Ternyata Dosa Berulang Kali Bisa Diampuni, Asalkan Ini… – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222). Saudara-saudaraku, mari kita renungkan ayat ini: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat…” Kata “At-Tawwāb” merupakan bentuk mubālaghah (hiperbolis),yakni bentuk jamak dari “tā’ib”. Jadi, makna At-Tawwāb: orang yang banyak bertobat, serta senantiasa kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang banyak bertobat. Allah mencintai orang-orang yang bertobat berulang-ulang kali. Maka, wahai muslimku, jika engkau terjatuh dalam maksiat—maksiat apa pun, segeralah engkau bertobat. Yang lebih sempurna adalah dengan engkau berwudu, lalu segera melaksanakan salat dua rakaat, lalu engkau memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, lalu ia berdiri dan berwudu, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Daud, dibacakan Syaikh secara makna). Sebagian ulama seperti Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah dan lainnya menyebut salat ini sebagai “Salat Tobat”. Bahkan jika seseorang berbuat dosa, lalu bertobat kepada Allah, lalu kembali terjatuh karena kelemahan dirinya, maka hendaklah ia bertobat lagi. Setiap kali dirinya kembali berbuat dosa, hendaknya ia kembali bertobat. Itu tidak menjadi masalah. Yang penting, saat bertobat, ia melakukannya dengan tulus. Karena itu, dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: ‘Hamba-Ku berbuat dosa, lalu memohon ampun, maka Aku mengampuninya Kemudian ia berdosa lagi dan memohon ampun, maka Aku mengampuninya Lalu ia berdosa lagi dan memohon ampun, dan Aku mengampuninya kembali Hamba-Ku terus-menerus berbuat dosa dan memohon ampun, Aku pun terus mengampuninya.’” Menurut para ulama, hadis ini berlaku bagi orang yang berbuat dosa lalu bertobat dengan tulus, tetapi kemudian dirinya kembali lemah dan jatuh ke dalam dosa, lalu bertobat lagi dengan tulus, namun dirinya kembali lemah dan mengulanginya lagi. Maka sungguh Allah Ta’ala tetap menerima tobatnya, dan Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ==== يَقُولُ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ لِنَتَأَمَّلَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذِهِ الْآيَةَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَالتَّوَّابُ صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ جَمْعُ تَائِبٍ وَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ التَّوَّابَ هُوَ كَثِيرُ التَّوْبَةِ وَكَثِيرُ الرُّجُوعِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ التَّوْبَةِ وَيُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ إِذَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ فِي أَيَّةِ مَعْصِيَةٍ أَنْ تُبَادِرَ إِلَى التَّوْبَةِ وَالْأَكْمَلُ أَنَّكَ تَقُومُ وَتَتَوَضَّأُ وَتُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَتَتُوبُ إِلَيهِ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ وَيُسَمِّي بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالْمُوَفَّقِ ابْنِ قُدَامَةَ وَغَيْرِهِ يُسَمُّونَ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ التَّوْبَةِ حَتَّى لَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ الذَّنْبَ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ ضَعُفَتْ نَفْسُهُ مَرَّةً أُخْرَى فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَعُودَ لِلتَّوْبَةِ وَكُلَّمَا عَادَتْ نَفْسُهُ لِلذَّنْبِ يَعُودُ لِلتَّوْبَةِ فَإِنَّ هَذَا لَا يَضُرُّ الْمُهِمُّ أَنَّهُ عِنْدَ التَّوْبَةِ يَكُونُ صَادِقًا وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا ثُمَّ اسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَسْتَغْفِرُ فَأَغْفِرُ لَهُ وَهَذَا مَحْمُولٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَنْ يُذْنِبُ الذَّنْبَ وَيَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ ثُمَّ يَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَتُوبُ عَلَيْهِ وَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ التَّوَّابِينَ

Ternyata Dosa Berulang Kali Bisa Diampuni, Asalkan Ini… – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222). Saudara-saudaraku, mari kita renungkan ayat ini: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat…” Kata “At-Tawwāb” merupakan bentuk mubālaghah (hiperbolis),yakni bentuk jamak dari “tā’ib”. Jadi, makna At-Tawwāb: orang yang banyak bertobat, serta senantiasa kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang banyak bertobat. Allah mencintai orang-orang yang bertobat berulang-ulang kali. Maka, wahai muslimku, jika engkau terjatuh dalam maksiat—maksiat apa pun, segeralah engkau bertobat. Yang lebih sempurna adalah dengan engkau berwudu, lalu segera melaksanakan salat dua rakaat, lalu engkau memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, lalu ia berdiri dan berwudu, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Daud, dibacakan Syaikh secara makna). Sebagian ulama seperti Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah dan lainnya menyebut salat ini sebagai “Salat Tobat”. Bahkan jika seseorang berbuat dosa, lalu bertobat kepada Allah, lalu kembali terjatuh karena kelemahan dirinya, maka hendaklah ia bertobat lagi. Setiap kali dirinya kembali berbuat dosa, hendaknya ia kembali bertobat. Itu tidak menjadi masalah. Yang penting, saat bertobat, ia melakukannya dengan tulus. Karena itu, dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: ‘Hamba-Ku berbuat dosa, lalu memohon ampun, maka Aku mengampuninya Kemudian ia berdosa lagi dan memohon ampun, maka Aku mengampuninya Lalu ia berdosa lagi dan memohon ampun, dan Aku mengampuninya kembali Hamba-Ku terus-menerus berbuat dosa dan memohon ampun, Aku pun terus mengampuninya.’” Menurut para ulama, hadis ini berlaku bagi orang yang berbuat dosa lalu bertobat dengan tulus, tetapi kemudian dirinya kembali lemah dan jatuh ke dalam dosa, lalu bertobat lagi dengan tulus, namun dirinya kembali lemah dan mengulanginya lagi. Maka sungguh Allah Ta’ala tetap menerima tobatnya, dan Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ==== يَقُولُ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ لِنَتَأَمَّلَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذِهِ الْآيَةَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَالتَّوَّابُ صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ جَمْعُ تَائِبٍ وَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ التَّوَّابَ هُوَ كَثِيرُ التَّوْبَةِ وَكَثِيرُ الرُّجُوعِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ التَّوْبَةِ وَيُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ إِذَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ فِي أَيَّةِ مَعْصِيَةٍ أَنْ تُبَادِرَ إِلَى التَّوْبَةِ وَالْأَكْمَلُ أَنَّكَ تَقُومُ وَتَتَوَضَّأُ وَتُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَتَتُوبُ إِلَيهِ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ وَيُسَمِّي بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالْمُوَفَّقِ ابْنِ قُدَامَةَ وَغَيْرِهِ يُسَمُّونَ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ التَّوْبَةِ حَتَّى لَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ الذَّنْبَ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ ضَعُفَتْ نَفْسُهُ مَرَّةً أُخْرَى فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَعُودَ لِلتَّوْبَةِ وَكُلَّمَا عَادَتْ نَفْسُهُ لِلذَّنْبِ يَعُودُ لِلتَّوْبَةِ فَإِنَّ هَذَا لَا يَضُرُّ الْمُهِمُّ أَنَّهُ عِنْدَ التَّوْبَةِ يَكُونُ صَادِقًا وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا ثُمَّ اسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَسْتَغْفِرُ فَأَغْفِرُ لَهُ وَهَذَا مَحْمُولٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَنْ يُذْنِبُ الذَّنْبَ وَيَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ ثُمَّ يَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَتُوبُ عَلَيْهِ وَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222). Saudara-saudaraku, mari kita renungkan ayat ini: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat…” Kata “At-Tawwāb” merupakan bentuk mubālaghah (hiperbolis),yakni bentuk jamak dari “tā’ib”. Jadi, makna At-Tawwāb: orang yang banyak bertobat, serta senantiasa kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang banyak bertobat. Allah mencintai orang-orang yang bertobat berulang-ulang kali. Maka, wahai muslimku, jika engkau terjatuh dalam maksiat—maksiat apa pun, segeralah engkau bertobat. Yang lebih sempurna adalah dengan engkau berwudu, lalu segera melaksanakan salat dua rakaat, lalu engkau memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, lalu ia berdiri dan berwudu, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Daud, dibacakan Syaikh secara makna). Sebagian ulama seperti Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah dan lainnya menyebut salat ini sebagai “Salat Tobat”. Bahkan jika seseorang berbuat dosa, lalu bertobat kepada Allah, lalu kembali terjatuh karena kelemahan dirinya, maka hendaklah ia bertobat lagi. Setiap kali dirinya kembali berbuat dosa, hendaknya ia kembali bertobat. Itu tidak menjadi masalah. Yang penting, saat bertobat, ia melakukannya dengan tulus. Karena itu, dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: ‘Hamba-Ku berbuat dosa, lalu memohon ampun, maka Aku mengampuninya Kemudian ia berdosa lagi dan memohon ampun, maka Aku mengampuninya Lalu ia berdosa lagi dan memohon ampun, dan Aku mengampuninya kembali Hamba-Ku terus-menerus berbuat dosa dan memohon ampun, Aku pun terus mengampuninya.’” Menurut para ulama, hadis ini berlaku bagi orang yang berbuat dosa lalu bertobat dengan tulus, tetapi kemudian dirinya kembali lemah dan jatuh ke dalam dosa, lalu bertobat lagi dengan tulus, namun dirinya kembali lemah dan mengulanginya lagi. Maka sungguh Allah Ta’ala tetap menerima tobatnya, dan Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ==== يَقُولُ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ لِنَتَأَمَّلَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذِهِ الْآيَةَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَالتَّوَّابُ صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ جَمْعُ تَائِبٍ وَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ التَّوَّابَ هُوَ كَثِيرُ التَّوْبَةِ وَكَثِيرُ الرُّجُوعِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ التَّوْبَةِ وَيُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ إِذَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ فِي أَيَّةِ مَعْصِيَةٍ أَنْ تُبَادِرَ إِلَى التَّوْبَةِ وَالْأَكْمَلُ أَنَّكَ تَقُومُ وَتَتَوَضَّأُ وَتُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَتَتُوبُ إِلَيهِ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ وَيُسَمِّي بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالْمُوَفَّقِ ابْنِ قُدَامَةَ وَغَيْرِهِ يُسَمُّونَ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ التَّوْبَةِ حَتَّى لَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ الذَّنْبَ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ ضَعُفَتْ نَفْسُهُ مَرَّةً أُخْرَى فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَعُودَ لِلتَّوْبَةِ وَكُلَّمَا عَادَتْ نَفْسُهُ لِلذَّنْبِ يَعُودُ لِلتَّوْبَةِ فَإِنَّ هَذَا لَا يَضُرُّ الْمُهِمُّ أَنَّهُ عِنْدَ التَّوْبَةِ يَكُونُ صَادِقًا وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا ثُمَّ اسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَسْتَغْفِرُ فَأَغْفِرُ لَهُ وَهَذَا مَحْمُولٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَنْ يُذْنِبُ الذَّنْبَ وَيَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ ثُمَّ يَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَتُوبُ عَلَيْهِ وَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ التَّوَّابِينَ


