Apa Maksud “Kursi” dalam Ayat Kursi? – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Allah Berfirman, “Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 255) Al-Kursi tidaklah disebutkan dalam Al-Quran kecuali di tempat ini, di Ayat Kursi, yang menjadi nama ayat ini. Al-Kursi, ditafsirkan oleh Ibnu Abbas raḏhiyallāhu ʿanhumā dalam sebuah riwayat dengan sanad sahih darinya bahwa itu adalah tempat kedua kaki Allah, al-Jabbār Tabāraka wa Taʿālā. Al-Kursi juga ditafsirkan demikian oleh Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari tanpa diketahui adanya sahabat Nabi lain yang menyelisihi mereka. Seperti ini membuat hukumnya menjadi Marfūʿ (disandarkan kepada Rasulullah) karena tidak bisa dikatakan berdasarkan ijtihad. Jadi, Kursi Allah Jalla wa ʿAlā adalah tempat kedua kaki Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Lantas bagaimanakah bentuk Al-Kursi itu? Apa jawabannya? Kita katakan bahwa pertanyaan “bagaimanakah bentuknya” tersebut, apa jawabannya? Kita terlarang bertanya “bagaimanakah bentuknya”, tidak bisa kita ketahui. Kita belum pernah melihatnya atau melihat yang sama dengannya. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Hendaknya kita berhenti bertanya dan diam. Mengenai Al-Kursi ini, ada dua pendapat yang keliru, yang Anda mungkin temukan di sebagian tafsir dan beberapa kitab, maka waspadalah! Pendapat pertama, menafsirkan Al-Kursi dengan ilmu. Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Raḏhiyallāhu ʿanhumā hanya saja riwayat ini lemah dan menyelisihi riwayat yang lebih sahih. Ada pula riwayat tentang pendapat kedua bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Ini tidak benar. Al-Kursi bukanlah Arsy, karena Al-Kursi berada di depan Arsy, sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Al-Kursi seperti tangga menuju Arsy. Demikian pula sebagaimana tersebut dalam atsar sebelumnya bahwa Al-Kursi lebih kecil daripada Arsy. Jadi, keliru jika dikatakan bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Al-Kursi tafsirnya adalah seperti yang aku sebutkan tadi, adapun bagaimana bentuknya, maka seseorang diam terhadapnya, dan mengembalikan ilmunya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā. Demikian. ==== قَالَ: وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ الْكُرْسِيُّ مَا جَاءَ فِي الْقُرْآنِ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مِنْ آيَةِ الْكُرْسِيِّ الَّتِي سُمِّيَتْ بِهِ وَالْكُرْسِيُّ فَسَّرَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْهُ أَنَّهُ مَوْضِعُ قَدَمَي الْجَبَّارِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَهَكَذَا فَسَّرَ الْكُرْسِيَّ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعِرِيُّ وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُمْ مُخَالِفٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمِثْلُ هَذَا لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ لِأَنَّهُ لَا يُقَالُ عَنْ طَرِيقِ الْااجْتِهَادِ إِذَنْ كُرْسِيُّ اللهِ جَلَّ وَعَلَا مَوْضِعُ قَدَمَيهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَكَيْفَ هُوَ؟ مَا الْجَوَابُ؟ قُلْنَا هَذِهِ كَلِمَةٌ مَاذَا؟ مَمْنُوعٌ لَيْسَ إِلَيْهَا سَبِيلٌ مَا رَأَيْنَاهُ وَلَا رَأَيْنَا مَثِيلًا لَهُ إِذَنْ عَلَيْنَا مَاذَا؟ أَنْ نَقِفَ وَأَنْ نَسْكُتَ وَالْكُرْسِيُّ أَخْطَأَ أَوِ الْخَطَأُ فِيهِ فِي قَوْلَيْنِ قَدْ تَجِدُهُمَا فِي بَعْضِ التَّفَاسِيرِ أَوْ بَعْضِ الْكُتُبِ فَتَنَبَّهْ إِلَى ذَلِكَ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ تَفْسِيرُ الْكُرْسِيِّ بِالْعِلْمِ وَهَذَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَلَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَمُخَالِفٌ لِمَا هُوَ أَصَحُّ مِنْهُ وَكَذَلِكَ رُوِيَ الْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ هَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ الْكُرْسِيُّ لَيْسَ هُوَ الْعَرْشُ إِنَّمَا هُوَ بَيْنَ يَدَيِ الْعَرْشِ كَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ كَالْمِرْقَاةِ إِلَيْهِ وَكَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ السَّابِق أَنَّ الْكُرْسِيَّ أَصْغَرُ مِنَ الْعَرْشِ فَمِنَ الْخَطَأِ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ بَلِ الْكُرْسِيُّ يُفَسَّرُ بِمَا ذَكَرْتُ لَكَ وَكَيْفِيَّةُ ذَلِكَ يَقِفُ الْإِنْسَانُ فِي عِلْمِهَا وَيُرْجِعُ عِلْمَهَا إِلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نَعَمْ

Apa Maksud “Kursi” dalam Ayat Kursi? – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Allah Berfirman, “Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 255) Al-Kursi tidaklah disebutkan dalam Al-Quran kecuali di tempat ini, di Ayat Kursi, yang menjadi nama ayat ini. Al-Kursi, ditafsirkan oleh Ibnu Abbas raḏhiyallāhu ʿanhumā dalam sebuah riwayat dengan sanad sahih darinya bahwa itu adalah tempat kedua kaki Allah, al-Jabbār Tabāraka wa Taʿālā. Al-Kursi juga ditafsirkan demikian oleh Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari tanpa diketahui adanya sahabat Nabi lain yang menyelisihi mereka. Seperti ini membuat hukumnya menjadi Marfūʿ (disandarkan kepada Rasulullah) karena tidak bisa dikatakan berdasarkan ijtihad. Jadi, Kursi Allah Jalla wa ʿAlā adalah tempat kedua kaki Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Lantas bagaimanakah bentuk Al-Kursi itu? Apa jawabannya? Kita katakan bahwa pertanyaan “bagaimanakah bentuknya” tersebut, apa jawabannya? Kita terlarang bertanya “bagaimanakah bentuknya”, tidak bisa kita ketahui. Kita belum pernah melihatnya atau melihat yang sama dengannya. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Hendaknya kita berhenti bertanya dan diam. Mengenai Al-Kursi ini, ada dua pendapat yang keliru, yang Anda mungkin temukan di sebagian tafsir dan beberapa kitab, maka waspadalah! Pendapat pertama, menafsirkan Al-Kursi dengan ilmu. Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Raḏhiyallāhu ʿanhumā hanya saja riwayat ini lemah dan menyelisihi riwayat yang lebih sahih. Ada pula riwayat tentang pendapat kedua bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Ini tidak benar. Al-Kursi bukanlah Arsy, karena Al-Kursi berada di depan Arsy, sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Al-Kursi seperti tangga menuju Arsy. Demikian pula sebagaimana tersebut dalam atsar sebelumnya bahwa Al-Kursi lebih kecil daripada Arsy. Jadi, keliru jika dikatakan bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Al-Kursi tafsirnya adalah seperti yang aku sebutkan tadi, adapun bagaimana bentuknya, maka seseorang diam terhadapnya, dan mengembalikan ilmunya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā. Demikian. ==== قَالَ: وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ الْكُرْسِيُّ مَا جَاءَ فِي الْقُرْآنِ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مِنْ آيَةِ الْكُرْسِيِّ الَّتِي سُمِّيَتْ بِهِ وَالْكُرْسِيُّ فَسَّرَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْهُ أَنَّهُ مَوْضِعُ قَدَمَي الْجَبَّارِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَهَكَذَا فَسَّرَ الْكُرْسِيَّ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعِرِيُّ وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُمْ مُخَالِفٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمِثْلُ هَذَا لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ لِأَنَّهُ لَا يُقَالُ عَنْ طَرِيقِ الْااجْتِهَادِ إِذَنْ كُرْسِيُّ اللهِ جَلَّ وَعَلَا مَوْضِعُ قَدَمَيهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَكَيْفَ هُوَ؟ مَا الْجَوَابُ؟ قُلْنَا هَذِهِ كَلِمَةٌ مَاذَا؟ مَمْنُوعٌ لَيْسَ إِلَيْهَا سَبِيلٌ مَا رَأَيْنَاهُ وَلَا رَأَيْنَا مَثِيلًا لَهُ إِذَنْ عَلَيْنَا مَاذَا؟ أَنْ نَقِفَ وَأَنْ نَسْكُتَ وَالْكُرْسِيُّ أَخْطَأَ أَوِ الْخَطَأُ فِيهِ فِي قَوْلَيْنِ قَدْ تَجِدُهُمَا فِي بَعْضِ التَّفَاسِيرِ أَوْ بَعْضِ الْكُتُبِ فَتَنَبَّهْ إِلَى ذَلِكَ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ تَفْسِيرُ الْكُرْسِيِّ بِالْعِلْمِ وَهَذَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَلَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَمُخَالِفٌ لِمَا هُوَ أَصَحُّ مِنْهُ وَكَذَلِكَ رُوِيَ الْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ هَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ الْكُرْسِيُّ لَيْسَ هُوَ الْعَرْشُ إِنَّمَا هُوَ بَيْنَ يَدَيِ الْعَرْشِ كَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ كَالْمِرْقَاةِ إِلَيْهِ وَكَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ السَّابِق أَنَّ الْكُرْسِيَّ أَصْغَرُ مِنَ الْعَرْشِ فَمِنَ الْخَطَأِ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ بَلِ الْكُرْسِيُّ يُفَسَّرُ بِمَا ذَكَرْتُ لَكَ وَكَيْفِيَّةُ ذَلِكَ يَقِفُ الْإِنْسَانُ فِي عِلْمِهَا وَيُرْجِعُ عِلْمَهَا إِلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نَعَمْ
Allah Berfirman, “Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 255) Al-Kursi tidaklah disebutkan dalam Al-Quran kecuali di tempat ini, di Ayat Kursi, yang menjadi nama ayat ini. Al-Kursi, ditafsirkan oleh Ibnu Abbas raḏhiyallāhu ʿanhumā dalam sebuah riwayat dengan sanad sahih darinya bahwa itu adalah tempat kedua kaki Allah, al-Jabbār Tabāraka wa Taʿālā. Al-Kursi juga ditafsirkan demikian oleh Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari tanpa diketahui adanya sahabat Nabi lain yang menyelisihi mereka. Seperti ini membuat hukumnya menjadi Marfūʿ (disandarkan kepada Rasulullah) karena tidak bisa dikatakan berdasarkan ijtihad. Jadi, Kursi Allah Jalla wa ʿAlā adalah tempat kedua kaki Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Lantas bagaimanakah bentuk Al-Kursi itu? Apa jawabannya? Kita katakan bahwa pertanyaan “bagaimanakah bentuknya” tersebut, apa jawabannya? Kita terlarang bertanya “bagaimanakah bentuknya”, tidak bisa kita ketahui. Kita belum pernah melihatnya atau melihat yang sama dengannya. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Hendaknya kita berhenti bertanya dan diam. Mengenai Al-Kursi ini, ada dua pendapat yang keliru, yang Anda mungkin temukan di sebagian tafsir dan beberapa kitab, maka waspadalah! Pendapat pertama, menafsirkan Al-Kursi dengan ilmu. Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Raḏhiyallāhu ʿanhumā hanya saja riwayat ini lemah dan menyelisihi riwayat yang lebih sahih. Ada pula riwayat tentang pendapat kedua bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Ini tidak benar. Al-Kursi bukanlah Arsy, karena Al-Kursi berada di depan Arsy, sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Al-Kursi seperti tangga menuju Arsy. Demikian pula sebagaimana tersebut dalam atsar sebelumnya bahwa Al-Kursi lebih kecil daripada Arsy. Jadi, keliru jika dikatakan bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Al-Kursi tafsirnya adalah seperti yang aku sebutkan tadi, adapun bagaimana bentuknya, maka seseorang diam terhadapnya, dan mengembalikan ilmunya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā. Demikian. ==== قَالَ: وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ الْكُرْسِيُّ مَا جَاءَ فِي الْقُرْآنِ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مِنْ آيَةِ الْكُرْسِيِّ الَّتِي سُمِّيَتْ بِهِ وَالْكُرْسِيُّ فَسَّرَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْهُ أَنَّهُ مَوْضِعُ قَدَمَي الْجَبَّارِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَهَكَذَا فَسَّرَ الْكُرْسِيَّ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعِرِيُّ وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُمْ مُخَالِفٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمِثْلُ هَذَا لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ لِأَنَّهُ لَا يُقَالُ عَنْ طَرِيقِ الْااجْتِهَادِ إِذَنْ كُرْسِيُّ اللهِ جَلَّ وَعَلَا مَوْضِعُ قَدَمَيهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَكَيْفَ هُوَ؟ مَا الْجَوَابُ؟ قُلْنَا هَذِهِ كَلِمَةٌ مَاذَا؟ مَمْنُوعٌ لَيْسَ إِلَيْهَا سَبِيلٌ مَا رَأَيْنَاهُ وَلَا رَأَيْنَا مَثِيلًا لَهُ إِذَنْ عَلَيْنَا مَاذَا؟ أَنْ نَقِفَ وَأَنْ نَسْكُتَ وَالْكُرْسِيُّ أَخْطَأَ أَوِ الْخَطَأُ فِيهِ فِي قَوْلَيْنِ قَدْ تَجِدُهُمَا فِي بَعْضِ التَّفَاسِيرِ أَوْ بَعْضِ الْكُتُبِ فَتَنَبَّهْ إِلَى ذَلِكَ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ تَفْسِيرُ الْكُرْسِيِّ بِالْعِلْمِ وَهَذَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَلَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَمُخَالِفٌ لِمَا هُوَ أَصَحُّ مِنْهُ وَكَذَلِكَ رُوِيَ الْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ هَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ الْكُرْسِيُّ لَيْسَ هُوَ الْعَرْشُ إِنَّمَا هُوَ بَيْنَ يَدَيِ الْعَرْشِ كَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ كَالْمِرْقَاةِ إِلَيْهِ وَكَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ السَّابِق أَنَّ الْكُرْسِيَّ أَصْغَرُ مِنَ الْعَرْشِ فَمِنَ الْخَطَأِ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ بَلِ الْكُرْسِيُّ يُفَسَّرُ بِمَا ذَكَرْتُ لَكَ وَكَيْفِيَّةُ ذَلِكَ يَقِفُ الْإِنْسَانُ فِي عِلْمِهَا وَيُرْجِعُ عِلْمَهَا إِلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نَعَمْ


Allah Berfirman, “Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 255) Al-Kursi tidaklah disebutkan dalam Al-Quran kecuali di tempat ini, di Ayat Kursi, yang menjadi nama ayat ini. Al-Kursi, ditafsirkan oleh Ibnu Abbas raḏhiyallāhu ʿanhumā dalam sebuah riwayat dengan sanad sahih darinya bahwa itu adalah tempat kedua kaki Allah, al-Jabbār Tabāraka wa Taʿālā. Al-Kursi juga ditafsirkan demikian oleh Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari tanpa diketahui adanya sahabat Nabi lain yang menyelisihi mereka. Seperti ini membuat hukumnya menjadi Marfūʿ (disandarkan kepada Rasulullah) karena tidak bisa dikatakan berdasarkan ijtihad. Jadi, Kursi Allah Jalla wa ʿAlā adalah tempat kedua kaki Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Lantas bagaimanakah bentuk Al-Kursi itu? Apa jawabannya? Kita katakan bahwa pertanyaan “bagaimanakah bentuknya” tersebut, apa jawabannya? Kita terlarang bertanya “bagaimanakah bentuknya”, tidak bisa kita ketahui. Kita belum pernah melihatnya atau melihat yang sama dengannya. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Hendaknya kita berhenti bertanya dan diam. Mengenai Al-Kursi ini, ada dua pendapat yang keliru, yang Anda mungkin temukan di sebagian tafsir dan beberapa kitab, maka waspadalah! Pendapat pertama, menafsirkan Al-Kursi dengan ilmu. Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Raḏhiyallāhu ʿanhumā hanya saja riwayat ini lemah dan menyelisihi riwayat yang lebih sahih. Ada pula riwayat tentang pendapat kedua bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Ini tidak benar. Al-Kursi bukanlah Arsy, karena Al-Kursi berada di depan Arsy, sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Al-Kursi seperti tangga menuju Arsy. Demikian pula sebagaimana tersebut dalam atsar sebelumnya bahwa Al-Kursi lebih kecil daripada Arsy. Jadi, keliru jika dikatakan bahwa Al-Kursi adalah Arsy. Al-Kursi tafsirnya adalah seperti yang aku sebutkan tadi, adapun bagaimana bentuknya, maka seseorang diam terhadapnya, dan mengembalikan ilmunya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā. Demikian. ==== قَالَ: وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ الْكُرْسِيُّ مَا جَاءَ فِي الْقُرْآنِ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مِنْ آيَةِ الْكُرْسِيِّ الَّتِي سُمِّيَتْ بِهِ وَالْكُرْسِيُّ فَسَّرَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْهُ أَنَّهُ مَوْضِعُ قَدَمَي الْجَبَّارِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَهَكَذَا فَسَّرَ الْكُرْسِيَّ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعِرِيُّ وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُمْ مُخَالِفٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمِثْلُ هَذَا لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ لِأَنَّهُ لَا يُقَالُ عَنْ طَرِيقِ الْااجْتِهَادِ إِذَنْ كُرْسِيُّ اللهِ جَلَّ وَعَلَا مَوْضِعُ قَدَمَيهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَكَيْفَ هُوَ؟ مَا الْجَوَابُ؟ قُلْنَا هَذِهِ كَلِمَةٌ مَاذَا؟ مَمْنُوعٌ لَيْسَ إِلَيْهَا سَبِيلٌ مَا رَأَيْنَاهُ وَلَا رَأَيْنَا مَثِيلًا لَهُ إِذَنْ عَلَيْنَا مَاذَا؟ أَنْ نَقِفَ وَأَنْ نَسْكُتَ وَالْكُرْسِيُّ أَخْطَأَ أَوِ الْخَطَأُ فِيهِ فِي قَوْلَيْنِ قَدْ تَجِدُهُمَا فِي بَعْضِ التَّفَاسِيرِ أَوْ بَعْضِ الْكُتُبِ فَتَنَبَّهْ إِلَى ذَلِكَ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ تَفْسِيرُ الْكُرْسِيِّ بِالْعِلْمِ وَهَذَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَلَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَمُخَالِفٌ لِمَا هُوَ أَصَحُّ مِنْهُ وَكَذَلِكَ رُوِيَ الْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ هَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ الْكُرْسِيُّ لَيْسَ هُوَ الْعَرْشُ إِنَّمَا هُوَ بَيْنَ يَدَيِ الْعَرْشِ كَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ كَالْمِرْقَاةِ إِلَيْهِ وَكَمَا جَاءَ فِي الْأَثَرِ السَّابِق أَنَّ الْكُرْسِيَّ أَصْغَرُ مِنَ الْعَرْشِ فَمِنَ الْخَطَأِ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ الْكُرْسِيَّ هُوَ الْعَرْشُ بَلِ الْكُرْسِيُّ يُفَسَّرُ بِمَا ذَكَرْتُ لَكَ وَكَيْفِيَّةُ ذَلِكَ يَقِفُ الْإِنْسَانُ فِي عِلْمِهَا وَيُرْجِعُ عِلْمَهَا إِلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نَعَمْ

Mengusap Kaos Kaki dan Sepatu ketika Wudu

Daftar Isi Toggle Makna mengusap khufDalil-dalil pensyariatan mengusap khufSyarat-syarat mengusap khufSyarat-syarat yang disepakatiSyarat-syarat yang diperselisihkanKadar dan cara mengusap khufPerkara-perkara yang membatalkan mengusap khufHukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khufDurasi mengusap khufKapan mulai durasi pengusapan?Tentang durasi membasuh khuf dalam safarHukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Si Fulan melakukan perjalanan ke luar negeri dengan pesawat. Dia berangkat dalam keadaan memakai sepatu. Setelah beberapa jam, tibalah waktu salat Subuh. Kemudian, dia pergi ke toilet yang ada di dalam pesawat, hendak berwudu. Setelah masuk toilet, dia hanya melihat ada 1 wastafel, 1 toilet kecil yang hanya cukup untuk duduk saja, dan lantai dengan karpet yang bersih dan kering. Dalam keadaan seperti itu, dia bertanya dalam hatinya, “Di mana dan bagaimana saya berwudu? Bolehkah saya cukup menggunakan wastafel untuk membasuh wajah, tangan, dan mengusap kepala, kemudian mengusap sepatu, sebagai ganti dari membukanya dan membasuh kedua kaki?” Gambaran permasalahan di atas merupakan hal yang sering terjadi. Syariat Islam memberikan kemudahan dan pengurangan beban bagi orang-orang yang merasa kesulitan. Misalkan, dalam kasus di atas, terasa sulit dan berat untuk melepas kaos kaki dan sepatu, kemudian membasuh kaki ketika berwudu. Untuk menjawab permasalahan tersebut dan yang semisalnya, berikut ini kami sampaikan pembahasan yang ringan dan ringkas. Namun, insyaAllah menyeluruh, tentang “mengusap khuf” ( المسح على الخفين ), yang telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Makna mengusap khuf “Mengusap khuf”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الخفين – mengusap di atas dua khuf) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan khuf ( الخُفّ ). Tentang mengusap ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang khuf ( الخُفّ ), disebutkan dalam Al-Mu’jam Al-Wasith [2], الخُفّ هو مَا يلبس فِي الرجل من جلد رَقِيق “Khuf adalah apa yang dipakai di kaki (terbuat) dari kulit tipis.” [3] Dalam pembahasan nanti di bawah, akan kami bahas tentang “kulit” atau “kulit tipis”, di mana ini bukanlah syarat mengusap khuf. Sehingga, termasuk dalam istilah khuf adalah kaos kaki, sepatu, dan semisalnya yang memenuhi syarat-syarat khuf yang nanti akan kami jelaskan. Oleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwasanya istilah “mengusap khuf” adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran air, di atas sesuatu yang dipakai di atas kaki. Wallaahu a’lam. Dalil-dalil pensyariatan mengusap khuf Mengusap khuf merupakan perkara yang diperbolehkan, berdasarkan nas-nas sunah, dan hanya Syi’ah Ja’fariyah yang menyelisihi hukum ini. Oleh karena itu, beberapa ulama menyebutkannya dalam buku-buku tentang akidah. Imam At-Tahawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan akidah salaf: ويرون المسح على الخفين “Dan mereka berpendapat bahwa mengusap khuf itu diperbolehkan.” [4] Di antara dalil-dalilnya adalah: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ “Dan usaplah kepalamu dan kaki-kakimu hingga dua mata kaki.” [5]. Berdasarkan bacaan jar (mengkasrah huruf lam sehingga menjadi arjulikum), usapan dalam ayat ini mencakup kepala dan kaki, dan ini merupakan bacaan mutawatir. Dari ayat tersebut, para ulama mengambil kesimpulan bolehnya mengusap kaki ketika berwudu, yaitu ketika dipakaikan khuf di atasnya. [6] Kedua: Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya bersama Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Saya hendak melepas khuf beliau. Maka, beliau bersabda, دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين ‘Biarkan keduanya, karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci.‘ Lalu beliau pun mengusapnya.” [7] Ketiga: Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia kencing kemudian berwudu dan mengusap khuf-nya. Ditanyakan kepadanya, “Apakah benar Anda melakukan ini?” Dia radhiyallahu ‘anhu menjawab, نعم، رأيت رسول الله ﷺ بال ثم توضأ ومسح على خفيه “Ya, saya melihat Rasulullah ﷺ kencing kemudian berwudu dan mengusap khufnya.” [8] Hadis tentang bolehnya mengusap khuf telah diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh sahabat. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan dalam hatiku mengenai bolehnya mengusap (atas khuf). Ada empat puluh hadis dari Nabi ﷺ tentang hal itu.” [9] Baca juga: Orang Sakit Yang Tidak Bisa Ke Tempat Wudhu, Bagaimana Wudhunya? Syarat-syarat mengusap khuf Mengusap khuf hanya diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka harus melepas khuf dan membasuh kedua kakinya ketika berwudu. Syarat-syarat tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu: (1) syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama, dan (2) syarat-syarat yang diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati Syarat-syarat yang disepakati sebagai berikut: Pertama: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna Hal ini berdasarkan hadis Al-Mughirah bin Shu’bah radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, hadis Safwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan, كان رسول الله ﷺ يأمرنا إذا كنا سَفْرًا ألا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة، ولكن من غائط وبول ونوم “Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan kami ketika dalam perjalanan untuk tidak melepaskan khuf kami selama tiga hari dan malam, kecuali karena junub; tetapi (kami tetap memakainya dan mengusap ketika berwudu) dari buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” [10] Mayoritas ulama juga mensyaratkan bahwa bersuci yang dimaksud adalah bersuci dengan air (bukan debu atau semisalnya), baik melalui wudu atau mandi. Hal ini berdasarkan hadis, “Karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci“, yang menunjukkan bahwa seseorang telah bersuci dengan wudu sebelum mengenakan khuf. Sehingga tidak ada hubungan antara bersuci yang diperoleh melalui tayamum, dengan mengusap khuf. Kedua: Kemampuan untuk berjalan dengannya Jika khuf tidak menempel erat pada kaki (sehingga tidak bisa digunakan untuk berjalan), maka tidak boleh mengusapnya. Baik itu menempel erat dengan sendirinya (hal ini boleh, dengan kesepakatan para ulama) atau dengan bantuan dari pengikatnya (inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam dan Syekh Ibn Utsaimin rahimahumallah). Ketiga: Khuf harus suci Tidak boleh mengusap khuf yang najis, seperti jika khuf terbuat dari kulit babi, atau semisalnya. Syarat-syarat yang diperselisihkan Sedangkan syarat yang diperselisihkan adalah sebagai berikut: Pertama: Khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh saat berwudu Tidak diperbolehkan mengusap khuf yang tidak menutupi kedua mata kaki beserta kaki, baik karena tipisnya atau karena menunjukkan bentuk kulit. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da,’imah (Lembaga Tetap) untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Beberapa ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, berpendapat bahwa tidak diwajibkan khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh, karena: Pertama, nas tentang mengusap khuf datang secara mutlak. Dan apa yang datang secara mutlak harus tetap pada keumumannya. Kedua, kebanyakan dari para sahabat itu miskin, dan biasanya khuf milik orang miskin itu tidak terlepas dari lubang. Namun, tidak terdapat keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa khuf yang berlubang tidak diperbolehkan untuk diusap. Dari sini, syarat “khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh” menjadi syarat yang lemah. Kedua: Khuf harus terbuat dari kulit Para fuqaha (ulama fikih) berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah berpendapat bahwa syarat mengusap khuf adalah harus terbuat dari kulit. Jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan mengusap khuf yang terbuat dari kulit atau selainnya. Ini merupakan pendapat yang benar, yang juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Mereka berdalil dengan hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أن النبي توضأ ومسح على الجوربين والنعلين “Nabi melakukan wudu dan mengusap pada jawrab (kaos kaki) dan na’lain (sandal).” [11] Juga terbukti dari sejumlah sahabat bahwa mereka mengusap pada jawrab, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Abu Umamah, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum. Wallaahu a’lam Ketiga: Khuf harus mubah (halal). Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah mengusap khuf yang berasal dari harta rampasan, curian, atau terbuat dari sutera. Menurut pendapat yang paling sahih dari Syafi’iyah, bahwasanya sah mengusap khuf, meskipun tidak halal. Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, yaitu tidak diwajibkan bahwa khuf tersebut harus halal. Namun, tetap ada dosa bagi orang yang merampas, mencuri, atau lainnya, yang memakai khuf yang tidak halal tersebut. Wallaahu a’lam. [12] Kadar dan cara mengusap khuf Tentang kadar yang diusap dari khuf, maka cukup dengan melewatkan tangan (yang telah dibasahi) dari ujung jari kaki sampai ke betis. Sedangkan, tentang bagaimana cara pengusapannya, maka bagaimanapun cara mengusapnya, itu cukup. Namun, yang lebih utama adalah mengusap yang kanan terlebih dahulu, kemudian yang kiri. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, كان النبي الله يعجبه التيمن في تنعله وترجله وظهوره وفي شأنه كله “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang melakukan sesuatu mulai dari sisi kanannya, baik dalam memakai alas kaki, menyisir rambut, dan dalam semua urusannya.” [13] Perkara-perkara yang membatalkan mengusap khuf Mengusap khuf menjadi batal dengan salah satu dari perkara-perkara berikut: Pertama: Segala sesuatu yang membatalkan wudu, juga membatalkan pengusapan pada khuf. Kedua: Keberadaan penyebab mandi wajib, seperti junub, haid, atau nifas. Jika salah satu dari penyebab-penyebab ini terjadi, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Ketiga: Mencopot kedua khuf atau salah satu darinya. Ini merupakan masalah perbedaan pendapat di antara para ulama. Ringkasnya, wudu menjadi batal dengan melepaskan khuf; karena wudu telah batal di anggota tubuh tertentu (yaitu kaki), maka wudu menjadi batal di seluruh anggota wudu. Hal ini sebagaimana jika berhadas. Ini adalah pendapat yang paling kuat sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah. Keempat: Berakhirnya durasi (masa waktu) mengusap khuf. Ketika masa waktu pengusapan telah berlalu, yaitu satu hari dan satu malam bagi muqim, dan tiga hari beserta malamnya bagi musafir, sebagaimana akan berlalu penjelasannya, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Walllahu a’lam. [14] Baca juga: Makan dan Minum Bukanlah Pembatal Wudhu Hukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khuf Pada zaman sekarang, kebanyakan dari pemakai khuf adalah memakai khuf di atas khuf yang lain. Misalkan, memakai sepatu di atas kaos kaki. Berikut ini ringkasan penjelasan para ulama tentang perkara tersebut. Jika seseorang berwudu, kemudian mengenakan khuf. Setelah itu, terjadi hadas, lalu ia mengenakan khuf lainnya. Maka, tidak diperbolehkan untuk melakukan pengusapan di atas khuf yang terakhir dipakai itu. Karena ia memakainya dalam keadaan tidak suci. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah (pertama). Jika seseorang sudah melakukan pengusapan pada khuf bagian bawah setelah terjadinya hadas, lalu ia mengenakan khuf kedua dalam keadaan suci, maka tidak diperbolehkan melakukan pengusapan di atas khuf yang kedua. Karena bagian yang sudah diusap telah menggantikan proses membasuh bagian di bawahnya, dan penggantian tidak diperbolehkan untuk diganti lagi. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah, karena bolehnya pengusapan terkait dengan bagian tersebut. Jika seseorang mengenakan khuf di atas khuf lain sebelum terjadi hadas, kemudian melakukan pengusapan khuf yang pertama (atas), lalu melepaskan khuf yang pertama yang sudah diusap, apakah ia harus melepaskan yang kedua (bawah) dan melakukan wudu kembali? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat. Yang benar adalah cukup baginya melakukan pengusapan pada khuf yang kedua (bawah). Wallahu a’lam [15] Durasi mengusap khuf Sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan, جعل رسول الله ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويوما وليلة للمقيم “Rasulullah ﷺ menetapkan tiga hari dan malamnya untuk musafir, dan satu hari serta malam untuk muqim.” [16] Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penentuan durasi mengusap khuf, adalah satu hari dan satu malam untuk muqim (orang yang sedang tidak dalam perjalanan), dan tiga hari serta malamnya untuk musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. [17] Kapan mulai durasi pengusapan? Durasi mengusap khuf dimulai sejak pengusapan pertama kali dilakukan pada khuf. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dan yang dipilih oleh Syekh Ibn Utsaimin. Hal ini berdasarkan hadis yang menyebutkan, يمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثا “Bagi muqim, durasi pengusapan adalah satu hari dan satu malam, sedangkan bagi musafir, durasi pengusapan adalah tiga hari.” [18] Tentang durasi membasuh khuf dalam safar Jika seseorang memulai memakai sepatu sebelum safar, kemudian dia bersafar, durasi manakah yang dia pakai? Atau sebaliknya, dia memakai sepatu ketika safar, kemudian sampai di kampung halaman, durasi manakah yang dia pakai? Berikut ini penjelasan dari permasalahan di atas: Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian melakukan perjalanan sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian ia tinggal di suatu tempat (muqim) sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum melakukan pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum berakhirnya masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian tinggal di suatu tempat (muqim). Jika masih ada sisa masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang ragu, sementara ia sedang dalam keadaan musafir ketika ia memulai pengusapan, artinya apakah ia pengusapan sebagai musafir atau muqim; maka ia menggunakan durasi musafir. [19] Hukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Dari Mugirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين “Biarkan keduanya, sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” [20] Berdasarkan hadis tersebut, banyak dari para ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengenakan khuf, kecuali setelah selesai mencuci kaki kirinya. Pendapat ini adalah yang paling tepat dan lebih hati-hati. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap khuf. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Apakah Microsleep Membatalkan Wudhu? *** 1 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan Riyadh, cet. ke-4 2018 M   Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah [2] Al-Mu’jamul Wasith, hal. 256, Majma’ Lughah Arabiyah, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah [3] Lihat https://dorar.net/feqhia/322 [4] Matn Aqidah Thahawiyah, hal. 49 [5] QS. Al-Ma’idah: 6 [6] Lihat https://binothaimeen.net/content/556 [7] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 [8] HR. An-Nasa’i no. 24 dan Ibnu Majah no. 543 [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 360 [10] HR. An-Nasa’i no. 158 dan Tirmidziy no. 97. Imam Tirmidziy mengatakan, “Hasan sahih.” [11] HR. Ahmad, 4: 252 dan Abu Dawud no. 159 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 87-90 [13] HR. Bukhari no. 166 dan Muslim no. 268 [14] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 92 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [16] HR. Muslim no. 267 [17] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 86 [18] HR. Muslim no. 267 dan Ibnu Khuzaimah no. 194. Lafaz dari Ibnu Khuzaimah [19] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [20] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 Tags: mengusap khuf

