Engkau Tak Tahu, Mungkin Amal Ini yang Akan Menyelamatkanmu – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ

Engkau Tak Tahu, Mungkin Amal Ini yang Akan Menyelamatkanmu – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ
Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ


Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ

Tiga Asas agar Selamat dari Kesesatan

Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.

Tiga Asas agar Selamat dari Kesesatan

Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.
Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.


Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.

Rahasia Orang yang Selalu Ditolong Allah di Saat Sulit – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ

Rahasia Orang yang Selalu Ditolong Allah di Saat Sulit – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ


Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ

Fikih Utang Piutang (Bag. 10): Utang yang Mendatangkan Manfaat atau Keuntungan

Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.

Fikih Utang Piutang (Bag. 10): Utang yang Mendatangkan Manfaat atau Keuntungan

Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.
Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.


Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.

Kaidah Fikih: Faidah Mengenal dan Mempelajari Kaidah Fikih

Daftar Isi ToggleFaidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaFaidah keduaFaidah ketigaFaidah keempatFaidah kelimaFaidah keenamTentu, di setiap cabang ilmu terdapat faidah yang dapat diperoleh dari mempelajarinya, tidak terkecuali kaidah fikih. Pada ilmu ini pun terdapat faidah-faidah yang dapat diperoleh ketika seseorang mempelajari ilmu ini. Selain mempelajari ilmu fikih, tentunya sangat pas jika ilmu kaidah fikih ini digandengkan dengan mempelajari ilmu fikih itu sendiri.Faidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaKaidah fikih mengumpulkan cabang-cabang dan bagian-bagian pembahasan fikih yang bermacam-macam di bawah satu kaidah. Sehingga bisa dikatakan pengumpulan tersebut memberikan dua manfaat:Manfaat pertama: Dapat mengetahui kaitan dan sifat-sifat yang mengumpulkan antara suatu bab pembahasan fikih dengan bab-bab fikih yang lainnya. Contohnya kaidah,ألأمور بمقاصدها“Segala sesuatu tergantung tujuannya.” Kaidah ini membahas tentang masalah tujuan atau niat. Namun, terdapat banyak pembahasan fikih yang bisa terjawab dengan kaidah ini, baik itu pembahasan terkait ibadah, sumpah, akad muamalah, dan lain sebagainya.Sehingga dengan mengetahui satu kaidah saja, dapat mengetahui kaitan dari satu pembahasan ke pembahasan fikih yang lainnya.Manfaat kedua: Dapat mengetahui hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) dan dapat menghafal hukum-hukum tersebut dengan cara yang mudah.Sebagaimana yang diketahui bahwa mempelajari hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) bukanlah hal yang mudah, alias sulit. Terlebih bersama dengan terus berkembangnya ilmu fikih, semakin banyak permasalahan yang disebabkan oleh perkembangan zaman yang terus-menerus berjalan. Di samping itu, manusia pun butuh untuk mengetahui hukum-hukum fikih itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan, mempelajari dan mengetahui kaidah fikih justru mempermudah hal-hal yang sulit.Al-Qarafi rahimahullah pernah menuturukan,وَمَنْ ضَبَطَ الفِقْهَ بِقَواعِدِهِ اسْتَغْنَى عَنْ حِفْظِ أَكْثَرِ الجُزْئِيّاتِ لِانْدِراجِها فِي الكُلِّيّاتِ“Siapa yang mempelajari ilmu fikih beserta kaidah-kaidahnya, tidak perlu lagi ia menghafal banyak-banyak permasalahan dari cabang fikih. Mengingat hal tersebut sudah tercakup dalam kaidah fikih yang bersifat umum.” Ibnu Rajab pun pernah menuturkan,تُنَظَّمُ لَهُ مَنْشُورُ المَسَائِلِ فِي سِلْكٍ وَاحِدٍ، وَيُقَيَّدُ لَهُ الشَّوَارِدُ، وَيَقْرُبُ عَلَيْهِ كُلُّ مُتَبَاعِدٍ“Dengan kaidah itu, berbagai masalah yang terpisah akan tersusun dalam satu rangkaian, hal-hal yang jarang didapatkan akan tercatat, dan hal-hal yang jauh akan menjadi dekat.” Faidah keduaBahwasanya penguasaan kaidah-kaidah fikih dan pemahamannya akan membentuk kemampuan fikih bagi orang yang mempelajarinya dari satu sisi. Dari sisi lain, hal itu memungkinkan seorang faqih untuk mengetahui sumber-sumber fikih, sehingga membantu dia dalam mengeluarkan cabang-cabang hukum dengan cara yang benar, serta menggali hukum-hukum yang sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang baru muncul.As-Suyuthi rahimahullah berkata,اِعْلَمْ أَنَّ فَنَّ الأَشْبَاهِ وَالنَّظَائِرِ فَنٌّ عَظِيمٌ، بِهِ يُطَّلَعُ عَلَى حَقَائِقِ الفِقْهِ، وَمَدَارِكِهِ، وَمَآخِذِهِ، وَأَسْرَارِهِ، وَيَتَمَيَّزُ فِي فَهْمِهِ وَاسْتِحْضَارِهِ، وَيُقْدَرُ عَلَى الإِلْحَاقِ وَالتَّخْرِيجِ، وَمَعْرِفَةِ أَحْكَامِ المَسَائِلِ الَّتِي لَيْسَتْ بِمَسْطُورَةٍ، وَالحَوَادِثِ وَالوَقَائِعِ الَّتِي لَا تَنْقَضِي عَلَى مَمَرِّ الزَّمَانِ“Ketahuilah bahwa ilmu Al-Asybah wan Nadzair (ilmu kaidah fikih) adalah ilmu yang agung. Dengannya seseorang dapat mengetahui hakikat-hakikat fikih, sumber-sumbernya, asal-usulnya, dan rahasia-rahasianya. Ia akan unggul dalam memahami dan menguasainya, serta mampu melakukan analogi dan takhrij (mengeluarkan hukum), serta mengetahui hukum-hukum masalah yang tidak tertulis dalam kitab-kitab, juga peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang tidak akan pernah habis seiring berjalannya zaman.” Sedikit hal yang perlu diketahui, bahwa sebagian ulama ada yang menamakan ilmu kaidah fikih sebagai Al-Asybah wan Nadzair. Di antaranya ada Al-Imam As-Subki, Al-Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i, dan ada pula Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi.Di antara yang masyhur adalah karya Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi. Salah satu karya yang terkenal sebagai penyempurna dari kitab tersebut adalah kitab Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (kitab kodifikasi hukum Ottoman Turki), yang kemudian banyak mengambil kaidah dari Ibnu Nujaim.Intinya, Al-Asybah wan Nazair tidak terlalu jauh berbeda dengan kaidah fikih. Namun pada Al-Asybah wan Nazair, cakupannya lebih luas lagi dibandingkan kaidah fikih, tidak hanya teori semata, namun lebih kepada pemberian contoh-contoh pengaplikasian dari kaidah tersebut.Faidah ketigaMempelajari kaidah-kaidah fikih membantu untuk memahami maqashid (tujuan-tujuan) syariat. Karena dengan memahami kaidah fikih yang bersifat umum beserta masalah-masalah yang masuk di bawahnya, seseorang akan terbimbing dalam memahami maqashid syari’ah yang menjadi alasan adanya hukum-hukum cabang tersebut.Sebagai contoh, ketika seseorang mempelajari kaidah,المَشَقَّة تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ(kesulitan mendatangkan kemudahan), serta cabang-cabang dari hukum yang termasuk di bawahnya, tentunya akan memberikan gambaran kepadanya bahwa menghilangkan kesempitan dan mengangkat kesulitan adalah termasuk tujuan utama dari syariat ini. Sehingga nantinya, jika ada hukum-hukum di kemudian hari yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan dan kesempitan, tentunya kaidah ini dapat diterapkan.Seperti halnya salat, sebagaimana yang diketahui bahwa hukum salat adalah wajib. Dilaksanakan dalam keadaan berdiri; namun jika tidak mampu, maka bisa duduk atau berbaring. Artinya, dari kaidah tersebut dapat menjawab sebuah persoalan. Jika ada pertanyaan seperti, “Saya ingin salat, tapi saya tidak bisa berdiri untuk melaksanakannya karena ada sakit berupa luka yang saya rasa. Bolehkah saya salat dalam keadaan duduk?”Jawabannya, tentu boleh. Karena kaidahnya adalah kesulitan mendatangkan kemudahan. Demikianlah di antara faidah dari mempelajari ilmu kaidah fikih.Faidah keempatMempelajari kaidah-kaidah fikih dan menelitinya, dapat bermanfaat bagi orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu syariat. Karena dengan itu, mereka bisa mengetahui fikih dengan cara yang lebih mudah. Artinya, ilmu ini bisa dipelajari oleh siapa saja.Faidah kelimaPenguasaan dan pemahaman kaidah-kaidah fikih dapat bermanfaat dalam melakukan perbandingan antara berbagai mazhab fikih. Karena terkadang terdapat permasalahan-permasalahan yang para ulama berbeda pendapat padanya, disebabkan karena berangkat dari penggunaan kaidah-kaidah yang berbeda di antara para ulama mazhab fikih.Faidah keenamKaidah-kaidah fikih bermanfaat untuk memperlihatkan kepada orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu syariat tentang betapa luasnya cakupan fikih Islam, dan juga mencakup bantahan terhadap tuduhan sebagian orang yang menilainya sebagai ilmu yang jumud (kaku dan stagnan).Demikian di antara faidah dari mempelajari kaidah fikih. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asal-Usul dan Perkembangan Ilmu Kaidah Fikih***Depok, 3 Rabi’ul akhir 1447/ 24 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary. Dengan sedikit tambahan.

Kaidah Fikih: Faidah Mengenal dan Mempelajari Kaidah Fikih

Daftar Isi ToggleFaidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaFaidah keduaFaidah ketigaFaidah keempatFaidah kelimaFaidah keenamTentu, di setiap cabang ilmu terdapat faidah yang dapat diperoleh dari mempelajarinya, tidak terkecuali kaidah fikih. Pada ilmu ini pun terdapat faidah-faidah yang dapat diperoleh ketika seseorang mempelajari ilmu ini. Selain mempelajari ilmu fikih, tentunya sangat pas jika ilmu kaidah fikih ini digandengkan dengan mempelajari ilmu fikih itu sendiri.Faidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaKaidah fikih mengumpulkan cabang-cabang dan bagian-bagian pembahasan fikih yang bermacam-macam di bawah satu kaidah. Sehingga bisa dikatakan pengumpulan tersebut memberikan dua manfaat:Manfaat pertama: Dapat mengetahui kaitan dan sifat-sifat yang mengumpulkan antara suatu bab pembahasan fikih dengan bab-bab fikih yang lainnya. Contohnya kaidah,ألأمور بمقاصدها“Segala sesuatu tergantung tujuannya.” Kaidah ini membahas tentang masalah tujuan atau niat. Namun, terdapat banyak pembahasan fikih yang bisa terjawab dengan kaidah ini, baik itu pembahasan terkait ibadah, sumpah, akad muamalah, dan lain sebagainya.Sehingga dengan mengetahui satu kaidah saja, dapat mengetahui kaitan dari satu pembahasan ke pembahasan fikih yang lainnya.Manfaat kedua: Dapat mengetahui hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) dan dapat menghafal hukum-hukum tersebut dengan cara yang mudah.Sebagaimana yang diketahui bahwa mempelajari hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) bukanlah hal yang mudah, alias sulit. Terlebih bersama dengan terus berkembangnya ilmu fikih, semakin banyak permasalahan yang disebabkan oleh perkembangan zaman yang terus-menerus berjalan. Di samping itu, manusia pun butuh untuk mengetahui hukum-hukum fikih itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan, mempelajari dan mengetahui kaidah fikih justru mempermudah hal-hal yang sulit.Al-Qarafi rahimahullah pernah menuturukan,وَمَنْ ضَبَطَ الفِقْهَ بِقَواعِدِهِ اسْتَغْنَى عَنْ حِفْظِ أَكْثَرِ الجُزْئِيّاتِ لِانْدِراجِها فِي الكُلِّيّاتِ“Siapa yang mempelajari ilmu fikih beserta kaidah-kaidahnya, tidak perlu lagi ia menghafal banyak-banyak permasalahan dari cabang fikih. Mengingat hal tersebut sudah tercakup dalam kaidah fikih yang bersifat umum.” Ibnu Rajab pun pernah menuturkan,تُنَظَّمُ لَهُ مَنْشُورُ المَسَائِلِ فِي سِلْكٍ وَاحِدٍ، وَيُقَيَّدُ لَهُ الشَّوَارِدُ، وَيَقْرُبُ عَلَيْهِ كُلُّ مُتَبَاعِدٍ“Dengan kaidah itu, berbagai masalah yang terpisah akan tersusun dalam satu rangkaian, hal-hal yang jarang didapatkan akan tercatat, dan hal-hal yang jauh akan menjadi dekat.” Faidah keduaBahwasanya penguasaan kaidah-kaidah fikih dan pemahamannya akan membentuk kemampuan fikih bagi orang yang mempelajarinya dari satu sisi. Dari sisi lain, hal itu memungkinkan seorang faqih untuk mengetahui sumber-sumber fikih, sehingga membantu dia dalam mengeluarkan cabang-cabang hukum dengan cara yang benar, serta menggali hukum-hukum yang sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang baru muncul.As-Suyuthi rahimahullah berkata,اِعْلَمْ أَنَّ فَنَّ الأَشْبَاهِ وَالنَّظَائِرِ فَنٌّ عَظِيمٌ، بِهِ يُطَّلَعُ عَلَى حَقَائِقِ الفِقْهِ، وَمَدَارِكِهِ، وَمَآخِذِهِ، وَأَسْرَارِهِ، وَيَتَمَيَّزُ فِي فَهْمِهِ وَاسْتِحْضَارِهِ، وَيُقْدَرُ عَلَى الإِلْحَاقِ وَالتَّخْرِيجِ، وَمَعْرِفَةِ أَحْكَامِ المَسَائِلِ الَّتِي لَيْسَتْ بِمَسْطُورَةٍ، وَالحَوَادِثِ وَالوَقَائِعِ الَّتِي لَا تَنْقَضِي عَلَى مَمَرِّ الزَّمَانِ“Ketahuilah bahwa ilmu Al-Asybah wan Nadzair (ilmu kaidah fikih) adalah ilmu yang agung. Dengannya seseorang dapat mengetahui hakikat-hakikat fikih, sumber-sumbernya, asal-usulnya, dan rahasia-rahasianya. Ia akan unggul dalam memahami dan menguasainya, serta mampu melakukan analogi dan takhrij (mengeluarkan hukum), serta mengetahui hukum-hukum masalah yang tidak tertulis dalam kitab-kitab, juga peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang tidak akan pernah habis seiring berjalannya zaman.” Sedikit hal yang perlu diketahui, bahwa sebagian ulama ada yang menamakan ilmu kaidah fikih sebagai Al-Asybah wan Nadzair. Di antaranya ada Al-Imam As-Subki, Al-Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i, dan ada pula Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi.Di antara yang masyhur adalah karya Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi. Salah satu karya yang terkenal sebagai penyempurna dari kitab tersebut adalah kitab Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (kitab kodifikasi hukum Ottoman Turki), yang kemudian banyak mengambil kaidah dari Ibnu Nujaim.Intinya, Al-Asybah wan Nazair tidak terlalu jauh berbeda dengan kaidah fikih. Namun pada Al-Asybah wan Nazair, cakupannya lebih luas lagi dibandingkan kaidah fikih, tidak hanya teori semata, namun lebih kepada pemberian contoh-contoh pengaplikasian dari kaidah tersebut.Faidah ketigaMempelajari kaidah-kaidah fikih membantu untuk memahami maqashid (tujuan-tujuan) syariat. Karena dengan memahami kaidah fikih yang bersifat umum beserta masalah-masalah yang masuk di bawahnya, seseorang akan terbimbing dalam memahami maqashid syari’ah yang menjadi alasan adanya hukum-hukum cabang tersebut.Sebagai contoh, ketika seseorang mempelajari kaidah,المَشَقَّة تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ(kesulitan mendatangkan kemudahan), serta cabang-cabang dari hukum yang termasuk di bawahnya, tentunya akan memberikan gambaran kepadanya bahwa menghilangkan kesempitan dan mengangkat kesulitan adalah termasuk tujuan utama dari syariat ini. Sehingga nantinya, jika ada hukum-hukum di kemudian hari yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan dan kesempitan, tentunya kaidah ini dapat diterapkan.Seperti halnya salat, sebagaimana yang diketahui bahwa hukum salat adalah wajib. Dilaksanakan dalam keadaan berdiri; namun jika tidak mampu, maka bisa duduk atau berbaring. Artinya, dari kaidah tersebut dapat menjawab sebuah persoalan. Jika ada pertanyaan seperti, “Saya ingin salat, tapi saya tidak bisa berdiri untuk melaksanakannya karena ada sakit berupa luka yang saya rasa. Bolehkah saya salat dalam keadaan duduk?”Jawabannya, tentu boleh. Karena kaidahnya adalah kesulitan mendatangkan kemudahan. Demikianlah di antara faidah dari mempelajari ilmu kaidah fikih.Faidah keempatMempelajari kaidah-kaidah fikih dan menelitinya, dapat bermanfaat bagi orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu syariat. Karena dengan itu, mereka bisa mengetahui fikih dengan cara yang lebih mudah. Artinya, ilmu ini bisa dipelajari oleh siapa saja.Faidah kelimaPenguasaan dan pemahaman kaidah-kaidah fikih dapat bermanfaat dalam melakukan perbandingan antara berbagai mazhab fikih. Karena terkadang terdapat permasalahan-permasalahan yang para ulama berbeda pendapat padanya, disebabkan karena berangkat dari penggunaan kaidah-kaidah yang berbeda di antara para ulama mazhab fikih.Faidah keenamKaidah-kaidah fikih bermanfaat untuk memperlihatkan kepada orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu syariat tentang betapa luasnya cakupan fikih Islam, dan juga mencakup bantahan terhadap tuduhan sebagian orang yang menilainya sebagai ilmu yang jumud (kaku dan stagnan).Demikian di antara faidah dari mempelajari kaidah fikih. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asal-Usul dan Perkembangan Ilmu Kaidah Fikih***Depok, 3 Rabi’ul akhir 1447/ 24 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary. Dengan sedikit tambahan.
Daftar Isi ToggleFaidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaFaidah keduaFaidah ketigaFaidah keempatFaidah kelimaFaidah keenamTentu, di setiap cabang ilmu terdapat faidah yang dapat diperoleh dari mempelajarinya, tidak terkecuali kaidah fikih. Pada ilmu ini pun terdapat faidah-faidah yang dapat diperoleh ketika seseorang mempelajari ilmu ini. Selain mempelajari ilmu fikih, tentunya sangat pas jika ilmu kaidah fikih ini digandengkan dengan mempelajari ilmu fikih itu sendiri.Faidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaKaidah fikih mengumpulkan cabang-cabang dan bagian-bagian pembahasan fikih yang bermacam-macam di bawah satu kaidah. Sehingga bisa dikatakan pengumpulan tersebut memberikan dua manfaat:Manfaat pertama: Dapat mengetahui kaitan dan sifat-sifat yang mengumpulkan antara suatu bab pembahasan fikih dengan bab-bab fikih yang lainnya. Contohnya kaidah,ألأمور بمقاصدها“Segala sesuatu tergantung tujuannya.” Kaidah ini membahas tentang masalah tujuan atau niat. Namun, terdapat banyak pembahasan fikih yang bisa terjawab dengan kaidah ini, baik itu pembahasan terkait ibadah, sumpah, akad muamalah, dan lain sebagainya.Sehingga dengan mengetahui satu kaidah saja, dapat mengetahui kaitan dari satu pembahasan ke pembahasan fikih yang lainnya.Manfaat kedua: Dapat mengetahui hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) dan dapat menghafal hukum-hukum tersebut dengan cara yang mudah.Sebagaimana yang diketahui bahwa mempelajari hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) bukanlah hal yang mudah, alias sulit. Terlebih bersama dengan terus berkembangnya ilmu fikih, semakin banyak permasalahan yang disebabkan oleh perkembangan zaman yang terus-menerus berjalan. Di samping itu, manusia pun butuh untuk mengetahui hukum-hukum fikih itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan, mempelajari dan mengetahui kaidah fikih justru mempermudah hal-hal yang sulit.Al-Qarafi rahimahullah pernah menuturukan,وَمَنْ ضَبَطَ الفِقْهَ بِقَواعِدِهِ اسْتَغْنَى عَنْ حِفْظِ أَكْثَرِ الجُزْئِيّاتِ لِانْدِراجِها فِي الكُلِّيّاتِ“Siapa yang mempelajari ilmu fikih beserta kaidah-kaidahnya, tidak perlu lagi ia menghafal banyak-banyak permasalahan dari cabang fikih. Mengingat hal tersebut sudah tercakup dalam kaidah fikih yang bersifat umum.” Ibnu Rajab pun pernah menuturkan,تُنَظَّمُ لَهُ مَنْشُورُ المَسَائِلِ فِي سِلْكٍ وَاحِدٍ، وَيُقَيَّدُ لَهُ الشَّوَارِدُ، وَيَقْرُبُ عَلَيْهِ كُلُّ مُتَبَاعِدٍ“Dengan kaidah itu, berbagai masalah yang terpisah akan tersusun dalam satu rangkaian, hal-hal yang jarang didapatkan akan tercatat, dan hal-hal yang jauh akan menjadi dekat.” Faidah keduaBahwasanya penguasaan kaidah-kaidah fikih dan pemahamannya akan membentuk kemampuan fikih bagi orang yang mempelajarinya dari satu sisi. Dari sisi lain, hal itu memungkinkan seorang faqih untuk mengetahui sumber-sumber fikih, sehingga membantu dia dalam mengeluarkan cabang-cabang hukum dengan cara yang benar, serta menggali hukum-hukum yang sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang baru muncul.As-Suyuthi rahimahullah berkata,اِعْلَمْ أَنَّ فَنَّ الأَشْبَاهِ وَالنَّظَائِرِ فَنٌّ عَظِيمٌ، بِهِ يُطَّلَعُ عَلَى حَقَائِقِ الفِقْهِ، وَمَدَارِكِهِ، وَمَآخِذِهِ، وَأَسْرَارِهِ، وَيَتَمَيَّزُ فِي فَهْمِهِ وَاسْتِحْضَارِهِ، وَيُقْدَرُ عَلَى الإِلْحَاقِ وَالتَّخْرِيجِ، وَمَعْرِفَةِ أَحْكَامِ المَسَائِلِ الَّتِي لَيْسَتْ بِمَسْطُورَةٍ، وَالحَوَادِثِ وَالوَقَائِعِ الَّتِي لَا تَنْقَضِي عَلَى مَمَرِّ الزَّمَانِ“Ketahuilah bahwa ilmu Al-Asybah wan Nadzair (ilmu kaidah fikih) adalah ilmu yang agung. Dengannya seseorang dapat mengetahui hakikat-hakikat fikih, sumber-sumbernya, asal-usulnya, dan rahasia-rahasianya. Ia akan unggul dalam memahami dan menguasainya, serta mampu melakukan analogi dan takhrij (mengeluarkan hukum), serta mengetahui hukum-hukum masalah yang tidak tertulis dalam kitab-kitab, juga peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang tidak akan pernah habis seiring berjalannya zaman.” Sedikit hal yang perlu diketahui, bahwa sebagian ulama ada yang menamakan ilmu kaidah fikih sebagai Al-Asybah wan Nadzair. Di antaranya ada Al-Imam As-Subki, Al-Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i, dan ada pula Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi.Di antara yang masyhur adalah karya Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi. Salah satu karya yang terkenal sebagai penyempurna dari kitab tersebut adalah kitab Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (kitab kodifikasi hukum Ottoman Turki), yang kemudian banyak mengambil kaidah dari Ibnu Nujaim.Intinya, Al-Asybah wan Nazair tidak terlalu jauh berbeda dengan kaidah fikih. Namun pada Al-Asybah wan Nazair, cakupannya lebih luas lagi dibandingkan kaidah fikih, tidak hanya teori semata, namun lebih kepada pemberian contoh-contoh pengaplikasian dari kaidah tersebut.Faidah ketigaMempelajari kaidah-kaidah fikih membantu untuk memahami maqashid (tujuan-tujuan) syariat. Karena dengan memahami kaidah fikih yang bersifat umum beserta masalah-masalah yang masuk di bawahnya, seseorang akan terbimbing dalam memahami maqashid syari’ah yang menjadi alasan adanya hukum-hukum cabang tersebut.Sebagai contoh, ketika seseorang mempelajari kaidah,المَشَقَّة تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ(kesulitan mendatangkan kemudahan), serta cabang-cabang dari hukum yang termasuk di bawahnya, tentunya akan memberikan gambaran kepadanya bahwa menghilangkan kesempitan dan mengangkat kesulitan adalah termasuk tujuan utama dari syariat ini. Sehingga nantinya, jika ada hukum-hukum di kemudian hari yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan dan kesempitan, tentunya kaidah ini dapat diterapkan.Seperti halnya salat, sebagaimana yang diketahui bahwa hukum salat adalah wajib. Dilaksanakan dalam keadaan berdiri; namun jika tidak mampu, maka bisa duduk atau berbaring. Artinya, dari kaidah tersebut dapat menjawab sebuah persoalan. Jika ada pertanyaan seperti, “Saya ingin salat, tapi saya tidak bisa berdiri untuk melaksanakannya karena ada sakit berupa luka yang saya rasa. Bolehkah saya salat dalam keadaan duduk?”Jawabannya, tentu boleh. Karena kaidahnya adalah kesulitan mendatangkan kemudahan. Demikianlah di antara faidah dari mempelajari ilmu kaidah fikih.Faidah keempatMempelajari kaidah-kaidah fikih dan menelitinya, dapat bermanfaat bagi orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu syariat. Karena dengan itu, mereka bisa mengetahui fikih dengan cara yang lebih mudah. Artinya, ilmu ini bisa dipelajari oleh siapa saja.Faidah kelimaPenguasaan dan pemahaman kaidah-kaidah fikih dapat bermanfaat dalam melakukan perbandingan antara berbagai mazhab fikih. Karena terkadang terdapat permasalahan-permasalahan yang para ulama berbeda pendapat padanya, disebabkan karena berangkat dari penggunaan kaidah-kaidah yang berbeda di antara para ulama mazhab fikih.Faidah keenamKaidah-kaidah fikih bermanfaat untuk memperlihatkan kepada orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu syariat tentang betapa luasnya cakupan fikih Islam, dan juga mencakup bantahan terhadap tuduhan sebagian orang yang menilainya sebagai ilmu yang jumud (kaku dan stagnan).Demikian di antara faidah dari mempelajari kaidah fikih. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asal-Usul dan Perkembangan Ilmu Kaidah Fikih***Depok, 3 Rabi’ul akhir 1447/ 24 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary. Dengan sedikit tambahan.


Daftar Isi ToggleFaidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaFaidah keduaFaidah ketigaFaidah keempatFaidah kelimaFaidah keenamTentu, di setiap cabang ilmu terdapat faidah yang dapat diperoleh dari mempelajarinya, tidak terkecuali kaidah fikih. Pada ilmu ini pun terdapat faidah-faidah yang dapat diperoleh ketika seseorang mempelajari ilmu ini. Selain mempelajari ilmu fikih, tentunya sangat pas jika ilmu kaidah fikih ini digandengkan dengan mempelajari ilmu fikih itu sendiri.Faidah mempelajari ilmu kaidah fikihFaidah pertamaKaidah fikih mengumpulkan cabang-cabang dan bagian-bagian pembahasan fikih yang bermacam-macam di bawah satu kaidah. Sehingga bisa dikatakan pengumpulan tersebut memberikan dua manfaat:Manfaat pertama: Dapat mengetahui kaitan dan sifat-sifat yang mengumpulkan antara suatu bab pembahasan fikih dengan bab-bab fikih yang lainnya. Contohnya kaidah,ألأمور بمقاصدها“Segala sesuatu tergantung tujuannya.” Kaidah ini membahas tentang masalah tujuan atau niat. Namun, terdapat banyak pembahasan fikih yang bisa terjawab dengan kaidah ini, baik itu pembahasan terkait ibadah, sumpah, akad muamalah, dan lain sebagainya.Sehingga dengan mengetahui satu kaidah saja, dapat mengetahui kaitan dari satu pembahasan ke pembahasan fikih yang lainnya.Manfaat kedua: Dapat mengetahui hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) dan dapat menghafal hukum-hukum tersebut dengan cara yang mudah.Sebagaimana yang diketahui bahwa mempelajari hukum-hukum fikih yang bersifat furu’ (cabang) bukanlah hal yang mudah, alias sulit. Terlebih bersama dengan terus berkembangnya ilmu fikih, semakin banyak permasalahan yang disebabkan oleh perkembangan zaman yang terus-menerus berjalan. Di samping itu, manusia pun butuh untuk mengetahui hukum-hukum fikih itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan, mempelajari dan mengetahui kaidah fikih justru mempermudah hal-hal yang sulit.Al-Qarafi rahimahullah pernah menuturukan,وَمَنْ ضَبَطَ الفِقْهَ بِقَواعِدِهِ اسْتَغْنَى عَنْ حِفْظِ أَكْثَرِ الجُزْئِيّاتِ لِانْدِراجِها فِي الكُلِّيّاتِ“Siapa yang mempelajari ilmu fikih beserta kaidah-kaidahnya, tidak perlu lagi ia menghafal banyak-banyak permasalahan dari cabang fikih. Mengingat hal tersebut sudah tercakup dalam kaidah fikih yang bersifat umum.” Ibnu Rajab pun pernah menuturkan,تُنَظَّمُ لَهُ مَنْشُورُ المَسَائِلِ فِي سِلْكٍ وَاحِدٍ، وَيُقَيَّدُ لَهُ الشَّوَارِدُ، وَيَقْرُبُ عَلَيْهِ كُلُّ مُتَبَاعِدٍ“Dengan kaidah itu, berbagai masalah yang terpisah akan tersusun dalam satu rangkaian, hal-hal yang jarang didapatkan akan tercatat, dan hal-hal yang jauh akan menjadi dekat.” Faidah keduaBahwasanya penguasaan kaidah-kaidah fikih dan pemahamannya akan membentuk kemampuan fikih bagi orang yang mempelajarinya dari satu sisi. Dari sisi lain, hal itu memungkinkan seorang faqih untuk mengetahui sumber-sumber fikih, sehingga membantu dia dalam mengeluarkan cabang-cabang hukum dengan cara yang benar, serta menggali hukum-hukum yang sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang baru muncul.As-Suyuthi rahimahullah berkata,اِعْلَمْ أَنَّ فَنَّ الأَشْبَاهِ وَالنَّظَائِرِ فَنٌّ عَظِيمٌ، بِهِ يُطَّلَعُ عَلَى حَقَائِقِ الفِقْهِ، وَمَدَارِكِهِ، وَمَآخِذِهِ، وَأَسْرَارِهِ، وَيَتَمَيَّزُ فِي فَهْمِهِ وَاسْتِحْضَارِهِ، وَيُقْدَرُ عَلَى الإِلْحَاقِ وَالتَّخْرِيجِ، وَمَعْرِفَةِ أَحْكَامِ المَسَائِلِ الَّتِي لَيْسَتْ بِمَسْطُورَةٍ، وَالحَوَادِثِ وَالوَقَائِعِ الَّتِي لَا تَنْقَضِي عَلَى مَمَرِّ الزَّمَانِ“Ketahuilah bahwa ilmu Al-Asybah wan Nadzair (ilmu kaidah fikih) adalah ilmu yang agung. Dengannya seseorang dapat mengetahui hakikat-hakikat fikih, sumber-sumbernya, asal-usulnya, dan rahasia-rahasianya. Ia akan unggul dalam memahami dan menguasainya, serta mampu melakukan analogi dan takhrij (mengeluarkan hukum), serta mengetahui hukum-hukum masalah yang tidak tertulis dalam kitab-kitab, juga peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang tidak akan pernah habis seiring berjalannya zaman.” Sedikit hal yang perlu diketahui, bahwa sebagian ulama ada yang menamakan ilmu kaidah fikih sebagai Al-Asybah wan Nadzair. Di antaranya ada Al-Imam As-Subki, Al-Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i, dan ada pula Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi.Di antara yang masyhur adalah karya Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi. Salah satu karya yang terkenal sebagai penyempurna dari kitab tersebut adalah kitab Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (kitab kodifikasi hukum Ottoman Turki), yang kemudian banyak mengambil kaidah dari Ibnu Nujaim.Intinya, Al-Asybah wan Nazair tidak terlalu jauh berbeda dengan kaidah fikih. Namun pada Al-Asybah wan Nazair, cakupannya lebih luas lagi dibandingkan kaidah fikih, tidak hanya teori semata, namun lebih kepada pemberian contoh-contoh pengaplikasian dari kaidah tersebut.Faidah ketigaMempelajari kaidah-kaidah fikih membantu untuk memahami maqashid (tujuan-tujuan) syariat. Karena dengan memahami kaidah fikih yang bersifat umum beserta masalah-masalah yang masuk di bawahnya, seseorang akan terbimbing dalam memahami maqashid syari’ah yang menjadi alasan adanya hukum-hukum cabang tersebut.Sebagai contoh, ketika seseorang mempelajari kaidah,المَشَقَّة تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ(kesulitan mendatangkan kemudahan), serta cabang-cabang dari hukum yang termasuk di bawahnya, tentunya akan memberikan gambaran kepadanya bahwa menghilangkan kesempitan dan mengangkat kesulitan adalah termasuk tujuan utama dari syariat ini. Sehingga nantinya, jika ada hukum-hukum di kemudian hari yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan dan kesempitan, tentunya kaidah ini dapat diterapkan.Seperti halnya salat, sebagaimana yang diketahui bahwa hukum salat adalah wajib. Dilaksanakan dalam keadaan berdiri; namun jika tidak mampu, maka bisa duduk atau berbaring. Artinya, dari kaidah tersebut dapat menjawab sebuah persoalan. Jika ada pertanyaan seperti, “Saya ingin salat, tapi saya tidak bisa berdiri untuk melaksanakannya karena ada sakit berupa luka yang saya rasa. Bolehkah saya salat dalam keadaan duduk?”Jawabannya, tentu boleh. Karena kaidahnya adalah kesulitan mendatangkan kemudahan. Demikianlah di antara faidah dari mempelajari ilmu kaidah fikih.Faidah keempatMempelajari kaidah-kaidah fikih dan menelitinya, dapat bermanfaat bagi orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu syariat. Karena dengan itu, mereka bisa mengetahui fikih dengan cara yang lebih mudah. Artinya, ilmu ini bisa dipelajari oleh siapa saja.Faidah kelimaPenguasaan dan pemahaman kaidah-kaidah fikih dapat bermanfaat dalam melakukan perbandingan antara berbagai mazhab fikih. Karena terkadang terdapat permasalahan-permasalahan yang para ulama berbeda pendapat padanya, disebabkan karena berangkat dari penggunaan kaidah-kaidah yang berbeda di antara para ulama mazhab fikih.Faidah keenamKaidah-kaidah fikih bermanfaat untuk memperlihatkan kepada orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu syariat tentang betapa luasnya cakupan fikih Islam, dan juga mencakup bantahan terhadap tuduhan sebagian orang yang menilainya sebagai ilmu yang jumud (kaku dan stagnan).Demikian di antara faidah dari mempelajari kaidah fikih. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asal-Usul dan Perkembangan Ilmu Kaidah Fikih***Depok, 3 Rabi’ul akhir 1447/ 24 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary. Dengan sedikit tambahan.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 4): Sikap Pertengahan dalam Membelanjakan Harta dan Menjauhi Dosa Besar

Daftar Isi ToggleBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitMenjauhi dosa-dosa besar dan maksiatBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS. Al-Furqan: 67)Termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman adalah sikap pertengahan mereka dalam mengelola hartanya, tidak boros (berlebihan) dan tidak pula pelit (kikir). Karena mereka mengetahui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang nikmat yang telah diberikan-Nya itu kepada mereka. Sebagaimana disebutkan secara sahih dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ“Tidak akan bergeser (sedikit pun) dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya, kemana dihabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya, untuk apa digunakannya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no. 7300)Adapun sikap mereka yang tidak berlebihan dan tidak pula kikir dalam membelanjakan hartanya itu dikarenakan mereka tidak suka menghambur-hamburkan hartanya melebihi batas yang telah Allah ‘Azza wa Jalla izinkan, baik untuk kebutuhan wajib mereka maupun yang dianjurkan. Sebaliknya, dalam berhemat pun; mereka justru bersemangat untuk membelanjakan hartanya pada sesuatu yang memang mereka butuhkan, yang mana dapat menunjang kehidupan mereka dan menjadi bekal tambahan serta penolong untuk kebaikan mereka di akhirat.Dan ini yang diwajibkan bagi seorang muslim, hendaknya ia bersikap pertengahan dalam setiap urusannya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan, baik dalam perkara ini maupun perkara lainnya, baik dalam perkara agama maupun perkara dunia.Dari Ka‘ab bin Farukh, dari Qatadah, dari Mutharrif bin ‘Abdullah, ia berkata,خيرُ هذه الأمور أوساطُها، والحسنةُ بين السيئتين“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan.”Lalu aku bertanya kepada Qatadah,ما الحسنةُ بين السيئتين؟“Apa maksud kebaikan yang berada di antara dua keburukan itu?”Maka, beliau menjawab (dengan mengutip firman Allah, QS. Al-Furqan : 67),وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 500)Menjauhi dosa-dosa besar dan maksiatAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan yang lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68)Di antara sifat paling nampak dari hamba-hamba Ar-Rahman yang bertakwa adalah menjauhi dosa-dosa besar dan segala bentuk pelanggaran dan maksiat. Allah ‘Azza wa Jalla secara khusus menyebutkan dalam ayat ini tiga dosa besar, karena ketiganya merupakan dosa yang paling besar dan paling berat secara mutlak, yaitu: (1) syirik kepada Allah Ta’ala; (2) membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah); dan (3) berzina.Adapun kesyirikan, maka hal ini berkaitan dengan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, dan ia adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Jalla wa ‘Ala bagi orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih melakukannya (belum bertobat darinya), sebagaimana firman-Nya,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Apabila seorang hamba memalingkan ibadahnya kepada selain Allah, seperti berdoa, meminta pertolongan, bernazar, menyembelih (kurban), dan lainnya, maka sungguh ia telah melakukan dosa paling besar yang membinasakan, dan kejahatan yang paling besar, yaitu syirik kepada Allah Jalla wa ‘Ala.Adapun membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah) adalah kejahatan yang sangat keji. Haknya berkaitan dengan pembunuh yang telah menzalimi dirinya dengan perbuatan ini, berkaitan pula dengan korban yang nyawanya dibunuh tanpa alasan yang benar, dan juga berkaitan dengan keluarga korban.Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لزَوَالُ الدُّنيَا أَهوَنُ عَلَى اللهِ مِن قَتلِ مُؤمِنٍ بِغَيرِ حَقٍّ“Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Ibnu Majah no. 2619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5078)Adapun zina, ia adalah perbuatan keji yang sangat berbahaya. Ia dapat membuat hati menjadi sakit dan rusak. Tidak hanya demikian, zina juga menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya maupun masyarakat, baik dalam hal keimanan, kesehatan fisik, kondisi jiwa, maupun kehidupan sosial.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ منه الإيمانُ وكان عليه كالظُّلَّة، فإذا انقطع رَجَعَ إليه الإيمانُ“Apabila seorang laki-laki berzina, maka keluarlah iman darinya, dan iman itu berada di atasnya seperti awan. Jika ia berhenti (dari perbuatan zina itu), maka iman pun kembali kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 4690, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 509)Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kepada kita dari segala hal yang bisa mendekatkan pada perbuatan keji ini (zina) atau menjadi penyebab seseorang terjerumus ke dalamnya. Karena itu, Islam melarang seorang laki-laki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, melarang wanita menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan mahramnya, melarang wanita keluar rumah dengan memakai wewangian (parfum) agar baunya tercium para laki-laki, serta memerintahkan laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan. Semua aturan syariat ini adalah bentuk penjagaan Allah bagi hamba-hamba-Nya agar terhindar dari dosa besar ini. Larangan-larangan itu ada karena perbuatan zina itu sangat berbahaya dan membawa dampak yang sangat buruk.Setelah Allah Jalla Jalaluh memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya menjauhi tiga dosa besar itu, Dia juga memperingatkan dalam bentuk ancaman bagi siapa pun yang tetap melakukan dosa-dosa tersebut berupa azab yang sangat keras dan berlipat ganda di neraka Jahanam –wal ‘iyadzubillah–. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَٰعَفْ لَهُ ٱلْعَذَابُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِۦ مُهَانًا“Dan barangsiapa melakukan demikian (dosa-dosa besar itu), niscaya ia akan mendapat pembalasan atas dosanya tersebut, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqan: 68–69)Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ancaman yang keras itu tidak berlaku bagi seorang hamba yang segera bertobat dari dosa-dosa besar tersebut, kembali kepada Allah Jalla Jalaluh, dan tunduk patuh kepada-Nya supaya ia memperoleh ampunan dan pengampunan-Nya. Mereka juga memperbanyak amal saleh dan ketaatan yang dapat mendekatkan diri kepada Ar-Rahman Tabaraka wa Ta’ala; sehingga Allah ‘Azza wa Jalla akan mengangkat derajat mereka di sisi-Nya, dan Allah ganti dosa-dosa mereka dengan kebaikan yang banyak.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَٰلِحًا فَأُو۟لَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka keburukan-keburukan mereka itu diganti Allah dengan kebaikan-kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 17-22.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 4): Sikap Pertengahan dalam Membelanjakan Harta dan Menjauhi Dosa Besar