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222). Saudara-saudaraku, mari kita renungkan ayat ini: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat…” Kata “At-Tawwāb” merupakan bentuk mubālaghah (hiperbolis),yakni bentuk jamak dari “tā’ib”. Jadi, makna At-Tawwāb: orang yang banyak bertobat, serta senantiasa kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang banyak bertobat. Allah mencintai orang-orang yang bertobat berulang-ulang kali. Maka, wahai muslimku, jika engkau terjatuh dalam maksiat—maksiat apa pun, segeralah engkau bertobat. Yang lebih sempurna adalah dengan engkau berwudu, lalu segera melaksanakan salat dua rakaat, lalu engkau memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, lalu ia berdiri dan berwudu, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Daud, dibacakan Syaikh secara makna). Sebagian ulama seperti Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah dan lainnya menyebut salat ini sebagai “Salat Tobat”. Bahkan jika seseorang berbuat dosa, lalu bertobat kepada Allah, lalu kembali terjatuh karena kelemahan dirinya, maka hendaklah ia bertobat lagi. Setiap kali dirinya kembali berbuat dosa, hendaknya ia kembali bertobat. Itu tidak menjadi masalah. Yang penting, saat bertobat, ia melakukannya dengan tulus. Karena itu, dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: ‘Hamba-Ku berbuat dosa, lalu memohon ampun, maka Aku mengampuninya Kemudian ia berdosa lagi dan memohon ampun, maka Aku mengampuninya Lalu ia berdosa lagi dan memohon ampun, dan Aku mengampuninya kembali Hamba-Ku terus-menerus berbuat dosa dan memohon ampun, Aku pun terus mengampuninya.’” Menurut para ulama, hadis ini berlaku bagi orang yang berbuat dosa lalu bertobat dengan tulus, tetapi kemudian dirinya kembali lemah dan jatuh ke dalam dosa, lalu bertobat lagi dengan tulus, namun dirinya kembali lemah dan mengulanginya lagi. Maka sungguh Allah Ta’ala tetap menerima tobatnya, dan Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang banyak bertobat. ==== يَقُولُ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ لِنَتَأَمَّلَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ هَذِهِ الْآيَةَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَالتَّوَّابُ صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ جَمْعُ تَائِبٍ وَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ التَّوَّابَ هُوَ كَثِيرُ التَّوْبَةِ وَكَثِيرُ الرُّجُوعِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ التَّوْبَةِ وَيُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ إِذَا وَقَعْتَ فِي مَعْصِيَةٍ فِي أَيَّةِ مَعْصِيَةٍ أَنْ تُبَادِرَ إِلَى التَّوْبَةِ وَالْأَكْمَلُ أَنَّكَ تَقُومُ وَتَتَوَضَّأُ وَتُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَتَتُوبُ إِلَيهِ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ وَيُسَمِّي بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالْمُوَفَّقِ ابْنِ قُدَامَةَ وَغَيْرِهِ يُسَمُّونَ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ التَّوْبَةِ حَتَّى لَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ الذَّنْبَ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ ضَعُفَتْ نَفْسُهُ مَرَّةً أُخْرَى فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَعُودَ لِلتَّوْبَةِ وَكُلَّمَا عَادَتْ نَفْسُهُ لِلذَّنْبِ يَعُودُ لِلتَّوْبَةِ فَإِنَّ هَذَا لَا يَضُرُّ الْمُهِمُّ أَنَّهُ عِنْدَ التَّوْبَةِ يَكُونُ صَادِقًا وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا ثُمَّ اسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَاسْتَغْفَرَ فَغَفَرْتُ لَهُ وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَسْتَغْفِرُ فَأَغْفِرُ لَهُ وَهَذَا مَحْمُولٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَنْ يُذْنِبُ الذَّنْبَ وَيَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ ثُمَّ يَتُوبُ تَوْبَةً صَادِقَةً ثُمَّ تَضْعُفُ نَفْسُهُ وَيَعُودُ لِلذَّنْبِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَتُوبُ عَلَيْهِ وَاللَّهُ تَعَالَى يُحِبُّ التَّوَّابِينَ

Ibadah Tersembunyi Terasa Paling Nikmat dan Menenangkan Jiwa – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar

Disebutkan dalam riwayat, bahwa Syaikh Taqiyuddin, setiap kali menemui kesulitan dalam memahami suatu masalah, beliau pergi ke masjid-masjid yang sepi dan terbengkalai. Karena masjid itu tetap termasuk rumah Allah, walaupun terbengkalai. Di sana tidak ada siapa-siapa, sehingga bisa lebih dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seseorang akan selalu lebih dekat kepada Allah apabila ia jauh dari pandangan manusia. Karena itu, ibadah yang paling terasa nikmat bagi seseorang adalah ibadah-ibadah tersembunyi, seperti Shalat Malam, zakat yang dikeluarkan secara sembunyi-sembunyi, dan menundukkan pandangan dari hal yang diharamkan. Semua ini disebutkan dalam hadis bahwa ia dapat mendatangkan kenikmatan ibadah. Maka Syaikh Taqiyuddin pun biasa datang ke masjid-masjid yang terbengkalai itu. Lalu beliau memperbanyak sujud dan berdoa penuh ketundukan: “Ya Allah, wahai Zat yang mengajarkan Adam, ajarilah aku. Wahai Zat yang memberi pemahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku.” Syaikh Taqiyuddin juga mengatakan dalam salah satu kitabnya, yaitu dalam sebuah risalahnya yang membahas tafsir ayat-ayat tentang riba. Beliau berkata, “Perkataan yang aku tulis ini kutulis setelah doa yang panjang penuh harap kepada Allah ‘Azza wa Jalla setelah doa yang panjang kepada-Nya agar Allah memberiku petunjuk.” ==== جَاءَ أَنَّ الشَّيْخَ تَقِيَّ الدِّينِ كَانَتْ إِذَا أَشْكَلَتْ عَلَيْهِ الْمَسْأَلَةُ ذَهَبَ إِلَى الْمَسَاجِدِ الْمَهْجُورَةِ لِأَنَّهَا بَيْتٌ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ وَمَهْجُورَةٌ لَيْسَ فِيهَا أَحَدٌ فَيَكُونُ الْمَرْءُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا الْوَاحِدُ يَكُونُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا كَانَ بَعِيدًا عَنِ الْأَعْيُنِ وَلِذَلِكَ دَائِمًا الْعِبَادَاتُ الَّتِي يَجِدُ فِيهَا الْمَرْءُ لَذَّةً مَا كَانَتْ مِنْ عِبَادَاتِ السِّرّ قِيَامِ اللَّيْلِ الزَّكَاةِ الَّتِي يُنْفِقُهَا الْمَرْءُ فِي سِرِّهِ النَّظَرِ غَضِّ الْبَصَرِ فِي النَّظَرِ كُلُّهَا جَاءَتْ فِي الأَحَادِيْثِ بِأَنَّ فِيهَا كَسْبًا لِلَذَّةِ الْعِبَادَةِ فَكَانَ يَأْتِي هَذِهِ الْمَسَاجِدَ الْمَهْجُورَةَ وَيُكْثِرُ مِنَ السُّجُودِ وَالتَّضَرُّعِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ يَا مُعَلِّمَ آدَمَ عَلِّمْنِي وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِي وَيَقُولُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ أَيْضًا فِي كِتَابِهِ لَهُ رِسَالَةٌ فِي فِي تَفْسِيرِ آيَاتِ الرِّبَا قَالَ وَهَذَا الْكَلَامُ الَّذِي كَتَبْتُهُ كَتَبْتُهُ بَعْدَ طُولِ تَضَرُّعٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طُولِ تَضَرُّعٍ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَنْ يَهْدِيَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Ibadah Tersembunyi Terasa Paling Nikmat dan Menenangkan Jiwa – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar

Disebutkan dalam riwayat, bahwa Syaikh Taqiyuddin, setiap kali menemui kesulitan dalam memahami suatu masalah, beliau pergi ke masjid-masjid yang sepi dan terbengkalai. Karena masjid itu tetap termasuk rumah Allah, walaupun terbengkalai. Di sana tidak ada siapa-siapa, sehingga bisa lebih dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seseorang akan selalu lebih dekat kepada Allah apabila ia jauh dari pandangan manusia. Karena itu, ibadah yang paling terasa nikmat bagi seseorang adalah ibadah-ibadah tersembunyi, seperti Shalat Malam, zakat yang dikeluarkan secara sembunyi-sembunyi, dan menundukkan pandangan dari hal yang diharamkan. Semua ini disebutkan dalam hadis bahwa ia dapat mendatangkan kenikmatan ibadah. Maka Syaikh Taqiyuddin pun biasa datang ke masjid-masjid yang terbengkalai itu. Lalu beliau memperbanyak sujud dan berdoa penuh ketundukan: “Ya Allah, wahai Zat yang mengajarkan Adam, ajarilah aku. Wahai Zat yang memberi pemahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku.” Syaikh Taqiyuddin juga mengatakan dalam salah satu kitabnya, yaitu dalam sebuah risalahnya yang membahas tafsir ayat-ayat tentang riba. Beliau berkata, “Perkataan yang aku tulis ini kutulis setelah doa yang panjang penuh harap kepada Allah ‘Azza wa Jalla setelah doa yang panjang kepada-Nya agar Allah memberiku petunjuk.” ==== جَاءَ أَنَّ الشَّيْخَ تَقِيَّ الدِّينِ كَانَتْ إِذَا أَشْكَلَتْ عَلَيْهِ الْمَسْأَلَةُ ذَهَبَ إِلَى الْمَسَاجِدِ الْمَهْجُورَةِ لِأَنَّهَا بَيْتٌ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ وَمَهْجُورَةٌ لَيْسَ فِيهَا أَحَدٌ فَيَكُونُ الْمَرْءُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا الْوَاحِدُ يَكُونُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا كَانَ بَعِيدًا عَنِ الْأَعْيُنِ وَلِذَلِكَ دَائِمًا الْعِبَادَاتُ الَّتِي يَجِدُ فِيهَا الْمَرْءُ لَذَّةً مَا كَانَتْ مِنْ عِبَادَاتِ السِّرّ قِيَامِ اللَّيْلِ الزَّكَاةِ الَّتِي يُنْفِقُهَا الْمَرْءُ فِي سِرِّهِ النَّظَرِ غَضِّ الْبَصَرِ فِي النَّظَرِ كُلُّهَا جَاءَتْ فِي الأَحَادِيْثِ بِأَنَّ فِيهَا كَسْبًا لِلَذَّةِ الْعِبَادَةِ فَكَانَ يَأْتِي هَذِهِ الْمَسَاجِدَ الْمَهْجُورَةَ وَيُكْثِرُ مِنَ السُّجُودِ وَالتَّضَرُّعِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ يَا مُعَلِّمَ آدَمَ عَلِّمْنِي وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِي وَيَقُولُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ أَيْضًا فِي كِتَابِهِ لَهُ رِسَالَةٌ فِي فِي تَفْسِيرِ آيَاتِ الرِّبَا قَالَ وَهَذَا الْكَلَامُ الَّذِي كَتَبْتُهُ كَتَبْتُهُ بَعْدَ طُولِ تَضَرُّعٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طُولِ تَضَرُّعٍ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَنْ يَهْدِيَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Disebutkan dalam riwayat, bahwa Syaikh Taqiyuddin, setiap kali menemui kesulitan dalam memahami suatu masalah, beliau pergi ke masjid-masjid yang sepi dan terbengkalai. Karena masjid itu tetap termasuk rumah Allah, walaupun terbengkalai. Di sana tidak ada siapa-siapa, sehingga bisa lebih dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seseorang akan selalu lebih dekat kepada Allah apabila ia jauh dari pandangan manusia. Karena itu, ibadah yang paling terasa nikmat bagi seseorang adalah ibadah-ibadah tersembunyi, seperti Shalat Malam, zakat yang dikeluarkan secara sembunyi-sembunyi, dan menundukkan pandangan dari hal yang diharamkan. Semua ini disebutkan dalam hadis bahwa ia dapat mendatangkan kenikmatan ibadah. Maka Syaikh Taqiyuddin pun biasa datang ke masjid-masjid yang terbengkalai itu. Lalu beliau memperbanyak sujud dan berdoa penuh ketundukan: “Ya Allah, wahai Zat yang mengajarkan Adam, ajarilah aku. Wahai Zat yang memberi pemahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku.” Syaikh Taqiyuddin juga mengatakan dalam salah satu kitabnya, yaitu dalam sebuah risalahnya yang membahas tafsir ayat-ayat tentang riba. Beliau berkata, “Perkataan yang aku tulis ini kutulis setelah doa yang panjang penuh harap kepada Allah ‘Azza wa Jalla setelah doa yang panjang kepada-Nya agar Allah memberiku petunjuk.” ==== جَاءَ أَنَّ الشَّيْخَ تَقِيَّ الدِّينِ كَانَتْ إِذَا أَشْكَلَتْ عَلَيْهِ الْمَسْأَلَةُ ذَهَبَ إِلَى الْمَسَاجِدِ الْمَهْجُورَةِ لِأَنَّهَا بَيْتٌ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ وَمَهْجُورَةٌ لَيْسَ فِيهَا أَحَدٌ فَيَكُونُ الْمَرْءُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا الْوَاحِدُ يَكُونُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا كَانَ بَعِيدًا عَنِ الْأَعْيُنِ وَلِذَلِكَ دَائِمًا الْعِبَادَاتُ الَّتِي يَجِدُ فِيهَا الْمَرْءُ لَذَّةً مَا كَانَتْ مِنْ عِبَادَاتِ السِّرّ قِيَامِ اللَّيْلِ الزَّكَاةِ الَّتِي يُنْفِقُهَا الْمَرْءُ فِي سِرِّهِ النَّظَرِ غَضِّ الْبَصَرِ فِي النَّظَرِ كُلُّهَا جَاءَتْ فِي الأَحَادِيْثِ بِأَنَّ فِيهَا كَسْبًا لِلَذَّةِ الْعِبَادَةِ فَكَانَ يَأْتِي هَذِهِ الْمَسَاجِدَ الْمَهْجُورَةَ وَيُكْثِرُ مِنَ السُّجُودِ وَالتَّضَرُّعِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ يَا مُعَلِّمَ آدَمَ عَلِّمْنِي وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِي وَيَقُولُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ أَيْضًا فِي كِتَابِهِ لَهُ رِسَالَةٌ فِي فِي تَفْسِيرِ آيَاتِ الرِّبَا قَالَ وَهَذَا الْكَلَامُ الَّذِي كَتَبْتُهُ كَتَبْتُهُ بَعْدَ طُولِ تَضَرُّعٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طُولِ تَضَرُّعٍ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَنْ يَهْدِيَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ


