Hukum Penukaran Uang Baru Menjelang Lebaran: Apakah Ada Unsur Riba?

Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran

Hukum Penukaran Uang Baru Menjelang Lebaran: Apakah Ada Unsur Riba?

Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran
Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran


Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran

Tafsir Surah Al-Ghasyiyah: Peringatan Kiamat, Azab Neraka, dan Nikmat Surga

Surat Al-Ghasyiyah (surah ke-88) menggambarkan dahsyatnya Hari Kiamat yang meliputi seluruh makhluk. Pada hari itu, golongan celaka akan tertunduk hina, kelelahan dalam siksaan neraka, diberi minuman air mendidih, dan makanan dari pohon berduri yang tak mengenyangkan. Sementara itu, golongan beruntung menikmati kenikmatan surga, wajah mereka berseri-seri, duduk di tempat yang tinggi, menikmati buah-buahan, dan minuman yang nikmat. Allah mengajak manusia merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya dalam penciptaan unta, langit, gunung, dan bumi. Nabi Muhammad diperintahkan hanya untuk menyampaikan peringatan, karena hakikat pembalasan ada di tangan Allah. Kepada-Nya segala makhluk akan kembali dan menerima balasan sesuai amal perbuatan.   Daftar Isi tutup 1. Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya 1.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1.2. Tadabur Ayat 2. Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga 2.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 2.2. Tadabur Ayat 3. Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta 3.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 3.2. Tadabur Ayat 4. Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan 4.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 4.2. Tadabur Ayat Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya Allah Ta’ala berfirman: هلْ أَتَىكَ حَدِيُثُ الْغَاشِيَةِ “Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?” وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,” عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ “Bekerja keras lagi kepayahan,” تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً “Memasuki api yang sangat panas (neraka),” تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ “Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.” لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,” لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوعٍ “Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.”(QS. Al-Ghasyiyyah: 1-7) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Hari Kiamat yang Meliputi Segala Makhluk Menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Zubdatut Tafsir, kata Al-Ghasyiyah berarti sesuatu yang meliputi seluruh makhluk dengan kedahsyatannya. Ini adalah salah satu nama bagi Hari Kiamat, karena hari itu akan meliputi manusia dengan ketakutan dan kengerian yang luar biasa. 2. Keadaan Orang-Orang yang Celaka di Hari Kiamat Allah menyebutkan golongan orang-orang yang celaka di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya tunduk terhina karena mengalami siksa yang pedih. Mereka merasa lelah dan kepayahan, baik karena azab yang berat atau karena amal mereka di dunia yang sia-sia akibat tidak dilandasi iman. Mereka akan masuk ke dalam neraka yang panas membakar. 3. Makanan dan Minuman yang Menyiksa di Neraka Para penghuni neraka akan diberikan minuman dari mata air yang sangat panas dan makanan yang berasal dari pohon berduri (dhari’). Makanan ini tidak memberi manfaat sama sekali, tidak bisa menghilangkan lapar, dan tidak bisa menggemukkan tubuh, hanya menambah penderitaan mereka.   Tadabur Ayat 1. Kengerian Hari Kiamat Allah menggambarkan kedahsyatan Hari Kiamat yang akan meliputi seluruh makhluk. Ini menjadi pengingat bagi kita agar selalu mempersiapkan diri dengan amal saleh dan keimanan. 2. Peringatan bagi Orang yang Mengabaikan Akhirat Banyak orang yang bekerja keras di dunia, namun amal mereka tidak bernilai di sisi Allah karena tidak dilandasi keimanan. Ini menunjukkan pentingnya melakukan amal dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat. 3. Azab yang Sangat Pedih bagi Penghuni Neraka Ayat-ayat ini menampilkan gambaran mengerikan tentang penghuni neraka: mereka diberi minuman yang mendidih dan makanan yang sama sekali tidak menghilangkan rasa lapar. Ini menjadi peringatan agar kita menjauhi segala perbuatan yang bisa membawa kepada siksa tersebut. 4. Motivasi untuk Mencari Keselamatan Akhirat Setelah mengetahui gambaran siksa neraka, kita harus semakin termotivasi untuk mencari keselamatan di akhirat dengan memperbanyak amal saleh, meningkatkan iman, serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah. Semoga kita termasuk golongan yang selamat dari azab neraka dan mendapatkan rahmat Allah di akhirat. Aamiin.   Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga Allah Ta’ala berfirman: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ “Banyak muka pada hari itu berseri-seri,” لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ “Merasa senang karena usahanya,” فِى جَنَّةٍ عَالِيَةٍ “Dalam surga yang tinggi,” لَّا تَسْمَعُ فِيهَا لَٰغِيَةً “Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.” فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ “Di dalamnya ada mata air yang mengalir.” فِيهَا سُرُرٌ مَّرْفُوعَةٌ “Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan,” وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوعَةٌ “Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya),” وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ “Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,” وَزَرَابِىُّ مَبْثُوثَةٌ “Dan permadani-permadani yang terhampar.”(QS. Al-Ghasyiyah: 8-16)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Wajah-Wajah yang Berseri-Seri di Akhirat Ayat ini menggambarkan keadaan orang-orang yang berbahagia di hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya berseri-seri karena penuh kebahagiaan. Mereka merasa puas atas amal saleh yang telah mereka lakukan di dunia. Mereka mendapatkan balasan terbaik berupa surga yang tinggi derajatnya. 2. Surga yang Tinggi dan Penuh Kenikmatan Allah menjelaskan bahwa surga memiliki berbagai kenikmatan yang luar biasa, di antaranya: Tidak ada perkataan sia-sia: Semua pembicaraan di surga adalah perkataan yang baik dan menyenangkan. Mata air yang mengalir: Penghuni surga dapat menikmati air yang mengalir dengan jernih dan segar. Tahta yang ditinggikan: Mereka memiliki tempat duduk yang megah dan nyaman. Gelas-gelas yang tersedia: Minuman tersedia kapan saja tanpa perlu mencari atau meminta. Bantal-bantal yang tersusun rapi: Ini menambah kenyamanan bagi mereka yang beristirahat. Permadani-permadani yang terhampar: Surga dihiasi dengan permadani yang indah, menambah keindahan tempat tinggal mereka. Tadabur Ayat 1. Kebahagiaan Hakiki Bagi Orang Beriman Allah menggambarkan kebahagiaan yang nyata bagi penghuni surga. Mereka berseri-seri karena amal mereka diterima, berbeda dengan orang-orang yang celaka yang disebut dalam ayat sebelumnya. 2. Pentingnya Beramal Saleh dengan Ikhlas Orang-orang yang mendapatkan surga adalah mereka yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menjalankan amal saleh dengan niat yang tulus karena Allah. 3. Surga adalah Tempat yang Sempurna Berbeda dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kesulitan dan perkataan sia-sia, surga adalah tempat yang penuh dengan ketenangan, tanpa gangguan sedikit pun. 4. Motivasi untuk Mengejar Surga Setelah melihat gambaran surga yang begitu indah, hendaknya kita semakin termotivasi untuk beribadah, memperbanyak amal saleh, dan menjauhi maksiat agar mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat. Semoga kita termasuk golongan yang berbahagia di akhirat dan mendapatkan kenikmatan surga yang Allah janjikan. Aamiin.   Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta Allah Ta’ala berfirman: أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (QS. Al-Ghasyiyah: 17) وَإِلَى الْسَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (QS. Al-Ghasyiyah: 18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 20) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Mengamati Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Ayat ini mengajak manusia untuk merenungi ciptaan Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya. Allah menyebut empat hal sebagai tanda kebesaran-Nya: Unta: Hewan yang luar biasa diciptakan dengan keistimewaan unik seperti mampu bertahan di padang pasir, membawa beban berat, dan memiliki sistem metabolisme yang menakjubkan. Langit: Diciptakan tanpa tiang, luas, dan tinggi tanpa batas, menjadi atap bagi kehidupan manusia. Gunung: Kokoh dan kuat, menjaga keseimbangan bumi agar tidak berguncang. Bumi: Dihamparkan dengan sempurna agar manusia bisa hidup di atasnya dengan nyaman. 2. Perenungan atas Alam Semesta Allah menyeru manusia untuk berpikir dan memperhatikan penciptaan-Nya. Alam ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan sebagai bukti adanya Sang Pencipta yang Maha Kuasa. Allah menyuruh manusia untuk belajar dari alam agar semakin yakin akan keesaan dan kebesaran-Nya. 3. Bukti Ketuhanan dan Kebangkitan Renungan terhadap penciptaan alam semesta membuktikan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak. Jika Allah mampu menciptakan makhluk dengan begitu sempurna, maka menghidupkan kembali manusia di hari kiamat tentu mudah bagi-Nya. Ayat ini menjadi dalil kuat akan adanya kehidupan setelah mati.   Tadabur Ayat 1. Pentingnya Berpikir dan Merenung Allah mengajak manusia untuk tidak hanya hidup secara mekanis, tetapi juga untuk merenungi kebesaran-Nya. Setiap makhluk di dunia ini memiliki tujuan dan keindahan yang bisa kita ambil pelajaran darinya. 2. Mengakui Keagungan Allah Dengan mengamati ciptaan Allah, kita semakin memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan dengan aturan dan keseimbangan yang sempurna. Ini menguatkan keyakinan kita bahwa hanya Allah yang berhak disembah. 3. Motivasi untuk Bersyukur dan Beribadah Melihat alam semesta yang begitu luas dan sempurna seharusnya membuat kita semakin bersyukur atas segala nikmat Allah. Semakin kita memahami kebesaran Allah, semakin kita terdorong untuk taat dan beribadah kepada-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mengambil hikmah dari tanda-tanda kebesaran Allah dan semakin dekat kepada-Nya. Aamiin.   Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan Allah Ta’ala berfirman: فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21) لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 22) إِلَّا مَن تَوَلَّىٰ وَكَفَرَ “Tetapi orang yang berpaling dan kafir,” (QS. Al-Ghasyiyah: 23) فَيُعَذِّبُهُ ٱللَّهُ ٱلْعَذَابَ ٱلْأَكْبَرَ “Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.” (QS. Al-Ghasyiyah: 24) إِنَّ إِلَيْنَآ إِيَابَهُمْ “Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُم “Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 26)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Kewajiban Rasul Hanya Memberikan Peringatan Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan kebenaran kepada manusia tanpa merasa terbebani jika mereka menolak. Rasul tidak memiliki kewajiban untuk memaksa mereka beriman, karena tugasnya hanya sebagai pemberi peringatan. Dakwah adalah tugas mulia: Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh putus asa jika dakwahnya ditolak. Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Setiap manusia memiliki pilihan: Islam tidak memaksa seseorang untuk beriman, tetapi manusia diberi kebebasan memilih dengan konsekuensi masing-masing. 2. Ancaman Bagi Orang yang Berpaling dan Kafir Allah menjelaskan bahwa bagi mereka yang berpaling dari petunjuk dan tetap dalam kekafiran, azab besar menanti mereka. Ini adalah peringatan agar manusia tidak mengabaikan kebenaran. Peringatan serius: Orang yang sengaja menolak kebenaran akan menerima azab yang pedih di akhirat. Pentingnya mengikuti petunjuk Allah: Menolak kebenaran bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga di kehidupan setelah mati. 3. Kepastian Hari Pembalasan Allah menegaskan bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindari perhitungan amal di hari kiamat. Setiap perbuatan akan dihisab: Baik kebaikan maupun keburukan akan diperhitungkan oleh Allah dengan keadilan sempurna. Allah adalah Hakim yang Maha Adil: Tidak ada satu pun amal manusia yang luput dari perhitungan-Nya.   Tadabur Ayat 1. Dakwah Harus Didasari Keikhlasan Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh merasa gagal ketika dakwahnya ditolak. Rasulullah ﷺ sendiri menghadapi banyak penolakan, tetapi beliau tetap sabar dalam menyampaikan risalah. 2. Konsekuensi Menolak Kebenaran Orang yang memilih untuk berpaling dari kebenaran harus menyadari bahwa keputusan mereka membawa dampak besar di akhirat. 3. Kesadaran Akan Hari Akhir Allah mengingatkan manusia agar selalu ingat bahwa kehidupan dunia bukan akhir dari segalanya. Hari pembalasan adalah kepastian yang tidak bisa dihindari.   Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.    – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsal-ghasyiyah dan tanda-tanda kebesaran Allah gambaran neraka dalam al-qur’an gambaran surga dalam al-qur’an hari kiamat dalam al-qur’an hikmah surat al-ghasyiyah isi kandungan surat al-ghasyiyah kandungan surat al-ghasyiyah makna surat al-ghasyiyah peristiwa hari kiamat surat al-ghasyiyah tafsir al-ghasyiyah ayat 1-26 tafsir al-ghasyiyah menurut ulama tafsir al-ghasyiyah pdf tafsir juz amma tafsir surat al-ghasyiyah tafsir surat al-ghasyiyah lengkap tafsir surat al-ghasyiyah rumaysho

Tafsir Surah Al-Ghasyiyah: Peringatan Kiamat, Azab Neraka, dan Nikmat Surga

Surat Al-Ghasyiyah (surah ke-88) menggambarkan dahsyatnya Hari Kiamat yang meliputi seluruh makhluk. Pada hari itu, golongan celaka akan tertunduk hina, kelelahan dalam siksaan neraka, diberi minuman air mendidih, dan makanan dari pohon berduri yang tak mengenyangkan. Sementara itu, golongan beruntung menikmati kenikmatan surga, wajah mereka berseri-seri, duduk di tempat yang tinggi, menikmati buah-buahan, dan minuman yang nikmat. Allah mengajak manusia merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya dalam penciptaan unta, langit, gunung, dan bumi. Nabi Muhammad diperintahkan hanya untuk menyampaikan peringatan, karena hakikat pembalasan ada di tangan Allah. Kepada-Nya segala makhluk akan kembali dan menerima balasan sesuai amal perbuatan.   Daftar Isi tutup 1. Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya 1.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1.2. Tadabur Ayat 2. Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga 2.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 2.2. Tadabur Ayat 3. Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta 3.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 3.2. Tadabur Ayat 4. Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan 4.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 4.2. Tadabur Ayat Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya Allah Ta’ala berfirman: هلْ أَتَىكَ حَدِيُثُ الْغَاشِيَةِ “Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?” وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,” عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ “Bekerja keras lagi kepayahan,” تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً “Memasuki api yang sangat panas (neraka),” تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ “Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.” لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,” لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوعٍ “Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.”(QS. Al-Ghasyiyyah: 1-7) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Hari Kiamat yang Meliputi Segala Makhluk Menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Zubdatut Tafsir, kata Al-Ghasyiyah berarti sesuatu yang meliputi seluruh makhluk dengan kedahsyatannya. Ini adalah salah satu nama bagi Hari Kiamat, karena hari itu akan meliputi manusia dengan ketakutan dan kengerian yang luar biasa. 2. Keadaan Orang-Orang yang Celaka di Hari Kiamat Allah menyebutkan golongan orang-orang yang celaka di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya tunduk terhina karena mengalami siksa yang pedih. Mereka merasa lelah dan kepayahan, baik karena azab yang berat atau karena amal mereka di dunia yang sia-sia akibat tidak dilandasi iman. Mereka akan masuk ke dalam neraka yang panas membakar. 3. Makanan dan Minuman yang Menyiksa di Neraka Para penghuni neraka akan diberikan minuman dari mata air yang sangat panas dan makanan yang berasal dari pohon berduri (dhari’). Makanan ini tidak memberi manfaat sama sekali, tidak bisa menghilangkan lapar, dan tidak bisa menggemukkan tubuh, hanya menambah penderitaan mereka.   Tadabur Ayat 1. Kengerian Hari Kiamat Allah menggambarkan kedahsyatan Hari Kiamat yang akan meliputi seluruh makhluk. Ini menjadi pengingat bagi kita agar selalu mempersiapkan diri dengan amal saleh dan keimanan. 2. Peringatan bagi Orang yang Mengabaikan Akhirat Banyak orang yang bekerja keras di dunia, namun amal mereka tidak bernilai di sisi Allah karena tidak dilandasi keimanan. Ini menunjukkan pentingnya melakukan amal dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat. 3. Azab yang Sangat Pedih bagi Penghuni Neraka Ayat-ayat ini menampilkan gambaran mengerikan tentang penghuni neraka: mereka diberi minuman yang mendidih dan makanan yang sama sekali tidak menghilangkan rasa lapar. Ini menjadi peringatan agar kita menjauhi segala perbuatan yang bisa membawa kepada siksa tersebut. 4. Motivasi untuk Mencari Keselamatan Akhirat Setelah mengetahui gambaran siksa neraka, kita harus semakin termotivasi untuk mencari keselamatan di akhirat dengan memperbanyak amal saleh, meningkatkan iman, serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah. Semoga kita termasuk golongan yang selamat dari azab neraka dan mendapatkan rahmat Allah di akhirat. Aamiin.   Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga Allah Ta’ala berfirman: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ “Banyak muka pada hari itu berseri-seri,” لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ “Merasa senang karena usahanya,” فِى جَنَّةٍ عَالِيَةٍ “Dalam surga yang tinggi,” لَّا تَسْمَعُ فِيهَا لَٰغِيَةً “Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.” فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ “Di dalamnya ada mata air yang mengalir.” فِيهَا سُرُرٌ مَّرْفُوعَةٌ “Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan,” وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوعَةٌ “Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya),” وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ “Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,” وَزَرَابِىُّ مَبْثُوثَةٌ “Dan permadani-permadani yang terhampar.”(QS. Al-Ghasyiyah: 8-16)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Wajah-Wajah yang Berseri-Seri di Akhirat Ayat ini menggambarkan keadaan orang-orang yang berbahagia di hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya berseri-seri karena penuh kebahagiaan. Mereka merasa puas atas amal saleh yang telah mereka lakukan di dunia. Mereka mendapatkan balasan terbaik berupa surga yang tinggi derajatnya. 2. Surga yang Tinggi dan Penuh Kenikmatan Allah menjelaskan bahwa surga memiliki berbagai kenikmatan yang luar biasa, di antaranya: Tidak ada perkataan sia-sia: Semua pembicaraan di surga adalah perkataan yang baik dan menyenangkan. Mata air yang mengalir: Penghuni surga dapat menikmati air yang mengalir dengan jernih dan segar. Tahta yang ditinggikan: Mereka memiliki tempat duduk yang megah dan nyaman. Gelas-gelas yang tersedia: Minuman tersedia kapan saja tanpa perlu mencari atau meminta. Bantal-bantal yang tersusun rapi: Ini menambah kenyamanan bagi mereka yang beristirahat. Permadani-permadani yang terhampar: Surga dihiasi dengan permadani yang indah, menambah keindahan tempat tinggal mereka. Tadabur Ayat 1. Kebahagiaan Hakiki Bagi Orang Beriman Allah menggambarkan kebahagiaan yang nyata bagi penghuni surga. Mereka berseri-seri karena amal mereka diterima, berbeda dengan orang-orang yang celaka yang disebut dalam ayat sebelumnya. 2. Pentingnya Beramal Saleh dengan Ikhlas Orang-orang yang mendapatkan surga adalah mereka yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menjalankan amal saleh dengan niat yang tulus karena Allah. 3. Surga adalah Tempat yang Sempurna Berbeda dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kesulitan dan perkataan sia-sia, surga adalah tempat yang penuh dengan ketenangan, tanpa gangguan sedikit pun. 4. Motivasi untuk Mengejar Surga Setelah melihat gambaran surga yang begitu indah, hendaknya kita semakin termotivasi untuk beribadah, memperbanyak amal saleh, dan menjauhi maksiat agar mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat. Semoga kita termasuk golongan yang berbahagia di akhirat dan mendapatkan kenikmatan surga yang Allah janjikan. Aamiin.   Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta Allah Ta’ala berfirman: أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (QS. Al-Ghasyiyah: 17) وَإِلَى الْسَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (QS. Al-Ghasyiyah: 18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 20) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Mengamati Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Ayat ini mengajak manusia untuk merenungi ciptaan Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya. Allah menyebut empat hal sebagai tanda kebesaran-Nya: Unta: Hewan yang luar biasa diciptakan dengan keistimewaan unik seperti mampu bertahan di padang pasir, membawa beban berat, dan memiliki sistem metabolisme yang menakjubkan. Langit: Diciptakan tanpa tiang, luas, dan tinggi tanpa batas, menjadi atap bagi kehidupan manusia. Gunung: Kokoh dan kuat, menjaga keseimbangan bumi agar tidak berguncang. Bumi: Dihamparkan dengan sempurna agar manusia bisa hidup di atasnya dengan nyaman. 2. Perenungan atas Alam Semesta Allah menyeru manusia untuk berpikir dan memperhatikan penciptaan-Nya. Alam ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan sebagai bukti adanya Sang Pencipta yang Maha Kuasa. Allah menyuruh manusia untuk belajar dari alam agar semakin yakin akan keesaan dan kebesaran-Nya. 3. Bukti Ketuhanan dan Kebangkitan Renungan terhadap penciptaan alam semesta membuktikan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak. Jika Allah mampu menciptakan makhluk dengan begitu sempurna, maka menghidupkan kembali manusia di hari kiamat tentu mudah bagi-Nya. Ayat ini menjadi dalil kuat akan adanya kehidupan setelah mati.   Tadabur Ayat 1. Pentingnya Berpikir dan Merenung Allah mengajak manusia untuk tidak hanya hidup secara mekanis, tetapi juga untuk merenungi kebesaran-Nya. Setiap makhluk di dunia ini memiliki tujuan dan keindahan yang bisa kita ambil pelajaran darinya. 2. Mengakui Keagungan Allah Dengan mengamati ciptaan Allah, kita semakin memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan dengan aturan dan keseimbangan yang sempurna. Ini menguatkan keyakinan kita bahwa hanya Allah yang berhak disembah. 3. Motivasi untuk Bersyukur dan Beribadah Melihat alam semesta yang begitu luas dan sempurna seharusnya membuat kita semakin bersyukur atas segala nikmat Allah. Semakin kita memahami kebesaran Allah, semakin kita terdorong untuk taat dan beribadah kepada-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mengambil hikmah dari tanda-tanda kebesaran Allah dan semakin dekat kepada-Nya. Aamiin.   Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan Allah Ta’ala berfirman: فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21) لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 22) إِلَّا مَن تَوَلَّىٰ وَكَفَرَ “Tetapi orang yang berpaling dan kafir,” (QS. Al-Ghasyiyah: 23) فَيُعَذِّبُهُ ٱللَّهُ ٱلْعَذَابَ ٱلْأَكْبَرَ “Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.” (QS. Al-Ghasyiyah: 24) إِنَّ إِلَيْنَآ إِيَابَهُمْ “Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُم “Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 26)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Kewajiban Rasul Hanya Memberikan Peringatan Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan kebenaran kepada manusia tanpa merasa terbebani jika mereka menolak. Rasul tidak memiliki kewajiban untuk memaksa mereka beriman, karena tugasnya hanya sebagai pemberi peringatan. Dakwah adalah tugas mulia: Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh putus asa jika dakwahnya ditolak. Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Setiap manusia memiliki pilihan: Islam tidak memaksa seseorang untuk beriman, tetapi manusia diberi kebebasan memilih dengan konsekuensi masing-masing. 2. Ancaman Bagi Orang yang Berpaling dan Kafir Allah menjelaskan bahwa bagi mereka yang berpaling dari petunjuk dan tetap dalam kekafiran, azab besar menanti mereka. Ini adalah peringatan agar manusia tidak mengabaikan kebenaran. Peringatan serius: Orang yang sengaja menolak kebenaran akan menerima azab yang pedih di akhirat. Pentingnya mengikuti petunjuk Allah: Menolak kebenaran bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga di kehidupan setelah mati. 3. Kepastian Hari Pembalasan Allah menegaskan bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindari perhitungan amal di hari kiamat. Setiap perbuatan akan dihisab: Baik kebaikan maupun keburukan akan diperhitungkan oleh Allah dengan keadilan sempurna. Allah adalah Hakim yang Maha Adil: Tidak ada satu pun amal manusia yang luput dari perhitungan-Nya.   Tadabur Ayat 1. Dakwah Harus Didasari Keikhlasan Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh merasa gagal ketika dakwahnya ditolak. Rasulullah ﷺ sendiri menghadapi banyak penolakan, tetapi beliau tetap sabar dalam menyampaikan risalah. 2. Konsekuensi Menolak Kebenaran Orang yang memilih untuk berpaling dari kebenaran harus menyadari bahwa keputusan mereka membawa dampak besar di akhirat. 3. Kesadaran Akan Hari Akhir Allah mengingatkan manusia agar selalu ingat bahwa kehidupan dunia bukan akhir dari segalanya. Hari pembalasan adalah kepastian yang tidak bisa dihindari.   Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.    – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsal-ghasyiyah dan tanda-tanda kebesaran Allah gambaran neraka dalam al-qur’an gambaran surga dalam al-qur’an hari kiamat dalam al-qur’an hikmah surat al-ghasyiyah isi kandungan surat al-ghasyiyah kandungan surat al-ghasyiyah makna surat al-ghasyiyah peristiwa hari kiamat surat al-ghasyiyah tafsir al-ghasyiyah ayat 1-26 tafsir al-ghasyiyah menurut ulama tafsir al-ghasyiyah pdf tafsir juz amma tafsir surat al-ghasyiyah tafsir surat al-ghasyiyah lengkap tafsir surat al-ghasyiyah rumaysho
Surat Al-Ghasyiyah (surah ke-88) menggambarkan dahsyatnya Hari Kiamat yang meliputi seluruh makhluk. Pada hari itu, golongan celaka akan tertunduk hina, kelelahan dalam siksaan neraka, diberi minuman air mendidih, dan makanan dari pohon berduri yang tak mengenyangkan. Sementara itu, golongan beruntung menikmati kenikmatan surga, wajah mereka berseri-seri, duduk di tempat yang tinggi, menikmati buah-buahan, dan minuman yang nikmat. Allah mengajak manusia merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya dalam penciptaan unta, langit, gunung, dan bumi. Nabi Muhammad diperintahkan hanya untuk menyampaikan peringatan, karena hakikat pembalasan ada di tangan Allah. Kepada-Nya segala makhluk akan kembali dan menerima balasan sesuai amal perbuatan.   Daftar Isi tutup 1. Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya 1.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1.2. Tadabur Ayat 2. Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga 2.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 2.2. Tadabur Ayat 3. Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta 3.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 3.2. Tadabur Ayat 4. Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan 4.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 4.2. Tadabur Ayat Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya Allah Ta’ala berfirman: هلْ أَتَىكَ حَدِيُثُ الْغَاشِيَةِ “Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?” وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,” عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ “Bekerja keras lagi kepayahan,” تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً “Memasuki api yang sangat panas (neraka),” تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ “Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.” لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,” لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوعٍ “Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.”(QS. Al-Ghasyiyyah: 1-7) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Hari Kiamat yang Meliputi Segala Makhluk Menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Zubdatut Tafsir, kata Al-Ghasyiyah berarti sesuatu yang meliputi seluruh makhluk dengan kedahsyatannya. Ini adalah salah satu nama bagi Hari Kiamat, karena hari itu akan meliputi manusia dengan ketakutan dan kengerian yang luar biasa. 2. Keadaan Orang-Orang yang Celaka di Hari Kiamat Allah menyebutkan golongan orang-orang yang celaka di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya tunduk terhina karena mengalami siksa yang pedih. Mereka merasa lelah dan kepayahan, baik karena azab yang berat atau karena amal mereka di dunia yang sia-sia akibat tidak dilandasi iman. Mereka akan masuk ke dalam neraka yang panas membakar. 3. Makanan dan Minuman yang Menyiksa di Neraka Para penghuni neraka akan diberikan minuman dari mata air yang sangat panas dan makanan yang berasal dari pohon berduri (dhari’). Makanan ini tidak memberi manfaat sama sekali, tidak bisa menghilangkan lapar, dan tidak bisa menggemukkan tubuh, hanya menambah penderitaan mereka.   Tadabur Ayat 1. Kengerian Hari Kiamat Allah menggambarkan kedahsyatan Hari Kiamat yang akan meliputi seluruh makhluk. Ini menjadi pengingat bagi kita agar selalu mempersiapkan diri dengan amal saleh dan keimanan. 2. Peringatan bagi Orang yang Mengabaikan Akhirat Banyak orang yang bekerja keras di dunia, namun amal mereka tidak bernilai di sisi Allah karena tidak dilandasi keimanan. Ini menunjukkan pentingnya melakukan amal dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat. 3. Azab yang Sangat Pedih bagi Penghuni Neraka Ayat-ayat ini menampilkan gambaran mengerikan tentang penghuni neraka: mereka diberi minuman yang mendidih dan makanan yang sama sekali tidak menghilangkan rasa lapar. Ini menjadi peringatan agar kita menjauhi segala perbuatan yang bisa membawa kepada siksa tersebut. 4. Motivasi untuk Mencari Keselamatan Akhirat Setelah mengetahui gambaran siksa neraka, kita harus semakin termotivasi untuk mencari keselamatan di akhirat dengan memperbanyak amal saleh, meningkatkan iman, serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah. Semoga kita termasuk golongan yang selamat dari azab neraka dan mendapatkan rahmat Allah di akhirat. Aamiin.   Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga Allah Ta’ala berfirman: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ “Banyak muka pada hari itu berseri-seri,” لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ “Merasa senang karena usahanya,” فِى جَنَّةٍ عَالِيَةٍ “Dalam surga yang tinggi,” لَّا تَسْمَعُ فِيهَا لَٰغِيَةً “Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.” فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ “Di dalamnya ada mata air yang mengalir.” فِيهَا سُرُرٌ مَّرْفُوعَةٌ “Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan,” وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوعَةٌ “Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya),” وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ “Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,” وَزَرَابِىُّ مَبْثُوثَةٌ “Dan permadani-permadani yang terhampar.”(QS. Al-Ghasyiyah: 8-16)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Wajah-Wajah yang Berseri-Seri di Akhirat Ayat ini menggambarkan keadaan orang-orang yang berbahagia di hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya berseri-seri karena penuh kebahagiaan. Mereka merasa puas atas amal saleh yang telah mereka lakukan di dunia. Mereka mendapatkan balasan terbaik berupa surga yang tinggi derajatnya. 2. Surga yang Tinggi dan Penuh Kenikmatan Allah menjelaskan bahwa surga memiliki berbagai kenikmatan yang luar biasa, di antaranya: Tidak ada perkataan sia-sia: Semua pembicaraan di surga adalah perkataan yang baik dan menyenangkan. Mata air yang mengalir: Penghuni surga dapat menikmati air yang mengalir dengan jernih dan segar. Tahta yang ditinggikan: Mereka memiliki tempat duduk yang megah dan nyaman. Gelas-gelas yang tersedia: Minuman tersedia kapan saja tanpa perlu mencari atau meminta. Bantal-bantal yang tersusun rapi: Ini menambah kenyamanan bagi mereka yang beristirahat. Permadani-permadani yang terhampar: Surga dihiasi dengan permadani yang indah, menambah keindahan tempat tinggal mereka. Tadabur Ayat 1. Kebahagiaan Hakiki Bagi Orang Beriman Allah menggambarkan kebahagiaan yang nyata bagi penghuni surga. Mereka berseri-seri karena amal mereka diterima, berbeda dengan orang-orang yang celaka yang disebut dalam ayat sebelumnya. 2. Pentingnya Beramal Saleh dengan Ikhlas Orang-orang yang mendapatkan surga adalah mereka yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menjalankan amal saleh dengan niat yang tulus karena Allah. 3. Surga adalah Tempat yang Sempurna Berbeda dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kesulitan dan perkataan sia-sia, surga adalah tempat yang penuh dengan ketenangan, tanpa gangguan sedikit pun. 4. Motivasi untuk Mengejar Surga Setelah melihat gambaran surga yang begitu indah, hendaknya kita semakin termotivasi untuk beribadah, memperbanyak amal saleh, dan menjauhi maksiat agar mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat. Semoga kita termasuk golongan yang berbahagia di akhirat dan mendapatkan kenikmatan surga yang Allah janjikan. Aamiin.   Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta Allah Ta’ala berfirman: أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (QS. Al-Ghasyiyah: 17) وَإِلَى الْسَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (QS. Al-Ghasyiyah: 18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 20) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Mengamati Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Ayat ini mengajak manusia untuk merenungi ciptaan Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya. Allah menyebut empat hal sebagai tanda kebesaran-Nya: Unta: Hewan yang luar biasa diciptakan dengan keistimewaan unik seperti mampu bertahan di padang pasir, membawa beban berat, dan memiliki sistem metabolisme yang menakjubkan. Langit: Diciptakan tanpa tiang, luas, dan tinggi tanpa batas, menjadi atap bagi kehidupan manusia. Gunung: Kokoh dan kuat, menjaga keseimbangan bumi agar tidak berguncang. Bumi: Dihamparkan dengan sempurna agar manusia bisa hidup di atasnya dengan nyaman. 2. Perenungan atas Alam Semesta Allah menyeru manusia untuk berpikir dan memperhatikan penciptaan-Nya. Alam ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan sebagai bukti adanya Sang Pencipta yang Maha Kuasa. Allah menyuruh manusia untuk belajar dari alam agar semakin yakin akan keesaan dan kebesaran-Nya. 3. Bukti Ketuhanan dan Kebangkitan Renungan terhadap penciptaan alam semesta membuktikan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak. Jika Allah mampu menciptakan makhluk dengan begitu sempurna, maka menghidupkan kembali manusia di hari kiamat tentu mudah bagi-Nya. Ayat ini menjadi dalil kuat akan adanya kehidupan setelah mati.   Tadabur Ayat 1. Pentingnya Berpikir dan Merenung Allah mengajak manusia untuk tidak hanya hidup secara mekanis, tetapi juga untuk merenungi kebesaran-Nya. Setiap makhluk di dunia ini memiliki tujuan dan keindahan yang bisa kita ambil pelajaran darinya. 2. Mengakui Keagungan Allah Dengan mengamati ciptaan Allah, kita semakin memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan dengan aturan dan keseimbangan yang sempurna. Ini menguatkan keyakinan kita bahwa hanya Allah yang berhak disembah. 3. Motivasi untuk Bersyukur dan Beribadah Melihat alam semesta yang begitu luas dan sempurna seharusnya membuat kita semakin bersyukur atas segala nikmat Allah. Semakin kita memahami kebesaran Allah, semakin kita terdorong untuk taat dan beribadah kepada-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mengambil hikmah dari tanda-tanda kebesaran Allah dan semakin dekat kepada-Nya. Aamiin.   Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan Allah Ta’ala berfirman: فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21) لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 22) إِلَّا مَن تَوَلَّىٰ وَكَفَرَ “Tetapi orang yang berpaling dan kafir,” (QS. Al-Ghasyiyah: 23) فَيُعَذِّبُهُ ٱللَّهُ ٱلْعَذَابَ ٱلْأَكْبَرَ “Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.” (QS. Al-Ghasyiyah: 24) إِنَّ إِلَيْنَآ إِيَابَهُمْ “Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُم “Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 26)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Kewajiban Rasul Hanya Memberikan Peringatan Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan kebenaran kepada manusia tanpa merasa terbebani jika mereka menolak. Rasul tidak memiliki kewajiban untuk memaksa mereka beriman, karena tugasnya hanya sebagai pemberi peringatan. Dakwah adalah tugas mulia: Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh putus asa jika dakwahnya ditolak. Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Setiap manusia memiliki pilihan: Islam tidak memaksa seseorang untuk beriman, tetapi manusia diberi kebebasan memilih dengan konsekuensi masing-masing. 2. Ancaman Bagi Orang yang Berpaling dan Kafir Allah menjelaskan bahwa bagi mereka yang berpaling dari petunjuk dan tetap dalam kekafiran, azab besar menanti mereka. Ini adalah peringatan agar manusia tidak mengabaikan kebenaran. Peringatan serius: Orang yang sengaja menolak kebenaran akan menerima azab yang pedih di akhirat. Pentingnya mengikuti petunjuk Allah: Menolak kebenaran bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga di kehidupan setelah mati. 3. Kepastian Hari Pembalasan Allah menegaskan bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindari perhitungan amal di hari kiamat. Setiap perbuatan akan dihisab: Baik kebaikan maupun keburukan akan diperhitungkan oleh Allah dengan keadilan sempurna. Allah adalah Hakim yang Maha Adil: Tidak ada satu pun amal manusia yang luput dari perhitungan-Nya.   Tadabur Ayat 1. Dakwah Harus Didasari Keikhlasan Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh merasa gagal ketika dakwahnya ditolak. Rasulullah ﷺ sendiri menghadapi banyak penolakan, tetapi beliau tetap sabar dalam menyampaikan risalah. 2. Konsekuensi Menolak Kebenaran Orang yang memilih untuk berpaling dari kebenaran harus menyadari bahwa keputusan mereka membawa dampak besar di akhirat. 3. Kesadaran Akan Hari Akhir Allah mengingatkan manusia agar selalu ingat bahwa kehidupan dunia bukan akhir dari segalanya. Hari pembalasan adalah kepastian yang tidak bisa dihindari.   Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.    – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsal-ghasyiyah dan tanda-tanda kebesaran Allah gambaran neraka dalam al-qur’an gambaran surga dalam al-qur’an hari kiamat dalam al-qur’an hikmah surat al-ghasyiyah isi kandungan surat al-ghasyiyah kandungan surat al-ghasyiyah makna surat al-ghasyiyah peristiwa hari kiamat surat al-ghasyiyah tafsir al-ghasyiyah ayat 1-26 tafsir al-ghasyiyah menurut ulama tafsir al-ghasyiyah pdf tafsir juz amma tafsir surat al-ghasyiyah tafsir surat al-ghasyiyah lengkap tafsir surat al-ghasyiyah rumaysho


Surat Al-Ghasyiyah (surah ke-88) menggambarkan dahsyatnya Hari Kiamat yang meliputi seluruh makhluk. Pada hari itu, golongan celaka akan tertunduk hina, kelelahan dalam siksaan neraka, diberi minuman air mendidih, dan makanan dari pohon berduri yang tak mengenyangkan. Sementara itu, golongan beruntung menikmati kenikmatan surga, wajah mereka berseri-seri, duduk di tempat yang tinggi, menikmati buah-buahan, dan minuman yang nikmat. Allah mengajak manusia merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya dalam penciptaan unta, langit, gunung, dan bumi. Nabi Muhammad diperintahkan hanya untuk menyampaikan peringatan, karena hakikat pembalasan ada di tangan Allah. Kepada-Nya segala makhluk akan kembali dan menerima balasan sesuai amal perbuatan.   Daftar Isi tutup 1. Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya 1.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1.2. Tadabur Ayat 2. Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga 2.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 2.2. Tadabur Ayat 3. Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta 3.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 3.2. Tadabur Ayat 4. Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan 4.1. Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 4.2. Tadabur Ayat Tafsir Ayat 1-7: Gambaran Hari Kiamat dan Keadaan Penghuninya Allah Ta’ala berfirman: هلْ أَتَىكَ حَدِيُثُ الْغَاشِيَةِ “Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?” وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,” عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ “Bekerja keras lagi kepayahan,” تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً “Memasuki api yang sangat panas (neraka),” تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ “Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.” لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,” لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوعٍ “Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.”(QS. Al-Ghasyiyyah: 1-7) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Hari Kiamat yang Meliputi Segala Makhluk Menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Zubdatut Tafsir, kata Al-Ghasyiyah berarti sesuatu yang meliputi seluruh makhluk dengan kedahsyatannya. Ini adalah salah satu nama bagi Hari Kiamat, karena hari itu akan meliputi manusia dengan ketakutan dan kengerian yang luar biasa. 2. Keadaan Orang-Orang yang Celaka di Hari Kiamat Allah menyebutkan golongan orang-orang yang celaka di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya tunduk terhina karena mengalami siksa yang pedih. Mereka merasa lelah dan kepayahan, baik karena azab yang berat atau karena amal mereka di dunia yang sia-sia akibat tidak dilandasi iman. Mereka akan masuk ke dalam neraka yang panas membakar. 3. Makanan dan Minuman yang Menyiksa di Neraka Para penghuni neraka akan diberikan minuman dari mata air yang sangat panas dan makanan yang berasal dari pohon berduri (dhari’). Makanan ini tidak memberi manfaat sama sekali, tidak bisa menghilangkan lapar, dan tidak bisa menggemukkan tubuh, hanya menambah penderitaan mereka.   Tadabur Ayat 1. Kengerian Hari Kiamat Allah menggambarkan kedahsyatan Hari Kiamat yang akan meliputi seluruh makhluk. Ini menjadi pengingat bagi kita agar selalu mempersiapkan diri dengan amal saleh dan keimanan. 2. Peringatan bagi Orang yang Mengabaikan Akhirat Banyak orang yang bekerja keras di dunia, namun amal mereka tidak bernilai di sisi Allah karena tidak dilandasi keimanan. Ini menunjukkan pentingnya melakukan amal dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat. 3. Azab yang Sangat Pedih bagi Penghuni Neraka Ayat-ayat ini menampilkan gambaran mengerikan tentang penghuni neraka: mereka diberi minuman yang mendidih dan makanan yang sama sekali tidak menghilangkan rasa lapar. Ini menjadi peringatan agar kita menjauhi segala perbuatan yang bisa membawa kepada siksa tersebut. 4. Motivasi untuk Mencari Keselamatan Akhirat Setelah mengetahui gambaran siksa neraka, kita harus semakin termotivasi untuk mencari keselamatan di akhirat dengan memperbanyak amal saleh, meningkatkan iman, serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah. Semoga kita termasuk golongan yang selamat dari azab neraka dan mendapatkan rahmat Allah di akhirat. Aamiin.   Tafsir Ayat 8-16: Gambaran Kebahagiaan Penghuni Surga Allah Ta’ala berfirman: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ “Banyak muka pada hari itu berseri-seri,” لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ “Merasa senang karena usahanya,” فِى جَنَّةٍ عَالِيَةٍ “Dalam surga yang tinggi,” لَّا تَسْمَعُ فِيهَا لَٰغِيَةً “Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.” فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ “Di dalamnya ada mata air yang mengalir.” فِيهَا سُرُرٌ مَّرْفُوعَةٌ “Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan,” وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوعَةٌ “Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya),” وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ “Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,” وَزَرَابِىُّ مَبْثُوثَةٌ “Dan permadani-permadani yang terhampar.”(QS. Al-Ghasyiyah: 8-16)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Wajah-Wajah yang Berseri-Seri di Akhirat Ayat ini menggambarkan keadaan orang-orang yang berbahagia di hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang: Wajahnya berseri-seri karena penuh kebahagiaan. Mereka merasa puas atas amal saleh yang telah mereka lakukan di dunia. Mereka mendapatkan balasan terbaik berupa surga yang tinggi derajatnya. 2. Surga yang Tinggi dan Penuh Kenikmatan Allah menjelaskan bahwa surga memiliki berbagai kenikmatan yang luar biasa, di antaranya: Tidak ada perkataan sia-sia: Semua pembicaraan di surga adalah perkataan yang baik dan menyenangkan. Mata air yang mengalir: Penghuni surga dapat menikmati air yang mengalir dengan jernih dan segar. Tahta yang ditinggikan: Mereka memiliki tempat duduk yang megah dan nyaman. Gelas-gelas yang tersedia: Minuman tersedia kapan saja tanpa perlu mencari atau meminta. Bantal-bantal yang tersusun rapi: Ini menambah kenyamanan bagi mereka yang beristirahat. Permadani-permadani yang terhampar: Surga dihiasi dengan permadani yang indah, menambah keindahan tempat tinggal mereka. Tadabur Ayat 1. Kebahagiaan Hakiki Bagi Orang Beriman Allah menggambarkan kebahagiaan yang nyata bagi penghuni surga. Mereka berseri-seri karena amal mereka diterima, berbeda dengan orang-orang yang celaka yang disebut dalam ayat sebelumnya. 2. Pentingnya Beramal Saleh dengan Ikhlas Orang-orang yang mendapatkan surga adalah mereka yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menjalankan amal saleh dengan niat yang tulus karena Allah. 3. Surga adalah Tempat yang Sempurna Berbeda dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kesulitan dan perkataan sia-sia, surga adalah tempat yang penuh dengan ketenangan, tanpa gangguan sedikit pun. 4. Motivasi untuk Mengejar Surga Setelah melihat gambaran surga yang begitu indah, hendaknya kita semakin termotivasi untuk beribadah, memperbanyak amal saleh, dan menjauhi maksiat agar mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat. Semoga kita termasuk golongan yang berbahagia di akhirat dan mendapatkan kenikmatan surga yang Allah janjikan. Aamiin.   Tafsir Ayat 17-20: Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Alam Semesta Allah Ta’ala berfirman: أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (QS. Al-Ghasyiyah: 17) وَإِلَى الْسَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (QS. Al-Ghasyiyah: 18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 20) Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Mengamati Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Ayat ini mengajak manusia untuk merenungi ciptaan Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya. Allah menyebut empat hal sebagai tanda kebesaran-Nya: Unta: Hewan yang luar biasa diciptakan dengan keistimewaan unik seperti mampu bertahan di padang pasir, membawa beban berat, dan memiliki sistem metabolisme yang menakjubkan. Langit: Diciptakan tanpa tiang, luas, dan tinggi tanpa batas, menjadi atap bagi kehidupan manusia. Gunung: Kokoh dan kuat, menjaga keseimbangan bumi agar tidak berguncang. Bumi: Dihamparkan dengan sempurna agar manusia bisa hidup di atasnya dengan nyaman. 2. Perenungan atas Alam Semesta Allah menyeru manusia untuk berpikir dan memperhatikan penciptaan-Nya. Alam ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan sebagai bukti adanya Sang Pencipta yang Maha Kuasa. Allah menyuruh manusia untuk belajar dari alam agar semakin yakin akan keesaan dan kebesaran-Nya. 3. Bukti Ketuhanan dan Kebangkitan Renungan terhadap penciptaan alam semesta membuktikan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak. Jika Allah mampu menciptakan makhluk dengan begitu sempurna, maka menghidupkan kembali manusia di hari kiamat tentu mudah bagi-Nya. Ayat ini menjadi dalil kuat akan adanya kehidupan setelah mati.   Tadabur Ayat 1. Pentingnya Berpikir dan Merenung Allah mengajak manusia untuk tidak hanya hidup secara mekanis, tetapi juga untuk merenungi kebesaran-Nya. Setiap makhluk di dunia ini memiliki tujuan dan keindahan yang bisa kita ambil pelajaran darinya. 2. Mengakui Keagungan Allah Dengan mengamati ciptaan Allah, kita semakin memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan dengan aturan dan keseimbangan yang sempurna. Ini menguatkan keyakinan kita bahwa hanya Allah yang berhak disembah. 3. Motivasi untuk Bersyukur dan Beribadah Melihat alam semesta yang begitu luas dan sempurna seharusnya membuat kita semakin bersyukur atas segala nikmat Allah. Semakin kita memahami kebesaran Allah, semakin kita terdorong untuk taat dan beribadah kepada-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mengambil hikmah dari tanda-tanda kebesaran Allah dan semakin dekat kepada-Nya. Aamiin.   Tafsir Ayat 21-26: Peringatan dan Hari Pembalasan Allah Ta’ala berfirman: فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21) لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 22) إِلَّا مَن تَوَلَّىٰ وَكَفَرَ “Tetapi orang yang berpaling dan kafir,” (QS. Al-Ghasyiyah: 23) فَيُعَذِّبُهُ ٱللَّهُ ٱلْعَذَابَ ٱلْأَكْبَرَ “Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.” (QS. Al-Ghasyiyah: 24) إِنَّ إِلَيْنَآ إِيَابَهُمْ “Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,” (QS. Al-Ghasyiyah: 25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُم “Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 26)   Makna Ayat Menurut Tafsir Ulama 1. Kewajiban Rasul Hanya Memberikan Peringatan Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan kebenaran kepada manusia tanpa merasa terbebani jika mereka menolak. Rasul tidak memiliki kewajiban untuk memaksa mereka beriman, karena tugasnya hanya sebagai pemberi peringatan. Dakwah adalah tugas mulia: Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh putus asa jika dakwahnya ditolak. Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Setiap manusia memiliki pilihan: Islam tidak memaksa seseorang untuk beriman, tetapi manusia diberi kebebasan memilih dengan konsekuensi masing-masing. 2. Ancaman Bagi Orang yang Berpaling dan Kafir Allah menjelaskan bahwa bagi mereka yang berpaling dari petunjuk dan tetap dalam kekafiran, azab besar menanti mereka. Ini adalah peringatan agar manusia tidak mengabaikan kebenaran. Peringatan serius: Orang yang sengaja menolak kebenaran akan menerima azab yang pedih di akhirat. Pentingnya mengikuti petunjuk Allah: Menolak kebenaran bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga di kehidupan setelah mati. 3. Kepastian Hari Pembalasan Allah menegaskan bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindari perhitungan amal di hari kiamat. Setiap perbuatan akan dihisab: Baik kebaikan maupun keburukan akan diperhitungkan oleh Allah dengan keadilan sempurna. Allah adalah Hakim yang Maha Adil: Tidak ada satu pun amal manusia yang luput dari perhitungan-Nya.   Tadabur Ayat 1. Dakwah Harus Didasari Keikhlasan Seorang da’i atau pendakwah tidak boleh merasa gagal ketika dakwahnya ditolak. Rasulullah ﷺ sendiri menghadapi banyak penolakan, tetapi beliau tetap sabar dalam menyampaikan risalah. 2. Konsekuensi Menolak Kebenaran Orang yang memilih untuk berpaling dari kebenaran harus menyadari bahwa keputusan mereka membawa dampak besar di akhirat. 3. Kesadaran Akan Hari Akhir Allah mengingatkan manusia agar selalu ingat bahwa kehidupan dunia bukan akhir dari segalanya. Hari pembalasan adalah kepastian yang tidak bisa dihindari.   Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.    – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsal-ghasyiyah dan tanda-tanda kebesaran Allah gambaran neraka dalam al-qur’an gambaran surga dalam al-qur’an hari kiamat dalam al-qur’an hikmah surat al-ghasyiyah isi kandungan surat al-ghasyiyah kandungan surat al-ghasyiyah makna surat al-ghasyiyah peristiwa hari kiamat surat al-ghasyiyah tafsir al-ghasyiyah ayat 1-26 tafsir al-ghasyiyah menurut ulama tafsir al-ghasyiyah pdf tafsir juz amma tafsir surat al-ghasyiyah tafsir surat al-ghasyiyah lengkap tafsir surat al-ghasyiyah rumaysho