Daftar Isi ToggleBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitMenjauhi dosa-dosa besar dan maksiatBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS. Al-Furqan: 67)Termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman adalah sikap pertengahan mereka dalam mengelola hartanya, tidak boros (berlebihan) dan tidak pula pelit (kikir). Karena mereka mengetahui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang nikmat yang telah diberikan-Nya itu kepada mereka. Sebagaimana disebutkan secara sahih dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ“Tidak akan bergeser (sedikit pun) dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya, kemana dihabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya, untuk apa digunakannya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no. 7300)Adapun sikap mereka yang tidak berlebihan dan tidak pula kikir dalam membelanjakan hartanya itu dikarenakan mereka tidak suka menghambur-hamburkan hartanya melebihi batas yang telah Allah ‘Azza wa Jalla izinkan, baik untuk kebutuhan wajib mereka maupun yang dianjurkan. Sebaliknya, dalam berhemat pun; mereka justru bersemangat untuk membelanjakan hartanya pada sesuatu yang memang mereka butuhkan, yang mana dapat menunjang kehidupan mereka dan menjadi bekal tambahan serta penolong untuk kebaikan mereka di akhirat.Dan ini yang diwajibkan bagi seorang muslim, hendaknya ia bersikap pertengahan dalam setiap urusannya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan, baik dalam perkara ini maupun perkara lainnya, baik dalam perkara agama maupun perkara dunia.Dari Ka‘ab bin Farukh, dari Qatadah, dari Mutharrif bin ‘Abdullah, ia berkata,خيرُ هذه الأمور أوساطُها، والحسنةُ بين السيئتين“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan.”Lalu aku bertanya kepada Qatadah,ما الحسنةُ بين السيئتين؟“Apa maksud kebaikan yang berada di antara dua keburukan itu?”Maka, beliau menjawab (dengan mengutip firman Allah, QS. Al-Furqan : 67),وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 500)Menjauhi dosa-dosa besar dan maksiatAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan yang lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68)Di antara sifat paling nampak dari hamba-hamba Ar-Rahman yang bertakwa adalah menjauhi dosa-dosa besar dan segala bentuk pelanggaran dan maksiat. Allah ‘Azza wa Jalla secara khusus menyebutkan dalam ayat ini tiga dosa besar, karena ketiganya merupakan dosa yang paling besar dan paling berat secara mutlak, yaitu: (1) syirik kepada Allah Ta’ala; (2) membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah); dan (3) berzina.Adapun kesyirikan, maka hal ini berkaitan dengan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, dan ia adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Jalla wa ‘Ala bagi orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih melakukannya (belum bertobat darinya), sebagaimana firman-Nya,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Apabila seorang hamba memalingkan ibadahnya kepada selain Allah, seperti berdoa, meminta pertolongan, bernazar, menyembelih (kurban), dan lainnya, maka sungguh ia telah melakukan dosa paling besar yang membinasakan, dan kejahatan yang paling besar, yaitu syirik kepada Allah Jalla wa ‘Ala.Adapun membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah) adalah kejahatan yang sangat keji. Haknya berkaitan dengan pembunuh yang telah menzalimi dirinya dengan perbuatan ini, berkaitan pula dengan korban yang nyawanya dibunuh tanpa alasan yang benar, dan juga berkaitan dengan keluarga korban.Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لزَوَالُ الدُّنيَا أَهوَنُ عَلَى اللهِ مِن قَتلِ مُؤمِنٍ بِغَيرِ حَقٍّ“Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Ibnu Majah no. 2619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5078)Adapun zina, ia adalah perbuatan keji yang sangat berbahaya. Ia dapat membuat hati menjadi sakit dan rusak. Tidak hanya demikian, zina juga menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya maupun masyarakat, baik dalam hal keimanan, kesehatan fisik, kondisi jiwa, maupun kehidupan sosial.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ منه الإيمانُ وكان عليه كالظُّلَّة، فإذا انقطع رَجَعَ إليه الإيمانُ“Apabila seorang laki-laki berzina, maka keluarlah iman darinya, dan iman itu berada di atasnya seperti awan. Jika ia berhenti (dari perbuatan zina itu), maka iman pun kembali kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 4690, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 509)Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kepada kita dari segala hal yang bisa mendekatkan pada perbuatan keji ini (zina) atau menjadi penyebab seseorang terjerumus ke dalamnya. Karena itu, Islam melarang seorang laki-laki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, melarang wanita menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan mahramnya, melarang wanita keluar rumah dengan memakai wewangian (parfum) agar baunya tercium para laki-laki, serta memerintahkan laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan. Semua aturan syariat ini adalah bentuk penjagaan Allah bagi hamba-hamba-Nya agar terhindar dari dosa besar ini. Larangan-larangan itu ada karena perbuatan zina itu sangat berbahaya dan membawa dampak yang sangat buruk.Setelah Allah Jalla Jalaluh memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya menjauhi tiga dosa besar itu, Dia juga memperingatkan dalam bentuk ancaman bagi siapa pun yang tetap melakukan dosa-dosa tersebut berupa azab yang sangat keras dan berlipat ganda di neraka Jahanam –wal ‘iyadzubillah–. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَٰعَفْ لَهُ ٱلْعَذَابُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِۦ مُهَانًا“Dan barangsiapa melakukan demikian (dosa-dosa besar itu), niscaya ia akan mendapat pembalasan atas dosanya tersebut, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqan: 68–69)Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ancaman yang keras itu tidak berlaku bagi seorang hamba yang segera bertobat dari dosa-dosa besar tersebut, kembali kepada Allah Jalla Jalaluh, dan tunduk patuh kepada-Nya supaya ia memperoleh ampunan dan pengampunan-Nya. Mereka juga memperbanyak amal saleh dan ketaatan yang dapat mendekatkan diri kepada Ar-Rahman Tabaraka wa Ta’ala; sehingga Allah ‘Azza wa Jalla akan mengangkat derajat mereka di sisi-Nya, dan Allah ganti dosa-dosa mereka dengan kebaikan yang banyak.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَٰلِحًا فَأُو۟لَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka keburukan-keburukan mereka itu diganti Allah dengan kebaikan-kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 17-22.
Daftar Isi ToggleBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitMenjauhi dosa-dosa besar dan maksiatBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS. Al-Furqan: 67)Termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman adalah sikap pertengahan mereka dalam mengelola hartanya, tidak boros (berlebihan) dan tidak pula pelit (kikir). Karena mereka mengetahui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang nikmat yang telah diberikan-Nya itu kepada mereka. Sebagaimana disebutkan secara sahih dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ“Tidak akan bergeser (sedikit pun) dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya, kemana dihabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya, untuk apa digunakannya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no. 7300)Adapun sikap mereka yang tidak berlebihan dan tidak pula kikir dalam membelanjakan hartanya itu dikarenakan mereka tidak suka menghambur-hamburkan hartanya melebihi batas yang telah Allah ‘Azza wa Jalla izinkan, baik untuk kebutuhan wajib mereka maupun yang dianjurkan. Sebaliknya, dalam berhemat pun; mereka justru bersemangat untuk membelanjakan hartanya pada sesuatu yang memang mereka butuhkan, yang mana dapat menunjang kehidupan mereka dan menjadi bekal tambahan serta penolong untuk kebaikan mereka di akhirat.Dan ini yang diwajibkan bagi seorang muslim, hendaknya ia bersikap pertengahan dalam setiap urusannya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan, baik dalam perkara ini maupun perkara lainnya, baik dalam perkara agama maupun perkara dunia.Dari Ka‘ab bin Farukh, dari Qatadah, dari Mutharrif bin ‘Abdullah, ia berkata,خيرُ هذه الأمور أوساطُها، والحسنةُ بين السيئتين“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan.”Lalu aku bertanya kepada Qatadah,ما الحسنةُ بين السيئتين؟“Apa maksud kebaikan yang berada di antara dua keburukan itu?”Maka, beliau menjawab (dengan mengutip firman Allah, QS. Al-Furqan : 67),وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 500)Menjauhi dosa-dosa besar dan maksiatAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan yang lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68)Di antara sifat paling nampak dari hamba-hamba Ar-Rahman yang bertakwa adalah menjauhi dosa-dosa besar dan segala bentuk pelanggaran dan maksiat. Allah ‘Azza wa Jalla secara khusus menyebutkan dalam ayat ini tiga dosa besar, karena ketiganya merupakan dosa yang paling besar dan paling berat secara mutlak, yaitu: (1) syirik kepada Allah Ta’ala; (2) membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah); dan (3) berzina.Adapun kesyirikan, maka hal ini berkaitan dengan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, dan ia adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Jalla wa ‘Ala bagi orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih melakukannya (belum bertobat darinya), sebagaimana firman-Nya,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Apabila seorang hamba memalingkan ibadahnya kepada selain Allah, seperti berdoa, meminta pertolongan, bernazar, menyembelih (kurban), dan lainnya, maka sungguh ia telah melakukan dosa paling besar yang membinasakan, dan kejahatan yang paling besar, yaitu syirik kepada Allah Jalla wa ‘Ala.Adapun membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah) adalah kejahatan yang sangat keji. Haknya berkaitan dengan pembunuh yang telah menzalimi dirinya dengan perbuatan ini, berkaitan pula dengan korban yang nyawanya dibunuh tanpa alasan yang benar, dan juga berkaitan dengan keluarga korban.Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لزَوَالُ الدُّنيَا أَهوَنُ عَلَى اللهِ مِن قَتلِ مُؤمِنٍ بِغَيرِ حَقٍّ“Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Ibnu Majah no. 2619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5078)Adapun zina, ia adalah perbuatan keji yang sangat berbahaya. Ia dapat membuat hati menjadi sakit dan rusak. Tidak hanya demikian, zina juga menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya maupun masyarakat, baik dalam hal keimanan, kesehatan fisik, kondisi jiwa, maupun kehidupan sosial.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ منه الإيمانُ وكان عليه كالظُّلَّة، فإذا انقطع رَجَعَ إليه الإيمانُ“Apabila seorang laki-laki berzina, maka keluarlah iman darinya, dan iman itu berada di atasnya seperti awan. Jika ia berhenti (dari perbuatan zina itu), maka iman pun kembali kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 4690, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 509)Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kepada kita dari segala hal yang bisa mendekatkan pada perbuatan keji ini (zina) atau menjadi penyebab seseorang terjerumus ke dalamnya. Karena itu, Islam melarang seorang laki-laki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, melarang wanita menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan mahramnya, melarang wanita keluar rumah dengan memakai wewangian (parfum) agar baunya tercium para laki-laki, serta memerintahkan laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan. Semua aturan syariat ini adalah bentuk penjagaan Allah bagi hamba-hamba-Nya agar terhindar dari dosa besar ini. Larangan-larangan itu ada karena perbuatan zina itu sangat berbahaya dan membawa dampak yang sangat buruk.Setelah Allah Jalla Jalaluh memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya menjauhi tiga dosa besar itu, Dia juga memperingatkan dalam bentuk ancaman bagi siapa pun yang tetap melakukan dosa-dosa tersebut berupa azab yang sangat keras dan berlipat ganda di neraka Jahanam –wal ‘iyadzubillah–. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَٰعَفْ لَهُ ٱلْعَذَابُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِۦ مُهَانًا“Dan barangsiapa melakukan demikian (dosa-dosa besar itu), niscaya ia akan mendapat pembalasan atas dosanya tersebut, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqan: 68–69)Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ancaman yang keras itu tidak berlaku bagi seorang hamba yang segera bertobat dari dosa-dosa besar tersebut, kembali kepada Allah Jalla Jalaluh, dan tunduk patuh kepada-Nya supaya ia memperoleh ampunan dan pengampunan-Nya. Mereka juga memperbanyak amal saleh dan ketaatan yang dapat mendekatkan diri kepada Ar-Rahman Tabaraka wa Ta’ala; sehingga Allah ‘Azza wa Jalla akan mengangkat derajat mereka di sisi-Nya, dan Allah ganti dosa-dosa mereka dengan kebaikan yang banyak.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَٰلِحًا فَأُو۟لَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka keburukan-keburukan mereka itu diganti Allah dengan kebaikan-kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 17-22.


Daftar Isi ToggleBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitMenjauhi dosa-dosa besar dan maksiatBersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelitAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS. Al-Furqan: 67)Termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman adalah sikap pertengahan mereka dalam mengelola hartanya, tidak boros (berlebihan) dan tidak pula pelit (kikir). Karena mereka mengetahui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang nikmat yang telah diberikan-Nya itu kepada mereka. Sebagaimana disebutkan secara sahih dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ“Tidak akan bergeser (sedikit pun) dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya, kemana dihabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya, untuk apa digunakannya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no. 7300)Adapun sikap mereka yang tidak berlebihan dan tidak pula kikir dalam membelanjakan hartanya itu dikarenakan mereka tidak suka menghambur-hamburkan hartanya melebihi batas yang telah Allah ‘Azza wa Jalla izinkan, baik untuk kebutuhan wajib mereka maupun yang dianjurkan. Sebaliknya, dalam berhemat pun; mereka justru bersemangat untuk membelanjakan hartanya pada sesuatu yang memang mereka butuhkan, yang mana dapat menunjang kehidupan mereka dan menjadi bekal tambahan serta penolong untuk kebaikan mereka di akhirat.Dan ini yang diwajibkan bagi seorang muslim, hendaknya ia bersikap pertengahan dalam setiap urusannya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan, baik dalam perkara ini maupun perkara lainnya, baik dalam perkara agama maupun perkara dunia.Dari Ka‘ab bin Farukh, dari Qatadah, dari Mutharrif bin ‘Abdullah, ia berkata,خيرُ هذه الأمور أوساطُها، والحسنةُ بين السيئتين“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan.”Lalu aku bertanya kepada Qatadah,ما الحسنةُ بين السيئتين؟“Apa maksud kebaikan yang berada di antara dua keburukan itu?”Maka, beliau menjawab (dengan mengutip firman Allah, QS. Al-Furqan : 67),وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 500)Menjauhi dosa-dosa besar dan maksiatAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan yang lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68)Di antara sifat paling nampak dari hamba-hamba Ar-Rahman yang bertakwa adalah menjauhi dosa-dosa besar dan segala bentuk pelanggaran dan maksiat. Allah ‘Azza wa Jalla secara khusus menyebutkan dalam ayat ini tiga dosa besar, karena ketiganya merupakan dosa yang paling besar dan paling berat secara mutlak, yaitu: (1) syirik kepada Allah Ta’ala; (2) membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah); dan (3) berzina.Adapun kesyirikan, maka hal ini berkaitan dengan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, dan ia adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Jalla wa ‘Ala bagi orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih melakukannya (belum bertobat darinya), sebagaimana firman-Nya,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Apabila seorang hamba memalingkan ibadahnya kepada selain Allah, seperti berdoa, meminta pertolongan, bernazar, menyembelih (kurban), dan lainnya, maka sungguh ia telah melakukan dosa paling besar yang membinasakan, dan kejahatan yang paling besar, yaitu syirik kepada Allah Jalla wa ‘Ala.Adapun membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah) adalah kejahatan yang sangat keji. Haknya berkaitan dengan pembunuh yang telah menzalimi dirinya dengan perbuatan ini, berkaitan pula dengan korban yang nyawanya dibunuh tanpa alasan yang benar, dan juga berkaitan dengan keluarga korban.Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لزَوَالُ الدُّنيَا أَهوَنُ عَلَى اللهِ مِن قَتلِ مُؤمِنٍ بِغَيرِ حَقٍّ“Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Ibnu Majah no. 2619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5078)Adapun zina, ia adalah perbuatan keji yang sangat berbahaya. Ia dapat membuat hati menjadi sakit dan rusak. Tidak hanya demikian, zina juga menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya maupun masyarakat, baik dalam hal keimanan, kesehatan fisik, kondisi jiwa, maupun kehidupan sosial.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ منه الإيمانُ وكان عليه كالظُّلَّة، فإذا انقطع رَجَعَ إليه الإيمانُ“Apabila seorang laki-laki berzina, maka keluarlah iman darinya, dan iman itu berada di atasnya seperti awan. Jika ia berhenti (dari perbuatan zina itu), maka iman pun kembali kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 4690, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 509)Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kepada kita dari segala hal yang bisa mendekatkan pada perbuatan keji ini (zina) atau menjadi penyebab seseorang terjerumus ke dalamnya. Karena itu, Islam melarang seorang laki-laki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, melarang wanita menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan mahramnya, melarang wanita keluar rumah dengan memakai wewangian (parfum) agar baunya tercium para laki-laki, serta memerintahkan laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan. Semua aturan syariat ini adalah bentuk penjagaan Allah bagi hamba-hamba-Nya agar terhindar dari dosa besar ini. Larangan-larangan itu ada karena perbuatan zina itu sangat berbahaya dan membawa dampak yang sangat buruk.Setelah Allah Jalla Jalaluh memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya menjauhi tiga dosa besar itu, Dia juga memperingatkan dalam bentuk ancaman bagi siapa pun yang tetap melakukan dosa-dosa tersebut berupa azab yang sangat keras dan berlipat ganda di neraka Jahanam –wal ‘iyadzubillah–. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَٰعَفْ لَهُ ٱلْعَذَابُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِۦ مُهَانًا“Dan barangsiapa melakukan demikian (dosa-dosa besar itu), niscaya ia akan mendapat pembalasan atas dosanya tersebut, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqan: 68–69)Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ancaman yang keras itu tidak berlaku bagi seorang hamba yang segera bertobat dari dosa-dosa besar tersebut, kembali kepada Allah Jalla Jalaluh, dan tunduk patuh kepada-Nya supaya ia memperoleh ampunan dan pengampunan-Nya. Mereka juga memperbanyak amal saleh dan ketaatan yang dapat mendekatkan diri kepada Ar-Rahman Tabaraka wa Ta’ala; sehingga Allah ‘Azza wa Jalla akan mengangkat derajat mereka di sisi-Nya, dan Allah ganti dosa-dosa mereka dengan kebaikan yang banyak.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَٰلِحًا فَأُو۟لَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka keburukan-keburukan mereka itu diganti Allah dengan kebaikan-kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 17-22.

Ketinggalan Shalat Jenazah Bagaimana Caranya? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Di antara pertanyaan dari media sosial, saudara Abdurrahman bertanya, ia berkata bahwa ia ketinggalan takbir pertama dan kedua dalam Shalat Jenazah kemudian ia bergabung bersama imam pada takbir ketiga. Apa yang harus ia lakukan? Ia harus membaca doa untuk mayit (pada takbir ketiga itu). Karena ketika ia memulai shalat bersama imam, ia harus mengikuti apa yang sedang dilakukan imam. Seperti halnya jika ia memulai shalat bersama imam setelah takbir kedua, maka saat itu ia langsung membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia bergabung saat imam sudah bertakbir untuk yang ketiga, maka ia membaca doa untuk mayit, sebagaimana yang dilakukan imam. Lalu, ketika imam bertakbir (untuk yang keempat), ia pun bertakbir bersamanya, kemudian mulai membaca surat Al-Fatihah. Apabila imam telah salam, ia tetap melanjutkan bacaan Al-Fatihah-nya hingga selesai. Setelah itu, ia bertakbir (ketiga), lalu membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bertakbir (keempat), lalu melakukan salam. ===== مِنْ أَسْئِلَةِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الْأَخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَسْأَلُ يَقُولُ إِنَّهُ فَاتَتْهُ التَّكْبِيرَةُ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ مِنْ صَلَاةِ الْجِنَازَةِ ثُمَّ دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ فِي التَّكْبِيرَةِ الثَّالِثَةِ فَمَاذَا يَفْعَلُ؟ يَدْعُو لِلْمَيِّتِ فَإِنَّهُ إِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ تَابَعَ الْإِمَامَ فِيمَا هُوَ عَلَيْهِ فَمِثْلُ مَا إِذَا لَمْ يَدْخُلْ إِلَّا بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الثَّانِيَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ وَالْإِمَامُ قَدْ كَبَّرَ التَّكْبِيرَةَ الثَّالِثَةَ فَإِنَّهُ يَدْعُو كَحَالِ الإِمَامِ فَإِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ كَبَّرَ مَعَهُ وَابْتَدَأَ بِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ إِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ اسْتَمَرَّ فِي قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُسَلِّمُ

Ketinggalan Shalat Jenazah Bagaimana Caranya? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Di antara pertanyaan dari media sosial, saudara Abdurrahman bertanya, ia berkata bahwa ia ketinggalan takbir pertama dan kedua dalam Shalat Jenazah kemudian ia bergabung bersama imam pada takbir ketiga. Apa yang harus ia lakukan? Ia harus membaca doa untuk mayit (pada takbir ketiga itu). Karena ketika ia memulai shalat bersama imam, ia harus mengikuti apa yang sedang dilakukan imam. Seperti halnya jika ia memulai shalat bersama imam setelah takbir kedua, maka saat itu ia langsung membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia bergabung saat imam sudah bertakbir untuk yang ketiga, maka ia membaca doa untuk mayit, sebagaimana yang dilakukan imam. Lalu, ketika imam bertakbir (untuk yang keempat), ia pun bertakbir bersamanya, kemudian mulai membaca surat Al-Fatihah. Apabila imam telah salam, ia tetap melanjutkan bacaan Al-Fatihah-nya hingga selesai. Setelah itu, ia bertakbir (ketiga), lalu membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bertakbir (keempat), lalu melakukan salam. ===== مِنْ أَسْئِلَةِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الْأَخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَسْأَلُ يَقُولُ إِنَّهُ فَاتَتْهُ التَّكْبِيرَةُ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ مِنْ صَلَاةِ الْجِنَازَةِ ثُمَّ دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ فِي التَّكْبِيرَةِ الثَّالِثَةِ فَمَاذَا يَفْعَلُ؟ يَدْعُو لِلْمَيِّتِ فَإِنَّهُ إِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ تَابَعَ الْإِمَامَ فِيمَا هُوَ عَلَيْهِ فَمِثْلُ مَا إِذَا لَمْ يَدْخُلْ إِلَّا بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الثَّانِيَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ وَالْإِمَامُ قَدْ كَبَّرَ التَّكْبِيرَةَ الثَّالِثَةَ فَإِنَّهُ يَدْعُو كَحَالِ الإِمَامِ فَإِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ كَبَّرَ مَعَهُ وَابْتَدَأَ بِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ إِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ اسْتَمَرَّ فِي قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُسَلِّمُ
Di antara pertanyaan dari media sosial, saudara Abdurrahman bertanya, ia berkata bahwa ia ketinggalan takbir pertama dan kedua dalam Shalat Jenazah kemudian ia bergabung bersama imam pada takbir ketiga. Apa yang harus ia lakukan? Ia harus membaca doa untuk mayit (pada takbir ketiga itu). Karena ketika ia memulai shalat bersama imam, ia harus mengikuti apa yang sedang dilakukan imam. Seperti halnya jika ia memulai shalat bersama imam setelah takbir kedua, maka saat itu ia langsung membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia bergabung saat imam sudah bertakbir untuk yang ketiga, maka ia membaca doa untuk mayit, sebagaimana yang dilakukan imam. Lalu, ketika imam bertakbir (untuk yang keempat), ia pun bertakbir bersamanya, kemudian mulai membaca surat Al-Fatihah. Apabila imam telah salam, ia tetap melanjutkan bacaan Al-Fatihah-nya hingga selesai. Setelah itu, ia bertakbir (ketiga), lalu membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bertakbir (keempat), lalu melakukan salam. ===== مِنْ أَسْئِلَةِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الْأَخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَسْأَلُ يَقُولُ إِنَّهُ فَاتَتْهُ التَّكْبِيرَةُ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ مِنْ صَلَاةِ الْجِنَازَةِ ثُمَّ دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ فِي التَّكْبِيرَةِ الثَّالِثَةِ فَمَاذَا يَفْعَلُ؟ يَدْعُو لِلْمَيِّتِ فَإِنَّهُ إِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ تَابَعَ الْإِمَامَ فِيمَا هُوَ عَلَيْهِ فَمِثْلُ مَا إِذَا لَمْ يَدْخُلْ إِلَّا بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الثَّانِيَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ وَالْإِمَامُ قَدْ كَبَّرَ التَّكْبِيرَةَ الثَّالِثَةَ فَإِنَّهُ يَدْعُو كَحَالِ الإِمَامِ فَإِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ كَبَّرَ مَعَهُ وَابْتَدَأَ بِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ إِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ اسْتَمَرَّ فِي قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُسَلِّمُ


Di antara pertanyaan dari media sosial, saudara Abdurrahman bertanya, ia berkata bahwa ia ketinggalan takbir pertama dan kedua dalam Shalat Jenazah kemudian ia bergabung bersama imam pada takbir ketiga. Apa yang harus ia lakukan? Ia harus membaca doa untuk mayit (pada takbir ketiga itu). Karena ketika ia memulai shalat bersama imam, ia harus mengikuti apa yang sedang dilakukan imam. Seperti halnya jika ia memulai shalat bersama imam setelah takbir kedua, maka saat itu ia langsung membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia bergabung saat imam sudah bertakbir untuk yang ketiga, maka ia membaca doa untuk mayit, sebagaimana yang dilakukan imam. Lalu, ketika imam bertakbir (untuk yang keempat), ia pun bertakbir bersamanya, kemudian mulai membaca surat Al-Fatihah. Apabila imam telah salam, ia tetap melanjutkan bacaan Al-Fatihah-nya hingga selesai. Setelah itu, ia bertakbir (ketiga), lalu membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bertakbir (keempat), lalu melakukan salam. ===== مِنْ أَسْئِلَةِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الْأَخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَسْأَلُ يَقُولُ إِنَّهُ فَاتَتْهُ التَّكْبِيرَةُ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ مِنْ صَلَاةِ الْجِنَازَةِ ثُمَّ دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ فِي التَّكْبِيرَةِ الثَّالِثَةِ فَمَاذَا يَفْعَلُ؟ يَدْعُو لِلْمَيِّتِ فَإِنَّهُ إِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ تَابَعَ الْإِمَامَ فِيمَا هُوَ عَلَيْهِ فَمِثْلُ مَا إِذَا لَمْ يَدْخُلْ إِلَّا بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الثَّانِيَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ وَالْإِمَامُ قَدْ كَبَّرَ التَّكْبِيرَةَ الثَّالِثَةَ فَإِنَّهُ يَدْعُو كَحَالِ الإِمَامِ فَإِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ كَبَّرَ مَعَهُ وَابْتَدَأَ بِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ إِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ اسْتَمَرَّ فِي قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُكَبِّرُ ثُمَّ يُسَلِّمُ

Hidup di Dunia dengan Nafas Akhirat

العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة Oleh: Asyrafuddin Khan أشرف الدين خان شاءت مشيئة الله تعالى أن نُولد -نحن أبناء آدم عليه السلام- على وجه هذه الأرض، وأن ننشأ ونَتربَّى فوق هذه الدنيا، وأن نعيش ونموت ونُدفَن تحت تُرابها، ونخرج منها إلى أرض المحشر، ثم منه إمَّا إلى الجنة دار الخلد والنعيم، أو إلى جهنم دار الخزي والعذاب الأليم- والعياذ بالله من ذلك- تلك خطة مسير الحياة الإنسانية. Sudah menjadi kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita —anak keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam— lahir di muka bumi ini, kita tumbuh dan berkembang di atas tanah ini, dan kita hidup, mati, dan dikubur di bawah tanah ini, kemudian kita akan dibangkitkan darinya ke Tanah Mahsyar, baru kemudian antara ke surga, negeri keabadian dan penuh kenikmatan, atau ke neraka Jahannam, negeri kehinaan dan azab yang pedih, naudzubillah. Demikianlah rute perjalanan hidup manusia. فالدنيا التي نعيش فيها ليست لنا دار القرار؛ وإنما هي ممرٌّ لنا نمرُّ به إلى عالم الآخرة، ولقد كلَّفنا الله تعالى بشريعة غرَّاء تضمن لنا النجاح والفلاح في هذه الدنيا والآخرة معًا، فالدنيا لنا مزرعة للآخرة، كما أخبرنا رسولُنا صلى الله عليه وسلم بذلك، نزرع في الدنيا، ونحصد في الآخرة، ويجعل الدنيا دار يستقرُّ فيها من لا دارَ له في الآخرة، ولها يجمع مَن لا عقل له، كما يُفهَم من ضوء الحديث. Dunia sebagai tempat kita hidup ini bukanlah tempat menetap kita, tapi hanya sebagai lorong yang harus kita lalui menuju alam akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan bagi kita dengan syariat yang suci yang menjamin bagi kita kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat sekaligus. Dunia merupakan tempat kita menanam untuk akhirat, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada kita tentang itu. Kita menabur di dunia dan menuai di akhirat. Dunia dijadikan tempat menetap oleh orang yang tidak punya tempat di akhirat, dan dunia dikumpulkan oleh orang yang tidak punya akal sehat, sebagaimana yang dapat kita pahami dari redaksi hadits. فمن علامات إيمان الإنسان بفناء الدنيا وخلود الآخرة: التجافي عن دار الغُرور، والإنابة إلى دار الخُلود، والاستعداد للموت قبل نزول الموت، فالإنسان لا يستطيع أن يخرج من هذه الدنيا إلا بالموت، فلا بدَّ له من العيش فيها، ويعمل لإسعاد حياته الأُخروية، فالإنسان يعيش في هذه الدنيا بجسده وأعضائه؛ ولكن روحه وقلبه وتصوراته تسبح في خيال الآخرة، يجتهد في الدنيا لأجل أن يسعد في الآخرة، ويحرم نفسه في الدنيا من ملذَّاتها وشهواتها لأجل الحصول على رضوان الله تعالى في الآخرة، فهو يرسم نتيجة عمله وعاقبته في الآخرة قبل أن يضع قدمه للإقدام على عمل ما؛ هذا ما نعنيه من قولنا: (العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة). Di antara tanda keimanan seseorang terhadap kefanaan dunia dan keabadian akhirat adalah menjaga jarak dari dunia yang melenakan ini dan condong kepada negeri keabadian serta mempersiapkan diri untuk kematian sebelum benar-benar datang.  Manusia tidak dapat keluar dari dunia ini kecuali melalui kematian, sehingga manusia harus hidup di dunia terlebih dahulu dan beramal di sana untuk menjadikan kehidupan akhiratnya bahagia. Manusia hidup di dunia ini dengan jasad dan anggota badannya, tapi ruh, hati, dan pikirannya mengarungi bayangan akhirat, bersungguh-sungguh di dunia demi dapat bahagia di akhirat, menahan diri di dunia dari kenikmatan dan syahwatnya demi dapat meraih keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat. Ia melukis sendiri hasil amalan dan ganjarannya di akhirat terlebih dahulu, sebelum melangkahkan kakinya untuk suatu amalan yang akan dilakukan. Inilah yang kami maksud dengan ungkapan, “Hidup di dunia dengan nafas akhirat.” الإنسان المؤمن الحقيقي يعيش في هذه الدنيا مع بني جنسه، يشارك أفراحه وأحزانه، ويساهم في نشاطاته؛ ولكنه لا ينغمس في أمواج الدنيا، ولا يغفل عن هدفه الأقصى، فهو دائمًا يتذكَّر أن أمامه حياة خالدة ينعم فيها المتقون، ويشقى فيها الكافرون. Seorang Mukmin hakiki hidup di dunia bersama sesama manusia lainnya, turut serta dalam kebahagiaan dan kesedihan mereka, dan berkontribusi dalam kegiatan mereka. Namun, dia tidak tenggelam dalam gelombang dunia dan tidak lalai dari tujuan utamanya. Dia selalu ingat bahwa di depannya terdapat kehidupan abadi yang akan menjadi tempat kenikmatan bagi orang-orang yang bertakwa dan tempat kesengsaraan bagi orang-orang yang kafir. لقد صوَّرت لنا آياتُ القرآن الكريم حقيقةَ الحياة الدنيا أوضح تصوير، نقتبس منها على سبيل العبرة قولَ الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴾ [يونس: 24]. Ayat-ayat Al-Qur’an telah memberi kita gambaran tentang hakikat kehidupan dunia dengan gambaran yang teramat jelas. Kita sebutkan salah satunya sebagai contoh sekilas, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang (dapat) dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang. Lalu, Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir.” (QS. Yunus: 24). فطبيعة هذه الدنيا أنها لا تستقرُّ على حال؛ وإنما هي سريعة الزوال والفناء؛ فيجب على الإنسان العائش فيها أن يعتبر من هذه الدنيا، ويأخذ منها لآخرته. ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((يقول العبدُ: مالي مالي، إنما له من مالِه ثلاثٌ: ما أكَلَ فأفْنَى، أو لبِس فأبْلَى، أو أعطى فاقْتَنى، وما سوى ذلك فهو ذاهبٌ، وتاركُه للناس))؛ (رواه مسلم). وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيضًا: ((مَن أحبَّ دنياه أضرَّ بآخرته، ومَن أحبَّ آخرته أضرَّ بدنياه، فآثروا ما يبقى على ما يفنى))؛ رواه أحمد. وقد اتَّخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الدنيا الفانية كظلِّ شجرةٍ جلس المسافر المرهَق تحتها، ثم تركها، وواصل مشوارها إلى منزله، فعن ابن مسعود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نام على حصير، فقام وقد أثَّر في جسده، فقال ابن مسعود: يا رسول الله، لو أمرتنا أن نبسط لك ونعمل، فقال: ((ما لي وللدُّنْيا، وما أنا والدُّنْيا إلا كراكبٍ استظَلَّ تحت شجرةٍ، ثم راحَ وتركَها))؛ رواه أحمد والترمذي. Sudah menjadi tabiat dunia ini bahwa ia tidak terpaku pada satu keadaan, tapi cepat sekali hilang dan lenyap. Oleh sebab itu, seorang insan yang hidup di dalamnya harus mengambil pelajaran dari sifat dunia ini, dan memanfaatkannya untuk kehidupan akhiratnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:  يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ “Seorang hamba mengatakan, ‘Hartaku! Hartaku!’ Padahal hartanya yang menjadi miliknya hanya tiga, yang dia makan lalu habis, yang dia pakai lalu usang, atau yang dia berikan lalu menjadi milik orang lain. Adapun selain itu akan lenyap dan akan dia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda: مَنْ أحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ، وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أضَرَّ بِدُنْيَاهُ، فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى “Siapa yang mencintai dunianya pasti akan merugikan akhiratnya, dan siapa yang mencintai akhiratnya pasti akan merugikan dunianya. Oleh sebab itu, utamakanlah yang kekal daripada yang fana.” (HR. Ahmad). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpamakan dunia yang fana ini seperti naungan pohon yang dijadikan tempat berteduh oleh seorang musafir yang kelelahan, kemudian dia meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah tidur beralaskan tikar. Lalu beliau bangun dan menyisakan bekas tikar di badan beliau. Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Kalaulah engkau menyuruh kami untuk menghamparkan tempat tidur yang lebih baik bagi engkau?!” Kemudian beliau menanggapi: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا “Apa urusanku dengan dunia ini, aku dan dunia ini tidak lain hanyalah seperti musafir yang berteduh di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pohon itu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). نجد في آيات القرآن الكريم أنها دائمًا تسترعي أنظار القرَّاء والتالين إلى التفكُّر في أحوال الدنيا، ثم التنقُّل منها إلى أحوال الآخرة، نذكر على سبيل المثال هذه الآية؛ حيث قال الله تعالى فيها: ﴿ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ ﴾ [الحج: 6- 7]؛ فهذه الآية صوَّرت لنا من صورة كون الأرض هامدة، ثم اهتزازها، وإنباتها كل زوج كريم كون الله تعالى قادرًا على إحياء الموتى يوم يُنفخ في الصور؛ فهذا لفت أنظار الناس من حال الدنيا إلى حال الآخرة. Kita dapati dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa ia selalu mengajak para pembacanya untuk mencermati sifat dan keadaan dunia, lalu mengajak kita juga untuk mencermati sifat dan keadaan akhirat. Sebagai salah satu contohnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ “Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tumbuhan) yang indah. Demikianlah (penciptaan manusia) itu karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dialah yang Maha Benar dan sesungguhnya Dia menghidupkan orang-orang yang mati dan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.” (QS. Al-Hajj: 5-7). Ayat tersebut memberi kita gambaran tentang keadaan bumi yang kering, lalu mulai menumbuhkan biji dan tumbuhan dengan berbagai jenisnya, yang menjadi gambaran tentang kuasa Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menghidupkan orang-orang mati pada hari ditiupnya sangkakala. Ini merupakan salah satu metode menarik perhatian manusia dari keadaan dunia menuju keadaan akhirat. والرسول صلى الله عليه وسلم ربَّى أصحابه على هذه التربية الأُخروية، فأصحابه كانوا يعيشون على وجه هذه الأرض؛ ولكن كان نظرهم ملصقًا بالآخرة، فعن أنس رضي الله تعالى عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم لقي رجلًا يُقال له حارثة في بعض سكك المدينة، فقال: ((كيف أصبحت يا حارثة؟))، قال: أصبحت مؤمنًا حقًّا، قال: ((إنَّ لكُلِّ إيمانٍ حقيقةً، فما حقيقةُ إيمانِك؟))، قال: عزفَتْ نفسي عن الدنيا، فأظمأتُ نهاري، وأسهرتُ ليلي، وكأني بعرش ربي بارزًا، وكأني بأهل الجنة في الجنة يتنعَّمُون فيها، وكأني بأهل النار في النار يُعذَّبون، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((أصبتَ فالْزَمْ، مؤمنٌ نوَّر اللهُ قلبَه)). Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mendidik para sahabat beliau dengan didikan yang berorientasi pada akhirat. Para sahabat beliau hidup di muka bumi, tapi pandangan mereka selalu terpaut dengan akhirat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah berjumpa dengan seseorang yang bernama Haritsah di salah satu gang kota Madinah. Beliau lalu bertanya, “Bagaimana pagi harimu, wahai Haritsah?” Ia menjawab, “Pagi hari ini saya dalam keadaan beriman sebenar-benarnya.” Beliau lalu bertanya lagi, “Setiap iman itu ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?” Ia menjawab, “Diriku telah mengetahui dunia, sehingga aku berpuasa di siang hari dan Shalat Malam di malam hari, seakan-akan arsy Tuhanku tampak olehku, seakan-akan aku melihat para penghuni surga bersenang-senang di dalamnya, dan seakan-akan aku melihat para penghuni neraka diazab di dalamnya.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Kamu di atas kebenaran, maka konsistenlah! Kamu orang beriman yang hatinya diberi cahaya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”  ولننظر إلى بعض أدعية الرسول صلى الله عليه وسلم المسنونة، نجد هذه المعنويات في نصوصها كثيرة، يقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((اللهمَّ بك أصبحنا، وبك أمسينا، وبك نحيا، وبك نموت، وإليك النشور))، ويقول بعدما يستيقظ من النوم: ((الحمدُ للهِ الذي أحيانا بعدما أماتنا، وإليه النشور)). Mari kita cermati pula beberapa doa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang beliau contohkan: kita temui makna-makna tersebut banyak terhimpun dalam redaksinya. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: اللّهُـمَّ بِكَ أَصْـبَحْنا وَبِكَ أَمْسَـينا وَبِكَ نَحْـيا وَبِكَ نَمُـوتُ وَإِلَـيْكَ النُّـشُور “Ya Allah, dengan-Mu kami memasuki waktu pagi dan dengan-Mu kami memasuki waktu petang. Dengan-Mu kami hidup dan dengan-Mu kami mati serta hanya kepada-Mu kami dibangkitkan.” Beliau juga membaca doa ketika bangun tidur: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitkan.” فمثل هذه الأدعية تُذكَّرنا بالآخرة، وتسوقنا من ضيق الدنيا إلى رحب الآخرة وسعتها، وترسِّخ في نفوس المؤمنين أن هذه الحياة الدنيا ليست النهاية؛ وإنما هي همزة وصل بالحياة الأبدية. تصوَّر معي هذه المعنويات -أعني بها: العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة- في قول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((للصائمِ فرحتانِ: فرحةٌ عند فطره، وفرحةُ عند لقاءِ ربِّه))؛ حيث جعل هذا الحديث الشريف المؤمن الصائم ينتظر لقاء الله لأجل أن يحصل على أجر الآخرة كاملًا. Doa-doa seperti ini semakin mengingatkan kita terhadap akhirat, menuntun kita dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dan mengokohkan dalam jiwa orang-orang beriman bahwa kehidupan dunia ini bukanlah akhir, tapi lorong yang menuntun kita menuju kehidupan yang abadi. Mari kita bayangkan bersama makna ini —yakni tentang hidup di dunia dengan nafas akhirat— dalam sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:  لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” Hadits yang mulia ini menjadikan seorang mukmin yang berpuasa merindukan perjumpaan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar dapat meraih pahala akhirat secara sempurna. تصوَّر معي كذلك جمال قول رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما أفطر: ((ذهَبَ الظَّمَأُ، وابتلَّت العُرُوق، وثبَتَ الأجْرُ إنْ شاء اللهُ تعالى))؛ يعني: يشكر العبد الصائم بعدما أفطر برزق الله تعالى، فقال: ((ذهب الظمأ)) الذي كان يُعانيه طول نهاره، ((وابتلَّت العروق)) الجافَّة، ولم يكتفِ بهذا القدر من الدعاء؛ وإنما مال إلى الجانب الحقيقي من هذا الدعاء؛ وهو أن تعب هذا الصيام يرجو أن يكون قد كتبه الله تعالى في صحيفة أعماله. Mari kita bayangkan bersama juga bagaimana keindahan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah beliau berbuka puasa: ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, serta pahala telah ditetapkan, InsyaAllah.” Yakni ini merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba setelah berbuka puasa dengan rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia mengucapkan, “Telah hilang rasa haus” yang sebelumnya ia rasakan sepanjang siang; “dan urat-urat telah basah” yakni yang sebelumnya mengering. Kemudian doa ini tidak hanya cukup sampai di sini, tapi berpindah ke sisi yang sebenarnya, yaitu lelah dan letih dari puasa ini semoga telah dicatat pahalanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di buku catatan amalannya. يُقال عن السيدة عائشة الصدِّيقة رضي الله تعالى عنها أنها كانت تُزيِّن الفلوس وتُعطِّرها لما كانت تنفقها على الفقير، حيث كانت تقول: إن هذه الفلوس تقع في يد الله الشريفة قبل أن تقع في يد الفقير Dikisahkan bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha memperbagus dan memberi parfum pada uang yang hendak diinfakkan kepada orang fakir. Beliau berkata, “Uang ini sampai di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mulia sebelum sampai di tangan orang fakir.” وقد سمَّى الله تعالى بيتًا في الجنة ببيت الحمد؛ وذلك حيث إنه لو مات لأحد ذريته الصغيرة، فصبر على تلك المصيبة، يقول الله سبحانه وتعالى لملائكته: ((قبضتم ثمرة فؤاد عبدي، فماذا صنع؟ فيقولون: حمدك واسترجع، فيقول الله للملائكة: ابنوا له بيتًا في الجنة، وسمُّوه ببيت الحمد)). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menamai salah satu istana surga dengan nama istana pujian. Hal ini karena istana ini dikaruniakan kepada orang yang ketika ditinggal wafat anaknya yang masih kecil, ia bersabar atas musibah itu. Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala bertanya kepada para malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa salah satu buah hati hamba-Ku, lalu apa yang ia perbuat?” Para malaikat lalu menjawab, “Dia memuji Engkau dan mengucapkan kalimat istirja’.” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada para malaikat, “Bangunkanlah baginya istana di surga, lalu namailah dengan istana pujian.”  والمؤمن الصائم في الدنيا يكون له بابٌ في الجنة باسم الريان، ويقول العبد المؤمن: سبحان الله مرة، والحمد لله مرة؛ فيغرس له شجرة في الجنة، فهذا التصوُّر والخيال يسوق العبد من الدنيا إلى الآخرة، ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((مَن بنى لله بيتًا بنى اللهُ له بيتًا في الجنة)). Seorang mukmin yang berpuasa di dunia akan memiliki pintu surga bernama Ar-Rayyan. Seorang hamba mukmin yang mengucapkan, Subhanallah satu kali, dan Alhamdulillah satu kali akan ditanam baginya satu pohon di surga. Gambaran dan visualisasi seperti ini dapat menuntun seorang hamba dari alam dunia menuju alam akhirat.  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Siapa yang membangun masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangunkannya istana di surga.” فالمؤمن يبني في الدنيا مسجدًا، فيجب عليه أن يتصوَّر أن الله يبني له بيتًا في الجنة، فهذه التصوُّرات الرائعة والمعنوية تجعل الإنسان يقتنع بأنه لا شيء يضيع في حياة المؤمن، فكل اجتهادٍ اجتهده المؤمن في حياته، وكل مصيبة أصابته فصبر عليها، وكل فَقْدٍ ذاقَ مرارتَه، وكل حرمان نزل في حياته، مضمونٌ له أجره وثوابه عند الله في الآخرة، فلا شيء يضيع في حياة المؤمن؛ وإنما هي مسألة وقت وزمان فقط. Seorang mukmin yang membangun masjid ketika di dunia harus membayangkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala membangun istana baginya di surga. Bayangan dan penghayatan yang indah ini akan menjadikan seorang insan merasa bahwa tidak ada apa pun yang sia-sia dalam kehidupan orang yang beriman. Semua usaha yang diusahakan orang yang beriman di hidupnya, semua musibah yang menimpanya lalu ia bersabar, setiap kehilangan yang ia rasakan pahitnya, dan setiap kekurangan yang terjadi dalam hidupnya telah terjamin pahala dan ganjarannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat kelak, sehingga tidak ada apa pun yang sia-sia di kehidupan orang yang beriman. Ini hanyalah masalah waktu saja. فعِشْ أيها الإنسان المرهق في كَبَدِ الدُّنيا بأنفاس الآخرة؛ تجد الحياة مليئةً بالنعمة والروحانية، تذكَّر وعد الله تعالى: ﴿ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [القصص: 83]. Wahai insan yang lelah menghadapi kesulitan dunia! Hiduplah dengan nafas akhirat, niscaya kamu akan mendapati hidup ini penuh dengan kenikmatan dan kedamaian. Ingatlah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala: تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Kesudahan (yang baik, yakni surga) itu (disediakan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qasas: 83). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/157742/العيش-في-الدنيا-بأنفاس-الآخرة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 502 times, 1 visit(s) today Post Views: 184 QRIS donasi Yufid