Disebutkan dalam riwayat, bahwa Syaikh Taqiyuddin, setiap kali menemui kesulitan dalam memahami suatu masalah, beliau pergi ke masjid-masjid yang sepi dan terbengkalai. Karena masjid itu tetap termasuk rumah Allah, walaupun terbengkalai. Di sana tidak ada siapa-siapa, sehingga bisa lebih dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seseorang akan selalu lebih dekat kepada Allah apabila ia jauh dari pandangan manusia. Karena itu, ibadah yang paling terasa nikmat bagi seseorang adalah ibadah-ibadah tersembunyi, seperti Shalat Malam, zakat yang dikeluarkan secara sembunyi-sembunyi, dan menundukkan pandangan dari hal yang diharamkan. Semua ini disebutkan dalam hadis bahwa ia dapat mendatangkan kenikmatan ibadah. Maka Syaikh Taqiyuddin pun biasa datang ke masjid-masjid yang terbengkalai itu. Lalu beliau memperbanyak sujud dan berdoa penuh ketundukan: “Ya Allah, wahai Zat yang mengajarkan Adam, ajarilah aku. Wahai Zat yang memberi pemahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku.” Syaikh Taqiyuddin juga mengatakan dalam salah satu kitabnya, yaitu dalam sebuah risalahnya yang membahas tafsir ayat-ayat tentang riba. Beliau berkata, “Perkataan yang aku tulis ini kutulis setelah doa yang panjang penuh harap kepada Allah ‘Azza wa Jalla setelah doa yang panjang kepada-Nya agar Allah memberiku petunjuk.” ==== جَاءَ أَنَّ الشَّيْخَ تَقِيَّ الدِّينِ كَانَتْ إِذَا أَشْكَلَتْ عَلَيْهِ الْمَسْأَلَةُ ذَهَبَ إِلَى الْمَسَاجِدِ الْمَهْجُورَةِ لِأَنَّهَا بَيْتٌ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ وَمَهْجُورَةٌ لَيْسَ فِيهَا أَحَدٌ فَيَكُونُ الْمَرْءُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَائِمًا الْوَاحِدُ يَكُونُ أَقْرَبَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا كَانَ بَعِيدًا عَنِ الْأَعْيُنِ وَلِذَلِكَ دَائِمًا الْعِبَادَاتُ الَّتِي يَجِدُ فِيهَا الْمَرْءُ لَذَّةً مَا كَانَتْ مِنْ عِبَادَاتِ السِّرّ قِيَامِ اللَّيْلِ الزَّكَاةِ الَّتِي يُنْفِقُهَا الْمَرْءُ فِي سِرِّهِ النَّظَرِ غَضِّ الْبَصَرِ فِي النَّظَرِ كُلُّهَا جَاءَتْ فِي الأَحَادِيْثِ بِأَنَّ فِيهَا كَسْبًا لِلَذَّةِ الْعِبَادَةِ فَكَانَ يَأْتِي هَذِهِ الْمَسَاجِدَ الْمَهْجُورَةَ وَيُكْثِرُ مِنَ السُّجُودِ وَالتَّضَرُّعِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ يَا مُعَلِّمَ آدَمَ عَلِّمْنِي وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِي وَيَقُولُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ أَيْضًا فِي كِتَابِهِ لَهُ رِسَالَةٌ فِي فِي تَفْسِيرِ آيَاتِ الرِّبَا قَالَ وَهَذَا الْكَلَامُ الَّذِي كَتَبْتُهُ كَتَبْتُهُ بَعْدَ طُولِ تَضَرُّعٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طُولِ تَضَرُّعٍ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَنْ يَهْدِيَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912

Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912
Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912


Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912

Apakah Sekolah Termasuk Nafkah?

Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 195 times, 1 visit(s) today Post Views: 193 QRIS donasi Yufid

Apakah Sekolah Termasuk Nafkah?

Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 195 times, 1 visit(s) today Post Views: 193 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 195 times, 1 visit(s) today Post Views: 193 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 195 times, 1 visit(s) today Post Views: 193 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Apakah Tuyul Itu Benar Adanya?

Pertanyaan: Ustadz, apakah tuyul itu benar adanya? Saya mendengar cerita dari teman saya bahwa uangnya hilang sendiri di rumah. Padahal di simpan di dalam lemari yang terkunci. Mohon penjelasannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalaah, amma ba’du, Tuyul adalah makhluk dari golongan jin yang diyakini oleh masyarakat kita bahwa dia suka mencuri uang manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa tuyul adalah makhluk halus yang konon berupa bocah berkepala gundul, dapat diperintah oleh orang yang memeliharanya untuk mencuri uang dan sebagainya. Bahwa tuyul itu berkepala gundul atau berupa anak kecil, wallahu a’lam, ini belum tentu benar. Karena sifat jin memang bisa menampakkan diri dalam bentuk lain. Maka bisa jadi ia berbentuk demikian atau berbentuk lain. Namun tentang adanya jin yang suka mencuri harta manusia, maka ini benar adanya. Sebagaimana adanya manusia yang suka mencuri harta manusia.  Dalam Shahih Al-Bukhari, dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: وَكَّلَنِي رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فأخَذْتُهُ وقُلتُ: واللَّهِ لَأَرْفَعَنَّكَ إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وعَلَيَّ عِيَالٌ، ولِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، قَالَ: فَخَلَّيْتُ عنْه، فأصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا أبَا هُرَيْرَةَ، ما فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟ قَالَ: قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وعِيَالًا، فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إنَّه قدْ كَذَبَكَ، وسَيَعُودُ “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menugaskan aku untuk menjaga harta zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada sosok yang datang, kemudian ia menumpahkan makanan zakat dan berusaha mencurinya. Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Lalu ia berkata, “Aku ini benar-benar dalam keadaan terdesak. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.” Abu Hurairah berkata, “Aku membiarkannya.” Lantas di pagi hari, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengeluh kepadaku bahwa dia dalam keadaan butuh dan ia juga memiliki keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.” Hadis yang panjang. Di akhir hadis, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَالَ: ذَاكَ شَيطانٌ “Ketahuilah bahwa dia adalah setan“ (HR. Al-Bukhari no. 2311). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah ketika menjelaskan faedah hadis di atas: وَأَنَّهُمْ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامِ الْإِنْسِ، وَأَنَّهُمْ يَسْرِقُونَ وَيَخْدَعُونَ “Bahwa para jin bisa bicara seperti cara bicara manusia. Dan mereka bisa mencuri dan menipu.” (Fathul Bari, 4/489). Maka jin yang biasa mencuri harta manusia itu memang ada. Namun, perlu diingat bahwa jin juga terkena beban syariat. Sehingga ketika ia mencuri harta manusia, ia berdosa dan terancam masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada yang taat dan ada (pula) yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun mereka yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Al-Jin: 14-15). Tidak perlu takut serta was-was harta kita akan dicuri oleh jin. Selama seseorang terbiasa berzikir kepada Allah, maka jin tidak bisa mengganggunya. Amalkan zikir pagi-sore, zikir masuk-keluar kamar mandi, zikir sebelum-sesudah makan, zikir hendak dan bangun tidur, membaca Al-Qur’an dan zikir rutin yang lain. Karena zikir adalah pelindung yang kuat dari gangguan jin dan sihir. Dalam sebuah hadis yang panjang dari Al-Harits Al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لاَ يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلاَّ بِذِكْرِ اللَّهِ “Aku memerintahkan kalian untuk banyak berzikir. Semisal dengan seseorang yang sedang dikejar musuhnya dengan cepat. Hingga akhirnya ia mendatangi benteng yang kokoh, maka benteng tersebut pun menjaga dirinya dari musuh-musuhnya. Demikian juga seorang hamba, ia tidak ada yang bisa menjaga diri seorang hamba kecuali berzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Yang paling tidak boleh dilupakan adalah membaca zikir ketika masuk rumah dan menutup pintu dengan basmalah. Maka jin tidak akan bisa masuk dan tidak akan menginap di rumah. Dengan mengucapkan salam ketika masuk rumah, setan tidak akan menginap di sana. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ، وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ، فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Jika seseorang memasuki rumahnya, maka hendaknya berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah dan juga ketika ia makan (di rumah). Maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makanan bagi kalian.’ Jika seseorang memasuki rumahnya, tanpa berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap bagi kalian.’ Dan jika ia tidak berzikir ketika mau makan, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap dan ada makanan untuk kalian.’” (HR. Muslim no. 2018).  Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا “Jika hari mulai gelap tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, maka biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup.” (HR. Al-Bukhari no. 3280, Muslim no. 5218). Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 363 times, 2 visit(s) today Post Views: 339 QRIS donasi Yufid

Apakah Tuyul Itu Benar Adanya?

