Dan sungguh apabila kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab bahwa yang menciptakannya adalah (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 9) Allah juga berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, benar-benar mereka akan menjawab ‘Allah’.” (QS. Luqman: 25) Dalam ayat lain, Allah menegaskan, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (QS. Az-Zukhruf: 87) Makna tauhid uluhiyah Pertanyaan: Apakah makna dari tauhid uluhiyah? Jawaban: Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Dengan bahasa lain, tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah. Apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada Allah sebagai ilah (sesembahan), maka ia disebut tauhid uluhiyah. Dan apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada hamba sebagai pelaku ibadah, maka ia disebut tauhid ibadah. Dalil yang menunjukkan bahwa hanya Allah yang patut disembah adalah firman Allah,  ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا یَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَـٰطِلُ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah (ilah/sesembahan) yang benar, dan apa-apa yang mereka seru (ibadahi) selain Allah adalah batil.” (QS. Luqman: 30) Tauhid uluhiyah inilah yang ditolak dan diingkari oleh kebanyakan manusia. Oleh sebab itulah, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab dalam rangka mengajak manusia untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang pun rasul, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Umat-umat yang kafir telah mengetahui apa maksud dari dakwah para rasul. Yaitu, bahwasanya mereka datang dalam rangka mengajak umat untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Oleh sebab itu, mereka mengatakan, أَتَنۡهَىٰنَاۤ أَن نَّعۡبُدَ مَا یَعۡبُدُ ءَابَاۤؤُنَا “Apakah kamu hendak melarang kami menyembah apa-apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (QS. Hud : 62) Mereka juga mengatakan, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ “Apakah dia (Muhammad) itu menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja.” (QS. Shad: 5) Makna ibadah Pertanyaan: Apakah makna ibadah? Jawaban: Secara bahasa, ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Ibadah kepada Allah itu dilandasi oleh puncak perendahan diri kepada Allah, disertai dengan puncak kecintaan kepada-Nya. Dalam terminologi syariat, istilah ibadah mencakup dua pemaknaan: Pertama, ibadah adalah ta’abbud (perbuatan menghamba kepada Allah). Yaitu, merendahkan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kedua, ibadah dalam arti segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah itu bisa dilakukan dengan lisan, hati, atau anggota badan. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah yang bersih dari syirik. Tidak cukup beribadah kepada Allah apabila tidak disertai dengan sikap menjauhi segala bentuk perbuatan syirik. Seandainya orang melakukan salat dan puasa, bahkan haji dan berumrah, tetapi dia berdoa kepada selain Allah, maka semua amalnya menjadi bagaikan debu-debu yang beterbangan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Maka, tidaklah bermanfaat ibadah, kecuali apabila disertai dengan sikap menjauhi segala macam bentuk syirik. Demikian sedikit kumpulan tanya jawab seputar Islam dan iman. Semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: imanislamtanya jawab


Daftar Isi Toggle Makna IslamMakna imanMakna tauhidMakna tauhid rububiyahMakna tauhid uluhiyahMakna ibadah Bismillah. Berikut ini, kami sajikan beberapa tanya-jawab seputar iman dan Islam. Semoga bisa menjadi sarana belajar dan meningkatkan pemahaman bagi kaum muslimin. Makna Islam Pertanyaan: Apakah makna Islam? Jawaban: Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah pengertian Islam yang telah disampaikan oleh para ulama kepada kita. Dengan demikian, tidak mungkin Islam tegak pada diri seorang hamba, kecuali setelah dia mewujudkan tauhid. Oleh sebab itu, setiap nabi mengajak kepada kalimat tauhid ‘lailahaillallah’. Allah berfirman,  وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25) Makna iman Pertanyaan: Apakah makna Iman? Jawaban: Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menjelaskan bahwa iman itu meliputi ucapan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, dan diyakini dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang karena kemaksiatan. (lihat Irsyadul ‘Ibad ila Ma’ani Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 80-81) Ibnu Abi Zamanin Al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlusunah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunah (tuntunan). (lihat Ushul As-Sunnah, hlm. 143) Makna tauhid Pertanyaan: Apakah makna tauhid? Jawaban: Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya, yaitu dalam perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Pembagian tauhid ini muncul berdasarkan penelitian (istiqra’) terhadap dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Ketiga macam tauhid ini telah terpadu di dalam sebuah ayat, yaitu firman Allah, رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَـٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِیࣰّا “Rabb penguasa langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka, beribadahlah kepada-Nya dan teruslah bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65) Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Makna tauhid rububiyah Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah? Jawaban: Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan. Meyakini bahwa tidak ada pencipta, selain Allah; tidak ada yang menguasai seluruh makhluk ini, selain Allah; dan tidak ada yang mengatur segala urusan, kecuali Allah. Atau dengan ungkapan lain, yang dimaksud tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Tauhid rububiyah ini tidak diingkari oleh kaum musyrikin yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus di tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡعَلِیمُ “Dan sungguh apabila kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab bahwa yang menciptakannya adalah (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 9) Allah juga berfirman, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, benar-benar mereka akan menjawab ‘Allah’.” (QS. Luqman: 25) Dalam ayat lain, Allah menegaskan, وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ “Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (QS. Az-Zukhruf: 87) Makna tauhid uluhiyah Pertanyaan: Apakah makna dari tauhid uluhiyah? Jawaban: Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Dengan bahasa lain, tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah. Apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada Allah sebagai ilah (sesembahan), maka ia disebut tauhid uluhiyah. Dan apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada hamba sebagai pelaku ibadah, maka ia disebut tauhid ibadah. Dalil yang menunjukkan bahwa hanya Allah yang patut disembah adalah firman Allah,  ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا یَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَـٰطِلُ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah (ilah/sesembahan) yang benar, dan apa-apa yang mereka seru (ibadahi) selain Allah adalah batil.” (QS. Luqman: 30) Tauhid uluhiyah inilah yang ditolak dan diingkari oleh kebanyakan manusia. Oleh sebab itulah, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab dalam rangka mengajak manusia untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman, وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang pun rasul, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Umat-umat yang kafir telah mengetahui apa maksud dari dakwah para rasul. Yaitu, bahwasanya mereka datang dalam rangka mengajak umat untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Oleh sebab itu, mereka mengatakan, أَتَنۡهَىٰنَاۤ أَن نَّعۡبُدَ مَا یَعۡبُدُ ءَابَاۤؤُنَا “Apakah kamu hendak melarang kami menyembah apa-apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (QS. Hud : 62) Mereka juga mengatakan, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ “Apakah dia (Muhammad) itu menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja.” (QS. Shad: 5) Makna ibadah Pertanyaan: Apakah makna ibadah? Jawaban: Secara bahasa, ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Ibadah kepada Allah itu dilandasi oleh puncak perendahan diri kepada Allah, disertai dengan puncak kecintaan kepada-Nya. Dalam terminologi syariat, istilah ibadah mencakup dua pemaknaan: Pertama, ibadah adalah ta’abbud (perbuatan menghamba kepada Allah). Yaitu, merendahkan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kedua, ibadah dalam arti segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah itu bisa dilakukan dengan lisan, hati, atau anggota badan. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah yang bersih dari syirik. Tidak cukup beribadah kepada Allah apabila tidak disertai dengan sikap menjauhi segala bentuk perbuatan syirik. Seandainya orang melakukan salat dan puasa, bahkan haji dan berumrah, tetapi dia berdoa kepada selain Allah, maka semua amalnya menjadi bagaikan debu-debu yang beterbangan. Allah berfirman, وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Maka, tidaklah bermanfaat ibadah, kecuali apabila disertai dengan sikap menjauhi segala macam bentuk syirik. Demikian sedikit kumpulan tanya jawab seputar Islam dan iman. Semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: imanislamtanya jawab

Hukum Bermain Sulap

Pertanyaan: Apa hukum permainan sulap yang sekedar trik, kecepatan tangan dan tipuan pandangan mata tanpa menggunakan ilmu sihir sama sekali? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kita telah mengetahui bahwa sihir merupakan dosa dan kekufuran. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman :  يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ “Mereka (Harut dan Marut) mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya ujian (bagimu), sebab itu janganlah kamu kufur’” (QS. Al-Baqarah: 102). Sihir juga merupakan salah satu dosa besar. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apa saja itu? Rasulullah menjawab: berbuat syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89). Adapun sulap walaupun tidak menggunakan ilmu sihir, yaitu menggunakan kecepatan tangan, alat sulap, permainan pikiran, atau menggunakan zat kimia, namun sulap disebut oleh para ulama sebagai sihir majazi. Sehingga hukumnya sama dengan hukum sihir. Al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan: وأما ما يتعجب منه ـ كما يفعله أصحاب الحيل بمعونة الآلات المركبة على النسبة الهندسية تارة، وعلى صيرورة الخلاء ملاء أخرى، وبمعونة الأدوية كالنارنجيات، أو يريه صاحب خفة اليد ـ فتسميته سحرًا على التجوز، وهو مذموم أيضًا عند البعض، وصرح النووي في الروضة بحرمته. اهـ “Adapun permainan yang membuat takjub orang-orang, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli ilusi yang terkadang dengan bantuan teknologi, atau trik ruangan yang kosong lalu diisi oleh orang lain secara tersembunyi, atau menggunakan zat naranjiyyah, atau menggunakan trik kecepatan tangan, ini semua disebut sihir majazi. Perbuatan seperti ini juga tercela menurut sebagian ulama, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah tentang keharamannya” (Ruhul Ma’ani, 1/109). Ilmu sulap dalam bahasa Arab disebut juga dengan sya’badzah. Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: شَعبذةً: مهر في الاحتيال وأرى الشيءَ على غير حقيقته، معتمدًا على خداع الحواس “Sya’badzah adalah kemampuan untuk mengelabui orang lain dan memperlihatkan sesuatu kepada orang lain tidak sebagaimana hakikatnya, menggunakan trik yang mengelabui panca indra”. Ar-Ramli, ulama besar mazhab Syafi’i, beliau menjelaskan tentang hukum sya’badzah: وَلَا حَاجَةَ إلَى تَمْيِيزِ السِّحْرِ عَمَّا فِيهِ شِبْهُهُ مِنْ الْعُلُومِ كالسيميا وَالشَّعْبَذَةِ لِمُشَارَكَتِهَا إيَّاهُ فِي وُجُوبِ اجْتِنَابِهَا لِتَحْرِيمِهَا عَلَى أَنَّ كَثِيرًا مِنْ الْعُلَمَاءِ أَدْرَجُوهَا  “Dan tidak perlu membedakan antara ilmu sihir dengan ilmu yang mirip dengannya, seperti simiya dan sya’badzah. Ilmu-ilmu ini sama dengan ilmu sihir, sehingga wajib untuk dijauhi karena haramnya. Dan banyak para ulama memasukkan ilmu-ilmu tersebut dalam kategori ilmu sihir” (Fatawa Ar-Ramli, 4/374-375). Al-Allamah Manshur Al-Buhuti rahimahullah, ulama besar mazhab Hambali, beliau mengatakan: يُعَزَّرُ مَنْ (يَدْخُلُ النَّارَ وَنَحْوَهُ) مِمَّنْ يَعْمَلُ الشَّعْبَذَةَ وَنَحْوَهَا “Orang yang masuk ke api dan semisalnya yang mempraktekkan sya’badzah, mereka dijatuhi hukuman ta’zir” (Kasyful Qina’, 6/128). Ibnul Humam, seorang ulama mazhab Hanafi, beliau mengatakan: وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ أَهْلِ الشَّعْبَذَةِ وَهُوَ الَّذِي يُسَمَّى فِي دِيَارِنَا دِكَاكًا لِأَنَّهُ إمَّا سَاحِرٌ أَوْ كَذَّابٌ: أَعْنِي الَّذِي يَأْكُلُ مِنْهَا وَيَتَّخِذُهَا مُكْسِبَةً، فَأَمَّا مَنْ عَلِمَهَا وَلَمْ يَعْمَلْهَا فَلَا “Tidak diterima persaksian dari orang yang mempraktekan sya’badzah, yaitu orang-orang yang disebut dengan dakkak di negeri kita. Karena dakkak itu bisa jadi ia penyihir betulan atau ia menipu orang. Yang saya maksud di sini adalah orang yang menjadi dakkak untuk mencari penghasilan. Adapun yang mengetahui ilmunya namun tidak mempraktekannya, maka tidak demikian” (Fathul Qadir karya Ibnul Humam, 7/414). Dari penjelasan para ulama di atas, jelaskan tentang terlarangnya mempraktekkan ilmu sulap. Ilmu sulap juga terlarang karena mirip seperti ilmu sihir dan pelakunya mirip seperti penyihir. Padahal kita dilarang untuk menyerupakan diri dengan ahli maksiat. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من تشبَّهَ بقومٍ فَهوَ منْهم “Siapa yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, dishahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152). Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Ghunaiman menjelaskan, التشبه بالساحر حرام، المسألة الرابعة: العقد مع النفث من ذلك، يعني: كونه يعقد عقداً ثم ينفث فيه هذا من السحر، وهذا من المحرمات، سواءً كان الإنسان ساحراً أو يتشبه بالساحر، وقد يفعل ذلك بعض الجهال تشبهاً بالساحر، فإذا رأى أن الساحر يفعل كذا فيريد أن يفعل مثله…. اهـ “Menyerupakan diri dengan penyihir hukumnya haram. Kemudian masalah yang keempat, membuat buhul kemudian meniupnya, maka ini adalah perbuatan sihir. Dan hukumnya haram. Baik dia benar-benar penyihir atau hanya menyerupai penyihir. Dan perbuatan seperti ini dilakukan oleh sebagian orang jahil untuk meniru para penyihir. Ketika mereka melihat para penyihir melakukan seperti itu, mereka pun ingin menirunya” (Syarah Fathul Majid karya Syaikh Al-Ghunaiman, 76/17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Sawu Sufufakum, Tulisan Arab Fitri, Pertanyaan Seputar Haji, Kumpulan Kultum Muhammadiyah, Malaikat Pencatat Amal Baik, Doa Mandi Wajib Sesudah Haid Visited 108 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 QRIS donasi Yufid

Hukum Bermain Sulap

Pertanyaan: Apa hukum permainan sulap yang sekedar trik, kecepatan tangan dan tipuan pandangan mata tanpa menggunakan ilmu sihir sama sekali? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kita telah mengetahui bahwa sihir merupakan dosa dan kekufuran. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman :  يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ “Mereka (Harut dan Marut) mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya ujian (bagimu), sebab itu janganlah kamu kufur’” (QS. Al-Baqarah: 102). Sihir juga merupakan salah satu dosa besar. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apa saja itu? Rasulullah menjawab: berbuat syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89). Adapun sulap walaupun tidak menggunakan ilmu sihir, yaitu menggunakan kecepatan tangan, alat sulap, permainan pikiran, atau menggunakan zat kimia, namun sulap disebut oleh para ulama sebagai sihir majazi. Sehingga hukumnya sama dengan hukum sihir. Al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan: وأما ما يتعجب منه ـ كما يفعله أصحاب الحيل بمعونة الآلات المركبة على النسبة الهندسية تارة، وعلى صيرورة الخلاء ملاء أخرى، وبمعونة الأدوية كالنارنجيات، أو يريه صاحب خفة اليد ـ فتسميته سحرًا على التجوز، وهو مذموم أيضًا عند البعض، وصرح النووي في الروضة بحرمته. اهـ “Adapun permainan yang membuat takjub orang-orang, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli ilusi yang terkadang dengan bantuan teknologi, atau trik ruangan yang kosong lalu diisi oleh orang lain secara tersembunyi, atau menggunakan zat naranjiyyah, atau menggunakan trik kecepatan tangan, ini semua disebut sihir majazi. Perbuatan seperti ini juga tercela menurut sebagian ulama, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah tentang keharamannya” (Ruhul Ma’ani, 1/109). Ilmu sulap dalam bahasa Arab disebut juga dengan sya’badzah. Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: شَعبذةً: مهر في الاحتيال وأرى الشيءَ على غير حقيقته، معتمدًا على خداع الحواس “Sya’badzah adalah kemampuan untuk mengelabui orang lain dan memperlihatkan sesuatu kepada orang lain tidak sebagaimana hakikatnya, menggunakan trik yang mengelabui panca indra”. Ar-Ramli, ulama besar mazhab Syafi’i, beliau menjelaskan tentang hukum sya’badzah: وَلَا حَاجَةَ إلَى تَمْيِيزِ السِّحْرِ عَمَّا فِيهِ شِبْهُهُ مِنْ الْعُلُومِ كالسيميا وَالشَّعْبَذَةِ لِمُشَارَكَتِهَا إيَّاهُ فِي وُجُوبِ اجْتِنَابِهَا لِتَحْرِيمِهَا عَلَى أَنَّ كَثِيرًا مِنْ الْعُلَمَاءِ أَدْرَجُوهَا  “Dan tidak perlu membedakan antara ilmu sihir dengan ilmu yang mirip dengannya, seperti simiya dan sya’badzah. Ilmu-ilmu ini sama dengan ilmu sihir, sehingga wajib untuk dijauhi karena haramnya. Dan banyak para ulama memasukkan ilmu-ilmu tersebut dalam kategori ilmu sihir” (Fatawa Ar-Ramli, 4/374-375). Al-Allamah Manshur Al-Buhuti rahimahullah, ulama besar mazhab Hambali, beliau mengatakan: يُعَزَّرُ مَنْ (يَدْخُلُ النَّارَ وَنَحْوَهُ) مِمَّنْ يَعْمَلُ الشَّعْبَذَةَ وَنَحْوَهَا “Orang yang masuk ke api dan semisalnya yang mempraktekkan sya’badzah, mereka dijatuhi hukuman ta’zir” (Kasyful Qina’, 6/128). Ibnul Humam, seorang ulama mazhab Hanafi, beliau mengatakan: وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ أَهْلِ الشَّعْبَذَةِ وَهُوَ الَّذِي يُسَمَّى فِي دِيَارِنَا دِكَاكًا لِأَنَّهُ إمَّا سَاحِرٌ أَوْ كَذَّابٌ: أَعْنِي الَّذِي يَأْكُلُ مِنْهَا وَيَتَّخِذُهَا مُكْسِبَةً، فَأَمَّا مَنْ عَلِمَهَا وَلَمْ يَعْمَلْهَا فَلَا “Tidak diterima persaksian dari orang yang mempraktekan sya’badzah, yaitu orang-orang yang disebut dengan dakkak di negeri kita. Karena dakkak itu bisa jadi ia penyihir betulan atau ia menipu orang. Yang saya maksud di sini adalah orang yang menjadi dakkak untuk mencari penghasilan. Adapun yang mengetahui ilmunya namun tidak mempraktekannya, maka tidak demikian” (Fathul Qadir karya Ibnul Humam, 7/414). Dari penjelasan para ulama di atas, jelaskan tentang terlarangnya mempraktekkan ilmu sulap. Ilmu sulap juga terlarang karena mirip seperti ilmu sihir dan pelakunya mirip seperti penyihir. Padahal kita dilarang untuk menyerupakan diri dengan ahli maksiat. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من تشبَّهَ بقومٍ فَهوَ منْهم “Siapa yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, dishahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152). Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Ghunaiman menjelaskan, التشبه بالساحر حرام، المسألة الرابعة: العقد مع النفث من ذلك، يعني: كونه يعقد عقداً ثم ينفث فيه هذا من السحر، وهذا من المحرمات، سواءً كان الإنسان ساحراً أو يتشبه بالساحر، وقد يفعل ذلك بعض الجهال تشبهاً بالساحر، فإذا رأى أن الساحر يفعل كذا فيريد أن يفعل مثله…. اهـ “Menyerupakan diri dengan penyihir hukumnya haram. Kemudian masalah yang keempat, membuat buhul kemudian meniupnya, maka ini adalah perbuatan sihir. Dan hukumnya haram. Baik dia benar-benar penyihir atau hanya menyerupai penyihir. Dan perbuatan seperti ini dilakukan oleh sebagian orang jahil untuk meniru para penyihir. Ketika mereka melihat para penyihir melakukan seperti itu, mereka pun ingin menirunya” (Syarah Fathul Majid karya Syaikh Al-Ghunaiman, 76/17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Sawu Sufufakum, Tulisan Arab Fitri, Pertanyaan Seputar Haji, Kumpulan Kultum Muhammadiyah, Malaikat Pencatat Amal Baik, Doa Mandi Wajib Sesudah Haid Visited 108 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apa hukum permainan sulap yang sekedar trik, kecepatan tangan dan tipuan pandangan mata tanpa menggunakan ilmu sihir sama sekali? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kita telah mengetahui bahwa sihir merupakan dosa dan kekufuran. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman :  يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ “Mereka (Harut dan Marut) mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya ujian (bagimu), sebab itu janganlah kamu kufur’” (QS. Al-Baqarah: 102). Sihir juga merupakan salah satu dosa besar. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apa saja itu? Rasulullah menjawab: berbuat syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89). Adapun sulap walaupun tidak menggunakan ilmu sihir, yaitu menggunakan kecepatan tangan, alat sulap, permainan pikiran, atau menggunakan zat kimia, namun sulap disebut oleh para ulama sebagai sihir majazi. Sehingga hukumnya sama dengan hukum sihir. Al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan: وأما ما يتعجب منه ـ كما يفعله أصحاب الحيل بمعونة الآلات المركبة على النسبة الهندسية تارة، وعلى صيرورة الخلاء ملاء أخرى، وبمعونة الأدوية كالنارنجيات، أو يريه صاحب خفة اليد ـ فتسميته سحرًا على التجوز، وهو مذموم أيضًا عند البعض، وصرح النووي في الروضة بحرمته. اهـ “Adapun permainan yang membuat takjub orang-orang, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli ilusi yang terkadang dengan bantuan teknologi, atau trik ruangan yang kosong lalu diisi oleh orang lain secara tersembunyi, atau menggunakan zat naranjiyyah, atau menggunakan trik kecepatan tangan, ini semua disebut sihir majazi. Perbuatan seperti ini juga tercela menurut sebagian ulama, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah tentang keharamannya” (Ruhul Ma’ani, 1/109). Ilmu sulap dalam bahasa Arab disebut juga dengan sya’badzah. Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: شَعبذةً: مهر في الاحتيال وأرى الشيءَ على غير حقيقته، معتمدًا على خداع الحواس “Sya’badzah adalah kemampuan untuk mengelabui orang lain dan memperlihatkan sesuatu kepada orang lain tidak sebagaimana hakikatnya, menggunakan trik yang mengelabui panca indra”. Ar-Ramli, ulama besar mazhab Syafi’i, beliau menjelaskan tentang hukum sya’badzah: وَلَا حَاجَةَ إلَى تَمْيِيزِ السِّحْرِ عَمَّا فِيهِ شِبْهُهُ مِنْ الْعُلُومِ كالسيميا وَالشَّعْبَذَةِ لِمُشَارَكَتِهَا إيَّاهُ فِي وُجُوبِ اجْتِنَابِهَا لِتَحْرِيمِهَا عَلَى أَنَّ كَثِيرًا مِنْ الْعُلَمَاءِ أَدْرَجُوهَا  “Dan tidak perlu membedakan antara ilmu sihir dengan ilmu yang mirip dengannya, seperti simiya dan sya’badzah. Ilmu-ilmu ini sama dengan ilmu sihir, sehingga wajib untuk dijauhi karena haramnya. Dan banyak para ulama memasukkan ilmu-ilmu tersebut dalam kategori ilmu sihir” (Fatawa Ar-Ramli, 4/374-375). Al-Allamah Manshur Al-Buhuti rahimahullah, ulama besar mazhab Hambali, beliau mengatakan: يُعَزَّرُ مَنْ (يَدْخُلُ النَّارَ وَنَحْوَهُ) مِمَّنْ يَعْمَلُ الشَّعْبَذَةَ وَنَحْوَهَا “Orang yang masuk ke api dan semisalnya yang mempraktekkan sya’badzah, mereka dijatuhi hukuman ta’zir” (Kasyful Qina’, 6/128). Ibnul Humam, seorang ulama mazhab Hanafi, beliau mengatakan: وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ أَهْلِ الشَّعْبَذَةِ وَهُوَ الَّذِي يُسَمَّى فِي دِيَارِنَا دِكَاكًا لِأَنَّهُ إمَّا سَاحِرٌ أَوْ كَذَّابٌ: أَعْنِي الَّذِي يَأْكُلُ مِنْهَا وَيَتَّخِذُهَا مُكْسِبَةً، فَأَمَّا مَنْ عَلِمَهَا وَلَمْ يَعْمَلْهَا فَلَا “Tidak diterima persaksian dari orang yang mempraktekan sya’badzah, yaitu orang-orang yang disebut dengan dakkak di negeri kita. Karena dakkak itu bisa jadi ia penyihir betulan atau ia menipu orang. Yang saya maksud di sini adalah orang yang menjadi dakkak untuk mencari penghasilan. Adapun yang mengetahui ilmunya namun tidak mempraktekannya, maka tidak demikian” (Fathul Qadir karya Ibnul Humam, 7/414). Dari penjelasan para ulama di atas, jelaskan tentang terlarangnya mempraktekkan ilmu sulap. Ilmu sulap juga terlarang karena mirip seperti ilmu sihir dan pelakunya mirip seperti penyihir. Padahal kita dilarang untuk menyerupakan diri dengan ahli maksiat. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من تشبَّهَ بقومٍ فَهوَ منْهم “Siapa yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, dishahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152). Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Ghunaiman menjelaskan, التشبه بالساحر حرام، المسألة الرابعة: العقد مع النفث من ذلك، يعني: كونه يعقد عقداً ثم ينفث فيه هذا من السحر، وهذا من المحرمات، سواءً كان الإنسان ساحراً أو يتشبه بالساحر، وقد يفعل ذلك بعض الجهال تشبهاً بالساحر، فإذا رأى أن الساحر يفعل كذا فيريد أن يفعل مثله…. اهـ “Menyerupakan diri dengan penyihir hukumnya haram. Kemudian masalah yang keempat, membuat buhul kemudian meniupnya, maka ini adalah perbuatan sihir. Dan hukumnya haram. Baik dia benar-benar penyihir atau hanya menyerupai penyihir. Dan perbuatan seperti ini dilakukan oleh sebagian orang jahil untuk meniru para penyihir. Ketika mereka melihat para penyihir melakukan seperti itu, mereka pun ingin menirunya” (Syarah Fathul Majid karya Syaikh Al-Ghunaiman, 76/17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Sawu Sufufakum, Tulisan Arab Fitri, Pertanyaan Seputar Haji, Kumpulan Kultum Muhammadiyah, Malaikat Pencatat Amal Baik, Doa Mandi Wajib Sesudah Haid Visited 108 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apa hukum permainan sulap yang sekedar trik, kecepatan tangan dan tipuan pandangan mata tanpa menggunakan ilmu sihir sama sekali? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kita telah mengetahui bahwa sihir merupakan dosa dan kekufuran. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman :  يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ “Mereka (Harut dan Marut) mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya ujian (bagimu), sebab itu janganlah kamu kufur’” (QS. Al-Baqarah: 102). Sihir juga merupakan salah satu dosa besar. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apa saja itu? Rasulullah menjawab: berbuat syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89). Adapun sulap walaupun tidak menggunakan ilmu sihir, yaitu menggunakan kecepatan tangan, alat sulap, permainan pikiran, atau menggunakan zat kimia, namun sulap disebut oleh para ulama sebagai sihir majazi. Sehingga hukumnya sama dengan hukum sihir. Al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan: وأما ما يتعجب منه ـ كما يفعله أصحاب الحيل بمعونة الآلات المركبة على النسبة الهندسية تارة، وعلى صيرورة الخلاء ملاء أخرى، وبمعونة الأدوية كالنارنجيات، أو يريه صاحب خفة اليد ـ فتسميته سحرًا على التجوز، وهو مذموم أيضًا عند البعض، وصرح النووي في الروضة بحرمته. اهـ “Adapun permainan yang membuat takjub orang-orang, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli ilusi yang terkadang dengan bantuan teknologi, atau trik ruangan yang kosong lalu diisi oleh orang lain secara tersembunyi, atau menggunakan zat naranjiyyah, atau menggunakan trik kecepatan tangan, ini semua disebut sihir majazi. Perbuatan seperti ini juga tercela menurut sebagian ulama, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah tentang keharamannya” (Ruhul Ma’ani, 1/109). Ilmu sulap dalam bahasa Arab disebut juga dengan sya’badzah. Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: شَعبذةً: مهر في الاحتيال وأرى الشيءَ على غير حقيقته، معتمدًا على خداع الحواس “Sya’badzah adalah kemampuan untuk mengelabui orang lain dan memperlihatkan sesuatu kepada orang lain tidak sebagaimana hakikatnya, menggunakan trik yang mengelabui panca indra”. Ar-Ramli, ulama besar mazhab Syafi’i, beliau menjelaskan tentang hukum sya’badzah: وَلَا حَاجَةَ إلَى تَمْيِيزِ السِّحْرِ عَمَّا فِيهِ شِبْهُهُ مِنْ الْعُلُومِ كالسيميا وَالشَّعْبَذَةِ لِمُشَارَكَتِهَا إيَّاهُ فِي وُجُوبِ اجْتِنَابِهَا لِتَحْرِيمِهَا عَلَى أَنَّ كَثِيرًا مِنْ الْعُلَمَاءِ أَدْرَجُوهَا  “Dan tidak perlu membedakan antara ilmu sihir dengan ilmu yang mirip dengannya, seperti simiya dan sya’badzah. Ilmu-ilmu ini sama dengan ilmu sihir, sehingga wajib untuk dijauhi karena haramnya. Dan banyak para ulama memasukkan ilmu-ilmu tersebut dalam kategori ilmu sihir” (Fatawa Ar-Ramli, 4/374-375). Al-Allamah Manshur Al-Buhuti rahimahullah, ulama besar mazhab Hambali, beliau mengatakan: يُعَزَّرُ مَنْ (يَدْخُلُ النَّارَ وَنَحْوَهُ) مِمَّنْ يَعْمَلُ الشَّعْبَذَةَ وَنَحْوَهَا “Orang yang masuk ke api dan semisalnya yang mempraktekkan sya’badzah, mereka dijatuhi hukuman ta’zir” (Kasyful Qina’, 6/128). Ibnul Humam, seorang ulama mazhab Hanafi, beliau mengatakan: وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ أَهْلِ الشَّعْبَذَةِ وَهُوَ الَّذِي يُسَمَّى فِي دِيَارِنَا دِكَاكًا لِأَنَّهُ إمَّا سَاحِرٌ أَوْ كَذَّابٌ: أَعْنِي الَّذِي يَأْكُلُ مِنْهَا وَيَتَّخِذُهَا مُكْسِبَةً، فَأَمَّا مَنْ عَلِمَهَا وَلَمْ يَعْمَلْهَا فَلَا “Tidak diterima persaksian dari orang yang mempraktekan sya’badzah, yaitu orang-orang yang disebut dengan dakkak di negeri kita. Karena dakkak itu bisa jadi ia penyihir betulan atau ia menipu orang. Yang saya maksud di sini adalah orang yang menjadi dakkak untuk mencari penghasilan. Adapun yang mengetahui ilmunya namun tidak mempraktekannya, maka tidak demikian” (Fathul Qadir karya Ibnul Humam, 7/414). Dari penjelasan para ulama di atas, jelaskan tentang terlarangnya mempraktekkan ilmu sulap. Ilmu sulap juga terlarang karena mirip seperti ilmu sihir dan pelakunya mirip seperti penyihir. Padahal kita dilarang untuk menyerupakan diri dengan ahli maksiat. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: من تشبَّهَ بقومٍ فَهوَ منْهم “Siapa yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, dishahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152). Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Ghunaiman menjelaskan, التشبه بالساحر حرام، المسألة الرابعة: العقد مع النفث من ذلك، يعني: كونه يعقد عقداً ثم ينفث فيه هذا من السحر، وهذا من المحرمات، سواءً كان الإنسان ساحراً أو يتشبه بالساحر، وقد يفعل ذلك بعض الجهال تشبهاً بالساحر، فإذا رأى أن الساحر يفعل كذا فيريد أن يفعل مثله…. اهـ “Menyerupakan diri dengan penyihir hukumnya haram. Kemudian masalah yang keempat, membuat buhul kemudian meniupnya, maka ini adalah perbuatan sihir. Dan hukumnya haram. Baik dia benar-benar penyihir atau hanya menyerupai penyihir. Dan perbuatan seperti ini dilakukan oleh sebagian orang jahil untuk meniru para penyihir. Ketika mereka melihat para penyihir melakukan seperti itu, mereka pun ingin menirunya” (Syarah Fathul Majid karya Syaikh Al-Ghunaiman, 76/17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Sawu Sufufakum, Tulisan Arab Fitri, Pertanyaan Seputar Haji, Kumpulan Kultum Muhammadiyah, Malaikat Pencatat Amal Baik, Doa Mandi Wajib Sesudah Haid Visited 108 times, 1 visit(s) today Post Views: 258 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Apa Hukum Mencukur Cambang?