Mengusap Kaos Kaki dan Sepatu ketika Wudu

Daftar Isi Toggle Makna mengusap khufDalil-dalil pensyariatan mengusap khufSyarat-syarat mengusap khufSyarat-syarat yang disepakatiSyarat-syarat yang diperselisihkanKadar dan cara mengusap khufPerkara-perkara yang membatalkan mengusap khufHukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khufDurasi mengusap khufKapan mulai durasi pengusapan?Tentang durasi membasuh khuf dalam safarHukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Si Fulan melakukan perjalanan ke luar negeri dengan pesawat. Dia berangkat dalam keadaan memakai sepatu. Setelah beberapa jam, tibalah waktu salat Subuh. Kemudian, dia pergi ke toilet yang ada di dalam pesawat, hendak berwudu. Setelah masuk toilet, dia hanya melihat ada 1 wastafel, 1 toilet kecil yang hanya cukup untuk duduk saja, dan lantai dengan karpet yang bersih dan kering. Dalam keadaan seperti itu, dia bertanya dalam hatinya, “Di mana dan bagaimana saya berwudu? Bolehkah saya cukup menggunakan wastafel untuk membasuh wajah, tangan, dan mengusap kepala, kemudian mengusap sepatu, sebagai ganti dari membukanya dan membasuh kedua kaki?” Gambaran permasalahan di atas merupakan hal yang sering terjadi. Syariat Islam memberikan kemudahan dan pengurangan beban bagi orang-orang yang merasa kesulitan. Misalkan, dalam kasus di atas, terasa sulit dan berat untuk melepas kaos kaki dan sepatu, kemudian membasuh kaki ketika berwudu. Untuk menjawab permasalahan tersebut dan yang semisalnya, berikut ini kami sampaikan pembahasan yang ringan dan ringkas. Namun, insyaAllah menyeluruh, tentang “mengusap khuf” ( المسح على الخفين ), yang telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Makna mengusap khuf “Mengusap khuf”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الخفين – mengusap di atas dua khuf) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan khuf ( الخُفّ ). Tentang mengusap ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang khuf ( الخُفّ ), disebutkan dalam Al-Mu’jam Al-Wasith [2], الخُفّ هو مَا يلبس فِي الرجل من جلد رَقِيق “Khuf adalah apa yang dipakai di kaki (terbuat) dari kulit tipis.” [3] Dalam pembahasan nanti di bawah, akan kami bahas tentang “kulit” atau “kulit tipis”, di mana ini bukanlah syarat mengusap khuf. Sehingga, termasuk dalam istilah khuf adalah kaos kaki, sepatu, dan semisalnya yang memenuhi syarat-syarat khuf yang nanti akan kami jelaskan. Oleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwasanya istilah “mengusap khuf” adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran air, di atas sesuatu yang dipakai di atas kaki. Wallaahu a’lam. Dalil-dalil pensyariatan mengusap khuf Mengusap khuf merupakan perkara yang diperbolehkan, berdasarkan nas-nas sunah, dan hanya Syi’ah Ja’fariyah yang menyelisihi hukum ini. Oleh karena itu, beberapa ulama menyebutkannya dalam buku-buku tentang akidah. Imam At-Tahawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan akidah salaf: ويرون المسح على الخفين “Dan mereka berpendapat bahwa mengusap khuf itu diperbolehkan.” [4] Di antara dalil-dalilnya adalah: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ “Dan usaplah kepalamu dan kaki-kakimu hingga dua mata kaki.” [5]. Berdasarkan bacaan jar (mengkasrah huruf lam sehingga menjadi arjulikum), usapan dalam ayat ini mencakup kepala dan kaki, dan ini merupakan bacaan mutawatir. Dari ayat tersebut, para ulama mengambil kesimpulan bolehnya mengusap kaki ketika berwudu, yaitu ketika dipakaikan khuf di atasnya. [6] Kedua: Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya bersama Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Saya hendak melepas khuf beliau. Maka, beliau bersabda, دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين ‘Biarkan keduanya, karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci.‘ Lalu beliau pun mengusapnya.” [7] Ketiga: Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia kencing kemudian berwudu dan mengusap khuf-nya. Ditanyakan kepadanya, “Apakah benar Anda melakukan ini?” Dia radhiyallahu ‘anhu menjawab, نعم، رأيت رسول الله ﷺ بال ثم توضأ ومسح على خفيه “Ya, saya melihat Rasulullah ﷺ kencing kemudian berwudu dan mengusap khufnya.” [8] Hadis tentang bolehnya mengusap khuf telah diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh sahabat. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan dalam hatiku mengenai bolehnya mengusap (atas khuf). Ada empat puluh hadis dari Nabi ﷺ tentang hal itu.” [9] Baca juga: Orang Sakit Yang Tidak Bisa Ke Tempat Wudhu, Bagaimana Wudhunya? Syarat-syarat mengusap khuf Mengusap khuf hanya diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka harus melepas khuf dan membasuh kedua kakinya ketika berwudu. Syarat-syarat tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu: (1) syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama, dan (2) syarat-syarat yang diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati Syarat-syarat yang disepakati sebagai berikut: Pertama: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna Hal ini berdasarkan hadis Al-Mughirah bin Shu’bah radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, hadis Safwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan, كان رسول الله ﷺ يأمرنا إذا كنا سَفْرًا ألا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة، ولكن من غائط وبول ونوم “Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan kami ketika dalam perjalanan untuk tidak melepaskan khuf kami selama tiga hari dan malam, kecuali karena junub; tetapi (kami tetap memakainya dan mengusap ketika berwudu) dari buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” [10] Mayoritas ulama juga mensyaratkan bahwa bersuci yang dimaksud adalah bersuci dengan air (bukan debu atau semisalnya), baik melalui wudu atau mandi. Hal ini berdasarkan hadis, “Karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci“, yang menunjukkan bahwa seseorang telah bersuci dengan wudu sebelum mengenakan khuf. Sehingga tidak ada hubungan antara bersuci yang diperoleh melalui tayamum, dengan mengusap khuf. Kedua: Kemampuan untuk berjalan dengannya Jika khuf tidak menempel erat pada kaki (sehingga tidak bisa digunakan untuk berjalan), maka tidak boleh mengusapnya. Baik itu menempel erat dengan sendirinya (hal ini boleh, dengan kesepakatan para ulama) atau dengan bantuan dari pengikatnya (inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam dan Syekh Ibn Utsaimin rahimahumallah). Ketiga: Khuf harus suci Tidak boleh mengusap khuf yang najis, seperti jika khuf terbuat dari kulit babi, atau semisalnya. Syarat-syarat yang diperselisihkan Sedangkan syarat yang diperselisihkan adalah sebagai berikut: Pertama: Khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh saat berwudu Tidak diperbolehkan mengusap khuf yang tidak menutupi kedua mata kaki beserta kaki, baik karena tipisnya atau karena menunjukkan bentuk kulit. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da,’imah (Lembaga Tetap) untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Beberapa ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, berpendapat bahwa tidak diwajibkan khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh, karena: Pertama, nas tentang mengusap khuf datang secara mutlak. Dan apa yang datang secara mutlak harus tetap pada keumumannya. Kedua, kebanyakan dari para sahabat itu miskin, dan biasanya khuf milik orang miskin itu tidak terlepas dari lubang. Namun, tidak terdapat keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa khuf yang berlubang tidak diperbolehkan untuk diusap. Dari sini, syarat “khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh” menjadi syarat yang lemah. Kedua: Khuf harus terbuat dari kulit Para fuqaha (ulama fikih) berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah berpendapat bahwa syarat mengusap khuf adalah harus terbuat dari kulit. Jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan mengusap khuf yang terbuat dari kulit atau selainnya. Ini merupakan pendapat yang benar, yang juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Mereka berdalil dengan hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أن النبي توضأ ومسح على الجوربين والنعلين “Nabi melakukan wudu dan mengusap pada jawrab (kaos kaki) dan na’lain (sandal).” [11] Juga terbukti dari sejumlah sahabat bahwa mereka mengusap pada jawrab, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Abu Umamah, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum. Wallaahu a’lam Ketiga: Khuf harus mubah (halal). Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah mengusap khuf yang berasal dari harta rampasan, curian, atau terbuat dari sutera. Menurut pendapat yang paling sahih dari Syafi’iyah, bahwasanya sah mengusap khuf, meskipun tidak halal. Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, yaitu tidak diwajibkan bahwa khuf tersebut harus halal. Namun, tetap ada dosa bagi orang yang merampas, mencuri, atau lainnya, yang memakai khuf yang tidak halal tersebut. Wallaahu a’lam. [12] Kadar dan cara mengusap khuf Tentang kadar yang diusap dari khuf, maka cukup dengan melewatkan tangan (yang telah dibasahi) dari ujung jari kaki sampai ke betis. Sedangkan, tentang bagaimana cara pengusapannya, maka bagaimanapun cara mengusapnya, itu cukup. Namun, yang lebih utama adalah mengusap yang kanan terlebih dahulu, kemudian yang kiri. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, كان النبي الله يعجبه التيمن في تنعله وترجله وظهوره وفي شأنه كله “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang melakukan sesuatu mulai dari sisi kanannya, baik dalam memakai alas kaki, menyisir rambut, dan dalam semua urusannya.” [13] Perkara-perkara yang membatalkan mengusap khuf Mengusap khuf menjadi batal dengan salah satu dari perkara-perkara berikut: Pertama: Segala sesuatu yang membatalkan wudu, juga membatalkan pengusapan pada khuf. Kedua: Keberadaan penyebab mandi wajib, seperti junub, haid, atau nifas. Jika salah satu dari penyebab-penyebab ini terjadi, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Ketiga: Mencopot kedua khuf atau salah satu darinya. Ini merupakan masalah perbedaan pendapat di antara para ulama. Ringkasnya, wudu menjadi batal dengan melepaskan khuf; karena wudu telah batal di anggota tubuh tertentu (yaitu kaki), maka wudu menjadi batal di seluruh anggota wudu. Hal ini sebagaimana jika berhadas. Ini adalah pendapat yang paling kuat sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah. Keempat: Berakhirnya durasi (masa waktu) mengusap khuf. Ketika masa waktu pengusapan telah berlalu, yaitu satu hari dan satu malam bagi muqim, dan tiga hari beserta malamnya bagi musafir, sebagaimana akan berlalu penjelasannya, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Walllahu a’lam. [14] Baca juga: Makan dan Minum Bukanlah Pembatal Wudhu Hukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khuf Pada zaman sekarang, kebanyakan dari pemakai khuf adalah memakai khuf di atas khuf yang lain. Misalkan, memakai sepatu di atas kaos kaki. Berikut ini ringkasan penjelasan para ulama tentang perkara tersebut. Jika seseorang berwudu, kemudian mengenakan khuf. Setelah itu, terjadi hadas, lalu ia mengenakan khuf lainnya. Maka, tidak diperbolehkan untuk melakukan pengusapan di atas khuf yang terakhir dipakai itu. Karena ia memakainya dalam keadaan tidak suci. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah (pertama). Jika seseorang sudah melakukan pengusapan pada khuf bagian bawah setelah terjadinya hadas, lalu ia mengenakan khuf kedua dalam keadaan suci, maka tidak diperbolehkan melakukan pengusapan di atas khuf yang kedua. Karena bagian yang sudah diusap telah menggantikan proses membasuh bagian di bawahnya, dan penggantian tidak diperbolehkan untuk diganti lagi. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah, karena bolehnya pengusapan terkait dengan bagian tersebut. Jika seseorang mengenakan khuf di atas khuf lain sebelum terjadi hadas, kemudian melakukan pengusapan khuf yang pertama (atas), lalu melepaskan khuf yang pertama yang sudah diusap, apakah ia harus melepaskan yang kedua (bawah) dan melakukan wudu kembali? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat. Yang benar adalah cukup baginya melakukan pengusapan pada khuf yang kedua (bawah). Wallahu a’lam [15] Durasi mengusap khuf Sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan, جعل رسول الله ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويوما وليلة للمقيم “Rasulullah ﷺ menetapkan tiga hari dan malamnya untuk musafir, dan satu hari serta malam untuk muqim.” [16] Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penentuan durasi mengusap khuf, adalah satu hari dan satu malam untuk muqim (orang yang sedang tidak dalam perjalanan), dan tiga hari serta malamnya untuk musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. [17] Kapan mulai durasi pengusapan? Durasi mengusap khuf dimulai sejak pengusapan pertama kali dilakukan pada khuf. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dan yang dipilih oleh Syekh Ibn Utsaimin. Hal ini berdasarkan hadis yang menyebutkan, يمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثا “Bagi muqim, durasi pengusapan adalah satu hari dan satu malam, sedangkan bagi musafir, durasi pengusapan adalah tiga hari.” [18] Tentang durasi membasuh khuf dalam safar Jika seseorang memulai memakai sepatu sebelum safar, kemudian dia bersafar, durasi manakah yang dia pakai? Atau sebaliknya, dia memakai sepatu ketika safar, kemudian sampai di kampung halaman, durasi manakah yang dia pakai? Berikut ini penjelasan dari permasalahan di atas: Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian melakukan perjalanan sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian ia tinggal di suatu tempat (muqim) sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum melakukan pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum berakhirnya masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian tinggal di suatu tempat (muqim). Jika masih ada sisa masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang ragu, sementara ia sedang dalam keadaan musafir ketika ia memulai pengusapan, artinya apakah ia pengusapan sebagai musafir atau muqim; maka ia menggunakan durasi musafir. [19] Hukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Dari Mugirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين “Biarkan keduanya, sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” [20] Berdasarkan hadis tersebut, banyak dari para ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengenakan khuf, kecuali setelah selesai mencuci kaki kirinya. Pendapat ini adalah yang paling tepat dan lebih hati-hati. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap khuf. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Apakah Microsleep Membatalkan Wudhu? *** 1 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan Riyadh, cet. ke-4 2018 M   Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah [2] Al-Mu’jamul Wasith, hal. 256, Majma’ Lughah Arabiyah, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah [3] Lihat https://dorar.net/feqhia/322 [4] Matn Aqidah Thahawiyah, hal. 49 [5] QS. Al-Ma’idah: 6 [6] Lihat https://binothaimeen.net/content/556 [7] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 [8] HR. An-Nasa’i no. 24 dan Ibnu Majah no. 543 [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 360 [10] HR. An-Nasa’i no. 158 dan Tirmidziy no. 97. Imam Tirmidziy mengatakan, “Hasan sahih.” [11] HR. Ahmad, 4: 252 dan Abu Dawud no. 159 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 87-90 [13] HR. Bukhari no. 166 dan Muslim no. 268 [14] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 92 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [16] HR. Muslim no. 267 [17] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 86 [18] HR. Muslim no. 267 dan Ibnu Khuzaimah no. 194. Lafaz dari Ibnu Khuzaimah [19] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [20] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 Tags: mengusap khuf
Daftar Isi Toggle Makna mengusap khufDalil-dalil pensyariatan mengusap khufSyarat-syarat mengusap khufSyarat-syarat yang disepakatiSyarat-syarat yang diperselisihkanKadar dan cara mengusap khufPerkara-perkara yang membatalkan mengusap khufHukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khufDurasi mengusap khufKapan mulai durasi pengusapan?Tentang durasi membasuh khuf dalam safarHukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Si Fulan melakukan perjalanan ke luar negeri dengan pesawat. Dia berangkat dalam keadaan memakai sepatu. Setelah beberapa jam, tibalah waktu salat Subuh. Kemudian, dia pergi ke toilet yang ada di dalam pesawat, hendak berwudu. Setelah masuk toilet, dia hanya melihat ada 1 wastafel, 1 toilet kecil yang hanya cukup untuk duduk saja, dan lantai dengan karpet yang bersih dan kering. Dalam keadaan seperti itu, dia bertanya dalam hatinya, “Di mana dan bagaimana saya berwudu? Bolehkah saya cukup menggunakan wastafel untuk membasuh wajah, tangan, dan mengusap kepala, kemudian mengusap sepatu, sebagai ganti dari membukanya dan membasuh kedua kaki?” Gambaran permasalahan di atas merupakan hal yang sering terjadi. Syariat Islam memberikan kemudahan dan pengurangan beban bagi orang-orang yang merasa kesulitan. Misalkan, dalam kasus di atas, terasa sulit dan berat untuk melepas kaos kaki dan sepatu, kemudian membasuh kaki ketika berwudu. Untuk menjawab permasalahan tersebut dan yang semisalnya, berikut ini kami sampaikan pembahasan yang ringan dan ringkas. Namun, insyaAllah menyeluruh, tentang “mengusap khuf” ( المسح على الخفين ), yang telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Makna mengusap khuf “Mengusap khuf”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الخفين – mengusap di atas dua khuf) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan khuf ( الخُفّ ). Tentang mengusap ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang khuf ( الخُفّ ), disebutkan dalam Al-Mu’jam Al-Wasith [2], الخُفّ هو مَا يلبس فِي الرجل من جلد رَقِيق “Khuf adalah apa yang dipakai di kaki (terbuat) dari kulit tipis.” [3] Dalam pembahasan nanti di bawah, akan kami bahas tentang “kulit” atau “kulit tipis”, di mana ini bukanlah syarat mengusap khuf. Sehingga, termasuk dalam istilah khuf adalah kaos kaki, sepatu, dan semisalnya yang memenuhi syarat-syarat khuf yang nanti akan kami jelaskan. Oleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwasanya istilah “mengusap khuf” adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran air, di atas sesuatu yang dipakai di atas kaki. Wallaahu a’lam. Dalil-dalil pensyariatan mengusap khuf Mengusap khuf merupakan perkara yang diperbolehkan, berdasarkan nas-nas sunah, dan hanya Syi’ah Ja’fariyah yang menyelisihi hukum ini. Oleh karena itu, beberapa ulama menyebutkannya dalam buku-buku tentang akidah. Imam At-Tahawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan akidah salaf: ويرون المسح على الخفين “Dan mereka berpendapat bahwa mengusap khuf itu diperbolehkan.” [4] Di antara dalil-dalilnya adalah: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ “Dan usaplah kepalamu dan kaki-kakimu hingga dua mata kaki.” [5]. Berdasarkan bacaan jar (mengkasrah huruf lam sehingga menjadi arjulikum), usapan dalam ayat ini mencakup kepala dan kaki, dan ini merupakan bacaan mutawatir. Dari ayat tersebut, para ulama mengambil kesimpulan bolehnya mengusap kaki ketika berwudu, yaitu ketika dipakaikan khuf di atasnya. [6] Kedua: Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya bersama Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Saya hendak melepas khuf beliau. Maka, beliau bersabda, دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين ‘Biarkan keduanya, karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci.‘ Lalu beliau pun mengusapnya.” [7] Ketiga: Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia kencing kemudian berwudu dan mengusap khuf-nya. Ditanyakan kepadanya, “Apakah benar Anda melakukan ini?” Dia radhiyallahu ‘anhu menjawab, نعم، رأيت رسول الله ﷺ بال ثم توضأ ومسح على خفيه “Ya, saya melihat Rasulullah ﷺ kencing kemudian berwudu dan mengusap khufnya.” [8] Hadis tentang bolehnya mengusap khuf telah diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh sahabat. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan dalam hatiku mengenai bolehnya mengusap (atas khuf). Ada empat puluh hadis dari Nabi ﷺ tentang hal itu.” [9] Baca juga: Orang Sakit Yang Tidak Bisa Ke Tempat Wudhu, Bagaimana Wudhunya? Syarat-syarat mengusap khuf Mengusap khuf hanya diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka harus melepas khuf dan membasuh kedua kakinya ketika berwudu. Syarat-syarat tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu: (1) syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama, dan (2) syarat-syarat yang diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati Syarat-syarat yang disepakati sebagai berikut: Pertama: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna Hal ini berdasarkan hadis Al-Mughirah bin Shu’bah radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, hadis Safwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan, كان رسول الله ﷺ يأمرنا إذا كنا سَفْرًا ألا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة، ولكن من غائط وبول ونوم “Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan kami ketika dalam perjalanan untuk tidak melepaskan khuf kami selama tiga hari dan malam, kecuali karena junub; tetapi (kami tetap memakainya dan mengusap ketika berwudu) dari buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” [10] Mayoritas ulama juga mensyaratkan bahwa bersuci yang dimaksud adalah bersuci dengan air (bukan debu atau semisalnya), baik melalui wudu atau mandi. Hal ini berdasarkan hadis, “Karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci“, yang menunjukkan bahwa seseorang telah bersuci dengan wudu sebelum mengenakan khuf. Sehingga tidak ada hubungan antara bersuci yang diperoleh melalui tayamum, dengan mengusap khuf. Kedua: Kemampuan untuk berjalan dengannya Jika khuf tidak menempel erat pada kaki (sehingga tidak bisa digunakan untuk berjalan), maka tidak boleh mengusapnya. Baik itu menempel erat dengan sendirinya (hal ini boleh, dengan kesepakatan para ulama) atau dengan bantuan dari pengikatnya (inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam dan Syekh Ibn Utsaimin rahimahumallah). Ketiga: Khuf harus suci Tidak boleh mengusap khuf yang najis, seperti jika khuf terbuat dari kulit babi, atau semisalnya. Syarat-syarat yang diperselisihkan Sedangkan syarat yang diperselisihkan adalah sebagai berikut: Pertama: Khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh saat berwudu Tidak diperbolehkan mengusap khuf yang tidak menutupi kedua mata kaki beserta kaki, baik karena tipisnya atau karena menunjukkan bentuk kulit. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da,’imah (Lembaga Tetap) untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Beberapa ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, berpendapat bahwa tidak diwajibkan khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh, karena: Pertama, nas tentang mengusap khuf datang secara mutlak. Dan apa yang datang secara mutlak harus tetap pada keumumannya. Kedua, kebanyakan dari para sahabat itu miskin, dan biasanya khuf milik orang miskin itu tidak terlepas dari lubang. Namun, tidak terdapat keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa khuf yang berlubang tidak diperbolehkan untuk diusap. Dari sini, syarat “khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh” menjadi syarat yang lemah. Kedua: Khuf harus terbuat dari kulit Para fuqaha (ulama fikih) berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah berpendapat bahwa syarat mengusap khuf adalah harus terbuat dari kulit. Jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan mengusap khuf yang terbuat dari kulit atau selainnya. Ini merupakan pendapat yang benar, yang juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Mereka berdalil dengan hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أن النبي توضأ ومسح على الجوربين والنعلين “Nabi melakukan wudu dan mengusap pada jawrab (kaos kaki) dan na’lain (sandal).” [11] Juga terbukti dari sejumlah sahabat bahwa mereka mengusap pada jawrab, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Abu Umamah, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum. Wallaahu a’lam Ketiga: Khuf harus mubah (halal). Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah mengusap khuf yang berasal dari harta rampasan, curian, atau terbuat dari sutera. Menurut pendapat yang paling sahih dari Syafi’iyah, bahwasanya sah mengusap khuf, meskipun tidak halal. Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, yaitu tidak diwajibkan bahwa khuf tersebut harus halal. Namun, tetap ada dosa bagi orang yang merampas, mencuri, atau lainnya, yang memakai khuf yang tidak halal tersebut. Wallaahu a’lam. [12] Kadar dan cara mengusap khuf Tentang kadar yang diusap dari khuf, maka cukup dengan melewatkan tangan (yang telah dibasahi) dari ujung jari kaki sampai ke betis. Sedangkan, tentang bagaimana cara pengusapannya, maka bagaimanapun cara mengusapnya, itu cukup. Namun, yang lebih utama adalah mengusap yang kanan terlebih dahulu, kemudian yang kiri. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, كان النبي الله يعجبه التيمن في تنعله وترجله وظهوره وفي شأنه كله “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang melakukan sesuatu mulai dari sisi kanannya, baik dalam memakai alas kaki, menyisir rambut, dan dalam semua urusannya.” [13] Perkara-perkara yang membatalkan mengusap khuf Mengusap khuf menjadi batal dengan salah satu dari perkara-perkara berikut: Pertama: Segala sesuatu yang membatalkan wudu, juga membatalkan pengusapan pada khuf. Kedua: Keberadaan penyebab mandi wajib, seperti junub, haid, atau nifas. Jika salah satu dari penyebab-penyebab ini terjadi, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Ketiga: Mencopot kedua khuf atau salah satu darinya. Ini merupakan masalah perbedaan pendapat di antara para ulama. Ringkasnya, wudu menjadi batal dengan melepaskan khuf; karena wudu telah batal di anggota tubuh tertentu (yaitu kaki), maka wudu menjadi batal di seluruh anggota wudu. Hal ini sebagaimana jika berhadas. Ini adalah pendapat yang paling kuat sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah. Keempat: Berakhirnya durasi (masa waktu) mengusap khuf. Ketika masa waktu pengusapan telah berlalu, yaitu satu hari dan satu malam bagi muqim, dan tiga hari beserta malamnya bagi musafir, sebagaimana akan berlalu penjelasannya, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Walllahu a’lam. [14] Baca juga: Makan dan Minum Bukanlah Pembatal Wudhu Hukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khuf Pada zaman sekarang, kebanyakan dari pemakai khuf adalah memakai khuf di atas khuf yang lain. Misalkan, memakai sepatu di atas kaos kaki. Berikut ini ringkasan penjelasan para ulama tentang perkara tersebut. Jika seseorang berwudu, kemudian mengenakan khuf. Setelah itu, terjadi hadas, lalu ia mengenakan khuf lainnya. Maka, tidak diperbolehkan untuk melakukan pengusapan di atas khuf yang terakhir dipakai itu. Karena ia memakainya dalam keadaan tidak suci. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah (pertama). Jika seseorang sudah melakukan pengusapan pada khuf bagian bawah setelah terjadinya hadas, lalu ia mengenakan khuf kedua dalam keadaan suci, maka tidak diperbolehkan melakukan pengusapan di atas khuf yang kedua. Karena bagian yang sudah diusap telah menggantikan proses membasuh bagian di bawahnya, dan penggantian tidak diperbolehkan untuk diganti lagi. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah, karena bolehnya pengusapan terkait dengan bagian tersebut. Jika seseorang mengenakan khuf di atas khuf lain sebelum terjadi hadas, kemudian melakukan pengusapan khuf yang pertama (atas), lalu melepaskan khuf yang pertama yang sudah diusap, apakah ia harus melepaskan yang kedua (bawah) dan melakukan wudu kembali? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat. Yang benar adalah cukup baginya melakukan pengusapan pada khuf yang kedua (bawah). Wallahu a’lam [15] Durasi mengusap khuf Sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan, جعل رسول الله ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويوما وليلة للمقيم “Rasulullah ﷺ menetapkan tiga hari dan malamnya untuk musafir, dan satu hari serta malam untuk muqim.” [16] Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penentuan durasi mengusap khuf, adalah satu hari dan satu malam untuk muqim (orang yang sedang tidak dalam perjalanan), dan tiga hari serta malamnya untuk musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. [17] Kapan mulai durasi pengusapan? Durasi mengusap khuf dimulai sejak pengusapan pertama kali dilakukan pada khuf. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dan yang dipilih oleh Syekh Ibn Utsaimin. Hal ini berdasarkan hadis yang menyebutkan, يمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثا “Bagi muqim, durasi pengusapan adalah satu hari dan satu malam, sedangkan bagi musafir, durasi pengusapan adalah tiga hari.” [18] Tentang durasi membasuh khuf dalam safar Jika seseorang memulai memakai sepatu sebelum safar, kemudian dia bersafar, durasi manakah yang dia pakai? Atau sebaliknya, dia memakai sepatu ketika safar, kemudian sampai di kampung halaman, durasi manakah yang dia pakai? Berikut ini penjelasan dari permasalahan di atas: Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian melakukan perjalanan sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian ia tinggal di suatu tempat (muqim) sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum melakukan pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum berakhirnya masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian tinggal di suatu tempat (muqim). Jika masih ada sisa masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang ragu, sementara ia sedang dalam keadaan musafir ketika ia memulai pengusapan, artinya apakah ia pengusapan sebagai musafir atau muqim; maka ia menggunakan durasi musafir. [19] Hukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Dari Mugirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين “Biarkan keduanya, sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” [20] Berdasarkan hadis tersebut, banyak dari para ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengenakan khuf, kecuali setelah selesai mencuci kaki kirinya. Pendapat ini adalah yang paling tepat dan lebih hati-hati. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap khuf. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Apakah Microsleep Membatalkan Wudhu? *** 1 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan Riyadh, cet. ke-4 2018 M   Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah [2] Al-Mu’jamul Wasith, hal. 256, Majma’ Lughah Arabiyah, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah [3] Lihat https://dorar.net/feqhia/322 [4] Matn Aqidah Thahawiyah, hal. 49 [5] QS. Al-Ma’idah: 6 [6] Lihat https://binothaimeen.net/content/556 [7] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 [8] HR. An-Nasa’i no. 24 dan Ibnu Majah no. 543 [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 360 [10] HR. An-Nasa’i no. 158 dan Tirmidziy no. 97. Imam Tirmidziy mengatakan, “Hasan sahih.” [11] HR. Ahmad, 4: 252 dan Abu Dawud no. 159 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 87-90 [13] HR. Bukhari no. 166 dan Muslim no. 268 [14] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 92 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [16] HR. Muslim no. 267 [17] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 86 [18] HR. Muslim no. 267 dan Ibnu Khuzaimah no. 194. Lafaz dari Ibnu Khuzaimah [19] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [20] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 Tags: mengusap khuf


Daftar Isi Toggle Makna mengusap khufDalil-dalil pensyariatan mengusap khufSyarat-syarat mengusap khufSyarat-syarat yang disepakatiSyarat-syarat yang diperselisihkanKadar dan cara mengusap khufPerkara-perkara yang membatalkan mengusap khufHukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khufDurasi mengusap khufKapan mulai durasi pengusapan?Tentang durasi membasuh khuf dalam safarHukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Si Fulan melakukan perjalanan ke luar negeri dengan pesawat. Dia berangkat dalam keadaan memakai sepatu. Setelah beberapa jam, tibalah waktu salat Subuh. Kemudian, dia pergi ke toilet yang ada di dalam pesawat, hendak berwudu. Setelah masuk toilet, dia hanya melihat ada 1 wastafel, 1 toilet kecil yang hanya cukup untuk duduk saja, dan lantai dengan karpet yang bersih dan kering. Dalam keadaan seperti itu, dia bertanya dalam hatinya, “Di mana dan bagaimana saya berwudu? Bolehkah saya cukup menggunakan wastafel untuk membasuh wajah, tangan, dan mengusap kepala, kemudian mengusap sepatu, sebagai ganti dari membukanya dan membasuh kedua kaki?” Gambaran permasalahan di atas merupakan hal yang sering terjadi. Syariat Islam memberikan kemudahan dan pengurangan beban bagi orang-orang yang merasa kesulitan. Misalkan, dalam kasus di atas, terasa sulit dan berat untuk melepas kaos kaki dan sepatu, kemudian membasuh kaki ketika berwudu. Untuk menjawab permasalahan tersebut dan yang semisalnya, berikut ini kami sampaikan pembahasan yang ringan dan ringkas. Namun, insyaAllah menyeluruh, tentang “mengusap khuf” ( المسح على الخفين ), yang telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Makna mengusap khuf “Mengusap khuf”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الخفين – mengusap di atas dua khuf) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan khuf ( الخُفّ ). Tentang mengusap ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang khuf ( الخُفّ ), disebutkan dalam Al-Mu’jam Al-Wasith [2], الخُفّ هو مَا يلبس فِي الرجل من جلد رَقِيق “Khuf adalah apa yang dipakai di kaki (terbuat) dari kulit tipis.” [3] Dalam pembahasan nanti di bawah, akan kami bahas tentang “kulit” atau “kulit tipis”, di mana ini bukanlah syarat mengusap khuf. Sehingga, termasuk dalam istilah khuf adalah kaos kaki, sepatu, dan semisalnya yang memenuhi syarat-syarat khuf yang nanti akan kami jelaskan. Oleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwasanya istilah “mengusap khuf” adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran air, di atas sesuatu yang dipakai di atas kaki. Wallaahu a’lam. Dalil-dalil pensyariatan mengusap khuf Mengusap khuf merupakan perkara yang diperbolehkan, berdasarkan nas-nas sunah, dan hanya Syi’ah Ja’fariyah yang menyelisihi hukum ini. Oleh karena itu, beberapa ulama menyebutkannya dalam buku-buku tentang akidah. Imam At-Tahawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan akidah salaf: ويرون المسح على الخفين “Dan mereka berpendapat bahwa mengusap khuf itu diperbolehkan.” [4] Di antara dalil-dalilnya adalah: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ “Dan usaplah kepalamu dan kaki-kakimu hingga dua mata kaki.” [5]. Berdasarkan bacaan jar (mengkasrah huruf lam sehingga menjadi arjulikum), usapan dalam ayat ini mencakup kepala dan kaki, dan ini merupakan bacaan mutawatir. Dari ayat tersebut, para ulama mengambil kesimpulan bolehnya mengusap kaki ketika berwudu, yaitu ketika dipakaikan khuf di atasnya. [6] Kedua: Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya bersama Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Saya hendak melepas khuf beliau. Maka, beliau bersabda, دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين ‘Biarkan keduanya, karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci.‘ Lalu beliau pun mengusapnya.” [7] Ketiga: Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia kencing kemudian berwudu dan mengusap khuf-nya. Ditanyakan kepadanya, “Apakah benar Anda melakukan ini?” Dia radhiyallahu ‘anhu menjawab, نعم، رأيت رسول الله ﷺ بال ثم توضأ ومسح على خفيه “Ya, saya melihat Rasulullah ﷺ kencing kemudian berwudu dan mengusap khufnya.” [8] Hadis tentang bolehnya mengusap khuf telah diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh sahabat. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan dalam hatiku mengenai bolehnya mengusap (atas khuf). Ada empat puluh hadis dari Nabi ﷺ tentang hal itu.” [9] Baca juga: Orang Sakit Yang Tidak Bisa Ke Tempat Wudhu, Bagaimana Wudhunya? Syarat-syarat mengusap khuf Mengusap khuf hanya diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka harus melepas khuf dan membasuh kedua kakinya ketika berwudu. Syarat-syarat tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu: (1) syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama, dan (2) syarat-syarat yang diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati Syarat-syarat yang disepakati sebagai berikut: Pertama: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna Hal ini berdasarkan hadis Al-Mughirah bin Shu’bah radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, hadis Safwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan, كان رسول الله ﷺ يأمرنا إذا كنا سَفْرًا ألا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة، ولكن من غائط وبول ونوم “Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan kami ketika dalam perjalanan untuk tidak melepaskan khuf kami selama tiga hari dan malam, kecuali karena junub; tetapi (kami tetap memakainya dan mengusap ketika berwudu) dari buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” [10] Mayoritas ulama juga mensyaratkan bahwa bersuci yang dimaksud adalah bersuci dengan air (bukan debu atau semisalnya), baik melalui wudu atau mandi. Hal ini berdasarkan hadis, “Karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci“, yang menunjukkan bahwa seseorang telah bersuci dengan wudu sebelum mengenakan khuf. Sehingga tidak ada hubungan antara bersuci yang diperoleh melalui tayamum, dengan mengusap khuf. Kedua: Kemampuan untuk berjalan dengannya Jika khuf tidak menempel erat pada kaki (sehingga tidak bisa digunakan untuk berjalan), maka tidak boleh mengusapnya. Baik itu menempel erat dengan sendirinya (hal ini boleh, dengan kesepakatan para ulama) atau dengan bantuan dari pengikatnya (inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam dan Syekh Ibn Utsaimin rahimahumallah). Ketiga: Khuf harus suci Tidak boleh mengusap khuf yang najis, seperti jika khuf terbuat dari kulit babi, atau semisalnya. Syarat-syarat yang diperselisihkan Sedangkan syarat yang diperselisihkan adalah sebagai berikut: Pertama: Khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh saat berwudu Tidak diperbolehkan mengusap khuf yang tidak menutupi kedua mata kaki beserta kaki, baik karena tipisnya atau karena menunjukkan bentuk kulit. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da,’imah (Lembaga Tetap) untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Beberapa ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, berpendapat bahwa tidak diwajibkan khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh, karena: Pertama, nas tentang mengusap khuf datang secara mutlak. Dan apa yang datang secara mutlak harus tetap pada keumumannya. Kedua, kebanyakan dari para sahabat itu miskin, dan biasanya khuf milik orang miskin itu tidak terlepas dari lubang. Namun, tidak terdapat keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa khuf yang berlubang tidak diperbolehkan untuk diusap. Dari sini, syarat “khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh” menjadi syarat yang lemah. Kedua: Khuf harus terbuat dari kulit Para fuqaha (ulama fikih) berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah berpendapat bahwa syarat mengusap khuf adalah harus terbuat dari kulit. Jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan mengusap khuf yang terbuat dari kulit atau selainnya. Ini merupakan pendapat yang benar, yang juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Mereka berdalil dengan hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أن النبي توضأ ومسح على الجوربين والنعلين “Nabi melakukan wudu dan mengusap pada jawrab (kaos kaki) dan na’lain (sandal).” [11] Juga terbukti dari sejumlah sahabat bahwa mereka mengusap pada jawrab, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Abu Umamah, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum. Wallaahu a’lam Ketiga: Khuf harus mubah (halal). Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah mengusap khuf yang berasal dari harta rampasan, curian, atau terbuat dari sutera. Menurut pendapat yang paling sahih dari Syafi’iyah, bahwasanya sah mengusap khuf, meskipun tidak halal. Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, yaitu tidak diwajibkan bahwa khuf tersebut harus halal. Namun, tetap ada dosa bagi orang yang merampas, mencuri, atau lainnya, yang memakai khuf yang tidak halal tersebut. Wallaahu a’lam. [12] Kadar dan cara mengusap khuf Tentang kadar yang diusap dari khuf, maka cukup dengan melewatkan tangan (yang telah dibasahi) dari ujung jari kaki sampai ke betis. Sedangkan, tentang bagaimana cara pengusapannya, maka bagaimanapun cara mengusapnya, itu cukup. Namun, yang lebih utama adalah mengusap yang kanan terlebih dahulu, kemudian yang kiri. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, كان النبي الله يعجبه التيمن في تنعله وترجله وظهوره وفي شأنه كله “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang melakukan sesuatu mulai dari sisi kanannya, baik dalam memakai alas kaki, menyisir rambut, dan dalam semua urusannya.” [13] Perkara-perkara yang membatalkan mengusap khuf Mengusap khuf menjadi batal dengan salah satu dari perkara-perkara berikut: Pertama: Segala sesuatu yang membatalkan wudu, juga membatalkan pengusapan pada khuf. Kedua: Keberadaan penyebab mandi wajib, seperti junub, haid, atau nifas. Jika salah satu dari penyebab-penyebab ini terjadi, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Ketiga: Mencopot kedua khuf atau salah satu darinya. Ini merupakan masalah perbedaan pendapat di antara para ulama. Ringkasnya, wudu menjadi batal dengan melepaskan khuf; karena wudu telah batal di anggota tubuh tertentu (yaitu kaki), maka wudu menjadi batal di seluruh anggota wudu. Hal ini sebagaimana jika berhadas. Ini adalah pendapat yang paling kuat sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah. Keempat: Berakhirnya durasi (masa waktu) mengusap khuf. Ketika masa waktu pengusapan telah berlalu, yaitu satu hari dan satu malam bagi muqim, dan tiga hari beserta malamnya bagi musafir, sebagaimana akan berlalu penjelasannya, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Walllahu a’lam. [14] Baca juga: Makan dan Minum Bukanlah Pembatal Wudhu Hukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khuf Pada zaman sekarang, kebanyakan dari pemakai khuf adalah memakai khuf di atas khuf yang lain. Misalkan, memakai sepatu di atas kaos kaki. Berikut ini ringkasan penjelasan para ulama tentang perkara tersebut. Jika seseorang berwudu, kemudian mengenakan khuf. Setelah itu, terjadi hadas, lalu ia mengenakan khuf lainnya. Maka, tidak diperbolehkan untuk melakukan pengusapan di atas khuf yang terakhir dipakai itu. Karena ia memakainya dalam keadaan tidak suci. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah (pertama). Jika seseorang sudah melakukan pengusapan pada khuf bagian bawah setelah terjadinya hadas, lalu ia mengenakan khuf kedua dalam keadaan suci, maka tidak diperbolehkan melakukan pengusapan di atas khuf yang kedua. Karena bagian yang sudah diusap telah menggantikan proses membasuh bagian di bawahnya, dan penggantian tidak diperbolehkan untuk diganti lagi. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah, karena bolehnya pengusapan terkait dengan bagian tersebut. Jika seseorang mengenakan khuf di atas khuf lain sebelum terjadi hadas, kemudian melakukan pengusapan khuf yang pertama (atas), lalu melepaskan khuf yang pertama yang sudah diusap, apakah ia harus melepaskan yang kedua (bawah) dan melakukan wudu kembali? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat. Yang benar adalah cukup baginya melakukan pengusapan pada khuf yang kedua (bawah). Wallahu a’lam [15] Durasi mengusap khuf Sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan, جعل رسول الله ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويوما وليلة للمقيم “Rasulullah ﷺ menetapkan tiga hari dan malamnya untuk musafir, dan satu hari serta malam untuk muqim.” [16] Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penentuan durasi mengusap khuf, adalah satu hari dan satu malam untuk muqim (orang yang sedang tidak dalam perjalanan), dan tiga hari serta malamnya untuk musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. [17] Kapan mulai durasi pengusapan? Durasi mengusap khuf dimulai sejak pengusapan pertama kali dilakukan pada khuf. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dan yang dipilih oleh Syekh Ibn Utsaimin. Hal ini berdasarkan hadis yang menyebutkan, يمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثا “Bagi muqim, durasi pengusapan adalah satu hari dan satu malam, sedangkan bagi musafir, durasi pengusapan adalah tiga hari.” [18] Tentang durasi membasuh khuf dalam safar Jika seseorang memulai memakai sepatu sebelum safar, kemudian dia bersafar, durasi manakah yang dia pakai? Atau sebaliknya, dia memakai sepatu ketika safar, kemudian sampai di kampung halaman, durasi manakah yang dia pakai? Berikut ini penjelasan dari permasalahan di atas: Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian melakukan perjalanan sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian ia tinggal di suatu tempat (muqim) sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum melakukan pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir. Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum berakhirnya masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian tinggal di suatu tempat (muqim). Jika masih ada sisa masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim. Jika seseorang ragu, sementara ia sedang dalam keadaan musafir ketika ia memulai pengusapan, artinya apakah ia pengusapan sebagai musafir atau muqim; maka ia menggunakan durasi musafir. [19] Hukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf Dari Mugirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين “Biarkan keduanya, sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” [20] Berdasarkan hadis tersebut, banyak dari para ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengenakan khuf, kecuali setelah selesai mencuci kaki kirinya. Pendapat ini adalah yang paling tepat dan lebih hati-hati. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap khuf. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Apakah Microsleep Membatalkan Wudhu? *** 1 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan Riyadh, cet. ke-4 2018 M   Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah [2] Al-Mu’jamul Wasith, hal. 256, Majma’ Lughah Arabiyah, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah [3] Lihat https://dorar.net/feqhia/322 [4] Matn Aqidah Thahawiyah, hal. 49 [5] QS. Al-Ma’idah: 6 [6] Lihat https://binothaimeen.net/content/556 [7] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 [8] HR. An-Nasa’i no. 24 dan Ibnu Majah no. 543 [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 360 [10] HR. An-Nasa’i no. 158 dan Tirmidziy no. 97. Imam Tirmidziy mengatakan, “Hasan sahih.” [11] HR. Ahmad, 4: 252 dan Abu Dawud no. 159 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 87-90 [13] HR. Bukhari no. 166 dan Muslim no. 268 [14] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 92 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [16] HR. Muslim no. 267 [17] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 86 [18] HR. Muslim no. 267 dan Ibnu Khuzaimah no. 194. Lafaz dari Ibnu Khuzaimah [19] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94 [20] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 Tags: mengusap khuf

Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Manusia dan jalan hidupnyaHanya kepada Allah kita kembaliLupa Allah, lupa diri sendiri بسم الله الرحمن الرحيم Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, memohon ampun, dan berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan dari kejelekan perbuatan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan banyak selawat kepada beliau, beserta keluarga, dan para sahabatnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Saya memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arasy yang mulia, untuk menjadikan saya dan kalian (saudara-saudaraku yang mulia) yang semoga diberi taufik dan kebahagian, termasuk orang yang apabila diberi, bersyukur; apabila diuji, bersabar; dan jika berbuat dosa, beristigfar. Sebab, orang yang diberi taufik adalah orang yang memiliki ketiga hal tersebut. Saudara-saudaraku yang mulia, salah satu tanda seorang hamba muslim diberi taufik adalah hatinya melek dan hidup. Ia mengetahui tujuannya diciptakan dalam kehidupan ini. Ia melek dan sadar serta tidak lalai. Ia mengetahui bahwa eksistensinya di kehidupan ini adalah untuk suatu tujuan yang besar, yaitu menghamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menaati dan menjalankan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, untuk Allah, ia habiskan waktu dan hari-hari yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berikan. Kemudian, berpisah dari dunia ini dalam keadaan diridai Allah. Demikianlah, realita besar yang hanya disadari hamba-hamba Allah yang ikhlas, berkat taufik dari Allah Jalla Wa’ala. Tidak banyak orang yang melek dan sadar terhadap realita ini. Manusia dan jalan hidupnya Saudara-saudaraku sekalian, masing-masing manusia menjalani kehidupan ini (sesuai jalan hidupnya). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل الناس يغدو: فبائعٌ نفسَه فمُعتِقُها أو مُوبِقها “Semua orang berjalan mempertaruhkan dirinya, antara membebaskan dirinya atau membinasakannya.”[1] Semua orang bangun di pagi hari. Keluar dari rumahnya. Ada yang pergi ke arah kanan. Ada pula yang ke arah kiri. Ada yang pergi demi agamanya. Dan ada yang pergi demi urusan dunianya. Ada yang spiritnya untuk akhirat. Dan ada yang spiritnya untuk dunia. Setiap orang berjalan. Akan tetapi, hanya orang yang diberi taufiklah yang mengetahui hakikat yang terpampang di hadapannya, lalu mengamalkannya. Mengilmuinya, lalu berpegang teguh. Mengetahui hakikat, lalu memegangnya dengan erat. Sehingga, ia jadikan seluruh hidupnya sebagai wakaf untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Jalla Wa’ala menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya, agar engkau menjadi hamba-Nya. Allah menciptakan hatimu untuk merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang dilantunkan atau yang ada di alam semesta. Allah memberikanmu mata ini untuk membaca kitab Allah ‘Azza Wajalla, untuk membaca hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk kau palingkan melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Allah memberikanmu tangan ini agar kau angkat bermunajat kepada Allah Jalla Wa‘ala, agar kau genggam saat salat, dan agar kau letakkan untuk bersujud. Allah menciptakan tangan ini untuk tujuan tersebut, bukan untuk main-main atau selainnya. Allah memberikanmu kaki ini agar kau gunakan berjalan menuju rumah Allah untuk melaksanakan salat fardu yang Allah wajibkan. Melangkah menuju ketaatan kepada Allah. Allah ‘Azza Wajalla tiada menciptakannya untuk bermain-main dan urusan dunia. Jadikanlah urusan dunia sebagai tujuan sekunder. Adapun tujuan primer, semua anggota badanmu wajib engkau wakafkan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162) Hanya kepada Allah kita kembali Semua orang Islam mengatakan inna lillah wa inna ilahi raji’un. Apakah makna kalimat ini? Kita harus benar-benar melihat dan memikirkan kata-kata yang kita ucapkan. Innaa lillah bermakna kita adalah milik Allah ‘Azza Wajalla. Kita adalah hamba Allah dan kita akan berpisah dari dunia ini untuk bertemu dengan-Nya. مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَـَٔاتٍۢ ۚ “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang.” (QS. Al-‘Ankabut: 6) Berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu kepastian. Engkau akan bertemu Rabbmu dan Dia akan menghisab amalmu. Saudara-saudara sekalian, ini adalah realita yang perlu kita letakkan di pelupuk mata kita. Sebab, banyak orang yang tak paham realita ini, tersesat di berbagai arus kehidupan dunia. Seperti kata pepatah, “Kompas hilang, tak tahu arah dituju.” Akan tetapi, apabila engkau diberi taufik oleh Allah ‘Azza Wajalla, kemudian engkau beriman dan mengesakan-Nya serta mengikuti Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka engkau berada dalam kebaikan. Berjalan dalam kehidupan dengan jelas ke arah depan. أَفَمَن يَمْشِى مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِۦٓ أَهْدَىٰٓ أَمَّن يَمْشِى سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ “Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Mulk: 24) Yaitu, jalan yang jelas. Engkau menjalani kehidupan ini dengan jelas di hadapanmu, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashīrah.”  (QS. Yusuf: 108) ‘Alā bashīrah maknanya seseorang hidup dengan penglihatan yang ia gunakan untuk melihat hal-hal secara hakikatnya. Tidak tertipu dengan dunia ini dan pernak-pernik perhiasannya. Tidak tertipu dengan suatu hal yang dapat memalingkannya dari realita yang gamblang, apa tujuan ia diciptakan. Ia akan menghadapi realita tersebut setelah ia berpindah alam dari dunia ini dengan penerangan dari Rabb-nya أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍۢ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم “Maka, apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya, sama dengan orang yang dijadikan terasa indah baginya perbuatan buruknya dan mengikuti keinginannya?” (QS. Muhammad: 14) Ia memiliki penerangan dan kejelasan pada setiap langkah yang ia tempuh di kehidupan ini. Baca juga: Jalan yang Harus Ditempuh oleh Penuntut Ilmu Lupa Allah, lupa diri sendiri Demikianlah, demi Rabb Pencipta dan Pemilik langit, hanya Dialah yang dapat memberikan taufik orang yang bahagia. Sayangnya, banyak orang yang tidak demikian. Banyak orang yang bangun dan beraktivitas dalam kehidupan ini, dan tidur lalu bangun, kemudian pergi lalu kembali, dalam keadaan tidak tahu arah. Ia lupa terhadap dirinya manakala ia melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melupakan realita yang ia hadapi. Yaitu, statusnya sebagai seorang hamba Allah, yang diciptakan untuk menghidupi realita itu dengan cara mengesakan Allah. Hal itu dikarenakan Allah ‘Azza Wajalla membuat ia lupa terhadap dirinya. Betapa anehnya, ada orang yang hidup, tetapi ia lupa terhadap dirinya sendiri. Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Bagaimana bisa orang lupa dengan dirinya sendiri?” Orang bisa lupa telponnya, lupa pulpennya, lupa kunci rumah, tetapi lupa dirinya sendiri? Bagaimana bisa? Ya. Ia lupa kemaslahatan dirinya dan tidak berusaha menyelamatkan dirinya dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia tersesat dan tak tahu ke mana ia pergi. Ia menyangka dirinya sedang sibuk. Jika ditanya, ia selalu bilang ‘saya sibuk’. Tetapi sibuk dalam hal apa? Apakah ia sibuk dalam hakikat tujuan ia diciptakan? Atau sibuk hal lain? Saudaraku sekalian, di sinilah letak petunjuk dan ketersesatan. Semua orang dalam hidup ini, pada semua urusan mereka, setiap gerak dan diam, serta semua tindak-tanduk mereka, semuanya berjalan di atas kaidah petunjuk dan ketersesatan. Ada orang yang diberi hidayah dan ada orang yang tersesat. Orang yang mendapat hidayah ialah orang yang Allah beri petunjuk. Dan orang yang tersesat ialah orang yang Allah sesatkan. Saudaraku sekalian, demi Allah, orang yang jujur kepada Rabbnya, maka Dia akan penuhi janji-Nya kepadanya. Jika kamu jujur kepada Allah, Allah akan beri ganjaran. Orang yang mendatangi Allah, Allah tidak akan mengusirnya. Siapa yang menyambut Allah, Allah akan menyambutnya. Allah, Dialah Yang Maha Menerima syukur hamba-Nya. أَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ صَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ “Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7) Lanjut ke bagian 2: Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 2) *** Penerjemah: Al-Faqir Ilallah Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Washaya Lī Thullab Al-‘Ilm karya Prof. Dr. Shalih bin Abdil Aziz bin Utsman Sindi rahimahullah (Profesor Akidah di Universitas Islam Madinah).   Catatan kaki: [1] HR. Muslim no. 223. Tags: penuntut ilmuwasiat

Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Manusia dan jalan hidupnyaHanya kepada Allah kita kembaliLupa Allah, lupa diri sendiri بسم الله الرحمن الرحيم Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, memohon ampun, dan berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan dari kejelekan perbuatan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan banyak selawat kepada beliau, beserta keluarga, dan para sahabatnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Saya memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arasy yang mulia, untuk menjadikan saya dan kalian (saudara-saudaraku yang mulia) yang semoga diberi taufik dan kebahagian, termasuk orang yang apabila diberi, bersyukur; apabila diuji, bersabar; dan jika berbuat dosa, beristigfar. Sebab, orang yang diberi taufik adalah orang yang memiliki ketiga hal tersebut. Saudara-saudaraku yang mulia, salah satu tanda seorang hamba muslim diberi taufik adalah hatinya melek dan hidup. Ia mengetahui tujuannya diciptakan dalam kehidupan ini. Ia melek dan sadar serta tidak lalai. Ia mengetahui bahwa eksistensinya di kehidupan ini adalah untuk suatu tujuan yang besar, yaitu menghamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menaati dan menjalankan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, untuk Allah, ia habiskan waktu dan hari-hari yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berikan. Kemudian, berpisah dari dunia ini dalam keadaan diridai Allah. Demikianlah, realita besar yang hanya disadari hamba-hamba Allah yang ikhlas, berkat taufik dari Allah Jalla Wa’ala. Tidak banyak orang yang melek dan sadar terhadap realita ini. Manusia dan jalan hidupnya Saudara-saudaraku sekalian, masing-masing manusia menjalani kehidupan ini (sesuai jalan hidupnya). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل الناس يغدو: فبائعٌ نفسَه فمُعتِقُها أو مُوبِقها “Semua orang berjalan mempertaruhkan dirinya, antara membebaskan dirinya atau membinasakannya.”[1] Semua orang bangun di pagi hari. Keluar dari rumahnya. Ada yang pergi ke arah kanan. Ada pula yang ke arah kiri. Ada yang pergi demi agamanya. Dan ada yang pergi demi urusan dunianya. Ada yang spiritnya untuk akhirat. Dan ada yang spiritnya untuk dunia. Setiap orang berjalan. Akan tetapi, hanya orang yang diberi taufiklah yang mengetahui hakikat yang terpampang di hadapannya, lalu mengamalkannya. Mengilmuinya, lalu berpegang teguh. Mengetahui hakikat, lalu memegangnya dengan erat. Sehingga, ia jadikan seluruh hidupnya sebagai wakaf untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Jalla Wa’ala menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya, agar engkau menjadi hamba-Nya. Allah menciptakan hatimu untuk merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang dilantunkan atau yang ada di alam semesta. Allah memberikanmu mata ini untuk membaca kitab Allah ‘Azza Wajalla, untuk membaca hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk kau palingkan melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Allah memberikanmu tangan ini agar kau angkat bermunajat kepada Allah Jalla Wa‘ala, agar kau genggam saat salat, dan agar kau letakkan untuk bersujud. Allah menciptakan tangan ini untuk tujuan tersebut, bukan untuk main-main atau selainnya. Allah memberikanmu kaki ini agar kau gunakan berjalan menuju rumah Allah untuk melaksanakan salat fardu yang Allah wajibkan. Melangkah menuju ketaatan kepada Allah. Allah ‘Azza Wajalla tiada menciptakannya untuk bermain-main dan urusan dunia. Jadikanlah urusan dunia sebagai tujuan sekunder. Adapun tujuan primer, semua anggota badanmu wajib engkau wakafkan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162) Hanya kepada Allah kita kembali Semua orang Islam mengatakan inna lillah wa inna ilahi raji’un. Apakah makna kalimat ini? Kita harus benar-benar melihat dan memikirkan kata-kata yang kita ucapkan. Innaa lillah bermakna kita adalah milik Allah ‘Azza Wajalla. Kita adalah hamba Allah dan kita akan berpisah dari dunia ini untuk bertemu dengan-Nya. مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَـَٔاتٍۢ ۚ “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang.” (QS. Al-‘Ankabut: 6) Berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu kepastian. Engkau akan bertemu Rabbmu dan Dia akan menghisab amalmu. Saudara-saudara sekalian, ini adalah realita yang perlu kita letakkan di pelupuk mata kita. Sebab, banyak orang yang tak paham realita ini, tersesat di berbagai arus kehidupan dunia. Seperti kata pepatah, “Kompas hilang, tak tahu arah dituju.” Akan tetapi, apabila engkau diberi taufik oleh Allah ‘Azza Wajalla, kemudian engkau beriman dan mengesakan-Nya serta mengikuti Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka engkau berada dalam kebaikan. Berjalan dalam kehidupan dengan jelas ke arah depan. أَفَمَن يَمْشِى مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِۦٓ أَهْدَىٰٓ أَمَّن يَمْشِى سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ “Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Mulk: 24) Yaitu, jalan yang jelas. Engkau menjalani kehidupan ini dengan jelas di hadapanmu, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashīrah.”  (QS. Yusuf: 108) ‘Alā bashīrah maknanya seseorang hidup dengan penglihatan yang ia gunakan untuk melihat hal-hal secara hakikatnya. Tidak tertipu dengan dunia ini dan pernak-pernik perhiasannya. Tidak tertipu dengan suatu hal yang dapat memalingkannya dari realita yang gamblang, apa tujuan ia diciptakan. Ia akan menghadapi realita tersebut setelah ia berpindah alam dari dunia ini dengan penerangan dari Rabb-nya أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍۢ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم “Maka, apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya, sama dengan orang yang dijadikan terasa indah baginya perbuatan buruknya dan mengikuti keinginannya?” (QS. Muhammad: 14) Ia memiliki penerangan dan kejelasan pada setiap langkah yang ia tempuh di kehidupan ini. Baca juga: Jalan yang Harus Ditempuh oleh Penuntut Ilmu Lupa Allah, lupa diri sendiri Demikianlah, demi Rabb Pencipta dan Pemilik langit, hanya Dialah yang dapat memberikan taufik orang yang bahagia. Sayangnya, banyak orang yang tidak demikian. Banyak orang yang bangun dan beraktivitas dalam kehidupan ini, dan tidur lalu bangun, kemudian pergi lalu kembali, dalam keadaan tidak tahu arah. Ia lupa terhadap dirinya manakala ia melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melupakan realita yang ia hadapi. Yaitu, statusnya sebagai seorang hamba Allah, yang diciptakan untuk menghidupi realita itu dengan cara mengesakan Allah. Hal itu dikarenakan Allah ‘Azza Wajalla membuat ia lupa terhadap dirinya. Betapa anehnya, ada orang yang hidup, tetapi ia lupa terhadap dirinya sendiri. Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Bagaimana bisa orang lupa dengan dirinya sendiri?” Orang bisa lupa telponnya, lupa pulpennya, lupa kunci rumah, tetapi lupa dirinya sendiri? Bagaimana bisa? Ya. Ia lupa kemaslahatan dirinya dan tidak berusaha menyelamatkan dirinya dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia tersesat dan tak tahu ke mana ia pergi. Ia menyangka dirinya sedang sibuk. Jika ditanya, ia selalu bilang ‘saya sibuk’. Tetapi sibuk dalam hal apa? Apakah ia sibuk dalam hakikat tujuan ia diciptakan? Atau sibuk hal lain? Saudaraku sekalian, di sinilah letak petunjuk dan ketersesatan. Semua orang dalam hidup ini, pada semua urusan mereka, setiap gerak dan diam, serta semua tindak-tanduk mereka, semuanya berjalan di atas kaidah petunjuk dan ketersesatan. Ada orang yang diberi hidayah dan ada orang yang tersesat. Orang yang mendapat hidayah ialah orang yang Allah beri petunjuk. Dan orang yang tersesat ialah orang yang Allah sesatkan. Saudaraku sekalian, demi Allah, orang yang jujur kepada Rabbnya, maka Dia akan penuhi janji-Nya kepadanya. Jika kamu jujur kepada Allah, Allah akan beri ganjaran. Orang yang mendatangi Allah, Allah tidak akan mengusirnya. Siapa yang menyambut Allah, Allah akan menyambutnya. Allah, Dialah Yang Maha Menerima syukur hamba-Nya. أَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ صَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ “Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7) Lanjut ke bagian 2: Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 2) *** Penerjemah: Al-Faqir Ilallah Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Washaya Lī Thullab Al-‘Ilm karya Prof. Dr. Shalih bin Abdil Aziz bin Utsman Sindi rahimahullah (Profesor Akidah di Universitas Islam Madinah).   Catatan kaki: [1] HR. Muslim no. 223. Tags: penuntut ilmuwasiat
Daftar Isi Toggle Manusia dan jalan hidupnyaHanya kepada Allah kita kembaliLupa Allah, lupa diri sendiri بسم الله الرحمن الرحيم Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, memohon ampun, dan berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan dari kejelekan perbuatan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan banyak selawat kepada beliau, beserta keluarga, dan para sahabatnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Saya memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arasy yang mulia, untuk menjadikan saya dan kalian (saudara-saudaraku yang mulia) yang semoga diberi taufik dan kebahagian, termasuk orang yang apabila diberi, bersyukur; apabila diuji, bersabar; dan jika berbuat dosa, beristigfar. Sebab, orang yang diberi taufik adalah orang yang memiliki ketiga hal tersebut. Saudara-saudaraku yang mulia, salah satu tanda seorang hamba muslim diberi taufik adalah hatinya melek dan hidup. Ia mengetahui tujuannya diciptakan dalam kehidupan ini. Ia melek dan sadar serta tidak lalai. Ia mengetahui bahwa eksistensinya di kehidupan ini adalah untuk suatu tujuan yang besar, yaitu menghamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menaati dan menjalankan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, untuk Allah, ia habiskan waktu dan hari-hari yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berikan. Kemudian, berpisah dari dunia ini dalam keadaan diridai Allah. Demikianlah, realita besar yang hanya disadari hamba-hamba Allah yang ikhlas, berkat taufik dari Allah Jalla Wa’ala. Tidak banyak orang yang melek dan sadar terhadap realita ini. Manusia dan jalan hidupnya Saudara-saudaraku sekalian, masing-masing manusia menjalani kehidupan ini (sesuai jalan hidupnya). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل الناس يغدو: فبائعٌ نفسَه فمُعتِقُها أو مُوبِقها “Semua orang berjalan mempertaruhkan dirinya, antara membebaskan dirinya atau membinasakannya.”[1] Semua orang bangun di pagi hari. Keluar dari rumahnya. Ada yang pergi ke arah kanan. Ada pula yang ke arah kiri. Ada yang pergi demi agamanya. Dan ada yang pergi demi urusan dunianya. Ada yang spiritnya untuk akhirat. Dan ada yang spiritnya untuk dunia. Setiap orang berjalan. Akan tetapi, hanya orang yang diberi taufiklah yang mengetahui hakikat yang terpampang di hadapannya, lalu mengamalkannya. Mengilmuinya, lalu berpegang teguh. Mengetahui hakikat, lalu memegangnya dengan erat. Sehingga, ia jadikan seluruh hidupnya sebagai wakaf untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Jalla Wa’ala menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya, agar engkau menjadi hamba-Nya. Allah menciptakan hatimu untuk merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang dilantunkan atau yang ada di alam semesta. Allah memberikanmu mata ini untuk membaca kitab Allah ‘Azza Wajalla, untuk membaca hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk kau palingkan melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Allah memberikanmu tangan ini agar kau angkat bermunajat kepada Allah Jalla Wa‘ala, agar kau genggam saat salat, dan agar kau letakkan untuk bersujud. Allah menciptakan tangan ini untuk tujuan tersebut, bukan untuk main-main atau selainnya. Allah memberikanmu kaki ini agar kau gunakan berjalan menuju rumah Allah untuk melaksanakan salat fardu yang Allah wajibkan. Melangkah menuju ketaatan kepada Allah. Allah ‘Azza Wajalla tiada menciptakannya untuk bermain-main dan urusan dunia. Jadikanlah urusan dunia sebagai tujuan sekunder. Adapun tujuan primer, semua anggota badanmu wajib engkau wakafkan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162) Hanya kepada Allah kita kembali Semua orang Islam mengatakan inna lillah wa inna ilahi raji’un. Apakah makna kalimat ini? Kita harus benar-benar melihat dan memikirkan kata-kata yang kita ucapkan. Innaa lillah bermakna kita adalah milik Allah ‘Azza Wajalla. Kita adalah hamba Allah dan kita akan berpisah dari dunia ini untuk bertemu dengan-Nya. مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَـَٔاتٍۢ ۚ “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang.” (QS. Al-‘Ankabut: 6) Berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu kepastian. Engkau akan bertemu Rabbmu dan Dia akan menghisab amalmu. Saudara-saudara sekalian, ini adalah realita yang perlu kita letakkan di pelupuk mata kita. Sebab, banyak orang yang tak paham realita ini, tersesat di berbagai arus kehidupan dunia. Seperti kata pepatah, “Kompas hilang, tak tahu arah dituju.” Akan tetapi, apabila engkau diberi taufik oleh Allah ‘Azza Wajalla, kemudian engkau beriman dan mengesakan-Nya serta mengikuti Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka engkau berada dalam kebaikan. Berjalan dalam kehidupan dengan jelas ke arah depan. أَفَمَن يَمْشِى مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِۦٓ أَهْدَىٰٓ أَمَّن يَمْشِى سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ “Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Mulk: 24) Yaitu, jalan yang jelas. Engkau menjalani kehidupan ini dengan jelas di hadapanmu, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashīrah.”  (QS. Yusuf: 108) ‘Alā bashīrah maknanya seseorang hidup dengan penglihatan yang ia gunakan untuk melihat hal-hal secara hakikatnya. Tidak tertipu dengan dunia ini dan pernak-pernik perhiasannya. Tidak tertipu dengan suatu hal yang dapat memalingkannya dari realita yang gamblang, apa tujuan ia diciptakan. Ia akan menghadapi realita tersebut setelah ia berpindah alam dari dunia ini dengan penerangan dari Rabb-nya أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍۢ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم “Maka, apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya, sama dengan orang yang dijadikan terasa indah baginya perbuatan buruknya dan mengikuti keinginannya?” (QS. Muhammad: 14) Ia memiliki penerangan dan kejelasan pada setiap langkah yang ia tempuh di kehidupan ini. Baca juga: Jalan yang Harus Ditempuh oleh Penuntut Ilmu Lupa Allah, lupa diri sendiri Demikianlah, demi Rabb Pencipta dan Pemilik langit, hanya Dialah yang dapat memberikan taufik orang yang bahagia. Sayangnya, banyak orang yang tidak demikian. Banyak orang yang bangun dan beraktivitas dalam kehidupan ini, dan tidur lalu bangun, kemudian pergi lalu kembali, dalam keadaan tidak tahu arah. Ia lupa terhadap dirinya manakala ia melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melupakan realita yang ia hadapi. Yaitu, statusnya sebagai seorang hamba Allah, yang diciptakan untuk menghidupi realita itu dengan cara mengesakan Allah. Hal itu dikarenakan Allah ‘Azza Wajalla membuat ia lupa terhadap dirinya. Betapa anehnya, ada orang yang hidup, tetapi ia lupa terhadap dirinya sendiri. Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Bagaimana bisa orang lupa dengan dirinya sendiri?” Orang bisa lupa telponnya, lupa pulpennya, lupa kunci rumah, tetapi lupa dirinya sendiri? Bagaimana bisa? Ya. Ia lupa kemaslahatan dirinya dan tidak berusaha menyelamatkan dirinya dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia tersesat dan tak tahu ke mana ia pergi. Ia menyangka dirinya sedang sibuk. Jika ditanya, ia selalu bilang ‘saya sibuk’. Tetapi sibuk dalam hal apa? Apakah ia sibuk dalam hakikat tujuan ia diciptakan? Atau sibuk hal lain? Saudaraku sekalian, di sinilah letak petunjuk dan ketersesatan. Semua orang dalam hidup ini, pada semua urusan mereka, setiap gerak dan diam, serta semua tindak-tanduk mereka, semuanya berjalan di atas kaidah petunjuk dan ketersesatan. Ada orang yang diberi hidayah dan ada orang yang tersesat. Orang yang mendapat hidayah ialah orang yang Allah beri petunjuk. Dan orang yang tersesat ialah orang yang Allah sesatkan. Saudaraku sekalian, demi Allah, orang yang jujur kepada Rabbnya, maka Dia akan penuhi janji-Nya kepadanya. Jika kamu jujur kepada Allah, Allah akan beri ganjaran. Orang yang mendatangi Allah, Allah tidak akan mengusirnya. Siapa yang menyambut Allah, Allah akan menyambutnya. Allah, Dialah Yang Maha Menerima syukur hamba-Nya. أَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ صَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ “Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7) Lanjut ke bagian 2: Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 2) *** Penerjemah: Al-Faqir Ilallah Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Washaya Lī Thullab Al-‘Ilm karya Prof. Dr. Shalih bin Abdil Aziz bin Utsman Sindi rahimahullah (Profesor Akidah di Universitas Islam Madinah).   Catatan kaki: [1] HR. Muslim no. 223. Tags: penuntut ilmuwasiat


Daftar Isi Toggle Manusia dan jalan hidupnyaHanya kepada Allah kita kembaliLupa Allah, lupa diri sendiri بسم الله الرحمن الرحيم Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, memohon ampun, dan berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan dari kejelekan perbuatan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan banyak selawat kepada beliau, beserta keluarga, dan para sahabatnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Saya memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arasy yang mulia, untuk menjadikan saya dan kalian (saudara-saudaraku yang mulia) yang semoga diberi taufik dan kebahagian, termasuk orang yang apabila diberi, bersyukur; apabila diuji, bersabar; dan jika berbuat dosa, beristigfar. Sebab, orang yang diberi taufik adalah orang yang memiliki ketiga hal tersebut. Saudara-saudaraku yang mulia, salah satu tanda seorang hamba muslim diberi taufik adalah hatinya melek dan hidup. Ia mengetahui tujuannya diciptakan dalam kehidupan ini. Ia melek dan sadar serta tidak lalai. Ia mengetahui bahwa eksistensinya di kehidupan ini adalah untuk suatu tujuan yang besar, yaitu menghamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menaati dan menjalankan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, untuk Allah, ia habiskan waktu dan hari-hari yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berikan. Kemudian, berpisah dari dunia ini dalam keadaan diridai Allah. Demikianlah, realita besar yang hanya disadari hamba-hamba Allah yang ikhlas, berkat taufik dari Allah Jalla Wa’ala. Tidak banyak orang yang melek dan sadar terhadap realita ini. Manusia dan jalan hidupnya Saudara-saudaraku sekalian, masing-masing manusia menjalani kehidupan ini (sesuai jalan hidupnya). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل الناس يغدو: فبائعٌ نفسَه فمُعتِقُها أو مُوبِقها “Semua orang berjalan mempertaruhkan dirinya, antara membebaskan dirinya atau membinasakannya.”[1] Semua orang bangun di pagi hari. Keluar dari rumahnya. Ada yang pergi ke arah kanan. Ada pula yang ke arah kiri. Ada yang pergi demi agamanya. Dan ada yang pergi demi urusan dunianya. Ada yang spiritnya untuk akhirat. Dan ada yang spiritnya untuk dunia. Setiap orang berjalan. Akan tetapi, hanya orang yang diberi taufiklah yang mengetahui hakikat yang terpampang di hadapannya, lalu mengamalkannya. Mengilmuinya, lalu berpegang teguh. Mengetahui hakikat, lalu memegangnya dengan erat. Sehingga, ia jadikan seluruh hidupnya sebagai wakaf untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Jalla Wa’ala menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya, agar engkau menjadi hamba-Nya. Allah menciptakan hatimu untuk merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang dilantunkan atau yang ada di alam semesta. Allah memberikanmu mata ini untuk membaca kitab Allah ‘Azza Wajalla, untuk membaca hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk kau palingkan melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Allah memberikanmu tangan ini agar kau angkat bermunajat kepada Allah Jalla Wa‘ala, agar kau genggam saat salat, dan agar kau letakkan untuk bersujud. Allah menciptakan tangan ini untuk tujuan tersebut, bukan untuk main-main atau selainnya. Allah memberikanmu kaki ini agar kau gunakan berjalan menuju rumah Allah untuk melaksanakan salat fardu yang Allah wajibkan. Melangkah menuju ketaatan kepada Allah. Allah ‘Azza Wajalla tiada menciptakannya untuk bermain-main dan urusan dunia. Jadikanlah urusan dunia sebagai tujuan sekunder. Adapun tujuan primer, semua anggota badanmu wajib engkau wakafkan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162) Hanya kepada Allah kita kembali Semua orang Islam mengatakan inna lillah wa inna ilahi raji’un. Apakah makna kalimat ini? Kita harus benar-benar melihat dan memikirkan kata-kata yang kita ucapkan. Innaa lillah bermakna kita adalah milik Allah ‘Azza Wajalla. Kita adalah hamba Allah dan kita akan berpisah dari dunia ini untuk bertemu dengan-Nya. مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَـَٔاتٍۢ ۚ “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang.” (QS. Al-‘Ankabut: 6) Berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu kepastian. Engkau akan bertemu Rabbmu dan Dia akan menghisab amalmu. Saudara-saudara sekalian, ini adalah realita yang perlu kita letakkan di pelupuk mata kita. Sebab, banyak orang yang tak paham realita ini, tersesat di berbagai arus kehidupan dunia. Seperti kata pepatah, “Kompas hilang, tak tahu arah dituju.” Akan tetapi, apabila engkau diberi taufik oleh Allah ‘Azza Wajalla, kemudian engkau beriman dan mengesakan-Nya serta mengikuti Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka engkau berada dalam kebaikan. Berjalan dalam kehidupan dengan jelas ke arah depan. أَفَمَن يَمْشِى مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِۦٓ أَهْدَىٰٓ أَمَّن يَمْشِى سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ “Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Mulk: 24) Yaitu, jalan yang jelas. Engkau menjalani kehidupan ini dengan jelas di hadapanmu, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashīrah.”  (QS. Yusuf: 108) ‘Alā bashīrah maknanya seseorang hidup dengan penglihatan yang ia gunakan untuk melihat hal-hal secara hakikatnya. Tidak tertipu dengan dunia ini dan pernak-pernik perhiasannya. Tidak tertipu dengan suatu hal yang dapat memalingkannya dari realita yang gamblang, apa tujuan ia diciptakan. Ia akan menghadapi realita tersebut setelah ia berpindah alam dari dunia ini dengan penerangan dari Rabb-nya أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍۢ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم “Maka, apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya, sama dengan orang yang dijadikan terasa indah baginya perbuatan buruknya dan mengikuti keinginannya?” (QS. Muhammad: 14) Ia memiliki penerangan dan kejelasan pada setiap langkah yang ia tempuh di kehidupan ini. Baca juga: Jalan yang Harus Ditempuh oleh Penuntut Ilmu Lupa Allah, lupa diri sendiri Demikianlah, demi Rabb Pencipta dan Pemilik langit, hanya Dialah yang dapat memberikan taufik orang yang bahagia. Sayangnya, banyak orang yang tidak demikian. Banyak orang yang bangun dan beraktivitas dalam kehidupan ini, dan tidur lalu bangun, kemudian pergi lalu kembali, dalam keadaan tidak tahu arah. Ia lupa terhadap dirinya manakala ia melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melupakan realita yang ia hadapi. Yaitu, statusnya sebagai seorang hamba Allah, yang diciptakan untuk menghidupi realita itu dengan cara mengesakan Allah. Hal itu dikarenakan Allah ‘Azza Wajalla membuat ia lupa terhadap dirinya. Betapa anehnya, ada orang yang hidup, tetapi ia lupa terhadap dirinya sendiri. Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Bagaimana bisa orang lupa dengan dirinya sendiri?” Orang bisa lupa telponnya, lupa pulpennya, lupa kunci rumah, tetapi lupa dirinya sendiri? Bagaimana bisa? Ya. Ia lupa kemaslahatan dirinya dan tidak berusaha menyelamatkan dirinya dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia tersesat dan tak tahu ke mana ia pergi. Ia menyangka dirinya sedang sibuk. Jika ditanya, ia selalu bilang ‘saya sibuk’. Tetapi sibuk dalam hal apa? Apakah ia sibuk dalam hakikat tujuan ia diciptakan? Atau sibuk hal lain? Saudaraku sekalian, di sinilah letak petunjuk dan ketersesatan. Semua orang dalam hidup ini, pada semua urusan mereka, setiap gerak dan diam, serta semua tindak-tanduk mereka, semuanya berjalan di atas kaidah petunjuk dan ketersesatan. Ada orang yang diberi hidayah dan ada orang yang tersesat. Orang yang mendapat hidayah ialah orang yang Allah beri petunjuk. Dan orang yang tersesat ialah orang yang Allah sesatkan. Saudaraku sekalian, demi Allah, orang yang jujur kepada Rabbnya, maka Dia akan penuhi janji-Nya kepadanya. Jika kamu jujur kepada Allah, Allah akan beri ganjaran. Orang yang mendatangi Allah, Allah tidak akan mengusirnya. Siapa yang menyambut Allah, Allah akan menyambutnya. Allah, Dialah Yang Maha Menerima syukur hamba-Nya. أَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ صَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ “Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7) Lanjut ke bagian 2: Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 2) *** Penerjemah: Al-Faqir Ilallah Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Washaya Lī Thullab Al-‘Ilm karya Prof. Dr. Shalih bin Abdil Aziz bin Utsman Sindi rahimahullah (Profesor Akidah di Universitas Islam Madinah).   Catatan kaki: [1] HR. Muslim no. 223. Tags: penuntut ilmuwasiat