Hidup di Dunia dengan Nafas Akhirat

العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة Oleh: Asyrafuddin Khan أشرف الدين خان شاءت مشيئة الله تعالى أن نُولد -نحن أبناء آدم عليه السلام- على وجه هذه الأرض، وأن ننشأ ونَتربَّى فوق هذه الدنيا، وأن نعيش ونموت ونُدفَن تحت تُرابها، ونخرج منها إلى أرض المحشر، ثم منه إمَّا إلى الجنة دار الخلد والنعيم، أو إلى جهنم دار الخزي والعذاب الأليم- والعياذ بالله من ذلك- تلك خطة مسير الحياة الإنسانية. Sudah menjadi kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita —anak keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam— lahir di muka bumi ini, kita tumbuh dan berkembang di atas tanah ini, dan kita hidup, mati, dan dikubur di bawah tanah ini, kemudian kita akan dibangkitkan darinya ke Tanah Mahsyar, baru kemudian antara ke surga, negeri keabadian dan penuh kenikmatan, atau ke neraka Jahannam, negeri kehinaan dan azab yang pedih, naudzubillah. Demikianlah rute perjalanan hidup manusia. فالدنيا التي نعيش فيها ليست لنا دار القرار؛ وإنما هي ممرٌّ لنا نمرُّ به إلى عالم الآخرة، ولقد كلَّفنا الله تعالى بشريعة غرَّاء تضمن لنا النجاح والفلاح في هذه الدنيا والآخرة معًا، فالدنيا لنا مزرعة للآخرة، كما أخبرنا رسولُنا صلى الله عليه وسلم بذلك، نزرع في الدنيا، ونحصد في الآخرة، ويجعل الدنيا دار يستقرُّ فيها من لا دارَ له في الآخرة، ولها يجمع مَن لا عقل له، كما يُفهَم من ضوء الحديث. Dunia sebagai tempat kita hidup ini bukanlah tempat menetap kita, tapi hanya sebagai lorong yang harus kita lalui menuju alam akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan bagi kita dengan syariat yang suci yang menjamin bagi kita kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat sekaligus. Dunia merupakan tempat kita menanam untuk akhirat, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada kita tentang itu. Kita menabur di dunia dan menuai di akhirat. Dunia dijadikan tempat menetap oleh orang yang tidak punya tempat di akhirat, dan dunia dikumpulkan oleh orang yang tidak punya akal sehat, sebagaimana yang dapat kita pahami dari redaksi hadits. فمن علامات إيمان الإنسان بفناء الدنيا وخلود الآخرة: التجافي عن دار الغُرور، والإنابة إلى دار الخُلود، والاستعداد للموت قبل نزول الموت، فالإنسان لا يستطيع أن يخرج من هذه الدنيا إلا بالموت، فلا بدَّ له من العيش فيها، ويعمل لإسعاد حياته الأُخروية، فالإنسان يعيش في هذه الدنيا بجسده وأعضائه؛ ولكن روحه وقلبه وتصوراته تسبح في خيال الآخرة، يجتهد في الدنيا لأجل أن يسعد في الآخرة، ويحرم نفسه في الدنيا من ملذَّاتها وشهواتها لأجل الحصول على رضوان الله تعالى في الآخرة، فهو يرسم نتيجة عمله وعاقبته في الآخرة قبل أن يضع قدمه للإقدام على عمل ما؛ هذا ما نعنيه من قولنا: (العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة). Di antara tanda keimanan seseorang terhadap kefanaan dunia dan keabadian akhirat adalah menjaga jarak dari dunia yang melenakan ini dan condong kepada negeri keabadian serta mempersiapkan diri untuk kematian sebelum benar-benar datang.  Manusia tidak dapat keluar dari dunia ini kecuali melalui kematian, sehingga manusia harus hidup di dunia terlebih dahulu dan beramal di sana untuk menjadikan kehidupan akhiratnya bahagia. Manusia hidup di dunia ini dengan jasad dan anggota badannya, tapi ruh, hati, dan pikirannya mengarungi bayangan akhirat, bersungguh-sungguh di dunia demi dapat bahagia di akhirat, menahan diri di dunia dari kenikmatan dan syahwatnya demi dapat meraih keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat. Ia melukis sendiri hasil amalan dan ganjarannya di akhirat terlebih dahulu, sebelum melangkahkan kakinya untuk suatu amalan yang akan dilakukan. Inilah yang kami maksud dengan ungkapan, “Hidup di dunia dengan nafas akhirat.” الإنسان المؤمن الحقيقي يعيش في هذه الدنيا مع بني جنسه، يشارك أفراحه وأحزانه، ويساهم في نشاطاته؛ ولكنه لا ينغمس في أمواج الدنيا، ولا يغفل عن هدفه الأقصى، فهو دائمًا يتذكَّر أن أمامه حياة خالدة ينعم فيها المتقون، ويشقى فيها الكافرون. Seorang Mukmin hakiki hidup di dunia bersama sesama manusia lainnya, turut serta dalam kebahagiaan dan kesedihan mereka, dan berkontribusi dalam kegiatan mereka. Namun, dia tidak tenggelam dalam gelombang dunia dan tidak lalai dari tujuan utamanya. Dia selalu ingat bahwa di depannya terdapat kehidupan abadi yang akan menjadi tempat kenikmatan bagi orang-orang yang bertakwa dan tempat kesengsaraan bagi orang-orang yang kafir. لقد صوَّرت لنا آياتُ القرآن الكريم حقيقةَ الحياة الدنيا أوضح تصوير، نقتبس منها على سبيل العبرة قولَ الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴾ [يونس: 24]. Ayat-ayat Al-Qur’an telah memberi kita gambaran tentang hakikat kehidupan dunia dengan gambaran yang teramat jelas. Kita sebutkan salah satunya sebagai contoh sekilas, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang (dapat) dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang. Lalu, Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir.” (QS. Yunus: 24). فطبيعة هذه الدنيا أنها لا تستقرُّ على حال؛ وإنما هي سريعة الزوال والفناء؛ فيجب على الإنسان العائش فيها أن يعتبر من هذه الدنيا، ويأخذ منها لآخرته. ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((يقول العبدُ: مالي مالي، إنما له من مالِه ثلاثٌ: ما أكَلَ فأفْنَى، أو لبِس فأبْلَى، أو أعطى فاقْتَنى، وما سوى ذلك فهو ذاهبٌ، وتاركُه للناس))؛ (رواه مسلم). وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيضًا: ((مَن أحبَّ دنياه أضرَّ بآخرته، ومَن أحبَّ آخرته أضرَّ بدنياه، فآثروا ما يبقى على ما يفنى))؛ رواه أحمد. وقد اتَّخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الدنيا الفانية كظلِّ شجرةٍ جلس المسافر المرهَق تحتها، ثم تركها، وواصل مشوارها إلى منزله، فعن ابن مسعود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نام على حصير، فقام وقد أثَّر في جسده، فقال ابن مسعود: يا رسول الله، لو أمرتنا أن نبسط لك ونعمل، فقال: ((ما لي وللدُّنْيا، وما أنا والدُّنْيا إلا كراكبٍ استظَلَّ تحت شجرةٍ، ثم راحَ وتركَها))؛ رواه أحمد والترمذي. Sudah menjadi tabiat dunia ini bahwa ia tidak terpaku pada satu keadaan, tapi cepat sekali hilang dan lenyap. Oleh sebab itu, seorang insan yang hidup di dalamnya harus mengambil pelajaran dari sifat dunia ini, dan memanfaatkannya untuk kehidupan akhiratnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:  يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ “Seorang hamba mengatakan, ‘Hartaku! Hartaku!’ Padahal hartanya yang menjadi miliknya hanya tiga, yang dia makan lalu habis, yang dia pakai lalu usang, atau yang dia berikan lalu menjadi milik orang lain. Adapun selain itu akan lenyap dan akan dia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda: مَنْ أحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ، وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أضَرَّ بِدُنْيَاهُ، فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى “Siapa yang mencintai dunianya pasti akan merugikan akhiratnya, dan siapa yang mencintai akhiratnya pasti akan merugikan dunianya. Oleh sebab itu, utamakanlah yang kekal daripada yang fana.” (HR. Ahmad). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpamakan dunia yang fana ini seperti naungan pohon yang dijadikan tempat berteduh oleh seorang musafir yang kelelahan, kemudian dia meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah tidur beralaskan tikar. Lalu beliau bangun dan menyisakan bekas tikar di badan beliau. Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Kalaulah engkau menyuruh kami untuk menghamparkan tempat tidur yang lebih baik bagi engkau?!” Kemudian beliau menanggapi: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا “Apa urusanku dengan dunia ini, aku dan dunia ini tidak lain hanyalah seperti musafir yang berteduh di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pohon itu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). نجد في آيات القرآن الكريم أنها دائمًا تسترعي أنظار القرَّاء والتالين إلى التفكُّر في أحوال الدنيا، ثم التنقُّل منها إلى أحوال الآخرة، نذكر على سبيل المثال هذه الآية؛ حيث قال الله تعالى فيها: ﴿ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ ﴾ [الحج: 6- 7]؛ فهذه الآية صوَّرت لنا من صورة كون الأرض هامدة، ثم اهتزازها، وإنباتها كل زوج كريم كون الله تعالى قادرًا على إحياء الموتى يوم يُنفخ في الصور؛ فهذا لفت أنظار الناس من حال الدنيا إلى حال الآخرة. Kita dapati dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa ia selalu mengajak para pembacanya untuk mencermati sifat dan keadaan dunia, lalu mengajak kita juga untuk mencermati sifat dan keadaan akhirat. Sebagai salah satu contohnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ “Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tumbuhan) yang indah. Demikianlah (penciptaan manusia) itu karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dialah yang Maha Benar dan sesungguhnya Dia menghidupkan orang-orang yang mati dan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.” (QS. Al-Hajj: 5-7). Ayat tersebut memberi kita gambaran tentang keadaan bumi yang kering, lalu mulai menumbuhkan biji dan tumbuhan dengan berbagai jenisnya, yang menjadi gambaran tentang kuasa Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menghidupkan orang-orang mati pada hari ditiupnya sangkakala. Ini merupakan salah satu metode menarik perhatian manusia dari keadaan dunia menuju keadaan akhirat. والرسول صلى الله عليه وسلم ربَّى أصحابه على هذه التربية الأُخروية، فأصحابه كانوا يعيشون على وجه هذه الأرض؛ ولكن كان نظرهم ملصقًا بالآخرة، فعن أنس رضي الله تعالى عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم لقي رجلًا يُقال له حارثة في بعض سكك المدينة، فقال: ((كيف أصبحت يا حارثة؟))، قال: أصبحت مؤمنًا حقًّا، قال: ((إنَّ لكُلِّ إيمانٍ حقيقةً، فما حقيقةُ إيمانِك؟))، قال: عزفَتْ نفسي عن الدنيا، فأظمأتُ نهاري، وأسهرتُ ليلي، وكأني بعرش ربي بارزًا، وكأني بأهل الجنة في الجنة يتنعَّمُون فيها، وكأني بأهل النار في النار يُعذَّبون، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((أصبتَ فالْزَمْ، مؤمنٌ نوَّر اللهُ قلبَه)). Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mendidik para sahabat beliau dengan didikan yang berorientasi pada akhirat. Para sahabat beliau hidup di muka bumi, tapi pandangan mereka selalu terpaut dengan akhirat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah berjumpa dengan seseorang yang bernama Haritsah di salah satu gang kota Madinah. Beliau lalu bertanya, “Bagaimana pagi harimu, wahai Haritsah?” Ia menjawab, “Pagi hari ini saya dalam keadaan beriman sebenar-benarnya.” Beliau lalu bertanya lagi, “Setiap iman itu ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?” Ia menjawab, “Diriku telah mengetahui dunia, sehingga aku berpuasa di siang hari dan Shalat Malam di malam hari, seakan-akan arsy Tuhanku tampak olehku, seakan-akan aku melihat para penghuni surga bersenang-senang di dalamnya, dan seakan-akan aku melihat para penghuni neraka diazab di dalamnya.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Kamu di atas kebenaran, maka konsistenlah! Kamu orang beriman yang hatinya diberi cahaya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”  ولننظر إلى بعض أدعية الرسول صلى الله عليه وسلم المسنونة، نجد هذه المعنويات في نصوصها كثيرة، يقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((اللهمَّ بك أصبحنا، وبك أمسينا، وبك نحيا، وبك نموت، وإليك النشور))، ويقول بعدما يستيقظ من النوم: ((الحمدُ للهِ الذي أحيانا بعدما أماتنا، وإليه النشور)). Mari kita cermati pula beberapa doa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang beliau contohkan: kita temui makna-makna tersebut banyak terhimpun dalam redaksinya. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: اللّهُـمَّ بِكَ أَصْـبَحْنا وَبِكَ أَمْسَـينا وَبِكَ نَحْـيا وَبِكَ نَمُـوتُ وَإِلَـيْكَ النُّـشُور “Ya Allah, dengan-Mu kami memasuki waktu pagi dan dengan-Mu kami memasuki waktu petang. Dengan-Mu kami hidup dan dengan-Mu kami mati serta hanya kepada-Mu kami dibangkitkan.” Beliau juga membaca doa ketika bangun tidur: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitkan.” فمثل هذه الأدعية تُذكَّرنا بالآخرة، وتسوقنا من ضيق الدنيا إلى رحب الآخرة وسعتها، وترسِّخ في نفوس المؤمنين أن هذه الحياة الدنيا ليست النهاية؛ وإنما هي همزة وصل بالحياة الأبدية. تصوَّر معي هذه المعنويات -أعني بها: العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة- في قول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((للصائمِ فرحتانِ: فرحةٌ عند فطره، وفرحةُ عند لقاءِ ربِّه))؛ حيث جعل هذا الحديث الشريف المؤمن الصائم ينتظر لقاء الله لأجل أن يحصل على أجر الآخرة كاملًا. Doa-doa seperti ini semakin mengingatkan kita terhadap akhirat, menuntun kita dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dan mengokohkan dalam jiwa orang-orang beriman bahwa kehidupan dunia ini bukanlah akhir, tapi lorong yang menuntun kita menuju kehidupan yang abadi. Mari kita bayangkan bersama makna ini —yakni tentang hidup di dunia dengan nafas akhirat— dalam sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:  لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” Hadits yang mulia ini menjadikan seorang mukmin yang berpuasa merindukan perjumpaan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar dapat meraih pahala akhirat secara sempurna. تصوَّر معي كذلك جمال قول رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما أفطر: ((ذهَبَ الظَّمَأُ، وابتلَّت العُرُوق، وثبَتَ الأجْرُ إنْ شاء اللهُ تعالى))؛ يعني: يشكر العبد الصائم بعدما أفطر برزق الله تعالى، فقال: ((ذهب الظمأ)) الذي كان يُعانيه طول نهاره، ((وابتلَّت العروق)) الجافَّة، ولم يكتفِ بهذا القدر من الدعاء؛ وإنما مال إلى الجانب الحقيقي من هذا الدعاء؛ وهو أن تعب هذا الصيام يرجو أن يكون قد كتبه الله تعالى في صحيفة أعماله. Mari kita bayangkan bersama juga bagaimana keindahan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah beliau berbuka puasa: ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, serta pahala telah ditetapkan, InsyaAllah.” Yakni ini merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba setelah berbuka puasa dengan rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia mengucapkan, “Telah hilang rasa haus” yang sebelumnya ia rasakan sepanjang siang; “dan urat-urat telah basah” yakni yang sebelumnya mengering. Kemudian doa ini tidak hanya cukup sampai di sini, tapi berpindah ke sisi yang sebenarnya, yaitu lelah dan letih dari puasa ini semoga telah dicatat pahalanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di buku catatan amalannya. يُقال عن السيدة عائشة الصدِّيقة رضي الله تعالى عنها أنها كانت تُزيِّن الفلوس وتُعطِّرها لما كانت تنفقها على الفقير، حيث كانت تقول: إن هذه الفلوس تقع في يد الله الشريفة قبل أن تقع في يد الفقير Dikisahkan bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha memperbagus dan memberi parfum pada uang yang hendak diinfakkan kepada orang fakir. Beliau berkata, “Uang ini sampai di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mulia sebelum sampai di tangan orang fakir.” وقد سمَّى الله تعالى بيتًا في الجنة ببيت الحمد؛ وذلك حيث إنه لو مات لأحد ذريته الصغيرة، فصبر على تلك المصيبة، يقول الله سبحانه وتعالى لملائكته: ((قبضتم ثمرة فؤاد عبدي، فماذا صنع؟ فيقولون: حمدك واسترجع، فيقول الله للملائكة: ابنوا له بيتًا في الجنة، وسمُّوه ببيت الحمد)). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menamai salah satu istana surga dengan nama istana pujian. Hal ini karena istana ini dikaruniakan kepada orang yang ketika ditinggal wafat anaknya yang masih kecil, ia bersabar atas musibah itu. Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala bertanya kepada para malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa salah satu buah hati hamba-Ku, lalu apa yang ia perbuat?” Para malaikat lalu menjawab, “Dia memuji Engkau dan mengucapkan kalimat istirja’.” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada para malaikat, “Bangunkanlah baginya istana di surga, lalu namailah dengan istana pujian.”  والمؤمن الصائم في الدنيا يكون له بابٌ في الجنة باسم الريان، ويقول العبد المؤمن: سبحان الله مرة، والحمد لله مرة؛ فيغرس له شجرة في الجنة، فهذا التصوُّر والخيال يسوق العبد من الدنيا إلى الآخرة، ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((مَن بنى لله بيتًا بنى اللهُ له بيتًا في الجنة)). Seorang mukmin yang berpuasa di dunia akan memiliki pintu surga bernama Ar-Rayyan. Seorang hamba mukmin yang mengucapkan, Subhanallah satu kali, dan Alhamdulillah satu kali akan ditanam baginya satu pohon di surga. Gambaran dan visualisasi seperti ini dapat menuntun seorang hamba dari alam dunia menuju alam akhirat.  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Siapa yang membangun masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangunkannya istana di surga.” فالمؤمن يبني في الدنيا مسجدًا، فيجب عليه أن يتصوَّر أن الله يبني له بيتًا في الجنة، فهذه التصوُّرات الرائعة والمعنوية تجعل الإنسان يقتنع بأنه لا شيء يضيع في حياة المؤمن، فكل اجتهادٍ اجتهده المؤمن في حياته، وكل مصيبة أصابته فصبر عليها، وكل فَقْدٍ ذاقَ مرارتَه، وكل حرمان نزل في حياته، مضمونٌ له أجره وثوابه عند الله في الآخرة، فلا شيء يضيع في حياة المؤمن؛ وإنما هي مسألة وقت وزمان فقط. Seorang mukmin yang membangun masjid ketika di dunia harus membayangkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala membangun istana baginya di surga. Bayangan dan penghayatan yang indah ini akan menjadikan seorang insan merasa bahwa tidak ada apa pun yang sia-sia dalam kehidupan orang yang beriman. Semua usaha yang diusahakan orang yang beriman di hidupnya, semua musibah yang menimpanya lalu ia bersabar, setiap kehilangan yang ia rasakan pahitnya, dan setiap kekurangan yang terjadi dalam hidupnya telah terjamin pahala dan ganjarannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat kelak, sehingga tidak ada apa pun yang sia-sia di kehidupan orang yang beriman. Ini hanyalah masalah waktu saja. فعِشْ أيها الإنسان المرهق في كَبَدِ الدُّنيا بأنفاس الآخرة؛ تجد الحياة مليئةً بالنعمة والروحانية، تذكَّر وعد الله تعالى: ﴿ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [القصص: 83]. Wahai insan yang lelah menghadapi kesulitan dunia! Hiduplah dengan nafas akhirat, niscaya kamu akan mendapati hidup ini penuh dengan kenikmatan dan kedamaian. Ingatlah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala: تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Kesudahan (yang baik, yakni surga) itu (disediakan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qasas: 83). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/157742/العيش-في-الدنيا-بأنفاس-الآخرة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 502 times, 1 visit(s) today Post Views: 184 QRIS donasi Yufid
العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة Oleh: Asyrafuddin Khan أشرف الدين خان شاءت مشيئة الله تعالى أن نُولد -نحن أبناء آدم عليه السلام- على وجه هذه الأرض، وأن ننشأ ونَتربَّى فوق هذه الدنيا، وأن نعيش ونموت ونُدفَن تحت تُرابها، ونخرج منها إلى أرض المحشر، ثم منه إمَّا إلى الجنة دار الخلد والنعيم، أو إلى جهنم دار الخزي والعذاب الأليم- والعياذ بالله من ذلك- تلك خطة مسير الحياة الإنسانية. Sudah menjadi kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita —anak keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam— lahir di muka bumi ini, kita tumbuh dan berkembang di atas tanah ini, dan kita hidup, mati, dan dikubur di bawah tanah ini, kemudian kita akan dibangkitkan darinya ke Tanah Mahsyar, baru kemudian antara ke surga, negeri keabadian dan penuh kenikmatan, atau ke neraka Jahannam, negeri kehinaan dan azab yang pedih, naudzubillah. Demikianlah rute perjalanan hidup manusia. فالدنيا التي نعيش فيها ليست لنا دار القرار؛ وإنما هي ممرٌّ لنا نمرُّ به إلى عالم الآخرة، ولقد كلَّفنا الله تعالى بشريعة غرَّاء تضمن لنا النجاح والفلاح في هذه الدنيا والآخرة معًا، فالدنيا لنا مزرعة للآخرة، كما أخبرنا رسولُنا صلى الله عليه وسلم بذلك، نزرع في الدنيا، ونحصد في الآخرة، ويجعل الدنيا دار يستقرُّ فيها من لا دارَ له في الآخرة، ولها يجمع مَن لا عقل له، كما يُفهَم من ضوء الحديث. Dunia sebagai tempat kita hidup ini bukanlah tempat menetap kita, tapi hanya sebagai lorong yang harus kita lalui menuju alam akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan bagi kita dengan syariat yang suci yang menjamin bagi kita kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat sekaligus. Dunia merupakan tempat kita menanam untuk akhirat, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada kita tentang itu. Kita menabur di dunia dan menuai di akhirat. Dunia dijadikan tempat menetap oleh orang yang tidak punya tempat di akhirat, dan dunia dikumpulkan oleh orang yang tidak punya akal sehat, sebagaimana yang dapat kita pahami dari redaksi hadits. فمن علامات إيمان الإنسان بفناء الدنيا وخلود الآخرة: التجافي عن دار الغُرور، والإنابة إلى دار الخُلود، والاستعداد للموت قبل نزول الموت، فالإنسان لا يستطيع أن يخرج من هذه الدنيا إلا بالموت، فلا بدَّ له من العيش فيها، ويعمل لإسعاد حياته الأُخروية، فالإنسان يعيش في هذه الدنيا بجسده وأعضائه؛ ولكن روحه وقلبه وتصوراته تسبح في خيال الآخرة، يجتهد في الدنيا لأجل أن يسعد في الآخرة، ويحرم نفسه في الدنيا من ملذَّاتها وشهواتها لأجل الحصول على رضوان الله تعالى في الآخرة، فهو يرسم نتيجة عمله وعاقبته في الآخرة قبل أن يضع قدمه للإقدام على عمل ما؛ هذا ما نعنيه من قولنا: (العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة). Di antara tanda keimanan seseorang terhadap kefanaan dunia dan keabadian akhirat adalah menjaga jarak dari dunia yang melenakan ini dan condong kepada negeri keabadian serta mempersiapkan diri untuk kematian sebelum benar-benar datang.  Manusia tidak dapat keluar dari dunia ini kecuali melalui kematian, sehingga manusia harus hidup di dunia terlebih dahulu dan beramal di sana untuk menjadikan kehidupan akhiratnya bahagia. Manusia hidup di dunia ini dengan jasad dan anggota badannya, tapi ruh, hati, dan pikirannya mengarungi bayangan akhirat, bersungguh-sungguh di dunia demi dapat bahagia di akhirat, menahan diri di dunia dari kenikmatan dan syahwatnya demi dapat meraih keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat. Ia melukis sendiri hasil amalan dan ganjarannya di akhirat terlebih dahulu, sebelum melangkahkan kakinya untuk suatu amalan yang akan dilakukan. Inilah yang kami maksud dengan ungkapan, “Hidup di dunia dengan nafas akhirat.” الإنسان المؤمن الحقيقي يعيش في هذه الدنيا مع بني جنسه، يشارك أفراحه وأحزانه، ويساهم في نشاطاته؛ ولكنه لا ينغمس في أمواج الدنيا، ولا يغفل عن هدفه الأقصى، فهو دائمًا يتذكَّر أن أمامه حياة خالدة ينعم فيها المتقون، ويشقى فيها الكافرون. Seorang Mukmin hakiki hidup di dunia bersama sesama manusia lainnya, turut serta dalam kebahagiaan dan kesedihan mereka, dan berkontribusi dalam kegiatan mereka. Namun, dia tidak tenggelam dalam gelombang dunia dan tidak lalai dari tujuan utamanya. Dia selalu ingat bahwa di depannya terdapat kehidupan abadi yang akan menjadi tempat kenikmatan bagi orang-orang yang bertakwa dan tempat kesengsaraan bagi orang-orang yang kafir. لقد صوَّرت لنا آياتُ القرآن الكريم حقيقةَ الحياة الدنيا أوضح تصوير، نقتبس منها على سبيل العبرة قولَ الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴾ [يونس: 24]. Ayat-ayat Al-Qur’an telah memberi kita gambaran tentang hakikat kehidupan dunia dengan gambaran yang teramat jelas. Kita sebutkan salah satunya sebagai contoh sekilas, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang (dapat) dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang. Lalu, Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir.” (QS. Yunus: 24). فطبيعة هذه الدنيا أنها لا تستقرُّ على حال؛ وإنما هي سريعة الزوال والفناء؛ فيجب على الإنسان العائش فيها أن يعتبر من هذه الدنيا، ويأخذ منها لآخرته. ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((يقول العبدُ: مالي مالي، إنما له من مالِه ثلاثٌ: ما أكَلَ فأفْنَى، أو لبِس فأبْلَى، أو أعطى فاقْتَنى، وما سوى ذلك فهو ذاهبٌ، وتاركُه للناس))؛ (رواه مسلم). وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيضًا: ((مَن أحبَّ دنياه أضرَّ بآخرته، ومَن أحبَّ آخرته أضرَّ بدنياه، فآثروا ما يبقى على ما يفنى))؛ رواه أحمد. وقد اتَّخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الدنيا الفانية كظلِّ شجرةٍ جلس المسافر المرهَق تحتها، ثم تركها، وواصل مشوارها إلى منزله، فعن ابن مسعود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نام على حصير، فقام وقد أثَّر في جسده، فقال ابن مسعود: يا رسول الله، لو أمرتنا أن نبسط لك ونعمل، فقال: ((ما لي وللدُّنْيا، وما أنا والدُّنْيا إلا كراكبٍ استظَلَّ تحت شجرةٍ، ثم راحَ وتركَها))؛ رواه أحمد والترمذي. Sudah menjadi tabiat dunia ini bahwa ia tidak terpaku pada satu keadaan, tapi cepat sekali hilang dan lenyap. Oleh sebab itu, seorang insan yang hidup di dalamnya harus mengambil pelajaran dari sifat dunia ini, dan memanfaatkannya untuk kehidupan akhiratnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:  يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ “Seorang hamba mengatakan, ‘Hartaku! Hartaku!’ Padahal hartanya yang menjadi miliknya hanya tiga, yang dia makan lalu habis, yang dia pakai lalu usang, atau yang dia berikan lalu menjadi milik orang lain. Adapun selain itu akan lenyap dan akan dia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda: مَنْ أحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ، وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أضَرَّ بِدُنْيَاهُ، فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى “Siapa yang mencintai dunianya pasti akan merugikan akhiratnya, dan siapa yang mencintai akhiratnya pasti akan merugikan dunianya. Oleh sebab itu, utamakanlah yang kekal daripada yang fana.” (HR. Ahmad). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpamakan dunia yang fana ini seperti naungan pohon yang dijadikan tempat berteduh oleh seorang musafir yang kelelahan, kemudian dia meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah tidur beralaskan tikar. Lalu beliau bangun dan menyisakan bekas tikar di badan beliau. Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Kalaulah engkau menyuruh kami untuk menghamparkan tempat tidur yang lebih baik bagi engkau?!” Kemudian beliau menanggapi: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا “Apa urusanku dengan dunia ini, aku dan dunia ini tidak lain hanyalah seperti musafir yang berteduh di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pohon itu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). نجد في آيات القرآن الكريم أنها دائمًا تسترعي أنظار القرَّاء والتالين إلى التفكُّر في أحوال الدنيا، ثم التنقُّل منها إلى أحوال الآخرة، نذكر على سبيل المثال هذه الآية؛ حيث قال الله تعالى فيها: ﴿ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ ﴾ [الحج: 6- 7]؛ فهذه الآية صوَّرت لنا من صورة كون الأرض هامدة، ثم اهتزازها، وإنباتها كل زوج كريم كون الله تعالى قادرًا على إحياء الموتى يوم يُنفخ في الصور؛ فهذا لفت أنظار الناس من حال الدنيا إلى حال الآخرة. Kita dapati dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa ia selalu mengajak para pembacanya untuk mencermati sifat dan keadaan dunia, lalu mengajak kita juga untuk mencermati sifat dan keadaan akhirat. Sebagai salah satu contohnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ “Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tumbuhan) yang indah. Demikianlah (penciptaan manusia) itu karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dialah yang Maha Benar dan sesungguhnya Dia menghidupkan orang-orang yang mati dan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.” (QS. Al-Hajj: 5-7). Ayat tersebut memberi kita gambaran tentang keadaan bumi yang kering, lalu mulai menumbuhkan biji dan tumbuhan dengan berbagai jenisnya, yang menjadi gambaran tentang kuasa Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menghidupkan orang-orang mati pada hari ditiupnya sangkakala. Ini merupakan salah satu metode menarik perhatian manusia dari keadaan dunia menuju keadaan akhirat. والرسول صلى الله عليه وسلم ربَّى أصحابه على هذه التربية الأُخروية، فأصحابه كانوا يعيشون على وجه هذه الأرض؛ ولكن كان نظرهم ملصقًا بالآخرة، فعن أنس رضي الله تعالى عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم لقي رجلًا يُقال له حارثة في بعض سكك المدينة، فقال: ((كيف أصبحت يا حارثة؟))، قال: أصبحت مؤمنًا حقًّا، قال: ((إنَّ لكُلِّ إيمانٍ حقيقةً، فما حقيقةُ إيمانِك؟))، قال: عزفَتْ نفسي عن الدنيا، فأظمأتُ نهاري، وأسهرتُ ليلي، وكأني بعرش ربي بارزًا، وكأني بأهل الجنة في الجنة يتنعَّمُون فيها، وكأني بأهل النار في النار يُعذَّبون، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((أصبتَ فالْزَمْ، مؤمنٌ نوَّر اللهُ قلبَه)). Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mendidik para sahabat beliau dengan didikan yang berorientasi pada akhirat. Para sahabat beliau hidup di muka bumi, tapi pandangan mereka selalu terpaut dengan akhirat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah berjumpa dengan seseorang yang bernama Haritsah di salah satu gang kota Madinah. Beliau lalu bertanya, “Bagaimana pagi harimu, wahai Haritsah?” Ia menjawab, “Pagi hari ini saya dalam keadaan beriman sebenar-benarnya.” Beliau lalu bertanya lagi, “Setiap iman itu ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?” Ia menjawab, “Diriku telah mengetahui dunia, sehingga aku berpuasa di siang hari dan Shalat Malam di malam hari, seakan-akan arsy Tuhanku tampak olehku, seakan-akan aku melihat para penghuni surga bersenang-senang di dalamnya, dan seakan-akan aku melihat para penghuni neraka diazab di dalamnya.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Kamu di atas kebenaran, maka konsistenlah! Kamu orang beriman yang hatinya diberi cahaya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”  ولننظر إلى بعض أدعية الرسول صلى الله عليه وسلم المسنونة، نجد هذه المعنويات في نصوصها كثيرة، يقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((اللهمَّ بك أصبحنا، وبك أمسينا، وبك نحيا، وبك نموت، وإليك النشور))، ويقول بعدما يستيقظ من النوم: ((الحمدُ للهِ الذي أحيانا بعدما أماتنا، وإليه النشور)). Mari kita cermati pula beberapa doa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang beliau contohkan: kita temui makna-makna tersebut banyak terhimpun dalam redaksinya. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: اللّهُـمَّ بِكَ أَصْـبَحْنا وَبِكَ أَمْسَـينا وَبِكَ نَحْـيا وَبِكَ نَمُـوتُ وَإِلَـيْكَ النُّـشُور “Ya Allah, dengan-Mu kami memasuki waktu pagi dan dengan-Mu kami memasuki waktu petang. Dengan-Mu kami hidup dan dengan-Mu kami mati serta hanya kepada-Mu kami dibangkitkan.” Beliau juga membaca doa ketika bangun tidur: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitkan.” فمثل هذه الأدعية تُذكَّرنا بالآخرة، وتسوقنا من ضيق الدنيا إلى رحب الآخرة وسعتها، وترسِّخ في نفوس المؤمنين أن هذه الحياة الدنيا ليست النهاية؛ وإنما هي همزة وصل بالحياة الأبدية. تصوَّر معي هذه المعنويات -أعني بها: العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة- في قول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((للصائمِ فرحتانِ: فرحةٌ عند فطره، وفرحةُ عند لقاءِ ربِّه))؛ حيث جعل هذا الحديث الشريف المؤمن الصائم ينتظر لقاء الله لأجل أن يحصل على أجر الآخرة كاملًا. Doa-doa seperti ini semakin mengingatkan kita terhadap akhirat, menuntun kita dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dan mengokohkan dalam jiwa orang-orang beriman bahwa kehidupan dunia ini bukanlah akhir, tapi lorong yang menuntun kita menuju kehidupan yang abadi. Mari kita bayangkan bersama makna ini —yakni tentang hidup di dunia dengan nafas akhirat— dalam sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:  لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” Hadits yang mulia ini menjadikan seorang mukmin yang berpuasa merindukan perjumpaan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar dapat meraih pahala akhirat secara sempurna. تصوَّر معي كذلك جمال قول رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما أفطر: ((ذهَبَ الظَّمَأُ، وابتلَّت العُرُوق، وثبَتَ الأجْرُ إنْ شاء اللهُ تعالى))؛ يعني: يشكر العبد الصائم بعدما أفطر برزق الله تعالى، فقال: ((ذهب الظمأ)) الذي كان يُعانيه طول نهاره، ((وابتلَّت العروق)) الجافَّة، ولم يكتفِ بهذا القدر من الدعاء؛ وإنما مال إلى الجانب الحقيقي من هذا الدعاء؛ وهو أن تعب هذا الصيام يرجو أن يكون قد كتبه الله تعالى في صحيفة أعماله. Mari kita bayangkan bersama juga bagaimana keindahan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah beliau berbuka puasa: ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, serta pahala telah ditetapkan, InsyaAllah.” Yakni ini merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba setelah berbuka puasa dengan rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia mengucapkan, “Telah hilang rasa haus” yang sebelumnya ia rasakan sepanjang siang; “dan urat-urat telah basah” yakni yang sebelumnya mengering. Kemudian doa ini tidak hanya cukup sampai di sini, tapi berpindah ke sisi yang sebenarnya, yaitu lelah dan letih dari puasa ini semoga telah dicatat pahalanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di buku catatan amalannya. يُقال عن السيدة عائشة الصدِّيقة رضي الله تعالى عنها أنها كانت تُزيِّن الفلوس وتُعطِّرها لما كانت تنفقها على الفقير، حيث كانت تقول: إن هذه الفلوس تقع في يد الله الشريفة قبل أن تقع في يد الفقير Dikisahkan bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha memperbagus dan memberi parfum pada uang yang hendak diinfakkan kepada orang fakir. Beliau berkata, “Uang ini sampai di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mulia sebelum sampai di tangan orang fakir.” وقد سمَّى الله تعالى بيتًا في الجنة ببيت الحمد؛ وذلك حيث إنه لو مات لأحد ذريته الصغيرة، فصبر على تلك المصيبة، يقول الله سبحانه وتعالى لملائكته: ((قبضتم ثمرة فؤاد عبدي، فماذا صنع؟ فيقولون: حمدك واسترجع، فيقول الله للملائكة: ابنوا له بيتًا في الجنة، وسمُّوه ببيت الحمد)). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menamai salah satu istana surga dengan nama istana pujian. Hal ini karena istana ini dikaruniakan kepada orang yang ketika ditinggal wafat anaknya yang masih kecil, ia bersabar atas musibah itu. Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala bertanya kepada para malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa salah satu buah hati hamba-Ku, lalu apa yang ia perbuat?” Para malaikat lalu menjawab, “Dia memuji Engkau dan mengucapkan kalimat istirja’.” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada para malaikat, “Bangunkanlah baginya istana di surga, lalu namailah dengan istana pujian.”  والمؤمن الصائم في الدنيا يكون له بابٌ في الجنة باسم الريان، ويقول العبد المؤمن: سبحان الله مرة، والحمد لله مرة؛ فيغرس له شجرة في الجنة، فهذا التصوُّر والخيال يسوق العبد من الدنيا إلى الآخرة، ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((مَن بنى لله بيتًا بنى اللهُ له بيتًا في الجنة)). Seorang mukmin yang berpuasa di dunia akan memiliki pintu surga bernama Ar-Rayyan. Seorang hamba mukmin yang mengucapkan, Subhanallah satu kali, dan Alhamdulillah satu kali akan ditanam baginya satu pohon di surga. Gambaran dan visualisasi seperti ini dapat menuntun seorang hamba dari alam dunia menuju alam akhirat.  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Siapa yang membangun masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangunkannya istana di surga.” فالمؤمن يبني في الدنيا مسجدًا، فيجب عليه أن يتصوَّر أن الله يبني له بيتًا في الجنة، فهذه التصوُّرات الرائعة والمعنوية تجعل الإنسان يقتنع بأنه لا شيء يضيع في حياة المؤمن، فكل اجتهادٍ اجتهده المؤمن في حياته، وكل مصيبة أصابته فصبر عليها، وكل فَقْدٍ ذاقَ مرارتَه، وكل حرمان نزل في حياته، مضمونٌ له أجره وثوابه عند الله في الآخرة، فلا شيء يضيع في حياة المؤمن؛ وإنما هي مسألة وقت وزمان فقط. Seorang mukmin yang membangun masjid ketika di dunia harus membayangkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala membangun istana baginya di surga. Bayangan dan penghayatan yang indah ini akan menjadikan seorang insan merasa bahwa tidak ada apa pun yang sia-sia dalam kehidupan orang yang beriman. Semua usaha yang diusahakan orang yang beriman di hidupnya, semua musibah yang menimpanya lalu ia bersabar, setiap kehilangan yang ia rasakan pahitnya, dan setiap kekurangan yang terjadi dalam hidupnya telah terjamin pahala dan ganjarannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat kelak, sehingga tidak ada apa pun yang sia-sia di kehidupan orang yang beriman. Ini hanyalah masalah waktu saja. فعِشْ أيها الإنسان المرهق في كَبَدِ الدُّنيا بأنفاس الآخرة؛ تجد الحياة مليئةً بالنعمة والروحانية، تذكَّر وعد الله تعالى: ﴿ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [القصص: 83]. Wahai insan yang lelah menghadapi kesulitan dunia! Hiduplah dengan nafas akhirat, niscaya kamu akan mendapati hidup ini penuh dengan kenikmatan dan kedamaian. Ingatlah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala: تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Kesudahan (yang baik, yakni surga) itu (disediakan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qasas: 83). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/157742/العيش-في-الدنيا-بأنفاس-الآخرة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 502 times, 1 visit(s) today Post Views: 184 QRIS donasi Yufid


العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة Oleh: Asyrafuddin Khan أشرف الدين خان شاءت مشيئة الله تعالى أن نُولد -نحن أبناء آدم عليه السلام- على وجه هذه الأرض، وأن ننشأ ونَتربَّى فوق هذه الدنيا، وأن نعيش ونموت ونُدفَن تحت تُرابها، ونخرج منها إلى أرض المحشر، ثم منه إمَّا إلى الجنة دار الخلد والنعيم، أو إلى جهنم دار الخزي والعذاب الأليم- والعياذ بالله من ذلك- تلك خطة مسير الحياة الإنسانية. Sudah menjadi kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita —anak keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam— lahir di muka bumi ini, kita tumbuh dan berkembang di atas tanah ini, dan kita hidup, mati, dan dikubur di bawah tanah ini, kemudian kita akan dibangkitkan darinya ke Tanah Mahsyar, baru kemudian antara ke surga, negeri keabadian dan penuh kenikmatan, atau ke neraka Jahannam, negeri kehinaan dan azab yang pedih, naudzubillah. Demikianlah rute perjalanan hidup manusia. فالدنيا التي نعيش فيها ليست لنا دار القرار؛ وإنما هي ممرٌّ لنا نمرُّ به إلى عالم الآخرة، ولقد كلَّفنا الله تعالى بشريعة غرَّاء تضمن لنا النجاح والفلاح في هذه الدنيا والآخرة معًا، فالدنيا لنا مزرعة للآخرة، كما أخبرنا رسولُنا صلى الله عليه وسلم بذلك، نزرع في الدنيا، ونحصد في الآخرة، ويجعل الدنيا دار يستقرُّ فيها من لا دارَ له في الآخرة، ولها يجمع مَن لا عقل له، كما يُفهَم من ضوء الحديث. Dunia sebagai tempat kita hidup ini bukanlah tempat menetap kita, tapi hanya sebagai lorong yang harus kita lalui menuju alam akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan bagi kita dengan syariat yang suci yang menjamin bagi kita kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat sekaligus. Dunia merupakan tempat kita menanam untuk akhirat, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada kita tentang itu. Kita menabur di dunia dan menuai di akhirat. Dunia dijadikan tempat menetap oleh orang yang tidak punya tempat di akhirat, dan dunia dikumpulkan oleh orang yang tidak punya akal sehat, sebagaimana yang dapat kita pahami dari redaksi hadits. فمن علامات إيمان الإنسان بفناء الدنيا وخلود الآخرة: التجافي عن دار الغُرور، والإنابة إلى دار الخُلود، والاستعداد للموت قبل نزول الموت، فالإنسان لا يستطيع أن يخرج من هذه الدنيا إلا بالموت، فلا بدَّ له من العيش فيها، ويعمل لإسعاد حياته الأُخروية، فالإنسان يعيش في هذه الدنيا بجسده وأعضائه؛ ولكن روحه وقلبه وتصوراته تسبح في خيال الآخرة، يجتهد في الدنيا لأجل أن يسعد في الآخرة، ويحرم نفسه في الدنيا من ملذَّاتها وشهواتها لأجل الحصول على رضوان الله تعالى في الآخرة، فهو يرسم نتيجة عمله وعاقبته في الآخرة قبل أن يضع قدمه للإقدام على عمل ما؛ هذا ما نعنيه من قولنا: (العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة). Di antara tanda keimanan seseorang terhadap kefanaan dunia dan keabadian akhirat adalah menjaga jarak dari dunia yang melenakan ini dan condong kepada negeri keabadian serta mempersiapkan diri untuk kematian sebelum benar-benar datang.  Manusia tidak dapat keluar dari dunia ini kecuali melalui kematian, sehingga manusia harus hidup di dunia terlebih dahulu dan beramal di sana untuk menjadikan kehidupan akhiratnya bahagia. Manusia hidup di dunia ini dengan jasad dan anggota badannya, tapi ruh, hati, dan pikirannya mengarungi bayangan akhirat, bersungguh-sungguh di dunia demi dapat bahagia di akhirat, menahan diri di dunia dari kenikmatan dan syahwatnya demi dapat meraih keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat. Ia melukis sendiri hasil amalan dan ganjarannya di akhirat terlebih dahulu, sebelum melangkahkan kakinya untuk suatu amalan yang akan dilakukan. Inilah yang kami maksud dengan ungkapan, “Hidup di dunia dengan nafas akhirat.” الإنسان المؤمن الحقيقي يعيش في هذه الدنيا مع بني جنسه، يشارك أفراحه وأحزانه، ويساهم في نشاطاته؛ ولكنه لا ينغمس في أمواج الدنيا، ولا يغفل عن هدفه الأقصى، فهو دائمًا يتذكَّر أن أمامه حياة خالدة ينعم فيها المتقون، ويشقى فيها الكافرون. Seorang Mukmin hakiki hidup di dunia bersama sesama manusia lainnya, turut serta dalam kebahagiaan dan kesedihan mereka, dan berkontribusi dalam kegiatan mereka. Namun, dia tidak tenggelam dalam gelombang dunia dan tidak lalai dari tujuan utamanya. Dia selalu ingat bahwa di depannya terdapat kehidupan abadi yang akan menjadi tempat kenikmatan bagi orang-orang yang bertakwa dan tempat kesengsaraan bagi orang-orang yang kafir. لقد صوَّرت لنا آياتُ القرآن الكريم حقيقةَ الحياة الدنيا أوضح تصوير، نقتبس منها على سبيل العبرة قولَ الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴾ [يونس: 24]. Ayat-ayat Al-Qur’an telah memberi kita gambaran tentang hakikat kehidupan dunia dengan gambaran yang teramat jelas. Kita sebutkan salah satunya sebagai contoh sekilas, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang (dapat) dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang. Lalu, Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir.” (QS. Yunus: 24). فطبيعة هذه الدنيا أنها لا تستقرُّ على حال؛ وإنما هي سريعة الزوال والفناء؛ فيجب على الإنسان العائش فيها أن يعتبر من هذه الدنيا، ويأخذ منها لآخرته. ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((يقول العبدُ: مالي مالي، إنما له من مالِه ثلاثٌ: ما أكَلَ فأفْنَى، أو لبِس فأبْلَى، أو أعطى فاقْتَنى، وما سوى ذلك فهو ذاهبٌ، وتاركُه للناس))؛ (رواه مسلم). وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيضًا: ((مَن أحبَّ دنياه أضرَّ بآخرته، ومَن أحبَّ آخرته أضرَّ بدنياه، فآثروا ما يبقى على ما يفنى))؛ رواه أحمد. وقد اتَّخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الدنيا الفانية كظلِّ شجرةٍ جلس المسافر المرهَق تحتها، ثم تركها، وواصل مشوارها إلى منزله، فعن ابن مسعود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نام على حصير، فقام وقد أثَّر في جسده، فقال ابن مسعود: يا رسول الله، لو أمرتنا أن نبسط لك ونعمل، فقال: ((ما لي وللدُّنْيا، وما أنا والدُّنْيا إلا كراكبٍ استظَلَّ تحت شجرةٍ، ثم راحَ وتركَها))؛ رواه أحمد والترمذي. Sudah menjadi tabiat dunia ini bahwa ia tidak terpaku pada satu keadaan, tapi cepat sekali hilang dan lenyap. Oleh sebab itu, seorang insan yang hidup di dalamnya harus mengambil pelajaran dari sifat dunia ini, dan memanfaatkannya untuk kehidupan akhiratnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:  يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ “Seorang hamba mengatakan, ‘Hartaku! Hartaku!’ Padahal hartanya yang menjadi miliknya hanya tiga, yang dia makan lalu habis, yang dia pakai lalu usang, atau yang dia berikan lalu menjadi milik orang lain. Adapun selain itu akan lenyap dan akan dia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda: مَنْ أحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ، وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أضَرَّ بِدُنْيَاهُ، فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى “Siapa yang mencintai dunianya pasti akan merugikan akhiratnya, dan siapa yang mencintai akhiratnya pasti akan merugikan dunianya. Oleh sebab itu, utamakanlah yang kekal daripada yang fana.” (HR. Ahmad). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpamakan dunia yang fana ini seperti naungan pohon yang dijadikan tempat berteduh oleh seorang musafir yang kelelahan, kemudian dia meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah tidur beralaskan tikar. Lalu beliau bangun dan menyisakan bekas tikar di badan beliau. Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Kalaulah engkau menyuruh kami untuk menghamparkan tempat tidur yang lebih baik bagi engkau?!” Kemudian beliau menanggapi: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا “Apa urusanku dengan dunia ini, aku dan dunia ini tidak lain hanyalah seperti musafir yang berteduh di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pohon itu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). نجد في آيات القرآن الكريم أنها دائمًا تسترعي أنظار القرَّاء والتالين إلى التفكُّر في أحوال الدنيا، ثم التنقُّل منها إلى أحوال الآخرة، نذكر على سبيل المثال هذه الآية؛ حيث قال الله تعالى فيها: ﴿ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ ﴾ [الحج: 6- 7]؛ فهذه الآية صوَّرت لنا من صورة كون الأرض هامدة، ثم اهتزازها، وإنباتها كل زوج كريم كون الله تعالى قادرًا على إحياء الموتى يوم يُنفخ في الصور؛ فهذا لفت أنظار الناس من حال الدنيا إلى حال الآخرة. Kita dapati dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa ia selalu mengajak para pembacanya untuk mencermati sifat dan keadaan dunia, lalu mengajak kita juga untuk mencermati sifat dan keadaan akhirat. Sebagai salah satu contohnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ * ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِ الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ “Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tumbuhan) yang indah. Demikianlah (penciptaan manusia) itu karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dialah yang Maha Benar dan sesungguhnya Dia menghidupkan orang-orang yang mati dan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.” (QS. Al-Hajj: 5-7). Ayat tersebut memberi kita gambaran tentang keadaan bumi yang kering, lalu mulai menumbuhkan biji dan tumbuhan dengan berbagai jenisnya, yang menjadi gambaran tentang kuasa Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menghidupkan orang-orang mati pada hari ditiupnya sangkakala. Ini merupakan salah satu metode menarik perhatian manusia dari keadaan dunia menuju keadaan akhirat. والرسول صلى الله عليه وسلم ربَّى أصحابه على هذه التربية الأُخروية، فأصحابه كانوا يعيشون على وجه هذه الأرض؛ ولكن كان نظرهم ملصقًا بالآخرة، فعن أنس رضي الله تعالى عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم لقي رجلًا يُقال له حارثة في بعض سكك المدينة، فقال: ((كيف أصبحت يا حارثة؟))، قال: أصبحت مؤمنًا حقًّا، قال: ((إنَّ لكُلِّ إيمانٍ حقيقةً، فما حقيقةُ إيمانِك؟))، قال: عزفَتْ نفسي عن الدنيا، فأظمأتُ نهاري، وأسهرتُ ليلي، وكأني بعرش ربي بارزًا، وكأني بأهل الجنة في الجنة يتنعَّمُون فيها، وكأني بأهل النار في النار يُعذَّبون، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((أصبتَ فالْزَمْ، مؤمنٌ نوَّر اللهُ قلبَه)). Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mendidik para sahabat beliau dengan didikan yang berorientasi pada akhirat. Para sahabat beliau hidup di muka bumi, tapi pandangan mereka selalu terpaut dengan akhirat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah berjumpa dengan seseorang yang bernama Haritsah di salah satu gang kota Madinah. Beliau lalu bertanya, “Bagaimana pagi harimu, wahai Haritsah?” Ia menjawab, “Pagi hari ini saya dalam keadaan beriman sebenar-benarnya.” Beliau lalu bertanya lagi, “Setiap iman itu ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?” Ia menjawab, “Diriku telah mengetahui dunia, sehingga aku berpuasa di siang hari dan Shalat Malam di malam hari, seakan-akan arsy Tuhanku tampak olehku, seakan-akan aku melihat para penghuni surga bersenang-senang di dalamnya, dan seakan-akan aku melihat para penghuni neraka diazab di dalamnya.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Kamu di atas kebenaran, maka konsistenlah! Kamu orang beriman yang hatinya diberi cahaya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”  ولننظر إلى بعض أدعية الرسول صلى الله عليه وسلم المسنونة، نجد هذه المعنويات في نصوصها كثيرة، يقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((اللهمَّ بك أصبحنا، وبك أمسينا، وبك نحيا، وبك نموت، وإليك النشور))، ويقول بعدما يستيقظ من النوم: ((الحمدُ للهِ الذي أحيانا بعدما أماتنا، وإليه النشور)). Mari kita cermati pula beberapa doa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang beliau contohkan: kita temui makna-makna tersebut banyak terhimpun dalam redaksinya. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: اللّهُـمَّ بِكَ أَصْـبَحْنا وَبِكَ أَمْسَـينا وَبِكَ نَحْـيا وَبِكَ نَمُـوتُ وَإِلَـيْكَ النُّـشُور “Ya Allah, dengan-Mu kami memasuki waktu pagi dan dengan-Mu kami memasuki waktu petang. Dengan-Mu kami hidup dan dengan-Mu kami mati serta hanya kepada-Mu kami dibangkitkan.” Beliau juga membaca doa ketika bangun tidur: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitkan.” فمثل هذه الأدعية تُذكَّرنا بالآخرة، وتسوقنا من ضيق الدنيا إلى رحب الآخرة وسعتها، وترسِّخ في نفوس المؤمنين أن هذه الحياة الدنيا ليست النهاية؛ وإنما هي همزة وصل بالحياة الأبدية. تصوَّر معي هذه المعنويات -أعني بها: العيش في الدنيا بأنفاس الآخرة- في قول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((للصائمِ فرحتانِ: فرحةٌ عند فطره، وفرحةُ عند لقاءِ ربِّه))؛ حيث جعل هذا الحديث الشريف المؤمن الصائم ينتظر لقاء الله لأجل أن يحصل على أجر الآخرة كاملًا. Doa-doa seperti ini semakin mengingatkan kita terhadap akhirat, menuntun kita dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dan mengokohkan dalam jiwa orang-orang beriman bahwa kehidupan dunia ini bukanlah akhir, tapi lorong yang menuntun kita menuju kehidupan yang abadi. Mari kita bayangkan bersama makna ini —yakni tentang hidup di dunia dengan nafas akhirat— dalam sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:  لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” Hadits yang mulia ini menjadikan seorang mukmin yang berpuasa merindukan perjumpaan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar dapat meraih pahala akhirat secara sempurna. تصوَّر معي كذلك جمال قول رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما أفطر: ((ذهَبَ الظَّمَأُ، وابتلَّت العُرُوق، وثبَتَ الأجْرُ إنْ شاء اللهُ تعالى))؛ يعني: يشكر العبد الصائم بعدما أفطر برزق الله تعالى، فقال: ((ذهب الظمأ)) الذي كان يُعانيه طول نهاره، ((وابتلَّت العروق)) الجافَّة، ولم يكتفِ بهذا القدر من الدعاء؛ وإنما مال إلى الجانب الحقيقي من هذا الدعاء؛ وهو أن تعب هذا الصيام يرجو أن يكون قد كتبه الله تعالى في صحيفة أعماله. Mari kita bayangkan bersama juga bagaimana keindahan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah beliau berbuka puasa: ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, serta pahala telah ditetapkan, InsyaAllah.” Yakni ini merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba setelah berbuka puasa dengan rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia mengucapkan, “Telah hilang rasa haus” yang sebelumnya ia rasakan sepanjang siang; “dan urat-urat telah basah” yakni yang sebelumnya mengering. Kemudian doa ini tidak hanya cukup sampai di sini, tapi berpindah ke sisi yang sebenarnya, yaitu lelah dan letih dari puasa ini semoga telah dicatat pahalanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di buku catatan amalannya. يُقال عن السيدة عائشة الصدِّيقة رضي الله تعالى عنها أنها كانت تُزيِّن الفلوس وتُعطِّرها لما كانت تنفقها على الفقير، حيث كانت تقول: إن هذه الفلوس تقع في يد الله الشريفة قبل أن تقع في يد الفقير Dikisahkan bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha memperbagus dan memberi parfum pada uang yang hendak diinfakkan kepada orang fakir. Beliau berkata, “Uang ini sampai di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mulia sebelum sampai di tangan orang fakir.” وقد سمَّى الله تعالى بيتًا في الجنة ببيت الحمد؛ وذلك حيث إنه لو مات لأحد ذريته الصغيرة، فصبر على تلك المصيبة، يقول الله سبحانه وتعالى لملائكته: ((قبضتم ثمرة فؤاد عبدي، فماذا صنع؟ فيقولون: حمدك واسترجع، فيقول الله للملائكة: ابنوا له بيتًا في الجنة، وسمُّوه ببيت الحمد)). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menamai salah satu istana surga dengan nama istana pujian. Hal ini karena istana ini dikaruniakan kepada orang yang ketika ditinggal wafat anaknya yang masih kecil, ia bersabar atas musibah itu. Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala bertanya kepada para malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa salah satu buah hati hamba-Ku, lalu apa yang ia perbuat?” Para malaikat lalu menjawab, “Dia memuji Engkau dan mengucapkan kalimat istirja’.” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada para malaikat, “Bangunkanlah baginya istana di surga, lalu namailah dengan istana pujian.”  والمؤمن الصائم في الدنيا يكون له بابٌ في الجنة باسم الريان، ويقول العبد المؤمن: سبحان الله مرة، والحمد لله مرة؛ فيغرس له شجرة في الجنة، فهذا التصوُّر والخيال يسوق العبد من الدنيا إلى الآخرة، ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم: ((مَن بنى لله بيتًا بنى اللهُ له بيتًا في الجنة)). Seorang mukmin yang berpuasa di dunia akan memiliki pintu surga bernama Ar-Rayyan. Seorang hamba mukmin yang mengucapkan, Subhanallah satu kali, dan Alhamdulillah satu kali akan ditanam baginya satu pohon di surga. Gambaran dan visualisasi seperti ini dapat menuntun seorang hamba dari alam dunia menuju alam akhirat.  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Siapa yang membangun masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangunkannya istana di surga.” فالمؤمن يبني في الدنيا مسجدًا، فيجب عليه أن يتصوَّر أن الله يبني له بيتًا في الجنة، فهذه التصوُّرات الرائعة والمعنوية تجعل الإنسان يقتنع بأنه لا شيء يضيع في حياة المؤمن، فكل اجتهادٍ اجتهده المؤمن في حياته، وكل مصيبة أصابته فصبر عليها، وكل فَقْدٍ ذاقَ مرارتَه، وكل حرمان نزل في حياته، مضمونٌ له أجره وثوابه عند الله في الآخرة، فلا شيء يضيع في حياة المؤمن؛ وإنما هي مسألة وقت وزمان فقط. Seorang mukmin yang membangun masjid ketika di dunia harus membayangkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala membangun istana baginya di surga. Bayangan dan penghayatan yang indah ini akan menjadikan seorang insan merasa bahwa tidak ada apa pun yang sia-sia dalam kehidupan orang yang beriman. Semua usaha yang diusahakan orang yang beriman di hidupnya, semua musibah yang menimpanya lalu ia bersabar, setiap kehilangan yang ia rasakan pahitnya, dan setiap kekurangan yang terjadi dalam hidupnya telah terjamin pahala dan ganjarannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat kelak, sehingga tidak ada apa pun yang sia-sia di kehidupan orang yang beriman. Ini hanyalah masalah waktu saja. فعِشْ أيها الإنسان المرهق في كَبَدِ الدُّنيا بأنفاس الآخرة؛ تجد الحياة مليئةً بالنعمة والروحانية، تذكَّر وعد الله تعالى: ﴿ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [القصص: 83]. Wahai insan yang lelah menghadapi kesulitan dunia! Hiduplah dengan nafas akhirat, niscaya kamu akan mendapati hidup ini penuh dengan kenikmatan dan kedamaian. Ingatlah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala: تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Kesudahan (yang baik, yakni surga) itu (disediakan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qasas: 83). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/157742/العيش-في-الدنيا-بأنفاس-الآخرة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 502 times, 1 visit(s) today Post Views: 184 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Catatan untuk Kita, Pelajar Seumur Hidup yang Tidak Suka Digurui

Daftar Isi ToggleKita pantas dan butuh diguruiObjektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatTeruntuk guru yang muliaSebutan lifelong learner kian ramai menghiasi biografi akun media sosial, sebuah kabar baik yang menandakan semakin banyak orang menerima pentingnya menjadi pelajar seumur hidup. Di saat yang sama, tidak sedikit pula yang mendambakan sosok guru ataupun ustaz yang “tidak menggurui” sebagai sosok favorit dalam mencari ilmu.Hal ini bukan hanya berlaku di dunia pendidikan, tetapi juga dalam menerima nasihat sehari-hari. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak nyaman dengan sosok teduh, diiringi penyampaian yang merangkul lagi menghargai keunikan dan keterbatasan orang lain; sosok teladan, penuntun, sekaligus pendengar yang baik? Alhasil, kita bisa merasa bodoh secara sukarela tanpa perlu “dibodoh-bodohi” terlebih dahulu.Dambaan semacam ini tentu tidak keliru, namun bukannya tanpa catatan. Boleh-boleh saja mencatat “tidak menggurui” sebagai kriteria sifat guru idaman. Hanya saja, jangan jadikan kriteria ini sebagai syarat mutlak ketika memilih guru dan menerima nasihat dari orang lain. Mengapa demikian? Berikut ulasannya.Kita pantas dan butuh diguruiAlasan paling mendasar kita mencari guru adalah karena kita miskin ilmu. Terlalu banyak hal yang masih kita salahpahami, dan lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Berkali-kali kita lalai dan bersalah. Kalau bukan kepada guru yang lebih alim dan beradab, lantas kepada siapa lagi kita belajar?Justru aneh rasanya bila seorang pelajar melarang mutlak gurunya untuk “menggurui”. Hakikatnya, seorang ustaz, syekh, atau kiai memanglah guru; itulah jalan hidup mereka. Sehingga, digurui itu bukanlah aib dalam pendidikan. Lagi pula, sudah setinggi apa ilmu dan amal kita sampai merasa risih ketika digurui? Kita pantas dan butuh digurui, entah nantinya mereka akan menggurui kita ataukah tidak. Sering kali dalam kitab-kitab bertemakan adab menuntut ilmu, para ulama menyebutkan sejumlah kriteria ideal sebagai acuan dalam mencari guru, sembari menasihati para murid agar bersabar ketika menemukan guru yang tidak memenuhi sebagian kriteria tersebut. Terkadang kita hanya mau menerima nasihat jika penyampaiannya lembut, halus, dan sesuai selera. Kala nasihat itu terasa menusuk atau menggurui, kita langsung menutup diri dan menolaknya tanpa pikir panjang. Jujur saja, selama ini sudah terlalu banyak syarat yang kita rumuskan sekadar untuk menerima nasihat dan ilmu yang sahih. Agaknya, kriteria dalam sejumlah lowongan pekerjaan jauh lebih sederhana daripada kriteria kita dalam menerima pesan kebaikan.Sikap yang demikian dikhawatirkan termasuk dalam kesombongan. Rasulullah ﷺ bersabda,لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji dzarrah.”Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang suka memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu termasuk sombong?” Beliau ﷺ menjawab,إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)Menolak ilmu dan nasihat semata karena merasa tidak suka digurui, dikhawatirkan termasuk dalam sikap menolak kebenaran, yang merupakan salah satu kriteria kesombongan. Objektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatSeorang pelajar, terlebih yang melabeli dirinya sebagai pelajar seumur hidup, sudah selayaknya bersikap objektif dan apresiatif ketika mendapatkan ilmu ataupun nasihat dari orang lain. Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu membedakan isi penyampaian dengan cara menyampaikannya. Selama ilmu dan nasihat yang disampaikan itu benar, ia akan menerimanya dan berterima kasih, alih-alih sibuk menyoroti cara penyampaiannya. Ia memahami bahwa fokus utama seorang pelajar adalah menerima pelajaran yang ada, selagi baik untuk dirinya.Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu menempatkan dirinya secara bijak ketika menerima ilmu dan nasihat. Tatkala ia menerima nasihat yang benar namun tidak elok cara penyampaiannya, ia akan bersangka baik terlebih dahulu dengan sang penyampai nasihat sebagai sosok yang mengharapkan kebaikan untuknya.Ia berpikir, “Dia perhatian denganku, namun mungkin belum memahami cara penyampaian yang tepat”, “Guruku tidak ingin aku terjerumus ke jalan yang salah. Hanya saja, menjadi guru di zaman ini luar biasa beratnya, begitu hebat pilunya. Mungkin saat ini beliau sedang memiliki masalah hidupnya sendiri, sehingga kurang mampu menyampaikan pesan baiknya secara baik-baik”, serta puluhan pemakluman lainnya. Lantas, apakah penyampaian yang tidak elok tersebut harus dibiarkan saja? Jawabannya, tidak mesti begitu. Setelah menerima ilmu dan nasihat darinya, di waktu yang lain kita boleh menasihati balik dengan hikmah, tidak dengan kesalahan yang sama atau bahkan lebih parah. Mengapa di waktu lain? Karena setelah kondisi lebih tenang, nasihat balik kita bisa tersampaikan tanpa ada anggapan bahwa kita menolak nasihat dan mencari pembenaran. Dengan saling menasihati seperti ini, semoga kita dapat menjadi sosok yang jauh dari kerugian, sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-’Ashr 1-3)Teruntuk guru yang muliaKami memahami bahwa menjadi guru hari ini begitu banyak dukanya. Tuntutan dari berbagai sisi datang tanpa henti, jauh dari kata sebanding atas penghargaan yang didapat. Guru selayaknya begini dan begitu, konon katanya. Mereka terus-terusan diminta menambah poin plus di kala penghasilannya minus. Alhasil, mungkin sebagian guru sudah merasa jemu menyandang gelar mulia, sedangkan hidupnya tak kunjung dimuliakan.Teruntuk para guru yang kami cintai. Dengan segala kerendahan hati, kami memohon maaf karena tulisan ini pun turut menyampaikan hal yang serupa. Ilmu tetaplah amanat yang wajib disampaikan, dan kita semua tahu bahwa menjadi sosok yang tidak menggurui sudah dianggap sebagai kelebihan tersendiri bagi para guru maupun penyampai nasihat.Kiranya berkenan, kami izin memohon sekali lagi, memohon kelapangan untuk mengusahakan sikap ini meskipun tidak wajib pada asalnya. Pelan-pelan saja, mungkin kita juga perlu ikut menjadi pelajar seumur hidup agar mampu menjadi sosok yang ramai didambakan itu. Awalnya, bisa kita mulai dengan tidak merendahkan murid-murid tersayang, sebagaimana penjelasan Rasulullah ﷺ mengenai sikap sombong yang telah tertuliskan di atas.Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita pelajar seumur hidup yang rendah hati, memuliakan guru, serta saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Teriring harapan agar para guru senantiasa dilimpahi keberkahan, diringankan kesulitannya, dilapangkan rezekinya, serta ditinggikan derajatnya di dunia dan akhirat. Semoga setiap langkah dan kesabaran diganjar dengan pahala terbaik di sisi-Nya.Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id

Catatan untuk Kita, Pelajar Seumur Hidup yang Tidak Suka Digurui

Daftar Isi ToggleKita pantas dan butuh diguruiObjektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatTeruntuk guru yang muliaSebutan lifelong learner kian ramai menghiasi biografi akun media sosial, sebuah kabar baik yang menandakan semakin banyak orang menerima pentingnya menjadi pelajar seumur hidup. Di saat yang sama, tidak sedikit pula yang mendambakan sosok guru ataupun ustaz yang “tidak menggurui” sebagai sosok favorit dalam mencari ilmu.Hal ini bukan hanya berlaku di dunia pendidikan, tetapi juga dalam menerima nasihat sehari-hari. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak nyaman dengan sosok teduh, diiringi penyampaian yang merangkul lagi menghargai keunikan dan keterbatasan orang lain; sosok teladan, penuntun, sekaligus pendengar yang baik? Alhasil, kita bisa merasa bodoh secara sukarela tanpa perlu “dibodoh-bodohi” terlebih dahulu.Dambaan semacam ini tentu tidak keliru, namun bukannya tanpa catatan. Boleh-boleh saja mencatat “tidak menggurui” sebagai kriteria sifat guru idaman. Hanya saja, jangan jadikan kriteria ini sebagai syarat mutlak ketika memilih guru dan menerima nasihat dari orang lain. Mengapa demikian? Berikut ulasannya.Kita pantas dan butuh diguruiAlasan paling mendasar kita mencari guru adalah karena kita miskin ilmu. Terlalu banyak hal yang masih kita salahpahami, dan lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Berkali-kali kita lalai dan bersalah. Kalau bukan kepada guru yang lebih alim dan beradab, lantas kepada siapa lagi kita belajar?Justru aneh rasanya bila seorang pelajar melarang mutlak gurunya untuk “menggurui”. Hakikatnya, seorang ustaz, syekh, atau kiai memanglah guru; itulah jalan hidup mereka. Sehingga, digurui itu bukanlah aib dalam pendidikan. Lagi pula, sudah setinggi apa ilmu dan amal kita sampai merasa risih ketika digurui? Kita pantas dan butuh digurui, entah nantinya mereka akan menggurui kita ataukah tidak. Sering kali dalam kitab-kitab bertemakan adab menuntut ilmu, para ulama menyebutkan sejumlah kriteria ideal sebagai acuan dalam mencari guru, sembari menasihati para murid agar bersabar ketika menemukan guru yang tidak memenuhi sebagian kriteria tersebut. Terkadang kita hanya mau menerima nasihat jika penyampaiannya lembut, halus, dan sesuai selera. Kala nasihat itu terasa menusuk atau menggurui, kita langsung menutup diri dan menolaknya tanpa pikir panjang. Jujur saja, selama ini sudah terlalu banyak syarat yang kita rumuskan sekadar untuk menerima nasihat dan ilmu yang sahih. Agaknya, kriteria dalam sejumlah lowongan pekerjaan jauh lebih sederhana daripada kriteria kita dalam menerima pesan kebaikan.Sikap yang demikian dikhawatirkan termasuk dalam kesombongan. Rasulullah ﷺ bersabda,لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji dzarrah.”Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang suka memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu termasuk sombong?” Beliau ﷺ menjawab,إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)Menolak ilmu dan nasihat semata karena merasa tidak suka digurui, dikhawatirkan termasuk dalam sikap menolak kebenaran, yang merupakan salah satu kriteria kesombongan. Objektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatSeorang pelajar, terlebih yang melabeli dirinya sebagai pelajar seumur hidup, sudah selayaknya bersikap objektif dan apresiatif ketika mendapatkan ilmu ataupun nasihat dari orang lain. Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu membedakan isi penyampaian dengan cara menyampaikannya. Selama ilmu dan nasihat yang disampaikan itu benar, ia akan menerimanya dan berterima kasih, alih-alih sibuk menyoroti cara penyampaiannya. Ia memahami bahwa fokus utama seorang pelajar adalah menerima pelajaran yang ada, selagi baik untuk dirinya.Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu menempatkan dirinya secara bijak ketika menerima ilmu dan nasihat. Tatkala ia menerima nasihat yang benar namun tidak elok cara penyampaiannya, ia akan bersangka baik terlebih dahulu dengan sang penyampai nasihat sebagai sosok yang mengharapkan kebaikan untuknya.Ia berpikir, “Dia perhatian denganku, namun mungkin belum memahami cara penyampaian yang tepat”, “Guruku tidak ingin aku terjerumus ke jalan yang salah. Hanya saja, menjadi guru di zaman ini luar biasa beratnya, begitu hebat pilunya. Mungkin saat ini beliau sedang memiliki masalah hidupnya sendiri, sehingga kurang mampu menyampaikan pesan baiknya secara baik-baik”, serta puluhan pemakluman lainnya. Lantas, apakah penyampaian yang tidak elok tersebut harus dibiarkan saja? Jawabannya, tidak mesti begitu. Setelah menerima ilmu dan nasihat darinya, di waktu yang lain kita boleh menasihati balik dengan hikmah, tidak dengan kesalahan yang sama atau bahkan lebih parah. Mengapa di waktu lain? Karena setelah kondisi lebih tenang, nasihat balik kita bisa tersampaikan tanpa ada anggapan bahwa kita menolak nasihat dan mencari pembenaran. Dengan saling menasihati seperti ini, semoga kita dapat menjadi sosok yang jauh dari kerugian, sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-’Ashr 1-3)Teruntuk guru yang muliaKami memahami bahwa menjadi guru hari ini begitu banyak dukanya. Tuntutan dari berbagai sisi datang tanpa henti, jauh dari kata sebanding atas penghargaan yang didapat. Guru selayaknya begini dan begitu, konon katanya. Mereka terus-terusan diminta menambah poin plus di kala penghasilannya minus. Alhasil, mungkin sebagian guru sudah merasa jemu menyandang gelar mulia, sedangkan hidupnya tak kunjung dimuliakan.Teruntuk para guru yang kami cintai. Dengan segala kerendahan hati, kami memohon maaf karena tulisan ini pun turut menyampaikan hal yang serupa. Ilmu tetaplah amanat yang wajib disampaikan, dan kita semua tahu bahwa menjadi sosok yang tidak menggurui sudah dianggap sebagai kelebihan tersendiri bagi para guru maupun penyampai nasihat.Kiranya berkenan, kami izin memohon sekali lagi, memohon kelapangan untuk mengusahakan sikap ini meskipun tidak wajib pada asalnya. Pelan-pelan saja, mungkin kita juga perlu ikut menjadi pelajar seumur hidup agar mampu menjadi sosok yang ramai didambakan itu. Awalnya, bisa kita mulai dengan tidak merendahkan murid-murid tersayang, sebagaimana penjelasan Rasulullah ﷺ mengenai sikap sombong yang telah tertuliskan di atas.Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita pelajar seumur hidup yang rendah hati, memuliakan guru, serta saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Teriring harapan agar para guru senantiasa dilimpahi keberkahan, diringankan kesulitannya, dilapangkan rezekinya, serta ditinggikan derajatnya di dunia dan akhirat. Semoga setiap langkah dan kesabaran diganjar dengan pahala terbaik di sisi-Nya.Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKita pantas dan butuh diguruiObjektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatTeruntuk guru yang muliaSebutan lifelong learner kian ramai menghiasi biografi akun media sosial, sebuah kabar baik yang menandakan semakin banyak orang menerima pentingnya menjadi pelajar seumur hidup. Di saat yang sama, tidak sedikit pula yang mendambakan sosok guru ataupun ustaz yang “tidak menggurui” sebagai sosok favorit dalam mencari ilmu.Hal ini bukan hanya berlaku di dunia pendidikan, tetapi juga dalam menerima nasihat sehari-hari. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak nyaman dengan sosok teduh, diiringi penyampaian yang merangkul lagi menghargai keunikan dan keterbatasan orang lain; sosok teladan, penuntun, sekaligus pendengar yang baik? Alhasil, kita bisa merasa bodoh secara sukarela tanpa perlu “dibodoh-bodohi” terlebih dahulu.Dambaan semacam ini tentu tidak keliru, namun bukannya tanpa catatan. Boleh-boleh saja mencatat “tidak menggurui” sebagai kriteria sifat guru idaman. Hanya saja, jangan jadikan kriteria ini sebagai syarat mutlak ketika memilih guru dan menerima nasihat dari orang lain. Mengapa demikian? Berikut ulasannya.Kita pantas dan butuh diguruiAlasan paling mendasar kita mencari guru adalah karena kita miskin ilmu. Terlalu banyak hal yang masih kita salahpahami, dan lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Berkali-kali kita lalai dan bersalah. Kalau bukan kepada guru yang lebih alim dan beradab, lantas kepada siapa lagi kita belajar?Justru aneh rasanya bila seorang pelajar melarang mutlak gurunya untuk “menggurui”. Hakikatnya, seorang ustaz, syekh, atau kiai memanglah guru; itulah jalan hidup mereka. Sehingga, digurui itu bukanlah aib dalam pendidikan. Lagi pula, sudah setinggi apa ilmu dan amal kita sampai merasa risih ketika digurui? Kita pantas dan butuh digurui, entah nantinya mereka akan menggurui kita ataukah tidak. Sering kali dalam kitab-kitab bertemakan adab menuntut ilmu, para ulama menyebutkan sejumlah kriteria ideal sebagai acuan dalam mencari guru, sembari menasihati para murid agar bersabar ketika menemukan guru yang tidak memenuhi sebagian kriteria tersebut. Terkadang kita hanya mau menerima nasihat jika penyampaiannya lembut, halus, dan sesuai selera. Kala nasihat itu terasa menusuk atau menggurui, kita langsung menutup diri dan menolaknya tanpa pikir panjang. Jujur saja, selama ini sudah terlalu banyak syarat yang kita rumuskan sekadar untuk menerima nasihat dan ilmu yang sahih. Agaknya, kriteria dalam sejumlah lowongan pekerjaan jauh lebih sederhana daripada kriteria kita dalam menerima pesan kebaikan.Sikap yang demikian dikhawatirkan termasuk dalam kesombongan. Rasulullah ﷺ bersabda,لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji dzarrah.”Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang suka memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu termasuk sombong?” Beliau ﷺ menjawab,إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)Menolak ilmu dan nasihat semata karena merasa tidak suka digurui, dikhawatirkan termasuk dalam sikap menolak kebenaran, yang merupakan salah satu kriteria kesombongan. Objektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatSeorang pelajar, terlebih yang melabeli dirinya sebagai pelajar seumur hidup, sudah selayaknya bersikap objektif dan apresiatif ketika mendapatkan ilmu ataupun nasihat dari orang lain. Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu membedakan isi penyampaian dengan cara menyampaikannya. Selama ilmu dan nasihat yang disampaikan itu benar, ia akan menerimanya dan berterima kasih, alih-alih sibuk menyoroti cara penyampaiannya. Ia memahami bahwa fokus utama seorang pelajar adalah menerima pelajaran yang ada, selagi baik untuk dirinya.Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu menempatkan dirinya secara bijak ketika menerima ilmu dan nasihat. Tatkala ia menerima nasihat yang benar namun tidak elok cara penyampaiannya, ia akan bersangka baik terlebih dahulu dengan sang penyampai nasihat sebagai sosok yang mengharapkan kebaikan untuknya.Ia berpikir, “Dia perhatian denganku, namun mungkin belum memahami cara penyampaian yang tepat”, “Guruku tidak ingin aku terjerumus ke jalan yang salah. Hanya saja, menjadi guru di zaman ini luar biasa beratnya, begitu hebat pilunya. Mungkin saat ini beliau sedang memiliki masalah hidupnya sendiri, sehingga kurang mampu menyampaikan pesan baiknya secara baik-baik”, serta puluhan pemakluman lainnya. Lantas, apakah penyampaian yang tidak elok tersebut harus dibiarkan saja? Jawabannya, tidak mesti begitu. Setelah menerima ilmu dan nasihat darinya, di waktu yang lain kita boleh menasihati balik dengan hikmah, tidak dengan kesalahan yang sama atau bahkan lebih parah. Mengapa di waktu lain? Karena setelah kondisi lebih tenang, nasihat balik kita bisa tersampaikan tanpa ada anggapan bahwa kita menolak nasihat dan mencari pembenaran. Dengan saling menasihati seperti ini, semoga kita dapat menjadi sosok yang jauh dari kerugian, sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-’Ashr 1-3)Teruntuk guru yang muliaKami memahami bahwa menjadi guru hari ini begitu banyak dukanya. Tuntutan dari berbagai sisi datang tanpa henti, jauh dari kata sebanding atas penghargaan yang didapat. Guru selayaknya begini dan begitu, konon katanya. Mereka terus-terusan diminta menambah poin plus di kala penghasilannya minus. Alhasil, mungkin sebagian guru sudah merasa jemu menyandang gelar mulia, sedangkan hidupnya tak kunjung dimuliakan.Teruntuk para guru yang kami cintai. Dengan segala kerendahan hati, kami memohon maaf karena tulisan ini pun turut menyampaikan hal yang serupa. Ilmu tetaplah amanat yang wajib disampaikan, dan kita semua tahu bahwa menjadi sosok yang tidak menggurui sudah dianggap sebagai kelebihan tersendiri bagi para guru maupun penyampai nasihat.Kiranya berkenan, kami izin memohon sekali lagi, memohon kelapangan untuk mengusahakan sikap ini meskipun tidak wajib pada asalnya. Pelan-pelan saja, mungkin kita juga perlu ikut menjadi pelajar seumur hidup agar mampu menjadi sosok yang ramai didambakan itu. Awalnya, bisa kita mulai dengan tidak merendahkan murid-murid tersayang, sebagaimana penjelasan Rasulullah ﷺ mengenai sikap sombong yang telah tertuliskan di atas.Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita pelajar seumur hidup yang rendah hati, memuliakan guru, serta saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Teriring harapan agar para guru senantiasa dilimpahi keberkahan, diringankan kesulitannya, dilapangkan rezekinya, serta ditinggikan derajatnya di dunia dan akhirat. Semoga setiap langkah dan kesabaran diganjar dengan pahala terbaik di sisi-Nya.Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKita pantas dan butuh diguruiObjektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatTeruntuk guru yang muliaSebutan lifelong learner kian ramai menghiasi biografi akun media sosial, sebuah kabar baik yang menandakan semakin banyak orang menerima pentingnya menjadi pelajar seumur hidup. Di saat yang sama, tidak sedikit pula yang mendambakan sosok guru ataupun ustaz yang “tidak menggurui” sebagai sosok favorit dalam mencari ilmu.Hal ini bukan hanya berlaku di dunia pendidikan, tetapi juga dalam menerima nasihat sehari-hari. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak nyaman dengan sosok teduh, diiringi penyampaian yang merangkul lagi menghargai keunikan dan keterbatasan orang lain; sosok teladan, penuntun, sekaligus pendengar yang baik? Alhasil, kita bisa merasa bodoh secara sukarela tanpa perlu “dibodoh-bodohi” terlebih dahulu.Dambaan semacam ini tentu tidak keliru, namun bukannya tanpa catatan. Boleh-boleh saja mencatat “tidak menggurui” sebagai kriteria sifat guru idaman. Hanya saja, jangan jadikan kriteria ini sebagai syarat mutlak ketika memilih guru dan menerima nasihat dari orang lain. Mengapa demikian? Berikut ulasannya.Kita pantas dan butuh diguruiAlasan paling mendasar kita mencari guru adalah karena kita miskin ilmu. Terlalu banyak hal yang masih kita salahpahami, dan lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Berkali-kali kita lalai dan bersalah. Kalau bukan kepada guru yang lebih alim dan beradab, lantas kepada siapa lagi kita belajar?Justru aneh rasanya bila seorang pelajar melarang mutlak gurunya untuk “menggurui”. Hakikatnya, seorang ustaz, syekh, atau kiai memanglah guru; itulah jalan hidup mereka. Sehingga, digurui itu bukanlah aib dalam pendidikan. Lagi pula, sudah setinggi apa ilmu dan amal kita sampai merasa risih ketika digurui? Kita pantas dan butuh digurui, entah nantinya mereka akan menggurui kita ataukah tidak. Sering kali dalam kitab-kitab bertemakan adab menuntut ilmu, para ulama menyebutkan sejumlah kriteria ideal sebagai acuan dalam mencari guru, sembari menasihati para murid agar bersabar ketika menemukan guru yang tidak memenuhi sebagian kriteria tersebut. Terkadang kita hanya mau menerima nasihat jika penyampaiannya lembut, halus, dan sesuai selera. Kala nasihat itu terasa menusuk atau menggurui, kita langsung menutup diri dan menolaknya tanpa pikir panjang. Jujur saja, selama ini sudah terlalu banyak syarat yang kita rumuskan sekadar untuk menerima nasihat dan ilmu yang sahih. Agaknya, kriteria dalam sejumlah lowongan pekerjaan jauh lebih sederhana daripada kriteria kita dalam menerima pesan kebaikan.Sikap yang demikian dikhawatirkan termasuk dalam kesombongan. Rasulullah ﷺ bersabda,لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji dzarrah.”Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang suka memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu termasuk sombong?” Beliau ﷺ menjawab,إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)Menolak ilmu dan nasihat semata karena merasa tidak suka digurui, dikhawatirkan termasuk dalam sikap menolak kebenaran, yang merupakan salah satu kriteria kesombongan. Objektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihatSeorang pelajar, terlebih yang melabeli dirinya sebagai pelajar seumur hidup, sudah selayaknya bersikap objektif dan apresiatif ketika mendapatkan ilmu ataupun nasihat dari orang lain. Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu membedakan isi penyampaian dengan cara menyampaikannya. Selama ilmu dan nasihat yang disampaikan itu benar, ia akan menerimanya dan berterima kasih, alih-alih sibuk menyoroti cara penyampaiannya. Ia memahami bahwa fokus utama seorang pelajar adalah menerima pelajaran yang ada, selagi baik untuk dirinya.Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu menempatkan dirinya secara bijak ketika menerima ilmu dan nasihat. Tatkala ia menerima nasihat yang benar namun tidak elok cara penyampaiannya, ia akan bersangka baik terlebih dahulu dengan sang penyampai nasihat sebagai sosok yang mengharapkan kebaikan untuknya.Ia berpikir, “Dia perhatian denganku, namun mungkin belum memahami cara penyampaian yang tepat”, “Guruku tidak ingin aku terjerumus ke jalan yang salah. Hanya saja, menjadi guru di zaman ini luar biasa beratnya, begitu hebat pilunya. Mungkin saat ini beliau sedang memiliki masalah hidupnya sendiri, sehingga kurang mampu menyampaikan pesan baiknya secara baik-baik”, serta puluhan pemakluman lainnya. Lantas, apakah penyampaian yang tidak elok tersebut harus dibiarkan saja? Jawabannya, tidak mesti begitu. Setelah menerima ilmu dan nasihat darinya, di waktu yang lain kita boleh menasihati balik dengan hikmah, tidak dengan kesalahan yang sama atau bahkan lebih parah. Mengapa di waktu lain? Karena setelah kondisi lebih tenang, nasihat balik kita bisa tersampaikan tanpa ada anggapan bahwa kita menolak nasihat dan mencari pembenaran. Dengan saling menasihati seperti ini, semoga kita dapat menjadi sosok yang jauh dari kerugian, sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-’Ashr 1-3)Teruntuk guru yang muliaKami memahami bahwa menjadi guru hari ini begitu banyak dukanya. Tuntutan dari berbagai sisi datang tanpa henti, jauh dari kata sebanding atas penghargaan yang didapat. Guru selayaknya begini dan begitu, konon katanya. Mereka terus-terusan diminta menambah poin plus di kala penghasilannya minus. Alhasil, mungkin sebagian guru sudah merasa jemu menyandang gelar mulia, sedangkan hidupnya tak kunjung dimuliakan.Teruntuk para guru yang kami cintai. Dengan segala kerendahan hati, kami memohon maaf karena tulisan ini pun turut menyampaikan hal yang serupa. Ilmu tetaplah amanat yang wajib disampaikan, dan kita semua tahu bahwa menjadi sosok yang tidak menggurui sudah dianggap sebagai kelebihan tersendiri bagi para guru maupun penyampai nasihat.Kiranya berkenan, kami izin memohon sekali lagi, memohon kelapangan untuk mengusahakan sikap ini meskipun tidak wajib pada asalnya. Pelan-pelan saja, mungkin kita juga perlu ikut menjadi pelajar seumur hidup agar mampu menjadi sosok yang ramai didambakan itu. Awalnya, bisa kita mulai dengan tidak merendahkan murid-murid tersayang, sebagaimana penjelasan Rasulullah ﷺ mengenai sikap sombong yang telah tertuliskan di atas.Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita pelajar seumur hidup yang rendah hati, memuliakan guru, serta saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Teriring harapan agar para guru senantiasa dilimpahi keberkahan, diringankan kesulitannya, dilapangkan rezekinya, serta ditinggikan derajatnya di dunia dan akhirat. Semoga setiap langkah dan kesabaran diganjar dengan pahala terbaik di sisi-Nya.Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id