Pertanyaan: Bismillah, apa hukumnya mencukur jambang (cambang) namun membiarkan jenggot? (Filzon Ibnu Zubir) Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pembahasan mencukur cambang ini termasuk dalam pembahasan tentang النمص (an-namsh). Terdapat hadis-hadis shahih yang melarang perbuatan an-namsh. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لعن اللهُ الواشِماتِ والمُوتَشِماتِ، والمتنَمِّصاتِ، والمتفَلِّجاتِ للحُسنِ المغَيِّراتِ خَلْقَ اللهِ “Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, wanita yang mencabut alisnya, dan wanita yang mengikir gigi untuk menghiasi dirinya, mereka adalah orang-orang yang mengubah-ubah ciptaan Allah” (HR. Al-Bukhari no.4886, Muslim no.2125). Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: لَعنَ النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الْوَاصِلَةَ والْمُسْتَوْصِلَةَ، والْواشِمَةَ والْمُسْتَوْشِمَةَ “Nabi shallallahu’alaihi wasallam melaknat wanita yang menyambung rambut atau yang minta disambungkan, dan wanita yang mentato dan yang minta ditato” (HR. Al-Bukhari no. 5947, Muslim no. 2124). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,  لعن اللهُ الواشماتِ والمستوشماتِ ، والنامصاتِ والمتنمصاتِ ، والمتفلجاتِ للحسنِ المغيِّراتِ خلقَ اللهِ. ما لي لا ألعنُ من لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ، وهو في كتابِ اللهِ “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dirinya atau meminta ditato, yang mencukur alisnya atau meminta dicukurkan, dan yang mengikir giginya agar terlihat indah. Mereka semua mengubah-ubah ciptaan Allah. Tidaklah aku mendoakan laknat, kecuali yang didoakan laknat oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan terdapat dalam Kitabullah” (HR. Al-Bukhari no. 5948, Muslim no. 2125). An-namsh secara bahasa artinya mencabut rambut yang tumbuh di wajah. Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab mengatakan: النمص: رقة الشعر ودقته، حتى تراه كالزغب، والنَّمص: نتف الشعر، تنمصت المرأة: أخذت شعر جبينها بخيط لتنتفه، قال الفَرَّاء: النامصةُ: التي تنتف الشعر من الوجه “an-namsh adalah menipiskan rambut sehingga halus seperti bulu roma. Dan an-namsh juga bermakna mencabut rambut. Wanita yang melakukan namsh artinya wanita yang mencabut alisnya dengan benang. Al-Farra’ mengatakan: an-namishah artinya wanita yang mencabut rambutnya dari wajah” (Lisanul Arab, 7/101). Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: انتمصت المرأة: أمرت النامصة أن تنتف شعر وجهها “Wanita yang melakukan namsh adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya”. Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan: النامصة: هي التي تنتف الشعر من وجهها “an-namishah adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/119). Dari sini kita lihat bahwa mayoritas ahli lughah (ahli bahasa) menyebutkan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara umum bukan hanya alis.  Demikian juga jumhur ulama fikih, mereka memaknai hadis di atas sebagai larangan mencabut atau mencukur rambut di wajah secara umum. Ini pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, Zhahiri, dan salah satu pendapat Maliki. An-Nawawi rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: وأما النامصة فهي التي تزيل الشعر من الوجه “Adapun an-namishah adalah menghilangkan rambut dari wajah” (Syarah Shahih Muslim, 14/106). Ar-Ramli rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: التنميص، وهو الأخذ من شعر الوجه والحاجب المُحَسّن “at-tanmish adalah menghilangkan rambut wajah dan alis untuk memperindah tampilan” (Nihayatul Muhtaj, 2/25). Al-Buhuti rahimahullah, ulama Hambali, beliau mengatakan: ويحرم نمص، وهو نتف الشعر من الوجه “Dan diharamkan namsh, yaitu mencabut rambut di wajah” (Kasyful Qina’, 1/81). Al-Hashkafi rahimahullah, ulama Hanafi, beliau mengatakan: النامصة: التي تنتف الشعر من الوجه، والمتنمصة التي يفعل بها ذلك “An-namishah adalah mencabut rambut di wajah. Dan mutanamishah adalah orang yang melakukannya” (Ad-Durrul Mukhtar, 6/373). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna an-namsh terbatas pada mencabut rambut alis. Abu Daud As-Sijistani rahimahullah mengatakan: النامصة: التي تنقش الحاجب حتى ترقه “An-namishah adalah wanita yang memotong alisnya sampai tipis” (Sunan Abu Daud, hal. 586). Demikian juga An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan: النامصة: التي تأخذ من شعر الحاجب “An-namishah adalah menghilangkan rambut alis” (Al-Majmu’ , /141). Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama bahwa an-namsh mencakup seluruh rambut di wajah termasuk di dalamnya rambut alis. Maka haram hukumnya untuk ditipiskan atau dicabut. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: أكثر أهل اللغة يقولون: إن النمص نتف شعر الوجه، وعلى هذا التعريف يكون خاصاً بالوجه، والنمص من كبائر الذنوب “Mayoritas ahli bahasa Arab mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah. Dengan definisi ini maka larangan an-namsh itu berlaku khusus untuk rambut di wajah. Dan an-namsh adalah dosa besar” (Liqa Babil Maftuh, rekaman no. 160a). Mencukur cambang juga dianggap sebagian ulama termasuk dalam mencukur jenggot. Sedangkan mencukur jenggot tidak diperbolehkan. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: انهكوا الشواربَ ، وأعفوا اللحى “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot” (HR. Al-Bukhari no. 5893, Muslim no. 259). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Makna an-namishah diperselisihkan para ulama lughah dan pakar gharibul hadits. Sebagian mereka mengkhususkan kepada makna mencabut alis. Mereka mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut alis. Dan al-inmash juga bermakna menipiskan (rambut alis). Sebagian ulama lain mengatakan: an-namsh mencakup alis dan seluruh rambut di wajah. An-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara mutlak, termasuk rambut di pipi dan di kening. Hadis-hadis tentang larangan an-namsh tidak menyebutkan kecuali para wanita. Namun dari sisi illah-nya, kita katakan larangan ini berlaku umum. Yang disebutkan di dalam hadis adalah an-namishah (wanita yang mencabut rambut wajah), namun dari sisi illah-nya yaitu mengubah-ubah ciptaan Allah, hukumnya berlaku umum. Sehingga tidak khusus untuk wanita saja walaupun memang mereka yang disebutkan di dalam hadis. Wallahu a’lam, sebabnya adalah karena menipiskan atau mencabut rambut wajah adalah kebiasaan para wanita. Merekalah yang lebih bersemangat untuk melakukan demikian, dengan klaim dalam rangka untuk berhias untuk suami mereka. Oleh karena itu larangan dalam hadis menyebutkan wanita saja. Namun hukumnya berlaku umum. Oleh karena itu, larangan mentato juga berlaku untuk laki-laki. Karena terdapat di atas juga terdapat lafadz “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato”. Andaikan perbuatan mentato ini dilakukan oleh laki-laki, hukumnya haram. Demikian juga masalah an-namsh. Maka pendapat yang tepat, larangan an-namsh berlaku umum. Tidak boleh laki-laki menipiskan alisnya atau rambut di wajahnya. Karena rambut di pipi juga termasuk jenggot. Dalam Al-Qamus Al-Muhith disebutkan,  اللحية: ما نبت على الخدّين والذقن “Jenggot adalah rambut yang tumbuh pada pipi dan dagu” Dan ‘ala kulli haal, namsh yang paling besar dosanya adalah mencukur rambut alis”.  (Fatawa Ad-Durus, no. 150). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Silaturrahim, Hukum Memotong Kuku Ketika Haid, Mimpi Dikasih Mukena, Gambar Ajakan Sholat Dhuha, Hubungan Suami Istri Di Kamar, Dalil Tugas Malaikat Visited 21 times, 1 visit(s) today Post Views: 271 QRIS donasi Yufid

Apa Hukum Mencukur Cambang?

Pertanyaan: Bismillah, apa hukumnya mencukur jambang (cambang) namun membiarkan jenggot? (Filzon Ibnu Zubir) Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pembahasan mencukur cambang ini termasuk dalam pembahasan tentang النمص (an-namsh). Terdapat hadis-hadis shahih yang melarang perbuatan an-namsh. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لعن اللهُ الواشِماتِ والمُوتَشِماتِ، والمتنَمِّصاتِ، والمتفَلِّجاتِ للحُسنِ المغَيِّراتِ خَلْقَ اللهِ “Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, wanita yang mencabut alisnya, dan wanita yang mengikir gigi untuk menghiasi dirinya, mereka adalah orang-orang yang mengubah-ubah ciptaan Allah” (HR. Al-Bukhari no.4886, Muslim no.2125). Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: لَعنَ النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الْوَاصِلَةَ والْمُسْتَوْصِلَةَ، والْواشِمَةَ والْمُسْتَوْشِمَةَ “Nabi shallallahu’alaihi wasallam melaknat wanita yang menyambung rambut atau yang minta disambungkan, dan wanita yang mentato dan yang minta ditato” (HR. Al-Bukhari no. 5947, Muslim no. 2124). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,  لعن اللهُ الواشماتِ والمستوشماتِ ، والنامصاتِ والمتنمصاتِ ، والمتفلجاتِ للحسنِ المغيِّراتِ خلقَ اللهِ. ما لي لا ألعنُ من لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ، وهو في كتابِ اللهِ “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dirinya atau meminta ditato, yang mencukur alisnya atau meminta dicukurkan, dan yang mengikir giginya agar terlihat indah. Mereka semua mengubah-ubah ciptaan Allah. Tidaklah aku mendoakan laknat, kecuali yang didoakan laknat oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan terdapat dalam Kitabullah” (HR. Al-Bukhari no. 5948, Muslim no. 2125). An-namsh secara bahasa artinya mencabut rambut yang tumbuh di wajah. Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab mengatakan: النمص: رقة الشعر ودقته، حتى تراه كالزغب، والنَّمص: نتف الشعر، تنمصت المرأة: أخذت شعر جبينها بخيط لتنتفه، قال الفَرَّاء: النامصةُ: التي تنتف الشعر من الوجه “an-namsh adalah menipiskan rambut sehingga halus seperti bulu roma. Dan an-namsh juga bermakna mencabut rambut. Wanita yang melakukan namsh artinya wanita yang mencabut alisnya dengan benang. Al-Farra’ mengatakan: an-namishah artinya wanita yang mencabut rambutnya dari wajah” (Lisanul Arab, 7/101). Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: انتمصت المرأة: أمرت النامصة أن تنتف شعر وجهها “Wanita yang melakukan namsh adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya”. Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan: النامصة: هي التي تنتف الشعر من وجهها “an-namishah adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/119). Dari sini kita lihat bahwa mayoritas ahli lughah (ahli bahasa) menyebutkan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara umum bukan hanya alis.  Demikian juga jumhur ulama fikih, mereka memaknai hadis di atas sebagai larangan mencabut atau mencukur rambut di wajah secara umum. Ini pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, Zhahiri, dan salah satu pendapat Maliki. An-Nawawi rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: وأما النامصة فهي التي تزيل الشعر من الوجه “Adapun an-namishah adalah menghilangkan rambut dari wajah” (Syarah Shahih Muslim, 14/106). Ar-Ramli rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: التنميص، وهو الأخذ من شعر الوجه والحاجب المُحَسّن “at-tanmish adalah menghilangkan rambut wajah dan alis untuk memperindah tampilan” (Nihayatul Muhtaj, 2/25). Al-Buhuti rahimahullah, ulama Hambali, beliau mengatakan: ويحرم نمص، وهو نتف الشعر من الوجه “Dan diharamkan namsh, yaitu mencabut rambut di wajah” (Kasyful Qina’, 1/81). Al-Hashkafi rahimahullah, ulama Hanafi, beliau mengatakan: النامصة: التي تنتف الشعر من الوجه، والمتنمصة التي يفعل بها ذلك “An-namishah adalah mencabut rambut di wajah. Dan mutanamishah adalah orang yang melakukannya” (Ad-Durrul Mukhtar, 6/373). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna an-namsh terbatas pada mencabut rambut alis. Abu Daud As-Sijistani rahimahullah mengatakan: النامصة: التي تنقش الحاجب حتى ترقه “An-namishah adalah wanita yang memotong alisnya sampai tipis” (Sunan Abu Daud, hal. 586). Demikian juga An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan: النامصة: التي تأخذ من شعر الحاجب “An-namishah adalah menghilangkan rambut alis” (Al-Majmu’ , /141). Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama bahwa an-namsh mencakup seluruh rambut di wajah termasuk di dalamnya rambut alis. Maka haram hukumnya untuk ditipiskan atau dicabut. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: أكثر أهل اللغة يقولون: إن النمص نتف شعر الوجه، وعلى هذا التعريف يكون خاصاً بالوجه، والنمص من كبائر الذنوب “Mayoritas ahli bahasa Arab mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah. Dengan definisi ini maka larangan an-namsh itu berlaku khusus untuk rambut di wajah. Dan an-namsh adalah dosa besar” (Liqa Babil Maftuh, rekaman no. 160a). Mencukur cambang juga dianggap sebagian ulama termasuk dalam mencukur jenggot. Sedangkan mencukur jenggot tidak diperbolehkan. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: انهكوا الشواربَ ، وأعفوا اللحى “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot” (HR. Al-Bukhari no. 5893, Muslim no. 259). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Makna an-namishah diperselisihkan para ulama lughah dan pakar gharibul hadits. Sebagian mereka mengkhususkan kepada makna mencabut alis. Mereka mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut alis. Dan al-inmash juga bermakna menipiskan (rambut alis). Sebagian ulama lain mengatakan: an-namsh mencakup alis dan seluruh rambut di wajah. An-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara mutlak, termasuk rambut di pipi dan di kening. Hadis-hadis tentang larangan an-namsh tidak menyebutkan kecuali para wanita. Namun dari sisi illah-nya, kita katakan larangan ini berlaku umum. Yang disebutkan di dalam hadis adalah an-namishah (wanita yang mencabut rambut wajah), namun dari sisi illah-nya yaitu mengubah-ubah ciptaan Allah, hukumnya berlaku umum. Sehingga tidak khusus untuk wanita saja walaupun memang mereka yang disebutkan di dalam hadis. Wallahu a’lam, sebabnya adalah karena menipiskan atau mencabut rambut wajah adalah kebiasaan para wanita. Merekalah yang lebih bersemangat untuk melakukan demikian, dengan klaim dalam rangka untuk berhias untuk suami mereka. Oleh karena itu larangan dalam hadis menyebutkan wanita saja. Namun hukumnya berlaku umum. Oleh karena itu, larangan mentato juga berlaku untuk laki-laki. Karena terdapat di atas juga terdapat lafadz “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato”. Andaikan perbuatan mentato ini dilakukan oleh laki-laki, hukumnya haram. Demikian juga masalah an-namsh. Maka pendapat yang tepat, larangan an-namsh berlaku umum. Tidak boleh laki-laki menipiskan alisnya atau rambut di wajahnya. Karena rambut di pipi juga termasuk jenggot. Dalam Al-Qamus Al-Muhith disebutkan,  اللحية: ما نبت على الخدّين والذقن “Jenggot adalah rambut yang tumbuh pada pipi dan dagu” Dan ‘ala kulli haal, namsh yang paling besar dosanya adalah mencukur rambut alis”.  (Fatawa Ad-Durus, no. 150). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Silaturrahim, Hukum Memotong Kuku Ketika Haid, Mimpi Dikasih Mukena, Gambar Ajakan Sholat Dhuha, Hubungan Suami Istri Di Kamar, Dalil Tugas Malaikat Visited 21 times, 1 visit(s) today Post Views: 271 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Bismillah, apa hukumnya mencukur jambang (cambang) namun membiarkan jenggot? (Filzon Ibnu Zubir) Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pembahasan mencukur cambang ini termasuk dalam pembahasan tentang النمص (an-namsh). Terdapat hadis-hadis shahih yang melarang perbuatan an-namsh. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لعن اللهُ الواشِماتِ والمُوتَشِماتِ، والمتنَمِّصاتِ، والمتفَلِّجاتِ للحُسنِ المغَيِّراتِ خَلْقَ اللهِ “Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, wanita yang mencabut alisnya, dan wanita yang mengikir gigi untuk menghiasi dirinya, mereka adalah orang-orang yang mengubah-ubah ciptaan Allah” (HR. Al-Bukhari no.4886, Muslim no.2125). Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: لَعنَ النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الْوَاصِلَةَ والْمُسْتَوْصِلَةَ، والْواشِمَةَ والْمُسْتَوْشِمَةَ “Nabi shallallahu’alaihi wasallam melaknat wanita yang menyambung rambut atau yang minta disambungkan, dan wanita yang mentato dan yang minta ditato” (HR. Al-Bukhari no. 5947, Muslim no. 2124). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,  لعن اللهُ الواشماتِ والمستوشماتِ ، والنامصاتِ والمتنمصاتِ ، والمتفلجاتِ للحسنِ المغيِّراتِ خلقَ اللهِ. ما لي لا ألعنُ من لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ، وهو في كتابِ اللهِ “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dirinya atau meminta ditato, yang mencukur alisnya atau meminta dicukurkan, dan yang mengikir giginya agar terlihat indah. Mereka semua mengubah-ubah ciptaan Allah. Tidaklah aku mendoakan laknat, kecuali yang didoakan laknat oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan terdapat dalam Kitabullah” (HR. Al-Bukhari no. 5948, Muslim no. 2125). An-namsh secara bahasa artinya mencabut rambut yang tumbuh di wajah. Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab mengatakan: النمص: رقة الشعر ودقته، حتى تراه كالزغب، والنَّمص: نتف الشعر، تنمصت المرأة: أخذت شعر جبينها بخيط لتنتفه، قال الفَرَّاء: النامصةُ: التي تنتف الشعر من الوجه “an-namsh adalah menipiskan rambut sehingga halus seperti bulu roma. Dan an-namsh juga bermakna mencabut rambut. Wanita yang melakukan namsh artinya wanita yang mencabut alisnya dengan benang. Al-Farra’ mengatakan: an-namishah artinya wanita yang mencabut rambutnya dari wajah” (Lisanul Arab, 7/101). Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: انتمصت المرأة: أمرت النامصة أن تنتف شعر وجهها “Wanita yang melakukan namsh adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya”. Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan: النامصة: هي التي تنتف الشعر من وجهها “an-namishah adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/119). Dari sini kita lihat bahwa mayoritas ahli lughah (ahli bahasa) menyebutkan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara umum bukan hanya alis.  Demikian juga jumhur ulama fikih, mereka memaknai hadis di atas sebagai larangan mencabut atau mencukur rambut di wajah secara umum. Ini pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, Zhahiri, dan salah satu pendapat Maliki. An-Nawawi rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: وأما النامصة فهي التي تزيل الشعر من الوجه “Adapun an-namishah adalah menghilangkan rambut dari wajah” (Syarah Shahih Muslim, 14/106). Ar-Ramli rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: التنميص، وهو الأخذ من شعر الوجه والحاجب المُحَسّن “at-tanmish adalah menghilangkan rambut wajah dan alis untuk memperindah tampilan” (Nihayatul Muhtaj, 2/25). Al-Buhuti rahimahullah, ulama Hambali, beliau mengatakan: ويحرم نمص، وهو نتف الشعر من الوجه “Dan diharamkan namsh, yaitu mencabut rambut di wajah” (Kasyful Qina’, 1/81). Al-Hashkafi rahimahullah, ulama Hanafi, beliau mengatakan: النامصة: التي تنتف الشعر من الوجه، والمتنمصة التي يفعل بها ذلك “An-namishah adalah mencabut rambut di wajah. Dan mutanamishah adalah orang yang melakukannya” (Ad-Durrul Mukhtar, 6/373). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna an-namsh terbatas pada mencabut rambut alis. Abu Daud As-Sijistani rahimahullah mengatakan: النامصة: التي تنقش الحاجب حتى ترقه “An-namishah adalah wanita yang memotong alisnya sampai tipis” (Sunan Abu Daud, hal. 586). Demikian juga An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan: النامصة: التي تأخذ من شعر الحاجب “An-namishah adalah menghilangkan rambut alis” (Al-Majmu’ , /141). Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama bahwa an-namsh mencakup seluruh rambut di wajah termasuk di dalamnya rambut alis. Maka haram hukumnya untuk ditipiskan atau dicabut. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: أكثر أهل اللغة يقولون: إن النمص نتف شعر الوجه، وعلى هذا التعريف يكون خاصاً بالوجه، والنمص من كبائر الذنوب “Mayoritas ahli bahasa Arab mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah. Dengan definisi ini maka larangan an-namsh itu berlaku khusus untuk rambut di wajah. Dan an-namsh adalah dosa besar” (Liqa Babil Maftuh, rekaman no. 160a). Mencukur cambang juga dianggap sebagian ulama termasuk dalam mencukur jenggot. Sedangkan mencukur jenggot tidak diperbolehkan. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: انهكوا الشواربَ ، وأعفوا اللحى “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot” (HR. Al-Bukhari no. 5893, Muslim no. 259). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Makna an-namishah diperselisihkan para ulama lughah dan pakar gharibul hadits. Sebagian mereka mengkhususkan kepada makna mencabut alis. Mereka mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut alis. Dan al-inmash juga bermakna menipiskan (rambut alis). Sebagian ulama lain mengatakan: an-namsh mencakup alis dan seluruh rambut di wajah. An-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara mutlak, termasuk rambut di pipi dan di kening. Hadis-hadis tentang larangan an-namsh tidak menyebutkan kecuali para wanita. Namun dari sisi illah-nya, kita katakan larangan ini berlaku umum. Yang disebutkan di dalam hadis adalah an-namishah (wanita yang mencabut rambut wajah), namun dari sisi illah-nya yaitu mengubah-ubah ciptaan Allah, hukumnya berlaku umum. Sehingga tidak khusus untuk wanita saja walaupun memang mereka yang disebutkan di dalam hadis. Wallahu a’lam, sebabnya adalah karena menipiskan atau mencabut rambut wajah adalah kebiasaan para wanita. Merekalah yang lebih bersemangat untuk melakukan demikian, dengan klaim dalam rangka untuk berhias untuk suami mereka. Oleh karena itu larangan dalam hadis menyebutkan wanita saja. Namun hukumnya berlaku umum. Oleh karena itu, larangan mentato juga berlaku untuk laki-laki. Karena terdapat di atas juga terdapat lafadz “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato”. Andaikan perbuatan mentato ini dilakukan oleh laki-laki, hukumnya haram. Demikian juga masalah an-namsh. Maka pendapat yang tepat, larangan an-namsh berlaku umum. Tidak boleh laki-laki menipiskan alisnya atau rambut di wajahnya. Karena rambut di pipi juga termasuk jenggot. Dalam Al-Qamus Al-Muhith disebutkan,  اللحية: ما نبت على الخدّين والذقن “Jenggot adalah rambut yang tumbuh pada pipi dan dagu” Dan ‘ala kulli haal, namsh yang paling besar dosanya adalah mencukur rambut alis”.  (Fatawa Ad-Durus, no. 150). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Silaturrahim, Hukum Memotong Kuku Ketika Haid, Mimpi Dikasih Mukena, Gambar Ajakan Sholat Dhuha, Hubungan Suami Istri Di Kamar, Dalil Tugas Malaikat Visited 21 times, 1 visit(s) today Post Views: 271 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Bismillah, apa hukumnya mencukur jambang (cambang) namun membiarkan jenggot? (Filzon Ibnu Zubir) Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pembahasan mencukur cambang ini termasuk dalam pembahasan tentang النمص (an-namsh). Terdapat hadis-hadis shahih yang melarang perbuatan an-namsh. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: لعن اللهُ الواشِماتِ والمُوتَشِماتِ، والمتنَمِّصاتِ، والمتفَلِّجاتِ للحُسنِ المغَيِّراتِ خَلْقَ اللهِ “Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, wanita yang mencabut alisnya, dan wanita yang mengikir gigi untuk menghiasi dirinya, mereka adalah orang-orang yang mengubah-ubah ciptaan Allah” (HR. Al-Bukhari no.4886, Muslim no.2125). Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: لَعنَ النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الْوَاصِلَةَ والْمُسْتَوْصِلَةَ، والْواشِمَةَ والْمُسْتَوْشِمَةَ “Nabi shallallahu’alaihi wasallam melaknat wanita yang menyambung rambut atau yang minta disambungkan, dan wanita yang mentato dan yang minta ditato” (HR. Al-Bukhari no. 5947, Muslim no. 2124). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,  لعن اللهُ الواشماتِ والمستوشماتِ ، والنامصاتِ والمتنمصاتِ ، والمتفلجاتِ للحسنِ المغيِّراتِ خلقَ اللهِ. ما لي لا ألعنُ من لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ، وهو في كتابِ اللهِ “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dirinya atau meminta ditato, yang mencukur alisnya atau meminta dicukurkan, dan yang mengikir giginya agar terlihat indah. Mereka semua mengubah-ubah ciptaan Allah. Tidaklah aku mendoakan laknat, kecuali yang didoakan laknat oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan terdapat dalam Kitabullah” (HR. Al-Bukhari no. 5948, Muslim no. 2125). An-namsh secara bahasa artinya mencabut rambut yang tumbuh di wajah. Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab mengatakan: النمص: رقة الشعر ودقته، حتى تراه كالزغب، والنَّمص: نتف الشعر، تنمصت المرأة: أخذت شعر جبينها بخيط لتنتفه، قال الفَرَّاء: النامصةُ: التي تنتف الشعر من الوجه “an-namsh adalah menipiskan rambut sehingga halus seperti bulu roma. Dan an-namsh juga bermakna mencabut rambut. Wanita yang melakukan namsh artinya wanita yang mencabut alisnya dengan benang. Al-Farra’ mengatakan: an-namishah artinya wanita yang mencabut rambutnya dari wajah” (Lisanul Arab, 7/101). Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan: انتمصت المرأة: أمرت النامصة أن تنتف شعر وجهها “Wanita yang melakukan namsh adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya”. Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan: النامصة: هي التي تنتف الشعر من وجهها “an-namishah adalah wanita yang mencabut rambut di wajahnya” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/119). Dari sini kita lihat bahwa mayoritas ahli lughah (ahli bahasa) menyebutkan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara umum bukan hanya alis.  Demikian juga jumhur ulama fikih, mereka memaknai hadis di atas sebagai larangan mencabut atau mencukur rambut di wajah secara umum. Ini pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, Zhahiri, dan salah satu pendapat Maliki. An-Nawawi rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: وأما النامصة فهي التي تزيل الشعر من الوجه “Adapun an-namishah adalah menghilangkan rambut dari wajah” (Syarah Shahih Muslim, 14/106). Ar-Ramli rahimahullah, ulama Syafi’iyah, beliau mengatakan: التنميص، وهو الأخذ من شعر الوجه والحاجب المُحَسّن “at-tanmish adalah menghilangkan rambut wajah dan alis untuk memperindah tampilan” (Nihayatul Muhtaj, 2/25). Al-Buhuti rahimahullah, ulama Hambali, beliau mengatakan: ويحرم نمص، وهو نتف الشعر من الوجه “Dan diharamkan namsh, yaitu mencabut rambut di wajah” (Kasyful Qina’, 1/81). Al-Hashkafi rahimahullah, ulama Hanafi, beliau mengatakan: النامصة: التي تنتف الشعر من الوجه، والمتنمصة التي يفعل بها ذلك “An-namishah adalah mencabut rambut di wajah. Dan mutanamishah adalah orang yang melakukannya” (Ad-Durrul Mukhtar, 6/373). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna an-namsh terbatas pada mencabut rambut alis. Abu Daud As-Sijistani rahimahullah mengatakan: النامصة: التي تنقش الحاجب حتى ترقه “An-namishah adalah wanita yang memotong alisnya sampai tipis” (Sunan Abu Daud, hal. 586). Demikian juga An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan: النامصة: التي تأخذ من شعر الحاجب “An-namishah adalah menghilangkan rambut alis” (Al-Majmu’ , /141). Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama bahwa an-namsh mencakup seluruh rambut di wajah termasuk di dalamnya rambut alis. Maka haram hukumnya untuk ditipiskan atau dicabut. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: أكثر أهل اللغة يقولون: إن النمص نتف شعر الوجه، وعلى هذا التعريف يكون خاصاً بالوجه، والنمص من كبائر الذنوب “Mayoritas ahli bahasa Arab mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut di wajah. Dengan definisi ini maka larangan an-namsh itu berlaku khusus untuk rambut di wajah. Dan an-namsh adalah dosa besar” (Liqa Babil Maftuh, rekaman no. 160a). Mencukur cambang juga dianggap sebagian ulama termasuk dalam mencukur jenggot. Sedangkan mencukur jenggot tidak diperbolehkan. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: انهكوا الشواربَ ، وأعفوا اللحى “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot” (HR. Al-Bukhari no. 5893, Muslim no. 259). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Makna an-namishah diperselisihkan para ulama lughah dan pakar gharibul hadits. Sebagian mereka mengkhususkan kepada makna mencabut alis. Mereka mengatakan bahwa an-namsh adalah mencabut rambut alis. Dan al-inmash juga bermakna menipiskan (rambut alis). Sebagian ulama lain mengatakan: an-namsh mencakup alis dan seluruh rambut di wajah. An-namsh adalah mencabut rambut di wajah secara mutlak, termasuk rambut di pipi dan di kening. Hadis-hadis tentang larangan an-namsh tidak menyebutkan kecuali para wanita. Namun dari sisi illah-nya, kita katakan larangan ini berlaku umum. Yang disebutkan di dalam hadis adalah an-namishah (wanita yang mencabut rambut wajah), namun dari sisi illah-nya yaitu mengubah-ubah ciptaan Allah, hukumnya berlaku umum. Sehingga tidak khusus untuk wanita saja walaupun memang mereka yang disebutkan di dalam hadis. Wallahu a’lam, sebabnya adalah karena menipiskan atau mencabut rambut wajah adalah kebiasaan para wanita. Merekalah yang lebih bersemangat untuk melakukan demikian, dengan klaim dalam rangka untuk berhias untuk suami mereka. Oleh karena itu larangan dalam hadis menyebutkan wanita saja. Namun hukumnya berlaku umum. Oleh karena itu, larangan mentato juga berlaku untuk laki-laki. Karena terdapat di atas juga terdapat lafadz “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato”. Andaikan perbuatan mentato ini dilakukan oleh laki-laki, hukumnya haram. Demikian juga masalah an-namsh. Maka pendapat yang tepat, larangan an-namsh berlaku umum. Tidak boleh laki-laki menipiskan alisnya atau rambut di wajahnya. Karena rambut di pipi juga termasuk jenggot. Dalam Al-Qamus Al-Muhith disebutkan,  اللحية: ما نبت على الخدّين والذقن “Jenggot adalah rambut yang tumbuh pada pipi dan dagu” Dan ‘ala kulli haal, namsh yang paling besar dosanya adalah mencukur rambut alis”.  (Fatawa Ad-Durus, no. 150). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Silaturrahim, Hukum Memotong Kuku Ketika Haid, Mimpi Dikasih Mukena, Gambar Ajakan Sholat Dhuha, Hubungan Suami Istri Di Kamar, Dalil Tugas Malaikat Visited 21 times, 1 visit(s) today Post Views: 271 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Seperti Inilah, Islam Mengajarkan Toleransi Beragama