Kapan Tepatnya Waktu Mustajab di Hari Jumat? – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Hari terbaik adalah hari Jumat. Seluruh waktu di hari Jumat penuh dengan keutamaan. Namun, diharapkan–meskipun tidak dapat dipastikan–bahwa waktu terkabulnya doa adalah di akhir waktu Ashar. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Abu Hurairah bersama Abdullah bin Salam, radhiyallahu ‘anhuma, dua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Salam berkata: “Sungguh aku mengetahui kapan waktunya, yaitu di akhir waktu Ashar.” Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menanggapinya: “Lalu bagaimana dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Pada hari Jumat, ada waktu yang tidaklah seorang hamba pun mendapati waktu itu saat ia mendirikan shalat, lalu ia berdoa, kecuali doanya pasti akan dikabulkan?’ Namun, waktu setelah Ashar tersebut bukanlah waktu untuk shalat?” Lalu Abdullah bin Salam yang dikenal sebagai seorang pakar ilmu agama dan salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama, menjawab: “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: ‘Barang siapa yang menunggu shalat, maka ia dianggap sedang shalat?’” Jadi, jika kamu menunggu waktu shalat dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir, dan berhauqalah, maka kamu mendapat pahala seperti pahala orang yang shalat. Oleh sebab itu, orang itu masuk dalam cakupan keumuman hadits: “Ia dianggap sedang shalat selama menunggu shalat.” ==== أَفْضَلُ أَيَّامِ الْأُسْبُوعِِ هُوَ الْجُمُعَةُ وَيَوْمُ الْجُمُعَةِ كُلُّهُ فَاضِلٌ وَإِنَّمَا يُرْجَى يُرْجَى مِنْ غَيْرِ جَزْمٍ أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ الَّتِي تُرْجَى فِيهَا الْإِجَابَةُ فِي آخِرِ سَاعَةٍ فِيْهِ وَهُوَ الْيَوْمُ لِمَا جَاءَ فِي قِصَّةِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحَابِيَّا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَمَا قَالَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيَّ سَاعَةٍ هِيَ هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنَ الْعَصْرِ فَقَالَ لَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَكَيْفَ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي وَهَذَا الْوَقْتُ لَيْسَ وَقْتَ صَلَاةٍ فَأَجَابَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ وَقَدْ كَانَ فَقِيهًا عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَمْ يَقُلِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ انْتَظَرَ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَأَنْتَ إِذَا انْتَظَرْتَ الصَّلَاةَ مُسَبِّحًا مُهَلِّلًا مُكَبِّرًا مُحَوْقِلًا تُؤْجَرُ أَجْرَ الْمُصَلِّي وَلِذَلِكَ فَيَكُونُ دَاخِلٌ فِي عُمُومٍ وَهُوَ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ

Kapan Tepatnya Waktu Mustajab di Hari Jumat? – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Hari terbaik adalah hari Jumat. Seluruh waktu di hari Jumat penuh dengan keutamaan. Namun, diharapkan–meskipun tidak dapat dipastikan–bahwa waktu terkabulnya doa adalah di akhir waktu Ashar. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Abu Hurairah bersama Abdullah bin Salam, radhiyallahu ‘anhuma, dua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Salam berkata: “Sungguh aku mengetahui kapan waktunya, yaitu di akhir waktu Ashar.” Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menanggapinya: “Lalu bagaimana dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Pada hari Jumat, ada waktu yang tidaklah seorang hamba pun mendapati waktu itu saat ia mendirikan shalat, lalu ia berdoa, kecuali doanya pasti akan dikabulkan?’ Namun, waktu setelah Ashar tersebut bukanlah waktu untuk shalat?” Lalu Abdullah bin Salam yang dikenal sebagai seorang pakar ilmu agama dan salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama, menjawab: “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: ‘Barang siapa yang menunggu shalat, maka ia dianggap sedang shalat?’” Jadi, jika kamu menunggu waktu shalat dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir, dan berhauqalah, maka kamu mendapat pahala seperti pahala orang yang shalat. Oleh sebab itu, orang itu masuk dalam cakupan keumuman hadits: “Ia dianggap sedang shalat selama menunggu shalat.” ==== أَفْضَلُ أَيَّامِ الْأُسْبُوعِِ هُوَ الْجُمُعَةُ وَيَوْمُ الْجُمُعَةِ كُلُّهُ فَاضِلٌ وَإِنَّمَا يُرْجَى يُرْجَى مِنْ غَيْرِ جَزْمٍ أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ الَّتِي تُرْجَى فِيهَا الْإِجَابَةُ فِي آخِرِ سَاعَةٍ فِيْهِ وَهُوَ الْيَوْمُ لِمَا جَاءَ فِي قِصَّةِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحَابِيَّا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَمَا قَالَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيَّ سَاعَةٍ هِيَ هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنَ الْعَصْرِ فَقَالَ لَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَكَيْفَ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي وَهَذَا الْوَقْتُ لَيْسَ وَقْتَ صَلَاةٍ فَأَجَابَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ وَقَدْ كَانَ فَقِيهًا عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَمْ يَقُلِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ انْتَظَرَ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَأَنْتَ إِذَا انْتَظَرْتَ الصَّلَاةَ مُسَبِّحًا مُهَلِّلًا مُكَبِّرًا مُحَوْقِلًا تُؤْجَرُ أَجْرَ الْمُصَلِّي وَلِذَلِكَ فَيَكُونُ دَاخِلٌ فِي عُمُومٍ وَهُوَ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
Hari terbaik adalah hari Jumat. Seluruh waktu di hari Jumat penuh dengan keutamaan. Namun, diharapkan–meskipun tidak dapat dipastikan–bahwa waktu terkabulnya doa adalah di akhir waktu Ashar. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Abu Hurairah bersama Abdullah bin Salam, radhiyallahu ‘anhuma, dua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Salam berkata: “Sungguh aku mengetahui kapan waktunya, yaitu di akhir waktu Ashar.” Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menanggapinya: “Lalu bagaimana dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Pada hari Jumat, ada waktu yang tidaklah seorang hamba pun mendapati waktu itu saat ia mendirikan shalat, lalu ia berdoa, kecuali doanya pasti akan dikabulkan?’ Namun, waktu setelah Ashar tersebut bukanlah waktu untuk shalat?” Lalu Abdullah bin Salam yang dikenal sebagai seorang pakar ilmu agama dan salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama, menjawab: “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: ‘Barang siapa yang menunggu shalat, maka ia dianggap sedang shalat?’” Jadi, jika kamu menunggu waktu shalat dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir, dan berhauqalah, maka kamu mendapat pahala seperti pahala orang yang shalat. Oleh sebab itu, orang itu masuk dalam cakupan keumuman hadits: “Ia dianggap sedang shalat selama menunggu shalat.” ==== أَفْضَلُ أَيَّامِ الْأُسْبُوعِِ هُوَ الْجُمُعَةُ وَيَوْمُ الْجُمُعَةِ كُلُّهُ فَاضِلٌ وَإِنَّمَا يُرْجَى يُرْجَى مِنْ غَيْرِ جَزْمٍ أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ الَّتِي تُرْجَى فِيهَا الْإِجَابَةُ فِي آخِرِ سَاعَةٍ فِيْهِ وَهُوَ الْيَوْمُ لِمَا جَاءَ فِي قِصَّةِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحَابِيَّا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَمَا قَالَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيَّ سَاعَةٍ هِيَ هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنَ الْعَصْرِ فَقَالَ لَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَكَيْفَ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي وَهَذَا الْوَقْتُ لَيْسَ وَقْتَ صَلَاةٍ فَأَجَابَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ وَقَدْ كَانَ فَقِيهًا عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَمْ يَقُلِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ انْتَظَرَ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَأَنْتَ إِذَا انْتَظَرْتَ الصَّلَاةَ مُسَبِّحًا مُهَلِّلًا مُكَبِّرًا مُحَوْقِلًا تُؤْجَرُ أَجْرَ الْمُصَلِّي وَلِذَلِكَ فَيَكُونُ دَاخِلٌ فِي عُمُومٍ وَهُوَ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ


Hari terbaik adalah hari Jumat. Seluruh waktu di hari Jumat penuh dengan keutamaan. Namun, diharapkan–meskipun tidak dapat dipastikan–bahwa waktu terkabulnya doa adalah di akhir waktu Ashar. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Abu Hurairah bersama Abdullah bin Salam, radhiyallahu ‘anhuma, dua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Salam berkata: “Sungguh aku mengetahui kapan waktunya, yaitu di akhir waktu Ashar.” Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menanggapinya: “Lalu bagaimana dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Pada hari Jumat, ada waktu yang tidaklah seorang hamba pun mendapati waktu itu saat ia mendirikan shalat, lalu ia berdoa, kecuali doanya pasti akan dikabulkan?’ Namun, waktu setelah Ashar tersebut bukanlah waktu untuk shalat?” Lalu Abdullah bin Salam yang dikenal sebagai seorang pakar ilmu agama dan salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama, menjawab: “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: ‘Barang siapa yang menunggu shalat, maka ia dianggap sedang shalat?’” Jadi, jika kamu menunggu waktu shalat dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir, dan berhauqalah, maka kamu mendapat pahala seperti pahala orang yang shalat. Oleh sebab itu, orang itu masuk dalam cakupan keumuman hadits: “Ia dianggap sedang shalat selama menunggu shalat.” ==== أَفْضَلُ أَيَّامِ الْأُسْبُوعِِ هُوَ الْجُمُعَةُ وَيَوْمُ الْجُمُعَةِ كُلُّهُ فَاضِلٌ وَإِنَّمَا يُرْجَى يُرْجَى مِنْ غَيْرِ جَزْمٍ أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ الَّتِي تُرْجَى فِيهَا الْإِجَابَةُ فِي آخِرِ سَاعَةٍ فِيْهِ وَهُوَ الْيَوْمُ لِمَا جَاءَ فِي قِصَّةِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحَابِيَّا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَمَا قَالَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيَّ سَاعَةٍ هِيَ هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنَ الْعَصْرِ فَقَالَ لَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَكَيْفَ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي وَهَذَا الْوَقْتُ لَيْسَ وَقْتَ صَلَاةٍ فَأَجَابَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ وَقَدْ كَانَ فَقِيهًا عَلَيْهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَمْ يَقُلِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ انْتَظَرَ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَأَنْتَ إِذَا انْتَظَرْتَ الصَّلَاةَ مُسَبِّحًا مُهَلِّلًا مُكَبِّرًا مُحَوْقِلًا تُؤْجَرُ أَجْرَ الْمُصَلِّي وَلِذَلِكَ فَيَكُونُ دَاخِلٌ فِي عُمُومٍ وَهُوَ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ

Hukum Jual Beli Darah Manusia

Daftar Isi Toggle Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannyaHukum jual beli darah manusiaHukum membeli darah dalam keadaan daruratHukum hadiah untuk pendonor darah Darah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, darah memiliki status hukum tersendiri yang membedakannya dari benda lain. Oleh karena itu, permasalahan terkait jual beli darah dan transfusi darah perlu dikaji berdasarkan dalil-dalil syar’i agar dapat dipahami dengan baik oleh umat muslim. Para ulama sepakat bahwa darah merupakan sesuatu yang najis dan tidak boleh dimanfaatkan secara umum. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ نَجَسٌ لَا يُؤْكَل وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ “Para ulama sepakat bahwa darah adalah haram dan najis, tidak boleh dikonsumsi dan tidak boleh dimanfaatkan.” [1] Namun, dalam keadaan darurat, Islam memberikan keringanan bagi umatnya dalam penggunaan darah untuk tujuan medis, seperti transfusi darah bagi mereka yang membutuhkannya. Dengan demikian, pemahaman yang jelas mengenai hukum darah dalam Islam sangat diperlukan agar umat muslim dapat bersikap sesuai dengan ajaran syariat. Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannya Salah satu metode pengobatan bagi pasien dan penyelamatan korban yang membutuhkan adalah transfusi darah. Oleh karena itu, mendonorkan darah diperbolehkan bagi mereka yang membutuhkannya. Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Musa mengatakan, إذا مرض إنسان واشتد ضعفه ولا سبيل لتقويته أو علاجه إلا بنقل دم من غيره إليه وتعين ذلك طريقًا لإنقاذه، وغلب على ظن أهل المعرفة انتفاعه بذلك، فلا بأس بعلاجه بنقل دم غيره إليه “Jika seseorang sakit dan sangat lemah, serta tidak ada cara untuk menyembuhkannya, kecuali dengan transfusi darah, dan itu menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawanya, serta para ahli medis berkeyakinan bahwa transfusi darah tersebut akan bermanfaat baginya, maka tidak ada masalah untuk melakukan transfusi darah kepadanya.” [2] Kemudian, beliau melanjutkan, “Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa tanpa melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.’ (QS. Al-Baqarah: 173) Sisi pendalilannya adalah bahwa jika kesembuhan seorang pasien atau korban hanya bisa dicapai dengan transfusi darah dari orang lain, dan tidak ada makanan atau obat yang dapat menggantikannya, maka transfusi darah diperbolehkan. Hal ini termasuk dalam kategori kebutuhan pangan, bukan sekadar obat (karena menggunakan makanan yang diharamkan dalam kondisi darurat diperbolehkan, seperti makan bangkai bagi yang terdesak). Namun, transfusi darah hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut: Pertama: Tidak menyebabkan bahaya besar bagi pendonor, sesuai dengan hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, hadis hasan) Kedua: Penerima darah harus memiliki hak perlindungan nyawa. Ketiga: Darah harus terbebas dari penyakit menular, agar tidak menimbulkan bahaya bagi penerima. Keempat: Transfusi hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat, yaitu ketika nyawa penerima darah bergantung pada transfusi tersebut. Kelima: Darah tidak boleh diperjualbelikan.” [3] Hukum jual beli darah manusia Menjual darah adalah perbuatan yang diharamkan. Hal ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Allah Ta’ala berfirman, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ… الآية “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al-Ma’idah: 3) Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Juhaifah, إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang harga darah.” (HR. Bukhari no. 2238) Dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar disebutkan, ” ‘Tsaman ad-dam’ (harga darah) memiliki dua tafsiran. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah upah bagi tukang bekam, sementara pendapat lain menyatakan bahwa larangan ini bersifat umum, yaitu larangan menjual darah sebagaimana haramnya menjual bangkai dan babi. Pendapat kedua ini adalah yang lebih kuat, dan telah menjadi ijma’ bahwa menjual darah dan mengambil hasil penjualannya adalah haram.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Ijazah di Lembaga Pendidikan Hukum membeli darah dalam keadaan darurat Meskipun jual beli darah pada dasarnya dilarang, Islam tetap memberikan kelonggaran dalam kondisi darurat, di mana seseorang sangat membutuhkan transfusi darah dan tidak bisa mendapatkannya secara gratis. Namun, pihak yang menjual darah tetap berdosa karena telah mengambil keuntungan dari sesuatu yang haram. Dalam keputusan no. 62 (3: 11) dari Majma’ Fiqih Islam, disebutkan, ويستثنى من ذلك حالات الضرورة إليه؛ للأغراض الطبية ولا يوجد من يتبرع به إلا بعوض، فإن الضرورات تبيح المحظورات، بقدر ما ترفع الضرورة، وعندئذ يحل للمشتري دفع العوض، ويكون الإثم على الآخذ “Dikecualikan dari larangan jual beli darah adalah keadaan darurat, khususnya untuk keperluan medis, apabila tidak ada pendonor yang bersedia memberikan darahnya secara cuma-cuma, kecuali dengan imbalan. Dalam kondisi ini, kaidah fikih menyatakan bahwa ‘keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang’, namun hanya sebatas menghilangkan keadaan darurat tersebut. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, diperbolehkan bagi pembeli untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti darah yang dibutuhkan. Akan tetapi, dosa tetap menjadi tanggungan pihak yang menjual darah tersebut.” [5] Hukum hadiah untuk pendonor darah Tidak ada larangan untuk memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan kepada pendonor darah, selama bukan dalam bentuk transaksi jual beli. Masih dalam nomor keputusan yang sama, Majma’ Fiqih Islam mengatakan, ولا مانع من إعطاء المال على سبيل الهبة أو المكافأة؛ تشجيعًا على القيام بهذا العمل الإنساني الخيري؛ لأنه يكون من باب التبرعات، لا من باب المعاوضات “Tidak ada masalah dalam memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan untuk mendorong seseorang melakukan tindakan kemanusiaan yang baik ini. Sebab, pemberian tersebut termasuk dalam kategori donasi dan bukan transaksi jual beli.” [6] Berdasarkan hal ini, tidak ada larangan bagi pendonor untuk menerima minuman seperti teh atau makanan setelah mendonorkan darahnya. Jika makanan tidak tersedia, maka tidak masalah jika ia menerima uang sebagai penggantinya. Sebab, salah satu penggunaan dana negara adalah memberikan penghargaan kepada mereka yang melakukan kegiatan yang bermanfaat. Dalam hal ini, dianjurkan bagi penerima untuk menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan. Jika ia memilih untuk menyedekahkannya, maka hal itu lebih baik, karena ia akan mendapatkan pahala dari sedekah sekaligus dari perbuatan mulianya mendonorkan darah. [7] Wallaahu a’lam. Baca juga: Apakah Darah Termasuk Najis? *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Musa, Muhammad bin Ibrahim (dkk). Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 11-13 edisi pertama 1432 H/2011 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 21: 25. [2] Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136. [3] Diringkas dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136-137. [4] Fathul Baari (4: 427). Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 137 dan keputusan no. 62 (3: 11) dari Majelis Fiqih Islam yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami di Makkah. [5] Dinukil dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 138. [6] ibid. [7] https://islamqa.info/ar/398104. Lihat juga https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/20858

Hukum Jual Beli Darah Manusia

Daftar Isi Toggle Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannyaHukum jual beli darah manusiaHukum membeli darah dalam keadaan daruratHukum hadiah untuk pendonor darah Darah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, darah memiliki status hukum tersendiri yang membedakannya dari benda lain. Oleh karena itu, permasalahan terkait jual beli darah dan transfusi darah perlu dikaji berdasarkan dalil-dalil syar’i agar dapat dipahami dengan baik oleh umat muslim. Para ulama sepakat bahwa darah merupakan sesuatu yang najis dan tidak boleh dimanfaatkan secara umum. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ نَجَسٌ لَا يُؤْكَل وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ “Para ulama sepakat bahwa darah adalah haram dan najis, tidak boleh dikonsumsi dan tidak boleh dimanfaatkan.” [1] Namun, dalam keadaan darurat, Islam memberikan keringanan bagi umatnya dalam penggunaan darah untuk tujuan medis, seperti transfusi darah bagi mereka yang membutuhkannya. Dengan demikian, pemahaman yang jelas mengenai hukum darah dalam Islam sangat diperlukan agar umat muslim dapat bersikap sesuai dengan ajaran syariat. Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannya Salah satu metode pengobatan bagi pasien dan penyelamatan korban yang membutuhkan adalah transfusi darah. Oleh karena itu, mendonorkan darah diperbolehkan bagi mereka yang membutuhkannya. Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Musa mengatakan, إذا مرض إنسان واشتد ضعفه ولا سبيل لتقويته أو علاجه إلا بنقل دم من غيره إليه وتعين ذلك طريقًا لإنقاذه، وغلب على ظن أهل المعرفة انتفاعه بذلك، فلا بأس بعلاجه بنقل دم غيره إليه “Jika seseorang sakit dan sangat lemah, serta tidak ada cara untuk menyembuhkannya, kecuali dengan transfusi darah, dan itu menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawanya, serta para ahli medis berkeyakinan bahwa transfusi darah tersebut akan bermanfaat baginya, maka tidak ada masalah untuk melakukan transfusi darah kepadanya.” [2] Kemudian, beliau melanjutkan, “Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa tanpa melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.’ (QS. Al-Baqarah: 173) Sisi pendalilannya adalah bahwa jika kesembuhan seorang pasien atau korban hanya bisa dicapai dengan transfusi darah dari orang lain, dan tidak ada makanan atau obat yang dapat menggantikannya, maka transfusi darah diperbolehkan. Hal ini termasuk dalam kategori kebutuhan pangan, bukan sekadar obat (karena menggunakan makanan yang diharamkan dalam kondisi darurat diperbolehkan, seperti makan bangkai bagi yang terdesak). Namun, transfusi darah hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut: Pertama: Tidak menyebabkan bahaya besar bagi pendonor, sesuai dengan hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, hadis hasan) Kedua: Penerima darah harus memiliki hak perlindungan nyawa. Ketiga: Darah harus terbebas dari penyakit menular, agar tidak menimbulkan bahaya bagi penerima. Keempat: Transfusi hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat, yaitu ketika nyawa penerima darah bergantung pada transfusi tersebut. Kelima: Darah tidak boleh diperjualbelikan.” [3] Hukum jual beli darah manusia Menjual darah adalah perbuatan yang diharamkan. Hal ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Allah Ta’ala berfirman, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ… الآية “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al-Ma’idah: 3) Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Juhaifah, إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang harga darah.” (HR. Bukhari no. 2238) Dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar disebutkan, ” ‘Tsaman ad-dam’ (harga darah) memiliki dua tafsiran. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah upah bagi tukang bekam, sementara pendapat lain menyatakan bahwa larangan ini bersifat umum, yaitu larangan menjual darah sebagaimana haramnya menjual bangkai dan babi. Pendapat kedua ini adalah yang lebih kuat, dan telah menjadi ijma’ bahwa menjual darah dan mengambil hasil penjualannya adalah haram.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Ijazah di Lembaga Pendidikan Hukum membeli darah dalam keadaan darurat Meskipun jual beli darah pada dasarnya dilarang, Islam tetap memberikan kelonggaran dalam kondisi darurat, di mana seseorang sangat membutuhkan transfusi darah dan tidak bisa mendapatkannya secara gratis. Namun, pihak yang menjual darah tetap berdosa karena telah mengambil keuntungan dari sesuatu yang haram. Dalam keputusan no. 62 (3: 11) dari Majma’ Fiqih Islam, disebutkan, ويستثنى من ذلك حالات الضرورة إليه؛ للأغراض الطبية ولا يوجد من يتبرع به إلا بعوض، فإن الضرورات تبيح المحظورات، بقدر ما ترفع الضرورة، وعندئذ يحل للمشتري دفع العوض، ويكون الإثم على الآخذ “Dikecualikan dari larangan jual beli darah adalah keadaan darurat, khususnya untuk keperluan medis, apabila tidak ada pendonor yang bersedia memberikan darahnya secara cuma-cuma, kecuali dengan imbalan. Dalam kondisi ini, kaidah fikih menyatakan bahwa ‘keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang’, namun hanya sebatas menghilangkan keadaan darurat tersebut. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, diperbolehkan bagi pembeli untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti darah yang dibutuhkan. Akan tetapi, dosa tetap menjadi tanggungan pihak yang menjual darah tersebut.” [5] Hukum hadiah untuk pendonor darah Tidak ada larangan untuk memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan kepada pendonor darah, selama bukan dalam bentuk transaksi jual beli. Masih dalam nomor keputusan yang sama, Majma’ Fiqih Islam mengatakan, ولا مانع من إعطاء المال على سبيل الهبة أو المكافأة؛ تشجيعًا على القيام بهذا العمل الإنساني الخيري؛ لأنه يكون من باب التبرعات، لا من باب المعاوضات “Tidak ada masalah dalam memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan untuk mendorong seseorang melakukan tindakan kemanusiaan yang baik ini. Sebab, pemberian tersebut termasuk dalam kategori donasi dan bukan transaksi jual beli.” [6] Berdasarkan hal ini, tidak ada larangan bagi pendonor untuk menerima minuman seperti teh atau makanan setelah mendonorkan darahnya. Jika makanan tidak tersedia, maka tidak masalah jika ia menerima uang sebagai penggantinya. Sebab, salah satu penggunaan dana negara adalah memberikan penghargaan kepada mereka yang melakukan kegiatan yang bermanfaat. Dalam hal ini, dianjurkan bagi penerima untuk menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan. Jika ia memilih untuk menyedekahkannya, maka hal itu lebih baik, karena ia akan mendapatkan pahala dari sedekah sekaligus dari perbuatan mulianya mendonorkan darah. [7] Wallaahu a’lam. Baca juga: Apakah Darah Termasuk Najis? *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Musa, Muhammad bin Ibrahim (dkk). Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 11-13 edisi pertama 1432 H/2011 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 21: 25. [2] Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136. [3] Diringkas dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136-137. [4] Fathul Baari (4: 427). Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 137 dan keputusan no. 62 (3: 11) dari Majelis Fiqih Islam yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami di Makkah. [5] Dinukil dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 138. [6] ibid. [7] https://islamqa.info/ar/398104. Lihat juga https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/20858
Daftar Isi Toggle Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannyaHukum jual beli darah manusiaHukum membeli darah dalam keadaan daruratHukum hadiah untuk pendonor darah Darah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, darah memiliki status hukum tersendiri yang membedakannya dari benda lain. Oleh karena itu, permasalahan terkait jual beli darah dan transfusi darah perlu dikaji berdasarkan dalil-dalil syar’i agar dapat dipahami dengan baik oleh umat muslim. Para ulama sepakat bahwa darah merupakan sesuatu yang najis dan tidak boleh dimanfaatkan secara umum. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ نَجَسٌ لَا يُؤْكَل وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ “Para ulama sepakat bahwa darah adalah haram dan najis, tidak boleh dikonsumsi dan tidak boleh dimanfaatkan.” [1] Namun, dalam keadaan darurat, Islam memberikan keringanan bagi umatnya dalam penggunaan darah untuk tujuan medis, seperti transfusi darah bagi mereka yang membutuhkannya. Dengan demikian, pemahaman yang jelas mengenai hukum darah dalam Islam sangat diperlukan agar umat muslim dapat bersikap sesuai dengan ajaran syariat. Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannya Salah satu metode pengobatan bagi pasien dan penyelamatan korban yang membutuhkan adalah transfusi darah. Oleh karena itu, mendonorkan darah diperbolehkan bagi mereka yang membutuhkannya. Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Musa mengatakan, إذا مرض إنسان واشتد ضعفه ولا سبيل لتقويته أو علاجه إلا بنقل دم من غيره إليه وتعين ذلك طريقًا لإنقاذه، وغلب على ظن أهل المعرفة انتفاعه بذلك، فلا بأس بعلاجه بنقل دم غيره إليه “Jika seseorang sakit dan sangat lemah, serta tidak ada cara untuk menyembuhkannya, kecuali dengan transfusi darah, dan itu menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawanya, serta para ahli medis berkeyakinan bahwa transfusi darah tersebut akan bermanfaat baginya, maka tidak ada masalah untuk melakukan transfusi darah kepadanya.” [2] Kemudian, beliau melanjutkan, “Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa tanpa melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.’ (QS. Al-Baqarah: 173) Sisi pendalilannya adalah bahwa jika kesembuhan seorang pasien atau korban hanya bisa dicapai dengan transfusi darah dari orang lain, dan tidak ada makanan atau obat yang dapat menggantikannya, maka transfusi darah diperbolehkan. Hal ini termasuk dalam kategori kebutuhan pangan, bukan sekadar obat (karena menggunakan makanan yang diharamkan dalam kondisi darurat diperbolehkan, seperti makan bangkai bagi yang terdesak). Namun, transfusi darah hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut: Pertama: Tidak menyebabkan bahaya besar bagi pendonor, sesuai dengan hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, hadis hasan) Kedua: Penerima darah harus memiliki hak perlindungan nyawa. Ketiga: Darah harus terbebas dari penyakit menular, agar tidak menimbulkan bahaya bagi penerima. Keempat: Transfusi hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat, yaitu ketika nyawa penerima darah bergantung pada transfusi tersebut. Kelima: Darah tidak boleh diperjualbelikan.” [3] Hukum jual beli darah manusia Menjual darah adalah perbuatan yang diharamkan. Hal ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Allah Ta’ala berfirman, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ… الآية “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al-Ma’idah: 3) Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Juhaifah, إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang harga darah.” (HR. Bukhari no. 2238) Dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar disebutkan, ” ‘Tsaman ad-dam’ (harga darah) memiliki dua tafsiran. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah upah bagi tukang bekam, sementara pendapat lain menyatakan bahwa larangan ini bersifat umum, yaitu larangan menjual darah sebagaimana haramnya menjual bangkai dan babi. Pendapat kedua ini adalah yang lebih kuat, dan telah menjadi ijma’ bahwa menjual darah dan mengambil hasil penjualannya adalah haram.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Ijazah di Lembaga Pendidikan Hukum membeli darah dalam keadaan darurat Meskipun jual beli darah pada dasarnya dilarang, Islam tetap memberikan kelonggaran dalam kondisi darurat, di mana seseorang sangat membutuhkan transfusi darah dan tidak bisa mendapatkannya secara gratis. Namun, pihak yang menjual darah tetap berdosa karena telah mengambil keuntungan dari sesuatu yang haram. Dalam keputusan no. 62 (3: 11) dari Majma’ Fiqih Islam, disebutkan, ويستثنى من ذلك حالات الضرورة إليه؛ للأغراض الطبية ولا يوجد من يتبرع به إلا بعوض، فإن الضرورات تبيح المحظورات، بقدر ما ترفع الضرورة، وعندئذ يحل للمشتري دفع العوض، ويكون الإثم على الآخذ “Dikecualikan dari larangan jual beli darah adalah keadaan darurat, khususnya untuk keperluan medis, apabila tidak ada pendonor yang bersedia memberikan darahnya secara cuma-cuma, kecuali dengan imbalan. Dalam kondisi ini, kaidah fikih menyatakan bahwa ‘keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang’, namun hanya sebatas menghilangkan keadaan darurat tersebut. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, diperbolehkan bagi pembeli untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti darah yang dibutuhkan. Akan tetapi, dosa tetap menjadi tanggungan pihak yang menjual darah tersebut.” [5] Hukum hadiah untuk pendonor darah Tidak ada larangan untuk memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan kepada pendonor darah, selama bukan dalam bentuk transaksi jual beli. Masih dalam nomor keputusan yang sama, Majma’ Fiqih Islam mengatakan, ولا مانع من إعطاء المال على سبيل الهبة أو المكافأة؛ تشجيعًا على القيام بهذا العمل الإنساني الخيري؛ لأنه يكون من باب التبرعات، لا من باب المعاوضات “Tidak ada masalah dalam memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan untuk mendorong seseorang melakukan tindakan kemanusiaan yang baik ini. Sebab, pemberian tersebut termasuk dalam kategori donasi dan bukan transaksi jual beli.” [6] Berdasarkan hal ini, tidak ada larangan bagi pendonor untuk menerima minuman seperti teh atau makanan setelah mendonorkan darahnya. Jika makanan tidak tersedia, maka tidak masalah jika ia menerima uang sebagai penggantinya. Sebab, salah satu penggunaan dana negara adalah memberikan penghargaan kepada mereka yang melakukan kegiatan yang bermanfaat. Dalam hal ini, dianjurkan bagi penerima untuk menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan. Jika ia memilih untuk menyedekahkannya, maka hal itu lebih baik, karena ia akan mendapatkan pahala dari sedekah sekaligus dari perbuatan mulianya mendonorkan darah. [7] Wallaahu a’lam. Baca juga: Apakah Darah Termasuk Najis? *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Musa, Muhammad bin Ibrahim (dkk). Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 11-13 edisi pertama 1432 H/2011 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 21: 25. [2] Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136. [3] Diringkas dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136-137. [4] Fathul Baari (4: 427). Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 137 dan keputusan no. 62 (3: 11) dari Majelis Fiqih Islam yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami di Makkah. [5] Dinukil dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 138. [6] ibid. [7] https://islamqa.info/ar/398104. Lihat juga https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/20858


Daftar Isi Toggle Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannyaHukum jual beli darah manusiaHukum membeli darah dalam keadaan daruratHukum hadiah untuk pendonor darah Darah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, darah memiliki status hukum tersendiri yang membedakannya dari benda lain. Oleh karena itu, permasalahan terkait jual beli darah dan transfusi darah perlu dikaji berdasarkan dalil-dalil syar’i agar dapat dipahami dengan baik oleh umat muslim. Para ulama sepakat bahwa darah merupakan sesuatu yang najis dan tidak boleh dimanfaatkan secara umum. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ نَجَسٌ لَا يُؤْكَل وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ “Para ulama sepakat bahwa darah adalah haram dan najis, tidak boleh dikonsumsi dan tidak boleh dimanfaatkan.” [1] Namun, dalam keadaan darurat, Islam memberikan keringanan bagi umatnya dalam penggunaan darah untuk tujuan medis, seperti transfusi darah bagi mereka yang membutuhkannya. Dengan demikian, pemahaman yang jelas mengenai hukum darah dalam Islam sangat diperlukan agar umat muslim dapat bersikap sesuai dengan ajaran syariat. Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannya Salah satu metode pengobatan bagi pasien dan penyelamatan korban yang membutuhkan adalah transfusi darah. Oleh karena itu, mendonorkan darah diperbolehkan bagi mereka yang membutuhkannya. Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Musa mengatakan, إذا مرض إنسان واشتد ضعفه ولا سبيل لتقويته أو علاجه إلا بنقل دم من غيره إليه وتعين ذلك طريقًا لإنقاذه، وغلب على ظن أهل المعرفة انتفاعه بذلك، فلا بأس بعلاجه بنقل دم غيره إليه “Jika seseorang sakit dan sangat lemah, serta tidak ada cara untuk menyembuhkannya, kecuali dengan transfusi darah, dan itu menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawanya, serta para ahli medis berkeyakinan bahwa transfusi darah tersebut akan bermanfaat baginya, maka tidak ada masalah untuk melakukan transfusi darah kepadanya.” [2] Kemudian, beliau melanjutkan, “Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa tanpa melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.’ (QS. Al-Baqarah: 173) Sisi pendalilannya adalah bahwa jika kesembuhan seorang pasien atau korban hanya bisa dicapai dengan transfusi darah dari orang lain, dan tidak ada makanan atau obat yang dapat menggantikannya, maka transfusi darah diperbolehkan. Hal ini termasuk dalam kategori kebutuhan pangan, bukan sekadar obat (karena menggunakan makanan yang diharamkan dalam kondisi darurat diperbolehkan, seperti makan bangkai bagi yang terdesak). Namun, transfusi darah hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut: Pertama: Tidak menyebabkan bahaya besar bagi pendonor, sesuai dengan hadis, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, hadis hasan) Kedua: Penerima darah harus memiliki hak perlindungan nyawa. Ketiga: Darah harus terbebas dari penyakit menular, agar tidak menimbulkan bahaya bagi penerima. Keempat: Transfusi hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat, yaitu ketika nyawa penerima darah bergantung pada transfusi tersebut. Kelima: Darah tidak boleh diperjualbelikan.” [3] Hukum jual beli darah manusia Menjual darah adalah perbuatan yang diharamkan. Hal ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Allah Ta’ala berfirman, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ… الآية “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al-Ma’idah: 3) Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Juhaifah, إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang harga darah.” (HR. Bukhari no. 2238) Dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar disebutkan, ” ‘Tsaman ad-dam’ (harga darah) memiliki dua tafsiran. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah upah bagi tukang bekam, sementara pendapat lain menyatakan bahwa larangan ini bersifat umum, yaitu larangan menjual darah sebagaimana haramnya menjual bangkai dan babi. Pendapat kedua ini adalah yang lebih kuat, dan telah menjadi ijma’ bahwa menjual darah dan mengambil hasil penjualannya adalah haram.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Ijazah di Lembaga Pendidikan Hukum membeli darah dalam keadaan darurat Meskipun jual beli darah pada dasarnya dilarang, Islam tetap memberikan kelonggaran dalam kondisi darurat, di mana seseorang sangat membutuhkan transfusi darah dan tidak bisa mendapatkannya secara gratis. Namun, pihak yang menjual darah tetap berdosa karena telah mengambil keuntungan dari sesuatu yang haram. Dalam keputusan no. 62 (3: 11) dari Majma’ Fiqih Islam, disebutkan, ويستثنى من ذلك حالات الضرورة إليه؛ للأغراض الطبية ولا يوجد من يتبرع به إلا بعوض، فإن الضرورات تبيح المحظورات، بقدر ما ترفع الضرورة، وعندئذ يحل للمشتري دفع العوض، ويكون الإثم على الآخذ “Dikecualikan dari larangan jual beli darah adalah keadaan darurat, khususnya untuk keperluan medis, apabila tidak ada pendonor yang bersedia memberikan darahnya secara cuma-cuma, kecuali dengan imbalan. Dalam kondisi ini, kaidah fikih menyatakan bahwa ‘keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang’, namun hanya sebatas menghilangkan keadaan darurat tersebut. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, diperbolehkan bagi pembeli untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti darah yang dibutuhkan. Akan tetapi, dosa tetap menjadi tanggungan pihak yang menjual darah tersebut.” [5] Hukum hadiah untuk pendonor darah Tidak ada larangan untuk memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan kepada pendonor darah, selama bukan dalam bentuk transaksi jual beli. Masih dalam nomor keputusan yang sama, Majma’ Fiqih Islam mengatakan, ولا مانع من إعطاء المال على سبيل الهبة أو المكافأة؛ تشجيعًا على القيام بهذا العمل الإنساني الخيري؛ لأنه يكون من باب التبرعات، لا من باب المعاوضات “Tidak ada masalah dalam memberikan uang sebagai hadiah atau penghargaan untuk mendorong seseorang melakukan tindakan kemanusiaan yang baik ini. Sebab, pemberian tersebut termasuk dalam kategori donasi dan bukan transaksi jual beli.” [6] Berdasarkan hal ini, tidak ada larangan bagi pendonor untuk menerima minuman seperti teh atau makanan setelah mendonorkan darahnya. Jika makanan tidak tersedia, maka tidak masalah jika ia menerima uang sebagai penggantinya. Sebab, salah satu penggunaan dana negara adalah memberikan penghargaan kepada mereka yang melakukan kegiatan yang bermanfaat. Dalam hal ini, dianjurkan bagi penerima untuk menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan. Jika ia memilih untuk menyedekahkannya, maka hal itu lebih baik, karena ia akan mendapatkan pahala dari sedekah sekaligus dari perbuatan mulianya mendonorkan darah. [7] Wallaahu a’lam. Baca juga: Apakah Darah Termasuk Najis? *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Musa, Muhammad bin Ibrahim (dkk). Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 11-13 edisi pertama 1432 H/2011 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 21: 25. [2] Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136. [3] Diringkas dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136-137. [4] Fathul Baari (4: 427). Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 137 dan keputusan no. 62 (3: 11) dari Majelis Fiqih Islam yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami di Makkah. [5] Dinukil dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 138. [6] ibid. [7] https://islamqa.info/ar/398104. Lihat juga https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/20858