Siapakah yang Diwajibkan Mengqada Puasa

من يجب عليهم القضاءOrang yang Wajib Mengqada Puasa صوم رمضان أحد الأركان التي بني عليها الإسلام، وقد أخبر الله أنه كتبه على المؤمنين من هذه الأمة، كما كتبه على من كان قبلهم، فقال تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة / 183]. فإذا دخل شهر رمضان وجب على كل مسلم مكلف مقيم صحيح أن يصومه، قال تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة/185]. Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun di mana Islam dibangun di atasnya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah Mengabarkan bahwa Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang yang beriman dari umat ini sebagaimana Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang sebelum mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Maka dari itu, ketika masuk bulan Ramadan, setiap muslim yang mukallaf, mukim, dan sehat wajib untuk berpuasa di bulan itu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) وإن من تيسير الله لعباده أنه لم يفرض الصيام إلا على من يطيقه ، وأباح الفطر لمن لم يستطع الصوم لعذر شرعي، فشرع للمسافر والمريض – مثلاً – الفطر في رمضان لدفع المشقة عنهما، قال تعالى: {شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليُسر ولا يريد بكم العسر} [البقرة/185]. على أن يقضيه حال انقطاع عذره أو شفاء مرضه وهذا من تيسير الله على عباده ولطفه بهم. Di antara kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā tidak Mewajibkan puasa kecuali bagi orang-orang yang mampu, dan Membolehkan orang-orang yang tidak mampu berpuasa untuk tidak berpuasa karena suatu uzur yang dibenarkan syariat. Misalnya, diperbolehkan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan demi menghilangkan kesulitan dari mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah Menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak Menghendaki kesukaran bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dengan syarat bahwa dia harus mengqadanya setelah selesai dari uzurnya atau sembuh penyakitnya. Ini adalah kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dan kelembutan-Nya kepada mereka. Berikut ini adalah beberapa masalah dan hukum-hukum seputar qada puasa Ramadan. 1- من أفطر لعذر؛ كالمريض والمسافر، والحائض والنفساء، والحامل والمرضع، والذي يرهقه الجوع أو العطش إلى حد لا يحتمله؛ فإنه يجب عليهم قضاء ما أفطروه من أيامٍ بعد رمضان.[1] لقول الله تعالى: {وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}[البقرة/185]. ولما ثبت عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: “مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلا تَقْضِي الصَّلاةَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةِ”.[2] Orang yang tidak puasa karena suatu uzur, seperti orang sakit dan musafir, wanita haid dan nifas, hamil dan menyusui, serta orang yang merasa berat karena lapar atau haus hingga titik di mana dia tidak sanggup lagi menahannya, maka orang seperti ini harus mengqada hari-hari di mana dia tidak berpuasa setelah Ramadhan. [1]Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)Demikian juga berdasarkan sebuah riwayat sahih dari Muadz yang berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?’ Lalu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— menjawab, ‘Kami dahulu mengalami haid, lalu diperintahkan untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.'” [2] 2- اختلف العلماء في حكم الحامل والمرضع إذا أفطرتا على عدة أقوال: القول الأول: عليهما القضاء فقط، وهذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله. وقال به من الصحابة علي بن أبي طالب رضي الله عنه. القول الثاني: إن خافتا على أنفسهما فعليهما القضاء فقط، وإن خافتا على ولديهما فعليهما القضاء وإطعام مسكين عن كل يوم، وهو مذهب الإمامين الشافعي وأحمد. وحكاه الجصاص عن ابن عمر رضي الله عنهما. القول الثالث: عليهما الإطعام فقط، ولا قضاء عليهما. وقال به من الصحابة عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، وحكاه ابن قدامة في “المغني” (3/37) عن ابن عمر أيضاً رضي الله عنهما. Para ulama berbeda pendapat menjadi beberapa pendapat mengenai hukum wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa. Pendapat pertama, hanya wajib qada saja. Demikian mazhab Imam Abu Hanifah —Semoga Allah Merahmatinya—, yang juga menjadi pendapat salah seorang Sahabat, yakni Ali bin Abi Thalib —Semoga Allah Meridainya. Pendapat kedua, jika mereka (tidak puasa) karena khawatir terhadap diri mereka sendiri, maka mereka hanya wajib qada saja. Adapun jika karena khawatir terhadap anaknya, maka mereka wajib qada dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya (fidiah). Demikian mazhab Imam Syafii dan Ahmad. Al-Jaṣṣāṣ meriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya. Pendapat ketiga, hanya perlu fidiah saja tanpa perlu mengqada. Inilah pendapat salah seorang Sahabat, yakni Abdullah bin Abbas —Semoga Allah Meridainya. Ibnu Qudamah juga meriwayatkan pendapat ini dalam al-Mughni (3/37) dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— juga. والأرجح هو القول الأول وهو أن عليهما القضاء فقط، واستدل من قال بذلك بأن بعدة أدلة، منها: أ- ما رواه النسائي (2274) عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاةِ، وَالصَّوْمَ، وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ) صححه الألباني في صحيح النسائي. فجعل النبي صلى الله عليه وسلم حكم الحامل والمرضع كالمسافر، والمسافر يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع. انظر: “أحكام القرآن” للجصاص. ب- القياس على المريض، فكما أن المريض يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع.[3] وقد اختار هذا القول جماعة من العلماء، وهو ما رجحه الشيخان ابن باز وابن عثيمين – رحمهما الله تعالى.[4] Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama, bahwa mereka hanya wajib mengqada saja. Mereka yang berpendapat demikian berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya: Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasai (2274) dari Anas —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Sesungguhnya Allah telah Menggugurkan bagi musafir separuh salat dan puasa, (dan puasa) bagi wanita hamil dan menyusui.” Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasai. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam Menjadikan hukum bagi wanita hamil dan menyusui sama dengan seperti hukum musafir, di mana seorang musafir boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. Lihat: Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ. Kias dengan orang sakit, sebagaimana orang sakit boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. [3] Pendapat inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh syekh Bin Baz dan Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmati mereka. [4] 3- من أفطر يومًا من رمضان بغير عذر؛ كمن لم ينو صومه من الأصل، أو أفطر بعد شروعه في الصوم لغير عذر؛ فقد أتى كبيرة من كبائر الذنوب، وعرض نفسه لسخط الله وعقابه، ويلزمه التوبة الصادقة النصوح، ويلزمه قضاء ما أفطره في قول عامة أهل العلم، وحكى بعضهم الإجماع عليه. Orang yang tidak puasa di bulan Ramadan tanpa alasan; seperti seseorang yang sejak awal tidak berniat berpuasa sama sekali, atau membatalkannya setelah mulai berpuasa tanpa alasan. Orang seperti ini telah melakukan dosa besar dan membiarkan dirinya berpotensi terkena murka dan azab Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Dia harus bertobat dengan pertobatan yang benar dan tulus. Dia juga harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, menurut mayoritas ulama, bahkan sebagian mereka ada yang mengutip adanya ijmak mengenai hal itu. قال ابن عبد البر -رحمه الله-: “وأجمعت الأمة، ونقلت الكافة، فيمن لم يصم رمضان عامداً وهو مؤمن بفرضه، وإنما تركه أشراً وبطراً، تعمَّد ذلك ثم تاب عنه: أن عليه قضاءه”.[5] وقال ابن قدامة المقدسي-رحمه الله-: “لَا نَعْلَمُ فِي ذَلِكَ خِلَافًا؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ كَانَ ثَابِتًا فِي الذِّمَّةِ، فَلَا تَبْرَأُ مِنْهُ إلَّا بِأَدَائِهِ، وَلَمْ يُؤَدِّهِ، فَبَقِيَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ”.[6] Ibnu Abdillbarr —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa umat ini sepakat dan mereka semua telah mengutip bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadan dengan sengaja sementara dia meyakini bahwa itu wajib, tetapi dia meninggalkannya karena kejahatan dan kesombongan dirinya, yang pernah dia lakukan dengan sengaja tapi kemudian bertobat dari perbuatannya itu, maka dia wajib mengqadanya. [5] Ibnu Qudamah al-Maqdisi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, karena puasa itu menjadi beban kewajibannya, maka hal itu tidak gugur kecuali dengan menunaikannya, padahal dia belum melakukannya, sehingga hukumnya tetap sebagaimana sebelumnya (yakni masih menjadi beban kewajibannya, pent.)” [6] وسئل الشيخ ابن باز-رحمه الله-: ما الحكم في شخص أفطر في رمضان بغير عذر شرعي، وهو في السنة السابعة عشرة تقريبًا، ولا يوجد له أي عذر، فماذا يعمل؟ وهل يجب عليه القضاء؟ فقال: “نعم، يجب عليه القضاء، وعليه التوبة إلى الله سبحانه وتعالى عن تفريطه وإفطاره. وأما ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (من أفطر يومًا من رمضان من غير رخصة ولا مرض لم يقضِ عنه صيام الدهر كله، وإن صامه)، فهو حديث ضعيف مضطرب عند أهل العلم لا يصح”.[7] Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya jika seseorang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadan tanpa uzur yang dibenarkan syariat, sementara umurnya kira-kira sudah tujuh belas tahun. Ketika itu dia tidak memiliki alasan apa pun, lalu apa yang harus dia lakukan? Apakah dia wajib mengqadanya? Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— menjawab, “Ya, dia harus mengqadanya, dan harus bertobat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas kealpaan dan telah membatalkan puasanya. Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ‘Barang siapa yang tidak berpuasa sehari di Ramadan padahal dia tidak mendapatkan rukhsah maupun sakit, maka puasanya sepanjang tahun pun takkan bisa menggantinya, dan meskipun dia benar-benar melakukan puasa itu.’ Hadis ini statusnya lemah dan Muḏhṯharib (rancu) menurut para ulama sehingga tidak dinilai sahih.” [7] وقال بعض أهل العلم كالمالكية إلى وجوب الكفارة المغلظة على مَن انتهك حرمة رمضان وأفسد صومه عمدا بالأكل والشرب إذا تحققت شروط لديهم، ويكون حكمه كحكم من جامع في نهار رمضان. والراجح: هو عدم وجوب الكفارة على من أفطر في رمضان بغير الجماع ؛ لأن الأصل عدم الكفارة أو الفدية إلا فيما ورد به الشرع؛ ولم يرد في الشرع وجوب الكفارة إلا بالجماع ، ولا يصح قياس الأكل والشرب على الجماع، وهو قول الجمهور .[8] Sebagian ulama, seperti ulama mazhab Maliki, mengatakan bahwa dia harus melakukan kafarat Mughallaẓah (Kafaratnya orang yang bersenggama di siang hari bulan Ramadan, pent.) bagi orang yang melanggar kesucian bulan Ramadan, yakni dengan sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum. Ini berlaku jika syarat-syarat yang mereka tetapkan terpenuhi pada diri orang ini, sehingga hukumnya sama dengan hukum orang yang melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadan. Namun pendapat yang paling benar adalah tidak wajibnya kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadan tanpa melakukan hubungan badan, karena pada prinsipnya seseorang tidak diwajibkan kafarat atau fidiah kecuali sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat. Sementara dalam syariat ini tidak ada ketetapan wajibnya kafarat kecuali karena persetubuhan. Pun tidak benar jika makan dan minum dikiaskan dengan persetubuhan. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas. [8] المراجع 1. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (23296).2. رواه مسلم (335).3. انظر: “المغني” (3/37)، “المجموع “(6/273).4. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (49794).5. “الاستذكار”(1/77).6. “المغني” (4/365) .7. “فتاوى نور على الدرب” (16/201)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (234125).8. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (293076)، (106476). Referensi Lihat: Situs Tanya Jawab Islam (https://islamqa.info), jawaban pertanyaan nomor (23296). Diriwayatkan oleh Muslim (335). Lihat: Al-Mughni (37/3) dan al-Majmūʿ (6/273). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (49794). Al-Istidzkār (1/77). Al-Mughni (4/365). Fatāwā Nūr ʿAlā ad-Darb” (16/201), dan lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (234125). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (293076) dan (106476). Sumber Artikel:https://www.islamqa.info/ar/researches/5/قضاء-رمضان-وما-فيه-من-احكامPDF sumber artikel. 🔍 Man Rabbuka, Mubahalah Artinya, Cara Membuat Orang Kesurupan Dengan Cepat, Arti Dari Salam, Hukum Umroh, Hukum Qaza Dalam Islam Visited 65 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 QRIS donasi Yufid

Siapakah yang Diwajibkan Mengqada Puasa

من يجب عليهم القضاءOrang yang Wajib Mengqada Puasa صوم رمضان أحد الأركان التي بني عليها الإسلام، وقد أخبر الله أنه كتبه على المؤمنين من هذه الأمة، كما كتبه على من كان قبلهم، فقال تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة / 183]. فإذا دخل شهر رمضان وجب على كل مسلم مكلف مقيم صحيح أن يصومه، قال تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة/185]. Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun di mana Islam dibangun di atasnya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah Mengabarkan bahwa Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang yang beriman dari umat ini sebagaimana Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang sebelum mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Maka dari itu, ketika masuk bulan Ramadan, setiap muslim yang mukallaf, mukim, dan sehat wajib untuk berpuasa di bulan itu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) وإن من تيسير الله لعباده أنه لم يفرض الصيام إلا على من يطيقه ، وأباح الفطر لمن لم يستطع الصوم لعذر شرعي، فشرع للمسافر والمريض – مثلاً – الفطر في رمضان لدفع المشقة عنهما، قال تعالى: {شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليُسر ولا يريد بكم العسر} [البقرة/185]. على أن يقضيه حال انقطاع عذره أو شفاء مرضه وهذا من تيسير الله على عباده ولطفه بهم. Di antara kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā tidak Mewajibkan puasa kecuali bagi orang-orang yang mampu, dan Membolehkan orang-orang yang tidak mampu berpuasa untuk tidak berpuasa karena suatu uzur yang dibenarkan syariat. Misalnya, diperbolehkan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan demi menghilangkan kesulitan dari mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah Menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak Menghendaki kesukaran bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dengan syarat bahwa dia harus mengqadanya setelah selesai dari uzurnya atau sembuh penyakitnya. Ini adalah kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dan kelembutan-Nya kepada mereka. Berikut ini adalah beberapa masalah dan hukum-hukum seputar qada puasa Ramadan. 1- من أفطر لعذر؛ كالمريض والمسافر، والحائض والنفساء، والحامل والمرضع، والذي يرهقه الجوع أو العطش إلى حد لا يحتمله؛ فإنه يجب عليهم قضاء ما أفطروه من أيامٍ بعد رمضان.[1] لقول الله تعالى: {وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}[البقرة/185]. ولما ثبت عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: “مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلا تَقْضِي الصَّلاةَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةِ”.[2] Orang yang tidak puasa karena suatu uzur, seperti orang sakit dan musafir, wanita haid dan nifas, hamil dan menyusui, serta orang yang merasa berat karena lapar atau haus hingga titik di mana dia tidak sanggup lagi menahannya, maka orang seperti ini harus mengqada hari-hari di mana dia tidak berpuasa setelah Ramadhan. [1]Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)Demikian juga berdasarkan sebuah riwayat sahih dari Muadz yang berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?’ Lalu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— menjawab, ‘Kami dahulu mengalami haid, lalu diperintahkan untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.'” [2] 2- اختلف العلماء في حكم الحامل والمرضع إذا أفطرتا على عدة أقوال: القول الأول: عليهما القضاء فقط، وهذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله. وقال به من الصحابة علي بن أبي طالب رضي الله عنه. القول الثاني: إن خافتا على أنفسهما فعليهما القضاء فقط، وإن خافتا على ولديهما فعليهما القضاء وإطعام مسكين عن كل يوم، وهو مذهب الإمامين الشافعي وأحمد. وحكاه الجصاص عن ابن عمر رضي الله عنهما. القول الثالث: عليهما الإطعام فقط، ولا قضاء عليهما. وقال به من الصحابة عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، وحكاه ابن قدامة في “المغني” (3/37) عن ابن عمر أيضاً رضي الله عنهما. Para ulama berbeda pendapat menjadi beberapa pendapat mengenai hukum wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa. Pendapat pertama, hanya wajib qada saja. Demikian mazhab Imam Abu Hanifah —Semoga Allah Merahmatinya—, yang juga menjadi pendapat salah seorang Sahabat, yakni Ali bin Abi Thalib —Semoga Allah Meridainya. Pendapat kedua, jika mereka (tidak puasa) karena khawatir terhadap diri mereka sendiri, maka mereka hanya wajib qada saja. Adapun jika karena khawatir terhadap anaknya, maka mereka wajib qada dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya (fidiah). Demikian mazhab Imam Syafii dan Ahmad. Al-Jaṣṣāṣ meriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya. Pendapat ketiga, hanya perlu fidiah saja tanpa perlu mengqada. Inilah pendapat salah seorang Sahabat, yakni Abdullah bin Abbas —Semoga Allah Meridainya. Ibnu Qudamah juga meriwayatkan pendapat ini dalam al-Mughni (3/37) dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— juga. والأرجح هو القول الأول وهو أن عليهما القضاء فقط، واستدل من قال بذلك بأن بعدة أدلة، منها: أ- ما رواه النسائي (2274) عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاةِ، وَالصَّوْمَ، وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ) صححه الألباني في صحيح النسائي. فجعل النبي صلى الله عليه وسلم حكم الحامل والمرضع كالمسافر، والمسافر يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع. انظر: “أحكام القرآن” للجصاص. ب- القياس على المريض، فكما أن المريض يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع.[3] وقد اختار هذا القول جماعة من العلماء، وهو ما رجحه الشيخان ابن باز وابن عثيمين – رحمهما الله تعالى.[4] Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama, bahwa mereka hanya wajib mengqada saja. Mereka yang berpendapat demikian berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya: Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasai (2274) dari Anas —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Sesungguhnya Allah telah Menggugurkan bagi musafir separuh salat dan puasa, (dan puasa) bagi wanita hamil dan menyusui.” Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasai. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam Menjadikan hukum bagi wanita hamil dan menyusui sama dengan seperti hukum musafir, di mana seorang musafir boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. Lihat: Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ. Kias dengan orang sakit, sebagaimana orang sakit boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. [3] Pendapat inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh syekh Bin Baz dan Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmati mereka. [4] 3- من أفطر يومًا من رمضان بغير عذر؛ كمن لم ينو صومه من الأصل، أو أفطر بعد شروعه في الصوم لغير عذر؛ فقد أتى كبيرة من كبائر الذنوب، وعرض نفسه لسخط الله وعقابه، ويلزمه التوبة الصادقة النصوح، ويلزمه قضاء ما أفطره في قول عامة أهل العلم، وحكى بعضهم الإجماع عليه. Orang yang tidak puasa di bulan Ramadan tanpa alasan; seperti seseorang yang sejak awal tidak berniat berpuasa sama sekali, atau membatalkannya setelah mulai berpuasa tanpa alasan. Orang seperti ini telah melakukan dosa besar dan membiarkan dirinya berpotensi terkena murka dan azab Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Dia harus bertobat dengan pertobatan yang benar dan tulus. Dia juga harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, menurut mayoritas ulama, bahkan sebagian mereka ada yang mengutip adanya ijmak mengenai hal itu. قال ابن عبد البر -رحمه الله-: “وأجمعت الأمة، ونقلت الكافة، فيمن لم يصم رمضان عامداً وهو مؤمن بفرضه، وإنما تركه أشراً وبطراً، تعمَّد ذلك ثم تاب عنه: أن عليه قضاءه”.[5] وقال ابن قدامة المقدسي-رحمه الله-: “لَا نَعْلَمُ فِي ذَلِكَ خِلَافًا؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ كَانَ ثَابِتًا فِي الذِّمَّةِ، فَلَا تَبْرَأُ مِنْهُ إلَّا بِأَدَائِهِ، وَلَمْ يُؤَدِّهِ، فَبَقِيَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ”.[6] Ibnu Abdillbarr —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa umat ini sepakat dan mereka semua telah mengutip bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadan dengan sengaja sementara dia meyakini bahwa itu wajib, tetapi dia meninggalkannya karena kejahatan dan kesombongan dirinya, yang pernah dia lakukan dengan sengaja tapi kemudian bertobat dari perbuatannya itu, maka dia wajib mengqadanya. [5] Ibnu Qudamah al-Maqdisi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, karena puasa itu menjadi beban kewajibannya, maka hal itu tidak gugur kecuali dengan menunaikannya, padahal dia belum melakukannya, sehingga hukumnya tetap sebagaimana sebelumnya (yakni masih menjadi beban kewajibannya, pent.)” [6] وسئل الشيخ ابن باز-رحمه الله-: ما الحكم في شخص أفطر في رمضان بغير عذر شرعي، وهو في السنة السابعة عشرة تقريبًا، ولا يوجد له أي عذر، فماذا يعمل؟ وهل يجب عليه القضاء؟ فقال: “نعم، يجب عليه القضاء، وعليه التوبة إلى الله سبحانه وتعالى عن تفريطه وإفطاره. وأما ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (من أفطر يومًا من رمضان من غير رخصة ولا مرض لم يقضِ عنه صيام الدهر كله، وإن صامه)، فهو حديث ضعيف مضطرب عند أهل العلم لا يصح”.[7] Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya jika seseorang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadan tanpa uzur yang dibenarkan syariat, sementara umurnya kira-kira sudah tujuh belas tahun. Ketika itu dia tidak memiliki alasan apa pun, lalu apa yang harus dia lakukan? Apakah dia wajib mengqadanya? Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— menjawab, “Ya, dia harus mengqadanya, dan harus bertobat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas kealpaan dan telah membatalkan puasanya. Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ‘Barang siapa yang tidak berpuasa sehari di Ramadan padahal dia tidak mendapatkan rukhsah maupun sakit, maka puasanya sepanjang tahun pun takkan bisa menggantinya, dan meskipun dia benar-benar melakukan puasa itu.’ Hadis ini statusnya lemah dan Muḏhṯharib (rancu) menurut para ulama sehingga tidak dinilai sahih.” [7] وقال بعض أهل العلم كالمالكية إلى وجوب الكفارة المغلظة على مَن انتهك حرمة رمضان وأفسد صومه عمدا بالأكل والشرب إذا تحققت شروط لديهم، ويكون حكمه كحكم من جامع في نهار رمضان. والراجح: هو عدم وجوب الكفارة على من أفطر في رمضان بغير الجماع ؛ لأن الأصل عدم الكفارة أو الفدية إلا فيما ورد به الشرع؛ ولم يرد في الشرع وجوب الكفارة إلا بالجماع ، ولا يصح قياس الأكل والشرب على الجماع، وهو قول الجمهور .[8] Sebagian ulama, seperti ulama mazhab Maliki, mengatakan bahwa dia harus melakukan kafarat Mughallaẓah (Kafaratnya orang yang bersenggama di siang hari bulan Ramadan, pent.) bagi orang yang melanggar kesucian bulan Ramadan, yakni dengan sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum. Ini berlaku jika syarat-syarat yang mereka tetapkan terpenuhi pada diri orang ini, sehingga hukumnya sama dengan hukum orang yang melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadan. Namun pendapat yang paling benar adalah tidak wajibnya kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadan tanpa melakukan hubungan badan, karena pada prinsipnya seseorang tidak diwajibkan kafarat atau fidiah kecuali sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat. Sementara dalam syariat ini tidak ada ketetapan wajibnya kafarat kecuali karena persetubuhan. Pun tidak benar jika makan dan minum dikiaskan dengan persetubuhan. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas. [8] المراجع 1. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (23296).2. رواه مسلم (335).3. انظر: “المغني” (3/37)، “المجموع “(6/273).4. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (49794).5. “الاستذكار”(1/77).6. “المغني” (4/365) .7. “فتاوى نور على الدرب” (16/201)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (234125).8. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (293076)، (106476). Referensi Lihat: Situs Tanya Jawab Islam (https://islamqa.info), jawaban pertanyaan nomor (23296). Diriwayatkan oleh Muslim (335). Lihat: Al-Mughni (37/3) dan al-Majmūʿ (6/273). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (49794). Al-Istidzkār (1/77). Al-Mughni (4/365). Fatāwā Nūr ʿAlā ad-Darb” (16/201), dan lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (234125). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (293076) dan (106476). Sumber Artikel:https://www.islamqa.info/ar/researches/5/قضاء-رمضان-وما-فيه-من-احكامPDF sumber artikel. 🔍 Man Rabbuka, Mubahalah Artinya, Cara Membuat Orang Kesurupan Dengan Cepat, Arti Dari Salam, Hukum Umroh, Hukum Qaza Dalam Islam Visited 65 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 QRIS donasi Yufid
من يجب عليهم القضاءOrang yang Wajib Mengqada Puasa صوم رمضان أحد الأركان التي بني عليها الإسلام، وقد أخبر الله أنه كتبه على المؤمنين من هذه الأمة، كما كتبه على من كان قبلهم، فقال تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة / 183]. فإذا دخل شهر رمضان وجب على كل مسلم مكلف مقيم صحيح أن يصومه، قال تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة/185]. Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun di mana Islam dibangun di atasnya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah Mengabarkan bahwa Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang yang beriman dari umat ini sebagaimana Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang sebelum mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Maka dari itu, ketika masuk bulan Ramadan, setiap muslim yang mukallaf, mukim, dan sehat wajib untuk berpuasa di bulan itu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) وإن من تيسير الله لعباده أنه لم يفرض الصيام إلا على من يطيقه ، وأباح الفطر لمن لم يستطع الصوم لعذر شرعي، فشرع للمسافر والمريض – مثلاً – الفطر في رمضان لدفع المشقة عنهما، قال تعالى: {شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليُسر ولا يريد بكم العسر} [البقرة/185]. على أن يقضيه حال انقطاع عذره أو شفاء مرضه وهذا من تيسير الله على عباده ولطفه بهم. Di antara kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā tidak Mewajibkan puasa kecuali bagi orang-orang yang mampu, dan Membolehkan orang-orang yang tidak mampu berpuasa untuk tidak berpuasa karena suatu uzur yang dibenarkan syariat. Misalnya, diperbolehkan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan demi menghilangkan kesulitan dari mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah Menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak Menghendaki kesukaran bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dengan syarat bahwa dia harus mengqadanya setelah selesai dari uzurnya atau sembuh penyakitnya. Ini adalah kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dan kelembutan-Nya kepada mereka. Berikut ini adalah beberapa masalah dan hukum-hukum seputar qada puasa Ramadan. 1- من أفطر لعذر؛ كالمريض والمسافر، والحائض والنفساء، والحامل والمرضع، والذي يرهقه الجوع أو العطش إلى حد لا يحتمله؛ فإنه يجب عليهم قضاء ما أفطروه من أيامٍ بعد رمضان.[1] لقول الله تعالى: {وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}[البقرة/185]. ولما ثبت عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: “مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلا تَقْضِي الصَّلاةَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةِ”.[2] Orang yang tidak puasa karena suatu uzur, seperti orang sakit dan musafir, wanita haid dan nifas, hamil dan menyusui, serta orang yang merasa berat karena lapar atau haus hingga titik di mana dia tidak sanggup lagi menahannya, maka orang seperti ini harus mengqada hari-hari di mana dia tidak berpuasa setelah Ramadhan. [1]Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)Demikian juga berdasarkan sebuah riwayat sahih dari Muadz yang berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?’ Lalu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— menjawab, ‘Kami dahulu mengalami haid, lalu diperintahkan untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.'” [2] 2- اختلف العلماء في حكم الحامل والمرضع إذا أفطرتا على عدة أقوال: القول الأول: عليهما القضاء فقط، وهذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله. وقال به من الصحابة علي بن أبي طالب رضي الله عنه. القول الثاني: إن خافتا على أنفسهما فعليهما القضاء فقط، وإن خافتا على ولديهما فعليهما القضاء وإطعام مسكين عن كل يوم، وهو مذهب الإمامين الشافعي وأحمد. وحكاه الجصاص عن ابن عمر رضي الله عنهما. القول الثالث: عليهما الإطعام فقط، ولا قضاء عليهما. وقال به من الصحابة عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، وحكاه ابن قدامة في “المغني” (3/37) عن ابن عمر أيضاً رضي الله عنهما. Para ulama berbeda pendapat menjadi beberapa pendapat mengenai hukum wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa. Pendapat pertama, hanya wajib qada saja. Demikian mazhab Imam Abu Hanifah —Semoga Allah Merahmatinya—, yang juga menjadi pendapat salah seorang Sahabat, yakni Ali bin Abi Thalib —Semoga Allah Meridainya. Pendapat kedua, jika mereka (tidak puasa) karena khawatir terhadap diri mereka sendiri, maka mereka hanya wajib qada saja. Adapun jika karena khawatir terhadap anaknya, maka mereka wajib qada dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya (fidiah). Demikian mazhab Imam Syafii dan Ahmad. Al-Jaṣṣāṣ meriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya. Pendapat ketiga, hanya perlu fidiah saja tanpa perlu mengqada. Inilah pendapat salah seorang Sahabat, yakni Abdullah bin Abbas —Semoga Allah Meridainya. Ibnu Qudamah juga meriwayatkan pendapat ini dalam al-Mughni (3/37) dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— juga. والأرجح هو القول الأول وهو أن عليهما القضاء فقط، واستدل من قال بذلك بأن بعدة أدلة، منها: أ- ما رواه النسائي (2274) عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاةِ، وَالصَّوْمَ، وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ) صححه الألباني في صحيح النسائي. فجعل النبي صلى الله عليه وسلم حكم الحامل والمرضع كالمسافر، والمسافر يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع. انظر: “أحكام القرآن” للجصاص. ب- القياس على المريض، فكما أن المريض يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع.[3] وقد اختار هذا القول جماعة من العلماء، وهو ما رجحه الشيخان ابن باز وابن عثيمين – رحمهما الله تعالى.[4] Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama, bahwa mereka hanya wajib mengqada saja. Mereka yang berpendapat demikian berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya: Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasai (2274) dari Anas —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Sesungguhnya Allah telah Menggugurkan bagi musafir separuh salat dan puasa, (dan puasa) bagi wanita hamil dan menyusui.” Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasai. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam Menjadikan hukum bagi wanita hamil dan menyusui sama dengan seperti hukum musafir, di mana seorang musafir boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. Lihat: Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ. Kias dengan orang sakit, sebagaimana orang sakit boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. [3] Pendapat inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh syekh Bin Baz dan Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmati mereka. [4] 3- من أفطر يومًا من رمضان بغير عذر؛ كمن لم ينو صومه من الأصل، أو أفطر بعد شروعه في الصوم لغير عذر؛ فقد أتى كبيرة من كبائر الذنوب، وعرض نفسه لسخط الله وعقابه، ويلزمه التوبة الصادقة النصوح، ويلزمه قضاء ما أفطره في قول عامة أهل العلم، وحكى بعضهم الإجماع عليه. Orang yang tidak puasa di bulan Ramadan tanpa alasan; seperti seseorang yang sejak awal tidak berniat berpuasa sama sekali, atau membatalkannya setelah mulai berpuasa tanpa alasan. Orang seperti ini telah melakukan dosa besar dan membiarkan dirinya berpotensi terkena murka dan azab Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Dia harus bertobat dengan pertobatan yang benar dan tulus. Dia juga harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, menurut mayoritas ulama, bahkan sebagian mereka ada yang mengutip adanya ijmak mengenai hal itu. قال ابن عبد البر -رحمه الله-: “وأجمعت الأمة، ونقلت الكافة، فيمن لم يصم رمضان عامداً وهو مؤمن بفرضه، وإنما تركه أشراً وبطراً، تعمَّد ذلك ثم تاب عنه: أن عليه قضاءه”.[5] وقال ابن قدامة المقدسي-رحمه الله-: “لَا نَعْلَمُ فِي ذَلِكَ خِلَافًا؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ كَانَ ثَابِتًا فِي الذِّمَّةِ، فَلَا تَبْرَأُ مِنْهُ إلَّا بِأَدَائِهِ، وَلَمْ يُؤَدِّهِ، فَبَقِيَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ”.[6] Ibnu Abdillbarr —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa umat ini sepakat dan mereka semua telah mengutip bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadan dengan sengaja sementara dia meyakini bahwa itu wajib, tetapi dia meninggalkannya karena kejahatan dan kesombongan dirinya, yang pernah dia lakukan dengan sengaja tapi kemudian bertobat dari perbuatannya itu, maka dia wajib mengqadanya. [5] Ibnu Qudamah al-Maqdisi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, karena puasa itu menjadi beban kewajibannya, maka hal itu tidak gugur kecuali dengan menunaikannya, padahal dia belum melakukannya, sehingga hukumnya tetap sebagaimana sebelumnya (yakni masih menjadi beban kewajibannya, pent.)” [6] وسئل الشيخ ابن باز-رحمه الله-: ما الحكم في شخص أفطر في رمضان بغير عذر شرعي، وهو في السنة السابعة عشرة تقريبًا، ولا يوجد له أي عذر، فماذا يعمل؟ وهل يجب عليه القضاء؟ فقال: “نعم، يجب عليه القضاء، وعليه التوبة إلى الله سبحانه وتعالى عن تفريطه وإفطاره. وأما ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (من أفطر يومًا من رمضان من غير رخصة ولا مرض لم يقضِ عنه صيام الدهر كله، وإن صامه)، فهو حديث ضعيف مضطرب عند أهل العلم لا يصح”.[7] Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya jika seseorang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadan tanpa uzur yang dibenarkan syariat, sementara umurnya kira-kira sudah tujuh belas tahun. Ketika itu dia tidak memiliki alasan apa pun, lalu apa yang harus dia lakukan? Apakah dia wajib mengqadanya? Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— menjawab, “Ya, dia harus mengqadanya, dan harus bertobat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas kealpaan dan telah membatalkan puasanya. Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ‘Barang siapa yang tidak berpuasa sehari di Ramadan padahal dia tidak mendapatkan rukhsah maupun sakit, maka puasanya sepanjang tahun pun takkan bisa menggantinya, dan meskipun dia benar-benar melakukan puasa itu.’ Hadis ini statusnya lemah dan Muḏhṯharib (rancu) menurut para ulama sehingga tidak dinilai sahih.” [7] وقال بعض أهل العلم كالمالكية إلى وجوب الكفارة المغلظة على مَن انتهك حرمة رمضان وأفسد صومه عمدا بالأكل والشرب إذا تحققت شروط لديهم، ويكون حكمه كحكم من جامع في نهار رمضان. والراجح: هو عدم وجوب الكفارة على من أفطر في رمضان بغير الجماع ؛ لأن الأصل عدم الكفارة أو الفدية إلا فيما ورد به الشرع؛ ولم يرد في الشرع وجوب الكفارة إلا بالجماع ، ولا يصح قياس الأكل والشرب على الجماع، وهو قول الجمهور .[8] Sebagian ulama, seperti ulama mazhab Maliki, mengatakan bahwa dia harus melakukan kafarat Mughallaẓah (Kafaratnya orang yang bersenggama di siang hari bulan Ramadan, pent.) bagi orang yang melanggar kesucian bulan Ramadan, yakni dengan sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum. Ini berlaku jika syarat-syarat yang mereka tetapkan terpenuhi pada diri orang ini, sehingga hukumnya sama dengan hukum orang yang melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadan. Namun pendapat yang paling benar adalah tidak wajibnya kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadan tanpa melakukan hubungan badan, karena pada prinsipnya seseorang tidak diwajibkan kafarat atau fidiah kecuali sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat. Sementara dalam syariat ini tidak ada ketetapan wajibnya kafarat kecuali karena persetubuhan. Pun tidak benar jika makan dan minum dikiaskan dengan persetubuhan. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas. [8] المراجع 1. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (23296).2. رواه مسلم (335).3. انظر: “المغني” (3/37)، “المجموع “(6/273).4. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (49794).5. “الاستذكار”(1/77).6. “المغني” (4/365) .7. “فتاوى نور على الدرب” (16/201)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (234125).8. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (293076)، (106476). Referensi Lihat: Situs Tanya Jawab Islam (https://islamqa.info), jawaban pertanyaan nomor (23296). Diriwayatkan oleh Muslim (335). Lihat: Al-Mughni (37/3) dan al-Majmūʿ (6/273). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (49794). Al-Istidzkār (1/77). Al-Mughni (4/365). Fatāwā Nūr ʿAlā ad-Darb” (16/201), dan lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (234125). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (293076) dan (106476). Sumber Artikel:https://www.islamqa.info/ar/researches/5/قضاء-رمضان-وما-فيه-من-احكامPDF sumber artikel. 🔍 Man Rabbuka, Mubahalah Artinya, Cara Membuat Orang Kesurupan Dengan Cepat, Arti Dari Salam, Hukum Umroh, Hukum Qaza Dalam Islam Visited 65 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 QRIS donasi Yufid