Daftar Isi Toggle Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khususToleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara IslamLalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Toleransi beragama, baik itu kepada Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu, maupun kepada agama lainnya, merupakan salah satu ciri khas agama Islam semenjak dahulu kala. Hal inilah yang telah dicatat dengan jelas oleh sejarah, diakui oleh para sejarawan dan penulis, dan dirasakan langsung oleh mereka yang mengalaminya dari kalangan nonmuslim. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena Al-Qur’an telah memberikan dasar-dasar kepada kita, perihal bagaimana seharusnya memperlakukan nonmuslim yang bersikap damai terhadap umat Islam, yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir mereka dari rumah mereka. Allah Ta’ala berfirman, لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Di ayat ini, Allah Ta’ala menggunakan lafaz al-birr (berbuat baik), padahal sedang membahas bagaimana memperlakukan orang-orang musyrik. Kata al-birr tersebut seringnya digunakan untuk menyebut hak yang paling layak untuk kita tunaikan setelah hak Allah Ta’ala, yaitu birrul walidain (berbuat baik dan menghormati orang tua). Hal ini tentu saja menjelaskan kepada kita akan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang-orang non-Islam yang memenuhi syarat-syarat di dalam ayat tersebut. Yaitu, tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusir mereka dari rumah-rumah mereka. Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khusus Bagi ahlul kitab, ada perlakuan khusus yang diajarkan oleh agama ini. Ahlul kitab yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang agamanya berlandaskan dengan kitab-kitab samawi, kitab-kitab yang Allah turunkan dari atas langit, meskipun kitabnya tersebut telah banyak diubah dan diganti-ganti di kemudian hari. Seperti agama Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab pegangan Taurat dan Injil. Beberapa toleransi dengan mereka di antaranya: Pertama: Al-Qur’an melarang kita untuk berdebat dengan mereka perihal agama mereka, kecuali dengan cara yang baik. Agar perbedaan pendapat yang timbul tidak menyakiti perasaan, menimbulkan pertengkaran, serta menyulut api fanatisme dan kebencian di hati. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu. Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Ankabut: 46) Kedua: Islam membolehkan kita untuk memakan makanan ahli kitab dan makan dari hewan sembelihan mereka, juga membolehkan perkawinan campur dengan wanita-wanita mereka yang bisa menjaga kehormatan dan menjaga dirinya. Ketahuilah, ini jelas merupakan bentuk toleransi yang besar dalam agama Islam. Seorang muslim diperbolehkan untuk memiliki istri, yang akan serumah dengannya, pasangan hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya, seorang wanita nonmuslim (dari kalangan ahli kitab). Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Kedua hal ini adalah perlakuan khusus kita kepada ahli kitab, meskipun mereka tidak tinggal di negeri muslim. Adapun jika ahli kitab tersebut tinggal di negeri muslim, maka mereka memiliki perlakuan yang berbeda. Mereka itulah yang kita sebut dengan “Ahlu Dzimmah.” Baca juga: Mencontoh Nabi dalam Bertoleransi Toleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara Islam Ahlu Dzimmah adalah sebutan untuk orang-orang nonmuslim yang hidup berdampingan di negara Islam dan memiliki kesepakatan damai dengan mereka serta diwajibkan untuk membayar jizyah atau upeti. Di dalam Islam, Ahlu Dzimmah memiliki hak-hak yang sama dengan penduduk sipil muslim lainnya. Di antara hak-hak dan toleransi yang diberikan kepada mereka adalah: Pertama: Mendapatkan perlindungan dari serangan musuh luar. Kedua: Jaminan keselamatan dari perbuatan zalim di dalam negeri. Agama Islam melarang umatnya untuk menyakiti orang kafir Ahlu Dzimmah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Dan Allah Ta’ala juga tidak menyukai kezaliman, bagaimana pun bentuknya, meskipun itu kezaliman kepada orang-orang nonmuslim sekalipun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052) Umat Islam semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, zaman khulafaurrasyidin, dan generasi-generasi seterusnya, sangatlah peduli untuk mencegah ketidakadilan yang terjadi pada Ahli Dhimmah, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, dan mendengarkan setiap keluhan yang datang dari mereka. Ketiga: Jaminan keselamatan jiwa dan raga. Darah dan jiwa mereka dilindungi menurut kesepakatan kaum muslimin. Haram hukumnya untuk ditumpahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا “Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166) Keempat: Jaminan keamanan pada harta. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan tersebut kepada utusan penduduk Nasrani Najran yang datang kepadanya. Al-Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dalam kitabnya Al-Kharraj mengatakan, “Najran dan rombongannya mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas harta benda mereka, kehidupan mereka, tanah mereka, komunitas mereka. Baik untuk orang-orang yang tidak hadir, maupun orang-orang yang menyaksikannya, keluarga mereka, dan perdagangan mereka, dan segala hal yang ada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak.” (Al-Kharraj, hal. 85) Kelima: Kebebasan beragama dan beribadah. Tidak boleh memaksa orang-orang nonmuslim untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256) Sebagaimana mereka juga diperbolehkan untuk bebas beribadah di tempat ibadah mereka masing-masing, tidak boleh mengganggu mereka atau bahkan merusak tempat ibadah mereka. Sebagaimana Imam At-Thabari rahimahullah mengisahkan tentang perjanjian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada penduduk Yerussalem di masa beliau ketika menaklukkannya, “Dia memberi mereka keamanan pada jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, dan simbol-simbol agama mereka yang lainnya. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni dan dirampas, tidak pula akan dirobohkan. Dan mereka juga tidak akan dihalangi dari memasuki tempat-tempat ibadah tersebut, diperbolehkan untuk menggunakan salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah agama mereka, dan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh dirugikan.” (Kitab Tarikh At-Thabari, 3: 105) Lalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Sebagian dari saudara muslim kita mungkin masih ada yang beranggapan bahwa merayakan hari raya Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan toleransi kepada kaum Nasrani. Banyak dari mereka yang masih ikut merayakan hari raya tersebut bersama mereka atau sekedar memberikan ucapan selamat, “Merry Christmas” kepada yang merayakannya. Ketahuilah, wahai saudaraku, perbuatan semacam ini bukanlah termasuk dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang benar datangnya dari beliau justru menunjukkan bahwa hal semacam ini terlarang. Pertama:  Di dalam surah Al-Kafirun, Allah Ta’ala berfirman, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” Allah Ta’ala perintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan ayat ini kepada kaum musyrikin yang membujuknya untuk mau menyembah sesembahan mereka dengan dalih mereka nanti juga akan menyembah Allah Ta’ala. Sebuah toleransi yang mereka tawarkan, namun Allah Ta’ala dengan tegas menjelaskan bahwa setiap agama hanya diperuntukkan untuk pemeluknya saja. Perayaan Natal jelas merupakan salah satu hari besar orang Nasrani, sebuah perayaan yang sarat akan pengagungan dan penyembahan mereka kepada Nabi Isa, yang mereka anggap sebagai tuhan. Maka dari itu, seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalam merayakannya, karena itu sama saja mencampuri mereka dalam ibadah dan agama mereka. Kedua: Seorang muslim dilarang berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama Islam. Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ “Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya di mana kalian bersuka cita di dalamnya. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan Ahmad no. 12827). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan dua hari hari raya yang dirayakan oleh penduduk Madinah pada waktu itu dengan Idulfitri dan Iduladha. Lalu, bagaimana mungkin seorang muslim dengan bebasnya dan bermudah-mudahannya ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi?! Sungguh ini merupakan penyelisihan kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: toleransitoleransi islam

Seperti Inilah, Islam Mengajarkan Toleransi Beragama

Daftar Isi Toggle Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khususToleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara IslamLalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Toleransi beragama, baik itu kepada Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu, maupun kepada agama lainnya, merupakan salah satu ciri khas agama Islam semenjak dahulu kala. Hal inilah yang telah dicatat dengan jelas oleh sejarah, diakui oleh para sejarawan dan penulis, dan dirasakan langsung oleh mereka yang mengalaminya dari kalangan nonmuslim. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena Al-Qur’an telah memberikan dasar-dasar kepada kita, perihal bagaimana seharusnya memperlakukan nonmuslim yang bersikap damai terhadap umat Islam, yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir mereka dari rumah mereka. Allah Ta’ala berfirman, لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Di ayat ini, Allah Ta’ala menggunakan lafaz al-birr (berbuat baik), padahal sedang membahas bagaimana memperlakukan orang-orang musyrik. Kata al-birr tersebut seringnya digunakan untuk menyebut hak yang paling layak untuk kita tunaikan setelah hak Allah Ta’ala, yaitu birrul walidain (berbuat baik dan menghormati orang tua). Hal ini tentu saja menjelaskan kepada kita akan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang-orang non-Islam yang memenuhi syarat-syarat di dalam ayat tersebut. Yaitu, tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusir mereka dari rumah-rumah mereka. Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khusus Bagi ahlul kitab, ada perlakuan khusus yang diajarkan oleh agama ini. Ahlul kitab yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang agamanya berlandaskan dengan kitab-kitab samawi, kitab-kitab yang Allah turunkan dari atas langit, meskipun kitabnya tersebut telah banyak diubah dan diganti-ganti di kemudian hari. Seperti agama Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab pegangan Taurat dan Injil. Beberapa toleransi dengan mereka di antaranya: Pertama: Al-Qur’an melarang kita untuk berdebat dengan mereka perihal agama mereka, kecuali dengan cara yang baik. Agar perbedaan pendapat yang timbul tidak menyakiti perasaan, menimbulkan pertengkaran, serta menyulut api fanatisme dan kebencian di hati. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu. Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Ankabut: 46) Kedua: Islam membolehkan kita untuk memakan makanan ahli kitab dan makan dari hewan sembelihan mereka, juga membolehkan perkawinan campur dengan wanita-wanita mereka yang bisa menjaga kehormatan dan menjaga dirinya. Ketahuilah, ini jelas merupakan bentuk toleransi yang besar dalam agama Islam. Seorang muslim diperbolehkan untuk memiliki istri, yang akan serumah dengannya, pasangan hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya, seorang wanita nonmuslim (dari kalangan ahli kitab). Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Kedua hal ini adalah perlakuan khusus kita kepada ahli kitab, meskipun mereka tidak tinggal di negeri muslim. Adapun jika ahli kitab tersebut tinggal di negeri muslim, maka mereka memiliki perlakuan yang berbeda. Mereka itulah yang kita sebut dengan “Ahlu Dzimmah.” Baca juga: Mencontoh Nabi dalam Bertoleransi Toleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara Islam Ahlu Dzimmah adalah sebutan untuk orang-orang nonmuslim yang hidup berdampingan di negara Islam dan memiliki kesepakatan damai dengan mereka serta diwajibkan untuk membayar jizyah atau upeti. Di dalam Islam, Ahlu Dzimmah memiliki hak-hak yang sama dengan penduduk sipil muslim lainnya. Di antara hak-hak dan toleransi yang diberikan kepada mereka adalah: Pertama: Mendapatkan perlindungan dari serangan musuh luar. Kedua: Jaminan keselamatan dari perbuatan zalim di dalam negeri. Agama Islam melarang umatnya untuk menyakiti orang kafir Ahlu Dzimmah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Dan Allah Ta’ala juga tidak menyukai kezaliman, bagaimana pun bentuknya, meskipun itu kezaliman kepada orang-orang nonmuslim sekalipun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052) Umat Islam semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, zaman khulafaurrasyidin, dan generasi-generasi seterusnya, sangatlah peduli untuk mencegah ketidakadilan yang terjadi pada Ahli Dhimmah, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, dan mendengarkan setiap keluhan yang datang dari mereka. Ketiga: Jaminan keselamatan jiwa dan raga. Darah dan jiwa mereka dilindungi menurut kesepakatan kaum muslimin. Haram hukumnya untuk ditumpahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا “Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166) Keempat: Jaminan keamanan pada harta. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan tersebut kepada utusan penduduk Nasrani Najran yang datang kepadanya. Al-Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dalam kitabnya Al-Kharraj mengatakan, “Najran dan rombongannya mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas harta benda mereka, kehidupan mereka, tanah mereka, komunitas mereka. Baik untuk orang-orang yang tidak hadir, maupun orang-orang yang menyaksikannya, keluarga mereka, dan perdagangan mereka, dan segala hal yang ada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak.” (Al-Kharraj, hal. 85) Kelima: Kebebasan beragama dan beribadah. Tidak boleh memaksa orang-orang nonmuslim untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256) Sebagaimana mereka juga diperbolehkan untuk bebas beribadah di tempat ibadah mereka masing-masing, tidak boleh mengganggu mereka atau bahkan merusak tempat ibadah mereka. Sebagaimana Imam At-Thabari rahimahullah mengisahkan tentang perjanjian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada penduduk Yerussalem di masa beliau ketika menaklukkannya, “Dia memberi mereka keamanan pada jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, dan simbol-simbol agama mereka yang lainnya. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni dan dirampas, tidak pula akan dirobohkan. Dan mereka juga tidak akan dihalangi dari memasuki tempat-tempat ibadah tersebut, diperbolehkan untuk menggunakan salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah agama mereka, dan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh dirugikan.” (Kitab Tarikh At-Thabari, 3: 105) Lalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Sebagian dari saudara muslim kita mungkin masih ada yang beranggapan bahwa merayakan hari raya Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan toleransi kepada kaum Nasrani. Banyak dari mereka yang masih ikut merayakan hari raya tersebut bersama mereka atau sekedar memberikan ucapan selamat, “Merry Christmas” kepada yang merayakannya. Ketahuilah, wahai saudaraku, perbuatan semacam ini bukanlah termasuk dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang benar datangnya dari beliau justru menunjukkan bahwa hal semacam ini terlarang. Pertama:  Di dalam surah Al-Kafirun, Allah Ta’ala berfirman, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” Allah Ta’ala perintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan ayat ini kepada kaum musyrikin yang membujuknya untuk mau menyembah sesembahan mereka dengan dalih mereka nanti juga akan menyembah Allah Ta’ala. Sebuah toleransi yang mereka tawarkan, namun Allah Ta’ala dengan tegas menjelaskan bahwa setiap agama hanya diperuntukkan untuk pemeluknya saja. Perayaan Natal jelas merupakan salah satu hari besar orang Nasrani, sebuah perayaan yang sarat akan pengagungan dan penyembahan mereka kepada Nabi Isa, yang mereka anggap sebagai tuhan. Maka dari itu, seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalam merayakannya, karena itu sama saja mencampuri mereka dalam ibadah dan agama mereka. Kedua: Seorang muslim dilarang berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama Islam. Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ “Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya di mana kalian bersuka cita di dalamnya. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan Ahmad no. 12827). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan dua hari hari raya yang dirayakan oleh penduduk Madinah pada waktu itu dengan Idulfitri dan Iduladha. Lalu, bagaimana mungkin seorang muslim dengan bebasnya dan bermudah-mudahannya ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi?! Sungguh ini merupakan penyelisihan kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: toleransitoleransi islam
Daftar Isi Toggle Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khususToleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara IslamLalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Toleransi beragama, baik itu kepada Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu, maupun kepada agama lainnya, merupakan salah satu ciri khas agama Islam semenjak dahulu kala. Hal inilah yang telah dicatat dengan jelas oleh sejarah, diakui oleh para sejarawan dan penulis, dan dirasakan langsung oleh mereka yang mengalaminya dari kalangan nonmuslim. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena Al-Qur’an telah memberikan dasar-dasar kepada kita, perihal bagaimana seharusnya memperlakukan nonmuslim yang bersikap damai terhadap umat Islam, yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir mereka dari rumah mereka. Allah Ta’ala berfirman, لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Di ayat ini, Allah Ta’ala menggunakan lafaz al-birr (berbuat baik), padahal sedang membahas bagaimana memperlakukan orang-orang musyrik. Kata al-birr tersebut seringnya digunakan untuk menyebut hak yang paling layak untuk kita tunaikan setelah hak Allah Ta’ala, yaitu birrul walidain (berbuat baik dan menghormati orang tua). Hal ini tentu saja menjelaskan kepada kita akan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang-orang non-Islam yang memenuhi syarat-syarat di dalam ayat tersebut. Yaitu, tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusir mereka dari rumah-rumah mereka. Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khusus Bagi ahlul kitab, ada perlakuan khusus yang diajarkan oleh agama ini. Ahlul kitab yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang agamanya berlandaskan dengan kitab-kitab samawi, kitab-kitab yang Allah turunkan dari atas langit, meskipun kitabnya tersebut telah banyak diubah dan diganti-ganti di kemudian hari. Seperti agama Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab pegangan Taurat dan Injil. Beberapa toleransi dengan mereka di antaranya: Pertama: Al-Qur’an melarang kita untuk berdebat dengan mereka perihal agama mereka, kecuali dengan cara yang baik. Agar perbedaan pendapat yang timbul tidak menyakiti perasaan, menimbulkan pertengkaran, serta menyulut api fanatisme dan kebencian di hati. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu. Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Ankabut: 46) Kedua: Islam membolehkan kita untuk memakan makanan ahli kitab dan makan dari hewan sembelihan mereka, juga membolehkan perkawinan campur dengan wanita-wanita mereka yang bisa menjaga kehormatan dan menjaga dirinya. Ketahuilah, ini jelas merupakan bentuk toleransi yang besar dalam agama Islam. Seorang muslim diperbolehkan untuk memiliki istri, yang akan serumah dengannya, pasangan hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya, seorang wanita nonmuslim (dari kalangan ahli kitab). Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Kedua hal ini adalah perlakuan khusus kita kepada ahli kitab, meskipun mereka tidak tinggal di negeri muslim. Adapun jika ahli kitab tersebut tinggal di negeri muslim, maka mereka memiliki perlakuan yang berbeda. Mereka itulah yang kita sebut dengan “Ahlu Dzimmah.” Baca juga: Mencontoh Nabi dalam Bertoleransi Toleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara Islam Ahlu Dzimmah adalah sebutan untuk orang-orang nonmuslim yang hidup berdampingan di negara Islam dan memiliki kesepakatan damai dengan mereka serta diwajibkan untuk membayar jizyah atau upeti. Di dalam Islam, Ahlu Dzimmah memiliki hak-hak yang sama dengan penduduk sipil muslim lainnya. Di antara hak-hak dan toleransi yang diberikan kepada mereka adalah: Pertama: Mendapatkan perlindungan dari serangan musuh luar. Kedua: Jaminan keselamatan dari perbuatan zalim di dalam negeri. Agama Islam melarang umatnya untuk menyakiti orang kafir Ahlu Dzimmah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Dan Allah Ta’ala juga tidak menyukai kezaliman, bagaimana pun bentuknya, meskipun itu kezaliman kepada orang-orang nonmuslim sekalipun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052) Umat Islam semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, zaman khulafaurrasyidin, dan generasi-generasi seterusnya, sangatlah peduli untuk mencegah ketidakadilan yang terjadi pada Ahli Dhimmah, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, dan mendengarkan setiap keluhan yang datang dari mereka. Ketiga: Jaminan keselamatan jiwa dan raga. Darah dan jiwa mereka dilindungi menurut kesepakatan kaum muslimin. Haram hukumnya untuk ditumpahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا “Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166) Keempat: Jaminan keamanan pada harta. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan tersebut kepada utusan penduduk Nasrani Najran yang datang kepadanya. Al-Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dalam kitabnya Al-Kharraj mengatakan, “Najran dan rombongannya mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas harta benda mereka, kehidupan mereka, tanah mereka, komunitas mereka. Baik untuk orang-orang yang tidak hadir, maupun orang-orang yang menyaksikannya, keluarga mereka, dan perdagangan mereka, dan segala hal yang ada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak.” (Al-Kharraj, hal. 85) Kelima: Kebebasan beragama dan beribadah. Tidak boleh memaksa orang-orang nonmuslim untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256) Sebagaimana mereka juga diperbolehkan untuk bebas beribadah di tempat ibadah mereka masing-masing, tidak boleh mengganggu mereka atau bahkan merusak tempat ibadah mereka. Sebagaimana Imam At-Thabari rahimahullah mengisahkan tentang perjanjian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada penduduk Yerussalem di masa beliau ketika menaklukkannya, “Dia memberi mereka keamanan pada jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, dan simbol-simbol agama mereka yang lainnya. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni dan dirampas, tidak pula akan dirobohkan. Dan mereka juga tidak akan dihalangi dari memasuki tempat-tempat ibadah tersebut, diperbolehkan untuk menggunakan salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah agama mereka, dan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh dirugikan.” (Kitab Tarikh At-Thabari, 3: 105) Lalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Sebagian dari saudara muslim kita mungkin masih ada yang beranggapan bahwa merayakan hari raya Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan toleransi kepada kaum Nasrani. Banyak dari mereka yang masih ikut merayakan hari raya tersebut bersama mereka atau sekedar memberikan ucapan selamat, “Merry Christmas” kepada yang merayakannya. Ketahuilah, wahai saudaraku, perbuatan semacam ini bukanlah termasuk dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang benar datangnya dari beliau justru menunjukkan bahwa hal semacam ini terlarang. Pertama:  Di dalam surah Al-Kafirun, Allah Ta’ala berfirman, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” Allah Ta’ala perintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan ayat ini kepada kaum musyrikin yang membujuknya untuk mau menyembah sesembahan mereka dengan dalih mereka nanti juga akan menyembah Allah Ta’ala. Sebuah toleransi yang mereka tawarkan, namun Allah Ta’ala dengan tegas menjelaskan bahwa setiap agama hanya diperuntukkan untuk pemeluknya saja. Perayaan Natal jelas merupakan salah satu hari besar orang Nasrani, sebuah perayaan yang sarat akan pengagungan dan penyembahan mereka kepada Nabi Isa, yang mereka anggap sebagai tuhan. Maka dari itu, seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalam merayakannya, karena itu sama saja mencampuri mereka dalam ibadah dan agama mereka. Kedua: Seorang muslim dilarang berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama Islam. Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ “Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya di mana kalian bersuka cita di dalamnya. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan Ahmad no. 12827). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan dua hari hari raya yang dirayakan oleh penduduk Madinah pada waktu itu dengan Idulfitri dan Iduladha. Lalu, bagaimana mungkin seorang muslim dengan bebasnya dan bermudah-mudahannya ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi?! Sungguh ini merupakan penyelisihan kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: toleransitoleransi islam


Daftar Isi Toggle Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khususToleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara IslamLalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Toleransi beragama, baik itu kepada Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu, maupun kepada agama lainnya, merupakan salah satu ciri khas agama Islam semenjak dahulu kala. Hal inilah yang telah dicatat dengan jelas oleh sejarah, diakui oleh para sejarawan dan penulis, dan dirasakan langsung oleh mereka yang mengalaminya dari kalangan nonmuslim. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena Al-Qur’an telah memberikan dasar-dasar kepada kita, perihal bagaimana seharusnya memperlakukan nonmuslim yang bersikap damai terhadap umat Islam, yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir mereka dari rumah mereka. Allah Ta’ala berfirman, لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Di ayat ini, Allah Ta’ala menggunakan lafaz al-birr (berbuat baik), padahal sedang membahas bagaimana memperlakukan orang-orang musyrik. Kata al-birr tersebut seringnya digunakan untuk menyebut hak yang paling layak untuk kita tunaikan setelah hak Allah Ta’ala, yaitu birrul walidain (berbuat baik dan menghormati orang tua). Hal ini tentu saja menjelaskan kepada kita akan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang-orang non-Islam yang memenuhi syarat-syarat di dalam ayat tersebut. Yaitu, tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusir mereka dari rumah-rumah mereka. Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khusus Bagi ahlul kitab, ada perlakuan khusus yang diajarkan oleh agama ini. Ahlul kitab yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang agamanya berlandaskan dengan kitab-kitab samawi, kitab-kitab yang Allah turunkan dari atas langit, meskipun kitabnya tersebut telah banyak diubah dan diganti-ganti di kemudian hari. Seperti agama Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab pegangan Taurat dan Injil. Beberapa toleransi dengan mereka di antaranya: Pertama: Al-Qur’an melarang kita untuk berdebat dengan mereka perihal agama mereka, kecuali dengan cara yang baik. Agar perbedaan pendapat yang timbul tidak menyakiti perasaan, menimbulkan pertengkaran, serta menyulut api fanatisme dan kebencian di hati. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu. Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Ankabut: 46) Kedua: Islam membolehkan kita untuk memakan makanan ahli kitab dan makan dari hewan sembelihan mereka, juga membolehkan perkawinan campur dengan wanita-wanita mereka yang bisa menjaga kehormatan dan menjaga dirinya. Ketahuilah, ini jelas merupakan bentuk toleransi yang besar dalam agama Islam. Seorang muslim diperbolehkan untuk memiliki istri, yang akan serumah dengannya, pasangan hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya, seorang wanita nonmuslim (dari kalangan ahli kitab). Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Kedua hal ini adalah perlakuan khusus kita kepada ahli kitab, meskipun mereka tidak tinggal di negeri muslim. Adapun jika ahli kitab tersebut tinggal di negeri muslim, maka mereka memiliki perlakuan yang berbeda. Mereka itulah yang kita sebut dengan “Ahlu Dzimmah.” Baca juga: Mencontoh Nabi dalam Bertoleransi Toleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara Islam Ahlu Dzimmah adalah sebutan untuk orang-orang nonmuslim yang hidup berdampingan di negara Islam dan memiliki kesepakatan damai dengan mereka serta diwajibkan untuk membayar jizyah atau upeti. Di dalam Islam, Ahlu Dzimmah memiliki hak-hak yang sama dengan penduduk sipil muslim lainnya. Di antara hak-hak dan toleransi yang diberikan kepada mereka adalah: Pertama: Mendapatkan perlindungan dari serangan musuh luar. Kedua: Jaminan keselamatan dari perbuatan zalim di dalam negeri. Agama Islam melarang umatnya untuk menyakiti orang kafir Ahlu Dzimmah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Dan Allah Ta’ala juga tidak menyukai kezaliman, bagaimana pun bentuknya, meskipun itu kezaliman kepada orang-orang nonmuslim sekalipun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052) Umat Islam semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, zaman khulafaurrasyidin, dan generasi-generasi seterusnya, sangatlah peduli untuk mencegah ketidakadilan yang terjadi pada Ahli Dhimmah, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, dan mendengarkan setiap keluhan yang datang dari mereka. Ketiga: Jaminan keselamatan jiwa dan raga. Darah dan jiwa mereka dilindungi menurut kesepakatan kaum muslimin. Haram hukumnya untuk ditumpahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا “Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166) Keempat: Jaminan keamanan pada harta. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan tersebut kepada utusan penduduk Nasrani Najran yang datang kepadanya. Al-Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dalam kitabnya Al-Kharraj mengatakan, “Najran dan rombongannya mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas harta benda mereka, kehidupan mereka, tanah mereka, komunitas mereka. Baik untuk orang-orang yang tidak hadir, maupun orang-orang yang menyaksikannya, keluarga mereka, dan perdagangan mereka, dan segala hal yang ada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak.” (Al-Kharraj, hal. 85) Kelima: Kebebasan beragama dan beribadah. Tidak boleh memaksa orang-orang nonmuslim untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256) Sebagaimana mereka juga diperbolehkan untuk bebas beribadah di tempat ibadah mereka masing-masing, tidak boleh mengganggu mereka atau bahkan merusak tempat ibadah mereka. Sebagaimana Imam At-Thabari rahimahullah mengisahkan tentang perjanjian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada penduduk Yerussalem di masa beliau ketika menaklukkannya, “Dia memberi mereka keamanan pada jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, dan simbol-simbol agama mereka yang lainnya. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni dan dirampas, tidak pula akan dirobohkan. Dan mereka juga tidak akan dihalangi dari memasuki tempat-tempat ibadah tersebut, diperbolehkan untuk menggunakan salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah agama mereka, dan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh dirugikan.” (Kitab Tarikh At-Thabari, 3: 105) Lalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal? Sebagian dari saudara muslim kita mungkin masih ada yang beranggapan bahwa merayakan hari raya Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan toleransi kepada kaum Nasrani. Banyak dari mereka yang masih ikut merayakan hari raya tersebut bersama mereka atau sekedar memberikan ucapan selamat, “Merry Christmas” kepada yang merayakannya. Ketahuilah, wahai saudaraku, perbuatan semacam ini bukanlah termasuk dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang benar datangnya dari beliau justru menunjukkan bahwa hal semacam ini terlarang. Pertama:  Di dalam surah Al-Kafirun, Allah Ta’ala berfirman, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” Allah Ta’ala perintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan ayat ini kepada kaum musyrikin yang membujuknya untuk mau menyembah sesembahan mereka dengan dalih mereka nanti juga akan menyembah Allah Ta’ala. Sebuah toleransi yang mereka tawarkan, namun Allah Ta’ala dengan tegas menjelaskan bahwa setiap agama hanya diperuntukkan untuk pemeluknya saja. Perayaan Natal jelas merupakan salah satu hari besar orang Nasrani, sebuah perayaan yang sarat akan pengagungan dan penyembahan mereka kepada Nabi Isa, yang mereka anggap sebagai tuhan. Maka dari itu, seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalam merayakannya, karena itu sama saja mencampuri mereka dalam ibadah dan agama mereka. Kedua: Seorang muslim dilarang berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama Islam. Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ “Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya di mana kalian bersuka cita di dalamnya. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan Ahmad no. 12827). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan dua hari hari raya yang dirayakan oleh penduduk Madinah pada waktu itu dengan Idulfitri dan Iduladha. Lalu, bagaimana mungkin seorang muslim dengan bebasnya dan bermudah-mudahannya ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi?! Sungguh ini merupakan penyelisihan kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: toleransitoleransi islam