Mengenal Nama Allah “Al-Ilah”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ilah“Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“Makna bahasa dari “Al-Ilah“Makna “Al-Ilah” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hambaPertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-NyaKedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain AllahKetiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Mengenal nama Allah adalah bagian penting dalam memahami tauhid yang benar. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan keesaan dan kemuliaan-Nya adalah Al-Ilah, yang berarti satu-satunya sesembahan yang benar. Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Ilah, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampak dari memahami nama ini bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini memperkuat keyakinan kita, menambah keimanan, serta mendorong kita untuk lebih mencintai, mengagungkan, dan menghambakan diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Dalil nama Allah “Al-Ilah“ “Al-Ilah” adalah salah satu dari nama-nama Allah yang paling indah (asmaulhusna), yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163) Allah juga berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهَا وَاحِدًا لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31) Allah berfirman lagi, قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya wahyu yang diwahyukan kepadaku adalah bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka apakah kalian akan berserah diri (kepada-Nya)?’” (QS. Al-Anbiya: 108) [1] Di antara ulama yang memasukkan “Al-Ilah” dalam daftar asmaulhusna adalah Ibn Hazm, Ibn Hajar, Ibn Al-Wazir, dan Ibn Utsaimin -semoga Allah merahmati mereka semua-. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ilah” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ilah“ Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) bermakna ( التَّعَبُّدُ ) penghambaan atau peribadatan. Sedangkan al-ilah bermakna ( الْمَعْبُودُ ) yang diibadahi. Ibnu Faris mengatakan, (أله) الْهَمْزَةُ وَاللَّامُ وَالْهَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ التَّعَبُّدُ. فَالْإِلَهُ اللَّهُ تَعَالَى، وَسُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ مَعْبُودٌ. “Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) merupakan dasar yang satu, yaitu penghambaan atau peribadatan. Oleh karena itu, Al-Ilah adalah Allah Ta’ala, yang dinamakan demikian karena Dia adalah satu-satunya yang disembah.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, (ء ل هـ) : أَلِهَ يَأْلَهُ (مِنْ بَابِ تَعِبَ) إلَاهَةً بِمَعْنَى عَبَدَ عِبَادَةً وَتَأَلَّهَ تَعَبَّدَ وَالْإِلَهُ الْمَعْبُودُ “aliha – ya`lahu – Ilahatan bermakna ‘abada – ‘ibadatan. Ta`allaha yaitu ta’abbada. Al-ilah berarti al-ma’bud (yang diibadahi).” [4] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, قوله لا إله، أي: لا مألوه، وليس بمعنى لا آله، والمألوه : هو المعبود محبة وتعظيما تحبه وتعظمه لما تعلم من صفاته العظيمة وأفعاله الجليلة. قوله إلا الله، أي: لا مألوه إلا الله. “Kalimat ‘Lailaha’ berarti ‘tidak ada yang diibadahi dengan benar’, bukan bermakna ‘tidak ada tuhan-tuhan’. Yang dimaksud dengan ‘mā’lūh’ adalah sesuatu yang disembah dengan penuh cinta dan pengagungan, yaitu sesuatu yang dicintai dan diagungkan karena diketahui memiliki sifat-sifat yang agung dan perbuatan-perbuatan yang mulia. Sedangkan kalimat ‘illallah’ berarti ‘tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar, kecuali Allah’.” [5] Beberapa ulama menyatakan bahwa kata Allah berasal dari Al-Ilah, kemudian huruf hamzah dihilangkan untuk kemudahan pengucapan. Pendapat ini didukung oleh Sibawaih, Ibn Qayyim, dan beberapa ulama lainnya. [6] Sedangkan, berhala-berhala disebut sebagai alihah (sesembahan-sesembahan, bentuk jamak dari ilah) karena kaum musyrikin menyembahnya selain Allah dan menganggapnya layak disembah. [7] Makna “Al-Ilah” dalam konteks Allah Syekh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah mengatakan, اسم الإله: هو الجامع لجميع صفات الكمال ونعوت الجلال، فقد دخل في هذا الاسم جميع الأسماء الحسنى “Nama Al-Ilah mencakup seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan Allah. Nama ini mencakup seluruh asmaulhusna.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sehingga pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah berasal dari Al-Ilah. Dengan demikian, nama Allah adalah nama yang mencakup semua nama dan sifat-Nya yang Mahatinggi. Allah berfirman, إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً ‘Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Mahasuci Dia dari memiliki anak. Milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.’ (QS. An-Nisa: 171)” [8] Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Salah satu penjelasan terbaik tentang makna nama Allah (yang ini berasal dari kata al-ilah) adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين ‘Allah adalah Zat yang memiliki keilahiahan dan penghambaan atas seluruh makhluk-Nya.’ (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya, 1: 121)” Selanjutnya, beliau menjelaskan tentang makna ucapan Ibnu Abbas tersebut. Allah menggabungkan kedua aspek ini dalam banyak ayat, seperti, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14) Dan firman-Nya Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) [9] Syekh Dr. Basim ‘Amir mengatakan, والإله كذلك من أسماء الله تعالى كما ذكر ذلك جمع من العلماء، منهم: ابن منده وابن حزم وابن حجر وابن الوزير وابن عثيمين، قال تعالى: ﴿ وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ﴾ [الزخرف: 84]، أي: هو المعبود الحق في السماء، وهو المعبود الحق في الأرض، فيعبده أهلهما. “Nama Al-Ilah juga termasuk dalam asmaulhusna, sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama. Di antaranya: Ibnu Mandah, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ibnu Al-Wazir, dan Ibnu Utsaimin. Allah berfirman, وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ‘Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.’ (QS. Az-Zukhruf: 84) Yaitu, Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah di langit maupun di bumi, dan penduduk langit dan bumi menyembah-Nya.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ilah” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya Sifat-sifat keilahiahan mencakup semua sifat kesempurnaan, keagungan, kebesaran, keindahan, kasih sayang, kebaikan, kemurahan, dan anugerah-Nya. Karena sifat-sifat inilah, Allah berhak untuk disembah dan diibadahi. [11] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, {الله} هو المألوه المستحق لإفراده بالمحبة والخوف والرجاء وأنواع العبادة كلها، لما اتصف به من صفات الكمال، وهي التي تدعو الخلق إلى عبادته والتأله له. “Allah adalah satu-satunya yang pantas untuk dicintai, ditakuti, diharapkan, dan disembah dengan segala bentuk ibadah karena Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Inilah yang mendorong makhluk untuk beribadah dan tunduk kepada-Nya.” [12] Kedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain Allah Allah Ta’ala berfirman, فما أغنت عنهم آلهتهم التي يدعون من دون الله من شيء “Dan tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah tidak memberi manfaat apa pun kepada mereka.” (QS. Hud: 101) Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah kebatilan, karena tidak memiliki dasar kebenaran. Syirik dan penyembahan terhadap selain Allah adalah sesuatu yang tertolak secara syar’i. Hal ini sebagaimana firman Allah, ومثل كلمة خبيثة كشجرة خبيثة اجتثت من فوق الأرض ما لها من قرار “Perumpamaan (kalimat) yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, yang tercabut dari permukaan bumi, tidak memiliki keteguhan.” (QS. Ibrahim: 26) [13] Ketiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Dr. Bassem Amer menyatakan, “Implikasi dari nama Allah yang agung ini (yaitu, Al-Ilah) adalah terealisasinya penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan peribadatan yang tulus, tanpa ada sedikit pun kesyirikan atau persekutuan bagi makhluk mana pun. Tidak ada Islam dan iman tanpa mewujudkan penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.’ (QS. Adz-Dzariyat: 56-57)” [14] Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa mengesakan-Nya dalam ibadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan, dan menjauhkan kita dari kesyirikan dan bahaya-bahayanya. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syuruh Syaikh Shalih Al-’Utsaimin li Asma’ Allah Ta’ala Al-Husna. Disusun dan ditata oleh Munā Asy-Syamrī.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma’il Husna – Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 89-90. Lihat juga Mausu’ah Al-Asma’ Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 237. [2] Lihat: Asma’ul Husna oleh Abdullah bin Shalih Al-Ghushn, hal. 352. [3] Maqayis Al-Lughah hal. 49. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 25. [5] Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [6] Islamqa.info/ar/41936 . Lihat juga Asy-Syarh Al-Mumti’, 3: 56, Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41-42, Mausu’ah Al-Asma Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 238. [7] Isytiqaq Asma’ Allah oleh Abu Al-Qasim Az-Zajjaji, hal. 30, dan Lisan Al-‘Arab entri أله. Dinukil dari https://islamqa.info/ar/41936 [8] Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah, hal. 192. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 90-91. Silakan merujuk ke sini, karena terdapat penjelasan yang panjang dan sangat penting. [10]  https://alukah.net/sharia/0/142283/ [11] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 91. [12] Taysir Al-Lathif Al-Mannan fi Khulasat Tafsir Al-Qur’an, hal. 9. [13] Syarh Asma’ Allah Al-Husna, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [14] https://alukah.net/sharia/0/142283/

Mengenal Nama Allah “Al-Ilah”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ilah“Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“Makna bahasa dari “Al-Ilah“Makna “Al-Ilah” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hambaPertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-NyaKedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain AllahKetiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Mengenal nama Allah adalah bagian penting dalam memahami tauhid yang benar. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan keesaan dan kemuliaan-Nya adalah Al-Ilah, yang berarti satu-satunya sesembahan yang benar. Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Ilah, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampak dari memahami nama ini bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini memperkuat keyakinan kita, menambah keimanan, serta mendorong kita untuk lebih mencintai, mengagungkan, dan menghambakan diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Dalil nama Allah “Al-Ilah“ “Al-Ilah” adalah salah satu dari nama-nama Allah yang paling indah (asmaulhusna), yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163) Allah juga berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهَا وَاحِدًا لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31) Allah berfirman lagi, قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya wahyu yang diwahyukan kepadaku adalah bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka apakah kalian akan berserah diri (kepada-Nya)?’” (QS. Al-Anbiya: 108) [1] Di antara ulama yang memasukkan “Al-Ilah” dalam daftar asmaulhusna adalah Ibn Hazm, Ibn Hajar, Ibn Al-Wazir, dan Ibn Utsaimin -semoga Allah merahmati mereka semua-. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ilah” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ilah“ Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) bermakna ( التَّعَبُّدُ ) penghambaan atau peribadatan. Sedangkan al-ilah bermakna ( الْمَعْبُودُ ) yang diibadahi. Ibnu Faris mengatakan, (أله) الْهَمْزَةُ وَاللَّامُ وَالْهَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ التَّعَبُّدُ. فَالْإِلَهُ اللَّهُ تَعَالَى، وَسُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ مَعْبُودٌ. “Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) merupakan dasar yang satu, yaitu penghambaan atau peribadatan. Oleh karena itu, Al-Ilah adalah Allah Ta’ala, yang dinamakan demikian karena Dia adalah satu-satunya yang disembah.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, (ء ل هـ) : أَلِهَ يَأْلَهُ (مِنْ بَابِ تَعِبَ) إلَاهَةً بِمَعْنَى عَبَدَ عِبَادَةً وَتَأَلَّهَ تَعَبَّدَ وَالْإِلَهُ الْمَعْبُودُ “aliha – ya`lahu – Ilahatan bermakna ‘abada – ‘ibadatan. Ta`allaha yaitu ta’abbada. Al-ilah berarti al-ma’bud (yang diibadahi).” [4] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, قوله لا إله، أي: لا مألوه، وليس بمعنى لا آله، والمألوه : هو المعبود محبة وتعظيما تحبه وتعظمه لما تعلم من صفاته العظيمة وأفعاله الجليلة. قوله إلا الله، أي: لا مألوه إلا الله. “Kalimat ‘Lailaha’ berarti ‘tidak ada yang diibadahi dengan benar’, bukan bermakna ‘tidak ada tuhan-tuhan’. Yang dimaksud dengan ‘mā’lūh’ adalah sesuatu yang disembah dengan penuh cinta dan pengagungan, yaitu sesuatu yang dicintai dan diagungkan karena diketahui memiliki sifat-sifat yang agung dan perbuatan-perbuatan yang mulia. Sedangkan kalimat ‘illallah’ berarti ‘tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar, kecuali Allah’.” [5] Beberapa ulama menyatakan bahwa kata Allah berasal dari Al-Ilah, kemudian huruf hamzah dihilangkan untuk kemudahan pengucapan. Pendapat ini didukung oleh Sibawaih, Ibn Qayyim, dan beberapa ulama lainnya. [6] Sedangkan, berhala-berhala disebut sebagai alihah (sesembahan-sesembahan, bentuk jamak dari ilah) karena kaum musyrikin menyembahnya selain Allah dan menganggapnya layak disembah. [7] Makna “Al-Ilah” dalam konteks Allah Syekh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah mengatakan, اسم الإله: هو الجامع لجميع صفات الكمال ونعوت الجلال، فقد دخل في هذا الاسم جميع الأسماء الحسنى “Nama Al-Ilah mencakup seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan Allah. Nama ini mencakup seluruh asmaulhusna.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sehingga pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah berasal dari Al-Ilah. Dengan demikian, nama Allah adalah nama yang mencakup semua nama dan sifat-Nya yang Mahatinggi. Allah berfirman, إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً ‘Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Mahasuci Dia dari memiliki anak. Milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.’ (QS. An-Nisa: 171)” [8] Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Salah satu penjelasan terbaik tentang makna nama Allah (yang ini berasal dari kata al-ilah) adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين ‘Allah adalah Zat yang memiliki keilahiahan dan penghambaan atas seluruh makhluk-Nya.’ (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya, 1: 121)” Selanjutnya, beliau menjelaskan tentang makna ucapan Ibnu Abbas tersebut. Allah menggabungkan kedua aspek ini dalam banyak ayat, seperti, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14) Dan firman-Nya Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) [9] Syekh Dr. Basim ‘Amir mengatakan, والإله كذلك من أسماء الله تعالى كما ذكر ذلك جمع من العلماء، منهم: ابن منده وابن حزم وابن حجر وابن الوزير وابن عثيمين، قال تعالى: ﴿ وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ﴾ [الزخرف: 84]، أي: هو المعبود الحق في السماء، وهو المعبود الحق في الأرض، فيعبده أهلهما. “Nama Al-Ilah juga termasuk dalam asmaulhusna, sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama. Di antaranya: Ibnu Mandah, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ibnu Al-Wazir, dan Ibnu Utsaimin. Allah berfirman, وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ‘Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.’ (QS. Az-Zukhruf: 84) Yaitu, Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah di langit maupun di bumi, dan penduduk langit dan bumi menyembah-Nya.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ilah” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya Sifat-sifat keilahiahan mencakup semua sifat kesempurnaan, keagungan, kebesaran, keindahan, kasih sayang, kebaikan, kemurahan, dan anugerah-Nya. Karena sifat-sifat inilah, Allah berhak untuk disembah dan diibadahi. [11] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, {الله} هو المألوه المستحق لإفراده بالمحبة والخوف والرجاء وأنواع العبادة كلها، لما اتصف به من صفات الكمال، وهي التي تدعو الخلق إلى عبادته والتأله له. “Allah adalah satu-satunya yang pantas untuk dicintai, ditakuti, diharapkan, dan disembah dengan segala bentuk ibadah karena Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Inilah yang mendorong makhluk untuk beribadah dan tunduk kepada-Nya.” [12] Kedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain Allah Allah Ta’ala berfirman, فما أغنت عنهم آلهتهم التي يدعون من دون الله من شيء “Dan tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah tidak memberi manfaat apa pun kepada mereka.” (QS. Hud: 101) Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah kebatilan, karena tidak memiliki dasar kebenaran. Syirik dan penyembahan terhadap selain Allah adalah sesuatu yang tertolak secara syar’i. Hal ini sebagaimana firman Allah, ومثل كلمة خبيثة كشجرة خبيثة اجتثت من فوق الأرض ما لها من قرار “Perumpamaan (kalimat) yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, yang tercabut dari permukaan bumi, tidak memiliki keteguhan.” (QS. Ibrahim: 26) [13] Ketiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Dr. Bassem Amer menyatakan, “Implikasi dari nama Allah yang agung ini (yaitu, Al-Ilah) adalah terealisasinya penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan peribadatan yang tulus, tanpa ada sedikit pun kesyirikan atau persekutuan bagi makhluk mana pun. Tidak ada Islam dan iman tanpa mewujudkan penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.’ (QS. Adz-Dzariyat: 56-57)” [14] Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa mengesakan-Nya dalam ibadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan, dan menjauhkan kita dari kesyirikan dan bahaya-bahayanya. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syuruh Syaikh Shalih Al-’Utsaimin li Asma’ Allah Ta’ala Al-Husna. Disusun dan ditata oleh Munā Asy-Syamrī.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma’il Husna – Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 89-90. Lihat juga Mausu’ah Al-Asma’ Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 237. [2] Lihat: Asma’ul Husna oleh Abdullah bin Shalih Al-Ghushn, hal. 352. [3] Maqayis Al-Lughah hal. 49. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 25. [5] Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [6] Islamqa.info/ar/41936 . Lihat juga Asy-Syarh Al-Mumti’, 3: 56, Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41-42, Mausu’ah Al-Asma Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 238. [7] Isytiqaq Asma’ Allah oleh Abu Al-Qasim Az-Zajjaji, hal. 30, dan Lisan Al-‘Arab entri أله. Dinukil dari https://islamqa.info/ar/41936 [8] Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah, hal. 192. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 90-91. Silakan merujuk ke sini, karena terdapat penjelasan yang panjang dan sangat penting. [10]  https://alukah.net/sharia/0/142283/ [11] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 91. [12] Taysir Al-Lathif Al-Mannan fi Khulasat Tafsir Al-Qur’an, hal. 9. [13] Syarh Asma’ Allah Al-Husna, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [14] https://alukah.net/sharia/0/142283/
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ilah“Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“Makna bahasa dari “Al-Ilah“Makna “Al-Ilah” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hambaPertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-NyaKedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain AllahKetiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Mengenal nama Allah adalah bagian penting dalam memahami tauhid yang benar. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan keesaan dan kemuliaan-Nya adalah Al-Ilah, yang berarti satu-satunya sesembahan yang benar. Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Ilah, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampak dari memahami nama ini bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini memperkuat keyakinan kita, menambah keimanan, serta mendorong kita untuk lebih mencintai, mengagungkan, dan menghambakan diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Dalil nama Allah “Al-Ilah“ “Al-Ilah” adalah salah satu dari nama-nama Allah yang paling indah (asmaulhusna), yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163) Allah juga berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهَا وَاحِدًا لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31) Allah berfirman lagi, قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya wahyu yang diwahyukan kepadaku adalah bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka apakah kalian akan berserah diri (kepada-Nya)?’” (QS. Al-Anbiya: 108) [1] Di antara ulama yang memasukkan “Al-Ilah” dalam daftar asmaulhusna adalah Ibn Hazm, Ibn Hajar, Ibn Al-Wazir, dan Ibn Utsaimin -semoga Allah merahmati mereka semua-. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ilah” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ilah“ Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) bermakna ( التَّعَبُّدُ ) penghambaan atau peribadatan. Sedangkan al-ilah bermakna ( الْمَعْبُودُ ) yang diibadahi. Ibnu Faris mengatakan, (أله) الْهَمْزَةُ وَاللَّامُ وَالْهَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ التَّعَبُّدُ. فَالْإِلَهُ اللَّهُ تَعَالَى، وَسُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ مَعْبُودٌ. “Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) merupakan dasar yang satu, yaitu penghambaan atau peribadatan. Oleh karena itu, Al-Ilah adalah Allah Ta’ala, yang dinamakan demikian karena Dia adalah satu-satunya yang disembah.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, (ء ل هـ) : أَلِهَ يَأْلَهُ (مِنْ بَابِ تَعِبَ) إلَاهَةً بِمَعْنَى عَبَدَ عِبَادَةً وَتَأَلَّهَ تَعَبَّدَ وَالْإِلَهُ الْمَعْبُودُ “aliha – ya`lahu – Ilahatan bermakna ‘abada – ‘ibadatan. Ta`allaha yaitu ta’abbada. Al-ilah berarti al-ma’bud (yang diibadahi).” [4] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, قوله لا إله، أي: لا مألوه، وليس بمعنى لا آله، والمألوه : هو المعبود محبة وتعظيما تحبه وتعظمه لما تعلم من صفاته العظيمة وأفعاله الجليلة. قوله إلا الله، أي: لا مألوه إلا الله. “Kalimat ‘Lailaha’ berarti ‘tidak ada yang diibadahi dengan benar’, bukan bermakna ‘tidak ada tuhan-tuhan’. Yang dimaksud dengan ‘mā’lūh’ adalah sesuatu yang disembah dengan penuh cinta dan pengagungan, yaitu sesuatu yang dicintai dan diagungkan karena diketahui memiliki sifat-sifat yang agung dan perbuatan-perbuatan yang mulia. Sedangkan kalimat ‘illallah’ berarti ‘tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar, kecuali Allah’.” [5] Beberapa ulama menyatakan bahwa kata Allah berasal dari Al-Ilah, kemudian huruf hamzah dihilangkan untuk kemudahan pengucapan. Pendapat ini didukung oleh Sibawaih, Ibn Qayyim, dan beberapa ulama lainnya. [6] Sedangkan, berhala-berhala disebut sebagai alihah (sesembahan-sesembahan, bentuk jamak dari ilah) karena kaum musyrikin menyembahnya selain Allah dan menganggapnya layak disembah. [7] Makna “Al-Ilah” dalam konteks Allah Syekh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah mengatakan, اسم الإله: هو الجامع لجميع صفات الكمال ونعوت الجلال، فقد دخل في هذا الاسم جميع الأسماء الحسنى “Nama Al-Ilah mencakup seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan Allah. Nama ini mencakup seluruh asmaulhusna.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sehingga pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah berasal dari Al-Ilah. Dengan demikian, nama Allah adalah nama yang mencakup semua nama dan sifat-Nya yang Mahatinggi. Allah berfirman, إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً ‘Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Mahasuci Dia dari memiliki anak. Milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.’ (QS. An-Nisa: 171)” [8] Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Salah satu penjelasan terbaik tentang makna nama Allah (yang ini berasal dari kata al-ilah) adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين ‘Allah adalah Zat yang memiliki keilahiahan dan penghambaan atas seluruh makhluk-Nya.’ (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya, 1: 121)” Selanjutnya, beliau menjelaskan tentang makna ucapan Ibnu Abbas tersebut. Allah menggabungkan kedua aspek ini dalam banyak ayat, seperti, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14) Dan firman-Nya Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) [9] Syekh Dr. Basim ‘Amir mengatakan, والإله كذلك من أسماء الله تعالى كما ذكر ذلك جمع من العلماء، منهم: ابن منده وابن حزم وابن حجر وابن الوزير وابن عثيمين، قال تعالى: ﴿ وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ﴾ [الزخرف: 84]، أي: هو المعبود الحق في السماء، وهو المعبود الحق في الأرض، فيعبده أهلهما. “Nama Al-Ilah juga termasuk dalam asmaulhusna, sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama. Di antaranya: Ibnu Mandah, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ibnu Al-Wazir, dan Ibnu Utsaimin. Allah berfirman, وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ‘Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.’ (QS. Az-Zukhruf: 84) Yaitu, Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah di langit maupun di bumi, dan penduduk langit dan bumi menyembah-Nya.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ilah” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya Sifat-sifat keilahiahan mencakup semua sifat kesempurnaan, keagungan, kebesaran, keindahan, kasih sayang, kebaikan, kemurahan, dan anugerah-Nya. Karena sifat-sifat inilah, Allah berhak untuk disembah dan diibadahi. [11] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, {الله} هو المألوه المستحق لإفراده بالمحبة والخوف والرجاء وأنواع العبادة كلها، لما اتصف به من صفات الكمال، وهي التي تدعو الخلق إلى عبادته والتأله له. “Allah adalah satu-satunya yang pantas untuk dicintai, ditakuti, diharapkan, dan disembah dengan segala bentuk ibadah karena Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Inilah yang mendorong makhluk untuk beribadah dan tunduk kepada-Nya.” [12] Kedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain Allah Allah Ta’ala berfirman, فما أغنت عنهم آلهتهم التي يدعون من دون الله من شيء “Dan tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah tidak memberi manfaat apa pun kepada mereka.” (QS. Hud: 101) Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah kebatilan, karena tidak memiliki dasar kebenaran. Syirik dan penyembahan terhadap selain Allah adalah sesuatu yang tertolak secara syar’i. Hal ini sebagaimana firman Allah, ومثل كلمة خبيثة كشجرة خبيثة اجتثت من فوق الأرض ما لها من قرار “Perumpamaan (kalimat) yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, yang tercabut dari permukaan bumi, tidak memiliki keteguhan.” (QS. Ibrahim: 26) [13] Ketiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Dr. Bassem Amer menyatakan, “Implikasi dari nama Allah yang agung ini (yaitu, Al-Ilah) adalah terealisasinya penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan peribadatan yang tulus, tanpa ada sedikit pun kesyirikan atau persekutuan bagi makhluk mana pun. Tidak ada Islam dan iman tanpa mewujudkan penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.’ (QS. Adz-Dzariyat: 56-57)” [14] Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa mengesakan-Nya dalam ibadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan, dan menjauhkan kita dari kesyirikan dan bahaya-bahayanya. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syuruh Syaikh Shalih Al-’Utsaimin li Asma’ Allah Ta’ala Al-Husna. Disusun dan ditata oleh Munā Asy-Syamrī.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma’il Husna – Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 89-90. Lihat juga Mausu’ah Al-Asma’ Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 237. [2] Lihat: Asma’ul Husna oleh Abdullah bin Shalih Al-Ghushn, hal. 352. [3] Maqayis Al-Lughah hal. 49. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 25. [5] Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [6] Islamqa.info/ar/41936 . Lihat juga Asy-Syarh Al-Mumti’, 3: 56, Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41-42, Mausu’ah Al-Asma Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 238. [7] Isytiqaq Asma’ Allah oleh Abu Al-Qasim Az-Zajjaji, hal. 30, dan Lisan Al-‘Arab entri أله. Dinukil dari https://islamqa.info/ar/41936 [8] Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah, hal. 192. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 90-91. Silakan merujuk ke sini, karena terdapat penjelasan yang panjang dan sangat penting. [10]  https://alukah.net/sharia/0/142283/ [11] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 91. [12] Taysir Al-Lathif Al-Mannan fi Khulasat Tafsir Al-Qur’an, hal. 9. [13] Syarh Asma’ Allah Al-Husna, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [14] https://alukah.net/sharia/0/142283/


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ilah“Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“Makna bahasa dari “Al-Ilah“Makna “Al-Ilah” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hambaPertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-NyaKedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain AllahKetiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Mengenal nama Allah adalah bagian penting dalam memahami tauhid yang benar. Salah satu nama-Nya yang menunjukkan keesaan dan kemuliaan-Nya adalah Al-Ilah, yang berarti satu-satunya sesembahan yang benar. Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Ilah, makna yang terkandung di dalamnya, serta dampak dari memahami nama ini bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini memperkuat keyakinan kita, menambah keimanan, serta mendorong kita untuk lebih mencintai, mengagungkan, dan menghambakan diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Dalil nama Allah “Al-Ilah“ “Al-Ilah” adalah salah satu dari nama-nama Allah yang paling indah (asmaulhusna), yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163) Allah juga berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهَا وَاحِدًا لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang benar) selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31) Allah berfirman lagi, قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهُ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya wahyu yang diwahyukan kepadaku adalah bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka apakah kalian akan berserah diri (kepada-Nya)?’” (QS. Al-Anbiya: 108) [1] Di antara ulama yang memasukkan “Al-Ilah” dalam daftar asmaulhusna adalah Ibn Hazm, Ibn Hajar, Ibn Al-Wazir, dan Ibn Utsaimin -semoga Allah merahmati mereka semua-. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Ilah“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ilah” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ilah“ Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) bermakna ( التَّعَبُّدُ ) penghambaan atau peribadatan. Sedangkan al-ilah bermakna ( الْمَعْبُودُ ) yang diibadahi. Ibnu Faris mengatakan, (أله) الْهَمْزَةُ وَاللَّامُ وَالْهَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ التَّعَبُّدُ. فَالْإِلَهُ اللَّهُ تَعَالَى، وَسُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ مَعْبُودٌ. “Huruf hamzah (ء), lam (ل), dan ha (هـ) merupakan dasar yang satu, yaitu penghambaan atau peribadatan. Oleh karena itu, Al-Ilah adalah Allah Ta’ala, yang dinamakan demikian karena Dia adalah satu-satunya yang disembah.” [3] Al-Fayyumi mengatakan, (ء ل هـ) : أَلِهَ يَأْلَهُ (مِنْ بَابِ تَعِبَ) إلَاهَةً بِمَعْنَى عَبَدَ عِبَادَةً وَتَأَلَّهَ تَعَبَّدَ وَالْإِلَهُ الْمَعْبُودُ “aliha – ya`lahu – Ilahatan bermakna ‘abada – ‘ibadatan. Ta`allaha yaitu ta’abbada. Al-ilah berarti al-ma’bud (yang diibadahi).” [4] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan, قوله لا إله، أي: لا مألوه، وليس بمعنى لا آله، والمألوه : هو المعبود محبة وتعظيما تحبه وتعظمه لما تعلم من صفاته العظيمة وأفعاله الجليلة. قوله إلا الله، أي: لا مألوه إلا الله. “Kalimat ‘Lailaha’ berarti ‘tidak ada yang diibadahi dengan benar’, bukan bermakna ‘tidak ada tuhan-tuhan’. Yang dimaksud dengan ‘mā’lūh’ adalah sesuatu yang disembah dengan penuh cinta dan pengagungan, yaitu sesuatu yang dicintai dan diagungkan karena diketahui memiliki sifat-sifat yang agung dan perbuatan-perbuatan yang mulia. Sedangkan kalimat ‘illallah’ berarti ‘tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar, kecuali Allah’.” [5] Beberapa ulama menyatakan bahwa kata Allah berasal dari Al-Ilah, kemudian huruf hamzah dihilangkan untuk kemudahan pengucapan. Pendapat ini didukung oleh Sibawaih, Ibn Qayyim, dan beberapa ulama lainnya. [6] Sedangkan, berhala-berhala disebut sebagai alihah (sesembahan-sesembahan, bentuk jamak dari ilah) karena kaum musyrikin menyembahnya selain Allah dan menganggapnya layak disembah. [7] Makna “Al-Ilah” dalam konteks Allah Syekh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah mengatakan, اسم الإله: هو الجامع لجميع صفات الكمال ونعوت الجلال، فقد دخل في هذا الاسم جميع الأسماء الحسنى “Nama Al-Ilah mencakup seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan Allah. Nama ini mencakup seluruh asmaulhusna.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sehingga pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah berasal dari Al-Ilah. Dengan demikian, nama Allah adalah nama yang mencakup semua nama dan sifat-Nya yang Mahatinggi. Allah berfirman, إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً ‘Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Mahasuci Dia dari memiliki anak. Milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.’ (QS. An-Nisa: 171)” [8] Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah mengatakan, “Salah satu penjelasan terbaik tentang makna nama Allah (yang ini berasal dari kata al-ilah) adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين ‘Allah adalah Zat yang memiliki keilahiahan dan penghambaan atas seluruh makhluk-Nya.’ (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya, 1: 121)” Selanjutnya, beliau menjelaskan tentang makna ucapan Ibnu Abbas tersebut. Allah menggabungkan kedua aspek ini dalam banyak ayat, seperti, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14) Dan firman-Nya Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) [9] Syekh Dr. Basim ‘Amir mengatakan, والإله كذلك من أسماء الله تعالى كما ذكر ذلك جمع من العلماء، منهم: ابن منده وابن حزم وابن حجر وابن الوزير وابن عثيمين، قال تعالى: ﴿ وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ﴾ [الزخرف: 84]، أي: هو المعبود الحق في السماء، وهو المعبود الحق في الأرض، فيعبده أهلهما. “Nama Al-Ilah juga termasuk dalam asmaulhusna, sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama. Di antaranya: Ibnu Mandah, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ibnu Al-Wazir, dan Ibnu Utsaimin. Allah berfirman, وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الأَرْضِ إِلَهٌ ‘Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.’ (QS. Az-Zukhruf: 84) Yaitu, Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah di langit maupun di bumi, dan penduduk langit dan bumi menyembah-Nya.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ilah” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ilah” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki keilahiahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya Sifat-sifat keilahiahan mencakup semua sifat kesempurnaan, keagungan, kebesaran, keindahan, kasih sayang, kebaikan, kemurahan, dan anugerah-Nya. Karena sifat-sifat inilah, Allah berhak untuk disembah dan diibadahi. [11] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, {الله} هو المألوه المستحق لإفراده بالمحبة والخوف والرجاء وأنواع العبادة كلها، لما اتصف به من صفات الكمال، وهي التي تدعو الخلق إلى عبادته والتأله له. “Allah adalah satu-satunya yang pantas untuk dicintai, ditakuti, diharapkan, dan disembah dengan segala bentuk ibadah karena Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Inilah yang mendorong makhluk untuk beribadah dan tunduk kepada-Nya.” [12] Kedua: Meyakini kebatilan sesembahan selain Allah Allah Ta’ala berfirman, فما أغنت عنهم آلهتهم التي يدعون من دون الله من شيء “Dan tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah tidak memberi manfaat apa pun kepada mereka.” (QS. Hud: 101) Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah kebatilan, karena tidak memiliki dasar kebenaran. Syirik dan penyembahan terhadap selain Allah adalah sesuatu yang tertolak secara syar’i. Hal ini sebagaimana firman Allah, ومثل كلمة خبيثة كشجرة خبيثة اجتثت من فوق الأرض ما لها من قرار “Perumpamaan (kalimat) yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, yang tercabut dari permukaan bumi, tidak memiliki keteguhan.” (QS. Ibrahim: 26) [13] Ketiga: Mengesakan Allah dalam ibadah dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukan-Nya Dr. Bassem Amer menyatakan, “Implikasi dari nama Allah yang agung ini (yaitu, Al-Ilah) adalah terealisasinya penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan peribadatan yang tulus, tanpa ada sedikit pun kesyirikan atau persekutuan bagi makhluk mana pun. Tidak ada Islam dan iman tanpa mewujudkan penghambaan yang murni kepada-Nya. Allah berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.’ (QS. Adz-Dzariyat: 56-57)” [14] Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa mengesakan-Nya dalam ibadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan, dan menjauhkan kita dari kesyirikan dan bahaya-bahayanya. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “At-Tawwab” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syuruh Syaikh Shalih Al-’Utsaimin li Asma’ Allah Ta’ala Al-Husna. Disusun dan ditata oleh Munā Asy-Syamrī.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma’il Husna – Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 89-90. Lihat juga Mausu’ah Al-Asma’ Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 237. [2] Lihat: Asma’ul Husna oleh Abdullah bin Shalih Al-Ghushn, hal. 352. [3] Maqayis Al-Lughah hal. 49. [4] Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 25. [5] Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [6] Islamqa.info/ar/41936 . Lihat juga Asy-Syarh Al-Mumti’, 3: 56, Syarh Asma’ Allah Al-Husna – Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41-42, Mausu’ah Al-Asma Al-Husna wash Shifat Al-Mujtaba, hal. 238. [7] Isytiqaq Asma’ Allah oleh Abu Al-Qasim Az-Zajjaji, hal. 30, dan Lisan Al-‘Arab entri أله. Dinukil dari https://islamqa.info/ar/41936 [8] Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah, hal. 192. [9] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 90-91. Silakan merujuk ke sini, karena terdapat penjelasan yang panjang dan sangat penting. [10]  https://alukah.net/sharia/0/142283/ [11] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 91. [12] Taysir Al-Lathif Al-Mannan fi Khulasat Tafsir Al-Qur’an, hal. 9. [13] Syarh Asma’ Allah Al-Husna, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41. [14] https://alukah.net/sharia/0/142283/

Apakah Ada Doa Khusus di Bulan Ramadhan? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah ada doa khusus untuk bulan Ramadhan? Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun seorang muslim dianjurkan memperbanyak berdoa secara umum, berupa kebaikan dunia dan akhirat, sesuai yang terlintas di hatinya. Oleh sebab itu, ketika kita perhatikan ayat doa, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat; Aku mengabulkan doa jika ia berdoa kepada-Ku…” (QS. al-Baqarah: 186). Kita dapati ayat ini berada di antara ayat-ayat tentang puasa. Ayat sebelumnya adalah: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an…” (QS. al-Baqarah: 185). Sedangkan ayat setelahnya adalah: “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu…” (QS. al-Baqarah: 187). Ayat doa itu berada di antara ayat-ayat tentang puasa, dan ini mengandung isyarat bahwa orang yang berpuasa hendaknya banyak berdoa. Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun, ketika masuk bulan Ramadhan, kamu boleh berdoa: “Ya Allah, berilah taufik kepadaku untuk beramal saleh di bulan ini.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang shalat dan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang Engkau ampuni di bulan ini.” Dan doa-doa yang semisal itu, maka ini adalah doa yang bagus. ==== هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ؟ لَيْسَ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ عَامَّةً مَّا يَحْضُرُهُ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلِذَلِكَ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ آيَةَ الدُّعَاءِ وَهِيَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِِ إِذَا دَعَانِ نَجِدُ أَنَّهَا وَقَعَتْ بَيْنَ آيَاتِ الصِّيَامِ الْآيَةُ الَّتِي قَبْلَهَا شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَالْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ وَقَعَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَسَطَ آيَاتِ الصِّيَامِ وَهَذَا فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلصَّائِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ لَيْسَ هُنَاكَ أَدْعِيَةٌ خَاصَّةٌ لَكِنْ عِنْدَ دُخُولِ رَمَضَانَ لَوْ قُلْتَ اللَّهُمَّ وَفِّقْنِي فِيهِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ يَصُومُهُ وَيَقُوْمُهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ تَغْفِرُ لَهُ فِي هَذَا الشَّهْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ هَذِهِ الْأَدْعِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ حَسَنٌ

Apakah Ada Doa Khusus di Bulan Ramadhan? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah ada doa khusus untuk bulan Ramadhan? Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun seorang muslim dianjurkan memperbanyak berdoa secara umum, berupa kebaikan dunia dan akhirat, sesuai yang terlintas di hatinya. Oleh sebab itu, ketika kita perhatikan ayat doa, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat; Aku mengabulkan doa jika ia berdoa kepada-Ku…” (QS. al-Baqarah: 186). Kita dapati ayat ini berada di antara ayat-ayat tentang puasa. Ayat sebelumnya adalah: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an…” (QS. al-Baqarah: 185). Sedangkan ayat setelahnya adalah: “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu…” (QS. al-Baqarah: 187). Ayat doa itu berada di antara ayat-ayat tentang puasa, dan ini mengandung isyarat bahwa orang yang berpuasa hendaknya banyak berdoa. Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun, ketika masuk bulan Ramadhan, kamu boleh berdoa: “Ya Allah, berilah taufik kepadaku untuk beramal saleh di bulan ini.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang shalat dan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang Engkau ampuni di bulan ini.” Dan doa-doa yang semisal itu, maka ini adalah doa yang bagus. ==== هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ؟ لَيْسَ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ عَامَّةً مَّا يَحْضُرُهُ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلِذَلِكَ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ آيَةَ الدُّعَاءِ وَهِيَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِِ إِذَا دَعَانِ نَجِدُ أَنَّهَا وَقَعَتْ بَيْنَ آيَاتِ الصِّيَامِ الْآيَةُ الَّتِي قَبْلَهَا شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَالْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ وَقَعَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَسَطَ آيَاتِ الصِّيَامِ وَهَذَا فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلصَّائِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ لَيْسَ هُنَاكَ أَدْعِيَةٌ خَاصَّةٌ لَكِنْ عِنْدَ دُخُولِ رَمَضَانَ لَوْ قُلْتَ اللَّهُمَّ وَفِّقْنِي فِيهِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ يَصُومُهُ وَيَقُوْمُهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ تَغْفِرُ لَهُ فِي هَذَا الشَّهْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ هَذِهِ الْأَدْعِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ حَسَنٌ
Apakah ada doa khusus untuk bulan Ramadhan? Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun seorang muslim dianjurkan memperbanyak berdoa secara umum, berupa kebaikan dunia dan akhirat, sesuai yang terlintas di hatinya. Oleh sebab itu, ketika kita perhatikan ayat doa, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat; Aku mengabulkan doa jika ia berdoa kepada-Ku…” (QS. al-Baqarah: 186). Kita dapati ayat ini berada di antara ayat-ayat tentang puasa. Ayat sebelumnya adalah: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an…” (QS. al-Baqarah: 185). Sedangkan ayat setelahnya adalah: “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu…” (QS. al-Baqarah: 187). Ayat doa itu berada di antara ayat-ayat tentang puasa, dan ini mengandung isyarat bahwa orang yang berpuasa hendaknya banyak berdoa. Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun, ketika masuk bulan Ramadhan, kamu boleh berdoa: “Ya Allah, berilah taufik kepadaku untuk beramal saleh di bulan ini.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang shalat dan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang Engkau ampuni di bulan ini.” Dan doa-doa yang semisal itu, maka ini adalah doa yang bagus. ==== هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ؟ لَيْسَ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ عَامَّةً مَّا يَحْضُرُهُ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلِذَلِكَ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ آيَةَ الدُّعَاءِ وَهِيَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِِ إِذَا دَعَانِ نَجِدُ أَنَّهَا وَقَعَتْ بَيْنَ آيَاتِ الصِّيَامِ الْآيَةُ الَّتِي قَبْلَهَا شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَالْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ وَقَعَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَسَطَ آيَاتِ الصِّيَامِ وَهَذَا فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلصَّائِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ لَيْسَ هُنَاكَ أَدْعِيَةٌ خَاصَّةٌ لَكِنْ عِنْدَ دُخُولِ رَمَضَانَ لَوْ قُلْتَ اللَّهُمَّ وَفِّقْنِي فِيهِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ يَصُومُهُ وَيَقُوْمُهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ تَغْفِرُ لَهُ فِي هَذَا الشَّهْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ هَذِهِ الْأَدْعِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ حَسَنٌ


Apakah ada doa khusus untuk bulan Ramadhan? Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun seorang muslim dianjurkan memperbanyak berdoa secara umum, berupa kebaikan dunia dan akhirat, sesuai yang terlintas di hatinya. Oleh sebab itu, ketika kita perhatikan ayat doa, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat; Aku mengabulkan doa jika ia berdoa kepada-Ku…” (QS. al-Baqarah: 186). Kita dapati ayat ini berada di antara ayat-ayat tentang puasa. Ayat sebelumnya adalah: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an…” (QS. al-Baqarah: 185). Sedangkan ayat setelahnya adalah: “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu…” (QS. al-Baqarah: 187). Ayat doa itu berada di antara ayat-ayat tentang puasa, dan ini mengandung isyarat bahwa orang yang berpuasa hendaknya banyak berdoa. Tidak ada doa khusus untuk bulan Ramadhan. Namun, ketika masuk bulan Ramadhan, kamu boleh berdoa: “Ya Allah, berilah taufik kepadaku untuk beramal saleh di bulan ini.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang shalat dan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala.” “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang Engkau ampuni di bulan ini.” Dan doa-doa yang semisal itu, maka ini adalah doa yang bagus. ==== هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ؟ لَيْسَ هُنَاكَ دُعَاءٌ خَاصٌّ لِشَهْرِ رَمَضَانَ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ عَامَّةً مَّا يَحْضُرُهُ مِنْ خَيْرَيْ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلِذَلِكَ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ آيَةَ الدُّعَاءِ وَهِيَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِِ إِذَا دَعَانِ نَجِدُ أَنَّهَا وَقَعَتْ بَيْنَ آيَاتِ الصِّيَامِ الْآيَةُ الَّتِي قَبْلَهَا شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَالْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ وَقَعَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَسَطَ آيَاتِ الصِّيَامِ وَهَذَا فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلصَّائِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ لَيْسَ هُنَاكَ أَدْعِيَةٌ خَاصَّةٌ لَكِنْ عِنْدَ دُخُولِ رَمَضَانَ لَوْ قُلْتَ اللَّهُمَّ وَفِّقْنِي فِيهِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ يَصُومُهُ وَيَقُوْمُهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ تَغْفِرُ لَهُ فِي هَذَا الشَّهْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ هَذِهِ الْأَدْعِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ حَسَنٌ

Fikih Akad Salam (Bag. 2): Syarat dan Rukun

Daftar Isi Toggle Rukun akad salamDua pihak yang berakadUang tunai dan barangShigat (ijab kabul)Syarat akad salamBarang yang dijadikan salam harus jelasAkad salam harus dalam bentuk tempo yang jelasPenyerahan uang tunai harus di awalModel akad salam Melanjutkan tentang pembahasan fikih akad salam, telah berlalu penjelasan sebelumnya tentang definisi dan hukum dari akad salam. Di mana akad salam secara mudahnya adalah “membeli sesuatu dengan uang secara tunai, namun penyerahan barang ditunda sesuai dengan kesepakatan.” Telah jelas akan bolehnya akad salam berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Tentunya dari kebolehannya akad salam, terdapat rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Sehingga, akad salam tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah. Oleh karena itu, pembahasan kali ini mengerucut pada rukun-rukun dari akad salam, syarat-syarat, dan juga model dari akad salam. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat dari akad salam, transaksi muamalah akan menjadi halal dan tentunya diberkahi oleh Allah Ta’ala. Rukun akad salam Rukun pada akad salam setidaknya terdiri dari tiga. Yaitu, adanya dua pihak yang berakad, uang tunai dan barang, dan shigat (ijab kabul). [1] Dua pihak yang berakad Pada akad salam harus jelas terkait dengan kedua belah pihak yang berakad, tentunya secara umum disyaratkan dalam hal ini adalah orang yang sudah muslim, baligh, dan berakal. Kalaupun diwakilkan, maka wakil pun harus memenuhi dari syarat-syarat perwakilan. Kedua pihak dalam akad ini adalah Al-Muslim: Yaitu, pembeli yang menyerahkan uang tunai kepada penjual sebagai alat tukar untuk barang yang ingin ia peroleh pada waktu kemudian. Al-Muslam ilaih: Yaitu, penjual yang menerima uang tunai dari pembeli dan menyerahkan barang kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tersebut. Uang tunai dan barang Di antara rukun akad salam adalah uang tunai dan barang, di mana kedua ini termasuk hal penting dalam komponen akad salam. Dalam istilah syariat adalah, Ra’sul Mal: Yaitu, uang tunai yang dibayarkan kepada penjual. Al-Muslam fih: Yaitu, barang yang dijual kepada pembeli. Pada barang inilah sebab terjadinya akad salam, yaitu dengan menyerahkan barang ini kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tunai yang diberikan. Shigat (ijab kabul) Tentunya hal ini telah makruf di antara setiap rukun jual beli, mesti ada yang namanya ijab kabul. Namun, terkait dengan ijab kabul ini, tidak ada lafaz-lafaz tertentu yang diharuskan. Pada intinya, ijab kabul adalah sebagai bentuk dari penjual dan pembeli dalam serah terima barang dan uang. Seperti, Pembeli mengatakan, “Saya memberikan uang ini sebagai bentuk akad salam kepadamu untuk barang ini dan itu dalam waktu sekian.” Penjual mengatakan, “Saya terima uang ini sebegai bentuk akad salam dan saya akan berikan barang ini dan itu pada tempo waktu sekian.” Idealnya dalam jual beli memang demikian. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu dan zaman, maka bentuk ijab kabul dikembalikan kepada masing-masing ‘urf. Pada intinya, ketiga rukun akad ini harus terpenuhi dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Agar akad salam yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat. Syarat akad salam Syarat-sayarat akad salam adalah sebagai berikut: [2] Barang yang dijadikan salam harus jelas Dalam akad salam, mengingat penyerahan barang sifatnya “ditunda”, maka barang harus jelas di awal. Sebagaimana hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Barangsiapa melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka), maka hendaklah ia melakukan salam dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, hingga waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat barang-barang yang tidak bisa ditentukan sifatnya akan memunculkan polemik dan perselisihan. Oleh karena itu, setidaknya ada empat sifat yang harus jelas dalam karakterisitik barang tersebut, Pertama, barang dapat diukur dengan takaran Seperti: beras, biji-bijian, kurma, dan lain sebagainya. Kedua, barang dapat diukur dengan timbangan Seperti: logam (emas dan perak), daging, buah-buahan, dan lain sebagainya. Ketiga, barang dapat diukur dengan hasta, meter, atau satuan panjang Seperti: kain, tanah, karpet, dan lain sebagainya. Keempat, barang dapat dihitung jumlahnya Seperti: hewan, telur, buah, dan lain sebagainya. Sehingga, keempat sifat atau karakterisitik barang harus jelas dan tidak boleh samar-samar. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ولا نعلم في اعتبار معرفة المقدار خلافاً “Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal pertimbangan mengetahui ukuran.” [3] Akad salam harus dalam bentuk tempo yang jelas Dalam akad salam, semua harus jelas di awal, mengingat akad ini adalah akad tempo. Oleh karena itu, tempo waktu penyerahan barang harus dijelaskan di awal, kapan kiranya barang itu dapat diselesaikan dan penyerahan tersebut harus dengan sesuai perkiraan yang tepat. Dan terkait dengan akad salam, barang tidak bisa diserahkan di awal. Karena jika barang diserahkan di awal, bukan dinamakan dengan akad salam. Penyerahan uang tunai harus di awal Penyerahan uang tunai harus diserahkan di awal. Dalam bentuk penyerahan uang, tidak bisa diserahkan sebagian tunai dan sebagian utang. Jika demikian, maka ia hanya berhak mendapatkan barang sesuai dengan uang tunai yang diserahkan. Setidaknya ketiga syarat ini harus terpenuhi dalam akad salam. Model akad salam Sangat banyak model-model akad salam. Terutama pada zaman ini di mana dunia semakin berkembang dalam masalah jual beli. Di antara contohnya adalah Pre-Order. Pre-Order adalah seseorang memesan makanan, barang, produk dengan spesifikasi tertentu dengan membayar uang terlebih dahulu sebagai bentuk memesan. Kemudian barang akan diberikan pada waktu yang disepakati bersama. Bisa satu hari, dua hari, sebulan, dan seterusnya. Mengingat Pre-Order ini masuk kepada akad salam, tentunya ia harus memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas. Hati-hati terkait dengan Pre-Order yang mengandung gharar (tidak pasti) seperti, spesifikasi barang tidak jelas, tidak pasti waktu pengiriman, dan lainnya jika memang Pre-Order dalam bentuk online. Wallahu’alam. Kembali ke bagian 1  *** Depok, 24 Sya’ban 1446/ 23 Februari 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 179 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243-244. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 180. [3] Al-Mughni, 4: 216; dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 184.