Pertanyaan: Ustadz, apakah tuyul itu benar adanya? Saya mendengar cerita dari teman saya bahwa uangnya hilang sendiri di rumah. Padahal di simpan di dalam lemari yang terkunci. Mohon penjelasannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalaah, amma ba’du, Tuyul adalah makhluk dari golongan jin yang diyakini oleh masyarakat kita bahwa dia suka mencuri uang manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa tuyul adalah makhluk halus yang konon berupa bocah berkepala gundul, dapat diperintah oleh orang yang memeliharanya untuk mencuri uang dan sebagainya. Bahwa tuyul itu berkepala gundul atau berupa anak kecil, wallahu a’lam, ini belum tentu benar. Karena sifat jin memang bisa menampakkan diri dalam bentuk lain. Maka bisa jadi ia berbentuk demikian atau berbentuk lain. Namun tentang adanya jin yang suka mencuri harta manusia, maka ini benar adanya. Sebagaimana adanya manusia yang suka mencuri harta manusia.  Dalam Shahih Al-Bukhari, dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: وَكَّلَنِي رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فأخَذْتُهُ وقُلتُ: واللَّهِ لَأَرْفَعَنَّكَ إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وعَلَيَّ عِيَالٌ، ولِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، قَالَ: فَخَلَّيْتُ عنْه، فأصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا أبَا هُرَيْرَةَ، ما فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟ قَالَ: قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وعِيَالًا، فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إنَّه قدْ كَذَبَكَ، وسَيَعُودُ “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menugaskan aku untuk menjaga harta zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada sosok yang datang, kemudian ia menumpahkan makanan zakat dan berusaha mencurinya. Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Lalu ia berkata, “Aku ini benar-benar dalam keadaan terdesak. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.” Abu Hurairah berkata, “Aku membiarkannya.” Lantas di pagi hari, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengeluh kepadaku bahwa dia dalam keadaan butuh dan ia juga memiliki keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.” Hadis yang panjang. Di akhir hadis, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَالَ: ذَاكَ شَيطانٌ “Ketahuilah bahwa dia adalah setan“ (HR. Al-Bukhari no. 2311). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah ketika menjelaskan faedah hadis di atas: وَأَنَّهُمْ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامِ الْإِنْسِ، وَأَنَّهُمْ يَسْرِقُونَ وَيَخْدَعُونَ “Bahwa para jin bisa bicara seperti cara bicara manusia. Dan mereka bisa mencuri dan menipu.” (Fathul Bari, 4/489). Maka jin yang biasa mencuri harta manusia itu memang ada. Namun, perlu diingat bahwa jin juga terkena beban syariat. Sehingga ketika ia mencuri harta manusia, ia berdosa dan terancam masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada yang taat dan ada (pula) yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun mereka yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Al-Jin: 14-15). Tidak perlu takut serta was-was harta kita akan dicuri oleh jin. Selama seseorang terbiasa berzikir kepada Allah, maka jin tidak bisa mengganggunya. Amalkan zikir pagi-sore, zikir masuk-keluar kamar mandi, zikir sebelum-sesudah makan, zikir hendak dan bangun tidur, membaca Al-Qur’an dan zikir rutin yang lain. Karena zikir adalah pelindung yang kuat dari gangguan jin dan sihir. Dalam sebuah hadis yang panjang dari Al-Harits Al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لاَ يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلاَّ بِذِكْرِ اللَّهِ “Aku memerintahkan kalian untuk banyak berzikir. Semisal dengan seseorang yang sedang dikejar musuhnya dengan cepat. Hingga akhirnya ia mendatangi benteng yang kokoh, maka benteng tersebut pun menjaga dirinya dari musuh-musuhnya. Demikian juga seorang hamba, ia tidak ada yang bisa menjaga diri seorang hamba kecuali berzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Yang paling tidak boleh dilupakan adalah membaca zikir ketika masuk rumah dan menutup pintu dengan basmalah. Maka jin tidak akan bisa masuk dan tidak akan menginap di rumah. Dengan mengucapkan salam ketika masuk rumah, setan tidak akan menginap di sana. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ، وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ، فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Jika seseorang memasuki rumahnya, maka hendaknya berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah dan juga ketika ia makan (di rumah). Maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makanan bagi kalian.’ Jika seseorang memasuki rumahnya, tanpa berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap bagi kalian.’ Dan jika ia tidak berzikir ketika mau makan, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap dan ada makanan untuk kalian.’” (HR. Muslim no. 2018).  Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا “Jika hari mulai gelap tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, maka biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup.” (HR. Al-Bukhari no. 3280, Muslim no. 5218). Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 363 times, 2 visit(s) today Post Views: 339 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, apakah tuyul itu benar adanya? Saya mendengar cerita dari teman saya bahwa uangnya hilang sendiri di rumah. Padahal di simpan di dalam lemari yang terkunci. Mohon penjelasannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalaah, amma ba’du, Tuyul adalah makhluk dari golongan jin yang diyakini oleh masyarakat kita bahwa dia suka mencuri uang manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa tuyul adalah makhluk halus yang konon berupa bocah berkepala gundul, dapat diperintah oleh orang yang memeliharanya untuk mencuri uang dan sebagainya. Bahwa tuyul itu berkepala gundul atau berupa anak kecil, wallahu a’lam, ini belum tentu benar. Karena sifat jin memang bisa menampakkan diri dalam bentuk lain. Maka bisa jadi ia berbentuk demikian atau berbentuk lain. Namun tentang adanya jin yang suka mencuri harta manusia, maka ini benar adanya. Sebagaimana adanya manusia yang suka mencuri harta manusia.  Dalam Shahih Al-Bukhari, dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: وَكَّلَنِي رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فأخَذْتُهُ وقُلتُ: واللَّهِ لَأَرْفَعَنَّكَ إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وعَلَيَّ عِيَالٌ، ولِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، قَالَ: فَخَلَّيْتُ عنْه، فأصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا أبَا هُرَيْرَةَ، ما فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟ قَالَ: قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وعِيَالًا، فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إنَّه قدْ كَذَبَكَ، وسَيَعُودُ “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menugaskan aku untuk menjaga harta zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada sosok yang datang, kemudian ia menumpahkan makanan zakat dan berusaha mencurinya. Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Lalu ia berkata, “Aku ini benar-benar dalam keadaan terdesak. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.” Abu Hurairah berkata, “Aku membiarkannya.” Lantas di pagi hari, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengeluh kepadaku bahwa dia dalam keadaan butuh dan ia juga memiliki keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.” Hadis yang panjang. Di akhir hadis, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَالَ: ذَاكَ شَيطانٌ “Ketahuilah bahwa dia adalah setan“ (HR. Al-Bukhari no. 2311). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah ketika menjelaskan faedah hadis di atas: وَأَنَّهُمْ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامِ الْإِنْسِ، وَأَنَّهُمْ يَسْرِقُونَ وَيَخْدَعُونَ “Bahwa para jin bisa bicara seperti cara bicara manusia. Dan mereka bisa mencuri dan menipu.” (Fathul Bari, 4/489). Maka jin yang biasa mencuri harta manusia itu memang ada. Namun, perlu diingat bahwa jin juga terkena beban syariat. Sehingga ketika ia mencuri harta manusia, ia berdosa dan terancam masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada yang taat dan ada (pula) yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun mereka yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Al-Jin: 14-15). Tidak perlu takut serta was-was harta kita akan dicuri oleh jin. Selama seseorang terbiasa berzikir kepada Allah, maka jin tidak bisa mengganggunya. Amalkan zikir pagi-sore, zikir masuk-keluar kamar mandi, zikir sebelum-sesudah makan, zikir hendak dan bangun tidur, membaca Al-Qur’an dan zikir rutin yang lain. Karena zikir adalah pelindung yang kuat dari gangguan jin dan sihir. Dalam sebuah hadis yang panjang dari Al-Harits Al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لاَ يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلاَّ بِذِكْرِ اللَّهِ “Aku memerintahkan kalian untuk banyak berzikir. Semisal dengan seseorang yang sedang dikejar musuhnya dengan cepat. Hingga akhirnya ia mendatangi benteng yang kokoh, maka benteng tersebut pun menjaga dirinya dari musuh-musuhnya. Demikian juga seorang hamba, ia tidak ada yang bisa menjaga diri seorang hamba kecuali berzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Yang paling tidak boleh dilupakan adalah membaca zikir ketika masuk rumah dan menutup pintu dengan basmalah. Maka jin tidak akan bisa masuk dan tidak akan menginap di rumah. Dengan mengucapkan salam ketika masuk rumah, setan tidak akan menginap di sana. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ، وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ، فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Jika seseorang memasuki rumahnya, maka hendaknya berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah dan juga ketika ia makan (di rumah). Maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makanan bagi kalian.’ Jika seseorang memasuki rumahnya, tanpa berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap bagi kalian.’ Dan jika ia tidak berzikir ketika mau makan, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap dan ada makanan untuk kalian.’” (HR. Muslim no. 2018).  Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا “Jika hari mulai gelap tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, maka biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup.” (HR. Al-Bukhari no. 3280, Muslim no. 5218). Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 363 times, 2 visit(s) today Post Views: 339 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, apakah tuyul itu benar adanya? Saya mendengar cerita dari teman saya bahwa uangnya hilang sendiri di rumah. Padahal di simpan di dalam lemari yang terkunci. Mohon penjelasannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalaah, amma ba’du, Tuyul adalah makhluk dari golongan jin yang diyakini oleh masyarakat kita bahwa dia suka mencuri uang manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa tuyul adalah makhluk halus yang konon berupa bocah berkepala gundul, dapat diperintah oleh orang yang memeliharanya untuk mencuri uang dan sebagainya. Bahwa tuyul itu berkepala gundul atau berupa anak kecil, wallahu a’lam, ini belum tentu benar. Karena sifat jin memang bisa menampakkan diri dalam bentuk lain. Maka bisa jadi ia berbentuk demikian atau berbentuk lain. Namun tentang adanya jin yang suka mencuri harta manusia, maka ini benar adanya. Sebagaimana adanya manusia yang suka mencuri harta manusia.  Dalam Shahih Al-Bukhari, dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: وَكَّلَنِي رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فأخَذْتُهُ وقُلتُ: واللَّهِ لَأَرْفَعَنَّكَ إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وعَلَيَّ عِيَالٌ، ولِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، قَالَ: فَخَلَّيْتُ عنْه، فأصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا أبَا هُرَيْرَةَ، ما فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟ قَالَ: قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وعِيَالًا، فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إنَّه قدْ كَذَبَكَ، وسَيَعُودُ “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menugaskan aku untuk menjaga harta zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada sosok yang datang, kemudian ia menumpahkan makanan zakat dan berusaha mencurinya. Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Lalu ia berkata, “Aku ini benar-benar dalam keadaan terdesak. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.” Abu Hurairah berkata, “Aku membiarkannya.” Lantas di pagi hari, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengeluh kepadaku bahwa dia dalam keadaan butuh dan ia juga memiliki keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.” Hadis yang panjang. Di akhir hadis, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَالَ: ذَاكَ شَيطانٌ “Ketahuilah bahwa dia adalah setan“ (HR. Al-Bukhari no. 2311). Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah ketika menjelaskan faedah hadis di atas: وَأَنَّهُمْ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامِ الْإِنْسِ، وَأَنَّهُمْ يَسْرِقُونَ وَيَخْدَعُونَ “Bahwa para jin bisa bicara seperti cara bicara manusia. Dan mereka bisa mencuri dan menipu.” (Fathul Bari, 4/489). Maka jin yang biasa mencuri harta manusia itu memang ada. Namun, perlu diingat bahwa jin juga terkena beban syariat. Sehingga ketika ia mencuri harta manusia, ia berdosa dan terancam masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada yang taat dan ada (pula) yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun mereka yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Al-Jin: 14-15). Tidak perlu takut serta was-was harta kita akan dicuri oleh jin. Selama seseorang terbiasa berzikir kepada Allah, maka jin tidak bisa mengganggunya. Amalkan zikir pagi-sore, zikir masuk-keluar kamar mandi, zikir sebelum-sesudah makan, zikir hendak dan bangun tidur, membaca Al-Qur’an dan zikir rutin yang lain. Karena zikir adalah pelindung yang kuat dari gangguan jin dan sihir. Dalam sebuah hadis yang panjang dari Al-Harits Al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لاَ يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلاَّ بِذِكْرِ اللَّهِ “Aku memerintahkan kalian untuk banyak berzikir. Semisal dengan seseorang yang sedang dikejar musuhnya dengan cepat. Hingga akhirnya ia mendatangi benteng yang kokoh, maka benteng tersebut pun menjaga dirinya dari musuh-musuhnya. Demikian juga seorang hamba, ia tidak ada yang bisa menjaga diri seorang hamba kecuali berzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Yang paling tidak boleh dilupakan adalah membaca zikir ketika masuk rumah dan menutup pintu dengan basmalah. Maka jin tidak akan bisa masuk dan tidak akan menginap di rumah. Dengan mengucapkan salam ketika masuk rumah, setan tidak akan menginap di sana. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ، وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ، فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Jika seseorang memasuki rumahnya, maka hendaknya berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah dan juga ketika ia makan (di rumah). Maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makanan bagi kalian.’ Jika seseorang memasuki rumahnya, tanpa berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk rumah, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap bagi kalian.’ Dan jika ia tidak berzikir ketika mau makan, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya): ‘Ada tempat menginap dan ada makanan untuk kalian.’” (HR. Muslim no. 2018).  Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا “Jika hari mulai gelap tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, maka biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup.” (HR. Al-Bukhari no. 3280, Muslim no. 5218). Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 363 times, 2 visit(s) today Post Views: 339 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Hibah (Bag. 1): Perbedaan Antara Hibah, Hadiah, dan Sedekah

Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 1): Perbedaan Antara Hibah, Hadiah, dan Sedekah

Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaPengertian hibah menurut istilah fikihAntara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Pensyariatan hibahDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahDalil ijma’Pengertian hibahPengertian hibah menurut bahasaHibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ “Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)Pengertian hibah menurut istilah fikihAdapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)Pensyariatan hibahPensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.Dalil Al-Qur’anAllah Ta’ala berfirman,فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.Dalil As-SunnahBanyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,تهادوا تحابوا“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)Dalil ijma’Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.[Bersambung]Baca juga: Perbedaan Hibah dan Wasiat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Tanda Allah Ingin Kebaikan pada Seseorang – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا

Tanda Allah Ingin Kebaikan pada Seseorang – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا


“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menggunakannya (untuk kebaikan).” Demikian disebutkan dalam hadis. Allahlah yang menggunakanmu untuk berada di atas hidayah dan agama Islam. Apabila Anda diberi petunjuk untuk memahami dan mengamalkan makna lā ilāha illallāh, dan Anda memahami bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan yang lurus, maka ini adalah taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka merasa berjasa kepadamu (Muhammad) dengan keislaman mereka…” “Katakanlah: ‘Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislaman kalian. Justru Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada iman…’” (QS. Al-Ḥujurāt: 17) Allahlah Sang Pemberi Petunjuk. Demi Allah! Tidaklah Anda atau orang lain yang punya jasa kepada dirimu, kecuali semua itu karunia dari Allah semata. Allahlah yang memilih kita untuk menjadi muslim. Padahal banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kuat secara fisik dari kita, tetapi mereka tidak beriman. Begitu pula, hanya Allah yang memberi petunjuk kepada sebagian kaum muslimin, agar mereka meraih derajat yang tinggi dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya surga itu bertingkat-tingkat, sebagaimana neraka juga demikian. Maka Allah memberi keutamaan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam beberapa hal. “Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS. An-Naḥl: 71) Di antara rezeki terbesar adalah hidayah. Di antara rezeki terbesar adalah ilmu. Di antara rezeki terbesar adalah ibadah. Barulah rezeki-rezeki lainnya datang setelah itu. ==== مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يَسْتَعْمِلْهُ هَكَذَا جَاءَ الْحَدِيثُ اللَّهُ الَّذِي يَسْتَعْمِلُكَ عَلَى الْهُدَى وَالدِّيْنِ إِذَا هُدِيْتَ لِمَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَعَرَفْتَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّرِيقَةَ الْمُسْتَقِيمَ فَهَذَا مِنْ تَوْفِيقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ اللَّهُ الْهَادِي وَاللَّهِ لَا فَضْلَ لَكَ عَلَى نَفْسَكَ وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَيْكَ إِلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي اخْتَارَنَا لِنَكُونَ مُسْلِمِيْنَ وَأُنَاسٌ أَذْكَى مِنَّا وَأُنَاسٌ أَقْوَى مِنَّا أَبْدَانًا لَمْ يَكُونُوا مُسْلِمِيْنَ وَمِثْلُ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي هَدَى بَعْضَ الْمُسْلِمِيْنَ لِيَكُونُوا فِي دَرَجَةٍ عَالِيَةٍ بِالِالْتِزَام بِسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ الْجَنَّةَ دَرَجَاتٌ كَمَا أَنَّ النَّارَ دَرَكَاتٌ فَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَ النَّاسِ بِأَشْيَاءَ دُونَ أَشْيَاءَ وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْهِدَايَةُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِلْمُ مِنْ أَعْظَمِ الرِّزْقِ الْعِبَادَةُ ثُمَّ تَأْتِي الْأَرْزَاقُ بَعْدَهَا

Hadis: Apakah Talak Merupakan Perkara yang Allah Benci?

Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Apakah Talak Merupakan Perkara yang Allah Benci?

Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi ToggleTeks hadisDerajat hadisKandungan hadisTeks hadisDari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).”Derajat hadisHadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab At-Talaq, pada bab “Mengenai Makruhnya Talak” (no. 2178), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2018), melalui jalur Muhammad bin Khalid al-Wahbi, dari ‘Ubaidullah bin al-Walid, dari Muharib, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfū‘ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).Ini adalah sanad Abu Dawud, namun dengan perbedaan: Ma‘rif bin Washil diganti oleh ‘Ubaidullah bin al-Walid. Maka bisa jadi ini adalah kesalahan dari sebagian perawi, atau bisa juga Muhammad bin Khalid meriwayatkannya dari dua guru yang berbeda.Akan tetapi, sanad riwayat Ibnu Majah sangat lemah (dha’if jiddan), karena ‘Ubaidullah bin al-Walīd tergolong perawi yang sangat lemah, terutama dalam riwayat dari Muharib. Al-Hakim rahimahullah berkata tentangnya, “Ia meriwayatkan hadis-hadis yang palsu dari Muharib.” [1]Dengan demikian, riwayat Ibnu Majah tidak dapat menguatkan riwayat Abu Dawud yang bersambung sanadnya.Hadis ini juga diriwayatkan secara mursal. Abu Dawud meriwayatkannya (no. 2177) melalui jalur Ahmad bin Yunus, dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad ini para perawinya terpercaya, namun hadis ini berstatus mursal, karena Muharib bin Ditsar adalah seorang tabi’in, yakni tidak bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnu Abi Syaibah (5: 253) juga meriwayatkannya melalui jalur Waki‘ bin al-Jarrah, dan al-Baihaqi (7: 322) dari Yahya bin Bukayr — keduanya dari Ma‘rif bin Washil, dari Muharib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam — secara mursal.Ahmad, Yahya, dan Waki‘ lebih kuat (tsiqah) dibanding Muhammad bin Khalid al-Wahbi; bahkan Waki‘ saja sudah lebih unggul dari Muhammad. Oleh karena itu, riwayat mursal lebih kuat dibanding riwayat yang bersambung (maushul), namun lemah sanadnya.Pendapat bahwa hadis ini mursal juga dikuatkan oleh para ulama ahli hadis seperti:Abu Hatim, sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Ilal (1: 431),Ad-Daraquthnî, dalam Al-‘Ilal (13: 225),Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra,Demikian pula oleh Al-Khattabi dan Al-Mundziri. [2]Baca juga: Hukum Talak dengan Sekedar NiatKandungan hadisPara ulama fikih berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan bahwa talak (perceraian) merupakan perkara yang tidak Allah cintai. Hal ini karena terdapat mafasid (bahaya atau kerusakan) dan mudarat terhadap hak suami istri dan anak-anak. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menjauhi talak sebisa mungkin.Penyifatan talak sebagai sesuatu yang halal, tidak menafikan bahwa ia dibenci (makruh). Bahkan, redaksi hadis menunjukkan bahwa talak itu makruh, seandainya bukan karena Allah Ta’ala mensyariatkannya demi maslahat dan hikmah yang lebih besar daripada keburukannya sebagai sesuatu yang dibenci. Ibnu Al-Mulaqin rahimahullah menyebutkan bahwa makruh yang dimaksud adalah jika talak tersebut tanpa sebab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melakukan talak. [3]Talak, ketika dibutuhkan, adalah nikmat yang besar dan karunia yang agung. Dengan adanya talak, seseorang (suami atau istri) dapat terbebas dari hubungan yang pahit dan berpisah dari orang yang tidak ada kebaikan kalau tetap bersamanya, baik karena akhlaknya yang buruk, lemahnya agama, atau sebab-sebab lain yang menimbulkan kegelisahan dalam kehidupan dan kesengsaraan dalam kebersamaan.Sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat tentang iilā’ (sumpah untuk tidak menggauli istri),فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tetapi jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)Bahwa talak bukanlah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Sebab, Allah mendahulukan ‘rujuk’ (yaitu suami kembali menggauli istrinya) daripada talak, dan menutupnya dengan dua nama-Nya yang menunjukkan ampunan dan rahmat, sebagai isyarat bahwa rujuk lebih Allah cintai daripada talak. Sementara talak ditutup dengan dua nama-Nya yang mengandung makna ancaman, yaitu As-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-‘Alīm (Maha Mengetahui). [4] Islam telah mensyariatkan talak dalam batas-batas tertentu dan menetapkan aturan (kaidah) yang jelas. Islam menjadikannya sebagai tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah antara suami dan istri. Jika kaum muslimin memahaminya sebagaimana mestinya, maka talak akan berada pada tempatnya yang tepat, yaitu menjadi solusi yang terbaik dan tidak menimbulkan penyesalan ataupun dosa. [5]Namun, yang patut disayangkan adalah maraknya kasus talak, terutama di kalangan pemuda, sebagai akibat dari sikap tergesa-gesa, kurangnya pertimbangan yang matang dari berbagai sisi, dan tidak memikirkan akibat dari suatu keputusan. Mereka bercerai karena hal sepele, dan persoalan menjadi lebih besar apabila mereka menceraikan wanita yang mereka cintai, atau yang telah melahirkan anak-anak yang membutuhkan pengasuhannya.Ketika Islam mensyariatkan talak, Islam mempersempit jalannya, baik dari segi waktu maupun jumlah. Talak tidak disyariatkan kecuali pada masa suci (bukan haid atau nifas) ketika suami belum menggauli istrinya; atau dalam kondisi istri sedang hamil. Adapun jika talak dijatuhkan saat haid; nifas; atau masa suci yang di dalamnya telah terjadi hubungan suami istri; maka Islam melarang talak pada waktu-waktu tersebut.Selain itu, suami hanya boleh menjatuhkan satu talak. Setelah menjatuhkannya, Allah Ta’ala melarang suami mengusir istrinya dari rumah, dan melarang istri keluar dari rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan pula mereka keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)Yaitu perbuatan keji seperti zina atau selainnya.Hikmahnya —dan Allah lebih mengetahui— adalah bahwa keberadaan istri di rumah suami lebih memungkinkan untuk munculnya rasa sayang, lebih memudahkan untuk rujuk, dan lebih menjaga kehormatannya. Wallahu Ta’ala a‘lam. [6, 7]Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak”***@Unayzah, KSA; 27 Zulhijah 1446/ 23 Juni 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 7: 50.[2] At-I’lam, 8: 341.[3] At-Talkhis, 3: 232; Ma’alim As-Sunan, 3: 92.[4] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 175; Asy-Syarh Al-Mumti’, 13: 8.[5] Al-Furqatu baina az-Zaujain, hal. 23.[6] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 157-158.[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 509-512). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Obat Tenang dari Langit – Syaikh Shalih Alu Syaikh #NasehatUlama

Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ

Obat Tenang dari Langit – Syaikh Shalih Alu Syaikh #NasehatUlama

Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ
Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ


Ada pula obat lain yang bersifat batiniah, yang merupakan salah satu tingkatan dari keyakinan dan keimanan. Yaitu tingkatan sakinah (ketenangan hati). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarij As-Salikin. Beliau berkata, “Aku pernah dilanda kesulitan.” Siapa yang mengatakan ini? Seorang ulama besar yang telah membantah semua kelompok, agama, dan aliran yang menyelisihi sunnah. Beliau berkata, “Aku dilanda kesulitan dalam pikiran dan berbagai hal yang datang silih berganti dalam benakku Aku khawatir berbagai hal itu membahayakan diriku.” Itu diucapkan oleh Ibnu Taimiyah! Beliau lalu berkata, “Sampai akhirnya aku meminta orang-orang di sekitarku untuk membacakan ayat-ayat tentang sakinah (ketenangan).” Yaitu yang terdapat dalam surah Al-Fath dan surah-surah lainnya. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4) Ibnu Taimiyah menceritakan, “Mereka terus membacakannya hingga jiwaku menjadi tenang.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Aku pun pernah merasakan hal yang berat lalu aku membaca ayat-ayat ketenangan, hingga jiwaku menjadi tenteram.” Para ulama berkata bahwa sakinah adalah tingkatan hati berupa ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Jika seseorang merasa gelisah, ditimpa kegelisahan, dan ketakutan, maka ia akan menjauh dari Allah. Namun jika ia tenang, maka ia akan merasa damai bersama Allah. Oleh karena itu, tanamkan dalam dirimu untuk hidup dengan sakinah, agar kamu dapat merasakan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila kamu telah merasa damai bersama Allah, maka Allah akan membukakan bagimu jalan kemudahan dalam menghadapi segala sesuatu. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin…” (QS. Al-Fath: 4) Sakinah adalah ketenangan, kenyamanan, kejernihan batin, dan kedamaian jiwa, serta kewibawaan yang menyertainya. “…untuk menambah keimanan atas keimanan mereka yang telah ada…” (QS. Al-Fath: 4)Ayat ini turun ketika timbul rasa takut saat menghadapi orang-orang musyrik setelah Perdamaian Hudaibiyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada mereka yang merasa takut, lalu memohon ketenangan, maka sakinah pun turun kepada mereka. Ayat itu diturunkan kepada orang-orang mukmin, di mana Allah berfirman: “…Milik Allah seluruh bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4) Artinya, tentara langit dan bumi itu milik siapa? Milik Allah Jalla wa ‘Ala. Siapa yang memberi pertolongan? Dialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kamu tidak mengetahui hal gaib, maka janganlah takut terhadap yang gaib. Segala sesuatu ada di tangan Allah Jalla wa ‘Ala. Dialah yang menetapkannya, Maha Suci Allah lagi Maha Tinggi. Sakinah adalah tingkatan hati yang berisi ketenangan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Bacalah ayat-ayat sakinah (ketenangan) yang terdapat dalam surah Al-Fath, dan ulangilah berkali-kali. Ulangilah jika kamu diliputi rasa takut, baik terhadap dirimu maupun orang-orang di sekitarmu. Lalu carilah ilmu pengetahuan dan kedamaian bersama Allah Jalla wa ‘Ala — ilmu tentang-Nya dan kedamaian dengan-Nya. Dengan begitu, kamu akan merasakan kelapangan hati yang besar. Mari kita ingat firman Allah Jalla wa ‘Ala kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” (QS. Al-Hijr: 97) Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.” Juga dalam ayat lain, di akhir surah An-Nahl, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “…dan janganlah bersedih terhadap (kekufuran) mereka, dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127) “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Kebersamaan dari Allah ini — sebagaimana telah kita pelajari — adalah kebersamaan yang khusus, yakni dalam bentuk pertolongan dan dukungan dari Allah Jalla wa ‘Ala. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128) Namun Allah Jalla wa ‘Ala tetap menguji para hamba-Nya. Kadang Allah memperpanjang ujian itu atas mereka. Namun dalam ujian itu, tetap ada kebersamaan dengan Allah, dan kamu bisa beribadah kepada-Nya. Dengan kamu merasa damai bersama Allah, jiwamu akan merasa ketenangan bersama-Nya. Hatimu akan merasa tenang bersama Allah Jalla wa ‘Ala. Namun hatimu tetap dipenuhi dengan Islam dan semangat dalam membela kehormatannya. Di dalamnya ada cinta kepada Allah, ada rasa hormat kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ada pengagungan terhadap segala yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keseimbangan yang diperlukan, agar seorang mukmin menjadi pribadi yang memiliki kejernihan pandangan dan amal yang bermanfaat. ==== أَيْضًا هُنَاكَ عِلَاجٌ آخَرُ قَلْبِيٌّ وَهُوَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْيَقِينِ وَالْإِيمَانِ وَهِيَ مَنْزِلَةُ السَّكِينَةِ قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا نَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي مَدَارِجِ السَّالِكِينَ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ يَقُولُهَا مَنْ؟ الْعَالِمُ الْجَلِيلُ الَّذِي رَدَّ عَلَى كُلِّ الْفِئَاتِ الَّتِي خَالَفَتِ السُّنَّةَ وَالْمِلَلِ وَالنِّحَلِ قَالَ أَصَابَتْنِي شِدَّةٌ فِي أَفْكَارٍ وَأَشْيَاءَ تَرِدُ عَلَى ذِهْنِي خِفْتُ مِنْهَا عَلَى نَفْسِيْ يَقُولُهَا ابْنُ تَيْمِيَّةَ قَالَ حَتَّى أَمَرْتُ مَنْ حَوْلِي أَوْ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنِّي أَنْ يَقْرَأَ عَلَيَّ آيَاتِ السَّكِينَةَ يَعْنِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَفِي غَيْرِهَا هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ قَالَ فَلَمْ يَزَالُوا يَقْرَؤُونَهَا حَتَّى هَدَأَتْ نَفْسِيْ قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَجَاءَتْنِي شِدَّةٌ فَقَرَأْتُ آيَاتِ السَّكِينَةَ فَهَدَأَتْ نَفْسِي السَّكِينَةُ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ مَنْزِلَةٌ فِي الْقَلْبِ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْوَاحِدُ إِذَا قَلِقَ إِذَا أَصَابَهُ قَلَقٌ وَخَوْفٌ شَرَدَ عَنِ اللَّهِ لَكِنْ إِذَا اطْمَأَنَّ أَنِسَ بِاللَّهِ فَلِذَلِكَ وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى السَّكِينَةِ لِتَأْنَسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِذَا أَنِسْتَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَتَحَ عَلَيْكَ مِنْ حُسْنِ التَّعَامُلِ مَعَ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ السَّكِينَةُ هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالرَّاحَةُ وَالْبَصِيرَةُ وَأُنْسُ النَّفْسِ وَالْوَقَارُ الَّذِي يَكُونُ فِيهَا لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَمَّا كَانَ فِيهِ هُنَاكَ خَوْفٌ فِي الْمُوَاجَهَةِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لِمَنْ خَافَ ثُمَّ طَلَبَ السَّكِينَةَ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ وَنَزَلَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ قَالَ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا يَعْنِي جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لِمَنْ؟ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَنِ الَّذِي يَنْصُرُ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْغَيْبُ لَا تَعْلَمُهُ فَلَا تَخَفْ مِنَ الْغَيْبِ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى السَّكِينَةُ مَنْزِلَةٌ فِيهَا الطُّمَأْنِيْنَةُ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا اقْرَأْ آيَاتِ السَّكِينَةَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَكَرِّرْهَا كَرِّرْهَا إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنَ التَّخَوُّفِ عَلَيْكَ أَوْ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ ثُمَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَالأُنْسَ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَالأُنْسُ بِاللَّهِ فَإِنَّكَ سَيُصِيبُكَ انْشِرَاحٌ كَبِيرٌ نَتَذَكَّرُ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِنَبِيِّهِ وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى فِي آخِرِ سُورَةِ النَّحْلِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ الْمَعِيَّةُ هَذِهِ كَمَا تَعَلَّمْنَا هَذِهِ مَعِيَّةُ أَيْش؟ مَعِيَّةٌ خَاصَّةٌ بِالنَّصْرِ وَالتَّأْيِيدِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ لَكِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَبْتَلِي عِبَادَهُ يَبْتَلِيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ يُطِيلُ عَلَيْهِمْ لَكِنَّ الْمَعِيَّةَ التَّعَبُّدُ حَاصِلٌ لَكَ بِأَنْ تَأْنَسَ بِاللَّهِ تَسْكُنُ رُوحُكَ إِلَى اللَّهِ تَطْمَئِنُّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَلَكِنْ قَلْبُكَ فِيهِ الدِّيْنُ فِيهِ الْغَيْرَةُ فِيهِ الْحُبُّ لِلَّهِ فِيهِ تَوْقِيرٌ للَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِيهِ تَعْظِيمُ حُرُمَاتِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هَذَا التَّوَازُنُ مَطْلُوبٌ لِكَيْ يَكُونَ الْمُؤْمِنُ ذَا بَصِيرَةٍ وَذَا عَمَلٍ نَافِعٍ

Satu Ayat Saja Cukup untuk Menambah Iman & Mengubah Hidupmu! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ

Satu Ayat Saja Cukup untuk Menambah Iman & Mengubah Hidupmu! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ
“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ


“…dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 191) Yakni mereka merenungi dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Siapa yang menciptakannya? Untuk apa ia diciptakan? Mereka juga memikirkan kebesarannya, keluasannya, kesempurnaannya, dan berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di dalamnya. Mereka memikirkan makhluk-makhluk besar dan agung ini, wahai saudara-saudara! Langit beserta seluruh isinya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya. Betapa banyak tanda kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini! Seandainya orang yang berakal memikirkannya, niscaya cukup baginya memikirkan satu saja dari tanda-tanda kekuasaan-Nya hingga ia mendapatkan petunjuk darinya, mengenal siapa Tuhannya, dan mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan pada diri kalian, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adz-Zariyat: 21) Andai ia memikirkan dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa rahasia-rahasia dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, niscaya ia akan menyaksikan keajaiban. “Betapa mengherankan! Bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati, atau bagaimana bisa Dia diingkari padahal pada setiap gerakan dan diam, ada bukti kekuasaan-Nya. Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia-lah Yang Maha Esa.” Dalam segala hal terdapat tanda kekuasaan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Terpuji. Maka alangkah baiknya, wahai saudara-saudaraku, untuk memikirkan dan mengarahkan generasi muda agar gemar bertafakur. Karena berpikir dan merenung adalah nutrisi bagi hati dan penguat keyakinannya. Generasi muda kita saat ini, wahai saudara-saudara, sedang menghadapi gempuran pelemahan iman dalam perkara-perkara prinsipil dan hal-hal yang besar. Sementara orang-orang yang menebarkan keraguan itu, wahai saudara-saudara, tidak memiliki sedikit pun dasar pemikiran. Mereka tidak memiliki bukti, baik secara akal maupun dalil wahyu. Namun, tetap saja mereka mampu memengaruhi sebagian orang. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyasar generasi yang pikirannya kosong dari ilmu. Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu. Maka, dengan melemparkan syubhat kecil — yang bahkan tak layak disebut syubhat — orang-orang tetap mendengarnya. Hari ini, orang-orang cenderung gemar mendengar syubhat. Padahal semestinya, mereka sama sekali janganlah mendengarnya, sekalipun ia seorang penuntut ilmu. Namun jika seseorang terpapar syubhat, sedangkan ia tidak memiliki bekal ilmu sedikitpun, bisa jadi sebagian syubhat itu melekat di benaknya. Oleh sebab itu, anjuran kepada mereka untuk mencermati dan memikirkan tidak diragukan lagi dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka. Itulah sebabnya, di antara faktor terbesar bertambahnya iman adalah dengan memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat syar’iyah (Al-Qur’an). ==== وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَتَأَمَّلُونَ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ مَنْ الَّذِي خَلَقَهَا؟ وَلِمَاذَا خُلِقَتْ؟ وَعَظَمَتِهَا وَسَعَتِهَا وَإِتْقَانِهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْآيَاتِ يَتَفَكَّرُونَ فِي هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ الْهَائِلَةِ الْعَظِيمَةِ يَا إِخْوَانُ السَّمَاوَاتُ وَمَا فِيهَا وَالأَرَاضِيْنَ وَمَا عَلَيْهَا وَكَمْ مِنَ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لَوْ تَفَكَّرَ فِيهَا الْعَاقِلُ لَكَفَاهُ أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يَهْتَدِيَ بِهَا يَا إِخْوَانِي وَيَعْرِفَ بِهَا مَنْ رَبُّهُ وَمَا وَاجِبُهُ تِجَاهَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ يُفَكِّرُ فِي نَفْسِهِ أَوْ فَكَّرَ فِيمَا أَوْدَعَ اللَّهُ فِيهِ مِنَ الْأَسْرَارِ وَمِنَ الْآيَاتِ لَتَرَى فِيْهَا الْعَجَبَ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الِإلَهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَلِلَّهِ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَتَسْكِينَةٍ أَبَدًا شَاهِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَيَحْسُنُ يَا إِخْوَانِي التَّفَكُّرُ وتَوْجِيهُ الشَّبَابِ وَالنَّاشِئَةِ إِلَى التَّفَكُّرِ لِأَنَّ التَّفَكُّرَ وَالتَّذَكُّرَ غِذَاءٌ لِلْقَلْبِ وَإِقْنَاعٌ لِلْقَلْبِ شَبَابُنَا الْيَوْمَ يَتَعَرَّضُونَ يَا إِخْوَانِي لِلتَّشْكِيكِ فِي ثَوَابِتَ وَفِي أُمُورٍ كِبَارٍ وَلَيْسَ مَعَ مَنْ يُشَكِّكُونَهُمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ يَا إِخْوَانِي ذَرَّةُ فِكْرٍ لَيْسَ عِنْدَهُمْ دَلِيلٌ لَا مِنْ عَقْلٍ وَلَا مِنْ سَمْعٍ وَمَعَ ذَلِكَ يَسْتَهْوُونَ بَعْضَ النَّاسِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُمْ يُخَاطِبُونَ أُنَاسًا خَالِيَةً أَذْهَانُهُمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا لَهُمْ ذَرَّةُ عِلْمٍ فَيَطْرَحُ شُبْهَةً حَقِيرَةً مَا تَرْقَى حَتَّى إِلَى مُسْتَوَى الشُّبْهَةِ فَيَسْمَعُهَا النَّاسُ وَالْيَوْمَ النَّاسُ يَسْمَعُونَ الشُّبُهَاتِ وَكَانَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ أَلَّا يَسْمَعُوا أَصْلًا حَتَّى وَلَوْ كَانَ طَالِبُ عِلْمٍ وَلَكِنْ إِذَا تَعَرَّضَ لِلسَّمَاعِ وَكَانَ جَاهِلًا لَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ شَيْءٌ فَقَدْ يَعْلَقُ فِي ذِهْنِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ فَحَثُّهُمْ عَلَى النَّظَرِ وَالتَّفَكُّرِلَا شَكَّ يُقَوِّي ثِقَتَهُمْ وَإِيْمَانَهُمْ وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ التَّفَكُّرُ فِي الْآيَاتِ الْكَوْنِيَّةِ وَالْآيَاتِ الشَّرْعِيَّةِ

Takut Terkena Syirik

Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Takut Terkena Syirik

Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id
Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id


Bismillah.Di antara bab yang sangat penting dalam pembahasan tauhid adalah wajibnya seorang muslim merasa takut terjerumus dalam perbuatan atau keyakinan syirik. Hal ini telah dituangkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya dalam bab al-khouf minasy syirki; takut terhadap syirik.Bukanlah perkara yang sepele, sehingga seorang imam ahli tauhid sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ“Dan (Ibrahim berkata), ‘Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung/berhala …’” (QS. Ibrahim: 35)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif (bertauhid). Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 72; cet. Maktabah al-‘Ilmu)Demikianlah sifat orang yang saleh; ia khawatir jika dirinya tertimpa keburukan. Sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, “Manusia dahulu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir kalau-kalau aku terjerumus di dalamnya.” (Lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 48)Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya yang sangat masyhur Tsalatsah al-Ushul telah menjelaskan bahwa perintah terbesar dari Allah adalah tauhid, sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Sebelumnya, di dalam Kitab Tauhid-nya Syekh at-Tamimi juga membawakan dalil lain dari al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya untuk merasa takut akan bahaya syirik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang ada di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa’: 48)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu (sesembahan) tandingan, padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di MasyarakatOrang yang melakukan syirik, maka dia telah merusak ibadah dan keimanannya. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam al-Qawa’id al-Arba’ menegaskan, “Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah pasti merusaknya sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah (bersuci)…”Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)Di antara sebab yang mewajibkan kita untuk waspada dan khawatir terjerumus dalam syirik adalah karena di antara bentuk syirik itu ada yang samar atau tersembunyi.Salah seorang ulama senior di Madinah Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah dalam Ithaf al-Kiram al-Bararah bi Syarhi Nawaqidh al-Islam al-’Asyarah menjelaskan, “Syirik adalah dosa paling besar di antara bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah yang lain. Ia lebih samar dalam pandangan kita daripada bekas rayapan semut di dalam gelapnya malam di atas batu hitam. Oleh sebab itu, hendaklah kita waspada dari syirik. Terlebih lagi ia semakin tersebar luas semenjak abad keempat hijriah. Syirik ini tersebar di tengah umat dan kian bertambah hari demi hari.Anda bisa menjumpai di banyak negeri kaum muslimin kubah-kubah yang disembah, kubur-kubur yang diagungkan dan dipersembahkan nadzar untuk penghuninya, dipersembahkan sembelihan demi mereka selaku sekutu bagi Allah. Sumpah-sumpah pun disebutkan dengan menyebut nama mereka -penghuni kubur- dengan penuh keyakinan ketika keadaan terjepit dan kesusahan melanda.”Syirik adalah kezaliman terberat yang menjadi sebab tercabutnya rasa aman dan pudarnya hidayah. Syirik disebut sebagai kezaliman disebabkan pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Adakah kezaliman yang lebih berat daripada orang yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah? Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku, bahwa sesembahan kalian -yang benar- hanyalah satu sesembahan Yang Mahaesa. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.’” (QS. al-Kahfi: 110)Terlebih pada zaman kita sekarang ini sebab-sebab untuk terjerumus dalam syirik semakin banyak dan terbuka lebar. Sudah semestinya kita semakin waspada dan berhati-hati dari berbagai jerat dan jebakan setan yang akan mengantarkan manusia kepada jurang-jurang syirik dan kehancuran. Wal ‘iyadzu billaah…Baca juga: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan***Alhamdulillah, selesai disusun di Meja Ketua YPIA; Kamis, 17 Zulkaidah 1446Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Apakah Orang Junub Boleh Mengurus Pemakaman Jenazah?

Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam

Apakah Orang Junub Boleh Mengurus Pemakaman Jenazah?

Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam
Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam


Mengantarkan jenazah ke liang lahat adalah amalan mulia yang dianjurkan. Namun, ada yang bertanya: “Kalau sedang junub, bolehkah ikut memakamkan jenazah?” Banyak yang mengira mandi junub wajib sebelum mengikuti prosesi pemakaman.Artikel ini membahas hukum syariat bagi orang junub yang ikut memakamkan jenazah agar jelas dan tidak ragu lagi.Pertanyaan:Saya belum sempat mandi junub tetapi ikut mengurus pemakaman jenazah. Bagaimana hukum syariat tentang hal ini? Terima kasih.Jawaban:Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau. Amma ba’du:Tidak mengapa bagi seseorang yang sedang junub untuk ikut mengantar jenazah dan membantu pemakamannya. Hal ini karena tidak disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar maupun kecil dalam prosesi mengikuti jenazah ataupun memakamkannya. Adapun yang disyaratkan untuk bersuci dari kedua jenis hadats itu hanyalah ketika hendak shalat jenazah.Mungkin penanya yang mulia sedikit bingung dengan riwayat berikut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: فَانْزِلْ، قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَاArtinya:“Kami ikut menyaksikan pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat kuburan. Aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata. Kemudian beliau bersabda: ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berhubungan (jimak)?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bersabda, ‘Turunlah.’ Maka Abu Thalhah pun turun ke dalam kuburan untuk memakamkannya.”Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau “لم يُقَارِفِ”. Ada yang menafsirkan “tidak berbuat dosa” dan ada pula yang memahami maknanya sebagai “tidak berjima‘ (berhubungan suami-istri) pada malam itu.”Jika maknanya adalah yang kedua, tetap saja hadits ini tidak menunjukkan bahwa bersuci dari hadats besar menjadi syarat bagi orang yang hendak ikut memakamkan jenazah. Paling jauh maknanya adalah disunnahkan bagi orang yang turun ke liang lahat untuk memakamkan jenazah agar ia tidak dalam keadaan baru saja berjima‘. Hikmah dari hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, adalah supaya ia dalam kondisi jauh dari syahwat ketika mengurusi pemakaman, sehingga hatinya lebih khusyuk dan penuh ketundukan.Wallahu a‘lam. Referensi: Islamweb.net — Perjalanan Jakarta – Padalarang Bandung, Sabtu pagi, 10 Muharram 1447 H, 5 Juli 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbolehkah junub ikut pemakaman bolehkah orang junub mengantar jenazah hukum islam orang junub dan jenazah hukum junub mengikuti jenazah hukum orang junub memakamkan jenazah jenazah junub ikut menguburkan jenazah mandi junub mandi junub sebelum memakamkan jenazah menguburkan jenazah orang junub ikut penguburan jenazah orang junub mengikuti pemakaman syarat memakamkan jenazah dalam islam

Mengenal Nama Allah “Al-Jabbar”

Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.