Matan Taqrib: Pengertian, Hukum, Hikmah, Rukun, Syarat, dan Fikih Wakaf

Kali ini kita masuk bahasan pengertian, hukum, hikmah, rukun, syarat, dan fikih wakaf, serta perbedaan antara wakaf dan sedekah biasa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Pengertian wakaf 1.2. Hukum wakaf 1.3. Hikmah disyariatkannya wakaf 1.4. Perbedaan wakaf dan sedekah lain 1.5. Rukun wakaf 1.6. Ada dua macam wakaf 1.7. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَالوَقْفُ جَائِزٌ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ ، وَأَنْ يَكُوْنَ عَلَى أَصْلٍ مَوْجُوْدٍ وَفَرْعٍ لاَ يَنْقَطِعُ ، وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ فِي مَحْظُوْرٍ وَهُوَ عَلَى مَا شَرَطَ الوَاقِفُ مِنْ تَقْدِيْمٍ أَوْ تَأْخِيْرٍ أَوْ تَسْوِيَةٍ أَوْ تَفْضِيْلٍ. Wakaf itu dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) barang yang diwakafkan bisa dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh, (2) barang yang diwakafkan sudah ada dan merupakan bagian yang tidak terpisah, (3) barang yang diwakafkan bukan untuk perkara yang diharamkan. Penggunaan harta wakaf harus mengikuti persyaratan orang yang mewakafkan; entah itu mendahulukan, menunda, menyamakan, atau melebihkan (pemberian wakaf kepada sebagian dari pihak yang menerima wakaf).   Penjelasan: Pengertian wakaf Wakaf adalah istilah dalam bahasa Arab. Wakaf secara bahasa berarti: al-habs, yang artinya menahan. Seperti polisi menahan penjahat dan memasukkannya ke dalam penjara sehingga tidak bisa kembali melakukan aksinya. al-man’u, yang artinya mencegah. Seperti seorang ibu mencegah anaknya main api agar tidak terbakar. as-sukun, yang artinya berhenti atau diam. Seperti seekor unta diam dan berhenti dari berjalan. Dalam ayat disebutkan, وَقِفُوهُمْ ۖ إِنَّهُم مَّسْـُٔولُونَ “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS. As-Saffat: 24) Wakaf secara istilah berarti, حَبْسُ مالٍ يُمْكِنُ الإِنْتِفَاعُ بِه مَعَ بَقَاءِ عَيْنهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ في رَقَبَتِهِ على مَصْرِفِ مُباحٍ “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya bersama keabadian bentuknya, untuk dibelanjakan pada hal-hal yang mubah dan ada.”   Hukum wakaf Hukum wakaf adalah mustahab (sunnah) asalkan memenuhi syarat. Sedangkan penulis Matan Taqrib menyatakan bahwa hukum wakaf adalah mubah (boleh). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, no. 1631). Yang dimaksud dalam hadits ini, sedekah jariyah adalah wakaf. Inilah alasannya kenapa Ibnu Hajar Al-Asqalani memasukkan hadits ini dalam bahasan wakaf dalam Bulughul Maram. Karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi mohon petunjuk beliau tentang pengelolaannya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Yang menurut saya, saya belum pernah memiliki tanah yang lebih baik daripada tanah tersebut. Beliau bersabda, إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا “Kalau engkau mau, kau tahan pohonnya dan sedekahkan buah (hasilnya).” Perawi hadits berkata, فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh jadi warisan. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta. (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 2772; Muslim, no. 1632). Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang wakaf adalah ayat berikut, لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ Arab-Latin: Lan tanālul-birra ḥattā tunfiqụ mimmā tuḥibbụn, wa mā tunfiqụ min syai`in fa innallāha bihī ‘alīm “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92) Mengenai ayat di atas bisa perhatikan kisah berikut ini. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia cintai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.” Anas berkata, “Ketika turun ayat, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’ (Bi’ru Ha, sumur Ha). Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara. Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Hikmah disyariatkannya wakaf Hikmah disyariatkannya wakaf adalah: membuka pintu kebaikan yang banyak dan pahala yang terus mengalir, realisasi iman dengan mengeluarkan harta yang dicintai di jalan Allah (fii sabilillah) dan mengharap rida Allah adanya kebutuhan mendesak agar harta yang diwakafkan terus menerus manfaatnya bagi wakif (yang mewakafkan) baik ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia, agar barang yang diwakafkan terjaga dari kerusakan, orang yang diserahkan wakaf menjaga amanah dan tidak menyia-nyiakan,   Perbedaan wakaf dan sedekah lain Harta yang diwakafkan adalah harta yang punya manfaat yang terus menerus. Sedangkan sedekah biasa, manfaatnnya langsung habis dipakai, itu umumnya. Manfaat wakaf itu pahalanya terus menerus. Selama harta wakaf masih dimanfaatkan, selama itu pula pahala akan didapat. Ada pengelola harta wakaf atau disebut nadzir wakaf yang diberikan amanah. Sedangkan sedekah lainnya, seperti zakat, infak, dan lainnya, tidak membutuhkan pengelola dalam arti yang bertanggung jawab untuk memelihara. Harta sedekah diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan harta tersebut.   Rukun wakaf Rukun wakaf: (1) wakif, (2) mawquf ‘alaih (yang mengambil manfaat dari wakaf), (3) mawquf (harta yang diwakaf), (4) shighah Syarat wakif/ waaqif: (1) atas pilihan sendiri, (2) diizinkan syariat untuk melakukan transaksi, maka wakaf tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang diboikot karena terlilit utang. Syarat mawquf: (1) suatu benda, (2) sudah tertentu, tidak boleh majhul (tidak jelas), (3) dimiliki oleh wakif, (4) mawquf bisa dipindah (boleh berpindah dari satu pemilik ke pemilik lainnya), (5) bisa diambil manfaatnya, (6) bisa dimanfaatkan dan bentuknya terus ada (abadi), (7) pemanfaatan benda wakaf itu mubah (dibolehkan), berarti tidak ada wakaf dari alat musik, (8) tujuan pemanfaatannya tertentu. Syarat mawquf ‘alaih: (1) tidak menggunakannya untuk maksiat, (2) sah memiliki Syarat shighah: (1) lafaz yang menandakan wakaf, (2) tidak memakai waktu, (3) tidak menyebut ta’liq (syarat), (4) siapa yang diserahkan harus disebutkan.   Catatan:  Menurut pendapat mu’tamad (pegangan madzhab Syafii), wakaf uang (dinar, dirham, dan mata uang saat ini) tidaklah sah sebagai wakaf. Karena uang itu bisa istihlaak (langsung habis) sebagaimana makanan. Karena barang wakaf tidak boleh untuk sewa. Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa wakaf uang itu sah. Wakaf uang saat ini maksudnya adalah untuk investasi di mana uang wakaf menjadi ro’sul maal (modal). Uang wakaf yang jadi pokok tetap dipertahankan dan yang diambil adalah manfaatnya. Lihat bahasan dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 3:609.   Ada dua macam wakaf Wakaf dzurri atau wakaf ahli, yaitu wakaf kepada kerabat, anak, cucu, atau keturunan. Wakaf khairi, yaitu wakaf umum atau untuk maslahat umum seperti wakaf pada masjid, mujahid, sekolah, orang fakir, dan untuk ulama.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Daar Al-Qalam.   – Diselesaikan 7 Jumadal Akhirah 1445 H, 19 Desember 2023 di perjalanan Panggang – Playen Direvisi pada 9 Syawal 1445 H, Kamis pagi di Klaten Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitabul buyu sedekah sedekah jariyah wakaf

Matan Taqrib: Pengertian, Hukum, Hikmah, Rukun, Syarat, dan Fikih Wakaf

Kali ini kita masuk bahasan pengertian, hukum, hikmah, rukun, syarat, dan fikih wakaf, serta perbedaan antara wakaf dan sedekah biasa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Pengertian wakaf 1.2. Hukum wakaf 1.3. Hikmah disyariatkannya wakaf 1.4. Perbedaan wakaf dan sedekah lain 1.5. Rukun wakaf 1.6. Ada dua macam wakaf 1.7. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَالوَقْفُ جَائِزٌ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ ، وَأَنْ يَكُوْنَ عَلَى أَصْلٍ مَوْجُوْدٍ وَفَرْعٍ لاَ يَنْقَطِعُ ، وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ فِي مَحْظُوْرٍ وَهُوَ عَلَى مَا شَرَطَ الوَاقِفُ مِنْ تَقْدِيْمٍ أَوْ تَأْخِيْرٍ أَوْ تَسْوِيَةٍ أَوْ تَفْضِيْلٍ. Wakaf itu dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) barang yang diwakafkan bisa dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh, (2) barang yang diwakafkan sudah ada dan merupakan bagian yang tidak terpisah, (3) barang yang diwakafkan bukan untuk perkara yang diharamkan. Penggunaan harta wakaf harus mengikuti persyaratan orang yang mewakafkan; entah itu mendahulukan, menunda, menyamakan, atau melebihkan (pemberian wakaf kepada sebagian dari pihak yang menerima wakaf).   Penjelasan: Pengertian wakaf Wakaf adalah istilah dalam bahasa Arab. Wakaf secara bahasa berarti: al-habs, yang artinya menahan. Seperti polisi menahan penjahat dan memasukkannya ke dalam penjara sehingga tidak bisa kembali melakukan aksinya. al-man’u, yang artinya mencegah. Seperti seorang ibu mencegah anaknya main api agar tidak terbakar. as-sukun, yang artinya berhenti atau diam. Seperti seekor unta diam dan berhenti dari berjalan. Dalam ayat disebutkan, وَقِفُوهُمْ ۖ إِنَّهُم مَّسْـُٔولُونَ “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS. As-Saffat: 24) Wakaf secara istilah berarti, حَبْسُ مالٍ يُمْكِنُ الإِنْتِفَاعُ بِه مَعَ بَقَاءِ عَيْنهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ في رَقَبَتِهِ على مَصْرِفِ مُباحٍ “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya bersama keabadian bentuknya, untuk dibelanjakan pada hal-hal yang mubah dan ada.”   Hukum wakaf Hukum wakaf adalah mustahab (sunnah) asalkan memenuhi syarat. Sedangkan penulis Matan Taqrib menyatakan bahwa hukum wakaf adalah mubah (boleh). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, no. 1631). Yang dimaksud dalam hadits ini, sedekah jariyah adalah wakaf. Inilah alasannya kenapa Ibnu Hajar Al-Asqalani memasukkan hadits ini dalam bahasan wakaf dalam Bulughul Maram. Karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi mohon petunjuk beliau tentang pengelolaannya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Yang menurut saya, saya belum pernah memiliki tanah yang lebih baik daripada tanah tersebut. Beliau bersabda, إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا “Kalau engkau mau, kau tahan pohonnya dan sedekahkan buah (hasilnya).” Perawi hadits berkata, فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh jadi warisan. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta. (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 2772; Muslim, no. 1632). Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang wakaf adalah ayat berikut, لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ Arab-Latin: Lan tanālul-birra ḥattā tunfiqụ mimmā tuḥibbụn, wa mā tunfiqụ min syai`in fa innallāha bihī ‘alīm “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92) Mengenai ayat di atas bisa perhatikan kisah berikut ini. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia cintai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.” Anas berkata, “Ketika turun ayat, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’ (Bi’ru Ha, sumur Ha). Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara. Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Hikmah disyariatkannya wakaf Hikmah disyariatkannya wakaf adalah: membuka pintu kebaikan yang banyak dan pahala yang terus mengalir, realisasi iman dengan mengeluarkan harta yang dicintai di jalan Allah (fii sabilillah) dan mengharap rida Allah adanya kebutuhan mendesak agar harta yang diwakafkan terus menerus manfaatnya bagi wakif (yang mewakafkan) baik ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia, agar barang yang diwakafkan terjaga dari kerusakan, orang yang diserahkan wakaf menjaga amanah dan tidak menyia-nyiakan,   Perbedaan wakaf dan sedekah lain Harta yang diwakafkan adalah harta yang punya manfaat yang terus menerus. Sedangkan sedekah biasa, manfaatnnya langsung habis dipakai, itu umumnya. Manfaat wakaf itu pahalanya terus menerus. Selama harta wakaf masih dimanfaatkan, selama itu pula pahala akan didapat. Ada pengelola harta wakaf atau disebut nadzir wakaf yang diberikan amanah. Sedangkan sedekah lainnya, seperti zakat, infak, dan lainnya, tidak membutuhkan pengelola dalam arti yang bertanggung jawab untuk memelihara. Harta sedekah diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan harta tersebut.   Rukun wakaf Rukun wakaf: (1) wakif, (2) mawquf ‘alaih (yang mengambil manfaat dari wakaf), (3) mawquf (harta yang diwakaf), (4) shighah Syarat wakif/ waaqif: (1) atas pilihan sendiri, (2) diizinkan syariat untuk melakukan transaksi, maka wakaf tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang diboikot karena terlilit utang. Syarat mawquf: (1) suatu benda, (2) sudah tertentu, tidak boleh majhul (tidak jelas), (3) dimiliki oleh wakif, (4) mawquf bisa dipindah (boleh berpindah dari satu pemilik ke pemilik lainnya), (5) bisa diambil manfaatnya, (6) bisa dimanfaatkan dan bentuknya terus ada (abadi), (7) pemanfaatan benda wakaf itu mubah (dibolehkan), berarti tidak ada wakaf dari alat musik, (8) tujuan pemanfaatannya tertentu. Syarat mawquf ‘alaih: (1) tidak menggunakannya untuk maksiat, (2) sah memiliki Syarat shighah: (1) lafaz yang menandakan wakaf, (2) tidak memakai waktu, (3) tidak menyebut ta’liq (syarat), (4) siapa yang diserahkan harus disebutkan.   Catatan:  Menurut pendapat mu’tamad (pegangan madzhab Syafii), wakaf uang (dinar, dirham, dan mata uang saat ini) tidaklah sah sebagai wakaf. Karena uang itu bisa istihlaak (langsung habis) sebagaimana makanan. Karena barang wakaf tidak boleh untuk sewa. Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa wakaf uang itu sah. Wakaf uang saat ini maksudnya adalah untuk investasi di mana uang wakaf menjadi ro’sul maal (modal). Uang wakaf yang jadi pokok tetap dipertahankan dan yang diambil adalah manfaatnya. Lihat bahasan dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 3:609.   Ada dua macam wakaf Wakaf dzurri atau wakaf ahli, yaitu wakaf kepada kerabat, anak, cucu, atau keturunan. Wakaf khairi, yaitu wakaf umum atau untuk maslahat umum seperti wakaf pada masjid, mujahid, sekolah, orang fakir, dan untuk ulama.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Daar Al-Qalam.   – Diselesaikan 7 Jumadal Akhirah 1445 H, 19 Desember 2023 di perjalanan Panggang – Playen Direvisi pada 9 Syawal 1445 H, Kamis pagi di Klaten Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitabul buyu sedekah sedekah jariyah wakaf
Kali ini kita masuk bahasan pengertian, hukum, hikmah, rukun, syarat, dan fikih wakaf, serta perbedaan antara wakaf dan sedekah biasa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Pengertian wakaf 1.2. Hukum wakaf 1.3. Hikmah disyariatkannya wakaf 1.4. Perbedaan wakaf dan sedekah lain 1.5. Rukun wakaf 1.6. Ada dua macam wakaf 1.7. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَالوَقْفُ جَائِزٌ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ ، وَأَنْ يَكُوْنَ عَلَى أَصْلٍ مَوْجُوْدٍ وَفَرْعٍ لاَ يَنْقَطِعُ ، وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ فِي مَحْظُوْرٍ وَهُوَ عَلَى مَا شَرَطَ الوَاقِفُ مِنْ تَقْدِيْمٍ أَوْ تَأْخِيْرٍ أَوْ تَسْوِيَةٍ أَوْ تَفْضِيْلٍ. Wakaf itu dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) barang yang diwakafkan bisa dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh, (2) barang yang diwakafkan sudah ada dan merupakan bagian yang tidak terpisah, (3) barang yang diwakafkan bukan untuk perkara yang diharamkan. Penggunaan harta wakaf harus mengikuti persyaratan orang yang mewakafkan; entah itu mendahulukan, menunda, menyamakan, atau melebihkan (pemberian wakaf kepada sebagian dari pihak yang menerima wakaf).   Penjelasan: Pengertian wakaf Wakaf adalah istilah dalam bahasa Arab. Wakaf secara bahasa berarti: al-habs, yang artinya menahan. Seperti polisi menahan penjahat dan memasukkannya ke dalam penjara sehingga tidak bisa kembali melakukan aksinya. al-man’u, yang artinya mencegah. Seperti seorang ibu mencegah anaknya main api agar tidak terbakar. as-sukun, yang artinya berhenti atau diam. Seperti seekor unta diam dan berhenti dari berjalan. Dalam ayat disebutkan, وَقِفُوهُمْ ۖ إِنَّهُم مَّسْـُٔولُونَ “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS. As-Saffat: 24) Wakaf secara istilah berarti, حَبْسُ مالٍ يُمْكِنُ الإِنْتِفَاعُ بِه مَعَ بَقَاءِ عَيْنهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ في رَقَبَتِهِ على مَصْرِفِ مُباحٍ “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya bersama keabadian bentuknya, untuk dibelanjakan pada hal-hal yang mubah dan ada.”   Hukum wakaf Hukum wakaf adalah mustahab (sunnah) asalkan memenuhi syarat. Sedangkan penulis Matan Taqrib menyatakan bahwa hukum wakaf adalah mubah (boleh). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, no. 1631). Yang dimaksud dalam hadits ini, sedekah jariyah adalah wakaf. Inilah alasannya kenapa Ibnu Hajar Al-Asqalani memasukkan hadits ini dalam bahasan wakaf dalam Bulughul Maram. Karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi mohon petunjuk beliau tentang pengelolaannya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Yang menurut saya, saya belum pernah memiliki tanah yang lebih baik daripada tanah tersebut. Beliau bersabda, إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا “Kalau engkau mau, kau tahan pohonnya dan sedekahkan buah (hasilnya).” Perawi hadits berkata, فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh jadi warisan. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta. (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 2772; Muslim, no. 1632). Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang wakaf adalah ayat berikut, لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ Arab-Latin: Lan tanālul-birra ḥattā tunfiqụ mimmā tuḥibbụn, wa mā tunfiqụ min syai`in fa innallāha bihī ‘alīm “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92) Mengenai ayat di atas bisa perhatikan kisah berikut ini. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia cintai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.” Anas berkata, “Ketika turun ayat, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’ (Bi’ru Ha, sumur Ha). Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara. Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Hikmah disyariatkannya wakaf Hikmah disyariatkannya wakaf adalah: membuka pintu kebaikan yang banyak dan pahala yang terus mengalir, realisasi iman dengan mengeluarkan harta yang dicintai di jalan Allah (fii sabilillah) dan mengharap rida Allah adanya kebutuhan mendesak agar harta yang diwakafkan terus menerus manfaatnya bagi wakif (yang mewakafkan) baik ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia, agar barang yang diwakafkan terjaga dari kerusakan, orang yang diserahkan wakaf menjaga amanah dan tidak menyia-nyiakan,   Perbedaan wakaf dan sedekah lain Harta yang diwakafkan adalah harta yang punya manfaat yang terus menerus. Sedangkan sedekah biasa, manfaatnnya langsung habis dipakai, itu umumnya. Manfaat wakaf itu pahalanya terus menerus. Selama harta wakaf masih dimanfaatkan, selama itu pula pahala akan didapat. Ada pengelola harta wakaf atau disebut nadzir wakaf yang diberikan amanah. Sedangkan sedekah lainnya, seperti zakat, infak, dan lainnya, tidak membutuhkan pengelola dalam arti yang bertanggung jawab untuk memelihara. Harta sedekah diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan harta tersebut.   Rukun wakaf Rukun wakaf: (1) wakif, (2) mawquf ‘alaih (yang mengambil manfaat dari wakaf), (3) mawquf (harta yang diwakaf), (4) shighah Syarat wakif/ waaqif: (1) atas pilihan sendiri, (2) diizinkan syariat untuk melakukan transaksi, maka wakaf tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang diboikot karena terlilit utang. Syarat mawquf: (1) suatu benda, (2) sudah tertentu, tidak boleh majhul (tidak jelas), (3) dimiliki oleh wakif, (4) mawquf bisa dipindah (boleh berpindah dari satu pemilik ke pemilik lainnya), (5) bisa diambil manfaatnya, (6) bisa dimanfaatkan dan bentuknya terus ada (abadi), (7) pemanfaatan benda wakaf itu mubah (dibolehkan), berarti tidak ada wakaf dari alat musik, (8) tujuan pemanfaatannya tertentu. Syarat mawquf ‘alaih: (1) tidak menggunakannya untuk maksiat, (2) sah memiliki Syarat shighah: (1) lafaz yang menandakan wakaf, (2) tidak memakai waktu, (3) tidak menyebut ta’liq (syarat), (4) siapa yang diserahkan harus disebutkan.   Catatan:  Menurut pendapat mu’tamad (pegangan madzhab Syafii), wakaf uang (dinar, dirham, dan mata uang saat ini) tidaklah sah sebagai wakaf. Karena uang itu bisa istihlaak (langsung habis) sebagaimana makanan. Karena barang wakaf tidak boleh untuk sewa. Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa wakaf uang itu sah. Wakaf uang saat ini maksudnya adalah untuk investasi di mana uang wakaf menjadi ro’sul maal (modal). Uang wakaf yang jadi pokok tetap dipertahankan dan yang diambil adalah manfaatnya. Lihat bahasan dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 3:609.   Ada dua macam wakaf Wakaf dzurri atau wakaf ahli, yaitu wakaf kepada kerabat, anak, cucu, atau keturunan. Wakaf khairi, yaitu wakaf umum atau untuk maslahat umum seperti wakaf pada masjid, mujahid, sekolah, orang fakir, dan untuk ulama.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Daar Al-Qalam.   – Diselesaikan 7 Jumadal Akhirah 1445 H, 19 Desember 2023 di perjalanan Panggang – Playen Direvisi pada 9 Syawal 1445 H, Kamis pagi di Klaten Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitabul buyu sedekah sedekah jariyah wakaf


Kali ini kita masuk bahasan pengertian, hukum, hikmah, rukun, syarat, dan fikih wakaf, serta perbedaan antara wakaf dan sedekah biasa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 1.1. Pengertian wakaf 1.2. Hukum wakaf 1.3. Hikmah disyariatkannya wakaf 1.4. Perbedaan wakaf dan sedekah lain 1.5. Rukun wakaf 1.6. Ada dua macam wakaf 1.7. Referensi:   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata: وَالوَقْفُ جَائِزٌ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ ، وَأَنْ يَكُوْنَ عَلَى أَصْلٍ مَوْجُوْدٍ وَفَرْعٍ لاَ يَنْقَطِعُ ، وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ فِي مَحْظُوْرٍ وَهُوَ عَلَى مَا شَرَطَ الوَاقِفُ مِنْ تَقْدِيْمٍ أَوْ تَأْخِيْرٍ أَوْ تَسْوِيَةٍ أَوْ تَفْضِيْلٍ. Wakaf itu dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) barang yang diwakafkan bisa dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh, (2) barang yang diwakafkan sudah ada dan merupakan bagian yang tidak terpisah, (3) barang yang diwakafkan bukan untuk perkara yang diharamkan. Penggunaan harta wakaf harus mengikuti persyaratan orang yang mewakafkan; entah itu mendahulukan, menunda, menyamakan, atau melebihkan (pemberian wakaf kepada sebagian dari pihak yang menerima wakaf).   Penjelasan: Pengertian wakaf Wakaf adalah istilah dalam bahasa Arab. Wakaf secara bahasa berarti: al-habs, yang artinya menahan. Seperti polisi menahan penjahat dan memasukkannya ke dalam penjara sehingga tidak bisa kembali melakukan aksinya. al-man’u, yang artinya mencegah. Seperti seorang ibu mencegah anaknya main api agar tidak terbakar. as-sukun, yang artinya berhenti atau diam. Seperti seekor unta diam dan berhenti dari berjalan. Dalam ayat disebutkan, وَقِفُوهُمْ ۖ إِنَّهُم مَّسْـُٔولُونَ “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS. As-Saffat: 24) Wakaf secara istilah berarti, حَبْسُ مالٍ يُمْكِنُ الإِنْتِفَاعُ بِه مَعَ بَقَاءِ عَيْنهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ في رَقَبَتِهِ على مَصْرِفِ مُباحٍ “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya bersama keabadian bentuknya, untuk dibelanjakan pada hal-hal yang mubah dan ada.”   Hukum wakaf Hukum wakaf adalah mustahab (sunnah) asalkan memenuhi syarat. Sedangkan penulis Matan Taqrib menyatakan bahwa hukum wakaf adalah mubah (boleh). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, no. 1631). Yang dimaksud dalam hadits ini, sedekah jariyah adalah wakaf. Inilah alasannya kenapa Ibnu Hajar Al-Asqalani memasukkan hadits ini dalam bahasan wakaf dalam Bulughul Maram. Karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi mohon petunjuk beliau tentang pengelolaannya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Yang menurut saya, saya belum pernah memiliki tanah yang lebih baik daripada tanah tersebut. Beliau bersabda, إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا “Kalau engkau mau, kau tahan pohonnya dan sedekahkan buah (hasilnya).” Perawi hadits berkata, فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh jadi warisan. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta. (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 2772; Muslim, no. 1632). Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang wakaf adalah ayat berikut, لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ Arab-Latin: Lan tanālul-birra ḥattā tunfiqụ mimmā tuḥibbụn, wa mā tunfiqụ min syai`in fa innallāha bihī ‘alīm “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92) Mengenai ayat di atas bisa perhatikan kisah berikut ini. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia cintai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.” Anas berkata, “Ketika turun ayat, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’ (Bi’ru Ha, sumur Ha). Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara. Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Hikmah disyariatkannya wakaf Hikmah disyariatkannya wakaf adalah: membuka pintu kebaikan yang banyak dan pahala yang terus mengalir, realisasi iman dengan mengeluarkan harta yang dicintai di jalan Allah (fii sabilillah) dan mengharap rida Allah adanya kebutuhan mendesak agar harta yang diwakafkan terus menerus manfaatnya bagi wakif (yang mewakafkan) baik ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia, agar barang yang diwakafkan terjaga dari kerusakan, orang yang diserahkan wakaf menjaga amanah dan tidak menyia-nyiakan,   Perbedaan wakaf dan sedekah lain Harta yang diwakafkan adalah harta yang punya manfaat yang terus menerus. Sedangkan sedekah biasa, manfaatnnya langsung habis dipakai, itu umumnya. Manfaat wakaf itu pahalanya terus menerus. Selama harta wakaf masih dimanfaatkan, selama itu pula pahala akan didapat. Ada pengelola harta wakaf atau disebut nadzir wakaf yang diberikan amanah. Sedangkan sedekah lainnya, seperti zakat, infak, dan lainnya, tidak membutuhkan pengelola dalam arti yang bertanggung jawab untuk memelihara. Harta sedekah diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan harta tersebut.   Rukun wakaf Rukun wakaf: (1) wakif, (2) mawquf ‘alaih (yang mengambil manfaat dari wakaf), (3) mawquf (harta yang diwakaf), (4) shighah Syarat wakif/ waaqif: (1) atas pilihan sendiri, (2) diizinkan syariat untuk melakukan transaksi, maka wakaf tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang diboikot karena terlilit utang. Syarat mawquf: (1) suatu benda, (2) sudah tertentu, tidak boleh majhul (tidak jelas), (3) dimiliki oleh wakif, (4) mawquf bisa dipindah (boleh berpindah dari satu pemilik ke pemilik lainnya), (5) bisa diambil manfaatnya, (6) bisa dimanfaatkan dan bentuknya terus ada (abadi), (7) pemanfaatan benda wakaf itu mubah (dibolehkan), berarti tidak ada wakaf dari alat musik, (8) tujuan pemanfaatannya tertentu. Syarat mawquf ‘alaih: (1) tidak menggunakannya untuk maksiat, (2) sah memiliki Syarat shighah: (1) lafaz yang menandakan wakaf, (2) tidak memakai waktu, (3) tidak menyebut ta’liq (syarat), (4) siapa yang diserahkan harus disebutkan.   Catatan:  Menurut pendapat mu’tamad (pegangan madzhab Syafii), wakaf uang (dinar, dirham, dan mata uang saat ini) tidaklah sah sebagai wakaf. Karena uang itu bisa istihlaak (langsung habis) sebagaimana makanan. Karena barang wakaf tidak boleh untuk sewa. Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa wakaf uang itu sah. Wakaf uang saat ini maksudnya adalah untuk investasi di mana uang wakaf menjadi ro’sul maal (modal). Uang wakaf yang jadi pokok tetap dipertahankan dan yang diambil adalah manfaatnya. Lihat bahasan dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 3:609.   Ada dua macam wakaf Wakaf dzurri atau wakaf ahli, yaitu wakaf kepada kerabat, anak, cucu, atau keturunan. Wakaf khairi, yaitu wakaf umum atau untuk maslahat umum seperti wakaf pada masjid, mujahid, sekolah, orang fakir, dan untuk ulama.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Daar Al-Qalam.   – Diselesaikan 7 Jumadal Akhirah 1445 H, 19 Desember 2023 di perjalanan Panggang – Playen Direvisi pada 9 Syawal 1445 H, Kamis pagi di Klaten Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitabul buyu sedekah sedekah jariyah wakaf