Fikih Akad Salam (Bag. 2): Syarat dan Rukun

Daftar Isi Toggle Rukun akad salamDua pihak yang berakadUang tunai dan barangShigat (ijab kabul)Syarat akad salamBarang yang dijadikan salam harus jelasAkad salam harus dalam bentuk tempo yang jelasPenyerahan uang tunai harus di awalModel akad salam Melanjutkan tentang pembahasan fikih akad salam, telah berlalu penjelasan sebelumnya tentang definisi dan hukum dari akad salam. Di mana akad salam secara mudahnya adalah “membeli sesuatu dengan uang secara tunai, namun penyerahan barang ditunda sesuai dengan kesepakatan.” Telah jelas akan bolehnya akad salam berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Tentunya dari kebolehannya akad salam, terdapat rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Sehingga, akad salam tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah. Oleh karena itu, pembahasan kali ini mengerucut pada rukun-rukun dari akad salam, syarat-syarat, dan juga model dari akad salam. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat dari akad salam, transaksi muamalah akan menjadi halal dan tentunya diberkahi oleh Allah Ta’ala. Rukun akad salam Rukun pada akad salam setidaknya terdiri dari tiga. Yaitu, adanya dua pihak yang berakad, uang tunai dan barang, dan shigat (ijab kabul). [1] Dua pihak yang berakad Pada akad salam harus jelas terkait dengan kedua belah pihak yang berakad, tentunya secara umum disyaratkan dalam hal ini adalah orang yang sudah muslim, baligh, dan berakal. Kalaupun diwakilkan, maka wakil pun harus memenuhi dari syarat-syarat perwakilan. Kedua pihak dalam akad ini adalah Al-Muslim: Yaitu, pembeli yang menyerahkan uang tunai kepada penjual sebagai alat tukar untuk barang yang ingin ia peroleh pada waktu kemudian. Al-Muslam ilaih: Yaitu, penjual yang menerima uang tunai dari pembeli dan menyerahkan barang kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tersebut. Uang tunai dan barang Di antara rukun akad salam adalah uang tunai dan barang, di mana kedua ini termasuk hal penting dalam komponen akad salam. Dalam istilah syariat adalah, Ra’sul Mal: Yaitu, uang tunai yang dibayarkan kepada penjual. Al-Muslam fih: Yaitu, barang yang dijual kepada pembeli. Pada barang inilah sebab terjadinya akad salam, yaitu dengan menyerahkan barang ini kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tunai yang diberikan. Shigat (ijab kabul) Tentunya hal ini telah makruf di antara setiap rukun jual beli, mesti ada yang namanya ijab kabul. Namun, terkait dengan ijab kabul ini, tidak ada lafaz-lafaz tertentu yang diharuskan. Pada intinya, ijab kabul adalah sebagai bentuk dari penjual dan pembeli dalam serah terima barang dan uang. Seperti, Pembeli mengatakan, “Saya memberikan uang ini sebagai bentuk akad salam kepadamu untuk barang ini dan itu dalam waktu sekian.” Penjual mengatakan, “Saya terima uang ini sebegai bentuk akad salam dan saya akan berikan barang ini dan itu pada tempo waktu sekian.” Idealnya dalam jual beli memang demikian. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu dan zaman, maka bentuk ijab kabul dikembalikan kepada masing-masing ‘urf. Pada intinya, ketiga rukun akad ini harus terpenuhi dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Agar akad salam yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat. Syarat akad salam Syarat-sayarat akad salam adalah sebagai berikut: [2] Barang yang dijadikan salam harus jelas Dalam akad salam, mengingat penyerahan barang sifatnya “ditunda”, maka barang harus jelas di awal. Sebagaimana hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Barangsiapa melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka), maka hendaklah ia melakukan salam dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, hingga waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat barang-barang yang tidak bisa ditentukan sifatnya akan memunculkan polemik dan perselisihan. Oleh karena itu, setidaknya ada empat sifat yang harus jelas dalam karakterisitik barang tersebut, Pertama, barang dapat diukur dengan takaran Seperti: beras, biji-bijian, kurma, dan lain sebagainya. Kedua, barang dapat diukur dengan timbangan Seperti: logam (emas dan perak), daging, buah-buahan, dan lain sebagainya. Ketiga, barang dapat diukur dengan hasta, meter, atau satuan panjang Seperti: kain, tanah, karpet, dan lain sebagainya. Keempat, barang dapat dihitung jumlahnya Seperti: hewan, telur, buah, dan lain sebagainya. Sehingga, keempat sifat atau karakterisitik barang harus jelas dan tidak boleh samar-samar. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ولا نعلم في اعتبار معرفة المقدار خلافاً “Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal pertimbangan mengetahui ukuran.” [3] Akad salam harus dalam bentuk tempo yang jelas Dalam akad salam, semua harus jelas di awal, mengingat akad ini adalah akad tempo. Oleh karena itu, tempo waktu penyerahan barang harus dijelaskan di awal, kapan kiranya barang itu dapat diselesaikan dan penyerahan tersebut harus dengan sesuai perkiraan yang tepat. Dan terkait dengan akad salam, barang tidak bisa diserahkan di awal. Karena jika barang diserahkan di awal, bukan dinamakan dengan akad salam. Penyerahan uang tunai harus di awal Penyerahan uang tunai harus diserahkan di awal. Dalam bentuk penyerahan uang, tidak bisa diserahkan sebagian tunai dan sebagian utang. Jika demikian, maka ia hanya berhak mendapatkan barang sesuai dengan uang tunai yang diserahkan. Setidaknya ketiga syarat ini harus terpenuhi dalam akad salam. Model akad salam Sangat banyak model-model akad salam. Terutama pada zaman ini di mana dunia semakin berkembang dalam masalah jual beli. Di antara contohnya adalah Pre-Order. Pre-Order adalah seseorang memesan makanan, barang, produk dengan spesifikasi tertentu dengan membayar uang terlebih dahulu sebagai bentuk memesan. Kemudian barang akan diberikan pada waktu yang disepakati bersama. Bisa satu hari, dua hari, sebulan, dan seterusnya. Mengingat Pre-Order ini masuk kepada akad salam, tentunya ia harus memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas. Hati-hati terkait dengan Pre-Order yang mengandung gharar (tidak pasti) seperti, spesifikasi barang tidak jelas, tidak pasti waktu pengiriman, dan lainnya jika memang Pre-Order dalam bentuk online. Wallahu’alam. Kembali ke bagian 1  *** Depok, 24 Sya’ban 1446/ 23 Februari 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 179 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243-244. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 180. [3] Al-Mughni, 4: 216; dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 184.
Daftar Isi Toggle Rukun akad salamDua pihak yang berakadUang tunai dan barangShigat (ijab kabul)Syarat akad salamBarang yang dijadikan salam harus jelasAkad salam harus dalam bentuk tempo yang jelasPenyerahan uang tunai harus di awalModel akad salam Melanjutkan tentang pembahasan fikih akad salam, telah berlalu penjelasan sebelumnya tentang definisi dan hukum dari akad salam. Di mana akad salam secara mudahnya adalah “membeli sesuatu dengan uang secara tunai, namun penyerahan barang ditunda sesuai dengan kesepakatan.” Telah jelas akan bolehnya akad salam berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Tentunya dari kebolehannya akad salam, terdapat rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Sehingga, akad salam tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah. Oleh karena itu, pembahasan kali ini mengerucut pada rukun-rukun dari akad salam, syarat-syarat, dan juga model dari akad salam. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat dari akad salam, transaksi muamalah akan menjadi halal dan tentunya diberkahi oleh Allah Ta’ala. Rukun akad salam Rukun pada akad salam setidaknya terdiri dari tiga. Yaitu, adanya dua pihak yang berakad, uang tunai dan barang, dan shigat (ijab kabul). [1] Dua pihak yang berakad Pada akad salam harus jelas terkait dengan kedua belah pihak yang berakad, tentunya secara umum disyaratkan dalam hal ini adalah orang yang sudah muslim, baligh, dan berakal. Kalaupun diwakilkan, maka wakil pun harus memenuhi dari syarat-syarat perwakilan. Kedua pihak dalam akad ini adalah Al-Muslim: Yaitu, pembeli yang menyerahkan uang tunai kepada penjual sebagai alat tukar untuk barang yang ingin ia peroleh pada waktu kemudian. Al-Muslam ilaih: Yaitu, penjual yang menerima uang tunai dari pembeli dan menyerahkan barang kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tersebut. Uang tunai dan barang Di antara rukun akad salam adalah uang tunai dan barang, di mana kedua ini termasuk hal penting dalam komponen akad salam. Dalam istilah syariat adalah, Ra’sul Mal: Yaitu, uang tunai yang dibayarkan kepada penjual. Al-Muslam fih: Yaitu, barang yang dijual kepada pembeli. Pada barang inilah sebab terjadinya akad salam, yaitu dengan menyerahkan barang ini kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tunai yang diberikan. Shigat (ijab kabul) Tentunya hal ini telah makruf di antara setiap rukun jual beli, mesti ada yang namanya ijab kabul. Namun, terkait dengan ijab kabul ini, tidak ada lafaz-lafaz tertentu yang diharuskan. Pada intinya, ijab kabul adalah sebagai bentuk dari penjual dan pembeli dalam serah terima barang dan uang. Seperti, Pembeli mengatakan, “Saya memberikan uang ini sebagai bentuk akad salam kepadamu untuk barang ini dan itu dalam waktu sekian.” Penjual mengatakan, “Saya terima uang ini sebegai bentuk akad salam dan saya akan berikan barang ini dan itu pada tempo waktu sekian.” Idealnya dalam jual beli memang demikian. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu dan zaman, maka bentuk ijab kabul dikembalikan kepada masing-masing ‘urf. Pada intinya, ketiga rukun akad ini harus terpenuhi dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Agar akad salam yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat. Syarat akad salam Syarat-sayarat akad salam adalah sebagai berikut: [2] Barang yang dijadikan salam harus jelas Dalam akad salam, mengingat penyerahan barang sifatnya “ditunda”, maka barang harus jelas di awal. Sebagaimana hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Barangsiapa melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka), maka hendaklah ia melakukan salam dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, hingga waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat barang-barang yang tidak bisa ditentukan sifatnya akan memunculkan polemik dan perselisihan. Oleh karena itu, setidaknya ada empat sifat yang harus jelas dalam karakterisitik barang tersebut, Pertama, barang dapat diukur dengan takaran Seperti: beras, biji-bijian, kurma, dan lain sebagainya. Kedua, barang dapat diukur dengan timbangan Seperti: logam (emas dan perak), daging, buah-buahan, dan lain sebagainya. Ketiga, barang dapat diukur dengan hasta, meter, atau satuan panjang Seperti: kain, tanah, karpet, dan lain sebagainya. Keempat, barang dapat dihitung jumlahnya Seperti: hewan, telur, buah, dan lain sebagainya. Sehingga, keempat sifat atau karakterisitik barang harus jelas dan tidak boleh samar-samar. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ولا نعلم في اعتبار معرفة المقدار خلافاً “Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal pertimbangan mengetahui ukuran.” [3] Akad salam harus dalam bentuk tempo yang jelas Dalam akad salam, semua harus jelas di awal, mengingat akad ini adalah akad tempo. Oleh karena itu, tempo waktu penyerahan barang harus dijelaskan di awal, kapan kiranya barang itu dapat diselesaikan dan penyerahan tersebut harus dengan sesuai perkiraan yang tepat. Dan terkait dengan akad salam, barang tidak bisa diserahkan di awal. Karena jika barang diserahkan di awal, bukan dinamakan dengan akad salam. Penyerahan uang tunai harus di awal Penyerahan uang tunai harus diserahkan di awal. Dalam bentuk penyerahan uang, tidak bisa diserahkan sebagian tunai dan sebagian utang. Jika demikian, maka ia hanya berhak mendapatkan barang sesuai dengan uang tunai yang diserahkan. Setidaknya ketiga syarat ini harus terpenuhi dalam akad salam. Model akad salam Sangat banyak model-model akad salam. Terutama pada zaman ini di mana dunia semakin berkembang dalam masalah jual beli. Di antara contohnya adalah Pre-Order. Pre-Order adalah seseorang memesan makanan, barang, produk dengan spesifikasi tertentu dengan membayar uang terlebih dahulu sebagai bentuk memesan. Kemudian barang akan diberikan pada waktu yang disepakati bersama. Bisa satu hari, dua hari, sebulan, dan seterusnya. Mengingat Pre-Order ini masuk kepada akad salam, tentunya ia harus memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas. Hati-hati terkait dengan Pre-Order yang mengandung gharar (tidak pasti) seperti, spesifikasi barang tidak jelas, tidak pasti waktu pengiriman, dan lainnya jika memang Pre-Order dalam bentuk online. Wallahu’alam. Kembali ke bagian 1  *** Depok, 24 Sya’ban 1446/ 23 Februari 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 179 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243-244. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 180. [3] Al-Mughni, 4: 216; dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 184.


Daftar Isi Toggle Rukun akad salamDua pihak yang berakadUang tunai dan barangShigat (ijab kabul)Syarat akad salamBarang yang dijadikan salam harus jelasAkad salam harus dalam bentuk tempo yang jelasPenyerahan uang tunai harus di awalModel akad salam Melanjutkan tentang pembahasan fikih akad salam, telah berlalu penjelasan sebelumnya tentang definisi dan hukum dari akad salam. Di mana akad salam secara mudahnya adalah “membeli sesuatu dengan uang secara tunai, namun penyerahan barang ditunda sesuai dengan kesepakatan.” Telah jelas akan bolehnya akad salam berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Tentunya dari kebolehannya akad salam, terdapat rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Sehingga, akad salam tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah. Oleh karena itu, pembahasan kali ini mengerucut pada rukun-rukun dari akad salam, syarat-syarat, dan juga model dari akad salam. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat dari akad salam, transaksi muamalah akan menjadi halal dan tentunya diberkahi oleh Allah Ta’ala. Rukun akad salam Rukun pada akad salam setidaknya terdiri dari tiga. Yaitu, adanya dua pihak yang berakad, uang tunai dan barang, dan shigat (ijab kabul). [1] Dua pihak yang berakad Pada akad salam harus jelas terkait dengan kedua belah pihak yang berakad, tentunya secara umum disyaratkan dalam hal ini adalah orang yang sudah muslim, baligh, dan berakal. Kalaupun diwakilkan, maka wakil pun harus memenuhi dari syarat-syarat perwakilan. Kedua pihak dalam akad ini adalah Al-Muslim: Yaitu, pembeli yang menyerahkan uang tunai kepada penjual sebagai alat tukar untuk barang yang ingin ia peroleh pada waktu kemudian. Al-Muslam ilaih: Yaitu, penjual yang menerima uang tunai dari pembeli dan menyerahkan barang kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tersebut. Uang tunai dan barang Di antara rukun akad salam adalah uang tunai dan barang, di mana kedua ini termasuk hal penting dalam komponen akad salam. Dalam istilah syariat adalah, Ra’sul Mal: Yaitu, uang tunai yang dibayarkan kepada penjual. Al-Muslam fih: Yaitu, barang yang dijual kepada pembeli. Pada barang inilah sebab terjadinya akad salam, yaitu dengan menyerahkan barang ini kepada pembeli sebagai alat tukar dari uang tunai yang diberikan. Shigat (ijab kabul) Tentunya hal ini telah makruf di antara setiap rukun jual beli, mesti ada yang namanya ijab kabul. Namun, terkait dengan ijab kabul ini, tidak ada lafaz-lafaz tertentu yang diharuskan. Pada intinya, ijab kabul adalah sebagai bentuk dari penjual dan pembeli dalam serah terima barang dan uang. Seperti, Pembeli mengatakan, “Saya memberikan uang ini sebagai bentuk akad salam kepadamu untuk barang ini dan itu dalam waktu sekian.” Penjual mengatakan, “Saya terima uang ini sebegai bentuk akad salam dan saya akan berikan barang ini dan itu pada tempo waktu sekian.” Idealnya dalam jual beli memang demikian. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu dan zaman, maka bentuk ijab kabul dikembalikan kepada masing-masing ‘urf. Pada intinya, ketiga rukun akad ini harus terpenuhi dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Agar akad salam yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat. Syarat akad salam Syarat-sayarat akad salam adalah sebagai berikut: [2] Barang yang dijadikan salam harus jelas Dalam akad salam, mengingat penyerahan barang sifatnya “ditunda”, maka barang harus jelas di awal. Sebagaimana hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Barangsiapa melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka), maka hendaklah ia melakukan salam dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, hingga waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat barang-barang yang tidak bisa ditentukan sifatnya akan memunculkan polemik dan perselisihan. Oleh karena itu, setidaknya ada empat sifat yang harus jelas dalam karakterisitik barang tersebut, Pertama, barang dapat diukur dengan takaran Seperti: beras, biji-bijian, kurma, dan lain sebagainya. Kedua, barang dapat diukur dengan timbangan Seperti: logam (emas dan perak), daging, buah-buahan, dan lain sebagainya. Ketiga, barang dapat diukur dengan hasta, meter, atau satuan panjang Seperti: kain, tanah, karpet, dan lain sebagainya. Keempat, barang dapat dihitung jumlahnya Seperti: hewan, telur, buah, dan lain sebagainya. Sehingga, keempat sifat atau karakterisitik barang harus jelas dan tidak boleh samar-samar. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ولا نعلم في اعتبار معرفة المقدار خلافاً “Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal pertimbangan mengetahui ukuran.” [3] Akad salam harus dalam bentuk tempo yang jelas Dalam akad salam, semua harus jelas di awal, mengingat akad ini adalah akad tempo. Oleh karena itu, tempo waktu penyerahan barang harus dijelaskan di awal, kapan kiranya barang itu dapat diselesaikan dan penyerahan tersebut harus dengan sesuai perkiraan yang tepat. Dan terkait dengan akad salam, barang tidak bisa diserahkan di awal. Karena jika barang diserahkan di awal, bukan dinamakan dengan akad salam. Penyerahan uang tunai harus di awal Penyerahan uang tunai harus diserahkan di awal. Dalam bentuk penyerahan uang, tidak bisa diserahkan sebagian tunai dan sebagian utang. Jika demikian, maka ia hanya berhak mendapatkan barang sesuai dengan uang tunai yang diserahkan. Setidaknya ketiga syarat ini harus terpenuhi dalam akad salam. Model akad salam Sangat banyak model-model akad salam. Terutama pada zaman ini di mana dunia semakin berkembang dalam masalah jual beli. Di antara contohnya adalah Pre-Order. Pre-Order adalah seseorang memesan makanan, barang, produk dengan spesifikasi tertentu dengan membayar uang terlebih dahulu sebagai bentuk memesan. Kemudian barang akan diberikan pada waktu yang disepakati bersama. Bisa satu hari, dua hari, sebulan, dan seterusnya. Mengingat Pre-Order ini masuk kepada akad salam, tentunya ia harus memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas. Hati-hati terkait dengan Pre-Order yang mengandung gharar (tidak pasti) seperti, spesifikasi barang tidak jelas, tidak pasti waktu pengiriman, dan lainnya jika memang Pre-Order dalam bentuk online. Wallahu’alam. Kembali ke bagian 1  *** Depok, 24 Sya’ban 1446/ 23 Februari 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 179 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243-244. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 180. [3] Al-Mughni, 4: 216; dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 184.

Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1

Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Posted on March 11, 2025March 11, 2025by Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Pondok Pesantren “TUNAS ILMU” Purbalingga Angkatan Kelimabelas – Tahun Ajaran 1445-1446 / 2025-2026 – Gel. 1 NO NAMA PROGRAM ASAL KETERANGAN 1 Abdillah Fauzan Pengkaderan Da’i Kota Bekasi LULUS 2 Azhar Makhabi Tahfidz Plus OKU Timur LULUS 3 Iqbal Mubaarok Pengkaderan Da’i Lampung Tengah LULUS 4 Muhamad Aufa Pengkaderan Da’i Karawang LULUS 5 Muhammad Aziz Ridwan Pengkaderan Da’i Lampung Utara LULUS 6 Muzaki Nasai Pengkaderan Da’i Banyumas LULUS 7 Umar Nabih Aufan Najmudiin Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS 8 Muhammad Fathi Yakan Tahfidz Plus Purbalingga LULUS 9 Ya’qub Adnan Syukur Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS PERCOBAAN 10 Agil Mubarok Tahfidz Plus Pangandaran TIDAK LULUS 11 Dennish Attar Pratama Tahfidz Plus Depok TIDAK LULUS 12 Ilham Ramadhani Pengkaderan Da’i Banjarnegara TIDAK LULUS 13 Kamil Iskandar Tahfidz Plus Jakarta Timur TIDAK LULUS 14 Khaerul Bahri Tahfidz Plus Tegal TIDAK LULUS 15 Widad Abdullahu Al Ghifari Tahfidz Plus Purbalingga TIDAK LULUS 16 Yuwanda Farhan Pengkaderan Da’i Kebumen TIDAK LULUS Post navigation Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam BerdakwahPenerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1

Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Posted on March 11, 2025March 11, 2025by Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Pondok Pesantren “TUNAS ILMU” Purbalingga Angkatan Kelimabelas – Tahun Ajaran 1445-1446 / 2025-2026 – Gel. 1 NO NAMA PROGRAM ASAL KETERANGAN 1 Abdillah Fauzan Pengkaderan Da’i Kota Bekasi LULUS 2 Azhar Makhabi Tahfidz Plus OKU Timur LULUS 3 Iqbal Mubaarok Pengkaderan Da’i Lampung Tengah LULUS 4 Muhamad Aufa Pengkaderan Da’i Karawang LULUS 5 Muhammad Aziz Ridwan Pengkaderan Da’i Lampung Utara LULUS 6 Muzaki Nasai Pengkaderan Da’i Banyumas LULUS 7 Umar Nabih Aufan Najmudiin Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS 8 Muhammad Fathi Yakan Tahfidz Plus Purbalingga LULUS 9 Ya’qub Adnan Syukur Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS PERCOBAAN 10 Agil Mubarok Tahfidz Plus Pangandaran TIDAK LULUS 11 Dennish Attar Pratama Tahfidz Plus Depok TIDAK LULUS 12 Ilham Ramadhani Pengkaderan Da’i Banjarnegara TIDAK LULUS 13 Kamil Iskandar Tahfidz Plus Jakarta Timur TIDAK LULUS 14 Khaerul Bahri Tahfidz Plus Tegal TIDAK LULUS 15 Widad Abdullahu Al Ghifari Tahfidz Plus Purbalingga TIDAK LULUS 16 Yuwanda Farhan Pengkaderan Da’i Kebumen TIDAK LULUS Post navigation Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam BerdakwahPenerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Posted on March 11, 2025March 11, 2025by Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Pondok Pesantren “TUNAS ILMU” Purbalingga Angkatan Kelimabelas – Tahun Ajaran 1445-1446 / 2025-2026 – Gel. 1 NO NAMA PROGRAM ASAL KETERANGAN 1 Abdillah Fauzan Pengkaderan Da’i Kota Bekasi LULUS 2 Azhar Makhabi Tahfidz Plus OKU Timur LULUS 3 Iqbal Mubaarok Pengkaderan Da’i Lampung Tengah LULUS 4 Muhamad Aufa Pengkaderan Da’i Karawang LULUS 5 Muhammad Aziz Ridwan Pengkaderan Da’i Lampung Utara LULUS 6 Muzaki Nasai Pengkaderan Da’i Banyumas LULUS 7 Umar Nabih Aufan Najmudiin Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS 8 Muhammad Fathi Yakan Tahfidz Plus Purbalingga LULUS 9 Ya’qub Adnan Syukur Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS PERCOBAAN 10 Agil Mubarok Tahfidz Plus Pangandaran TIDAK LULUS 11 Dennish Attar Pratama Tahfidz Plus Depok TIDAK LULUS 12 Ilham Ramadhani Pengkaderan Da’i Banjarnegara TIDAK LULUS 13 Kamil Iskandar Tahfidz Plus Jakarta Timur TIDAK LULUS 14 Khaerul Bahri Tahfidz Plus Tegal TIDAK LULUS 15 Widad Abdullahu Al Ghifari Tahfidz Plus Purbalingga TIDAK LULUS 16 Yuwanda Farhan Pengkaderan Da’i Kebumen TIDAK LULUS Post navigation Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam BerdakwahPenerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Posted on March 11, 2025March 11, 2025by Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Pondok Pesantren “TUNAS ILMU” Purbalingga Angkatan Kelimabelas – Tahun Ajaran 1445-1446 / 2025-2026 – Gel. 1 NO NAMA PROGRAM ASAL KETERANGAN 1 Abdillah Fauzan Pengkaderan Da’i Kota Bekasi LULUS 2 Azhar Makhabi Tahfidz Plus OKU Timur LULUS 3 Iqbal Mubaarok Pengkaderan Da’i Lampung Tengah LULUS 4 Muhamad Aufa Pengkaderan Da’i Karawang LULUS 5 Muhammad Aziz Ridwan Pengkaderan Da’i Lampung Utara LULUS 6 Muzaki Nasai Pengkaderan Da’i Banyumas LULUS 7 Umar Nabih Aufan Najmudiin Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS 8 Muhammad Fathi Yakan Tahfidz Plus Purbalingga LULUS 9 Ya’qub Adnan Syukur Pengkaderan Da’i Purbalingga LULUS PERCOBAAN 10 Agil Mubarok Tahfidz Plus Pangandaran TIDAK LULUS 11 Dennish Attar Pratama Tahfidz Plus Depok TIDAK LULUS 12 Ilham Ramadhani Pengkaderan Da’i Banjarnegara TIDAK LULUS 13 Kamil Iskandar Tahfidz Plus Jakarta Timur TIDAK LULUS 14 Khaerul Bahri Tahfidz Plus Tegal TIDAK LULUS 15 Widad Abdullahu Al Ghifari Tahfidz Plus Purbalingga TIDAK LULUS 16 Yuwanda Farhan Pengkaderan Da’i Kebumen TIDAK LULUS Post navigation Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam BerdakwahPenerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah

Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranKisah menuntut ilmuGuru-guruMurid-muridAbu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaahPerkataan para ulama tentang Abu HanifahUjian yang diterima Abu HanifahWafat Nama dan kunyah Dia adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha At-Taimi Al-Kufi. Dikatakan bahwa dia adalah keturunan Persia. Ayahnya, Tsabit, lahir dalam Islam, dan Abu Hanifah sendiri adalah seorang pedagang sutra. Beliau diberi nama Nu’man adalah sebagai harapan kelak menjadi orang besar, sebagaimana Nu’man salah satu raja Persia. Memiliki kunyah Abu Hanifah. Kelahiran Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H. Dia pernah melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke Kufah, namun tidak terdapat bukti bahwa dia mendengar langsung dari salah satu sahabat. Kisah menuntut ilmu Zufar bin Al-Hudhayl berkata, Aku mendengar Abu Hanifah berkata, “Aku dulu mendalami ilmu kalam, bahkan aku menjadi rujukan orang banyak. Kami biasa duduk dekat halaqah Hammād bin Abi Sulaimān. Suatu hari, seorang wanita datang kepadaku dan bertanya, ‘Seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan sebagai istrinya ingin menceraikannya menurut sunah, bagaimana caranya?’ Aku tidak tahu jawabannya, lalu kusuruh ia bertanya kepada Hammād dan menyampaikan jawabannya padaku. Ia bertanya kepada Hammād, dan Hammād menjawab, ‘Suaminya hendaknya menceraikannya saat ia suci dari haid dan tidak disetubuhi, dengan satu kali talak, lalu membiarkannya hingga mengalami dua kali haid. Jika ia mandi, maka ia halal dinikahi oleh pria lain.’ Wanita itu kembali menyampaikan jawaban itu kepadaku. Maka, aku berkata, ‘Aku tidak butuh lagi ilmu kalam.’ Aku pun mengambil sandalku dan bergabung di halaqah Hammād untuk mendengarkan berbagai masalah fikih yang ia ajarkan. Aku hafalkan jawabannya, lalu Hammād mengulanginya di hari berikutnya, dan aku kembali menghafalnya, sementara murid-murid lain sering melakukan kesalahan. Hingga akhirnya ia berkata, ‘Tidak ada yang layak duduk di hadapanku, selain Abu Hanifah.’ Aku menemani Hammād selama sepuluh tahun. Kemudian timbul dalam diriku keinginan untuk menjadi pemimpin sendiri dan membuka halaqahku sendiri. Suatu sore, aku keluar dengan niat melakukannya, namun saat aku melihat Hammād, aku tak sanggup meninggalkannya. Pada malam itu juga, datang kabar bahwa kerabatnya di Bashrah wafat dan meninggalkan harta yang tidak memiliki ahli waris selainnya. Hammād pun memerintahkanku untuk menggantikannya. Begitu ia pergi, datanglah berbagai pertanyaan yang belum pernah aku dengar darinya. Aku menjawab dan menuliskan jawabanku. Ia pergi selama dua bulan, lalu kembali. Aku kemudian memperlihatkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang jumlahnya sekitar enam puluh. Ia sependapat denganku dalam empat puluh soal dan berbeda pendapat dalam dua puluh. Aku pun bersumpah pada diriku untuk tidak meninggalkannya hingga ia wafat.” Guru-guru Di antara guru-guru Abu Hanifah adalah Atha’ bin Abi Rabah, Asy-Sya’bi, Jabalah bin Suhaim, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Amr bin Dinar, Nafi’ Mawla Ibnu Umar, Qatadah, Qais bin Muslim, Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Dinar, Abdul Aziz bin Rafi’, Atha’iyah Al-‘Awfi, Hammad bin Abi Sulaiman (yang menjadi gurunya dalam fikih), Abdul Malik bin Umair, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Al-Munkadir, Abu Ishaq As-Sabi’i, Manshur bin Al-Mu’tamir, Muslim Al-Batin, dan banyak lagi lainnya. Murid-murid Di antara murid-murid Abu Hanifah adalah Abdurrazzaq bin Hammam (guru Imam Ahmad), Hammad bin Abi Hanifah, Zufar bin Hudhail At-Tamimi, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Waki’ bin Jarrah, dan Qadhi Abu Yusuf, serta banyak lagi lainnya. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir Abu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaah Akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah terkait tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, bantahan kepada Jahmiyah, masalah qadar, keyakinan terhadap para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan perkara-perkara pokok iman lainnya sejalan dengan manhaj salaf dan manhaj para imam mazhab lainnya, kecuali dalam beberapa perkara kecil yang menyelisihi, seperti: Pertama, pendapatnya bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Kedua, definisi iman sebagai tasdiq (pembenaran) dalam hati dan iqrar (pengakuan) dengan lisan, tanpa memasukkan amal dalam hakikat iman. Namun, Ibn Abdil Barr dan Ibn Abi Al-‘Izz menyebutkan indikasi bahwa Abu Hanifah kembali dari pendapat ini. Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam yang masyhur semuanya menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, serta percaya bahwa Allah akan dilihat di akhirat. Inilah mazhab para sahabat, tabiin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlul Bait dan lainnya. Ini juga mazhab imam-imam yang diikuti seperti Malik bin Anas, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.” Yahya bin Nashr berkata, “Abu Hanifah mengutamakan Abu Bakar dan Umar, serta mencintai Ali dan Utsman. Ia beriman kepada takdir, baik maupun buruknya, dan tidak berbicara tentang Allah ‘Azza Wajalla dengan hal yang tak pantas. Ia membolehkan mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu, dan ia adalah orang yang paling ahli fikih dan paling bertakwa di zamannya.” Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Aku mendengar Abu Hanifah berkata, ‘Yang dimaksud dengan ‘jamaah’ adalah mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman, serta tidak merendahkan salah satu pun dari sahabat Rasulullah ﷺ. Jangan mengkafirkan orang karena dosa-dosanya, salatlah atas siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’ dan di belakang siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’. Mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu diperbolehkan. Serahkan segala urusan kepada Allah, dan tinggalkan pembicaraan yang tidak pantas tentang Allah Yang Mahamulia.” Abu Hanifah berkata, “Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan selain itu, maka dia adalah kafir.” Perkataan para ulama tentang Abu Hanifah Yahya bin Ma’in (imam dalam bidang Jarh wa Ta’dhil) berkata bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqah (terpercaya). Ia hanya meriwayatkan hadis yang benar-benar ia hafal, dan tidak meriwayatkan sesuatu yang tidak ia ingat dengan jelas. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mulia di majelisnya, atau lebih baik dalam penampilan dan kesabaran daripada Abu Hanifah.” Hayan bin Musa Al-Marwazi berkata, “Ibnu Mubarak ditanya, ‘Siapa yang lebih faqih, Malik atau Abu Hanifah?’ Dia menjawab, ‘Abu Hanifah.’ ” Dan Ibnu Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih di antara manusia.” Ujian yang diterima Abu Hanifah Ubaidullah bin Amr Al-Ruqy berkata, “Ibn Hubayrah (Amir Kufah) meminta Abu Hanifah untuk menjadi hakim di Kufah, namun beliau menolaknya. Akibatnya, beliau dipukul seratus kali dan sepuluh kali lebih banyak, namun Abu Hanifah tetap menolak. Ketika Ibn Hubayrah melihat keteguhan beliau, akhirnya dia melepaskannya.” Wafat Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Ketika ayahku meninggal, kami meminta Hassan bin Amarah untuk memandikannya, dan dia pun melakukannya. Ketika selesai memandikannya, dia berdoa, ‘Semoga Allah merahmatimu dan mengampunimu. Engkau tidak pernah berbuka puasa selama tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur dengan meletakkan tangan kananmu sebagai bantal selama empat puluh tahun. Engkau telah menyusahkan orang setelahmu, dan memalukan para pembaca (Al-Qur’an).’ ” Imam Abu Hanifah Al-Nu’man wafat pada tahun 150 Hijriah, pada usia 70 tahun. Ketika jenazahnya dibawa untuk disalatkan di Baghdad, umat Islam begitu banyak yang ingin menyalatkannya sehingga proses salat jenazah dilakukan enam kali karena padatnya kerumunan. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Abdirrahman An-Nasa’i *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99420/الإمام-الفقيه-أبو-حنيفة-النعمان/

Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah

Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranKisah menuntut ilmuGuru-guruMurid-muridAbu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaahPerkataan para ulama tentang Abu HanifahUjian yang diterima Abu HanifahWafat Nama dan kunyah Dia adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha At-Taimi Al-Kufi. Dikatakan bahwa dia adalah keturunan Persia. Ayahnya, Tsabit, lahir dalam Islam, dan Abu Hanifah sendiri adalah seorang pedagang sutra. Beliau diberi nama Nu’man adalah sebagai harapan kelak menjadi orang besar, sebagaimana Nu’man salah satu raja Persia. Memiliki kunyah Abu Hanifah. Kelahiran Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H. Dia pernah melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke Kufah, namun tidak terdapat bukti bahwa dia mendengar langsung dari salah satu sahabat. Kisah menuntut ilmu Zufar bin Al-Hudhayl berkata, Aku mendengar Abu Hanifah berkata, “Aku dulu mendalami ilmu kalam, bahkan aku menjadi rujukan orang banyak. Kami biasa duduk dekat halaqah Hammād bin Abi Sulaimān. Suatu hari, seorang wanita datang kepadaku dan bertanya, ‘Seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan sebagai istrinya ingin menceraikannya menurut sunah, bagaimana caranya?’ Aku tidak tahu jawabannya, lalu kusuruh ia bertanya kepada Hammād dan menyampaikan jawabannya padaku. Ia bertanya kepada Hammād, dan Hammād menjawab, ‘Suaminya hendaknya menceraikannya saat ia suci dari haid dan tidak disetubuhi, dengan satu kali talak, lalu membiarkannya hingga mengalami dua kali haid. Jika ia mandi, maka ia halal dinikahi oleh pria lain.’ Wanita itu kembali menyampaikan jawaban itu kepadaku. Maka, aku berkata, ‘Aku tidak butuh lagi ilmu kalam.’ Aku pun mengambil sandalku dan bergabung di halaqah Hammād untuk mendengarkan berbagai masalah fikih yang ia ajarkan. Aku hafalkan jawabannya, lalu Hammād mengulanginya di hari berikutnya, dan aku kembali menghafalnya, sementara murid-murid lain sering melakukan kesalahan. Hingga akhirnya ia berkata, ‘Tidak ada yang layak duduk di hadapanku, selain Abu Hanifah.’ Aku menemani Hammād selama sepuluh tahun. Kemudian timbul dalam diriku keinginan untuk menjadi pemimpin sendiri dan membuka halaqahku sendiri. Suatu sore, aku keluar dengan niat melakukannya, namun saat aku melihat Hammād, aku tak sanggup meninggalkannya. Pada malam itu juga, datang kabar bahwa kerabatnya di Bashrah wafat dan meninggalkan harta yang tidak memiliki ahli waris selainnya. Hammād pun memerintahkanku untuk menggantikannya. Begitu ia pergi, datanglah berbagai pertanyaan yang belum pernah aku dengar darinya. Aku menjawab dan menuliskan jawabanku. Ia pergi selama dua bulan, lalu kembali. Aku kemudian memperlihatkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang jumlahnya sekitar enam puluh. Ia sependapat denganku dalam empat puluh soal dan berbeda pendapat dalam dua puluh. Aku pun bersumpah pada diriku untuk tidak meninggalkannya hingga ia wafat.” Guru-guru Di antara guru-guru Abu Hanifah adalah Atha’ bin Abi Rabah, Asy-Sya’bi, Jabalah bin Suhaim, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Amr bin Dinar, Nafi’ Mawla Ibnu Umar, Qatadah, Qais bin Muslim, Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Dinar, Abdul Aziz bin Rafi’, Atha’iyah Al-‘Awfi, Hammad bin Abi Sulaiman (yang menjadi gurunya dalam fikih), Abdul Malik bin Umair, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Al-Munkadir, Abu Ishaq As-Sabi’i, Manshur bin Al-Mu’tamir, Muslim Al-Batin, dan banyak lagi lainnya. Murid-murid Di antara murid-murid Abu Hanifah adalah Abdurrazzaq bin Hammam (guru Imam Ahmad), Hammad bin Abi Hanifah, Zufar bin Hudhail At-Tamimi, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Waki’ bin Jarrah, dan Qadhi Abu Yusuf, serta banyak lagi lainnya. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir Abu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaah Akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah terkait tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, bantahan kepada Jahmiyah, masalah qadar, keyakinan terhadap para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan perkara-perkara pokok iman lainnya sejalan dengan manhaj salaf dan manhaj para imam mazhab lainnya, kecuali dalam beberapa perkara kecil yang menyelisihi, seperti: Pertama, pendapatnya bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Kedua, definisi iman sebagai tasdiq (pembenaran) dalam hati dan iqrar (pengakuan) dengan lisan, tanpa memasukkan amal dalam hakikat iman. Namun, Ibn Abdil Barr dan Ibn Abi Al-‘Izz menyebutkan indikasi bahwa Abu Hanifah kembali dari pendapat ini. Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam yang masyhur semuanya menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, serta percaya bahwa Allah akan dilihat di akhirat. Inilah mazhab para sahabat, tabiin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlul Bait dan lainnya. Ini juga mazhab imam-imam yang diikuti seperti Malik bin Anas, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.” Yahya bin Nashr berkata, “Abu Hanifah mengutamakan Abu Bakar dan Umar, serta mencintai Ali dan Utsman. Ia beriman kepada takdir, baik maupun buruknya, dan tidak berbicara tentang Allah ‘Azza Wajalla dengan hal yang tak pantas. Ia membolehkan mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu, dan ia adalah orang yang paling ahli fikih dan paling bertakwa di zamannya.” Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Aku mendengar Abu Hanifah berkata, ‘Yang dimaksud dengan ‘jamaah’ adalah mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman, serta tidak merendahkan salah satu pun dari sahabat Rasulullah ﷺ. Jangan mengkafirkan orang karena dosa-dosanya, salatlah atas siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’ dan di belakang siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’. Mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu diperbolehkan. Serahkan segala urusan kepada Allah, dan tinggalkan pembicaraan yang tidak pantas tentang Allah Yang Mahamulia.” Abu Hanifah berkata, “Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan selain itu, maka dia adalah kafir.” Perkataan para ulama tentang Abu Hanifah Yahya bin Ma’in (imam dalam bidang Jarh wa Ta’dhil) berkata bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqah (terpercaya). Ia hanya meriwayatkan hadis yang benar-benar ia hafal, dan tidak meriwayatkan sesuatu yang tidak ia ingat dengan jelas. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mulia di majelisnya, atau lebih baik dalam penampilan dan kesabaran daripada Abu Hanifah.” Hayan bin Musa Al-Marwazi berkata, “Ibnu Mubarak ditanya, ‘Siapa yang lebih faqih, Malik atau Abu Hanifah?’ Dia menjawab, ‘Abu Hanifah.’ ” Dan Ibnu Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih di antara manusia.” Ujian yang diterima Abu Hanifah Ubaidullah bin Amr Al-Ruqy berkata, “Ibn Hubayrah (Amir Kufah) meminta Abu Hanifah untuk menjadi hakim di Kufah, namun beliau menolaknya. Akibatnya, beliau dipukul seratus kali dan sepuluh kali lebih banyak, namun Abu Hanifah tetap menolak. Ketika Ibn Hubayrah melihat keteguhan beliau, akhirnya dia melepaskannya.” Wafat Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Ketika ayahku meninggal, kami meminta Hassan bin Amarah untuk memandikannya, dan dia pun melakukannya. Ketika selesai memandikannya, dia berdoa, ‘Semoga Allah merahmatimu dan mengampunimu. Engkau tidak pernah berbuka puasa selama tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur dengan meletakkan tangan kananmu sebagai bantal selama empat puluh tahun. Engkau telah menyusahkan orang setelahmu, dan memalukan para pembaca (Al-Qur’an).’ ” Imam Abu Hanifah Al-Nu’man wafat pada tahun 150 Hijriah, pada usia 70 tahun. Ketika jenazahnya dibawa untuk disalatkan di Baghdad, umat Islam begitu banyak yang ingin menyalatkannya sehingga proses salat jenazah dilakukan enam kali karena padatnya kerumunan. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Abdirrahman An-Nasa’i *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99420/الإمام-الفقيه-أبو-حنيفة-النعمان/
Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranKisah menuntut ilmuGuru-guruMurid-muridAbu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaahPerkataan para ulama tentang Abu HanifahUjian yang diterima Abu HanifahWafat Nama dan kunyah Dia adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha At-Taimi Al-Kufi. Dikatakan bahwa dia adalah keturunan Persia. Ayahnya, Tsabit, lahir dalam Islam, dan Abu Hanifah sendiri adalah seorang pedagang sutra. Beliau diberi nama Nu’man adalah sebagai harapan kelak menjadi orang besar, sebagaimana Nu’man salah satu raja Persia. Memiliki kunyah Abu Hanifah. Kelahiran Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H. Dia pernah melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke Kufah, namun tidak terdapat bukti bahwa dia mendengar langsung dari salah satu sahabat. Kisah menuntut ilmu Zufar bin Al-Hudhayl berkata, Aku mendengar Abu Hanifah berkata, “Aku dulu mendalami ilmu kalam, bahkan aku menjadi rujukan orang banyak. Kami biasa duduk dekat halaqah Hammād bin Abi Sulaimān. Suatu hari, seorang wanita datang kepadaku dan bertanya, ‘Seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan sebagai istrinya ingin menceraikannya menurut sunah, bagaimana caranya?’ Aku tidak tahu jawabannya, lalu kusuruh ia bertanya kepada Hammād dan menyampaikan jawabannya padaku. Ia bertanya kepada Hammād, dan Hammād menjawab, ‘Suaminya hendaknya menceraikannya saat ia suci dari haid dan tidak disetubuhi, dengan satu kali talak, lalu membiarkannya hingga mengalami dua kali haid. Jika ia mandi, maka ia halal dinikahi oleh pria lain.’ Wanita itu kembali menyampaikan jawaban itu kepadaku. Maka, aku berkata, ‘Aku tidak butuh lagi ilmu kalam.’ Aku pun mengambil sandalku dan bergabung di halaqah Hammād untuk mendengarkan berbagai masalah fikih yang ia ajarkan. Aku hafalkan jawabannya, lalu Hammād mengulanginya di hari berikutnya, dan aku kembali menghafalnya, sementara murid-murid lain sering melakukan kesalahan. Hingga akhirnya ia berkata, ‘Tidak ada yang layak duduk di hadapanku, selain Abu Hanifah.’ Aku menemani Hammād selama sepuluh tahun. Kemudian timbul dalam diriku keinginan untuk menjadi pemimpin sendiri dan membuka halaqahku sendiri. Suatu sore, aku keluar dengan niat melakukannya, namun saat aku melihat Hammād, aku tak sanggup meninggalkannya. Pada malam itu juga, datang kabar bahwa kerabatnya di Bashrah wafat dan meninggalkan harta yang tidak memiliki ahli waris selainnya. Hammād pun memerintahkanku untuk menggantikannya. Begitu ia pergi, datanglah berbagai pertanyaan yang belum pernah aku dengar darinya. Aku menjawab dan menuliskan jawabanku. Ia pergi selama dua bulan, lalu kembali. Aku kemudian memperlihatkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang jumlahnya sekitar enam puluh. Ia sependapat denganku dalam empat puluh soal dan berbeda pendapat dalam dua puluh. Aku pun bersumpah pada diriku untuk tidak meninggalkannya hingga ia wafat.” Guru-guru Di antara guru-guru Abu Hanifah adalah Atha’ bin Abi Rabah, Asy-Sya’bi, Jabalah bin Suhaim, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Amr bin Dinar, Nafi’ Mawla Ibnu Umar, Qatadah, Qais bin Muslim, Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Dinar, Abdul Aziz bin Rafi’, Atha’iyah Al-‘Awfi, Hammad bin Abi Sulaiman (yang menjadi gurunya dalam fikih), Abdul Malik bin Umair, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Al-Munkadir, Abu Ishaq As-Sabi’i, Manshur bin Al-Mu’tamir, Muslim Al-Batin, dan banyak lagi lainnya. Murid-murid Di antara murid-murid Abu Hanifah adalah Abdurrazzaq bin Hammam (guru Imam Ahmad), Hammad bin Abi Hanifah, Zufar bin Hudhail At-Tamimi, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Waki’ bin Jarrah, dan Qadhi Abu Yusuf, serta banyak lagi lainnya. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir Abu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaah Akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah terkait tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, bantahan kepada Jahmiyah, masalah qadar, keyakinan terhadap para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan perkara-perkara pokok iman lainnya sejalan dengan manhaj salaf dan manhaj para imam mazhab lainnya, kecuali dalam beberapa perkara kecil yang menyelisihi, seperti: Pertama, pendapatnya bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Kedua, definisi iman sebagai tasdiq (pembenaran) dalam hati dan iqrar (pengakuan) dengan lisan, tanpa memasukkan amal dalam hakikat iman. Namun, Ibn Abdil Barr dan Ibn Abi Al-‘Izz menyebutkan indikasi bahwa Abu Hanifah kembali dari pendapat ini. Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam yang masyhur semuanya menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, serta percaya bahwa Allah akan dilihat di akhirat. Inilah mazhab para sahabat, tabiin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlul Bait dan lainnya. Ini juga mazhab imam-imam yang diikuti seperti Malik bin Anas, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.” Yahya bin Nashr berkata, “Abu Hanifah mengutamakan Abu Bakar dan Umar, serta mencintai Ali dan Utsman. Ia beriman kepada takdir, baik maupun buruknya, dan tidak berbicara tentang Allah ‘Azza Wajalla dengan hal yang tak pantas. Ia membolehkan mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu, dan ia adalah orang yang paling ahli fikih dan paling bertakwa di zamannya.” Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Aku mendengar Abu Hanifah berkata, ‘Yang dimaksud dengan ‘jamaah’ adalah mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman, serta tidak merendahkan salah satu pun dari sahabat Rasulullah ﷺ. Jangan mengkafirkan orang karena dosa-dosanya, salatlah atas siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’ dan di belakang siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’. Mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu diperbolehkan. Serahkan segala urusan kepada Allah, dan tinggalkan pembicaraan yang tidak pantas tentang Allah Yang Mahamulia.” Abu Hanifah berkata, “Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan selain itu, maka dia adalah kafir.” Perkataan para ulama tentang Abu Hanifah Yahya bin Ma’in (imam dalam bidang Jarh wa Ta’dhil) berkata bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqah (terpercaya). Ia hanya meriwayatkan hadis yang benar-benar ia hafal, dan tidak meriwayatkan sesuatu yang tidak ia ingat dengan jelas. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mulia di majelisnya, atau lebih baik dalam penampilan dan kesabaran daripada Abu Hanifah.” Hayan bin Musa Al-Marwazi berkata, “Ibnu Mubarak ditanya, ‘Siapa yang lebih faqih, Malik atau Abu Hanifah?’ Dia menjawab, ‘Abu Hanifah.’ ” Dan Ibnu Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih di antara manusia.” Ujian yang diterima Abu Hanifah Ubaidullah bin Amr Al-Ruqy berkata, “Ibn Hubayrah (Amir Kufah) meminta Abu Hanifah untuk menjadi hakim di Kufah, namun beliau menolaknya. Akibatnya, beliau dipukul seratus kali dan sepuluh kali lebih banyak, namun Abu Hanifah tetap menolak. Ketika Ibn Hubayrah melihat keteguhan beliau, akhirnya dia melepaskannya.” Wafat Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Ketika ayahku meninggal, kami meminta Hassan bin Amarah untuk memandikannya, dan dia pun melakukannya. Ketika selesai memandikannya, dia berdoa, ‘Semoga Allah merahmatimu dan mengampunimu. Engkau tidak pernah berbuka puasa selama tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur dengan meletakkan tangan kananmu sebagai bantal selama empat puluh tahun. Engkau telah menyusahkan orang setelahmu, dan memalukan para pembaca (Al-Qur’an).’ ” Imam Abu Hanifah Al-Nu’man wafat pada tahun 150 Hijriah, pada usia 70 tahun. Ketika jenazahnya dibawa untuk disalatkan di Baghdad, umat Islam begitu banyak yang ingin menyalatkannya sehingga proses salat jenazah dilakukan enam kali karena padatnya kerumunan. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Abdirrahman An-Nasa’i *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99420/الإمام-الفقيه-أبو-حنيفة-النعمان/


Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranKisah menuntut ilmuGuru-guruMurid-muridAbu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaahPerkataan para ulama tentang Abu HanifahUjian yang diterima Abu HanifahWafat Nama dan kunyah Dia adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha At-Taimi Al-Kufi. Dikatakan bahwa dia adalah keturunan Persia. Ayahnya, Tsabit, lahir dalam Islam, dan Abu Hanifah sendiri adalah seorang pedagang sutra. Beliau diberi nama Nu’man adalah sebagai harapan kelak menjadi orang besar, sebagaimana Nu’man salah satu raja Persia. Memiliki kunyah Abu Hanifah. Kelahiran Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H. Dia pernah melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke Kufah, namun tidak terdapat bukti bahwa dia mendengar langsung dari salah satu sahabat. Kisah menuntut ilmu Zufar bin Al-Hudhayl berkata, Aku mendengar Abu Hanifah berkata, “Aku dulu mendalami ilmu kalam, bahkan aku menjadi rujukan orang banyak. Kami biasa duduk dekat halaqah Hammād bin Abi Sulaimān. Suatu hari, seorang wanita datang kepadaku dan bertanya, ‘Seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan sebagai istrinya ingin menceraikannya menurut sunah, bagaimana caranya?’ Aku tidak tahu jawabannya, lalu kusuruh ia bertanya kepada Hammād dan menyampaikan jawabannya padaku. Ia bertanya kepada Hammād, dan Hammād menjawab, ‘Suaminya hendaknya menceraikannya saat ia suci dari haid dan tidak disetubuhi, dengan satu kali talak, lalu membiarkannya hingga mengalami dua kali haid. Jika ia mandi, maka ia halal dinikahi oleh pria lain.’ Wanita itu kembali menyampaikan jawaban itu kepadaku. Maka, aku berkata, ‘Aku tidak butuh lagi ilmu kalam.’ Aku pun mengambil sandalku dan bergabung di halaqah Hammād untuk mendengarkan berbagai masalah fikih yang ia ajarkan. Aku hafalkan jawabannya, lalu Hammād mengulanginya di hari berikutnya, dan aku kembali menghafalnya, sementara murid-murid lain sering melakukan kesalahan. Hingga akhirnya ia berkata, ‘Tidak ada yang layak duduk di hadapanku, selain Abu Hanifah.’ Aku menemani Hammād selama sepuluh tahun. Kemudian timbul dalam diriku keinginan untuk menjadi pemimpin sendiri dan membuka halaqahku sendiri. Suatu sore, aku keluar dengan niat melakukannya, namun saat aku melihat Hammād, aku tak sanggup meninggalkannya. Pada malam itu juga, datang kabar bahwa kerabatnya di Bashrah wafat dan meninggalkan harta yang tidak memiliki ahli waris selainnya. Hammād pun memerintahkanku untuk menggantikannya. Begitu ia pergi, datanglah berbagai pertanyaan yang belum pernah aku dengar darinya. Aku menjawab dan menuliskan jawabanku. Ia pergi selama dua bulan, lalu kembali. Aku kemudian memperlihatkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang jumlahnya sekitar enam puluh. Ia sependapat denganku dalam empat puluh soal dan berbeda pendapat dalam dua puluh. Aku pun bersumpah pada diriku untuk tidak meninggalkannya hingga ia wafat.” Guru-guru Di antara guru-guru Abu Hanifah adalah Atha’ bin Abi Rabah, Asy-Sya’bi, Jabalah bin Suhaim, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Amr bin Dinar, Nafi’ Mawla Ibnu Umar, Qatadah, Qais bin Muslim, Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Dinar, Abdul Aziz bin Rafi’, Atha’iyah Al-‘Awfi, Hammad bin Abi Sulaiman (yang menjadi gurunya dalam fikih), Abdul Malik bin Umair, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Al-Munkadir, Abu Ishaq As-Sabi’i, Manshur bin Al-Mu’tamir, Muslim Al-Batin, dan banyak lagi lainnya. Murid-murid Di antara murid-murid Abu Hanifah adalah Abdurrazzaq bin Hammam (guru Imam Ahmad), Hammad bin Abi Hanifah, Zufar bin Hudhail At-Tamimi, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Waki’ bin Jarrah, dan Qadhi Abu Yusuf, serta banyak lagi lainnya. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir Abu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaah Akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah terkait tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, bantahan kepada Jahmiyah, masalah qadar, keyakinan terhadap para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan perkara-perkara pokok iman lainnya sejalan dengan manhaj salaf dan manhaj para imam mazhab lainnya, kecuali dalam beberapa perkara kecil yang menyelisihi, seperti: Pertama, pendapatnya bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Kedua, definisi iman sebagai tasdiq (pembenaran) dalam hati dan iqrar (pengakuan) dengan lisan, tanpa memasukkan amal dalam hakikat iman. Namun, Ibn Abdil Barr dan Ibn Abi Al-‘Izz menyebutkan indikasi bahwa Abu Hanifah kembali dari pendapat ini. Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam yang masyhur semuanya menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, serta percaya bahwa Allah akan dilihat di akhirat. Inilah mazhab para sahabat, tabiin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlul Bait dan lainnya. Ini juga mazhab imam-imam yang diikuti seperti Malik bin Anas, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.” Yahya bin Nashr berkata, “Abu Hanifah mengutamakan Abu Bakar dan Umar, serta mencintai Ali dan Utsman. Ia beriman kepada takdir, baik maupun buruknya, dan tidak berbicara tentang Allah ‘Azza Wajalla dengan hal yang tak pantas. Ia membolehkan mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu, dan ia adalah orang yang paling ahli fikih dan paling bertakwa di zamannya.” Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Aku mendengar Abu Hanifah berkata, ‘Yang dimaksud dengan ‘jamaah’ adalah mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman, serta tidak merendahkan salah satu pun dari sahabat Rasulullah ﷺ. Jangan mengkafirkan orang karena dosa-dosanya, salatlah atas siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’ dan di belakang siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’. Mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu diperbolehkan. Serahkan segala urusan kepada Allah, dan tinggalkan pembicaraan yang tidak pantas tentang Allah Yang Mahamulia.” Abu Hanifah berkata, “Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan selain itu, maka dia adalah kafir.” Perkataan para ulama tentang Abu Hanifah Yahya bin Ma’in (imam dalam bidang Jarh wa Ta’dhil) berkata bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqah (terpercaya). Ia hanya meriwayatkan hadis yang benar-benar ia hafal, dan tidak meriwayatkan sesuatu yang tidak ia ingat dengan jelas. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mulia di majelisnya, atau lebih baik dalam penampilan dan kesabaran daripada Abu Hanifah.” Hayan bin Musa Al-Marwazi berkata, “Ibnu Mubarak ditanya, ‘Siapa yang lebih faqih, Malik atau Abu Hanifah?’ Dia menjawab, ‘Abu Hanifah.’ ” Dan Ibnu Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih di antara manusia.” Ujian yang diterima Abu Hanifah Ubaidullah bin Amr Al-Ruqy berkata, “Ibn Hubayrah (Amir Kufah) meminta Abu Hanifah untuk menjadi hakim di Kufah, namun beliau menolaknya. Akibatnya, beliau dipukul seratus kali dan sepuluh kali lebih banyak, namun Abu Hanifah tetap menolak. Ketika Ibn Hubayrah melihat keteguhan beliau, akhirnya dia melepaskannya.” Wafat Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Ketika ayahku meninggal, kami meminta Hassan bin Amarah untuk memandikannya, dan dia pun melakukannya. Ketika selesai memandikannya, dia berdoa, ‘Semoga Allah merahmatimu dan mengampunimu. Engkau tidak pernah berbuka puasa selama tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur dengan meletakkan tangan kananmu sebagai bantal selama empat puluh tahun. Engkau telah menyusahkan orang setelahmu, dan memalukan para pembaca (Al-Qur’an).’ ” Imam Abu Hanifah Al-Nu’man wafat pada tahun 150 Hijriah, pada usia 70 tahun. Ketika jenazahnya dibawa untuk disalatkan di Baghdad, umat Islam begitu banyak yang ingin menyalatkannya sehingga proses salat jenazah dilakukan enam kali karena padatnya kerumunan. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Abdirrahman An-Nasa’i *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99420/الإمام-الفقيه-أبو-حنيفة-النعمان/

Inilah Orang yang Berpuasa yang Paling Banyak Pahalanya – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #NasehatUlama

Oleh karena itu, orang yang berpuasa juga dianjurkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah saat berpuasa untuk meningkatkan pahala puasanya. Disebutkan dalam sebuah hadis yang dinilai hasan oleh sebagian ulama, bahwa Nabi ʿalaihish shalātu was salām pernah ditanya tentang berbagai amal ketaatan, termasuk puasa. Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah orang yang berpuasa yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab: “Mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah.” Dari hadis ini Imam Ibnul Qayyim raḥimahullāh menyimpulkan dalam kitabnya al-Wābil ash-Shayyib, sebuah kaidah dalam semua ibadah, bahwa orang yang paling besar pahalanya dalam setiap ibadah adalah mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah dalam ibadah itu. ==== وَلِهَذَا أَيْضًا يُنْصَحُ الصَّائِمُ أَنْ يُكْثِرَ فِي صِيَامِهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ لِيَعْظُمَ سَبْقُهُ فِي صِيَامِهِ قَدْ جَاءَ فِي حَدِيثٍ حَسَّنَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سُئِلَ عَنْ طَاعَاتٍ عَدِيدَةٍ مِنْهَا الصِّيَامُ قِيلَ لَهُ: أَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا أَخَذَ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ الْوَابِلِ الصَّيِّبِ قَاعِدَةً نَافِعَةً فِي الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا أَنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي كُلِّ عِبَادَةٍ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا فِيهَا

Inilah Orang yang Berpuasa yang Paling Banyak Pahalanya – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #NasehatUlama

Oleh karena itu, orang yang berpuasa juga dianjurkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah saat berpuasa untuk meningkatkan pahala puasanya. Disebutkan dalam sebuah hadis yang dinilai hasan oleh sebagian ulama, bahwa Nabi ʿalaihish shalātu was salām pernah ditanya tentang berbagai amal ketaatan, termasuk puasa. Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah orang yang berpuasa yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab: “Mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah.” Dari hadis ini Imam Ibnul Qayyim raḥimahullāh menyimpulkan dalam kitabnya al-Wābil ash-Shayyib, sebuah kaidah dalam semua ibadah, bahwa orang yang paling besar pahalanya dalam setiap ibadah adalah mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah dalam ibadah itu. ==== وَلِهَذَا أَيْضًا يُنْصَحُ الصَّائِمُ أَنْ يُكْثِرَ فِي صِيَامِهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ لِيَعْظُمَ سَبْقُهُ فِي صِيَامِهِ قَدْ جَاءَ فِي حَدِيثٍ حَسَّنَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سُئِلَ عَنْ طَاعَاتٍ عَدِيدَةٍ مِنْهَا الصِّيَامُ قِيلَ لَهُ: أَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا أَخَذَ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ الْوَابِلِ الصَّيِّبِ قَاعِدَةً نَافِعَةً فِي الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا أَنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي كُلِّ عِبَادَةٍ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا فِيهَا
Oleh karena itu, orang yang berpuasa juga dianjurkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah saat berpuasa untuk meningkatkan pahala puasanya. Disebutkan dalam sebuah hadis yang dinilai hasan oleh sebagian ulama, bahwa Nabi ʿalaihish shalātu was salām pernah ditanya tentang berbagai amal ketaatan, termasuk puasa. Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah orang yang berpuasa yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab: “Mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah.” Dari hadis ini Imam Ibnul Qayyim raḥimahullāh menyimpulkan dalam kitabnya al-Wābil ash-Shayyib, sebuah kaidah dalam semua ibadah, bahwa orang yang paling besar pahalanya dalam setiap ibadah adalah mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah dalam ibadah itu. ==== وَلِهَذَا أَيْضًا يُنْصَحُ الصَّائِمُ أَنْ يُكْثِرَ فِي صِيَامِهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ لِيَعْظُمَ سَبْقُهُ فِي صِيَامِهِ قَدْ جَاءَ فِي حَدِيثٍ حَسَّنَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سُئِلَ عَنْ طَاعَاتٍ عَدِيدَةٍ مِنْهَا الصِّيَامُ قِيلَ لَهُ: أَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا أَخَذَ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ الْوَابِلِ الصَّيِّبِ قَاعِدَةً نَافِعَةً فِي الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا أَنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي كُلِّ عِبَادَةٍ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا فِيهَا


Oleh karena itu, orang yang berpuasa juga dianjurkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah saat berpuasa untuk meningkatkan pahala puasanya. Disebutkan dalam sebuah hadis yang dinilai hasan oleh sebagian ulama, bahwa Nabi ʿalaihish shalātu was salām pernah ditanya tentang berbagai amal ketaatan, termasuk puasa. Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah orang yang berpuasa yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab: “Mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah.” Dari hadis ini Imam Ibnul Qayyim raḥimahullāh menyimpulkan dalam kitabnya al-Wābil ash-Shayyib, sebuah kaidah dalam semua ibadah, bahwa orang yang paling besar pahalanya dalam setiap ibadah adalah mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah dalam ibadah itu. ==== وَلِهَذَا أَيْضًا يُنْصَحُ الصَّائِمُ أَنْ يُكْثِرَ فِي صِيَامِهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ لِيَعْظُمَ سَبْقُهُ فِي صِيَامِهِ قَدْ جَاءَ فِي حَدِيثٍ حَسَّنَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سُئِلَ عَنْ طَاعَاتٍ عَدِيدَةٍ مِنْهَا الصِّيَامُ قِيلَ لَهُ: أَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا أَخَذَ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ الْوَابِلِ الصَّيِّبِ قَاعِدَةً نَافِعَةً فِي الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا أَنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي كُلِّ عِبَادَةٍ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا فِيهَا

Faedah Mahal: Agar Setiap Detik Bernilai Ibadah – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #nasehatulama

Sungguh menakjubkan, ini faidah yang sangat berharga. Beliau mengatakan bahwa ketika Anda melakukan aktivitas yang mubah (diperbolehkan), Anda dapat menyertakan niat yang baik dalam aktivitas mubah tersebut, sehingga aktivitas mubah itu berubah menjadi ibadah, yang pahalanya dicatat untuk Anda di sisi Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Misalnya, jika Anda pergi ke pasar membeli makanan untuk Anda, istri, dan anak Anda, dengan niat agar Anda kuat dalam menaati Allah, serta berusaha memperbaiki dan membimbing anak Anda menuju kebaikan, dan niat-niat baik lainnya, maka langkah Anda dalam aktivitas mubah ini berubah menjadi salah satu bentuk ibadah. Oleh karena itu, orang yang memperbaiki dirinya dengan niat, akan mendapati seluruh siang dan malamnya berubah menjadi amalan, bahkan tidur pun masuk ke dalam amal salehnya. Dia tidur, dan tidurnya dicatat sebagai amal saleh. ==== هَذَا عَجِيبٌ جِدًّا هَذِهِ فَائِدَةٌ ثَمِينَةٌ يَقُولُ: أَنْتَ عِنْدَمَا تَمْشِي فِي الْمُبَاحَاتِ قَدْ تُدْخِلُ نِيَّةً صَالِحَةً فِي مَمْشَاكَ فِي الْمُبَاحِ فَيَتَحَوَّلُ هَذَا الْمُبَاحُ إِلَى قُرْبَةٍ يُكْتَبُ لَكَ ثَوَابُهَا عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَمَثَلًا إِنْ كُنْتَ ذَهَبْتَ إِلَى السُّوقِ تَشْتَرِي طَعَامًا لَكَ وَلِأَهْلِكَ وَوَلَدِكَ وَنَوَيْتَ بِهَذَا الْقُوَّةَ عَلَى طَاعَةِ اللهِ وَالْعَمَلِ عَلَى إِصْلَاحِ وَلَدِكَ وَهِدَايَتِهِ لِلْخَيْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنَ النِّيَّاتِ الصَّالِحَةِ تَحَوَّلَ مَمْشَاكَ لِهَذَا الْمُبَاحِ إِلَى قُرْبَةٍ مِنَ الْقُرَبِ وَلِهَذَا النَّاصِحُ لِنَفْسِهِ بِالنِّيَّةِ تَتَحَوَّلُ أَيَّامُهُ وَلَيَالِيهِ كُلُّهَا إِلَى عَمَلٍ حَتَّى النَّوْمِ يَدْخُلُ فِي عَمَلِهِ الصَّالِحِ يَنَامُ وَيُكْتَبُ لَهُ نَوْمُهُ عَمَلًا صَالِحًا

Faedah Mahal: Agar Setiap Detik Bernilai Ibadah – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #nasehatulama

Sungguh menakjubkan, ini faidah yang sangat berharga. Beliau mengatakan bahwa ketika Anda melakukan aktivitas yang mubah (diperbolehkan), Anda dapat menyertakan niat yang baik dalam aktivitas mubah tersebut, sehingga aktivitas mubah itu berubah menjadi ibadah, yang pahalanya dicatat untuk Anda di sisi Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Misalnya, jika Anda pergi ke pasar membeli makanan untuk Anda, istri, dan anak Anda, dengan niat agar Anda kuat dalam menaati Allah, serta berusaha memperbaiki dan membimbing anak Anda menuju kebaikan, dan niat-niat baik lainnya, maka langkah Anda dalam aktivitas mubah ini berubah menjadi salah satu bentuk ibadah. Oleh karena itu, orang yang memperbaiki dirinya dengan niat, akan mendapati seluruh siang dan malamnya berubah menjadi amalan, bahkan tidur pun masuk ke dalam amal salehnya. Dia tidur, dan tidurnya dicatat sebagai amal saleh. ==== هَذَا عَجِيبٌ جِدًّا هَذِهِ فَائِدَةٌ ثَمِينَةٌ يَقُولُ: أَنْتَ عِنْدَمَا تَمْشِي فِي الْمُبَاحَاتِ قَدْ تُدْخِلُ نِيَّةً صَالِحَةً فِي مَمْشَاكَ فِي الْمُبَاحِ فَيَتَحَوَّلُ هَذَا الْمُبَاحُ إِلَى قُرْبَةٍ يُكْتَبُ لَكَ ثَوَابُهَا عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَمَثَلًا إِنْ كُنْتَ ذَهَبْتَ إِلَى السُّوقِ تَشْتَرِي طَعَامًا لَكَ وَلِأَهْلِكَ وَوَلَدِكَ وَنَوَيْتَ بِهَذَا الْقُوَّةَ عَلَى طَاعَةِ اللهِ وَالْعَمَلِ عَلَى إِصْلَاحِ وَلَدِكَ وَهِدَايَتِهِ لِلْخَيْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنَ النِّيَّاتِ الصَّالِحَةِ تَحَوَّلَ مَمْشَاكَ لِهَذَا الْمُبَاحِ إِلَى قُرْبَةٍ مِنَ الْقُرَبِ وَلِهَذَا النَّاصِحُ لِنَفْسِهِ بِالنِّيَّةِ تَتَحَوَّلُ أَيَّامُهُ وَلَيَالِيهِ كُلُّهَا إِلَى عَمَلٍ حَتَّى النَّوْمِ يَدْخُلُ فِي عَمَلِهِ الصَّالِحِ يَنَامُ وَيُكْتَبُ لَهُ نَوْمُهُ عَمَلًا صَالِحًا
Sungguh menakjubkan, ini faidah yang sangat berharga. Beliau mengatakan bahwa ketika Anda melakukan aktivitas yang mubah (diperbolehkan), Anda dapat menyertakan niat yang baik dalam aktivitas mubah tersebut, sehingga aktivitas mubah itu berubah menjadi ibadah, yang pahalanya dicatat untuk Anda di sisi Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Misalnya, jika Anda pergi ke pasar membeli makanan untuk Anda, istri, dan anak Anda, dengan niat agar Anda kuat dalam menaati Allah, serta berusaha memperbaiki dan membimbing anak Anda menuju kebaikan, dan niat-niat baik lainnya, maka langkah Anda dalam aktivitas mubah ini berubah menjadi salah satu bentuk ibadah. Oleh karena itu, orang yang memperbaiki dirinya dengan niat, akan mendapati seluruh siang dan malamnya berubah menjadi amalan, bahkan tidur pun masuk ke dalam amal salehnya. Dia tidur, dan tidurnya dicatat sebagai amal saleh. ==== هَذَا عَجِيبٌ جِدًّا هَذِهِ فَائِدَةٌ ثَمِينَةٌ يَقُولُ: أَنْتَ عِنْدَمَا تَمْشِي فِي الْمُبَاحَاتِ قَدْ تُدْخِلُ نِيَّةً صَالِحَةً فِي مَمْشَاكَ فِي الْمُبَاحِ فَيَتَحَوَّلُ هَذَا الْمُبَاحُ إِلَى قُرْبَةٍ يُكْتَبُ لَكَ ثَوَابُهَا عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَمَثَلًا إِنْ كُنْتَ ذَهَبْتَ إِلَى السُّوقِ تَشْتَرِي طَعَامًا لَكَ وَلِأَهْلِكَ وَوَلَدِكَ وَنَوَيْتَ بِهَذَا الْقُوَّةَ عَلَى طَاعَةِ اللهِ وَالْعَمَلِ عَلَى إِصْلَاحِ وَلَدِكَ وَهِدَايَتِهِ لِلْخَيْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنَ النِّيَّاتِ الصَّالِحَةِ تَحَوَّلَ مَمْشَاكَ لِهَذَا الْمُبَاحِ إِلَى قُرْبَةٍ مِنَ الْقُرَبِ وَلِهَذَا النَّاصِحُ لِنَفْسِهِ بِالنِّيَّةِ تَتَحَوَّلُ أَيَّامُهُ وَلَيَالِيهِ كُلُّهَا إِلَى عَمَلٍ حَتَّى النَّوْمِ يَدْخُلُ فِي عَمَلِهِ الصَّالِحِ يَنَامُ وَيُكْتَبُ لَهُ نَوْمُهُ عَمَلًا صَالِحًا


Sungguh menakjubkan, ini faidah yang sangat berharga. Beliau mengatakan bahwa ketika Anda melakukan aktivitas yang mubah (diperbolehkan), Anda dapat menyertakan niat yang baik dalam aktivitas mubah tersebut, sehingga aktivitas mubah itu berubah menjadi ibadah, yang pahalanya dicatat untuk Anda di sisi Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Misalnya, jika Anda pergi ke pasar membeli makanan untuk Anda, istri, dan anak Anda, dengan niat agar Anda kuat dalam menaati Allah, serta berusaha memperbaiki dan membimbing anak Anda menuju kebaikan, dan niat-niat baik lainnya, maka langkah Anda dalam aktivitas mubah ini berubah menjadi salah satu bentuk ibadah. Oleh karena itu, orang yang memperbaiki dirinya dengan niat, akan mendapati seluruh siang dan malamnya berubah menjadi amalan, bahkan tidur pun masuk ke dalam amal salehnya. Dia tidur, dan tidurnya dicatat sebagai amal saleh. ==== هَذَا عَجِيبٌ جِدًّا هَذِهِ فَائِدَةٌ ثَمِينَةٌ يَقُولُ: أَنْتَ عِنْدَمَا تَمْشِي فِي الْمُبَاحَاتِ قَدْ تُدْخِلُ نِيَّةً صَالِحَةً فِي مَمْشَاكَ فِي الْمُبَاحِ فَيَتَحَوَّلُ هَذَا الْمُبَاحُ إِلَى قُرْبَةٍ يُكْتَبُ لَكَ ثَوَابُهَا عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَمَثَلًا إِنْ كُنْتَ ذَهَبْتَ إِلَى السُّوقِ تَشْتَرِي طَعَامًا لَكَ وَلِأَهْلِكَ وَوَلَدِكَ وَنَوَيْتَ بِهَذَا الْقُوَّةَ عَلَى طَاعَةِ اللهِ وَالْعَمَلِ عَلَى إِصْلَاحِ وَلَدِكَ وَهِدَايَتِهِ لِلْخَيْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنَ النِّيَّاتِ الصَّالِحَةِ تَحَوَّلَ مَمْشَاكَ لِهَذَا الْمُبَاحِ إِلَى قُرْبَةٍ مِنَ الْقُرَبِ وَلِهَذَا النَّاصِحُ لِنَفْسِهِ بِالنِّيَّةِ تَتَحَوَّلُ أَيَّامُهُ وَلَيَالِيهِ كُلُّهَا إِلَى عَمَلٍ حَتَّى النَّوْمِ يَدْخُلُ فِي عَمَلِهِ الصَّالِحِ يَنَامُ وَيُكْتَبُ لَهُ نَوْمُهُ عَمَلًا صَالِحًا

Lagi Makan Sahur Ternyata Azan, Bagaimana Sebaiknya? – Syaikh Abdul Karim al-Khudair #NasehatUlama

Penanya ini bertanya, namanya Husain, dari daerah Al-Qasim: “Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya seseorang yang makan atau minum ketika muazin mengumandangkan azan Subuh di bulan Ramadan? Apakah puasanya sah?” Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada keadaan muazin tersebut. Jika muazin dikenal sebagai orang yang tepat waktu, dan ia tidak mengumandangkan azan sampai fajar benar-benar terbit, maka penanya tidak boleh makan dan minum setelah azan dikumandangkan, karena batas waktu untuk makan dan minum adalah sampai jelas antara benang putih dan benang hitam, yakni dengan terbitnya fajar. Namun, jika muazin ini dikenal mengumandangkan azan sebelum waktunya sebagai bentuk kehati-hatian (menurut sangkaannya), maka tidak masalah dia makan dan minum sampai fajar benar-benar terbit. Namun, bagaimanapun, yang lebih hati-hati bagi orang yang berpuasa adalah tidak makan lagi jika mendengar suara azan. Adapun jika ia mendengar azan dan di tangannya masih ada sesuatu yang bisa dihabiskan dengan cepat, seperti seteguk minuman atau sejenisnya, maka tidak mengapa ia menyelesaikannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dalam Sunan Abu Dawud. Demikian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ وَاسْمُهُ حُسَينٌ مِنَ الْقَصِيمِ يَقُولُ: سُؤَالِي مَا حُكْمُ مَنْ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ وَالْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ فِي رَمَضَانَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ هَلْ صِيَامُهُ صَحِيحٌ؟ جَوَابُ هَذَا السُّؤَالِ يَنْبَنِي عَلَى مَعْرِفَةِ حَالِ الْمُؤَذِّنِ فَإِنْ كَانَ مَعْرُوفًا بِالدِّقَّةِ وَأَنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ بَعْدَ أَذَانِهِ لِأَنَّ الْغَايَةَ لِلْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ وَإِذَا كَانَ هَذَا الْمُؤَذِّنُ عُرِفَ بِأَنَّهُ يَتَقَدَّمُ عَلَى الْوَقْتِ مِنْ بَابِ الِاحْتِيَاطِ عَلَى حَدِّ زَعْمِهِ فَإِنَّهُ لَا مَانِعَ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ الْأَحْوَاطُ لِلصَّائِمِ أَنْ لَا يَأْكُلَ الْإِنْسَانُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ مَعَ أَنَّهُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ وَبِيدِهِ شَيْءٌ يُمْكِنُ إِنْهَائُهُ فِي وَقْتٍ وَجِيزٍ كَشَرْبَةٍ وَنَحْوِهَا لَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يُكْمِلَهَا كَمَا جَاءَ بِذَلِكَ الْحَدِيثُ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ نَعَمْ

Lagi Makan Sahur Ternyata Azan, Bagaimana Sebaiknya? – Syaikh Abdul Karim al-Khudair #NasehatUlama

Penanya ini bertanya, namanya Husain, dari daerah Al-Qasim: “Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya seseorang yang makan atau minum ketika muazin mengumandangkan azan Subuh di bulan Ramadan? Apakah puasanya sah?” Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada keadaan muazin tersebut. Jika muazin dikenal sebagai orang yang tepat waktu, dan ia tidak mengumandangkan azan sampai fajar benar-benar terbit, maka penanya tidak boleh makan dan minum setelah azan dikumandangkan, karena batas waktu untuk makan dan minum adalah sampai jelas antara benang putih dan benang hitam, yakni dengan terbitnya fajar. Namun, jika muazin ini dikenal mengumandangkan azan sebelum waktunya sebagai bentuk kehati-hatian (menurut sangkaannya), maka tidak masalah dia makan dan minum sampai fajar benar-benar terbit. Namun, bagaimanapun, yang lebih hati-hati bagi orang yang berpuasa adalah tidak makan lagi jika mendengar suara azan. Adapun jika ia mendengar azan dan di tangannya masih ada sesuatu yang bisa dihabiskan dengan cepat, seperti seteguk minuman atau sejenisnya, maka tidak mengapa ia menyelesaikannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dalam Sunan Abu Dawud. Demikian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ وَاسْمُهُ حُسَينٌ مِنَ الْقَصِيمِ يَقُولُ: سُؤَالِي مَا حُكْمُ مَنْ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ وَالْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ فِي رَمَضَانَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ هَلْ صِيَامُهُ صَحِيحٌ؟ جَوَابُ هَذَا السُّؤَالِ يَنْبَنِي عَلَى مَعْرِفَةِ حَالِ الْمُؤَذِّنِ فَإِنْ كَانَ مَعْرُوفًا بِالدِّقَّةِ وَأَنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ بَعْدَ أَذَانِهِ لِأَنَّ الْغَايَةَ لِلْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ وَإِذَا كَانَ هَذَا الْمُؤَذِّنُ عُرِفَ بِأَنَّهُ يَتَقَدَّمُ عَلَى الْوَقْتِ مِنْ بَابِ الِاحْتِيَاطِ عَلَى حَدِّ زَعْمِهِ فَإِنَّهُ لَا مَانِعَ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ الْأَحْوَاطُ لِلصَّائِمِ أَنْ لَا يَأْكُلَ الْإِنْسَانُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ مَعَ أَنَّهُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ وَبِيدِهِ شَيْءٌ يُمْكِنُ إِنْهَائُهُ فِي وَقْتٍ وَجِيزٍ كَشَرْبَةٍ وَنَحْوِهَا لَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يُكْمِلَهَا كَمَا جَاءَ بِذَلِكَ الْحَدِيثُ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ نَعَمْ
Penanya ini bertanya, namanya Husain, dari daerah Al-Qasim: “Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya seseorang yang makan atau minum ketika muazin mengumandangkan azan Subuh di bulan Ramadan? Apakah puasanya sah?” Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada keadaan muazin tersebut. Jika muazin dikenal sebagai orang yang tepat waktu, dan ia tidak mengumandangkan azan sampai fajar benar-benar terbit, maka penanya tidak boleh makan dan minum setelah azan dikumandangkan, karena batas waktu untuk makan dan minum adalah sampai jelas antara benang putih dan benang hitam, yakni dengan terbitnya fajar. Namun, jika muazin ini dikenal mengumandangkan azan sebelum waktunya sebagai bentuk kehati-hatian (menurut sangkaannya), maka tidak masalah dia makan dan minum sampai fajar benar-benar terbit. Namun, bagaimanapun, yang lebih hati-hati bagi orang yang berpuasa adalah tidak makan lagi jika mendengar suara azan. Adapun jika ia mendengar azan dan di tangannya masih ada sesuatu yang bisa dihabiskan dengan cepat, seperti seteguk minuman atau sejenisnya, maka tidak mengapa ia menyelesaikannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dalam Sunan Abu Dawud. Demikian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ وَاسْمُهُ حُسَينٌ مِنَ الْقَصِيمِ يَقُولُ: سُؤَالِي مَا حُكْمُ مَنْ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ وَالْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ فِي رَمَضَانَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ هَلْ صِيَامُهُ صَحِيحٌ؟ جَوَابُ هَذَا السُّؤَالِ يَنْبَنِي عَلَى مَعْرِفَةِ حَالِ الْمُؤَذِّنِ فَإِنْ كَانَ مَعْرُوفًا بِالدِّقَّةِ وَأَنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ بَعْدَ أَذَانِهِ لِأَنَّ الْغَايَةَ لِلْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ وَإِذَا كَانَ هَذَا الْمُؤَذِّنُ عُرِفَ بِأَنَّهُ يَتَقَدَّمُ عَلَى الْوَقْتِ مِنْ بَابِ الِاحْتِيَاطِ عَلَى حَدِّ زَعْمِهِ فَإِنَّهُ لَا مَانِعَ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ الْأَحْوَاطُ لِلصَّائِمِ أَنْ لَا يَأْكُلَ الْإِنْسَانُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ مَعَ أَنَّهُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ وَبِيدِهِ شَيْءٌ يُمْكِنُ إِنْهَائُهُ فِي وَقْتٍ وَجِيزٍ كَشَرْبَةٍ وَنَحْوِهَا لَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يُكْمِلَهَا كَمَا جَاءَ بِذَلِكَ الْحَدِيثُ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ نَعَمْ


Penanya ini bertanya, namanya Husain, dari daerah Al-Qasim: “Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya seseorang yang makan atau minum ketika muazin mengumandangkan azan Subuh di bulan Ramadan? Apakah puasanya sah?” Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada keadaan muazin tersebut. Jika muazin dikenal sebagai orang yang tepat waktu, dan ia tidak mengumandangkan azan sampai fajar benar-benar terbit, maka penanya tidak boleh makan dan minum setelah azan dikumandangkan, karena batas waktu untuk makan dan minum adalah sampai jelas antara benang putih dan benang hitam, yakni dengan terbitnya fajar. Namun, jika muazin ini dikenal mengumandangkan azan sebelum waktunya sebagai bentuk kehati-hatian (menurut sangkaannya), maka tidak masalah dia makan dan minum sampai fajar benar-benar terbit. Namun, bagaimanapun, yang lebih hati-hati bagi orang yang berpuasa adalah tidak makan lagi jika mendengar suara azan. Adapun jika ia mendengar azan dan di tangannya masih ada sesuatu yang bisa dihabiskan dengan cepat, seperti seteguk minuman atau sejenisnya, maka tidak mengapa ia menyelesaikannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dalam Sunan Abu Dawud. Demikian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ وَاسْمُهُ حُسَينٌ مِنَ الْقَصِيمِ يَقُولُ: سُؤَالِي مَا حُكْمُ مَنْ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ وَالْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ فِي رَمَضَانَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ هَلْ صِيَامُهُ صَحِيحٌ؟ جَوَابُ هَذَا السُّؤَالِ يَنْبَنِي عَلَى مَعْرِفَةِ حَالِ الْمُؤَذِّنِ فَإِنْ كَانَ مَعْرُوفًا بِالدِّقَّةِ وَأَنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ بَعْدَ أَذَانِهِ لِأَنَّ الْغَايَةَ لِلْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ وَإِذَا كَانَ هَذَا الْمُؤَذِّنُ عُرِفَ بِأَنَّهُ يَتَقَدَّمُ عَلَى الْوَقْتِ مِنْ بَابِ الِاحْتِيَاطِ عَلَى حَدِّ زَعْمِهِ فَإِنَّهُ لَا مَانِعَ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ الْأَحْوَاطُ لِلصَّائِمِ أَنْ لَا يَأْكُلَ الْإِنْسَانُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ مَعَ أَنَّهُ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ وَبِيدِهِ شَيْءٌ يُمْكِنُ إِنْهَائُهُ فِي وَقْتٍ وَجِيزٍ كَشَرْبَةٍ وَنَحْوِهَا لَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يُكْمِلَهَا كَمَا جَاءَ بِذَلِكَ الْحَدِيثُ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ نَعَمْ