Mengenal Nama Allah “Al-Jabbar”

Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.
Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.


Daftar Isi ToggleDalil Nama Allah “Al-Jabbar”Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaWajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahMemperbanyak berdoa dengan nama iniWaspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaDi antara nama Allah yang agung adalah Al-Jabbar, yang biasa diterjemahkan sebagai Yang Mahakuasa. Nama ini bukan sekadar menunjukkan kekuatan untuk memaksa atau menundukkan makhluk, namun juga mencakup makna kelembutan, pemulihan, dan keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan menghadirkan rasa tunduk kepada keperkasaan Allah sekaligus harapan besar pada kasih sayang-Nya yang memperbaiki setiap kekurangan dan luka dalam jiwa hamba.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama:1) Dalil yang menyebutkan nama Al-Jabbār dalam Al-Qur’an,2) Penjelasan makna dan kandungan nama Al-Jabbār menurut bahasa dan tafsir para ulama,3) Konsekuensi iman terhadap nama Al-Jabbār dalam kehidupan seorang hamba.Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan, kerendahan hati, dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah Ta‘ala, satu-satunya Dzat yang benar-benar berhak menyandang nama ini.Dalil Nama Allah “Al-Jabbar”Nama Al-Jabbar disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat berikut,الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ“Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Jabbar. [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Jabbar”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Jabbar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Jabbar”Al-Jabbar ( الْجَبَّارُ ) merupakan bentuk ṣīghah mubālaghah (bentuk intensif). [2]Tentang makna jiim – baa – raa ( جبر ), Ibnu Faris mengatakan,(جبر) الْجِيمُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ جِنْسٌ مِنَ الْعَظَمَةِ وَالْعُلُوِّ وَالِاسْتِقَامَةِ. فَالْجَبَّارُ: الَّذِي طَالَ وَفَاتَ الْيَدَ، يُقَالُ فَرَسٌ جَبَّارٌ، وَنَخْلَةٌ جَبَّارَةٌ“Kata jiim – baa – raa berasal dari satu akar yang sama, yang menunjukkan makna dasar tentang keagungan, ketinggian, dan keteguhan. Maka, al-Jabbār adalah yang sangat tinggi dan jauh tak terjangkau. Dalam bahasa Arab, dikatakan: kuda jabbār (yang tinggi dan gagah), dan pohon kurma jabbārah (yang menjulang tinggi).” [3]Orang Arab juga mengatakan,وَأَجْبَرْتُهُ (وجَبَرْتُهُ) عَلَى كَذَاMaknanya adalah “aku memaksanya atas sesuatu tersebut dengan tekanan dan kekuatan.” [4]Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna al-jabr secara bahasa, yang mencakup tiga akar utama:1) Memberi kecukupan kepada orang miskin, atau menyambung tulang yang patah — ini berkaitan dengan makna perbaikan dan kasih sayang.2) Paksaan dan kekuasaan — paling sering digunakan dalam bentuk kata kerja afʿala (seperti ajbartuhu = aku memaksanya).3) Ketinggian dan kemuliaan, seperti ungkapan: nakhla jabbārah (pohon kurma yang sangat tinggi menjulang). [5]Makna “Al-Jabbar” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau membawakan ucapan Qotadah dan Ibnu Jarir rahimahumallaah. Beliau mengatakan,وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَبَّارُ: الَّذِي جَبَر خَلْقَهُ عَلَى مَا يَشَاءُوَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: الْجَبَّارُ: المصلحُ أمورَ خَلْقِهِ، الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ بِمَا فِيهِ صَلَاحُهُمْ“Qatadah berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memaksa makhluk-Nya untuk menjalankan apa yang Dia kehendaki.’Ibnu Jarir berkata, ‘Al-Jabbār adalah Dzat yang memperbaiki urusan makhluk-Nya dan mengatur mereka dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi mereka.’” [6]Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,الجبار هو بمعنى العلي الأعلى، وبمعنى القهار، وبمعنى الرؤوف الجابر للقلوب المنكسرة، وللضعيف العاجز، ولمن لاذ به ولجأ إليه“Al-Jabbar” bermakna Yang Mahatinggi, dan juga bermakna Yang Maha Perkasa (Al-Qahhār), dan juga bermakna Maha Pengasih yang menyembuhkan hati yang remuk, membantu yang lemah dan tak berdaya, serta menjadi tempat berlindung bagi siapa saja yang bersandar dan berlindung kepada-Nya.” [7]Kesimpulannya, Asy-Syaikh Muhammad An-Najdiy hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut.  Sehingga, makna Al-Jabbār mencakup beberapa sisi:Pertama: Al-Jabbar adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan ini berasal dari bentuk kata mubalaghah (fa‘‘āl) yang menunjukkan makna sangat agung dan tinggi.Kedua: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memperbaiki segala urusan, sebagaimana dalam kata jabara al-kasr (memperbaiki tulang yang patah) atau jabara al-faqīr (membantu orang miskin hingga tercukupi).Ketiga: Al-Jabbar adalah Dzat Yang memaksa makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ“Dan engkau bukanlah seorang yang dapat memaksa mereka.” (QS. Qāf: 45)Maksudnya, Engkau tidak dibebani tugas untuk memaksa mereka menerima petunjuk.Dari penjelasan ini, maka makna pertama (Al-Jabbar: Yang Maha Tinggi) termasuk sifat dzatiyah. Sedangkan makna kedua dan ketiga (Al-Jabbar: Yang Memperbaiki dan Yang Memaksa) termasuk sifat perbuatan (fi‘liyyah). [8]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Jabbar” bagi hambaPenetapan nama “Al-Jabbar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Wajib beriman bahwa Al-Jabbar merupakan nama AllahSeorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan bahwsanya Dia yang menguasai dan mengalahkan seluruh hamba-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada-Nya. Dia juga Dzat yang menyembuhkan hati yang remuk dan mencukupi orang yang miskin. [9]Memperbanyak berdoa dengan nama iniNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di antara dua sujud dengan mengucapkan,ربِّ اغفِر لي وارحَمني واجبُرني وارزُقني وارفَعني“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah (tutupilah kekuranganku), angkatlah derajatku, dan berilah aku rezeki.” (HR. Ibnu Majah no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)Dalam doa tersebut, beliau menyebut kata “wajburnī” (perbaikilah aku), yang merupakan seruan dengan nama Al-Jabbar. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa maknanya adalah, “Cukupkanlah aku.”Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengagungkan Rabb-nya dengan nama ini dalam salat, khususnya saat rukuk dan sujud. Dalam hadis dari ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘i radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa dalam rukuk,سُبْحانَ ذِي الجَبَرُوتِ والمَلَكُوت؛ والكِبْرياء والعَظَمة“Maha Suci Dzat yang memiliki al-Jabarūt (keperkasaan mutlak), al-Malakūt (kerajaan), al-Kibriyā’ (keagungan), dan al-‘Aẓamah (kebesaran).” (HR. Abu Dawud no. 873 dan An-Nasa’i 2: 223; hasan)Dan beliau juga mengucapkan doa yang sama dalam sujud. [10]Waspada dari sifat sombong dan menzalimi manusiaAl-Jabarūt adalah hak Allah semata. Siapa pun dari makhluk yang berlaku sombong dan berlaku sewenang-wenang akan terkena murka Allah dan layak mendapatkan ancaman-Nya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengancam orang-orang yang demikian dengan azab yang sangat berat, berupa penutupan hati dan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat.Firman Allah Ta‘ala,كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ“Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan keras kepala.” (QS. Ghāfir: 35)Dan firman-Nya,وَاسْتَفْتَحُوا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ مِّن وَرَابِهِ جَهَنَّمُ وَيُسْقَى مِن مَّاءٍ صديدٍ يَتَجَرَّعُهُ، وَلَا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَابِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ“Dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah setiap orang yang sombong lagi keras kepala. Di belakangnya ada neraka Jahanam dan dia diberi minuman dari air nanah, yang diminumnya dengan susah payah, hampir-hampir tidak bisa ditelan, dan datang kematian kepadanya dari segala arah, tetapi dia tidak mati-mati juga. Dan di hadapannya ada azab yang berat.” (QS. Ibrāhīm: 15–17)Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يخرج عنق من النار يوم القيامة له عينان يبصر بهما، وأذنان يسمع بهما، ولسان ينطق به، فيقول: إني وكلت بثلاثة : بكل جبار عنيد، وبكل من ادعى مع الله إلها آخر، والمصورين“Akan keluar leher dari neraka pada hari kiamat, yang memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lisan yang bisa berbicara. Ia berkata, ‘Aku ditugaskan untuk menangkap tiga golongan: setiap orang yang sombong lagi keras kepala, setiap orang yang menyekutukan Allah dengan ilah (sesembahan) lain, dan para pembuat gambar (makhluk bernyawa).’” (HR. Ahmad, 2: 336 dan Tirmidzi no. 2574, dishahihkan oleh Al-Albani)Kita memohon perlindungan kepada Allah dari api neraka, dari kemurkaan Al-Jabbar, serta dari akhlak yang buruk, hawa nafsu yang menyesatkan, dan penyakit hati yang membinasakan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa. [11]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”***Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulhijah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 101[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] Muʿjam Maqāyīs al-Lughah, hal. 182.[4] Lihat: al-Muṣbaḥ al-Munīr, hal. 95–96.[5] Dinukil dari al-Taʿlīq al-Asnā, hal. 138.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[7] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.[8] An-Nahj Al-Asma, hal. 102. Lihat juga Fiqhul Asma’il Husna, hal. 280 dan At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 139-141.[9] Tafsir As-Sa‘di, hal. 854.[10] An-Nahj Al-Asma, hal. 105.[11] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 281. Lihat juga At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 141.

Anda Harus Waspada: Tiga Jenis Ucapan yang Bisa Jadi Ghibah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ

Anda Harus Waspada: Tiga Jenis Ucapan yang Bisa Jadi Ghibah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ
Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ


Amatullah bertanya tentang ghibah. Ia berkata, “Bagaimana saya mengetahui bahwa ucapan ini termasuk hal yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan?” Ada beberapa hal yang dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ucapan seperti ini termasuk hal yang tidak disukai oleh orang yang hendak kita bicarakan. Baik itu (1) menyangkut aib yang umum dianggap buruk oleh masyarakat, atau (2) hal yang memang dilarang oleh syariat, atau (3) hal yang secara tabiat membuat orang malu untuk menyebutkannya. Semua itu berkaitan dengan bahan pembicaraan tentang orang lain. Karena itu, jika terdapat salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh seseorang membicarakan orang lain dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…dan cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri…” (HR. Abu Umamah Al-Bahili, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab) === سَأَلَتْ أَمَةُ اللَّهِ عَنِ الْغِيبَةِ تَقُولُ كَيْفَ أَعْرِفُ أَنَّ يَعْنِي هَذَا الْكَلَامَ بِعَيْنِهِ يَكْرَهُهُ الشَّخْصُ الَّذِي سَنَتَكَلَّمُ عَنْهُ هُنَاكَ أَسْبَابٌ تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَعْلَمُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يُكْرَهُ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِهِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَعِيبُهُ النَّاسُ أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَمْنُوعِ شَرْعًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تَتَعَلَّقُ بِالأَخْبَارِ الَّتِي تُقَالُ عَنِ الْآخَرِينَ وَمِنْ ثَمَّ إِذَا وُجِدَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَجُزْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَكَلَّمَ عَنِ الْآخَرِينَ بِمَا يُسْتَحْيَا مِنْ ذِكْرِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ
Prev     Next