LUCUNYA HUKUM TARIK MENARIK (LAW OF ATTRACTION) #ilmu #yufidtv #nasehatulama

Lucunya,salah seorang tokoh mereka menulis sebuah buku terkenaltentang Law of Attraction (Hukum Tarik-Menarik),yang pada penutupnya aku baca kalimat berikut: “Jika Anda tidak beli buku ini,dan mendapatkannya secara ilegal,dari internet atau dari salinan curian,dan yang semisalnya,maka Hukum Tarik-Menarik ini tidak akan bekerja pada diri Anda.” Menurut kami, wahai saudara-saudara,kita berhak bertanya,“Kok bisa ada pengecualian ini?” Bukankan kekuatan dan daya tarik-menarik ini—menurut kalian dan sebagaimana klaim kalian—sangat dominan tak terkalahkandan superior tiada lawan, lalu kenapa bisa tidak bekerja dalam keadaan seperti ini?Sepertinya jawabannya bahwa ia tidak bekerjakecuali setelah ada uang masuk ke kantong mereka dulu. ==== وَمِنَ الطَّرِيفِ أَنَّ أَحَدَ كِبَارِهِمْ كَتَبَ كِتَابًا مَشْهُورًا عَنْ قَانُونِ الْجَذْبِ قَرَأْتُ فِي خَاتِمَتِهِ هَذِهِ الْجُمْلَةَ لَوْ لَمْ تَشْتَرِ هَذَا الْإِصْدَارَ وَحَصَلْتَ عَلَيْهِ بِطَرِيقَةٍ غَيْرِ شَرْعِيَّةٍ أَوْ مِنَ الإِنْتِرْنِت أَوْ مِنَ النُّسَخِ الْمَسْرُوقَةِ أَوْ مَا شَابَهَ فَقَانُونُ الْجَذْبِ لَا يَعْمَلُ مَعَكَ وَلَنَا يَا إِخْوَةُ الْحَقُّ أَنْ نَسْأَلَ لِمَا هَذَا الْاِسْتِثْنَاءُ؟ أَلَيْسَتِ الطَّاقَةُ وَجَذْبُهَا عِنْدَكُمْ كَمَا تُقَرِّرُونَ هِيَ الْغَالِبُ الَّذِي لَا يُغْلَبُ الْقَاهِرُ الَّذِي لَا يُقْهَرُ فَمَا بَالُهَا صَارَتْ مَشْغُولَةً فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَبْدُو أَنَّ الْجَوَابَ أَنَّهَا لَا تَعْمَلُ إِلَّا بَعْدَ الْمُرُورِ عَلَى جُيُوبِهِمْ أَوَّلًا

LUCUNYA HUKUM TARIK MENARIK (LAW OF ATTRACTION) #ilmu #yufidtv #nasehatulama

Lucunya,salah seorang tokoh mereka menulis sebuah buku terkenaltentang Law of Attraction (Hukum Tarik-Menarik),yang pada penutupnya aku baca kalimat berikut: “Jika Anda tidak beli buku ini,dan mendapatkannya secara ilegal,dari internet atau dari salinan curian,dan yang semisalnya,maka Hukum Tarik-Menarik ini tidak akan bekerja pada diri Anda.” Menurut kami, wahai saudara-saudara,kita berhak bertanya,“Kok bisa ada pengecualian ini?” Bukankan kekuatan dan daya tarik-menarik ini—menurut kalian dan sebagaimana klaim kalian—sangat dominan tak terkalahkandan superior tiada lawan, lalu kenapa bisa tidak bekerja dalam keadaan seperti ini?Sepertinya jawabannya bahwa ia tidak bekerjakecuali setelah ada uang masuk ke kantong mereka dulu. ==== وَمِنَ الطَّرِيفِ أَنَّ أَحَدَ كِبَارِهِمْ كَتَبَ كِتَابًا مَشْهُورًا عَنْ قَانُونِ الْجَذْبِ قَرَأْتُ فِي خَاتِمَتِهِ هَذِهِ الْجُمْلَةَ لَوْ لَمْ تَشْتَرِ هَذَا الْإِصْدَارَ وَحَصَلْتَ عَلَيْهِ بِطَرِيقَةٍ غَيْرِ شَرْعِيَّةٍ أَوْ مِنَ الإِنْتِرْنِت أَوْ مِنَ النُّسَخِ الْمَسْرُوقَةِ أَوْ مَا شَابَهَ فَقَانُونُ الْجَذْبِ لَا يَعْمَلُ مَعَكَ وَلَنَا يَا إِخْوَةُ الْحَقُّ أَنْ نَسْأَلَ لِمَا هَذَا الْاِسْتِثْنَاءُ؟ أَلَيْسَتِ الطَّاقَةُ وَجَذْبُهَا عِنْدَكُمْ كَمَا تُقَرِّرُونَ هِيَ الْغَالِبُ الَّذِي لَا يُغْلَبُ الْقَاهِرُ الَّذِي لَا يُقْهَرُ فَمَا بَالُهَا صَارَتْ مَشْغُولَةً فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَبْدُو أَنَّ الْجَوَابَ أَنَّهَا لَا تَعْمَلُ إِلَّا بَعْدَ الْمُرُورِ عَلَى جُيُوبِهِمْ أَوَّلًا
Lucunya,salah seorang tokoh mereka menulis sebuah buku terkenaltentang Law of Attraction (Hukum Tarik-Menarik),yang pada penutupnya aku baca kalimat berikut: “Jika Anda tidak beli buku ini,dan mendapatkannya secara ilegal,dari internet atau dari salinan curian,dan yang semisalnya,maka Hukum Tarik-Menarik ini tidak akan bekerja pada diri Anda.” Menurut kami, wahai saudara-saudara,kita berhak bertanya,“Kok bisa ada pengecualian ini?” Bukankan kekuatan dan daya tarik-menarik ini—menurut kalian dan sebagaimana klaim kalian—sangat dominan tak terkalahkandan superior tiada lawan, lalu kenapa bisa tidak bekerja dalam keadaan seperti ini?Sepertinya jawabannya bahwa ia tidak bekerjakecuali setelah ada uang masuk ke kantong mereka dulu. ==== وَمِنَ الطَّرِيفِ أَنَّ أَحَدَ كِبَارِهِمْ كَتَبَ كِتَابًا مَشْهُورًا عَنْ قَانُونِ الْجَذْبِ قَرَأْتُ فِي خَاتِمَتِهِ هَذِهِ الْجُمْلَةَ لَوْ لَمْ تَشْتَرِ هَذَا الْإِصْدَارَ وَحَصَلْتَ عَلَيْهِ بِطَرِيقَةٍ غَيْرِ شَرْعِيَّةٍ أَوْ مِنَ الإِنْتِرْنِت أَوْ مِنَ النُّسَخِ الْمَسْرُوقَةِ أَوْ مَا شَابَهَ فَقَانُونُ الْجَذْبِ لَا يَعْمَلُ مَعَكَ وَلَنَا يَا إِخْوَةُ الْحَقُّ أَنْ نَسْأَلَ لِمَا هَذَا الْاِسْتِثْنَاءُ؟ أَلَيْسَتِ الطَّاقَةُ وَجَذْبُهَا عِنْدَكُمْ كَمَا تُقَرِّرُونَ هِيَ الْغَالِبُ الَّذِي لَا يُغْلَبُ الْقَاهِرُ الَّذِي لَا يُقْهَرُ فَمَا بَالُهَا صَارَتْ مَشْغُولَةً فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَبْدُو أَنَّ الْجَوَابَ أَنَّهَا لَا تَعْمَلُ إِلَّا بَعْدَ الْمُرُورِ عَلَى جُيُوبِهِمْ أَوَّلًا


Lucunya,salah seorang tokoh mereka menulis sebuah buku terkenaltentang Law of Attraction (Hukum Tarik-Menarik),yang pada penutupnya aku baca kalimat berikut: “Jika Anda tidak beli buku ini,dan mendapatkannya secara ilegal,dari internet atau dari salinan curian,dan yang semisalnya,maka Hukum Tarik-Menarik ini tidak akan bekerja pada diri Anda.” Menurut kami, wahai saudara-saudara,kita berhak bertanya,“Kok bisa ada pengecualian ini?” Bukankan kekuatan dan daya tarik-menarik ini—menurut kalian dan sebagaimana klaim kalian—sangat dominan tak terkalahkandan superior tiada lawan, lalu kenapa bisa tidak bekerja dalam keadaan seperti ini?Sepertinya jawabannya bahwa ia tidak bekerjakecuali setelah ada uang masuk ke kantong mereka dulu. ==== وَمِنَ الطَّرِيفِ أَنَّ أَحَدَ كِبَارِهِمْ كَتَبَ كِتَابًا مَشْهُورًا عَنْ قَانُونِ الْجَذْبِ قَرَأْتُ فِي خَاتِمَتِهِ هَذِهِ الْجُمْلَةَ لَوْ لَمْ تَشْتَرِ هَذَا الْإِصْدَارَ وَحَصَلْتَ عَلَيْهِ بِطَرِيقَةٍ غَيْرِ شَرْعِيَّةٍ أَوْ مِنَ الإِنْتِرْنِت أَوْ مِنَ النُّسَخِ الْمَسْرُوقَةِ أَوْ مَا شَابَهَ فَقَانُونُ الْجَذْبِ لَا يَعْمَلُ مَعَكَ وَلَنَا يَا إِخْوَةُ الْحَقُّ أَنْ نَسْأَلَ لِمَا هَذَا الْاِسْتِثْنَاءُ؟ أَلَيْسَتِ الطَّاقَةُ وَجَذْبُهَا عِنْدَكُمْ كَمَا تُقَرِّرُونَ هِيَ الْغَالِبُ الَّذِي لَا يُغْلَبُ الْقَاهِرُ الَّذِي لَا يُقْهَرُ فَمَا بَالُهَا صَارَتْ مَشْغُولَةً فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَبْدُو أَنَّ الْجَوَابَ أَنَّهَا لَا تَعْمَلُ إِلَّا بَعْدَ الْمُرُورِ عَلَى جُيُوبِهِمْ أَوَّلًا

Makrifatullah adalah Ilmu Teragung #yufidtv #asmaulhusna #nasehatulama

Jadi, Maʿrifatullāh (Mengenal Allah) ʿAzza wa Jallaadalah ilmu paling agung,yang menjadi maksud dan tujuan utama. Tidak ada yang lebih prioritas daripadanya.Allah lebih besar daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih besar daripada semua ilmu. Allah adalah Yang Maha Agung.Yang lebih agung daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih agung daripada semua ilmu. Orang yang sudah mengenal Allah,niscaya dia mengetahui yang lainnya. Adapun yang tidak mengenal Tuhannya,maka dia lebih tidak mengetahui tentang yang lainnya. Jadi, inilah kadar wajib,yang mana orang yang tidak mengetahuinya tidak dimaafkan. Lantas, apa makna Maʿrifatullāh?Artinya Anda mengenalsifat-sifat dan nama-nama-Nya Tabāraka wa Taʿālā,juga pengagungan dan pemuliaan yang layak bagi-Nya Tabāraka wa Taʿālā.Ini sifatnya wajib, wahai saudara-saudara! ==== إِذَنْ مَعْرِفَةُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعْظَمُ الْمَعَارِفِ وَهِيَ غَايَةٌ مَقْصُودَةٌ لِذَاتِهَا وَلَا شَيْءَ يَتَقَدَّمُ عَلَيْهَا وَاللهُ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَاللهُ هُوَ الْعَظِيمُ الَّذِي هُوَ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَمَنْ عَرَفَ اللهَ عَرَفَ مَا سِوَاهُ وَمَنْ جَهِلَ رَبَّهُ فَهُوَ لِمَا سِوَاهُ أَجْهَلُ إِذَنْ هَذَا قَدْرٌ وَاجِبٌ لَا عُذْرَ لِلْإِنْسَانِ فِيهِ وَمَا مَعْنَى مَعْرِفَةُ اللهِ؟ أَنْ تَعْرَفَ… تَعْرِفَ صِفَاتِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَأَسْمَاءَهُ وَمَا يَسْتَحِقُّوهُ مِنْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى هَذَا لَا بُدَّ مِنْهُ يَا إِخْوَتَاهُ

Makrifatullah adalah Ilmu Teragung #yufidtv #asmaulhusna #nasehatulama

Jadi, Maʿrifatullāh (Mengenal Allah) ʿAzza wa Jallaadalah ilmu paling agung,yang menjadi maksud dan tujuan utama. Tidak ada yang lebih prioritas daripadanya.Allah lebih besar daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih besar daripada semua ilmu. Allah adalah Yang Maha Agung.Yang lebih agung daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih agung daripada semua ilmu. Orang yang sudah mengenal Allah,niscaya dia mengetahui yang lainnya. Adapun yang tidak mengenal Tuhannya,maka dia lebih tidak mengetahui tentang yang lainnya. Jadi, inilah kadar wajib,yang mana orang yang tidak mengetahuinya tidak dimaafkan. Lantas, apa makna Maʿrifatullāh?Artinya Anda mengenalsifat-sifat dan nama-nama-Nya Tabāraka wa Taʿālā,juga pengagungan dan pemuliaan yang layak bagi-Nya Tabāraka wa Taʿālā.Ini sifatnya wajib, wahai saudara-saudara! ==== إِذَنْ مَعْرِفَةُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعْظَمُ الْمَعَارِفِ وَهِيَ غَايَةٌ مَقْصُودَةٌ لِذَاتِهَا وَلَا شَيْءَ يَتَقَدَّمُ عَلَيْهَا وَاللهُ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَاللهُ هُوَ الْعَظِيمُ الَّذِي هُوَ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَمَنْ عَرَفَ اللهَ عَرَفَ مَا سِوَاهُ وَمَنْ جَهِلَ رَبَّهُ فَهُوَ لِمَا سِوَاهُ أَجْهَلُ إِذَنْ هَذَا قَدْرٌ وَاجِبٌ لَا عُذْرَ لِلْإِنْسَانِ فِيهِ وَمَا مَعْنَى مَعْرِفَةُ اللهِ؟ أَنْ تَعْرَفَ… تَعْرِفَ صِفَاتِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَأَسْمَاءَهُ وَمَا يَسْتَحِقُّوهُ مِنْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى هَذَا لَا بُدَّ مِنْهُ يَا إِخْوَتَاهُ
Jadi, Maʿrifatullāh (Mengenal Allah) ʿAzza wa Jallaadalah ilmu paling agung,yang menjadi maksud dan tujuan utama. Tidak ada yang lebih prioritas daripadanya.Allah lebih besar daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih besar daripada semua ilmu. Allah adalah Yang Maha Agung.Yang lebih agung daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih agung daripada semua ilmu. Orang yang sudah mengenal Allah,niscaya dia mengetahui yang lainnya. Adapun yang tidak mengenal Tuhannya,maka dia lebih tidak mengetahui tentang yang lainnya. Jadi, inilah kadar wajib,yang mana orang yang tidak mengetahuinya tidak dimaafkan. Lantas, apa makna Maʿrifatullāh?Artinya Anda mengenalsifat-sifat dan nama-nama-Nya Tabāraka wa Taʿālā,juga pengagungan dan pemuliaan yang layak bagi-Nya Tabāraka wa Taʿālā.Ini sifatnya wajib, wahai saudara-saudara! ==== إِذَنْ مَعْرِفَةُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعْظَمُ الْمَعَارِفِ وَهِيَ غَايَةٌ مَقْصُودَةٌ لِذَاتِهَا وَلَا شَيْءَ يَتَقَدَّمُ عَلَيْهَا وَاللهُ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَاللهُ هُوَ الْعَظِيمُ الَّذِي هُوَ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَمَنْ عَرَفَ اللهَ عَرَفَ مَا سِوَاهُ وَمَنْ جَهِلَ رَبَّهُ فَهُوَ لِمَا سِوَاهُ أَجْهَلُ إِذَنْ هَذَا قَدْرٌ وَاجِبٌ لَا عُذْرَ لِلْإِنْسَانِ فِيهِ وَمَا مَعْنَى مَعْرِفَةُ اللهِ؟ أَنْ تَعْرَفَ… تَعْرِفَ صِفَاتِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَأَسْمَاءَهُ وَمَا يَسْتَحِقُّوهُ مِنْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى هَذَا لَا بُدَّ مِنْهُ يَا إِخْوَتَاهُ


Jadi, Maʿrifatullāh (Mengenal Allah) ʿAzza wa Jallaadalah ilmu paling agung,yang menjadi maksud dan tujuan utama. Tidak ada yang lebih prioritas daripadanya.Allah lebih besar daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih besar daripada semua ilmu. Allah adalah Yang Maha Agung.Yang lebih agung daripada segala sesuatu,maka ilmu tentang-Nya juga lebih agung daripada semua ilmu. Orang yang sudah mengenal Allah,niscaya dia mengetahui yang lainnya. Adapun yang tidak mengenal Tuhannya,maka dia lebih tidak mengetahui tentang yang lainnya. Jadi, inilah kadar wajib,yang mana orang yang tidak mengetahuinya tidak dimaafkan. Lantas, apa makna Maʿrifatullāh?Artinya Anda mengenalsifat-sifat dan nama-nama-Nya Tabāraka wa Taʿālā,juga pengagungan dan pemuliaan yang layak bagi-Nya Tabāraka wa Taʿālā.Ini sifatnya wajib, wahai saudara-saudara! ==== إِذَنْ مَعْرِفَةُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعْظَمُ الْمَعَارِفِ وَهِيَ غَايَةٌ مَقْصُودَةٌ لِذَاتِهَا وَلَا شَيْءَ يَتَقَدَّمُ عَلَيْهَا وَاللهُ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَاللهُ هُوَ الْعَظِيمُ الَّذِي هُوَ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَنِ الْعِلْمُ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ وَمَنْ عَرَفَ اللهَ عَرَفَ مَا سِوَاهُ وَمَنْ جَهِلَ رَبَّهُ فَهُوَ لِمَا سِوَاهُ أَجْهَلُ إِذَنْ هَذَا قَدْرٌ وَاجِبٌ لَا عُذْرَ لِلْإِنْسَانِ فِيهِ وَمَا مَعْنَى مَعْرِفَةُ اللهِ؟ أَنْ تَعْرَفَ… تَعْرِفَ صِفَاتِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَأَسْمَاءَهُ وَمَا يَسْتَحِقُّوهُ مِنْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى هَذَا لَا بُدَّ مِنْهُ يَا إِخْوَتَاهُ

Hadis: Kewajiban Zakat dari Harta Anak Yatim

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di hadapan manusia, seraya bersabda, أَلَا مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ، وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ “Siapa saja yang mengurus anak yatim sedangkan anak tersebut memiliki harta, hendaknya dia gunakan untuk berdagang dan tidak membiarkannya habis untuk membayar zakatnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 641 dan Ad-Daruquthni, 2: 109-110) Hadis ini diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabah. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadisnya lemah, dan dilemahkan oleh banyak ulama ahli hadis.” (Tahdzib At-Tahdzib, 10: 32) Hadis ini juga dinilai lemah (dha’if) oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. Kandungan hadis Pertama, hadis ini merupakan dalil disyariatkannya mengembangkan harta anak yatim dengan dibisniskan atau yang lainnya. Dengan pertimbangan dari si wali bahwa hal tersebut dapat mendatangkan keuntungan sehingga harta anak yatim tersebut semakin bertambah dan berkembang. Hadis ini, meskipun sanadnya lemah (dha’if), akan tetapi maknanya sahih (benar). Mengembangkan harta anak yatim ini termasuk kebaikan yang diperintahkan terhadap harta anak yatim. Allah Ta’ala berfirman, وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.” (QS. An-Nisa’: 2) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menjaga harta anak yatim dengan baik. Karena puncak dari ‘memberikan harta’ adalah dengan menjaga harta tersebut, dan melakukan hal-hal yang bertujuan untuk kebaikan dan pengembangan harta tersebut. Serta tidak menggunakan harta tersebut untuk hal-hal yang berisiko dan berbahaya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 163) Allah Ta’ala berfirman, وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakalah, ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.’” (QS. Al-Baqarah: 220) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. Al-An’am: 152) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa sebelum mencapai usia balig, anak yatim tidak boleh mengelola hartanya sendiri. Akan tetapi, menjadi kewajiban wali untuk mengelola harta tersebut dengan hati-hati. Pelarangan tersebut berakhir ketika anak yatim tersebut mencapai usia balig.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 280) Kedua, hadis ini merupakan dalil atas wajibnya zakat terhadap harta anak yatim ketika telah mencapai nishab. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini juga ditunjukkan oleh cakupan makna umum dari dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban zakat bagi orang kaya secara mutlak, tanpa pengecualian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Terdapat keterangan yang valid dari sahabat Umar, Ali, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka berpendapat wajibnya zakat dari harta anak yatim. Kewajiban zakat ini juga dapat ditangkap dari maksud atau hikmah disyariatkannya zakat, yaitu untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dengan harta yang berasal dari orang-orang kaya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala dan untuk membersihkan harta mereka. Sedangkan harta anak yatim tentu termasuk dalam maksud dan hikmah tersebut. Yang bertanggung jawab mengeluarkan zakatnya adalah wali yang mengurus harta anak yatim tersebut. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Menyantuni Anak Yatim *** @Rumah Kasongan, 13 Rabiulakhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 417-418). Tags: harta anak yatim

Hadis: Kewajiban Zakat dari Harta Anak Yatim

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di hadapan manusia, seraya bersabda, أَلَا مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ، وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ “Siapa saja yang mengurus anak yatim sedangkan anak tersebut memiliki harta, hendaknya dia gunakan untuk berdagang dan tidak membiarkannya habis untuk membayar zakatnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 641 dan Ad-Daruquthni, 2: 109-110) Hadis ini diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabah. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadisnya lemah, dan dilemahkan oleh banyak ulama ahli hadis.” (Tahdzib At-Tahdzib, 10: 32) Hadis ini juga dinilai lemah (dha’if) oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. Kandungan hadis Pertama, hadis ini merupakan dalil disyariatkannya mengembangkan harta anak yatim dengan dibisniskan atau yang lainnya. Dengan pertimbangan dari si wali bahwa hal tersebut dapat mendatangkan keuntungan sehingga harta anak yatim tersebut semakin bertambah dan berkembang. Hadis ini, meskipun sanadnya lemah (dha’if), akan tetapi maknanya sahih (benar). Mengembangkan harta anak yatim ini termasuk kebaikan yang diperintahkan terhadap harta anak yatim. Allah Ta’ala berfirman, وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.” (QS. An-Nisa’: 2) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menjaga harta anak yatim dengan baik. Karena puncak dari ‘memberikan harta’ adalah dengan menjaga harta tersebut, dan melakukan hal-hal yang bertujuan untuk kebaikan dan pengembangan harta tersebut. Serta tidak menggunakan harta tersebut untuk hal-hal yang berisiko dan berbahaya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 163) Allah Ta’ala berfirman, وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakalah, ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.’” (QS. Al-Baqarah: 220) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. Al-An’am: 152) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa sebelum mencapai usia balig, anak yatim tidak boleh mengelola hartanya sendiri. Akan tetapi, menjadi kewajiban wali untuk mengelola harta tersebut dengan hati-hati. Pelarangan tersebut berakhir ketika anak yatim tersebut mencapai usia balig.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 280) Kedua, hadis ini merupakan dalil atas wajibnya zakat terhadap harta anak yatim ketika telah mencapai nishab. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini juga ditunjukkan oleh cakupan makna umum dari dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban zakat bagi orang kaya secara mutlak, tanpa pengecualian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Terdapat keterangan yang valid dari sahabat Umar, Ali, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka berpendapat wajibnya zakat dari harta anak yatim. Kewajiban zakat ini juga dapat ditangkap dari maksud atau hikmah disyariatkannya zakat, yaitu untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dengan harta yang berasal dari orang-orang kaya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala dan untuk membersihkan harta mereka. Sedangkan harta anak yatim tentu termasuk dalam maksud dan hikmah tersebut. Yang bertanggung jawab mengeluarkan zakatnya adalah wali yang mengurus harta anak yatim tersebut. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Menyantuni Anak Yatim *** @Rumah Kasongan, 13 Rabiulakhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 417-418). Tags: harta anak yatim
Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di hadapan manusia, seraya bersabda, أَلَا مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ، وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ “Siapa saja yang mengurus anak yatim sedangkan anak tersebut memiliki harta, hendaknya dia gunakan untuk berdagang dan tidak membiarkannya habis untuk membayar zakatnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 641 dan Ad-Daruquthni, 2: 109-110) Hadis ini diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabah. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadisnya lemah, dan dilemahkan oleh banyak ulama ahli hadis.” (Tahdzib At-Tahdzib, 10: 32) Hadis ini juga dinilai lemah (dha’if) oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. Kandungan hadis Pertama, hadis ini merupakan dalil disyariatkannya mengembangkan harta anak yatim dengan dibisniskan atau yang lainnya. Dengan pertimbangan dari si wali bahwa hal tersebut dapat mendatangkan keuntungan sehingga harta anak yatim tersebut semakin bertambah dan berkembang. Hadis ini, meskipun sanadnya lemah (dha’if), akan tetapi maknanya sahih (benar). Mengembangkan harta anak yatim ini termasuk kebaikan yang diperintahkan terhadap harta anak yatim. Allah Ta’ala berfirman, وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.” (QS. An-Nisa’: 2) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menjaga harta anak yatim dengan baik. Karena puncak dari ‘memberikan harta’ adalah dengan menjaga harta tersebut, dan melakukan hal-hal yang bertujuan untuk kebaikan dan pengembangan harta tersebut. Serta tidak menggunakan harta tersebut untuk hal-hal yang berisiko dan berbahaya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 163) Allah Ta’ala berfirman, وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakalah, ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.’” (QS. Al-Baqarah: 220) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. Al-An’am: 152) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa sebelum mencapai usia balig, anak yatim tidak boleh mengelola hartanya sendiri. Akan tetapi, menjadi kewajiban wali untuk mengelola harta tersebut dengan hati-hati. Pelarangan tersebut berakhir ketika anak yatim tersebut mencapai usia balig.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 280) Kedua, hadis ini merupakan dalil atas wajibnya zakat terhadap harta anak yatim ketika telah mencapai nishab. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini juga ditunjukkan oleh cakupan makna umum dari dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban zakat bagi orang kaya secara mutlak, tanpa pengecualian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Terdapat keterangan yang valid dari sahabat Umar, Ali, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka berpendapat wajibnya zakat dari harta anak yatim. Kewajiban zakat ini juga dapat ditangkap dari maksud atau hikmah disyariatkannya zakat, yaitu untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dengan harta yang berasal dari orang-orang kaya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala dan untuk membersihkan harta mereka. Sedangkan harta anak yatim tentu termasuk dalam maksud dan hikmah tersebut. Yang bertanggung jawab mengeluarkan zakatnya adalah wali yang mengurus harta anak yatim tersebut. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Menyantuni Anak Yatim *** @Rumah Kasongan, 13 Rabiulakhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 417-418). Tags: harta anak yatim


Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di hadapan manusia, seraya bersabda, أَلَا مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ، وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ “Siapa saja yang mengurus anak yatim sedangkan anak tersebut memiliki harta, hendaknya dia gunakan untuk berdagang dan tidak membiarkannya habis untuk membayar zakatnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 641 dan Ad-Daruquthni, 2: 109-110) Hadis ini diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabah. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadisnya lemah, dan dilemahkan oleh banyak ulama ahli hadis.” (Tahdzib At-Tahdzib, 10: 32) Hadis ini juga dinilai lemah (dha’if) oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. Kandungan hadis Pertama, hadis ini merupakan dalil disyariatkannya mengembangkan harta anak yatim dengan dibisniskan atau yang lainnya. Dengan pertimbangan dari si wali bahwa hal tersebut dapat mendatangkan keuntungan sehingga harta anak yatim tersebut semakin bertambah dan berkembang. Hadis ini, meskipun sanadnya lemah (dha’if), akan tetapi maknanya sahih (benar). Mengembangkan harta anak yatim ini termasuk kebaikan yang diperintahkan terhadap harta anak yatim. Allah Ta’ala berfirman, وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.” (QS. An-Nisa’: 2) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menjaga harta anak yatim dengan baik. Karena puncak dari ‘memberikan harta’ adalah dengan menjaga harta tersebut, dan melakukan hal-hal yang bertujuan untuk kebaikan dan pengembangan harta tersebut. Serta tidak menggunakan harta tersebut untuk hal-hal yang berisiko dan berbahaya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 163) Allah Ta’ala berfirman, وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakalah, ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.’” (QS. Al-Baqarah: 220) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. Al-An’am: 152) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa sebelum mencapai usia balig, anak yatim tidak boleh mengelola hartanya sendiri. Akan tetapi, menjadi kewajiban wali untuk mengelola harta tersebut dengan hati-hati. Pelarangan tersebut berakhir ketika anak yatim tersebut mencapai usia balig.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 280) Kedua, hadis ini merupakan dalil atas wajibnya zakat terhadap harta anak yatim ketika telah mencapai nishab. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini juga ditunjukkan oleh cakupan makna umum dari dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban zakat bagi orang kaya secara mutlak, tanpa pengecualian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Terdapat keterangan yang valid dari sahabat Umar, Ali, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka berpendapat wajibnya zakat dari harta anak yatim. Kewajiban zakat ini juga dapat ditangkap dari maksud atau hikmah disyariatkannya zakat, yaitu untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dengan harta yang berasal dari orang-orang kaya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala dan untuk membersihkan harta mereka. Sedangkan harta anak yatim tentu termasuk dalam maksud dan hikmah tersebut. Yang bertanggung jawab mengeluarkan zakatnya adalah wali yang mengurus harta anak yatim tersebut. Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Keutamaan Menyantuni Anak Yatim *** @Rumah Kasongan, 13 Rabiulakhir 1445/ 28 Oktober 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 417-418). Tags: harta anak yatim

Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya?