Cara Mengatasi Kemalasan dalam Ibadah: Panduan Islami Berdasarkan Dalil Shahih

Kemalasan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menjalankan ibadah dan meraih kesuksesan dunia serta akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah mencela orang-orang munafik yang malas dalam shalat dan hanya melakukannya untuk pamer. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan doa agar terhindar dari kelemahan dan kemalasan. Artikel ini akan membahas penyebab, dampak, serta solusi Islami untuk mengatasi kemalasan agar kita lebih bersemangat dalam beribadah.   Daftar Isi tutup 1. Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama 2. Kemalasan yang Diperbolehkan 3. Dampak Negatif dari Kemalasan 4. Macam-Macam Kemalasan 5. Penyebab Kemalasan 6. Cara Mengatasi Kemalasan Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama Allah mencela kemalasan dalam ibadah, terutama dalam shalat, karena merupakan salah satu ciri orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Allah juga berfirman, وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ “Dan tidak ada yang menghalangi diterimanya infak mereka, kecuali karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas, dan mereka tidak berinfak kecuali dengan rasa terpaksa.” (QS. At-Taubah: 54) Kemalasan ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi juga menunjukkan kurangnya keyakinan terhadap pahala dan siksa, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ath-Thabari rahimahullah. Imam Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun firman Allah ‘Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas’ (QS. An-Nisa: 142), ini menunjukkan bahwa orang-orang munafik tidak melakukan amal-amal yang diwajibkan Allah kepada orang-orang beriman dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini karena mereka tidak meyakini adanya kehidupan setelah mati, pahala, maupun hukuman. Mereka hanya melakukan amal-amal lahiriah demi melindungi diri mereka sendiri dan karena takut kepada kaum mukminin agar tidak dibunuh atau dirampas hartanya. Oleh karena itu, ketika mereka melaksanakan shalat—yang merupakan kewajiban lahiriah—mereka melakukannya dengan malas dan hanya untuk pamer di hadapan orang-orang beriman, agar mereka disangka termasuk dalam golongan mereka, padahal sebenarnya tidak. Mereka tidak meyakini kewajiban shalat, sehingga ketika melaksanakannya, mereka melakukannya dengan malas.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan) Selain menjadi ciri kemunafikan, kemalasan juga dipengaruhi oleh gangguan setan yang menghalangi seseorang untuk bangun beribadah di waktu malam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ – إِذَا هُوَ نَامَ – ثَلَاثَ عُقَدٍ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ. “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari) Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  ‘Jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas’ maksudnya adalah karena masih ada simpul-simpul setan yang mengikatnya, serta pengaruh dari gangguan dan dominasi setan atas dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak melakukan tiga hal ini—yaitu berdzikir, berwudhu, dan shalat—maka ia termasuk orang yang bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim) Baca juga: Keutamaan Bangun Shubuh Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa khusus untuk meminta perlindungan dari sifat malas, bersama dengan kelemahan dan berbagai keburukan lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ، وَالكَسَلِ، وَالجُبْنِ، وَالهَرَمِ، وَالبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ. ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL-‘AJZI, WAL-KASALI, WAL-JUBNI, WAL-HARAMI, WAL-BUKHLI, WA A’UDZU BIKA MIN ‘ADZAABIL-QABRI, WA MIN FITNATIL-MAHYA WAL-MAMAAT. Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kepikunan, dan kekikiran. Aku juga berlindung kepada-Mu dari azab kubur serta dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Doa Agar Tidak Malas Al-Qanuji rahimahullah berkata, قِيلَ: مَنْ دَامَ كَسَلُهُ خَابَ أَمَلُهُ “Dikatakan: Barang siapa terus-menerus dalam kemalasan, maka harapannya akan sirna.” (Ruhul Bayan) Ar-Raghib rahimahullah berkata, مَنْ تَعَوَّدَ الكَسَلَ وَمَالَ إِلَى الرَّاحَةِ، فَقَدَ الرَّاحَةَ، فَحُبُّ الهُوَيْنَا يُكْسِبُ النَّصَبَ “Barang siapa terbiasa malas dan terlalu cenderung pada kenyamanan, maka ia akan kehilangan kenyamanan itu sendiri. Sebab, mencintai kelambanan hanya akan menghasilkan kelelahan.” (Faidhul Qadir, karya Al-Munawi) Kemalasan yang Diperbolehkan Jika seseorang merasakan kelelahan atau rasa malas setelah berusaha keras dalam ibadah, maka ia diperbolehkan untuk beristirahat agar bisa kembali bersemangat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini kepada Zainab ketika beliau masuk ke dalam masjid dan melihat seutas tali yang diikat di antara dua tiang. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah tali milik Zainab. Jika ia merasa lelah dalam shalatnya, ia akan berpegangan pada tali ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا هَذَا الحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ. “Tidak, lepaskan tali itu! Hendaknya salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan semangat. Jika ia merasa lelah, maka hendaknya ia beristirahat.” (HR. Ibnu Hibban, no. 2492; Diriwayatkan juga oleh HR. Bukhari, no. 1150, HR. Muslim, no. 784, dan HR. An-Nasa’i, no. 1643 dengan lafaz yang serupa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, إنَّ لكلِّ عمل شِرَّة، والشِّرَّة إلى فَتْرة، فمَن كانت فَتْرَته إلى سنَّتي فقد اهتدى، ومَن كانت فَتْرَته إلى غير ذلك فقد ضلَّ “Setiap amal memiliki masa semangat (saat seseorang begitu giat dalam beribadah), dan setiap semangat akan diikuti dengan masa futur (kelemahan atau kelalaian). Barang siapa masa lemahnya masih berada dalam jalanku (tetap berada dalam ketaatan), maka ia telah mendapatkan petunjuk. Namun, barang siapa masa lemahnya membawanya ke selain jalanku, maka ia telah tersesat.” (Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Masa-masa futur (kelemahan atau kelalaian) dalam perjalanan menuju Allah adalah sesuatu yang pasti terjadi. Jika seseorang dalam masa lemahnya masih berada dalam jalur yang benar, tetap berusaha untuk mendekati kebenaran dan tidak meninggalkan kewajiban serta tidak terjerumus dalam yang diharamkan, maka diharapkan ia akan kembali lebih baik dari sebelumnya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata. إِنَّ لِهَذِهِ القُلُوبِ إِقْبَالًا وَإِدْبَارًا، فَإِذَا أَقْبَلَتْ فَخُذُوهَا بِالنَّوَافِلِ، وَإِنْ أَدْبَرَتْ فَأَلْزِمُوهَا الفَرَائِضَ. ‘Sesungguhnya hati ini memiliki masa semangat dan masa futur. Jika hatimu sedang bersemangat, maka manfaatkanlah dengan ibadah-ibadah sunnah. Namun, jika sedang melemah, maka cukupkanlah dengan ibadah yang wajib.” (Madarij As-Salikin karya Ibnul Qayyim) Baca juga: Semangat Kendor dalam Ibadah Kemalasan diperbolehkan jika terjadi setelah usaha ibadah yang maksimal, asalkan tetap menjalankan kewajiban dan menjauhi hal yang diharamkan.   Dampak Negatif dari Kemalasan 1. Malas dalam Beribadah dan Ketaatan Kemalasan membuat seseorang enggan melaksanakan ibadah dan ketaatan, atau jika melakukannya, ia merasa berat dan tidak bersemangat. Contoh:  Seseorang sering menunda shalat dengan alasan sibuk atau malas, hingga akhirnya meninggalkannya. Wanita haidh menunda mandi suci padahal darah haidh sudah berhenti, sehingga meninggalkan shalat yang didapati pada waktunya. Banyak orang yang merasa berat untuk membaca Al-Qur’an atau menghadiri kajian, tetapi mereka dengan mudah menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial atau hiburan lainnya. 2. Hati Menjadi Keras dan Tidak Terpengaruh oleh Nasihat Orang yang malas sering kali merasakan kekerasan hati, sehingga tidak lagi tersentuh oleh bacaan Al-Qur’an atau nasihat. Dosa dan maksiat semakin menutupi hatinya, sebagaimana firman Allah, كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Mutaffifin: 14) Contoh: Ketika mendengar ayat Al-Qur’an atau nasihat keagamaan, seseorang tidak merasakan ketenangan atau motivasi untuk berubah karena hatinya sudah tertutup dengan kemaksiatan. Seseorang terus-menerus melakukan dosa seperti ghibah, menipu, atau meninggalkan kewajiban, meskipun sudah diingatkan berkali-kali oleh teman atau keluarganya. Baca juga: Maksiat Menggelapkan Hati 3. Tidak Merasakan Tanggung Jawab dan Meremehkan Amanah Orang yang malas sering mengabaikan tanggung jawabnya dan meremehkan amanah yang telah Allah bebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikulnya dan takut terhadapnya. Namun, manusia yang memikulnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72) Contoh: Seorang pegawai bekerja dengan setengah hati, sering menunda tugas, dan akhirnya menjadi beban bagi rekan-rekannya. Seorang kepala keluarga yang seharusnya mencari nafkah malah bermalas-malasan, mengandalkan orang lain, dan tidak peduli dengan kesejahteraan istri dan anak-anaknya. Baca juga: Jangan Mengkhianati Amanah 4. Banyak Bicara, tetapi Minim Tindakan Orang yang malas sering kali hanya berbicara tentang apa yang telah ia lakukan di masa lalu, tanpa ada upaya untuk berbuat sesuatu yang nyata di masa sekarang. Mereka menghibur diri dengan cerita lama tanpa ada langkah produktif. Allah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3) Contoh: Seseorang sering membanggakan prestasi masa lalunya, tetapi saat ini tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan diri atau memberikan manfaat bagi orang lain. Di media sosial, banyak orang mengkritik pemerintah atau keadaan masyarakat, tetapi mereka sendiri tidak berkontribusi atau mengambil tindakan nyata untuk perbaikan. Baca juga: 4 Langkah Setan yaitu Banyak Bicara, Memandang, Makan, Bergaul 5. Menyia-nyiakan Waktu Orang yang malas sering membuang waktunya tanpa manfaat dan lebih mengutamakan hal-hal yang tidak penting dibandingkan yang lebih utama. Akibatnya, ia merasakan kekosongan spiritual dan tidak mendapatkan keberkahan dalam waktunya. Contoh: Seseorang menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game atau menonton drama tanpa batas, tetapi tidak memiliki waktu untuk membaca buku atau belajar hal yang bermanfaat. Banyak mahasiswa yang seharusnya belajar dan menyelesaikan tugas, tetapi lebih memilih rebahan atau mengobrol tanpa tujuan hingga akhirnya tugas menumpuk dan hasilnya tidak maksimal. Baca juga: Sungguh, Kita Telah Banyak Menyia-Nyiakan Waktu 6. Suka Mengkritik, tetapi Tidak Mau Berkontribusi Orang yang malas cenderung selalu mengkritik setiap usaha positif yang dilakukan orang lain. Ia menghindari tanggung jawab, membesar-besarkan kesalahan, dan mencari-cari alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam kerja nyata. Ia selalu mencari dalih untuk lari dari kewajiban, sebagaimana firman Allah, لَا تَنفِرُوا۟ فِى ٱلْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَّوْ كَانُوا۟ يَفْقَهُونَ “Mereka berkata, ‘Janganlah kalian pergi berperang dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahanam jauh lebih panas, jika mereka mengetahui.’” (QS. At-Taubah: 81) Contoh: Di lingkungan kerja, seseorang hanya bisa mengeluh tentang sistem yang buruk, tetapi tidak mau memberikan solusi atau bekerja lebih baik. Di komunitas atau organisasi, ada anggota yang hanya mengomentari kelemahan program, tetapi saat diminta terlibat dalam perbaikan, mereka selalu menghindar.   Macam-Macam Kemalasan Kemalasan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya yang paling utama adalah sebagai berikut: 1. Kemalasan dan Futur Secara Umum dalam Semua Ibadah Jenis kemalasan ini ditandai dengan kebencian terhadap ibadah dan tidak adanya keinginan untuk melaksanakannya. Ini adalah ciri khas orang-orang munafik, karena mereka adalah golongan yang paling malas, enggan, dan berat dalam menjalankan ketaatan. Allah berfirman tentang mereka dalam ayat yang sudah disebut di atas, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَثْقَلُ الصَّلاَةِعَلَى المُنَافِقِينَ: صَلاَةُ الْعِشَاءِ، وَصَلاَةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً».مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam kedua shalat tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR. Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651). Kata “paling berat” dalam hadis ini menunjukkan bahwa selain dua shalat tersebut juga terasa berat bagi mereka, tetapi Isyak dan Subuh adalah yang paling berat. Shalat Isyak dan shalat Shubuh berat bagi orang-orang munafik karena banyak alasan yang bisa dicari-cari untuk meninggalkannya. Waktu Isyak adalah waktu untuk rehat. Waktu Shubuh adalah waktu enak untuk tidur. Waktu Isyak dan waktu Shubuh adalah waktu gelap malam, untuk berbuat riyak itu sedikit sekali karena sedikit yang menyaksikan kedua shalat tersebut. Baca juga: Kenapa Shalat Isyak dan Shubuh Paling Berat bagi Orang Munafik? 2. Kemalasan dan Futur dalam Sebagian Ibadah Kemalasan ini muncul hanya dalam beberapa bentuk ibadah tertentu. Penderitanya tidak sampai membenci ibadah, tetapi ia kehilangan semangat atau memiliki keinginan yang lemah dalam melaksanakannya. Ini adalah kondisi yang dialami oleh banyak orang fasik dan mereka yang tenggelam dalam hawa nafsu. Kedua jenis kemalasan ini berasal dari penyakit hati, yang tingkat keparahannya tergantung pada kondisi masing-masing individu. Penyakit orang-orang munafik jauh lebih berat dibandingkan dengan penyakit yang diderita oleh orang fasik dan pecinta dunia. Mereka mungkin memiliki tubuh yang sehat dan kuat, sebagaimana firman Allah, ۞ وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh mereka membuatmu kagum.” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, hati mereka sebenarnya sakit, sebagaimana firman-Nya, فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًا ۖ “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10) 3.  Kemalasan dan Futur yang Bersifat Fisik, Bukan Karena Penyakit Hati Jenis kemalasan ini berbeda dengan dua yang sebelumnya. Penderitanya masih memiliki keinginan untuk beribadah dan merasa sedih jika melewatkannya, tetapi ia tetap malas dan kurang bersemangat. Misalnya, seseorang yang ingin bangun malam untuk shalat tahajud, tetapi tetap tidak melakukannya meskipun sudah terbangun, atau seseorang yang berniat mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan, tetapi bulan-bulan berlalu tanpa ia menyelesaikannya. Ia juga menyukai puasa, tetapi jarang melakukannya. Banyak orang—termasuk orang-orang saleh dan juga mereka yang bergelimang hawa nafsu—terjebak dalam jenis kemalasan ini. Allah menegur mereka dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلْتُمْ إِلَى ٱلْأَرْضِ ۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa ketika dikatakan kepada kalian, ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah,’ kalian merasa berat dan ingin tetap tinggal di bumi?” (QS. At-Taubah: 38) Kemalasan jenis ini bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih parah, di mana seseorang akhirnya juga mengalami kemalasan hati dalam sebagian ibadahnya.   Penyebab Kemalasan 1. Kemunafikan Menyebabkan Kemalasan dalam Ibadah Sifat munafik pasti akan membawa seseorang pada kemalasan dalam beribadah. Baca juga: Ancaman bagi yang Malas Shalat Berjamaah 2. Menunda-Nunda Pekerjaan (Taswif) Kebiasaan menunda-nunda adalah penyakit berbahaya yang dapat membunuh semangat dan produktivitas. Kata “nanti saja” (sawfa) adalah salah satu pasukan Iblis yang menjerumuskan manusia dalam kelalaian. Baca juga: Bahaya Sikap Menunda-Nunda 3. Kenyang Berlebihan Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Terlalu banyak makan akan menyebabkan kemalasan dan futur (kelemahan semangat).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin) Baca juga: Terlalu Kenyak Bikin Malas Ibadah 4. Tidak Berdzikir, Berwudhu, atau Shalat Saat Bangun Tidur Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari dan Muslim) 5. Menguap Tanpa Menutup Mulut dan Tidak Berusaha Menahannya Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ؛ فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ “Apabila salah seorang di antara kalian akan menguap, hendaklah ia letakkan tangannya pada mulutnya, karena setan akan masuk.” (HR. Muslim, no. 2995) Menguap merupakan tanda kemalasan dan bisa mengganggu kekhusyukan dalam ibadah. Oleh karena itu, menguap dianggap berasal dari setan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّثاؤُبُ مِنَ الشَّيْطانِ، فإذا تَثاءَبَ أحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ ما اسْتَطاعَ ، فإنَّ أحَدَكُمْ إذا قالَ: ها، ضَحِكَ الشَّيْطانُ “Menguap itu berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahannya sebisa mungkin. Sebab, jika ia berkata ‘haa’ (saat menguap), setan akan tertawa.” (HR. Bukhari, no. 3289; Diriwayatkan juga oleh HR. Al-Bukhari, no. 6223, dan HR. Muslim, no. 2994) Baca juga: Adab Ketika Menguap   Cara Mengatasi Kemalasan 1. Memohon Pertolongan kepada Allah dengan Doa dan Dzikir Salah satu cara terbaik untuk menghindari kemalasan adalah berdoa kepada Allah dan memohon perlindungan dari kelemahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dzikir pagi yang mengandung permintaan perlindungan dari sifat malas adalah: أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ ASH-BAHNAA WA ASH-BAHAL MULKU LILLAH WALHAMDULILLAH, LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIR. ROBBI AS-ALUKA KHOIRO MAA FII HADZAL YAUM WA KHOIRO MAA BA’DAHU, WA A’UDZU BIKA MIN SYARRI MAA FII HADZAL YAUM WA SYARRI MAA BA’DAHU. ROBBI A’UDZU BIKA MINAL KASALI WA SU-IL KIBAR. ROBBI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABIN FIN NAARI WA ‘ADZABIN FIL QOBRI. Artinya: “Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di alam kubur.” (Dibaca 1 x) (HR. Muslim no. 2723. Lihat keterangan Syarh Hisnul Muslim, hlm. 161). Baca juga: Inilah Bacaan Dzikir Pagi 2. Menjaga Sikap Seimbang dalam Kehidupan Sikap moderat atau keseimbangan adalah prinsip hidup yang dianjurkan dalam Islam. Allah menyebut umat ini sebagai umat yang pertengahan dalam firman-Nya, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا “Dan demikianlah Kami menjadikan kalian sebagai umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah: 143) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan bahaya sikap berlebihan dengan bersabda, هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون. “Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama! Celakalah mereka! Celakalah mereka!” (HR. Muslim, no. 2670) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda: Bagi Waktu untuk Ibadah, Keluarga, dan Diri Sendiri 3. Berlomba dalam Kebaikan dan Bersegera Melakukannya Allah memuji orang-orang beriman yang bersegera dalam kebaikan dan memerintahkan untuk berlomba dalam meraih ampunan dan surga-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 21) Allah juga memuji para nabi dengan firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ “Sesungguhnya mereka selalu bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan takut, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90) Dalam Surah Al-Waqi’ah, Allah menjelaskan keutamaan orang-orang yang berlomba dalam iman dan kebaikan, وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ “Dan orang-orang yang terdahulu (dalam kebaikan), mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.” (QS. Al-Waqi’ah: 10-11) Baca juga: Berlomba dalam Meraih Pahala 4. Membiasakan Diri dengan Aktivitas Fisik dan Olahraga Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi mengatakan, يُعَوَّد في بعض النَّهار المشي والحركة والرِّياضة حتى لا يغلب عليه الكَسَل “Seseorang disarankan untuk melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan berolahraga di siang hari agar tidak dikuasai oleh kemalasan.” (Mau’izhah Al-Mu’minin, karya Jamaluddin Al-Qasimi) Baca juga: Olahraga Jangan Sampai Lupa Waktu! 5. Mengatur Pola Tidur dengan Baik Syaikh Abdul Aziz As-Salman berkata, ينبغي أن يُمْنَع مِن النَّوم نهارًا؛ فإنَّ ذلك يورث الكَسَل في حقه، ولا يمنع مِن النَّوم ليلًا، لأنَّ منعه مِن النَّوم في اللَّيل يورث الملَالة، ويُضْعِف عن مكابدة النَّوم وشدَّة النُّعاس “Seseorang sebaiknya tidak terlalu banyak tidur di siang hari karena bisa membuatnya menjadi malas. Namun, ia tetap perlu tidur di malam hari, karena jika tidak, ia bisa merasa jenuh dan sulit menahan rasa kantuk yang berlebihan, yang pada akhirnya bisa mengganggu aktivitas dan ibadahnya.” (Mawârid Azh-Zham’ân, karya Abdul Aziz As-Salman) Dalam Islam, pola tidur yang dianjurkan adalah yang seimbang, tidak terlalu banyak tidur tetapi juga tidak kurang tidur sehingga mengganggu aktivitas dan ibadah. Dari hadits dan riwayat ulama, pola tidur yang baik meliputi: Tidur lebih awal di malam hari dan bangun untuk tahajud atau shalat Subuh. Tidak begadang tanpa alasan penting, seperti hiburan atau hal yang tidak bermanfaat. Menghindari terlalu banyak tidur di siang hari, karena bisa menyebabkan kemalasan. Tidur siang sejenak (qailulah) sebelum atau setelah Zuhur untuk menyegarkan tubuh. Baca juga: Adab Islami Sederhana Sebelum Tidur   Semoga manfaat. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat malas yang buruk.   Referensi: Al-Kalim Ath-Thayyib – Al-Kasal     9 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsakibat begadang menurut Islam akibat malas beribadah bahaya kemalasan cara mengatasi malas cara mengatur waktu tidur cara meningkatkan semangat ibadah doa agar tidak malas kebiasaan Rasulullah sebelum tidur kemalasan dalam Islam malas malas ibadah manfaat bangun pagi dalam Islam manfaat qailulah pentingnya tidur cukup penyebab kemalasan pola tidur sehat dalam Islam tidur yang baik menurut Islam

Cara Mengatasi Kemalasan dalam Ibadah: Panduan Islami Berdasarkan Dalil Shahih

Kemalasan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menjalankan ibadah dan meraih kesuksesan dunia serta akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah mencela orang-orang munafik yang malas dalam shalat dan hanya melakukannya untuk pamer. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan doa agar terhindar dari kelemahan dan kemalasan. Artikel ini akan membahas penyebab, dampak, serta solusi Islami untuk mengatasi kemalasan agar kita lebih bersemangat dalam beribadah.   Daftar Isi tutup 1. Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama 2. Kemalasan yang Diperbolehkan 3. Dampak Negatif dari Kemalasan 4. Macam-Macam Kemalasan 5. Penyebab Kemalasan 6. Cara Mengatasi Kemalasan Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama Allah mencela kemalasan dalam ibadah, terutama dalam shalat, karena merupakan salah satu ciri orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Allah juga berfirman, وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ “Dan tidak ada yang menghalangi diterimanya infak mereka, kecuali karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas, dan mereka tidak berinfak kecuali dengan rasa terpaksa.” (QS. At-Taubah: 54) Kemalasan ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi juga menunjukkan kurangnya keyakinan terhadap pahala dan siksa, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ath-Thabari rahimahullah. Imam Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun firman Allah ‘Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas’ (QS. An-Nisa: 142), ini menunjukkan bahwa orang-orang munafik tidak melakukan amal-amal yang diwajibkan Allah kepada orang-orang beriman dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini karena mereka tidak meyakini adanya kehidupan setelah mati, pahala, maupun hukuman. Mereka hanya melakukan amal-amal lahiriah demi melindungi diri mereka sendiri dan karena takut kepada kaum mukminin agar tidak dibunuh atau dirampas hartanya. Oleh karena itu, ketika mereka melaksanakan shalat—yang merupakan kewajiban lahiriah—mereka melakukannya dengan malas dan hanya untuk pamer di hadapan orang-orang beriman, agar mereka disangka termasuk dalam golongan mereka, padahal sebenarnya tidak. Mereka tidak meyakini kewajiban shalat, sehingga ketika melaksanakannya, mereka melakukannya dengan malas.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan) Selain menjadi ciri kemunafikan, kemalasan juga dipengaruhi oleh gangguan setan yang menghalangi seseorang untuk bangun beribadah di waktu malam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ – إِذَا هُوَ نَامَ – ثَلَاثَ عُقَدٍ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ. “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari) Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  ‘Jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas’ maksudnya adalah karena masih ada simpul-simpul setan yang mengikatnya, serta pengaruh dari gangguan dan dominasi setan atas dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak melakukan tiga hal ini—yaitu berdzikir, berwudhu, dan shalat—maka ia termasuk orang yang bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim) Baca juga: Keutamaan Bangun Shubuh Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa khusus untuk meminta perlindungan dari sifat malas, bersama dengan kelemahan dan berbagai keburukan lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ، وَالكَسَلِ، وَالجُبْنِ، وَالهَرَمِ، وَالبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ. ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL-‘AJZI, WAL-KASALI, WAL-JUBNI, WAL-HARAMI, WAL-BUKHLI, WA A’UDZU BIKA MIN ‘ADZAABIL-QABRI, WA MIN FITNATIL-MAHYA WAL-MAMAAT. Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kepikunan, dan kekikiran. Aku juga berlindung kepada-Mu dari azab kubur serta dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Doa Agar Tidak Malas Al-Qanuji rahimahullah berkata, قِيلَ: مَنْ دَامَ كَسَلُهُ خَابَ أَمَلُهُ “Dikatakan: Barang siapa terus-menerus dalam kemalasan, maka harapannya akan sirna.” (Ruhul Bayan) Ar-Raghib rahimahullah berkata, مَنْ تَعَوَّدَ الكَسَلَ وَمَالَ إِلَى الرَّاحَةِ، فَقَدَ الرَّاحَةَ، فَحُبُّ الهُوَيْنَا يُكْسِبُ النَّصَبَ “Barang siapa terbiasa malas dan terlalu cenderung pada kenyamanan, maka ia akan kehilangan kenyamanan itu sendiri. Sebab, mencintai kelambanan hanya akan menghasilkan kelelahan.” (Faidhul Qadir, karya Al-Munawi) Kemalasan yang Diperbolehkan Jika seseorang merasakan kelelahan atau rasa malas setelah berusaha keras dalam ibadah, maka ia diperbolehkan untuk beristirahat agar bisa kembali bersemangat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini kepada Zainab ketika beliau masuk ke dalam masjid dan melihat seutas tali yang diikat di antara dua tiang. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah tali milik Zainab. Jika ia merasa lelah dalam shalatnya, ia akan berpegangan pada tali ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا هَذَا الحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ. “Tidak, lepaskan tali itu! Hendaknya salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan semangat. Jika ia merasa lelah, maka hendaknya ia beristirahat.” (HR. Ibnu Hibban, no. 2492; Diriwayatkan juga oleh HR. Bukhari, no. 1150, HR. Muslim, no. 784, dan HR. An-Nasa’i, no. 1643 dengan lafaz yang serupa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, إنَّ لكلِّ عمل شِرَّة، والشِّرَّة إلى فَتْرة، فمَن كانت فَتْرَته إلى سنَّتي فقد اهتدى، ومَن كانت فَتْرَته إلى غير ذلك فقد ضلَّ “Setiap amal memiliki masa semangat (saat seseorang begitu giat dalam beribadah), dan setiap semangat akan diikuti dengan masa futur (kelemahan atau kelalaian). Barang siapa masa lemahnya masih berada dalam jalanku (tetap berada dalam ketaatan), maka ia telah mendapatkan petunjuk. Namun, barang siapa masa lemahnya membawanya ke selain jalanku, maka ia telah tersesat.” (Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Masa-masa futur (kelemahan atau kelalaian) dalam perjalanan menuju Allah adalah sesuatu yang pasti terjadi. Jika seseorang dalam masa lemahnya masih berada dalam jalur yang benar, tetap berusaha untuk mendekati kebenaran dan tidak meninggalkan kewajiban serta tidak terjerumus dalam yang diharamkan, maka diharapkan ia akan kembali lebih baik dari sebelumnya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata. إِنَّ لِهَذِهِ القُلُوبِ إِقْبَالًا وَإِدْبَارًا، فَإِذَا أَقْبَلَتْ فَخُذُوهَا بِالنَّوَافِلِ، وَإِنْ أَدْبَرَتْ فَأَلْزِمُوهَا الفَرَائِضَ. ‘Sesungguhnya hati ini memiliki masa semangat dan masa futur. Jika hatimu sedang bersemangat, maka manfaatkanlah dengan ibadah-ibadah sunnah. Namun, jika sedang melemah, maka cukupkanlah dengan ibadah yang wajib.” (Madarij As-Salikin karya Ibnul Qayyim) Baca juga: Semangat Kendor dalam Ibadah Kemalasan diperbolehkan jika terjadi setelah usaha ibadah yang maksimal, asalkan tetap menjalankan kewajiban dan menjauhi hal yang diharamkan.   Dampak Negatif dari Kemalasan 1. Malas dalam Beribadah dan Ketaatan Kemalasan membuat seseorang enggan melaksanakan ibadah dan ketaatan, atau jika melakukannya, ia merasa berat dan tidak bersemangat. Contoh:  Seseorang sering menunda shalat dengan alasan sibuk atau malas, hingga akhirnya meninggalkannya. Wanita haidh menunda mandi suci padahal darah haidh sudah berhenti, sehingga meninggalkan shalat yang didapati pada waktunya. Banyak orang yang merasa berat untuk membaca Al-Qur’an atau menghadiri kajian, tetapi mereka dengan mudah menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial atau hiburan lainnya. 2. Hati Menjadi Keras dan Tidak Terpengaruh oleh Nasihat Orang yang malas sering kali merasakan kekerasan hati, sehingga tidak lagi tersentuh oleh bacaan Al-Qur’an atau nasihat. Dosa dan maksiat semakin menutupi hatinya, sebagaimana firman Allah, كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Mutaffifin: 14) Contoh: Ketika mendengar ayat Al-Qur’an atau nasihat keagamaan, seseorang tidak merasakan ketenangan atau motivasi untuk berubah karena hatinya sudah tertutup dengan kemaksiatan. Seseorang terus-menerus melakukan dosa seperti ghibah, menipu, atau meninggalkan kewajiban, meskipun sudah diingatkan berkali-kali oleh teman atau keluarganya. Baca juga: Maksiat Menggelapkan Hati 3. Tidak Merasakan Tanggung Jawab dan Meremehkan Amanah Orang yang malas sering mengabaikan tanggung jawabnya dan meremehkan amanah yang telah Allah bebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikulnya dan takut terhadapnya. Namun, manusia yang memikulnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72) Contoh: Seorang pegawai bekerja dengan setengah hati, sering menunda tugas, dan akhirnya menjadi beban bagi rekan-rekannya. Seorang kepala keluarga yang seharusnya mencari nafkah malah bermalas-malasan, mengandalkan orang lain, dan tidak peduli dengan kesejahteraan istri dan anak-anaknya. Baca juga: Jangan Mengkhianati Amanah 4. Banyak Bicara, tetapi Minim Tindakan Orang yang malas sering kali hanya berbicara tentang apa yang telah ia lakukan di masa lalu, tanpa ada upaya untuk berbuat sesuatu yang nyata di masa sekarang. Mereka menghibur diri dengan cerita lama tanpa ada langkah produktif. Allah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3) Contoh: Seseorang sering membanggakan prestasi masa lalunya, tetapi saat ini tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan diri atau memberikan manfaat bagi orang lain. Di media sosial, banyak orang mengkritik pemerintah atau keadaan masyarakat, tetapi mereka sendiri tidak berkontribusi atau mengambil tindakan nyata untuk perbaikan. Baca juga: 4 Langkah Setan yaitu Banyak Bicara, Memandang, Makan, Bergaul 5. Menyia-nyiakan Waktu Orang yang malas sering membuang waktunya tanpa manfaat dan lebih mengutamakan hal-hal yang tidak penting dibandingkan yang lebih utama. Akibatnya, ia merasakan kekosongan spiritual dan tidak mendapatkan keberkahan dalam waktunya. Contoh: Seseorang menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game atau menonton drama tanpa batas, tetapi tidak memiliki waktu untuk membaca buku atau belajar hal yang bermanfaat. Banyak mahasiswa yang seharusnya belajar dan menyelesaikan tugas, tetapi lebih memilih rebahan atau mengobrol tanpa tujuan hingga akhirnya tugas menumpuk dan hasilnya tidak maksimal. Baca juga: Sungguh, Kita Telah Banyak Menyia-Nyiakan Waktu 6. Suka Mengkritik, tetapi Tidak Mau Berkontribusi Orang yang malas cenderung selalu mengkritik setiap usaha positif yang dilakukan orang lain. Ia menghindari tanggung jawab, membesar-besarkan kesalahan, dan mencari-cari alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam kerja nyata. Ia selalu mencari dalih untuk lari dari kewajiban, sebagaimana firman Allah, لَا تَنفِرُوا۟ فِى ٱلْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَّوْ كَانُوا۟ يَفْقَهُونَ “Mereka berkata, ‘Janganlah kalian pergi berperang dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahanam jauh lebih panas, jika mereka mengetahui.’” (QS. At-Taubah: 81) Contoh: Di lingkungan kerja, seseorang hanya bisa mengeluh tentang sistem yang buruk, tetapi tidak mau memberikan solusi atau bekerja lebih baik. Di komunitas atau organisasi, ada anggota yang hanya mengomentari kelemahan program, tetapi saat diminta terlibat dalam perbaikan, mereka selalu menghindar.   Macam-Macam Kemalasan Kemalasan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya yang paling utama adalah sebagai berikut: 1. Kemalasan dan Futur Secara Umum dalam Semua Ibadah Jenis kemalasan ini ditandai dengan kebencian terhadap ibadah dan tidak adanya keinginan untuk melaksanakannya. Ini adalah ciri khas orang-orang munafik, karena mereka adalah golongan yang paling malas, enggan, dan berat dalam menjalankan ketaatan. Allah berfirman tentang mereka dalam ayat yang sudah disebut di atas, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَثْقَلُ الصَّلاَةِعَلَى المُنَافِقِينَ: صَلاَةُ الْعِشَاءِ، وَصَلاَةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً».مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam kedua shalat tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR. Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651). Kata “paling berat” dalam hadis ini menunjukkan bahwa selain dua shalat tersebut juga terasa berat bagi mereka, tetapi Isyak dan Subuh adalah yang paling berat. Shalat Isyak dan shalat Shubuh berat bagi orang-orang munafik karena banyak alasan yang bisa dicari-cari untuk meninggalkannya. Waktu Isyak adalah waktu untuk rehat. Waktu Shubuh adalah waktu enak untuk tidur. Waktu Isyak dan waktu Shubuh adalah waktu gelap malam, untuk berbuat riyak itu sedikit sekali karena sedikit yang menyaksikan kedua shalat tersebut. Baca juga: Kenapa Shalat Isyak dan Shubuh Paling Berat bagi Orang Munafik? 2. Kemalasan dan Futur dalam Sebagian Ibadah Kemalasan ini muncul hanya dalam beberapa bentuk ibadah tertentu. Penderitanya tidak sampai membenci ibadah, tetapi ia kehilangan semangat atau memiliki keinginan yang lemah dalam melaksanakannya. Ini adalah kondisi yang dialami oleh banyak orang fasik dan mereka yang tenggelam dalam hawa nafsu. Kedua jenis kemalasan ini berasal dari penyakit hati, yang tingkat keparahannya tergantung pada kondisi masing-masing individu. Penyakit orang-orang munafik jauh lebih berat dibandingkan dengan penyakit yang diderita oleh orang fasik dan pecinta dunia. Mereka mungkin memiliki tubuh yang sehat dan kuat, sebagaimana firman Allah, ۞ وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh mereka membuatmu kagum.” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, hati mereka sebenarnya sakit, sebagaimana firman-Nya, فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًا ۖ “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10) 3.  Kemalasan dan Futur yang Bersifat Fisik, Bukan Karena Penyakit Hati Jenis kemalasan ini berbeda dengan dua yang sebelumnya. Penderitanya masih memiliki keinginan untuk beribadah dan merasa sedih jika melewatkannya, tetapi ia tetap malas dan kurang bersemangat. Misalnya, seseorang yang ingin bangun malam untuk shalat tahajud, tetapi tetap tidak melakukannya meskipun sudah terbangun, atau seseorang yang berniat mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan, tetapi bulan-bulan berlalu tanpa ia menyelesaikannya. Ia juga menyukai puasa, tetapi jarang melakukannya. Banyak orang—termasuk orang-orang saleh dan juga mereka yang bergelimang hawa nafsu—terjebak dalam jenis kemalasan ini. Allah menegur mereka dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلْتُمْ إِلَى ٱلْأَرْضِ ۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa ketika dikatakan kepada kalian, ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah,’ kalian merasa berat dan ingin tetap tinggal di bumi?” (QS. At-Taubah: 38) Kemalasan jenis ini bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih parah, di mana seseorang akhirnya juga mengalami kemalasan hati dalam sebagian ibadahnya.   Penyebab Kemalasan 1. Kemunafikan Menyebabkan Kemalasan dalam Ibadah Sifat munafik pasti akan membawa seseorang pada kemalasan dalam beribadah. Baca juga: Ancaman bagi yang Malas Shalat Berjamaah 2. Menunda-Nunda Pekerjaan (Taswif) Kebiasaan menunda-nunda adalah penyakit berbahaya yang dapat membunuh semangat dan produktivitas. Kata “nanti saja” (sawfa) adalah salah satu pasukan Iblis yang menjerumuskan manusia dalam kelalaian. Baca juga: Bahaya Sikap Menunda-Nunda 3. Kenyang Berlebihan Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Terlalu banyak makan akan menyebabkan kemalasan dan futur (kelemahan semangat).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin) Baca juga: Terlalu Kenyak Bikin Malas Ibadah 4. Tidak Berdzikir, Berwudhu, atau Shalat Saat Bangun Tidur Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari dan Muslim) 5. Menguap Tanpa Menutup Mulut dan Tidak Berusaha Menahannya Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ؛ فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ “Apabila salah seorang di antara kalian akan menguap, hendaklah ia letakkan tangannya pada mulutnya, karena setan akan masuk.” (HR. Muslim, no. 2995) Menguap merupakan tanda kemalasan dan bisa mengganggu kekhusyukan dalam ibadah. Oleh karena itu, menguap dianggap berasal dari setan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّثاؤُبُ مِنَ الشَّيْطانِ، فإذا تَثاءَبَ أحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ ما اسْتَطاعَ ، فإنَّ أحَدَكُمْ إذا قالَ: ها، ضَحِكَ الشَّيْطانُ “Menguap itu berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahannya sebisa mungkin. Sebab, jika ia berkata ‘haa’ (saat menguap), setan akan tertawa.” (HR. Bukhari, no. 3289; Diriwayatkan juga oleh HR. Al-Bukhari, no. 6223, dan HR. Muslim, no. 2994) Baca juga: Adab Ketika Menguap   Cara Mengatasi Kemalasan 1. Memohon Pertolongan kepada Allah dengan Doa dan Dzikir Salah satu cara terbaik untuk menghindari kemalasan adalah berdoa kepada Allah dan memohon perlindungan dari kelemahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dzikir pagi yang mengandung permintaan perlindungan dari sifat malas adalah: أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ ASH-BAHNAA WA ASH-BAHAL MULKU LILLAH WALHAMDULILLAH, LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIR. ROBBI AS-ALUKA KHOIRO MAA FII HADZAL YAUM WA KHOIRO MAA BA’DAHU, WA A’UDZU BIKA MIN SYARRI MAA FII HADZAL YAUM WA SYARRI MAA BA’DAHU. ROBBI A’UDZU BIKA MINAL KASALI WA SU-IL KIBAR. ROBBI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABIN FIN NAARI WA ‘ADZABIN FIL QOBRI. Artinya: “Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di alam kubur.” (Dibaca 1 x) (HR. Muslim no. 2723. Lihat keterangan Syarh Hisnul Muslim, hlm. 161). Baca juga: Inilah Bacaan Dzikir Pagi 2. Menjaga Sikap Seimbang dalam Kehidupan Sikap moderat atau keseimbangan adalah prinsip hidup yang dianjurkan dalam Islam. Allah menyebut umat ini sebagai umat yang pertengahan dalam firman-Nya, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا “Dan demikianlah Kami menjadikan kalian sebagai umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah: 143) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan bahaya sikap berlebihan dengan bersabda, هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون. “Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama! Celakalah mereka! Celakalah mereka!” (HR. Muslim, no. 2670) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda: Bagi Waktu untuk Ibadah, Keluarga, dan Diri Sendiri 3. Berlomba dalam Kebaikan dan Bersegera Melakukannya Allah memuji orang-orang beriman yang bersegera dalam kebaikan dan memerintahkan untuk berlomba dalam meraih ampunan dan surga-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 21) Allah juga memuji para nabi dengan firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ “Sesungguhnya mereka selalu bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan takut, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90) Dalam Surah Al-Waqi’ah, Allah menjelaskan keutamaan orang-orang yang berlomba dalam iman dan kebaikan, وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ “Dan orang-orang yang terdahulu (dalam kebaikan), mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.” (QS. Al-Waqi’ah: 10-11) Baca juga: Berlomba dalam Meraih Pahala 4. Membiasakan Diri dengan Aktivitas Fisik dan Olahraga Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi mengatakan, يُعَوَّد في بعض النَّهار المشي والحركة والرِّياضة حتى لا يغلب عليه الكَسَل “Seseorang disarankan untuk melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan berolahraga di siang hari agar tidak dikuasai oleh kemalasan.” (Mau’izhah Al-Mu’minin, karya Jamaluddin Al-Qasimi) Baca juga: Olahraga Jangan Sampai Lupa Waktu! 5. Mengatur Pola Tidur dengan Baik Syaikh Abdul Aziz As-Salman berkata, ينبغي أن يُمْنَع مِن النَّوم نهارًا؛ فإنَّ ذلك يورث الكَسَل في حقه، ولا يمنع مِن النَّوم ليلًا، لأنَّ منعه مِن النَّوم في اللَّيل يورث الملَالة، ويُضْعِف عن مكابدة النَّوم وشدَّة النُّعاس “Seseorang sebaiknya tidak terlalu banyak tidur di siang hari karena bisa membuatnya menjadi malas. Namun, ia tetap perlu tidur di malam hari, karena jika tidak, ia bisa merasa jenuh dan sulit menahan rasa kantuk yang berlebihan, yang pada akhirnya bisa mengganggu aktivitas dan ibadahnya.” (Mawârid Azh-Zham’ân, karya Abdul Aziz As-Salman) Dalam Islam, pola tidur yang dianjurkan adalah yang seimbang, tidak terlalu banyak tidur tetapi juga tidak kurang tidur sehingga mengganggu aktivitas dan ibadah. Dari hadits dan riwayat ulama, pola tidur yang baik meliputi: Tidur lebih awal di malam hari dan bangun untuk tahajud atau shalat Subuh. Tidak begadang tanpa alasan penting, seperti hiburan atau hal yang tidak bermanfaat. Menghindari terlalu banyak tidur di siang hari, karena bisa menyebabkan kemalasan. Tidur siang sejenak (qailulah) sebelum atau setelah Zuhur untuk menyegarkan tubuh. Baca juga: Adab Islami Sederhana Sebelum Tidur   Semoga manfaat. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat malas yang buruk.   Referensi: Al-Kalim Ath-Thayyib – Al-Kasal     9 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsakibat begadang menurut Islam akibat malas beribadah bahaya kemalasan cara mengatasi malas cara mengatur waktu tidur cara meningkatkan semangat ibadah doa agar tidak malas kebiasaan Rasulullah sebelum tidur kemalasan dalam Islam malas malas ibadah manfaat bangun pagi dalam Islam manfaat qailulah pentingnya tidur cukup penyebab kemalasan pola tidur sehat dalam Islam tidur yang baik menurut Islam
Kemalasan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menjalankan ibadah dan meraih kesuksesan dunia serta akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah mencela orang-orang munafik yang malas dalam shalat dan hanya melakukannya untuk pamer. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan doa agar terhindar dari kelemahan dan kemalasan. Artikel ini akan membahas penyebab, dampak, serta solusi Islami untuk mengatasi kemalasan agar kita lebih bersemangat dalam beribadah.   Daftar Isi tutup 1. Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama 2. Kemalasan yang Diperbolehkan 3. Dampak Negatif dari Kemalasan 4. Macam-Macam Kemalasan 5. Penyebab Kemalasan 6. Cara Mengatasi Kemalasan Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama Allah mencela kemalasan dalam ibadah, terutama dalam shalat, karena merupakan salah satu ciri orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Allah juga berfirman, وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ “Dan tidak ada yang menghalangi diterimanya infak mereka, kecuali karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas, dan mereka tidak berinfak kecuali dengan rasa terpaksa.” (QS. At-Taubah: 54) Kemalasan ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi juga menunjukkan kurangnya keyakinan terhadap pahala dan siksa, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ath-Thabari rahimahullah. Imam Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun firman Allah ‘Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas’ (QS. An-Nisa: 142), ini menunjukkan bahwa orang-orang munafik tidak melakukan amal-amal yang diwajibkan Allah kepada orang-orang beriman dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini karena mereka tidak meyakini adanya kehidupan setelah mati, pahala, maupun hukuman. Mereka hanya melakukan amal-amal lahiriah demi melindungi diri mereka sendiri dan karena takut kepada kaum mukminin agar tidak dibunuh atau dirampas hartanya. Oleh karena itu, ketika mereka melaksanakan shalat—yang merupakan kewajiban lahiriah—mereka melakukannya dengan malas dan hanya untuk pamer di hadapan orang-orang beriman, agar mereka disangka termasuk dalam golongan mereka, padahal sebenarnya tidak. Mereka tidak meyakini kewajiban shalat, sehingga ketika melaksanakannya, mereka melakukannya dengan malas.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan) Selain menjadi ciri kemunafikan, kemalasan juga dipengaruhi oleh gangguan setan yang menghalangi seseorang untuk bangun beribadah di waktu malam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ – إِذَا هُوَ نَامَ – ثَلَاثَ عُقَدٍ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ. “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari) Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  ‘Jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas’ maksudnya adalah karena masih ada simpul-simpul setan yang mengikatnya, serta pengaruh dari gangguan dan dominasi setan atas dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak melakukan tiga hal ini—yaitu berdzikir, berwudhu, dan shalat—maka ia termasuk orang yang bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim) Baca juga: Keutamaan Bangun Shubuh Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa khusus untuk meminta perlindungan dari sifat malas, bersama dengan kelemahan dan berbagai keburukan lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ، وَالكَسَلِ، وَالجُبْنِ، وَالهَرَمِ، وَالبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ. ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL-‘AJZI, WAL-KASALI, WAL-JUBNI, WAL-HARAMI, WAL-BUKHLI, WA A’UDZU BIKA MIN ‘ADZAABIL-QABRI, WA MIN FITNATIL-MAHYA WAL-MAMAAT. Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kepikunan, dan kekikiran. Aku juga berlindung kepada-Mu dari azab kubur serta dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Doa Agar Tidak Malas Al-Qanuji rahimahullah berkata, قِيلَ: مَنْ دَامَ كَسَلُهُ خَابَ أَمَلُهُ “Dikatakan: Barang siapa terus-menerus dalam kemalasan, maka harapannya akan sirna.” (Ruhul Bayan) Ar-Raghib rahimahullah berkata, مَنْ تَعَوَّدَ الكَسَلَ وَمَالَ إِلَى الرَّاحَةِ، فَقَدَ الرَّاحَةَ، فَحُبُّ الهُوَيْنَا يُكْسِبُ النَّصَبَ “Barang siapa terbiasa malas dan terlalu cenderung pada kenyamanan, maka ia akan kehilangan kenyamanan itu sendiri. Sebab, mencintai kelambanan hanya akan menghasilkan kelelahan.” (Faidhul Qadir, karya Al-Munawi) Kemalasan yang Diperbolehkan Jika seseorang merasakan kelelahan atau rasa malas setelah berusaha keras dalam ibadah, maka ia diperbolehkan untuk beristirahat agar bisa kembali bersemangat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini kepada Zainab ketika beliau masuk ke dalam masjid dan melihat seutas tali yang diikat di antara dua tiang. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah tali milik Zainab. Jika ia merasa lelah dalam shalatnya, ia akan berpegangan pada tali ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا هَذَا الحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ. “Tidak, lepaskan tali itu! Hendaknya salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan semangat. Jika ia merasa lelah, maka hendaknya ia beristirahat.” (HR. Ibnu Hibban, no. 2492; Diriwayatkan juga oleh HR. Bukhari, no. 1150, HR. Muslim, no. 784, dan HR. An-Nasa’i, no. 1643 dengan lafaz yang serupa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, إنَّ لكلِّ عمل شِرَّة، والشِّرَّة إلى فَتْرة، فمَن كانت فَتْرَته إلى سنَّتي فقد اهتدى، ومَن كانت فَتْرَته إلى غير ذلك فقد ضلَّ “Setiap amal memiliki masa semangat (saat seseorang begitu giat dalam beribadah), dan setiap semangat akan diikuti dengan masa futur (kelemahan atau kelalaian). Barang siapa masa lemahnya masih berada dalam jalanku (tetap berada dalam ketaatan), maka ia telah mendapatkan petunjuk. Namun, barang siapa masa lemahnya membawanya ke selain jalanku, maka ia telah tersesat.” (Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Masa-masa futur (kelemahan atau kelalaian) dalam perjalanan menuju Allah adalah sesuatu yang pasti terjadi. Jika seseorang dalam masa lemahnya masih berada dalam jalur yang benar, tetap berusaha untuk mendekati kebenaran dan tidak meninggalkan kewajiban serta tidak terjerumus dalam yang diharamkan, maka diharapkan ia akan kembali lebih baik dari sebelumnya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata. إِنَّ لِهَذِهِ القُلُوبِ إِقْبَالًا وَإِدْبَارًا، فَإِذَا أَقْبَلَتْ فَخُذُوهَا بِالنَّوَافِلِ، وَإِنْ أَدْبَرَتْ فَأَلْزِمُوهَا الفَرَائِضَ. ‘Sesungguhnya hati ini memiliki masa semangat dan masa futur. Jika hatimu sedang bersemangat, maka manfaatkanlah dengan ibadah-ibadah sunnah. Namun, jika sedang melemah, maka cukupkanlah dengan ibadah yang wajib.” (Madarij As-Salikin karya Ibnul Qayyim) Baca juga: Semangat Kendor dalam Ibadah Kemalasan diperbolehkan jika terjadi setelah usaha ibadah yang maksimal, asalkan tetap menjalankan kewajiban dan menjauhi hal yang diharamkan.   Dampak Negatif dari Kemalasan 1. Malas dalam Beribadah dan Ketaatan Kemalasan membuat seseorang enggan melaksanakan ibadah dan ketaatan, atau jika melakukannya, ia merasa berat dan tidak bersemangat. Contoh:  Seseorang sering menunda shalat dengan alasan sibuk atau malas, hingga akhirnya meninggalkannya. Wanita haidh menunda mandi suci padahal darah haidh sudah berhenti, sehingga meninggalkan shalat yang didapati pada waktunya. Banyak orang yang merasa berat untuk membaca Al-Qur’an atau menghadiri kajian, tetapi mereka dengan mudah menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial atau hiburan lainnya. 2. Hati Menjadi Keras dan Tidak Terpengaruh oleh Nasihat Orang yang malas sering kali merasakan kekerasan hati, sehingga tidak lagi tersentuh oleh bacaan Al-Qur’an atau nasihat. Dosa dan maksiat semakin menutupi hatinya, sebagaimana firman Allah, كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Mutaffifin: 14) Contoh: Ketika mendengar ayat Al-Qur’an atau nasihat keagamaan, seseorang tidak merasakan ketenangan atau motivasi untuk berubah karena hatinya sudah tertutup dengan kemaksiatan. Seseorang terus-menerus melakukan dosa seperti ghibah, menipu, atau meninggalkan kewajiban, meskipun sudah diingatkan berkali-kali oleh teman atau keluarganya. Baca juga: Maksiat Menggelapkan Hati 3. Tidak Merasakan Tanggung Jawab dan Meremehkan Amanah Orang yang malas sering mengabaikan tanggung jawabnya dan meremehkan amanah yang telah Allah bebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikulnya dan takut terhadapnya. Namun, manusia yang memikulnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72) Contoh: Seorang pegawai bekerja dengan setengah hati, sering menunda tugas, dan akhirnya menjadi beban bagi rekan-rekannya. Seorang kepala keluarga yang seharusnya mencari nafkah malah bermalas-malasan, mengandalkan orang lain, dan tidak peduli dengan kesejahteraan istri dan anak-anaknya. Baca juga: Jangan Mengkhianati Amanah 4. Banyak Bicara, tetapi Minim Tindakan Orang yang malas sering kali hanya berbicara tentang apa yang telah ia lakukan di masa lalu, tanpa ada upaya untuk berbuat sesuatu yang nyata di masa sekarang. Mereka menghibur diri dengan cerita lama tanpa ada langkah produktif. Allah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3) Contoh: Seseorang sering membanggakan prestasi masa lalunya, tetapi saat ini tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan diri atau memberikan manfaat bagi orang lain. Di media sosial, banyak orang mengkritik pemerintah atau keadaan masyarakat, tetapi mereka sendiri tidak berkontribusi atau mengambil tindakan nyata untuk perbaikan. Baca juga: 4 Langkah Setan yaitu Banyak Bicara, Memandang, Makan, Bergaul 5. Menyia-nyiakan Waktu Orang yang malas sering membuang waktunya tanpa manfaat dan lebih mengutamakan hal-hal yang tidak penting dibandingkan yang lebih utama. Akibatnya, ia merasakan kekosongan spiritual dan tidak mendapatkan keberkahan dalam waktunya. Contoh: Seseorang menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game atau menonton drama tanpa batas, tetapi tidak memiliki waktu untuk membaca buku atau belajar hal yang bermanfaat. Banyak mahasiswa yang seharusnya belajar dan menyelesaikan tugas, tetapi lebih memilih rebahan atau mengobrol tanpa tujuan hingga akhirnya tugas menumpuk dan hasilnya tidak maksimal. Baca juga: Sungguh, Kita Telah Banyak Menyia-Nyiakan Waktu 6. Suka Mengkritik, tetapi Tidak Mau Berkontribusi Orang yang malas cenderung selalu mengkritik setiap usaha positif yang dilakukan orang lain. Ia menghindari tanggung jawab, membesar-besarkan kesalahan, dan mencari-cari alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam kerja nyata. Ia selalu mencari dalih untuk lari dari kewajiban, sebagaimana firman Allah, لَا تَنفِرُوا۟ فِى ٱلْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَّوْ كَانُوا۟ يَفْقَهُونَ “Mereka berkata, ‘Janganlah kalian pergi berperang dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahanam jauh lebih panas, jika mereka mengetahui.’” (QS. At-Taubah: 81) Contoh: Di lingkungan kerja, seseorang hanya bisa mengeluh tentang sistem yang buruk, tetapi tidak mau memberikan solusi atau bekerja lebih baik. Di komunitas atau organisasi, ada anggota yang hanya mengomentari kelemahan program, tetapi saat diminta terlibat dalam perbaikan, mereka selalu menghindar.   Macam-Macam Kemalasan Kemalasan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya yang paling utama adalah sebagai berikut: 1. Kemalasan dan Futur Secara Umum dalam Semua Ibadah Jenis kemalasan ini ditandai dengan kebencian terhadap ibadah dan tidak adanya keinginan untuk melaksanakannya. Ini adalah ciri khas orang-orang munafik, karena mereka adalah golongan yang paling malas, enggan, dan berat dalam menjalankan ketaatan. Allah berfirman tentang mereka dalam ayat yang sudah disebut di atas, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَثْقَلُ الصَّلاَةِعَلَى المُنَافِقِينَ: صَلاَةُ الْعِشَاءِ، وَصَلاَةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً».مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam kedua shalat tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR. Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651). Kata “paling berat” dalam hadis ini menunjukkan bahwa selain dua shalat tersebut juga terasa berat bagi mereka, tetapi Isyak dan Subuh adalah yang paling berat. Shalat Isyak dan shalat Shubuh berat bagi orang-orang munafik karena banyak alasan yang bisa dicari-cari untuk meninggalkannya. Waktu Isyak adalah waktu untuk rehat. Waktu Shubuh adalah waktu enak untuk tidur. Waktu Isyak dan waktu Shubuh adalah waktu gelap malam, untuk berbuat riyak itu sedikit sekali karena sedikit yang menyaksikan kedua shalat tersebut. Baca juga: Kenapa Shalat Isyak dan Shubuh Paling Berat bagi Orang Munafik? 2. Kemalasan dan Futur dalam Sebagian Ibadah Kemalasan ini muncul hanya dalam beberapa bentuk ibadah tertentu. Penderitanya tidak sampai membenci ibadah, tetapi ia kehilangan semangat atau memiliki keinginan yang lemah dalam melaksanakannya. Ini adalah kondisi yang dialami oleh banyak orang fasik dan mereka yang tenggelam dalam hawa nafsu. Kedua jenis kemalasan ini berasal dari penyakit hati, yang tingkat keparahannya tergantung pada kondisi masing-masing individu. Penyakit orang-orang munafik jauh lebih berat dibandingkan dengan penyakit yang diderita oleh orang fasik dan pecinta dunia. Mereka mungkin memiliki tubuh yang sehat dan kuat, sebagaimana firman Allah, ۞ وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh mereka membuatmu kagum.” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, hati mereka sebenarnya sakit, sebagaimana firman-Nya, فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًا ۖ “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10) 3.  Kemalasan dan Futur yang Bersifat Fisik, Bukan Karena Penyakit Hati Jenis kemalasan ini berbeda dengan dua yang sebelumnya. Penderitanya masih memiliki keinginan untuk beribadah dan merasa sedih jika melewatkannya, tetapi ia tetap malas dan kurang bersemangat. Misalnya, seseorang yang ingin bangun malam untuk shalat tahajud, tetapi tetap tidak melakukannya meskipun sudah terbangun, atau seseorang yang berniat mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan, tetapi bulan-bulan berlalu tanpa ia menyelesaikannya. Ia juga menyukai puasa, tetapi jarang melakukannya. Banyak orang—termasuk orang-orang saleh dan juga mereka yang bergelimang hawa nafsu—terjebak dalam jenis kemalasan ini. Allah menegur mereka dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلْتُمْ إِلَى ٱلْأَرْضِ ۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa ketika dikatakan kepada kalian, ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah,’ kalian merasa berat dan ingin tetap tinggal di bumi?” (QS. At-Taubah: 38) Kemalasan jenis ini bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih parah, di mana seseorang akhirnya juga mengalami kemalasan hati dalam sebagian ibadahnya.   Penyebab Kemalasan 1. Kemunafikan Menyebabkan Kemalasan dalam Ibadah Sifat munafik pasti akan membawa seseorang pada kemalasan dalam beribadah. Baca juga: Ancaman bagi yang Malas Shalat Berjamaah 2. Menunda-Nunda Pekerjaan (Taswif) Kebiasaan menunda-nunda adalah penyakit berbahaya yang dapat membunuh semangat dan produktivitas. Kata “nanti saja” (sawfa) adalah salah satu pasukan Iblis yang menjerumuskan manusia dalam kelalaian. Baca juga: Bahaya Sikap Menunda-Nunda 3. Kenyang Berlebihan Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Terlalu banyak makan akan menyebabkan kemalasan dan futur (kelemahan semangat).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin) Baca juga: Terlalu Kenyak Bikin Malas Ibadah 4. Tidak Berdzikir, Berwudhu, atau Shalat Saat Bangun Tidur Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari dan Muslim) 5. Menguap Tanpa Menutup Mulut dan Tidak Berusaha Menahannya Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ؛ فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ “Apabila salah seorang di antara kalian akan menguap, hendaklah ia letakkan tangannya pada mulutnya, karena setan akan masuk.” (HR. Muslim, no. 2995) Menguap merupakan tanda kemalasan dan bisa mengganggu kekhusyukan dalam ibadah. Oleh karena itu, menguap dianggap berasal dari setan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّثاؤُبُ مِنَ الشَّيْطانِ، فإذا تَثاءَبَ أحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ ما اسْتَطاعَ ، فإنَّ أحَدَكُمْ إذا قالَ: ها، ضَحِكَ الشَّيْطانُ “Menguap itu berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahannya sebisa mungkin. Sebab, jika ia berkata ‘haa’ (saat menguap), setan akan tertawa.” (HR. Bukhari, no. 3289; Diriwayatkan juga oleh HR. Al-Bukhari, no. 6223, dan HR. Muslim, no. 2994) Baca juga: Adab Ketika Menguap   Cara Mengatasi Kemalasan 1. Memohon Pertolongan kepada Allah dengan Doa dan Dzikir Salah satu cara terbaik untuk menghindari kemalasan adalah berdoa kepada Allah dan memohon perlindungan dari kelemahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dzikir pagi yang mengandung permintaan perlindungan dari sifat malas adalah: أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ ASH-BAHNAA WA ASH-BAHAL MULKU LILLAH WALHAMDULILLAH, LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIR. ROBBI AS-ALUKA KHOIRO MAA FII HADZAL YAUM WA KHOIRO MAA BA’DAHU, WA A’UDZU BIKA MIN SYARRI MAA FII HADZAL YAUM WA SYARRI MAA BA’DAHU. ROBBI A’UDZU BIKA MINAL KASALI WA SU-IL KIBAR. ROBBI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABIN FIN NAARI WA ‘ADZABIN FIL QOBRI. Artinya: “Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di alam kubur.” (Dibaca 1 x) (HR. Muslim no. 2723. Lihat keterangan Syarh Hisnul Muslim, hlm. 161). Baca juga: Inilah Bacaan Dzikir Pagi 2. Menjaga Sikap Seimbang dalam Kehidupan Sikap moderat atau keseimbangan adalah prinsip hidup yang dianjurkan dalam Islam. Allah menyebut umat ini sebagai umat yang pertengahan dalam firman-Nya, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا “Dan demikianlah Kami menjadikan kalian sebagai umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah: 143) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan bahaya sikap berlebihan dengan bersabda, هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون. “Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama! Celakalah mereka! Celakalah mereka!” (HR. Muslim, no. 2670) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda: Bagi Waktu untuk Ibadah, Keluarga, dan Diri Sendiri 3. Berlomba dalam Kebaikan dan Bersegera Melakukannya Allah memuji orang-orang beriman yang bersegera dalam kebaikan dan memerintahkan untuk berlomba dalam meraih ampunan dan surga-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 21) Allah juga memuji para nabi dengan firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ “Sesungguhnya mereka selalu bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan takut, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90) Dalam Surah Al-Waqi’ah, Allah menjelaskan keutamaan orang-orang yang berlomba dalam iman dan kebaikan, وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ “Dan orang-orang yang terdahulu (dalam kebaikan), mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.” (QS. Al-Waqi’ah: 10-11) Baca juga: Berlomba dalam Meraih Pahala 4. Membiasakan Diri dengan Aktivitas Fisik dan Olahraga Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi mengatakan, يُعَوَّد في بعض النَّهار المشي والحركة والرِّياضة حتى لا يغلب عليه الكَسَل “Seseorang disarankan untuk melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan berolahraga di siang hari agar tidak dikuasai oleh kemalasan.” (Mau’izhah Al-Mu’minin, karya Jamaluddin Al-Qasimi) Baca juga: Olahraga Jangan Sampai Lupa Waktu! 5. Mengatur Pola Tidur dengan Baik Syaikh Abdul Aziz As-Salman berkata, ينبغي أن يُمْنَع مِن النَّوم نهارًا؛ فإنَّ ذلك يورث الكَسَل في حقه، ولا يمنع مِن النَّوم ليلًا، لأنَّ منعه مِن النَّوم في اللَّيل يورث الملَالة، ويُضْعِف عن مكابدة النَّوم وشدَّة النُّعاس “Seseorang sebaiknya tidak terlalu banyak tidur di siang hari karena bisa membuatnya menjadi malas. Namun, ia tetap perlu tidur di malam hari, karena jika tidak, ia bisa merasa jenuh dan sulit menahan rasa kantuk yang berlebihan, yang pada akhirnya bisa mengganggu aktivitas dan ibadahnya.” (Mawârid Azh-Zham’ân, karya Abdul Aziz As-Salman) Dalam Islam, pola tidur yang dianjurkan adalah yang seimbang, tidak terlalu banyak tidur tetapi juga tidak kurang tidur sehingga mengganggu aktivitas dan ibadah. Dari hadits dan riwayat ulama, pola tidur yang baik meliputi: Tidur lebih awal di malam hari dan bangun untuk tahajud atau shalat Subuh. Tidak begadang tanpa alasan penting, seperti hiburan atau hal yang tidak bermanfaat. Menghindari terlalu banyak tidur di siang hari, karena bisa menyebabkan kemalasan. Tidur siang sejenak (qailulah) sebelum atau setelah Zuhur untuk menyegarkan tubuh. Baca juga: Adab Islami Sederhana Sebelum Tidur   Semoga manfaat. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat malas yang buruk.   Referensi: Al-Kalim Ath-Thayyib – Al-Kasal     9 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsakibat begadang menurut Islam akibat malas beribadah bahaya kemalasan cara mengatasi malas cara mengatur waktu tidur cara meningkatkan semangat ibadah doa agar tidak malas kebiasaan Rasulullah sebelum tidur kemalasan dalam Islam malas malas ibadah manfaat bangun pagi dalam Islam manfaat qailulah pentingnya tidur cukup penyebab kemalasan pola tidur sehat dalam Islam tidur yang baik menurut Islam