Apa Boleh Menghadiahkan Pahala Membaca al-Quran untuk Mayit? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa hukum membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal? Tidak mengapa. Menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an untuk mayit dibolehkan menurut mayoritas ulama fikih, seperti mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari sebagian besar salaf. Ada ulama dari mazhab Syafi’i yang melarangnya, tapi mayoritas ulama membolehkannya, dan pendapat ini lebih kuat. Wallahu a’lam. Ini pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan banyak ulama mujtahid lainnya. Namun, hendaklah seseorang tidak terlalu sering melakukannya. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia menghadiahkan pahalanya. Sebagaimana mayit itu memerlukan pahala, kamu juga memerlukan pahala. Sebab, jika kamu menghadiahkan pahala tilawah, maka pahala tersebut beralih kepada orang yang kamu tuju. Adapun bagimu, hanya tersisa pahala niat saja. Pahala membaca Al-Qur’an itu sendiri tidak lagi menjadi milikmu. Karena pahala membacanya sudah kamu berikan kepada mayit itu. Sebagian orang berlebihan dalam menghadiahkan pahala amalnya. Bahkan, suatu ketika saya bertemu seseorang di Masjidil Haram, ia berkata kepadaku, “Sepanjang umurku setelah menunaikan umrah wajib umrah-umrah setelahnya saya hadiahkan pahalanya kepada orang lain.” Saya pun menanggapi, “Kamu hadiahkan pahalamu? Kamu seperti lilin: menyala untuk menerangi orang lain, tapi membakar dirimu sendiri Padahal kamu juga membutuhkan amal saleh.” Jadi, hendaklah seorang Muslim bersikap seimbang. Ia boleh menghadiahkan pahala amalnya, asalkan tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya. ===== مَا حُكْمُ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَإِهْدَاءِ ثَوَابِهِ لِلْمَيِّتِ؟ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِهْدَاءُ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ لِلْمَيِّتِ لَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ الْمَأْثُورُ عَنْ أَكْثَرِ السَّلَفِ وَهُنَاكَ مَنْ مَنَعَهُ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ لَكِنْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى جَوَازِهِ وَهُوَ الْأَقْرَبُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَابْنِ الْقَيِّمِ وَجَمْعِ مُحَقِّقِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَكِنْ يَنْبَغِي أَلَّا يُكْثِرَ الْإِنْسَانُ مِنْ ذَلِكَ كُلَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ أَهْدَى ثَوَابَهُ طَيِّبٌ كَمَا أَنَّ هَذَا الْمَيِّتَ بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ أَنْتَ أَيْضًا بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ لِأَنَّكَ إِذَا أَهْدَيْتَ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ يَنْصَرِفُ ثَوَابُ التِّلَاوَةِ لِمَنْ أَهْدَيْتَهُ لَهُ أَمَّا أَنْتَ لَيْسَ لَكَ إِلَّا أَجْرُ النِّيَّةِ فَقَطْ لَيْسَ لَكَ أَجْرُ التِّلَاوَة أَجْرُ التِّلَاوَةِ أَهْدَيْتَهُ لِهَذَا الْمَيِّتِ فَبَعْضُ النَّاسِ يُبَالِغ فِي إِهْدَاءِ الثَّوَابِ حَتَّى إِنِّي رَأَيْتُ مَرَّةً أَحَدَ النَّاسِ فِي الْحَرَمِ يَقُولُ إِنَّ لِي طَوَالَ عُمْرِيْ بَعْدَ الْعُمْرَةِ الْوَاجِبَةِ كُلُّ عُمْرَةٍ أَعْتَمِرُهَا أُهْدِي ثَوَابَهَا لِغَيْرِي قُلْتُ تُهْدِي ثَوَابَكَ؟ أَنْتَ كَالشَّمْعَةِ تُضِيءُ لِتُنِيرَ لِلْآخَرِيْنَ وَتُحْرِقُ نَفْسَكَ طَيِّبٌ وَأَنْتَ بِحَاجَةِ لِعَمَلٍ صَالِحٍ يَعْنِي يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مُسْلِمٌ عِنْدَهُ تَوَازُنُ فَيُمْكِنُ أَنْ يُهْدِيَ الثَّوَابَ لَكِنَّ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ فِي ذَلِكَ

Apa Boleh Menghadiahkan Pahala Membaca al-Quran untuk Mayit? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa hukum membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal? Tidak mengapa. Menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an untuk mayit dibolehkan menurut mayoritas ulama fikih, seperti mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari sebagian besar salaf. Ada ulama dari mazhab Syafi’i yang melarangnya, tapi mayoritas ulama membolehkannya, dan pendapat ini lebih kuat. Wallahu a’lam. Ini pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan banyak ulama mujtahid lainnya. Namun, hendaklah seseorang tidak terlalu sering melakukannya. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia menghadiahkan pahalanya. Sebagaimana mayit itu memerlukan pahala, kamu juga memerlukan pahala. Sebab, jika kamu menghadiahkan pahala tilawah, maka pahala tersebut beralih kepada orang yang kamu tuju. Adapun bagimu, hanya tersisa pahala niat saja. Pahala membaca Al-Qur’an itu sendiri tidak lagi menjadi milikmu. Karena pahala membacanya sudah kamu berikan kepada mayit itu. Sebagian orang berlebihan dalam menghadiahkan pahala amalnya. Bahkan, suatu ketika saya bertemu seseorang di Masjidil Haram, ia berkata kepadaku, “Sepanjang umurku setelah menunaikan umrah wajib umrah-umrah setelahnya saya hadiahkan pahalanya kepada orang lain.” Saya pun menanggapi, “Kamu hadiahkan pahalamu? Kamu seperti lilin: menyala untuk menerangi orang lain, tapi membakar dirimu sendiri Padahal kamu juga membutuhkan amal saleh.” Jadi, hendaklah seorang Muslim bersikap seimbang. Ia boleh menghadiahkan pahala amalnya, asalkan tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya. ===== مَا حُكْمُ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَإِهْدَاءِ ثَوَابِهِ لِلْمَيِّتِ؟ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِهْدَاءُ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ لِلْمَيِّتِ لَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ الْمَأْثُورُ عَنْ أَكْثَرِ السَّلَفِ وَهُنَاكَ مَنْ مَنَعَهُ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ لَكِنْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى جَوَازِهِ وَهُوَ الْأَقْرَبُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَابْنِ الْقَيِّمِ وَجَمْعِ مُحَقِّقِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَكِنْ يَنْبَغِي أَلَّا يُكْثِرَ الْإِنْسَانُ مِنْ ذَلِكَ كُلَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ أَهْدَى ثَوَابَهُ طَيِّبٌ كَمَا أَنَّ هَذَا الْمَيِّتَ بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ أَنْتَ أَيْضًا بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ لِأَنَّكَ إِذَا أَهْدَيْتَ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ يَنْصَرِفُ ثَوَابُ التِّلَاوَةِ لِمَنْ أَهْدَيْتَهُ لَهُ أَمَّا أَنْتَ لَيْسَ لَكَ إِلَّا أَجْرُ النِّيَّةِ فَقَطْ لَيْسَ لَكَ أَجْرُ التِّلَاوَة أَجْرُ التِّلَاوَةِ أَهْدَيْتَهُ لِهَذَا الْمَيِّتِ فَبَعْضُ النَّاسِ يُبَالِغ فِي إِهْدَاءِ الثَّوَابِ حَتَّى إِنِّي رَأَيْتُ مَرَّةً أَحَدَ النَّاسِ فِي الْحَرَمِ يَقُولُ إِنَّ لِي طَوَالَ عُمْرِيْ بَعْدَ الْعُمْرَةِ الْوَاجِبَةِ كُلُّ عُمْرَةٍ أَعْتَمِرُهَا أُهْدِي ثَوَابَهَا لِغَيْرِي قُلْتُ تُهْدِي ثَوَابَكَ؟ أَنْتَ كَالشَّمْعَةِ تُضِيءُ لِتُنِيرَ لِلْآخَرِيْنَ وَتُحْرِقُ نَفْسَكَ طَيِّبٌ وَأَنْتَ بِحَاجَةِ لِعَمَلٍ صَالِحٍ يَعْنِي يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مُسْلِمٌ عِنْدَهُ تَوَازُنُ فَيُمْكِنُ أَنْ يُهْدِيَ الثَّوَابَ لَكِنَّ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ فِي ذَلِكَ
Apa hukum membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal? Tidak mengapa. Menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an untuk mayit dibolehkan menurut mayoritas ulama fikih, seperti mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari sebagian besar salaf. Ada ulama dari mazhab Syafi’i yang melarangnya, tapi mayoritas ulama membolehkannya, dan pendapat ini lebih kuat. Wallahu a’lam. Ini pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan banyak ulama mujtahid lainnya. Namun, hendaklah seseorang tidak terlalu sering melakukannya. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia menghadiahkan pahalanya. Sebagaimana mayit itu memerlukan pahala, kamu juga memerlukan pahala. Sebab, jika kamu menghadiahkan pahala tilawah, maka pahala tersebut beralih kepada orang yang kamu tuju. Adapun bagimu, hanya tersisa pahala niat saja. Pahala membaca Al-Qur’an itu sendiri tidak lagi menjadi milikmu. Karena pahala membacanya sudah kamu berikan kepada mayit itu. Sebagian orang berlebihan dalam menghadiahkan pahala amalnya. Bahkan, suatu ketika saya bertemu seseorang di Masjidil Haram, ia berkata kepadaku, “Sepanjang umurku setelah menunaikan umrah wajib umrah-umrah setelahnya saya hadiahkan pahalanya kepada orang lain.” Saya pun menanggapi, “Kamu hadiahkan pahalamu? Kamu seperti lilin: menyala untuk menerangi orang lain, tapi membakar dirimu sendiri Padahal kamu juga membutuhkan amal saleh.” Jadi, hendaklah seorang Muslim bersikap seimbang. Ia boleh menghadiahkan pahala amalnya, asalkan tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya. ===== مَا حُكْمُ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَإِهْدَاءِ ثَوَابِهِ لِلْمَيِّتِ؟ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِهْدَاءُ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ لِلْمَيِّتِ لَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ الْمَأْثُورُ عَنْ أَكْثَرِ السَّلَفِ وَهُنَاكَ مَنْ مَنَعَهُ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ لَكِنْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى جَوَازِهِ وَهُوَ الْأَقْرَبُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَابْنِ الْقَيِّمِ وَجَمْعِ مُحَقِّقِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَكِنْ يَنْبَغِي أَلَّا يُكْثِرَ الْإِنْسَانُ مِنْ ذَلِكَ كُلَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ أَهْدَى ثَوَابَهُ طَيِّبٌ كَمَا أَنَّ هَذَا الْمَيِّتَ بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ أَنْتَ أَيْضًا بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ لِأَنَّكَ إِذَا أَهْدَيْتَ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ يَنْصَرِفُ ثَوَابُ التِّلَاوَةِ لِمَنْ أَهْدَيْتَهُ لَهُ أَمَّا أَنْتَ لَيْسَ لَكَ إِلَّا أَجْرُ النِّيَّةِ فَقَطْ لَيْسَ لَكَ أَجْرُ التِّلَاوَة أَجْرُ التِّلَاوَةِ أَهْدَيْتَهُ لِهَذَا الْمَيِّتِ فَبَعْضُ النَّاسِ يُبَالِغ فِي إِهْدَاءِ الثَّوَابِ حَتَّى إِنِّي رَأَيْتُ مَرَّةً أَحَدَ النَّاسِ فِي الْحَرَمِ يَقُولُ إِنَّ لِي طَوَالَ عُمْرِيْ بَعْدَ الْعُمْرَةِ الْوَاجِبَةِ كُلُّ عُمْرَةٍ أَعْتَمِرُهَا أُهْدِي ثَوَابَهَا لِغَيْرِي قُلْتُ تُهْدِي ثَوَابَكَ؟ أَنْتَ كَالشَّمْعَةِ تُضِيءُ لِتُنِيرَ لِلْآخَرِيْنَ وَتُحْرِقُ نَفْسَكَ طَيِّبٌ وَأَنْتَ بِحَاجَةِ لِعَمَلٍ صَالِحٍ يَعْنِي يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مُسْلِمٌ عِنْدَهُ تَوَازُنُ فَيُمْكِنُ أَنْ يُهْدِيَ الثَّوَابَ لَكِنَّ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ فِي ذَلِكَ


Apa hukum membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal? Tidak mengapa. Menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an untuk mayit dibolehkan menurut mayoritas ulama fikih, seperti mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari sebagian besar salaf. Ada ulama dari mazhab Syafi’i yang melarangnya, tapi mayoritas ulama membolehkannya, dan pendapat ini lebih kuat. Wallahu a’lam. Ini pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan banyak ulama mujtahid lainnya. Namun, hendaklah seseorang tidak terlalu sering melakukannya. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia menghadiahkan pahalanya. Sebagaimana mayit itu memerlukan pahala, kamu juga memerlukan pahala. Sebab, jika kamu menghadiahkan pahala tilawah, maka pahala tersebut beralih kepada orang yang kamu tuju. Adapun bagimu, hanya tersisa pahala niat saja. Pahala membaca Al-Qur’an itu sendiri tidak lagi menjadi milikmu. Karena pahala membacanya sudah kamu berikan kepada mayit itu. Sebagian orang berlebihan dalam menghadiahkan pahala amalnya. Bahkan, suatu ketika saya bertemu seseorang di Masjidil Haram, ia berkata kepadaku, “Sepanjang umurku setelah menunaikan umrah wajib umrah-umrah setelahnya saya hadiahkan pahalanya kepada orang lain.” Saya pun menanggapi, “Kamu hadiahkan pahalamu? Kamu seperti lilin: menyala untuk menerangi orang lain, tapi membakar dirimu sendiri Padahal kamu juga membutuhkan amal saleh.” Jadi, hendaklah seorang Muslim bersikap seimbang. Ia boleh menghadiahkan pahala amalnya, asalkan tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya. ===== مَا حُكْمُ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَإِهْدَاءِ ثَوَابِهِ لِلْمَيِّتِ؟ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِهْدَاءُ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ لِلْمَيِّتِ لَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ الْمَأْثُورُ عَنْ أَكْثَرِ السَّلَفِ وَهُنَاكَ مَنْ مَنَعَهُ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ لَكِنْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى جَوَازِهِ وَهُوَ الْأَقْرَبُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَابْنِ الْقَيِّمِ وَجَمْعِ مُحَقِّقِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَكِنْ يَنْبَغِي أَلَّا يُكْثِرَ الْإِنْسَانُ مِنْ ذَلِكَ كُلَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ أَهْدَى ثَوَابَهُ طَيِّبٌ كَمَا أَنَّ هَذَا الْمَيِّتَ بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ أَنْتَ أَيْضًا بِحَاجَةٍ لِلثَّوَابِ لِأَنَّكَ إِذَا أَهْدَيْتَ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ يَنْصَرِفُ ثَوَابُ التِّلَاوَةِ لِمَنْ أَهْدَيْتَهُ لَهُ أَمَّا أَنْتَ لَيْسَ لَكَ إِلَّا أَجْرُ النِّيَّةِ فَقَطْ لَيْسَ لَكَ أَجْرُ التِّلَاوَة أَجْرُ التِّلَاوَةِ أَهْدَيْتَهُ لِهَذَا الْمَيِّتِ فَبَعْضُ النَّاسِ يُبَالِغ فِي إِهْدَاءِ الثَّوَابِ حَتَّى إِنِّي رَأَيْتُ مَرَّةً أَحَدَ النَّاسِ فِي الْحَرَمِ يَقُولُ إِنَّ لِي طَوَالَ عُمْرِيْ بَعْدَ الْعُمْرَةِ الْوَاجِبَةِ كُلُّ عُمْرَةٍ أَعْتَمِرُهَا أُهْدِي ثَوَابَهَا لِغَيْرِي قُلْتُ تُهْدِي ثَوَابَكَ؟ أَنْتَ كَالشَّمْعَةِ تُضِيءُ لِتُنِيرَ لِلْآخَرِيْنَ وَتُحْرِقُ نَفْسَكَ طَيِّبٌ وَأَنْتَ بِحَاجَةِ لِعَمَلٍ صَالِحٍ يَعْنِي يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مُسْلِمٌ عِنْدَهُ تَوَازُنُ فَيُمْكِنُ أَنْ يُهْدِيَ الثَّوَابَ لَكِنَّ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ فِي ذَلِكَ

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 7): Tawaduk, Moderat, dan Tak Melampaui Batas

Daftar Isi ToggleTawaduk adalah sikap moderatJangan gunakan dua pakaian kedustaanPerpecahan muncul dari tidak bersikap moderatManhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanSeringkali dalam momen perselisihan itu didasari oleh perasaan ingin meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sehingga semua pendapat ingin diselisihi dalam rangka mengesankan diri berpengetahuan atau yang lainnya. Maka, kunci dari hal ini adalah menekankan ketawadukan. Ketawadukan adalah sikap menempatkan diri sesuai dengan posisinya atau sedikit lebih rendah. Sebagaimana yang dihimpun oleh Al-Jahizh rahimahullah,التواضع هو: ترك الترؤس، وإظهار الخمول، وكراهية التعظيم، والزيادة في الإكرام، وأن يتجنب الإنسان المباهات بما فيه من الفضائل، والمفاخرة بالجاه والمال، وأن يتحرز من الإعجاب والكبر“Tawaduk adalah seseorang meninggalkan sikap ingin mengungguli, menampakkan sikap biasa tidak menonjol, membenci sikap ingin diagungkan, tidak suka dihormati berlebihan, menjauh dari sikap membanggakan diri atas keutamaan yang dimiliki, tidak berbangga dengan kedudukan dan harta, dan berhati-hati dari rasa ujub dan sombong.” [1]Tawaduk adalah sikap moderatTawaduk merupakan sikap yang moderat. Seorang yang tawaduk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak membuat dirinya ditinggikan, juga tidak pula membuatnya dihinakan. Raghib Asfahani rahimahullah berkata,رضا الإنسان بمنزلة دون ما يستحقه فضله ومنزلته. وهو وسط بين الكبر والضعة،“Tawaduk adalah kerelaan seseorang berada pada kedudukan yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya pantas ia dapatkan berdasarkan keutamaannya dan posisinya. Tawaduk adalah posisi tengah antara kibr (kesombongan) dan ḍi‘ah (kerendahan yang tercela).” [2]فالضعة: وضع الإنسان نفسه مكانا يزري به بتضييع حقه. والكبر: رفع نفسه فوق قدره“Di‘ah adalah seseorang menempatkan dirinya di tempat yang menjatuhkan martabatnya dengan menyia-nyiakan haknya. Sedangkan kibr adalah seseorang mengangkat dirinya melebihi kadar atau kemampuannya.” [3]Jangan gunakan dua pakaian kedustaanTerkadang mereka yang menimbulkan perselisihan, selain ingin meninggikan namanya, ia juga tidak pantas berada di posisi tersebut. Ia berusaha mengesankan dirinya sebagai orang yang berilmu dalam rangka memuliakan dirinya. Namun, hakikatnya ia adalah orang yang tertipu dua kali. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ كَلابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari no. 5219)Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari,قوله المتشبع أي المتزين بما ليس عنده يتكثر بذلك ويتزين بالباطل كالمرأة تكون عند الرجل ولها ضرة فتدعى من الحظوة عند زوجها أكثر مما عنده تريد بذلك غيظ ضرتها، وكذلك هذا في الرجال“Al-mutasyabbi‘ maksudnya adalah orang yang berhias diri dengan sesuatu yang tidak ia miliki, ia berlagak seolah-olah memiliki sesuatu untuk memperlihatkan diri lebih kaya atau lebih terhormat secara dusta. Misalnya seorang wanita yang menjadi istri seorang laki-laki dan memiliki madunya (istri lain dari suaminya). Lalu ia mengaku bahwa ia memiliki tempat khusus di hati suaminya melebihi apa yang sebenarnya ia miliki, dengan tujuan untuk membuat cemburu dan sakit hati madunya. Begitu pula halnya dengan laki-laki, ia melakukan hal serupa.” [4]وأما قوله: كلابس ثوبي زور فإنه الرجل يلبس الثياب المشبهة لثياب الزهاد يوهم أنه منهم ويظهر من التخشع والتقشف أكثر مما في قلبه منهAdapun sabda Nabi ﷺ,  “Seperti orang yang memakai dua baju kebohongan”, maksudnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian orang yang zuhud, agar orang menyangka bahwa ia termasuk dari kalangan mereka, lalu ia menampilkan kekhusyukan dan kesederhanaan lebih dari apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. [5]Perpecahan muncul dari tidak bersikap moderatKetika seorang tidak bersikap moderat, khususnya dalam menyikapi dirinya sendiri, maka akan muncullah perpecahan. Sensasi yang dilemparkan di tengah publik berupa tindakan atau ucapan yang menyerang bersumber dari hasad dan sikap melampaui batas.Imam Al-Ajurri rahimahullah, dalam kitab Asy-Syari’ah, berkata bahwa di antara sebab perselisihan adalah karena hasad dan perilaku atau sikap melampui batas. Beliau menyatakan,أَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى الْفُرْقَةِ عَنِ الْجَمَاعَةِ وَالْمَيْلِ إِلَى الْبَاطِلِ الَّذِي نُهُوا عَنْهُ إِنَّمَا هُوَ الْبَغْيُ وَالْحَسَدُ بَعْدَ أَنْ عَلِمُوا مَا لَمْ يَعْلَمْ غَيْرُهُمْ، فَحَمَلَهُمْ شِدَّةُ الْبَغْيِ وَالْحَسَدِ إِلَى أَنْ صَارُوا فِرَقًا فَهَلَكُوا فَحَذَّرَنَا مَوْلَانَا الْكَرِيمُ أَنْ نَكُونَ مِثْلَهُمْ فَنَهْلِكَ كَمَا هَلَكُوا“Yang menyebabkan mereka berpecah belah dari persatuan, dan condong kepada kebatilan yang mereka telah dilarang untuk mengikutnya, dikarenakan oleh sikap melampui batas dan hasad setelah mereka mengetahui ilmu, yang belum diketahui oleh orang selain mereka. Maka yang menyebabkan perpecahan di kalangan mereka adalah sikap melampaui batas dan rasa hasad. Hingga mereka berpecah belah yang menjadi sebab kehancuran mereka. Oleh karenanya, Allah yang Maha Mulia, memperingatkan kita agar tidak menjadi seperti mereka. Sehingga kita binasa sebagaimana kebinasaan yang menimpa mereka.” [6]Sikap melampaui batas (البغي) dalam menilai diri sendiri secara baik maupun menilai orang lain secara buruk menjadi dasar perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kekisruhan. Sikap ini asalnya memanglah lawan dari sikap tawaduk. Siapapun yang meninggalkan sikap tawaduk, pasti akan jatuh ke dalam sifat melampaui batas.فمما ينافي التواضع: البغي، وهو العدوان على الناس بالقول وبالفعل ونحو ذلك.Yang bertentangan dengan tawaduk adalah al-baghyu atau sikap melampaui batas. Yaitu serangan terhadap orang lain melalui kata-kata, tindakan, dan sejenisnya. [7]Melampaui batas tidak boleh dilakukan, meskipun bagi orang tersebut pantas melakukannya, apalagi jika ia tak berhak melakukannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فنهى سبحانه عن نوعي الاستطالة على الخلق، وهو الفخر والبغي؛ لأن المستطيل إن استطال بحقٍّ فقد افتخر، وإن كان بغير حقٍّ فقد بغى، فلا يحل لا هذا ولا هذا“Allah ﷻ melarang dua jenis sikap melampaui batas terhadap manusia, yaitu al-fakhru dan al-baghyu. Jika orang yang melampaui batas itu dengan hak, maka ia telah terjatuh kepada al-fakhru; dan jika tanpa hak, maka ia telah melampaui batas (al-baghyu). Jadi, keduanya tidak diperbolehkan.” [8]Manhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanPara imam salaf meminta kita semua untuk menjaga persatuan sebagai seruan agama yang fundamental. Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata,بَلْ أَمَرَنَا عَزَّ وَجَلَّ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ، وَنَهَانَا عَنِ الْفُرْقَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْفُرْقَةِ وَأَمَرَنَا بِالْجَمَاعَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا أَئِمَّتُنَا مِمَّنْ سَلَفَ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ كُلِّهِمْ يَأْمُرُونَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ , وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْفُرْقَةِ“Sebaliknya, Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang kita dari perpecahan. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan kita dari perpecahan dan memerintahkan kita untuk tetap berjemaah. Demikian pula, para imam kita dari kalangan salaf seluruhnya telah memperingatkan kita. Mereka semua memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang perpecahan.” [9]Maka, bukanlah ilmu yang dikandungnya yang salah, akan tetapi manusianya yang tak bijak dalam memanfaatkan ilmunya. Bukanlah manhaj para salaful ummah yang salah, tetapi orang-orang yang mengaku bernisbah kepadanya yang tak sempurna. Ingatlah hakikat manusia yang Allah ﷻ maktubkan dalam Al-Qur’an,إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan jahil.” (QS. Al-Ahzab: 72)Dalam berbagai momen perselisihan di tubuh kaum muslimin, andai semua pihak kembali kepada maqam atau levelnya masing-masing, niscaya perselisihan akan segera mereda. Seringkali perselisihan itu kian membara sebab yang terjun dalam medan pertempuran adalah orang yang tidak berilmu atau tidak berkepentingan membicarakannya. Sebagian lagi berilmu dan berkepentingan, tetapi medan pertempurannya dilakukan di hadapan orang awam sehingga kegaduhan kian riuh. Maka kebijaksanaan benar-benar dibutuhkan di setiap tempat.Oleh karena itu, obatnya adalah sikap tawaduk. Sadar diri akan kapabilitas, bahkan merasa lebih rendah dari posisi yang sepantasnya. Bila seorang yang pantas terlibat dalam sebuah perselisihan bersikap tawaduk dan menyerahkan urusannya kepada yang ia rasa lebih berhak, dan ini dilakukan oleh kebanyakan orang, maka perselisihan tentu akan mereda. Ia berhasil meredam hasrat ingin terkenal dengan tidak ikut terlibat dalam kontra-argumen. Ia biarkan perselisihan berlalu begitu saja dan para alim saja yang berurusan. Maka, niscaya mereka yang bersifat demikian akan selamat.Akan tetapi, sikap ini bukan berarti mengajak semua orang berdiam saat ada kerancuan di muka umum, sehingga tidak ada satupun yang berdiri untuk menegakkan nahi mungkar. Seruan ini justru mendorong kita agar menempatkan orang yang tepat untuk menyikapi masalah kaum muslimin. Artinya, tidak semua orang turun untuk menghadapi perselisihan. Inilah sikap hikmah dan tawaduk.Begitupula dengan menekan hasad. Sehingga sebuah masalah sederhana tidak melebar menjadi masalah personal yang dipicu oleh hasad kepada nikmat yang dimiliki seorang. Dampaknya, agendanya selalu dalam rangka menjatuhkan orang lain. Jika terus demikian, maka tidak akan pernah tercapai kerja sama juga kolaborasi di antara sesama pejuang dakwah.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib Akhlak oleh Al-Jahizh, hal. 25; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[2] Adz-Dzari’atu ila Makarimil Akhlak, hal. 299; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[3] ibid.[4] Fathul Bari, 9: 317-318.[5] ibid.[6] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.[7] https://web.surahapp.com/ar/objective-interpretation/[8] Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim, 1: 453.[9] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 7): Tawaduk, Moderat, dan Tak Melampaui Batas