Daftar Isi Toggle Dua tujuan penciptaan manusiaDefinisi ma’rifatullahMacam ma’rifatullahMa’rifatullah secara globalMa’rifatullah secara terperinciUrgensi ma’rifatullahMa’rifatullah sebagai tujuan hidup kitaMa’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnyaMa’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semataContoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat AllahPokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullahBuah ma’rifatullahDefinisi tauhid nama dan sifatSumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-NyaCara beribadah dengan Asma’ul Husna Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Dua tujuan penciptaan manusia Allah Ta’ala menciptakan kita tentulah ada tujuannya. Dan tujuan hidup kita itu disebutkan dalam dua ayat Al-Qur’an Al-Karim, yaitu: Pertama, Ma’rifatullah Hal ini agar kita mengenal siapa Rabb kita melalui nama dan sifat-Nya (QS. Ath-Thalaq: 12). Kedua, ‘Ibadatullah semata (tauhid) Hal ini agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (QS.Adz-Dzariyat: 56). Ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini adalah untuk mengenal Allah dan beribadah serta taat kepada-Nya semata. Definisi ma’rifatullah Definisi ma’rifatullah adalah mengenal Allah dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Macam ma’rifatullah Ma’rifatullah (mengenal Allah) ada dua macam: Ma’rifatullah secara global Yaitu, mengenal Allah yang merupakan dasar iman; sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar; sehingga terjaga kesahan iman. Ma’rifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum, bukan hanya diketahui oleh orang yang taat. Pelaku maksiat pun mengetahuinya. Ma’rifatullah secara terperinci Ma’rifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar bersungguh-sunguh ingin mencintai Allah Ta’ala dengan sempurna. Mereka buktikan dengan berusaha mengenal Allah dengan terperinci. Yaitu, mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sehingga, ia membangun keyakinannya tentang Allah atas dasar dalil. Bahkan, dia mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil tersebut. Sehingga, ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala. Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatannya, batin maupun zahir, bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan, percaya yang kuat kepada Allah, tidak berputus asa dari rahmat Allah, tawakal hati hanya kepada Allah, merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata, mengagungkan Allah dan syariat-Nya, serta rindu berjumpa dengan Allah. Urgensi ma’rifatullah Alasan pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah itu banyak, namun yang terpokok, yaitu: Ma’rifatullah sebagai tujuan hidup kita Hal ini karena kita diciptakan untuk mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata. Ma’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnya Maksudnya ma’rifatullah itu bagian dari iman kepada Allah. Ma’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semata Ibadah kepada Allah semata adalah salah satu dari dua tujuan hidup kita. Dan kualitas ibadah kita dipengaruhi oleh seberapa besar kita mengenal Allah, dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam setiap nama dan sifat-Nya yang kita kenal. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر “Manusia yang paling sempurna peribadatannya adalah orang yang beribadah [2] (kepada Allah semata) dengan melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.” Contoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah Allah Ta’ala itu Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), mencintai orang-orang yang penyayang, maka jadilah orang yang penyayang. Hal ini dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Asy-Syakur (Yang Maha Mensyukuri), mencintai orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya. Maka, jadilah orang yang banyak bersyukur dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Karim (Yang Maha Pemurah), mencintai orang-orang yang dermawan. Maka, jadilah orang yang banyak bersedekah dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan Al-‘Afuwwu (Yang Maha Pemaaf), mencintai orang-orang yang suka memafkan, maka jadilah orang pemaaf. Allah Ta’ala itu Ar-Rafiq (Yang Mahalembut), mencintai orang-orang yang lembut. Maka bersikap lembutlah dan jauhi sikap kasar, dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Baca juga: Apakah Anda Sudah Mengenal Allah? Pokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullah Mengapa demikian? Karena jika kita tahu siapa Allah, niscaya kita akan tahu siapa selain-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu makhluk. (QS. Az-Zumar: 62) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Ar-Razzaq (Yang Maha Banyak Memberi Rezeki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah adalah yang diberi rezeki. (QS. Hud: 6) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Malik (Yang Maha Memiliki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu milik Allah. (QS. Al-Maidah: 17) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu mengetahui, kaya, dan kekal, niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu hakikatnya tidak mengetahui apa-apa (QS. Al-Baqarah: 216), fakir (QS. Fathir: 15), dan semua makhluk itu fana (QS. Ar-Rahman: 26-27). Ringkas kata: “Barangsiapa yang mengetahui Allah, maka ia akan mengetahui hakikat diri hamba itu sendiri. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui Allah, maka ia akan tidak mengetahui hakikat dirinya. Dan barangsiapa yang melupakan Allah, maka ia akan melupakan hamba itu sendiri. Lupa apa yang bermanfaat bagi dirinya, sehingga ia justru melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, namun ia sangka bermanfaat bagi dirinya.” Di antara alasan lain pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah, yaitu: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, asas perbaikan hati dan lahiriah, dan masih banyak alasan lainnya. Buah ma’rifatullah Di antara buah ma’rifatullah adalah mengesakan Allah (tauhidullah), karena dari mengenal nama dan sifat Allah, dapat disimpulkan bahwa Allah Maha Esa dalam kekhususan ketuhanan-Nya. Di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan, berupa nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid Nama dan Sifat). Definisi tauhid nama dan sifat Tauhid nama dan sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah (husna) dan sifat-sifat-Nya yang termulia (ulya)*, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah**, dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya***” Penjelasannya: * Mengesakan Allah Meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah itu Maha Esa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia. Ciri khas nama Allah adalah “Husna” (terindah), yaitu tidak ada nama yang sama, apalagi lebih indah dari nama-Nya, karena nama-Nya mengandung sifat termulia. Ciri khas sifat Allah adalah “’Ulya” (termulia). Yaitu, paling sempurna. Tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya, karena seluruh sifat-Nya Mahasempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun. Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah” Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”. Yaitu, harus ada dalilnya dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, baik dalam itsbat/penetapan maupun nafi/peniadaan. Maka, tidak boleh kita menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-Nya Contoh: Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Maha Mendengar). Maka, berdasarkan definisi Tauhid Nama dan Sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan baik jika meyakini: Pertama: Penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar). Kedua: Penetapan makna (sifat) yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Yaitu, sifat Allah السمع (Mendengar), karena setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya, bukan hanya sekedar nama. Ketiga: Penetapan konsekuensi hukum. Yaitu, Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan. Dan penetapan pengaruh dan tuntutannya atas seorang hamba, yaitu wajibnya khasyah (takut kepada Allah yang didasari ilmu), muraqabah (yakin diawasi oleh Allah), dan haya` (malu) kepada Allah Ta’ala. Dan setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Seperti inilah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cara beribadah dengan Asma’ul Husna Allah Ta’ala berfirman, وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”  (QS. Al-A’raf: 180). Dalam ayat ini, Allah menyeru hamba-hamba-Nya kepada ma’rifatullah, mengenal-Nya, dengan meyakini keberadaan-Nya, mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, memuji-Nya dengan nama dan sifat-Nya, serta berdoa dengan menyebut nama-Nya dan beribadah melaksanakan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya. Jadi, makna firman-Nya: فَادْعُوْهُ بِهَا ”Maka, berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”. Doa dalam ayat ini mencakup tiga macam doa [3]: Pertama, doa mas’alah (doa permintaan), contohnya: “Ya Razzaqu, (Yang Maha Banyak Memberi rezeki) berilah aku rezeki.” Kedua, doa tsana’ (doa pujian) [4], contohnya: “Subhanallah (Mahasuci Allah).” Ketiga, doa ta’abbud (doa beribadah) [5], contohnya: rukuk, sujud, dan lain-lain. Dalam hadis Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن لله تسعة وتسعين اسمًا، مائة إلا واحدًا، من أحصاها دخل الجنة “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (seratus kurang satu). Barangsiapa yang meng-ihsha’-nya, maka dia masuk surga.” Ihsha’ adalah menghafal lafaz 99 asmaul husna, memahami maknanya dan indikasinya, serta mengamalkan tuntutan dan hukum-hukumnya. Wallahu Ta’ala a’lam. الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات Baca juga: Mengenal Hak Allah Ta’ala *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki:  [1] https://www.alukah.net/sharia/0/114103/ [2] Istilah paling bagus adalah seorang hamba berdoa, baik doa ibadah maupun doa mas’alah dengan melaksanakan tuntutan ataupun menyebut nama-nama-Nya yang husna, karena istilah ini ada dalam Al-Quran. Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/135766 [3] Lihat Madarijus Salikin, 1: 420. [4] Pujian hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang memuji Allah, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal pujian tersebut. [5] Beribadah hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang beribadah kepada Allah semata, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal ibadahnya tersebut. Tags: ma'rifatullah

Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya?

Daftar Isi Toggle Dua tujuan penciptaan manusiaDefinisi ma’rifatullahMacam ma’rifatullahMa’rifatullah secara globalMa’rifatullah secara terperinciUrgensi ma’rifatullahMa’rifatullah sebagai tujuan hidup kitaMa’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnyaMa’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semataContoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat AllahPokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullahBuah ma’rifatullahDefinisi tauhid nama dan sifatSumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-NyaCara beribadah dengan Asma’ul Husna Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Dua tujuan penciptaan manusia Allah Ta’ala menciptakan kita tentulah ada tujuannya. Dan tujuan hidup kita itu disebutkan dalam dua ayat Al-Qur’an Al-Karim, yaitu: Pertama, Ma’rifatullah Hal ini agar kita mengenal siapa Rabb kita melalui nama dan sifat-Nya (QS. Ath-Thalaq: 12). Kedua, ‘Ibadatullah semata (tauhid) Hal ini agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (QS.Adz-Dzariyat: 56). Ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini adalah untuk mengenal Allah dan beribadah serta taat kepada-Nya semata. Definisi ma’rifatullah Definisi ma’rifatullah adalah mengenal Allah dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Macam ma’rifatullah Ma’rifatullah (mengenal Allah) ada dua macam: Ma’rifatullah secara global Yaitu, mengenal Allah yang merupakan dasar iman; sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar; sehingga terjaga kesahan iman. Ma’rifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum, bukan hanya diketahui oleh orang yang taat. Pelaku maksiat pun mengetahuinya. Ma’rifatullah secara terperinci Ma’rifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar bersungguh-sunguh ingin mencintai Allah Ta’ala dengan sempurna. Mereka buktikan dengan berusaha mengenal Allah dengan terperinci. Yaitu, mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sehingga, ia membangun keyakinannya tentang Allah atas dasar dalil. Bahkan, dia mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil tersebut. Sehingga, ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala. Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatannya, batin maupun zahir, bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan, percaya yang kuat kepada Allah, tidak berputus asa dari rahmat Allah, tawakal hati hanya kepada Allah, merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata, mengagungkan Allah dan syariat-Nya, serta rindu berjumpa dengan Allah. Urgensi ma’rifatullah Alasan pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah itu banyak, namun yang terpokok, yaitu: Ma’rifatullah sebagai tujuan hidup kita Hal ini karena kita diciptakan untuk mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata. Ma’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnya Maksudnya ma’rifatullah itu bagian dari iman kepada Allah. Ma’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semata Ibadah kepada Allah semata adalah salah satu dari dua tujuan hidup kita. Dan kualitas ibadah kita dipengaruhi oleh seberapa besar kita mengenal Allah, dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam setiap nama dan sifat-Nya yang kita kenal. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر “Manusia yang paling sempurna peribadatannya adalah orang yang beribadah [2] (kepada Allah semata) dengan melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.” Contoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah Allah Ta’ala itu Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), mencintai orang-orang yang penyayang, maka jadilah orang yang penyayang. Hal ini dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Asy-Syakur (Yang Maha Mensyukuri), mencintai orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya. Maka, jadilah orang yang banyak bersyukur dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Karim (Yang Maha Pemurah), mencintai orang-orang yang dermawan. Maka, jadilah orang yang banyak bersedekah dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan Al-‘Afuwwu (Yang Maha Pemaaf), mencintai orang-orang yang suka memafkan, maka jadilah orang pemaaf. Allah Ta’ala itu Ar-Rafiq (Yang Mahalembut), mencintai orang-orang yang lembut. Maka bersikap lembutlah dan jauhi sikap kasar, dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Baca juga: Apakah Anda Sudah Mengenal Allah? Pokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullah Mengapa demikian? Karena jika kita tahu siapa Allah, niscaya kita akan tahu siapa selain-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu makhluk. (QS. Az-Zumar: 62) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Ar-Razzaq (Yang Maha Banyak Memberi Rezeki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah adalah yang diberi rezeki. (QS. Hud: 6) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Malik (Yang Maha Memiliki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu milik Allah. (QS. Al-Maidah: 17) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu mengetahui, kaya, dan kekal, niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu hakikatnya tidak mengetahui apa-apa (QS. Al-Baqarah: 216), fakir (QS. Fathir: 15), dan semua makhluk itu fana (QS. Ar-Rahman: 26-27). Ringkas kata: “Barangsiapa yang mengetahui Allah, maka ia akan mengetahui hakikat diri hamba itu sendiri. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui Allah, maka ia akan tidak mengetahui hakikat dirinya. Dan barangsiapa yang melupakan Allah, maka ia akan melupakan hamba itu sendiri. Lupa apa yang bermanfaat bagi dirinya, sehingga ia justru melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, namun ia sangka bermanfaat bagi dirinya.” Di antara alasan lain pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah, yaitu: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, asas perbaikan hati dan lahiriah, dan masih banyak alasan lainnya. Buah ma’rifatullah Di antara buah ma’rifatullah adalah mengesakan Allah (tauhidullah), karena dari mengenal nama dan sifat Allah, dapat disimpulkan bahwa Allah Maha Esa dalam kekhususan ketuhanan-Nya. Di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan, berupa nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid Nama dan Sifat). Definisi tauhid nama dan sifat Tauhid nama dan sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah (husna) dan sifat-sifat-Nya yang termulia (ulya)*, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah**, dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya***” Penjelasannya: * Mengesakan Allah Meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah itu Maha Esa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia. Ciri khas nama Allah adalah “Husna” (terindah), yaitu tidak ada nama yang sama, apalagi lebih indah dari nama-Nya, karena nama-Nya mengandung sifat termulia. Ciri khas sifat Allah adalah “’Ulya” (termulia). Yaitu, paling sempurna. Tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya, karena seluruh sifat-Nya Mahasempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun. Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah” Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”. Yaitu, harus ada dalilnya dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, baik dalam itsbat/penetapan maupun nafi/peniadaan. Maka, tidak boleh kita menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-Nya Contoh: Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Maha Mendengar). Maka, berdasarkan definisi Tauhid Nama dan Sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan baik jika meyakini: Pertama: Penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar). Kedua: Penetapan makna (sifat) yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Yaitu, sifat Allah السمع (Mendengar), karena setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya, bukan hanya sekedar nama. Ketiga: Penetapan konsekuensi hukum. Yaitu, Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan. Dan penetapan pengaruh dan tuntutannya atas seorang hamba, yaitu wajibnya khasyah (takut kepada Allah yang didasari ilmu), muraqabah (yakin diawasi oleh Allah), dan haya` (malu) kepada Allah Ta’ala. Dan setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Seperti inilah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cara beribadah dengan Asma’ul Husna Allah Ta’ala berfirman, وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”  (QS. Al-A’raf: 180). Dalam ayat ini, Allah menyeru hamba-hamba-Nya kepada ma’rifatullah, mengenal-Nya, dengan meyakini keberadaan-Nya, mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, memuji-Nya dengan nama dan sifat-Nya, serta berdoa dengan menyebut nama-Nya dan beribadah melaksanakan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya. Jadi, makna firman-Nya: فَادْعُوْهُ بِهَا ”Maka, berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”. Doa dalam ayat ini mencakup tiga macam doa [3]: Pertama, doa mas’alah (doa permintaan), contohnya: “Ya Razzaqu, (Yang Maha Banyak Memberi rezeki) berilah aku rezeki.” Kedua, doa tsana’ (doa pujian) [4], contohnya: “Subhanallah (Mahasuci Allah).” Ketiga, doa ta’abbud (doa beribadah) [5], contohnya: rukuk, sujud, dan lain-lain. Dalam hadis Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن لله تسعة وتسعين اسمًا، مائة إلا واحدًا، من أحصاها دخل الجنة “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (seratus kurang satu). Barangsiapa yang meng-ihsha’-nya, maka dia masuk surga.” Ihsha’ adalah menghafal lafaz 99 asmaul husna, memahami maknanya dan indikasinya, serta mengamalkan tuntutan dan hukum-hukumnya. Wallahu Ta’ala a’lam. الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات Baca juga: Mengenal Hak Allah Ta’ala *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki:  [1] https://www.alukah.net/sharia/0/114103/ [2] Istilah paling bagus adalah seorang hamba berdoa, baik doa ibadah maupun doa mas’alah dengan melaksanakan tuntutan ataupun menyebut nama-nama-Nya yang husna, karena istilah ini ada dalam Al-Quran. Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/135766 [3] Lihat Madarijus Salikin, 1: 420. [4] Pujian hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang memuji Allah, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal pujian tersebut. [5] Beribadah hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang beribadah kepada Allah semata, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal ibadahnya tersebut. Tags: ma'rifatullah
Daftar Isi Toggle Dua tujuan penciptaan manusiaDefinisi ma’rifatullahMacam ma’rifatullahMa’rifatullah secara globalMa’rifatullah secara terperinciUrgensi ma’rifatullahMa’rifatullah sebagai tujuan hidup kitaMa’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnyaMa’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semataContoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat AllahPokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullahBuah ma’rifatullahDefinisi tauhid nama dan sifatSumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-NyaCara beribadah dengan Asma’ul Husna Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Dua tujuan penciptaan manusia Allah Ta’ala menciptakan kita tentulah ada tujuannya. Dan tujuan hidup kita itu disebutkan dalam dua ayat Al-Qur’an Al-Karim, yaitu: Pertama, Ma’rifatullah Hal ini agar kita mengenal siapa Rabb kita melalui nama dan sifat-Nya (QS. Ath-Thalaq: 12). Kedua, ‘Ibadatullah semata (tauhid) Hal ini agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (QS.Adz-Dzariyat: 56). Ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini adalah untuk mengenal Allah dan beribadah serta taat kepada-Nya semata. Definisi ma’rifatullah Definisi ma’rifatullah adalah mengenal Allah dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Macam ma’rifatullah Ma’rifatullah (mengenal Allah) ada dua macam: Ma’rifatullah secara global Yaitu, mengenal Allah yang merupakan dasar iman; sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar; sehingga terjaga kesahan iman. Ma’rifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum, bukan hanya diketahui oleh orang yang taat. Pelaku maksiat pun mengetahuinya. Ma’rifatullah secara terperinci Ma’rifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar bersungguh-sunguh ingin mencintai Allah Ta’ala dengan sempurna. Mereka buktikan dengan berusaha mengenal Allah dengan terperinci. Yaitu, mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sehingga, ia membangun keyakinannya tentang Allah atas dasar dalil. Bahkan, dia mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil tersebut. Sehingga, ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala. Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatannya, batin maupun zahir, bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan, percaya yang kuat kepada Allah, tidak berputus asa dari rahmat Allah, tawakal hati hanya kepada Allah, merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata, mengagungkan Allah dan syariat-Nya, serta rindu berjumpa dengan Allah. Urgensi ma’rifatullah Alasan pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah itu banyak, namun yang terpokok, yaitu: Ma’rifatullah sebagai tujuan hidup kita Hal ini karena kita diciptakan untuk mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata. Ma’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnya Maksudnya ma’rifatullah itu bagian dari iman kepada Allah. Ma’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semata Ibadah kepada Allah semata adalah salah satu dari dua tujuan hidup kita. Dan kualitas ibadah kita dipengaruhi oleh seberapa besar kita mengenal Allah, dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam setiap nama dan sifat-Nya yang kita kenal. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر “Manusia yang paling sempurna peribadatannya adalah orang yang beribadah [2] (kepada Allah semata) dengan melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.” Contoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah Allah Ta’ala itu Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), mencintai orang-orang yang penyayang, maka jadilah orang yang penyayang. Hal ini dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Asy-Syakur (Yang Maha Mensyukuri), mencintai orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya. Maka, jadilah orang yang banyak bersyukur dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Karim (Yang Maha Pemurah), mencintai orang-orang yang dermawan. Maka, jadilah orang yang banyak bersedekah dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan Al-‘Afuwwu (Yang Maha Pemaaf), mencintai orang-orang yang suka memafkan, maka jadilah orang pemaaf. Allah Ta’ala itu Ar-Rafiq (Yang Mahalembut), mencintai orang-orang yang lembut. Maka bersikap lembutlah dan jauhi sikap kasar, dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Baca juga: Apakah Anda Sudah Mengenal Allah? Pokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullah Mengapa demikian? Karena jika kita tahu siapa Allah, niscaya kita akan tahu siapa selain-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu makhluk. (QS. Az-Zumar: 62) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Ar-Razzaq (Yang Maha Banyak Memberi Rezeki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah adalah yang diberi rezeki. (QS. Hud: 6) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Malik (Yang Maha Memiliki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu milik Allah. (QS. Al-Maidah: 17) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu mengetahui, kaya, dan kekal, niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu hakikatnya tidak mengetahui apa-apa (QS. Al-Baqarah: 216), fakir (QS. Fathir: 15), dan semua makhluk itu fana (QS. Ar-Rahman: 26-27). Ringkas kata: “Barangsiapa yang mengetahui Allah, maka ia akan mengetahui hakikat diri hamba itu sendiri. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui Allah, maka ia akan tidak mengetahui hakikat dirinya. Dan barangsiapa yang melupakan Allah, maka ia akan melupakan hamba itu sendiri. Lupa apa yang bermanfaat bagi dirinya, sehingga ia justru melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, namun ia sangka bermanfaat bagi dirinya.” Di antara alasan lain pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah, yaitu: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, asas perbaikan hati dan lahiriah, dan masih banyak alasan lainnya. Buah ma’rifatullah Di antara buah ma’rifatullah adalah mengesakan Allah (tauhidullah), karena dari mengenal nama dan sifat Allah, dapat disimpulkan bahwa Allah Maha Esa dalam kekhususan ketuhanan-Nya. Di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan, berupa nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid Nama dan Sifat). Definisi tauhid nama dan sifat Tauhid nama dan sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah (husna) dan sifat-sifat-Nya yang termulia (ulya)*, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah**, dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya***” Penjelasannya: * Mengesakan Allah Meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah itu Maha Esa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia. Ciri khas nama Allah adalah “Husna” (terindah), yaitu tidak ada nama yang sama, apalagi lebih indah dari nama-Nya, karena nama-Nya mengandung sifat termulia. Ciri khas sifat Allah adalah “’Ulya” (termulia). Yaitu, paling sempurna. Tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya, karena seluruh sifat-Nya Mahasempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun. Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah” Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”. Yaitu, harus ada dalilnya dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, baik dalam itsbat/penetapan maupun nafi/peniadaan. Maka, tidak boleh kita menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-Nya Contoh: Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Maha Mendengar). Maka, berdasarkan definisi Tauhid Nama dan Sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan baik jika meyakini: Pertama: Penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar). Kedua: Penetapan makna (sifat) yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Yaitu, sifat Allah السمع (Mendengar), karena setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya, bukan hanya sekedar nama. Ketiga: Penetapan konsekuensi hukum. Yaitu, Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan. Dan penetapan pengaruh dan tuntutannya atas seorang hamba, yaitu wajibnya khasyah (takut kepada Allah yang didasari ilmu), muraqabah (yakin diawasi oleh Allah), dan haya` (malu) kepada Allah Ta’ala. Dan setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Seperti inilah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cara beribadah dengan Asma’ul Husna Allah Ta’ala berfirman, وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”  (QS. Al-A’raf: 180). Dalam ayat ini, Allah menyeru hamba-hamba-Nya kepada ma’rifatullah, mengenal-Nya, dengan meyakini keberadaan-Nya, mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, memuji-Nya dengan nama dan sifat-Nya, serta berdoa dengan menyebut nama-Nya dan beribadah melaksanakan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya. Jadi, makna firman-Nya: فَادْعُوْهُ بِهَا ”Maka, berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”. Doa dalam ayat ini mencakup tiga macam doa [3]: Pertama, doa mas’alah (doa permintaan), contohnya: “Ya Razzaqu, (Yang Maha Banyak Memberi rezeki) berilah aku rezeki.” Kedua, doa tsana’ (doa pujian) [4], contohnya: “Subhanallah (Mahasuci Allah).” Ketiga, doa ta’abbud (doa beribadah) [5], contohnya: rukuk, sujud, dan lain-lain. Dalam hadis Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن لله تسعة وتسعين اسمًا، مائة إلا واحدًا، من أحصاها دخل الجنة “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (seratus kurang satu). Barangsiapa yang meng-ihsha’-nya, maka dia masuk surga.” Ihsha’ adalah menghafal lafaz 99 asmaul husna, memahami maknanya dan indikasinya, serta mengamalkan tuntutan dan hukum-hukumnya. Wallahu Ta’ala a’lam. الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات Baca juga: Mengenal Hak Allah Ta’ala *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki:  [1] https://www.alukah.net/sharia/0/114103/ [2] Istilah paling bagus adalah seorang hamba berdoa, baik doa ibadah maupun doa mas’alah dengan melaksanakan tuntutan ataupun menyebut nama-nama-Nya yang husna, karena istilah ini ada dalam Al-Quran. Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/135766 [3] Lihat Madarijus Salikin, 1: 420. [4] Pujian hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang memuji Allah, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal pujian tersebut. [5] Beribadah hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang beribadah kepada Allah semata, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal ibadahnya tersebut. Tags: ma'rifatullah


Daftar Isi Toggle Dua tujuan penciptaan manusiaDefinisi ma’rifatullahMacam ma’rifatullahMa’rifatullah secara globalMa’rifatullah secara terperinciUrgensi ma’rifatullahMa’rifatullah sebagai tujuan hidup kitaMa’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnyaMa’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semataContoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat AllahPokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullahBuah ma’rifatullahDefinisi tauhid nama dan sifatSumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-NyaCara beribadah dengan Asma’ul Husna Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du, Dua tujuan penciptaan manusia Allah Ta’ala menciptakan kita tentulah ada tujuannya. Dan tujuan hidup kita itu disebutkan dalam dua ayat Al-Qur’an Al-Karim, yaitu: Pertama, Ma’rifatullah Hal ini agar kita mengenal siapa Rabb kita melalui nama dan sifat-Nya (QS. Ath-Thalaq: 12). Kedua, ‘Ibadatullah semata (tauhid) Hal ini agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (QS.Adz-Dzariyat: 56). Ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini adalah untuk mengenal Allah dan beribadah serta taat kepada-Nya semata. Definisi ma’rifatullah Definisi ma’rifatullah adalah mengenal Allah dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Macam ma’rifatullah Ma’rifatullah (mengenal Allah) ada dua macam: Ma’rifatullah secara global Yaitu, mengenal Allah yang merupakan dasar iman; sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar; sehingga terjaga kesahan iman. Ma’rifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum, bukan hanya diketahui oleh orang yang taat. Pelaku maksiat pun mengetahuinya. Ma’rifatullah secara terperinci Ma’rifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar bersungguh-sunguh ingin mencintai Allah Ta’ala dengan sempurna. Mereka buktikan dengan berusaha mengenal Allah dengan terperinci. Yaitu, mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sehingga, ia membangun keyakinannya tentang Allah atas dasar dalil. Bahkan, dia mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil tersebut. Sehingga, ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala. Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatannya, batin maupun zahir, bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan, percaya yang kuat kepada Allah, tidak berputus asa dari rahmat Allah, tawakal hati hanya kepada Allah, merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata, mengagungkan Allah dan syariat-Nya, serta rindu berjumpa dengan Allah. Urgensi ma’rifatullah Alasan pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah itu banyak, namun yang terpokok, yaitu: Ma’rifatullah sebagai tujuan hidup kita Hal ini karena kita diciptakan untuk mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata. Ma’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnya Maksudnya ma’rifatullah itu bagian dari iman kepada Allah. Ma’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semata Ibadah kepada Allah semata adalah salah satu dari dua tujuan hidup kita. Dan kualitas ibadah kita dipengaruhi oleh seberapa besar kita mengenal Allah, dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam setiap nama dan sifat-Nya yang kita kenal. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر “Manusia yang paling sempurna peribadatannya adalah orang yang beribadah [2] (kepada Allah semata) dengan melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.” Contoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah Allah Ta’ala itu Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), mencintai orang-orang yang penyayang, maka jadilah orang yang penyayang. Hal ini dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Asy-Syakur (Yang Maha Mensyukuri), mencintai orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya. Maka, jadilah orang yang banyak bersyukur dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Karim (Yang Maha Pemurah), mencintai orang-orang yang dermawan. Maka, jadilah orang yang banyak bersedekah dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Allah Ta’ala itu Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan Al-‘Afuwwu (Yang Maha Pemaaf), mencintai orang-orang yang suka memafkan, maka jadilah orang pemaaf. Allah Ta’ala itu Ar-Rafiq (Yang Mahalembut), mencintai orang-orang yang lembut. Maka bersikap lembutlah dan jauhi sikap kasar, dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Baca juga: Apakah Anda Sudah Mengenal Allah? Pokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullah Mengapa demikian? Karena jika kita tahu siapa Allah, niscaya kita akan tahu siapa selain-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu makhluk. (QS. Az-Zumar: 62) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Ar-Razzaq (Yang Maha Banyak Memberi Rezeki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah adalah yang diberi rezeki. (QS. Hud: 6) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Malik (Yang Maha Memiliki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu milik Allah. (QS. Al-Maidah: 17) Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu mengetahui, kaya, dan kekal, niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu hakikatnya tidak mengetahui apa-apa (QS. Al-Baqarah: 216), fakir (QS. Fathir: 15), dan semua makhluk itu fana (QS. Ar-Rahman: 26-27). Ringkas kata: “Barangsiapa yang mengetahui Allah, maka ia akan mengetahui hakikat diri hamba itu sendiri. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui Allah, maka ia akan tidak mengetahui hakikat dirinya. Dan barangsiapa yang melupakan Allah, maka ia akan melupakan hamba itu sendiri. Lupa apa yang bermanfaat bagi dirinya, sehingga ia justru melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, namun ia sangka bermanfaat bagi dirinya.” Di antara alasan lain pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah, yaitu: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, asas perbaikan hati dan lahiriah, dan masih banyak alasan lainnya. Buah ma’rifatullah Di antara buah ma’rifatullah adalah mengesakan Allah (tauhidullah), karena dari mengenal nama dan sifat Allah, dapat disimpulkan bahwa Allah Maha Esa dalam kekhususan ketuhanan-Nya. Di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan, berupa nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid Nama dan Sifat). Definisi tauhid nama dan sifat Tauhid nama dan sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah (husna) dan sifat-sifat-Nya yang termulia (ulya)*, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah**, dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya***” Penjelasannya: * Mengesakan Allah Meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah itu Maha Esa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia. Ciri khas nama Allah adalah “Husna” (terindah), yaitu tidak ada nama yang sama, apalagi lebih indah dari nama-Nya, karena nama-Nya mengandung sifat termulia. Ciri khas sifat Allah adalah “’Ulya” (termulia). Yaitu, paling sempurna. Tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya, karena seluruh sifat-Nya Mahasempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun. Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah” Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”. Yaitu, harus ada dalilnya dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, baik dalam itsbat/penetapan maupun nafi/peniadaan. Maka, tidak boleh kita menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-Nya Contoh: Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Maha Mendengar). Maka, berdasarkan definisi Tauhid Nama dan Sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan baik jika meyakini: Pertama: Penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar). Kedua: Penetapan makna (sifat) yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Yaitu, sifat Allah السمع (Mendengar), karena setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya, bukan hanya sekedar nama. Ketiga: Penetapan konsekuensi hukum. Yaitu, Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan. Dan penetapan pengaruh dan tuntutannya atas seorang hamba, yaitu wajibnya khasyah (takut kepada Allah yang didasari ilmu), muraqabah (yakin diawasi oleh Allah), dan haya` (malu) kepada Allah Ta’ala. Dan setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Seperti inilah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cara beribadah dengan Asma’ul Husna Allah Ta’ala berfirman, وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”  (QS. Al-A’raf: 180). Dalam ayat ini, Allah menyeru hamba-hamba-Nya kepada ma’rifatullah, mengenal-Nya, dengan meyakini keberadaan-Nya, mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, memuji-Nya dengan nama dan sifat-Nya, serta berdoa dengan menyebut nama-Nya dan beribadah melaksanakan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya. Jadi, makna firman-Nya: فَادْعُوْهُ بِهَا ”Maka, berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”. Doa dalam ayat ini mencakup tiga macam doa [3]: Pertama, doa mas’alah (doa permintaan), contohnya: “Ya Razzaqu, (Yang Maha Banyak Memberi rezeki) berilah aku rezeki.” Kedua, doa tsana’ (doa pujian) [4], contohnya: “Subhanallah (Mahasuci Allah).” Ketiga, doa ta’abbud (doa beribadah) [5], contohnya: rukuk, sujud, dan lain-lain. Dalam hadis Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن لله تسعة وتسعين اسمًا، مائة إلا واحدًا، من أحصاها دخل الجنة “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (seratus kurang satu). Barangsiapa yang meng-ihsha’-nya, maka dia masuk surga.” Ihsha’ adalah menghafal lafaz 99 asmaul husna, memahami maknanya dan indikasinya, serta mengamalkan tuntutan dan hukum-hukumnya. Wallahu Ta’ala a’lam. الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات Baca juga: Mengenal Hak Allah Ta’ala *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki:  [1] https://www.alukah.net/sharia/0/114103/ [2] Istilah paling bagus adalah seorang hamba berdoa, baik doa ibadah maupun doa mas’alah dengan melaksanakan tuntutan ataupun menyebut nama-nama-Nya yang husna, karena istilah ini ada dalam Al-Quran. Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/135766 [3] Lihat Madarijus Salikin, 1: 420. [4] Pujian hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang memuji Allah, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal pujian tersebut. [5] Beribadah hakikatnya adalah doa. Karena setiap hamba yang beribadah kepada Allah semata, hakikatnya adalah berdoa agar Allah menerima amal ibadahnya tersebut. Tags: ma'rifatullah