من يجب عليهم القضاءOrang yang Wajib Mengqada Puasa صوم رمضان أحد الأركان التي بني عليها الإسلام، وقد أخبر الله أنه كتبه على المؤمنين من هذه الأمة، كما كتبه على من كان قبلهم، فقال تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة / 183]. فإذا دخل شهر رمضان وجب على كل مسلم مكلف مقيم صحيح أن يصومه، قال تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة/185]. Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun di mana Islam dibangun di atasnya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah Mengabarkan bahwa Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang yang beriman dari umat ini sebagaimana Dia telah Mewajibkannya bagi orang-orang sebelum mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Maka dari itu, ketika masuk bulan Ramadan, setiap muslim yang mukallaf, mukim, dan sehat wajib untuk berpuasa di bulan itu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) وإن من تيسير الله لعباده أنه لم يفرض الصيام إلا على من يطيقه ، وأباح الفطر لمن لم يستطع الصوم لعذر شرعي، فشرع للمسافر والمريض – مثلاً – الفطر في رمضان لدفع المشقة عنهما، قال تعالى: {شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليُسر ولا يريد بكم العسر} [البقرة/185]. على أن يقضيه حال انقطاع عذره أو شفاء مرضه وهذا من تيسير الله على عباده ولطفه بهم. Di antara kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah ketika Dia Subẖānahu wa Taʿālā tidak Mewajibkan puasa kecuali bagi orang-orang yang mampu, dan Membolehkan orang-orang yang tidak mampu berpuasa untuk tidak berpuasa karena suatu uzur yang dibenarkan syariat. Misalnya, diperbolehkan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan demi menghilangkan kesulitan dari mereka. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah Menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak Menghendaki kesukaran bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dengan syarat bahwa dia harus mengqadanya setelah selesai dari uzurnya atau sembuh penyakitnya. Ini adalah kemudahan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dan kelembutan-Nya kepada mereka. Berikut ini adalah beberapa masalah dan hukum-hukum seputar qada puasa Ramadan. 1- من أفطر لعذر؛ كالمريض والمسافر، والحائض والنفساء، والحامل والمرضع، والذي يرهقه الجوع أو العطش إلى حد لا يحتمله؛ فإنه يجب عليهم قضاء ما أفطروه من أيامٍ بعد رمضان.[1] لقول الله تعالى: {وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}[البقرة/185]. ولما ثبت عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: “مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلا تَقْضِي الصَّلاةَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةِ”.[2] Orang yang tidak puasa karena suatu uzur, seperti orang sakit dan musafir, wanita haid dan nifas, hamil dan menyusui, serta orang yang merasa berat karena lapar atau haus hingga titik di mana dia tidak sanggup lagi menahannya, maka orang seperti ini harus mengqada hari-hari di mana dia tidak berpuasa setelah Ramadhan. [1]Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Karena itu, barang siapa di antara kalian yang mendapati bulan itu, maka berpuasalah, dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka (dia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)Demikian juga berdasarkan sebuah riwayat sahih dari Muadz yang berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqada puasa tapi tidak mengqada salat?’ Lalu Aisyah —Semoga Allah Meridainya— menjawab, ‘Kami dahulu mengalami haid, lalu diperintahkan untuk mengqada puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada salat.'” [2] 2- اختلف العلماء في حكم الحامل والمرضع إذا أفطرتا على عدة أقوال: القول الأول: عليهما القضاء فقط، وهذا مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله. وقال به من الصحابة علي بن أبي طالب رضي الله عنه. القول الثاني: إن خافتا على أنفسهما فعليهما القضاء فقط، وإن خافتا على ولديهما فعليهما القضاء وإطعام مسكين عن كل يوم، وهو مذهب الإمامين الشافعي وأحمد. وحكاه الجصاص عن ابن عمر رضي الله عنهما. القول الثالث: عليهما الإطعام فقط، ولا قضاء عليهما. وقال به من الصحابة عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، وحكاه ابن قدامة في “المغني” (3/37) عن ابن عمر أيضاً رضي الله عنهما. Para ulama berbeda pendapat menjadi beberapa pendapat mengenai hukum wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa. Pendapat pertama, hanya wajib qada saja. Demikian mazhab Imam Abu Hanifah —Semoga Allah Merahmatinya—, yang juga menjadi pendapat salah seorang Sahabat, yakni Ali bin Abi Thalib —Semoga Allah Meridainya. Pendapat kedua, jika mereka (tidak puasa) karena khawatir terhadap diri mereka sendiri, maka mereka hanya wajib qada saja. Adapun jika karena khawatir terhadap anaknya, maka mereka wajib qada dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya (fidiah). Demikian mazhab Imam Syafii dan Ahmad. Al-Jaṣṣāṣ meriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya. Pendapat ketiga, hanya perlu fidiah saja tanpa perlu mengqada. Inilah pendapat salah seorang Sahabat, yakni Abdullah bin Abbas —Semoga Allah Meridainya. Ibnu Qudamah juga meriwayatkan pendapat ini dalam al-Mughni (3/37) dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— juga. والأرجح هو القول الأول وهو أن عليهما القضاء فقط، واستدل من قال بذلك بأن بعدة أدلة، منها: أ- ما رواه النسائي (2274) عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاةِ، وَالصَّوْمَ، وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ) صححه الألباني في صحيح النسائي. فجعل النبي صلى الله عليه وسلم حكم الحامل والمرضع كالمسافر، والمسافر يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع. انظر: “أحكام القرآن” للجصاص. ب- القياس على المريض، فكما أن المريض يفطر ويقضي فكذلك الحامل والمرضع.[3] وقد اختار هذا القول جماعة من العلماء، وهو ما رجحه الشيخان ابن باز وابن عثيمين – رحمهما الله تعالى.[4] Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama, bahwa mereka hanya wajib mengqada saja. Mereka yang berpendapat demikian berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya: Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasai (2274) dari Anas —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Sesungguhnya Allah telah Menggugurkan bagi musafir separuh salat dan puasa, (dan puasa) bagi wanita hamil dan menyusui.” Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasai. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam Menjadikan hukum bagi wanita hamil dan menyusui sama dengan seperti hukum musafir, di mana seorang musafir boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. Lihat: Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ. Kias dengan orang sakit, sebagaimana orang sakit boleh tidak berpuasa dan harus mengqadanya, begitu pula dengan wanita hamil dan menyusui. [3] Pendapat inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh syekh Bin Baz dan Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmati mereka. [4] 3- من أفطر يومًا من رمضان بغير عذر؛ كمن لم ينو صومه من الأصل، أو أفطر بعد شروعه في الصوم لغير عذر؛ فقد أتى كبيرة من كبائر الذنوب، وعرض نفسه لسخط الله وعقابه، ويلزمه التوبة الصادقة النصوح، ويلزمه قضاء ما أفطره في قول عامة أهل العلم، وحكى بعضهم الإجماع عليه. Orang yang tidak puasa di bulan Ramadan tanpa alasan; seperti seseorang yang sejak awal tidak berniat berpuasa sama sekali, atau membatalkannya setelah mulai berpuasa tanpa alasan. Orang seperti ini telah melakukan dosa besar dan membiarkan dirinya berpotensi terkena murka dan azab Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Dia harus bertobat dengan pertobatan yang benar dan tulus. Dia juga harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, menurut mayoritas ulama, bahkan sebagian mereka ada yang mengutip adanya ijmak mengenai hal itu. قال ابن عبد البر -رحمه الله-: “وأجمعت الأمة، ونقلت الكافة، فيمن لم يصم رمضان عامداً وهو مؤمن بفرضه، وإنما تركه أشراً وبطراً، تعمَّد ذلك ثم تاب عنه: أن عليه قضاءه”.[5] وقال ابن قدامة المقدسي-رحمه الله-: “لَا نَعْلَمُ فِي ذَلِكَ خِلَافًا؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ كَانَ ثَابِتًا فِي الذِّمَّةِ، فَلَا تَبْرَأُ مِنْهُ إلَّا بِأَدَائِهِ، وَلَمْ يُؤَدِّهِ، فَبَقِيَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ”.[6] Ibnu Abdillbarr —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa umat ini sepakat dan mereka semua telah mengutip bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadan dengan sengaja sementara dia meyakini bahwa itu wajib, tetapi dia meninggalkannya karena kejahatan dan kesombongan dirinya, yang pernah dia lakukan dengan sengaja tapi kemudian bertobat dari perbuatannya itu, maka dia wajib mengqadanya. [5] Ibnu Qudamah al-Maqdisi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, karena puasa itu menjadi beban kewajibannya, maka hal itu tidak gugur kecuali dengan menunaikannya, padahal dia belum melakukannya, sehingga hukumnya tetap sebagaimana sebelumnya (yakni masih menjadi beban kewajibannya, pent.)” [6] وسئل الشيخ ابن باز-رحمه الله-: ما الحكم في شخص أفطر في رمضان بغير عذر شرعي، وهو في السنة السابعة عشرة تقريبًا، ولا يوجد له أي عذر، فماذا يعمل؟ وهل يجب عليه القضاء؟ فقال: “نعم، يجب عليه القضاء، وعليه التوبة إلى الله سبحانه وتعالى عن تفريطه وإفطاره. وأما ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (من أفطر يومًا من رمضان من غير رخصة ولا مرض لم يقضِ عنه صيام الدهر كله، وإن صامه)، فهو حديث ضعيف مضطرب عند أهل العلم لا يصح”.[7] Syekh Bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukumnya jika seseorang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadan tanpa uzur yang dibenarkan syariat, sementara umurnya kira-kira sudah tujuh belas tahun. Ketika itu dia tidak memiliki alasan apa pun, lalu apa yang harus dia lakukan? Apakah dia wajib mengqadanya? Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— menjawab, “Ya, dia harus mengqadanya, dan harus bertobat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas kealpaan dan telah membatalkan puasanya. Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ‘Barang siapa yang tidak berpuasa sehari di Ramadan padahal dia tidak mendapatkan rukhsah maupun sakit, maka puasanya sepanjang tahun pun takkan bisa menggantinya, dan meskipun dia benar-benar melakukan puasa itu.’ Hadis ini statusnya lemah dan Muḏhṯharib (rancu) menurut para ulama sehingga tidak dinilai sahih.” [7] وقال بعض أهل العلم كالمالكية إلى وجوب الكفارة المغلظة على مَن انتهك حرمة رمضان وأفسد صومه عمدا بالأكل والشرب إذا تحققت شروط لديهم، ويكون حكمه كحكم من جامع في نهار رمضان. والراجح: هو عدم وجوب الكفارة على من أفطر في رمضان بغير الجماع ؛ لأن الأصل عدم الكفارة أو الفدية إلا فيما ورد به الشرع؛ ولم يرد في الشرع وجوب الكفارة إلا بالجماع ، ولا يصح قياس الأكل والشرب على الجماع، وهو قول الجمهور .[8] Sebagian ulama, seperti ulama mazhab Maliki, mengatakan bahwa dia harus melakukan kafarat Mughallaẓah (Kafaratnya orang yang bersenggama di siang hari bulan Ramadan, pent.) bagi orang yang melanggar kesucian bulan Ramadan, yakni dengan sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum. Ini berlaku jika syarat-syarat yang mereka tetapkan terpenuhi pada diri orang ini, sehingga hukumnya sama dengan hukum orang yang melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadan. Namun pendapat yang paling benar adalah tidak wajibnya kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadan tanpa melakukan hubungan badan, karena pada prinsipnya seseorang tidak diwajibkan kafarat atau fidiah kecuali sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat. Sementara dalam syariat ini tidak ada ketetapan wajibnya kafarat kecuali karena persetubuhan. Pun tidak benar jika makan dan minum dikiaskan dengan persetubuhan. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas. [8] المراجع 1. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (23296).2. رواه مسلم (335).3. انظر: “المغني” (3/37)، “المجموع “(6/273).4. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (49794).5. “الاستذكار”(1/77).6. “المغني” (4/365) .7. “فتاوى نور على الدرب” (16/201)، وينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (234125).8. ينظر: موقع الإسلام سؤال وجواب، جواب السؤال رقم: (293076)، (106476). Referensi Lihat: Situs Tanya Jawab Islam (https://islamqa.info), jawaban pertanyaan nomor (23296). Diriwayatkan oleh Muslim (335). Lihat: Al-Mughni (37/3) dan al-Majmūʿ (6/273). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (49794). Al-Istidzkār (1/77). Al-Mughni (4/365). Fatāwā Nūr ʿAlā ad-Darb” (16/201), dan lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (234125). Lihat: Situs Tanya Jawab Islam, jawaban pertanyaan nomor (293076) dan (106476). Sumber Artikel:https://www.islamqa.info/ar/researches/5/قضاء-رمضان-وما-فيه-من-احكامPDF sumber artikel. 🔍 Man Rabbuka, Mubahalah Artinya, Cara Membuat Orang Kesurupan Dengan Cepat, Arti Dari Salam, Hukum Umroh, Hukum Qaza Dalam Islam Visited 65 times, 1 visit(s) today Post Views: 358 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Karakter Hati Ahli Quran Sejati – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Karakter hati ahli al-Quran. Hati ahli al-Quran memiliki karakter yang agung, karakternya berbeda dengan hati yang lain. Sesungguhnya ahli al-Quran itu jika ia diingatkan dengan al-Quran, ia akan ingat. Jika ia dinasihati dengan al-Quran, ia akan tunduk. Jika ia ditakut-takuti dengan al-Quran, ia akan takut. Mudah menangis, lembut hatinya, dan santun perangainya. Semua itu adalah karakter seorang ahli al-Quran sejati. Inilah mengapa Allah ʿAzza wa Jalla Menyebutkan bahwa ahli al-Quran itu “Gemetar karenanya (al-Quran) kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, lalu kulit dan hati mereka menjadi tenang dalam zikir kepada Allah.” (QS. Az-Zumar: 23) Qatadah —semoga Allah Meridainya— ketika menyebutkan ayat ini mengatakan bahwa ini adalah sifat wali-wali Allah di dalam al-Quran, yaitu hati mereka bergetar dan mata mereka menangis karena Allah Jalla wa ʿAlā. Qatadah berkata, “Allah ʿAzza wa Jalla TIDAK menyebut sifat mereka bahwa mereka adalah orang yang suka berteriak-teriak atau bisa sampai jatuh pingsan.” Qatadah berkata bahwa itu hanyalah karakter yang dimiliki setan ahli bidah. Jadi, hati orang beriman itu akan tenang dengan al-Quran, takut jika diingatkan dengannya, dan mata mereka menangis jika membaca atau mendengar ayat-ayat yang agung ini. Demikian pula semua amalan hati dalam hal ini juga berkaitan dengan masalah hati, karena hati adalah segumpal daging yang ada dalam jasad yang mana seluruh tubuh juga baik, jika hatinya baik. Termasuk sifat ahli al-Quran —dan aku cukupkan dengan sifat ini untuk menyingkat waktu—bahwa ahli al-Quran itu punya karakter rendah hatidan khusyuk kepada Allah Jalla wa ʿAlā. Khusyuk adalah salah satu buah dari kerendahan hatinya. Inilah sebabnya ketika Abu Bakar al-Ājurī —semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan sifat-sifat ahli al-Quran, dia mengatakan bahwa mereka rendah hati kepada para ahli al-Quran dan orang-orang mempelajarinya. Adapun ketika dia menyebutkan sifat-sifat orang yang mempelajari al-Quran karena dunia, dia mengatakan bahwa di antara sifat mereka adalah sombong. Mereka sombong setelah membacanya di hadapan makhluk-Nya, tidak mau merendahkan hati dengannya, selalu ingin tampil, dan mengungguli orang lain. Jadi, inilah beberapa amalan hati yang dengannya seseorang dapat menguji dirinya sendiri dan mengecek apakah dia termasuk ahli al-Quran yang sejati atau bukan. Oleh karena itu, diriwayatkan dari Hasan al-Bashri —semoga Allah Merahmatinya—bahwa seorang mukmin hendaknya memeriksa keadaan dirinya dengan al-Quran, jika dia termasuk ahli al-Quran,maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah Jalla wa ʿAlā dan memuji-Nya,dan memohon agar ditingkatkan. Jika dia tidak memiliki karakter itu, maka hendaknya dia mengintrospeksidan menghisab dirinya sebelum dihisab oleh Allah ʿAzza wa Jalla. ==== صِفَاتُ قُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِنَّ لِقُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَأْنًا عَظِيمًا فَإِنَّ لَهَا أَمْرًا مُخْتَلِفًا عَنْ غَيْرِهَا فَإِنَّ أَهْلَ الْقُرْآنِ إِذَا ذُكِّرَوا بِالْقُرْآنِ تَذَكَّرُوا وَإِذَا وُعِظُوا بِالْقُرْآنِ انْزَجَرُوا وَإِذَا خُوِّفُوا بِالْقُرْآنِ خَافُوا حَاضِرُ الدَّمْعَةِ رَقِيقُ الْقَلْبِ لَيِّنُ الْجَانِبِ كُلُّ هَذِهِ صِفَاتُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ وَلِذَلِكَ ذَكَرَ اللهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَصْحَابَ الْقُرْآنِ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَقَالَ قَتَادَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا ذَكَرَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ هَذَا نَعْتُ أَوْلِيَاءِ اللهِ فِي كِتَابِ اللهِ أَنَّهُ تَقْشَعِرُّ قُلُوبُهُمْ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا قَالَ قَتَادَةُ وَلَمْ يَذْكُرِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ نَعْتِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَصْرُخُونَ وَلَا أَنَّهُ كَانَ يُغْشَى عَلَيْهِمْ قَالَ قَتَادَةُ: وَإِنَّمَا هَذَا نَعْتُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنَ الشَّيْطَانِ إِذَنْ فَقُلُوبُ الْمُؤْمِنِينَ تَلِينُ لِلْقُرْآنِ وَتَخَافُ إِذَا ذُكِّرُوا بِهِ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ إِذَا مَرَّتْ عَلَيهِمْ آيَاتٌ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ وَكَذَلِكَ كُلُّ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ مِنْ هَذَا الْبَابِ مُتَعَلِّقَةٌ بِهَذَا الْقَلْبِ إِذِ الْقَلْبُ هُوَ مُضْغَةٌ الَّتِي فِي الْقَلْبِ… فِي الْبَدَنِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ مِنْ صِفَاتِ صَاحِبِ الْقُرْآنِ وَأَقِفُ عِنْدَ هَذِهِ الصِّفَةِ اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ مِنْ طَبْعِهِ التَّوَاضُعُ وَالْخُشُوعُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ الْخُشُوعَ مِنْ أَعْظَمِ آثَارِهِ التَّوَاضُعُ وَلِذَلِكَ لَمَّا ذَكَرَ أَبُو بَكْرٍ الْآجُرِّيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى صِفَاتَ أَهْلِ الْقُرْآنِ قَالَ: وَيَتَوَاضَعُونَ لِأَهْلِهِ وَلِمَنْ تَعَلَّمَهُ وَلَمَّا ذَكَرَ صِفَاتَ الَّذِينَ يَتَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ لِلدُّنْيَا قَالَ وَمِنْ صِفَاتِهِمْ أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ عِنْدَ… أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ بَعْدَ قِرَاءَتِهِ عَلَى خَلْقِ اللهِ وَلَا يَتَوَاضَعُونَ فِيهِ وَيُحِبُّونَ أَنْ يَتَصَدَّرُوا أَنْ يَعْلُوْا عَلَى غَيْرِهِمْ إِذَنْ هَذِهِ مِنْ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي يَمْتَحِنُ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ وَلِيَنْظُرَ أَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ أَمْ أَنَّهُ لَيْسَ كَذَلِكَ وَلِذَلِكَ جَاءَ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَخْتَبِرُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْقُرْآنِ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَحَمِدَهُ وَسَأَلَهُ الزِّيَادَةَ وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ النَّعْتِ فَإِنَّهُ حِينَئِذٍ يُرَاجِعُ نَفْسَهُ وَيُحَاسِبُهَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسِبَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا

Karakter Hati Ahli Quran Sejati – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Karakter hati ahli al-Quran. Hati ahli al-Quran memiliki karakter yang agung, karakternya berbeda dengan hati yang lain. Sesungguhnya ahli al-Quran itu jika ia diingatkan dengan al-Quran, ia akan ingat. Jika ia dinasihati dengan al-Quran, ia akan tunduk. Jika ia ditakut-takuti dengan al-Quran, ia akan takut. Mudah menangis, lembut hatinya, dan santun perangainya. Semua itu adalah karakter seorang ahli al-Quran sejati. Inilah mengapa Allah ʿAzza wa Jalla Menyebutkan bahwa ahli al-Quran itu “Gemetar karenanya (al-Quran) kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, lalu kulit dan hati mereka menjadi tenang dalam zikir kepada Allah.” (QS. Az-Zumar: 23) Qatadah —semoga Allah Meridainya— ketika menyebutkan ayat ini mengatakan bahwa ini adalah sifat wali-wali Allah di dalam al-Quran, yaitu hati mereka bergetar dan mata mereka menangis karena Allah Jalla wa ʿAlā. Qatadah berkata, “Allah ʿAzza wa Jalla TIDAK menyebut sifat mereka bahwa mereka adalah orang yang suka berteriak-teriak atau bisa sampai jatuh pingsan.” Qatadah berkata bahwa itu hanyalah karakter yang dimiliki setan ahli bidah. Jadi, hati orang beriman itu akan tenang dengan al-Quran, takut jika diingatkan dengannya, dan mata mereka menangis jika membaca atau mendengar ayat-ayat yang agung ini. Demikian pula semua amalan hati dalam hal ini juga berkaitan dengan masalah hati, karena hati adalah segumpal daging yang ada dalam jasad yang mana seluruh tubuh juga baik, jika hatinya baik. Termasuk sifat ahli al-Quran —dan aku cukupkan dengan sifat ini untuk menyingkat waktu—bahwa ahli al-Quran itu punya karakter rendah hatidan khusyuk kepada Allah Jalla wa ʿAlā. Khusyuk adalah salah satu buah dari kerendahan hatinya. Inilah sebabnya ketika Abu Bakar al-Ājurī —semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan sifat-sifat ahli al-Quran, dia mengatakan bahwa mereka rendah hati kepada para ahli al-Quran dan orang-orang mempelajarinya. Adapun ketika dia menyebutkan sifat-sifat orang yang mempelajari al-Quran karena dunia, dia mengatakan bahwa di antara sifat mereka adalah sombong. Mereka sombong setelah membacanya di hadapan makhluk-Nya, tidak mau merendahkan hati dengannya, selalu ingin tampil, dan mengungguli orang lain. Jadi, inilah beberapa amalan hati yang dengannya seseorang dapat menguji dirinya sendiri dan mengecek apakah dia termasuk ahli al-Quran yang sejati atau bukan. Oleh karena itu, diriwayatkan dari Hasan al-Bashri —semoga Allah Merahmatinya—bahwa seorang mukmin hendaknya memeriksa keadaan dirinya dengan al-Quran, jika dia termasuk ahli al-Quran,maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah Jalla wa ʿAlā dan memuji-Nya,dan memohon agar ditingkatkan. Jika dia tidak memiliki karakter itu, maka hendaknya dia mengintrospeksidan menghisab dirinya sebelum dihisab oleh Allah ʿAzza wa Jalla. ==== صِفَاتُ قُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِنَّ لِقُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَأْنًا عَظِيمًا فَإِنَّ لَهَا أَمْرًا مُخْتَلِفًا عَنْ غَيْرِهَا فَإِنَّ أَهْلَ الْقُرْآنِ إِذَا ذُكِّرَوا بِالْقُرْآنِ تَذَكَّرُوا وَإِذَا وُعِظُوا بِالْقُرْآنِ انْزَجَرُوا وَإِذَا خُوِّفُوا بِالْقُرْآنِ خَافُوا حَاضِرُ الدَّمْعَةِ رَقِيقُ الْقَلْبِ لَيِّنُ الْجَانِبِ كُلُّ هَذِهِ صِفَاتُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ وَلِذَلِكَ ذَكَرَ اللهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَصْحَابَ الْقُرْآنِ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَقَالَ قَتَادَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا ذَكَرَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ هَذَا نَعْتُ أَوْلِيَاءِ اللهِ فِي كِتَابِ اللهِ أَنَّهُ تَقْشَعِرُّ قُلُوبُهُمْ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا قَالَ قَتَادَةُ وَلَمْ يَذْكُرِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ نَعْتِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَصْرُخُونَ وَلَا أَنَّهُ كَانَ يُغْشَى عَلَيْهِمْ قَالَ قَتَادَةُ: وَإِنَّمَا هَذَا نَعْتُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنَ الشَّيْطَانِ إِذَنْ فَقُلُوبُ الْمُؤْمِنِينَ تَلِينُ لِلْقُرْآنِ وَتَخَافُ إِذَا ذُكِّرُوا بِهِ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ إِذَا مَرَّتْ عَلَيهِمْ آيَاتٌ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ وَكَذَلِكَ كُلُّ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ مِنْ هَذَا الْبَابِ مُتَعَلِّقَةٌ بِهَذَا الْقَلْبِ إِذِ الْقَلْبُ هُوَ مُضْغَةٌ الَّتِي فِي الْقَلْبِ… فِي الْبَدَنِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ مِنْ صِفَاتِ صَاحِبِ الْقُرْآنِ وَأَقِفُ عِنْدَ هَذِهِ الصِّفَةِ اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ مِنْ طَبْعِهِ التَّوَاضُعُ وَالْخُشُوعُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ الْخُشُوعَ مِنْ أَعْظَمِ آثَارِهِ التَّوَاضُعُ وَلِذَلِكَ لَمَّا ذَكَرَ أَبُو بَكْرٍ الْآجُرِّيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى صِفَاتَ أَهْلِ الْقُرْآنِ قَالَ: وَيَتَوَاضَعُونَ لِأَهْلِهِ وَلِمَنْ تَعَلَّمَهُ وَلَمَّا ذَكَرَ صِفَاتَ الَّذِينَ يَتَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ لِلدُّنْيَا قَالَ وَمِنْ صِفَاتِهِمْ أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ عِنْدَ… أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ بَعْدَ قِرَاءَتِهِ عَلَى خَلْقِ اللهِ وَلَا يَتَوَاضَعُونَ فِيهِ وَيُحِبُّونَ أَنْ يَتَصَدَّرُوا أَنْ يَعْلُوْا عَلَى غَيْرِهِمْ إِذَنْ هَذِهِ مِنْ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي يَمْتَحِنُ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ وَلِيَنْظُرَ أَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ أَمْ أَنَّهُ لَيْسَ كَذَلِكَ وَلِذَلِكَ جَاءَ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَخْتَبِرُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْقُرْآنِ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَحَمِدَهُ وَسَأَلَهُ الزِّيَادَةَ وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ النَّعْتِ فَإِنَّهُ حِينَئِذٍ يُرَاجِعُ نَفْسَهُ وَيُحَاسِبُهَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسِبَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا
Karakter hati ahli al-Quran. Hati ahli al-Quran memiliki karakter yang agung, karakternya berbeda dengan hati yang lain. Sesungguhnya ahli al-Quran itu jika ia diingatkan dengan al-Quran, ia akan ingat. Jika ia dinasihati dengan al-Quran, ia akan tunduk. Jika ia ditakut-takuti dengan al-Quran, ia akan takut. Mudah menangis, lembut hatinya, dan santun perangainya. Semua itu adalah karakter seorang ahli al-Quran sejati. Inilah mengapa Allah ʿAzza wa Jalla Menyebutkan bahwa ahli al-Quran itu “Gemetar karenanya (al-Quran) kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, lalu kulit dan hati mereka menjadi tenang dalam zikir kepada Allah.” (QS. Az-Zumar: 23) Qatadah —semoga Allah Meridainya— ketika menyebutkan ayat ini mengatakan bahwa ini adalah sifat wali-wali Allah di dalam al-Quran, yaitu hati mereka bergetar dan mata mereka menangis karena Allah Jalla wa ʿAlā. Qatadah berkata, “Allah ʿAzza wa Jalla TIDAK menyebut sifat mereka bahwa mereka adalah orang yang suka berteriak-teriak atau bisa sampai jatuh pingsan.” Qatadah berkata bahwa itu hanyalah karakter yang dimiliki setan ahli bidah. Jadi, hati orang beriman itu akan tenang dengan al-Quran, takut jika diingatkan dengannya, dan mata mereka menangis jika membaca atau mendengar ayat-ayat yang agung ini. Demikian pula semua amalan hati dalam hal ini juga berkaitan dengan masalah hati, karena hati adalah segumpal daging yang ada dalam jasad yang mana seluruh tubuh juga baik, jika hatinya baik. Termasuk sifat ahli al-Quran —dan aku cukupkan dengan sifat ini untuk menyingkat waktu—bahwa ahli al-Quran itu punya karakter rendah hatidan khusyuk kepada Allah Jalla wa ʿAlā. Khusyuk adalah salah satu buah dari kerendahan hatinya. Inilah sebabnya ketika Abu Bakar al-Ājurī —semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan sifat-sifat ahli al-Quran, dia mengatakan bahwa mereka rendah hati kepada para ahli al-Quran dan orang-orang mempelajarinya. Adapun ketika dia menyebutkan sifat-sifat orang yang mempelajari al-Quran karena dunia, dia mengatakan bahwa di antara sifat mereka adalah sombong. Mereka sombong setelah membacanya di hadapan makhluk-Nya, tidak mau merendahkan hati dengannya, selalu ingin tampil, dan mengungguli orang lain. Jadi, inilah beberapa amalan hati yang dengannya seseorang dapat menguji dirinya sendiri dan mengecek apakah dia termasuk ahli al-Quran yang sejati atau bukan. Oleh karena itu, diriwayatkan dari Hasan al-Bashri —semoga Allah Merahmatinya—bahwa seorang mukmin hendaknya memeriksa keadaan dirinya dengan al-Quran, jika dia termasuk ahli al-Quran,maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah Jalla wa ʿAlā dan memuji-Nya,dan memohon agar ditingkatkan. Jika dia tidak memiliki karakter itu, maka hendaknya dia mengintrospeksidan menghisab dirinya sebelum dihisab oleh Allah ʿAzza wa Jalla. ==== صِفَاتُ قُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِنَّ لِقُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَأْنًا عَظِيمًا فَإِنَّ لَهَا أَمْرًا مُخْتَلِفًا عَنْ غَيْرِهَا فَإِنَّ أَهْلَ الْقُرْآنِ إِذَا ذُكِّرَوا بِالْقُرْآنِ تَذَكَّرُوا وَإِذَا وُعِظُوا بِالْقُرْآنِ انْزَجَرُوا وَإِذَا خُوِّفُوا بِالْقُرْآنِ خَافُوا حَاضِرُ الدَّمْعَةِ رَقِيقُ الْقَلْبِ لَيِّنُ الْجَانِبِ كُلُّ هَذِهِ صِفَاتُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ وَلِذَلِكَ ذَكَرَ اللهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَصْحَابَ الْقُرْآنِ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَقَالَ قَتَادَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا ذَكَرَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ هَذَا نَعْتُ أَوْلِيَاءِ اللهِ فِي كِتَابِ اللهِ أَنَّهُ تَقْشَعِرُّ قُلُوبُهُمْ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا قَالَ قَتَادَةُ وَلَمْ يَذْكُرِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ نَعْتِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَصْرُخُونَ وَلَا أَنَّهُ كَانَ يُغْشَى عَلَيْهِمْ قَالَ قَتَادَةُ: وَإِنَّمَا هَذَا نَعْتُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنَ الشَّيْطَانِ إِذَنْ فَقُلُوبُ الْمُؤْمِنِينَ تَلِينُ لِلْقُرْآنِ وَتَخَافُ إِذَا ذُكِّرُوا بِهِ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ إِذَا مَرَّتْ عَلَيهِمْ آيَاتٌ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ وَكَذَلِكَ كُلُّ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ مِنْ هَذَا الْبَابِ مُتَعَلِّقَةٌ بِهَذَا الْقَلْبِ إِذِ الْقَلْبُ هُوَ مُضْغَةٌ الَّتِي فِي الْقَلْبِ… فِي الْبَدَنِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ مِنْ صِفَاتِ صَاحِبِ الْقُرْآنِ وَأَقِفُ عِنْدَ هَذِهِ الصِّفَةِ اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ مِنْ طَبْعِهِ التَّوَاضُعُ وَالْخُشُوعُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ الْخُشُوعَ مِنْ أَعْظَمِ آثَارِهِ التَّوَاضُعُ وَلِذَلِكَ لَمَّا ذَكَرَ أَبُو بَكْرٍ الْآجُرِّيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى صِفَاتَ أَهْلِ الْقُرْآنِ قَالَ: وَيَتَوَاضَعُونَ لِأَهْلِهِ وَلِمَنْ تَعَلَّمَهُ وَلَمَّا ذَكَرَ صِفَاتَ الَّذِينَ يَتَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ لِلدُّنْيَا قَالَ وَمِنْ صِفَاتِهِمْ أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ عِنْدَ… أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ بَعْدَ قِرَاءَتِهِ عَلَى خَلْقِ اللهِ وَلَا يَتَوَاضَعُونَ فِيهِ وَيُحِبُّونَ أَنْ يَتَصَدَّرُوا أَنْ يَعْلُوْا عَلَى غَيْرِهِمْ إِذَنْ هَذِهِ مِنْ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي يَمْتَحِنُ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ وَلِيَنْظُرَ أَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ أَمْ أَنَّهُ لَيْسَ كَذَلِكَ وَلِذَلِكَ جَاءَ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَخْتَبِرُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْقُرْآنِ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَحَمِدَهُ وَسَأَلَهُ الزِّيَادَةَ وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ النَّعْتِ فَإِنَّهُ حِينَئِذٍ يُرَاجِعُ نَفْسَهُ وَيُحَاسِبُهَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسِبَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا


Karakter hati ahli al-Quran. Hati ahli al-Quran memiliki karakter yang agung, karakternya berbeda dengan hati yang lain. Sesungguhnya ahli al-Quran itu jika ia diingatkan dengan al-Quran, ia akan ingat. Jika ia dinasihati dengan al-Quran, ia akan tunduk. Jika ia ditakut-takuti dengan al-Quran, ia akan takut. Mudah menangis, lembut hatinya, dan santun perangainya. Semua itu adalah karakter seorang ahli al-Quran sejati. Inilah mengapa Allah ʿAzza wa Jalla Menyebutkan bahwa ahli al-Quran itu “Gemetar karenanya (al-Quran) kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, lalu kulit dan hati mereka menjadi tenang dalam zikir kepada Allah.” (QS. Az-Zumar: 23) Qatadah —semoga Allah Meridainya— ketika menyebutkan ayat ini mengatakan bahwa ini adalah sifat wali-wali Allah di dalam al-Quran, yaitu hati mereka bergetar dan mata mereka menangis karena Allah Jalla wa ʿAlā. Qatadah berkata, “Allah ʿAzza wa Jalla TIDAK menyebut sifat mereka bahwa mereka adalah orang yang suka berteriak-teriak atau bisa sampai jatuh pingsan.” Qatadah berkata bahwa itu hanyalah karakter yang dimiliki setan ahli bidah. Jadi, hati orang beriman itu akan tenang dengan al-Quran, takut jika diingatkan dengannya, dan mata mereka menangis jika membaca atau mendengar ayat-ayat yang agung ini. Demikian pula semua amalan hati dalam hal ini juga berkaitan dengan masalah hati, karena hati adalah segumpal daging yang ada dalam jasad yang mana seluruh tubuh juga baik, jika hatinya baik. Termasuk sifat ahli al-Quran —dan aku cukupkan dengan sifat ini untuk menyingkat waktu—bahwa ahli al-Quran itu punya karakter rendah hatidan khusyuk kepada Allah Jalla wa ʿAlā. Khusyuk adalah salah satu buah dari kerendahan hatinya. Inilah sebabnya ketika Abu Bakar al-Ājurī —semoga Allah Merahmatinya— menyebutkan sifat-sifat ahli al-Quran, dia mengatakan bahwa mereka rendah hati kepada para ahli al-Quran dan orang-orang mempelajarinya. Adapun ketika dia menyebutkan sifat-sifat orang yang mempelajari al-Quran karena dunia, dia mengatakan bahwa di antara sifat mereka adalah sombong. Mereka sombong setelah membacanya di hadapan makhluk-Nya, tidak mau merendahkan hati dengannya, selalu ingin tampil, dan mengungguli orang lain. Jadi, inilah beberapa amalan hati yang dengannya seseorang dapat menguji dirinya sendiri dan mengecek apakah dia termasuk ahli al-Quran yang sejati atau bukan. Oleh karena itu, diriwayatkan dari Hasan al-Bashri —semoga Allah Merahmatinya—bahwa seorang mukmin hendaknya memeriksa keadaan dirinya dengan al-Quran, jika dia termasuk ahli al-Quran,maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah Jalla wa ʿAlā dan memuji-Nya,dan memohon agar ditingkatkan. Jika dia tidak memiliki karakter itu, maka hendaknya dia mengintrospeksidan menghisab dirinya sebelum dihisab oleh Allah ʿAzza wa Jalla. ==== صِفَاتُ قُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِنَّ لِقُلُوبِ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَأْنًا عَظِيمًا فَإِنَّ لَهَا أَمْرًا مُخْتَلِفًا عَنْ غَيْرِهَا فَإِنَّ أَهْلَ الْقُرْآنِ إِذَا ذُكِّرَوا بِالْقُرْآنِ تَذَكَّرُوا وَإِذَا وُعِظُوا بِالْقُرْآنِ انْزَجَرُوا وَإِذَا خُوِّفُوا بِالْقُرْآنِ خَافُوا حَاضِرُ الدَّمْعَةِ رَقِيقُ الْقَلْبِ لَيِّنُ الْجَانِبِ كُلُّ هَذِهِ صِفَاتُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ وَلِذَلِكَ ذَكَرَ اللهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَصْحَابَ الْقُرْآنِ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَقَالَ قَتَادَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِينَمَا ذَكَرَ هَذِهِ الْآيَةَ قَالَ هَذَا نَعْتُ أَوْلِيَاءِ اللهِ فِي كِتَابِ اللهِ أَنَّهُ تَقْشَعِرُّ قُلُوبُهُمْ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا قَالَ قَتَادَةُ وَلَمْ يَذْكُرِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ نَعْتِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَصْرُخُونَ وَلَا أَنَّهُ كَانَ يُغْشَى عَلَيْهِمْ قَالَ قَتَادَةُ: وَإِنَّمَا هَذَا نَعْتُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنَ الشَّيْطَانِ إِذَنْ فَقُلُوبُ الْمُؤْمِنِينَ تَلِينُ لِلْقُرْآنِ وَتَخَافُ إِذَا ذُكِّرُوا بِهِ وَتَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ إِذَا مَرَّتْ عَلَيهِمْ آيَاتٌ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْعَظِيمَةِ وَكَذَلِكَ كُلُّ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ مِنْ هَذَا الْبَابِ مُتَعَلِّقَةٌ بِهَذَا الْقَلْبِ إِذِ الْقَلْبُ هُوَ مُضْغَةٌ الَّتِي فِي الْقَلْبِ… فِي الْبَدَنِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ مِنْ صِفَاتِ صَاحِبِ الْقُرْآنِ وَأَقِفُ عِنْدَ هَذِهِ الصِّفَةِ اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ مِنْ طَبْعِهِ التَّوَاضُعُ وَالْخُشُوعُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ الْخُشُوعَ مِنْ أَعْظَمِ آثَارِهِ التَّوَاضُعُ وَلِذَلِكَ لَمَّا ذَكَرَ أَبُو بَكْرٍ الْآجُرِّيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى صِفَاتَ أَهْلِ الْقُرْآنِ قَالَ: وَيَتَوَاضَعُونَ لِأَهْلِهِ وَلِمَنْ تَعَلَّمَهُ وَلَمَّا ذَكَرَ صِفَاتَ الَّذِينَ يَتَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ لِلدُّنْيَا قَالَ وَمِنْ صِفَاتِهِمْ أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ عِنْدَ… أَنَّهُمْ يَتَكَبَّرُونَ بَعْدَ قِرَاءَتِهِ عَلَى خَلْقِ اللهِ وَلَا يَتَوَاضَعُونَ فِيهِ وَيُحِبُّونَ أَنْ يَتَصَدَّرُوا أَنْ يَعْلُوْا عَلَى غَيْرِهِمْ إِذَنْ هَذِهِ مِنْ أَفْعَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي يَمْتَحِنُ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ وَلِيَنْظُرَ أَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَقِيقَةِ أَمْ أَنَّهُ لَيْسَ كَذَلِكَ وَلِذَلِكَ جَاءَ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَخْتَبِرُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْقُرْآنِ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ شَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَحَمِدَهُ وَسَأَلَهُ الزِّيَادَةَ وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ النَّعْتِ فَإِنَّهُ حِينَئِذٍ يُرَاجِعُ نَفْسَهُ وَيُحَاسِبُهَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسِبَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا

Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa

Daftar Isi Toggle Menghadapi ancaman perpecahanNikmat keamanan bangsaKarunia Allah yang disyukuriMerindukan pemimpin yang adil?Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Derita yang dialami saudara-saudara kita di Palestina saat ini sungguh sangat memilukan. Sebagai seorang muslim, semestinya kita juga ikut berempati secara mendalam atas ujian berat yang mereka alami. Empati dapat kita wujudkan dengan bantuan materiil berupa donasi dan imateriel berupa doa-doa yang senantiasa kita mohonkan kepada Allah Ta’ala untuk mereka. Berkaca dari tragedi yang –qadarullah- hingga kini masih belum berujung tersebut, menjadi penting pula bagi kita untuk muhasabah diri. Betapa besar karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita, berupa keamanan bangsa dan negara, di mana penghuninya merupakan manusia-manusia dengan segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Namun, dengan kasih sayang Allah Ta’ala, semua dapat menyatu dalam satu kesatuan bangsa, bahasa, dan tanah air. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Menghadapi ancaman perpecahan Kini, kita sedang dihadapkan dalam sebuah kontestasi politik yang sarat akan potensi perpecahan. Disadari atau tidak, perbedaan sudut pandang dalam berpolitik telah banyak menjadikan saudara sekandung saling bermusuhan, keluarga semula bahagia menjadi berantakan, dan konflik sosial yang tak berkesudahan hanya karena beda pilihan. Sungguh, suatu perkara yang sangat kecil yang tidak layak menjadi alasan kita untuk saling bermusuhan. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan bahwa persaudaraan itu merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih persaudaraan sesama muslim yang tak pernah putus selama orang tersebut masih merupakan muslim yang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling tanahusy (menyakiti dalam jual beli)! Janganlah saling benci!  Janganlah saling membelakangi (mendiamkan)! Dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya! Jadilah hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini -beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Nikmat keamanan bangsa Saudaraku, kenikmatan berupa keamanan bangsa ini semestinya kita syukuri dengan cara menjaganya agar senantiasa dalam koridor ketentuan syar’i. Hadis di atas jelas menuntun kita untuk bersatu dan saling menjaga kerukunan satu sama lain, serta saling menghormati. Demikianlah, wujud konkret dari rasa syukur tersebut. Karena, semakin kita pandai bersyukur atas segala nikmat tersebut, maka Allah Ta’ala pun akan semakin menambah karunia-Nya kepada kita. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.’” (QS. Ibrahim: 07) Saudaraku, perhatikanlah! Ayat di atas semakin menegaskan bahwa syukur merupakan syarat mutlak ditambahkannya rezeki untuk kita. Rezeki yang tak semua umat dapat memperolehnya. Rezeki yang diimpi-impikan oleh saudara-saudara kita muslimin yang tertindas di negeri Palestina, Syiria, Afghanistan, dan belahan bumi lainnya. Rezeki itu berupa keamanan bangsa dan negara. Jauh dari konflik sosial yang berkepanjangan, serta mendapatkan kesempatan untuk terus berkembang. Sebaliknya, kufur akan mendatangkan azab Allah yang sungguh amat berat. Kita telah melalui berbagai musibah penjajahan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Mendengar dan membaca sejarah yang ada, sungguh zaman di mana mayoritas usia produktif benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan penjajah, masa depan terasa suram, dan nyawa tak penting untuk dipertimbangkan. Namun, alhamdulillah, semua penderitaan tersebut berakhir dengan kemerdekaan. Sebuah karunia yang tak ternilai yang kadangkala baru akan terasa apabila seseorang dihadapkan kembali pada musibah yang mengancam kemerdekaan dan kebebasannya. Baca juga: Agungnya Nikmat Keamanan Karunia Allah yang disyukuri Dalam konteks karunia Allah berupa keamanan bangsa, kita jangan pernah luput untuk bersyukur. Jangan pernah pula mencoba untuk memancing datangnya murka Allah Ta’ala dengan berlaku kufur. Saling mengompori dengan sengaja untuk memecah belah umat, menjadi contoh sikap yang benar-benar menunjukkan kekufuran yang dapat mengundang azab Allah Ta’ala. Janganlah karena perbedaan pandangan -khususnya pandangan politik saat ini- di antara kita, kemudian menjadikan alasan tersebut sebagai dalil pembenaran untuk saling mencaci, memfitnah, menzalimi satu sama lain, bahkan berujung pada kematian tanpa hak. Wal’iyadzu billah. Marilah sejenak merenung. Kita hidup di sebuah negara yang sangat heterogen. Berbagai kepercayaan dan dogma diakui di negeri ini. Beribu bahasa, ratusan suku bangsa, dan beragam ideologi politik, sosial dan ekonomi senantiasa eksis di tengah-tengah kehidupan kita. Hal itu pun telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak ada konflik sosial yang permanen yang bertahan lama hanya karena perbedaan tersebut. Nyatanya, sejak era nenek moyang kita dahulu hingga pada zaman yang penuh dengan fitnah ini, kita masih mendapatkan perlindungan dari Allah Ta’ala berupa rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang selalu dapat terjaga baik. Ingat, semua karunia ini ada atas kehendak dan izin dari Allah Ta’ala. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 3) Merindukan pemimpin yang adil? Memang, kita masih merindukan dan mengharapkan bangsa yang kaya akan karunia Allah Ta’ala. Dari limpahan kekayaan sumber daya alam ini, rakyatnya jauh lebih sejahtera. Kita menginginkan pemimpin yang adil, yang taat, yang berpegang teguh pada syariat Allah Ta’ala. Namun, jangan lupa, kita pun tidak boleh luput dari kesadaran bahwa upaya mewujudkan seorang pemimpin dengan kriteria ideal tersebut hanya akan terwujud apabila masing-masing individu umat memprioritaskan pendidikan, pengasuhan, dan pengajaran keluarga untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Serta memperdalam ilmu agama sebagai bekal akhirat, menjadi prioritas utama. Dengan demikian, dari individu keluarga yang telah terdidik secara Islam tersebut, barulah kemudian lahir seorang pemimpin yang adil. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم “Di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” (Miftah Daaris Sa’adah, 2: 177-178) Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Orang yang memahami bagaimana sesungguhnya sikap terbaik dalam menghadapi suatu persoalan cenderung akan lebih tenang dalam bersikap dan bertutur kata. Tidak terkecuali terhadap persoalan potensi perpecahan di masa-masa yang sarat akan potensi perpecahan seperti saat pemilihan umum saat ini. Pemahaman yang dimaksud tentu saja merujuk pada bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya membimbing kita dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Terkhusus dalam menentukan sikap dalam menghadapi dinamika hubungan sosial masyarakat yang seharusnya dijaga sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat keamanan bangsa. Maka, sungguh kita telah dituntun untuk menentukan sikap yang benar. Seorang muslim, tentunya akan berupaya untuk mencari jalan terbaik dalam menentukan langkah. Terhadap situasi Pemilu seperti ini, kita merujuk pada hasil ijtihad para alim ulama di mana kita boleh memilih dengan pertimbangan maslahat dan mudarat. Selengkapnya terkait fatwa-fatwa ulama dalam memberikan suara dalam pemilu dapat diakses disini (https://muslim.or.id/20605-fatwa-ulama-memberikan-suara-dalam-pemilu.html). Sekali lagi, semakin kita mendorong diri untuk memperdalam ilmu agama, maka semakin tenang pula diri kita dalam menyikapi segala problematika kehidupan, khususnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, kita dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan antar sesama dengan menghindari segala potensi konflik sebagai bukti konkret rasa syukur kita terhadap karunia keamanan bangsa yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan bagi negeri kita tercinta ini berupa kedamaian, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 126) Baca juga: Kunci Keamanan dan Hidayah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: keamanan bangsanikmat Allah

Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa

Daftar Isi Toggle Menghadapi ancaman perpecahanNikmat keamanan bangsaKarunia Allah yang disyukuriMerindukan pemimpin yang adil?Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Derita yang dialami saudara-saudara kita di Palestina saat ini sungguh sangat memilukan. Sebagai seorang muslim, semestinya kita juga ikut berempati secara mendalam atas ujian berat yang mereka alami. Empati dapat kita wujudkan dengan bantuan materiil berupa donasi dan imateriel berupa doa-doa yang senantiasa kita mohonkan kepada Allah Ta’ala untuk mereka. Berkaca dari tragedi yang –qadarullah- hingga kini masih belum berujung tersebut, menjadi penting pula bagi kita untuk muhasabah diri. Betapa besar karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita, berupa keamanan bangsa dan negara, di mana penghuninya merupakan manusia-manusia dengan segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Namun, dengan kasih sayang Allah Ta’ala, semua dapat menyatu dalam satu kesatuan bangsa, bahasa, dan tanah air. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Menghadapi ancaman perpecahan Kini, kita sedang dihadapkan dalam sebuah kontestasi politik yang sarat akan potensi perpecahan. Disadari atau tidak, perbedaan sudut pandang dalam berpolitik telah banyak menjadikan saudara sekandung saling bermusuhan, keluarga semula bahagia menjadi berantakan, dan konflik sosial yang tak berkesudahan hanya karena beda pilihan. Sungguh, suatu perkara yang sangat kecil yang tidak layak menjadi alasan kita untuk saling bermusuhan. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan bahwa persaudaraan itu merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih persaudaraan sesama muslim yang tak pernah putus selama orang tersebut masih merupakan muslim yang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling tanahusy (menyakiti dalam jual beli)! Janganlah saling benci!  Janganlah saling membelakangi (mendiamkan)! Dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya! Jadilah hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini -beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Nikmat keamanan bangsa Saudaraku, kenikmatan berupa keamanan bangsa ini semestinya kita syukuri dengan cara menjaganya agar senantiasa dalam koridor ketentuan syar’i. Hadis di atas jelas menuntun kita untuk bersatu dan saling menjaga kerukunan satu sama lain, serta saling menghormati. Demikianlah, wujud konkret dari rasa syukur tersebut. Karena, semakin kita pandai bersyukur atas segala nikmat tersebut, maka Allah Ta’ala pun akan semakin menambah karunia-Nya kepada kita. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.’” (QS. Ibrahim: 07) Saudaraku, perhatikanlah! Ayat di atas semakin menegaskan bahwa syukur merupakan syarat mutlak ditambahkannya rezeki untuk kita. Rezeki yang tak semua umat dapat memperolehnya. Rezeki yang diimpi-impikan oleh saudara-saudara kita muslimin yang tertindas di negeri Palestina, Syiria, Afghanistan, dan belahan bumi lainnya. Rezeki itu berupa keamanan bangsa dan negara. Jauh dari konflik sosial yang berkepanjangan, serta mendapatkan kesempatan untuk terus berkembang. Sebaliknya, kufur akan mendatangkan azab Allah yang sungguh amat berat. Kita telah melalui berbagai musibah penjajahan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Mendengar dan membaca sejarah yang ada, sungguh zaman di mana mayoritas usia produktif benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan penjajah, masa depan terasa suram, dan nyawa tak penting untuk dipertimbangkan. Namun, alhamdulillah, semua penderitaan tersebut berakhir dengan kemerdekaan. Sebuah karunia yang tak ternilai yang kadangkala baru akan terasa apabila seseorang dihadapkan kembali pada musibah yang mengancam kemerdekaan dan kebebasannya. Baca juga: Agungnya Nikmat Keamanan Karunia Allah yang disyukuri Dalam konteks karunia Allah berupa keamanan bangsa, kita jangan pernah luput untuk bersyukur. Jangan pernah pula mencoba untuk memancing datangnya murka Allah Ta’ala dengan berlaku kufur. Saling mengompori dengan sengaja untuk memecah belah umat, menjadi contoh sikap yang benar-benar menunjukkan kekufuran yang dapat mengundang azab Allah Ta’ala. Janganlah karena perbedaan pandangan -khususnya pandangan politik saat ini- di antara kita, kemudian menjadikan alasan tersebut sebagai dalil pembenaran untuk saling mencaci, memfitnah, menzalimi satu sama lain, bahkan berujung pada kematian tanpa hak. Wal’iyadzu billah. Marilah sejenak merenung. Kita hidup di sebuah negara yang sangat heterogen. Berbagai kepercayaan dan dogma diakui di negeri ini. Beribu bahasa, ratusan suku bangsa, dan beragam ideologi politik, sosial dan ekonomi senantiasa eksis di tengah-tengah kehidupan kita. Hal itu pun telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak ada konflik sosial yang permanen yang bertahan lama hanya karena perbedaan tersebut. Nyatanya, sejak era nenek moyang kita dahulu hingga pada zaman yang penuh dengan fitnah ini, kita masih mendapatkan perlindungan dari Allah Ta’ala berupa rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang selalu dapat terjaga baik. Ingat, semua karunia ini ada atas kehendak dan izin dari Allah Ta’ala. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 3) Merindukan pemimpin yang adil? Memang, kita masih merindukan dan mengharapkan bangsa yang kaya akan karunia Allah Ta’ala. Dari limpahan kekayaan sumber daya alam ini, rakyatnya jauh lebih sejahtera. Kita menginginkan pemimpin yang adil, yang taat, yang berpegang teguh pada syariat Allah Ta’ala. Namun, jangan lupa, kita pun tidak boleh luput dari kesadaran bahwa upaya mewujudkan seorang pemimpin dengan kriteria ideal tersebut hanya akan terwujud apabila masing-masing individu umat memprioritaskan pendidikan, pengasuhan, dan pengajaran keluarga untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Serta memperdalam ilmu agama sebagai bekal akhirat, menjadi prioritas utama. Dengan demikian, dari individu keluarga yang telah terdidik secara Islam tersebut, barulah kemudian lahir seorang pemimpin yang adil. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم “Di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” (Miftah Daaris Sa’adah, 2: 177-178) Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Orang yang memahami bagaimana sesungguhnya sikap terbaik dalam menghadapi suatu persoalan cenderung akan lebih tenang dalam bersikap dan bertutur kata. Tidak terkecuali terhadap persoalan potensi perpecahan di masa-masa yang sarat akan potensi perpecahan seperti saat pemilihan umum saat ini. Pemahaman yang dimaksud tentu saja merujuk pada bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya membimbing kita dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Terkhusus dalam menentukan sikap dalam menghadapi dinamika hubungan sosial masyarakat yang seharusnya dijaga sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat keamanan bangsa. Maka, sungguh kita telah dituntun untuk menentukan sikap yang benar. Seorang muslim, tentunya akan berupaya untuk mencari jalan terbaik dalam menentukan langkah. Terhadap situasi Pemilu seperti ini, kita merujuk pada hasil ijtihad para alim ulama di mana kita boleh memilih dengan pertimbangan maslahat dan mudarat. Selengkapnya terkait fatwa-fatwa ulama dalam memberikan suara dalam pemilu dapat diakses disini (https://muslim.or.id/20605-fatwa-ulama-memberikan-suara-dalam-pemilu.html). Sekali lagi, semakin kita mendorong diri untuk memperdalam ilmu agama, maka semakin tenang pula diri kita dalam menyikapi segala problematika kehidupan, khususnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, kita dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan antar sesama dengan menghindari segala potensi konflik sebagai bukti konkret rasa syukur kita terhadap karunia keamanan bangsa yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan bagi negeri kita tercinta ini berupa kedamaian, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 126) Baca juga: Kunci Keamanan dan Hidayah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: keamanan bangsanikmat Allah
Daftar Isi Toggle Menghadapi ancaman perpecahanNikmat keamanan bangsaKarunia Allah yang disyukuriMerindukan pemimpin yang adil?Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Derita yang dialami saudara-saudara kita di Palestina saat ini sungguh sangat memilukan. Sebagai seorang muslim, semestinya kita juga ikut berempati secara mendalam atas ujian berat yang mereka alami. Empati dapat kita wujudkan dengan bantuan materiil berupa donasi dan imateriel berupa doa-doa yang senantiasa kita mohonkan kepada Allah Ta’ala untuk mereka. Berkaca dari tragedi yang –qadarullah- hingga kini masih belum berujung tersebut, menjadi penting pula bagi kita untuk muhasabah diri. Betapa besar karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita, berupa keamanan bangsa dan negara, di mana penghuninya merupakan manusia-manusia dengan segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Namun, dengan kasih sayang Allah Ta’ala, semua dapat menyatu dalam satu kesatuan bangsa, bahasa, dan tanah air. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Menghadapi ancaman perpecahan Kini, kita sedang dihadapkan dalam sebuah kontestasi politik yang sarat akan potensi perpecahan. Disadari atau tidak, perbedaan sudut pandang dalam berpolitik telah banyak menjadikan saudara sekandung saling bermusuhan, keluarga semula bahagia menjadi berantakan, dan konflik sosial yang tak berkesudahan hanya karena beda pilihan. Sungguh, suatu perkara yang sangat kecil yang tidak layak menjadi alasan kita untuk saling bermusuhan. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan bahwa persaudaraan itu merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih persaudaraan sesama muslim yang tak pernah putus selama orang tersebut masih merupakan muslim yang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling tanahusy (menyakiti dalam jual beli)! Janganlah saling benci!  Janganlah saling membelakangi (mendiamkan)! Dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya! Jadilah hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini -beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Nikmat keamanan bangsa Saudaraku, kenikmatan berupa keamanan bangsa ini semestinya kita syukuri dengan cara menjaganya agar senantiasa dalam koridor ketentuan syar’i. Hadis di atas jelas menuntun kita untuk bersatu dan saling menjaga kerukunan satu sama lain, serta saling menghormati. Demikianlah, wujud konkret dari rasa syukur tersebut. Karena, semakin kita pandai bersyukur atas segala nikmat tersebut, maka Allah Ta’ala pun akan semakin menambah karunia-Nya kepada kita. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.’” (QS. Ibrahim: 07) Saudaraku, perhatikanlah! Ayat di atas semakin menegaskan bahwa syukur merupakan syarat mutlak ditambahkannya rezeki untuk kita. Rezeki yang tak semua umat dapat memperolehnya. Rezeki yang diimpi-impikan oleh saudara-saudara kita muslimin yang tertindas di negeri Palestina, Syiria, Afghanistan, dan belahan bumi lainnya. Rezeki itu berupa keamanan bangsa dan negara. Jauh dari konflik sosial yang berkepanjangan, serta mendapatkan kesempatan untuk terus berkembang. Sebaliknya, kufur akan mendatangkan azab Allah yang sungguh amat berat. Kita telah melalui berbagai musibah penjajahan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Mendengar dan membaca sejarah yang ada, sungguh zaman di mana mayoritas usia produktif benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan penjajah, masa depan terasa suram, dan nyawa tak penting untuk dipertimbangkan. Namun, alhamdulillah, semua penderitaan tersebut berakhir dengan kemerdekaan. Sebuah karunia yang tak ternilai yang kadangkala baru akan terasa apabila seseorang dihadapkan kembali pada musibah yang mengancam kemerdekaan dan kebebasannya. Baca juga: Agungnya Nikmat Keamanan Karunia Allah yang disyukuri Dalam konteks karunia Allah berupa keamanan bangsa, kita jangan pernah luput untuk bersyukur. Jangan pernah pula mencoba untuk memancing datangnya murka Allah Ta’ala dengan berlaku kufur. Saling mengompori dengan sengaja untuk memecah belah umat, menjadi contoh sikap yang benar-benar menunjukkan kekufuran yang dapat mengundang azab Allah Ta’ala. Janganlah karena perbedaan pandangan -khususnya pandangan politik saat ini- di antara kita, kemudian menjadikan alasan tersebut sebagai dalil pembenaran untuk saling mencaci, memfitnah, menzalimi satu sama lain, bahkan berujung pada kematian tanpa hak. Wal’iyadzu billah. Marilah sejenak merenung. Kita hidup di sebuah negara yang sangat heterogen. Berbagai kepercayaan dan dogma diakui di negeri ini. Beribu bahasa, ratusan suku bangsa, dan beragam ideologi politik, sosial dan ekonomi senantiasa eksis di tengah-tengah kehidupan kita. Hal itu pun telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak ada konflik sosial yang permanen yang bertahan lama hanya karena perbedaan tersebut. Nyatanya, sejak era nenek moyang kita dahulu hingga pada zaman yang penuh dengan fitnah ini, kita masih mendapatkan perlindungan dari Allah Ta’ala berupa rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang selalu dapat terjaga baik. Ingat, semua karunia ini ada atas kehendak dan izin dari Allah Ta’ala. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 3) Merindukan pemimpin yang adil? Memang, kita masih merindukan dan mengharapkan bangsa yang kaya akan karunia Allah Ta’ala. Dari limpahan kekayaan sumber daya alam ini, rakyatnya jauh lebih sejahtera. Kita menginginkan pemimpin yang adil, yang taat, yang berpegang teguh pada syariat Allah Ta’ala. Namun, jangan lupa, kita pun tidak boleh luput dari kesadaran bahwa upaya mewujudkan seorang pemimpin dengan kriteria ideal tersebut hanya akan terwujud apabila masing-masing individu umat memprioritaskan pendidikan, pengasuhan, dan pengajaran keluarga untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Serta memperdalam ilmu agama sebagai bekal akhirat, menjadi prioritas utama. Dengan demikian, dari individu keluarga yang telah terdidik secara Islam tersebut, barulah kemudian lahir seorang pemimpin yang adil. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم “Di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” (Miftah Daaris Sa’adah, 2: 177-178) Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Orang yang memahami bagaimana sesungguhnya sikap terbaik dalam menghadapi suatu persoalan cenderung akan lebih tenang dalam bersikap dan bertutur kata. Tidak terkecuali terhadap persoalan potensi perpecahan di masa-masa yang sarat akan potensi perpecahan seperti saat pemilihan umum saat ini. Pemahaman yang dimaksud tentu saja merujuk pada bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya membimbing kita dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Terkhusus dalam menentukan sikap dalam menghadapi dinamika hubungan sosial masyarakat yang seharusnya dijaga sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat keamanan bangsa. Maka, sungguh kita telah dituntun untuk menentukan sikap yang benar. Seorang muslim, tentunya akan berupaya untuk mencari jalan terbaik dalam menentukan langkah. Terhadap situasi Pemilu seperti ini, kita merujuk pada hasil ijtihad para alim ulama di mana kita boleh memilih dengan pertimbangan maslahat dan mudarat. Selengkapnya terkait fatwa-fatwa ulama dalam memberikan suara dalam pemilu dapat diakses disini (https://muslim.or.id/20605-fatwa-ulama-memberikan-suara-dalam-pemilu.html). Sekali lagi, semakin kita mendorong diri untuk memperdalam ilmu agama, maka semakin tenang pula diri kita dalam menyikapi segala problematika kehidupan, khususnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, kita dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan antar sesama dengan menghindari segala potensi konflik sebagai bukti konkret rasa syukur kita terhadap karunia keamanan bangsa yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan bagi negeri kita tercinta ini berupa kedamaian, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 126) Baca juga: Kunci Keamanan dan Hidayah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: keamanan bangsanikmat Allah


Daftar Isi Toggle Menghadapi ancaman perpecahanNikmat keamanan bangsaKarunia Allah yang disyukuriMerindukan pemimpin yang adil?Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Derita yang dialami saudara-saudara kita di Palestina saat ini sungguh sangat memilukan. Sebagai seorang muslim, semestinya kita juga ikut berempati secara mendalam atas ujian berat yang mereka alami. Empati dapat kita wujudkan dengan bantuan materiil berupa donasi dan imateriel berupa doa-doa yang senantiasa kita mohonkan kepada Allah Ta’ala untuk mereka. Berkaca dari tragedi yang –qadarullah- hingga kini masih belum berujung tersebut, menjadi penting pula bagi kita untuk muhasabah diri. Betapa besar karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita, berupa keamanan bangsa dan negara, di mana penghuninya merupakan manusia-manusia dengan segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Namun, dengan kasih sayang Allah Ta’ala, semua dapat menyatu dalam satu kesatuan bangsa, bahasa, dan tanah air. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Menghadapi ancaman perpecahan Kini, kita sedang dihadapkan dalam sebuah kontestasi politik yang sarat akan potensi perpecahan. Disadari atau tidak, perbedaan sudut pandang dalam berpolitik telah banyak menjadikan saudara sekandung saling bermusuhan, keluarga semula bahagia menjadi berantakan, dan konflik sosial yang tak berkesudahan hanya karena beda pilihan. Sungguh, suatu perkara yang sangat kecil yang tidak layak menjadi alasan kita untuk saling bermusuhan. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan bahwa persaudaraan itu merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih persaudaraan sesama muslim yang tak pernah putus selama orang tersebut masih merupakan muslim yang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling tanahusy (menyakiti dalam jual beli)! Janganlah saling benci!  Janganlah saling membelakangi (mendiamkan)! Dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya! Jadilah hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini -beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Nikmat keamanan bangsa Saudaraku, kenikmatan berupa keamanan bangsa ini semestinya kita syukuri dengan cara menjaganya agar senantiasa dalam koridor ketentuan syar’i. Hadis di atas jelas menuntun kita untuk bersatu dan saling menjaga kerukunan satu sama lain, serta saling menghormati. Demikianlah, wujud konkret dari rasa syukur tersebut. Karena, semakin kita pandai bersyukur atas segala nikmat tersebut, maka Allah Ta’ala pun akan semakin menambah karunia-Nya kepada kita. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Akan tetapi, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.’” (QS. Ibrahim: 07) Saudaraku, perhatikanlah! Ayat di atas semakin menegaskan bahwa syukur merupakan syarat mutlak ditambahkannya rezeki untuk kita. Rezeki yang tak semua umat dapat memperolehnya. Rezeki yang diimpi-impikan oleh saudara-saudara kita muslimin yang tertindas di negeri Palestina, Syiria, Afghanistan, dan belahan bumi lainnya. Rezeki itu berupa keamanan bangsa dan negara. Jauh dari konflik sosial yang berkepanjangan, serta mendapatkan kesempatan untuk terus berkembang. Sebaliknya, kufur akan mendatangkan azab Allah yang sungguh amat berat. Kita telah melalui berbagai musibah penjajahan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Mendengar dan membaca sejarah yang ada, sungguh zaman di mana mayoritas usia produktif benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan penjajah, masa depan terasa suram, dan nyawa tak penting untuk dipertimbangkan. Namun, alhamdulillah, semua penderitaan tersebut berakhir dengan kemerdekaan. Sebuah karunia yang tak ternilai yang kadangkala baru akan terasa apabila seseorang dihadapkan kembali pada musibah yang mengancam kemerdekaan dan kebebasannya. Baca juga: Agungnya Nikmat Keamanan Karunia Allah yang disyukuri Dalam konteks karunia Allah berupa keamanan bangsa, kita jangan pernah luput untuk bersyukur. Jangan pernah pula mencoba untuk memancing datangnya murka Allah Ta’ala dengan berlaku kufur. Saling mengompori dengan sengaja untuk memecah belah umat, menjadi contoh sikap yang benar-benar menunjukkan kekufuran yang dapat mengundang azab Allah Ta’ala. Janganlah karena perbedaan pandangan -khususnya pandangan politik saat ini- di antara kita, kemudian menjadikan alasan tersebut sebagai dalil pembenaran untuk saling mencaci, memfitnah, menzalimi satu sama lain, bahkan berujung pada kematian tanpa hak. Wal’iyadzu billah. Marilah sejenak merenung. Kita hidup di sebuah negara yang sangat heterogen. Berbagai kepercayaan dan dogma diakui di negeri ini. Beribu bahasa, ratusan suku bangsa, dan beragam ideologi politik, sosial dan ekonomi senantiasa eksis di tengah-tengah kehidupan kita. Hal itu pun telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak ada konflik sosial yang permanen yang bertahan lama hanya karena perbedaan tersebut. Nyatanya, sejak era nenek moyang kita dahulu hingga pada zaman yang penuh dengan fitnah ini, kita masih mendapatkan perlindungan dari Allah Ta’ala berupa rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang selalu dapat terjaga baik. Ingat, semua karunia ini ada atas kehendak dan izin dari Allah Ta’ala. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 3) Merindukan pemimpin yang adil? Memang, kita masih merindukan dan mengharapkan bangsa yang kaya akan karunia Allah Ta’ala. Dari limpahan kekayaan sumber daya alam ini, rakyatnya jauh lebih sejahtera. Kita menginginkan pemimpin yang adil, yang taat, yang berpegang teguh pada syariat Allah Ta’ala. Namun, jangan lupa, kita pun tidak boleh luput dari kesadaran bahwa upaya mewujudkan seorang pemimpin dengan kriteria ideal tersebut hanya akan terwujud apabila masing-masing individu umat memprioritaskan pendidikan, pengasuhan, dan pengajaran keluarga untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Serta memperdalam ilmu agama sebagai bekal akhirat, menjadi prioritas utama. Dengan demikian, dari individu keluarga yang telah terdidik secara Islam tersebut, barulah kemudian lahir seorang pemimpin yang adil. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم “Di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” (Miftah Daaris Sa’adah, 2: 177-178) Sibukkan diri dengan menuntut ilmu Orang yang memahami bagaimana sesungguhnya sikap terbaik dalam menghadapi suatu persoalan cenderung akan lebih tenang dalam bersikap dan bertutur kata. Tidak terkecuali terhadap persoalan potensi perpecahan di masa-masa yang sarat akan potensi perpecahan seperti saat pemilihan umum saat ini. Pemahaman yang dimaksud tentu saja merujuk pada bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya membimbing kita dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Terkhusus dalam menentukan sikap dalam menghadapi dinamika hubungan sosial masyarakat yang seharusnya dijaga sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat keamanan bangsa. Maka, sungguh kita telah dituntun untuk menentukan sikap yang benar. Seorang muslim, tentunya akan berupaya untuk mencari jalan terbaik dalam menentukan langkah. Terhadap situasi Pemilu seperti ini, kita merujuk pada hasil ijtihad para alim ulama di mana kita boleh memilih dengan pertimbangan maslahat dan mudarat. Selengkapnya terkait fatwa-fatwa ulama dalam memberikan suara dalam pemilu dapat diakses disini (https://muslim.or.id/20605-fatwa-ulama-memberikan-suara-dalam-pemilu.html). Sekali lagi, semakin kita mendorong diri untuk memperdalam ilmu agama, maka semakin tenang pula diri kita dalam menyikapi segala problematika kehidupan, khususnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, kita dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan antar sesama dengan menghindari segala potensi konflik sebagai bukti konkret rasa syukur kita terhadap karunia keamanan bangsa yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan bagi negeri kita tercinta ini berupa kedamaian, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 126) Baca juga: Kunci Keamanan dan Hidayah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: keamanan bangsanikmat Allah

Khutbah Jumat: Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri

Takdir Allah selalu indah di balik pemimpin negeri. Yuk doakan terus pemimpin kita yang terpilih. Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Di antara bentuk takwa adalah menerima takdir Allah yang dirasakan baik maupun buruk. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, مَا القَدَرُ؟ “Apa itu qadar?” Beliau menjawab, إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20) (Syarh Kitab Al-Inabah min Ushul Ad-Diyanah, Al-Maktabah Asy-Syamilah). Kita wajib beriman kepada takdir Allah. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari berkata, وَمَذْهَب السَّلَف قَاطِبَة أَنَّ الْأُمُور كُلّهَا بِتَقْدِيرِ اللَّه – تَعَالَى – كَمَا قَالَ تَعَالَى : وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ . “Madzhab salaf sepakat menyatakan bahwa seluruh perkara itu tergantung pada takdir Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا عِندَنَا خَزَآئِنُهُۥ وَمَا نُنَزِّلُهُۥٓ إِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21).” Semua takdir Allah itu baik dan indah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, أَنَّ القَدْرَ لَيْسَ فِيْهِ شَرٌّ وَإِنَّمَا الشَرُّ فِي المَقْدُوْرِ وَتَوْضِيْحُ ذَلِكَ بِأَنَّ القَدْرَ بِالنِّسْبَةِ لِفِعْلِ اللهِ كُلُّهُ خَيْرٌ “Takdir itu tidak ada yang buruk. Yang buruk itu adalah yang dirasakan oleh makhluk (maqduur). Yang jelas, takdir Allah dipandang dari perbuatan Allah itu seluruhnya baik.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 88) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ “Yang jelek itu tidaklah boleh disandarkan kepada Allah.” (HR. Muslim, no. 771, 201) Beriman kepada takdir pasti ada berbagai hikmah, di antaranya: Dengan beriman kepada takdir, setiap orang akan mengembalikan urusan kepada Allah. Kalau kita mengetahui bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah, maka ketika kita selamat dari musibah, kita akan sandarkan kepada Allah. Ketika kita mendapatkan kebahagiaan, kita akan sandarkan kepada Allah pula. Manusia tahu keterbatasan dirinya, maka ia tidak sombong dan bangga ketika mengerjakan kebaikan. Ketika mendapatkan nikmat, dia sandarkan kepada Allah yang memberikan nikmat. Setiap orang akan tahu bahwa segala kejadian yang menimpanya, pasti ada hikmah terbaik di balik itu semua. Dari hal di atas, kita hendaklah menerima takdir siapa pun pemimpin kita yang terpilih. Itu sudah menjadi takdir. Takdir inilah yang terbaik untuk kita. Tugas kita adalah menaati dan mematuhi pemimpin yang ada. Dalam ayat disebutkan, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 59) Ingat, pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata,  وَتَأَمَّلْ‭ ‬حِكْمَتَهُ‭ ‬تَعَاَلى‭ ‬ِفي‭ ‬اَنْ‭ ‬جَعَل‭ ‬َمُلُوْكَ‭ ‬العِبَادِ‭ ‬وَأُمَرَاءَهُمْ‭ ‬وَوُلاَتَهُمْ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِنْسِ‭ ‬اَعْمَالِهِمْ‭ ‬بَلْ‭ ‬كَأَنَّ‭ ‬أَعْمَالَهُمْ‭ ‬ظَهَرَتْ‭ ‬فِي‭ ‬صُوَرِ‭ ‬وُلاَتِهِمْ‭ ‬وَمُلُوْكِهِمْ‭ ‬فَإِنْ‭ ‬اسْاتَقَامُوْا‭ ‬اِسْتَقَامَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَدَلُوْا‭ ‬عَدَلَتْ‭ ‬عَلَيْهِمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬جَارُوا‭ ‬جَارَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” Taat pada pemimpin berlaku walaupun pemimpin itu tidak kita sukai. Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin pada hadits no. 663 dengan judul bab yang beliau bawakan, “Wajib taat terhadap pemimpin kaum muslimin selain dalam hal maksiat dan haram taat pada mereka dalam hal maksiat.” Berikut hadits yang beliau sebutkan. عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ » Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839). Tugas kita adalah siapa pun yang terpilih dari pemimpin negeri, terimalah takdir tersebut dan terus doakan yang terbaik untuk pemimpin kita. Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَِّرْتُهَا اِلاَّ فِي الاِمَامِ “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy) Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Semoga pemimpin yang terpilih saat ini adalah pemimpin yang terbaik untuk kita dan kita terus doakan kebaikan untuknya. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Download   —   Ditulis pada Jumat, 6 Syakban 1445 H, 16 Februari 2024 di Pondok Pesantren Al-Irsyad Tengaran @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa pemimpin negeri khutbah jumat pemimpin adil taat pemimpin taat penguasa

Khutbah Jumat: Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri

Takdir Allah selalu indah di balik pemimpin negeri. Yuk doakan terus pemimpin kita yang terpilih. Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Di antara bentuk takwa adalah menerima takdir Allah yang dirasakan baik maupun buruk. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, مَا القَدَرُ؟ “Apa itu qadar?” Beliau menjawab, إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20) (Syarh Kitab Al-Inabah min Ushul Ad-Diyanah, Al-Maktabah Asy-Syamilah). Kita wajib beriman kepada takdir Allah. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari berkata, وَمَذْهَب السَّلَف قَاطِبَة أَنَّ الْأُمُور كُلّهَا بِتَقْدِيرِ اللَّه – تَعَالَى – كَمَا قَالَ تَعَالَى : وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ . “Madzhab salaf sepakat menyatakan bahwa seluruh perkara itu tergantung pada takdir Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا عِندَنَا خَزَآئِنُهُۥ وَمَا نُنَزِّلُهُۥٓ إِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21).” Semua takdir Allah itu baik dan indah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, أَنَّ القَدْرَ لَيْسَ فِيْهِ شَرٌّ وَإِنَّمَا الشَرُّ فِي المَقْدُوْرِ وَتَوْضِيْحُ ذَلِكَ بِأَنَّ القَدْرَ بِالنِّسْبَةِ لِفِعْلِ اللهِ كُلُّهُ خَيْرٌ “Takdir itu tidak ada yang buruk. Yang buruk itu adalah yang dirasakan oleh makhluk (maqduur). Yang jelas, takdir Allah dipandang dari perbuatan Allah itu seluruhnya baik.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 88) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ “Yang jelek itu tidaklah boleh disandarkan kepada Allah.” (HR. Muslim, no. 771, 201) Beriman kepada takdir pasti ada berbagai hikmah, di antaranya: Dengan beriman kepada takdir, setiap orang akan mengembalikan urusan kepada Allah. Kalau kita mengetahui bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah, maka ketika kita selamat dari musibah, kita akan sandarkan kepada Allah. Ketika kita mendapatkan kebahagiaan, kita akan sandarkan kepada Allah pula. Manusia tahu keterbatasan dirinya, maka ia tidak sombong dan bangga ketika mengerjakan kebaikan. Ketika mendapatkan nikmat, dia sandarkan kepada Allah yang memberikan nikmat. Setiap orang akan tahu bahwa segala kejadian yang menimpanya, pasti ada hikmah terbaik di balik itu semua. Dari hal di atas, kita hendaklah menerima takdir siapa pun pemimpin kita yang terpilih. Itu sudah menjadi takdir. Takdir inilah yang terbaik untuk kita. Tugas kita adalah menaati dan mematuhi pemimpin yang ada. Dalam ayat disebutkan, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 59) Ingat, pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata,  وَتَأَمَّلْ‭ ‬حِكْمَتَهُ‭ ‬تَعَاَلى‭ ‬ِفي‭ ‬اَنْ‭ ‬جَعَل‭ ‬َمُلُوْكَ‭ ‬العِبَادِ‭ ‬وَأُمَرَاءَهُمْ‭ ‬وَوُلاَتَهُمْ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِنْسِ‭ ‬اَعْمَالِهِمْ‭ ‬بَلْ‭ ‬كَأَنَّ‭ ‬أَعْمَالَهُمْ‭ ‬ظَهَرَتْ‭ ‬فِي‭ ‬صُوَرِ‭ ‬وُلاَتِهِمْ‭ ‬وَمُلُوْكِهِمْ‭ ‬فَإِنْ‭ ‬اسْاتَقَامُوْا‭ ‬اِسْتَقَامَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَدَلُوْا‭ ‬عَدَلَتْ‭ ‬عَلَيْهِمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬جَارُوا‭ ‬جَارَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” Taat pada pemimpin berlaku walaupun pemimpin itu tidak kita sukai. Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin pada hadits no. 663 dengan judul bab yang beliau bawakan, “Wajib taat terhadap pemimpin kaum muslimin selain dalam hal maksiat dan haram taat pada mereka dalam hal maksiat.” Berikut hadits yang beliau sebutkan. عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ » Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839). Tugas kita adalah siapa pun yang terpilih dari pemimpin negeri, terimalah takdir tersebut dan terus doakan yang terbaik untuk pemimpin kita. Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَِّرْتُهَا اِلاَّ فِي الاِمَامِ “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy) Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Semoga pemimpin yang terpilih saat ini adalah pemimpin yang terbaik untuk kita dan kita terus doakan kebaikan untuknya. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Download   —   Ditulis pada Jumat, 6 Syakban 1445 H, 16 Februari 2024 di Pondok Pesantren Al-Irsyad Tengaran @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa pemimpin negeri khutbah jumat pemimpin adil taat pemimpin taat penguasa
Takdir Allah selalu indah di balik pemimpin negeri. Yuk doakan terus pemimpin kita yang terpilih. Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Di antara bentuk takwa adalah menerima takdir Allah yang dirasakan baik maupun buruk. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, مَا القَدَرُ؟ “Apa itu qadar?” Beliau menjawab, إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20) (Syarh Kitab Al-Inabah min Ushul Ad-Diyanah, Al-Maktabah Asy-Syamilah). Kita wajib beriman kepada takdir Allah. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari berkata, وَمَذْهَب السَّلَف قَاطِبَة أَنَّ الْأُمُور كُلّهَا بِتَقْدِيرِ اللَّه – تَعَالَى – كَمَا قَالَ تَعَالَى : وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ . “Madzhab salaf sepakat menyatakan bahwa seluruh perkara itu tergantung pada takdir Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا عِندَنَا خَزَآئِنُهُۥ وَمَا نُنَزِّلُهُۥٓ إِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21).” Semua takdir Allah itu baik dan indah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, أَنَّ القَدْرَ لَيْسَ فِيْهِ شَرٌّ وَإِنَّمَا الشَرُّ فِي المَقْدُوْرِ وَتَوْضِيْحُ ذَلِكَ بِأَنَّ القَدْرَ بِالنِّسْبَةِ لِفِعْلِ اللهِ كُلُّهُ خَيْرٌ “Takdir itu tidak ada yang buruk. Yang buruk itu adalah yang dirasakan oleh makhluk (maqduur). Yang jelas, takdir Allah dipandang dari perbuatan Allah itu seluruhnya baik.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 88) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ “Yang jelek itu tidaklah boleh disandarkan kepada Allah.” (HR. Muslim, no. 771, 201) Beriman kepada takdir pasti ada berbagai hikmah, di antaranya: Dengan beriman kepada takdir, setiap orang akan mengembalikan urusan kepada Allah. Kalau kita mengetahui bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah, maka ketika kita selamat dari musibah, kita akan sandarkan kepada Allah. Ketika kita mendapatkan kebahagiaan, kita akan sandarkan kepada Allah pula. Manusia tahu keterbatasan dirinya, maka ia tidak sombong dan bangga ketika mengerjakan kebaikan. Ketika mendapatkan nikmat, dia sandarkan kepada Allah yang memberikan nikmat. Setiap orang akan tahu bahwa segala kejadian yang menimpanya, pasti ada hikmah terbaik di balik itu semua. Dari hal di atas, kita hendaklah menerima takdir siapa pun pemimpin kita yang terpilih. Itu sudah menjadi takdir. Takdir inilah yang terbaik untuk kita. Tugas kita adalah menaati dan mematuhi pemimpin yang ada. Dalam ayat disebutkan, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 59) Ingat, pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata,  وَتَأَمَّلْ‭ ‬حِكْمَتَهُ‭ ‬تَعَاَلى‭ ‬ِفي‭ ‬اَنْ‭ ‬جَعَل‭ ‬َمُلُوْكَ‭ ‬العِبَادِ‭ ‬وَأُمَرَاءَهُمْ‭ ‬وَوُلاَتَهُمْ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِنْسِ‭ ‬اَعْمَالِهِمْ‭ ‬بَلْ‭ ‬كَأَنَّ‭ ‬أَعْمَالَهُمْ‭ ‬ظَهَرَتْ‭ ‬فِي‭ ‬صُوَرِ‭ ‬وُلاَتِهِمْ‭ ‬وَمُلُوْكِهِمْ‭ ‬فَإِنْ‭ ‬اسْاتَقَامُوْا‭ ‬اِسْتَقَامَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَدَلُوْا‭ ‬عَدَلَتْ‭ ‬عَلَيْهِمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬جَارُوا‭ ‬جَارَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” Taat pada pemimpin berlaku walaupun pemimpin itu tidak kita sukai. Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin pada hadits no. 663 dengan judul bab yang beliau bawakan, “Wajib taat terhadap pemimpin kaum muslimin selain dalam hal maksiat dan haram taat pada mereka dalam hal maksiat.” Berikut hadits yang beliau sebutkan. عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ » Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839). Tugas kita adalah siapa pun yang terpilih dari pemimpin negeri, terimalah takdir tersebut dan terus doakan yang terbaik untuk pemimpin kita. Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَِّرْتُهَا اِلاَّ فِي الاِمَامِ “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy) Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Semoga pemimpin yang terpilih saat ini adalah pemimpin yang terbaik untuk kita dan kita terus doakan kebaikan untuknya. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Download   —   Ditulis pada Jumat, 6 Syakban 1445 H, 16 Februari 2024 di Pondok Pesantren Al-Irsyad Tengaran @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa pemimpin negeri khutbah jumat pemimpin adil taat pemimpin taat penguasa