Daftar Isi ToggleTawaduk adalah sikap moderatJangan gunakan dua pakaian kedustaanPerpecahan muncul dari tidak bersikap moderatManhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanSeringkali dalam momen perselisihan itu didasari oleh perasaan ingin meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sehingga semua pendapat ingin diselisihi dalam rangka mengesankan diri berpengetahuan atau yang lainnya. Maka, kunci dari hal ini adalah menekankan ketawadukan. Ketawadukan adalah sikap menempatkan diri sesuai dengan posisinya atau sedikit lebih rendah. Sebagaimana yang dihimpun oleh Al-Jahizh rahimahullah,التواضع هو: ترك الترؤس، وإظهار الخمول، وكراهية التعظيم، والزيادة في الإكرام، وأن يتجنب الإنسان المباهات بما فيه من الفضائل، والمفاخرة بالجاه والمال، وأن يتحرز من الإعجاب والكبر“Tawaduk adalah seseorang meninggalkan sikap ingin mengungguli, menampakkan sikap biasa tidak menonjol, membenci sikap ingin diagungkan, tidak suka dihormati berlebihan, menjauh dari sikap membanggakan diri atas keutamaan yang dimiliki, tidak berbangga dengan kedudukan dan harta, dan berhati-hati dari rasa ujub dan sombong.” [1]Tawaduk adalah sikap moderatTawaduk merupakan sikap yang moderat. Seorang yang tawaduk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak membuat dirinya ditinggikan, juga tidak pula membuatnya dihinakan. Raghib Asfahani rahimahullah berkata,رضا الإنسان بمنزلة دون ما يستحقه فضله ومنزلته. وهو وسط بين الكبر والضعة،“Tawaduk adalah kerelaan seseorang berada pada kedudukan yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya pantas ia dapatkan berdasarkan keutamaannya dan posisinya. Tawaduk adalah posisi tengah antara kibr (kesombongan) dan ḍi‘ah (kerendahan yang tercela).” [2]فالضعة: وضع الإنسان نفسه مكانا يزري به بتضييع حقه. والكبر: رفع نفسه فوق قدره“Di‘ah adalah seseorang menempatkan dirinya di tempat yang menjatuhkan martabatnya dengan menyia-nyiakan haknya. Sedangkan kibr adalah seseorang mengangkat dirinya melebihi kadar atau kemampuannya.” [3]Jangan gunakan dua pakaian kedustaanTerkadang mereka yang menimbulkan perselisihan, selain ingin meninggikan namanya, ia juga tidak pantas berada di posisi tersebut. Ia berusaha mengesankan dirinya sebagai orang yang berilmu dalam rangka memuliakan dirinya. Namun, hakikatnya ia adalah orang yang tertipu dua kali. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ كَلابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari no. 5219)Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari,قوله المتشبع أي المتزين بما ليس عنده يتكثر بذلك ويتزين بالباطل كالمرأة تكون عند الرجل ولها ضرة فتدعى من الحظوة عند زوجها أكثر مما عنده تريد بذلك غيظ ضرتها، وكذلك هذا في الرجال“Al-mutasyabbi‘ maksudnya adalah orang yang berhias diri dengan sesuatu yang tidak ia miliki, ia berlagak seolah-olah memiliki sesuatu untuk memperlihatkan diri lebih kaya atau lebih terhormat secara dusta. Misalnya seorang wanita yang menjadi istri seorang laki-laki dan memiliki madunya (istri lain dari suaminya). Lalu ia mengaku bahwa ia memiliki tempat khusus di hati suaminya melebihi apa yang sebenarnya ia miliki, dengan tujuan untuk membuat cemburu dan sakit hati madunya. Begitu pula halnya dengan laki-laki, ia melakukan hal serupa.” [4]وأما قوله: كلابس ثوبي زور فإنه الرجل يلبس الثياب المشبهة لثياب الزهاد يوهم أنه منهم ويظهر من التخشع والتقشف أكثر مما في قلبه منهAdapun sabda Nabi ﷺ,  “Seperti orang yang memakai dua baju kebohongan”, maksudnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian orang yang zuhud, agar orang menyangka bahwa ia termasuk dari kalangan mereka, lalu ia menampilkan kekhusyukan dan kesederhanaan lebih dari apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. [5]Perpecahan muncul dari tidak bersikap moderatKetika seorang tidak bersikap moderat, khususnya dalam menyikapi dirinya sendiri, maka akan muncullah perpecahan. Sensasi yang dilemparkan di tengah publik berupa tindakan atau ucapan yang menyerang bersumber dari hasad dan sikap melampaui batas.Imam Al-Ajurri rahimahullah, dalam kitab Asy-Syari’ah, berkata bahwa di antara sebab perselisihan adalah karena hasad dan perilaku atau sikap melampui batas. Beliau menyatakan,أَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى الْفُرْقَةِ عَنِ الْجَمَاعَةِ وَالْمَيْلِ إِلَى الْبَاطِلِ الَّذِي نُهُوا عَنْهُ إِنَّمَا هُوَ الْبَغْيُ وَالْحَسَدُ بَعْدَ أَنْ عَلِمُوا مَا لَمْ يَعْلَمْ غَيْرُهُمْ، فَحَمَلَهُمْ شِدَّةُ الْبَغْيِ وَالْحَسَدِ إِلَى أَنْ صَارُوا فِرَقًا فَهَلَكُوا فَحَذَّرَنَا مَوْلَانَا الْكَرِيمُ أَنْ نَكُونَ مِثْلَهُمْ فَنَهْلِكَ كَمَا هَلَكُوا“Yang menyebabkan mereka berpecah belah dari persatuan, dan condong kepada kebatilan yang mereka telah dilarang untuk mengikutnya, dikarenakan oleh sikap melampui batas dan hasad setelah mereka mengetahui ilmu, yang belum diketahui oleh orang selain mereka. Maka yang menyebabkan perpecahan di kalangan mereka adalah sikap melampaui batas dan rasa hasad. Hingga mereka berpecah belah yang menjadi sebab kehancuran mereka. Oleh karenanya, Allah yang Maha Mulia, memperingatkan kita agar tidak menjadi seperti mereka. Sehingga kita binasa sebagaimana kebinasaan yang menimpa mereka.” [6]Sikap melampaui batas (البغي) dalam menilai diri sendiri secara baik maupun menilai orang lain secara buruk menjadi dasar perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kekisruhan. Sikap ini asalnya memanglah lawan dari sikap tawaduk. Siapapun yang meninggalkan sikap tawaduk, pasti akan jatuh ke dalam sifat melampaui batas.فمما ينافي التواضع: البغي، وهو العدوان على الناس بالقول وبالفعل ونحو ذلك.Yang bertentangan dengan tawaduk adalah al-baghyu atau sikap melampaui batas. Yaitu serangan terhadap orang lain melalui kata-kata, tindakan, dan sejenisnya. [7]Melampaui batas tidak boleh dilakukan, meskipun bagi orang tersebut pantas melakukannya, apalagi jika ia tak berhak melakukannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فنهى سبحانه عن نوعي الاستطالة على الخلق، وهو الفخر والبغي؛ لأن المستطيل إن استطال بحقٍّ فقد افتخر، وإن كان بغير حقٍّ فقد بغى، فلا يحل لا هذا ولا هذا“Allah ﷻ melarang dua jenis sikap melampaui batas terhadap manusia, yaitu al-fakhru dan al-baghyu. Jika orang yang melampaui batas itu dengan hak, maka ia telah terjatuh kepada al-fakhru; dan jika tanpa hak, maka ia telah melampaui batas (al-baghyu). Jadi, keduanya tidak diperbolehkan.” [8]Manhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanPara imam salaf meminta kita semua untuk menjaga persatuan sebagai seruan agama yang fundamental. Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata,بَلْ أَمَرَنَا عَزَّ وَجَلَّ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ، وَنَهَانَا عَنِ الْفُرْقَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْفُرْقَةِ وَأَمَرَنَا بِالْجَمَاعَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا أَئِمَّتُنَا مِمَّنْ سَلَفَ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ كُلِّهِمْ يَأْمُرُونَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ , وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْفُرْقَةِ“Sebaliknya, Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang kita dari perpecahan. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan kita dari perpecahan dan memerintahkan kita untuk tetap berjemaah. Demikian pula, para imam kita dari kalangan salaf seluruhnya telah memperingatkan kita. Mereka semua memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang perpecahan.” [9]Maka, bukanlah ilmu yang dikandungnya yang salah, akan tetapi manusianya yang tak bijak dalam memanfaatkan ilmunya. Bukanlah manhaj para salaful ummah yang salah, tetapi orang-orang yang mengaku bernisbah kepadanya yang tak sempurna. Ingatlah hakikat manusia yang Allah ﷻ maktubkan dalam Al-Qur’an,إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan jahil.” (QS. Al-Ahzab: 72)Dalam berbagai momen perselisihan di tubuh kaum muslimin, andai semua pihak kembali kepada maqam atau levelnya masing-masing, niscaya perselisihan akan segera mereda. Seringkali perselisihan itu kian membara sebab yang terjun dalam medan pertempuran adalah orang yang tidak berilmu atau tidak berkepentingan membicarakannya. Sebagian lagi berilmu dan berkepentingan, tetapi medan pertempurannya dilakukan di hadapan orang awam sehingga kegaduhan kian riuh. Maka kebijaksanaan benar-benar dibutuhkan di setiap tempat.Oleh karena itu, obatnya adalah sikap tawaduk. Sadar diri akan kapabilitas, bahkan merasa lebih rendah dari posisi yang sepantasnya. Bila seorang yang pantas terlibat dalam sebuah perselisihan bersikap tawaduk dan menyerahkan urusannya kepada yang ia rasa lebih berhak, dan ini dilakukan oleh kebanyakan orang, maka perselisihan tentu akan mereda. Ia berhasil meredam hasrat ingin terkenal dengan tidak ikut terlibat dalam kontra-argumen. Ia biarkan perselisihan berlalu begitu saja dan para alim saja yang berurusan. Maka, niscaya mereka yang bersifat demikian akan selamat.Akan tetapi, sikap ini bukan berarti mengajak semua orang berdiam saat ada kerancuan di muka umum, sehingga tidak ada satupun yang berdiri untuk menegakkan nahi mungkar. Seruan ini justru mendorong kita agar menempatkan orang yang tepat untuk menyikapi masalah kaum muslimin. Artinya, tidak semua orang turun untuk menghadapi perselisihan. Inilah sikap hikmah dan tawaduk.Begitupula dengan menekan hasad. Sehingga sebuah masalah sederhana tidak melebar menjadi masalah personal yang dipicu oleh hasad kepada nikmat yang dimiliki seorang. Dampaknya, agendanya selalu dalam rangka menjatuhkan orang lain. Jika terus demikian, maka tidak akan pernah tercapai kerja sama juga kolaborasi di antara sesama pejuang dakwah.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib Akhlak oleh Al-Jahizh, hal. 25; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[2] Adz-Dzari’atu ila Makarimil Akhlak, hal. 299; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[3] ibid.[4] Fathul Bari, 9: 317-318.[5] ibid.[6] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.[7] https://web.surahapp.com/ar/objective-interpretation/[8] Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim, 1: 453.[9] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.
Daftar Isi ToggleTawaduk adalah sikap moderatJangan gunakan dua pakaian kedustaanPerpecahan muncul dari tidak bersikap moderatManhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanSeringkali dalam momen perselisihan itu didasari oleh perasaan ingin meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sehingga semua pendapat ingin diselisihi dalam rangka mengesankan diri berpengetahuan atau yang lainnya. Maka, kunci dari hal ini adalah menekankan ketawadukan. Ketawadukan adalah sikap menempatkan diri sesuai dengan posisinya atau sedikit lebih rendah. Sebagaimana yang dihimpun oleh Al-Jahizh rahimahullah,التواضع هو: ترك الترؤس، وإظهار الخمول، وكراهية التعظيم، والزيادة في الإكرام، وأن يتجنب الإنسان المباهات بما فيه من الفضائل، والمفاخرة بالجاه والمال، وأن يتحرز من الإعجاب والكبر“Tawaduk adalah seseorang meninggalkan sikap ingin mengungguli, menampakkan sikap biasa tidak menonjol, membenci sikap ingin diagungkan, tidak suka dihormati berlebihan, menjauh dari sikap membanggakan diri atas keutamaan yang dimiliki, tidak berbangga dengan kedudukan dan harta, dan berhati-hati dari rasa ujub dan sombong.” [1]Tawaduk adalah sikap moderatTawaduk merupakan sikap yang moderat. Seorang yang tawaduk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak membuat dirinya ditinggikan, juga tidak pula membuatnya dihinakan. Raghib Asfahani rahimahullah berkata,رضا الإنسان بمنزلة دون ما يستحقه فضله ومنزلته. وهو وسط بين الكبر والضعة،“Tawaduk adalah kerelaan seseorang berada pada kedudukan yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya pantas ia dapatkan berdasarkan keutamaannya dan posisinya. Tawaduk adalah posisi tengah antara kibr (kesombongan) dan ḍi‘ah (kerendahan yang tercela).” [2]فالضعة: وضع الإنسان نفسه مكانا يزري به بتضييع حقه. والكبر: رفع نفسه فوق قدره“Di‘ah adalah seseorang menempatkan dirinya di tempat yang menjatuhkan martabatnya dengan menyia-nyiakan haknya. Sedangkan kibr adalah seseorang mengangkat dirinya melebihi kadar atau kemampuannya.” [3]Jangan gunakan dua pakaian kedustaanTerkadang mereka yang menimbulkan perselisihan, selain ingin meninggikan namanya, ia juga tidak pantas berada di posisi tersebut. Ia berusaha mengesankan dirinya sebagai orang yang berilmu dalam rangka memuliakan dirinya. Namun, hakikatnya ia adalah orang yang tertipu dua kali. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ كَلابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari no. 5219)Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari,قوله المتشبع أي المتزين بما ليس عنده يتكثر بذلك ويتزين بالباطل كالمرأة تكون عند الرجل ولها ضرة فتدعى من الحظوة عند زوجها أكثر مما عنده تريد بذلك غيظ ضرتها، وكذلك هذا في الرجال“Al-mutasyabbi‘ maksudnya adalah orang yang berhias diri dengan sesuatu yang tidak ia miliki, ia berlagak seolah-olah memiliki sesuatu untuk memperlihatkan diri lebih kaya atau lebih terhormat secara dusta. Misalnya seorang wanita yang menjadi istri seorang laki-laki dan memiliki madunya (istri lain dari suaminya). Lalu ia mengaku bahwa ia memiliki tempat khusus di hati suaminya melebihi apa yang sebenarnya ia miliki, dengan tujuan untuk membuat cemburu dan sakit hati madunya. Begitu pula halnya dengan laki-laki, ia melakukan hal serupa.” [4]وأما قوله: كلابس ثوبي زور فإنه الرجل يلبس الثياب المشبهة لثياب الزهاد يوهم أنه منهم ويظهر من التخشع والتقشف أكثر مما في قلبه منهAdapun sabda Nabi ﷺ,  “Seperti orang yang memakai dua baju kebohongan”, maksudnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian orang yang zuhud, agar orang menyangka bahwa ia termasuk dari kalangan mereka, lalu ia menampilkan kekhusyukan dan kesederhanaan lebih dari apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. [5]Perpecahan muncul dari tidak bersikap moderatKetika seorang tidak bersikap moderat, khususnya dalam menyikapi dirinya sendiri, maka akan muncullah perpecahan. Sensasi yang dilemparkan di tengah publik berupa tindakan atau ucapan yang menyerang bersumber dari hasad dan sikap melampaui batas.Imam Al-Ajurri rahimahullah, dalam kitab Asy-Syari’ah, berkata bahwa di antara sebab perselisihan adalah karena hasad dan perilaku atau sikap melampui batas. Beliau menyatakan,أَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى الْفُرْقَةِ عَنِ الْجَمَاعَةِ وَالْمَيْلِ إِلَى الْبَاطِلِ الَّذِي نُهُوا عَنْهُ إِنَّمَا هُوَ الْبَغْيُ وَالْحَسَدُ بَعْدَ أَنْ عَلِمُوا مَا لَمْ يَعْلَمْ غَيْرُهُمْ، فَحَمَلَهُمْ شِدَّةُ الْبَغْيِ وَالْحَسَدِ إِلَى أَنْ صَارُوا فِرَقًا فَهَلَكُوا فَحَذَّرَنَا مَوْلَانَا الْكَرِيمُ أَنْ نَكُونَ مِثْلَهُمْ فَنَهْلِكَ كَمَا هَلَكُوا“Yang menyebabkan mereka berpecah belah dari persatuan, dan condong kepada kebatilan yang mereka telah dilarang untuk mengikutnya, dikarenakan oleh sikap melampui batas dan hasad setelah mereka mengetahui ilmu, yang belum diketahui oleh orang selain mereka. Maka yang menyebabkan perpecahan di kalangan mereka adalah sikap melampaui batas dan rasa hasad. Hingga mereka berpecah belah yang menjadi sebab kehancuran mereka. Oleh karenanya, Allah yang Maha Mulia, memperingatkan kita agar tidak menjadi seperti mereka. Sehingga kita binasa sebagaimana kebinasaan yang menimpa mereka.” [6]Sikap melampaui batas (البغي) dalam menilai diri sendiri secara baik maupun menilai orang lain secara buruk menjadi dasar perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kekisruhan. Sikap ini asalnya memanglah lawan dari sikap tawaduk. Siapapun yang meninggalkan sikap tawaduk, pasti akan jatuh ke dalam sifat melampaui batas.فمما ينافي التواضع: البغي، وهو العدوان على الناس بالقول وبالفعل ونحو ذلك.Yang bertentangan dengan tawaduk adalah al-baghyu atau sikap melampaui batas. Yaitu serangan terhadap orang lain melalui kata-kata, tindakan, dan sejenisnya. [7]Melampaui batas tidak boleh dilakukan, meskipun bagi orang tersebut pantas melakukannya, apalagi jika ia tak berhak melakukannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فنهى سبحانه عن نوعي الاستطالة على الخلق، وهو الفخر والبغي؛ لأن المستطيل إن استطال بحقٍّ فقد افتخر، وإن كان بغير حقٍّ فقد بغى، فلا يحل لا هذا ولا هذا“Allah ﷻ melarang dua jenis sikap melampaui batas terhadap manusia, yaitu al-fakhru dan al-baghyu. Jika orang yang melampaui batas itu dengan hak, maka ia telah terjatuh kepada al-fakhru; dan jika tanpa hak, maka ia telah melampaui batas (al-baghyu). Jadi, keduanya tidak diperbolehkan.” [8]Manhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanPara imam salaf meminta kita semua untuk menjaga persatuan sebagai seruan agama yang fundamental. Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata,بَلْ أَمَرَنَا عَزَّ وَجَلَّ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ، وَنَهَانَا عَنِ الْفُرْقَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْفُرْقَةِ وَأَمَرَنَا بِالْجَمَاعَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا أَئِمَّتُنَا مِمَّنْ سَلَفَ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ كُلِّهِمْ يَأْمُرُونَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ , وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْفُرْقَةِ“Sebaliknya, Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang kita dari perpecahan. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan kita dari perpecahan dan memerintahkan kita untuk tetap berjemaah. Demikian pula, para imam kita dari kalangan salaf seluruhnya telah memperingatkan kita. Mereka semua memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang perpecahan.” [9]Maka, bukanlah ilmu yang dikandungnya yang salah, akan tetapi manusianya yang tak bijak dalam memanfaatkan ilmunya. Bukanlah manhaj para salaful ummah yang salah, tetapi orang-orang yang mengaku bernisbah kepadanya yang tak sempurna. Ingatlah hakikat manusia yang Allah ﷻ maktubkan dalam Al-Qur’an,إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan jahil.” (QS. Al-Ahzab: 72)Dalam berbagai momen perselisihan di tubuh kaum muslimin, andai semua pihak kembali kepada maqam atau levelnya masing-masing, niscaya perselisihan akan segera mereda. Seringkali perselisihan itu kian membara sebab yang terjun dalam medan pertempuran adalah orang yang tidak berilmu atau tidak berkepentingan membicarakannya. Sebagian lagi berilmu dan berkepentingan, tetapi medan pertempurannya dilakukan di hadapan orang awam sehingga kegaduhan kian riuh. Maka kebijaksanaan benar-benar dibutuhkan di setiap tempat.Oleh karena itu, obatnya adalah sikap tawaduk. Sadar diri akan kapabilitas, bahkan merasa lebih rendah dari posisi yang sepantasnya. Bila seorang yang pantas terlibat dalam sebuah perselisihan bersikap tawaduk dan menyerahkan urusannya kepada yang ia rasa lebih berhak, dan ini dilakukan oleh kebanyakan orang, maka perselisihan tentu akan mereda. Ia berhasil meredam hasrat ingin terkenal dengan tidak ikut terlibat dalam kontra-argumen. Ia biarkan perselisihan berlalu begitu saja dan para alim saja yang berurusan. Maka, niscaya mereka yang bersifat demikian akan selamat.Akan tetapi, sikap ini bukan berarti mengajak semua orang berdiam saat ada kerancuan di muka umum, sehingga tidak ada satupun yang berdiri untuk menegakkan nahi mungkar. Seruan ini justru mendorong kita agar menempatkan orang yang tepat untuk menyikapi masalah kaum muslimin. Artinya, tidak semua orang turun untuk menghadapi perselisihan. Inilah sikap hikmah dan tawaduk.Begitupula dengan menekan hasad. Sehingga sebuah masalah sederhana tidak melebar menjadi masalah personal yang dipicu oleh hasad kepada nikmat yang dimiliki seorang. Dampaknya, agendanya selalu dalam rangka menjatuhkan orang lain. Jika terus demikian, maka tidak akan pernah tercapai kerja sama juga kolaborasi di antara sesama pejuang dakwah.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib Akhlak oleh Al-Jahizh, hal. 25; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[2] Adz-Dzari’atu ila Makarimil Akhlak, hal. 299; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[3] ibid.[4] Fathul Bari, 9: 317-318.[5] ibid.[6] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.[7] https://web.surahapp.com/ar/objective-interpretation/[8] Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim, 1: 453.[9] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.


Daftar Isi ToggleTawaduk adalah sikap moderatJangan gunakan dua pakaian kedustaanPerpecahan muncul dari tidak bersikap moderatManhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanSeringkali dalam momen perselisihan itu didasari oleh perasaan ingin meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sehingga semua pendapat ingin diselisihi dalam rangka mengesankan diri berpengetahuan atau yang lainnya. Maka, kunci dari hal ini adalah menekankan ketawadukan. Ketawadukan adalah sikap menempatkan diri sesuai dengan posisinya atau sedikit lebih rendah. Sebagaimana yang dihimpun oleh Al-Jahizh rahimahullah,التواضع هو: ترك الترؤس، وإظهار الخمول، وكراهية التعظيم، والزيادة في الإكرام، وأن يتجنب الإنسان المباهات بما فيه من الفضائل، والمفاخرة بالجاه والمال، وأن يتحرز من الإعجاب والكبر“Tawaduk adalah seseorang meninggalkan sikap ingin mengungguli, menampakkan sikap biasa tidak menonjol, membenci sikap ingin diagungkan, tidak suka dihormati berlebihan, menjauh dari sikap membanggakan diri atas keutamaan yang dimiliki, tidak berbangga dengan kedudukan dan harta, dan berhati-hati dari rasa ujub dan sombong.” [1]Tawaduk adalah sikap moderatTawaduk merupakan sikap yang moderat. Seorang yang tawaduk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak membuat dirinya ditinggikan, juga tidak pula membuatnya dihinakan. Raghib Asfahani rahimahullah berkata,رضا الإنسان بمنزلة دون ما يستحقه فضله ومنزلته. وهو وسط بين الكبر والضعة،“Tawaduk adalah kerelaan seseorang berada pada kedudukan yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya pantas ia dapatkan berdasarkan keutamaannya dan posisinya. Tawaduk adalah posisi tengah antara kibr (kesombongan) dan ḍi‘ah (kerendahan yang tercela).” [2]فالضعة: وضع الإنسان نفسه مكانا يزري به بتضييع حقه. والكبر: رفع نفسه فوق قدره“Di‘ah adalah seseorang menempatkan dirinya di tempat yang menjatuhkan martabatnya dengan menyia-nyiakan haknya. Sedangkan kibr adalah seseorang mengangkat dirinya melebihi kadar atau kemampuannya.” [3]Jangan gunakan dua pakaian kedustaanTerkadang mereka yang menimbulkan perselisihan, selain ingin meninggikan namanya, ia juga tidak pantas berada di posisi tersebut. Ia berusaha mengesankan dirinya sebagai orang yang berilmu dalam rangka memuliakan dirinya. Namun, hakikatnya ia adalah orang yang tertipu dua kali. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ كَلابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari no. 5219)Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari,قوله المتشبع أي المتزين بما ليس عنده يتكثر بذلك ويتزين بالباطل كالمرأة تكون عند الرجل ولها ضرة فتدعى من الحظوة عند زوجها أكثر مما عنده تريد بذلك غيظ ضرتها، وكذلك هذا في الرجال“Al-mutasyabbi‘ maksudnya adalah orang yang berhias diri dengan sesuatu yang tidak ia miliki, ia berlagak seolah-olah memiliki sesuatu untuk memperlihatkan diri lebih kaya atau lebih terhormat secara dusta. Misalnya seorang wanita yang menjadi istri seorang laki-laki dan memiliki madunya (istri lain dari suaminya). Lalu ia mengaku bahwa ia memiliki tempat khusus di hati suaminya melebihi apa yang sebenarnya ia miliki, dengan tujuan untuk membuat cemburu dan sakit hati madunya. Begitu pula halnya dengan laki-laki, ia melakukan hal serupa.” [4]وأما قوله: كلابس ثوبي زور فإنه الرجل يلبس الثياب المشبهة لثياب الزهاد يوهم أنه منهم ويظهر من التخشع والتقشف أكثر مما في قلبه منهAdapun sabda Nabi ﷺ,  “Seperti orang yang memakai dua baju kebohongan”, maksudnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian orang yang zuhud, agar orang menyangka bahwa ia termasuk dari kalangan mereka, lalu ia menampilkan kekhusyukan dan kesederhanaan lebih dari apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. [5]Perpecahan muncul dari tidak bersikap moderatKetika seorang tidak bersikap moderat, khususnya dalam menyikapi dirinya sendiri, maka akan muncullah perpecahan. Sensasi yang dilemparkan di tengah publik berupa tindakan atau ucapan yang menyerang bersumber dari hasad dan sikap melampaui batas.Imam Al-Ajurri rahimahullah, dalam kitab Asy-Syari’ah, berkata bahwa di antara sebab perselisihan adalah karena hasad dan perilaku atau sikap melampui batas. Beliau menyatakan,أَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى الْفُرْقَةِ عَنِ الْجَمَاعَةِ وَالْمَيْلِ إِلَى الْبَاطِلِ الَّذِي نُهُوا عَنْهُ إِنَّمَا هُوَ الْبَغْيُ وَالْحَسَدُ بَعْدَ أَنْ عَلِمُوا مَا لَمْ يَعْلَمْ غَيْرُهُمْ، فَحَمَلَهُمْ شِدَّةُ الْبَغْيِ وَالْحَسَدِ إِلَى أَنْ صَارُوا فِرَقًا فَهَلَكُوا فَحَذَّرَنَا مَوْلَانَا الْكَرِيمُ أَنْ نَكُونَ مِثْلَهُمْ فَنَهْلِكَ كَمَا هَلَكُوا“Yang menyebabkan mereka berpecah belah dari persatuan, dan condong kepada kebatilan yang mereka telah dilarang untuk mengikutnya, dikarenakan oleh sikap melampui batas dan hasad setelah mereka mengetahui ilmu, yang belum diketahui oleh orang selain mereka. Maka yang menyebabkan perpecahan di kalangan mereka adalah sikap melampaui batas dan rasa hasad. Hingga mereka berpecah belah yang menjadi sebab kehancuran mereka. Oleh karenanya, Allah yang Maha Mulia, memperingatkan kita agar tidak menjadi seperti mereka. Sehingga kita binasa sebagaimana kebinasaan yang menimpa mereka.” [6]Sikap melampaui batas (البغي) dalam menilai diri sendiri secara baik maupun menilai orang lain secara buruk menjadi dasar perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kekisruhan. Sikap ini asalnya memanglah lawan dari sikap tawaduk. Siapapun yang meninggalkan sikap tawaduk, pasti akan jatuh ke dalam sifat melampaui batas.فمما ينافي التواضع: البغي، وهو العدوان على الناس بالقول وبالفعل ونحو ذلك.Yang bertentangan dengan tawaduk adalah al-baghyu atau sikap melampaui batas. Yaitu serangan terhadap orang lain melalui kata-kata, tindakan, dan sejenisnya. [7]Melampaui batas tidak boleh dilakukan, meskipun bagi orang tersebut pantas melakukannya, apalagi jika ia tak berhak melakukannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فنهى سبحانه عن نوعي الاستطالة على الخلق، وهو الفخر والبغي؛ لأن المستطيل إن استطال بحقٍّ فقد افتخر، وإن كان بغير حقٍّ فقد بغى، فلا يحل لا هذا ولا هذا“Allah ﷻ melarang dua jenis sikap melampaui batas terhadap manusia, yaitu al-fakhru dan al-baghyu. Jika orang yang melampaui batas itu dengan hak, maka ia telah terjatuh kepada al-fakhru; dan jika tanpa hak, maka ia telah melampaui batas (al-baghyu). Jadi, keduanya tidak diperbolehkan.” [8]Manhaj salaf tidak mengajarkan perpecahanPara imam salaf meminta kita semua untuk menjaga persatuan sebagai seruan agama yang fundamental. Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata,بَلْ أَمَرَنَا عَزَّ وَجَلَّ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ، وَنَهَانَا عَنِ الْفُرْقَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْفُرْقَةِ وَأَمَرَنَا بِالْجَمَاعَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا أَئِمَّتُنَا مِمَّنْ سَلَفَ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ كُلِّهِمْ يَأْمُرُونَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ , وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْفُرْقَةِ“Sebaliknya, Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang kita dari perpecahan. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan kita dari perpecahan dan memerintahkan kita untuk tetap berjemaah. Demikian pula, para imam kita dari kalangan salaf seluruhnya telah memperingatkan kita. Mereka semua memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang perpecahan.” [9]Maka, bukanlah ilmu yang dikandungnya yang salah, akan tetapi manusianya yang tak bijak dalam memanfaatkan ilmunya. Bukanlah manhaj para salaful ummah yang salah, tetapi orang-orang yang mengaku bernisbah kepadanya yang tak sempurna. Ingatlah hakikat manusia yang Allah ﷻ maktubkan dalam Al-Qur’an,إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan jahil.” (QS. Al-Ahzab: 72)Dalam berbagai momen perselisihan di tubuh kaum muslimin, andai semua pihak kembali kepada maqam atau levelnya masing-masing, niscaya perselisihan akan segera mereda. Seringkali perselisihan itu kian membara sebab yang terjun dalam medan pertempuran adalah orang yang tidak berilmu atau tidak berkepentingan membicarakannya. Sebagian lagi berilmu dan berkepentingan, tetapi medan pertempurannya dilakukan di hadapan orang awam sehingga kegaduhan kian riuh. Maka kebijaksanaan benar-benar dibutuhkan di setiap tempat.Oleh karena itu, obatnya adalah sikap tawaduk. Sadar diri akan kapabilitas, bahkan merasa lebih rendah dari posisi yang sepantasnya. Bila seorang yang pantas terlibat dalam sebuah perselisihan bersikap tawaduk dan menyerahkan urusannya kepada yang ia rasa lebih berhak, dan ini dilakukan oleh kebanyakan orang, maka perselisihan tentu akan mereda. Ia berhasil meredam hasrat ingin terkenal dengan tidak ikut terlibat dalam kontra-argumen. Ia biarkan perselisihan berlalu begitu saja dan para alim saja yang berurusan. Maka, niscaya mereka yang bersifat demikian akan selamat.Akan tetapi, sikap ini bukan berarti mengajak semua orang berdiam saat ada kerancuan di muka umum, sehingga tidak ada satupun yang berdiri untuk menegakkan nahi mungkar. Seruan ini justru mendorong kita agar menempatkan orang yang tepat untuk menyikapi masalah kaum muslimin. Artinya, tidak semua orang turun untuk menghadapi perselisihan. Inilah sikap hikmah dan tawaduk.Begitupula dengan menekan hasad. Sehingga sebuah masalah sederhana tidak melebar menjadi masalah personal yang dipicu oleh hasad kepada nikmat yang dimiliki seorang. Dampaknya, agendanya selalu dalam rangka menjatuhkan orang lain. Jika terus demikian, maka tidak akan pernah tercapai kerja sama juga kolaborasi di antara sesama pejuang dakwah.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib Akhlak oleh Al-Jahizh, hal. 25; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[2] Adz-Dzari’atu ila Makarimil Akhlak, hal. 299; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.[3] ibid.[4] Fathul Bari, 9: 317-318.[5] ibid.[6] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.[7] https://web.surahapp.com/ar/objective-interpretation/[8] Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim, 1: 453.[9] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.

Sungguh Allah Mengampuni Seluruh Dosa

إن الله يغفر الذنوب جميعا Oleh: Syaikh Nasyat Kamal الشيخ نشأت كمال قال تعالى: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. هذه الآية تدل على كمال رحمة الله، وفضله وإحسانه في حق العبيد،وقد سبق هذه الآية آياتُ الوعيد الشديدة حتى بلغت من نفوس سامعيها أي مبلغ من الرعب والخوف، وقد يبلغ بهم وقعها مبلغ اليأس من سعي يُنْجيهم من وعيدها، فأعقبها الله ببعث الرجاء في نفوسهم للخروج إلى ساحل النجاة إذا أرادوها على عادة هذا الكتاب المجيد من مداواة النفوس بمزيج الترغيب والترهيب. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Ayat ini menunjukkan sempurnanya rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta karunia dan kebaikan-Nya yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya. Sebelum ayat ini, disebutkan ayat-ayat yang berisi ancaman keras, hingga setiap jiwa yang mendengarnya dapat merasakan kengerian dan ketakutan yang luar biasa, dan bisa jadi akan menimbulkan keputusasaan dalam berusaha menyelamatkan diri dari ancamannya. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan setelahnya ayat ini untuk menumbuhkan kembali harapan dalam diri mereka agar dapat keluar menuju tepi keselamatan apabila mereka menghendakinya. Inilah metode yang biasa dipakai dalam kitab yang mulia ini dalam mengobati jiwa dengan mengombinasikan antara pemberian ancaman dan harapan. قال ابن كثير رحمه الله: هذه الآية الكريمة دعوة لجميع العُصاة من الكفرة وغيرهم إلى التوبة والإنابة، وإخبار بأن الله يغفر الذنوب جميعًا لمن تاب منها ورجع عنها، وإن كانت مهما كانت، وإن كثرت وكانت مثل زبد البحر. ثم ذكر ابن كثير رحمه الله أنه يُستثنى من عموم المغفرة طائفة من الناس وهم المشركون، فلا يصحُّ حمل هذه الآية عليهم حال كفرهم وشركهم؛ لأن الشرك لا يُغفَر لمن لم يَتُبْ منه، وهذا كلامٌ صحيح. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan seruan bagi seluruh pelaku maksiat —baik itu dari golongan orang-orang kafir maupun selain mereka— untuk bertobat dan insaf, juga sebagai pesan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Mengampuni seluruh dosa bagi orang yang bertobat dan insaf darinya, dosa apa pun itu dan bagaimanapun itu, meskipun sebanyak buih di lautan.” Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah kemudian menyebutkan bahwa keluasan ampunan ini tidak berlaku bagi sebagian golongan manusia, yaitu orang-orang musyrik. Tidak benar jika ayat ini ditujukan kepada mereka saat mereka dalam keadaan kafir dan musyrik, karena kesyirikan tidak akan diampuni jika pelakunya tidak bertobat darinya, dan inilah pendapat yang benar. فعن ابن عباس رضي الله عنهما، أنَّ ناسًا من أهل الشرك كانوا قد قتلوا فأكثروا، وزنوا فأكثروا، فأتوا محمدًا صلى الله عليه وسلم، فقالوا: إن الذي تقول وتدعو إليه لحسن لو تخبرنا أن لما عملنا كفَّارة، فنزل: ﴿ وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ﴾ [الفرقان: 68]، ونزل قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]؛ رواه البخاري ومسلم. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa dulu orang-orang musyrik telah banyak membunuh dan berzina, lalu mereka datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Sungguh yang kamu ucapkan dan serukan ini adalah hal yang bagus, kalaulah kamu sampaikan kepada kami bahwa apa yang telah kami lakukan ini ada penggugurnya?” Kemudian turunlah ayat: وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68). Juga turun ayat: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). (HR. Al-Bukhari dan Muslim). عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ﴾ إلى آخر الآية، قال: قد دعا الله إلى مغفرته من زعم أن المسيح هو الله، ومن زعم أن المسيح هو ابن الله، ومن زعم أن عزيرًا ابن الله، ومن زعم أن الله فقير، ومن زعم أن يد الله مغلولة، ومن زعم أن الله ثالث ثلاثة، يقول الله تعالى لهؤلاء: ﴿ أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾ [المائدة: 74]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkaitan dengan firman Allah: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Bahwa ia berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyerukan ampunan-Nya bagi orang yang telah mengklaim bahwa Isa adalah Allah, mengklaim Isa adalah anak Allah, mengklaim Uzair adalah anak Allah, mengklaim Allah itu miskin, mengklaim bahwa tangan Allah terbelenggu, dan mengklaim bahwa Allah merupakan tiga oknum tuhan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada mereka: أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 74). وعن ابن مسعود أنه قال: إن أعظم آية في كتاب الله: ﴿ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ﴾ [البقرة: 255]، وإن أجمع آية في القرآن بخيرٍ وشرٍّ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ﴾ [النحل: 90]، وإن أكثر آية في القرآن فرجًا في سورة الغرف: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]، وإن أشد آية في كتاب الله تصريفًا ﴿ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ﴾ [الطلاق: 2، 3]. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Ayat yang paling agung dalam Kitabullah adalah: اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ‘Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).’ (QS. Al-Baqarah: 255). Dan ayat yang paling lengkap menyebutkan kebaikan dan keburukan dalam Al-Qur’an adalah: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ‘Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan.’ (QS. An-Nahl: 90). Sedangkan ayat dalam Al-Qur’an yang paling banyak menghadirkan jalan keluar adalah yang ada dalam surat Al-Ghuraf (Az-Zumar): قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). Adapun ayat dalam Kitabullah yang paling mengubah keadaan adalah: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga.” (QS. At-Talaq: 2-3). و(الإسراف): الإكثار، والمراد به هنا الإسراف في الذنوب والمعاصي. و(القنوط): اليأس، وقد نهى الله عنه في كتابه كما في قوله تعالى: ﴿ قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ ﴾ [الحجر: 56]، وقال: ﴿ يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ ﴾ [يوسف: 87]. Yang dimaksud dengan “الإسراف” (melampaui batas) —dalam surat Az-Zumar ayat 53)— adalah melampaui batas dalam melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan maksud dari “اليأس” (putus asa) adalah putus harapan dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang putus asa dalam Kitab-Nya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ Dia (Ibrahim) berkata, “Adakah orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya selain orang yang sesat?” (QS. Al-Hijr: 56). يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (Yakub berkata), “Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). ومادة الغفر ترجع إلى الستر، وهو يقتضي وجود المستور واحتياجه للستر، فدلَّ يغفر الذنوب على أن الذنوب ثابتة؛ أي: المؤاخذة بها ثابتة والله يغفرها؛ أي: يزيل المؤاخذة بها، وهذه المغفرة تقتضي أسبابًا، منها: قوله تعالى: ﴿ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى ﴾ [طه: 82] فكأن قوله: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ ﴾ [الزمر: 53] دعوة إلى تطلُّب أسباب هذه المغفرة، فإذا طلبها المذنب حصلت له المغفرة. Akar kata “الغفر” memiliki kandungan makna menutupi, sehingga kata ini mengharuskan ada hal yang ditutupi dan membutuhkan penutup. Sehingga kata “يغفر الذنوب” (menutup dosa-dosa) mengandung artian bahwa dosa-dosa itu tetap ada dan layak mendapatkan balasannya. Sedangkan maksud dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup dosa-dosa itu yakni menghilangkan balasan atas dosa itu. Penutupan atau ampunan atas dosa-dosa ini ada sebab-sebabnya, di antaranya adalah yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS. Thaha: 82). Jadi, seakan-akan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53). Merupakan seruan untuk menjalankan sebab-sebab ampunan, sehingga apabila orang yang berdosa menjalankannya, maka ampunan pasti didapatkan. وقيل: لو صارت الذنوب بأسْرِها مغفورةً لما أمر بالتوبة، فالجواب: أن عندنا التوبة واجبة وخوف العقاب قائم، فإنا لا نقطع بإزالة العقاب بالكلية؛ بل نقول: لعله يعفو مطلقًا، ولعله يعذب بالنار مدة ثم يعفو بعد ذلك. Jika ada yang mengatakan, “Seandainya semua dosa itu diampuni, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak perlu memerintahkan bertobat!” Maka jawabannya adalah menurut kami tobat itu wajib dan rasa takut terhadap siksaan harus tetap ada, karena kami tidak dapat memastikan siksaan akan dihilangkan sepenuhnya, tapi kita hanya bisa berkata, “Bisa jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni sepenuhnya, dan bisa jadi juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengazab pelaku dosa di neraka beberapa saat, lalu memberi ampunan setelah itu.” وهذا الخطاب يشمل المشركين والمؤمنين، فيأخذ كل فريق منه بنصيب، فنصيب المشركين الإنابة إلى التوحيد واتِّباع دين الإسلام، ونصيب المؤمنين منه التوبة إذا أسرفوا على أنفسهم والإكثار من الحسنات، وأمَّا الإسلام فهو حاصل لهم. Seruan ini mencakup orang-orang musyrik dan beriman, setiap golongan itu mengamalkan sesuai kadarnya masing-masing. Kadar bagi orang-orang musyrik dalam seruan ini adalah kembali kepada tauhid dan menganut agama Islam. Sedangkan kadar bagi orang-orang beriman adalah bertobat jika telah melebihi batas terhadap diri mereka dengan dosa-dosa dan memperbanyak amal kebaikan, adapun agama Islam, maka telah mereka dapatkan. ومن الفوائد في الآية: 1- أنه سبحانه سمَّى المذنب بالعبد، وهذا يعني أنه لم يطرد، وأنه أهل للرحمة. 2- أنه تعالى أضافهم إلى نفسه بياء الإضافة. 3- أنه تعالى قال: ﴿ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ ﴾ ومعناه: أن ضرر تلك الذنوب ما عاد إليه؛ بل هو عائد إليهم. 4- أنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ نهاهم عن القنوط، فيكون هذا أمرًا بالرجاء، والكريم إذا أمر بالرجاء فلا يليق به إلا الكرم، ولم يقل: (لا تقنطوا من رحمتي) لكنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾؛ لأن قولنا الله أعظم أسماء الله وأجلها، فالرحمة المضافة إليه يجب أن تكون أعظم أنواع الرحمة والفضل، وكان من الممكن أن يقول: (إنه يغفر الذنوب جميعًا)؛ ولكنه أعاد اسم الله؛ ليدل على المبالغة في الوعد بالرحمة، وقال: ﴿ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ لفظ الغفور يُفيد المبالغة في المغفرة، والرحمة تفيد فائدة زائدة على المغفرة، فـ(الغفور) إشارة إلى إزالة موجبات العقاب، و(الرحيم) إشارة إلى تحصيل موجبات الرحمة. Di antara faedah yang terkandung dalam ayat ini adalah: Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut pelaku dosa sebagai “hamba”. Ini menunjukkan bahwa orang itu tidak Dia jauhi, dan bahkan masih berhak mendapat rahmat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menisbatkan pelaku dosa itu kepada diri-Nya dengan berfirman, “hamba-Ku.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri (dengan berbuat dosa).” Maknanya mudharat dosa-dosa itu tidak menimpa Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi justru menimpa para pelakunya sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang para hamba-Nya dari keputusasaan, sehingga ini menjadi perintah untuk terus berharap. Apabila Dzat Yang Maha Pemurah sudah memerintahkan untuk berharap, maka tidak layak bagi-Nya kecuali melimpahkan kemurahan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak berfirman dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat-Ku” tapi dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat Allah”, karena “Allah” merupakan nama-Nya yang paling agung dan mulia, sehingga rahmat yang disandingkan dengan nama ini pasti menjadi rahmat yang paling agung. Selain itu, bisa saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dengan redaksi, “Sesungguhnya Dia mengampuni dosa-dosa semuanya”, tapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala justru mengulangi penyebutan nama-Nya dengan berfirman, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya” untuk memberi penekanan lebih akan janji-Nya untuk melimpahkan rahmat. Kemudian Dia berfirman, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun Maha Penyayang.” Dan kata “الغفور” (Maha Pengampun) mengandung makna lebih dalam ampunan. Adapun rahmat mengandung makna yang lebih atas ampunan, sehingga kata “Maha Pengampun” memberi makna penghapusan faktor-faktor yang mendatangkan siksaan, sedangkan kata “Maha Penyayang” memberi makna pemberian faktor-faktor yang mendatangkan rahmat. ولما فتح لهم باب الرجاء أعْقَبَه بالإرشاد إلى وسيلة المغفرة، فقال: ﴿ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ ﴾ [الزمر: 54]، وهذا أمر بالتوبة، وقد ذكر الزمخشري في الكشاف أن المعنى: (وتوبوا إليه وأسلموا له؛ أي: وأخلصوا له العمل؛ وإنما ذكر الإنابة على أثر المغفرة؛ لئلا يطمع طامع في حصولها بغير توبة). Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala membukakan pintu harapan bagi para hamba-Nya, Dia menyebutkan setelahnya petunjuk tentang jalan untuk meraih ampunan, dengan berfirman: وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ “Dan kembalilah kepada Tuhan kalian.” (QS. Az-Zumar: 54). Ini merupakan perintah untuk bertobat. Az-Zamakhsyari menyebutkan dalam kitab Al-Kasysyaf bahwa maknanya, “(Maksudnya): ‘Dan bertobatlah kepada-Nya dan tuluskanlah amalan untuk-Nya.’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan tobat setelah menyebutkan ampunan untuk mencegah agar tidak ada orang yang menginginkan ampunan tanpa tobat.” وذكر الرازي في تفسيره أن هذا على مذهبه المعتزلي في الوعيد، وهو غلط؛ لأن المغفرة قد تقع ابتداءً؛ يعني: في حق الموحِّدين، وتارة يُعذَّب المذنب مدة في النار، ثم يخرجه الله من النار ويعفو عنه. Sedangkan Ar-Razi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa itu (penafsiran az-Zamakhsyari) merupakan penafsiran sesuai dengan mazhab mu’tazilah yang beliau anut berkaitan dengan ancaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan ini keyakinan yang salah, karena terkadang ampunan diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala begitu saja tanpa didahului dengan tobatnya hamba, yakni bagi orang-orang yang bertauhid (tidak menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Namun, terkadang orang yang berdosa juga disiksa dulu di neraka, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengeluarkannya dari neraka dan mengampuninya. واعلم أنه تعالى لما خوَّف المشركين والكافرين بالعذاب بيَّن تعالى أن بتقدير نزول العذاب بهم ماذا يقولون، فحكى الله تعالى عنهم ثلاثة أنواع من الاعتذارات الواهية الباطلة: •الحسرة على التفريط في طاعة الله تعالى، ولم يكفه أن ضيَّع طاعة الله حتى سخر من أهلها، فقال تعالى: ﴿ أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴾ [الزمر: 56]. •تمنِّي الهداية والتقوى، قال: ﴿ لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ﴾ [الزمر: 57]. •تمني الرجوع والإحسان، قال: ﴿ أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [الزمر: 58]. Ketahuilah bahwa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam orang-orang musyrik dan kafir dengan azab, Dia juga menjelaskan seandainya azab turun kepada mereka, apa yang akan mereka katakan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan gambaran tentang mereka dengan tiga jenis alasan batil yang akan mereka ajukan, yaitu: Merasakan penyesalan atas kelalaian mereka dalam menaati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak hanya melalaikan ketaatan itu, tapi juga menghina orang-orang yang taat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ (Tujuannya) supaya (tidak) ada orang yang berkata, “Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah dan sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala).” (QS. Az-Zumar: 56). Berandai-andai dapat meraih hidayah dan ketakwaan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan ucapan mereka: لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ “Seandainya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 57). Berangan-angan dapat kembali ke dunia dan berbuat baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ “Atau supaya (tidak) ada (pula) yang berkata ketika melihat azab, ‘Seandainya aku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.’” (QS. Az-Zumar: 58). وحاصل الكلام أن هذا المقصر أتى بثلاثة أشياء: أولها: الحسرة على التفريط في الطاعة. وثانيها: التعلُّل بفقد الهداية. وثالثها: تمنِّي الرجعة والإحسان. Kesimpulannya, pembagian ini terangkum dalam tiga hal: Penyesalan atas kelalaian dalam melakukan ketaatan. Beralasan tidak mendapatkan hidayah. Berangan-angan dapat kembali ke dunia untuk berbuat baik. وقد أجاب الله تعالى عن كلامهم بأن قال التعلُّل بفقد الهداية باطل؛ لأن الهداية كانت حاضرة، والأعذار زائلة، وهو المراد بقوله: ﴿ بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴾ [الزمر: 59]، فبيَّن تعالى أن الحجة عليهم لله؛ لا أن الحجة لهم على الله. Kemudian AllahSubhanahu Wa Ta’ala menjawab ucapan mereka ini bahwa alasan tidak mendapatkan hidayah adalah alasan yang batil, karena hidayah telah diturunkan, dan alasan-alasan itu sudah tidak punya dalil lagi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ  “Tidak begitu! Sebenarnya ayat-ayat-Ku telah datang kepadamu, tetapi kamu mendustakannya, menyombongkan diri, dan termasuk orang-orang kafir.” (QS. Az-Zumar: 59). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa hujahnya justru memberatkan mereka, alih-alih meringankan mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/159956/-إن-الله-يغفر-الذنوب-جميعا/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 218 times, 1 visit(s) today Post Views: 186 QRIS donasi Yufid