ALLAHU AKBAR KABIRO: DOA IFTITAH PEMBUKA PINTU LANGIT #yufidtv #asmaulhusna #doaiftitah

Ada seseorang yang bertakbir di belakang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamkemudian membaca: ALLAAHU AKBAR KABIIROO(Allah Maha Besar sebesar-besarnya), WALHAMDULILLAAHI KATSIIROO(hanya bagi-Nya pujian sebanyak-banyaknya), WASUBHAANALLAAHI BUKROTAW WA ASHIILAA(dan Maha Suci Allah di pagi dan petang). Setelah salat, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya tentang siapa yang mengucapkannya. Ketika orang yang mengucapkannya mengaku, Nabi bersabda, “Aku kagum dengan doa itu,karena dengan doa itu pintu-pintu langit terbuka.” Hadis ini termaktub dalam Sahih Muslim. ==== أَنَّ رَجُلًا كَبَّرَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّه كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيلًا فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصَّلَاةِ عَنْ هَذَا الْقَائِلِ فَلَمَّا أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ قَالَ: عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَالْحَدِيثُ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ

ALLAHU AKBAR KABIRO: DOA IFTITAH PEMBUKA PINTU LANGIT #yufidtv #asmaulhusna #doaiftitah

Ada seseorang yang bertakbir di belakang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamkemudian membaca: ALLAAHU AKBAR KABIIROO(Allah Maha Besar sebesar-besarnya), WALHAMDULILLAAHI KATSIIROO(hanya bagi-Nya pujian sebanyak-banyaknya), WASUBHAANALLAAHI BUKROTAW WA ASHIILAA(dan Maha Suci Allah di pagi dan petang). Setelah salat, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya tentang siapa yang mengucapkannya. Ketika orang yang mengucapkannya mengaku, Nabi bersabda, “Aku kagum dengan doa itu,karena dengan doa itu pintu-pintu langit terbuka.” Hadis ini termaktub dalam Sahih Muslim. ==== أَنَّ رَجُلًا كَبَّرَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّه كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيلًا فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصَّلَاةِ عَنْ هَذَا الْقَائِلِ فَلَمَّا أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ قَالَ: عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَالْحَدِيثُ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ
Ada seseorang yang bertakbir di belakang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamkemudian membaca: ALLAAHU AKBAR KABIIROO(Allah Maha Besar sebesar-besarnya), WALHAMDULILLAAHI KATSIIROO(hanya bagi-Nya pujian sebanyak-banyaknya), WASUBHAANALLAAHI BUKROTAW WA ASHIILAA(dan Maha Suci Allah di pagi dan petang). Setelah salat, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya tentang siapa yang mengucapkannya. Ketika orang yang mengucapkannya mengaku, Nabi bersabda, “Aku kagum dengan doa itu,karena dengan doa itu pintu-pintu langit terbuka.” Hadis ini termaktub dalam Sahih Muslim. ==== أَنَّ رَجُلًا كَبَّرَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّه كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيلًا فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصَّلَاةِ عَنْ هَذَا الْقَائِلِ فَلَمَّا أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ قَالَ: عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَالْحَدِيثُ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ


Ada seseorang yang bertakbir di belakang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallamkemudian membaca: ALLAAHU AKBAR KABIIROO(Allah Maha Besar sebesar-besarnya), WALHAMDULILLAAHI KATSIIROO(hanya bagi-Nya pujian sebanyak-banyaknya), WASUBHAANALLAAHI BUKROTAW WA ASHIILAA(dan Maha Suci Allah di pagi dan petang). Setelah salat, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya tentang siapa yang mengucapkannya. Ketika orang yang mengucapkannya mengaku, Nabi bersabda, “Aku kagum dengan doa itu,karena dengan doa itu pintu-pintu langit terbuka.” Hadis ini termaktub dalam Sahih Muslim. ==== أَنَّ رَجُلًا كَبَّرَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّه كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيلًا فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصَّلَاةِ عَنْ هَذَا الْقَائِلِ فَلَمَّا أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ قَالَ: عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَالْحَدِيثُ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ

Hadis: Faedah dari Hadis Pengutusan Mu’adz ke Negeri Yaman

Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى اليَمَنِ، فَقَالَ: ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau berkata, ‘Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah, kecuali Allah; dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka salat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) Faedah hadis Faedah pertama, hadis tersebut merupakan dalil tentang disyariatkannya mengirim juru dakwah (da’i) yang mengajak kepada Islam ke seluruh penjuru dunia. Hal ini bertujuan untuk menyebarkan agama Islam, dan untuk mengajarkan kaum muslimin tentang syariat dan hukum-hukum Islam. Faedah kedua, hadis tersebut merupakan dalil bahwa dakwah itu hendaknya dimulai dari materi yang paling penting, kemudian materi penting berikutnya. Tidaklah seorang da’i berpindah ke materi dakwah selanjutnya, kecuali apabila masyarakat yang didakwahi sudah memahami dan melaksanakan materi dakwah sebelumnya. Di dalam hadis tersebut disebutkan urutan materi dakwah, yaitu: Urutan pertama, dakwah kepada syahadat lailahaillallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah kewajiban yang paling besar dan paling agung. Syahadat merupakan pokok yang melandasi urusan agama yang lainnya. Seluruh ibadah tidaklah sah tanpa syahadat. Urutan kedua, dakwah untuk mengajak mendirikan salat lima waktu. Salat lima waktu merupakan ibadah badan yang paling utama. Urutan ketiga, dakwah untuk mengajak menunaikan zakat. Zakat merupakan ibadah harta yang paling utama. Di dalam hadis di atas, tidak disebutkan ibadah puasa dan haji, padahal kedua ibadah tersebut merupakan rukun Islam. Penjelasan yang paling bagus, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa pengutusan Mu’adz tersebut terjadi pada bulan Rabiulawal tahun 10 hijriyah, sehingga belum waktunya menunaikan ibadah puasa dan haji. Sehingga, dakwah kepada dua ibadah tersebut ditunda sampai waktunya tiba. Hal ini agar iman itu benar-benar menancap di dada-dada kaum muslimin yang menerima dakwah Mu’adz, sehingga menjadi mudah dan ringan bagi mereka untuk melaksanakan kedua macam ibadah tersebut. Baca juga: Tidak Berhasil Dakwah Secara Umum, Tanpa Diiringi Dakwah Tauhid Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bolehnya mendistribusikan zakat ke salah satu golongan penerima zakat saja dari delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Pendapat jumhur ulama ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 273) Di dalam ayat tersebut, hanya disebutkan satu golongan saja, yaitu orang-orang fakir. Jika kata “sedekah” disebutkan begitu saja dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, maka yang dimaksud adalah sedekah wajib atau zakat. Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wajib mendistribusikan zakat ke delapan golongan penerima zakat. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus (amil) zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60) Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama. Adapun ayat ke-60 dari surah At-Taubah tersebut menjelaskan bahwa zakat itu untuk delapan golongan penerima zakat yang disebutkan. Jika delapan golongan itu harus diberi semua, maka ini akan menyulitkan panitia (amil) zakat. Karena belum tentu delapan golongan penerima zakat itu semuanya ada di negeri mereka. Dan jika harus dibagi ke delapan golongan itu, tentu jatah zakat yang diterima akan menjadi kecil, dan tidak bisa mencapai tujuan dari pemberian harta zakat. Faedah keempat, hadis tersebut juga merupakan dalil untuk ulama yang mengatakan bahwa tidak boleh mendistribusikan (menyalurkan) harta zakat dari satu negeri (yaitu, negeri asal) ke negeri yang lain. (Lihat Al-Mughni, 4: 131; Al-Mubdi’, 2: 407-408) Hal ini karena pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, عَلَى فُقَرَائِهِمْ Maksudnya, kepada orang fakir penduduk Yaman. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut merujuk kepada kaum muslimin di negeri Yaman. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut kembali ke orang-orang fakir dari kaum muslimin secara umum, maka ini tidak ada dalilnya. Para ulama yang berpendapat tidak boleh memindah harta zakat dari satu negeri ke negeri yang lain tersebut mengatakan bahwa maksud dari pendistribusian harta zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir. Jika boleh dipindahkan (disalurkan) ke negeri yang lain, maka orang-orang fakir di negeri asal akan tetap belum tercukupi kebutuhannya. Adapun pendapat kedua menyatakan bolehnya mendistribusikan zakat ke luar daerah asal karena adanya suatu maslahat yang dinilai lebih besar jika dibandingkan dengan didistribusikan di negeri asal. Misalnya, jika orang-orang fakir di daerah tujuan itu lebih membutuhkan, atau karena ada kerabat di daerah lain yang lebih membutuhkan, atau jika di luar daerah tersebut ada penuntut ilmu syar’i yang lebih membutuhkan harta zakat, atau maslahat-maslahat lainnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Ikhtiyar, 1: 122; Syarh Fathul Qadir, 2: 279; Al-Muhadzdzab, 1: 234; Al-Ifshah, 1: 228) Pendapat jumhur ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini karena Allah Ta’ala mengatakan dalam surah At-Taubah ayat 60 yang sudah disebutkan di atas, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء … “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir …”; yaitu untuk mereka di mana saja. Pendapat ini juga didukung oleh hadis dari Qabishah bin Mukhariq. Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا، فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا “Aku pernah menanggung utang (untuk mendamaikan dua kabilah yang saling sengketa). Lalu, aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta bantuan beliau untuk membayarnya. Beliau menjawab, ‘Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu.’” (HR. Muslim 1044) Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu”, mencakup zakat yang datang dari dalam kota Madinah sendiri atau yang datang dari luar kota Madinah. Hal ini karena pada masa itu, para petugas zakat kembali ke kota Madinah setelah mengambil zakat, termasuk dari luar kota Madinah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendistribusikan zakat tersebut sesuai dengan maslahat yang beliau lihat. Pendapat jumhur ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Sesungguhnya membatasi mendistribusikan zakat ke daerah sejauh jarak boleh mengqashar salat itu tidak didukung oleh dalil syar’i.” (Al-Ikhtiyarat, hal. 99) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Dakwah Tauhid Kepada Keluarga *** @Rumah Bekelan, 11 Jumadilawal 1445/ 25 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 391-393). Tags: Mu'adzyaman

Hadis: Faedah dari Hadis Pengutusan Mu’adz ke Negeri Yaman

Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى اليَمَنِ، فَقَالَ: ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau berkata, ‘Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah, kecuali Allah; dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka salat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) Faedah hadis Faedah pertama, hadis tersebut merupakan dalil tentang disyariatkannya mengirim juru dakwah (da’i) yang mengajak kepada Islam ke seluruh penjuru dunia. Hal ini bertujuan untuk menyebarkan agama Islam, dan untuk mengajarkan kaum muslimin tentang syariat dan hukum-hukum Islam. Faedah kedua, hadis tersebut merupakan dalil bahwa dakwah itu hendaknya dimulai dari materi yang paling penting, kemudian materi penting berikutnya. Tidaklah seorang da’i berpindah ke materi dakwah selanjutnya, kecuali apabila masyarakat yang didakwahi sudah memahami dan melaksanakan materi dakwah sebelumnya. Di dalam hadis tersebut disebutkan urutan materi dakwah, yaitu: Urutan pertama, dakwah kepada syahadat lailahaillallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah kewajiban yang paling besar dan paling agung. Syahadat merupakan pokok yang melandasi urusan agama yang lainnya. Seluruh ibadah tidaklah sah tanpa syahadat. Urutan kedua, dakwah untuk mengajak mendirikan salat lima waktu. Salat lima waktu merupakan ibadah badan yang paling utama. Urutan ketiga, dakwah untuk mengajak menunaikan zakat. Zakat merupakan ibadah harta yang paling utama. Di dalam hadis di atas, tidak disebutkan ibadah puasa dan haji, padahal kedua ibadah tersebut merupakan rukun Islam. Penjelasan yang paling bagus, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa pengutusan Mu’adz tersebut terjadi pada bulan Rabiulawal tahun 10 hijriyah, sehingga belum waktunya menunaikan ibadah puasa dan haji. Sehingga, dakwah kepada dua ibadah tersebut ditunda sampai waktunya tiba. Hal ini agar iman itu benar-benar menancap di dada-dada kaum muslimin yang menerima dakwah Mu’adz, sehingga menjadi mudah dan ringan bagi mereka untuk melaksanakan kedua macam ibadah tersebut. Baca juga: Tidak Berhasil Dakwah Secara Umum, Tanpa Diiringi Dakwah Tauhid Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bolehnya mendistribusikan zakat ke salah satu golongan penerima zakat saja dari delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Pendapat jumhur ulama ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 273) Di dalam ayat tersebut, hanya disebutkan satu golongan saja, yaitu orang-orang fakir. Jika kata “sedekah” disebutkan begitu saja dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, maka yang dimaksud adalah sedekah wajib atau zakat. Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wajib mendistribusikan zakat ke delapan golongan penerima zakat. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus (amil) zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60) Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama. Adapun ayat ke-60 dari surah At-Taubah tersebut menjelaskan bahwa zakat itu untuk delapan golongan penerima zakat yang disebutkan. Jika delapan golongan itu harus diberi semua, maka ini akan menyulitkan panitia (amil) zakat. Karena belum tentu delapan golongan penerima zakat itu semuanya ada di negeri mereka. Dan jika harus dibagi ke delapan golongan itu, tentu jatah zakat yang diterima akan menjadi kecil, dan tidak bisa mencapai tujuan dari pemberian harta zakat. Faedah keempat, hadis tersebut juga merupakan dalil untuk ulama yang mengatakan bahwa tidak boleh mendistribusikan (menyalurkan) harta zakat dari satu negeri (yaitu, negeri asal) ke negeri yang lain. (Lihat Al-Mughni, 4: 131; Al-Mubdi’, 2: 407-408) Hal ini karena pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, عَلَى فُقَرَائِهِمْ Maksudnya, kepada orang fakir penduduk Yaman. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut merujuk kepada kaum muslimin di negeri Yaman. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut kembali ke orang-orang fakir dari kaum muslimin secara umum, maka ini tidak ada dalilnya. Para ulama yang berpendapat tidak boleh memindah harta zakat dari satu negeri ke negeri yang lain tersebut mengatakan bahwa maksud dari pendistribusian harta zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir. Jika boleh dipindahkan (disalurkan) ke negeri yang lain, maka orang-orang fakir di negeri asal akan tetap belum tercukupi kebutuhannya. Adapun pendapat kedua menyatakan bolehnya mendistribusikan zakat ke luar daerah asal karena adanya suatu maslahat yang dinilai lebih besar jika dibandingkan dengan didistribusikan di negeri asal. Misalnya, jika orang-orang fakir di daerah tujuan itu lebih membutuhkan, atau karena ada kerabat di daerah lain yang lebih membutuhkan, atau jika di luar daerah tersebut ada penuntut ilmu syar’i yang lebih membutuhkan harta zakat, atau maslahat-maslahat lainnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Ikhtiyar, 1: 122; Syarh Fathul Qadir, 2: 279; Al-Muhadzdzab, 1: 234; Al-Ifshah, 1: 228) Pendapat jumhur ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini karena Allah Ta’ala mengatakan dalam surah At-Taubah ayat 60 yang sudah disebutkan di atas, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء … “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir …”; yaitu untuk mereka di mana saja. Pendapat ini juga didukung oleh hadis dari Qabishah bin Mukhariq. Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا، فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا “Aku pernah menanggung utang (untuk mendamaikan dua kabilah yang saling sengketa). Lalu, aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta bantuan beliau untuk membayarnya. Beliau menjawab, ‘Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu.’” (HR. Muslim 1044) Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu”, mencakup zakat yang datang dari dalam kota Madinah sendiri atau yang datang dari luar kota Madinah. Hal ini karena pada masa itu, para petugas zakat kembali ke kota Madinah setelah mengambil zakat, termasuk dari luar kota Madinah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendistribusikan zakat tersebut sesuai dengan maslahat yang beliau lihat. Pendapat jumhur ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Sesungguhnya membatasi mendistribusikan zakat ke daerah sejauh jarak boleh mengqashar salat itu tidak didukung oleh dalil syar’i.” (Al-Ikhtiyarat, hal. 99) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Dakwah Tauhid Kepada Keluarga *** @Rumah Bekelan, 11 Jumadilawal 1445/ 25 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 391-393). Tags: Mu'adzyaman
Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى اليَمَنِ، فَقَالَ: ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau berkata, ‘Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah, kecuali Allah; dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka salat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) Faedah hadis Faedah pertama, hadis tersebut merupakan dalil tentang disyariatkannya mengirim juru dakwah (da’i) yang mengajak kepada Islam ke seluruh penjuru dunia. Hal ini bertujuan untuk menyebarkan agama Islam, dan untuk mengajarkan kaum muslimin tentang syariat dan hukum-hukum Islam. Faedah kedua, hadis tersebut merupakan dalil bahwa dakwah itu hendaknya dimulai dari materi yang paling penting, kemudian materi penting berikutnya. Tidaklah seorang da’i berpindah ke materi dakwah selanjutnya, kecuali apabila masyarakat yang didakwahi sudah memahami dan melaksanakan materi dakwah sebelumnya. Di dalam hadis tersebut disebutkan urutan materi dakwah, yaitu: Urutan pertama, dakwah kepada syahadat lailahaillallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah kewajiban yang paling besar dan paling agung. Syahadat merupakan pokok yang melandasi urusan agama yang lainnya. Seluruh ibadah tidaklah sah tanpa syahadat. Urutan kedua, dakwah untuk mengajak mendirikan salat lima waktu. Salat lima waktu merupakan ibadah badan yang paling utama. Urutan ketiga, dakwah untuk mengajak menunaikan zakat. Zakat merupakan ibadah harta yang paling utama. Di dalam hadis di atas, tidak disebutkan ibadah puasa dan haji, padahal kedua ibadah tersebut merupakan rukun Islam. Penjelasan yang paling bagus, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa pengutusan Mu’adz tersebut terjadi pada bulan Rabiulawal tahun 10 hijriyah, sehingga belum waktunya menunaikan ibadah puasa dan haji. Sehingga, dakwah kepada dua ibadah tersebut ditunda sampai waktunya tiba. Hal ini agar iman itu benar-benar menancap di dada-dada kaum muslimin yang menerima dakwah Mu’adz, sehingga menjadi mudah dan ringan bagi mereka untuk melaksanakan kedua macam ibadah tersebut. Baca juga: Tidak Berhasil Dakwah Secara Umum, Tanpa Diiringi Dakwah Tauhid Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bolehnya mendistribusikan zakat ke salah satu golongan penerima zakat saja dari delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Pendapat jumhur ulama ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 273) Di dalam ayat tersebut, hanya disebutkan satu golongan saja, yaitu orang-orang fakir. Jika kata “sedekah” disebutkan begitu saja dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, maka yang dimaksud adalah sedekah wajib atau zakat. Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wajib mendistribusikan zakat ke delapan golongan penerima zakat. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus (amil) zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60) Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama. Adapun ayat ke-60 dari surah At-Taubah tersebut menjelaskan bahwa zakat itu untuk delapan golongan penerima zakat yang disebutkan. Jika delapan golongan itu harus diberi semua, maka ini akan menyulitkan panitia (amil) zakat. Karena belum tentu delapan golongan penerima zakat itu semuanya ada di negeri mereka. Dan jika harus dibagi ke delapan golongan itu, tentu jatah zakat yang diterima akan menjadi kecil, dan tidak bisa mencapai tujuan dari pemberian harta zakat. Faedah keempat, hadis tersebut juga merupakan dalil untuk ulama yang mengatakan bahwa tidak boleh mendistribusikan (menyalurkan) harta zakat dari satu negeri (yaitu, negeri asal) ke negeri yang lain. (Lihat Al-Mughni, 4: 131; Al-Mubdi’, 2: 407-408) Hal ini karena pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, عَلَى فُقَرَائِهِمْ Maksudnya, kepada orang fakir penduduk Yaman. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut merujuk kepada kaum muslimin di negeri Yaman. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut kembali ke orang-orang fakir dari kaum muslimin secara umum, maka ini tidak ada dalilnya. Para ulama yang berpendapat tidak boleh memindah harta zakat dari satu negeri ke negeri yang lain tersebut mengatakan bahwa maksud dari pendistribusian harta zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir. Jika boleh dipindahkan (disalurkan) ke negeri yang lain, maka orang-orang fakir di negeri asal akan tetap belum tercukupi kebutuhannya. Adapun pendapat kedua menyatakan bolehnya mendistribusikan zakat ke luar daerah asal karena adanya suatu maslahat yang dinilai lebih besar jika dibandingkan dengan didistribusikan di negeri asal. Misalnya, jika orang-orang fakir di daerah tujuan itu lebih membutuhkan, atau karena ada kerabat di daerah lain yang lebih membutuhkan, atau jika di luar daerah tersebut ada penuntut ilmu syar’i yang lebih membutuhkan harta zakat, atau maslahat-maslahat lainnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Ikhtiyar, 1: 122; Syarh Fathul Qadir, 2: 279; Al-Muhadzdzab, 1: 234; Al-Ifshah, 1: 228) Pendapat jumhur ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini karena Allah Ta’ala mengatakan dalam surah At-Taubah ayat 60 yang sudah disebutkan di atas, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء … “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir …”; yaitu untuk mereka di mana saja. Pendapat ini juga didukung oleh hadis dari Qabishah bin Mukhariq. Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا، فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا “Aku pernah menanggung utang (untuk mendamaikan dua kabilah yang saling sengketa). Lalu, aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta bantuan beliau untuk membayarnya. Beliau menjawab, ‘Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu.’” (HR. Muslim 1044) Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu”, mencakup zakat yang datang dari dalam kota Madinah sendiri atau yang datang dari luar kota Madinah. Hal ini karena pada masa itu, para petugas zakat kembali ke kota Madinah setelah mengambil zakat, termasuk dari luar kota Madinah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendistribusikan zakat tersebut sesuai dengan maslahat yang beliau lihat. Pendapat jumhur ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Sesungguhnya membatasi mendistribusikan zakat ke daerah sejauh jarak boleh mengqashar salat itu tidak didukung oleh dalil syar’i.” (Al-Ikhtiyarat, hal. 99) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Dakwah Tauhid Kepada Keluarga *** @Rumah Bekelan, 11 Jumadilawal 1445/ 25 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 391-393). Tags: Mu'adzyaman


Daftar Isi Toggle Teks hadisFaedah hadis Teks hadis Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى اليَمَنِ، فَقَالَ: ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau berkata, ‘Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah, kecuali Allah; dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka salat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) Faedah hadis Faedah pertama, hadis tersebut merupakan dalil tentang disyariatkannya mengirim juru dakwah (da’i) yang mengajak kepada Islam ke seluruh penjuru dunia. Hal ini bertujuan untuk menyebarkan agama Islam, dan untuk mengajarkan kaum muslimin tentang syariat dan hukum-hukum Islam. Faedah kedua, hadis tersebut merupakan dalil bahwa dakwah itu hendaknya dimulai dari materi yang paling penting, kemudian materi penting berikutnya. Tidaklah seorang da’i berpindah ke materi dakwah selanjutnya, kecuali apabila masyarakat yang didakwahi sudah memahami dan melaksanakan materi dakwah sebelumnya. Di dalam hadis tersebut disebutkan urutan materi dakwah, yaitu: Urutan pertama, dakwah kepada syahadat lailahaillallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah kewajiban yang paling besar dan paling agung. Syahadat merupakan pokok yang melandasi urusan agama yang lainnya. Seluruh ibadah tidaklah sah tanpa syahadat. Urutan kedua, dakwah untuk mengajak mendirikan salat lima waktu. Salat lima waktu merupakan ibadah badan yang paling utama. Urutan ketiga, dakwah untuk mengajak menunaikan zakat. Zakat merupakan ibadah harta yang paling utama. Di dalam hadis di atas, tidak disebutkan ibadah puasa dan haji, padahal kedua ibadah tersebut merupakan rukun Islam. Penjelasan yang paling bagus, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa pengutusan Mu’adz tersebut terjadi pada bulan Rabiulawal tahun 10 hijriyah, sehingga belum waktunya menunaikan ibadah puasa dan haji. Sehingga, dakwah kepada dua ibadah tersebut ditunda sampai waktunya tiba. Hal ini agar iman itu benar-benar menancap di dada-dada kaum muslimin yang menerima dakwah Mu’adz, sehingga menjadi mudah dan ringan bagi mereka untuk melaksanakan kedua macam ibadah tersebut. Baca juga: Tidak Berhasil Dakwah Secara Umum, Tanpa Diiringi Dakwah Tauhid Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bolehnya mendistribusikan zakat ke salah satu golongan penerima zakat saja dari delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Pendapat jumhur ulama ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 273) Di dalam ayat tersebut, hanya disebutkan satu golongan saja, yaitu orang-orang fakir. Jika kata “sedekah” disebutkan begitu saja dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, maka yang dimaksud adalah sedekah wajib atau zakat. Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wajib mendistribusikan zakat ke delapan golongan penerima zakat. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus (amil) zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60) Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama. Adapun ayat ke-60 dari surah At-Taubah tersebut menjelaskan bahwa zakat itu untuk delapan golongan penerima zakat yang disebutkan. Jika delapan golongan itu harus diberi semua, maka ini akan menyulitkan panitia (amil) zakat. Karena belum tentu delapan golongan penerima zakat itu semuanya ada di negeri mereka. Dan jika harus dibagi ke delapan golongan itu, tentu jatah zakat yang diterima akan menjadi kecil, dan tidak bisa mencapai tujuan dari pemberian harta zakat. Faedah keempat, hadis tersebut juga merupakan dalil untuk ulama yang mengatakan bahwa tidak boleh mendistribusikan (menyalurkan) harta zakat dari satu negeri (yaitu, negeri asal) ke negeri yang lain. (Lihat Al-Mughni, 4: 131; Al-Mubdi’, 2: 407-408) Hal ini karena pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, عَلَى فُقَرَائِهِمْ Maksudnya, kepada orang fakir penduduk Yaman. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut merujuk kepada kaum muslimin di negeri Yaman. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa kata ganti jamak tersebut kembali ke orang-orang fakir dari kaum muslimin secara umum, maka ini tidak ada dalilnya. Para ulama yang berpendapat tidak boleh memindah harta zakat dari satu negeri ke negeri yang lain tersebut mengatakan bahwa maksud dari pendistribusian harta zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir. Jika boleh dipindahkan (disalurkan) ke negeri yang lain, maka orang-orang fakir di negeri asal akan tetap belum tercukupi kebutuhannya. Adapun pendapat kedua menyatakan bolehnya mendistribusikan zakat ke luar daerah asal karena adanya suatu maslahat yang dinilai lebih besar jika dibandingkan dengan didistribusikan di negeri asal. Misalnya, jika orang-orang fakir di daerah tujuan itu lebih membutuhkan, atau karena ada kerabat di daerah lain yang lebih membutuhkan, atau jika di luar daerah tersebut ada penuntut ilmu syar’i yang lebih membutuhkan harta zakat, atau maslahat-maslahat lainnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Ikhtiyar, 1: 122; Syarh Fathul Qadir, 2: 279; Al-Muhadzdzab, 1: 234; Al-Ifshah, 1: 228) Pendapat jumhur ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini karena Allah Ta’ala mengatakan dalam surah At-Taubah ayat 60 yang sudah disebutkan di atas, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء … “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir …”; yaitu untuk mereka di mana saja. Pendapat ini juga didukung oleh hadis dari Qabishah bin Mukhariq. Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا، فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا “Aku pernah menanggung utang (untuk mendamaikan dua kabilah yang saling sengketa). Lalu, aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta bantuan beliau untuk membayarnya. Beliau menjawab, ‘Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu.’” (HR. Muslim 1044) Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu”, mencakup zakat yang datang dari dalam kota Madinah sendiri atau yang datang dari luar kota Madinah. Hal ini karena pada masa itu, para petugas zakat kembali ke kota Madinah setelah mengambil zakat, termasuk dari luar kota Madinah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendistribusikan zakat tersebut sesuai dengan maslahat yang beliau lihat. Pendapat jumhur ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Sesungguhnya membatasi mendistribusikan zakat ke daerah sejauh jarak boleh mengqashar salat itu tidak didukung oleh dalil syar’i.” (Al-Ikhtiyarat, hal. 99) Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Dakwah Tauhid Kepada Keluarga *** @Rumah Bekelan, 11 Jumadilawal 1445/ 25 November 2023 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 391-393). Tags: Mu'adzyaman