Takdir Allah selalu indah di balik pemimpin negeri. Yuk doakan terus pemimpin kita yang terpilih. Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Di antara bentuk takwa adalah menerima takdir Allah yang dirasakan baik maupun buruk. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, مَا القَدَرُ؟ “Apa itu qadar?” Beliau menjawab, إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20) (Syarh Kitab Al-Inabah min Ushul Ad-Diyanah, Al-Maktabah Asy-Syamilah). Kita wajib beriman kepada takdir Allah. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari berkata, وَمَذْهَب السَّلَف قَاطِبَة أَنَّ الْأُمُور كُلّهَا بِتَقْدِيرِ اللَّه – تَعَالَى – كَمَا قَالَ تَعَالَى : وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ . “Madzhab salaf sepakat menyatakan bahwa seluruh perkara itu tergantung pada takdir Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا عِندَنَا خَزَآئِنُهُۥ وَمَا نُنَزِّلُهُۥٓ إِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21).” Semua takdir Allah itu baik dan indah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, أَنَّ القَدْرَ لَيْسَ فِيْهِ شَرٌّ وَإِنَّمَا الشَرُّ فِي المَقْدُوْرِ وَتَوْضِيْحُ ذَلِكَ بِأَنَّ القَدْرَ بِالنِّسْبَةِ لِفِعْلِ اللهِ كُلُّهُ خَيْرٌ “Takdir itu tidak ada yang buruk. Yang buruk itu adalah yang dirasakan oleh makhluk (maqduur). Yang jelas, takdir Allah dipandang dari perbuatan Allah itu seluruhnya baik.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 88) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ “Yang jelek itu tidaklah boleh disandarkan kepada Allah.” (HR. Muslim, no. 771, 201) Beriman kepada takdir pasti ada berbagai hikmah, di antaranya: Dengan beriman kepada takdir, setiap orang akan mengembalikan urusan kepada Allah. Kalau kita mengetahui bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah, maka ketika kita selamat dari musibah, kita akan sandarkan kepada Allah. Ketika kita mendapatkan kebahagiaan, kita akan sandarkan kepada Allah pula. Manusia tahu keterbatasan dirinya, maka ia tidak sombong dan bangga ketika mengerjakan kebaikan. Ketika mendapatkan nikmat, dia sandarkan kepada Allah yang memberikan nikmat. Setiap orang akan tahu bahwa segala kejadian yang menimpanya, pasti ada hikmah terbaik di balik itu semua. Dari hal di atas, kita hendaklah menerima takdir siapa pun pemimpin kita yang terpilih. Itu sudah menjadi takdir. Takdir inilah yang terbaik untuk kita. Tugas kita adalah menaati dan mematuhi pemimpin yang ada. Dalam ayat disebutkan, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 59) Ingat, pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata,  وَتَأَمَّلْ‭ ‬حِكْمَتَهُ‭ ‬تَعَاَلى‭ ‬ِفي‭ ‬اَنْ‭ ‬جَعَل‭ ‬َمُلُوْكَ‭ ‬العِبَادِ‭ ‬وَأُمَرَاءَهُمْ‭ ‬وَوُلاَتَهُمْ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِنْسِ‭ ‬اَعْمَالِهِمْ‭ ‬بَلْ‭ ‬كَأَنَّ‭ ‬أَعْمَالَهُمْ‭ ‬ظَهَرَتْ‭ ‬فِي‭ ‬صُوَرِ‭ ‬وُلاَتِهِمْ‭ ‬وَمُلُوْكِهِمْ‭ ‬فَإِنْ‭ ‬اسْاتَقَامُوْا‭ ‬اِسْتَقَامَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَدَلُوْا‭ ‬عَدَلَتْ‭ ‬عَلَيْهِمْ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬جَارُوا‭ ‬جَارَتْ‭ ‬مُلُوْكُهُمْ “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim.” Taat pada pemimpin berlaku walaupun pemimpin itu tidak kita sukai. Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin pada hadits no. 663 dengan judul bab yang beliau bawakan, “Wajib taat terhadap pemimpin kaum muslimin selain dalam hal maksiat dan haram taat pada mereka dalam hal maksiat.” Berikut hadits yang beliau sebutkan. عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ » Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839). Tugas kita adalah siapa pun yang terpilih dari pemimpin negeri, terimalah takdir tersebut dan terus doakan yang terbaik untuk pemimpin kita. Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَِّرْتُهَا اِلاَّ فِي الاِمَامِ “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy) Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Semoga pemimpin yang terpilih saat ini adalah pemimpin yang terbaik untuk kita dan kita terus doakan kebaikan untuknya. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Khutbah Jumat “Takdir Allah Selalu Indah di Balik Pemimpin Negeri” Download   —   Ditulis pada Jumat, 6 Syakban 1445 H, 16 Februari 2024 di Pondok Pesantren Al-Irsyad Tengaran @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa pemimpin negeri khutbah jumat pemimpin adil taat pemimpin taat penguasa

Keutamaan Surah Al-Mulk dalam Memberikan Syafaat dan Ampunan

Berikut adalah bahasan mengenai keutamaan dari surah Al-Mulk, yaitu dapat memberikan syafaat sehingga diampuni.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1016 ِوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مِنَ القُرْآنِ سُوْرَةٌ ثَلاَثُوْنَ آيَةً شَفَعَتْ لِرَجُلٍ حَتَّى غُفِرَ لَهُ وَهِيَ : تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ المُلْكُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ : تَشْفَعُ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara Al-Qur’an terdapat satu surah yang terdiri dari tiga puluh ayat yang dapat memberi syafaat kepada seseorang sehingga ia diampuni, yaitu Tabaarokalladzi bi yadihil mulk (surah Al-Mulk).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dalam riwayat Abu Daud disebut: tasyafa’u, memberi syafaat) [HR. Abu Daud, no. 1400; Tirmidzi, no. 2891; Ibnu Majah, no. 3786; Ahmad, 2:299, 321; Al-Hakim, 1:565, 2:497. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, 2:239 menyatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari banyak penguatnya].   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari surah Al-Mulk. Azab kubur itu ada. Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi orang yang membaca dan mengamalkannya. Jumlah ayat dalam suatu surah itu tauqifi, yaitu ada dalil yang menetapkannya. Baca juga: Keutamaan Surah Al-Mulk Mencegah dari Siksa Kubur Allah Menguji Manusia Siapakah yang Baik Amalnya (Tafsir Surah Al-Mulk) Keutamaan Takut kepada Allah di Kala Sepi (Tafsir Surah Al-Mulk)   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:239-240.   – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsriyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail siksa kubur surat al mulk syafa'at tafsir al mulk

Keutamaan Surah Al-Mulk dalam Memberikan Syafaat dan Ampunan

Berikut adalah bahasan mengenai keutamaan dari surah Al-Mulk, yaitu dapat memberikan syafaat sehingga diampuni.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1016 ِوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مِنَ القُرْآنِ سُوْرَةٌ ثَلاَثُوْنَ آيَةً شَفَعَتْ لِرَجُلٍ حَتَّى غُفِرَ لَهُ وَهِيَ : تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ المُلْكُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ : تَشْفَعُ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara Al-Qur’an terdapat satu surah yang terdiri dari tiga puluh ayat yang dapat memberi syafaat kepada seseorang sehingga ia diampuni, yaitu Tabaarokalladzi bi yadihil mulk (surah Al-Mulk).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dalam riwayat Abu Daud disebut: tasyafa’u, memberi syafaat) [HR. Abu Daud, no. 1400; Tirmidzi, no. 2891; Ibnu Majah, no. 3786; Ahmad, 2:299, 321; Al-Hakim, 1:565, 2:497. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, 2:239 menyatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari banyak penguatnya].   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari surah Al-Mulk. Azab kubur itu ada. Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi orang yang membaca dan mengamalkannya. Jumlah ayat dalam suatu surah itu tauqifi, yaitu ada dalil yang menetapkannya. Baca juga: Keutamaan Surah Al-Mulk Mencegah dari Siksa Kubur Allah Menguji Manusia Siapakah yang Baik Amalnya (Tafsir Surah Al-Mulk) Keutamaan Takut kepada Allah di Kala Sepi (Tafsir Surah Al-Mulk)   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:239-240.   – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsriyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail siksa kubur surat al mulk syafa'at tafsir al mulk
Berikut adalah bahasan mengenai keutamaan dari surah Al-Mulk, yaitu dapat memberikan syafaat sehingga diampuni.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1016 ِوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مِنَ القُرْآنِ سُوْرَةٌ ثَلاَثُوْنَ آيَةً شَفَعَتْ لِرَجُلٍ حَتَّى غُفِرَ لَهُ وَهِيَ : تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ المُلْكُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ : تَشْفَعُ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara Al-Qur’an terdapat satu surah yang terdiri dari tiga puluh ayat yang dapat memberi syafaat kepada seseorang sehingga ia diampuni, yaitu Tabaarokalladzi bi yadihil mulk (surah Al-Mulk).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dalam riwayat Abu Daud disebut: tasyafa’u, memberi syafaat) [HR. Abu Daud, no. 1400; Tirmidzi, no. 2891; Ibnu Majah, no. 3786; Ahmad, 2:299, 321; Al-Hakim, 1:565, 2:497. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, 2:239 menyatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari banyak penguatnya].   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari surah Al-Mulk. Azab kubur itu ada. Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi orang yang membaca dan mengamalkannya. Jumlah ayat dalam suatu surah itu tauqifi, yaitu ada dalil yang menetapkannya. Baca juga: Keutamaan Surah Al-Mulk Mencegah dari Siksa Kubur Allah Menguji Manusia Siapakah yang Baik Amalnya (Tafsir Surah Al-Mulk) Keutamaan Takut kepada Allah di Kala Sepi (Tafsir Surah Al-Mulk)   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:239-240.   – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsriyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail siksa kubur surat al mulk syafa'at tafsir al mulk


Berikut adalah bahasan mengenai keutamaan dari surah Al-Mulk, yaitu dapat memberikan syafaat sehingga diampuni.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1016 ِوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مِنَ القُرْآنِ سُوْرَةٌ ثَلاَثُوْنَ آيَةً شَفَعَتْ لِرَجُلٍ حَتَّى غُفِرَ لَهُ وَهِيَ : تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ المُلْكُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ : تَشْفَعُ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara Al-Qur’an terdapat satu surah yang terdiri dari tiga puluh ayat yang dapat memberi syafaat kepada seseorang sehingga ia diampuni, yaitu Tabaarokalladzi bi yadihil mulk (surah Al-Mulk).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dalam riwayat Abu Daud disebut: tasyafa’u, memberi syafaat) [HR. Abu Daud, no. 1400; Tirmidzi, no. 2891; Ibnu Majah, no. 3786; Ahmad, 2:299, 321; Al-Hakim, 1:565, 2:497. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, 2:239 menyatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari banyak penguatnya].   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari surah Al-Mulk. Azab kubur itu ada. Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi orang yang membaca dan mengamalkannya. Jumlah ayat dalam suatu surah itu tauqifi, yaitu ada dalil yang menetapkannya. Baca juga: Keutamaan Surah Al-Mulk Mencegah dari Siksa Kubur Allah Menguji Manusia Siapakah yang Baik Amalnya (Tafsir Surah Al-Mulk) Keutamaan Takut kepada Allah di Kala Sepi (Tafsir Surah Al-Mulk)   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:239-240.   – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsriyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail siksa kubur surat al mulk syafa'at tafsir al mulk

Kumpulan Doa untuk Pemimpin Negeri di Saat Pemilu

Berikut adalah kumpulan doa agar Allah memberikan kepada kita presiden terbaik dan pemimpin negeri yang membawa maslahat untuk umat, siapa pun yang terpilih dalam pemilihan umum (Pemilu). Daftar Isi tutup 1. DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI 1.1. Doa Pertama 1.2. Doa Kedua 1.3. Doa Ketiga 1.4. Doa Keempat 2. Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI Doa Pertama ِاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ إِمَارَةِ الصِّبْيَانِ وَالسُّفَهَاء ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MIN IMAAROTISSHIBYAAN WAS SUFAHAA’. Artinya: “Ya Allah, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” (Ini adalah doa dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 66)   Doa Kedua اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا ALLAHUMMA LAA TUSALLITH ‘ALAINAA BIDZUNUBINAA MAN LAA YAKHAAFUKA FIINAA WA LAA YARHAMUNAA. Artinya: “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.”   Doa Ketiga اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. ALLAHUMMA WALLI ‘ALAINAA KHIYARONAA WA LAA TUWALLI ‘ALAINAA SYIRORONAA Artinya: “Ya Allah, jadikanlah orang terbaik kami sebagai pemimpin kami. Jangan Engkau berikan kekuasaan itu pada orang yang jahat dari kami.”   Doa Keempat اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURINAA. AALLAHUMA WAFFIQHUM LIMA FIIHI SHOLAAHUHUM WA SHOLAAHAL ISLAM WAL MUSLIMIIN. AALLAHUMA A’INHUM ‘ALAL QIYAAM BI MAHAAMIHIM KAMA AMARTAHUM, YA ROBBAL ‘AALAMIIN. ALLAHUMA AB’ID ‘ANHUM BITHONATAS SUU’ WAL MUFSIDIIN WA QORRIB ILAIHIM AHLAL KHOIRI WAN NAASHIHIIN, YA ROBBAL ALAMIN. ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURIL MUSLIMIIN FII KULLI MAKAAN. Artinya: “Ya Allah, perbaikilah keadaan pemimpin kami. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, perbaikilah keadaan setiap pemimpin urusan kaum muslimin di mana pun mereka berada.”   Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)   Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Kita hanya pasrah dan tawakal kepada-Nya. Semoga Allah beri pemimpin terbaik. Siapa pun yang jadi pemimpin, semoga itulah yang terbaik bagi kita dan membawa maslahat untuk umat. Aamiin.   – Rabu pagi, 4 Syakban 1445 H, 14 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscoblos doa pemimpin negeri pemilu pemimpin adil taat pemimpin

Kumpulan Doa untuk Pemimpin Negeri di Saat Pemilu

Berikut adalah kumpulan doa agar Allah memberikan kepada kita presiden terbaik dan pemimpin negeri yang membawa maslahat untuk umat, siapa pun yang terpilih dalam pemilihan umum (Pemilu). Daftar Isi tutup 1. DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI 1.1. Doa Pertama 1.2. Doa Kedua 1.3. Doa Ketiga 1.4. Doa Keempat 2. Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI Doa Pertama ِاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ إِمَارَةِ الصِّبْيَانِ وَالسُّفَهَاء ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MIN IMAAROTISSHIBYAAN WAS SUFAHAA’. Artinya: “Ya Allah, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” (Ini adalah doa dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 66)   Doa Kedua اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا ALLAHUMMA LAA TUSALLITH ‘ALAINAA BIDZUNUBINAA MAN LAA YAKHAAFUKA FIINAA WA LAA YARHAMUNAA. Artinya: “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.”   Doa Ketiga اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. ALLAHUMMA WALLI ‘ALAINAA KHIYARONAA WA LAA TUWALLI ‘ALAINAA SYIRORONAA Artinya: “Ya Allah, jadikanlah orang terbaik kami sebagai pemimpin kami. Jangan Engkau berikan kekuasaan itu pada orang yang jahat dari kami.”   Doa Keempat اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURINAA. AALLAHUMA WAFFIQHUM LIMA FIIHI SHOLAAHUHUM WA SHOLAAHAL ISLAM WAL MUSLIMIIN. AALLAHUMA A’INHUM ‘ALAL QIYAAM BI MAHAAMIHIM KAMA AMARTAHUM, YA ROBBAL ‘AALAMIIN. ALLAHUMA AB’ID ‘ANHUM BITHONATAS SUU’ WAL MUFSIDIIN WA QORRIB ILAIHIM AHLAL KHOIRI WAN NAASHIHIIN, YA ROBBAL ALAMIN. ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURIL MUSLIMIIN FII KULLI MAKAAN. Artinya: “Ya Allah, perbaikilah keadaan pemimpin kami. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, perbaikilah keadaan setiap pemimpin urusan kaum muslimin di mana pun mereka berada.”   Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)   Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Kita hanya pasrah dan tawakal kepada-Nya. Semoga Allah beri pemimpin terbaik. Siapa pun yang jadi pemimpin, semoga itulah yang terbaik bagi kita dan membawa maslahat untuk umat. Aamiin.   – Rabu pagi, 4 Syakban 1445 H, 14 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscoblos doa pemimpin negeri pemilu pemimpin adil taat pemimpin
Berikut adalah kumpulan doa agar Allah memberikan kepada kita presiden terbaik dan pemimpin negeri yang membawa maslahat untuk umat, siapa pun yang terpilih dalam pemilihan umum (Pemilu). Daftar Isi tutup 1. DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI 1.1. Doa Pertama 1.2. Doa Kedua 1.3. Doa Ketiga 1.4. Doa Keempat 2. Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI Doa Pertama ِاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ إِمَارَةِ الصِّبْيَانِ وَالسُّفَهَاء ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MIN IMAAROTISSHIBYAAN WAS SUFAHAA’. Artinya: “Ya Allah, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” (Ini adalah doa dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 66)   Doa Kedua اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا ALLAHUMMA LAA TUSALLITH ‘ALAINAA BIDZUNUBINAA MAN LAA YAKHAAFUKA FIINAA WA LAA YARHAMUNAA. Artinya: “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.”   Doa Ketiga اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. ALLAHUMMA WALLI ‘ALAINAA KHIYARONAA WA LAA TUWALLI ‘ALAINAA SYIRORONAA Artinya: “Ya Allah, jadikanlah orang terbaik kami sebagai pemimpin kami. Jangan Engkau berikan kekuasaan itu pada orang yang jahat dari kami.”   Doa Keempat اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURINAA. AALLAHUMA WAFFIQHUM LIMA FIIHI SHOLAAHUHUM WA SHOLAAHAL ISLAM WAL MUSLIMIIN. AALLAHUMA A’INHUM ‘ALAL QIYAAM BI MAHAAMIHIM KAMA AMARTAHUM, YA ROBBAL ‘AALAMIIN. ALLAHUMA AB’ID ‘ANHUM BITHONATAS SUU’ WAL MUFSIDIIN WA QORRIB ILAIHIM AHLAL KHOIRI WAN NAASHIHIIN, YA ROBBAL ALAMIN. ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURIL MUSLIMIIN FII KULLI MAKAAN. Artinya: “Ya Allah, perbaikilah keadaan pemimpin kami. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, perbaikilah keadaan setiap pemimpin urusan kaum muslimin di mana pun mereka berada.”   Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)   Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Kita hanya pasrah dan tawakal kepada-Nya. Semoga Allah beri pemimpin terbaik. Siapa pun yang jadi pemimpin, semoga itulah yang terbaik bagi kita dan membawa maslahat untuk umat. Aamiin.   – Rabu pagi, 4 Syakban 1445 H, 14 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscoblos doa pemimpin negeri pemilu pemimpin adil taat pemimpin


Berikut adalah kumpulan doa agar Allah memberikan kepada kita presiden terbaik dan pemimpin negeri yang membawa maslahat untuk umat, siapa pun yang terpilih dalam pemilihan umum (Pemilu). Daftar Isi tutup 1. DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI 1.1. Doa Pertama 1.2. Doa Kedua 1.3. Doa Ketiga 1.4. Doa Keempat 2. Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri DOA YANG DIPANJATKAN UNTUK PEMIMPIN NEGERI Doa Pertama ِاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ إِمَارَةِ الصِّبْيَانِ وَالسُّفَهَاء ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MIN IMAAROTISSHIBYAAN WAS SUFAHAA’. Artinya: “Ya Allah, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” (Ini adalah doa dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 66)   Doa Kedua اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا ALLAHUMMA LAA TUSALLITH ‘ALAINAA BIDZUNUBINAA MAN LAA YAKHAAFUKA FIINAA WA LAA YARHAMUNAA. Artinya: “Ya Allah, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu di tengah-tengah kami dan tidak pula menyayangi kami.”   Doa Ketiga اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. ALLAHUMMA WALLI ‘ALAINAA KHIYARONAA WA LAA TUWALLI ‘ALAINAA SYIRORONAA Artinya: “Ya Allah, jadikanlah orang terbaik kami sebagai pemimpin kami. Jangan Engkau berikan kekuasaan itu pada orang yang jahat dari kami.”   Doa Keempat اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURINAA. AALLAHUMA WAFFIQHUM LIMA FIIHI SHOLAAHUHUM WA SHOLAAHAL ISLAM WAL MUSLIMIIN. AALLAHUMA A’INHUM ‘ALAL QIYAAM BI MAHAAMIHIM KAMA AMARTAHUM, YA ROBBAL ‘AALAMIIN. ALLAHUMA AB’ID ‘ANHUM BITHONATAS SUU’ WAL MUFSIDIIN WA QORRIB ILAIHIM AHLAL KHOIRI WAN NAASHIHIIN, YA ROBBAL ALAMIN. ALLAHUMA ASH-LIH WULAATA UMUURIL MUSLIMIIN FII KULLI MAKAAN. Artinya: “Ya Allah, perbaikilah keadaan pemimpin kami. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, perbaikilah keadaan setiap pemimpin urusan kaum muslimin di mana pun mereka berada.”   Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)   Usaha kita adalah memilih pemimpin sesuai kemampuan yang kita anggap dapat membawa maslahat pada dunia dan akhirat. Kalau tidak terpilih, itu sudah di luar kemampuan kita, hasilnya adalah kuasa Allah. Kita hanya pasrah dan tawakal kepada-Nya. Semoga Allah beri pemimpin terbaik. Siapa pun yang jadi pemimpin, semoga itulah yang terbaik bagi kita dan membawa maslahat untuk umat. Aamiin.   – Rabu pagi, 4 Syakban 1445 H, 14 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscoblos doa pemimpin negeri pemilu pemimpin adil taat pemimpin

Keutamaan Luar Biasa dari Membaca Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah

Inilah keutamaan luar biasa dari membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah dibaca pada malam hari. Silakan digali pelajaran. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1017 ِوَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ البَدْرِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ: (( مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخر سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ )) متفقٌ عَلَيْهِ . ِقِيلَ : كَفَتَاهُ الْمَكْرُوهَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ ، وَقِيلَ : كَفَتَاهُ مِنْ قِيامِ اللَّيْلِ . Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah pada malam hari, maka itu sudah mencukupi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 12/4008 dan Muslim, no. 8007] Ada yang mengatakan maksudnya adalah mencukupi dirinya (melindunginya) dari hal-hal yang tidak disukai pada malam itu. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah mencukupinya dari melakukan shalat malam. Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari akhir surah Al-Baqarah. Jika seseorang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, maka ia akan terhindar dari berbagai kejelekan dan terjaga dari gangguan setan. Allah Ta’ala berfirman, ِآَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286) “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286) Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Ta’ala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat do’a untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83). Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Qur’an Al-Karim, 2: 540-541). Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik. Baca juga: Keutamaan Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah Referensi: Ahkam Al-Qur’an Al Karim. Cetakan pertama tahun 1428 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:240. Kunuz Riyadhis Sholihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdurrahman Al-‘Ammar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliyya. Nuzhah Al-Muttaqin. Cetakan pertama tahun 1432 H. Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagskeutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail

Keutamaan Luar Biasa dari Membaca Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah

Inilah keutamaan luar biasa dari membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah dibaca pada malam hari. Silakan digali pelajaran. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1017 ِوَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ البَدْرِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ: (( مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخر سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ )) متفقٌ عَلَيْهِ . ِقِيلَ : كَفَتَاهُ الْمَكْرُوهَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ ، وَقِيلَ : كَفَتَاهُ مِنْ قِيامِ اللَّيْلِ . Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah pada malam hari, maka itu sudah mencukupi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 12/4008 dan Muslim, no. 8007] Ada yang mengatakan maksudnya adalah mencukupi dirinya (melindunginya) dari hal-hal yang tidak disukai pada malam itu. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah mencukupinya dari melakukan shalat malam. Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari akhir surah Al-Baqarah. Jika seseorang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, maka ia akan terhindar dari berbagai kejelekan dan terjaga dari gangguan setan. Allah Ta’ala berfirman, ِآَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286) “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286) Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Ta’ala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat do’a untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83). Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Qur’an Al-Karim, 2: 540-541). Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik. Baca juga: Keutamaan Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah Referensi: Ahkam Al-Qur’an Al Karim. Cetakan pertama tahun 1428 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:240. Kunuz Riyadhis Sholihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdurrahman Al-‘Ammar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliyya. Nuzhah Al-Muttaqin. Cetakan pertama tahun 1432 H. Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagskeutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail
Inilah keutamaan luar biasa dari membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah dibaca pada malam hari. Silakan digali pelajaran. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1017 ِوَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ البَدْرِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ: (( مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخر سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ )) متفقٌ عَلَيْهِ . ِقِيلَ : كَفَتَاهُ الْمَكْرُوهَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ ، وَقِيلَ : كَفَتَاهُ مِنْ قِيامِ اللَّيْلِ . Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah pada malam hari, maka itu sudah mencukupi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 12/4008 dan Muslim, no. 8007] Ada yang mengatakan maksudnya adalah mencukupi dirinya (melindunginya) dari hal-hal yang tidak disukai pada malam itu. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah mencukupinya dari melakukan shalat malam. Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari akhir surah Al-Baqarah. Jika seseorang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, maka ia akan terhindar dari berbagai kejelekan dan terjaga dari gangguan setan. Allah Ta’ala berfirman, ِآَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286) “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286) Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Ta’ala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat do’a untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83). Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Qur’an Al-Karim, 2: 540-541). Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik. Baca juga: Keutamaan Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah Referensi: Ahkam Al-Qur’an Al Karim. Cetakan pertama tahun 1428 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:240. Kunuz Riyadhis Sholihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdurrahman Al-‘Ammar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliyya. Nuzhah Al-Muttaqin. Cetakan pertama tahun 1432 H. Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagskeutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail


Inilah keutamaan luar biasa dari membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah dibaca pada malam hari. Silakan digali pelajaran. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1017 ِوَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ البَدْرِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ: (( مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخر سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ )) متفقٌ عَلَيْهِ . ِقِيلَ : كَفَتَاهُ الْمَكْرُوهَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ ، وَقِيلَ : كَفَتَاهُ مِنْ قِيامِ اللَّيْلِ . Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah pada malam hari, maka itu sudah mencukupi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 12/4008 dan Muslim, no. 8007] Ada yang mengatakan maksudnya adalah mencukupi dirinya (melindunginya) dari hal-hal yang tidak disukai pada malam itu. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah mencukupinya dari melakukan shalat malam. Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan dari akhir surah Al-Baqarah. Jika seseorang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, maka ia akan terhindar dari berbagai kejelekan dan terjaga dari gangguan setan. Allah Ta’ala berfirman, ِآَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286) “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286) Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Ta’ala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat do’a untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83). Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Qur’an Al-Karim, 2: 540-541). Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik. Baca juga: Keutamaan Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah Referensi: Ahkam Al-Qur’an Al Karim. Cetakan pertama tahun 1428 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:240. Kunuz Riyadhis Sholihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdurrahman Al-‘Ammar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliyya. Nuzhah Al-Muttaqin. Cetakan pertama tahun 1432 H. Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Kamis sore, 6 Syakban 1445 H, 15 Februari 2024 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagskeutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail

Buku Gratis: Jangan Golput (PDF)

Baiknya jangan golput, karena suara kita itu sangat berharga sekali. Apalagi untuk kebaikan bangsa kita dan kemaslahatan untuk kaum muslimin. Buku sederhana ini adalah buku yang berisi fatwa ulama besar terdahulu dan ulama besar saat ini yang diakui oleh kalangan Salafiyyin menjadi rujukan. Golput diistilahkan untuk gerakan yang tidak mau memilih dalam Pemilu. Mungkin faktor kalangan Salafiyyin kurang turut serta dalam tiap Pemilu dikarenakan fatwa-fatwa yang kurang tersampaikan ke tengah-tengah mereka. Itulah yang memotivasi penulis untuk mengumpulkan fatwa-fatwa ulama untuk mengajak kalangan Salafiyyin untuk memberikan suara dalam Pemilu. Pokoknya rugi sekali kalau kita memilih golput, sedangkan maslahat untuk memilih lebih besar.   Silakan download buku PDF dan covernya, tersedia juga buku versi tablet via dropbox: Jangan Golput   Untuk mengetahui buku-buku lainnya karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, silakan hubungi 085200171222 (Toko Online Ruwaifi.Com, via WA/SMS)   Silakan sebar pada yang lain. — Info Rumaysho.Com Tagsbuku gratis pemilu

Buku Gratis: Jangan Golput (PDF)

Baiknya jangan golput, karena suara kita itu sangat berharga sekali. Apalagi untuk kebaikan bangsa kita dan kemaslahatan untuk kaum muslimin. Buku sederhana ini adalah buku yang berisi fatwa ulama besar terdahulu dan ulama besar saat ini yang diakui oleh kalangan Salafiyyin menjadi rujukan. Golput diistilahkan untuk gerakan yang tidak mau memilih dalam Pemilu. Mungkin faktor kalangan Salafiyyin kurang turut serta dalam tiap Pemilu dikarenakan fatwa-fatwa yang kurang tersampaikan ke tengah-tengah mereka. Itulah yang memotivasi penulis untuk mengumpulkan fatwa-fatwa ulama untuk mengajak kalangan Salafiyyin untuk memberikan suara dalam Pemilu. Pokoknya rugi sekali kalau kita memilih golput, sedangkan maslahat untuk memilih lebih besar.   Silakan download buku PDF dan covernya, tersedia juga buku versi tablet via dropbox: Jangan Golput   Untuk mengetahui buku-buku lainnya karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, silakan hubungi 085200171222 (Toko Online Ruwaifi.Com, via WA/SMS)   Silakan sebar pada yang lain. — Info Rumaysho.Com Tagsbuku gratis pemilu
Baiknya jangan golput, karena suara kita itu sangat berharga sekali. Apalagi untuk kebaikan bangsa kita dan kemaslahatan untuk kaum muslimin. Buku sederhana ini adalah buku yang berisi fatwa ulama besar terdahulu dan ulama besar saat ini yang diakui oleh kalangan Salafiyyin menjadi rujukan. Golput diistilahkan untuk gerakan yang tidak mau memilih dalam Pemilu. Mungkin faktor kalangan Salafiyyin kurang turut serta dalam tiap Pemilu dikarenakan fatwa-fatwa yang kurang tersampaikan ke tengah-tengah mereka. Itulah yang memotivasi penulis untuk mengumpulkan fatwa-fatwa ulama untuk mengajak kalangan Salafiyyin untuk memberikan suara dalam Pemilu. Pokoknya rugi sekali kalau kita memilih golput, sedangkan maslahat untuk memilih lebih besar.   Silakan download buku PDF dan covernya, tersedia juga buku versi tablet via dropbox: Jangan Golput   Untuk mengetahui buku-buku lainnya karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, silakan hubungi 085200171222 (Toko Online Ruwaifi.Com, via WA/SMS)   Silakan sebar pada yang lain. — Info Rumaysho.Com Tagsbuku gratis pemilu


Baiknya jangan golput, karena suara kita itu sangat berharga sekali. Apalagi untuk kebaikan bangsa kita dan kemaslahatan untuk kaum muslimin. Buku sederhana ini adalah buku yang berisi fatwa ulama besar terdahulu dan ulama besar saat ini yang diakui oleh kalangan Salafiyyin menjadi rujukan. Golput diistilahkan untuk gerakan yang tidak mau memilih dalam Pemilu. Mungkin faktor kalangan Salafiyyin kurang turut serta dalam tiap Pemilu dikarenakan fatwa-fatwa yang kurang tersampaikan ke tengah-tengah mereka. Itulah yang memotivasi penulis untuk mengumpulkan fatwa-fatwa ulama untuk mengajak kalangan Salafiyyin untuk memberikan suara dalam Pemilu. Pokoknya rugi sekali kalau kita memilih golput, sedangkan maslahat untuk memilih lebih besar.   Silakan download buku PDF dan covernya, tersedia juga buku versi tablet via dropbox: Jangan Golput   Untuk mengetahui buku-buku lainnya karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, silakan hubungi 085200171222 (Toko Online Ruwaifi.Com, via WA/SMS)   Silakan sebar pada yang lain. — Info Rumaysho.Com Tagsbuku gratis pemilu

JANGAN SALAH PILIH

Oleh Abdullah Zaen, Lc., MAKita hidup di dunia ini selalu dihadapkan dengan pilihan. Mulai dari hal kecil, seperti memilih sayur atau buah saat belanja harian. Hingga hal yang prinsipiil, seperti memilih keyakinan.Muslim bijaksana adalah yang selalu memiliki pertimbangan matang, sebelum menjatuhkan pilihannya. Apalagi bila terkait dengan prinsip hidup atau hajat orang banyak. Sebab setiap pilihan itu pasti memiliki konsekwensi. Ada yang konsekwensinya berat dan panjang. Adapula yang konsekwensinya ringan dan bersifat sesaat.Di antara bentuk pilihan yang akan kita hadapi esok hari, adalah memilih pemimpin negeri tercinta ini. Ada di antara kita yang telah menentukan pilihannya, dan ada pula yang belum menentukannya.Dalam menetapkan pilihan, kita tidak boleh asal-asalan. Sebab ada pertanggungjawaban dan konsekwensinya. Jika pilihannya tepat, maka insyaAllah kita akan menikmati dampak positif bagi negeri ini. Namun bila kita salah pilih, maka penderitaanlah yang akan menanti. Na’udzubillah min dzalik…Calon pemimpin yang layak dipilih adalah calon yang berkompeten. Yakni yang memiliki kriteria keimanan, fisik yang kuat, pengetahuan yang luas, amanah yang teruji dan berkarakter penyayang. Adapun yang tidak layak dipilih adalah yang tidak memiliki kriteria-kriteria di atas.Sangat rugi bila kita memilih hanya berdasarkan bayaran uang atau sembako. Yang sejatinya bakal habis hanya dalam hitungan bulan, bahkan hari. Setelah itu hidup akan susah kembali, selama sekian tahun ke depan.Sejatinya penggelontoran dana dan sembako dengan tujuan mempengaruhi pilihan rakyat, adalah bentuk upaya pembodohan masyarakat. Sebab mereka dilatih untuk tidak bersikap kritis dalam menentukan pilihannya. Ibarat disuapi permen manis agar ketagihan, lalu akibatnya menderita penyakit diabetes berkepanjangan.Sangat rugi pula jika kita menentukan pilihan hanya karena terpengaruh gimik atau trik rekayasa penarik perhatian. Ketahuilah bahwa hal yang terpenting itu adalah gagasan-gagasan cerdas dan ide-ide bernas yang disampaikan. Bukan gimik murahan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Rajab 1445 l 9 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma

JANGAN SALAH PILIH

Oleh Abdullah Zaen, Lc., MAKita hidup di dunia ini selalu dihadapkan dengan pilihan. Mulai dari hal kecil, seperti memilih sayur atau buah saat belanja harian. Hingga hal yang prinsipiil, seperti memilih keyakinan.Muslim bijaksana adalah yang selalu memiliki pertimbangan matang, sebelum menjatuhkan pilihannya. Apalagi bila terkait dengan prinsip hidup atau hajat orang banyak. Sebab setiap pilihan itu pasti memiliki konsekwensi. Ada yang konsekwensinya berat dan panjang. Adapula yang konsekwensinya ringan dan bersifat sesaat.Di antara bentuk pilihan yang akan kita hadapi esok hari, adalah memilih pemimpin negeri tercinta ini. Ada di antara kita yang telah menentukan pilihannya, dan ada pula yang belum menentukannya.Dalam menetapkan pilihan, kita tidak boleh asal-asalan. Sebab ada pertanggungjawaban dan konsekwensinya. Jika pilihannya tepat, maka insyaAllah kita akan menikmati dampak positif bagi negeri ini. Namun bila kita salah pilih, maka penderitaanlah yang akan menanti. Na’udzubillah min dzalik…Calon pemimpin yang layak dipilih adalah calon yang berkompeten. Yakni yang memiliki kriteria keimanan, fisik yang kuat, pengetahuan yang luas, amanah yang teruji dan berkarakter penyayang. Adapun yang tidak layak dipilih adalah yang tidak memiliki kriteria-kriteria di atas.Sangat rugi bila kita memilih hanya berdasarkan bayaran uang atau sembako. Yang sejatinya bakal habis hanya dalam hitungan bulan, bahkan hari. Setelah itu hidup akan susah kembali, selama sekian tahun ke depan.Sejatinya penggelontoran dana dan sembako dengan tujuan mempengaruhi pilihan rakyat, adalah bentuk upaya pembodohan masyarakat. Sebab mereka dilatih untuk tidak bersikap kritis dalam menentukan pilihannya. Ibarat disuapi permen manis agar ketagihan, lalu akibatnya menderita penyakit diabetes berkepanjangan.Sangat rugi pula jika kita menentukan pilihan hanya karena terpengaruh gimik atau trik rekayasa penarik perhatian. Ketahuilah bahwa hal yang terpenting itu adalah gagasan-gagasan cerdas dan ide-ide bernas yang disampaikan. Bukan gimik murahan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Rajab 1445 l 9 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma
Oleh Abdullah Zaen, Lc., MAKita hidup di dunia ini selalu dihadapkan dengan pilihan. Mulai dari hal kecil, seperti memilih sayur atau buah saat belanja harian. Hingga hal yang prinsipiil, seperti memilih keyakinan.Muslim bijaksana adalah yang selalu memiliki pertimbangan matang, sebelum menjatuhkan pilihannya. Apalagi bila terkait dengan prinsip hidup atau hajat orang banyak. Sebab setiap pilihan itu pasti memiliki konsekwensi. Ada yang konsekwensinya berat dan panjang. Adapula yang konsekwensinya ringan dan bersifat sesaat.Di antara bentuk pilihan yang akan kita hadapi esok hari, adalah memilih pemimpin negeri tercinta ini. Ada di antara kita yang telah menentukan pilihannya, dan ada pula yang belum menentukannya.Dalam menetapkan pilihan, kita tidak boleh asal-asalan. Sebab ada pertanggungjawaban dan konsekwensinya. Jika pilihannya tepat, maka insyaAllah kita akan menikmati dampak positif bagi negeri ini. Namun bila kita salah pilih, maka penderitaanlah yang akan menanti. Na’udzubillah min dzalik…Calon pemimpin yang layak dipilih adalah calon yang berkompeten. Yakni yang memiliki kriteria keimanan, fisik yang kuat, pengetahuan yang luas, amanah yang teruji dan berkarakter penyayang. Adapun yang tidak layak dipilih adalah yang tidak memiliki kriteria-kriteria di atas.Sangat rugi bila kita memilih hanya berdasarkan bayaran uang atau sembako. Yang sejatinya bakal habis hanya dalam hitungan bulan, bahkan hari. Setelah itu hidup akan susah kembali, selama sekian tahun ke depan.Sejatinya penggelontoran dana dan sembako dengan tujuan mempengaruhi pilihan rakyat, adalah bentuk upaya pembodohan masyarakat. Sebab mereka dilatih untuk tidak bersikap kritis dalam menentukan pilihannya. Ibarat disuapi permen manis agar ketagihan, lalu akibatnya menderita penyakit diabetes berkepanjangan.Sangat rugi pula jika kita menentukan pilihan hanya karena terpengaruh gimik atau trik rekayasa penarik perhatian. Ketahuilah bahwa hal yang terpenting itu adalah gagasan-gagasan cerdas dan ide-ide bernas yang disampaikan. Bukan gimik murahan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Rajab 1445 l 9 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma


Oleh Abdullah Zaen, Lc., MAKita hidup di dunia ini selalu dihadapkan dengan pilihan. Mulai dari hal kecil, seperti memilih sayur atau buah saat belanja harian. Hingga hal yang prinsipiil, seperti memilih keyakinan.Muslim bijaksana adalah yang selalu memiliki pertimbangan matang, sebelum menjatuhkan pilihannya. Apalagi bila terkait dengan prinsip hidup atau hajat orang banyak. Sebab setiap pilihan itu pasti memiliki konsekwensi. Ada yang konsekwensinya berat dan panjang. Adapula yang konsekwensinya ringan dan bersifat sesaat.Di antara bentuk pilihan yang akan kita hadapi esok hari, adalah memilih pemimpin negeri tercinta ini. Ada di antara kita yang telah menentukan pilihannya, dan ada pula yang belum menentukannya.Dalam menetapkan pilihan, kita tidak boleh asal-asalan. Sebab ada pertanggungjawaban dan konsekwensinya. Jika pilihannya tepat, maka insyaAllah kita akan menikmati dampak positif bagi negeri ini. Namun bila kita salah pilih, maka penderitaanlah yang akan menanti. Na’udzubillah min dzalik…Calon pemimpin yang layak dipilih adalah calon yang berkompeten. Yakni yang memiliki kriteria keimanan, fisik yang kuat, pengetahuan yang luas, amanah yang teruji dan berkarakter penyayang. Adapun yang tidak layak dipilih adalah yang tidak memiliki kriteria-kriteria di atas.Sangat rugi bila kita memilih hanya berdasarkan bayaran uang atau sembako. Yang sejatinya bakal habis hanya dalam hitungan bulan, bahkan hari. Setelah itu hidup akan susah kembali, selama sekian tahun ke depan.Sejatinya penggelontoran dana dan sembako dengan tujuan mempengaruhi pilihan rakyat, adalah bentuk upaya pembodohan masyarakat. Sebab mereka dilatih untuk tidak bersikap kritis dalam menentukan pilihannya. Ibarat disuapi permen manis agar ketagihan, lalu akibatnya menderita penyakit diabetes berkepanjangan.Sangat rugi pula jika kita menentukan pilihan hanya karena terpengaruh gimik atau trik rekayasa penarik perhatian. Ketahuilah bahwa hal yang terpenting itu adalah gagasan-gagasan cerdas dan ide-ide bernas yang disampaikan. Bukan gimik murahan.Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Rajab 1445 l 9 Februari 2024AGEN KEBAIKANREG:NAMA#JENIS KELAMIN#KOTA = 0812-2291-0404Facebookwww.facebook.com/UstadzAbdullahZaen/Telegramhttps://t.me/ustadzabdullahzaenSoundcloudhttps://soundcloud.com/ustadzabdullahzaenInstagramhttps://www.instagram.com/abdullahzaenofficial/Youtubehttps://www.youtube.com/c/ustadzabdullahzaenma

Hukum Shalat di Belakang Imam yang Fasik (Ahli Maksiat)

Bagaimana hukum shalat di belakang imam yang fasik, ahli maksiat?   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #427 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi:   Hadits #427 عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «صَلُّوا عَلَى مَنْ قَالَ: لاَ إِله إِلاَّ اللهُ، وَصَلُّوا خَلْفَ مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ». رَوَاهُ الدَّارقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatkanlah orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH dan shalatlah di belakang orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH.” (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad lemah) [HR. Ad-Daruquthni, 2:52. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa sanad hadits ini dhaif jiddan. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:445-446].   Faedah hadits Shalat di belakang seorang muslim yang fasik (dikenal dengan maksiatnya) masih dibolehkan. Seseorang disebut muslim dilihat dari keislamannya, bukan dilihat dari ‘adalah-nya (‘adel atau kesalehan). Walaupun sifat ‘adel (saleh) ini lebih utama untuk diangkat sebagai imam shalat. Shalat di belakang seorang yang fasik tetap sah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat di belakang Al-Hajjaj, padahal ia adalah seorang fasik. Shalat di belakang seorang yang fasik dihukumi makruh. Shalat di belakang ahli bid’ah dihukumi makruh selama bid’ahnya bukanlah bid’ah kekafiran. Siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah, maksudnya adalah yang siapa mengucapkan dan mengamalkan konsekuensi dari kalimat laa ilaha illallah. Orang yang melakukan pembatal keislaman, walaupun ia mengucapkan laa ilaha illallah, tidaklah manfaat kalimat tersebtut. Contohnya adalah yang terjadi pada orang munafik seperti ‘Abdullah bin Ubay. Jadi, walaupun melakukan shalat dan puasa, tetapi melakukan pembatal keislaman, maka kalimat tersebut tidaklah manfaat. Contoh pembatal keislaman adalah melakukan kemunafikan besar dan menyembar kubur. Menyolatkan orang yang mengucapkan laa ilaha illallah secara lahiriah dibolehkan. Menyolatkan jenazah itu disyariatkan. Setiap orang yang mengucapkan syahadat boleh dishalatkan, walaupun ia tidak menjalankan kewajiban (karena ia dihukumi secara lahiriyah). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Referensi: Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 3 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid

Hukum Shalat di Belakang Imam yang Fasik (Ahli Maksiat)

Bagaimana hukum shalat di belakang imam yang fasik, ahli maksiat?   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #427 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi:   Hadits #427 عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «صَلُّوا عَلَى مَنْ قَالَ: لاَ إِله إِلاَّ اللهُ، وَصَلُّوا خَلْفَ مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ». رَوَاهُ الدَّارقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatkanlah orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH dan shalatlah di belakang orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH.” (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad lemah) [HR. Ad-Daruquthni, 2:52. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa sanad hadits ini dhaif jiddan. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:445-446].   Faedah hadits Shalat di belakang seorang muslim yang fasik (dikenal dengan maksiatnya) masih dibolehkan. Seseorang disebut muslim dilihat dari keislamannya, bukan dilihat dari ‘adalah-nya (‘adel atau kesalehan). Walaupun sifat ‘adel (saleh) ini lebih utama untuk diangkat sebagai imam shalat. Shalat di belakang seorang yang fasik tetap sah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat di belakang Al-Hajjaj, padahal ia adalah seorang fasik. Shalat di belakang seorang yang fasik dihukumi makruh. Shalat di belakang ahli bid’ah dihukumi makruh selama bid’ahnya bukanlah bid’ah kekafiran. Siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah, maksudnya adalah yang siapa mengucapkan dan mengamalkan konsekuensi dari kalimat laa ilaha illallah. Orang yang melakukan pembatal keislaman, walaupun ia mengucapkan laa ilaha illallah, tidaklah manfaat kalimat tersebtut. Contohnya adalah yang terjadi pada orang munafik seperti ‘Abdullah bin Ubay. Jadi, walaupun melakukan shalat dan puasa, tetapi melakukan pembatal keislaman, maka kalimat tersebut tidaklah manfaat. Contoh pembatal keislaman adalah melakukan kemunafikan besar dan menyembar kubur. Menyolatkan orang yang mengucapkan laa ilaha illallah secara lahiriah dibolehkan. Menyolatkan jenazah itu disyariatkan. Setiap orang yang mengucapkan syahadat boleh dishalatkan, walaupun ia tidak menjalankan kewajiban (karena ia dihukumi secara lahiriyah). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Referensi: Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 3 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid
Bagaimana hukum shalat di belakang imam yang fasik, ahli maksiat?   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #427 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi:   Hadits #427 عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «صَلُّوا عَلَى مَنْ قَالَ: لاَ إِله إِلاَّ اللهُ، وَصَلُّوا خَلْفَ مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ». رَوَاهُ الدَّارقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatkanlah orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH dan shalatlah di belakang orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH.” (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad lemah) [HR. Ad-Daruquthni, 2:52. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa sanad hadits ini dhaif jiddan. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:445-446].   Faedah hadits Shalat di belakang seorang muslim yang fasik (dikenal dengan maksiatnya) masih dibolehkan. Seseorang disebut muslim dilihat dari keislamannya, bukan dilihat dari ‘adalah-nya (‘adel atau kesalehan). Walaupun sifat ‘adel (saleh) ini lebih utama untuk diangkat sebagai imam shalat. Shalat di belakang seorang yang fasik tetap sah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat di belakang Al-Hajjaj, padahal ia adalah seorang fasik. Shalat di belakang seorang yang fasik dihukumi makruh. Shalat di belakang ahli bid’ah dihukumi makruh selama bid’ahnya bukanlah bid’ah kekafiran. Siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah, maksudnya adalah yang siapa mengucapkan dan mengamalkan konsekuensi dari kalimat laa ilaha illallah. Orang yang melakukan pembatal keislaman, walaupun ia mengucapkan laa ilaha illallah, tidaklah manfaat kalimat tersebtut. Contohnya adalah yang terjadi pada orang munafik seperti ‘Abdullah bin Ubay. Jadi, walaupun melakukan shalat dan puasa, tetapi melakukan pembatal keislaman, maka kalimat tersebut tidaklah manfaat. Contoh pembatal keislaman adalah melakukan kemunafikan besar dan menyembar kubur. Menyolatkan orang yang mengucapkan laa ilaha illallah secara lahiriah dibolehkan. Menyolatkan jenazah itu disyariatkan. Setiap orang yang mengucapkan syahadat boleh dishalatkan, walaupun ia tidak menjalankan kewajiban (karena ia dihukumi secara lahiriyah). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Referensi: Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 3 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid


Bagaimana hukum shalat di belakang imam yang fasik, ahli maksiat?   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #427 3.1. Faedah hadits 3.2. Referensi:   Hadits #427 عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «صَلُّوا عَلَى مَنْ قَالَ: لاَ إِله إِلاَّ اللهُ، وَصَلُّوا خَلْفَ مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ». رَوَاهُ الدَّارقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatkanlah orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH dan shalatlah di belakang orang yang telah mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH.” (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad lemah) [HR. Ad-Daruquthni, 2:52. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa sanad hadits ini dhaif jiddan. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:445-446].   Faedah hadits Shalat di belakang seorang muslim yang fasik (dikenal dengan maksiatnya) masih dibolehkan. Seseorang disebut muslim dilihat dari keislamannya, bukan dilihat dari ‘adalah-nya (‘adel atau kesalehan). Walaupun sifat ‘adel (saleh) ini lebih utama untuk diangkat sebagai imam shalat. Shalat di belakang seorang yang fasik tetap sah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat di belakang Al-Hajjaj, padahal ia adalah seorang fasik. Shalat di belakang seorang yang fasik dihukumi makruh. Shalat di belakang ahli bid’ah dihukumi makruh selama bid’ahnya bukanlah bid’ah kekafiran. Siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah, maksudnya adalah yang siapa mengucapkan dan mengamalkan konsekuensi dari kalimat laa ilaha illallah. Orang yang melakukan pembatal keislaman, walaupun ia mengucapkan laa ilaha illallah, tidaklah manfaat kalimat tersebtut. Contohnya adalah yang terjadi pada orang munafik seperti ‘Abdullah bin Ubay. Jadi, walaupun melakukan shalat dan puasa, tetapi melakukan pembatal keislaman, maka kalimat tersebut tidaklah manfaat. Contoh pembatal keislaman adalah melakukan kemunafikan besar dan menyembar kubur. Menyolatkan orang yang mengucapkan laa ilaha illallah secara lahiriah dibolehkan. Menyolatkan jenazah itu disyariatkan. Setiap orang yang mengucapkan syahadat boleh dishalatkan, walaupun ia tidak menjalankan kewajiban (karena ia dihukumi secara lahiriyah). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Referensi: Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 3 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid

Aturan Mengenai Makmum Masbuk

Bagaimana aturan mengenai makmum masbuk? Karena banyak pembahasan fikih yang terkait dengan makmum masbuk yang jarang diketahui. Berikut penjelasannya.   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #428 3.1. Faedah hadits 3.2. Catatan: 3.3. Referensi:   Hadits #428 عَنْ عَليٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم: «إِذَا أَتَى أَحَدُكُم الصَّلاَةَ وَالإِمَامُ عَلَى حَالٍ، فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang di antara kalian datang untuk melakukan shalat sedang imam berada dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia mengerjakan sebagaimana yang tengah dikerjakan oleh imam.” (HR. Tirmidzi dengan sanad yang lemah). [HR. Tirmidzi, no. 591. Al-Hafizh dalam At-Talkhish menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif dan terputus. Namun, hadits ini memiliki penguat. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:447-448].   Faedah hadits Hendaklah makmum yang telat mengikuti imam sesuai keadaan imam tersebut. Ketika ia masuk dan imam sedang berdiri, maka hendaklah mengikuti imam berdiri. Ketika imam rukuk, maka ikutilah rukuk. Ketika imam sujud, maka ikutilah sujud. Ketika imam duduk antara dua sujud, maka ikutilah duduk antara dua sujud. Jika mendapati imam berdiri atau rukuk, maka dianggap mendapatkan satu rakaat bersama imam. Jika mendapati imam kurang dari satu rakaat, maka rakaat yang kurang tinggal disempurnakan. Pahala shalat berjamaah didapati dengan mendapati imam di dalam shalat walaupun yang didapati adalah tasyahud akhir sebelum imam salam. Jika imam telah salam, maka telah berakhir shalat berjamaah. Siapa saja yang telat mengikuti imam disebut makmum masbuk. Jika ia mendapati imam di rakaat pertama, maka disunnahkan memulai dengan membaca surah Al-Fatihah kecuali jika ia memperkirakaan bahwa bacaan imam itu panjang, maka ia mulai dengan doa iftitah, lalu membaca ta’awudz, lalu membaca surah Al-Fatihah. Jika makmum masbuk mendapati imam saat rukuk, maka membaca surah Al-Fatihah menjadi gugur. Namun, mendapati rukuk bersama imam dihitung mendapatkan satu rakaat. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat kedua, bahasannya seperti di rakaat pertama. Makmum masbuk nanti duduk tasyahud bersama imam, walaupun tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat ketiga, maka tasyahud bersama imam ketika imam rakaat keempat dihitung sebagai tasyahud untuknya, lalu ia sempurnakan rakaat tersisa. Jika ia mendapati imam di rakaat keempat, maka ia mengikuti imam di tasyahud akhir. Namun, tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika ia mendapati imam di rakaat kedua pada shalat Shubuh, lalu imam membaca doa qunut, maka doa qunut tersebut tidak dihitung sebagai doa qunut bagi makmum masbuk. Ia tetap membaca doa qunut di rakaat kedua. YANG MAKMUM MASBUK DAPATI DIHITUNG SEBAGAI AWAL SHALAT UNTUKNYA. Makmum masbuk dikatakan mendapatkan rukuk bersama imam dengan dua hal: (1) takbiratul ihram lalu bertakbir untuk turun rukuk, tetapi jika mencukupkan satu kali takbir disyaratkan ia melakukan takbiratul ihram, (2) mendapati rukuk bersama imam secara sempurna dan yakin sebelum imam bangkit dari rukuk di mana makmum mendapatinya dengan melakukanya dengan thumakninah dan masih mendapatkan minimal rukuk, yaitu telapak tangannya mendapati lutut. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 199). Makmum masbuk disunnahkan melakukan takbir intiqal (takbir perpindahan) sesuai dengan takbir intiqalnya imam. Jika mendapati imam sedang iktidal (bangkit dari rukuk), maka hendaklah bertakbir untuk takbiratul ihram dan tak perlu bertakbir ketika hendak turun dan setelah itu. Jika makmum masbuk mendapati imam sedang sujud (selain sujud tilawah), maka tidaklah bertakbir ketika hendak turun. Hendaklah makmum masbuk menyesuaikan dzikir yang dia dapati dari imam, yaitu bacaan tahmid, tasbih, tasyahud, dan doa. Begitu pula ia menyesuaikan bacaan tasyahud hingga membaca shalawat kepada keluarga nabi, walaupun ketika itu makmum sedang melakukan tasyahud awal. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200. Makmum masbuk berdiri sambil mengucapkan takbir setelah salam kedua dari imam di saat makmum mendapatkan duduk yang sama dengan duduknya imam. Namun, jika itu bukan waktu ia duduk, tetapi hanya sekadar mengikuti imam, maka ia tidak mengucapkan takbir ketika berdiri seperti ketika ia masuk di rakaat ketiga pada shalat empat rakaat atau ia masuk pada rakaat kedua pada shalat Maghrib. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200-201. Makmum masbuk mengangkat tangan ketika berdiri dari tasyahud awal walaupun itu bukan tasyahud untuknya. Makmum masbuk tidaklah duduk tawarruk kecuali pada saat tasyahud akhir. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Makmum masbuk tidaklah berdiri melainkan setelah imam salam yang kedua. Makmum masbuk tidaklah boleh berdiri sebelum salamnya imam. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Baca juga: Berbagai Bentuk Idrok, Mendapati Imam di dalam Shalat Hukum Seputar Makmum Masbuk   Catatan: Jika makmum masbuk mendapati imam, rakaat yang ia dapat, itulah yang jadi rakaat pertama untuknya. Yang ia kerjakaan setelah imam salam adalah akhir shalat untuknya. Dalam hadits disebutkan, فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, no. 636 dan Muslim, no. 602). Menyempurnakan sesuatu tidaklah dilakukan melainkan setelah ada awalnya. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451. Makmum mendapati imam jika mendapati imam rukuk, yang ia dapat adalah satu rakaat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَهُ “Siapa yang mendapati imam satu rakaat dari shalat, maka ia mendapati shalat selama imam belum menegakkan tulang punggungnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Lihat bahasan di Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451.   Baca juga: Cara Mengikuti Imam dalam Shalat Berjamaah Aturan Shalat Berjamaah dari Kitab Safinatun Naja Manakah Imam yang Dipilih, Banyak Hafalan Al-Qur’an ataukah Fakih?   Referensi: Malibari, A. B. M. A. G. Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-‘Aini bi Muhimmati Ad-Diin. Juz I. Cet. I. Libanon: Dar Al-Fayha’, 2022. Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, Juz I. Cet. V. Damaskus: Dar Al-Qalam, 2015. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 4 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah makmum masbuk masbuk shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid telat ke masjid

Aturan Mengenai Makmum Masbuk

Bagaimana aturan mengenai makmum masbuk? Karena banyak pembahasan fikih yang terkait dengan makmum masbuk yang jarang diketahui. Berikut penjelasannya.   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #428 3.1. Faedah hadits 3.2. Catatan: 3.3. Referensi:   Hadits #428 عَنْ عَليٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم: «إِذَا أَتَى أَحَدُكُم الصَّلاَةَ وَالإِمَامُ عَلَى حَالٍ، فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang di antara kalian datang untuk melakukan shalat sedang imam berada dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia mengerjakan sebagaimana yang tengah dikerjakan oleh imam.” (HR. Tirmidzi dengan sanad yang lemah). [HR. Tirmidzi, no. 591. Al-Hafizh dalam At-Talkhish menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif dan terputus. Namun, hadits ini memiliki penguat. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:447-448].   Faedah hadits Hendaklah makmum yang telat mengikuti imam sesuai keadaan imam tersebut. Ketika ia masuk dan imam sedang berdiri, maka hendaklah mengikuti imam berdiri. Ketika imam rukuk, maka ikutilah rukuk. Ketika imam sujud, maka ikutilah sujud. Ketika imam duduk antara dua sujud, maka ikutilah duduk antara dua sujud. Jika mendapati imam berdiri atau rukuk, maka dianggap mendapatkan satu rakaat bersama imam. Jika mendapati imam kurang dari satu rakaat, maka rakaat yang kurang tinggal disempurnakan. Pahala shalat berjamaah didapati dengan mendapati imam di dalam shalat walaupun yang didapati adalah tasyahud akhir sebelum imam salam. Jika imam telah salam, maka telah berakhir shalat berjamaah. Siapa saja yang telat mengikuti imam disebut makmum masbuk. Jika ia mendapati imam di rakaat pertama, maka disunnahkan memulai dengan membaca surah Al-Fatihah kecuali jika ia memperkirakaan bahwa bacaan imam itu panjang, maka ia mulai dengan doa iftitah, lalu membaca ta’awudz, lalu membaca surah Al-Fatihah. Jika makmum masbuk mendapati imam saat rukuk, maka membaca surah Al-Fatihah menjadi gugur. Namun, mendapati rukuk bersama imam dihitung mendapatkan satu rakaat. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat kedua, bahasannya seperti di rakaat pertama. Makmum masbuk nanti duduk tasyahud bersama imam, walaupun tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat ketiga, maka tasyahud bersama imam ketika imam rakaat keempat dihitung sebagai tasyahud untuknya, lalu ia sempurnakan rakaat tersisa. Jika ia mendapati imam di rakaat keempat, maka ia mengikuti imam di tasyahud akhir. Namun, tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika ia mendapati imam di rakaat kedua pada shalat Shubuh, lalu imam membaca doa qunut, maka doa qunut tersebut tidak dihitung sebagai doa qunut bagi makmum masbuk. Ia tetap membaca doa qunut di rakaat kedua. YANG MAKMUM MASBUK DAPATI DIHITUNG SEBAGAI AWAL SHALAT UNTUKNYA. Makmum masbuk dikatakan mendapatkan rukuk bersama imam dengan dua hal: (1) takbiratul ihram lalu bertakbir untuk turun rukuk, tetapi jika mencukupkan satu kali takbir disyaratkan ia melakukan takbiratul ihram, (2) mendapati rukuk bersama imam secara sempurna dan yakin sebelum imam bangkit dari rukuk di mana makmum mendapatinya dengan melakukanya dengan thumakninah dan masih mendapatkan minimal rukuk, yaitu telapak tangannya mendapati lutut. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 199). Makmum masbuk disunnahkan melakukan takbir intiqal (takbir perpindahan) sesuai dengan takbir intiqalnya imam. Jika mendapati imam sedang iktidal (bangkit dari rukuk), maka hendaklah bertakbir untuk takbiratul ihram dan tak perlu bertakbir ketika hendak turun dan setelah itu. Jika makmum masbuk mendapati imam sedang sujud (selain sujud tilawah), maka tidaklah bertakbir ketika hendak turun. Hendaklah makmum masbuk menyesuaikan dzikir yang dia dapati dari imam, yaitu bacaan tahmid, tasbih, tasyahud, dan doa. Begitu pula ia menyesuaikan bacaan tasyahud hingga membaca shalawat kepada keluarga nabi, walaupun ketika itu makmum sedang melakukan tasyahud awal. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200. Makmum masbuk berdiri sambil mengucapkan takbir setelah salam kedua dari imam di saat makmum mendapatkan duduk yang sama dengan duduknya imam. Namun, jika itu bukan waktu ia duduk, tetapi hanya sekadar mengikuti imam, maka ia tidak mengucapkan takbir ketika berdiri seperti ketika ia masuk di rakaat ketiga pada shalat empat rakaat atau ia masuk pada rakaat kedua pada shalat Maghrib. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200-201. Makmum masbuk mengangkat tangan ketika berdiri dari tasyahud awal walaupun itu bukan tasyahud untuknya. Makmum masbuk tidaklah duduk tawarruk kecuali pada saat tasyahud akhir. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Makmum masbuk tidaklah berdiri melainkan setelah imam salam yang kedua. Makmum masbuk tidaklah boleh berdiri sebelum salamnya imam. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Baca juga: Berbagai Bentuk Idrok, Mendapati Imam di dalam Shalat Hukum Seputar Makmum Masbuk   Catatan: Jika makmum masbuk mendapati imam, rakaat yang ia dapat, itulah yang jadi rakaat pertama untuknya. Yang ia kerjakaan setelah imam salam adalah akhir shalat untuknya. Dalam hadits disebutkan, فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, no. 636 dan Muslim, no. 602). Menyempurnakan sesuatu tidaklah dilakukan melainkan setelah ada awalnya. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451. Makmum mendapati imam jika mendapati imam rukuk, yang ia dapat adalah satu rakaat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَهُ “Siapa yang mendapati imam satu rakaat dari shalat, maka ia mendapati shalat selama imam belum menegakkan tulang punggungnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Lihat bahasan di Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451.   Baca juga: Cara Mengikuti Imam dalam Shalat Berjamaah Aturan Shalat Berjamaah dari Kitab Safinatun Naja Manakah Imam yang Dipilih, Banyak Hafalan Al-Qur’an ataukah Fakih?   Referensi: Malibari, A. B. M. A. G. Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-‘Aini bi Muhimmati Ad-Diin. Juz I. Cet. I. Libanon: Dar Al-Fayha’, 2022. Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, Juz I. Cet. V. Damaskus: Dar Al-Qalam, 2015. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 4 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah makmum masbuk masbuk shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid telat ke masjid
Bagaimana aturan mengenai makmum masbuk? Karena banyak pembahasan fikih yang terkait dengan makmum masbuk yang jarang diketahui. Berikut penjelasannya.   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #428 3.1. Faedah hadits 3.2. Catatan: 3.3. Referensi:   Hadits #428 عَنْ عَليٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم: «إِذَا أَتَى أَحَدُكُم الصَّلاَةَ وَالإِمَامُ عَلَى حَالٍ، فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang di antara kalian datang untuk melakukan shalat sedang imam berada dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia mengerjakan sebagaimana yang tengah dikerjakan oleh imam.” (HR. Tirmidzi dengan sanad yang lemah). [HR. Tirmidzi, no. 591. Al-Hafizh dalam At-Talkhish menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif dan terputus. Namun, hadits ini memiliki penguat. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:447-448].   Faedah hadits Hendaklah makmum yang telat mengikuti imam sesuai keadaan imam tersebut. Ketika ia masuk dan imam sedang berdiri, maka hendaklah mengikuti imam berdiri. Ketika imam rukuk, maka ikutilah rukuk. Ketika imam sujud, maka ikutilah sujud. Ketika imam duduk antara dua sujud, maka ikutilah duduk antara dua sujud. Jika mendapati imam berdiri atau rukuk, maka dianggap mendapatkan satu rakaat bersama imam. Jika mendapati imam kurang dari satu rakaat, maka rakaat yang kurang tinggal disempurnakan. Pahala shalat berjamaah didapati dengan mendapati imam di dalam shalat walaupun yang didapati adalah tasyahud akhir sebelum imam salam. Jika imam telah salam, maka telah berakhir shalat berjamaah. Siapa saja yang telat mengikuti imam disebut makmum masbuk. Jika ia mendapati imam di rakaat pertama, maka disunnahkan memulai dengan membaca surah Al-Fatihah kecuali jika ia memperkirakaan bahwa bacaan imam itu panjang, maka ia mulai dengan doa iftitah, lalu membaca ta’awudz, lalu membaca surah Al-Fatihah. Jika makmum masbuk mendapati imam saat rukuk, maka membaca surah Al-Fatihah menjadi gugur. Namun, mendapati rukuk bersama imam dihitung mendapatkan satu rakaat. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat kedua, bahasannya seperti di rakaat pertama. Makmum masbuk nanti duduk tasyahud bersama imam, walaupun tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat ketiga, maka tasyahud bersama imam ketika imam rakaat keempat dihitung sebagai tasyahud untuknya, lalu ia sempurnakan rakaat tersisa. Jika ia mendapati imam di rakaat keempat, maka ia mengikuti imam di tasyahud akhir. Namun, tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika ia mendapati imam di rakaat kedua pada shalat Shubuh, lalu imam membaca doa qunut, maka doa qunut tersebut tidak dihitung sebagai doa qunut bagi makmum masbuk. Ia tetap membaca doa qunut di rakaat kedua. YANG MAKMUM MASBUK DAPATI DIHITUNG SEBAGAI AWAL SHALAT UNTUKNYA. Makmum masbuk dikatakan mendapatkan rukuk bersama imam dengan dua hal: (1) takbiratul ihram lalu bertakbir untuk turun rukuk, tetapi jika mencukupkan satu kali takbir disyaratkan ia melakukan takbiratul ihram, (2) mendapati rukuk bersama imam secara sempurna dan yakin sebelum imam bangkit dari rukuk di mana makmum mendapatinya dengan melakukanya dengan thumakninah dan masih mendapatkan minimal rukuk, yaitu telapak tangannya mendapati lutut. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 199). Makmum masbuk disunnahkan melakukan takbir intiqal (takbir perpindahan) sesuai dengan takbir intiqalnya imam. Jika mendapati imam sedang iktidal (bangkit dari rukuk), maka hendaklah bertakbir untuk takbiratul ihram dan tak perlu bertakbir ketika hendak turun dan setelah itu. Jika makmum masbuk mendapati imam sedang sujud (selain sujud tilawah), maka tidaklah bertakbir ketika hendak turun. Hendaklah makmum masbuk menyesuaikan dzikir yang dia dapati dari imam, yaitu bacaan tahmid, tasbih, tasyahud, dan doa. Begitu pula ia menyesuaikan bacaan tasyahud hingga membaca shalawat kepada keluarga nabi, walaupun ketika itu makmum sedang melakukan tasyahud awal. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200. Makmum masbuk berdiri sambil mengucapkan takbir setelah salam kedua dari imam di saat makmum mendapatkan duduk yang sama dengan duduknya imam. Namun, jika itu bukan waktu ia duduk, tetapi hanya sekadar mengikuti imam, maka ia tidak mengucapkan takbir ketika berdiri seperti ketika ia masuk di rakaat ketiga pada shalat empat rakaat atau ia masuk pada rakaat kedua pada shalat Maghrib. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200-201. Makmum masbuk mengangkat tangan ketika berdiri dari tasyahud awal walaupun itu bukan tasyahud untuknya. Makmum masbuk tidaklah duduk tawarruk kecuali pada saat tasyahud akhir. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Makmum masbuk tidaklah berdiri melainkan setelah imam salam yang kedua. Makmum masbuk tidaklah boleh berdiri sebelum salamnya imam. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Baca juga: Berbagai Bentuk Idrok, Mendapati Imam di dalam Shalat Hukum Seputar Makmum Masbuk   Catatan: Jika makmum masbuk mendapati imam, rakaat yang ia dapat, itulah yang jadi rakaat pertama untuknya. Yang ia kerjakaan setelah imam salam adalah akhir shalat untuknya. Dalam hadits disebutkan, فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, no. 636 dan Muslim, no. 602). Menyempurnakan sesuatu tidaklah dilakukan melainkan setelah ada awalnya. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451. Makmum mendapati imam jika mendapati imam rukuk, yang ia dapat adalah satu rakaat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَهُ “Siapa yang mendapati imam satu rakaat dari shalat, maka ia mendapati shalat selama imam belum menegakkan tulang punggungnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Lihat bahasan di Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451.   Baca juga: Cara Mengikuti Imam dalam Shalat Berjamaah Aturan Shalat Berjamaah dari Kitab Safinatun Naja Manakah Imam yang Dipilih, Banyak Hafalan Al-Qur’an ataukah Fakih?   Referensi: Malibari, A. B. M. A. G. Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-‘Aini bi Muhimmati Ad-Diin. Juz I. Cet. I. Libanon: Dar Al-Fayha’, 2022. Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, Juz I. Cet. V. Damaskus: Dar Al-Qalam, 2015. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 4 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah makmum masbuk masbuk shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid telat ke masjid


Bagaimana aturan mengenai makmum masbuk? Karena banyak pembahasan fikih yang terkait dengan makmum masbuk yang jarang diketahui. Berikut penjelasannya.   Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Kitab Shalat فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam Daftar Isi tutup 1. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 2. Kitab Shalat 3. Hadits #428 3.1. Faedah hadits 3.2. Catatan: 3.3. Referensi:   Hadits #428 عَنْ عَليٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم: «إِذَا أَتَى أَحَدُكُم الصَّلاَةَ وَالإِمَامُ عَلَى حَالٍ، فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang di antara kalian datang untuk melakukan shalat sedang imam berada dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia mengerjakan sebagaimana yang tengah dikerjakan oleh imam.” (HR. Tirmidzi dengan sanad yang lemah). [HR. Tirmidzi, no. 591. Al-Hafizh dalam At-Talkhish menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif dan terputus. Namun, hadits ini memiliki penguat. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:447-448].   Faedah hadits Hendaklah makmum yang telat mengikuti imam sesuai keadaan imam tersebut. Ketika ia masuk dan imam sedang berdiri, maka hendaklah mengikuti imam berdiri. Ketika imam rukuk, maka ikutilah rukuk. Ketika imam sujud, maka ikutilah sujud. Ketika imam duduk antara dua sujud, maka ikutilah duduk antara dua sujud. Jika mendapati imam berdiri atau rukuk, maka dianggap mendapatkan satu rakaat bersama imam. Jika mendapati imam kurang dari satu rakaat, maka rakaat yang kurang tinggal disempurnakan. Pahala shalat berjamaah didapati dengan mendapati imam di dalam shalat walaupun yang didapati adalah tasyahud akhir sebelum imam salam. Jika imam telah salam, maka telah berakhir shalat berjamaah. Siapa saja yang telat mengikuti imam disebut makmum masbuk. Jika ia mendapati imam di rakaat pertama, maka disunnahkan memulai dengan membaca surah Al-Fatihah kecuali jika ia memperkirakaan bahwa bacaan imam itu panjang, maka ia mulai dengan doa iftitah, lalu membaca ta’awudz, lalu membaca surah Al-Fatihah. Jika makmum masbuk mendapati imam saat rukuk, maka membaca surah Al-Fatihah menjadi gugur. Namun, mendapati rukuk bersama imam dihitung mendapatkan satu rakaat. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat kedua, bahasannya seperti di rakaat pertama. Makmum masbuk nanti duduk tasyahud bersama imam, walaupun tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika makmum masbuk mendapati imam di rakaat ketiga, maka tasyahud bersama imam ketika imam rakaat keempat dihitung sebagai tasyahud untuknya, lalu ia sempurnakan rakaat tersisa. Jika ia mendapati imam di rakaat keempat, maka ia mengikuti imam di tasyahud akhir. Namun, tasyahud itu tidak dihitung sebagai tasyahud untuknya. Jika ia mendapati imam di rakaat kedua pada shalat Shubuh, lalu imam membaca doa qunut, maka doa qunut tersebut tidak dihitung sebagai doa qunut bagi makmum masbuk. Ia tetap membaca doa qunut di rakaat kedua. YANG MAKMUM MASBUK DAPATI DIHITUNG SEBAGAI AWAL SHALAT UNTUKNYA. Makmum masbuk dikatakan mendapatkan rukuk bersama imam dengan dua hal: (1) takbiratul ihram lalu bertakbir untuk turun rukuk, tetapi jika mencukupkan satu kali takbir disyaratkan ia melakukan takbiratul ihram, (2) mendapati rukuk bersama imam secara sempurna dan yakin sebelum imam bangkit dari rukuk di mana makmum mendapatinya dengan melakukanya dengan thumakninah dan masih mendapatkan minimal rukuk, yaitu telapak tangannya mendapati lutut. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 199). Makmum masbuk disunnahkan melakukan takbir intiqal (takbir perpindahan) sesuai dengan takbir intiqalnya imam. Jika mendapati imam sedang iktidal (bangkit dari rukuk), maka hendaklah bertakbir untuk takbiratul ihram dan tak perlu bertakbir ketika hendak turun dan setelah itu. Jika makmum masbuk mendapati imam sedang sujud (selain sujud tilawah), maka tidaklah bertakbir ketika hendak turun. Hendaklah makmum masbuk menyesuaikan dzikir yang dia dapati dari imam, yaitu bacaan tahmid, tasbih, tasyahud, dan doa. Begitu pula ia menyesuaikan bacaan tasyahud hingga membaca shalawat kepada keluarga nabi, walaupun ketika itu makmum sedang melakukan tasyahud awal. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200. Makmum masbuk berdiri sambil mengucapkan takbir setelah salam kedua dari imam di saat makmum mendapatkan duduk yang sama dengan duduknya imam. Namun, jika itu bukan waktu ia duduk, tetapi hanya sekadar mengikuti imam, maka ia tidak mengucapkan takbir ketika berdiri seperti ketika ia masuk di rakaat ketiga pada shalat empat rakaat atau ia masuk pada rakaat kedua pada shalat Maghrib. Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 200-201. Makmum masbuk mengangkat tangan ketika berdiri dari tasyahud awal walaupun itu bukan tasyahud untuknya. Makmum masbuk tidaklah duduk tawarruk kecuali pada saat tasyahud akhir. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Makmum masbuk tidaklah berdiri melainkan setelah imam salam yang kedua. Makmum masbuk tidaklah boleh berdiri sebelum salamnya imam. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 201). Lihat bahasan: Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:445-446 dan Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 2:57-58.   Baca juga: Berbagai Bentuk Idrok, Mendapati Imam di dalam Shalat Hukum Seputar Makmum Masbuk   Catatan: Jika makmum masbuk mendapati imam, rakaat yang ia dapat, itulah yang jadi rakaat pertama untuknya. Yang ia kerjakaan setelah imam salam adalah akhir shalat untuknya. Dalam hadits disebutkan, فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, no. 636 dan Muslim, no. 602). Menyempurnakan sesuatu tidaklah dilakukan melainkan setelah ada awalnya. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451. Makmum mendapati imam jika mendapati imam rukuk, yang ia dapat adalah satu rakaat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَهُ “Siapa yang mendapati imam satu rakaat dari shalat, maka ia mendapati shalat selama imam belum menegakkan tulang punggungnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra). Lihat bahasan di Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:451.   Baca juga: Cara Mengikuti Imam dalam Shalat Berjamaah Aturan Shalat Berjamaah dari Kitab Safinatun Naja Manakah Imam yang Dipilih, Banyak Hafalan Al-Qur’an ataukah Fakih?   Referensi: Malibari, A. B. M. A. G. Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-‘Aini bi Muhimmati Ad-Diin. Juz I. Cet. I. Libanon: Dar Al-Fayha’, 2022. Fauzan, A. B. S. A. Minhah Al-’Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, Juz III. Cet. III. Qahirah: Dar Ibn al-Jauzy, 2011. Zuhaily, M. M. A. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, Juz I. Cet. V. Damaskus: Dar Al-Qalam, 2015. Zuhaily, M. M. A. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, Juz II. Cet. I. Damaskus: Dar Al-Bayan, 2022.   – Diselesaikan pada Selasa, 4 Syakban 1445 H, 13 Februari 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat berjamaah cara imam shalat imam shalat keutamaan shalat berjamaah makmum masbuk masbuk shalat berjamaah shalat berjamaah di masjid telat ke masjid
Prev     Next