Sungguh Allah Mengampuni Seluruh Dosa

إن الله يغفر الذنوب جميعا Oleh: Syaikh Nasyat Kamal الشيخ نشأت كمال قال تعالى: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. هذه الآية تدل على كمال رحمة الله، وفضله وإحسانه في حق العبيد،وقد سبق هذه الآية آياتُ الوعيد الشديدة حتى بلغت من نفوس سامعيها أي مبلغ من الرعب والخوف، وقد يبلغ بهم وقعها مبلغ اليأس من سعي يُنْجيهم من وعيدها، فأعقبها الله ببعث الرجاء في نفوسهم للخروج إلى ساحل النجاة إذا أرادوها على عادة هذا الكتاب المجيد من مداواة النفوس بمزيج الترغيب والترهيب. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Ayat ini menunjukkan sempurnanya rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta karunia dan kebaikan-Nya yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya. Sebelum ayat ini, disebutkan ayat-ayat yang berisi ancaman keras, hingga setiap jiwa yang mendengarnya dapat merasakan kengerian dan ketakutan yang luar biasa, dan bisa jadi akan menimbulkan keputusasaan dalam berusaha menyelamatkan diri dari ancamannya. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan setelahnya ayat ini untuk menumbuhkan kembali harapan dalam diri mereka agar dapat keluar menuju tepi keselamatan apabila mereka menghendakinya. Inilah metode yang biasa dipakai dalam kitab yang mulia ini dalam mengobati jiwa dengan mengombinasikan antara pemberian ancaman dan harapan. قال ابن كثير رحمه الله: هذه الآية الكريمة دعوة لجميع العُصاة من الكفرة وغيرهم إلى التوبة والإنابة، وإخبار بأن الله يغفر الذنوب جميعًا لمن تاب منها ورجع عنها، وإن كانت مهما كانت، وإن كثرت وكانت مثل زبد البحر. ثم ذكر ابن كثير رحمه الله أنه يُستثنى من عموم المغفرة طائفة من الناس وهم المشركون، فلا يصحُّ حمل هذه الآية عليهم حال كفرهم وشركهم؛ لأن الشرك لا يُغفَر لمن لم يَتُبْ منه، وهذا كلامٌ صحيح. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan seruan bagi seluruh pelaku maksiat —baik itu dari golongan orang-orang kafir maupun selain mereka— untuk bertobat dan insaf, juga sebagai pesan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Mengampuni seluruh dosa bagi orang yang bertobat dan insaf darinya, dosa apa pun itu dan bagaimanapun itu, meskipun sebanyak buih di lautan.” Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah kemudian menyebutkan bahwa keluasan ampunan ini tidak berlaku bagi sebagian golongan manusia, yaitu orang-orang musyrik. Tidak benar jika ayat ini ditujukan kepada mereka saat mereka dalam keadaan kafir dan musyrik, karena kesyirikan tidak akan diampuni jika pelakunya tidak bertobat darinya, dan inilah pendapat yang benar. فعن ابن عباس رضي الله عنهما، أنَّ ناسًا من أهل الشرك كانوا قد قتلوا فأكثروا، وزنوا فأكثروا، فأتوا محمدًا صلى الله عليه وسلم، فقالوا: إن الذي تقول وتدعو إليه لحسن لو تخبرنا أن لما عملنا كفَّارة، فنزل: ﴿ وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ﴾ [الفرقان: 68]، ونزل قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]؛ رواه البخاري ومسلم. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa dulu orang-orang musyrik telah banyak membunuh dan berzina, lalu mereka datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Sungguh yang kamu ucapkan dan serukan ini adalah hal yang bagus, kalaulah kamu sampaikan kepada kami bahwa apa yang telah kami lakukan ini ada penggugurnya?” Kemudian turunlah ayat: وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68). Juga turun ayat: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). (HR. Al-Bukhari dan Muslim). عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ﴾ إلى آخر الآية، قال: قد دعا الله إلى مغفرته من زعم أن المسيح هو الله، ومن زعم أن المسيح هو ابن الله، ومن زعم أن عزيرًا ابن الله، ومن زعم أن الله فقير، ومن زعم أن يد الله مغلولة، ومن زعم أن الله ثالث ثلاثة، يقول الله تعالى لهؤلاء: ﴿ أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾ [المائدة: 74]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkaitan dengan firman Allah: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Bahwa ia berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyerukan ampunan-Nya bagi orang yang telah mengklaim bahwa Isa adalah Allah, mengklaim Isa adalah anak Allah, mengklaim Uzair adalah anak Allah, mengklaim Allah itu miskin, mengklaim bahwa tangan Allah terbelenggu, dan mengklaim bahwa Allah merupakan tiga oknum tuhan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada mereka: أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 74). وعن ابن مسعود أنه قال: إن أعظم آية في كتاب الله: ﴿ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ﴾ [البقرة: 255]، وإن أجمع آية في القرآن بخيرٍ وشرٍّ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ﴾ [النحل: 90]، وإن أكثر آية في القرآن فرجًا في سورة الغرف: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]، وإن أشد آية في كتاب الله تصريفًا ﴿ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ﴾ [الطلاق: 2، 3]. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Ayat yang paling agung dalam Kitabullah adalah: اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ‘Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).’ (QS. Al-Baqarah: 255). Dan ayat yang paling lengkap menyebutkan kebaikan dan keburukan dalam Al-Qur’an adalah: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ‘Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan.’ (QS. An-Nahl: 90). Sedangkan ayat dalam Al-Qur’an yang paling banyak menghadirkan jalan keluar adalah yang ada dalam surat Al-Ghuraf (Az-Zumar): قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). Adapun ayat dalam Kitabullah yang paling mengubah keadaan adalah: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga.” (QS. At-Talaq: 2-3). و(الإسراف): الإكثار، والمراد به هنا الإسراف في الذنوب والمعاصي. و(القنوط): اليأس، وقد نهى الله عنه في كتابه كما في قوله تعالى: ﴿ قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ ﴾ [الحجر: 56]، وقال: ﴿ يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ ﴾ [يوسف: 87]. Yang dimaksud dengan “الإسراف” (melampaui batas) —dalam surat Az-Zumar ayat 53)— adalah melampaui batas dalam melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan maksud dari “اليأس” (putus asa) adalah putus harapan dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang putus asa dalam Kitab-Nya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ Dia (Ibrahim) berkata, “Adakah orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya selain orang yang sesat?” (QS. Al-Hijr: 56). يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (Yakub berkata), “Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). ومادة الغفر ترجع إلى الستر، وهو يقتضي وجود المستور واحتياجه للستر، فدلَّ يغفر الذنوب على أن الذنوب ثابتة؛ أي: المؤاخذة بها ثابتة والله يغفرها؛ أي: يزيل المؤاخذة بها، وهذه المغفرة تقتضي أسبابًا، منها: قوله تعالى: ﴿ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى ﴾ [طه: 82] فكأن قوله: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ ﴾ [الزمر: 53] دعوة إلى تطلُّب أسباب هذه المغفرة، فإذا طلبها المذنب حصلت له المغفرة. Akar kata “الغفر” memiliki kandungan makna menutupi, sehingga kata ini mengharuskan ada hal yang ditutupi dan membutuhkan penutup. Sehingga kata “يغفر الذنوب” (menutup dosa-dosa) mengandung artian bahwa dosa-dosa itu tetap ada dan layak mendapatkan balasannya. Sedangkan maksud dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup dosa-dosa itu yakni menghilangkan balasan atas dosa itu. Penutupan atau ampunan atas dosa-dosa ini ada sebab-sebabnya, di antaranya adalah yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS. Thaha: 82). Jadi, seakan-akan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53). Merupakan seruan untuk menjalankan sebab-sebab ampunan, sehingga apabila orang yang berdosa menjalankannya, maka ampunan pasti didapatkan. وقيل: لو صارت الذنوب بأسْرِها مغفورةً لما أمر بالتوبة، فالجواب: أن عندنا التوبة واجبة وخوف العقاب قائم، فإنا لا نقطع بإزالة العقاب بالكلية؛ بل نقول: لعله يعفو مطلقًا، ولعله يعذب بالنار مدة ثم يعفو بعد ذلك. Jika ada yang mengatakan, “Seandainya semua dosa itu diampuni, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak perlu memerintahkan bertobat!” Maka jawabannya adalah menurut kami tobat itu wajib dan rasa takut terhadap siksaan harus tetap ada, karena kami tidak dapat memastikan siksaan akan dihilangkan sepenuhnya, tapi kita hanya bisa berkata, “Bisa jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni sepenuhnya, dan bisa jadi juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengazab pelaku dosa di neraka beberapa saat, lalu memberi ampunan setelah itu.” وهذا الخطاب يشمل المشركين والمؤمنين، فيأخذ كل فريق منه بنصيب، فنصيب المشركين الإنابة إلى التوحيد واتِّباع دين الإسلام، ونصيب المؤمنين منه التوبة إذا أسرفوا على أنفسهم والإكثار من الحسنات، وأمَّا الإسلام فهو حاصل لهم. Seruan ini mencakup orang-orang musyrik dan beriman, setiap golongan itu mengamalkan sesuai kadarnya masing-masing. Kadar bagi orang-orang musyrik dalam seruan ini adalah kembali kepada tauhid dan menganut agama Islam. Sedangkan kadar bagi orang-orang beriman adalah bertobat jika telah melebihi batas terhadap diri mereka dengan dosa-dosa dan memperbanyak amal kebaikan, adapun agama Islam, maka telah mereka dapatkan. ومن الفوائد في الآية: 1- أنه سبحانه سمَّى المذنب بالعبد، وهذا يعني أنه لم يطرد، وأنه أهل للرحمة. 2- أنه تعالى أضافهم إلى نفسه بياء الإضافة. 3- أنه تعالى قال: ﴿ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ ﴾ ومعناه: أن ضرر تلك الذنوب ما عاد إليه؛ بل هو عائد إليهم. 4- أنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ نهاهم عن القنوط، فيكون هذا أمرًا بالرجاء، والكريم إذا أمر بالرجاء فلا يليق به إلا الكرم، ولم يقل: (لا تقنطوا من رحمتي) لكنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾؛ لأن قولنا الله أعظم أسماء الله وأجلها، فالرحمة المضافة إليه يجب أن تكون أعظم أنواع الرحمة والفضل، وكان من الممكن أن يقول: (إنه يغفر الذنوب جميعًا)؛ ولكنه أعاد اسم الله؛ ليدل على المبالغة في الوعد بالرحمة، وقال: ﴿ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ لفظ الغفور يُفيد المبالغة في المغفرة، والرحمة تفيد فائدة زائدة على المغفرة، فـ(الغفور) إشارة إلى إزالة موجبات العقاب، و(الرحيم) إشارة إلى تحصيل موجبات الرحمة. Di antara faedah yang terkandung dalam ayat ini adalah: Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut pelaku dosa sebagai “hamba”. Ini menunjukkan bahwa orang itu tidak Dia jauhi, dan bahkan masih berhak mendapat rahmat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menisbatkan pelaku dosa itu kepada diri-Nya dengan berfirman, “hamba-Ku.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri (dengan berbuat dosa).” Maknanya mudharat dosa-dosa itu tidak menimpa Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi justru menimpa para pelakunya sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang para hamba-Nya dari keputusasaan, sehingga ini menjadi perintah untuk terus berharap. Apabila Dzat Yang Maha Pemurah sudah memerintahkan untuk berharap, maka tidak layak bagi-Nya kecuali melimpahkan kemurahan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak berfirman dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat-Ku” tapi dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat Allah”, karena “Allah” merupakan nama-Nya yang paling agung dan mulia, sehingga rahmat yang disandingkan dengan nama ini pasti menjadi rahmat yang paling agung. Selain itu, bisa saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dengan redaksi, “Sesungguhnya Dia mengampuni dosa-dosa semuanya”, tapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala justru mengulangi penyebutan nama-Nya dengan berfirman, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya” untuk memberi penekanan lebih akan janji-Nya untuk melimpahkan rahmat. Kemudian Dia berfirman, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun Maha Penyayang.” Dan kata “الغفور” (Maha Pengampun) mengandung makna lebih dalam ampunan. Adapun rahmat mengandung makna yang lebih atas ampunan, sehingga kata “Maha Pengampun” memberi makna penghapusan faktor-faktor yang mendatangkan siksaan, sedangkan kata “Maha Penyayang” memberi makna pemberian faktor-faktor yang mendatangkan rahmat. ولما فتح لهم باب الرجاء أعْقَبَه بالإرشاد إلى وسيلة المغفرة، فقال: ﴿ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ ﴾ [الزمر: 54]، وهذا أمر بالتوبة، وقد ذكر الزمخشري في الكشاف أن المعنى: (وتوبوا إليه وأسلموا له؛ أي: وأخلصوا له العمل؛ وإنما ذكر الإنابة على أثر المغفرة؛ لئلا يطمع طامع في حصولها بغير توبة). Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala membukakan pintu harapan bagi para hamba-Nya, Dia menyebutkan setelahnya petunjuk tentang jalan untuk meraih ampunan, dengan berfirman: وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ “Dan kembalilah kepada Tuhan kalian.” (QS. Az-Zumar: 54). Ini merupakan perintah untuk bertobat. Az-Zamakhsyari menyebutkan dalam kitab Al-Kasysyaf bahwa maknanya, “(Maksudnya): ‘Dan bertobatlah kepada-Nya dan tuluskanlah amalan untuk-Nya.’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan tobat setelah menyebutkan ampunan untuk mencegah agar tidak ada orang yang menginginkan ampunan tanpa tobat.” وذكر الرازي في تفسيره أن هذا على مذهبه المعتزلي في الوعيد، وهو غلط؛ لأن المغفرة قد تقع ابتداءً؛ يعني: في حق الموحِّدين، وتارة يُعذَّب المذنب مدة في النار، ثم يخرجه الله من النار ويعفو عنه. Sedangkan Ar-Razi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa itu (penafsiran az-Zamakhsyari) merupakan penafsiran sesuai dengan mazhab mu’tazilah yang beliau anut berkaitan dengan ancaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan ini keyakinan yang salah, karena terkadang ampunan diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala begitu saja tanpa didahului dengan tobatnya hamba, yakni bagi orang-orang yang bertauhid (tidak menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Namun, terkadang orang yang berdosa juga disiksa dulu di neraka, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengeluarkannya dari neraka dan mengampuninya. واعلم أنه تعالى لما خوَّف المشركين والكافرين بالعذاب بيَّن تعالى أن بتقدير نزول العذاب بهم ماذا يقولون، فحكى الله تعالى عنهم ثلاثة أنواع من الاعتذارات الواهية الباطلة: •الحسرة على التفريط في طاعة الله تعالى، ولم يكفه أن ضيَّع طاعة الله حتى سخر من أهلها، فقال تعالى: ﴿ أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴾ [الزمر: 56]. •تمنِّي الهداية والتقوى، قال: ﴿ لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ﴾ [الزمر: 57]. •تمني الرجوع والإحسان، قال: ﴿ أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [الزمر: 58]. Ketahuilah bahwa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam orang-orang musyrik dan kafir dengan azab, Dia juga menjelaskan seandainya azab turun kepada mereka, apa yang akan mereka katakan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan gambaran tentang mereka dengan tiga jenis alasan batil yang akan mereka ajukan, yaitu: Merasakan penyesalan atas kelalaian mereka dalam menaati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak hanya melalaikan ketaatan itu, tapi juga menghina orang-orang yang taat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ (Tujuannya) supaya (tidak) ada orang yang berkata, “Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah dan sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala).” (QS. Az-Zumar: 56). Berandai-andai dapat meraih hidayah dan ketakwaan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan ucapan mereka: لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ “Seandainya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 57). Berangan-angan dapat kembali ke dunia dan berbuat baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ “Atau supaya (tidak) ada (pula) yang berkata ketika melihat azab, ‘Seandainya aku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.’” (QS. Az-Zumar: 58). وحاصل الكلام أن هذا المقصر أتى بثلاثة أشياء: أولها: الحسرة على التفريط في الطاعة. وثانيها: التعلُّل بفقد الهداية. وثالثها: تمنِّي الرجعة والإحسان. Kesimpulannya, pembagian ini terangkum dalam tiga hal: Penyesalan atas kelalaian dalam melakukan ketaatan. Beralasan tidak mendapatkan hidayah. Berangan-angan dapat kembali ke dunia untuk berbuat baik. وقد أجاب الله تعالى عن كلامهم بأن قال التعلُّل بفقد الهداية باطل؛ لأن الهداية كانت حاضرة، والأعذار زائلة، وهو المراد بقوله: ﴿ بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴾ [الزمر: 59]، فبيَّن تعالى أن الحجة عليهم لله؛ لا أن الحجة لهم على الله. Kemudian AllahSubhanahu Wa Ta’ala menjawab ucapan mereka ini bahwa alasan tidak mendapatkan hidayah adalah alasan yang batil, karena hidayah telah diturunkan, dan alasan-alasan itu sudah tidak punya dalil lagi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ  “Tidak begitu! Sebenarnya ayat-ayat-Ku telah datang kepadamu, tetapi kamu mendustakannya, menyombongkan diri, dan termasuk orang-orang kafir.” (QS. Az-Zumar: 59). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa hujahnya justru memberatkan mereka, alih-alih meringankan mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/159956/-إن-الله-يغفر-الذنوب-جميعا/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 218 times, 1 visit(s) today Post Views: 186 QRIS donasi Yufid
إن الله يغفر الذنوب جميعا Oleh: Syaikh Nasyat Kamal الشيخ نشأت كمال قال تعالى: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. هذه الآية تدل على كمال رحمة الله، وفضله وإحسانه في حق العبيد،وقد سبق هذه الآية آياتُ الوعيد الشديدة حتى بلغت من نفوس سامعيها أي مبلغ من الرعب والخوف، وقد يبلغ بهم وقعها مبلغ اليأس من سعي يُنْجيهم من وعيدها، فأعقبها الله ببعث الرجاء في نفوسهم للخروج إلى ساحل النجاة إذا أرادوها على عادة هذا الكتاب المجيد من مداواة النفوس بمزيج الترغيب والترهيب. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Ayat ini menunjukkan sempurnanya rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta karunia dan kebaikan-Nya yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya. Sebelum ayat ini, disebutkan ayat-ayat yang berisi ancaman keras, hingga setiap jiwa yang mendengarnya dapat merasakan kengerian dan ketakutan yang luar biasa, dan bisa jadi akan menimbulkan keputusasaan dalam berusaha menyelamatkan diri dari ancamannya. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan setelahnya ayat ini untuk menumbuhkan kembali harapan dalam diri mereka agar dapat keluar menuju tepi keselamatan apabila mereka menghendakinya. Inilah metode yang biasa dipakai dalam kitab yang mulia ini dalam mengobati jiwa dengan mengombinasikan antara pemberian ancaman dan harapan. قال ابن كثير رحمه الله: هذه الآية الكريمة دعوة لجميع العُصاة من الكفرة وغيرهم إلى التوبة والإنابة، وإخبار بأن الله يغفر الذنوب جميعًا لمن تاب منها ورجع عنها، وإن كانت مهما كانت، وإن كثرت وكانت مثل زبد البحر. ثم ذكر ابن كثير رحمه الله أنه يُستثنى من عموم المغفرة طائفة من الناس وهم المشركون، فلا يصحُّ حمل هذه الآية عليهم حال كفرهم وشركهم؛ لأن الشرك لا يُغفَر لمن لم يَتُبْ منه، وهذا كلامٌ صحيح. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan seruan bagi seluruh pelaku maksiat —baik itu dari golongan orang-orang kafir maupun selain mereka— untuk bertobat dan insaf, juga sebagai pesan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Mengampuni seluruh dosa bagi orang yang bertobat dan insaf darinya, dosa apa pun itu dan bagaimanapun itu, meskipun sebanyak buih di lautan.” Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah kemudian menyebutkan bahwa keluasan ampunan ini tidak berlaku bagi sebagian golongan manusia, yaitu orang-orang musyrik. Tidak benar jika ayat ini ditujukan kepada mereka saat mereka dalam keadaan kafir dan musyrik, karena kesyirikan tidak akan diampuni jika pelakunya tidak bertobat darinya, dan inilah pendapat yang benar. فعن ابن عباس رضي الله عنهما، أنَّ ناسًا من أهل الشرك كانوا قد قتلوا فأكثروا، وزنوا فأكثروا، فأتوا محمدًا صلى الله عليه وسلم، فقالوا: إن الذي تقول وتدعو إليه لحسن لو تخبرنا أن لما عملنا كفَّارة، فنزل: ﴿ وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ﴾ [الفرقان: 68]، ونزل قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]؛ رواه البخاري ومسلم. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa dulu orang-orang musyrik telah banyak membunuh dan berzina, lalu mereka datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Sungguh yang kamu ucapkan dan serukan ini adalah hal yang bagus, kalaulah kamu sampaikan kepada kami bahwa apa yang telah kami lakukan ini ada penggugurnya?” Kemudian turunlah ayat: وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68). Juga turun ayat: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). (HR. Al-Bukhari dan Muslim). عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ﴾ إلى آخر الآية، قال: قد دعا الله إلى مغفرته من زعم أن المسيح هو الله، ومن زعم أن المسيح هو ابن الله، ومن زعم أن عزيرًا ابن الله، ومن زعم أن الله فقير، ومن زعم أن يد الله مغلولة، ومن زعم أن الله ثالث ثلاثة، يقول الله تعالى لهؤلاء: ﴿ أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾ [المائدة: 74]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkaitan dengan firman Allah: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Bahwa ia berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyerukan ampunan-Nya bagi orang yang telah mengklaim bahwa Isa adalah Allah, mengklaim Isa adalah anak Allah, mengklaim Uzair adalah anak Allah, mengklaim Allah itu miskin, mengklaim bahwa tangan Allah terbelenggu, dan mengklaim bahwa Allah merupakan tiga oknum tuhan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada mereka: أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 74). وعن ابن مسعود أنه قال: إن أعظم آية في كتاب الله: ﴿ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ﴾ [البقرة: 255]، وإن أجمع آية في القرآن بخيرٍ وشرٍّ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ﴾ [النحل: 90]، وإن أكثر آية في القرآن فرجًا في سورة الغرف: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]، وإن أشد آية في كتاب الله تصريفًا ﴿ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ﴾ [الطلاق: 2، 3]. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Ayat yang paling agung dalam Kitabullah adalah: اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ‘Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).’ (QS. Al-Baqarah: 255). Dan ayat yang paling lengkap menyebutkan kebaikan dan keburukan dalam Al-Qur’an adalah: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ‘Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan.’ (QS. An-Nahl: 90). Sedangkan ayat dalam Al-Qur’an yang paling banyak menghadirkan jalan keluar adalah yang ada dalam surat Al-Ghuraf (Az-Zumar): قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). Adapun ayat dalam Kitabullah yang paling mengubah keadaan adalah: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga.” (QS. At-Talaq: 2-3). و(الإسراف): الإكثار، والمراد به هنا الإسراف في الذنوب والمعاصي. و(القنوط): اليأس، وقد نهى الله عنه في كتابه كما في قوله تعالى: ﴿ قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ ﴾ [الحجر: 56]، وقال: ﴿ يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ ﴾ [يوسف: 87]. Yang dimaksud dengan “الإسراف” (melampaui batas) —dalam surat Az-Zumar ayat 53)— adalah melampaui batas dalam melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan maksud dari “اليأس” (putus asa) adalah putus harapan dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang putus asa dalam Kitab-Nya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ Dia (Ibrahim) berkata, “Adakah orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya selain orang yang sesat?” (QS. Al-Hijr: 56). يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (Yakub berkata), “Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). ومادة الغفر ترجع إلى الستر، وهو يقتضي وجود المستور واحتياجه للستر، فدلَّ يغفر الذنوب على أن الذنوب ثابتة؛ أي: المؤاخذة بها ثابتة والله يغفرها؛ أي: يزيل المؤاخذة بها، وهذه المغفرة تقتضي أسبابًا، منها: قوله تعالى: ﴿ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى ﴾ [طه: 82] فكأن قوله: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ ﴾ [الزمر: 53] دعوة إلى تطلُّب أسباب هذه المغفرة، فإذا طلبها المذنب حصلت له المغفرة. Akar kata “الغفر” memiliki kandungan makna menutupi, sehingga kata ini mengharuskan ada hal yang ditutupi dan membutuhkan penutup. Sehingga kata “يغفر الذنوب” (menutup dosa-dosa) mengandung artian bahwa dosa-dosa itu tetap ada dan layak mendapatkan balasannya. Sedangkan maksud dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup dosa-dosa itu yakni menghilangkan balasan atas dosa itu. Penutupan atau ampunan atas dosa-dosa ini ada sebab-sebabnya, di antaranya adalah yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS. Thaha: 82). Jadi, seakan-akan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53). Merupakan seruan untuk menjalankan sebab-sebab ampunan, sehingga apabila orang yang berdosa menjalankannya, maka ampunan pasti didapatkan. وقيل: لو صارت الذنوب بأسْرِها مغفورةً لما أمر بالتوبة، فالجواب: أن عندنا التوبة واجبة وخوف العقاب قائم، فإنا لا نقطع بإزالة العقاب بالكلية؛ بل نقول: لعله يعفو مطلقًا، ولعله يعذب بالنار مدة ثم يعفو بعد ذلك. Jika ada yang mengatakan, “Seandainya semua dosa itu diampuni, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak perlu memerintahkan bertobat!” Maka jawabannya adalah menurut kami tobat itu wajib dan rasa takut terhadap siksaan harus tetap ada, karena kami tidak dapat memastikan siksaan akan dihilangkan sepenuhnya, tapi kita hanya bisa berkata, “Bisa jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni sepenuhnya, dan bisa jadi juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengazab pelaku dosa di neraka beberapa saat, lalu memberi ampunan setelah itu.” وهذا الخطاب يشمل المشركين والمؤمنين، فيأخذ كل فريق منه بنصيب، فنصيب المشركين الإنابة إلى التوحيد واتِّباع دين الإسلام، ونصيب المؤمنين منه التوبة إذا أسرفوا على أنفسهم والإكثار من الحسنات، وأمَّا الإسلام فهو حاصل لهم. Seruan ini mencakup orang-orang musyrik dan beriman, setiap golongan itu mengamalkan sesuai kadarnya masing-masing. Kadar bagi orang-orang musyrik dalam seruan ini adalah kembali kepada tauhid dan menganut agama Islam. Sedangkan kadar bagi orang-orang beriman adalah bertobat jika telah melebihi batas terhadap diri mereka dengan dosa-dosa dan memperbanyak amal kebaikan, adapun agama Islam, maka telah mereka dapatkan. ومن الفوائد في الآية: 1- أنه سبحانه سمَّى المذنب بالعبد، وهذا يعني أنه لم يطرد، وأنه أهل للرحمة. 2- أنه تعالى أضافهم إلى نفسه بياء الإضافة. 3- أنه تعالى قال: ﴿ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ ﴾ ومعناه: أن ضرر تلك الذنوب ما عاد إليه؛ بل هو عائد إليهم. 4- أنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ نهاهم عن القنوط، فيكون هذا أمرًا بالرجاء، والكريم إذا أمر بالرجاء فلا يليق به إلا الكرم، ولم يقل: (لا تقنطوا من رحمتي) لكنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾؛ لأن قولنا الله أعظم أسماء الله وأجلها، فالرحمة المضافة إليه يجب أن تكون أعظم أنواع الرحمة والفضل، وكان من الممكن أن يقول: (إنه يغفر الذنوب جميعًا)؛ ولكنه أعاد اسم الله؛ ليدل على المبالغة في الوعد بالرحمة، وقال: ﴿ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ لفظ الغفور يُفيد المبالغة في المغفرة، والرحمة تفيد فائدة زائدة على المغفرة، فـ(الغفور) إشارة إلى إزالة موجبات العقاب، و(الرحيم) إشارة إلى تحصيل موجبات الرحمة. Di antara faedah yang terkandung dalam ayat ini adalah: Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut pelaku dosa sebagai “hamba”. Ini menunjukkan bahwa orang itu tidak Dia jauhi, dan bahkan masih berhak mendapat rahmat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menisbatkan pelaku dosa itu kepada diri-Nya dengan berfirman, “hamba-Ku.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri (dengan berbuat dosa).” Maknanya mudharat dosa-dosa itu tidak menimpa Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi justru menimpa para pelakunya sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang para hamba-Nya dari keputusasaan, sehingga ini menjadi perintah untuk terus berharap. Apabila Dzat Yang Maha Pemurah sudah memerintahkan untuk berharap, maka tidak layak bagi-Nya kecuali melimpahkan kemurahan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak berfirman dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat-Ku” tapi dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat Allah”, karena “Allah” merupakan nama-Nya yang paling agung dan mulia, sehingga rahmat yang disandingkan dengan nama ini pasti menjadi rahmat yang paling agung. Selain itu, bisa saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dengan redaksi, “Sesungguhnya Dia mengampuni dosa-dosa semuanya”, tapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala justru mengulangi penyebutan nama-Nya dengan berfirman, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya” untuk memberi penekanan lebih akan janji-Nya untuk melimpahkan rahmat. Kemudian Dia berfirman, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun Maha Penyayang.” Dan kata “الغفور” (Maha Pengampun) mengandung makna lebih dalam ampunan. Adapun rahmat mengandung makna yang lebih atas ampunan, sehingga kata “Maha Pengampun” memberi makna penghapusan faktor-faktor yang mendatangkan siksaan, sedangkan kata “Maha Penyayang” memberi makna pemberian faktor-faktor yang mendatangkan rahmat. ولما فتح لهم باب الرجاء أعْقَبَه بالإرشاد إلى وسيلة المغفرة، فقال: ﴿ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ ﴾ [الزمر: 54]، وهذا أمر بالتوبة، وقد ذكر الزمخشري في الكشاف أن المعنى: (وتوبوا إليه وأسلموا له؛ أي: وأخلصوا له العمل؛ وإنما ذكر الإنابة على أثر المغفرة؛ لئلا يطمع طامع في حصولها بغير توبة). Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala membukakan pintu harapan bagi para hamba-Nya, Dia menyebutkan setelahnya petunjuk tentang jalan untuk meraih ampunan, dengan berfirman: وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ “Dan kembalilah kepada Tuhan kalian.” (QS. Az-Zumar: 54). Ini merupakan perintah untuk bertobat. Az-Zamakhsyari menyebutkan dalam kitab Al-Kasysyaf bahwa maknanya, “(Maksudnya): ‘Dan bertobatlah kepada-Nya dan tuluskanlah amalan untuk-Nya.’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan tobat setelah menyebutkan ampunan untuk mencegah agar tidak ada orang yang menginginkan ampunan tanpa tobat.” وذكر الرازي في تفسيره أن هذا على مذهبه المعتزلي في الوعيد، وهو غلط؛ لأن المغفرة قد تقع ابتداءً؛ يعني: في حق الموحِّدين، وتارة يُعذَّب المذنب مدة في النار، ثم يخرجه الله من النار ويعفو عنه. Sedangkan Ar-Razi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa itu (penafsiran az-Zamakhsyari) merupakan penafsiran sesuai dengan mazhab mu’tazilah yang beliau anut berkaitan dengan ancaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan ini keyakinan yang salah, karena terkadang ampunan diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala begitu saja tanpa didahului dengan tobatnya hamba, yakni bagi orang-orang yang bertauhid (tidak menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Namun, terkadang orang yang berdosa juga disiksa dulu di neraka, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengeluarkannya dari neraka dan mengampuninya. واعلم أنه تعالى لما خوَّف المشركين والكافرين بالعذاب بيَّن تعالى أن بتقدير نزول العذاب بهم ماذا يقولون، فحكى الله تعالى عنهم ثلاثة أنواع من الاعتذارات الواهية الباطلة: •الحسرة على التفريط في طاعة الله تعالى، ولم يكفه أن ضيَّع طاعة الله حتى سخر من أهلها، فقال تعالى: ﴿ أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴾ [الزمر: 56]. •تمنِّي الهداية والتقوى، قال: ﴿ لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ﴾ [الزمر: 57]. •تمني الرجوع والإحسان، قال: ﴿ أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [الزمر: 58]. Ketahuilah bahwa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam orang-orang musyrik dan kafir dengan azab, Dia juga menjelaskan seandainya azab turun kepada mereka, apa yang akan mereka katakan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan gambaran tentang mereka dengan tiga jenis alasan batil yang akan mereka ajukan, yaitu: Merasakan penyesalan atas kelalaian mereka dalam menaati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak hanya melalaikan ketaatan itu, tapi juga menghina orang-orang yang taat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ (Tujuannya) supaya (tidak) ada orang yang berkata, “Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah dan sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala).” (QS. Az-Zumar: 56). Berandai-andai dapat meraih hidayah dan ketakwaan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan ucapan mereka: لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ “Seandainya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 57). Berangan-angan dapat kembali ke dunia dan berbuat baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ “Atau supaya (tidak) ada (pula) yang berkata ketika melihat azab, ‘Seandainya aku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.’” (QS. Az-Zumar: 58). وحاصل الكلام أن هذا المقصر أتى بثلاثة أشياء: أولها: الحسرة على التفريط في الطاعة. وثانيها: التعلُّل بفقد الهداية. وثالثها: تمنِّي الرجعة والإحسان. Kesimpulannya, pembagian ini terangkum dalam tiga hal: Penyesalan atas kelalaian dalam melakukan ketaatan. Beralasan tidak mendapatkan hidayah. Berangan-angan dapat kembali ke dunia untuk berbuat baik. وقد أجاب الله تعالى عن كلامهم بأن قال التعلُّل بفقد الهداية باطل؛ لأن الهداية كانت حاضرة، والأعذار زائلة، وهو المراد بقوله: ﴿ بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴾ [الزمر: 59]، فبيَّن تعالى أن الحجة عليهم لله؛ لا أن الحجة لهم على الله. Kemudian AllahSubhanahu Wa Ta’ala menjawab ucapan mereka ini bahwa alasan tidak mendapatkan hidayah adalah alasan yang batil, karena hidayah telah diturunkan, dan alasan-alasan itu sudah tidak punya dalil lagi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ  “Tidak begitu! Sebenarnya ayat-ayat-Ku telah datang kepadamu, tetapi kamu mendustakannya, menyombongkan diri, dan termasuk orang-orang kafir.” (QS. Az-Zumar: 59). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa hujahnya justru memberatkan mereka, alih-alih meringankan mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/159956/-إن-الله-يغفر-الذنوب-جميعا/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 218 times, 1 visit(s) today Post Views: 186 QRIS donasi Yufid