Kemalasan adalah salah satu penghalang terbesar dalam menjalankan ibadah dan meraih kesuksesan dunia serta akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah mencela orang-orang munafik yang malas dalam shalat dan hanya melakukannya untuk pamer. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan doa agar terhindar dari kelemahan dan kemalasan. Artikel ini akan membahas penyebab, dampak, serta solusi Islami untuk mengatasi kemalasan agar kita lebih bersemangat dalam beribadah.   Daftar Isi tutup 1. Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama 2. Kemalasan yang Diperbolehkan 3. Dampak Negatif dari Kemalasan 4. Macam-Macam Kemalasan 5. Penyebab Kemalasan 6. Cara Mengatasi Kemalasan Kemalasan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Penjelasan Para Ulama Allah mencela kemalasan dalam ibadah, terutama dalam shalat, karena merupakan salah satu ciri orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Allah juga berfirman, وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ “Dan tidak ada yang menghalangi diterimanya infak mereka, kecuali karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas, dan mereka tidak berinfak kecuali dengan rasa terpaksa.” (QS. At-Taubah: 54) Kemalasan ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi juga menunjukkan kurangnya keyakinan terhadap pahala dan siksa, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ath-Thabari rahimahullah. Imam Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun firman Allah ‘Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas’ (QS. An-Nisa: 142), ini menunjukkan bahwa orang-orang munafik tidak melakukan amal-amal yang diwajibkan Allah kepada orang-orang beriman dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini karena mereka tidak meyakini adanya kehidupan setelah mati, pahala, maupun hukuman. Mereka hanya melakukan amal-amal lahiriah demi melindungi diri mereka sendiri dan karena takut kepada kaum mukminin agar tidak dibunuh atau dirampas hartanya. Oleh karena itu, ketika mereka melaksanakan shalat—yang merupakan kewajiban lahiriah—mereka melakukannya dengan malas dan hanya untuk pamer di hadapan orang-orang beriman, agar mereka disangka termasuk dalam golongan mereka, padahal sebenarnya tidak. Mereka tidak meyakini kewajiban shalat, sehingga ketika melaksanakannya, mereka melakukannya dengan malas.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan) Selain menjadi ciri kemunafikan, kemalasan juga dipengaruhi oleh gangguan setan yang menghalangi seseorang untuk bangun beribadah di waktu malam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ – إِذَا هُوَ نَامَ – ثَلَاثَ عُقَدٍ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ. “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari) Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  ‘Jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas’ maksudnya adalah karena masih ada simpul-simpul setan yang mengikatnya, serta pengaruh dari gangguan dan dominasi setan atas dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak melakukan tiga hal ini—yaitu berdzikir, berwudhu, dan shalat—maka ia termasuk orang yang bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim) Baca juga: Keutamaan Bangun Shubuh Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa khusus untuk meminta perlindungan dari sifat malas, bersama dengan kelemahan dan berbagai keburukan lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ، وَالكَسَلِ، وَالجُبْنِ، وَالهَرَمِ، وَالبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ. ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL-‘AJZI, WAL-KASALI, WAL-JUBNI, WAL-HARAMI, WAL-BUKHLI, WA A’UDZU BIKA MIN ‘ADZAABIL-QABRI, WA MIN FITNATIL-MAHYA WAL-MAMAAT. Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kepikunan, dan kekikiran. Aku juga berlindung kepada-Mu dari azab kubur serta dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Doa Agar Tidak Malas Al-Qanuji rahimahullah berkata, قِيلَ: مَنْ دَامَ كَسَلُهُ خَابَ أَمَلُهُ “Dikatakan: Barang siapa terus-menerus dalam kemalasan, maka harapannya akan sirna.” (Ruhul Bayan) Ar-Raghib rahimahullah berkata, مَنْ تَعَوَّدَ الكَسَلَ وَمَالَ إِلَى الرَّاحَةِ، فَقَدَ الرَّاحَةَ، فَحُبُّ الهُوَيْنَا يُكْسِبُ النَّصَبَ “Barang siapa terbiasa malas dan terlalu cenderung pada kenyamanan, maka ia akan kehilangan kenyamanan itu sendiri. Sebab, mencintai kelambanan hanya akan menghasilkan kelelahan.” (Faidhul Qadir, karya Al-Munawi) Kemalasan yang Diperbolehkan Jika seseorang merasakan kelelahan atau rasa malas setelah berusaha keras dalam ibadah, maka ia diperbolehkan untuk beristirahat agar bisa kembali bersemangat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini kepada Zainab ketika beliau masuk ke dalam masjid dan melihat seutas tali yang diikat di antara dua tiang. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah tali milik Zainab. Jika ia merasa lelah dalam shalatnya, ia akan berpegangan pada tali ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا هَذَا الحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ. “Tidak, lepaskan tali itu! Hendaknya salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan semangat. Jika ia merasa lelah, maka hendaknya ia beristirahat.” (HR. Ibnu Hibban, no. 2492; Diriwayatkan juga oleh HR. Bukhari, no. 1150, HR. Muslim, no. 784, dan HR. An-Nasa’i, no. 1643 dengan lafaz yang serupa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, إنَّ لكلِّ عمل شِرَّة، والشِّرَّة إلى فَتْرة، فمَن كانت فَتْرَته إلى سنَّتي فقد اهتدى، ومَن كانت فَتْرَته إلى غير ذلك فقد ضلَّ “Setiap amal memiliki masa semangat (saat seseorang begitu giat dalam beribadah), dan setiap semangat akan diikuti dengan masa futur (kelemahan atau kelalaian). Barang siapa masa lemahnya masih berada dalam jalanku (tetap berada dalam ketaatan), maka ia telah mendapatkan petunjuk. Namun, barang siapa masa lemahnya membawanya ke selain jalanku, maka ia telah tersesat.” (Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Masa-masa futur (kelemahan atau kelalaian) dalam perjalanan menuju Allah adalah sesuatu yang pasti terjadi. Jika seseorang dalam masa lemahnya masih berada dalam jalur yang benar, tetap berusaha untuk mendekati kebenaran dan tidak meninggalkan kewajiban serta tidak terjerumus dalam yang diharamkan, maka diharapkan ia akan kembali lebih baik dari sebelumnya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata. إِنَّ لِهَذِهِ القُلُوبِ إِقْبَالًا وَإِدْبَارًا، فَإِذَا أَقْبَلَتْ فَخُذُوهَا بِالنَّوَافِلِ، وَإِنْ أَدْبَرَتْ فَأَلْزِمُوهَا الفَرَائِضَ. ‘Sesungguhnya hati ini memiliki masa semangat dan masa futur. Jika hatimu sedang bersemangat, maka manfaatkanlah dengan ibadah-ibadah sunnah. Namun, jika sedang melemah, maka cukupkanlah dengan ibadah yang wajib.” (Madarij As-Salikin karya Ibnul Qayyim) Baca juga: Semangat Kendor dalam Ibadah Kemalasan diperbolehkan jika terjadi setelah usaha ibadah yang maksimal, asalkan tetap menjalankan kewajiban dan menjauhi hal yang diharamkan.   Dampak Negatif dari Kemalasan 1. Malas dalam Beribadah dan Ketaatan Kemalasan membuat seseorang enggan melaksanakan ibadah dan ketaatan, atau jika melakukannya, ia merasa berat dan tidak bersemangat. Contoh:  Seseorang sering menunda shalat dengan alasan sibuk atau malas, hingga akhirnya meninggalkannya. Wanita haidh menunda mandi suci padahal darah haidh sudah berhenti, sehingga meninggalkan shalat yang didapati pada waktunya. Banyak orang yang merasa berat untuk membaca Al-Qur’an atau menghadiri kajian, tetapi mereka dengan mudah menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial atau hiburan lainnya. 2. Hati Menjadi Keras dan Tidak Terpengaruh oleh Nasihat Orang yang malas sering kali merasakan kekerasan hati, sehingga tidak lagi tersentuh oleh bacaan Al-Qur’an atau nasihat. Dosa dan maksiat semakin menutupi hatinya, sebagaimana firman Allah, كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Mutaffifin: 14) Contoh: Ketika mendengar ayat Al-Qur’an atau nasihat keagamaan, seseorang tidak merasakan ketenangan atau motivasi untuk berubah karena hatinya sudah tertutup dengan kemaksiatan. Seseorang terus-menerus melakukan dosa seperti ghibah, menipu, atau meninggalkan kewajiban, meskipun sudah diingatkan berkali-kali oleh teman atau keluarganya. Baca juga: Maksiat Menggelapkan Hati 3. Tidak Merasakan Tanggung Jawab dan Meremehkan Amanah Orang yang malas sering mengabaikan tanggung jawabnya dan meremehkan amanah yang telah Allah bebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikulnya dan takut terhadapnya. Namun, manusia yang memikulnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72) Contoh: Seorang pegawai bekerja dengan setengah hati, sering menunda tugas, dan akhirnya menjadi beban bagi rekan-rekannya. Seorang kepala keluarga yang seharusnya mencari nafkah malah bermalas-malasan, mengandalkan orang lain, dan tidak peduli dengan kesejahteraan istri dan anak-anaknya. Baca juga: Jangan Mengkhianati Amanah 4. Banyak Bicara, tetapi Minim Tindakan Orang yang malas sering kali hanya berbicara tentang apa yang telah ia lakukan di masa lalu, tanpa ada upaya untuk berbuat sesuatu yang nyata di masa sekarang. Mereka menghibur diri dengan cerita lama tanpa ada langkah produktif. Allah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3) Contoh: Seseorang sering membanggakan prestasi masa lalunya, tetapi saat ini tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan diri atau memberikan manfaat bagi orang lain. Di media sosial, banyak orang mengkritik pemerintah atau keadaan masyarakat, tetapi mereka sendiri tidak berkontribusi atau mengambil tindakan nyata untuk perbaikan. Baca juga: 4 Langkah Setan yaitu Banyak Bicara, Memandang, Makan, Bergaul 5. Menyia-nyiakan Waktu Orang yang malas sering membuang waktunya tanpa manfaat dan lebih mengutamakan hal-hal yang tidak penting dibandingkan yang lebih utama. Akibatnya, ia merasakan kekosongan spiritual dan tidak mendapatkan keberkahan dalam waktunya. Contoh: Seseorang menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game atau menonton drama tanpa batas, tetapi tidak memiliki waktu untuk membaca buku atau belajar hal yang bermanfaat. Banyak mahasiswa yang seharusnya belajar dan menyelesaikan tugas, tetapi lebih memilih rebahan atau mengobrol tanpa tujuan hingga akhirnya tugas menumpuk dan hasilnya tidak maksimal. Baca juga: Sungguh, Kita Telah Banyak Menyia-Nyiakan Waktu 6. Suka Mengkritik, tetapi Tidak Mau Berkontribusi Orang yang malas cenderung selalu mengkritik setiap usaha positif yang dilakukan orang lain. Ia menghindari tanggung jawab, membesar-besarkan kesalahan, dan mencari-cari alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam kerja nyata. Ia selalu mencari dalih untuk lari dari kewajiban, sebagaimana firman Allah, لَا تَنفِرُوا۟ فِى ٱلْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَّوْ كَانُوا۟ يَفْقَهُونَ “Mereka berkata, ‘Janganlah kalian pergi berperang dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahanam jauh lebih panas, jika mereka mengetahui.’” (QS. At-Taubah: 81) Contoh: Di lingkungan kerja, seseorang hanya bisa mengeluh tentang sistem yang buruk, tetapi tidak mau memberikan solusi atau bekerja lebih baik. Di komunitas atau organisasi, ada anggota yang hanya mengomentari kelemahan program, tetapi saat diminta terlibat dalam perbaikan, mereka selalu menghindar.   Macam-Macam Kemalasan Kemalasan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya yang paling utama adalah sebagai berikut: 1. Kemalasan dan Futur Secara Umum dalam Semua Ibadah Jenis kemalasan ini ditandai dengan kebencian terhadap ibadah dan tidak adanya keinginan untuk melaksanakannya. Ini adalah ciri khas orang-orang munafik, karena mereka adalah golongan yang paling malas, enggan, dan berat dalam menjalankan ketaatan. Allah berfirman tentang mereka dalam ayat yang sudah disebut di atas, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, padahal Dialah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَثْقَلُ الصَّلاَةِعَلَى المُنَافِقِينَ: صَلاَةُ الْعِشَاءِ، وَصَلاَةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً».مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. “Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam kedua shalat tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR. Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651). Kata “paling berat” dalam hadis ini menunjukkan bahwa selain dua shalat tersebut juga terasa berat bagi mereka, tetapi Isyak dan Subuh adalah yang paling berat. Shalat Isyak dan shalat Shubuh berat bagi orang-orang munafik karena banyak alasan yang bisa dicari-cari untuk meninggalkannya. Waktu Isyak adalah waktu untuk rehat. Waktu Shubuh adalah waktu enak untuk tidur. Waktu Isyak dan waktu Shubuh adalah waktu gelap malam, untuk berbuat riyak itu sedikit sekali karena sedikit yang menyaksikan kedua shalat tersebut. Baca juga: Kenapa Shalat Isyak dan Shubuh Paling Berat bagi Orang Munafik? 2. Kemalasan dan Futur dalam Sebagian Ibadah Kemalasan ini muncul hanya dalam beberapa bentuk ibadah tertentu. Penderitanya tidak sampai membenci ibadah, tetapi ia kehilangan semangat atau memiliki keinginan yang lemah dalam melaksanakannya. Ini adalah kondisi yang dialami oleh banyak orang fasik dan mereka yang tenggelam dalam hawa nafsu. Kedua jenis kemalasan ini berasal dari penyakit hati, yang tingkat keparahannya tergantung pada kondisi masing-masing individu. Penyakit orang-orang munafik jauh lebih berat dibandingkan dengan penyakit yang diderita oleh orang fasik dan pecinta dunia. Mereka mungkin memiliki tubuh yang sehat dan kuat, sebagaimana firman Allah, ۞ وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh mereka membuatmu kagum.” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, hati mereka sebenarnya sakit, sebagaimana firman-Nya, فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًا ۖ “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10) 3.  Kemalasan dan Futur yang Bersifat Fisik, Bukan Karena Penyakit Hati Jenis kemalasan ini berbeda dengan dua yang sebelumnya. Penderitanya masih memiliki keinginan untuk beribadah dan merasa sedih jika melewatkannya, tetapi ia tetap malas dan kurang bersemangat. Misalnya, seseorang yang ingin bangun malam untuk shalat tahajud, tetapi tetap tidak melakukannya meskipun sudah terbangun, atau seseorang yang berniat mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan, tetapi bulan-bulan berlalu tanpa ia menyelesaikannya. Ia juga menyukai puasa, tetapi jarang melakukannya. Banyak orang—termasuk orang-orang saleh dan juga mereka yang bergelimang hawa nafsu—terjebak dalam jenis kemalasan ini. Allah menegur mereka dalam firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلْتُمْ إِلَى ٱلْأَرْضِ ۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa ketika dikatakan kepada kalian, ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah,’ kalian merasa berat dan ingin tetap tinggal di bumi?” (QS. At-Taubah: 38) Kemalasan jenis ini bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih parah, di mana seseorang akhirnya juga mengalami kemalasan hati dalam sebagian ibadahnya.   Penyebab Kemalasan 1. Kemunafikan Menyebabkan Kemalasan dalam Ibadah Sifat munafik pasti akan membawa seseorang pada kemalasan dalam beribadah. Baca juga: Ancaman bagi yang Malas Shalat Berjamaah 2. Menunda-Nunda Pekerjaan (Taswif) Kebiasaan menunda-nunda adalah penyakit berbahaya yang dapat membunuh semangat dan produktivitas. Kata “nanti saja” (sawfa) adalah salah satu pasukan Iblis yang menjerumuskan manusia dalam kelalaian. Baca juga: Bahaya Sikap Menunda-Nunda 3. Kenyang Berlebihan Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Terlalu banyak makan akan menyebabkan kemalasan dan futur (kelemahan semangat).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin) Baca juga: Terlalu Kenyak Bikin Malas Ibadah 4. Tidak Berdzikir, Berwudhu, atau Shalat Saat Bangun Tidur Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan mengikat tiga simpul di bagian belakang kepala seseorang ketika ia tidur. Setiap simpul ia pukul seraya berkata: ‘Malam masih panjang, tidurlah!’ Jika orang tersebut bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka terlepaslah satu simpul. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu simpul lagi. Jika ia kemudian melaksanakan shalat, maka terlepaslah seluruh simpul tersebut. Akhirnya, ia akan bangun dalam keadaan bersemangat dan jiwa yang baik. Namun, jika tidak, maka ia akan bangun dalam keadaan jiwa yang buruk dan malas.” (HR. Bukhari dan Muslim) 5. Menguap Tanpa Menutup Mulut dan Tidak Berusaha Menahannya Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ؛ فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ “Apabila salah seorang di antara kalian akan menguap, hendaklah ia letakkan tangannya pada mulutnya, karena setan akan masuk.” (HR. Muslim, no. 2995) Menguap merupakan tanda kemalasan dan bisa mengganggu kekhusyukan dalam ibadah. Oleh karena itu, menguap dianggap berasal dari setan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّثاؤُبُ مِنَ الشَّيْطانِ، فإذا تَثاءَبَ أحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ ما اسْتَطاعَ ، فإنَّ أحَدَكُمْ إذا قالَ: ها، ضَحِكَ الشَّيْطانُ “Menguap itu berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahannya sebisa mungkin. Sebab, jika ia berkata ‘haa’ (saat menguap), setan akan tertawa.” (HR. Bukhari, no. 3289; Diriwayatkan juga oleh HR. Al-Bukhari, no. 6223, dan HR. Muslim, no. 2994) Baca juga: Adab Ketika Menguap   Cara Mengatasi Kemalasan 1. Memohon Pertolongan kepada Allah dengan Doa dan Dzikir Salah satu cara terbaik untuk menghindari kemalasan adalah berdoa kepada Allah dan memohon perlindungan dari kelemahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dzikir pagi yang mengandung permintaan perlindungan dari sifat malas adalah: أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ ASH-BAHNAA WA ASH-BAHAL MULKU LILLAH WALHAMDULILLAH, LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIR. ROBBI AS-ALUKA KHOIRO MAA FII HADZAL YAUM WA KHOIRO MAA BA’DAHU, WA A’UDZU BIKA MIN SYARRI MAA FII HADZAL YAUM WA SYARRI MAA BA’DAHU. ROBBI A’UDZU BIKA MINAL KASALI WA SU-IL KIBAR. ROBBI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABIN FIN NAARI WA ‘ADZABIN FIL QOBRI. Artinya: “Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di alam kubur.” (Dibaca 1 x) (HR. Muslim no. 2723. Lihat keterangan Syarh Hisnul Muslim, hlm. 161). Baca juga: Inilah Bacaan Dzikir Pagi 2. Menjaga Sikap Seimbang dalam Kehidupan Sikap moderat atau keseimbangan adalah prinsip hidup yang dianjurkan dalam Islam. Allah menyebut umat ini sebagai umat yang pertengahan dalam firman-Nya, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا “Dan demikianlah Kami menjadikan kalian sebagai umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah: 143) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan bahaya sikap berlebihan dengan bersabda, هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون، هلَكَ المُتنطِّعون. “Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama! Celakalah mereka! Celakalah mereka!” (HR. Muslim, no. 2670) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda: Bagi Waktu untuk Ibadah, Keluarga, dan Diri Sendiri 3. Berlomba dalam Kebaikan dan Bersegera Melakukannya Allah memuji orang-orang beriman yang bersegera dalam kebaikan dan memerintahkan untuk berlomba dalam meraih ampunan dan surga-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 21) Allah juga memuji para nabi dengan firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ “Sesungguhnya mereka selalu bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan takut, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90) Dalam Surah Al-Waqi’ah, Allah menjelaskan keutamaan orang-orang yang berlomba dalam iman dan kebaikan, وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ “Dan orang-orang yang terdahulu (dalam kebaikan), mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.” (QS. Al-Waqi’ah: 10-11) Baca juga: Berlomba dalam Meraih Pahala 4. Membiasakan Diri dengan Aktivitas Fisik dan Olahraga Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi mengatakan, يُعَوَّد في بعض النَّهار المشي والحركة والرِّياضة حتى لا يغلب عليه الكَسَل “Seseorang disarankan untuk melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan berolahraga di siang hari agar tidak dikuasai oleh kemalasan.” (Mau’izhah Al-Mu’minin, karya Jamaluddin Al-Qasimi) Baca juga: Olahraga Jangan Sampai Lupa Waktu! 5. Mengatur Pola Tidur dengan Baik Syaikh Abdul Aziz As-Salman berkata, ينبغي أن يُمْنَع مِن النَّوم نهارًا؛ فإنَّ ذلك يورث الكَسَل في حقه، ولا يمنع مِن النَّوم ليلًا، لأنَّ منعه مِن النَّوم في اللَّيل يورث الملَالة، ويُضْعِف عن مكابدة النَّوم وشدَّة النُّعاس “Seseorang sebaiknya tidak terlalu banyak tidur di siang hari karena bisa membuatnya menjadi malas. Namun, ia tetap perlu tidur di malam hari, karena jika tidak, ia bisa merasa jenuh dan sulit menahan rasa kantuk yang berlebihan, yang pada akhirnya bisa mengganggu aktivitas dan ibadahnya.” (Mawârid Azh-Zham’ân, karya Abdul Aziz As-Salman) Dalam Islam, pola tidur yang dianjurkan adalah yang seimbang, tidak terlalu banyak tidur tetapi juga tidak kurang tidur sehingga mengganggu aktivitas dan ibadah. Dari hadits dan riwayat ulama, pola tidur yang baik meliputi: Tidur lebih awal di malam hari dan bangun untuk tahajud atau shalat Subuh. Tidak begadang tanpa alasan penting, seperti hiburan atau hal yang tidak bermanfaat. Menghindari terlalu banyak tidur di siang hari, karena bisa menyebabkan kemalasan. Tidur siang sejenak (qailulah) sebelum atau setelah Zuhur untuk menyegarkan tubuh. Baca juga: Adab Islami Sederhana Sebelum Tidur   Semoga manfaat. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat malas yang buruk.   Referensi: Al-Kalim Ath-Thayyib – Al-Kasal     9 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsakibat begadang menurut Islam akibat malas beribadah bahaya kemalasan cara mengatasi malas cara mengatur waktu tidur cara meningkatkan semangat ibadah doa agar tidak malas kebiasaan Rasulullah sebelum tidur kemalasan dalam Islam malas malas ibadah manfaat bangun pagi dalam Islam manfaat qailulah pentingnya tidur cukup penyebab kemalasan pola tidur sehat dalam Islam tidur yang baik menurut Islam

Sikap Ahli Sunah terhadap Istilah Mujmal yang Digunakan oleh Ahli Bid’ah untuk Menolak Sifat Allah

Daftar Isi Toggle PendahuluanMetode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat AllahLafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaahMenyikapi lafaz jihahMenyikapi lafaz jismMenyikapi lafaz hayyizKesimpulan Pendahuluan Di antara metode ahli bid’ah dalam menolak sifat-sifat Allah adalah menggunakan istilah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak dikenal oleh para salaf saleh. Mereka menggunakan istilah yang mengandung makna mujmal (ambigu) sebagai alasan untuk menolak sifat-sifat Allah. Mereka beralasan bahwa makna dalam istilah tersebut merupakan konsekuensi dari makna sifat yang ditetapkan ahli sunah waljamaah, padahal makna tersebut merupakan makna batil menurut persangkaan mereka. Pada pembahasan ini, akan dijelaskan bagaimana sikap ahli sunah waljamaah terhadap istilah-istilah mujmal tersebut. Akan disebutkan pula beberapa contohnya serta bagaimana ahli sunah menyikapinya dan memahami makna dari istilah tersebut. Metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat Allah Sebelumnya, perlu kita pahami bahwa metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat untuk Allah adalah sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah berikut: Pertama: Dalam hal penetapan Menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, maupun tamtsil. Kedua: Dalam hal peniadaan Meniadakan apa yang telah ditiadakan oleh Allah dan rasul-Nya disertai meyakini adanya penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah yang merupakan kebalikan dari sifat yang ditiadakan tersebut. Ketiga: Dalam hal yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaaan Terkait istilah-istilah yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaanya dalam Al-Qur’an dan hadis, seperti istilah jism, hayyiz, jihah, makan, dan semisalnya. Sikap ahli sunah adalah tawaqquf mengenai lafaznya, yaitu tidak menetapkan untuk Allah dan tidak pula meniadakannya dari Allah karena tidak terdapat dalil dalam hal ini. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud dari makna tersebut adalah makna batil, maka Allah tersucikan darinya dan ahli sunah menolak makna tersebut. Namun, apabila yang dimaksudkan dengannya adalah makna benar dan tidak bertentangan dengan kesempurnaan Allah, maka mereka menerimanya. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhiisi Al-Hamawiyyah) Lafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaah Dalam buku-buku akidah, dibahas mengenai pembahasan istilah yang mujmal (الكلمات المجملة). Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait istilah-istilah yang mujmal ini, yaitu: Pertama: Yang dimaksud kalimat mujmal adalah kalimat yang digunakan oleh ahli ta’thil yang menolak sifat-sifat Allah dan sering digunakan juga oleh ahli kalam secara umum. Kedua: Disebut makna mujmal karena mengandung kemungkinan benar dan batil atau dalam lafaz ini terkumpul antara makna benar dan makna batil, sehingga maknanya masih samar. Tidak diketahui makna yang terkandung dalam lafaz tersebut, kecuali setelah dijelaskan secara rinci mengenai maknanya. Ketiga: Maksud dari ahli ta’thil menggunakan istilah seperti ini adalah sebagai batu loncatan untuk menolak sifat-sifat Allah dengan berdalih ingin menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan. Keempat: Alasan mereka melakukan hal ini karena ketidakmampuan mereka untuk melawan argumentasi ahli sunah dengan hujjah dalil sehingga mereka menggunakan metode ini. Kelima: Lafaz-lafaz yang mujmal ini sama sekali tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, namun semata-mata merupakan istilah baru yang dilontarkan oleh ahli kalam. Keenam: Metode ahli sunah dalam menyikapi istilah mujmal ini, yaitu tawaqquf terhadap lafaznya dan memberikan perincian terhadap makna dari lafaz tersebut. (Rasa’ilu fil ‘Aqidah) Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai sikap ahli sunah waljamaah dalam menyikapi lafaz mujmal: Pertama: Terkait lafaznya, maka sikap ahli sunah adalah tawaqquf, yaitu tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Contohnya lafaz jihah. Mereka tidak mengatakan Allah berada dalam jihah dan tidak pula mengatakan Allah tidak berada dalam jihah. Mereka tidak menetapkannya karena tidak terdapat dalil penetapannya dan mereka tidak meniadakannya karena juga tidak terdapat dalil peniadaannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Kedua: Terkait makna dari lafaz-lafaz tersebut, maka hal ini perlu dirinci. Termasuk kaidah umum dalam ahli sunah terhadap lafaz yang mujmal, yaitu: bahwasanya lafaz mujmal yang mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil, maka tidak ditetapkan secara mutlak dan tidak ditiadakan secara mutlak; akan tetapi, perlu dirinci sehingga diketahui maksud dari makna tersebut. Apabila mengandung makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Tidak boleh meniadakan secara mutlak karena bisa jadi maknanya benar sehingga tidak boleh ditolak. Tidak pula langsung menerima maknanya secara mutlak karena bisa jadi mengandung makna batil sehingga tidak bisa diterima. Oleh karena itu, perlu dirinci berdasarkan apa yang dimaksud dari makna tersebut. Inilah sikap ahli sunah terhadap makna dari istilah yang mujmal. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Pada asalnya, kita harus meninggalkan penggunaan istilah mujmal yang merupakan istilah muhdas (istilah baru yang tidak dikenal oleh salaf saleh), seperti istilah: jihah, hayyiz, hudus, tarkib, jauhar, ‘arad, dan sebagainya. Tidak boleh menggunakan istilah-istilah ini ketika menjelaskan akidah ahli sunah waljamaah. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Hukum penggunaan istilah mujmal ini hanya boleh digunakan ketika terjadi perdebatan dengan ahli bid’ah dalam rangka membantah dan menjelaskan kekeliruan pemahaman mereka pada kondisi yang memang dibutuhkan. Adapun ketika menjelaskan keyakinan akidah ahli sunah waljamaah, maka wajib menggunakan istilah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Tidak boleh sama sekali menggunakan istilah mujmal ini karena tidak ada kebutuhan untuk menggunakannya. Oleh karena itu, tidak kita dapati para imam ahli sunah waljamaah ketika menjelaskan akidah menggunakan istilah-istilah tersebut. (Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatiha wa Ahkamuha) Bahkan, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penggunaan lafaz mujmal seperti lafaz jism termasuk bid’ah meskipun digunakan dalam makna yang sahih. Beliau berkata dalam kitab Bayan Talbisi Al-Jahmiyyah, “Adapun lafaz jism, maka ini termasuk bid’ah, baik dalam penetapannya maupun peniadaanya. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak pula terdapat dalam perkataan satu pun dari salaf saleh penggunaan lafaz jism dalam sifat Allah, baik itu dalam penetapan ataupun peniadaan.” (Al-‘Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah) Berikutnya akan kami paparkan tiga contoh lafaz mujmal yang sering digunakan oleh ahli bid’ah dan bagaimana ahli sunah dalam menyikapinya, yaitu lafaz jihah, jism, dan hayyiz. Menyikapi lafaz jihah Mengenai lafaznya, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan tidak menetapkannya dan tidak pula meniadakannya. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci, karena makna jihah mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil. Lafaz jihah memiliki beberapa kemungkinan makna: Pertama: Apabila yang dimaksud dengan jihah adalah arah bawah, maka ini makna batil yang tidak sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini juga bertentangan dengan sifat ‘uluw bagi Allah yang telah ditetapkan berdasar dalil dari Al-Qur’an, hadis, akal, fitrah, dan ijma’. Kedua: Apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di seluruh arah, Dia berada di dalam makhluk-Nya, dan Zat Allah berada di setiap tempat, maka ini tidak mungkin bagi Allah dan bertentangan dengan sifat ‘uluw. Ketiga: Jika yang dimaksud Allah tidak berada pada arah dan tempat, yaitu tidak berada di dalam alam maupun di luar alam, tidak bersatu dan tidak pula terpisah, tidak di atas dan tidak pula di bawah, maka ini juga makna batil karena yang seperti ini hakikatnya adalah sesuatu yang tidak ada. Keempat: Apabila yang dimaksud jihah adalah arah atas berupa makhluk yang meliputi Zat Allah, maka ini juga merupakan makna batil, karena Allah Maha Besar dan tidak diliputi oleh satupun makhluk-Nya. Kelima: Adapun apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di arah atas yang berada di luar alam (di luar seluruh makhluk-Nya) dan Dia istiwa’ di atas ‘Arsy dan terpisah dari makhluk-Nya, maka ini merupakan makna benar. Dalam hal ini, Allah berada di arah atas secara mutlak. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Akan tetapi, kita tidak boleh memberitakan Allah dengan lafaz ini yang mengandung makna kemungkinan benar dan batil. Kita hanya boleh menggunakan lafaz-lafaz yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadis, semisal dalam firman Allah, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.“ (QS. Al A’la: 1) وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.“ (QS. Saba’: 23) يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka.“ (QS. An-Nahl: 50) Allah berada di atas ketinggian yang mutlak. Lafaz ‘uluw digunakan untuk Allah dalam Al-Qur’an dan hadis, bahkan sifat ‘uluw merupakan sifat paling agung yang banyak terdapat penetapannya dalam Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan lafaz yang sudah ditetapkan oleh syariat, yaitu ‘uluw dan menggantinya dengan lafaz yang mujmal dan tidak pernah digunakan oleh para salaf salih, semisal lafaz jihah. Tidak sepantasnya mengganti yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih rendah. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Baca juga: Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala Menyikapi lafaz jism Apakah Allah memiliki jism? Jawaban hal ini sesuai dengan kaidah yang sudah dibahas di atas. Dari sisi lafaz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Mereka tidak mengatakan Allah punya jism dan tidak pula mengatakan Allah tidak punya jism, karena di dalam Al-Qur’an maupun hadis tidak terdapat dalil yang menetapkan dan meniadakan. Adapun mengenai maknanya maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud jism adalah Allah memiliki tubuh atau jasad seperti makhluk yang merupakan bagian terbagi-bagi dan terpisah satu dengan yang lainnya, maka ini adalah penyataan mumatsilah yang menganggap bahwa jism Allah seperti jism makhluk. Mahasuci Allah dari persangkaan mereka. Ini merupakan kedustaan yang sangat besar dan maknanya batil. Allah Ta’ala berfirman, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.“ (QS. Asy-Syura: 11) Jika yang dimaksud jism adalah seperti tubuh makluk yang keberadaanya tersusun dari bagian-bagian organ yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, serta membutuhkan makan dan minum untuk keberlangsungan tubuh tersebut, maka ini juga merupakan makna batil dan tidak boleh ditetapkan untuk Allah. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah) Adapun apabila yang dimaksud jism adalah apa yang terdapat pada Zat Allah hakiki yang berdiri sendiri, seperti sifat wajah, tangan, mata, dan telapak kaki yang merupakan sifat kesempurnaan dan keagungan dari segala sisi, maka ini adalah makna yang benar. (Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Ibnu Al-‘Utsaimin) Namun, selayaknya tidak menggunakan istilah jism dan cukup menggunakan istilah zat dan sifat. Jadi cukup dikatakan bahwa Allah mempunyai zat dan sifat sebagaimana ditetapkan oleh ahli sunah. (Qowa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Menyikapi lafaz hayyiz Mengenai lafaz hayyiz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan diam, yaitu tidak menetapkan dan tidak pula meniadakan. Tidak dikatakan Allah punya hayyiz dan tidak pula dikatakan Allah tidak punya hayyiz karena tidak terdapat dalil yang menetapkan ataupun meniadakan. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud hayyiz adalah melingkupi sesuatu yang dilingkupi, yaitu berada di dalamnya dan menyatu, maka ini adalah makna yang batil. Tidak boleh meyakini demikian untuk Allah. Bahkan, mereka mengingkari al-hululiyyah yang menganggap Allah bersatu dengan sebagian zat makhluk-Nya, apalagi al-wujudiyyah/al-ittihadiyyah yang meyakini bahwa zat Allah adalah makhluk itu sendiri.  Ini adalah keyakinan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam. Barangsiapa yang meyakini bahwa ada bagian dari mahkluk yang menyatu dengan zat Allah atau ada bagian dari zat Allah yang menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, maka dia telah kafir dengan kufur kabar. Adapun apabila hayyiz bermakna terpisah dan tidak menyatu, maka ini adalah makna yang benar. Oleh karena itu, ahli sunah sepakat bahwa Allah terpisah dari mahkluk-Nya dan berada di atas seluruh makhluk, ber-istiwa’ di atas Arasy-Nya. Tidak ada bagian Zat Allah yang berada pada zat makhluk, dan tidak ada bagian zat makhluk yang berada pada Zat Allah. Zat Allah dan makhluk adalah dua zat yang terpisah karena Zat Allah berada pada ketinggian yang mutlak. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Kesimpulan Sebagai kesimpulan, bahwa ahli sunah waljamaah dalam akidah asma’ wa shifat adalah menetapkan dan meniadakan sesuai dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dan berusaha meninggalkan lafaz yang tidak terdapat dalam keduanya. Adapun mengenai lafaz yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, yaitu diam dengan tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Adapun mengenai makna dari lafaz tersebut, maka perlu dirinci. Apabila makna yang dimaksudkan adalah makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Dengan memahami permasalahan ini dengan baik, maka jelaslah kebatilan ahli bid’ah yang sering menggunakan istilah mujmal untuk menuduh bahwa ketika ahli sunah waljamaah menetapkan sifat-sifat Allah, maka memberikan konsekuensi makna yang batil bagi Allah. Justru sebaliknya, tuduhan mereka keliru karena makna dari lafaz mujmal yang mereka gunakan ternyata memiliki makna yang sesuai dengan keagungan nama dan sifat Allah apabila dipahami dengan makna yang benar. Allahu a’lam. Baca juga: Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah *** Penyusun: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Rasa’ilu fil-‘Aqidah, Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd. Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati, Syekh Walid bin Rasyid As-Su’aidan. Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid, Syekh Thoriq bin Sa’id bin ‘Abdillah Al-Qahthany. Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatihaa wa Ahkamuha, Syekh Muhammad bin ‘Abdirrahman Abu Sayyif Al-Juhany. Al-‘Uquud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Sulthan bin ‘Abdirrahman Al-‘Umairy. Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Sikap Ahli Sunah terhadap Istilah Mujmal yang Digunakan oleh Ahli Bid’ah untuk Menolak Sifat Allah