Sunatullah: Balasan Sesuai Perbuatan

Daftar Isi Toggle Pertama, balasan perbuatan baik di duniaKedua, balasan perbuatan baik di akhiratKetiga, balasan perbuatan buruk di duniaKeempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Ketika Allah menciptakan alam semesta ini, maka Allah juga membuat ketetapan-ketetapan yang berlaku di alam semesta tersebut agar segala sesuatu di dalamnya berjalan dengan baik. Ketetapan-ketetapan Allah tersebut tidak akan berubah sampai kapan pun. Hal ini yang disebut sebagai sunatullah. Allah Ta’ala berfirman, سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا “Sebagai sunatullah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunatullah.” (QS. Al-Ahzab: 62) Ada banyak sunatullah. Misalnya ‘setiap yang bernyawa pasti mati’ (QS. Al-Imran: 185), ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ (QS. An-Najm: 31), ‘bersama kesulitan ada kemudahan’ (QS. Al-Insyirah: 5- 6), dan sebagainya. Pada artikel kali ini, kita akan membahas salah satu sunatullah, yaitu الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ (al-jaza’ min jinsil ‘amal, artinya balasan sesuai dengan perbuatan). Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ لِيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَسَٰٓـُٔوا۟ بِمَا عَمِلُوا۟ وَيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ بِٱلْحُسْنَى “Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31) Dalam firman-Nya yang lain, فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 7-8) Kalimat ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ mencakup balasan atas kebaikan yang dilakukan dan keburukan yang dilakukan, baik balasan di dunia maupun di akhirat. Berikut penjelasannya. Pertama, balasan perbuatan baik di dunia Allah Ta’ala sudah menetapkan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan baik, akan mendapatkan balasan atas kebaikannya di dunia sebelum di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat baik memperoleh balasan kebaikan di dunia.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga berfirman, هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ “Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60) Ketika seseorang menjalankan ibadah zikir dan salat, maka Allah balas dengan memberikan ketenangan jiwa bagi orang-orang yang rajin berzikir dan menegakkan salat sebelum di akhirat dibalas dengan kebaikan yang banyak. الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ. “Dijadikan kesenanganku dari dunia berupa wanita dan minyak wangi. Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam ibadah salat.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad) Demikian juga, dengan perbuatan baik lainnya, semisal silaturahim. Di dunia, Allah balas orang yang senantiasa bersilaturahim dengan rezeki yang lapang dan umur yang panjang serta diberkahi. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahimnya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari) Kedua, balasan perbuatan baik di akhirat Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Dari ayat di atas, balasan yang akan Allah berikan di akhirat nanti jauh lebih istimewa daripada amal yang dikerjakan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ “Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10 kali sampai 700 kali kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis satu keburukan.” (HR. Muslim) Maksud hadis “baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat”, bukan untuk pembatasan. Karena Allah Ta’ala akan melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan dari sisi-Nya apa yang tak terhitung dan tak terhingga, bahkan berkali-kali lipat. Baca juga: Keyakinan Tentang Hari Pembalasan Ketiga, balasan perbuatan buruk di dunia Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ “Barangsiapa yang memberikan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan mudarat kepadanya. Barangsiapa yang memberikan kesulitan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya.” (HR. Ahmad no. 15755, Abu Dawud no. 3635, At-Tirmidzi no. 1940, dan Ibnu Majah no. 2342) Beliau juga bersabda, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته ومن تتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas di lisannya, namun belum sampai menyentuh kalbunya! Jangan kalian membicarakan kekurangan seorang muslim! Jangan pula mengorek-ngorek aib mereka! Barangsiapa yang berupaya mencari-cari aib saudaranya muslim, Allah pasti akan membalas dengan mengorek aibnya. Siapa saja yang Allah korek aibnya, maka Allah akan sebarkan segala aibnya walaupun berada di dalam lobang atau kamar rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi) Tidak hanya perbuatan buruk yang berhubungan dengan manusia saja yang akan dibalas. Seseorang yang malas beribadah dan jauh dari mengingat Allah, maka akan diberikan rasa sempit dalam dadanya, depresi, pendendam, suka emosi, dan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Taha: 124) Terkadang, Allah juga mengirimkan berbagai musibah dan bencana sebagai balasan atas keburukan yang manusia kerjakan. Musibah-musibah yang terjadi adalah akibat dosa-dosa yang diperbuat anak Adam. Allah Ta’ala berfirman,  وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, tobat).” (QS. Ar-Rum: 41) Bahkan, kaum-kaum terdahulu Allah balas di dunia dengan azab yang mengerikan seperti kisah bani Israil yang diubah menjadi monyet (QS. Al-Baqarah: 65), kisah kaum Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Luth, Nabi Nuh yang Allah azab dengan badai sepekan, sambaran halilintar, gempa, banjir bandang sehingga tidak tersisa kaumnya, kecuali yang beriman saja. Keempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Seseorang yang melakukan perbuatan buruk di dunia, maka balasan keburukan yang akan didapatkan tidak hanya di dunia, tetapi akan dibalas di akhirat. Jika balasan di dunia saja itu mengerikan, apalagi balasan di akhirat kelak! Keburukan yang paling buruk dan puncak dari segala keburukan adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah) yang pelakunya akan diazab kekal selamanya di neraka. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ “Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6) Begitu pula, ada maksiat dan dosa tertentu yang akan diazab khusus di akhirat sebelum masuk ke dalam neraka, sebagaimana pelaku riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila (QS. Al-Baqarah: 275), orang yang sombong dibangkitkan dalam bentuk kecil, seperti semut yang akan terinjak-injak oleh manusia dan hewan saat itu (HR. Bukhari no. 557), orang kafir yang akan berjalan di padang mahsyar dengan wajahnya (HR. Bukhari no. 4760), dan sebagainya. Di antara azab yang mengerikan di akhirat kelak adalah akan diberikan makanan dan minuman dari dhari’ (pohon berduri) (QS. Al-Ghasyiyah: 6), zaqqum (cairan tembaga yang mendidih) (QS. Ad-Dukhan: 42-46), gislin dan gassaq (cairan yang keluar dari tubuh seperti darah dan nanah) (HR. Abu Dawud no. 3680). Pakaian mereka di neraka dari cairan aspal (QS. Ibrahim: 50), cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal (HR. Muslim no. 934). Allah Ta’ala akan menghanguskan kulit mereka dan diganti kulit baru untuk dibakar kembali (QS. An-Nisa’: 56), wajah mereka akan tersungkur dan menghitam (QS. Ali Imran : 106), serta usus mereka akan berburai (HR. Bukhari no. 3267). Penduduk neraka akan dirantai dan tangan-tangan mereka akan dibelenggu (QS. Al-Insan : 4) dan tiada kematian di dalam neraka (QS. Ibrahim 17). Bahkan, tak hanya siksaan fisik, bahkan penduduk neraka akan mengalami siksaan batin sebagaimana Allah akan tampakkan berbagai kenikmatan penduduk di surga (QS. Al-A’raf: 50). Mereka dicela malaikat dan saling mencela sesama (QS. Shad: 55-64), ditertawakan penghuni surga (QS. Al-Muthaffifin: 34), dan sebagainya. Baca juga: Balasan Bagi Pelaku Riba Dalam Al Qur’an *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: balasan sesuai perbuatanketetapan Allah

Sunatullah: Balasan Sesuai Perbuatan

Daftar Isi Toggle Pertama, balasan perbuatan baik di duniaKedua, balasan perbuatan baik di akhiratKetiga, balasan perbuatan buruk di duniaKeempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Ketika Allah menciptakan alam semesta ini, maka Allah juga membuat ketetapan-ketetapan yang berlaku di alam semesta tersebut agar segala sesuatu di dalamnya berjalan dengan baik. Ketetapan-ketetapan Allah tersebut tidak akan berubah sampai kapan pun. Hal ini yang disebut sebagai sunatullah. Allah Ta’ala berfirman, سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا “Sebagai sunatullah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunatullah.” (QS. Al-Ahzab: 62) Ada banyak sunatullah. Misalnya ‘setiap yang bernyawa pasti mati’ (QS. Al-Imran: 185), ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ (QS. An-Najm: 31), ‘bersama kesulitan ada kemudahan’ (QS. Al-Insyirah: 5- 6), dan sebagainya. Pada artikel kali ini, kita akan membahas salah satu sunatullah, yaitu الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ (al-jaza’ min jinsil ‘amal, artinya balasan sesuai dengan perbuatan). Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ لِيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَسَٰٓـُٔوا۟ بِمَا عَمِلُوا۟ وَيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ بِٱلْحُسْنَى “Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31) Dalam firman-Nya yang lain, فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 7-8) Kalimat ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ mencakup balasan atas kebaikan yang dilakukan dan keburukan yang dilakukan, baik balasan di dunia maupun di akhirat. Berikut penjelasannya. Pertama, balasan perbuatan baik di dunia Allah Ta’ala sudah menetapkan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan baik, akan mendapatkan balasan atas kebaikannya di dunia sebelum di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat baik memperoleh balasan kebaikan di dunia.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga berfirman, هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ “Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60) Ketika seseorang menjalankan ibadah zikir dan salat, maka Allah balas dengan memberikan ketenangan jiwa bagi orang-orang yang rajin berzikir dan menegakkan salat sebelum di akhirat dibalas dengan kebaikan yang banyak. الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ. “Dijadikan kesenanganku dari dunia berupa wanita dan minyak wangi. Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam ibadah salat.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad) Demikian juga, dengan perbuatan baik lainnya, semisal silaturahim. Di dunia, Allah balas orang yang senantiasa bersilaturahim dengan rezeki yang lapang dan umur yang panjang serta diberkahi. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahimnya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari) Kedua, balasan perbuatan baik di akhirat Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Dari ayat di atas, balasan yang akan Allah berikan di akhirat nanti jauh lebih istimewa daripada amal yang dikerjakan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ “Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10 kali sampai 700 kali kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis satu keburukan.” (HR. Muslim) Maksud hadis “baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat”, bukan untuk pembatasan. Karena Allah Ta’ala akan melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan dari sisi-Nya apa yang tak terhitung dan tak terhingga, bahkan berkali-kali lipat. Baca juga: Keyakinan Tentang Hari Pembalasan Ketiga, balasan perbuatan buruk di dunia Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ “Barangsiapa yang memberikan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan mudarat kepadanya. Barangsiapa yang memberikan kesulitan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya.” (HR. Ahmad no. 15755, Abu Dawud no. 3635, At-Tirmidzi no. 1940, dan Ibnu Majah no. 2342) Beliau juga bersabda, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته ومن تتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas di lisannya, namun belum sampai menyentuh kalbunya! Jangan kalian membicarakan kekurangan seorang muslim! Jangan pula mengorek-ngorek aib mereka! Barangsiapa yang berupaya mencari-cari aib saudaranya muslim, Allah pasti akan membalas dengan mengorek aibnya. Siapa saja yang Allah korek aibnya, maka Allah akan sebarkan segala aibnya walaupun berada di dalam lobang atau kamar rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi) Tidak hanya perbuatan buruk yang berhubungan dengan manusia saja yang akan dibalas. Seseorang yang malas beribadah dan jauh dari mengingat Allah, maka akan diberikan rasa sempit dalam dadanya, depresi, pendendam, suka emosi, dan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Taha: 124) Terkadang, Allah juga mengirimkan berbagai musibah dan bencana sebagai balasan atas keburukan yang manusia kerjakan. Musibah-musibah yang terjadi adalah akibat dosa-dosa yang diperbuat anak Adam. Allah Ta’ala berfirman,  وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, tobat).” (QS. Ar-Rum: 41) Bahkan, kaum-kaum terdahulu Allah balas di dunia dengan azab yang mengerikan seperti kisah bani Israil yang diubah menjadi monyet (QS. Al-Baqarah: 65), kisah kaum Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Luth, Nabi Nuh yang Allah azab dengan badai sepekan, sambaran halilintar, gempa, banjir bandang sehingga tidak tersisa kaumnya, kecuali yang beriman saja. Keempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Seseorang yang melakukan perbuatan buruk di dunia, maka balasan keburukan yang akan didapatkan tidak hanya di dunia, tetapi akan dibalas di akhirat. Jika balasan di dunia saja itu mengerikan, apalagi balasan di akhirat kelak! Keburukan yang paling buruk dan puncak dari segala keburukan adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah) yang pelakunya akan diazab kekal selamanya di neraka. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ “Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6) Begitu pula, ada maksiat dan dosa tertentu yang akan diazab khusus di akhirat sebelum masuk ke dalam neraka, sebagaimana pelaku riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila (QS. Al-Baqarah: 275), orang yang sombong dibangkitkan dalam bentuk kecil, seperti semut yang akan terinjak-injak oleh manusia dan hewan saat itu (HR. Bukhari no. 557), orang kafir yang akan berjalan di padang mahsyar dengan wajahnya (HR. Bukhari no. 4760), dan sebagainya. Di antara azab yang mengerikan di akhirat kelak adalah akan diberikan makanan dan minuman dari dhari’ (pohon berduri) (QS. Al-Ghasyiyah: 6), zaqqum (cairan tembaga yang mendidih) (QS. Ad-Dukhan: 42-46), gislin dan gassaq (cairan yang keluar dari tubuh seperti darah dan nanah) (HR. Abu Dawud no. 3680). Pakaian mereka di neraka dari cairan aspal (QS. Ibrahim: 50), cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal (HR. Muslim no. 934). Allah Ta’ala akan menghanguskan kulit mereka dan diganti kulit baru untuk dibakar kembali (QS. An-Nisa’: 56), wajah mereka akan tersungkur dan menghitam (QS. Ali Imran : 106), serta usus mereka akan berburai (HR. Bukhari no. 3267). Penduduk neraka akan dirantai dan tangan-tangan mereka akan dibelenggu (QS. Al-Insan : 4) dan tiada kematian di dalam neraka (QS. Ibrahim 17). Bahkan, tak hanya siksaan fisik, bahkan penduduk neraka akan mengalami siksaan batin sebagaimana Allah akan tampakkan berbagai kenikmatan penduduk di surga (QS. Al-A’raf: 50). Mereka dicela malaikat dan saling mencela sesama (QS. Shad: 55-64), ditertawakan penghuni surga (QS. Al-Muthaffifin: 34), dan sebagainya. Baca juga: Balasan Bagi Pelaku Riba Dalam Al Qur’an *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: balasan sesuai perbuatanketetapan Allah
Daftar Isi Toggle Pertama, balasan perbuatan baik di duniaKedua, balasan perbuatan baik di akhiratKetiga, balasan perbuatan buruk di duniaKeempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Ketika Allah menciptakan alam semesta ini, maka Allah juga membuat ketetapan-ketetapan yang berlaku di alam semesta tersebut agar segala sesuatu di dalamnya berjalan dengan baik. Ketetapan-ketetapan Allah tersebut tidak akan berubah sampai kapan pun. Hal ini yang disebut sebagai sunatullah. Allah Ta’ala berfirman, سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا “Sebagai sunatullah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunatullah.” (QS. Al-Ahzab: 62) Ada banyak sunatullah. Misalnya ‘setiap yang bernyawa pasti mati’ (QS. Al-Imran: 185), ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ (QS. An-Najm: 31), ‘bersama kesulitan ada kemudahan’ (QS. Al-Insyirah: 5- 6), dan sebagainya. Pada artikel kali ini, kita akan membahas salah satu sunatullah, yaitu الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ (al-jaza’ min jinsil ‘amal, artinya balasan sesuai dengan perbuatan). Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ لِيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَسَٰٓـُٔوا۟ بِمَا عَمِلُوا۟ وَيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ بِٱلْحُسْنَى “Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31) Dalam firman-Nya yang lain, فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 7-8) Kalimat ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ mencakup balasan atas kebaikan yang dilakukan dan keburukan yang dilakukan, baik balasan di dunia maupun di akhirat. Berikut penjelasannya. Pertama, balasan perbuatan baik di dunia Allah Ta’ala sudah menetapkan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan baik, akan mendapatkan balasan atas kebaikannya di dunia sebelum di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat baik memperoleh balasan kebaikan di dunia.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga berfirman, هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ “Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60) Ketika seseorang menjalankan ibadah zikir dan salat, maka Allah balas dengan memberikan ketenangan jiwa bagi orang-orang yang rajin berzikir dan menegakkan salat sebelum di akhirat dibalas dengan kebaikan yang banyak. الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ. “Dijadikan kesenanganku dari dunia berupa wanita dan minyak wangi. Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam ibadah salat.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad) Demikian juga, dengan perbuatan baik lainnya, semisal silaturahim. Di dunia, Allah balas orang yang senantiasa bersilaturahim dengan rezeki yang lapang dan umur yang panjang serta diberkahi. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahimnya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari) Kedua, balasan perbuatan baik di akhirat Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Dari ayat di atas, balasan yang akan Allah berikan di akhirat nanti jauh lebih istimewa daripada amal yang dikerjakan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ “Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10 kali sampai 700 kali kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis satu keburukan.” (HR. Muslim) Maksud hadis “baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat”, bukan untuk pembatasan. Karena Allah Ta’ala akan melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan dari sisi-Nya apa yang tak terhitung dan tak terhingga, bahkan berkali-kali lipat. Baca juga: Keyakinan Tentang Hari Pembalasan Ketiga, balasan perbuatan buruk di dunia Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ “Barangsiapa yang memberikan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan mudarat kepadanya. Barangsiapa yang memberikan kesulitan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya.” (HR. Ahmad no. 15755, Abu Dawud no. 3635, At-Tirmidzi no. 1940, dan Ibnu Majah no. 2342) Beliau juga bersabda, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته ومن تتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas di lisannya, namun belum sampai menyentuh kalbunya! Jangan kalian membicarakan kekurangan seorang muslim! Jangan pula mengorek-ngorek aib mereka! Barangsiapa yang berupaya mencari-cari aib saudaranya muslim, Allah pasti akan membalas dengan mengorek aibnya. Siapa saja yang Allah korek aibnya, maka Allah akan sebarkan segala aibnya walaupun berada di dalam lobang atau kamar rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi) Tidak hanya perbuatan buruk yang berhubungan dengan manusia saja yang akan dibalas. Seseorang yang malas beribadah dan jauh dari mengingat Allah, maka akan diberikan rasa sempit dalam dadanya, depresi, pendendam, suka emosi, dan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Taha: 124) Terkadang, Allah juga mengirimkan berbagai musibah dan bencana sebagai balasan atas keburukan yang manusia kerjakan. Musibah-musibah yang terjadi adalah akibat dosa-dosa yang diperbuat anak Adam. Allah Ta’ala berfirman,  وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, tobat).” (QS. Ar-Rum: 41) Bahkan, kaum-kaum terdahulu Allah balas di dunia dengan azab yang mengerikan seperti kisah bani Israil yang diubah menjadi monyet (QS. Al-Baqarah: 65), kisah kaum Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Luth, Nabi Nuh yang Allah azab dengan badai sepekan, sambaran halilintar, gempa, banjir bandang sehingga tidak tersisa kaumnya, kecuali yang beriman saja. Keempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Seseorang yang melakukan perbuatan buruk di dunia, maka balasan keburukan yang akan didapatkan tidak hanya di dunia, tetapi akan dibalas di akhirat. Jika balasan di dunia saja itu mengerikan, apalagi balasan di akhirat kelak! Keburukan yang paling buruk dan puncak dari segala keburukan adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah) yang pelakunya akan diazab kekal selamanya di neraka. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ “Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6) Begitu pula, ada maksiat dan dosa tertentu yang akan diazab khusus di akhirat sebelum masuk ke dalam neraka, sebagaimana pelaku riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila (QS. Al-Baqarah: 275), orang yang sombong dibangkitkan dalam bentuk kecil, seperti semut yang akan terinjak-injak oleh manusia dan hewan saat itu (HR. Bukhari no. 557), orang kafir yang akan berjalan di padang mahsyar dengan wajahnya (HR. Bukhari no. 4760), dan sebagainya. Di antara azab yang mengerikan di akhirat kelak adalah akan diberikan makanan dan minuman dari dhari’ (pohon berduri) (QS. Al-Ghasyiyah: 6), zaqqum (cairan tembaga yang mendidih) (QS. Ad-Dukhan: 42-46), gislin dan gassaq (cairan yang keluar dari tubuh seperti darah dan nanah) (HR. Abu Dawud no. 3680). Pakaian mereka di neraka dari cairan aspal (QS. Ibrahim: 50), cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal (HR. Muslim no. 934). Allah Ta’ala akan menghanguskan kulit mereka dan diganti kulit baru untuk dibakar kembali (QS. An-Nisa’: 56), wajah mereka akan tersungkur dan menghitam (QS. Ali Imran : 106), serta usus mereka akan berburai (HR. Bukhari no. 3267). Penduduk neraka akan dirantai dan tangan-tangan mereka akan dibelenggu (QS. Al-Insan : 4) dan tiada kematian di dalam neraka (QS. Ibrahim 17). Bahkan, tak hanya siksaan fisik, bahkan penduduk neraka akan mengalami siksaan batin sebagaimana Allah akan tampakkan berbagai kenikmatan penduduk di surga (QS. Al-A’raf: 50). Mereka dicela malaikat dan saling mencela sesama (QS. Shad: 55-64), ditertawakan penghuni surga (QS. Al-Muthaffifin: 34), dan sebagainya. Baca juga: Balasan Bagi Pelaku Riba Dalam Al Qur’an *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: balasan sesuai perbuatanketetapan Allah


Daftar Isi Toggle Pertama, balasan perbuatan baik di duniaKedua, balasan perbuatan baik di akhiratKetiga, balasan perbuatan buruk di duniaKeempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Ketika Allah menciptakan alam semesta ini, maka Allah juga membuat ketetapan-ketetapan yang berlaku di alam semesta tersebut agar segala sesuatu di dalamnya berjalan dengan baik. Ketetapan-ketetapan Allah tersebut tidak akan berubah sampai kapan pun. Hal ini yang disebut sebagai sunatullah. Allah Ta’ala berfirman, سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا “Sebagai sunatullah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunatullah.” (QS. Al-Ahzab: 62) Ada banyak sunatullah. Misalnya ‘setiap yang bernyawa pasti mati’ (QS. Al-Imran: 185), ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ (QS. An-Najm: 31), ‘bersama kesulitan ada kemudahan’ (QS. Al-Insyirah: 5- 6), dan sebagainya. Pada artikel kali ini, kita akan membahas salah satu sunatullah, yaitu الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ (al-jaza’ min jinsil ‘amal, artinya balasan sesuai dengan perbuatan). Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ لِيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَسَٰٓـُٔوا۟ بِمَا عَمِلُوا۟ وَيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ بِٱلْحُسْنَى “Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31) Dalam firman-Nya yang lain, فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 7-8) Kalimat ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ mencakup balasan atas kebaikan yang dilakukan dan keburukan yang dilakukan, baik balasan di dunia maupun di akhirat. Berikut penjelasannya. Pertama, balasan perbuatan baik di dunia Allah Ta’ala sudah menetapkan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan baik, akan mendapatkan balasan atas kebaikannya di dunia sebelum di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat baik memperoleh balasan kebaikan di dunia.” (QS. Az-Zumar: 10) Allah Ta’ala juga berfirman, هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ “Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60) Ketika seseorang menjalankan ibadah zikir dan salat, maka Allah balas dengan memberikan ketenangan jiwa bagi orang-orang yang rajin berzikir dan menegakkan salat sebelum di akhirat dibalas dengan kebaikan yang banyak. الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ. “Dijadikan kesenanganku dari dunia berupa wanita dan minyak wangi. Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam ibadah salat.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad) Demikian juga, dengan perbuatan baik lainnya, semisal silaturahim. Di dunia, Allah balas orang yang senantiasa bersilaturahim dengan rezeki yang lapang dan umur yang panjang serta diberkahi. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahimnya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari) Kedua, balasan perbuatan baik di akhirat Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Dari ayat di atas, balasan yang akan Allah berikan di akhirat nanti jauh lebih istimewa daripada amal yang dikerjakan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ “Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10 kali sampai 700 kali kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis satu keburukan.” (HR. Muslim) Maksud hadis “baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat”, bukan untuk pembatasan. Karena Allah Ta’ala akan melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan dari sisi-Nya apa yang tak terhitung dan tak terhingga, bahkan berkali-kali lipat. Baca juga: Keyakinan Tentang Hari Pembalasan Ketiga, balasan perbuatan buruk di dunia Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ “Barangsiapa yang memberikan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan mudarat kepadanya. Barangsiapa yang memberikan kesulitan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya.” (HR. Ahmad no. 15755, Abu Dawud no. 3635, At-Tirmidzi no. 1940, dan Ibnu Majah no. 2342) Beliau juga bersabda, يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته ومن تتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته “Wahai orang-orang yang beriman sebatas di lisannya, namun belum sampai menyentuh kalbunya! Jangan kalian membicarakan kekurangan seorang muslim! Jangan pula mengorek-ngorek aib mereka! Barangsiapa yang berupaya mencari-cari aib saudaranya muslim, Allah pasti akan membalas dengan mengorek aibnya. Siapa saja yang Allah korek aibnya, maka Allah akan sebarkan segala aibnya walaupun berada di dalam lobang atau kamar rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi) Tidak hanya perbuatan buruk yang berhubungan dengan manusia saja yang akan dibalas. Seseorang yang malas beribadah dan jauh dari mengingat Allah, maka akan diberikan rasa sempit dalam dadanya, depresi, pendendam, suka emosi, dan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Taha: 124) Terkadang, Allah juga mengirimkan berbagai musibah dan bencana sebagai balasan atas keburukan yang manusia kerjakan. Musibah-musibah yang terjadi adalah akibat dosa-dosa yang diperbuat anak Adam. Allah Ta’ala berfirman,  وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, tobat).” (QS. Ar-Rum: 41) Bahkan, kaum-kaum terdahulu Allah balas di dunia dengan azab yang mengerikan seperti kisah bani Israil yang diubah menjadi monyet (QS. Al-Baqarah: 65), kisah kaum Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Luth, Nabi Nuh yang Allah azab dengan badai sepekan, sambaran halilintar, gempa, banjir bandang sehingga tidak tersisa kaumnya, kecuali yang beriman saja. Keempat, balasan perbuatan buruk di akhirat Seseorang yang melakukan perbuatan buruk di dunia, maka balasan keburukan yang akan didapatkan tidak hanya di dunia, tetapi akan dibalas di akhirat. Jika balasan di dunia saja itu mengerikan, apalagi balasan di akhirat kelak! Keburukan yang paling buruk dan puncak dari segala keburukan adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah) yang pelakunya akan diazab kekal selamanya di neraka. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ “Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6) Begitu pula, ada maksiat dan dosa tertentu yang akan diazab khusus di akhirat sebelum masuk ke dalam neraka, sebagaimana pelaku riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila (QS. Al-Baqarah: 275), orang yang sombong dibangkitkan dalam bentuk kecil, seperti semut yang akan terinjak-injak oleh manusia dan hewan saat itu (HR. Bukhari no. 557), orang kafir yang akan berjalan di padang mahsyar dengan wajahnya (HR. Bukhari no. 4760), dan sebagainya. Di antara azab yang mengerikan di akhirat kelak adalah akan diberikan makanan dan minuman dari dhari’ (pohon berduri) (QS. Al-Ghasyiyah: 6), zaqqum (cairan tembaga yang mendidih) (QS. Ad-Dukhan: 42-46), gislin dan gassaq (cairan yang keluar dari tubuh seperti darah dan nanah) (HR. Abu Dawud no. 3680). Pakaian mereka di neraka dari cairan aspal (QS. Ibrahim: 50), cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal (HR. Muslim no. 934). Allah Ta’ala akan menghanguskan kulit mereka dan diganti kulit baru untuk dibakar kembali (QS. An-Nisa’: 56), wajah mereka akan tersungkur dan menghitam (QS. Ali Imran : 106), serta usus mereka akan berburai (HR. Bukhari no. 3267). Penduduk neraka akan dirantai dan tangan-tangan mereka akan dibelenggu (QS. Al-Insan : 4) dan tiada kematian di dalam neraka (QS. Ibrahim 17). Bahkan, tak hanya siksaan fisik, bahkan penduduk neraka akan mengalami siksaan batin sebagaimana Allah akan tampakkan berbagai kenikmatan penduduk di surga (QS. Al-A’raf: 50). Mereka dicela malaikat dan saling mencela sesama (QS. Shad: 55-64), ditertawakan penghuni surga (QS. Al-Muthaffifin: 34), dan sebagainya. Baca juga: Balasan Bagi Pelaku Riba Dalam Al Qur’an *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.pd. Artikel: Muslim.or.id Tags: balasan sesuai perbuatanketetapan Allah
Prev     Next