إن الله يغفر الذنوب جميعا Oleh: Syaikh Nasyat Kamal الشيخ نشأت كمال قال تعالى: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. هذه الآية تدل على كمال رحمة الله، وفضله وإحسانه في حق العبيد،وقد سبق هذه الآية آياتُ الوعيد الشديدة حتى بلغت من نفوس سامعيها أي مبلغ من الرعب والخوف، وقد يبلغ بهم وقعها مبلغ اليأس من سعي يُنْجيهم من وعيدها، فأعقبها الله ببعث الرجاء في نفوسهم للخروج إلى ساحل النجاة إذا أرادوها على عادة هذا الكتاب المجيد من مداواة النفوس بمزيج الترغيب والترهيب. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Ayat ini menunjukkan sempurnanya rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta karunia dan kebaikan-Nya yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya. Sebelum ayat ini, disebutkan ayat-ayat yang berisi ancaman keras, hingga setiap jiwa yang mendengarnya dapat merasakan kengerian dan ketakutan yang luar biasa, dan bisa jadi akan menimbulkan keputusasaan dalam berusaha menyelamatkan diri dari ancamannya. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan setelahnya ayat ini untuk menumbuhkan kembali harapan dalam diri mereka agar dapat keluar menuju tepi keselamatan apabila mereka menghendakinya. Inilah metode yang biasa dipakai dalam kitab yang mulia ini dalam mengobati jiwa dengan mengombinasikan antara pemberian ancaman dan harapan. قال ابن كثير رحمه الله: هذه الآية الكريمة دعوة لجميع العُصاة من الكفرة وغيرهم إلى التوبة والإنابة، وإخبار بأن الله يغفر الذنوب جميعًا لمن تاب منها ورجع عنها، وإن كانت مهما كانت، وإن كثرت وكانت مثل زبد البحر. ثم ذكر ابن كثير رحمه الله أنه يُستثنى من عموم المغفرة طائفة من الناس وهم المشركون، فلا يصحُّ حمل هذه الآية عليهم حال كفرهم وشركهم؛ لأن الشرك لا يُغفَر لمن لم يَتُبْ منه، وهذا كلامٌ صحيح. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan seruan bagi seluruh pelaku maksiat —baik itu dari golongan orang-orang kafir maupun selain mereka— untuk bertobat dan insaf, juga sebagai pesan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Mengampuni seluruh dosa bagi orang yang bertobat dan insaf darinya, dosa apa pun itu dan bagaimanapun itu, meskipun sebanyak buih di lautan.” Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah kemudian menyebutkan bahwa keluasan ampunan ini tidak berlaku bagi sebagian golongan manusia, yaitu orang-orang musyrik. Tidak benar jika ayat ini ditujukan kepada mereka saat mereka dalam keadaan kafir dan musyrik, karena kesyirikan tidak akan diampuni jika pelakunya tidak bertobat darinya, dan inilah pendapat yang benar. فعن ابن عباس رضي الله عنهما، أنَّ ناسًا من أهل الشرك كانوا قد قتلوا فأكثروا، وزنوا فأكثروا، فأتوا محمدًا صلى الله عليه وسلم، فقالوا: إن الذي تقول وتدعو إليه لحسن لو تخبرنا أن لما عملنا كفَّارة، فنزل: ﴿ وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ﴾ [الفرقان: 68]، ونزل قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]؛ رواه البخاري ومسلم. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa dulu orang-orang musyrik telah banyak membunuh dan berzina, lalu mereka datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Sungguh yang kamu ucapkan dan serukan ini adalah hal yang bagus, kalaulah kamu sampaikan kepada kami bahwa apa yang telah kami lakukan ini ada penggugurnya?” Kemudian turunlah ayat: وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68). Juga turun ayat: قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). (HR. Al-Bukhari dan Muslim). عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ﴾ إلى آخر الآية، قال: قد دعا الله إلى مغفرته من زعم أن المسيح هو الله، ومن زعم أن المسيح هو ابن الله، ومن زعم أن عزيرًا ابن الله، ومن زعم أن الله فقير، ومن زعم أن يد الله مغلولة، ومن زعم أن الله ثالث ثلاثة، يقول الله تعالى لهؤلاء: ﴿ أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾ [المائدة: 74]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkaitan dengan firman Allah: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). Bahwa ia berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyerukan ampunan-Nya bagi orang yang telah mengklaim bahwa Isa adalah Allah, mengklaim Isa adalah anak Allah, mengklaim Uzair adalah anak Allah, mengklaim Allah itu miskin, mengklaim bahwa tangan Allah terbelenggu, dan mengklaim bahwa Allah merupakan tiga oknum tuhan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada mereka: أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 74). وعن ابن مسعود أنه قال: إن أعظم آية في كتاب الله: ﴿ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ﴾ [البقرة: 255]، وإن أجمع آية في القرآن بخيرٍ وشرٍّ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ﴾ [النحل: 90]، وإن أكثر آية في القرآن فرجًا في سورة الغرف: ﴿ قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ [الزمر: 53]، وإن أشد آية في كتاب الله تصريفًا ﴿ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ﴾ [الطلاق: 2، 3]. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Ayat yang paling agung dalam Kitabullah adalah: اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ‘Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).’ (QS. Al-Baqarah: 255). Dan ayat yang paling lengkap menyebutkan kebaikan dan keburukan dalam Al-Qur’an adalah: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ‘Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan.’ (QS. An-Nahl: 90). Sedangkan ayat dalam Al-Qur’an yang paling banyak menghadirkan jalan keluar adalah yang ada dalam surat Al-Ghuraf (Az-Zumar): قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ  “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.’” (QS. Az-Zumar: 53). Adapun ayat dalam Kitabullah yang paling mengubah keadaan adalah: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga.” (QS. At-Talaq: 2-3). و(الإسراف): الإكثار، والمراد به هنا الإسراف في الذنوب والمعاصي. و(القنوط): اليأس، وقد نهى الله عنه في كتابه كما في قوله تعالى: ﴿ قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ ﴾ [الحجر: 56]، وقال: ﴿ يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ ﴾ [يوسف: 87]. Yang dimaksud dengan “الإسراف” (melampaui batas) —dalam surat Az-Zumar ayat 53)— adalah melampaui batas dalam melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan maksud dari “اليأس” (putus asa) adalah putus harapan dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang putus asa dalam Kitab-Nya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ Dia (Ibrahim) berkata, “Adakah orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya selain orang yang sesat?” (QS. Al-Hijr: 56). يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (Yakub berkata), “Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). ومادة الغفر ترجع إلى الستر، وهو يقتضي وجود المستور واحتياجه للستر، فدلَّ يغفر الذنوب على أن الذنوب ثابتة؛ أي: المؤاخذة بها ثابتة والله يغفرها؛ أي: يزيل المؤاخذة بها، وهذه المغفرة تقتضي أسبابًا، منها: قوله تعالى: ﴿ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى ﴾ [طه: 82] فكأن قوله: ﴿ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ ﴾ [الزمر: 53] دعوة إلى تطلُّب أسباب هذه المغفرة، فإذا طلبها المذنب حصلت له المغفرة. Akar kata “الغفر” memiliki kandungan makna menutupi, sehingga kata ini mengharuskan ada hal yang ditutupi dan membutuhkan penutup. Sehingga kata “يغفر الذنوب” (menutup dosa-dosa) mengandung artian bahwa dosa-dosa itu tetap ada dan layak mendapatkan balasannya. Sedangkan maksud dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup dosa-dosa itu yakni menghilangkan balasan atas dosa itu. Penutupan atau ampunan atas dosa-dosa ini ada sebab-sebabnya, di antaranya adalah yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS. Thaha: 82). Jadi, seakan-akan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53). Merupakan seruan untuk menjalankan sebab-sebab ampunan, sehingga apabila orang yang berdosa menjalankannya, maka ampunan pasti didapatkan. وقيل: لو صارت الذنوب بأسْرِها مغفورةً لما أمر بالتوبة، فالجواب: أن عندنا التوبة واجبة وخوف العقاب قائم، فإنا لا نقطع بإزالة العقاب بالكلية؛ بل نقول: لعله يعفو مطلقًا، ولعله يعذب بالنار مدة ثم يعفو بعد ذلك. Jika ada yang mengatakan, “Seandainya semua dosa itu diampuni, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak perlu memerintahkan bertobat!” Maka jawabannya adalah menurut kami tobat itu wajib dan rasa takut terhadap siksaan harus tetap ada, karena kami tidak dapat memastikan siksaan akan dihilangkan sepenuhnya, tapi kita hanya bisa berkata, “Bisa jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni sepenuhnya, dan bisa jadi juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengazab pelaku dosa di neraka beberapa saat, lalu memberi ampunan setelah itu.” وهذا الخطاب يشمل المشركين والمؤمنين، فيأخذ كل فريق منه بنصيب، فنصيب المشركين الإنابة إلى التوحيد واتِّباع دين الإسلام، ونصيب المؤمنين منه التوبة إذا أسرفوا على أنفسهم والإكثار من الحسنات، وأمَّا الإسلام فهو حاصل لهم. Seruan ini mencakup orang-orang musyrik dan beriman, setiap golongan itu mengamalkan sesuai kadarnya masing-masing. Kadar bagi orang-orang musyrik dalam seruan ini adalah kembali kepada tauhid dan menganut agama Islam. Sedangkan kadar bagi orang-orang beriman adalah bertobat jika telah melebihi batas terhadap diri mereka dengan dosa-dosa dan memperbanyak amal kebaikan, adapun agama Islam, maka telah mereka dapatkan. ومن الفوائد في الآية: 1- أنه سبحانه سمَّى المذنب بالعبد، وهذا يعني أنه لم يطرد، وأنه أهل للرحمة. 2- أنه تعالى أضافهم إلى نفسه بياء الإضافة. 3- أنه تعالى قال: ﴿ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ ﴾ ومعناه: أن ضرر تلك الذنوب ما عاد إليه؛ بل هو عائد إليهم. 4- أنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾ نهاهم عن القنوط، فيكون هذا أمرًا بالرجاء، والكريم إذا أمر بالرجاء فلا يليق به إلا الكرم، ولم يقل: (لا تقنطوا من رحمتي) لكنه قال: ﴿ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ﴾؛ لأن قولنا الله أعظم أسماء الله وأجلها، فالرحمة المضافة إليه يجب أن تكون أعظم أنواع الرحمة والفضل، وكان من الممكن أن يقول: (إنه يغفر الذنوب جميعًا)؛ ولكنه أعاد اسم الله؛ ليدل على المبالغة في الوعد بالرحمة، وقال: ﴿ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ لفظ الغفور يُفيد المبالغة في المغفرة، والرحمة تفيد فائدة زائدة على المغفرة، فـ(الغفور) إشارة إلى إزالة موجبات العقاب، و(الرحيم) إشارة إلى تحصيل موجبات الرحمة. Di antara faedah yang terkandung dalam ayat ini adalah: Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut pelaku dosa sebagai “hamba”. Ini menunjukkan bahwa orang itu tidak Dia jauhi, dan bahkan masih berhak mendapat rahmat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menisbatkan pelaku dosa itu kepada diri-Nya dengan berfirman, “hamba-Ku.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri (dengan berbuat dosa).” Maknanya mudharat dosa-dosa itu tidak menimpa Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi justru menimpa para pelakunya sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang para hamba-Nya dari keputusasaan, sehingga ini menjadi perintah untuk terus berharap. Apabila Dzat Yang Maha Pemurah sudah memerintahkan untuk berharap, maka tidak layak bagi-Nya kecuali melimpahkan kemurahan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak berfirman dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat-Ku” tapi dengan redaksi, “Jangan berputus asa dari rahmat Allah”, karena “Allah” merupakan nama-Nya yang paling agung dan mulia, sehingga rahmat yang disandingkan dengan nama ini pasti menjadi rahmat yang paling agung. Selain itu, bisa saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dengan redaksi, “Sesungguhnya Dia mengampuni dosa-dosa semuanya”, tapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala justru mengulangi penyebutan nama-Nya dengan berfirman, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya” untuk memberi penekanan lebih akan janji-Nya untuk melimpahkan rahmat. Kemudian Dia berfirman, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun Maha Penyayang.” Dan kata “الغفور” (Maha Pengampun) mengandung makna lebih dalam ampunan. Adapun rahmat mengandung makna yang lebih atas ampunan, sehingga kata “Maha Pengampun” memberi makna penghapusan faktor-faktor yang mendatangkan siksaan, sedangkan kata “Maha Penyayang” memberi makna pemberian faktor-faktor yang mendatangkan rahmat. ولما فتح لهم باب الرجاء أعْقَبَه بالإرشاد إلى وسيلة المغفرة، فقال: ﴿ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ ﴾ [الزمر: 54]، وهذا أمر بالتوبة، وقد ذكر الزمخشري في الكشاف أن المعنى: (وتوبوا إليه وأسلموا له؛ أي: وأخلصوا له العمل؛ وإنما ذكر الإنابة على أثر المغفرة؛ لئلا يطمع طامع في حصولها بغير توبة). Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala membukakan pintu harapan bagi para hamba-Nya, Dia menyebutkan setelahnya petunjuk tentang jalan untuk meraih ampunan, dengan berfirman: وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ “Dan kembalilah kepada Tuhan kalian.” (QS. Az-Zumar: 54). Ini merupakan perintah untuk bertobat. Az-Zamakhsyari menyebutkan dalam kitab Al-Kasysyaf bahwa maknanya, “(Maksudnya): ‘Dan bertobatlah kepada-Nya dan tuluskanlah amalan untuk-Nya.’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan tobat setelah menyebutkan ampunan untuk mencegah agar tidak ada orang yang menginginkan ampunan tanpa tobat.” وذكر الرازي في تفسيره أن هذا على مذهبه المعتزلي في الوعيد، وهو غلط؛ لأن المغفرة قد تقع ابتداءً؛ يعني: في حق الموحِّدين، وتارة يُعذَّب المذنب مدة في النار، ثم يخرجه الله من النار ويعفو عنه. Sedangkan Ar-Razi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa itu (penafsiran az-Zamakhsyari) merupakan penafsiran sesuai dengan mazhab mu’tazilah yang beliau anut berkaitan dengan ancaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan ini keyakinan yang salah, karena terkadang ampunan diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala begitu saja tanpa didahului dengan tobatnya hamba, yakni bagi orang-orang yang bertauhid (tidak menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Namun, terkadang orang yang berdosa juga disiksa dulu di neraka, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengeluarkannya dari neraka dan mengampuninya. واعلم أنه تعالى لما خوَّف المشركين والكافرين بالعذاب بيَّن تعالى أن بتقدير نزول العذاب بهم ماذا يقولون، فحكى الله تعالى عنهم ثلاثة أنواع من الاعتذارات الواهية الباطلة: •الحسرة على التفريط في طاعة الله تعالى، ولم يكفه أن ضيَّع طاعة الله حتى سخر من أهلها، فقال تعالى: ﴿ أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴾ [الزمر: 56]. •تمنِّي الهداية والتقوى، قال: ﴿ لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ﴾ [الزمر: 57]. •تمني الرجوع والإحسان، قال: ﴿ أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [الزمر: 58]. Ketahuilah bahwa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam orang-orang musyrik dan kafir dengan azab, Dia juga menjelaskan seandainya azab turun kepada mereka, apa yang akan mereka katakan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan gambaran tentang mereka dengan tiga jenis alasan batil yang akan mereka ajukan, yaitu: Merasakan penyesalan atas kelalaian mereka dalam menaati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak hanya melalaikan ketaatan itu, tapi juga menghina orang-orang yang taat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ (Tujuannya) supaya (tidak) ada orang yang berkata, “Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah dan sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala).” (QS. Az-Zumar: 56). Berandai-andai dapat meraih hidayah dan ketakwaan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan ucapan mereka: لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ “Seandainya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 57). Berangan-angan dapat kembali ke dunia dan berbuat baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ “Atau supaya (tidak) ada (pula) yang berkata ketika melihat azab, ‘Seandainya aku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.’” (QS. Az-Zumar: 58). وحاصل الكلام أن هذا المقصر أتى بثلاثة أشياء: أولها: الحسرة على التفريط في الطاعة. وثانيها: التعلُّل بفقد الهداية. وثالثها: تمنِّي الرجعة والإحسان. Kesimpulannya, pembagian ini terangkum dalam tiga hal: Penyesalan atas kelalaian dalam melakukan ketaatan. Beralasan tidak mendapatkan hidayah. Berangan-angan dapat kembali ke dunia untuk berbuat baik. وقد أجاب الله تعالى عن كلامهم بأن قال التعلُّل بفقد الهداية باطل؛ لأن الهداية كانت حاضرة، والأعذار زائلة، وهو المراد بقوله: ﴿ بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴾ [الزمر: 59]، فبيَّن تعالى أن الحجة عليهم لله؛ لا أن الحجة لهم على الله. Kemudian AllahSubhanahu Wa Ta’ala menjawab ucapan mereka ini bahwa alasan tidak mendapatkan hidayah adalah alasan yang batil, karena hidayah telah diturunkan, dan alasan-alasan itu sudah tidak punya dalil lagi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ  “Tidak begitu! Sebenarnya ayat-ayat-Ku telah datang kepadamu, tetapi kamu mendustakannya, menyombongkan diri, dan termasuk orang-orang kafir.” (QS. Az-Zumar: 59). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa hujahnya justru memberatkan mereka, alih-alih meringankan mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/159956/-إن-الله-يغفر-الذنوب-جميعا/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 218 times, 1 visit(s) today Post Views: 186 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Setiap Orang Memiliki Potensi Berbeda untuk Meraih Surga

Daftar Isi TogglePintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuJangan meremehkan amalan kecilSetiap potensi bisa jadi ladang pahalaFokus pada apa yang kita bisaBerlomba dalam kebaikan sesuai potensimuAllah Ta’ala ketika menciptakan manusia itu berbeda-beda dari berbagai sisi, baik sifat, fisik, termasuk perbedaan dalam hal potensi. Ada yang potensinya pada kekayaan, kekuatan, kecerdasan, atau keahlian tertentu. Dan masing-masing dari kita berusaha memahami potensi tersebut dan memaksimalkannya untuk kebaikan serta meraih surga Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ“Sungguh setiap kelompok (manusia) telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).” (QS. Al-Baqarah: 60)Dalam ayat yang lain,قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا“Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al-Isra’: 84)Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Beramallah kalian, sebab setiap orang akan dimudahkan untuk apa yang sudah diciptakan untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Pintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ نُودِىَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ ، هَذَا خَيْرٌ . فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلاَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّلاَةِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ“Barang siapa yang menginfakkan dua harta di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga: Wahai hamba Allah, ini adalah kebaikan. Barang siapa termasuk dari golongan ahli salat, dia akan dipanggil dari pintu salat. Barang siapa dari ahli jihad, dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barang siapa dari ahli puasa, dia akan dipanggil dari pintu Rayyan. Dan barang siapa dari ahli sedekah, dia akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa jalan menuju surga sangat beragam, tergantung pada kemampuan dan kecenderungan masing-masing hamba. Ada yang mudah baginya untuk berinfak, ada yang istikamah dalam berpuasa sunah, ada yang kuat dalam berjihad, dan ada pula yang tekun dalam salat malam. Semua bisa menjadi jalan meraih pahala dan surga.Jangan meremehkan amalan kecilDalam Islam, tidak ada amalan baik yang dianggap remeh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Dawud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Mungkin seseorang tidak bisa bersedekah banyak karena tidak kaya, tapi ia bisa tersenyum, membantu orang lain, atau mendoakan saudaranya secara sembunyi-sembunyi. Semua itu bernilai pahala di sisi Allah.Setiap potensi bisa jadi ladang pahalaContoh nyata dari keragaman potensi ini bisa kita lihat dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:Utsman bin Affan dikenal dermawan dan menyumbang banyak hartanya untuk Islam.Bilal bin Rabah punya suara merdu yang digunakan untuk azan.Abu Hurairah memiliki hafalan yang kuat dan meriwayatkan ribuan hadis.Khalid bin Walid unggul dalam strategi perang dan menjadi pedang Allah di medan jihad.Setiap sahabat menggunakan potensi yang Allah berikan untuk berjuang di jalan-Nya, dan semuanya mendapat kedudukan mulia di sisi Allah.Fokus pada apa yang kita bisaIslam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman,لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)Artinya, jika seseorang tidak bisa melakukan ibadah sunah tertentu karena keterbatasan fisik, ilmu, atau harta, maka Allah tidak akan menuntut hal tersebut darinya. Namun ia bisa fokus pada apa yang mampu ia lakukan.Berlomba dalam kebaikan sesuai potensimuSetiap orang punya potensi berbeda, dan setiap potensi bisa menjadi jalan meraih pahala. Kuncinya adalah mengenali potensi diri, lalu menggunakannya dalam amal saleh dengan niat yang lurus. Jangan iri terhadap amal orang lain, tapi berlombalah dalam kebaikan sesuai dengan potensi yang Allah titipkan pada kita.فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kepada Allah-lah kamu semua kembali.” (QS. Al-Ma’idah: 48)Dalam firman-Nya yang lain,وَلِكُلٍّ دَرَجَٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوا۟ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ“Dan masing-masing orang memperoleh derajat dengan apa yang telah mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 132)Semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengoptimalkan potensi diri kita masing-masing dan menjadikannya wasilah meraih surga-Nya yang kekal.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi: Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Setiap Orang Memiliki Potensi Berbeda untuk Meraih Surga

Daftar Isi TogglePintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuJangan meremehkan amalan kecilSetiap potensi bisa jadi ladang pahalaFokus pada apa yang kita bisaBerlomba dalam kebaikan sesuai potensimuAllah Ta’ala ketika menciptakan manusia itu berbeda-beda dari berbagai sisi, baik sifat, fisik, termasuk perbedaan dalam hal potensi. Ada yang potensinya pada kekayaan, kekuatan, kecerdasan, atau keahlian tertentu. Dan masing-masing dari kita berusaha memahami potensi tersebut dan memaksimalkannya untuk kebaikan serta meraih surga Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ“Sungguh setiap kelompok (manusia) telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).” (QS. Al-Baqarah: 60)Dalam ayat yang lain,قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا“Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al-Isra’: 84)Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Beramallah kalian, sebab setiap orang akan dimudahkan untuk apa yang sudah diciptakan untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Pintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ نُودِىَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ ، هَذَا خَيْرٌ . فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلاَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّلاَةِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ“Barang siapa yang menginfakkan dua harta di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga: Wahai hamba Allah, ini adalah kebaikan. Barang siapa termasuk dari golongan ahli salat, dia akan dipanggil dari pintu salat. Barang siapa dari ahli jihad, dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barang siapa dari ahli puasa, dia akan dipanggil dari pintu Rayyan. Dan barang siapa dari ahli sedekah, dia akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa jalan menuju surga sangat beragam, tergantung pada kemampuan dan kecenderungan masing-masing hamba. Ada yang mudah baginya untuk berinfak, ada yang istikamah dalam berpuasa sunah, ada yang kuat dalam berjihad, dan ada pula yang tekun dalam salat malam. Semua bisa menjadi jalan meraih pahala dan surga.Jangan meremehkan amalan kecilDalam Islam, tidak ada amalan baik yang dianggap remeh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Dawud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Mungkin seseorang tidak bisa bersedekah banyak karena tidak kaya, tapi ia bisa tersenyum, membantu orang lain, atau mendoakan saudaranya secara sembunyi-sembunyi. Semua itu bernilai pahala di sisi Allah.Setiap potensi bisa jadi ladang pahalaContoh nyata dari keragaman potensi ini bisa kita lihat dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:Utsman bin Affan dikenal dermawan dan menyumbang banyak hartanya untuk Islam.Bilal bin Rabah punya suara merdu yang digunakan untuk azan.Abu Hurairah memiliki hafalan yang kuat dan meriwayatkan ribuan hadis.Khalid bin Walid unggul dalam strategi perang dan menjadi pedang Allah di medan jihad.Setiap sahabat menggunakan potensi yang Allah berikan untuk berjuang di jalan-Nya, dan semuanya mendapat kedudukan mulia di sisi Allah.Fokus pada apa yang kita bisaIslam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman,لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)Artinya, jika seseorang tidak bisa melakukan ibadah sunah tertentu karena keterbatasan fisik, ilmu, atau harta, maka Allah tidak akan menuntut hal tersebut darinya. Namun ia bisa fokus pada apa yang mampu ia lakukan.Berlomba dalam kebaikan sesuai potensimuSetiap orang punya potensi berbeda, dan setiap potensi bisa menjadi jalan meraih pahala. Kuncinya adalah mengenali potensi diri, lalu menggunakannya dalam amal saleh dengan niat yang lurus. Jangan iri terhadap amal orang lain, tapi berlombalah dalam kebaikan sesuai dengan potensi yang Allah titipkan pada kita.فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kepada Allah-lah kamu semua kembali.” (QS. Al-Ma’idah: 48)Dalam firman-Nya yang lain,وَلِكُلٍّ دَرَجَٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوا۟ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ“Dan masing-masing orang memperoleh derajat dengan apa yang telah mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 132)Semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengoptimalkan potensi diri kita masing-masing dan menjadikannya wasilah meraih surga-Nya yang kekal.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi: Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.
Daftar Isi TogglePintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuJangan meremehkan amalan kecilSetiap potensi bisa jadi ladang pahalaFokus pada apa yang kita bisaBerlomba dalam kebaikan sesuai potensimuAllah Ta’ala ketika menciptakan manusia itu berbeda-beda dari berbagai sisi, baik sifat, fisik, termasuk perbedaan dalam hal potensi. Ada yang potensinya pada kekayaan, kekuatan, kecerdasan, atau keahlian tertentu. Dan masing-masing dari kita berusaha memahami potensi tersebut dan memaksimalkannya untuk kebaikan serta meraih surga Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ“Sungguh setiap kelompok (manusia) telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).” (QS. Al-Baqarah: 60)Dalam ayat yang lain,قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا“Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al-Isra’: 84)Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Beramallah kalian, sebab setiap orang akan dimudahkan untuk apa yang sudah diciptakan untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Pintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ نُودِىَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ ، هَذَا خَيْرٌ . فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلاَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّلاَةِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ“Barang siapa yang menginfakkan dua harta di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga: Wahai hamba Allah, ini adalah kebaikan. Barang siapa termasuk dari golongan ahli salat, dia akan dipanggil dari pintu salat. Barang siapa dari ahli jihad, dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barang siapa dari ahli puasa, dia akan dipanggil dari pintu Rayyan. Dan barang siapa dari ahli sedekah, dia akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa jalan menuju surga sangat beragam, tergantung pada kemampuan dan kecenderungan masing-masing hamba. Ada yang mudah baginya untuk berinfak, ada yang istikamah dalam berpuasa sunah, ada yang kuat dalam berjihad, dan ada pula yang tekun dalam salat malam. Semua bisa menjadi jalan meraih pahala dan surga.Jangan meremehkan amalan kecilDalam Islam, tidak ada amalan baik yang dianggap remeh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Dawud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Mungkin seseorang tidak bisa bersedekah banyak karena tidak kaya, tapi ia bisa tersenyum, membantu orang lain, atau mendoakan saudaranya secara sembunyi-sembunyi. Semua itu bernilai pahala di sisi Allah.Setiap potensi bisa jadi ladang pahalaContoh nyata dari keragaman potensi ini bisa kita lihat dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:Utsman bin Affan dikenal dermawan dan menyumbang banyak hartanya untuk Islam.Bilal bin Rabah punya suara merdu yang digunakan untuk azan.Abu Hurairah memiliki hafalan yang kuat dan meriwayatkan ribuan hadis.Khalid bin Walid unggul dalam strategi perang dan menjadi pedang Allah di medan jihad.Setiap sahabat menggunakan potensi yang Allah berikan untuk berjuang di jalan-Nya, dan semuanya mendapat kedudukan mulia di sisi Allah.Fokus pada apa yang kita bisaIslam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman,لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)Artinya, jika seseorang tidak bisa melakukan ibadah sunah tertentu karena keterbatasan fisik, ilmu, atau harta, maka Allah tidak akan menuntut hal tersebut darinya. Namun ia bisa fokus pada apa yang mampu ia lakukan.Berlomba dalam kebaikan sesuai potensimuSetiap orang punya potensi berbeda, dan setiap potensi bisa menjadi jalan meraih pahala. Kuncinya adalah mengenali potensi diri, lalu menggunakannya dalam amal saleh dengan niat yang lurus. Jangan iri terhadap amal orang lain, tapi berlombalah dalam kebaikan sesuai dengan potensi yang Allah titipkan pada kita.فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kepada Allah-lah kamu semua kembali.” (QS. Al-Ma’idah: 48)Dalam firman-Nya yang lain,وَلِكُلٍّ دَرَجَٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوا۟ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ“Dan masing-masing orang memperoleh derajat dengan apa yang telah mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 132)Semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengoptimalkan potensi diri kita masing-masing dan menjadikannya wasilah meraih surga-Nya yang kekal.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi: Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.


Daftar Isi TogglePintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuJangan meremehkan amalan kecilSetiap potensi bisa jadi ladang pahalaFokus pada apa yang kita bisaBerlomba dalam kebaikan sesuai potensimuAllah Ta’ala ketika menciptakan manusia itu berbeda-beda dari berbagai sisi, baik sifat, fisik, termasuk perbedaan dalam hal potensi. Ada yang potensinya pada kekayaan, kekuatan, kecerdasan, atau keahlian tertentu. Dan masing-masing dari kita berusaha memahami potensi tersebut dan memaksimalkannya untuk kebaikan serta meraih surga Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ“Sungguh setiap kelompok (manusia) telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).” (QS. Al-Baqarah: 60)Dalam ayat yang lain,قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا“Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al-Isra’: 84)Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Beramallah kalian, sebab setiap orang akan dimudahkan untuk apa yang sudah diciptakan untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Pintu surga ada banyak: Pilihlah yang sesuai dengan potensimuRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ نُودِىَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ ، هَذَا خَيْرٌ . فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلاَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّلاَةِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ“Barang siapa yang menginfakkan dua harta di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga: Wahai hamba Allah, ini adalah kebaikan. Barang siapa termasuk dari golongan ahli salat, dia akan dipanggil dari pintu salat. Barang siapa dari ahli jihad, dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barang siapa dari ahli puasa, dia akan dipanggil dari pintu Rayyan. Dan barang siapa dari ahli sedekah, dia akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa jalan menuju surga sangat beragam, tergantung pada kemampuan dan kecenderungan masing-masing hamba. Ada yang mudah baginya untuk berinfak, ada yang istikamah dalam berpuasa sunah, ada yang kuat dalam berjihad, dan ada pula yang tekun dalam salat malam. Semua bisa menjadi jalan meraih pahala dan surga.Jangan meremehkan amalan kecilDalam Islam, tidak ada amalan baik yang dianggap remeh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Dawud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Mungkin seseorang tidak bisa bersedekah banyak karena tidak kaya, tapi ia bisa tersenyum, membantu orang lain, atau mendoakan saudaranya secara sembunyi-sembunyi. Semua itu bernilai pahala di sisi Allah.Setiap potensi bisa jadi ladang pahalaContoh nyata dari keragaman potensi ini bisa kita lihat dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:Utsman bin Affan dikenal dermawan dan menyumbang banyak hartanya untuk Islam.Bilal bin Rabah punya suara merdu yang digunakan untuk azan.Abu Hurairah memiliki hafalan yang kuat dan meriwayatkan ribuan hadis.Khalid bin Walid unggul dalam strategi perang dan menjadi pedang Allah di medan jihad.Setiap sahabat menggunakan potensi yang Allah berikan untuk berjuang di jalan-Nya, dan semuanya mendapat kedudukan mulia di sisi Allah.Fokus pada apa yang kita bisaIslam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman,لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)Artinya, jika seseorang tidak bisa melakukan ibadah sunah tertentu karena keterbatasan fisik, ilmu, atau harta, maka Allah tidak akan menuntut hal tersebut darinya. Namun ia bisa fokus pada apa yang mampu ia lakukan.Berlomba dalam kebaikan sesuai potensimuSetiap orang punya potensi berbeda, dan setiap potensi bisa menjadi jalan meraih pahala. Kuncinya adalah mengenali potensi diri, lalu menggunakannya dalam amal saleh dengan niat yang lurus. Jangan iri terhadap amal orang lain, tapi berlombalah dalam kebaikan sesuai dengan potensi yang Allah titipkan pada kita.فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kepada Allah-lah kamu semua kembali.” (QS. Al-Ma’idah: 48)Dalam firman-Nya yang lain,وَلِكُلٍّ دَرَجَٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوا۟ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ“Dan masing-masing orang memperoleh derajat dengan apa yang telah mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 132)Semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengoptimalkan potensi diri kita masing-masing dan menjadikannya wasilah meraih surga-Nya yang kekal.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi: Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Apakah Beda Zikir Shalat Wajib dan Shalat Sunnah? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Saudari Ummu Misk bertanya kepada Asy-Syaikh tentang Shalat Sunnah. Ia berkata: “Apakah pada Shalat Sunnah, maksudnya, zikir dan doa yang kita baca di dalamnya sama seperti yang kita baca dalam Shalat Fardhu, ataukah berbeda?” Berkaitan dengan zikir-zikir setelah shalat, maka itu diriwayatkan dalam bab Shalat Fardhu, dan tidak diriwayatkan zikir-zikir seperti itu dalam shalat-shalat sunnah. Oleh karena itu, zikir-zikir yang dibaca setelah selesai shalat dan salam darinya, hanya dibaca setelah Shalat Fardhu, bukan setelah Shalat Sunnah. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Shalat Malam, bahwa ketika beliau selesai witir, beliau mengucapkan: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, sebanyak tiga kali. Beliau tidak mengucapkan: ASTAGHFIRULLAAH, juga tidak membaca zikir-zikir lain maupun doa-doa yang biasa diucapkan setelah salam dari Shalat Fardhu. Syaikh kami, bagaimana dengan zikir dan doa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat Fardhu — maksudnya saat sedang shalat? Apakah seseorang boleh membacanya juga dalam Shalat Sunnah, atau apakah itu khusus untuk Shalat Fardhu? Ya. Adapun zikir atau doa yang dibaca dalam Shalat Fardhu, atau hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan suatu zikir atau doa tertentu dalam shalat, maka itu secara umum mencakup Shalat Fardhu dan Shalat Sunnah. ===== لْأُخْتُ أُمُّ مِسْكٍ سَأَلَتْ شَيْخَنَا عَنِ النَّوَافِلِ تَقُولُ هَلْ هِيَ يَعْنِي مَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْأَذْكَارِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْعِيَةِ فِي النَّوَافِلِ كَمَا نَذْكُرُ فِي الْفَرَائِضِ أَوْ الْأَمْرُ يَخْتَلِفُ؟ بِالنِّسْبَةِ لِأَذْكَارِ مَا بَعْدَ الصَّلَاةِ هَذِهِ وَرَدَتْ فِي الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَمْ يَرِدْ مِثْلُهَا فِي الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ وَبِالتَّالِي هَذِهِ الْأَذْكَارُ الَّتِي تُقَالُ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ مِنْهَا إِنَّمَا تُقَالُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ لَا بَعْدَ صَلَاةِ النَّافِلَةِ وَقَدْ ذُكِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ أَنَّهُ إِذَا فَرَغَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ بَقِيَّةَ الْأَذْكَارِ وَلَا الْأَدْعِيَةِ الَّتِي تُقَالُ عِنْدَ السَّلَامِ مِنْ صَلَوَاتِ الْفَرِيضَةِ شَيْخَنَا مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَذْكَارٍ وَأَدْعِيَةٍ فِي الْفَرَائِضِ دَاخِلَ الْفَرِيضَةِ كَذَلِكَ الْإِنْسَانُ يَقُولُهُ فِي النَّوَافِلِ أَوْ هُنَاكَ اخْتِصَاصٌ؟ نَعَمْ دَاخِلَ الْفَرَائِضِ أَوْ مَا وَرَدَ مِنَ الْأَحَادِيثِ فِي فَضْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ أَوْ بَعْضِ الْأَدْعِيَةِ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَشْمَلُ بِعُمُومِهَا صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ وَصَلَاةَ النَّافِلَةِ

Apakah Beda Zikir Shalat Wajib dan Shalat Sunnah? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Saudari Ummu Misk bertanya kepada Asy-Syaikh tentang Shalat Sunnah. Ia berkata: “Apakah pada Shalat Sunnah, maksudnya, zikir dan doa yang kita baca di dalamnya sama seperti yang kita baca dalam Shalat Fardhu, ataukah berbeda?” Berkaitan dengan zikir-zikir setelah shalat, maka itu diriwayatkan dalam bab Shalat Fardhu, dan tidak diriwayatkan zikir-zikir seperti itu dalam shalat-shalat sunnah. Oleh karena itu, zikir-zikir yang dibaca setelah selesai shalat dan salam darinya, hanya dibaca setelah Shalat Fardhu, bukan setelah Shalat Sunnah. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Shalat Malam, bahwa ketika beliau selesai witir, beliau mengucapkan: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, sebanyak tiga kali. Beliau tidak mengucapkan: ASTAGHFIRULLAAH, juga tidak membaca zikir-zikir lain maupun doa-doa yang biasa diucapkan setelah salam dari Shalat Fardhu. Syaikh kami, bagaimana dengan zikir dan doa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat Fardhu — maksudnya saat sedang shalat? Apakah seseorang boleh membacanya juga dalam Shalat Sunnah, atau apakah itu khusus untuk Shalat Fardhu? Ya. Adapun zikir atau doa yang dibaca dalam Shalat Fardhu, atau hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan suatu zikir atau doa tertentu dalam shalat, maka itu secara umum mencakup Shalat Fardhu dan Shalat Sunnah. ===== لْأُخْتُ أُمُّ مِسْكٍ سَأَلَتْ شَيْخَنَا عَنِ النَّوَافِلِ تَقُولُ هَلْ هِيَ يَعْنِي مَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْأَذْكَارِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْعِيَةِ فِي النَّوَافِلِ كَمَا نَذْكُرُ فِي الْفَرَائِضِ أَوْ الْأَمْرُ يَخْتَلِفُ؟ بِالنِّسْبَةِ لِأَذْكَارِ مَا بَعْدَ الصَّلَاةِ هَذِهِ وَرَدَتْ فِي الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَمْ يَرِدْ مِثْلُهَا فِي الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ وَبِالتَّالِي هَذِهِ الْأَذْكَارُ الَّتِي تُقَالُ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ مِنْهَا إِنَّمَا تُقَالُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ لَا بَعْدَ صَلَاةِ النَّافِلَةِ وَقَدْ ذُكِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ أَنَّهُ إِذَا فَرَغَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ بَقِيَّةَ الْأَذْكَارِ وَلَا الْأَدْعِيَةِ الَّتِي تُقَالُ عِنْدَ السَّلَامِ مِنْ صَلَوَاتِ الْفَرِيضَةِ شَيْخَنَا مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَذْكَارٍ وَأَدْعِيَةٍ فِي الْفَرَائِضِ دَاخِلَ الْفَرِيضَةِ كَذَلِكَ الْإِنْسَانُ يَقُولُهُ فِي النَّوَافِلِ أَوْ هُنَاكَ اخْتِصَاصٌ؟ نَعَمْ دَاخِلَ الْفَرَائِضِ أَوْ مَا وَرَدَ مِنَ الْأَحَادِيثِ فِي فَضْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ أَوْ بَعْضِ الْأَدْعِيَةِ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَشْمَلُ بِعُمُومِهَا صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ وَصَلَاةَ النَّافِلَةِ
Saudari Ummu Misk bertanya kepada Asy-Syaikh tentang Shalat Sunnah. Ia berkata: “Apakah pada Shalat Sunnah, maksudnya, zikir dan doa yang kita baca di dalamnya sama seperti yang kita baca dalam Shalat Fardhu, ataukah berbeda?” Berkaitan dengan zikir-zikir setelah shalat, maka itu diriwayatkan dalam bab Shalat Fardhu, dan tidak diriwayatkan zikir-zikir seperti itu dalam shalat-shalat sunnah. Oleh karena itu, zikir-zikir yang dibaca setelah selesai shalat dan salam darinya, hanya dibaca setelah Shalat Fardhu, bukan setelah Shalat Sunnah. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Shalat Malam, bahwa ketika beliau selesai witir, beliau mengucapkan: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, sebanyak tiga kali. Beliau tidak mengucapkan: ASTAGHFIRULLAAH, juga tidak membaca zikir-zikir lain maupun doa-doa yang biasa diucapkan setelah salam dari Shalat Fardhu. Syaikh kami, bagaimana dengan zikir dan doa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat Fardhu — maksudnya saat sedang shalat? Apakah seseorang boleh membacanya juga dalam Shalat Sunnah, atau apakah itu khusus untuk Shalat Fardhu? Ya. Adapun zikir atau doa yang dibaca dalam Shalat Fardhu, atau hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan suatu zikir atau doa tertentu dalam shalat, maka itu secara umum mencakup Shalat Fardhu dan Shalat Sunnah. ===== لْأُخْتُ أُمُّ مِسْكٍ سَأَلَتْ شَيْخَنَا عَنِ النَّوَافِلِ تَقُولُ هَلْ هِيَ يَعْنِي مَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْأَذْكَارِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْعِيَةِ فِي النَّوَافِلِ كَمَا نَذْكُرُ فِي الْفَرَائِضِ أَوْ الْأَمْرُ يَخْتَلِفُ؟ بِالنِّسْبَةِ لِأَذْكَارِ مَا بَعْدَ الصَّلَاةِ هَذِهِ وَرَدَتْ فِي الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَمْ يَرِدْ مِثْلُهَا فِي الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ وَبِالتَّالِي هَذِهِ الْأَذْكَارُ الَّتِي تُقَالُ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ مِنْهَا إِنَّمَا تُقَالُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ لَا بَعْدَ صَلَاةِ النَّافِلَةِ وَقَدْ ذُكِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ أَنَّهُ إِذَا فَرَغَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ بَقِيَّةَ الْأَذْكَارِ وَلَا الْأَدْعِيَةِ الَّتِي تُقَالُ عِنْدَ السَّلَامِ مِنْ صَلَوَاتِ الْفَرِيضَةِ شَيْخَنَا مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَذْكَارٍ وَأَدْعِيَةٍ فِي الْفَرَائِضِ دَاخِلَ الْفَرِيضَةِ كَذَلِكَ الْإِنْسَانُ يَقُولُهُ فِي النَّوَافِلِ أَوْ هُنَاكَ اخْتِصَاصٌ؟ نَعَمْ دَاخِلَ الْفَرَائِضِ أَوْ مَا وَرَدَ مِنَ الْأَحَادِيثِ فِي فَضْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ أَوْ بَعْضِ الْأَدْعِيَةِ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَشْمَلُ بِعُمُومِهَا صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ وَصَلَاةَ النَّافِلَةِ


Saudari Ummu Misk bertanya kepada Asy-Syaikh tentang Shalat Sunnah. Ia berkata: “Apakah pada Shalat Sunnah, maksudnya, zikir dan doa yang kita baca di dalamnya sama seperti yang kita baca dalam Shalat Fardhu, ataukah berbeda?” Berkaitan dengan zikir-zikir setelah shalat, maka itu diriwayatkan dalam bab Shalat Fardhu, dan tidak diriwayatkan zikir-zikir seperti itu dalam shalat-shalat sunnah. Oleh karena itu, zikir-zikir yang dibaca setelah selesai shalat dan salam darinya, hanya dibaca setelah Shalat Fardhu, bukan setelah Shalat Sunnah. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Shalat Malam, bahwa ketika beliau selesai witir, beliau mengucapkan: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, sebanyak tiga kali. Beliau tidak mengucapkan: ASTAGHFIRULLAAH, juga tidak membaca zikir-zikir lain maupun doa-doa yang biasa diucapkan setelah salam dari Shalat Fardhu. Syaikh kami, bagaimana dengan zikir dan doa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat Fardhu — maksudnya saat sedang shalat? Apakah seseorang boleh membacanya juga dalam Shalat Sunnah, atau apakah itu khusus untuk Shalat Fardhu? Ya. Adapun zikir atau doa yang dibaca dalam Shalat Fardhu, atau hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan suatu zikir atau doa tertentu dalam shalat, maka itu secara umum mencakup Shalat Fardhu dan Shalat Sunnah. ===== لْأُخْتُ أُمُّ مِسْكٍ سَأَلَتْ شَيْخَنَا عَنِ النَّوَافِلِ تَقُولُ هَلْ هِيَ يَعْنِي مَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْأَذْكَارِ وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَدْعِيَةِ فِي النَّوَافِلِ كَمَا نَذْكُرُ فِي الْفَرَائِضِ أَوْ الْأَمْرُ يَخْتَلِفُ؟ بِالنِّسْبَةِ لِأَذْكَارِ مَا بَعْدَ الصَّلَاةِ هَذِهِ وَرَدَتْ فِي الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَمْ يَرِدْ مِثْلُهَا فِي الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ وَبِالتَّالِي هَذِهِ الْأَذْكَارُ الَّتِي تُقَالُ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ مِنْهَا إِنَّمَا تُقَالُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ لَا بَعْدَ صَلَاةِ النَّافِلَةِ وَقَدْ ذُكِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ أَنَّهُ إِذَا فَرَغَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَلَمْ يَكُنْ يَقُولُ بَقِيَّةَ الْأَذْكَارِ وَلَا الْأَدْعِيَةِ الَّتِي تُقَالُ عِنْدَ السَّلَامِ مِنْ صَلَوَاتِ الْفَرِيضَةِ شَيْخَنَا مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَذْكَارٍ وَأَدْعِيَةٍ فِي الْفَرَائِضِ دَاخِلَ الْفَرِيضَةِ كَذَلِكَ الْإِنْسَانُ يَقُولُهُ فِي النَّوَافِلِ أَوْ هُنَاكَ اخْتِصَاصٌ؟ نَعَمْ دَاخِلَ الْفَرَائِضِ أَوْ مَا وَرَدَ مِنَ الْأَحَادِيثِ فِي فَضْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ أَوْ بَعْضِ الْأَدْعِيَةِ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَشْمَلُ بِعُمُومِهَا صَلَاةَ الْفَرِيضَةِ وَصَلَاةَ النَّافِلَةِ
Prev     Next