Daftar Isi Toggle PendahuluanMetode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat AllahLafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaahMenyikapi lafaz jihahMenyikapi lafaz jismMenyikapi lafaz hayyizKesimpulan Pendahuluan Di antara metode ahli bid’ah dalam menolak sifat-sifat Allah adalah menggunakan istilah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak dikenal oleh para salaf saleh. Mereka menggunakan istilah yang mengandung makna mujmal (ambigu) sebagai alasan untuk menolak sifat-sifat Allah. Mereka beralasan bahwa makna dalam istilah tersebut merupakan konsekuensi dari makna sifat yang ditetapkan ahli sunah waljamaah, padahal makna tersebut merupakan makna batil menurut persangkaan mereka. Pada pembahasan ini, akan dijelaskan bagaimana sikap ahli sunah waljamaah terhadap istilah-istilah mujmal tersebut. Akan disebutkan pula beberapa contohnya serta bagaimana ahli sunah menyikapinya dan memahami makna dari istilah tersebut. Metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat Allah Sebelumnya, perlu kita pahami bahwa metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat untuk Allah adalah sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah berikut: Pertama: Dalam hal penetapan Menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, maupun tamtsil. Kedua: Dalam hal peniadaan Meniadakan apa yang telah ditiadakan oleh Allah dan rasul-Nya disertai meyakini adanya penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah yang merupakan kebalikan dari sifat yang ditiadakan tersebut. Ketiga: Dalam hal yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaaan Terkait istilah-istilah yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaanya dalam Al-Qur’an dan hadis, seperti istilah jism, hayyiz, jihah, makan, dan semisalnya. Sikap ahli sunah adalah tawaqquf mengenai lafaznya, yaitu tidak menetapkan untuk Allah dan tidak pula meniadakannya dari Allah karena tidak terdapat dalil dalam hal ini. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud dari makna tersebut adalah makna batil, maka Allah tersucikan darinya dan ahli sunah menolak makna tersebut. Namun, apabila yang dimaksudkan dengannya adalah makna benar dan tidak bertentangan dengan kesempurnaan Allah, maka mereka menerimanya. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhiisi Al-Hamawiyyah) Lafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaah Dalam buku-buku akidah, dibahas mengenai pembahasan istilah yang mujmal (الكلمات المجملة). Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait istilah-istilah yang mujmal ini, yaitu: Pertama: Yang dimaksud kalimat mujmal adalah kalimat yang digunakan oleh ahli ta’thil yang menolak sifat-sifat Allah dan sering digunakan juga oleh ahli kalam secara umum. Kedua: Disebut makna mujmal karena mengandung kemungkinan benar dan batil atau dalam lafaz ini terkumpul antara makna benar dan makna batil, sehingga maknanya masih samar. Tidak diketahui makna yang terkandung dalam lafaz tersebut, kecuali setelah dijelaskan secara rinci mengenai maknanya. Ketiga: Maksud dari ahli ta’thil menggunakan istilah seperti ini adalah sebagai batu loncatan untuk menolak sifat-sifat Allah dengan berdalih ingin menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan. Keempat: Alasan mereka melakukan hal ini karena ketidakmampuan mereka untuk melawan argumentasi ahli sunah dengan hujjah dalil sehingga mereka menggunakan metode ini. Kelima: Lafaz-lafaz yang mujmal ini sama sekali tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, namun semata-mata merupakan istilah baru yang dilontarkan oleh ahli kalam. Keenam: Metode ahli sunah dalam menyikapi istilah mujmal ini, yaitu tawaqquf terhadap lafaznya dan memberikan perincian terhadap makna dari lafaz tersebut. (Rasa’ilu fil ‘Aqidah) Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai sikap ahli sunah waljamaah dalam menyikapi lafaz mujmal: Pertama: Terkait lafaznya, maka sikap ahli sunah adalah tawaqquf, yaitu tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Contohnya lafaz jihah. Mereka tidak mengatakan Allah berada dalam jihah dan tidak pula mengatakan Allah tidak berada dalam jihah. Mereka tidak menetapkannya karena tidak terdapat dalil penetapannya dan mereka tidak meniadakannya karena juga tidak terdapat dalil peniadaannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Kedua: Terkait makna dari lafaz-lafaz tersebut, maka hal ini perlu dirinci. Termasuk kaidah umum dalam ahli sunah terhadap lafaz yang mujmal, yaitu: bahwasanya lafaz mujmal yang mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil, maka tidak ditetapkan secara mutlak dan tidak ditiadakan secara mutlak; akan tetapi, perlu dirinci sehingga diketahui maksud dari makna tersebut. Apabila mengandung makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Tidak boleh meniadakan secara mutlak karena bisa jadi maknanya benar sehingga tidak boleh ditolak. Tidak pula langsung menerima maknanya secara mutlak karena bisa jadi mengandung makna batil sehingga tidak bisa diterima. Oleh karena itu, perlu dirinci berdasarkan apa yang dimaksud dari makna tersebut. Inilah sikap ahli sunah terhadap makna dari istilah yang mujmal. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Pada asalnya, kita harus meninggalkan penggunaan istilah mujmal yang merupakan istilah muhdas (istilah baru yang tidak dikenal oleh salaf saleh), seperti istilah: jihah, hayyiz, hudus, tarkib, jauhar, ‘arad, dan sebagainya. Tidak boleh menggunakan istilah-istilah ini ketika menjelaskan akidah ahli sunah waljamaah. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Hukum penggunaan istilah mujmal ini hanya boleh digunakan ketika terjadi perdebatan dengan ahli bid’ah dalam rangka membantah dan menjelaskan kekeliruan pemahaman mereka pada kondisi yang memang dibutuhkan. Adapun ketika menjelaskan keyakinan akidah ahli sunah waljamaah, maka wajib menggunakan istilah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Tidak boleh sama sekali menggunakan istilah mujmal ini karena tidak ada kebutuhan untuk menggunakannya. Oleh karena itu, tidak kita dapati para imam ahli sunah waljamaah ketika menjelaskan akidah menggunakan istilah-istilah tersebut. (Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatiha wa Ahkamuha) Bahkan, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penggunaan lafaz mujmal seperti lafaz jism termasuk bid’ah meskipun digunakan dalam makna yang sahih. Beliau berkata dalam kitab Bayan Talbisi Al-Jahmiyyah, “Adapun lafaz jism, maka ini termasuk bid’ah, baik dalam penetapannya maupun peniadaanya. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak pula terdapat dalam perkataan satu pun dari salaf saleh penggunaan lafaz jism dalam sifat Allah, baik itu dalam penetapan ataupun peniadaan.” (Al-‘Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah) Berikutnya akan kami paparkan tiga contoh lafaz mujmal yang sering digunakan oleh ahli bid’ah dan bagaimana ahli sunah dalam menyikapinya, yaitu lafaz jihah, jism, dan hayyiz. Menyikapi lafaz jihah Mengenai lafaznya, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan tidak menetapkannya dan tidak pula meniadakannya. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci, karena makna jihah mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil. Lafaz jihah memiliki beberapa kemungkinan makna: Pertama: Apabila yang dimaksud dengan jihah adalah arah bawah, maka ini makna batil yang tidak sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini juga bertentangan dengan sifat ‘uluw bagi Allah yang telah ditetapkan berdasar dalil dari Al-Qur’an, hadis, akal, fitrah, dan ijma’. Kedua: Apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di seluruh arah, Dia berada di dalam makhluk-Nya, dan Zat Allah berada di setiap tempat, maka ini tidak mungkin bagi Allah dan bertentangan dengan sifat ‘uluw. Ketiga: Jika yang dimaksud Allah tidak berada pada arah dan tempat, yaitu tidak berada di dalam alam maupun di luar alam, tidak bersatu dan tidak pula terpisah, tidak di atas dan tidak pula di bawah, maka ini juga makna batil karena yang seperti ini hakikatnya adalah sesuatu yang tidak ada. Keempat: Apabila yang dimaksud jihah adalah arah atas berupa makhluk yang meliputi Zat Allah, maka ini juga merupakan makna batil, karena Allah Maha Besar dan tidak diliputi oleh satupun makhluk-Nya. Kelima: Adapun apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di arah atas yang berada di luar alam (di luar seluruh makhluk-Nya) dan Dia istiwa’ di atas ‘Arsy dan terpisah dari makhluk-Nya, maka ini merupakan makna benar. Dalam hal ini, Allah berada di arah atas secara mutlak. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Akan tetapi, kita tidak boleh memberitakan Allah dengan lafaz ini yang mengandung makna kemungkinan benar dan batil. Kita hanya boleh menggunakan lafaz-lafaz yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadis, semisal dalam firman Allah, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.“ (QS. Al A’la: 1) وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.“ (QS. Saba’: 23) يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka.“ (QS. An-Nahl: 50) Allah berada di atas ketinggian yang mutlak. Lafaz ‘uluw digunakan untuk Allah dalam Al-Qur’an dan hadis, bahkan sifat ‘uluw merupakan sifat paling agung yang banyak terdapat penetapannya dalam Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan lafaz yang sudah ditetapkan oleh syariat, yaitu ‘uluw dan menggantinya dengan lafaz yang mujmal dan tidak pernah digunakan oleh para salaf salih, semisal lafaz jihah. Tidak sepantasnya mengganti yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih rendah. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Baca juga: Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala Menyikapi lafaz jism Apakah Allah memiliki jism? Jawaban hal ini sesuai dengan kaidah yang sudah dibahas di atas. Dari sisi lafaz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Mereka tidak mengatakan Allah punya jism dan tidak pula mengatakan Allah tidak punya jism, karena di dalam Al-Qur’an maupun hadis tidak terdapat dalil yang menetapkan dan meniadakan. Adapun mengenai maknanya maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud jism adalah Allah memiliki tubuh atau jasad seperti makhluk yang merupakan bagian terbagi-bagi dan terpisah satu dengan yang lainnya, maka ini adalah penyataan mumatsilah yang menganggap bahwa jism Allah seperti jism makhluk. Mahasuci Allah dari persangkaan mereka. Ini merupakan kedustaan yang sangat besar dan maknanya batil. Allah Ta’ala berfirman, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.“ (QS. Asy-Syura: 11) Jika yang dimaksud jism adalah seperti tubuh makluk yang keberadaanya tersusun dari bagian-bagian organ yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, serta membutuhkan makan dan minum untuk keberlangsungan tubuh tersebut, maka ini juga merupakan makna batil dan tidak boleh ditetapkan untuk Allah. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah) Adapun apabila yang dimaksud jism adalah apa yang terdapat pada Zat Allah hakiki yang berdiri sendiri, seperti sifat wajah, tangan, mata, dan telapak kaki yang merupakan sifat kesempurnaan dan keagungan dari segala sisi, maka ini adalah makna yang benar. (Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Ibnu Al-‘Utsaimin) Namun, selayaknya tidak menggunakan istilah jism dan cukup menggunakan istilah zat dan sifat. Jadi cukup dikatakan bahwa Allah mempunyai zat dan sifat sebagaimana ditetapkan oleh ahli sunah. (Qowa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Menyikapi lafaz hayyiz Mengenai lafaz hayyiz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan diam, yaitu tidak menetapkan dan tidak pula meniadakan. Tidak dikatakan Allah punya hayyiz dan tidak pula dikatakan Allah tidak punya hayyiz karena tidak terdapat dalil yang menetapkan ataupun meniadakan. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud hayyiz adalah melingkupi sesuatu yang dilingkupi, yaitu berada di dalamnya dan menyatu, maka ini adalah makna yang batil. Tidak boleh meyakini demikian untuk Allah. Bahkan, mereka mengingkari al-hululiyyah yang menganggap Allah bersatu dengan sebagian zat makhluk-Nya, apalagi al-wujudiyyah/al-ittihadiyyah yang meyakini bahwa zat Allah adalah makhluk itu sendiri.  Ini adalah keyakinan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam. Barangsiapa yang meyakini bahwa ada bagian dari mahkluk yang menyatu dengan zat Allah atau ada bagian dari zat Allah yang menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, maka dia telah kafir dengan kufur kabar. Adapun apabila hayyiz bermakna terpisah dan tidak menyatu, maka ini adalah makna yang benar. Oleh karena itu, ahli sunah sepakat bahwa Allah terpisah dari mahkluk-Nya dan berada di atas seluruh makhluk, ber-istiwa’ di atas Arasy-Nya. Tidak ada bagian Zat Allah yang berada pada zat makhluk, dan tidak ada bagian zat makhluk yang berada pada Zat Allah. Zat Allah dan makhluk adalah dua zat yang terpisah karena Zat Allah berada pada ketinggian yang mutlak. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Kesimpulan Sebagai kesimpulan, bahwa ahli sunah waljamaah dalam akidah asma’ wa shifat adalah menetapkan dan meniadakan sesuai dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dan berusaha meninggalkan lafaz yang tidak terdapat dalam keduanya. Adapun mengenai lafaz yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, yaitu diam dengan tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Adapun mengenai makna dari lafaz tersebut, maka perlu dirinci. Apabila makna yang dimaksudkan adalah makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Dengan memahami permasalahan ini dengan baik, maka jelaslah kebatilan ahli bid’ah yang sering menggunakan istilah mujmal untuk menuduh bahwa ketika ahli sunah waljamaah menetapkan sifat-sifat Allah, maka memberikan konsekuensi makna yang batil bagi Allah. Justru sebaliknya, tuduhan mereka keliru karena makna dari lafaz mujmal yang mereka gunakan ternyata memiliki makna yang sesuai dengan keagungan nama dan sifat Allah apabila dipahami dengan makna yang benar. Allahu a’lam. Baca juga: Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah *** Penyusun: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Rasa’ilu fil-‘Aqidah, Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd. Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati, Syekh Walid bin Rasyid As-Su’aidan. Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid, Syekh Thoriq bin Sa’id bin ‘Abdillah Al-Qahthany. Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatihaa wa Ahkamuha, Syekh Muhammad bin ‘Abdirrahman Abu Sayyif Al-Juhany. Al-‘Uquud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Sulthan bin ‘Abdirrahman Al-‘Umairy. Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Daftar Isi Toggle PendahuluanMetode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat AllahLafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaahMenyikapi lafaz jihahMenyikapi lafaz jismMenyikapi lafaz hayyizKesimpulan Pendahuluan Di antara metode ahli bid’ah dalam menolak sifat-sifat Allah adalah menggunakan istilah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak dikenal oleh para salaf saleh. Mereka menggunakan istilah yang mengandung makna mujmal (ambigu) sebagai alasan untuk menolak sifat-sifat Allah. Mereka beralasan bahwa makna dalam istilah tersebut merupakan konsekuensi dari makna sifat yang ditetapkan ahli sunah waljamaah, padahal makna tersebut merupakan makna batil menurut persangkaan mereka. Pada pembahasan ini, akan dijelaskan bagaimana sikap ahli sunah waljamaah terhadap istilah-istilah mujmal tersebut. Akan disebutkan pula beberapa contohnya serta bagaimana ahli sunah menyikapinya dan memahami makna dari istilah tersebut. Metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat Allah Sebelumnya, perlu kita pahami bahwa metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat untuk Allah adalah sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah berikut: Pertama: Dalam hal penetapan Menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, maupun tamtsil. Kedua: Dalam hal peniadaan Meniadakan apa yang telah ditiadakan oleh Allah dan rasul-Nya disertai meyakini adanya penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah yang merupakan kebalikan dari sifat yang ditiadakan tersebut. Ketiga: Dalam hal yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaaan Terkait istilah-istilah yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaanya dalam Al-Qur’an dan hadis, seperti istilah jism, hayyiz, jihah, makan, dan semisalnya. Sikap ahli sunah adalah tawaqquf mengenai lafaznya, yaitu tidak menetapkan untuk Allah dan tidak pula meniadakannya dari Allah karena tidak terdapat dalil dalam hal ini. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud dari makna tersebut adalah makna batil, maka Allah tersucikan darinya dan ahli sunah menolak makna tersebut. Namun, apabila yang dimaksudkan dengannya adalah makna benar dan tidak bertentangan dengan kesempurnaan Allah, maka mereka menerimanya. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhiisi Al-Hamawiyyah) Lafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaah Dalam buku-buku akidah, dibahas mengenai pembahasan istilah yang mujmal (الكلمات المجملة). Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait istilah-istilah yang mujmal ini, yaitu: Pertama: Yang dimaksud kalimat mujmal adalah kalimat yang digunakan oleh ahli ta’thil yang menolak sifat-sifat Allah dan sering digunakan juga oleh ahli kalam secara umum. Kedua: Disebut makna mujmal karena mengandung kemungkinan benar dan batil atau dalam lafaz ini terkumpul antara makna benar dan makna batil, sehingga maknanya masih samar. Tidak diketahui makna yang terkandung dalam lafaz tersebut, kecuali setelah dijelaskan secara rinci mengenai maknanya. Ketiga: Maksud dari ahli ta’thil menggunakan istilah seperti ini adalah sebagai batu loncatan untuk menolak sifat-sifat Allah dengan berdalih ingin menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan. Keempat: Alasan mereka melakukan hal ini karena ketidakmampuan mereka untuk melawan argumentasi ahli sunah dengan hujjah dalil sehingga mereka menggunakan metode ini. Kelima: Lafaz-lafaz yang mujmal ini sama sekali tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, namun semata-mata merupakan istilah baru yang dilontarkan oleh ahli kalam. Keenam: Metode ahli sunah dalam menyikapi istilah mujmal ini, yaitu tawaqquf terhadap lafaznya dan memberikan perincian terhadap makna dari lafaz tersebut. (Rasa’ilu fil ‘Aqidah) Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai sikap ahli sunah waljamaah dalam menyikapi lafaz mujmal: Pertama: Terkait lafaznya, maka sikap ahli sunah adalah tawaqquf, yaitu tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Contohnya lafaz jihah. Mereka tidak mengatakan Allah berada dalam jihah dan tidak pula mengatakan Allah tidak berada dalam jihah. Mereka tidak menetapkannya karena tidak terdapat dalil penetapannya dan mereka tidak meniadakannya karena juga tidak terdapat dalil peniadaannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Kedua: Terkait makna dari lafaz-lafaz tersebut, maka hal ini perlu dirinci. Termasuk kaidah umum dalam ahli sunah terhadap lafaz yang mujmal, yaitu: bahwasanya lafaz mujmal yang mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil, maka tidak ditetapkan secara mutlak dan tidak ditiadakan secara mutlak; akan tetapi, perlu dirinci sehingga diketahui maksud dari makna tersebut. Apabila mengandung makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Tidak boleh meniadakan secara mutlak karena bisa jadi maknanya benar sehingga tidak boleh ditolak. Tidak pula langsung menerima maknanya secara mutlak karena bisa jadi mengandung makna batil sehingga tidak bisa diterima. Oleh karena itu, perlu dirinci berdasarkan apa yang dimaksud dari makna tersebut. Inilah sikap ahli sunah terhadap makna dari istilah yang mujmal. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Pada asalnya, kita harus meninggalkan penggunaan istilah mujmal yang merupakan istilah muhdas (istilah baru yang tidak dikenal oleh salaf saleh), seperti istilah: jihah, hayyiz, hudus, tarkib, jauhar, ‘arad, dan sebagainya. Tidak boleh menggunakan istilah-istilah ini ketika menjelaskan akidah ahli sunah waljamaah. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Hukum penggunaan istilah mujmal ini hanya boleh digunakan ketika terjadi perdebatan dengan ahli bid’ah dalam rangka membantah dan menjelaskan kekeliruan pemahaman mereka pada kondisi yang memang dibutuhkan. Adapun ketika menjelaskan keyakinan akidah ahli sunah waljamaah, maka wajib menggunakan istilah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Tidak boleh sama sekali menggunakan istilah mujmal ini karena tidak ada kebutuhan untuk menggunakannya. Oleh karena itu, tidak kita dapati para imam ahli sunah waljamaah ketika menjelaskan akidah menggunakan istilah-istilah tersebut. (Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatiha wa Ahkamuha) Bahkan, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penggunaan lafaz mujmal seperti lafaz jism termasuk bid’ah meskipun digunakan dalam makna yang sahih. Beliau berkata dalam kitab Bayan Talbisi Al-Jahmiyyah, “Adapun lafaz jism, maka ini termasuk bid’ah, baik dalam penetapannya maupun peniadaanya. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak pula terdapat dalam perkataan satu pun dari salaf saleh penggunaan lafaz jism dalam sifat Allah, baik itu dalam penetapan ataupun peniadaan.” (Al-‘Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah) Berikutnya akan kami paparkan tiga contoh lafaz mujmal yang sering digunakan oleh ahli bid’ah dan bagaimana ahli sunah dalam menyikapinya, yaitu lafaz jihah, jism, dan hayyiz. Menyikapi lafaz jihah Mengenai lafaznya, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan tidak menetapkannya dan tidak pula meniadakannya. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci, karena makna jihah mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil. Lafaz jihah memiliki beberapa kemungkinan makna: Pertama: Apabila yang dimaksud dengan jihah adalah arah bawah, maka ini makna batil yang tidak sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini juga bertentangan dengan sifat ‘uluw bagi Allah yang telah ditetapkan berdasar dalil dari Al-Qur’an, hadis, akal, fitrah, dan ijma’. Kedua: Apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di seluruh arah, Dia berada di dalam makhluk-Nya, dan Zat Allah berada di setiap tempat, maka ini tidak mungkin bagi Allah dan bertentangan dengan sifat ‘uluw. Ketiga: Jika yang dimaksud Allah tidak berada pada arah dan tempat, yaitu tidak berada di dalam alam maupun di luar alam, tidak bersatu dan tidak pula terpisah, tidak di atas dan tidak pula di bawah, maka ini juga makna batil karena yang seperti ini hakikatnya adalah sesuatu yang tidak ada. Keempat: Apabila yang dimaksud jihah adalah arah atas berupa makhluk yang meliputi Zat Allah, maka ini juga merupakan makna batil, karena Allah Maha Besar dan tidak diliputi oleh satupun makhluk-Nya. Kelima: Adapun apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di arah atas yang berada di luar alam (di luar seluruh makhluk-Nya) dan Dia istiwa’ di atas ‘Arsy dan terpisah dari makhluk-Nya, maka ini merupakan makna benar. Dalam hal ini, Allah berada di arah atas secara mutlak. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Akan tetapi, kita tidak boleh memberitakan Allah dengan lafaz ini yang mengandung makna kemungkinan benar dan batil. Kita hanya boleh menggunakan lafaz-lafaz yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadis, semisal dalam firman Allah, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.“ (QS. Al A’la: 1) وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.“ (QS. Saba’: 23) يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka.“ (QS. An-Nahl: 50) Allah berada di atas ketinggian yang mutlak. Lafaz ‘uluw digunakan untuk Allah dalam Al-Qur’an dan hadis, bahkan sifat ‘uluw merupakan sifat paling agung yang banyak terdapat penetapannya dalam Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan lafaz yang sudah ditetapkan oleh syariat, yaitu ‘uluw dan menggantinya dengan lafaz yang mujmal dan tidak pernah digunakan oleh para salaf salih, semisal lafaz jihah. Tidak sepantasnya mengganti yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih rendah. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Baca juga: Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala Menyikapi lafaz jism Apakah Allah memiliki jism? Jawaban hal ini sesuai dengan kaidah yang sudah dibahas di atas. Dari sisi lafaz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Mereka tidak mengatakan Allah punya jism dan tidak pula mengatakan Allah tidak punya jism, karena di dalam Al-Qur’an maupun hadis tidak terdapat dalil yang menetapkan dan meniadakan. Adapun mengenai maknanya maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud jism adalah Allah memiliki tubuh atau jasad seperti makhluk yang merupakan bagian terbagi-bagi dan terpisah satu dengan yang lainnya, maka ini adalah penyataan mumatsilah yang menganggap bahwa jism Allah seperti jism makhluk. Mahasuci Allah dari persangkaan mereka. Ini merupakan kedustaan yang sangat besar dan maknanya batil. Allah Ta’ala berfirman, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.“ (QS. Asy-Syura: 11) Jika yang dimaksud jism adalah seperti tubuh makluk yang keberadaanya tersusun dari bagian-bagian organ yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, serta membutuhkan makan dan minum untuk keberlangsungan tubuh tersebut, maka ini juga merupakan makna batil dan tidak boleh ditetapkan untuk Allah. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah) Adapun apabila yang dimaksud jism adalah apa yang terdapat pada Zat Allah hakiki yang berdiri sendiri, seperti sifat wajah, tangan, mata, dan telapak kaki yang merupakan sifat kesempurnaan dan keagungan dari segala sisi, maka ini adalah makna yang benar. (Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Ibnu Al-‘Utsaimin) Namun, selayaknya tidak menggunakan istilah jism dan cukup menggunakan istilah zat dan sifat. Jadi cukup dikatakan bahwa Allah mempunyai zat dan sifat sebagaimana ditetapkan oleh ahli sunah. (Qowa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Menyikapi lafaz hayyiz Mengenai lafaz hayyiz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan diam, yaitu tidak menetapkan dan tidak pula meniadakan. Tidak dikatakan Allah punya hayyiz dan tidak pula dikatakan Allah tidak punya hayyiz karena tidak terdapat dalil yang menetapkan ataupun meniadakan. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud hayyiz adalah melingkupi sesuatu yang dilingkupi, yaitu berada di dalamnya dan menyatu, maka ini adalah makna yang batil. Tidak boleh meyakini demikian untuk Allah. Bahkan, mereka mengingkari al-hululiyyah yang menganggap Allah bersatu dengan sebagian zat makhluk-Nya, apalagi al-wujudiyyah/al-ittihadiyyah yang meyakini bahwa zat Allah adalah makhluk itu sendiri.  Ini adalah keyakinan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam. Barangsiapa yang meyakini bahwa ada bagian dari mahkluk yang menyatu dengan zat Allah atau ada bagian dari zat Allah yang menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, maka dia telah kafir dengan kufur kabar. Adapun apabila hayyiz bermakna terpisah dan tidak menyatu, maka ini adalah makna yang benar. Oleh karena itu, ahli sunah sepakat bahwa Allah terpisah dari mahkluk-Nya dan berada di atas seluruh makhluk, ber-istiwa’ di atas Arasy-Nya. Tidak ada bagian Zat Allah yang berada pada zat makhluk, dan tidak ada bagian zat makhluk yang berada pada Zat Allah. Zat Allah dan makhluk adalah dua zat yang terpisah karena Zat Allah berada pada ketinggian yang mutlak. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Kesimpulan Sebagai kesimpulan, bahwa ahli sunah waljamaah dalam akidah asma’ wa shifat adalah menetapkan dan meniadakan sesuai dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dan berusaha meninggalkan lafaz yang tidak terdapat dalam keduanya. Adapun mengenai lafaz yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, yaitu diam dengan tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Adapun mengenai makna dari lafaz tersebut, maka perlu dirinci. Apabila makna yang dimaksudkan adalah makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Dengan memahami permasalahan ini dengan baik, maka jelaslah kebatilan ahli bid’ah yang sering menggunakan istilah mujmal untuk menuduh bahwa ketika ahli sunah waljamaah menetapkan sifat-sifat Allah, maka memberikan konsekuensi makna yang batil bagi Allah. Justru sebaliknya, tuduhan mereka keliru karena makna dari lafaz mujmal yang mereka gunakan ternyata memiliki makna yang sesuai dengan keagungan nama dan sifat Allah apabila dipahami dengan makna yang benar. Allahu a’lam. Baca juga: Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah *** Penyusun: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Rasa’ilu fil-‘Aqidah, Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd. Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati, Syekh Walid bin Rasyid As-Su’aidan. Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid, Syekh Thoriq bin Sa’id bin ‘Abdillah Al-Qahthany. Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatihaa wa Ahkamuha, Syekh Muhammad bin ‘Abdirrahman Abu Sayyif Al-Juhany. Al-‘Uquud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Sulthan bin ‘Abdirrahman Al-‘Umairy. Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.


Daftar Isi Toggle PendahuluanMetode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat AllahLafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaahMenyikapi lafaz jihahMenyikapi lafaz jismMenyikapi lafaz hayyizKesimpulan Pendahuluan Di antara metode ahli bid’ah dalam menolak sifat-sifat Allah adalah menggunakan istilah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak dikenal oleh para salaf saleh. Mereka menggunakan istilah yang mengandung makna mujmal (ambigu) sebagai alasan untuk menolak sifat-sifat Allah. Mereka beralasan bahwa makna dalam istilah tersebut merupakan konsekuensi dari makna sifat yang ditetapkan ahli sunah waljamaah, padahal makna tersebut merupakan makna batil menurut persangkaan mereka. Pada pembahasan ini, akan dijelaskan bagaimana sikap ahli sunah waljamaah terhadap istilah-istilah mujmal tersebut. Akan disebutkan pula beberapa contohnya serta bagaimana ahli sunah menyikapinya dan memahami makna dari istilah tersebut. Metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat Allah Sebelumnya, perlu kita pahami bahwa metode ahli sunah waljamaah dalam menetapkan nama dan sifat untuk Allah adalah sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah berikut: Pertama: Dalam hal penetapan Menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, maupun tamtsil. Kedua: Dalam hal peniadaan Meniadakan apa yang telah ditiadakan oleh Allah dan rasul-Nya disertai meyakini adanya penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah yang merupakan kebalikan dari sifat yang ditiadakan tersebut. Ketiga: Dalam hal yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaaan Terkait istilah-istilah yang tidak terdapat penetapan ataupun peniadaanya dalam Al-Qur’an dan hadis, seperti istilah jism, hayyiz, jihah, makan, dan semisalnya. Sikap ahli sunah adalah tawaqquf mengenai lafaznya, yaitu tidak menetapkan untuk Allah dan tidak pula meniadakannya dari Allah karena tidak terdapat dalil dalam hal ini. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud dari makna tersebut adalah makna batil, maka Allah tersucikan darinya dan ahli sunah menolak makna tersebut. Namun, apabila yang dimaksudkan dengannya adalah makna benar dan tidak bertentangan dengan kesempurnaan Allah, maka mereka menerimanya. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhiisi Al-Hamawiyyah) Lafaz mujmal dalam pandangan ahli sunah waljamaah Dalam buku-buku akidah, dibahas mengenai pembahasan istilah yang mujmal (الكلمات المجملة). Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait istilah-istilah yang mujmal ini, yaitu: Pertama: Yang dimaksud kalimat mujmal adalah kalimat yang digunakan oleh ahli ta’thil yang menolak sifat-sifat Allah dan sering digunakan juga oleh ahli kalam secara umum. Kedua: Disebut makna mujmal karena mengandung kemungkinan benar dan batil atau dalam lafaz ini terkumpul antara makna benar dan makna batil, sehingga maknanya masih samar. Tidak diketahui makna yang terkandung dalam lafaz tersebut, kecuali setelah dijelaskan secara rinci mengenai maknanya. Ketiga: Maksud dari ahli ta’thil menggunakan istilah seperti ini adalah sebagai batu loncatan untuk menolak sifat-sifat Allah dengan berdalih ingin menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan. Keempat: Alasan mereka melakukan hal ini karena ketidakmampuan mereka untuk melawan argumentasi ahli sunah dengan hujjah dalil sehingga mereka menggunakan metode ini. Kelima: Lafaz-lafaz yang mujmal ini sama sekali tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, namun semata-mata merupakan istilah baru yang dilontarkan oleh ahli kalam. Keenam: Metode ahli sunah dalam menyikapi istilah mujmal ini, yaitu tawaqquf terhadap lafaznya dan memberikan perincian terhadap makna dari lafaz tersebut. (Rasa’ilu fil ‘Aqidah) Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai sikap ahli sunah waljamaah dalam menyikapi lafaz mujmal: Pertama: Terkait lafaznya, maka sikap ahli sunah adalah tawaqquf, yaitu tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Contohnya lafaz jihah. Mereka tidak mengatakan Allah berada dalam jihah dan tidak pula mengatakan Allah tidak berada dalam jihah. Mereka tidak menetapkannya karena tidak terdapat dalil penetapannya dan mereka tidak meniadakannya karena juga tidak terdapat dalil peniadaannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Kedua: Terkait makna dari lafaz-lafaz tersebut, maka hal ini perlu dirinci. Termasuk kaidah umum dalam ahli sunah terhadap lafaz yang mujmal, yaitu: bahwasanya lafaz mujmal yang mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil, maka tidak ditetapkan secara mutlak dan tidak ditiadakan secara mutlak; akan tetapi, perlu dirinci sehingga diketahui maksud dari makna tersebut. Apabila mengandung makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Tidak boleh meniadakan secara mutlak karena bisa jadi maknanya benar sehingga tidak boleh ditolak. Tidak pula langsung menerima maknanya secara mutlak karena bisa jadi mengandung makna batil sehingga tidak bisa diterima. Oleh karena itu, perlu dirinci berdasarkan apa yang dimaksud dari makna tersebut. Inilah sikap ahli sunah terhadap makna dari istilah yang mujmal. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Pada asalnya, kita harus meninggalkan penggunaan istilah mujmal yang merupakan istilah muhdas (istilah baru yang tidak dikenal oleh salaf saleh), seperti istilah: jihah, hayyiz, hudus, tarkib, jauhar, ‘arad, dan sebagainya. Tidak boleh menggunakan istilah-istilah ini ketika menjelaskan akidah ahli sunah waljamaah. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Hukum penggunaan istilah mujmal ini hanya boleh digunakan ketika terjadi perdebatan dengan ahli bid’ah dalam rangka membantah dan menjelaskan kekeliruan pemahaman mereka pada kondisi yang memang dibutuhkan. Adapun ketika menjelaskan keyakinan akidah ahli sunah waljamaah, maka wajib menggunakan istilah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Tidak boleh sama sekali menggunakan istilah mujmal ini karena tidak ada kebutuhan untuk menggunakannya. Oleh karena itu, tidak kita dapati para imam ahli sunah waljamaah ketika menjelaskan akidah menggunakan istilah-istilah tersebut. (Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatiha wa Ahkamuha) Bahkan, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penggunaan lafaz mujmal seperti lafaz jism termasuk bid’ah meskipun digunakan dalam makna yang sahih. Beliau berkata dalam kitab Bayan Talbisi Al-Jahmiyyah, “Adapun lafaz jism, maka ini termasuk bid’ah, baik dalam penetapannya maupun peniadaanya. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak pula terdapat dalam perkataan satu pun dari salaf saleh penggunaan lafaz jism dalam sifat Allah, baik itu dalam penetapan ataupun peniadaan.” (Al-‘Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah) Berikutnya akan kami paparkan tiga contoh lafaz mujmal yang sering digunakan oleh ahli bid’ah dan bagaimana ahli sunah dalam menyikapinya, yaitu lafaz jihah, jism, dan hayyiz. Menyikapi lafaz jihah Mengenai lafaznya, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan tidak menetapkannya dan tidak pula meniadakannya. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci, karena makna jihah mengandung kemungkinan makna benar dan makna batil. Lafaz jihah memiliki beberapa kemungkinan makna: Pertama: Apabila yang dimaksud dengan jihah adalah arah bawah, maka ini makna batil yang tidak sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini juga bertentangan dengan sifat ‘uluw bagi Allah yang telah ditetapkan berdasar dalil dari Al-Qur’an, hadis, akal, fitrah, dan ijma’. Kedua: Apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di seluruh arah, Dia berada di dalam makhluk-Nya, dan Zat Allah berada di setiap tempat, maka ini tidak mungkin bagi Allah dan bertentangan dengan sifat ‘uluw. Ketiga: Jika yang dimaksud Allah tidak berada pada arah dan tempat, yaitu tidak berada di dalam alam maupun di luar alam, tidak bersatu dan tidak pula terpisah, tidak di atas dan tidak pula di bawah, maka ini juga makna batil karena yang seperti ini hakikatnya adalah sesuatu yang tidak ada. Keempat: Apabila yang dimaksud jihah adalah arah atas berupa makhluk yang meliputi Zat Allah, maka ini juga merupakan makna batil, karena Allah Maha Besar dan tidak diliputi oleh satupun makhluk-Nya. Kelima: Adapun apabila yang dimaksud jihah adalah Allah berada di arah atas yang berada di luar alam (di luar seluruh makhluk-Nya) dan Dia istiwa’ di atas ‘Arsy dan terpisah dari makhluk-Nya, maka ini merupakan makna benar. Dalam hal ini, Allah berada di arah atas secara mutlak. (Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid) Akan tetapi, kita tidak boleh memberitakan Allah dengan lafaz ini yang mengandung makna kemungkinan benar dan batil. Kita hanya boleh menggunakan lafaz-lafaz yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadis, semisal dalam firman Allah, سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.“ (QS. Al A’la: 1) وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.“ (QS. Saba’: 23) يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka.“ (QS. An-Nahl: 50) Allah berada di atas ketinggian yang mutlak. Lafaz ‘uluw digunakan untuk Allah dalam Al-Qur’an dan hadis, bahkan sifat ‘uluw merupakan sifat paling agung yang banyak terdapat penetapannya dalam Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan lafaz yang sudah ditetapkan oleh syariat, yaitu ‘uluw dan menggantinya dengan lafaz yang mujmal dan tidak pernah digunakan oleh para salaf salih, semisal lafaz jihah. Tidak sepantasnya mengganti yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih rendah. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Baca juga: Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala Menyikapi lafaz jism Apakah Allah memiliki jism? Jawaban hal ini sesuai dengan kaidah yang sudah dibahas di atas. Dari sisi lafaz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Mereka tidak mengatakan Allah punya jism dan tidak pula mengatakan Allah tidak punya jism, karena di dalam Al-Qur’an maupun hadis tidak terdapat dalil yang menetapkan dan meniadakan. Adapun mengenai maknanya maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud jism adalah Allah memiliki tubuh atau jasad seperti makhluk yang merupakan bagian terbagi-bagi dan terpisah satu dengan yang lainnya, maka ini adalah penyataan mumatsilah yang menganggap bahwa jism Allah seperti jism makhluk. Mahasuci Allah dari persangkaan mereka. Ini merupakan kedustaan yang sangat besar dan maknanya batil. Allah Ta’ala berfirman, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.“ (QS. Asy-Syura: 11) Jika yang dimaksud jism adalah seperti tubuh makluk yang keberadaanya tersusun dari bagian-bagian organ yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, serta membutuhkan makan dan minum untuk keberlangsungan tubuh tersebut, maka ini juga merupakan makna batil dan tidak boleh ditetapkan untuk Allah. (Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah) Adapun apabila yang dimaksud jism adalah apa yang terdapat pada Zat Allah hakiki yang berdiri sendiri, seperti sifat wajah, tangan, mata, dan telapak kaki yang merupakan sifat kesempurnaan dan keagungan dari segala sisi, maka ini adalah makna yang benar. (Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Ibnu Al-‘Utsaimin) Namun, selayaknya tidak menggunakan istilah jism dan cukup menggunakan istilah zat dan sifat. Jadi cukup dikatakan bahwa Allah mempunyai zat dan sifat sebagaimana ditetapkan oleh ahli sunah. (Qowa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Menyikapi lafaz hayyiz Mengenai lafaz hayyiz, maka ahli sunah bersikap tawaqquf dengan diam, yaitu tidak menetapkan dan tidak pula meniadakan. Tidak dikatakan Allah punya hayyiz dan tidak pula dikatakan Allah tidak punya hayyiz karena tidak terdapat dalil yang menetapkan ataupun meniadakan. Adapun mengenai maknanya, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud hayyiz adalah melingkupi sesuatu yang dilingkupi, yaitu berada di dalamnya dan menyatu, maka ini adalah makna yang batil. Tidak boleh meyakini demikian untuk Allah. Bahkan, mereka mengingkari al-hululiyyah yang menganggap Allah bersatu dengan sebagian zat makhluk-Nya, apalagi al-wujudiyyah/al-ittihadiyyah yang meyakini bahwa zat Allah adalah makhluk itu sendiri.  Ini adalah keyakinan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam. Barangsiapa yang meyakini bahwa ada bagian dari mahkluk yang menyatu dengan zat Allah atau ada bagian dari zat Allah yang menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, maka dia telah kafir dengan kufur kabar. Adapun apabila hayyiz bermakna terpisah dan tidak menyatu, maka ini adalah makna yang benar. Oleh karena itu, ahli sunah sepakat bahwa Allah terpisah dari mahkluk-Nya dan berada di atas seluruh makhluk, ber-istiwa’ di atas Arasy-Nya. Tidak ada bagian Zat Allah yang berada pada zat makhluk, dan tidak ada bagian zat makhluk yang berada pada Zat Allah. Zat Allah dan makhluk adalah dua zat yang terpisah karena Zat Allah berada pada ketinggian yang mutlak. (Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati) Kesimpulan Sebagai kesimpulan, bahwa ahli sunah waljamaah dalam akidah asma’ wa shifat adalah menetapkan dan meniadakan sesuai dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dan berusaha meninggalkan lafaz yang tidak terdapat dalam keduanya. Adapun mengenai lafaz yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, maka ahli sunah bersikap tawaqquf, yaitu diam dengan tidak menetapkan dan tidak meniadakan. Adapun mengenai makna dari lafaz tersebut, maka perlu dirinci. Apabila makna yang dimaksudkan adalah makna benar, maka diterima; namun apabila mengandung makna batil, maka ditolak. Dengan memahami permasalahan ini dengan baik, maka jelaslah kebatilan ahli bid’ah yang sering menggunakan istilah mujmal untuk menuduh bahwa ketika ahli sunah waljamaah menetapkan sifat-sifat Allah, maka memberikan konsekuensi makna yang batil bagi Allah. Justru sebaliknya, tuduhan mereka keliru karena makna dari lafaz mujmal yang mereka gunakan ternyata memiliki makna yang sesuai dengan keagungan nama dan sifat Allah apabila dipahami dengan makna yang benar. Allahu a’lam. Baca juga: Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah *** Penyusun: Adika Mianoki Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhu Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhisi Al-Hamawiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Rasa’ilu fil-‘Aqidah, Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd. Qawa’idu fi Tauhidi Ar-Rububiyyah wal-Uluhiyyah wal-Asma’i was-Shifati, Syekh Walid bin Rasyid As-Su’aidan. Al-Mufid fi Qawa’idi At-Tauhid, Syekh Thoriq bin Sa’id bin ‘Abdillah Al-Qahthany. Adillatu Shifatillahi wa Wujuhu Dalalatihaa wa Ahkamuha, Syekh Muhammad bin ‘Abdirrahman Abu Sayyif Al-Juhany. Al-‘Uquud Adz-Dzahabiyyah ‘ala Maqasid Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Sulthan bin ‘Abdirrahman Al-‘Umairy. Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasitiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Prev     Next